Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
ANALISIS SISTEM LINEAR SINGULAR PADA RANGKAIAN RLC SEDERHANA Kris Suryowati Jurusan Matematika, Fakultas Sains Terapan, IST AKPRIND Yogyakarta e-mail :
[email protected] INTISARI Sistem linear singular atau disebut juga sistem deskriptor merupakan suatu sistem yang lebih umum dan banyak aplikasinya pada sistem dinamik, sistem pada rangkaian RLC dan sebagainya. Satu contoh model sistem pada rangkaian RLC sederhana dapat dibawa ke bentuk sistem linear singular. Dalam hal ini dibahas pembentukan model sistem linear singular pada rangakian RLC, bentuk dekomposisi standar system linear yang terdiri dari dua subsistem yaitu subsistem pertama dan susbsistem kedua dan bentuk solusi sistemnya, juga karakterisasi sistem yang meliputi keterkendalian, keterobservasian dan stabilitas system. Kata kunci:
Sistem linear singular, bentuk dekomposisi standar, rangkaian RLC
PENDAHULUAN Sistem linear singular atau sering disebut sistem deskriptor mempunyai bentuk sistem sebagai berikut
Ex (t) Ax( t ) Bu (t ) …………………………………………………
(1)
y(t ) Cx (t ) dengan x(t)Rn, u(t)Rm dan y(t)Rr berturut-turut merupakan vektor keadaan, vektor masukan (kendali) dan vektor keluaran. Sedangkan E, ARnxn , BRnxm dan CRrxn adalah matriks–matriks konstan dengan elemen-elemen atas lapangan R, dengan rank E = q < n. Pada sistem linear singular diasumsikan bahwa matriks pencil sE-A regular, dalam hal ini untuk manjamin keberadaan dan ketunggalan solusi sistem. ( Dai, 1988) juga pada Dai, 1988 dibahas karakterisasi sistem linear singular yang meliputi keterkendalian, keterobservasian dan stabilitas sistem. Dikatakan bahwa sistem linear singular (1) merupakan bentuk sistem yang paling umum karena jika matriks E nonsingular maka sistemnya menjadi sistem normal, yang telah dibicarakan oleh Olsder (1994), tetapi dalam hal ini dibahas matriks E yang singular. Pada Olsder (1994) telah dibahas analisis sistem normal yang meliputi bentuk solusi dan sifat–sifat diantaranya keterkendalian, keterobservasian dan keadaan umpan balik.
x 1 (t ) x 2 ( t )
Pada sistem (1) jika memenuhi sifat regular maka melalui transformasi x ( t ) P
dengan P matriks nonsingular berukuran nxn, x1(t) R n1 , x2(t) R n 2 dan n1 +n2 = n, maka sistem (1) dapat dibentuk ke dalam bentuk dekomposisi standar sistem yang terdiri dari dua subsistem yaitu subsistem pertama berupa sistem normal dan subsistem kedua yang berupa subsistem singular khusus, dalam hal ini sudah dibahas oleh Suryowati, 2002. Untuk karakterisasi sistem (1) yang meliputi keterkendalian, keterobservasian, stabilitas sistem dan dualitasnya, pada Cobb (1984). Salah satu kasus dalam hal ini penulis mengambil contoh aplikasi dari sistem linear singular pada rangkaian RLC sederhana seperti terlihat pada gambar 1. R
L
+ C1
ue
C2
-
I2 I1
Gambar 1. Rangkaian RLC sederhana B-438
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
Dengan R adalah resistor dalam Ohm, L indukstansi diri dalam Henry , C capasitor dalam Farad, I arus yang mengalir dalam Ampere dan ue (t) tegangan sumber dalam Volt. Sedangkan uR(t) tegangan pada resistor, u c1 ( t ) , u c 2 ( t ) tegangan pada capasitor C1, C2 dan uL(t) tegangan pada indukstansi. Proses pembentukan model dengan menggunakan hukum Kirchof II, Hukum Ohm dan hukum-hukum Fisika yang berlaku. Pada rangkai RLC di atas dapat dibentuk ke dalam model sistem linear singular berdasarkan Hukum-hukum fisika, dengan demikian yang menjadi permasalahan yaitu bagaimana pembentukan model pada rangkaian RLC, bentuk solusinya dan juga karakterisasi sistemnya yang meliputi keterkendalian, keterobservasian dan stabilitas. METODE Sistem linear singular pada persamaan (1), dan dengan mengasumsikan bahwan matriks pencil (sE–A) regular untuk menjamin keberadaan dan ketunggalan solusi sistem. Berikut ini diberikan beberapa konsep yang akan digunakan sebagai acuan dalam pembahasan selanjutnya. Definisi 1. ( Gantmacher, 1960) Diberikan matriks A, ERnxn, matriks pencil (sE–A) disebut regular jika terdapat skalar α C yang memenuhi αE A 0 Lemma 2. Matriks pencil sE–A regular jika dan hanya jika terdapat matriks nonsingular P Q berukuran nxn atas lapangan R, yang memenuhi QEP=diag I n1 , N dan QAP=diag A1, I n 2 dengan
n1 +n2=n , A1 R n1 x n1 , N R n 2 xn 2 nilpoten berindeks h Pada sistem (1) diasumsikan bahwa sistem regular yang berarti matriks pencil (sE–A) regular,
x1 ( t) sistem dapat dibawa ke bentuk standar x 2 ( t )
sehingga dengan Lemma 2. dan transformasi x(t) = P dekomposisi berikut: x 1 ( t ) = A1x1 (t ) + B1u( t ) ; y1(t) = C1x1(t)
Nx 2 ( t ) = I n 2 x 2 ( t ) + B2 u(t) ; y2(t) = C2x2(t)
..............................................
(2.a)
..............................................
(2.b)
dengan x1(t) R n1 , x2(t) R n 2 , y1(t), y2(t)Rr , B1 R n1xm , B2 R n 2 xm , C1 R rxn1 ,C2 R rxn 2 , n1 + n2 = n dan N nilpoten berindeks h. Dengan sistem (2.a) sebagai subsistem pertama dan sistem (2.b) sebagai subsistem kedua. Selanjutnya bentuk umum solusi dan keluaran sistem (1) diberikan sebagai berikut : t
I 0
0 I
x(t)=P { e A1t x1 (0) + e A1 ( t s ) B1u (s)ds }+P {-
0
t
y(t) = C1{ e A1t x1 (0) + e A1 ( t s ) B1u (s)ds } + C2 {-
0
h 1
h 1
(i 1) ( t) Ni x 2 (0) Ni B2u (i ) ( t)} i 1
i0
h 1
h 1
i 1
i0
(i 1) (t ) N i x 2 (0) N i B2u (i ) ( t)}
Definisi 3. Sistem (1) disebut terkendali jika untuk setiap t1 > 0, x1(0), wRn terdapat masukan
x1 ( t1 ) =w. x 2 ( t 1 )
kendali u(t) Rm yang memenuhi x(t1) =
Diberikan matriks-matriks s = [B1 , A1B1 , A12 B1 , … , A1n1 1 B1] dan f = [B2 , NB2 , N2B2 , … , Nh-1B2] yang didefinisikan sebagai matriks keterkendalian pada subsistem pertama dan subsistem kedua. Teorema berikut memberikan sifat-sifat keterkendalian sistem (1) Teorema 4. 1) Subsistem pertama dikatakan terkendali jika dan hanya jika rank[sE-A,B]=n , s C , s hingga. 2). Subsistem kedua terkendali jika dan hanya jika Rank[ N , B2 ] = n2 jika dan hanya jika Rank[ E , B ] = n. 3). Sistem (1) terkendali jika dan hanya jika kedua subsistemnya terkendali B-439
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
Definisi 5. Sistem (1) terobservasi jika kondisi awal x(0) Rn dapat ditentukan secara tunggal oleh u(t)Rm, y(t)Rr, 0 t.
C1 C2 CA C N 1 1 2 , didefinisikan sebagai Selanjutnya diberikan matriks Ws = dan W f = n1 1 h 1 C1A1 C 2 N matriks keterobservasian subsistem pertama dan subsistem kedua Teorema 6 . 1). Jika u(t) 0, maka y(t) 0, t 0 jika dan hanya jika x(0) KerWs KerWf. 2).
sE A n , untuk setiap s C , s hingga. C
Subsistem pertama terobservasi jika dan hanya jika rank
C2 C N 2 = n2 dan hanya jika Rank N 3).Subsistem kedua terobservasi jika dan hanya jika rank C 2 h 1 C 2 N = n2
E C
jika dan hanya jika Rank = n. 4). Sistem (1) terobservasi jika dan hanya jika subsistem
pertama dan kedua terobservasi Berikut diberikan definisi bahwa sistem (1) stabil, adapun stabil yang dimaksud disini adalah stabil atas pemikiran Lyapunov yaitu stabil asimtotik. Definisi 7. Diberikan u(t) 0 untuk t > 0 dan x(0) = x0Rn . Sistem (E,A,B,C) disebut stabil jika : 1). Untuk setiap > 0 terdapat > 0 sehingga jika x(0) < maka x(t; x 0 ) ε untuk setiap t > 0. 2). n
limx(t; x 0 ) 0 untuk setiap x0R t
Karakterisasi bahwa sistem (1) stabil ditampilkan pada lemma dan teorema berikut. Lemma 8. Sistem (1) stabil jika dan hanya jika subsistem pertama stabil Teorema 9. Sistem (1) dikatakan stabil jika dan hanya jika (E, A ) C , dengan C {s C Re s 0} , C adalah setengah bidang komplek kiri terbuka. PEMBAHASAN Pembentukan model sistem linear singular pada rangkaian RLC di atas dengan uraian sebagai berikut. Pada rangkaian tersebut diterapkan hukum Kirchof II, sehingga diperoleh : Loop 1 : uR(t) + u c1 ( t ) = ue(t) 0 = RI1(t) + u c1 ( t ) - ue(t) Loop 2 : uL(t) + u c 2 (t ) – u c1 ( t ) = 0 -L I 2 (t) = u c 2 (t ) – u c1 ( t ) Dengan hukum-hukum dalam Fisika berlaku: I1(t) = C1
du c1 ( t ) dt
= C1 u c1 ( t ) ; I2(t) = C2
du c 2 ( t ) dt
= C2 u c 2 ( t )
Sehingga dari ke empat persamaan tersebut diperoleh hubungan sebagai berikut: C1 u c1 ( t ) = I1(t); C2 u c 2 ( t ) -L I 2 (t)
=
I2(t);
= – u c1 ( t ) + u c 2 ( t ) 0 =
u c1 ( t ) + RI1(t)
– ue(t)
Kemudian dibawa ke bentuk sistem linear, yang dapat dituliskan B-440
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
C1 0 0 C 2 0 0 0 0
0 0
0 0 L 0 0 0
u c1 (t ) 0 u ( t ) 0 c2 = I2 (t ) 1 I1 (t ) 1
0 0 0 1
1 0 1 0 0 0 0 R
ISSN: 1979-911X
u c1 (t ) 0 u ( t ) 0 c 2 + ue(t) I2 (t ) 0 I1 (t ) 1
dan sebagai keluaran sistem yaitu tegangan pada kapasitor C2, sehingga diperoleh y(t) = u c 2 ( t ) =
u c1 ( t ) u ( t ) 0 1 0 0 c 2 I2 ( t ) I1 ( t )
u c1 ( t ) u ( t ) c Misalkan vektor keadaan x(t) = 2 , vektor masukan u(t) = ue(t) dan vektor keluaran y(t), I2 ( t ) I1 ( t ) sehingga sistemnya dapat dinyatakan sebagai berikut
C1 0 0 C 2 0 0 0 0
0 0
0 0 0 0 x ( t ) = 1 L 0 0 0 1
0 0 0 1
1 0 0 0 x(t) + u(t) 0 1 0 0 0 0 R 1 ………………...
(3)
y(t) = 0 1 0 0 x(t) Terlihat bahwa sistem (3) merupakan bentuk sistem linear singular karena matriks
C1 0 0 C 2 0 0 0 0
E =
0 0
0 0 merupakan matriks singular. L 0 0 0
Dengan kata lain sistem (3) berbentuk
Ex (t) Ax( t ) Bu (t ) y(t ) Cx (t ) Dengan demikian matriks –matriks konstan berupa
C1 0 0 C 2 E= 0 0 0 0
0 0
0 0 ,A= L 0 0 0
0 0 1 1
0 0 0 1
1 0 ,B= 1 0 0 0 0 R
0 0 dan C = 0 1 0 0 0 1
dengan C1 , C2 , L ,R > 0. Selanjutnya pada sistem (3) akan diperiksa apakah sistem tersebut regular yaitu berdasarkan sifat regular suatu sistem jika memenuhi det(sE-A) 0, untuk suatu skalar s C .
B-441
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
0 sC 1 0 sC 2 det(sE-A) = det 1 1 0 1 sC 2 1 = sC1 1 sL 0
0
1 0 sL 0 0 R 0 0 0 (1) 1
ISSN: 1979-911X
0 1
R
sC 2 1
1 sL
0
0
1
= sC1 ( R(sC 2 ( sL) 1) 1.(1(C 2 ( sL) 1) = s 3 C1C 2 LR sC1 R sC 2 L 1 0 untuk suatu skalar s C . Dengan demikian terlihat bahwa sistem (2) regular.
x 1 (t ) dengan x 2 ( t )
Kemudian menggunakan transformasi x(t) = P
1 0 matriks nonsingular P = 0 1 R
0 0 0 1 0 0 berukuran 4x4 yang diperoleh dari perkalian matriks0 1 0 0 0 R1
matriks elementer pada operasi baris elementer matriks E dan diambil matriks nonsingular Q =
C11 0 0 0
0
0
1 C2
0
0 L1
0
0
C11R 0 yang diperoleh dari perkalian matriks-matriks elementer pada operasi baris 0 1
elementer matriks E, untuk menghitung QEP, QAP, QB dan CP sebagai berikut,
C11 0 QEP = 0 0 1 0 = 0 0 C11 0 QAP = 0 0
0
0
1 C2
0
0 L1
0
0
C11R 0 0 1
0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 C11R 1 0 0 C2 0 L1 0 0 0 1
C1 0 0 C 2 0 0 0 0
0 0 1 1
0 0 L 0 0 0
0 0 0 1
0 0
1 0 1 0 0 0 0 R
1 0 0 1 R
1 0 0 1 R
B-442
0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 R1
0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 R1
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
0 0 C11R 0 0 0 C12 0 = L1 L1 0 0 0 0 1 0 0 C11R 0 C11R C11 0 0 1 0 0 0 0 C2 QB = = 0 0 L1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 = 0 1 0 0 CP = 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 R 0 0 R Dengan demikian diperoleh bentuk dekomposisi standar pada sistem (3) sebagai berikut
C11R 1 0 0 0 Subsistem pertama: 0 1 0 x 1 ( t ) = L1 0 0 1 y1 (t) = 0 1 0x1(t)
0 0 L1
0 C11R 1 x (t) + 0 u(t) C2 1 0 0
u c1 ( t ) dengan x1(t) = u c 2 ( t ) I 2 (t ) Subsistem kedua : : 0 x 2 (t ) = 1 x2(t) + 1 u(t) x2(t) = u(t) y2 (t) = 0x2(t) y2(t) = 0 dengan x2(t) = [ I1(t) ] Bentuk solusi dan keluaran pada sistem (3). Mengingat sifat pada sistem persamaan linear singular jika sistemnya regular maka sistem mempunyai solusi dan solusinya tunggal. Adapun langkah-langkah dalam menentukan solusi adalah sebagai berikut pertama pembentukan dekomposisi Pada sistem (3) pada pembahasan diatas diperoleh bentuk dekomposisi standar sistem yang terdiri dari subsistem pertama dan subsistem kedua sebagai berikut:
0 C11R 0 C11R 1 0 0 0 Subsistem pertama: 0 1 0 x 1 ( t ) = 0 C12 x1(t) + 0 u(t) L1 0 0 0 1 L1 0 y1(t) = 0 1 0 x1(t) u c1 ( t ) dengan x1(t) = u c 2 ( t ) I 2 (t ) Subsistem kedua : 0 x 2 (t ) = 1 x2(t) + 1 u(t) y2(t) = 0x2(t) dengan x2(t) = [ I1(t) ] B-443
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
Kedua menentukan solusi pada subsistem pertama, dengan syarat awal x1(0) = x10 , sehingga solusi dan keluaran sistemnya adalah t
x1(t) = e
A1t
x 10 e A1 ( t s ) B1 u (s)dt 0
t
y1 (t) = 0 1 0 { e A1t x 10 e A1 ( t s ) B1 u (s)dt }
0
selanjutnya diperoleh, sebagai berikut t
I 3 0
0 I1
x(t) = P { e A1t x 10 e A1 ( t s ) B1 u (s)dt } + P u(t)
0
t
y(t) = 0 1 0 { e A1t x 10 e A1 ( t s ) B1 u (s)dt }
0
1 0 0 0 0 C11R 0 0 1 0 0 , A1 = dengan P = 0 C12 , B1 = 0 0 0 1 0 L1 L1 0 1 1 0 0 R R u c1 (0) u c1 (t ) x10 = u c 2 (0) , x1(t) = u c 2 ( t ) , dan x2(t) = [ I1(t)]. I 2 (0) I 2 ( t )
C11R 0 , u(t) = u (t), e 0
Pada subsistem kedua , 0 x 2 (t ) = 1 x2(t) + 1 u(t) y2(t) = 0x2(t) dengan x2(t) = [ I1(t) ] sehingga solusi dan keluaran sistemnya adalah x2 (t) = u(t) y2 (t) = 0x2(t) = 0 Karakterisasi Sistem. Selanjutnya pada sistem (3) akan diperiksa sifat-sifat sistem yang meliputi keterkendalian, keterobservasian dan stabilitas sistem sebagai berikut: pertama keterkendalian sistem
sC1 0 0 sC 2 Rank[sE-A , B ] = rank 1 1 0 1
0 1
1 0
sL 0 0 R
0 0 = 4 , untuk setiap s C , s hingga, berarti 0 1
subsistem pertama terkendali.
C1 0 0 C 2 Rank[E B] = 0 0 0 0
0 0
0 0
0 0 = 4, berarti subsistem kedua terkendali. L 0 0 0 0 1
Karena kedua subsistem bersifat terkendali maka sistem pada rangkaian RLC tersebut terkendali Kedua keterobservasian sistem B-444
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
sE A = C
Rank
sC1 0 0 sC 2 rank 1 1 1 0 0 1
ISSN: 1979-911X
1 0 sL 0 = 4, untuk setiap s C , s hingga, berarti subsistem 0 R 0 0 0 1
pertama terobservasi.
C1 0 0 C 2 E Rank = rank 0 0 C 0 0 0 1
0 0 0 0 L 0 = 3<4, sehingga subsistem kedua tidak terobservasi, sehingga 0 0 0 0
sistem tersebut tidak terobservasi. Dengan demikian sistem pada rangkaian RLC di atas tidak terobservasi atau tidak dapat diobservasi sistemnya. Stabilitas system. Dalam hal mengecek sifat stabilitas sistem terlebih dahulu menentukan (E,A) yaitu himpunan kutub-kutub berhingga system, sebagai berikut
det(sE – A) =
sC1 0 0 sC 2 1 1
1 0
0 1
1 0
sL 0 0 R
sC 2 = sC1 1 0
1 sL 0
0 0 0 + 1 R
1
sC 2 1
1 sL
0
0
= (RC1 s +1)(s2C2L + 1) = 0 Diperoleh persamaan karakresistik (RC1s +1)(s2C2L + 1) = 0 Adapun akar-akar persamaan karakteristiknya:
1 atau s2 C2L = -1 RC1 1 1 1 sehingga akar-akar karakteristiknya s1 = , s2 = i, dan s3 = i RC1 C2L C2L (RC1s +1) = 0 atau (s2C2L + 1) = 0 ekuivalen s = -
Jadi (E,A) ={ -
1 1 ,i, RC1 C2 L
1 i } C , berarti sistem (2) tidak stabil. C2L
KESIMPULAN Bentuk model pada rangkaian RLC dapat dibawa kebentuk sistem linear singular yang berbentuk pada sistem dan setelah melalui proses perhitungan maka sistem (3) bersifat regular dan mempunyai solusi tunggal. Pada karakterisasinya maka sistem (3) bersifat terkendali karena pada bentuk dekomposisi standar sistem memenuhi sifat keterkendalian. Sistem tidak terobservasi karena pada susbsistem kedua tidak memenuhi sifat keterobservasian, sistem juga tidak stabil karena tidak memenuhi sifat stabilitas sistem yaitu terdapat akar-akar karakteristik sistem yang tidak real. Pada pembahasan lebih jauh dapat diterapkan pada rangakian RLC yang tidak sederhana dan dengan memberikan feedback sesuai maka dapat membentuk kondisi sistem yang diharap misalnya membentuk sistem menjadi stabil dan terobservasi.
B-445
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III Yogyakarta, 3 November 2012
ISSN: 1979-911X
DAFTAR PUSTAKA Gantmacher, F,R. (1960). The Theory of Matrices, volume 2. Chelsea Publishing Company. New York. Cobb, J,D. (1984). “Controllability, Observability and Duality in Singular Systems”. IEEE Trans Aut. Control. Vol.AC-29. No.12. pp. 1076-1082 Dai, L. (1988). Lecture Notes in Control and Information Sciences. Singular Control Systems, Springer-Verlag. Berlin Heidelberg New York. Olsder, G.J.(1994). Mathemathical Systems Theory. Delftse Uitgevers Maatschappij. Delft. Netherlands. Suryowati, dkk. (2002). “Bentuk dekomposisi standar sistem (E,A,B,C) singular”. Artikel. Dipublikasikan di Jurnal Matematika dan Pembelajarannya. UM. Malang.
B-446