ANALISIS TATASURYA BERDASARKAN SAINS ASLI (INDIGENOUS) JAWA Sarwanto, Edy Tri Sulistyo, Baskoro, Hendrik Pratama Pendidikan Fisika FKIP UNS
[email protected]
Palintangan (Perbintangan) dalam kajian budaya Jawa tersurat dalam legenda-legenda yang menggambarkan perilaku matahari, bulan, planet dan bintang-bintang. Bahkan pendapat yang ditemukan dari narasumber “kejawen” menjelaskan manusia tidak dapat mempengaruhi bintang, tetapi bintang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Menanam komoditi pertanian menghidari upas (embun) bintang, yang dapat mengurangi produktivitas tanaman, bahkan mematikan tanaman tersebut. Ilmu perbintangan jawa belum mengenal perbedaan bintang dan planet. Namun, ilmu perbintangan sudah mengelompokkan bintang berdasarkan magnitudonya dan konstalasinya. Bintang dengan kecemerlangan tinggi sesungguhnya adalah planet-planet di tatasurya, sedangkan bintang yang membentuk konstalasi adalah rasi-rasi bintang. Kata kunci: palintangan, indigenous science, tatasurya. Pendahuluan Pengetahuan nenek moyang suatu bangsa tentang alam semesta selalu dihubungkan dengan mitos-mitos dewa. Dewa matahari di Mesir diberi nama Ra, setiap sore melewati dunia bawah melawan Apep (dewa kegelapan) untuk muncul pada pagi harinya. Dewa matahari di Jepang (Amaterasu) melawan Susanoo yang menyembunyikan dunia dalam gua yang gelap untuk di bawa kealam yang terang. Bangsa-bangsa lain juga memiliki dewa dengan nama berbeda tetapi memiliki sifat yang sama, yaitu melawan kegelapan. Demikian juga dengan Bangsa Indonesia khususnya suku Jawa, mengenal Batara Surya sebagai Dewa Matahari. Selain matahari, semua benda di angkasa memiliki nama-nama dan perilaku tertentu. Dalam budaya Jawa, dikenal Gubug Penceng (Crux), Lintang Wulanjar Ngirim (rasi Centaurus), Joko Belek (Mars), Lintang Banyak Angrem, Bintang Layang – Layang, Lintang Pari, Lintang Kartika (Pleiades), Wuluh (Pleaides), Kalapa Doyong (Scorpio), Sapi Gumarang (Taurus), adalah contoh penamaan rasi bintang secara lokal di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola pengamatan dan interpretasi ilmuan Jawa terhadap fenomena benda langit, dan membandingkannya dengan pengetahuan ilmiah modern.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian etnografi. Etnografi berasal dari 2 kata yaitu ethnos artinya bangsa, dan graphy atau grafien artinya gambaran atau uraian. Jadi, etnografi adalah uraian atau gambaran tentang bangsa-bangsa di suatu tempat dan di suatu waktu. Gambaran bangsa-bangsa tersebut meliputi adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa, peralatan yang digunakan, aktivitas ekonominya dan gambaran fisik bangsa tersebut, misalnya warna kulit, tinggi badan, rambut, bentuk muka dan sebagainya. Etnografi pada mulanya merupakan bagian dari ilmu antropologi. Secara harfiah kata etnografi mengandung arti tulisan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau tahun. Marzali dalam Sudikin menjelaskan bahwa etnografi merupakan laporan penelitian dan juga mengacu kepada metode penelitian yang menjadi dasar ilmu antropologi. (Sudikin, 2002). Pada tataran awal etnografi merupakan studi tentang deskripsi dan analisi tentang budaya dan bahasa dengan menmberikan pengkodean terhadap deskrpsi dan analisa bahasa dan kebudayaan (Savielle-Troike, 1982). Sedangkan Engkus Kuswarno menjelaskan etnografi sebagai bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi. Instrumen penelitian etnografi dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara dan lembar observasi. Hasil-hasil pengamatan dan wawancara ditulis pada field notes dan diolah menjadi karangan etnografi. Validasi data hasil penelitian dilakukan dengan trianggulasi dan focus group discussion (FGD).
Hasil Penelitian dan Pembahasan Mbah Ridin, adalah seorang sesepuh dari Kecamatan Tawangmangu yang banyak digunakan sebagai narasumber Kebudayaan Jawa. Mbah Ridin yang mata pencahariannya sebagai petani, masih menggunakan sains Jawa untuk bertaninya. Menurut mbah Ridin, dalam menanam tanaman tahunan dilakukan pada musim kemarau, sedangkan untuk tanaman musiman dilakukan ketika mendekati musim hujan tiba (mongso labuh). Meskipun di daerah Tawangmangu air mudah didapat tetapi dalam menanam tanaman musim tidak boleh dilakukan di musim kemarau karena musim ini bintang di langit menjatuhkan embun upas. Upas adalah racun yang menyebabkan tanaman akan layu dan akhirnya mati. Embun upas (upas lintang) terjadi sekitar bulan Juli-Agustus. Pada bulan Juli-Agustus orang di bumi akan mengamati galaksi Bimasakti (Milkway) dengan sangat jelas. Pada bulan ini,
di daerah Tawangmangu adalah puncaknya musim kemarau, sehingga awan, mendung dan kabut tidak banyak terjadi. Bintang-bintang di galaksi Bimasakti tampak sangat jelas dan cemerlang. Musim kemarau suhu udara daerah Tawangmangu sangat rendah (bediding), sehingga embun di pagi hari akan berubah menjadi butiran es. Suhu embun es ini sangat rendah sehingga ketika embun ini menempel di daun tanaman akan mematikan daun-daun ini. Inilah yang dinamakan embun upas. Jadi sesungguhnya bukan bintang yang menghasilkan embun upas, hanya karena disebabkan kemunculannya terjadi secara bersamaan, diinterpretasikan oleh masyarakat Jawa, galaksi Bimasakti itulah yang meneteskan embun yang mematikan tanaman mereka. Pengamatan terhadap benda-benda langit juga dilakukan oleh orang linuwih (ilmuan) Jawa. Hasil pengamatan ini didokumentasikan dalam sastra Jawa. Ilmu bumi antariksa asli dalam budaya jawa adalah pawukon. Pawukon secara garis besar dituliskan oleh Ranggowarsito (seorang pujangga kraton Surakarta hadiningrat) dalam buku Serat Pustoko Rodjo. Dalam buku sastra ini diceritakan bahwa Dewi Sinto yang keluar dari dalam tanah, untuk dapat bertemu dengan Begawan Wrahaspati harus memasak daging banyak (Angsa) dan daging Wedhus Gibas (Domba). Cerita tersebut sesungguhnya adalah kiasan sandi ilmu perbintangan, yaitu Wrahaspati adalah Planet Jupiter, Dewi Sinto yang keluar dari tanah melambangkan Bumi (Dunia). Banyak/Angsa adalah lambang gugusan bintang “Banyak Angrem” yaitu bintang Scorpio. Sedangkan Wedhus Gibas atau Domba adalah bintang Aries. Pertemuan Wrahaspati dengan Dewi Sinto menghasilkan anak yang namanya Radite yaitu Matahari yang dibesarkan oleh Begawan Radi titisannya Batara Surya. Pertemuan Wrahaspati dengan Dewi Landep menghasilkan anak R.Wukir. Pertemuan Wrahaspati dengan Dewi Somo (Bulan) menghasilkan anak Anggoro (Mars), Sukro (Venus) dan Budo (Mercury). Pertemuan Dewi Somo dengan Radite menghasilkan anak Dewi Tumpak (Saturnus). Raden Radite ini akhirnya menjadi raja Watugunung. Sinto, Landep, Wukir dan Watugunung termasuk menjadi nama Wuku dan ke 26 nama wuku lainnya adalah nama anak Wrahaspati yang lahir dari beberapa istri lainnya. Maka system tatasurya dalam budaya Jawa juga dikenal sebagai pawukon (wuku). Selain pawukon, pengamatan terhadap benda langit juga dikaitkan dengan sisi kehidupan pertanian yang dikenal dengan pranatamangsa. Pranatamangsa, arti harafiahnya adalah pengaturan musim. Agaknya, pemanfaatan pranatamangsa ini ikut menyumbang pada keberhasilan dan keagungan kerajaan-kerajaan Mataram Lama, Pajang dan Mataram Islam.
Dengan pranatamangsa tersebut, orang pada zaman itu mempunyai pedoman yang jelas untuk bertani, berdagang, menjalankan pemerintahan dan keserdaduan (Daljoeni). Pranatamangsa ini mempunyai seluk beluk yang tak kalah rumitnya dengan penanggalan Mesir kuno, Cina, Maya dan Burma. Di dalam pranatamangsa terdapat pertalian yang mengagumkan antara aspekaspeknya yang bersifat kosmografis, bioklimatogis yang mendasari kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat bertani di pedesaan. Sebagai keseluruhan pranatamangsa mencerminkan ontologi menurut konsepsi Jawa serta akhetip alam pikiran petani Jawa yang dilukiskan dengan berbagai lambang yang berupa watak-watak mangsa dalam peristilahan kosmologis yang mencerminkan harmoni antara manusia, kosmos dan realitas (Daljoeni). Pranatamangsa juga bisa berfungsi sebagai pedoman bagi petani untuk mengolah tanamannya. Pada mangsa kasa (I), ketika daun-daun kelihatan berguguran, dan belalang mulai bertelur, petani mulai menanam palawija. Pada mangsa karo, ketika tanah-tanah merekah, dan pohon-pohon mangga serta kapuk mulai berbuah, petani mulai mengairi sawah dan tanaman palawijanya. Pada mangsa katiga, pohon-pohon bambu, gadung, temu dan kunyit subur bertumbuh. Pada saat inilah orang mulai memetik tanaman palawijanya. Pada mangsa kapat, pohon-pohon kapuk sedang berlimpah dengan buahnya. Burung pipit dan burung manyar membuat sarangnya. Inilah masa petani mulai bersiap-siap untuk mengolah sawahnya. Dan dengan datangnya mangsa kalima, mereka pun giat membajak dan mencangkuli sawahnya. Berbarengan dengan itu, pohon-pohon asam sedang rimbun dengan daun mudanya. Kunyit dan gadung pun mulai berdaun. Hujan mulai deras, dan ulat-ulat keluar. Pada mangsa kanem, ketika pohon-pohon mangga dan rambutan sedang masak berbuat, dan di parit-parit banyak terlihat binatang lipasan, para petani merawat dan membersihkan sawahnya. Dan pada mangsa kapitu, bersama-sama dengan derasnya air karena hujan yang turun menderas, petani mulai menanam padi di sawah-sawah mereka. Pada mangsa kawolu, tanaman padi kelihatan tumbuh meninggi, dan di sana sini kelihatan pula buliur-bulirnya. Petani segera bersiap untuk menyianginya. Dan datanglah mangsa kasanga. Inilah saatnya bulir-bulir padi menjadi masak, bersama merdunya suara cenkerik dan cenggaret. Padi-padi benar-benar menjadi tua, dengan datangnya mangsa kasapuluh, yang ditandai dengan kegiatan burung-burung yang terbang ke sana kemari untuk membuat sarangnya. Dan ketika burung-burung sedang mengerami telurnya, petani memanen padi di sawah-sawah. Itulah yang terjadi sampai datangnya mangsa dhesta dan sada, masa ke sebelas dan dua belas.
Waktu itu padi-padi dipotong, dan petani menyiapkan diri lagi untuk menghadapi datangnya mangsa katiga, yang kering dan sulit. Tampak dari dinamika ini suatu proses, yang titik berangkatnya adalah masa yang sulit, dan tujuan akhirnya adalah masa yang segar dan penuh berkah panenan. Jelasnya, petani menandai penanggalan alamnya bukan dengan dimulainya masa yang subur, tapi dengan masa yang sulit dan kering (mangsa kasa, karo dan katelu, yang merupakan satuan mangsa katiga). Lalu dari sana mereka beranjar menyongsong masa yang subur dan bahagia, yakni masa kasapuluh, dhesta dan sada, yang kaya raya dengan panenan padi. Pranatamangsa ini membagi setahun dalam 12 mangsa: mangsa kasa (I), karo (II), katelu (III), kapat IV), kalima (V), kanem (VI), kapitu (VII), kawolu (VIII), ksangsa (IX), kasapuluh (X), desta (XI), saddha (XII). Masing-masing mangsa mempunyai bintang sendiri-sendiri. Bintang tersebut berlaku sebagai pedoman bagi awal dan akhirnya suatu mangsa. Maka mangsa kasa, bintangnya Sapigumarang, mangsa karo, bintangnya Tagih, mangsa katelu, Lumbung, mangsa kapat, Jarandawuk, mangsa kalimat, Banyakangkrem, mangsa kanem, Gotongmayit, mangsa kapitu, Bimasekti, mangsa kawolu, Wulanjarangirim, mangsa kasanga, Wuluh, mangsa kasapuluh, Waluku. Dua mangsa terakhir, desta dan saddha tak mempunyai bintang yang khusus. Bintang kedua mangsa tersebut sama dengan bintang pada mangsa karo dan katelu, yakni lumbung dan tagih. Untuk mengetahui letak masing-masing mangsa, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa petani juga membagi setahun dalam empat mangsa utama, yakni mangsa terang (82 hari), semplah (99 hari), udan (86 hari), pengarep-arep (98 hari). Simetris dengan pembagian tersebut, juga ada pembagian mangsa utama seperti berikut ini: mangsa katiga (88 hari), labuh (95 hari), rendheng (94 hari), mareng (88 hari).
Lalu dengan peletakan yang demikian simetris,
demikianlah tempat dua belas mangsa ditaruh dalam siklus tahunan yang selalu berulang (Daldjoeni) Satu tahun yang panjangnya 365 hari dibagi menjadi 2 tengah tahunan. Masing-masing tengah tahunan dipecah lagi atas 6 mangsa, yang panjang harinya berturut-turut adalah: 41-2324-25-27-43. Mangsa ke-I (kasa) dimulai pada saat matahari ada di zenith untuk garis balik Utara Bumi (tropic of Cancer), yakni tanggal 22 Juni. Mangsa ke VII (kapitu) dimulai pada tanggal 22 Desember ketika matahari ada di zenith garis balik Selantan Bumi (tropic of Capricorn). Kedua periode tengah tahunan itu saling bergandengan pada mangsa yang paling
panjang, yakni mangsa terang (mangsa sadha dan kasa) yang lamanya 82 hari dan mangsa udan (mangsa kanem dan mangsa kapitu) yang lamanya 86 hari. Mangsa terang diapit oleh dua mangsa yang kontras, yakni mangsa panen (mangsa dhestha) dan mangsa paceklik (mangsa karo). Mangsa udan diapit oleh dua mangsa dengan letak matahari di zenith untuk pulau Jawa, yakni mangsa kalima dan mangsa kawolu. Mangsa pangarep-arep (harapan) yang mengandung musim berbiak bagi berbagai hewan serta tanaman makanan pokok, berhadapan dengan mangsa semplah (putus asa) yang masing-masing meliputi 3 mangsa, yakni kawolu, kasanga, kasapuluh berhadapan dengan mangsa katelu, kapapat dan kalima. Periode-periode musim yang ditandai dengan nama-nama mangsa itu berulang secara teratur dalam setiap tahun. Petani dapat membuktikan pengulangan musim yang teratur itu dengan mengamati rasi bintang yang muncul secara teratur dan periodik pula. Misalnya, rasi bintang Lumbung (Crux) pada mangsa katelu, Banyakangkrem (scorpio) pada mangsa kalima, Waluku (Orion) pada mangsa kasapuluh, wuluh (pleiades) pada mangsa kasambilan, wulanjarngirim (Centauri) pada mangsa kawolu, bimasakti (Milkway)) pada mangsa kapitu, dan sebagainya. Munculnya rasi bintang tertentu, disusul oleh munculnya rasi bintang tertentu lainnya adalah patokan untuk menentukan saat mulai serta saat berakhirnya masing-masing mangsa. Berbarengan dengan itu, panjang bayangan manusia pada tengah hari juga dipakai untuk menentukan panjang pendeknya suatu mangsa tertentu. Di samping itu, dalam pembagian mangsa-mangsa, petani juga memperhatikan asal-usul angin serta gerakan-gerakan angin. Sesungguhnya semuanya itu tidaklah lain daripada penyesuaian udara pada pergeseran perjalanan matahari di sepanjang tahun.
Kesimpulan Palintangan (Perbintangan) dalam kajian budaya Jawa tersurat dalam legenda-legenda yang menggambarkan perilaku matahari, bulan, planet dan bintang-bintang. Bahkan pendapat yang ditemukan dari narasumber “kejawen” menjelaskan manusia tidak dapat mempengaruhi bintang, tetapi bintang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Menanam komoditi pertanian menghidari upas (embun) bintang, yang dapat mengurangi produktivitas tanaman, bahkan mematikan tanaman tersebut. Ilmu perbintangan jawa belum mengenal perbedaan bintang dan planet. Namun, ilmu perbintangan sudah mengelompokkan bintang berdasarkan magnitudonya
dan konstalasinya. Bintang dengan kecemerlangan tinggi sesungguhnya adalah planet-planet di tatasurya, sedangkan bintang yang membentuk konstalasi adalah rasi-rasi bintang.
Daftar Pustaka Christine Hine. 2001. Virtual Ethnography. London: Sage Publication Emzir. 2012. Metodologi penelitian pendidikan; kuantitatif dan kualitatif. Jakarta: rajawali Press. George Ritzer dan Douglass H Goodman, 2010. Teori sosiologi modern. Jakarta: Prenada Media Group. James P. Spradley.2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana