ANALISIS TATANIAGA KUBIS (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan)
SKRIPSI
ARINI PRIHATIN H34080032
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RINGKASAN ARINI PRIHATIN. Analisis Tataniaga Kubis (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan).Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Dibawah bimbingan NARNI FARMAYANTI). Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya mengalami peningkatan. Sayuran sebagai salah satu komoditas hortikultura yang turut memberikan sumbangan pada Produk Domestik Bruto (PDB). Kubis merupakan salah satu dari delapan belas jenis sayuran komersial yang mendapat prioritas dalam pengembangannya. Sumatera Selatan turut memproduksi kubis dan produksi kubis tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2010. Kota Pagar Alam adalah penghasil kubis nomor satu di Sumatera Selatan. Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, merupakan sentra pengembangan kubis di Kota Pagar Alam. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, (2) menganalisis efisiensi setiap saluran tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Penelitian dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam pada bulan Februari-Maret 2012. Responden petani yang digunakan sebanyak tiga puluh responden dengan metode penarikan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling), sedangkan penarikan responden untuk lembaga-lembaga tataniaga selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling yaitu dengan menelusuri saluran tataniaga kubis yang dominan di daerah penelitian. Penelitian dilakukan dengan menganalisis lembaga dan saluran tataniaga, struktur dan perilaku pasar, margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat yaitu petani, pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal), dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Terdapat lima saluran yang terbentuk dalam tataniaga kubis yaitu (1) petani- pedagang pengumpul tingkat desa- pedagang pengumpul pasar lokal- pedagang pengecer (lokal)- konsumen akhir (lokal), (2) petani- pedagang pengumpul tingkat desa - pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) pedagang pengecer luar kota (non-lokal)- konsumen akhir (non-lokal), (3) petanipedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) - pedagang pengecer luar kota (non-lokal)- konsumen akhir (non-lokal), (4) petani- pedagang pengecer (lokal)konsumen akhir (lokal), (5) petani- konsumen akhir (lokal). Saluran tataniaga I dan III merupakan saluran yang banyak digunakan petani. Volume penjualan pada saluran I yaitu 117,4 ton dan pada saluran III yaitu 131,4 ton. Fungsi –fungsi yang dijalankan oleh lembaga – lembaga tataniaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Semua lembaga tataniaga tidak menjalankan fungsi penyimpanan dan fungsi sortasi dan grading. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) sebagai pembeli yaitu pasar persaingan sempurna, sedangkan struktur
pasar yang dihadapi pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) yaitu pasar oligopsoni murni. Struktur pasar yang dihadapi petani sebagai penjual yaitu pasar persaingan sempurna. Pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) sebagai penjual menghadapi pasar oligopoli murni. Perilaku pasar diketahui dari praktek penjualan dan pembelian, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Hasil analisis tataniaga menunjukkan bahwa masing- masing lembaga memiliki sebaran margin dan keuntungan yang berbeda-beda sesuai fungsi tataniaga yang dilakukan. Nilai margin tataniaga terbesar terbentuk pada saluran II dan saluran III yaitu 66,67 persen. Pada saluran I dan IV nilai margin tataniaga yaitu 50,00 persen 45,00 persen. Pada saluran V tidak terbentuk margin tataniaga karena petani menjual kubis langsung ke konsumen akhir (lokal). Farmer’s share terbesar diperoleh pada saluran V yaitu 100,00 persen. Saluran II dan saluran III merupakan saluran tataniaga dengan nilai farmer’s share terendah yaitu 33,33 persen. Pada saluran I dan saluran IV nilai farmer’s sharenya masing-masing yaitu 50,00 persen dan 55,00 persen. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang terbesar terdapat pada saluran I yaitu 3,44 dan yang terendah terdapat pada saluran IV yaitu 2,63. Pada saluran II dan saluran III nilai rasio keuntungan terhadap biaya yaitu 2,68 dan 2,74. Volume penjualan terbesar terdapat pada saluran III yaitu 134,4 ton, sedangkan volume penjualan terkecil terdapat pada saluran II yaitu 4,00 ton. Pada saluran I volume penjualan menempati urutan terbesar kedua yaitu 117,4 ton. Volume penjualan pada saluran IV dan saluran V yaitu 16,15 ton dan 40,45 ton. Berdasarkan uraian tersebut maka saluran yang relatif lebih efisien yaitu saluran I dan Saluran III. Saran yang dapat direkomendasikan yaitu lembaga-lembaga tataniaga dapat melalui saluran tataniaga yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Namun saluran I dan saluran III merupakan saluran yang relatif lebih efisien bagi petani. Petani yang bukan anggota kelompok tani ada baiknya jika bergabung ke kelompok tani karena kelompok tani merupakan wadah bertukar pikiran terkait masalah on farm (budidaya) sehingga dapat meningkatkan produktivitas kubis yang dibudidayakan. Selain itu, peran serta kelompok tani (Poktan) dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan dapat juga dijadikan pertimbangan karena hal tersebut dapat meningkatkan posisi tawar petani kubis. Pemerintah khususnya dinas pertanian Kota Pagar Alam sebagai penanggung jawab harus mendukung dan memfasilitasi keberadaan Sub Terminal Agribisnis (STA) agar dapat berperan lebih aktif. Adanya fluktuasi harga dan volume penjualan yang melimpah pada saat panen raya, menuntut adanya industri pengolahan kubis. Sortasi dan grading sebaiknya dilakukan baik oleh petani maupun pedagang untuk meningkatkan pendapatan. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis keterpaduan pasar antara pasar acuan dengan pasar produsen di tingkat petani Kelurahan Agung Lawangan untuk melihat efisiensi dari sisi harga.
ANALISIS TATANIAGA KUBIS (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan)
ARINI PRIHATIN H34080032
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Kubis (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan) Nama
: Arini Prihatin
NIM
: H34080032
Menyetujui, Pembimbing
Ir. Narni Farmayanti, M.Sc NIP. 19630228 199003 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Tataniaga Kubis (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
Arini Prihatin H34080032
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Suban Ayam, Curup pada tanggal 7 Mei 1990. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Arifin dan Ibu Sayada. Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2002 di SDN 7 Pagar Alam. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 1 Pagar Alam. Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan pada tahun 2008 di SMAN 1 Pagar Alam. Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI). Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis terlibat dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi. Kepanitiaan yang pernah diikuti yaitu Bogor Business Simulation and Competition 2009, International Scholarship and Education Expo 2010 dan Agribusiness Youth Camp 2010. Organisasi yang pernah diikuti yaitu sebagai anggota Ikatan Keluarga Mahasiswa Bumi Sriwijaya (2008-2010), sekretaris
Unit
Kegiatan
Mahasiswa
(UKM)
“CENTURY
(Centre
of
Entrepreneurship Development for Youth)” (2009-2010), dan juga anggota Biro Bisnis dan Kemitraan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Institut Pertanian Bogor (2010).
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tataniaga Kubis (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga dan fungsifungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Selain itu juga menganalisis efisiensi setiap saluran tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam melalui pendekatan margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Penulis sangat menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak baik mahasiswa, akademisi, pelaku budidaya dan lembaga-lembaga tataniaga kubis, serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Bogor, Juni 2012 Arini prihatin
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ir. Narni Farmayanti, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, waktu, perhatian, dan kesabaran yang telah diberikan selama perkuliahan dan penyusunan skripsi. 2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama pada ujian sidang skripsi penulis. 3. Dr. Amzul Rifin, SP. MA selaku dosen penguji Departemen Agribisnis pada ujian sidang skripsi penulis. 4. Maryono, SP, M.Si atas bantuan dan diskusi selama penulisan skripsi. 5. Staf Pengajar dan Staf Kependidikan Departemen Agribisnis FEM IPB. 6. Ayahanda Arifin dan Ibunda Sayada, orang tua tercinta untuk semua dukungan, doa, dan motivasi yang telah diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik. 7. Adik-adikku Artha Septiadi, Arinda Ramadhani dan sanak saudara untuk motivasi dan semangat yang telah diberikan. 8. Direktorat Kemahasiswaan IPB dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa yang diberikan selama perkuliahan. 9. Bapak Darsipah dan Bapak Suwarto selaku penyuluh pertanian Kota Pagar Alam atas bantuannya. 10. Bapak Sugandi selaku ketua kelompok tani “Bersama” dan Bapak Dili Sulaiman selaku ketua kelompok tani “Langor Indah” atas arahannya dan pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 11. Sahabat-sahabatku (Wira Septa, Eva Sabati, Cindi Ramayanti, Diah Permata, dan Rahayu) untuk setiap doa dan dukungannya. 12. Sahabat-sahabat Agribisnis 45 Sell-Link (Ruri Bapaw, Syifa Maulia, Nuniek Sudiningsih, Andi Facino, Diki More Sari, Andika Yuli Sutrisno, Haris Fatori, Erfan Fareza), Listia Nur Isma, Jayanti Mandasari, Sistiana Kurnia W, Annisa Kusuma W, Tataniagers (Herawati, Ayuning, Gebry
Ayu D), Sumsel (Rizki Amelia, Rara June Azni), Satu Bimbingan (Akbar Zaenal M, Iriana Wahyu N) untuk semua canda tawa, semangat, motivasi, dan sharing baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi. 13. Sahabat-sahabat Pondok Putri Rahmah Lantai 2, Rafiqah N Begum, Sarah Rohyana AB, Laelati NF, Tri K Ardiningrum, Riviani, Kak Vitria Melani, Dhiska Balinda, Haryuni D Utami, Masyitha Mutiara, Ika Asti Ana, Fitria Rizkyka, Bellen Famella F, dan Kak Ratna atas canda tawa, semangat dan dukungannya. 14. Sahabat-sahabatku Arif Ferry dan Kak Jefri atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 15. Sahabat-sahabat B’EXPERT (Esa Ayu Pratama, Kak Mafrikhul Muttaqin), dan Kak Seztifa Miasyiwi). 16. Regina Prameisa atas kesediaannya menjadi pembahas dalam seminar hasil penelitian penulis. 17. Teman-teman seperjuangan Agribisnis angkatan 45 dan teman-teman Agribisnis angkatan 43, 44, dan 46. 18. Teman-teman IKAMUSI IPB, UKM CENTURY, dan BEM KM IPB 2010.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvi
I.
PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ………………….. ........................................... 1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................
1 1 5 8 8 8
II.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis ................................................ 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga ................................... 2.3. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu ....................................
9 9 9 14
III. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................ 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ....................................................... 3.1.1. Konsep Tataniaga .............................................................. 3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga ........................................ 3.1.3. Fungsi-Fungsi Tataniaga ................................................... 3.1.4. Struktur Pasar .................................................................... 3.1.5. Perilaku Pasar .................................................................... 3.1.6. Efisiensi Tataniaga ............................................................ 3.1.7. Margin Tataniaga ............................................................... 3.1.8. Farmer’s Share .................................................................. 3.1.9. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................
15 15 15 16 17 19 21 21 22 24 24 25
IV.
METODE PENELITIAN ................................................................. 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data .......................... 4.3. Metode Penentuan Responden ..................................................... 4.4. Metode Analisis Data .................................................................. 4.4.1. Analisis Deskriptif ............................................................. 4.4.2. Analisis Lembaga, Saluran Tataniaga dan Fungsi-Fungsi Tataniaga ............................................... 4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar ................................... 4.4.4. Analisis Margin Tataniaga .................................................. 4.4.5. Analisis Farmer’s Share .................................................... 4.4.6. Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya .......................
27 27 27 27 28 29
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................ 5.1. Wilayah dan Topografi ................................................................. 5.2. Karakteristik Petani Responden ................................................... 5.3. Karakteristik Pedagang Responden ..............................................
32 32 35 37
V.
29 29 29 30 31
5.4. Gambaran Umum Budidaya Kubis di Kelurahan Agung Lawangan .......................................................................... VI.
40
ANALISIS TATANIAGA KUBIS ................................................... 6.1. Produsen dan Lembaga Tataniaga ................................................ 6.2. Saluran Tataniaga ......................................................................... 6.2.1. Saluran Tataniaga I ............................................................. 6.2.2. Saluran Tataniaga II ............................................................ 6.2.3. Saluran Tataniaga III .......................................................... 6.2.4. Saluran Tataniaga IV .......................................................... 6.2.5. Saluran Tataniaga V ........................................................... 6.3. Fungsi-fungsi Tataniaga Pada Setiap Lembaga Tataniaga ........... 6.3.1. Fungsi Tataniaga yang Dijalankan Petani .......................... 6.3.2. Fungsi Tataniaga yang Dijalankan Pedagang Pengumpul Tingkat Desa dan Pedagang Pengumpul Pasar Lokal ....... 6.3.3. Fungsi Tataniaga yang Dijalankan Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota (Non-lokal) ............................ 6.3.4. Fungsi Tataniaga yang Dijalankan Pedagang Pengecer (Lokal) dan Pedagang Pengecer Luar Kota (Non-lokal) ..... 6.4. Struktur Pasar ............................................................................... 6.4.1. Jumlah Penjual dan Pembeli Serta Mudah Tidaknya Keluar Masuk Pasar ............................................................ 6.4.2. Jenis dan Keadaan Kubis di Kelurahan Agung Lawangan ................................................................ 6.4.3. Sumber Informasi ............................................................... 6.5. Perilaku Pasar ............................................................................... 6.5.1. Praktek Penjualan dan Pembelian ....................................... 6.5.2. Sistem Penentuan Harga .................................................... 6.5.3. Sistem Pembayaran ............................................................. 6.5.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga ................................ 6.6. Analisis Margin Tataniaga ............................................................ 6.7. Farmer’s Share ............................................................................ 6.8. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya .............................................. 6.9. Efisiensi Tataniaga ........................................................................
42 42 43 49 51 53 54 55 55 56
VII. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 7.1. Kesimpulan ................................................................................... 7.2. Saran .............................................................................................
78 78 78
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
80
LAMPIRAN ................................................................................................
83
57 58 58 61 61 63 63 67 67 68 68 69 69 71 73 75
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Perkembangan PDB Hortikultura Tahun 2006-2010 ....................
1
2
PDB Beberapa Komoditas Sayuran Terhadap Total PDB Sayuran Nasional Tahun 2009-2010 ......................................
2
Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis Menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Tahun 2009-2010 ...............
4
Harga Kubis yang Diterima Petani dan Konsumen Akhir di Kota Pagar Alam Tahun 2010 ....................................................
7
5
Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat ...............................
20
6
Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Pagar Alam Tahun 2010 ...................
32
Jumlah Penduduk dirinci Berdasarkan Kelurahan di Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam Tahun 2010 ........
34
Jumlah Penduduk Kelurahan Agung Lawangan Berdasarkan Mata Pencarian Pokok Tahun 2010 ...........................
35
Analisis Frequencies Jumlah Petani Berdasarkan Karakteristik .............................................................
36
Analisis Frequencies Jumlah Pedagang Berdasarkan Karakteristik .............................................................
38
11
Analisis Frequencies Tujuan Penjualan Petani ...............................
44
12
Fungsi-fungsi yang dijalankan Lembaga-lembaga Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan .........................
60
Farmer’s Share Pada Saluran Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan ..........................................................
72
Rasio keuntungan Terhadap Biaya Pada Saluran Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan .........................
74
Nilai Efisiensi Tataniaga Pada Saluran Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan ..........................................
75
3 4
7 8 9 10
13 14 15
DAFTAR GAMBAR Nomor 1
Halaman Total Produksi Sayuran Unggulan Kota Pagar Alam Tahun 2006-2010 ..........................................................................
4
2
Margin Tataniaga ..........................................................................
23
3
Kerangka Pemikiran Operasional ..................................................
26
4
Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Pagar Alam Tahun 2010 .........................................................
33
5
Pie Chart Jumlah Petani Berdasarkan Karakteristik ......................
37
6
Pie Chart Jumlah Pedagang Berdasarkan Karakteristik ................
39
7
Tujuan Penjualan ...........................................................................
45
8
Saluran Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam .................................
47
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1
Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2005-2010 ........................
84
2
Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis Tahun 2009-2010 ...........................................................................
85
Analisis Crosstabs-Chi Square Tingkat Pendidikan Petani Terhadap Keterlibatan dalam Kelompok Tani ................................
86
Analisis Crosstabs-Chi Square Karakteristik Petani Terhadap Tujuan Penjualan .............................................................
87
Biaya yang Dikeluarkan Lembaga Tataniaga Pada Setiap Saluran .......................................................................
90
Analisis Margin Tataniaga Pada Setiap Lembaga Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan ..........................................
92
Data Petani Responden Berdasarkan Karakteristik di Kelurahan Agung Lawangan .......................................................
93
Data Pedagang Responden Berdasarkan Karakteristik di Kelurahan Agung Lawangan .......................................................
95
Dokumentasi Penelitian di Kelurahan Agung Lawangan ..............
96
3 4 5 6 7 8 9
I 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian
nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura memberikan gambaran seberapa jauh kontribusi yang diberikan subsektor hortikultura terhadap pendapatan nasional. Komoditas yang termasuk dalam subsektor hortikultura meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Kontribusi komoditas tersebut dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun 2006-2010 Nilai PDB (Milyar Rp.) Komoditas 2006 2007 2008 2009 Buah-Buahan 35.447,59 42.362,48 47.059,78 48.436,70 Sayuran 24.694,25 25.587,03 28.205,27 30.505,71 Tanaman Hias 4.734,27 4.740,92 5.084,78 5.494,24 Biofarmaka 3.762,41 4.104,87 3.852,67 3.896,90 Hortikultura 68.638,53 76.795,30 84.202,50 88.333,56
2010 45.481,89 31.244,16 6.173,97 3.665,44 86.565,49
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian (2011)
Pada tahun 2006 hingga tahun 2009 nilai Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2010 nilai tersebut mengalami penurunan sebesar Rp 1.768,07 milyar atau sekitar dua persen jika dibandingkan pada tahun 2009. Pada tahun 2010 komoditas buah-buahan memberikan sumbangan terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura sebesar Rp 45.481,89 milyar atau sekitar 52,54 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura. Meskipun demikian, nilai tersebut menurun sebesar Rp 2.954,81 milyar (6,1 persen) jika dibandingkan tahun 2009. Komoditas selanjutnya yang memberikan sumbangan
terbesar dalam Produk
Domestik Bruto (PDB) hortikultura tahun 2010 yaitu sayuran (Rp 31.244,16 milyar atau sekitar 36,09 pesen). Kontibusi sayuran dalam Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2009.
Peningkatan tersebut sebesar Rp 738,45 milyar (2,42 persen). Sayuran terdiri dari berbagai macam jenis dan masing-masing jenis sayuran memberikan kontribusi yang berbeda-beda nilainya dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional. Beberapa komoditas sayuran yang 1
memberikan kontribusi terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional yaitu cabai besar, bawang merah, cabai rawit, tomat, kentang, kubis, dan bawang daun, sedangkan jenis sayuran yang memberikan sumbangan yang relatif kecil dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional digolongkan ke dalam komoditas sayuran lainnya. Berikut disajikan data Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa komoditas sayuran terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional tahun 2009-2010 pada Tabel 2. Tabel 2. PDB Beberapa Komoditas Sayuran Terhadap Total PDB Sayuran Nasional Tahun 2009-2010 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Komoditas
Cabai besar Bawang merah Cabai rawit Tomat Kentang Kubis Bawang daun Sayuran lainnya Total Sayuran
2009 Nilai PDB Persentase (Milyar Rp.) (%)
6.431,57 4.144,85 3.718,45 2.489,57 2.282,38 2.030,19 1.335,61 6.822,67 30.505,71
21,08 13,59 12,19 8,16 7,48 6,66 4,38 26,47 100,00
2010 Nilai PDB Persentase (Milyar Rp.) (%)
6.698,94 4.588,39 3.662,94 2.333,85 2.247,39 2.108,52 1.274,96 8.329,17 31.244,16
21,44 14,69 11,72 7,47 7,19 6,75 4,08 26,66 100,00
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian (2011)
Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa komoditas sayuran (cabai besar, bawang merah, dan kubis) meningkat pada tahun 2010. Kubis berada di posisi terbesar ketiga sebagai komoditas yang mengalami peningkatan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 78,33 milyar (0,09 persen) setelah bawang merah (Rp 443,54 ; 1,1 persen) dan cabai besar (Rp 267,37; 0,36 persen). Peningkatan nilai tersebut salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan produksi kubis pada tahun 2010. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada tahun 2006 hingga tahun 2010 produksi kubis merupakan jumlah yang tertinggi dibandingkan jenis sayuran lainnya dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 2,22 persen. Pertumbuhan tersebut relatif stabil setiap tahun. Hal ini dilihat dari produksi per tahun yang selalu meningkat secara bertahap. Kubis (Brassica oleraceae) salah satu dari delapan belas jenis sayuran komersial yang mendapat prioritas dalam pengembangannya dan mempunyai nilai ekonomi dan sosial cukup tinggi karena dijadikan salah satu andalan sumber
2
pendapatan petani1. Selain itu, kubis memiliki banyak kegunaan terutama dalam memenuhi konsumsi rumah tangga dan mengandung berbagai vitamin dan mineral. Kubis banyak ditanam di dataran tinggi, relatif cepat dipanen yaitu pada usia tiga hingga empat bulan, dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan dapat ditanam sepanjang tahun. Hal ini yang menjadi salah satu alasan petani memilih untuk menanam kubis. Varietas kubis sangat beragam dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Hampir sebagian besar daerah di Indonesia memproduksi kubis, mulai dari Aceh hingga Papua. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan Lampiran 2 ditunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan turut memproduksi kubis. Pada tahun 2009 produksi kubis di Provinsi Sumatera Selatan menempati urutan ke-13 dari 29 Provinsi penghasil kubis di Indonesia. Selain itu, pada tahun 2010 Provinsi Sumatera Selatan termasuk ke dalam lima besar dari Provinsi-Provinsi yang mengalami peningkatan produksi kubis (Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan). Meskipun di tahun tersebut terjadi penurunan luas panen kubis sebesar 65 hektar, dari sebelumnya 554 hektar pada tahun 2009 menjadi 489 hektar pada tahun 2010. Namun produksi kubis pada tahun 2010 di Provinsi Sumatera Selatan meningkat sebesar 43 ton (0,49 persen) yang berimplikasi pada peningkatan produktivitas sebesar 2,18 ton per hektar. Kota Pagar Alam adalah sentra produksi sayuran dan penghasil kubis nomor satu di Provinsi Sumatera Selatan. Kondisi tersebut didukung oleh keadaan alam Kota Pagar Alam yang didominasi dataran tinggi sehingga cocok untuk budidaya kubis. Data luas panen, produksi, dan produktivitas kubis menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan tahun 2009- 2010 dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 diketahui bahwa di tahun 2009 dan tahun 2010 Kota Pagar Alam merupakan wilayah yang memiliki luas panen dan produksi kubis terbesar di Provinsi Sumatera Selatan. Penurunan luas panen yang terjadi pada tahun 2010 tidak berpengaruh terhadap produksi kubis yang dihasilkan. Meskipun pada tahun 2010 terjadi penurunan luas lahan sebesar 19 hektar yaitu dari semula 325 hektar 1
Tingkatkan Bobot Kubis dengan Pupuk Organik. http://pupuknpkorganiklengkap.blogspot.com/2009/11/tingkatkan-bobot-kubis-dengan pupuk_18.html. Diakses pada tanggal 22 januari 2012.
3
di tahun 2009 menjadi 306 hektar di tahun 2010, produksi kubis justru mengalami peningkatan sebesar 120 ton yaitu dari 5.971 ton di tahun 2009 menjadi 6.091 ton di tahun 2010. Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis Menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Tahun 2009-2010 Kabupaten/ Kota OKU Selatan Muara Enim Lahat Pagar Alam Jumlah
Luas Panen (Ha) 134 31 64 325 554
2009 Produksi (Ton) 900 850 997 5.971 8.717
Produktivitas (Ton/Ha) 6,71 27,41 15,57 18,37 15,73
Luas Panen (Ha) 66 41 76 306 489
2010 Produksi (Ton)
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi (2011), diolah
435 818 1.309 6.091 8.652
Produktivitas (Ton/Ha) 6,59 19,95 17,22 19,90 17,69
Sumatera Selatan
Kubis adalah satu dari empat jenis sayuran unggulan Kota Pagar Alam. Petani sayuran di Kota Pagar Alam lebih banyak membudidayakan kubis dibandingkan jenis sayuran unggulan lainnya seperti kentang, cabai, dan tomat. Total produksi kubis setiap tahun selalu menjadi yang paling tinggi dan terus mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2010. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 1. Ton 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Kubis Tomat Cabai Kentang
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Gambar 1. Total Produksi Sayuran Unggulan Kota Pagar Alam Tahun 2006-2010 Sumber: Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan (20072011), diolah
4
Wilayah di Kota Pagar Alam yang memiliki luas panen dan volume produksi kubis terbesar berada di Kecamatan Dempo Utara. Pada Tahun 2010 menurut data Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam, luas panen dan produksi kubis di Kecamatan Dempo Utara yaitu 155 hektar dan produksi 73,30 persen dari total produksi kubis di Kota Pagar Alam. Kemudian diikuti Kecamatan Pagar Alam Selatan ( 83 hektar; 20,64 persen ), Pagar Alam Utara (43 hektar; 4,10 persen), Dempo Selatan (16 hektar; 1,49 persen), dan Dempo Tengah (9 hektar; 0,47 persen). Keadaan tanah yang subur dan letaknya yang berada di dataran tinggi (705m-1200m diatas permukaan laut) sangat mendukung dalam pengembangan kubis di wilayah Kecamatan Dempo Utara. Sentra produksi kubis di Kecamatan Dempo Utara berada di Kelurahan Agung Lawangan. Sebagian besar lahan di Kelurahan tersebut ditanami kubis karena kesesuaian iklim dan jenis tanahnya yang subur. Kubis yang dihasilkan di daerah ini dijual ke pasar lokal yaitu pasar terminal Kota Pagar Alam dan pasar luar kota seperti Kota Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Volume penjualan kubis ke luar kota umumnya lebih besar dibandingkan ke pasar lokal. 1.2.
Perumusan Masalah Tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan melibatkan beberapa
lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Keterlibatan lembaga-lembaga tataniaga tersebut dipengaruhi oleh jarak antara produsen dan konsumen (konsumen akhir luar kota) yang cukup jauh sehingga umumnya membentuk saluran tataniaga yang panjang. Lembaga-lembaga tataniaga dalam menyalurkan kubis ke tangan konsumen
akhir
sebelumnya
melakukan
fungsi-fungsi
tataniaga
untuk
meningkatkan nilai tambah. Fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan memiliki hubungan positif dengan biaya yang dikeluarkan. Semakin banyak fungsi yang dijalankan maka biaya yang dikeluarkan juga semakin besar dan sebalikya semakin sedikit fungsi yang dijalankan biaya tataniaga akan semakin kecil. Lembaga-lembaga tataniaga juga menginginkan keuntungan atas fungsi-fungsi 5
yang telah dijalankan tersebut. Besaran biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang didapat oleh masing-masing lembaga tataniaga mencerminkan besaran margin yang terbentuk. Umumnya saluran tataniaga yang panjang akan membentuk total margin yang nilainya relatif besar. Margin yang terbentuk juga dapat dilihat melalui perbedaan harga yang diterima petani dan harga yang dibayarkan konsumen akhir. Harga rata-rata kubis yang diterima petani kubis di Kota Pagar Alam termasuk Kelurahan Agung Lawangan dan yang dibayarkan konsumen akhir lokal (Kota Pagar Alam) cenderung fluktuatif setiap bulannya. Harga rata-rata kubis yang
diterima
petani dan konsumen akhir di Kota Pagar Alam Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 4. Pada tahun 2010 harga rata-rata tertinggi yang diterima petani kubis yaitu Rp 1.700,00 per kilogram dan harga terendah yaitu Rp 250,00 per kilogram, sedangkan harga rata-rata tertinggi yang dibayarkan konsumen akhir yaitu Rp 5.000,00 per kilogram dan harga terendah Rp 1.250,00 per kilogram. Harga tertinggi kubis pada bulan Januari hingga Maret 2012 yaitu Rp 3.000,00 per kilogram dan harga terendah Rp 500,00 per kilogram. Dampak fluktuasi harga tersebut berpengaruh pada pendapatan petani kubis karena petani tidak bisa memprediksi harga kubis yang akan mereka terima setelah panen. Selisih harga rata-rata kubis yang diterima petani dan yang dibayarkan konsumen akhir di Kota Pagar Alam cukup besar, mencapai Rp 4500,00. Nilai inilah
yang
disebut
menggambarkan
margin
bahwa
tataniaga.
lembaga-lembaga
Margin
tataniaga
tataniaga
yang
memperoleh
tinggi bagian
pendapatan yang lebih besar dibandingkan petani sehingga tataniaga diindikasikan tidak efisien jika dilihat dari indikator margin tataniaga. Margin tataniaga dan bagian yang diterima petani atas harga yang dibayarkan konsumen akhir (farmer’s share) memiliki hubungan negatif. Semakin tinggi nilai margin tataniaga maka nilai farmer’s share akan semakin rendah dan sebaliknya semakin rendah nilai margin tataniaga, nilai farmer’s share akan semakin tinggi. Pada Tabel 4 juga digambarkan bahwa pada saat margin tinggi (Rp 4500,00) nilai farmer’s share akan rendah (10,00 persen) dan sebaliknya pada saat nilai margin tataniaga rendah ( Rp 800,00), nilai farmer’s sharenya menjadi tinggi (68,00 persen). Nilai farmer’s share yang rendah yaitu 10,00 persen
6
menunjukkan bahwa petani menerima 10,00 persen atas harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Nilai farmer’s share yang rendah juga mengindikasikan bahwa tataniaga tidak efisien jika dilihat dari indikator farmer’s share. Tabel 4. Harga Rata-rata Kubis yang Diterima Petani dan Konsumen Akhir di Kota Pagar Alam Tahun 2010, Margin Tataniaga, dan Farmer’s Share Harga RataHarga RataMargin Farmer’s rata yang rata yang Tataniaga Share No. Bulan Diterima Diterima (Rp/Kg) (%) Petani Konsumen (Rp/Kg) Akhir (Rp/Kg) 1. Januari 1.700,00 2.500,00 800,00 68,00 2. Februari 600,00 3.500,00 2.900,00 17,14 3. Maret 700,00 3.750,00 3.050,00 18,67 4. April 500,00 5.000,00 4.500,00 10,00 5. Mei 700,00 3.000,00 2.300,00 23,33 6. Juni 600,00 4.500,00 3.900,00 13,33 7. Juli 600,00 3.000,00 2.400,00 20,00 8. Agustus 900,00 2.500,00 1.600,00 36,00 9. September 700,00 2.250,00 1.550,00 31,11 10. Oktober 250,00 1.250,00 1.000,00 20,00 11. November 300,00 1.250,00 950,00 24,00 12. Desember 1.000,00 2.000,00 1.000,00 50,00 Rata-rata Tahun 2010 712,50 2.875,00 2.162,50 27,63 Sumber: Sub Terminal Agribisnis dan Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam (2011), diolah
Permasalahan yang juga dihadapi petani kubis yaitu dalam posisi tawarmenawar sering tidak seimbang dimana petani dikalahkan dengan kepentingan lembaga tataniaga lain seperti pedagang yang lebih dahulu mengetahui harga (posisi tawar petani rendah). Petani sebagai produsen merupakan pihak yang menerima harga (price taker) sehingga tidak memiliki pengaruh dalam penentuan harga. Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1.
Bagaimana saluran tataniaga dan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam?
2.
Apakah tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam sudah efisien? 7
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini, antara lain: 1.
Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam.
2.
Menganalisis
efisiensi
setiap saluran
tataniaga
kubis di
Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. 1.4.
Manfaat Penelitian 1.
Sebagai informasi bagi petani kubis dan lembaga tataniaga lainnya untuk dapat meningkatkan pendapatan melalui rekomendasi yang diberikan.
2.
Sebagai informasi bagi pemerintah setempat dalam menetapkan kebijakan mengenai tataniaga kubis di Kota Pagar Alam.
3.
Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya khususnya yang terkait dengan tataniaga kubis.
4.
Sebagai praktik bagi penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari selama masa perkuliahan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan baru yang diperoleh di lapang.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo
Utara, Kota Pagar Alam. Komoditi yang diteliti yaitu sayuran jenis kubis. Penelitian melibatkan responden petani yang berasal dari dua desa yaitu Desa Kerinjing dan Desa Gunung Agung Paoh. Analisis kajian dibatasi untuk melihat efisiensi tataniaga secara operasional (teknis) dengan menggunakan pendekatan lembaga, fungsi-fungsi, struktur pasar, perilaku pasar, margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Harga yang digunakan dalam penelitian merupakan harga rata-rata yang diterima petani dan lembaga-lembaga tataniaga lainnya selama bulan Januari hingga Maret 2012. 8
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Tinjauan Umum Komoditi Kubis Kubis juga disebut kol dibeberapa daerah. Kubis merupakan salah satu
komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan sumbangan yang besar dalam peningkatan kesejahteraan petani dalam Herviyani (2009). Kubis sebagai sayuran mempunyai peran penting untuk kesehatan manusia. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. Secara umum, semua jenis kubis mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai jenis tanah. Namun, kubis dapat tumbuh optimum bila ditanam pada tanah yang kaya bahan organik. Kubis tidak dapat tumbuh dengan baik di tanah yang sangat asam. Keasaman optimum untuk pertumbuhan kubis antara 5,55,6. Kubis akan tumbuh dengan baik bila ditanam didaerah dengan suhu optimum 150-200C. Jika suhu melebihi 250C maka pertumbuhan kubis akan terhambat. Kubis dapat dipanen pada umur tiga hingga bulan. Permasalahan yang dihadapi petani dalam penanaman kubis antara lain serangan hama dan penyakit serta pemasaran. Menurut Susila (2006), hama yang biasanya menyerang kubis yaitu ulat daun, ulat krop, Chartopilla brassicae, dan Pieris brassicae. Sedangkan penyakit yang biasanya menyerang kubis yaitu Bacterium xanthomonas campestris, Alternaria brassicae, Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani kuhn, dan Damping-off. Tataniaga menjadi kendala yang serius dalam budidaya kubis. Pada saat harga tinggi petani cenderung untuk menanam kubis, akibatnya produksi melimpah, harga kubis jatuh dan petani mengalami kerugian. 2.2.
Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga Aliran suatu komoditi dari produsen ke konsumen melibatkan beberapa
lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer, Sub Terminal Agribisnis (STA), dan lain sebagainya yang membentuk suatu rantai atau pola saluran tataniaga. Pola saluran tataniaga dapat berbeda-beda antara satu jenis komoditi dengan yang lainnya maupun antara satu tempat dengan tempat lainnya. Wacana (2011) dan Utama (2011) menjelaskan bahwa terdapat empat pola saluran tataniaga masing-masing untuk komoditi bawang merah dan daun
9
bawang di wilayah yang berbeda. Sedangkan Ariyanto (2008) dan Agustina (2008) menjelaskan hanya terdapat tiga pola saluran tataniaga untuk komoditi bayam dan kubis. Noviana (2011) menjelaskan lebih ringkas, bahwa hanya terdapat dua pola saluran tataniaga untuk komoditi jamur tiram yaitu; Pola I : Petani – Pedagang pengumpul desa – Pedagang besar/grosir - Pedagang pengecer – Konsumen akhir dan Pola II : Petani – Konsumen akhir. Panjang-pendeknya suatu saluran tataniaga belum dapat menggambarkan suatu efisiensi tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga dalam kegiatan tataniaga atau pemasaran menjalankan fungsinya masing-masing. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Ariyanto (2008) menjelaskan bahwa petani sebagai produsen menjalankan ketiga fungsi tersebut, yaitu fungsi pertukaran yang berupa fungsi penjualan, fungsi fisik yakni kegiatan pengemasan dan pengangkutan, dan fungsi fasilitas meliputi informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Berbeda dengan Agustina (2008), Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011) mengemukakan bahwa petani hanya menjalankan dua dari tiga fungsi tataniaga yang ada. Agustina (2008) menemukan bahwa petani tidak melakukan fungi fasilitas. Fungsi fasilitas dijalankan oleh lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, grosir, dan pengecer dalam hal standardisasi/grading, pembiayaan, penanggungan resiko dan informasi harga. Petani juga tidak menjalankan fungsi fisik menurut Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011). Pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer dan lembaga tataniaga lainlah yang menjalankan fungsi fisik tersebut. Lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, grosir, dan pengecerpun turut menjalankan fungsi pertukaran dalam hal pembelian dan penjualan. Pedagang pengumpul misalnya, melakukan pembelian kepada petani dan penjualan ke pedagang pengecer. Struktur pasar yang dihadapi setiap lembaga tataniaga dapat berbeda-beda tergantung pada jumlah atau ukuran perusahaan, keadaan produk yang diperjualbelikan, mudah atau sukar untuk keluar-masuk pasar atau industri dan tingkat pengetahuan (informasi) yang dimiliki
oleh masing-masing lembaga
tataniaga. Petani menghadapi pasar yang bersaing sempurna menurut Ariyanto (2008), Wacana (2011), dan Utama (2011). Hal ini dibuktikan dengan jumlah
10
petani yang banyak. Selain itu, petani juga bebas untuk keluar masuk pasar, produk petani bersifat homogen, dan informasi harga yang dimiliki petani cukup baik. Sistem penentuan harga dilakukan oleh pedagang berdasarkan harga yang berlaku di pasar sehingga kedudukan petani dalam sistem tataniaga sangat lemah (price taker). Agustina (2008) menyatakan hal yang berbeda, bahwa petani kubis green cronet dihadapkan pada pasar yang mengarah ke oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah petani dibandingkan jumlah pedagang pengumpul, sedikitnya jumlah pedagang pengumpul menyebabkan harga lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul, sehingga petani hanya bertindak sebagai price taker akibat posisi tawar yang lemah walaupun dalam proses transaksi dilakukan secara tawar-menawar, dan komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen, serta informasi pasar diperoleh dari sesama petani dan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul menghadapi pasar oligopoli atau oligopsoni menurut Agustina (2008), Ariyanto (2008), dan Wacana (2011) karena jumlah penjual dan pembeli yang terlibat dalam kegiatan pemasaran
pada tingkat pedagang
pengumpul sedikit dan terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul memiliki keterikatan (hubungan yang erat) dengan petani. Setiap pedagang pengumpul telah memiliki petani langganan. Jumlah pedagang pengumpul sedikit dibandingkan dengan jumlah petani. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer bersifat persaingan sempurna. Ariyanto (2008) dan Utama (2011) melihat bahwa jumlah pedagang pengecer banyak, produk yang diperjualbelikan bersifat homogen dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi pasar sehingga bertindak sebagai price taker. Agustina (2008) dan Wacana (2011) menemukan hal yang berbeda bahwa pedagang pengecer masing-masing dihadapkan pada pasar oligopoli dan persaingan monopolistik. Dapat disimpulkan bahwa masing-masing lembaga tataniaga menghadapi struktur pasar yang bervariasi. Perilaku pasar meliputi kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Noviana
11
(2011) dan Utama (2011) menyebutkan setiap lembaga tataniaga melakukan praktek penjualan dan pembelian, kecuali petani yang tidak melakukan praktek pembelian (hanya melakukan praktek penjualan) serta konsumen akhir yang tidak melakukan proses penjualan (hanya melakukan praktek pembelian). Utama (2011) menggambarkan saluran pemasaran daun bawang yang dimulai dari petani yang menjual daun bawangnya dengan tiga cara, yaitu penjualan kepada pedagang pengumpul kebun (PPK), penjualan ke pedagang pengecer dan penjualan ke pedagang besar. Daun bawang yang telah dipanen oleh petani kemudian dijual kepada pedagang pengumpul kebun (PPK) selanjutnya PPK menjual kembali daun bawang tersebut melalui pedagang besar dan STA (Sub Terminal Agribinis), yang kemudian daun bawang dijual ke pedagang pengecer yang terdiri dari pedagang lokal dan supermarket. Praktek pembelian daun bawang ditingkat PPK dilakukan dengan petani kemudian PPK menjualnya ke pedagang besar. Pedagang pengecer membeli daun bawang dari pedagang besar. Penentuan harga biasanya dilakukan melalui tawar menawar antar lembaga tataniaga. Utama (2011) menjelaskan bahwa harga daun bawang ditingkat petani lebih ditentukan oleh pedagang pengumpul kebun, karena sebagian besar petani mengandalkan PPK untuk memasarkan hasil panen daun bawang dengan pertimbangan kemudahan dalam akses pengangkutan menuju pasar dan PPK lebih menguasai pasar. Agustina (2008) menemukan bahwa penentuan harga ditingkat pedagang pengumpul didasarkan pada harga yang berlaku dipasaran. Sedangkan menurut Wacana (2011) sistem penentuan harga yang terjadi baik ditingkat petani hingga pedagang pengecer sebenarnya terbentuk dari hasil penyesuaian terhadap harga yang berlaku ditingkat pedagang pengecer. Sistem pembayaran yang dilakukan antar lembaga tataniaga memiliki banyak keragaman diantaranya sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran dibayar dimuka, sistem pembayaran sebagian, dan sistem pembayaran hutang. Namun sistem pembayaran tunai merupakan jenis sistem pembayaran yang selalu terdapat dalam transaksi oleh lembaga-lembaga tataniaga. Tataniaga yang mudah dan lancar didukung oleh kerjasama antar lembaga tataniaga. Agustina (2008) menjelaskan bahwa lembaga- lembaga tataniaga telah melakukan kerjasama dalam pendistribusian kubis dari produsen dan konsumen.
12
Lembaga tataniaga melakukan kerjasama atas dasar lamanya mereka melakukan hubungan dagang dan rasa saling percaya. Hal ini diperkuat oleh Utama (2011) bahwa pelaku – pelaku dalam kelembagaan daun bawang sudah menjalin kerjasama yang terjalin lama dan baik. Analisis margin tataniaga bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga dalam suatu aliran tataniaga. Margin tataniaga merupakan penjumlahan dari seluruh biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diambil oleh lembaga tataniaga selama proses pendistribusian suatu komoditas. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka akan semakin memperbesar margin tataniaga. Margin tataniaga memiliki hubungan negatif dengan farmer’s share (bagian pendapatan yang diterima petani). Semakin tinggi margin tataniaga, maka bagian yang akan diperoleh petani semakin rendah. Indikator lain yang menentukan efisiensi suatu komoditas yaitu rasio keuntungan terhadap biaya (π/c). Agustina (2008), menunjukkan perhitungan margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang berbeda-beda pada setiap saluran tataniaga. Total margin tataniaga untuk masing masing pola secara berurutan yaitu: Pola I: Petani - Pengumpul I - Grosir - Pengecer – Konsumen sebesar Rp 1.681,87, Pola II A (untuk penjualan di sekitar daerah produksi): Petani Pengumpul II - Grosir - Pengecer – Konsumen yaitu Rp 1.731,87, Pola II B (untuk penjualan di luar daerah produksi) sebesar Rp 2.131,87, dan Pola III : Petani - Grosir – Pengecer – Konsumen sebesar Rp 1.681,87. Farmer’s share yang diperoleh untuk masing masing saluran tataniaga I, IIA, IIB, dan III secara berurutan yaitu 43,29persen ; 43,18 persen; 36,54 persen; dan 55,81 persen. Rasio keuntungan terhadap biaya untuk masing-masing saluran tataniaga I, IIA, IIB, dan III secara berurutan yaitu 2,13; 1,93; 1,98; dan 2,28. Rasio keuntungan yang terbesar terdapat pada saluran tataniaga III sebesar 2,28, artinya satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya tataniaga kubis akan diperoleh hasil sebesar Rp 2,28. Hasil analisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya dapat dijadikan dasar dalam penentuan saluran tataniaga yang dilihat dari margin tataniaga yang terkecil, keuntungan
terhadap biaya
farmer’s share
dan
efisien rasio
yang terbesar. Penelitian diatas menunjukkan
13
bahwa saluran yang efisien yaitu saluran III. 2.3.
Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu Kajian mengenai sistem tataniaga umumnya ditujukan untuk melihat
efisiensi tataniaga
pada komoditas yang diteliti. Efisien atau tidaknya suatu
saluran tataniaga dilihat dari dua sisi yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif meliputi analisis lembaga dan saluran pemasaran, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Secara kualitatif efisiensi tataniaga diukur dari margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c). Persamaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian Ariyanto (2008), Agustina (2008), Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011) yaitu dalam penggunaan alat analisis untuk menentukan sistem tataniaga dan efisiensi saluran tataniaga. Perbedaan penelitian dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu lokasi penelitian. Penelitian dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Penelitian mengenai analisis tataniaga kubis di daerah tersebut belum pernah dilakukan.
14
III 3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Tataniaga Tataniaga atau pemasaran memiliki banyak definisi. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) istilah tataniaga dan pemasaran berasal dari kata “marketing”. Tataniaga adalah kegiatan yang bertalian dengan penciptaan atau penambahan kegunaan barang dan jasa sehingga termasuk usaha yang produktif. Tataniaga menunjukkan semua aktivitas bisnis yang mempengaruhi arus atau aliran produk dan jasa dari titik produksi pertanian hingga ke tangan konsumen akhir (Kohl dan Uhl 2002). Menurut Dahl dan Hammond (1977), tataniaga produk-produk pertanian dapat dilihat sebagai serangkaian langkah-langkah, tahapan, atau fungsi-fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau memindahan input atau produk dari titik produksi primer untuk konsumsi akhir. Serangkaian fungsi tersebut yaitu; pembelian, penjualan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, standardisasi, pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Dalam tataniaga, barang mengalir dari produsen sampai kepada konsumen akhir yang disertai penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses tataniaga (Sudiyono 2002). Menurut Limbong dan Sitorus (1985) tataniaga pertanian mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), tataniaga dapat dipelajari melalui empat pendekatan yaitu pendekatan serba fungsi, pendekatan serba lembaga, pendekatan serba barang, dan pendekatan teori ekonomi. Pendekatan serba fungsi mempelajari masalah-masalah tataniaga atau pemasaran dari segi kegiatan atau fungsi-fungsi yang dilakukan dalam penyaluran barang dan jasa mulai dari
15
konsumen hingga produsen. Pendekatan serba lembaga mempelajari masalahmasalah tataniaga atau pemasaran melalui lembaga-lembaga tataniaga yang turut serta dalam penyaluran barang dari produsen ke konsumen. Pendekatan serba barang melibatkan studi tentang bagaimana barang-barang tertentu berpindah dari produsen ke konsumen. Pendekatan teori ekonomi lebih menitik beratkan kepada masalah-masalah penawaran, permintaan, harga, bentuk bentuk pasar dan lain lain. 3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen (Hanafiah dan Saefuddin 2006). Lembaga tataniaga timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen (Sudiyono 2002). Sudiyono (2002) juga menjelaskan bahwa lembaga tataniaga berdasarkan penguasaanya terhadap komoditi yang diperjualbelikan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: a.
Lembaga yang tidak memiliki tapi menguasai benda, seperti agen perantara, makelar (broker, selling broker dan buying broker).
b.
Lembaga yang memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir.
c.
Lembaga yang tidak memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti perusahaan-perusahaan penyediaan fasilitasfasilitas transportasi, asuransi pemasaran dan perusahaan penentu kualitas produk pertanian (surveyor). Hanafiah dan Saefuddin (2006) memberikan gambaran bahwa panjang
pendeknya saluran tataniaga yang dilalui suatu komoditi tergantung pada beberapa faktor, antara lain: a.
Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh produk.
16
b.
Cepat tidaknya produk rusak. Sifat produk yang cepat rusak menuntut penerimaan yang cepat pula ditangan konsumen, sehingga menghendaki saluran yang pendek dan cepat.
c.
Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula. Hal ini tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Dengan demikian dibutuhkan pedagang perantara dan saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang.
d.
Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga.
3.1.3 Fungsi-fungsi Tataniaga Peningkatan nilai guna suatu komoditi dipengaruhi oleh fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Fungsi tataniaga dikategorikan menjadi tiga yaitu fungsi pertukaran (exchange functions), fungsi fisik (physical functions), dan fungsi penyediaan sarana atau fasilitas (facilitating functions) (Kohl and Uhl 2002). a.
Fungsi Pertukaran (exchange function) Fungsi pertukaran melibatkan kegiatan yang menyangkut pengalihan atau transfer hak kepemilikan dari satu pihak ke pihak lainnya dalam sistem tataniaga. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan antara lain mencari sumber pasokan, perakitan produk, dan aktivitas yang berhubungan dengan pembelian. Fungsi ini melibatkan baik perakitan produk mentah dari daerah produksi atau perakitan produk jadi ke tangan tengkulak lain untuk memenuhi tuntutan konsumen akhir. Fungsi pembelian harus ditafsirkan secara luas dan memiliki beberapa bagian. Iklan, dan perangkat promosi lainnya untuk mempengaruhi dan membuat permintaan juga bagian dari fungsi pembelian. Keputusan yang tepat dalam mempengaruhi unit penjualan, paket-paket yang tepat, saluran tataniaga yang terbaik, dan waktu serta tempat yang tepat untuk mendekati pembeli potensial adalah semua keputusan yang termasuk dalam fungsi pembelian. 17
b.
Fungsi Fisik ( function of physical supply) Fungsi fisik meliputi penanganan, perpindahan, dan perubahan fisik komoditi itu sendiri. Fungsi fisik meliputi hal-hal berikut. 1.
Pengangkutan. Fokus utama fungsi pengangkutan yaitu membuat barang-barang dapat tersedia pada tempat yang tepat. Alternatif rute yang ditempuh dan jenis transportasi yang digunakan akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan.
2.
Penyimpanan/pergudangan. Penyimpanan berarti menyimpan barang dari saat produksi mereka selesai dilakukan sampai dengan waktu mereka akan dikonsumsi. Fokus utama fungsi ini yaitu membuat barang-barang dapat tersedia pada waktu yang diinginkan.
3.
Pemrosesan. Fungsi ini mencakup semua aktivitas yang mengubah bentuk dasar suatu produk. Misalnya: hewan hidup yang diproses menjadi daging ataupun tepung gandum yang diubah menjadi roti.
c.
Fungsi Penyediaan Sarana / fasilitas Fungsi penyediaan fasilitas adalah kegiatan-kegiatan yang dapat membantu kelancaran kinerja pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi ini meliputi hal-hal berikut. 1.
Informasi pasar. Fungsi ini memiliki pengertian yaitu sebagai kegiatan mengumpulkan, menafsirkan, dan menyebarluaskan berbagai macam data yang diperlukan untuk menjalankan proses tataniaga.
2.
Penanggungan
risiko.
Penanggungan
risiko
adalah
menerima
kemungkinan kerugian dalam tataniaga suatu produk. Risiko ekonomi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu risiko fisik dan risiko pasar. Risiko fisik adalah risiko yang terjadi akibat kerusakan produk itu sendiri, oleh karena kebakaran, kecelakaan, angin, gempa bumi, atau lainnya. Sedangkan risiko pasar adalah risiko yang terjadi karena perubahan nilai suatu produk yang dipasarkan. 3.
Standardisasi dan grading. Standardisasi yaitu menetapkan grade (tingkatan) kriteria kualitas komoditi tertentu. Grading adalah klasifikasi hasil pertanian ke dalam beberapa golongan mutu yang berbeda-beda, masing-masing dengan nama dan label tertentu.
18
4.
Pembiayaan.
Fungsi ini melibatkan penggunaan uang untuk
menjalankan kegiatan tataniaga. Bentuk pembiayaan yang mudah dikenal yaitu kredit yang diberikan suatu lembaga atau sumber modal lainnya. Aktivitas ini dibutukan dalam pemasaran modern. 3.1.4. Struktur Pasar Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan bahwa terdapat empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar yaitu: 1.
Jumlah dan ukuran perusahaan (pangsa pasar yang dimiliki).
2.
Keadaan produk yang diperjualbelikan (dilihat oleh pembeli). Produk yang diperjualbelikan dapat bersifat standardisasi (homogen) dan berbeda (diferensiasi), sehingga harga yang dibayarkan oleh konsumen untuk kedua jenis produk tersebut juga berbeda.
3.
Mudah atau sulit untuk keluar-masuk pasar. Kondisi ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk masuk atau keluar pasar karena adanya suatu hambatan.
4.
Tingkat pengetahuan (informasi) yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga mengenai biaya, harga, dan kondisi pasar. Dahl dan Hammond (1977) juga mengemukakan bahwa terdapat lima jenis
struktur pasar yaitu: (1) Pasar persaingan sempurna (Pure competition), (2) Pasar Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition), (3) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni Murni (Pure Oligopoly/Oligopsony), (4) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni
diferensiasi
(Differentiated
Oligopoly/Oligopsony),
(5)
Pasar
Monopoli atau Monopsoni (Monopoly/Monopsony). Kelima jenis pasar tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5. Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan perbedaan antara masing-masing struktur pasar dan ciri-cirinya. Struktur pasar persaingan sempurna memiliki ciriciri yaitu: 1) banyak pembeli dan penjual, tidak satupun dari keduanya dapat memberikan pengaruh yang besar dalam penentuan harga, 2) tidak terdapat diferensiasi produk, 3) pembeli dan penjual dapat dengan mudah untuk keluar dan masuk pasar, 4) pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh pembeli dan
19
penjual mengenai kondisi pasar relatif sempurna, dan mobilitas faktor-faktor produksi juga berjalan secara sempurna. Pasar persaingan monopolistik memiliki tiga karakteristik utama yaitu produk yang dihasilkan berbeda corak, jumlah penjual relatif banyak dan adanya persaingan nonharga. Pada pasar ini penjual dan pembeli relatif bebas untuk keluar masuk pasar. Monopoli atau Monopsoni adalah struktur pasar dimana hanya ada satu penjual di pasar yang bersangkutan, sehingga tidak ada pihak lain yang menyainginya. Asumsi-asumsi yang mendasari monopoli yaitu: (1) Di pasar hanya satu penjual produk tertentu, (2) Produk yang dijual tidak ada barang substitusinya, (3) Adanya barier to entry ke pasar (baik legal atau natural). Karakteristik utama oligopoli atau oligopsoni adalah adanya beberapa perusahaan yang menghasilkan produk homogen maupun berbeda corak, sehingga perilaku perusahaan satu mempengaruhi dan mendapat reaksi dari perusahaan lain. Akses keluar masuk pasar dalam pasar oligopoli atau oligopsoni sulit dan terdapat beberapa hambatan. Oligopoli yang menghasilkan produk homogen terstandardisasi disebut oligopoli murni (pure oligopoly), sedangkan oligopoli yang menghasilkan barang berbeda corak disebut differentiated oligopoly2. Tabel 5. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat Karakteristik Struktural Struktur Pasar dari Sisi Jumlah Sifat Produk Penjual Pembeli Perusahaan Banyak Standardisasi Persaingan Persaingan Sempurna Sempurna Banyak Diferensiasi Persaingan Persaingan Monopolistik Monopsonistik Sedikit Standardisasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni Sedikit Diferensiasi Oligopoli Oligopsoni Diferensiasi diferensiasi Satu Unik Monopoli Monopsoni Sumber: Dahl dan Hammond (1977)
2
Hidayat. http://www.slideshare.net/f4uzi3zi3/pasar-oligopoli/.Pasar Oligopoli. Diakses pada tanggal 22 Januari 2012.
20
3.1.5. Perilaku Pasar Perilaku pasar adalah pola kebiasaan pasar meliputi proses (mental) pengambilan keputusan serta kegiatan fisik individual atau organisasional terhadap produk tertentu, konsisten selama periode waktu tertentu. Kegiatankegitan perilaku meliputi tindakan penilaian, keyakinan, usaha memperoleh, pola penggunaan, maupun penolakan suatu produk (Budiarto 1993). Ada tiga cara mengenal perilaku (Asmarantaka 2009), yakni: 1.
Penentuan harga dan setting level of output; penentuan harga adalah menetapkan harga dimana harga tersebut tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama-sama penjual atau penetapan harga berdasarkan pemimpin harga (price leadership).
2.
Product Promotion Policy; melalui pameran dan iklan atas nama perusahaan.
3.
Predatory and Exclusivenary tactics; strategi ini bersifat illegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi ini antara lain menetapkan harga di bawah biaya marginal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Cara lain adalah berusaha menguasai bahan baku (integrasi vertikal ke belakang) sehingga perusahaan pesaing tidak dapat berproduksi dengan menggunakan bahan baku yang sama secara persaingan yang sehat.
3.1.6. Efisiensi Tataniaga Kepuasan konsumen, produsen, maupun lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam aliran barang dan jasa merupakan ukuran efisiensi (Limbong dan Sitorus 1985). Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) pengertian efisiensi tataniaga yang dimaksud oleh pengusaha swasta berbeda dengan yang dimaksud oleh konsumen. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan kepentingan antara pengusaha dan konsumen. Tataniaga yang efisien dari sisi pengusaha yaitu apabila penjualan produknya dapat mendatangkan keuntungan yang tinggi. Sebaliknya konsumen menganggap bahwa tataniaga yang efisien yaitu apabila konsumen mudah mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga rendah. Efisiensi tataniaga dapat ditingkatkan melalui dua cara yaitu; pengurangan biaya tanpa mengurangi manfaat tataniaga dan peningkatan manfaat produk tanpa 21
meningkatkan biaya tataniaga (Kohl dan Uhl 2002). Efisiensi tataniaga dapat dibedakan menjadi efisiensi operasional (teknik) dan efisiensi harga. Efisiensi operasional (teknik) menurut Kohl dan Uhl 2002 diukur sebagai rasio output terhadap input. Peningkatan efisiensi operasional ditunjukkan pada situasi dimana biaya tataniaga dikurangi tanpa mempengaruhi sisi output dari rasio efisiensi. Efisiensi harga merupakan bentuk kedua dari efisiensi tataniaga. Efisiensi harga berkaitan dengan kemampuan sistem pasar mengalokasikan sumberdaya secara efisien dan mengkoordinasikan produksi dan seluruh proses tataniaga menurut arahan konsumen. Efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat dengan pemasaran “puas” atau responsif terhadap harga yang berlaku dalam Asmarantaka (2002). Efisiensi tidaknya
keterpaduan
harga dianalisis melalui ada
pasar (integrasi) antara pasar acuan dengan pasar
pengikutnya. 3.1.7. Margin Tataniaga Margin adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir (Hanafiah dan Saefuddin 2006). Komponen margin tataniaga terdiri dari: (1) biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang disebut biaya tataniaga atau biaya fungsional (functional cost); dan (2) keuntungan (profit) lembaga tataniaga. Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan bahwa margin tataniaga merupakan perbedaan antara harga pada level yang berbeda dalam sistem tataniaga. Margin tataniaga merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan oleh konsumen dan harga yang diterima petani (Tomex dan Robinson 1990; Kohl dan Uhl 2002; Hudson 2007). Margin tataniaga merupakan harga dari semua aktivitas penambahan kepuasan dan fungsi-fungsi yang dibentuk oleh perusahaan dalam tataniaga makanan (Kohl dan Uhl 2002). Harga tersebut termasuk pengeluaran dalam melakukan fungsi tataniaga dan juga keuntungan perusahaan. Tomex dan Robinson (1990) memberikan dua altenatif definisi dari margin tataniaga yaitu: (1) perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen (petani); (2) harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai hasil dari permintaan dan penyediaan jasa tersebut. Definisi 22
pertama menjelaskan bahwa margin tataniaga secara sederhana adalah suatu perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf). Definisi kedua lebih bersifat ekonomi dan lebih tepat karena memberikan pengertian adanya nilai tambah dari kegiatan tataniaga.
Dari pengertian-
pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa margin tataniaga merupakan M = Pr – Pf atau margin tataniaga terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga-lembaga tataniaga. Margin tataniaga tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Harga Nilai Margin Tataniaga (PrPf) Qr,f
Margin tataniaga
{
(Pr-Pf)
Sr Sf
Pr Pf
Dr Biaya Tataniaga
0
Df
Jumlah
Qr,f
Keterangan: Pr : Harga di tingkat pengecer Pf : Harga di tingkat petani Sr : Penawaran di tingkat pengecer (derived supply) Sf : Penawaran di tingkat petani (primary supply) Dr : Permintaan di tingkat pengecer (derived demand) Df : Permintaan di tingkat petani (primary demand) Qr,f : Jumlah produk di tingkat petani dan pengecer Gambar 2. Margin Tataniaga Sumber: Dahl dan Hammond 1977
Permintaan di tingkat petani (primary demand) ditentukan oleh respon dari konsumen akhir. Perkiraan empiris dari fungsi permintaan di tingkat petani selalu didasarkan pada harga di tingkat pedagang pengecer dan data jumlah produk. Permintaan di tingkat pengecer (derived demand) didasarkan pada hubungan harga dan jumlah yang ada, baik pada titik dimana produk-produk meninggalkan pertanian atau titik menegah dimana produk-produk tersebut dibeli oleh pedagang
23
besar atau pengolah. Penawaran di tingkat pengecer (derived supply) adalah penawaran turunan dari penawaran di tingkat petani (primary supply) dengan menambahkan margin yang sesuai. 3.1.8. Farmer’s Share Hudson (2007) mengemukakan bahwa secara sederhana farmer’s share adalah rasio harga ditingkat petani atas harga di tingkat pengecer. Pendapatan yang diterima oleh petani (farmer’s share) merupakan persentase perbandingan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Asmarantaka 2009). Secara sistematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut. Pf X 100% Fsi = Pr Dimana:
Fsi Pf Pr
: Persentase pendapatan yang diterima petani : Harga di tingkat atau yang diterima petani : Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir
Sumber: Asmarantaka (2009)
Nilai farmer’s share yang rendah memperlihatkan harga yang rendah diterima oleh petani sedangkan konsumen akhir membayar dengan harga yang tinggi. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan margin tataniaga yaitu jika farmer’s share tinggi maka margin tataniaga rendah dan sebaliknya jika farmer’s share rendah maka margin tataniaga tinggi. 3.1.9. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Analisis rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) adalah persentase keuntungan tataniaga terhadap biaya tataniaga yang secara teknis (operasional) untuk mengetahui efisiensinya (Asmarantaka 2009). Penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga pemasaran dapat diketahui melalui rumusan berikut: Rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) =
Keuntungan lembaga pemasaran ke-i Biaya Pemasaran ke-i
Keterangan: Keuntungan lembaga pemasaran ke-i = keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg) Biaya pemasaran ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp) 24
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kelurahan Agung Lawangan merupakan sentra pengembangan kubis di
Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Kubis tersebut dijual ke pasar lokal (Kota Pagar Alam) dan luar kota (Kota Prabumulih dan Kabupaten Lahat). Tataniaga kubis baik melalui pasar lokal maupun luar kota melibatkan lembagalembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) dan pedagang pengecer baik lokal maupun non-lokal. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut masing-masing menjalankan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda-beda dan mengeluarkan biaya tataniaga serta menginginkan keuntungan atas fungsi yang dijalankannya. Biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh tersebut menggambarkan margin tataniaga. Margin tataniaga tertinggi yang terbentuk cukup besar mencapai Rp 4.500,00. Margin tataniaga tersebut berbanding terbalik dengan farmer’s share, dimana farmer’s share yang diperoleh hanya 10,00 persen. Artinya, petani hanya memperoleh 10,00 persen atas harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Harga rata-rata kubis yang diterima petani dan konsumen akhir cenderung fluktuatif. Fluktuasi harga tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap pendapatan petani kubis. Permasalahan lain yaitu posisi tawar menawar sering tidak seimbang dimana petani dikalahkan dengan kepentingan lembaga tataniaga lain yang lebih dahulu mengetahui harga (posisi tawar petani rendah) dan petani merupakan pihak yang menerima harga (price taker). Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut adanya analisis mengenai tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan dempo Utara, Kota Pagar Alam. Sistem tataniaga dan efisiensi tataniaga kubis dapat dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dapat dilakukan dengan menganalisis lembaga tataniaga yang terlibat dan saluran tataniaga yang terbentuk, fungsifungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar. Secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c). Dari hasil analisis tersebut dapat
diketahui efisiensi
tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah perbaikan yang harus
25
dilakukan oleh petani sebagai produsen dan lembaga tataniaga yang terlibat untuk meningkatkan efisiensi tataniaga. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3. Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara ,Kota Pagar Alam sebagai sentra pengembangan kubis
-
Margin tataniaga yang besar dan Farmer’s share yang rendah Fluktuasi harga kubis yang terjadi Posisi tawar petani rendah dan petani merupakan price taker
Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam
Analisis Kualitatif:
Analisis Kuantitatif:
- Lembaga dan saluran tataniaga - Fungsi-fungsi tataniaga - Struktur pasar - Perilaku pasar
- Margin tataniaga - Bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) - Rasio keuntungan terhadap biaya
-
Efisiensi tataniaga Alternatif saluran tataniaga yang efisien
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
26
IV METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan
Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kota Pagar Alam merupakan daerah yang didominasi dataran tinggi dengan kondisi lahan yang relatif subur, dan sangat potensial untuk pengembangan komoditi sayuran. Kota Pagar Alam merupakan salah satu sentra produksi sayuran di Sumatera Selatan. Jenis sayuran yang terdapat di Kota Pagar Alam didominasi komoditi kubis. Dempo Utara merupakan Kecamatan di Kota Pagar Alam sebagai daerah unggulan tanaman sayuran termasuk
kubis. Kelurahan Agung Lawangan
merupakan salah satu sentra pengembangan kubis di Kecamatan Dempo Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Februari- Maret 2012. 4.2.
Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan secara langsung (observasi), wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) kepada pelaku dalam saluran tataniaga yaitu petani dan pedagang. Pengamatan secara langsung juga dilakukan terhadap kegiatan tataniaga dan penelusuran saluran tataniaga serta lembaga-lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga kubis. Data sekunder digunakan untuk mendukung data primer. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, tinjauan pustaka dan beberapa penelitian terdahulu. Selain itu data sekunder juga diperoleh dari beberapa instansi terkait seperti Badan Pusat
Statistik,
Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam, Direktorat
Jenderal Hortikultura, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Pagar Alam, dan Sub Terminal Agribisnis (STA) Kota Pagar Alam. 4.3.
Metode Penentuan Responden Penelitian ini dilakukan dengan mengambil responden sebanyak 30 petani
kubis yang dianggap telah mewakili populasi petani kubis yang ada di Kelurahan Agung Lawangan. Penarikan responden (petani) ini dilakukan secara sengaja (Purposive Sampling) terhadap petani yang membudidayakan kubis dan 27
melakukan panen kubis pada saat penelitian sehingga diperoleh gambaran harga yang terjadi pada saat penelitian. Petani yang menjadi responden merupakan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani “Bersama” yang terdapat di Desa Kerinjing dan Kelompok Tani “Langor Indah” yang terdapat di Desa Gunung Agung Paoh serta beberapa petani yang tidak tergabung ke dalam kelompok tani. Kedua kelompok tani tersebut dipilih dengan alasan keduanya merupakan kelompok tani yang aktif dalam melakukan aktivitasnya meskipun dalam hal penjualan kubis tidak dilakukan secara berkelompok. Kelompok Tani “Bersama“ memiliki anggota aktif sebanyak 23 orang, dan Kelompok Tani “Langor Indah memiliki anggota aktif sebanyak 10 orang. Petani responden sebanyak 12 orang berasal dari Kelompok Tani “Bersama”, delapan orang petani dari Kelompok Tani “Langor Indah”, dan sebanyak 10 orang merupakan petani yang tidak tergabung ke dalam Kelompok Tani. Hal ini bertujuan untuk melihat saluran yang berbeda yang digunakan petani dalam melakukan penjualan kubis ke lembaga perantara selanjutnya. Penarikan responden petani didasarkan atas informasi dari ketua Kelompok Tani dan Penyuluh Pertanian di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam.
Penarikan responden untuk
lembaga-lembaga tataniaga selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling, yaitu dengan menelusuri saluran tataniaga
kubis
yang
dominan digunakan petani di daerah penelitian berdasarkan informasi yang didapat dari petani responden. 4.4.
Metode Analisis data Analisis data dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis
kualitatif secara deskriptif terdiri dari analisis lembaga dan saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga serta struktur dan perilaku pasar. Sedangkan analisis data kuantitatif menganalisis besaran margin tataniaga, farmers’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c). Alat analisis data kuantitatif yang digunakan berupa kalkulator dan program komputer microsoft excel dan SPSS 17 .
28
4.4.1. Analisis Deskriptif Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan secara kualitatif dan kuantitatif kondisi pemasaran kubis. Selanjutnya kondisi tersebut diformulasikan dalam bentuk tabel dan gambar. 4.4.2. Analisis Lembaga, Saluran Tataniaga, dan Fungsi-fungsi Tataniaga Analisis lembaga tataniaga dan saluran tataniaga dilakukan untuk mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dan fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing-masing lembaga tataniaga dapat berbeda antara satu dengan lainnya. Fungsi-fungsi tataniaga tersebut terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Manfaat dari analisis fungsi tataniaga adalah sebagai bahan perbandingan biaya yang dihasilkan oleh setiap lembaga tataniaga. Aliran kubis dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Saluran tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan diawali dari petani dengan menghitung persentase pasokan sampai pedagang pengecer dan hingga pada akhirnya
sampai
ke
konsumen
akhir.
Jalur
tataniaga
tersebut
akan
menggambarkan saluran tataniaga. Semakin panjang saluran tataniaga, maka margin tataniaga yang terjadi antara produsen dan konsumen akan semakin tinggi. 4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Penentuan struktur pasar kubis yang dihadapi oleh masing-masing lembaga tataniaga didasarkan pada kondisi saluran yang dilalui yang dikaitkan dengan jumlah lembaga tataniaga yang terlibat (penjual dan pembeli), sifat produk (homogen/heterogen), kebebasan keluar masuk pasar, dan informasi harga pasar yang terjadi. Perilaku pasar kubis dianalisis dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. 4.4.4. Analisis Margin Tataniaga Margin tataniaga merupakan salah satu indikator untuk menentukan efisiensi tataniaga. Efisiensi tataniaga dengan indikator ini diketahui dengan cara
29
menghitung nilai margin tataniaga yang diperoleh oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran tataniaga dan kemudian membandingkan nilai margin tersebut untuk setiap saluran. Saluran tataniaga yang memiliki nilai margin yang terkecil diantara saluran tataniaga yang lainnya dapat dikatakan sebagai saluran yang efisien. Namun perlu diketahui bahwa margin tataniaga bukan merupakan satu-satunya indikator dalam menentukan efisiensi tataniaga. Margin tataniaga terdiri dari biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan tataniaga yang diperoleh masing-masing lembaga tataniaga atau merupakan selisih antara harga pada tingkat petani dengan harga di tingkat lembaga perantara (pedagang pengumpul dan pedagang pengecer). Menurut Asmarantaka (2009) secara matematis margin tataniaga dirumuskan sebagai berikut: mji = Psi – Pbi ……………… (1) mji = Bti + πi ……………..... (2) dengan demikian : πi = mji – Bti ………………. (3) jadi besarnya total margin tataniaga adalah: Mij = Σ mji, i = 1,2,3,........n
Keterangan: mji = Margin tataniaga pada lembaga ke-i (Rp/kg) Psi = Harga penjualan lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg) Pbi = Harga pembelian lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg) Bti = Biaya tataniaga lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg) πi = Keuntungan lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg) Mij = Total margin tataniaga (Rp/kg) 4.4.5. Analisis Farmer’s Share Perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen disebut farmer’s share (Asmarantaka 2009). Secara matematis farmer’s share dihitung sebagai berikut: Pf X 100%
Fsi = Pr
30
Keterangan: Fsi Pf Pr
: Persentase pendapatan yang diterima petani : Harga di tingkat atau yang diterima petani : Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir
Farmer’s share juga merupakan indikator dalam menentukan efisiensi tataniaga. Farmer’s share antara suatu saluran tataniaga dengan saluran tataniaga lainnya memiliki nilai yang berbeda. Efisiensi tataniaga dapat diketahui dengan melihat nilai farmer’s share yang paling tinggi pada setiap saluran tataniaga. 4.4.6. Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Rasio keuntungan diperoleh dari pembagian keuntungan tataniaga dengan biaya tataniaga. Keuntungan tataniaga diperoleh dari selisih harga jual dengan harga beli pada masing-masing lembaga tataniaga dikurangi dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan masing-masing lembaga tataniaga. Rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan seberapa besar setiap satuan biaya yang dikeluarkan selama tataniaga dapat memberikan besaran keuntungan tertentu selama proses penyaluran produk. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut: Keuntungan lembaga pemasaran ke-i Rasio keuntungan terhadap biaya = Biaya pemasaran ke-i Keterangan: Keuntungan lembaga pemasaran ke-i = Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg) Biaya pemasaran ke-i
= Biaya lembaga tataniaga (Rp)
Jika rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) > 0 maka tataniaga dapat dikatakan efisien dan sebaliknya jika (π/c) < 0 maka tataniaga dikatakan tidak efisien. Tataniaga yang efisien dapat pula dilihat melalui sebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) yang merata untuk setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga (Asmarantaka 2009).
31
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1.
Wilayah dan Topografi Secara geografis Kota Pagar Alam berada pada 4 0 Lintang Selatan (LS)
dan 103.150 Bujur Timur (BT). Kota Pagar Alam terletak di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu sekitar 298 kilometer dari Kota Palembang (Ibu Kota Provinsi). Batas wilayah Kota Pagar Alam meliputi sebelah selatan yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan sebelah utara, timur dan barat berbatasan dengan Kabupaten Lahat. Kota Pagar Alam memiliki luas lebih kurang 633,66 Km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 yaitu 126.181 jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 199,13 jiwa/ Km2. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Pagar Alam pada Tahun 2010 %
Jiwa
217,95
34,39
11.611
Kepadatan Penduduk % (Jiwa/Km2) 9,20 53,27
173,09
27,32
12.663
10,03
73,16
123,98 63,17
19,57 9,97
19.934 44.755
15,80 35,47
160,78 708,49
55,47
8,75
37.218
29,50
670,96
633,66
100,00
126,181
100,00
199,13
Luas Wilayah No. 1. 2. 3. 4. 5. Total
Kecamatan Dempo Selatan Dempo Tengah Dempo Utara Pagar Alam Selatan Pagar Alam Utara
Km
2
Jumlah Penduduk
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam (2011)
Wilayah Kota Pagar Alam terbagi menjadi lima kecamatan yaitu Kecamatan Dempo Selatan, Dempo Tengah, Dempo Utara, Pagar Alam Selatan dan Pagar Alam Utara. Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Dempo Selatan (239,08 Km2) sedangkan Kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Pagar Alam Utara (55,47 Km2). Selain itu, jumlah penduduk terbanyak di Kota Pagar Alam berada di Kecamatan Pagar Alam Selatan yaitu 44.755 jiwa dan kepadatan penduduk 708,49 jiwa/Km2 sedangkan Kecamatan Dempo Selatan merupakan Kecamatan dengan jumlah penduduk yang terendah yaitu 11.611 jiwa dengan kepadatan penduduk 53,27 jiwa/Km2. Penduduk Kota Pagar Alam pada tahun 2010 berdasarkan hasil survei angkatan kerja nasional sebagian besar bekerja di sektor pertanian, perkebunan, 32
kehutanan dan perikanan yaitu sebanyak 58,64 persen dari total penduduk usia lima belas tahun ke atas yang bekerja (63.905 jiwa). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian turut memiliki kontribusi terhadap perekonomian Kota Pagar Alam. Kontribusi tersebut dapat juga dilihat dari persentase Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha pada Tahun 2010 pada Gambar 4.
Gambar 4. Persentase PDRB Kota Pagar AlamTahun 2010 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam, 2010
Sektor pertanian menempati urutan pertama dalam memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto Regional pada tahun 2010 sebesar 36 persen. Selain itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran juga memberikan konstribusi yang cukup besar yaitu 21 persen. Urutan terakhir ditempati oleh sektor industri pengolahan sebesar 1 persen. Kecamatan Dempo Utara merupakan salah satu kecamatan di Kota Pagar Alam yang dijadikan sebagai sentra pengembangan pertanian berupa sayuran. Pada tahun 2009 jumlah produksi sayuran di Kecamatan Dempo Utara yaitu 377 ton dan merupakan produksi terbesar jika dibandingkan dengan produksi padi yaitu 58 ton. Kecamatan Dempo Utara terletak sekitar 14 kilometer dari pusat
33
Kota Pagar Alam. Sebelah Utara Kecamatan Dempo Utara berbatasan dengan Kecamatan Pagar Alam Selatan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dempo Selatan dan Kabupaten Lahat, sebelah
Barat berbatasan dengan
Kecamatan Tanjung Sakti Kabupaten Lahat dan sebelah Timur berbatasan dengan Dempo Selatan dan Dempo Tengah. Kecamatan Dempo Utara terdiri dari tujuh kelurahan, yaitu Agung Lawangan, Bumi Agung, Pagar Wangi, Jangkar Mas, Burung Dinang, Muara Siban, dan Rebah Tinggi. Kelurahan Agung Lawangan merupakan salah satu kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Dempo Utara. Kelurahan Agung Lawangan terdiri dari lima desa yaitu desa Kerinjing, Gunung Agung Lama, Gunung Agung Tengah, Gunung Agung Paoh, dan Suka Mulya. Terdapat lima kepala RW (Rukun Warga) dan 16 kepala RT (Rukun Tetangga) di Kelurahan tersebut. Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Kelurahan Agung Lawangan berjumlah 4.873 jiwa atau sekitar 23,81 persen dari total penduduk keseluruhan (20.460 jiwa) (Tabel 7). Jumlah penduduk tersebut merupakan jumlah tebanyak jika dibandingkan dengan beberapa Kelurahan lainnya. Tabel 7. Jumlah Penduduk dirinci Berdasarkan Kelurahan di Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Tahun 2010 No. Kelurahan Jumlah Penduduk (Jiwa) 1. Agung Lawangan 4.873 2. Bumi agung 2.972 3. Pagar Wangi 3.094 4. Jangkar Mas 2.219 5. Burung Dinang 2.012 6. Muara Siban 3.057 7. Rebah Tinggi 2.233 Sumber: Profil Kecamatan Dempo Utara, Kantor Kecamatan Dempo Utara (2011)
Sebagian besar penduduk di Kelurahan Agung Lawangan bekerja si sektor pertanian, yaitu sebanyak 1.850 jiwa pada tahun 2010 (Tabel 8). Usaha pertanian yang menjadi lapangan pekerjaan dominan bagi petani di wilayah tersebut yaitu
di bidang budidaya sayuran terutama kubis. Banyaknya petani yang
melakukan budidaya sayuran khususnya kubis di wilayah tersebut didukung oleh kondisi geografis wilayah tersebut yang cocok untuk budidaya kubis.
34
Tabel 8. Jumlah Penduduk Kelurahan Agung Lawangan Berdasarkan Mata Pencarian Pokok Pada Tahun 2010 No. Mata Pencarian Pokok Jumlah (jiwa) 1. Belum Bekerja 716 2. PNS 35 3. TNI/POLRI 1 4. Wiraswasta 11 5. Pelajar/Mahasiswa 2.135 6. Tenaga Muda 20 7. Petani 1.850 8. Pensiunan 21 9. Buruh 22 10. Swasta/Dagang 58 11. Dosen 4 Sumber: Profil Kelurahan Agung Lawangan, Kantor Kelurahan Agung Lawangan (2011)
5.2.
Karakteristik Petani Responden Jumlah petani yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian yaitu 30
orang petani. Sebagian besar sebanyak 28 orang petani responden berjenis kelamin laki-laki dan dua orang petani berjenis kelamin perempuan. Petani tersebut merupakan penduduk yang tinggal di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Responden petani dikategorikan berdasarkan beberapa karakteristik meliputi kelompok umur, tingkat pendidikan, luas
lahan
yang
diusahakan
dan
status
kepemilikan lahan, serta
pengalaman dalam melakukan budidaya kubis. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil analisis frequencies yaitu pada Tabel 9 dan Gambar 5. Petani responden berusia antara 22-52 tahun. Petani yang berumur antara 35-44 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu 14 orang (46,7 persen). Sedangkan petani yang berumur 15-24 yaitu tiga orang (10,0 persen) merupakan jumlah yang paling sedikit. Sebagian besar petani responden (50,0 persen) memiliki tingkat pendidikan hingga Sekolah Dasar (SD) dan petani yang tidak bersekolah sebanyak 6,7 persen. Luas lahan yang diusahakan petani responden berbeda-beda antara 0,5 hektar hingga tiga hektar. Petani paling banyak melakukan kegiatan budidaya sayuran termasuk kubis pada lahan yang memiliki luas 0,6-1 hektar (sekitar 56,7 persen petani). Status kepemilikan lahan petani sebagian besar merupakan lahan milik sendiri yaitu sebanyak 19 responden petani (63,3 persen). Pengalaman petani responden dalam melakukan budidaya kubis sangat bervariasi antara 1-13 35
tahun. Petani yang memiliki pengalaman antara 6-10 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu 46,7 persen. Tabel 9. Analisis Frequencies Jumlah Petani Berdasarkan Karakteristik Statistics Tingkat Pendidikan
Umur N
Valid Missing
Luas Lahan
Kepemilikan Lahan Pengalaman
30
30
30
30
30
0
0
0
0
0
Frequency Table Frequency
Umur (Tahun) Valid 15-24 25-34 35-44 Lebih dari atau sama dengan 45 Total Tingkat Pendidikan Valid Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Total Luas Lahan yang Dimiliki (Ha) Valid Kurang dari atau sama dengan 0,5 0,6-1,0 1,1-1,5 >2 Total Kepemilikan Lahan Valid Milik Sendiri Sewa Garapan Total Tingkat Pengalaman (Tahun) Valid Kurang dari atau sama dengan 5 6-10 >10 Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3 7 14 6
10.0 23.3 46.7 20.0
10.0 23.3 46.7 20.0
10.0 33.3 80.0 100.0
30
100.0
100.0
2 15 4 9 30
6.7 50.0 13.3 30.0 100.0
6.7 50.0 13.3 30.0 100.0
6.7 56.7 70.0 100.0
9 17 3 1 30
30.0 56.7 10.0 3.3 100.0
30.0 56.7 10.0 3.3 100.0
30.0 86.7 96.7 100.0
19 2 9 30
63.3 6.7 30.0 100.0
63.3 6.7 30.0 100.0
63.3 70.0 100.0
11 14 5 30
36.7 46.7 16.7 100.0
36.7 46.7 16.7 100.0
36.7 83.3 100.0
36
Gambar 5. Pie Chart Jumlah Petani Berdasarkan Karakteristik 5.3.
Karakteristik Pedagang Responden Pedagang yang dijadikan responden yaitu sebanyak 10 orang, terdiri dari
empat orang pedagang pengumpul tingkat desa, dua orang pengumpul luar kota (non-lokal), dua orang pedagang pengumpul pasar lokal, dan dua orang pedagang pengecer (lokal). Semua pedagang responden berjenis kelamin perempuan. Pedagang responden dikategorikan berdasarkan beberapa karakteristik meliputi
37
kelompok umur, tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman. Karakteristik tersebut dapat dilihat pada hasil analisis frequencies yaitu pada Tabel 10 dan Gambar 6. Tabel 10. Analisis Frequencies Jumlah Pedagang Berdasarkan Karakteristik Statistics
Umur N
Valid Missing
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pengalaman
10
10
10
0
0
0
Frequency Table Frequency
Umur (Tahun) Valid 25-29 30-34 35-39 40-44 Lebih dari atau sama dengan 45 Total Tingkat Pendidikan Valid Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Sarjana Total Tingkat Pengalaman (Tahun) Valid Kurang dari atau sama dengan 5 >5 Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1 3 1 1
10.0 30.0 10.0 10.0
10.0 30.0 10.0 10.0
10.0 40.0 50.0 60.0
4 10
40.0 100.0
40.0 100.0
100.0
1 3 2 3 1 10
10.0 30.0 20.0 30.0 10.0 100.0
10.0 30.0 20.0 30.0 10.0 100.0
10.0 40.0 60.0 90.0 100.0
4 6 10
40.0 60.0 100.0
40.0 60.0 100.0
40.0 100.0
38
Gambar 6. Pie Chart Jumlah Pedagang Berdasarkan Karakteristik Pedagang yang menjadi responden berumur antara 29 tahun hingga 62 tahun. Responden pedagang paling banyak berumur lebih dari 45 tahun yaitu empat orang terdiri dari dua orang pedagang pengumpul luar kota (non-lokal), satu orang pedagang pengumpul tingkat desa dan satu orang pedagang pengumpul pasar lokal. Pedagang pengumpul tingkat desa paling banyak berumur antara 3034 tahun. Tingkat pendidikan terendah pedagang yang menjadi responden yaitu tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan tertinggi yaitu sarjana. Jumlah pedagang yang 39
tidak tamat Sekolah Dasar (SD) yaitu satu orang dan merupakan pedagang pengumpul tingkat desa. Pedagang yang merupakan sarjana hanya satu orang, yaitu pedagang pengumpul luar kota (non-lokal). Tingkat pengalaman pedagang yaitu antara 1-13 tahun. Pedagang responden yang memiliki pengalaman kurang dari atau sama dengan lima tahun yaitu sebanyak empat orang. Sedangkan pedagang yang memiliki pengalaman di atas lima tahun terdiri dari enam orang pedagang. 5.4.
Gambaran Umum Budidaya Kubis di Kelurahan Agung Lawangan Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, budidaya kubis
yang umumnya dilakukan oleh petani di Kelurahan Agung Lawangan terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan tersebut yaitu; (1) persemaian, (2) pengolahan tanah dan pembuatan bedengan serta lubang tanam, (3) penanaman, dan pemeliharaan, (4) panen. Varietas kubis yang banyak ditanam petani yaitu Grand-11. 1). Persemaian Benih kubis disemaikan terlebih dahulu secara merata pada luasan lahan tertentu sebelum ditanam pada lahan tetap. Pada umur lebih kurang tiga hingga empat minggu benih yang ditanam tersebut tumbuh menjadi bibit kubis yang siap dipindahkan ke lahan tetap. Penyemaian dilakukan untuk mempermudah penyiraman. Selain itu jika benih disemaikan terlebih dahulu, pengawasan terhadap pertumbuhannya lebih mudah dilakukan. Rata-rata benih yang yang digunakan petani responden untuk budidaya kubis yaitu sekitar 10 kantong benih dengan berat 15 gram per kantong. Benih tersebut dibeli petani dengan harga yang variatif mulai dari Rp 40.000,00 hingga Rp 48.000,00. 2). Pengolahan tanah dan pembuatan bedengan serta lubang tanam Cara pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani yaitu melalui pencangkulan. Tanah dicangkul kemudian dibiarkan selama tiga sampai empat hari untuk mendapatkan sinar matahari. Selanjutnya dibuat bedengan dengan ukuran yang disesuaikan dengan keadaan tanah. Setelah dibuat bedengan kemudian diberi pupuk kandang yang terbuat dari kotoran ayam dan selanjutnya dibuat lubang tanam untuk penanaman bibit kubis. Pupuk kandang yang digunakan yaitu rata-rata 10 karung pupuk dengan berat sekitar 35 kilogram per
40
karung. Pupuk tersebut dibeli petani dengan harga berkisar antara Rp 12.000,00 hingga Rp 16.000,00 per karung. 3). Penanaman dan pemeliharaan Bibit yang berasal dari persemaian kemudian ditanam pada lubang tanam. Setelah bibit tersebut berumur satu bulan maka dilakukan pemupukan menggunakan pupuk urea yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyiangan. Pupuk urea yang digunakan untuk satu hektar lahan yang ditanami kubis yaitu dua karung (100 kilogram) dengan harga beli sekitar Rp 95.000,00 hingga Rp 100.000,00 per karung. Selain itu, petani juga menggunakan pupuk phonska dan pupuk TSP. Pupuk phonska yang digunakan rata-rata petani yaitu satu karung (50 kilogram) dengan harga beli Rp 135.000,00 per karung. Pupuk TSP yang digunakan sekitar dua karung (100 kilogram) dengan harga beli Rp 135.000,00 per karung. Pada masa pemeliharaan petani juga menggunakan pestisida dan fungisida sesuai kebutuhan. 4). Panen Tanaman kubis dapat dipanen setelah berumur sekitar 120 hari. Bobot kubis yang dipanen rata-rata berkisar antara 1-2,5 kg. Kubis yang telah dipanen dimasukkan ke dalam karung dan langsung dijual kepada pedagang. Panen dapat dilakukan sendiri oleh petani dan dapat pula dilakukan oleh pedagang pengumpul tingkat desa. Kubis yang ditanam petani di Kelurahan Agung Lawangan ada yang dilakukan secara monokultur,polikultur, dan tumpang sari. Tumpang sari yang dilakukan biasanya antara kubis dengan tomat, atau kubis dengan cabai, dan jenis sayuran lainnya. Petani kubis di Kelurahan Agung Lawangan sebagian besar melibatkan anggota keluarganya dalam melakukan budidaya kubis. Anggota keluarga yang terlibat dalam budidaya tersebut antara dua hingga empat orang.
41
VI ANALISIS TATANIAGA KUBIS 6.1.
Produsen dan Lembaga Tataniaga Kubis yang berasal dari Kelurahan Agung Lawangan dipasarkan ke
pasar lokal
(Kota Pagar Alam) dan ke luar kota yaitu Kota Prabumulih dan
Kabupaten Lahat. Tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan yang dimulai dari produsen (petani) ke konsumen melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut yaitu pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengumpul pasar lokal, dan pedagang pengecer (lokal) serta pedagang pengecer luar kota (nonlokal). a)
Petani adalah pihak yang melakukan budidaya kubis dan berperan sebagai produsen kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Petani kubis yang menjadi responden di Kelurahan Agung Lawangan sebagian besar merupakan petani yang tergabung dalam kelompok tani. Umumnya petani kubis yang tergabung dalam kelompok tani merupakan mereka yang berpendidikan sehingga sudah mempunyai pemikiran yang modern yaitu pemikiran untuk memajukan usahataninya. Berdasarkan hasil analisis menggunakan analisis Crosstabs-Chi Square pada Lampiran 3 diketahui bahwa tingkat pendidikan petani memiliki korelasi terhadap keterlibatan petani dalam kelompok tani. Pada Lampiran 3 juga dapat dilihat bahwa petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD). Sedangkan petani yang memiliki pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan petani yang tergabung dalam kelompok tani dengan jumlah responden terbanyak. Disimpulkan bahwa tingkat pendidikan petani memiliki korelasi signifikan terhadap keterlibatannya dalam kelompok tani. Hal ini dijelaskan melalui nilai Asymp. Sig. (2-sided) yaitu 0,002 yang kurang dari α (0.05).
b)
Pedagang pengumpul tingkat desa adalah lembaga tataniaga yang tinggal di Kelurahan Agung Lawangan dan berperan sebagai perantara dalam menyalurkan kubis ke lembaga selanjutnya.
42
c)
Pedagang pengumpul pasar lokal adalah lembaga tataniaga yang tinggal di luar wilayah Kelurahan Agung Lawangan yang juga berperan sebagai perantara dalam penyaluran kubis ke pasar lokal (Kota Pagar Alam).
d)
Pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) adalah lembaga tataniaga yang tinggal di Kelurahan Agung Lawangan dan berperan sebagai perantara dalam menyalurkan kubis ke luar kota (non-lokal). Pedagang Pengumpul pasar luar kota (non-lokal) yang terdapat dikelurahan Agung Lawangan bukan merupakan pedagang yang tergabung dalam Sub Terminal Agribisnis (STA) Kota Pagar Alam.
e)
Pedagang pengecer (lokal) adalah lembaga tataniaga yang tinggal di Kota Pagar Alam dan berperan dalam menyalurkan kubis ke konsumen akhir (Ibu rumah tangga) yang berada di Kota Pagar Alam (lokal).
f)
Pedagang pengecer luar kota (non-lokal) adalah lembaga tataniaga yang tinggal di luar wilayah Kota Pagar Alam dan juga berperan dalam menyalurkan kubis ke konsumen luar kota (non-lokal). Petani sebagai produsen menjual kubis yang dibudidayakannya melalui
lembaga tataniaga yang berbeda-beda sehingga terbentuk beberapa saluran tataniaga yang berbeda pula. Saluran tataniaga yang berbeda mengakibatkan biaya yang dikeluarkanpun berbeda sehingga margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya turut
berbeda. Selain itu, fungsi-fungsi tataniaga
yang dijalankan, perilaku pasar, dan struktur pasar yang dihadapi juga berbeda. 6.2.
Saluran Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian lembaga tataniaga yang membantu
dalam penyaluran barang (pengalihan hak atas barang) dari produsen ke konsumen. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, terdapat lima pola saluran tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan dan melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengumpul pasar lokal dan pedagang pengecer (lokal) serta pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Adapun pola saluran tataniaga yang terbentuk yaitu:
43
1. Saluran I: Petani- Pedagang Pengumpul Tingkat Desa - Pedagang Pengumpul Pasar Lokal - Pedagang Pengecer (Lokal) -Konsumen Akhir (Lokal). 2. Saluran II: Petani- Pedagang Pengumpul Tingkat Desa- Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota (Non-lokal)- Pedagang Pengecer Luar Kota (Non-lokal)- Konsumen Akhir Luar Kota (Non-lokal). 3. Saluran III: Petani- Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota - Pedagang Pengecer Luar Kota (Non-lokal)- Konsumen Akhir Luar Kota (Nonlokal). 4. Saluran IV: Petani- Pedagang Pengecer (Lokal)- Konsumen Akhir (Lokal) 5. Saluran V : Petani- Konsumen Akhir (Lokal) Petani dalam menjual kubis yang dihasilkannya dapat melalui lembaga tataniaga
yang berbeda-beda. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari analisis
frequencies (Tabel 11) dan diperjelas melalui Gambar 7. Tabel 11. Analisis frequencies Tujuan Penjualan Petani Frequencies Statistics Tujuan Penjualan N
Valid
30
Missing
0 Tujuan Penjualan Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3
4
13.3
13.3
13.3
4
4
13.3
13.3
26.7
7
5
16.7
16.7
43.3
8
3
10.0
10.0
53.3
10
5
16.7
16.7
70.0
11
7
23.3
23.3
93.3
13
1
3.3
3.3
96.7
14
1
3.3
3.3
100.0
30
100.0
100.0
Total
44
Gambar 7. Tujuan Penjualan Petani Keterangan: Tujuan Penjualan: 1= Konsumen Akhir 2= Pedagang Pengecer Lokal 3= Pedagang Pengumpul Tingkat Desa 4= Pedagang Pengumpul Luar Kota 5= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengecer Lokal 6= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengumpul Tingkat Desa 7= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengumpul Luar Kota 8= Pedagang Pengecer Lokal dan Pedagang Pengumpul Tingkat Desa 9= Pedagang Pengecer Lokal dan Pedagang Pengumpul Luar Kota 10= Pedagang Pengumpul Tingkat Desa dan Pedagang Pengumpul Luar Kota 11= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengecer Lokal serta Pedagang Pengumpul Tingkat Desa 12= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengecer Lokal serta Pedagang Pengumpul Luar Kota 13= Pedagang Pengecer Lokal dan Pedagang Pengumpul Tingkat Desa serta Pedagang Pengumpul Luar Kota 14= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengecer Lokal serta Pedagang Pengumpul Luar Kota Berdasarkan hasil analisis frequencies diatas diketahui bahwa petani paling banyak menyalurkan kubis yang diproduksinya melalui kombinasi tiga tujuan penjualan yaitu konsumen akhir, pedagang pengecer lokal dan pedagang pengumpul tingkat desa yaitu sebanyak tujuh orang petani responden. Penjualan ke lembaga-lembaga tataniaga yang berbeda dapat membentuk saluran tataniaga yang berbeda pula. Petani dapat melalui saluran tataniaga yang sama ataupun berbeda-beda sesuai dengan tujuan penjualannya. Persamaan dan perbedaan tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan karakteristik petani yang dilihat berdasarkan variabel keterlibatan dalam kelompok tani, tingkat pendidikan, dan 45
status kepemilikan lahan. Korelasi antara karakteristik petani tersebut terhadap tujuan penjualan dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan analisis crosstabs chi- square pada Lampiran 4 ditunjukkan bahwa hanya variabel kepemilikan lahan yang memiliki korelasi signifikan terhadap tujuan penjualan (lembaga yang dituju). Pernyataan tersebut dibuktikan dengan melihat nilai Asymp. Sig. (2-sided) yaitu 0.000 yang kurang dari α (0.05). Jika nilai Asymp. Sig. (2-sided) < α maka suatu variabel memiliki korelasi signifikan dan sebaliknya jika nilai Asymp. Sig. (2-sided) > α dapat disimpulkan bahwa suatu variabel tidak memiliki korelasi signifikan (Trihendradi 2005). Petani yang kepemilikan lahannya merupakan milik sendiri lebih dominan menjual kubisnya langsung ke konsumen akhir dan melalui pedagang pengumpul luar kota. Hal ini dikarenakan umumnya petani dengan status lahan milik sendiri didukung oleh luasan lahan yang luas (antara satu hingga tiga hektar) sehingga dapat memproduksi kubis dalam jumlah yang banyak serta dapat melakukan kerjasama dengan pedagang pengumpul luar kota (non-lokal). Variabel keterlibatan dalam kelompok tani dan tingkat pendidikan tidak memiliki korelasi signifikan terhadap tujuan penjualan karena nilai Asymp. Sig. (2-sided) > α (0,05). Nilai Asymp. Sig. (2-sided) kedua variabel tersebut yaitu 0.161 untuk variabel keterlibatan dalam kelompok tani dan 0.277 untuk variabel tingkat pendidikan. Variabel keterlibatan dalam kelompok tani tidak memiliki korelasi signifikan terhadap penjualan. Hal ini sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapang bahwa tidak ada perbedaan antara petani yang merupakan anggota kelompok tani dan petani yang bukan anggota kelompok tani dalam hal tujuan penjualan (pemilihan lembaga penyalur). Meskipun petani tergabung ke dalam kelompok tani, namun dalam hal penjualan kubis dilakukan petani secara individu karena keberadaan kelompok tani sejauh ini dimanfaatkan petani sebagai wadah untuk bertukar pikiran mengenai kegiatan budidaya (on farm). Begitu pula dengan variabel tingkat pendidikan, bahwa petani dengan latar belakang pendidikan apapun dapat memanfaatkan lembaga tataniaga yang sama dalam hal penyaluran komoditinya. Kubis yang dihasilkan petani responden selama periode Januari hingga Maret 2012 yaitu 312,4 ton. Jumlah produksi rata-rata kubis yang dihasilkan
46
petani berdasarkan sampel 30 responden untuk setiap kali produksi (satu kali musim tanam) adalah 10,2 ton. Jumlah tersebut kemudian disalurkan petani ke konsumen akhir secara langsung dan beberapa melalui lembaga-lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengumpul pasar lokal, dan pedagang pengecer (lokal) (Gambar 8). 43,02%
Petani 38,86%
3,3 %
Pedagang Pengumpul Tingkat Desa 96,7%
100%
Pedagang Pengumpul Pasar Lokal 5,17%
100%
12,95%
Pedagang Pengecer Luar Kota (Nonlokal)
100%
Pedagang Pengecer (Lokal)
100% 100%
100%
Konsumen Akhir (Lokal)
Keterangan:
Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota (Non-lokal)
100%
Konsumen Akhir Luar Kota (Nonlokal)
= Saluran I = Saluran II = Saluran III = Saluran IV = Saluran V
Gambar 8. Saluran Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam Tahun 2012. Panen kubis tidak dilakukan sekaligus dalam sehari melainkan secara berkala yaitu seminggu sekali-duakali selama satu bulan hingga dilakukan penanaman kembali. Kubis yang dihasilkan petani di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam dijual ke pasar lokal 47
yaitu pasar terminal Kota Pagar Alam dan ke luar Kota yaitu Kota Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Penjualan ke pasar lokal dilakukan oleh petani secara individu, pedagang pengumpul pasar lokal, dan pedagang pengecer (lokal). Penjualan ke luar kota dilakukan oleh pedagang pengumpul pasar luar kota (nonlokal). Kubis yang dijual petani langsung ke konsumen akhir yaitu sebanyak 40,45 ton atau sekitar 12,95 persen dari total kubis yang dihasilkan (saluran V). Petani menjual kubis langsung ke konsumen akhir pada saat harga tinggi di pasar (Rp 1.500,00- Rp 3.500,00) per kilogram. Penjualan kubis secara langsung tersebutpun pada umumnya dilakukan oleh petani yang memiliki lahan yang luas ( > 1 hektar). Kubis yang dijual melalui lembaga tataniaga seperti pedagang pengecer (lokal), pedagang pengumpul tingkat desa, dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) masing-masing secara berurutan yaitu 16,15 ton (5,17 persen), 121,4 ton (38,86 persen), dan 134,4 ton (43,03 persen). Jumlah tersebut kemudian disalurkan kembali hingga sampai ke konsumen akhir, baik konsumen lokal maupun konsumen luar kota (non-lokal). Volume penjualan yang disalurkan melalui pedagang pengumpul luar kota lebih banyak dibandingkan dengan yang disalurkan ke pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengecer lokal, dan konsumen akhir. Hampir semua petani menyalurkan kubis yang diproduksinya melalui pedagang pengumpul tingkat desa dan beberapa ke pedagang pengumpul luar kota (non-lokal). Terdapat beberapa faktor yang mendasari petani memilih untuk menjual kubisnya melalui pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Faktor-faktor tersebut yaitu; 1. Petani takut menanggung risiko yang muncul jika menjual produknya langsung ke konsumen akhir. Risiko yang mungkin muncul yaitu risiko tidak terjual dan risiko kerusakan kubis pada saat pengangkutan. 2. Adanya hubungan kekeluargaan antara petani dan pedagang baik pedagang pengumpul tingkat desa maupun pedagang pengumpul luar kota (non-lokal).
48
3. Adanya kerjasama yang terjalin cukup lama. Pedagang pengumpul tingkat desa maupun pedagang pengumpul luar kota merupakan pelanggan dari petani, sehingga muncul rasa saling mempercayai satu sama lain. 4. Pedagang pengumpul tingkat desa dapat menerima volume penjualan kubis dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan pedagang pengumpul pasar luar kota dan pedagang pengumpul pasar luar kota dapat menerima dalam volume yang relatif banyak. Kondisi saluran tataniaga kubis yang terbentuk di Kelurahan Agung Lawangan berbeda dengan kondisi saluran tataniaga kubis di Desa Argalingga, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat berdasarkan penelitian Mulyani (2000) dan di Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat berdasarkan hasil penelitian Agustina (2008). Pada penelitian Mulyani (2000) dan Agustina (2008) terdapat hanya tiga saluran tataniaga. Petani di Desa Argalingga lebih banyak menjual kubisnya ke bandar desa, sedangkan petani di Desa Cimenyan lebih memilih grosir sebagai pe nyalur kubisnya sehingga penjulan melalui grosir merupakan volume terbanyak. 6.2.1. Saluran Tataniaga I Tataniaga kubis pada saluran I dimulai dari petani yang menjual komoditinya kepada pedagang pengumpul tingkat desa, selanjutnya disalurkan ke pedagang pengumpul pasar lokal, kemudian ke pedagang pengecer (lokal) hingga sampai di konsumen akhir lokal. Jumlah kubis yang dijual petani melalui pedagang pengumpul tingkat desa yaitu 38,86 persen (121,4 ton). Jumlah tersebut kemudian disalurkan melalui pedagang pengumpul pasar lokal sebanyak 117,4 ton atau sekitar 96,7 persen dari total kubis yang disalurkan melalui pedagang pengumpul tingkat desa. Selanjutnya pedagang pengumpul pasar lokal (100 persen) menjualnya ke pedagang pengecer (lokal). Pedagang pengecer (lokal) menjual kubis
yang dibelinya langsung ke konsumen akhir (lokal). Saluran
tataniaga I merupakan saluran yang paling banyak dilalui petani karena petani dapat menjual kubis yang dipanennya dalam jumlah sedikit maupun banyak. Selain itu, penjualan ke pedagang pengumpul tingkat desa dapat dilakukan setiap hari.
49
Pedagang pengumpul tingkat desa membeli kubis dari petani yang sedang panen ditempat petani. Dalam hal ini, petani tidak menjual kubisnya ke tempat pedagang melainkan pedagang pengumpul tingkat desa yang mendatangi lahan panen kubis tersebut walaupun tidak secara langsung. Petani dan pedagang pengumpul tingkat desa melakukan transaksi melalui telepon untuk menentukan jumlah yang dijual petani dan jumlah yang dapat diterima pedagang pengumpul tingkat desa. Selain melalui telepon, petani dan pedagang pengumpul tingkat desa dapat melakukan transaksi melalui bantuan dari tukang ojek khusus sayuran yang berada di Kelurahan Agung Lawangan, yaitu petani memberikan informasi kepada tukang ojek sayuran bahwa akan melakukan panen kubis, kemudian tukang ojek sayuran menyampaikannya kepada pedagang pengumpul tingkat desa. Selanjutnya pedagang pengumpul tingkat desa memberitahukan jumlah yang akan dibelinya dari petani kepada tukang ojek sayuran tersebut dan menyiapkan karung sebagai wadah untuk membawa kubis dari lahan petani ke tempatnya. Karung yang disediakan pedagang pengumpul tersebut rata-rata dapat menampung 50 kilogram kubis dengan harga beli karung rata-rata Rp 2.000,00. Biaya pengiriman kubis dari petani ke pedagang pengumpul tingkat desa ditanggung oleh petani. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk pengiriman tersebut Rp 4.614,52 per satu kali angkut dengan kapasitas angkut 200 kilogram. Selain itu petani juga menanggung upah untuk tenaga kerja yang melakukan pengangkutan kubis dari lahan menuju jalan yang dapat dilalui angkutan (ojek sayuran) yaitu Rp 500,00 per karung dan biaya tali sebagai pengikat pada karung yang telah diisi kubis Rp 12.500,00. Tali yang digunakan cukup untuk mengikat 100 karung kubis (5000 kilogram). Harga rata-rata kubis yang diterima petani dari penjualannya melalui pedagang pengumpul tingkat desa yaitu Rp 1.000,00 per kilogram. Selanjutnya kubis yang diterima pedagang pengumpul tingkat desa ditimbang dengan biaya penimbangan (untuk tenaga kerja yang melakukan penimbangan) sebesar Rp 500,00 per karung. Kubis selanjutnya dijual ke pedagang pengumpul pasar lokal dengan harga rata-rata Rp 1.200,00 per kilogram. Pedagang pengumpul pasar lokal melakukan pembelian di tempat pedagang pengumpul tingkat desa. Umumnya pedagang pengumpul tingkat desa
50
dan pedagang pengumpul pasar lokal telah memiliki hubungan dagang. Hubungan dagang tersebut terbentuk karena umur pedagang pengumpul dan tingkat pengalaman. Pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang pengumpul pasar lokal berumur antara 32 hingga 50 tahun dan pengalaman berdagang yang dimiliki keduanya rata-rata lebih dari lima tahun sehingga terjalin hubungan dagang cukup lama atau dikenal dengan istilah “langganan”. Kubis yang berada di tempat pedagang pengumpul tingkat desa diangkut ke mobil pick up yang digunakan pedagang pengumpul pasar lokal. Biaya untuk tenaga kerja yang mengangkut kubis tersebut ditanggung oleh pedagang pengumpul pasar lokal, yaitu Rp 500,00 per karung. Selanjutnya kubis diangkut menuju tempat pedagang pengumpul pasar lokal yang berada di pasar terminal Kota Pagar Alam (diluar Kelurahan Agung Lawangan). Biaya pengangkutan Kubis untuk sekali pengangkutan yaitu Rp 50.000,00 dengan kapasitas mobil 2000 kilogram. Kubis yang sampai di tempat pedagang pengumpul pasar lokal kemudian diturunkan dari mobil pick up oleh tenaga kerja. Biaya yang dikeluarkan untuk menurunkan kubis tersebut yaitu Rp 500,00 per karung. Pedagang pengumpul pasar lokal menanggung biaya penyusutan sebesar Rp 1.000,00 per karung. Kubis kemudian dijual ke pedagang pengecer lokal dengan harga rata-rata Rp 1.600,00 per kilogram. Umumnya pedagang pengecer membeli kubis dalam jumlah yang sedikit yaitu 200 kilogram. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer yaitu biaya kantong plastik, upah tenaga kerja angkut, biaya penyusutan, dan retribusi pasar. Biaya kantong plastik yaitu Rp 2.000,00 per pack dan upah tenaga kerja pengangkut Rp 500,00 per karung. Biaya penyusutan yang ditanggung pedagang pengecer Rp 3.000, 00 per karung. Biaya retribusi total yang dikeluarkan Rp 2.000,00 per hari. Pedagang pengecer (lokal) kemudian menjualnya ke konsumen akhir (lokal) dengan harga rata-rata Rp 2.000 per kilogram. Konsumen akhir (lokal) yaitu ibu rumah tangga. 6.2.2. Saluran Tataniaga II Pada saluran II, tataniaga kubis melibatkan lembaga perantara pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Tataniaga kubis dimulai dari petani yang 51
menjual komoditinya sebanyak 121,4 ton (38,86 persen) kepada pedagang pengumpul tingkat desa. Biaya yang dikeluarkan dan harga yang diterima petani pada saluran II sama seperti yang terjadi di saluran I. Jumlah yang dibeli pedagang pengumpul tingkat desa yaitu 121,4 ton kemudian dijual sekitar 4 ton kepada pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) (3,3 persen). Hal ini dikarenakan pembelian oleh pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) ke pedagang pengumpul tingkat desa dilakukan hanya jika pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) merasa kekurangan komoditi (kubis) untuk dijual kembali ke pedagang pengecer luar kota (non-lokal) sehingga saluran II tidak rutin ditempuh untuk menyalurkan kubisnya. Selain itu, pedagang pengumpul tingkat desa yang dapat melakukan penjualan ke pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) adalah pedagang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) atau memiliki hubungan dagang yang sudah lama terjalin. Harga rata-rata yang diterima pedagang pengumpul tingkat desa atas kubis yang dijualnya yaitu Rp 1.200,00 per kilogram. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul tingkat desa dalam melakukan pengiriman barang meliputi biaya penimbangan, biaya karung, dan biaya pengangkutan dari tempat pedagang pengumpul desa ke tempat pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) meliputi biaya penyusunan kubis ke dalam truk, biaya angkut ke luar kota, biaya tenaga kerja, biaya penyusutan dan retribusi. Biaya penyusunan kubis ke dalam truk yang bermuatan empat ton yaitu Rp 500,00 per karung. Biaya retribusi untuk menyalurkan kubis ke luar kota yaitu Rp 25.000,00 dan biaya penyusutan Rp 3.000,00 per karung. Biaya angkut yang dikeluarkan yaitu Rp 750.000,00 dan biaya tenaga kerja (biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja yang melakukan pengangkutan kubis dari tempat pedagang pengirim ke pasar luar kota) yaitu Rp 200.000,00 untuk sekali pengangkutan. Biaya tersebut relatif murah dikarenakan truk yang digunakan merupakan milik pedagang pengumpul pasar luar kota (nonlokal). Pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) memiliki pengalaman berdagang lebih dari lima tahun sehingga telah memiliki investasi berupa truk dan telah memiliki langganan dalam menjual kubis yang dimilikinya.
52
Pedagang pengumpul pasar luar kota menjual kubis kepada pedagang pengecer yang berada di luar kota (non-lokal). Penjualan dilakukan setiap dua hari sekali. Umumnya pedagang pengecer luar kota (non-lokal) sudah hafal jadwal kedatangan truk yang membawa kubis dari Kota Pagar Alam sehingga mereka sudah menunggu ketika truk tiba di pasar (luar kota). Pedagang pengumpul pasar luar kota menjual 100 persen kubis yang dibelinya kepada pedagang pengecer luar kota dengan harga rata-rata Rp 2.000,00 per kilogram. Pedagang pengecer luar kota (non-lokal) kemudian menjual kubis tersebut ke konsumen akhir luar kota (non-lokal) yaitu ibu rumah tangga dengan harga rata-rata Rp 3.000,00 per kilogram. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) yaitu biaya retribusi, kantong plastik, biaya penyusutan, dan tenaga kerja untuk mengangkut karung yang berisi kubis. 6.2.3. Saluran Tataniaga III Pada saluran III tataniaga kubis tidak melalui pedagang pengumpul tingkat desa, melainkan langsung dari petani ke pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Jumlah yang dijual dari petani ke pengumpul pasar luar kota (non-lokal) yaitu 134,4 ton (43,02 persen) dan merupakan jumlah terbesar. Hal ini terjadi karena petani dapat menjual kubisnya ke pedagang pengumpul pasar luar kota (nonlokal) dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan ke pedagang pengumpul tingkat desa. Harga yang diterima petani dari pengumpul pasar luar kota (nonlokal) sama dengan yang diberikan pedagang pengumpul tingkat desa yaitu Rp 1.000,00 per kilogram. Biaya yang dikeluarkan petani pada saluran III sama seperti yang dikeluarkan pada saluran I dan saluran II. Biaya yang dikeluarkan pengumpul pasar luar kota (non-lokal) pada saluran III hampir sama seperti yang dikeluarkan pada saluran II, namun ada penambahan biaya berupa biaya karung dan penimbangan. Selanjutnya, pedagang mengirim menjual kubis kepada pedagang pengecer yang berada di luar kota (non-lokal) dengan harga rata-rata Rp 2.000,00 per kilogram. Penjualan dilakukan setiap dua hari sekali. Pedagang pengecer luar kota (non-lokal) kemudian menjual kubis tersebut ke konsumen akhir luar kota (non-lokal) yaitu ibu rumah tangga dengan harga rata-rata Rp 3.000,00 per kilogram. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer pada saluran ini sama seperti yang dikeluarkan pada saluran 53
II. 6.2.4. Saluran Tataniaga IV Saluran IV merupakan saluran tataniaga kubis yang hanya melibatkan pedagang pengecer (lokal). Saluran IV merupakan saluran yang sangat jarang dilalui petani. Pada saluran IV pedagang pengecer (lokal) merupakan penentu berjalannya saluran IV. Artinya, saluran ini ditempuh petani hanya jika pedagang pengecer mendatangi tempat petani untuk melakukan pembelian kubis. Pedagang pengecerpun tidak kontinu dalam melakukan pembelian kubis langsung ke petani. Hal ini dikarenakan akses menuju lahan petani cukup jauh yaitu sekitar 15-20 menit dari pusat Kota. Saluran ini dapat terjadi jika harga kubis di pasar relatif tinggi. Pedagang pengecer (lokal) membeli kubis di tempat penjual (petani). Pada saluran ini petani menjual kubis yang dipanennya dengan harga diatas harga yang ditawarkan kepada pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Kondisi ini dikarenakan adanya tambahan biaya yang dikeluarkan petani jika menempuh saluran IV. Biaya yang dikeluarkan berupa biaya tali, karung, dan penimbangan Harga jual rata-rata petani ke pedagang pengecer (lokal) yaitu Rp 1.100,00 per kilogram. Pedagang pengecer (lokal) kemudian mengangkut kubis yang dibelinya dari lahan menuju jalan yang dapat dilewati angkutan (ojek sayuran). Biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutan. Kemudian dengan menggunakan ojek sayuran, kubis diangkut menuju jalan raya
untuk kemudian diangkut kembali
menggunakan angkutan umum menuju pasar (lokal). Biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutan menggunakan ojek sayuran dan biaya pengangkutan menggunakan angkutan umum menuju pasar yaitu Rp 4.000,00 per karung. Ratarata pedagang pengecer (lokal) dapat membeli kubis sebanyak 200 kilogram per hari. Biaya angkut untuk pedagang pengecer sendiri yaitu Rp 5.000,00 dengan asumsi pedagang pengecer (lokal) mengangkut 200 kilogram kubis. Biaya lain yang dikeluarkan yaitu biaya kantong plastik, penyusutan dan retribusi. Pedagang pengecer menjual kubis yang dibelinya kepada petani dengan mengikuti harga rata-rata di pasar yaitu Rp 2.000,00 per kilogram.
54
6.2.5. Saluran Tataniaga V Pada saluran V tataniaga kubis tidak melibatkan perantara. Petani langsung menjual hasil panennya ke konsumen akhir. Jumlah yang dijual langsung ke konsumen akhir yaitu 40,45 ton (12,95 persen). Petani dapat menjual dengan harga dibawah rata-rata yang berlaku di pasar yaitu Rp 1.500,00 per kilogram. Harga yang diterima petani jika menjual kubis langsung ke konsumen akhir lebih baik (menguntungkan) dibandingkan dengan menjual ke pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), dan pedagang pengecer (lokal). Namun tidak banyak petani yang mau menjual langsung ke konsumen akhir karena adanya risiko tidak terjual, volume penjualan yang lebih sedikit dan biaya yang dikeluarkan lebih besar. Biaya yang dikeluarkan petani pada saluran ini lebih besar dibandingkan pada saluran I,II,III, dan IV. Biaya yang dikeluarkan yaitu biaya karung, tali, biaya tenaga kerja pengangkut dari lahan menuju jalan yang dapat dilewati angkutan (ojek sayur), biaya ojek, biaya angkutan umum,
kantong plastik,
penyusutan, dan biaya retribusi. 6.3.
Fungsi-fungsi Tataniaga Pada Setiap Lembaga Tataniaga Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga akan
sangat berpengaruh pada peningkatan nilai guna suatu komoditi. Lembaga tataniaga kubis mulai dari petani, pedagang pengumpul tingkat desa , pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal) dan Pedagang pengecer luar kota (non-lokal) menjalankan fungsi-fungsi tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran yang berbeda memungkinkan untuk menjalankan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda pula. Fungsi-fungsi tataniaga dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu fungsi pertukaran (exchange function), fungsi fisik (function of physical), dan fungsi penyediaan sarana atau fasilitas (facilitating function). Fungsi pertukaran menyangkut pengalihan hak kepemilikan dari satu pihak ke pihak lainnya dalam sistem pemasaran. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi fisik merupakan suatu perlakuan fisik terhadap suatu komoditi yang berhubungan dengan kegunaan tempat, bentuk, dan waktu. Fungsi fisik 55
meliputi
pengangkutan,
penyimpanan/pergudangan,
pengemasan,
dan
pemrosesan. Fungsi penyediaan fasilitas membantu sistem pemasaran agar mampu beroperasi dengan lancar. Fungsi fasilitas meliputi informasi pasar, penanggungan risiko, standardisasi dan grading, serta pembiayaan. Fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga kubis mulai dari petani yang berada di Kelurahan Agung Lawangan dapat dilihat pada Tabel 12. 6.3.1. Fungsi Tataniaga yang dijalankan Petani Petani pada umumnya menjalankan ketiga fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi penyediaan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan petani yaitu fungsi penjualan. Petani dapat menjual kubis yang dipanennya melalui pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal), maupun langsung ke konsumen akhir. Petani bebas memilih pedagang pengumpul tingkat desa yang menjadi tujuan penjualannya, kecuali sebagian petani yang memiliki kontrak kepada pedagang pengumpul tingkat desa karena melakukan peminjaman modal ataupun input. Input yang biasanya dipinjam petani melalui pedagang pengumpul tingkat desa yaitu pupuk dan pestisida. Fungsi fisik yang dilakukan petani meliputi fungsi pengangkutan dan fungsi pengemasan. Pengangkutan kubis yang dilakukan petani menggunakan ojek sayuran dan angkutan umum. Pengangkutan menggunakan angkutan umum dilakukan petani pada saat menjual kubis langsung ke konsumen akhir. Pengemasan kubis dilakukan menggunakan karung plastik dengan kapasitas sekitar 50 kilogram. Petani tidak melakukan fungsi penyimpanan karena kubis merupakan jenis sayuran yang cepat rusak (busuk) sehingga butuh penanganan yang cepat. Fungsi fasilitas yang dilakukan petani berupa fungsi pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh petani berupa penyediaan modal untuk memproduksi kubis. Namun terkadang modal yang digunakan petani tidak hanya berupa modal sendiri melainkan pinjaman dari pihak lain seperti pedagang pengumpul tingkat desa dan bank. Fungsi penanggungan risiko yang dihadapi petani yaitu penurunan harga jual kubis dan pemotongan pembayaran jika kubis yang dijual mengalami 56
kerusakan saat diterima pedagang pengumpul tingkat desa ataupun pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Selain melakukan fungsi pembiayaan dan penanggungan risiko, petani juga melakukan fungsi informasi pasar. Fungsi ini berupa
perkembangan
harga
jual
kubis
yang
diperoleh dari pedagang
pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), atau informasi dari pedagang pengecer (lokal). 6.3.2. Fungsi Tataniaga yang dijalankan Pedagang Pengumpul Tingkat Desa dan Pedagang Pengumpul Pasar Lokal Pedagang pengumpul yang menyalurkan barang untuk pasar lokal pada saluran tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan dapat dikategorikan menjadi pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang pengumpul pasar lokal. Fungsi tataniaga yang dilakukan keduanyapun hampir sama. Fungsi pertukaran yang dilakukan kedua pedagang pengumpul tersebut yaitu fungsi penjualan dan pembelian. Pedagang pengumpul tingkat desa melakukan pembelian kubis ke petani dan menjualnya ke pedagang pengumpul pasar lokal dan beberapa (dengan volume sangat kecil) ke pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Pedagang pengumpul pasar lokal membeli kubis dari pedagang pengumpul tingkat desa untuk selanjutnya dijual ke pedagang pengecer (lokal). Fungsi fisik yang dilakukan pedagang pengumpul pasar lokal yaitu fungsi pengangkutan. Pengangkutan kubis dari tempat pedagang pengumpul tingkat desa menuju tempat pedagang pengumpul pasar lokal yang berada di pasar Kota Pagar Alam dilakukan menggunakan mobil pick up. Pedagang pengumpul tingkat desa tidak melakukan fungsi fisik berupa fungi pengangkutan. Fungsi pengangkutan tersebut dilakukan oleh pihak lain yaitu ojek sayuran dengan biaya pengangkutan ditanggung oleh petani. Pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang pengumpul pasar lokal menjalankan fungsi penyediaan fasilitas yaitu fungsi pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar.
Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh kedua
pedagang pengumpul tersebut berupa penyediaan modal untuk melakukan pembelian kubis dari petani dan biaya-biaya yang diperlukan selama distribusi kubis. Fungsi penanggungan risiko yang dihadapi yaitu penyusutan kubis selama
57
dalam perjalanan. Fungsi informasi pasar berupa informasi yang bisa diperoleh dari sesama pedagang pengumpul dan pedagang pengumpul pasar luar kota (nonlokal) mengenai perkembangan harga jual kubis. 6.3.3. Fungsi Tataniaga yang dijalankan Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota (Non-lokal) Pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) menjalankan ketiga fungsi tataniaga. Fungsi pertukaran yang dilakukan berupa penjualan dan pembelian. Pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) sebagian besar membeli kubis dari petani secara langsung. Namun terkadang jika kubis yang dipasok petani masih belum mencukupi, pedagang pengirim juga melakukan pembelian ke pedagang pengumpul tingkat desa. Kubis tersebut kemudian dijual ke pedagang pengecer luar kota (non-lokal) yang berada di luar wilayah Kota Pagar Alam seperti Kota Prabumulih dan Kabupaten Lahat. Fungsi fisik yang dilakukan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) berupa fungsi pengangkutan. Pengangkutan kubis dari tempat pedagang pengirim menuju luar kota menggunakan mobil truk yang dimiliki pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) menjalankan fungsi penyedia fasilitas yaitu fungsi pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi pembiayaan yang dilakukan berupa penyediaan modal untuk melakukan pembelian kubis dari petani dan pedagang pengumpul tingkat desa serta biaya-biaya yang diperlukan selama distribusi kubis. Fungsi penanggungan risiko yang dihadapi yaitu penyusutan kubis selama dalam perjalanan. Distribusi kubis ke luar kota membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga risiko kerusakan menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Fungsi informasi pasar berupa informasi yang diperoleh dari sesama pedagang pengumpul pasar luar kota (nonlokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) mengenai perkembangan harga jual kubis. 6.3.4. Fungsi Tataniaga yang dijalankan Pedagang Pengecer (Lokal) dan Pedagang Pengecer Luar Kota (Non-lokal) Pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) menjalankan fungsi-fungsi tataniaga yang sama. Kedua jenis pedagang tersebut
58
melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan yaitu fungsi pembelian dan penjualan. Pedagang pengecer (lokal) membeli kubis melalui pedagang pengumpul pasar lokal. Namun terdapat beberapa pedagang yang membeli langsung ke petani dalam jumlah yang sedikit. Pedagang pengecer luar kota (non-lokal) membeli kubis ke pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) menjual kubis yang dibelinya langsung ke konsumen akhir. Fungsi fisik yang dilakukan yaitu fungsi pengangkutan dan fungsi pengemasan. Fungsi pengangkutan dilakukan oleh pedagang pengecer (lokal) yang membeli kubis langsung dari petani. Fungsi pengemasan yang dilakukan berupa pengemasan kubis menggunakan kantong plastik dengan volume yang kecil (sekitar satu hingga dua kilogram). Pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) juga melakukan fungsi fasilitas berupa pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi pembiayaan yang dilakukan berupa penyediaan modal untuk melakukan pembelian kubis serta biaya-biaya yang diperlukan dalam mengalirkan kubis hingga ke konsumen akhir. Fungsi penanggungan risiko yang dihadapi yaitu penyusutan kubis selama penjualan dan risiko tidak terjual. Perbedaan kondisi fisik antara kubis yang segar dengan kubis yang sudah tidak segar menyebabkan harga jual kubispun berbeda. Fungsi informasi pasar berupa informasi yang diperoleh dari sesama pedagang pengecer dan dari pedagang pengumpul pasar lokal mengenai perkembangan harga jual kubis. Semua lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan tidak menjalakan fungsi penyimpanan dan fungsi sortasi dan grading, sedangkan di Desa Cimenyan dan Desa Argalingga beberapa lembaga seperti pedagang pengumpul dan grosir melakukan fungsi sortasi dan grading. Alasan petani tidak melakukan sortasi dan grading yaitu bobot kubis yang diproduksi rata-rata hampir sama dan harga yang diterima tidak dibedakan karena baik lembaga-lembaga tataniaga maupun konsumen tidak sensitif terhadap adanya sortasi dan grading.
59
Tabel 12. Fungsi- Fungsi yang dijalankan Lembaga-Lembaga Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan Saluran dan Lembaga Tataniaga Saluran I Petani Pedagang Pengumpul Tingkat Desa Pedagang Pengumpul Pasar Lokal Pedagang Pengecer (Lokal) Saluran II Petani Pedagang Pengumpul Tingkat Desa Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota (Nonlokal) Pedagang Pengecer Luar Kota (Non-lokal) Saluran III Petani Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota (Nonlokal) Pedagang Pengecer Luar Kota (Non-lokal) Saluran IV Petani Pedagang Pengecer (Lokal) Saluran V Petani Keterangan: √
Pertukaran Jual Beli
Angkut
Fungsi-Fungsi Tataniaga Fisik Fasilitas Kemas Sim- Sortasi, PemRisiko pan Grading Biayaan
Informasi Pasar
√ √
√
√ -
√ -
-
-
* √
√ √
√ √
√
√
√
-
-
-
√
√
√
√
√
-
√
-
-
√
√
√
√ √
√
√ -
√ -
-
-
* √
√ √
√ √
√
√
√
-
-
-
√
√
√
√
√
-
√
-
-
√
√
√
√ √
√
√ √
√ -
-
-
√ √
√ √
√ √
√
√
-
√
-
-
√
√
√
√ √
√
√
√ √
-
-
√ √
√ √
√ √
√ √ √ √ √ √ = Fungsi tataniaga dilakukan = Fungsi tataniaga tidak dilakukan * = Fungsi tataniaga dilakukan dan dibantu pihak lain
60
6.4.
Struktur Pasar Struktur pasar dalam dapat dilihat melalui jumlah lembaga (penjual dan
pembeli) yang terlibat, sifat atau heterogenitas produk, kondisi produk, mudah tidaknya keluar dan masuk pasar, serta informasi pasar yang diketahui oleh lembaga tataniaga (penjual dan pembeli). Komponen-komponen struktur pasar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 6.4.1. Jumlah Penjual dan Pembeli serta Mudah Tidaknya Keluar Masuk Pasar Aliran kubis dari petani hingga konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul tingkat desa , pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal), dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Petani yang ada di Kelurahan Agung Lawangan sebanyak 1.850 orang, namun tidak semua petani secara terus-menerus membudidayakan kubis. Petani bebas menentukan jenis sayuran yang akan ditanam sesuai dengan pengetahuannya mengenai teknik budidaya sayuran dan modal yang dimiliki. Pedagang pengumpul tingkat desa merupakan pedagang yang tinggal di Kelurahan Agung Lawangan dan beberapa juga berprofesi sebagai petani. Jumlah pedagang pengumpul tingkat desa relatif lebih sedikit dibandingkan jumlah petani. Misalnya di Desa Kerinjing, Kelurahan Agung Lawangan terdapat sekitar enam belas pedagang pengumpul tingkat desa khusus untuk sayuran termasuk kubis. Rata-rata petani menjual kubis yang dipanennya ke pedagang pengumpul tingkat desa. Hal ini menunjukan bahwa petani dan pedagang pengumpul tingkat desa memiliki hubungan yang erat. Pedagang pengumpul tingkat desa sebenarnya tidak memerlukan modal yang besar. Pedagang pengumpul tingkat desa hanya bertindak dalam memasarkan kubis dari petani dan melakukan pembayaran setelah kubis yang dibelinya terjual. Pedagang pengumpul tersebut harus memiliki hubungan yang erat pula dengan lembaga tataniaga yang menyalurkan komoditinya seperti pedagang pengumpul pasar lokal dan pedagang pengumpul pasar luar kota (nonlokal). Hubungan yang erat tersebut dapat dilihat dari banyaknya pedagang pengumpul pasar lokal dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) yang
61
menjadi langganannya. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar kubis yang dibelinya dapat terjual. Persaingan yang terjadi diantara pedagang pengumpul tingkat desa dalam memperoleh dan menjual kubis tidak terlalu kuat karena telah memiliki langganan masing-masing yaitu petani, pedagang pengumpul pasar lokal dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Pedagang pengumpul pasar lokal merupakan pedagang yang berasal dari luar wilayah Kelurahan Agung Lawangan. Pedagang pengumpul pasar lokal membeli kubis dari pedagang pengumpul tingkat desa dengan mendatangi tempat pedagang pengumpul tingkat desa. Jumlah pedagang pengumpul pasar lokal lebih sedikit dibandingkan jumlah pedagang pengumpul tingkat desa. Pedagang pengumpul pasar lokal dalam menjual produknya membutukan modal yang cukup besar yaitu untuk membeli kubis dari pedagang pengumpul tingkat desa. Selain itu pedagang pengumpul pasar lokal membutuhkan biaya yang besar dalam aktivitas pembelian dan penjualan kubis. Pedagang pengumpul pasar lokal umumnya memiliki mobil pick up sebagai investasi untuk mengangkut kubis yang dibelinya. Pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) yang berada di Kelurahan Agung Lawangan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pedagang pengumpul tingkat desa. Hal ini memungkinkan pendatang baru untuk dapat masuk ke pasar. pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Namun, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) dalam aktivitasnya membutuhkan modal yang cukup besar untuk menjual kubis hingga ke konsumen akhir. Hal ini dikarenakan kubis yang dibeli pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) dipasarkan ke luar kota sehingga memerlukan biaya yang besar. Selain itu, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) juga harus memiliki alat transportasi sebagai barang investasi untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan, koneksi pasar, dan informasi terhadap perkembangan harga kubis. Pedagang pengecer dikategorikan menjadi pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Jumlah pedagang pengecer merupakan jumlah yang terbanyak jika dibandingkan dengan jenis pedagang lainnya. Hal ini mengakibatkan posisi tawar pedagang pengecer relatif lebih lemah dibandingkan dengan jenis pedagang lainnya. Pedagang pengecer (lokal) membeli kubis dari petani dan sebagian besar dari pedagang pengumpul pasar lokal. Sedangkan
62
pedagang pengecer luar kota (non-lokal) membeli kubis dari pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Pedagang pengecer memiliki kemudahan dalam mendapatkan kubis. Pedagang pengecer biasanya membeli kubis dalam jumlah yang sedikit sehingga modal yang dikeluarkanpun lebih kecil. Selain itu, pedagang pengecer tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar seperti halnya pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) karena hanya mengeluarkan biaya retribusi, upah tenaga kerja untuk mengangkut barang, dan pembelian kantong plastik. Hal ini menunjukan bahwa pasar untuk pedagang pengecer lebih mudah untuk dimasuki. Namun pedagang pengecer memiliki posisi tawar yang lemah terhadap konsumen akhir karena jumlahnya yang banyak, konsumen akhir dapat melakukan banyak pilihan dalam menentukan pedagang pengecer yang menjadi tujuannya dalam membeli kubis. Selain itu, konsumen akhir juga memiliki banyak pilihan dalam membeli jenis sayuran sehingga kubis terkadang bukan pilihan yang utama. 6.4.2. Jenis dan Keadaan Kubis di Kelurahan Agung Lawangan Kubis yang banyak dibudidayakan petani yaitu jenis grand 11. Jenis tersebut sangat cocok ditanam di Kelurahan Agung Lawangan yang merupakan daerah dataran tinggi. Kubis jenis ini memiliki ciri kepala berbentuk bulat pipih, sangat padat, berwarna hijau tua. Selain itu kubis jenis ini juga tidak mudah pecah sehingga dapat dijual ke luar daerah yang jaraknya jauh . Kubis dapat dikonsumsi dalam bentuk segar seperti lalapan, asinan, capcay, dan lain sebagainya. Kubis dibudidayakan petani secara monokultur, polikultur, dan tumpang sari. Kubis yang dijual petani tidak dibedakan berdasarkan ukuran besar kecil, warna, dan bobot per buahnya. Dalam hal ini petani tidak melalukan sortasi dan grading. Ukuran, warna dan bobot per buah kubis hampir sama dan hanya beberapa persen yang berbeda. Selain itu, harga jual kubis tidak dibedakan berdasarkan ukuran besar kecil melainkan dihitung harga per kilogramnya. Kubis yang disalurkan dari petani hingga ke konsumen akhir dijual dalam bentuk segar tanpa pengolahan. 6.4.3. Sumber Informasi Sumber informasi yang sampai ke petani kubis di Kelurahan Agung Lawangan mengenai perkembangan harga diperoleh dari sesama petani, pedagang 63
pengumpul tingkat desa, dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Pedagang
pengumpul
tingkat
desa
memperoleh
informasi
mengenai
perkembangan harga dari pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) dan pedagang pengumpul pasar lokal. Pedagang pengumpul pasar lokal dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) memperoleh informasi dari sesama pedagang dan dari pedagang pengumpul pasar luar kota yang tergabung dalam Sub Terminal Agribisnis (STA) Kota Pagar Alam. Pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) memperoleh informasi mengenai perkembangan harga jual dari sesama pedagang dan dari pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Pedagang pengecer (lokal) memperoleh informasi mengenai perkembangan harga dari pedagang pengumpul pasar lokal. Informasi mengenai perkembangan harga kubis dapat dengan cepat diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga tersebut. Namun harga kubis yang sangat fluktuatif membuat petani tidak dapat meramalkan waktu penanaman yang tepat agar pada saat dipanen harga kubis lebih tinggi sehingga petani dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dijelaskan bahwa struktur pasar yang dihadapi petani kubis (sebagai penjual) di Kelurahan Agung Lawangan mengarah pada pasar persaingan sempurna. Kondisi ini berbeda dengan yang dihadapi petani di Desa Cimenyan, bahwa petani menghadapi pasar oligopsoni. Penentuan struktur pasar petani sebagai pasar persaingan sempurna didasarkan pada pertimbangan berikut. 1. Banyaknya jumlah petani yang terlibat dalam kegiatan tataniaga kubis dan jumlah pembeli yaitu pedagang pengumpul tingkat desapun relatif banyak. 2. Petani bertindak sebagai price taker, karena hanya menerima harga jual yang telah ditentukan. 3. Petani dapat bebas keluar masuk pasar. Petani dapat menentukan jenis sayuran yang akan ditanamnya. 4. Komoditi yang dihasilkan petani bersifat homogen. Kubis yang dijual petani tidak mengalami proses standardisasi dan grading.
64
5. Petani mendapatkan informasi mengenai perkembangan harga dari berbagai sumber dan tidak memerlukan biaya untuk mendapatkan informasi tersebut. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul tingkat desa sebagai mengarah ke pasar oligopoli murni. Hal ini didasarkan pada pertimbangan berikut. 1. Jumlah penjual dan pembeli yang terlibat dalam tataniaga kubis pada tingkat pedagang pengumpul tingkat desa lebih sedikit dibandingkan jumlah petani dan jumlah pedagang perantara yang melakukan pembelian ke pedagang pengumpul tingkat desa. 2. Terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul desa. Pedagang pengumpul desa telah memiliki keterikatan dengan petani dan pedagang pengumpul pasar lokal. Pedagang pengumpul desa telah memiliki petani dan pedagang pengumpul lainnya (pedagang pengumpul pasar lokal dan pedagang pengumpul pasar luar kota (nonlokal) sebagai langganan. 3. Komoditi yang dijual bersifat homogen karena tidak mengalami proses standardisasi dan grading. 4. Informasi mengenai harga diperoleh dari sesama pedagang, pedagang pengumpul pasar lokal dan pedagang pengumpul pasar luar kota (nonlokal) Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul pasar lokal juga mengarah ke pasar oligopoli murni. Hal ini didasarkan pada pertimbangan berikut. 1. Jumlah pedagang pengumpul pasar lokal lebih sedikit dibandingkan jumlah pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang pengecer (lokal) 2. Terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul lokal. Pedagang pengumpul lokal memiliki keterikatan dengan pedagang
pengumpul
tingkat
desa.
Pedagang
pengumpul
lokal
memerlukan modal yang cukup besar untuk menjalankan aktivitasnya. 3. Komoditi yang dijual bersifat homogen karena tidak mengalami proses standardisasi dan grading.
65
4. Informasi mengenai harga diperoleh dari sesama pedagang dan dari pedagang pengumpul luar kota yang tergabung dalam Sub Terminal Agribisnis (STA) Kota Pagar Alam. Pedagang pengumpul lokal masih dapat mempengaruhi harga, karena pedagang ini mampu memprediksikan harga berdasarkan jumlah pasokan setiap periode dengan banyaknya permintaan dari pengecer. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul luar kota (non-lokal) mengarah ke pasar oligopoli murni. Hal ini didasarkan pada pertimbangan berikut. 1. Jumlah pedagang pengumpul pasar luar kota lebih sedikit dibandingkan jumlah petani, pedagang pengumpul tingkat desa, dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) 2. Terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul luar kota (non-lokal). Pedagang pengumpul luar kota (nonlokal) memiliki keterikatan yang erat dengan petani dan pedagang pengumpul tingkat desa. Jumlah pedagang pengumpul luar kota (nonlokal) sedikit dibandingkan dengan jumlah pedagang pengumpul tingkat desa. Pedagang pengumpul luar kota (non-lokal) memerlukan modal yang besar untuk menjalankan aktivitasnya. Dalam prakteknya pedagang pengumpul luar kota (non-lokal) masih dapat mempengaruhi harga, karena pedagang ini mampu memprediksikan harga berdasarkan jumlah pasokan setiap periode dengan banyaknya permintaan dari pengecer luar kota (nonlokal). 3. Komoditi yang dijual bersifat homogen karena tidak mengalami proses standardisasi dan grading. 4. Pedagang pengumpul luar kota (non-lokal) memperoleh informasi mengenai perkembangan harga jual dari sesama pedagang dan dari pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer lokal dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) mengarah ke pasar persaingan sempurna Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut. 1. Jumlah pedagang pengecer lebih banyak dibandingkan jumlah pedagang pengumpul baik pengumpul tingkat desa, pasar lokal, maupun luar kota
66
(non-lokal). Jumlah pedagang yang banyak tersebut menyebabkan adanya persaingan dalam mendapatkan konsumen 2. Tidak adanya hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengecer. 3. Komoditi yang dijual bersifat homogen karena tidak mengalami proses standardisasi dan grading. 4. Pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi harga. 5. Informasi mengenai harga diperoleh dari pedagang pengumpul pasar lokal. 6.5.
Perilaku Pasar Perilaku pasar dapat diketahui dari praktek penjualan dan pembelian,
sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama diantara lembaga tataniaga. Berikut diuraikan perilaku pasar pada tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan. 6.5.1. Praktek Penjualan dan Pembelian Tataniaga kubis melibatkan beberapa lembaga yang melakukan praktek penjualan dan pembelian. Petani sebagai produsen kubis hanya melakukan kegiatan penjualan ke lembaga tataniaga lainnya seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), dan pedagang pengecer (lokal). Selain itu petani juga melakukan penjualan langsung ke konsumen akhir. Konsumen akhir hanya melakukan praktek pembelian baik langsung dari petani yang menjual kubisnya ke pasar maupun melalui pedagang pengecer. Lembaga tataniaga yang melakukan pembelian ke petani yaitu pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), dan pedagang pengecer (lokal). Pedagang pengumpul tingkat desa kemudian menjual kubis tersebut ke pedagang pengumpul pasar lokal dan beberapa ke pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Pedagang pengumpul pasar lokal hanya melakukan pembelian kubis ke pedagang pengumpul tingkat desa dan kemudian menjualnya ke pedagang pengecer (lokal). Pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) melakukan pembelian kubis ke petani dan pedagang pengumpul tingkat desa. Kemudian menjualnya ke luar kota yaitu ke pedagang pengecer luar
67
kota (non lokal). Pedagang pengecer (lokal) melakukan pembelian kubis ke petani dan pedagang pengumpul pasar lokal, kemudian menjualnya ke konsumen akhir. 6.5.2. Sistem Penentuan Harga Harga kubis yang diterima petani ditentukan oleh pedagang. Harga tersebut terbentuk dari hasil penyesuaian terhadap harga yang berlaku dipasar. Harga kubis sangat fluktuatif sehingga lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), dan pedagang pengecer menentukan suatu rentang harga dalam melakukan penjualan kubis agar dapat memperoleh keuntungan. Artinya, masing-masing pedagang tersebut dapat menjual kubisnya mulai dari harga terendah yang mereka ditawarkan
tetapkan hingga harga tertinggi yang mampu
dalam mekanisme tawar-menawar. Namun sebenarnya pedagang
telah memiliki acuan atau patokan sendiri dalam menentukan harga. Berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, lembaga-lembaga tataniaga kubis di Desa Argalingga, Majalengka dan Desa Cimenyan Kabupaten Bandung dalam sistem penentuan harga dilakukan secara tawar menawar. 6.5.3. Sistem Pembayaran Sistem pembayaran yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga dikategorikan menjadi dua sebagai berikut. 1. Pembayaran tunai. Pembayaran tunai dilakukan oleh pedagang pengumpul pasar lokal yang membeli kubis ke pedagang pengumpul tingkat desa. Selain itu, pembayaran tunai juga dilakukan oleh pedagang pengecer yang membeli kubis ke petani secara langsung dan ke pedagang pengumpul pasar lokal. Pedagang pengecer luar kotapun langsung membayar secara tunai atas kubis yang dibelinya dari pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). 2. Pembayaran kemudian (hutang). Petani sebagai produsen yang menjual kubis ke pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) dan ke pedagang pengumpul tingkat desa akan menerima pembayaran setelah beberapa hari dari waktu penyerahan komoditi tersebut. Artinya, pedagang pengumpul 68
tingkat desa dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) tidak membayar kubis yang dijual oleh petani secara tunai melainkan dibayar kemudian (hutang). Umumnya pembayaran dilakukan setelah kubis yang dibeli dari petani habis terjual ke lembaga tataniaga berikutnya. Sebenarnya sistem pembayaran kemudian (hutang) menyulitkan petani karena bertani merupakan mata pencarian pokok dan petani membutuhkan modal untuk melakukan budidaya sayuran selanjutnya. Namun petani tidak memiliki banyak pilihan karena petani hanya dapat menjual kubis dalam jumlah besar ke pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal). Sistem pembayaran tunai dan hutang juga dilakukan oleh lembagalembaga tataniaga di Desa Cimenyan, Kabupaten Bandung dan di Desa Argalingga, Majalengka. Namun masih terdapat satu jenis sistem pembayaran yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga di kedua desa tersebut yaitu sistem bayar di muka atau bayar setengah dimana para pedagang membayar terlebih dahulu setengah dari harga kubis yang mereka borong sebelum dibawa ke pasar tujuan untuk dijual. 6.5.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga Kerjasama yang terjadi antar lembaga tataniaga didasarkan pada lamanya hubungan dagang sehingga muncul rasa saling percaya antara satu dengan yang lainnya. Kerjasama yang berkelanjutan tersebut dapat mengurangi pengeluaran lembaga tataniaga dalam pengeluaran biaya berganti pemasok. Kerjasama yang dilakukan yaitu dalam bentuk penyampaian dan pertukaran informasi antar lembaga tataniaga. Petani juga melakukan kerjasama dengan pedagang pengumpul tingkat desa dalam bentuk penyediaan modal dan input produksi seperti pupuk dan pestisida. 6.6.
Analisis Margin Tataniaga Margin tataniaga merupakan salah satu indikator untuk menentukan
efisiensi tataniaga. Margin tataniaga yang merupakan perbedaan harga pada tingkat yang berbeda dalam sistem tataniaga dihitung melalui pengurangan harga jual terhadap harga beli oleh lembaga tataniaga. Komponen-komponen dari tataniaga antara lain biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga. Biaya tataniaga 69
merupakan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga dalam mengalirkan kubis hingga ke konsumen akhir. Biaya tataniaga tersebut terdiri dari biaya pengangkutan, pembelian karung, tali, kantong plastik, biaya retribusi, dan lain sebagainya. Keuntungan tataniaga diperoleh dengan mengurangkan harga jual terhadap harga beli yang ditambah dengan biaya tataniaga. Margin yang diperoleh pada setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan lampiran 6 dapat diketahui margin tataniaga yang diperoleh oleh masing-masing lembaga tataniaga. Total margin tataniaga terbesar terdapat pada saluran II dan saluran III yaitu Rp 2.000,00 per kilogram (66,67 persen). Meskipun saluran II dan saluran III bukan merupakan saluran terpanjang namun jarak pasar yang jauh (kubis dikirim ke luar kota) menuntut pedagang untuk mengambil margin yang cukup besar karena biaya dan risiko yang ditanggungpun besar. Selanjutnya, pada saluran I dan saluran IV total margin tataniaga yang diperoleh masing-masing saluran yaitu Rp 1.000,00 per kilogram (50,00 persen) dan Rp 900,00 per kilogram (45,00 persen). Pada saluran I dan saluran IV kubis dialirkan menuju pasar lokal (Kota Pagar Alam) dan jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh dibandingkan saluran II dan III sehingga pedagang mengambil margin yang tidak terlalu besar pula. Pada saluran I total margin yang diperoleh lebih besar dibandingkan saluran IV. Hal ini disebabkan saluran I melibatkan banyak lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, dan pedagang pengecer (lokal). Sedangkan pada saluran IV hanya melibatkan pedagang pengecer (lokal). Pada saluran V tidak terdapat margin tataniaga karena tidak melibatkan perantara seperti pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Pada saluran I petani menjual kubis ke pedagang pengumpul tingkat desa dengan harga Rp 1.000,00 per kilogram yang kemudian oleh pedagang pengumpul tingkat desa dijual dengan harga Rp 1.200,00 per kilogram ke pedagang pengumpul pasar lokal. Pedagang pengumpul pasar lokal menjual kubis tersebut dengan harga Rp 1.600,00 per kilogram ke pedagang pengecer (lokal). Pedagang pengecer menjualnya kembali dengan harga Rp 2.000,00 per kilogram. Pedagang pengumpul pasar lokal dan pedagang pengecer (lokal) pada saluran I
70
merupakan lembaga tataniaga yang memperoleh margin terbesar dalam penyaluran kubis ke pasar lokal (Kota Pagar Alam) yaitu Rp 400,00 (20,00 persen). Sedangkan pedagang pengumpul tingkat desa memperoleh margin terkecil yaitu Rp 200,00 per kilogram (10,00 persen). Pada saluran II petani menjual kubis ke pedagang pengumpul tingkat desa dengan harga Rp 1.000,00 per kilogram. Pedagang pengumpul tingkat desa kemudian menjual beberapa bagian kubis yang tersebut ke pedagang pengumpul luar kota (non-lokal) (3,3 persen) dengan harga Rp 1.200,00. Pedagang pengumpul luar kota (non-lokal) pada saluran II menjual kubis ke pedagang pengecer luar kota (non-lokal) dengan harga yang sama pada saluran III (Rp 2.000,00 per kilogram) meskipun pada saluran II pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) memperoleh kubis dari pedagang pengumpul tingkat desa dengan harga yang lebih mahal dari petani pada saluran III (Rp 1.000,00 per kilogram). Pada saluran II dan saluran III lembaga tataniaga yang memperoleh margin terbesar yaitu pedagang pengecer luar kota (non-lokal) yaitu Rp 1.000,00 per kilogram (33,33 persen). Pedagang pengumpul tingkat desa pada saluran II juga memperoleh margin yang terkecil yaitu Rp 200,00 (6,67 persen). Hal ini dikarenakan risiko yang ditanggung pedagang pengumpul tingkat desa lebih kecil dibandingkan risiko yang ditanggung oleh lembaga tataniaga lainnya seperti pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Pedagang pengumpul tingkat desa umumnya telah memiliki langganan untuk tujuan penjualan kubis yang dibelinya sehingga kemungkinan tidak terjual menjadi sangat sulit terjadi. 6.7.
Farmer’s Share Farmer’s share merupakan salah satu indikator dalam menentukan
efisiensi tataniaga. Farmer’s share merupakan perbandingan antara harga yang diterima petani dengan harga yang diterima konsumen akhir yang dinyatakan dalam persen. Farmer’s share memiliki hubungan negatif dengan margin tataniaga. Semakin tinggi farmer’s share maka semakin rendah margin tataniaga dan sebaliknya semakin rendah farmer’s share maka margin tataniaga akan semakin tinggi. Farmer’s share yang tinggi tidak selalu mengindikasikan bahwa tataniaga berjalan secara efisien karena berkaitan dengan besar kecilnya manfaat 71
yang ditambahkan pada produk (added value) yang dilakukan lembaga tataniaga. Farmer’s share yang diterima petani dalam setiap saluran tataniaga dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Farmer’s Share Pada Saluran Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan Saluran Tataniaga Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV Saluran V
Harga di Tingkat Petani (Rp/Kg) 1.000 1.000 1.000 1.100 1.500
Harga di Tingkat Konsumen (Rp/Kg) 2.000 3.000 3.000 2.000 1.500
Farmer’s Share (%) 50,00 33,33 33,33 55,00 100,00
Berdasarkan Tabel 13 ditunjukkan bahwa bagian terbesar yang diterima petani yaitu pada saluran V sebesar 100 persen. Artinya bagian yang diterima petani sebesar 100 persen dari harga yang dibayarkan konsumen. Kondisi ini terjadi karena petani menjual langsung kubis yang dipanennya ke konsumen akhir sehingga tidak terbentuk suatu margin tataniaga. Selain itu, petani dapat menetapkan harga yang lebih murah karena saluran yang dilalui sangat pendek. Namun saluran V tidak rutin dilalui petani dan volume penjualan pada saluran tersebut relatif kecil. Selanjutnya pada saluran IV petani menerima bagian sebesar 55 persen. Artinya petani menerima 55 persen dari harga yang dibayarkan konsumen. Pada Saluran IV petani menjual kubis ke pedagang pengecer (lokal) yang kemudian dijual ke konsumen akhir. Saluran ini juga cukup pendek sehingga margin yang terbentukpun sangat kecil. Bagian yang diterima petani pada saluran I sebesar 50 persen. Petani menerima 50 persen dari harga yang dibayarkan konsumen. Saluran I merupakan saluran yang paling panjang karena melibatkan banyak lembaga tataniaga. Pada saluran II dan saluran III bagian yang diterima petani sama yaitu 33,33 persen. Maskipun lembaga yang terlibat dalam kedua saluran tersebut berbeda, harga yang dibayar oleh konsumen dan harga yang diterima petani sama. Bagian yang diterima petani sebesar 33,33 persen dari harga yang dibayarkan konsumen. Bagian ini merupakan bagian terkecil jika dibandingkan dengan bagian yang diterima pada saluran I, IV, dan V.
72
6.8.
Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Rasio keuntungan terhadap biaya juga dapat dijadikan indikator dalam
menentukan efisiensi tataniaga. Rasio keuntungan terhadap biaya dihitung dengan menjumlahkan keuntungan yang diterima masing-masing lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga dan dibagi dengan penjumlahan dari biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga dalam menyalurkan kubis hingga ke konsumen akhir. Biaya tataniaga merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh lembagalembaga tataniaga dalam menyalurkan kubis hingga ke konsumen akhir, sedangkan keuntungan lembaga tataniaga merupakan selisih antara margin tataniaga yang diperoleh dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam menyalurkan kubis. Rasio keuntungan terhadap biaya pada suatu saluran tataniaga dapat dikatakan efisien apabila penyebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya merata pada masing-masing lembaga tataniaga. Artinya setiap satu satuan rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan yang tidak jauh berbeda dengan lembaga tataniaga lainnya yang terdapat pada saluran tersebut. Rasio keuntungan terhadap biaya yang diperoleh untuk setiap saluran tataniaga kubis dapat dilihat pada tabel 14. Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa total rasio keuntungan terhadap biaya yang paling besar diperoleh pada saluran I yaitu 3,44. Artinya setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan menghasilkan keuntungan sebesar 3,44 rupiah. Dilihat dari kondisi keseluruhan, saluran I memberikan keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan keempat saluran lainnya. Pada saluran I total biaya tataniaga yang dikeluarkan yaitu Rp 225,00 per kilogram dan total keuntungan yaitu Rp 775,00 per kilogram. Biaya terbesar dikeluarkan oleh pedagang pengecer (lokal) sebesar Rp 120,00 per kilogram. Hal ini dikarenakan risiko atas kerusakan barang dan risiko tidak terjual karena banyaknya pedagang yang bermain di pasar pedagang pengecer (lokal). Keuntungan terbesar pada saluran I diperoleh oleh pedagang pengumpul pasar lokal. Biaya terkecil dikeluarkan oleh pedagang pengumpul tingkat desa (Rp 40,00 per kilogram).
73
Tabel 14. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Pada Saluran Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan Lembaga Tataniaga Pedagang Pengumpul Tingkat Desa Ci Πi πi/ci Pedagang Pengumpul Pasar Lokal Ci Πi πi/ci Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota (Non-lokal) Ci Πi πi/ci Pedagang Pengecer Luar Kota (Nonlokal) Ci Πi πi/ci Pedagang Pengecer (lokal) Ci Πi πi/ci Total Ci Πi πi/ci
Saluran I
40,00 160,00 4,00
Saluran Tataniaga Saluran II Saluran III
Saluran IV
50,00 150,00 3,00
65,00 335,00 5,15
313,75 486,25 1,55
353,75 646,25 1,83
180,00 820,00 4,56
180,00 820,00 4,56
120 280 2,33 225,00 775,00 3,44
247,62 652,38 2,63 543,75 1.456,25 2,68
533,75 1.466,25 2,74
247,62 652,38 2,63
Saluran yang selanjutnya juga memberikan keuntungan yang besar dalam tataniaga kubis yaitu saluran III sebesar 2,74, Artinya setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan menghasilkan keuntungan sebesar 2,74 rupiah. Biaya terbesar pada saluran III dikeluarkan oleh pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) sedangkan keuntungan terbesar diperoleh 74
pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Hal ini juga terjadi pada saluran II. Pada saluran IV nilai rasio keuntungan terhadap biaya merupakan nilai yang terkecil yaitu 2,63. Artinya setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan menghasilkan keuntungan sebesar 2,63 rupiah. Lembaga tataniaga yang terlibat di saluran ini hanya pedagang pengecer (lokal). 6.9.
Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniga dapat diukur menggunakan beberapa indikator meliputi
saluran tataniaga yang terbentuk, fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan, struktur dan perilaku pasar. Efisiensi tataniaga juga diukur dengan melihat margin tataniaga yang terbentuk, farmer’s share, nilai keuntungan terhadap biaya, dan volume penjualan pada setiap saluran. Efisiensi tataniaga pada setiap saluran dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai Efisiensi Tataniaga pada Saluran Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan Saluran Tataniaga
Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV Saluran V
Harga di Tingkat Konsumen Akhir (Rp/kg) 2.000 3.000 3.000 2.000
Total Biaya Tataniaga (Rp/kg)
Margin Tataniaga (%)
Farmer’s Share (%)
370,10 688,85 650,52 311,74
50,00 66,67 66,67 45,00
1.500
371,95
-
Volume Penjualan (Ton)
50,00 33,33 33,33 55,00
Rasio Keuntungan Terhadap Biaya (πi/ci) 3,44 2,68 2,74 2,63
100,00
-
40,45
117,40 4,00 134,40 16,15
Berdasarkan Tabel 15 diatas ukuran efisiensi tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan dapat diketahui dengan melihat nilai masing-masing indikator. Nilai margin tataniaga terbesar terbentuk pada saluran II dan saluran III yaitu 66,67 persen, sedangkan nilai margin terkecil terbentuk pada saluran IV yaitu 45,00 persen. Pada saluran I nilai margin tataniaga yang terbentuk sebesar 50,00 persen. Pada saluran V tidak terbentuk margin tataniaga karena petani menjual kubis langsung ke konsumen akhir. Nilai margin terkecil pada saluran IV belum dapat menggambarkan bahwa saluran tataniaga tersebut merupakan saluran tataniaga yang efisien karena harus mempertimbangkan indikator lainnya.
75
Farmer’s share terbesar diperoleh pada saluran V yaitu 100,00 persen. Hal ini disebabkan karena saluran V merupakan saluran tataniaga kubis terpendek dan tidak melibatkan lembaga perantara. Kondisi farmer’s share seperti ini juga terjadi pada tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat, yaitu petani menjual langsung jamur tiram putih yang diproduksinya ke konsumen akhir tanpa melalui perantara sehingga petani menerima bagian sebesar 100,00 persen. Saluran II dan saluran III merupakan saluran tataniaga dengan nilai farmer’s share terendah yaitu 33,33 persen. Pada saluran I dan saluran IV nilai farmer’s sharenya masing-masing yaitu 50,00 persen dan 55,00 persen. Nilai farmer’s share pada saluran IV menempati urutan terbesar kedua setelah saluran V. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang terbesar terdapat pada saluran I yaitu 3,44 dan yang terendah terdapat pada saluran IV yaitu 2,63. Pada saluran II dan saluran III nilai rasio keuntungan terhadap biaya yaitu 2,68 dan 2,74. Volume penjualan terbesar terdapat pada saluran III yaitu 134,4 ton, sedangkan volume penjualan terkecil terdapat pada saluran II yaitu 4,00 ton. Pada saluran I volume penjualan menempati urutan terbesar kedua yaitu 117,4 ton. Volume penjualan pada saluran IV dan saluran V yaitu 16,15 ton dan 40,45 ton. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga yang efisien yaitu saluran tataniaga I dan saluran III. Beberapa alasan yang mendasari kesimpulan tersebut yaitu: 1). Margin tataniaga pada saluran I menempati urutan terkecil kedua setelah saluran IV. Efisiensi tataniaga tidak hanya mempertimbangkan margin tataniaga yang diperoleh namun juga pertimbangan lain seperti volume penjualan. Meskipun margin tataniaga pada saluran IV lebih kecil dibandingkan saluran I, namun volume penjualan pada saluran I jauh lebih besar dibandingkan saluran IV. 2). Farmer’s share pada saluran I menempati urutan terbesar ketiga. Meskipun farmer’s share pada saluran V merupakan nilai yang terbesar namun saluran V tidak rutin dilalui petani dalam menyalurkan produknya. Petani hanya dapat menyalurkan kubis melalui saluran V jika harga kubis sedang tinggi. 3). Nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran Ipun menempati urutan terbesar pertama yang memberikan keuntungan lebih besar jika dibandingkan keempat saluran lainnya yang selanjutnya diikuti
76
saluran III. 4) Volume penjualan pada saluran
III dan saluran I merupakan
volume yang terbanyak. 5) Petani relatif lebih kontinu menggunakan saluran I dan saluran III.
77
VII 7.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan atas penelitian yang dilakukan di
Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Terdapat lima saluran tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam yang melibatkan beberapa lembaga yaitu pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota, pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). 2. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda-beda dan menghadapi struktur pasar yang berbeda pula. Selain itu, perilaku pasar yang dihadapipun turut berbeda. 3. Tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam secara keseluruhan belum efisien. Saluran tataniaga I dan saluran III merupakan jalur yang relatif lebih efisien jika dibandingkan dengan saluran lainnya. Hal ini berdasarkan pertimbangan atas perhitungan farmer’s share, margin tataniaga dan rasio keuntungan terhadap biaya. Selain itu volume dan kontinuitas penggunaan saluran karena adanya hubungan dagang yang lama terjalin juga dijadikan pertimbangan dalam menentukan efisiensi tataniaga. 7.2
Saran Berdasarkan kondisi yang terjadi pada tataniaga kubis di Kelurahan Agung
Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam maka hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya meningkatkan efisiensi tataniaga sebagai berikut. Lembaga-lembaga tataniaga dapat melalui saluran tataniaga yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Namun saluran I dan saluran III merupakan saluran yang relatif lebih efisien bagi petani. Petani yang bukan anggota kelompok tani ada baiknya jika bergabung ke kelompok tani karena kelompok tani merupakan wadah bertukar pikiran terkait masalah on farm (budidaya) sehingga dapat meningkatkan produktivitas kubis yang dibudidayakan. Selain itu, peran serta kelompok tani (Poktan) dan gabungan 78
kelompok tani (Gapoktan) dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan dapat juga dijadikan pertimbangan karena hal tersebut dapat meningkatkan posisi tawar petani kubis. Petani dapat menjual kubisnya melalui kelompok sehingga mengurangi ketergantungan penjualan ke pedagang pengumpul. Pemerintah khususnya dinas pertanian Kota Pagar Alam sebagai penanggung jawab harus mendukung dan memfasilitasi keberadaan Sub Terminal Agribisnis (STA) agar dapat perperan lebih aktif. Adanya fluktuasi harga dan volume penjualan yang melimpah pada saat panen raya, menuntut adanya industri pengolahan kubis. Sortasi dan grading sebaiknya dilakukan baik oleh petani maupun pedagang untuk meningkatkan pendapatan karena harga yang diterima akan berbeda untuk setiap grade dan memungkinkan adanya peningkatan harga yang terjadi baik di tingkat petani maupun di tingkat pedagang. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis keterpaduan pasar antara pasar acuan dengan pasar produsen di tingkat petani Kelurahan Agung Lawangan untuk melihat efisiensi dari sisi harga.
79
DAFTAR PUSTAKA Adnany Z. 2008. Sistem Tataniaga Komoditi Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa tengah [skripsi]. Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Agustina L. 2008. Analisis Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Kubis (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ariyanto. 2008. Analisis Tataniaga Sayuran Bayam (Kasus Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Asmarantaka RW. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian dalam Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Editor Nunung Kusnadi,dkk. IPB press. Bogor. Asmarantaka RW. 2009. Tataniaga Produk Agribisnis. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam. 2011a. Harga Kubis yang diterima Konsumen Akhir di Kota Pagar Alam Tahun 2010. BPS Kota Pagar Alam. Pagar Alam. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam. 2011b. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Pagar Alam Tahun 2010. Pagar Alam: BPS Kota Pagar Alam. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam. 2011c. Persentase Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Kota Pagar Alam Tahun 2010. BPS Kota Pagar Alam. Pagar Alam. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan. 2011. Total Produksi Sayuran Menurut Kabupaten/Kota. BPS Provinsi Sumatera Selatan. Palembang. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011a. Produksi Sayuran di Indonesia tahun 20062010. Badan Pusat Statistik. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011b. Luas panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis Tahun 2009-2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Budiarto T. 1993. Dasar Pemasaran. Gunadarma. Jakarta. Dahl DC, Jerome WH. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industries. Kingsport Press. United States. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2011. Kawasan Horti. Departemen Pertanian. Sumatera Selatan. 80
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan. 2011. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis Menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Tahun 2009-2010. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan. Sumatera Selatan. Firdaus M. 2008. Manajemen Agribisnis. Bumi Aksara. Jakarta. Herviyani N. 2009. Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hudson D. 2007. Agricultural Markets and Prices. Blackwell Publishing. United Kingdom. Kantor Kecamatan Dempo Utara. 2011. Jumlah Penduduk dirinci Berdasarkan Kelurahan di Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Tahun 2010. Pagar Alam. Kantor Kelurahan Agung Lawangan. 2011. Penduduk Kelurahan Agung Lawangan Berdasarkan Mata Pencarian Pokok Tahun 2010. Pagar Alam. [KEMENTAN] Kementerian Pertanian. 2011a. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun 2006-2010. Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian. Jakarta. [KEMENTAN] Kementerian Pertanian. 2011b. PDB Beberapa Komoditas Sayuran Terhadap Total PDB Sayuran Nasional Tahun 2009-2010. Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian. Jakarta. Kohl RL, Uhl JN. 2002. Marketing of Agricultural Products. Ninth Edition. Prentice-Hall,Inc. New Jersey. Limbong WH, Panggabean S. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mulyani Y. 2000. Analisis Pendapatan Usahatani dan Efisiensi Pemasaran Kubis (Studi Kasus: Desa Argalingga, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Noviana Z. 2011. Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Peranginangin B. 2011. Analisis Tataniaga Markisa ungu di Kabupaten Karo (Studi Kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, kabupaten Karo, provinsi Sumatera Utara) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
81
Pracaya. 2001. Kol Alias Kubis. Penebar Swadaya. Jakarta. Saefuddin, Hanafiah. 2006. Tataniaga Hasil Pertanian. UI-Press. Jakarta. [STA] Sub Terminal Agribisnis. 2011. Harga kubis yang diterima Petani di Kota Pagar Alam Tahun 2010. Sub Terminal Agribisnis. Pagar Alam. Sudiyono A. 2002. Pemasaran Pertanian, cetakan ke-II. UMM-Press. Malang. Susila AD. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor Tomex WG, Kenneth LR.1990.Agricultural Product Prices. Third Edition. Cornell University Press. New York. Trihendradi C. 2005. Step by Step SPSS 13 Analisis Data Statistik. Andi. Yogyakarta. Utama DS. 2011. Analisis Sistem Tataniaga Daun Bawang (Studi Kasus: Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wacana AD. 2011. Analisis Tataniaga Bawang Merah (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
82
LAMPIRAN
83
Lampiran 1. Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2006-2010 Produksi per Tahun (Ton) Jenis Sayuran Bawang Merah Kentang Kubis Cabai Mustard Green Wortel Bawang Putih Daun Bawang Kembang Kol Lobak Kacang Merah Kacang Panjang Tomat Terong Buncis Ketimun Labu Siam Kangkung Bayam
Pertumbuhan rata-rata (%)
2006
2007
2008
2009
2010
794.931 1.011.911 1.267.745 1.185.057
802.810 1.003.733 1.288.740 1.128.792
853.615 1.071.543 1.323.702 1.153.060
965.164 1.176.304 1.358.113 1.378.727
1.048.934 1.060.805 1.384.044 1.328.864
7,26 1,47 2,22 3,34
590.401
564.912
565.636
562.838
583.770
-0,24
391.371
350.171
367.111
358.014
403.827
1,17
21.051
17.313
12.339
15.419
12.295
-10,44
571.268
479.927
547.743
549.365
541.374
-0,75
135.518
124.252
109.497
96.038
101.205
-6,77
49.344
42.076
48.376
29.759
32.381
-7,35
125.250
112.272
115.817
110.051
116.397
-1,60
461.239
488.500
455.524
483.793
488.449
1,58
629.744 358.095 269,532 598.890
635.474 390.846 266,790 581.206
725.973 427.166 266,551 540.122
853.061 451.564 290,993 583.139
891.616 482.305 336,494 547.141
9,29 7,74 5,92 -2,05
212.697
254.056
394.386
321.023
369.846
17,82
292.950
335.087
323.757
360.992
350.879
4,92
149.435
155.862
163.817
173.750
152.334
0,78
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011), diolah
84
Lampiran 2. Luas panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis Tahun 2009-2010 Tahun 2009 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Luas Panen (Ha) 386 8.921 2.877 1 872 554 3.276 1.096 13.604 18.843 4 10.748 1.238
Tahun 2010
8.225 210.239 90.321 5 20.028 8.717 47.866 17.023 298.332 348.616 70 197.985 25.628
21,31 23,57 31,39 5,00 22,97 15,73 14,61 15,53 21,93 18,5 17,5 18,42 20,7
Luas Panen (Ha) 203 8.834 2.734 649 489 3.333 1.036 12.811 20.843 0 9.993 1.351
587
10.615
18,08
168 4
1.638 32
13
Produksi (Ton)
Produkti vitas (Ton/Ha)
Produksi (Ton)
Produkti vitas (Ton/Ha)
4.466 196.718 83.883 15.232 8.760 76.772 16.265 286.647 383.686 0 181.344 47.077
22,00 22,27 3068 23,47 17,91 23,03 15,70 22,38 18,41 0 18,15 34,85
418
9.726
23,27
9,75 8,00
154 -
854 -
5,55 -
203
15,62
9
33
3,67
1
5
5,00
-
-
-
139 1.293 154 1.864
1.066 31.575 1.975 31.303
7,67 24,42 12,82 16,79
124 1.213 173 1.997
911 23.586 3.752 40.356
7,35 19,44 21,69 20,21
177 1 37 55 187 197 496 67.793
1.492 1 420 573 499 1.088 2.573 1.358.113
8,43 1,00 11,35 10,42 2,67 5,52 5,19 20,03
143 43 123 88 259 511 67.531
1.257 42 235 58 1.088 2.296 1.385.044
8,79 0,98 1,91 0,66 4,20 4,49 20,51
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011)
85
Lampiran 3. Analisis Crosstabs-Chi Square Tingkat Pendidikan Petani Terhadap Keterlibatan dalam Kelompok Tani Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid
Missing
N
Percent
Tingkat Pendidikan * Keterlibatan dalam Kelompok Tani
30
Total
N
Percent
100.0%
0
N
Percent
.0%
30
100.0%
Tingkat Pendidikan * Keterlibatan dalam Kelompok Tani Crosstabulation Count Keterlibatan dalam Kelompok Tani 0 Tingkat Pendidikan
1
Total
1
0
2
2
3
10
5
15
4
0
4
4
5
0 10
9 20
9 30
Total Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
15.000a
3
.002
Likelihood Ratio
19.095
3
.000
N of Valid Cases
30
a. 5 cells (62,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,67.
Keterangan: - Keterlibatan Petani dalam Kelompok Tani 0= Bukan anggota kelompok tani 1= Anggota Kelompok Tani - Tingkat Pendidikan 1= Tidak Sekolah 2= Tidak Tamat SD 3= Tamat SD 4= Tamat SMP 5= Tamat SMA 86
Lampiran 4. Analisis Crosstabs-Chi Square Karakterisitik Petani Terhadap Tujuan Penjualan Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid
Missing
N
Percent
Keterlibatan dalam Kelompok Tani * Tujuan Penjualan
30
Total
N
Percent
100.0%
0
N
Percent
.0%
30
100.0%
Keterlibatan dalam Kelompok Tani * Tujuan Penjualan Crosstabulation Count Tujuan Penjualan 3 Keterlibatan dalam Kelompok Tani Total
4
Total
7
8
10
11
13
14
0
0
1
0
2
2
4
1
0
10
1
4
3
5
1
3
3
0
1
20
4
4
5
3
5
7
1
1
30
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 10.511 7 .161 Likelihood Ratio 13.582 7 .059 N of Valid Cases 30 a. 16 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,33.
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid
Missing
N Tingkat Pendidikan * Tujuan Penjualan
Percent 30
100.0%
Total
N
Percent 0
.0%
N
Percent 30
100.0%
87
Tingkat Pendidikan * Tujuan Penjualan Crosstabulation Count Tujuan Penjualan 3 Tingkat Pendidikan
1 3 4 5
Total
4 0 0 0 4 4
Total
7
8
1 3 0 0 4
0 1 2 2 5
10 0 2 1 0 3
11 0 3 0 2 5
13
14
1 4 1 1 7
0 1 0 0 1
0 1 0 0 1
2 15 4 9 30
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 24.345 21 .277 Likelihood Ratio 27.668 21 .150 N of Valid Cases 30 a. 32 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,07.
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid
Missing
N
Percent
Kepemilikan Lahan * Tujuan Penjualan
30
Total
N
Percent
100.0%
0
N
Percent
.0%
30
100.0%
Kepemilikan Lahan* Tujuan Penjualan Crosstabulation Count Tujuan Penjualan 3 Kepemilik - Milik sendiri an Lahan - Sewa - Garapan
Total
4
7
Total 8
10
11
13
14
4 0 0
3 0 1
5 0 0
1 0 2
3 0 2
3 0 4
0 1 0
0 1 0
19 2 9
4
4
5
3
5
7
1
1
30
88
Chi-Square Tests Value
Df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 38.725a 14 .000 Likelihood Ratio 25.252 14 .032 N of Valid Cases 30 a. 24 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,07.
89
Lampiran 5. Biaya Rata-Rata yang dikeluarkan Lembaga Tataniaga pada Setiap Saluran Biaya yang dikeluarkan (Rp/Kg) Uraian Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV Petani Pengangkutan (ojek) Tali Upah Tenaga Kerja Angkut Karung Upah TK untuk penimbangan Pengangkutan (angkutan umum) ke pasar Kantong Plastik Retribusi Penyusutan Total
Saluran V
88,09 16,1 9,62 0 9,86 0
88,09 16,1 9,62 0 9,86 0
60,00 15,31 11,86 0 9,98 0
0 14,37 0 40,00 9,75 0
77,69 14,81 12,25 40,00 0 95,82
0 0 21,43 145,10
0 0 21,43 145,10
0 0 19,62 116,77
0 0 0 64,12
40,00 10,00 81,38 371,95
30,00 0 10,00 40,00
30,00 10,00 10,00 50,00
Pedagang Pengumpul Tingkat Desa Karung Pengangkutan (ojek) Upah TK untuk penimbangan Total
Pedagang Pengumpul Pasar Lokal Bongkar-Muat Pengangkutan Penyusutan Total
20,00 25,00 20,00 65,00
Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota (Nonlokal) Muat Karung Pengangkutan (ojek) Upah TK untuk penimbangan
10,00 0 0 0
10,00 30,00 0 10,00
90
Pengangkutan ke luar kota
187,50
Uraian Saluran I
Saluran II
TK (Supir) Retribusi Penyusutan Total
Pedagang (Lokal)
187,50
Biaya yang dikeluarkan (Rp/Kg) Saluran III Saluran IV 50,00 6,25 60,00 313,75
Saluran V
50,00 6,25 60,00 353,75
Pengecer
Pengangkutan (ojek) Upah Tenaga Kerja Angkut Pengangkutan (angkutan umum) ke pasar Kantong Plastik Retribusi Penyusutan Total
10,00 0
22,62 10,00 105,00
40,00 10,00 60,00 120,00
40,00 10,00 60,00 247,62
Pedagang Pengecer Luar Kota (Non-lokal) Upah Tenaga Kerja Angkut Kantong Plastik Retribusi Penyusutan
Total Total Biaya Tataniaga
370,10
10,00 40,00 10,00 120,00
10,00 40,00 10,00 120,00
180,00 688,85
180,00 650,52
311,74
371,95
91
Lampiran 6. Analisis Margin Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan. Uraian 1. Petani Harga Jual Biaya Tataniaga 2. Pedagang Pengumpul Tingkat Desa Harga Beli Biaya Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin 3. Pedagang Pengumpul Pasar Lokal Harga Beli Biaya Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin 4. Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota (Nonlokal) Harga Beli Biaya Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin 5. Pedagang Pengecer (Lokal) Harga Beli Biaya Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin 6. Pedagang Pengecer Luar Kota Harga Beli Biaya Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin Total Biaya Tataniaga Total Keuntungan Total Margin
Saluran I (Rp/kg) Persen (%)
Saluran II (Rp/kg) Persen (%)
1.000,00 145,10
50,00 7,25
1.000,00 145,10
33,33 4.84
1.000,00 40,00 160,00 1.200,00 200,00
50,00 2,00 8,00 60,00 10,00
1.000,00 50,00 150,00 1.200,00 200,00
33,33 1,67 5,00 40,00 6,67
1.200,00 65,00 335 1.600,00 400,00
60,00 3,25 16,75 80,00 20,00
1.200,00 313,75 486,25 2.000,00 800,00
40,00 10,46 16,21 66,67 26,67
1.600,00 120,00 280,00 2.000 400,00
370,10 775,00 1.000,00
Saluran III (Rp/kg) Persen (%) 1.000,00 116,77
33,33 3,89
1.000,00 353,75 646,25 2.000,00 1.000,00
33,33 11,79 21,54 66,67 33,33
80,00 6,00 14,00 100,00 20,00
18,50 38,75 50,00
2.000 180,00 820,00 3.000,00 1.000,00 688,85 1.456,25 2.000,00
66,67 6,00 27,33 100,00 33,33 22,96 48,54 66,67
* % diperoleh dengan membagi nilai terhadap harga jual di lembaga tataniaga terakhir
2.000 180,00 820,00 3.000,00 1.000,00 650,52 1.466,25 2.000,00
66,67 6,00 27,33 100,00 33,33 21,68 48,87 66,67
Saluran IV (Rp/kg) Persen (%) 1.100,00 64,12
55,00 3,21
1.100,00 247,62 652,38 2,000,00 900,00
55,00 12,38 18,64 100,00 45,00
311,74 652,38 900,00
15,58 32,62 45,00
Saluran V (Rp/kg) Persen (%) 1.500,00 371,95
100,00 24,79
371,95
24,79
92
Lampiran 7. Data Petani Responden Berdasarkan Karakteristik di Kelurahan Agung Lawangan No. Nama petani Jenis Kelamin Umur (Tahun) Pendidikan Luas Lahan (Ha)
Kepemilikan Lahan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 7.
Sugandi Nopri Endawan Meidianto Maryono Niandi Ilson Sismanto Didi Dandris Suwardi Amin Ahmadi Junaidi Gadapi Apri Riswanto Tasroni
Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
52 30 38 35 39 31 40 47 24 37 40 29 32 38 30 40 46
1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 0,5 1,5 0,5 1,0 1,0 0,5 1,0 3,0 0,5 1,0 1,5
Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri
13 10 12 12 10 5 10 5 3 1 7 7 5 10 8 5 10
18. 19. 20. 21.
Rudi Neli Udin Syaifudin Ramlan
Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki
44 37 47 47
1,0 0,5 1,0 1,0
Garapan Milik Sendiri Sewa Garapan
10 10 5 9
Tamat SMP Tamat SMA Tamat SMP Tamat SMP Tamat SMA Tamat SMA Tamat SMA Tamat SMA Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat SD Tamat SMA Tamat SMA Tamat SMA Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SD Tamat SD Tamat SD
Lama Bertani Kubis (Tahun)
93
No.
Nama Petani
Jenis Kelamin
22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Jumiyem Sumadi Bujang Ndi Suris kasdin Juli Mus
Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
30.
Ating
Laki-laki
Umur (Tahun)
42 35 22 45 30 38 24 39
Pendidikan
Tamat SD Tamat SD Tamat SD Tamat SD Tamat SD Tamat SD Tamat SD Tidak Sekolah 32 Tamat SD
Luas Lahan (Ha)
Kepemilikan Lahan
1,0 0,5 1,0 1,0 0,5 0,5 0,5 1,0
Garapan Sewa Garapan Garapan Garapan Milik Sendiri Garapan Garapan
1,5 Garapan
Lama Bertani Kubis (Tahun) 7 10 2 2 3 13 12 4 10
93 94
Lampiran 8. Data Pedagang Responden Berdasarkan Karakteristik di Kelurahan Agung Lawangan No. Nama pedagang Jenis Kelamin Umur (Tahun) Pendidikan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Yuli Yeni Lena Sukarsih Yunarti Indah Admawati Hensi Sayati Risna
Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan
32 29 40 50 38 32 50 32 62 49
Tamat SMP Tamat SMA Tamat SD Tamat SMP Tamat SD Tamat SMA Tidak Tamat SD Tamat SMA Tamat SD Sarjana
Lama Berdagang (Tahun) 3 2 6 8 7 3 10 4 10 8
93 95
Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian di Kelurahan Agung Lawangan
Benih kubis yang sedang disemaikan
Penanaman bibit kubis setelah berumur sekitar 3 minggu
Kubis
Pemanenan kubis setelah berumur sekitar 120 hari
Pengangkutan kubis dari lahan
93 96
Pengangkutan kubis dari lahan menuju ke tempat pedagang menggunakan ojek khusus
Kubis di tempat pedagang pedagang pengumpul
Pengangkutan kubis menggunakan mobil pick up menuju pasar lokal
Pengangkutan kubis menuju pasar luar kota (non lokal) 93 97