VII.
ANALISIS REGULASI PEMERINTAH
7.1 Kasus-kasus Akibat Kegiatan Pertambangan di Kecamatan Rumpin 7.1.1 Warga Kecamatan Rumpin Datangi DPRD untuk Menuntut Perbaikan Jalan Pelita Online menerbitkan berita pada 21 Desember 2011 bahwa sekitar seratus warga Kecamatan Rumpin mendatangi gedung DPRD setempat untuk menuntut perbaikan jalan yang sejak dulu tidak dilaksanakan oleh pemerintah daerah setempat. Kerusakan jalan tersebut menurut warga karena dilintasi sekitar 1.000 truk pengangkut bahan tambang dalam setiap harinya. Koordinator aksi mengatakan bahwa kerusakan jalan tersebut dipicu lantaran banyaknya kendaraan besar yang melintas di daerah tersebut yang melebihi tonase. Kapasitas jalan tersebut hanya untuk 15 ton sedangkan truk pengangkut bahan tambang yang setiap hari melintas rata-rata mencapai 45 ton. Walaupun pemerintah daerah melarang truk-truk tersebut melintas dengan pemasangan portal namun tidak ada petugas yang menjaganya, hal tersebut yang warga sesalkan satu sisi dilarang, tapi sisi lainnya dibiarkan. Warga Kecamatan Rumpin juga merasa kecewa karena menurut warga, pembangunan kecamatan lainnya di Kabupaten Bogor merata, tetapi pembangunan di Kecamatan Rumpin masih sangat kurang. Padahal hasil tambang dari daerah tersebut ribuan ton setiap harinya dimanfaatkan oleh para penambang, sementara masyarakat sendiri ratarata tidak mengalami peningkatan kesejahteraan. Demikian juga kontribusi dari pajak tambang galian C dalam setahunnya bisa mencapai puluhan miliar, tetapi angaran untuk pembangunan yang dikeluarkankan oleh pemerintah daerah sangat minim.
7.1.2 Warga Kecamatan Rumpin Mengancam Pengusaha Tambang yang Tidak Memperbaiki Jalan Hari Selasa tanggal 15 Pebruari 2011, surat kabar elektronik portal Kriminal menyebutkan bahwa masyarakat yang tergabung dalam Alienasi Masyarakat Rumpin Bersatu (AMRB), mengancam akan melakukan demo besar dengan cara memblokir jalan menggunakan batang kelapa, batu, dan kayu. Hal tersebut dikarenakan sikap pengusaha tambang yang tidak mau memperbaiki jalan yang rusak akibat truk perusahaan tambang bermuatan besar dan berjumlah banyak melewati jalan utama sepanjang hari. Salah satu sesepuh warga setempat, mengatakan masyarakat sudah tidak ingin lagi melihat jalan rusak yang memperburuk akses warga. Warga sering mendengar janji pemerintah dan perusahaan terkait perbaikan jalan, tetapi sampai saat ini belum dapat terlaksana. Selain kondisi jalan yang rusak, truk pengangkut bahan galian C tetap beroperasi sehingga mengakibatkan pemukiman warga kotor akibat debu jalan, serta ketika hujan muka jalan yang semakin rendah akan terlihat seperti kubangan. Menurut warga, jalan sudah pernah diratakan, tetapi tidak lama kemudian kembali rusak karena perbaikannya dinilai kurang baik. Warga mendesak perusahaan bahan galian C setidaknya memberikan fasilitas kesehatan karena banyak warga yang terkena penyakit saluran pernafasan.
7.1.3 Jembatan di Kecamatan Rumpin Berbahaya Diberitakan dalam Bobaronline.com bahwa kondisi sejumlah jembatan bambu maupun beton di Kecamatan Rumpin cukup memperihatinkan serta dapat membahayakan warga yang melintasinya. Bahkan, dibukanya akses armada tambang jenis tronton ke arah Jembatan Leuwiranji-Gunung Sindur menimbulkan
kehawatiran sejumlah warga dan pengguna jalan. Hal tersebut dikarenakan meskipun kondisi Jembatan Leuwiranji sudah berstatus stadium tiga (sangat kritis), ratusan truk tronton bermuatan lebih dari 40 ton tetap memaksa melintas di atas jembatan secara bersamaan. Imbauan petugas DLLAJ, yang disampaikan agar kendaraan melintas satu per satu dan pembatasan tonase maksimal delapan ton diabaikan para sopir. Tokoh masyarakat Leuwiranji, Badrudin mengusulkan untuk mengurai volume kendaraan ke arah Leuwiranji, sebaiknya portal Cikoleang ke arah Cisauk dibuka untuk akses tronton. Jika hal tersebut dilakukan, kendaraan yang melintas sebagian bisa diarahkan ke Cisauk, supaya yang melintas ke Leuwiranji bisa diurai. Namun, usulan tersebut dipastikan akan mendapat penolakan warga Cikoleang karena pada saat pengalihan arus armada tambang sementara, saat penutupan jalan Leuwiranji, warga Cikoleang menolak solusi tersebut. Sejumlah tronton akhirnya terpaksa diarahkan ke arah Banjarpinang melalui Jalan Malapar, Desa Sukamulya. Tak hanya itu, lebih dari 4.000 warga Kampung Kantalarang 1, Kantalarang 2 dan Kantalarang 3, Desa Leuwibatu terancam terisolir karena kondisi jembatan gantung yang biasa digunakan cukup memperihatinkan. Jembatan gantung yang berada di atas Sungai Cikaniki menghubungkan Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang dengan panjang mencapai sekitar 70 meter, ketinggian permukaan air lebih dari tujuh meter dan kedalaman air mencapai 10 meter, terutama saat turun hujan. Sejak tahun 1992 tak pernah ada bantuan dari pemerintah. Kalaupun ada perbaikan swadaya masyarakat yang tidak menyeluruh. Menurut warga, ada satu jalan lain menuju Desa Karehkel maupun sebaliknya namun kondisinya lebih
membahayakan karena hanya jalan setapak, rusak, dan jaraknya lebih dari tiga kilometer ke jalan desa. Tak hanya itu, kondisinya masih hutan karet dan rawan kejahatan karena sepi. Bisa ke jalan perkebunan kayu Bosbow, Gunung Pangangkan, tetapi jauh dan berbahaya. Menanggapi masalah ini, Kepala UPT Jalan dan Jembatan wilayah Leuwiliang, Asman Dilla mengatakan, telah memeriksa kondisi semua jembatan dan melaporkannya kepada Dinas Binamarga dan Pengairan (DBMP) Kabupaten Bogor. Menurut beliau, Semua telah kita data dan laporkan, pengawasan terus dilakukan demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan.
7.1.4 Kasus Dana Reklamasi Lahan Tambang Menurut kabar berita elektronik Hallo Bogor 5 ,
Komisi C DPRD
Kabupaten Bogor menyatakan dana reklamasi lahan tambang milik Holcim di Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor menyalahi ketentuan yang diatur dalam Perda Nomor 2 tahun 2002 tentang pertambangan Daerah. Pelanggaran itu karena dari luas lahan yang diekpsloitasi seluas 45 ha pihak Holcim hanya menyetorkan dana reklamasi melalui bank sebesar Rp 20 000 000. Temuan tersebut beradasarkan hasil sidak yang dilakukan Komisi C DPRD ke lokasi tambang di Kecamatan Rumpin. Jadi dalam sidak kemarin itu ditemukan bahwa dana reklamasi yang disetorkan oleh PT Holcim hanya sebesar Rp 20 000 000, nilai itu diperkirakan tidak wajar. Berdasarkan perhitungan Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Bogor, dana reklamasi lahannya itu seharusnya minimal mencapai Rp 400 000 000. Pihaknya juga menjelaskan ada dugaan pelanggaran lain yang dilakukan oleh 5
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=52190
perusahaan tersebut, yakni penambahan kawasan tambang seluas 17 hektar. Sebelumnya Komisi C DPRD Kabupaten Bogor telah mengecek ke Dinas Tata Ruang dan lingkungan hidup (DLHK), ternyata benar perusahaan tersebut mengajukan perluasan lahan seluas 17 hektar untuk buffer zone, tetapi setelah dicek ke lokasi ternyata lahan tersebut juga ditambang. Komisi C juga telah menanyakan masalah tersebut, kepada kantor PT Holcim di wilayah Kecamatan Rumpin, namun pihak kepala kantor PT Holcim kecamatan Rumpin mengatakan tidak tahu mengenai peralihan peruntukan dari semula untuk buffer zone menjadi lahan tambang. Menurut keterangan pihak kantor PT Holcim di kecamatan Rumpin, hal tersebut merupakan kebijakan Holcim Pusat. Oleh karena itu pihaknya dalam waktu dekat ini akan memanggil pihak Holcim dan dinas pemerintahan terkait mengenai permasalahan tersebut. Komisi C kan memanggil dan minta klarifikasi dari pihak perusahaan, baik berkenaan dengan dana reklamasi lahan maupun masalah peralihan peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan rencana yang diajukan. Kasus tersebut menurut Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Bogor, terjadi karena lemahnya pengawasan dari dinas terkait, bahkan ia menduga tidak menutup kemungkinan adanya oknum tertentu yang bekerja sama dengan pihak perusahaan dalam hal pelanggaran pelaksanaan kegiatan tambang.
7.2 Peraturan Pemerintah Terkait Pertambangan Peraturan
perundang-undangan
terkait
pertambangan
mewajibkan
perusahaan pertambangan untuk melakukan reklamasi atas areal sisa tambang yang diusahakannya. Untuk memberikan efek memaksa bagi para pengusaha
pertambangan guna melakukan reklamasi, para pengusaha tersebut diwajibkan untuk menyerahkan sejumlah uang sebagai jaminan reklamasi, yang harus ditempatkan sebelum perusahaan melakukan kegiatan operasi produksi. Kewajiban penyerahan jaminan reklamasi tersebut tidak menghilangkan kewajiban para pengusaha pertambangan untuk melaksanakan reklamasi. Dalam kenyataannya, di lapangan didapati adanya pengusaha pertambangan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan tanpa memberikan jaminan reklamasi. Lebih buruk lagi, didapati pula kenyataan bahwa pengusaha dapat mencairkan uang
jaminan
reklamasi,
dalam
arti
dikembalikan
kepada
pengusaha
pertambangan tanpa melakukan reklamasi. Usaha
pertambangan
merupakan
kegiatan
untuk
mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya alam tambang (bahan galian) yang terdapat dalam perut bumi. Berdasarkan Pasal 14 UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan ditentukan jenis-jenis usaha pertambangan, yang meliputi: (1) penyelidikan umum 6 (2) eksplorasi 7 (3) eksploitasi 8 (4) pengolahan dan pemurnian 9 (5) pengangkutan 10 dan (6) penjualan 11 . 6
Penyelidikan umum adalah usaha untuk menyelidiki secara geologi umum atau fisika, di daratan, perairan, dan dari udara, segala sesuatu dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya.
7
Eksplorasi adalah adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti/seksama adanya dan letak sifat letakan bahan galian.
8
Eksploitasi adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya. Pengolahan dan pemurnian adalah pengerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian itu. 10 Pengangkutan adalah segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil pengolahan dan pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian. 9
Kewajiban perusahaan pertambangan 12 untuk melakukan pemulihan kawasan bekas pertambangan diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan, yaitu: 1. Pasal 30 UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, yang berbunyi sebagai berikut: Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitarnya. 2. Pasal 46 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2001 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1969, yang berbunyi sebagai berikut: a. Ayat (4); Sebelum meninggalkan bekas wilayah kuasa pertambangannya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang kuasa pertambangan harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum. b. Ayat (5); Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang kuasa pertambangan sebelum meninggalkan bekas wilayah kuasa pertambangan. Berdasarkan
ketentuan-ketentuan
tersebut
di
atas,
perusahaan
pertambangan berkewajiban melakukan upaya pengamanan sedemikian rupa 11 12
Penjualan adalah segala usaha penjualan bahan galian dan hasil pengolahan/pemurnian. Perusahaan pertambangan adalah pemegang Surat Ijin Pertambangan Daerah, Kuasa Pertambangan (Ijin Usaha Pertambangan), Kontrak Karya, dan Perjanjian
terhadap perlengkapan/infrastruktur pertambangan, termasuk tanah bekas areal pertambangan dan tanah sekitar bekas pertambangan sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitar, yang dapat dilakukan, baik melalui pelaksanaan penutupan pertambangan sesuai dengan prosedur penutupan pertambangan yang ditetapkan pemerintah, maupun melalui pelaksanaan reklamasi areal bekas pertambangan. Ketentuan mengenai reklamasi diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang 13 . Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan peruntukkannya. Beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan pelaksanaan reklamasi adalah sebagai berikut: 1. Reklamasi wajib dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada lahan terganggu, yang meliputi: a. Lahan bekas tambang b. Lahan di luar bekas tambang, yang meliputi: 1) timbunan tanah penutup 2) timbunan bahan baku/produksi 3) jalur transportasi 4) pabrik/instalasi pengolahan/pemurnian 5) kantor dan perumahan 13
Berlaku sejak tanggal 29 Mei 2008. Dengan berlakunya Peraturan Menteri tersebut, maka: - Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum; dan - Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum, sepanjang ketentuan yang berkaitan dengan reklamasi dan penutupan tambang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
6) pelabuhan/dermaga. Pelaksanaan reklamasi tersebut dilaporkan oleh perusahaan pertambangan setiap tahun kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota, sesuai dengan kewenangannya 14 . Dalam hal Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota menilai bahwa perusahaan tidak memenuhi kriteria keberhasilan pelaksanaan reklamasi, baik berdasarkan evaluasi laporan dan atau berdasarkan penilaian lapangan, maka Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dengan menggunakan jaminan reklamasi, sebagaimana diuraikan lebih lanjut di bawah. 2. Reklamasi dilakukan oleh perusahaan pertambangan sesuai dengan Rencana Reklamasi, termasuk perubahan Rencana Reklamasi, yang telah disetujui oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota, sesuai dengan kewenangannya. Rencana Reklamasi disusun untuk pelaksanaan setiap 5 (lima) tahun dengan rincian tahunan yang meliputi tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang, rencana pembukaan lahan, program reklamasi, dan rencana biaya reklamasi. Dalam hal, umur pertambangan kurang dari 5 (lima) tahun, maka Rencana Reklamasi disusun sesuai dengan umur tambang tersebut. Rencana reklamasi tersebut wajib disampaikan sebelum memulai kegiatan eksploitasi/operasi produksi. Rencana reklamasi tersebut wajib disampaikan sebelum memulai kegiatan eksploitasi/operasi produksi. Berdasarkan
uraian
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
upaya
pengembalian kondisi tanah agar dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya melalui reklamasi, bukan semata tanggung jawab perusahaan pertambangan, tapi 14
Masalah pembagian kewenangan antara Pusat dengan Daerah dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
juga tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Menteri, Gubernur, maupun Bupati/Walikota, karena merekalah yang melakukan penilaian dan persetujuan rencana reklamasi, sekaligus melakukan pengawasan atas pelaksaan reklamasi oleh perusahaan perusahaan pertambangan tersebut. Biaya reklamasi yang diperlukan untuk mengembalikan kondisi tanah harus ditanggung oleh perusahaan pertambangan. Biaya reklamasi, sebagai bagian dari biaya pengelolaan lingkungan hidup yang timbul selama tahap produksi, merupakan bagian dari beban produksi, yang merupakan salah satu faktor pengurang penjualan usaha (pendapatan yang berasal dari hasil tambang perusahaan) untuk memperoleh laba (rugi) kotor. Peraturan-peraturan yang mendukung terwujudnya reklamasi lahan bekas tambang tertera pada Lampiran 2. Peraturan telah tertera, dari peraturan yang bersifat umum sampai yang bersifat khusus dan membahas teknis reklamasi. Berbagai tingkat lembaga kepemerintahan mendukung terwujudnya reklamasi lahan tambang sehingga dapat kembali ke kondisi baseline. Kategori jenis peraturan dibagi menjadi tiga berdasarkan tingkat kepemerintahan lembaga negara yang menetapkannya yaitu, makro, meso, dan mikro. Makro merupakan kategori peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan yang bersifat berlaku bagi seluruh daerah di Indonesia. Meso merupakan kategori peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan yang berlaku di tingkat Propinsi Jawa Barat. Mikro merupakan kategori peraturan yang disusun oleh lembaga pemerintahan tingkat daerah Kabupaten Bogor. Sebagian besar peraturan berasal dari tingkat makro dan terdapat beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan tingkat meso dan mikro.
Walaupun demikian, peraturan tingkat makro yang ada sudah dapat menjelaskan hal-hal terkait reklamasi lahan bekas tambang. Sanksi yang berlaku terkait kegiatan tambang tertera pada Lapiran 3. Sanksi-sanksi yang telah berlaku terdiri dari sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi tersebut diberlakukan bagi pemilik kuasa tambang yang melakukan pelanggaran, mulai dari pelanggaran ringan hingga pelanggaran berat. Pelanggaran ini juga berlaku ketika ada persyaratan sebagai penambang yang tidak dipenuhi atau tidak sesuai Undang-Undang yang berlaku. Peraturan berskala nasional dapat menyentuh daerah, sehingga tidak perlu peraturan tambahan dan peraturan ganda, kecuali di lokasi terdapat kondisi unik sehingga memerlukan peraturan tambahan yang bersifat khusus. Peraturan tingkat makro, meso, dan mikro terkait pertambangan di Kecamatan Rumpin tidak ada yang saling bertentangan. Tetapi meskipun peraturan tingkat makro sudah baik, diperlukan adanya peraturan tambahan dari tingkat meso dan mikro untuk memperkuat kedudukan hukum tersebut di suatu wilayah. Pemerintahan di tingkat daerah seharusnya selain mendukung dengan peraturan mikro juga melaksanakan semua tahapan pengawalan dan pengawasan teknis kegiatan pertambangan. Selain itu, sanksi-sanksi dari peraturan makro, meso, dan mikro yang dikenakan kepada pelaku kegiatan tambang lebih baik jika diterapkan oleh pemerintah daerah, agar setiap pelanggar ditangani langsung oleh daerahnya. Penanganan langsung oleh pemerintah daerah dalam hal penegakan hukum dan sanksi dinilai lebih efektif karena selain menghemat biaya transportasi hal tersebut juga mempercepat proses penegakan hukum.
Selama ini pemerintah daerah yang ingin menegakan sanksi mengalami beban lain, yaitu tujuan peningkatan ekonomi. Kegiatan pertambangan pada dasarnya dapat meningkatkan kondisi perekonomian warga serta meningkatkan pemasukan pemerintah. Jika sanksi berupa penutupan sementara atau bahkan pemortalan akses ke jalan kabupaten dijalankan, kondisi perekonomian warga akan menurun. Kondisi tersebut berpengaruh bagi warga yang bekerja sebagai karyawan pabrik tambang, wirausahawan di sekitar tambang, dan buruh tidak tetap yang kadang kala menambah pemasukan keluarga melalui kegiatan penunjang tambang seperti mengangkut hasil tambang ke truk. Peraturan yang ada relatif dapat menunjang reklamasi lahan bekas tambang di kecamatan Rumpin. Akan tetapi peran pemerintah dalam pembuatan peraturan saja belum cukup, perlu ditunjang dengan pengawalan dan pengawasan yang baik. Potensi pertambangan yang besar di Indonesia meningkatkan jumlah penambang dalam berbagai skala. Penambang skala besar memungkinkan untuk melakukan reklamasi, tetapi pada penambang skala menengah dan kecil sulit untuk diterapkan di lapangan karena keuntungannya tidak cukup dialokasikan sebagai biaya reklamasi yang terlalu besar. Tidak tercapainya reklamasi diperkirakan terjadi karena masih lemahnya fungsi pengawasan pemerintah.
7.3 Kebijakan Pemerintah Daerah Terkait Pertambangan Bahan Galian C Adanya konflik antara perusahaan tambang bahan galian C dengan masyarakat dikarenakan berkurangnya kepuasan masyarakat akibat adanya kegiatan pertambangan. Selain hal tersebut berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dengan masyarakat, mereka mengatakan tidak adanya ganti rugi yang
diberikan perusahaan-perusahaan atas kerugian yang mereka alami. Pemerintah daerah yang telah bertahun-tahun mengetahui kerugian masyarakat belum dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Sehingga konflik masyarakat dengan pemilik pertambangan terus berlangsung hingga saat ini. Untuk mengurangi konflik yang ada, pemerintah daerah harus menerapkan peraturan dengan tegas dan menjalankan dengan baik beberapa kebijakan, yaitu: 1. Mengevaluasi besarnya dana jaminan reklamasi dan memberi sanksi kepada pemilik tambang yang tidak membayar dana jaminan reklamasi di awal proyek. 2. Berkomitmen untuk membangun dan mengembangkan daerah yang memiliki banyak lokasi pertambangan. 3. Peningkatan penegakkan hukum agar menimbulkan efek jera pada pelanggar peraturan. 4. Meningkatkan kemampuan aparatur dan kelembaagaan dalam memahami pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari, yang akan mengakibatkan perencanaan pembangunan, pembuat keputusan, serta pengembang sektor umum dan swasta memperhatikan fungsi ekologis dan nilai ekonomi lahan pertambangan.