ANALISIS RIIL I
Disusun oleh Bambang Hendriya Guswanto, S.Si., M.Si. Siti Rahmah Nurshiami, S.Si., M.Si.
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2006
KATA PENGANTAR
Buku ini ditulis dalam rangka pengadaan buku ajar mata kuliah Analisis I, yang merupakan mata kuliah wajib. Buku ini berisi materi yang diperuntukan bagi mahasiswa yang telah mengambil mata Kalkulus I dan Kalkulus II. Topik-topik dalam buku ini sebenarnya sudah dikenal oleh mahasiswa yang telah mengambil kedua mata kuliah tersebut. Hanya saja, materi pada buku ini lebih abstrak, teoritis, dan mendalam. Materi pada buku ini merupakan materi dasar analisis real. Analisis real merupakan alat yang esensial, baik di dalam berbagai cabang dari matematika maupun bidang ilmu-ilmu lain, seperti fisika, kimia, dan ekonomi. Mata kuliah Analisis I adalah gerbang menuju mata kuliah yang lebih lanjut, baik di dalam maupun di luar jurusan Matematika. Jika mata kuliah ini dapat dipahami dengan baik maka mahasiswa mempunyai modal yang sangat berharga untuk memahami mata kuliah lain. Diharapkan, setelah mempelajari materi pada buku ini, mahasiswa mempunyai kedewasaan dalam bermatematika, yang meliputi antara lain kemampuan berpikir secara deduktif, logis, dan runtut, serta memiliki kemampuan menganalisis masalah dan mengomunikasikan penyelesaiannya secara akurat dan rigorous.
Buku ini terdiri dari lima bab. Bab I membahas tentang himpunan bilangan real. Di dalamnya, dibicarakan tentang sifat aljabar (lapangan), sifat terurut, dan sifat kelengkapan dari himpunan bilangan real. Kemudian, dibahas tentang himpunan bagian dari himpunan bilangan real yang dikonstruksi berdasarkan sifat terurutnya, yang disebut sebagai interval. Dijelaskan pula tentang representasi desimal dari bilangan real dan menggunakannya untuk membuktikan Teorema Cantor. Selanjutnya, bab II berisi tentang barisan bilangan real, yang meliputi definisi dan sifat-sifat barisan, Teorema Bolzano-Weierstrass, kriteria Cauchy, barisan divergen, dan sekilas tentang deret tak hingga. Kemudian, bab III mendiskusikan tentang definisi limit fungsi (termasuk limit sepihak, limit di tak hingga, dan limit tak hingga) dan sifat-sifatnya. Lalu, bab IV membahas kekontinuan fungsi, yang meliputi definisi fungsi kontinu dan sifat-sifatnya, fungsi kontinu pada interval, kekontinuan seragam, serta fungsi monoton dan fungsi invers.
Buku ini masih dalam proses pengembangan dan tentunya masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis membuka diri terhadap saran dan kritik dari pembaca, demi semakin baiknya buku ini sebagai buku ajar mata kuliah wajib Analisis I.
Purwokerto, 29 Juli 2006 Penulis,
Bambang Hendriya Guswanto, S.Si., M.Si. Siti Rahmah Nurshiami, S.Si., M.Si.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I HIMPUNAN BILANGAN REAL 1.1
Sifat Aljabar dari R
1.2
Sifat Terurut dari R
1.3. Sifat Kelengkapan dari R 1.4. Interval 1.5
Representasi Desimal dari Bilangan Real
BAB II BARISAN BILANGAN REAL 2.1
Definisi Barisan Bilangan real
2.2
Sifat-Sifat Barisan Bilangan Real
2.3
Teorema Bolzano-Weierstrass
2.4
Kriteria Cauchy
2.5
Barisan Divergen
2.6
Deret Tak Hingga
BAB III LIMIT FUNGSI 3.1
Titik Timbun
3.2
Definisi Limit Fungsi
3.2
Sifat-Sifat Limit Fungsi
BAB IV KEKONTINUAN FUNGSI 4.1
Definisi Fungsi Kontinu
4.2
Sifat-Sifat Fungsi Kontinu
4.3
Fungsi Kontinu pada Interval
4.4
Kekontinuan Seragam
4.5
Fungsi Monoton
4.6
Fungsi Invers
DAFTAR PUSTAKA
BAB I HIMPUNAN BILANGAN REAL
Bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dengan sistem bilangan real sebagai suatu sistem matematika yang memiliki sifat-sifat sebagai suatu lapangan yang terurut dan lengkap. Yang dimaksud dengan sistem bilangan real sebagai suatu lapangan di sini adalah bahwa pada himpunan semua bilangan real R yang dilengkapi dengan operasi penjumlahan dan perkalian berlaku sifat-sifat aljabar dari lapangan. Sifat terurut dari R berkaitan dengan konsep kepositifan dan ketidaksamaan antara dua bilangan real, sedangkan sifatnya yang lengkap berkaitan dengan konsep supremum atau batas atas terkecil. Teorema-teorema dasar dalam kalkulus elementer, seperti Teorema Eksistensi Titik Maksimum dan Minimum, Teorema Nilai Tengah, Teorema Rolle, Teorema Nilai Rata-Rata, dan sebagainya, didasarkan atas sifat kelengkapan dari R ini. Sifat ini berkaitan erat dengan konsep limit dan kekontinuan. Dapat dikatakan bahwa sifat kelengkapan dari R mempunyai peran yang sangat besar di dalam analisis real. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab. Sub bab 1.1 membahas sifat lapangan dari
R . Sub bab 1.2 menjelaskan sifat terurut dari R , dan di dalamnya dibahas juga tentang konsep nilai mutlak. Pada sub bab 1.3 didiskusikan tentang sifat kelengkapan dari R . Pada sub bab ini dibahas mengenai sifat Archimedean dan sifat kerapatan dari himpunan bilangan rasional. Selanjutnya, sub bab 1.4, menjelaskan tentang interval, sebagai suatu himpunan bagian dari R yang dikonstruksi berdasarkan sifat terurut dari R . Yang terakhir, sub bab 1.5 membahas tentang representasi desimal dari bilangan real. Pada sub bab ini, juga
dipaparkan
bagaimana
membuktikan
Teorema
Cantor
dengan
menggunakan konsep representasi desimal dari bilangan real ini. Teorema Cantor mengatakan bahwa himpunan R merupakan himpunan yang tak terhitung (uncountable).
1.1
Sifat Aljabar dari R
Sifat 1.1 (Sifat Aljabar dari R ). Pada himpunan bilangan real R yang dilengkapi operasi penjumlahan ( + ) dan operasi perkalian ( ⋅ ) berlaku sifat-sifat, terhadap operasi penjumlahan : T1.
a + b = b + a untuk setiap a, b ∈ R
T2.
( a + b ) + c = a + ( b + c)
untuk setiap a, b, c ∈ R
T3. Terdapat elemen 0 ∈ R sedemikian sehingga 0 + a = a + 0 = a untuk setiap
a∈R T4. Terdapat elemen − a ∈ R sedemikian sehingga −a + a = a + ( −a ) = 0 untuk setiap a ∈ R terhadap operasi perkalian : K1.
a ⋅ b = b ⋅ a untuk setiap a, b ∈ R
K2.
( a ⋅ b ) ⋅ c = a ⋅ (b ⋅ c)
untuk setiap a, b, c ∈ R
K3. Terdapat elemen 1 ∈ R sedemikian sehingga 1 ⋅ a = a ⋅1 = a untuk setiap
a∈ K4. Terdapat elemen 1 / a ∈ R sedemikian sehingga
(1/ a ) ⋅ a = a ⋅ (1/ a ) = 1
untuk setiap a ∈ R , dan D.
a ⋅ ( b + c ) = a ⋅ b + a ⋅ c dan ( b + c ) ⋅ a = b ⋅ a + c ⋅ a untuk setiap a, b, c ∈ R .
Sifat T1 dan K1 merupakan sifat komutatif, sifat T2 dan K2 merupakan sifat asosiatif, sifat T3 dan K3 menunjukkan eksistensi elemen identitas, dan sifat T4 dan K4 menunjukkan eksistensi elemen invers, berturut-turut masing-masing terhadap operasi penjumlahan dan perkalian. Yang terakhir, sifat D merupakan sifat distributif perkalian atas penjumlahan. Sifat T1-T4, K1-K4, dan D yang dipenuhi oleh semua elemen di R , menjadikan R dipandang sebagai suatu lapangan.
Terkait dengan elemen identitas 0 (terhadap operasi penjumlahan) dan 1 (terhadap operasi perkalian), kita memiliki fakta bahwa kedua elemen ini merupakan elemen yang unik atau tunggal. Selain itu, perkalian setiap elemen di
R dengan elemen 0 hasilnya adalah 0. Fakta-fakta ini, secara formal matematis, dapat direpresentasikan dalam teorema berikut ini. Teorema 1.2. a. Jika z, a ∈ R dan z + a = a maka z = 0 . b. Jika u ⋅ b = b dengan u, b ∈ R dan b ≠ 0 maka u = 1. c. a ⋅ 0 = 0 untuk setiap a ∈ R . Bukti. a. Berdasarkan sifat T3, T4, T2, dan hipotesis z + a = a ,
z = z + 0 = z + ( a + ( −a ) ) = ( z + a ) + ( −a ) = a + ( −a ) = 0 . b. Berdasarkan sifat K1, K2, K3, dan hipotesis u ⋅ b = b , b ≠ 0 ,
u = u ⋅1 = u ⋅ ( b ⋅ (1/ b ) ) = ( u ⋅ b ) ⋅ (1/ b ) = b ⋅ (1/ b ) = 1. c. Berdasarkan sifat K3, D, dan T3,
a + a ⋅ 0 = a ⋅ 1+ a ⋅ 0 = a ⋅ (1 + 0) = a ⋅1 = a . Berdasarkan a., diperoleh bahwa a ⋅ 0 = 0 .
■
Selain fakta di atas, kita juga memiliki fakta berikut ini. Teorema 1.3. a. Jika a, b ∈ R , a ≠ 0 , dan a ⋅ b = 1 maka b = 1/ a . b. Jika a ⋅ b = 0 maka a = 0 atau b = 0 . Bukti. a. Berdasarkan sifat K3, K4, K2, dan hipotesis a ≠ 0 , dan a ⋅ b = 1 ,
b = b ⋅1 = b ⋅ ( a ⋅ (1/ a ) ) = ( b ⋅ a ) ⋅ (1/ a ) = 1⋅ (1/ a ) = 1/ a . b. Andaikan a ≠ 0 dan b ≠ 0 . Akibatnya,
( a ⋅ b ) ⋅ (1/ ( a ⋅ b ) ) = 1 .
Berdasarkan
hipotesis, yaitu a ⋅ b = 0 , dan Teorema 1.2.c., kita memiliki bahwa
( a ⋅ b ) ⋅ (1/ ( a ⋅ b ) ) = 0 ⋅ (1/ ( a ⋅ b ) ) = 0 ,
(
)
Terjadi kontradiksi di sini, yaitu antara pernyataan ( a ⋅ b ) ⋅ 1/ ( a ⋅ b ) = 1 dan
( a ⋅ b ) ⋅ (1/ ( a ⋅ b ) ) = 0 . Dengan demikian, haruslah bahwa
a = 0 atau b = 0 .■
Teorema 1.3.a. mengatakan bahwa eksistensi invers dari suatu elemen di R adalah unik. Sedangkan Teorema 1.3.b. mengandung arti bahwa perkalian dua elemen tak nol di R tidaklah mungkin menghasilkan elemen nol. Di dalam himpunan bilangan real R dikenal pula operasi lain, yaitu operasi pengurangan ( − ) dan pembagian ( : ). Jika a, b ∈ R maka operasi pengurangan didefinisikan
dengan
a − b := a + ( −b )
sedangkan
operasi
pembagian
didefinisikan dengan a : b := a ⋅ (1/ b ) , b ≠ 0 .
1.2
SIFAT TERURUT DARI R
Seperti yang telah disinggung pada pendahuluan bab ini, sifat terurut dari R berkaitan dengan konsep kepositifan dan ketidaksamaan antara dua bilangan real. Seperti apa kedua konsep tersebut? Di sini, kita akan membahasnya. Terlebih dahulu kita akan membahas konsep kepositifannya.
Sifat 1.4 (Sifat Kepositifan). Terdapat himpunan bagian tak kosong dari R , yang dinamakan himpunan bilangan real positif R + , yang memenuhi sifat-sifat : a. Jika a, b ∈ R + maka a + b ∈ R + . b. Jika a, b ∈ R + maka a ⋅ b ∈ R + . c. Jika a ∈ R maka salah satu diantara tiga hal, yaitu a ∈ R + , a = 0 , dan
− a ∈ R + , pasti terpenuhi. Sifat 1.4.c. disebut juga sebagai sifat Trichotomy. Sifat ini mengatakan bahwa R dibangun oleh tiga buah himpunan yang disjoin. Tiga buah himpunan tersebut
{
}
adalah himpunan − a : a ∈ R + yang merupakan himpunan bilangan real negatif,
{
himpunan {0} , dan himpunan bilangan real positif R + . Himpunan − a : a ∈ R +
}
bisa juga dituliskan dengan R − . Jika a ∈ R + maka a > 0 dan a dikatakan sebagai bilangan real positif. Jika a ∈ R + U {0} maka a ≥ 0 dan a dikatakan
sebagai bilangan real nonnegatif. Jika a ∈ R − maka a < 0 dan a dikatakan sebagai bilangan real negatif. Jika a ∈ R − U {0} maka a ≤ 0 dan a dikatakan sebagai bilangan real nonpositif.
Penjumlahan k buah suku elemen 1 menghasilkan bilangan k . Himpunan bilangan k yang dikonstruksi dengan cara demikian disebut sebagai himpunan bilangan asli, dinotasikan dengan N . Himpunan N ini merupakan himpunan bagian dari himpunan R + . Himpunan ini memiliki sifat fundamental, yakni bahwa setiap himpunan bagian tak kosong dari N memiliki elemen terkecil. Sifat yang demikian disebut sebagai sifat well-ordering dari N .
Selanjutnya, jika kita ambil sembarang k ∈ N maka − k ∈ N− . Gabungan himpunan N , {0} , dan {−k : k ∈ N} membentuk suatu himpunan yang disebut sebagai himpunan bilangan bulat, dinotasikan dengan Z . Himpunan bilangan asli N disebut juga sebagai himpunan bilangan bulat positif, dinotasikan dengan
Z+ , sedangkan himpunan {−k : k ∈ Z} disebut juga himpunan bilangan bulat negatif, dinotasikan dengan Z− . Dari himpunan Z , kita bisa mengonstruksi bilangan dalam bentuk m / n , dengan
n ≠ 0 . Bilangan real yang dapat direpresentasikan dalam bentuk yang demikian disebut sebagai bilangan rasional. Sebaliknya, bilangan real yang tidak dapat direpresentasikan dalam bentuk itu disebut sebagai bilangan irasional. Himpunan bilangan rasional dinotasikan dengan Q . Dapat dikatakan bahwa himpunan bilangan real R merupakan gabungan dua himpunan disjoin, himpunan bilangan rasional dan himpunan bilangan irasional. Bilangan 2 dan 0 merupakan contoh bilangan-bilangan rasional, dan dapat ditunjukkan bahwa
2 , akar dari
persamaan x 2 = 2 , merupakan contoh bilangan irasional (lihat Bartle-Sherbert [1]).
Sekarang, kita sampai kepada penjelasan tentang konsep ketidaksamaan antara dua bilangan real, sebagai salah satu konsep yang berkaitan dengan sifat terurut dari R . Definisi 1.5. Misalkan a, b ∈ R . a. Jika a − b ∈ R + maka a > b atau b < a . b. Jika a − b ∈ R + U {0} maka a ≥ b atau b ≤ a .
Sifat Trichotomy dari R mengakibatkan bahwa untuk sembarang a, b ∈ R berlaku salah satu dari a > b , a = b , atau a < b . Selain itu, dapat ditunjukkan bahwa jika a ≥ b dan a ≤ b maka a = b . Dari sifat terurut, dapat juga diperoleh fakta-fakta berikut ini.
Teorema 1.6. Misalkan a, b, c ∈ R . a. Jika a > b dan b > c maka a > c . b. Jika a > b maka a + c > b + c . c. Jika a > b dan c > 0 maka ac > bc . Jika a > b dan c < 0 maka ac < bc . d. Jika ab > 0 maka a > 0 dan b > 0 , atau a < 0 dan b < 0 . e. Jika ab < 0 maka a > 0 dan b < 0 , atau a < 0 dan b > 0 .
Bukti Teorema 1.6.a-1.6.b menggunakan definisi 1.5 dan Teorema 1.6.d-1.6.e menggunakan sifat Trichotomy. Bukti Teorema tersebut ditinggalkan sebagai latihan bagi para pembaca.
Jika kita mengambil sembarang a > 0 maka
1 2
a > 0 dan 0 < 12 a < a . Hal ini
mengandung arti setiap kita mengambil bilangan positif pasti selalu didapat bilangan positif lain yang lebih kecil daripadanya. Dengan kata lain, tidak terdapat bilangan positif yang terkecil. Pernyataan ini merupakan maksud dari teorema berikut ini.
Teorema 1.7. Jika a ∈ R dan 0 ≤ a < ε untuk setiap ε > 0 maka a = 0 . Bukti. Andaikan a > 0 . Pilih ε = 12 a . Kita peroleh 0 < ε < a . Pernyataan ini kontradiksi dengan hipotesis bahwa
0 ≤ a < ε untuk setiap ε > 0 . Dengan
demikian, haruslah bahwa a = 0 .
■
Sebelumnya kita telah dikenalkan dengan bilangan real nonnegatif, yaitu elemen dari himpunan R + U {0}. Jika a > 0 atau a = 0 maka jelas bahwa a ∈ R + U {0} . Jika a < 0 tentunya −a > 0 , sehingga − a ∈ R + U {0} . Berdasarkan hal tersebut, akan didefinisikan apa yang disebut sebagai nilai mutlak dari suatu bilangan real. Nilai mutlak ini akan “me-nonnegatif-kan” bilangan-bilangan real. Definisi 1.8 (Nilai Mutlak). Nilai mutlak dari bilangan real a , dinotasikan dengan
a , didefinisikan dengan a, a ≥ 0 a := −a , a < 0.
Dari Definisi 1.8 tersebut tampak bahwa a ≥ 0 atau a adalah bilangan nonnegatif untuk setiap bilangan real a . Sebagai contoh, −1 = 1 , 0 = 0 , dan
2 =2.
Nilai mutlak dari bilangan-bilangan real ini memiliki sifat-sifat tertentu, di antaranya seperti yang tertuang dalam fakta berikut ini. Teorema 1.9. a.
ab = a b untuk setiap a, b ∈ R .
b. Misalkan c ≥ 0 dan a ∈ R , a ≤ c jika dan hanya jika −c ≤ a ≤ c . c. Misalkan c ≥ 0 dan a ∈ R , a ≥ c jika dan hanya jika a ≥ c atau a ≤ −c . Bukti.
a. Jika a = 0 atau b = 0 maka ab = 0 = 0 dan a b = 0 . Jika a, b > 0 maka
ab > 0 , a = a , dan b = b , sehingga ab = ab dan a b = ab . Jika a > 0 dan b < 0 maka ab < 0 , a = a , dan b = −b , sehingga ab = −ab dan
a b = a ( −b ) = −ab . Untuk kasus a < 0 dan b > 0 , penyelesaiannya serupa dengan kasus sebelumnya. b. Misalkan a ≤ c . Untuk a ≥ 0 , kita peroleh a = a ≤ c , sehingga didapat
0 ≤ a ≤ c . Untuk a ≤ 0 , kita peroleh a = −a ≤ c atau a ≥ −c , sehingga didapat −c ≤ a ≤ 0 . Dengan menggabungkan hasil dari kedua kasus tersebut, kita peroleh −c ≤ a ≤ c . Untuk sebaliknya, misalkan −c ≤ a ≤ c . Hal tersebut mengandung arti −c ≤ a dan a ≤ c . Dengan kata lain, −a ≤ c dan a ≤ c . Lebih sederhana, yang demikian dapat dituliskan sebagai a ≤ c . c. Misalkan a ≥ c . Untuk a ≥ 0 , kita peroleh a = a ≥ c . Untuk a ≤ 0 , kita peroleh a = −a ≥ c atau a ≤ −c . Dengan menggabungkan hasil dari kedua kasus tersebut, kita peroleh a ≥ c atau a ≤ −c . Untuk sebaliknya, jika a ≥ c atau a ≤ −c maka a ≥ c atau −a ≥ c . Dengan kata lain, a ≥ c .
■
Perhatikan kembali sifat nilai mutlak yang terdapat pada Teorema 1.9. Untuk 2
yang bagian a., jika a = b maka a a = a = a 2 . Untuk bagian b., jika c = a maka − a ≤ a ≤ a .
Selanjutnya, kita sampai kepada sifat nilai mutlak yang lain, yang dinamakan dengan Ketidaksamaan Segitiga. Ketidaksamaan ini mempunyai kegunaan yang sangat luas di dalam matematika, khususnya di dalam kajian analisis dan aljabar.
Teorema 1.10 (Ketidaksamaan Segitiga). Jika a, b ∈ R maka a + b ≤ a + b dan kesamaan terjadi atau a + b = a + b jika a = kb , dengan k > 0 . Bukti. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, jika a, b ∈ R maka dapat diperoleh bahwa − a ≤ a ≤ a dan − b ≤ b ≤ b . Jika kedua ketidaksamaan ini
(
)
kita jumlahkan maka − a + b ≤ a + b ≤ a + b atau a + b ≤ a + b . Bukti untuk pernyataan berikutnya ditinggalkan sebagai latihan bagi para pembaca.
■
Lebih jauh, sebagai konsekuensi dari Teorema 1.10, kita memiliki akibat berikut ini.
Akibat 1.11. Jika a, b ∈ R maka a − b ≤ a − b dan a − b ≤ a + b . Bukti. Perhatikan bahwa a = a − b + b . Dengan menggunakan ketidaksamaan segitiga, a = ( a − b ) + b ≤ a − b + b atau a − b ≤ a − b . Dengan cara yang serupa dapat kita peroleh bahwa b = ( b − a ) + a ≤ a − b + a . Akibatnya,
b − a ≤ a − b atau a − b ≥ − a − b . Akhirnya, kita memiliki − a − b ≤ a − b ≤ a − b atau a − b ≤ a − b .
Selanjutnya,
perhatikan
bahwa
a − b = a + ( −b ) ≤ a + −b = a + b
berdasarkan ketidaksamaan segitiga.
, ■
Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana konsep terurut dari R ini diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah ketidaksamaan.
Contoh 1.12. Tentukan himpunan penyelesaian dari ketidaksamaan 4x − 2 ≥ 6 . Penyelesaian. Perhatikan bahwa
4x − 2 = 4x + ( −2) ≥ 6 ⇔ 4 x + ( −2) + 2 ≥ 6 + 2 ⇔ 4 x ≥ 8 ⇔ x ≥ 2 . Tampak
bahwa
x ∈{x ∈ : x ≥ 2} .
ketidaksamaan
4x − 2 ≥ 6
dipenuhi
oleh
semua ■
Contoh 1.13. Cari semua penyelesaian dari ketidaksamaan x 2 − x < 6 . Penyelesaian. Perhatikan bahwa
x 2 − x < 6 ⇔ x 2 − x − 6 < 0 ⇔ ( x + 2 )( x − 3) < 0 . Darinya kita peroleh bahwa x + 2 > 0 dan x − 3 < 0 , atau x + 2 < 0 dan x − 3 > 0 . Untuk kasus yang pertama kita dapatkan x > −2 dan x < 3 , atau dengan kata lain −2 < x < 3 . Untuk kasus yang kedua kita peroleh bahwa x < −2 dan x > 3 . Perhatikan bahwa pada kasus kedua tersebut tidak ada nilai
x yang
memenuhinya. Dengan demikian, ketidaksamaan x 2 − x < 6 dipenuhi oleh semua x ∈ {x ∈ R : −2 < x < 3}.
■
Contoh 1.14. Selidiki apakah ketidaksamaan
x−2 >2 2x + 3 memiliki penyelesaian. Penyelesaian. Perhatikan bahwa
x − 2 − 2 ( 2x + 3) x−2 −3x − 8 >2⇔ >0⇔ > 0. 2x + 3 2x + 3 2x + 3 Yang demikian berarti −3x − 8 > 0 dan 2x + 3 > 0 , atau −3x − 8 < 0 dan
2x + 3 < 0 . Untuk kasus yang pertama kita peroleh x < −8 / 3 dan x > −3 / 2 . Namun hal itu tidak mungkin terjadi, artinya tidak ada x yang memenuhi. Untuk kasus yang kedua kita peroleh x > −8 / 3 dan x < −3/ 2 , atau dengan kata lain
−8 / 3 < x < −3 / 2 . Jadi ketidaksamaan x−2 >2 2x + 3 memiliki
penyelesaian,
dan
himpunan
semua
penyelesaiannya
{x ∈ R : −8 / 3 < x < −3 / 2} .
Contoh 1.15. Cari himpunan penyelesaian dari 2 x + 1 < 5 .
adalah ■
Penyelesaian. Berdasarkan Teorema 1.9.b., −5 < 2 x + 1 < 5 atau −6 < 2 x < 4 . Darinya kita peroleh −3 < x < 2 . Jadi himpunan penyelesaiannya adalah
{x ∈ R : −3 < x < 2} Bisa juga ketidaksamaan tersebut diselesaikan dengan cara lain. Perhatikan bahwa
2 x + 1, jika x ≥ −1/ 2 2x + 1 = − ( 2 x + 1) , jika x < −1/ 2. Penyelesaiannya dibagi menjadi dua kasus, yaitu : Kasus I, x ≥ −1 / 2 . Kita peroleh 2 x + 1 = 2 x + 1 < 5 . Akibatnya, 2 x < 4 atau x < 2 . Pada kasus ini, himpunan penyelesaian dari 2 x + 1 < 5 adalah
{x ∈ R : x ≥ −1 / 2}I {x ∈ R : x < 2} = {x ∈ R : −1 / 2 ≤ x < 2}l. Kasus II, x < −1 / 2 . Kita peroleh 2 x + 1 = − ( 2 x + 1) = −2 x − 1 < 5 . Akibatnya, −2 x < 6 atau x > −3 . Pada kasus ini, himpunan penyelesaian dari 2 x + 1 < 5 adalah
{x ∈ R : x < −1 / 2}I {x ∈ R : x > −3} = {x ∈ R : −3 < x < −1 / 2}. Penyelesaian seluruhnya dari 2 x + 1 < 5 adalah himpunan penyelesaian kasus I digabung dengan himpunan penyelesaian kasus II. Akibatnya, kita dapatkan himpunan
penyelesaian
keseluruhan
2x +1 < 5
dari
{x ∈ R : −3 < x < 2}.
adalah ■
Contoh 1.17. Tentukan himpunan penyelesaian dari x + x + 1 < 2 . Penyelesaian.
Sebelum
melangkah
jauh
di
dalam
menyelesaikan
ketidaksamaan tersebut, perhatikan bahwa
x, jika x ≥ 0 x = − x, jika x < 0
dan
x + 1, jika x ≥ −1 x +1 = − ( x + 1) , jika x < −1.
Penyelesaiannya kita bagi menjadi tiga kasus terlebih dahulu, yaitu :
Kasus I, x < −1 . Kita
peroleh
x = −x
x + 1 = − ( x + 1) = − x −1
dan
.
Akibatnya,
x + x + 1 = − x + ( − x − 1) < 2 atau −2 x < 3 atau x > −3 / 2 . Pada kasus ini, himpunan penyelesaian dari x + x + 1 < 2 adalah
{x ∈ R : x > −3 / 2} I {x ∈ R : x < −1} = {x ∈ R : −3 / 2 < x < −1}. Kasus II, −1 ≤ x < 0 . Kita peroleh x = − x dan x + 1 = x + 1 . Akibatnya, x + x + 1 = − x + ( x + 1) < 2 atau 1 < 2 . Ketidaksamaan 1 < 2 dipenuhi oleh semua x ∈ R . Untuk kasus II, himpunan penyelesaian dari x + x + 1 < 2 adalah
{x ∈ R : −1 ≤ x < 0}I {x ∈ R} = {x ∈ R : −1 ≤ x < 0}. Kasus III, x ≥ 0 . Kita peroleh x = x dan x + 1 = x + 1 . Akibatnya, x + x + 1 = x + ( x + 1) < 2 atau
2 x < 1 atau x < 1/ 2 . Untuk kasus III, himpunan penyelesaian dari x + x + 1 < 2 adalah
{x ∈ R : x ≥ 0} I {x ∈ R : x < 1/ 2} = {x ∈ R : 0 ≤ x < 1 / 2} . Dengan menggabungkan himpunan penyelesaian untuk kasus I, kasus II, dan kasus III, diperoleh seluruh nilai
x ∈ R yang memenuhi ketidaksamaan
x + x + 1 < 2. , yaitu {x ∈ R : −3 / 2 < x < 1 / 2}.
Contoh
1.18.
Selidiki
■
apakah ketidaksamaan
x − 3 + x + 2 ≤ 4 memiliki
penyelesaian. Penyelesaian.
Sebelum
melangkah
jauh
di
dalam
menyelesaikan
ketidaksamaan tersebut, perhatikan bahwa
x − 3, jika x ≥ 3 x −3 = − ( x − 3) , jika x < 3.
dan
x + 2, jika x ≥ −2 x+2 = − ( x + 2 ) , jika x < −2.
Penyelesaiannya kita bagi menjadi tiga kasus terlebih dahulu, yaitu :
Kasus I, x < −2 . Kita peroleh x − 3 = − ( x − 3) = − x + 3 dan x + 2 = − ( x + 2 ) = − x − 2 . Akibatnya,
x − 3 + x + 2 = ( − x + 3 ) + ( − x − 2 ) ≤ 4 atau −2 x ≤ 3 atau x ≥ −3/ 2 . Untuk kasus ini, kita tidak mempunyai penyelesaian dari x − 3 + x + 2 ≤ 4 karena
{x ∈ R : x ≥ −3 / 2}I {x ∈ R : x < −2} = { }. Kasus II, −2 ≤ x < 3 . Kita
peroleh
x − 3 = − ( x − 3) = − x + 3
dan
x+2 = x+2 .
Akibatnya,
x − 3 + x + 2 = ( − x + 3 ) + ( x + 2 ) ≤ 4 atau 5 ≤ 4 . Pernyataan ini merupakan sesuatu yang mustahil. Jadi untuk kasus ini, kita tidak mempunyai penyelesaian.
Kasus III, x ≥ 3 . Kita
peroleh
x −3 = x − 3
dan
x+2 = x+2
.
Akibatnya,
x − 3 + x + 2 = ( x − 3) + ( x + 2 ) ≤ 4 atau 2 x ≤ 5 atau x ≤ 5 / 2 . Untuk kasus ini, kita tidak mempunyai penyelesaian dari x − 3 + x + 2 ≤ 4 karena
{x ∈ R : x ≥ 3}I {x ∈ R : x ≤ 5 / 2} = { }. Secara
keseluruhan,
kita
tidak
memiliki
solusi
untuk
x −3 + x + 2 ≤ 4 .
1.3
ketidaksamaan ■
SIFAT KELENGKAPAN DARI R
Pada subbab ini kita akan membahas sifat ketiga dari R , yaitu sifat kelengkapan. Seperti yang telah dikatakan pada pendahuluan bab ini, sifat kelengkapan berkaitan dengan konsep supremum atau batas atas terkecil. Untuk itu, kita akan bahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan batas atas dari suatu himpunan bilangan real, dan kebalikannya, yaitu batas bawahnya.
Definisi 1.19. Misalkan X adalah himpunan bagian tak kosong dari R . a. Himpunan X
dikatakan terbatas atas jika terdapat a ∈ R sedemikian
sehingga a ≥ x , untuk setiap x ∈ X . Bilangan real a yang demikian disebut sebagai batas atas dari X . b. Himpunan X dikatakan terbatas bawah jika terdapat b ∈ R sedemikian sehingga b ≤ x , untuk setiap x ∈ X . Bilangan real b yang demikian disebut sebagai batas bawah dari X . c. Himpunan X dikatakan terbatas jika X terbatas atas dan terbatas bawah. Himpunan X dikatakan tidak terbatas jika X tidak terbatas atas atau tidak terbatas bawah.
Sebagai contoh, perhatikan himpunan
{x ∈ R : x > 0} .
himpunan {b ∈ R : b ≤ 0} merupakan batas bawah dari
Setiap elemen pada
{x ∈ R : x > 0} .
Setiap
kita mengambil elemen x ∈ {x ∈ R : x > 0} maka selalu kita dapatkan bahwa
x < x + 1 , sedangkan x + 1 ∈ {x ∈ R : x > 0} . Yang demikian mengandung arti bahwa
tidak
ada
a∈R
sedemikian
sehingga
a≥x ,
untuk
setiap
x ∈ {x ∈ R : x > 0} . Jadi himpunan {x ∈ R : x > 0} terbatas bawah tetapi tidak terbatas atas, atau juga dapat dikatakan bahwa himpunan tersebut tidak terbatas.
{x ∈ R : x < 1} . Himpunan {a ∈ R : a ≥ 1} merupakan koleksi semua batas atas dari {x ∈ R : x < 1} . Tidak ada b ∈ R sedemikian sehingga b ≤ x , untuk semua x ∈ {x ∈ R : x < 1}, karena setiap kita mengambil x ∈ {x ∈ R : x < 1} maka selalu dapat kita peroleh bahwa x −1 < x , sedangkan x − 1 ∈ {x ∈ R : x < 1} . Akibatnya, himpunan {x ∈ R : x < 1} tidak mempunyai batas bawah. Jadi himpunan {x ∈ R : x < 1} terbatas atas tetapi tidak Contoh lain, pandang himpunan
terbatas bawah, atau juga dapat dikatakan bahwa himpunan tersebut tidak terbatas.
Berdasarkan paparan sebelumnya, himpunan {x ∈ R : 0 < x < 1} memiliki batas atas dan batas bawah, atau dengan kata lain himpunan tersebut merupakan himpunan terbatas. Dari batas-batas bawahnya, kita dapat memilih batas bawah yang terbesar, yaitu elemen 0. Sedangkan dari batas-batas atasnya, kita dapat memilih batas atas yang terkecil, yaitu elemen 1. Berikut ini adalah definisi secara formal dari batas atas terkecil, disebut supremum, dan batas bawah terbesar, disebut infimum, dari suatu himpunan bilangan real.
Definisi 1.20. Misalkan X adalah himpunan bagian tak kosong dari R . a. Misalkan X terbatas atas. Elemen a ∈ R dikatakan supremum dari X jika memenuhi syarat-syarat : (1) a adalah batas atas dari X (2) a ≤ v , untuk setiap v , batas atas dari X . b. Misalkan X terbatas bawah. Elemen b ∈ R dikatakan infimum dari X jika memenuhi syarat-syarat : (1) b adalah batas bawah dari X (2) b ≥ w , untuk setiap w , batas bawah dari X . Selanjutnya, mungkin timbul pertanyaan, apakah perbedaan antara supremum (infimum) dengan maksimum (minimum)? Contoh sebelumnya tentang himpunan
{x ∈ R : 0 < x < 1} , bisa menjadi ilustrasi untuk menjelaskan hal ini. Himpunan {x ∈ R : 0 < x < 1} tidaklah mempunyai minimum dan maksimum, karena tidak ada m, M ∈ {x ∈ R : 0 < x < 1} sedemikian sehingga m ≤ x dan M ≥ x , untuk setiap x ∈ {x ∈ R : 0 < x < 1} . Sedangkan untuk supremum dan infimum, himpunan {x ∈ R : 0 < x < 1} memilikinya, yaitu 1 dan 0, masing-masing secara berurutan. Elemen minimum dan maksimum haruslah elemen dari himpunan yang bersangkutan, tetapi elemen infimum dan supremum tidaklah harus demikian. Jadi elemen infimum dan supremum bisa termasuk atau tidak termasuk ke dalam himpunan yang bersangkutan. Himpunan {x ∈ R : 0 ≤ x ≤ 1} memiliki infimum dan supremum, yaitu elemen 1 dan 0, yang termasuk ke dalam himpunan {x ∈ R : 0 ≤ x ≤ 1}.
Selanjutnya, kita akan memberikan formulasi lain dari definisi supremum dan infimum pada definisi 1.20. Kita mulai dengan definisi supremum. Elemen a adalah batas atas dari X ekuivalen dengan a ≥ x , untuk setiap x ∈ X . Pernyataan a ≤ v , untuk setiap v , batas atas dari X , mengandung arti bahwa jika z < a maka z adalah bukan batas atas dari X . Jika z adalah bukan batas atas dari X maka terdapat xz ∈ X sedemikian sehingga xz > z . Jadi kita mempunyai fakta bahwa jika z < a maka terdapat x z ∈ X
sedemikian
sehingga xz > z . Selanjutnya, jika diberikan ε > 0 maka a − ε < a . Dengan menggunakan fakta sebelumnya, maka terdapat xε ∈ X sedemikian sehingga
xε > a − ε . Jadi kita memperoleh fakta baru, yang ekuivalen dengan fakta sebelumnya, yaitu untuk setiap ε > 0 terdapat xε ∈ X sedemikian sehingga
xε > a − ε . Dengan demikian kita memperoleh fakta-fakta yang ekuivalen dengan definisi 1.20.
Teorema 1.21. Elemen a ∈ R , batas atas dari X , himpunan bagian tak kosong dari R , adalah supremum dari X jika dan hanya jika apabila z < a maka terdapat xz ∈ X sedemikian sehingga xz > z .
Teorema 1.22. Elemen a ∈ R , batas atas dari X , himpunan bagian tak kosong dari R , adalah supremum dari X jika dan hanya jika untuk setiap ε > 0 terdapat xε ∈ X sedemikian sehingga xε > a − ε .
Fakta-fakta serupa yang berkaitan dengan elemen infimum adalah sebagai berikut.
Teorema 1.23. Elemen b ∈ R , batas bawah dari X , himpunan bagian tak kosong dari R , adalah infimum dari X jika dan hanya jika apabila z > b maka terdapat xz ∈ X sedemikian sehingga xz < z .
Teorema 1.24. Elemen b ∈ R , batas bawah dari X , himpunan bagian tak kosong dari R , adalah infimum dari X jika dan hanya jika untuk setiap ε > 0 terdapat xε ∈ X sedemikian sehingga xε < b + ε . Bukti Teorema 1.23 dan Teorema 1.24 ditinggalkan sebagai latihan bagi para pembaca. Selanjutnya, mungkin kita mempertanyakan apakah elemen supremum atau infimum tunggal atau tidak. Mari kita kaji masalah ini. Misalkan u, v ∈ R adalah supremum dari himpunan yang terbatas atas U . Untuk menunjukkan bahwa supremum dari U adalah tunggal, berarti kita harus menunjukkan bahwa u = v . Untuk menunjukkannya, perhatikan bahwa u ≤ w dan v ≤ w , untuk setiap w , batas atas dari U . Karena u dan v juga batas atas dari U , kita memiliki u ≤ v dan v ≤ u . Yang demikian berarti u = v atau supremum dari U adalah tunggal. Dengan mudah, dapat pula kita tunjukkan bahwa infimum dari suatu himpunan yang terbatas bawah juga tunggal. Berdasarkan semua penjelasan pada subbab ini, kita mempunyai suatu aksioma yang sangat esensial. Aksioma inilah yang dimaksud dengan sifat Kelengkapan dari R , atau biasa juga disebut sifat supremum dari
.
Aksioma 1.25 (Sifat Kelengkapan dari R ). Setiap himpunan bagian dari R yang terbatas atas memiliki supremum di R .
Aksioma tersebut mengatakan bahwa R , digambarkan sebagai himpunan titiktitik pada suatu garis, tidaklah “berlubang”. Sedangkan himpunan bilanganbilangan rasional Q , sebagai himpunan bagian dari R yang juga memenuhi sifat aljabar (lapangan) dan terurut, memiliki “lubang”. Inilah yang membedakan R dengan Q . Karena tidak “berlubang” inilah, R , selain merupakan lapangan terurut, juga mempunyai sifat lengkap. Oleh karena itu, R disebut sebagai lapangan
terurut
yang
lengkap.
Penentuan
supremum
dari
himpunan
T := {t ∈ Q : t ≥ 0, t 2 < 2} bisa dijadikan ilustrasi untuk menjelaskan terminologi “lubang” pada himpunan Q . Supremum dari T ∈ Q yaitu
2 , yang merupakan
akar dari persamaan x 2 = 2 , bukanlah bilangan rasional. Bilangan
2 ini
merupakan salah satu “lubang” pada Q . Maksudnya, supremum dari T ∈ Q adalah
2 yang bukan merupakan elemen dari Q . Sehingga dapat dikatakan
bahwa aksioma kelengkapan tidak berlaku pada Q . Tetapi jika kita bekerja pada
R , yang demikian tidak akan terjadi. Sekarang, misalkan V adalah himpunan yang terbatas bawah, artinya terdapat
l ∈ R sedemikian sehingga l ≤ x , untuk setiap x ∈V . Darinya, kita memperoleh bahwa −l ≥ − x , untuk setiap x ∈ V . Dengan demikian, himpunan {− x : x ∈ V } terbatas
atas.
Menurut
Aksioma
1.25.,
himpunan
supremum. Misalkan s adalah supremum dari
{− x : x ∈V }
{− x : x ∈V } .
memiliki
Yang demikian
berarti s ≥ − x , untuk setiap x ∈ V , dan s ≤ r , untuk setiap r , batas atas dari
{− x : x ∈V } .
Darinya, kita memiliki −s ≤ x , untuk setiap x ∈ V , dan −s ≥ −r ,
untuk setiap r , batas atas dari {− x : x ∈ V } . Dapat ditunjukkan bahwa r batas atas dari {− x : x ∈ V } jika dan hanya jika −r adalah batas bawah dari V . Jadi kita memiliki −s ≤ x , untuk setiap x ∈ V , dan −s ≥ t , untuk setiap t , batas bawah dari V , atau dengan kata lain, −s adalah infimum dari himpunan V . Berdasarkan penjelasan tersebut, kita memiliki hal yang serupa dengan Aksioma 1.25, yaitu bahwa setiap himpunan bagian dari R yang terbatas bawah memiliki infimum di R . Contoh 1.26. Tentukan supremum dari himpunan S = {x ∈ R : x < 1}. Penyelesaian. Kita klaim terlebih dahulu bahwa sup S , supremum dari S , adalah 1. Klaim kita benar jika dapat ditunjukkan bahwa : 1. Batas atas dari S adalah 1, atau x ≤ 1 , untuk setiap x ∈ S . 2. v ≥ 1 , untuk setiap v , batas atas dari S . Jelas bahwa 1 adalah batas atas dari S . Selanjutnya, misalkan v < 1 . Perhatikan elemen 1/ 2 + v / 2 . Dapat ditunjukkan bahwa v < 1/ 2 + v / 2 < 1 . Artinya, setiap elemen v < 1 bukanlah batas atas dari S . Jelas bahwa v batas atas dari S jika
dan hanya jika v ≥ 1 . Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa 1 merupakan batas atas terkecil dari S . Dengan demikian, 1 merupakan supremum dari S . Selanjutnya, kita akan menggunakan Teorema 1.21 untuk menunjukkan 1 adalah supremum dari S . Jika v < 1 , berdasarkan pembahasan tadi, dengan memilih
sv = 1/ 2 + v / 2 , kita peroleh bahwa sv ∈ S dan v < sv . Jadi 1 merupakan supremum dari S . Kita akan coba cara lain untuk menunjukkan bahwa 1 merupakan supremum dari
S , seperti yang tertulis pada Teorema 1.22. Diberikan ε > 0 . Di sini kita akan memilih apakah ada sε ∈ S sedemikian sehingga 1 − ε < sε (pemilihan sε yang demikian tidaklah unik). Jika kita memilih sε = 1 − ε / 2 maka kita memperoleh apa yang kita harapkan, karena jelas bahwa sε = 1 − ε / 2 < 1 , atau dengan kata lain
sε ∈ S dan 1 − ε < sε = 1 − ε / 2 . Yang demikian selalu mungkin untuk sembarang
ε > 0 yang diberikan. Jadi memang 1 adalah supremum dari S .
■
Contoh 1.27. Tentukan infimum dari I = {x ∈ R : x > 0} . Penyelesaian. Kita klaim terlebih dahulu bahwa inf I , infimum dari I , adalah 0. Klaim kita benar jika dapat ditunjukkan bahwa : 1. Batas bawah dari I adalah 0, atau 0 ≤ x , untuk setiap x ∈ I . 2. w ≤ 0 , untuk setiap w , batas bawah dari I .
Jelas 0 merupakan batas bawah dari I . Berikutnya, misalkan w > 0 . Perhatikan bahwa 0 < w / 2 < w . Di sini w / 2 ∈ I . Artinya, jika w > 0 maka w bukan batas bawah dari I . Jelas bahwa w ≤ 0 jika dan hanya jika w adalah batas bawah dari I . Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa 0 adalah batas bawah terbesar dari
I. Berikutnya, kita akan menggunakan Teorema 1.23 untuk menunjukkan 0 adalah infimum dari I . Misalkan w > 0 . Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dengan
memilih iw = w / 2 , kita peroleh bahwa iw ∈ I dan iw < w . Akibatnya, 0 adalah infimum dari I . Cara lain, adalah dengan menunjukkan seperti apa yang tercantum pada Teorema 1.24. Diberikan ε > 0 . Kita akan memilih apakah ada iε ∈ I sedemikian sehingga iε < 0 + ε = ε . Jika iε = ε / 2 maka iε ∈ I dan iε < ε . Hal ini selalu mungkin untuk sembarang ε > 0 yang diberikan. Dengan demikian, 0 adalah infimum dari I .
■
Contoh 1.28. Tunjukkan bahwa jika himpunan S ⊆ R terbatas atas dan a > 0 maka supremum dari aS := {as : s ∈ S } , sup aS = a sup S . Penyelesaian. Ada beberapa cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kita mulai dengan cara yang pertama, yaitu bahwa kita harus menunjukkan bahwa a sup S adalah batas atas dari aS atau a sup S ≥ as , untuk setiap s ∈ S , dan a sup S ≤ v , untuk setiap v , batas atas dari aS . Karena S adalah himpunan yang terbatas atas, S mempunyai supremum, menurut sifat Kelengkapan dari R . Karenanya, sup S ≥ s , untuk setiap s ∈ S . Karena a > 0 , a sup S ≥ as , untuk setiap s ∈ S . Artinya, a sup S adalah batas atas dari aS . Akibatnya, aS memiliki supremum. Selanjutnya, misalkan w adalah sembarang batas atas dari
aS atau w ≥ as , untuk setiap s ∈ S . Karena a > 0 , kita peroleh bahwa w / a ≥ s , untuk setiap s ∈ S . Di sini w / a adalah batas atas dari S . Akibatnya, w / a ≥ sup
S atau w ≥ a sup S . Kita peroleh bahwa a sup S ≤ w , untuk setiap w , batas atas dari aS . Jadi sup aS = a sup S . Cara kedua untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan menunjukkan bahwa a sup S adalah batas atas dari aS dan untuk setiap v < a sup S terdapat
sv ∈ aS sedemikian sehingga v < sv . Telah ditunjukkan bahwa a sup S adalah batas atas dari aS . Sekarang, misalkan v < a sup S . Karena a > 0 , v / a < sup S . Akibatnya, terdapat sv / a ∈ S sedemikian sehingga v / a < sv / a . Karenanya, kita
memperoleh v < asv / a . Di sini jelas bahwa asv / a ∈ aS . Dengan memilih sv = asv / a , kita mempunyai sv ∈ aS dan v < sv . Jadi sup aS = a sup S .
■
Lebih jauh, kita akan melihat bagaimana sifat kelengkapan dari R ini digunakan untuk menunjukkan bahwa himpunan semua bilangan asli N tidak mempunyai batas atas. Artinya tidak terdapat x ∈ R sedemikian sehingga n ≤ x , untuk setiap n ∈ N , atau dengan kata lain jika diberikan x ∈ R terdapat n x ∈ N sedemikian sehingga nx > x .
Teorema 1.29 (Sifat Archimedean). Jika x ∈ R maka terdapat n x ∈ N sedemikian sehingga nx > x . Bukti. Andaikan N memiliki batas atas atau terdapat x ∈ R sedemikian sehingga n ≤ x , untuk setiap n ∈ N . Akibatnya, x adalah batas atas dari N . Menurut sifat kelengkapan dari R , N memiliki supremum. Misalkan supremum dari N itu adalah a . Perhatikan bahwa a −1 < a . Karena a − 1 jelas bukan batas atas dari N , maka terdapat m ∈ N sedemikian sehingga a − 1 < m . Darinya kita memiliki bahwa a < m + 1 . Perhatikan bahwa m +1 ∈ N . Yang demikian mengakibatkan bahwa a bukan batas atas dari N . Hal ini kontradiksi dengan asumsi di awal bahwa a adalah supremum dari N , yang tiada lain juga merupakan batas atasnya. Jadi himpunan N tidak memiliki batas atas atau Jika
x ∈ R maka terdapat n x ∈ N sedemikian sehingga nx > x .
■
Sekarang, misalkan t > 0 . Kita peroleh bahwa 1/ t > 0 . Menurut sifat Archimedean, terdapat n ∈ N , yang bergantung pada 1/ t (bisa juga dikatakan bergantung pada t ), sedemikian sehingga n > 1/ t , atau juga bisa ditulis sebagai
1/ n < t . Berdasarkan pembahasan ini, kita memiliki akibat berikut. Akibat 1.30. Jika t > 0 maka terdapat nt ∈ N sedemikian sehingga 0 < 1/ nt < t Selain Akibat 1.30, sifat Archimedean memilki konsekuensi lain, seperti yang dinyatakan pada akibat berikut ini.
Akibat
1.31.
Jika
y>0
maka
terdapat
n y ∈ N sedemikian sehingga
ny − 1 ≤ y < ny . Bukti. Misalkan E y := {m ∈ N : y < m} dengan y ∈ R . Sifat Archimedean menjamin bahwa himpunan E y tidaklah kosong. Karena E y himpunan bagian dari N dan tidak kosong, maka menurut sifat well-ordering dari R , E y mempunyai elemen terkecil. Misalkan elemen terkecil itu adalah n y . Karena n y adalah elemen terkecil dari E y , maka ny − 1∉ E y atau n y − 1 ≤ y . Dengan demikian ny − 1 ≤ y < ny .
■
Jika kita memiliki dua buah sembarang bilangan rasional yang berbeda, secara intuitif kita akan mengatakan bahwa di antara keduanya juga terdapat bilangan rasional yang lain dan jumlahnya bisa tak berhingga. Dengan kata lain, himpunan semua bilangan rasional Q adalah himpunan yang rapat. Secara formal, memang dapat dibuktikan bahwa Q memiliki sifat yang demikian.
Teorema 1.32. Jika x, y ∈ Q dan x < y maka terdapat bilangan rasional r sedemikian sehingga x < r < y . Bukti. Misalkan x = 0 . Akibatnya, y > 0 . Menurut Akibat 1.30, terdapat p ∈ N sedemikian sehingga 1 / p < y . Bilangan rasional r := 1/ p memenuhi x < r < y .
Berikutnya, misalkan x > 0 . Darinya, kita memiliki y − x > 0 . Berdasarkan Akibat 1.30, terdapat m ∈ N sedemikian sehingga 1 / m < y − x . Karenanya, 1 < my − mx atau 1 + mx < my . Pandang mx > 0 . Menurut Akibat 1.31, terdapat n ∈ N sedemikan sehingga n −1 ≤ mx < n . Dari n −1 ≤ mx kita memperoleh n ≤ 1 + mx , sehingga n ≤ 1 + mx < my . Dari mx < n kita memperoleh mx < n < my . Akibatnya,
x < n / m < y . Bilangan rasional r := n / m memenuhi x < r < y .
Terakhir, misalkan x < 0 atau − x > 0 . Akibatnya, y − x > 0 . Dengan cara serupa seperti pada kasus x > 0 , kita bisa mendapatkan bilangan rasional r sedemikian sehingga x < r < y .
■
Kita juga memiliki fakta lain, yang analog dengan teorema 1.32, untuk himpunan bilangan-bilangan irasional.
Akibat 1.33. Jika x, y ∈ R dan x < y maka terdapat bilangan irasional z sedemikian sehingga x < z < y . Bukti. Dari hipotesis kita dapatkan bahwa x / 2 , y / 2 ∈ R dan x / 2 < y / 2 . Menurut Teorema 1.32, terdapat bilangan rasional r ≠ 0 sedemikian sehingga
x / 2 < r < y / 2 atau x < r 2 < y . Bilangan z := r 2 merupakan bilangan irasional dan memenuhi x < z < y .
1.4
■
INTERVAL
Pada subbab ini kita membahas suatu himpunan bagian dari R yang dikonstruksi berdasarkan sifat terurut dari R . Himpunan bagian ini dinamakan sebagai interval.
Definisi 1.34. Misalkan a, b ∈ R dengan a < b . a. Interval buka yang dibentuk dari elemen a dan b adalah himpunan
(a, b ) := {x ∈ R : a < x < b}. b. Interval tutup yang dibentuk dari elemen a dan b adalah himpunan
[a, b] := {x ∈ R : a ≤ x ≤ b} . c. Interval setengah buka (atau setengah tutup) yang dibentuk dari elemen a dan
b
adalah
himpunan
[a, b) := {x ∈ R : a ≤ x < b}
atau
(a, b] := {x ∈ R : a < x ≤ b}. Semua jenis interval pada Definisi 1.34 merupakan himpunan yang terbatas dan memiliki panjang interval yang didefinisikan sebagai b − a . Jika a = b maka
himpunan buka ( a, a ) = {
}
dan himpunan tutup [ a , a ] = { a} , yang dinamakan
dengan himpunan singleton. Elemen a dan b disebut titik ujung interval. Selain interval terbatas, terdapat pula interval tak terbatas. Pada interval tak terbatas ini, kita dikenalkan dengan simbol ∞ dan −∞ yang berkaitan dengan ketak terbatasannya.
Definisi 1.35. Misalkan a ∈ R . a. Interval buka tak terbatas adalah himpunan (a, ∞ ) := {x ∈ R : x > a} atau
(− ∞, a) := {x ∈ R : x < a}. b. Interval tutup tak terbatas adalah himpunan [a , ∞ ) := {x ∈ R : x ≥ a} atau
(− ∞, a] := {x ∈ R : x ≤ a} . Himpunan bilangan real R merupakan himpunan yang tak terbatas dan dapat dinotasikan dengan
( −∞, ∞ ) .
Perlu diperhatikan bahwa simbol ∞ atau −∞
bukanlah bilangan real. Karenanya, dapat dikatakan bahwa R ini tidak mempunyai titik-titik ujung.
Teorema 1.36 (Karakterisasi Interval). Jika S ⊆ R adalah himpunan yang memuat paling sedikit dua elemen dan memiliki sifat : jika x, y ∈ R dan x < y maka [ x, y ] ⊆ S , maka S merupakan suatu interval. Bukti. Kita akan membuktikannya untuk empat kasus. Kasus I, S adalah himpunan terbatas. Karena S himpunan terbatas maka S mempunyai infimum atau supremum. Misalkan infimum dan supremum dari S adalah masing-masing, secara berurutan, a dan b . Jika x ∈ S maka a ≤ x ≤ b . Karenanya, x ∈ [ a, b ] . Akibatnya,
S ⊆ [ a, b ] .
Selanjutnya, akan ditunjukkan bahwa
( a, b ) ⊆ S
. Misalkan z ∈ ( a , b ) atau
a < z < b . Yang demikian berarti z bukan batas bawah dari S . Akibatnya, terdapat xz ∈ S sedemikian sehingga xz < z . Kita memperoleh pula bahwa z bukan batas atas dari S . Itu artinya bahwa terdapat yz ∈ S sedemikian sehingga
z < y z . Kita mendapatkan bahwa z ∈[ xz , yz ] . Karena menurut hipotesis,
[ xz , yz ] ⊆ S ,
maka z ∈ S . Karena yang demikian berlaku untuk sembarang
z ∈ ( a , b ) , maka ( a, b ) ⊆ S . Jika a, b ∈ S maka [ a , b ] ⊆ S . Karena telah diperoleh bahwa S ⊆ [ a, b ] , maka
S = [ a, b] . Jika a, b ∉ S maka S ⊆ [ a, b ] cukup dinyatakan dengan S ⊆ ( a , b ) . Karena ( a, b ) ⊆ S dan S ⊆ ( a , b ) , maka S = ( a , b ) . Jika a ∈ S dan b ∉ S maka
S ⊆ [ a, b ] dan ( a, b ) ⊆ S masing-masing, secara berurutan, cukup dinyatakan S ⊆ [ a, b ) dan [ a , b ) ⊆ S . Akibatnya, kita memperoleh S = [ a, b ) . Jika a ∉ S dan b ∈ S maka dapat ditunjukkan bahwa S = ( a , b ] .
Kasus II, S adalah himpunan yang terbatas atas tetapi tidak terbatas bawah. Karena S terbatas atas, maka S mempunyai supremum. Misalkan supremum dari S adalah b . Kita memperoleh bahwa x ≤ b , untuk setiap x ∈ S . Akibatnya,
S ⊆ ( −∞, b ] . Berikutnya, kita akan menunjukkan bahwa ( −∞,b ) ⊆ S . Misalkan z ∈ ( −∞ , b ) atau z < b . Karena z bukan batas atas dari S , maka terdapat yz ∈ S sedemikian sehingga z < y z . Karena S tidak terbatas bawah, maka terdapat
xz ∈ S sedemikian sehingga xz < z . Akibatnya, z ∈[ xz , yz ] . Karena menurut
hipotesis, [ xz , yz ] ⊆ S , maka z ∈ S . Yang demikian berlaku untuk sembarang
z ∈ ( −∞, b ) . Karena itu, ( −∞,b ) ⊆ S .
Jika b ∈ S maka
( −∞,b ) ⊆ S
dapat pula dinyatakan dengan
( −∞,b] ⊆ S
.
Karena S ⊆ ( −∞ , b ] dan S ⊆ ( −∞ , b ] , maka S = ( −∞, b ] . Jika b ∉ S maka
S ⊆ ( −∞, b ] cukup dinyatakan dengan S ⊆ ( −∞, b ) Akibatnya, bersama dengan
( −∞,b ) ⊆ S , kita memperoleh bahwa
S = ( a, b ) .
Kasus III, S adalah himpunan yang tidak terbatas atas tetapi terbatas bawah. Dengan cara yang serupa, seperti pada kasus II, dapat ditunjukkan bahwa
S = [ a, ∞ ) atau S = ( a, ∞) dengan a adalah infimum dari S .
Kasus IV, S adalah himpunan yang tidak terbatas. Berdasarkan hipotasis, jelas bahwa S ⊆ R . Selanjutnya, kita akan menunjukkan bahwa R ⊆ S . Misalkan z ∈ R . Karena S tidak terbatas, maka z bukanlah batas bawah dan batas atas dari S . Akibatnya, terdapat xz , y z ∈ S sedemikian sehingga xz < z dan z < y z . Darinya, kita memiliki z ∈ [ xz , yz ] . Menurut hipotesis,
[ xz , yz ] ⊆ S . Akibatnya,
z ∈ S . Karena hal ini berlaku untuk sembarang z ∈ R ,
maka R ⊆ S . Dengan demikian, R = S .
Jadi, secara keseluruhan, telah ditunjukkan bahwa S merupakan suatu interval di R . 1.5
■
REPRESENTASI DESIMAL DARI BILANGAN REAL
Semua bilangan real dapat dinyatakan dalam bentuk lain yang disebut sebagai bentuk desimal. Misalkan x∈ [ 0,1] . Jika kita membagi interval [ 0,1] menjadi 10
sub interval yang sama panjangnya, maka x ∈ b1 /10, ( b1 + 1) /10 untuk suatu
b1 ∈ {0,1, 2,...,9} . Jika kita membagi lagi interval b1 /10, ( b1 + 1) /10 menjadi 10 sub
interval
yang
sama
panjangnya,
maka
x ∈ b1 /10 + b2 /10 2 , b1 /10 + ( b2 + 1) /10 2 untuk suatu b2 ∈{0,1, 2,..., 9} .
Jika
proses tersebut terus dilanjutkan maka kita akan memperoleh barisan
{bn}
dengan 0 ≤ bn ≤ 9 , untuk semua n ∈ N , sedemikian sehingga x memenuhi
b1 b2 b b b ( b + 1) + 2 + ... + nn ≤ x ≤ 1 + 22 + ... + n n . 10 10 10 10 10 10 Representasi desimal dari x∈ [ 0,1] adalah 0, b1b2 ...bn ... . Jika x ≥ 1 dan N ∈ N sedemikian sehingga N ≤ x < N + 1 maka representasi desimal dari x ≥ 1 adalah
N , b1b2 ...bn ... dengan 0, b1b2 ...bn ... adalah representasi desimal dari x − N ∈[ 0,1] . Sebagai contoh, kita akan menentukan bentuk desimal dari 1/7. Jika [ 0,1] dibagi menjadi 10 sub interval yang sama panjang maka 1/ 7 ∈ 1/10, (1 + 1) /10 . Jika
1/10, (1 + 1) /10 dibagi menjadi 10 sub interval yang sama panjang maka 1/ 7 ∈ 1/10 + 4 /10 2 ,1/10 + ( 4 + 1) /10 2 .
Selanjutnya,
akan
kita
peroleh
1/ 7 ∈ 1/10 + 4 /10 2 + 2 /103 ,1/10 + 4 /10 2 + ( 2 + 1) /10 3 . Jika proses ini terus dilanjutkan akan kita dapatkan bahwa 1 / 7 = 0,142857142857...142857... .
Representasi desimal dari suatu bilangan real adalah unik, kecuali bilanganbilangan real berbentuk m /10n dengan m, n ∈
dan 1 ≤ m ≤ 10n . Sebagai
contoh, representasi decimal dari 1/2 adalah 0,4999… atau 0,5000… (Coba pembaca periksa
mengapa
yang
demikian bisa terjadi). Contoh
lain,
1/8=0,124999...=0,125000... . Coba
perhatikan
kembali
representasi
decimal
dari
1/7
yaitu
0,142857142857...142857... . Terdapat pengulangan deretan angka 142857 pada representasi desimal dari 1/7. Representasi desimal yang demikian disebut
reperesentasi desimal periodik dengan periode p = 6 yang menunjukkan jumlah deretan angka yang berulang. Dapat ditunjukkan bahwa bilangan real positif adalah rasional jika dan hanya jika representasi desimalnya adalah periodik (lihat Bartle-Sherbert [1]). Dengan menggunakan representasi desimal dari bilangan real ini, kita akan membuktikan Teorema Cantor yang mengatakan bahwa himpunan semua bilangan real
adalah tak terhitung (uncountable).
Teorema 1.37. Interval satuan [0,1] := {x ∈ R : 0 ≤ x ≤ 1} adalah tak terhitung (uncountable). Bukti. Andaikan interval
[ 0,1]
countable. Misalkan
[ 0,1] = {x1 , x2 ,..., xn ,...}
.
Karena setiap elemen di [ 0,1] dapat dinyatakan dalam bentuk desimal, maka kita dapat menyatakan bahwa
x1 = 0, b11b12 ...b1n ... x2 = 0, b21b22 ...b1n ...
M xn = 0, bn1bn 2 ...bnn ... M dengan 0 ≤ bij ≤ 9 , untuk semua i, j ∈ N .
Selanjutnya definisikan bilangan real y := 0, y1 y2 ... yn ... dengan
4, jika bnn ≥ 5 yn := 5, jika bnn ≤ 4. Jelas bahwa y ∈ [ 0,1] . Berdasarkan pendefinisian yn , jelas bahwa y ≠ xn untuk setiap n ∈ N . Selain itu, bentuk y := 0, y1 y2 ... yn ... adalah unik karena yn ∉ {0,9} untuk semua n ∈ N . Hal itu semua mengandung arti bahwa y ∉ [ 0,1] . Terjadi kontradiksi di sini. Jadi [ 0,1] haruslah uncountable.
■
Prosedur pada pembuktian Teorema 1.37 di atas dikenal sebagai prosedur diagonal yang memanfaatkan representasi desimal bilangan real. Karena
[0,1] ⊆ R
dan [ 0,1] uncountable, maka R adalah uncountable.
BAB II BARISAN BILANGAN REAL
2.1
DEFINISI BARISAN BILANGAN REAL
Definisi 2.1. Barisan bilangan real adalah fungsi X : N → N .
Jika X : N → N adalah barisan bilangan real maka nilai fungsi X di n ∈ N dinotasikan sebagai xn . Nilai xn ini disebut suku ke- n dari barisan bilangan real
X . Barisan bilangan real X dapat pula dituliskan sebagai ( xn : n ∈ N ) . Dalam ∞
literatur lain, barisan bilangan real X ini biasa dituliskan dalam notasi {xn }n =1 .
Barisan bilangan real dapat direpresentasikan dalam berbagai cara. Barisan bilangan real X := {1,3,5,...} dapat dinyatakan dengan X := ( xn : n ∈ N ) dengan
xn = 2n − 1 atau xn = xn−1 + 2 dengan x1 = 1 . Hubungan xn = xn−1 + 2 dengan x1 = 1 ini disebut sebagai hubungan rekursif. Selanjutnya, perhatikan kembali barisan bilangan real X := ( xn = 2 n − 1 : n ∈ N ) . Jika n semakin besar maka xn semakin besar, tanpa batas. Tetapi, kalau kita perhatikan barisan Y := ( y n = 1 / n : n ∈ N) , maka jika n semakin besar maka yn semakin kecil, menuju angka nol. Barisan bilangan real Y ini dikatakan sebagai barisan yang mempunyai limit atau barisan yang konvergen. Sedangkan barisan bilangan real X dikatakan sebagai barisan yang tidak memiliki limit atau barisan yang tidak konvergen atau divergen.
Definisi 2.2. Barisan bilangan real ( xn : n ∈ N ) dikatakan konvergen ke x ∈ R , limit dari dari ( xn : n ∈ N ) , jika untuk setiap ε > 0 terdapat N ( ε ) > 0 sedemikian sehingga untuk setiap n ≥ N (ε ) , xn − x < ε .
Misalkan barisan bilangan real ( xn : n ∈ N ) konvergen. Diberikan ε > 0 cukup besar. Karena x adalah “ujung” dari barisan bilangan real ( xn : n ∈ N ) , tentunya
xn − x yang cukup besar dapat dipenuhi oleh semua xn , n ≥ N dengan N yang kecil. Sebaliknya, jika ε > 0 cukup kecil maka xn − x yang cukup kecil dapat dipenuhi oleh setiap xn , n ≥ K dengan K yang besar. Penjelasan tersebut mengandung arti bahwa semakin besar N maka semakin kecil
ε atau xn
dengan n ≥ N akan semakin dekat ke limitnya, yaitu x . Pernyataan barisan bilangan real X konvergen atau menuju ke x dapat dinyatakan sebagai
lim X = x atau lim ( xn ) = x atau lim xn = x atau xn → x . n→∞
Berdasarkan Definisi 2.2, kita bisa mendapatkan fakta bahwa lim xn = x jika dan n→∞
{
}
hanya jika untuk setiap ε > 0 , himpunan n ∈ N : x n − x ≥ ε adalah himpunan yang berhingga. Bukti fakta ini ditinggalkan sebagai latihan bagi para pembaca. Contoh 2.3. Perhatikan lagi barisan bilangan real Y = ( y n = 1 / n : n ∈ N ) . Diberikan ε > 0 . Selanjutnya, lihat bahwa 1/ n − 0 = 1/ n = 1/ n . Jika n ≥ N ( ε ) dengan N ( ε ) > 1/ ε maka n > 1/ ε atau 1/ n < ε . Akibatnya, 1/ n − 0 < ε untuk setiap n ≥ N ( ε ) . Yang demikian berlaku untuk setiap ε > 0 . Ini artinya bahwa barisan bilangan real Y konvergen ke nol.
■
Sekarang, kita perhatikan lagi barisan bilangan real Y = ( y n = 1 / n : n ∈ N ) . Kemudian pandang barisan bilangan real Y ' = (1/ 2,1/ 4,1/ 6,... ) . Suku-suku pada
Y ' merupakan suku-suku yang menempati urutan genap pada Y . Barisan Y ' ini disebut sebagai sub barisan dari Y . Berikut ini adalah definisi formal dari sub barisan. Definisi 2.4. Misalkan X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan bilangan real dan
n1 < n2 < ... < nk < ... dengan nk ∈ N untuk semua k ∈ N . Barisan bilangan real X ':= (x nk : k ∈ N ) disebut sebagai sub barisan dari X := ( xn : n ∈ N ) . Bagaimana dengan limit sub barisan dari suatu sub barisan ? Teorema berikut menjelaskan hal ini.
Teorema
2.5.
Jika
X ':= (x nk : k ∈ N ) adalah sub barisan dari barisan
X := ( xn : n ∈ N ) yang konvergen ke x ∈ R maka sub barisan X ':= (x nk : k ∈ N ) juga konvergen ke x ∈ R . Bukti. Karena X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang konvergen ke x ∈ R , maka jika diberikan ε > 0 terdapat N ( ε ) > 0 sedemikian sehingga untuk semua
n ≥ N ( ε ) berlaku xn − x < ε . Selanjutnya, dengan menggunakan induksi matematika, akan ditunjukkan bahwa
nk ≥ k untuk setiap k ∈ N . Diketahui bahwa n1 < n2 < ... < nk < ... . Untuk k = 1 jelas bahwa n1 ≥ 1 . Misalkan untuk k = p berlaku n p ≥ p . Kita akan tunjukkan bahwa untuk k = p + 1 berlaku n p +1 ≥ p + 1 . Karena n p +1 > n p maka n p +1 > p atau dengan kata lain n p +1 ≥ p + 1 . Dengan demikian nk ≥ k untuk setiap k ∈ N .
Jika k ≥ N ( ε ) maka nk ≥ N ( ε ) . Untuk semua nk ≥ N ( ε ) berlaku xnk − x < ε .
(
)
Yang demikian berarti sub barisan X ':= x nk : k ∈ N juga konvergen ke x ∈ R . ■
Apakah kebalikan dari Teorema 2.5 berlaku ? Untuk menjawabnya kita lihat penjelasan berikut ini. Perhatikan bahwa barisan Z ' = (1,1,1,...,1,...) adalah sub
(
barisan dari barisan Z = 1, −1,1, −1,..., ( −1)
n +1
)
,... . Barisan Z ' adalah barisan
yang konvergen ke 1, tetapi barisan Z adalah barisan yang tidak konvergen. Tetapi jika setiap sub barisan dari suatu barisan bilangan real X adalah barisan yang konvergen maka X adalah barisan yang konvergen karena X sendiri adalah sub barisan dari dirinya sendiri. Bagaimana halnya dengan limit dari suatu barisan bilangan real yang konvergen, apakah tunggal atau tidak ? Misalkan x dan y adalah limit dari barisan bilangan real yang konvergen X := ( xn : n ∈ N ) . Jika diberikan ε > 0 terdapat N x , N y > 0 sehingga
untuk setiap n ≥ N x dan n ≥ N y , berlaku, masing-masing secara
berurutan,
xn − x < ε / 2 dan xn − y < ε / 2 . Misalkan N := maks { N x , N y } .
Selanjutnya, perhatikan bahwa, berdasarkan pertidaksamaan segitiga,
x − y = ( x − xn ) + ( xn − y ) ≤ x − xn + xn − y < ε / 2 + ε / 2 = ε untuk semua n ≥ N . Karena ε > 0 yang diberikan sembarang, maka x − y = 0 atau x = y . Yang demikian berarti bahwa limit dari suatu barisan bilangan real yang konvergen adalah tunggal. Teorema 2.6.
Limit dari satu barisan bilangan real yang konvergen adalah
tunggal. 2.2
SIFAT-SIFAT BARISAN BILANGAN REAL
Definisi 2.6. Barisan bilangan real X := ( xn : n ∈ N ) dikatakan terbatas jika terdapat bilangan real M > 0 sedemikan sehingga xn ≤ M untuk setiap n ∈ N .
Berkaitan dengan sifat keterbatasan barisan bilangan real tersebut kita memiliki teorema berikut ini.
Teorema 2.7. Barisan bilangan real yang konvergen adalah terbatas. Bukti. Misalkan barisan bilangan real X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang konvergen ke x ∈ R . Itu berarti bahwa jika kita ambil ε 0 > 0 maka terdapat bilangan real N ( ε 0 ) > 0 sehingga xn − x < ε 0 untuk semua n ≥ N ( ε 0 ) .
Selanjutnya, perhatikan bahwa, berdasarkan pertidaksamaan segitiga,
xn = ( xn − x ) + x ≤ xn − x + x < ε 0 + x untuk semua n ≥ N ( ε 0 ) .
{
}
Berikutnya, pilih M := maks x1 , x2 , x3 ,..., xN (ε 0 )−1 , x + ε 0 . Jelas bahwa untuk setiap n ∈ N berlaku xn ≤ M atau dengan kata lain barisan bilangan real X adalah barisan yang terbatas.
■
Sekarang, Misalkan X := ( xn : n ∈ N ) dan Y := ( y n : n ∈ N ) adalah dua buah barisan bilangan real yang konvergen. Apakah X + Y := ( x n + y n : n ∈ N) ,
cX := (cxn : n ∈ N)
dengan
c∈R
,
XY := ( x n y n : n ∈ N )
,
dan
X / Y := ( x n / y n : n ∈ N ) juga barisan yang konvergen ? Teorema-teorema berikut ini menjelaskan hal tersebut.
Teorema 2.8. Jika X dan Y adalah barisan yang konvergen ke x dan y , secara berurutan, dan c ∈ R maka barisan X + Y , cX , dan XY adalah juiga barisan yang konvergen, masing-masing secara berurutan, ke x + y , cx , dan xy . Bukti. Misalkan
X := ( xn : n ∈ N ) dan Y := ( y n : n ∈ N ) . Perhatikan bahwa,
bedasarkan pertidaksamaan segitiga,
( xn + yn ) − ( x + y ) = ( xn − x ) + ( yn − y ) ≤
xn − x + yn − y .
X dan Y adalah barisan yang konvergen ke x dan y , maka jika diberikan
ε > 0 maka terdapat bilangan real N1 , N 2 > 0 sedemikian sehingga untuk setiap
n ≥ N1 dan n ≥ N2 , masing-masing secara berurutan, berlaku xn − x < ε / 2 dan yn − y < ε / 2 . Misalkan N := maks {N1 , N2 } . Jika n ≥ N maka
( xn + yn ) − ( x + y ) ≤
xn − x + yn − y < ε / 2 + ε / 2 = ε .
Karena ε > 0 yang diberikan sembarang, maka X + Y konvergen ke x + y . Berikutnya, perhatikan bahwa
cxn − cx = c xn − x . Misalkan c = 0 . Jika diberikan ε > 0 maka dengan memilih berapa pun bilangan real N > 0 , selalu berlaku cxn − cx = c xn − x = 0 < ε untuk setiap n ≥ N . Sekarang misalkan c ≠ 0 . Karena X adalah barisan yang konvergen ke x maka jika diberikan ε > 0 maka terdapat bilangan real N > 0 sedemikian sehingga untuk setiap n ≥ N , berlaku xn − x < ε / c . Akibatnya, untuk setiap n ≥ N ,
cxn − cx = c xn − x < c ( ε / c ) = ε . Karena ε > 0 yang diberikan sembarang, maka cX konvergen ke cx .
Selanjutnya, kita akan menunjukkan bahwa barisan XY konvergen ke xy . Pertama, perhatikan bahwa
xn yn − xy = ( xn yn − xn y ) + ( xn y − xy ) ≤ xn yn − xn y + xn y − xy = xn yn − y + xn − x y Menurut Teorema 2.7, X adalah barisan yang terbatas. Itu artinya terdapat bilangan
real
L > 0 sehingga
xn ≤ L untuk setiap
n ∈ N . Misalkan
M := maks {L, y } . Jika diberikan ε > 0 maka terdapat bilangan real N1 , N 2 > 0 sedemikian sehingga untuk setiap n ≥ N1 dan n ≥ N 2 , masing-masing secara berurutan,
berlaku
xn − x < ε / ( 2 M )
dan
yn − y < ε / ( 2 M ) .
Misalkan
N := maks {N1 , N2 } . Jika n ≥ N maka xn yn − xy ≤ xn yn − y + xn − x y ≤ M ( ε / 2 M ) + M ( ε / 2 M ) = ε . Karena ε > 0 yang diberikan sembarang, maka XY konvergen ke xy .
■
Pembahasan berikutnya kita akan menunjukkan bahwa X / Y akan konvergen ke x / y jika y ≠ 0 . Tetapi sebelumnya, kita lihat terlebih dahulu teorema berikut iini. Teorema 2.9. Jika Y := ( y n : n ∈ N ) adalah barisan tak nol ( yn ≠ 0 untuk setiap
n ∈ N ) yang konvergen ke y ≠ 0 maka barisan 1 / Y := (1 / y n : n ∈ N ) juga konvergen ke 1/ y . Bukti. Jika y ≠ 0 kita peroleh bahwa y > 0 . Karena Y adalah barisan yang konvergen ke y , maka terdapat N1 > 0 sehingga untuk setiap n ≥ N1 , berlaku
yn − y < (1/ 2 ) y . Karena yn − y ≤ yn − y atau − yn − y < yn − y < yn − y maka
yn > (1/ 2 ) y atau
1 2 < untuk setiap n ≥ N1 . yn y
Selanjutnya, jika diberikan ε > 0 maka terdapat N 2 > 0 sehingga untuk setiap 2
n ≥ N2 , berlaku yn − y < (1/ 2 ) y ε . Kemudian, perhatikan bahwa, berdasarkan pertidaksamaan segitiga,
1 1 y − yn 1 − = = yn − y . yn y yn y yn y Jika N := maks {N1 , N 2 } maka untuk setiap n ≥ N , berlaku
1 1 1 2 1 2 − = yn − y < 2 ⋅ y ε = ε . yn y yn y y 2 Karena ε > 0 yang diberikan sembarang, maka 1/Y konvergen ke 1/ y .
■
Berdasarkan Teorema 2.8 dan Teorema 2.9, jika X adalah barisan bilangan real yang konvergen ke x dan Y adalah barisan bilangan real tak nol yang konvergen ke y ≠ 0 maka barisan bilangan real X / Y juga konvergen ke x / y .
Teorema 2.10 (Teorema Apit). Misalkan X := ( xn : n ∈ N ) , Y := ( y n : n ∈ N ) , dan
Z := ( zn : n ∈ N ) adalah barisan-barisan
bilangan
real
yang
memenuhi
xn ≤ yn ≤ zn untuk setiap n ∈ N . Jika lim xn = lim zn = L maka lim yn = L . n →∞
n →∞
n→∞
Bukti. Jika diberikan ε > 0 maka terdapat bilangan real N1 , N 2 > 0 sedemikian sehingga untuk setiap n ≥ N1 dan n ≥ N 2 , masing-masing secara berurutan, berlaku L − ε < xn dan zn < L + ε (mengapa demikian ?). N := maks {N1 , N 2 } . Akibatnya, jika n ≥ N maka
L − ε < xn ≤ yn ≤ zn < L + ε . Kita peroleh bahwa L − ε < yn < L + ε atau yn − L < ε untuk setiap n ≥ N . Karena ε > 0 yang diberikan sembarang, maka lim yn = L .
■
n→∞
Contoh berikut ini memperlihatkan bagaimana Teorema Apit diaplikasikan untuk menghitung limit suatu barisan.
cos n : n ∈ N . Secara 2 n
Contoh 2.11. Kita akan menghitung limit dari barisan
langsung, mungkin kita agak susah untuk menentukan limitnya. Perhatikan bahwa −1 ≤ cos n ≤ 1 untuk setiap n ∈ N . Karenanya, kita bisa memperoleh
−1 cos n 1 ≤ 2 ≤ 2 untuk setiap n ∈ N . n2 n n Akibatnya, lim n→∞
−1 cos n 1 ≤ lim 2 ≤ lim 2 . Jadi 2 n →∞ n →∞ n n n cos n cos n ≤ 0 atau lim 2 = 0 . 2 n →∞ n n →∞ n
0 ≤ lim
■
Barisan bilangan real yang terbatas belum tentu konvergen. Sebagai contoh, barisan bilangan real
((− 1)
n
)
: n ∈ N adalah barisan yang terbatas tetapi tidak
konvergen. Syarat cukup lain apa yang diperlukan sehingga barisan yang terbatas merupakan barisan yang konvergen ? Pembahasan berikut akan menjelaskannya.
Definisi 2.12. Misalkan X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan bilangan real. Barisan
X dikatakan naik jika x1 ≤ x2 ≤ ... ≤ xn ≤ xn +1 ≤ ... dan dikatakan turun jika x1 ≥ x2 ≥ ... ≥ xn ≥ xn +1 ≥ ... . Barisan bilangan real yang naik atau turun disebut sebagai barisan yang monoton. Teorema 2.13 (Teorema Kekonvergenan Monoton). Misalkan X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan bilangan real yang monoton. Barisan bilangan real X konvergen jika dan hanya jika X terbatas. Lebih jauh, i)
Jika X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang naik dan terbatas atas maka
lim xn = sup{x n : n ∈ N}. n→ ∞
ii) Jika X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang turun dan terbatas bawah maka
lim x n = inf {x n : n ∈ N}. n→ ∞
Bukti. i)
Karena barisan X terbatas atas, maka, menurut sifat kelengkapan dari R , himpunan {x n : n ∈ N} memiliki supremum. Misalkan x = sup{xn : n ∈ N} . Jika diberikan ε > 0 maka x − ε bukanlah batas atas dari
{x n : n ∈ N} .
Yang
demikian mengandung arti terdapat K ∈ N sehingga x − ε < xK < x . Karena
X adalah barisan naik dan x adalah batas atas dari {x n : n ∈ N} maka kita mempunyai fakta bahwa
x − ε < xK ≤ xK +1 ≤ xK +2 ≤ ... < x < x + ε . Dengan kata lain, x − ε < xn < x + ε atau xn − x < ε untuk setiap n ≥ K . Karena ε > 0 yang diberikan sembarang maka barisan X konvergen ke x . ii) Karena barisan X terbatas bawah, maka, menurut sifat kelengkapan dari R , himpunan {x n : n ∈ N} memiliki infimum. Misalkan x = inf {x n : n ∈ N} . Jika diberikan ε > 0 maka x + ε bukanlah batas bawah dari {x n : n ∈ N} . Yang demikian mengandung arti terdapat K ∈ N sehingga x < xK < x + ε . Karena
X adalah barisan turun dan x adalah batas bawah dari {x n : n ∈ N} maka kita mempunyai fakta bahwa
x − ε < x < ... < xK +2 ≤ xK +1 ≤ xK < x + ε . Dengan kata lain, x − ε < xn < x + ε atau xn − x < ε untuk setiap n ≥ K . Karena ε > 0 yang diberikan sembarang maka barisan X konvergen ke x . ■ Contoh 2.14. kita akan menunjukkan bahwa barisan X := ( xn : n ∈ N ) yang suku-sukunya memenuhi hubungan rekursif
xn +1 =
1 ( xn + 1) dengan x1 = 0 2
adalah barisan yang konvergen dengan menggunakan Teorema Kekonvergean Monoton. Akan kita perlihatkan bahwa X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang naik dan terbatas atas yang dibatas atasi oleh 2. Kedua hal itu akan ditunjukkan dengan menggunakan induksi matematika.
Kita peroleh bahwa x2 = 1/ 2 . Itu berarti bahwa x1 ≤ x2 . Sekarang asumsikan bahwa xk ≤ xk +1 Kita akan membuktikan bahwa xk +1 ≤ xk + 2 . Karena xk ≤ xk +1 , maka
1 1 ( xk + 1) ≤ ( xk +1 + 1) atau xk +1 ≤ xk + 2 . Jadi X := ( xn : n ∈ N ) adalah 2 2
barisan yang naik.
Jelas x1 ≤ 2 . Asumsikan xk ≤ 2 . Akan ditunjukkan bahwa xk +1 ≤ 2 . Perhatikan bahwa
xk ≤ 2 ⇔ xk +1 =
1 1 3 ( xk + 1) ≤ ( 2 + 1) ⇔ xk +1 ≤ . 2 2 2
Berdasarkan pernyataan terakhir, bisa juga kita katakan bahwa xn ≤ 2 untuk setiap n ∈ N . Ini berarti X adalah barisan yang terbatas atas. Karena X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang naik dan terbatas atas, maka, menurut Teorema Kekonvergenan Monoton, barisan X konvergen. Perhatikan bahwa X ':= (x n +1 : n ∈ N) adalah sub barisan dari X := ( xn : n ∈ N ) . Karena X
adalah barisan yang konvergen, maka, menurut Teorema 2.5, X ' juga merupakan barisan yang konvergen ke titik yang sama. Misalkan limit barisannya adalah x . Perhatikan bahwa
xn +1 =
1 1 1 xn+1 = lim ( xn + 1) ⇒ x = ( x + 1) ⇒ x = 1 . ( xn + 1) ⇒ lim n→ ∞ n →∞ 2 2 2
Jadi barisan bilangan real X konvergen ke 1. 2.3
■
TEOREMA BOLZANO-WEIERSTRASS
Pada bagian ini kita akan membahas Teorema Bolzano-Weierstrass, yang memberikan syarat cukup suatu barisan bilangan real memiliki sub barisan yang konvergen. Tetapi, sebelumnya, kita akan membahas terlebih dahulu tentang eksistensi sub barisan yang monoton dari suatu barisan bilangan real. Terema 2.15 (Teorema Sub Barisan Monoton). Setiap barisan bilangan real memiliki sub barisan yang monoton. Bukti. Misalkan X := ( xn : n ∈ N ) adalah barian bilangan real. Definisikan
X n := ( xk : k ≥ n ) . Untuk setiap n ∈ N , bisa saja X n memiliki suku terbesar, namun, bisa juga tidak.
Kasus I, untuk setiap n ∈ N , X n memiliki suku terbesar. Misalkan sn1 adalah suku terbesar dari X 1 . Selanjutnya, perhatikan X n1 +1 . Misalkan xn2 adalah suku terbesar dari X n1 +1 . Jelas bahwa xn1 ≥ xn2 dengan n1 < n2 . Kita juga bisa mendapatkan sn3 yang merupakan suku terbesar dari X n2 +1 . Jelas pula bahwa
xn ≥ xn dengan n2 < n3 . Jika proses ini terus dilanjutkan maka kita akan 2
3
dapatkan
xn ≥ xn ≥ xn ≥ ... ≥ xn ≥ xn ≥ ... dengan n1 < n2 < n3 < ... < nk < nk +1 < ... . 1
Jadi
2
kita
3
dapatkan
k
k +1
barisan
(x
nk
X := ( xn : n ∈ N ) yang monoton turun.
: k ∈ N) merupakan sub barisan dari
Kasus II, tidak semua X n memiliki suku terbesar. Misalkan n1 ∈ N sedemikian sehingga X n1 tidak memiliki suku terbesar. Definisikan suatu
{
himpunan bagian dari X n1 , yakni I := xn : n > n1 , xn ≥ xn1
I ≠{
}
}.
Jelas Himpunan
karena X n1 tidak memiliki suku terbesar. Misalkan n2 ∈ N sedemikian
sehingga
xn = min { xn : n > n1 , xn ≥ xn } . 2
1
Misalkan n3 ∈ N sedemikian sehingga
xn = min {xn : n > n1 , n ≠ n2 , xn ≥ xn } . 3
1
Misalkan pula n4 ∈ N sedemikian sehingga
xn = min { xn : n > n1 , n ≠ n2 , n ≠ n3 , xn ≥ xn } . 4
1
Jika proses tersebut terus dilanjutkan maka kita akan mendapatkan
xn ≤ xn ≤ xn ≤ .. ≤ xn ≤ xn ≤ ... dengan n1 < n2 < n3 < ... < nk < nk +1 < ... . 1
Jadi
kita
2
3
dapatkan
k +1
k
barisan
(x
nk
: k ∈ N) merupakan sub barisan dari
X := ( xn : n ∈ N ) yang monoton naik. Jadi barisan bilangan real X := ( xn : n ∈ N ) memiliki sub barisan yang monoton. ■
(
Misalkan X ' = xnk : k ∈ N
)
adalah sub barisan yang monoton dari barisan
bilangan real X := ( xn : n ∈ N ) yang terbatas. Karena X terbatas maka X ' terbatas juga. Menurut Teorema Kekonvergenan Monoton, X ' adalah barisan yang konvergen. Jadi kita memperoleh suatu fakta, biasa dikenal sebagai Teorema Bolzano-Weierstrass untuk barisan, yaitu Teorema 2.16. Barisan bilangan real yang terbatas memiliki sub barisan yang konvergen. 2.4
KRITERIA CAUCHY
Teorema Kekonvergenan Monoton memberikan jaminan atau syarat cukup barisan bilangan real yang monoton adalah barisan yang konvergen. Bagaimana halnya dengan barisan yang tidak monoton ? Apakah masih memungkinkan menjadi barisan yang konvergen ? Penjelasan yang akan hadir berikut ini memberikan syarta perlu dan syarat cukup suatu barisan bilangan real yang tidak monoton adalah barisan yang konvergen. Definisi 2.17. Barisan bilangan real X := ( xn : n ∈ N ) dikatakan sebagai barisan Cauchy jika untuk setiap ε > 0 terdapat bilangan real N ( ε ) > 0 sedemikian sehingga untuk setiap n, m ≥ N (ε ) berlaku xn − xm < ε .
(
Contoh 2,18. Kita akan menunjukkan bahwa barisan bilangan real 1 / n 2 : n ∈ N adalah barisan Cauchy. Diberikan ε > 0 . Pilih N ( ε ) >
n, m ≥ N ( ε ) maka n, m > 2 / ε
)
2 / ε . Akibatnya, jika
atau 1/ n 2 ,1/ m 2 < ε / 2 . Dengannya, kita
dapatkan untuk n, m ≥ N ( ε ) , berlaku
1 1 1 1 1 1 ε ε − 2 ≤ 2 + 2 = 2 + 2 < + =ε . 2 n m n m n m 2 2 Karena ε > 0 yang diberikan sembarang, maka
(1 / n
2
: n ∈ N ) adalah barisan Cauchy.
Contoh
(
barisan bilangan real
2.19.
Akan
kita
perlihatkan
■
bahwa
barisan
bilangan
real
)
X = (− 1)n : n ∈ N bukanlah barisan Cauchy. Negasi dari definisi barisan Cauchy adalah terdapat ε 0 > 0 sedemikian sehingga untuk setiap N ( ε 0 ) > 0 terdapat n, m ≥ N ( ε 0 ) yang memenuhi
xn − xm ≥ ε 0 . Misalkan ε 0 = 1/ 2 .
Perhatikan bahwa xn − xn+1 = 2 ≥ 1/ 2 . Jadi untuk setiap N ( ε 0 ) > 0 kita selalu bisa mendapatkan n, m ≥ N ( ε 0 ) dengan m = n + 1 sehingga xn − xn+1 ≥ 1/ 2 .
(
)
Jadi barisan X = (− 1) : n ∈ N bukanlah barisan Cauchy. n
■
Lema 2.20. Barisan bilangan real Cauchy adalah barisan yang terbatas. Bukti. Misalkan X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan Cauchy. Yang demikian berarti jika diberikan ε > 0 maka terdapat N (ε ) > 0 sedemikian sehingga untuk setiap
n, m ≥ N (ε ) berlaku x n − x m < ε . Akibatnya,
x n − x N (ε ) < ε untuk setiap
n ≥ N (ε ) . Darinya, kita memperoleh x n < x N (ε ) + ε untuk setiap n ≥ N (ε ) . Misalkan
{
}
M := maks x1 , x 2 ,...., x N (ε )−1 , x N (ε ) + ε . Untuk setiap n ∈ N , kita memilki x n < M . Jadi X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan yang terbatas.
■
Selanjutnya, kita akan melihat bahwa setiap barisan bilangan real Cauchyi adalah barisan yang konvergen dan setiap barisan bilangan real yang konvergen adalah barisan Cauchy. Teorema 2.21. Suatu barisan bilangan real adalah konvergen jika dan hanya jika barisan itu adalah barisan Cauchy. Bukti.
Kita
akan
buktikan
syarat
perlunya
terlebih
dahulu.
Misalkan
X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan yang konvergen. Karenanya, jika diberikan
ε > 0 maka terdapat N (ε ) > 0 sedemikian sehingga untuk setiap n ≥ N (ε ) berlaku x n − x < ε / 2 . Berdasarkan pertidaksamaan segitiga, untuk setiap
n, m ≥ N (ε ) berlaku x n − x m = ( x n − x ) + (x − x m ) ≤ xn − x + x − xm < ε / 2 + ε / 2 = ε . Karena ε > 0 yang diberikan sembarang, maka X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan Cauchy. Berikutnya, kita akan membuktikan syarat cukupnya. Misalkan X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan Cauchy. Itu berarti bahwa jika diberikan ε > 0 maka terdapat
N (ε ) > 0 sedemikian sehingga untuk setiap n, m ≥ N (ε ) berlaku x n − x m < ε / 2 .
Menurut Lema 2.20, X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan yang terbatas, dan menurut Teorema
Bolzano-weierstrass,
X = ( x n : n ∈ N ) mempunyai
sub
barisan
X ' = (xnk : k ∈ N ) yang konvergen ke x . Yang demikian mengandung arti bahwa terdapat
K (ε ) > 0 sedemikian sehingga untuk setiap
k ≥ K (ε ) berlaku
x nk − x < ε / 2 . Misalkan H (ε ) := maks{N (ε ), K (ε )} dan H (ε ) ∈ {n1 , n 2 ,...} . Karenanya, x H (ε ) − x < ε / 2 . Untuk n ≥ H (ε ) kita mempunyai
x n − x = (x n − x H (ε ) ) + (x H (ε ) − x ) ≤ xn − x H (ε ) + x H (ε ) − x < ε / 2 + ε / 2 = ε . Karena ε > 0 yang diberikan sembarang, maka X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan yang konvergen ke x . 2.5
■
BARISAN DIVERGEN
Coba perhatikan kembali Definisi 2.17, definisi tentang barisan bilangan real Chauchy. Definisi tersebut ekuivalen dengan pernyataan bahwa suatu barisan bilangan real divergen jika dan hanya jika barisan tersebut bukanlah barisan Cauchy. Itu artinya untuk suatu ε 0 > 0 tidak terdapat K > 0 sedemikian sehingga untuk setiap n, m ≥ K berlaku x n − x m < ε . Akibatnya, untuk setiap
k ∈ N terdapat n, m ≥ k berlaku x n − x m ≥ ε .
{
Perhatikan barisan bilangan real Z = (− 1)
n +1
}
: n ∈ N . Ambil ε 0 = 1 . Untuk n = k
dan m = k + 1 berlaku
x n − xm = x k − x k +1 = (− 1)k +1 − (− 1)k = 2 > 1 . Jadi untuk setiap k ∈ N terdapat n, m ≥ k sedemikian sehingga x n − x m > 1 .
{
Dengan kata lain, Z = (− 1)
n +1
}
: n ∈ N adalah barisan yang divergen.
Lihat kembali barisan X = ( x n = 2n − 1 : n ∈ N) yang merupakan barisan yang divergen. Misalkan diberikan sembarang bilangan M > 0 . Kita peroleh selalu ada
n ∈ N sehingga xn > M , yakni untuk n > ( M + 1) / 2 . Barisan ini dikatakan divergen menuju tak hingga positif ( +∞ ). Bagaimana halnya dengan barisan S = (s n = −2n + 1 : n ∈ N ) . Barisan S juga adalah barisan yang divergen, karena setiap kita mengambil M > 0 selalu dapatkan n ∈ N sehingga sn < − M , yakni untuk n > ( M + 1) / 2 . Barisan ini dikatakan divergen menuju tak hingga negatif ( −∞ ).
(
Sekarang pehatikan barisan Z = 1, −1,1, −1,..., ( −1)
n +1
)
,... . Telah ditunjukkan
bahwa barisan ini juga merupakan barisan yang divergen. Suku-suku barisan ini nilainya berosilasi atau berubah-ubah, secara berselang-seling dan terusmenerus tanpa henti, antara 1 atau -1. Barisan ini divergen tetapi tidak menuju ke
+∞ maupun −∞ . Dari tiga contoh barisan divergen di atas, kita dapat membuat definisi formal barisan yang divergen. Definisi 2.22. Misalkan X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan bilangan real. Barisan
X dikatakan divergen menuju +∞ ( −∞ ) jika untuk setiap M > 0 terdapat N ( M ) > 0 sehingga untuk setiap n ≥ N ( M ) berlaku xn > M ( xn < −M ). Definisi 2.23. Jika X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan bilangan real yang divergen tetapi tidak menuju ke +∞ maupun −∞ maka X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan bilangan real yang divergen secara berosilasi. Berdasarkan Teorema 2.7 dan Teorema Kekonvergenan Monoton, barisan bilangan real yang monoton adalah barisan yang konvergen jika dan hanya jika barisan tersebut adalah barisan yang terbatas. Dengan kata lain, barisan bilangan real yang monoton adalah barisan yang divergen jika dan hanya jika barisan itu adalah barisan yang tidak terbatas. Dapat ditunjukkan jika suatu barisan adalah tak terbatas dan naik maka limit barisan tersebut menuju positif
tak hingga. Jika suatu barisan adalah tak terbatas dan turun maka limit barisan itu menuju negatif tak hingga. Ada cara lain untuk menunjukkan bahwa suatu barisan bilangan real adalah barisan yang divergen. Teorema berikut, dinamakan Teorema Perbandingan, menjelaskan kondisi yang membuat suatu barisan dikatakan sebagai barisan yang divergen. Teorema 2.24. Jika ( xn : n ∈ N ) dan ( y n : n ∈ N) adalah barisan bilangan real yang memenuhi
xn ≤ y n untuk setiap n ∈ N Maka a. Jika lim xn = +∞ maka lim y n = +∞ . n→ ∞
n→ ∞
b. Jika lim y n = −∞ maka lim xn = −∞ . n→ ∞
n→ ∞
Bukti. a. Misalkan M > 0 . Karena lim xn = +∞ , maka terdapat N > 0 sehingga untuk n→ ∞
setiap n ≥ N berlaku xn > M . Karena xn ≤ y n untuk setiap n ∈ N , maka
xn ≤ y n untuk setiap n ≥ N . Akibatnya, y n > M untuk setiap n ≥ N .. Karena M > 0 yang diberikan sembarang, maka lim y n = +∞ . n→ ∞
b. Misalkan M > 0 . Karena lim y n = −∞ , maka terdapat N > 0 sehingga untuk n→ ∞
setiap n ≥ N berlaku y n < −M . Karena xn ≤ y n untuk setiap n ∈ N , maka
xn ≤ y n untuk setiap n ≥ N . Akibatnya, xn < −M untuk setiap n ≥ N . Karena M > 0 yang diberikan sembarang, maka lim xn = −∞ .
■
n→ ∞
Namun demikian, tidaklah selalu kita bisa menjumpai kondisi dua barisan seperti yang
ada
pada
hipotesis
Teorema
2.24,
sehingga
kita
tidak
dapat
mengaplikasikan teorema tersebut untuk menunjukkan suatu barisan bilangan real adalah barisan yang divergen. Teorema di bawah ini, dinamakan sebagai Teorema
Perbandingan
Limit,
menjelaskan
kondisi
(yang
lebih
umum
dibandingkan kondisi pada Teorema 2.24) yang menjadikan suatu barisan bilangan real dikatakan sebagai barisan divergen. Teorema 2.25. Jika ( xn : n ∈ N ) dan ( y n : n ∈ N) adalah barisan bilangan real positif yang memenuhi
xn = L dengan L ∈ R dan L > 0 n→ ∞ y n lim
maka diperoleh bahwa lim xn = +∞ jika dan hanya jika lim y n = +∞ . n→ ∞
n→ ∞
xn = L , maka jika diberikan ε = L / 2 terdapat N > 0 n→ ∞ y n
Bukti. Karena lim
sedemikian sehingga untuk setiap n ≥ N berlaku
x n / y n − L < L / 2 atau
L / 2 < xn / yn < 3L / 2 atau ( L / 2 )y n < xn < (3 L / 2 ) y n . Akibatnya, kita mempunyai bahwa (L / 2 ) y n < x n dan (2 / 3 L)xn < yn untuk n ≥ N . Berdasarkan Teorema 2.24,
jika
( 2 / 3 L ) xn
lim xn = +∞ maka n→ ∞
lim y n = +∞ dengan menggunakan fakta n→ ∞
< yn untuk n ≥ N . Dengan Teorema yang sama, jika lim y n = ∞ maka n→∞
lim x n = ∞ dengan menggunakan fakta n→∞
(L / 2 ) y n < x n
untuk n ≥ N . Jadi
lim xn = +∞ jika dan hanya jika lim y n = +∞ . n→ ∞
2.6
■
n→ ∞
DERET TAK HINGGA
Misalkan X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan bilangan real. Dari suku-suku barisan dari X kita bisa mengonstruksi barisan lain S := (sn : n ∈ N ) dengan
sn := x1 + x2 + x3 + ... + x n dengan n ∈ N . Barisan S yang demikian dinamakan sebagai deret tak hingga (atau deret saja) yang dibangkitkan oleh barisan X := ( xn : n ∈ N ) . Bilangan sn disebut sebagai jumlah parsial dari derat tak hingga. Bilangan x n disebut sebagai suku dari deret tak hingga. Jika lim sn ada maka S dikatakan sebagai deret tak hingga yang n← ∞
konvergen dan limit tersebut disebut sebagai jumlah deret tak hingga S atau
jumlah dari x1 + x 2 + x3 + ... + x n + ... . Deret tak hingga S dapat pula dinotasikan dengan ∞
∑1 x
n
atau
∑x
n
.
n=
∞
∑x
Jadi jika lim sn ada maka lim s n = n← ∞
n ←∞
n
. Kemudian, jika lim sn tidak ada maka n← ∞
n =1
S dikatakan sebagai deret tak hingga yang divergen. Contoh 2.26. Kita akan memperlihatkan bahwa deret tak hingga n
1 1 1 1 = + + + ... ∑ 2 4 8 n =1 2 ∞
adalah deret yang konvergen. Perhatikan bahwa n
1 ∞ 1 1 1 1 = + + + ... . ∑ 2 n =1 2 4 8 16 Akibatnya, n
n
n
1 ∞ 1 1 1 ∞ 1 1 1 − ∑ = ⇔ ∑ = ⇔ ∑ 2 n =1 2 2 2 n =1 2 2 n =1 2 ∞
n
1 = 1. ∑ n =1 2 ∞
Dengan demikian, n
1 1 1 1 = + + + ... ∑ 2 4 8 n =1 2 ∞
Adalah deret yang konvergen.
■
Dapat ditunjukkan bahwa deret ∞
∑ ar
n
n =1
= ar + ar 2 + ar 3 + ... =
ar r −1
jika r < 1 (coba pembaca buktikan). Deret yang demikian dinamakan deret deret geometrik. Jelas bahwa deret tak hingga
∞
∑ (2n − 1) = 1 + 3 + 5 + ... n =1
adalah salah satu contoh deret tak hingga yang divergen karena jumlah deret tersebut tidak terbatas.. Tentunya bukanlah sesuatu yang mudah untuk menunjukkan suatu deret tak hingga adalah deret yang konvergen. Melalui fakta-fakta berikut ini, kita akan diberikan syarat perlu untuk kekonvergenan deret tak hingga.
∞
Teorema 2.27. Jika deret tak hingga
∑x
n
konvergen maka lim x n = 0 . n→∞
n =1
Bukti.
Jika
sn = x1 + x 2 + x3 + ... + xn
maka
s n−1 = x1 + x 2 + x3 + ... + x n−1 .
∞
Akibatnya, sn − sn −1 = x n . Jika deret tak hingga
∑x
n
konvergen maka
n =1
lim (s n − sn −1 ) = lim xn ⇔ lim sn − lim sn −1 = lim x n ⇔ lim x n = 0 . n→ ∞
n →∞
n →∞
n→ ∞
n→ ∞
■
n→∞
Pandang barisan jumlah parsial (s n : n ∈ N ) dengan sn = x1 + x 2 + x3 + ... + xn . ∞
Jika deret tak hingga
∑x
n
konvergen maka (s n : n ∈ N ) adalah barisan yang
n =1
konvergen. Menurut Kriteria Cauchy untuk barisan, kita memperoleh fakta seperti yang tertuang dalam teorema berikut ini. Teorema 2.28 (Kriteria Cauchy untuk Deret Tak Hingga). Barisan (s n : n ∈ N ) ∞
atau deret tak hingga
∑x
n
konvergen jika dan hanya jika untuk setiap ε > 0
n =1
terdapat N (ε ) > 0 sedemikian sehingga jika m > n ≥ N (ε ) maka m
sm − sn =
∑x
j
<ε .
j =n +1
Jika
( xn : n ∈ N )
(s n : n ∈ N )
adalah barisan nonnegatif maka barisan jumlah parsial
adalah
barisan
yang
monoton
naik.
Menurut
Teorema
(s n : n ∈ N )
Kekonvergenan Monoton, jika
adalah barisan terbatas mala
(s n : n ∈ N ) adalah barisan yang konvergen. Teorema 2.29. Misalkan ( xn : n ∈ N ) adalah barisan nonnegatif. Barisan jumlah parsial
(s n : n ∈ N )
(s n : n ∈ N )
adalah barisan terbatas jika dan hanya jika ∞
adalah barisan yang konvergen atau deret tak hingga
∑x
n
adalah konvergen.
n =1 ∞
Lebih jauh,
∑x n =1
n
= lim sn = sup{s n : n ∈ N} . n →∞
∞
Contoh 2.30. Perhatikan deret tak hingga
1
∑n .
Kemudian, perhatikan pula
n =1
bahwa
s2 n = 1 +
1 1 1 1 1 + + + ... + n −1 + ... + n 2 3 4 2 2 +1
> 1+
1 1 1 1 1 + + + ... + n + ... + n 2 4 4 2 2
= 1+
1 1 1 + + ... + 2 2 2
=1+
n . 2
Berdasarkan hal tersebut,
(s n : n ∈ N ) ∞
Teorema 2.29, deret tak hingga
1
∑n
adalah barisan tak terbatas. Menurut
divergen.
■
n =1
∞
Contoh 2.31. Kita akan menunjukkan bahwa deret tak hingga
1
∑n
konvergen.
2
n =1
Barisan jumlah parsial dari deret tak hingga tersebut adalah barisan yang monoton naik. Untuk menunjukkan barisan jumlah parsial
terbatas, cukup
(
)
dengan menunjukkan terdapat sub barisan dari (s n : n ∈ N ) , yaitu s nk : k ∈ N ,
yang terbatas. Untuk itu, perhatikan bahwa, jika n1 := 21 − 1 = 1 maka sn1 = 1 , jika
n2 := 2 2 − 1 = 3 maka
(
)
sn 2 = 1 + 1 / 2 2 + 1 / 32 < 1 + 2 / 2 2 = 1 + 1 / 2 , dan jika n3 := 2 3 − 1 = 7 maka
(
)
sn3 = sn 2 + 1 / 4 2 + 1 / 5 2 + 1 / 6 2 + 1 / 7 2 < s n2 + 4 / 4 2 = 1 + 1 / 2 + 1 / 2 2 . Secara umum, dengan menggunakan induksi matematika, kita peroleh bahwa jika nk := 2 k − 1 maka
0 < snk < 1 + 1 / 2 + (1 / 2 )2 + ... + (1 / 2 )k −1 . Karena 1 + 1 / 2 + (1 / 2 ) + ... + (1 / 2) 2
+ ... = 1 / (1 − 1 / 2 ) = 2 , maka snk < 2 untuk
k −1
(
)
setiap k ∈ N . Akibatnya, sub barisan s nk : k ∈ N terbatas. Dengan demikian, barisan (s n : n ∈ N ) terbatas. Menurut Teorema 2.29, deret tak hingga
∞
∑1/ n
2
n =1
konvergen.
■
Kita juga bisa menentukan kekonvergenan suatu deret tak hingga dengan cara membandingkan suku ke- k pada deret takhingga tersebut dengan suku ke- k pada deret tak hingga yang lain.
Teorema 2.32 (Uji Perbandingan). Misalkan
( xn : n ∈ N )
( y n : n ∈ N)
dan
adalah barisan bilangan real yang bersifat, untuk suatu K ∈ N , 0 ≤ xn ≤ y n untuk setiap n ≥ K . ∞
a. Jika
∑x
n =1
n =1
∞
b. Jika
∞
∑ y n konvergen maka
n
konvergen.
∞
∑ x n divergen maka
∑y
n =1
n =1
n
konvergen. ∞
Bukti. Menurut Teorema Cauchy untuk deret tak hingga, jika
∑y
n
konvergen
n =1
maka apabila diberikan ε > 0 terdapat N (ε ) > 0 sedemikian sehingga jika
m > n ≥ N (ε ) maka
m
m
∑yj =
∑y
j = n +1
j = n +1
j
<ε .
Misalkan M := sup{K , N (ε )}. Kita peroleh untuk m > n ≥ M , m
m
∑xj ≤
∑y
j =n +1
j = n +1
j
<ε. ∞
Menurut Teorema Cauchy untuk deret tak hingga,
∑x
konvergen.
n
n =1
Kontrapositif dari a. adalah b. .
■
∞
Contoh 2.33. Kita akan menunjukkan bahwa deret tak hingga
∑n n =1
n +1
3
konvergen. Perhatikan bahwa
n 1 ≤ 2 untuk setiap n ∈ N . n +1 n 3
∞
Kita ketahui
bahwa deret
tak
1
∑n
hingga
konvergen.
2
Menurut Uji
n =1
∞
Perbandingan,
∑n
n deret tak hingga yang konvergen. +1
■
3
n =1
Teorema 2.34 (Uji Perbandingan Limit). Misalkan ( xn : n ∈ N ) dan ( y n : n ∈ N) adalah barisan bilangan real positif sejati dan limit
xn n→ ∞ y n
L := lim Nilainya ada. ∞
a. Untuk L ≠ 0 ,
∞
∑ x n konvergen jika dan hanya jika
∑y
n =1
n =1 ∞
b. Untuk L = 0 , jika
n
konvergen.
∞
∑ yn konvergen maka
∑x
n =1
n =1
n
konvergen.
Bukti. Misalkan L ≠ 0 . Diberikan ε = L / 2 . Karenanya, terdapat N > 0 sedemikian
sehingga
untuk
setiap
n≥N
,
xn / yn − L < L / 2
atau
∞
L / 2 < xn / yn < 3L / 2 . Berdasarkan Uji Perbandingan,
∑x
n
konvergen jika dan
n =1 ∞
hanya jika
∑y
n
konvergen.
n =1
Misalkan L = 0 . Diberikan ε = 1 . Karenanya, terdapat N > 0 sedemikian sehingga untuk setiap n ≥ N , x n / y n − 0 < 1 atau 0 < x n < y n . Berdasarkan Uji ∞
Perbandingan, jika
∞
∑ yn konvergen maka
∑x
n =1
n =1
∞
Perhatikan kembali deret tak hingga
∑n
n
konvergen.
■
n pada contoh 2.33. Perhatikan +1
3
n =1
bahwa
n / (n 3 + 1) n3 = lim =1≠ 0 . n →∞ n→ ∞ n 3 + 1 1/ n 2 lim
∞
Karena deret tak hingga
1
∑n
2
konvergen, maka, menurut Uji Perbandingan
n =1
∞
Limit, deret tak hingga
∑n n =1
n konvergen. +1
3
Ada cara lain, selain menggunakan Teorema 2.29, yaitu dengan menggunakan suatu uji yang disebut sebagai Uji Kondensasi Cauchy, untuk menunjukkan ∞
bahwa deret tak hingga
∞
∑1/ n dan
∑1/ n
n =1
n =1
2
, masing-masing, divergen dan
konvergen, secara berurutan. Bahkan dengan Uji Kondensasi Cauchy kita dapat ∞
menunjukkan secara umum bahwa deret-p,
∑1/ n n =1
divergen jika p ≤ 1 .
p
, konvergen jika p > 1 dan
Teorema 2.35 (Uji Kondensasi Cauchy). Misalkan barisan
(a k : k ∈ N )
∞
nonnegatif dan monoton turun. Deret tak hingga
∑a
konvergen jika dan hanya
k
k =1 ∞
jika deret tak hingga
∑2
k
a 2 k konvergen.
k =1
Bukti. Perhatikan jumlah parsial sn =
n
n
k =1
k =1
∑ ak dan t n = ∑ 2 k a2k . Untuk n < 2 k ,
sn < a1 + (a 2 + a 3 ) + (a 4 + a 5 + a6 + a7 ) + ... + (a 2 k + ... + a 2 k −1 ) < a1 + 2a 2 + 2 2 a 2 2 + ... + 2 k a 2k = t k . ∞
Jelas jika
∞
∑ 2 k a2k konvergen maka
∑a
k =1
k =1
k
konvergen.
Untuk n > 2 k ,
sn ≥ a1 + a 2 + (a 3 + a 4 ) + ... + (a 2k −1 +1 + ... + a 2 k ) ≥ a1 / 2 + a 2 + 2a 2 2 + ... + 2 k −1 a 2k = t k / 2 . ∞
Seperti halnya di atas, jika
∞
∑ ak konvergen maka
∑2
k =1
k =1
k
a 2 k konvergen.
■
Untuk p ≤ 0 , jelas bahwa lim 1 / n p ≠ 0 . Dengan menggunakan Teorema 2.27, n →∞
∞
deret tak hingga
∑ 1/ n
p
divergen untuk p ≤ 0 . Perhatikan bahwa
n =1 ∞
2k
k =1
(2 )
∑
k p
∞
= ∑ 2 (1− p )k dengan p > 0 . k =1
Dengan menggunakan Uji Kondensasi Cauchy, dapat ditunjukkan bahwa bahwa ∞
deret-p,
∑ 1/ n
p
, konvergen jika
p > 1 dan divergen jika p ≤ 1 (Detail
n =1
penjelasan fakta ini ditinggalkan sebagai latihan bagi pembaca). Kita pun dapat menunjukkan kekonvergenan suatu deret tak hingga dengan membandingkan dua suku pada deret tak hingga tersebut.
Teorema 2.36. Misalkan (a n : n ∈ N) adalah barisan bilangan real non negatif sejati. ∞
a. Jika lim a n +1 / a n < 1 maka deret tak hingga n→ ∞
∑a
n
konvergen.
n
divergen.
n =1 ∞
b. Jika lim a n +1 / a n > 1 maka deret tak hingga n→ ∞
∑a n =1
∞
c. Jika lim a n +1 / a n = 0 maka tidak diperoleh kesimpulan apakah n→ ∞
∑a
n
n =1
konvergen atau divergen. Bukti. Misalkan lim a n +1 / an = L . Misalkan L < 1 , maka terdapat N > 0 n→∞
sedemikian sehingga untuk setiap n ≥ N , a n +1 / a n < L . Karenanya,
aN +1 + a N + 2 + ... + a N + k + ... < La N + L2 aN + ... + Lk a N + ... . Ruas kanan pertidaksamaan di atas merupakan deret tak hingga geometrik dengan rasio 0 < L < 1 . Akibatnya, menurut Teorema 2.32, deret tak hingga ∞
∑a
n
konvergen.
n =1
Jika L > 1 , kita bisa memperoleh bahwa, untuk suatu N > 0 ,
aN +1 + a N + 2 + ... + a N + k + ... > La N + L2 a N + ... + Lk a N + ... . Karena L > 1 , deret di ruas kanan pertidaksamaan adalah deret yang divergen. Yang demikian mengakibatkan deret di ruas kiri divergen. Akibatnya, deret tak ∞
hingga
∑a
n
divergen.
n =1 ∞
Untuk L = 1 , perhatikan deret tak hingga
∞
∑1/ n dan
∑1/ n
n =1
n =1
2
. Diperoleh
1 / (n + 1) 1 / (n 2 + 1) lim = 1 dan lim = 1. n →∞ n→∞ 1/ n 1/ n2 ∞
Deret tak hingga
∞
∑1/ n dan
∑1/ n
n =1
n =1
2
adalah deret yang divergen dan konvergen,
masing-masing secara berurutan. Jadi untuk L = 1 , kita tidak bisa mendapatkan kesimpulan tentang kekonvergenan suatu deret tak hingga.
■
BAB III LIMIT FUNGSI
3.1 Titik Timbun Definisi 3.1. Misalkan A ⊆ R dan c ∈ R , dengan c tidak harus di A. C di sebut titik timbun A jika
∀δ > 0, Vδ (C ) = (c − δ , c + δ ) memuat paling sedikit satu anggota A yang tidak sama dengan c, atau (Vδ (c ) /{c}) ∩ A ≠ ∅ .
Contoh 3.2. 1. Misalkan A = ( 2 , 3 ), tentukan titik timbun A. Penyelesaian 2 titik timbun A, karena dengan mengambil sebarang δ = ½ , dimana
V1 / 2 ( 2) = (1 12 , 2 12 ) maka (V1 / 2 ( 2) /{2}) ∩ A ≠ ∅ . Sehingga dengan mengambil δ > 0 dapat disimpulkan (Vδ ( 2) /{2}) ∩ A ≠ ∅ . 2 ½ juga titik timbun A, karena ∀δ > 0, (Vδ (2 12 ) /{2 12 }) ∩ A ≠ ∅ . 3 juga titik timbun A, karena ∀δ > 0, (Vδ (3) /{3}) ∩ A ≠ ∅ . Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap titik pada interval [2 , 3] merupakan titik timbun A. 2. Misalkan B = {1, 2, 3, 4, 5 }, tentukan titik timbun B. Penyelesaian Ambil δ = ½ , sehingga V1 / 2 (1) = ( 12 ,1 12 ) . Tetapi
(V1/ 2 (1) /{1}) ∩ B = ∅ . yang
Jadi 1 bukan titik timbun B. Begitu juga dengan titik
lain..
Jadi dapat disimpulkan bahwa B = {1, 2, 3, 4, 5 } tidak mempunyai titik timbun.
Teorema 3.3. Misalkan
A ⊆ R dan c ∈ R , c titik timbun A jika dan hanya jika
∃( an ), an ≠ c, ∀n ∈ N ∋ lim (an ) = c . n→∞
Bukti:
(⇒ ) Misal c titik timbun A. Sehingga V 1 (c) memuat sedikitnya satu titik di A yang n
berbeda
dari
c.
Jika
an
titik
tersebut,
maka
an ∈ A, an ≠ c, ∀n ∈ N ∋ lim (an ) = c . n→∞
(⇐) Diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.
■
3.2 Definisi Limit Fungsi Definisi 3.4. Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Misalkan L limit dari
f
di
titik
c,
ditulis
lim f ( x) = L x →c
jika
∀ε > 0, ∃δ > 0, ∋
untuk
x ∈ (Vδ (c) /{c}) ∩ A berlaku f ( x) ∈Vε ( L) .
Definisi
limit
di
atas
dapat
ditulis
lim f ( x) = L jika dan hanya jika x →c
∀ε > 0, ∃δ > 0, ∋ untuk 0 < x − c < δ dan x ∈ A berlaku f ( x) − L < ε .
Contoh 3.5
1 n
1. Misalkan A = : n ∈ R, f : A → R, f ( x) = 2 x . Buktikan lim f ( x) = 0 . x →0
Bukti:
ε , Sehingga jika 0 < x − 0 = x < δ dan 2 ε x ∈ A berlaku f ( x) − L = 2 x − 0 = 2 x = 2 x < 2δ = 2 = ε . 2 Jadi terbukti lim 2 x = 0 . Ambil ε > 0 sebarang. Pilih δ =
x→ 0
2. Buktikan lim x 2 = c 2 . x →c
Analisa pendahuluan Tujuan
pembuktian
ini
δ >0
mencari
sehingga
untuk
∀ε > 0, 0 < x − c < δ , x ∈ A berlaku x 2 − c 2 < ε . Perhatikan bahwa x 2 − c 2 = ( x + c )( x − c) = x + c x − c . Jika diambil δ = 1 maka x − c < 1 . Menurut pertidaksamaan segitiga x − c < x − c < 1 atau x < 1 + c .
(
)
Sehingga x 2 − c 2 = x + c x − c < 1 + 2 c x − c , Dengan mengambil δ =
ε maka diperoleh x 2 − c 2 < ε . 1+ 2 c
Bukti:
ε , Sehingga jika 0 < x − c < δ 1 + 2 c
Ambil ε > 0 sebarang. Pilih δ = min 1,
(
)
dan x ∈ R berlaku x 2 − c 2 = x + c x − c ≤ 1 + 2 c x − c < ε Jadi terbukti lim x 2 = c 2 .
■
x →c
Teorema 3.6. Jika f : A → R dan c titik timbun A , c ∈ R maka f hanya mempunyai satu limit di titik c. Selanjutnya akan dibicarakan kaitan antara barisan dengan limit fungsi dan kriteria kedivergenan. Teorema 3.7 (Kriteria Barisan untuk Limit). Misalkan f : A → R dan c titik timbun A , maka
lim f ( x) = L jika dan hanya jika untuk setiap barisan (xn) di A yang konvergen x →c
ke c dimana xn ≠ c, ∀n ∈ N, ( f ( xn ) ) konvergen ke L. Bukti dari teorema 3.6 dan 3.7 diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.
Contoh 3.8. Buktikan lim x 2 = 4 dengan menggunakan kriteria barisan. x→ 2
Bukti: Ambil ( xn ) = 2 −
1 , n ∈ ℵ . Akan ditunjukkan ( f ( x n ) ) konvergen ke 4. n x →2
Perhatikan bahwa lim f ( xn ) = lim 4 − x→ 2
4 1 + = 4. n n2
Jadi terbukti bahwa lim x 2 = 4 .
■
x→ 2
Teorema 3.9 (Kriteria Kedivergenan). Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. a) Jika L ∈ R maka f tidak punya limit L di c jika dan hanya jika ada barisan (xn) di A yang konvergen ke c dimana xn ≠ c, ∀n ∈ ℵ, tetapi
( f (x n )) tidak
konvergen ke L. b) f
tidak punya limit di c jika dan hanya jika ada barisan (xn) di A yang
konvergen ke c dimana xn ≠ c, ∀n ∈ N, tetapi
( f (x n )) tidak konvergen ke R .
Contoh 3.10.
1 tidak ada di R . x →0 x
1. Buktikan lim Bukti:
f (x ) =
Misalkan
f (x n ) =
1 x
.
Ambil
( xn ) =
.
Tetapi
1 = n 2 ,sehingga ( f ( x n ) ) tidak konvergen karena tidak terbatas 1 2 n 1 tidak ada di R . x →0 x
di ℜ . Jadi terbukti bahwa lim
2. Buktikan lim sgn( x) tidak ada. x→0
Bukti:
1 ,n ∈ N n2
1, x > 0 Misalkan f(x) = sgn (x). Perhatikan bahwa sgn( x ) = 0, x = 0 . − 1, x < 0 Sehingga fungsi sgn (x) dapat ditulis menjadi sgn( x) =
Ambil ( xn ) =
x ,x≠0. x
(−1) n , n ∈ N . Tetapi n ( −1) n xn n = (−1) n , f ( x n ) = sgn( xn ) = = n xn ( −1) n
sehingga ( f ( x n ) ) divergen.
■
3.3 Teorema Limit Definisi 3.11. Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. f dikatakan terbatas pada lingkungan c jika ada lingkungan δ dari c, yaitu Vδ (c ) dan konstanta M > 0 sehingga f ( x) ≤ M , ∀x ∈ A ∩ Vδ (c ).
Teorema 3.12. Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan f mempunyai limit di c ∈ R , maka f terbatas pada suatu lingkungan dari c.
Definisi 3.13 Misalkan A ⊆ R , f : A → R , g : A → R . Definisikan
( f + g )( x) = f ( x) + g ( x) ( f − g )( x) = f ( x) − g ( x ) (bf )( x) = bf ( x), b ∈ ℜ
f (x ) f , h(x ) ≠ 0 ( x) = h( x ) h
, ( fg )( x) = f ( x) g ( x ) , ∀x ∈ A
Teorema 3.14. Misalkan A ⊆ R , f : A → R , g : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Misalkan b ∈ ℜ .
lim f ( x) = L
1. Jika
x →c
lim ( f + g )( x) = L + M x →c lim ( fg )( x) = LM x →c
dan
lim g ( x ) = M
,
x →c
maka
lim ( f − g )( x ) = L − M x →c lim (bf )( x) = bL x →c
f L = . x →c h H
2. Jika h : A → R, h ( x ) ≠ 0, ∀x ∈ A, lim h( x) = H ≠ 0 maka lim x →c
Bukti: 1. Ambil ε > 0 sebarang. Misal lim f ( x) = L , artinya ∃δ 1 > 0, ∋ untuk 0 < x − c < δ 1 dan x ∈ A x →c
berlaku
f (x ) − L <
ε . 2
Misal lim g ( x ) = M , artinya ∃δ 2 > 0, ∋ untuk 0 < x − c < δ 2 dan x ∈ A x →c
berlaku g ( x) − M <
ε . 2
Akan ditunjukkan lim ( f + g )( x ) = L + M . x →c
Pilih δ = min(δ 1 , δ 2 ) , sehingga untuk 0 < x − c < δ dan x ∈ A berlaku
( f + g )( x) − ( L + M ) = ( f ( x) − L) + ( g ( x ) − M ) ≤ f ( x) − L + g ( x) − M <
ε ε + =ε 2 2
Jadi terbukti lim ( f + g )( x ) = L + M . x →c
2. Bukti selanjutnya diserahkan kepada pembaca sebagai latihan. Contoh 3.15.
x2 − 4 x +4 b ). lim 2 x→ 2 x→ 2 3x − 6 x
Hitung a). lim Jawab.
■
a) Kita dapat menggunakan teorema 3.13 (b), karena jika dimisalkan f(x) = x + 4 h(x) = x2 , h( x) ≠ 0, ∀x ∈ ℜ, lim h( x) = H ≠ 0 maka
dan
x →2
x + 4 lim ( x + 4) 6 3 lim 2 = x →2 = = x→ 2 lim x 2 4 2 x x→ 2 b) Tidak dapat menggunakan teorema 3.13 (b), karena jika dimisalkan
f ( x ) = x 2 − 4, h( x) = 3 x − 6, ∀x ∈ ℜ
tetapi
H = lim h ( x ) = lim (3 x − 6) = 0 x→ 2
x→ 2
x2 − 4 1 1 1 4 = lim ( x + 2) = lim x + 2 = ( 2 + 2) = . maka untuk x ≠ 2, lim x →2 3x − 6 x→ 2 3 x → 2 3 3 3
(
)
■
Teorema 3.16. Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Jika
a ≤ f ( x) ≤ b
∀x ∈ A, x ≠ c dan jika lim f ( x) ada maka a ≤ lim f ( x) ≤ b . x →c
x→c
Teorema Apit 3.17. Misalkan A ⊆ R , f , g , h : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Jika
f ( x ) ≤ g ( x) ≤ h( x)
∀x ∈ A, x ≠ c
dan
jika
lim f ( x) = L = lim h( x) x →c
x →c
lim g ( x ) = L . x →c
Contoh 3.18.
1 x
1 x
Buktikan bahwa lim cos tidak ada tetapi lim x cos = 0 . x →0
x →0
Bukti.
1 x
1 x
Akan dibuktikan lim cos tidak ada . Misalkan f ( x ) = cos . x →0
maka
Ambil subbarisan
( xn ) =
1 , n ∈ ℵ dan subbarisan 2nπ
1 1 = 0 , lim =0 n→ ∞ 2 nπ n →∞ ( 2n − 1)π lim
dimana
( yn ) =
1 , n ∈ℵ , (2 n − 1)π
f ( x n ) = cos 2 nπ = 1
.Tetapi
dan
f ( y n ) = cos(2 n − 1)π = −1 , sehingga lim ( f ( xn )) ≠ lim ( f ( y n )) . n→ ∞
n →∞
1 x
Jadi lim cos tidak ada. x →0
1 x
Akan dibuktikan lim x cos = 0 . x →0
1 x
Perhatikan bahwa − x ≤ x cos ≤ x
dan lim x = 0 = lim − x maka menurut x →0
x→ 0
1 x
teorema apit lim x cos = 0 . x →0
■
Teorema 3.19. Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Jika
lim f ( x) > 0 maka ∃Vδ (c ) ∋ f ( x) > 0, ∀x ∈ A ∩ Vδ (c), x ≠ c . x →c
Bukti: Misalkan L = lim f ( x) > 0 . Pilih ε = x →c
L > 0 , sehingga menurut definisi limit 2
fungsi ∃δ > 0 ∋ 0 < x − c < δ , x ∈ A ⇒ f ( x) − L < Karena
f (x ) >
f ( x) − L <
L 2
maka
L > 0, ∀x ∈ A ∩ Vδ (c), x ≠ c . 2
−
L . 2 L L < f ( x) − L < 2 2
atau ■
Soal – soal
1 n 2. Misalkan A = (0,2), f : A → R , f ( x) = 3 x + 5 . Buktikan lim f ( x) = 5 dan lim f ( x) = 8
1. Misalkan D = : n ∈ N . Tentukan titik timbun D.
x →0
x →1
3. Buktikan jika f : A → R dan c titik timbun A , c ∈ R maka f hanya mempunyai satu limit di titik c.
1 1 = ,c > 0 . x c 5. Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Buktikan 4. Buktikan lim x →c
jika lim f ( x) = L ⇔ lim f ( x) − L = 0 . x →c
x→ c
6. Misalkan
I ⊆ R, f : I → R
∃K & L ∋ f ( x) − L ≤ K x − c
c∈I . , x ∈ I Buktikan lim f ( x) = L . dan
Misalkan
x →c
7. Buktikan bahwa limit berikut tidak ada
1 ( x > 0) x →0 x →0 x 1 ( c) lim ( x + sgn( x)) (d ) lim sin( 2 ) ( x ≠ 0) x →0 x →0 x 8. Misalkan A ⊆ R , f , g : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Misalkan f terbatas pada lingkungan dari c dan lim g ( x) = 0 . Buktikan bahwa ( a ) lim
1 x2
( x > 0)
(b ) lim
x →c
lim ( fg)( x) = 0 . x →c
9. Berikan contoh fungsi f dan g dimana fungsi f dan g tidak punya limit di titik c, tetapi f + g dan fg mempunyai limit di titik c. 10. Buktikan teorema 3.15 11. Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Buktikan jika lim f ( x) < 0 maka ∃Vδ (c ) ∋ f ( x) < 0, ∀x ∈ A ∩ Vδ ( c), x ≠ c . x →c
BAB IV KEKONTINUAN FUNGSI
4.1 Definisi Fungsi Kontinu Definisi 4.1. Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ A . f dikatakan kontinu di titik c jika untuk setiap lingkungan Vε ( f (c)) dari f(c) terdapat lingkungan Vδ (c ) dari c sehingga jika x ∈ A ∩ Vδ (c ) maka f ( x ) ∈ Vε ( f ( c)) .
Berikut ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan titik c; 1. Jika c ∈ A , dimana c titik timbun A, maka dari definisi limit dan definisi fungsi kontinu dapat disimpulkan bahwa f
kontinu di c ⇔ f (c) = lim f ( x) . x→c
Dengan kata lain, jika c titik timbun A maka f dikatakan kontinu di titik c jika memenuhi syarat •
f terdefinisi di titik c
•
lim f ( x) ada
•
f ( c) = lim f ( x )
x→c
x→ c
2. Jika c ∈ A , dimana c bukan titik timbun A, maka ada lingkungan Vδ (c ) dari c sehingga A ∩ Vδ ( c) = {c} . Jadi dapat disimpulkan bahwa fungsi f jelas kontinu di titik c ∈ A walaupun c bukan titik timbun A. Titik ini disebut ”titik terisolasi dari A”. Definisi selanjutnya akan membicarakan kekontinuan fungsi pada suatu himpunan. Definisi 4.2. Misalkan A ⊆ R , f : A → R Jika B ⊆ A , f dikatakan kontinu pada B jika f kontinu di setiap titik pada B.
Teorema 4.3 Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ A . Pernyataan berikut ekuivalen : 1) f dikatakan kontinu di titik c jika untuk setiap lingkungan Vε ( f (c)) dari f(c) terdapat lingkungan Vδ (c ) dari c sehingga jika x ∈ A ∩ Vδ (c ) maka
f ( x ) ∈ Vε ( f ( c)) . 2) Untuk ∀ε > 0, ∃δ > 0 ∋ ∀x ∈ A, x − c < δ ⇒ f ( x) − f (c ) < ε . 3) Jika (xn) barisan bilangan riil, ∋ xn ∈ A, ∀n ∈ R dan (xn) konvergen ke-c maka barisan f((xn)) konvergen ke f(c). Kriteria Ketakkontinuan 4.4 Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ A . f tidak kontinu di titik c jika dan hanya jika ∃( x n ) ∈ A ∋ ( x n ) konvergen ke c, f((xn )) tidak konvergen ke f(c).
Contoh 4.5 1. Misalkan f(x) = 2x. Buktikan f(x) kontinu pada R . Bukti: Ambil ε > 0 sebarang dan c ∈ R sebarang.
ε ∋ x − c < δ , x ∈ D f ⇒ f ( x ) − f (c ) = 2 x − 2c = 2 x − c < 2δ = ε . 2 Sehingga menurut definisi kekontinuan f(x) kontinu pada R . Pilih δ =
2. Misalkan h( x) = x 2 , x ∈ R . Buktikan h(x) kontinu pada R . Bukti: Pada contoh 3.5 (2) telah dibuktikan bahwa lim h( x) = c 2 = h (c) dengan x →c
c ∈ R , maka h kontinu pada setiap titik c ∈ R . Sehingga h kontinu pada R . 3. Misalkan f ( x) = sgn( x ), x ∈ R . Buktikan bahwa f(x) tidak kontinu di x = 0. Bukti: Pada contoh 3.9 (2) telah dibuktikan bahwa lim sgn( x) tidak ada di R . x→0
Sehingga f(x) = sgn x tidak kontinudi x = 0.
4. Misalkan A = R , dan f ”fungsi Di richlet” yang didefinisikan sebagai berikut:
, x ∈Q 1 f (x ) = 0 , x ∈ ℜ \ Q Buktikan bahwa f(x) tidak kontinu di R . Bukti: •
Misalkan c ∈ Q , ambil
( xn ) ∈ ℜ \ Q, ( xn ) → c, ∀n ∈ N . Karena
f ( xn ) = 0, ∀n ∈ N maka lim ( f ( xn )) = 0 , tetapi f(c) = 1. Akibatnya f n→ ∞
tidak kontinu pada c ∈ Q . •
Misalkan b ∈ R \ Q , ambil ( yn ) ∈ Q, ( yn ) → b, ∀n ∈ N . Karena
f ( yn ) = 1, ∀n ∈ N maka lim ( f ( y n )) = 1 , tetapi f(b) = 0. Akibatnya f n→ ∞
tidak kontinu pada b ∈ R \ Q . Dari kedua kasus di atas dapat diambil kesimpulan f tidak kontinu pada R .
Selanjutnya ada beberapa hal tentang perluasan fungsi kontinu; 1) Terkadang ada fungsi f : A → R yang tidak kontinu di titik c karena f(c) tidak terdefinisi.Tetapi, jika fungsi f mempunyai limit L di titik c maka dapat didefinisaikan fungsi baru
F : A ∪ {c} → R yang didefinisikan sebagai
berikut:
,x = c L F( x ) = f ( x ) ,x∈ A Maka F kontinu di titik c. 2) Misalkan fungsi g : A → R tidak mempunyai limit di titik c, maka tidak dapat dibuat fungsi G : A ∪ {c} → R yang kontinu di titik c dan didefinisikan sebagai berikut:
,x = c C G( x ) = g( x ) , x ∈ A Untuk membuktikan pernyataan di atas andaikan lim G( x ) = C . Bukti x →c
selengkapnya diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.
Contoh 4.6
1 x
1) Misalkan g ( x ) = sin , x ≠ 0 . Karena lim g ( x ) tidak ada, maka kita x →0
tidak dapat memperluas fungsi g(x) di titik x = 0.
1 x
2) Misalkan f ( x ) = x sin , x ≠ 0 . Karena f(0) tidak terdefinisi dan f tidak
1 x
kontinu di titik x = 0 tetapi lim x sin = 0 , maka kita dapat memperluas x →0
fungsi f(x) menjadi F : R → R yang didefinisikan sebagai berikut:
,x = 0 0 1 F( x ) = . x sin , x ≠ 0 x Sehingga F kontinu di x = 0.
4.2 Sifat-sifat Fungsi Kontinu
Misalkan A ⊆ R , f , g , h : A → R , b ∈ R . Pada definisi 3.12 telah dibahas tentang penjumlahan (f + g), selisih (f - g), perkalian dua fungsi (fg), dan perkalian fungsi dengan skalar (bf) serta pembagian (f / h) dengan h( x) ≠ 0, ∀x ∈ A . Berikut ini akan membahas penjumlahan, selisih, perkalian dua fungsi, dan perkalian fungsi dengan skalar serta pembagian fungsi kontinu. Teorema 4.7. Misalkan A ⊆ R , f , g : A → R , b ∈ R . Misalkan c ∈ A dan f dan g kontinu di titik c, a) Maka f + g, f - g, fg, bf kontinu di titik c. b) Jika h : A → ℜ kontinu di c ∈ A dan jika h( x ) ≠ 0, ∀x ∈ A maka f /h kontinu di titik c. Bukti: a). Untuk membuktikan teorema di atas, dibagi menjadi dua kasus : 1. Jika c bukan titik timbun A
2. Jika c titik timbun A, f kontinu di titik c, dan g kontinu di titik c maka
lim f ( x) = f (c ) dan lim g ( x ) = g ( c) . Sehingga x →c
x →c
lim ( f + g )( x) = lim f ( x) + g ( x) = lim f ( x) + lim g ( x) x →c
x →c
x →c
x→ c
= f (c) + g (c ) = ( f + g )(c) Akibatnya (f + g) kontinu di titik c.
■
Teorema 4.8. Misalkan A ⊆ R , f , g : A → R , b ∈ R . Misalkan c ∈ A dan f dan g kontinu pada A, a) Maka f + g, f - g, fg, bf kontinu pada A. b) Jika h : A → R kontinu pada A
dan jika h( x ) ≠ 0, ∀x ∈ A maka f /h
kontinu di pada A.
Teorema 4.9. Misalkan
A ⊆ R , f : A → R , dan misalkan | f | didefinisikan sebagai
f ( x) = f ( x) , ∀x ∈ A . a) Jika f kontinu di titik c ∈ A maka | f | kontinu di titik c. b) Jika f kontinu pada A maka | f | kontinu pada A. Bukti teorema 4.8 dan 4.9 diserahkan kepada pembaca sebagai latihan. Teorema 4.10. Misalkan A ⊆ R, f : A → R, f ( x) ≥ 0 ∀x ∈ A , dan misalkan sebagai ( f )( x ) =
f didefinisikan
f ( x) , ∀x ∈ A
a) Jika f kontinu di titik c ∈ A maka b) Jika f kontinu pada A maka
f kontinu di titik c.
f kontinu pada A.
Bukti. a) Ambil ε > 0 sebarang. Misalkan c ∈ A . Jika f (c ) = 0 maka Karena f kontinu di c ∈ A maka
f (c ) = 0 .
∃δ > 0 ∋ ∀x ∈ A, x − c < δ ⇒ f ( x ) = f ( x ) < ε 2 atau f (x ) − 0 =
f (x) −
f (c ) < ε .
Sekarang misalkan c ∈ A dan f (c ) ≠ 0 . Karena Karena f
kontinu di
c ∈ A maka ∃δ > 0 ∋ ∀x ∈ A, x − c < δ ⇒ f ( x ) − f (c ) < ε f (c ) . Perhatikan bahwa ∀x ∈ A, x − c < δ berlaku
f ( x) −
f (c ) =
(
= Jadi terbukti
f ( x) −
(
f (c)
f ( x) +
f ( x) − f (c) f ( x) +
)(
f ( c)
<
f ( x) + f (c)
f ( c)
)
f ( x ) − f (c ) f (c)
)=
<
(
( f ( x) − f (c)) f (x ) +
ε f (c) f (c )
f (c)
)
=ε
f kontinu di titik c.
■
Pada teorema 4.7 membahas tentang perkalian dua fungsi kontinu adalah kontinu. Selanjutnya akan dibahas tentang komposisi fungsi kontinu. Komposisi Fungsi Kontinu Teorema 4.11. Misal A, B ⊆ R , f : A → R , g : B → R , ∋ f ( A) ⊆ B . Jika f kontinu di titik c ∈ A dan g kontinu pada b = f ( c ) ∈ B maka g o f : A → R kontinu di titik c.
Teorema 4.12. Misal A, B ⊆ R , f : A → R , g : B → R , ∋ f ( A) ⊆ B . Misalkan f kontinu pada A dan g kontinu pada B . Jika f ( A) ⊆ B maka g o f : A → R kontinu pada A.
Bukti teorema 4.11 dan 4.12 diserahkan kepada pembaca sebagai latihan. 4.3 Fungsi Kontinu pada Interval Definisi 4.13. Misal f : A → R . f dikatakan terbatas pada A jika ∃M > 0 ∋ f ( x) ≤ M , ∀x ∈ A .
Dari definisi di atas dapat dikatakan suatu fungsi dikatakan terbatas jika range fungsi tersebut terbatas di R . Ingat bahwa fungsi kontinu tidak selalu terbatas, contohnya pada f ( x) =
1 , A = {x ∈ R : x > 0} , f kontinu pada A tetapi tidak x
terbatas pada A. Jika f ( x ) =
1 , B = {x ∈ R : 0 < x < 1} juga f kontinu pada B tetapi x
terbatas pada B. Sedangkan jika f ( x ) =
f
tidak
1 , C = {x ∈ R : x ≥ 1} f kontinu pada C x
dan f terbatas pada C, meskipun C tidak terbatas.
Teorema 4.14 (Keterbatasan). Misal I = [a,b] interval tertutup terbatas dan misalkan f : I → R kontinu pada I. Maka f terbatas pada I. Bukti: Andaikan f tidak terbatas pada I, maka ∃xn ∈ I ∋ f ( xn ) > n, ∀n ∈ N . Karena I terbatas maka X = (xn) terbatas, sehingga menurut teorema Bolzano-Weistrass ada subbarisan yang konvergen, sebut X ′ = ( xnr ) yang konvergen ke x. Karena
X ′ ∈ I maka menurut teorema x ∈ I . Dari hipotesis di atas diketahui f kontinu pada I, sehingga menurut teorema 4.3
( f ( x nr )) konvergen ke f(x). Menurut teorema suatu barisan konvergen adalah terbatas, maka ( f ( x nr )) terbatas. Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa
f ( xnr ) > nr ≥ r
, r ∈ R . Jadi pengandaian salah haruslah f terbatas pada I.■
Definisi 4.15 Misalkan A ⊆ R , f : A → R . f mempunyai maksimum absolut pada A jika ada
x* ∈ A ∋ f ( x*) ≥ f ( x ), ∀x ∈ A dan f mempunyai minimum absolut pada A jika ada x* ∈ A ∋ f ( x* ) ≤ f ( x), ∀x ∈ A . x* disebut titik maksimum absolut dan x* disebut titik minimum absolut.
Teorema 4.16 (Maksimum-Minimum). Misal I = [a,b] interval tertutup terbatas dan misalkan f : I → R kontinu pada I. Maka f mempunyai maksimum absolut dan minimum absolut pada I. Bukti : Misalkan f ( I ) = { f ( x), x ∈ I } . Karena I interval tertutup terbatas maka f(I) juga terbatas pada R , sehingga f(I) mempunyai supremum dan infimum, sebut s* = sup f(I) dan s* = inf f ( I ) . Akan dibuktikan ∃x*, x* ∈ I ∋ s* = f ( x*) & s* = f ( x* ) . Karena
1 n
s* = sup f(I) maka s * − , n ∈ N bukan batas atas f(I). Sehingga
∃xn ∈ I ∋ s * −
1 < f ( xn ) ≤ s*, n ∈ N . n
Karena I terbatas maka X = (xn) juga terbatas, sehingga menurut Teorema Bolzano-Weistrass ada subbarisan X ′ = ( xn r ) yang konvergen ke x*. Karena f kontinu di x* maka lim f ( xnr ) = f ( x*) sehingga s * − n→ ∞
1 < f ( xn r ) ≤ s*, r ∈ ℵ . nr
1
Karena lim s * − = s* = lim s * maka menurut teorema apit lim ( f ( x nr )) = s * . n→ ∞ n→ ∞ n→ ∞ n
r
Sehingga f ( x*) = lim ( f ( xn r )) = s* = sup f ( I ) . n →∞
Akibatnya f(x) mempunyai absolut maksimum.
■
Teorema 4.17 (Lokasi Akar). Misal I = [a,b] interval tertutup terbatas dan misalkan f : I → R kontinu pada I. Jika
α < β , α , β ∈ I ∋ f (α ) < 0 < f ( β )
atau
f (α ) > 0 > f ( β )
∃c ∈ (α , β ) ∋ f (c) = 0 . Bukti dari teorema lokasi akar diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.
maka
Teorema 4.18 (Niai Tengah Bolzano’s). Misal I = [a,b] interval dan misalkan f : I → R kontinu pada I. Jika a, b ∈ I dan jika k ∈ R yang memenuhi f (a ) < k < f (b) maka ∃c ∈ (a , b) ∋ f (c) = k . Bukti: Misal a, b ∈ I dan f (a ) < k < f (b) , k ∈ R . •
Misalkan a < b dan misalkan g(x) = f(x) – k. Karena f (a ) < k < f (b) maka g ( a ) < 0 < g (b) . Karena f(x) kontinu pada I maka g(x) juga kontinu pada
I,
sehingga
menurut
teorema
lokasi
akar
∃c ∈ (a , b), a < c < b ∋ 0 = g (c ) = f ( c) − k .Jadi f(c) = k. •
Misalkan b < a dan misalkan h(x) = k - f(x). Karena f (a ) < k < f (b) maka
h(b) < 0 < h (a ) . Karena f(x) kontinu pada I maka h(x) juga kontinu pada I, sehingga
menurut
teorema
lokasi
akar
∃c ∈ (a , b), b < c < a ∋ 0 = h (c) = k − f (c ) .Jadi f(c) = k.
■
Akibat 4.19. Misal I = [a,b] interval tertutup terbatas dan misalkan f : I → R kontinu pada I. Jika k ∈ ℜ yang memenuhi inf f ( I ) ≤ k ≤ sup f ( I ) maka ∃c ∈ I ∋ f (c ) = k .
4.4 Kekontinuan Seragam Definisi 4.20. Misalkan A ⊆ R , f : A → R. f dikatakan kontinu seragam pada A jika untuk
∀ε > 0, ∃δ (ε ) > 0 ∋ ∀x, u ∈ A, x − u < δ (ε ) ⇒ f ( x) − f (u ) < ε .
Selanjutnya akan dibicarakan beberapa kriteria ketakkontinuan seragam, salah satunya dengan menggunakan barisan. Definisi 4.21 (Ketak Kontinuan Seragam). Misalkan A ⊆ R , f : A → R. Pernyataan berikut ekuivalen : 1) f tidak kontinu seragam pada A 2) ∀δ > 0, ∃ε 0 > 0, ∃xδ , uδ ∈ A ∋ xδ − u δ < δ ⇒ f ( xδ ) − f (u δ ) ≥ ε 0
3) ∃ε 0 > 0, ∃( xn ), (u n ) ∈ A ∋ lim ( xδ − uδ ) = 0 & f ( xn ) − f (un ) ≥ ε 0 , ∀n ∈ N n→∞
Dari definisi kekontinuan fungsi jelas bahwa jika f kontinu seragam pada A maka f kontinu di setiap titik dari A. Tetapi jika f kontinu di setiap titik dari A tidak mengakibatkan
g (x ) = tidak
f
kontinu
seragam
pada
A.
Contohnya
misalkan
1 , A = {x ∈ R : x > 0} . Fungsi g kontinu pada A ( lihat contoh ), tetapi g x kontinu
seragam
1 n
ε 0 = 12 , xn = , un =
pada
A
karena
dengan
mengambil
1 ∋ lim ( xn − u n ) = 0 dan n + 1 n→∞
g ( xn ) − g (u n ) =| n − ( n + 1) |= 1 ≥
1 2
= ε 0 , ∀n ∈ R .
Selanjutnya jika f kontinu pada suatu interval tertutup terbatas, sebut I maka f kontinu seragam pada I. Teorema 4.22 (Kekontinuan Seragam). Misalkan I adalah interval tertutup terbatas, dan f : I → R kontinu pada I maka f kontinu seragam pada I.
Bukti dari teorema 4.22 diserahkan kepada pembaca sebagai latihan. Pada teorema 4.22 suatu fungsi kontinu akan kontinu seragam jika intervalnya tertutup dan terbatas. Apabila intrervalnya tidak tertutup dan terbatas akan sulit menentukan kekontinuan seragam. Untuk itu diperlukan kondisi lain, yaitu kondisi Lipschitz . Definisi 4.23 (Fungsi Lipschitz). Misalkan
A ⊆ R , f : A → R.
Jika ∃K > 0 ∋ f ( x) − f (u ) ≤ K x − u , ∀x, u ∈ A
maka f dikatakan fungsi Lipschitz pada A atau memenuhi kondisi Lipschitz.
Teorema 4.24. Jika f : A → R dan f fungsi Lipschitz maka f kontinu seragam pada A.
Bukti: Ambil ε > 0 sebarang. Misalkan f fungsi Lipschitz maka ∃K > 0 ∋ f ( x) − f (u ) ≤ K x − u , ∀x, u ∈ A . Akan
ditunjukkan
f
kontinu
seragam
pada
A
atau
∃δ > 0 ∋ ∀x, u ∈ A, x − u < δ ⇒ f ( x) − f (u ) < ε . Pilih δ =
ε K
, sehingga ∀x, u ∈ A,
f ( x ) − f (u ) ≤ K x − u < Kδ = K
ε K
=ε.
Jadi f kontinu seragam pada A.
■
Kebalikan dari teorema di atas tidak benar, artinya tidak setiap fungsi kontinu seragam
adalah
fungsi
Lipschitz.
Contohnya,
misalkan
g : I → ℜ, I = [0,2], g ( x) = x . Menurut teorema 4.10 g kontinu pada I, sehingga menurut teorema 4.22 g kontinu seragam pada I. Tetapi g bukan fungsi Lipschitz karena tidak ada K > 0 ∋ g ( x) − g (u ) ≤ K x − u , ∀x, u ∈ I .
Contoh 4.25. 1. Misalkan f(x) = x2 pada A = [0,b] dengan b konstanta positif. Tunjukkan bahwa f kon tinu seragam. Jawab: Ambil x, u ∈ [0, b] sebarang. Perhatikan bahwa
f ( x) − f (u ) = x 2 − u 2 = x + u x − u ≤ 2b x − u . Sehingga dengan mengambil K = 2b , f merupakan fungsi Lipschitz. Menurut teorema 4.24 f kontinu seragam. 2. Misalkan g ( x ) =
x , A = [1, ∞) . Tunjukkan bahwa g kon tinu seragam.
Jawab: Ambil x, u ∈ A sebarang. Perhatikan bahwa
g ( x) − g (u ) =
x− u =
x −u x+ u
≤
1 x−u . 2
Sehingga dengan mengambil K = ½ , g merupakan fungsi Lipschitz. Menurut teorema 4.24 g kontinu seragam.
4.5 Fungsi Monoton dan Fungsi Invers Definisi 4.26. Misalkan f : A → R , f dikatakan naik pada A jika ∀x1 , x 2 ∈ A dan x1 ≤ x2 maka
f ( x1 ) ≤ f ( x2 ) . f
dikatakan naik sejati
pada A
jika
∀x1 , x 2 ∈ A dan x1 < x2 maka
f ( x1 ) < f ( x2 ) . Misalkan f : A → R , f dikatakan turun pada A jika ∀x1 , x 2 ∈ A dan x1 ≤ x2 maka f ( x1 ) ≥ f ( x2 ) . f
dikatakan naik sejati
pada A
jika
∀x1 , x 2 ∈ A dan x1 < x2 maka
f ( x1 ) > f ( x 2 ) . Jika f : A → R, naik pada A maka g = -f
turun pada A, sedangkan jika
f : A → R, turun pada A maka g = -f naik pada A. Fungsi yang monoton belum tentu konitnu, sebagai contoh
0 , x ∈ [ 0,1 ] 1, x ∈ ( 1,2 ]
Misalkan f ( x ) =
Pada fungsi di atas, f naik pada [0,2] tetapi tidak kontinu di x = 1.
Teorema 4.27. Misal I ⊆ R , f : I → R , f naik pada I. Misal c ∈ I dimana c bukan titik ujung dari I, maka
( i ). lim− f ( x ) = sup{ f ( x ) : x ∈ I , x < c } x→ c
( ii ). lim+ f ( x ) = inf{ f ( x ) : x ∈ I , x > c } x →c
Bukti: (i). Ambil ε > 0 sebarang. Misalkan x ∈ I dan x < c. Karena f naik maka f ( x ) ≤ f ( c ) . Sehingga
{ f ( x ) : x ∈ I , x < c } terbatas di atas oleh f(c). Karena { f ( x ) : x ∈ I , x < c }
terbatas
di
atas
maka
mempunyai
supremum,sebut
L = sup{ f ( x ) : x ∈ I , x < c } . Maka ∀ε > 0 , L − ε bukan batas atas { f ( x ) : x ∈ I , x < c } , sehingga
∃y ε ∈ I dimana y ε < c ∋ L − ε < f ( y ε ) ≤ L. Pilih
δ = c − yε ∋ 0 < c − y < δ
yε < y < c
maka
dan
L − ε < f ( y ε ) ≤ f ( y ) ≤ L . Akibatnya f ( x ) − L < ε jika 0 < c − y < δ atau f ( x) − sup{ f ( x) : x ∈ I , x < c} < ε untuk 0 < c − y < δ . Karena
ε >0
sebarang,
maka
dapat
disimpulkan
lim f ( x) = sup{ f ( x ) : x ∈ I , x < c} .
x→ c−
(ii). Buktinya di serahkan kepada pembaca sebagai latihan.
■
Akibat 4.28. Misal I ⊆ R , f : I → R , f naik pada I. Misal c ∈ I dimana c bukan titik ujung dari I, maka pernyataan berikut equivalent: a) f kontinu di c b)
lim f ( x ) = f ( c ) = lim+ f ( x )
x→ c−
x →c
c) sup{ f ( x ) : x ∈ I , x < c } = f ( c ) = inf{ f ( x ) : x ∈ I , x > c }
Misal I interval dan f : I → R , f fungsi naik. Misal a titik ujung kiri dari I, dan f kontinu di a jika dan hanya jika f ( a ) = inf{ f ( x ) : x ∈ I , x > a }, atau f kontinu pada a jika dan hanya jika f ( a ) = lim+ f ( x ) . x →a
Misal I interval dan f : I → R , f fungsi naik. Misal b titik ujung kanan dari I, dan f kontinu di b jika dan hanya jika f ( b ) = sup{ f ( x ) : x ∈ I , x < b }, atau f kontinu pada b jika dan hanya jika f ( b ) = lim− f ( x ) . x →b
Soal-Soal 12. Misalkan A ⊆ R , f : A → R , dan c ∈ A , f
kontinu pada c. Buktikan jika
∀ε > 0, ∃Vδ (c) ∋ x, y ∈ A ∩ Vδ ( c) ⇒ f ( x ) − f ( y ) < ε . 13. Misalkan f ( x) = sgn( x ), x ∈ R . Buktikan bahwa f(x) kontinu di di c ∈ R , c ≠ 0 . 14. Misalkan
f : R → R,
f
kontinu pada c, c ∈ R , f (c ) > 0 . Buktikan
∃Vδ (c) ∋ ∀x ∈Vδ (c ) ⇒ f ( x ) > 0 . 15. Misalkan g : R → R,
,x∈Q 2x g ( x) = x + 3 , x ∈ R \ Q
Tentukan di titik mana g kontinu. 16. Tentukan di titik mana fungsi berikut kontinu
x2 + 2x + 1 x 2 +1 (b). g ( x) = x + x 1+ | sin x | (c).h( x) = x (d ).k ( x) = cos 1 + x 2
( a). f ( x) =
17. Misalkan
,x∈ℜ ,x ≥ 0 ,x ≠ 0 ,x∈ℜ
f : R → R,
f ( x) − f ( y ) ≤ K x − y
dan
K
>
0
yang
memenuhi
, x, y ∈ R . Buktikan bahwa f kontinu di setiap titik
c∈R . 18. Misalkan A ⊆ R , f : A → R , dan misalkan | f | didefinisikan sebagai
f ( x) = f ( x) , ∀x ∈ A . Buktikan jika f kontinu di titik c ∈ A maka | f | kontinu di titik c. 19. Misalkan A ⊆ R , f : A → R , dan f
kontinu pada A. Jika f
n
didefinisikan
sebagai f n ( x) = ( f ( x)) n , ∀n ∈ N , buktikan bahwa f n kontinu pada A. 20. Berikan contoh fungsi f dan g yang tidak kontinu di titik c, tetapi (f + g) dan (fg) kontinu di titik c. 21. Berikan contoh fungsi f : [0,1] → R yang tidak kontinu di setiap titik dari [0,1], tetapi |f| kontinu pada [0,1]. 22. Misal I =
[a,b]
dan misalkan
f : I → R kontinu pada I dimana
f ( x ) > 0, x ∈ I . Buktikan ∃α > 0 ∋ f ( x) ≥ α , ∀x ∈ I .
23. Misal I =
[a,b]
dan misalkan
∀x ∈ I , ∃y ∈ I ∋ f ( y ) ≤
1 2
f : I → R kontinu pada I dimana
f ( x) . Buktikan ∃c ∈ I ∋ f (c ) = 0 .
24. Buktikan teorema 4.17 25. Buktikan teorema 4.22 26. Misal I = [a,b] dan misalkan f : I → R kontinu pada I , dan misalkan
f ( a ) < 0, f (b) > 0 . Misalkan W = {x ∈ I : f ( x) < 0} dan w = sup{W}. Buktikan f(w) = 0. 27. Misalkan g ( x) =
x , A = [0, ∞) . Tunjukkan bahwa g kon tinu seragam pada
A. 28. Misalkan g ( x ) =
1 , A = [ a, ∞) dengan a konstanta positif. Tunjukkan bahwa x
g kon tinu seragam pada A. 29. Buktikan jika f kontinu seragam pada A maka f terbatas pada A. 30. Misalkan f(x) = x dan g(x) = sin x, tunjukkan bahwa f(x) dan g(x) kontinu seragam pada ℜ , tetapi (fg)(x) tidak kontinu seragam pada ℜ . 31. Misalkan g ( x ) =
1 , A = [1, ∞) . Tunjukkan bahwa g kon tinu seragam pada x2
A, tetapi g tidak kontinu seragam pada B = ( 0, ∞) . 32. Gunakan kriteria ketakkontinuan seragam pada fungsi berikut:
( a ). f ( x) = x 2 A = [0, ∞) (b ).g ( x ) = sin(1 x) B = ( 0, ∞) 33. Buktikan jika f dan g kontinu seragam pada R maka f o g kontinu seragam pada R . 34. Misalkan A ⊆ R , f : A → R , g : A → R , b ∈ R . Misalkan c ∈ A dan f dan g kontinu di titik c, buktikan (f + g), f - g, fg, bf menggunakan definisi fungsi kontinu.
kontinu di c dengan
DAFTAR PUSTAKA
1. Bartle, R. G., Sherbert, D. R., Introduction to Real Analysis, John Wilwey & Sons, Inc., Third Edition, 2000. 2. DePree, J., Swartz, C., Introduction to Real Analysis, John Wilwey & Sons, Inc., 1988. 3. Goldberg, R. R., Methods of Real Analysis, John Wiley & Sons, Second Edition.