ANALISIS RESPON DINAMIK TEMPORARY TANDEM MOORING BARGE PADA FPU Bagus Paramanandana1 Rildova2 Program Studi Magister Teknik Kelautan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Jl Ganesha 10 Bandung 40132 1
[email protected] dan
[email protected] Abstrak: FPU merupakan fasilitas khusus untuk menunjang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi lepas pantai yang dapat berpindah-pindah lokasi. FPU berfungsi sebagai tempat untuk pemrosesan dan penyimpanan sementara zat hasil produksi sebelum disalurkan melalui kapal tanker atau pipa bawah laut menuju darat untuk pengolahan selanjutnya. Untuk menjalankan fungsi operasionalnya tersebut FPU harus berada dalam kondisi stabil dan tetap pada posisinya. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem tambatan yang tepat. Dalam penelitian ini sistem tambatan yang dijadikan tinjauan ialah sistem tambatan spread system dengan konfigurasi catenary. Ketika beroperasi, sewaktu-waktu FPU harus dapat melakukan transfer kebutuhan logistik dengan equipment barge. Suatu sistem tambatan sementara dibutuhkan equipment barge agar dapat melakukan operasi tersebut ke FPU tanpa mengganggu operasi dari FPU. Sistem tambatan sementara yang digunakan ialah tandem mooring. Analisa dinamik diperlukan untuk mengetahui respon FPU dan equipment barge pada saat transfer logistik dalam kondisi aman dan memenuhi kriteria. Pemodelan dan analisa dinamik kegiatan tersebut beserta sistem tambatan pendukungnya menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Untuk melakukan analisa dinamik dibutuhkan nilai Response Amplitude Operator (RAO) dengan alat bantu perangkat lunak pemodelan MOSES. Nilai RAO yang didapatkan merupakan input untuk analisa dinamik dengan alat bantu perangkat lunak pemodelan Orcaflex. Penelitian dilakukan dengan 3 kondisi gelombang terbesar dari arah Utara, Timur Laut, dan Timur lepas pantai Selat Makassar pada kedalaman 1055 m dengan arus dari arah Utara. Hasil dari penelitian ini didapatkan nilai RAO untuk arah 0, 45, 90, 135, 180, 225, 270 dan 315. Nilai respon dinamik FPU dan equipment barge berupa offset (perpindahan dan rotasi), jarak FPU dan equipment barge dan effective tension mooring pada FPU dan equipment barge, serta posisi dan konfigurasi mooring dari equipment barge dapat dipenuhi sesuai kriteria aman menurut API RP2SK 2005, DNV OS E301, DNV “Rules for Planning and Execution of Marine Operations”, DNV RP C205 dan ASME B30.8 dengan angka keamanan diatas 2 pada kondisi intact dan damage. Kata kunci: FPU, mooring, tandem mooring, offset, jarak antar kapal, effective tension mooring, RAO, MOSES, Orcaflex. Abstract: FPU is a mobile particular facility to support offshore oil and gas exploration and exploitation activities. FPU able to produce, process and storage oil and gas before distributed to land facility either by other tanker vessel or pipeline. FPU needs an appropriate mooring system to keep stable in certain position. In this research, it utilize spread mooring system with catenary mooring configuration. During FPU operation, an equipment barge would like to load out some logistic equipment to FPU. Thus, it needs temporary tandem mooring system to keep the equipment barge stable in its position without interfere FPU operation. Dynamic analysis needs to determine FPU and equipment barge responses when logistic load out operation in safety condition. A dynamic model simulation is the main focus in this research. RAO value from both vessels can calculate from MOSES software. A RAO value is one of the input for the dynamic model simulation. A dynamic model simulation conduct finite element method software named Orcaflex. This case study located in Makassar Strait with 3 waves direction (North, North East, and East) and North current. Result of this research is determining RAO values in every 45 degrees direction (0, 45, 90, 135, 180, 225, 270, 315). FPU and equipment barge dynamic response in offset (displacement and rotation), clearance and effective tension mooring are completely safe as refer to API RP2SK 2005, DNV OS E301, DNV “Rules for Planning and Execution of Marine Operations”, DNV RP C205 and ASME B30.8, with safety factor above 2 in every intact and damage condition. Keywords: FPU, mooring, tandem mooring, offset, clearance, effective tension mooring, RAO, MOSES, Orcaflex.
1
PENDAHULUAN FPS (Floating Production System) adalah struktur terapung yang berfungsi untuk memproses hidrokarbon dari anjungan lepas pantai atau sumur migas dan menyimpan minyak dan gas tersebut sebelum disalurkan ke kapal atau pun ke darat. Penggunaan dan pemilihan FPS didasari akan kemudahan instalasi, penghematan biaya serta kelayakan dan kemampuan struktur untuk menghadapi kondisi lingkungan yang ada seperti, kedalaman perairan dan beban lingkungan lainnya akibat gelombang, arus dan angin. FPS dapat berpindah ke lokasi lapangan migas yang baru apabila lapangan migas yang lama telah selesai beroperasi. Untuk menjaga struktur tersebut tetap pada posisinya dibutuhkan sistem tambat atau yang biasa disebut dengan mooring. Mooring line yang digunakan umumnya berupa rantai (chain) dikombinasikan dengan kabel polyester. Pemilihan sistem mooring didasari pada kemudahan instalasi, kebutuhan mooring dan juga biaya. Tandem mooring adalah suatu sistem yang berdasarkan prinsip tambatan kapal pada suatu struktur. Kapal tanker yang merapat pada FPU untuk menyalurkan minyak dan gas yang telah diproses menggunakan sistem tandem mooring ini untuk bertambat. Tandem mooring dapat juga menggunakan mode SBS (side by side), yaitu kapal tanker merapat (berthing) dan mooring pada FPU. Pada penelitian ini tandem mooring dilakukan sejajar seperti yang ditunjukkan pada ilustrasi Gambar 1.
Gambar 1 Ilustrasi Tandem Mooring pada marine terminal. (Sumber: http://www.trelleborg.com )
Struktur terapung yang akan digunakan dalam penelitian tesis ini yaitu FPU yang berupa barge atau tongkang. Studi kasus pada tesis ini umum terjadi pada kondisi nyata. Pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Peng [ref. 13], diberikan paparan sebuah studi kasus yaitu ketika suatu tanker melakukan operasi offloading pada FPSO. Untuk menjaga tanker tersebut tetap stabil pada posisinya digunakan sistem dynamic positioning (DP) dan dapat dikontrol dari ruang monitor FPSO. Pada penelitian ini FPU akan ditambatkan (mooring) dengan sistem tambat menyebar (spread system) pada kedalaman 3200 ft. Mooring line yang digunakan pada FPU ini merupakan kombinasi chain dan polyester rope. Mooring tersebut dirancang dapat menahan beban lingkungan yang terjadi pada FPU hingga 100 tahun. Suatu equipment barge yang membawa peralatan operasional akan bertambat sementara pada FPU dan melepas 4 anchor mooring. Hal tersebut bertujuan agar equipment barge tetap stabil dan berada pada posisinya ketika melakukan operasi. Analisa dinamik diperlukan untuk mengetahui respon FPU dan equipment barge pada saat transfer logistik dalam kondisi aman dan memenuhi kriteria. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan respon gerak dari FPU dan equipment barge berupa Response Amplitude Operator (RAO), mendapatkan respon dinamik FPU dan equipment barge berupa perpindahan dan rotasi, serta effective tension mooring line pada saat dilakukan tandem
2
mooring, dan mendapatkan konfigurasi mooring line dan posisi dari equipment barge yang sesuai dengan kriteria analisis dinamik pada kondisi tandem mooring. Ruang lingkup penelitian ini dibatasi sebagai berikut, 1. Perhitungan RAO dilakukan pada perangkat lunak MOSES dimana keluarannya digunakan sebagai masukan untuk pemodelan FPU dan equipment barge berikutnya pada perangkat lunak Orcaflex. 2. Sistem mooring yang digunakan FPU dan equipment barge yaitu spread mooring system dengan konfigurasi mooring berupa catenary. 3. Mooring line FPU dan equipment barge terdiri atas rantai baja dan wire rope. 4. Karena keterbatasan dalam ketersediaan data maka perhitungan analisis respon dilakukan pada saat kondisi operasi dengan beban lingkungan periode 10 tahun dimana arah gelombang hanya dari 3 arah terbesar saja yaitu Utara, Timur Laut dan Timur. 5. Keluaran Orcaflex berupa effective tension pada mooring dan respon pada FPU dan equipment barge yang terdiri dari perpindahan dan rotasi kedua struktur. 6. Kriteria analisa respon dinamik dari FPU dan equipment barge mengacu pada API RP2SK 2005 [ref. 1], DNV OS E301 [ref. 4], DNV “Rules for Planning and Execution of Marine Operations” [ref. 5], DNV RP C205 [ref. 6] dan ASME B30.8 [ref. 15]. Kriteria aman pada saat dilakukan tandem mooring antara FPU dan equipment barge diantaranya, 1. Maksimum perpindahan FPU dan equipment barge yaitu 10% dari kedalaman perairan. 2. Maksimum rotasi FPU dan equipment barge yaitu 5 derajat. 3. Nilai angka keamanan untuk kondisi intact dan damage berturut-turut 1,67 dan 1,25. 4. Jarak minimum antara FPU dan equipment barge yaitu 10 m. 5. Jarak minimum peletakan antar anchor mooring yaitu 150 m. Pada penelitian yang dilakukan Binatoro [ref. 3], dalam melakukan operasi, sebuah FPU harus memenuhi beberapa persyaratan fungsional seperti, FPU harus mampu beroperasi dan berproduksi normal 1 tahunan, mampu menahan beban maksimum 100 tahunan, harus mampu melakukan perawatan tanpa mengganggu operasi, toleransi mode trim tidak lebih dari ± 0.250, toleransi gerakan roll dan pitch tidak lebih dari 1.750 selama beroperasi, dan sistem penambatan FPU tidak boleh mengalami perpindahan melebihi 20% dengan periode badai 100 tahunan ketika satu tali penambat putus. Lokasi studi yang terletak pada lepas pantai Selat Makassar ini merupakan eksplorasi laut dalam pertama di Indonesia. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Landeck [ref. 11] telah memberikan hasil analisis secara umum dari fasilitas produksi, sistem utilitas dan ekspor lapangan West Seno. Kompleksitas dari peraturan pemerintah Indonesia menjadi tantangan tersendiri pada eksekusi studi kasus ini.
3
METODOLOGI Metodologi melakukan analisis temporary tandem mooring barge pada FPU adalah sebagai berikut, 1. Analisa RAO dengan perangkat lunak MOSES meninjau arah 0, 45, 90, 135, 180, 225, 270, 315. Untuk mendapatkan RAO dibutuhkan input berupa geometri, draft kapal, list dan trim kapal, VCG kapal, dan radius girasi arah x, y, dan z. Data FPU dan equipment barge ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Data FPU dan Equipment Barge. LOA B H draft VCG Rxx Ryy Rzz displacement freeboard
FPU 152,4 38,08 10,05 5,81 8,193 13,52 40,06 41,2 32418 4,24
equipment barge 110 30 7,6 3,6 7,6 9,71 32,06 32,91 10340 4
satuan m m m m m m m m ton m
2. Pemodelan dan analisa respon dinamik dengan perangkat lunak Orcaflex dengan teori gelombang JONSWAP. Pada pemodelan ini dimodelkan 3 arah gelombang terbesar yaitu Utara, Timur Laut, Timur dengan arah arus dari Utara di kedalaman 1055 m pada kondisi intact dan damage. Kondisi intact terjadi ketika semua mooring line terpasang dan kondisi damage terjadi ketika salah satu mooring line yang teranchor ke dasar laut terputus/tidak terpasang. Data gelombang dan data arus masing-masing ditunjukkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Angin bertiup dengan kecepatan 25.1 m/s di lokasi ini. Tabel 2 Data Gelombang. Arah Utara Timur Laut Hs (m) 2.2 1.4 operasi Tp (s) 7.2 5.8 γ 1.1825 1.119
Timur 1.3 5.6 1.107
Tabel 3 Data Arus. kedalaman (m) kecepatan (m/s) 0 0.94 -39 0.94 -99 0.99 -199 0.72 -307 0.81 -455 0.44 -666
0.35
-836
0.37
-975 -1055
0.5 0.5
4
3. Apabila kondisi tersebut belum memenuhi kriteria aman, maka direncanakan ulang posisi dan konfigurasi mooring pada equipment barge. Alur metodologi ditunjukkan pada Gambar 2. Mulai
Pengumpulan data (lingkungan, FPU, equipment barge dan mooring) Analisa RAO pada MOSES Pemodelan FPU, equipment barge dan mooring pada Orcaflex Analisis respon FPU dan equipment barge
Analisis effective tension pada mooring line
Respon dan mooring tension memenuhi kriteria analisa respon dinamik.
Penentuan posisi dan konfigurasi mooring yang baru dari equipment barge
Tidak
Ya
Selesai
Gambar 2 Alur metodologi penelitian.
ANALISA DAN HASIL PEMODELAN RAO Penentuan arah datangnya gelombang untuk mendapatkan RAO dari suatu struktur dapat diatur sesuai kebutuhan. Dalam hal ini analisis RAO ditinjau dari arah 0, 45, 90, 135, 180, 225, 270, 315. Output yang didapatkan dari analisis RAO ini berupa buoyancy kapal, COG kapal, displacement RAO, Wave Load RAO (force dan moment), wave drift loads (2nd order wave), dan koefisien inertia dan damping. Selain itu dihasilkan pula grafik pergerakan kapal untuk arah translasi dan rotasi. RAO yang didapat berdasarkan frekuensi dan periode untuk 6 derajat kebebasan (surge, sway, heave, roll, pitch, yaw). Gambar 3 menunjukkan arah datangnya gelombang menurut pemodelan MOSES.
5
Pada tesis ini analisa RAO hanya meninjau bentuk kapal dan tidak meninjau efek dari kedalaman perairan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Zou [ref. 18] pada aplikasi FPSO yang beroperasi di laut dangkal dari kedalaman 200 m hingga 25 m didapatkan pengaruh RAO dari FPSO terhadap efek laut dangkal tersebut. Tinjauan yang digunakan pada studi kasus tersebut yaitu gerak RAO, inersia dan redaman. Dalam mendesain FPSO pada laut dangkal perlu diperhatikan efek hidrodinamik dari laut dangkal itu sendiri. Pada pemodelan MOSES ini dimulai dengan pembuatan model dari kapal dengan input geometri kapal. Semakin detail pemodelan sebuah kapal, maka akan menghasilkan hasil RAO yang lebih akurat. Hal yang sama juga dilakukan Binatoro [ref. 3] pada penelitian analisa resiko riser pada FPU akibat beban fatigue. Binatoro melakukan analisa RAO dengan menggunakan MOSES dan melakukan verifikasi hasil dengan perhitungan RAO manual.
Gambar 3 Arah datang gelombang menurut pemodelan MOSES.
Gambar 4 Grafik RAO arah 45.
6
Contoh output analisis RAO dengan menggunakan MOSES arah 45 gelombang berasal dari sisi belakang kanan kapal dimana terjadi semua gerak untuk arah surge, sway, heave, roll, pitch, yaw ditunjukkan pada Gambar 4.Gerak kapal untuk arah roll dan pitch paling besar terjadi dengan periode puncak berkisar antara 9 sampai 10,5 sekon, dimana setelah itu gerakan kapal relatif stabil dan turun karena panjangnya gelombang yang merambat. Hal tersebut juga terjadi pada arah gerak yaw dengan periode puncak pada 11, 2 sekon. Arah gerak heave naik seiring dengan besarnya periode. Arah gerak surge dan sway hampir sama seiring dengan gelombang yang merambat untuk arah tersebut. Geometri FPU dan equipment barge memiliki sisi masing-masing yang simetris. Geometri FPU yang simetris pada sisi depan-belakang (forward-aft) dan kanan-kiri (starboard-port) mengakibatkan grafik dan nilai RAO pada sisi tersebut memiliki nilai yang sama, namun berbeda pada beda fasa. Sehingga grafik dan nilai RAO pada arah 0 akan sama persis dengan arah 180, arah 90 akan sama persis dengan arah 270 dan arah 45 akan sama persis dengan arah 135, 225 dan 315. PEMODELAN RESPON DINAMIK Setelah dilakukan analisis RAO dengan MOSES, selanjutnya dilakukan pemodelan analisa dinamik. Analisa respon dinamik disini mencakup perpindahan dan rotasi maksimum yang terjadi pada FPU dan equipment barge, effective tension pada masing-masing mooring serta pengaruh tandem mooring yang dilakukan equipment barge terhadap FPU. Sistem mooring yang digunakan dalam pemodelan ini yaitu spread mooring dan tandem mooring. Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang telah dilakukan dengan menggunakan bahan dan konfigurasi yang beragam pada mooring line. Pada penelitian yang dilakukan Flory [ref. 8] pada aplikasi laut dalam, digunakan mooring line berbahan polyester fiber ropes. Bahan polyester fiber ropes memiliki kelebihan yaitu berat bahan yang ringan sehingga memberikan beban lebih ringan pada platform, bahan ini memiliki daya tahan atau umur yang lebih lama daripada bahan steel wire, dan offset yang dihasilkan pada platform lebih kecil jika dibandingkan dengan penggunaan mooring line berbahan wire rope. Selain itu pada penelitian yang dilakukan Haslum [ref. 9], digunakan kombinasi chain-polyesterchain pada konfigurasi mooring line platform Red Hawk. Kombinasi chain-polyester-chain pada konfigurasi mooring line dapat mereduksi nilai offset dari platform dan dapat mereduksi penggunaan tambahan chain pada platform. Penelitian lain yang dilakukan Luo Y [ref. 12] memberikan hasil berupa kelayakan dari desain mooring dan riser untuk FPSO GOM pada kedalaman 10,000 ft. Konfigurasi mooring line yang digunakan pada penelitian ini merupakan kombinasi chain-polyester-chain dengan sistem taut leg. Penggunaan kombinasi polyester menghasilkan offset yang lebih besar dibandingkan dengan kombinasi wire rope. Kelebihan dari sistem polyester mooring jika dibandingkan dengan sistem steel mooring ialah ukuran mooring line yang lebih kecil, offset yang lebih kecil dan beban vertikal pada turret yang lebih kecil. Mooring yang digunakan pada pemodelan ini yaitu polyester rope 50 mm, studless chain 70 mm, studlink chain 76 mm dan wire rope 74 mm. Data mooring yang didapat berupa komponen dan jenis mooring, panjang, massa, minimum breaking load (MBL), manufaktur pembuatan mooring, pretension, sudut pemasangan, dan panjang horizontal mooring line dengan konfigurasi ditunjukkan pada Tabel 4 dan Gambar 5. Nilai MBL didapat dari referensi Balmoral Marine
7
Handbook [ref. 2]. Pemodelan FPU dan equipment barge lengkap beserta mooring ditunjukkan pada Gambar 6 dan Gambar 7. Tabel 4 Konfigurasi dan Penamaan Mooring Line.
Nama mooring Mooring FPU
Mooring barge tandem mooring
Kode mooring F1-F12
L1-L4 TM1&TM2
Konfigurasi mooring
Bahan
Diameter (mm)
fairlead chain
studless chain
70
intermediate wire rope
wire rope
74
ground chain
studless chain
70
fairlead chain
studlink chain
76
intermediate wire rope
wire rope
74
ground chain
studlink chain
76
tandem rope
polyester rope
50
Gambar 5 Konfigurasi Mooring Line.
Anchor memegang peranan penting dalam efektivitas suatu mooring. Efisiensi anchor merupakan besaran rasio kekuatan anchor, dimana merupakan kekuatan gaya per berat anchor. Kekuatan sebuah anchor sangat dipengaruhi oleh sudut dari flukes. Untuk menghitung kapasitas anchor (holding capacity) dari FPU merupakan perkalian dari efisiensi anchor dengan massa anchor yang didapat dari referensi Anchor Manual 2010, Vryhof Anchors [ref. 17]. Pada pemodelan tesis ini analisis dinamik menggunakan perangkat lunak Orcaflex. Output dari MOSES berupa RAO menjadi input yang digunakan pada Orcaflex. Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait penggunaan perangkat lunak ini. Fernanto [ref. 7] melakukan analisis prosedur instalasi mooring pada FPU West Seno mulai dari penurunan mooring dari suatu kapal instalasi menuju dasar laut sampai dengan mooring terpasang pada FPU dengan Orcaflex. Hasil dari penelitiannya menghasilkan nilai effective tension pada mooring line. Selain itu Primantoko [ref. 14] juga melakukan analisis respon FPU West Seno dan effective tension mooring line pada saat penggantian mooring dengan Orcaflex. Pada penelitian itu,
8
Primantoko mendapatkan respon FPU serta menganalisa konsekuensi beberapa metode penggantian mooring. Kedua penelitian tersebut menyederhanakan pemodelan FPU dengan merubah bentuk kapal menjadi silinder dan tanpa menganalisa nilai RAO. Pemodelan dinamik yang dilakukan Orcaflex berada pada domain waktu dimana dapat memperhitungkan variabel non linier yang terdapat pada mooring line. Penelitian lain yang dilakukan Kwan [ref. 10] memberikan paparan analisis dinamik pada mooring line dengan membandingkan analisa domain waktu, domain frekuensi, dan analisa quasi-statik. Analisa dinamik dengan menggunakan domain frekuensi cukup simpel dan tidak memakan waktu lama jika dibandingkan dengan analisa domain waktu. Namun di lain hal, analisis dinamik dengan menggunakan domain waktu dapat memperhitungkan variabel non linier pada mooring line yang tidak dapat diperhitungkan jika menggunakan analisa domain frekuensi.
250 m Gambar 6 Tampilan 1 pemodelan FPU dan equipment barge pada Orcaflex.
75 m Gambar 7 Tampilan 2 pemodelan FPU dan equipment barge pada Orcaflex.
9
Dari hasil pemodelan dinamik didapatkan besaran kritis dari perpindahan, rotasi, effective tension mooring line dan jarak antar kapal dari equipment barge dengan FPU seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Perpindahan maksimum pada equipment barge sebesar 32,92 m terjadi pada kondisi beban damage 4 yaitu tidak terpasangnya mooring line 4 dengan beban gelombang arah Utara. Hal tersebut disebabkan karena besarnya gelombang dari arah depan kapal sementara mooring line equipment barge 4 berada pada depan kapal juga tidak terpasang sehingga kapal bergerak lebih besar ke arah Selatan. Begitu pula dengan perpindahan maksimum FPU sebesar 36,77 m terjadi pada kondisi beban damage 3 dan damage 4 yaitu tidak terpasangnya mooring line 3 dan 4 dengan beban gelombang arah Timur Laut. Perpindahan maksimum tersebut diizinkan tidak boleh melebihi 10% dari kedalaman perairan atau sebesar 105,5 m. Tabel 5 Besaran Kritis pada Offset dan Tension Mooring. OFFSET perpindahan (m) rotasi (degree) Jarak antar kapal (m)
barge 32.92
FPU 36.77
2.06 0.52 10.44
Kondisi SF thd izin Utara-Damage 4 3.21 Timur laut-Damage 3 dan 4 2.87 Timur-Damage 2 2.43 Semua kondisi timur 9.67 Utara-Damage 4
TENSION MOORING Tandem Mooring 1 (TM 1) Timur laut-Damage 2 Mooring barge L1 (76 mm DIA. Timur-Intact STUDLINK chain) Mooring FPU F12 (fairlead chain) Utara-Intact ANCHOR MOORING anchor barge L3 Semua kondisi anchor FPU F12 Utara-Intact
>10 m
Status OK OK OK OK OK
SF thd MBL SF thd izin 61.02 48.81 8.13
4.87
3.42
2.05
230.85 4.08
Effective tension mooring terbesar pada tandem mooring terjadi pada tandem mooring 1 ketika beban damage 2 dengan beban gelombang arah Timur Laut. Namun hal tersebut masih memenuhi kriteria dan dalam kondisi aman dengan angka keamanan sebesar 61,02 terhadap nilai MBL. Effective tension mooring terbesar pada mooring line dari equipment barge terjadi pada mooring line L1 pada bagian 76 mm DIA. STUDLINK chain bagian atas ketika beban intact yaitu terpasang semua mooring line dengan beban gelombang arah Timur. Namun hal tersebut masih memenuhi kriteria dan dalam kondisi aman dengan angka keamanan sebesar 8,13 terhadap nilai MBL. Effective tension mooring terbesar pada mooring line dari FPU terjadi pada mooring line F12 pada bagian fairlead chain ketika beban intact yaitu terpasang semua mooring line dengan beban gelombang arah Utara. Namun hal tersebut masih memenuhi kriteria dan dalam kondisi aman dengan angka keamanan sebesar 3,42 terhadap nilai MBL. Effective tension terbesar pada anchor mooring dari equipment barge terjadi pada anchor dari mooring line L3 pada semua kondisi, namun hal tersebut masih memenuhi kriteria dan dalam kondisi sangat aman dengan angka keamanan sebesar 230,85 KN. Effective tension terbesar pada anchor mooring dari FPU terjadi pada mooring line F12 ketika beban intact dengan gelombang arah Utara. Angka keamanan pada kondisi ini sebesar 4,08 KN telah memenuhi kriteria aman dan menunjukkan bahwa anchor mooring tidak mengalami uplift. Gambar 8 menunjukkan grafik perpindahan equipment barge dan FPU terhadap 15 kondisi pemodelan. Dapat dilihat bahwa perpindahan maksimum FPU menghasilkan hasil yang relatif sama, baik pada saat dilakukan tandem mooring maupun tidak, yaitu berkisar antara 36,57 m hingga 36,77 m. Dengan begitu keberadaan tandem mooring oleh equipment barge tidak 10
berpengaruh terhadap posisi FPU. Pada saat melakukan operasi, FPU dan equipment barge juga mengalami rotasi (roll atau pitch) dan rotasi maksimum tersebut diizinkan tidak boleh melebihi 5 derajat. Rotasi maksimum pada equipment barge terjadi pada kondisi beban damage 2 yaitu tidak terpasangnya mooring line 2 dengan beban gelombang arah Timur. Ketika mooring line 2 tidak terpasang, equipment barge mengalami rotasi yang cukup besar dan beban ditahan oleh mooring line L1 dari equipment barge. Gambar 9 menunjukkan grafik rotasi equipment barge dan FPU terhadap 15 kondisi pemodelan. Dapat dilihat bahwa untuk masing-masing arah gelombang menghasilkan rotasi yang relatif sama, baik pada saat dilakukan tandem mooring maupun tidak, dikarenakan rotasi kapal ditahan oleh mooring masing-masing kapal. Dengan begitu keberadaan tandem mooring oleh equipment barge tidak berpengaruh terhadap rotasi FPU. Gambar 10 menunjukkan grafik jarak antar kapal minimum yang terjadi pada masingmasing kondisi. Jarak antar kapal diatur tidak boleh kurang dari 10 m seperti ditunjukkan garis merah pada gambar tersebut. Jarak antar kapal terdekat terjadi pada kondisi beban damage 4 dengan beban gelombang arah Utara yaitu sebesar 10,44 m. 38
Perpindahan (m)
36 34 32
30
barge FPU
28 26
Kondisi
Gambar 8 Grafik batang perpindahan kapal untuk setiap kondisi. 2.50
Rotasi (Degree)
2.00
1.50
1.00 barge 0.50
FPU
0.00
Kondisi
Gambar 9 Grafik batang rotasi kapal untuk setiap kondisi.
11
16
14
Jarak antar kapal (m)
12 10 8
6 4 2 0
Kondisi
Gambar 10 Grafik batang jarak minimum antara FPU dan equipment barge untuk setiap kondisi.
PENENTUAN KONFIGURASI MOORING LINE DAN POSISI EQUIPMENT BARGE Dalam menentukan konfigurasi mooring line dan posisi dari equipment barge pada studi kasus temporary tandem mooring perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya yaitu, data lingkungan (gelombang, arus, dan angin) yang terdapat pada lokasi studi. Dalam hal ini data gelombang yang dimiliki hanya berasal dari 3 arah yaitu Utara, Timur Laut, dan Timur, sementara arus berasal dari arah Utara. Oleh karena itu acuan dasar dalam menentukan posisi dan letak mooring harus dapat menahan beban kapal agar kapal tetap pada posisinya. Dalam hal ini penempatan posisi dan letak mooring berada pada depan equipment barge atau arah Utara dan Timur Laut. Penentuan konfigurasi mooring dengan sistem spread mooring meminimalisir terjadinya rotasi dan perpindahan karena pergerakan kapal ditahan oleh mooring dari berbagai arah. Penentuan panjang tandem mooring dibatasi 30 meter agar jarak antara FPU dan equipment barge tidak terlalu jauh. Hal tersebut didasari pula dengan panjang maksimum boom dari crane yang beroperasi pada equipment barge tersebut. Posisi awal equipment barge ditentukan berada 10 meter di depan atau pada arah Utara FPU. Equipment barge memiliki 8 mooring line yang dapat dipasang, yaitu 4 di bagian depan dan 4 di bagian belakang. Namun karena jarak antara FPU dan equipment barge hanya 10 meter, maka pemasangan 4 mooring line bagian belakang tidak dapat dilakukan. Pemasangan 4 mooring line bagian belakang tersebut tidak dapat dilakukan karena dapat menyebabkan terjadi clashing antar mooring line dari equipment barge dan FPU. Clashing antar mooring line tersebut telah diatur pada DNV “Rules for Planning and Execution of Marine Operations” tidak diperbolehkan terjadi. Sehingga hanya 4 mooring line bagian depan yang dapat dipasang. Setelah posisi awal didapatkan, selanjutnya menentukan jarak horizontal beserta konfigurasi dan panjang dari masing-masing mooring line. Variabel tersebut akan menentukan respon dinamik berupa perpindahan dan rotasi dari equipment barge serta effective tension dari mooring tersebut. Semakin jauh jarak horizontal mooring yang dipasang, maka kapal cenderung bergerak ke arah letak anchor mooring. Penentuan konfigurasi, kombinasi dan panjang dari mooring line akan
12
mempengaruhi nilai pretension dan effective tension yang terjadi. Pretension yang terlalu tinggi akan menyebabkan effective tension yang terjadi pada saat analisis dinamik akan sangat besar dan dapat melebihi angka keamanan minimum yang diizinkan. Sementara effective tension yang terlalu tinggi dan berlebihan akan menyebabkan fatigue pada mooring line tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pemodelan statik dan dinamik yang dilakukan dengan metode elemen hingga dengan kondisi intact dan damage pada studi kasus ini, didapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Respon gerak FPU dan equipment barge berupa RAO didapat berdasarkan arah 0, 45, 90, 135, 180, 225, 270, dan 315. Analisa RAO yang didapat berupa displacement RAO, Wave Load RAO (force dan moment), wave drift loads (2nd order wave), dan koefisien inertia dan damping. 2. Respon dinamik FPU dan equipment barge berupa perpindahan dan rotasi, serta effective tension mooring line pada saat dilakukan tandem mooring dapat dipenuhi sesuai dengan kriteria aman. Respon dinamik tersebut meliputi diantaranya, Perpindahan maksimum FPU menghasilkan hasil yang relatif sama berkisar antara 36,57 m hingga 36,77 m baik pada saat dilakukan tandem mooring maupun tidak, sehingga keberadaan equipment barge tidak berpengaruh pada FPU. Perpindahan dan rotasi pada FPU dan equipment barge memenuhi kriteria aman dan menghasilkan angka keamanan diatas 2 terhadap MBL pada kedua kondisi (intact dan damage). Jarak FPU dan equipment barge minimum berada pada 10,44 m pada kondisi damage 4 dengan beban gelombang arah Utara. Effective tension mooring line dan anchor mooring pada FPU dan equipment barge memenuhi criteria aman dan menghasilkan angka keamanan diatas 3 terhadap MBL pada kedua kondisi (intact dan damage). 3. Posisi equipment barge yang terletak pada Utara FPU dengan jarak 10 m di depan FPU menunjukkan hasil yang memenuhi kriteria aman dan ketentuan analisis dinamik pada kondisi tandem mooring dengan nilai angka keamanan diatas 2 pada kedua kondisi (intact dan damage). Dalam menentukan konfigurasi mooring line dan posisi awal dari equipment barge, langkah pengerjaan yang harus diperhatikan diantaranya, 1. 2. 3. 4.
Memperhatikan arah gelombang, arus dan angin terbesar dari data lingkungan Menentukan letak mooring dari data lingkungan di atas Menentukan panjang tandem mooring Menentukan posisi awal equipment barge dan jarak antara FPU dan equipment barge 5. Menentukan jumlah mooring dari equipment barge yang dapat dipasang 6. Menentukan jarak horizontal dan letak anchor mooring 7. Menentukan konfigurasi dan panjang dari masing-masing mooring line
13
Karena keterbatasan yang terdapat pada pemodelan statik dan dinamik ini maka beberapa hal perlu diasumsikan sesuai dengan kemampuan pemodelan. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya agar pemodelan menghasilkan hasil yang lebih akurat diantaranya, 1. Validasi RAO dengan menggunakan tabel hidrostatik atau referensi lainnya. 2. Memasukkan semua hasil RAO sebagai input pada pemodelan elemen hingga. 3. Penggunaan data tambahan dari equipment barge dan FPU yang lebih lengkap pada aplikasi lain studi kasus mooring. 4. Menganalisis pengaruh gelombang dari arah lain. 5. Referensi lainnya dalam penentuan posisi tandem mooring. DAFTAR PUSTAKA [1] American Petroleum Institute (API RP2SK). 2005. Design and Analysis of Stationkeeping Systems for Floating Structures. API Publishing Service. Washington DC. [2] Balmoral marine. 2004. Marine Equipment Book. Balmoral. UK. [3] Binatoro, Prasetyo. 2012. Analisis Resiko Riser pada Floating Production Unit (FPU) Akibat Beban Fatigue. Tesis. Program Studi Magister Teknik Kelautan ITB, Bandung. [4] Det Norske Veritas (DNV OS E301). 2004. Position Mooring. Norway. [5] Det Norske Veritas. 1996. Rules for Planning and Execution of Marine Operations. Norway. [6] Det Norske Veritas (DNV RP C205). 2007. Environmental Conditions and Environmental Loads. Norway. [7] Fernanto, Gerhard. 2011. Prosedur Instalasi Mooring Pada Floating Production Unit (FPU). Tugas Akhir. Program Studi Teknik Kelautan ITB, Bandung. [8] Flory, John, dkk. 2007. Polyester Mooring Lines on Platforms and MODUs in Deep Water. OTC18768. Texas, U.S.A. [9] H.A Haslum, Technip Offshore. 2005. Red Hawk Polyester Mooring System Design an Verification. OTC17247. Texas, U.S.A. [10] Kwan, C.T., Bruen, F.J., Exxon Production Research Co. Mooring Line Dynamics: Comparison of Time Domain, Frequency Domain, and Quasi-Static Analyses. OTC6657. Texas, U.S.A. [11] Landeck, Christopher; Pasma, William. 2004. West Seno Field Production, Utilities and Export Facilities. OTC16522. Texas, U.S.A. [12] Luo, Y; Ye, W. 2005. Mooring and Riser Design for GOM FPSOs in 10.000 ft Water Depth. OTC17620. Texas, U.S.A. [13] Peng, Heather; Spencer, Don. 2008. Simulation of Dynamic Positioning of a FPSO and a Shuttle Tanker during Offloading Operation. ISOPE I-08-445. Vancouver, Canada. [14] Primantoko, Rakhman. 2010. Analisis Penggantian Mooring Vessel Floating Production Unit (FPU). Tugas Akhir. Program Studi Teknik Kelautan ITB, Bandung. [15] The American Society of Mechanical Engineers (ASME B30.8). 2004. Floating Cranes and Floating Derricks. Three Park Avenue. New York 14
[16] http://www.trelleborg.com [17] Vryhof, Anchor. 2010. Anchor Manual 2010, The Guide to Anchoring. Capelle a/d Yssel. Netherlands. [18] Zou, Jun. 2006. Global Dynamic Responses of FPSOs in Shallow Waters. ISOPE I-06-195. California, U.S.A.
15