ANALISIS TERHADAP KEWAJIBAN DIREKSI PERSEROAN DALAM MENYELENGGARAKAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA
TESIS
Oleh GUNTUR GRAHA GIDEON SITEPU 077005073/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Guntur Graha Gideon Sitepu : Analisis Terhadap Kewajiban Direksi Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa, 2009
Perseroan
Dalam
ANALISIS TERHADAP KEWAJIBAN DIREKSI PERSEROAN DALAM MENYELENGGARAKAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
GUNTUR GRAHA GIDEON SITEPU 077005073/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa
: ANALISIS TERHADAP KEWAJIBAN DIREKSI PERSEROAN DALAM MENYELENGGARAKAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA : Guntur Graha Gideon Sitepu
Nomor Pokok
: 077005073
Program Studi
: Ilmu Hukum
Menyetujui: Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.L.I.) Ketua
(Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum.) (Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.) Anggota Anggota
Ketua Program Studi,
Direktur,
(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.)
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)
Tanggal lulus : 31 Agustus 2009
Telah diuji pada: Tanggal 31 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.L.I.
Anggota
: 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum.
Anggota
: 2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.
Anggota
: 3. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S.
Anggota
: 4. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
ABSTRAK Direksi dibebani berbagai kewajiban dalam melaksanakan tugasnya sehubungan dengan pengurusan Perseroan, termasuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), baik RUPS Tahunan dan RUPS Luar Biasa. RUPS Tahunan wajib dilakukan di mana Direksi menyampaikan laporan tahunan mengenai jalannya Perseroan. Apabila tidak menyelenggarakan RUPS Tahunan, Direksi dianggap telah melalaikan fiduciary duty-nya terhadap Perseroan. RUPS Luar Biasa tidak wajib diadakan, namun dapat diadakan jika kepentingan Perseroan menghendakinya. Permintaan RUPS Luar Biasa ini dapat muncul dari Dewan Komisaris ataupun juga atas permintaan pemegang saham yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Berdasarkan UU PT, Direksi harus melakukan pemanggilan RUPS, termasuk RUPS Luar Biasa. Direksi dapat menilai dan menaksir apakah ada dampak buruk bagi Perseroan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan Perseroan yang sekiranya akan diputuskan dalam RUPS Luar Biasa. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Direksi untuk menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, jika Direksi menilai bahwa penyelenggaraan RUPS Luar Biasa tersebut tidak bermanfaat atau berdampak buruk bagi kepentingan Perseroan. Timbul permasalahan hukum apakah menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan fiduciary duty dari Direksi Perseroan, apalagi mengingat UU PT sendiri memberikan peluang bagi pemegang saham untuk meminta penyelenggaraan RUPS kepada Dewan Komisaris atau bahkan menyelenggarakan sendiri RUPS Luar Biasa atas penetapan pengadilan negeri. Selanjutnya, apakah Direksi yang menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa tersebut dapat berlindung pada prinsip business judgment rule. Untuk memperoleh jawaban dari permasalahan, dilakukan penelitian hukum normatif disertai pendekatan perundang-undangan. Penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Pendekatan perundang-undangan, yaitu dengan meneliti peraturan-peraturan yang berlaku, karena penelitian ini akan terfokus pada aturan hukum yang sekaligus sebagai tema sentral penelitian. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif, artinya data hasil penelitian diolah dan diuraikan untuk memberikan gambaran fakta-fakta sehubungan dengan kewajiban Direksi dalam penyelenggaraan RUPS Luar Biasa. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, penyelenggaraan RUPS Luar Biasa juga merupakan kewajiban Direksi yang diberikan oleh undang-undang dan/atau anggaran dasar, walaupun UU PT tidak secara tegas menyebutkan dalam pasal-pasalnya dan Direksi bukan merupakan organ Perseroan yang mutlak berwenang menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Direksi, dalam kedudukannya sebagai pengurus dan yang mewakili Perseroan, memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa sewaktu-waktu bila kepentingan Perseroan menghendakinya. Direksi memiliki tanggung jawab berdasarkan fiduciary duty dalam memenuhi kewajibannya menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Direksi wajib
i
menyelenggarakan RUPS Luar Biasa dengan penuh itikad baik, kepedulian, dan loyalitas terhadap Perseroan demi kepentingan Perseroan semata-mata. Direksi yang menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa setelah dengan penuh kecermatan dan kehati-hatian menilai bahwa tidak ada urgensi kepentingan Perseroan yang menghendaki diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut dapat dikategorikan sudah melaksanakan fiduciary duty-nya. Business judgment rule akan melindungi Direksi dari derivative action oleh pemegang saham atas keputusan penolakan Direksi untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, yang dalam UU PT mengacu pada ketentuan Pasal 97 ayat (5), apabila penolakan tersebut disebabkan oleh penilaian Direksi bahwa: a. tidak adanya urgensi kepentingan Perseroan yang menghendaki diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut, b. agenda rapat yang dimintakan untuk dibahas atau disetujui dalam RUPS Luar Biasa akan membawa dampak buruk terhadap kepentingan Perseroan atau bertentangan dengan hukum, c. permintaan RUPS Luar Biasa diajukan secara bertentangan dengan hukum, d. permintaan RUPS Luar Biasa tidak disertai dengan pembuktian secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan adanya kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS Luar Biasa. Sehubungan dengan hal tersebut, diharapkan dalam UU PT, setidak-tidaknya dalam aturan penjelasan, dapat dipertegas kewajiban Direksi dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, bahkan bila perlu memberikan sanksi yang tegas bagi Direksi yang tidak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa serta memberikan kewenangan bagi Direksi untuk menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa demi kepentingan Perseroan. Kata Kunci : Direksi; Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa
ii
ABSTRACT A director has a lot of things to do in implementing his duty related to business management including organizing either the Annual or Extraordinary General Meeting of Shareholder (GMS). The Annual GMS is compulsory to convene because it is the time where the director can deliver his annual report concerning the course of the company. If the Annual GMS is not implemented, the director is considered to have ignored his fiduciary duty to the company. The Extraordinary GMS is not compulsory to be held, but it can be carried out if it is for the interest of the company. The demand for this Extraordinary GMS may come from the Board of Commissioners or from one or more Shareholders as long as it is based on Law of The Republic of Indonesia Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies (Law of LLC). Based on this law, the director calls for a GMS as well as an Extraordinary GMS. The director can evaluate and think about the possibility of having a negative impact for the company in relation to the activities of the company which will be determined in the Extraordinary GMS. So, it is possible that the director will refuse to convene the Extraordinary GMS, if the director thinks that the implementation of this Extraordinary GMS will bring a negative impact or no benefit for the interest of the company. Therefore, the purpose of this descriptive normative legal study is to find out whether or not the implementation of the Extraordinary GMS is the company director’s fiduciary duty, considering that Law of LLC itself gives a chance for the Shareholders to ask the Board of Commissioners to convene the Extraordinary GMS or even the Shareholders themselves can hold the Extraordinary GMS based on the Court Order of the Chief Judge of the District Court, and to analyze whether or not the director who refuses to convene the Extraordinary GMS can hide behind the principle of business judgment rule. The data for this study were the existing laws written in the books or the ones decided by the judges through legal process in the court of law. The data obtained were analyzed to describe the facts related to the responsibility or duty of a company director to convene an Extraordinary GMS. The result of this study shows that the implementation of the Extraordinary GMS is also a responsibility or duty of director given by Law of LLC or the articles of association, although it is not clearly described in the Law of LLC and the director is not an organ of the company who has an absolute authority to convene an Extraordinary GMS. The director, in his capacity as a management and a representative of a company, has a duty to convene an Extraordinary GMS at any time when the interest of company needs it. The director has a fiduciary duty-based responsibility in meeting his obligation to convene an Extraordinary GMS. The director is required to convene an Extraordinary GMS based on his good will, care, and loyalty to the company and only for the interest of the company. The director who refuses to convene an Extraordinary GMS after he evaluates and thinks very carefully that there is no urgency for the interest of the company to convene the Extraordinary GMS, can be categorized as the one who has implemented
iii
his fiduciary duty. The business judgment rule will protect the director from the derivative action taken by the Shareholders for the decision made by the director not to convene the Extraordinary GMS, which in the Law of LLC refers to the stipulation stated in Article 97 (5) saying that if the refusal is based on the evaluation of the director that: a. there is no urgency for the interest of company to convene the Extraordinary GMS, b. the agenda of the meeting to be discussed or agreed in the Extraordinary GMS will bring negative impact to the interest of company or against the law, c. the call for the Extraordinary GMS is against the law, and d. the call for the Extraordinary GMS is not supported by a clear evidence that the requirements have been fulfilled and there is a reasonable interest in the Extraordinary GMS being convened. It is expected that in the Law of LLC, at least in its article elucidation, the duty and responsibility of a director in the implementation of Extraordinary GMS can be more clarified, and even if necessary, a strict sanction can be imposed on a director who does not hold an Extraordinary GMS and give an authority to a director to refuse to convene an Extraordinary GMS for the interest of the company. Key Words : Director; Extraordinary General Meeting of Shareholder
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, karena atas segala berkat dan karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul "Analisis Terhadap Kewajiban Direksi Perseroan Dalam Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa". Judul ini dipilih karena penulis tertarik untuk mendalami tentang Perseroan Terbatas, terutama dalam hal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, arahan, masukan, bantuan dan dorongan semangat dari berbagai pihak, tesis ini tidak dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.L.I., sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M. Hum. dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M. Hum., masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan perhatian, bimbingan, pengarahan, masukan, dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penguji tesis ini, yaitu Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. yang telah memberikan bimbingan dan koreksi yang sangat berharga kepada penulis.
v
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara; 2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 3. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 4. Bapak-bapak dan ibu-ibu guru besar dan seluruh staf pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 5. Seluruh staf administrasi dan pegawai pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 6. Bapak Dr. Januari Siregar, S.H., M. Hum. dan Bapak Berlian Simarmata, S.H., M. Hum. yang telah memberikan rekomendasi bagi penulis dalam mengikuti perkuliahan pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 7. Seluruh saudara/kerabat dan rekan penulis yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis semasa perkuliahan hingga selesainya tesis ini. Pada kesempatan ini, secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda tercinta, Pt. Em. Armyn David Sitepu, S.H. dan Ibunda tercinta Ir. Bertha br. Tarigan Silangit, yang telah membesarkan dan mendidik serta memberikan bantuan dan dorongan materil, moril, khususnya doa, sehingga
vi
penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang konstruktif demi kemajuan bersama. Akhir kata, semoga tesis ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan dan dapat bermanfaat. Medan,
Agustus 2009 Penulis,
Guntur Graha Gideon Sitepu
vii
RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi Nama Tempat/tanggal lahir Jenis kelamin Kewarganegaraan Agama Alamat E-mail Orang tua Orang tua Saudara Saudara
B. Pendidikan 1989 – 1995 1995 – 1998 1998 – 2001 2001 – 2005 2001 – 2005 2007 – 2009 2007 – 2005
: Guntur Graha Gideon Sitepu : Medan/12 Juni 1983 : Laki-laki : Indonesia : Kristen Protestan : Jalan Tomat Baru No. 1 Medan :
[email protected] : Pt. Em. Armyn David Sitepu, S.H. (ayah) : Ir. Bertha br. Tarigan Silangit (Ibu) : Putra Duana Anugerah Sitepu, S.A.P. (adik) : Debora Anastasha Karnina br. Sitepu (adik)
: SD St. Antonius I, di Medan. : SMP Putri Cahaya, di Medan. : SMU Cahaya, di Medan. : Fakultas Hukum Universitas Katolik St. Thomas : Sumatera Utara, di Medan. : Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana : Universitas Sumatera Utara, di Medan.
C. Pengalaman bekerja 2005 – 2008 : Legal Staff pada Law Office Dr. Januari Siregar, S.H., M. Hum. & Associates, Jalan Biduk No. 29 Medan (20112).
viii
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ............................................................................................................ i ABSTRACT ............................................................................................................ iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... v RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... viii DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang .............................................................................. 1 B. Perumusan Masalah ...................................................................... 13 C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 14 D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 14 E. Keaslian Penelitian ........................................................................ 15 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ....................................................... 16 1. Kerangka Teori ........................................................................ 16 2. Kerangka Konsep .................................................................... 29 G. Metode Penelitian ......................................................................... 33
BAB II
BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS ............................. 40 A. Badan Hukum ............................................................................... 40 1. Pengertian Badan Hukum ....................................................... 40 2. Teori-Teori Badan Hukum ...................................................... 41
ix
3. Syarat-Syarat Badan Hukum ................................................... 46 4. Pembagian Badan Hukum ....................................................... 48 5. Kedudukan Hukum Badan Hukum Perseroan Terbatas .......... 50 B. Organ Perseroan Terbatas ............................................................. 57 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ................................ 58 2. Direksi ..................................................................................... 64 3. Dewan Komisaris ..................................................................... 69 C. Prinsip-Prinsip Hukum Perseroan Terbatas .................................. 74 D. Rapat Umum Pemegang Saham .................................................... 82 1. Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham ................. 85 2. Hak Suara Dalam Rapat Umum Pemegang Saham ................ 92 3. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan ............................... 92 4. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa ........................... 95 BAB III
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA DAN FIDUCIARY DUTY DIREKSI PERSEROAN ...................... 102 A. Tugas dan Wewenang Direksi yang Berkaitan dengan RUPS ...... 102 B. Prinsip Fiduciary Duty Direksi dalam Pengelolaan Perseroan .................................................................. 115 C. Prinsip Fiduciary Duty Direksi dalam UU PT .............................. 131 D. Kewajiban Direksi Dalam Menyelenggarakan RUPS Luar Biasa Ditinjau Dari Prinsip Fiduciary Duty .............. 135
x
BAB IV
KEPUTUSAN DIREKSI YANG MENOLAK MENYELENGGARAKAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA DALAM PERSPEKTIF BUSINESS JUDGMENT RULE ............................ 149 A. Prinsip Business Judgment Rule bagi Direksi dalam Pengelolaan Perseroan ........................................................ 149 B. Prinsip Business Judgment Rule bagi Direksi dalam UU PT ........ 161 C. Keputusan Direksi Yang Menolak Menyelenggarakan RUPS Luar Biasa Dalam Perspektif Business Judgment Rule ...... 163
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 200 A. Kesimpulan ................................................................................... 200 B. Saran .............................................................................................. 202
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 204
xi
DAFTAR TABEL No.
Judul
Halaman
1. Perbedaan antara Kasus PT. MOEIS dan kasus PT. Semen Padang ............... 198
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perseroan Terbatas (yang selanjutnya disebut dengan PT atau Perseroan), menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tersebut menyatakan bahwa PT sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional yang dapat memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, untuk mewujudkan amanat UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.1
PT berasal dari bahasa Belanda, yaitu Naamloze Vennotschap (NV), yang berarti Perseroan tanpa nama. Sukardono mengatakan bahwa tanpa nama berarti pemakaian nama perusahaan harus memakai penunjukan nama yang menggambarkan dasar tujuan perusahaan, bukan nama-nama pendirinya selayaknya Firma. Mengenai kata “terbatas” menunjuk pada tanggung jawab atau risiko dari persero atau pemegang 1
Pasal 33 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional".
1
2
saham yang hanya terbatas pada jumlah sero atau saham yang dimiliki oleh pesero atau pemegang saham tersebut, 2 walaupun dalam perkembangannya, tanggung jawab yang terbatas tersebut tidak bersifat mutlak. 3 Dengan dianutnya prinsip piercing the corporate veil dalam hukum Perseroan, tanggung jawab hukum para pemegang saham yang semula terbatas dapat menjadi tidak terbatas dalam hal-hal tertentu. Prinsip piercing the corporate veil/lifting the corporate veil merupakan pengecualian terhadap teori tanggung jawab terbatas. Pengaturan PT di Indonesia, sejak kemerdekaan, dimulai pada Kitab Undangundang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) pada Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Pengaturan KUHD tersebut diganti dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT lama), yang kemudian diganti lagi oleh Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (yang selanjutnya disebut dengan UU PT), sebagai undang-undang terbaru yang mengatur tentang PT.
2
Abdul Muis. Bunga Rampai Badan Hukum. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 1990. Hlm. 125-126. 3
Dalam ilmu hukum, terdapat doktrin tanggung jawab terbatas dari suatu badan hukum. Secara prinsipil, setiap perbuatan yang dilakukan oleh badan hukum hanya ditanggungjawabi oleh badan hukum yang bersangkutan. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas nilai saham yang dimasukkan. Munir Fuady. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1999. Hlm. 125. Hal ini berarti bahwa harta kekayaan pribadi para pemegang saham tidak ikut dipertanggungjawabkan sebagai tanggungan perikatan yang dilakukan oleh badan hukum yang bersangkutan. Namun dalam halhal tertentu tanggung jawab yang terbatas tersebut tidak bersifat mutlak, antara lain apabila terbukti bahwa terjadi pembauran antara harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan PT, sehingga PT didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.
3
PT memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan bentuk usaha lainnya. 4 Sehubungan dengan hal tersebut, Sri Rezeki Hartono mengemukakan bahwa: "PT pada umumnya mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri, mampu mengadakan kapitalisasi modal dan sebagai wahana yang potensil untuk memperoleh keuntungan, baik bagi instansinya sendiri maupun bagi para pendukungnya (pemegang saham). Oleh karena itu, bentuk badan usaha PT ini sangat diminati oleh masyarakat".5 Lebih dipilihnya PT sebagai bentuk perusahaan dibandingkan dengan bentuk yang lain ini disebabkan oleh dua hal, pertama, PT merupakan asosiasi modal, dan kedua, PT merupakan badan hukum yang mandiri. Sebagai asosiasi modal maka ada kemudahan bagi pemegang saham PT untuk mengalihkan sahamnya kepada orang lain, sedangkan sebagai badan hukum yang mandiri, tanggung jawab pemegang saham PT hanya terbatas pada nilai saham yang dimiliki dalam PT. 6 PT didirikan oleh minimal 2 orang atau lebih berdasarkan perjanjian yang diikat dengan akta notaris. Sebagai badan hukum, PT harus memperoleh status badan hukum melalui pengesahan akta pendiriannya oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 7 ayat (4) UU PT 7 ). Tujuan dan kehendak bersama yang ingin dicapai oleh para pendiri PT tersebut disalurkan melalui keberadaan PT yang mereka dirikan tersebut.
4
Abdul Muis. Op. Cit. Hlm. 125.
5
Agus Budiarto. Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002. Hlm. 13. 6
Hukumonline. Metamorfosis Badan Hukum Indonesia. 2007. Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17818&cl=Berita. Diakses tanggal 31 Maret 2009. 7
Pasal 7 ayat (4) UU PT menentukan bahwa "Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan".
4
Sebagai badan hukum, PT memiliki status, kedudukan dan kewenangan yang dapat dipersamakan dengan manusia sehingga disebut sebagai artificial person. Oleh karena itu, PT merupakan subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban yang diakui oleh hukum. Mengenai hal tersebut, Dirdjosisworo mengatakan bahwa: "Sebagai badan hukum atau artificial person, Perseroan Terbatas mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui “wakilnya”. Untuk itu ada yang disebut “agent”, yaitu orang yang mewakili Perseroan serta bertindak untuk dan atas nama Perseroan. Karena itu, Perseroan juga merupakan subyek hukum, yaitu subyek hukum mandiri atau persona standi in judicio. Dia bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum sama seperti manusia biasa atau natural person atau natuurlijke persoon. Dia bisa menggugat ataupun digugat, bisa membuat keputusan dan bisa mempunyai hak dan kewajiban, utang piutang, mempunyai kekayaan seperti layaknya manusia". 8 Teori organ yang dipelopori oleh Otto von Gierke mengatakan bahwa badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, melainkan riil dengan membentuk kehendaknya melalui perantaraan organ-organ badan tersebut. 9 Sebagai artificial person, PT juga memiliki organ, sebagaimana layaknya manusia, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Selayaknya manusia, PT juga memiliki kegiatan sehari-hari yang harus dilakukan. Organ PT yang langsung bertanggung jawab penuh atas kepengurusan kegiatan sehari-hari ataupun rutin dari PT adalah Direksi, dengan diawasi oleh Dewan Komisaris. Pasal 1 angka 5 UU PT menentukan bahwa Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili 8
Rachmadi Usman. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung: Alumni. 2004. Hlm. 50. 9
Chidir Ali. Badan Hukum. Bandung: Alumni. 1999. Hlm. 32-33.
5
Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Ketentuan ini menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari Perseroan. Selanjutnya Pasal 97 ayat (2) UU PT menentukan bahwa pengurusan tersebut wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Sesuai dengan definisi tersebut, Direksi harus memiliki wewenang yang cukup besar untuk dapat menjalankan pekerjaannya tersebut. Dalam mengurus Perseroan, Direksi harus selalu berorientasi pada kepentingan Perseroan. Direksi akan selalu berurusan dengan aset milik orang lain, sehingga mereka mempunyai moral hazard 10 yang tinggi jika mereka tidak mendapat konsekuensi finansial yang serius apabila keputusan mereka merugikan Perseroan. Oleh sebab itu, Direksi dilarang melakukan kegiatan yang berada di luar kewenangannya. Hal inilah yang disebut dalam hukum perusahaan sebagai doctrine of ultra vires. Untuk menghindari moral hazard tersebut, sehingga muncul prinsip tanggung jawab Direksi terhadap Perseroan yang sering disebut dengan fiduciary duty. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, dengan itikad baik dan penuh tangung jawab, serta kehati-hatian (care). Direksi memiliki kedudukan seperti sebagai seorang trustee atau 10
Menurut George E. Rejda, Moral Hazard merupakan ketidakjujuran seseorang yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kerugian. Moral Hazard merupakan salah satu persepsi buruk terhadap risiko, di samping adanya Morale Hazard (kecerobohan atau ketidakpedulian terhadap kerugian) dan Physical Hazard (kondisi fisik seseorang yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kerugian). George E. Rejda. Principle of Risk Management and Insurance. Ninth Ed. Boston: Addison-Wesley. 2005.
6
fiducia dalam menjalankan tugasnya. Menurut pengalaman common law hubungan itu dapat didasarkan pada teori fiduciary duty. 11 Hubungan fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence), yang dalam peran ini meliputi ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor), serta didasarkan pada hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) dengan standar yang tinggi. 12 Kewajiban utama dari Direksi adalah kepada Perseroan secara keseluruhan, bukan kepada individu ataupun kelompok pemegang saham. 13 Standar yang jelas sebagai acuan pelaksanaan fiduciary duty tersebut adalah didasarkan pada standar duty of care (kewajiban seorang direktur untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya melainkan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan memedulikan kondisi Perseroan) dan duty of loyalty 14 (direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas Perseroan dan mengambil kebijakan yang dipandang tepat untuk Perseroan). Prinsip-prinsip ini banyak disinggung dalam UU PT pada pasal-pasal yang mengatur tentang Direksi,
11
375 U.S. 180, 195-196 (1965), dalam Bismar Nasution. "Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan". Disampaikan pada Seminar Nasional Sehari dalam rangka menciptakan Good Corporate Governance pada Sistem Pengelolaan dan Pembinaan PT (Persero) BUMN "Optimalisasi Sistem Pengelolaan, Pengawasan, Pembinaan dan Pertanggungjawaban Keberadaan PT (Persero) di Lingkungan BUMN Ditinjau dari Aspek Hukum dan Transparansi", diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Jakarta, Kamis, 8 Maret 2007. Hlm. 3. 12
Ibid.
13
Ibid.
14
The Supreme Court of Utah, berkenaan dengan “Duty of Loyalty”, menyatakan bahwa "Director and officers are obliged to use their inequity, influence, and energy, and to employ all the resources of the corporation, to preserve and enhance the property and earning power of the corporation, even if the interests of the corporation are in conflict with their own personal interests". Douglas M. Branson dalam Magister Hukum UGM. Tinjauan Kritis Implementasi GCG Di Indonesia. 2009. Magister Hukum UGM, Yogyakarta. Http://mhugm.wikidot.com/artikel:008 Diakses tanggal 15 Januari 2009.
7
khususnya pada Pasal 97. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengontrol perilaku para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standard of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur. 15 Tanggung jawab penuh Direksi atas pengurusan Perseroan tersebut merupakan fiduciary duty dari seorang Direksi, yaitu bertanggung jawab terhadap Perseroan, bukan organ Perseroan lainnya, baik Rapat Umum Pemegang Saham ataupun Dewan Komisaris, apalagi pemegang saham. Dalam hukum Perseroan, fiduciary duty mengandung arti bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mengurus Perseroan, Direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan wewenang yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip. Kedua prinsip itu adalah kepercayaan yang diberikan Perseroan dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan dan kehatihatian dari tindakan Direksi. Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi dibebani berbagai kewajiban sehubungan dengan pengurusan Perseroan, dalam hal ini termasuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (yang selanjutnya disebut dengan RUPS). Pemegang saham berhak atas terselenggaranya RUPS, menghadirinya dan mengeluarkan suara dalam RUPS.
15
Bismar Nasution. "UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule". Disampaikan pada Seminar Bisnis 46 tahun FE USU: "Pengaruh UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara", Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 November 2007. Hlm. 4-5.
8
Pasal 78 ayat (1) UU PT 16 membagi RUPS atas RUPS Tahunan dan RUPS lainnya. Penyelenggaraan RUPS Tahunan adalah bersifat rutin, sedangkan RUPS lainnya, yang dalam praktik sering dikenal dengan RUPS Luar Biasa, dapat dilaksanakan jika kepentingan Perseroan memerlukannya, sehingga bersifat insidentil. RUPS Tahunan wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan setelah tahun buku berakhir. Dalam RUPS Tahunan Direksi menyampaikan laporan tahunan mengenai jalannya Perseroan. Hal ini menimbulkan kewajiban bagi Direksi untuk menyelenggarakan RUPS Tahunan, sebab bagaimanapun juga, memberikan pertanggungjawaban kepada pemberi tugas adalah salah satu beban yang harus dilaksanakan oleh seorang penerima tugas. Apabila tidak menyelenggarakan RUPS Tahunan, Direksi dianggap telah melalaikan fiduciary duty-nya terhadap Perseroan. 17 RUPS Luar Biasa tidak wajib diadakan, namun dapat diadakan jika kepentingan Perseroan menghendakinya. Permintaan RUPS Luar Biasa ini dapat muncul dari Dewan Komisaris ataupun juga atas permintaan pemegang saham yang memenuhi syarat berdasarkan UU PT. Dalam pengurusan Perseroan, Pasal 79 ayat (5) 18 UU PT menentukan bahwa Direksi harus melakukan pemanggilan RUPS, termasuk RUPS Luar Biasa. Direksi
16
Pasal 78 ayat (1) UU PT menentukan bahwa "RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS
lainnya". 17
Hendra Setiawan Boen. Tanggung Jawab Direksi Untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS. 2009. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id =21393&d=kolom Diakses tanggal 21 Maret 2009. 18
Pasal 79 ayat (5) UU PT menentukan bahwa "Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima".
9
Perseroan tidak dapat digugat perbuatan melawan hukum atas dasar menolak untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Timbul suatu permasalahan hukum apakah menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan fiduciary duty dari Direksi Perseroan, apalagi mengingat UU PT sendiri memberikan peluang bagi pemegang saham untuk meminta penyelenggaraan RUPS kepada Dewan Komisaris (Pasal 79 ayat (6) UU PT 19 ) atau bahkan menyelenggarakan sendiri RUPS Luar Biasa atas penetapan pengadilan negeri (Pasal 80 ayat (1) UU PT 20 ). Sebuah kasus yang membenarkan keputusan Direksi untuk menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa adalah kasus PT. MOEIS. Duduk perkaranya adalah bahwa 5 (lima) orang pemegang saham PT. MOIES (Dahlina Nasution, dkk) mengajukan permohonan penetapan izin RUPS Luar Biasa kepada Pengadilan Negeri Medan, dan Pengadilan Negeri Medan mengabulkan permohonan tersebut berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 978/Pdt.P/2002/PN.Mdn. tanggal 27 Desember 2002. Adapun alasan permohonan tersebut diajukan adalah karena Perseroan tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Dengan dikabulkannya, RUPS Luar Biasa tersebut diselenggarakan oleh 5 (lima) orang 19 Pasal 79 ayat (6) UU PT menentukan bahwa "Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), a. permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b". 20
Pasal 80 ayat (1) UU PT menentukan bahwa "Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut".
10
pemegang saham PT. MOIES tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Direktur Utama PT. MOEIS berkeberatan sehingga mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Medan untuk membatalkan RUPS Luar Biasa tersebut karena dianggap memiliki cacat hukum. Gugatan Direktur Utama tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri
Medan
berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
115/Pdt.G/2003/PN-Mdn. tanggal 23 Desember 2003, sehingga RUPS Luar Biasa tersebut beserta segala akibatnya menjadi batal demi hukum. Selanjutnya, suatu kasus menarik mengenai perbedaan pendapat mengenai hubungan fiduciary duty dan penyelenggaraan RUPS Luar Biasa adalah Penetapan Pengadilan Negeri Padang No. 124/Pdt/P/2002/PN.Pdg tertanggal 7 September 2002. Sebuah kasus antara pemegang saham PT. Semen Padang dengan Direksi PT. Semen Padang yang sempat menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Secara singkat, uraian kasus tersebut adalah bahwa pemegang saham ingin mengganti seluruh anggota Direksi PT. Semen Padang, sehingga mereka menginginkan diadakan RUPS Luar Biasa. Sementara Direksi menolak untuk mengadakan RUPS Luar Biasa. Pemegang saham, yang memegang 99,99 % saham Perseroan lalu mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Padang berdasarkan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas 21 . Pemegang saham berpendapat bahwa adalah kewajiban Direksi (fiduciary duty) untuk memenuhi setiap permintaan dari 21
Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa "Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat juga dilakukan atas permintaan 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, atau suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar Perseroan yang bersangkutan. Bdk. Pasal 79 ayat (2) huruf a UU PT.
11
pemegang saham untuk diadakannya RUPS Luar Biasa, sementara Direksi PT. Semen Padang berpendapat sebaliknya. 22 Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi Direksi dalam mengambil keputusan bisnisnya, terutama keputusan yang spekulatif. Hal tersebut akan menjadi masalah ketika ternyata keputusan tersebut merugikan Perseroan. Oleh sebab itu, untuk melindungi Direksi yang beritikad baik tersebut, muncul prinsip business judgment rule. Prinsip Business judgment rule ini memberikan safe harbor bagi Direksi yang mengambil calculated business decision untuk tidak dihukum apabila nantinya keputusan bisnisnya, yang telah dilakukan demi kepentingan Perseroan semata-mata, merugikan Perseroan. Prinsip ini penting bagi perlindungan Direksi dalam mengambil keputusankeputusan bisnisnya karena tanpa adanya keberanian untuk mengambil risiko itu, perkembangan bisnis di Indonesia dapat terhambat. 23 Di samping mengatur tentang kewajiban dan larangan, UU PT juga secara seimbang mengatur tentang pembelaan Direksi yang dikenal dengan prinsip business judgment rule. Pasal 97 ayat (5) UU PT menentukan syarat-syarat berlakunya prinsip ini, yaitu bila Direksi bisa membuktikan bahwa (a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas 22 23
Hendra Setiawan Boen. Op. Cit.
Bismar Nasution. "UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule". Op.Cit. Hlm. 4.
12
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Kegagalan anggota Direksi dalam membuktikan unsur-unsur dalam Pasal 97 ayat (5) tersebut dapat menimbulkan derivative action dari para pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas. 24 Masuknya prinsip business judgment rule dalam UU PT adalah hal yang sangat positif untuk mendukung perkembangan iklim usaha di Indonesia, dimana para direktur yang beritikad baik dilindungi tidak hanya bagi keputusan bisnisnya saja, melainkan juga dalam pengurusan Perseroan. 25 Business judgment rule selain melindungi tanggung jawab pribadi Direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan terhadap pembenaran-pembenaran keputusan bisnis. Kemandirian Direksi dalam membuat keputusan yang menurutnya terbaik bagi kepentingan Perseroan adalah mutlak dalam rangka menjalankan fiduciary duty-nya. Direksi juga mempunyai kewenangan mutlak untuk menilai apakah permintaan pemegang saham untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan kebutuhan bagi Perseroan pada suatu saat tertentu. Penilaian apakah diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut adalah kepentingan terbaik bagi Perseroan adalah terletak di tangan Direksi. 26 Hal ini sejalan dengan ketentuan yang mengharuskan Direksi Perseroan, dalam mengurus Perseroan, selalu berorientasi pada kepentingan 24
Pasal 61 ayat (1) jo. 97 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). 25
Bismar Nasution. Op. Cit. Hlm. 10.
26
Hendra Setiawan Boen, Op. Cit.
13
Perseroan, karena ada kemungkinan bahwa kepentingan Perseroan dapat tidak sejalan dengan kepentingan dan keingingan pemegang saham. 27 Direksi dapat menilai dan menaksir apakah ada dampak buruk bagi Perseroan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan Perseroan yang sekiranya akan diputuskan dalam RUPS Luar Biasa tersebut. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Direksi untuk menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, jika Direksi menilai bahwa penyelenggaraan RUPS Luar Biasa tersebut tidak bermanfaat atau berdampak buruk bagi kepentingan Perseroan. Jadi, berdasarkan pertimbangan tersebut, apakah Direksi yang menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa dapat berlindung pada prinsip business judgment rule.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa merupakan bagian dari fiduciary duty Direksi Perseroan? 2. Apakah Direksi Perseroan dapat menolak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa berdasarkan prinsip business judgment rule?
27
Emmy Pangaribuan Simanjuntak dalam Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 62.
14
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa merupakan fiduciary duty dari Direksi Perseroan. 2. Untuk mengetahui apakah Direksi Perseroan dapat menolak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa berdasarkan prinsip business judgment rule.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran serta bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum perusahaan (hukum korporasi) di Indonesia, khususnya mengenai kewajiban dalam menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa dalam Perseroan Terbatas, sehingga dapat bermanfaat untuk pengembangan hukum perusahaan. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sebagai acuan bagi para pelaku usaha, konsultan hukum (advokat) dan Pemerintah Negara Republik Indonesia pada umumnya, serta para pemilik dan pengurus Perseroan Terbatas khususnya, dengan memberikan manfaat bagi hukum perusahaan di Indonesia dalam menentukan tugas, wewenang serta tanggung
15
jawab dalam menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa. Hasil penelitian
ini
juga
diharapkan
dapat
berguna
untuk
menyusun
atau
menyempurnakan suatu peraturan hukum yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas, khususnya dalam hal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan sepanjang yang diketahui belum ada penelitian yang dilakukan dengan mengangkat judul "Analisis Terhadap Kewajiban Direksi Perseroan Dalam Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa". Beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini yang pernah dibahas sebelumnya di Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara adalah: 1. Tesis dengan judul "Pertanggungjawaban Pengurus Perseroan Terbatas yang Tidak Melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham". Tesis yang ditulis oleh Hasrul Benny Harahap ini meneliti tentang pengaturan dan prinsip-prinsip pertanggungjawaban pengurus Perseroan yang tidak melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
16
2. Tesis
dengan
judul
"Penerapan
Business
Judgment
Rule
Dalam
Pertanggungjawaban Direksi Bank yang Berbadan Hukum Perseroan Terbatas". Tesis yang ditulis oleh Rudi Dogar Harahap ini meneliti tentang bagaimana Business Judgment Rule diterapkan bagi Direksi suatu bank berbentuk PT. 3. Tesis dengan judul "Analisis Pertanggungjawaban Direksi menurut UndangUndang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas". Tesis yang ditulis oleh Maraganti Panggabean ini meneliti tentang pengaaturan tugas dan tanggung jawab Direksi dan pembelaan diri Direksi berdasarkan prinsip Business Judgment Rule. Kekhususan penelitian ini yang membedakannya dari tesis-tesis di atas adalah bahwa dalam penelitian ini, secara spesifik, lebih menitiberatkan pada kewajiban Direksi Perseroan hanya dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori Dalam dunia ilmu hukum, teori menempati kedudukan yang penting sebagai sarana untuk merangkum serta memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan menyistemasikan masalah yang dibicarakan. 28 Berikut ini
28
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000. Hlm. 253.
17
akan diuraikan pemikiran-pemikiran, butir-butir pendapat serta teori yang akan menjadi dasar kerangka bagi penelitian ini. Seseorang mempunyai tugas fiduciary (fiduciary duty) manakala dia mempunyai kapasitas fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang dikatakan memiliki fiduciary capacity jika bisnis yang ditransaksikannya atau uang/properti yang dihandel bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya, melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang lain tersebut, dimana orang lain tersebut memiliki kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya. Sementara itu, di lain pihak, dia wajib mempunyai itikad baik yang tinggi (high degree of good faith) dalam menjalankan tugasnya. PT sebagai suatu perusahaan atau suatu entitas ekonomi dimana salah satu karakteristiknya adalah terpusatnya manajemen di tangan Direksi, oleh karena itu sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standard of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur. 29 Awal dari pentingnya fungsi kontrol terhadap Direksi tidak terlepas dari perkembangan teori pemisahan kekayaan 30 dalam hukum perusahaan itu sendiri, yang
29
Bismar Nasution. "UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule". Op. Cit. Hlm. 4-5. 30
Dalam hukum Perseroan, prinsip atau asas ini dinamakan dengan the doctrine of separate legal personality of a company atau the principle of the company’s separate legal personality yang disingkat dengan sebutan doctrine of separate corporate personality. Rachmadi Usman. Op. Cit. Hlm. 149.
18
berasal dari teori Salomon, yang muncul dari Putusan Pengadilan kasus Salomon v Salomon & Co. Ltd (1897). Terjadinya pemisahan kekayaan antara Direksi dengan perusahaan atau adanya pemisahan antara perusahaan dengan orang yang menjalankannya, membuat Direksi memiliki peluang yang besar menggunakan kekuasaan yang ada padanya untuk memperkaya diri sendiri yang seringkali menyebabkan perusahaan mereka mengalami kerugian.31 Prinsip fiduciary duty muncul sebagai reaksi atas penyalahgunaan kekuasaan Direksi berdasarkan teori pemisahan kekayaan tersebut. Fiduciary duty adalah suatu doktrin yang berasal dari sistem hukum Common Law yang mengajarkan bahwa antara Direksi dengan Perseroan terdapat hubungan fiduciary. 32 Prinsip fiduciary duty merupakan prinsip tanggung jawab Direksi yang meletakkan Direksi sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang direktur haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care dan duty of loyalty), itikad baik, loyalitas, dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (high degree). 33 Black mengatakan bahwa fiduciary duty is a duty to act for someone else’s benefit, while subordinating one’s personal interest to that of the other person. It is the highest standard of duty implied by law. 34
31
Bismar Nasution. Op. Cit. Hlm. 6.
32
Munir Fuady. Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis. Op. Cit. Hlm. 4.
33
Bismar Nasution. Loc. Cit.
.
34
Fiduciary duty adalah suatu tindakan untuk dan atas nama orang lain, dimana seseorang mewakili kepentingan orang lain yang merupakan standar tertinggi dalam hukum. Try Widiyono. Direksi Perseroan Terbatas: Keberadaan, Tugas, Wewenang & Tanggung Jawab: Berdasarkan Doktrin Hukum & UUPT. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005. Hlm. 38.
19
Sehubungan dengan keberadaan Direksi, Tumbuan mengatakan bahwa PT adalah sebab bagi keberadaan (raison d’etre) Direksi, oleh karena itu tidak salah bila dikatakan bahwa antara PT dan Direksi terdapat hubungan fiducia yang melahirkan fiduciary duties bagi Direksi. 35 Tugas Direksi sebagai pengurus Perseroan terbagi atas 3 bagian, yaitu tugas yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duties, trust and confidence), berdasarkan kecakapan, kehati-hatian dan ketekunan (duties of skill, care and diligence), dan berdasarkan ketentuan undang-undang (statutory duties). 36 Negara-negara penganut common law system, seperti Amerika Serikat, telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direktur dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada standar duty of loyalty dan duty of care. Kewajiban utama Direksi adalah kepada Perseroan secara keseluruhan, bukan kepada pemegang saham, baik secara individu maupun kelompok. Posisi ini mengharuskan Direksi untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu, dalam melakukan tugasnya tersebut, seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk dimintakan
35
Ibid.
36
Ibid.
20
pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada pemegang saham, maupun kepada pihak lainnya. 37 Dalam UU PT, prinsip fiduciary duty tersebut tersirat dalam Pasal 97 ayat (2) UU PT. Pengurusan PT wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik (duty of loyalty) dan penuh tanggung jawab (duty of care). Itikad baik dalam hal ini merupakan itikad baik dalam arti objektif38 , yang berarti kepatuhan yang berhubungan dengan pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Itikad baik (duty to act in good faith) mengandung suatu kewajiban bagi Direksi untuk hanya mengutamakan kepentingan Perseroan semata-mata, serta tidak untuk memanfaatkan kedudukannya sebagai Direksi untuk memperoleh manfaat, baik langsung maupun tidak langsung, dari Perseroan secara tidak adil, serta
37
Bismar Nasution. "Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan". Op.Cit.
Hlm. 3. 38
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mempergunakan istilah itikad baik dalam 2 pengertian, yaitu subjektif dan objektif. Itikad baik dalam arti subjektif berarti kejujuran, yang berhubungan dengan sikap batin seseorang. Hal ini terdapat dalam Buku II KUH Perdata Pasal 530 dan seterusnya yang mengatur tentang kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti objektif berarti kepatuhan yang berhubungan dengan pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Hal ini terdapat dalam Buku III KUH Perdata Pasal 1338 ayat (3) yang menentukan bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Wirjono Prodjodikoro menyebut itikad baik sebagai suatu kejujuran (te goede trouw) dan membedakannya menjadi 2 macam, yaitu itikad baik pada mulai berlakunya suatu hubungan hukum yang bersifat statis, dan itikad baik dalam melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada hubungan hukum yang bersifat dinamis. Wirjono Prodjodikoro. Azas-Azas Hukum Perdata. Bandung: Vorkink – Von Hoeve. 1959. Hlm. 48-52.
21
menghindari benturan kepentingan antara kepentingan pribadi Direksi dan kepentingan Perseroan. 39 Tanggung jawab pada dasarnya terkait, namun tidak identik dengan kewajiban hukum. Seorang individu secara hukum diwajibkan untuk berperilaku dengan cara tertentu, jika perilaku sebaliknya merupakan syarat diberlakukan tindakan paksa. Individu yang dikenakan tindakan paksa berupa sanksi bertanggung jawab secara hukum atas pelanggaran. 40 Penuh tanggung jawab berarti Direksi tidak boleh ceroboh dalam melakukan tugasnya, terutama dalam mengambil keputusan bisnis yang spekulatif. Tugas-tugas dilakukan dengan kepedulian seperti yang dilakukan oleh orang biasa yang berhati-hati (ordinarily prudent person) dalam posisi dan situasi yang sama, atau seperti yang dilakukan oleh orang tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya, serta dengan cara yang dipercayainya secara logis (reasonably believe) merupakan kepentingan yang terbaik (best interest) dari Perseroan. 41 Tanggung jawab penuh berarti memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun, dibarengi dengan tanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila Direksi bersalah atau lalai menjalankan tugas-tugasnya berdasarkan UU PT. 42
39
Gunawan Widjaja. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Jakarta: Forum Sahabat. 2008. Hlm. 47-48. 40
Hans Kelsen. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Nusamedia. 2008. Hlm. 136. 41
Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law: Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. hlm. 50. 42
Bila dipahami secara sekilas berdasarkan hukum Perseroan, maka akan mengisyaratkan bahwa Direksi harus mengelola Perseroan dengan kehati-hatian (care) yang semestinya, sebagaimana halnya para pengemudi harus mengendarai mobilnya dengan penuh kehati-hatian. Janet Dine dalam Bismar Nasution. "Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan". Op.Cit. Hlm. 3.
22
Prinsip fiduciary duty didukung oleh teori organ dari badan hukum yang dikemukakan oleh Otto von Gierke. Menurut von Gierke, badan hukum merupakan suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organorgan badan tersebut, sehingga tujuan badan hukum menjadi kolektivitas, terlepas dari individu. 43 Dalam hal ini, Direksi Perseroan merupakan salah satu dari organ tersebut. Tujuan PT sebagai badan hukum terlepas dari keinginan atau kepentingan pribadi dari Direksi, melainkan kepentingan bersama (kolektif) dari Perseroan. Selanjutnya, prinsip fiduciary duty juga didukung oleh teori "kekayaan bersama" dari badan hukum yang dikemukakan oleh Rudolf von Jhering. Teori kekayaan bersama menganggap badan hukum sebagai kumpulan manusia, sehingga kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya. 44 Kepentingan bersama seluruh anggota merupakan kepentingan Perseroan, terlepas dari kepentingan individu atau perorangan dari pengurus. Selanjutnya, teori-teori badan hukum pendukung prinsip fiduciary duty tersebut juga ter-cover dalam doktrin atau ajaran umum (de heersende leer) yang mengharuskan badan hukum mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai kepentingan
43
Otto von Gierke (1841-1921) merupakan pengikut aliran sejarah dan di negeri Belanda dianut oleh L.G. Polano. Ajarannya disebut ajaran realitas sempurna (leer der volledige realiteit). Chidir Ali. Op. Cit. Hlm. 32-33. 44
Rudolf von Jhering (1818-1892) adalah sarjana Jerman pengikut aliran/mazhab sejarah, tetapi kemudian keluar. Pembela teori kekayaan bersama ini adalah Marcel Planiol (Prancis) dan Molengraaff (Belanda), kemudian diikuti oleh Star Busmann, Kranenburg, Paul Scholten, dan Apeldoorn. Ibid. Hlm. 34.
23
sendiri. 45 Tujuan tersebut bukan merupakan kepentingan pribadi satu atau beberapa orang anggota, melainkan kepentingan Perseroan. Dalam hal ini, Direksi tidak boleh melakukan perbuatan menurut kehendaknya sendiri walaupun dengan dalih untuk kepentingan Perseroan. Prasetya mengemukakan bahwa otonomi Direksi ini dibatasi oleh asas kepantasan, yaitu sepanjang Direksi telah menjalankan kepengurusan secara pantas, Direksi dikatakan tidak menyalahgunakan atau melanggar otonomi yang diberikan. 46 Ukuran pantas secara yuridis adalah tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, tidak melanggar asas itikad baik dan asas kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang, serta tidak melakukan perbuatan melawan hukum. 47 Di samping Direksi harus melaksanakan kewajibannya terhadap pengurusan Perseroan yang didasarkan pada kepercayaan yang terkandung dalam fiduciary duty, Direksi juga memiliki statutory duty, yaitu kewajiban yang diberikan atau diamanatkan oleh undang-undang kepada Direksi sehubungan dengan pengurusan Perseroan, atau dengan kata lain kewajiban berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini misalnya kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh UU PT kepada Direksi.
45
Doktrin mengenai syarat-syarat yang dapat dipakai sebagai kriteria untuk menentukan adanya kedudukan sebagai suatu badan hukum adalah: 1. adanya harta kekayaan yang terpisah; 2. mempunyai tujuan tertentu; 3. mempunyai kepentingan sendiri; 4. adanya organisasi yang teratur. Ali Rido. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni. 1986. Hlm. 50. 46 47
Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 68.
Nindyo Pramono. Sertifikasi Saham PT Go Publik dan Hukum Pasar Modal di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1997. Hlm. 122.
24
Dalam perkembangannya, penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi Direksi dalam mengambil keputusan bisnisnya, terutama keputusan spekulatif yang lazim diambil oleh Direksi di tengah-tengah ketatnya persaingan usaha. Keputusan tersebut bisa saja merugikan Perseroan, walaupun Direksi telah melakukannya dengan jujur dan dengan itikad baik. Business judgment rule muncul sebagai salah satu teori yang sangat popular untuk melindungi dan menjamin keadilan bagi Direksi yang mempunyai itikad baik. Teori business judgment rule memiliki misi utama untuk mencapai keadilan, khususnya bagi Direksi Perseroan dalam melakukan suatu keputusan bisnis. 48 Dalam ilmu hukum teori business judgment rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar perilaku Direksi pada sebuah situasi di mana setelah pemeriksaan secara wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan Perseroan. 49 Black 50 mengatakan bahwa business judgment rule adalah rule immunizes management from liability in corporate transaction undertaken within power of corporation and authority of management where there is reasonable basis to indicate
48
Teori business judgment rule mengalami perkembangan sebagai yurisprudensi dalam prinsip common law di Amerika dimulai dengan Putusan Lousianna Supreme Court dalam kasus Percy v Millaudon pada tahun 1829. Bismar Nasution. "UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule". Op. Cit. Hlm. 7-8. 49 50
Ibid.
Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary. 6th ed. St Paul, Minn, West Publishing Co., 1990. Hlm. 200.
25
that transaction was made with due care and in good faith. 51 Business judgment rule memberikan perlindungan kepada Direksi Perseroan atas kemungkinan adanya kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi. Business judgment rule mendalilkan bahwa seorang direktur tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai Direksi, yang dia yakini sebagai tindakan terbaik bagi Perseroan dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sungguhpun tindakan tersebut ternyata keliru atau tidak menguntungkan atau bahkan merugikan Perseroan, RUPS bahkan pengadilan pun tidak boleh melakukan second guess terhadap keputusan bisnis (business judgment) Direksi. 52 Business judgment rule, selain melindungi tanggung jawab pribadi Direksi apabila terjadi pelanggaran, juga dapat diberlakukan terhadap pembenaranpembenaran keputusan bisnis dari Direksi yang beritikad baik. 53 Business judgment rule hanya berlaku terhadap pertimbangan atau keputusan bisnis Direksi, termasuk keputusan untuk tidak bertindak. Prinsip tersebut tidak dapat diterapkan dalam hal tidak ada keputusan bisnis yang diambil. Namun, sejauh mana business judgment rule dapat diterapkan oleh pengadilan di luar konteks pengambilan
51
Try Widyono menerjemahkan business judgment rule sebagai aturan yang memberikan kekebalan kepada manajemen dari tanggung jawab perusahaan yang diambil dalam hal kekuasaan perusahaan dan wewenang manajemen dimana terdapat dasar-dasar yang masuk akal untuk mengindikasikan bahwa transaksi tersebut dilakukan dengan hati-hati dan beritikad baik. Try Widyono. Op. Cit. Hlm. 47.
Hlm. 4.
52
Munir Fuady. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Op. Cit. Hlm. 7.
53
Bismar Nasution. "Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perusuhaan". Op.Cit.
26
keputusan, merupakan sesuatu yang tidak dapat dipastikan.54 Hal tersebut dianut oleh UU PT, dimana prinsip business judgment rule juga berlaku pada pengurusan Perseroan, yang merupakan aspek yang lebih luas dibandingkan dengan keputusan bisnis, sehingga Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya bukan hanya dalam hal keputusan bisnis yang diambilnya, tetapi juga dalam aspek manajemen perusahaan. 55 Sehubungan dengan hal tersebut, Blanchard mengatakan bahwa business judgment rule memiliki beberapa tujuan. Pertama, direktur dianggap lebih tepat menyelesaikan masalah bisnis perusahaan dibandingkan pengadilan, sehingga tidak tepat bagi pengadilan untuk memberikan penilaian tentang keabsahan keputusan bisnis dari direktur. Kedua, jika ada ketidakpuasan para pemegang saham atas tindakan yang akan diambil oleh direktur, pemegang saham tersebut berhak untuk menggantikan direktur melalui RUPS atau para pemegang saham menjual sahamnya. Ketiga, business judgment rule memberikan keberanian bagi direktur untuk mengurus perusahaan dengan berbagai risiko. Keempat, business judgment rule akan membela keputusan-keputusan yang jujur dari para direktur. 56 54
Taqyuddin Kadir. Business Judgment Rule. Legal Risk and Compliance. 2006. Http://taqlawyer.com/2006/09/business-judgement-rule.html Diakses pada tanggal 12 September 2008. 55
Bismar Nasution. "UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule". Op. Cit. Hlm. 11. 56
The business judgment rule does appear to serve several legitimate purposes. First, it is based on the proposition that directors, not the courts, are charged with the management of the business of the corporation. As one court stated: "The directors' room, rather than the court room is the appropriate forum for thrashing out purely business questions." Thus, the rule is predicated on an assumption that courts are ill–equipped to second guess the validity of business judgments made by directors or officers. Second, if a disagreement arises between the shareholders and the management of the company concerning various actions which the directors wish to take, the shareholders have the
27
UU PT juga mengadopsi prinsip business judgment rule dalam Pasal 97 ayat (5) yang menentukan syarat-syarat berlakunya prinsip tersebut, yaitu anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Perseroan apabila dapat membuktikan: a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Beberapa pengadilan di Amerika Serikat berpendapat bahwa pertimbangan (judgment) Direksi tidak dapat dilindungi oleh business judgment rule apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan suatu kecurangan (fraud), menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality), dan menimbulkan kerugian bagi Perseroan sebagai akibat kelalaian
right to replace the directors through the exercise of their voting power or they may simply sell their stock. Third, the business judgment rule serves to encourage risk taking on the part of management. Often a decision based upon a great deal of time and research may seem like a good hunch when looked at with perfect hindsight years later. Finally, the rule is predicated on the theory that directors should not be insurers of their decisions, and that to make them responsible for honest mistakes of judgment would increase the difficulty of obtaining competent people to serve as directors. Gerald L. Blanchard. "Director and Officer Liability". WestLaw Journal: Lender Liability: Law, Practice and Prevention 23 (March, 2009). Diakses dari www.westlaw.com pada tanggal 19 Juni 2009.
28
berat (gross negligence) dari Direksi. 57 Setidaknya terdapat tiga ukuran untuk memutuskan apakah suatu kerugian disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tepat, sehingga dapat terhindar dari pelanggaran prinsip duty of care, yaitu: a. memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar. b. tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik; c. memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan. 58 Direksi harus dapat menjamin telah melakukan hal-hal yang sesuai dengan standar dan prosedur yang terdapat dalam perusahaannya sebelum mengambil keputusan bisnis. Hal tersebut penting agar Direksi memiliki landasan hukum yang kuat dalam bertindak sesuai dengan UU PT terhadap segala kewajiban mereka kepada Perseroan, terutama atas keputusan bisnis yang akan memenuhi secara obyektif kenaikan nilai dari perusahaan. Keputusan bisnis dari Direksi antara lain adalah memutuskan untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa atau menolak menyelenggarakannya. Hal ini
57
Bismar Nasution. "Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perusuhaan". Op.Cit.
58
Ibid.
Hlm. 5.
29
mengingat RUPS Luar Biasa tidak wajib diadakan, namun dapat diadakan jika kepentingan Perseroan menghendakinya. 59 Teori fiduciary duty menjadi suatu rambu-rambu bagi Direksi dalam melaksanakan kewajibannya untuk mengurus dan mengelola Perseroan yang dipercayakan kepadanya, namun teori business judgment rule menjadi suatu pembelaan bagi Direksi dalam membuat suatu keputusan bisnis yang berdasarkan suatu itikad baik, kejujuran dan penuh kehati-hatian.
2. Kerangka Konsep Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut dalam suatu kerangka konsep. Kerangka konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Kewajiban merupakan wujud dari peraturan hukum yang mengandung perintah kepada seorang atau sekelompok orang untuk bertindak atau untuk tidak bertindak, dengan ancaman sanksi hukum bagi yang tidak memenuhi perintah tersebut. 60 Konsep kewajiban hukum adalah terkait, namun tidak identik, dengan
59
Pasal 79 UU PT menentukan bahwa: (1) Direksi menyelenggarakan RUPS Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dan RUPS lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4) dengan didahului pemanggilan RUPS. (2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan: a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau b. Dewan Komisaris. 60
Wirjono Prodjodikoro. Op. Cit. Hlm. 27.
30
konsep tanggung jawab hukum. Kewajiban hukum adalah meniadakan perilaku yang berupa pelanggaran, sedangkan tanggung jawab hukum merupakan tindakan paksa berupa sanksi kepada pelaku pelanggaran kewajiban hukum. 61 2) Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan 62 Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Pasal 1 angka 5 UU PT). Direktur adalah orang yang menjalankan tugas Direksi. Direksi berwenang menjalankan pengurusan PT sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UU PT dan/atau anggaran dasar dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Direksi bertanggung jawab kepada RUPS atas pengurusan Perseroan dengan menyampaikan laporan tahunan atas kinerjanya kepada dan dalam forum RUPS. Bahkan dalam hal-hal tertentu, Direksi menyelenggarakan RUPS Luar Biasa untuk kepentingan Perseroan semata-mata. 3) Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
61 62
Hans Kelsen. Op. Cit. Hlm. 141.
Menurut teori organ dari Otto von Gierke, sebagaimana dikutip oleh Suyling, pengurus adalah organ atau alat perlengkapan dari badan hukum. Seperti halnya manusia yang mempunyai organ-organ tubuh, misalnya kaki, tangan, dan lain sebagainya itu geraknya diperintah oleh otak manusia, demikian pula gerak dari organ badan hukum diperintah oleh badan hukum itu sendiri, sehingga pengurus adalah merupakan personifikasi dari badan hukum itu. Selanjutnya, menurut Paul Scholten dan Bregstein, pengurus adalah wakil dari badan hukum, sehingga Direksi bertindak mewakili PT sebagai badan hukum. Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 61-62.
31
dalam UU PT serta peraturan pelaksanaannya (Pasal 1 angka 1 UU PT). Perseroan Terbatas juga merupakan bentuk hukum perusahaan persekutuan badan hukum. Kata “Perseroan” menunjuk pada modal persekutuan yang terbagi dalam sero (saham). Sedangkan kata “terbatas” menunjuk pada tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang dimilikinya. 63 Suatu PT berbeda dengan suatu persekutuan yang bukan merupakan suatu badan hukum (legal entity). PT adalah legal entity yang terpisah dari pemegang saham PT tersebut. Sebagai legal entity yang terpisah dari pemegang sahamnya, PT dalam melakukan fungsi hukumnya bukan bertindak sebagai kuasa dari pemegang sahamnya, tetapi bertindak untuk dan atas namanya sendiri. 4) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang dan/atau anggaran dasar (Pasal 1 angka 4 UU PT). Dalam hal ini, RUPS diorientasikan kepada suatu forum atau pertemuan resmi, di mana tanggung jawab atas pengurusan dan pengelolaan Perseroan dilaporkan, serta kemudian menyusun rencana kerja Perseroan untuk tahun buku berikutnya. Ada 2 jenis RUPS, yakni RUPS Tahunan dan RUPS lainnya. RUPS Tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir, sedangkan penyelenggaraan RUPS lainnya, yang dalam praktik
63
Hlm. 7.
Abdulkadir Muhammad. Hukum Perseroan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1996.
32
sering dikenal dengan RUPS Luar Biasa, diadakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan atau keperluan PT. Menyelenggarakan dalam hal ini berarti mengurus, mengusahakannya
serta
melaksanakannya. 64
RUPS
Tahunan
wajib
diselenggarakan setiap tahun, karena dalam RUPS Tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) UU PT. Sebaliknya, RUPS lainnya diselenggarakan sesuai dengan keperluan PT yang bersangkutan. RUPS Luar Biasa dapat diselenggarakan oleh Direksi atas inisiatif sendiri, atau atas permintaan pemegang saham dan/atau Dewan Komisaris, dan dalam hal-hal tertentu dapat juga diselenggarakan oleh Dewan Komisaris atau pemegang saham sendiri, yang memenuhi ketentuan UU PT atau anggaran dasar Perseroan. Dalam penelitian ini, akan dilakukan analisis terhadap kewajiban Direksi Perseroan dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya yang dapat dilakukan dengan menguraikan suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. 65 Analisis juga berarti "to study (a problem) in detail by breaking it down into various parts". 66
64
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. III. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. Hlm. 1019-1020. 65 66
Ibid. Hlm. 43.
The New Lexicon. Webster’s Dictionary of The English Language. Encyclopedic Edition. Danbury, CT: Lexicon Publications. 1995. Hlm. 32.
33
Dalam melakukan analisis tersebut, konsep kewajiban Direksi dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa tersebut dipadukan dengan teori fiduciary duty dan teori business judgment rule. Fiduciary duty membebankan kepada Direksi suatu kewajiban yang harus dipikul untuk bertindak mengurus dan mengelola PT, serta mewakili PT di dalam dan di luar pengadilan. Business judgment rule melindungi Direksi atas segala tindakan atau keputusannya sehubungan dengan pemenuhan kewajiban yang telah dilakukannya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
G. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara/jalan atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan berpikir yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu atau beberapa cabang ilmu tertentu, untuk menguji kebenaran atau mengadakan verifikasi suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu. 67 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. 68 Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu 67
Alvi Syahrin. Riset & Penulisan Hukum: Modul. Medan: Kelas Khusus Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2005. Hlm. 37. 68
Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum. Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 1984. Hlm. 51.
34
penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process). 69 Penelitian hukum normatif dilakukan berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkahlangkah spekulatif-teoretis dan analisis normatif-kualitatif. 70 Metode penelitian normatif merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya 71 , yang dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang obyeknya hukum itu sendiri. Selanjutnya, sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach), yaitu dengan meneliti peraturan-peraturan yang berlaku, karena penelitian ini akan terfokus pada aturan hukum yang sekaligus sebagai tema sentral penelitian. 72 Penelitian ini bersifat deskriptif. Deskriptif artinya data hasil penelitian diolah dan diuraikan untuk memberikan gambaran fakta-fakta sehubungan dengan kewajiban Direksi dalam penyelenggaraan RUPS Luar Biasa.
69
Amiruddin, Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Grafitti Press. 2006. Hlm. 118. 70
J. Supranto. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta: Pradnya Paramitha. 2003.
Hlm. 3. 71
Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2007. Hlm. 47. 72
Ibid. Hlm. 249.
35
Sebagai kegiatan ilmiah yang berusaha menjelaskan kenyataan hukum, penelitian ini tidak didasarkan pada perspektif suatu disiplin non-yuridis tertentu, tetapi didasarkan pada perspektif-perspektif dari semua disiplin yang relevan seperti ilmu manajemen perusahaan. Walaupun penelitian yang dilakukan dengan menggunakan perspektif disiplin ilmu lain, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian hukum, karena perspektif disiplin ilmu lain hanya sekedar alat bantu. 73
2. Sumber Bahan Hukum Penelitian ini didasarkan pada bahan-bahan sumber berupa perpustakaan, dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan terkait, yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum perusahaan, antara lain Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas 74 , dan peraturan-peraturan lainnya yang dapat mendukung penelitian ini. b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, seperti hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar, serta bahan-bahan terkait lainnya. Bahan
73
Lihat Alvi Syahrin. Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan. Medan: Pustaka Bangsa Press. 2003. Hlm. 17. 74
Tidak berlaku lagi sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada tanggal 16 Agustus 2007, berdasarkan ketentuan Pasal 160 yang menentukan bahwa "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
36
hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.75 c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, 76 serta bahan-bahan di luar bidang hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada Sosiologi, Filsafat dan Etika.
3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini akan menggunakan bahan kepustakaan sebagai tumpuan utamanya, yang berarti akan cenderung pada penelaahan dan pengajian data primer dan data sekunder yang diperoleh dari bahan kepustakaan, sehingga tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesa. 77 Bahan kepustakaan tersebut mencakup antara lain peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap kepustakaan yang berkenaan dengan permasalahan serta teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Bahanbahan dikumpulkan melalui inventarisasi dan koleksi semua peraturan perundang75
Petter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Pradnya Paramitha. 2005. Hlm. 141.
76
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers. 1990. Hlm. 14-15. 77
Pada penelitian hukum normatif tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesa. Soerjono Soekanto. Op. Cit. Hlm. 53
37
undangan serta dokumen lainnya yang relevan dengan kewajiban Direksi dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, dicatat, dianalisis dan disistematisasi. Data hasil penelitian yang telah dideskripsikan kemudian dianalisis dan diuraikan secara cermat sehingga dapat memberikan kesimpulan terhadap permasalahan hukum menyangkut kewajiban Direksi Perseroan dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Penelitian ini ditujukan untuk meninjau secara normatif permasalahan hukum mengenai kewajiban Direksi dalam meneyelenggarakan RUPS Luar Biasa, sehingga penelitian ini akan menempatkan data kaidah-kaidah hukum yang terkait dengan hukum Perseroan Terbatas pada umumnya dan kewajiban Direksi Perseroan dalam meneyelenggarakan RUPS Luar Biasa pada khususnya. Kerangka teoretis akan digunakan sebagai acuan untuk menganalisis data yang diperoleh.
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.78 Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.
78
Hlm. 103.
Lexy J. Moloeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002.
38
Data yang diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan penunjang lainnya diseleksi dan kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif, yaitu bertolak dari proporsi umum yang kebenarannya telah diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus, dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut, terutama yang relevan dengan kewajiban Direksi Perseroan dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa; b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah kewajiban Direksi Perseroan, dan menyelenggarakan RUPS Luar Biasa; c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan, kemudian diolah; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan. Penggunaan analisis kualitatif tersebut juga disertai dengan melakukan metode interpretasi. Berdasarkan metode interpretasi diharapkan dapat menjawab segala
39
permasalahan hukum yang terdapat dalam penelitian ini. 79 Hasil penelitian diarahkan pada suatu kesimpulan yang rasional.
79
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengatakan bahwa interpretasi merupakan metode penelitian hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Interpretasi itu, baik dilakukan dengan metode gramatikal, teleologis atau sosiologis, sistematis atau logis, historis, komparatif, futuristis atau antisipatif, argumentum per analogium (analogi), penyempitan hukum, argumentum a contrario. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1993. Hlm. 14-26.
BAB II BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS
A. Badan Hukum 1. Pengertian Badan Hukum Istilah badan hukum sudah lazim digunakan dalam pergaulan hukum dan kepustakaan sekarang ini, bahkan sudah merupakan istilah hukum yang resmi di Indonseia. Badan hukum merupakan terjemahan dari istilah hukum Belanda, yaitu rechtspersoon. 80 Badan hukum merupakan subyek hukum, yaitu sebagai segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. 81 Badan hukum merupakan suatu bentuk hukum (rechtsfiguur) yang dapat mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban hukum dan dapat mengadakan hubungan hukum. 82 Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi dan mungkin pula kumpulan dari badan hukum yang pengaturannya sesuai menurut hukum yang berlaku, misalnya badan hukum Perseroan Terbatas. Para ahli, seperti E. Utrecht, Meijers, dan Logemann sepakat mendefinisikan badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Badan hukum, meskipun tidak
80
Meskipun demikian, dalam kalangan hukum ada juga yang menyarankan atau telah mempergunakan istilah lain untuk menggantikan istilah badan hukum, misalnya istilah purusa hukum (Oetarid Sadino), awak hukum (St. K. Malikul Adil) dan pribadi hukum (Soerjono Soekanto, Purnadi Purbacaraka). Inggris menggunakan istilah legal persons. Chidir Ali. Op. Cit. Hlm. 14. 81
Ibid. Hlm. 21.
82
Ali Rido. Op. Cit. Hlm. 3.
40
41
berwujud seperti manusia, dapat memiliki harta kekayaan, memiliki organ-organ, dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum dan terjamin kontinuitasnya meskipun organ-organ sebagai pengurusnya berganti-ganti. Pengertian badan hukum sebagai subyek hukum itu mencakup hal-hal sebagai berikut: a. perkumpulan orang (organisasi); b. dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubunganhubungan hukum (rechtsbetrekking); c. mempunyai harta kekayaan tersendiri; d. mempunyai pengurus; e. mempunyai hak dan kewajiban; f. dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan. 83 Sebagai subyek hukum, badan hukum memiliki kepribadian (persoonlijkheid), yaitu suatu kemampuan untuk menjadi subyek pada setiap hubungan hukum. Setiap badan hukum memiliki kecakapan dalam melakukan suatu perbuatan hukum dalam bidang harta kekayaan. 84
2. Teori-Teori Badan Hukum Toeri-teori badan hukum dapat dihimpun dalam dua golongan, yaitu: a. teori yang berusaha ke arah peniadaan persoalan badan hukum, antara lain dengan jalan mengembalikan persoalan tersebut kepada orang-orangnya, yang merupakan orang-orang yang sebenarnya berhak. Termasuk golongan ini ialah teori organ dan teori kekayaan bersama; b. teori lainnya yang hendak mempertahankan persoalan badan hukum, ialah teori fiksi, teori kekayaan yang bertujuan, dan teori kenyataan yuridis. 85
83
Chidir Ali. Op. Cit.
84
Ibid. Hlm. 24.
85
Ibid. Hlm. 30.
42
Dalam sejarah perkembangan badan hukum dewasa ini, ada beberapa teori badan hukum yang dipergunakan dalam ilmu hukum dan perundang-undangan, yurisprudensi, serta doktrin untuk pembenaran atau memberi dasar hukum, baik bagi adanya maupun kepribadian hukum (rechtspersoonlijkheid) badan hukum. Teori-teori pendukung badan hukum tersebut adalah sebagai berikut. a. Teori fiksi 86 Teori ini dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861). Teori ini dianut di beberapa negara, antara lain di Belanda yang dianut oleh Opzomer, Diephuis, Land, Houwing, dan Langemeyer. Pada pokoknya, teori ini menjelaskan bahwa badan hukum hanya suatu abstraksi, bukan merupakan suatu yang konkrit. Badan hukum merupakan fiksi, yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya, sehingga seolah-olah ada subyek hukum lain selain manusia. Badan hukum tidak riil, dan hanya dapat melakukan perbuatan-perbuatan melalui manusia selaku wakil-wakilnya. b. Teori organ 87 Teori yang lahir sebagai reaksi terhadap teori fiksi ini dikemukakan oleh Otto von Gierke (1841-1921). Pada pokoknya teori ini mengemukakan bahwa badan hukum merupakan suatu badan yang membentuk kehendaknya melalui perantaraan alat-
86
Pitlo mengritik teori fiksi sebagai cara berpikir yang primitif-materialistik, sebab teori fiksi mengharuskan segala sesuatu yang berwujud dan dapat ditangkap oleh panca indera. Jadi segala sesuatu yang tidak riil di dunia ini dianggap tidak ada. Ibid. Hlm. 39-40. 87
Pitlo mengritik teori organ sebagai teori yang materialistis yang bertolak pangkal bahwa daya berhak berdasarkan daya berkehendak. Tanpa daya berkehendak tidak ada daya berhak. Ibid. Hlm. 40.
43
alat atau organ-organ badan tersebut, misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya, seperti manusia yang melakukan segala perbuatan dengan menggunakan organ-organ tubuhnya. Menurut teori ini, badan hukum benar-benar ada, berfungsi sama seperti manusia, dan perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan badan hukum itu sendiri. Tujuan badan hukum merupakan tujuan yang kolektif, terlepas dari tujuan individu-individu yang menjadi organ-organnya. Sejalan dengan teori organ, Pitlo membandingkan badan hukum dengan bayi manusia, dimana keduanya tidak memiliki kemampuan berpikir dan berkehendak. Badan hukum bertindak dengan perantaraan organ-organnya, sedangkan bayi bertindak dengan perantaraan orang tua atau walinya. 88 c. Teori harta kekayaan yang melekat dalam jabatannya Teori ini dipelopori oleh Holder, Binder dan F. J. Oud. Teori ini menitikberatkan pada daya berkehendak. Badan hukum, sebagai subyek hukum, memiliki harta kekayaan yang dikelola oleh pengurus badan hukum tersebut. Pengurus memiliki daya berkehendak untuk mengelola harta kekayaan tersebut sebagai hak yang melekat karena jabatannya selaku pengurus dari badan hukum. d. Teori kekayaan bersama Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering (1818-1892) yang kemudian diikuti oleh Marcel Planiol, Molengraaff, Star Busmann, Kranenburg, Paul Scholten, dan Apeldoorn. Menurut teori ini, badan hukum merupakan suatu
88
Hardijan Rusli. Badan Hukum dan Bentuk Perusahaan di Indonesia. Jakarta: Huperindo. 1989. Hlm. 7.
44
konstruksi yuridis, atau bangunan yang diciptakan oleh hukum. Teori ini menganggap badan hukum sebagai kumpulan manusia yang membentuk satu kesatuan, dimana kepentingan badan hukum merupakan kepentingan seluruh anggotanya. Kepentingan badan hukum merupakan kepentingan bersama seluruh anggota, terlepas dari kepentingan perorangan dari anggota. e. Teori kekayaan bertujuan Teori ini dikemukakan oleh A. Brinz dan didukung oleh Van der Heijden. Menurut teori ini, kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya. Teori ini tidak mempersoalkan siapa dan apa badan hukum itu, tetapi lebih menyoroti terhadap harta kekayaan badan hukum sebagai harta kekayaan yang terikat dan diurus untuk suatu tujuan tertentu. Soekowati, Molengraaff dan Star Busmann mendukung teori ini sebagai dasar yuridis untuk yayasan. f. Teori kenyataan yuridis Teori yang dikemukakan oleh E. M. Meijers dan Paul Scholten ini merupakan penghalusan dari teori organ. Menurut teori ini, badan hukum merupakan suatu realitas, konkrit dan riil, walaupun tidak berwujud, namun merupakan suatu kenyataan yuridis. Sebagai suatu kenyataan yuridis, badan hukum sebagai subyek hukum dipersamakan dengan manusia, tetapi sekadar diperlukan untuk hukum saja.
45
g. Teori-teori lainnya Masih banyak teori-teori lainnya yang berkaitan dengan badan hukum sebagai subyek hukum. Ada yang mendukung, seperti teori kesatuan tertib yang dikemukakan oleh Van Nispen tot Sevenear (1936) yang mengemukakan bahwa badan hukum memiliki hak subyektif yang melekat pada orang-orang yang membentuk badan hukum tersebut, selama mereka tetap dalam kesatuan dan tidak mempunyai tujuan pribadi. Yb. Zeijlemaker Jnz. mengemukakan bahwa badan hukum adalah organ-pengurus. Badan hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban dari harta kekayaan tertentu. Bellefroid mengatakan bahwa untuk pengetahuan ilmu hukum yang sekarang berlaku,
teori-teori
tersebut
tidak
berarti,
karena
hukum
yang
berlaku
memperbolehkan badan hukum turut serta dalam pergaulan hukum di samping manusia. 89 Sebaliknya, Utrecht justru mendukung sebagian konsep dalam teori organ, yaitu konsep "organ". 90 Utrecht memandang bahwa organ sebagai personifikasi beberapa hak dan kewajiban adalah seorang atau beberapa orang yang tergabung (direktur, pengurus, komisaris, dan sebagainya) yang menjalankan suatu fungsi tertentu. Organ tersebut menjadi salah satu esensi dari organisasi badan hukum itu sekaligus sebagai suatu realitas yang bertindak bagi badan hukum tersebut, dalam pergaulan dengan subyek hukum yang lain. 89
Chidir Ali. Op. Cit. Hlm. 39.
90
Ibid. Hlm. 41.
46
Teori organ tersebut mempertegas pentingnya keberadaan organ-organ atau pengurus dalam badan hukum. Organ-organ tersebut berguna untuk mewakili badan hukum dalam melakukan segala sesuatu perbuatan hukum, baik perbuatan yang dilakukan di dalam lingkungan badan hukum itu sendiri, maupun perbuatan yang dilakukan terhadap pihak ketiga. Organ-organ tersebut diperlukan sebagai esensi untuk menjaga kesinambungan badan hukum sebagai subyek hukum.
3. Syarat-Syarat Badan Hukum Membentuk atau mendirikan sebuah badan hukum harus memenuhi syaratsyarat dan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Mendirikan badan hukum harus
memenuhi
persyaratan
materiil
dan
persyaratan
formil.
Ali
Rido
mengemukakan syarat-syarat yang dapat digunakan sebagai kriteria untuk menentukan adanya kedudukan sebagai suatu badan hukum, yaitu: 91 a. adanya harta kekayaan yang terpisah; b. mempunyai tujuan tertentu; c. mempunyai kepentingan sendiri; d. adanya organisasi yang teratur. Badan hukum itu harus memiliki harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadi dari para pendiri, anggota maupun pengurusnya. Harta kekayaan tersebut berasal dari pemasukan (inbreng) dari para pendiri atau anggota
91
Ibid. Hlm. 96-97.
47
dan menjadi modal bagi badan hukum itu untuk mencapai tujuannya. Unsur ini didukung oleh teori kekayaan bersama dan teori kekayaan bertujuan. Sebuah badan hukum juga harus memiliki tujuan tertentu, yaitu untuk maksud apa badan hukum tersebut didirikan. Tujuan tersebut dapat bersifat komersil maupun bersifat sosial. Unsur ini didukung oleh teori organ dan teori kekayaan bertujuan. Badan hukum juga harus memiliki kepentingan sendiri. Kepentingan tersebut harus terpisah dari kepentingan pribadi dari pendiri, anggota ataupun pengurusnya. Dengan kepentingan tersebut, badan hukum melakukan hubungan-hubungan hukum dengan pihak ketiga, sekaligus memiliki hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut. Unsur ini didukung oleh teori organ, teori kekayaan bersama dan teori kekayaan bertujuan. Sebuah badan hukum pada dasarnya adalah bentuk kerjasama dari beberapa orang, sehingga badan hukum harus memiliki organisasi yang teratur. Organisasi yang teratur dimaksudkan agar badan hukum tersebut memiliki kejelasan susunan tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing anggota, khususnya pengurus. Unsur ini didukung oleh teori kekayaan bersama dan teori kesatuan tertib. Selain harus memenuhi syarat materiil tersebut di atas, badan hukum juga harus memenuhi persyaratan formil dalam pendiriannya. Persyaratan formil tersebut pada umumnya terdiri atas adanya perjanjian pendirian badan hukum, pengesahan sebagai badan hukum dan pengumuman badan hukum tersebut oleh pemerintah.
48
4. Pembagian Badan Hukum Berdasarkan jenisnya, badan hukum dapat dibagi atas dua jenis, yaitu: a. Badan Hukum Publik (Publiek Rechtspersoon) 92 , yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya. Badan hukum ini merupakan badanbadan negara dan mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif atau pemerintah atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu. Contoh badan hukum publik antara lain ialah Negara Republik Indonesia dan Bank Indonesia. b. Badan Hukum Privat (Privaat Rechtspersoon), yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum perdata yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum tersebut. Badan hukum tersebut merupakan badan swasta yang didirikan oleh orang pribadi untuk tujuan tertentu yaitu mencari keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesenian, olahraga, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah. 93 Badan hukum ini didirikan oleh anggota masyarakat melalui sebuah perjanjian. Contohnya adalah Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Yayasan.
92
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi). Bagian 1. Cet. Ke-7. Jakarta: Pradnya Paramita. 2005. Hlm. 29. 93 Ibid. Hlm. 30.
49
Badan hukum privat dapat dibagi lagi ke dalam tiga jenis, yaitu: 1) Badan hukum privat yang bertujuan untuk mencari laba/keuntungan dari operasinya, misalnya Perseroan Terbatas. 2) Badan hukum privat yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan (kesejahteraan) para anggotanya saja, seperti Koperasi. 3) Badan hukum privat yang bertujuan untuk melayani kepentingan masyarakat sebanyak mungkin (kepentingan umum), tanpa mengharapkan imbalan jasa dari masyarakat (nirlaba), misalnya Yayasan. Pada perkembangan selanjutnya muncul sebuah badan hukum Perseroan Terbatas Persero, yang disingkat PT (Persero) 94 . PT (Persero) merupakan badan hukum campuran antara badan hukum publik dan badan hukum privat, karena PT (Persero) mengutamakan pelayanan kepentingan umum, namun juga mencari laba (profit oriented). Saham PT (Persero) dimiliki seluruhnya atau sebagian besar oleh pemerintah, dan sebagian kecil dijual kepada masyarakat. Contoh PT (Persero) adalah PT. Pertamina (Persero), Tbk., yang bergerak dalam bidang usaha pertambangan dan penyaluran minyak masyarakat. Jenis badan hukum privat yang saat ini diakui keberadaannya di Indonesia ada tiga jenis, yaitu:
94
Badan hukum jenis ini berasal dari Perusahaan Jawatan atau Perusahaan Umum yang didirikan Pemerintah untuk melayani kepentingan umum, membantu pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, seperti di bidang jasa pos dan telekomunikasi, perhubungan, dan sebagainya. Pada mulanya perusahaan ini bersifat nirlaba dan disubsidi dari Anggaran Belanja Negara.
50
a. Perseroan Terbatas (PT) 95 ; b. Koperasi 96 ; dan c. Yayasan 97 .
5. Kedudukan Hukum Badan Hukum Perseroan Terbatas Badan hukum merupakan subyek hukum yang kedudukannya telah diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Meskipun tidak berwujud seperti halnya manusia, teori-teori badan hukum tersebut di atas telah menjadi teori dasar yang diabstraksikan ke dalam doktrin yang melahirkan unsur-unsur suatu badan hukum sebagai suatu subyek hukum. Badan hukum merupakan suatu konstruksi yuridis yang berdasarkan kebutuhan masyarakat diakui oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Secara umum, pengertian PT adalah sebagai suatu bentuk Perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal Perseroan tertentu yang terbagi atas saham-saham, dengan mana para pemegang saham (pesero) ikut serta dengan mengambil satu saham atau lebih dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, dibuat oleh nama bersama, dengan tidak bertanggung jawab sendiri untuk persetujuan-
95
Lihat Pasal 1 angka 1 UU PT.
96
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menentukan bahwa "Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan". 97
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 jo. No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan menentukan bahwa "Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota".
51
persetujuan Perseroan itu. Dengan kata lain, tanggung jawab semata-mata terbatas pada modal yang mereka setorkan. 98 PT merupakan suatu perusahaan yang berbadan hukum. Perusahaan merupakan salah satu pengertian ekonomi yang masuk ke dalam lapangan hukum perdata, khususnya hukum dagang. Perusahaan dalam hal ini adalah onderneming, yaitu suatu bentuk hukum (rechtsvorm) dari perusahaan, baik yang berbadan hukum maupun bukan badan hukum, seperti Perseroan Terbatas, Firma, dan Persekutuan Komanditer (CV). 99 Sehubungan dengan hal tersebut, Molengraaff berpendapat bahwa suatu perusahaan harus memenuhi unsur-unsur: a. b. c. d. e. f.
terus menerus atau tidak terputus-terputus; secara terang-terangan (karena berhubungan dengan pihak ketiga); dalam kualitas tertentu (karena dalam lapangan perniagaan); menyerahkan barang-barang; mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan harus bermaksud memperoleh laba". 100
Bila unsur-unsur sebagai syarat materil badan hukum tersebut diterapkan kepada badan hukum PT, maka dapat diuraikan sebagai berikut: a. Mempunyai kekayaan yang terpisah PT memiliki harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari harta kekayaan para pemegang saham. Harta kekayaan tersebut diperoleh dari pemasukan para pendiri, yang kemudian menjadi para pemegang saham, berupa modal dasar, modal yang
98
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. Op. Cit. Hlm. 91.
99
Sutantya R. Hadhikusuma, Sumantoro. Pengertian Pokok Hukum Perusahaan: BentukBentuk Perusahaan Yang Berlaku di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995. Hlm. 3. 100
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. Loc. Cit. Hlm. 67.
52
ditempatkan dan modal yang disetor penuh. Harta kekayaan tersebut diperlukan sebagai alat untuk mencapai tujuan Perseroan dalam hubungan hukumnya. Bila di kemudian hari, timbul tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi oleh PT, maka sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT 101 , tanggung jawab yang timbul tersebut semata-mata dibebankan kepada harta yang terkumpul dalam PT tersebut. b. Mempunyai tujuan tertentu Pasal 2 UU PT menentukan bahwa Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. Tujuan tersebut termaktub dalam Anggaran Dasar PT. 102 Tujuan Perseroan bukan merupakan tujuan atau kepentingan pribadi dari satu atau beberapa orang peseronya (pemegang saham) dan perjuangan untuk mencapai tujuan itu dilakukan oleh organ Perseroan yang disebut Direksi. 103 c. Mempunyai kepentingan sendiri PT sebagai badan hukum memiliki kepentingan-kepentingan sendiri untuk mencapai tujuan PT. Kepentingan tersebut merupakan hak-hak subyektifnya sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa hukum yang dialaminya, termasuk untuk
101
Pasal 3 ayat (1) UU PT menentukan bahwa "Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki". Ketentuan dalam ayat ini mempertegas ciri Perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. 102
Pasal 15 ayat (1) huruf b menentukan bahwa "Anggaran Dasar memuat sekurangkurangnya maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan". 103
Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 30.
53
menuntut dan mempertahankan kepentingannya terhadap pihak ketiga, dimana kepentingan tersebut dilindungi oleh hukum. 104 d. Mempunyai organisasi yang teratur Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU PT 105 , PT memiliki anggaran dasar yang dimuat dalam akta pendiriannya yang mencerminkan keberadaan suatu organisasi yang teratur. Dalam anggaran dasar ini ditentukan tata tertib organisasi dalam aktivitasnya dan bila ada hal-hal yang belum tertampung dalam anggaran dasar ini dapat diatur melalui keputusan-keputusan dalam RUPS. Badan hukum, sebagai konstruksi yuridis, hanya dapat melakukan perbuatan hukum melalui organnya. Anggaran dasar menentukan sampai di mana organ yang terdiri dari manusia itu dapat bertindak menurut hukum sebagai perwakilan dari badan hukum dan dengan jalan bagaimana manusia-manusia yang duduk dalam organ tersebut dipilih, diganti dan sebagainya.
104 105
Ibid. Hlm. 30-31.
Pasal 8 UU PT menentukan bahwa: (1) Akta pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan. (2) Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya : a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan pendiri perseorangan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap serta nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum dari pendiri Perseroan; b. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat; c. nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor. (3) Dalam pembuatan akta pendirian, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa.
54
Anggaran dasar suatu PT merupakan hukum positif bagi PT, yang apabila dilanggar akan mengakibatkan transaksi yang dibuat menjadi batal.106 Terdapat suatu keleluasaan bagi PT untuk menetapkan hal-hal yang dianggap perlu dan yang belum diatur dalam UU PT dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sehubungan dengan Anggaran Dasar PT, Pasal 15 UU PT menentukan sebagai berikut: (1) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan tempat kedudukan Perseroan; b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; c. jangka waktu berdirinya Perseroan; d. besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; e. jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; f. nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris; g. penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; h. tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris; i. tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen. (2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) anggaran dasar dapat juga memuat ketentuan lain yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. (3) Anggaran dasar tidak boleh memuat: a. ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham; dan b. ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada pendiri atau pihak lain. Dari uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa unsur-unsur badan hukum yang terdapat dalam doktrin terdapat juga dalam PT, sehingga tepatlah PT memenuhi
106
I. G. Rai Widjaja. Pedoman Dasar Perseroan Terbatas (PT). Jakarta: Pradnya Paramita. 1994. Hlm. 9.
55
syarat materil sebagai badan hukum. Jika dilihat dari sudut pandang doktrin atau ajaran umum tentang unsur-unsur badan hukum, maka PT adalah badan hukum. 107 Sehubungan dengan hal tersebut, Hartono mengatakan bahwa: "PT merupakan suatu badan usaha yang sempurna, baik sebagai kesatuan ekonomi maupun sebagai kesatuan hukum. PT sebagai kesatuan ekonomi ditata oleh pranata hukum agar dapat berfungsi dan bertanggung jawab secara sempurna pula. Sebaliknya, PT sebagai kesatuan hukum mempunyai kedudukan sebagai badan hukum, yaitu sebagai subyek hukum yang mampu melakukan perbuatan hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban di dalam lalu lintas hukum". 108 Selanjutnya, bila unsur-unsur sebagai syarat formil badan hukum tersebut diterapkan kepada badan hukum PT, maka dapat diuraikan sebagai berikut: a. Adanya perjanjian pendirian Pasal 1 angka 1 UU PT menentukan bahwa PT didirikan berdasarkan perjanjian. Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) UU PT menentukan bahwa PT didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing. Ketentuan dalam ayat ini menegaskan prinsip yang berlaku berdasarkan UU PT bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, PT didirikan berdasarkan perjanjian,
Hlm. 5.
107
Nindyo Pramono. Op. Cit. Hlm. 27.
108
Sri Redjeki Hartono. Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Bandung: Mandar Maju. 2000.
56
karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang saham, kecuali sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (7) UU PT. 109 b. Adanya pengesahan Pasal 7 ayat (4) UU PT menentukan bahwa Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. Pengesahan akta pendirian tersebut merupakan saat lahirnya status PT sebagai badan hukum. c. Adanya pengumuman Setelah akta pendirian disahkan, kemudian dilakukan pengumuman mengenai telah adanya status badan hukum PT melalui Tambahan Berita Negara yang dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan HAM RI. Pengumuman tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU PT 110 , bertujuan untuk mengumumkan kepada masyarakat tentang adanya status badan hukum PT, sehingga masyarakat 109
Pasal 7 ayat (7) UU PT menentukan bahwa "ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi : a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. 110 Pasal 30 UU PT menentukan bahwa: (1) Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia: a. akta pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4); b. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b atau sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumuman dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
57
terikat pada akibat-akibat hukum dari status badan hukum yang diperoleh PT tersebut.
B. Organ Perseroan Terbatas Sebagai subyek hukum, PT adalah artificial person, sesuatu yang fiksi, yang diciptakan oleh hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam melakukan perbuatan hukum. PT tidak mungkin memiliki kehendak dan juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri. Untuk membantu PT dalam melaksanakan tugasnya dibentuklah organ-organ, yang secara teoretis dikenal dalam teori organ badan hukum, yang bertindak untuk dan atas nama PT. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat tiga organ PT, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UU PT, yaitu: 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 2. Direksi; dan 3. Dewan Komisaris; Dari ketiga organ tersebut Direksi merupakan satu-satunya organ dalam Perseroan yang melaksanakan fungsi pengurusan Perseroan di bawah pengawasan Dewan Komisaris. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dewan Komisaris melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi, bilamana perlu. Sedangkan Rapat Umum Pemegang Saham hanya melaksanakan seluruh tugas dan fungsi Perseroan yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Dewan Komisaris.
58
Selain teori organ, dikenal juga teori tentang perwakilan. Teori perwakilan menyatakan bahwa badan hukum bertindak melalui suatu sistem perwakilan yang ada pada tangan para pengurusnya (dalam hal ini Direksi di bawah pengawasan Dewan Komisaris). 111
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Karakteristik dari suatu PT adalah adanya pemisahan antara pemilikan (saham) dalam Perseroan dan pengurusan PT. Walaupun demikian, pada umumnya pemegang saham tetap menginginkan suatu kontrol atau pengawasan terhadap jalannya Perseroan, sehingga para pendiri atau pemegang saham, dewasa ini, seringkali tidak menjadi pengurus atau pengelola dari PT yang didirikan. Adanya kontrol tersebut adalah untuk memastikan atau menjamin bahwa harta kekayaan para pemegang saham yang telah diasosiasikan dalam wadah PT tersebut tidak diganggu gugat sehubungan dengan kegiatan usaha yang dilaksanakan oleh PT tersebut. Dalam konteks ini, tanggung jawab yang terbatas dari para pemegang saham menjadi penting, sebab dengan tanggung jawab yang tersebut, para pemegang saham hanya akan menanggung kerugian yang tidak lebih dari bagian penyertaan yang telah disetujuinya untuk diambil bagian, guna penyelenggaraan dan pengelolaan jalannya Perseroan dengan baik, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU PT 112 dan Pasal 6 ayat (6) UU PT. 113 111
Gunawan Widjaja. Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham. Jakarta: Forum Sahabat. 2008. Hlm. 80. 112
Pasal 3 UU PT menentukan bahwa:
59
Tanggung jawab yang terbatas tersebut juga mengurangi peran dan keterlibatan pemegang saham dalam operasional PT. Adanya tanggung jawab yang terbatas tersebut menyebabkan tidak setiap kegiatan dari pengurus PT harus diketahui atau disetujui oleh pemegang saham, bahkan juga mengurangi pengawasan terus menerus terhadap jalannya kegiatan pengelolaan PT secara langsung. Peran pemegang saham ini kemudian disederhanakan menjadi peran yang diletakkan dalam suatu Rapat Umum Pemegang Saham pada setiap tahunnya dalam bentuk RUPS Tahunan. Dalam hal tertentu, yang diperkirakan membawa akibat bagi finansial atau kebijakan yang luas dan besar bagi Perseroan, keterlibatan pemegang saham dapat juga dimintakan dalam bentuk penyelenggaraan RUPS Luar Biasa. Para pemegang saham sebagai perseorangan bukanlah merupakan alat atau organ dari Perseroan, melainkan yang menjadi alat/organ adalah RUPS. 114 Selanjutnya, Simanungkalit menyatakan bahwa:
(1) Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila: a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. 113
Pasal 6 ayat (6) UU PT menentukan bahwa "Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut". 114
Parasian Simanungkalit. RUPS Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Direksi Pada Perseroan Terbatas. Jakarta: Wajar Hidup. 2006. Hlm. 35.
60
"RUPS adalah rapat umum yang dihadiri oleh para pemegang saham secara bersama-sama. Rapat umum ini menurut hukum dianggap mewakili atau mencetuskan kehendak dari Perseroan, sehingga keputusan yang diambil dalam rapat ini dianggap sebagai keputusan-keputusan itu sendiri. Keputusan ini tidak dapat ditentang oleh siapa pun, kecuali jika keputusan tersebut bertentangan dengan undang-undang, atau maksud dan tujuan Perseroan yang dimuat dalam anggaran dasar". 115 Sebagai upaya untuk tetap dapat mempertahankan konsep monitoring atau pengawasan dari para pendiri atau pemegang saham terhadap kebijakan pengurusan dan pengelolan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, kepada para pendiri atau pemegang saham diberikan saham-saham yang merefleksikan sampai seberapa jauh pemegang saham tersebut dapat melakukan pengawasan dan/atau memengaruhi kebijakan pengurusan dan pengelolaan Perseroan sesuai dan maksud dan tujuan Perseroan melalui RUPS. Semakin besar jumlah saham yang dimiliki, semakin besar pula kewenangan yang dimilikinya dalam RUPS. Pasal 1 angka 4 UU PT menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham adalah organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Definisi tersebut mengartikan bahwa Direksi dan Dewan Komisaris memiliki kewenangan yang tidak dapat dipengaruhi oleh RUPS. Tugas, kewajiban dan wewenang dari setiap organ, termasuk RUPS, sudah diatur secara mandiri (otonom) dalam UU PT. Kontroversi dalam UU PT yang lama, yaitu mengatakan bahwa RUPS merupakan organ Perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan 115
Ibid.
61
telah dihapuskan. UU PT yang baru tidak lagi menggunakan kata "tertinggi" tersebut karena hal tersebut dianggap menyesatkan. 116 Sehubungan dengan hal tersebut, Tumbuan mengatakan bahwa ketiga organ Perseroan, yaitu RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris adalah sejajar dan bukan yang satu membawahi yang lain, melainkan masing-masing organ mempunyai tugas dan kewenangannya sendiri menurut dan dalam batas yang diatur dalam undang-undang dan anggaran dasar. 117 Kemandirian tugas, kewajiban dan wewenang setiap organ Perseroan tersebut menimbulkan kebebasan bergerak bagi semua organ Perseroan demi kepentingan Perseroan. Kebebasan bergerak tersebut sangat penting guna memanfaatkan peluang ekonomi
demi
keuntungan
Perseroan.
Selama
Direksi
telah
menjalankan
wewenangnya dalam batas ketentuan undang-undang dan/atau anggaran dasar, ia berhak untuk tidak mematuhi perintah-perintah atau instruksi-instruksi dari organ lain baik dari Dewan Komisaris maupun daru RUPS. 118 Sehubungan dengan hal tersebut, Budiarto mengatakan bahwa: "Instruksi dari RUPS dapat saja tidak dipenuhi oleh Direksi, meskipun Direksi diangkat oleh RUPS, sebab pengangkatan Direksi oleh RUPS tidak berarti 116
Arif Djohan T. Aspek Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Harvarindo. 2008. Hlm. 325. Konsep RUPS sebagai organ tertinggi dipengaruhi oleh adanya hak RUPS untuk mengangkat Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan, sehingga Direksi dan Dewan Komisaris mendapat pendelegasian wewenang dari RUPS, atas nama Perseroan, untuk melaksanakan tugas-tugasnya terhadap Perseroan. Konsep ini dianggap menyesatkan karena kedudukan RUPS menjadi membawahi Direksi dan Dewan Komisaris. Hal ini dapat menimbulkan peluang bagi RUPS untuk mengendalikan jalannya Perseroan, di mana Direksi akan mengurus Perseroan untuk kepentingan para pemegang saham. Hal tersebut jelas bertentangan dengan prinsip fiduciary duty Direksi. Berdasarkan UU PT yang baru, tidak ada lagi organ tertinggi yang dikenal dalam PT, namun tetap saja RUPS yang mengangkat Direksi dan Dewan Komisaris, tetapi hanya sebagai hak yang melekat pada RUPS berdasarkan UU PT, bukan hak yang melekat pada pemegang saham. 117
Fred B. G. Tumbuan dalam Rachmadi Usman. Op. Cit. Hlm. 26.
118
Ali Rido. Op. Cit. Hlm. 339.
62
bahwa wewenang yang dimiliki Direksi merupakan pemberian kuasa atau bersumber dari pemberian kuasa dari RUPS kepada Direksi, melainkan wewenang yang ada pada Direksi adalah bersumber dari undang-undang dan anggaran dasar. Oleh karena itu, RUPS tidak dapat mencampuri tindakan pengurusan Perseroan sehari-hari yang dilakukan Direksi, sebab tindakan Direksi semata-mata adalah untuk kepentingan Perseroan, bukan untuk RUPS". 119 Kemandirian tugas, kewajiban dan wewenang tersebut menggambarkan suatu paham baru yang dikenal sebagai paham institusional. Berdasarkan paham institusional tersebut, Prasetya mengatakan bahwa: "Ketiga organ PT masing-masing mempunyai kedudukan yang otonom dengan kewenangannya sendiri-sendiri, sebagaimana yang diberikan oleh dan menurut undang-undang dan anggaran dasar, tanpa wewenang organ yang satu boleh dikerjakan oleh organ yang lain. Selama pengurus menjalankan wewenangnya dalam batas-batas ketentuan undang-undang dan anggaran dasar, pengurus tersebut berhak untuk tidak mematuhi perintah-perintah atau instruksi-instruksi dari organ lainnya, baik dari komisaris maupun RUPS. Menurut paham tersebut, wewenang yang ada pada organ-organ bukan bersumber dari limpahan atau kuasa dari RUPS, melainkan bersumber dari ketentuan undangundang dan anggaran dasar". 120 Pasal 52 ayat (1) UU PT menentukan bahwa saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk: a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; b. menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; c. menjalankan hak lainnya berdasarkan UU PT. 119
Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 57-58. Sebagai perbandingan adalah sebuah yurisprudensi dari Belanda, yang dikenal dengan nama forumbankarrest tertanggal 21 Januari 1955. Yurisprudensi ini menegaskan bahwa selama Direksi telah melakukan kewajibannya menurut undang-undang dan anggaran dasar, maka Direksi tidak perlu tunduk kepada instruksi RUPS, Dewan Komisaris ataupun instansi manapun. Hendra Setiawan Boen. Tanggung Jawab Direksi Untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS. Op. Cit. 120
Emmy Pangaribuan. Interaksi Fungsi Organ Perseroan Terbatas dan Perlindungannya Kepada Pemegang Saham dan Kreditur Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Makalah Seminar Nasional. Yogyakarta: UGM. 1995. Hlm. 32.
63
Pelaksanaan hak-hak tersebut hanya dapat dilakukan setelah nama pemegang saham dicatat dalam daftar pemegang saham 121 . Perseroan juga dapat mengeluarkan lebih dari satu jenis klasifikasi saham 122 , dimana hak-hak pemegang saham yang ada untuk tiap-tiap klasifikasi dapat dibaca dalam Anggaran Dasar Perseroan. Untuk mendapatkan hak-haknya tersebut, pemegang saham dapat melakukan pengontrolan terhadap Perseroan melalui organ RUPS. Dalam hal ini yang
121
Pasal 50 UU PT menentukan bahwa: (1) Direksi Perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar pemegang saham, yang memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan alamat pemegang saham; b. jumlah, nomor, tanggal perolehan saham yang dimiliki pemegang saham, dan klasifikasinya dalam hal dikeluarkan lebih dari satu klasifikasi saham; c. jumlah yang disetor atas setiap saham; d. nama dan alamat dari orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai hak gadai atas saham atau sebagai penerima jaminan fidusia saham dan tanggal perolehan hak gadai atau tanggal pendaftaran jaminan fidusia tersebut; e. keterangan penyetoran saham dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2). (2) Selain daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar khusus yang memuat keterangan mengenai saham anggota Direksi dan Dewan Komisaris beserta keluarganya dalam Perseroan dan/atau pada Perseroan lain serta tanggal saham itu diperoleh. (3) Dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat juga setiap perubahan kepemilikan saham. (4) Daftar pemegang saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disediakan di tempat kedudukan Perseroan agar dapat dilihat oleh para pemegang saham. (5) Dalam hal peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak mengatur lain, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka. 122
a. b. c. d. e.
Pasal 53 ayat (4) menentukan bahwa Klasifikasi saham dimaksud antara lain: saham dengan hak suara atau tanpa hak suara; saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain; saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif; saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.
64
mempunyai hak mengontrol adalah RUPS sebagai organ Perseroan, bukan sebagai pemegang saham. Pemegang saham hanya dapat bertindak melalui mekanisme RUPS. Hak yang melekat pada setiap lembar saham adalah hak yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Hak tersebut bersifat individuil. Hak individuil, yang melekat pada diri pemegang saham pribadi, dapat dibagi lagi ke dalam hak yang melekat pada penyelenggaraan atau pelaksanaan suatu RUPS, seperti hak untuk meminta diselenggarakannnya RUPS, hak untuk memanggil RUPS 123 , hak untuk hadir dan mengeluarkan suara dalam RUPS, serta hak yang tidak berkaitan sama sekali dengan penyelenggaraan atau pelaksanaan RUPS, antara lain hak untuk memperoleh dividen.
2. Direksi Direksi atau disebut juga pengurus Perseroan adalah alat perlengkapan Perseroan yang melakukan semua kegiatan Perseroan dan mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, sehingga ruang lingkup tugas Direksi ialah mengurus Perseroan. 124 Keberadaan Direksi dalam PT adalah sangat penting, yaitu ibarat nyawa bagi Perseroan, dimana tidak mungkin suatu Perseroan tanpa adanya Direksi, dan sebaliknya Direksi tidak mungkin ada tanpa adanya Perseroan. PT sebagai badan hukum (legal entity) memiliki kepentingan yang pencapaiannya dilakukan dengan perantaraan Direksi. Keberadaan Direksi adalah untuk mengurus Perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Pengurusan 123
Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS. Lihat Pasal 80 ayat (1) UU PT. 124
Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 61.
65
tersebut merupakan suatu pendelegasian wewenang dari Perseroan kepada Direksi untuk mengurus serta mewakili Perseroan atas dasar fiduciary duty. Dengan pendelegasian tersebut, segala tindakan pengurusan yang dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab merupakan tanggung jawab Perseroan, meskipun timbul kerugian pada Perseroan. Sebaliknya, segala tindakan pengurusan yang dilakukan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab merupakan tanggung jawab pribadi Direksi, terutama dalam hal timbul kerugian pada Perseroan. Filosofi PT sebagai badan hukum yang mandiri menjadikan pihak luar yang tidak memiliki andil (saham) dalam PT tersebut tidak dapat turut campur, dan pengurus (Direksi) mempunyai kebebasan dalam mengelola PT asalkan dalam koridor manajemen yang benar. Kebebasan tersebut diberikan agar Direksi tidak dilingkupi dengan rasa takut atau ragu-ragu dalam membuat kebijakan bisnis, sehingga dapat menghasilkan kebijakan bisnis yang tepat. Namun, jika terbukti pengurus PT tidak menjalankan manajemen yang benar sehingga PT merugi, ia bertanggung jawab secara pribadi. 125 Dalam peta bisnis modern, posisi Direksi tidak selamanya dipegang oleh pemilik perusahaan, melainkan dipegang oleh para profesional di bidangnya. Dengan dikelolanya suatu badan usaha secara profesional, kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam mengelola perusahaan dapat dicegah sedini mungkin. 126
125
Bismar Nasution. "Kemandirian Badan Hukum". Jurnal Sosok & Sketsa. JurnalNasional: Kamis, 01 Februari 2007. 126
Sentosa Sembiring. Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas. Bandung: Nuansa Aulia. 2006. Hlm. 43.
66
Berbagai macam tindakan Direksi dalam mengurus Perseroan tidak hanya berdasarkan ketentuan UU PT dan/atau anggaran dasar, tetapi juga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain, seperti Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Demikian juga, tindakan Direksi tersebut semakin beragam oleh karena kewenangan Direksi yang bersumber dari anggaran dasar dapat berbeda-beda antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya. Anggota Direksi diangkat oleh RUPS untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. Direksi dapat diangkat dari pemegang saham atau bukan pemegang saham, bahkan pemegang jabatan Direksi sekaligus sebagai pemegang saham hanyalah suatu kebetulan, karena di dalam praktik sering dijumpai Direksi PT adalah bukan pemegang saham. 127 Pada umumnya, jabatan Direksi ditetapkan untuk jangka waktu tertentu paling lama lima tahun dengan hak untuk dipilih dan diangkat kembali berdasarkan keputusan RUPS. 128 Menyadari begitu besarnya peran Direksi di dalam menentukan keberhasilan Perseroan, UU PT juga secara umum menentukan syarat-syarat untuk menjadi Direksi yang dapat dilihat pada Pasal 93 ayat (1). Dalam menjalankan tugasnya Direksi dituntut untuk profesional dan independen, baik terhadap pihak di luar Perseroan
127 128
Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 62.
Penjelasan Pasal 94 ayat (3) UU PT menyebutkan bahwa persyaratan pengangkatan anggota Direksi untuk “jangka waktu tertentu”, dimaksudkan anggota Direksi yang telah berakhir masa jabatannya tidak dengan sendirinya meneruskan jabatannya semula, kecuali dengan pengangkatan kembali berdasarkan keputusan RUPS.
67
maupun di dalam Perseroan, termasuk terhadap anggota Direksi lainnya, serta memiliki tanggung jawab yang sama di hadapan hukum. 129 Orang yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: a. dinyatakan pailit; b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan. Pengangkatan anggota Direksi yang tidak memenuhi persyaratan tersebut batal karena hukum sejak saat anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut. Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih. Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS atau Keputusan Direksi. Dalam hal ini, kerja sama di antara anggota Direksi dalam mengelola Perseroan berdasarkan tanggung jawab kolegial, independen, dan tanggung renteng,
tetap dibutuhkan, sehingga fit and proper test mutlak harus
dilakukan sebelum anggota Direksi diangkat. Proses fit and proper test harus
129
Rudi Dogar Harahap. "UU PT dan Tanggung Jawab Direksi". Opini. Harian Waspada: Rabu, 27 Februari 2008.
68
dilakukan oleh lembaga yang berkompeten, pakar yang ahli di bidangnya serta dilaksanakan secara jujur dan independen. Dengan proses ini akan dapat dinilai tingkat kompetensi, integritas dan team work Direksi, sehingga independensi masingmasing anggota Direksi dapat dijaga sejak dini. 130 Untuk pertama kali pengangkatan anggota Direksi dilakukan oleh pendiri dalam akta pendirian. Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi dan dapat juga mengatur tentang tata cara pencalonan anggota Direksi. Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut. Dalam hal RUPS tidak menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi tersebut mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS. Pasal 105 UU PT 131 memungkinkan anggota Direksi diberhentikan sewaktuwaktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya, namun tetap
130 131
Ibid.
Pasal 105 UU PT menentukan bahwa (1) Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya. (2) Keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS. (3) Dalam hal keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan keputusan di luar RUPS sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91, anggota Direksi yang bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu tentang rencana pemberhentian dan diberikan kesempatan untuk membela diri sebelum diambil keputusan pemberhentian. (4) Pemberian kesempatan untuk membela diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan dalam hal yang bersangkutan tidak berkeberatan atas pemberhentian tersebut.
69
diberikan hak untuk membela diri. Demikian juga halnya dengan Pasal 106 UU PT 132 memungkinkan anggota Direksi diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya, dengan tetap diberi kesempatan untuk membela diri. Namun bagi tata cara pengunduran diri Direksi dan tata cara pengisian jabatan anggota Direksi yang lowong, UU PT menyerahkan pengaturannya pada anggaran dasar masing-masing Perseroan.
3. Dewan Komisaris Sebelum keluarnya undang-undang yang khusus mengatur mengenai PT, keberadaan organ komisaris pada PT tidak merupakan suatu keharusan atau tidak mutlak harus ada atau bersifat fakultatif. Ada tidaknya komisaris biasanya ditentukan
(5) Pemberhentian anggota Direksi berlaku sejak: a. ditutupnya RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. tanggal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); c. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau d. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). 132
Pasal 106 UU PT menentukan bahwa: (1) Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya. (2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada anggota Direksi yang bersangkutan. (3) Anggota Direksi yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berwenang melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1). (4) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus diselenggarakan RUPS. (5) Dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) anggota Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri. (6) RUPS mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara tersebut. (7) Dalam hal RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota Direksi yang bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya. (8) Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari telah lewat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diselenggarakan, atau RUPS tidak dapat mengambil keputusan, pemberhentian sementara tersebut menjadi batal. (9) Bagi Perseroan Terbuka penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (8) berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
70
dalam anggaran dasar PT yang bersangkutan. 133 Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 44 ayat 1 KUHD 134 . Namun sejak dikeluarkannya UU PT lama pada tahun 1995 dan kemudian diganti dengan UU PT tahun 2007, keberadaan komisaris tidak bersifat fakultatif lagi, bahkan sudah merupakan suatu keharusan. Pasal 1 angka 6 UU PT menentukan bahwa Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Bahkan, Perseroan yang
kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris (Pasal 108 ayat (5) UU PT). Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.
133 134
Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 70.
Pasal 44 ayat 1 KUHD menentukan bahwa: "Perseroan diurus oleh pengurus yang diangkat untuk itu oleh pesero-pesero, sekutu-sekutu atau orang lain yang diangkat untuk itu, dengan atau tidak dengan menerima upah, dengan atau tidak dengan pengawasan dari komisaris".
71
Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. Untuk pertama kali pengangkatan anggota Dewan Komisaris dilakukan oleh pendiri dalam akta pendirian. Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris serta dapat juga mengatur tentang pencalonan anggota Dewan Komisaris. Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris juga
menetapkan
saat
mulai
berlakunya
pengangkatan,
penggantian,
dan
pemberhentian tersebut. Dalam hal RUPS tidak menentukan saat mulai berlakunya pengangkatan,
penggantian,
dan
pemberhentian
anggota
Dewan
Komisaris,
pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS. Menurut Pasal 110 ayat (1) UU PT, yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: a. dinyatakan pailit; b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan. Pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang tidak memenuhi persyaratan tersebut batal karena hukum sejak saat anggota Dewan Komisaris lainnya atau Direksi mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut. Anggota Dewan Komisaris dapat
72
diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya, namun tetap diberikan hak untuk membela diri. Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut, kecuali dalam hal sebagai berikut: a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan c. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Pasal 118 UU PT 135 memberikan peluang bagi Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS. Tindakan pengurusan tersebut berlaku untuk semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan 135
Pasal 118 UU PT menentukan bahwa: (1) Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. (2) Dewan Komisaris yang dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap Perseroan dan pihak ketiga.
73
kewajiban Direksi terhadap Perseroan dan pihak ketiga. Hal tersebut pada umumnya terjadi karena anggota Direksi atau para anggota Direksi berhalangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 UU PT 136 , atau diberhentikan untuk sementara, atau sewaktu pengisi jabatan Direksi sedang kosong atau tidak ada. Dewan Komisaris pada umumnya bertugas untuk mengawasi kebijakan Direksi dalam mengurus Perseroan serta memberikan nasihat-nasihat kepada Direksi. Tugas pengawasan itu merupakan bentuk pengawasan sebagai berikut: a. Pengawasan preventif, yaitu melakukan tindakan dengan menjaga sebelumnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan merugikan Perseroan, misalnya untuk beberapa perbuatan dari Direksi yang harus dimintakan persetujuan Dewan Komisaris, apakah hal itu sudah dilaksanakan atau belum, dimana dalam hal ini Dewan Komisaris harus selalu mengawasinya. b. Pengawasan represif, yaitu pengawasan yang dilakukan untuk menguji apakah semua perbuatan Direksi itu tidak menimbulkan kerugian bagi Perseroan dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan anggaran dasar, serta apakah nasihat-nasihat dari Dewan Komisaris sudah diperhatikan betul oleh Direksi. 137 Rincian tugas Dewan Komisaris yang biasanya diatur dalam anggaran dasar, antara lain adalah sebagai berikut:
136
Pasal 99 UU PT menentukan bahwa: (1) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: a. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. (2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhak mewakili Perseroan adalah: a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; atau c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. 137
Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 71.
74
a. Mengawasi tindakan pengurusan dan pengelolaan Perseroan yang dilakukan oleh Direksi; b. Memeriksa buku-buku, dokumen-dokumen, serta kekayaan Perseroan; c. Memberikan teguran-teguran, petunjuk-petunjuk, nasihat-nasihat kepada Direksi; d. Memberhentikan anggota Direksi untuk sementara waktu, sebagaimana dimaksud pada Pasal 106 UU PT. 138 Selanjutnya, tanggung jawab Dewan Komisaris dapat dibagi ke dalam dua bagian sebagai berikut: a. Tanggung jawab keluar terhadap pihak ketiga, yaitu hanya dalam keadaankeadaan istimewa, misalnya dalam hal Dewan Komisaris dibutuhkan oleh Direksi sebagai saksi atau pemberi izin dalam hal Direksi menurut anggaran dasar harus terlebih dahulu mendapat izin dari Dewan Komisaris dalam perbuatan penguasaan (beschikking), seperti menjual, menggadaikan aset PT. b. Tanggung jawab ke dalam, yaitu Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberikan nasihat kepada Direksi. Tanggung jawab tersebut bisa secara kolektif atau majelis. Jika Dewan Komisaris ikut serta dalam pengurusan, maka biasanya ia ikut memberikan pertanggungjawaban kepada RUPS bersama-sama dengan Direksi. 139
C. Prinsip-Prinsip Hukum Perseroan Terbatas Secara intern, PT sebagai badan hukum mempunyai hubungan hukum yang tercipta berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, anggaran dasar Perseroan, dan doktrin hukum yang berlaku umum dan universal. Hubungan hukum intern tersebut membatasi kesewenang-wenangan pemegang saham, Direksi dan Dewan Komisaris yang sekaligus meletakkan tanggung jawab masing-masing. Hal 138
Ibid. Hlm. 71-72.
139
Ibid. Hlm. 72.
75
tersebut memberikan arah apa yang diperintahkan (imperare), apa yang dilarang (prohibere), serta apa yang diperbolehkan (permittere) kepada pemegang saham, Direksi dan Dewan Komisaris. 140 Doktrin hukum ini dapat digunakan, baik untuk membuat suatu peraturan hukum Perseroan yang lebih komprehensif. Demikian juga halnya dengan UU PT yang mengacu pada doktrin hukum yang berlaku universal tersebut. Doktrin tersebut juga sekaligus sebagai warning bagi RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi dalam menjalankan usaha dan kepada berbagai pihak untuk memanfaatkan doktrin hukum tersebut dalam menegakkan hak dan keadilan. Adapun doktrin-doktrin hukum yang menjadi prinsip-prinsip hukum PT yang terkandung dalam UU PT adalah sebagai berikut. 1. Fiduciary Duty Prinsip fiduciary duty adalah suatu doktrin yang berasal dari common law system yang mengajarkan bahwa antara Direksi dengan Perseroan terdapat hubungan kepercayaan (fiduciary). Hal tersebut menjadikan Direksi bertindak seperti seorang trustee atau agen semata yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan sebaik-baiknya kepada Perseroan. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip fiduciary duty adalah: a. Pasal 97 ayat (1) yang berbunyi: "Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1), yaitu Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan". 140
Try Widiyono. Op. Cit. Hlm. 30.
76
b. Pasal 98 ayat (1) berbunyi: "Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan".
2. Corporate Opportunity Prinsip ini mengajarkan bahwa Direksi harus lebih mengutamakan kepentingan Perseroan daripada kepentingan pribadi terhadap transaksi yang menimbulkan conflict of interest. Prinsip ini adalah konsekuensi dari prinsip fiduciary duty. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip corporate opportunity adalah: a. Pasal 97 ayat (2) yang berbunyi: "Pengurusan (Perseroan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab". b. Pasal 99 ayat (1) yang berbunyi: "Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: a) terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau b) anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan".
3. Business Judgement Rule Prinsip ini mengandung makna bahwa Direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atas tindakan yang dilakukannya dalam kedudukannya sebagai Direksi yang dia yakini sebagai tindakan yang terbaik bagi Perseroan. Namun, tindakan tersebut harus dilakukan dengan jujur, itikad baik, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip business judgement rule adalah:
77
a. Pasal 97 ayat (5) UU PT yang berbunyi: "Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: 1) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 2) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; 3) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan 4) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut". b. Pasal 104 ayat (4) UU PT yang berbunyi: "Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan: a) kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan d) telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan". c. Pasal 114 ayat (5) UU PT yang berbunyi: "Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: 1) telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; 2) tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan 3) telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut". d. Pasal 115 ayat (3) UU PT yang berbunyi: "Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dapat membuktikan: a) kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b) telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c) tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan
78
d) telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan".
4. Piercing The Corporate Veil Dalam hukum Perseroan, masing-masing pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga. Tanggung jawab pemegang saham terbatas sebesar jumlah saham yang dimilikinya. Menurut prinsip piercing the corporate veil, dalam keadaan tertentu pemegang saham dapat bertanggung jawab secara pribadi. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip piercing the corporate veil adalah: Pasal 3 ayat (2) UU PT yang berbunyi: "Pemegang saham Perseroan bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki apabila: a) persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c) pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan".
5. Derivative Action Derivative action adalah gugatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih pemegang saham yang mewakili Perseroan. Gugatan yang seharusnya dilakukan oleh dan atas nama Perseroan, dilakukan oleh seorang atau beberapa orang pemegang saham saja atas nama Perseroan. Dalam hal ini yang digugat adalah
79
Direksi ataupun pihak ketiga. Jika gugatan tersebut berhasil, maka hasil gugatan tersebut adalah untuk kepentingan Perseroan, bukan pemegang saham. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip derivative action adalah: a. Pasal 97 ayat (6) yang berbunyi: "Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan". b. Pasal 114 ayat (6) yang berbunyi: "Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri".
6. Perlindungan Pemegang Saham Minoritas Prinsip ini mengajarkan bahwa ketentuan-ketentuan tentang Perseroan harus melindungi pemegang saham minoritas dalam Perseroan. Jika tidak ada perlindungan kepada pemegang saham minoritas, maka senantiasa mereka dapat dirugikan. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip perlindungan pemegang saham minoritas adalah: a. Pasal 97 ayat (6) yang berbunyi: "Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan". b. Pasal 114 ayat (6) yang berbunyi: "Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri".
80
7. Ultra Vires Perseroan tidak dapat melakukan kegiatan ke luar dari kekuasaan Perseroan. Kekuasaan Perseroan dimuat dalam anggaran dasar, oleh karena itu, Perseroan tidak boleh melakukan kegiatan di luar kekuasaan yang dirinci dalam anggaran dasarnya. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip ultra vires adalah: a. Pasal 97 ayat (3) yang berbunyi: "Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)". b. Pasal 114 ayat (3) yang berbunyi: "Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)".
8. Self Dealing Self dealing artinya adalah setiap transaksi yang dilakukan antara Direksi Perseroan dengan Perseroan itu sendiri, baik yang dilakukan oleh Direksi sendiri secara langsung atau tidak secara langsung (misalnya melalui keluarganya). Hukum Perseroan di negara-negara anglo saxon pada awalnya melarang sama sekali self dealing ini. Dalam perkembangannya, transaksi self dealing tersebut tidak dianggap bertentangan dengan hukum sama sekali, tetapi tetap dianggap sah dengan syarat-syarat yuridis yang ketat, yaitu Direksi harus telah melakukan keterbukaan yang penuh (full disclosure), mayoritas Direksi yang tidak konflik
81
kepentingan melakukan voting mendukung tindakan self dealing tersebut, dan kontrak tersebut terlihat fair kepada Perseroan. 141 Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip self dealing adalah Pasal 97 ayat (5) huruf c, Pasal 99 ayat (1) huruf b, Pasal 104 ayat (4) huruf c, Pasal 114 ayat (5) huruf b, dan Pasal 115 ayat (3) huruf c sebagaimana telah disebutkan di atas. Dari ketentuan empat pasal tersebut, pada pokoknya merupakan prinsip yang melarang terjadinya benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan pengurusan Perseroan, baik langsung maupun tidak langsung, yang mendatangkan kerugian bagi Perseroan, dengan ancaman hukuman bagi Direksi dan Dewan Komisaris yang bersalah atau lalai, yaitu bertanggung jawab secara penuh dan pribadi atas kerugian Perseroan.
9. Corporate Ratification Prinsip ini mengandung makna bahwa Perseroan dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh organ lain dalam Perseroan tersebut. Tindakan tersebut sekaligus mengambil alih tanggung jawab organ lain dimaksud. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip corporate ratification adalah: Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: "Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum apabila RUPS pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau kuasanya".
141
Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law. Op. Cit. Hlm. 63.
82
D. Rapat Umum Pemegang Saham Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ Perseroan yang mewakili kepentingan seluruh pemegang saham dalam PT. RUPS adalah organ Perseroan yang memiliki kewenangan sisa yang tidak diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris. 142 RUPS mewakili kehendak dari pemegang saham secara keseluruhan, baik sebagai akibat putusan dengan musyawarah maupun putusan hasil pemungutan suara yang sesuai dan sejalan dengan ketentuan UU PT dan atau anggaran dasar. Keputusan RUPS tersebut berlaku sebagai aturan internal bagi PT. Jika keputusan tersebut kemudian disetujui oleh serta diberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM, didaftarkan dalam Daftar Perseroan 143 , serta diumumkan dalam Berita Negara, maka putusan tersebut merupakan implementasi dari asas publisitas yang mengikat pihak ketiga dan masyarakat luas. RUPS tidak mewakili kepentingan dari hanya salah satu atau lebih pemegang saham, melainkan seluruh pemegang saham PT. Pemegang saham adalah subyek hukum yang merupakan pemilik dari setiap lembar saham yang dikeluarkan oleh 142
Parasian Simanungkalit mengatakannya sebagai wewenang eksklusif dari RUPS yang diberikan oleh undang-undang dan anggaran dasar. Parasian Simanungkalit. Op. Cit. Hlm. 53. 143
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan menentukan bahwa Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-undang ini dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan. Pasal 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan menentukan bahwa daftar perusahaan bertujuan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data, serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam daftar perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan menentukan bahwa pendaftaran tersebut wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah.
83
Perseroan. Pemegang saham bukan merupakan organ Perseroan, sehingga setiap tindakan individu pemegang saham tidak mengikat bagi para pemegang saham lainnya. Dalam setiap forum, RUPS hanya dapat membicarakan agenda yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam hal yang demikian, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan. Hal tersebut juga secara tidak langsung membawa konsekuensi hukum bahwa RUPS tidak berhak untuk membicarakan apalagi mengambil putusan dalam mata acara lain-lain, kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS tersebut menyetujui penambahan mata acara rapat. Dengan demikian berarti keputusan atas acara rapat yang ditambahkan harus disetujui dengan suara bulat. Menurut Pasal 78 ayat (1) UU PT, RUPS terdiri dari 2 (dua) macam RUPS, yaitu sebagai berikut: a. RUPS Tahunan, yang wajib diadakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir (Pasal 78 ayat (2) UU PT); b. RUPS lainnya, yang dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan (Pasal 78 ayat (4) UU PT). Yang dimaksud dengan RUPS lainnya dalam praktik sering dikenal sebagai RUPS Luar Biasa.
84
RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. Selain itu, dimungkinkan juga bagi seluruh pemegang saham untuk mengambil keputusan yang mengikat tanpa melalui RUPS. Hal tersebut hanya dimungkinkan jika semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan dalam bentuk Resolusi Pemegang Saham pengganti RUPS. 144 Dalam hal terdapat tindakan Perseroan, baik sebagai akibat dari keputusan RUPS, keputusan Rapat Dewan Komisaris dan atau keputusan Rapat Direksi Perseroan yang tidak disetujui oleh satu atau lebih pemegang saham, maka setiap pemegang saham yang tidak menyetujui tindakan tersebut berhak untuk: a. Meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar, apabila tindakan Perseroan tersebut berupa: 1) Perubahan anggaran dasar; 2) Pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau 3) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan. Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan (sejumlah 10% dari seluruh 144
Lihat Penjelasan Pasal 91 UU PT. Dalam praktik, keputusan di luar RUPS dikenal dengan usul keputusan yang diedarkan (circular resolution). Pengambilan keputusan seperti ini dilakukan tanpa diadakan RUPS secara fisik, tetapi keputusan diambil dengan cara mengirimkan secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham dan usul tersebut disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham. Keputusan tersebut memiliki kekuatan hukum yang sama dengan keputusan RUPS.
85
saham yang dikeluarkan dan disetor penuh), maka Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga. b. Mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Gugatan tersebut diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
1. Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Dasar hukum penyelenggaraan RUPS, dalam UU PT, adalah pada Pasal 79 dan 80. Pasal 79 UU PT menentukan bahwa: (1)
(2)
(3) (4)
(5)
(6)
Direksi menyelenggarakan RUPS Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dan RUPS lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4) dengan didahului pemanggilan RUPS. Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan: a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau b. Dewan Komisaris. Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Direksi dengan surat tercatat disertai alasannya. Surat tercatat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang disampaikan oleh pemegang saham tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris. Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima. Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), a. permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau
86
b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. (7) Dewan Komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima. (8) RUPS yang diselenggarakan Direksi berdasarkan panggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu oleh Direksi. (9) RUPS yang diselenggarakan Dewan Komisaris berdasarkan panggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dan ayat (7) hanya membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (10) Penyelenggaraan RUPS Perseroan Terbuka tunduk pada ketentuan Undang-Undang ini sepanjang ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tidak menentukan lain. Pasal 80 UU PT menentukan bahwa: (1)
(2)
(3)
Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7), pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut. Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPS apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS. Penetapan ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat juga ketentuan mengenai: a. bentuk RUPS, mata acara RUPS sesuai dengan permohonan pemegang saham, jangka waktu pemanggilan RUPS, kuorum kehadiran, dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan Undang-Undang ini atau anggaran dasar; dan/atau b. perintah yang mewajibkan Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir dalam RUPS.
87
(4)
(5) (6)
(7)
(8)
Ketua pengadilan negeri menolak permohonan dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS. RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh membicarakan mata acara rapat sebagaimana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal penetapan ketua pengadilan negeri menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), upaya hukum yang dapat diajukan hanya kasasi. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Perseroan Terbuka dengan memperhatikan persyaratan pengumuman akan diadakannya RUPS dan persyaratan lainnya untuk penyelenggaraan RUPS sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Jika diperhatikan dengan seksama, ketentuan Pasal 79 UU PT tersebut mengatur tentang penyelenggaraan RUPS (Tahunan dan Luar Biasa), baik oleh Direksi, maupun dalam keadaan tertentu oleh Dewan Komisaris. Sedangkan ketentuan Pasal 80 UU PT memberikan jalan keluar bagi penyelenggaraan RUPS yang tidak dilaksanakan oleh Direksi ataupun Dewan Komisaris. Dalam UU PT lama, dasar hukum penyelenggaraan RUPS tersebut ditemukan dalam Pasal 66 dan 67. 145 Jika Pasal 66 dan 67 UU PT lama dibandingkan dengan 145
Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa: (1) Direksi menyelenggarakan RUPS Tahunan dan untuk kepentingan Perseroan berwenang menyelenggarakan RUPS lainnya. (2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan atas permintaan 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, atau suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar Perseroan yang bersangkutan. (3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Direksi atau Komisaris dengan surat tercatat disertai alasannya. (4) RUPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
88
Pasal 79 dan 80 UU PT baru, maka tidak terdapat perbedaan yang prinsipil, namun dapat disimpulkan bahwa pengaturan dalam Pasal 79 dan 80 UU PT baru lebih terperinci dan tegas serta lebih menyempurnakan pengaturan dalam Pasal 66 dan 67 UU PT lama. Misalnya, ketentuan mengenai kewenangan Dewan Komisaris dan pemegang saham, serta mengenai penetapan ketua pengadilan negeri, dalam menyelenggarakan RUPS lebih tegas dan rinci diatur dalam UU PT yang baru. Maksud dan tujuan diselenggarakannya RUPS yang tercantum dalam setiap anggaran dasar PT pada umumnya adalah untuk memeriksa, menyetujui, mengambil keputusan ataupun menolak mengenai: a. b. c. d. e.
Pertanggungjawaban Direksi; Laporan keuangan 146 yang disampaikan Direksi; Rancangan rencana kerja pengurus untuk 1 (satu) tahun ke depan; Rencana perubahan anggaran dasar; Rencana penambahan atau pengurangan modal Perseroan;
Pasal 67 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa: (1) Ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan dapat memberikan izin kepada pemohon untuk: a. Melakukan sendiri pemanggilan RUPS Tahunan, atas permohonan pemegang saham apabila Direksi atau Komisaris tidak menyelenggarakan RUPS Tahunan pada waktu yang telah ditentukan; atau b. Melakukan sendiri pemanggilan RUPS lainnya, atas permohonan pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), apabila Direksi atau Komisaris lewat waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permintaan tidak melakukan pemanggilan RUPS lainnya. (2) Ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menetapkan bentuk, isi, dan jangka waktu pemanggilan RUPS serta menunjuk ketua rapat tanpa terikat pada ketentuan undang-undang ini atau anggaran dasar. (3) Dalam hal RUPS diselenggarakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan Direksi dan atau Komisaris untuk hadir. (4) Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan penetapan instansi pertama dan terakhir. 146
Laporan keuangan dapat dijadikan oleh para pemegang saham sebagai alat untuk menilai maju atau mundurnya pekerjaan pengurusan perusahaan, sedangkan bagi pengurus perusahaan, laporan keuangan tersebut berguna untuk menyusun rencana kerja tahun yang akan datang. Sri Redjeki Hartono. Op. Cit. Hlm. 15.
89
f. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan atau Dewan Komisaris; g. Rencana penjualan aset dan pemberian jaminan hutang sebagian besar atau seluruh kekayaan Perseroan; h. Rencana penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pemisahan Perseroan; i. Rencana pembubaran Perseroan. 147 Pada prinsipnya, penyelenggaraan RUPS merupakan inisiatif dari Direksi Perseroan. Walaupun demikian, UU PT menentukan bahwa Dewan Komisaris atau pemegang saham, dalam hal-hal tertentu, dapat meminta kepada Direksi Perseroan untuk menyelenggarakan RUPS, atau bahkan demi kepentingan Perseroan Dewan Komisaris atau pemegang saham berhak menyelenggarakan sendiri RUPS. Pelaksanaan RUPS harus didahului dengan pemanggilan RUPS. Direksi menyelenggarakan RUPS Tahunan dan RUPS lainnya dengan didahului pemanggilan RUPS. Direksi melakukan pemanggilan kepada pemegang saham sebelum menyelenggarakan RUPS. Dalam hal tertentu, pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh Dewan Komisaris atau pemegang saham berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri. Penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan atas permintaan 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil, atau atas permintaan Dewan Komisaris, yang dilakukan kepada Direksi dengan surat tercatat disertai alasannya. Dalam hal
147
Parasian Simanungkalit. Op. Cit. Hlm. 54-55.
90
permintaan datang dari pemegang saham, maka surat tercatat tersebut tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris. Bagi Perseroan Terbuka, sebelum pemanggilan RUPS dilakukan wajib didahului dengan pengumuman mengenai akan diadakan pemanggilan RUPS dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pengumuman dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS. Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. Pemanggilan RUPS dilakukan dengan surat tercatat dan/atau dengan iklan dalam surat kabar. Dalam panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal RUPS diadakan. Perseroan wajib memberikan salinan bahan kepada pemegang saham secara cuma-cuma jika diminta. Dalam hal pemanggilan tidak dilakukan dalam jangka waktu yang ditentukan dan panggilan tidak dilakukan melalui surat tercatat atau melalui iklan surat kabar, maka keputusan yang diambil RUPS tetap sah jika semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat. RUPS diselenggarakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam
91
anggaran dasar, tetapi masih dalam wilayah negara Republik Indonesia. Bagi Perseroan Terbuka, RUPS dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan, namun harus terletak di wilayah negara Republik Indonesia. RUPS yang diselenggarakan Direksi berdasarkan panggilan RUPS dapat membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan permintaan oleh pemegang saham dan atau Dewan Komisaris dan mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu oleh Direksi sesuai dengan panggilan RUPS. Sedangkan RUPS yang diselenggarakan Dewan Komisaris hanya membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan dimintanya RUPS. Selanjutnya, RUPS yang diselenggarakan berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri hanya boleh membicarakan mata acara rapat sebagaimana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Cara untuk mendapatkan keputusan RUPS yang sah ialah dengan memperhatikan apakah pelaksanaan RUPS tersebut telah memenuhi ketentuan undang-undang dan/atau anggaran dasar mengenai hal-hal sebagai berikut: a. cara dan tenggang waktu pemanggilan para pemegang saham; b. cara menetapkan keputusan, misalnya jika dilakukan melalui voting, apakah telah memenuhi ketentuan mengenai kuorum atau tidak; c. tidak melanggar ketentuan undang-undang, anggaran dasar, serta tidak bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis. 148
148
Lihat H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2. Bentuk Perusahaan. Cet. Ke-6. Jakarta: Djambatan. 1991. Hlm. 137.
92
2. Hak Suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham Pemegang saham, baik sendiri maupun diwakili berdasarkan surat kuasa berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya, kecuali bagi pemegang saham dari saham tanpa hak suara. Dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya dan pemegang saham tidak berhak memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya dengan suara yang berbeda. Dalam pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham.
3. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan RUPS Tahunan wajib diadakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. Kata "tahunan" menunjukkan bahwa RUPS Tahunan dilaksanakan secara rutin sekali dalam setahun. Hal tersebut sepertinya mengadopsi ketentuan Pasal 43 a ayat (1) W.v.K. Nederland, yang berbunyi: "Jaarlijks wordt ten minste een algemene vergadering gehouden", yang artinya adalah tiap-tiap tahun diadakan paling sedikit satu kali RUPS. 149 Sebagai suatu badan hukum yang memiliki hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan harta kekayaan tersendiri, yang terlepas dari hak-hak, kewajiban-kewajiban dan harta kekayaan dari pengurusnya, sudah selayaknyalah para pengurus PT diwajibkan
149
Ibid. Hlm. 129.
93
untuk menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan dari setiap hak, pemenuhan dari setiap kewajiban, serta status kedudukan dari harta kekayaan Perseroan secara berkala. Ini tidak hanya diperlukan bagi pemegang saham Perseroan, melainkan juga pihak ketiga yang berkepentingan, seperti pengusaha, untuk melaksanakan penilaian apakah Perseroan telah dijalankan, diurus dan dikelola dengan baik, sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Adapun tujuan pelaksanaan atau penyelenggaraan RUPS Tahunan adalah untuk menyetujui Laporan Tahunan PT, yang isinya adalah: 150 a. Laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya necara akhir tahun buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba-rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas serta catatan atas laporan keuangan tersebut; b. Laporan mengenai kegiatan Perseroan, termasuk laporan mengenai hasil atau kinerja Perseroan; c. Laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; d. Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang memengaruhi kegiatan usaha Perseroan, termasuk sengketa atau perkara yang melibatkan Perseroan; 150
Menurut Pasal 66 ayat (3) dan (4) UU PT bahwa laporan keuangan harus disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan, yang ditetapkan oleh Organisasi Profesi Akuntan Indonesia yang diakui oleh Pemerintah Indonesia. Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit, harus disampaikan kepada Menteri dan HAM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 68 ayat (1), (2) dan (3) UU PT bahwa Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila: a. Kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat; b. Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat; c. Perseroan merupakan Perseroan Terbuka; d. Perseroan merupakan persero; e. Perseroan mempunyai aset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah nilai paling sedikit Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau f. Diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam hal kewajiban untuk diaudit tidak dilaksanakan, laporan keuangan tidak disahkan oleh RUPS. Laporan atas hasil audit akuntan publik tersebut disampaikan secara tertulis kepada RUPS melalui Direksi.
94
e. Laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Dewan Komisaris selama tahun buku yang baru lampau; f. Nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; g. Gaji dan tunjangan bagi anggota Direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris Perseroan untuk tahun yang baru lampau. Pada prinsipnya proses penyelenggaraan RUPS Tahunan diselenggarakan dengan ketentuan bahwa: 151 a. RUPS Tahunan baru dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari ½ (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali UU PT dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar; b. Dalam hal kuorum kehadiran tersebut tidak tercapai, dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua; c. Dalam pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu per tiga) bagian dan jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar; d. Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga; e. Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum; dan f. RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap. g. Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan. RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan. Selanjutnya, secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal 151
Lihat Pasal 86 UU PT.
95
keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui oleh lebih dari ½ (satu per dua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar.
4. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa RUPS Luar Biasa adalah RUPS di samping RUPS Tahunan, yang dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan. RUPS Luar Biasa harus mencantumkan agenda yang jelas. RUPS Luar Biasa merupakan rapat-rapat di antara para pemegang saham Perseroan, yang khusus diselenggarakan untuk membahas hal-hal tertentu yang dianggap perlu oleh pemegang saham, tetapi tidak terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan perubahan anggaran dasar Perseroan, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan Perseroan, kepailitan Perseroan, pembubaran Perseroan, dan pengalihan maupun penjaminan seluruh atau sebagian besar harta kekayaan Perseroan. Sehubungan dengan RUPS Luar Biasa tersebut, Amanat mengatakan bahwa: "Biasanya, Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham diadakan untuk membahas dan mengambil keputusan atas masalah-masalah yang timbul secara mendadak dan membutuhkan penanganan segera, karena akan menghambat operasionalisasi Perseroan Terbatas jika masalah itu tidak diatasi dengan segera". 152 Penyelenggaraan RUPS Luar Biasa diatur dalam Pasal 79 ayat (1) dan (2) UU PT, di mana berdasarkan ketentuan tersebut, RUPS Luar Biasa dapat diselenggarakan
152
Rachmadi Usman. Op.Cit. Hlm. 131-132.
96
berdasarkan inisiatif Direksi sendiri, atas permintaan 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil, atau atas permintaan Dewan Komisaris. Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS Luar Biasa dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS Luar Biasa diterima. Jika Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS Luar Biasa, maka: a. Dalam hal permintaan penyelenggaraan RUPS Luar Biasa dilakukan oleh pemegang saham, maka harus diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau b. Dalam hal permintaan dilakukan oleh Dewan Komisaris, maka Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS Luar Biasa. Dewan Komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS Luar Biasa dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS Luar Biasa diterima. Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS Luar Biasa dalam jangka waktu tersebut di atas, pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS Luar Biasa dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS Luar Biasa tersebut. Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, Direksi dan/atau
97
Dewan Komisaris menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS Luar Biasa. Penetapan ketua pengadilan negeri juga memuat ketentuan mengenai: a. Bentuk RUPS Luar Biasa, mata acara RUPS Luar Biasa sesuai dengan permohonan pemegang saham, jangka waktu pemanggilan RUPS Luar Biasa, kuorum kehadiran, dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS Luar Biasa, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan UU PT atau anggaran dasar Perseroan; dan/atau b. Perintah yang mewajibkan Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir dalam RUPS Luar Biasa. Penetapan ketua pengadilan negeri yang mengabulkan permohonan penyelenggaraan RUPS Luar Biasa tersebut bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap penetapan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan RUPS Luar Biasa tidak tertunda. Ketua pengadilan negeri akan menolak permohonan dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS Luar Biasa.
98
Dalam hal penetapan ketua pengadilan negeri menolak permohonan tersebut, upaya hukum yang dapat diajukan hanya kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Proses penyelenggaraan RUPS Luar Biasa adalah sebagai berikut: a. RUPS Luar Biasa yang diselenggarakan guna melakukan perubahan anggaran dasar, prosesnya adalah: 153 1) RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dan jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. 2) Dalam hal kuorum kehadiran tersebut tidak tercapai, dapat diselenggarakan RUPS kedua. 3) RUPS kedua hanya sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 3/5 (tiga per lima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan yang lebih besar. 4) Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan, atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga. 5) Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap. 6) Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan. RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan.
153
Lihat Pasal 88 UU PT.
99
b. RUPS Luar Biasa yang diselenggarakan dengan tujuan untuk melakukan pemberian jaminan perusahaan, atau penjaminan kebendaan/pemberian agunan, atau penjualan/pengalihan sebagian besar harta kekayaan PT, atau penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pemisahan, atau permohonan kepailitan dan pembubaran PT, prosesnya adalah sebagai berikut: 1) RUPS untuk menyetujui hal-hal tersebut di atas, hanya dapat dilangsungkan jika dalam rapat hadir paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. 2) Dalam hal kuorum kehadiran tersebut tidak tercapai, dapat diadakan RUPS kedua. 3) RUPS kedua hanya sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. 4) Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan, atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga. 5) Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Penetapan pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap. 6) Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan. RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan. 154
154
Lihat Pasal 89 UU PT.
100
c. RUPS Luar Biasa lainnya: 155 1) RUPS Luar Biasa lainnya dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari ½ (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali UUPT ini dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. 2) Dalam hal kuorum kehadiran tersebut tidak tercapai, dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua. 3) Dalam pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu per tiga) bagian dari jumlah saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. 4) Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan, atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga. 5) Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. Penetapan pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap. 6) Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan. RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan. Ketentuan UU PT mengenai RUPS Luar Biasa adalah mengadopsi ketentuan dalam Companies Act 1985 di mana RUPS Luar Biasa disebut dengan Extraordinary General Meeting. RUPS Luar Biasa dalam Companies Act 1985 tersebut diatur demikian: "Article 37 of Table A provides that the directors may convene a meeting of members. They will do so if special business of importance requires a meeting of members. Section 368 gives to the holders of one-tenth (1/10) of the voting power at a general meeting, the power to require the directors to convene such 155
Gunawan Widjaja. Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham. Op. Cit. Hlm. 91-92. Lihat Pasal 86 UU PT.
101
a meeting within twenty-one days. The meeting must be convened within that time limit, not necessarily held within it. If the directors fail to convene a meeting within the twenty-one days, those requesting the meeting may do so. By section 371, the court has a reserve power to call a meeting if ‘for any reason it is impracticable’ to call the meeting otherwise. An application to the court to order a meeting under this section can be made by any director or any member entitled to vote at the meeting". 156 Jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 79 dan 80 UU PT, maka terdapat bebarapa kesamaan dengan ketentuan Companies Act 1985 tersebut. Baik Companies Act
1985
maupun
UU
PT
sama-sama
mensyaratkan
bahwa
permintaan
penyelenggaraan RUPS Luar Biasa (extraordinary general meeting) dapat dipenuhi melalui 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Selanjutnya, Companies Act 1985 dan UU PT sama-sama memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa dalam hal Direksi tidak menyelenggarakannya. Namun, perbedaannya, Companies Act 1985 memberikan waktu 21 (dua puluh satu) hari bagi Direksi untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa sejak tanggal permintaan, sementara UU PT mewajibkan Direksi melakukan pemanggilan RUPS Luar Biasa dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS Luar Biasa diterima.
156
Janet Dine. Company Law. London: Macmillan. 1991. Hlm. 76-77.
BAB III RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA DAN FIDUCIARY DUTY DIREKSI PERSEROAN
A. Tugas dan Wewenang Direksi yang Berkaitan dengan RUPS Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Direksi menjalankan tugas dan wewenang tersebut harus dengan itkad baik dan penuh tanggung jawab. Berdasarkan teori organ yang dikemukakan oleh Otto von Gierke, badan hukum merupakan suatu badan yang membentuk kehendaknya melalui perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut. PT, sebagai suatu badan hukum, membentuk kehendaknya tersebut antara lain melalui Direksi Perseroan, yang bertindak mewakili Perseroan sebagai badan hukum. 157 Direksi merupakan salah satu organ PT yang tugas dan wewenangnya melakukan pengurusan sehari-hari terhadap PT serta mewakili badan hukum PT dalam melakukan perbuatan hukum dalam rangka hubungan hukum tertentu. Pada hakikatnya, hanya Direksi yang diberikan kekuasaan untuk mengurus dan mewakili PT baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan tetap memperhatikan 157
Berdasarkan analog pendapat Gierke dan Paul Scholten maupun Bregstein, Direksi bertindak mewakili Perseroan sebagai badan hukum. Hakikat dari perwakilan bahwa seseorang melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang lain atas tanggung jawab dari orang itu. Nindyo Pramono dalam Rachmadi Usman. Op. Cit. Hlm. 164.
102
103
kepentingan PT, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu, misalnya terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan. Pengurusan tersebut merupakan suatu pendelegasian wewenang dari Perseroan kepada Direksi untuk mengurus serta mewakili Perseroan. Pendelegasian tersebut berdasarkan kuasa Perseroan kepada Direksi yang secara otomatis muncul pada saat diangkat berdasarkan keputusan RUPS. Wewenang yang didelegasikan tersebut timbul tanpa adanya suatu perjanjian tertulis, melainkan oleh karena perikatan berdasarkan undang-undang. Wewenang yang telah diperoleh Direksi tersebut masih dapat didelegasikan lagi berdasarkan 3 jenis prosedur, yaitu: 1. Pendelegasian
kewenangan
Direksi
kepada
anggota
Direksi
lainnya.
Pendelegasian ini didasarkan pada ketentuan Pasal 92 ayat (5) dan (6) UU PT, dimana ditentukan bahwa dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS atau keputusan Direksi. Pasal ini memungkinkan adanya pembagian tugas di antara para Direksi melalui pendelegasian tugas dari Direksi yang satu (direktur utama) kepada anggota Direksi lain. Namun, hal tersebut tetap tidak menghilangkan sistem perwakilan kolegial (tanggung jawab renteng) Direksi. 2. Pendelegasian kepada pegawai Perseroan dan pendelegasian kepada pihak di luar pegawai Perseroan. Pendelegasian ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 UU PT yang menentukan bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama
104
Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa khusus. Pendelegasian tersebut misalnya pemberian kuasa oleh Direksi kepada karyawan bagian hukum (legal division) suatu perusahaan, atau pemberian kuasa oleh Direksi kepada seorang Advokat, untuk bertindak untuk dan atas nama serta mewakili Perseroan dalam berperkara di pengadilan. Sehubungan dengan peran Direksi dalam PT, Amanat mengumpamakan sebagai berikut: "Peran Direksi dalam PT dapat diumpamakan dengan peran para pemain dalam suatu kesebelasan sepakbola, yang berposisi sebagai pemain penyerang, pemain bertahan dan penjaga gawang. Peran Direksi sebagai penyerang adalah mengaplikasikan segala macam strategi bisnis guna meraih keuntungan finansial sebesar mungkin, sebagai goal atau sasaran final yang telah direncanakan dalam rancangan sebelumnya. Peran Direksi sebagai pemain bertahan adalah mempertahankan keuntungan finansial yang telah diraih dan menyusun strategi bisnis berikutnya agar keuntungan finansial yang telah diraih semakin bertambah besar dan tidak berkurang sedikit pun. Penyusunan strategi bisnis senantiasa berubah karena kondisi bisnis senantiasa fluktuatif. Selama rancangan strategi bisnis kondusif dengan iklim bisnis, selama itu pula Perseroan atau perusahaan meraih keuntungan, sehingga Perseroan semakin berkembang pesat dan pada akhirnya menjadi perusahaan raksasa (besar). Sedangkan peran Direksi sebagai penjaga gawang adalah mengamankan dan menjaga keutuhan aset-aset PT agar tidak ada yang keluar atau terlepas dari ruang lingkup penguasaan Perseroan yang membawa kerugian terhadap PT". 158 Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Direksi tidak bertanggung jawab kepada pemegang saham (shareholder). Direksi bertanggung jawab atas pengurusan
158
Anisitus Amanat. Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Penerapannya dalam Akta Notaris. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 1996. Hlm. 128.
105
Perseroan kepada Perseroan dalam forum RUPS. Direksi diangkat melalui RUPS dan bertanggung jawab kepada RUPS, bukan kepada pemegang saham secara individu.159 Tanggung jawab adalah kewajiban seseorang individu untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. 160 Tanggung jawab dan kewajiban berdasarkan tugas dan wewenang Direksi berkaitan dengan RUPS yang diatur secara tegas dalam UU PT, yaitu sebagai berikut: 1. Kewajiban memberitahukan keputusan RUPS untuk pengurangan modal Perseroan. 161 2. Menyusun rencana kerja tahunan. Hal ini diatur dalam Pasal 63 ayat (1) jo. 64 ayat (2) yang menentukan bahwa Direksi menyusun rencana kerja tahunan yang juga memuat anggaran tahunan Perseroan sebelum dimulainya tahun buku yang akan datang, dengan atau tanpa persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS. 3. Menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS. Hal ini diatur dalam Pasal 66 ayat (1) dan (2) yang menentukan bahwa Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu paling 159
Hal tersebut seperti yang ditegaskan dalam Gramophone and Typewriter Ltd. v. Stanley [1908] 2 KB 89. Buckley LJ, yang mengungkapkan bahwa: "The directors are not servants to obey directions given by the shareholders as individuals; they are agents appointed by and bound to serve the shareholders as their principals. They are persons who may by the regulations be entrusted with the control of the business, and if so entrusted they can be dispossessed from that control only by the statutory majority which can alter the articles". Janet Dine. Op. Cit. Hlm. 91. 160 161
Winardi. Asas-Asas Manajemen. Bandung: Alumni. 1983. Hlm. 144.
Pasal 44 ayat (2) UU PT menentukan bahwa "Direksi wajib memberitahukan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada semua kreditor dengan mengumumkan dalam 1 (satu) atau lebih Surat Kabar dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS".
106
lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir. Laporan tahunan harus memuat sekurang-kurangnya: a. laporan keuangan yang terdiri atas sekurang-kurangnya neraca akhir tahun buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan tersebut; b. laporan mengenai kegiatan Perseroan; c. laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; d. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang memengaruhi kegiatan usaha Perseroan; e. laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Dewan Komisaris selama tahun buku yang baru lampau; f. nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; g. gaji dan tunjangan bagi anggota Direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris Perseroan untuk tahun yang baru lampau. Pasal 69 ayat (3) dan (4) menentukan bahwa Direksi bertanggung jawab atas kerugian karena laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan. Ketentuan ini merefleksikan keterbukaan informasi dalam rangka pelaksanaan fiduciary duty Direksi terhadap Perseroan. 162
162
Hlm. 84.
Gunawan Widjaja. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Op. Cit.
107
4. Kewajiban menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit. Hal ini diatur dalam Pasal 68 ayat (1) dan (2) yang menentukan bahwa Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila: a. kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat; b. Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat; c. Perseroan merupakan Perseroan Terbuka; d. Perseroan merupakan persero; e. Perseroan mempunyai aset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah nilai paling sedikit Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau f. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, laporan keuangan tidak disahkan oleh RUPS. Kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan kepada akuntan publik untuk diaudit timbul dari sifat Perseroan yang bersangkutan. Kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan kepada pengawasan ekstern dibenarkan dengan asumsi bahwa kepercayaan masyarakat tidak boleh dikecewakan. Demikian juga halnya dengan Perseroan yang untuk pembiayaannya mengharapkan dana dari pasar modal. 5. Menyelenggarakan RUPS. Pasal 79 ayat (1) menentukan bahwa Direksi menyelenggarakan RUPS Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat
108
(2) dan RUPS lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4) dengan didahului pemanggilan RUPS. 6. Pemanggilan RUPS. Hal ini diatur dalam Pasal 81 ayat (1) jo. Pasal 82 ayat (1) yang menentukan bahwa Direksi melakukan pemanggilan kepada pemegang saham sebelum menyelenggarakan RUPS, dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan. 7. Kewajiban melakukan pemanggilan RUPS atas permintaan. Hal ini diatur dalam Pasal 79 ayat (5) dan (6) yang menentukan bahwa Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima. Jika Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari, permintaan penyelenggaraan RUPS diajukan kembali kepada Dewan Komisaris, atau Dewan Komisaris yang melakukan sendiri pemanggilan RUPS. 8. Kewajiban untuk hadir dalam RUPS yang diselenggarakan melalui Penetapan Pengadilan Negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 80 ayat (3) huruf b yang menentukan bahwa Direksi dan/atau Dewan Komisaris wajib untuk hadir dalam RUPS yang diselenggarakan melalui penetapan pengadilan negeri. 9. Pasal 100 ayat (1) menentukan bahwa Direksi wajib: a. membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan risalah rapat Direksi; risalah RUPS dan risalah rapat Direksi memuat segala sesuatu yang dibicarakan dan diputuskan dalam setiap rapat.
109
b. membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan; dan c. memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dan dokumen Perseroan lainnya, seperti risalah rapat Dewan Komisaris dan perizinan Perseroan. 163 10. Kewajiban meminta persetujuan RUPS. Hal ini diatur dalam Pasal 102 ayat (1) yang menentukan bahwa Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk: a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak. Yang dimaksud dengan “kekayaan Perseroan” adalah semua barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, milik Perseroan.
Pasal 102 ayat (4) menentukan bahwa dalam hal diabaikannya kewajiban untuk meminta persetujuan RUPS, perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 163
Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, yang dimaksud dengan Dokumen Perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar (Pasal 1 angka 2). Dokumen perusahaan terdiri dari dokumen keuangan dan dokumen lainnya (Pasal 2). Dokumen keuangan terdiri dari catatan, bukti pembukuan, dan data pendukung administrasi keuangan, yang merupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha suatu perusahaan (Pasal 3). Dokumen lainnya terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen keuangan, misalnya risalah RUPS, akta pendirian perusahaan, akta otentik lainnya yang masih mengandung kepentingan hukum tertentu, Nomor Pokok Wajib Pajak (Pasal 4).
110
(1) tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik. 11. Wewenang mengajukan permohonan pailit berdasarkan persetujuan RUPS. Hal ini diatur dalam Pasal 104 ayat (1) yang menentukan bahwa Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 12. Melaksanakan segala keputusan RUPS yang berkaitan dengan tindakan hukum terhadap Perseroan berupa perubahan anggaran dasar, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, serta pembubaran Perseroan. Selain tanggung jawab dan kewajiban berdasarkan tugas dan wewenang Direksi tersebut di atas, terdapat juga beberapa hak Direksi yang diatur dalam UU PT, yaitu sebagai berikut: 1. Hak mengajukan gugatan atas nama Perseroan sehubungan dengan ketentuan Pasal 97 ayat (5). Hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (7) yang menentukan bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan. 2. Hak membela diri. Hal ini diatur dalam Pasal 105 ayat (2) yang menentukan adanya hak membela diri dalam forum RUPS bagi Direksi yang diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS. Pasal 106 ayat (5) yang menentukan adanya hak
111
membela diri dalam forum RUPS bagi Direksi yang diberhentikan sementara oleh Dewan Komisaris. 3. Hak mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS. Hal ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) yang menentukan bahwa Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS. Rincian tugas Direksi dapat dilihat pada anggaran dasar Perseroan yang ditetapkan dalam RUPS, yang pada umumnya berkisar pada hal-hal sebagai berikut: a. Mengurus segala urusan; b. Menguasai harta kekayaan Perseroan; c. Melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang dimaksud dalam Pasal 1796 KUH Perdata, yaitu: 1) memindahtangankan hipotik pada barang-barang tetap; 2) membebankan hipotik pada barang-barang tetap; 3) melakukan dading; 4) melakukan perbuatan lain mengenai hak milik; 5) mewakili Perseroan di muka dan di luar pengadilan. d. Dalam hubungannya dengan pihak ketiga, Direksi masing-masing atau bersama-sama mempunyai hak mewakili Perseroan mengenai hal-hal dalam bidang usaha yang menjadi tujuan Perseroan. Direksi bertanggung jawab penuh mengenai pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan; e. Dalam hubungannya dengan harta kekayaan Perseroan, Direksi harus mengurus dan menguasai dengan baik, menginventarisasi secara teliti dan cermat, membuat pembukuan 164 , neraca perhitungan laba rugi Perseroan; 164
Salah satu kewajiban bagi setiap pihak yang menjalankan perusahaan ialah mengadakan dan memelihara catatan-catatan yang berkenaan serta berhubungan dengan penyelenggaraan perusahaan, catatan-catatan mana yang dikenal secara umum dengan pembukuan. Pembukuan tersebut memiliki kegunaan yang cukup tinggi antara lain untuk mengetahui kemajuan dan kemunduran perusahaan, guna mengetahui mana yang sudah menjadi haknya, mana kewajiban yang harus dipenuhi, kapan kewajiban itu harus dipenuhi, serta untuk sumber data yang penting guna menentukan besarnya pajak yang dibebankan kepada perusahaan. Sri Redjeki Hartono. Op. Cit. Hlm. 12-14.
112
f. Melaksanakan pendaftaran dan pengumuman akta pendirian Perseroan. 165 Uraian tugas tersebut hanya merupakan gambaran umum yang termuat dalam anggaran dasar Perseroan. Adakalanya suatu perbuatan hukum tertentu, di samping harus mengacu pada tujuan Perseroan, harus memperoleh persetujuan Dewan Komisaris yang diberi mandat oleh RUPS. Kewajiban Direksi, secara umum diatur dalam anggaran dasar Perseroan, yang antara lain meliputi: a. Menyusun anggaran dasar Perseroan untuk tahun yang akan datang; b. Menyusun laporan berkala tentang pelaksanaan tugas Direksi dalam hal mengurus dan menguasai perusahaan atau tentang neraca triwulan atau tahunan yang disampaikan kepada Dewan Komisaris; c. Membuat neraca dan perhitungan laba rugi; d. Membuat daftar inventarisasi atas semua harta kekayaan Perseroan serta pelaksanaan pengawasannya; e. Menyelenggarakan RUPS minimal satu kali dalam setahun atau pada saatsaat yang diperlukan dan diadakan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku; f. Memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan oleh Dewan Komisaris pada saat pemeriksaan; g. Menyelenggarakan RUPS Luar Biasa pada setiap waktu yang dipandang perlu oleh Direksi atas permintaan 1 (satu) orang pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil, atau atas permintaan Dewan Komisaris; h. Mengumumkan secara resmi, baik dalam surat kabar maupun dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, bilamana Direksi akan mengeluarkan duplikat-duplikat saham yang hilang; i. Menyediakan buku daftar pemegang saham dan daftar khusus di kantor Perseroan untuk para pemilik saham; j. Dalam hal pembubaran Perseroan, Direksi wajib melakukan likuidasi melalui seorang likuidator dan biasanya di bawah pengawasan Dewan Komisaris. 166 165
Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 63-64. Lihat H.M.N. Purwosutjipto. Op. Cit. Hlm. 142-144.
113
Untuk menjalankan tugas dan kewajiban tersebut serta sesuai dengan prinsip manajemen perusahaan, Direksi mempunyai wewenang. Winardi mengatakan bahwa wewenang atau otoritas adalah kekuasaan resmi atau legal untuk menyuruh pihak lain bertindak dan taat kepada pihak lain yang memilikinya. 167 Wewenang Direksi yang lazim terdapat dalam anggaran dasar Perseroan, antara lain ialah: a. Direksi mempunyai wewenang mewakili Perseroan di muka dan di luar pengadilan serta berhak melakukan perbuatan pengurusan dan pemilikan atau penguasaan (beschikking) dengan batasan-batasan tertentu; b. Direksi mempunyai wewenang memimpin dan mengetuai RUPS; c. Direksi mempunyai wewenang untuk mengadakan RUPS Luar Biasa setiap waktu bila dipandang perlu; d. Direksi mempunyai wewenang untuk menandatangani notulen rapat, jika notulen tidak dibuat dengan proses verbal notaris. 168 Yurisprudensi pengadilan di Amerika Serikat dalam perkara Francis vs United Yersey Bank, 423 A 2d 814 (N.J. 1981), menawarkan pedoman yang sangat berguna untuk dijadikan rujukan bagi setiap anggota Direksi Perseroan dalam menjalankan tugasnya, yaitu bahwa anggota Direksi harus: 169 a. memiliki pemahaman yang baik mengenai bisnis Perseroan yang dipimpinnya; b. dari waktu ke waktu mengetahui mengenai kegiatan-kegiatan usaha Perseroan; c. melakukan pemantauan kegiatan Perseroan; d. menghadiri rapat-rapat Direksi secara teratur; e. melakukan review atas laporan-laporan keuangan Perseroan secara teratur; f. menanyakan apabila menjumpai masalah-masalah yang meragukan;
166
Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 64-65.
167
Winardi. Op. Cit. Hlm. 239.
168
Lihat Ali Rido. Op. Cit. Hlm. 300.
169
Sutan Remy Sjahdeini. "Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris". Jurnal Hukum Bisnis Volume 14. Jakarta: Pengembangan Hukum Bisnis. Hlm. 101-102.
114
g. menyatakan keberatan terhadap dilakukannya perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum; h. berkonsultasi dengan penasihat (counsel) Perseroan; i. mengundurkan diri apabila perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan ternyata tidak dilakukan. Tanggung jawab Direksi timbul apabila Direksi yang memiliki wewenang atau Direksi yang menerima kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan mengurus Perseroan mulai menggunakan wewenangnya. Agar Direksi sebagai orang yang sehari-hari mengurus Perseroan dapat mencapai prestasi yang besar, maka ia harus diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu yang telah diberikan kepadanya. Idealnya, wewenang itu dilaksanakan sesuai dengan tanggung jawabnya dan sebaliknya, tanggung jawab harus diberikan sesuai dengan wewenang yang dimilikinya. 170 Direksi melaksanakan tugas, tanggung jawab dan kewajiban tersebut berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang dan/atau anggaran dasar, yaitu wewenang untuk menjalankan pengurusan Perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Pengurusan tersebut dilaksanakan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, serta sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat dalam batas yang ditentukan oleh undang-undang dan/atau anggaran dasar. Dengan demikian, Direksi dalam suatu Perseroan memiliki statutory duty dalam kedudukannya sebagai pengurus Perseroan. Tanggung jawab secara pidana dimungkinkan untuk dibebankan kepada Direksi atas kesalahan dan kelalaiannya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 155 UU PT. 170
Agus Budiarto. Op. Cit. Hlm. 67-68.
115
B. Prinsip Fiduciary Duty Direksi dalam Pengelolaan Perseroan Sebagai artificial person, Perseroan tidak mungkin dapat bertindak sendiri tanpa bantuan organ-organnya, seperti yang di Indonesia dikenal dengan RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris. Di antara organ-organ tersebut, Direksi adalah organ yang, oleh undang-undang, diberikan hak dan kewajiban serta tugas untuk melaksanakan kegiatan pengurusan dan perwakilan untuk dan atas nama Perseroan, bagi kepentingan Perseroan, di bawah pengawasan Dewan Komisaris. Organ-organ yang fiktif tersebut dikonkritisasikan dengan anggota-anggota yang merupakan orangorang yang memiliki kehendak untuk melaksanakan tugas organ-organ tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian Perseroan. Dalam menjalankan kegiatan dan aktivitasnya sehari-hari, Perseroan memiliki kepentingan tertentu yang dimuat dalam setiap akta pendirian dan anggaran dasar Perseroan. Setiap tindakan Direksi memiliki peran ganda, yaitu di satu pihak menunjukkan keberadaan atau eksistensi Perseroan, dan di lain pihak menjadi pembatasan bagi kecakapan bertindak Perseroan. 171 Direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan Perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan perundang171
Kecakapan bertindak Perseroan berkaitan dengan praktik hukum Perseroan yang menunjukkan adanya dua tindakan atau perbuatan yang merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan anggaran dasar Perseroan. Pertama, tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta anggaran dasar Perseroan adalah tindakan yang berada di luar maksud dan tujuan Perseroan. Sampai seberapa jauh suatu perbuatan dapat dikatakan telah menyimpang dari maksud dan tujuan Perseroan, dan oleh karena itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan ultra vires, harus dapat dilihat dari kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam praktik dunia usaha. Kedua, tindakan dari Direksi Perseroan yang berada di luar kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk anggaran dasar Perseroan. Fred B. G. Tumbuan dalam Gunawan Widjaja. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Op. Cit. Hlm. 41-42.
116
undangan yang berlaku dan anggaran dasar Perseroan. Direksi memiliki limitasi (pembatasan) dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan Perseroan. Sehubungan dengan hal tersebut, Direksi Perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusannya senantiasa harus: a. bertindak dengan itikad baik 172 ; b. memperhatikan kepentingan Perseroan semata-mata dan bukan kepentingan dari pemegang saham; c. melakukan kepengurusan Perseroan dengan baik, sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya, dengan tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa Direksi tidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri; d. tidak berada dalam suatu keadaan yang dapat mengakibatkan kepentingan dan atau kewajibannya terhadap Perseroan berbenturan dengan kepentingan Perseroan, kecuali dengan pengetahuan dan persetujuan Perseroan. 173 172
Itikad baik berkaitan dengan hati seseorang yang masih gaib, sehingga tidak mempunyai standar yang pasti. Itikad baik berada pada relung hati yang sulit dibuktikan. Try Widiyono. Op. Cit. Hlm. 39, 47. Itikad baik memiliki definisi yang abstrak dan cenderung subyektif. Itikad baik biasanya dihubungkan dengan fair dealing, yang mencakup makna: fairness, reasonable standard of fair dealing, decency, reasonableness, a common ethical sense, a spirit of solidarity, and community standards. Itikad baik adalah sebuah isyarat agar setiap individu dalam berhadapan dengan individu lain untuk selalu mempertahankan perilaku jujur dan terhormat yang didasarkan kepada standar moral yang berlaku di masyarakat setempat. Pada mulanya pelaksanaan itikad baik pada perjanjian yang tidak tertulis hanya digantungkan pada keinginan para pihak, tanpa memiliki konsekuensi apapun bagi yang tidak melaksanakannya. Perkembangan selanjutnya, itikad baik mulai diberlakukan kepada semua warga negara yang mengadakan kesepakatan dengan pihak lain, walaupun karena belum tertulis, praktiknya digantungkan kepada putusan hakim, tetapi bagi orang yang melanggar kewajiban itikad baiknya, orang tersebut dapat dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Lama kelamaan itikad baik sudah diakui sebagai hukum tidak tertulis yang mengikat semua orang, sehingga kewajiban itkad baik yang pada mulanya hanya diletakkan pada kewajiban moral masing-masing individu, menjadi diterima sebagai hukum yang mengikat, dan dilegitimasi dengan memasukkan kewajiban itikad baik melalui suatu peraturan perundang-undangan. Perintah undang-undang untuk melaksanakan itikad baik inilah yang disebut sebagai statutory duty of good faith. Di Indonesia, statutory duty of good faith tersebut telah diatur dalam KUH Perdata pada Pasal 1338 ayat (3) sebagai dasar pemberlakuan doktrin itikad baik, yang memuat ketentuan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hendra Setiawan Boen. Bianglala Business Judgment Rule. Jakarta: Tatanusa. 2008. Hlm. 150-156. 173
Sebagaimana dinyatakan oleh Paul L. Davies dalam Gower’s Principles of Modern Company Law, bahwa: "In applying the general equitable principle to company directors, four separate rules have emerged. These are: a. that directors must act in good faith in what they believe to be the best interest of the company;
117
Keempat hal tersebut di atas menjadi penting karena mencerminkan suatu hubungan saling ketergantungan di antara Perseroan dan Direksi, dimana kegiatan dan aktivitas Perseroan bergantung pada Direksi sebagai organ yang dipercayakan untuk melakukan
pengurusan
Perseroan.
Keberadaan
Perseroan
merupakan
sebab
keberadaan Direksi (raison d’ etre), sehingga tanpa Perseroan, Direksi tidak akan pernah ada. Hubungan ini dinamakan dengan fiduciary relation, yang selanjutnya melahirkan fiduciary duty bagi Direksi terhadap Perseroan yang telah mengangkatnya sebagai pengurus dan perwakilan bagi Perseroan. 174 Direksi mempunyai posisi dan kekuasaan yang besar dalam mengelola perusahaan, oleh karena itu, mengontrol perilaku para Direksi adalah sangat penting, termasuk menentukan standar perilaku (standard of conduct) untuk melindungi pihakpihak yang dirugikan apabila Direksi berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur. Kebutuhan untuk melindungi pemegang saham pada akhirnya sangat memengaruhi konsep pengelolaan perusahaan, di mana konsep tersebut dititikberatkan pada tanggung jawab Direksi berdasarkan fiduciary duty dan perlindungan terhadap pemegang saham. 175
b.
that they must not exercise the powers conferred upon them for purposes different from those for which they were conferred; c. that they must not fetter their discretion as to how they shall act; d. that, without the informed consent of the company, they must not place themselves in a position in which their personal interests or duties to other persons are liable to conflict with their duties". Gunawan Widjaja. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Op. Cit. Hlm. 43. 174 175
Ibid. Hlm. 44.
Bismar Nasution. "Pengelolaan Stakeholder Perusahaan". Disampaikan pada Pelatihan Mengelola Stakeholder, yang dilaksanakan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) tanggal 17 Oktober 2008 di Sei Karang, Sumatera Utara. Hlm. 2.
118
Fiduciary duty, pada dasarnya, merupakan suatu tugas dari seseorang yang disebut dengan trustee yang terbit dari suatu hubungan hukum antara trustee dengan pihak lain yang disebut dengan beneficiary. Pihak beneficiary memiliki kepercayaan yang tinggi kepada trustee, dan sebaliknya pihak trustee juga mempunyai kewajiban yang tinggi untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, dengan itikad baik yang tinggi dan penuh tanggung jawab. 176
176
Hubungan fiduciary berasal dari suatu perbuatan hukum yang disebut dengan trust. Pranata hukum trust berasal dari common law system dan telah berkembang di Inggris sejak pemerintahan Raja Alfred. Dalam hukum trust, seorang trustee mengelola suatu aset milik pihak lain, yaitu beneficiary dengan sebaik-baiknya. Terhadap aset yang dikelola tersebut berlaku kepemilikan ganda, di mana trustee memiliki aset tersebut secara hukum (legal owner) dan beneficiary memiliki aset tersebut berdasarkan asas kemanfaatan (beneficial owner). Sedangkan dalam hukum romawi, yang menjadi dasar civil law system, pranata hukum trust tidak dikenal. Konsep kepemilikan ganda dari trust juga ditolak oleh Code Napoleon yang dengan sangat tegas mempertahankan konsep kepemilikan yang mandiri (unitaris), absolut dan abstrak. Dengan konsep kepemilikan yang unitaris dan absolut, konsep kepemilikan ganda (dualistis) dan borjuistis, yakni antara kepemilikan raja dengan kepemilikan rakyat, dihapus. Namun, akibat globalisasi di berbagai bidang, termasuk bidang hukum, pranata asli trust dari negaranegara penganut common law system masuk menyusup juga ke negara-negara penganut civil law system. Dengan demikian, terjadilah interaksi antara pranata-pranata hukum yang berasal dari common law system dengan civil law system, sehingga benturan-benturan hukum pun tidak bisa dihindari, dan oleh sebab itu mengundang legislatif, pengadilan maupun pemerintah untuk ikut menyelesaikannya. Pranata trust yang melahirkan hubungan fiduciary ini menyusup ke berbagai bidang, terutama perbankan. Di Indonesia, pranata hukum trust juga tidak dikenal, walaupun ada pranata waqaf yang mirip dengan konsep trust tersebut. Sebagai akibat globalisasi, pranata trust juga menyusup masuk ke hukum Indonesia, termasuk hukum Perseroan. Doktrin fiduciary duty, yang lahir dari pranata hukum trust tersebut, mulai diakui dan dikembangkan dalam tata hukum dan praktik Perseroan di Indonesia, khususnya bagi Direksi Perseroan, sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT lama). Perbedaan antara prinsip fiduciary duty yang dimiliki oleh Direksi dengan yang dimiliki oleh trustee adalah bahwa: a. Berbeda dengan Direksi, trustee demi hukum sepenuhnya bertanggung jawab terhadap segala tindakannya yang melebihi kewenangannya; b. Dalam menjalankan tugasnya masing-masing, diskresi (kebebasan) dan judgment Direksi lebih luas dibandingkan dengan trustee; c. Derajat kepedulian, loyalitas dan keterampilan dari trustee dalam hukum trust jauh lebih tinggi daripada yang dibebankan kepada Direksi. d. Trustee memiliki fungsi pengelolaan aset milik beneficiary dengan sebaik-baiknya, hal mana tidak dimiliki Direksi Perseroan;
119
Seseorang dikatakan mempunyai fiduciary duty manakala dia dipercayakan untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan seorang lain atau untuk kepentingan pihak ketiga, di mana dia seolah-olah berbuat untuk kepentingan dirinya sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, Benjamin N. Cardozo dalam kasus People v. Mancuse (1931) 177 di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa fiduciary duty merupakan suatu derajat kepedulian dan kehati-hatian yang sama jika seseorang karena kepentingan sendiri umumnya melakukan tindakan terhadap masalahnya sendiri (the same degree of care and prudence that men prompted by self interest generally exercise in their own affairs). Hubungan antara Direksi dengan Perseroan adalah unik, sebab sungguhpun ada hubungan fiduciary, tidaklah sama persis dengan hubungan antara trustee dengan beneficiary dalam suatu trustee agreement. Umumnya tugas untuk mengelola dengan penuh keahliannya (duty of care and skill) dari Direksi kepada Perseroan derajatnya tidaklah setinggi yang terdapat dalam hubungan antara trustee dengan beneficiary dalam fiduciary relation dari suatu perjanjian trustee. 178 Menurut negara-negara penganut civil law system, hubungan antara Direksi dengan Perseroan adalah bersifat kontraktual. Sungguhpun antara Perseroan dengan
e.
f.
Terhadap aset yang dikelola oleh trustee, dalam hukum trust, berlaku kepemilikan ganda, di mana trustee sebagai legal owner dan beneficiary sebagai beneficial owner, hal mana tidak terdapat pada Direksi Perseroan; Dalam hukum trust, trustee tidak bertindak sebagai risk-taker (pengambil risiko), sedangkan Direksi Perseroan menjalankan bisnis Perseroan dengan penuh risiko (risk-taking entrepreneur). Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law. Op. Cit. Hlm. 36-38. 177
Ibid. Hlm. 34.
178
Ibid. Hlm. 36.
120
Direksi tidak terdapat suatu kontrak tertentu, tetapi oleh hukum dianggap, secara fiksi, ada kontrak pemberian kuasa. Oleh sebab itu, tindakan Direksi adalah tindakan yang memiliki tanggung jawab keperdataan. Hubungan hukum yang terjadi antara Direksi dengan perseroannya merupakan hubungan hukum pemberian kuasa saja, bukan sebagai hubungan antara trustee dan beneficiary seperti halnya pada common law system. Menurut civil law system, Direksi hanya orang upahan saja yang didasarkan pada pemberian kuasa maupun hubungan ketenagakerjaan. 179 Dalam hal ini, Direksi sebagai penerima kuasa dari Perseroan hanya akan bertanggung jawab secara pribadi, seandainya dalam mengurus dan mewakili Perseroan, tindakan Direksi melampaui amanat atau kuasa yang diberikan kepadanya melalui anggaran dasar. 180 Dalam perkembangannya, pranata hukum trust yang melahirkan konsep fiduciary duty tersebut berhasil berinteraksi dengan hukum negara civil law, sehingga banyak ketentuan hukum negara civil law mulai memberlakukan konsep fiduciary duty tersebut dalam hukum perseroannya. Walaupun demikian, beberapa ahli hukum menganggap bahwa fiduciary duty selama ini adalah sebuah konsep yang cukup familiar di kalangan praktisi hukum civil law, yaitu statutory duty of good faith, yaitu kewajiban dari setiap orang dalam berhadapan dengan sesamanya untuk bertindak 179
Sampai batas-batas tertentu, Direksi dapat dikategorikan sebagai "pekerja" dalam suatu Perseroan, sehingga sampai batas-batas tertentu hukum tenaga kerja berlaku kepadanya, di mana Direksi sebagai buruh dan Perseroan (bukan pemegang saham) sebagai majikannya. Namun, dalam hal ini Direksi adalah sebagai the officer of the company yang memiliki kedudukan hukum mendekati para profesional, sehingga dia berkedudukan mandiri, terbebas dari campur tangan pihak lain. Ibid. Hlm. 58-59. 180
Rachmadi Usman. Op. Cit. Hlm. 177.
121
dengan itikad baik (good faith, bona fide) kepada mereka dalam melakukan segala sesuatu, yang diperintahkan oleh undang-undang. 181 Dalam hukum Perseroan, fiduciary duty merupakan suatu tindakan untuk dan atas nama orang lain, di mana seseorang mewakili kepentingan orang lain yang merupakan standar tertinggi dalam hukum. Fiduciary duty adalah menyangkut tugas Direksi yang dilaksanakan berdasarkan suatu kepercayaan (trust), kecakapan, kehatihatian dan ketekunan (duty of skill, care, and diligence), serta dengan itikad baik, kejujuran dan loyalitas kepada Perseroan. Prinsip fiduciary duty mengharuskan Direksi Perseroan menjalankan tugasnya untuk kepentingan Perseroan, di mana Perseroan mempunyai kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya. Sementara di lain pihak, Direksi wajib mempuyai itikad baik (good faith), loyalitas (loyalty), kejujuran (honesty), kepedulian dan kemampuan (care and skill) dengan derajat yang tinggi (high degree) 182 dalam menjalankan tugasnya kepada Perseroan. 183 Standar dari pelaksanaan duty of skill and care adalah bahwa Direksi harus melaksanakan tugasnya untuk mengelola Perseroan dengan itikad baik
181
Pelanggaran statutory duty of good faith dapat digugat melalui Pasal 1365 jo. 1366 KUH Perdata mengenai Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatigedaad). Hendra Setiawan Boen. Bianglala Business Judgment Rule. Op. Cit. Hlm. 95, 105. 182
Dalam memahami hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary relationship), common law system mengakui bahwa orang yang memegang kepercayaan (fiduciary) secara natural memiliki potensi untuk menyalahgunakan wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan pemegang kepercayaan tersebut harus didasarkan pada standar atau derajat yang tinggi. Bismar Nasution. "Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan". Op. Cit. Hlm. 3. 183
Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law. Op. Cit. Hlm. 51-52.
122
dan hati-hati sebagaimana orang biasa (prudent man) melaksanakan pengelolaan terhadap kekayaannya. 184 Itikad baik Direksi tersebut, sebagaimana pertimbangan Hakim pada kasus In re the Walt Disney Co. Derivative Litigation, harus dijalankan dengan kejujuran, kesetiaan, dan maksud yang terbaik bagi perusahaan. Itikad baik tersebut harus berdasarkan informasi yang memadai, namun harus tidak bertentangan dengan hukum yang
berlaku,
serta
tidak
merugikan
perusahaan
serta
pihak-pihak
yang
berkepentingan lainnya. 185 Pada prinsipnya, ada 2 (dua) fungsi utama dari Direksi Perseroan, yaitu sebagai berikut: 186 a. Fungsi manajemen, dalam arti Direksi melakukan tugas memimpin perusahaan. William mengatakan bahwa manajemen berarti penyelesaian pekerjaan melalui orang lain. 187 Terry berpendapat bahwa manajemen meliputi proses yang terdiri dari kegiatan planning, organizing, actuating, dan controlling, yang diikuti dengan suatu ilmu pengetahuan dan keahlian
184
Hendra Setiawan Boen. Bianglala Business Judgment Rule. Op. Cit. Hlm. 106.
185
In re the Walt Disney Co. Derivative Litigation. In this case, the shareholders of The Walt Disney Company brought claims against corporate directors and officers. The court prescribed that to act in good faith, a director must act at all times with an honesty of purpose and in the best interest and welfare of the corporation. The court indicated that a failure to act in good faith may be shown ... where the fiduciary intentionally acts with a purpose other than that of advancing the best interest of the corporation, where the fiduciary acts with the intent to violate applicable positive law or where the fiduciary intentionally fails to act in the face of a known duty to act, demonstrating a conscious disregard for his duties. Further, directors also fail to act in good faith if they knew that they were making material decisions without adequate information and without adequate deliberation, and that they simply did not care if the decisions caused the corporation and its stockholders to suffer injury or loss. The Bureau of National Affairs, Inc. "Duties and Liabilities of Individual Board Members". WestLaw Journal: BNA Corporate Practice Series The Board of Directors 63-2nd. Diakses dari www.westlaw.com pada tanggal 19 Juni 2009. 186
Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law. Op. Cit. Hlm. 32.
187
William Chuck. Management. USA: South-Western College Publishing. 2000. Hlm. 4.
123
188
Fungsi-fungsi manajemen secara efektif dipengaruhi kemampuan para manager dalam merespons faktor-faktor lingkungan, seperti teknologi, kondisi sosial, etika, termasuk politik dan hukum. 189 b. Fungsi representasi, dalam arti Direksi mewakili Perseroan di dalam maupun di luar pengadilan. Prinsip mewakili Perseroan di luar pengadilan menyebabkan Perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan transaksi-transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh Direksi atas nama dan untuk kepentingan Perseroan. Prinsip umum dalam hukum Perseroan adalah bahwa teori fiduciary duty dari Direksi berlaku, baik dalam kedudukan Direksi dalam menjalankan tugas manajemen, maupun terhadap pelaksanaan tugas-tugas representatif. 190 Berkaitan dengan fiduciary duty tersebut, secara umum ada dua hal yang dapat dikemukakan, yaitu: a. Direksi sebagai trustee bagi Perseroan. Sebagai trustee, Direksi bertanggung jawab kepada Perseroan sehubungan dengan berkurangnya nilai harta kekayaan Perseroan yang dipercayakan untuk diurus olehnya; b. Direksi adalah agen bagi Perseroan dalam mencapai tujuan dan kepentingannya. Sebagai agen, Direksi mewakili Perseroan dalam setiap hubungan hukum Perseroan dengan pihak ketiga serta Direksi tidak bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukan olehnya untuk dan atas nama Perseroan. 191 Director Fiduciary Duties After Sarbanes-Oxley menentukan adanya 4 jenis fiduciary duty dengan 2 jenis kewajiban pokok, yaitu: 192
188
J. Soegiastuti, P. Anoraga. Pengantar Bisnis Modern. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 1996. Hlm. 91. 189
Abdul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis. Hukum Bisnis untuk Perusahaan. Teori & Contoh Kasus (Ed. 2). Jakarta: Kencana. 2005. Hlm. 4. 190
Ibid. Hlm. 49.
191
Gunawan Widjaja. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Op. Cit. Hlm.
192
Kilpatrick Stockton dalam Ibid. Hlm. 45-46.
44-45.
124
a. Duty of Loyalty requires a director, affirmatively and in good faith, to protect the interests of the company and its stockholders, and to refrain from doing anything that would injure the company or deprive the company of profit or an advantage that might properly be brought to the company for it to pursue. Untuk memenuhi duty of loyalty, a director must act in a manner that he or she believes in good faith to be in the best interest of the company and its stockholders. 193 b. Duty of care requires a director to perform his or her responsibilities with a care that a reasonably prudent person would exercise under similar circumstances, while acting in an inform manner. Untuk memenuhi duty of care, a director must proceed with a “critical eye” in assessing information presented to him or her, and with inquisitive nature in confirming that he or she has been presented with all material information. Dua jenis kewajiban fidusia lainnya, dengan merujuk pada putusan pengadilan Delware, yaitu: c. Duty of good faith; dan d. Duty of disclosure. Di samping pembagian fiduciary duty ke dalam dua jenis kewajiban pokok sebagaimana tersebut di atas, perkembangan selanjutnya ilmu hukum juga memperlihatkan kewajiban-kewajiban tambahan yang terkait dengan fiduciary duty. Dalam perkembangan selanjutnya tersebut, menurut penulis, tambahan-tambahan tersebut timbul sebagai interpretasi dari kedua jenis kewajiban pokok dalam fiduciary duty yang telah ada tersebut. Tambahan tersebut antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Anthony Collins dalam The Duties and Responsibilities of Directors. Anthony Collins mengemukakan adanya tujuh jenis fiduciary duty, yaitu: 194
193
The directors' fiduciary duties include the duty to deal with their stockholders honestly. Malone v. Brincat, 722 A.2d 5 (Del. 1998). Stephen G. Christianson. "Liability of a Director to a Corporation for Mismanagement". WestLaw Journal: American Jurisprudence Proof of Facts 3d (December, 2008). Diakses dari www.westlaw.com pada tanggal 19 Juni 2009. 194
47-50.
Gunawan Widjaja. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Op. Cit. Hlm.
125
a. Duty to act in good faith. Dalam hal ini terkandung kewajiban bagi Direksi untuk hanya mengutamakan kepentingan Perseroan semata-mata, menghindari terjadinya keadaan dimana kepentingan dan kewajiban pribadi Direksi berada dalam benturan kepentingan dengan kepentingan Perseroan dan atau kewajiban Direksi terhadap Perseroan, serta tidak memanfaatkan harta kekayaan Perseroan untuk kepentingan dirinya pribadi. b. Duty to manage the company’s affairs with the proper degree of skill and care. Dalam hal ini terkandung kewajiban bagi Direksi untuk bertindak dengan penuh kehati-hatian. Misalnya jika Direksi tidak mengetahui dengan tepat mengenai suatu perbuatan hukum yang harus dilakukan olehnya, maka ia wajib untuk memperoleh pendapat ahli dalam bidangnya mengenai hal yang bersangkutan. Namun, Direksi tetap memiliki kebebasan dan kewenangan untuk memutuskan jadi tidaknya perbuatan hukum tersebut dilaksanakan. c. Duty to act strictly within the provisions of the constitution and to satisfy yourself of its terms. Direksi dalam bertindak untuk dan atas nama Perseroan, haruslah memenuhi semua aturan main yang ada dalam undangundang dan anggaran dasar Perseroan. d. Duty to act within the scope of any given authority for proper purpose. Direksi hanya akan bertindak sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan kepadanya, termasuk pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang dan atau anggaran dasar Perseroan (intra vires). Hal ini penting untuk menghindari tanggung jawab pribadi. e. Duty to act personally. Hal ini menunjuk pada sifat tanggung jawab kolegial Direksi 195 , meskipun masing-masing anggota Direksi diberikan hak dan kewenangan untuk bertindak untuk dan atas nama Perseroan. Setiap anggota Direksi berhak dengan bebas untuk menyatakan persetujuan atau keberatannya terhadap keputusan Direksi. Keputusan Direksi adalah mengikat seluruh anggota Direksi sebagai satu kesatuan dewan, namun setiap anggota Direksi yang keberatan terhadap keputusan 195
Dengan ditegaskannya tanggung jawab kolegial tersebut, dimaksudkan agar sesama anggota Direksi: a. melakukan keterbukaan atau transparansi (disclosure) mengenai setiap tindakan dan atau perbuatan hukum yang hendak diambil atau telah diambil oleh satu atau lebih masing-masing anggota Direksi atas hal-hal yang berada dalam kewenangannya, demikian pula mengenai kepemilikan saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan, termasuk pada Perseroan-Perseroan lain, dalam daftar khusus; b. melakukan check and balance tentang kegiatan, tindakan atau keputusan yang menghendaki agar sedapat mungkin atau seyogiyanya diambil berdasarkan pada keputusan rapat Direksi. Dengan tanggung jawab secara tanggung renteng ini diharapkan dapat terjadi saling mengawasi di antara sesama anggota Direksi Perseroan atas setiap perbuatan, tindakan atau keputusan Direksi yang dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap fiduciary duty, yang menyebabkan tidak berlakunya business judgment rule. Ibid. Hlm. 81.
126
Direksi, berhak untuk mencatatkan pendapatnya yang berbeda (dissenting opinion) tersebut pada risalah rapat Direksi. Dalam hal ini derajat kehatihatian Direksi dipertaruhkan. f. Duty not to take personal benefit/profit. Direksi diwajibkan untuk tidak mengambil keuntungan pribadi atas setiap transaksi yang dilakukannya untuk dan atas nama Perseroan. Dalam hal ini diperlukan keterbukaan (disclose), termasuk kewajiban Direksi untuk melaporkan pemilikan saham miliknya dan keluarganya untuk dicatatkan dalam Daftar Khusus Perseroan, sehingga dengan demikian setiap anggota Direksi dapat saling mengawasi dan mengingatkan. g. Duty to secure the proper and effective use of property. Dalam hal ini berkaitan dengan refleksi kegiatan Direksi sehari-hari, antara lain menjaga, mengawasi dan memelihara dengan baik segala aset Perseroan. Selanjutnya, Phillip Lipton dan Abraham Herzberg membagi fiduciary duty ke dalam duty of loyalty and good faith dan duty to exercise care and diligence. 196 Duty of loyalty and good faith dikelompokkan ke dalam: a. the duty to act bona fide in the interest of the company. Hal ini mencerminkan kewajiban Direksi untuk melakukan pengurusan Perseroan hanya untuk kepentingan Perseroan semata-mata. Direksi Perseroan harus mengetahui dan memiliki penilaian sendiri tentang tindakan yang menurut pertimbangannya adalah sesuatu yang harus atau tidak dilakukan untuk kepentingan Perseroan. Suatu putusan yang dikeluarkan oleh Lord Greene MR dalam Smith and Fawcett Ltd [1942] 1 All ER. 542 telah mengambil pertimbangan bahwa "they must exercise their discretion bona fide in what they consider – not what the court may consider – to be in the interest of the company, and not for any collateral purposes". Kepentingan Perseroan dalam hal ini adalah kepentingan stakeholders 197 , yang meliputi: 1) pemegang saham (shareholders); 2) karyawan atau pegawai (employees); 3) managers; 4) pelanggan (customers); 196 197
Ibid. Hlm. 50-57.
Bismar Nasution membagi stakeholder ke dalam 2 bagian, yaitu stakeholder internal dan stakeholder external. Yang termasuk sebagai stakeholder internal adalah pemegang saham (shareholder) dan karyawan. Sedangkan yang termasuk stakeholder external adalah pihak-pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam pengurusan Perseroan, seperti konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup. Bismar Nasution. "Pengelolaan Stakeholder Perusahaan". Op. Cit. Hlm. 6, 13.
127
5) pemasok (suppliers); 6) kreditor (debtholders); 7) masyarakat (communities); 8) pemerintah (government). b. the duty to exercise power for their proper purpose. Direksi sebagai satusatunya organ Perseroan yang diberikan hak dan wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama Perseroan, membawa konsekuensi bahwa Direksi bertanggung jawab atas jalannya aktivitas Perseroan serta melakukan tugas pengelolaan harta kekayaan Perseroan dengan sebenarbenarnya dan tidak memihak bagi keuntungan atau kepentingan mana pun juga. c. the duty to retain their discrenatory powers. Direksi memiliki diskresi dalam bertindak untuk kepentingan Perseroan. Namun, Direksi tidak dilarang untuk melakukan pembatasan diri atau membuat suatu perjanjian yang mengekang kebebasan mereka untuk bertindak untuk tujuan dan kepentingan Perseroan. d. the duty to avoid conflicts of interests. Kewajiban ini bertujuan untuk mencegah Direksi secara tidak layak memperoleh keuntungan dari Perseroan, serta mencegah Direksi untuk menempatkan dirinya pada suatu keadaan yang memungkinkan Direksi bertindak untuk kepentingan mereka sendiri, di mana pada saat yang bersamaan mereka harus bertindak untuk dan atas nama Perseroan. Di negara-negara yang menganut common law system, acuan yang dipakai adalah standard of care atau standar kehati-hatian. Apabila Direksi telah bersikap dan bertindak melanggar standard of care, Direksi tersebut dianggap telah melanggar duty of care. 198 Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi harus melaksanakannya secara due care, acting in good faith, and have a rational basis for the business judgment. 199 Dari kasus Carry vs Woodruff, 49 N.Y.S. 2d 625, 643 (S.Ct 1944), secara klasik prinsip duty of care dari Direksi adalah:
198 199
Sutan Remy Sjahdeini dalam Rachmadi Usman. Op. Cit. Hlm. 181.
Munir Fuady. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Buku Kesatu. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1994. hlm. 62-63.
128
a. a conscious exercise of judgment; b. an informal decision; c. good faith and no self interest; d. a rational basis. 200 Dalam kasus Francis vs United Yersey Bank, 423 A 2d 814 (N.J. 1981), penerapan prinsip duty of care mengharuskan Direksi: a. get a redimentary understanding of the business; b. keep informed about the corporation’s activities. 201 Dalam teori ilmu hukum, prinsip kepedulian (due care) dari Direksi terhadap Perseroan memiliki 2 (dua) persyaratan, sebagai berikut: a. Syarat prosedural; yaitu Direksi haruslah menaruh perhatian dengan sungguh-sungguh terhadap jalannya aktivitas Perseroan, serta selalu berusaha mendapatkan informasi yang lengkap (well informed) terhadap perseroannya. b. Syarat substantif; yaitu Direksi dalam mengambil keputusan harus berdasarkan pertimbangan yang rasional. Rasionalitas pertimbangan tersebut tidak harus melahirkan keputusan yang benar-benar optimal, melainkan cukup berupa keputusan yang lahir sebagai respon yang wajar terhadap situasi yang ada. 202 Dalam duty of loyalty and good faith, Direksi dipercayakan untuk mengelola harta kekayaan Perseroan, sedangkan dalam duty to exercise care and diligence, Direksi diharapkan dapat menjalankan Perseroan hingga memberikan keuntungan bagi Perseroan. Dalam hal ini kewajiban Direksi terkait dengan the decision-making
200
Rachmadi Usman. Op. Cit. Hlm. 184.
201
Ibid. Hlm. 184.
202
Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law. Op. Cit. Hlm. 49-50.
129
function (pembuat keputusan bagi jalannya usaha untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan) dan the oversight function 203 (pengawas atas seluruh jalannya Perseroan dengan baik). Keputusan RUPS bisa saja melanggar ketentuan fiduciary duty. Lipton mengatakan bahwa keputusan RUPS yang tidak dilakukan dengan bona fide for the benefit of the company as a whole, yaitu keputusan yang: 204 a. mengambil alih harta kekayaan Perseroan; b. mensahkan tindakan Direksi yang melanggar fiduciary duty. Pensahan setiap tindakan anggota Direksi yang melanggar fiduciary duty dapat memungkinkan terjadinya penyelahgunaan kekuasaan dari seorang anggota Direksi yang juga merangkap sebagai pemegang saham mayoritas dalam Perseroan. Setiap tindakan pelanggaran terhadap fiduciary duty dapat dengan mudah disahkan oleh Perseroan melalui RUPS, yang pada akhirnya dapat merugikan kepentingan Perseroan. Namun demikian ternyata tidak semua tindakan atau perbuatan Direksi yang melanggar fiduciary duty yang dapat disahkan oleh RUPS mengikat pemegang saham minoritas. Atas tindakan-tindakan anggota Direksi yang mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan Perseroan dapat digugat derivatif oleh pemegang saham minoritas. c. mengambil alih harta kekayaan minoritas. Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 97 ayat (6) UU PT memberikan hak kepada pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas, untuk dan atas nama Perseroan mengajukan gugatan terhadap Direksi yang melakukan pelanggaran fiduciary duty, baik dalam bentuk kesalahan maupun kelalaian yang menimbulkan kerugian pada Perseroan. 203
Di negara-negara penganut common law system, tidak dikenal komisaris sebagai pengawas atas jalannya usaha atau kegiatan Perseroan. Tugas pengurusan dan pengawasan berada dalam tugas dan kewenangan Direksi. Berbeda halnya dengan di Indonesia, peran Direksi atas pengawasan jalannya usaha atau kegiatan Perseroan berada pada tugas dan kewenangan komisaris Perseroan. 204
71-72.
Gunawan Widjaja. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Op. Cit. Hlm.
130
Lipton mengatakan bahwa tindakan yang dapat diambil (remedies) oleh Perseroan terhadap pelanggaran fiduciary duty meliputi antara lain: 205 a. ganti rugi atau kompensasi (damages or compensation); b. pengembalian keuntungan yang diperoleh oleh anggota Direksi tersebut sebagai akibat dari tindakannya yang menguntungkan dirinya secara tidak sah tersebut (account of profits); c. permohonan untuk membatalkan perjanjian yang dibuat oleh anggota Direksi tersebut (rescission of contract); d. pengembalian harta kekayaan yang diperoleh anggota Direksi tersebut (return of property) sebagai akibat pelanggarannya terhadap fiduciary duty-nya. Sepanjang sejarah penerapan prinsip fiduciary duty, muncul beberapa pedoman dasar bagi Direksi dalam menjalankan fiduciary duty terhadap Perseroan yang dipimpinnya. Pedoman dasar tersebut adalah sebagai berikut: a. Fiduciary duty merupakan unsur wajib (mandatory element) dalam hukum Perseroan; b. Dalam menjalankan tugasnya, Direksi tidak hanya harus memenuhi unsur itikad baik, tetapi juga harus memenuhi unsur tujuan yang layak (proper purpose); c. Pada prinsipnya Direksi dibebani prinsip fiduciary duty terhadap Perseroan, bukan terhadap pemegang saham. Karena itu, hanya perusahaanlah yang dapat memaksakan Direksi untuk melaksanakan fiduciary duty tersebut; d. Dalam menjalankan fungsinya, Direksi juga harus memperhatikan kepentingan stakeholders, seperti pemegang saham dan buruh perusahaan; e. Direksi bebas dalam memberikan suara dan pendapat sesuai dengan keyakinan dan kepentingannya dalam setiap rapat yang dihadirinya; f. Direksi bebas dalam mengambil keputusan sesuai dengan pertimbangan bisnis dan sense of business yang dimilikinya, bahkan Pengadilan tidak boleh ikut campur mempertimbangkan sense of business Direksi tersebut; g. Direksi dilarang atau setidak-tidaknya dibatasi atau diawasi dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan tersebut misalnya dengan memberlakukan prinsip keterbukaan informasi (disclosure) terhadap setiap transaksi yang ada conflict of interest. 206 205 206
Ibid. Hlm. 73-74. Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law. Op. Cit. Hlm. 61-62.
131
C. Prinsip Fiduciary Duty Direksi dalam UU PT Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT lama), hukum Indonesia tidak menganut prinsip fiduciary duty. Hal ini disebabkan oleh karena KUHD Indonesia merupakan penjelmaan dari KUHD Belanda (Wetboek van Koophandel) yang diambil dari Code du Commerce Prancis (pasca Code Napoleon). Code Napoleon tidak mengakui adanya prinsip fiduciary duty atau pranata hukum trust, sehingga prinsip fiduciary duty terhadap Direksi tidak diakui dalam sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system). Hubungan antara Direksi dengan Perseroan yang dipimpinnya dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah hubungan keagenan atau pemberian kuasa. Setelah berlakunya UU PT lama, banyak teori hukum Perseroan yang semula tidak ada atau tidak berlaku menjadi diadopsi dan diberlakukan di Indonesia. Ketentuan fiduciary duty dalam UU PT lama dapat ditemukan dalam Pasal 79 ayat (1), Pasal 82, Pasal 84, dan Pasal 85. 207 Namun pengaturannya masih tergolong sederhana.
207
Pasal 79 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT lama) menentukan bahwa "Kepengurusan Perseroan dilakukan oleh Direksi". Pasal 82 UU PT lama menentukan bahwa "Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan". Pasal 84 UU PT lama menentukan bahwa: (1) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: a. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. (2) Dalam anggaran dasar ditetapkan yang berhak mewakili Perseroan apabila terdapat keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Dalam hal anggaran dasar tidak menetapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), RUPS mengangkat 1 (satu) orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili Perseroan.
132
Setelah berlakunya UU PT yang baru pada tahun 2007, teori hukum Perseroan yang sudah ada sebelumnya semakin disempurnakan, termasuk bagaimana pengaturan fiduciary duty dan business judgment rule bagi Direksi di Indonesia. Penyempurnaan pengaturan fiduciary duty tersebut, menurut Prasodjo 208 , adalah bertujuan supaya Direksi (dan Dewan Komisaris) tidak main-main dalam menjalankan usahanya. Sehubungan dengan hal tersebut, Blanchard juga mengatakan bahwa keseriusan Direksi dalam melaksanakan kewajibannya terhadap Perseroan adalah lebih berguna untuk mencegah tanggung jawab secara pribadi, dibandingkan dengan lusinan prinsip business judgment rule dikombinasikan. 209 Pemberlakuan prinsip fiduciary duty di Indonesia berdasarkan UU PT diadopsi pada beberapa pasal sebagai berikut: 1. Pasal 92 ayat (1) dan (2) yang menentukan bahwa Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan dan berwenang menjalankan pengurusan Perseroan sesuai Pasal 85 UU PT lama menentukan bahwa: (1) Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. (2) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. 208
Ratnawati W. Prasodjo, Ketua Tim Perumus UU PT Depkumham, dalam Hukumonline. UU PT Pertegas Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris. 2007. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com. Diakses tanggal 31 Maret 2009. 209
Convincing directors to take their duties seriously and educating them as to their legal responsibilities will do more to prevent liability than a dozen new formulations of the business judgment rule combined. Gerald L. Blanchard. Op. Cit.
133
dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UU PT dan/atau anggaran dasar (intra vires act). Ketentuan pasal ini menunjuk pada fungsi manajemen dari Direksi berupa tindakan pengurusan Perseroan. Duty of loyalty ditujukan pada pengurusan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, sedangkan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat menggambarkan suatu duty of care. 2. Pasal 97 ayat (1), (2) dan (3) yang menentukan bahwa Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan, yang dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, serta bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut. Ketentuan pasal ini telah mendekati prinsip fiduciary duty, yaitu bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan berdasarkan itikad baik (duty of loyalty) dan penuh tanggung jawab (duty of care), serta dilengkapi dengan tanggung jawab secara pribadi Direksi yang melanggar fiduciary duty-nya tersebut. Ketentuan ini memang dapat dikatakan belum sempurna dalam menerapkan prinsip fiduciary duty, bahkan tidak secara tegas memberlakukan prinsip fiduciary duty, melainkan masih secara implisit mengaturnya. 210
210
Munir Fuady, dengan menyoroti ketentuan Pasal 85 ayat (1) UU PT lama yang tidak jauh berbeda dengan Pasal 97 ayat (1) dan (2) UU PT, mengatakannya sebagai prinsip semi-fiduciary duty. Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law. Op. Cit. Hlm. 68. Hendra Setiawan Boen bahkan menganggap Pasal 97 ayat (1) dan (2) tersebut bukan manifestasi prinsip fiduciary duty. Kewajiban beritikad baik hanyalah sebuah statutory duty of good faith, yang telah mengakar pada negara civil law. Jadi, fiduciary duty yang berasal dari negara common law tersebut belum secara lengkap diwujudkan dalam UU PT. Hendra Setiawan Boen. Bianglala Business Judgment Rule. Op. Cit. Hlm. 198.
134
3. Pasal 98 ayat (1) yang menentukan bahwa Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ketentuan pasal ini menunjuk pada fungsi representasi dari Direksi Perseroan. 4. Pasal 99 ayat (1) yang menentukan bahwa anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: a. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. Ketentuan pasal ini sebenarnya tidak memperlihatkan secara sempurna konsep fiduciary duty, karena pasal tersebut tidak mengindikasikan bahwa Direksi Perseroan harus mengalah dan mengutamakan kepentingan Perseroan dalam hal terdapat transaksi yang mengandung conflict of interest antara Direksi dengan Perseroan, melainkan hanya meniadakan fungsi representasi saja, dan diganti oleh pihak lain. UU PT tidak menyebutkan dengan jelas mengenai pemberlakuan prinsip fiduciary duty, tetapi secara malu-malu kucing memberlakukan asas-asasnya, walaupun secara tidak penuh. Kedudukan Direksi belum sampai menjadi trustee atau agen dari Perseroan, karena yang diberlakukan oleh UU PT sebenarnya hanya prinsip semi fiduciary duty. 211
211
Rachmadi Usman. Op. Cit. Hlm. 178.
135
Pembentuk UU PT seperti menyerahkan kepada pengadilan atau doktrin hukum untuk mengembangkannya lebih lanjut, sehingga dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menerapkan doktrin itikad baik dan tanggung jawab seperti yang dimaksud dalam Pasal 92 dan Pasal 97 UU PT. Peluang ini setidaknya memberikan kesempatan kepada pengadilan maupun para legislator untuk mengembangkan lebih lanjut standar kehati-hatian anggota Direksi Perseroan dalam menjalankan tugas dan kewajiban untuk mengurus dan mewakili Perseroan. Ketentuan Pasal 97 UU PT setidaknya telah mengindikasikan diterapkannya prinsip fiduciary duty. Menurut Pasal 97 tersebut, tindakan Direksi terhadap Perseroan harus dilakukan dengan memenuhi 3 (tiga) syarat yuridis, yaitu: a. itikad baik (good faith); b. penuh tanggung jawab; c. untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Sebagai ganjarannya, ayat (3) ketentuan pasal tersebut mengatakan bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.
D. Kewajiban Direksi Dalam Menyelenggarakan RUPS Luar Biasa Ditinjau Dari Prinsip Fiduciary Duty Pada hakekatnya, dalam suatu PT terjadi pemisahan harta kekayaan pendiri Perseroan dengan harta kekayaan Perseroan. Harta kekayaan yang dipisahkan tersebut selayaknyalah diperlakukan sebagai harta kekayaan yang mandiri, yang merupakan
136
suatu asosiasi modal atau kekayaan sebagai investasi kolektif bersama yang merupakan harta bersama yang terikat. Untuk menjamin independensi harta kekayaan tersebut, diperlukan suatu bentuk badan hukum bagi PT, yang melahirkan status hukum tersendiri bagi PT sebagai suatu subyek hukum lainnya yang berdiri sejajar dengan manusia (natuurlijke persoon). Keindependensian tersebut juga memerlukan keterlibatan Pemerintah, dalam hal ini ialah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk memberikan pengesahan status PT menjadi badan hukum. Terhitung sejak sahnya pengesahan tersebut, pendiri PT demi hukum dinyatakan bebas dari tanggung jawab pribadi, sehingga statusnya berubah menjadi pemegang saham yang memiliki tanggung jawab yang terbatas, kecuali pendiri atau pemegang saham tersebut menyalahgunakan PT untuk kepentingan pribadinya. Kemandirian PT sebagai badan hukum membuat PT memiliki hak dan kewajiban dalam setiap hubungan hukum yang harus dipenuhi. Namun, sebagai artificial person, PT tidak mungkin memiliki kehendak dan juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri. Untuk membantu PT dalam melaksanakan tugasnya dibentuklah organ-organ, yang secara teoretis memiliki dasar pemikiran dalam teori organ badan hukum. Direksi merupakan satu-satunya organ Perseroan yang melaksanakan fungsi pengurusan Perseroan di bawah pengawasan Dewan Komisaris. Sebagai pengurus, Direksi memiliki daya berkehendak untuk mengelola harta kekayaan tersebut sebagai hak yang melekat karena jabatannya selaku pengurus dari badan hukum. Direksi
137
bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Direksi diawasi oleh Dewan Komisaris yang melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi, bilamana perlu. Sedangkan RUPS hanya melaksanakan seluruh tugas dan fungsi Perseroan yang tidak diserahkan kepada Direksi dan Dewan Komisaris. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Direksi tidak bertanggung jawab kepada pemegang saham secara individual. Direksi, sebagai orang yang diberikan kepercayaan, bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan kepada Perseroan dalam forum RUPS, karena Direksi sendiri diangkat melalui RUPS dan oleh karenanya bertanggung jawab kepada RUPS. RUPS adalah organ Perseroan yang mewakili kepentingan seluruh pemegang saham dalam PT tersebut. RUPS mewakili atau mencetuskan kehendak dari pemegang saham secara keseluruhan, baik sebagai akibat keputusan dengan musyawarah maupun keputusan hasil pemungutan suara yang sesuai dan sejalan dengan ketentuan UU PT dan atau anggaran dasar. Keputusan ini tidak dapat ditentang oleh siapa pun, kecuali jika keputusan tersebut bertentangan dengan undang-undang dan/atau anggaran dasar Perseroan. Kehendak-kehendak PT yang tertuang dalam anggaran dasar sebagai hasil keputusan RUPS tersebut dilaksanakan oleh Direksi Perseroan. Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, berdasarkan kebijakan yang
138
dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UU PT dan/atau anggaran dasar. Pengurusan tersebut harus dilaksanakan oleh anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut. Dengan kata lain, PT sebagai badan hukum (legal entity) memiliki kepentingan yang pencapaiannya dilakukan melalui perantaraan Direksi. Direksi mempunyai posisi dan kekuasaan yang besar dalam mengelola perusahaan, oleh karena itu, mengontrol perilaku para Direksi adalah sangat penting, termasuk menentukan standar perilaku (standard of conduct) untuk melindungi pihakphak yang dirugikan apabila Direksi berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur. Kebutuhan untuk melindungi pemegang saham pada akhirnya sangat memengaruhi konsep pengelolaan perusahaan, di mana konsep tersebut dititikberatkan pada tanggung jawab Direksi berdasarkan fiduciary duty dan perlindungan terhadap pemegang saham. Tanggung jawab Direksi pada dasarnya dilandasi oleh dua prinsip penting yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh Perseroan berdasarkan fiduciary duty, yaitu duty of loyalty dan duty of care. Memang dari pembahasan sebelumnya, fiduciary duty memiliki banyak pembagian seperti, duty of good faith, duty of disclosure, duty of skill, the duty to act bona fide in the interest of the company, dan lain-lain. Namun, penulis berpendapat bahwa semua pembagian tersebut dapat dikategorikan dalam dua prinsip yaitu duty of loyalty dan duty of care.
139
Kedua prinsip ini menuntut Direksi harus bertindak dengan itikad baik serta dengan penuh kepedulian serta kehati-hatian, semata-mata untuk kepentingan Perseroan. Pelanggaran terhadap fiduciary duty tersebut akan membawa Direksi pada tanggung jawab pribadi secara renteng. Prinsip umum dalam hukum Perseroan adalah bahwa teori fiduciary duty dari Direksi berlaku, baik dalam kedudukan Direksi dalam menjalankan tugas manajemen sebagai pengurus Perseroan, maupun terhadap pelaksanaan tugas-tugas representatif untuk mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan. Fiduciary duty merupakan unsur wajib (mandatory element) dalam hukum Perseroan. Pada prinsipnya Direksi dibebani prinsip fiduciary duty terhadap Perseroan, bukan terhadap pemegang saham. Karena itu, hanya Perseroan yang dapat memaksakan Direksi untuk melaksanakan fiduciary duty tersebut melalui forum RUPS. UU PT memberikan kewenangan kepada RUPS dalam hal: a. Penetapan perubahan anggaran dasar; b. Pembelian kembali saham; c. Penetapan penambahan modal Perseroan; d. Penetapan pengurangan modal Perseroan; e. Persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan; f. Penentuan penggunaan laba; g. Pengangkatan/pemberhentian/pembagian tugas dan wewenang Direksi dan Dewan Komisaris; h. Persetujuan pengalihan/penjaminan kekayaan Perseroan;
140
i. Persetujuan
atas
penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan
dan
pemisahan Perseroan; j. Pembubaran Perseroan. Selanjutnya, untuk meninjau pemberlakuan fiduciary duty Direksi dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, harus dilihat keterkaitan antara tanggung jawab Direksi terhadap Perseroan dengan RUPS. Adapun tanggung jawab Direksi dalam kaitannya dengan RUPS pada umumnya adalah merupakan sebagian tugas dan wewenang Direksi terhadap Perseroan, yang dapat diuraikan sebagai berikut: a. Karena tugas dan wewenang setiap anggota Direksi serta besar dan jenis penghasilan Direksi ditetapkan oleh RUPS dan Direksi itu sendiri diangkat dan diberhentikan oleh RUPS, sehingga Direksi bertanggung jawab kepada RUPS untuk memberikan laporan pertanggungjawaban mengenai segala pelaksanaan tugas dan wewenangnya terhadap Perseroan; b. Direksi wajib dan bertanggung jawab untuk membuat Risalah RUPS; c. Direksi
bertanggung
penyelenggaraan
RUPS
jawab
melaksanakan
Tahunan
untuk
pemanggilan
menyampaikan
dan
laporan
pertanggungjawaban seperti yang diatur dalam UU PT dan untuk kepentingan Perseroan berwenang menyelenggarakan RUPS Luar Biasa; d. Direksi menjalankan semua keputusan RUPS yang telah disahkan dalam rapat; e. Direksi wajib memberitahukan hasil keputusan RUPS kepada para pemegang saham;
141
f. Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar kekayaan Perseroan; g. Direksi wajib mengadakan dan meminta persetujuan RUPS untuk perubahan anggaran dasar, penambahan modal Perseroan, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran Perseroan. h. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Pemegang saham, atas nama Perseroan yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Tanggung jawab Direksi dalam kaitannya dengan RUPS adalah merupakan kewajiban yang diemban oleh Direksi dari wewenang dan tugas-tugas yang ditetapkan oleh undang-undang dan anggaran dasar Perseroan, yaitu melaksanakan RUPS, menjalankan hasil Keputusan RUPS dan memberikan pertanggungjawaban kepada RUPS. Keputusan RUPS merupakan acuan bagi Direksi untuk melaksanakan dan menjalankan tugas-tugas demi kepentingan Perseroan. Direksi, sebagai penerima kuasa dari Perseroan untuk mengurus dan mewakili Perseroan, diwajibkan untuk membuat dan memberikan laporan pertanggungjawaban kepada si pemberi kuasa, yaitu Perseroan, dalam forum RUPS. Sebagai bentuk
142
pertanggungjawaban tersebut, Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS. Untuk dapat mengukur sampai seberapa jauh tanggung jawab Direksi dalam melakukan pengurusan untuk mencapai tujuan PT yang sudah ditetapkan dalam anggaran dasar, Direksi harus membuat dan melaksanakan rencana kerja tahunan. Pencapaian dari hasil kerja merupakan bahan evaluasi dalam penilaian kinerja Direksi yang dituangkan dalam laporan tahunan yang diserahkan kepada dan untuk disahkan dalam RUPS. Sebagai pemberi kuasa, Perseroan melalui RUPS akan memeriksa, menyetujui, mengambil keputusan menerima ataupun menolak laporan tahunan Direksi tersebut serta menetapkan rencana kerja Perseroan untuk tahun buku yang akan datang. Berdasarkan kewajiban untuk memberikan laporan pertanggungjawaban tersebut, UU PT memberikan kewajiban kepada Direksi untuk menyelenggarakan RUPS Tahunan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. Direksi juga diwajibkan untuk melakukan pemanggilan RUPS kepada seluruh pemegang saham. Walaupun UU PT tidak dengan tegas menyebutkan dalam pasal-pasalnya mengenai kewajiban Direksi dalam menyelenggarakan RUPS Tahunan ini, penulis berpendapat bahwa penyelenggaraan RUPS Tahunan tersebut tetap merupakan kewajiban dari Direksi yang ditetapkan oleh UU PT dan/atau anggaran dasar, karena bagaimanapun, menurut ilmu hukum Perseroan dan pandangan umum, Direksi diwajibkan untuk memberikan laporan pertanggungjawaban atas pengurusan Perseroan, yang hanya dapat dilakukan dalam forum RUPS.
143
Selanjutnya yang menjadi perhatian adalah mengenai penyelenggaraan RUPS Luar Biasa. RUPS Luar Biasa merupakan rapat-rapat di antara para pemegang saham Perseroan,
yang
dapat
diselenggarkan
sewaktu-waktu.
RUPS
Luar
Biasa
diselenggarakan khusus untuk membahas hal-hal tertentu yang dianggap perlu oleh pemegang saham. RUPS Luar Biasa bersifat insidentil, dan dapat diadakan sewaktuwaktu
bila
kepentingan
Perseroan
menghendakinya.
RUPS
Luar
Biasa
diselenggarakan sehubungan dengan beberapa hal tindakan Perseroan yang bersifat tidak tentu waktunya, namun memerlukan persetujuan RUPS dalam pelaksanaannya, yang dalam UU PT adalah sebagai berikut: a. Melakukan perubahan anggaran dasar; b. Pemberian jaminan perusahaan; c. Penjaminan kebendaan/pemberian agunan, atau penjualan/pengalihan sebagian besar harta kekayaan PT; d. Penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pemisahan; e. Permohonan kepailitan dan pembubaran PT; Direksi Perseroan diberikan wewenang oleh UU PT untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa atas inisiatif Direksi sendiri dan dapat juga dilakukan atas permintaan: a. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau
144
b. Dewan Komisaris; dengan didahului oleh kewajiban Direksi untuk melakukan pemanggilan RUPS Luar Biasa dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS Luar Biasa diterima, atau dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS Luar Biasa diadakan dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS Luar Biasa, dalam hal penyelenggaraan RUPS Luar Biasa tersebut atas inisiatif Direksi sendiri. UU PT memang tidak menyebutkan secara tegas dalam pasal-pasalnya bahwa penyelenggaraan RUPS Luar Biasa merupakan kewajiban Direksi. Sebagai perbandingan, Pasal 66 UU PT lama hanya menentukan bahwa "Direksi berwenang menyelenggarakan RUPS lainnya (RUPS Luar Biasa) untuk kepentingan Perseroan". UU PT sendiri tidak memberikan sanksi yang tegas bagi Direksi yang lalai ataupun tidak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Sehubungan dengan hal tersebut, UU PT justru memberikan kewenangan bagi Dewan Komisaris untuk menggantikan peran Direksi dalam melakukan pemanggilan RUPS Luar Biasa, dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS Luar Biasa. Bahkan dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS Luar Biasa, pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS Luar Biasa dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan PT yang bersangkutan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS Luar Biasa tersebut. Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menetapkan pemberian
145
izin untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS Luar Biasa. Ketua pengadilan negeri menolak permohonan dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS Luar Biasa. Dalam hal ini, Direksi bukan merupakan organ Perseroan yang mutlak berwenang menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Menurut penulis, walaupun UU PT tidak secara tegas menyebutkannya, penyelenggaraan RUPS Luar Biasa merupakan kewajiban Direksi yang secara implisit diberikan oleh undang-undang dan/atau anggaran dasar. Walaupun sifatnya insidentil dan
Direksi
bukan
merupakan
organ
Perseroan
yang
mutlak
berwenang
menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, Direksi, dalam kedudukannya sebagai pengurus dan yang mewakili Perseroan, memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa sewaktu-waktu bila kepentingan Perseroan menghendakinya. UU PT hanya memberikan rule kepada Direksi untuk berinisiatif menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. UU PT bermaksud menyerahkan kepada internal PT untuk mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi yang diberikan kepada Direksi yang tidak atau lalai dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Namun, karena sifatnya untuk kepentingan Perseroan semata-mata, Direksi wajib menyelenggarakan RUPS Luar Biasa.
146
Pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, oleh karenanya pemegang saham berhak hadir dan memberikan suara dalam RUPS Luar Biasa, serta meminta penyelenggaraan RUPS Luar Biasa. Sehubungan dengan kewajiban Direksi dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa tersebut, dapat dikatakan bahwa RUPS Luar Biasa merupakan hak pemegang saham secara kolektif yang wajib dipenuhi oleh Direksi. Salah satu pertimbangan hakim dalam perkara Pergamon Press Ltd v. Maxwell [1970] 1 WLR 1167, dinyatakan bahwa "The director’s power to call extraordinary general meetings is a fiduciary power which must be exercised by the directors bona fide in what they consider is the interest of the company and not for any collateral purposes". 212 Wewenang Direksi untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan fiduciary power yang harus dilaksanakan oleh Direksi hanya semata-mata untuk kepentingan Perseroan. Sebagai pengurus dan yang mewakili PT, Direksi memiliki tanggung jawab berdasarkan fiduciary duty dalam memenuhi kewajibannya menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Direksi wajib menyelenggarakan RUPS Luar Biasa sewaktu-waktu dengan penuh itikad baik, kepedulian, dan loyalitas terhadap Perseroan, bilamana kepentingan Perseroan menghendaki diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut.
212
Stephen W. Mayson, Derek French, Christopher L. Ryan. Company Law. London: Blackstone Press. 2001. Hlm. 395.
147
Kewajiban Direksi dalam menyelenggarakan RUPS Luar Biasa memiliki dasar hukum dalam UU PT. Penyelenggaraan RUPS Luar Biasa diatur dan ditetapkan dalam UU PT, sehingga dapat juga dikatakan bahwa penyelenggaraan RUPS Luar Biasa termasuk dalam kategori statutory duty. Namun penulis berpendapat bahwa fiduciary duty Direksi-lah yang mewajibkan Direksi, dalam mengurus Perseroan, untuk menyelenggarakan
RUPS
Luar
Biasa
apabila
kepentingan
Perseroan
menghendakinya. Walaupun UU PT telah menetapkannya, namun kewajiban penyelenggaraan RUPS Luar Biasa tersebut memiliki akar pada prinsip fiduciary duty, apalagi sifatnya saja untuk kepentingan Perseroan semata-mata. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis menunjuk ketentuan Pasal 92 ayat (1) dan (2) serta Pasal 97 ayat (1) dan (2) UU PT sebagai dasar hukum bagi Direksi untuk mengurus Perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Walaupun sudah ditetapkan dalam UU PT sehingga dapat dikategorikan sebagai statutory duty Direksi, ketentuan tersebut berakar dari prinsip fiduciary duty yang mewajibkan Direksi, selayaknya seorang trustee dalam perjanjian trust, untuk mengurus kepentingan Perseroan berdasarkan suatu kepercayaan (trust), dengan itikad baik dan loyalitas kepada Perseroan disertai dengan kecakapan dan ketekunan (duty of skill and diligence). Dalam hal tersebut, undang-undang hanya memberikan dasar hukum tertulis, serta dengan menegaskan beberapa ketentuan atau larangan khusus bagi Direksi dalam
148
rangka pengaturan dan penegakan prinsip fiduciary duty Direksi. 213 Ketentuan undang-undang akan berkaitan dengan masalah legitimasi, interpretasi, sanksi, serta yurisdiksi yang menjadikan pengaturan fiduciary duty Direksi, sebagai bagian dari sistem hukum Perseroan, berfungsi dengan baik. 214
213
Pendapat tersebut didukung oleh Janet Dine dalam bukunya, yang berjudul Company Law, yang mengatakan bahwa "The general fiduciary duties of directors are backed up by specific duties and prohibitions set out in the statutes. These prohibitions include limitations on transactions between the company and directors or their families". Janet Dine. Op. Cit. Hlm. 210. 214
Gagasan Parsons dapat menjadi suatu alternatif agar sistem hukum dapat berfungsi dengan baik, yaitu dengan terlebih dahulu menyelesaikan empat hal sebagai berikut: a. Masalah legitimasi, yang menjadi landasan bagi penaatan kepada aturan-aturan; b. Masalah interpretasi, yang akan menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penerapan aturan tertentu; c. Masalah sanksi, menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya; d. Masalah yurisdiksi, menetapkan garis kewenangan yang berkuasa menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu. Otje Salman S., Anthon F. Susanto. Teori Hukum. Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali. Cet. Ke-4. Bandung: Refika Aditama. 2008. Hlm. 155.
BAB IV KEPUTUSAN DIREKSI YANG MENOLAK MENYELENGGARAKAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA DALAM PERSPEKTIF BUSINESS JUDGMENT RULE
A. Prinsip Business Judgment Rule bagi Direksi dalam Pengelolaan Perseroan Direksi melakukan pengurusan Perseroan berdasarkan tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dan atau anggaran dasar. Sebagai organ Perseroan yang memiliki tugas untuk mengurus dan mewakili Perseroan, serta menjalankan kegiatan usaha Perseroan untuk kepentingan Perseroan, Direksi pasti dihadapkan pada risiko bisnis. Risiko tersebut terkadang berada di luar kemampuan maksimal Direksi. Mengingat suasana bisnis yang cenderung berubah dengan cepat, Direksi harus dapat mengambil keputusan dalam waktu yang cepat berdasarkan pertimbangan yang cermat. Masalah akan timbul jika Direksi dipenuhi oleh kekhawatiran dan ketakutan dalam mengambil keputusan bisnisnya, terutama keputusan yang spekulatif. Direksi dapat selalu dibayangi rasa kekhawatiran dan ketakutan akan dituntut secara pribadi akibat keputusannya yang salah dan merugikan Perseroan yang dipimpinnya. Rasa kekhawatiran dan ketakutan dalam menjalankan tugas Direksi tersebut dapat membuat Perseroan berjalan pincang. Apabila Direksi pada saat mengambil keputusan telah melakukannya dengan pertimbangan yang matang, dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, maka, mengingat suasana bisnis yang penuh dengan ketidakpastian, seandainya keputusan
149
150
tersebut ternyata merugikan Perseroan, Direksi tidak akan dituntut secara pribadi, melainkan sampai batas-batas tertentu masih dapat ditoleransi. Direksi tidak boleh dibebani harus mendapat untung, mengingat bisnis merupakan pekerjaan yang memiliki risiko. Dalam hal tersebut, Perseroan juga harus ikut menanggung kerugian. Dengan kata lain, Perseroan juga harus siap menanggung risiko bisnis, termasuk risiko kerugian. Ini adalah konsep business judgment rule. Ada beberapa cara untuk menyeleksi keputusan bisnis Direksi, apakah telah dipikirkan dengan matang atau tidak, antara lain: a. Apakah Direksi telah mencari dengan maksimal alternatif selain keputusan yang telah diambilnya; b. Apakah Direksi lain telah mempunyai informasi yang cukup lengkap sehingga dapat menyimpulkan untuk mengambil keputusan tersebut.215 Business judgment rule lahir sebagai akibat telah dilaksanakannya fiduciary duty oleh seorang Direksi, atau dengan kata lain, fiduciary duty adalah pohon dari buah yang bernama business judgment rule. 216 Business judgment rule akan membagi tanggung jawab di antara Perseroan dan Direksi, manakala terjadi kerugian Perseroan akibat keputusan Direksi. Bainbridge 217 mengatakan bahwa fungsi business judgment rule adalah untuk mencapai jalan tengah dalam hal terjadinya pertentangan antara 215
Hendra Setiawan Boen. Bianglala Business Judgment Rule. Op. Cit. Hlm. 117-118.
216
Ibid. Hlm. 102.
217
Stephen M. Bainbridge mengatakan bahwa: "My analysis grounded on the core proposition that business judgment rule, like all of corporate law, is designed to affect a compromise-on a case-bycase basis between two competing values: authority and accountability. These values refer, respectively, to the need to preserve the board of director’s decision making discretion and the need to hold the board accountable for its decision. Ibid. Hlm. 100-101.
151
otoritas Direksi dalam menjalankan Perseroan dan tuntutan akuntabilitas Direksi terhadap para pemegang saham. Berdasarkan business judgment rule, manusia diposisikan pada proporsi yang sebenarnya dengan segala kekurangannya, yang tidak mungkin selalu benar dalam menjalankan usahanya. Direksi tidak akan digeneralisir untuk bertanggung jawab atas kesalahan
dalam
mengambil
keputusan
tanpa
mempertimbangkan
unsur
manusiawinya, di mana ada kemungkinan kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi. 218 Prinsip fiduciary duty dari Direksi Perseroan akan sangat terasa eksistensinya ketika Direksi melakukan transaksi dengan Perseroan (self dealing), transaksi corporate opportunity, transaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest). Dalam hal tersebut, Direksi Perseroan harus mampu melaksanakannya dengan keterbukaan penuh bahwa keputusan dan tindakannya adalah wajar, untuk kepentingan Perseroan semata-mata, terbaik bagi Perseroan, dan bukan merupakan tindakan yang ultra vires, sehingga business judgment rule dapat melindunginya dari derivative action. Business judgment rule merupakan satu-satunya pertahanan yang dapat dipakai oleh Direksi yang beritikad baik dalam melindungi dirinya dari gugatan pemegang saham ataupun kreditor akibat kerugian Perseroan yang disebabkan oleh keputusan yang salah yang diambil oleh Direksi. 219
218
Try Widiyono. Op. Cit. Hlm. 46-47.
219
Hendra Setiawan Boen. Bianglala Business Judgment Rule. Op. Cit. Hlm. 108.
152
Fiduciary duty hanya dimiliki oleh Direksi yang memegang kebebasan cukup besar untuk menentukan jalannya Perseroan, sedangkan business judgment rule adalah wujud pembelaan bagi Direksi apabila dia dituduh telah mengambil keputusan bertentangan dengan fiduciary duty-nya. Relevansi pemberlakuan business judgment rule terhadap pelaksanaan fiduciary duty tersebut adalah sepanjang Direksi masih memiliki diskresi dan kewenangan penuh dalam menentukan kebijakan menjalankan roda Perseroan. Business judgment rule akan menjadi sia-sia penerapannya jika dalam suatu Perseroan keputusan pemegang saham berpengaruh besar dalam Perseroan dan Direksi hanya pelaksana di lapangan. 220 Sehubungan dengan diskresi tersebut, Borget, et al, mengatakan bahwa "If these important representative relationships are to be employed with success, there must be an ability on the part of the principal, or one represented, to deal openly and 220
Menurut Hendra Setiawan Boen, dalam suatu Perseroan, keputusan pemegang saham dapat berpengaruh besar dalam Perseroan dan Direksi hanya pelaksana di lapangan. Praktik tersebut banyak ditemukan dalam PT tertutup, di mana RUPS memiliki posisi dominan untuk menentukan kebijakan yang harus diambil Direksi dalam mengurus PT. Boen merasa pesimistis UU PT dapat mengubah secara drastis praktik RUPS sebagai "organ tertinggi" di PT tertutup, hal ini karena budaya masyarakat Indonesia terbiasa "menjunjung tinggi" pihak yang dituakan atau yang mempunyai kekuasaan penentu kebijakan tanpa berani menentang keputusan yang diambil oleh pihak yang dituakan tersebut. Peran Direksi dalam PT tertutup biasanya sangat minimal, kecuali apabila Direksi tersebut juga merupakan pemegang saham mayoritas dalam Perseroan. Sebaliknya, Boen berpendapat bahwa justru konsep fiduciary duty lebih berjalan pada PT terbuka (perusahaan publik). Dalam PT terbuka, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, khususnya dalam perusahaan publik yang jumlah pemegang sahamnya adalah 300, di antara organ Perseroan tidak akan ada organ yang memegang posisi paling dominan. Nature dari sebuah perusahaan publik adalah untuk mencegah adanya pemegang saham individu yang berposisi sebagai pengendali kebijakan perusahaan, sehingga Direksi dalam menjalankan arah kebijakan perusahaan sebagaimana telah digariskan oleh RUPS akan memiliki cukup kebebasan dalam menentukan sendiri apa yang harus dilakukan Perseroan agar memenuhi keputusan RUPS. Hal ini menyebabkan setiap tindakan yang akan diambil oleh Direksi wajib memenuhi unsur-unsur fiduciary duty, karena tidak akan ada seorangpun yang dapat mencegah dirinya mengambil keputusan tersebut. Konsekuensi kebebasan tersebut adalah Direksi harus mempertanggungjawabkan keputusan tersebut dalam RUPS Tahunan, dan apabila RUPS menerima laporan pertanggungjawaban tersebut, maka untuk setiap keputusan Direksi akan diberikan pelunasan dan pembebasan. Ibid. Hlm. 198-201, Hlm. 109-110.
153
without reservation. He must be free from any necessity to be on his guard, to comply with formalities, or to take undue precautions to protect himself. Equity has always taken an active interest in the fostering and protection of these intimate relationships which it calls “fiduciary". 221 Keberhasilan Direksi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengurus dan yang mewakili Perseroan tergantung pada kebebasan yang dimilikinya dalam koridor kepercayaan yang diamanatkan kepadanya. Konsep business judgment rule, yang berasal dari Amerika Serikat, mencegah pengadilan-pengadilan
di
Amerika
Serikat
untuk
mempertanyakan
kembali
pengambilan keputusan bisnis oleh Direksi, yang telah dilakukan dengan itikad baik, tanpa kepentingan pribadi, dan dengan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa Direksi telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan Perseroan. 222 Business judgment rule melindungi Direksi atas setiap keputusan bisnis yang merupakan transaksi Perseroan, selama hal tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh kehati-hatian dengan itikad baik. Business judgment rule, secara tradisional, memang dikonsep untuk melindungi kepentingan anggota Direksi dari tanggung jawab atas setiap keputusan bisnis tertentu yang diambilnya yang menerbitkan atau mengakibatkan kerugian bagi Perseroan. 223 Selanjutnya, Salomon mengutip pertimbangan pengadilan dalam perkara
221
George Gleason Bogert, George Taylor Bogert, Amy Morris Hess. "Breach of fiduciary obligation". WestLaw Journal: The Law Of Trusts And Trustees 481 (2008). Diakses dari www.westlaw.com pada tanggal 19 Juni 2009. 222
Gunawan Widjaja. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Op. Cit.
Hlm. 57. 223
Ibid. Hlm. 57.
154
Gries Sports Enterprises, Inc. v. Cleveland Browns Football Co., Inc. 496 NE 2nd 959 (Ohio, 1986), di mana dikatakan bahwa: 224 "The business judgment rule is a principle of corporate governance that has been part of the common law for at least one hundred fifty years. It has traditionally operated as a shield to protect directors from liability for their decisions. If the directors are entitled for the protection of the rule, then the courts should not interfere with or second-guess their decisions. If the directors are not entitled to the protection of the rule, then the court scrutinize the decision as to its intrinsic fairness to the corporation and the corporation’s minority shareholders. The rule is a rebuttable presumption that directors are better equipped than the courts to make business judgments and that the directors acted without self-dealing or personal interest and exercised reasonable diligence and acted with good faith. A party challenging a board of directors’ decision bears the burden of rebutting the presumption that the decision was a proper exercise of the business judgment of the board." Selanjutnya, sebagaimana menurut pertimbangan pengadilan dalam perkara Gries Sports Enterprises, Inc. v. Cleveland Browns Football Co., Inc. 496 NE 2nd 959 (Ohio, 1986) tersebut, menunjukkan bahwa business judgment rule adalah salah satu aturan main dalam corporate governance. Siapa yang menyangkal berlakunya business judgment rule bagi Direksi terhadap suatu keputusan atau tindakan bisnis tertentu yang mengatasnamakan Perseroan, orang tersebut harus membuktikannya. Yang harus dibuktikan adalah bahwa Direksi dalam mengambil keputusan atau tindakan tidak mendasarkannya semata-mata pada kepentingan Perseroan (terdapat kepentingan pribadi di dalamnya), melakukannya tidak dengan kehati-hatian yang sewajarnya atau tidak dengan itikad baik. Dengan demikian tidak ada seorangpun
224
Lewis D. Salomon dalam Ibid. Hlm. 57-58.
155
yang berhak untuk mempertanyakan keputusan bisnis yang diambil oleh Direksi Perseroan. 225 Salomon mengatakan bahwa Delware Supreme Court menyatakan bahwa business judgment rule melibatkan dua hal, yaitu proses dan substansi. 226 Sebagai proses, business judgment rule melibatkan formalitas pengambilan keputusan dalam Perseroan. Hal ini, menurut penulis, akan berkaitan dengan business judgment rule sebagai suatu standard of conduct yang memberitahukan apa dan bagaimana Direksi harus bertindak dalam suatu keadaan tertentu atau untuk memutuskan suatu hal tertentu. Sebagai substansi, business judgment rule menunjuk pada manfaat bagi Perseroan secara keseluruhan. Hal ini, menurut penulis, akan berkaitan dengan business judgment rule sebagai suatu standard of review 227 , yang menjadi dasar penilaian apakah tindakan Direksi memang sudah sewajarnya dan seharusnya dilakukan. Salah satu unsur pokok dalam standard review tersebut adalah apakah ada
225
Hal ini merupakan bentuk perlindungan terhadap keputusan bisnis Direksi yang diberikan oleh business judgment rule, di mana business judgment rule adalah "a presumption that in making business decision directors acted on an informed basis, in good faith and in the honest believe that the action was taken in the best interest of the corporation. Ibid. Hlm. 57-59. 226 227
Lewis D. Salomon dalam Ibid. Hlm. 59.
Standard review yang menjadi dasar atau alasan tidak berlakunya business judgment rule bagi Direksi, sebagaimana yang telah dikembangkan dan ditetapkan oleh Pengadilan Delware, sekurang-kurangnya meliputi tiga jenis, yaitu: a. a gross negligence standard; apakah keputusan diambil berdasarkan good faith, informed basis, dan kepercayaan penuh bahwa segalanya dilakukan untuk kepentingan Perseroan semata-mata; b. an enhanced scrutiny standard; yang mempertanyakan dua hal, yaitu mengenai integritas anggota Direksi dalam suatu transaksi korporasi yang memengaruhi diri mereka, seperti merger, akuisisi, dan mengenai hasil dari keputusan Direksi, apakah telah dilakukan dengan kepercayaan penuh bahwa segalanya dilakukan untuk kepentingan Perseroan semata-mata; c. an entire fairness standard; terkait dengan ada atau tidaknya benturan kepentingan. Ibid. Hlm. 61-62.
156
atau tidaknya conflict of interest 228 antara kepentingan pribadi Direksi dengan kepentingan Perseroan yang diwakilinya yang dapat menimbulkan judgment dari Direksi yang mengandung kecurangan (fraud). Business judgment rule merupakan doktrin yang mengajarkan bahwa suatu keputusan Direksi mengenai aktivitas Perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun keputusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan Perseroan. Doktrin ini lebih memihak Direksi, tetapi masih dalam koridor hukum Perseroan yang umum bahwa pengadilan dapat melakukan scrutiny (penilaian) terhadap setiap keputusan Direksi, termasuk keputusan bisnis yang sudah disetujui oleh RUPS. Penilaian tersebut lahir dari konsep business judgment rule sebagai standard of review 229 , yang memperbolehkan pengadilan dalam memeriksa dan meneliti secara obyektif terhadap kualitas 230 keputusan Direksi, namun dilakukan
228
Perkembangan mengenai business judgment rule dewasa ini melihat conflict of interest tidak hanya semata-mata pada keberadaannya saja, melainkan lebih ke arah concept of neutrality (konsep netralitas) yang melahirkan fairness. Konsep netralitas adalah bahwa suatu perbuatan hukum yang di dalamnya terdapat unsur benturan kepentingan antara kepentingan salah satu atau lebih anggota Direksi dengan kepentingan Perseroan masih dapat dilaksanakan, selama dan sepanjang perbuatan atau transaksi tersebut adalah transaksi yang wajar dan telah disetujui juga oleh seluruh atau sebagian besar anggota Direksi yang tidak memiliki benturan kepentingan. Ibid. Hlm. 60. 229
Konsep terbaru, yaitu business judgment rule sebagai standard of review, memperbolehkan pengadilan untuk memeriksa dan meneliti secara obyektif terhadap kualitas keputusan Direksi, namun dilakukan secara limitatif, dengan mengatasnamakan reasonable care dan amount of care which ordinarily careful and prudent men would use in similar circumstances. Konsep tersebut menggantikan konsep lama yang menerapkan business judgment rule sebagai abstention doctrine yang berarti terhadap keputusan Direksi yang telah memenuhi kriteria business judgment rule tidak boleh dilakukan judicial review atau pemeriksaan isinya dan dihadapkan dengan undang-undang tanpa melihat kualitas keputusan ataupun pengambilan keputusan, apakah ada unsur terburu-buru atau tidak, sehingga secara otomatis Direksi akan terlepas dari tanggung jawab terhadap keputusan yang salah. Hendra Setiawan Boen. Bianglala Business Judgment Rule. Op. Cit. Hlm. 111-113. 230
Tidak ada rumusan yang baku untuk mendefinisikan kualitas sebuah keputusan bisnis, apakah itu baik atau tidak, namun untuk membuat acuan masih dimungkinkan. Keputusan bisnis yang brilian sekalipun bisa saja menjadi keputusan yang fatal pada kesempatan yang lain. Ibid. Hlm. 111.
157
secara limitatif. Penilaian tersebut tidak untuk menilai sesuai atau tidaknya keputusan Direksi dengan kebijakan bisnis, namun sepanjang untuk memutuskan apakah keputusan Direksi tersebut memenuhi syarat-syarat berikut: a. b. c. d. e.
Sesuai dengan hukum yang berlaku; Dilakukan dengan itikad baik; Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose); Mempunyai dasar-dasar yang rasional; Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa; f. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya (reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi Perseroan. 231
Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa pertimbangan dari anggota Direksi tidak akan diganggu gugat atau ditolak oleh pengadilan atau oleh para pemegang saham. Anggota Direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh anggota Direksi yang bersangkutan sekalipun apabila pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu. 232 Berdasarkan prinsip business judgment rule, semua pihak, termasuk pengadilan harus menghormati keputusan bisnis yang diambil oleh orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman di bidang bisnisnya, terutama terhadap masalah-masalah bisnis yang kompleks. Oleh sebab itu, kepada Direksi harus diberikan diskresi yang besar, karena mereka lebih berpengalaman daripada para hakim di pengadilan, yang sama sekali tidak mengetahui bisnis dan memutuskan 231 232
Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law. Op. Cit. Hlm. 198.
Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan: Memahami Faillisementverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002. Hlm. 7.
158
hanya berdasarkan sejumlah petunjuk dan pendapat dari pengacara. 233 Business judgment rule, selain melindungi tanggung jawab pribadi Direksi apabila terjadi pelanggaran, juga dapat diberlakukan terhadap pembenaran-pembenaran keputusan bisnis dari Direksi yang beritikad baik. Sebuah keputusan bisnis yang dilakukan oleh Direksi, hanya dimengerti oleh pihak yang bergerak di bidang yang sejenis dan hakim tidak mungkin mengerti substansi dan rasionalitas di balik keputusan tersebut. Bahkan hakim di Delware Supreme Court yang terbiasa memeriksa sengketa bisnis sekalipun akan membatasi diri untuk memeriksa keputusan bisnis yang diambil oleh Direksi. 234 Besarnya pengaruh business judgment rule dalam melindungi tindakan atau keputusan bisnis Direksi, tidak membuat Direksi selalu terbebas dari tanggung jawab pribadi atas kerugian Perseroan yang ditimbulkan oleh tindakan atau keputusan bisnisnya tersebut. Apabila Direksi dinilai telah melakukan tindakan yang merugikan Perseroan dan yang bersangkutan tidak dapat membuktikan bahwa tindakannya tersebut berada dalam koridor prinsip business judgment rule, maka Direksi yang bersangkutan dapat diberhentikan. 235 Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, ada beberapa tindakan Direksi yang tidak dilindungi oleh business judgment rule, yaitu tindakan atau keputusan Direksi yang: a. didasarkan pada/mengandung suatu kecurangan (fraud);
233
Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law. Op. Cit. Hlm. 199.
234
Hendra Setiawan Boen. Bianglala Business Judgment Rule. Op. Cit. Hlm. 104.
235
Try Widiyono. Op. Cit. Hlm. 47.
159
b. lahir dari suatu conflict of interest tanpa suatu keterbukaan; c. merupakan perbuatan melawan hukum (illegality); d. menerbitkan kerugian sebagai akibat kelalaian berat (gross negligence). 236 Dari keempat hal tersebut di atas, masalah penentuan kelalaian adalah hal yang paling sulit untuk ditegaskan. Penentuan kelalaian tersebut akan berkaitan dengan penerapan standard of careful conduct bagi Direksi, yang antara lain adalah sebagai berikut: a. Direksi harus secara sewajarnya terus menerus melakukan monitoring dan pengawasan terhadap jalannya usaha Perseroan dan mengevaluasi apakah kegiatan usaha tersebut telah dikelola atau diurus dengan baik; b. Direksi harus secara sewajarnya mengikuti guna memperoleh data dan informasi yang diperlukan melalui proses monitoring atau dengan cara lainnya agar Direksi terus memperoleh informasi yang up to date; c. Direksi harus membuat keputusan yang wajar terhadap hal-hal yang memang dan harus diputuskan oleh Direksi; d. Direksi harus melaksanakan proses pengambilan keputusan yang wajar sebelum suatu keputusan diambil. Tanggung jawab Direksi secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai Direksi. Tanggung jawab Direksi secara pribadi tersebut dibebankan kepada Direksi yang telah melakukan hal-hal sebagai berikut:
236
101.
Sutan Remy Sjahdeini. "Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris". Op. Cit. Hlm.
160
a. mengizinkan perbuatan yang telah mendatangkan kerugian bagi Perseroan, b. meratifikasi perbuatan yang telah mendatangkan kerugian bagi Perseroan; c. ikut berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan yang telah mendatangkan kerugian bagi Perseroan tersebut. Selanjutnya, ada empat syarat yang perlu diperhatikan untuk memperoleh perlindungan berdasarkan prinsip business judgment rule, yaitu: 237 a. Direksi harus mengambil keputusan; b. Direksi dalam mengambil keputusan harus sudah memperoleh masukan yang menurutnya diperlukan, yang terkait dengan keputusan yang akan diambil tersebut dan bahwa proses atau langkah-langkah yang sewajarnya untuk mengambil suatu keputusan bisnis sudah juga ditempuh; c. Keputusan tersebut harus diambil berdasarkan itikad baik, dengan pengertian bahwa tidak ada seorangpun dari anggota Direksi yang mengetahui bahwa akibat dari keputusan tersebut akan menerbitkan kerugian bagi Perseroan secara nyata, atau merupakan perbuatan curang atau melawan hukum; d. Tidak seorangpun dari anggota Direksi yang mempunyai benturan kepentingan secara finansial dengan kepentingan Perseroan terhadap keputusan yang diambil tersebut. Setidaknya terdapat tiga ukuran untuk memutuskan apakah suatu kerugian disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tepat, sehingga dapat terhindar dari pelanggaran prinsip duty of care, yaitu memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar (well informed), tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik, dan memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.
237
Hlm. 63-64.
Gunawan Widjaja. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Op. Cit.
161
Jika ditelusuri melalui fiduciary duty, maka semua hal yang dikatakan sebagai pelanggaran yang menyebabkan tidak berlakunya business judgment rule adalah pelanggaran terhadap fiduciary duty Direksi. Dengan demikian, Direksi yang melanggar fiduciary duty tidak dilindungi oleh business judgment rule. Dengan kata lain, terjadi atau tidaknya pelanggaran terhadap fiduciary duty oleh Direksi dalam suatu Perseroan diukur dengan mempergunakan business judgment rule, dengan memperhatikan kepentingan Perseroan, pemegang saham Perseroan, khususnya pemegang saham minoritas, serta pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan Perseroan, khususnya kreditor Perseroan manakala Perseroan berada dalam keadaan insolven.
B. Prinsip Business Judgment Rule bagi Direksi dalam UU PT Di atas telah diuraikan bahwa setelah berlakunya UU PT yang baru pada tahun 2007, teori hukum Perseroan telah lebih disempurnakan, termasuk bagaimana pengaturan fiduciary duty dan business judgment rule bagi Direksi Perseroan di Indonesia. Pemberlakuan prinsip business judgment rule di Indonesia berdasarkan UU PT diadopsi pada ketentuan Pasal 97 ayat (5) UU PT. Prinsip business judgment rule muncul sebagai ketentuan penyeimbang terhadap prinsip fiduciary duty. Prinsip business judgment rule menentukan bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila dapat membuktikan:
162
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Rumusan Pasal 97 ayat (5) tersebut, secara implisit, memberikan beban pembuktian kepada pihak yang menyatakan bahwa Direksi tidak berhak atas perlindungan business judgment rule. 238 Berhasilnya pembuktian tersebut akan membawa akibat bahwa seluruh anggota Direksi menjadi bertanggung jawab renteng secara pribadi atas kerugian yang disebabkan oleh keputusan Direksi yang bersangkutan. Adanya unsur pembuktian dalam business judgment rule menunjukkan perlunya keterlibatan pengadilan dalam melindungi keputusan bisnis Direksi yang dapat dilindungi melalui prinsip business judgment rule. Pengaturan prinsip business judgment rule secara teoretis dapat ditinjau dalam Pasal 97 ayat (5) tersebut, walaupun disadari bahwa pengaturan tersebut belum cukup
238
Pengaturan beban pembuktian tersebut sejalan dengan pertimbangan Hakim dalam kasus Krim v. ProNet, Inc., 744 A.2d 523 (Del. Ch. 1999); Burden of proof: To overcome the presumption of the business judgment rule, the burden is on the plaintiff to show that the defendant directors failed to act in good faith, in the honest belief that the action taken was in the best interest of the company, or on an informed basis. Stephen G. Christianson. Op. Cit.
163
sempurna. 239 Namun, sebagai dasar hukum pemberlakuan prinsip business judgment rule di Indonesia dapat mengacu pada ketentuan pasal tersebut. Pasal tersebut merupakan pasal pamungkas bagi anggota Direksi untuk dibebaskan dari tanggung jawab pribadi seluruh anggota Direksi secara tanggung renteng.
C. Keputusan Direksi Yang Menolak Menyelenggarakan RUPS Luar Biasa Dalam Perspektif Business Judgment Rule Direksi wajib menyelenggarakan RUPS Luar Biasa sewaktu-waktu dengan penuh itikad baik, kepedulian, dan loyalitas terhadap Perseroan, apabila kepentingan Perseroan menghendaki diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut. Dari deskripsi tersebut, kata "apabila" mensinyalir bahwa ada kemungkinan Direksi menolak untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Kata "apabila" tersebut mensinyalir bahwa adakalanya Direksi menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa apabila kepentingan Perseroan tidak menghendaki diselenggarakannya RUPS Luar 239
Hendra Setiawan Boen mengatakan ada beberapa ganjalan yang mengganggu dalam Pasal 97 ayat (5) tersebut sebagai pengejewantahan prinsip business judgment rule, yaitu: a. Tidak dijelaskan dengan baik mengenai cara penilaian terhadap pemenuhan ketentuan pasal tersebut, apakah cukup salah satu saja, atau setidaknya harus memenuhi dua atau tiga syarat, atau bahkan harus secara komulatif dipenuhi. Hal ini tentu menimbulkan kesulitan dalam menerapkan pasal tersebut pada kasus sebenarnya; b. Pasal 97 ayat (5) huruf a sudah merupakan doktrin umum, bahwa seseorang yang tidak bersalah tidak boleh dihukum; c. Kurangnya unsur dalam penentuan prinsip business judgment rule, di mana secara eksplisit, UU PT tidak akan mempersalahkan Direksi yang merugikan Perseroan apabila kerugian tersebut karena dirinya kurang berpengalaman, tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara menjalankan bisnis Perseroan, bahkan dalam penjelasan tidak tercantum satu katapun mengenai kemampuan ini. Memang UU PT mewajibkan Direksi untuk berhati-hati, akan tetapi kualitas kehati-hatian dari seseorang yang memang memiliki pengetahuan dan kemampuan dengan seseorang yang tidak memilikinya, jelas akan menghasilkan kualitas yang berbeda. Boen berpendapat bahwa prinsip business judgment rule dalam UU PT belum lengkap, karena masih kurang satu unsur yang paling signifikan. Hendra Setiawan Boen. Bianglala Business Judgment Rule. Op. Cit. Hlm. 202-205.
164
Biasa tersebut. Dalam hal inilah sangat diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dari Direksi untuk melihat apakah ada urgensi kepentingan Perseroan yang menghendaki diselenggarakannya RUPS Luar Biasa. Secara kasat mata, dengan mendalilkan bahwa jika kewajiban untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan fiduciary duty Direksi, maka Direksi yang menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa telah melanggar fiduciary duty-nya. Namun yang menjadi perhatian adalah bagaimana halnya dengan Direksi yang menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa setelah dengan penuh kecermatan dan kehati-hatian melihat tidak adanya urgensi kepentingan Perseroan yang menghendaki diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Direksi dapat dikategorikan sudah melaksanakan fiduciary duty-nya, meskipun Direksi secara diam-diam telah mengeluarkan keputusan untuk menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Dalam hal ini terbuka kemungkinan diajukannya derivative action terhadap Direksi. Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 80 ayat (4) UU PT, secara implisit, juga
memberikan
kemungkinan
bagi
Direksi
untuk
menolak
permintaan
penyelenggaraan RUPS Luar Biasa dalam hal yang meminta penyelenggaraan RUPS Luar Biasa tersebut tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan adanya kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS Luar Biasa. Hal tersebut diperoleh melalui interpretasi penulis terhadap Pasal 80 ayat (4) UU PT yang memberikan kewenangan kepada ketua pengadilan negeri untuk menolak permohonan dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa
165
persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS Luar Biasa. Business judgment rule lahir sebagai akibat telah dilaksanakannya fiduciary duty oleh seorang Direksi. Dengan kata lain, fiduciary duty adalah pohon dari buah yang bernama business judgment rule. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tidak bermaksud untuk memberikan peringkat kepada penerapan fiduciary duty dan business judgment rule. Demikian juga, bahwa prinsip business judgment rule bukan merupakan derivasi dari prinsip fiduciary duty. Prinsip fiduciary duty dan business judgment rule, masing-masing, merupakan bagian dari prinsip hukum PT yang masing-masing berdiri sendiri. Namun penulis bermaksud untuk menjelaskan keberadaan business judgment rule dalam kaitannya dengan fiduciary duty. Business judgment rule merupakan satu-satunya pertahanan yang dapat dipakai oleh Direksi yang beritikad baik dalam melindungi dirinya dari gugatan pemegang saham ataupun kreditor akibat kerugian Perseroan yang disebabkan oleh keputusan Direksi. Business judgment rule hanya akan melindungi Direksi yang telah melaksanakan fiduciary duty-nya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, sehingga business judgment rule akan berperan dalam: a. Melindungi tanggung jawab pribadi seorang Direksi apabila terjadi pelanggaran; b. Membagi tanggung jawab di antara Perseroan dan Direksi, manakala terjadi kerugian Perseroan akibat keputusan Direksi. c. Memberlakukan pembenaran-pembenaran terhadap keputusan bisnis Direksi;
166
d. Mencegah pengadilan-pengadilan untuk mempertanyakan pengambilan keputusan bisnis oleh Direksi, yang diambil dengan itikad baik, tanpa kepentingan pribadi, dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa Direksi telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan Perseroan; e. Memberikan beban pembuktian kepada pihak yang menyangkal berlakunya business judgment rule bagi Direksi terhadap suatu keputusan atau tindakan bisnis tertentu yang mengatasnamakan Perseroan, untuk membuktikan bahwa Direksi dalam mengambil keputusan atau tindakan tidak mendasarkannya pada prinsip fiduciary duty. f. Memberikan izin kepada pengadilan untuk melakukan scrutiny (penilaian) terhadap setiap keputusan dari Direksi, untuk memeriksa dan meneliti secara obyektif terhadap kualitas keputusan Direksi yang dilakukan secara limitatif. Penilaian tersebut tidak untuk menilai sesuai atau tidaknya keputusan Direksi dengan kebijakan bisnis, namun sepanjang untuk memutuskan apakah keputusan Direksi tersebut memenuhi syarat-syarat berikut: 1) Sesuai dengan hukum yang berlaku; 2) Dilakukan dengan itikad baik; 3) Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose); 4) Mempunyai dasar-dasar yang rasional; 5) Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa; 6) Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya (reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi Perseroan. Sebuah keputusan bisnis yang dilakukan oleh Direksi hanya dimengerti oleh pihak yang bergerak di bidang yang sejenis dan hakim tidak mungkin mengerti substansi dan rasionalitas di balik keputusan tersebut. Beberapa tindakan Direksi yang tidak dilindungi oleh business judgment rule antara lain adalah jika tindakan atau keputusan Direksi tersebut didasarkan pada/mengandung suatu kecurangan (fraud) atau lahir dari suatu conflict of interest tanpa suatu keterbukaan atau merupakan perbuatan melawan hukum (illegality) atau menerbitkan kerugian sebagai akibat kelalaian berat (gross negligence). Direksi yang melanggar fiduciary duty tidak dilindungi oleh business judgment rule. Dengan kata lain, terjadi atau tidaknya pelanggaran terhadap fiduciary duty oleh Direksi dalam
167
suatu Perseroan diukur dengan mempergunakan business judgment rule, dengan memperhatikan kepentingan Perseroan, pemegang saham Perseroan, khususnya pemegang saham minoritas, serta pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan Perseroan, termasuk para kreditor. Sehubungan dengan tidak diselenggarakannya RUPS Luar Biasa oleh Direksi, akan memberikan peluang bagi diajukannya gugatan melalui pengadilan negeri terhadap Direksi oleh pemegang saham, atas nama Perseroan, yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dengan pokok gugatan adanya kesalahan atau kelalaian Direksi yang menimbulkan kerugian pada Perseroan. Direksi akan bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan, jika gugatan tersebut dikabulkan. Seperti yang telah diuraikan, business judgment rule akan melindungi Direksi dari tanggung jawab pribadi asalkan Direksi tersebut telah melaksanakan fiduciary duty-nya. Keputusan Direksi yang menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, setelah dengan penuh kecermatan dan kehati-hatian melihat serta menilai bahwa
tidak
ada
urgensi
kepentingan
Perseroan
yang
menghendaki
diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut, akan dilindungi berdasarkan prinsip business judgment rule, meskipun tindakan atau keputusan Direksi tersebut telah menimbulkan kerugian bagi Perseroan. Dalam beberapa kasus di luar Indonesia, mengenai keputusan Direksi yang tidak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa atas permintaan pemegang saham, pengadilan-pengadilan berpendapat bahwa: "if the objects for which a meeting is
168
requisitioned cannot be legally carried into effect in any manner, the directors are justified in refusing to act on the requisition 240 , and the requisitionists cannot convene a meeting themselves following such a justified refusal 241 . If one of several objects cannot be legally effected then the directors are justified in omitting that object from the notice of the meeting they convene, but they must convene a meeting to consider the other objects". 242 Jika alasan permintaan RUPS Luar Biasa tidak sah menurut hukum, Direksi berhak untuk menolak permintaan tersebut, dan RUPS Luar Biasa tidak boleh diselenggarakan berdasarkan alasan yang ditolak tersebut. Jika sebagian alasan permintaan RUPS Luar Biasa tidak sah menurut hukum, Direksi berhak menghapus alasan yang tidak sah tersebut dari mata acara RUPS Luar Biasa, namun Direksi harus menyelenggarakan RUPS Luar Biasa untuk alasan yang sah lainnya. Perlindungan melalui prinsip business judgment rule tersebut akan semakin nyata jika ternyata penolakan Direksi untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa disebabkan oleh penilaian Direksi bahwa: a. Tidak adanya urgensi kepentingan Perseroan yang menghendaki diselenggarakannya RUPS Luar Biasa tersebut.
240
Isle of Wight Railway Co. v. Tahourdin (1883) 25 ChD 320 at p. 334; National Roads and Motorists’ Association v. Parker (1986) 6 NSWLR 517; dan Rose v McGivern. Stephen W. Mayson, Derek French, Christopher L. Ryan. Op. Cit. Hlm. 396. 241
Queensland Press Ltd v. Academy Instruments No. 3 Pty Ltd [1988] 2 QdR 575; Windsor v. National Mutual Life Association of Australasia (1992) 106 ALR 282. Ibid. 242
Turner v. Berner [1978] 1 NSWLR 66 dan Totally and Permanently Incapacitated Veterans’ Association of NSW Ltd v Gadd (1998) 28 ACSR 549. Ibid.
169
b. Agenda rapat yang diminta untuk dibahas atau disetujui dalam RUPS Luar Biasa akan membawa dampak buruk terhadap kepentingan Perseroan atau bertentangan dengan hukum; c. Permintaan RUPS Luar Biasa diajukan secara bertentangan dengan hukum. d. Permintaan RUPS Luar Biasa tidak disertai dengan pembuktian secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan adanya kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS Luar Biasa. Sehubungan dengan hal tersebut, jika terhadap Direksi diajukan derivative action oleh pemegang saham, maka Direksi dapat berlindung pada prinsip business judgment rule, yang dalam UU PT mengacu pada ketentuan Pasal 97 ayat (5) yang menentukan bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Perseroan apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
170
Di samping itu, Pasal 97 ayat (7) UU PT 243 juga memberikan peluang bagi Direksi untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan untuk kepentingan Perseroan. Jika RUPS Luar Biasa memutuskan memberhentikan Direksi akibat perubahan susunan Direksi dan/atau Dewan Komisaris, karena sifat hubungan Direksi dengan Perseroan adalah hubungan kontraktual yang tidak melahirkan hubungan kerja, maka ia dapat menggugat keabsahan keputusan tersebut, apabila keputusan RUPS Luar Biasa ternyata diambil bertentangan dengan prosedur sebagaimana diatur oleh UU PT dan/atau anggaran dasar. Jika Direksi menang, maka ada dua kemungkinan keputusan yang dikeluarkan, yaitu: a. pemberhentiannya batal demi hukum (seandainya ada prosedur yang dilanggar); atau b. ia tetap diberhentikan dan memperoleh kompensasi (seandainya tidak ada prosedur yang dilanggar, namun pemberhentiannya dilakukan dengan alasan yang tidak wajar). 244 Tanggung jawab Direksi atas pengurusan Perseroan harus didasarkan pada prinsip fiduciary duty, yang standarnya didasarkan pada duty of care dan duty of loyalty. Sedangkan untuk pembelaan Direksi yang beritikad baik dapat dilindungi melalui prinsip business judgment rule.
243
Pasal 97 ayat (7) UU PT menentukan bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan. 244
Hendra Setiawan Boen. Menyelenggarakan RUPS. Op. Cit.
Tanggung
Jawab
Direksi
Untuk
Memanggil
dan
171
Fiduciary duty hanya dimiliki oleh Direksi yang memegang kebebasan cukup besar untuk menentukan jalannya Perseroan, sedangkan business judgment rule adalah wujud pembelaan bagi Direksi apabila dia dituduh telah mengambil keputusan bertentangan dengan fiduciary duty-nya. Relevansi pemberlakuan business judgment rule terhadap pelaksanaan fiduciary duty tersebut adalah sepanjang Direksi masih memiliki diskresi dan kewenangan penuh dalam menentukan kebijakan menjalankan roda Perseroan. Sebaliknya, business judgment rule akan menjadi sia-sia penerapannya jika dalam suatu Perseroan keputusan pemegang saham berpengaruh besar dalam Perseroan dan Direksi hanya pelaksana di lapangan, misalnya terdapat seorang atau beberapa orang pemegang saham mayoritas yang bermaksud untuk mengendalikan jalannya Perseroan. Kasus I (Perkara PT. MOEIS) Sebuah kasus, yang dapat menggambarkan bagaimana Direksi melaksanakan fiduciary duty dan mendapat perlindungan dari business judgment rule, yaitu perkara perdata antara PT. MOEIS (dalam hal ini bertindak selaku penggugat dengan diwakili oleh H. Muchrid Nasution, S.E., selaku Direktur Utama) melawan para ahli waris Almarhum Abdul Muis Nasution yaitu Dahlina Nasution (tergugat I), Zulkarnaen Nasution (tergugat II), Abdul Munir Nasution (tergugat III), Dahlia Nasution (tergugat IV) dan Yusuf Valentino Nasution (tergugat V), serta Notaris, Reny Helena Hutagalung, S.H. (tergugat VI). Adapun perkara tersebut telah diputus oleh
172
Pengadilan Negeri Medan dengan nomor putusan No. 115/Pdt.G/2003/PN-Mdn. tertanggal 23 Desember 2003. 245 Berikut adalah uraian singkat kasus tersebut. Kasus Posisi (Perkara PT. MOEIS) Perkara tersebut berawal dari penggugat yang sangat keberatan dengan tindakan tergugat I s/d tergugat V yang telah mengajukan permohonan penetapan izin untuk menyelenggarakan sendiri RUPS Luar Biasa (RUPS LB) PT. MOEIS kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 23 Desember 2002. Permohonan tersebut kemudian dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Medan melalui Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 978/Pdt.P/2002/PN-Mdn. tertanggal 27 Desember 2002, yang pada pokoknya mengabulkan permohonan pemohon tersebut, serta selanjutnya memberikan izin kepada pemohon selaku pemilik/pemegang saham pada "PT. MOEIS" untuk menyelenggarakan RUPS LB PT. MOEIS. Penetapan tersebut sekaligus menetapkan para pemohon, yaitu Dahlina Nasution, Zulkarnaen Nasution, Abdul Munir Nasution, Dahlia Nasution, dan Yusuf Valentino Nasution, sebagai pemilik dan pemegang mayoritas saham PT. MOEIS dan karenanya bertindak sebagai ketua rapat dan merangkap anggota, dan menetapkan RUPS LB PT. MOEIS dapat dilaksanakan sewaktu-waktu dengan memilih tempat di domisili kedudukan kantor pemohon atau di tempat lain yang dianggap baik oleh pemohon.
245
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor Register 115/Pdt.G/2003/PN-Mdn. yang telah dibacakan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada tanggal 23 Desember 2003, yang dipimpin oleh Majelis Hakim Abid Saleh Mendrofa, S.H. (Ketua), Surya Perdamaian, S.H. dan Kurnia Yani Darmono, S.H. (masing-masing anggota), serta dibantu oleh Rosmeri Sitinjak, S.H. sebagai Panitera Pengganti.
173
Pada pokoknya, pemohon dalam permohonan tersebut mendalilkan bahwa pemohon (tergugat I s/d tergugat V) adalah selaku pemilik dan pemegang saham mayoritas, serta selaku ahli waris dari Almarhum Abdul Muis Nasution, sesuai dengan Berita Acara RUPS PT. MOEIS No. 82 tanggal 11 Maret 1964 yang dibuat oleh Notaris Ong Kiem Lian. Penggugat kemudian menyangkalnya dalam gugatannya tertanggal 11 April 2003, yang diajukannya kepada Pengadilan Negeri Medan. Penggugat mendalilkan bahwa kepemilikan dan pemegang saham PT. MOEIS telah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu dengan Akta Berita Acara tanggal 23 Nopember 1960 No. 81 yang dibuat oleh Ong Kiem Lian, pada waktu itu Notaris di Medan, Akta Perubahan Anggaran Dasar No. 100 tanggal 14 Maret 1964 dibuat oleh Notaris yang sama, kemudian disetujui oleh Menteri Kehakiman RI tanggal 16 April 1964 No. J.A.5/49/25, kemudian dirubah susunan direksinya dengan Akta tanggal 11 Maret 1964 No. 82 yang dibuat di hadapan Ong Kiem Lian, pada waktu itu Notaris di Medan, dirubah lagi dengan Akta Berita Acara No. 21 tanggal 12 Juli 1985 dan Akta Berita Acara No. 36 tanggal 22 Juni 1988, keduanya dibuat oleh Roesli, S.H., pada waktu itu Notaris di Medan, dan kedua akta tersebut telah disetujui oleh Menteri Kehakiman RI dengan keputusannya pada tanggal 15 September 1988 No. C28690.HT.01.04 tahun 1988. Sedangkan susunan para pemegang saham yang terakhir dari Perseroan tersebut adalah seperti ternyata dalam Akta Berita Acara Rapat No. 40 tanggal 17 Januari 1994 yang dibuat oleh Syahril Sofyan, S.H., Notaris di Medan, selanjutnya telah dirubah dengan Akta Berita Acara No. 59 tanggal 22 Januari 1994, berhubungan dengan Akta Perubahan No. 28 tanggal 15 September 1994, keduanya
174
dibuat oleh Notaris yang sama dan telah memperoleh persetujuan dari Menteri Kehakiman RI dengan keputusannya tanggal 07 September 1994 No. C216720.HT01.04 tahun 1994 dan terakhir susunan direksi dan komisarisnya sebagaimana ternyata dalam Akta Risalah Rapat PT. MOEIS No. 17 tanggal 23 Maret 1998 yang dibuat di hadapan Sutrisno, S.H., Notaris di Medan. Bahwa para pemegang saham dalam PT. MOEIS yang terakhir adalah sebagaimana termaktub dalam Akta Berita Acara Rapat No. 40 tanggal 17 Januari 1994, berhubungan dengan Akta No. 38 dan Akta No. 39, masing-masing tanggal 17 Januari 1994, yang ketiganya dibuat di hadapan Sutrisno, S.H., Notaris di Medan, sebagai berikut: H. Muchrid Nasution, S.E., memiliki 52 % saham; Nasrullah Nasution, memiliki 28 % saham; Almarhum Abdul Muis Nasution, memiliki 20 % saham. Susunan pengurus terakhir berdasarkan Akta No. 17 tanggal 23 Maret 1998 yang dibuat di hadapan Sutrisno, S.H., Notaris di Medan, adalah sebagai berikut: Direktur Utama
: H. Muchrid Nasution, S.E.
Direktur
: Maskuddin Nasution
Direktur
: Ir. Hendra Karya Lubis
Komisaris Utama
: Nasrullah Nasution
Komisaris
: H. Hasyim Abdullah
Selanjutnya, penggugat juga mendalilkan bahwa tergugat I s/d tergugat V, dalam mengajukan permohonan tersebut, telah mengajukan surat-surat bukti berupa
175
fotocopy yang tidak ada aslinya, karena asli bukti-bukti tersebut ada pada penggugat, namun diajukan seolah-olah telah ada aslinya. Berdasarkan hal tersebut, penggugat mendalilkan bahwa tindakan tergugat I s/d tergugat V tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum yang merugikan penggugat selaku Direktur, dan pemegang saham lainnya. Penggugat meminta dalam petitumnya agar tindakan dan akta-akta yang terbit berdasarkan RUPS LB tersebut dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Tergugat I s/d tergugat V membantah gugatan penggugat tersebut, yang pada pokoknya berpendapat bahwa gugatan penggugat rancu karena menguraikan perubahan-perubahan Akta PT. MOEIS dari tahun 1960 s/d tahun 1994, tetapi tidak dijelaskan sebab-sebab perubahan tersebut, sehingga penggugat sengaja mengaburkan sejarah keberadaan PT. MOEIS. Padahal perubahan kepemilikan saham dan atau kepengurusan PT. MOEIS tanpa melibatkan tergugat I s/d tergugat V adalah cacat hukum dan tidak sah, sehingga harus dibatalkan, sedangkan tergugat I s/d tergugat V yang adalah pemilik dan pemegang saham mayoritas PT. MOEIS tentunya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Medan untuk meminta izin pelaksanaan RUPS LB, dan mengenai segala penilaian bukti-bukti yang diajukannya untuk dikabulkannya penetapan tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Medan. Dengan demikian pengajuan permohonan izin pelaksanaan, proses penjatuhan penetapan sampai dengan penyelenggaraan RUPS LB PT. MOEIS tersebut bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum, mengingat penetapan tersebut merupakan suatu penetapan instansi pertama dan terakhir, sehingga tidak ada upaya
176
hukum untuk mengadakan perlawanan. Selanjutnya, tergugat I s/d tergugat V mendalilkan bahwa penggugat telah menguasai PT. MOEIS secara melawan hukum dengan cara mengingkari keberadaan akta yang dibuat dan disahkan pada masa Almarhum Abdul Muis Nasution masih hidup, sehingga merugikan hak-hak tergugat I s/d tergugat V selaku pemilik dan pemegang saham PT. MOEIS. Demikian pula tergugat VI pada pokoknya juga menyangkal gugatan penggugat. Setelah melalui serangkaian persidangan, Majelis Hakim mendapati bahwa yang menjadi pokok permasalahan/sengketa dalam perkara ini adalah: 1. Apakah benar tergugat I s/d tergugat V telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang merugikan hak-hak penggugat, sehubungan dengan perbuatannya yang telah mengajukan permohonan dan mengajukan suratsurat bukti ke Pengadilan Negeri Medan, untuk mendapatkan izin serta dilaksanakannya RUPS LB PT. MOEIS. 2. Bagaimanakah sesungguhnya legal status (status hukum) dan legal capacity (kapasitas hukum) tergugat I s/d tergugat V dan atau Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 978/Pdt.P/2002/PN-Mdn. tanggal 27 Desember 2002, sehubungan dengan penyelenggaraan RUPS LB PT. MOEIS tersebut. Majelis Hakim menimbang bahwa maksud dan tujuan ketentuan-ketentuan penyelenggaraan RUPS suatu Perseroan sesungguhnya adalah untuk melindungi secara seimbang kepentingan pengurus suatu Perseroan dan pemegang saham selaku subyek hukum yang mempunyai hak perseorangan atau personal right yang dapat
177
dipertahankan serta dapat dituntut pelaksanaan haknya, melalui mekanisme penyelenggaraan RUPS. Jadi, pengajuan permohonan izin penyelenggaraan RUPS ke Pengadilan Negeri dilakukan manakala yang bersangkutan merasakan haknya telah dilanggar karena tindakan Perseroan yang dirasakan tidak adil (unfair) dan atau tanpa alasan yang wajar, sebagai akibat keputusan Direksi dan atau Dewan Komisaris, sehubungan dengan penyelenggaraan RUPS. Majelis Hakim menimbang bahwa perbuatan melawan hukum melanggar hak subyektif orang lain haruslah diartikan manakala perbuatan tersebut telah melanggar hak subyektif seseorang, yaitu suatu kewenangan khusus seseorang yang diakui oleh hukum, yang diberikan kepadanya demi kepentingannya termasuk hak-hak kebendaan. Dalam hal ini, hak subyektif tersebut mengenai penyelenggaraan RUPS LB PT. MOEIS yang melekat pada diri penggugat selaku Direktur Utama dan pemegang saham. Majelis Hakim selanjutnya mendasarkan perbuatan melawan hukum tersebut pada Pasal 1365 KUH Perdata yang menentukan bahwa "tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut". Selanjutnya dalam menguraikan unsur-unsur perbuatan melawan hukum tersebut, didasarkan pada Yurisprudensi Tetap Indonesia, yang menguraikan perbuatan melawan hukum ke dalam empat unsur yang bersifat alternatif, artinya dengan dipenuhinya salah satu unsur tersebut, telah terpenuhi pula syarat suatu perbuatan melawan hukum. Keempat unsur tersebut yaitu:
178
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau 2. Melanggar hak subyektif orang lain, atau 3. Melanggar kaidah tata susila, atau 4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, dalam putusannya, menimbang bahwa untuk menentukan apakah tindakan tergugat I s/d tergugat V adalah suatu perbuatan melawan hukum yang merugikan penggugat, tentunya selain diperhatikan unsur-unsur dan kriteria, serta syarat adanya suatu perbuatan melawan hukum, yang utama dan harus dipertimbangkan adalah adanya kewajiban yang bertimbal balik dan seimbang antara penggugat selaku Direktur PT. MOEIS. Apakah penggugat telah melaksanakan tugasnya dengan itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab (with full sense of responsibility), dalam hubungannya dengan tindakan tergugat I s/d tergugat V yang telah mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Negeri Medan dan melaksanakan RUPS LB PT. MOEIS tersebut, sebagai derivative action yang lahir dari alas hak utama (a primary right) selaku pemegang saham. Selanjutnya, menimbang bahwa ternyata status hukum dan kapasitas hukum penggugat untuk mewakili tindakan hukum PT. MOEIS telah diakui oleh tergugat I s/d tergugat V, sebagaimana telah dibuktikan oleh adanya permintaan tertulis dari tergugat I s/d tergugat V kepada penggugat untuk menyelenggarakan RUPS LB PT.
179
MOEIS. Namun hal tersebut menurut tergugat I s/d tergugat V tidak pernah dihiraukan oleh penggugat, sehingga setelah lewat waktu dari batas yang ditentukan oleh undang-undang, maka diajukanlah permohonan izin penyelenggaraan RUPS LB PT. MOEIS tersebut ke Pengadilan Negeri Medan. Selanjutnya, menimbang bahwa tindakan tergugat I s/d tergugat V untuk mengajukan permintaan RUPS LB PT. MOEIS kepada penggugat dan ke Pengadilan Negeri Medan, ternyata didasarkan pada haknya selaku pemegang saham sesuai Berita Acara RUPS No. 82 tanggal 11 Maret 1964. Namun penggugat berdasarkan suratsurat bukti telah dapat membuktikan bahwa ternyata kepengurusan dan kepemilikan saham PT. MOEIS telah mengalami beberapa kali perubahan dan terakhir sebagaimana tercantum dalam Akta Berita Acara Rapat No. 40 tanggal 17 Januari 1994, dan susunan pengurusnya didasarkan pada Akta No. 17 tanggal 23 Maret 1998. Selanjutnya, menimbang bahwa atas kepengurusan dan peralihan saham dimaksud, ternyata telah diketahui oleh tergugat I s/d tergugat V, bahkan tergugat I s/d tergugat V telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Medan sesuai register perkara No. 215/Pdt.G/1998/PN-Mdn., dan atas perkara tersebut telah dijatuhi putusan oleh Pengadilan Negeri Medan dalam putusan No. 215/Pdt.G/1998/PN-Mdn. tanggal 30 Nopember 1998 yang menolak seluruh gugatan penggugat, dan putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 330/PDT/1999/PTMdn. tanggal 3 Nopember 1999. Oleh karena itu, sejak semula tergugat I s/d tergugat V telah mengetahui bahwa kedudukannya sebagai pemegang saham PT. MOEIS masih menjadi permasalahan, sehingga tindakannya mengajukan permohonan izin dan
180
melaksanakan RUPS LB PT. MOEIS berdasarkan alasan selaku pemegang saham dan pemilik PT. MOEIS sesuai Akta No. 82 tahun 1964, jelas bertentangan dan melanggar hak subyektif penggugat. Dengan demikian tindakan tergugat I s/d tergugat V yang mengajukan permohonan izin penyelenggaraan RUPS LB PT. MOEIS ke Pengadilan Negeri Medan, serta dilaksanakannya RUPS LB PT. MOEIS pada tanggal 30 Januari 2003 berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 978/Pdt.P/2002/PN-Mdn. tanggal 27 Desember 2002 merupakan perbuatan melawan hukum yang melanggar hak subyektif penggugat dan bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukumnya, dan oleh karena penggugat telah berhasil membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya, dan sebaliknya tergugat I s/d tergugat V telah tidak berhasil membuktikan kebenaran dalil-dalil sangkalannya, Pengadilan Negeri Medan akhirnya menjatuhkan putusan yang pada pokoknya mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan oleh karenanya menyatakan tindakan tergugat I s/d tergugat V dalam mengajukan permohonan penetapan izin RUPS LB PT. MOEIS kepada Pengadilan Negeri Medan sesuai dengan Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 978/Pdt.P/2002/PN-Mdn. tanggal 27 Desember 2002 adalah perbuatan melawan hukum. Selanjutnya, Pengadilan Negeri Medan juga menyatakan Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 978/Pdt.P/2002/PN-Mdn. tanggal 27 Desember 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum, dan oleh karenanya membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
181
RUPS LB PT. MOEIS dan Akta Berita Acara RUPS LB PT. MOEIS No. 54 tanggal 30 Januari 2003 yang dibuat di hadapan Notaris Reny Helena Hutagalung, S.H., sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh tergugat I s/d tergugat V yang timbul atas hasil Keputusan RUPS LB PT. MOEIS tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum. Analisis Kasus (Perkara PT. MOEIS) Direktur Utama PT. MOEIS, selaku penggugat dalam kasus tersebut di atas, merupakan pengurus Perseroan dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan dari PT. MOEIS di dalam dan di luar pengadilan. Direktur Utama PT. MOEIS, bersama-sama dengan direktur-direktur lainnya secara kolegial, haruslah melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam kapasitasnya selaku pengurus dan yang mewakili PT. MOEIS berdasarkan fiduciary duty yang dibebankan oleh undang-undang dan anggaran dasar kepadanya. Tugas dan wewenang tersebut harus dilaksanakannya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan prinsip duty of loyalty dan duty of care, serta kecakapan. Penyelenggaraan RUPS merupakan salah satu kewajiban Direksi dalam menjalankan tugasnya dalam rangka mengurus Perseroan. Selain menyelenggarakan RUPS Tahunan, Direksi juga wajib menyelenggarakan RUPS LB untuk kepentingan Perseroan semata-mata. Dalam kapasitasnya sebagai pengurus Perseroan, Direksi PT. MOEIS harus bertindak untuk kepentingan Perseroan semata-mata, termasuk menyelenggarakan RUPS LB untuk kepentingan PT. MOEIS.
182
Dalam kasus tersebut di atas, permintaan RUPS LB diajukan oleh tergugat I s/d tergugat V yang mendalilkan bahwa mereka adalah pemegang saham dan selaku pemilik PT. MOEIS yang bersama-sama mewakili lebih dari 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah. Tergugat I s/d tergugat V mengajukan permintaan menyelenggarakan RUPS LB tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 66 UU PT lama. Dalam kapasitasnya sebagai pengurus Perseroan, Direksi PT. MOEIS seharusnya menyelenggarakan RUPS LB tersebut, namun menolaknya. Direksi justru menilai bahwa permintaan menyelenggarakan RUPS LB tersebut diajukan secara melawan hukum. Tergugat I s/d tergugat V, yang mendalilkan bahwa mereka sebagai pemilik sekaligus pemegang saham mayoritas PT. MOEIS, menggunakan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU PT lama untuk memohon penyelenggaraan RUPS LB kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan. Ironisnya, permohonan tersebut dikabulkan dan RUPS LB tersebut diselenggarakan berdasarkan perintah Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 978/Pdt.P/2002/PN-Mdn. yang mengizinkan penyelenggaraan RUPS LB tersebut. Menurut ketentuan Pasal 79 ayat (2) huruf a UU PT, tergugat I s/d tergugat V memiliki hak untuk mengajukan permintaan penyelenggaraan RUPS LB, karena tergugat I s/d tergugat V, masing-masing, merupakan ahli waris Alm. Abdul Muis Nasution yang memiliki persentase kepemilikan saham sebesar 20 % pada PT. MOEIS. Namun alasan tergugat I s/d tergugat V yang mendalilkan dirinya sebagai
183
pemilik sekaligus pemegang saham mayoritas PT. MOEIS adalah bertentangan dengan hukum. Penulis berpendapat bahwa Direksi telah mengeluarkan keputusan menolak penyelenggaraan RUPS LB. Penolakan tersebut didasarkan pada kecermatan dan kehati-hatiannya dalam melakukan pengurusan PT. MOEIS. Permintaan RUPS LB telah dilakukan bertentangan dengan undang-undang dan/atau anggaran dasar, sehingga keputusan menolak tersebut berguna untuk melindungi kepentingan PT. MOEIS serta pemegang saham PT. MOEIS lainnya. Penulis berpendapat keputusan penolakan tersebut adalah yang terbaik bagi kepentingan PT. MOEIS. Selanjutnya, Direksi mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap para pemohon penyelenggaraan RUPS LB tersebut (tergugat I s/d tergugat V). Gugatan tersebut diajukan oleh Direktur Utama, untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan dari PT. MOEIS. Penulis melihat dalam hal ini Direktur Utama mengajukan gugatan, selain untuk melindungi hak subyektif Direksi PT. MOEIS, adalah untuk melindungi kepentingan PT. MOEIS, termasuk pemegang saham yang sah lainnya dari PT. MOEIS. Dalam hal ini Direktur Utama melaksanakan tugasnya untuk mewakili PT. MOEIS di dalam pengadilan serta untuk melaksanakan kewajibannya melindungi kepentingan PT. MOEIS. Gugatan Direktur Utama tersebut kemudian dikabulkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 115/Pdt.G/2003/PN-Mdn. Putusan tersebut sekaligus untuk
membatalkan
berlakunya
Penetapan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
978/Pdt.P/2002/PN-Mdn., dan oleh karenanya menjadikan batal demi hukum RUPS
184
LB yang telah dilaksanakan beserta akibat-akibat hukumnya. Penulis berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut secara tidak langsung membenarkan Keputusan Direksi PT. MOEIS yang menolak menyelenggarakan RUPS LB. Business judgment rule, selain akan memberikan perlindungan bagi Direksi yang telah melaksanakan fiduciary duty dari tanggung jawab pribadi, juga memberikan pembenaran terhadap keputusan atau tindakan Direksi yang telah dilakukan dalam rangka melindungi kepentingan Perseroan. Dalam hal ini, penulis menilai bahwa sudah tepat kiranya Pengadilan Negeri Medan memberikan pembenaran atas keputusan Direksi PT. MOEIS yang menolak menyelenggarakan RUPS LB, sekaligus memutuskan bahwa tergugat I s/d tergugat V telah melakukan perbuatan melawan hukum karena dengan tanpa wenang menyelenggarakan RUPS LB yang merugikan hak subyektif dari penggugat. Putusan pembenaran keputusan Direksi tersebut juga disebabkan oleh karena tergugat I s/d tergugat V tidak mampu membuktikan kesalahan dari Direksi PT. MOEIS. Sebaliknya, Direktur Utama berhasil membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, bahkan telah melakukan tindakan yang didasarkan dengan itikad baik disertai kecermatan dan kehati-hatian dalam menolak menyelenggarakan RUPS LB tersebut. Direksi memiliki dasar pemikiran yang rasional dalam mengeluarkan keputusannya tersebut. Kasus tersebut di atas menggambarkan bagaimana Direksi menolak menyelenggarakan RUPS LB, namun keputusannya yang menolak menyelenggarakan
185
RUPS LB tersebut dibenarkan oleh pengadilan. Direksi berpendapat bahwa permintaan penyelenggaraan RUPS LB tersebut bertentangan dengan hukum. Tentunya dalam kasus tersebut, penyelenggaraan RUPS LB didasarkan pada ketentuan Pasal 66 dan 67 UU PT lama, yang tidak memiliki perbedaan prinsipil dengan UU PT baru. Untuk memperoleh pembenaran pengadilan tersebut, Direksi telah menggunakan haknya, yang kemudian telah diatur dalam Pasal 97 ayat (7) UU PT 246 , untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan, yang dalam hal tersebut atas nama PT. MOEIS. Penolakan Direksi untuk menyelenggarakan RUPS LB tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak ada kesalahan dari Direksi, tidak menimbulkan kerugian bagi Perseroan, tidak bertentangan dengan kewajiban hukum Direksi, tidak melanggar hak subyektif pemegang saham, dan tidak bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta kehati-hatian yang didasarkan pada fiduciary duty, yang seharusnya dimiliki Direksi sebagai pengurus Perseroan. Kasus II (Perkara PT. Semen Padang) Selanjutnya, terdapat sebuah kasus dengan kasus posisi yang pada pokoknya sama, namun berbeda dalam penyelesaiannya. Kasus tersebut adalah sengketa antara pemegang saham mayoritas PT. Semen Padang (selanjutnya disebut SP), yaitu PT. Semen Gresik (Persero), Tbk. (selanjutnya disebut SG), melawan Direksi SP. SG adalah sebagai pemegang 99,99 % saham SP atau pemilik 332.000.000 lembar saham SP yang disetorkan. Pada pokoknya, SG ingin mengganti seluruh anggota Direksi SP, 246
Ketentuan Pasal 97 ayat (7) UU PT tersebut belum diatur dalam UU PT lama.
186
sehingga mereka menginginkan diadakannya RUPS LB. Sementara Direksi SP menolak untuk mengadakan RUPS LB. SG lalu mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Padang berdasarkan Pasal 66 ayat (2) UU PT lama untuk diizinkan menyelenggarakan sendiri RUPS LB tersebut. Berikut adalah uraian singkat kasus tersebut. Kasus Posisi (Perkara PT. Semen Padang) 247 Kasus ini dimulai pada tanggal 30 April 2002 ketika SG, sebagai pemegang saham mayoritas SP, mengajukan permintaan tertulis kepada Direksi Perseroan untuk menyelenggarakan RUPS LB. Berdasarkan anggaran dasar Perseroan, RUPS tersebut harus dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan tersebut diterima, dalam hal ini berarti selambat-lambatnya tanggal 30 Mei 2002 RUPS LB tersebut harus diselenggarakan. Namun atas permintaan SG tersebut, pada tanggal 29 Mei 2002, Direksi SP menolak permintaan penyelenggaraan RUPS LB tersebut.
247
1.
2. 3. 4. 5. 6.
Data kasus diperoleh dari: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Perkara Semen Padang. 2009. Available at MaPPI-fHUI. http://www.pemantauperadilan.com. Diakses tanggal 22 Juni 2009. Kompas Online. MA Kabulkan Permohonan Kasasi PT Semen Gresik. 30 April 2003 http://64.203.71.11/kompas-cetak/0304/30/finansial/285444.htm. Diakses tanggal 24 Maret 2009. PT. Semen Gresik (Persero) Tbk dan Anak Perusahaan. Laporan Keuangan Konsolidasian. www.semengresik.com/ina/file.axd?file=Annual_Report_2006. pdf. Diakses tanggal 7 Juli 2009. Hukumonline. MA Ijinkan Semen Gresik Adakan RUPSLB untuk Ganti Direksi. 30 April 2003. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com. Diakses tanggal 12 Agustus 2009. Hukumonline. Perseteruan Internal di Semen Padang Berlanjut. 26 Juni 2003. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com. Diakses tanggal 12 Agustus 2009. Hukumonline. Pengadilan Tinggi Sumbar Tolak Akui Legal Standing Kasus Saham Semen Padang. 24 Juni 2005. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com. Diakses tanggal 12 Agustus 2009.
187
Kedudukan SG sebagai pemegang saham mayoritas SP didasarkan pada pengalihan saham SP dari pemerintah Indonesia (Kementerian Negara BUMN dan Departemen Keuangan) kepada SG yang dilakukan dengan Perjanjian Jual Beli Bersyarat No. 194 tertanggal 30 Mei 1995 dan Berita Acara Serah Terima Saham tertanggal 15 September 1995. Perjanjian pengalihan saham tersebut disinyalir hanya berupa perjanjian pura-pura (protorma). Karena kenyataannya selaku pembeli, SG tidak pernah melakukan pembayaran tunai atas saham SP. Nilai pembayaran yang seharusnya dikeluarkan SG adalah sebesar Rp. 152 miliar kepada negara Indonesia. Selain itu, penjualan saham SP kepada SG oleh Kementerian Negara BUMN dan Departemen Keuangan hanya didasarkan pada Surat Menteri Keuangan. Padahal sebagai perusahaan negara, pengalihan saham SP seharusnya didasarkan pada Peraturan Pemerintah. Atas penolakan tersebut, dengan didasarkan pada Pasal 67 ayat (1) huruf b UU PT lama, SG mengajukan permohonan untuk memanggil sendiri RUPS LB kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Padang pada tanggal 5 Juni 2002. PN Padang menolak seluruh permohonan SG melalui Penetapan PN Padang No. 93/PDT/P/2002/PN-Pdg. tertanggal 12 Juni 2002. Dalam penetapannya, Ketua PN Padang menyatakan surat SG kepada Direksi SP tidak memenuhi persyaratan formal sebagai suatu surat permintaan pemegang saham untuk meminta penyelenggaraan RUPS LB kepada Direksi SP, karena tanpa disertai alasan untuk penggantian Direksi dan Komisaris SP, sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 66 ayat (3) UU PT lama dan Pasal 19 ayat (2) Anggaran Dasar SP.
188
Setelah ditolaknya permohonan pertama, SG kemudian kembali mengajukan permintaan tertulis kepada Direksi SP melalui surat tanggal 10 Juli 2002 yang isinya kurang lebih meminta kepada Direksi SP agar menyelenggarakan RUPS LB dengan agenda rapat penggantian Direksi dan Komisaris. Surat tersebut sudah menyebutkan alasan mengapa Perseroan perlu menyelenggarakan RUPS LB dengan agenda rapat penggantian Direksi dan Komisaris. Adapun alasan pokok yang disampaikan oleh pemohon adalah untuk meningkatkan kinerja Perseroan yang belum optimal. Namun, atas permohonan yang kedua ini, Direksi SP juga menolak menyelenggarakan RUPS LB. Berdasarkan Pasal 91 ayat (1) UU PT lama jo. Pasal 10 ayat (3) Anggaran Dasar SP ditentukan bahwa anggota Direksi dapat diberhentikan kapan saja oleh RUPS. Demikian pula halnya dengan Dewan Komisaris yang dapat diberhentikan keanggotaannya apabila dianggap perlu oleh pemegang saham dalam RUPS berdasarkan Pasal 101 ayat (1) jo. Pasal 13 ayat (3) Anggaran Dasar SP. Berdasarkan ketentuan tersebut, pemohon, sebagai pemilik mayoritas saham SP, berhak penuh untuk memberhentikan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Perseroan sepanjang pemberhentian tersebut dilakukan dalam RUPS, pemberhentian mana tetap dapat dilaksanakan walaupun masa jabatan dari anggota Direksi dan Dewan Komisaris tersebut belum berakhir. Kemudian, pada tanggal 28 Agustus 2002, SG mengajukan permohonan kepada PN Padang untuk menyelenggarakan sendiri RUPS LB. Permohonan kedua SG juga tidak diterima oleh PN Padang. Dalam Penetapan PN Padang No.
189
124/Pdt/P/2002/PN-Pdg. tanggal 7 September 2002 ditetapkan bahwa surat permohonan SG kepada Direksi SP untuk melaksanakan RUPS LB tidak mendapatkan persetujuan tertulis dari Komisaris Utama dan Wakil Komisaris Utama, namun hanya ditandatangani oleh Direktur Utama dan Direktur Keuangan. Hal tersebut menyimpang dan melanggar ketentuan Pasal 12 ayat (3) huruf i Anggaran Dasar SG. Atas pertimbangan tersebut, PN Padang menyatakan bahwa SG telah melakukan perbuatan melanggar hukum. PN Padang juga menyatakan bahwa surat permohonan tersebut memuat materi permohonan yang sama dengan maksud dan tujuan dengan surat permohonan pemohon yang pertama, sehingga PN Padang menilai bahwa surat permohonan pemohon yang kedua dikualifisir sebagai ne bis in idem. Sebagai tindak lanjut atas Penetapan PN Padang tersebut, SG mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dalam memori kasasinya, SG menyatakan antara lain: 1. Surat permohonan SG kepada SP untuk mengadakan RUPS LB tidak perlu ditandatangani oleh Komisaris Utama dan Wakil Komisaris Utama berdasarkan doktrin tentang PT menurut Fred B. G. Tumbuan dan Chidir Ali yang pada pokoknya berpendapat, bahwa tindakan hukum Direksi yang tanpa persetujuan dari Komisaris ataupun RUPS walaupun hal tersebut melampaui kewenangannya, dan ternyata menguntungkan, tindakan tersebut tetap sah dan mengikat secara hukum bagi perusahaan.
190
2. PN Padang dalam perkara a quo mengambil alih fungsi dan wewenang para pemegang saham serta menyatakan pemohon kasasi telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Menurut doktrin dari Ny. Retno Wulan "bahwa di dalam perkara yang disebut permohonan adalah tidak ada sengketa. Hakim hanya berfungsi sebagai tenaga tata usaha negara dan putusannya bersifat declaratoir atau menerangkan saja", sedangkan menurut Penjelasan Pasal 67 ayat (4) UU PT lama, pada pokoknya menjelaskan maksud dari ketentuan pasal tersebut adalah agar kepentingan para pemegang saham dalam menyelenggarakan RUPS LB dapat dilaksanakan tanpa ada halangan. 3. Asas ne bis in idem tidak berlaku dalam perkara perdata permohonan. Pertimbangan judex factie "bahwa surat permohonan pemohon tanggal 28 Agustus 2002 dikualifisir sebagai ne bis in idem dan bersifat sebagai suatu perbuatan melanggar hukum". Pertimbangan tersebut jelas telah salah dalam menerapkan hukum karena sesuai dengan Pasal 1917 KUH Perdata yang pada pokoknya mengatur untuk dapat menggunakan kekuatan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, permasalahan yang dituntut harus sama. Jadi sesuai dengan Pasal 1917 KUH Perdata, asas ne bis in idem hanya berlaku untuk perkara sengketa gugatan (yurisdictio contentiosa)
dan
bukan
dalam
perkara
permohonan
voluntaris), dan juga pihaknya harus lebih dari satu.
(yurisdictio
191
MA mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi (SG) melalui Putusan MA No. 3252 K/Pdt/2002 tertanggal 17 Maret 2003, yaitu membatalkan Penetapan PN Padang No. 124/Pdt/P/2002/PN-Pdg. dan memberikan izin kepada pemohon untuk menyelenggarakan sendiri RUPS LB dengan agenda rapat tunggal penggantian susunan Direksi dan Komisaris SP. Pada amar putusannya, MA menerima semua permohonan SG. SG memiliki kapasitas hukum dan telah memenuhi prosedur untuk mengajukan permohonan penyelenggaraan RUPS LB. Terkait dengan kasus tersebut adalah masalah kepemilikan saham SG atas SP. Hal tersebut terlihat dengan diajukannya gugatan oleh Yayasan Minang Maimbau kepada PT. Semen Gresik (Persero), Tbk. (tergugat I), Kementerian Negara BUMN (tergugat II), Departemen Keuangan RI (tergugat III) dan PT. Semen Padang (tergugat IV). Yayasan Minang Maimbau menganggap bahwa akuisisi yang dilakukan SG terhadap SP adalah cacat hukum dan harus dibatalkan. Atas gugatan tersebut, Majelis Hakim mengabulkan gugatan provisi penggugat (Yayasan
Minang
Maimbau)
melalui
Putusan
Sela
PN
Padang
No.
21/PDT.G/2003/PN-Pdg. tertanggal 9 Mei 2003, yang salah satu amarnya adalah "menyatakan membekukan segala hak atau keistimewaan yang didapat tergugat I selaku pemegang saham dan memerintahkan tergugat I untuk menghentikan segala tindakan hukum atau perbuatan hukum serta usaha-usaha yang mengatasnamakan pemegang saham dengan segala hak keistimewaan yang didapatnya". Putusan Sela PN Padang membekukan segala hak SG atas SP, tetapi SG tetap menyelenggarakan RUPS LB tanggal 12 Mei 2003 dengan agenda penggantian
192
Direksi dan Komisaris SP. Hasil dari RUPS LB tersebut tidak dapat segera dilaksanakan karena Direksi dan Komisaris lama SP berpegang pada putusan sela PN Padang No. 21/PDT.G/2003/PN-Pdg. tersebut. Walaupun putusan sela tersebut kemudian dikuatkan oleh Putusan PN Padang No. 21/PDT.G/2003/PN-Pdg. tertanggal 31 Maret 2004, namun kemudian dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat tertanggal 15 Juni 2005. Setelah penyelenggaraan RUPS LB tersebut, PN Padang mengeluarkan Putusan Sela No. 45/Pdt.G/2003/PN-Pdg. tertanggal 13 Agustus 2003 dalam perkara antara Ir. Erizal Anwar, dkk. selaku pengurus Koperasi Keluarga Besar SP melawan SG dan Ir. Dwi Soetjipto, dkk. selaku pengurus SP hasil RUPS LB (tergugat I s/d tergugat XII) serta Direksi dan Komisaris SP yang lama (masing-masing selaku turut tergugat). Amar putusan sela tersebut menolak gugatan provisi penggugat, mengabulkan gugatan provisi penggugat rekonvensi, memberi izin penggugat rekonvensi selaku Direksi dan Komisaris SP yang sah untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif sebagaimana mestinya dalam lokasi dan wilayah kerja SP, serta memerintahkan tergugat rekonvensi/penggugat konvensi serta Direksi dan Komisaris SP yang telah diganti berdasarkan RUPS LB 12 Mei 2003 untuk meninggalkan lokasi dan wilayah kerja SP dan menetapkan sanksi untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per hari sejak putusan ini diucapkan.
193
Analisis Kasus (Perkara PT. Semen Padang) Sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya, penyelenggaraan RUPS merupakan salah satu kewajiban Direksi berdasarkan fiduciary duty-nya dalam menjalankan tugasnya dalam rangka mengurus Perseroan. Direksi juga wajib menyelenggarakan RUPS LB manakala kepentingan Perseroan semata-mata membutuhkannya. RUPS LB tersebut dapat juga diadakan atas permintaan pemegang saham yang memenuhi persyaratan UU PT dan/atau anggaran dasar, dengan memuat alasan-alasan diselenggarakannya RUPS LB yang nantinya akan menjadi agenda pembahasan dalam RUPS LB. Dalam kasus tersebut, Direksi SP tidak bersedia menyelenggarakan RUPS LB sehingga pemohon yang merupakan pemegang saham mayoritas SP mengajukan permohonan tersebut kepada Ketua PN Padang untuk menyelenggarakan sendiri RUPS LB. Keterlibatan pengadilan dalam kasus ini adalah sebagaimana termaktub dalam Penetapan PN Padang No. 93/PDT/P/2002/PN-Pdg. tertanggal 12 Juni 2002 jis. Penetapan PN Padang No. 124/Pdt/P/2002/PN-Pdg. tertanggal 7 September 2002, Putusan MA No. 3252 K/Pdt/2002 tertanggal 17 Maret 2003, dengan memperhatikan Putusan Sela PN Padang No. 21/PDT.G/2003/PN-Pdg. tertanggal 9 Mei 2003 dan Putusan Sela PN Padang No. 45/Pdt.G/2003/PN-Pdg. tertanggal 13 Agustus 2003. Penolakan Direksi SP untuk menyelenggarakan RUPS LB tersebut menimbulkan celah bagi pengadilan untuk memberikan penilaian (scrutiny) mengenai apakah sah atau tidak penolakan tersebut. Pengadilan harus mengundang pemohon dan mendengarkan keterangan dari pihak pemohon serta melihat kelengkapan
194
pemohon dari segi administrasi (prosedur) dan substansi dari permohonan tersebut. Setelah itu, pengadilan akan mengeluarkan Penetepan atas permohonan tersebut, apakah mengabulkan, menolak atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima. PN Padang tidak mengizinkan diselenggarakannya RUPS LB SP, yaitu dengan menolak (Penetapan PN Padang No. 93/PDT/P/2002/PN-Pdg.) serta menyatakan tidak dapat diterima (Penetapan PN Padang No. 124/Pdt/P/2002/PN-Pdg.) permohonan pemohon (SG). Penulis berpendapat bahwa kedua penetapan tersebut tidak menunjukkan ketepatan dan kecermatan hakim dalam memeriksa permohonan dari SG. Kedua penetapan tersebut didasarkan pada alasan yang bersifat prosedural, namun
hakim tidak
ada
memeriksa
substansi
mengapa
Direksi
menolak
menyelenggarakan RUPS LB. Selanjutnya, penulis menilai bahwa dalam Penetapan No. 124/Pdt/P/2002/PNPdg., PN Padang bahkan telah melampaui batas kewenangannya dalam memeriksa dan memberikan penetapan atas suatu permohonan yang diajukan kepadanya. Penetapan yang dikeluarkan atas suatu permohonan seharusnya adalah putusan yang bersifat declaratoir atau menerangkan saja, di mana isinya adalah menerima atau menolak
permohonan
tersebut.
Sedangkan
dalam
pertimbangannya
hakim
menyatakan adanya suatu perbuatan melanggar atau melawan hukum. Salah satu unsur dalam perbuatan melawan hukum adalah adanya kerugian yang diderita oleh pihak lain. Dalam kasus tersebut tidak ada pihak lain yang menuntut dengan dalil telah dirugikan oleh perbuatan pemohon. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa
195
hakim salah dalam menerapkan hukum, seharusnya hakim hanya menetapkan untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan pemohon RUPS LB tersebut. Di samping hal tersebut di atas, dalam melaksanakan tugasnya dalam koridor fiduciary duty, Direksi dapat menolak menyelenggarakan RUPS LB. Kecenderungan menunjukkan bahwa penolakan tersebut akan ditentang oleh pemegang saham yang bersangkutan, sehingga akan meminta izin kepada pengadilan negeri untuk menyelenggarakan sendiri RUPS LB. Tentunya Direksi akan mengharapkan justifikasi dari pengadilan atas keputusannya tersebut berdasarkan business judgment rule. Justifikasi tersebut memang diperoleh Direksi SP dari kedua penetapan PN Padang tersebut, namun tidak substantif, melainkan oleh penilaian PN Padang sendiri atas prosedur permohonan yang tidak dipenuhi oleh SG. Sebagaimana telah diuraikan, business judgment rule akan melibatkan unsur proses dan substansi, yang dalam hal ini dihubungkan dengan keputusan untuk menyelenggarakan atau tidak menyelenggarakan RUPS LB. Direksi dapat memperoleh justifikasi, baik dari segi proses maupun substansi. Dalam kasus tersebut, Direksi SP memperoleh pembelaan dalam hal proses. Pemohon yang tidak memenuhi beberapa prosedur dalam permohonan izin penyelenggaraan RUPS LB tersebut memang seharusnya mendapatkan anjuran dari hakim untuk melengkapi berkas untuk memenuhi prosedur permohonan tersebut. Oleh karena itu, MA membatalkan penetapan PN Padang yang terakhir dan memberikan putusan sendiri yang memberikan izin untuk menyelenggarakan sendiri RUPS LB kepada SG.
196
Penulis berpendapat bahwa seharusnya Direksi juga memperoleh justifikasi melalui substansi penolakan. Penulis berkeyakinan bahwa Direksi berpegang pada permasalahan mengenai keabsahan kepemilikan saham SG atas SP. Direksi SP menilai hal tersebut dari pengalihan saham SP dari pemerintah Indonesia (Kementerian Negara BUMN dan Departemen Keuangan) kepada SG yang dilakukan dengan Perjanjian Jual Beli Bersyarat No. 194 tertanggal 30 Mei 1995 dan Berita Acara Serah Terima Saham tertanggal 15 September 1995 yang hanya berupa perjanjian pura-pura. Karena kenyataannya selaku pembeli, SG tidak pernah melakukan pembayaran tunai atas saham SP. Selain itu, penjualan saham SP kepada SG oleh Kementerian Negara BUMN dan Departemen Keuangan hanya didasarkan pada Surat Menteri Keuangan. Padahal sebagai perusahaan negara, pengalihan saham SP seharusnya didasarkan pada Peraturan Pemerintah. Justifikasi tersebut, menurut penulis, hanya akan diperoleh Direksi jika dalam pemeriksaan permohonan, Direksi juga diberikan kesempatan oleh hakim memberikan keterangannya mengenai dasar substansial penolakannya menyelenggarakan RUPS LB, sebelum memberikan penetapan atas permohonan pemohon. Dasar substansial tersebut akan diberikan apresiasi oleh pengadilan sampai pada tingkat kasasi di MA, sehingga MA juga akan terlebih dahulu mempertimbangkan dasar substansial keputusan Direksi SP sebelum menjatuhkan putusan. Direksi SP dalam pengurusan Perseroan haruslah mendasarkan segala pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada fiduciary duty yang dimilikinya selaku pengurus Perseroan, termasuk dalam memutusakan apakah menyelenggarakan atau
197
tidak menyelenggarakan RUPS LB. Direksi SP harus memiliki dasar substansial yang rasional atas penolakan tersebut. Sebaliknya, justifikasi dari keputusannya tersebut dapat diperolehnya melalui pembelaan pengadilan, dengan kondisi bahwa Direksi diberikan kesempatan untuk mempertahankan keputusannya tersebut di dalam pengadilan. Sesuai dengan yang dinyatakan di awal, kasus PT. Semen Padang tersebut sempat menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui beberapa isu hukum yang muncul dalam proses penyelesaian kasus tersebut. Beberapa isu hukum tersebut sebelumnya tidak diatur secara tegas dalam UU PT lama, namun telah diatur secara tegas dalam UU PT baru. Isu hukum tersebut antara lain mengenai kesempatan bagi Direksi untuk didengar keterangannya pada saat pemeriksaan permohonan pemohon penyelenggaraan RUPS LB di PN, mengenai kewajiban pemohon untuk memenuhi persyaratan dalam mengajukan permohonan penyelenggaraan RUPS LB, serta upaya hukum kasasi atas penetapan PN yang menolak penyelenggaraan RUPS LB. Dalam UU PT baru, secara berturut-turut, isuisu hukum tersebut telah diatur dalam Pasal 80 ayat (2), (4) dan (7). Penulis berkeyakinan bahwa hangatnya kasus ini membawa dampak signifikan terhadap penyempurnaan UU PT, sehingga kasus ini dapat dikatakan cukup berandil dalam penyempurnaan beberapa ketentuan UU PT. Kedua kasus tersebut di atas, walaupun memiliki kasus posisi yang hampir sama pada pokoknya, namun berbeda dalam penyelesaiannya. Perbedaan tersebut dapat disajikan secara singkat dalam matriks berikut ini.
198
Tabel 1. Perbedaan antara Kasus PT. MOEIS dan kasus PT. Semen Padang Kasus PT. MOEIS Kasus PT. Semen Padang Pemohon : Pemegang Saham yang mewakili 20 % dari Pemegang Saham yang Penyelenggaraan jumlah seluruh saham dengan hak suara. mewakili 99 % dari jumlah RUPS LB seluruh saham dengan hak suara. Alasan/dalil : Pemohon merupakan pemegang saham Penggantian susunan direksi permohonan mayoritas PT. MOEIS dan oleh karenanya dan komisaris Perseroan sebagai pemilik PT. MOEIS. untuk memperbaiki kinerja manajemen Perseroan. Keputusan : Direksi, yang juga merupakan pemegang Direksi, yang bukan Direksi saham PT. MOEIS, menolak merupakan pemegang menyelenggarakan RUPS LB. saham Perseroan, menolak menyelenggarakan RUPS LB. Amar : Mengabulkan permohonan tersebut, RUPS Menolak permohonan Penetapan PN LB diselenggarakan tanggal 30 Januari tersebut. 2003. Upaya hukum : Direksi mengajukan gugatan perbuatan Pemohon penyelenggaraan melawan hukum atas nama Perseroan, RUPS LB mengajukan sekaligus untuk meminta pembenaran atas kasasi ke Mahkamah keputusannya yang menolak Agung. menyelenggarakan RUPS LB. Putusan : Gugatan dikabulkan, Kasasi dikabulkan, RUPS LB tertanggal 30 Januari 2003 RUPS LB diselenggarakan dibatalkan. tanggal 12 Mei 2003. Amar Putusan : Tindakan tergugat I s/d tergugat V SG memiliki kapasitas hakim hukum dan telah memenuhi mengajukan permohonan izin dan prosedur untuk mengajukan melaksanakan RUPS LB PT. MOEIS permohonan berdasarkan alasan selaku pemegang saham dan pemilik PT. MOEIS sesuai Akta penyelenggaraan RUPS LB. No. 82 tahun 1964, merupakan perbuatan melawan hukum yang melanggar hak subyektif penggugat dan bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
199
Dalam kasus I (PT. MOEIS), Direksi menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, namun penolakannya tidak didukung oleh Penetapan Pengadilan Negeri Medan yang pada akhirnya mengizinkan diselenggarakannya RUPS Luar Biasa. Namun atas gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh Direksi terhadap pemegang saham PT. MOEIS, Direksi mendapatkan justifikasi atas keputusannya tersebut. Berdasarkan fiduciary duty-nya, Direksi PT. MOEIS menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, namun mendapatkan pembelaan berdasarkan business judgment rule melalui Putusan Pengadilan Negeri Medan. Sementara dalam kasus II (PT. Semen Padang), Direksi menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa dan penolakannya didukung oleh Penetapan Pengadilan Negeri Padang, di mana PN Padang menilai sendiri atas proses yang tidak dipenuhi oleh pemohon. MA mengizinkan diselenggarakannya RUPS Luar Biasa dengan pertimbangan bahwa SG telah memenuhi syarat prosedural, namun MA mengabaikan substansi penolakan Direksi SP. Berdasarkan fiduciary duty-nya, Direksi SP menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, namun tidak mendapatkan pembelaan berdasarkan business judgment rule melalui Putusan MA.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang telah dinyatakan pada Bab I tesis ini adalah sebagai berikut. 1. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) diselenggarakan sehubungan dengan beberapa hal tindakan Perseroan yang bersifat tidak tentu waktunya, namun memerlukan persetujuan RUPS dalam pelaksanaannya. Tindakan tersebut seperti melakukan perubahan anggaran dasar, pemberian jaminan
perusahaan,
penjaminan
kebendaan/pemberian
agunan,
atau
penjualan/pengalihan sebagian besar harta kekayaan PT, penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pemisahan Perseroan, atau permohonan kepailitan dan pembubaran PT. Berdasarkan fiduciary duty-nya, Direksi wajib menyelenggarakan RUPS Tahunan, karena RUPS Tahunan merupakan wadah bagi Direksi untuk memberikan laporan pertanggungjawaban Direksi atas pengurusan Perseroan kepada Perseroan setiap tahunnya. Walaupun UU PT tidak secara tegas menyebutkan dalam pasalpasalnya, penyelenggaraan RUPS LB juga merupakan kewajiban Direksi yang diberikan oleh undang-undang dan/atau anggaran dasar. RUPS LB sifatnya insidentil, dan Direksi bukan merupakan organ Perseroan yang mutlak berwenang menyelenggarakan RUPS LB. Direksi, dalam kedudukannya sebagai pengurus dan
200
201
yang mewakili Perseroan, memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan RUPS LB sewaktu-waktu bila kepentingan Perseroan menghendakinya. Sebagai pengurus dan yang mewakili PT, Direksi memiliki tanggung jawab berdasarkan fiduciary duty dalam memenuhi kewajibannya menyelenggarakan RUPS LB. Direksi wajib menyelenggarakan RUPS LB sewaktu-waktu dengan penuh itikad baik, kepedulian, dan loyalitas terhadap Perseroan, bila kepentingan Perseroan menghendaki diselenggarakannya RUPS LB tersebut. 2. Business judgment rule lahir sebagai akibat telah dilaksanakannya fiduciary duty oleh Direksi. RUPS LB mengandung kepentingan subyektif pemegang saham, namun kehendak pemegang saham mayoritas belum tentu didukung oleh pemegang saham lain, terutama pemegang saham minoritas, dan belum tentu terbaik untuk Perseroan. Direksi yang menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS LB setelah dengan penuh kecermatan dan kehati-hatian menilai bahwa tidak ada urgensi kepentingan Perseroan yang menghendaki diselenggarakannya RUPS LB tersebut dapat dikategorikan sudah melaksanakan fiduciary duty-nya, meskipun Direksi secara diam-diam telah mengeluarkan keputusan menolak untuk menyelenggarakan RUPS LB. Business judgment rule akan melindungi Direksi dari tanggung jawab pribadi asalkan Direksi tersebut telah melaksanakan fiduciary duty-nya, meskipun tindakan atau keputusan Direksi tersebut telah menimbulkan kerugian pada Perseroan. Business judgment rule akan melindungi Direksi dari derivative action oleh pemegang saham atas keputusan penolakan Direksi untuk menyelenggarakan
202
RUPS LB, yang dalam UU PT mengacu pada ketentuan Pasal 97 ayat (5), apabila penolakan tersebut disebabkan oleh penilaian Direksi bahwa: e. tidak
adanya
urgensi
kepentingan
Perseroan
yang
menghendaki
diselenggarakannya RUPS LB tersebut. f. agenda rapat yang dimintakan untuk dibahas atau disetujui dalam RUPS LB akan membawa dampak buruk terhadap kepentingan Perseroan atau bertentangan dengan hukum. g. permintaan RUPS LB diajukan secara bertentangan dengan hukum. h. permintaan RUPS LB tidak disertai dengan pembuktian secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan adanya kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS LB.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut, penulis menyumbangkan beberapa saran yang merupakan usulan untuk dapat dijadikan bahan masukan bagi akademisi, pengusaha, maupun pemerintah (legislator), sebagai berikut: 1. RUPS LB merupakan salah satu forum penting dalam sebuah PT, oleh karena itu diharapkan dapat diatur secara tegas kewajiban Direksi dalam menyelenggarakan RUPS LB dalam UU PT, setidak-tidaknya dalam aturan Penjelasan, serta dalam anggaran dasar PT, bahkan bila perlu memberikan sanksi yang tegas dalam UU PT bagi Direksi yang tidak menyelenggarakan RUPS LB. Hal tersebut sesuai dengan esensi dari sesuatu yang diwajibkan, bila tidak dilakukan pasti ada sanksinya.
203
Sehubungan dengan hal tersebut, agar lebih dipertegas lagi pengaturan prinsip fiduciary duty terhadap kewajiban Direksi dalam mengurus dan mewakili Perseroan dalam UU PT, setidak-tidaknya dalam aturan Penjelasan, serta dalam anggaran dasar PT. Hal ini penting untuk memberikan acuan normatif untuk bertindak bagi Direksi agar tetap dalam koridor fiduciary duty tersebut. Unsurunsur itikad baik dan penuh tanggung jawab kiranya perlu dilengkapi lagi dengan unsur-unsur kecermatan, kehati-hatian, kemampuan (skill) dan keterbukaan. 2. Sebaiknya diatur secara lebih tegas lagi dalam UU PT, atau setidak-tidaknya dalam aturan Penjelasan, serta dalam anggaran dasar PT, mengenai unsur-unsur business judgment rule yang dapat melindungi Direksi dari tanggung jawab pribadi atas keputusannya, sehingga dapat efektif dalam penerapannya, antara lain mengenai: a. penerapan Pasal 97 ayat (5) UU PT, apakah diterapkan secara komulatif atau secara alternatif, artinya apakah ke empat alasan tersebut harus dibuktikan semua atau cukup salah satu saja yang dibuktikan, agar direksi dapat bebas dari tanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan; b. pemberian beban pembuktian kepada pihak yang menyangkal berlakunya business judgment rule terhadap tindakan atau keputusan Direksi; c. tindakan Direksi yang tidak dapat dilindungi oleh business judgment rule. d. memberikan kewenangan bagi Direksi untuk menolak menyelenggarakan RUPS LB demi kepentingan Perseroan semata-mata.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku Ali, Chidir. Badan Hukum. Bandung: Alumni. 1999. Amanat, Anisitus. Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Penerapannya dalam Akta Notaris. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 1996. Amiruddin, Zainal Asikin. Grafitti Press. 2006.
Pengantar
Metode
Penelitian
Hukum.
Jakarta:
Asyhadie, Zaeni. Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2005. Boen, Hendra Setiawan. Bianglala Business Judgment Rule. Jakarta: Tatanusa. 2008. Budiarto, Agus. Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002. Chuck, William. Management. USA: South-Western College Publishing. 2000. Dine, Janet. Company Law. London: Macmillan. 1991. Djohan T., Arif. Aspek Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Harvarindo. 2008. Fuady, Munir. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Buku Kesatu. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1994. ___________. Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002. ___________. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law. Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002. Hadhikusuma, Sutantya R., Sumantoro. Pengertian Pokok Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Perusahaan Yang Berlaku di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995. Hartono, Sri Redjeki. Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Bandung: Mandar Maju. 2000.
204
205
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2007. Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2004. _________________________________. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi). Bagian 1. Cet. Ke-7. Jakarta: Pradnya Paramita. 2005. Kelsen, Hans. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Nusamedia. 2008. Marzuki, Petter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Pradnya Paramitha. 2005. Mayson, Stephen W., Derek French, Christopher L. Ryan. Company Law. London: Blackstone Press. 2001. Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1993. Moloeng, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perseroan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1996. Muis, Abdul. Bunga Rampai Badan Hukum. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 1990. Pramono, Nindyo. Sertifikasi Saham PT Go Publik dan Hukum Pasar Modal di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1997. Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Von Hoeve. 1959
Hukum
Perdata.
Bandung:
Vorkink
–
Purwosutjipto, H.M.N.. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2. Bentuk Perusahaan. Cet. Ke-6. Jakarta: Djambatan. 1991. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000. Rejda, George E. Principle of Risk Management and Insurance. Ninth Ed. Boston: Addison-Wesley. 2005.
206
Rido, Ali. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni. 1986. Rusli, Hardijan. Badan Hukum dan Bentuk Perusahaan di Indonesia. Jakarta: Huperindo. 1989 Saliman, Abdul R., Hermansyah, Ahmad Jalis. Hukum Bisnis untuk Perusahaan. Teori & Contoh Kasus (Ed. 2). Jakarta: Kencana. 2005. Salman S., Otje, Anthon F. Susanto. Teori Hukum. Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali. Cet. Ke-4. Bandung: Refika Aditama. 2008. Sembiring, Sentosa. Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas. Bandung: Nuansa Aulia. 2006. Simanungkalit, Parasian. RUPS Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Direksi Pada Perseroan Terbatas. Jakarta: Wajar Hidup. 2006. Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami Faillisementverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002. Soegiastuti, J., P. Anoraga. Pengantar Bisnis Modern. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 1996. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 1984. _________________ dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press. 1990. Subekti R., R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Burgerlijk Wetboek. Cet. Ke-25. Jakarta: Pradnya Paramita. 1992. Supranto, J.. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta: Pradnya Paramitha. 2003. Syahrin, Alvi. Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan. Medan: Pustaka Bangsa Press. 2003. ____________. Riset & Penulisan Hukum: Modul. Medan: Kelas Khusus Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2005.
207
Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung: Alumni. 2004. Widiyono, Try. Direksi Perseroan Terbatas: Keberadaan, Tugas, Wewenang & Tanggung Jawab: Berdasarkan Doktrin Hukum & UUPT. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005. Widjaja, Gunawan. Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Jakarta: Forum Sahabat. 2008. _______________. Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham. Jakarta: Forum Sahabat. 2008. Widjaja, I. G. Rai. Pedoman Dasar Perseroan Terbatas (PT). Jakarta: Pradnya Paramita. 1994. Winardi. Asas-Asas Manajemen. Bandung: Alumni. 1983.
B. Makalah/Jurnal/Surat Kabar Nasution, Bismar. "Kemandirian Badan Hukum". Jurnal Sosok & Sketsa. JurnalNasional: Kamis, 01 Februari 2007. _______________. "Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan". Disampaikan pada Seminar Nasional Sehari dalam rangka menciptakan Good Corporate Governance pada Sistem Pengelolaan dan Pembinaan PT (Persero) BUMN ”Optimalisasi Sistem Pengelolaan, Pengawasan, Pembinaan dan Pertanggungjawaban Keberadaan PT (Persero) di Lingkungan BUMN Ditinjau dari Aspek Hukum dan Transparansi”, diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Jakarta, Kamis, 8 Maret 2007. _______________. ”UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule”. Disampaikan pada Seminar Bisnis 46 tahun FE USU: ”Pengaruh UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara”, Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 November 2007. _______________. "Pengelolaan Stakeholder Perusahaan". Disampaikan pada Pelatihan Mengelola Stakeholder, yang dilaksanakan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) tanggal 17 Oktober 2008 di Sei Karang, Sumatera Utara.
208
Harahap, Rudi Dogar. "UU PT dan Tanggung Jawab Direksi". Opini. Harian Waspada: Rabu, 27 Februari 2008. Simanjuntak, Emmy Pangaribuan. Interaksi Fungsi Organ Perseroan Terbatas dan Perlindungannya Kepada Pemegang Saham dan Kreditur Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Makalah Seminar Nasional. Yogyakarta: UGM. 1995. Sjahdeini, Sutan Remy. "Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris". Jurnal Hukum Bisnis Volume 14. Jakarta: Pengembangan Hukum Bisnis.
C. Internet Blanchard, Gerald L. "Director and Officer Liability". WestLaw Journal: Lender Liability: Law, Practice and Prevention 23 (March, 2009). Diakses dari www.westlaw.com pada tanggal 19 Juni 2009. ___________________. Tanggung Jawab Direksi Untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS. 2009. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21393&d=kolom. Diakses tanggal 21 Maret 2009. Bogert, George Gleason, George Taylor Bogert, Amy Morris Hess. "Breach of fiduciary obligation". WestLaw Journal: The Law Of Trusts And Trustees 481 (2008). Diakses dari www.westlaw.com pada tanggal 19 Juni 2009. Christianson, Stephen G.. "Liability of a Director to a Corporation for Mismanagement". WestLaw Journal: American Jurisprudence Proof of Facts 3d (December, 2008). Diakses dari www.westlaw.com pada tanggal 19 Juni 2009. Hukumonline. UU PT Pertegas Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris. 2007. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com. Diakses tanggal 31 Maret 2009. Hukumonline. Metamorfosis Badan Hukum Indonesia. 2007. Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17818&cl=Berita. Diakses tanggal 31 Maret 2009. Hukumonline. MA Ijinkan Semen Gresik Adakan RUPSLB untuk Ganti Direksi. 30 April 2003. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com. Diakses tanggal 12 Agustus 2009.
209
Hukumonline. Perseteruan Internal di Semen Padang Berlanjut. 26 Juni 2003. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com. Diakses tanggal 12 Agustus 2009. Hukumonline. Pengadilan Tinggi Sumbar Tolak Akui Legal Standing Kasus Saham Semen Padang. 24 Juni 2005. Available at Hukumonline.com. http://www.hukumonline.com. Diakses tanggal 12 Agustus 2009. Kadir, Taqyuddin. Business Judgment Rule. Legal Risk and Compliance. 2006. Http://taqlawyer.com/2006/09/business-judgement-rule.html Diakses pada tanggal 12 September 2008. The Bureau of National Affairs, Inc. "Duties and Liabilities of Individual Board Members". WestLaw Journal: BNA Corporate Practice Series The Board of Directors 63-2nd. Diakses dari www.westlaw.com pada tanggal 19 Juni 2009. UGM, Magister Hukum. Tinjauan Kritis Implementasi GCG Di Indonesia. 2009. Magister Hukum UGM, Yogyakarta. Http://mhugm.wikidot.com/artikel:008 Diakses tanggal 15 Januari 2009. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Perkara Semen Padang. 2009. Available at MaPPI-fHUI. http://www.pemantauperadilan.com. Diakses tanggal 22 Juni 2009. Kompas Online. MA Kabulkan Permohonan Kasasi PT Semen Gresik. 30 April 2003 Diakses http://64.203.71.11/kompas-cetak/0304/30/finansial/285444.htm. tanggal 24 Maret 2009. PT. Semen Gresik (Persero) Tbk dan Anak Perusahaan. Laporan Keuangan Konsolidasian. www.semengresik.com/ina/file.axd?file=Annual_Report 2006. pdf. Diakses tanggal 7 Juli 2009.
D. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214.
210
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3674. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
E. Kamus Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. 6th ed. St Paul, Minn, West Publishing Co. 1990. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. III. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. The New Lexicon. Webster’s Dictionary of The English Language. Encyclopedic Edition. Danbury, CT: Lexicon Publications. 1995.
F. Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor Register 115/Pdt.G/2003/PN-Mdn. tertanggal 23 Desember 2003, yang diadili oleh Majelis Hakim Abid Saleh Mendrofa, S.H. (Ketua), Surya Perdamaian, S.H. dan Kurnia Yani Darmono, S.H. (masing-masing anggota), serta Panitera Pengganti.Rosmeri Sitinjak, S.H.