ANALISIS SISTEM PENGAWASAN PEMUNGUTAN PAJAK RESTORAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI KABUPATEN KOLAKA
JURNAL
OLEH: HJ. AWIAH G2C1 15 188
PROGRAM PASCASARJA ADMINISTRASI PEMBANGUNAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
2
ANALISIS SISTEM PENGAWASAN PEMUNGUTAN PAJAK RESTORAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI KABUPATEN KOLAKA
Oleh
HJ. AWIAH 1, Jamal2, dan Syamsul Alam3 1
Alumnus Program Studi Administrasi Pembangunan Program Pascasarjana UHO Doktor dibidang Administrasi Negara FISIP UHO dan Dosen pada Program Studi Administrasi Negera Fisip UHO serta Program Studi Administrasi Pembangunan Program Pascasarjana UHO 3 Doktor dibidang Administrasi Negara FISIP UHO dan Dosen pada Program Studi Administrasi Negera Fisip UHO serta Program Studi Administrasi Pembangunan Program Pascasarjana UHO 2
ABSTRAK HJ.AWIAH / NIM G2C1 15 188; Pengawasan Pemungutan Pajak Restoran Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Kolaka, dibimbing oleh Jamal dan La Ode Mustafa. Faktor pengawasan merupakan proses manajemen yang menjadi salah satu aspek penentu keberhasilan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Dalam pemungutan pajak restoran pengawasan diperlukan untuk menjamin prosesnya berjalan sesuai aturan dan target penerimaan tercapai sesuai dengan harapan. Permasalahannya: 1) Bagaimana pengawasan dan efektivitas pengawasan pemungutan pajak restoran di Kabupaten Kolaka; 2) Faktor apa yang mempengaruhi efektivitas pengawasan pemungutan pajak restoran di Kabupaten Kolaka. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, melibatkan sejumlah informan dalam mengumpulkan data, baik dari dinas pengelola keuangan daerah, masyarakat maupun wajib pajak, serta data sekunder sebagai pendukung. Hasil penelitian disimpulkan: 1) Pengawasan pemungutan pajak restoran dilakukan melalui pendekatan pengendalian lingkungan, pengorganisian tindakan melalui pengaturan, program dan kegiatan terkait, termasuk penyediaan sarana dan prasarana kerja aktivitas pengawasan melalui monitoring lapangan dan evaluasi dokumen tertulis melalui slip restoran pajak, komunikasi, dan feedback kepada pihak yang terkait terutama wajib pajak dan institusi berwenang metindaklanjuti masalah pajak restoran. Semua yang disebutkan itu belum efektif pelaksanaannya; 2) Faktor yang mempengaruhi efektivitas pengawasan pajak restoran adalah: a) Faktor individual pegawai menyangkut kemauan, komitmen, integritas, kompetensi terbatas, perilaku dan kinerja rendah; b) Faktor manajamen yang mempengaruhi pengawasan adalah aturan tatakerja pengawasan, sarana dan prasrana kerja, mobilitas, proses menajemen, kejelasan tanggungjawab, disposisi pimpinan melemahkan pengawasan, intensitas monitoring, pengawasan langsung; c) Kesadaran masyarakat membayar pajak, menghindari pajak atau bernegosiasi untuk menunda bahkan meniadakan kewajiban membayar pajak menjadi penghambat dalam pengawasan pemungutan pajak restoran. Standar pengawasan diperlukan agar dan proses pemungutan terlaksana dengan baik untuk mencapai target pajak restoran yang semakin meningkat, termasuk pengawasan berjenjang mulai dari Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah, sampai kepada petugas pemungut, maupun kordinasi dengan pengawas atau auditor keuangan Negara/daerah di tingkat lokal. Kata kunci: efektivitas, pengawasan, pajak restoran.
3
ABSTRACT HJ.AWIAH/NIM G2C1 15 188; Restaurant Tax Collection Supervision in Improving Local Revenue in Kolaka, led by Jamal and La Ode Mustafa. Factors supervision is a management process that became one of the key aspects of success in achieving the goals set. In the restaurant tax collection supervision necessary to ensure the process goes according to the rules and the revenue target is achieved in accordance with expectations. The problem is: 1) How is the supervision and monitoring the effectiveness of tax collection in the restaurant Kolaka; 2) What factors influence the effectiveness of the supervision of taxation restaurant at Kolaka District. This study used a qualitative approach, involving a number of informants in collecting data, both from the department of financial management areas, communities and taxpayers, as well as supporting secondary data. The final conclusion is: 1) Control of taxation restaurant done through environmental control, pengorganisian action through the settings, programs and related activities, including the provision of facilities and infrastructure of surveillance activities through field monitoring and evaluation of written documents via slip restaurants taxation, communication, and feedback to the relevant parties, especially the taxpayer and the competent institutions metindaklanjuti restaurant tax issues. All mentioned it has not been effectively implemented; 2) Factors affecting the effectiveness of tax supervision restaurants are: a) factors concerning the individual employee will, commitment, integrity, limited competence, behavior and low performance; b) Factors affecting manajamen rules of procedure of supervision is supervision, and good infrastructure facilities work, mobility, process management, clarity of responsibility, leadership disposition weaken oversight, monitoring intensity, direct supervision; c) Public awareness of paying taxes, evade taxes or negotiate to defer or eliminate the obligation to pay the tax as a barrier to the supervision of taxation restaurants. Supervisory standards and processes necessary for collection done well to achieve the target of increasing the restaurant tax, including supervision gradually from the Head of Jakarta Financial Management Agency, to the collector officers, as well as coordination with supervisors or financial auditors Country / area at a local level. Keywords: effectiveness, supervision, restaurant tax
1. PENDAHULUAN Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal pengaturan dan pengelolaan keuangan daerah bertujuan untuk memberikan keleluasaan bagi setiap daerah untuk menetapkan kebijakan pemungutan pajak daerah dan pajak daerah daerah guna mendorong peningkatan pendapatan asli daerah untuk memenuhi kebutuhan anggaran pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan public di daerah otonom. Melalui desentralisasi dan otonomi daerah menurut Mardiasmo (2002), pemerintah daerah memiliki kewenangan mengelola keuangannya sendiri, mencari sumber-sumber pendapatan
daerah, menetapkan kebijakan tentang pajak dan retribusi, melaksanakan pungutan, mengawasi pelaksanaan pungutan, membukukan setiap penerimaan dalam kas pemerimaan daerah. Dalam hal pelaksanaan anggaran, pemerintah daerah menetapkan rencana, melalui perumusan visi dan misi, tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan terkait penggunaan anggaran.Setiap kebijakan dan program yang ditetapkan menggambarkan pencapaian visi dan misi pemerintah daerah.Kebijakan dan program pembangunan yang ditetapkan, mendapatkan alokasi anggaran setiap tahunnya melalui penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
4
Salah satu sumber pendapatan asli daerah sebagaimana diamanatkan melalui UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah adalah pajak dan retribusi daerah. Menurut Devas dkk (1998), pendapatan asli daerah yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah dan sumber lain yang sah, pada dasarnya merupakan sumber potensil dalam membiaya kebutuhan anggaran daerah. Pajak yang dibayarkan oleh penduduk 1di daerah karena kepemilikan atas barang maupun jasa, seperti, tanah, bangunan, kendaraan, maupun hal property lainnya, termasuk pajak restoran.Sedangkan pungutan retirbusi merupakan imbalan langsung yang dapat dirasakan oleh pembayar pajak daerah atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.Pajak dan retribusi daerah daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan pajak daerah, yang merupakan salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah. Undang-undang No. 23 tahun 20014 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan dan sekaligus kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengelola keuangan sendiri termasuk mengelola sumber-sumber PADnya.Suparmoko, (2002:61) menjelaskan bahwa otonomi daerah memberikan kewenangan luas bagi daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, termasuk kewenangan mengatur pungutan pajak dan pajak daerah di daerah guna memenuhi kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja daerah.Untuk melihat bahwa suatu daerah otonom mampu berotonomi dapat dilihat dari kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat yang mempunyai proporsi semakin kecil. Oleh karena itu, diharapkan pendapatan asli daerah dapat menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah Kemampuan pendanaan dari suatu daerah untuk membiayai kegiatannya dalam melaksanakan pembangunan daerah dan pelayanan kepada masyarakat merupakan hal yang sangat vital.Oleh karena itu otonomi daerah tanpa ditunjang oleh kemampuan dalam bidang pendanaan adalah sangat tidak mungkin untuk dapat berjalan dengan baik. Dana yang sangat besar selain diperlukan untuk membayar belanja pegawai, juga diperlukan dalam rangka pembiayaan operasional penyelenggaraan pemerintah daerah termasuk program dan proyek di daerah. Menurut Mardiasmo (2004). Setiap pungutan pajak atau pajak daerah harus didadsarkan pada pengaturan yang jelas. Setiap kegiatan yang sifatnya memungut dari masyarakat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Pungutan pajak atau pajak daerah harus berdasarkan undang-undang atau aturan hukum yang jelas dan kuat; b) Sifat pungutannya dapat dipaksakan melalui pemungutan langsung kepada pemiliki atau pengguna layanan: c) Pemungutannya dilakukan oleh institusi Negara atau pemerintahan yang sah atau dimasukan dalam kas penerimaan Negara atau daerah; d) Uang yang diperoleh dari pemungutan pajak dan restoran disetorkan ke daerah sebagai penambah kekayaan daerah, dan kelak digunakan untuk membiayai kebutuhan APBD setiap tahunnya. e) besaran pajak atau restoran
5
terjangkau, tidak membebani masyarakat, dan mereka yang membayar pajak secara nyata memiliki hak atas nilai suatu barang dan atau jasa yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan public. Umumnya pungutan atas pajak daerah diberikan atas pembayaran berupa jasa atau pemberian izin tertentu yang disediakan oleh pemerintah kepada setiap orang atau badan.Karena sifatnya langsung dapat dirasakan, maka dari sudut sifat paksaanya lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis.Apabila manfaat ekonomisnya telah dirasakan tetapi retribusinya tidak dibayar, maka secara yuridis pelunasannya dapat dipaksakan seperti halnya pajak. Devas, dkk., (1989:46), mengungkapkan bahwa kemampuan pemerintah daerah sangat tergantung dari pemerintah Pusat. Dalam garis besarnya, penerimaan daerah termasuk pajak yang telah diserahkan, hanya menutup seperlima dari pengeluaran pemerintah daerah. Itu akan semakin berkurang kontribusinya bagi daerah yang penerimaan dari sektor pajak dan pajak daerah rendah. Meskipun banyak pula negara lain dengan keadaan yang sama atau lebih buruk lagi. Pemerintah daerah tidak harus berdiri sendiri dari segi keuangan agar dapat memiliki tingkat otonomi yang berarti, yang penting adalah “wewenang di tepi” artinya memiliki penerimaan daerah sendiri yang cukup sehingga dapat mengadakan perubahan di sana sini pada tingkat jasa layanan yang disediakan. Untuk itu mungkin sudah mamadai jika 20 % dari pengeluaran berasal dari sumber-sumber daerah. Hal tersebut sejalan dengan uraian oleh McQueen (1998:12-18) bahwa: “Pertimbangan lain dalam meningkatnya pajak atau pajak daerah yaitu peran masyarakat (publik) dalam politik. Masyarakat tidak senang terhadap perubahan dan hanya akan toleransi terhadap pembayaran retrebisi, bukan semata sebagai sumber utama pendapatan
daerah tetapi pendamping”.
hanya
dana
Hasil riset di berbagai Negara ditemukan, masih banyak jenis sumber pendapatan daerah yang belum dikelola dengan baik, dan yang dikelolapun belum maksimal hasilnya. Dalam kasus Indonesia, Devas, dkk., (1989:59), menemukan 50 jenis pajak daerah kabupaten/kotamadya, dan baru 8 sampai 12 jenis saja yang dipungut (Nugroho, 2000:74-78). Kemendagri (2000) dalam Asvarini (2013:1) menemukan bahwa pelaksanaan otonomi daerah masih menemui kendala pada jumlah urusan yang seharusnya diserahkan ke Dati II termasuk pengelolaan retribusi.Tentang retribusi, Kaho (1988) memaparkan mengenai kendala dan nilai kontribusi pajak daerah dalam pendapatan asli daerah. Hasil penelitian Departemen Dalam Negeri terhadap 26 kabupaten dan Kabupaten di Indonesia, ditemukan bahwa nilai pajak daerah belum menguntungkan daerah karena belum memiliki prospek menggembirakan (Nugroho, 2000:110126). Menurut Mardiasmo (2002) maksimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan berimplikasi pada peningkatan pungutan pajak dan retribusi daerah, karena penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah dua komponen tersebut. Pemerintah daerah sebaiknya tidak menambah pungutan yang bersifat pajak (menambah pajak baru), jika mau menambah pungutan hendaknya bersifat retribusi, sedangkan pajak diupayakan menjadi pilihan terkahir. Kebijakan untuk tidak menambah pungutan pajak meningkatkan pajak daerah didasarkan pada beberapa pertimbangan: a) Pungutan pajak daerah langsung berhubungan dengan masyarakat pengguna layanan publik (publik service); b) Peningkatan pajak daerah secara otomatis akan mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik kerena masyarakat tentu tidak mau
6
membayar lebih tinggi bila pelayanan yang diterima sama saja kualitas dan kuantitasnya. Dalam hal itu, pemerintah daerah ditantang untuk meningkatkan kinerjanya dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Menurut Harits (1995:81), dalam mengoptimalkan PAD, sektor pajak dan pajak daerah daerah merupakan sektor yang sangat besar untuk digali dan diperluas pengelolaanya, karena pajak dan retribusi daaerah dipungut atas balas jasa yang disediakan pemerintah daerah. Di samping itu pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi daerah dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan oleh peraturan perundangundangan, selama pemerintah daerah dapat menyediakan jasa untuk mengadakan pemungutan. Salah satu jenis pungutan pajak yang ditarik diluar waktu normal atau dipungut setiap saat adalah pajak restoran. Setiap saat orang makan direstoran, saat itulah hendaknya pajak restoran dipungut dengan menggunakan pengelola restoran sebagai mitra kerja pemerintah daerah. Karena sifatnya tidak langsung dilakukan oleh pemerintah aparat pemungut, maka perlu ada kerjasama, pengaturan serta pengawasan yang konsisten dan berkelanjutan untuk penjamin target penerimaan pajak restoran dapat dicapai. Pengelola restoran boleh jadi tidak menuliskan bill tagihan pada blanko faktur pajak yang disiapkan untuk menghindarkan pungutan pajak, atau bisa saja menuliskan pada blangko bill tagihan biaya yang berbeda, jika sistem pengawasan tidak berjalan secara efektif. Hal yang perlu di atas dan diawasi dalam pengelolaan pajak restoran dan pajak lainnya adalah besaran kewajiban pajak yang dibayarkan konsumen, cara dan teknik penagihan, aturan atau teknik penarikan, serta pembinaan dan pengawasan kepada pengelola restoran agar mau bekerjasama dalam melakukan pungutan pajak restoran. Dalam banyak fakta, seringkali jumlah nominal pajak pada bill tagihan pelanggan
restoran, ditulis dalam bahasa asing dan ukuran huruf yang kecil, maksud kalimat tersebut tidak lain untuk menunjukan bahwa setiap harga yang tercantum dalam menu belum termasuk biaya pelayanan dan pajak. Padahal tidak semua pelanggan restoran mengerti bahasa Inggris. Lebihlebih, tidak semua pelanggan tempat hiburan mengetahui berapa besar uang service dan pajak yang akan dibebankan kepadanya (Anonym, 2015). Besaran nominal pungutan pajak hotel, restoran dan hiburan yang dilakukan pemerintah daerah kabupaten/kota tidak sama. Pasal 2 Ayat (2) dan (5) UndangUndang No. 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah tidak menetapkan besarnya tarif pajak restoran dan hiburan suatu daerah.Hal yang diatur adalah batas tarif pajak tertinggi yang dapat dipungut daerah, sehingga pemerintah daerah memiliki keleluasaan menentukan besarnya tarif pajak restoran dan pajak hiburan, sepanjang tidak melebihi batas tarif pajak tertinggi menurut UU 28/2009.Besaran tarif pajak restoran, menurut Pasal 40 Ayat (1) UU 28/2009 menentukan batas tertinggi 10 %, sedangkan Pasal 45 Ayat (1) UU 28/2009, tarif pajak hiburan tertinggi ditentukan sebesar 35 %. Berdasar Pasal 45 Ayat (1) dan Pasal 40 Ayat (2) UU 28/2009, tarif pajak hiburan maupun tarif pajak restoran harus diatur melalui Perda sebagai pedoman melakukan pungutan pajak restoran.Pemerintah Kabupaten Kolaka melalui PERDA No. 12. Tahun 2000 tentang Pajak Restoran ditentukan besarnya tarif pajak restoran sebeasar 10%. Pengelola restoran dan warung makan di Kabupaten Kolaka terus berkembang seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, perkembangan perekonomian masyarakat dan kemajuan daerah. Salah satu retribusi daerah yang masih dapat ditingkatkan lagi penerimaannya di Kabupaten Kolaka yaitu retribusi restoran. Mengingat perkembangan Kabupaten yang demikian
7
pesat selama beberapa tahun terakhir.Sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang berdampak pada peningkatan jumlah restoran.Potensi penerimaan pajak restoran cukup besar dan potensi tersebut belum dioptimalkan secara keseluruhan oleh pemerintah Kabupaten Kolaka.Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kolaka dari pajak restoran masih rendah dibandingkan dengan potensi sesungguhnya.Padahal sektor pajak restoran setiap tahunnya mengalami peningkatan. Disamping itu, pemerintah Kabupaten Kolaka dalam kurun waktu empat tahun terakhir, memberikan perhatian dalam mendukung pengembangan rumah makan dan restoran yang punya potensi untuk menyumbang PAD. Selama ini penetapan target di daerah tidak didasarkan pada potensi yang ada, dan tidak didasarkan pada pencapaian realisasi tahun sebelumnya (secara incremental). Berdasarkan data Dinas Pendapatan Kabupaten Kolaka selama 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2012 target Rp 49,000,000 realisasi sebesar Rp 17,620,000, pada tahun 2013 target Rp 67,057,500 realisasi sebesar Rp 138,941,845, tahun 2014 target Rp 336,757,500 realisasi sebesar Rp 379,985,757, dan pada tahun 2015 target Rp 414,347,500 realisasi sebesar Rp 444,720,132. Dari data tersebut menunjukkan bahwa capaian realisasi penerimaan pajak restoran di Kabupaten Kolaka, selama 5 tahun terakhir terlihat adanya fluktuasi penerimaan pajak restoran, yakni terjadi peningkatan drastis dari tahun 2012 ke tahun 2013 yakni darti 35.96% tahun 2012 menjadi 207.20% tahun 2013. Selanjutnya tahun 2014 turun menjadi 112.84% dari target, serta tahun 2015 turun dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 110.73% dari target. Meskipun target dinaikan dan pencapaian melebihi target, namun dilihat dari trend pertumbuhan capaian target menurun. Hal itu menggambarkan inkonsistensi dalam pengelolaan pajak restoran, sehingga
pencapaiannya realisasi belum ada peningkatan yang konsisten. Selain itu pencapaian tersebut jika dibandingkan dengan potensi yang ada masih relatif kecil. Komponen yang menentukan system pengawasan untuk menjamin efektivitas pungutan pajak restoran adalah ketersediaan peraturan yang mengatur tentang besaran pungutan pajak restoran, adanya pengaturan mengenai keterlibatan pihak swasta dalam proses pemungutan pajak restoran, adanya kerjasama antara pemerintah daerah dengan asosiasi pengusaha restoran untuk menjamin proses pemungutan dan pengasan pungutan pajak restoran, adanya mekanisme pengawasan dan unsur-unsur yang terlibat untuk melakukan pengawasan pemungutan pajak restoran, adanya program pembinaan, dan pengawasan pada pengusaha restoran yang menjamin terlaksananya proses pemungutan pajak restoran, ada tenaga pengawas yang terlatih dan berintegritas untuk melakukan pengawasan, serta tersedianya media complain atau kotak pengaduan masyarakat sehubungan dengan pelayanan pemungutan pajak restoran. Untuk menelusuri hal-hal tersebut maka menarik untuk meneliti efektivitas pengawasan pemungutan pajak restoran dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Kolaka. Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang hendak dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana sistem pengawasan dalam proses pemungutan pajak restoran di Kabupaten Kolaka dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektif pengawasan pemungutan pajak restoran dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kolaka. 2. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada Dinas Pendapatan Kabupaten Kolaka, selaku SKPD yang memiliki Tugas pokok dan fungsi mengelola pendapatan daerah.Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2016 sampai dengan
8
Maret 2017.Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif.Informan yang terkait dengan penelitian ini yaitu Kepala Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah, Kepala Bidang, Kasubid,Koordinator Parkir, Koordinator PKD, Kepala Pasar, Petugas Pemungut retribusi, serta masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, teknik observasi dan teknik dokumentasi.Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan induktif-kontekstual, yaitu memulai dari informasi-informasi empirik yang diperoleh kemudian dibangun konsepkonsep atau proposisi-proposisi kearah pengembangan suatu teori substantif, teori yang bertolak dari data dan dicerna dengan pengetahuan dan pengalaman masa lalu. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1.Strategi Badan Pengelola Pajak dan Reatribusi Daerah dalam Upaya meningkatkan PAD dari sector retribusi Dari pengamatan penulis bahwa perkembangan Kabupaten Kolaka dalam kurung waktu 5 Tahun terakhir ini sangat pesat.Kondisi ini berpengaruh terhadap semua sektor kehidupan.Faktor ini menjadi pendorong untuk terus meningkatkan pendapatan dari sektor retribusi.Selain Itu tingkat kesadaran wajib retribusi dari tahun ketahun untuk memenuhi kewajibanya membayar retribusi semakin meningkat. Hal ini dapat kita lihat peningkatan jumlah pedagang dipasar dan meningkatnya pemakai jasa parkir selama lima tahun terakhir. Dari uraian peluang tersebut diatas maka perlu diambil kebijakan strategis untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor retribusi yakni : 1. Intensifikasi Retribusi Intensifikasi retribusi dapat dilakukan dengan mengintensifkan peraturan perundang-undangan mengenai retribusi itu sendiri.Intensifikasi peraturan perundang-undangan retribusi dilakukan
dengan jalan pengenaan tarif yang sesuai dengan aturan yang ada. Pernyataan petugas pemungut tersebut sesuai dengan pernyataan pedagang, dari beberapa informan menyatakan bahwa tarif retribusi Rp. 3.000,- berat bagi kami apalagi sekarang ini pembeli kurang. Menurut hemat penulis pengenaan tarif retribusi untuk toko/kios Rp. 3.000,- adalah wajar dengan asumsi bahwa aturan tentang pengenaan tarif retribusi dibuat pada tahun 2011 dengan memperhatikan kondisi perekonomian pada saat itu sementara laju inflasi dalam kurung waktu 6 tahun terkhir ini sangat tinggi, jadi keberatan pedagang tersebut tidak berdasar. Selain itu strategi lain yang dilakukan oleh Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah adalah melakukan intensifikasi peraturan pelaksanaannya. Strategi ini dilakukan dengan jalan memberikan karcis kepada wajib retribusi saat membayar retribusi. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyelewengan yang mungkin akan dilakukan oleh petugas pemungut. Daripengamatan penulis dilapangan, strategi ini telah di terapkan meskipun belum maksimal.Tidak maksimalnya strategi ini disebabkan oleh 2 hal yakni a).Kelalain petugas itu sendiri yang kadang lupa memberikan karcis kepada wajib retribusi, dan b).wajib retribusi sendiri yang kadang menolak karcis dari petugas. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada petugas pemungut dan sosialisasi kepada wajib retribusi dan hal ini telah dilakukan. Strategi selanjutnya adalah meningkatkan mutu aparatur pengelola.Pada keyataannya masih ada pegawai yang memiliki sikap mental, disiplin kerja , motivasi dan pengetahuan yang rendah, kurangnya kesempatan pelatihan teknis atau diklat yang lain sehingga menyebabkan kualitas sumber daya manusia kurang dan sulitnya
9
merespon perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pekerjaannya. Dari hal tersebut muncul tindakantindakan yang tidak semestinya dalam menjalankan pekerjaannya (penyelewengan, diskriminasi, kolusi dan lain berkaitan dengan pemungutan retribusi pasar). Peningkatan mutu aparatur pengelola dapat dilakukan dengan jalan memberikan kesempatan kepada pegawai untuk mengikuti diklat, pelatihan, workshop, studi banding maupun kajian yang terkait dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Petugas yang memiliki SDM yang baik akan mampu mengimplementasi suatu kebijakan strategis dengan efektif. Dari hasil wawancara didapat informasi bahwa Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Kolaka memberikan kesempatan kepada pegawainya untuk meningkatkan SDMnya dengan memperhatikan skala prioritas dan anggaran yang ada. Peningkatan SDM tersebut dilakukan dengan jalan mengikuti diklat pengelolaan pasar tradisional, studi banding pengelolaan pasar tradisional di anggap berhasil dengan harapan menyerap strategi pengelolaan pasar untuk selanjutnya diterapkan di Pasar-pasar tradisional di Kabupaten Kolaka. Strategi selanjutnya adalah pemberantasan pemalsuan retribusi, hal ini dilakukan agar retribusi yang dipungut sesuai dengan aturan yang ada dan pungutan retribusi tepat sasaran.Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa benda berharga (BB) yang di pakai untuk memungut retribusi di Kabupaten Kolaka disalurkan oleh Badan Pengelola Pajak dan retribusi Daerah selaku Koordinator melalui bendahara Benda Berharga.Sebelum Benda Berharga/Karcis retribusi disalurkan terlebih dahulu dipoorporasi oleh petugas sebagai pertanda bahwa Benda Berharga/Karcis tersebut resmi. 2. Ekstensifikasi retribusi Ekstensifikasi retribusi merupakan suatu kondisi yang menekankan pada upaya
peningkatan pendapatan retribusi secara lebih luas daripada yang telah ada. Ekstensifikasi dapat dilakukan dengan mengupayakan hal-hal seperti : a. Penambahan retribusi baru dengan menemukan wajib obyek retribusi baru. b. Menciptakan jenis retribusi baru, atau memperluas ruang lingkup retribusi yang ada. Eksentifikasi retribusi yang dilakukan oleh Badan Pengelola Pajak dan retribusi daerah adalah dengan jalan penambahan retribusi baru dengan menemukan wajib retribusi baru. Penambahan wajib retribusi baru tersebut terjadi disemua pasar yang ada di Kabupaten Kolaka.Berdasarkan informasi dari pedagang diketahui bahwa setiap tahun terjadi penambahan pedagang di semua pasar yang ada di Kabupaten Kolaka.Dari hasil wawancara kepada para kepala pasar di dapat informasi bahwa wajib retribusi dipasar setiap tahunnya terus bertambah.Realitas yang ada pun membuktikan bahwa dalam kurung waktu 5 tahun terakhir, setiap tahunnya Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah selalu menganggarkan pekerjaan pisik untuk membangun kios ataupun los yang dianggap perlu untuk mengakomodir pedagang.Kondisi ini diharapkan berbanding lurus dengan realisasi penerimaan retribusi pasar. 3.2. Kontribusi Sektor Retribusi Terhadap PAD Kabupaten Kolaka Realisasi penerimaan retribusi di Kabupaten Kolaka selama lima tahun terakhir mengalami kondisi yang fluktuatif karena pada tahun 2012 mencapai 92,78% dari target yang telah ditentukan, tahun 2013 86.16% dan Tahun 2014 hanya mencapai 63.51%. Setelah berturut-turut mengalami penurunan selama 2 tahun, Tahun 2015 mengalami kenaikan yang signifikan yaitu mencapai 103.55% dan di Tahun 2016 kembali mengalami penurunan drastis hanya mancapai 57.46% dari target yang telah dibebankan.
10
Berdasarkan data yang ada realisasi penerimaaan retribusi Tahun 2012 mencapai Rp. 9,931,531,292,- (92,78 %) dari target sebesar Rp. 10,704,432,907 yang telah ditentukan oleh Pemda Kabupaten Kolaka yang di kelolah oleh18 SKPD dan 19 kecamatan.Selanjutnya tahun 2013 target dinaikkan menjadi Rp. 12,682,354,760,dan realisasi Rp. 10,927,244,401,- ( 86.16%). Kemudian Tahun 2014 target dinaikkan menjadi Rp. 24,365,579,000,dan realisasi Rp, 15,474,043,043,- (63,51%). Tahun 2015 target turun drastis menjadi Rp. 13,305,093,000,dan realisasi Rp. 13,777,748,305,- (103.55). Penurunan target ini disebabkan mekarnya Kolaka Timur maka otomatis subyek retribusi menjadi berkurang. Selanjutnya target Tahun 2016kembali turun Rp. 11,306,258,520,- dan realisasi hanya Rp. 6,496,900,326,-( 57.46 %). Penurunan target tersebut disebakan adanya SKPD yang tidak memungut lagi serta adanya jenis retribusi yang tidak dipungut lagi oleh Pemda sesuai dengan aturan baru yang belaku. Dari data dapat diketahui bahwa Tahun 2012 realisasi penerimaan retribusi yang dikelolah oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kolaka memberikan kontribusi 9,84 %, Tahun 2013 8,55 %, Tahun 2014 5,96, Tahun 2015 6,77% dan Tahun 2016 11,15 terhadap terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kolaka dari sektor retribusi Daerah. Sedangkan realisasi penerimaan retribusi Kabupaten Kolaka memberikan kontribusi 24,35 % pada Tahun 2012, Tahun 2013 22,23 %, Tahun 201423,36%, Tahun 2015 19, 50 % dan Tahun 2016 12, 51 % terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Kolaka. Dengan demikian dapat disimpulksn bahwa retribusi daerah memiliki kontribusi yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kolaka. 3.3.Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Strategi
A. Faktor Pendukung Implementasi Strategi a. Meningkatnya kesadaran masyarakat membayar retribusi Kesadaran masyarakat membayar retribusi merupakan salah satu faktor penting sekaligus peluang untuk meningkatkan penerimaan retribusi.Dari wawancara tersebutdiperoleh informasi bahwa kesadaran masyarakat membayar retribusi mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan. b. Kemajuan ilmu dan teknologi Semakin majunya ilmu dan teknologi merupakan peluang bagi Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Kolaka untuk meningkatkan kinerjanya. Salah satu bentuk realisasinya adalah dengan penggunaan sistem komputerisasi yang akan meningkatkan efisiensi organisasi dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa jumlah pegawai pada tahun 2016 sebanyak 98 orang dan di Tahun 2017 turun menjadi 71 orang. Dari pengamatan penulis diruangan bendahara penerima hanya terdiri dari 5 orang pegawai yang melayani masayarakat dengan komposisi 1 orang bendahara penerima dibantu 1 orang staf yang bertugas menerima setoran, membuat slip setoran, membuat surat tanda terima setoran, membuat kwitansi dan menyetor ke BPD. 1 Orang staf yang bertanggung jawab mendokumentasikan dan mengadministrasikan semua setoran, dan 2 orang admin SIMDA yang bertugas mengimput semua jenis setoran ke Kasda.Pengimputan dilakukan ditempat dengan memakai jaringan internet/sistem on line yang meningkatkan efisiensi pekerjaan. c. Tersedianya sumber daya manusia Sumber daya manusia merupakan tenaga operasional utama yang menentukan apakah organisasi
11
tersebut dapat berjalan dan berkembang dengan baik.Sumber daya manusiamerupakan faktor penentu tegaknya suatu organisasi, sehingga sember daya manusia baik kualitas maupun kuantitas menjadi kekuatan yang harus dipenuhi oleh organisasi.Dari pengamatan penulis sumber daya manusia yang dimiliki oleh Badan Pengelola Pajak dan retribusi sangat menunjang. d. Adanya Peraturan Daerah yang mengatur Dasar hukum pelaksanaan pemungutan retribusi adalah UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.Dari Studi literature dapat diketahui bahwa retrubusi yang di pungut oleh Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah telah di atur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 07 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 05 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah/Pelabuhan, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 05 Tahun 2011 Tentang Tempat Khusus Parkir. Perda tersebut mengatur besaran tarip retribusi yang dipungut kepada para pedagang, wajib retribusi dipelabuhan serta wajib retribusi di tempat khusus parkir sesuai dengan fasilitas/kendaraan yang digunakan. Perda tersebut juga menjadi pedoman dalam rangka penetapan sanksi yang dapat dikenakan kepada para wajib retribusi bila terjadi pelanggaran atau penyelewengan terkait dengan pelaksanaan pemungutan retribusi baik dipasar, pelabuhan maupun di tempat khusus parkir. Walaupun hingga sekarang Perda tersebut tetap menjadi pedoman pelaksanaan tugas pemungutanretribusi di pasar, pelabuhan dan tempat khusus parker bagi para petugas pemungut, tetapi kondisi di lapangan menunujukkan bahwa tarip yang berlaku sekarang ini sudah tidak sesuai dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat, sehingga perlu adanya perubahan guna menyesuaikan dengan kondisi yang ada sehingga perlu adanya perubahan guna menyesuaikan dengan kondisi yang ada disamping itu juga alasan tuntutan terus meningkatkan pendapatan retribusi dari pemerintah daerah. Mencermati dari uraian di atas maka dapat ditarik analisa bahwa peraturan menjadi salah satu kekuatan organisasi dalam menjalankan tugas karena merupakan rambu-rambu yang mengarahkan bagaimana tugas harus dilaksanakan dan menjadi pedoman dalam melaksanakan tanggung jawab sehingga pekerjaan dapat berjalan dengan tertib. e. Sistem penarikan retribusi melalui sistem face to face Selama ini, petugas pemungut melakukan sistem penarikan retribusi face to face, yaitu melakukan penagihan dengan mendatangi dan bertatap muka dengan wajib retribusi secara langsung. Dari hasil wawancara diatas dapat dijelaskan bahwa petugas pemungut retribusi telah melakukan sistem penarikan retribusi face to face, yaitumelakukan penagihan dengan mendatangi dan bertatap muka dengan wajib retribusi secara langsung sehingga para pemungut hapal dengan pedagang yang ada di pasar tersebut. Hal ini dapat dijadikan pegangan bagi pemungut dalam menghitung jumlah pedagang secara periodik.Jumlah pedagang inilah yang menjadi faktor utama bagipotensi pendapatan retribusi pasar.Oleh karena itu logis kalauPemerintah Kabupaten Kolaka berupaya agar jumlah pedagang di pasar terus mengalami penambahan sebab hal tersebut amat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan retribusi pasar. f. Peningkatan Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana merupakan unsur penunjang yang sangat
12
berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi suatu organisasi. Sarana yang memadai akan mendukung kenyamanan kerja bagi pegawai dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dari pengamatan penulis sarana komputer dikantor Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah kurang memadai jika dibandingkan dengan beban kerja yang di embang. Hal ini dapat dilihat bahwa semua bidang memiliki fasilitas computer tetapi kondisinya tidak normal semua. Menyikapi hal ini Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah telah mengaggarkan pengadaan komputer untuk tahun ini. Dari pengamatan penulis sarana transfortasi/kendaraan operasional telah memadai karena semua kepala pasar, koordinator parkir dan koordinator PKD pelabuhan mendapat fasilitas kendaraan Dinas.Hal ini untuk memudahkan mobilisasi petugas dalam melakukan tugas dilapangan maupun koordinasi dengan pejabat yang berwenang. Peningkatan sarana dilapangan/pasar juga telah dilakukan oleh Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah untuk meciptakan kenyamanan bagi wajib retribusidan petugas retribusi dalam melaksanakan tugasnya. Meskipun demikian masih ada yang harus dibenahi.Dari pengamatan penulis, kondisi pos petugas retribusi tempat khusus parkir yang terletak ditengah jalan sangatlah memprihatinkan. Bahkan petugas retribusi pemakaian kekayaan daerah tidak memiliki pos sama sekali. Dari wawancara petugas pemungut dilapangan mengatakan bahwa sebelumnya kami memiliki pos yang baik terletak di jalur 2 tugu antam dan di depan BPD.tapi kami dipindahkan karena usulan oleh anggota DPRD dengan alasan tidak semua mobil yang lewat mau masuk kepasar sehingga dianggap tidak strategis.
Pengadaan portal elektronik yang akan diusahakan oleh Badan Pengelola Pajak dan Retribusi sangat tepat karena selain menunjang pengenaan tarif yang sesuai dengan perda juga akan meminimalisir upaya penghindaran retribusi dari wajib retribusi g. Produktivitas organisasi Produktivitas organisasi menjadi alat yang cukup penting untukmengukur kemampuan organisasi dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan dan menjaga keeksistensian organisasi tersebut.Penilaian terhadap produktivitas Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah bisa dilihat berdasarkan kepada perbandingan antara target yang telah ditetapkan dengan realisasi hasil yang dicapai pada suatu tahun anggaran tertentu. B. Faktor Penghambat Implementasi Strategi a. Sikap mental, disiplin, motivasi kerja dan pemahaman terhadaptupoksi yang masih rendah Di lapangan ditemukan kenyataan bahwa banyak pegawai dan petugas pemungut yangtidak tahu persis uraian tugas yang harus dijalankan sesuai dengan tugas yang ada karena rasa enggan untuk mempelajari aturan aturan yang berlaku sehingga setiap kali ada perubahan aturan pun tidak memahami.Disamping itu sikap pimpinan yang terkesan cuek terhadap upaya untuk mensosialisasikan aturan aturan yang harus dijalankan terkait peraturan yang mengatur tentang retribusi. Hal penting yang peneliti cermati, bahwa prospek kenaikanpendapatan retribusi tidak menjadi pemikiran yang strategisdari pelaksana teknis di lapangan. Jadi pengelola retribusi dilapangan belum memiliki visi bahwa dalam sekian tahun kenaikan pendapatan retribusi harus naik sekian persen. Dasar pemikian masihterbatas kondisi tahun lalu dan tahun depan
13
sehingga dalam sekian puluh tahun belum bisa dilakukan semacam proyeksi pendapatan retribusi dengan segala langkah-langkah pendukung kegiatannya. Jadi bisa dikatakan kemampuan inovasi pengelola retribusi dilapangan masih rendah. Sikap mental para pegawai yang merupakan warisan dari zaman kolonial adalah sikap mental yang seperti buruh,yang selalu mengharap imbalan berupa uang setelah melakukan suatu pekerjaan, tidak memiliki inisiatif karena selalu menunggu perintah dari atasan, dan bekerja jika diawasi oleh atasan. Memang sulit untuk memperbaiki sikap mental yang telah berakarsejak dahulu kala. Namun upaya tetap harus dilakukan meskipun hal ini membutuhkan proses yang tidak sebentar. Upaya pembinaan ini akanlebih terpusat kepada pimpinan karena budaya masyarakat yang masih bersifat merit system. Untuk itu Kepala Badan Pengelola Pajak Retribusi Daerah dan khususnya Kepala Bidang Pajak dan Retribusi Daerah harus lebih pro aktif dalam melakukan pendekatan kepada para pegawainya dengan memberikan penjelasan secara terus menerus.Selain itu juga perlu ditingkatkan upaya pengawasan, baik pengawasan yang dilakukan oleh atasan secara langsung maupun pengawasan oleh masyarakat secara non formal. b. Belum intensifnya pelaksanaan penyuluhan baik secara formal maupuninformal Krisis kepercayaan terhadap petugas pemungut retribusidan penghindaran pembayaran retribusi oleh sebagian wajib retribusi merupakan ancaman yang dihadapi oleh Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Kolaka dalam meningkatkan retribusi. Namun hal tersebutdapat diantisipasi dengan melakukan penyuluhan yang lebih
intensif baik secara formal maupun informal karena didukung oleh sumber daya manusia yang memadai. Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa penyuluhan dilakukan maksimal 2 kali dalam setahun dan tidak bisa dipungkiri kesadaran masyarakat untuk membayar retribusi merupakan salah satu faktor penentu bagi Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Kolaka untuk meningkatkan pendapatan retribusi. Kesadaran masyarakat untuk membayar retribusi pasar harus selalu ditingkatkan. Kesadaran tersebut dapat ditingkatkan melalui penyuluhan.Penyuluhan ini dapat dilakukan secara langsung dengan mengundang masyarakat ke tempat yang telah ditentukankemudian diberikan informasi mengenai retribusi disertai dengan peringatan maupun saknsi apabila tidak melaksanakan kewajibannya. Disamping itu sistem pemungutan yang dilakukan secara face to face sekaligus menjadi sarana yang cukup efektif bagi pegawai dan petugas pemungut untuk memberikan penyuluhan/penyampaian informasi yang sifatnya informal dan langsung kepada para wajib retribusi. c. Data potensi yang kurang akurat Kegiatan pendataan potensi dan realisasi retribusi yang dilakukan secara periodik setiap tahun sekali oleh Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah secara langsung ke pasar-pasar, ternyata kadang memiliki angka-angka yang berbeda dengan data potensi yang diberikan oleh para Kepala Pasar. Kurangnya keakurasian data tersebut menunjukkan adanya indikasi manipulasi laporan pendapatan.Oleh karena itu pengawasan yang makin intensif seharusnya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten terutama
14
dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Dari pengamatan penulis dilapangan,pernyataan Kepala Pasar Lamekongga benar adanya karena tidak semua yang menjual di emperan pasar adalah pedagang ada yang hanya datang menjual hasil bumi atau hasil lautnya. Menurut hemat penulis sebaiknya Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah melakukan pendataan secara terpadu pada pasar-pasar yang ada di Kabupaten Kolaka dan mengklarifikasi pedagang emperan baik yang terikat kontrak maupun pedagang emperan lainnyadengan demikian penetapan target akan lebih ideal. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, khususnya dari Bab IV maka ditarik beberapa kesimpulakn sebagai berikut.: 1. Pengawasan Pemungutan Pajak Restoran dilakukan belum efektif karena semua pendekatan untuk menjamin pelaksanaan Pengawasan Pemungutan Pajak Restoran yang meliputi pengendalian lingkungan. pengorganisian tindakan. aktivitas pengawasan langsung dan tindak langsung, komunikasi dan feedback, serta pemantauan dan monitoring tersebut semuanya belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 2. Faktor yang mempengaruhi efektivitas pengawasan pemungutan pajak restoran dibedakan menjadi factor individu dan factor organisasi atau manajemen. a) Faktor individual pegawai adalah masih rendahnya kemauan, komitmen, integritas untuk meningkatkan kompetensi yang masih terbatas, termasuk merubah perilaku kea rah yang positif untuk memperbaiki kinerja pengawasan agar capaian target penerimaan pajak restoran tercapai; b) Faktor manajamen yang mempengaruhi pengawasan system aturan tentang
tatakerja pengawasan, sarana dan prasrana kerja, mobilitas, proses menajemen, kejelasan tanggungjawab, disposisi pimpinan melemahkan pengawasan. Rendahnya intensitas monitoring, dan pengawasan langsung di lapangan karena SDM terbatas dan dukungan anggaran, tindak lanjut penyelesaian temuan pengawasan secara tuntas; c) kesadaran masyarakat membayar pajak, menghindari pajak atau bernegosiasi untuk menunda atau meniadakan kewajiban membayar pajak penjadi faktor penghambat dalam melaksnakan pengawasan dengan menerapkan aturan yang sudah ada. Sehubungan dengan kesimpulan itu, maka beberapa hal yang disarknan adalah sebagai berikut: 1) Aspek yang dapat dilakukan untuk meningkatkan realisasi penerimaan pajak daerah adalalah memaksimalkan pengelolaan potensi sumber penerimaan pajak dengan secara terus menerusmenggali sumbersumber penerimaan yang yang baru, mendorong kesadaran aparat untuk mengembangkan SDM dan meningkatkan kualitas kerja, memperbaiki moralitas pegawai, meningkatkan sarana dan prasarana pelayanan, menata kembali aturan pungutan, struktur birokrasi, pengawasan, perbaikan kualitas pelayanan jasa serta pengawasan dalam proses pemungutan dan penatausahaan peneriman pajak restoran serta perbaikan sarana dan prasarana pendukung pelayanan kepada masyarakat, serta perbaikan system pengawasan pemunguan pajak restoran secara berkelanjutan; 2) Standarpengawasan dan pelayanan diperlukan agar pengawasan berjalan efektif dan proses pemungutan dapat terlasana dengan baik untuk mencapai target penerimaan pajak restoran yang semakin meningkat, termasuk penerapan sisten pengawasan
15
berjenjang mulai dari Kepala SKPD sampai kepada petugas pemungut, maupun pengawasan eksternal melalui audit keuangan oleh institusi pengawas keuangan Negara/daerah di daerah. DAFTAR PUSTAKA Cohen M, John and Peterson B, Stephen. 1999, Administrative Decentralization (Strategies for Developing Countries), Kumarian Press : USA. Davey, Kenneth, 1999, Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Devas, Binder, Booth, Davey, Kelly, 1999, Keuangan Pemerintah Daerah Indonesia, UI Press. Edward III, George C dan Ira Sharkansky, 1978, The Policy Predicament – Making and Implementing Public Policy, San Fransisco : W.H Freeman and Company. Hariyoso, S. 2002. Pembaruan Birokrasi dan Kebijaksanaan Publik, Peradaban. Hardjosukarto, Sudarsono, dkk, 1997, Privatisasi Pelayanan PrimaMembangun Visi dan Orientasi Manajemen Pembangunan Nomor 19/V/4/1997. Harahap, Sofyan Safri, 2001, Sistem Pengawasan Manajemen (Management Control System), Jakarta : Quantum. Huseini, Martani, 1989, Perencanaan Strategik Dalam Organisasi, Jakarta, PAU Ilmu-ilmu Sosial UI. Islamy, M. Irfan, 2004, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. ......., 1988. Kebijakan Publik, Jakarta: Penerbit Karunika. ......., 2007, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Cetakan Keempat belas, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Keban, Yeremias T. 1995. Indikator Kinerja Pemda, Pendekatan Manajemen dan Kebijakan, Yogyakarta : Fisip UGM Macalay, Steve, Sarah Cook, Alih bahasa Yosua,I sambodo, 1995, Kiat Meningkatkan Pelayanan bagi Pelanggan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. Manullang, Marihot AMH, 2006. Manajemen Personalia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Mardiasmo.(2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Moeleong, Lexy J., 2000, Metodologi Penenlitian Kualitatif, Bandung: P.T. Remaja Rosdakary Mulyana, Deddy, 2003, Metodologi Penelitian Kualitatif – Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Musgrave, Richard A., dan Peggy B. Musgrave, 1989, Keuangan Negara Dalam Teori bdan Praktek, Jakarta: Erlangga. Nasution.Zulkarimein. 1996. Komunikasi Pembangunan, Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada. Wahab, Solichin Abdul, 2004, Analisis Kebijakan – Dari Formulasi ke Implementasi Syamsi, Ibnu. (1994). Dasar-dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara.Jakarta : PT. Rineka Cipta. Sidik, Machfud, 1999, “Indonesia Antara Akumulasi Krisis dan Tuntutan Reformasi”,LP3NI, Jakarta Sulaeman, Affan. 1998. Public PolicyKebijakan Pemerintah, Bandung : BKU Ilmu Pemerintahan Program Magister Ilmu-ilmu Sosial pada Institut Ilmu Pemerintahan Kerjasama UNPAD-IIP. Peraturan perundang-undangan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Otonomi Daerah
16
Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2019 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah Perda Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah