Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
89
Kualitas Udara dan Komposisi Atmosfer Indonesia
Buku 2
Penanggung Jawab: Ir. Halimurrahman, MT Penyunting Isi: Penyelia: Dra. Sinta Berliana S., M.Sc. Anggota: Prof. DR. Chunaeni Latief DR. Lilik Slamet Suprihatin, M.Si. Ir. Tuti Budiwati, M.Eng. Drs. Mahmud Penyunting Naskah: Indah Susanti Sartika Emmanuel Adetya Penerbit CV Andira Bandung ii
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Judul/Penyunting Isi: Kualitas Udara dan Komposisi Atmosfer Indonesia - Buku 2/Prof. DR. Chunaeni Latief, Dra. Sinta Berliana S., M.Sc., DR. Lilik Slamet Suprihatin, M.Si., Ir. Tuti Budiwati, M.Eng., Drs. Mahmud.
- Cetakan pertama - Bandung: CV. Andira, 2014. vii + 124 hal. ; 18 x 25 cm ISBN: 978-979-1458-82-5 Kualitas Udara dan Komposisi Atmosfer Indonesia- Buku 2 ISBN: 978-979-1458-82-5 ©2014 Andira Diterbitkan oleh CV. Andira Anggota IKAPI Penyunting isi: Penyelia: Dra. Sinta Berliana S., M.Sc. Anggota: Prof. DR. Chunaeni Latief DR. Lilik Slamet Suprihatin Ir. Tuti Budiwati, M.Eng. Drs. Mahmud Penyunting Naskah: Indah Susanti, Sartika, dan Emmanuel Adetya Disain Isi dan Kulit Muka, Sartika (Sumber gambar http://hdwall.co) Dicetak oleh CV Andira Cetakan Pertama, 2014 Penerbit Andira Istana Pasteur Regency Blok CRB 70, Sukaraja Bandung. Telp/Fax: (022) 86065361 E-mail:
[email protected] Buku ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ii
Dari Penerbit
DARI PENERBIT Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) merupakan bagian dari Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi atmosfer serta pemanfaatannya. Dalam rangka mencapai salah satu misi PSTA, yaitu meningkatkan pemanfaatan dan pemasyarakatan sains atmosfer, maka perlu ditingkatkan jumlah media publikasi ilmiah. Disamping menyelenggarakan seminar dan membuat publikasi hasil penelitian dalam bentuk prosiding dan jurnal, PSTA meningkatkan penyebaran hasil penelitian melalui penerbitan buku ilmiah. Salah satunya adalah buku ilmiah dengan judul Kualitas Udara dan Komposisi Atmosfer Indonesia. Buku ini memuat hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan di PSTA. Bagi para penulis, semoga buku ini menjadi sarana belajar untuk meningkatkan kemampuan dalam menyampaikan hasil penelitian dalam bentuk tulisan. Bagi para pembaca, semoga buku ini dapat meningkatkan pemahan tentang topik-topik yang dibahas. Kritik dan saran untuk penyempurnaan buku ini sangat kami harapkan.
Penerbit Adira Email:
[email protected]
iii
Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan dengan izinNya Buku Bunga Rampai dari Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN tahun 2014 dapat diselesaikan. Buku ini adalah buku kedua dari dua buku yang dibuat oleh para peneliti PSTA di tahun 2014. Pembuatan buku ini membutuhkan waktu sekitar 6 bulan. Proses pertama dimulai dari tahap penerimaan makalah yang sesuai dengan judul dan tema buku bunga rampai ini yaitu “Kualitas Udara dan Komposisi Atmosfer Indonesia”. Tahap kedua adalah review oleh para reviewer. Satu makalah di-review oleh dua orang reviewer yang ahli pada bidangnya. Setelah di-review, penulis makalah diberikan kesempatan untuk memperbaiki makalahnya sebanyak dua kali sesuai saran dari reviewer. Setelah penulis memperbaiki makalahnya, lalu di-review kembali. Hasil dari perbaikan kedua dari penulis yang menjadi bahan pertimbangan diterima atau ditolaknya makalah yang akan dipublikasikan dalam buku bunga rampai PSTA ini. Pada tahap penerimaan makalah terdapat 11 makalah yang masuk, tetapi hanya 9 makalah yang diperbaiki oleh penulis dan dapat dipublikasikan dalam buku bunga rampai ini. Pada buku bunga rampai ini terdapat 9 makalah hasil penelitian para peneliti PSTA-LAPAN yang mengambil tema tentang kualitas udara dan komposisi atmosfer Indonesia. Makalah pertama berjudul “Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium Di Sebagian Wilayah Jawa Timur Tahun 2009” ditulis oleh Dessy Gusnita. Tulisan ini membahas pengaruh penggunaan premium pada emisi pencemar udara. “Pengaruh Letusan Gunung Berapi Terhadap Variabilitas Ozon Dan SO2 Di Pulau Jawa” ditulis oleh Ninong Komala dkk. Tulisan ini mengkaji bahwa sumber alami seperti letusan gunung api juga berkontribusi terhadap kualitas udara dan komposisi atmosfer. “Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical (HO2) Di Indonesia Hasil Pengukuran MLS Aura” yang ditulis oleh Novita Ambarsari dkk. Tulisan ini mengkaji bahwa atmosfer Indonesia juga mengandung HO2 yang berpotensi merusak lapisan ozon dan berpengaruh pada kualitas udara Indonesia. “Analisis Transpor Uap Air (H2O) Atmosfer di Benua Maritim Indonesia” yang ditulis oleh Indah Susanti. Tulisan ini menganalisis H2O sebagai salah satu penyusun komposisi iv
Kata Pengantar
atmosfer dan hubungannya dengan proses kejadian hujan di Indonesia. “Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Pada Emisi CH4dan Potensinya pada Pemanasan Global” ditulis oleh Lilik Slamet S. Tulisan ini menganalisis besarnya emisi CH4 jika musim tanam gagal dan pengaruhnya pada pemanasan global. “Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+, Dan K+ Di Indonesia (2001-2008)” ditulis oleh Tuti Budiwati. Tulisan ini menganalisis kecenderungan konsentrasi ion alkali yang terkandung dalam atmosfer Indonesia dari waktu ke waktu. “Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top Of Atmosphere (TOA)” ditulis oleh Rosida dkk. Tulisan ini mengkaji perubahan radiasi matahari yang diterima di puncak atmosfer ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan mengemisikan polutan udara yang berakibat terjadinya penurunan radiasi matahari. “Aplikasi WRPlot Untuk Menggambarkan Concentration Rose Sebagai Kajian Distribusi PM10 di Cekungan Bandung” ditulis oleh Sumaryati. Tulisan ini mengkaji penggunaan WRplot untuk menunjukkan penyebaran polutan udara. Tulisan terakhir mengenai Analisis Pola Harian Energi Matahari dan Kelembaban di Palembang tahun 2010-2013 yang ditulis oleh Saipul Hamdi dkk. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para penulis yang telah dengan tekun mengikuti seluruh tahap pembuatan buku bunga rampai ini dan juga kepada Kepala Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer LAPAN dan jajarannya yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini. Walaupun buku bunga rampai ini telah selesai digarap, tetapi kami menyadari akan banyaknya kekurangan. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami mohon maaf dan kami juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk meningkatkan kualitas penelitian dan penulisan buku sejenis di kemudian hari. Akhirnya kami berharap semoga buku bunga rampai ini dapat menambah wawasan dan pemahaman akan ilmu pengetahuan khususnya komposisi atmosfer serta kualitas udara. Selamat membaca.
Bandung, Desember 2014 Dewan Redaksi
v
Daftar isi
DAFTAR ISI
Dari Penerbit Kata Pengantar Daftar isi 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
iii iv vi
ESTIMASI EMISI PENCEMAR UDARA BERDASARKAN KONSUMSI PREMIUM DI SEBAGIAN WILAYAH JAWA TIMUR TAHUN 2009 Dessy Gusnita
1
PENGARUH LETUSAN GUNUNG BERAPI TERHADAP VARIABILITAS OZON DAN SO2 PULAU JAWA Ninong Komala, Novita Ambarsari, Toni Samiaji, Mulyono
15
PROFIL VERTIKAL HYDROPEROXYL RADICAL (HO2) DI INDONESIA HASIL PENGUKURAN MLS AURA Novita Ambarsari, Fanny Aditya Putri, dan Ninong Komala
30
ANALISIS TRANSPOR UAP AIR ATMOSFER DI BENUA MARITIM INDONESIA Indah Susanti
41
PENGARUH KEGAGALAN MUSIM TANAM PADI PADA EMISI METANA (CH4) DAN POTENSINYA PADA PEMANASAN GLOBAL Lilik Slamet S. KECENDERUNGAN TEMPORAL DEPOSISI Na+, Mg2+ DAN K+ DI INDONESIA (2001-2008) Tuti Budiwati, Wiwiek Setyawati, Emalya Rachmawati dan Dyah Aries Tanti ANALISIS SPASIAL PERUBAHAN RADIASI DI TOP OF ATMOSPHERE (TOA) Rosida dan Indah Susanti
vi
57
71
89
Daftar isi
8.
9.
APLIKASI WRPLOT UNTUK MENGGAMBARKAN CONCENTRATION ROSE SEBAGAI KAJIAN DISTRIBUSI PM10 DI CEKUNGAN BANDUNG Sumaryati ANALISIS POLA HARIAN ENERGI MATAHARI DAN KELEMBABAN DI PALEMBANG (2°59'51" LS, 104°46'26" BT) TAHUN 2010-2013 Saipul Hamdi dan Sumaryati
vii
100
111
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
ESTIMASI EMISI PENCEMAR UDARA BERDASARKAN KONSUMSI PREMIUM DI SEBAGIAN WILAYAH JAWA TIMUR TAHUN 2009 Dessy Gusnita Bidang Komposisi Atmosfer-LAPAN Email:
[email protected] ABSTRAK Provinsi Jawa Timur dengan ibukota Provinsi Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, mengalami kemajuan cukup pesat di berbagai sektor. Pertumbuhan perekonomian serta pembangunan yang cukup tinggi di kota Surabaya tentunya meningkatkan pula konsumsi premium sebagai sumber pembangkit listrik sektor industri, transportasi maupun domestik. Pada makalah ini akan diestimasi emisi gas pencemar baik Karbon monoksida (CO), NOx, hidrocarbon (HC), SO2 maupun CO2 yang dihasilkan dari konsumsi premium di Provinsi Jatim. Data yang dianalisa adalah data konsumsi premium tahun 2009 yang berasal dari PERTAMINA Region V kota Surabaya. Metode yang digunakan menggunakan perhitungan estimasi jumlah pencemar udara yang dihasilkan selama tahun 2009. Dari hasil perhitungan estimasi diperoleh hasil emisi CO, NOx, HC, SO2 dan CO2 tertinggi adalah di kota Madiun dengan nilai berurutan sebagai berikut: 54,4 ton/tahun; 1,5 ton/tahun; 2,11 ton/tahun; 0,08 ton/tahun dan 458,64 ton/tahun. Sedangkan nilai beban emisi pencemar udara terendah dihasilkan dari konsumsi premium untuk Kabupaten Bangkalan. Kata kunci: Pencemar udara, CO, NOx, HC, CO2 ABSTRACT The East Java province with the capital of Surabaya province as the biggest city of the two in Indonesia, experienced the quite fast progress in various sectors. The growth of the economy as well as the development that high enough in the Surabaya city definitely increasing consumption of gasoline as the source of the generator of sector electricity industry, transportation and domestic. This paper will estimated emissions of pollutant gas CO, HC, SO2, NOx and CO2 that was produced from consumption of fossil fuel in the East Java province. The data that was analyzed was the consumption data of gasoline in 2009 that came from PERTAMINA Region V the Surabaya city. The method that was used the formulation to estimate number of air pollutants that was 1
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
produced during 2009. From results of estimation calculation emissions CO, NOx, HC, SO2 and CO2 highest was in Madiun city with the value as follows: 54,4 ton/ year; 1,5 ton/year; 2,11 ton/ year; 0,08 ton/year and 458,6 ton/year.Whereas the lowest value emissions of the air pollutant in produced in the Bangkalan regency. Keywords: Air pollution, CO, NOx, HC,CO2, SO2 1
PENDAHULUAN Penggunaan premium baik disektor industri, transportasi, maupun domestik menimbulkan pencemaran udara yang semakin besar, terutama di kota-kota besar. Hal ini masih belum bisa ditangani secara optimal. Dampak pencemaran udara, khususnya emisi buang yang dihasilkan baik dari kendaraan bermotor maupun kegiatan industri tidak sepenuhnya dapat dibuktikan karena bersifat kumulatif. Dampak daripada penggunaan premium tersebut selain meningkatkan buangan polutan udara, juga berdampak terhadap peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK) (IPCC,2006). Meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer secara global akibat kegiatan manusia menyebabkan sinar matahari yang dipantulkan kembali oleh permukaan Bumi ke angkasa sebagian besar terperangkap di dalam Bumi akibat terhambat oleh GRK (Streets, 2000). Penggunaan premium dalam motor bakar akan selalu mengeluarkan senyawa-senyawa berbahaya seperti CO (karbon monoksida), THC (Total Hidro Karbon), TSP (debu), NOx (oksidaoksida nitrogen) dan SOx (oksida-oksida sulfur). Premium yang dibubuhi TEL (Tetra Ethyl Lead) akan mengeluarkan timbal (Pb). Seperti kita ketahui jumlah kendaraan yang semakin meningkat sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan ekonomi di perkotaan berdampak besar terhadap konsumsi premium yang semakin meningkat. Gas-gas pencemar udara seperti CO, SO2 dan NOx dan CO2 akibat pemakaian premium oleh kendaraan bermotor akan semakin meningkat pula sehingga dapat menurunkan kualitas udara yang sangat membahayakan bagi manusia (Suyono Dikun, 2003). Penelitian yang berkaitan dengan estimasi emisi pencemar udara telah dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia. 2
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
Antara lain oleh Lestari Puji, Adolf (2008) menunjukkan bahwa di Bandung, kontribusi emisi CO2paling besar diberikan oleh kategori kendaraan penumpang yaitu sebesar 66%, pola tersebut mirip dengan pola hidup masyarakat Jakarta yang lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi. Penelitian Yusratika dan Lestari tahun 2008 menunjukkan bahwa beban emisi CO2 di Jakarta yang dihasilkan oleh konsumsi BBM sebesar 8,69x 106 ton/tahun, yang umumnya berasal dari penggunaan kendaraan pribadi. Menurut Setyorini (2005), saat ini meningkatnya kegiatan industri dan transportasi telah menjadi permasalahan tersendiri bagi kualitas udara di Kota Surabaya dan sekitarnya. Masalah pencemaran udara pada area transportasi menjadi lebih dominan, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius. Pencemaran udara pada area transportasi dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi kegiatan yaitu kegiatan transportasi kota. Transportasi merupakan salah satu sektor indikatif yang sangat berperan dalam pembangunanmenyeluruh. Namun dalam perkembangannya transportasi berdampak pada lingkungan dalam cakupan spasial dan temporal yang besar. Demikian juga industri tidak sedikit menyumbang pencemar dan GRK yang besar pengaruhnya terhadap lingkungan. Makalah ini bertujuan untuk mengestimasi beban emisi polutan yang dihasilkan dari penggunaan premium di sebagian wilayah provinsi di Jawa Timur tahun 2009, hal ini disebabkan karena keterbatasan data yang diberikan oleh Pertamina Jatim. Parameter polutan yang akan diestimasi terdiri dari Karbon monoksida (CO), NOx, Hidrokarbon (HC), SO2 dan CO2. Kajian didasarkan pada hasil perhitungan rumus estimasi beban pencemarpada persamaan 1, dengan berdasarkan konsumsi premium di sebagian wilayah di Provinsi Jawa Timur. Makalah ini diharapkan dapat memberi masukan untuk memperbaiki kualitas lingkungan udara khususnya di Provinsi Jawa Timur 2 2.1
DATA DAN METODOLOGI Data Dalam penelitian ini akan dilakukan estimasi emisi beban pencemar udara di Provinsi Jawa Timur. Data yang digunakan bersumber dari PERTAMINA Region V Surabaya yaitu data 3
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
konsumsi premium selama tahun 2009 di Provinsi Jawa Timur. Mengingat keterbatasan data premium, maka pada tulisan ini kami hanya dapat menganalisa data konsumsi premium di sebagian wilayah di Provinsi Jawa Timur selama tahun 2009. Dari data konsumsi premium tersebut selanjutnya dilakukan perhitungan estimasi emisi polutan untuk parameter NOx, HC, CO, SO2, dan CO2. Selanjutnya dilakukan analisa menggunakan software Arc view 3,2 untuk membuat peta spasial beban emisi pencemar udara di kota-kota di Provinsi Jatim. 2.2
Metodologi Pengukuran langsung kualitas dan aliran emisi dari suatu kegiatan tidak praktis ataupun tidak mungkin untuk dilakukan terhadap setiap sumber pencemar. Apalagi pengukuran langsung terhadap kendaraan bermotor yang jumlahnya mencapai jutaan. Oleh karena itu dirumuskan suatu pendekatan untuk memperkirakan besarnya beban pencemar dengan menggunakan persamaan dasar berikut: Beban pencemar = ƒ { Intensitas kegiatan, Faktor emisi} Kemudian berdasarkan bagaimana data intensitas kegiatan tersebut direpresentasikan, maka beban pencemar dari kendaraan bermotor dapat diperkirakan dengan pendekatan berikut (Soedomo, 2001): n
Ei = Σ Vol l x FE i,l x 103…… 1) l=i dimana : Ei = Voll = FEi,l =
Beban pencemar untuk polutan i (ton/tahun) Konsumsi bahan bakar tipe 1(kiloliter/tahun) Besarnya polutan i yang diemisikan dari setiap (liter) pengunaan bahan bakar tipe 1 (g/liter bahan bakar)
Berdasarkan persamaan 1 di atas, premium digolongkan bahan bakar tipe 1, karena beberapa sifat yang dimilikinya antara lain tingkat kekentalan premium yang lebih encer dibandingkan solar (tipe 2), sifat volatile premium yang lebih tinggi serta sifat toksik yang ditimbulkannya (NOAA. Gov). Sedangkan nilai faktor emisi yang digunakan untukmengestimasi beban emisi polutan dari konsumsi premium 4
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
berdasarkan pada aturan Kementrian Lingkungan Hidup RI, yang disajikan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1.
Faktor Emisi beberapa Lingkungan Hidup).
Bahan Bakar Premium (kg/ton) Solar (kg/ton)
polutan(Sumber:
CO
NOx
HC
377 43,5
10,3 11
14,5 26
Kemen
TSP
SO2
CO2
2 2,4
0,54 19
3150 3150
3 3.1
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pada Gambar 1 menyajikan data konsumsi premium di Provinsi Jawa Timur selama Bulan Januari-Desember tahun 2009. Selanjutnya dari data konsumsi premium tersebut dilakukan estimasi emisi dengan menggunakan persamaan 1. Nilai estimasi emisi tersebut kemudian disajikan dalam bentuk peta spasial yang disajikan pada Gambar 2-Gambar 6. Hasil estimasi pencemar di Provinsi Jatim tahun 2009 berdasarkan konsumsi premium dilakukan terhadap lima (5) parameter pencemar udara yaitu: Hidrokarbon (HC), SO2, CO2, CO, dan NOx. Sedangkan Gambar 7 menyajikan estimasi emisi 5 parameter polutan berdasarkan konsumsi bulanan premium di Provinsi Jawa Timur selama bulan Januari hingga Desember 2009.
kiloliter
Konsumsi Premium 350 300 250 200 150 100 50 -
Gambar 1.
kiloltr
Konsumsi Premiumdi Provinsi Jawa Timur selama tahun 2009. 5
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
Pada Tabel 2 disajikan konsumsi premium di Kabupaten dan Kodya Jatim selama tahun 2009, selanjutnya dari data tersebut akan dilakukan perhitungan estimasi emisi menggunakan persamaan 1 dan selanjutnya dibuat peta spasial emisi di wilayah Jatim. Tabel 2.
Konsumsi Premium di Kabupaten dan Kodya Prop. Jatim (Sumber: Pertamina UPMS V Surabaya). Wilayah Konsumsi Premium (kiloliter) Kab. Bangkalan 20 Kab. Banyuwangi 51 Kab. Gresik 35 Kab. Jember 138 Kab. Kediri 40 Kab. Lumajang 104 Kab. Madiun 208 Kab. Magetan 112 Kab. Malang 94 Kab. Ngawi 11 Kab. Pasuruan 128 Kab. Probolinggo 48 Kab. Situbondo 75 Kodya Surabaya 147
Berdasarkan data dari Tabel 2 yang berisi konsumsi premium untuk beberapa wilayah di Jawa Timur tersebut, selanjutnya dihitung estimasi emisi pencemar udara yang terdiri dari hidrokarbon, SO2, CO2, CO dan NOx dengan menggunakan persamaan 1. Selanjutnya dibuat peta spasial estimasi emisi di Provinsi Jawa Timur yang disajikan pada Gambar 2 - Gambar 6. Berdasarkan Tabel 3 disajikan daftar industri dan agen premium yang terdapat di beberapa wilayah di Provinsi Jatim untuk melengkapi industri pengguna premium di sebagian wilayah Jatim. Tabel 3.
Daftar industri dan agen premium di beberapa wilayah di Jawa Timur(Sumber: Pertamina UPMS V Surabaya).
Wilayah Kab. Bangkalan Kab. Banyuwangi Kab. Gresik
Sektor
Nama Perusahaan
Agen premium Industri
PT. CAHAYA MADURA KHARISMA
Industri Agen premium Industri
KANGEAN ENERGY INDONESIA LTD PT. SUMBER KURNIA MANDIRI
6
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
(lanjutan Tabel 3) Kab. Jember
Industri
PT. PERK NUSANTARA X PT. PERK NUSANTARA XI
Kab. Kediri
Industri
PT. GUDANG GARAM TBK
Kab. Lumajang
Industri
PT. PERK NUSANTARA XI
Kab. Madiun
Industri
PT. PERK NUSANTARA XI
Kab. Magetan
Industri
PT. PERK NUSANTARA XI
Kab. Malang
Industri
PT. MOLINDO RAYA INDUSTRIAL
Kab. Ngawi
Industri Agen premium Industri
PT. PERK NUSANTARA XI
Kab. Pasuruan
PT. CAHAYA BINGHAR SENTOSA PT. TULUS BAHAGIA
Industri
PT. EKA PRIMA RUBBERINDO
Kab. Probolinggo
Industri
PT. PERK NUSANTARA XI
Kab. Situbondo
Industri Agen premium Industri
PT. PERK NUSANTARA XI
Kodya Surabaya
PT. SUMBER KURNIA MANDIRI PT. TULUS BAHAGIA
Industri
PT. SOLIHIN JAYA INDUSTRI
Setelah dihitung maka hasil estimasi emisi pencemar udara di beberapa wilayah di Provinsi Jatim selanjutnya dibuat peta spasialnya. Berdasarkan Gambar 2 disajikan peta estimasi emisi polutan hidrokarbon yang berdasarkan pada konsumsi premium tahun 2009 di Provinsi Jawa Timur. Estimasi Emisi HC
Gambar 2.
Estimasi Emisi Hidrokarbon (HC) di Provinsi Jawa Timur berdasarkan konsumsi premium tahun 2009.
7
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
Berdasarkan Gambar 3 disajikan peta estimasi emisi polutan SO2 yang berdasarkan pada konsumsi premium di Jawa Timur pada tahun 2009. Estimasi Emisi SO2
Gambar 3.
Estimasi Emisi SO2 di Provinsi Jawa Timur berdasarkan konsumsi premiumtahun 2009.
Berdasarkan Gambar 4 disajikan estimasi emisi polutan CO2 yang dihitung berdasarkan pada konsumsi premium tahun 2009 di Jawa Timur. Estimasi Emisi CO2
Gambar 4.
Estimasi Emisi CO2 di Provinsi Jawa Timur berdasarkan konsumsi premiumtahun 2009.
Berdasarkan Gambar 5 disajikan estimasi emisi polutan CO2 yang dihitung berdasarkan konsumsi premium tahun 2009 di Jawa Timur.
8
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
Estimasi Emisi NOx
Gambar 5.
Estimasi Emisi NOx di Provinsi Jawa Timurberdasarkan konsumsi premium tahun 2009.
Berdasarkan Gambar 6 disajikan estimasi emisi polutan CO yang didasarkan pada konsumsi premium tahun 2009 di Jawa Timur. Estimasi Emisi CO
Gambar 6.
Estimasi Emisi CO di Provinsi Jawa Timur berdasarkan konsumsi premiumtahun 2009.
Berdasarkan data konsumsi premium selama bulan Januari hingga Desember 2009 yang disajikan pada Tabel 3 selanjutnya dilakukan perhitungan estimasi emisi bulanan konsumsi premium selama tahun 2009 di Provinsi Jawa Timur. Perhitungan estimasi emisi masih menggunakan persamaan 1 diatas. Gambar selengkapnya estimasi emisi 5 parameter polutan yaitu emisi CO, CO2, HC, SO2 dan NOx dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
9
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
800
Ton/thn
Emisi CO
CO2
600 400 200
Januari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
-
4 3 2 1 0
0.150 Ton/thn
Emisi HC
SO2
0.100 0.050 Januari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Januari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Ton/thn
Januari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Ton/thn
100 80 60 40 20 -
2.5
Ton/thn
2
Emisi NOx
1.5 1 0.5 0
Gambar 7.
Nilai Estimasi Emisi Polutan berdasarkan konsumsi Premium di Provinsi Jatim bulan Januari-Desember 2009.
Berdasarkan Gambar 7 tersebut dapat diketahui jumlah emisi masing-masing polutan tersebut dari bulan Januari hingga Desember 2009 dalam satuan ton/tahun. 3.2
Pembahasan Perhitungan estimasi emisi pencemar udara dan GRK di Provinsi Jawa Timur dilakukan dengan menggunakan persamaan 1. Selanjutnya dari nilai estimasi tersebut dimasukkan pada peta dengan menggunakan software Arc view 3.2 untuk setiap wilayah 10
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
dan setiap parameter polutan. Peta estimasi emisi pencemar udara di Provinsi Jawa Timur disajikan pada Gambar 2 s.d 6. Berdasarkan Gambar 1 disajikan grafik konsumsi premium di Jatim selama tahun 2009 dari bulan Januari hingga Desember. Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa konsumsi premium tertinggi pada bulan Desember 2009 dengan jumlah pemakaian sebanyak 315 kiloliter, kemudian dilanjutkan pada bulan Agustus jumlah konsumsi premium sebanyak 260 kiloliter. Dengan jumlah total pemakaian premium selama tahun 2009 sebanyak 2748 kiloliter. Angka tersebut digunakan di sejumlah kota yang ada di Provinsi Jawa Timur. Konsumsi premium terbanyak di kota Madiun sebanyak 208 ribu kiloliter. Kota kedua yang mengkonsumsi premium terbesar di Jatim adalah kota Surabaya sebesar 147 ribu kiloliter/tahun 2009. Pemakaian total premium di Kota Surabaya umumnya di sektor industri dan transportasi (Setyorini, 2005). Berdasarkan data konsumsi premium tersebut akan dilakukan estimasi emisi untuk setiap pencemar udara yang terdiri dari HC, CO2, SO2, NOx dan CO dengan menggunakan perumusan 1 yang disebutkan pada metodologi. Karena pengukuran langsung kualitas dan aliran emisi dari suatu kegiatan tidak praktis ataupun tidak mungkin untuk dilakukan terhadap setiap sumber pencemar. Apalagi pengukuran langsung terhadap kendaraan bermotor yang jumlahnya mencapai jutaan. Sehingga pendekatan estimasi emisi di Provinsi Jawa Timur didasarkan pada data konsumsi premium saja. Hasil estimasi beban pencemar hidrokarbon (HC) di Jawa Timur pada tahun 2009 disajikan pada Gambar 2. Hasil estimasi menunjukkan bahwa beban pencemar hidrokarbon tertinggi di kota Madiun yaitu sebesar 2,11 ton/tahun, kemudian di kota Surabaya sebesar 1,5 ton/tahun. Berdasarkan Tabel 3 bahwa pengguna terbesar premium di kota Madiun ini adalah PT. Perkebunan XI yang cukup banyak mengkonsumsi premium. Selain itu faktor transportasi di kota Madiun yang juga menyumbang emisi yang cukup besar. Sumber terbesar hidrokarbon kedua berasal dari industri yang banyak terdapat di kota Surabaya. Hidrokarbon adalah salah satu sumber energi paling penting di Bumi. Penggunaan yang utama adalah sebagai sumber bahan bakar. Dalam bentuk padat, hidrokarbon adalah 11
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
salah satu komposisi pembentuk aspal. Total beban emisi polutan HC di Provinsi Jawa Timur sebesar 13,1 ton/tahun selama tahun 2009. Berdasarkan Gambar 3 disajikan beban emisi SO2 di Jawa Timur, dimana beban emisi tertinggi di kota Madiun sebesar 0,08 ton/tahun. Sumber emisi SO2 bukan hanya berasal dari bahan bakar minyak yang dikonsumsi oleh industri atau kendaraan bermotor, tetapi juga banyak disumbang oleh pelumas yang digunakan pada kegiatan tersebut. Sedangkan emisi SO2 terendah terdapat di kota Bangkalan yaitu sebesar 0,008 ton/tahun. Jadi total beban emisi polutan SO2 di Jawa Timur sebesar 0,04 ton/tahun selama tahun 2009. Berdasarkan Gambar 4 disajikan beban emisi CO2 beberapa kota di Provinsi Jawa Timur. Hasil estimasi menunjukkan bahwa kota Madiun memiliki beban emisi CO2 sebesar 458,6 ton/tahun sebagai dampak aktivitas industri di kota tersebut. Sedangkan beban emisi CO2 terendah di kota Bangkalan yaitu sebesar 44,1 ton/tahun. Sehingga perlu dilakukan mitigasi emisi CO2, khususnya di kota Madiun antara lain dengan menggiatkan penghijauan yang berfungsi menurunkan emisi CO2 di suatu wilayah. Total beban emisi CO2 di Provinsi Jatim sebesar 2,84 x 103 ton/tahun selama tahun 2009. Berdasarkan Gambar 5 disajikan estimasi emisi polutan NOx di beberapa kota Jawa Timur. Hasil menunjukkan bahwa emisi NOx terbesar juga di kota Madiun sebesar 1,5 ton/tahun, hal ini disebabkan karena konsumsi premium tertinggi selama tahun 2009 di kota Madiun yang yang berasal dari pemakaian oleh PT. Perkebunan XI yang ada di kota tersebut. Di Surabaya beban emisi NOx sebesar 1,06 ton/tahun, hal ini diduga berasal dari konsumsi premium sektor industri dan transportasi karena kota Surabaya saat ini mengalami peningkatan volume kendaraan yang cukup besar sehingga meningkatkan pula konsumsi premium di kota Surabaya. Total beban emisi NOx di Provinsi Jatim sebesar 9,3 ton/tahun selama tahun 2009. Berdasarkan Gambar 6 disajikan emisi polutan CO beberapa kota Provinsi Jawa Timur. Karbon monoksida (CO) merupakan pecemar yang sangat berbahaya bagi manusia karena dapat langsung masuk ke aliran darah dan menyebabkan kematian jika melebihi ambang batas udara ambien. Berdasarkan 12
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
hasil estimasi di diperoleh hasil emisi terbesar terjadi di kota Madiun yaitu sebesar 54 ton/tahun, kemudian di Surabaya sebesar 38 ton/tahun. Total beban emisi CO di Provinsi Jatim sebesar 335 ton/tahun selama tahun 2009. Berdasarkan Gambar 7 disajikan konsumsi premium selama bulan Januari hingga Desember 2009. Konsumsi premium tertinggi pada bulan Desember 2009. Tingginya konsumsi premium pada bulan Desember memberikan kontribusi emisi CO2 dengan jumlah mencapai 700 ton/tahun, emisi CO lebih dari 80 ton/tahun, emisi HC sebesar 3,4 ton/tahun, emisi NOx sebesar 2,25 ton/tahun dan emisi SO2 sebesar 0,13 ton/tahun. Hal ini diduga karena pada bulan Desember semakin tinggi tingkat kegiatan antropogenik di Provinsi Jatim. Selain itu pada bulan Juni-Agustus menurut sumber Pertamina terjadi kenaikan sekitar 6% konsumsi premium akibat pesta demokrasi/pemilupada tahun 2009. Dinas Komunikasi dan informasi Jatim juga menginformasikan terjadi peningkatan kunjungan wisata ke Jatim sebesar 3% karena banyak instansi pemerintah dan swasta yang mengadakan kegiatan di Jatim pada tahun 2009 sehingga hal tersebut cukup menyumbang tingkat konsumsi premium di Jawa Timur. Akibat meningkatnya konsumsi premium tersebut tentu akan meningkatkan emisi polutan di Provinsi Jatim. 4
KESIMPULAN Berdasarkan analisa data konsumsi premium di Provinsi Jawa Timur maka disimpulkan bahwa konsumsi premium terbesar di kota Madiun, hal ini diduga karena adanya aktivitas industri pengguna premium yang cukup besar, sedangkan konsumsi premium terendah di Kabupaten Bangkalan. Semakin tinggi konsumsi premium di suatu daerah, maka beban emisi polutan udara CO, NOx, SO2, HC dan CO2 akan semakin meningkat. Sedangkan berdasarkan konsumsi premium selama bulan Januari-Desember 2009, diketahui bahwa pemakaian premium tertinggi terjadi pada bulan Desember sehingga konsekwensinya pada bulan Desember 2009 ini emisi polutan pun meningkat. Dari lima parameter polutan yang dihitung, maka beban emisi terbesar adalah CO2 dan beban emisi polutan paling rendah adalah SO2. Untuk itu perlu dilakukan mitigasi emisi beban pencemar udara di kota Madiun khususnya serta kota 13
Estimasi Emisi Pencemar Udara Berdasarkan Konsumsi Premium (Dessy Gusnita)
lainnya di Provinsi Jawa Timur. Upaya-upaya Pemerintah Daerah yang sebaiknya dilakukan antara lain dengan meningkatkan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dapat berfungsi sebagai penyerap polusi udara sangat dibutuhkan, terutama di wilayah yang padat aktivitas industri serta memiliki kepadatan transportasi yang tinggi. DAFTAR RUJUKAN D.G Streets, 2000: Present and future emissions of air pollutants in China: SO2, NOx, and CO, J. Atmos environment, 34, 363-374. Dikun, Suyono, 2003: Transportation in New Global Era : Linking Asia Through Better Transportation. 5th EASTS International Conference. Fukuoka. Japan. IPCC, 2006: General Guidance and Reporting. Journal of IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, 1, 1. Lestari, Puji dan Adolf, S., 2008: Emission Inventory of GHGs of CO2 and CH4 From Transportation Sector Using Vehicles Kilometer Travelled (VKT) and Fuel Consumption Approaches in Bandung City. J. Better Air Quality, 159. Panal, Sitorus., 2008: Penanggulangan pencemaran Udara dari transportasi darat.J. Tekno Sipil, 20, 11. www.ftsl.itb.ac.id/.../PI-AP2-Yusratika-Nur-15305026 di unduh Maret 2014 : Yusratika, Nur., Puji Lestari, 2008: Inventory GRK dari transportasi di DKI Jakarta berdasarkan konsumsi bahan bakar. Soedomo, Moestikahadi, 2001: Pencemaran Udara. Bandung: Penerbit ITB. Titin, Setyorini., 2005: Sistem transportasi Surabaya dalam rangka pengendalian pencemaran udara. Jurnal rekayasa perencanaan I, 2, 10. www.NOAA.GOV/oil-and-chemical-spills/oil-types.html, diunduh Oktober 2014.
14
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
PENGARUH LETUSAN GUNUNG BERAPI TERHADAP VARIABILITAS OZON DAN SO2 PULAU JAWA Ninong Komala, Novita Ambarsari, Toni Samiaji, Mulyono Bidang Komposisi Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Jl.Dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 Telp. (022)6037445, 6012602; Fax. (022) 6037443 e-mail :
[email protected];
[email protected] ABSTRAK Penelitian pengaruh letusan Gunung Merapi terhadap variabilitas ozon dan SO2 Pulau Jawa merupakan bagian dari penelitian analisis komposisi atmosfer Pulau Jawa. Penelitian ini berbasis data satelit AURA yang membawa sensor Ozone Monitoring Instruments (OMI) periode 2004-2012 dengan tujuan untuk menginvestigasi karakteristik ozon dan SO2 sebagai dampak letusan gunung berapi di Pulau Jawa. Pokok bahasan dalam makalah ini adalah dampak letusan Gunung Merapi serta keterkaitannya dengan kondisi ozon dan SO2 di Pulau Jawa. Dengan menganalisis pola tahunan, musiman serta melakukan analisis statistik keterkaitan ozon dan SO2 dengan kejadian letusan Gunung Merapi diperoleh karakteristik ozon dan SO2 yang mengalami perubahan pola tahunan serta diperoleh prosentase penurunan ozon karena meningkatnya SO2 dari peristiwa letusan Gunung Merapi. Hasil analisis menunjukkan bahwa prosentase pengaruh letusan Gunung Merapi terhadap penurunan ozon di atmosfer Pulau Jawa yaitu ozon berkurang ~ 30 DU ( ~10 %). Penurunan ozon terjadi pada bulan Desember 2010 sampai Juni 2011 atau setelah 2 bulan – 6 bulan peristiwa letusan Gunung Merapi terjadi. Kata kunci : ozon, SO2, gunung berapi, Pulau Jawa ABSTRACT Study the effect of volcanic eruptions in this case the Merapi eruption on the variability of ozone and SO2 Java is part of the study analyzes the impact of atmospheric composition in Jawa due to volcano eruption. This research-based on OMI AURA satellite data. The objective is to investigate the characteristics of ozone and SO2 affected by volcanic eruptions as well as the relationship of ozone with SO2 in Java. The data used is based on the ozone and SO2 AURA-OMI satellite data from 2004 to 2012. By analyzing the pattern of annual, seasonal, and perform statistical analysis of ozone and SO2 in association with the incidence of acquired characteristics of ozone and SO2 annual pattern changes. 15
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
The percentage of decrease in ozone due to increased of SO2 from volcanic events in Java is also obtained. The results show that percentage effect of volcanic eruptions on ozone depletion in the atmosphere Ozone Java is reduced by ~30 DU (~ 10 %). The decrease in ozone occurs on December 2010 to June 2011 or after 2-6 months volcanic eruption events occur. Keywords: ozone, SO2, volcanic, Java Island
1
PENDAHULUAN Letusan gunung berapi dapat mengeluarkan aerosol, H2O, N2, CO2, SO2 dan H2S. Reaksi heterogen senyawa yang dihasilkan letusan gunung berapi seperti Merapi dapat menyebabkan penipisan lapisan ozon. Aerosol dari letusan gunung berapi dapat mencapai troposfer dan life time aerosol di troposfer bisa mencapai 1 minggu hingga 3 minggu. Bila letusannya sangat hebat, aerosol yang dihasilkan bisa mencapai ke lapisan startosfer. Aerosol yang mencapai statosfer mempunyai life time yang panjang yaitu satu sampai tiga tahun yang berdampak pada menurunnya temperatur di permukaan Bumi. Letusan gunung berapi dapat berpengaruh juga terhadap ozon, efek rumah kaca dan efek haze (kabut). Pengaruh terhadap ozon dari asam Halida (HCl) terbukti efektif dalam merusak ozon tetapi kebanyakan penyebaran HCl vulkanik hanya terbatas di troposfer yang keberadaannya mudah dilarutkan oleh air hujan. Data satelit setelah letusan Gunung Pinatubo (Filipina, 1991) dan Gunung Hudson (Chili, 1991) memperlihatkan penurunan ozon sebanyak 15% ~ 20% di lintang tinggi, dan lebih dari 50% di Antartika. Karena itu, letusan Gunung Merapi mempunyai peranan yang penting dalam penipisan lapisan ozon, Bluth, et.al. (1997) menyebutkan bahwa injeksi sulfur ke stratosfer dan konversi menjadi aerosol sulfat dipercaya dapat menurunkan radiasi sinar matahari yang masuk serta menyebabkan penguraian ozon di stratosfer melalui serangkaian reaksi kimia tertentu. Peningkatan konsentrasi aerosol sulfat secara tidak langsung menyebabkan klorin dan bromine reaktif lebih banyak diproduksi yang menyebabkan terjadinya penipisan ozon. Efek rumah kaca dari CO2 karena letusan Gunung Merapi dapat menaikkan tingkat pemanasan global dengan penambahan 16
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
CO2 ke atmosfer. Jumlah gas yang banyak mengandung sulfur diduga mempunyai peran yang lebih penting karena sulfur yang berkombinasi dengan uap air di stratosfer membentuk awan padat yang terdiri dari sulfuric acid droplets (tetesan-tetesan asam sulfat). Tetesan-tetesan asam sulfat ini baru dapat terurai dalam jangka waktu tahunan dan mampu menurunkan suhu troposfer karena akan mengabsorbsi radiasi matahari dan akan dihamburkan balik ke angkasa (Robock, 2000; Czopak, 2012). Gunung Merapi di Pulau Jawa, Indonesia adalah salah satu gunung berapi paling aktif dan berbahaya di dunia. Hal ini dikenal dengan seringnya terjadi letusan kecil sampai sedang. Aliran piroklastik yang dihasilkan oleh runtuhnya kubah lava dan populasi yang besar menetap di sekitar sisi-sisi gunung berapi. Perilaku biasa dari Gunung Merapi selama sepuluh tahun terakhir tiba-tiba berubah di akhir Oktober dan awal November 2010 ketika Gunung Merapi menghasilkan letusan yang terbesar dan paling eksplosif dilebih dari satu abad, menggusur sepertiga dari satu juta orang dan mengklaim hampir 400 korban jiwa. Hasil penelitian ilmiah Oktober-November 2010, yang merupakan hasil ilmiah pertama dari letusan terbesar dalam 100 tahun Gunung Merapi menunjukkan bahwa pada tahun 2010 tersebut, emisi gas jauh lebih tinggi dari pada yang tercatat dari Merapi selama letusan masa lalu. Peringatan dini terjadinya letusan Gunung Merapi oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi CVGHM Indonesia dan tim International dapat menyelamatkan 10,000-20,000 nyawa (Surono dkk., 2012) Penelitian keterkaitan perubahan iklim terhadap penipisan lapisan ozon stratosfer dan injeksi SO2 akibat letusan Gunung Merapi merupakan bagian dari rangkaian penelitian tahun 20132014yang merupakan salah satu sasaran Bidang Komposisi Atmosfer juga merupakan langkah untuk menunjang dan merealisir penelitian pengembangan komposisi atmosfer di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh karakteristik ozon dan SO2 yang dihasilkan dari letusan Gunung Merapi di Pulau Jawa. Pengaruh letusan Gunung Merapi terhadap perubahan ozon dan SO2, serta keterkaitan antara ozon stratosfer dengan SO2. Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diperolehnya karakteristik ozon dan SO2 yang dihasilkan dari letusan Gunung Merapi, 17
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
diperolehnya prosentase pengaruh SO2 dari letusan Gunung Merapi terhadap perubahan ozon di atmosfer Pulau Jawa dan keterkaitan antara ozon total dengan SO2 dari letusan Gunung Merapi. Dengan hipotesis kejadian letusan Gunung Merapi akan mempengaruhi pola tahunan ozon total dan SO2 di Pulau Jawa dan kondisi ozon total (kolom ozon) di Pulau Jawa akan mengalami penurunan bila terjadi peningkatan konsentrasi SO2 dari letusan Gunung Merapi. 2 2.1
DATA DAN METODE Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari satelit AURA-OMI, yaitu data ozon stratosfer, kolom SO2 di Planetary Boundary Layer (PBL) dan SO2 di troposfer berupa data harian. Periode data tahun 2004-2012 (http://toms.gsfc.nasa.gov/omi) dengan wilayah cakupan Pulau Jawa. 2.2
Metode Data yang diperoleh dari satelit AURA dengan sensor OMI adalah data skala global untuk ozon total, SO2 di lapisan PBL dan SO2 di lapisan troposfer tengah (middle troposphere). Dengan grid berukuran 0,25° x 0,25° cakupan data adalah 180.0° BB sampai 180.0° BT dan dari 90.0° LU sampai 90.0° LS. Kemudian dilakukan ekstrak data untuk wilayah Pulau Jawa (5,5ºLS – 8,75 LS dan 105 ºBT-115 ºBT), dengan periode data yang dianalisis adalah data dari tahun 2004 sampai dengan 2012. Dari dataset ozon total, SO2 total di PBL dan troposfer tengah di Pulau Jawa, dilakukan analisis variasi temporal untuk memperoleh variasi musiman, dan tahunan untuk ozon dan SO2. Analisis spasial dilakukan untuk menentukan peta distribusi ozon dan SO2 di wilayah Jawa. Ditentukan pula kondisi ozon total dan SO2 pada saat letusan Gunung Merapi tahun 2010 serta keterkaitan antara ozon dengan SO2. Pengolahan data dengan analisis time series dan spasial. Analisis time series untuk memperoleh variasi musiman dan tahunannya. Analisis korelasi SO2 dengan konsentrasi ozon total di Pulau Jawa untuk menjelaskan pengaruh SO2 akibat dari letusan Gunung Merapi terhadap ozon. 18
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
3 3.1
HASIL Variasi Spasial Ozon Total di Pulau Jawa Variasi Ozon total di Pulau Jawa secara spasial rata-rata tahun 2004 sampai dengan 2012 menunjukkan nilai rata-rata 251,7 DU, standar deviasi 0,5 DU, minimum 250,5 DU dan maksimum 252,5 DU. Hasil analisis spasial ozon total di Pulau Jawa dalam tiap tahunnya dari 2004 sampai 2012 pada Tabel 1 menampilkan nilai rata-rata, standar deviasi, minimum dan maksimum dari ozon total di Pulau Jawa setiap tahun. Dari hasil analisis secara spasial diperoleh bahwa ozon total di Pulau Jawa pada tahun 2007, ozon total rata-rata, minimum dan maksimumnya mempunyai nilai terkecil dibandingkan dengan tahun lainnya.
Gambar 1.
Variasi spasial ozon total Pulau Jawa rata-rata tahun 2004 sampai 2012.
Tabel 1.
Variasi spasial dari tahun 2004 sampai 2012.
Tahun
Ozon Total (DU) Rata-rata
Stdev
Maks
Min
2004
258.3
0.7
259.5
256.5
2005
247.9
1.1
249.3
245.6
2006
254.5
1.2
256.7
251.9
2007
247.0
1.1
248.6
244.6
2008
255.0
1.0
256.9
252.9
2009
249.3
0.8
250.5
247.4
2010
249.3
0.5
250.1
248.1
2011
254.1
0.6
255.4
252.8
2012
250.0
0.9
251.4
248.1
19
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
3.2
Variasi Spasial SO2 Planetary Boundary Layer (PBL) Variasi spasial kolom SO2 di Pulau Jawa pada ketinggian PBL tahun 2004 sd 2012 dapat dilihat pada Gambar 2. SO2 PBL di Pulau Jawa bervariasi dari 0 sampai dengan 5 DU. Dari variasi spasial tahunan diperoleh kondisi SO2 yang fluktuatif pada saat tertentu. Kondisi nilai kolom SO2 yang fluktuatif ini akan dikonfirmasi dengan kejadian letusan Gunung Merapi pada waktu yang terkait dengan terjadinya peningkatan SO2 tersebut.
Gambar 2.
Variasi spasial SO2 di PBL Pulau Jawa rata-rata dari tahun 2004 sampai 2012.
3.3
Variasi Spasial SO2 di Troposfer Tengah (Middle Troposphere) Variasi spasial kolom SO2 di Pulau Jawa pada ketinggian troposfer tengah tahun 2004 sd 2012 dapat dilihat pada Gambar 3. SO2 pada ketinggian troposfer tengah nilainya lebih kecil dari SO2 di PBL yaitu dari 0 sampai dengan ~ 1 DU.
Gambar 3.
Variasi spasial SO2 di troposfer tengah (Mtrop) Pulau Jawa rata-rata dari tahun 2004 sampai 2012. 20
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
Dari variasi spasial tahunannya diperoleh pula kondisi SO2 yang fluktuatif pada saat tertentu seperti yang terjadi di PBL. Kondisi nilai kolom SO2 yang fluktuatif ini diidentifikasi sebagai dampak dari meningkatnya SO2 dari letusan Gunung Merapi yang dapat mencapai troposfer tengah. 3.4
Variasi Temporal Ozon Total di Pulau Jawa Variasi temporal 2004-2012 ozon total di Pulau Jawa seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4, menginformasikan bahwa ozon total di Pulau Jawa bervariasi dari 229,7 DU – 277,7 DU, dengan ozon total rata-rata 251,2 DU dan standar deviasi 7,6 DU.
Gambar 4.
(a) Variasi temporal ozon total Pulau Jawa dan (b) Pola tahunannya tahun 2004 sd 2012.
Pola variasi temporal pada Gambar 4(a) memperlihatkan bahwa pola variasi tahunan pada 2007 menunjukkan puncak terendah dibandingkan dengan pola tahunan ozon total pada tahun yang lain. 3.5
Variasi Temporal SO2 pada Ketinggian PBL Variasi temporal SO2 di PBL tahun 2004-2012 dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5.
(a) Variasi temporal SO2 di PBL Pulau Jawa dan (b) Pola tahunan tahun 2004 sampai dengan 2012. 21
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
Variasi SO2 di PBL Pulau Jawa terlihat hampir konstan. SO2 di PBL Pulau Jawa bervariasi dari 0 sampai dengan 5 DU. Ada kondisi yang fluktuatif pada tahun 2005 awal, tahun 2006 akhir dan pada tahun 2010 akhir yang mencapai hampir 30 DU. Kondisi yang ekstrem pada akhir 2010 ini diinvestigasi berasal dari letusan Gunung Merapi dan akan dikonfirmasi dengan data kejadian letusan Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010. 3.6
Variasi Temporal SO2 pada Ketinggian Troposfer Tengah Variasi temporal SO2 di troposfer tengah (Mtrop) tahun 2004-2012 dapat dilihat pada Gambar 6. SO2 di Mtrop Pulau Jawa bervariasi dari 0 sampai dengan 1 DU.
Gambar 6.
(a) Variasi temporal SO2 di Troposfer tengah Pulau Jawa dan (b) pola tahunan tahun 2004 sampai dengan 2012.
Variasi SO2 di troposfer tengah Pulau Jawa terlihat hampir konstan hanya ada kondisi yang fluktuatif sama dengan yang SO2 yang terdeteksi di ketinggian PBL yaitu pada tahun 2005 awal, tahun 2006 akhir dan pada tahun 2010 akhir dengan konsentrasi SO2 hampir mencapai 5 DU. Kondisi ini sebagai dampak letusan Gunung Merapi pada tahun-tahun tersebut yang dapat terdeteksi sampai ke ketinggian troposfer tengah. 3.7
Kejadian Letusan Gunung Merapi yang Terkait dengan Perubahan Kondisi SO2 Kejadian letusan Gunung Merapi di Pulau Jawa yang terkait dengan perubahan kondisi SO2 di Pulau Jawa khususnya pada saat kejadian letusan Gunung Merapi tahun 2010 dengan data pendukung fluks SO2 seperti terlihat pada Tabel 2. 22
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
PadaGambar 7 ditunjukkan kondisi SO2 pada Oktober 2010 dari data satelit di Pulau Jawa yang memperlihatkan nilai ekstrem fluks SO2 500 ton/hari khususnya tanggal 30 Oktober 2010 bersesuaian dengan terjadinya letusan Gunung Merapi. Tabel 2.Fluks SO2 Gunung Merapi. Waktu Pengukuran 19 21 15 27 29 30
Gambar 7.
Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober
2010 2010 2010 2010 2010 2010
Fluks SO2 Ton/hari 134 244 239 136 367 500
SO2 di Pulau Jawa pada 30 Oktober 2010.
3.8
Ozon total dan SO2 di Pulau Jawa tahun 2010 Pada tahun 2010 terjadi letusan Gunung Merapi di Pulau Jawa yang mengeluarkan SO2 dengan fluks yang tinggi (Tabel 2) yang diduga berdampak terhadap perubahan komposisi atmosfer di Pulau Jawa.
23
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
Gambar 8.
(a) Variasi spasial SO2 di PBL dan (b) di troposfer tengah (Mtrop) Pulau Jawa pada tahun 2010.
Variasi spasial SO2 di PBL dan di troposfer tengah (Mtrop) Pulau Jawa pada tahun 2010 memperlihatkan SO2 yang tinggi baik di PBL maupun di troposfer tengah seperti dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 9.
Variasi spasial ozon total Pulau Jawa pada tahun 2010.
Kondisi ozon total Jawa pada tahun 2010 menunjukkan ozon total minimum 248,07 DU, maksimum 250,09 DU, rata-rata 249,31 DU dengan standar deviasi 0,50 DU. Nilai ozon total pada tahun 2010 tergolong normal untuk ozon wilayah ekuator. Kondisi SO2 dari letusan Gunung Merapi tahun 2010 akan dilihat dampaknya pada ozon total di Pulau Jawa satu tahun sebelum dan sesudah peristiwa letusan terjadi. 24
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
Gambar 10. (a) Variasi temporal tahun 2009 sampai 2011 untuk SO2 di Mtrop, (b) SO2 di PBL dan (c) ozon total Pulau Jawa.
Untuk menganalisis terjadinya perubahan ozon di Pulau Jawa dampak dari letusan Gunung Merapi, maka dibuat analisis time series ozon total Pulau Jawa tahun 2009 sampai dengan 2011 seperti terlihat pada Gambar 10. Perubahan ozon total karena meningkatnya kolom SO2 dari Gunung Merapi dapat dilihat dari deviasi ozon total pada sebelum, saat kejadian dan beberapa lama setelah kejadian letusan Gunung Merapi tersebut terjadi.
25
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
Gambar 11. Ozon total di Pulau Jawa pada saat letusan (Oktober 2010) dan sesudah letusan Gunung Merapi terjadi (Desember 2010 sampai Juni 2011).
Pada Gambar 11 dapat dilihat kondisi ozon di Pulau Jawa pada bulan Desember 2010 dan awal 2011 lebih rendah dari kondisi ozon pada saat kejadian letusan Gunung Merapi (Oktober 2010). Besarnya penurunan ozon di Pulau Jawa dapat dilihat pada Gambar 12. Perubahan ozon total karena meningkatnya kolom SO2 dari Gunung Merapi dapat dilihat dari deviasi ozon total pada sebelum, saat kejadian dan beberapa lama setelah kejadian letusan terjadi. Pada Gambar 11 tersebut memperlihatkan terjadinya penurunan ozon total terhadap kondisi ozon Oktober 2010 di Pulau Jawa berkisar dari 5 DU sampai hampir 30 DU pada Desember 2010 sampai Juni 2011.
Gambar 12. Deviasi penurunan ozon total di Pulau Jawa dalam DU (a) dan dalam prosentase (b).
Bila deviasi dalam satuan DU tersebut dijadikan prosentasi maka persen penurunan ozon yang terjadi di Pulau Jawa dari Desember 2010 sampai dengan Juni 2011 adalah 1 % sampai dengan 10%. 26
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
4
PEMBAHASAN Variasi Ozon total di Pulau Jawa secara spasial dari tahun 2004 sampai dengan 2012, menunjukkan ozon total rata-rata: 249,6 DU, standar deviasi 2,3 DU, minimum 242 DU dan maksimum 255,2 DU. Pada tahun 2007 rata-rata nilai ozon total di Pulau Jawa lebih kecil yaitu 247 DU. Kondisi ozon total di Pulau Jawa ini masih dalam kategori normal untuk ozon total di ekuator yaitu antara 240 DU sampai 270 DU. Variasi ozon total di Pulau Jawa secara temporal mempunyai range 229,7 DU – 277,7 DU. Nilai ozon total terendah terdeteksi 229,7 DU yang lebih kecil dari nilai batas bawah nilai normal yaitu 240 DU. Variasi temporal ozon total pada tahun 2007 juga menunjukkan nilai 247,33 DU yang lebih rendah dari tahun-tahun yang lainnya. Variasi SO2 di PBL Pulau Jawa bervariasi dari 0 sampai dengan 5 DU, dengan kondisi yang fluktuatif seperti pada tahun 2010 karena dampak dari letusan Gunung Merapi yang menunjukkan nilai SO2 di PBL hingga mencapai 30 DU. Variasi SO2 di troposfer tengah di Pulau Jawa juga bervariasi dari 0 sampai dengan 1 DU, nilai SO2 di troposfer tengah lebih kecil dari SO2 di PBL. Terdeteksi juga SO2 yang fluktuatif yang pada akhir tahun 2010 mencapai 5 DU. Sesuai dengan data kejadian meletusnya Gunung Merapi pada tahun 2010, peningkatan ini sebagai dampak dari letusan Gunung Merapi yang sampai ke lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Kondisi SO2 di PBL dan di troposfer tengah yang fluktuatif pada saat tertentu dengan nilai yang lebih lebih tinggi telah dikonfirmasi dengan data letusan Gunung Merapi yang terjadi pada 19 Oktober 2010 sampai dengan 30 Oktober 2010 seperti terlihat pada tabel 2 untuk membuktikan bahwa SO2 tersebut berasal dari letusan Gunung Merapi dapat dilihat dari peningkatan SO2 di PBL dan di troposfer tengah terdeteksi maksimum pada bulan-bulan SON. Pada saat Gunung Merapi meletus SO2 di Pulau Jawa meningkat drastis baik di ketinggian PBL maupun di troposfer tengah. Setelah terjadi letusan besar gunung berapi, beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan konsentrasi ozon seperti yang dijelaskan oleh Textor, et.al. (2003) bahwa setelah Gunung Pinatubo meletus, terdapat penurunan konsentrasi ozon sebesar 2 % di wilayah tropis dan 7 % di daerah lintang tengah. 27
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
SO2 yang sampai di stratosfer kemudian dioksidasi menjadi aerosol sulfat yang dapat menurunkan konsentrasi radikal nitrogen yang berperan dalam reaksi penguraian klorin reaktif yang menguraikan ozon. Akibatnya jumlah klorin di atmosfer meningkat sehingga konsentrasi ozon menurun. Tingginya konsentrasi SO2 di atmosfer secara teori dapat menurunkan konsentrasi ozon akibat menurunnya fluks radiasi matahari yang masuk karena SO2 menyerap radiasi pada panjang gelombang 180 nm – 390 nm yang merupakan panjang gelombang yang sama untuk proses fotolisis oksigen yang digunakan untuk proses produksi ozon. Akibat proses fotolisis oksigen berkurang maka konsentrasi ozon menurun. Berdasarkan penelitian lain yang menggunakan model, pada jangka pendek sesaat setelah letusan gunung berapi terjadi, pada ketinggian 25 km tidak ada penipisan ozon. Akan tetapi, setelah dua bulan sebagian besar SO2 diubah menjadi SO4 akibat reaksi dengan radikal OH yang bergabung dengan aerosol (Huff, K., 1996). Dalam penelitian ini pengaruh SO2 dari letusan Gunung Merapi dapat mengakibatkan penurunan ozon di Pulau Jawa yang terjadi setelah 2 bulan – 6 bulan peristiwa letusan terjadi, akan tetapi masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji mekanisme dan efek lebih lanjut SO2 dari letusan Gunung Merapi terhadap konsentrasi ozon di stratosfer di Pulau Jawa. 5
KESIMPULAN Telah diperoleh karakteristik parameter atmosfer yang dihasilkan dari letusan Gunung Merapi yaitu terjadinya peningkatan konsentrasi SO2 dan terjadinya penurunan ozon total. Telah diperoleh pula prosentase meningkatnya SO2 terhadap penurunan ozon di Pulau Jawa yaitu ozon berkurang ~ dari 5 sampai 30 DU ( 2 sd 10 %). Keterkaitan antara SO2 dari letusan Gunung Merapi dan penurunan ozon di Pulau Jawa terjadi setelah 2 bulan – 6 bulan peristiwa letusan Gunung Merapi.
28
Pengaruh Letusan Gunung terhadap Variabilitas Ozon dan SO2 (Ninong Komala)
DAFTAR PUSTAKA Bluth, J.S.G., Rose, I.W., Sprod, E.I., dan Krueger, J.A.,1997: Stratospheric Loading of Sulfur from Explosive Volcanic Eruption. The Journal of Geology, 105, 671-683. Huff, K, The effect of Volcanic Sulfur Dioxide on The Ozone Layer, http://www.meteor.iastate.edu/gcp/studentpapers/1996/at moschem/huff.html, tanggal akses 20 Januari 2014. NASA, OMI home page: http://toms.gsfc.nasa.gov/omi, 2012 http://www.geology.sdsu.edu/how_volcanoes_work/index.html/ diakses 21 Januari 2013 Robock, A., 2000: Volcanic Eruptions and Climate. Reviews of Geophysics,38, 191-219 Czopak C.,2012: Volcanic impact of short and longterm climate, comparison with anthropogenic climate change. Thesis. Surono, Jousset,P., Pallister, J., Boichu, M., Buongiorno, M., Budisantoso, A., Costa F., Andreastuti, S., Prata F., Scheider D., Clarisse L., Humaida H., Bignami C., Griswold J., Carn S., Oppenheimer, C., Lavigne F., 2012: The 2010 explosive eruption Java‟s merapi volcano a100 year event.Journal of Vulcanology and Geothermal Research, 241-242, 121,135, DOI: 10.1016/jvolgeores, 2012.06.018. Textor, C., Hans, F., and Herzog, M., 2003: Injection of Gases into The Stratosphere by Explosive Volcanic Eruption. Journal of Geophysical Research, 108, 5-1;5-17.
29
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
PROFIL VERTIKAL HYDROPEROXYL RADICAL (HO2) DI INDONESIA HASIL PENGUKURAN MLS AURA Novita Ambarsari, Fanny Aditya Putri, dan Ninong Komala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Hydroperoxyl radical (HO2) merupakan salah satu senyawa radikal golongan HOx yang berperan dalam merusak ozon di stratosfer. Penelitian ini mengkaji profil vertikal HO2 di atmosfer Indonesia hasil pengukuran instrumen Microwave Limb Sounder (MLS) AURA. Data yang digunakan adalah data tahun 2010-2011. Penentuan profil vertikal, variasi bulanan dan musiman untuk tekanan kunci saat HO2 mencapai puncak yaitu pada tekanan 0,1 hPa hingga 0,02 hPa di lapisan mesosfer serta pada tekanan 31,62 hingga 21,54 hPa di lapisan stratosfer, juga analisis korelasi ozon dan HO2 di lapisan stratosfer telah dilakukan. Hasil penelitian ini menunjukkan profil vertikal HO2 mencapai puncak pada ketinggian 70 km (mesosfer) dengan konsentrasi mencapai 1,9 ppbv, sedangkan di stratosfer puncak konsetrasi HO2 terjadi pada ketinggian 24 – 27 km dengan nilai sebesar 0,2 hingga 0,4 ppbv. Variasi bulanan menunjukkan bulan Maret konsentrasi HO2 paling tinggi sedangkan bulan Juni adalah titik terendah. Variasi musiman menunjukkan bulan MAM konsentrasi HO2 tertinggi, sedangkan saat JJA paling rendah. Koefisien korelasi musiman ozon dan HO2 di stratosfer berkisar antara -0,154 hingga -0,256. Kata-kata kunci: HO2, MLS, AURA ABSTRACT Hydroperoxyl radical (HO2) is one of the main classes of HOx radical compounds that play a role in ozone depletion in the stratosphere. This study examines the vertical profiles of atmospheric HO2 Indonesia based on Microwave Limb Sounder (MLS) AURA instrument measurement results. The data used is the data in 2010-2011. Determination of vertical profiles, monthly and seasonal variations on the key pressure when HO2 reaches its peak value at pressure 0,1 until 0,02 hPa on mesosphere layer and at pressure 31,62 untill 21,54 hPa on stratosphere layer also performed a correlation analysis of ozone and HO2 in the stratosphere has been done. The results of this study show vertical profiles HO2 reached the peak at an altitude of 70 km
30
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
(mesosphere) with a concentration of 1.9 ppbv, while the peak value occurs in the stratosphere at an altitude of 24-27 km with a concentration of 0.2 to 0.4 ppbv. Monthly variation shows the highest concentration of HO2 is occurred on March while June is the lowest point. Seasonal variation in the MAM show the highest concentration of HO2, while when JJA it‟s the lowest. Seasonal correlation coefficients in the stratospheric ozone and HO2 ranged from -0.154 to -0.256. Keywords: HO2, MLS, AURA 1
PENDAHULUAN Observasi yang kontinyu untuk mengukur HO2 dan beberapa senyawa radikal lainnya yang dilakukan oleh instrument Microwave Limb Sounder (MLS) yang ditempatkan pada satelit AURA sejak 15 Juli 2004, menciptakan kesempatan untuk melakukan penelitian dan memahami mengenai karakteristik profil HO2 di stratosfer (Canty dkk.,2006). Penelitian yang dilakukan oleh Canty dkk., 2006 yang membandingkan hasil observasi MLS AURA dan model fotokimia untuk profil vertikal HO2. Hasil penelitian tersebut menujukkan profil HO2 maksimum terjadi pada ketinggian sekitar 30 km dengan konsentrasi sebesar 2.107 mol/cm3. HO2 merupakan bagian dari HOx (OH + HO2) yang berperan dalam proses katalisis reaksi penguraian ozon pada ketinggain di atas 40 km dan di bawah 25 km (Wang dkk., 2008). HO2 di stratosfer terbentuk melalui inisiasi oksidasi uap air oleh atom oksigen berenergi tinggi O(1D) yang berasal dari reaksi fotolisi ozon oleh sinar UV dan menghasilkan radikal OH. Radikal OH yang terbentuk kemudian bereaksi menguraikan ozon menghasilkan HO2 dan O2. HO2 yang terbentuk selanjutnya terlibat juga dalam proses penguraian molekul ozon menghasilkan kembali radikal OH dan O2. Hasil akhir serangkaian reaksi tersebut adalah penguraian molekul ozon menjadi molekul oksigen dan pada akhirnya HO2 juga akan hilang melalui reaksi antara HO2 dan OH menghasilkan H2O. Hal ini juga sekaligus sebagai akhir dari reaksi penguraian ozon berkatalisis HOx. Persamaan reaksi tersebut dituliskan berikut ini (Mao, J. dkk., 2010 dan Staufer J, 2013).
31
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
O3 + hv O(1D) + H2O O3 + OH O3 + HO2 Net : 2O3 OH + HO2
O(1D) + O2 2OH HO2 + O2 OH + 2O2 3O2 H2O + O2
(Persamaan (Persamaan (Persamaan (Persamaan (Persamaan (Persamaan
1) 2) 3) 4) 5) 6)
Penelitian ini diperlukan karena selama ini penelitian internasional mengenai penguraian ozon melalui siklus katalitik ClOx, NOx, dan HOx hanya terfokus pada wilayah kutub dan lintang tengah. Berdasarkan teori reaksi kimia yang dijelaskan sebelumnya, proses penguraian ozon memungkinkan terjadi juga di wilayah ekuator termasuk Indonesia, walaupun dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan penguraian di kutub dan lintang tengah karena tidak adanya Polar Stratospheric Cloud (PSC) yang berperan sebagai reservoir senyawa-senyawa radikal yang berperan merusak ozon (Igor, 2005). Penelitian ini menyajikan profil vertikal rata-rata harian, bulanan, musiman, dan tahunan HO2 di lapisan stratosfer di Indonesia hasil observasi instrumen MLS AURA. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai profil vertikal HO2 di atmosfer Indonesia dan variabilitasnya secara temporal (bulanan dan musiman) untuk semua level tekanan maupun di tekanan tertentu saat konsentrasi HO2 meningkat. Penelitian ini juga melihat kemungkinan terjadinya defisiensi di lapisan stratosfer yang ditentukan dari nilai koefisien korelasi ozon dan HO2. 2 2.1
DATA DAN METODOLOGI Data Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data profil vertikal HO2 hasil observasi instrument MLS AURA untuk wilayah Indonesia (6 LU – 11 LS, 95 BT – 145 BT) yang dapat diperoleh dari website MIRADOR (www.mirador.gsfc.nasa.gov). Data yang diperoleh merupakan data harian dengan rentang data yang digunakan adalah tahun 2010 hingga 2011. Format data yang disediakan adalah dalam bentuk Hierarchical Data Format (HDF) yang memuat nilai konsentrasi HO2, lintang dan bujur, serta tekanan atmosfer. Penelitian ini juga menggunakan data
32
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
profil vertikal ozon dari MLS AURA untuk wilayah dan tahun yang sama. MLS mengukur profil vertikal ozon dan komponen kimia lainnya dengan lebih akurat. MLS/AURA memiliki resolusi vertikal mendekati 3 km di stratosfer dengan resolusi horisontal 200 km (http://mls.jpl.nasa.gov/eos/instrument.php). Resolusi horisontal ini menghasilkan cakupan wilayah observasi MLS meliputi 82 derajat lintang Selatan hingga 82 derajat lintang Utara. MLS mengukur profil vertikal pada 3500 lokasi di dunia setiap 24 jam. MLS menyediakan data hasil pengukuran di siang hari dan malam hari secara global untuk profil vertikal beberapa komponen kimia atmosfer (O3, HCl, ClO, HOCl, BrO, OH, H2O, HO2, HNO3, N2O, CO, HCN, CH3CN, vulkanik SO2), awan es, dan temperatur atmosfer (Ahmad dkk., 2006). 2.2
Metodologi Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah mengekstrak data HO2 dan tekanan atmosfer dari data HDF menjadi data excel dengan software MATLAB kemudian melakukan perhitungan rata-rata harian, bulanan, dan musiman. Selanjutnya dibuat plot profil vertikal HO2 berdasarkan variasi temporal tersebut. Variasi bulanan konsentrasi HO2 diketahui dengan membuat diagram time series rata-rata bulanan terhadap ketinggian pada ketinggian 20-80 km (stratosfer hingga mesosfer). Setelah diketahui level tekanan kunci (key level pressure) saat konsentrasi HO2 mencapai puncak (0,1 – 0,02 hPa dan 31,62 – 21,54 hPa), dibuat plot variasi bulanan dan musiman konsentrasi HO2 pada tekanan tersebut. Setelah itu dibuat juga profil rata-rata musiman ozon stratosfer tahun 2010-2011, lalu dibuat korelasi HO2 terhadap ozon di lapisan statosfer. 3
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil vertikal bulanan dan musiman HO2 tahun 2010-2011 (Gambar 1 (a)) di lapisan stratosfer hingga mesosfer (20-80 km atau 46 hingga 0,02 hPa) menunjukkan konsentrasi HO2 dominan tinggi di lapisan mesosfer yaitu pada tekanan 0,1 hPa hingga 0,02 hPa atau ketinggian 60 – 80 km dengan nilai mencapai 1,8 ppbv, sedangkan di lapisan stratosfer (20-60 km atau 46 hingga 0,1
33
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
hPa) konsentrasi HO2 cenderung lebih kecil hanya mencapai 0,18 ppbv. Profil vertikal HO2 di stratosfer tampak lebih jelas pada Gambar 1(a) yang memperlihatkan konsentrasi HO2 meningkat seiring dengan meningkatnya ketinggian atau menurunnya tekanan kemudian membentuk puncak pada tekanan antara 31,62 hingga 21,54 hPa atau ketinggian 24 hingga 27 km. Konsentrasi HO2 pada tekanan tersebut sekitar 0,2 hingga 0,4 ppbv. Hal yang sama ditunjukkan pada Gambar 2. Diagram time series rata-rata bulanan konsentrasi HO2 terhadap ketinggian untuk lapisan stratosfer hingga mesosfer (a) dan lapisan stratosfer saja (b) menunjukkan bahwa konsentrasi HO2 sangat tinggi pada ketinggian 70 km hingga mencapai 1,8 ppbv. Pada lapisan stratosfer di ketinggian 25 km juga tampak adanya peningkatan konsentrasi HO2 dengan nilai sekitar 0,15 ppbv.
(a)
(b)
Gambar 1.
(a)Profil rata-rata bulanan HO2 hingga tekanan 0,01 hPa dan (b) Profil rata-rata bulanan HO2 stratosfer (46 – 1 hPa) tahun 2010-2011.
34
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
(a)
Gambar 2.
(b)
Diagram time series rata-rata bulanan konsentrasi ho2 (ppbv) terhadap ketinggian tahun 2010-2011 (a) stratosfer-mesosfer (b) stratosfer.
Konsentrasi HO2 tertinggi terjadi pada tekanan 0,046 hPa atau ketinggian sekitar 70 km (Gambar 1 (a)). Range konsentrasi HO2 tertinggi setiap bulannya yaitu antara 1,6 hingga 1,9 ppbv. Bulan Maret konsentrasi HO2 pada tekanan 0,046 hPa (Gambar 3 (a)) mencapai nilai maksimum yaitu sebesar 1,9 ppbv dan minimum terjadi pada bulan Juli sebesar 1,6 ppbv. Sumber HO2 di lapisan atmosfer atas terutama dari proses fotodisosiasi molekul air (H2O) oleh radiasi UV, sehingga besarnya konsentrasi uap air dan jumlah energi matahari yang diterima atmosfer menjadi penentu dalam kuantitas HO2 di atmosfer atas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kulikov, dkk., 2009 diketahui bahwa profil vertikal uap air mencapai puncak konsentrasi tertinggi pada ketinggian antara 70 hingga 80 km dengan nilai sebesar 8 ppmv. Konsentrasi uap air yang tinggi menjadi penyebab tingginya konsentrasi HO2 pada ketinggian yang sama.
35
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
(a)
(b)
Gambar 3.
Variasi bulanan (atas) dan musiman (bawah) konsentrasi HO2 pada tekanan 31,62 hPa, 0,1 hPa, 0,04 hPa, dan 0,02 hPa.
Pada bulan Maret dan September, matahari mencapai titik ekinoks (titik terdekat dengan Bumi) sehingga radiasi yang diterima atmosfer lebih besar dibanding bulan-bulan lainnya sehingga menghasilkan konsentrasi HO2 juga yang lebih tinggi. Hal ini terlihat pada variasi bulanan dan musiman konsentrasi HO2 pada tekanan 31,62 hPa, 0,1 hPa, 0,04 hPa, dan 0,02 hPa (Gambar 3 (a) dan (b)). Pada bulan Maret dan September, konsentrasi HO2 lebih tinggi dibandingkan dengan bulan lainnya. Begitu juga variasi musiman yang menunjukkan konsentrasi HO2 lebih tinggi pada bulan MAM (Maret-April-Mei). Pada bulan JJA (Juni-Juli-Agustus), konsentrasi HO2 lebih rendah. Hal ini disebabkan pada bulan Juni, matahari mencapai titik terjauh dari Bumi sehingga energi radiasi yang diperlukan untuk reaksi fotodisosiasi H2O lebih kecil (Ambarsari dan Yulihastin, 2011). Hal yang sama dijelaskan juga oleh Canty, dkk. (2006) bahwa perbedaan nilai pada puncak konsentrasi HO2 disebabkan adanya variasi musiman deklinasi matahari.
36
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
Keberadaan HOx di lapisan stratosfer berperan sebagai salah satu katalis dalam reaksi penguraian ozon. Variasi musiman profil vertikal ozon stratosfer di lapisan stratosfer yaitu pada tekanan 46 hPa hingga 1 hPa atau dari ketinggian 22 km hingga 50 km (Gambar 4) mencapai puncak pada tekanan 10 hPa atau ketinggian sekitar 30 km.
Gambar 4.
Variasi Musiman Profil Vertikal Ozon Stratosfer (46 hPa hingga 1 hPa atau 22 km hingga 50 km) Tahun 20102011.
Nilai ini sesuai dengan validasi profil vertikal ozon hasil observasi MLS AURA yang dilakukan oleh Froidevaux, dkk. (2008) yang menghasilkan profil vertikal ozon di wilayah ekuator mencapai puncak pada tekanan 10 hPa dengan konsentrasi mencapai 10 ppmv. Pada penelitian ini, konsentrasi ozon mencapai puncak pada tekanan 10 hPa dengan konsentrasi tertinggi pada bulan MAM (Maret-April-Mei) sebesar 10,086 ppmv sedangkan terendah pada bulan JJA (Juni-Juli-Agustus) sebesar 9,224 ppmv. Variasi musiman profil vertikal ozon ini juga didominasi oleh pergerakan matahari. Korelasi ozon dan HO2 di stratosfer menjadi salah satu indikator paling sederhana untuk melihat kecenderungan ozon dan HO2. Korelasi musiman ozon dan HO2 di lapisan stratosfer yaitu pada tekanan 46 hPa hingga 1 hPa menghasilkan korelasi negatif dengan nilai koefisien korelasi yang terendah yaitu 0,154 pada bulan MAM dan yang tertinggi sebesar 0,256 pada bulan DJF (Gambar 5). Pada bulan JJA koefisien korelasi HO2 terhadap ozon yaitu sebesar 0,242 dan 0,2 pada bulan SON.
37
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
Gambar 5.
Korelasi Musiman Ozon dengan HO2 di Stratosfer (46 hingga 1 hPa) 2010-2011.
Nilai koefisien korelasi ini dapat menunjukkan dua makna, yang pertama yaitu tidak adanya hubungan bermakna antara HO2 dengan ozon atau terdapat hubungan antara HO2 dengan ozon yang dapat dijelaskan sebesar 15,4 % hingga 25,6 %. Makna yang kedua diperkirakan lebih tepat karena secara teori HO2 berperan dalam menguraikan ozon. Ozon terurai melalui siklus katalitik HOx, NOx, ClOx, dan BrOx serta melalui reaksi pemutusan ikatan molekul ozon oleh radiasi UV sehingga HO2 hanya berperan sebesar 15,4 % hingga 25,6 % dari keseluruhan proses penguraian ozon. Sebagian besar lainnya ditentukan juga oleh peran katalis-katalis yang lain yaitu radikal NOx, ClOx, BrOx serta proses penguraian ozon secara alami melalui fotolisis oleh radiasi UV. Hal yang sama dijelaskan oleh Nair (2012) dalam penelitian disertasi bahwa hasil perhitungan menggunakan model NASA/GSFC 2D menunjukkan bahwa kontribusi HOx (HO2 + OH) terhadap penguraian ozon di ketinggian sekitar 20-30 km di wilayah ekuator adalah sebesar 20-50 %.
38
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
4
KESIMPULAN Profil vertikal HO2 di Indonesia tahun 2010-2011 memiliki pola konsentrasi yang rendah di lapisan stratosfer (20-60 km) dan konsentrasi yang tinggi di lapisan mesosfer (60-80 km). Konsentrasi HO2 di mesosfer mencapai puncak pada ketinggian 70 km atau tekanan 0,046 hPa dengan nilai 1,9 ppbv pada bulan Maret. Pada bulan Juli, konsentrasi HO2 pada puncaknya mengalami nilai terendah yaitu 1,6 ppbv. Variasi musiman profil HO2 menunjukkan nilai konsentrasi pada 0,046 hPa mencapai konsentrasi tertinggi pada bulan MAM (Maret-April-Mei) dan terendah pada bulan JJA (Juni-Juli-Agustus). Pergerakan matahari dan konsentrasi H2O yang berperan sebagai sumber di atmosfer menentukan jumlah HO2 di atmosfer atas. HO2 sebagai katalis dalam proses perusakan ozon di stratosfer ditunjukkan dengan korelasi musiman yang negatif dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,256 untuk DJF, 0,154 untuk MAM, 0,242 untuk JJA, dan 0,2 untuk SON. Nilai koefisien korelasi ini menunjukkan bahwa HO2 hanya berperan sebesar 15,4 % hingga 25,6 % dalam menguraikan ozon, karena reaksi penguraian ozon juga melibatkan radikal NOx, ClOx, BrOx serta reaksi penguraian secara alami melalui reaksi fotolisis. DAFTAR RUJUKAN Ahmad, S. P., Waters, J. W., Johnson, J. E., Gerasimov, I. V., Leptoukh, G. G., & Kempler, S. J., 2006: Atmospheric composition data products from the EOS Aura MLS. Proc. Amer. Meteorological Soc. Eighth Conf. on Atmospheric Chemistry, Atlanta, Georgia, 1-8. Ambarsari, N., and Yulihastin, E.,2011: Pengaruh Osilasi Tahunan dan ENSO terhadap Variabilitas Ozone Total Indonesia. Jurnal Teknologi Indonesia LIPI, 34, 90-97. Canty, T., Picket, H.M., Salawitch, R.J., Jucks, K.W., Traub, W.A., and Waters, J.W., 2006: Stratospheric and Mesospheric HOx Result From AURA MLS and FIRS-2. Geophys. Res. Letter, 33, 1-5. Froidevaux L., Jiang Y.B., Lambert a., 2008: Validation of AURA Microwave Limb Sounder Stratospheric Ozone Measurements. Journal of Geophysical Research., 113, 1-24. Goddard Earth Sciences Data and Information Services Center, www.mirador.gsfc.nasa.gov. Igor G. Dyominov, Alexander M. Zadorozhny, 2005: Greenhouse
39
Profil Vertikal Hydroperoxyl Radical di Indonesia (Novita Ambarsari)
gases and recovery of the Earth‟s ozone layer.Elsevier, Advances in Space Research, 35, 1369–1374. Kulikov, M.Y., Feigin, A.M., dan Sonnemann, G.R., 2009: Retrieval of Water Vapour Profile in Mesosphere from Satellite Ozone and Hydroxyl Measurements by the Basic Dynamic Model of Mesospheric Photochemical System. Atmos.Chem.Phys., 9, 8199-8210. Mao, J., Jacob, D.J., Evans, M.J., et.all., 2010: Chemistry of Hydrogen Oxide Radicals (HOx) in the Arctic Troposphere in Spring. Atmos. Chem. Phys., 10, 5823-5838. Microwave Limb Sounder, http://mls.jpl.nasa.gov/index-eosmls.php, tanggal akses 10 Juni 2014. Nair, P.J., 2012: Evolution of Stratospheric Ozone in the MidLatitudes in Connection With The Abundances of Halogen Compounds. Ph.D. Dissertation, University of Piere and Marie Curie, Paris, 163 pp. Staufer, J., 2013: Analysis of Ozone in the Upper Troposphere/Lower Stratosphere Based on Ozonsondes nad Regular Aircraft Meaesurement. Ph.D. Dissertation, University of Vienna Austria, 138 pp. Wang, S., Pickett, H.M., et.all, 2008: Validation of AURA MLS OH Measurement with Fourier Transform UV Spectrometer Total OH Coloumn Measurement at Table Mountain, California. J. Geophys. Research, 113, 1-15.
40
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
ANALISIS TRANSPOR UAP AIR ATMOSFER DI BENUA MARITIM INDONESIA Indah Susanti Bidang Komposisi Atmosfer – PSTA LAPAN Bandung
[email protected] ABSTRAK Makalah ini menekankan pentingnya pemahaman yang baik dan benar tentang mekanisme terjadinya transpor uap air atmosfer yang melintasi Benua Maritim Indonesia (BMI) yang terletak diantara 20oLS-20oLU dan 80-150oBT, terkait dengan terjadinya perbedaan yang tegas/jelas antara musim hujan dan kemarau. Berbasis hasil analisis parameter kelembaban spesifik, besar dan arah angin yang diekstrak dari data reanalysis Modern EraRestrospective Analysis for Research and Application (MERRA) rata-rata bulanan, selama 10 tahun pengamatan periode Januari 2003-Desember 2012, maka diturunkanlah satu besaran transpor uap air, dinyatakan sebagai Vertically Integrated Moisture Transport (VIMT, kg/ms), baik secara zonal (T-B) dan meridional (U-S). Hasil analisis secara zonal menunjukkan bahwa uap air dari Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia relatif besar mendominasi sistem transpor uap air di bagian utara BMI dengan pola musiman yang sangat jelas, diduga terkait dengan adanya pengaruh Monsun Asia. Sebaliknya, di bagian selatan BMI, transpor uap air yang terjadi lebih fluktuatif. Sementara analisis meridional menunjukkan kumpulan uap air yang berasal dari Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia masuk ke BMI mencapai puncaknya selama bulan Desember, Januari dan Februari (DJF) dengan nilai sekitar 360 kg/ms. Akumulasinilai tersebut terlihat jelas di sepanjang garis 5oLU diantara 80-95oBT dan 95-120oBT, yang ditunjukkan dengan VIMT meridional berkisar 30x107 kg/detik. Dengan nilai VIMT meridional batas yang hampir sama, pada bulan-bulan Juni-Juli-Agustus (JJA), di daerah tersebut terjadi transpor dengan arah yang berlawanan arah atau keluar dari BMI. Transpor uap air di bagian selatan BMI menunjukkan nilai yang lebih bervariasi dibandingkan dengan bagian utara BMI diduga akibat kombinasi pengaruh dari berbagai sumber uap air yang melintasi kawasan tersebut. Kata kunci : uap air, VIMT, zonal. Meridional, transpor.
41
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
ABSTRACT This paper emphasizes the importance of properly understanding about the mechanisms of atmospheric water vapor transport across the Indonesian maritime continent (BMI) which is located between 20oLS-20oLU and 80-150oBT, associated with the occurrence of a clear distinction between wet and dry seasons. Based on the results of the analysis of specific humidity parameters, magnitude and direction of the wind which is extracted from reanalysis data Restrospective Modern EraAnalysis for Research and Application (MERRA) monthly average, during the 10-year observation period January 2003 - December 2012, then derived the mass transport of the water vapor, expressed as Vertically Integrated Moisture Transport (VIMT, kg / ms), both the zonal (TB) and meridional (USD). The results of the analysis indicate that the zonal moisture from the South China Sea and the Indian Ocean dominates the relatively large water vapor transport system in the northern part of BMI with a very clear seasonal pattern, allegedly linked to the influence of the Asian monsoon. In contrast, in the southern part of BMI, water vapor transport occurs more volatile. While the analysis shows a collection of meridional water vapor coming from the South China Sea and the Indian Ocean entrance to the BMI reaches its peak during the months of December, January and February (DJF) with a value of about 360 kg / ms. The accumulation value is clearly visible along the line between 80-95oBT 5oLU and 95-120oBT, as indicated by the meridional ranges VIMT 30x107 kg / sec. With VIMT meridional boundary value almost the same, in-June-JulyAugust (JJA), in the area of transport occurs in the opposite direction out of the way or BMI. Water vapor transport in the southern part of BMI showed a more variable values than the northern part of BMI presumably due to the combined effects of the various sources of water vapor across the region. Keywords: water vapor, VIMT, zonal. Meridional, transport. 1
PENDAHULUAN Transpor uap air merupakan mekanisme penting yang dapat menentukan kadar uap air di suatu daerah. Kadar uap air itu sendiri merupakan salah satu faktor yang akan menentukan curah hujan. Semakin tinggi kadar uap air, maka peluang terjadinya hujan semakin besar. Uap air yang ada di atas daerah tertentu, dapat berasal dari penguapan air permukaan di bawahnya, atau berasal dari daerah lain yang mengalami
42
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
transporasi karena pengaruh angin, atau karena gabungan keduanya. Indonesia sebagai negara maritim di daerah tropis dengan uap air yang berlimpah. Sebagai negara kepulauan yang didominasi oleh wilayah perairan tropis, potensi penguapan yang terjadi akan sangat besar. Demikian pula bila dilihat dari posisi geografis Indonesia yang berada di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, maka potensi transpor uap air yang sangat besar pula. Dalam beberapa referensi, seperti yang diungkapkan oleh Rodwell dan Hoskons (2001) serta Fasullo dan Websters (2002), Lautan Hindia maupun Lautan Pasifik yang sering menjadi lokasi terjadinya konsentrasi terbesar pemanasan laten di Bumi. Selain itu, salah satu fenomena anomali suhu permukaan laut di Lautan Pafisik dan Lautan Hindia yang dikenal sebagai El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) telah terbukti menjadi salah satu penyebab terjadinya anomali curah hujan di Indonesia. Tentunya, dalam mekanismenya melibatkan proses perpindahan uap air dari kedua lautan tersebut ke Indonesia. Dalam variasi musimannya, curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsun Asia dan Australia. Fluktuasi hujan monsun pada umumnya disertai oleh perubahan pemanasan atmosfer dalam skala Asia selatan (Fasullo dan Webster 2002), fase basah dipengaruhi oleh musim panas dan udara lembab, sebaliknya pada fase kering dipengaruhi oleh musim dingin dan kering (Webster dkk. 1998; Yulihastin 2010). Penelitian telekoneksi terhadap wilayah monsun menghasilkan korelasi moderat antara anomali curah hujan selama Juni Juli Agustus September (JJAS) dan suhu permukaan laut (SST) di Lautan Pasifik tropis timur dalam skala waktu innerannual sekitar -0,55 (Walker 1923; Barnett 1983; Shukla dan Paolina 1983; Rasmusson dan Carpenter 1983). Fisis alamiah telekoneksi monsun-ENSO sering dijelaskan sebagai interaksi antara sirkulasi Hadley di wilayah monsun dengan perubahanperubahan konvergensi kelembaban yang dikendalikan oleh angin pasat dan gangguan sirkulasi Walker selama ENSO (Rasmusson dan Carpenter 1983, Barnett 1983, 1984; Webster dan Yang 1992).
43
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
Pemahaman mengenai transpor kelembaban atmosfer dapat meningkatkan kemampuan dalam mengestimasi curah hujan monsun (Piexoto dan Ort 1992, Chen dkk 2008). Keterbatasan seringkali menjadi hambatan dalam memahami proses-proses transpor kelembaban. Namun ketersediaan data satelit ataupun data reanalisis yang memiliki kualitas baik, dapat membantu dalam mempelajari hidrologi atmosfer, khususnya yang menghubungkan transpor kelembaban dengan curah hujan monsun. Tulisan ini menguraikan variasi transpor kelembaban di Indonesia dengan menggunakan data reanalisis beresolusi temporal bulanan, sehingga dapat mengetahui kecenderungan besaran transpor uap air di Indonesia. Dalam hal ini, kelembaban spesifik menjadi parameter yang digunakan untuk menunjukkan adanya uap air. 2
DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data reanalisis Modern Era-Restrospective Analysis for Research and Application (MERRA), yang mencakup parameter kelembaban spesifik, besar dan arah angin zonal serta meridional. Versi data MERRA yang digunakan adalah inst_3d_asm_Cp (MAI3CPASM atau MERRA IAU 3d assimilated state on pressure), dengan dimensi grid 288 bujur x 144 lintang (1,25x1,25o) dan resolusi temporal bulanan. Pertimbangan yang digunakan dalam penggunaan data MERRA adalah bahwa hasil perbandingan antara data MERRA, NCEP, dan pengukuran insitu di beberapa lokasi daerah tropis sekitar Indonesia, menunjukkan bahwa MERRA memiliki validitas yang lebih baik untuk beberapa ketinggian atmosfer (Desslerdan Davis, 2010), terutama untuk lapisan atmosfer deket permukaan. Secara horizontal, wilayah studi dibatasi pada 20 LS-20 LU dan 80-150 BT dengan bulan analisis Januari 2003-Desember 2012. Untuk mengetahui modus transpor uap air di Indonesia, metodologi yang digunakan adalah dengan menghitung vertically integrated moisture transport (VIMT) dan menghitung akumulasi VIMT pada pada batas wilayah tertentu. Adapun tahapan dari metodologi yang digunakan, antara lain:
44
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
a. menghitung VIMT (kg/ms) bulanan. VIMT dihitung dengan menggunakan parameter kelembaban spesifik, komponen angin zonal dan meridional, dengan persamaan sebagai berikut :
∑
(
(1)
)
dengan g adalah percepatan gravitas, q adalah kelembaban spesifik (kg/kg), u adalah angin zonal, v adalah angin meridional, dan adalah ketebalan lapisan berdasarkan perbedaan tekanan (Fasullo dan Webster 2002). VIMT dihitung dengan membagi lapisan atmosfer menjadi dua lapisan, lapisan bawah dan lapisan atas. Lapisan bawah adalah lapisan atmosfer yang memiliki tekanan dari 1000 mb sampai 600 mb. Sedangkan lapisan atas adalah lapisan atmosfer yang memiliki tekanan 400 mb sampai 150 mb. Yang dihitung dari persamaan VIMT tersebut adalah besaran transpor dalam satuan panjang dan waktu tertentu (kg/ms) b. Menghitung VIMT batas, yaitu jumlah transpor kelembaban ke wilayah tertentu berdasarkan arah zonal dan meridional. VIMT batas dihitung dengan menggunakan perkalian antara VIMT dengan panjang kawasan yang akan dianalisis. Penentuan kawasan yang dihitung, dilakukan berdasarkan Gambar 1. c. Menghitung rata-rata bulanan VIMT dan anomaly VIMT batas dari sepanjang tahun yang dianalisis untuk mengetahui modus atau kecenderungan transpor kelembaban yang terjadi di Indonesia dan perubahan ekstrim yang terjadi.
45
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
Gambar 1.
Wilayah studi dan pembagiannya.
Sebagai interpretasinya, VIMT meridional yang bernilai positif, menunjukkan transpor ke arah utara, VIMT meridional yang bernilai negatif menunjukkan transpor ke atas selatan, VIMT zonal yang bernilai positif menunjukkan transpor ke arah timur, dan VIMT zonal yang bernilai negatif menunjukkan transpor ke arah barat. 3 3.1
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Transpor Uap Air di Lapisan Bawah Dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan, dapat ditunjukkan besarnya transporasi uap air di atmosfer BMI lapisan bawah berdasarkan nilai VIMT hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar tersebut terlihat bahwa transpor uap air dari Lautan Hindia, Pasifik Barat dan Laut Cina Selatan adalah kontributor terbesar bagi massa uap air di BMI dengan perbedaan periode. Di BMI yang ada di belahan Bumi utara, uap air pada bulan Desember-Januari-Februari pada umumnya berasal dari Laut Cina Selatan untuk Indonesia bagian barat dan sebagian Indonesia bagian tengah yang terbawa oleh monsun timur laut. Sedangkan untuk Indonesia bagian timur dan sebagian Indonesia bagian tengah, berasal dari Lautan Pasifik untuk dengan transpor uap air rata-rata lebih dari 360 kg/ms. Selain itu, untuk
46
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
BMI di selatan ekuator, uap air pada bulan tersebut juga bersumber dari Lautan Hindia yang terbawa oleh angin barat laut sebagai pembelokan arah dari timur laut saat melewati ekuator, dengan besaran transpor yang lebih kecil dari uap air Laut Cina Selatan dan Pasifik Barat. Penambahan massa uap air yang mengalir dari Laut Cina Selatan pada bulan Januari, Februari dan Maret menyebabkan adanya penguatan transpor di perairan Indonesia seperti di Laut Jawa yang pada bulan-bulan tersebut terjadi transpor lebih 240 kg/ms. Besarnya transpor tersebut juga mendapat kontribusi dari transpor massa udara yang berasal dari Lautan Hindia yang terdorong oleh angin barat laut. Pada bulan selanjutnya, transpor uap air dari Laut Cina Selatan dan Lautan Pasifik ke BMI mengalami pelemahan. Selama bulan Maret dan April transpor uap air dari Pasifik barat menurun menjadi sekitar 280 kg/ms. Hal ini juga karena kecepatan dan arah angin kurang memberikan dorongan terhadap uap air untuk memasuki BMI, dan pada bulan Mei mulai terjadi pembalikan arah angin, sehingga uap air cenderung mengalir ke arah utara sampai bulan September. Pada saat angin cenderung mendorong uap air dari Pasifik Barat ke arah utara selama bulan Juni-Juli-Agustus-September, transpor dari Lautan Hindia justru mengalami penguatan. Penguatan transpor uap air tersebut terjadi maksimum di sekitar Teluk Benggala, dimana beberapa peneliti menyatakan hal ini sebagai onset monsun. Selain itu, terjadi pula penguatan transpor di Laut Arafuru sampai lebih dari 360 kg/ms, yang menambah massa uap air di sekitar Kepulauan Maluku dan sekitarnya. Pada bulan lainnya, transpor uap air di Laut Arafuru ini kurang dari 200 kg/ms. Bulan Oktober, arah angin mulai berbalik lagi, namun baru terjadi untuk daerah di atas 15˚LU. Pembalikan arah terjadi merambat ke selatan, dan pada bulan November mulai terjadi angin timur laut di belahan Bumi utara yang membawa uap air dari Pasifik barat ke BMI dengan besaran kurang lebih mencapai 360 kg/ms. Sedangkan di belahan Bumi selatan, terjadi angin tenggara dan transpor uap air pada atmosfer barat dari Lautan Hindia melemah yang hanya mencapai 160 kg/ms. Untuk perairan di sekitar Maluku, pada bulan November, transpor dari
47
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
Pasifik barat dan Laut Arafuru sama lemahnya, kurang lebih 40 kg/ms, sehingga tidak terjadi dominasi transpor uap air di atmosfer bawah. Namun pada bulan Desember, ketika transpor dari Pasifik Barat menjadi sekitar 400 kg/ms, terjadi dominasi transpor di perairan sekitar Maluku dari arah barat laut dan terjadi peningkatan transpor mencapai lebih dari 80 kg/ms.
48
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
Gambar 2.
VIMT rata-rata bulanan untuk lapisan atmosfer bawah.
3.2
Pola Transpor Uap Air di Lapisan Atas Di lapisan atas, uap air dari Pasifik Barat mendominasi transpor uap air ke arah BMI hampir sepanjang tahun. Bulan transpor uap air terkecil terjadi pada bulan April, Mei, Oktober dan November (kurang dari 32 kg/ms), dan terbesar pada bulan Juni, Juli dan Agustus (lebih besar dari 40 kg/ms). Besaran transpor uap air pada lapisan atas ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan transpor uap air di lapisan bawah,
49
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
yaitu hanya sekitar 1/10 bagiannya. Apabila diperhatikan, jika pada bulan Januari transpor uap air di lapisan troposfer bawah dari Pasifik Barat maksimal terjadi di sekitar 10˚LU, maka untuk lapisan troposfer atas, transpor maksimum terjadi di sekitar 5˚LU. Demikian pula untuk bulan Februari dan Maret. Maka dapat dikatakan bahwa secara vertikal, terjadi pergeseran kekuatan transpor uap air ke arah ekuator, atau dapat dikatakan terjadi pemusatan ke arah ekuator.
50
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
Gambar 3.
VIMT rata-rata bulanan untuk lapisan atmosfer atas.
3.3
VIMT Batas Karena lapisan bawah mendominasi transpor uap air terhadap total kolom, maka VIMT batas yang dihitung hanya untuk lapisan bawah. Berdasarkan perbandingan VIMT meridional, maka transpor uap air kawasan utara lebih stabil dibandingkan dengan kawasan selatan. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 4. Dari hasil perhitungan VIMT batas, baik secara zonal dan meridional, maka dapat diketahui bahwa BMI barat bagian utara cenderung menunjukkan fluktuasi yang lebih stabil. Hal ini berarti terdapat kemungkinan bahwa di kawasan tersebut, pola
51
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
transpor uap airnya didominasi oleh monsun Asia karena kedekatan jarak. Sedangkan kawasan lainnya menunjukkan adanya flukstuasi yang lebih bervariasi, yang memiliki kemungkinan merupakan kombinasi pengaruh dari beberapa sumber uap air. Pada bulan Desember, Januari dan Februari, nilai VIMT batas meridionalnya bernilai negatif, yang berarti transpor uap air mengarah ke selatan, dengan besaran berkisar antara 5 x 107 kg/detik sampai 15 x 107 kg/detik. Sedangkan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, VIMT batas meridional di kawasan tersebut bernilai positif (10 x 107 kg/detik - 25 x 107 kg/detik) yang berarti transpor uap air mengarah ke utara. Dalam hal ini, terdapat rentang perbedaan nilai antara kedua bulan tersebut, dimana transpor ke arah timur pada bulan Juni, Juli dan Agustus lebih tinggi dibandingkan dengan transpor ke arah barat pada bulan Desember, Januari dan Februari. Hal ini menunjukkan bahwa perairan di BMI berperan sebagai sumber uap air dan juga menunjukkan adanya penggabungan transpor dari arah Lautan Hindia dan Teluk Benggala dengan uap air yang berasal dari BMI sendiri. Untuk BMI barat bagian selatan (20 LS), fluktuasi transpor uap air lebih dipengaruhi oleh transpor dari Lautan Hindia, dimana di posisi 95-120 derajat BT menunjukkan transpor yang lebih kuat dibandingkan dengan transpor pada posisi 80-95 derajat BT. Di posisi 80-95 derajat BT, transpor maksimal mencapai sekitar 25 x 107 kg/detik, sedangkan di posisi 90-120 derajat BT nilai maksimalnya lebih dari 30 x 107 kg/detik. Namun kedua posisi itu sama-sama menunjukkan dominasi transpor dari arah selatan ke arah utara, masuk ke BMI. Hal yang dapat disoroti dari transpor yang terjadi di BMI bagian selatan, terutama di 5 LS, adalah adanya anomali yang cukup besar yang terjadi pada tahun 2010 dimana terjadi transpor ke arah selatan (VIMT batas negatif). Kemungkinannya adalah bahwa La Nina yang terjadi pada tahun 2010, menimbulkan transpor yang kuat dari Lautan Pasifik ke arah Indonesia, sehingga mendorong adanya perubahan arah transpor di bagian selatan BMI. Kemungkinan lainnya adalah karena adanya perubahan siklus monsun. Hal ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam.
52
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
a.
4.00E+08 3.00E+08 2.00E+08 1.00E+08
di 20 S 80-95 BT
b.
di 20 S 95-120 BT
Jul-12
Jan-12
Jul-11
Jul-10
Jan-11
Jul-09
Jan-10
Jul-08
Jan-09
Jul-07
Jan-08
Jan-07
Jul-06
Jul-05
Jan-06
Jan-05
Jul-04
Jul-03
Jan-04
-1.00E+08
Jan-03
0.00E+00
di 20 S 140-150BT
5.00E+08 3.00E+08
di 10 S 80-95 BT di 10 S 120-140BT
c.
Jul-12
Jan-12
Jul-11
Jul-10
Jan-11
Jul-09
Jan-10
Jan-09
Jul-08
Jan-08
Jul-07
Jul-06
Jan-07
Jan-06
Jul-05
Jul-04
Jan-05
Jan-04
-3.00E+08
Jul-03
-1.00E+08
Jan-03
1.00E+08
di 10 S 95-120 BT di 10 S 140-150BT
5.00E+08 3.00E+08
Jul-11
Jan-12
Jul-12
Jul-11
Jan-12
Jul-12
Jul-10
Jan-11
Jul-09
Jan-10
Jan-09
Jul-08
Jan-08
Jul-07
Jul-06
Jan-07
Jan-06
Jul-05
Jul-04
Jan-05
Jan-04
-3.00E+08
Jul-03
-1.00E+08
Jan-03
1.00E+08
-5.00E+08 di 5 N 80-95 BT di 5 N 120-140BT
d.
di 5 N 95-120 BT di 5 N 140-150BT
6.00E+08 4.00E+08 2.00E+08 Jul-10
Jan-11
Jul-09
Jan-10
Jan-09
Jul-08
Jan-08
Jul-07
Jul-06
Jan-07
Jan-06
Jul-05
Jul-04
Jan-05
Jan-04
Jul-03
-2.00E+08
Jan-03
0.00E+00
-4.00E+08 di 20 N 80-95 BT di 20 N 120-140BT
Gambar 4.
di 20 N 95-120 BT di 20 N 140-150BT
VIMT meridional batas di 20 S (a), 10 S (b), 5 N (c) dan 20 N (d).
Secara zonal, Lautan Hindia lebih menunjukkan perananannya dalam transpor uap air yang menuju Indonesia di bagian utara BMI. Pada Gambar 5 untuk grafik di 5-20 N (5-20
53
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
Lintang Utara), menunjukkan nilai VIMT zonal batas yang lebih tinggi dibandingkan dengan di sekitar ekuator. Bahkan, untuk lintang selatan, transpor yang terjadi lebih mengarah keluar BMI dengan besaran yang tidak terlalu besar. VIMT batas zonal menunjukkan fluktuasi yang relatif stabil di garis lintang 5-20 derajat LU di 80 dan 95 derajat BT dengan dominasi transpor ke arah timur (VIMT batas zonal positif) masuk ke BMI dengan besaran transpor berkisar 40 x 107 kg/detik sampai 60 x 107 kg/detik pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Pada akhir setiap tahun transpor yang terjadi dari timur ke barat dengan besaran lebih dari 20 x 107 kg/detik. Untuk bagian selatan, transpor uap air dalam arah zonal, didominasi oleh transpor ke arah barat, dengan transpor terkuat di bagian barat, yang dapat mencapai lebih dari 40 x 107 kg/detik.
a.
6.00E+08 4.00E+08 2.00E+08 Jul-12
Jul-11
Jan-12
Jan-11
Jul-10
Jul-09
Jan-10
Jul-08
Jan-09
Jul-07
Jan-08
Jul-06
Jan-07
Jul-05
Jan-06
Jul-04
Jan-05
Jul-03
Jan-04
-4.00E+08
Jan-03
0.00E+00 -2.00E+08 -6.00E+08 di 80 BT 20 - 10 S
b.
di 80 BT 10 S - 5 N
di 80 BT 5 -20 N
1.00E+09 5.00E+08
di 95 BT 20 - 10 S
Gambar 5.
di 95 BT 10 S - 5 N
Jul-12
Jan-12
Jul-11
Jan-11
Jul-10
Jul-09
Jan-10
Jul-08
Jan-09
Jul-07
Jan-08
Jul-06
Jan-07
Jul-05
Jan-06
Jul-04
Jan-05
Jul-03
Jan-04
-5.00E+08
Jan-03
0.00E+00
di 95 BT 5 -20 N
VIMT zonal batas di garis 80 BT (a) dan 95 BT (b).
4
KESIMPULAN Pola transpor uap air di lapisan bawah di dominasi oleh transpor dari Lautan Hindia, Pasifik Barat dan Laut Cina Selatan. Uap air pada bulan-bulan basah (Desember-Januari-Februari) di
54
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
BMI pada umumnya berasal dari Laut Cina Selatan dan Pasifik Barat dengan transpor uap air rata-rata lebih dari 360 kg/ms dalam arah meridional, terutama untuk BMI yang ada di belahan Bumi utara. Sedangkan dominasi transpor dari Lautan Hindia ke BMI terjadi pada pada periode Juni-Juli-Agustus secara zonal pada saat transpor dari Laut Cina Selatan dan Lautan Pasifik mengalami pelemahan. Di lapisan atas, uap air dari Pasifik Barat mendominasi transpor uap air ke arah BMI hampir sepanjang tahun dengan besaran yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan transpor uap air di lapisan bawah, yaitu hanya sekitar 1/10 bagiannya. Nilai VIMT batas untuk lapisan bawah, baik secara zonal dan meridional, menunjukkan fluktuasi BMI barat bagian utara cenderung yang lebih stabil. Sedangkan kawasan lainnya menunjukkan variasi yang lebih besar, yang kemungkinan merupakan kombinasi monsun dan pengaruh fenomena regional lainnya seperti ENSO dan dipole mode. Namun secara meridional, di semua posisi menunjukkan VIMT batas yang negatif pada periode Desember-Januari-Februari, dan menunjukkan VIMT positif pada periode Juni-Juli-Agustus. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme monsun sangat berpengaruh pada transpor uap air di BMI. DAFTAR RUJUKAN Alan, R.P., 2011: The Role of Water Vapour in Earth‟s Energy Flows. Surv Geophys, DOI 10.1007/s10712-011-9157-8 As-syakur, A.R. dan R., Prasetia, 2011: Pola spasial anomali curah hujan selama Maret sampai Juni 2010 di Indonesia – Komparasi data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43 dengan Stasiun Pengamat Hujan. Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2010 : 505-515. Chen J., J.C.L.Chan, W. Zhou, dan Huang R., 2008: Anomalous Modes of Moisture Transpor by East Asian Summer Monsoon and Associated Rainfall Patterns in China. Dessler, A.E. dan S.M. Davis, 2010: Trends in tropospheric humidity from reanalysis systems. Journal of Geophysical Research, 115, D19127, doi:10.1029/2010JD014192. Eguchi, N., 2004: Intraseasonal variation of water vapor and cirrus clouds in the tropical upper troposphere. Journal of Geophysical Research,109, D12106, doi: 10.1029/ 2003JD004314. Hall, A., dan S. Manabe, 1999: The Role of Water Vapor Feedback
55
Analisis Transport Uap Air Atmosfer di Benua Maritim Indonesia (Indah Susanti)
in Unperturbed Climate Variability and Global Warming. Journal of Climate, 12. J. Fasullo P. J . Webster, 2002: Hydrological Signatures Relating the Asian Summer Monsoon and ENSO. Journal Of Climate American Meteorological Society, 15. Pierrehumbert, 1999: Subtropical water vapor as a mediator of rapid global climate change in Clark PU, Webb RS and Keigwin LD eds. Mechanisms of global change at millennial time scales. American Geophysical Union: Washington, D.C. Geophysical Monograph, 112, 394. Trenberth K., J. Fasullo dan L. Smith, 2005: Trends and variability in column-integrated atmospheric water vapor. Climate Dynamics, 24, 741–758, DOI 10.1007/s00382-0050017-4. Trenberth, K.E., J. Fasullo, L. Smith, 2005: Trend and Variability in column-integrated atmospheric water vapor. Climate Dynamics, 24, 741-758, DOI 10.1007/s00382-005-0017 Webster, P.J., and S.Yang, 1992: Monsoon and ENSO: Selectively interactivesystems. Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 118, 877926.
56
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
PENGARUH KEGAGALAN MUSIM TANAM PADI PADA EMISI METANA (CH4) DAN POTENSINYA PADA PEMANASAN GLOBAL Lilik Slamet S Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer – LAPAN e-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatar belakangi oleh seringnya kegagalan musim tanam padi yang menjadi langganan setiap tahun di Pulau Jawa dan belum diperhitungkannya emisi CH4 ketika musim tanam yang gagal. Tujuan dari penelitian ini, pertama adalah mensimulasi emisi CH4 ketika musim tanam gagal pada hari 39 Hari Setelah Tanam (HST), 62 HST, dan 83 HST dari sawah irigasi dan tadah hujan. Kedua adalah mengkorelasikan antara hasil simulasi emisi CH4 dengan hasil pengukuran. Ketiga adalah menganalisis varietas padi yang memiliki rasio ekoefisiensi tertinggi (varietas padi yang memiliki produksi tinggi dengan emisi CH4 yang rendah). Data yang digunakan adalah lama musim tanam, emisi CH4 dalam satu musim tanam, dan luas sawah. Pengolah dan analisis data dengan menggunakan software Powersim Constructor 2.5. Hasil menunjukkan bahwa emisi CH4 saat musim tanam gagal dari sawah irigasi lebih besar daripada sawah tadah hujan, baik untuk hari ke 39, 62, dan 83 HST. Koefisien korelasi antara emisi CH4 hasil simulasi dengan pengukuran langsung adalah 0,62. Varietas padi yang memiliki rasio ekoefisiensi terbesar adalah Tenggulang. Kata-kata kunci: emisi, metana, musim tanam, padi, simulasi ABSTRACT The background this research by the frequency of the failure of the season buried rice that became the customer every year in the Javanese island and was not yet counted on by him emissions CH4 when the season planted that failed. The aim of this research first was simulate emissions CH4 when the season planted failed on the day 39 the day after planted, 62 the day after planted, and 83 the day after planted from the irrigation paddy-field and the cistern. The second was correlated between results of the simulation of emissions CH4 and results of the grating. The third was to analyze the variety of rice that had the highest of ratio ecoefficienty (the variety of rice that had the high production with
57
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
emissions CH4 that was low). The data that was used was old the season planted, emissions CH4 in one season planted, and the area of the paddy-field. The processor and the analysis of the data with used software Powersim Constructor 2,5. Results showed that emissions CH4 during the season planted failed from the irrigation paddy-field to be bigger than the cistern paddy-field, was good for 39 the day after planted, 62 the day after planted, and 83 the day after planted. Correlation coefficient between emissions CH4 results of the simulation and the grating at once were 0.62. The variety of rice that had the ecoefficient ratio biggest was Tenggulang. Key words: emission, methane, paddy, simulation. 1
PENDAHULUAN Pada setiap musim tanam padi, petani selalu memiliki dua peluang antara berhasil atau gagal. Peluang kegagalan musim tanam terutama disebabkan oleh fenomena alam berupa cuaca. Sektor pertanian khususnya budidaya padi sawah di Indonesia terutama di Pulau Jawa masih sangat bergantung kepada cuaca dan iklim. Pola cuaca yang tidak menentu dapat juga menjadi penyebab dan pemicu serangan hama dan penyakit tanaman padi. Beberapa contoh cuaca yang tidak menentu seperti hujan besar yang terjadi saat tanaman padi justru tidak membutuhkan air, banjir di sawah yang mengakibatkan akar busuk dan tanaman tergenang, angin puting beliung yang merebahkan batang tanaman padi, atau hujan yang diharapkan turun malahan terjadi kekeringan panjang. Febrianti dan Dede (2013) menyatakan bahwa banjir yang melanda lahan sawah yang ditanami padi selama bulan DJF telah terjadi tiga kali pada bulan Desember sampai dengan Januari (DJF). Artinya pada setiap bulan minimal terdapat satu kali kejadian banjir melanda lahan sawah. Dikalangan petani musim tanam yang berhasil adalah tidak menjadi masalah. Secara ekonomi ketika musim tanam berhasil, petani menikmati hasil jerih payahnya. Pada saat musim tanam gagal, maka petani banyak mengalami kerugian. Pada musim tanam yang gagal kerugian tidak saja dialami oleh petani, tetapi lingkungan udara (atmosfer) di pedesaan juga mendapatkan emisi Gas Rumah Kaca
58
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
(GRK). Pertanian padi sawah menghasilkan empat jenis GRK yaitu CH4 (metana) dari teknik budidaya padi sawah dengan cara digenangi, gas N2O (dinitrogen monoksida) dari penggunaan pupuk sintetis, gas CO2 (karbon dioksida) dari pembakaran sisa panen, dan gas H2O (uap air) dari evapotranspirasi lahan sawah yang tergenang dan tanaman padi sendiri. Peningkatan emisi CH4 dan N2O dari lahan sawah akan meningkatkan suhu udara dan selanjutnya kenaikan suhu udara akan meningkatkan evaporasi H2O (air) dari sawah yang tergenang. Jadi peningkatan emisi suatu gas rumah kaca (CH4 dan N2O) akan meningkatkan emisi gas rumah kaca yang lain (H2O dalam bentuk uap air). Metana diemisikan ke atmosfer melalui dua sumber yaitu sumber alami sebesar 40% (lahan basah dan rayap) dan sumber antropogenik (kegiatan manusia) sebesar 60% yang berasal dari budi daya pertanian padi sawah, peternakan hewan besar, pembuangan sampah, pembakaran biomassa, dan eksploitasi bahan bakar fosil (Trismidianto, 2009). Pertanian padi sawah baik dengan teknik budidaya sawah irigasi ataupun sawah tadah hujan adalah sumber emisi metana. Sekitar 2/3 dari emisi CH4 sumber antropogenik adalah berasal dari budi daya pertanian padi sawah (Lelieveld, dkk., 1998). Gas CH4 dilepaskan dari pembuluh batang tanaman padi yang berongga dan ketika lahan sawah dikeringkan (tanaman padi memasuki fase generatif). Menurut Dewan Nasional Perubahan Iklim (2010) sektor pertanian menduduki emisi GRK tertinggi ketiga di Indonesia setelah perubahan tata guna lahan dan lahan gambut. Oleh karena itu adalah penting untuk mengetahui emisi gas rumah kaca khususnya CH4 dari sektor pertanian padi lahan sawah terutama pada saat musim tanam gagal. Banyak penelitian selama ini belum memperhitungkan dampak negatif yang diterima oleh lingkungan (atmosfer) berupa emisi CH4 yang diakibatkan oleh musim tanam padi yang gagal. Oleh karena itu perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diperhitungkannya emisi CH4 pada lingkungan atmosfer akibat musim tanam padi yang tidak berhasil (gagal). Kebaruan dari penelitian ini adalah mengestimasi emisi CH4 saat musim tanam tidak berhasil dengan pendekatan simulasi. Tujuan dari
59
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
penelitian ini adalah pertama adalah menyimulasi emisi CH4 ketika musim tanam gagal pada hari 39 HST, 62 HST, dan 83 HST dari sawah irigasi dan tadah hujan. Kedua adalah mengorelasikan antara hasil simulasi emisi CH4 dengan hasil pengukuran. Ketiga adalah menganalisis varietas padi yang memiliki rasio ekoefisiensi tertinggi (varietas padi yang memiliki produksi tinggi dengan emisi CH4 yang rendah) . 2 2.1
DATA DAN METODOLOGI Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah umur varietas padi (lama musim tanam), luas sawah irigasi, luas sawah non irigasi (sawah tadah hujan), dan emisi CH4 setiap varietas padi dalam satu musim tanam. Data umur atau lama musim tanam 4 varietas padi (Tenggulang, Batanghari, Banyuasin, Punggur) berasal dari Balai Besar Penelitian Padi di Subang (Jawa Barat). Data luas sawah di Pulau Jawa bersumber dari Statistik Luas Penggunaan Lahan (2005-2012) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data produksi padi dan hasil pengukuran langsung emisi CH4 (sebagai pembanding) berasal dari hasil penelitian sebelumnya dari Susilawati, dkk. (2009). 2.2
Metodologi Penelitian ini diawali dengan mengkonversi emisi CH4 yang dilepaskan oleh 4 varietas padi dalam satu musim tanam (kg/ha) menjadi emisi CH4 per hari. Persamaan 1 adalah formulasi untuk mengetahui emisi CH4 per hari.
Setiap varietas padi memiliki lamanya satu musim tanam yang berbeda satu sama lain. Tabel 1 menyajikan emisi CH4 dari beberapa varietas padi untuk satu musim tanam dan lamanya musim tanam. Setelah emisi CH4 setiap hari diketahui akan dilakukan simulasi. Simulasi dilakukan dengan menggunakan software Powersim Constructor 2.5. Simulasi emisi CH4 (kg/ha) yang
60
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
dilepaskan dari pertanian padi sawah akan dilakukan dengan membuat skenario jika kejadian bencana hidrometeorologi (banjir atau kekeringan) terjadi pada 39 HST, 62 HST, dan 83 HST. Pemilihan skenario kejadian bencana hidrometeorologi pada 39 HST, 62 HST, dan 83 HST adalah disebabkan terdapatnya data hasil pengukuran langsung yang dilakukan oleh Susilawati, dkk. (2009). Hasil pengukuran langsung oleh Susilawati, dkk. (2009) ini akan digunakan untuk komparasi dan korelasi antara hasil simulasi model estimasi emisi CH4 dengan hasil pengukuran langsung. Diagram alir dalam software Powersim Constructor 2.5 untuk simulasi disajikan pada Gambar 1. Tabel 1.
Emisi CH4 tiap musim tanam dan lama musim tanam.
Varietas Padi Tenggulang Batanghari Banyuasin Punggur Sumber:
*Emisi CH4 (kg/ha) 121 100 171 182
#Lama
Musim Tanam (hari) 125 125 120 117
= Balai Besar Penelitian Padi, Subang (Jawa Barat) * = Susilawati, dkk., 2009. #
faktor_konversi_ke_Gg
Emisi_CH4_Varietas_x laju_pembentukan_metan
konstanta_pembentukan_metana
Gambar 1.
luas_sawah
Diagram alir.
Analisis keakuratan model simulasi emisi CH4 akan dilakukan dengan membandingkan antara emisi CH4 hasil simulasi dengan pengukuran langsung emisi CH4. Analisis
61
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
komparasi (perbandingan) dilakukan dengan mengetahui koefisien korelasi antara emisi CH4 hasil simulasi dengan emisi CH4 hasil pengukuran langsung. Jika koefisien korelasi (r) lebih besar atau sama dengan 0,5 menunjukkan ke dua data berhubungan kuat dan hasil simulasi dapat digunakan untuk mengestimasi emisi CH4 untuk sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Analisis rasio ekoefisiensi akan dilakukan antara emisi CH4 dengan produksi gabah padi setiap varietas. Persamaan rasio ekoefisiensi ( R ) seperti tersaji pada persamaan 2.
Varietas padi yang memiliki rasio ekoefisiensi terbesar adalah varietas padi yang dapat ditanam untuk menghindari kegagalan musim tanam (panen), terutama pada kondisi iklim yang tidak menentu. Analisis rasio ekoefisiensi bertujuan agar produksi padi yang dihasilkan adalah bernilai ekonomi optimal bagi petani dan optimal secara ekologi untuk lingkungan atmosfer. 3
HASIL Hasil simulasi emisi CH4 (kg/ha) dari beberapa varietas padi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.
Emisi CH4 (kg/ha) pada saat satu musim tanam gagal. Varietas Padi Tenggulang Batanghari Banyuasin Punggur
Emisi CH4 (kg/ha) 39 HST
62 HST
83 HST
37,75 31,20 55,57 60,84
60,02 49,60 88,35 96,72
80,34 66,40 118,27 129,48
Hasil simulasi emisi CH4 pada Tabel 2 akan dianalisis koefisien korelasi (R) dengan menggunakan data pembanding hasil pengukuran emisi CH4 di lapangan (in situ). Gambar 2
62
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
Emisi CH4 hasil simulasi (mg/meter kuadrat)
menyajikan perbandingan antara emisi CH4 hasil simulasi dengan pengukuran langsung yang dilakukan oleh Susilawati, dkk. (2009).
Gambar 2.
15000 R² = 0.3891 10000 5000
0 0 100 200 300 Emisi CH4 hasil pengukuran (mg/meter…
Korelasi antara pengukuran.
emisi
4
CH4
hasil
simulasi
dengan
PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 2 (hasil simulasi) dapat diketahui bahwa untuk keempat varietas padi semakin lama hari setelah tanam (HST), maka semakin besar emisi CH4. Jika hasil simulasi emisi CH4 ini dibuat korelasi dengan hasil pengukuran lapang, maka akan diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,62 (pada Gambar 2 tampak R2 sebesar 0,389 sebagai koefisien determinasi, koefisien korelasi adalah akar pangkat dua dari koefisien determinasi). Koefisien korelasi antara emisi CH4 hasil simulasi dengan pengukuran langsung yang besarnya 0,62 adalah memiliki hubungan kuat sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi emisi CH4 untuk sawah irigasi dan sawah tadah hujan di Pulau Jawa tahun 2012. Gambar 3, 4, dan 5 menyajikan estimasi emisi CH4 di Pulau Jawa pada saat musim tanam gagal pada hari ke 39, 62, dan 83 HST untuk setiap varietas padi (4 varietas).
63
Emisi CH4 (Gg)
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
200 100 0 Tenggulang
Batanghari
Banyuasin
Punggur non irigasi
Varietas padi
irigasi
Gambar 3.
Estimasi emisi CH4 saat musim tanam gagal pada hari ke 39 HST.
Emisi CH4 (Gg)
300 200 100 0 Tenggulang
Batang hari
Banyuasin
Varietas padi Gambar 4.
Punggur non irigasi irigasi
Estimasi emisi CH4 saat musim tanam gagal pada hari ke 62 HST.
Emisi CH4 (Gg)
400 300 200 100 0 Tenggulang
Batang hari
Banyuasin
Varietas padi Gambar 5.
Punggur non irigasi
irigasi
Estimasi emisi CH4 saat musim tanam gagal pada hari ke 83 HST.
64
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
Berdasarkan Gambar 3 sampai dengan Gambar 5 dapat diketahui bahwa emisi CH4 saat musim tanam gagal dari sawah irigasi lebih besar daripada sawah tadah hujan. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu pertama luas sawah irigasi di Pulau Jawa lebih luas daripada luas sawah tadah hujan. Tabel 3 menyajikan luas sawah irigasi dan tadah hujan (non irigasi) di 6 provinsi di Pulau Jawa pada tahun 2012. Tabel 3.
Luas sawah di pulau jawa tahun 2012 (Sumber: BPS, 2012).
Provinsi
Irigasi
non irigasi
Jakarta
1103.17
0
Jawa Barat
673991
251574.21
Banten
156930
34090
Jawa Tengah
902312.6
199538.43
Yogyakarta
40907.06
30961.35
Jawa Timur
910532.7
242341.96
Penyebab kedua adalah pada sawah irigasi, sawah mendapatkan air secara terus-menerus dari waduk. Air yang jatuh pada permukaan suatu lahan tergenang akan membuat suatu lubang kecil pada permukaan lahan sawah sehingga timbul gelembung-gelembung kecil, melalui gelembung-gelembung kecil tersebut CH4 diemisikan ke atmosfer sehingga emisi CH4 menjadi lebih besar. Air untuk irigasi sawah berasal dari air hujan yang banyak membawa material tanah hasil erosi dan ditampung pada sebuah waduk. Air yang ditampung dalam sebuah waduk yang tergenang memiliki suhu air yang lebih tinggi daripada air hujan langsung. Setyanto dan Suharsih (2005) menyatakan bahwa air tergenang adalah lingkungan yang cocok untuk pembentukan CH4 karena akan meningkatkan suhu tanah dan suhu air. Selanjutnya Cicerone, dkk. (1988) dalam Treenberth (1994) menyatakan bahwa pembentukan CH4 berbanding lurus dengan suhu. Pada sawah tadah hujan sumber air hanya berasal dari air hujan yang memiliki suhu air lebih rendah daripada suhu air normal. Hal ini disebabkan air hujan berasal dari kumpulan titik-
65
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
titik air yang berakumulasi pada suatu tempat (lokasi) yang berketinggian relatif tinggi di atmosfer. Semakin tinggi suatu tempat, maka semakin rendah suhu udaranya. Suhu air hujan berbanding terbalik dengan kadar oksigen yang terlarut dalam air. Air hujan yang bersuhu lebih rendah akan memiliki oksigen terlarut lebih tinggi sehingga ketika air hujan jatuh ke dalam sawah akan mengubah kondisi dari anaerob menjadi aerob sehingga emisi CH4 berkurang. Gas CH4 dihasilkan dalam kondisi lingkungan air yang anaerob (tidak ada atau dengan sedikit oksigen). Dinyatakan juga oleh Setyanto dan Suharsih (2005) bahwa untuk emisi CH4 dapat diturunkan dengan turunnya hujan. Hal ini menunjukkan bahwa sawah tadah hujan memiliki emisi CH4 yang lebih kecil. Hasil emisi CH4 yang dilepaskan antara sawah irigasi lebih besar daripada sawah tadah hujan juga dinyatakan oleh Setyanto (1994) yang telah melakukan percobaan lapangan menanam padi sehingga diperoleh besarnya emisi CH4 yang dilepaskan oleh sawah irigasi adalah antara 71-217 mg/m2/hari dan sawah tadah hujan adalah 19-123 mg/m2/hari. Berdasarkan Gambar 3 sampai dengan Gambar 5 dapat diketahui pertama bahwa musim tanam padi yang gagal juga telah menyumbangkan emisi CH4 pada lingkungan udara pedesaan. Kedua, musim tanam padi yang gagal dari sawah irigasi memiliki emisi CH4 lebih tinggi daripada sawah tadah hujan. Ketiga, varietas padi yang memiliki emisi CH4 terbesar jika musim tanam gagal adalah Punggur dan emisi CH4 terkecil adalah varietas Batanghari. Besarnya emisi CH4 ini karena musim tanam yang gagal jika dibandingkan dengan nilai produksi padi tiap varietas, maka akan didapatkan nilai rasio ekoefisiensi dari budidaya padi sawah. Peneliti sebelumnya (Wihardjaka, dkk., 1997; Wihardjaka, dkk., 1999; Setyanto, dkk., 2004) tidak menyebut perbandingan ini sebagai rasio ekoefisiensi. Oleh penulis rasio antara produksi padi dengan emisi CH4 yang dihasilkan dapat disebut sebagai rasio ekoefisiensi. Ekoefisiensi adalah segala bentuk pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan dengan tujuan meminimalkan dampak negatif (emisi CH4) terhadap lingkungan dengan tetap memperhatikan nilai ekonomi (produksi padi). Rasio ekoefisiensi
66
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
pada tulisan ini adalah perbandingan antara produksi gabah terhadap emisi CH4. Tabel 4 menyajikan nilai ekoefisiensi dari beberapa varietas padi. Tabel 4.
Rasio nilai ekoefisiensi beberapa varietas padi.
Varietas Padi Tenggulang Batanghari Banyuasin Punggur
*Emisi CH4 (kg/ha) 121 100 171 182
*Produksi Gabah (kg/ha) 3220 1560 2670 4050
#Rasio Ekoefisiensi 26,61 15,60 15,61 22,25
Sumber: * = Susilawati, dkk.,2009. #= hasil analisis peneliti.
Berdasarkan Tabel 4 dapat disusun prioritas varietas padi yang dapat ditanam untuk mengurangi emisi CH4 jika terjadi kegagalan musim tanam, tetapi produksi padi tetap optimal. Berdasarkan rasio ekoefisiensi, maka varietas padi yang memiliki prioritas pertama untuk ditanam menurut analisa peneliti adalah yang memiliki rasio ekoefisiensi paling besar yaitu varietas Tenggulang. Urutan prioritas selanjutnya yang dapat ditanam untuk mengurangi emisi CH4 adalah varietas Punggur, Banyuasin, Batanghari. Varietas padi yang ditanam harus diperhatikan dengan benar untuk menghindari jika musim tanam gagal sehingga emisi CH4 dapat dikurangi. Metana adalah salah satu gas rumah kaca yang memiliki potensi besar dalam pemanasan global. Potensi itu disebabkan oleh Bobot Molekul (BM) CH4 sebesar 16 yang paling ringan diantara bobot molekul gas rumah kaca lainnya. Hukum Archimedes menyatakan jika zat dengan berat jenis yang lebih kecil masuk atau berada dalam sebuah zat cair, maka zat tersebut akan terapung. Hukum Archimedes ini juga berlaku dalam udara (atmosfer). Hal ini disebabkan udara dan zat cair adalah sama-sama sebuah sistem fluida. Pada fluida zat cair dikenal berat jenis, maka dalam fluida udara dapat disamakan dengan BM gas. Pada fluida zat cair, maka sistem fluidanya adalah berupa zat cair. Pada fluida atmosfer, maka sistem fluidanya dapat berupa udara kering atau udara lembab. Udara
67
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
kering adalah udara yang terdiri dari susunan komponen utama gas N2 (nitrogen= 78,09%), O2 (oksigen= 20,95%), Ar (argon= 0,93%), dan CO2 (karbon dioksida= 0,03%). Udara lembab merupakan campuran antara udara kering dengan uap air. Udara lembab memiliki komposisi seperti udara kering dengan tambahan uap air (0-4%) (Pawitan, 1989). Bobot molekul sistem fluida udara kering, dimana CH4 terdapat didalamnya adalah 28,964 (Pawitan, 1989). Bobot molekul CH4 adalah 16, maka molekul-molekul CH4 akan terapung di atmosfer dan dengan bantuan angin akan dengan mudah memasuki lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Warneck (1988) telah menunjukan bahwa CH4 dapat melayang jauh hingga sampai ke stratosfer. Metana yang sampai di stratosfer berpotensi merusak O3 (Biswas and Biswas, 1979). Konsentrasi O3 yang berkurang di stratosfer dapat mengakibatkan penipisan lapisan ozon yang berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup di Bumi. Potensi pemanasan global dari CH4 yang lain adalah dari lahan sawah yang ditanami padi. Laju pertumbuhan lahan sawah irigasi di Pulau Jawa (data 2005-1012) sebagai penghasil beras adalah 1,23% per tahun, sedangkan untuk sawah tadah hujan adalah 8,07% per tahun. Pertanian padi sawah adalah salah satu sumber emisi CH4. 5
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, sawah irigasi mengemisikan metana lebih besar daripada sawah tadah hujan pada saat musim tanam gagal baik pada hari ke 39, 62, dan 83 HST. Pada musim tanam gagal, hari setelah tanam (HST) yang semakin lama, maka emisi CH4 semakin besar. Kedua, koefisien korelasi antara emisi CH4 hasil simulasi dengan hasil pengukuran adalah 0,62. Artinya model simulasi untuk estimasi emisi CH4 pada saat musim tanam gagal dapat digunakan. Ketiga varietas padi yang dapat ditanam untuk mengurangi emisi CH4 jika terjadi kegagalan musim tanam adalah varietas Tenggulang, lalu disusul berturut-turut adalah Punggur, Banyuasin, dan Batanghari.
68
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih, penulis tujukan kepada Balai Besar Penelitian Padi di Subang (Jawa Barat) atas data umur varietas (lama musim tanam) dan Bapak Toni Samiaji atas data Luas Penggunaan Lahan (2005-2012). DAFTAR RUJUKAN Biswas, A. K, Biswas, M. R, 1979: The Ozone Layer. Proceeding of The Meeting of Experts Designated. Governments, Intergovernmental and Non Governmental Organizations on The Ozone Layer, Pergamon Press, Washington DC. Dewan Nasional Perubahan Iklim, 2010: Kurva Biaya (Cost Curve) Pengurangan Gas Rumah Kaca di Indonesia. Jakarta, DNPI, 55 halaman. Febrianti, N, Dede D, 2013: Analisis Frekuensi Banjir Sawah Pada Musim Hujan Menggunakan Data Penginderaan Jauh. Proseding Seminar Nasional Sains Atmosfer Dan Antariksa, Serpong, 27 November 2012, LAPAN, 292-299. Lelieveld, J, Paul J. Crutzen, Frank J. Dentenre, 1998: Changing Concentration, Lifetime and Climate Forcing of Atmospheric Methane. Journal Tellus B, 50, 128-150. Pawitan, H., 1989: Termodinamika Atmosfer. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, DIKTI, PAU, IPB, Bogor, 239 halaman. Pschorn, A. H, W. Seiler, 1986: Methane emission during cultivation period from an Italian rice paddy. Journal Of Geophysical Research: Atmosphere, 91, 11803-11814. Setyanto, P, 1994: Penelitian Emisi CH4 di Kebun Percobaan Jakenan. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan, Jakenan, Pati. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Kementerian Pertanian. Setyanto, P., A. B. Rosenani, M. J. Khanif, C. I. Fauziah, R. Boer, 2004: Methane Emission and Its Mitigation in Rice Fields Under Different Management Practices in Central Java. Ph.D, Thesis, Universiti Putra Malaysia. Setyanto, P, Suharsih, 2005: Mitigasi Gas Metan Dari Lahan Sawah. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan, Jakenan, Pati. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Kementerian Pertanian, 289-305. Susilawati, H. L., P. Setyanto, R. Kartikawati, 2009: Karakteristik Tanaman Padi Pasang Surut dan Perbedaannya Terhadap Fluks CH4 di Tanah Gambut. Jurnal Tanah Dan Iklim, 30, 67-79.
69
Pengaruh Kegagalan Musim Tanam Padi pada Emisi Metana (Lilik Slamet S.)
Treenberth, K., 1994: Climate System Modelling, Academy Press, New York. Trismidianto, 2009: Analisis Laju Kenaikan Konsentrasi CO2, CH4, Dan N2O Di Kototabang Dan Beberapa Wilayah Di Dunia. Prosiding Workshop Aplikasi Sains Atmosfer, 1 Desember 2008, LAPAN, Jakarta, 107-118. Warneck, 1988, in Climate Science Of Methane, Chapter II, www.ourenergypolicy.org/wpcontent/upload/2013/10/chapter02.pdf. Wihardjaka, A., P. Setyanto, A. K. Makarim, 1997: Pengaruh Varietas Padi Terhadap Besarnya Emisi Gas Metan Pada Lahan Sawah. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Wihardjaka, A., P. Setyanto, A. K. Makarim, 1999: Emisi Gas Metan Dari Berbagai Varietas Padi. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan.
70
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
KECENDERUNGAN TEMPORAL DEPOSISI Na+, Mg2+ DAN K+ DI INDONESIA (2001-2008) Tuti Budiwati 1), Wiwiek Setyawati, Emalya Rachmawati 2) dan Dyah Aries Tanti 1. Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer-LAPAN 2. Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan-KLH Jl. Djundjunan 133, Bandung Email; 1)
[email protected] ABSTRAK Mengingat pentingnya kation (basa) dalam menurunkan keasaman udara maupun hujan, maka kami melakukan pengamatan dalam variasi musiman dan kecenderungan konsentrasi secara temporal. Data yang digunakan adalah kimia air hujan (deposisi basah) yaitu pH, K+, Na+, dan Mg2+ dalam mol/L rata-rata bulanan tertimbang 2001-2008. Selain itu dilakukan pengamatan terhadap pengaruh dari unsur kation terhadap pH dalam air hujan di Indonesia. Hasilnya terdapat kecenderungan Na+ dan K+ meningkat meskipun kecil yaitu 0,064 mol/L.bln-1 dan 0,039 mol/L.bln-1, dengan kecenderungan pH tidak begitu tinggi naik yaitu hanya 0,001 per bulan. Berbeda dengan Mg2+ yang cenderung menurun sebesar -0,071 mol/L.bln-1. Masalah pembakaran biomassa seperti kebakaran hutan dan lahan (2003, 2004, 2006 dan 2007), pembakaran lahan dan sampah telah memberikan kontribusi nss-K+ (95,37% K+) yang cukup signifikan terhadap komposisi kimia air hujan sebagai penetral keasaman. Unsur Mg2+ dominan berasal dari laut sebesar 75,44% sisanya 24,56% dari kegiatan aktivitas manusia. Variasi dari pH dapat dijelaskan oleh Mg2+ sebesar 3,6%; Na+ sebesar 4%; dan K+ sebesar 5,3%. Maka 87% variasi dari pH ditentukan juga oleh faktor asam dan basa lainnya. Kata kunci: kation, Na+,Mg2+, K+, deposisi basah, kecenderungan ABSTRACT Cation base is very important to reduce acidity of air and rain therefore it is necessary to carry out temporal observation based on its seasonal variation and trend of concentration. Data used in this study were monthly weighted average of rainwater chemistry composition (wet deposition): pH, K+, Na+ and Mg2+ in µmol/L during 2001-2008. We also carried out analysis of cation substance influences to rainwater pH in Indonesia. It was found
71
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
that trend of Na+ and K+ was slighly increasing about 0.064 µmol/L.month-1 and 0.039 µmol/L.month-1, and also slighly increase in pH trend about 0.001 month-1. On the contrary trend of Mg2+ was decreasing about 0.071 µmol/L.month-1. Biomass burning problems such as forest and land fires (in 2003, 2004, 2006 and 2007), waste combustion had contributed significant amount of nss-K+ (95.37% K+) to rainwater chemistry as a neutralizing agent. About 75.44% of Mg2+ was mostly originated from the sea and the rest 24.56% was from human activities. Variation of pH was determined by Mg2+, Na+ and K+ about 3.6%, 4% and 5.3%, respectively. Therefore the rest 87% of pH variation was determided by other acid and base factors. Key words: cation, Na+, Mg2+, K+, wet deposition, trend
1
PENDAHULUAN Kation basa seperti Sodium (Na+), kalsium (Ca2+), kalium (K+) dan magnesium (Mg2+) adalah nutrien tanaman yang penting. Bila unsur-unsur basa tersebut bergabung dengan anion seperti oksida, hidroksida, karbonat atau silikat bisa menurunkan keasaman udara dan hujan, dan juga menaikkan basa tanah. Kation basa ini berasal dari proses erosi dan pergerakan angin yang membawa partikel-partikel tanah, debu-debu letusan gunung berapi, kebakaran hutan, pembakaran bahan bakar minyak atau kayu dan hasil proses industri. Sumber utama debudebu aktivitas manusia adalah industri seperti tenaga listrik, semen, besi industri logam lainnya. Dari sumber tanah dan industri semen menyumbangkan Ca, Fe dan K ke atmosfer (Santosa dkk., 2008). Kalium (K) di atmosfer yang terkandung dalam partikel kasar (coarse) berasal dari laut dan industri sedangkan dalam partikel halus (fine) berasal dari pembakaran biomassa (biomass burning) (Santosa dkk., 2008). Adapun unsur basa lainnya seperti sodium (Na+) dan asam seperti chloride (Cl-) umumnya berasal dari garam-garam laut (Astrid dkk., 1996: Santosa dkk., 2008). Hasil penelitian di Norway (Torseth dkk., 1999) menemukan bahwa konsentrasi dan perbandingan dari Na+, Cl-, dan Mg2+ adalah kuat di daerah pantai dibandingkan daratan.
72
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
Penelitian di beberapa tempat mendapatkan bahwa Clatmosfer adalah tinggi sepanjang pantai dan turun menjauhi pantai sampai akhirnya konstan pada jarak tertentu (Mc Williams dan Sealy, 1987). Konsentrasi Cl- adalah tinggi pada musim panas dibandingkan musim dingin disebabkan adanya badai garam. Saat badai garam adalah periode tinggi dari Cl- atmosfer yang berasal dari sumber laut (Mc Williams dan Sealy, 1987). Tentunya akan berdampak pada Na+ yang tinggi pula karena terikat dalam NaCl. Dampak garam atmosfer dapat menyebabkan kerusakan pada tumbuhan, terbukti kerusakan tanaman di pantai North Carolina (Wells dan Shunk, 1938) oleh garam laut yang dibawa angin. Di kota dekat pantai, aerosol laut akan berperanan mempengaruhi kimia air hujan. Pada daerah pantai sebagian besar partikel chlor di troposfer berasal dari aerosol laut, demikian pula Na berasal dari laut juga mengingat dari NaCl. Hasil penelitian karakteristik partikel udara di Jakarta yang dekat laut dan sebagai area pantai (coastal area) ternyata Na+ dan Cl+ yang terkandung adalah tinggi (Santoso dkk., 2012; Hooper, 2001). Hasil penelitian total Cl- aerosol atmosfer yang terukur di Leeds yaitu daerah pantai Inggris Utara adalah 2/3 berasal dari sumber laut (Willison dkk., 1989). Sedangkan unsur basa lainnya seperti Ca2+, K+ dan Mg2+ berasal dari pembakaran batubara atau pembersihan cerobong asap. Kandungan mineral laut dari unsur yang terbesar adalah Cl-, Na+, Mg2+, SO42-, K+ dan Ca2+ (Graedel dan Crutzen, 1993). Kation basa yang berada di atmosfer akan berdampak pada kondisi kation basa dalam air hujan. Jadi kation basa adalah penting dalam menentukan beban deposisi asam. Polutan-polutan yang berasal dari laut atau dari kegiatan antropogenik tersebut relatif stabil di atmosfer dan dapat berpindah bersamaan dengan massa udara untuk jarak jauh (Milukaite dkk., 2000). Partikel laut mengandung [NH4]2SO4; NH4NO3 dan NH4Cl, selain itu konsentrasi SO42- yang tinggi di daerah pantai berkaitan dengan Na+, Mg2+, K+, dan Ca2+ (Park dkk., 2000). Hasil Angin akan menyebarkan awan atau polutan ke segala arah. Penyebaran polusi udara mengikuti sifat meteorologi lingkungannya dari suatu wilayah ke wilayah lainnya karena kegiatan sumber yang berbeda (Stern dkk., 1984; Milukaite dkk.,
73
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
2000). Dampak pencemaran udara dalam skala meso atau regional, yang dampaknya dapat mempengaruhi areal yang lebih luas contohnya hujan asam (Stern dkk., 1984). Penyebaran polutan atau awan akan mempengaruhi deposisi basah. Mengingat pentingnya kation basa dalam menurunkan keasaman udara maupun hujan, maka kami melakukan pengamatan dalam variasi musiman dan kecenderungan konsentrasi secara temporal. Pengaruh dari unsur kation terhadap pH dalam air hujan diamati untuk Indonesia. Untuk pengamatan tersebut digunakan data pH (derajat keasaman) dan konsentrasi Na+, K+, dan Mg2+dalam air hujan. 2
KONDISI METEOROLOGI Menurut Mc. Gregor G.R. dan Nieuwolt S. (1998) bahwa monsun dan variasi dari Intertropical Convergence Zone (ITCZ) mempengaruhi empat musim di Indonesia umumnya yaitu: a) musim kemarau dari Juni-Juli-Agustus (JJA) adalah angin bertiup dari timur dan tenggara yang melewati daratan dimana pada saat tersebut kurang mengandung uap air. Curah hujan di Indonesia pada Juni sampai dengan September menunjukkan nilai yang rendah dan potensi kejadian hujan berkurang. Pada bulan-bulan tersebut sumber polusi yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di wilayah Indonesia Barat seperti Jawa dan Sumatera akan disebarkan ke arah barat. b) musim peralihan kemarau ke hujan dari September-Oktober-Nopember (SON) adalah angin berasal dari tenggara dan timur. Angin timur dan tenggara pada saat tersebut kurang mengandung uap air. c) musim hujan dari Desember-Januari-Februari (DJF) adalah Indonesia dipengaruhi arah angin dari barat menuju daerahdaerah di Indonesia. Terlebih lagi pada bulan Desember sampai dengan Maret, angin yang berasal dari laut Pasifik banyak mengandung uap air. d) musim peralihan hujan ke kemarau dari Maret-April-Mei (MAM) adalah dipengaruhi Indonesia dipengaruhi angin dari barat laut bertiup ke arah tenggara.
74
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
3 3.1
DATA DAN METODOLOGI Data Data yang digunakan adalah kimia air hujan (deposisi basah) yaitu pH, K+, Na+, dan Mg2+ dalam mol/Lrata-rata bulanan tertimbang dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Pusat Pengendalian Dampak Lingkungan (PUSARPEDAL) dari Januari 2001 sampai Desember 2008. Datadata ini telah diuji kualitasnya dengan metode Quality Assurance/Quality Control (QA/QC) yang keluarkan oleh Acid Deposition and Oxidant Research Center (ADORC) Japan (ADORC, 2002). Wilayah Indonesia yang dikaji adalah 12 kota yaitu Banjarbaru, Pontianak, Kupang, Mataram, Medan, Kototabang, Lampung, Palembang, Jakarta, Serpong, Cisarua, dan Bandung. 3.2
Metodologi Pengolahan data deposisi basah ditujukan untuk pH dan kation: K+, Na+, dan Mg2+ dalam mol/L bulanan dari Januari 2001 sampai Desember 2008. Selain itu dihitung pula secara teori non-sea salt (nss) K+ and non-sea salt (nss) Mg2+, dengan menggunakan nilai ratio antara elemen yang ditentukan dan Na+ dalam air laut. Na+ digunakan sebagai indikator dari air laut (Astrid, dkk., 1996), maka untuk menentukan sumber dari laut dengan mengasumsikan sodium berasal dari laut (Park,dkk., 2000). [K+ ]laut = 0,02. [Na+] [Mg2+]laut = 0,23 . [Na+] Jadi [nss-K+ ] adalah [K+ ] dikurangi [K+ ]laut dan [nss-Mg2+] adalah [Mg2+] dikurangi [Mg2+]laut. Variasi dan kecenderungan dari ion-ion basa yang terdiri dari K+, nss-K+, Na+, Mg2+,dan nss-Mg2+ dianalisis secara statistik. Korelasi diantara ion-ion K+, Na+,Mg2+, dan pH dari air hujan dihitung secara statistik.
75
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Variasi pH, Na+, Mg2+ dan K+ Gambar 1 memperlihatkan variasi rata-rata bulanan dari pH dan ion-ion kation Na+, Mg2+,ss-Mg2+, nss-Mg2+, K+, ss-K+, dan nss-K+ dari 2001 sampai 2008. Air hujan mengandung bermacam anion dan kation yang terlarut, setelah terjadi penggabungan gasgas dan aerosol udara ambien. Pada musim kemarau sampai peralihan bulan Oktober terlihat konsentrasi maksimum dari Na+, Mg2+, ss-Mg2+, nss-Mg2+, K+, ss-K+, dan nss-K+. Tetapi variasi pH air hujan memperlihatkan nilai tinggi dari Juni sampai Oktober di Indonesia. 5,30 5,25 5,20 5,15 5,10 5,05 5,00 4,95 4,90 4,85 4,80
pH
Na+ (mol/L)
pH
4 4.1 a.
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
J F M A M J J A S O N D
J
Mg2+
14
ss-Mg2+
12
F M A M J
J
A
S O N D
18
nss-Mg2+
16
K+; nss-K+; ss-K+(mol/L)
Mg2+; nss-Mg2+; ss-Mg2+ (mol/L)
18
Na+
10 8 6
4 2
nss-K+ K+ ss-K+
16 14
12 10 8 6 4
2 0
0 J F M A M J J A S O N D
Gambar 1.
J
F M A M J
J
A
S O N D
Variasi pH dan konsentrasi Na+, Mg2+, nss-Mg2+, ssMg2+, K+, nss-K+, dan ss-K+ di Indonesia 2001 sampai 2008.
Periode 2001 sampai 2008 didapati nilai pH sudah dibawah nilai batas keasaman air hujan 5,6. Menurut Seinfeld dan Pandis (1998) pH 5,6 adalah pH netral dari air awan dan berada dalam kesetimbangan dengan CO2 pada konsentrasi 350 ppm. Lacaux dkk. (1987) menyatakan bahwa hujan dengan nilai pH < 5,6
76
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
adalah kondisi dimana hujan dikatakan asam atau hujan asam. Nilai pH sangat dipengaruhi oleh kesetimbangan dari anion (SO42, NO3-, Cl-) dan kation (NH4+, Ca2+, Na+, Mg2+,K+, dan H+) dalam air hujan. Unsur-unsur kation adalah penetral untuk unsur anion, sehingga pH air hujan menjadi basa atau nilainya akan cenderung tinggi. Kondisi rata-rata pH < 5,6 berarti telah terjadi hujan asam di Indonesia selama 2001 sampai 2008. Nilai pH yang tinggi pada bulan bulan Agustus sampai Oktober terkontrol dengan unsur penetral Na+, Mg2+, dan K+ yang tinggi pula. Puncak nilai pH sebesar 5,26 terdapat pada bulan September, demikian pula konsentrasi ion-ion Na+ sebesar 44,83 mol/L; Mg2+ sebesar 11,77 mol/L dan K+ sebesar 17,08 mol/L. Terlihat adanya perbedaan faktor yang mempengaruhi total ion Mg2+ dan K+. Konsentrasi Mg2+ dari sumber laut dalam nilai ssMg2+ ternyata lebih tinggi yaitu 5,02mol/L dibandingkan dari ssK+ yaitu 0,44 mol/L,hal tersebut didukung oleh kenyataan bahwa Mg2+ selain berasal dari kerak Bumi juga dari laut (Park dkk., 2000). Nilai ss-Mg2+ lebih tinggi dari nss-Mg2+, hal ini signifikan dengan luas laut yang mencapai 2/3 dari luas daratan Indonesia. Berbeda dengan ss-K+ jauh lebih kecil dari nss-K+. Ion K+ dalam air hujan berasal dari pelarutan partikel-partikel yang mengandung K+ hasil pembakaran biomassa dan industri semen dan pupuk di Indonesia (Santoso dkk., 2008). b.
Kecenderungan pH, Na+, Mg2+, dan K+ Slope dan koefisien determinasi (R2) dari rata-rata bulanan pH, Na+, Mg2+, dan K+ dalam satuan mol/L.bln-1 seperti ringkasan dalam Tabel 1. Hasil analisis ditujukan untuk melihat kecenderungan parameter secara temporal dan faktor atau fenomena yang mempengaruhinya. Indonesia sebagai negara maritim yang kaya mineral laut, ternyata menyumbangkan ion Na+ dalam air hujan cukup tinggi sebesar 24,84 mol/L dengan kisaran 4,49-5,76 mol/L dibandingkan Mg2+ dan K+. Di Indonesia dalam periode 2001 sampai 2008, didapatkan kecenderungan Na+ dan K+ meningkat meskipun kecil dengan slope 0, 064mol/L.bln-1 dan 0,039 mol/L.bln-1. Demikian pula dengan kecenderungan pH tidak begitu tinggi naik yaitu hanya 0,001 per bulan. Faktor unsur lainnya seperti SO42-; NO3-, dan Cl-
77
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
yang menyebabkan nilai pH ke arah asam tentunya sangat berperanan pula untuk mempengaruhinya. Berbeda dengan kecenderungan Mg2+ yang cenderung menurun meskipun tidak besar pula yaitu dengan slope -0,071 mol/L.bln-1. Tabel 1.
Slope dan koefisien determinasi (R2) untuk regresi garis (linear regression) dari rata-rata bulanan pH dan ion-ion Na+, Mg2+, dan K+ dalam mol/L per bulan atau mol/L.bln-1 selama periode 2001-2008.
2001-2008 pH Na+ Mg2+ nss- Mg2+ ss- Mg2+ K+ nss-K+ ss-K+
Slope 0,001 0,064 -0,071
R2 0,032 0,009 0,094
0,039
0,017
Indonesia Rata-rata Stdev. 5,11 0,28 24,84 18,92 7,95 6,53 2,93 4,68 5,02 3,80 9,78 8,24 9,34 7,94 0,44 0,55
8 pH rata-rata
7
Maks 5,76 155,1 32,55 17,40 27,57 59,21 57,65 3,10
Min 4,49 7,3 0,78 0,00 0,78 2,3 2,12 0,15
y = 0,001x + 5,021 R² = 0,032
pH 5,6
pH
6
5 4
3 2 2001
Gambar 2.
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
pH di Indonesia 2001 sampai 2008.
Kecenderungan pH air hujan pada akhir 2004 sampai pertengahan 2005 terlihat menurun, naik lagi dari pertengahan sampai akhir 2005. Awal 2006 menurun sampai pertengahan 2006 dan akhir tahun tersebut meningkat sampai 2008 (Gambar 2). Tetapi berbeda dengan ion-ion Na+, Mg2+, dan K+ (Gambar 3) di Indonesia selama 2001 sampai 2008 berfluktuasi dan menunjukkan konsentrasi yang tinggi dari Agustus sampai bulanbulan peralihan SON pada 2004 dan 2006. Kenaikan yang signifikan tinggi terjadi akhir 2004 pada bulan bulan SON untuk Na+, Mg2+, dan K+. Periode tahun 2006 sampai 2008
78
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
memperlihatkan kenaikan yang signifikan dari Na+ dan K+ dan berdampak pada nilai pH yang naik pula. a. Na+ (mol/L)
160 140
Na+
120
y = 0,064x + 21,70 R² = 0,009
100 80 60
40 20 0 2001
b.
2002
70
2004
2005
2006
2007
2008
2005
2006
2007
2008
2007
2008
Mg2+
60
Mg2+ (mol/L)
2003
50
y = -0,071x + 11,43 R² = 0,094
40 30 20 10 0 2001
ss-Mg2+ dan nss-Mg2+ (mol/L)
c.
2002
2004
ss-Mg2+ nss-Mg2+
2001
d.
2003
70 60 50 40 30 20 10 0 2002
2003
2004
2005
2006
70
y = 0,039x + 7,890 R² = 0,017
60
K+
K+ (mol/L)
50 40
30 20 10
0 2001
ss-K+ dan nss-K+ (mol/L)
e.
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2005
2006
2007
2008
70 60
ss-K nss-K
50 40 30 20 10 0 2001
Gambar 3.
2002
2003
2004
2008
Konsentrasi a) Na+, b) Mg2+, c) nss-Mg2+ dan ss-Mg2+, d) K+, e) nss-K+ dan ss-K+ di Indonesia 2001 sampai 2008.
79
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
Gambar 3 memperlihatkan bahwa ion-ion dari laut seperti Na+ dan ss-Mg2+ adalah tinggi dibandingkan dengan ss-K+. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai luas lautan yang mencapai 2/3 bagian, dan luas daratan Indonesia hanya sekitar 1/3 dari luas seluruh Indonesia. Mengingat hal tersebut tentunya akan menyumbangkan unsur-unsur laut seperti Na+, Mg2+, dan Cl- yang melimpah ke atmosfer di wilayahnya. Dari Gambar 2 didapati puncak konsentrasi Na+ dan Mg2+ maksimum terjadi pada musim kemarau sampai September tahun 2004. Sedangkan K+ berasal dari emisi penggunaan pupuk, pembakaran biomassa dari daerah pertanian, ternyata memperlihatkan konsentrasi tinggi pada musim kemarau JJA sampai peralihan SON. Di daerah industri semen dan pembakaran batubara untuk industri maupun rumah tangga akan mengemisikan unsur K ke atmosfer dan selanjutnya melalui pembersihan basah akan terdeposisi dalam air hujan sebagai ion K+. Fenomena konsentrasi nss-K+ tinggi terjadi pada bulan-bulan kemarau JJA dan SON. Konsentrasi nss-K+ tinggi pada bulan-bulan tersebut terjadi pada tahun 2003, 2004, 2006 dan 2007. c.
Analisis Sumber Dari Gambar 4 memperlihatkan bahwa konsentrasi Na+ tinggi terdapat di Mataram (Lombok)> Kupang> Cisarua> Palembang> Jakarta> Lampung> Pontianak> Banjarbaru> Medan yaitu sebesar 56,65> 31,84> 31,21> 29,01> 28,41> 23,62> 21,79> 21,72> 21,16 mol/L. Kelompok lokasi tersebut dekat dengan laut kecuali Cisarua. Lokasi yang jauh dari laut memperlihatkan Na+ lebih rendah seperti Serpong> Bandung> Kototabang yaitu sebesar 20,94> 17,73> 11,48 mol/L.
80
Gambar 4.
Bandung
Cisarua
Serpong
Jakarta
Palembang
Lampung
Kototabang
Medan
Mataram
Kupang
rata rata
Pontianak
120 100 80 60 40 20 0 -20 -40 -60 -80
Banjarbaru
Na+ (mol/L)
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
Konsentrasi Na+ berdasarkan lokasi di Indonesia dari 2001 sampai 2008.
Gambar 5 mempresentasikan konsentrasi Mg2+ yang terdiri dari nss-Mg2+ dan ss-Mg2+ berdasarkan lokasi pengamatan. Jakarta yang terletak di pantai laut Jawa mempunyai konsentrasi Mg2+ rata-rata yang tinggi yaitu 15,7 mol/L dengan nss-Mg2+ dan ss-Mg2+ sebesar 9,29 mol/L dan 6,54 mol/L. Perbandingan nssMg2+ dengan ss-Mg2+ adalah 59,21% dengan 40,79% untuk Jakarta, berarti sumber dari industri baja, debu-debu bangunan (bangunan kontruksi), dan debu tanah jalan (Santoso dkk., 2012). Demikian pula dengan kota Medan mempunyai konsentrasi Mg 2+ rata-rata yaitu 8,94 mol/L sebagai daerah perkotaan dan dekat laut (sekitar ±20 km) ternyata signifikan dengan prosentase dari nss-Mg2+ lebih kecil dari ss-Mg2+ yaitu 46,53% <53,47%. Sedangkan kota pantai lainnya yaitu Mataram dan Kupang mempunyai konsentrasi Mg2+ yang dominan berasal dari laut (ssMg2+ = 100%) meskipun nilainya lebih kecil dari Jakarta dan Medan yaitu rata-rata sebesar 8,65 mol/L dan 7,05 mol/L, berurutan. Selain itu konsentrasi Mg2+ yang tinggi yaitu rata-rata 8,96 mol/L terdapat di Cisarua yang merupakan lokasi perkebunan dan pertanian di Bogor Jawa Barat, dengan perbandingan nss-Mg2+ dan ss-Mg2+ adalah 36,24% dan 63,76%. Pengaruh laut yang kuat berdasarkan kontribusi dari ss-Mg2+ terdapat pula di Bandung yaitu 92,11% dan Serpong sebesar 87,14%.
81
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
a
20 nss-Mg2+
ss-Mg2+
Palembang
Jakarta
Serpong
Cisarua
Bandung
Palembang
Jakarta
Serpong
Cisarua
Bandung
Lampung
Kototabang
Medan
Mataram
-20
Kupang
-10
Pontianak
0
Banjarbaru
Mg2+ (mol/L)
Mg2+
10
-30
Gambar 5.
Lampung
nss-Mg2+
Kototabang
Medan
Kupang
Pontianak
Mataram
ss-Mg2+
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Banjarbaru
(nss-Mg2+/Mg2+ ) dan (ssMg2+/Mg2+ )(%)
b
Konsentrasi a) Mg2+, nss-Mg2+, ss-Mg2+, dan b) prosentasen ss-Mg2+, ss-Mg2+ berdasarkan lokasi di Indonesia dari 2001 sampai 2008.
Gambar 6 memperlihatkan bahwa konsentrasi rata-rata K+ tertinggi sebesar 14,99 mol/L terdapat di Cisarua. Berikutnya Palembang 12,29 mol/L diikuti Jakarta 11,80 mol/L, Mataram 10,53 mol/L dan Pontianak 10,13mol/L. Lokasi lainnya mempunyai konsentrasi lebih rendah dari lima lokasi yang disebutkan terdahulu yaitu <10 mol/L. Prosentase nss-K+ tertinggi terdapat di Cisarua diikuti Jakarta selanjutnya Lampung berikutnya Pontianak, Palembang, Kototabang dan Medan secara berurutan dengan nilai 99,28% > 98,26% > 97,80% > 97,73% > 97,70% > 97,18% > 96,67%. Adapun lokasi lainnya mempunyai prosentase nss-K+ dibawah 95%.
82
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
a
20 nss-K+
ss-K+
Cisarua
Bandung
Cisarua
Bandung
Serpong
Jakarta
Palembang
Lampung
Kototabang
Medan
Mataram
-20
Kupang
-10
Pontianak
0
Banjarbaru
K+ dan nss-K+ (mol/L)
K+
10
-30
Serpong
Jakarta
Palembang
Lampung
Kototabang
Medan
nss-K+
Mataram
Banjarbaru
(nss-K+/K+) ; (ss-K+/K+) (%)
Gambar 6.
Pontianak
ss-K+
100% 98% 96% 94% 92% 90% 88% 86% 84% 82%
Kupang
b
Konsentrasi a) K+, nss-K+, ss-K+,dan b) prosentasenssK+, ss-K+berdasarkan lokasi di Indonesia dari 2001 sampai 2008.
Prosentase nss-Mg2+ dan ss-Mg2+ adalah 0,00%-59,21% dan 40,79%-100,00%. Prosentase nss-K+ adalah 89,24%-99,28% dan prosentase ss-K+ adalah 0,72%-10,76%. Perbandingan prosentase rata-rata antara nss-Mg2+ dengan ss-Mg2+ adalah 24,56% dibandingkan dengan 75,44%. Nilai tersebut menunjukkan sumber dominan berasal dari laut. Sebaliknya berlawanan dengan perbandingan prosentase rata-rata dari nss-K+ dengan ssK+ adalah 95,37% dibanding dengan 4,63%. Kenyataan bahwa nilai nss-K+ lebih besar dari ss-K+ adalah sebagai indikasi sumber dominan bukan berasal dari laut, diduga dari kebakaran hutan. d.
Korelasi
Hasil korelasi antara pH dengan unsur ion basa seperti K+, dan Na+ ditabelkan dalam Tabel 2. Korelasi K+ dan Na+ terhadap pH cukup signifikan dengan nilai signifikansi < 0,05. Korelasi linear antara Na+ dan pH dalam air hujan hanya 0,202 berarti R2= 0,040. Adapun korelasi antara K+ dan pH dalam air Mg2+,
83
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
hujan adalah 0,232 dengan R2= 0,053. Pengaruh Na+ terhadap pH dan K+ terhadap pH meskipun kecil tetapi kuat dilihat dari nilai signifikansinya. Hubungan antara unsur ion basa sangat kuat dengan nilai signifikansi < 0,01. Tabel 2.
Koefisienkorelasi dari pH dan ion-ion Mg2+, K+, Na+ dalam air hujan pada probabilitas 95% untuk semua sampel (n=96). pH
Mg2+
K+
Na+
Korelasi Sig. R2 Korelasi Sig. R2 Korelasi Sig. R2
0,19 0,064 0,036 0,232(*) 0,023 0,053 0,202(*) 0,048 0,040
Mg2+
K+
0,461(**) 0,0 0,632(**) 0,0
0,745(**) 0,0
* Korelasi adalah signifikan (Sig.) pada level <0,05. ** Korelasi adalah signifikan (Sig.) pada level <0,01.
4.2
Pembahasan Mengingat adanya proses pembersihan dan pelarutan hujan terhadap polutan atmosfer. Sumber-sumber polutan sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, sehingga air hujan yang bersifat asam disebabkan gas-gas SO2 dan NOx. Sedangkan air hujan yang bersifat basa disebabkan oleh sumber aktivitas manusia seperti gas NH3 yang berasal dari pemupukan atau debu-debu tanah yang mengandung Ca2+, K+, Mg2+, (NH4)2SO4, NH4NO3, dan NH4Cl. Unsur kation yang bersifat basa selain dari sumber aktivitas manusia juga berasal dari alam seperti pembakaran biomassa seperti kebakaran hutan, lahan, pembukaan pertanian, pembakaran sampah habis panen, pembakaran sampah rumah tangga dan laut. Di kota dekat pantai, aerosol laut akan berperanan mempengaruhi kimia air hujan. Dan hal tersebut terbukti pada musim kemarau variasi bulanan Na+ dan Mg2+ maksimum pada musim kemarau sampai bulan Oktober yaitu saat terjadi penguapan laut karena pemanasan. Nilai ss-Mg2+ lebih tinggi dari nss-Mg2+, hal ini signifikan dengan luas laut yang mencapai 2/3 dari luas daratan Indonesia.
84
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
Pada musim kemarau sumbangan NaCl dan Mg(Cl)2 yang terdapat dalam air laut akan menaikkan Na+ dan Mg2+ (ss-Mg2+) dalam air hujan. Kation laut seperti Na+ dan Mg2+ (ss-Mg2+) signifikan tinggi di daerah pantai Mataram, Kupang, Lampung, Palembang dan Jakarta. Hal ini disebabkan kandungan Na+, Mg+ dan Cl+ dalam partikel halus dan kasar yang berasal dari laut, hasil identifikasi karakteristik partikel di Jakarta sebagai area pantai (Santoso dkk., 2012; Hooper, 2001). Sedangkan konsentrasi nss-Mg2+ tinggi di Jakarta dengan prosentase 59,21% dari Mg2+ dibandingkan daerah lainnya, sebagai indikasi pengaruh sumber aktivitas manusia yang kuat dari partikelpartikel debu bangunan dan jalan. Unsur-unsur Ca, Mg, K, dan Pb berasal dari debu-debu bangunan bercampur debu-debu jalanan (Santoso dkk., 2012). Pada musim kemarau di Indonesia terutama di wilayah barat seperti Kalimantan, Sumatera dan Jawa selalu terjadi kebakaran hutan. Dampaknya akan meningkatkan konsentrasi nss-K+ di wilayah Indonesia barat, mengingat pada musim kemarau dan angin bertiup dari tenggara dan timur. Angin dari tenggara dan timur pada musim kemarau berpotensi menyumbangkan unsur laut Na+ dan Mg2+ dari laut yang luas di timur ke wilayah Indonesia bagian barat. Dari penelitian Santoso dkk. (2008) menjelaskan bahwa K dominan berasal dari partikel halus dan kasar dari sumber pembakaran biomassa yaitu pembakaran sampah, pembukaan area pertanian dan perkebunan. Pada musim kemarau sampai bulan Oktober seiring dengan kejadian kebakaran hutan di wilayah Barat Indonesia seperti Kalimantan, Sumatera dan Jawa akan memberikan kontribusi K+ dalam partikel halus yang melimpah. Konsentrasi nss-K+ tinggi pada bulan-bulan tersebut terjadi pada tahun 2003, 2004, 2006 dan 2007 disebabkan kebakaran lahan dan hutan pada musim kemarau (Mahmud, 2012; Budiwati dan Setyawati, 2013; NOAA, 2013). Hal ini terbukti tinggi di Palembang dengan komposisi 97,70% nss-K+ dan 2,30% ss-K+. Konsentrasi tinggi juga terdapat di Cisarua dengan perbandingan 99,28% dan 0,72% untuk nss-K+ dan ss-K+. Sebagai daerah pertanian hal ini disebabkan oleh pembakaran sampah pertanian atau pembukaan lahan. Prosentase rata-rata
85
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
nss-K+ yang lebih tinggi dari ss-K+ yaitumencapai 95,37%, adalah indikasi sumber yang dominan dari K+ di Indonesia bukan dari laut, tapi dari pembakaran biomassa. Koefisien determinasi (R2) dari regresi linear antara pH dengan Mg2+; Na+; dan K+ berurutan sebesar 0,036; 0,040; dan 0,053. Berarti angka-angka determinasi tersebut menunjukkan bahwa 3,6%; 4%; dan 5,3% variasi dari pH dapat dijelaskan secara berurutan oleh Mg2+; Na+ dan K+. Maka sisanya 87% variasi dari pH ditentukan oleh faktor asam dan basa lainnya (seperti Cl-, SO42-, NO3- dan NH4+, Ca2+). 5
KESIMPULAN Di Indonesia dalam periode 2001 sampai 2008, didapatkan kecenderungan Na+ dan K+ meningkat meskipun kecil yaitu 0,064 mol/L.bln-1 dan 0,039 mol/L.bln-1. Demikian pula dengan kecenderungan pH tidak begitu tinggi naik yaitu hanya 0,001 per bulan. Berbeda dengan Mg2+ yang cenderung menurun sebesar 0,071 mol/L.bln-1. Masalah kebakaran hutan dan lahan tahun 2003, 2004, 2006 dan 2007 telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap komposisi kimia air hujan atau penetral keasaman karena nss-K+ di daerah kebakaran hutan seperti Lampung berikutnya Pontianak, Palembang, Kototabang dan Medan yaitu dengan angka nss-K 97,80% > 97,73% > 97,70% > 97,18% > 96,67%. Prosentase rata-rata nss-K+ yang lebih tinggi dari ss-K+ yaitu mencapai 95,37% dibanding dengan 4,63%., adalah sebagai indikasi bahwa sumber yang mempengaruhi K+ dalam air hujan di Indonesia bukan dari laut, melainkan pembakaran biomassa (biomass burning). Sebaliknya jumlah prosentase rata-rata dari nss-Mg2+ dibandingkan dengan ss-Mg2+ adalah 24,56% dibandingkan dengan 75,44%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa Mg2+ dominan berasal dari laut. Variasi dari pH dapat dijelaskan oleh Mg2+ sebesar 3,6%; Na+ sebesar 4% dan K+ sebesar 5,3%. Maka 95% variasi dari pH ditentukan oleh faktor asam dan basa lainnya.
86
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
DAFTAR RUJUKAN ADORC, 2002: Manual Quality Assurance/Quality Control (QA/QC), Program for Wet Deposition Monitoring in East Asia by ADORC Acid Deposition and Oxidant Research Center–Japan. Astrid, A., H. Wortham, M. Millet, and P. Mirabel,1996: Chemical Composition Of Rain Water In Eastern France. Atmospheric Environment, 30, No. 1, 59-71. Budiwati, T., dan Setyawati, W., 2013: Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Aerosol Dan Ozon Total Di Sumatera Berdasarkan Musiman. Prosiding Seminar Sains Atmosfer SSA) 2013, ISBN: 978-979-1458-73-3, 309-321. Graedel T.E., and Crutzen P.J., 1993: Atmospheric Change: An Earth System Perspective. Freeman W.H. and Company, pp. 178-179. Hopke, P.K., Cohen David D., Begum Bilkis A., Biswas Swapan K., Bangfa Ni, Pandit G. G, Santoso M., Chung Y. S., Davy P., Markwitz A., Waheed S., Siddique N., Santos F.L., Preciosa Corazon B. Pabroa, Manikkuwadura Consy Shirani Seneviratne, Wimolwattanapun W., Bunprapob S., Vuong T.B., Hien P.D., and Markowicz A., 2008: Urban air quality in the Asian region. Science of the Total Environment, 404, Number 1-3, ISSN 0048-9697, Elsevier, www.sciencedirect .com 103-112. Hooper, M., 2001: Comparative Study of Regional Aerosol in Tropical Australia and Indonesia. Proceedings of 7th International Joint Seminar on the Regional Deposition Processes in the Atmophere, November 20-22, TsukubaJapan, 36-43. Lacaux J.P., Servant J. and Baudet J.G.R., 1987: Acid Rain In The Tropical Forests Of The Ivory Coast. Atmospheric Environment, 21, No 12, hal 2643 – 2647. Mahmud, M., 2012: Assessment of atmospheric impacts of biomass open burning in Kalimantan Borneo during 2004. Atmospheric Environment, Contents lists available at Sci Verse Science Direct, journal home page: www.elsevier.com/locate/atmosenv, 1-8. Milukaite, A., Mikelinskiene A., and Giedraitis B., 2000: Acidification of the world: Natural and Anthropogenic, Acid Rain 2000. Proceeding from the 6th International Conference on Acidic Deposition: Looking back to the past and thinking of the future, Tsukuba, Japan, 10-16 December 2000, I, 15531558. Mc. Gregor G.R. and Nieuwolt S., 1998: Tropical Climatology: An Introduction To The Climates Of The Low Latitudes, second
87
Kecenderungan Temporal Deposisi Na+, Mg2+dan K+ di Indonesia (Tuti Budiwati)
edition, John Wiley & Sons, 125-133. McWilliams E.L, and Sealy R.L. 1987: Atmospheric Chloride Its Implication For Foliar Uptake And Damage. Atmospheric Environment, 21, No 12, 2661 – 2665. NOAA, 2013: ENSO Cycle: Recent Evolution, current status and prediction, National Oceanic and Atmospheric Administration, http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitori ng/lanina/enso_evolution-status-fcsts-web.pdf Park C.J., Noh H.R., Kim B.G., Kim S.Y., Jung I.U., Cho C.R., and Han J.S.,2000: Evaluation of Acid Deposition In Korea, Acid Rain 2000. Proceedings from the 6th International Conference on Acidic Deposition: Looking back to the past and thinking of the future, Tsukuba, Japan, 10-16 December 2000, II, 445450. Santoso, M., Hopke, P.K., Hidayat, A., and Lestiani, D.D., 2008: Sources identification of the atmospheric aerosol at urban and suburban sites in Indonesia by positive matrix factorization. Science of the Total Environment, 397, 229– 237. Santoso, M., Lestiani, D.D., and Markwitz, A., 2012: Characterization of airborne particulate matter collected at Jakarta roadside of an arterial road. J. Radioanal Nucl Chem, DOI 10.1007/s10967-012-2350-5. Stern, A.C., Boubel, R.W., Turner, D.B., and Fox, L.N., 1984: Fundamentals of Air Pollution. Academic Press INC, II, Orlando-Florida, 35-45. Seinfeld J.H. and Pandis S.N., 1998: Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to Climate Change. John Wiley and Sons. INC., New York, 1031-1032. Torseth K., Hanssen J.E., and Semb A.,1999: Temporal and spatial variations of airborne Mg, Cl, Na, Ca, and K in rural areas of Norway. The Science of the Total Environment, 234, ELSEVIER, 75-88. Wells B.W. and Shunk I.V., 1938: Salt spray: an important factor in coastal ecology. Bull. Torrey Bot. Club, 65, 485 - 492. Willison M.J., Clarke A.G., and Zeki E.M., 1989: Chloride Aerosols In Central Northern England. Atmospheric Environment,23, No 10, 2231 – 2239.
88
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
ANALISIS SPASIAL PERUBAHAN RADIASI DI TOP OF ATMOSPHERE (TOA) Rosida dan Indah Susanti Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional (LAPAN) e-mail:
[email protected];
[email protected] ABSTRAK Radiasi netto Bumi adalah keseimbangan antara energi yang masuk dan yang keluar di Top Of Atmosphere (TOA) (atas atmosfer). Radiasi netto Bumi ini adalah total energi yang tersedia untuk mempengaruhi iklim. Energi datang ke dalam sistem pada saat sinar matahari menembus TOA. TOA merupakan lapisan dimana terjadi interaksi pertama antara atmosfer dan radiasi matahari. Lapisan ini berada pada ketinggian kurang lebih 20 km di atas permukaan Bumi. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan fluks radiasi gelombang panjang dan gelombang pendek di lapisan TOA di wilayah Indonesia. Fokus dari penelitian adalah untuk menganalisis kecenderungan pemanasan atau pendinginan suatu daerah di wilayah Indonesia dengan menganalisis secara spasial fluks radiasi di TOA. Data yang digunakan adalah dari sensor-satelit CERES (The Clouds and the Earth's Radiant Energy System) dengan periode data sekitar 11 tahun dari 2000-2010. Metoda penelitian dilakukan dengan menentukan nilai rata-rata spasial bulanan dan musiman untuk menunjukkan variabilitasnya. Berdasarkan pengolahan data, dapat diketahui bahwa di Indonesia terjadi anomali fluks radiasi di TOA yang besar pada tahun 2006. Anomali tersebut berkaitan dengan peningkatan polutan yang terjadi pada tahun 2006 akibat peristiwa kebakaran hutan. Kata-kata kunci: CERES, Indonesia, Radiasi, Top-of atmosphere (TOA) ABSTRACT The Earth‟s net radiation is energy balance between incoming and outgoing at the top of the atmosphere/TOA (upper atmosphere). This Earth's net radiation is the total energy available to affect the climate. Energy comes into the system when the sun go through the TOA. TOA is the layer where there is first interaction between the atmosphere and solar radiation. This layer is located at an altitude of approximately 20 km above the earth's surface. In this research is conducted observation of longwave radiation flux and the shortwave at TOA layer in the region of Indonesia. Focus of the research is to analyze trend of heating or cooling an area in
89
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
Indonesia by analyzing the spatial radiation flux at TOA. The data used are from the CERES satellite sensors (The Clouds and the Earth's Radiant Energy System) with a period of about 10 years of data from 2000 to 2010. The method of research is conducted by determining the average evalue of the monthly spatial and seasonal to show the variability. Based on data processing, it can be seen that in Indonesia occurred at the TOA radiation flux anomalies are large in 2006. The anomaly is associated with an increase in pollutants that occurred in 2006 due to the fires. Keywords: CERES, Indonesia, Radiation, Top-of atmosphere (TOA). 1
PENDAHULUAN Radiasi netto Bumi adalah keseimbangan antara energi yang masuk dan yang keluardi Top Of Atmosfer/TOA (atmosfer atas). Radiasi netto Bumi ini adalah total energi yang tersedia untuk mempengaruhi iklim. Energi datang ke dalam sistem Bumi pada saat sinar matahari menembus TOA. Energi keluar dengan dua cara, cara yang pertama dengan refleksi oleh awan, aerosol, atau permukaan Bumi, dan cara lain yaitu melalui termal radiasi panas yang dipancarkan oleh permukaan dan atmosfer, termasuk awan. Radiasi netto rata-rata global harus mendekati nol selama rentang setahun, karena kalau tidak maka suhu rata-rata akan naik atau bahkan akan turun (Loeb, dkk., 2009). Berdasarkan kesetimbangan budget radiasi global rata-rata tahunan bahwa radiasi matahari gelombang pendek (shortwave, SW) yang masuk, direfleksikan atau dihamburkan secara langsung kembali ke angkasa oleh atmosfer dan sebagian lagi di absorbsi oleh Bumi dan atmosfer. Pada saat radiasi diabsorbsi, permukaan Bumi dan atmosfer mengemisikan kembali energi ini dalam bentuk radiasi gelombang panjang (longwave, LW) inframerah (Trenbeth, dkk., 2009). Satuan yang digunakan untuk fluks energi tersebut dinyatakan dalam satuan W/m2. Fasullo dan Trenberth, (2008), menjelaskan bahwa dari radiasi yang masuk, sekitar 47% diserap oleh permukaan Bumi. Panas yang dikembalikan ke atmosfer dalam berbagai bentuk seperti proses evaporasi dan radiasi termal. Sebagian besar dari panas yang mengalir ke atas diserap oleh atmosfer, kemudian dipancarkan kembali sebagai radiasi termal inframerah
90
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
(gelombang panjang, LW), baik yang mengarah ke atas maupun yang ke bawah. Sebagian lagi hilang ke angkasa,dan sebagian lagi tetap berada dalam sistem iklim Bumi. Efisiensi di mana Bumi dapat mendinginkan angkasa melalui radiasi termal inframerah (gelombang panjang) ditentukan oleh efek rumah kaca. Kondisi ketidakseimbangan antara sinar matahari yang di absorbsi dan radiasi termal yang dilepaskan keluar menentukan apakah Bumi akan bertambah panas atau bahkan akan menjadi lebih dingin. Berdasarkan hasil pengamatan yang terbaru yang di laporkan dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2013), menunjukkan adanya akumulasi panas oleh Bumi (terutama dalam lautan) sebesar 0,6 Wm-2. Nilai tersebut mungkin tampak kecil namun dimungkinkan dapat menjadi pengendali terjadinya perubahan iklim global. TOA merupakan lapisan dimana terjadi interaksi pertama antara atmosfer dan radiasi matahari dan lapisan ini berada pada ketinggian kurang lebih 20 km di atas permukaan Bumi. TOA ini berbentuk ellipsoid dengan persamaan x²/a² + y²/a² + z²/b² = 1, dimana a = 6408.1370 km dan b = 6386.6517 km. Setelah melewati TOA, radiasi masuk ke lapisan berikutnya yang berisi sejumlah gas, awan, aerosol dan zat-zat lainnya sebelum pada akhirnya mencapai permukaan Bumi. Radiasi matahari dipencarkan dan/atau diserap dalam setiap lapisan material ini, sedangkan zat-zat di atmosfer dan di permukaan mengemisikan radiasinya sendiri. Gelombang pendek (SW) dan gelombang panjang (LW) merupakan bagian spektrum utama dari energi yang dapat dibagi secara lebih detail menjadi interval spektrum yang lebih kecil, tergantung pada spesifik proses-proses fisis yang dikaji. Laing (2011) mempresentasikan bagaimana distribusi radiasi matahari yang datang (shortwave) dan radiasi inframerah yang dilepaskan (longwave) divariasikan dengan lintang (suatu ukuran jarak dari ekuator). Daerah tropis mengabsorbsi energi netto dari energi matahari dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah radiasi gelombang panjang yang dilepaskan. Daerah kutub akan secara kontinyu kehilangan panas. Hal tersebut berarti bahwa daerah tropis akan terus memanas dan kutub akan semakin dingin, namun pada
91
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
kenyataanya tidak terjadi seperti itu. Bumi secara kontinyu memompa atau mengalirkan panas dari daerah tropis ke daerah kutub, seperti mesin pemanas. Sirkulasi atmosfer Bumi dan lautan yang dipengaruhi oleh mekanisme pemompaan yang membawa kira-kira sejumlah energi yang sama dari khatulistiwa ke kutub. Letak Indonesia yang berada pada posisi garis lintang 6 oLU sampai dengan 11oLS dilintasi oleh garis khatulistiwa. Posisinya tersebut menjadikan Indonesia termasuk wilayah yang berada di daerah iklim tropis. Indonesia adalah daerah yang mendapat limpahan sinar matahari sepanjang tahun. Artinya Indonesia terletak pada daerah yang mendapat surplus sinar matahari. Pertanyaan pada penelitian ini adalah bagaimana kondisi kesetimbangan radiasi di TOA wilayah Indonesia pada saat ini ?, dan apakah faktor antropogenik memberikan pengaruh terhadap kesetimbangan fluks radiasi di TOA wilayah Indonesia?. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan manganalisis variabilitas kesetimbangan fluks radiasi di TOA, serta menganalisis perkiraan faktor antropogenik yang diduga mempengaruhi fluks radiasi di TOA. 2
DATA DAN METODOLOGI Data radiasi yang digunakan pada penelitian ini adalah data rata-rata bulan yang diperoleh dari Aqua-CERES resolusi data 1ox1o. Rentang waktu data yang digunakan yaitu dari 2000 – 2010. Format data HDF, yang terdiri dari data : shortwave downward dan upward radiation fluxs, longwave downward dan upward radiation fluxs, serta net shortwave dan longwave radiation fluxs. Semua data yang dianalisis dalam kondisi cerah dan semua kondisi di TOA. Lokasi penelitian adalah Indonesia, dan sebagai studi kasus yang berkaitan dengan peristiwa kebakaran hutan adalah Kalimantan dan Sumatera. Keseimbangan radiasi di TOA diekspresikan dalam persamaan budget radiasi, yang terdiri dari istilah-istilah yang berbeda yang masing-masing mempresentasikan transpor radiasi atau proses konversi.
92
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
Q* =
= (K↓ - K↑) + (L↓ - L↑) [Units: W m-2] K* + L* (1)
Q* K* K↓ K↑ L* L↓ L↑
: : : : : : :
radiasi netto all wave radiation net shortwave radiation incoming shortwave radiation outgoing shortwave radiation net longwave radiation incoming longwave radiation outgoing longwave radiation
Pengolahan data dikerjakan dengan menggunakan perangkat lunak GrADS. Pengolahan data diawali dengan menentukan nilai rata-rata spasial bulanan dan musiman untuk menunjukan variabilitasnya menggunakan analisis statistik sederhana. Analisis kemungkinan adanya fenomena ekstrim dilakukan dengan menganalisis nilai anomalinya yang ditentukan dengan standar deviasinya. 3
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa variabilitas fluks radiasi gelombang panjang dan gelombang pendek di puncak atmosfer (TOA) menunjukkan adanya variasi bulanan dan musiman. Pola rata-rata bulan baik untuk fluks radiasi matahari gelombang pendek maupun untuk radiasi terrestrial menunjukkan pola yang sangat berfluktuatif. Analisis dilakukan terhadap perubahan yang terjadi baik dalam kondisi cerah maupun tidak cerah (semua kondisi). Pada semua kondisi, jumlah fluks radiasi netto di TOA untuk gelombang panjang (LW) nilainya lebih besar dari pada fluks gelombang pendek (SW), dan nilainya hampir mencapai 2 kali lipat. Pada semua kondisi, fluks radiasi netto gelombang panjang (LW) yang sampai di TOA ratarata berkisar antara 260 – 300 Watt/m2, dan fluks gelombang pendeknya (SW) antara 130 - >150 watt/m2. Pada kondisi cerah rata-rata bulan fluks radiasi LW berfluktuasi dari 265 - 300 watt/m2, dan rata-rata bulan fluks radiasi SW di TOA bervariasi antara 80 - 125 watt/m2. Pada kondisi yang tidak cerah (semua kondisi), pola variabilitas radiasi
93
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
LW bulanan menunjukkan pola yang tidak beraturan.
Gambar 1.
Fluks radiasi matahari bulanan di Top Of Atmosphere (TOA) pada kondisi cerah.
Hal ini terjadi karena pengaruh dari banyak faktor, dan mengingat juga radiasi LW ini merupakan radiasi yang dipantulkan, diemisikan dari permukaan oleh berbagai materi yang ada di permukaan dan di atmosfer yang mempunyai kemampuan untuk mengemisikan, menghamburkan bahkan mengabsorbsi radiasi matahari. Jumlah radiasi LW pada kondisi cerah jauh lebih besar dibandingkan jumlah radiasi LW di TOA pada kondisi yang tidak cerah. Radiasi matahari SW rata-rata bulannya di TOA pada kondisi cerah berfluktuasi antara >180 watt/m2 sampai <95 watt/m2. Berdasarkan hasil analisis data dari bulan Maret 2000 sampai dengan Desember 2010 memperlihatkan variabilitas yang cenderung meningkat dengan bentuk pola bulanannya yang cenderung simetris. Berdasarkan pola variabilitasnya pada Gambar 1, mempresentasikan bahwa pada bulan Oktober 2002 dan bulan
94
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
Oktober 2006 menunjukkan nilai maksimum yang lebih besar dari rata-rata jumlah fluktuasinya. Pada bulan Oktober 2002 dicapai nilai maksimm 160,9, sementara rata-rata bulan fluks radiasi SW di TOA pada bulan Oktober 2006 adalah 51,35 watt/m2, dan fluks maksimumnya adalah 218,9 watt/m2.
Gambar 2.
Anomali radiasi netto (LW & SW) di TOA pada kondisi cerah, Maret 2000 sampai Desember 2010.
Anomali SW di TOA pada kondisi cerah mempresentasikan adanya peningkatan fluks radiasi SW di daerah Kalimantan seluas lebih dari 50% lahan yang mengalami kenaikan fluks radiasi SW di daerah ini dengan nilai peningkatan jumlah fluks radiasi SW > 12 watt/m2. Peningkatan jumlah fluks ini juga terjadi di daerah Sumatera yang melingkupi hampir 50% luasan daerah Sumatera. Pada kondisi yang tidak cerah, radiasi matahari SW di TOA menunjukkan pola yang simetris untuk variabilitas rata-rata fluks radiasi total netto bulanannya yaitu antara 50 sampai >150 watt/m2. Fluks radiasi netto SW di TOA pada semua kondisi mencapai rata-rata nilai rata-rata antara 130 – 150 Watt/m2.. Pada kondisi cerah (bersih tanpa awan), maksimum fluks radiasi netto untuk SW nya di TOA lebih kecil dibandingkan dengan fluks radiasi netto pada semua kondisi, yaitu < 80 Watt/ m2. Anomali fluks radiasi total netto di TOA bervariasi antara (minus) -15 watt/m2 sampai kira-kira 10 watt/m2. Berdasarkan anomali ini terjadi penurunan fluks radiasi total netto di TOA
95
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
pada kondisi cerah sampai -11,68 watt/m2 (Gambar 2). Anomali fluks radiasi total netto di TOA pada semua kondisi juga menunjukkan adanya penurunan fluks radiasi pada waktu yang sama yaitu pada bulan Oktober 2006, namum penurunannya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan penurunan yang terjadi pada kondisi cerah. Selisih yang terjadi tersebut diperkirakan akibat dari adanya materi di atmosfer.
Gambar 3.
Penurunan fluks radiasi netto (LW & SW) di TOA pada kondisi cerah, pada bulan Oktober 2006 dan November 2006 di daerah Kalimantan.
Fluks dari radiasi total netto yang terjadi di TOA cukup bervariasi, dan menunjukkan siklus yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Pada bulan JJA, fluks radiasi netto di TOA menurun dan mencapai minimum antara bulan Juni dan Juli. Kemudian meningkat lagi pada saat menjelang musim penghujan SON. Ruang lingkup daerah kajian kemudian dipersempit, agar analisis lebih terfokus. Daerah Kalimantan dipilih sebagai „fokus daerah kajian karena berdasarkan informasi di daerah Kalimantan ini sering kali terjadi kebakaran hutan yang merupakan ulah pengusaha hutan dalam membersihkan sisasisa penebangan batang pohon. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan yang cukup signifikan dari total fluks net radiasi (LW dan SW) di atmosfer atas (TOA) pada bulan November yang mencapai maksimumnya pada bulan Oktober 2006.
96
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
a). Tren Anomali radiasi total netto di TOA, cerah.
b). Penurunan Fluks LW netto di TOA
c). Peningkatan Fluks SW netto di TOA
Gambar 4.
Tren anomali radiasi total netto di TOA pada kondisi cerah dengan fluks radiasi LW netto dan SW netto di TOA pada kondisi cerah, pada 2006 di Kalimantan.
Jika dianalisis penurunan fluks radiasi gelombang panjang (LW), dan terjadinya peningkatan fluks radiasi gelombang pendek di TOA, diperkirakan berkaitan dengan adanya pengaruh dari unsur-unsur gas rumah kaca pada level tersebut. Pada Gambar 4 digambarkan keterkaitan antara penurunan nilai fluks pada anomali radiasi total netto di TOA pada kondisi cerah terhadap fluks LW netto di TOA dan fluks SW netto di TOA. Hasil analisis dari seluruh data yang digunakan, maka untuk total fluks net radiasi di TOA, data bulan Oktober 2006 merupakan data satu-satunya yang menunjukkan anomali dengan nilai minimum paling rendah. Hal tersebut diperkirakan
97
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
ada keterkaitannnya dengan akumulasi gas rumah kaca dari peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada saat itu. Penurunan fluks radiasi yang terjadi pada peristiwa tersebut mencapai < 45 watt/m2. Anomali radiasi SW netto di TOA pada semua kondisi menurunkan fluks radiasi di daerah di sekitar Kalimantan sampai <-12 watt/m2, sementara di Kalimatan sendiri justru terjadi peningkatan fluks radiasi sampai >9 watt/m2, hal ini kemungkinan disebabkan oleh karakteristik lahan gambut yang terdapat di Kalimantan. Keterkaitan antara penurunan fluks radiasi LW di TOA dan peningkatan fluks radiasi SW di TOA diperkirakan ada korelasinya dengan akumulasi materi antropogenik yang di emisikan pada peristiwa kebakaran yang terjadi di Kalimantan saat itu (2006). Mengingat pentingnya hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian yang membahas secara mendetail tentang pengaruh akumulasi materi yang diemisikan dari kebakaran hutan terhadap radiasi di TOA, baik terhadap incoming radiasi (shortwave), radiasi terrestrial maupun radiasi netto secara ratarata bulan dan musiman. 4
KESIMPULAN Hasil analisis baik untuk fluks radiasi netto SW, fluks radiasi netto LW dan fluks radiasi total nettonya di TOA, menjelaskan bahwa kondisi lingkungan atmosfer sangat mempengaruhi pada budget radiasi. Umumnya, baik pada kondisi cerah maupun pada kondisi yang tidak cerah (semua kondisi), fluks radiasi netto gelombang panjang (LW) rata-rata bulan di TOA nilai nya antara 260 – 300 watt/m2 yang nilai nya hampir mencapai 2 kali lipat lebih besar dari fluks netto gelombang pendek (SW), yang nilainya hanya antara 130 - 150 watt/m2. Faktor antropogenik diperkirakan memberikan peranan yang cukup penting dalam mempengaruhi kesetimbangan budget radiasi. Seperti pada kasus kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi di Kalimantan pada sekitar Oktober 2002 dan 2006, yang mengemisikan materi antropogenik dalam jumlah yang
98
Analisis Spasial Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere (Rosida)
sangat banyak. Hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan fluks radiasi netto SW di TOA, tapi menurunkan fluks radiasi netto LW nya. Hasil analisis terhadap total fluks netto radiasi di TOA, maka data bulan Oktober 2006 menunjukkan adanya penurunan total fluks radiasi netto yang ditunjukkan dengan nilai anomali paling rendah di bawah -12 watt/m2. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Bandung yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para pemberi resensi (reviewer) makalah ini yang telah mambantu kami dalam mengkoreksi, memperbaiki hingga terselesaikannya makalah ini. DAFTAR RUJUKAN Fasullo, J., K. Trenberth, 2008: The Annual Cycle of the Energy Budget. Part II: Meridional Structures and Poleward Transports. J. Climate, 21, 2313-2325. IPCC, 2013: Summary for Policymakers. In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S. K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Laing, A., and, Jenni-Louise Evans, J.E., 2011: Introduction to Tropical Meteorology.The COMET Program and National Center for Atmospheric Research 2nd edition, 2.0, http://www.goesr.gov/users/comet/tropical/textbook_2nd_ edition/print_1.htm Loeb, N. G., B. A.Wielicki, D. R. Doelling, G. L. Smith, D. F. Keyes, S. Kato, N. M. Smith, and T. Wong., 2009: Toward optimal closure of the Earth‟s top-of-atmosphere radiation budget. J. Clim., 22, 748–766, doi:10.1175/2008JCLI2637.1. Pidwirny, M., 2010: Energy balance of Earth, Atmospheric Science, NASA, The Encyclopedia Of Earth., http://www.eoearth.org/view/article/152458/ Trenberth, K. E., J. T. Fasullo, and J. Kiehl, 2009: Earth's Global Energy Budget. Bull. Amer. Meteor. Soc., 90, 311-323
99
Wrplot Concentration Rose sebagai KajianDistribusi PM10di Bandung (Sumaryati)
APLIKASI WRPLOT UNTUK MENGGAMBARKAN CONCENTRATION ROSE SEBAGAI KAJIAN DISTRIBUSI PM10 DI CEKUNGAN BANDUNG Sumaryati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN e-mail:
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Topografi Cekungan Bandung yang berbentuk cekungan seperti mangkuk, berpotensi menghalangi polutan tersebar keluar dari Cekungan Bandung. Bagaimana peran topografi dalam Cekungan Bandung membentuk concentration rose PM10 dikaji di Cekungan Bandung. Concentration rose menunjukkan datangnya arah angin yang membawa PM10 dengan konsentrasi tertentu. Concentration rose menunjukkan dari arah mana polutan dengan konsentrasi tertentu berasal. Pemantauan PM10 dan arah angin dilakukan di lima lokasi, yaitu Dago, Tirtalega, Batununggal, Ariagraha, dan Cisaranten dari tahun 2000-2003 oleh BLH Kota Bandung. Concentration rose digambarkan dengan perangkat MS excel dan WRPLOT 7.0.0 dengan mengganti parameter kecepatan angin dengan konsentrasi PM10. Hasil menunjukkan bahwa terlihat adanya downwash oleh topografi pada pengamatan di Dago yang posisinya dekat bukit. Kejadian downwash ini terlihat dengan adanya dominasi arah angin yang berasal dari bukit dan konsentrasi PM10 yang tinggi. Di lokasi lain yang letaknya di daerah pusat Cekungan Bandung dan relatif jauh dari topografi yang tinggi tidak nampak adanya kejadian downwash, dan pengaruh angin gunung atau angin lembah terhadap angin global lemah. Kata-kata kunci: concentration rose, PM10, downwash, cekungan ABSTRACT Bandung Basin terrain that is shaped like a bowl, potentially trapped air pollution dispersion out of the Bandung Basin. How the terrain of Bandung Basinforms PM10 concentration rose studied in this paper. Concentration rose shows the direction of the wind blowing from which brings a certain concentration of PM10. Monitoring of PM10 andwind directioncarried outinfive locations, i.e. Dago, Tirtalega, Batununggal, Ariagraha, and Cisaranten during 2000-2003 by BLH Bandung District. Concentration rose presented using the MS excel and WRPLOT 7.0.0 software by changing the parameter of wind speed with PM10 concentrations for WRPLOT. The results showed that there
100
Wrplot Concentration Rose sebagai Kajian Distribusi PM10 di Bandung (Sumaryati)
is a downwash by high terrain in Dago monitoring that the location is in the slope of Bandung Basin hill. The downwash event is shown by the dominance of wind direction blowing from and the high PM10 concentration. In another locations those are located in the center of Bandung Basin area and the distance far from the high terrain relatively does not appear any downwash events, and the effect of the mountain or valley breeze to global circulation winds is weak. Keywords: concentration rose, PM10, downwash, basin 1
PENDAHULUAN Bandung sebagai kota besar dengan aktivitas pada sektor transportasi yang sangat padat dan terdapat beberapa kawasan industri di pinggiran kota Bandung, menghasilkan banyak polutan yang salah satunya adalah PM10, atau particulate matter (PM) adalah salah satu polutan berupa zat padat dengan ukuran diameter aerodinamik kurang dari 10m. Partikulat salah satu bentuk polutan udara yang berupa zat padat. Dari PM10 ini masih bisa dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu coarse particle (partikulat kasar) dengan ukuran 2,5 – 10 m dan fine particle (partikulat halus) dengan ukuran kurang dari 2,5 m atau sering disebut PM2.5. PM10 berpotensi mengganggu kenyamanan dan kesehatan. Partikulat yang di atmosfer dapat mengurangi jarak pandang dan iritasi pada mata. Tingkat bahaya partikular meningkat dengan ukuran partikular yang semakin kecil. Semakin kecil ukuran partikel semakin besar kemampuannya menembus sistem pernafasan dan berakumulasi dalam sistem pernafasan (USEPA, 2014, Zannaria, 2009). Bandung merupakan dataran tinggi dengan topografi berbentuk cekungan. Meskipun bentuk cekungannya tidak sempurna seperti cekungan bola, topografi yang tinggi di pinggiran Bandung berpotensi menjadi penghalang bagi polutan yang dihasilkan dari kota Bandung untuk tersebar secara luas. Dataran tinggi di pingiran Bandung ini berpotensi menyebabkan kejadian downwash (Sumaryati, 2007) yang menyebabkan konsentrasi polutan, dalam hal ini PM10 tinggi di daerah lereng gunung, meskipun daerah itu tidak ada sumber emisi yang dekat.
101
Wrplot Concentration Rose sebagai Kajian Distribusi PM10 di Bandung (Sumaryati)
Untuk menggambarkan besarnya konsentrasi PM10 dari berbagai arah ditampilkan dalam bentuk concentration rose. Tampilan concentration rose dapat berupa rata-rata konsentrasi setiap jenis polutan pada setiap arah mata angin yang dipilih (Al Salem dan Khan, 2008, Kassomenos dkk., 2011) ada pula yang menggambarkan besarnya beberapa interval konsentrasi setiap jenis polutan pada setiap arah mata angin yang dipilih (Al Harbi, 2014). Dalam tulisan ini dibuat concentration rose dengan dua bentuk concentration rose di atas dengan mengaplikasikan perangkat MS Excel dan WRPLOT yang dapat diunduh bebas dari http://www.weblakes.com/download/freeware.html. WRPLOT asalnya digunakan untuk menggambarkan wind rose, tetapi dalam tulisan ini dicoba untuk menggambarkan concentration rose dengan mengganti parameter kecepatan angin menjadi konsentrasi PM10. 2 2.1
DATA DAN METODOLOGI Data PM10 dan arah angin diperoleh dari monitoring yang dilakukan oleh BPLHD Kota Bandung pada lima lokasi dari tahun 2000-2003. Data dalam kurun waktu tersebut yang paling lengkap di Bandung. 2.2
Metodologi Penggambaran concentration rose menggunakan perangkat WRPLOT dan Excel. Pada prinsipnya WRPLOT 7.0.0 digunakan untuk menggambarkan windrose, untuk menggambarkan concentration rose parameter kecepatan angin diganti dengan konsentrasi polutan, dan pilihan arah mata angin sebanyak 16 buah. Penggambaran concentration rose dengan MS Excel, dilakukan dengan mengelompokan data setiap dalam 16 arah mata angin, sehingga diperoleh data arah mata angin dan konsentrasi rata-rata polutan pada arah tertentu. Arah mata angin dan besarnya sudut dapat dilihat pada Tabel 1.
102
Wrplot Concentration Rose sebagai Kajian Distribusi PM10 di Bandung (Sumaryati)
Tabel 1. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Arah mata angin dan besarnya sudut. Arah mata angin Utara (U) Utara timur laut (UTL) Timur laut (TL) Timur timur laut (TTL) Timur (T) Timur tenggara (TTg) Tenggara (Tg) Selatan Tenggara (STg) Selatan (S) Selatan barat daya (SBD) Barat daya (BD) Barat barat daya BBD) Barat (B) Barat barat laut (BBL) Barat laut (BL) Utara barat laut (UBL)
Besarnya sudut 348,75 - 1125 11,25 - 33,75 33,75 - 56,25 56,25 - 78,75 78,75 - 101,25 101,25 - 123,75 123,75 - 146,25 146,25 - 168,75 168,75 - 191,25 191,25 - 213,75 213,75 - 236,25 236,25 - 258,75 258,75 - 281,25 281,25 - 303,75 303,75 - 326,25 326,25 - 348,75
Analisis concentration rose dikaitkan dengan topografi di Bandung yang berbukit-bukit membentuk cekungan. Topografi digambarkan dari TAPM (The Air Pollution Model). 3 3.1
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Bandung yang sering disebut dengan istilah Cekungan Bandung merupakan daerah tinggi dengan topografi berbentuk cekungan. Cekungan Bandung sendiri didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh permukaan tanah yang tertinggi, sehingga jika ada hujan limpasan air hujan tersebut akan mengalir ke arah pusat Cekungan Bandung (Sumaryati, 2007). Gambar 1 di bawah bukan topografi Cekungan Bandung, tetapi topografi yang menggambarkan lokasi sekitar monitoring, yang berada dalam Cekungan Bandung. Topografi diambil dari data topografi pada program TAPM. Dari gambar topografi terlihat bahwa bentuk cekungannya tidak bulat seperti bola, tetapi berbentuk agak lonjong ke arah barat dan timur. Sebelah barat dan timur Cekungan Bandung ada dataran rendah, yang seolah celah untuk aliran udara dari dari dan keluar Cekungan
103
Wrplot Concentration Rose sebagai Kajian Distribusi PM10 di Bandung (Sumaryati)
Bandung.
Gambar 1.
Lokasi monitoring dan Topografi Bandung (warna gelap menunjukkan topografi yang semakin tinggi, garis hitam: kontur topografi, garis biru muda: batas administrasi, titik merah: lokasi pengamatan: 1: Dago, 2 Tirtalega, 3 Batununggal, 4: Ariagraha, 5: Cisaranten).
Gambar 2.
Concentration rose PM10 di lima lokasi.
Penggambaaran concentration rose dengan mengaplikasikan perangkat MS Excel dan WRPLOT. Keuntungan dengan aplikasi MS Excel, data pada semua lokasi dapat digambarkan dalam satu gambar, sehingga bisa membandingkan nilainya pada semua lokasi (Gambar 2). Kelemahannya, concentration rose di sini hanya menyajikan rata-rata konsentrasi (g/m3), tetapi tidak menyajikan besarnya frekuensi arah mata angin yang membawa polutan dan interval konsentrasi polutan yang dibawa. Concentration rose yang lebih jelas untuk lima lokasi pengamatan
104
Wrplot Concentration Rose sebagai Kajian Distribusi PM10 di Bandung (Sumaryati)
dapat dilihat pada Gambar 3. skala (g/m3):
Dago
Tirtalega
Batununggal
Ariagraha
Cisaranten Gambar 3.
Concentration rose tiap lokasi pengamatan.
Dari kedua concentration rose di atas, dapat digambarkan prosentase distribusi frekuensi konsentrasi PM10 untuk interval konsentrasi sebagaimana digambarkan dalam concentration rose (Gambar 3).
105
Wrplot Concentration Rose sebagai Kajian Distribusi PM10 di Bandung (Sumaryati)
Gambar 4.
Distribusi frekuensi konsentrasi PM10.
3.2
Pembahasan Selain ukuran partikulat, tingkat bahaya partikulat juga dipengaruhi unsur pembentuk partikulat tersebut. Menurut analisa kimia partikulat yang disampling di beberapa lokasi di Bandung oleh Zannaria (2009), partikulat terdiri dari unsureunsur berikut: Br, Mn, Al, I, V, Cl, Na, Pb, Hg, black carbon (BC). Partikel tersebut berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, kegiatan industri, pembakaran biomasa, debu jalanan, dan pembakaran sampah. Partikulat di atmosfer dapat dibersihkan dari atmosfer melalui proses pencucian oleh air hujan dan jatuh karena tarikan gravitasi, yang mana kecepatan jatuh partikulat akan lebih cepat untuk partikulat berdimensi besar dan kondisi lembab (Sumaryati, 2009). Selain itu beberapa jenis tanaman mampu mengikat partikulat di atmosfer, dan efektivitasnya lebih besar untuk partikulat yang berdimensi besar (Sciencedaily, 2014). Oleh karena itu semakin kecil ukuran partikulat selain semakin berbahaya, lama tinggalnya di atmosfer juga lebih panjang. Dari prosentase distribusi frekuensi konsentrasi PM10 (Gambar 4) hasil monitoring di Cekungan Bandung, terlihat bahwa konsentrasi PM10 di Cisaranten paling bersih dengan frekuensi terbesar pada konsentrasi antara 25 g/m3 sampai 50 g/m3. Sedangkan di empat lokasi yang lain hampir sama, dengan frekuensi terbesar pada konsentrasi antara 50 g/m3 sampai 75 g/m3. Kondisi terkotor pada tiga lokasi, yaitu Tirtalega, Batununggal, dan Ariagraha, yang mana distribusi
106
Wrplot Concentration Rose sebagai Kajian Distribusi PM10 di Bandung (Sumaryati)
konsentrasi PM10 untuk konsentrasi kurang dari 25 g/m3kurang dari 1 %. Kelima lokasi pangamatan, tampak lokasi pengamaatn di Dago yang berada di dekat lereng Cekungan Bandung bagian utara. Lokasi Dago yang berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut dan sebelah utaranya berupa pegunungan tinggi mencapai sekitar 2000 m di atas permukaan laut, berpotensi terjadi kejadian downwash polusi udara. Untuk mengetahui ada efek downwash dapat dilihat bagaimana distribusi frekuensi dan konsentrasi polutan pada setiap arah mata angin. Kejadian downwash biasanya disebabkan bangunan gedung di sekitar cerobong industri atau oleh cerobongnya itu sendiri jika cerobong itu cukup besar, dan juga bisa terjadi oleh topografi yang tinggi (Liu dan Liptak, 1997). Downwash terjadi karena adanya turbulensi oleh gedung, sehingga konsentrasi polutan di balik gedung tinggi. Kemungkinan kejadian downwash di Cekungan Bandung oleh dinding topografi yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 5). Kejadian downwash dapat dilihat dengan besarnya frekuensi arah angin yang berasal dari arah perbukitan, yaitu dari arah UTL dan TL.
Gambar 5.
Skema downwash oleh dinding topografi (sumber: http://www.scientificsoftwaregroup.com/pages/detailed _description.php?products_id=106).
Arah angin pada lokasi pengamatan di Dago dominan berasal dari UTL dan TL (Gambar 1). Dominan arah angin tersebut dapat dijelaskan dengan Gambar 6. Dari gambar ini terlihat pada sore sampai malam terjadi angin gunung, siang hari angin lembah, sedangkan pada pagi hari ada angin gunung dan
107
Wrplot Concentration Rose sebagai Kajian Distribusi PM10 di Bandung (Sumaryati)
lembah. Kasus di Dago bisa dijelaskan bahwa pada sore sampai pagi arah angin berasal dari bukit yang terdekat yang berada di sebelah utara timur laut sampai timur laut, dan hanya siang hari terjadi angin lembah yang menuju ke bukit.
Gambar 6.
Skema angin di Cekungan (Sumber: http://www.airqualitylekgotla.co.za/assets/book-b.7dispersion-and-topographical-effectsoct.pdf)
Distribusi frekuensi konsentrasi PM10 sesuai arah angin di Dago (Tabel 2) menunjukkan bahwa angin yang berasal dari UTL dan TL membawa konsentrasi PM10 bervariasi dari (0-25) g/m3 sampai >125 g/m3. Daerah sebelah utara timur laut sampai timur laut Dago merupakan bagian dari kawasan Bandung Utara yang pemukimannya tidak padat, aktivitas transportasi rendah, serta bukan kawasan industri. Distribusi frekuensi yang tertinggi pada konsentrasi (50-75) g/m3 seperti yang terjadi di lokasi pengamatan Ariagraha, Batununggal, dan Tirtalega, yang merupakan lokasi terkotor pada lima lokasi pengamatan. Oleh karena itu kesamaan distribusi frekuensi di Dago dari arah UTL dan TL dengan daerah Ariagraha, Batununggal, dan Tirtalega diduga karena adanya kontribusi dari daerah pusat Cekungan
108
Wrplot Concentration Rose sebagai Kajian Distribusi PM10 di Bandung (Sumaryati)
Bandung karena adanya downwash topografi yang lebih tinggi yang berperan seperti pemantul. Tabel 2. No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Arah angin
U UTL TL TTL T TTg Tg STg S SBD BD BBD B BBL BL UBL
Konsentrasi PM10 di Dago. Konsentrasi PM10 (g/m3) 0 - 25
1,01 0,50 2,26 0,25 0,25 0,75 0,75 1,01 0,50 0,50 0,75 0,25 0,50 1,01 0,00 0,75
25 - 50
50 - 75
1,51 3,27 5,53 0,25 0,25 1,51 1,26 0,75 1,26 1,26 3,02 3,27 1,51 0,75 0,75 0,75
1,01 10,05 7,54 2,76 1,76 2,76 2,51 1,01 2,51 0,75 2,01 1,51 1,76 0,25 1,51 0,75
75 - 100 100 - 125 >= 125
0,00 4,02 6,78 0,50 0,00 0,75 0,25 0,25 0,25 0,75 1,01 0,25 1,01 0,00 0,50 0,25
0,25 1,51 1,01 0,25 0,00 0,25 0,25 0,00 0,25 0,25 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,50 0,00 0,00 0,00 0,00 0,25 0,25 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Empat lokasi pengamatan selain Dago yang relatif jauh dari perbukitan arah angin bervariasi hampir 360 yang menunjukkan adanya pengaruh angin gunung tetapi tidak sekuat di daerah Dago. 4
KESIMPULAN Kajian PM10 dengan menggunakan concentraton rose menunjukkan adanya kejadian downwash di daerah Dago yang merupakan salah satu bagian dari lereng Cekungan Bandung. Kejadian ini menyebabkan PM10 yang berasal dari daerah rendah Cekungan Bandung terpantul balik kembali di dalam daerah Cekungan Bandung, sehingga konsentrasi di daerah lereng perbukitan yang membentuk Cekungan Bandung tetap tinggi.
109
Wrplot Concentration Rose sebagai Kajian Distribusi PM10 di Bandung (Sumaryati)
DAFTAR PUSTAKA Air Pollution Dispersion and Tropoghraphical Effect http://www.airqualitylekgotla.co.za/assets/book-b.7dispersion-and-topographical-effectsoct.pdf, akses Juli 2014 Al Harbi, M., 2014: Assessment of Air Quality in two Different Urban Localities. Int. J. Environ. Res., 8(1):15-26,Winter 2014 Al-Salem, S.M dan A R. Khan, 2008: Comparative assessment of ambient air quality in two urban areas adjacent to petroleum downstream/ upstream facilities in Kuwait. Brazilian Journal of Chemistry Engineering, 25, no.4 São Paulo Oct./Dec. 2008 http://dx.doi.org/10.1590/S0104-66322008000400006 Kassomenos P.A., A. Kelessis, A.K. Paschalido, dan M. Petrakakis, 2011: Identification of Source and Processes affecting particulate pollution in Thessaloniki, Greece. Journal Atmospheric Environment, doi: 10.1016/ j.atmosenv.2011.08.034 Lakes Environmental http://www.weblakes.com/download /freeware.html. Akses Mei 2014 Liu D.H.F, dan B. G. Liptak, 1997: Environmental Engineers' Handbook.2, pp:285-287 Science daily, Urban trees remove fine particulate air pollution, save lives, June 19, 2013. http://www.sciencedaily.com /releases/2013/06/130619164708.htm Scientific software group. http://www.scientificsoftwaregroup.com /pages/detailed_description.php?products_id=106, akses Mei 2014 Sumaryati, 2007: Judul tesis Tesis, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan: Institut Teknologi Bandung Sumaryati, 2009: Efektifitas Air Hujan dan Kelembaban Udara terhadap Pembersihan PM10 di Cekungan Bandung. USEPA, PM10 NAAQS Implementation, http://www.epa.gov/ ttn/naaqs/pm/pm10_index.html, 2 Juni 2014 Zannaria, N.D., D. Roosmini, M. Santosa., 2009: Karakteristik Kimia Paparan partikulat terespirasi.Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, IX, No. 1, Februari: (37-50).
110
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
ANALISIS POLA HARIAN ENERGI MATAHARI DAN KELEMBABAN DI PALEMBANG (2°59’51” LS, 104°46’26” BT) TAHUN 2010-2013 Saipul Hamdi dan Sumaryati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Jl. Dr. Djunjunan No. 133 Bandung Email :
[email protected] ABSTRAK Pengamatan energi radiasi matahari di Palembang (2°59‟51” LS, 104°46‟26” BT) telah dilakukan sejak Bulan Oktober 2010 hingga saat ini pada ketinggian 30 meter dari permukaan tanah. Perekaman dilakukan setiap 5 menit secara otomatis dan berkelanjutan. Data dikelompokkan tiap-tiap bulan untuk waktu pengukuran yang sama, kemudian dihitung nilai energi terbesar dan rata-ratanya dalam interval 5 menit untuk mendapatkan pola harian pada bulan tersebut. Ditemukan bentuk yang tidak halus pada pola harian yang menyerupai gigi gergaji, dan diduga kuat disebabkan oleh cepatnya perubahan komposisi molekul-molekul penyusun atmosfer. Awan berpotensi kuat melemahkan energi radiasi matahari yang tiba di permukaan Bumi dan dapat berubah dengan cepat dibandingkan dengan komponen penyusun atmosfer lainnya. Rasio antara energi rata-rata harian dan energi maksimum harian berkisar antara 41,1% dan 72,7%. Rasio yang rendah (41,1 %) dapat dikaitkan dengan tingginya perubahan komposisi molekul-molekul penyusun atmosfer di lokasi pengamatan. Kata kunci: energi radiasi matahari, pola gergaji, pola harian, panjang lintasan optis ABSTRACT Monitoring of energy of solar radiation at Palembang (2°59‟51” S, 104°46‟26” E) has been being done since October 2010 at elevation 30 m from surface. Data is recorded every 5 minutes automatically and continuously. For this purpose, data is classified every month for similar time recording, then both maximum energy and average is calculated to find out daily pattern for the month. It is found un-smoothed lines for daily pattern likes saw-cap, and strong supposed caused by quickly changed of atmospheric constitutents composition. Cloud covering has strong capability in attenuating solar radiation energy, and can changed more quickly compared to another
111
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
atmospheric constituents. It is found ratio of daily average and maximum solar energy is 41,1% - 72,7%. Low ratio might be caused by high dynamically change of atmospheric constituents composition at location. Keywords: solar energy, saw-pattern, daily pattern, optical path length
1
PENDAHULUAN Sinar matahari merupakan sumber energi utama yang menjaga kelangsungan kehidupan di muka Bumi ini, baik di darat maupun di perairan (laut, sungai, danau, dsb). Sinar matahari dapat mencapai Bumi melalui proses radiasi dari matahari dalam bentuk gelombang elektromagnet. Sinar matahari memiliki spektrum panjang gelombang yang sangat lebar (polikromatis) dari beberapa ratus nanometer hingga mencapai lebih dari dua ribu nm. Sinar matahari akan berinteraksi dengan molekul-molekul penyusun atmosfer Bumi sehingga mengalami pelemahan energi. Interaksi dapat berupa proses kimia maupun proses fisika. Pada proses kimia, energi matahari digunakan untuk memulai proses-proses fotokimia yang dapat menyebabkan pembentukan senyawa kimia atmosfer. Beberapa senyawa kimia yang ada di atmosfer (ozon, uap air, karbondioksida, dll) memiliki respon penyerapan yang berbeda-beda terhadap panjang gelombang sinar matahari. Ozon misalnya, secara spesifik memiliki respon penyerapan yang tinggi terhadap sinar ultraviolet B, sedangkan karbondioksida memiliki respon penyerapan spesifik terhadap sinar infra merah. Pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh ozon, aerosol, dan karbondioksida tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Pada proses fisika, sebagian sinar matahari akan mengalami proses penghamburan dan pemantulan. Kedua proses tersebut akan menyebabkan lintasan optis atmosfer menjadi lebih besar sehingga melemahkan energi matahari yang tiba di permukaan Bumi. Molekul aerosol dan debu misalnya, akan menyebabkan sebagian sinar matahari dihamburkan dan di antaranya ada yang dipantulbalikkan keluar atmosfer sehingga energi matahari yang tiba di permukaan Bumi menjadi berkurang.
112
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
Selain menggerakkan proses-proses fotokimia, energi radiasi matahari juga dipercayai dapat menyebabkan kerusakan pada kehidupan makhluk hidup. Radiasi matahari diketahui sebagai human carcinogen atau penyebab kanker pada manusia berdasarkan peristiwa-peristiwa kanker pada manusia yang telah dipelajari selama beberapa puluh tahun, dan menunjukkan hubungan sebab-akibat yang cukup baik antara penyinaran sinar matahari terhadap kulit. Beberapa studi menyebutkan bahwa radiasi matahari juga dapat dikaitkan dengan melanoma yang menyerang mata dan non-Hodgkin’s lymphoma (IARC, 1992). Meningkatnya energi matahari dalam spektrum ultraviolet B akan berpotensi meningkatkan endemi penyakit katarak, kanker kulit, dan beberapa penyakit non-infeksi virus lainnya (Leuin, 1989). Besarnya energi radiasi matahari yang sampai di permukaan Bumi dipengaruhi oleh waktu, lokasi, kondisi atmosfer, dan aktivitas matahari. Waktu dan lokasi menentukan besarnya sudut zenith dan airmass. Awan, aerosol, ozon, dan senyawa kimia lain di atmosfer berperan menyerap dan menghamburkan radiasi yang sampai di permukaan Bumi secara total atau radiasi global, tetapi pengurangan ini belum tentu linier dengan radiasi ultraviolet dan indeks ultraviolet (Sumaryati, dkk., 2011). Keterkaitan antara radiasi global, ultraviolet, dan indeks ultraviolet di Bandung pada kondisi cerah berupa persamaan polinomial tingkat 2 dengan koefisien korelasi 0,99 tetapi kondisi ini sangat langka dijumpai. Besarnya pengurangan energi pada tiap-tiap panjang gelombang adalah tidak sama, dan bergantung juga pada komponen/senyawa kimia yang melakukan penyerapan. Salah satu bagian penting dari spektrum radiasi matahari adalah ultraviolet (UV) yang terbagi lagi menjadi tiga subspektrum yaitu UVA, UVB, dan UVC. Ketika sinar matahari memasuki atmosfer Bumi maka semua UVC dan kira-kira 90% radiasi UVB diserap oleh ozon, uap air, oksigen, dan karbondioksia. Radiasi UVA kurang dipengaruhi oleh atmosfer (WHO, 2002). Dengan demikian maka radiasi UV matahari yang mencapai permukaan Bumi pada umumnya terdiri dari UVA dan sebagian kecil UVB. Komponen lain yang menjadi penyebab melemahnya energi
113
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
radiasi matahari di permukaan Bumi adalah aerosol, terutama di lapisan stratosfer yang berasal dari letusan gunung berapi yang dahsyat. Aerosol akan terdistribusi secara vertikal dan horizontal, bahkan di lapisan troposfer bawah aerosol merupakan kontributor utama di dalam polusi udara. Aerosol dan debu yang memiki diameter kurang dari 0,28 mikron berpotensi menyebabkan hamburan Rayleigh terhadap radiasi ultraviolet B matahari (Hamdi, 2009). Energi yang dihasilkan oleh matahari adalah tidak konstan. Bintik matahari diketahui akan menyebabkan kenaikan jumlah energi yang dilepaskan, dan terjadi secara berkala dalam sebuah siklus yang disebut sebagai siklus matahari. Siklus aktivitas matahari tidak berpengaruh banyak terhadap variabilitas intensitas harian UVB (Hamdi, dkk., 2009). Penyerapan energi radiasi matahari oleh uap air di atmosfer yang diteliti di atas Mount Wilson menyatakan bahwa pada saat langit cerah dan matahari berada pada zenith-nya maka penyerapan total radiasi matahari oleh uap air dan karbon dioksida adalah 6-8% dari konstanta matahari. Nilai ini lebih besar daripada penyerapan radiasi ultraviolet yang dilakukan oleh ozon (Fowle, 1915). Namun demikian, penyerapan energi radiasi matahari oleh uap air ini sebagian besar terjadi di lapisan troposfer bawah, dan efek pemanasan terhadap udara dapat diabaikan (Yamamoto, 1952). Di dalam tulisan ini akan ditampilkan dan dianalisis pola harian energi radiasi matahari yang dihitung dari nilai-nilai maksimum dan rata-ratanya untuk tiap-tiap bulan pengukuran. Selain itu juga dihitung rasio antara jumlah energi rata-rata bulanan terhadap energi maksimum bulanan untuk memberikan pemahaman mengenai pelemahan energi radiasi matahari ketika memasuki atmosfer Bumi. Pola harian ini akan diperbandingkan juga dengan pola harian kelembaban relatif. 2 2.1
DATA DAN METODOLOGI Data Pengamatan energi radiasi matahari dilakukan di kampus Universitas Bina Darma Palembang sebagai bagian dari kegiatan penelitian bersama (collaborative research) antara Pusat Sains dan
114
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
Teknologi Atmosfer LAPAN dengan Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Bina Darma. Penelitian ini telah dimulai pada bulan Oktober 2010 hingga saat ini dan akan berlanjut hingga beberapa tahun yang akan datang. Sensor matahari yang terintegrasi dengan stasiun pengamat meteo permukaan (weather station) diletakkan pada ketinggian 30 meter dari permukaan tanah. Di antara beberapa parameter meteo yang diamati, kelembaban relatif udara merupakan parameter meteo yang digunakan di dalam tulisan ini. Pengamatan meteo permukaan dan energi radiasi matahari dilakukan setiap hari selama 24 jam dengan selang pencatatan selama 5 menit dan moda pengukuran sesaat (instantaneous mode). Di dalam tulisan ini, data kelembaban relatif dan energi radiasi yang digunakan adalah pada periode Oktober 2010 s.d. Desember 2013, dan tidak dibandingkan dengan data satelit karena memiliki resolusi ruang yang sangat berbeda. Data satelit mencakup luas hingga puluhan kilometer persegi sedangkan data sensor matahari ini hanya mencakup luas beberapa meter persegi saja. Data satelit biasanya dikalibrasi menggunakan data in situ. 2.2
Metodologi Data energi radiasi matahari dan kelembaban relatif dikelompokkan berdasarkan bulan yang bersesuaian. Pengelompokan data dalam satu bulan didasarkan pada jam pengamatan yang sama, kemudian dilakukan penghitungan nilai rata-rata untuk jam pengamatan yang sama, dan dipilih juga energi terbesar pada kelompok jam yang sama dalam bulan bersesuaian. Pemilihan data energi terbesar dalam jam pengamatan yang sama (misalnya pukul 08:00, 08:05. 08:20, dst) dimaksudkan untuk memperkecil pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh perubahan-perubahan kondisi atmosfer dan dapat terjadi dalam waktu yang singkat, misalnya penutupan awan dan uap air. Statistika pola harian energi matahari ditampilkan pada Gambar 1. Satuan energi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Langley (Ly) dan telah digunakan secara luas di dunia internasional. 1 Ly (1 cal(th)/cm2) setara dengan 11,622 W-jam/m2, atau setara juga dengan 41,84 kJ/m2. (cal(th) = thermocalorie).
115
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
Setelah diperoleh pola harian untuk tiap-tiap bulan pengamatan kemudian dihitung juga jumlah energi harian yang tiba di permukaan Bumi dalam satu bulan, baik energi maksimum harian maupun energi rata-rata harian pada bulan yang bersesuaian. Pola energi harian yang tiba di permukaan Bumi ini ditunjukkan pada Gambar 3 untuk periode pengamatan yang sama (Oktober 2010 s.d. April 2013). Selain itu, digambarkan juga pola kelembaban relatif pada tiga bulan yang dipilih. Pada bulan-bulan tersebut, beberapa hari yang mengandung hujan pada siang hari tidak disertakan di dalam perhitungan. Adanya hujan pada siang hari menyebabkan kelembaban relatif udara menjadi lebih tinggi. Terakhir, dilakukan pembandingan energi maksimum harian terhadap energi rata-rata seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. 3 3.1
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pola harian energi matahari di kampus UBD Palembang dengan selang waktu pengamatan selama 5 menit ditunjukkan pada Gambar 1. Pada gambar tersebut, Gambar (a) mewakili pola bulan Agustus 2011 (musim kering), Gambar (b) mewakili pola bulan Januari 2012 (musim basah), dan Gambar (c) mewakili pola bulan April 2013 (musim peralihan). Garis/grafik berwarna hitam pada ketiga gambar tersebut mewakili pola bulanan energi maksimum, sedangkan grafik berwarna merah mewakili pola bulanan energi rata-rata. Energi maksimum pada saat matahari mencapai titik kulminasi (pukul 12:00 waktu matahari) disebut sebagai energi maksimum kulminasi, dan umumnya terjadi sekitar pukul 12:00 waktu setempat. Tercatat bahwa bulan Januari 2012 memiliki energi maksimum kulminasi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan bulan Agustus 2011 maupun April 2013. Namun demikian, energi rata-rata kulminasi pada bulan Agustus 2011 diperkirakan lebih besar relatif terhadap bulan Januari 2012. Gambar 2 adalah pola kelembaban relatif di kampus Universitas Bina Darma untuk 3 bulan yang dipilih. Grafik berwarna biru adalah kelembaban relatif maksimum, dan grafik berwarna hitam adalah kelembaban relatif rata-rata dalam satu
116
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
bulan tersebut, sedangkan grafik berwarna merah adalah kelembaban relatif minimum. Secara umum, kelembaban relatif di siang hari adalah lebih rendah dibandingkan dengan Kelembaban relatif pada malam hari, dan dapat dikaitkan dengan penyinaran oleh matahari pada siang hari. Kelembaban relatif siang hari pada bulan April 2013 (musim peralihan) rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan dua musim lainnya, baik kelembaban relatif maksimum, minimum, dan rata-rata. Kelembaban relatif maksimum pada bulan April 2013 adalah lebih dari 80%. Kelembaban relatif terendah terjadi pada bulan Agustus 2011, dengan minimumnya mencapai sedikit di atas 40%. 10 Energi [Langley]
8
[a] Agustus 2011
Rata
Maks
6 4 2 0 Waktu Pengamatan
10 Energi [Langley]
8
Rata
[b] Januari 2012
Maks
6 4 2 0
Energi [Langley]
Waktu Pengamatan 10 8
Rata
[c] April 2013
Maks
6 4 2 0
Waktu Pengamatan
Gambar 1.
Pola harian energi matahari di Kampus Universitas Bina Darma Palembang [a] bulan Agustus 2011, [b] bulan Januari 2012, dan [c] bulan April 2013. Grafik berwarna biru adalah pola energi matahari maksimum, sedangkan grafik berwarna merah adalah pola energi rata-rata.
Gambar 3 adalah grafik energi matahari maksimum
117
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
(berwarna biru) dan rata-rata harian (berwarna merah) yang dihitung untuk tiap-tiap bulan pengamatan dalam satuan Langleys. Sumbu-X adalah bulan dan tahun pengamatan (YYYYMM), misalnya 201010 menunjukkan data untuk bulan 10 (Oktober) tahun 2010. Karena kesulitan teknis yang tidak teratasi maka terjadi kekosongan data selama tiga bulan yaitu 201012 dan 201101 serta 201210. Gambar 4 adalah rasio energi matahari rata-rata terhadap maksimum bulanan pada periode yang diamati. Bagian berwarna merah menunjukkan energi maksimum sedangkan bagian berwarna biru adalah energi matahari rata-rata yang diterima oleh permukaan Bumi. [a] RH bulan Agustus 2011
[b] RH bulan Januari 2012 100
Kelembapan relatif (%)
Kelembapan Relatif (%)
100
80
60
max
rata
min
40
80 60
max
40
Waktu Pengamatan
rata
min
Waktu Pengamatan
[c] RH bulan April 2013 Kelembapan Relatif (%)
100 80 60
maks
rata
min
40
Waktu Pengamatan
Gambar 2.
Pola harian kelembaban relatif (RH = relative humidity) di kampus Universitas Bina Darma Palembang [a] bulan Agustus 2011, [b] bulan Januari 2012, dan [c] bulan April 2013. Grafik berwarna biru adalah pola kelembaban relatif maksimum, grafik berwarna hitam adalah kelembaban relatif rata-rata, dan grafik berwarna merah adalah pola kelembaban relatif minimum.
118
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
Energi (Langleys)
Energi matahari maksimum dan rata-rata harian untuk tiap-tiap bulan pengamatan 800 600 400 200 0
Bulan dan Tahun
Gambar 3.
Energi matahari maksimum dan rata-rata harian untuk tiap-tiap bulan pengamatan di kampus Universitas Bina Darma Palembang periode pengamatan Oktober 2010 hingga April 2013 (grafik berwarna biru) dilengkapi dengan energi matahari rata-rata bulanan (grafik berwarna merah).
Rasio energi matahari rata-rata terhadap maksimum bulanan 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Gambar 4.
Rasio energi matahari rata-rata terhadap maksimum bulanan di kampus Universitas Bina Darma Palembang periode pengamatan Oktober 2010 hingga April 2013.
3.2
Pembahasan Bentuk grafik pada Gambar 1 khususnya bagian (a) dan (b) dinamakan sebagai “pola gergaji”. Terjadinya pola gergaji pada Gambar 1(a) disebabkan besarnya perubahan komposisi atmosfer yang menyebabkan terjadinya perubahan panjang lintasan optis (optical path length) atmosfer secara cepat pula. Panjang lintasan optis didefinisikan sebagai jarak perpindahan cahaya matahari di dalam sistem optis. Dalam hal ini, atmosfer Bumi merupakan sebuah sistem optis bagi cahaya matahari. Semakin besar
119
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
panjang lintasan optis maka semakin besar juga pelemahan energi radiasi matahari yang disebabkan oleh atmosfer Bumi sehingga semakin berkurang juga energi matahari yang tiba di permukaan Bumi. Tanpa adanya perubahan-perubahan dalam komposisi atmosfer Bumi maka grafik energi matahari sejak matahari terbit hingga terbenam akan mengikuti bentuk setengah sinusoide, yang akan memiliki nilai tertinggi pada titik kulminasinya. Hal ini akan ditemukan pada kondisi cuaca cerah (Sumaryati dkk, 2011). Pada bulan April 2013 terlihat sedikit kejanggalan pada grafik maksimum dan rata-rata (pukul 11 – 13), yaitu energinya menurun drastis hingga mencapai lebih dari 2 Ly. Secara teori, seharusnya grafik energi terhadap waktu adalah berbentuk setengah sinusoid dengan titik puncaknya di sekitar pukul 12 siang, dan mencapai nol pada saat matahari terbenam hingga matahari terbit keesokan harinya. Setelah dilakukan peninjauan langsung di tempat pengamatan maka ditemukan fakta bahwa pada waktu-waktu tertentu (misalnya saat matahari berada di titik kulminasi) sesuai dengan pergerakan semu matahari maka sensor matahari tertutup oleh bayangan menara dan beberapa antena parabola beberapa penyedia jasa selular maupun internet yang posisinya lebih tinggi daripada posisi sensor matahari. Ini menyebabkan energi rata-rata pada jam tersebut mengalami penurunan juga secara konsisten. Gambar 2 adalah pola harian kelembaban relatif yang diukur di Kampus Bina Darma Palembang. Kelembaban relatif udara memiliki pola yang bentuknya berlawanan dengan pola energi matahari tingkat permukaan, yaitu menurun ketika udara menerima panas dari matahari pada siang hari dan kembali meningkat pada malam hari. Di bagian top environment, insolasi mencapai maksimum sebelum tengah hari dan kemudian berkurang secara perlahan (slightly) setelah matahari mencapai kulminasinya dan dikaitkan dengan penutupan awan (Shuttleworth dkk., 1985). Pada Gambar 2, hari-hari yang mengalami hujan tidak disertakan di dalam perhitungan untuk meminimalisir pengaruh uap air (=hujan) terhadap pelemahan energi matahari tingkat permukaan. Ini untuk menjelaskan terjadinya pelemahanan
120
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
energi matahari pada bulan Agustus 2011 bukan disebabkan oleh terjadinya hujan, meskipun kelembaban relatif rata-rata di bulan April lebih tinggi dibandingkan dengan dua bulan lainnya. Bumi mengalami jarak terjauh dengan matahari pada tanggal 5 Juli sehingga pada bulan Agustus jaraknya relatif masih lebih jauh dibandingkan dengan bulan April. Akibatnya, intensitas matahari yang memasuki atmosfer Bumi menjadi relatif lebih kecil sehingga energi radiasi matahari yang tiba di permukaan Bumi pun menjadi lebih sedikit. Dengan kata lain, melemahnya energi radiasi matahari pada bulan Agustus disebabkan oleh berkurangnya energi matahari yang disebabkan oleh bertambahnya jarak Bumi-matahari. Hal ini akan mengurangi pembentukan uap air di udara akibat pemanasan permukaan Bumi. Gambar 3 adalah statistika energi matahari harian yang dihitung dari energi rata-rata dan energi maksimum harian pada bulan-bulan bersesuaian seperti pada pembahasan sebelumnya. Di dalam periode penelitian ini diketahui bahwa jumlah energi maksimum harian terbesar diperoleh pada bulan Februari 2012 (721,8 Ly/hari = 30.201 kJ/m2) dengan energi rata-rata harian sebesar 297 Ly/hari atau setara dengan 14.736 kJ/m2. Sementara itu, energi harian maksimum terkecil diperoleh pada bulan Juni 2011 (431,2 Ly/hari = 18.414 kJ/m2) dan energi ratarata hariannya sebesar 313,6 Ly/hari atau 10.472 kJ/m2). Belum ditemukan pola tahunan yang menunjukkan adanya siklus, atau kejadian berulang secara frekuentif karena periode data yang digunakan di dalam penelitian ini masih sangat singkat. Pengaruh-pengaruh alam yang sangat berperan dalam pelemahan energi radiasi matahari, dapat diperkirakan melalui pembandingan antara energi maksimum dan energi rata-ratanya, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Bagian berwarna merah adalah rasio antara energi rata-rata terhadap energi maksimum. Jika rasio ini bernilai besar, misalkan sebesar 72,7% pada bulan Juni 2011, menunjukkan bahwa terjadi perubahan jumlah/komposisi yang sedikit pada molekul-molekul penyusun atmosfer yang memperlemah energi radiasi matahari, baik melalui proses pemantulan dan penghamburan, maupun proses penyerapan. Molekul-molekul yang berpotensi memperlemah
121
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
energi radiasi matahari di antaranya adalah debu, aerosol, uap air, dan lapisan ozon. Sebaliknya, jika rasio tersebut bernilai kecil, misalkan 40% pada bulan Februari 2012 maka terjadi sebaliknya, yaitu terjadi perbedaan yang besar terhadap kandungan senyawa-senyawa penyusun atmosfer yang berpotensi memperlemah energi radiasi matahari. Pemanasan atmosfer oleh sinar matahari menyebabkan menurunnya jumlah uap air di permukaan dan menurunkan kelembaban relatif. Uap air akan menyerap panas yang berasal dari matahari sehingga memiliki energi kinetik yang cukup untuk mengatasi kekuatan tarik-menarik antar molekul. Jika energi kinetik telah melebihi kekuatan tersebut maka molekul-molekul uap air akan memisahkan diri sehingga bobotnya menjadi lebih ringan. Akibatnya, molekul uap air akan naik ke tingkat yang lebih tinggi mengikuti gaya konveksi. Gambar 4 ini menceritakan kepada kita bahwa perubahanperubahan komposisi atmosfer di atas Kampus Bina Darma sangatlah tinggi dari bulan ke bulan, misalnya perubahan penutupan awan yang berkait langsung dengan optical path atmosfer. Perubahan penutupan awan dapat terjadi dengan cepat dari menit ke menit sehingga menghasilkan fluktuasi energi radiasi matahari yang tinggi juga. Variasi perubahan komposisi atmosfer yang tinggi pada bulan Februari 2012 menghasilkan rasio energi rata-rata terhadap maksimum sebesar 41,1% yang berarti bahwa energi rata-ratanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan energi maksimumnya. 4
KESIMPULAN Munculnya pola gergaji disebabkan karena terjadinya perubahan yang cepat pada komposisi molekul-molekul penyusun atmosfer (atmospheric constituents), dan dapat dikaitkan dengan perubahan optical path atmosfer. Jumlah energi harian yang tiba di permukaan Bumi tidak sama tiap-tiap bulannya, bergantung pada keadaan atmosfer di atas titik pengukuran. Bulan Februari 2012 tercatat sebagai bulan yang memiliki potensi energi maksimum harian tertinggi, sedangkan potensi energi maksimum terendah tercatat pada bulan Juni 2011. Rasio yang rendah antara energi rata-rata harian dan
122
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
energi maksimum harian terjadi pada bulan Februari 2012, dan diduga kuat disebabkan oleh perubahan komposisi molekulmolekul penyusun atmosfer yang tinggi (fluktuatif). Rendahnya kelembaban relatif pada musim kering (Agustus 2011) disebabkan berkurangnya insolasi yang disebabkan oleh jarak Bumi matahari yang relatif lebih jauh, sehingga mengurangi pembentukan uap air di udara. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada (i) LPM Universitas Bina Darma yang telah memberikan izin penempatan peralatan, dan (ii) Syahril Rizal, ST, MT atas bantuan operasionalnya selama ini. DAFTAR RUJUKAN Fowle, F. E., 1915: The Transparency of Aqueous Water Vapor. Astrophys. J.,54, 394. IARC,1992: Solar and Ultraviolet Radiation. IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risk of Chemicals to Humans, 55. Lyon, France: international agency for research on cancer, pp. 316. Hamdi S.,2009: 5 Tahun Pemantauan Intensitas Radiasi Ultraviolet B di Bandung. Buku ilmiah Sains Atmosfer dan Ionosfer serta Aplikasinya. LAPAN, pp. 57-63. Hamdi, S., Suparno, L. Husnan, H. Susanto, 2009: Energy of Solar Ultraviolet B Irradiance over Bandung and Watukosek in 2009. 120th RISH Symposium, Proceeding of workshop on Ground-Based Atmosphere Observation Network in Equatorial Asia, pp. 277-281. Shuttleworth, W.J., Gash, H.H.C., Lloyd, C.J., Moore, C.J., Roberts, J., Marques, F.A.O., Fish, G., Silva, F.V.P., Ribeiro, M.N.G., Molion, L.C.B., SA, L.D.A.de Nobre, Cabral, O.M.R., Patel, S.R., Moraes, J.C.,1985: Daily variations of the temperature and humidity within and above Amazonian forest. Weather, 40, n.4, p.102-108. Sumaryati, S.Hamdi, Suparno,2011: Keterkaitan Radiasi Global, Radiasi Ultraviolet dan Indeks Ultraviolet. Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer dan Antariksa 2011, LAPAN, pp. 263-270. Van der Leuin, J.C., Y. Takizawa, J.D. Longstreth, 1989:Environmental Effects Panel Report. Chapter 2 in
123
Pola Harian Energi Matahari dan Kelembapan di Palembang (Saipul Hamdi)
Human Health, UNEP. World Health Organization,2002: Global Solar UV Indes: a practical guide. WHO. Yamamoto, G., G. Onishi1952: Absorption of solar radiation by water vapor in the atmosphere. Journal of Meteorology, 9, pp/ 415-421.
124