ANALISIS SPASIAL DAN EVALUASI INDEKS POTENSI WILAYAH BANJIR (Studi Kasus: Kota Semarang)
AFNI MUTIA AHDIYATI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Spasial dan Evaluasi Indeks Potensi Wilayah Banjir (Studi Kasus: Kota Semarang) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Afni Mutia Ahdiyati NIM G24110042
ABSTRAK AFNI MUTIA AHDIYATI. Analisis Spasial dan Evaluasi Indeks Potensi Wilayah Banjir (Studi Kasus: Kota Semarang). Dibimbing oleh PERDINAN Kejadian banjir ditentukan oleh faktor iklim dan fisik suatu daerah. Analisis spasial potensi wilayah banjir diturunkan dari indeks indikator iklim dan fisik dan diolah menggunakan analisis spasial. Indikator iklim yang digunakan adalah curah hujan tahunan, curah hujan musim hujan, dan curah hujan maksimum musim hujan, sedangkan indikator fisik yang digunakan antara lain kelerengan, topografi, bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS), buffer sungai, tutupan lahan, dan proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Penelitian ini bertujuan untuk memetakan potensi wilayah banjir Kota Semarang dan mengevaluasi potensi wilayah banjir dengan kejadian banjir yang sebenarnya. Estimasi indeks potensi wilayah banjir menunjukkan bahwa Kota Semarang memiliki tingkat potensi banjir tinggi dan sangat tinggi. Daerah dengan potensi banjir sangat tinggi berada pada kota bagian barat daya, tengah, dan sepanjang pesisir. Daerah tengah kota dan pesisir termasuk pada klasifikasi potensi banjir sangat tinggi karena kondisi fisiknya yang berada di daerah dataran rendah. Kata kunci: analisis spasial, indeks iklim, indeks fisik, potensi banjir
ABSTRACT AFNI MUTIA AHDIYATI. Spatial Analysis and Evaluation of Potential Flood Areas Index (Case Study: Semarang City). Supervised by PERDINAN Flood is determined by climatic and physical factors in a region. Spatial analysis of flood potential area is derived from climatic and physical indicators and processes using spatial analysis. Climate indicators include annual rainfall, rainy season rainfall, and maximum rainy season rainfall, while physical indicators include slope, topography, shape of watershed (DAS), buffer zone of a river, land cover, and the proportion of green space (RTH). This study proposed to map the flood potential area of Semarang City and to evaluate flood potential area in comparison with actual flood events. The estimation of flood potential area showed that Semarang City is divided into high and very high flood potential level. Areas with very high flood potential are at the southwest part of the city, the center, and along the coast. Coastal area and the downtown area are considered to be classified as very high potential for flooding due to their physical condition which are located in the lowland areas. Keywords: climate index, flood potential, physical index, spatial analysis
ANALISIS SPASIAL DAN EVALUASI INDEKS POTENSI WILAYAH BANJIR (Studi Kasus: Kota Semarang)
AFNI MUTIA AHDIYATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Analisis Spasial dan Evaluasi Indeks Potensi Wilayah Banjir (Studi Kasus: Kota Semarang). Skripsi ini tidak dapat tersusun dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Perdinan, SSi MNRE selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan, nasehat, dan andil yang besar dalam penyelesaian skripsi penulis. Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Keluarga tercinta, Bapak Mutawasik dan Ibu Ifa Nurhayina serta adik-adik tersayang, Ahdian Mirza Azri dan Aqila Mahya Auni yang selalu memberikan dorongan semangat, doa, dan nasehat kepada penulis selama menjalani perkuliahan hingga saat ini. 2. Segenap jajaran dosen dan karyawan Departemen Geofisika dan Meteorologi atas ilmu dan bantuannya selama masa perkuliahan. 3. Bapak Ir. Bregas Budianto, Ass. Dpl selaku pembimbing akademik. 4. Dinan’s Squad partner seperjuangan penelitian, Ridwan Faizal, Miftahudin, dan Lina Febriyanti. 5. Muhamad Fakhrul yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan arahan selama penulis menyusun skripsi ini. 6. Teman-teman lab seperjuangan (Lutha, Isnaeni, Lucy, Irma, Ita, Ayuvira, Reffi, Diah, Adit, Rizki Taufik, Pradit), putri-putri bunda Perwira 42 (Santi, Kak Dea, Nadya, Eva, Desita, Octa, Kak Putri), Bang Ryco, dan segenap keluarga GFM 48. 7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam kegiatan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2016 Afni Mutia Ahdiyati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Gambaran umum Kota Semarang Curah hujan Kota Semarang Topografi dan kelerangan Kota Semarang Daerah aliran sungai Kota Semarang Tutupan lahan Kota Semarang Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang Banjir Kota Semarang METODE Waktu dan Tempat Alat Bahan Prosedur Analisis Data Pembuatan peta indikator curah hujan Pembuatan peta indikator topografi dan kelerengan Pembuatan peta indikator bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Pembuatan peta indikator buffer sungai Pembuatan peta indikator tutupan lahan Pembuatan peta indikator proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) HASIL DAN PEMBAHASAN Curah hujan Topografi dan kelerengan Bentuk DAS Buffer sungai Tutupan lahan Proporsi RTH Penentuan indeks Potensi banjir dan evaluasi SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
v v v 1 1 2 2 2 2 3 3 4 5 6 7 7 7 7 7 8 9 9 9 9 10 11 11 13 14 15 16 17 18 19 22 22 22 23 25 34
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5.
Bentuk DAS, pola, dan kerapatan sungai Perubahan penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001-2006 Catatan sejarah kejadian banjir di Kota Semarang Kisaran tingkat kerapatan NDVI Informasi iklim dan fisik untuk estimasi indeks potensi wilayah banjir
4 5 6 10 18
DAFTAR GAMBAR 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Kategorisasi tingkat potensi banjir banjir berdasarkan nilai indeks potensi dengan kategori sangat rendah (SR), rendah (R), sedang (S), tinggi (T), dan sangat tinggi (ST) Peta curah hujan tahunan Kota Semarang Peta curah hujan musim hujan Kota Semarang Peta curah hujan maksimum musim hujan Kota Semarang Peta topografi Kota Semarang Peta kelerengan Kota Semarang Peta bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Kota Semarang Peta buffer sungai Kota Semarang Peta tutupan lahan Kota Semarang Peta proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang Peta indeks akhir potensi wilayah banjir Kota Semarang, gabungan dari indeks iklim dan fisik Peta bencana banjir Kota Semarang 7-8 Februari 2009 Peta bencana banjir berdasarkan data kejadian banjir Kota Semarang tahun 1990 sampai 2010
8 11 12 12 13 14 15 16 17 18 20 20 21
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Peta indeks curah hujan tahunan Kota Semarang Peta indeks curah hujan musim hujan Kota Semarang Peta indeks curah hujan maksimum musim hujan Kota Semarang Peta indeks topografi Kota Semarang Peta indeks kelerengan Kota Semarang Peta indeks bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Kota Semarang Peta indeks buffer sungai Kota Semarang Peta indeks tutupan lahan Kota Semarang Peta indeks proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang
25 26 27 28 29 30 31 32 33
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan yang terletak pada daerah ekuator dan merupakan tempat pertemuan dari lempeng tektonik. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat berpotensi sekaligus rawan bencana alam. Menurut Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) yang tercatat dalam Rancangan Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) 2006-2009 (2006), antara tahun 2003 sampai 2005 telah terjadi 1.429 kejadian bencana di Indonesia dan 53.3% dari total tersebut merupakan bencana hidrometeorologi. Sebanyak 34.1% dari total kejadian bencana di Indonesia merupakan bencana banjir. Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Kondisi iklim yang mempengaruhi penentuan musim di Indonesia adalah suhu, curah hujan, dan arah angin. Bentang alam Indonesia dari segi morfologi sangat bervariasi. Seiring dengan bertambahnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan semakin parah dan memicu peningkatan kejadian bencana hidrometeorologi, khususnya banjir. Banjir didefinisikan sebagai tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air di suatu wilayah dan menimbulkan kerugian fisik, sosial, dan ekonomi (Rahayu et al. 2009). Banjir di beberapa wilayah merupakan bencana alam yang terjadi berulang tiap tahun terutama pada musim hujan. Salah satu kota besar di Pulau Jawa yang sering dilanda banjir, selain Kota Jakarta adalah Kota Semarang. Kota Semarang merupakan kota utama di Provinsi Jawa Tengah yang menjadi pusat aktivitas masyarakat. Kota Semarang hampir setiap tahun mengalami bencana banjir. Menurut Reseda (2012), Kota Semarang mengalami banjir bandang pada tahun 1973, 1988, 1990, dan 1993 akibat meluapnya Sungai Garang. Hingga tahun 2012, setidaknya telah terjadi tiga kali banjir bandang sejak tahun 1993, yaitu pada tahun 1993, 2000, dan 2010 (Waskitaningsih 2012). Banjir yang melanda Kota Semarang menimbulkan kerugian material bahkan korban jiwa. Menurut Putro dan Hayati (2007), sejak tahun 1971 banjir secara rutin terjadi setiap tahun di Kota Semarang dan mulai menyebar ke berbagai tempat yang sebelumnya tidak pernah terkena banjir. Hal tersebut dikarenakan alih fungsi daerah tampungan luapan banjir menjadi lahan terbangun. Seiring bertambahnya jumlah penduduk Kota Semarang akan menyebabkan meluasnya daerah pemukiman dan sarana penunjang lainnya. Kegiatan konversi daerah resapan air menjadi lahan terbangun menyebabkan semakin besarnya volume aliran limpasan (run off) sehingga mengakibatkan meluasnya area genangan banjir di kota. Banjir terjadi rutin ketika memasuki musim penghujan disaat intensitas curah hujan tinggi. Banjir banyak melanda daerah pusat kota, menggenangi daerah pemukiman, daerah perdagangan, dan pusat-pusat pemerintahan. Tergenangnya Kota Semarang membuat aktivitas masyarakat terhambat. Ketika banjir besar melanda, masyarakat mengungsi dikarenakan rumah yang terendam air. Banjir Kota Semarang juga tercatat menelan korban jiwa.
2
Pendugaan tingkat potensi wilayah banjir Kota Semarang dapat dilakukan untuk mengetahui potensi tiap-tiap daerah sehingga dapat membantu upaya mitigasi. Pendugaan tersebut dapat dilakukan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis berbasis spasial. Upaya mitigasi atau upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan menyusun kembali tata ruang Kota Semarang berkaitan dengan sistem drainase sesuai dengan potensi banjir wilayah. Tujuan Penelitian 1. Memetakan potensi wilayah banjir Kota Semarang. 2. Mengevaluasi indeks potensi wilayah banjir dengan kejadian banjir Kota Semarang. TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Kota Semarang Kota Semarang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Pantai Utara Jawa. Secara geografis Kota Semarang terletak antara 109o35’ sampai 110o50’ BT dan 6o50’ sampai 7o10’ LS. Kota Semarang memiliki luas 400 km2 yang terdiri dari 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Aktivitas utama penduduk Kota Semarang adalah industri, perdagangan, pendidikan, dan pariwisata. Temperatur udara Kota Semarang berkisar antara 25.8 oC sampai dengan o 29.3 C. Kelembaban udara rata-rata bervariasi dari 62% sampai dengan 84%. Arah angin sebagian besar bergerak dari arah Tenggara menuju Barat Laut dengan kecepatan rata-rata berkisar antara 5.7 km/jam (Wismarini dan Ningsih 2010). Curah Hujan Kota Semarang Curah hujan merupakan unsur iklim yang dominan dalam siklus hidrologi di daerah tropis. Hujan yang jatuh sebagian akan mengalami proses intersepsi, infiltrasi, dan perkolasi. Curah hujan yang tertahan oleh kanopi dan dievaporasikan selama atau setelah hujan merupakan proses intersepsi. Sebagian dialirkan ke permukaan tanah melalui batang (stemflow) dan diloloskan dari tajuk ke permukaan tanah (throughfall). Curah hujan yang meresap ke permukaan tanah akan tersimpan melalui proses infiltrasi dan perkolasi. Hujan adalah sumber air utama bagi sungai atau suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Karakteristik hujan yang mempengaruhi aliran permukaan dan distribusi aliran DAS adalah intensitas hujan, lama hujan, dan distribusi hujan di areal DAS tersebut (Arsyad 2000 dalam Primayuda 2006). Curah hujan akan meresap ke dalam tanah menjadi cadangan permukaan air tanah melalui infiltrasi dan perkolasi hingga tanah menjadi jenuh. Ketika tanah telah jenuh, curah hujan akan menjadi limpasan permukaan yang pada akhirnya terkumpul dalam aliran sungai sebagai debit sungai. Debit sungai yang melebihi kapasitas sungai dikenal dengan istilah banjir.
3
Karakteristik curah hujan Kota Semarang mengikuti pola curah hujan monsunal yang memiliki satu lembah dan satu puncak. Pola ini dipengaruhi oleh angin muson barat laut yang berhembus dari Laut Jawa. Siklus pergantian antara musim hujan dan musim kemarau Kota Semarang yakni setiap 6 bulan. Musim hujan dimulai pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan Maret. Musim kemarau dimulai bulan April dan berakhir pada bulan September. Curah hujan rata-rata tahunan bervariasi dari 2215 mm sampai dengan 2183 mm dengan maksimum bulanan terjadi pada bulan Desember sampai bulan Januari (Marfai 2003). Topografi dan Kelerengan Kota Semarang Kondisi kelerengan Kota Semarang menurut Reseda (2012), didominasi oleh wilayah datar dan sangat landai seluas 29190.52 Ha (sekitar 78.11%). Wilayah tersebut merupakan wilayah perkotaan yang berada di bagian Utara. Wilayah agak curam seluas 6080.18 Ha (16.7%) berada pada bagian tengah dengan topografi perbukitan. Bagian Selatan merupakan wilayah curam seluas 1138.80 Ha (3.05%) dan wilayah terjal atau sangat curam seluas 960.50 Ha (2.57%) dengan topografi pegunungan terjal dengan kemiringan dasar sungai sangat curam sehingga kecepatan alirannya deras. Daerah Aliran Sungai Kota Semarang Daerah Aliran Sungai (DAS) ialah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh alam berupa topografi yang berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang diterima menuju sistem sungai terdekat yang selanjutnya bermuara di waduk, danau, atau laut (Seyhan 1995, dalam Grenti 2006). DAS merupakan suatu rangkaian sistem dimulai dari hulu, tengah, dan hilir. Bagian hulu merupakan daerah konservasi yang mempunyai peran penting dalam mengatur fungsi tata air. Bagian tengah dan hilir merupakan daerah pengelolaan dan pemanfaatan air sungai (Asdak 2004). Semarang mempunyai sungai-sungai utama yakni Sungai Blorong, Sungai Beringin, Sungai Silandak, Sungai Garang atau Banjir Kanal Barat, Sungai Banjir Kanal Timur, dan Sungai Babon. Daerah Aliran Sungai (DAS) terbesar di Kota Semarang adalah DAS Garang yang terdiri dari tiga anak sungai yakni Sungai Garang, Sungai Kreo, dan Sungai Kripik. Menurut Reseda (2012), hulu DAS Garang berada di Gunung Ungaran dan bermuara di Laut Jawa. Luas DAS Garang sekitar 200.16 km2 dan panjang kurang lebih 35 kilometer dengan perbedaan ketinggian dari hulu ke hilir sebesar 2050 meter. Karakteristik DAS demikian dapat menyebabkan banjir dengan pola rambatan cepat (flash flood). Bentuk DAS mempengaruhi waktu konsentrasi air hujan yang mengalir menuju outlet. Semakin bulat bentuk DAS maka semakin singkat waktu konsentrasi yang diperlukan, sehingga fluktuasi banjir yang terjadi semakin tinggi. Semakin lonjong bentuk DAS, waktu konsentrasi air hujan yang diperlukan semakin lama sehingga fluktuasi banjir semakin rendah. Menurut Soewarno (1991), berdasarkan perbedaan debit banjir yang terjadi, bentuk DAS dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu bentuk DAS bulu burung, radial, dan
4
paralel. Analisis potensi banjir dilakukan dengan melihat karakteristik bentuk masing-masing DAS. Tabel 1 Bentuk DAS, pola, dan kerapatan sungai Bentuk DAS
Pola dan kerapatan sungai
Gambar
Bulu Burung DAS ini memiliki bentuk (memanjang) yang relatif sempit dan memanjang dengan anakanak sungai mengalir memanjang di sebelah kanan dan kiri sungai utama. Debit banjir untuk DAS ini cenderung kecil namun banjir berlangsung cukup lama karena suplai air yang datang bergantian dari masing-masing anak sungai.
Analisis Potensi Banjir Potensi banjir yang ditimbulkan paling kecil dibanding dengan bentuk DAS lainnya.
Radial
Bentuk DAS meyerupai kipas atau nyaris lingkaran. Anak-anak sungai (sub-DAS) mengalir dari segala penjuru DAS dan terkonsentrasi pada satu titik secara radial. Debit banjir yang dihasilkan umumnya akan sangat besar, dengan catatan hujan terjadi merata dan bersamaan di seluruh DAS tersebut.
Potensi banjir yang ditimbulkan paling tinggi dibanding dengan bentuk DAS lainnya.
Paralel
Sebuah DAS yang tersusun dari percabangan dua subDAS yang cukup besar di bagian hulu, tetapi menyatu di bagian hilirnya. Masingmasing sub-DAS dapat memiliki karakteristik yang berbeda. Ketika terjadi hujan di kedua sub-DAS secara bersamaan, maka akan menimbulkan potensi banjir yang relatif besar.
Potensi banjir yang ditimbulkan lebih kecil dari bentuk DAS radial.
(Sumber: Soewarno 1991) Tutupan Lahan Kota Semarang Penutupan lahan menurut Lillesand dan Kiefer (1997) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, contoh jenis penutup lahan adalah bangunan perkotaan, danau, vegetasi, dan lain-lain. Penutupan lahan
5
menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Perubahan penutupan lahan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh manusia yang mengalami perubahan pada waktu yang berbeda. Tutupan lahan Kota Semarang dari tahun ke tahun menunjukkan perubahan yakni terjadi konversi dari lahan pertanian menjadi non pertanian. Tabel 2 Perubahan penutupan lahan Kota Semarang tahun 2001-2006 No
Penutupan Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8
Area Terbangun Badan Air Ladang Lahan Terbuka Sawah Vegetasi Jarang Vegetasi Rapat Tidak Ada Data TOTAL
2001 Ha % 10656 27.52 2585.34 6.68 7807.05 20.26 3332.34 8.61 3440.7 8.89 7580.97 19.58 2536.56 6.55 782.73 2.02 38721.70 -
2006 Ha % 13777.7 35.58 2233.04 5.77 5237.19 13.53 4973.85 12.85 3326.49 8.59 7048.62 18.20 2124.81 5.49 0 0.00 38721.70 -
Perubahan Ha % 3121.7 8.06 -352.3 -0.91 -2569.86 -6.64 1641.51 4.24 -114.21 -0.29 -532.35 -1.37 -411.75 -1.06 -782.73 -2.02 -
Keterangan: (+) luas wilayah meningkat, (-) luas wilayah menurun (Sumber: Waluyo 2009) Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH dalam suatu pembangunan perkotaan berperan penting karena memiliki beragam fungsi mulai dari fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 menyebutkan manfaat RTH yaitu: 1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan. 2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan kehidupan lingkungan. 3. Sebagai sarana rekreasi. 4. Sebagai pengaman lingkungan perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran. 5. Sebagai sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan. 6. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah. 7. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. 8. Sebagai pengatur tata air. Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 dalam Heksaputri (2011), menetapkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Pasal 29 ayat 3 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan kota, kebutuhan lahan untuk pemukiman akan bertambah sehingga sering mengorbankan ruang terbuka hijau. Kebutuhan masyarakat ini dijadikan pengembang sebagai alasan untuk terus mengembangkan pembangunan perumahan di kawasan pinggiran kota hingga area
6
hijau atau lahan pertanian tidak jadi penghalang untuk membangun perumahan disana. Banjir Kota Semarang Menurut Mulyanto et al. (2012) banjir adalah penggenangan akibat limpasan keluar alur sungai karena debit sungai yang membesar tiba-tiba melampaui kapasitas aliran, terjadi dengan cepat melanda daerah-daerah rendah permukaan bumi, di lembah sungai maupun cekungan. Banjir merupakan bencana alam yang timbul ketika sungai tidak dapat menampung debit air yang ada dan meluap ke kawasan yang tidak biasa tergenang, dapat memberikan kerugian fisik, ekonomi, maupun sosial. Banjir secara umum dipengaruhi oleh tiga faktor yakni faktor klimatologi, karakteristik DAS, dan faktor manusia. Faktor klimatologi yang paling berpengaruh ialah intensitas, frekuensi, dan distribusi curah hujan. Faktor karakteristik DAS berkaitan langsung terhadap fisik daerah yakni kelerengan lahan, ketinggian lahan, tutupan lahan, dan sungai yang melalui daerah tersebut. Manusia berperan penting terhadap perubahan penggunaan lahan, penataan ruang, dan pengelolaan sistem drainase yang akan mempengaruhi kemampuan resapan air pada tanah. Banjir di Kota Semarang terbagi menjadi tiga jenis yakni: 1. Banjir kiriman yaitu banjir yang datangnya dari arah hulu di luar kawasan yang tergenang. Banjir ini terjadi ketika hujan di daerah hulu melebihi kapasitas sungai atau banjir kanal yang ada, sehingga terjadi limpasan. Banjir kiriman terjadi secara periodik hampir setiap tahun dan melanda daerah pertemuan sungai-sungai utama di Kota Semarang (Wismarini et al. 2011). 2. Banjir lokal yaitu banjir akibat genangan air yang timbul dari hujan yang jatuh di daerah itu sendiri. 3. Banjir rob yaitu banjir yang terjadi akibat aliran langsung air laut yang pasang atau air dari saluran drainase yang terhambat oleh air pasang. Banjir rob melanda daerah pinggiran laut yang permukaan tanahnya lebih rendah daripada muka pasang air laut. Banjir yang terjadi di Kota Semarang pada umumnya disebabkan oleh tidak terkendalinya aliran sungai, akibat kenaikan debit yang dipengaruhi langsung oleh tingginya curah hujan. Selain itu, pendangkalan dasar badan sungai dan penyempitan sungai karena sedimentasi, adanya kerusakan lingkungan pada daerah hulu (wilayah atas Kota Semarang) atau daerah tangkapan air, serta ketidakseimbangan input dan output pada saluran drainase kota. Tabel 3 Catatan sejarah kejadian banjir di Kota Semarang Waktu kejadian Daerah yang terkena Dampak dan resiko akibat banjir 25 Januari 1990 Desa Sampangan, Korban jiwa sebanyak 47 orang, (Priyanto dan Bongsari, Petompon, 782 rumah rusak, ketinggian Nawiyanto 2014) Bendungan, Bendan banjir mencapai 2-3 meter, Ngisor kerugian ekonomi diduga Kecamatan Semarang mencapai 8.5 miliar rupiah Barat, Kecamatan Semarang Selatan
7
Januari 1993 (Marfai 2013)
Desa Krobokan, Darat, Lasimin, Bulu Lor, Panggung, Sampangan
7-8 Februari 2009 (Wismarini et al. 2011) 9 November 2010 (PPKK 2010)
8 dari 16 kecamatan di Kota Semarang Kelurahan Wonosari, Ngaliyan, Mangkang, Mangunharjo, Tugu
Korban jiwa sebanyak 13 orang, 242 rumah rusak, beberapa bendungan jebol, ketinggian banjir dengan ketinggian mencapai 1.5 meter. Sejumlah wilayah terendam banjir dengan ketinggian antara 10 cm hingga 1.5 meter. Korban jiwa sebanyak 6 orang, 5 orang luka berat, 8 orang luka ringan, 3 orang hilang.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 sampai bulan Agustus 2015 bertempat di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Alat Alat yang digunakan dalam pengolahan data dan analisis adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak Ms. Office 2010, ArcGIS 10, dan Er Mapper 7.1. Bahan Data iklim yang digunakan adalah data curah hujan bulanan yang didapat dari Worldclim periode baseline yakni tahun 1950-2000. Data fisik daerah kajian yang digunakan adalah data citra Landsat 8 OLI path/row 120/65 tanggal akusisi 2 November 2014, data DEM SRTM, Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000, dan data kejadian banjir Kota Semarang. Prosedur Analisis Data Indeks potensi wilayah banjir diperoleh dengan menggabungkan indikator iklim dan indikator fisik wilayah. Indikator iklim yang digunakan ialah curah hujan sedangkan indikator fisik yang digunakan antara lain tutupan lahan, proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH), kelerengan, topografi atau ketinggian, buffer sungai dan bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS). Pendekatan tersebut dilakukan dengan pertimbangan potensi kejadian banjir pada suatu wilayah yang dipengaruhi oleh curah hujan dan bentuk topografi di wilayah tersebut. Data-data yang terkumpul akan diolah dan disajikan dalam bentuk peta-peta tematik kemudian dilakukan analisis yang akan menghasilkan peta potensi wilayah banjir. Teknik penghitungan indeks potensi wilayah banjir dilakukan dengan menggunakan metode ambang batas. Metode tersebut mengkategorikan nilai masing-masing indikator penyusun dalam bentuk skor berdasarkan nilai suatu
8
indikator melewati yang ambang batas tertentu. Metode ini disusun dari konsep Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2014 dan PERKA BNPB 02/2012 yang disusun dalam Metode Kajian Risiko Bencana Terkait Iklim yang dilakukan dibawah koordinasi Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (Perdinan et al. 2015). Batasan ambang batas khususnya indikator iklim disesuaikan dengan kondisi iklim wilayah kajian yakni Kota Semarang. Nilai indeks potensi banjir dikonversi dalam selang 0 sampai 1. Nilai indeks potensi banjir diperoleh dari indeks akhir yang merupakan gabungan dari indeks iklim dan fisik. Penghitungan indeks iklim dan indeks fisik diperoleh dari persamaan berikut:
Skor maksimum untuk indeks iklim adalah 12 yang diperoleh dari perkalian skor maksimum yakni 4 dengan 3 indikator. Skor maksimum untuk indeks fisik adalah 24 yang diperoleh dari perkalian skor maksimum yakni 4 dengan 6 indikator. Indeks akhir dihitung menggunakan persamaan berikut: (
)
(
)
Nilai indeks akhir menunjukkan tingkat potensi banjir di suatu lokasi. Klasifikasi nilai tingkat potensi dilakukan dengan membagi nilai indeks menjadi lima kelas. Tingkat potensi masuk kategori tinggi apabila indeks diatas 0.8 sampai 1.0, dan masuk kategori sangat rendah apabila nilai indeks dibawah 0.2 sampai 0. SR 0
R 0.2
S 0.4
T 0.6
ST 0.8
1
Gambar 1 Kategorisasi tingkat potensi banjir berdasarkan nilai indeks potensi dengan kategori sangat rendah (SR), rendah (R), sedang (S), tinggi (T), dan sangat tinggi (ST) Hasil indeks akhir potensi wilayah banjir akan dipetakan dan akan terlihat wilayah yang memiliki potensi banjir tinggi, sedang, maupun rendah. Hasil indeks tersebut kemudian dievaluasi dengan peta bencana banjir untuk melihat kesesuaian model yang telah dibuat dengan kejadian banjir yang sebenarnya. Pembuatan peta indikator curah hujan Data curah hujan diperoleh dari data Worldclim periode baseline yang merupakan hasil interpolasi dari tahun 1950 sampai dengan tahun 2000. Data Worldclim berupa data bulanan dengan resolusi spasial mendekati 1 kilometer grid. Indikator curah hujan dibagi lagi menjadi tiga yakni curah hujan tahunan, curah hujan musim hujan, dan curah hujan maksimum musim hujan. Metode interpolasi yang digunakan untuk mengisi data wilayah kajian yang kosong adalah
9
Euclidean Allocation. Metode tersebut mengukur jarak pemetaan garis lurus dari setiap sel ke sumber terdekat tanpa merubah data. Pembuatan indikator curah hujan menggunakan perangkat lunak analisis spasial ArcGIS 10 dengan menjumlahkan data curah hujan bulanan. Indikator curah hujan tahunan diperoleh dari penjumlahan data bulanan dalam satu tahun. Indikator curah hujan musim hujan diperoleh dari penjumlahan data bulanan musim hujan. Musim hujan Kota Semarang berlangsung dari bulan Oktober, November, Desember, Januari, Februari, sampai Maret. Sedangkan indikator curah hujan maksimum musim hujan diperoleh dari data bulanan maksimum musim hujan. Pembuatan peta indikator topografi dan kelerengan DEM (Digital Elevation Model) merupakan salah satu model yang meggambarkan bentuk topografi permukaan bumi. Data DEM SRTM merupakan salah satu data satelit dengan resolusi spasial 90 meter yang memberikan gambaran tentang ketinggian tempat. Pembuatan peta kelerengan dapat diturunkan dari data DEM melalui proses Raster Surface - Slope yang kemudian dikelaskan berdasarkan kelas kemiringan lereng (%). Pembuatan peta indikator bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Data yang digunakan untuk indikator bentuk DAS ialah data DEM. Penentuan batas atau bentuk DAS menggunakan perangkat lunak ArcGIS dapat dilakukan dengan Spatial Analyst of Hidrology Tools. Langkah-langkah yang dilakukan ialah membuat arah aliran sungai (flow direction), kemudian membuat area basin yang membatasi satu DAS dengan DAS yang lainnya. Jaringan sungai akan terlihat dan dapat ditentukan Daerah Aliran Sungai (DAS) suatu wilayah. Pembuatan peta indikator buffer sungai Zona buffer sungai menunjukkan daerah sempadan sungai dengan lebar tertentu yang akan terkena dampak langsung jika sungai meluap. Peta buffer sungai dibuat berdasarkan zona buffer yang dihasilkan dari pengkelasan tingkat kerawanan banjir suatu wilayah berdasarkan jarak dengan sungai. Pembuatan buffer sungai dilakukan dengan menggunakan Euclidean Distance. Buffer sungai dibuat berdasarkan asumsi semakin dekat suatu wilayah dengan sungai, maka peluang terjadi banjir akan lebih tinggi. Pembuatan peta indikator tutupan lahan Klasifikasi tutupan lahan dilakukan dengan cara menggabungkan citra kanal Landsat 8 OLI untuk mengetahui sebaran dan luas tipe penutupan lahan di wilayah kajian. Klasifikasi citra yang digunakan ialah metode klasifikasi tidak terbimbing (Unsupervised Classification). Klasifikasi tersebut merupakan proses pengelompokan piksel-piksel pada citra menjadi beberapa kelas menggunakan analisa cluster.
10
Komposit band yang digunakan dalam klasifikasi citra pada penelitian ini adalah band 6, 5, 3. Komposit band tersebut merupakan komposit yang baik dalam mengidentifikasi tutupan lahan. Band 6 merupakan band SWIR (Shortwave Infrared) untuk identifikasi badan air, band 5 merupakan band NIR (Near Infrared) untuk identifikasi tanah, dan band 3 merupakan band green untuk identifikasi vegetasi (NASA 2010). Proses klasifikasi citra dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan pola-pola spektral yang telah ditetapkan. Kemudian daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang sama digabungkan. Klasifikasi dalam penelitian ini mengidentifikasi citra menjadi badan air, vegetasi rapat, vegetasi jarang, lahan terbuka, dan lahan terbangun. Pembuatan peta indikator proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Data yang digunakan untuk pembuatan indikator RTH adalah data Landsat 8 ETM Kota Semarang path/row 120/65, dengan tanggal akuisisi 2 November 2014. Data Landsat 8 OLI memiliki resolusi 30 meter. RTH dapat diduga dengan nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Nilai NDVI menggambarkan tingkat kehijauan biomassa dan merupakan indikator yang baik untuk menentukan status kerapatan vegetasi pada suatu wilayah. Suatu wilayah dengan kondisi vegetasi yang rapat secara definisi matematis memiliki nilai NDVI positif, sedangkan nilai NDVI perairan bebas akan cenderung bernilai negatif. Menurut Heksaputri (2011), estimasi NDVI dengan basis data satelit memanfaatkan fenomena fisik pantulan gelombang cahaya yang berasal dari dedaunan. Tumbuhan hijau menyerap radiasi matahari pada bagian Photosynthetically Active Radiation (PAR). Rentang nilai NDVI berkisar antara -1 hingga +1, jika wilayah semakin hijau maka vegetasi semakin rapat dan nilai NDVI semakin besar. Menurut Febrianti dan Sofan (2014), persamaan untuk menghitung NDVI adalah sebagai berikut: ( (
) )
Nilai NIR merupakan reflektansi kanal near infrared dan Red merupakan reflektansi kanal cahaya tampak/infrared. Band yang digunakan pada Landsat 8 ialah band 5 untuk NIR dan band 4 untuk Red. Penghitungan nilai NDVI dilakukan dengan menggunakan band 5 dan band 4 Landsat 8 menggunakan perangkat lunak analisis spasial Er Mapper 7.1 dan ArcGIS 10. Setelah didapatkan rentang nilai NDVI, maka dilakukan pembagian obyek. Tabel 4 Kisaran tingkat kerapatan NDVI Kelas Kisaran NDVI 1 -1.0 s.d. 0.32 2 0.32 s.d. 0.42 3 -0.42 s.d. 1.0 (Sumber: Departemen Kehutanan 2009)
Tingkat Kerapatan Jarang Sedang Tinggi
11
Penghitungan proporsi luasan RTH dilakukan dengan membagi luas RTH per desa dengan luas desa wilayah kajian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Curah Hujan Kota Semarang memiliki perbedaan musim kemarau dan musim penghujan yang jelas. Pola curah hujan Kota Semarang adalah pola monsunal. Curah hujan dipengaruhi oleh angin muson barat laut yang berhembus dari Laut Jawa. Musim hujan di Kota Semarang dimulai dari bulan Oktober dan berakhir pada bulan Maret. Puncak musim hujan terjadi pada bulan Desember dan Januari. Sebaran curah hujan Kota Semarang lebih tinggi pada wilayah Semarang bagian selatan. Curah hujan tinggi terjadi pada daerah perbukitan yang merupakan daerah hulu sungai. Semakin ke utara, curah hujan semakin rendah. Gambar 2 menunjukkan pola spasial curah hujan tahunan di Kota Semarang.
Gambar 2 Peta curah hujan tahunan Kota Semarang Sebaran curah hujan musim hujan (Gambar 3) memiliki pola spasial yang sama dengan sebaran curah hujan maksimum musim hujan (Gambar 4). Curah hujan rata-rata tertinggi terjadi di wilayah barat daya Kota Semarang kemudian variasinya menurun mendekati daerah pesisir.
12
Gambar 3 Peta curah hujan musim hujan Kota Semarang
Gambar 4 Peta curah hujan maksimum musim hujan Kota Semarang Pola curah hujan Kota Semarang dilihat dari ketiga indikator mempunyai kesamaan yakni lebih tinggi di daerah perbukitan dan semakin menuju pesisir semakin rendah. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi topografi Kota Semarang. Hujan yang terjadi merupakan hujan orografik yakni hujan yang dihasilkan oleh naiknya udara lembab secara paksa oleh dataran tinggi atau pegunungan (Handoko 1994). Dampak dari hujan orografik adalah sebaran curah hujan
13
tahunan di dataran tinggi pada umumnya lebih tinggi daripada dataran rendah sekitarnya. Angin muson barat laut yang membawa uap air dari Laut Jawa akan bertiup ke arah selatan dan terdorong naik karena ketinggian Gunung Ungaran. Dorongan naik oleh dataran tinggi tersebut membawa udara ke titik kondensasi sehingga terbentuklah butir-butir awan penghasil hujan. Ketika butir-butir awan terus tumbuh seiring naiknya ketinggian dengan suhu tertentu, maka gaya berat dari awan akan lebih besar dari daya angkat udara sehingga jatuh sebagai hujan. Topografi dan Kelerengan Topografi Kota Semarang secara umum dibagi menjadi tiga, yakni daerah pantai, dataran rendah, dan perbukitan (Gambar 5). Menurut Aftriana (2013), daerah pantai merupakan daerah dengan ketinggian kurang dari 0.75 mdpl (meter di atas permukaan laut). Daerah dataran rendah mempunyai ketinggian di atas 0.75 mdpl (meter di atas permukaan laut). Daerah perbukitan mempunyai ketinggian di atas 90 mdpl (meter di atas permukaan laut).
Gambar 5 Peta topografi Kota Semarang Daerah selatan Kota Semarang merupakan daerah perbukitan yang merupakan lereng Gunung Ungaran. Kondisi kelerengan Kota Semarang bervariasi. Daerah dengan kelerengan curam berada di daerah Selatan Kota Semarang. Semakin mengarah ke pesisir maka ketinggian akan menurun disertai dengan kelerengan yang semakin landai (Gambar 6).
14
Gambar 6 Peta kelerengan Kota Semarang Kondisi ketinggian dan kelerengan mempengaruhi kemiringan dasar sungai dan hidrologi daerah tersebut. Zona dengan topografi berupa perbukitan dengan lereng curam akan mempengaruhi aliran air pada sungai. Jenis aliran pada daerah ini termasuk aliran kritis dengan kecepatan aliran tinggi, sehingga angkutan sedimen dan erosi yang terjadi cukup tinggi. Zona dengan topografi sangat landai seperti Kota Semarang bagian utara, memiliki kemiringan dasar sungai landai sehingga gejala sedimentasi atau pengendapan di dasar saluran sering terjadi jika sistem drainase kurang baik. Bentuk DAS Variasi topografi Kota Semarang membentuk daerah aliran sungai yang mengalirkan air dari hulu yakni Gunung Ungaran menuju hilir yakni Laut Jawa. Beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) terbentuk dengan karakteristik yang berbeda. DAS utama yang terdapat pada Kota Semarang adalah DAS Garang yang menjadi sumber air terbesar bagi masyarakat Kota Semarang. DAS Garang termasuk bentuk radial karena bentukannya yang lebar dan terdiri dari beberapa anak sungai utama. Dua DAS lain yang terdapat di Kota Semarang juga memiliki bentuk radial walaupun tidak sebesar DAS Garang. Pada bagian barat Kota Semarang terdapat DAS yang berbentuk memanjang (Gambar 7).
15
Gambar 7 Peta bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Kota Semarang Bentuk DAS mempengaruhi hidrograf aliran sungai yang berkaitan dengan perilaku debit sungai sebagai respon adanya perubahan terhadap satuan waktu. Hidrograf aliran memberikan informasi besarnya aliran sungai pada suatu waktu, sehingga dapat dianalisis kemungkinan fluktuasi debit air sungai yang dapat mengakibatkan banjir. Karakteristik masing-masing DAS mempunyai potensi banjir yang berbeda, dapat dilihat pada Tabel 2. Bentuk DAS yang memiliki potensi banjir paling besar adalah bentuk DAS radial. Bentuk DAS paralel memiliki potensi banjir lebih kecil dibanding bentuk radial. Potensi banjir paling kecil dihasilkan oleh bentuk DAS bulu burung atau memanjang. Buffer Sungai Pembuatan peta buffer sungai dapat menunjukkan daerah-daerah yang berbatasan atau berdekatan dengan sungai. Semakin dekat dengan sungai maka potensi terkena banjir akan semakin tinggi. Menurut Primayuda (2006) dengan modifikasi, pengkategorian jarak buffer sungai sangat rawan terhadap potensi banjir yakni pada jarak 0 sampai 30 meter. Jarak buffer sungai rawan yakni pada jarak 30 sampai 100 meter. Kategori agak rawan yakni pada jarak 100 sampai 250 meter dari sungai. Sedangkan kategori tidak rawan potensi banjir yakni pada jarak lebih dari 250 meter dari sungai (Gambar 8).
16
Gambar 8 Peta buffer sungai Kota Semarang Tutupan Lahan Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah merupakan parameter kemajuan kota-kota lain di Jawa Tengah. Penggunaan lahan di Kota Semarang dari tahun ke tahun mengalami konversi yang mengarah dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Menurut Ditjen Cipta Karya DPU (2006), proporsi penggunaan lahan di Kota Semarang sebanyak 33% digunakan untuk pemukiman. Besarnya proporsi luas lahan pemukiman mengindikasikan lahan masih memiliki fungsi dominan untuk tuntutan pelayanan masyarakat. Gambar 9 memperlihatkan kondisi tutupan lahan di Kota Semarang yang didominasi oleh lahan terbuka. Persebaran penggunaan lahan terbangun berada di daerah pesisir dan bagian timur Kota Semarang. Lahan pertanian yang digambarkan sebagai daerah vegetasi rapat dan jarang berlokasi di sebelah selatan dan barat kota. Menurut Putro dan Hayati (2007), lahan pertanian di Kota Semarang dibagi menjadi lahan pertanian kering dan sawah. Wilayah Selatan kota yakni Kecamatan Gunungpati dan Mijen didominasi oleh tipe penutupan lahan berupa hutan dan perkebunan. Tanaman yang tumbuh di daerah ini berupa pohonpohon yang memiliki kerapatan tajuk lebih dari 10%. Wilayah barat kota yakni Kecamatan Ngaliyan didominasi oleh ladang atau kebun campuran. Ladang merupakan lahan pertanian kering yang digunakan masyarakat untuk budidaya tanaman pertanian semusim non padi. Wilayah industri berlokasi pada kecamatan Tugu, Genuk, dan sebagian di Kecamatan Pedurungan dan Semarang Barat.
17
Gambar 9 Peta tutupan lahan Kota Semarang Fenomena banjir berkaitan dengan daya serap permukaan tanah dan besarnya aliran permukaan. Jenis tutupan lahan berpengaruh langsung terhadap besarnya kemampuan daya serap permukaan dan aliran permukaan. Lahan dengan tutupan vegetasi akan mempunyai daya serap lebih tinggi dibanding lahan terbuka maupun lahan terbangun, sehingga aliran permukaan menjadi kecil. Menurut Kepala BAPPEDA Kota Semarang dalam Haryanto (2013), banjir yang sering melanda Kota Semarang tidak lepas dari buruknya sistem tata ruang kota. Daerah resapan yang seharusnya berfungsi untuk menyerap air hujan, dialihfungsikan sebagai kawasan perumahan. Proporsi RTH Distribusi Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Kota Semarang mengikuti tutupan lahan. Proporsi RTH tinggi berada pada bagian selatan dan barat kota yang merupakan daerah perbukitan. Daerah ini merupakan daerah pedesaan (sub urban) dengan kepadatan penduduk rendah. Aktivitas utama masyarakat di wilayah tersebut masih bertumpu pada pengelolaan dan pengolahan sumberdaya alam yakni bertani, berladang, dan berkebun. Daerah pesisir atau wilayah kota bagian utara dan sebagian bagian timur merupakan wilayah perkotaan (urban). Aktivitas masyarakat berkembang mengikuti kegiatan di dalam kota. Pusat Kota Semarang mempunyai kepadatan pemukiman penduduk tinggi. Sebagian wilayah perkotaan berkembang menjadi area industri, sehingga sebagian besar lahan difungsikan untuk kepentingan pengembangan kota. Proporsi ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai resapan air lebih sedikit (Gambar 10).
18
Gambar 10 Peta proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang Penentuan Indeks Penentuan indeks dilakukan dengan menentukan ambang batas untuk masing-masing indikator. Tiap-tiap indikator dibagi menjadi empat kelas ambang batas yang memiliki skor dari 1 sampai 4. Skor 1 menandakan bahwa suatu indikator mempunyai pengaruh kecil terhadap terjadinya banjir, sehingga potensi banjir di suatu wilayah kecil. Skor 4 menandakan bahwa suatu indikator mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya banjir, sehingga potensi banjir di suatu wilayah besar. Tabel 5 Informasi iklim dan fisik untuk estimasi indeks potensi wilayah banjir Indikator Curah hujan tahunan (mm)
Ambang batas (threshold) a. > 2500 b. 2000 – 2500 c. 1500 – 2000 d. < 1500 Curah hujan musim hujan (mm) a. > 2000 b. 1500 – 2000 c. 1000 – 1500 d. < 1000 Curah hujan maksimum musim hujan a. > 300 (mm) b. 225 – 300 c. 150 – 225 d. < 150 Kelerengan/slope (%) a. < 15 b. 15 – 30 c. 30 – 45 d. > 45
Skor 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
19
Ketinggian (m)
Bentuk DAS
Buffer sungai (m)
Tutupan lahan
Proporsi RTH (%)
a. < 150 b. 150 – 300 c. 300 – 450 d. > 450 a. Bentuk radial b. Bentuk paralel c. Bentuk memanjang d. Daerah non-DAS a. 0 – 30 b. 30 – 100 c. 100 – 250 d. > 250 Lahan Terbangun Lahan Terbuka Vegetasi Jarang Vegetasi Rapat Badan Air a. < 40 b. 40 – 60 c. 60 – 80 d. > 80
4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 0 4 3 2 1
(Sumber: Perdinan et al. 2015) (Modifikasi) Potensi Banjir dan Evaluasi Indeks akhir merupakan gabungan dari indeks iklim dan indeks fisik suatu daerah. Indeks akhir menunjukkan potensi banjir pada suatu wilayah yang didapat dari gabungan indikator iklim yakni curah hujan dan indikator fisik yang berkontribusi untuk menyebabkan terjadinya banjir. Rentang nilai yang diperoleh untuk indeks akhir potensi wilayah banjir Kota Semarang adalah 0.60 sampai 0.94. Kategori tingkat potensi banjir berdasarkan nilai tersebut adalah tinggi dan sangat tinggi. Kota Semarang secara keseluruhan dapat dinyatakan memiliki potensi banjir yang tinggi. Daerah yang berpotensi banjir sangat tinggi adalah daerah yang berdekatan dengan sungai dan pertemuan anak-anak sungai. Daerah yang berwarna merah pada Gambar 11 merupakan daerah dengan tingkat potensi banjir sangat tinggi. Daerah tersebut tersebar pada kota bagian barat daya, tengah kota, dan sepanjang daerah pesisir.
20
Gambar 11 Peta indeks akhir potensi wilayah banjir Kota Semarang, gabungan dari indeks fisik dan iklim Hasil indeks akhir akan dievaluasi dengan dua peta bencana banjir yang diperoleh dari BNPB dan data kejadian banjir Kota Semarang selama beberapa tahun. Hal tersebut dilakukan untuk melihat kesesuaian metode dan hasil yang diperoleh dengan kejadian banjir sebenarnya. Menurut peta bencana banjir dari BNPB, daerah tergenang banjir berada pada daerah pesisir dan tengah kota (Gambar 12).
Gambar 12 Peta bencana banjir Kota Semarang 7-8 Februari 2009 (Sumber: BNPB 2009)
21
Daerah tergenang banjir pada peta dibatasi oleh batas kecamatan. Daerah yang terkena banjir dengan ketinggian genangan antara 100 – 200 cm meliputi beberapa perumahan dan jalan di Kecamatan Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Utara, Semarang Timur, dan Semarang Selatan. Daerah yang terkena banjir berdasarkan data kejadian banjir Kota Semarang pada tabel 4, dipetakan menjadi Gambar 13. Daerah yang tergenang banjir ditunjukkan oleh warna biru. Kejadian banjir berdasarkan data kejadian banjir Kota Semarang terjadi pada daerah tengah kota. Daerah tersebut merupakan daerah pusat kota yang merupakan daerah pertemuan antara anak-anak sungai DAS utama Kota Semarang.
Gambar 13 Peta bencana banjir berdasarkan data kejadian banjir Kota Semarang tahun 1990 sampai 2010 Hasil evaluasi secara visual indeks akhir dengan peta kejadian banjir Kota Semarang menunjukkan kesesuaian. Daerah tengah kota yang merupakan daerah genangan banjir, pada indeks akhir memiliki potensi banjir yang sangat tinggi. Daerah pesisir atau wilayah kota bagian utara yang termasuk daerah genangan banjir juga memiliki tingkat potensi banjir yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan faktor fisik yang mempunyai pengaruh besar untuk terjadinya banjir. Topografi yang landai serta jenis tutupan lahan yang didominasi oleh pemukiman dan area industri menjadikan kurangnya daerah resapan air. Aliran permukaan (run off) menjadi tinggi sehingga kemungkinan terjadinya genangan ketika curah hujan tinggi semakin besar. Indeks potensi banjir menunjukkan daerah-daerah yang berpotensi banjir akibat banjir luapan sungai, baik banjir kiriman dari hulu maupun banjir lokal. Banjir kiriman dan banjir lokal disebabkan oleh tingginya intensitas curah hujan dan kurang memadainya sistem drainase (Marfai 2003). Daerah tengah dan bagian utara kota memiliki potensi banjir sangat tinggi. Daerah tersebut memiliki curah hujan lebih rendah dibanding dengan daerah selatan kota. Namun dari kondisi fisik, daerah tersebut sangat berpotensi terjadi
22
banjir karena merupakan daerah dengan kelerengan landai, tutupan lahan yang didominasi lahan terbangun, dan merupakan tempat pertemuan anak-anak sungai. Banjir yang melanda daerah tengah dan utara kota adalah banjir kiriman. Curah hujan tinggi di daerah hulu akan tertampung sebagai debit sungai dan mengalir menuju hilir sungai. Debit sungai akan terakumulasi selama perjalanan dari hulu ke hilir dan meluap jika kapasitas sungai tidak dapat menampung. Banjir kiriman datang dari arah hulu di luar kawasan yang tergenang. Menurut Wismarini et al. (2011), banjir kiriman secara periodik hampir setiap tahun terjadi dan melanda daerah pertemuan anak-anak sungai di Kota Semarang. Daerah kota bagian selatan berdasarkan indeks akhir memiliki potensi banjir tinggi. Daerah Mijen mempunyai potensi banjir sangat tinggi. Banjir pada daerah selatan kota merupakan banjir lokal atau banjir akibat genangan air yang timbul dari daerah itu sendiri. Banjir terjadi di sekitar hamparan sungai. Potensi wilayah banjir yang diperoleh dari indeks menunjukkan gabungan kontribusi dari kondisi iklim dan fisik suatu wilayah. Ketika dilakukan upaya mitigasi atau antisipasi terhadap kedua kondisi tersebut, maka dapat merubah atau memperkecil potensi banjir di suatu tempat. Upaya mitigasi atau antisipasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah setempat terkait pengurangan risiko banjir adalah memperbaiki saluran drainase dan tata ruang kota.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil indeks akhir potensi wilayah banjir menunjukkan rentang nilai 0.60 sampai 0.94. Kategori potensi banjir untuk Kota Semarang adalah tinggi dan sangat tinggi. Daerah dengan potensi sangat tinggi tersebar pada kota bagian barat daya, tengah kota, dan daerah pesisir. Evaluasi indeks akhir dengan kejadian banjir Kota Semarang menunjukkan hasil yang sesuai. Daerah dengan potensi banjir sangat tinggi berada di daerah tengah kota dan sepanjang pesisir. Kondisi fisik dan karakteristik banjir yang merupakan banjir kiriman berpengaruh besar terhadap tingkat potensi tersebut. Daerah tengah kota merupakan daerah pusat kota yang merupakan daerah dataran rendah, tempat pertemuan anak-anak sungai dengan kelerengan yang landai serta tutupan lahan yang didominasi oleh pemukiman dan area industri. Saran Penelitian selanjutnya perlu adanya penambahan indikator flow accumulation atau Topography Wetness Index (TWI) untuk mengoreksi indikator topografi di daerah tinggi. TWI menggambarkan kondisi kebasahan atau kemungkinan genangan yang merupakan fungsi akumulasi aliran dan kelerengan.
23
DAFTAR PUSTAKA [Bakornas PB] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 2006. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana 2006-2009. Jakarta (ID): Perum Percetakan Negara Republik Indonesia. [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2009. Peta Bencana Banjir di Wilayah Kota Semarang. [terhubung berkala] http://geospasial.bnpb.go.id/wpcontent/uploads/2009/05/2009-02-09_banjir_kota_semarang_BNPB.pdf (diakses 27 Agustus 2015). [Ditjen Cipta Karya DPU] Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum. 2006. Profil Kabupaten/Kota Semarang Jawa Tengah. [terhubung berkala] http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat/jateng/semarang.pdf (diakses 7 September 2015). [PPKK] Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Banjir Bandang di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. [terhubung berkala] http://penanggulangankrisis.depkes.go.id/banjir-bandangdi-kota-semarang-provinsi-jawa-tengah (diakses 8 September 2015). Aftriana CV. 2013. Analisis perubahan kerapatan vegetasi Kota Semarang menggunakan bantuan teknologi penginderaan jauh [skripsi]: Indonesia (ID): Universitas Negeri Semarang. Asdak C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.32/MENHUT-II/2009. Jakarta. Febrianti N, Sofan P. 2014. Ruang terbuka hijau di DKI Jakarta berdasarkan analisis spasial dan spektral data landsat 8. Di dalam: Kartasasmita M, Hasyim B, Kushardono D, Adiningsih ES, Dewanti R, Sambodo KA, editor. Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014; 2014 April 21; Bogor, Indonesia. Jakarta (ID): Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. hlm 498-504. Grenti LI. 2006. Peringatan dini banjir pada DAS Ciliwung dengan menggunakan data curah hujan [skripsi]: Indonesia (ID): Institut Pertanian Bogor. Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Bogor: Pustaka Jaya. Haryanto ED. 2013. Konsep arsitektur berkelanjutan pada tata ruang kota (studi kasus: peralihan fungsi lahan hijau menjadi perumahan). Jurnal MODUL 13(2):49-56. Heksaputri SF. 2011. Rencana pengembangan ruang terbuka hijau berdasarkan distribusi suhu permukaan dan temperature humidity index (THI) di Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lillesand TM, Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Marfai MA. 2003. GIS modelling of river and tidal flood hazards in a waterfront city case study: Semarang City, Central Java, Indonesia [tesis]. Belanda (NL): International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Mulyanto, Parikesit RNA, Utomo H. 2012. Petunjuk Tindakan dan Sistem Mitigasi Banjir Bandang. Jakarta (ID): Direktorat Sungai dan Pantai, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, JICA.
24
NASA. 2010. Landsat Data Continuity Mission Brochure. [terhubung berkala] http://landsat.gsfc.nasa.gov/ (diakes 28 Desember 2015). Perdinan, Sugiarto Y, Impron, Sehabudin U, Atmaja T, Adi RF, Dewi WS, Edyanto, Arini EY. 2015. Pengembangan metode kajian risiko iklim fokus anak. Laporan UNICEF Surabaya 2015. Primayuda A. 2006. Pemetaan daerah rawan dan resiko banjir menggunakan sistem informasi geografis: studi kasus Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Priyanto EH, Nawiyanto. 2014. Banjir bandang di Kodya Semarang tahun 1990. Jurnal Publika Budaya 3(2):9-17. Putro S, Hayati R. 2007. Dampak perkembangan permukimam terhadap perluasan banjir genangan di Kota Semarang. Jurnal Geografi 4(1):35-43. Rahayu, Harkunti P, Wahdiny II, Utami A, Asparini M. 2009. Banjir dan Upaya Penanggulangannya. [terhubung berkala] http://pmb.itb.ac.id/weblama/PROMISE/Banjir%20dan%20Upaya%20Penan ggulangannya_rev%201.pdf (diakses 20 April 2015). Reseda A. 2012. Kajian efektifitas pengendalian banjir di DAS Garang [tesis]. Indonesia (ID): Universitas Diponegoro. Soewarno. 1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri). Bandung (ID): Nova. Waluyo P. 2009. Distribusi spasial suhu permukaan dan kecukupan ruang terbuka hijau di Kota Semarang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Waskitaningsih N. 2012. Kearifan lokal masyarakat sub-sistem drainase bringin dalam menghadapi banjir. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota 8(4):383391. Wismarini D, Ningsih DHU. 2010. Analisis sistem drainase Kota Semarang berbasis sistem informasi dalam membantu pengambilan keputusan bagi penanganan banjir. Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK 15(1):41-51. Wismarini D, Ningsih DHU, Amin F. 2011. Metode perkiraan laju aliran puncak (debit air) sebagai dasar analisis sistem drainase di daerah aliran sungai wilayah Semarang berbantuan SIG. Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK 16(2):124-132.
25
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta indeks curah hujan tahunan Kota Semarang
26
Lampiran 2 Peta indeks curah hujan musim hujan Kota Semarang
27
Lampiran 3 Peta indeks curah hujan maksimum musim hujan Kota Semarang
28
Lampiran 4 Peta indeks topografi Kota Semarang
29
Lampiran 5 Peta indeks kelerengan Kota Semarang
30
Lampiran 6 Peta indeks bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Kota Semarang
31
Lampiran 7 Peta indeks buffer sungai Kota Semarang
32
Lampiran 8 Peta indeks tutupan lahan Kota Semarang
33
Lampiran 9 Peta indeks proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang
34
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi, Jawa Timur, pada tanggal 27 Oktober 1993 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mutawasik dan Ibu Ifa Nurhayina. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Genteng pada tahun 2011 dan melanjutkan pendidikan di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama menjalani perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan akademik maupun non-akademik. Penulis aktif dalam organisasi HIMAGRETO (Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi) pada tahun 2012 sampai 2013. Penulis juga berperan di beberapa kepanitiaan, diantaranya Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) dan Festival Kampus. Penulis menerima Beasiswa Prestasi Peningkatan Akademik (PPA) periode tahun 2012-2014. Penulis melaksanakan magang di Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) Jakarta pada bulan Juni sampai Juli 2014. Selain itu, penulis pernah berpartisipasi dalam Kompetisi Pekan Kreativitas Mahasiswa Peduli Bencana pada tahun 2015 dan terpilih menjadi lima karya terbaik.