Analisis Situasi Hak Anak untuk Isu-isu Tertentu Disusun untuk Proyek Rintisan Penyusunan Instrumen Pemantauan dan Pemantauan Pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak untuk Isu-Isu Tertentu
Distia Aviandari, Nining S. Muktamar, Muhammad Jailani, Moch. Riza Zaenal Abidin, Medda Maya Pravita
Kata Pengantar
Save the Children in Indonesia Sejak lama kita mendambakan adanya suatu informasi dan analisis yang memadai untuk mengukur sejauh mana Konvensi Hak Anak dilaksanakan di suatu negara peserta Konvensi ini. Analisis ini dapat membantu semua pihak untuk memahami kerangka hukum dan kebijakan suatu negara peserta Konvensi Hak Anak serta untuk memahami sejauh mana hukum dan kebijakan tersebut dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu. Dengan melakukan pemantauan terhadap kasus-kasus yang dihadapi oleh anak-anak serta respon dari para pengemban tanggung-jawab dapat dilihat profil dan karakter pelanggaran hak anak serta bentuk-bentuk tanggapan atas pelanggaran tersebut. Dalam konteks Indonesia, informasi dan analisis tersebut diharapkan mampu memberi deskripsi tentang sampai di mana Konvensi Hak Anak, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1990 telah mengalami kemajuan dalam pelaksanaannya.
Penulis : Distia Aviandari, Nining S. Muktamar, Muhammad Jailani, Moch. Riza Zaenal Abidin, Medda Maya Pravita
Diterbitkan oleh: Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) Jl. Sidikan Gg. Saridi UH V/567 Yogyakarta E-mail:
[email protected] /
[email protected] bekerjasama dengan Koalisi Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) unt Pemantauan Hak Anak © SAMIN 2010 Diterbitkan atas dukungan Save the Children in Indonesia dengan dana dari SIDA (Swedish International Development Agency)
Karena itu, saya mengucapkan selamat atas diterbitkannya laporan analisis situasi pelaksanaan Konvensi Hak Anak yang mencakup situasi di Indonesia pada tahun 2009. Laporan analisis, yang meliputi isu-isu buruh anak, perdagangan anak, anak berkonflik dengan hukum, pemenuhan hak anak atas kesehatan dan pendidikan ini merupakan hasil dari proyek rintisan pengembangan alat pemantauan dan pemantauan pelaksanaan Konvensi Hak Anak. Save the Children berterimakasih dapat menjadi mitra yang membantu Koalisi Ornop Nasional Pemantau Hak Anak dalam penerbitan laporan analisis ini maupun dalam proyek rintisan. Semoga penerbitan laporan analisis ini dapat berguna bagi semua pihak untuk memikirkan kembali strategi-strategi yang paling tepat agar pelaksanaan Konvensi Hak Anak dapat lebih maju. Dengan demikian, diharapkan hidup anak akan menjadi lebih baik.
Jakarta, Juni 2010
Setiawan Cahyo Nugroho Project Manager Child Rights Save the Children in Indonesia
i
Kata Pengantar Koalisi Nasional Ornop Pemantau Hak Anak Berbarengan dengan buku panduan penggunaan instrumen pemantauan hak anak, diterbitkan pula satu buku hasil analisis situasi hak anak di Indonesia. Agak berbeda dengan buku Laporan Tinjauan yang dikeluarkan Koalisi Nasional belum lama ini, buku ini hanya difokuskan kepada lima issu hak anak yakni Situasi Anak Yang Berkonflik dengan Hukum, Situasi Perlindungan Anak dari Perdagangan, Situasi Buruh Anak, Situasi Hak Anak Atas Pendidikan dan Situasi Hak Anak atas Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar. Buku ini juga berbeda periode cakupan yang dipantau dan dilaporkan serta bukan dalam rangka merespon Concluding Observations mau pun Laporan Negara sebagaimana buku Laboran Tinjauan. Buku ini mencoba menggambarkan secara umum tentang situasi secara hak anak di lima issu tersebut. Tentu saja, secara prinsip dan substansi keduanya jelas tidak memiliki perbedaan dan sepenuhnya ditujukan untuk menggambarkan, menilai dan memberikan evaluasi mengenai pelaksanaan hak anak di Indonesia. Setiap laporan yang dilahirkan dengan tujuan menggambarkan dalam rangka evaluatif juga tentu tidak bisa dipisahkan dari instrumen pemantauan apa yang digunakan. Karenanya pula, membaca buku ini pun tidak bisa dipisahkan dari membaca dan mempelajari buku panduan penggunaan instrumen pemantauan hak anak. Instrumen itu lah yang dipakai di dalam memantau, menganalisis dan mengevaluasi. Buku instrumen pemantauan dan buku analisis situasi adalah hasil pengalaman praksis dari beberapa anggota Koalisi yang dikoordinasikan oleh Yayasan SAMIN di dalam projek bersama ini. Meski buku ini berhasil menggambarkan dan memberikan evaluasi tentang bagaimana situasi hak anak di kelima issu tersebut, tentu saja di sana-sini masih memiliki kelemahan. Tidak mudah memadukan hasil-hasil pemantauan yang berbasis indikator dan yang berbasis peristiwa, memadukan antara hasil analisis kebijakan di tingkat makro (Undang-undang dan kebijakan nasional lainnya) dengan hasil analisis di tingkat mikro (Peraturan Daerah dan program kerja daerah), sekaligus dengan kasus-kasus yang ditemukan melalui pemantauan. Karena itu, masukan dari berbagai pihak masih Sangay dibutuhkan di dalam rangka penyempurnaan laboranlaporan selanjutnya.
iii
Kata Pengantar Akhirnya tak lupa, Koalisi merasa perlu mengucapkan tarima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para penulis, Yayasan KKSP Medan, Yayasan Kakak Solo, SARI Solo, Yayasan Setara Semarang, YLPS Humana Yogyakarta, LAHA Bandung serta Yayasan SAMIN selaku penanggung jawab projek ini, mau pun rekan-rekan konsultan Mohammad Farid dan Hari Wibowo. Berkat kerja keras mereka semua lah buku ini bisa dihadirkan. Juga penghargaan dan ucapan tarima kasih yang tulus kepada rekan Setiawan Cahyo Nugroho maupun Save the Children in Indonesia yang dengan kesungguhan membantu, bukan saja finansial tetapi bahkan pikiran dan tenaga. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kemajuan hak anak di Indonesia.
Medan, Juni 2010
Ahmad Taufan Damanik Koordinator Presidium Koalisi Nasional
Yayasan SAMIN Mandat dari Koalisi Organisasi Non Pemerintah (Ornop) untuk Pemantauan Hak Anak adalah melakukan pemantauan, menyusun laporan alternatif terhadap laporan negara, atas pelaksanaan konvensi hak anak yang disampaikan ke komite hak anak Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dan menyusun laporan anlaisis situasi serta melakukan advokasi. Koalisi telah memiliki pengalaman menyusun laporan alternatif yaitu komentar terhadap laporan periodik pertama pemerintah Indonesia kepada Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Periode 1993 – Juni 2000 ). Koalisi atas dukungan dari Konsorsium Internasional NGO yaitu Child Found , Plan Indonesia, Save the Children in Indonesia , Terre des Hommes Netherland , dan World Vison, telah menyusun laporan tinjauan atas Konvensi Hak Anak (1997-2007) Pada recananya , Koalisi sesunguhnya bermaksud menyusun laporan alternatif. Namun mengingat Indonesia belum mengirimkan laporan kepada Komite Hak Anak, maka laporan yang disusun adalah laporan tinjauan sebagai bahan utama yang akan digunakan ketika menyusun laporan alternatif. Pada saat bersamaan, Save the Children in Indonesia memberikan dukungan kepada koalisi untuk melaksanakan Pilot Project Pemantauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak dalam Isu-isu Tertentu. Ada 5 isu anak yang diplih (anak yang berkonflik dengan, sebagai oganisasi penyelenggara proyek rintisan ini adalah Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN). Sebagai salah satu hasil proyek ini adalah adanya laporan analisis situasi yang didasarkan pada hasil pemantauan yang dilakukan 7 Ornop yang terlibat ( ) Sangat disadari, bahwa didalam pelaksanaan proyek rintisan banyak dijumpai masalah dan hambatan didalam melakukan pemantauan dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan berdasarkan standar-standar dalam berbagai instrument internasional mengenai hak anak.
iv
v
Masalah yang diungkap mengemukakan terutama berkaitan dengan kemampuan dan kedisiplinan untuk mendokumentasikan hal-hal yang dibutuhkan. Ini akan menjadi catatan bagi koalisi kedepannya. Buku ini, merupakan analisis situasi, atas isu 5 kelompok anak dengan menggunakan data-data yang diperoleh dari hasil pemantauan, selain dari berbagai referensi yang dibutuhkan. Diharapakan bahwa buku ini, dan langkah langakah lain yang telah dilakukan menjadi penggerak bagi Koalisi bersama 32 Ornop anggotanya untuk secara sistematis dan terorganisir mulai melakukan kerja-kerja sesuai dari mandat Koalisi. Salam
Odi Shalahuddin Koordinator Eksekutif Yayasan SAMIN
PENDAHULUAN
Pada bulan Mei 2009 – Juni 2010, Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) selaku anggota Koalisi Nasional Pemantau Hak Anak (selanjutnya disebut Koalisi), bekerjasama dengan enam lembaga anggota Koalisi lainnya (KKSP - Medan, YLPS Humana - Yogyakarta, LAHA - Bandung, SETARA - Semarang, SARI – Solo, dan KAKAK – Solo) telah melaksanakan proyek Pilot Project Pemantauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak dalam Isu-isu Tertentu. Melihat dari nama proyek ini maka secara langsung tergambar bahwa kegiatan utamanya adalah melakukan pemantauan pelaksanaan konvensi hak anak di Indonesia. Pemantauan ini memang dibatasi hanya meliputi lima isu yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban traffiking, buruh anak, hak anak atas pendidikan dan kesehatan. Hal ini didasarkan bahwa ini merupakan kerja rintisan atau uji coba yang harapannya ke depan bisa diperluas lagi untuk isu-isu hak anak lainnya. Di samping kegiatan utama tersebut, proyek ini juga diharapkan akan menghasilkan satu analisis situasi hak anak berdasarkan isu masing-masing lembaga yang terlibat di dalam proyek ini. Analisis situasi ini diharapkan bisa memotret sejauh mana penyelenggara negara telah melaksanakan kewajibannya secara baik terhadap pemenuhan hak-hak anak khususnya untuk isu-isu tertentu. Buku ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama tentang isu anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) yang ditulis oleh Distia Aviandari (LAHA Bandung). Pada bagian ini penulis membahas tentang berbagai problematika AKH di Indonesia. Ada beberapa masalah penting yang disampaikan antara lain soal istilah atau definisi, kemudian soal usia pertanggungjawaban pidana dan soal hak anak untuk didengarkan pendapatnya dalam proses peradilan. Dalam analisisnya dia menemukan bahwa masih terdapat berbagai persoalan yang terkandung dalam berbagai undang-undang dan peraturan yang menimbulkan pelanggaran hak anak, khususnya AKH. Bukan hanya dalam ranah peraturan, akan tetapi dalam ranah penanganannya juga ditemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh aparat pada saat menangani anak. Hal ini salah salah satunya didapatkan dari hasil pemantauan di tiga wilayah yang dilakukan yaitu Jogjakarta, Semrang dan Bandung.
vi
vii
Kemudian bagian kedua tentang anak korban traffiking yang ditulis oleh Nining S. Muktamar (Yayasan KAKAK Solo). Pada bagian ini penulis membahas tentang peraturan yang berkaitan dengan traffiking di Indonesia. Dalam analisisnya dia memaprakan satu kasus trafficking yang tidak memperoleh pelayanan secara maksimal dari negara. Bagian ketiga tentang buruh anak yang ditulis oleh Zainal Abidin (SARI Solo). Pada bagian ini penulis membahas tentang berbagai macam peraturan pemerintah yang belum sinkron dalam menangani anak-anak yang dipekerjakan. Dalam kesimpulannya penulis menyatakan bahwa -perlu ada revisi terhadap UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terutama terkait dengan soal anak yaitu pasal 69 -70 dan 79. Pasal-pasal ini sangat memberikan ruang untuk membuka ruang penfasiran yang lebar sehingga tidak mendorong upaya perlindungan anak. Kemudian pada aspek penegakan hukum, pemidanaan terhadap pihak-pihak yang mempekerjakan anak secara tidak sah seperti di Sumatera Utara dan Jawa Tengah perlu menjadi jurisprudensi. Bagian keempat tentang hak anak atas pendidikan yang ditulis oleh Muhammad Jailani (KKSP-Medan). Pada bagian ini penulis mereview kewajiban pemerintah dalam memenuhi hak anak atas pendidikan dan hasil dari pemenuhan hak anak atas pendidikan tersebut. Contoh kasus pemenuhan hak anak atas pendidikan akan menyajikan data di Kabupaten Deli Serdang dan Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara berdasarkan hasil pemantauan KKSP pada September 2009 – Maret 2010. Salah satu yang dibahas di dalam analisisnya adalah soal kekerasan di sekolah. Menurut data hasil pemantauan baik pada anak yang putus sekolah maupun anak yang masih bersekolah di Kabupaten Deli Serdang dan Kotamadya Medan, diketahui anak masih mendapat kekerasan di sekolah mulai dari kekerasan oral hingga yang berbentuk corporal punishment.
Tentunya buku ini belum bisa memberikan gambaran utuh atas lima isu yang ditulis di dalamnya. Menyusun sebuah analisis situasi memang bukanlah pekerjaan yang gampang, apalagi jika didasarkan pada faktafakta hasil lapangan. Selama ini ada banyak pihak yang menyampaikan situasi anak, akan tetapi hanya berangkat dari data-data makro, bukan hasil dari pemantauan langsung di lapangan. Di sinilah titik krusial bagi lembaga yang melakukan pemantauan di mana selama ini data-data yang digunakan masih sangat makro. Padahal dalam konteks ini data-data mikro sangat berarti karena bisa memberikan gambaran secara detail tentang pelanggaran hak anak yang terjadi. Pendokumenan kasus-kasus hasil pemantauan yang selama ini berserakan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Tetapi bagaimanapun kerja keras dan keberanian dari para penulis patut diapresiasi dalam menyampaikan analisisnya di dalam sebuah buku. Semoga di dalam kesempatan berikutnya penulisan analisis situasi betul-betul bisa berangkat dari hasil pemantaun dengan menggunakan instrumen pemantauan yang sudah tersedia yang akhirnya bisa memberikan analisa yang tajam. Selamat membaca.
Dan bagian terkahir adalah hak anak atas kesehatan yang ditulis oleh Medda Maya Pravitta (Humana-Jogjakarta). Pada bagian kesimpulan penulis menyatakan bahwa dari aspek standar kesehatan dasar, dia menyimpulkan bahwa situasi hak-hak anak dalam beberapa tahun ini (hingga tahun 2009) masih memprihatinkan. Paradigma kesehatan yang dipraktekkan pemerintah pusat dan daerah cenderung lebih berat pada aspek kuratif/rehabilitatif daripada preventif/promotif. Ini menjadi penyebab utama kurang berhasilnya program kesehatan (anak) di Indonesia.
viii
ix
DAFTAR ISI
Hal Kata Pengantar Save the Children in Indonesia Kata Pengantar Koalisi Nasional Ornop Pemantau Hak Anak Kata Pengantar Yayasan SAMIN Pendahuluan
i
iii
v vii
Daftar Isi
xi
Bagian 1 Analisa Situasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Indonesia
1
Bagian 2 Analisis Situasi Perlindungan Anak dari Perdagangan di Indonesia
55
Bagian 3 Laporan Pemantauan Situasi Buruh Anak
77
Bagian 4 Analisa Situasi Implementasi KHA – Hak anak atas Pendidikan
109
Bagian 5 Situasi Hak Anak Atas Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
135
xi
Bagian 1 Analisa Situasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Indonesia
Analisa Situasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Indonesia Berdasarkan Hasil Pemantauan Kasus di Bandung, Yogyakarta dan Semarang Ditulis oleh Distia Aviandari Direktur Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) Bandung
A. Pendahuluan Tentu bukan tanpa alasan Konvensi Hak-Hak Anak menempatkan anak yang berkonflik dengan hukum sebagai salah satu kelompok anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana dalam suatu sistem peradilan pidana. Melihat praktik dan strukturnya, banyak orang beranggapan sistem peradilan pidana justru banyak memberikan sumbangan ”kerusakan”. Tidak saja untuk anak, namun juga orang dewasa yang mengalaminya. Louk Hulsman pernah mengemukakan,“the three greatest causes of human misery throughout the ages have famine and pestilence, war and the criminal justice system.” Walaupun banyak pihak beranggapan sistem peradilan pidana banyak menimbulkan efek merusak, namun kenyataannya tetap eksis hingga saat ini. Bagi anak efek destruktifnya sangat mungkin jauh lebih besar. Dengan kepribadian yang belum matang, anak belum siap menghadapi sistem peradilan pidana. Sekali lagi, suka atau tidak, sistem ini masih berjalan. Dalam setahun, tidak kurang 4000 anak menjalani proses pengadilan sebagai terdakwa dalam suatu kasus tindak pidana. Jumlah yang lebih besar pasti muncul jika digabungkan dengan anak-anak yang perkaranya selesai di tingkat kepolisian atau kejaksaan. Namun sekecil dan serendah apa pun tingkat proses peradilan ketika anak telah bersentuhan dengan sistem peradilan pidana beserta kelengkapannya (penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan) maka dampak destruktifnya mulai terjadi.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
1
Dalam setiap tahap proses peradilan, sebutan untuk anak yang berkonflik dengan hukum berbeda-beda. Tersangka untuk proses di pemeriksaan di kepolisian, terdakwa untuk proses di pengadilan dan narapidana jika ia telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Apa pun sebutannya, prinsipnya semua itu menunjuk pada hal yang sama, yaitu orang yang dituduh sebagai pelaku tindak pidana atau kejahatan berdasarkan ketentuan hukum yang dibuat oleh otoritas yang sah.
B. Persoalan Seputar Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Indonesia 1. Pengertian anak yang berkonflik dengan hukum Konvensi Hak-hak Anak1 tidak menyebutkan istilah anak yang berkonflik dengan hukum (Children in conflict with the law). Namun pasal 40 Konvensi itu membuat aturan untuk memperlakukan ”setiap anak yang disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana”. Pengertian teknis tentang anak yang berkonflik dengan hukum ada dalam Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice2 atau dikenal dengan Beijing Rules. Dalam aturan ini anak yang berkonflik dengan hukum diartikan sebagai a child or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence.
Hingga saat ini, sistem peradilan pidana di seluruh belahan dunia masih menitikberatkan pada penjatuhan hukuman bagi pelaku kejahatan. Tujuannya untuk membalas atas perbuatan yang dilakukannya. Padahal, penanganan kasus kejahatan seharusnya tidak dipandang dari variabel tunggal, yaitu pelaku. Perlu juga dilihat dari variabel lain, yaitu korban atas tindakan yang diklasifikasikan 'jahat' tersebut, kerugian yang ditimbulkan, masyarakat yang tatanannya terganggu serta kesiapan institusional dalam melakukan penanganan.
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, istilah anak yang berkonflik dengan hukum baru muncul dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini tidak memberikan definisi khusus tetapi dalam pasal 64 ayat 1 menyebutkan bahwa perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Lihat pasal 64 ayat 1 dihubungkan dengan pasal 59 UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak.
Umumnya jenis hukuman bersifat konvensional, yaitu pemenjaraan. Ada juga berupa denda atau bahkan hukuman mati. Semua negara di dunia sepakat tidak menerapkan hukuman mati terhadap anak. Jika hukuman konvensional semacam ini untuk membuat jera, fakta yang ada tidak menunjukkan ke arah itu. Data dari seluruh dunia menyebutkan sekira 50% - 70% anak yang pernah terlibat dalam peradilan pidana, (termasuk penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan) justru menjadi residivis di kemudaian hari. Artinya, penjara tidak berhasil membuat jera.
Dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yang selama ini dianggap sebagai hukum acara pidana untuk perkara anak, istilah yang digunakan adalah 'anak nakal'. UU No.3 Tahun 1997 pasal 1 angka 2, menyebutkan: Anak Nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Periode tahun 2009 – 2010, koalisi NGO mengembangkan proyek pemantauan atas kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum di tiga kota, yaitu Bandung, Yogyakarta dan Semarang. Dengan menggunakan data hasil monitoring yang dilakukan dengan menggunakan alat analisis instrumen HAM internasional dan aturan undang-undang di Indonesia, tulisan ini berupaya memotret situasi anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia.
2 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Menyimak ketentuan di atas, ada perbedaan batasan antara anak dan orang dewasa yang dapat terlibat dalam sistem peradilan pidana. 1
Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Keppres No.36 tahun 1990.
2
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/33 tanggal 29 November 1985.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
3
Bagi orang dewasa, dia dapat terlibat dalam sistem peradilan pidana hanya jika ia melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana. Ini disebut asas legalitas sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun jika kita menyimak Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, ternyata ada perlakuan berbeda bagi anak. Seorang anak dapat berkonflik dengan hukum atau terlibat dalam peradilan pidana jika ia melakukan perbuatan yang dikonstruksikan sebagai tindak pidana dan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak menurut undang-undang maupun aturan hukum lain yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini, anak ditempatkan sebagai status offence, yaitu perbuatan yang dinyatakan sebagai pidana tidak dilihat dari karakteristik perbuatannya, namun dari karakter khusus si pelaku perbuatan. Dari uraian di atas, paling tidak kita dapat mengajukan beberapa persoalan. Pertama, ketentuan ini cacat hukum karena telah melanggar asas pokok hukum pidana, yaitu asas legalitas, sebagaimana diatur pasal 1 ayat 1 KUHP. Anak dapat dikenai hukuman atas perbuatan yang secara sosial terlarang bagi anak, walaupun tidak ada satu aturan undang-undang pun yang menyatakannya sebagai suatu perbuatan tindak pidana. Kedua, ketentuan ini memunculkan ketidakpastian hukum. Siapa yang dapat menilai dan apa indikatornya sehingga seorang anak dapat disebut telah melakukan perbuatan yang melanggar norma masyarakat. Bagaimana pelanggaran norma masyarakat yang sangat lokal dapat ditangani melalui mekanisme hukum nasional? Ketiga, ketentuan ini menempatkan anak secara diskrimintif dan berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Kepada orang dewasa, aparat penegak hukum harus betulbetul mempertimbangkan apakah ada ketentuan hukum yang dilanggar agar dapat melakukan tindakan terhadap orang tersebut. Namun aparat penegak hukum seketika dapat melakukan tindakan terhadap anak hanya dengan alasan anak itu telah melanggar norma masyarakat, tanpa melihat apakah tindakan itu melanggar ketentuan hukum atau tidak.
4 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Contoh kasus anak sebagai status offence ada pada berita surat kabar di bawah ini: SUARA MERDEKA 21 Oktober 2009 Belasan Pelajar Bolos Dirazia DEMAK- Belasan pelajar berseragam yang berada di luar sekolah saat jam pelajaran berlangsung, dirazia tim gabungan Kantor Kesbangpolinmas, Polres Demak, dan Satpol PP. Mereka yang terjaring razia kemudian dibawa ke Kantor Kesbangpolinmas di Jalan Kyai Jebat untuk diberi pembinaan. Untuk merazia pelajar bolos, petugas menyisir tempat-tempat keramaian di wilayah Demak kota. Di antaranya tempat play station di kawasan Lapangan Tembiring, terminal, Jalan Kyai Turmudi, dan di sekitar taman makam pahlawan. Saat razia berlangsung sempat terjadi kejar-kejaran. Sekelompok pelajar bolos yang sedang nongkrong di warung lapangan Tembiring spontan berhamburan ketika melihat kedatangan petugas. Namun, petugas sigap sehingga beberapa di antaranya berhasil diamankan. Razia berlangsung sekitar dua jam. Sedikitnya 14 pelajar dari sejumlah sekolah negeri dan madrasah diamankan, karena terbukti berada di luar sekolah pada jam-jam pelajaran. Bawaan mereka juga digeledah untuk diketahui isinya. Kepala Kantor Kesbangpolinmas Demak Drs H Bambang Saptoro menjelaskan, mereka yang terjaring razia akan diserahkan ke sekolah masing-masing. Sebelumnya mereka diberi pembinaan agar tidak kembali mengulang keluyuran pada jam-jam pelajaran. ''Ini sebagai pembelajaran sekaligus pembinaan agar tidak terulang. Sebab, mereka bagian dari masa depan bangsa,'' kata Bambang. Dia menambahkan, potensi kenakalan remaja Demak cukup tinggi. Sebab, Demak diapit dua daerah besar, yakni Semarang dan Kudus. Karenanya, hal itu harus diwaspadai. Jika tidak, generasi Demak ke depan berpotensi tidak baik. ''Makanya razia terhadap pelajar bolos kami lakukan. Melalui kegiatan ini kami berharap bisa mendorong terciptanya moral generasi Kota Wali yang lebih baik,'' tandasnya. (H1-37) http://www.suaramerdeka.com/
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
5
Dalam kasus ini, walaupun membolos bukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang, toh polisi bisa dan secara hukum sah melakukan penangkapan terhadap anak-anak. Alasannya, membolos adalah perbuatan yang dianggap terlarang bagi anak-anak. Walau sebetulnya membolos juga terlarang bagi orang tua.
2. Batas Usia Anak Pasal 1 Konvensi Hak-hak Anak menyebutkan: Untuk tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah usia 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
Undang-Undang No.3 Tahun 1997 ini tengah mengalami proses revisi. Rancangan undang-undang terakhir diberi nama Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPPA). Dalam draft per 3 Maret 2010, pasal 1 angka 1 RUU SPPA menyebutkan: 1. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah orang:
Maknanya jelas, walaupun konvensi memberikan batasan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia kurang dari 18 tahun namun konvensi ini masih memberikan keleluasaan kepada setiap negara peserta untuk membuat ”aturan berbeda” dengan menentukan kedewaaan anak lebih awal.
a.
yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana dan telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun; yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang mengalami suatu tindak pidana atau menjadi korban atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
Beijing Rules pun tidak menjelaskan secara definitif hingga usia berapa seseorang dapat diintegrasikan ke dalam sistem peradilan pidana khusus untuk anak. Peraturan ini hanya menyebutkan ”A juvenile is a child or young person who, under the respective legal systems, may be dealt with for an offence in a manner which is different 3 from an adult.”
Melihat seluruh RUU SPPA, rancangan ini tidak saja mengatur bagaimana aparat negara di bidang penegakan hukum memperlakukan anak yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana namun juga mengatur bagaimana aparat negara memperlakukan anak yang menjadi korban atau saksi dari suatu tindak pidana.
Maknanya, sejalan dengan Konvensi Hak-hak Anak, penentuan batas usia anak ditentukan oleh sistem hukum masing-masing negara peserta. Dalam penjelasannya, Beijing Rules menyebutkan aturan ini untuk menghormati sistem ekonomi, sosial, politik, budaya dan hukum dari setiap negara anggota. Namun dalam General Commentnya, Komite Hak-hak Anak PBB memberikan apresiasi kepada negara-negara peserta yang telah menerapkan peraturan peradilan pidana anak untuk mereka yang berusia 18 tahun atau lebih tua lagi, biasanya hingga usia 21 tahun. Apakah diterapkan sebagai suatu 4 aturan yang berlaku umum atau sebagai hal pengecualian.
b.
Bagi anak yang berkonflik dengan hukum, RUU SPPA memberikan batasan berbeda dengan UU Pengadilan Anak. Dalam UU Pengadilan Anak, seorang anak dapat bersentuhan dengan sistem peradilan pidana karena diduga melakukan perbuatan pidana atau melakukan perbuatan yang menurut norma masyarakat terlarang. Namun dalam RUU SPPA, hanya anak yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana. Batasan lainnya, hanya anak yang telah berusia 12 tahun dan belum berusia 18 tahun yang dapat bersentuhan dengan sistem peradilan pidana. Dari perspektif ini, bisa dikatakan RUU SPPA lebih positif dibandingkan dengan UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Sebab lebih sesuai dengan asas legalitas dan tidak mengandung unsur diskriminasi terhadap orang dewasa.
6 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Dalam sistem hukum nasional di Indonesia, ketentuan mengenai batas usia anak ini tersebar dibeberapa produk undang-undang. Masing-masing masih berbeda tanpa ada klausul penyesuaian Untuk anak yang berkonflik dengan hukum, mari kita tengok beberapa aturan dalam undang-undang yang langsung berkaitan..
3
Peraturan nomor 2.2 huruf (a) Beijing Rules.
4
Alinea 38, General Comment Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa No.10 tahun 2007 tentang Children's Rights in Juvenile Justice
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
7
Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menyebutkan: Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
minimun tersebut tidak dianggap memiliki kemampuan untuk dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Secara khusus, Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan penjelasan mengenai ketentuan dalam Pasal 40 ayat 3 KHA ini. Dalam General Comment No.10 Tahun 2007 Tentang HakHak Anak dalam Peradilan Pidana Anak (Children's Rights in Juvenile Justice), Komite Hak-Hak Anak PBB menjelaskan bahwa Batas Minimun Usia Pertanggungjawaban Pidana (Minimum Age of Criminal Responsibility/MACR) memberikan arti bahwa anak-anak yang melakukan tindak pidana pada usia dibawah batas minimun yang ditetapkan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam peradilan pidana. Bagi anak-anak yang melakaukan tindak pidana saat berusia lebih dari batas minimun usia pertanggungjawaban pidana namun belum mencapai 18 tahun, ia dapat diproses dalam peradilan pidana. Namun semua prosedur yang diterapkan padanya harus sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan dalam Konvensi 5 Hak-Hak Anak.
Pasal ini mengandung makna seorang anak akan mendapatkan ”fasilitas khusus” agar diproses dengan menggunakan aturan sistem peradilan anak tanpa ditentukan berdasarkan usia atau status perkawinannya. Pada kenyataannya, seseorang anak yang telah menikah tidak berarti dia pasti memiliki kedewasaan yang cukup untuk bertindak. Namun pasal ini menjadi landasan legal untuk mencabut hak seorang anak -- yang telah menikah -- menggunakan sistem peradilan anak yang dalam beberapa hal memberikan keuntungan khusus bagi pelaku tindak pidana dibanding dengan sistem pidana konvensional atau dewasa. Ini tentu kenjadi persoalan tersendiri dari undang-undang ini. Jika kita tengok UU No.22 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, pasal 1 angka 1 menyebutkan: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Peraturan No.4 Tentang Usia Pertanggungjawaban Pidana dalam Beijing Rule juga tidak menentukan secara definitif berapa usia seorang anak dapat dimintai pertangungjawaban pidana. Dalam peraturan tersebut hanya dijelaskan bahwa usia pertanggungjawaban pidana tidak dapat ditentukan pada tingkat usia yang terlalu rendah dengan mempertimbangkan tingkat kedewasaan emosional, mental dan intelektual. Mengenai ini, Komite Hak Anak PBB menyimpulkan dan merekomendasikan bahwa usia minimun pertanggungjawaban pidana dibawah 12 tahun dianggap tidak dapat diterima secara internasional. Negara-negara peserta didorong untuk menetapkan MACR paling rendah 12 tahun dan terus 6 meningkat ke tingkat usia yang lebih tinggi.
Tidak ada tambahan kondisi 'belum kawin' dalam pasal ini untuk menentukan apakah seseorang itu dikategorikan anak atau bukan. Bahkan ada tambahan bahwa ketentuan dalam undang-undang ini juga melingkupi anak yang masih dalam kandungan. Dalam praktik, aparat penegak hukum biasanya menentukan batasan usia anak untuk tersangka, terdakwa atau terpidana dengan menggunakan ketentuan dalam UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Jika menangani perkara dimana anak menjadi korban tindak pidana maka yang digunakan adalah UU No.22 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. 3. Batas Minimun Usia Pertanggungjawaban Pidana. Konvensi Hak-hak Anak tidak memberikan batas minimun usia pertanggungjawaban pidana. Pasal 40 ayat 3 huruf a Konvensi HakHak Anak hanya memandatkan kepada negara-negara peserta untuk membuat aturan tentang batas minimun usia pertanggungjawaban pidana ini sehingga anak-anak yang berusia dibawah batas usia
8 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Di tingkat nasional, ketentuan mengenai batas minimun usia pertanggungjawaban pidana di Indonesia diatur dalam UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No.3 Tahun1997 menyebutkan: Batas umur Anak Nakal yang dapat 5
Alinea 31 General Comment Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa No.10 tahun 2007 tentang Children's Rights in Juvenile Justice 6 Alinea 32 General Comment Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa No.10 tahun 2007 tentang Children's Rights in Juvenile Justice
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
9
diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Berkaitan dengan pasal tersebut di atas, maka Indonesia menetapkan batas minimun usia pertanggungjawaban pidana adalah usia 8 tahun. Namun jika disimak lebih lanjut, ketentuan UU Pengadilan Anak ini, walau sebagian, juga berlaku untuk anak yang berusia dibawah 8 tahun. Pasal 5 ayat 1 sampai dengan pasal 3, UU Pengadilan Anak menyebutkan: (1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. (2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. (3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Ketentuan ini memiliki beberapa konsekuensi logis, yaitu: Pertama, proses pemeriksaan ditingkat penyidikan, berikut dengan segenap kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum seperti melakukan penahanan pada tahapan tersebut dapat diterapkan pada anak yang berusia kurang dari 8 tahun. Berdasarkan undang-undang ini, pemeriksaan dan penyidikan terhadap anak yang berusia kurang dari 8 berikut segala hal yang mengikutinya seperti penahanan dalam proses hukum menjadi sah, sebagaimana diatur dalam pasal 44 Undang-Undang Pengadilan Anak. Kedua, undang-undang ini memberi kewenangan kepada penyidik untuk mencabut hak orang tua untuk mengasuh dan mendidik anaknya. UU Pengadilan Anak, pasal 5 ayat 3 menyebutkan: Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak
10 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Ketentuan ini berdampak luar biasa. Bagaimana seorang pegawai penyidik dapat memiliki kewenangan sebagaimana hakim di pengadilan yang dapat memutus hak asuh orang tua terhadap anaknya. Selain berwenang memeriksa, penyidik berdasarkan pertimbangan subyektifnya dapat memutuskan hak asuh orang tua terhadap anaknya. Sebagai suatu studi kasus, kita dapat menengok kembali kasus Raju (tahun 2006). Seorang anak yang belum genap berusia 8 tahun di Pangkalan Brandan yang berkonflik dengan hukum karena berkelahi dengan temannya. Kasusnya diproses sejak di kepolisian hingga pengadilandimana Raju mengalami penahanan. Secara formal, penanganan kasus ini menjadi keliru karena proses terus berlanjut hingga ke pengadilan. Jika kasus dihentikan di kepolisian, walaupun Raju dikenai penahanan, secara formal proses hukumnya tidak mengalami kekeliruan. Kasus seperti ini perlu ditelaah lebih lanjut. Artinya batas minimun usia pertanggungjawaban pidana menjadi wilayah yang abu-abu. Proses labeling dan kekerasan fisik maupun emosional umumnya telah terjadi baik di pengadilan maupun kepolisian. Inilah salah satu kelemahan dari UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Undang-undang ini masih memberikan peluang bagi anak-anak yang usianya dibawah batas minimun usia pertanggungjawaban pidana untuk bersentuhan dengan proses hukum. 4. Perampasan Kemerdekaan Sistem peradilan pidana selalu lekat dengan praktik penangkapan, penahanan dan pemenjaraan. Bagi anak pun sama saja. Data Unicef menunjukkan 90% anak yang berkonflik dengan hukum mengalami perampasan kemerdekaan dalam poses hukum. Konvensi Hak-Hak Anak memberikan prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan saat terjadi perampasan kemerdekaan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini tertuang dalam Pasal 37 yang berbunyi: Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
11
Negara-negara Peserta harus menjamin bahwa : (a) tidak seorang anak pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Hukuman mati, atau seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak boleh dikenakan pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang berusia di bawah 18 tahun; (b) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum, dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya; (c) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat kemanusiaannya, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia seusianya. Khususnya, setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan dari orang-orang dewasa, kecuali bila dianggap bahwa kepentingan terbaik si anak yang bersangkutan menuntut agar hal ini tidak dilakukan, dan anak berhak untuk mempertahankan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus; (d) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk secepatnya memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang layak, dan juga untuk menggugat keabsahan perampasan kemerdekaannya di depan pengadilan atau pejabat lain yang berwenang, independen, dan tidak memihak, dan berhak untuk dengan segera memperoleh keputusan mengenai tindakan perampasan kemerdekaan tersebut.
merujuk pada Ketentuan Pasal 37 huruf (d) KHA. Pertama, setiap anak berhak atas bantuan hukum sesaat ia mengalami perampasan kemerdekaan. Termasuk berhak menggugat keabsahan atas perampasan kemerdekaan yang dialaminya dalam proses peradilan atau kepada pejabat yang berwenang, independen dan tidak memihak untuk secepatnya memperoleh keputusan atas tindakan perampasan kemerdekaan yang dialaminya. Kedua, pemeriksaan atas keabsahan dari perampasan kemerdekaannya harus dilakukan dalam waktu 24 jam. Ketiga, hak untuk mengajukan gugatan keabsahan perampasan kemerdekaan meliputi hak mengajukan banding dan hak mengakses pengadilan atau lembaga yudikatif lainnya yang kompeten, independen dan imparsial. Putusan harus sesegera mungkin diberikan, misalnya tidak lebih dari 2 minggu 7 setelah gugatan diajukan. Konvensi Hak-hak Anak juga mencatat beberapa kondisi yang harus dipenuhi bagi setiap anak yang dirampas kemerdekaannya. Kondisi yang tertuang dalam Pasal 37 ayat (c) KHA meliputi: 1. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus ditempatkan terpisah dengan orang dewasa. Komite Hak-Hak Anak memberikan penjelasan bahwa kalimat selanjutnya dalam pasal ini yang berbunyi 'kecuali bila dianggap bahwa kepentingan terbaik si anak yang bersangkutan menuntut agar hal ini dilakukan' haruslah ditafsirkan secara sempit. Kepentingan terbaik bagi anak ini tidak berarti kelonggaran bagi negara. Negara tetap harus membangun fasilitas yang terpisah (dari 8 orang dewasa) bagi anak-anak yang dirampas kemerdekaannya. 2. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk mempertahankan kontak dengan keluarganya melalui korespondensi maupun kunjungan. Dalam rangka memfasilitasi kunjungan bagi anak harus ditempatkan pada fasilitas (lapas anak) yang sedekat mungkin dengan tempat kediaman keluarganya. Jika ada penyimpangan terhadap ketentuan ini, maka hal tersebut harus dapat dijelaskan secara hukum dan bukan diserahkan pertimbangannya kepada pejabat yang berwenang.
Berdasarkan ketentuan di atas, ada dua prinsip utama dalam perampasan kemerdekaan, yaitu: § Penangkapan, penahanan dan pemenjaraan terhadap anak hanya dilakukan sebagai upaya terakhir dan dilakukan untuk waktu yang sesingkat-singkatnya. § Tak seorang anak pun dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau sewenang-wenang. Dalam General Comment-nya, Komite Hak-Hak Anak PBB menguraikan hak-hak prosedural bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum yang mengalami perampasan kemerdekaan dengan
12 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
7
Alinea 82 sampai dengan 84 General Comment Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa No.10 tahun 2007 tentang Children's Rights in Juvenile Justice 8 Alinea 85 General Comment Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa No.10 tahun 2007 tentang Children's Rights in Juvenile Justice
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
13
Mengenai perampasan kemerdekaan ini pula, Kovenan Internasional 9 Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik memberikan beberapa ketentuan. Pasal 9 dan Pasal 10, Kovenan ini menyebutkan: 3. 1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
Pasal 9 Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali dengan prosedur dan alasan-alasan yang ditetapkan hukum. Setiap orang yang ditangkap harus diberitahu pada saat penangkapan, mengenai alasan-alasan penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu semua tuduhan yang dikenakan kepadanya. Setiap orang yang ditangkap atau ditahan atas suatu tuduhan kejahatan harus segera dihadapkan ke pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar atau dibebaskan. Bukan suatu ketentuan umum bahwa orang-orang yang menunggu pengadilan harus ditahan, namun pembebasan dapat diberikan atas jaminan untuk muncul pada sidang pengadilan, pada setiap tahap pengadilan, sampai hakim memutuskannya. Setiap orang yang dirampas kebebasannya dengan penangkapan atau penahanan berhak mengajukan tuntutan di pengadilan agar pengadilan tersebut segera memutuskan keabsahan penahanannya dan memerintahkan pembebasannya bila penahanan itu tidak sah. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak atas kompensasi yang dapat diberlakukan. Pasal 10 Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada manusia. (a) Para terdakwa, kecuali dalam keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan dari para narapidana dan harus mendapatkan
9
Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui UU No.12 tahun 2005.
14 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
perlakuan tersendiri sesuai statusnya sebagai orang-orang yang bukan narapidana; (b) Para terdakwa yang remaja harus dipisahkan dan secepat mungkin dibawa ke sidang pengadilan. Sistem penjara harus mempunyai tujuan utama reformasi dan rehabilitasi sosial dalam perlakuan atas narapidana. Para pelanggar hukum remaja harus dipisahkan dari orang dewasa dan diberikan perlakuan yang sesuai usia dan status hukum mereka.
Berdasarkan keterntuan dalam kovenan tersebut di atas, terdapat prinsip tambahan lainnya berkaitan dengan perampasan kemerdekaan, yaitu: § Setiap orang yang ditangkap harus diberitahu pada saat penangkapan, mengenai alasan-alasan penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu semua tuduhan yang dikenakan kepadanya. § Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak atas kompensasi yang dapat diberlakukan. § Orang yang berstatus sebagai terdakwa harus dipisahkan penempatannya dengan orang yang berstatus sebagai narapidana. Perlakuannya juga harus berbeda dengan orang yang berstatus sebagai narapidana. Di tingkat nasional, Indonesia memiliki beberapa produk undangundang yang memberikan aturan tentang hak-hak anak yang terampas kemerdekaannya. Berikut beberapa aturan undangundang yang mengaturnya. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 66 menyebutkan: 1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. 3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. 4. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
15
5.
6.
7.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Sedangkan UU No.22 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak yang merupakan undang-undang yang khusus mengatur tentang hak-hak anak justru tidak memberikan aturan mengenai perlindungan anak atas perampasan kemerdekaan. UU Pengadilan Anak justru mengatur lebih rinci. Pasal 43 ayat 1 hanya menyebutkan penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika ditelaah, KUHAP hanya mengatur mengenai prosedur penangkapan, namun tidak mengatur secara spesifik hak-hak tersangka yang ditangkap. Untuk proses penahanan, ketentuannya diatur dalam UU Pengadilan Anak, pasal 44 hingga 52 : Pasal 44 (1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
16 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
(4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. (6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu. Pasal 45 (1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. (2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. (3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa. (4) Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi. Pasal 46 (1) Untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (4) Dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) hari, Penuntut Umum harus melimpahkan berkas perkara anak kepada pengadilan negeri. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
17
Pasal 47 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. (4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 48 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Banding di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. (4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Banding belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 49 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 25 (dua puluh lima) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
18 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Kasasi belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 50 (1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. (2) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 15 (lima belas) hari, dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 15 (lima belas) hari. (3) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh : a. Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat penyidikan dan penuntutan; b. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri; c. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan banding dan kasasi. (4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab. (5) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. (6) Terhadap perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan kepada : a. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat penyidikan dan penuntutan; b. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
19
Pasal 51 (1) Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undangundang ini. (2) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang. Pasal 52 Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Penasihat Hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum serta berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan lancar. Dari pasal-pasal di atas dapat disimpulkan dua hal: a. Ketentuan yang bersifat prosedural dalam penahanan b. Ketentuan tentang hak-hak selama dilakukan penahanan Berkaitan dengan ketentuan prosedural, Undang-Undang Pengadilan Anak mengatur tentang masa penahanan yang diperkenankan bagi anak dalam setiap tahap penanganan. Pada tahap penyidikan, memiliki kewenangan untuk menahan selama 20 hari. Masa penahanan pada tahap ini dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang selama maksimal 10 (sepuluh) hari. Pada tahap penuntutan, penuntut umum dapat melakukan penahanan selama 10 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang selama maksimal 15 hari. Di tingkat pengadilan, hakim yang menyidangkan berwenang melakukan penahanan terhadap anak selama 15 hari. Masa penahanan ini dapat dipernjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk waktu paling lama 30 hari. Di tingkat banding, hakim banding yang bersangkutan berwenang melakukan penahanan selama 15 hari. Sesudah masa ini Ketua Pengadilan Tinggi
20 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
yang berwenang dapat melakukan perpanjangan masa penahanan untuk paling lama 30 hari. Sedangkan untuk tingkat kasasi, hakim kasasi yang bersangkutan berwenang untuk melakukan penahanan selama 25 hari. Masa penahanan ini dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk waktu paling lama 30 hari. Tentang penahanan ini, Undang-Undang Pengadilan Anak pasal 45 ayat 1 menyebutkan: Penahanan dilakukan setelah dengan sungguhsungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Ada beberapa hal krusial dalam pasal ini. Pertama, ketentuan ini sangat multi tafsir. Apa indikatornya suatu penahanan telah dilakukan dengan secara sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat? Tidak ada kejelasan siapa yang memiliki otoritas menentukan hal ini. Akhirnya aparat penegak hukum yang menahan dapat berdalih penahanan yang dilakukannnya telah mempertimbangakan kepentingan anak dan atau masyarakat, tanpa ada mekanisme pengujiannya. Kedua, ”mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat” sangat mungkin dalam praktiknya justru mengabaikan prinsip kepentingan terbaik anak demi lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Ini juga tidak jelas indikatornya. Dengan alasan mengedepankan kepentingan masyarakat, anak dapat ditahan tanpa melihat apakah hal itu berdampak destruktif atau tidak bagi anak. Tak ada klausul yang menyebutkan penahanan bagi anak harus menjadi alternatif terakhir. Masih dalam pasal yang sama, pada ayat 2 sampai 4 menyebutkan: (2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. (3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa. (4) Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi. Tidak ada kejelasan dan penjelasan apa maksud dari 'kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi'. Apa yang menjadi ukuran dan siapa yang memiliki tanggung jawab untuk memenuhinya, tidak secara jelas diatur. Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
21
Dalam praktik, ketika aparat penegak hukum (jaksa penuntut umum dan hakim) melakukan penahanan dan menempatkan anak di Rumah Tahanan Negara (Rutan), seolah-olah mereka bebas dari tanggung jawab untuk memenuhi hak atas anak. Mereka tidak merasa bertanggung jawab apakah anak ini mendapatkan makanan yang cukup, kesehatan yang memadai, dan kelangsungan pendidikannya terjaga. Bahkan, mereka juga tidak memikirkan apakah anak ini ditempatkan di Rutan yang masih layak untuk menampung atau sudah kelebihan kapasitas. Padahal sebagai pihak yang memiliki kewenangan, mereka mempunyai tanggung jawab untuk semaksimal mungkin melindungi anak dari tindakan penahanan. Pasal 51 (1) Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undangundang ini. (2) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang. UU Pengadilan Anak, Pasal 51 mengatur tentang hak anak atas bantuan hukum. Sejak saat ditangkap atau ditahan setiap anak berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat 10 hukum. Pejabat negara yang melakukan penangkapan dan penahanan juga wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan 11 hukum ini. Dalam konteks hak asasi manusia, ketentuan mengenai hak atas bantuan hukum ini bermakna bahwa negara memiliki kewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Dalam hal ini, negara yang melakukan penahanan bertanggung jawab menyediakan bantuan hukum bagi 10 11
Pasal 51 ayat (1) UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 51 ayat (2) UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
22 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
anak yang mereka tahan. Namun dalam praktik, hak ini kerap kali dimaknai bahwa anak atau keluarganya ”dipersilahkan untuk mencari penasehat hukum sendiri jika berkenan”. Dalam tingkat yang lebih ekstrim, justru menghalang-halangi anak menggunakan penasehat hukum dalam proses hukumnya. 5. Hak anak untuk didengar Pasal 12 Konvensi Hak-hak Anak menyebutkan: 1. Negara-negara Peserta harus menjamin bahwa anak-anak yang mampu membentuk pandangannya sendiri, mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak-anak tersebut, dan pendapat anakanak dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan mereka. 2. Untuk tujuan ini anak tersebut secara khusus diberi kesempatan untuk didengar dalam setiap proses peradilan dan administratif yang mempengaruhi dirinya, baik secara langsung maupun melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dengan cara yang sesuai dengan hukum acara nasional. Pasal ini menegaskan jika anak berhak untuk mengekspresikan apa yang menjadi pandangannya dalam setiap tahapan peradilan. Pasal ini juga mengharuskan setiap anak diberi kesempatan untuk didengar dalam setiap proses hukum maupun adminsistrasi yang memiliki pengaruh terhadap anak baik secara langsung maupun melalui perwakilan atau badan yang sesuai dengan peraturan hukum nasional. Lebih lanjut, Pasal 40 ayat 2b iv menyebutkan: (b) setiap anak yang disangka atau dituduh telah melanggar hukum pidana mempunyai setidak-tidaknya jaminan-jaminan sebagai berikut: iv. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau mengakui kesalahan; untuk memeriksa atau menyuruh memeriksa saki-saksi yang memberatkan, dan untuk memperoleh peran serta dan pemeriksaan saksi-saksi yang meringankan anak dalam kondisi kesetaraan; Komite Hak-Hak Anak PBB memberikan catatan atas pasal ini. Dalam General Comment-nya, komite memberikan catatan bahwa suatu proses pengadilan yang adil mensyaratkan bahwa anak yang menjadi tersangka/terdakwa dapat berpartisipasi dalam proses persidangan, memahami tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya, Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
23
konsekuensi yang mungkin muncul dari suatu hukuman, menyangkal saksi-saksi, menceritakan runutan kejadian untuk membuat putusan yang tepat berkaitan dengan alat-alat bukti, kesaksian serta batasan12 batasan yang tepat terhadapnya.
Ketentuan ini bermakna bahwa negara-negara peserta harus berupaya mempromosikan langkah-langkah untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum tanpa melalui proses hukum formal. Tindakan pengalihan penanganan dari proses hukum formal ke proses sosial ini penting ditelaah lebih lanjut karena fakta menunjukkan sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum hanya karena melakukan pelanggaran kecil. Apalagi sistem peradilan pidana dengan segenap praktik perampasan kemerdekaan banyak menyumbang dampak destruktif bagi anak.
Peraturan 14.2 Beijing Rules menyebutkan proses peradilan akan berjalan kondusif bagi kepentingan anak dan dilaksanakan dalam suasana pengertian, dimana memungkinkan anak untuk berpartisipasi dan berekspresi secara bebas.
Komite Hak-Hak Anak PBB bahkan memberikan pendapatnya bahwa upaya untuk mempromosikan langkah-langkah pengalihan dalam menangani anak-anak yang berkonflik dengan hukum dari proses hukum formal ke proses di luar hukum juga harus diterapkan tidak terbatas pada anak-anak pelaku pelanggaran hukum ringan saja, tapi juga untuk pelanggaran lain dengan tingkat kerusakan yang terbatas. Upaya pengalihan ini juga penting diterapkan bagi anak-anak yang 13 baru pertama kali melakukan pelangaran hukum (first offender). Pendekatan ini dinilai memiliki hasil yang baik bagi anak-anak dan juga memberikan efek konstruktif untuk kepentingan publik. Selain tentu saja yang utama dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi akibat proses hukum formal.
Di Indonesia, tidak satu pasal pun dalam Undang-Undang Pengadilan Anak yang secara eksplisit mengatur hak anak untuk didengar dan berpartisipasi. Undang-undang ini hanya mengatur bagaimana orang-orang dewasa yang mendampingi anak dalam proses hukum diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya dalam proses pengadilan. Misalnya seperti tertuang dalam pasal 59 ayat 1 dari Undang-ndang Pengadilan Anak, bunyinya: Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak. Dari konstruksi aturan undang-undang yang ada, nampaknya Indonesia belum sungguh-sungguh menempatkan seorang anak yang berkonflik dengan hukum sebagai pribadi yang mememiliki segenap hak yang melekat didalamnya, termasuk hak untuk didengar. Sekali lagi perlu dipahami, bagi anak yang berkonflik dengan hukum, hanya hak atas kemerdekaannya saja yang secara legal dapat dicabut oleh negara.
Labih jauh lagi, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga sudah mengeluarkan Peraturan Standar Minimum PBB untuk Upaya-upaya Non-Penahanan (The Tokyo Rules), Resolusi PBB 45/110, 1990. Peraturan ini mengetengahkan agar negara-negara anggota sedapat mungkin mengembangkan upaya-upaya guna memberikan alternatif hukuman lain selain pemenjaraan. Beberapa paragraf yang berkaitan adalah:
6. Diversi Pasal 40 ayat 3 huruf (b) dari Konvensi Hak-hak Anak menyebutkan: Negara-negara Peserta harus berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana, dan khususnya bilamana layak dan diinginkan, melakukan langkah-langkah untuk menangani anakanak seperti itu tanpa harus menempuh jalur hukum, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perangkat pengamanan hukum sepenuhnya dihormati; 12
Alinea 46 General Comment Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa No.10 tahun 2007 tentang Children's Rights in Juvenile Justice
24 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Paragraf 1.5 Negara-negara anggota perlu mengembangkan upaya non-custodial dalam sistem hukumnya guna memberikan pilihan-pilihan lain, sehingga hukuman penjara dapat dikurangi, dan merasionalisasikan kebijakan hukum pidana, dengan mempertimbangkan penegakan hak-hak asasi manusia, persyaratan bagi keadilah sosial dan kebutuhan rehabilitasi para pelaku pelanggaran hukum. 13
Alinea 25 General Comment Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa No.10 tahun 2007 tentang Children's Rights in Juvenile Justice
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
25
Paragraf 2.5 Perlu dipertimbangkan untuk menangani pelaku pelangagran hukum dalam masyarakat dengan sedaapt mungkin menghindari proses formal atau proses pengadilan, sesuai dengan perlindungan hukum dan aturan hukum.
Dengan segala keterbatasannya, Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah mencoba mengadopsi pendekatan diversi ini. Dalam RUU yang dikeluarkan tanggal 3 Maret 2010, 14 ketentuan mengenai keadilan restoratif dan diversi telah menjadi bagian yang terintegrasi didalamnya. Bab IV pasal 11 sampai dengan 15 RUU Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur secara khusus tentang ketentuan diversi. Rancangan ini mengatur penyidik, penuntut umum dan hakim wajib mengupayakan diversi dengan mengedepankan prinsip non diskriminasi dan kepentingan terbaik 15 bagi anak. Upaya ini tentu harus diapresiasi, namun perlu ada telaah lebih lanjut bagaimana ketentuan diversi ini dapat diterapkan agar tidak berhenti sebatas ketentuan legislasi saja.
Selayaknya negara-negara peserta menindaklanjuti ketentuan ini dengan mengambil langkah legislasi untuk penerapannya. Pendekatan diversi harus menjadi bagian yang terintegrasi dalam sistem peradilan pidana anak. Pada kenyataannya, aturan undangundangandi Indonesia masih belum mengintegrasikan pendekatan diversi ke dalam sistem peradilan pidana untuk anak. UU Pengadilan Anak masih memiliki pendekatan yang tidak berbeda dengan hukum acara bagi pelanggar hukum berusia dewasa. Kecuali masa penahanan dan ancaman hukuman yang ”didiskon sebanyak 50%” dari ketentuan yang berlaku bagi orang dewasa, praktis tidak ada perbedaan penanganan yang signifikan antara penanganan bagi orang dewasa dengan anak-anak. Jika ingin dianggap sebagai bagian dari pendekatan diversi, mungkin dapat menyimak Bab III berkaitan dengan Pidana dan Tindakan. Salah satu hal yang membedakannya dari ketentuan hukum acara pidana bagi pelanggar hukum berusia dewasa adalah adanya ketentuan putusan hukuman selain pidana bagi anak yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana.. Pasal 24, UU No.3 Tahun 1997 menyebutkan tiga macam tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, yaitu: a Dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh. b Diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. c Diserahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Dari jenisnya, tindakan ini cukup konstruktif untuk meminimalisir efek destruktif sistem peradilan pidana berupa hukuman penjara. Namun, tindakan ini hanya dapat diterapkan di ujung proses peradilan, yaitu putusan hakim di pengadilan. Padahal, pendekatan diversi seharusnya telah diupayakan seawal mungkin ketika anak mulai bersentuhan dengan sistem peradilan pidana. Ini untuk menghindari stigmatisasi serta efek destruktif lainnya dari sistem peradilan pidana, khususnya tahap penangkapan dan penahanan.
26 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Catatan lainnya adalah dua dokumen Surat Keputusan Bersama yang mengatur tentang penanganan anak yang berkonflik dengan hukum yang terbit di penghujung tahun 2009. Pertama, Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tertanggal 15 Desember 2009 antara Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan Dengan Hukum. Dalam Bab II tentang Tujuan dan Prinsip, pasal 2 ayat 1 SKB ini menyebutkan: Kesepakatan bersama ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi ABH dengan mengutamakan pendekatan keadilan restoratif serta agar penangannya lebih terintegarasi dan terkoordinasi.
14
Mengenai 'Keadilan Restoratif' sebagaimana yang tertuang dalam pasal tersebut, pendekatan ini merupakan model yang diperkenalkan kepada dunia pada kurun 30 tahun terakhir. Istilah yang jamak digunakan adalah Restorative Justice. Di-Indonesiakan menjadi Keadilan Restoratif. Mengambil pengertian yang disampaikan oleh Tony Marshall yang dikutip oleh Kelompok Kerja PBB mengenai Restorative Justice, Keadilan Restorative diartikan sebagai suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya di masa mendatang. Dalam model pendekatan ini, suatu kejahatan tidak saja dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum semata namun juga sebagai perbuatan yang menyebabkan kerugian bagi korban, masyarakat, dan bahkan pelaku itu sendiri. Melalui cara pandang ini, keberhasilan penanganan tidak terletak pada seberapa besar hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku, namun lebih jauh lagi melihat sejauh mana kerugiaan yang timbul akibat perbuatan pelaku dapat terpulihkan. 15
Pasal 11 ayat (1) RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, draft tertanggal 3 Maret 2010.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
27
Kedua, Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 22 Desember 2009 antara Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. SKB ini menyebutkan salah satu tugas dan kewenangan Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Polri dan Kementerian Hukum dan HAM adalah menyusun dan menerbitkan standar operasional prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif. Lebih lanjut juga disebutkan bahwa perlakuan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dilakukan melalui pendekatan keadilan restoratif untuk kepentingan terbaik bagi anak dengan melibatkan Balai Pemasyarakatan, orang tua, keluarga korban dan pelaku serta tokoh masyarakat setempat. C. Situasi AKH di Bandung, Yogyakarta dan Semarang dalam statistik Sebagaimana telah disampaikan di muka, pada kurun 2009-2010 Koalisi NGO untuk Pemantauan Hak Anak melakukan project percontohan monitoring kasus- kasus anak. Untuk isu anak yang berkonflik dengan hukum. Monitoring di fokuskan di tiga kota, yaitu Bandung, Semarang dan Yogyakarta. 1. Bandung Di Bandung, data dari Pengadilan Negeri Bandung tahun 2009 menunjukkan ada 87 anak yang berkonflik dengan hukum hingga proses persidangan. Kasusnya beragam, namun paling banyak adalah kasus pencurian 43 kasus, baik pencurian biasa maupun dengan kekerasan. Berikut adalah rincian selengkapnya jenis tindak pidana yang dilakukan anak yang disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung
28 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak di Pengadilan Negeri kelas 1 Bandung Tahun 2009 Jenis tindak pidana Jumlah Pencurian 28 Pencurian dengan kekerasan 15 Pengrusakan 14 Penipuan/penggelapan 5 Kepemilikan senjata tajam 3 Perkosaan/pencabulan 5 Narkoba 6 Kejahatan atas ketertiban umum 2 Perjudian 1 Penganiayaan 7 Kelalaian/kealpaan 1 Total 87
Sementara berdasarkan data Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas 1 Bandung, ada 487 anak yang menjalani sidang anak di sebelas kota dan kabupaten di Jawa Barat yang menjadi wilayah kerja Bapas Kelas 1 Bandung. Sebagai catatan, wilayah penanganan Bapas Bandung meliputi Kota Bandung, Kota Sukabumi, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung Barat. Dari data yang ada, kasus pencurian paling banyak dilakukan anak, yaitu sebanyak 253 kasus. Disusul dengan kasus pengeroyokan sebanyak 98 kasus. Berikut data selengkapnya:
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
29
Jenis Tindak Pidana yang dilakukan oleh klien Anak Bapas Kelas 1 Bandung Periode Januari - Desember 2009 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jumlah
Jenis tindak pidana
Pencurian Penganiayaan Pengeroyokan Pengrusakan Pelanggaran kesusilaan Pembunuhan Narkotika Lalu lintas Penipuan/penggelapan Penadahan Senjata tajam / senjata api Perjudian Pencemaran Total
253 29 98 1 46 2 11 9 12 1 12 12 1 487
Data Bapas Kota Yogyakarta dan Bapas Wonosari Periode Januari - pertengahan Oktober 2009
Sumber: Dokumen Evaluasi BKA Bapas kelas 1 Bandung tahun 2009
Untuk jenis putusan yang diterima anak, dari 87 anak yang perkaranya ditangani Pengadilan Negeri Bandung tahun 2009, terbanyak diputus dengan pidana penjara selama 1-3 bulan, yaitu sebanyak 35 anak. Kemudian putusan pidana penjara selama 3-6 bulan di urutan kedua, yaitu sebanyak 26 anak. Berikut rincian selengkapnya. Bentuk Putusan atas Perkara Anak Pengadilan Negeri kelas 1 Bandung Tahun 2009
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tindak Pidana
Penipuan/penggelapan Kepemilikan senjata tajam Perkosaan/pencabulan Narkoba Kejahatan atas ketertiban umum Perjudian Pencurian Pencurian dengan kekerasan Penganiayaan Kelalaian/kelpaan Pengrusakan Total
1-3 bln 2 3 2
Bentuk putusan Penjara 366Bebas 6 12 1-3 10 bln bln thn thn 3
1
tidak Perco baan diketahui
4 3
1
2. Yogyakarta Di Yogyakarta, data Bapas Yogyakarta dan Bapas Wonosari periode Januari hingga pertengahan Oktober 2009 menujukkan ada 227 kasus. Kasus terbanyak adalah pencurian dengan pemberatan, 117 kasus. Disusul dengan kasus pengeroyokan sebanyak 30 kasus. Ada 222 kasus dengan pelaku laki-laki, dan 5 kasus dilakukan perempuan. Wilayah penanganan Bapas Yogyakarta meliputi Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo. Sedangkan wilayah Bapas Wonosari meliputi Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Bantul. Data selengkapnya adalah sebagai berikut:
1
Psl 56 KUHP 156 KUHP 170 KUHP 179 KUHP 266 KUHP 287 KUHP 290 KUHP 303 KUHP 307 KUHP 332 KUHP 351 KUHP 359 KUHP 360 KUHP 362 KUHP 363 KUHP 364 KUHP 365 KUHP 368 KUHP 378 KUHP uu 12/1951 23/2002 5/1997 23/1992
Keterangan pasal -pasal pada kasus Keterangan Pembantu Kejahatan Penodaan Agama Pengroyokan Menodai kuburan Memberikan Keterangan palsu Persetubuhan orang dibawah 15 th Perbuatan Cabul Perjudian (Penelantaran oleh orangtua) Melarikan wanita belum dewasa Penganiayaan Kealpaan shg meyebabkan kematian Kealpaan shg menyebabkan luka berat Pencurian Pencurian dengan Pemberatan Pencurian Ringan Pencurian dengan perencanaan dan kekerasan Pemerasan Penipuan Senjata tajam Perlindungan anak (pencabulan) Psikotropika Kesehatan
Jumlah Kasus L P 2 1 30 2 1 3 2 1 1 3 8 2 2 1 28 115 2 1 8 1 2 2 3 5 1 222
5
Total Kasus 2 1 30 2 1 3 2 1 1 3 8 4 1 28 117 1 8 1 2 2 3 5 1 227
1
12 6 3
10 6 4
6 35
2 26
5 1
13
1 1 1
1
2
30 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
1 1
1 1
1 4 9
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
31
3. Semarang Di Semarang, Bapas Kelas 1 Semarang mencatat ada 282 anak yang terlibat dalam konflik hukum sepanjang tahun 2009. Kasus terbanyak adalah pencurian, 161 kasus, disusul kasus pengeroyokan, 49 kasus. Dari jumlah itu, 273 AKH adalah laki-laki dan 9 AKH perempuan. Berikut adalah rincian kasusnya:
Dari 282 anak tersebut, vonis pengadilan terbanyak adalah kurang dari satu tahun, yaitu sebanyak 145 anak. Tiga kasus selesai dalam proses diversi, tidak diperoleh keterangan diversi dalam tahap mana. Dan 122 anak tidak diketahui bentuk vonisnya. Vonis
Jenis Kasus
L
P
Total
< 1 Tahun
143
2
145
1 - 2 Tahun
5
0
5
2 - 3 Tahun
6
0
6
3 - 4 Tahun
0
0
0
L
P
Total
156
5
161
Percobaan Pencurian
1
0
1
Pembunuhan
3
0
3
4 - 5 Tahun
1
0
1
Pengeroyokan
49
0
49
> 5 Tahun
0
0
0
Penganiayaan
8
0
8
2
1
3
100
5
122
273
9
282
Pencurian
UU PA, Ps 81 (Persetubuhan)
Anak Negara
0
Diversi
18
2
Keterangan
20 Tidak diketahui
Di tingkat BAPAS Tidak ada keterangan jelas dlm dokumen BAPAS
UU PA, Ps 82 (tuduhan perdagangan anak)
0
1
1
Pencabulan
3
0
3
Pemerkosaan
1
0
1
Narkotika dan psikotropika
1
0
1
19
0
19
Penebangan hutan/pencurian kayu
2
0
2
Kecelakaan Lalu lintas
1
0
1
Melarikan anak gadis
1
0
1
Umur
L
P
Total
Senjata tajam (UU Darurat)
3
0
3
10
1
0
1
Pemerasan/perampasan
3
0
3
11
2
0
2
1
0
1
Perjudian
Dari sisi usia, terbanyak AKH berusia 17 tahun, yaitu sebanyak 110 anak, kemudian 16 tahun sebanyak 78 anak.Berikut data selengkapnya.
Penipuan
1
0
1
12
Penggelapan
1
0
1
13
13
1
14
14
27
0
27
15
40
3
43
16
77
1
78
17
106
4
110
6
0
6
273
9
282
Perbuatan tidak menyenangkan
0
1
1
Penyertaan dalam tindak pidana
2
0
2
≥ 18
273
32 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
9
282
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
33
Kebanyakan AKH lulusan atau drop out SMP/MTs, yaitu sebanyak 80 anak. Kemudian lulusan atau drop out SD/MI sebanyak 77 anak
Pendidikan
L
P
Total
Masih Sekolah : SD/MI
1
0
1
SMP/MTs
34
1
35
SMA/SMK/MA
56
0
56
SD/MI
75
2
77
SMP/MTs
76
4
80
SMA/SMK/MA
24
2
26
Tidak diketahui
7
0
7
273
9
282
Lulus/DO :
Berkaitan dengan daerah asal, kebanyakan berasal dari Kota Semarang, yaitu sebanyak 118 anak. Disusul dari Kabupaten Kendal dan Kabupaten Grobogan sebanyak 45 anak.
Asal
L
P
Total
C. Kasus-kasus yang terjadi Monitoring bersama tiga lembaga yaitu LAHA (Bandung), Samin (Yogyakarta) dan Setara (Semarang) untuk isu anak yang berkonflik dengan hukum berhasil mendokumentasikan 28 kasus. Sepuluh kasus anak di Bandung, delapan kasus di Yogyakarta dan sepuluh kasus di Semarang. Berikut ini adalah pemaparan situasi anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan hasil telaah satu kasus di setiap kota.
Kasus di Bandung Berawal dari facebook AKS adalah pelajar kelas 3 salah satu SMK di Kota Bandung. Dia berusia 17 tahun. Dia tinggal bersama ibu dan bapaknya di daerah Pangalengan Kabupaten Bandung. Bapaknya, AJ, bekerja sebagai penjaga masjid. Ibunya, EN, memiliki kios kecil di depan masjid dimana suaminya bekerja. Sementara kakaknya sudah tinggal terpisah. Bermula dari perkenalan AKS dengan SL, siswi kelas 2 SMK di Sukabumi, yang juga berusia 17 tahun melalui media facebook pada bulan Agustus 2009. SL Lismara tinggal di Sukabumi. Dari sekian frekuensi komunikasi mereka, kemudian AKS dan SL membuat janji untuk bertemu. AKS dan SL sepakat bertemu di Pangalengan, daerah dimana AKS tinggal.
Jawa Tengah : Kota Semarang
116
2
118
Kabupaten Semarang
36
2
38
Kabupaten Grobogan
44
1
45
Kabupaten Demak
16
2
18
Kabupaten Kendal
43
2
45
Kabupaten Salatiga
6
0
6
Kota Magelang
1
0
1
Kabupaten Boyolali
1
0
1
Kabupaten Blora
1
0
1
Kabupaten Batang
1
0
1
Kabupaten Pekalongan
1
0
1
Kabupaten Temanggung
1
0
1
DI Yogyakarta
1
0
1
DKI Jakarta
1
0
1
Jawa Timur
4
0
4
273
9
282
34 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Pada tanggal 16 November 2009, SL dan seorang yang diakuinya sebagai saudaranya, yaitu Putri datang menemui AKS di Bandung. AKS menunggu SL di terminal bis. Bertemu pertama kali mereka kemudian berbincangbincang. Tak lama kemudian AKS mengajak SL ke rumahnya dengan menggunakan sebuah sepeda motor. Setelah sekian waktu bertandang di rumah AKS, ternyata SL kemudian tidak mau pulang. Alasannya dia tidak merasa kerasan di rumahnya karena sering dimarahi ayahnya, yaitu UJ. Atas sepengetahuan bapak dan ibu AKS, SL dan PR pun menginap di rumah AKS malam itu. Keesokan harinya, AKS, SL dan Putri menyempatkan diri berkeliling Pangalengan. Hingga tanggal 18 November 2010 SL dan Putri masih tinggal di rumah AKS. AKS menceritakan, pada malam itu ia tidur di ruang tamu, sementara SL dan Putri tidur di kamarnya. Selain AKS, SL dan Putri malam itu bapak dan ibunya juga ada di rumah. Kakaknya yang tidak biasanya tinggal di rumah malam itu juga menginap di rumahnya. Hingga sekitar pukul 23.00, menurut AKS dia terbangun dari tidurnya dalam keadaan sedang diciumi oleh SL. Terbangun, AKS pun menanggapi perlakuan SL. Hingga kemudaian
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
35
AKS dan SL melakukan hubungan badan. Usai itu, AKS dan SL berbincangbincang. Sekitar pukul 01.00, tanggal 19 November 2009 AKS dan SL kembali melakukan hubungan badan. Keesokan harinya, sekitar pukul 13.00 SL dan PR berpamitan kepada AKS untuk mengunjungi PZ yang diakuinya masih kerabatnya. PZ ini tinggalnya juga di Pangalengan. SL dan PT kembali ke rumah AKS sekitar pukul 20.00. Hingga beberapa hari kemudian pun SL dan Putri masih menginap di rumah AKS.
Tanggal 25 November 2009 sekitar pukul 19.00 WIB, PI datang ke rumah AKS. Pak Iwan diakui SL masih kerabatnya. Kemudian PI membawa AKS dan SL ke rumahnya yang masih bertempat di daerah Pangalengan. Di rumah PI, ternyata sudah menunggu orang yang dikemudian diketahui AKS bernama PA dan Ibu R. PA menggunakan seragam polisi, sedangkan Bu R tidak. Keduanya mengaku sebagai angggota kepolisian dari Polresta Sukabumi. Malam itu AKS tidak pulang ke rumah. Keesokan harinya, tanggal 26 November 2009 pagi hari, AKS dibawa oleh PI, PA dan Ibu R menuju Mapolresta Sukabumi. AKS ditangkap tanpa surat perintah penangkapan. Hari itu AKS terakhir kali melihat SL karena setelah ia dibawa ke Sukabumi, AKS tidak bertemu dengannya lagi. AKS tidak paham mengapa ia dibawa ke Sukabumi. Baru kemudian dia tahu bahwa dia dilaporkan oleh orang tua PJ ke kantor polisi karena dianggap melarikan anak gadisnya. Dalam perjalanan ke Sukabumi, kepala AKS sempat dipukul oleh Ibu R. Setiba di Mapolresta Sukabumi, AKS menjalani pemeriksaan dan pembuatan berita acara. Disela-sela pemeriksaannya AKS mengaku tanggannya disulut rokok menyala oleh PA. Selama pemeriksaan tidak ada advokat yang mendampingi AKS. Bahkan orang tua atau anggota keluarga lainnya tidak ada. AKS tidak tahu kalau dia berhak mendapatkan bantuan hukum karena tidak ada polisi yang menyampaikan bahwa AKS berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum.
36 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Tanggal 27 Novermber 2009, sekitar pukul 01.00 dini hari, tanpa status hukum yang jelas AKS dilepaskan oleh polisi dari Mapolresta Sukabumi. Tanpa dibekali uang AKS disuruh pulang ke Pangalengan. Karena tidak memiliki uang untuk pulang, AKS pun menjual telefon seluler untuk pulang ke Pangalengan. Sekitar sore hari AKS sudah tiba di ruamhnya di Pangalengan. Tanggal 18 Desember 2009, AKS didatangi empat orang yang mengaku polisi dari Polres Bandung. Salah seorang diantaranya bernama Pak AKS. Tanpa memberikan surat apa pun, merekamembawa AKS ke Mapolres Bandung. Di sana AKS diperiksa kembali seputar kebersamaannya dengan SL. Kembali terulang, tanpa kejelasan status hukum, tanggal 19 Desember 2009 AKS dilepaskan dan disuruh pulang ke rumahnya. AKS hanya dikenai wajib lapor setiap hari Senin dan Kamis. Hingga kini pun AKS tidak pernah tahu pasti apa alasan dia ditangkap dan diperiksa. Polisi hanya banyak bertanya seputar hubungannnya dengan SL. Saat ini AKS tidak sekolah lagi. Menurutnya ia mengundurkan diri dari sekolah karena repot dengan urusan dengan polisi ini. Kasus di Yogyakarta Dugaan Pelanggaran Proses Peradilan YIS YIS adalah pelajar kelas 1 salah satu Madrasah Aliyah di Kota Yogyakarta. Dia berusia 17 tahun. Dia tinggal bersama ibu dan bapaknya di daerah Danurejan Kotamadya Yogyakarta. Bapaknya, KST, tidak bekerja. Ibunya, DMM, bekerja di toko bangunan tidak jauh dari rumahnya. Sementara adiknya masih tinggal bersama mereka. YIS mempunyai kawan akrab namanya GFW (18 tahun) dan tinggal di daerah yang sama. Tanggal 18 Juli 2009, GFW datang menemui YIS di rumahnya. YIS dan GFW adalah teman sepermainan sejak beberapa tahun lalu. Tak lama kemudia GFW mengajak YIS ke Circle K Jl. Gejayan dengan menggunakan sebuah sepeda motor. Setelah sekian waktu berada di tempat tersebut kemudian mereka berencana pulang ke rumah.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
37
YIS berboncengan dengan GFW, rute yang dilalui yaitu dari Circle K Jl. Gejayan ke selatan, pasar Demangan belok kiri, pertigaan UIN belok kanan. Sampai di perempatan Universitas Janabadra diikuti 4 orang dengan dua motor RX King. YIS ditodong dengan senjata tajam tetapi kendaraan mereka masih terus melaju. Sampai di perempatan Kusumanegara, YIS berhenti di traffic light dan motor YIS akan dirampas.
Dalam pemeriksaan perkara, YIS mengaku tidak mendapatkan kekerasan fisik, tetapi YIS mengaku telah dibentak–bentak pada saat pemeriksaan oleh pihak kepolisan. YIS diberitahu haknya mengenai bantuan hukum (pengacara) oleh kepolisian tetapi sayangnya YIS tidak tahu seperti apa maksud bantuan hukum tersebut dan apa kegunaannya. YIS tidak didampingi oleh siapa pun saat pemeriksaan perkara berlangsung.
YIS berhenti tepat dibelakang orang yang menggunakan motor Mio. Pengendara tersebut berhenti karena traffic light menunjukkan lampu merah. Kawanan pengendara motor King tersebut kemudian mendatangi pengendara motor Mio dan akan merampas barangbarang miliknya. Pengendara Mio memberikan perlawanan. Melihat hal tersebut YIS dan GFW ingin membantu pengendara Mio, akan tetapi GFW malah terkena pukul oleh pengendara Mio tersebut. GFW pun memukul balik dan YIS membantu GFW.
Di dalam tahanan YIS tidak diberikan perlengkapan mandi. YIS tidak pernah mandi menggunakan sabun mandi ataupun perlengkapan lainnya. Kesemuaanya hanya bisa didapatkan YIS jika mendapat kiriman dari orang tua mereka. Di dalam tahanan juga tidak menyediakan baju ganti ataupun handuk untuk mandi.
Karena merasa terdesak orang yang mengendarai motor Mio tersebut berteriak-teriak meminta pertolongan. Kemudian YIS dan GFW melarikan diri berbalik arah dan masuk Cafe Tropis. Di Cafe Tropis YIS malah ditangkap dan dituduh melakukan perampokan dan penganiayaan kepada pengendara motor Mio tersebut. YIS sempat mendapatkan tamparan sekali oleh petugas café. Petugas cafe kemudian menelepon polisi. Kira–kira 30 menit kemudian polisi datang dan membawa YIS ke Polsek Umbulharjo. YIS sampai di Polsek Umbulharjo sekitar pukul 4 pagi. Di Tingkat Pemeriksaan Kepolisian Setelah YIS sampai di Kepolisian, teman YIS, GFW meminta polisi untuk menghubungi orang tuanya. Pada hari yang sama (19 Juli 2009) orang tua GFW datang ke Polsek Umbulharjo. Kemudian orang tua GFW memberitahukan kejadian tersebut ke orang tua YIS dan orang tua YIS datang ke Polsek Umbulharjo sehari setelah mendapat kabar tersebut (20 Juli 2009). YIS ditempatkan dengan orang dewasa. Selama masa penahanan YIS diberikan makan 2 kali sehari yaitu sekitar pukul 12 siang dan pukul 5-6 sore. YIS tetap belum memahami mengenai apa yang dituduhkan kepadannya selama di kepolisian.
38 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Setelah kejadian tersebut pihak kepolisian sudah mengupayakan jalan damai yaitu dengan mempertemukan antara pengendara Mio [pihak korban] dengan pihak YIS [tersangka). Karena pihak korban meminta jumlah uang penggantian sebesar Rp. 10 juta, maka pihak tersangka merasa tidak sanggup untuk membayar. Oleh karenannya kasus tersebut diteruskan ke proses hukum selanjutnya. Ditingkat ini YIS ditahan selama 28 hari. Kronologi semasa penahan kepolisian tersebut adalah sebagai berikut: BAP jadi satu hari setelah penangkapan terhadap anak. Kepolisian mengajukan surat Konsultasi tanggal 27 Juli 2009 (10 hari) setelah anak ditangkap yang diterima pihak Kejaksaan tanggal 30 Juli 2009. Kejaksaan merespon dan menyatakan bahwa hasil tersebut dinyatakan lengkap pada tanggal 15 Agustus 2009 (28 hari setelah anak ditahan). Kemudian anak dilimpahkan ke Kejaksaan tanggal 18 Agustus 2009. Di Tingkat Pemeriksaan Kejaksaan/Penuntutan YIS ditahan selama 9 hari di tingkat penuntutan. Dia ditempatkan di Rumah Tahanan Kota Yogyakarta. Pihak jaksa tidak menghentikan penyidikan atau melakukan disposisi lainnya, kasus terus berjalan ke pengadilan. Berikut adalah pengakuan YIS saat di Rutan Kota Yogyakarta:
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
39
Waktu pertama kali datang dia disuruh jalan bebek oleh petugas. Setelah itu dia ditanya [diberi 2 pilihan] yaitu 86 [setuju untuk membayar petugas sejumlah Rp.5000] atau njajal petugas/mencoba petugas (di sini berarti petugas akan menunjukkan kemampuannya dalam menegakkan disiplin atau hukuman). YIS memilih pilihan kedua yaitu njajal petugas. Karena pilihannya tersebut YIS mendapat tamparan di muka satu kali. Dia mengatakan masih beruntung dibanding teman-temanya. Teman-teman satu ruang dengannya mendapat perlakuan fisik yang lebih parah oleh petugas, mereka dipukuli di bagian tubuh tetapi tidak diwajahnya. Petugas tersebut takut kalau memukul di wajah akan meninggalkan bekas dan ketahuan oleh Kepala Rumah Tahanan (KPR). YIS ditempatkan di sel terpisah dengan orang dewasa tetapi dalam satu blok dengan orang dewasa. Jika waktu istirahat mereka langsung bercampur dengan orang dewasa. YIS juga mengatakan dirinya sangat beruntung karena teman orang tuannya adalah mantan narapidana terkenal di sana. Dengan menyebutkan “titipannya Penjol” maka para tahanan dewasa di sana tidak berani mengganggunya. Lain dengan teman-temannya, karena tidak kenal dengan preman di dalam rutan maka mereka sering mendapat hinaan dan pukulan dari tahanan dewasa. Pada hari pertama YIS diharuskan memotong rambut. Yang bertugas memotong rambut adalah tahanan dewasa (tamping). Untuk potong rambut tersebut YIS harus membayar Rp. 10 ribu. Penjaga Rutan memang memperbolehkan 'bisnis' seperti ini.
Di Tingkat Pemeriksaan Pengadilan 28 Agustus 2009 Di tingkat pemeriksaan pengadilan YIS ditahan selama 13 hari. Dalam setiap pemerikasaan atau persidangan YIS selalu mendapat urutan terakhir. Pemeriksaan dilakukan secara tertutup kecuali pembacaan putusan. Berikut adalah orang-orang yang hadir dalam persidangan tersebut: Acara Persidangan hari itu adalah pemeriksaan saksi-saksi. Peserta sidang yang hadir adalah: 1. Hakim ketua [tidak pakai toga] 2. Panitera pengganti [tidak pakai toga] 3. Jaksa Penuntut Umum [tidak pakai toga] 4. Pebimbing Kemasyarakatan 5. AKH 6. Kedua orang tua AKH 7. Pendamping dari samin dan, 8. Tiga saksi YIS dinyatakan bersalah dalam putusan pengadilan. YIS dikenai pidana pokok penjara selama 2,5 bulan dipotong masa tahanan. Dalam setiap kunjungan, ke Rutan [tempat dimana ditahan dan menjalani masa hukuman] orang tua YIS selalu dipungut biaya anantara Rp. 10.000 sampai Rp. 20.000 ribu rupiah oleh petugas Rutan Yogyakarta.
YIS ditempatkan dengan empat anak dalam satu kamar. YIS masuk ke sel di sore hari dan tidak bisa keluar sepanjang malam. Dia harus mempersiapkan persedian di dalam sel. Setiap malam hanya ada dua jerigen air minum masing-masing 2.5 liter yang harus dibagi untuk tahanan satu blok yang berisi 23 orang. Di dalam sel ada WC/toilet, tetapi tidak diberi pembatas sehingga bisa dilihat oleh teman lainnya. YIS merasa tidak nyaman di tempat ini. Dia mengatakan tidak tahan lagi berada di Rumah Tahanan.
40 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
41
Kasus di Semarang
Latar belakang keluarga mereka berdua sangat berbeda. JWN sudah ditinggal ayahnya sejak ia masih berusia 6 tahun, ibunya bekerja sebagai pembantu. Untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup setelah keluar dari sekolah JWN bekerja sebagai buruh nelayan. Sedangkan RST tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayahnya bekerja dibidang mebel kayu. Aktivitas RST setelah tidak sekolah, bekerja sebagai buruh di industri rumahan yang memproduksi makanan ternak.
Kurang lebih satu jam, mereka tiba di area Perkebunan Segayung. JWN dan RST memetik buah randu yang ada di pohon dengan menggunakan galah, sedangkan MNS dan SS mengambil dan memasukkannya ke dalam kantong plastik. Mereka bergantian memetik dan memasukan ke dalam kantong plastik. Saat itu RST sempat meninggalkan mereka untuk mengambil air di sungai dan Ia kembali lagi. Sekitar pukul 08.30 WIB aktivitas yang mereka lakukan diketahui oleh HS, laki-laki (33 tahun) dan FR, laki-laki (tidak diketahui umurnya). Kedua orang tersebut menegur JWN dan temantemannya dan menuduh mereka mencuri buah randu. FR melakukan komunikasi (menggunakan telepon) dengan EF, lak-laki (47 tahun) agar datang ke tempat kejadian. Sebelum JWN dan teman-temanya dilaporkan ke polisi, MNS masih sempat minta maaf dan tidak ingin kasusnya dilanjutkan. Permintaan tersebut tidak didengarkan. Beberapa menit kemudian Efendi dan anggota Kepolisian Resort Batang datang ke tempat kejadian menangkap JWN dan temantemannya. Petugas membawa mereka ke Kantor Kepolisian Resort Batang.
JWN dan RST bertempat tinggal di desa terpencil, Dukuh Secentong, Kelurahan Kenconorejo, Kabupaten Batang. Rumah mereka berdekatan dan beberapa waktu mereka bermain bersama. Pada suatu ketika mereka disangka melakukan pencurian buah randu 14 kilogram senilai Rp. 12.000,-.
Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan ( BAP) terhadap JWN dan RST dilakukan di ruangan yang sama. Mereka diperiksa oleh satu orang petugas laki-laki dan satu perempuan. Pemeriksaan dilakukan sekitar pukul 09.00 WIB berakhir pukul 17.00 WIB. Sedangkan MNS dan SS diperiksa diruang yang berbeda.
Senin, 2 November 2009 sekitar pukul 07.00 RST bermain ke rumah JWN, ia mengajak ibunya JWN (MNS, 39 tahun) untuk pergi 16 ”nggresek”. Ajakan tersebut disetujui ibunya JWN yang kemudian mengajak adiknya (SS, 19 tahun) dan JWN untuk pergi bersama. Mereka (berempat) pergi bersama dengan jalan kaki menuju Perkebunan Segayung yang letaknya di Desa Sembojo, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang. Mereka menempuh perjalanan kurang lebih satu jam sambil membawa peralatan sabit dan gandi plastik. 17 Selama perjalanan mereka menemukan ”galah” yang akan digunakan mengambil buah randu.
Selama proses pemeriksaan, JWN dan RST tidak mendapatkan pendampingan dari orang tua maupun pedamping lainnya. Polisi tidak memberikan informasi bantuan hukum (pengacara). Mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan tidak menggunakan penasehat hukum. Polisi meminta saran petugas Balai Pemasyarakatan kelas I Pekalongan. Mereka berempat disangka melanggar pasal 363 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) .
Pohon Randu berbuah Penjara JWN, 16 tahun dan RST 14 tahun adalah anak-anak yang tidak tamat sekolah dasar. JWN keluar dari sekolah karena tidak mempunyai biaya untuk membayar biaya ujian, sedangkan RST keluar dari sekolah menengah pertama karena keterbatasan kemampuan berpikir.
16
Nggregesk: istilah yang digunakan oleh masyarakat Secentong untuk melakukan aktivitas mencari sisa-sisa hasil panen buah kapuk di area Perkebunan 17 Galah: benda yang terbuat dari bambu yang berukuran panjang. Biasanya digunakan untuk mengambil sesuatu yang berada di Pepohonan.
42 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
JWN dan rekannya ditahan di Rumah Tahanan Kepolisian Resort Batang sejak tanggal 3 November 2009. Polisi memberikan surat perintah penahanan kepada keluarga. Penahanan mereka selama 24 hari dengan dua tempat yang berbeda, pertama selama 12 hari di Rumah Tahanan Kepolsian Resort Batang, kedua di Rumah Tahanan
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
43
Rowo Belang, Kabupaten Batang. Selama penahanan, mereka (JWN dan RST) dipisahkan dari orang dewasa. Mereka tidak mengalami kesulitan untuk bertemu dengan orang tuanya. Namun ketika ada kerabat lainnya ingin menjenguk, mereka harus memberikan sejumlah uang untuk petugas penjara. Biasanya sebesar Rp 10.000 dan satu bungkus rokok. JWN dan ketiga rekannya mendapatkan penangguhan penahanan. Mereka keluar dari tahanan tanggal 27 November 2009. Mereka mendapatkan bantuan hukum (pengacara) dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang setelah keluar dari tahanan. Proses persidangan JWN di Pengadilan Negeri Batang selama sepuluh kali didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Setiap agenda persidangan menggunakan bahasa Indonesia. JWN dan RST sering mengalami hambatan dalam menerima pertanyaan dari Hakim. Mereka tidak mendapatkan juru bahasa dalam persidangan. Setiap agenda persidangan dihadiri oleh hakim tunggal, jaksa penuntut umum, anak, orang tua, penasehat hukum (4 orang), panitera pengganti dan petugas Balai Pemasyarakatan kelas I Pekalongan. Jaksa penuntut umum menuntut JWN dan RST hukuman 1 bulan penjara dengan masa percobaan selama 3 bulan. Sedangkan MNS dan SS hukuman 1 bulan penjara dengan masa percobaan 4 bulan. Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Batang menyatakan mereka bersalah dan mereka mendapatkan hukuman penjara 24 hari penjara dipotong masa penahanan. Putusan tersebut jumlahnya sama dengan masa penahanan sehingga setelah sidang putusan, mereka tidak menjalani hukuman. Praktik kekerasan nampaknya masih terjadi dalam proses peradilan di Indonesia. Ratifikasi beberapa instrumen internasional dan undangundang yang memberikan mandat kepada aparat untuk tidak berlaku sewenang-wenang kepada rakyat masih sering dilanggar. Selain itu, yang tidak kalah serius, masih banyak ditemukan proses hukum terhadap anak yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip atau ketentuan yang diatur dalam hukum acara yang berlaku. Apa yang dialami AKS (Bandung), YIS (Yogyakarta) dan EP (Semarang) menunjukkan praktik peradilan yang tidak mengindahkan prinsipprinsip keadilan ataupun ketentuan hukum acara yang ada.
44 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Dalam kasus AKS di Bandung, pelanggaran serius dimulai ketika dia dibawa ke Mapolresta Sukabumi tanpa surat perintah penangkapan, pemberitahuan ke keluarga bahkan tanpa tahu alasan apa dia dibawa ke kantor polisi tersebut. Mengapa dia mau saja ikut? Dalam posisi tidak memiliki otoritas dan berada dibawah kekuasaan pihak lain umumnya siapa pun, apalagi seorang anak, mau tidak mau mengikuti saja kemauan pemiliki otoritas atau kekuasaan. Inilah yang terjadi dengan AKS dan sangat mungkin terjadi pula pada banyak anak lainnya. AKS ditangkap, lalu dibawa ke kantor polisi di lain kota tanpa sepengetahuan apalagi didampingi orang tua atau kerabatnya. Lalu ia diperiksa tanpa didampingi penasehat hukum. Kemudian dilepaskan begitu saja tanpa kejelasan status. Kemudian ditangkap lagi oleh anggota polisi di wilayah tinggalnya. Kemudian diperiksa kembali tanpa didampingi penasehat hukum. Dan kembali dilepaskan lagi tanpa status hukum yang jelas, hanya diminta untuk wajib lapor setiap Senin dan Kamis. Semuanya berjalan tanpa ada surat-surat yang menunjukkan adanya suatu proses hukum yang legal. Selama proses ini, AKS mendapatkan pemukulan dari petugas polisi. Tangannya pun sempat disundut rokok. Akhirnya karena lelah harus bolak-balik menjalani proses yang tidak jelas ini, AKS mengundurkan diri dari sekolahnya. Apa yang dialami YIS di Yogyakarta pun tidak jauh berbeda. Dia ditangkap dan ditahan tanpa tahu secara jelas apa kesalahannya. Dia juga tidak didampingi penasehat hukum ketika diperiksa di kepolisian hingga pengadilan. Polisi yang memeriksa memang memberi tahu bahwa dia berhak memperoleh bantuan hukum dan didampingi penasehat hukum selama proses hukum, namun penjelasannya hanya sebatas itu.YIS sendiri tidak mengerti apa maksud bantuan hukum itu. YIS tidak mendapatkan kekerasan fisik selama proses pemeriksaan di kepolisian, tapi YIS kerap mendapatkan bentakan selama pemeriksaan. Ketika pertama kali masuk Rutan pada masa penuntutan, petugas menyuruh YIS ”jalan bebek”. Setelah itu diajukan dua pertanyaan pilihan, yaitu membayar petugas sebesar Rp 500 ribu atau njajal petugas. Kemudian YIS tahu njajal petugas ini bermakna petugas yang bersangkutan akan unjuk kemampuan dalam menegakkan ”disiplin” atau ”hukuman”. YIS memilih yang kedua sehingga ia mendapat tamparan satu kali di muka.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
45
Dalam proses penahanan di kepolisian YIS bercampur dengan tahanan dewasa. Sedangkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) dia berada di sel yang terpisah dengan orang dewasa namun masih di blok yang sama sehingga di siang hari mereka masih bercampur baur. Di tahanan kepolisian, YIS tidak pernah diberi perlengkapan mandi. Dia tidak pernah mandi dengan menggunakan sabun mandi, shampoo atau handuk. Ketika ditahan di Rutan pada proses penuntutan, dia ditempatkan di sel khusus anak namun tetap bergabung dalam satu blok dengan tahanan dewasa. Mendapat jatah makan sehari dua kali. Jatah air minum yang disediakan adalah dua jerigen yang masing-masing berkapasitas 2,5 liter. Dua jerigen itu adalah jatah untuk 23 tahanan yang menghuni satu blok. Toilet tersedia, namun tak ada sekat sehingga bisa dilihat oleh kawan lainnya. Tentu saja YIS merasa tidak nyaman. Orang tua YIS suka mengunjungi YIS di Rutan. Setiap mereka berkunjung, mereka selalu dipungut biaya antara Rp 10.000 sampai dengan Rp 20.000 oleh petugas Rutan. Situasi penuh pelanggaran juga dialami oleh JWN dan RSN di Semarang. Hanya karena mengambil buah randu senilai Rp 12.000 -- bersama dua orang dewasa lainnya -- JWN dan RSN harus mendekam di tahanan. Dalam pemeriksaan penyidikan JWN dan RSN tidak didampingi orang tua. Apalagi penasehat hukum. Polisi yang memeriksa tidak memberitahukan bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum. Mereka justru dipaksa menandatangani surat pernyataan untuk tidak menggunakan penasehat hukum. JWN dan RSN ditahan terpisah dengan orang dewasa. Mereka juga tidak mengalami kesulitan jika kerabat mereka mengunjungi mereka. Hanya kerabat yang berkunjung harus memberikan sejumlah uang untuk petugas. Jumlahnya sekitar sepuluh ribu rupiah dan satu bungkus rokok. Mereka mendapatkan penangguhan penahanan setelah ditahan selama 24 hari. Apa yang dialami anak-anak di Bandung, Yogyakarta dan Semarang seperti di atas mengandung banyak pelanggaran. Mulai dari hukum acara hingga terjadinya kekerasan fisik, psikologis maupun ekonomi.
46 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
1. Hak atas bantuan hukum AKS, YIS, JWN dan RSN diperiksa di kepolisian tanpa didampingi penasehat hukum. Bahkan didampingi orang tua pun tidak. Jelas tindakan ini melanggar beberapa undang-undang sekaligus. Pasal 66 ayat 6 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-hak Asasi Manusia menyebutkan: Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. Lebih lanjut, Pasal 17 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga menyebutkan: Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa. b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Sedangkan UU Pengadilan Anak, khususnya Pasal 51 ayat 1 dan 2 menyebutkan: (1) Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini. (2) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Nampaklah bahwa perlakuan aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi yang merampas kemerdekaan dan memeriksa anak tanpa memberikan bantuan hukum atau pendampingan dari penasehat hukum telah melanggar beberapa aturan undang-undang nasional sekaligus. Hak anak untuk mendapatkan bantuan hukum harus dimaknai bahwa otoritas negara yang melakukan penegakan hukum harus menyediakan penasehat hukum secara cuma-cuma. Dalam praktik, kerap kali kata ”berhak” bermakna ”silahkan mencari penasehat hukum sendiri”. Situasi yang lebih buruk menimpa JWN dan RSN. Mereka tidak diberitahu bahwa
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
47
mereka berhak atas bantuan hukum. Yang terjadi justru mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan tidak bersedia didampingi oleh penasehat hukum. Merujuk pada standar internasional, perilaku aparat yang memeriksa AKS, YIS, JWN dan RSN tanpa didampingi penasihat hukum ini pun menunjukkan kekurangan aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak-hak manusia, khususnya hak-hak manusia yang dirampas kemerdekaannya. Pasal 14 ayat 3 angka d Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia melalui UU No.12 Tahun 2005 menyebutkan: Dalam penentuan suatu tindak kejahatan, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal dengan persamaan secara penuh, yaitu: (d) diadili dengan kehadirannya dan membela diri secara langsung atau melalui bantuan hukum pilihannya sendiri; diberitahu hak ini bila ia tidak mempunyai bantuan hukum; diberikan bantuan hukum bila hal itu diperlukan demi kepentingan keadilan, dan tanpa perlu membayar bila ia tidak memiliki sarana yang memadai untuk membayarnya: Secara khusus, Pasal 40 ayat 2 huruf b angka romawi (ii) dari Konvensi Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Keppres No.36 Tahun 1990 menyebutkan: Setiap anak yang disangka atau dituduh telah melanggar hukum pidana mempunyai setidak-tidaknya jaminan-jaminan sebagai berikut: untuk secepatnya dan secara langsung diberitahu mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan jika dipandang layak, melalui orang tua atau wali anak yang sah, dan untuk memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain dalam mempersiapkan dan mengajukan pembelaannya. Masih tentang hak atas bantuan hukum ini, Kongres PBB telah mengeluarkan Prinsip-Prinsip Dasar tentang Peranan Penasehat Hukum/Pembela yang disetujui dalam Kongres PBB kedelapan di Havana Kuba, 1990. Dalam Paragraf 1 kumpulan prinsip ini menyebutkan: Setiap orang berhak mendapatkan bantuan dari seorang pengacara berdasarkan pilihan mereka untuk melindungi dan menegakkan hak-haknya dan membela mereka di semua tahapan persidangan peradilan mereka Inilah pengabaian pertama yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap hak-hak AKS, YIS, JWN dan RSN.
2. Situasi dalam perampasan kemerdekaan AKS, YIS, JWN dan RSN mengalami penangkapan dan kemudian penahanan. AKS, JWN dan RSN mengalami penahanan hingga tingkat kepolisian. Sedangkan YIS ditahan hingga tingkat pengadilan. Anak-anak ini tidak ditempatkan di rumah tahanan yang terpisah dengan orang dewasa. Padahal segenap aturan mensyaratkan hal itu kepada aparat penegak hukum. Undang-Undang Pengadilan Anak menyebutkan tempat 18 tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa. Maknanya anak memang harus dipisahkan dari interaksi dengan orang dewasa. Namun kenyataannya, anak-anak masih ditempatkan dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan yang tidak khusus bagi anak-anak. Mereka ditempatkan di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan umum. Interaksi dengan tahanan dewasa tidak dapat dihindarkan, kendati adakalanya diupayakan untuk meminimalisirnya dengan menempatkan anak-anak ini di sel khusus anak. Tapi ketika anakanak ini masih tinggal di rumah tahanan yang sama bahkan blok yang sama dengan tahanan atau narapidana dewasa, interaksi itu tidak dapat dihindari. Konvensi Hak-Hak Anak pun memberikan aturan yang sama, bahwa anak-anak yang dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan dari 19 orang-orang dewasa Aparat penegak hukum memang diberi kewenangan melakukan tindakan perampasan kemerdekaan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Namun kerap kali aparat negara lupa bahwa dalam setiap kewenangan melekat tanggung jawab. Khususnya untuk kasus-kasus perampasan kemerdekaan baik dalam bentuk penangkapan, penahanan maupun pemenjaraan, setiap kewenangan yang ditunaikan melekat didalamnya tanggung jawab untuk melakukan perlindungan dan pemenuhan hak selama aparat negara merampas kemerdekaan seorang warga negara. Dalam konteks hak-hak anak, ketika seorang anak ditangkap, ditahan atau dipenjara, maka yang sah berdasarkan hukum untuk dicabut haknya hanyalah hak atas kemerdekaannya. Itu saja. Sementara hak-hak lain sebagaimana yang melekat pada anak lain umumnya tetap melekat padanya. Namun, yang kerap terjadi, hak-hak anak tersebut turut tercabut seketika dia mengalami perampasan kemerdekaan. Kondisi tempat penahanan yang tidak memadai serta makanan dan minuman terbatas kerap kali ditemukan dalam praktik perampasan kemerdekaan terhadap anak. Padahal Undang-Undang Pengadilan Anak 18 19
48 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pasal 37 huruf (c) Konvensi Hak-hak Anak
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
49
tegas memberikan aturan bahwa selama anak ditahan, kebutuhan 20 jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap dipenuhi. Konvensi Hak-Hak Anak, JDL Rules maupun Beijing Rules pun mengatur hal yang sama tentang hal ini. Terdapat prinsip-prinsip yang harus dicermati dalam setiap penerapan tindakan perampasan kemerdekaan. Pertama, anakanak harus ditempatkan pada lingkungan fisik dan akomodasi yang sesuai dengan tujuan perampasan kemerdekaan itu sendiri. Kedua, setiap anak yang berusia sekolah berhak untuk mendapatkan pendidikan yang tepat dengan kebutuhan dan kemampuannya dan dirancang untuk mempersiapkan dirinya ke masyarakat. Ketiga, setiap anak harus mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai. Keempat, komunikasi dengan keluarga dan teman-teman tetap harus terjaga. Kelima, tindakan kekerasan tidak boleh diterapkan. Penggunaan kekuatan hanya dilakukan jika anak menimbulkan ancaman yang dapat mencederai dirinya maupun orang lain. Keenam, Tindakan pendisiplinan harus dilakukan secara konsisten dengan menjunjung tinggi martabat yang melekat pada diri anak secara fundamental. Tindakan disiplin yang melanggar Pasal 37 Konvensi Hak-Hak Anak, misalnya hukuman fisik, penempatan dalam sel gelap, atau hukuman lainnya yang dapat mengganggu fisik dan mental anak. Ketujuh, setiap anak memiliki hak untuk mengajukan keluhan tanpa 21 pembatasan berkenaan dengan otoritas peradilan yang dilaluinya. 3. Kekerasan dalam proses hukum Kekerasan masih terjadi dalam proses hukum. AKS ditampar dan tangannya disulut rokok oleh polisi yang memeriksanya. YIS tidak mendapat kekerasan fisik, namun mendapat bentakan selama pemeriksaan di kepolisian. Di Rutan dia mendapat tamparan di wajahnya. JWN dan RSN tidak mendapatkan kekerasan fisik, namun mengalami kekerasan ekonomi karena harus menyetor sejumlah uang dan sebungkus rokok setiap kali dikunjungi kerabatnya. Tentu saja, Indonesia memiliki produk legislasi untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, pasal 66 menyebutkan: Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Ditarik lebih ke belakang, Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) Resolusi 39/46 tanggal 10 22 Desember 1984. Kerap kali kewenangan penegakan hukum yang dimiliki aparat negara tidak dibarengi dengan tanggung jawab untuk melindungi anak-anak yang terpaksa berkonflik dengan hukum. Anakanak ini berada dalam tanggung jawabnya. Ketika otoritas negara mencabut tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak melalui tindakan perampasan kemerdekaan, seharusnya ini dipahami bahwa tanggung jawab itu telah beralih kepada aparat negara yang mencabutnya. Sekali lagi, seringkali aparat lupa bahwa dalam setiap kewenangan yang dimilikinya melekat di dalamnya tanggung jawab yang mengikutinya. Tahun 1979, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi Nomor 34/169 Tentang Kode Etik Bagi Aparat Penegak Hukum. Kode etik ini menyebutkan dalam melaksanakan tugasnya, aparat penegak hukum hendaknya menghormati dan melindungi martabat kemanusiaan serta mempertahankan dan menjunjung tinggi hak-hak 23 asasi manusia setiap orang. Aturannya telah cukup banyak. Namun praktik kekerasan masih dialami anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Kekarasan masih terjadi terhadap anak-anak yang berada dibawah otoritas aparat penegak hukum. Mungkin aparat penegak hukum masih harus diingatkan soal relasi kewenangan dan tanggung jawab yang melekat pada diri mereka. Mereka memiliki kewenangan untuk menindak, namun memiliki juga beban tanggung jawab untuk melindungi orang yang mereka tindak
20
Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang No.3 tahun 1997 Alinea 89 General Comment Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa No.10 tahun 2007 tentang Children's Rights in Juvenile Justice 21
22 23
50 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang No.5 tahun 1998 Pasal 2 Kode Etik bagi Aparat Penegak Hukum Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34/169, 1979
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
51
Bagian 2 Analisis Situasi Perlindungan Anak dari Perdagangan di Indonesia
ANALISIS SITUASI PERLINDUNGAN ANAK DARI PERDAGANGAN DI INDONESIA
Ditulis oleh Nining S. Muktamar Direktur Yayasan KAKAK Solo
PENDAHULUAN Kasus perdagangan orang khususnya perdagangan anak, semakin meningkat. Data yang dihimpun Bareskrim Polri pada tahun 2004-2008 seperti yang tergambar dalam tabel di bawah ini:
KORBAN DEWASA
TAHUN
JUMLAH
2004
103
103
2005
143
125
18 (12,6%)
2006
625
496
129 (20,6%)
2007
483
333
150 (31%)
30
8
22 (73%)
(s.d Maret 2008)
ANAK -
Data Bareskrim Polri 2008
Berdasarakan data Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang di Indonesia tahun 2008, tercatat 199 kasus dengan jumlah korban dewasa 519 dan 88 korban anak. Sedangkan tahun 2009 tercatat 142 kasus dengan jumlah korban dewasa 208 dan korban anak 67 anak. Dari data tahun 2008, kasus yang sampai proses P21 ada 107 kasus dan tahun 2009 turun menjadi 67 kasus. Dari data ini dapat pula dilihat korban perdagangan orang tahun 2008 sebesar 17 % adalah anak dan tahun 2009 meningkat menjadi 32 %. Peningkatan jumlah korban perdagangan anak ini harus mendapat penanganan serius sehingga bisa memberikan hukuman pada pelaku. Tahun 2009 – 2010 ini, Koalisi NGO Pemantau Hak Anak melakukan pemantauan terhadap lima situasi anak-anak di Indonesia. Yayasan KAKAK melakukan pemantauan situasi perdagangan anak untuk wilayah
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
55
Eks Karesidenan Surakarta selama satu tahun ini. Hasilnya ada 16 kasus yang mengindikasikan perdagangan anak. Setelah melalui proses fact finding diketahui 9 kasus diantaranya adalah kasus perdagangan anak. Komite Hak Anak PBB memberikan perhatian khusus pada persoalan perdagangan orang, khususnya perdagangan anak. Pasalnya jumlah anak korban perdagangan makin meningkat. Konvensi Hak Anak (KHA) mengharuskan negara peratifikasi mengambil tindakan tertentu guna melindungi anak dari perdagangan. Pasal 35 Konvensi Hak Anak berbunyi, “Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat untuk mencegah penculikan, penjualan atau penyelundupan anak untuk tujuan dan dalam bentuk apa pun.”
KERANGKA PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK Ada banyak rumusan kebijakan yang bisa digunakan sebagai rujukan untuk memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan dan untuk mengantisipasi perluasan perdagangan anak. Pertama, Konvensi Hak Anak yang berisi standar internasional bagi pengakuan terhadap hakhak anak. KHA merupakan salah satu dari tujuh konvensi induk yang berkaitan dengan HAM. Menurut kajian para pemerhati hak anak, KHA merupakan konvensi internasional yang paling lengkap, karena memuat hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi KHA. Ratifikasi ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990 yang menyatakan pemberlakukan KHA di Indonesia (disertai dengan lampiran deklarasinya). Dengan demikian Indonesia memiliki konsekuensi untuk mematuhi isi KHA dan berkewajiban membuat laporan kepada PBB tentang pelaksanaan KHA di Indonesia. Selain KHA, ada beberapa dokumen rujukan lain untuk memberikan perlindungan bagi anak khususnya korban perdagangan, misalnya Concluding Observations (oleh Komite Hak Anak) atas laporan periodik I Indonesia (CRC/C/15/Add.223, 26 February 2004), Concluding Observations (oleh Komite Hak Anak) atas laporan periodik perdana Indonesia (CRC/C/15/Add.25, 24 October 1994), Sepuluh General Comment yang dikeluarkan Komite Hak Anak dalam kurun hingga Mei 2008, Rekomendasi Komite Hak Anak (1995) tentang Juvenile Justice dan Protokol Palermo.
56 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Dalam memberikan perlindungan anak, khususnya korban perdagangan, Protokol Palermo adalah salah satu dokumen yang harus menjadi rujukan. Protokol ini merupakan pelengkap dari konvensi induk “United Convention against Transnational Organized Crimes”. Walaupun pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi ini tetapi Indonesia sudah menandatanganinya, sehingga sudah terikat secara moral untuk melaksanakannya Sedangkan kebijakan dan undang-undang di Indonesia yang menjadi rujukan dalam memberikan perlindungan terhadap anak, adalah Undang Undang Dasar 1945, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; PP No. 9 Tahun 2008 Tentang Mekanisme dan Tata Cara Pelayanan Terpadu untuk Korban TPPO; Perpres No. 69 Tahun 2008 Tentang Subgugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO; Keputusan Presiden No.59 dari 2002 tentang Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Buruh Anak; Permeneg PP No. 1 Tahun 2009 Tentang Standar Pelayanan Minimal untuk Korban TPPO; Keputusan Menkokesra No. 25 Tahun 2009 Tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 20092014; Kepmeneg PP No.07 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Sekretariat Gugus Tugas PTPPO; Keputusan Ketua Harian Gugus Tugas Pusat No.8 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Sub Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kebijakan serta perundangan seperti disebutkan di atas itu yang akan kita gunakan untuk melihat sejauh mana perlindungan terhadap anak telah diatur. Pertama, tentang definisi anak. Dalam melakukan analisis situasi perdagangan anak, pengkajian definisi anak penting dilakukan untuk memastikan hal-hal yang harus dipenuhi demi kepentingan terbaik anak. Rujukan internasional yang bisa digunakan untuk mengetahui definisi anak adalah KHA. Menurut KHA bagian I pasal 1, definisi anak adalah,“Yang dimaksud dalam Konvensi sekarang ini, seorang anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak, kedewasaan dicapai lebih cepat.” Definisi dalam KHA ini menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan atau dokumen terkait lainnya, yaitu Protokol Palermo. Dalam Protokol Palero pasal 3 point (D) menyebutkan,“Anak" berarti setiap orang dibawah usia delapan belas tahun.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
57
Dalam berbagai undang-undang di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 1 menyebutkan,“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Demikian juga dengan UU No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dalam Ketentuan Umum, ayat 5 menyebutkan,”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Dari gambaran definisi di atas, tampak sudah ada kesesuaian definisi anak dalam instrumen terkait dengan perdagangan anak, yaitu antara instrumen internasional dengan undang-undang di Indonesia. Konsekuensinya semua warga negara Indonesia yang masih dalam batasan umur di atas, berhak memperoleh standar perlindungan sesuai KHA. Selanjutnya, bagaimanakah kebijakan dan undang-undang yang ada mengatur tentang definisi perdagangan anak. Dalam Concluding Observations, tahun 2004 salah satu Rekomendasi Komite No.2 adalah : Menetapkan definisi yang tepat dari perdagangan manusia, meningkatkan perlindungan hukum untuk anak-anak yang menjadi korban, mengambil tindakan-tindakan efektif untuk mempertegas penegakan hukum, dan meningkatkan intensitas daya upaya untuk menggalang kesadaran masyarakat tentang penjualan, perdagangan dan penculikan anak-anak; Dari rekomendasi di atas, komite menekankan Indonesia harus menetapkan definisi yang tepat dari perdagangan anak. Dalam penentuan definisi perdagangan orang, dokumen internasional yang bisa digunakan sebagai rujukan adalah The UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Perdagangan in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the UN Convention against Transnational Orgzanized Crime atau Protokol Palermo. Protokol ini merupakan pelengkap dari konvensi induk “United Convention against Transnational Organized Crimes”. Walaupun pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi ini, tetapi Indonesia sudah menandatanganinya, sehingga sudah terikat secara moral untuk melaksanakannya.
Berdasarkan protokol palermo, definisi perdagangan anak adalah : § “rekrutmen, pengangkutan, pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan penculikan, muslihat, atau tipu daya, dengan penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rawan atau dengan pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi, setidak-tidaknya, eksploitasi prostitusi orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh” [Protokol Palermo, ps 3(a)] § “Rekrutmen, pengangkutan, pemindah-tanganan, penampungan atau penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap “perdagangan orang” walaupun tidak melibatkan cara-cara seperti yang ditetapkan dalam sub paragraf (a) dari pasal ini” [Protokol Palermo, ps 3(c)] § “Anak” berarti setiap orang yang berumur kurang dari delapan belas 1 tahun [Protokol Palermo, ps 3(d)]. Protokol Palermo menjelaskan unsur cara dalam proses terjadinya perdagangan anak, adalah tidak relevan. Jadi tanpa adanya ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan penculikan, muslihat, atau tipu daya, dengan penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rawan atau dengan pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya, maka tetap dianggap sebagai kasus perdagangan anak. Sedangkan definisi perdagangan manusia di Indoenasia berdasarkan UU No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), pasal 1 yang berbunyi : Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali 1
Terjemahan atas pasal-pasal yang disebutkan dikutip dari presentasi M. Farid tentang perdagangan orang, 8 Juni 2007
58 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
59
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Dalam Undang-Undang PTPPO ini tidak ada penjelasan lainnya sehingga pengertian perdagangan orang dalam undang-undang ini untuk semua orang tanpa ada perbedaan batasan umur. Artinya ada ketidaksesuaian antara UU PTPPO dengan Protokol Palermo. Protokol Palermo menyatakan jika korbannya masih anak-anak maka tidak adanya unsur cara dalam proses terjadinya perdagangan anak, tetaplah di anggap kasus perdagangan anak. Sedangkan dalam UU PTPPO tidak mengatur itu.
(2)
(3)
(4)
PROGRAM PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ANAK Konvensi Hak Anak pasal 35 menyatakan,“Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat untuk mencegah penculikan, penjualan atau penyelundupan anak untuk tujuan dan dalam bentuk apa pun.” Pasal ini menegaskan semua negara yang telah meratifikasi KHA memiliki kewajiban melaksanakan apa yang tertuang dalam pasal ini. Di Indonesia, implementasinya adalah melakukan kegiatan atau program untuk mencegah ataupun menangani perdagangan anak. Program-program ini mengacu pada berbagai undang-undang dan kebijakan yang ada. UU PTPPO, Bab VI pasal 56 sampai dengan pasal 58 mengatur tentang pencegahan dan penanganan. Pasal 56 : Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Pasal 57 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. Pasal 58 (1) Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang.
60 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
(5) (6)
(7)
Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkahlangkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/ akademisi. Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan lembaga koordinatif yang bertugas: a. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang; b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama; c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial; d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; serta e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi. Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat setingkat menteri yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden. Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang diperlukan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan Presiden.
UU ini telah mengatur untuk upaya pencegahan maka pemerintah pusat maupun daerah harus mengambil langkah-langkah khusus baik dalam hal kebijakan maupun program. Ditegaskan pula harus ada tim khusus (gugus tugas) yang melaksanakan program-program pencegahan. Agar sesuai dengan UU PTPPO, pemerintah membuat kebijakan-kebijakan operasional atau program, antara lain mengeluarkan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak (RAN-P3A). Rencana ini menjadi dasar bagi pemerintah nasional dan daerah dalam menangani dan mencegah praktek trafficking. Hakekat atau tujuan RAN P3A adalah : a. menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban perdagangan (trafiking) orang, khususnya terhadap perempuan dan anak; Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
61
b. mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas praktekpraktek perdagangan (trafiking) orang khususnya terhadap perempuan dan anak. c. mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan perdagangan (trafiking) orang khususnya terhadap perempuan dan anak. Untuk menjamin terlaksananya RAN-P3A, dibentuk suatu gugus tugas yang bertanggung jawab kepada presiden. Gugus tugas ini bertugas melakukan koordinasi upaya penghapusan perdagangan perempuan dan anak yang dilakukan pemerintah dan masyarakat, melakukan advokasi dan sosialisasi trafiking dan melakukan pemantauan dan evaluasi baik secara periodik maupun insidentil serta penyampaian permasalahan. Rencana Aksi Nasional berjalan di tiap kabupaten dan kota. Kabupaten dan kota membuat rencana aksi untuk memberantas perdagangan orang di tingkat kabupaten dan kota. Progran kerja di tingkat kabupaten dan kota merupakan turunan atau penjabaran dari Rencana Aksi Nasional dan disesuaikan dengan situasi lokal. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Departemen Dalam Negeri No.560/1134/PMD/2003, kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia. Dalam surat edaran itu diarahkan bahwa focal point pelaksanaan penghapusan perdagangan orang di daerah adalah unit kerja di jajaran pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan menangani urusan perempuan dan anak. Tujuanya adalah menyusun standar minimum dalam pemenuhan hak-hak anak, pembentukan satuan tugas penanggulangan perdagangan orang di daerah, melakukan pengawasan ketat terhadap perekrutan tenaga kerja, dan mengalokasikan dana APBD untuk keperluan tersebut. PERLINDUNGAN HAK HAK KORBAN Sala satu rekomendasi komite dalam Concluding Observation Regarding Indonesia's Country Report February 2004, CRC/C/15/Add.223, 26 February 2004, adalah “Menetapkan definisi yang tepat dari perdagangan manusia, meningkatkan perlindungan hukum untuk anak-anak yang menjadi korban, mengambil tindakan-tindakan efektif untuk
62 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
mempertegas penegakan hukum, dan meningkatkan intensitas daya upaya untuk menggalang kesadaran masyarakat tentang penjualan, perdagangan dan penculikan anak-anak.” Rekomendasi ini menegaskan harus ada peningkatan perlindungan hukum untuk anak-anak yang menjadi korban. Harus ada kepastian bahwa hak-hak dan kepentingan terbaik anak korban sepenuhnya diakui, dihargai dan dilindungi disemua tahap investigasi dan pengadilan pidana yang berhubungan dengannya. Dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban, dokumen internasional yang dipakai rujukan antara lain Protocol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak, pasal 8 : 1. States Parties shall adopt appropriate measures to protect the rights and interests of child victims of the practices prohibited under the present Protocol at all stages of the criminal justice process, in particular by: (a) Recognizing the vulnerability of child victims and adapting procedures to recognize their special needs, including their special needs as witnesses; (b) Informing child victims of their rights, their role and the scope, timing and progress of the proceedings and of the disposition of their cases; (c) Allowing the views, needs and concerns of child victims to be presented and considered in proceedings where their personal interests are affected, in a manner consistent with the procedural rules of national law; (d) Providing appropriate support services to child victims throughout the legal process; (e) Protecting, as appropriate, the privacy and identity of child victims and taking measures in accordance with national law to avoid the inappropriate dissemination of information that could lead to the identification of child victims; (f) Providing, in appropriate cases, for the safety of child victims, as well as that of their families and witnesses on their behalf, from intimidation and retaliation; (g) Avoiding unnecessary delay in the disposition of cases and the execution of orders or decrees granting compensation to child victims. 2. States Parties shall ensure that uncertainty as to the actual age of the victim shall not prevent the initiation of criminal investigations, including investigations aimed at establishing the age of the victim. Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
63
3. States Parties shall ensure that, in the treatment by the criminal justice system of children who are victims of the offences described in the present Protocol, the best interest of the child shall be a primary consideration. 4. States Parties shall take measures to ensure appropriate training, in particular legal and psychological training, for the persons who work with victims of the offences prohibited under the present Protocol. 5. States Parties shall, in appropriate cases, adopt measures in order to protect the safety and integrity of those persons and/or organizations involved in the prevention and/or protection and rehabilitation of victims of such offences. 6. Nothing in the present article shall be construed to be prejudicial to or inconsistent with the rights of the accused to a fair and impartial trial. Dalam UU PTPPO, perlindungan saksi dan korban telah diatur dalam pasal 43 – 55, dengan mengacu pada ketentuan UU No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU ini menjelaskan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Jaminan perlindungan yang menjadi hak saksi dan/atau korban yang mengalami perdagangan sebagaimana diatur dalam UU PTPPO (pasal 43 – 55), yaitu: 1. Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas, diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban. 2. Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak untuk memperoleh pemeriksaan di ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat. 3. Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak untuk, memperoleh pelayanan pada pusat pelayanan terpadu 4. Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. 5. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi, berupa ganti kerugian atas:
64 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. Penderitaan; c. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. 6. Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang. 7. Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan. 8. Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara. 9. Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia. 10. Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain. Mekanisme perlindungan saksi dan korban diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil institusi pemerintahan, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi dengan memberikan akses berupa pelayanan sosial dasar (rumah aman, konseling, restitusi, pemulangan, reintegrasi sosial dan rehabilitasi), pelayanan medis dan bantuan hukum kepada anak yang korban perdagangan, hal ini sesuai dengan pasal 46 UU PTPPO dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan Korban Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
65
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dijelaskan kembali dalam peraturan pemerintah ini, bahwa yang dimaksud saksi dan/atau korban adalah seorang saksi yang sekaligus sebagai korban yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Kasus ES Tentang Aku Sebut saja aku ES. Aku lahir di Cilacap, tanggal 23 April 1993. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Ayahku, seorang petani. Aku pernah sekolah sampai SMP dan pernah mengikuti ujian dan lulus. Tetapi ijazahku tidak pernah diambil, karena setelah lulus, aku pergi ke Purwodadi bersama ID. Aku tidak melanjutkan sekolah karena aku merasa tidak pandai dan malas, sehingga aku lebih suka mencari pekerjaan, supaya bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhanku sendiri dan bisa membantu orang lain. Aku punya pacar, bernama ID. Aku bertemu dan berkenalan dengan ID saat bermain di pantai bersama teman-teman. Pertemuan kami akhirnya berlanjut. Pada pertemuan kesekian kali, ID mengajakku pergi/lari dari rumah dengan alasan diajak ke rumah buliknya di Purwodadi untuk jalanjalan sekalian mencari pekerjaan sebagai penjaga toko kelontong atau di pabrik sepatu. Aku langsung menyetujui ajakan ID dan pergi dari rumah tanpa berpamitan pada orang tuau dan tidak membawa bekal apa pun. Selama perjalanan menuju Purwodadi, semua kebutuhanku dipenuhi oleh ID. Kisahku di rantau Aku menuruti ajakan ID. Kami berangkat naik bus dari Cilacap menuju Purwodadi, Agustus 2008. Di Purwodadi, aku dan ID tinggal di rumah buliknya ID yang bernama SPY. Rumah tersebut berada di daerah lokalisasi. Pada awal datang di Purwodadi, ID pernah memperkosa aku dan dan hari-hari berikutnya ID sering memaksa aku melakukan hubungan seksual. ID sering kali melakukan kekerasan fisik dan psikologis, aku sering ditampar, dimarahi dengan kata-kata kasar bahkan ditendang perutku sampai mengalami pendarahan. Padahal waktu itu aku sudah 1 bulan terlambat menstruasi. Selama di Purwodadi, aku dipaksa ID dan SPY untuk melakukan aktivitas prostitusi. SPY juga pernah menampar dan memarahi aku karena aku menolak melakukan aktivitas prostitusi. Selain itu aku juga pernah
66 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pemakai, yaitu polisi. Pada waktu itu aku bermaksud meminta pertolongan darinya dengan menceritakan kesulitanku dan meminta bantuan dia agar aku dikeluarkan dari kendali SPY. Tetapi polisi tersebut justru marah, mencekikku dan mengatakan dia sudah membayar mahal untuk dilayani. Lalu ia mengadukannya pada SPY, sehingga aku dimarahi SPY. Pengalaman lain yang sangat menyedihkan adalah ketika aku disuruh minum obat pada saat menstruasi dengan tujuan agar menstruasinya cepat selesai dan bisa segera melayani konsumen. Selama bekerja bersama SPY, aku tidak pernah pegang uang, karena konsumen memberikan uang imbalan langsung kepada SPY, bahkan berapa imbalan yang diberikan oleh konsumen, aku tidak pernah mengetahuinya. Yang aku tahu, ada seorang konsumen yang pernah mengatakan, dia sudah membayar mahal, sehingga marah-marah ketika aku menolak melayaninya. Aku jarang memegang uang. Bila ada kebutuhan yang harus kubeli, aku meminta pada ID atau SPY. Itu pun mereka sambil marahi ketika memberikan. Aku sangat merindukan orang tuaku. Pernah suatu saat, aku diminta ID menghubungi mereka, namun aku dipaksa mengatakan bahwa kondisiku baik dan sudah bekerja di pabrik sepatu dan berpesan agar orang tuaku tidak usah mengkhawatirkan dan mencari. Setelah itu tidak ada komunikasi lagi antara aku dengan keluarga. Di Yogyakarta Setelah 3 bulan berada di Purwodadi, SPY mengajakku pergi, ternyata tujuannya ke Yogyakarta. Aku hanya diajak saja tanpa ditawari mau atau tidak, aku juga tidak diberitahu pekerjaan apa yang akan aku lakukan nanti. Tujuan perjalanan kami ternyata adalah Sarkem, Yogyakarta. Sesampai di Sarkem, SPY menyerahkan aku kepada ST dengan 'nilai jual' sebesar Rp 200.000. Selanjutnya Aku tinggal di penampungan milik ST bersama dengan perempuan-perempuan anak buah ST dan melakukan aktivitas prostitusi. Selama di Yogyakarta, aku tidak pernah menghubungi keluargaku. Keadaanku di Yogyakarta tidak jauh beda dengan di Purwodadi, aku selalu tidak pegang uang karena uang dari konsumen selalu diberikan kepada ST. Pada suatu hari, aku melarikan diri dari penampungan ST, dan tinggal di kos temanku di sekitar Sarkem.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
67
Di Sragen Tanggal 11 Februari 2009, aku masih tinggal di kos temenku. Saat aku sedang belanja di warung aku ketemu dengan SPY. Aku dipaksa SPY ikut bersamanya dengan alasan diminta mengantarkan ke stasiun. Kami naik taksi dan ternyata taksi berjalan menuju luar Yogya. Aku bertanya mau dibawa kemana, namun SPY tidak menjelaskan. Akhirnya kami sampai di suatu tempat yang baru pertama kali kudatangi, ternyata adalah sebuah lokalisasi juga, namanya Dukung Ringinanom di Kelurahan Soka, Kecamatan Miri, Sragen. Lagi-lagi SPY menyerahkan aku ke orang yang tak kukenal, namanya Kalimah. Akhirnya aku tinggal di lokalisasi ini dengan aktivitas yang sama, yaitu prostitusi. Aku pernah melayanai tamu dan mendapat uang Rp 50.000,00 namun diminta Kalimah dengan alasan untuk pengganti uang taksi, uang tidur dan lain lain. Dua hari dua malam di sini, aku rasanya tidak tahan banget. Hari itu, 13 Februari 2009, aku diajak berbelanja pakaian oleh Kalimah. Aku senang banget. Kami makan di sebuah warung dekat tempat berbelanja. Saat Kalimah sedang ngobrol dengan teman lamanya yang kebetulan bertemu, aku melarikan diri. Aku berjalan dan terus berjalan tanpa mengetahui arah tujuan. Tanpa aku sadari aku berjalan hingga larut malam. Sekitar pukul 02.00 dini hari, aku bertemu dengan laki-laki yang mengendarai mobil. Dua orang itu ternyata polisi dari Polres Sragen, namanya Parjono dan Sukarman. Aku menceritakan semua pengalamanku, kemudian Pak Parjono dan Pak Sukarman membawaku ke Unit Pelayanan Perempuan Anak (PPA), Polres Sragen.
Perjuangan Untuk Keadilan Di Unit Pelayanan Perempuan Anak Sragen Sesampai di Unit Pelayanan Peremuan dan Anak, Polres Sragen, aku langsung mendapatkan banyak pertanyaan. Aku merasa nyaman ketika mendapatkan pertanyaan dari ibu polisi, karena aku didampingi Bu Sugiarsi dari Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) Sragen, lagian yang nanya perempuan, jadi aku tidak malu. Setelah kasus terkuak, Unit PPA Polres Sragen menghubungi orang tuaku di Cilacap. Beberapa hari kemudian orang tuaku datang ke Sragen.
68 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Di Pengadilan Selama proses hukum berjalan, selain didampingi APPS Sragen, aku juga didampingi Yayasan Kakak. Pendampingan ini sangat membantuku, terlebih ketika menghadapi persidangan. Ini merupakan pengalaman pertama bagiku, jadi aku sering merasa takut. Aku masuk ke ruang sidang dengan didampingi ibu Sugiarsi dari APPS Sragen, karena aku takut bertemu germo . Ketakutanku ini pernah kusampaikan kepada jaksa. Tetapi tidak ada perubahan karena saat aku memberikan kesaksian di persidangan, SPY dan Kalimah tetap berada di ruang sidang. Tanggal 12 Agustus 2009, Pengadilan Negeri Sragen, Jawa Tengah menjatuhkan vonis yang sama pada SPY dan KLM, yaitu hukuman penjara selama 3 tahun dan denda Rp. 60 Juta subsider kurungan 3 bulan. Terhadap Putusan di Pengadilan Negeri Sragen, Jaksa Penuntut Umum (Tri Sumarsih, SH) mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang karena putusan tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa yaitu 10 tahun penjara untuk SPY dan KLM. Tanggal 16 September 2009, Pengadilan Tinggi Semarang menjatuhkan vonis yang sama atau menguatkan vonis di Pengadilan Negeri Sragen. Jaksa penuntut umum mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (asampai Desember 2009 masih berproses). Jaksa tidak menyebutkan alasan yang jelas dalam mengajukan kasasi ini. Proses Pendampingan dan Reintegrasi Sosial Tanggal 14 Februari 2009, sejak Unit PPA Polres`Sragen melakukan penyidikan kasus ini, aku tinggal di shelter/penampungan milik APPS Sragen. Sebagian besar kebutuhanku dipenuhi APPS Sragen. Dinas Sosial Sragen kadang-kadang memberikan bantuan bahan makanan ke shelter. Keberadaanku di shelter ini atas permintaan Unit PPA Polres Sragen. Katanya untuk melindungi aku dari pelaku yang masih DPO (Daftar Pencarian Orang). Selama proses hukum dan tinggal di shelter, identitasku tidak ditampilkan di media. Tapi selama berada di shelter, masyarakat sekitar mengetahui aku adalah korban. Selain itu aku mengikuti kegiatan pelatihan bersama banyak orang dewasa yang merupakan korban KDRT sehingga secara otomatis mereka mengetahui kasusku dan statusku sebagai korban. Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
69
Aku memeperoleh beberapa pelayanan selama di Sragen. Beberapa kemudahan kuperoleh, misalnya aku mendapatkan layanan medis untuk kesehatan reproduksi (yaitu ketika aku mengeluh sakit di perut dan vagina) di RSUD Sragen. Karena APPS sudah mendapat surat rekomendasi dari Dinas Sosial Sragen, maka pembiayaan ditanggung Dinas Sosial. Selain itu, aku mendapatkan konseling psikologis dari Ibu Sugiarsi (APPS Sragen). Aku juga mendapatkan layanan dari seorang psikiater (dr Farid) yang merupakan stake holder dari APPS. Layanan psikologis ini untuk membantu mengurangi traumaku dan menenangkan aku karena aku ketakutan pada awal proses hukum atas kasusku. Tanggal 6 Agustus 2009, dengan ijin Ibu Sugiarsih, aku pulang ke Cilacap untuk menghadiri pernikahan sepupuku. Aku pulang sendiri, dengan biaya sendiri yang kuperoleh dari uang saku ketika mengikuti pelatihan untuk korban di Sragen. Selain itu aku juga meminjam uang dari ibu NR (pemilik rumah yang dijadikan shelter). Analisis Kasus Marupakan Kasus Perdagangan Anak Menurut definisi dalam Protocol Palermo, kasus ES merupakan kasus perdagangan anak. Protokol Palermo menyebutkan,“Perdagangan anak adalah rekrutmen, pengangkutan, pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan penculikan, muslihat, atau tipu daya, dengan penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rawan atau dengan pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi, setidak-tidaknya, eksploitasi prostitusi orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh” [Protokol Palermo, ps 3(a)]. “Rekrutmen, pengangkutan, pemindah-tanganan, penampungan atau penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap “perdagangan orang” walaupun tidak melibatkan cara-cara seperti yang ditetapkan dalam sub-
paragraf (a) dari pasal ini” [Protokol Palermo, ps 3(c)]. “Anak” berarti setiap orang yang berumur kurang dari delapanbelas tahun [Protokol 2 Palermo, ps 3(d)]. Pada waktu kasusnya terjadi, umur ES adalah 16 tahun. Dalam kasus ini telah terjadi pemindahan ES dari Cilacap ke Purwodadi, kemudian Yogyakarta dan terakhir Sragen. Tujuannya adalah untuk eksploitasi, yaitu eksploitasi seksual komersial (prostitusi). Upaya Penanganan dan Pemenuhan Hak Korban Sebagaimana disebutkan dalam UU No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, pemerintah daerah harus mengambil langkah-langkah khusus baik dalam hal kebijakan maupun program. Ditegaskan pula harus dibentuk tim khusus atau disebut gugus tugas yang berfungsi melaksanakan program-program pencegahan dan penanganan kasus perdagangan orang/anak. Gambaran pemenuhan hak hak korban (mengacu UU No.27 Tahun 2007), adalah: Hak Hak yang Harus di penuhi bagi Saksi dan/atau korban
Analisis
Hak dijaga kerahasiaan identitas, diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban. Hak dijaga kerahasiaan identitas
Dalam pemeriksaan terhadap ES, telah dilakukan di ruang pekayanan khusus.
Hak dijaga kerahasiaan identitas
Di K a b u p a te n S ra g e n b e lu m terbentuk Pelayanan Terpadu untuk penananganan korban perdagangan anak dan perempuan. Namun, kerjasama antara LSM dengan penegak hukum khususnya dengan PPA Kabupaten Sragen telah trerbangun dengan baik.
2
Terjemahan atas pasal-pasal yang disebutkan dikutip dari presentasi M. Farid tentang perdagangan orang, 8 Juni 2007
70 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
71
Hak Hak yang Harus di penuhi bagi Saksi dan/atau korban
Analisis Dalam kasus ES, pemerintah Kabupaten Sragen tidak melakukan pendampingan dan penanganan secara langsung kepada korban. Pemerintah juga tidak menyediakan pendamping hukum (pengacara) untuk korban. Namun pemerintah memberikan surat rekomendasi kepada APPS (dalam hal ini Dinas Sosial Sragen), sehingga korban mendapatkan bantuan biaya dalam pengobatan medis untuk kesehatan reproduksi (ketika ES mengeluh sakit di perut dan vagina). Dalam proses penanganannya, ES lebih banyak dimpingi oleh LSM yang ada di Wilayah Sragen, yaitu APPS dan Yayasa KAKAK.
Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Dalam proses hukum, kemungkinan ada pelanggaran terhadap hak bebas dari diskriminasi di muka hukum. Hal ini seperti yang disampaikan oleh jaksa bahwa kemungkinan Supriyatun dan Kalimah akan di jatuhi vonis yang lebih tinggi bila ES adalah anak rumahan dan belum pernah terjerumus dalam prostitusi sebelum menjadi korban trafficking. Selain itu di persidangan ES juga dibiarkan merasa takut dengan bertemu pelaku.
Berhak memperoleh restitusi, berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
72 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Hak Hak yang Harus di penuhi bagi Saksi dan/atau korban Berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.
Analisis Dalam proses reintegrasi korban, ada hak yang tidak terpenuhi. Hak yang tidak terpenuhi ini adalah membiarkan ES pulang sendiri ke Cilacap tanpa pendampingan dari orang dewasa, yang seharusnya bisa dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Sragen, Dinas Sosial Kabupaten Sragen, sebagai pihak negara.
Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan. Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara.
(Kasus terjadi di dalam negri)
Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah R e p u b l i k I n d o n e s i a m e n g u p aya k a n perlindungan dan pemulangan ke negara a s a l nya m e l a l u i ko o rd i n a s i d e n ga n perwakilannya di Indonesia.
(Kasus terjadi di dalam negri)
berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
73
Bagian 3 Laporan Pemantauan Situasi Buruh Anak
LAPORAN PEMANTAUAN SITUASI BURUH ANAK Oleh: Moch. Riza Zainal Abidin Ketua BPH. Yayasan SARI Solo
I. Pendahuluan A. Konsep perlindungan di Indonesia Sejarah perlindungan anak di Indonesia muncul pertama kali tahun 1958, ketika Kamsinah Wirjowratmoko dari Partai Nasional Indonesia (PNI) melontarkan gagasan bahwa hak anak perlu dilindungi dan sudah dimasukkan dalam kelompok hak asasi yang disepakati bersama. Lebih lanjut ia menyatakan mengacu Deklarasi Hak-Hak Anak yang dinyatakan dalam Konverensi Internasional Persatuan Kesejahteraan Anak di Jenewa tahun 1923, yang diperbarui tahun 1948, saat itu PNI mengusulkan tujuh poin mengenai hak anak 1 agar dimasukkan dalam undang-undang yang baru. Ide yang sama juga disampaikan Setiati Surasto dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menganjurkan agar hak anak dimasukkan dalam 2 undang-undang dasar baru supaya mendapat perlindungan. Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan perjuangan perlindungan anak di Indonesia telah cukup lama mendapat perhatian dalam sistem hukum di Indonesia, terutama saat mulai pembentukan negara Indonesia. Apa yang terjadi sekarang, sebenarnya juga tidak lepas dari proses panjang pembentukan konstitusi negara menyangkut soal 1
Adapun tujuh poin yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) anak harus diberi perlindungan tanpa pertimbangan ras, kebangsaan, atau kepercayaan. (2) Anak harus di asuh dengan tetap menghormati keluarga sebagai kesauan. (3) Anak harus diberi kesempatan yang menjadi prasarat perkembangan normal secara Materiil, moral, dan spiritual. (4) Anak yang lapar harus diberi makan; anak yang miskin harus diberi pengobatan; anak yang menderita cacat harus diberi pertolongan; anak yang berperilaku menyimpang harus diberi pendidikan; anak yatim piatu dan anak yang diterlantarkan orang tua harus diberi perlindungan dan bantuan. (5) Dalam keadaan darurat anak-anaklah yang harus diberi bantuan pertama. (6) Anak harus memperoleh bantuan penuh yang disediakan melalui program kesejahteraan sosial dan jaminan sosial; anak harusmendapat pelatihan yang akan memungkinkannya mencari pekerjaan pada waktu dewasa dan harus dilinidungi dari setiap bentuk pemerasan. (7) Anak harus diasuh dengan kesadaran bahwa bakatnya harus diabadikan untuk kepentingan sesama manusia. (Adnan Buyung Nasution: 2001:227) 2
Dasar yang dipakai adalah Pasal 25 (2) Deklarasi Universal HAM yang menyatakan, ibu dan anak berhak mendapat penjagaan dan pertolongan yang istemewa. Sekalian anak-anak, baik yang lahir dalam ataupun diluar pernikahan harus mendapat perlndungan sosial yang sama. (ibid..)
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
77
kebijakan perlindungan anak. Dalam konteks tersebut, pemerintah menempatkan dirinya sebagai pemegang mandat otoritas negara yang memiliki kewajiban melakukan upaya perlindungan anak, sebagaimana dijabarkan dalam amanat UU. Terkait dengan pertimbangan tersebut, pemerintah Indonesia sebagai pemegang kewajiban pelaksana perlindungan anak, selalu mengklaim telah banyak menggulirkan kebijakan menyangkut perlindungan anak. Bahkan Indonesia sudah menyusun banyak regulasi soal ini. Ada sebagian pihak menyatakan, ini adalah bentuk keberhasilan dalam upaya perlindungan anak. Namun di sisi lain ada yang beranggapan keberhasilan perlindungan anak tidak terletak pada jumlah regulasi yang dihasilkan, tetapi seberapa jauh implementasi dari regulasi tersebut mampu memberikan perlindungan kepada anak. Mereka yang berpandangan ini melihat masih banyak anak mengalami berbagai macam persoalan baik dalam bentuk kekerasan dan eksploitasi. Seperti anak-anak yang mengalami eksploitasi ekonomi, dipekerjakan diberbagai sektor berbahaya, seperti industri, perkebunan, PRT, pemulung dan lain-lain. Pertanyaannya, benarkah regulasi yang ada ini sudah berperspektif pada anak, jika ternyata permasalahan anak-anak masih sedemikian besar? Lantas bagaimana sistem yang berlaku terkait dengan perlindungan anak yang menjadi korban eksploitasi ekonomi? Dengan memperhatikan dua pertanyaan tersebut, kita bisa mulai dengan menelusuri undang-undang nasional. Sebagai negara yang mengakui adanya perlindungan hak anak, penjelasan tersebut juga dapat dilihat dalam UUD 1945 amandemen IV, pasal 28B, ayat 2 yang menjelaskan : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal yang sama juga diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 4 berbunyi: Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
78 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa semua aspek kehidupan anak harus dilindungi, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Anak yang dimaksud dalam UU tersebut menggunakan definisi dalam UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, seperti dijelaskan dalam pasal 1, angka 1 yang berbunyi: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan pengertian anak menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, (pasal 1 ayat 26) anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. UU Ketenagakerjaan dan UU Perlindungan Anak memiliki perbedaan tentang pengertian anak sebagai subyek hukum. Jika UU Ketenagakerjaan tidak menempatkan anak dalam kandungan sebagai subyek hukum, sementara UU Perlindungan Anak memasukkannya. Selain itu UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga mengatur tentang batasan usia untuk anak yang bekerja. Pasal 69, ayat 1, menyatakan: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Kemudian pasal 70 menyatakan: Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun. Pasal 76: Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Batasan usia ini berguna untuk mengatur mengenai batas boleh tidaknya anak bekerja. Tetapi ketentuan ini tidak menjelaskan apakah anak berusia 16-17 tahun boleh bekerja pada pekerjaan ringan atau tidak. Bahkan dalam soal larangan kerja dimalam hari, hanya berlaku bagi buruh perempuan yang usianya kurang dari 18 tahun sementara bagi anak laki-laki tidak ada aturannya. Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
79
Terkait dengan tujuan perlindungan anak di Indonesia, UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 3 berbunyi: Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka yang menjadi fokus perlindungan adalah empat prinsip hak anak sebagaimana dalam Konvensi Hukum Anak (KHA), yaitu hak tumbuh kembang, partisipasi, hak hidup, dan perlindungan. Terkait dengan perlindungan khusus untuk anak yang dipekerjakan, UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, pasal 59, menyatakan: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Untuk memahami pengertian darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, perlu juga memperhatikan ketentuan dalam undangundang lain. Terkait dengan persoalan anak yang dipekerjakan, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan perlindungan bagi anak yang mengalami eksploitasi ekonomi dan/atau seksual. Penegasan soal ini ada dalam UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diatur dalam pasal 59. UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga mengaturnya, dan bahkan UU No.20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age For Admission To Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja), dan UU No.1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and
80 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak). Penjelasan mengenai larangan mempekerjakan anak secara tekstual tertuang dalam UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 68 berbunyi: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Namun demikian, bukan berarti semua anak dibawah usia 18 tahun dilarang bekerja, karena ada ketentuan lain yang mengatur soal anak yang dilarang dan diperbolehkan bekerja. Ketentuan tersebut dapat kita temukan di pasal 69 yang berbunyi: 1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. 2. Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan : a. izin tertulis dari orang tua atau wali; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e. Keselamatan dan kesehatan kerja; f. Adanya hubungan kerja yang jelas; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Sedangkan ketentuan dalam pasal 68, ayat 1 mengandung persoalan, karena pasal tersebut hanya membatasi usia 13 -15 tahun saja untuk diperbolehkan bekerja pada jenis pekerjaan ringan. Kemudian anak yang berada dibawa usia 13 tahun dan diatas usia 15 tahun tidak boleh dipekerjakan dalam jenis pekerjaan apa pun.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
81
Keanehan juga muncul dalam ayat 2, menyangkut persyaratan, diperkecualikan dengan ketentuan dalam ayat 3 terutama dalam usaha keluarga. Ketentuan ayat 3 ini mengandung multitafsir, seperti pertama: bahwa persyaratan pada poin a, b, f dan g tidak berlaku bagi anak yang bekerja dalam usaha keluarga, meski keluarga tersebut mempekerjakan/dengan melibatkan anaknya dalam pekerjan. Kedua, dengan pengecualian huruf a, b, f, dan g dalam ayat 3, maka secara otomatis akan mengikuti sistem persyaratan/ketentuan umum dalam UU Ketenagakerjaan yang berlaku, seperti anak dapat melakukan perjanjian dengan pengusaha dalam hal ini pihak keluarga yang memberi kerja. Meskipun diperbolehkan bekerja, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak pengusaha jika ingin merekrut anak sebagai tenaga kerjanya. Persyaratannya adalah sebagai berikut: a. Izin tertulis dari orang tua atau wali; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e. Keselamatan dan kesehatan kerja; f. Adanya hubungan kerja yang jelas; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. h. Untuk Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Kemudian untuk jenis pekerjaan terburuk, batasan usia yang tidak diperbolehkan bekerja adalah dibawah usia 18 tahun. Sedangkan untuk kategori pekerjaan terburuk diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, pasal 74, ayat 2 yang berbunyi:P ekerjaanpekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat 1 meliputi : a. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
82 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Sedangkan ayat 3 berbunyi: Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Menindaklanjuti ketentuan tersebut, Kementerian Tenaga Kerja dan Tra n s m i g ra s i m e n g e l u a r k a n S u ra t Ke p u t u s a n M e n te r i Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep.235/Men/Vii/2003 Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak. Tiga Belas Bentuk Pekerjaan Terburuk dari Pekerja Anak berdasar Keputusan Presiden No. 59/2002 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13.
Mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur; Mempekerjakan anak-anak di pertambangan; Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam mutiara; Mempekerjakan anak-anak di bidang konstruksi; Menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan ikan lepas pantai (yang di Indonesia disebut jermal); Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung; Melibatkan anak-anak dalam pembuatan dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak Mempekerjakan anak-anak di jalanan; Mempekerjakan anak-anak sebagai tulang punggung keluarga; Mempekerjakan anak-anak di industri rumah tangga (cottage industries); Mempekerjakan anak-anak di perkebunan; Mempekerjakan anak-anak dalam kegiatankegiatan yang berkaitan dengan usaha penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu untuk bahan bangunan dan pengangkutan kayu gelondongan dan kayu olahan; Mempekerjakan anak-anak dalam berbagai industri dan kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
83
Sedangkan yang terkait dengan pengembangan bakat dan minat diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia, Nomor: Kep.115/Men/Vii/2004, Tentang Perlindungan bagi Anak yang Melakukan Pekerjaan untuk Pengembangan Bakat dan Minat. Di tingkat provinsi dan kabupaten juga disusun sebuah peraturan daerah sebagai bentuk implementasi atas pelaksanaan UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, khususnya soal penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Pemerintah baik di tingkat propinsi dan kabupaten/kota menyusun peraturan daerah (Perda) sebagai bentuk turunan dari pelaksanaan undang-undang Contohnya, Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No.9 Tahun 2007 Tentang Penggulangan Pekerja Anak. Perda ini menjelaskan soal definisi pekerja anak, seperti diatur pasal 1, ayat 11 : Pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan, termasuk yang membahayakan kesehatan dan menghambat kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Dengan demikian, untuk wilayah Jawa Tengah, definisi ini menjelaskan apa itu pekerja anak. Ini sangat menarik karena UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak menjelaskan secara implisit mengenai pengertian pekerja anak. Sementara itu Pemerintah Daerah Jawa Barat tidak tidak mengatur secara khusus soal pekerja anak. Namun kita dapat menemukan ketentuan perlindungan anak dari ekploitasi ekonomi dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.5 Tahun 2006, Tentang Perlindungan Anak. Ada banyak penjelasan tentang pengertian anak dalam perda ini, salah satunya mengenai pengertian pekerja anak. Tetapi perda ini tidak mengenal isitilah pekerja anak, yang ada mengenai pengertian anak yang tereksploitasi secara ekonomi. Pasal 1, ayat 23 menyebutkan anak yang tereksploitasi ekonomi adalah anak yang dipaksa dan ditipu untuk dipekerjakan oleh orang tua atau orang lain dengan tidak dibayar atau dibayar. Dengan penjelasan di atas, berarti bila ada anak dalam posisi “tidak dipaksa atau ditipu” oleh orang tua atau orang lain dan melakukan pekerjaan, maka bisa dikategorikan bukan sebagai anak yang tereksploitasi, meski anak tersebut bekerja melebihi batas waktu yang
84 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
ditetapkan. Jika demikian maksudnya, maka ini sangat bertentangan dengan undang-undang diatasnya, yaitu UU No.13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan. Selain ketentuan yang sudah dijelaskan di atas, Perda No.5 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak juga mengatur siapa saja yang dapat dilibatkan dalam upaya mengatasi kasus eksploitasi anak. Pasal 18 menyebutkan: 1. Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 2 merupakan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah, orang tua, keluarga dan masyarakat. 2. Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan melalui : a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak; b. pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi; dan c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, LSM dan masyarakat dalam penghapusan ekploitasi terhadap anak. 3. Setiap orang dan/atau pihak manapun dilarang melakukan eksploitasi ekonomi dan/atau seksual terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Di Propinsi Jawa Tengah, Perda No.9 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak, secara implisit terdapat larangan untuk mempekerjakan anak, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4: Setiap pengusaha atau pemberi kerja dilarang mempekerjakan anak. Bandingkan dengan larangan dalam UU No.13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, pasal 68 : Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Meski ada dua istilah yang berbeda yaitu pemberi kerja dan pengusaha, namun ketentuan tersebut menjelaskan mengenai larangan mempekerjakan anak untuk melindungi anak dari bentuk-bentuk eksploitasi ekonomi. Perda ini juga mengatur pihak-pihak yang dapat terlibat dalam usaha melindungi anak dari eksplotasi ekonomi. Baik perda di Jateng maupun Jabar memiliki kesamaan, seperti diatur pasal 11: 1. Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi baik fisik maupun psikis merupakan kewajiban dan tanggung-jawab pemerintah daerah dan masyarakat.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
85
2. Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat 1dilakukan melalui : a. penyebarluasan dan atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak; b. pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi; c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat serta masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi. 3. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, turut serta atau bersama-sama melakukan eksploitasi secara ekonomi terhadap anak.
2. Barang siapa melanggar ketentuan pasal 7 ayat 2 dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. 3. Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 merupakan tindak pidana pelanggaran. Dan pasal 24 berbunyi: 1. Barang siapa yang melanggar ketentuan pasal 4, pasal 5 ayat 2, pasal 8, pasal 11 ayat 3 dan pasal 12 dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ke t e n t u a n p e ra t u ra n p e r u n d a n g - u n d a n g a n d i b i d a n g ketenagakerjaan. 2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan tindak pidana kejahatan.
Tiap perda juga mengatur soal pemidanaan. Misalnya di Jawa Barat, Perda No.5 Tahun 2006, Tentang Perlindungan Anak, Pasal 34 menyatakan: 1. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 12 ayat 3, Pasal 15 ayat 3, Pasal 18 ayat 3, Pasal 19 ayat 2, Pasal 20 ayat 2, Pasal 21 ayat 2, Pasal 22 ayat 2, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). 2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah pelanggaran. 3. Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1, tindak pidana lain yang mengakibatkan terganggunya hak-hak anak akan dikenakan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
B. Kerangka kebijakan program 1. Kebijakan program nasional Untuk melindungi anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (BPTA), pemerintah telah menyusun beberapa program kebijakan. Misalnya pemerintah menyusun Komite Aksi Nasional Penghapusan BPTA (berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2001 tanggal 17 Januari 2001) dan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (RAN-PBPTA), berdasarkan keputusan Presiden No.59 Tahun 2002 Tentang RAN PBPTA yang menetapkan tujuan penghapusan BPTA di Indonesia. RAN PBPTA juga menetapkan empat strategi pendekatan sebagai berikut: 1. Penentuan prioritas penghapusan bentuk pekerjaan terburuk secara bertahap. 2. Melibatkan semua pihak di semua tingkatan. 3. Mengembangkan dan memanfaatkan secara cermat potensi dalam negeri. 4. Kerjasama dan bantuan teknis dengan berbagi negara dan lembaga internasional.
Dengan ketentuan ini, pelanggaran pasal 18 dianggap sebagai perbuatan pidana. Subyeknya adalah para pemegang kewajiban dan tanggungjawab, yaitu pemerintah daerah, orang tua, keluarga dan masyarakat bila tidak menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut. Namun ketentuan ini menyimpan permasalahan karena menempatkan masyarakat dan negara dalam posisi dan konsekuensi hukum yang sama. Namun di sisi lain pelaku eksploitasi anak justru tidak dikenakan pemidanaan. Demikian pula dengan Perda No.9 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak di Jawa Tengah. Meski mengatur soal pemidanaan, namun fokus perhatiannya berbeda. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 23i: 1. Barang siapa yang melanggar ketentuan pasal 9 dikenankan ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
86 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Dalam pencapaian tujuan dan sasaran, rencana aksi nasional PBPTA mempunyai tiga tahapan program yang dijalankan, sebagai berikut: 1. Tahap pertama: sasaran yang ingin dicapai setelah lima tahun pertama: a. Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus BPTA; b. Terpetakannya permasalahan BPTA dan upaya penghapusannya;
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
87
c.
Terlaksanakannya program penghapusan BPTA dengan prioritas pekerja anak di anjungan lepas pantai dan penyelaman air dalam, pekerja anak yang diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak dipertambangan, pekerja anak di industri alas kaki, pekerja anak di industri dan peredaran narkotika, psikotropika, prekursor dam zat adiktif lainnya. Wujud kegiatan untuk pencapaian sasaran tersebut meliputi: penelitian dan dokumentasi; kampanye; pengkajian dan pengembangan model penghapusan BPTA; harmonisasi peraturan perundang-undangan; peningkatan kesadaran advokasi; penguatan kapasitas; integrasi program penghapusan pekerja anak dalam institusi terkait. 2. Tahap kedua, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah sepuluh tahun: a. Replikasi model penghapusan BPTA yang telah dilaksanakan pada tahap pertama di darah lain; b. Berkembangnya program penghapusan pada BPTA lainnya; c. Tersedianya kebijakan dan perangkat pelaksanaan untuk penghapusan BPTA. 3. Tahap ketiga, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah dua puluh tahun: a. Pelembagaan gerakan nasional penghapusan BPTA secara efektif; b. Pengarusutamaan penghapusan BPTA. Saat ini sudah memasuki tahap kedua dari pelaksanaan RAN BPTA. Artinya pemerintah lebih menekankan tiga hal, yaitu soal replikasi model penghapusan; berkembangnya program; dan memastikan ketersedian kebijakan dan perangkat penghapusan BPTA. Leading sektor program kegiatan terletak di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Keterlibatan Para Pihak dalam Penghapusan BPTA Ada banyak pihak terlibat dalam upaya penghapusan BPTA. Keterlibatan para pihak ini diwujudkan dalam pembentukan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (KAN-PBPTA).
88 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Atas dasar itu, pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja mengkoordinasikan pelaksanaan program PBPTA. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah melibatkan berbagai pihak. Hal ini sejalan dengan Concluding Observations (Komite Hak Anak) dalam laporan periodik I Indonesia (CRC/C/15/Add.223, 26 February 2004), paragraf 86, yang berbunyi: The Committee recommends that the State party continue its efforts to eliminate child labour, in particular by addressing the root causes of child economic exploitation through poverty eradication and access to education, as well as by developing a comprehensive child labour monitoring system in collaboration with NGOs, community-based organizations, law enforcement personnel, labour inspectors and ILO/IPEC. (Komite merekomendasikan agar Indonesia melanjutkan usahausahanya untuk menghapuskan pekerja anak, khususnya akar dari seba-sebab eksploitasi ekonomi anak, yaitu penghapusan kemiskinan dan membuka akses terhadap pendidikan, demikian juga dengan mengembangkan suatu sistem pemantauan pekerja anak yang komprehensif dengan berkolaborasi dengan LSM-LSM, organisasi-organisasi berbasis masyarakat, personil penegak hukum, petugas inspeksi perburuhan dan ILO-IPEC). Dalam KAN PBPTA pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, keluar Kepres No.12 Tahun 2001 Tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Komite ini terdiri dari 45 anggota dari berbagai unsur, mulai dari departemen, penegak hukum, LSM, pengusaha, serikat kerja, KPAI, BUMN, pers, dan lembaga negara lainnya. Ketuanya adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang sekaligus sebagai anggota. Tugas dari komite adalah : a. menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; b. melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; c. menyampaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
89
Pekerjaan Terburuk untuk Anak kepada instansi atau pihak yang berwenang guna penyelesaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dalam melaksanakan perlindungan anak, secara internal Departemen Tenaga Kerja juga mengembangkan pengawasan terhadap perusahaan yang mempekerjakan anak-anak dibawah umur. Pengawasan ini dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan. Saat ini baru terdapat 2.089 orang pengawas, termasuk penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sebanyak 621 orang dan pengawas ketenagakerjaan spesialis 366 orang. Melihat perbandingan ideal, Indonesia kekurangan 1.374 orang pengawas (http://www.forumsdm.org). Sedangkan dasar dari Pengawas Ketenagakerjaan ini adalah UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi ILO No.81 Tahun 1947 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan, sehingga pengawasan ketenagakerjaan dapat dilaksanakan secara lebih efektif sesuai standar ILO. Berdasarkan Konvensi ILO No. 81 Tahun 1947, pasal 3, Pengawas Ketenagkerjaan memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Menjamin penegakan ketentuan hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan pekerja saat melaksanakan pekerjaannya, seperti ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan, penggunaan pekerja/buruh anak dan orang muda serta masalah-masalah lain yang terkait, sepanjang ketentuan tersebut dapat ditegakkan oleh pengawas ketenagakerjaan. 2. Memberikan keterangan teknis dan nasehat kepada pengusaha dan pekerja/buruh mengenai cara yang paling efektif untuk mentaati ketentuan hukum. 3. Memberitahukan kepada pihak yang berwenang mengenai terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan yang secara khusus tidak diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku. 4. Tugas lain yang dapat menjadi tanggung jawab pengawas ketenagakerjaan tidak boleh menghalangi pelaksanaan tugas pokok pengawas atau mengurangi kewenangannya dan ketidak berpihakannya yang diperlukan bagi pengawas dalam berhubungan dengan pengusaha dan pekerja/buruh.
90 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
1. Kebijakan Program Daerah Pemerintahan daerah, baik ditingkat propinsi hingga kabupaten/kota di seluruh Indonesia dalam perencanaan programnya untuk penghapusan BPTA mengacu pada ketentuan yang ada dalam Rencana Aksi Nasional, yang juga diterjemahkan untuk level daerah dengan sebutan Rencana Aksi Propinsi (RAP) dan Rencana Aksi Kabupaten/Kota (RAK). Untuk melindungai anak dari eksploitasi ekonomi, pemerintah daerah menyusun Rencana Aksi Propinsi (RAP). Di Jawa Tengah proses penyusunan RAP diawali dengan pembentukan Komite Aksi di tingkat propinsi, melalui Peraturan Gubernur No.58 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Peraturan Gubenur Jawa Tengah No.94 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Komite Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak di Propinsi Jawa Tengah. Pembentukan komite ini melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah, LSM, organisasi buruh dan perguruan tinggi. Untuk melaksanakan programnya, Komite Aksi di Jawa Tengah menyusun Rencana Aksi Penghapusan BPTA yang ditetapkan melalui Peraturan Gubenur No.23 Tahun 2008, Tentang Rencana Aksi Penghapusan Betuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak di Propinsi Jawa Tengah. Jika memperhatikan visi Jawa Tengah untuk menghapuskan BPTA, (Jawa Tengah Zona Bebas Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA), sebenarnya visi ini mengandung masalah. Jika kita perhatikan secara seksama Pemerintah Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang justru membebaskan/memperbolehkan adanya bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Tahap I (2007-2012)
Tahap II (2013-2017)
Tahap III (2018-2022)
Jangka waktu 5 tahun
Jangka Waktu 10 tahun
Jangka Waktu 15 tahun
Sasaran: 1. Terpetakannya permasalahan BPTA dan upaya penghapusan
1. Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus BPTA.
1. Pelembagaan gerakan daerah penghapusan BPTA secara efektif.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
91
Tahap I (2007-2012)
Tahap II (2013-2017)
Tahap III (2018-2022)
Jangka waktu 5 tahun
Jangka Waktu 10 tahun
Jangka Waktu 15 tahun
2. Terkoordinasikannya program penangulanagn pekerja anak antar stakeholder. 3. Desiminasi berbagai peraturan daerah mengenai penanggulangan pekerja anak dan uji coba penerapan aturan di berbagai kasus yang terjadi. 4. Tersosalisasinya program penghapusan BPTA melalui media komunikasidan edukasi (KIE). 5. Terlaksanakannya program penghapusan BPTA dengan prioritas pekerja anak diberbagai sektor; anak yg bekerja di sektor kontruksi; anak yang bekerja pemulung sampah; anak yang bekerja di sektor home industri; anak yang bekerja disektor perdagangan NAPZA; anak yang bekerja di sektor penagkapan; pengangkutan dan pengolahan ikan. 6. Penanganan isu sektor pekerja anak lain yang dipandang mendesak.
2. Pengarusutamaan penghapusan BPTA; 3. Penegakkan secara efektif dan represif berbagai peraturan perundang-undangan mengenai penanggulangan pekerja anak. 4. Terlaksananya rogram penghapusan BPTA untuk anak dengan prioritas pekerja anak di sektor ; anak yang bekerja di perkebunan; anak yang bekerja disektor pertanian; anak yang bekerja disektor peternakan; anak yang bekerja di sektor pertambangan; 5. Penanganan isu sktor pekerja anak lain yang dipandang mendesak.
Sasaran: 2. Komite aksi propinsi penghapusan BPTA kuat secara institusi, personel maupun program. 3. Ditetapkannya Perda dan berbagai peraturan lainnya mengenai penanggulangan pekerja anak. 4. Meningkatkan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan tentang penghapusan BPTA. 5. Terkoordinasikannya program penanggulangan pekerja anak antar instasi Pemerintah dan stakeholder. 6. Terlaksananya program penghapusan BPTA dengan prioritas anak jalanan, PRTA, ESKA; anak yg bekerja disektor manufaktur; penerbangan; pengolahan dan pengangkatan kayu. 7. Penanganan isu sektor pekerja anak lain yang dipandang mendesak.
92 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Program : 1. Menyediakan pusat data informai pekerja anak yang standart dan valid sebagai dasar pembuatan kebijakan dan program. 2. Mengembangkan Komite aksi Propinsi sebagai institusi yang efektif penghapusan BPTA 3. Mengembangkan program terpadu (pencegahan, rehabilitasi, reintegrasi) Penanganan BPTA. 4. Meningkatkan Kapasitas dan Komitmen penegak hukum agar dapat melakukan penegakkan hukum yang berperspektif anak. 5. Meningkatkan koordinasi lintas sektor Pemerintah dan stakeholder penghapusan BPTA 6. Mengembangkan jaringan kerjasama yang tidak mengikat dengan pihak manapun
Laporan Disnakertrans Propinisi Jawa Tengah, menyebutkan ada 29 kabupaten dan 6 kota yang sudah membentuk Komite Aksi Kabupaten/Kota sebagai awal untuk merencanakan penyusunan RAK untuk penghapusan BPTA. Pembentukan komite di tingkat Kabupaten/Kota ini langsung difasilitasi Disnakertrans di tingkat propinsi. II. Instrumen internasional. A. Ratifikasi Konvensi sebagai pedoman Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mensahkan Konvensi Hak Anak (KHA) dengan Resolusi 44/25, tanggal 20 November 1989 dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in to force ) sejak 2 September 1990. KHA merupakan perjanjian internasional mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengintegrasikan hak sipil dan politik (political and civil rights), secara bersamaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural rights). Kehadirannya mengesampingkan dikotomisasi antara hak sipil dan politik sebagai generasi pertama HAM dengan hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai generasi kedua HAM. Pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya secara hukum (legally binding) dengan meratifikasi KHA melalui Keppres No.35 Tahun 1990. Konsekwensinya Indonesia tunduk pada berbagai ketentuan dalam Konvensi tersebut. Dalam KHA, ada 4 (empat) prinsip dasar yang dirumuskan utuh dalam Pasal 2 UU No.23 Tahun 2002, yaitu, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
93
Konvensi ini juga mengatur mengenai perlindungan anak dari perlindungan khusus, terutama dari eksploitasi ekonomi sebagaimana tertera didalam konvensi hak anak, pasal 32, yang berbunyi sebagai berikut: 1. Pihak negara mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan suatu pekerjaan yang bisa berbahaya atau mengganggu pendidikannya, atau berbahaya bagi kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spirit, moral atau sosial. 2. Pihak negara akan mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, sosial dan pendidikan untuk menjamin implementasi artikel ini. Akhirnya, dan yang berhubungan dengan penyediaan alat-alat internasional yang relevan, pihak negara secara khusus akan : a. memberi usia minimum untuk diperbolehkan bekerja; b. memberikan peraturan kondisi dan jam kerja yang sesuai; c. memberikan hukuman atau sangsi yang tepat untuk menjamin pelaksanaan artikel ini. Tentunya pasal ini menyesuaikan dengan standar dalam Konvensi ILO. Dalam Konvensi ILO No.138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja, ada pembatasan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, sebagaimana diatur dalam pasal 3: Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja di setiap jenis pekerjaan, yang karena sifat atau keadaan lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun. Namun, ketentuan itu juga bisa dikecualikan untuk jenis pekerjaannya, sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam konvensi ini. Pasal 4 dari Konvensi ini mengatakan: 1. Apabila diperlukan, penguasa yang berwenang setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, dapat mengecualikan pekerjaan atau kerja tertentu dari pemberlakuan Konvensi jika pelaksanaan Konvensi ini menimbulkan masalah yang sangat berat. 2. Setiap anggota yang meratifikasi Konvensi ini wajib membuat daftar dalam laporannya yang pertama mengenai pelaksanaan Konvensi yang diajukan berdasarkan Pasal 22 dari Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, setiap jenis
94 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
pengecualian menurut ketentuan ayat (1) Pasal ini, alasan pengecualian, dan dalam laporan berikutnya wajib menyebutkan kedudukan hukum dan kebiasaan di negaranya mengenai jenis pengecualian tersebut, dan sejauh mana pengaruh dari konvensi ini telah diberlakukan atau diusulkan untuk diberlakukan terhadap jenis pekerjaan tersebut. 3. Pekerjaan atau kerja yang tercakup dalam Pasal 3 Konvensi ini tidak boleh dikecualikan dari pelaksanaan Konvensi sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Konvensi ini juga mengenal pengelompokan berdasarkan situasi ekonomi bagi negara anggotanya. Dengan dasar ini, negara anggota dapat membatasi ruang lingkup konvensi. Hal ini dapat dilihat didalam pasal 5 yang berbunyi: 1. Anggota yang perekonomian dan fasilitas administratifnya belum cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, pada awalnya dapat membatasi ruang lingkup berlakunya Konvensi ini. 2. Setiap anggota yang tunduk pada ayat 1 pasal ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada ratifikasinya, wajib memperinci secara khusus cabang kegiatan ekonomi atau jenis usaha yang kepadanya ketentuan Konvensi ini berlaku. 3. Ketentuan Konvensi ini wajib diberlakukan sebagai minimum terhadap : pertambangan dan penggalian; pengolahan; bangunan; listrik, gas, dan air, perusahaan sanitari; pengangkutan, pergudangan, dan perhubungan; serta perkebunan dan usaha pertanian lainnyayang hasil utamanya untuk tujuan perdagangan, tetapi kecuali perusahaan keluarga dan usaha kecil yang menghasilkan barang untuk konsumsi lokal dan tidak secara teratur mempekerjakan tenaga bayaran. 4. Setiap anggota yang membatasi ruang lingkup berlakunya Konvensi ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal ini (a) wajib menyebutkan dalam laporannya sesuai dengan Pasal 22 Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional, kedudukan umum tentang pekerjaan orang muda dan anak-anak dalam cabang kegiatan yang dikecualikan dari ruang lingkup berlakunya Konvensi ini dan setiap kemajuan yang mungkin di capai ke arah pelaksanaan yang lebih luas dari ketentuan Konvensi ini;
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
95
(b) dapat setiap waktu secara formal memperluas ruang lingkup pemberlakuan melalui sebuah deklarasi yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor Ketenagakerjaan Internasional. Dengan memperhatikan situasi negara Indonesia yang termasuk sebagai bagian dari negara berkembang, maka sangat memungkinkan sekali untuk melakukan pembatasan atas Konvensi ini. Sehingga pasal-pasal dalam Konvensi ILO sendiri sangat longgar penafsirannya. Terkait dengan pekerjaan yang dirancang untuk mengembangkan pendidikan ketrampilan bagi anak -- sebagaimana dilakukan sekolah-sekolah kejuruan -- sangat mungkin dilakukan dan diatur dalam pasal 6, yang berbunyi: Konvensi ini tidak berlaku bagi pekerjaan yang dilakukan oleh anak dan orang muda di sekolah umum, kejuruan atau teknik atau di lembaga latihan lain, atau bagi pekerjaan yang dilakukan oleh orang muda yang sekurangkurangnya berusia 14 tahun dalam perusahaan, bila pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang berkepentingan, jika ada, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari: a. suatu program pendidikan atau pelatihan yang penanggung jawab utamanya adalah suatu sekolah atau lembaga pelatihan; b. program latihan yang untuk sebagian besar atau seluruhnya dilaksanakan dalam suatu perusahaan, yang programnya telah disetujui oleh penguasa yang berwenang; atau c. suatu program bimbingan atau orientasi yang disusun untuk mempermudah pemilihan jabatan atau jalur pelatihan. Dalam Konvensi ILO No.138, tidak sepenuhnya melarang anakanak bekerja. Tetapi dibatasi ruang lingkupnya, yaitu untuk jenisjenis pekerjaan ringan. Namun demikian, ada persyaratan tertentu yang harus dicapai untuk melakukan rekruitmen anak-anak yang dipekerjakan dalam jenis pekerjaan ringan in.Hal ini dapat pula diatur dalam perundang-undangan nasional, sebagaimana terdapat dalam pasal 7 yang berbunyi: 1. Peraturan atau perundang-undangan nasional dapat memperbolehkan mempekerjakannya orang berusia 13-15 tahun dalam pekerjaan ringan yang
96 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
a. tidak berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka; b. tidak mengganggu kehadiran mereka megikuti pelajaran sekolah, mengikuti orientasi kejuruan atau program latihan yang disetujui oleh penguasa yang berwenang atau kemampuan mereka mendapatkan manfaat dari pelajaran yang diterima. 2. Peraturan atau perundang-undangan nasional dapat juga memperbolehkan mempekerjakannya orang berusia sekurang-kurangnya 15 tahun akan tetapi belum menyelesaikan pendidikan sekolah wajib dalam pekerjaan yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam sub (a) dan (b) ayat 1 pasal ini. 3. Pengusaha yang berwenang wajib menetapkan kegiatan pada pekerjaan yang diperbolehkan berdasarkan ayat 1 dan 2, pasal ini dan wajib menetapkan jumlah jam kerja dan kondisi yang harus dipenuhi dalam melakukan pekerjaan dimaksud. 4. Tanpa mengabaikan ketentuan ayat 1 dan 2 dari pasal ini, angota yang telah menyatakan tunduk kepada ketentuan ayat 4 pasal 2, selama masih dikehendaki dapat menggantikan usia 12 dan 14 tahun untuk usia 13 dan 15 tahun pada ayat 1, dan usia 14 tahun untuk usia 15 tahun pada ayat 2, pasal ini. Selain itu, masih ada pula aturan dalam Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dalam Konvensi ini setiap negara anggota yang meratifikasi wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Maksud dari pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, adalah: a. segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
97
c. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obatobatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan; d. pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
Dari jumlah ini, komposisinya adalah 1.734.125 laki-laki dan 1.130.948 perempuan. Anak yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan (55,06 persen), pertambangan (1,34 persen), industri pengolahan (13,22 persen), listrik, gas dan air (0,04 persen); bangunan (1,94 persen), perdagangan besar, eceran rumah makan dan hotel (17,05 persen), angkutan, pergudangan dan komunikasi (2,37 persen); keuangan, asuransi dan usaha persewaan 3 (0,08 persen); dan jasa kemasyarakatan (8,17 persen).
Selain itu, negara penandatang Konvensi ini wajib membuat program aksi, serta membuat langkah-langkah efektif, termasuk pemberian sanksi pidana, serta kewajiban untuk membuat laporan pelaksanaan dari pelaksanaan Konvensi ini. III. Situasi anak. Jika bicara soal data pekerja anak, salah satu yang menjadi rujukan resmi adalah Sakernas. Data Sakernas tahun 2004 menyebutkan anak yang bekerja antara usia 10 - 17 tahun berjumlah 2.865.073 jiwa.
di sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan (55,06 persen), pertambangan (1,34 persen), industri pengolahan (13,22 persen), listrik, gas dan air (0,04 persen); bangunan (1,94 persen), perdagangan besar, eceran rumah makan dan hotel (17,05 persen), angkutan, pergudangan dan komunikasi (2,37 persen); keuangan, asuransi dan usaha persewaan (0,08 persen); dan jasa kemasyarakatan (8,17 persen). 3
ILO, 2004, Indonesia terbebas dari Kemiskinan: Menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, Berdasarkan hasil pemantauan, situasi lingkungan dimana anak bekerja tidak berubah dari waktu ke waktu. Kebanyakan situasi lingkungannya masih buruk yang tentunya menggangu perkembangan kognitif, emosi, sosial dan fisik dari anak.
98 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
99
Sedangkan data dari ILO mencatat ada lebih dari 1,5 juta anak yang masih berusia 10 - 17 tahun bekerja di pertanian dan perkebunan di Indonesia. Sebagian besar berada di Sumatra Utara (155.196 anak), Jawa Tengah (204.406 anak), dan Jawa Timur (224.075 anak). Ironisnya, 60% - 70% diantaranya adalah perempuan. Bahkan Direktur ILO Indonesia, Alan Boulton menyatakan pekerjaan di sektor pertanian mengandung beberapa bahaya kerja bagi anakanak. Misalnya, temperatur yang ekstrem, penggunaan pestisida, dan debu organik. Pekerjaan di sektor ini seringkali juga membutuhkan jam kerja yang panjang dan penggunaan mesinmesin yang berbahaya. Berdasarkan perkiraannya, saat ini terdapat lebih dari 100 juta pekerja anak di seluruh dunia. Sekitar 53 juta diantaranya merupakan anak perempuan. Celakanya, dari seluruh anak perempuan yang bekerja tersebut, sekitar 37,7% diantaranya merupakan anak berusia kurang dari 12 tahun. (sumber: Kontan.co.id/12 juni 2009). Di Jawa Tengah, Disnakertrans Propinsi Jawa Tengah juga mendata jumlah pekerja anak. Tahun 2005, terdapat 1.372 anak, meningkat menjadi 2.876 anak (2006). Sayang, tidak ada lagi informasi jumlah pekerja anak untuk periode tahun 2007-2010. Baru tahun 2010 ini, Disnakertrans Propinsi Jawa Tengah mulai mendata lagi pekerja anak di seluruh kabupaten/kota di wilayah Jawa Tengah. Namun demikian yang pasti kebanyakan anak-anak yang bekerja itu menyebar di berbagai sektor, seperti tambang, industri rumahan, jalanan, dan pertanian. Anak-anak tersebut dipekerjakan karena banyak faktor, antara lain kemiskinan (White, 1973; Muller, 1980; Irwanto, 1995; Daliyo, dkk., 1996; Suyanto, 1997), putus sekolah (Kuntoro, 1996), pendidikan orang tua (Conger, 1978 dan Fahnidal, 1990), pendidikan ibu (Irwanto, 1995), dan lemahnya penegakkan hukum (SARI, 2006). Berdasarkan hasil pemantauan, situasi lingkungan dimana anak bekerja tidak berubah dari waktu ke waktu. Kebanyakan situasi lingkungannya masih buruk yang tentunya menggangu perkembangan kognitif, emosi, sosial dan fisik dari anak. Berdasarkan monitoring SARI, situasi lingkungan buruk itu seperti mesin-mesin yang bising, ruang udara yang pengab dan penerangan listrik yang tidak memadai, dan bila bekerja di tempat terbuka yang ada adalah situasi panas akibat terik matahari.
100 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Perlindungan dari Aspek Normatif a. Perjanjian kerja Salah satu aspek penting dalam ketenagakerjaan adalah perjanjian kerja. Hal ini untuk mempertegas pada hak dan kewajiban. Namun demikian untuk anak, ada perkecualian sebagaimana diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, pasal 69, ayat 2, yaitu dalam soal perjanjian, anak diwakili oleh wali atau orang tuanya. Realitasnya, masih banyak anak yang bekerja tanpa ada perjanjian sama sekali. Berdasarkan monitoring, anak-anak mengaku sama sekali tidak pernah mendapatkan atau melakukan perjanjian kerja, apalagi diwakilkan oleh orang tua mereka. b. Upah Isu menyangkut pemenuhan hak normatif dalam lingkungan perburuhan sering disuarakan, oeh serikat-serikat buruh untuk meningkatkan kesejahteraan kaum buruh. Sehingga pemerintah, pengusaha dan serikat buruh atau yang sering dikenal dengan tripartit berupaya berunding untuk menyesuaikan peningkatan upah bagi buruh atau pekerja setiap tahun. Perjuangan untuk mendapatkan upah yang layak masih “jauh panggang dari api”. Selama ini masih banyak buruh mendapatkan upah yang tidak layak, bahkan masih ada yang dibawah ketentuan Upah Minimum Kota (UMK). Tidak heran, jika sering terjadi pemogokan buruh karena mereka menuntut pemenuhan upah yang layak. Sebagaimana terjadi di Purwakarta, aksi mogok kerja ratusan Karyawan PT Milano Garment di Desa Sukajaya, Kecamatan Sukatani yang menuntut pembayaran upah selama tiga bulan. Selain pembayaran upah, para karyawan meminta upah disesuaikan standar UMK Kabupaten Purwakarta. Seorang karyawan menyebut perusahaan hanya membayar upah sebesar Rp 500.000 per bulan. Upah minimum Kabupaten (UMK) Purwakarta tahun 2010 ada dua kategori. Untuk perusahaan berkategori GBT (garmen, baju dan topi) sebesar Rp 890.000. Sedangkan perusahaan kategori non GBT ditetapkan sebesar Rp 1.015.000. Sementara UMK Purwakarta tahun 2009, untuk GBT sebesar Rp 780.000 dan non GBT sebesar Rp 930.000.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
101
Kenaikan UMK beberapa persen di Purwakarta ini sempat menuai protes dari organisasi buruh di Purwakarta. Mereka menilai kenaikan UMK belum sesuai standar kehidupan layak (KHL) Purwakarta sebesar Rp 1.146.000. Peristiwa semacam ini banyak terjadi diberbagai tempat di Indonesia.
Begitu pula dengan Agus (nama samaran) 16 tahun, yang bekerja sebagai buruh percetakan di Kota Surakarta. Ia bercerita, setiap hari ia harus bekerja mulai dari jam 08.15 - 16.00 WIB. Beberapa pengakuan ini menunjukkan betapa masih banyak anak yang bekerja pada jenis pekerjaan ringan pun bekerja melebihi batas waktu yang ditentukan. Kondisi seperti ini tampaknya sudah biasa dan cenderung dibiarkan, tanpa ada upaya atau tindakan dari Pengawas Ketenagakerjaan kepada pihak pengusaha.
Upah yang rendah juga dialami buruh anak yang bekerja di sektor konveksi di Surakarta. AS, 14 tahun hanya menerima upah sebesar Rp. 75.000 per minggu. Padahal ketentuan UMK di Kota Surakarta tahun 2009, sebesar Rp.723.000. Nasib serupa juga dialami Sumar (nama samaran), 17 tahun, pekerja konveksi di Kabupaten Karanganyar yang menerima upah sebesar Rp. 150.000 per minggu. Jumlah ini lebih rendah dari ketentuan UMK di Kabupaten Karanganyar sebesar Rp.719.000,-
Rencana Aksi untuk BPTA Selama ini ada pengakuan bahwa Pengesahan Konvensi Usia Minimum ILO No.138 dan Konvensi Bentuk-bentuk Terburuk dari Pekerja Anak No. 182 merupakan contoh kongkrit dari prestasi pemerintah Indonesia dalam melakukan upaya perlindungan anak. Kedua konvensi tersebut dianggap memberikan landasan kokoh bagi upaya penghapusan pekerja anak di Indonesia dan dukungan bagi perencanaan Rencana Aksi Nasional untuk Mengatasi Bentukbentuk Terburuk untuk Pekerja Anak dalam kurun waktu 20 tahun. Komitmen yang dibuat pemerintah telah menghasilkan dampak ganda dengan memasukkan kebijakan dan peningkatan kesadaran masalah pekerja anak dalam program-program pemerintah yang ada sekarang ini. Komponen pekerja anak diintegrasikan ke dalam program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah, yang bertujuan menghilangkan kemiskinan di pedesaan melalui pembiayaan ekonomi mikro dan aktivitas yang menghasilkan pendapatan. Departemen Dalam Negeri bersama Direktorat Jenderal Pengembangan Pedesaan telah melaksanakan program untuk mendukung anak-anak dari keluarga sasaran untuk melanjutkan pendidikan dengan cara memberikan beasiswa. Penyuluh yang dilatih khusus memberikan dorongan bagi masyarakat dan keluarga untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah dan bukan ke tempat kerja. Model seperti ini dianggap 4 berhasil dan digunakan di provinsi lain.
Rendahnya upah yang diterima ini tidak lepas dari lemahnya posisi tawar anak dalam hubungan indsutrial. Bahkan dalam konteks perburuhan, pekerja anak diposisikan sama dengan pekerja dewasa. Ini adalah persoalan serius! c. Jam Kerja Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur batas jam kerja anak, terutama untuk jenis pekerjaan ringan sebagaimana diatur pasal 69, ayat 4 yang menyatakan waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam. Namun realitasnya, banyak anak bekerja seperti orang dewasa, yaitu 8 (delapan) jam atau bahkan lebih. Sebagaimana disampaikan AW (nama samaran), 16 tahun. Selama bekerja menjadi penjahit di “Arifin” tailor, ia harus bekerja dari jam 09.00 - 22.00 WIB. Pekerjaan ini dilakukan secara terus-menerus. Menurut pengakuannya, “Terkadang bila belum selesai, pekerjaan tersebut aku bawa pulang dan dikerjakan di rumah hingga larut malam.” Adek (nama samaran), 15 tahun, juga mengalami situasi yang tidak jauh berbeda. Ketika ditanya tentang lamanya jam kerja, ia langsung menjawab, “Selama bekerja di konveksi, saya bekerja mulai dari jam 08.00 - 16.00, sebagaimana teman-teman yang lain.”
102 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
4
Dikutip dari buku ILO, 2004, dalam mempersiapkan masukan ILO kepada Komite Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, 12 seri paparan teknis singkat (Technical Briefing Notes-TBNs) telah disusun untuk memenuhi dua tujuan. Pertama, sebagai dokumen latar belakang tentang persoalan dan pilihanpilihan kebijakan kunci yang sangat penting bagi pengentasan kemiskinan. Dan kedua, sebagai pondasi dalam penyusunan laporan komprehensif: "Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia" .
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
103
Mengacu pada laporan pelaksanaan RAN I, pemerintah mengakui telah melaksanakan penanganan pekerja anak melalui pendidikan seperti di Jawa Timur dan Sumatra Utara. Sedangkan kegiatan lainnya berupa pendidikan paket A, B dan C yang dilakukan oleh Balai Pengengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), selain itu juga ada kegiatan ketrampilan yang disediakan oleh BLK setempat. Kemudian untuk kegiatan SMP terbuka dilakukan oleh Dinas Pendidikan di daerah Cibaduyut. Laporan menyebutkan kegiatan ini mampu menarik 127 anak di daerah industri alas kaki. Ditingkat penyadaran, salah satu kegiatan yang dilakukan pemerintah adalah melakukan sosialisasi dan kampanye terhadap bahaya BPTA. Kegiatan ini dilakukan dengan cara membuat dan penyebarluaskan buletin, brosur, poster, leaflet maupun menyelenggarakan bimbingan teknis, lokakarya, seminar, future research, penyuluhan, dialog interaksi yang diikuti oleh berbagai pihak yang terkait atau pihak yang diharapkan terlibat dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Sosialisasi RAN PBPTA dilakukan secara simultan mulai tingkat nasional, provinsi sampai dengan kabupaten/kota, dengan melibatkan berbagai pihak terkait dari unsur pemerintah, asosiasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, media massa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan maupun masyarakat umum (sumber: dalam laporan pelaksanaan RAN BPTA).
Pihak Kepolisian Resort Jepara lalu melakukan penyidikan dan penyelidikan atas kasus tersebut dan mendakwa pemilik cafe telah melakukan tindak pidana karena mempekerjakan dan melibatkan anak pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Tanggal 1 November 2006, kasus Cafe 14 tersebut telah disidangkan di Pengadilan Negeri Jepara dan pemilik Café 14 terbukti secara sah d a n m eya k i n ka n b e r s a l a h m e l a ku ka n t i n d a k p i d a n a mempekerjakan anak pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk serta menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 7 (tujuh) 5 bulan. Pemidanaan terhadap pelaku yang secara tidak sah mempekerjakan anak ini patut menjadi jurisprudensi bagi penegakan hukum di Indonesia. IV. Kesimpulan Bila berbicara tentang perlindungan anak di Indonesia, sebenarnya masih banyak persoalan-persoalan yang mesti diperhatikan pemerintah Indonesia dalam upaya melakukan perlindungan anak. Dalam kasus penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, ternyata masih banyak aspek intrumen hukum yang belum memadai sebagai upaya untuk melindungi anak. Hal ini karena masih banyak pasal yang ”bolong-bolong” dalam UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dari sisi pengawasan sendiri, masih banyak persoalan dalam aspek penegakan hukum. Selama ini banyak pengusaha yang mempekerjakan anak, terutama dalam jenis pekerjaan ringan, tetap dibiarkan melanggar batas-batas ketentuan yang ada dalam UU.
Dalam aspek penegakan hukum, upaya yang dilakukan pemerintah termasuk mengalami kemajuan. Salah satunya ada upaya pemidanaan terhadap pelaku yang mempekerjakan anak. Kasus pemidanaan terhadap pelaku yang mempekerjakan anak di Indonesia selama ini hanya ada dua, yaitu di Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Di Sumatera Utara, kasus pengusaha yang mempekerjakan anak di jermal, banyak diseret ke meja hijau. Di Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Jepara juga telah menghukum seorang pengusaha cafe yang mempekerjakan anak dibawah umur. Kasus ini dimulai dengan penggerebekan Cafe 14 yang berhasil 'menangkap basah' pemilik cafe sedang mempekerjakan dua orang anak, benama MS, 15 tahun dan MDN, 17 tahun.
104 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Teraakhir, aspek perencanaan program untuk penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak, masih jauh dari harapan. Sampai sekarang masyarakat masih cenderung diam atau terkesan diam melihat banyak anak yang dipekerjakan, dan hal ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa.
5
Laporan Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, Periode 2002 – 2007, Diterbitkan Oleh : Sekretariat Komite Aksi Nasional Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak .
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
105
V.
Kesimpulan 1. Perlu ada revisi terhadap UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terutama terkait dengan soal anak yaitu pasal 69 -70 dan 79. Pasal-pasal ini sangat memberikan ruang untuk membuka ruang penfasiran yang lebar sehingga tidak mendorong upaya perlindungan anak. 2. Perlu ada penyelarasan terhadap perda-perda yang mengetur soal penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang tidak sesuai dengan Konvensi Hak Anak dan ILO. 3. Pada aspek penegakan hukum, pemidanaan terhadap pihakpihak yang mempekerjakan anak secara tidak sah seperti di Sumatera Utara dan Jawa Tengah perlu menjadi jurisprudensi. 4. Perlu ada pengaturan mekanisme koordinasi yang lebih baik dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, baik di tingkat nasional dan daerah.
Daftar Pustaka: 1. Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: studi Sosio legal atas konstituante 1956-1959; cetakan ke II; Grafiti-jakarta 2. Laporan pelaksanaan rencana aksi nasional penghapusan bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak periode 2002 – 2007 diterbitkan oleh : sekretariat komite aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
106 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Analisa Situasi Implementasi KHA – Hak anak atas Pendidikan, Khususnya di Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara Periode Januari – Desember 2009 Ditulis oleh: Muhammad Jailani Direktur Ekskutif Yayasan KKSP Medan
Pengantar Analisis situasi ini ditujukan untuk mendeskripsikan dan mereview kewajiban pemerintah dalam memenuhi hak anak atas pendidikan dan hasil dari pemenuhan hak anak atas pendidikan tersebut. Contoh kasus pemenuhan hak anak atas pendidikan akan menyajikan data di Kabupaten Deli Serdang dan Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara berdasarkan hasil pemantauan KKSP pada September 2009 – Maret 2010. Kerangka Hukum Internasional Berhubungan dengan Pemenuhan Hak Anak Atas Pendidikan Dalam kerangka hak asasi manusia maka konstitusi dan undang-undang dari negara peserta seharusnya dianalisis dengan menggunakan instrumen international. Dengan demikian, dapat dilihat apakah konstitusi, undang-undang hingga peraturan daerah dari negara peserta apakah sudah sesuai dengan instrumen internasional yang telah disepakati negara pihak. Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Konsekuensinya Indonesia wajib melaksanakan hak-hak anak, baik kewajiban menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan mempromosikan (to promote). Salah satu hak anak yang termuat dalam KHA adalah hak atas pendidikan. KHA khususnya pasal 28 menyebutkan secara jelas: 1. Negara-negara peserta mengakui hak anak atas pendidikan, dan mewujudkan hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan yang sama, negara-negara peserta secara khusus akan: (a) Membuat pendidikan dasar sebagai suatu kewajiban dan tersedia secara cuma-cuma untuk semua anak; Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
109
(b) Mendorong pengembangan bentuk-bentuk pendidikan menengah yang berbeda, termasuk pendidikan umum dan kejuruan, menyediakan pendidikan tersebut untuk setiap anak, dan mengambil langkah-langkah yang tepat seperti penerapan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan bantuan keuangan bila diperlukan; (c) Membuat pendidikan tinggi terjangkau untuk semua anak berdasarkan kemampuan, dengan semua cara yang layak; (d) Menyediakan informasi dan bimbingan tentang pendidikan dan kejuruan yang dapat diakses oleh semua anak; (e) Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran anak secara teratur di sekolah dan penurunan tingkat putus sekolah. 2. Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah-langkah yang layak untuk menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan martabat kemanusiaan anak dan sesuai dengan Konvensi ini. 3. Negara-negara Peserta akan meningkatkan dan mendorong kerjasama internasional dalam hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, khususnya dengan tujuan untuk membantu menghapuskan kebodohan dan buta aksara di seluruh dunia dan mempermudah akses pada pengetahuan ilmiah dan teknis dan metode-metode pengajaran moderen. Dalam hal ini, perhatian khusus akan diberikan pada kebutuhan-kebutuhan negara berkembang. Prinsip non diskriminasi sangat jelas disebutkan dalam pasal 28 KHA, yakni pendidikan untuk semua anak. Prinsip non diskriminasi ini juga dijelaskan dalam Konvensi Melawan Diskriminasi dalam Pendidikan atau Convention Against Discrimination in Education. Pasal 1 konvensi ini menyebutkan diskriminasi dalam pendidikan meliputi segala pembedaan, pengesklusifan, pembatasan atau keberpihakan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, kebangsaan, latar belakang sosial, latar belakang ekonomi, kelahiran, untuk tujuan atau berakibat pada pembedaan pelayanan pendidikan. Konvensi Melawan Diskriminasi dalam Pendidikan pada pasal 4 poin a membagi pendidikan menjadi tiga bagian yakni pendidikan dasar (primary education), pendidikan menengah (secondary education) dan pendidikan lebih tinggi (higher education). Namun Konvensi ini dan juga KHA serta Ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) tidak menjelaskan
110 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
definisi primary education. Dengan demikian, setiap negara pihak dapat menginterpretasikan definisi primary education sesuai dengan kemampuan dan kepentingan politik masing-masing. Selanjutnya pasal 29 KHA mengatur pendidikan seharusnya membantu anak dalam mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan mental dan fisiknya hingga tahap perkembangan sepenuhnya. Pasal ini tidak hanya mempertegas hak anak atas pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 28, tetapi juga menegaskan kebutuhan anak akan pendidikan yang berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child), ramah anak dan bersifat mengembangkan dan memberdayakan anak. Pendidikan yang ideal berdasarkan pasal 29 KHA ini seharusnya dirancang untuk membekali anak dengan keterampilan hidup, memperkuat kemampuan anak dengan mengembangkan keterampilan, kemampuan belajar maupun kemampuan lainnya, martabat manusia, penghargaan diri dan rasa percaya diri. Karena itu, masalah pendidikan tidak hanya masalah akses, tetapi lebih dari itu juga terkait dengan masalah isi kurikulum, proses pendidikan, metodologi pedagogi dimana proses belajar mengajar berlangsung. Pertimbangannya, anak-anak tidak akan kehilangan hak asasi mereka ketika berada di sekolah. Contoh, pendidikan harus diberikan dengan cara menghormati/menghargai martabat anak dan kemampuan anak dalam mengungkapkan pendapatnya sehingga anak-anak dapat berpartisipasi dengan baik dalam kehidupan sekolah. Pendidikan juga harus menghormati/menghargai batasan-batasan yang tegas tentang disiplin (Pasal 28 ayat 2) dan prinsip-prinsip non kekerasan di sekolah. Hukuman fisik (corporal punishment) yang dilakukan guru merupakan tindakan yang tidak menghormati/menghargai martabat anak. Demikian juga dengan sekolah-sekolah yang memungkinkan terjadinya kekerasan antara sesama siswa (bullying) juga dianggap sebagai sekolah yang tidak ramah anak sebagaimana dimaksud pasal 29 ini. Pasal 29 KHA menjelaskan dalam Konvensi Melawan Diskriminasi dalam Pendidikan, khususnya pasal 5 menyatakan pendidikan diarahkan pada pengembangan kepribadian manusia dan memperkuat penghargaan pada hak asasi manusia dan kebebasan dasar.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
111
Hak atas pendidikan juga merupakan hak sipil dan politik yang harus dilindungi, dipenuhi, dan dihormati oleh negara. Hal ini dimuat dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik, yang juga telah diratifikasi Indonesia dengan keluarnya UU No.11 Tahun 2005. Pasal 18 ayat 4 menyatakan,“Negara-negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan, jika ada, wali yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.” Konvensi Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) yang diratifikasi pemerintah Indonesia dengan keluarnya UU No.12 Tahun 2005 juga mengatur bahwa: 1. Negara wajib mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalan suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian. 2. Negara wajib mengakui dan mengupayakan hak tersebut secara penuh, melalui : a. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cumacuma bagi semua orang; b. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cumacuma secara bertahap; c. Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; d. Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau menyelesaikan pendidikan dasar mereka; e. Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus menerus diperbaiki.
112 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Berdasarkan standar pendidikan dalam General Comment KHA E/C.12/1999/10, hak atas pendidikan (pasal 13) maka pendidikan harus diberlakukan di negara-negara pihak dengan segala bentuk dan disemua level, dan harus memenuhi prinsip-prinsip utama, yaitu : 1. Availability, yaitu ketersediaan pendidikan dalam bentuk kuantitas dalam rangka menunjang proses penyelenggaraan pendidikan. Kuantitias yang dimaksud adalah sarana dan prasarana pendidikan maupun perlindungan terhadap elemen-elemen yang ada dalam institusi pendidikan, seperti fasilitas sanitasi untuk masingmasing jenis kelamin, air minum yang aman, pelatihan guru-guru dalam upaya peningkatan kesejahteraan guru, kurikulum penididikan dan sebagainya, termasuk sarana dan prasarana seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium dan fasilitas komputer dan teknologi informasi. 2. Accessibility, program pendidikan harus dapat dijangkau (diakses) oleh semua orang tanpa diskriminasi. Prinsip accessibility ini mencakup 3 (tiga) hal, yaitu : a). Non diskriminasi, dimana pendidikan harus bisa diakses oleh semua anak tanpa kecuali, termasuk anak-anak yang berada dalam kelompok rentan. b). Physical accessibility, pendidikan harus dapat diakses oleh seluruh anak tanpa hambatan secara fisik dalam arti hambatan secara geografis (adanya pendidikan informal di lingkungan keluarga) atau melalui teknologi moderen seperti akses pendidikan jarak jauh (distance learning). c). E c o n o m i c a c c e s s i b i l i t y , p e n d i d i k a n h a r u s d a p a t dijangkau/diakses oleh semua anak tanpa hambatan ekonomi (finansial), baik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Untuk pendidikan dasar pemerintah harus menyediakan ”pendidikan gratis”, sedangkan untuk pendidikan menengah dan tinggi, negara harus memulai kebijakan/berusaha untuk menyediakannya secara ”gratis”. 3. Acceptablity, dimana bentuk dan substansi pendidikan termasuk kurikulum dan metode pengajaran harus sesuai dengan nilai-nilai budaya anak maupun orang tua dan memenuhi standar minimum pendidikan yang ditetapkan pemerintah. 4. Adaptability, dimana pendidikan harus bersifat fleksibel dan bisa disesuaikan dengan perubahan sosial budaya masyarakat, dan dapat merespon/menyikapi kebutuhan anak-anak terhadap perubahan sosial dan budaya.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
113
Dengan diratifikasinya Konvensi Hak Anak dan Kovenan Hak Ekosob, maka negara peserta diwajibkan mengadopsi prinsip-prinsip pemenuhan hak setiap orang untuk menikmati pendidikan, seperti dimuat dalam pasal 13 Kovenan. Tahun 1999 Komite Ekosob telah merinci dan memberikan penjelasan mengenai definisi dari istilah kunci dan elemen pokok berkaitan dengan pemenuhan hak atas pendidikan dasar. Elemen ini menjadi indikator Komisi Ekosob memeriksa laporan yang dikirimkan pemerintah setelah meratifikasi. Elemen-elemen yang dimaksud (UN doc. E/C.12/1999/4), sebagai berikut : 1). Pendidikan dasar wajib (compulsory). Dalam prinsip ini pendidikan dasar sifatnya wajib dilaksanakan, dan harus dapat diakses oleh seluruh anak tanpa kecuali, termasuk anakanak yang termarginalkan seperti anak-anak miskin, anak-anak di daerah pedalaman, di daerah konfik dan bencana, anak-anak suku terasing dan sebagainya. Selanjutnya prinsip ini juga akan melihat apakah terdapat hambatan bagi anak usia sekolah untuk menikmati pendidikan dasar. 2. Pendidikan dasar cuma-cuma/gratis (free of charge). Prinsip ini dipenuhi dengan cara memastikan ketersediaan pendidikan dasar yang dikelola negara, dilaksanakan tanpa memungut biaya dari anak, orang tua atau walinya. Karenanya, sekecil apa pun tuntutan pungutan, secara praktik dapat membahayakan pemenuhan hak ini, terutama bagi keluarga miskin. 3. Pengadopsian rencana rinci (adoption of a detailed plan). Pasca ratifikasi Kovenan Ekosob, pemerintah diminta merumuskan dan selanjutnya menetapkan rencana aksi yang rinci untuk pemenuhan pendidikan dasar bagi setiap anak usia sekolah. Diberikan waktu maksimal dua tahun untuk perumusan rencana aksi ini, yang mesti memuat semua upaya untuk merealisasikannya. Partisipasi publik (masyarakat) menjadi prasyarat dalam proses perumusan dan secara periodik terlibat dalam review dan evaluasi rencana aksi. Memastikan pemenuhan asas akuntabilitas dalam perumusan dan pengawasan implementasi rencana aksi juga menjadi tanggung jawab pemerintah. 4. Kewajiban/obligasi (obligations). Dalam praktik, negara pihak tidak dapat lari dari tanggung jawabnya untuk menetapkan rencana aksi. Tidak dapat dilanggar hanya karena alasan tidak mempunyai sumber daya. Jika memang benar-benar tidak ada sumber daya, maka pemerintah dapat mengupayakan “international assistance and cooperation" seperti dimuat dalam pasal 23 Kovenan Ekosob.
114 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
5. Implementasi secara terus menerus (progressive implementation). Dalam rencana aksi ditetapkan jadwal untuk memastikan pemenuhan hak atas pendidikan secara cuma-cuma agar dapat terlaksana secara nasional. Sebagai contoh terdapat deklarasi bahwa semua anak akan mendapatkan pendidikan dasar cuma-cuma pada tahun 2010, disertai bagaimana cara merealisasikannya. Realisasinya dapat secara bertahap dengan prioritas wilayah atau prioritas anggaran, sehingga benar-benar bebas dari segala macam pungutan yang memberatkan siswa dan keluarganya. Sehingga pendidikan gratis bukan sekedar lips service. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) mendukung adanya wajib belajar (compulsary education). Artikel 26 deklarasi tersebut menekankan elementary education harus wajib. Selanjutnya April 2000, 1100 orang delegasi dari 164 negara berkomitmen “Pendidikan Untuk Semua (Education For All)” pada the World Education Forum di Dakkar, dengan the Dakkar Framework for Action, yang bertujuan menciptakan “free and compulsory education of good quality for all by 2015”. (E.G. West Centre, 2009). Lebih jauh, Dakkar Framework for Action menyebutkan bahwa ada empat elemen pendidikan berkualitas, yaitu : 1. Media pembelajaran yang tepat mono atau multimedia. 2. Kecukupan isi kurikulum secara kultural. 3. Metode pembelajaran yang profesional. 4. Finansial dan material yang cukup. (Nishimuka, 2007) Dengan demikian, wajib belajar tidak hanya menyangkut akses terhadap pendidikan dasar, tetapi pemerintah harus menyediakan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas harus integral dengan wajib belajar. Wajib belajar yang tidak disertai kualitas tidak akan menghasilkan outcome yang positif. Lebih luas lagi, orang tua tidak akan mengirim anaknya untuk menempuh pendidikan jika sekolah tidak menunjukkan hasil positif. Merumuskan suatu kebijakan prioritas utamanya adalah jaminan kesempatan dan diperbaikinya kualitas perididikan bagi kaum wanita (anak, pemudi dan orang dewasa) dan hapusnya setiap penghalang bagi peran aktif mereka. Semua stereotip pendidikan yang didasarkan atas perbedaan kelamin harus dihindarkan. Harus ada tekad untuk menghapuskan kesenjangan pendidikan. Kelompok-kelompok yang kurang terlayani, seperti kelompok miskin; anak-anak jalanan dan Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
115
pekerja; penduduk di daerah pedesaan dan terpencil; pekerja yang berpindah-pindah dan migrasi; suku-suku terasing (penduduk asli); minoritas suku, ras dan bahasa; para pengungsi; penduduk korban akibat perang; dan penduduk di daerah yang dikuasai musuh tidak boleh mengalami diskriminasi kesempatan belajar. Menurut Katarina Tomasevski, mantan Special Rapporteur PBB di bidang hak atas pendidikan, hak asasi manusia adalah penjaga dari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh negara, termasuk di bidang pendidikan. Pengingkaran terhadap hak atas pendidikan, menjadi penyebab terekslusikannya seseorang dari kesempatan kerja, marginalisasi ke sektor informal, yang dibarengi dengan eksklusi dari skema jaminan sosial dan sebagiannya. Mengatasi ketimpangan sosial ekonomi dan kesempatan mencari penghidupan yang layak tidak mungkin dilakukan tanpa mengakui dan memenuhi hak atas pendidikan. Demikian pula dengan berbagai persoalan sosial, ekonomi, budaya, dan politik tidak dapat dipecahkan, kecuali dengan menyelesaikan persoalan hak atas pendidikan ini. Ini merupakan kunci untuk membuka pemenuhan hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya lainnya, termasuk hak sipil dan politik. Tahun 2000, 189 negara termasuk Indonesia menandatangani United Nations Millenium Declaration atau yang dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). Resolusi ini disahkan Majelis Umum PBB No.55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (A/RES/55/2. United Nations Millennium Declaration). Ada delapan tujuan dalam MDGs. Salah satunya (tujuan kedua) adalah: mencapai pendidikan dasar umum pada tahun 2015, sehingga semua anak-anak baik perempuan dan laki-laki dapat menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. MDGs ini juga merumuskan kebijakan prioritas utama, yaitu terjaminnya kesempatan dan diperbaikinya kualitas perididikan bagi kaum wanita (anak, pemudi dan orang dewasa) dan hapusnya setiap penghalang bagi peran serta aktif mereka. Semua stereotip pendidikan yang didasarkan atas perbedaan kelamin harus dihindarkan. Suatu tekad aktif harus diadakan untuk menjauhkan kesenjangan pendidikan. Kelompokkelompok yang kurang terlayani, seperti mereka yang miskin; anak-anak jalanan dan bekerja; penduduk di daerah pedesaan dan terpencil; pekerja yang berpindah-pindah dan migrasi; suku-suku terasing (penduduk asli);
116 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
minoritas suku, ras dan bahasa; para pengungsi; penduduk korban akibat perang; dan bahkan penduduk di daerah yang terjajah hendaklah tidak mengalami diskriminasi dalam kesempatan untuk belajar. Kerangka Hukum Nasional Pemenuhan Hak Anak Atas Pendidikan Dalam instrumen hukum nasional, hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Bahkan ia merupakan salah satu amanat utama dari pendirian negara Republik Indonesia yang merdeka, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Amanat kebangsaan Indonesia tentang hak atas pendidikan ini, secara jelas dinyatakan pasal 28C ayat 1, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen, yang berbunyi,“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Sebelumnya amanat ini dijelaskan dalam perspektif hak warga negara, yaitu dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1, hasil amandemen bahwa,“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ayat 2 yang menyatakan,“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Pendidikan sebagai hak asasi manusia ini juga dinyatakan dalam UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 12 yang berbunyi,“Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi” . UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III, Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pasal 4, menyatakan,“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi.” Sedangkan pasal 11 menyatakan (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
117
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga menyebutkan hak anak atas pendidikan pada pasal 48 – 54, khususnya pada pasal 48 dan 49. Pasal 48: Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Pasal 49: Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Dua pasal di atas menegaskan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dan memberikan kesempatan pada semua anak untuk mendapatkan akses pendidikan Kebijakan Program terkait dengan pemenuhan hak atas pendidikan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 merupakan dokumen yang disusun secara bersama-sama oleh lintas Departemen/Lembaga Pemerintah dengan masukan dari berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, serta perwakilan anak. PNBAI 2015 sangat diperlukan sebagai pedoman berbagai pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya memperjuangkan kesejahteraan, perlindungan, dan kemaslahatan anak. Ada empat bidang pokok yang mendapat perhatian khusus dalam PNBAI 2015 ini, yaitu promosi hidup sehat (promoting health lives), penyediaan pendidikan yang berkualitas (providing quality education), perlindungan terhadap perlakuan salah, ekploitasi dan kekerasan (protecting againts abuse, exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/ AIDS (combating HIV/AIDS). PNBAI 2015 dikembangkan berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b dan 28c; dan Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UU PA). Penyusunan PNBAI 2015 juga memperhatikan sepenuhnya Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), serta Millenium Development Goals (MDGs). Pelaksanaan PNBAI berada dibawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang secara teknis dikoordinasikan melalui penjuru-penjuru/focal point di departemen/kementerian dan pemerintah daerah.
118 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Kebijakan dalam PNBAI yang diambil pemerintah untuk menjawab persoalan-persoalan pendidikan, adalah: a) Pelaksanaan desentralisasi dan demokratisasi pembangunan pendidikan melalui penyusunan kewenangan wajib dari setiap tingkatan pemerintahan sampai ke tingkat kabupaten, pengelolaan sumberdaya (personel, pembiayaan, dll.) yang efisien, dan pengembangan kelembagaan; b) Peningkatan akses terhadap perawatan dan pendidikan usia dini, serta pendidikan dasar, khususnya di daerah perdesaan, daerah terpencil dan terisolir, terutama daerah di luar Pulau Jawa; c) Peningkatan kualitas pelayanan pendidikan dasar, perawatan dan pendidikan usia dini melalui partisipasi masyarakat, organisasi masyarakat, dan dunia usaha; d) Peningkatan akses terhadap pendidikan dasar 9 tahun, khususnya bagi anak-anak yang kebutuhannya belum terpenuhi; e) Peningkatan kualitas proses belajar mengajar serta memperlengkapi anak dengan kecakapan hidup yang diperlukan; f) Peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar sehingga setiap anak memiliki kompetensi dasar yang dapat digunakan untuk hidup dalam bermasyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; dan g) Peningkatan efisiensi manajemen pendayagunaan sumber daya pendidikan agar semua lembaga pendidikan dapat melaksanakan fungsinya secara lebih efesien dan efektif. Sementara strategi pendidikan anak dalam PNBAI adalah: a) Pemberdayaan otoritas lokal/daerah sebagai faktor penting dalam pembangunan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar; b) Pemberdayaan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengembangan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar; c) Pemanfaatan dan optimalisasi prasarana dan sarana yang tersedia untuk mendukung pelaksanaan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar; d) Mobilisasi sumberdaya, khususnya masyarakat dan dunia usaha untuk berkontribusi menyediakan prasarana, pendidikan dan pelatihan bagi guru, dan bahan belajar yang diperlukan; e) Peningkatan sosialisasi pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar melalui berbagai media yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat;
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
119
f) Peningkatan profesionalisme melalui pendidikan dan pelatihan tenaga pendidik anak usia dini dan pendidikan dasar; g) Pengembangan sistem monitoring kualitas pendidikan; h) Pengintegrasian layanan pendidikan anak dengan layanan kesehatan dan peningkatan gizi secara holistik; i) Perbaikan sistem dan kualitas data/ informasi mengenai pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar; dan g) Pengembangan pusat-pusat rujukan pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar di semua wilayah, bekerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan masyarakat dan unit-unit pelaksana teknis.
Sejak tahun 1990 sampai 2000, pemerintah fokus pada Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program pemberantasan buta huruf yang dikenal dengan Program Paket A dan B menjadi wajib belajar jalur non formal (PP Nomor 47 Tahun 2008 pasal 3 ayat 3). Pada hakikatnya wajib belajar memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau. Program Wajib Belajar dilaksanakan sejak tahun 1984 (Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun). Setelah 10 tahun disambung dengan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sejak 1994, melalui Instruksi presiden (Inpres) No.1 Tahun 1994. Wajib belajar merupakan program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.
Program Wajib Belajar Di Indonesia, program wajib belajar tidak bisa dipisahkan dengan program pemberantasan buta huruf. Sebelum Indonesia merdeka, program tersebut telah dilaksanakan dan dikenal dengan nama “Kursus ABC”. Tahun 1951, pemerintah merancang “Rencana Pendidikan Masyarakat 10 Tahun” yang akan memerangi buta huruf selama 10 tahun. Namun tahun 1960, 40% penduduk masih buta huruf. Pada tahun itu pula, Presiden memutuskan buta huruf akan hapus di tahun 1964. Tanggal 31 Desember 1964, tulis Jalal dan Nina, diumumkan bahwa seluruh penduduk berusia 13-45 tahun, kecuali di Irian, telah bebas dari buta huruf. Mereka mampu menulis dan membaca kalimat-kalimat sederhana.
Setelah UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama sebagai pelaksanaan 34 (4) pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2008. Pasal 2 dari PP ini menjelaskan program wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara Indonesia. Sedangkan tujuan wajib belajar adalah memberikan pendidikan minimal bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Tetapi akses pendidikan anak usia 6 -11 tahun masih terbatas dan angka buta huruf terus bertambah. Tahun 1966 -1979, Indonesia mengadopsi “Melek Huruf Tradisional” (traditional literacy) dari UNESCO. Menurut metode ini, peserta diajarkan bagaimana membaca dan menulis juga keterampilan. Belakangan, metode itu dikenal sebagai “The Functional Literacy Programm”. Program ini tidak untuk memberantas buta huruf sebanyak mungkin tetapi lebih kepada meningkatkan produksi kelompok peserta buta huruf. Pemerintah bekerja sama dengan perusahaan dan institusi lain yang pekerjanya masih buta huruf.
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun seperti disebutkan di atas merupakan amanat konstitusi yang dijalankan pemerintah dan tertuang dalam PP No. 47 Tahun 2008. Konsekuensinya, pemerintah harus menyiapkan anggaran untuk pelaksanaan program tersebut. Dalam PP tersebut, pasal 10 menjelaskan pemerintah harus menyediakan dana investasi lahan, sarana, dan prasarana lain. Pada pasal 11, pemerintah dan pemerintah daerah juga menjamin tersedianya pendidik, tenaga kependidikan, dan biaya operasional setiap satuan pendidikan penyelenggara wajib belajar, dalam hal ini tingkat dasar.
Tahun 1970 - 1990, Indonesia mengimplementasikan Program Paket A. Program ini diadopsi dari konsep “lingkaran spiral”. Menurut konsep “lingkaran spiral”, belajar dan mengajar diawali dengan isu kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Pada periode ini pula dicanangkan Wajib Belajar 6 Tahun. Indonesia berhasil memberantas buta huruf secara signifikan. Pada tahun 1994, Presiden RI menerima “Avicenna Award” dari UNESCO.
Pada sisi pembiayaan pendidikan berdasarkan Pasal 34 ayat 2, PP No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar menyatakan bahwa,“Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Dengan demikian, biaya pendidikan dasar sembilan tahun, SD dan SLTP, tidak dibebankan lagi pada siswa sekolah ataupun keluarganya
120 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
121
Kebijakan mengenai Dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) Mengenai pendanaan pendidikan, PP No. 48 Tahun 2008 dengan tegas menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan tingkat dasar yang diselenggarakan pemerintah dan pemerintah daerah sepenuhnya ditanggung pemerintah. Biaya investasi lahan (pasal 7) dan investasi non lahan (pasal 10) lembaga yang diselenggarakan pemerintah menjadi tanggung jawab pemerintah dan dialokasikan dalam anggaran pemerintah. Dengan demikian, konsekuensi logis dari wajib belajar (wajar) adalah keharusan pemerintah menyediakan dana untuk pendidikan tingkat dasar. Dalam istilah yang populer, pendidikan dasar gratis. Pengertian Wajar Dikdas gratis versi pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), hanya mencakup biaya operasional sekolah seperti uang sekolah dan gaji guru, serta biaya investasi yang meliputi penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap yang penggunaannya lebih dari satu tahun. (Depdiknas, 2008) Biaya transportasi siswa dari rumah ke sekolah masih dibebankan pada orang tua murid. Pembiayaan merupakan salah satu persoalan dalam pemerataan akses pendidikan. Oleh karena itu, salah satu kebijakan strategis Departemen Pendidikan Nasional untuk pemerataan akses pendidikan adalah menghapus hambatan biaya (cost barriers) melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang pendidikan dasar (dikdas) baik pada sekolah umum maupun madrasah milik pemerintah atau masyarakat, yang besarnya dihitung berdasarkan unit cost per siswa dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Disamping itu, ada pula kebijakan pemberian bantuan biaya personal terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin pada jenjang dikdas melalui pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut. Secara bertahap BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan formula (formula-based funding) yang memperhitungkan siswa miskin maupun kaya serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat. Selanjutnya, mengenai pendanaan Program Wajib Belajar, pasal 9 ayat 1 dari PP No.47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar, menyebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Dengan demikian, pembiayaan pendidikan dasar di sekolah milik
122 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
pemerintah sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah, tanpa memungut biaya dari masyarakat. Namun, pendidikan yang diselenggarakan masyarakat, pembiayaan untuk investasi lahan, sarana, dan prasarana lain merupakan tanggung jawab badan hukum penyelenggara satuan pendidikan. Terlepas dari hal tersebut, pemerintah atau pemerintah daerah wajib memberikan bantuan biaya pendidikan kepada orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anak mereka. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto mengungkapkan perkiraan kebutuhan biaya operasional per siswa per tahun untuk SD sebesar Rp 1.109.000, sedangkan untuk SMP sebesar Rp 1.595.000. Setiap tahun, pemerintah membutuhkan biaya Rp 29.790 triliun untuk 26.862.332 siswa SD, namun hanya mampu menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp 6,823 triliun. Sedangkan untuk SMP, pemerintah membutuhkan biaya sebesar Rp 14,379 triliun bagi 9.015.069 siswa. Dana BOS sendiri secara khusus bertujuan, untuk : 1). Menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta. 2). Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri dari biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). 3) Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta. Besar biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS Buku, dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan : - SD/SDLB di kota : Rp 400.000,-/siswa/tahun - SD/SDLB di kabupaten : Rp 397.000,-/siswa/tahun - SMP/SMPLB/SMPT di kota : Rp 575.000,-/siswa/tahun - SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten : Rp 570.000,-/siswa/tahun Kondisi ini masih mengharuskan siswa membayar sejumlah uang lainnya ke sekolah, seperti masih ada sekolah yang memungut uang buku, uang OSIS, uang seragam dan sebagainya.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
123
Kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui Penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) Dakkar Framework for Action menyebutkan persoalan wajib belajar (compulsory education) tidak hanya menyangkut akses terhadap pendidikan, tetapi yang terpenting bagaimana pendidikan yang berkualitas dapat dinikmati oleh semua orang. Seperti diketahui, wajib belajar sesungguhnya adalah adalah “free and compulsory education of good quality for all by 2015”. Lebih jauh, dokumen tersebut menyebutkan ada empat elemen pendidikan berkualitas, yaitu : 1. Media pembelajaran yang tepat mono atau multimedia 2. Kecukupan isi kurikulum secara kultural 3. Metode pembelajaran yang profesional 4. Finansial dan material yang cukup. Pendidikan yang berkualitas dapat dilihat dari pemenuhan standar yang ditetapkan. PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional menyatakan pendidikan yang bermutu harus memenuhi delapan standar pendidikan, yaitu : 1. Standar isi; 2. Standar proses; 3. Standar kompetensi lulusan; 4. Standar pendidik dan tenaga kependidikan; 5. Standar sarana dan prasarana; 6. Standar pengelolaan; 7. Standar pembiayaan;dan 8. Standar penilaian pendidikan. Pemerintah menyatakan telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, seperti perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan mutu dan kualitas guru sampai pada penyelenggaraan ujian nasional yang banyak menimbulkan kontroversi karena dianggap diskriminatif dan tidak memihak siswa. Hal itu ditegaskan dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang ujian nasional (UN) yang digelar Depdiknas pada tanggal 14 September 2009 yang lalu. Kasasi yang diajukan pemerintah ditolak MA. Berdasarkan putusan MA, ujian nasional ditiadakan, dengan kata lain pemerintah dilarang menyelenggarakan ujian nasional sebagai satu-satunya syarat kelulusan siswa.
Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah meyakini penyelenggaraan UN sangat penting. Pemerintah menyelenggarakan UN berdasarkan PP No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan penilaian belajar dilakukan oleh guru, kemudian oleh satuan pendidikan sekolah, dan yang ketiga oleh pemerintah melalui UN (pasal 66). Pasal 68 menyatakan hasil UN akan digunakan untuk (1). pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, (2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya, (3) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, (4) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Jika dapat direalisasikan, hal ini memang sangat ideal sekali. Berdasarkan versi pemerintah ujian nasional juga untuk meningkaktan mutu pendidikan dan standarisasi pendidikan sebagaimana yang diharuskan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 50 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan di Daerah, pasal 1 ayat 1 menyatakan pemerintah daerah harus melaksanaan pengelolaan pendidikan di daerah berdasarkan standar pendidikan nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Analisa Kesesuaian Pendidikan Universal dan Gratis Walau Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya pada tahun 2005. Namun ternyata UUD 1945 pasca amandemen yang seyogyanya menjadi dasar bagi pembuatan undang-undang tidak konsisten dalam mengatur apakah hanya warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan pendidikan atau seluruh orang yang berada di Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Pasal 28c ayat 1 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Namun pasal 31 ayat 1 UUD 1945 pasca amandemen menyebutkan hanya warga negara berhak mendapat pendidikan. Dengan demikian pasal 31 ayat 1 ini mengingkari pasal 28c ayat 1 dan Konvensi Hak Anak, pasal 28 ayat 1 point a. Pasal 31 ayat 1 ini diikuti oleh pasal 5 ayat 1 UU Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan hanya warga negara yang memiliki hak sama untuk memperoleh pendidikan. Undang-Undang Perlindungan Anak ternyata juga tidak mematuhi Konvensi Hak Anak. Pada pasal 28 ayat 1 point a KHA, jelas menyatakan bahwa pendidikan dasar adalah wajib dan cuma-cuma. Namun UU No. 23
124 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
125
Tahun 2002 tidak mengatur soal pendidikan gratis. UU Perlindungan Anak, pasal 48 hanya mengatur bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar sembilan tahun. Siapa yang membiayai pendidikan dasar tersebut, dialihkan dari kewajiban utama pemerintah menjadi tanggung bersama antara pemerintah dan masyarakat. UU Sisdiknas Pasal 46 ayat 1 menyatakan pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pasal 48 dari UU No.23 Tahun 2002 juga bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 point a dan pasal 1 tentang definisi anak. Di sana disebutkan pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal sembilan tahun untuk semua anak. Pendidikan dasar sembilan tahun artinya mencakup pendidikan pada tingkat SD dan SLTP pada rentang usia 7 – 15 tahun. Sementara pasal 1 dalam KHA meenyebutkan anak adalah setiap individu berusia di bawah 18 tahun dan kemudian disebutkan dalam pasal 28 ayat 1 point a bahwa negara peserta akan membuat pendidikan dasar dan secara gratis bagi semua anak, dimana anak yang dimaksud merujuk pada pasal 1 KHA sendiri. Pengalihan tanggung jawab biaya pendidikan dari pemerintah pada masyarakat ini kemudian ditegaskan dalam PP No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar. PP ini menyatakan masyarakat sipil untuk ikut bertanggung jawab dalam menggangung biaya pendidikan dasar sembilan tahun. Ayat 4 PP No.47 berbunyi,”Pemerintah dan pemerintah daerah membantu pembiayaan penyelenggaraan program wajib belajar yang diselenggarakan masyarakat. Kata ”membantu” dalam ayat 4 mencerminkan tanggung jawab yang tidak sepenuhnya dari pemerintah atas penyelenggaraan pendidikan. Pengalihan tanggung jawab ini kemudian ditegaskan kembali pada ayat 7 yang menyatakan,”Pendanaan wajib belajar dapat berasal dari masyarakat atau sumbangan lain yang tidak mengikat.” Tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah dalam membiayai pendidikan kemudian diinterpretasikan pada tingkat kabupaten kota sebagai “kewajiban” orang tua untuk membiayai pendidikan dasar anak-anak mereka. Dari 42 anak setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara yang dipantau pada September 2009 – Maret 2010 dibebani biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua mereka, sebesar Rp 600.000 – Rp 1300.000 per tahun. Ada pun biaya ini untuk buku LKS, uang tes, uang
126 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
praktek, uang SPP, uang hari guru, iuran 17 agustus, iuran Isra' Mi'raj, sumbangan dukacita, sumbangan agama, transportasi ke dan dari sekolah, dan biaya seragam sekolah. Padahal sekolah dari anak-anak yang disurvei ini sudah mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Anak Putus Sekolah Akibat dari tidak jelasnya aturan Undang-Undang Pendidikan Nasional maupun Undang-Undang Perlindungan Anak serta PP Tentang Pembiayaan Sekolah Dasar maka beban biaya pendidikan kembali diberikan kepada orang tua. Akibatnya anak-anak dari orang tua yang tidak mampu membiayai pendidikan sekolah menjadi korban karena tidak dapat melanjutkan sekolah. Tabel di bawah ini menunjukkan secara nasional angka partisipasi sekolah untuk tingkat SLTA (penduduk usia 1618 tahun), jauh lebih rendah dari jenjang pendidikan lainnya. Tabel 1. Angka Partisipasi Sekolah Nasional No 1 2 3
Usia penduduk 7-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun
Persentase partisipasi Sekolah 97.83 % 84,41 % 54,7 %
Sumber: Data BPS 2009
Tabel di atas menyimpulkan makin tinggi jenjang pendidik, maka tingkat partisipasi sekolahnya makin rendah. Situasi ini sejalan dengan semakin tingginya pembiayaan sekolah yang harus ditanggung keluarga ketika masuk pada jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dari 55 anak yang drop out dari sekolah setingkat SD dan SLTP, (69% diantaranya adalah anak laki-laki), di Kabupaten Deli Serdang dan Kotamadya Medan diketahui bahwa 61,8% diantaranya disebabkan karena keluarga tidak mampu membiayai sekolah anaknya. Sementara penyebab lainnya adalah anak tidak mau lagi sekolah, jarak sekolah yang jauh, dan alasan lain yang tidak cukup jelas. Lihat tabel di bawah ini: Tabel 2 Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah No Data Anak Putus Sekolah 1 Faktor ekonomi keluarga tidak mampu 2 Meninggal Dunia 3 Putus sekolah tanpa alasan jelas 4 Jarak tempuh sekolah cukup j auh 5 Kemauan sendiri Jumlah Sumber: hasil pemantauan KKSP, 20010
Jumlah 34 orang 1 orang 4 orang 1 orang 15 orang 55 orang
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
127
Hasil pemantauan KKSP ini sejalan dengan laporan Millenium Development Goals Indonesia tahun 2007 yang menyebutkan Perkembangan angka putus sekolah sendiri mempunyai kecenderungan meningkat sejak tahun ajaran 2001/2002 sampai 2005/2006. Dari 27 juta anak usia 7-12 tahun, antara tahun ajaran 2001/2002-2002/2003 terdapat 683 ribu atau 2,66 persen siswa sekolah dasar yang putus sekolah, meningkat menjadi 767,8 ribu atau 2,97 persen pada 2002/2003-2003/2004, meningkat lagi menjadi 777 ribu atau 2,99 persen pada 2003/2004-2004/2005, dan lagi-lagi meningkat menjadi 824,7 ribu atau 3,17 persen pada 2004/2005-2005/2006 (laporan Pencapaian MDGs Indonesia 2007).
Biaya Operasional Sekolah (BOS) Pada dasarnya Program BOS untuk membantu anak-anak dan sekolah dalam membiayai operasional pendidikan, khususnya anak-anak dari keluarga kurang mampu. Latar belakang BOS adalah pencegahan krisis ekonomi yang berdampak negatif terhadap akses masyarakat miskin terhadap pendidikan serta menghambat pencapaian wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Pada praktiknya setiap sekolah yang ingin mendapatkan BOS harus mengajukan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Deli Serdang. Setelah diverifikasi staff pendidikan Kabupaten Deli Serdang, dana diberikan kepada sekolah melalui rekening sekolah (bila sekolah swasta ke rekening yayasan yang menaungi sekolah). Sekolah yang dianggap sudah mapan oleh Dinas Pendidikan kabupaten/kota tidak akan mendapatkan dana BOS. Penggunaan dana BOS yang sudah dikirimkan ke rekening sekolah untuk membayar gaji guru (pada beberapa sekolah swasta dengan alasan sekolah swasta tidak punya budget untuk membayar gaji guru), dan biaya operasional sekolah. Namun sayangnya tidak ada sistem monitoring yang sistematis dari Dinas Pendidikan di tingkat kecamatan atau kabupaten, apakah dana BOS sudah sesuai dengan peruntukkannya atau tidak. Pihak sekolah juga menyatakan tidak ada kewajiban bagi sekolah untuk melaporkan penggunaan dana BOS pada Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota.
128 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Selama periode pemantauan, Dinas Pendidikan Kabupaten Deli Serdang tidak pernah melakukan monitoring. Dengan demikian, tidak pernah diketahui apakah BOS berjalan efektif dan memberikan dampak positif pada proses pendidikan anak (interview dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Deli Serdang dan staff pemantau, 2010).
Hak Pendidikan Bagi Anak-Anak yang Hamil Kebijakan khusus terkait perlindungan terhadap siswi hamil dari masalah putus sekolah belum diatur dalam kebijakan pemerintah di Indonesia. Undang-Undang Sisdiknas memang tidak mengatur tentang situasi khusus pada siswa atau siswi termasuk siswi yang hamil. Undang-Undang Perlindungan Anak (pasal 49) mengatur secara umum bahwa anak harus diberi kesempatan seluas-luasnya dalam mendapatkan pendidikan, tanpa ada pengecualian pada anak manapun. Pada praktiknya di Sumatera Utara masih ditemui sejumlah kasus dimana remaja hamil yang masih sekolah tidak mendapatkan hak atas pendidikan. Siswi yang diketahui hamil akan dikeluarkan dari sekolah, sehingga akhirnya siswi tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Seorang siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta di Provinsi Sumatera Utara menuturkan bahwa kakak kelasnya hamil dan dikeluarkan dari sekolah. Pihak sekolah memang tidak mengijinkan siswa yang sedang hamil melanjutkan sekolah, karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah. Hal yang sama dituturkan siswa setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Medan. Ia melihat siswi hamil tidak diijinkan melanjutkan sekolah oleh pihak sekolah. Biasanya siswi yang hamil akan langsung dikeluarkan dari sekolah (Hasil konsultasi anak untuk laporan tinjauan pelaksanaan CRC di Indonesia 2010).
Kekerasan di Sekolah Pada dasarnya pemerintah telah mengatur perlindungan anak dari kekerasan di lingkungan sekolah melalui UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, pasal 54 yang berbunyi,” Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
129
Walau Indonesia telah memiliki instrumen hukum dalam perlindungan anak dari kekerasan di lingkungan sekolah, namun Indonesia tidak memiliki kebijakan yang mengatur pencegahan dan penanganan kasuskasus kekerasan di sekolah. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi ditangani secara umum oleh pihak kepolisian dengan proses dan waktu yang sangat panjang serta belum dapat dipastikan prosesnya berdasarkan prinsipprinsip penghargaan sebagai korban dan standar hak asasi manusia. Ketiadaan kebijakan mengenai pencegahan, termasuk pendidikan pada guru dan penanganan kekerasan di sekolah, semakin diperburuk dengan tidak adanya kode etik dalam pembelajaran di sekolah. Berdasarkan data hasil pemantauan baik pada anak yang putus sekolah maupun anak yang masih bersekolah di Kabupaten Deli Serdang dan Kotamadya Medan, diketahui anak masih mendapat kekerasan di sekolah mulai dari kekerasan oral hingga yang berbentuk corporal punishment. Dari 42 anak yang berada di sekolah, jenis kekerasan yang mereka terima selama sekolah dapat dilihat pada tabel berikut; Tabel 3 Jenis kekerasan yang diterima anak selama bersekolah No
Jenis Kekerasan Disekolah
1 Dipukul 2 Dicubit 3 Dimarahi 4 Distrap 5 Dibentak 6 Disuruh Pompa 7 Diomeli 8 Dijemur 9 Disuruh hormat bendera 10 Scot Jump 11 Dijewer 12 Push Up 13 Lari keliling lapangan 14 Kutip sampah/bersihkan halaman 15 Ditampar Jumlah Sumber: Pemantauan KKSP 2009-2010
Jumlah Anak yang menerima Kekerasan 11 orang 9 orang 23 orang 11 orang 2 orang 3 orang 1 orang 4 orang 1 orang 2 orang 2 orang 1 orang 3 orang 3 orang 3 orang 42 repsonden
Dari tabel di atas dapat dilihat ada lima belas jenis kekerasan yang diterima anak di lingkungan sekolah mulai diomeli hingga ditampar, dengan pelaku seluruhnya adalah guru yang seharusnya menjadi model
130 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
bagi anak didik. Dari tabel itu juga dapat dilihat bahwa setiap anak cenderung mendapatkan lebih dari satu kekerasan di sekolah. Coba lihat penuturan salah seorang anak bernama N dari SMP di Deli Serdang. ”Di SD kelas III, Kelas IV, Kelas V, Kelas VI dimarahi karena tidak mengerjakan PR. Saat SD Kelas V, Kelas VI (dimarahi karena terlambat datang ke sekolah), saat SMP kelas VII dibentak guru karena sepatu rusak dan warnanya pudar waktu ada acara kegiatan di sekolah, dihukum pompa karena tidak renang, SMP, kelas VII dimarahi karena tidak kerjakan PR.” (interview, 2010) Adapun frekuensi kekerasan yang dialami oleh 42 anak di sekolah dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 4 Frekuensi kekerasan berdasarkan jenis kekerasan yang diterima di sekolah No
Frekuensi Kekerasan
1 Sekali dalam seminggu 2 Sekali dalam dua minggu 3 Sekali dalam sebulan 4 Sekali dalam dua bulan 5 Sekali dalam tiga bulan 6 Sekali dalam enam bulan 7 Sekali dalam setahun 8 Dua kali dalam satu bulan 9 Dua kali dalam enam bulan Jumlah Sumber: Data pemantauan 2009-2010
Jumlah Anak yang Mendapat Kekerasan 6 1 30 2 10 26 6 5 4 42 orang
Tabel di atas menunjukkan bahwa ada 30 orang anak (71,4%) mendapat kekerasan minimal sekali dalam sebulan. Bahkan 6 orang anak (14,2%) mendapatkan kekerasan di sekolah sekali seminggu. Walau terlalu dini untuk mengeneralisir bahwa ada 14,2% anak di Deli Serdang yang mendapat perlakukan kekerasan di sekolah, data ini cukup menunjukkan bagaimana ikekerasan terus terjadi di sekolah. Sebagai perbandingan di Sumatera Utara, sepanjang tahun 2008, data yang dihimpun oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat menunjukkan ada 373 kasus 1 kekerasan pada anak di sekolah. 1
Pertemuan pembahasan Refleksi Akhir Tahun oleh tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsern dalam isu anak di Sumut, yakni KKSP (Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak), Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan Pusaka Indonesia (PI) di Sekretariat KKSP di Medan, Jumat, 26 Desember 2008.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
131
Data yang diperoleh dari pemantauan KKSP -- hasil kompilasi LSM di Sumatera Utara -- tidak jauh berbeda dari hasil survey UNICEF yang menyatakan bahwa di Jawa Tengah, sebanyak 80% guru mengaku pernah menghukum anak-anak dengan berteriak kepada mereka di depan kelas, 55% guru mengaku pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas sebagai hukuman. Di Sulawesi Selatan, 90% guru mengaku pernah menghukum murid dengan berdiri di depan kelas, 73% pernah berteriak kepada murid di depan kelas dan 54% pernah menyuruh murid membersihkan atau mengelap toilet. Di Sumatera, 90% guru mengaku pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas sebagai hukuman dan 80% pernah berteriak kepada murid dengan kasar di depan kelas. Berdasarkan laporan UNICEF tersebut, semua bentuk hukuman yang mempermalukan dan merendahkan harga diri dan kemampuan anak ini masih sering terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia.
Bagian 4 Situasi Hak Anak Atas Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
SITUASI HAK ANAK ATAS KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN DASAR Disusun oleh Medda Maya Pravita Direktur YLPS. Human Yogyakarta BAB I. Pendahuluan Tulisan ini adalah deskripsi tentang pelaksanaan hak anak atas kesehatan dan kesejahteraan dasar di Indonesia. Dasar yang dipakai untuk menganalisis adalah Konvensi Hak Anak PBB (UN-CRC) dan Konvenan Ecosoc. Kurun waktu kajian ini adalah sekitar tahun 2009. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak yang mengatur kewajiban negara untuk mengambil langkah legislatif, administratif dan langkah-langkah lain untuk melaksanakan hak-hak anak. Ada tiga kewajiban utama yang diemban negara (melalui lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dalam rangka menjamin pemenuhan hak anak, yaitu: kewajiban “menghormati”, “melindungi”, dan “memenuhi”. Dengan demikian, kajian ini akan diarahkan untuk mendeskripsikan sejauh mana kewajiban negara, baik pada level perundang-undangan, kebijakkan maupun implementasinya, dalam “menghormati”, “melindungi, dan “memenuhi” hak anak atas kesehatan di Indonesia. Indikator kesehatan yang digunakan mengacu pada Kovenan ECOSOC, yang secara jelas memuat beberapa indikator kesehatan, yakni : (1) Ketersediaan (availability) : berfungsinya fasilitas kesehatan, obatobatan dan pelayanan kesehatan publik serta program-program kesehatan mesti dapat dinikmati oleh setiap orang. (2) Aksesibilitas (accessibility) : fasilitas dan layanan kesehatan mesti dapat diakses secara layak bagi semua orang tanpa diskriminasi. Prinsip non diskriminasi mensyaratkan bahwa kelompok yang rentan semestinya mendapatkan jaminan pemenuhan hak atas kesehatan. (3) Akseptabilitas (acceptability) : semua fasilitas kesehatan mesti dilaksanakan berdasarkan etika medis dan kebudayaan, seperti penghormatan budaya individu, minoritas, penduduk dan komunitas, dan memenuhi prinsip-prinsip sensitive gender. (4) Kualitas (quality) : prinsip kualitas mempunyai arti secara medis dan ilmu pengetahuan (scientifically) layak dan berkualitas baik. Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
135
Keberhasilan atau kegagalan program yang dilakukan pemerintah merupakan hasil dari implementasi regulasi dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan demikian, praktik program kesehatan yang dilaksanakan pemerintah dapat dikatakan sebagai ”variabel terpengaruh”, sedangkan regulasi dan peraturan perundang-undangan yang ada merupakan ”variabel berpengaruh”. Meski demikian, aspek perundang-undangan itu sendiri perlu disoroti apakah cukup layak menjadi variabel berpegaruh, dalam arti apakah perundang-undangan yang berlaku itu sudah memenuhi kreteria seperti yang diamanatkan oleh Konvensi Hak Anak. Dengan asumsi dasar ini maka lesson learn akan menjadi ajang evaluasi dan alternatif solusi bagi pemerintah, dalam artian Departemen Kesehatan sebagai pengemban kewajiban pembangunan kesehatan merupakan sub sistem dari sebuah sistem kenegaraan yang saling terkait.
BAB II. Dasar Hukum dan Kebijakkan Terkait Hak Anak atas Kesehatan Instrumen Internasional: Konvensi Hak Anak dan ECOSOC Cluster Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar dalam Konvensi Hak Anak diatur dalam beberapa pasal, yakni pasal 6, 18 (para 3), 23, 24, 26, dan 27 (para 1-3). Pada Intinya ada tiga hal penting terkait kesehatan dalam Konvensi Hak Anak. Pertama, tentang hak anak penyandang cacat; kedua, tentang standar kesehatan anak, termasuk soal Kesehatan Ibu dan anak, gizi, aspek sanitasi, hingga kesehatan remaja; dan ketiga, tentang jaminan sosial. Anak yang cacat secara fisik dan mental berhak atas perawatan khusus (pasal 23). Dengan demikian negara wajib memberikan penghormatan terhadap anak cacat agar memperoleh kehidupan yang utuh dan layak dalam kondisi yang menjamin martabat, meningkatkan kemandirian dan pertisipasi anak dalam masyarakat. Selajutnya negara juga wajib menyediakan (memenuhi) sarana pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus bagi anak handy capped, dan untuk orang tua/wali yang tingkat ekonominya rendah, harus diberikan secara cuma-cuma. Dengan sendirinya negara tidak boleh melakukan tindakan yang berakibat ada anak cacat tidak bisa menikmati layanan
136 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
kesehatan, sekaligus harus melindungi setiap anak cacat dari tindakan pihak ketiga yang membuat anak tidak dapat menikmati layanan kesehatan/kesejahteraan dasar. Setiap anak berhak mendapatkan standar kesehatan tertinggi, yang oleh negara wajib dihormati dan diakui (pasal 24). Berdasarkan hal itu, negara harus mengambil langkah-langkah dalam melindungi anak dari berbagai praktek (tradisional) yang merugikan kesehatan anak. Berikutnya, negara wajib memenuhi semua indikator kesehatan anak yang meliputi: (a) Menurunkan angka kematian bayi dan anak; (b) Menjamin pemberian bantuan medis dan perawatan kesehatan yang diperlukan bagi semua anak dengan penekanan kepada pengembangan perawatan kesehatan dasar; (c) Memerangi penyakit dan malnutrisi, termasuk dalam kerangka perawatan kesehatan dasar, melalui, antara lain, penerapan teknologi yang tersedia serta melalui pengadaan makanan bergizi dan air minum bersih secukupnya, dengan memperhitungkan bahaya-bahaya serta resikoresiko akibat polusi lingkungan; (d) Menjamin perawatan kesehatan pre-natal dan post-natal bagi para ibu; (e) Menjamin agar semua lapisan masyarakat, khususnya orang tua dan anak mendapat informasi, memperoleh kesempatan pendidikan, dan memperoleh dukungan dalam pemanfaatan pengetahuan dasar mengenai kesehatan, dan nutrisi anak, manfaat pemberian air susu ibu, kesehatan, dan sanitasi lingkungan serta pencegahan penyakit; (f) Mengembangkan perawatan kesehatan preventif, panduan bagi orang tua serta pendidikan dan layanan keluarga berencana. Konvensi Hak anak juga menekankan bahwa anak berhak atas jaminan sosial termasuk asuransi sosial (pasal 26). Artinya negara wajib memberikan pengakuan terhadap hak anak atas jaminan sosial termasuk asuransi sosial, sistem keamanan sosial, sekaligus harus melindungi setiap anak dari tindakan pihak lain yang membuat anak tidak menikmati jaminan sosial termasuk asuransi sosial tersebut. Selanjutnya negara melalui otoritas terkait wajib mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mencapai realisasi sepenuhnya atas hak ini sejalan dengan undangundang nasional yang berlaku. Anak berhak untuk memperoleh standar kehidupan yang memadai demi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (Pasal 27 ay. 1-3) Dengan demikian negara wajib mengakui hak tersebut yang Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
137
dilanjutkan dengan upaya melindungi setiap anak dari tindakan pihak ketiga yang membuat anak tidak menikmati standar kehidupan yang memadai. Negara juga wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membantu orang tua dan orang-orang lain yang bertanggung jawab atas anak untuk melaksanakan hak ini dan bilamana perlu wajib memberikan bantuan material serta program dukungan, khususnya menyangkut nutrisi, pakaian dan perumahan. Selain KHA, Indonesia juga sudah meratifikasi International Covenan on Economic, Social and Cultural Right (Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) melalui Undang-Undang No.11 Tahun 2005. Konvenan ini juga memuat tentang hak anak atas kesehatan, antara lain: Pasal 10 menyatakan negara pihak pada Konvenan mengakui bahwa perlindungan atas bantuan seluas mungkin harus diberikan kepada keluarga yang merupakan kelompok alamiah dan mendasar dari satuan masyarakat, terutama terhadap pembentukannya, dan sementara itu keluarga bertanggung jawab atas perawatan dan pendidikan anak-anak yang masih dalam tanggungan. Perlindungan khusus harus diberikan pada kaum ibu dalam waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan. Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan bantuan harus diberikan untuk kepentingan semua anak dan remaja, tanpa diskriminasi apa pun berdasarkan ketentuan atau keadaan-keadaan lain. Pasal 11 menyatakan negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluargannya termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terusmenerus. Negara pihak mengakui hak mendasar dari setiap orang untuk terbebas dari kelaparan. Selanjutnya Pasal 12 menyatakan negara pihak pada Konvenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang bisa dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Perundang-undangan Nasional Bagian ini akan memaparkan aturan undang-undang nasional yang terkait dengan cluster kesehatan, yakni hak anak penyandang cacat; standar kesehatan anak; dan tentang jaminan sosial.
138 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Tentang hak penyandang cacat (anak) di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Setiap penyandang cacat memperoleh hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (pasal 6 angka 6). Dalam bagian penjelasan dikatakan ketentuan ini dimaksudakan agar penyandang cacat anak memperoleh hak untuk hidup dan menjalani sepenuhnya kehidupan kanak-kanak serta untuk mendapatkan perlakuan dan pelayanan secara wajar baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Problema dari Undang-Undang No.4 Tahun 1997 ini adalah tidak ada aturan pelaksanaannya. Padahal secara jelas dinyatakan undang-undang ini membutuhkan banyak peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur pelaksanaannya. Misalnya saja pasal 18 yang mengatur mengenai upaya rehabilitasi oleh pemerintah, di sana disebutkan, “akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah”. Demikian pula pasal 29 tentang sanksi administratif bagi pihak yang tidak menyediakan sarana aksesbilitas bagi penyadang cacat. Kelemahan lain dalam implementasi undang-undang ini adalah ketidakjelasan tentang lembaga mana yang harus memenuhi dan memberi perlindungan hak bagi penyandang cacat. Dengan kata lain, tidak ada kejelasan institusi pemerintah yang dimaksud sebagai pelaksana, misalnya departeman tertentu atau kementrian tertentu. Dengan demikian, undang-undang ini sekedar menyatakan hak tanpa memberikan mekanisme untuk mengklaim hak tersebut. Ketidakjelasan pengaturan juga terjadi dalam konteks perencanaan peraturan, ketika mengatur soal upaya dalam bab V. Undang-undang ini menyatakan bahwa pelaksanaan rehabilitasi, bantuan sosial dan peningkatan taraf hidup penyandang cacat adalah “pemerintah dan/masyarakat”. Ada kesan bahwa pihak pemerintah berusaha membagi apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya itu kepada masyarakat/warga negara. Dari kenyataan di atas, dapat disimpulkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 belum memberikan jaminan yang memadai untuk melindungi dan terpenuhinya hak-hak anak penyandang cacat.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
139
Akhir tahun 2009 UU No.36 Tentang Kesehatan disahkan. UU baru ini juga memuat aturan terkait penyandang cacat, khususnya pada pasal 139 dan pasal 140. Pasal 239 menyatakan upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat. Dinyatakan juga pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Pasal 140 menyatakan upaya pemeliharaan kesehatan bagi penyandang cacat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Undang-undang ini, karena masih baru, belum memiliki aturan pelaksanaannya. Selain undang-undang di atas, PP No.43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Cacat juga menekankan upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat dilaksanakan melalui kesamaan kesempatan, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Rencana Aksi Nasional Penyandang Cacat Indonesia 2004 – 2013 juga pernah dirumuskan, yang diantaranya merencanakan tentang Asosiasi Keluarga dan Orang Tua Penyandang cacat, dan Deteksi Dini, Intervensi dan Pendidikan. Tetapi RAN tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan karena tidak jelas pihak mana yang berfungsi sebagai leading sector. Tentang Kesehatan Dasar, ada tiga undang-undang yang penting terkait kesehatan anak secara umum, yakni UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan; UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, menempatkan masalah kesehatan anak pada bagian pengaturan mengenai kesehatan keluarga, terutama kesehatan ibu dan anak, yang terinci dalam beberapa pasal. Pasal 17 misalnya menyatakan kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Kesehatan anak ini dilakukan melalui peningkatan kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia pra sekolah dan usia sekolah. Terkait kesehatan pra dan pasca kelahiran, pasal 14 menyatakan kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa pra kehamilan, kehamilan, persalinan, pasca persalinan dan masa di luar kehamilan dan persalinan. Selajutnya UU ini juga mengatur tentang aborsi (pasal 15), dan juga tentang Kesehatan Sekolah (Pasal 45).
140 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Mengenai pelaksanaan pasal-pasal tersebut di atas (berdasarkan pasal 6, undang-undang tersebut), pemerintah bertugas mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Kelemahan UU ini adalah pasal-pasal di dalamnya tidak secara eksplisit mengatur hak anak atas (akses) fasilitas kesehatan, layanan kesehatan, dan obat-obatan. Dengan demikian UU ini dapat dikatakan tidak optimal dalam pengaturan tentang pemenuhan hak anak atas kesehatan. Sementara itu UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 44 ayat 3 menyatakan pemerintah menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan dan pelayanan gratis bagi masyarakat yang kurang mampu. Meski demikian, ketentuan pidana bagi pelanggar hak anak atas kesehatan belum memadai dalam undangundang ini. Beberapa ketentuan pidana secara spesifik hanya untuk kekerasan terhadap anak dan pengabaian hak atas kesehatan anak oleh orang tua atau pihak-pihak yang terkait. Dalam konteks kesehatan, undang-undang ini baru merupakan “deklarasi hak anak” dan belum memadai untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan pelayanan kesehatan terhadap anak oleh pemerintah. Dalam UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dinyatakan beberapa hal penting: upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama enam bulan, kecuali ada indiaksi medis. Selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus yaitu di tempat kerja dan tempat sarana umum. Dinyatakan juga bahwa pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas demi untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. Secara tegas UU ini juga menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya. Selanjutnya UU baru ini menyebutkan bahwa pemerintah,
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
141
pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Tentang jaminan sosial, ada dua UU yang secara langsung mengatur hal tersebut, yaitu Undang-undang No.6 Tahun 1974 Tentang KententuanKetentuan Pokok Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Dalam konsideran 'menimbang' dan 'mengingat' dari Undang-Undang No.6 Tahun 1974 terlihat undang-undang ini adalah semacam “peraturan pelaksanaan” dari pasal 34 UUD 1945 yang mengatur jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Secara eksplisit, pasal 34 UUD 1945 menyebutkan jaminan dipeliharannya anak-anak terlantar oleh negara. Logikanya Undang-Undang No.6 Tahun 1974 yang maksudnya untuk mengejawantahkan pasal 34 UUD 1945 harus memberikan skema yang rinci mengenai mekanisme pembiayaan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar oleh negara. Misalnya mengenai fasilitas apa saja yang diberikan negara untuk anak-anak tanpa pangasuhan atau anak-anak yang diasuh oleh institusi seperti panti-panti asuhan. Undang–Undang No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dimaksudkan untuk memberi jaminan bagi anggota keluarga (termasuk anak) dalam mendapatkan manfaat dari asuransi kesehatan orang tuanya. Selanjutnya, pasal 41 mencakup adanya hak yang diterima anak ahli waris sampai anak mencapai usia 23 tahun, bekerja atau menikah untuk menerima manfaat jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan. Meski dalam ketentuan umum disebutkan bahwa jaminan sosial didefinisikan sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak, akan tetapi peraturan ini cakupannya hanya dalam pengelolaan asuransi bagi pihak tertentu, seperti pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, dan pekerja swasta formal. Kebijakan Program dan Kelembagaan Terkait Hak Anak atas Kesehatan di Indonesia Visi Indonesia Sehat 2010 Departemen Kesehatan melalui SK Menkes No.1202/Menkes/v SK/VIII/2003 mengelurkan konsep pembangunan kesehatan
142 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
berkelanjutan, dikenal sebagai Visi Indonesia Sehat 2010. Visi Indonesia Sehat 2010 adalah semacam dokumen program kesehatan yang memproyeksikan masyarakat Indonesia yang mempunyai kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, sebagai salah satu unsur dari pembangunan sumber daya manusia Indonesia seutuhnya. Pengertian sehat di sini meliputi kesehatan jasmani, rohani, serta sosial dan bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan lainnya. Indonesia Sehat 2010 akan dicapai melalui berbagai program pembangunan kesehatan seperti tercantum dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas). Guna mempertegas Visi Indonesia Sehat 2010, pemerintah telah menetapkan indikator-indikator pencapaian secara lebih rinci. Di samping itu telah ditetapkan pula target yang ingin dicapai pada tahun 2010. Untuk implementasinya di tingkat daerah memang masih diperlukan penjabaran pokok-pokok program menjadi program pokok, standar pelayanan minimal, juga penetapan tolok ukur dan indikator kemajuan kesehatan. Sistem Kesehatan Nasional Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan dokumen panduan pembangunan kesehatan yang dikenal sebagai “Sistem Kesehatan Nasional”. Dokumen ini disusun berdasarkan pada asumsi bahwa pembangunan kesehatan merupakan pembangunan manusia seutuhnya untuk mencapai derajat kesehatan yang tertinggi, sehingga dalam penyelenggaraannya tidak bisa menafikan peran dan kontribusi sektor lainnya. Singkatnya, pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan bangsa. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) terdiri atas : · Upaya Kesehatan · Pembiayaan Kesehatan · Sumber Daya Manusia Kesehatan · Sumber Daya Obat dan Perbekalan Kesehatan · Pemberdayaan Masyarakat · Manajemen Kesehatan Jika kita runut, maka sub sistem yang cukup fundamental adalah pembiayaan kesehatan. Seistem Kesehatan Nasional (SKN) menekankan
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
143
bahwa tidak optimalnya pembiayaan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dan program lainnya, merupakan salah satu penyebab utama tidak tercapainya tujuan pembangunan kesehatan. Program Nasional Bagi Anak Indonesia (kelompok Kesehatan) Tahun 2004, Bappenas merumuskan Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2005-2015. Termasuk di dalamnya adalah Program Nasional Bagi Anak Indonesia kelompok Kesehatan. Hal ini merupakan pengejawantahan komitmen terhadap deklarasi WFC (a World Fit for Children) tahun 2002, di mana setiap negara yang terlibat dan meratifikasinya perlu mengembangkan suatu program nasional bagi anak. Ada empat area pokok yang mendapat perhatian khusus dalam deklarasi WFC tahun 2002, yaitu peningkatan hidup sehat, penyediaan pendidikan berkualitas, perlindungan dari abuse, eksploitasi, kekerasan, dan penanggulangan HIV/AIDS. Visi dan Misi Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) kelompok Kesehatan mengacu pada Visi Indonesia Sehat 2010. Adapun definisi sehat yang menjadi acuan adalah definisi dari WHO, yaitu “suatu keadaan yang tidak semata-mata bebas dari penyakit dan kecacatan, tapi mencakup suatu keadaan sehat fisik, mental, dan sosial”. Rumusan yang dibuat Bappenas terkait Program Nasional Bagi Anak Indonesia kelompok Kesehatan (2004) memaparkan beberapa isu strategis dalam kesehatan anak, antara lain adalah (1) tingginya angka kematian bayi terutama komponen neonatal, angka kematian balita dan angka kematian ibu. Selain itu kesenjangan angka kematian bayi, balita, dan ibu antar desa dan antarkota serta antarpropinsi di Indonesia masih besar dan sangat bervariasi; (2) tingginya prevalensi gizi kurang pada balita dan kesenjangan antardesa dan antarkota; (3) tingginya angka kesakitan karena penyakit-penyakit menular seperti campak, tetanus neonatorum, pneumonia, diare, tuberculosis, malaria, demam berdarah dengue, dan infeksi parasit perut; (4) terbatasnya ketersediaan sarana sanitasi dasar; (5) kecenderungan meningkatnya masalah kesehatan serta gangguan perilaku pada anak dan remaja, korban kekerasan terhadap anak; (6) terbatasnya akses anak termasuk remaja terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu baik ditingkat pelayanan dasar maupun rujukan.
144 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Berbagai isu strategis tersebut mengarahkan fokus pembangunan kesehatan di masa mendatang pada: (1) peningkatan kesehatan ibu dan neonatal, (2) peningkatan status gizi, terutama pada balita, (3) pencegahan dan penanggulangan penyakit menular, (4) pencegahan dan penanggulangan kecelakaan dan kekerasan, (5) penurunan ancaman lingkungan, (6) peningkatan kesehatan bayi, balita dan remaja, dan (7) promosi perkembangan psikososial dan kesehatan jiwa anak dan remaja. Program Nasional Bagi Anak Indonesia kelompok Kesehatan telah memasukkan Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai salah satu landasan pokok, khususnya empat prinsip dasar pemenuhan hak-hak anak. Selain itu dokumen ini juga dilandasi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA), khususnya pasal-pasal yang berhubungan dengan kesehatan; Undang-Undang Kesehatan; MDGs khususnya lima tujuan utama (dari 8 tujuan utama) yang terkait dengan kesehatan; dan deklarasi WFC yang memuat delapan prinsip yang mendasari gerakan global untuk menciptakan dunia yang cocok bagi anak. Kelembagaan Terkait Hak Anak atas Kesehatan di Indonesia Berbicara tentang upaya pemenuhan hak anak, maka kita harus membicarakan keberadaan Instansi yang menangani perlindungan anak, yaitu Depsos yang menangani anak-anak dalam situasi khusus, Depdiknas dan Departemen Agama yang menangani pendidikan anak, dan Depkes yang menangani kesehatan anak. Selain itu ada Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Bappenas, KPAI yang semuanya menangani anak. Permasalahan anak adalah masalah lintas sektoral yang membutuhkan garis kerjasama dan koordinasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Dalam kenyataannya tidak ada kebijakan yang mengatur ketegasan akan fungsi dan wewenang dari masing-masing lembaga tersebut. Pada bagian ini kajian akan difokuskan pada aspek kelembagaan yang berada dalam naungan Departeman Kesehatan sebagai pengelola pelayaan kesehatan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan kesehatan anak. Sebagai Instansi tertinggi dalam bidang kesehatan, Departemen Kesehatan memberikan panduan dasar dalam penyelenggaraan kesehatan yang kemudian dilaksanakan oleh pemerintah-pemerintah
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
145
daerah. Pada tingkat kabupaten/kota lembaga yang menjalankan kebijakan-kebijakan kesehatan adalah Dinas Kesehatan. Dinas Kesehatan Tingkat II menangani rumah sakit umum, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan puskesmas pembantu (pustu). Setiap Daerah Tingkat II rata-rata memiliki satu rumah sakit umum, dan rata-rata memiliki satu sampai tiga puskesmas di tiap kecamatan, tergantung dari luas kecamatan dan jumlah penduduknya. (Selanjutnya, bersamaan dengan ditetapkannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 serta Undang-Undang No.25 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan anak, termasuk hak atas kesehatan, tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari pemerintah daerah terutama di tingkat kabupaten/kota). Urusan kesehatan dalam Departeman Kesehatan ditangani oleh Direktorant Bina Kesehatan Anak, yang berada dibawah Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Kesehatan Anak mengkonsepsikan program kesehatan anak dalam dua tujuan utama, pertama, akselerasi penurunan angka kematian dengan serangkaian kegitan yang diarahkan pada bayi dan balita, serta ibu. Kedua, peningkatan kualitas hidup anak, dengan serangkaian kegiatan yang ditujukan pada anak-anak usia sekolah dan remaja, termasuk anak berkebutuhan khusus. Tujuan Penurunan Angka Kematian
Peningkatan Kualitas Hidup
Sasaran Bayi (0-1 th)
Program • Manajemen BBLR (berat badan lahir rendah) • Manajemen Asfiksia • Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit • Skrining Hipothyroid Kongenital • ASI Eksklusif, MP ASI • Imunisasi • Injeksi Vit.K1
Balita (1-5 th)
• SDIDTK • MTBS • Buku KIA
Usia sekolah (6-18 th)
USAHA KESEHATAN SEKOLAH (UKS) • UKS di TK/RA • UKS di SD/MI • UKS di SMP/MTs • UKS di SMA/MA
146 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Keterangan
•Penjaringan kesehatan •Pemeriksaan berkala •Dokter Kecil/Kader Kes Remaja
Tujuan
Sasaran Remaja (10-18 th)
Program PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (PKPR) • Remaja luar sekolah • Remaja Mesjid/Gereja • Saka Bhakti Husada (SBH)
Anak berkebutuhan khusus
• Puskesmas mampu
•
Keterangan
•Kespro Remaja •Persiapan pra nikah •Konseling/Peer Konselor
menangani Kekerasan thdp Anak (KTA) termasuk trafiking, ESKA Pembinaan kesehatan anak oleh Pusk bagi: Anak di Lapas, SLB/Panti, Anak Jalanan,Pekerja anak, Anak di daerah konflik/bencana/terpencl
Ujung tombak pelaksanaan dari program-program di atas adalah puskesmas. Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan di kabupaten/kota yang berada di wilayah kecamatan yang melaksanakan tugas-tugas operasional pembangunan kesehatan. Upaya peningkatkan mutu pelayanan di puskesmas makin digalakkan sejak tahun 1994. Peningkatan mutu tersebut diarahkan pada upaya pelayanan kesehatan dasar yang memiliki daya ungkit besar dalam menurunkan angka kematian balita (AKB), angka kematian ibu (AKI), dan tingkat morbiditas penyakit-penyakit utama sebagaimana diuraikan sebelumnya, yaitu pelayanan kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, imunisasi, penanggulangan ISPA, pemberantasan diare, malaria, tuberkulosis paru dan vektor demam berdarah, penyuluhan kesehatan, dan upaya kesehatan sekolah. Jelas sekali bahwa salah satu gagasan pokok puskesmas memang menitikberatkan pada persoalan kesehatan bayi, balita, anak usia sekolah, dan kesehatan ibu (hamil, melahirkan, menyusui, nifas, dan KB). Berdasarkan data terakhir (2007) jumlah puskesmas di seluruh Indonesia sebanyak 8.234 unit. Jika dilihat dari tahun 2003 – 2007 terlihat ada peningkatan jumlah puskesmas. Peningkatan yang cukup besar, yaitu 4,5 % terjadi pada tahun 2006. Dalam periode tahun 2003-2007, rasio puskesmas terhadap 100.000 penduduk meningkat tipis (tidak signifikan), dari 3,46 per 100.000 penduduk (tahun 2003) menjadi 3,65 per 100.000 penduduk (tahun 2007). Ini artinya pada periode tahun tersebut setiap 100.000 penduduk dilayani oleh 3 – 4 unit puskesmas.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
147
Bila dilihat per provinsi, rasio pusksemas per 100.000 penduduk cukup bervariasi. Rasio terendah berada di Provinsi Banten yakni 1,91 dan rasio tertinggi di Provinsi Papua Barat, yakni sebesar 11,59. (Profil Kesehatan 2007) Secara kuantitas jumlah puskesmas terus bertambah dari tahun ke tahun. Namun hal ini tidak secara otomatis diiringi dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, termasuk dan terutama pelayanan kesehatan ibu dan anak. Laporan WHO tentang Health System Improving Performance (2000) menempatkan Indonesia pada urutan ke 106 dari 191 anggota WHO dalam hal pencapaian. Selanjutnya, WHO menyebutkan lemahnya manajemen dan kerjasama lintas sektor, belum mantapnya pelayanan rujukan, dan kurangnya dukungan logistik dan biaya operasional adalah penyebab rendahnya mutu pelayanan puskesmas (WHO, 2000). Selain itu penyebaran sarana dan prasarana kesehatan belum merata. Selain pusksmas (dan RSU), ada juga institusi layanan kesehatan yang mengandalkan peran masyarakat (kader), yakni posyandu (pos pelayanan terpadu). Posyandu menyelenggarakan lima program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare. Dengan demikian, seperti puskesmas, posyadu diharapkan juga menjadi ujung tombak penanganan persoalan kesehatan anak, khususnya untuk upaya preventif dan promotif. Untuk memonitor perkembangannya posyandu dikelompokkan dalam empat tingkatan, yakni Posyandu Pratama, Posyandu Madya, Posyandu Purnama, dan Posyandu Mandiri. Tahun 2006 tercatat ada 269.202 buah posyandu di seluruh Indonesia. Angka ini menurun cukup tajam bila dibanding tahun sebelumnya (2005) yang mencapai angka 316.921 buah. Kalau dicermati, keberadaan posyandu pada era sebelum otonomi daerah menujukkan peran serta masyarakat yang cukup baik. Peran tersebut ditunjukkan baik berupa pendanaan yang dipungut dari tiap keluarga setiap bulan, maupun tenaga kader yang menjalankan roda posyandu secara suka rela. Hal ini juga diakui badan dunia semacam Unicef. Agak mengherankan bahwa di bawah rezim otoriter, partisipasi masyarakat dalam menggiatkan kerja-kerja preventif dibidang kesehatan justru bersemangat. Keadaan mulai surut atau bahkan mati suri seiring dengan mulainya era otonomi daerah. Mati surinya posyandu di daerah ditengarai akibat banyaknya daerah yang beranggapan bahwa posyandu bukanlah sektor strategis. Akibatnya, pemda tidak menjadikan posyandu
148 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
sebagai program prioritas dalam bidang kesehatan sekaligus mengalokasikan anggaran yang cukup. Persoalan lemahnya manajemen di tingkat pemerintah daerah akibat dihapuskannya Kandep dan Kanwil (implikasi otonomi) juga menjadi faktor kuat terabaikannya programprogram yang dulu langsung dikontrol dari pusat, termasuk posyandu. Merebaknya kasus balita bergizi buruk telah menyadarkan banyak pihak akan pentingnya Posyandu. Matinya Posyandu berarti berhentinya upayaupaya swadaya masyarakat dalam melakukan berbagai tindakan preventif dan promotif untuk tumbuh kembang bayi, balita dan anakanak. Mulai tahun 2006, banyak daerah mulai merevitalisasi posyandu. Daerah-daerah berusaha kembali menjadikan posyandu sebagai program utama. Sejumlah dana khusus juga dialokasikan dalam APBD. BAB. III Keadaan Hak Anak atas Kesehatan Anak Cacat Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, jumlah anak penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7 % dari jumlah penduduk 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut 21,42 % diantaranya anak cacat usia sekolah (5-18 tahun) atau 317.016 anak. Penyandang cacat anak umur (0-4 tahun) sebanyak 0,01 persen atau sekitar 57-58 anak umur (0-4 tahun) dari setiap 10.000 penduduk. Jenis kecacatan yang banyak terjadi yaitu cacat tubuh (35,8 persen), cacat netra (17 persen), cacat rungu (14,27 persen), cacat mental (12,15 persen) dan lain-lain kurang dari 7 persen (RIP KPA 2001). Dengan menggunakan data dasar tahun 2003, kemudian diproyeksikan secara proporsional, maka jumlah anak cacat usia sekolah pada tahun 2007 menjadi 321.000 anak. Menurut Susenas 2001 pada bayi umur kurang dari 1 tahun prevalensi kecacatan fungsi tubuh 29,9 persen dan kelainan struktur organ 2,5 persen. Pada anak umur 1-4 tahun prevalensi kecacatan fungsi tubuh adalah 31,6 persen dan kelainan struktur organ 3,3 persen. Pada anak umur 5-14 tahun prevalensi kecacatan fungsi tubuh adalah 24,2 persen, kelainan struktur organ 3,6 persen dan kecacatan partisipasi dan aktivitas 9,6 persen. Secara keseluruhan 29,9 persen bayi umur kurang dari 1 tahun, 32,8 persen anak umur 1-4 tahun dan 30,1 persen anak umur 5-14 tahun menderita satu jenis kecacatan atau lebih.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
149
Secara nasional, dari tahun 2000 hingga 2004, jumlah absolut anak cacat mengalami kenaikan, tetapi mengalami penurunan pada 2006. Namun pada tahun 2007 mengalami peningkatan kembali secara signifikan. Hingga tahun 2009, kebijakan terkait pelayanan kesehatan dan kesejahteraan terhadap anak cacat masih mengalami banyak hambatan. Kendala itu dimulai dari belum adanya sistem pendataan yang memadai, sehingga tidak tersedia data yang akurat dan komprehensif tentang karakteristik kehidupan dan penghidupan para penyandang cacat yang beraneka jenis itu. Data resmi yang tersedia dan digunakan pemerintah sejauh ini adalah data yang diolah dari beberapa survey (susenas). Data seperti ini sangat global dan kegunaannya terbatas untuk kepentingan pelaporan, belum bisa dijadikan dasar bagi intervensi atau untuk merancang program-program yang diarahkan untuk menangani persoalan anak cacat. Data yang ada tersebut praktis belum bisa menunjukkan kondisi yang sebenarnya, karena tidak memuat data anak per individu (by name by address). Pusat Data dan Informasi Depsos mengaku belum mampu melakukan pendataan seperti itu karena keterbatasan anggaran. Pemerintah selama ini kurang melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pemahaman terhadap deteksi dini (aspek preventif dan promotif) dari kecacatan. Hal ini terkait dengan data yang menyebutkan bahwa penyebab kecacatan dibawa sejak lahir (dalam kadungan) sebanyak 34,9 persen (menurut dokumen PNBAI) . Kendala ini terkait langsung dengan belum memadainya tenaga spesialis untuk berbagai jenis kecacatan serta pelayanan sosial lainya. Selama ini jalur yang digunakan untuk menjangkau penyandang cacat dengan menggunakan intitusi yang sudah ada seperti puskesmas dan sekolah luar biasa (SLB). Padahal, puskesmas lebih banyak menyibukan diri dalam urusan pengobatan umum, sementara SLB selain jumlah dan kualitasnya yang terbatas, juga masih mengalami kesulitan untuk memaksimalkan perannya karena berbagi kendala. Bahkan banyak SLB yang kesulitan mendapatkan murid karena lagi-lagi anak-anak cacat tersebut sebagian besar berasal dari keluarga tidak mampu. Rencana Aksi Nasional Penyandang Cacat Indonesia 2004 – 2013 yang pernah dirumuskan, diantaranya tentang Asosiasi Keluarga dan Orang Tua Penyandang cacat, dan tentang Deteksi Dini, Intervensi dan Pendidikan, ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan karena tidak jelasnya pihak mana yang berfungsi sebagai leading sector.
150 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Pada umumnya permasalahan anak-anak cacat diperburuk dengan keterbatasan kemampuan dalam mengakses pelayanan dasar karena kemiskinan orang tua. Selain itu permasalahan mendasar yang dialami penyandang cacat di Indonesia adalah tidak merata dan tidak aksesibelnya penyediaan fasilitas umum. Kesehatan dasar Hal-hal yang menjadi dasar untuk melihat situasi kesehatan anak dalam uraian berikut adalah: standar kesehatan dasar (meliputi angka kematian ibu dan anak, status gizi, sanitasi dan kesehatan lingkungan), jaminan kesehatan, dan layanan kesehatan remaja. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI). Kejadian kematian dalam suatu kelompok populasi dapat mencerminkan kondisi kesehatan masyarakatnya. Keberhasilan atau kegagalan pelayanan kesehatan dan berbagai program pembangunan kesehatan lainnya juga dapat diukur melalui tingkat kematian yang terjadi. Infant Mortality Rate atau Angka Kematian Bayi (AKB) adalah salah satu indikator yang lazim digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat, baik pada level provinsi maupun nasional. Selain itu, program-program kesehatan di Indonesai banyak yang menitikberatkan pada upaya penurunan AKB. Angka kematian bayi merujuk pada jumlah bayi yang meninggal pada fase antara kelahiran hingga bayi mencapai umur sebelum 1 tahun, per 1000 kelahiran hidup. Hingga tahun 2009, angka kematian bayi di Indonesia rata-rata 34 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut tidak terlalu menggembirakan mengingat hanya terjadi sedikit perbaikan dibandingkan dengan tahun 2003, yaitu 35 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Demikian pula dengan angka kematian anak berusia di bawah lima tahun (balita) yang saat ini mencapai 44 anak balita per 1.000 kelahiran hidup atau tidak beranjak jauh dari angka tahun 2003, yakni 46 per 1.000 kelahiran hidup. Padahal target tujuan pembangunan milenium (MDG's) antara lain menurunkan angka kematian anak balita sebesar dua pertiganya dalam kurun waktu 1990-2015. Pada tahun 2015 diharapkan angka kematian bayi sebesar 23 bayi per 1.000 kelahiran hidup dan 32 anak balita per 1.000 kelahiran hidup.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
151
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, Badriul Hegar mengatakan, penyebab kematian bayi berusia dibawah satu bulan adalah disebabkan berat badan rendah (29 persen), gangguan pernapasan (27 persen), dan masalah nutrisi (10 persen). Lebih dari 50 persen dari bayi yang meninggal tersebut terjadi sebelum berusia satu bulan. Angka kematian bayi di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Brunei, Singapura, dan Malaysia. Derajat kesehatan anak tidak dapat dipisahkan dari derajat kesehatan ibu. Data Survey Demografi dan Kesehatan Indoesia tahun 2007 menyebutkan bahwa Angka kematian Ibu (AKI) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Telah terjadi penurunan yang cukup berarti bila dibandingkan dengan tahun 1992 yang mencapai 425 per 100.000 kelahiran hidup. Meski demikian angka tersebut (228) masih sangat jauh dari target Millenium Development Goals yang menetapkan target 110 per 100.000 kelahiran hidup. Dalam perkembangan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki peran vital untuk mendukung pencapaian target pemerintah pusat. Salah satu peran pemerintah daerah dalam menurunkan AKI dan AKB adalah memberi perhatian khusus pada kesehatan ibu melahirkan yang hingga kini masih minim. Dari APBD kesehatan, hanya sekitar 0,085% yang diperuntukkan ke sektor kesehatan ibu melahirkan. Pelatihan tenaga kesehatan terampil pun masih kurang mendapat perhatian pemerintah, disamping minimnya pembangunan infrastruktur dan fasilitas kesehatan penunjang. Ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah, khususnya di daerah. Imunisasi adalah salah satu program Depkes yang cukup populer sebagai upaya preventif untuk menurunkan angka kematian. Akan tetapi hingga tahun 2009 masih sangat terasa kelemahan program ini. Untuk kasus imunisasi campak, target pada 2010 secara nasional berdasarkan Universal Child Immunization (UCI) 90 persen balita di Indonesia harus mendapatkan imunisasi campak. Kenyataan yang terjadi adalah, cakupan imunisasi campak pada bayi di Provinsi DKI Jakarta saja masih minim. Pada semester pertama tahun 2009 (Januari-Juni), cakupan imunisasi di ibukota negara itu baru mencapai 60 persen. Selain itu, berdasarkan pemantauan yang dilakukan YLPS Humana di beberapa wilayah dampingannya, diketahui bahwa pelaksanaan imunisasi untuk kalangan marginal, yakni kalangan yang tidak memiliki status kependudukan yang jelas, masih belum memadai. Belum ada upaya yang sistematis dari pihak
152 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
terkait (puskesmas terdekat) dalam menangani imunisasi ibu dan anak yang bekerja di jalanan atau komunitas pemulung yang menumpang hidup di sebuah wilayah pinggiran. Jangankan bentuk-bentuk pelayanan gratis, informasi dan penyuluhan pun tidak pernah didapatkan. Alokasi anggaran rutin imunisasi Depkes tahun 2009 sekitar Rp 400 miliar untuk sasaran sekitar 5 juta bayi. Dana itu digunakan untuk pengadaan alat suntik, vaksin, dan kotak pengaman vaksin. Adapun dana operasional untuk pemantauan dan supervisi dari pemerintah pusat sekitar Rp 1,5 miliar. Sementara itu, dana operasional untuk membawa vaksin dari dinas kesehatan di daerah menuju sasaran menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pada era desentralisasi daerah, keberhasilan pencapaian cakupan imunisasi lengkap juga bergantung pada komitmen pemda setempat. Di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya, sebagian besar anggaran digunakan untuk kuratif, administrasi, dan infrastruktur. Proporsi anggaran operasional imunisasi hanya 0,6 persen dari total anggaran kesehatan. Hal di atas menunjukkan terjadinya miskonsepsi atau salah persepsi dikalangan pimpinan daerah. Departemen Kesehatan Belem melakuka koordinasi dan supervisi yang baik para kepala daerah/dinas kesehatan terkait alokasi anggaran sesuai prioritas. Dalam prakteknya programprogram yang bersifat kuratif dan rehabilitatif lebih diutamakan. Dalam banyak kasus, Depkes terkesan tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan. Meski visi Depkes adalah ”Indonesia Sehat”, ternyata pendekatan pembangunan kesehatan berat sebelah pada aspek kuratif. Hal ini bisa dilihat dari tingginya proporsi anggaran untuk pelayanan medik dan pengadaan alat kesehatan. Dari anggaran tahun 2007, alokasi anggaran untuk Direktorat Jenderal Pelayanan Medik 40 persen, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 10,7 persen, dan Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat 21 persen. Status Gizi. Data yang dikeluarkan Rikesdas menyebutkan prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5,4%, dan kurang gizi pada balita adalah 13,0%. Sepintas keduanya menujukkan bahwa terget Pencanaan Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (target 20%) dan target Millenium Development Goals (18,5%) sudah tercapai pada tahun 2007. Akan tetapi sebanyak 19 provinsi (dari 33 propinsi) ternyata Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
153
mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas prevalensi nasional, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. (Riskesdas 2007) Sub-Bidang Bina Kewaspadaan Gizi Departemen Kesehatan mentargetkan pada 2009, angka kurang gizi dan gizi buruk berkurang hingga 20 persen. Hal ini berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005, yang menyebutkan angka gizi buruk dan kurang gizi adalah 28 persen dari jumlah anak Indonesia. Depkes telah mengembangkan dan mengarahkan beberapa kebijakan sebagai upaya memperbaiki gizi dan meningkatkan status gizi masyarakat. Pada saat krisis ekonomi di Indonesia yang berlangsung cukup lama, kebijakan yang dilakukan bersifat penyelamatan (rescue) dan pencegahan “lost generation”, sekaligus pembaharuan (reform) agar kejadian ini tidak terulang kembali. Program penyelamatan ini dikenal dengan Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) termasuk perbaikan gizi. Kebijakan diarahkan pada peningkatan upaya penanggulangan kasus pemulihan keadaan gizi anak, penurunan kematian akibat gizi buruk dan peningkatan mutu sumberdaya manusia melalui peningkatan keadaan gizi masyarakat. Pemberian makanan tambahan untuk bayi dan anak umur 6 – 24 bulan serta ibu hamil dan menyusui yang berasal dari keluarga miskin. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dalam rangka identifikasi dini kekurangan pangan dan gizi di suatu daerah, revitalisasi pos pelayanan terpadu (posyandu) untuk menggalakkan kembali peran serta masyarakat. Langkah-langkah jangka pendek dan responsif dilakukan pemerintah melalui koordinasi interdepartemen. Akan tetapi langkah-langkah tersebut lebih bersifat kuratif seperti pembetukan Tim Operasi Sadar Gizi unuk merespon naiknya penderita gizi buruk di NTB, penerapan sistem kewaspadaan dini, perawatan khusus gizi buruk di puskesmas dan rumah sakit, serta penyediaan sarana dasar seperti bantuan pangan.
Kasus-kasus gizi buruk masih terjadi di seantero Indonesia. Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah mencatat hingga Nopember 2009 sedikitnya ada 553 kasus gizi buruk. Urutan teratas ada di Kabupaten Sigi dengan 182 kasus, lalu Donggala 46 kasus. Selebihnya menyebar di kabupaten lain, seperti Banggai, Banggai Kepulauan, Buol, termasuk Kota Palu. Angka itu belum termasuk yang tidak terlaporkan atau ditemukan. Berdasarkan data Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, prevalensi gizi buruk anak dibawah lima tahun (balita) di Sulteng 8,9 persen. Artinya, setiap 100 anak balita di Sulteng terdapat 8-9 anak kena gizi buruk. Dari Jawa Tengah dilaporkan bahwa jumlah kejadian gizi buruk di provinsi ini menunjukkan angka peningkatan. Pada 2008 lalu, terdapat 2.188 kasus gizi buruk. Sedang pada 2009 ini, jumlahnya semakin meningkat menjadi 3.420 kasus gizi buruk. Sementara itu dari Provinsi Nusa Tenggara Barat dilaporkan bahwa sebanyak 26 orang meninggal dunia akibat gizi buruk. Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat mencatat selama tujuh bulan terakhir (Januari-Juli) 2009 jumlah penderita Gizi Buruk mencapai 513 orang. Gizi Buruk dan Ironi Anggaran Daerah JAKARTA, KOMPAS.com — Mata Hery (3) menatap kosong. Tulang-tulang tubuhnya menonjol dibalut kulit mengeriput. Jarum infus yang tertancap di lengan kanan diganjal papan kecil berbalut perban. Pada Kamis (25/2/2010) malam, genap tiga hari Hery dirawat di Ruang Anak Kelas III Catelya, RSU Undata, Palu, Sulawesi Tengah. Sudah delapan botol cairan infus dialirkan ke tubuhnya. Hery dirawat karena gizi buruk. Berat badannya hanya 7,8 kg dari seharusnya minimal 12 kg. Sebelumnya, anak keempat pasangan Bahdini (60) dan Jumiati (40) ini hanya berobat jalan di Puskesmas Talise, Palu. Ia dirawat di RSU Undata berkat upaya Jaringan Rakyat Kecil (Jarak) Sulawesi Tengah, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang sosial.
Hingga akhir tahun 2009, secara nasional, angka gizi buruk masih berkisar 5 persen, artinya dari 100 anak terdapat 5 kasus gizi buruk.
154 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
155
”Kami menemukan tidak sengaja. Awalnya, kami mendampingi sepupunya yang juga menderita gizi buruk. Saat itu kami diberi tahu mengenai kondisi Hery. Karena kondisinya lebih parah, kami langsung membawanya ke Undata,” kata Hasnah, anggota Jarak, yang mendampingi Hery. Penghasilan Bahdini sebagai buruh bangunan hanya Rp 30.000 per hari. Dalam sebulan, pekerjaan paling banyak adalah dua minggu. Artinya, penghasilannya hanya Rp 420.000 per bulan. ”Jangankan berobat, untuk makan seharihari pun tidak cukup,” kata Jumiati, yang sedang mengandung delapan bulan anak kelima.... Ketua Umum Peratuan Ahli Gizi (Persagi) Prof. Dr. Herdiansyah MS, menyatakan kurang berhasilnya program penanganan gizi di Indonesia karena tidak ada sinergi antara program tersebut dengan program pemberdayaan masyarakat. Pemberian bantuan keuangan ataupun makanan tambahan bagi balita di keluarga miskin dinilai tidak tepat selama keluarga tersebut belum mengalami perbaikan kondisi sosial ekonomi. Dalam banyak kasus pemerintah sering melakukan intervensi dengan memberikan bantuan pada balita dengan gizi kurang atau gizi buruk dengan cara dirawat di rumah sakit. Setelah dirawat dan diintervensi, si balita sembuh lalu dipulangkan ke rumah. Akan tetapi dari pemantauan beberapa waktu kemudian, kondisi gizi balita tersebut memburuk lagi. Oleh karena itu seharusnya penanganan gizi dimulai dari akar permasalahan yaitu meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga. Karena itu yang penting adalah melakukan pensinergian program penanganan gizi dengan program lainnya seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat. Selain itu perlu ada pendampingan tentang pentingnya peningkatan gizi bagi keluarga utamanya balita. Dengan demikian pemerintah harus mengubah pola penanganan gizi dari kuratif menjadi preventif, salah satunya dengan pemberdayaan ekonomi keluarga. Mengacu pada PNBAI dan Indonesia Sehat 2010 semestinya aspek pemberdayaan atau pemandirian masyarakat memang menjadi prioritas dalam strategi upaya kesehatan, termasuk program peningkatan gizi ini.
156 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Akan tetapi agak mengherankan bahwa dalam prakteknya pemerintah mengabaikan hal-hal tersebut. Sanitasi dan kesehatan lingkungan Di Indonesia, pengelolaan air dan sanitasi yang buruk, menyebabkan empat dampak kesehatan besar, yakni diare, tipus, polio, dan cacingan. Hasil survei (Susenas) menunjukkan kejadian diare pada semua usia di Indonesia adalah 423 per 1.000 penduduk dan terjadi satu hingga dua kali per tahun pada anak-anak usia dibawah lima tahun. Bahkan pada kelompok bayi dan balita, penyakit-penyakit berbasis lingkungan menyumbangkan lebih 80% dari penyakit yang diderita oleh bayi dan balita. Keadaan tersebut mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan kualitas intervensi kesehatan lingkungan (Susenas, 2006). Depkes mengakui bahwa penyakit-penyakit berbasis lingkungan masih merupakan penyebab utama kematian anak-anak di Indonesia. Kecenderungan ini juga semakin menguat seiring dengan munculnya flu burung dan flu babi, dua penyakit yang sangat berkaitan dengan sanitasi lingkungan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan hampir separuh kematian bayi umur 29 hari sampai 11 bulan juga disebabkan oleh penyakit yang bisa dicegah dengan intervensi lingkungan dan perilaku. Penyakit itu adalah diare dan pneumonia. Munculnya kembali beberapa penyakit menular sebagai akibat dari semakin besarnya tekanan bahaya kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan masalah sanitasi, cakupan air bersih dan jamban keluarga yang masih rendah, perumahan yang tidak sehat, pencemaran makanan oleh mikroba, telur cacing dan bahan kimia, penanganan sampah dan limbah yang belum memenuhi syarat kesehatan, vektor penyakit yang tidak terkendali (nyamuk, lalat, kecoa, ginjal, tikus dan lain-lain), pemaparan akibat kerja (penggunaan pestisida di bidang pertanian, industri kecil dan sektor informal lainnya), bencana alam, serta perilaku masyarakat yang belum mendukung ke arah pola hidup bersih dan sehat. Empat intervensi untuk mencegah diare adalah pengolahan air dan penyimpanan di tingkat rumah tangga, melakukan praktik cuci tangan, meningkatkan sanitasi, dan meningkatkan penyediaan air. Akan tetapi data dari Depkes menunjukkan hanya sebagian kecil masyarakat yang mempraktekkan cuci tangan: 12 persen setelah buang air besar, 9 persen setelah membersihkan pantat bayi, 14 persen sebelum makan, 7 persen sebelum memberi makan anak, dan 6 persen sebelum menyiapkan makanan. Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
157
Kasus yang ditemukan di salah satu wilayah dampingan YLPS Humana di kampung Wadas, Sleman, menunjukkan bahwa memang tidak ada program pemerintah yang diarahkan untuk memperbaiki sanitasi dan kesehatan lingkungan. Di perkampungan yang berjarak kurang dari tiga kilometer dari kantor Kabupaten Sleman itu sebagian masyarakat belum menggunakan MCK yang layak. Kasus-kasus seperti mewabahnya diare adalah peristiwa yang berulang. Masyarakat setempat mengaku tidak pernah dikunjungi petugas kesehatan atau petugas penyuluhan dari pihak pemerintah, terkait dengan persoalan buruknya sanitasi dan lingkungan mereka. Para ahli kesehatan masyarakat sebetulnya sudah sangat sepakat dengan kesimpulan H.L Bloom yang mengatakan bahwa kontribusi terbesar terhadap terciptanya peningkatan derajat kesehatan seseorang berasal dari kualitas kesehatan lingkungan dibandingkan faktor yang lain. Namun lagi-lagi, energi dan kebijakan dan anggaran kesehatan Indonesia memang masih sangat cenderung kepada program yang bersifat kuratif. (Sumber: KompasLingkungan, Sanitasi Buruk, Ancam Kehidupan) Kompas, Rabu, 19 Maret 2008 Oleh: Elok Dyah Messwati Menurut Ketua Umum PB IDI Fachmi Idris, kebijakkan pemerintah yang kurang mengedepankan cara-cara preventif dan hanya memfokuskan penanganan kuratif (pengobatan) di sektor kesehatan merupakan salah satu faktor yang memperlambat perbaikan Indeks Pembanguanan Manusia (Human Development Indeks- HDI) Indonesia. Oleh karena itu, upaya preventif seperti perubahan perilaku hidup yang lebih sehat, olah raga, ditambah lagi dengan pemeliharaan lingkungan, perbaikan sanitasi, dan sebagainya penting segera diprioritaskan karena akan memberikan kontribusi yang jauh lebih besar bagi peningkatan status kesehatan masyarakat.
Bahaya Rokok (terkait kesehatan anak dan remaja) Hasil sebuah survey yang digelar awal tahun 2008 lalu menyebutkan, dari 70 juta jumlah anak di Indonesia, 37 persen atau 25,9 juta anak diantaranya adalah perokok aktif. Road Map Industri Rokok 2007-2020 menargetkan produksi rokok hampir 260 milyar batang/tahun jelas menargetkan perokok pemula yaitu anak dan remaja untuk menyerap produksinya. Ini adalah ancaman serius bagi anak-anak karena ketiadaan regulasi dan peraturan yang menjamin perlindungan anak dari strategi pemasaran industri rokok.
158 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan YLPS Humana di wilayah dampingannya, belum ada upaya sitematis dari pemerintah dalam memberikan informasi yang benar tentang bahaya rokok kepada anakanak dan remaja. Kerjasama pihak Dinas Kesehatan (puskesmas) dengan sekolah-sekolah misalnya juga belum ditemukan, apalagi untuk anakanak yang tidak bersekolah dan bekerja atau hidup di jalanan. Sebenarnya pemerintah telah mengajukan kejahatan kandungan rokok yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1, UU No.19 Tahun 2007 Tentang Cukai yang menyatakan jika barang-barang yang dapat menimbulkan dampak negatif dikenai cukai, serta dalam konsideran menimbang huruf a PP No.19 2007 yang berbunyi,“Bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi individu dan masyarakat, oleh karena itu diperlukan upaya pengamanan.” Pengamanan seperti apa? UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (disahkan Nopember 2009) mulai mengatur tentang tembakau. Di sini dinyatakan bahwa zat adiktif meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persayaratan yang ditetapkan. Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Tetapi karena UU tersebut masih baru dan belum memiliki aturan pelaksanaannya, maka belum berpengaruh bagi perlindungan anak dan remaja atas bahaya tembakau. Jaminan Kesehatan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1998 merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap derajat kesehatan anak-anak dari keluarga miskin. Hal ini kemudian diatur dalam SK Menteri Kesehatan No. 1241/Menkes/XI/2004 yang kemudian diubah menjadi SK No.56/Menkes/I/2005 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin.
Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
159
Pada dasarnya JPSBK merupakan tambahan biaya operasional untuk puskesmas dan rumah sakit untuk melayani masyarakat miskin. Termasuk didalamnya untuk pemberian makanan tambahan untuk bayi gizi buruk dan ibu hamil serta biaya persalinan. Sampai tahun 2002, sebanyak 12.985.128 keluarga miskin (gakin) dari 13.997.030 sasaran gakin telah memiliki Kartu Sehat (KS) dan sebanyak 6.815.501 gakin (48,7 persen) telah memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia. Sejauh ini bentuk pelayanan kesehatan bagi gakin memang difokuskan pada pelayanan kesehatan ibu (yaitu pelayanan kebidanan dasar, pertolongan persalinan dan pelayanan nifas) dan pemberian makanan tambahan (PMT), pemulihan pada anak umur 6-23 bulan dan ibu hamil dengan kekurangan energi kronik (KEK). Jaminan Perlindungan Sosial Bidang Kesehatan ini pada tahun 2002 berganti dengan program PKPS BBM. Intinya sama dengan JPSBK untuk memperluas akses masyarakat miskin pada pelayanan kesehatan, perbaikan gizi, perbaikan kesehatan lingkungan dan perilaku. Mulai tahun 2005 berganti lagi namanya menjadi program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM). JPKMM dimulai tahuh 2006 dan dilaksanakan oleh PT ASKES Indonesia. Departemen Kesehatan menunjuk PT ASKES sebagai badan pengelola asuransi yang cukup berpengalaman untuk mengelola pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Tetapi pelaksanaannya ternyata tidak berjalan mulus karena anggaran yang ada pada Departemen Kesehatan melalui APBN agak tersendat sehingga mengalami stagnasi keuangan. Dampak dari itu, PT ASKES mengalami keterlambatan membayar kepada puskesmas dan rumah sakit. Biaya pelayanan tahun 2006 saja, baru bisa dibayarkan oleh PT ASKES ke rumah sakit pada tahun 2007, itu pun belum seluruhnya dibayarkan. Sehingga Rumah Sakit mengalami kesulitan dalam melayani masyarakat miskin. Beberapa rumah sakit mengaku harus berhutang obat-obatan pada pihak ke tiga, para penyedia obat, baik pabrik maupun para pedagang besar farmasi dan tidak bisa menunggak terlalu lama, sehingga defisit ini harus dialami oleh rumah sakit. Sistem pelayanan kesehatan masyarakat miskin praktis tidak berjalan dengan baik. Pelayanan kesehatan masyarakat miskin sebagai sebuah sistem terdiri dari input, proses, dan output. Input adalah ketersediaan data masyarakat miskin, ketersediaan biaya, adanya sarana prasarana pelayanan kesehatan mulai dari puskemas dan jaringannya, serta rumah
160 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
sakit. Dari sisi tenaga, tersedia tenaga dokter, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya serta pedoman pelaksanaan sebagai panduan pelaksanaan pelayanan. Persoalan yang menghadang mulai dari data. Memang data yang dipergunakan oleh pemerintahan kabupaten/kota biasanya berasal dari BKKBN atau dinas maupun kantor yang mengelola masalah Keluarga Berencana, karena yang melaksanakan pendataan keluarga adalah kantor atau dinas yang mengurusi masalah Keluarga Berencana. Sementara itu pemerintah pusat mempergunakan data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik (BPS), ada perbedaan antara data yang dikumpulkan BPS dengan data yang dikumpulkan oleh BKKBN. Pendataan yang dilakukan BKKBN mempergunakan pendekatan keluarga sejahtera, sehingga yang termasuk keluarga miskin adalah Pra Keluaga Sejahtera, sedangkan BPS mengumpulkan data berdasarkan penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai, kompensasi kenaikan harga BBM). Alokasi dana selalu berkaitan dengan pendataan. Dana yang diturunkan Departemen Kesehatan sesuai dengan data masyarakat miskin versi BPS. Persoalan kemudian muncul ketika masyarakat yang ”seharusnya” menerima Askeskin ternyata tidak mendapatkan sementara yang seharusnya tidak menerima Askeskin ternyata mendapatkan. Untuk mengantisipasi masalah tersebut diberlakukan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) untuk mengakomodasi mereka yang tidak terdaftar dalam Askeskin. Pada pelayanan kesehatan di puskesmas, dana dipergunakan untuk kebutuhan operasional puskesmas, perbaikan gizi, dan pelayanan kebidanan. Pelaksanaan program Askeskin di puskesmas relatif tidak banyak masalah, berbeda dengan di rumah sakit. Akibat ketidaksesuaian data dan anggaran yang diturunkan tidak tepat waktu menyebabkan Rumah Sakit mengalami stagnasi keuangan, dan berakibat pada banyak hal seperti obat-obatan tidak terbayar, jasa pelayanan tidak terbayar dan biaya makan pasien juga mengalami hambatan. Dalam pedoman pelaksanaan jaminan pemeliharaan masyarakat miskin disebutkan bahwa obat-obatan yang dipergunakan adalah obat generik. Sementara itu tidak semua obat tersedia preparat generik. Ketika ini terjadi maka peserta Askeskin tidak dapat diobati karena masyarakat miskin tidak boleh dibebani pembelian obat. Output dari keseluruhan input dan proses yang tidak baik adalah pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang carut-marut. Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
161
Di level pemerintah daerah, ada program yang disebut Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) yang hanya diberikan kepada warga yang resmi dinyatakan ”miskin”. Itu berarti, warga miskin yang mendapatkan pelayanan gratis atau keringanan biaya berobat di rumah sakit atau puskesmas hanyalah warga yang memiliki Kartu Tanda Penduduk setempat (misalnya DKI) dan atau kartu JPK Gakin. Alasan yang disampaikan pemerintah adalah masyarakat miskin yang bukan penduduk setempat sudah dikover Asuransi Kesehatan (Askes) melalui program yang diampu Departemen Kesehatan. Dana JPK Gakin bisa diambil warga miskin di DKI dengan syarat bisa menunjukkan kartu JPK Gakin. Sementara itu, masyarakat yang tidak memiliki kartu bisa mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) asalkan warga tersebut memiliki KTP setempat. Kebijakan di atas tentu akan berdampak terhambatnya pemenuhan hak anak atas kesehatan, terutama anak-anak jalanan dan anak-anak dari keluarga miskin kota yang rata-rata tidak memiliki Katu Tanda Penduduk. Terkait dengan semrawutnya sistem jaminan sosial tersebut, hingga tahun 2009 kasus-kasus penolakan yang dilakukan oleh rumah sakit terhadap keluarga miskin untuk berobat masih terus terjadi, meski pemerintah menyatakan serius menangani permasalahan tersebut. Sebagian kasus-kasus tersebut menimpa anak-anak dari keluarga miskin yang sebenarnya sudah memiliki kartu Gakin. Anak Gakin Bogor Tewas Gara-Gara Ditolak RS Seperti yang terjadi pada keluarga miskin asal tempat tinggal Presiden SBY ini. Dua anaknya menjadi korban penolakan rumah sakit hanya gara gara menggunakan kartu miskin. Ironisnya anak keduanya harus meninggal gara-gara ditolak dua rumah sakit di Jakarta. Kondisi Icha Ramadani, bocah berusia 3 tahun yang sempat mendapat penolakan dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta, sangat memprihatinkan, saat ditemui di rumahnya di Kampung Pabuaran, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Bocah nahas yang mengidap penyakit Hydrocephalus atau pembesaran kepala ini menjadi korban penolakan rumah sakit hanya gara-gara menggunakan kartu miskin yang dimilikinya.
162 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Padahal ia sangat membutuhkan perawatan dari tim dokter. Menurut ibunya, tidak hanya mendapat penolakan, dirinya juga menerima cacian bahkan seorang suster mengatakan, "Kalau mau gratis harus minta tanda tangan SBY." Untuk mendapatkan tanda tangan Presiden SBY, ibu korban, Ucih berusaha menemui SBY sebanyak tiga kali namun tidak pernah ketemu. Kesedihan keluarga miskin asal tempat tinggal orang nomor satu di Indonesia semakin bertambah komplet. Saat anak keduanya, Sena Oktaviani yang berumur sembilan bulan kembali mendapatkan penolakan dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Anak kedua pasangan Ucih dan sopir angkot Guspianto yang menderita kelainan jantung tersebut akhirnya menghembuskan napas terakhir karena tidak mendapat perawatan akibat ditolak rumah sakit. Menurut Ucih, semua persyaratan kartu miskin sudah dimiliknya mulai dari keterangan ketua RT, sampai kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. "Saya trauma atas kejadian ini," kata Ucih di Bogor, Jumat (7/8/2009). Kasus lain berupa penolakan ”secara halus” oleh pihak rumah sakit kepada pasien anak ditemukan oleh petugas pemantau YLPS Humana. Kasus ini terjadi di RSUD Murangan Sleman. 26 April 2009, Shinya Meliana (13 tahun) dibawa orangtuanya ( ibu Giyanti, 30 tahun ) berobat ke RSUD Morangan Sleman sebagai pasien anggota JPKM, dengan dasar surat keterangan dari Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Meliana dibawa ke RSUD Morangan atas dasar rekomendasi dari Puskesmas Sleman I. Diagnosa dari puskesmas menunjukan Meliana terkena Hordeulum Interna. Di RSUD Morangan, Meliana dirujuk ke bagian poliklinik spesialis mata. Disana dia ditangani seorang dokter spesialis mata ( dr. Joko utomo Sp M ) dan diberikan obat minum dan salep mata. Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
163
Satu minggu kemudian (3 Mei 2009) Meliana dibawa orang tuannya kembali RSUD Morangan karena tidak ada kemajuan pada penyakitnya. Dokter menyatakan mata Melianan harus segera dioperasi, kalau tidak benjolannya akan menutup matanya. Pelaksanaan operasi tidak bisa dilakukan di RSUD Morangan karena tidak punya alat yang memadai. Kemudian dokter tersebut menyarankan untuk melakukan operasi di tempat praktek pribadinya. Tetapi untuk pembiayaan di tempat praktek dokter tadi tidak bisa menggunakan JPKM, melainkan harus dibayar dengan biaya pribadi. Atas dasar saran dokter tadi, Ibu Giyanti sebagai orang tua dari Meliana merasa keberatan dan tidak melanjutkan pemeriksaan anaknya. Kasus di atas menunjukkan adanya penyimpangan dalam mekanisme rujukan pasien JPKM. Menurut ketentuan apabila RSUD yang bersangkutan tidak mampu menangani pasien, dalam hal ini operasi mata, maka seharusnya pihak RSUD tingkat Kabupaten merujuk pasien tersebut ke rumah sakit lain, dalam hal ini RSUD tingkat Provinsi. Tetapi yang terjadi adalah justru pasien diarahkan oleh dokter yang bertugas di RS tersebut untuk berobat ke tempat praktek pribadinya. Tampak ada kepentingan pribadi dari dokter tersebut. Keluarga pasien mengaku tidak mendapat informasi yang memadai tentang perosedur yang harus mereka lakukan, dan karena tidak cukup biaya untuk membayar prkatek pribadi dokter tersebut, si anak kehilangan hak atas layanan kesehatan. Dari kenyataan di atas jelas, negara belum mampu mengambil langkahlangkah penting terkait jaminan kesehatan bagi warga/anak-anak miskin. Kebijakan yang dibuat tidak adil (diskriminatif) dan juga belum sanggup mencegah praktek-praktek lain yang merugikan masyarakat/anak-anak miskin. Selain hal di atas, penting diperhatikan soal sumber pembiayaan program asuransi untuk orang miskin yang berasal dari kompensasi pengurangan subsidi BBM. Banyak pihak menguatirkan kebijakan ini karena dianggap hanya berdasar tinjauan jangka pendek, dan bersifat politis saja. Rakyat dijanjikan sebuah pelayanan kesehatan ”gratis”, tapi sistem yang dibuat besifat instan sehingga terkesan tambal-sulam.
164 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
Sebagai perbandingan, menurut Achmad Sujudi (mantan Menteri Kesehatan RI 1999-2004), di sejumlah negara, sebuah kebijakan pelayanan gratis memang bisa diberlakukan, akan tetapi sebelum kebijakan diambil, mereka melakukan sejumlah kajian dari berbagai aspek dan melihatnya dari sisi jangka panjang. Artinya, kebijakan ini harus dibuat sebagai sebuah sistem yang dapat berlaku puluhan tahun, bukan hanya satu atau dua periode pemerintahan saja. Aneka masalah kesehatan, misalnya malnutrisi dan TBC, tidak mungkin diselesaikan dalam satu periode pemerintahan. Karena itu, diperlukan kebijakan jangka panjang. Dengan demikian, saat kebijakan itu diberlakukan, hasil yang dicapai mendekati sempurna, meski dalam jangka panjang.
BAB IV. Penutup Kesimpulan Ditinjau dari aspek standar kesehatan dasar seperti yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa situasi hak-hak anak dalam beberapa tahun ini (hingga tahun 2009) masih memprihatinkan. Paradigma kesehatan yang dipraktekkan pemerintah pusat dan daerah cenderung lebih berat pada aspek kuratif/rehabilitatif daripada preventif/promotif. Ini menjadi penyebab utama kurang berhasilnya program kesehatan (anak) di Indonesia. Usaha promotif yang dimaksud antara lain promosi penggunaan air susu ibu, nutrisi, kebersihan diri dan lingkungan; sedangkan upaya preventif seperti pelaksanaan imunisasi dasar. Kebijakkan kesehatan yang dirumuskan ditingkat pusat (seperti Visi Indonesia Sehat 2010) dalam prakteknya kurang mampu direspon daerah dengan mekanisme dan pengelolaan yang tepat; serta pengaturan dan alokasi dana yang tidak tepat (seperti dalam kasus Jaminan Kesehatan) juga menjadi faktor yang berpengaruh. Tidak kalah penting juga adalah minimnya peran serta masyarakat dalam program-program kesehatan pasca otonomi daerah (terkait dengan mati surinya posyandu di berbagai daerah) Ditinjau dari persektif hak anak, keberadaan undang-undang dan kebijakkan program-program kesehatan anak serta implementasinya di lapangan masih belum maksimal dalam menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak atas kesehatan. Selain soal ketidaktersediaan dan akses yang terbatas, banyak hal yang bersifat diskriminatif terjadi pada anak-anak dari golongan tertentu. Kasus-kasus Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu
165
penolakan pasien oleh rumah sakit dengan jelas membuktikan hal tersebut. Demikian pula dengan persoalan anak yang berkebutuhan khusus. Sebagian besar anak-anak cacat belum mendapat perhatian memadai. Hampir tidak ada program khusus yang dilaksanakan secara tepat bagi anak-anak tersebut.
Rekomendasi · Perlu dilakukan upaya untuk membuat perangkat UndangUndang Tentang Kesehatan menjadi lebih “operasional”, melalui penyusunan peraturan pelaksanaan bagi undang-undang yang belum memilikinya dan merevisi/mencabut UU yang tidak sesuai dengan konsepsi hak anak. · Perlu upaya serius dari pemerintah dalam memahami dan menerapkan paradigma kesehatan yang beroientasi pada aspek promosi dan pencegahan. · Perlu dirumuskan mekanisme koordinasi yang tepat antara berbagai lembaga yang terkait dengan isu kesehatan anak, demikian pula antara pusat dan daerah, · Perlu upaya untuk menghidupkan partisipasi rakyat dibidang kesehatan dengan memposisikan puskesmas sesuai gagasan awalnya yakni sebagai fasilitator upaya kesehatan masyarakat dan bukan sekedar balai pengobatan yang sifatnya top down. Upaya tersebut bisa dimulai dengan melibatkan masyarakat dalam sebuah riset partisipatoris tentang kesehatan masyarakat.
166 Analisis situasi hak anak untuk isu-isu tertentu