Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
ISSN 2356 - 4385
Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills dan Film The Killers Altobeli Lobodally1), Raka Wisnu Wardana2) Komunikasi, Fakultas Ilmu Komputer dan Komunikasi Jalan Pulo Mas Selatan Kav. 22, Jakarta Timur, DKI Jakarta 13210 Email:
[email protected] Email:
[email protected] Abstract: Popular culture is associated with the everyday, the mainstream and that which is commonly accessible: in short, culture produced for mass consumption. It is also for the mortality as a reality. Nowadays mortality it is not a macabre reality anymore. But mortality is a market share for a massage producer. As semiotic from Barthes and the cultural studies as the theory, this research found that mortality has been transformed to the advantage for the capitalist. By the transformation from the meaning of mortality, the massage producer selling the reality of mortality. From this research, the meaning of mortality has been transformed in to the symbolization of the high class and an inspirational dramatic performance in both of popular culture product. Keywords: the mortality, popular culture, semiotics, advertising, movie Abstrak: Kematian kini tak lagi merupakan hal yang menakutkan. Kini kematian seolah telah bertransformasi menjadi sebuah tontonan yang menarik sekaligus produk budaya populer yang mampu menarik konsumen untuk membeli sebuah produk. Penelitian ini bertjuan membongkar makna kematian dalam iklan San Diego Hills dan Film The Killers. Melalui analisa semiotika Roland Barthes hal tersebut terurai dalam iklan San Diego Hills Memorial park dan juga Film The Killers. Kematian tak lagi merupakan realitas sosial yang sejatinya merupakan proses untuk menuju keabadaian, akan tetapi dalam produk budaya populer baik iklan San Diego Hills maupun Film The Killer, terjadi pergeseran akan pemaknaan kematian. Kematian kini menjadi simbolisasi yang menunjukkan kelas sosial tertentu. Pergeseran makna dari proses kematian menuju keabadian menjadi simbolisasi kelas sosial tertentu dan juga sebuah tontonan. Keduanya hadir sebagai sebuah kemasan produk budaya populer semata. Tentu saja adalah celah bagi para produsen pesan untuk mencari keuntungan. Sehingga kematian adalah peluang bisnis sekaligus upaya persembahan bagi kaum kapitalis. Kata Kunci: kematian, kajian budaya, semiotika, iklan, film
I. PENDAHULUAN Kehidupan hanyalah fase untuk menuju kepada kematian. Kehidupan manusia di dunia dan setiap hal yang dilakukannya, seringkali hanyalah upaya untuk menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi saat ajalnya menjemput. Ketidaktahuan akan apa yang dialaminya saat meninggal, membuat manusia takut akan konsep kematian itu sendiri. Dalam pandangan kedokterakan kematian digambarkan sebagai berhentinya fungsi biologi tertentu secara permanen, seperti pernafasan dan tekanan darah serta kakunya tubuh dianggap cukup jelas menjadi tanda-tanda kematian. Namun, mati otak masih menjadi kata kunci dalam penentuan mati tidaknya seseorang. Mati otak (brain death)
merupakan definisi neurologis dari kematian. Kematian dapat terjadi kapanpun dalam rentang perkembangan manusia. (http://www.academia.edu.) Kematian merupakan misteri ilahi. Tidak ada seorang pun yang dapat menerka bagaimana, kapan dan dimana mereka akan meninggal dunia nantinya. Karena sifatnya yang tidak terduga, sehingga sejumlah kepercayaan menganggap kematian sebagai barang yang tabu untuk dipersiapkan, bahkan untuk diperbincangkan. Mempersiapkan kematian akan dianggap sebagai tindakan mendahului Tuhan yang memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kematian manusia. Akan tetapi makna kematian dalam produkproduk komunikasi, kini telah mengalami beragam pergeseran pemaknaan. Produk-produk teks
172
3. Altobeli (Komu).indd 172
25/02/2016 13:58:18
Altobeli Lobodally, Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills ...
menggambarkan kematian sebagai sebuah peristiwa yang memiliki nilai jual. Idi Subandi dan Bachruddin Ali Akhmad dalam bukunya Komunikasi dan Komodifikasi menggambarkan kematian dengan persepektif yang cukup membuka mata. Bagi keduanya kematian merupakan produk yang telah menjadi praktik komodifikasi. Dalam pemaparannya, keduanya menjabarkan kematian sebagai “komodifikasi kematian”. “Kita belum pernah melihat sebelumnya bagaimana di sejumlah kota besar, misalnya, Jakarta dan Bandung, mulai banyak reklame atau spanduk yang mengiklankan tempat yang dianggap paling eksotis, asri, dan hijau untuk pemakaman elite bergengsi ditujukan untuk kelas menengah atas. Kuburan yang dikomodifikasi untuk memenuhi selera budaya berbasis kelas ini menjadi ironi dan buruknya mutu penataan pemakaman rakyat yang kurang dipedulikan atau dikelola secara memadai oleh negara” (Subandy, Akhmad, 2014: 22) Keresahan akan buruknya penataan pemakaman oleh negara tersebut, ternyata justru menjadi pangsa pasar bagi para pengusaha. Sehingga muncullah konsep pemakaman dengan konsep yang jauh dari kata menakutkan. Kematian tak lagi muncul sebagai produk yang menakutkan, akan tetapi produk yang segera harus disiapkan oleh manusia yang akan siap menuju akhir hayatnya itu. Salah satunya muncul dalam bentuk iklan pada Gambar 1.
Gambar 1 Iklan pemakaman San Diego Hills Memorial Park
Jika sebelumnya manusia menganggap bahwa kematian merupakan hal yang tabu diperbincangkan, dan pemakaman menjadi selubung ketakuan, kini pandangan tersebut telah mengalami pergeseran. Konsep kematian sebagai konsekuensi peristiwa kematian telah berubah menjadi sarana rekreasi. Konsep lain mengenai kematian juga menjelma dalam produk budaya populer film. Film sebagai sebuah alat komunikasi massa, juga sudah dikenal sebagai produk yang mampu tidak hanya menjadi
cerminan akan realitas, akan tetapi sebagai pembentuk, pengemas, guru, ritual, bahkan juga sebagai Tuhan. (Subandy, Akhmad, 2014: 3) Kematian dalam film “The Killers” digambarkan sebagai sebuah tontonan seperti pada Gambar 2. Ketika seseorang menuju kematian yang penuh ketakutan berubah menjadi tontonan yang penuh keasyikan. Sehingga ketakutan akan kematian pun bergeser pemaknaanya dalam film ini.
Gambar 2 Poster film The Killers (2014)
Film ini bercerita mengenai Nomura Shuhei (Kazuki Kitamura), seorang eksekutif muda asal Jepang yang karismatik dan disukai banyak orang, ternyata memiliki sisi gelap. Nomura membunuh beberapa orang dan mendokumentasikannya ke dalam video. Selain itu, Nomura juga mengunggah video pembunuhan tersebut ke internet agar dapat dilihat oleh semua orang demi kepuasan pribadinya. Di sisi lain, ada pula Bayu Aditya yang diperankan Oka Antara, seorang jurnalis asal Indonesia yang ambisius dan sedang terpuruk akibat obsesinya dalam menguak kasus politikus bernama Dharma yang diperankan oleh Ray Sahetapi. Hal ini mengakibatkan hubungan dengan Dina, yang diperankan oleh Luna Maya, istrinya dan karirnya menjadi berantakan. Saat hidupnya dipenuhi banyak masalah, Bayu melihat salah satu video Nomura dan mulai menemukan sisi lain dalam dirinya. Bayu merasa terinspirasi untuk melakukan hal yang sama, yaitu menjadi seorang pembunuh berantai. Nomura mulai membentuk karakternya sendiri dan membunuh atas nama keadilan kemudian mengunggah video tindakannya ke internet.
173
3. Altobeli (Komu).indd 173
25/02/2016 13:58:19
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
Realitas kematian, kini telah mengalami pergeseran pemaknaan setelah wujudnya bertransformasi dalam iklan maupun film. Dalam penelitian ini, penulis akan menguraikan perubahan pemaknaan yang mumcul dalam produk budaya populer. Penguraian tersebut akan disandarkan kepada sejumlah teori.
II. METODE PENELITIAN A. Media dan Cultural Studies Stuart Hall menyebut kajian budaya atau yang dikenal dengan ‘cultural studies’, adalah sebuah formasi diskursif. Hall menyatakan bahwa: kajian budaya adalah sebuah kluster (atau formasi) ideide, gambaran-gambaran (images), dan praktikpraktik ((practices) yang menyediakan cara-cara menyediakan cara-cara menyatakan, bentuk-bentuk pengetahuan, dan tindakan yang terkait dengan topik tertentu, aktivitas sosial atau tindakan institusi dalam masyarakat. (Hall, 1997: 6) Tradisi kajian budaya menjadi tradisi studi yang banyak dilakukan awal kemunculannya oleh para akademisi dan peneliti di Centre for Contemprary Cultural Studies (CCCC), Universitas Birmingham di Inggris pada tahun 1960an. Sejak saat itu kajian budaya menjadi tradisi studi yang meluas di kalangan intelektual di negara-negara seperti Amerika, Afrika, Australia, Asia Amerika Latin, dan Eropa, dengan setiap ‘formasi’ yang berbeda-beda objek kajiannya. (Barker, 2012: 2) Lebih jauh Barker menjelaskan definisi kajian budaya (cultural studies) dalam empat elemen: Pertama, kajian budaya adalah kajian interdisipliner (antar disiplin ilmu) dimana perspektif-perspektif dari disiplin ilmu yang berbeda dipakai untuk menjelaskan tentang budaya dan kekuasaan (culture and power). Kedua, kajian budaya begitu memperhatikan semua praktik-praktik, institusi-institusi (sosial, politik, budaya, ekonomi, dsb), dan sistem-sistem klasifikasi yang terjadi dalam komunitas-komunitas dengan nilai budaya tertentu, kepercayaan tertentu, kompetensikompetensi tertentu, kehidupan rutin tertentu, dan bentuk-bentuk kebiasan tindakan mereka… Ketiga, kajian budaya mempersoalkan dan mempertanyakan secara kritis bentuk-bentuk “power” atau kekuasaan yang bevariasi dan berbeda meliputi: gender, ras, kelas, kolonialisasi dsb. Kajian budaya dalam hal ini mencari hubungan antara kekuasaan tersebut dan perkembangan cara berpikir tentang budaya dan kekuasaan yang dapat digunakan oleh agen-agen pembuat perubahan. Keempat, kajian budaya tidak
hanya merupakan disiplin akademik, melainkan juga mencoba untuk mencari hubungan diluar akademik dengan gerakan-gerakan atau perubahan sosial dan politik, pekerja dalam institusi-institusi budaya dan manajemen budaya. (Barker, 2012: 2) Stuart Hall juga menjelaskan bahwa kajian media dan budaya, atau yang lebih dikenal dengan Media and Cultural Studies, pada dasarnya mencoba menggoyang kemapanan berpikir kita tentang “realitas” dan apa yang dimaksud dengan “real” (yang sebenarnya) dalam kehidupan budaya kita sehari-hari. Kini, dunia tempat manusia hidup menuju kematiannya adalah dunia yang sesak akan media massa. Realitas sosial yang dipahami, tak terkecuali mengenai kematian adalah realitas sosial yang dimediasi oleh media massa dan segala produk olahannya. Atau jika kita ingin meminjam istilah yang disematkan oleh Danesi sebagai sebuah peringkas kognisi. Disebut demikan, karena bagi Danesi secara alamiah dan wajar, media massa mampu meringkas sejumlah pengetahuan mengenai berbagai hal untuk diterima, dimengerti dan dipahami masyarakat sebagai sebuah kebenaran. (Danesi, 2012: 282) Rachmah Ida menyebutnya: “Dalam dunia yang sudah dipenuhi dengan images atau gambar-gambar dan tulisan-tulisan yang ada di Koran, televisi, film, video, radio, iklan, novel dan lain sebagainya, cara kita menentukan diri kita atau mendefinisikan identitas kita dan lingkungan sekitar kita ternyata bervariasi dan berbeda satu sama lain. Di era-yang disebutnya sebagai “media saturated world”- saat kehidupan manusia telah dimediasi oleh media massa, dan cara kita melihat memandang, memahami dan berprilaku terhadap realitas sosial telah di antarai oleh media massa. Apa yang ada di sekitar kita, menentukan cara kita bertindak dan berperilaku terhadapnya, karena apa yang kita lihat, tonton, baca, dengarkan, dan nikmati dari media massa seolah “mengajarkan” kita untuk melakukan seperti yang diinginkan. Pada kenyataannya, budaya kita sebenarnya juga dibentuk oleh media massa yang kita nikmati setiap harinya” (Ida, 2014: 3) Sehingga apa yang kita pahami kini, sebenarnya bukanlah sepenuhnya realitas yang sesungguhnya. Di dalam kehidupan yang disesaki media massa, setiap hal yang kita pahami sebenarnya hanyalah bentukan media massa. Segala sesuatu yang kita cerna, pahami dan bahakan percayai kini hanyalah bentukan atau ajaran media massa. Realitas semu-lah sebenarnya yang ditunjukkan media massa kepada kita. Atau jika ingin meminjam istilah dari Baudrillard sebenanya
174
3. Altobeli (Komu).indd 174
25/02/2016 13:58:19
Altobeli Lobodally, Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills ...
kepercayaan kita akan sebuah realitas adalah bentuk simulasi yang ditampilkan sang produsen budaya populer, media massa. Media massa bagi sejumlah pengkaji media dan budaya kritis secara ringkas telah menggunakan beberapa pendekatan untuk memahami arti penting sosio-kultural media dalam kehidupan sehari-hari. Dalam uraian teoritis ini, media massa akan dipandang: 1. Media sebagai Pengemas atau Representasi Isi media tidak mencerminkan persitiwa secara netral dan secara sempurna. Media terlebih dahulu menyeleksi apa yang akan dimasukkan dalam produk yang dihasilkannya dan media menyajikan unsurunsur yang mereka masukkan itu dengan cara-cara yang sangat khusus. Jadi media tidak menyajikan kepada kita sebuah cermin yang utuh melainkan suatu susunan representasi dunia yang telah mengalami seleksi dan dikemas sedemikian rupa menjadi bahan tontonan, bacaan, untuk ‘dinikmati’ masyarakat (baca: konsumen). Stuart Hall menjabarkannya dalam kalimat berikut ini, “representation is a very different notion from reflection. It implies the active work of selecting and presenting, of structuring and shaping”. (Hall, 1982: 64). Sehingga dapat dikatakan bahwa ketimbang menjadi sebuah cermin dunia yang netral, sajian media massa merupakan tekanan yang selektif terhadap perpektif yang berorientasi tertentu. Oleh karena ittu representasi media adalah hasil seleksi dan dikemas. Tentu saja hasil olahannya berbeda dengan dunia yang dicerminkan media massa. Hodkinson menggambarkan hal ini dalam model representasi sirkular media berikut ini:
Gambar 3 Model representasi sirkular media (Hodkinson, 2011: 6)
Hodkinson menyatakan bahwa model ini berguna untuk memahami arti penting media massa secara sosio-kultural. Sehingga model ini dapat menjadi titik pijak untuk memahami proses terusmenerus berlangsungnya representasi media massa secara selektif dan bagaimana hal tersebut dipengaruhi
oleh kemasan dan karakter masyarakat. Dalam kedua produk budaya populer pada penelitian ini, baik iklan maupun film, tentu kita tak dapat mengabaikan bahwa media massa juga telah dipandang sebagai guru. Mengapa guru? Karena melalui kedua produk budaya populer tersebut media massa seolah hendak mengajarkan mengenai realitas sosial mengenai kematian. Realitas yang telah dikemas sedemikian rupa sehingga memiliki pemaknaan baru. 2. Media Sebagai Guru Isi media massa, dalam kapasitasnya kini dapat dikategorikan sebagai guru atau pendidik. Guru merupakan sosok yang mengajarkan segala pengetahuan, nilai-nilai atau prilaku tertentu bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan dalam sebuah lembaga pendidikan tertentu. Jika kita kembalikan kepada fungsi dasar media massa, tentu kita ingat bahwa fungsi media massa tak hanya untuk memberikan informasi (to inform) saja, akan tetapi juga to educate, atau untuk mendidik. Sehingga dapat kita pahami bahwa media massa merupakan sarana utama bagi sebagian besar dari kita untuk mengalami dan belajar tentang hampir sebagaian besar aspek dunia yang mengelilingi manusia. Tentu saja tak terkeculi adalah pembelajaran mengenai makna kematian. Dalam pandangan ini, walaupun kita tak belajar secara langsung dari media massa, sebenarnya kita akan belajar dari orang lain yang mungkin memperoleh ide-ide yang kita ketahui itu dari media massa. Sehingga tak jarang, muncul sejumlah keluhan bahwa media massa merupakan “guru kedua” untuk berperilaku konsumtif. Seperti halnya dalam kedua produk budaya populer yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Kuburan yang merupakan ekses dari kematian kini telah dipandang menjadi konsumsi bagi kelas tettentu, sehingga kelas tersebut mampu menggeser pandangan tabu akan persiapan menuju kematian. Begitu pula dengan Film “The Killer”, ternyata detik-detik seseorang menuju ajal yang semula adalah hal yang menakutkan untuk disaksikan, kini telah menjadi tontonan yang dicari, diminati dan bahkan dinikmati. B. Produk Budaya Populer Kajian budaya melihat budaya popular menjadi dasar kajiannya. Budaya pop yang diproduksi menghasilkan banyak sekali praktek-praktek produksi makna yang sungguh beragam. Dalam budaya populer
175
3. Altobeli (Komu).indd 175
25/02/2016 13:58:19
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
tersebut, nilai-nilai ideologi subordinasi, representasi, dan eksistensialisme kekuasaan dan ekonomi politik dimanifestasikan. Program-program televisi, iklaniklan, buku-buku, majalah, dan sebagainya menjadi medium ‘menuliskan’ (inscribe) kepentingan, kekuasaan, nilai-nilai ideologi, subordinasi, dan sebagainya. (Ida, 2010: 7) Dalam penelitian ini, dua buah produk budaya populer yang akan menjadi pusat pembicaraan adalah iklan dan juga film. Istilah advertising (periklanan) menurut Otto Kleppner berasal dari kata Latin yaitu ad-vere yang berarti mengoperkan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Istilah iklan juga sering dinamakan dengan sebutan yang berbeda-beda, misalnya di Amerika sebagaimana halnya di Inggris di sebut dengan advertising. Sementara di Perancis disebut dengan reclamare, yang kemudian dikenal sebagai reklame. Sebenarnya di Indonesia sendiri istilah iklan sering disebut dengan istilah lain yaitu advertise dan reklame. (Jaiz, 2014: 1) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2000, iklan adalah pesan komunikasi dari produsen atau pemberi jasa kepada calon konsumen di media pemasangannya yang dilakukan atas dasar pembayaran. (Jaiz, 2014: 2) Sedangkan periklanan adalah proses pembuatan dan penyampaian pesan yang dibayar dan disampaikan melalui sarana media massa yang bertujuan membujuk konsumen untuk melakukan tindakan membeli atau mengubah perilakunya. Sebenarnya terdapat banyak ahli yang memaknai iklan dalam beberapa pengertian. Ada yang mengartikan dalam sudut pandang komunikasi, murni periklanan, pemasaran dan ada juga yang memaknainya dalam perspektif psikologi. Semua definisi tersebut membawa konsekuensi arah yang berbeda-beda. Bila dalam perspektif komunikasi, maka cenderung menekankan sebagai proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan. Dalam perpektif iklan, cenderung menekankan pada aspek penyampaian pesan yang kreatif dan persuasif. Sedangkan perspektif pemasaran lebih menekankan pemaknaan iklan sebagai alat pemasaran yaitu menjual produk dan dalam perspektif psikologi lebih menekankan aspek persuasi pesan. Media yang begitu kuat posisinya di Indonesia, kini menyebabkan semakin mudahnya media mengubah perilaku masyarakat. Meskipun terdapat dampak positif dari hal tersebut, tetapi juga terdapat dampak negatif yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia yang masih membutuhkan arahan dalam mencerna pengaruh iklan, karena kebebasan
media itu sendiri baru kita rasakan semenjak tahun 1998. (Danesi, 2012: 295) Pada akhirnya, media pun memiliki kepentingannya tersendiri, dibalik kepentingannya terhadap masyarakat yang memberikannya sebuah posisi istimewa di lapisan negara ini. Di abad ke-20, periklanan berevolusi menjadi sebentuk strategi sosial persuasif yang dimaksudkan untuk mempengaruhi cara orang memandang pembelian dan konsumsi barang. (Danesi, 2012: 295) Periklanan menjadi sebuah wacana dengan hak istimewa yang secara umum menggantikan bentukbentuk wacana dengan hak istimewa yang secara umum menggantikan bentuk-bentuk wacana yang lebih tradisional. Hingga saat ini, subteks periklanan bertujuan untuk mengangkat dan memancangkan nilai-nilai kenikmatan dalam hidup, seperti istilah neomania dari Roland Barthes mengenai selera yang tak terpuaskan akan objek-objek baru untuk dikonsumsi, yang dapat ditimbulkan sebagai pemikiran kelompok oleh iklan dan pariwara yang tanpa henti memberikan satu janji untuk semua orang. Secara sederhana, iklan (advertising) adalah proses di mana orang dibujuk untuk membeli barangbarang dan dengan demikian orang ditransformasi menjadi konsumen pembelanja. (Priyo, 2004: 26) Agar efektif, iklan harus membungkus produk dengan bermacam makna yang melebihi fungsi sederhananya. Dengan demikian iklan menjadi ekpresi asumsi-asumsi ideologi yang dominan di dalam budaya dan menjadi alat agar asumsi-asumsi ideologi tersebut terwujud dan berlanjut. Periklanan merupakan salah satu bagian dari media massa karena sifatnya yang dapat menjangkau khalayak luas. (Priyo, 2004: 26) Media massa dikatakan sebagai agen budaya yang berperan penting karena masyarakat modern mengonsumsi media dalam jumlah dan intensitas yang tidak dapat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Di tahap awal, media massa dapat memberikan pemahaman mengenai apa yang diketahui dan tidak diketahui masyarakat, lalu di tahap berikutnya, media dapat membuat masyarakat untuk mengimitasi dan belajar dari apa yang ditampilkannya. Media mengajarkan masyarakat bagaimana memandang dunia serta mengajarkan bagaimana bersikap, mengajarkan nilai dan norma. (Priyo, 2004: 27) Hingga pada akhirnya media massa dapat mengarahkan atau mengajarkan masyarakat mengenai cara berperilaku. Dengan demikian media massa adalah agen budaya yang sangat memiliki peran penting dalam membentuk pemahaman masyarakat
176
3. Altobeli (Komu).indd 176
25/02/2016 13:58:19
Altobeli Lobodally, Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills ...
terhadap pengetahuan, cara pandang sampai perilaku masyarakatnya. Sementara iklan sebagai salah satu isi media massa, memiliki peran sebagai sarana untuk menyampaikan atau memperkenalkan “bentukbentuk” bahasa kepada masyarakat, sehingga pesan verbal ataupun non verbal dalam sebuah iklan pasti memberikan maksud tersendiri yang ingin disampaikan. (Vera, 2014: 43-44) Karena iklan juga merupakan salah satu bentuk komunikasi massa yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana promosi untuk menawarkan barang dan jasa saja, tetapi iklan mengalami perluasan fungsi, yaitu dapat juga menjadi alat untuk menanamkan makna simbolik melalui bahasa dan visualisasi dalam pesan iklan yang disampaikannya kepada masyarakat. Maksudnya ialah bahwa sekarang ini, di era perkembangan teknologi, iklan sudah tidak lagi selalu untuk difungsikan sebagai sarana mempromosikan barang atau jasa agar khalayak tertarik untuk membeli dan menggunakannya. Melainkan kini iklan mampu membentuk satu kriteria atau sebuah pemahaman yang dapat dipercaya oleh khalayak dan membuat khalayak mengikuti pemahaman yang sama seperti yang ditampilkan dalam iklan, baik itu melalui pesan verbalnya maupun pesan non verbalnya. Iklan menyajikan pesan dengan cara yang ”halus” sehingga banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa pesan tersebut telah masuk ke dalam dirinya. (Williamson, 2007: 19) Struktur penyusunan iklan terdiri dari ideologi, mitos, cerita, situasi, ide, tanda dan simbol yang maknanya telah diketahui oleh masyarakat. Kemudian semua makna yang secara umum telah diketahui lalu disusun kembali untuk menciptakan sebuah dunia baru yaitu dunia iklan. (Widyatama, 2006: 19) Iklan dapat memanipulasi beragam realitas termasuk mengenai kematian, dari sesuatu yang tabu menjadi produk budaya yang dapat dijual. Iklan juga tidak hanya sekedar menjual barang, melainkan juga seksualitas, kebahagian, kesuksesan, dan status. Menurut Williamson, iklan dibuat dengan sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan fait accompli (keadaan yang harus diterima) oleh masyarakat. (Williamson, 2007: 19) Maksudnya ialah iklan dapat menampilkan tampilan yang seolah-olah menampilkan kehidupan atau gambaran sesungguhnya mengenai realitas kehidupan ideal yang seharusnya dilakukan masyarakat. (Berger, 2000: 55) Lalu menurut Berger juga terdapat satu hal lagi yang dilakukan periklanan, yaitu mengalihkan perhatian masyarakat
dari persoalan sosial dan politik, dan membawanya ke arah kecintaan pada diri sendiri (narsisme) dan perhatian pribadi. Selain itu periklanan juga dapat memaksa orang ke dalam bentuk selera kolektif. Karena melalui periklanan, kepuasan diri individu dikembangkan. Jadi sebenarnya periklanan adalah lebih dari sekedar alat perdagangan, karena periklanan dapat mengambil kendali terhadap kehidupan sehari-hari dan mendominasinya. Hal inilah yang semakin dapat membuat banyak masyarakat sehingga kognisi yang didapatnya mengenai banyak hal, tak terkecuali kematian, juga melalui sebuah iklan produk. Disamping iklan, guna memaknai kematian dewasa ini, uraian teoritis ini akan juga melihatnya melalui kacamata film. Film secara tidak langsung merupakan gambaran realitas sosial yang ada didalam kehidupan bermasyarakat pada saat ini, sehingga mampu menarik minat khalayak luas. Film bukan semata-mata memproduksi realitas, tetapi juga mendefinisikan realitas. (Sobur, 2009: 127-128). Film adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film setiap minggunya. Menurut Graeme Turner, film adalah sebuah representasi dari realitas masyarakat dimana film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaan. (Sobur, 2009: 127). Film dengan kemampuan visualnya, yang didukung audio yang khas sangat efektif sebagai media hiburan dan juga sebagai media pendidikan dan penyuluhan, karena di dalam film terkadung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Garin Nugroho dan Dyna Herlina mengutip sebuah artikel dalam The Times yang membahas “Bahasa Film di daerah Jajahan”, oleh orang-orang Melayu dan Jawa yang terbelakang, atau bahkan India dan Tionghoa, adegan kejahatan dan penyimpangan (orang0orang Barat) yang ditampilkan di layar diterima sebagai representasi yang terpercaya atas kehidupan sehari-hari orang kulit putih di negerinya. Gambar-gambar yang menampilkan cinta yang penuh nafsu … member mereka kesan yang tercela akan moralitas orang kulit putih, dan lebih jelek atas perempuan kulit putih.” (Nugroho, Herlina, 2015: 34) Sementara itu film The Killers yang mengambil setting tempat dua negara, Jepang dan Indonesia ini memanipulasi makna kematian dalam bentuk kode, mendorongnya kepada pemahaman baru sehingga menjadi konvensi, dan tentu saja membalutnya dalam gambar yang seolah-olah alami dan wajar agar dapat
177
3. Altobeli (Komu).indd 177
25/02/2016 13:58:19
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
‘disusupkan’ menjadi makna baru yang membudaya. Makna baru mengenai kematian. C. Semiotika Penelitian ini menggunakan metode analisis isisemiotik. Ibnu Hamad mengatakan, metode analisis isi sendiri adalah …“metode yang dapat dijabarkan sebagai suatu metode pendalaman terhadap makna simbol suatu pesan. (Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001: 19). Menurutnya juga, metode dan analisisnya bersifat kualitatif. (Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001: 18) Dedy Mulyana menjelaskan, metode kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik. (Mulyana, 2002: 150). Dedy menambahkan, meskipun penelitian kualitatif dalam bentuknya sering menggunakan jumlah penghitungan, penelitian ini tidak menggunakan nilai jumlah seperti yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data dalam eksperimen dan survei. (Mulyana, 2002: 150) Sedangkan menurut Ibnu Hamad, jenis penelitian ini memberi peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif. Namun begitu, penafsiran atas temuan data, diusahakan tetap sedekat mungkin dengan apa yang dimaksud oleh pihak yang memproduksi pesan (teks). (Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001: 18) Hal ini berarti, peneliti dapat secara subyektif menginterpretasikan teks yang diteliti. Mengenai hal ini Karl Erik menyatakan bahwa, “ Proses pemakanaan itu tidak bisa lepas dari unsur subyektifitas sang pemberi makna. Namun tidak perlu khawatir, sebab teori-teori jenis ini memang mengijinkan seorang melakukan interpretasi atas teks secara subyektif akibat pengaruh pengalaman hidupnya”. (Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001: 15) Menurut Dedy Mulyana, “Pendekatan subyektif mengasumsikan bahwa, pengetahuan tidak mempunyai sifat yang obyektif dan sifat yang tetap, melainkan bersifat interpretatif”. (Mulyana, 2002: 33). Dedy juga megungkapkan, “Orang bertindak berdasarkan makna atau definisi yang mereka berikan kepada lingkungan mereka. Mereka melakukan hal itu lewat simbol-simbol bahasa baik verbal (bahasa) ataupun prilaku non verbal dalam kehidupan mereka”. (Mulyana, 2002: 55). Di dunia semiotik, teks menggambarkan sebuah peristiwa; kasus; obyek tertentu; atau realitas apapun menggunakan tanda. Untuk mencermati tanda, peneliti bertitik tolak pada pandangan Roland Barthes. Roland Barthes, menjelaskan hubungan: pemaknaan sebuah tanda melalui dua tahap signifikasi. Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas
eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan siginifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. (Sobur, 2001: 128) Sedangkan manakala seorang komunikator (media massa) memakai sebuah tanda tentulah ia beranggapan bahwa tanda itulah yang paling mewakili realitas yang ingin digambarkan. Sayangnya, seorang jurnalis tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan dalam menyusun sebuah teks. (Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001: 24). Menurut Pierce, salah satu jenis tanda ialah simbol. (Budiman, 1999 : 108) Kris Budiman menyatakan bahwa simbol sama dengan lambang. (Budiman, 1999: 69). Marcel Danesi dalam bukunya Pesan, Tanda dan Makna menyebutkan bahwa segala sesuatu –warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus, matematika dan lain-lain – yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya disebutnya sebagai sebuah tanda. (Danesi, 2012: 6). Sedangkan Ferdinand de Saussure menyebutkan bahwa ilmu yang mempelajari kehidupan tandatanda dalam masyarakat dapat dibayangkan ada. Ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan karenanya juga bagian dari psikologi sosial dan karenanya juga bagian dari psikologi umum. Saya akan menyebutnya semiologi (dari bahasa Yunani, semeion “tanda”). Semiologi akan menunjukkan halhal yang membangun tanda-tanda dan hukum-hukum yang mengaturnya. (Ferdinand de Saussure 18571913). (Danesi, 2012: 6) Terence Hawkes mengungkapkan bahwa istilah semiologi maupun semiotika sebenarnya adalah hal yang sama. Satu-satunya perbedaan keduanya menurut Terence, adalah bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotik cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. (Sobur, 2009: 107) Di dalam penelitian ini, akan menggunakan terminologi semiotika untuk penelitian selanjutnya. Salah seorang pengikut Saussure, Roland Barthes, membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tandatanda. Dalam penelitian ini maksudnya, adalah elemen yang muncul dalam wujud kata, gambar, foto dalam Iklan San Diego Hills Memorial Park dan juga setiap elemn baik audio maupun visual dalam Film The Killers. Fokus perhatian Barthes, lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order signification). Seperti pada Gambar 4.
178
3. Altobeli (Komu).indd 178
25/02/2016 13:58:19
Altobeli Lobodally, Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills ...
Gambar 4 Siginifikasi dua tahap Barthes (Sobur, 2001: 127)
Melalui gambar ini, Barthes, menjelaskan hubungan: signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan siginifikasi tahap kedua. Hal inimenggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. (Sobur, 2001: 128) Di dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan denotasi, atau makna paling nyata dari tanda, ialah setiap elemen yang ditunjukkan dalam iklan San Diego Hills Memorial Park. Dalam makna denotasi kematian digambarkan sebgaai akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan. Kematian juga dapat dimaknai sebagai momen ketika tanda-tanda hidup lahiriah seperti kesadaran, denyut nadi, dan pernapasan, tidak ada (ditunjukkan oleh pembacaan EKG datar), diikuti dengan tidak adanya, aktivitas gelombang otak (ditunjukkan oleh pembacaan EEG yang datar). (Phan, 1994: 78) Peter C Phan juga menjabarkan kematian sebagai terpisahnya jiwa dan badan. (Phan, 1994: 78) Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut kematian yang kata dasarnya mati adalah: 1 sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi 2 tidak bernyawa; tidak pernah hidup: batu ialah benda --; 3 tidak berair (tt mata air, sumur, dsb); 4 tidak berasa lagi (tt kulit dsb); 5 padam (tt lampu, api, dsb); 6 tidak terus; buntu (tt jalan, pikiran, dsb): krn pikirannya sudah -- , ia tidak dapat berbuat apa-apa; 7 tidak dapat berubah lagi; tetap (tt harga, simpul, dsb); 8 sudah tidak dipergunakan lagi (tt bahasa
dsb); 9 ki tidak ada gerak atau kegiatan, spt bubar (tt perkumpulan dsb): kalau tidak diurus, koperasi itu akan --; dan 10 diam atau berhenti (http://kbbi.web. id). Sedangkan konotasi sendiri memiliki makna yang subyektif atau paling tidak intersubyektif. Di dalam penelitian ini, bentuk konotasi terhadap kematian saat berinteraksi dengan pembaca (baca : calon konsumen bagi San Diego Hills Memorial Park) atau penonton serta nilai-nilai kebudayaannya, yang akan ‘dikupas’ lebih jauh. Sementara itu signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, oleh Barthes menggunakan istilah mitos. Mitos adalah bagaimana kebudaayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Dalam hal ini realitas yang dimaksud peneliti adalah mengenai makna kematian yang ditunjukkan dalam kedua produk budaya populer yang merupakan bahan uraian teoritis dalam penelitian ini.
III. PEMBAHASAN Keseluruhan elemen dalam iklan ini menggiring ‘pembacanya’ (baca: calon konsumen produk San Diego Hills Memorial Park) bahwa kematian merupakan sesuatu yang harus dipersiapkan seolah-olah kematian sudah diketahui waktunya. Bahwa kehidupan manusia hanyalah proses untuk menyiapkan diri menuju kematian tersebut. Kata siap dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sudah disediakan. Hal ini artinya bahwa kematian adalah sesuatu yang sudah pasti harus disediakan. Sehingga kehidupan hanyalah proses mempersiapkan kematian, setiap upaya yang dilakukan untuk mengumpulkan rejeki di dalam kehidupan ini sebenarnya untuk mempersiapkan ‘masa depan’ atau dapat dikatakan sebagai persiapan terhadap rumah kedua seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Iklan San Diego Hills Memorials Park
179
3. Altobeli (Komu).indd 179
25/02/2016 13:58:19
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
Dalam setiap elemen yang ditemukan dalam iklan tersebut, baik teks yang berbunyi : a. Segenap Direksi dan Karyawan San Diego Hills Memorials Park mengucapkan : “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H Mohon Maaf Lahir Batin b. We Care c. Alhamdulilah, hidup semakin tenang… setelah semuanya dipersiapkan di San Diego Hills Memorials Park d. Logo San Diego Hills Memorials Park e. Nomer Telepon Selain itu juga gambar tiga orang yang mengenakan atribut kopiah dan kerudung dengan tangan menengadah ke atas. Keseluruhannya menggiring dan mengatikan antaraHari Raya Idul Fitri bagi umat Muslim dan juga atribut maupun cara menengadahkan tangan bagi umat muslim. Sehingga sang produsen pesan, hendak membentuk pemaknaan bahwa persiapan kematian merupakan seolah telah menjadi ajaran agama tersebut. Ketenangan yang dihadapi saat menjalani kehidupan hanya didapatkan melalui upaya manusia mempersipakan kematian. Sedangkan dalam Film The Killer yang diproduksi tahun 2014. Seperti yang terlihat pada Gambar 6. Sejumlah adegan menunjukkan beragam kematian yang telah bergeser dari pakemnya selama ini. Seperti adegan Gambar 7. Adegan dalam Film The Killers diatas menjelaskan bagaimana seseorang menikmati proses menuju kematian orang lain. Dalam gambar tersebut tampak seorang pria dengan penutup kepala dan senjata tajam. Sedangkan dihadapannya, seorang wanita dengan pakaian yang sangata minim ditutup dengan plastik transpran.
Gambar 6 Poster film The Killer (2014)
Gambar 7 Adegan 1 dalam film The Killers
Dihadapan wanita tersebut, sebuah kamera menyala dan siap merekan setiap adegan yang akan dilakukan pria tersebut. Dalam adegan berikutnya, sang pria menguliti dan membunuh wanita tersebut. Kemudian videonya diunggah di sebuah website, yang teranyata cukup banyak mendapatkan respon di media sosial, seperti Gambar 8.
Gambar 8 Adegan 2 dalam film The Killers
Ternyata video yang diunggah tersebut, menjadi inspirasi bagi orang lain untuk melakukan pembunuhan serupa. Sehingga penonton tayangan yang diunngah tersebut menikmati detik-detik seseorang menuju kematian. Sehingga dari produk Film The Killers tersebut ditemukan, bahwa kematian tak lagi menjadi seseuatu yang menakutkan untuk disaksikan. Akan tetapi kematian justru menjadi tontonan yang tak lagi menakutkan, namun dapat dikonsumsi, sekaligus menjadi isnpirasi bagi penontonnya untuk melakukan hal serupa. Guna menelusuri makna kematian dalam kedua produk budaya populer pada penelitian ini, cara kedua dari tiga cara Barthes mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah Mitos. Istilah atau terminologi mitos yang kini populer, sebenarnya tidaklah sama dengan yang disebutkan Barthes. Bahkan John Fiske sempat mengeluhkan penggunaan istilah Mitos ini oleh Barthes: “Saya berharap Barthes (1973) tak menggunakan istilah ini, karena biasanya mitos mengacu pada pikiran bahwa mitos itu keliru : “Itulah mitos tentang …,” atau “mitosnya, Inggris masih menjadi salah satu kekuatan utama dunia.” Pemakaian yang biasa itu adalah penggunaan katakata oleh orang-orang yang tak percaya.” (Fiske, 2004: 120-121)
180
3. Altobeli (Komu).indd 180
25/02/2016 13:58:19
Altobeli Lobodally, Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills ...
Namun mitos yang dimaksud oleh Barthes disini adalah dalam istilah seseorang yang percaya, dan digunakan dalam artian yang orisinal. Mitos merupakan cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Sehingga analisa yang muncul dalam tatanan kedua yang dijabarkan sebagai mitos oleh Barthes, merupakan konsep pandangan sebuah kebudayaan mengenai kematian. Melalui analisa ini, akan tampak bagaimana perbedaan pergeseran yang nyata dari konsep kematian. Melalui analisa ini pula, akan semakin tampak bagaimana makna kematian dalam kedua produk budaya populer tersebut. Jika menelusuri sejumlah penelitian, ditemukan sejumlah makna kematian dalam kebudayaan kita. Dalam sejumlah penelitian kematian, dapat dimaknai secara berbeda. Aidh Abdullah Al Qami, menyebutkan kematian sebagai sebuah proses menuju kematian itu sesuatu yang sangat menyakitkan yang mana orangorang yang baru merasakan terkadang baru menyadari betapa tersiksanya dan betapa sangat menyakitkan sekali kematian itu. (Al Qami, 2002: 10). Sehingga kematian dipandang sebagai sebuah fenomena yang menakutkan, karena siksaan saat proses menuju kematian maupun setelah kematian terjadi. Sedangkan Mathin Kusuma Wijaya, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kematian itu sebagai suatu awal babak baru dari kehidupan abadi di akhirat kelak. Kematian juga disebutnya sebagai proses dari penyucian diri dari segala akibat perbuatan manusia ketika sedang menjalani kehidupan di dunia. (Wijaya, 2009: 4). Secara rinci, dalam penelitiannya mengenai makna kematiannya Wijaya menemukan bahwa: “Kematian adalah berpisahnya roh dari tubuh dan dikeluarkannya jiwa dari badan dan kemudian dipalingkan dari alam indra dan dihadapkan kepada Allah SWT, dalam keadaan yang tidak tentu waktu, sedangkan tubuh dalam kesehatan yang sempurna dan anggota tubuh dalam keadaan yang sempurna, roh meninggalkan tubuh tanpa sebab apapun, kecuali kehendak Allah telah lebih dahulu menetapkan suatu ketetapan yang pasti berlaku yaitu kematian orang yang di diami oleh roh itu. Manusia berasal dari Allah Swt dalam keadaan Suci kemudian kembali kepadanya mestinya dalam keadaan Suci. Proses penyucian terjadi tiga kali karena besarnya kasih sayang Allah Swt, Manusia diberi peluang oleh-Nya dalam tiga Episode kehidupan, pertama; didunia ini,
kedua; di alam barzakh, dan ketiga; di alam akhirat. (Wijaya, 2009: 74) Sedangkan dalam penelusuran melalui penelitian terhadap kedua produk budaya populer yang disuguhkan dalam penelitian ini, penulis menemukan bahwa kematian merupakan realitas yang tak lagi menyeramkan. Sementara dalam sejumlah mitos yang ditemukan kematian dianggap merupakan sesuatu yang menyeramkan dan ditakutkan oleh manusia. Kondisi menyeramkan itu mengingat kematian dianggap sebagai sebuah realitas sosial yang sejatinya merupakan proses untuk menunju keabadaian. Sedangkan proses menuju keabadaian atau yang juga dikenal sebagai proses penyucian diti tersebut, dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkan manusia, karena kehidupannya di dunia jauh dari kesucian. Dalam produk budaya populer baik iklan San Diego Hills maupun Film The Killer, terjadi pergeseran akan pemaknaan kematian. Kematian ditunjukkan sebagai sebuah simbolisasi menunjukkan kelas sosial tertentu, dengan mempersiapkan makam bagi kehidupan kekal tersebut. Kematian juga menjadi sebuah tontonan menarik yang dapat dipertukarkan dalam lingkup media sosial.
IV. SIMPULAN Melalui penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa makna kematian kini telah mengalami pergeseran dalam dua buah produk budaya popular. Jika sebelumnya kematian dapat dipahmai sebagai sebuah fenomena yang menakutkan, sebauah proses penyucian diri yang menyakitkan, sedangkan dalam kedua buah produk budaya popular yang disajikan dalam penelitian ini, terjadi pergeseran yang cukup signifikan. Dalam Iklan San Diego Hills Memorial Park dan Film The Killers, kematian dapat dimaknai sebagai sebuah simbolisasi kelas sosial, sekaligus pengukuhan bagi kelas atas. Disamping itu, kemataian kini juga dipandang sebagai sebuah tontonon yang menarik dan tak lagi menakutkan. Sehingga jelas bahwa kematian tak lebih hanyalah sebuah produk budaya populer yang merupakan bentuk kreativitas para produsen pesan. Pergeseran makna dari proses kematian menuju keabadian menjadi simbolisasi kelas sosial tertentu dan juga sebuah tontonan, adalah sebuah kemasan budaya populer semata. Tentu saja hal tersebut merupakan celah bagi para produsen pesan untuk mencari keuntungan. Sehingga kematian adalah peluang bisnis sekaligus upaya persembahan bagi kaum kapitalis.
181
3. Altobeli (Komu).indd 181
25/02/2016 13:58:20
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
Sehingga jika dikembalikan kepada fungsi dasar film sebagai sebuah medium komunikasi massa yang seharusnya juga memiliki edukasi, informasi dan transformasi nilai, kini telah ‘larut’ dalam sebuah upeti bagi para penguasa. Film telah menjadi agen katalisator untuk mereduksi nilai-nilai edukasi maupun informasi bagi kaum kapitalis. Sehingga menjadi hal yang lumrah saat seluruh nilai-nilai adi luhung yang diemban oleh film bertranformasi menjadi sebuah produk budaya popular yang mampu mempersembahkan keuntungan. Tak berbeda dengan iklan. Sebagai sebuah produk komunikasi yang merupakan medan makna, iklan kini tak lagi menjadi agen representasi informasi maupun guru terhadap nilai-nilai positif. Iklan, kini hanya dipandang sebagai sebuah simulasi medan makna persembahan bagi para pencari keuntungan. Kreator iklan kini telah berupaya mereduksi ideide kreatif sebatas hanya sebagai persembahan keuntungan semata, tanpa mempedulikan transformasi nilai yang terjadi.
(2011). Media, Culture and Society: An
Introduction. London - New York: Sage. Ida, R. (2014). Metode Penelitian : Studi Media dan Kajian Budaya , Jakarta: Kencana Judith W. (2007). Decoding Advertisements, Yogyakarta: Jalasutra. Jaiz, M. (2014). Dasar-Dasar Periklanan, Yogyakarta: Graha Ilmu. Mulyana, D. (2002). Metode Penelitian Kualitatif: Bandung: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. PT. Remaja Rosda Karya Nawiroh, V. (2014). Semiotika Dalam Riset Komunikasi, Bogor: Ghalia Indonesia. Nugroho, G. et al. (2015). Film Indonesia: Krisis dan Pardoks. Jakarta: Kompas Penerbit Buku. Phan, P. C. (1994). 101 Tanya Jawab tentang Kematian dan Kehidpan Kekal, Yogyakarta: Kanisius. Priyo dan Kelompok Kerja Peduli Pemberdayaan Perempuan, (2004). Telaah Kritis, Potret Perempuan di Media Massa, Jakarta: Primamedia Pustaka. Rendra W. (2006). Pengantar Periklanan., Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
V. DAFTAR RUJUKAN Al-Qarni, Abdullah , A. I. (2002). Drama Kematian Persiapan Menyongsong Akhirat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Barker, C. (2012). Cultural Studies : Theory and Practices 4th Ed, London: Sage Publication Berger, A. A. (2000). Media Analysis Techniques; Teknikteknik analisis media, edisi kedua terjemahan, Yogyakarta: Universitas Atmajaya. Budiman, K. (1999). Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS. Danesi, M. (2012), Pesan Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Fiske, J. (2004), Culural and Communication
Hodkinson, P.
Studies.
Yogyakarta: Jalasutra. Hall, S. (1997). The Work of Representation, 1997 , London: Sage Publication, h. 6 Hall , S. (1982). “The Rediscoveryof Ideology: return of the
Sudibyo et al. (2008). Kabar-Kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. Subandy et. al. (2014). Komunikasi dan Komodifikasi: Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi, Jakarta: Yayasan Obor. Sobur, A. (2009). Analisis Teks Media. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online] Diakses pada tanggal 16 Januari 2015. Pukul 14:25 dari http://kbbi. web.id. Psikologi Kematian. [Online] Diakses pada tanggal 16 Januari 2015 dari http://www.academia.edu/9115108/ psikologi_kematian Wijaya, M. K. (2009). Makna Kematian dalam pandangan Jalaluddin Rakhmat, Yogyakarta
Repressed in Media Studies” dalam M. Gurevitch, T. Bennet, J.Curran dan J. Wollacot (eds), Culture, Socitey and the Media. London - New York: Methuen.
182
3. Altobeli (Komu).indd 182
25/02/2016 13:58:20