Sriyono
ISSN 0216 - 3128
ANALISIS TERMODINAMIKA DAN PENENTUAN RASIO PENGOTOR GAS HELIUM TERHADAP DEGRADASI MATERIAL PENDINGIN RGTT 200MW Sriyono Bidang Pengembangan Reaktor, Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir (PTRKN) BATAN, Gedung 80, Puspiptek, Serpong, BANTEN 15310, Email :
[email protected]
ABSTRAK ANALISIS TERMODINAMIKA DAN PENENTUAN RASIO PENGOTOR GAS HELIUM TERHADAP DEGRADASI MATERIAL PENDINGIN RGTT 200MW. Gas helium masuk ke teras RGTT (Reaktor Berpendingin Gas Temperatur Tinggi) dimungkinkan mengandung pengotor H2, H2O, CH4, CO, CO2, N2 dan O2 akibat dari adanya air ingress atau tumpahan minyak serta air pada saat konstruksi. Tujuan analisis ini adalah mengetahui fenomena termodinamika reaksi antara gas pengotor dengan logam dan penentuan rasio pengotor agar dampak pengotor terhadap logam minimum. Metodologi yang digunakan dalam melakukan analisis adalah dengan melakukan kajian terhadap berbagai pengalaman pengoperasian HTGR terutama dalam menangani permasalahan pengotor gas helium. Dua parameter utama yang sangat menentukan reaksi antara gas pengotor dengan logam adalah keberadaan unsur oksigen dan senyawa karbon. Reaksi oksigen dan karbon terhadap material dapat ditinjau melalui dua fenomena yaitu proses dengan pengoksida tunggal dan pengoksida ganda. Dalam reaksi bioksidan terjadi proses kompetisi pembentukan kerak oksida dan lapisan karbida. Pembentukan karbida terjadi karena potensial karbon pada material lebih rendah dari lingkungannya, peristiwa ini dikenal dengan karburisasi. Gas yang reaktif terhadap pembentukan karbida ini adalah CH4 dan CO yang akan membentuk adanya C6Cr23 dan C3Cr7 pada permukaan material. Sedangkan proses dekarburisasi terjadi karena reaksi karbon pada permukaan logam dengan air. Proses ini akan mengganggu pembentukan lapisan oksida karena terjadinya pembentukan gelembung gas (bubble formation). Sedangkan pada proses oksidasi akan terbentuk krom oksida yang stabil baik pada rentang suhu rendah (suhu kamar) dan tinggi (950°C). Berdasarkan analisis secara termodinamik diketahui bahwa karbon tidak akan terdeposisi pada permukaan logam jika rasio antara hidrogen (H2) dan air (H2O) lebih kecil dari 8 dan atau rasio antara karbonmonooksida (CO) dan karbondioksida (CO2) lebih kecil 0,7. Untuk menjaga kedua rasio ini tetap terjaga maka suatu saat diharuskan untuk menghilangkan hidrogen/karbondioksida dari pendingin atau menginjeksikan air dan karbon dioksida ke sistem pendingin. Kata kunci : analisis, rasio, pengotor, degradasi, material, RGTT
ABSTRACT THERMODYNAMICS ANALYSIS AND RATIO DETERMINATION OF HELIUM IMPURITIES TO MATERIAL DEGRADATION ON RGTT 200MW HELIUM COOLANT. Helium gas enter to RGTT core possible contain impurities such as H2, H2O, CH4, CO, CO2, N2 and O2 which is resulted from air ingress or oil/water remained in the pipes during construction. This analysis was done to determine the phenomenon of thermodynamic reaction between gas impurities and metal by determining the ratio of impurities compounds so that the impact to material is minimize. The method which is used to analyze is by studying to experience operating of HTGR in helium coolant solving. Two main parameters use to determine the reaction between impurities to the metal is the presence of oxygen and carbon. The reaction of oxygen and carbon to materials can be observed through the two phenomena, namely single oxidant and bioxidants processes. Bioxidants reaction occurs in competition between oxide scales and carbides formation. Carbide formation occurs because of the potential of carbon in the material is lower than its surroundings, this event is known as carburization. Reactive gases in the formation of this carbide is CH4 and CO which will form the C6Cr23 and C3Cr7 on metal surfaces. Decarburization occurs due to the reaction between carbon on surface with water. This process will disrupt oxide layer because of bubble formation. Oxidation will form chromium oxide which is stable at both low and high temperature range (950◦C). Based on thermodynamic analysis that the carbon will not deposit on metal surfaces if the ratio between hydrogen (H2) and water (H2O) is smaller than 8 and or the ratio between carbon monoxide and carbon dioxide smaller 0.7. To keep both these ratio, the hydrogen and carbon dioxide sometimes remove from the coolant, or injecting water and carbon dioxide to the coolant. Key words: analysis, ratio, impurities, degradation, material, RGTT.
Prosiding PPI - PDIPTN 2010 Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 20 Juli 2010
205
Sriyono
ISSN 0216 - 3128
206
minimum dengan cara mengkaji data-data empiris dan eksperimen dari ≥ 3 narasumber acuan. [1,2,3] Dengan mengetahui fenomena yang terjadi maka akan dapat digunakan untuk melakukan penanganan gas-gas pengotor tersebut dengan teknologi pemurnian (purifikasi) yang sesuai dalam pengoperasian RGTT.
PENDAHULUAN GTT (Reaktor Berpendingin Gas Suhu Tinggi) 200 MW adalah reaktor generasi lanjut yang didisain menggunakan gas helium sebagai pendingin. Gas helium digunakan sebagai media pendingin karena memiliki banyak kelebihan antara lain: bersifat inert, yaitu tidak mudah bereaksi dengan senyawa-senyawa lain, memiliki kapasitas panas tinggi, tidak mudah terdekomposisi secara termal, mempunyai tampang lintang netron rendah, tidak mudah teraktivasi oleh netron, mempunyai absorpsi netron rendah, dan mudah dimurnikan. Disain reaktor RGTT akan menggunakan bahan bakar berbentuk bola yang didalamnya terdapat ribuan TRISO dengan inti kernel UO2. Gas helium pada pendingin primer RGTT bergerak dimulai dari teras grafit menuju ke penukar panas atau turbin-gas dan akan kembali lagi menuju ke teras setelah beberapa detik melewati satu siklus tertutup. Aliran ini bersifat dinamik dan akan menuju keadaan yang setimbang dan stabil setelah bereaksi dengan grafit yang ada di teras reaktor.[1]
R
Dua reaksi utama yang sangat menentukan antara gas pengotor dengan logam adalah adanya unsur oksigen dan senyawa karbon. Senyawa oksigen dalam gas helium akan mengisi sebagian volume pendingin dikenal dengan tekanan parsial oksigen (oxygen partial pressure) sedangkan gas karbon akan berinteraksi dengan material melalui proses aktivitas karbon (carbon activity). Metodologi analisis termodinamika reaksi oksigen dan karbon terhadap material akan dibahas melalui dua fenomena yaitu proses dengan oksidan tunggal (single oxidant) dan proses dengan oksidan ganda (bioxidants) sedangkan penentuan rasio pengotor dilakukan dengan perhitungan asumsi reaksi-reaksi yang mungkin terjadi dalam pendingin. Pada fenomena dengan oksidan tunggal akan melibatkan satu macam pengotor yang bereaksi pada logam, sedangkan pada fenomena bioksidan akan melibatkan dua atau lebih pengotor yang beraksi dengan logam.
Gas helium masuk ke teras RGTT diasumsikan mengandung air dan atau steam yang dimungkinkan berasal dari kebocoran pipa (air ingress) pada saat operasi tak normal dan juga dimungkinkan adanya tumpahan minyak atau air sewaktu proses konstruksi[2,3]. Senyawa H2O yang masuk ke teras akan bereaksi dengan grafit sehingga membentuk gas pengotor antara lain adalah H2, H2O, CH4, CO, CO2, N2 dan O2. Gas-gas pengotor pada berbagai reaktor RGTT berdasarkan pengalaman operasinya, ditunjukkan pada Tabel 1.
METODOLOGI Metodologi yang digunakan dalam melakukan analisis adalah dengan melakukan kajian terhadap data empiris dan eksperimen dari ≥ 3 narasumber acuan dari berbagai pengalaman pengoperasian HTGR terutama dalam menangani permasalahan pengotor gas helium. Kajian ditekankan pada fenomena interaksi antara pengotor dan material yang akan memicu terjadinya 3 proses utama yaitu oksidasi, karburasi dan dekarburisasi. Bagaimana mempertahankan kondisi pendingin helium agar ketiga proses utama tersebut dapat dicegah juga akan dibahas dalam makalah ini.
Pengotor-pengotor gas helium akan memicu terjadinya proses korosi pada material pendingin dan menyebabkan degradasi material. Degradasi material ini harus diantisipasi untuk menjamin kesalamatan pengoperasian RGTT. Tujuan analisis ini adalah mengetahui fenomena termodinamika reaksi antar gas dengan logam pada suhu tinggi pengoperasian RGTT dan menentukan rasio pengotor agar dampak pengotor terhadap logam
Tabel 1. Komposisi Pengotor Gas Helium pada berbagai fasilitas RGTT.[2] Fasilitas RGTT
Komposisi Pengotor Gas Helium (ppm) H2O
H2
CO
CO2
CH4
O2
N2
Dragon, USA
0,1
0,1
0,005
0,02
0,1
0,1
0,05
Peach Bottom, USA
0,5
10
0,5
<0,05
1,0
---
0,5
Fort St. Vrain, USA
1
7
3
1
0,1
---
---
AVR, Jerman
0,15
9
45
0,25
1
---
22
THTR, Jerman
<0,01
0,8
0,4
0,2
0,1
---
0,1
Prosiding PPI - PDIPTN 2010 Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 20 Juli 2010
Sriyono
ISSN 0216 - 3128
PEMBAHASAN Interaksi antara permukaan logam dengan gas pengotor helium pada RGTT secara kinetik akan dipengaruhi oleh waktu, suhu, lingkungan, sifat paduan logam dan kondisi permukaan paduan logam. Reaksi yang mungkin terjadi biasanya adalah reaksi kesetimbangan dua arah antara pengotor dengan material. Pada saat reaksi tidak mencapai kesetimbangan maka terjadilah reaksi korosi antara gas pengotor dan logam secara individual yang mungkin antara logam dan pengotor gas. Ada tiga reaksi utama yang dapat mempengaruhi proses korosi dan memicu terjadinya degradasi mekanik yaitu proses oksidasi, karburasi dan dekarburasi. Proses karburasi dan dekarburasi ditentukan oleh aktivitas karbon terhadap permukaan logam yang berinteraksi secara langsung. Sedangkan proses oksidasi ditentukan oleh tekanan parsial oksigen terhadap logam sehingga memicu terbentuknya oksida logam pada permukaannya. Untuk menekan kedua proses tersebut di dalam sistem pendingin adalah dengan cara meminimalisasi adanya kemasukan (intrusi) udara, air dan atau tumpahan minyak ke dalam sistem pendingin, tetapi hal ini sulit dihindari. Aktivitas karbon yang memicu proses karburasi dan dekarburasi pada fase gas akan ditentukan oleh beberapa reaksi sebagai berikut:[1] CO + H 2 ⇔ C + H 2O
(1)
2 CO ⇔ C + CO2 .
(2)
CH 4 ⇔ C + 2H 2
.(3)
CH 4 + CO ⇔ 2 C + H 2O + H 2
.(4)
CO ⇔
.(5)
1
2
O2
Aktivitas karbon (Ac) pada fase gas pada setiap reaksi diatas dapat dihitung dengan menggunakan konstanta kesetimbangan (K) berdasarkan tekanan parsial (p) dari setiap komponen reaksinya. [1]
207
Aktivitas karbon akan terjadi apabila tidak ada kesetimbangan reaksi pada semua senyawa gas diatas, sedangkan reaksi yang paling dominan adalah yang menghasilkan aktivitas karbon paling tinggi. Sedangkan pada proses oksidasi, tekanan parsial oksigen pada lingkungan gas helium akan ditentukan oleh reaksi sebagai berikut: [1] H 2O ⇔ CO2 ⇔
1
1
2
2
O2 + H 2
O2 + CO
(11) (12)
Tekanan parsial oksigen yang terjadi akan ditentukan dengan rumusan sebagai berikut: [1] p O2 = ( K 5 . p CO / Ac ) 2 untuk reaksi ke 5
(13)
p O2 = ( K 6 . p H 2O / p H 2 ) 2 untuk reaksi 11
(14)
p O2 = ( K 7 . p CO2 / p CO ) 2 untuk reaksi 12
(15)
Apabila ditinjau berdasarkan reaksi logam dengan oksidan tunggal (single oxidant), maka yang terlibat hanya satu reaksi kesetimbangan yaitu H2O/H2 atau CO2/CO untuk oksidasi atau CH4/H2 untuk proses karburasi. Reaksi oksidasi antara logam murni dengan oksigen adalah: [1] M +
1
2
O2 = MO
(16)
Tekanan parsial oksigen (pO2) untuk kesetimbangan M/MO2 diberikan oleh pO2 pada: M / M O2 = exp .(∆G ° / RT )
(17)
∆G° = energi bebas perubahan kesetimbangan M / M O2 pada suhu T. Pada paduan logam biner dan ternary, aktivitas-aktivitas dari elemen reaktif (aM) dan oksida (aMO2) seharusnya juga dipertimbangkan sehingga persamaan 17 akan menjadi :[1] pO2 pada batas fase M / M O2 = aM O2 / aM × exp (∆G / RT )
(18)
Ac = K1 ( pCO . pH 2 ) / pH 2 untuk reaksi ke 1
(6)
Ac = K 2 ( pCO ) 2 / pCO2 untuk reaksi ke 2
(7)
Pada umumnya aktivitas elemen pada logam paduan diberikan oleh [1]
Ac = K 3 ( pCH 4 ) 2 / ( pH 2 ) 2 untuk reaksi ke 3
(8)
a M = γ M . XM
Ac = (K4 )2 ( pCH4 . pCO ) /( pH 2O. pH 2 )
Ac = K5 .( pCO ) /( pO2 )
1
2
1
2
untuk reaksi ke 4 .(9)
untuk reaksi ke 5
(10)
(19)
Dengan γM dan XM adalah koefisien aktivitas dan XM adalah fraksi mol M logam paduan. Kestabilan karbida dan oksida ditunjukkan oleh Gambar 1 dan 2.
Prosiding PPI - PDIPTN 2010 Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 20 Juli 2010
208
ISSN 0216 - 3128
Sriyono
Gambar 1. Kestabilan termodinamika berbagai oksida sebagai fungsi suhu.[3]
Gambar 2. Kestabilan termodinamika berbagai karbida sebagai fungsi suhu.[3]
Gambar 1 dan Gambar 2 [1] menunjukkan adanya stabilitas termodinamik dari beberapa fase oksida dan fase karbida yang terbentuk oleh reaksi antara oksigen dan karbon terhadap berbagai macam struktur material seperti paduan logam tahan panas, superalloy dan logam-logam refractory. Kedua reaksi ini sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti suhu, waktu dan aktivitas reaktan pada lingkungan gas helium yang digunakan. Pada Gambar 1, diperlihatkan adanya pengaruh per-
ubahan energi bebas terhadap suhu, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu akan menunjukkan semakin besar kerak oksida terbentuk dengan tingkat porositas kerak yang semakin rapuh. Sedangkan pada Gambar 2, diperlihatkan adanya perubahan energi bebas terhadap kestabilan karbida dan perubahan suhu. Dengan suhu yang semakin meningkat di lingkungan yang mengandung karbon maka aktivitas karbon semakin tinggi, dan meningkatkan proses karburasi yang terjadi. Proses
Prosiding PPI - PDIPTN 2010 Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 20 Juli 2010
Sriyono
ISSN 0216 - 3128
209
karburisasi akan semakin meningkat apabila potensial kandungan karbon di dalam material lebih sedikit dibandingkan lingkungannya. Jika material logam berinteraksi langsung dengan campuran gas multikomponen atau dikenal dengan mixed oxidant, proses karburasi dan oksidasi dapat terjadi secara simultan. Reaksi kedua dapat memodifikasi ataupun merusak lapisan kerak produk korosi yang terjadi. Pada kondisi seperti ini reaksi tidak hanya terjadi pada fase gas tetapi juga terjadi pada kerak hasil produk korosi dan juga permukaan logam didalamnya. Reaksi pada permukaan logam bagian dalam, salah satunya adalah internal oxidation. Pada kondisi seperti ini maka reaksi yang terjadi akan sangat kompleks. Hubungan aktivitas karbon (log Ac) dan konsentrasi tekanan parsial oksigen (log pO2) terhadap pembentukan karbida dan kerak oksida ditunjukkan oleh Gambar 3. Unsur yang dominan pada pembentukan karbida dan oksida pada suhu tinggi adalah adanya Krom (Cr) di dalam logam. Senyawa yang terbentuk pada logam adalah krom karbida dan krom oksida. Pada campuran gas biner dan terner, potensial kimia senyawa reaktif dapat terjadi secara langsung sebagai fungsi suhu. Suhu dimulai dari suhu kamar sampai dengan suhu tertinggi lingkungan RGTT (982°C). Pada sistem yang mengandung campuran gas H2, H2O, CH4, CO, CO2 dan O2 aktivitas dari senyawa reaktif pada fase gas harus dipertimbangkan secara simultan. Hubungan tekanan parsial oksigen dan aktifitas karbon terhadap pembentukan kerak oksida dan kestabilan karburasi/dekarburasi ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4.
Daerah kestabilan karburasi dan dekarburasi 1.[3]
Dengan kandungan unsur logam seperti Ni, Ti, Al, Cr, Mn, Fe, Si dll., yang pada umumnya terdapat pada paduan logam yang digunakan pada suhu tinggi, maka kompetisi pembentukan oksida yang terjadi akan sangat ditentukan oleh suhu dan konsentrasi oksigen pada lingkungannya. Kandidat material yang digunakan pada RGTT adalah Hastelloy X, Inconel 617 dan Haynes 230. Ketiga material ini merupakan logam paduan berbasiskan nikel. Berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan oleh AREVA[2], dengan menggunakan komposisi gas pada Tabel 2, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengotor terhadap Inconel 617 hasilnya dapat diketahui bahwa krom oksida tumbuh pada permukaan logam dengan ketebalan sekitar 0,7 µm seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Selain itu, terjadi pula proses oksidasi internal dan terbentuknya kerak oksida pada permukaan logam seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Proses dekarburisasi juga terjadi akibat reaksi antara karbon dengan air sehingga menurunkan konsentrasi kandungan karbon di dalam material. Proses dekarburisasi juga mengganggu terbentuknya oksida karena adanya pembentukan gelembung gas (bubble formation). Tabel 2. Komposisi gas pengotor (dalam ppm) yang digunakan pada AREVA-NP corrosion loop.[2]
Gambar 3. Diagram termokimia untuk sistem Cr-C-O pada suhu 982 °C, yang mengindikasikan daerah kestabilan berbagai fase karbida dan oksida.[1,3]
Test
H2
CO
CH4
H2O
He
A
200
50
20
<2
Sisanya
B
200
5
20
<2
Sisanya
Prosiding PPI - PDIPTN 2010 Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 20 Juli 2010
Sriyono
ISSN 0216 - 3128
210
Tabel 3. Komposisi rata-rata (dalam %) dari paduan Inconel 617.[2] Alloy 617
min max min max
Cr 20,0 24,0 Ni sisa sisa
Co 10,0 15,0
Mo 8,0 10,0 S 0,015
Fe 3.0 Al 0,8 1,5
C 0,05 0,15 Ti 0,6
Si 1,0 La -
Mn 1,0 B 0,006
Gambar 5. Perubahan permukaan Inconel 617 pada eksperimen selama 20 jam, suhu gas 950°C , a). Penampang lintang logam, b). Permukaan logam.[2]
Gambar 6. Perubahan permukaan Inconel 617 karena adanya oksidasi internal dan proses dekarburiasasi pada eksperimen selama 20 jam, suhu gas 950 °C.[2] Prosiding PPI - PDIPTN 2010 Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 20 Juli 2010
Sriyono
ISSN 0216 - 3128
211
Telah diketahui bahwa pengaruh utama pengotor terhadap material adalah proses oksidasi, karburisasi, dan dekarburisasi. Untuk mencegah terjadinya ketiga proses ini maka langkah pertama yang harus dilakukan dalam pengoperasian RGTT adalah mencegah masuknya senyawa udara, steam atau air ke dalam sistem pendingin, karena unsur air yang ada akan menjadi pemicu terbentuknya pengotor pada gas helium. Tetapi hal ini akan sulit dilakukan karena sumber intrusi dapat berasal dari berbagai proses selama operasional reaktor antara lain perawatan, penggantian bahan bakar (refuelling), proses pengelasan, grafit degassing, insulator termal degassing dan lain-lain. Hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah meminimalisasi masuknya unsur air ke dalam sistem pendingin dengan melakukan monitoring yang ketat selama pengoperasian RGTT.
saat diharuskan untuk menghilangkan hidrogen/ karbondioksida dari sistem pendingin atau menginjeksikan air dan karbon dioksida ke sistem pendingin.
Pada RGTT, fungsi Helium Inventory System (HIS) sangat penting, karena selain menyediakan pasokan gas helium murni sebagai media pengambil panas, maka sistem HIS ini juga melakukan proses purifikasi. Proses purifikasi helium akan melewati berbagai tahapan, hal ini dikarenakan gas helium mempunyai densitas yang sangat kecil sehingga untuk mengambil pengotor dari sistem pendingin juga tidak mudah. Tahapan-tahapan purifikasi itu adalah proses filtering, proses adsorbsi, dan proses pengembunan cryogenik. Proses filtering digunakan pada bagian awal purifikasi, yang bertujuan untuk mengambil debu karbon yang terbawa dalam aliran. Filter yang digunakan adalah filter HEPA (High Efficiency Particulate Absorbing) yang tahan pada suhu tinggi. Proses adsorbsi dilakukan untuk mengambil pengotor dengan menggunakan molecular sieve berbahan alumina dengan katalisator CuO. Pengotor yang dapat diambil adalah NOx, SOx, dan CH4, sedangkan pengotor seperti H2 dan CO sulit ditangkap oleh molecular sieve. Proses pengembunan cryogenic dilakukan untuk mengikat senyawa H2 dan CO sehingga mudah ditangkap untuk diambil.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa reaksi yang dominan pada reaksi gas-gas pengotor helium (H2, H2O, CH4, CO, CO2, N2 dan O2) dengan logam adalah berupa reaksi oksidasi, karburasi dan dekarburasi. Dalam reaksi oksidasi terjadi proses pembentukan kerak oksida, sedangkan proses aktifitas karbon akan memicu terjadinya karbida. Gas yang reaktif terhadap pembentukan karbida ini adalah CH4 dan CO yang akan bereaksi dengan Cr membentuk C6Cr23 dan C3Cr7. Kerak oksida terbentuk pada lapisan logam karena reaksi oksigen dengan Cr membentuk krom oksida (Cr2O3) dan oksida ini stabil pada rentang suhu rendah (suhu kamar) dan tinggi (950°C). Sedangkan proses dekarburisasi terjadi karena reaksi karbon pada permukaan logam dengan air. Proses ini akan mengganggu pembentukan lapisan oksida karena terjadinya pembentukan gelembung gas (bubble formation). Berdasarkan pengalaman pengoperasian HTGR, diketahui bahwa karbon tidak akan terdeposisi pada permukaan logam jika rasio antara hidrogen (H2) dan air (H2O) lebih kecil dari 8 dan atau rasio antara karbonmonooksida (CO) dan karbondioksida (CO2) lebih kecil 0,7. Untuk menjaga kedua rasio ini tetap terjaga maka suatu saat diharuskan untuk menghilangkan hidrogen/ karbondioksida dari sistem pendingin atau menginjeksikan air dan karbon dioksida ke sistem pendingin.
Pengotor helium terutama akan merusak integritas tabung pada Intermediate Heat Exchanger (IHX), dan deposisi karbon pada permukaan bagian dalam tube akan mengurangi efisiensi pengambilan panas. Proses perusakan tube IHX diakibatkan oleh adanya dekarburisasi, sedangkan deposisi karbon diakibatkan adanya lepasan debu karbon dari bahan bakar. Berdasarkan pengalaman pengoperasian HTGR, diketahui bahwa karbon tidak akan terdeposisi pada permukaan logam jika rasio antara hidrogen (H2) dan air (H2O) lebih kecil dari 8,0 dan atau rasio antara karbonmonooksida (CO) dan karbondioksida (CO2) lebih kecil 0,7. Untuk menjaga kedua rasio ini tetap terjaga maka suatu
Pemantauan kedua rasio tersebut harus dapat dilakukan secara online pada saat reaktor beroperasi. Sensor-sensor pengukur konsentrasi pengotor helium ditempatkan pada titik-titik tertentu pada sistem pendingin agar pengukurannya akurat. Dengan pemantauan online maka proses penghilangan hidrogen/karbondioksida dari sistem pendingin atau menginjeksikan air dan karbon dioksida ke sistem pendingin dapat dilakukan secara tepat dan efisien.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA 1. NATESAN K, A., PUROHIT, S.W. TAN, Material Behavior in HTGR Environments, Argonne National Laboratory, NUREG/CR6824 ANL-0237, July 2003.
Prosiding PPI - PDIPTN 2010 Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 20 Juli 2010
212
ISSN 0216 - 3128
Sriyono
2. KACZOROWSKI D, et.al., Material Degradation in High Suhue, the AREVA-NP Corrosion Loop, AREVA-NP Technical Center, Le Creusot France, 2006.
7. LABAR, M. P., The Gas Turbine – Modular Helium Reactor: A Promising Option for Near Term Deployment, General Atomics, GAA23952, 2002.
3. GASTALDI O., LIGER K., ROBIN J.C., et.al., Helium Purification, Proceeding HTR2006, Third International Topical Meeting HTR, October 1-4, Johannesburg, South Africa, 2006.
TANYA JAWAB
4. IAEA, Chapter 4: Review of the Gas TurbineModular Helium Reactor (GT-MHR) Plant,: Current Status and Future Development of Modular High Suhue Gas Cooled Reactor Technology, International Atomic Energy Agency, IAEA-TECDOC-1198, pp. 69-113, 2001. 5. LIU, Y. Y. AND K. NATESAN, Methodologies for Prediction of Metal Oxidation-VaporizationErosion, Argonne National Laboratory Report, ANL/FE-88-2, 1988. 6. ELLIOT P., Choose The Material For High Suhue Environment, NACE International Conference 55th, Orlamdo, USA, 2000.
Setyo Atmojo − Pengaruh pengotor terhadap material apa saja, dan yang paling dominan disebabkan oleh apa? Sriyono − Pengaruh pengotor pada RGTT memicu terjadinya 3 proses utama yaitu oksidasi, karburisasi dan dekarburisasi. − Pengotor yang paling dominan disebabkan oleh adanya steam/uap dan senyawa organik yang masuk ke sistem pada saat proses konstruksi ataupun perawatan.
Prosiding PPI - PDIPTN 2010 Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 20 Juli 2010