Daftar Isi Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA (Studi Kasus Pelayanan Nikah di Kecamatan Mungka) The Phenomenon of the Increasing Marriage Events in Religious Affairs Office (Case Study of Marriage Services in Mungka District) — 415 Jupagni
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas Pasca Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 di Kecamatan Montong Gading Lombok Timur NTB (Studi Kasus pada Bulan Agustus-Desember 2014) The Effort to Realize the Marriage Service with Integrity Postissuance Government Regulation No. 48 of 2014 in the Montong Gading District, East Lombok NTB (Case Study of August-December 2014) — 449 Muh Thurmuzi
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Studi Kasus KUA Kecamatan Blado Kabupaten Batang) Implementation of Government Regulation No. 19 of 2015 regarding Fare on Non-Tax Revenues (Case Study of the Religious Affairs Office/ KUA Blado Subdistrict, — 481 Sodikin
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah Psychological Analysis of the Upgrading Premarital Material — 521 Dedi Slamet Riyadi
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik (Studi Atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi) Hisab Thinking of Rukyah Classic (Study on the Thinking of Muhammad Mas Mansur al-Batawi) — 567 Ahmad Izzuddin
Jurnal Bimas Islam Vol.8 No.I 2015
Reformasi Birokrasi pada KUA Bureaucratic Reform at Religious Affairs Office — 589 Syahrudin dan Julaeha
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _415
The Phenomenon of the Increasing Marriage Events in Religious Affairs Office (Case Study of Marriage Services in Mungka District)
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA (Studi Kasus Pelayanan Nikah di Kecamatan Mungka)
Jupagni Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Mungka email:
[email protected]
Abstract: Lately, people tend to choose a place to get married in religious affairs office compared to outside of the office. Before the release of PP. 48 in 2014, the public is more likely to choose to marry outside the office, at home or in the mosque. But now, the number of marriages in Religious Affairs Office (KUA) increased compared to the outside the office. Based on data from the Ministry of Religious Affair District Fifty City in 2014, turned out to be a lot more people are choosing to get married in Religious Affairs Office (KUA) (62%) than outside of the office (38%). The District of which the highest percentage married at the office is the District Mungka, around 94%. This increase not only have a negative impact, but also be the first step to revitalizing Religious Affairs Office (KUA). Abstraksi: Akhir-akhir ini masyarakat cenderung memilih tempat menikah di KUA dibandingkan dengan di luar kantor. Sebelum keluarnya PP. 48 Tahun 2014, masyarakat lebih
416_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015 cenderung memilih menikah di luar kantor, baik di rumah maupun di masjid. Namun kini, angka pernikahan di KUA meningkat dibandingkan dengan di luar kantor. Berdasarkan data dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2014, ternyata lebih banyak masyarakat yang memilih untuk menikah di KUA (62%) dibandingkan di luar kantor (38%). Adapun Kecamatan yang prosentasenya tertinggi menikah di kantor adalah Kecamatan Mungka, yaitu 94%. Peningkatan ini tidak hanya berdampak negatif, namun juga menjadi langkah awal untuk revitalisasi KUA. Keywords: events, marriage, Religious Affairs Office (KUA), recording.
A. Latar Belakang Masalah Nikah merupakan salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga, sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah sejalan dengan lahirnya manusia pertama di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah swt terhadap hamba-Nya.1 Nikah adalah akad yang dapat menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.2 Pernikahan merupakan pintu awal untuk membentuk sebuah keluarga dan masyarakat. Melalui pernikahan disatukan dua insan yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan dengan berdasarkan ketentuan agama, peraturan perundang-undangan dan budaya tertentu. Dalam rangka mengatur dan memberi rambu-rambu tentang pernikahan, sejak awal pemerintah sudah merumuskan aturan-aturan tentang masalah ini. Sejak berdirinya Departemen Agama pada tahun 1946 sudah ada peraturan yang berkaitan dengan pernikahan ini, yaitu UU No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk.3
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _417
Pada tahun 1954 terbit lagi UU No. 32 tentang penetapan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1946 di seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Kemudian pada tahun 1971 keluar UU No. 1 Tahun 1971 tentang perkawinan yang masih berlaku hingga sekarang. Selanjutnya sebagai rincian dari aturan-aturan tersebut di atas telah lahir pula bermacammacam regulasi baik Peraturan Pemerintah (PP, Keputusan Menteri Agama (KMA, Peraturan Menteri Agama (PMA, dan lain-lain. Uraian dan rincian dalam PP dan PMA ini terus diperbarui sesuai dengan tuntutan zaman dan perubahan yang terus berkembang. Bukan hanya PP dan PMA yang perlu disesuaikan, tapi UU No. 1 Tahun 1974 juga sering jadi sorotan dan kajian yang menarik. Beberapa pasalnya dianggap tidak lengkap dan ketinggalan zaman. Salah satu peraturan tentang pernikahan yang baru saja dirubah dan membawa perubahan drastis di kalangan Kantor Urusan Agama (KUA) adalah Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2004 tentang tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terhadap pelayanan nikah dan rujuk. PP ini dirubah menjadi PP No. 48 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Juni 2014. Perubahan mendasar dari PP ini terkait dengan biaya pencatatan nikah dari Rp. 30.000,- menjadi biaya nikah Rp.0.,- bagi pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama pada jam kerja. Adapun bagi mereka yang ingin melangsungkan pernikahan di luar Kantor Urusan Agama atau di luar jam kerja maka biaya nikah tetap Rp.0,-, akan tetapi yang bersangkutan harus membayar ke Bank sebanyak Rp. 600.000,- sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Akibat pelaksanaan PP No. 48 Tahun 2014 ini telah membawa banyak perubahan di tengah-tengah masyarakat. Dari sisi KUA, PP ini merupakan regulasi untuk menjawab persoalan yang selama ini dituduhkan kepada KUA yang sering menerima gratifikasi dan melakukan pungli. PP No. 48 Tahun 2014 ini memperjelas tentang biaya yang terkait dengan pelayanan nikah dan rujuk. Inti dari pelayanan nikah itu tidak dipungut biaya, kalaupun ada yang ingin menikah di luar KUA, biaya yang dikenakan
418_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
bukan biaya nikah, tetapi biaya transportasi dan jasa profesi penghulu dengan sistem PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Layanan gratis merupakan salah satu wujud reformasi birokrasi di Kementerian Agama yang mengacu kepada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Kepmenpan No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, dan KMA No. 118 Tahun 2010 tentang Program Percepatan Melalui Penyelenggaraan Layanan Unggulan di Lingkungan Kementerian Agama. Inti dari semua ini adalah bagaimana Kementerian Agama dapat membuat/menetapkan standar pelayanan yang jelas, pelayanan dapat memberikan kepuasan, lebih baik, cepat, mudah, baru dan murah.
B. Kerangka Teori 1. Nikah Dalam literatur fikih, istilah nikah disamakan dengan kawin. Nikah menurut bahasa berarti menghimpun atau mengumpulkan.4 Sedangkan menurut syara’, nikah adalah akad yang telah masyhur yang mengandung rukun-rukun dan syarat-syarat.5 Dalam pengertian lain, nikah adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami isteri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu.6 Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, nikah disamakan dengan perkawinan sehingga istilah yang digunakan di dalamnya adalah perkawinan. Adapun perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqan ghalîdzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 7 Perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _419
swt.8 Menurut al-Qur’an, perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga antara suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tentram (sakinah, pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahmah).9 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1 disebutkan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Selanjutnya pada pasal 2 ayat 1 disebutkaan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Secara syar’i, sah atau tidaknya sebuah pernikahan tergantung kepada rukun dan syaratnya. Menurut hukum Islam, ada lima rukun nikah, yaitu: calon mempelai laki-laki dan perempuan, wali dari calon mempelai perempuan, dua orang saksi laki-laki, ijab dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya, dan kabul dari calon mempelai laki-laki atau wakilnya.10 Berkenaan dengan syarat masing-masingnya secara syari’at dapat dilihat dalam buku-buku fikih munakahat dan syarat secara peraturan perundang-undangan dapat pada UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. 2. Kantor Urusan Agama (KUA) Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan unit pelaksana teknis Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah kecamatan. Tugas pokok KUA sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi KUA adalah melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah kecamatan. Dalam melaksanakan tugasnya,
420_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
KUA menjalankan fungsi: a. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi. b. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan dan rumah tangga Kantor Urusan agama Kecamatan. c. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul mal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, bahwa pencatatan pernikahan bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam adalah di Kantor Urusan Agama Kecamatan. Adapun untuk warga negara Indonesia yang beragama non-muslim, pencatatan perkawinan dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil di setiap Kabupaten/Kota. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah pasal 21 dinyatakan bahwa: 1) akad nikah dilaksanakan di Kantor Urusan Agama; 2) atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN (Pegawai Pencatat Nikah), akad nikah dapat dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, pada dasarnya akad nikah dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan. Akad nikah dapat juga dilakukan di luar KUA baik di masjid, di mushalla, di gedung atau di rumah dengan syarat persetujuan PPN (Pegawai Pencatat Nikah) dan pihak calon pengantin. Berkaitan dengan regulasi yang mengatur tentang biaya pernikahan, terdapat perubahan yang mendasar. Sebelumnya, biaya pencatatan nikah dan rujuk diatur dalam PP. No. 47 Tahun 2004 yaitu sebesar Rp. 30.000,, dan kemudian diubah dengan PP. No. 48 Tahun 2004 menjadi multi tarif tentang biaya nikah dan rujuk sebagaimana disebutkan pada pasal 6
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _421
bahwa biaya nikah dan rujuk di KUA atau di luar KUA tidak dikenakan biaya. Sementara untuk pernikahan yang dilaksanakan di luar KUA dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebesar Rp. 600.000,-. Bagi warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan korban bencana maka pernikahannya dapat dilakukan di luar KUA dengan biaya Rp.0,-. Semenjak keluarnya PP. No. 48 Tahun 2014 ini, pernikahan yang dilaksanakan di KUA meningkat tajam dibanding pernikahan yang dilangsungkan di luar KUA. Dengan kondisi KUA seperti saat ini, jelas hal ini menimbulkan sejumlah masalah, karena keterbatasan infrastruktur sehingga sulit meberikan pelayanan yang memuaskan. Padahal seyogyanya KUA bisa memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsinya. 3. Pelayanan Nikah Kantor Urusan Agama sebagai unit terdepan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dituntut untuk senantiasa terus meningkatkan kualitas pelayanannya. KUA harus maju sesuai dengan tututan dan perkembangan zaman. Oleh sebab itu dilakukan pembenahan dan pembaharuan, baik menyangkut regulasi, sarana dan prasarana sehingga memiliki standar kualitas yang jelas. Karena pelayanan yang diberikan oleh KUA berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas, maka terdapat beberapa peraturan yang perlu dipedomani dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, antara lain UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Kepmenpan No. 25 Tahun 2004 tentang pedoman umum penyusunan indeks kepuasan masyarakat unit pelaksana instansi pemerintah, dan PMA No. 118 Tahun 2010 tentang program percepatan melalui penyelenggaraan layanan unggulan di lingkungan Kemeterian Agama. Dalam UU No. 25 Tahun 2009 ditegaskan bahwa penyelenggara pelayanan publik berkewajiban menyusun dan menerapkan standar pelayanan, informasi pelayanan harus bisa diketahui oleh masyarakat, biaya/tarif pelayanan publik merupakan tanggung jawab negara dan/
422_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
atau masyarakat, biaya/tarif tersebut diatur oleh peraturan perundangundangan. Biaya nikah dan rujuk, sebagaimana tersebut di atas, termasuk yang diatur oleh peraturan Pemerintah. Sementara itu pada Kepmenpan No. 25 Tahun 2004, agar pelayanan bisa memuaskan masyarakat, maka terdapat 14 unsur yang “relevan, valid dan reliebel” sebagai unsur minimal yang harus ada, yaitu; 1) prosedur pelayanan, 2) persyaratan pelayanan, 3) kejelasan petugas pelayanan, 4) kedisiplin petugas pelayanan, 5) tanggung jawab petugas pelayanan, 6) kemampuan petugas pelayanan, 7) kecepatan pelayanan, 8) keadilan mendapatkan pelayanan, 9) kesopanan dan keramahan petugas, 10) kewajaran biaya pelayanan, 11) kepastian biaya pelayanan, 12) kepastian jadwal pelayanan, 13) kenyamanan lingkungan, dan 14) keamanan pelayanan. Keempat belas standar pelayanan di atas apabila dapat terpenuhi, maka tingkat kepuasan masyarakat akan semakin baik. Di antara unsur yang diakomodir dalam PP. No. 48 tahun 2014 adalah point 10 dan 11, yaitu kewajaran biaya dan kepastian biaya pelayanan. Menikah di KUA atau pada jam kerja biayanya adalah Rp.0,-. Sedangkan menikah di luar jam kerja kantor atau di luar KUA biayanya adalah Rp. 600.000,-. Terkait dengan peningkatan pelayanan publik dan untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat, Kementerian Agama telah merumuskan bidang-bidang yang perlu direformasi dengan menjadikannya layanan unggulan. Melalui PMA No. 118 Tahun 2010, dinyatakan bahwa pelaksanaan program percepatan layanan unggulan ini dimaksudkan untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan memenuhi hakhak dasar masyarakat yang memerlukannya dengan cara lebih baik, cepat, mudah, baru dan murah (better, faster, easier, newer, and cheaper). Program ini bertujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat dalam waktu singkat kepada Kementerian Agama. Fokus layanan unggulan ini meliputi: pendaftaran haji, penerimaan calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), pencatatan nikah, sertifikasi guru dan dosen, serta pemberian beasiswa.
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _423
C. Gambaran Umum Kecamatan Mungka Kecamatan Mungka merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota yang secara geografis terletak di Utara wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota dengan batas-batas: 1. Sebelah Utara berbatas dengan Kecamatan Bukik Barisan dan Kecamatan Pangkalan Koto Baru. 2. Sebelah Selatan berbatas dengan Kecamatan Payakumbuh, Guguk dan Harau. 3. Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Guguk dan Kecamatan Bukik Barisan. 4. Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Harau, Pangkalan Koto Baru.11 Luas wilayah Kecamatan Mungka lebih kurang 83.76 Km2. Jika ditinjau dari topografi, wilayah yang berada pada permukaan datar hanya 40 %, berbukit 35 %, sedikit miring 15 % dan curam 10 %. Wilayah tersebut dibagi menjadi 5 Nagari dan dua puluh jorong.12 Kecamatan Mungka terdiri dari 5 Nagari dengan 20 Jorong, dengan rincian sebagai berikut: Tabel 2 Nama-nama Nagari dan Jumlah Jorongnya13 No Nama Nagari
Jorong
1
Mungka
5
2
Jopang Manganti
2
3
Sungai Antuam
3
4
Talang Maur
3
5
Simpang Kapuak
7
Jumlah
20
Dari data di atas dapat diketahui bahwa, jorong terbanyak terdapat pada Nagari Simpang Kapuak, selanjutnya adalah Nagari Munka.
424_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Adapun nagari yang paling sedikit jorongnya adalah Nagari Jopang Manganti. Jumlah penduduk Kecamatan Mungka pada tahun 2013 secara keseluruhan sebanyak 26.116 jiwa, terdiri dari 12.865 laki-laki dan 13.251 perempuan dengan rincian sebagai berikut: Tabel 3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin14 No
Nagari
Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk
Laki-laki
Perempuan
1
Mungka
8.175
4.043
4.132
2
Jopang Manganti
2.169
1.036
1.133
3
Sungai Antuam
6.147
3.058
3.089
4
Talang Maur
5.297
2.603
2.694
5
Simpang Kapuak
4.328
2.125
2.203
Jumlah
26.116
12.865
13.251
Dari data di atas tergambar bahwa, penduduk paling padat berada pada Nagari Mungka, Sungai Antuan dan Talang Maur. Penduduk paling sedikit terdapat pada Nagari Jopang Manganti. Di Kecamatan Mungka, seluruh penduduknya beragama Islam dengan rincian sebagai berikut: Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut Agama15
1
Mungka
8.175
-
-
Lainlain -
2
Jopang Manganti
2.169
-
-
-
3
Sungai Antuam
6.147
-
-
-
4
Talang Maur
5.297
-
-
-
5
Simpang Kapuak
4.328
-
-
-
Jumlah
26.116
-
-
-
No
Nagari
Islam
Kristen
Budha
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _425
Sarana peribadatan dan pendidikan agama yang ada adalah: 1.Tempat peribadatan di Kecamatan Mungka sebagai berikut: Tabel 5 Daftar Jumlah Rumah Ibadah16 No
Nagari
Masjid
Langgar
Musholla
Gereja
1
Mungka
5
3
14
-
2
Jopang Manganti
3
1
2
-
3
Sungai Antuam
9
5
10
-
4
Talang Maur
8
3
14
-
5
Simp. Kapuak
7
5
10
-
Jumlah
32
17
50
-
Dari data ini dapat diketahui bahwa, masjid paling banyak terdapat di Nagari Sungai Antuan, langgar di Nagari Simpang Kapuak dan Sungai Antuan, serta mushalla yang terbanyak terdapat di Nagari Mungka dan Talang Maur. Secara keseluruhan rumah ibadah yang terbanyak terdapat di Nagari Talang Maur, yaitu sebanyak 25 rumah ibadah dan urutan kedua berada pada Nagari Sungai Antuan, yaitu sebanyak 24 rumah ibadah. 2. Sarana Pendidikan Agama di Kecamatan Mungka Sebagai berikut: Tabel 6 Daftar Jumlah Sarana Pendidikan Agama17 No
Nagari
MDA
MI
MTs
MA
Pesantren
1
Mungka
1
-
-
-
-
2
Jopang Manganti
1
-
-
-
-
3
Sungai Antuam
3
-
-
-
-
4
Talang Maur
2
-
-
-
-
5
Simpang Kapuak
-
-
-
-
-
Jumlah
7
-
-
-
-
Selain Kantor Urusan Agama, di Kecamatan Mungka terdapat pula berbagai lembaga keagamaan yang bertugas memberikan pelayanan
426_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
dan pembinaan terhadap kehidupan keagamaan masyarakat. Lembagalembaga tersebut adalah: 18 1. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kec. Mungka 2. Badan Amil Zakat (BAZ) 3. Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP.4) 4. Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) 5. Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI) 6. Forum Kerjasama Diniyah Takmiliyah (FKDT) Kantor Urusan Agama Kecamatan Mungka merupakan salah satu dari 13 KUA Kecamatan di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lima Puluh Kota. Pada tahun 2004 KUA Kec. Mungka dimekarkan dari KUA Kecamatan Guguak. Gedung KUA Kecamatan Mungka dibangun di atas tanah wakaf yang luasnya 250 m2. Gedung tersebut mulai difungsikan tahun 2007. Seiring dengan dinamika kebutuhan organisasi, kepemimpinan pada KUA Kec. Mungka telah mengalami beberapa pergantian, diantaranya: 1) Zulwitra, S.Ag (2004-2010, 2) Zulhendri S.Ag (2010-2012, 3) Gunawan Bulfi, S.Th.I (20012- 2014), dan 4) Jupagni, M.Ag (2014–sekarang). Sedangkan personil KUA Kecamatan Mungka hingga Maret 2015 sebanyak 5 orang, yaitu 1 orang Kepala KUA, 1 orang Penghulu, 1 orang Penyuluh Agama Fungsional, 2 orang JFU (Jabatan Fungsional Umum) dan 1 orang pegawai honorer. Di samping itu, ada penyuluh agama honerer yang berjumlah 9 orang.
D. Deskripsi Masalah 1. Perkembangan Peristiwa Nikah di KUA Kecamatan Mungka Berdasarkan data resmi Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lima Puluh Kota, pernikahan yang terjadi pada tahun 2014 berjumlah 2.901 peristiwa. Dari jumlah ini, sebanyak 1.791 peristiwa dilaksanakan pernikahannya di Kantor Urusan Agama dan 1.110 peristiwa
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _427
dilangsungkan di luar KUA.19 Dapat disimpulkan bahwa tahun 2014 yang menikah di kantor sebanyak 62% dan di luar kantor sebanyak 38%. Dari hasil wawancara dengan staf Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lima Puluh Kota diperoleh keterangan dan data bahwa, peningkatan jumlah pernikahan yang dilaksanakan di KUA terjadi setelah pemberlakuan PP. No. 48 Tahun 2014 semenjak bulan Juli 2014.20 Pada bulan Juli 2014, jumlah pernikahan di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah 140 peristiwa, dengan rincian menikah di kantor 115 peristiwa dan di luar kantor 25 peristiwa. Pada bulan Agustus 2014, jumlah yang menikah 174 peristiwa: di kantor 116 peristiwa dan di luar kantor 58 peristiwa. Bulan September 2014, jumlah yang menikah 92 peristiwa: di kantor 67 peristiwa dan di luar kantor 25 peristiwa. Bulan Oktober 2014, jumlah yang menikah 379 peristiwa: di kantor 277 peristiwa dan di luar kantor 102 peristiwa. Adapun bulan November 2014, jumlah yang menikah 191 peristiwa: di kantor 156 peristiwa dan di luar kantor 35 peristiwa. Sedangkan bulan Desember 2014, jumlah yang menikah 253 peristiwa: di kantor 174 peristiwa dan luar kantor 79 peristiwa. Data dari bulan Juli hingga Desember 2014, total peristiwa nikah sebanyak 1.229 peristiwa, dengan rincian: 905 peristiwa di kantor dan 324 peristiwa diluar kantor. Dengan demikian, perbandingan prosentasenya adalah 74% di kantor KUA dan 26% menikah di luar KUA. Berikut ini merupakan gambaran tentang jumlah peristiwa nikah dan rujuk di Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2014. Tabel 7 Ringkasan Daftar Laporan Perincian Nikah Tahun 201421 Nikah di Nikah di luar %Nikah di kantor Kantor Kntr 169 81 68%
No
Kecamatan
Jumlah N
01
Payakumbuh
250
02
Guguk
284
137
147
48%
03
Suliki
112
54
58
48%
04
Harau
432
289
143
67%
428_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
05
Luak
208
124
84
60%
06
Pangkalan
229
79
150
34%
07
Kapur IX
200
76
124
38%
08
Gunung Mas
100
51
49
51%
09
Bukit Barisan
209
149
60
71%
10
Mungka
187
175
12
94%
11
Akabiluru Lareh Sago Halaban Situjuh Limo Nagari Jumlah
236
158
78
67%
278
217
61
78%
176
113
63
64%
2901
1791
1110
62%
12 13
Dari tabel tersebut diperoleh gambaran bahwa dari 13 kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Kecamatan Mungka merupakan kecamatan tertinggi tingkat prosentasenya menikah di kantor (94%) dibandingkan dengan di luar kantor. Kemudian disusul oleh Kecamatan Llareh Sago Halaban (78%) dan Kecamatan Bukit Barisan (71%). Berdasarkan penelaahan terhadap Akta Nikah pada KUA Kecamatan Mungka22 dari tahun 2010 hingga dengan 2014 diperoleh informasi bahwa, perkembangan peristiwa nikah untuk pernikahan yang dilaksanakan di KUA Kecamatan Mungka cenderung meningkat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 di Bab I halaman 4. Pada tahun 2010 jumlah peristiwa nikah di KUA Kecamatan Mungka sebanyak 195 peristiwa, dan yang menikah di KUA sebanyak 17 pasang (9%). Tahun 2011 jumlah peristiwa nikah sebanyak 219 peristiwa dan yang menikah di kantor sebanyak 25 peristiwa (11%). Sedangkan tahun 2012 jumlah peristiwa nikah di KUA Kecamatan Mungka sebanyak 221 dan yang menikah di kantor sebanyak 44 peristiwa (21%). Untuk tahun 2013 jumlah peristiwa nikah sebanyak 192 peristiwa dan yang menikah di kantor sebanyak 75 peristiwa (39%). Terakhir pada tahun 2014 jumlah peristiwa nikah di KUA Kecamatan Mungka sebanyak 187 peristiwa dan yang menikah di kantor sebanyak 175 peristiwa (94%).
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _429
Menikah di kantor KUA bagi masyarakat Kecamatan Mungka memang sangat fenomenal. Berdasarkan pengamatan, saat masyarakat melakukan pendaftaran nikah, mayoritas memilih tempat KUA, meskipun dari segi fasilitas KUA Kecamatan Mungka sangat minim. Letak kantor jauh dari jalan raya, tidak pula tersedia tempat parkir mobil, tempat duduk terbatas, ruang yang sempit dan pengap dan sebagainya. Dari wawancara dengan Penghulu KUA Kecamatan Mungka diperoleh informasi bahwa, mayoritas calon pengantin apabila ditawarkan agar di luar kantor karena keadaan kantor yang serba terbatas dan sederhana, tetap saja memilih untuk menikah di kantor.23 Semenjak berlakunya PP. No. 48 Tahun 2014, terutama mulai bulan September 2014 terdapat data yang cukup fantastis tentang angka pernikahan di KUA Kecamatan Mungka. Tabel 8 Daftar Perbandingan Nikah di Kantor dan di Luar kantor sejak bulan September 2014 pada KUA Kecamatan Mungka Bulan/Tahun Sep.2014 Okt.2014 Nop.2014 Des.2014 Jan.2015 Feb.2015 Mar.2015 Jumlah
Jumlah N 7 19 12 20 14 20 20 112
Nkh di kantor 7 17 12 17 13 16 19 101
Nkh di luar ktr
% Nkh di ktr
0 2 0 3 1 4 1 11
100% 89% 100% 85% 93% 80% 95% 90%
Berdasarkan informasi dari salah seorang staf KUA Kecamatan Mungka, meningkatnya angka permohonan nikah di kantor KUA tidak hanya terjadi setelah pemberlakuan PP. No. 48 Tahun 2014, namun sebelumnya pun sudah cukup tinggi. Semenjak ribut-ribut tentang biaya nikah di media, baik televisi maupun di koran, maka Kepala KUA Kecamatan Mungka saat itu mengambil kebijakan bahwa biaya nikah
430_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
yang hanya Rp. 30.000,- itu merupakan biaya pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama. Sedangkan apabila nikah dilaksanakan di luar KUA maka biaya transportasinya diserahkan kepada masyarakat.24 Nampaknya masyarakat mulai memilih menikah di kantor semenjak pelayanan mulai murah, apalagi sejak terbit PP. No. 48 tahun 2014 yang menegaskan bahwa tidak ada lagi istilah biaya pencatatan nikah. Biaya nikah itu pada dasarnya adalah Rp. 0,- karena termasuk pelayanan publik yang diatur oleh negara. Dalam PP No. 48 tahun 2014 ini biaya pernikahan di luar kantor atau luar jam kerja kantor adalah sebesar Rp. 600.000,- yang disetorkan langsung ke Bank yang telah ditunjuk. Sebagian dari biaya yang disetorkan ke Bank ini akan dikembalikan oleh negara untuk transportasi dan jasa profesi. Adapun mereka yang kurang mampu atau terkena bencana, dengan melampirkan surat keterangan dari pemerintah setempat, maka pernikahan yang dilakukan di luar KUA tidak dipungut biaya. 2. Alasan Memilih Menikah di KUA Latar belakang dan alasan yang mendorong orang lebih memilih untuk menikah di kantor menurut pengakuan calon pengantin atau keluarganya cukup beragam, di antaranya adalah sebagai berikut: Tabel 9 Daftar Informan dan Alasan Menikah di Kantor No
Inisial Informan
Alasan
1
IRV / WW
Ingin gratis, tidak membayar, lebih ringan
2
RR / MNA
kalau tdk bayar, uangnya bisa untuk yang lain
3
MS/ YY
Lebih praktis, kalau di rumah repot, masak2 lo
4
MM / RHP
5
DMF / ER
Kalau tidak membayar, uangnya bisa utk beli daging Lebih senang di kantor, daripada di rumah/di masjid
Data ini diolah dari beberapa wawacara25
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _431
Dari beberapa informasi yang diperoleh di atas, nampak bahwa alasan menikah di kantor lebih disebabkan faktor ekonomi. Apabila menikah dan gratis, maka itu akan mengurangi biaya yang dikeluarkan dalam rangka pernikahan dan pestanya nanti. Kesulitan hidup dan keinginan untuk tidak membayar menjadi alasan nomor satu sehingga mereka dapat menikah. Walaupun tempat menikah itu di kantor yang keadaannya masih serba terbatas. Pada saat dikonfirmasi beberapa alasan ini kepada penghulu KUA Kecamatan Mungka yang senantiasa menerima pendaftaraan nikah, hal tersebut terkonfirmasi. Memang benar setiap orang yang mendaftar untuk menikah dianjurkan di rumah, namun mereka lebih memilih di kantor KUA. Menurut penghulu, sebagian mereka ada yang memang jujur menjawabnya karena keterbatasan keuangan, atau karena faktor ekonomi. Akan tetapi banyak juga di antara mereka yang ragu atau malu untuk menjawabnya. Keinginannya untuk tidak membayar dalam urusan menikah sangat menggiurkan, meskipun tentunya sangat memalukan jika mengaku tak memiliki uang. Padahal mereka sangat tidak berat mengeluarkan uang untuk biaya orgen dalam pesta perkawinannya.26 Dari hasil diskusi dengan penghulu dan kawan-kawan di KUA Kecamatan Mungka27 diperkirakan mereka yang benar-benar karena alasan ekonomi hanya sebesar 65% dari total yang menikah di kantor. Dengan kata lain, sebagian mereka sebenarnya mereka mampu membayar biaya nikah yang Rp. 600.000,- tersebut. Namun karena jarak nominal antara Rp.0,- dengan Rp. 600.000,- maka mereka lebih memilih menikah di kantor. Dari beberapa jawaban informan di atas, kita tidak bisa memastikan tentang betul atau tidaknya jawaban dimaksud. Karena di antara mereka yang menjawab seperti ini pada waktu melaksanakan pesta perkawinannya terlihat sangat banyak mengeluarkan biaya. Kebetulan ada pula sebagian mereka yang mengundang Kepala KUA dan staf untuk hadir dalam baralek/walimah.
432_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Adapun pendapat para tokoh masyarakat tentang alasan mengapa orang lebih memilih menikah di kantor juga beragam. Menurut tokoh masyarakat Simpang Kapuak, orang lebih memilih menikah di kantor karena gratis, sedangkan di luar kantor membayar Rp. 600.000,-. Menikah di kantor juga sudah menjadi peraturan, katanya.28 Jawaban yang senada juga dihinggakan oleh tokoh masyarakat Sungai Antuan dan Talang Maur.29 Akan tetapi terdapat ada jawaban yang menarik disampaikan oleh tokoh masyarakat Mungka, bahwa ada anggapan di masyarakat tidak boleh lagi menikah di rumah atau di masjid.30 Dari asumsi yang salah inilah sebenarnya berkembang isu di masyarakat bahwa menikah itu harus di KUA dan tidak boleh menikah di luar kantor atau di rumah dan di masjid. 3. Penyebab Perubahan Pandangan Msyarakat Sebelumnya terdapat anggapan bahwa orang yang menikah di Kantor Urusan Agama adalah orang yang dalam proses pernikahannya ada masalah, seperti kurang persyaratan, atau sudah bacak daripada jawi (sudah hamil sebelum menikah), tidak disetujui oleh pihak keluarga, atau melanggar adat dan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat. Dari hasil wawancara dengan berbagai pihak, nampaknya anggapan seperti ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Menurut tokoh masyarakat di Sungai Antuan, anggapan bahwa orang yang menikah di Kantor Urusan Agama adalah orang yang bermasalah sudah tidak dihiraukan lagi. Bahkan alasan semacam ini tidak lagi diterima, mereka yang menikah di Kantor Urusan Agama bukanlah orang yang bermasalah. Semuanya sama saja, baik yang menikah di KUA maupun di rumah atau di masjid, tidak ada yang bermasalah.31 Hal senada juga diungkapan oleh tokoh masyarakat Simpang Kapuak, Mungka, Talang Maur dan Jopang Manganti. Menurutnya, saat ini masyarakat tidak ada lagi merasa malu untuk menikah di KUA. Bahkan mereka menganggap biasa saja, tidak ada beban apa pun yang dirasakan. Masyarakat merasa senang, apalagi di KUA tidak ada biayanya.32
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _433
Dari informasi tokoh masyarakat ini dapat disimpulkan bahwa memang telah terjadi pergeseran pandangan masyarakat tentang menikah di KUA. Bahkan sebagian mereka ada yang menganjurkan warga untuk menikah di KUA. Suatu hari, penulis pernah menanyakan tentang kemenakan salah seorang ketua Bamus yang akan menikah agar di rumah saja atau di masjid saja. Ia pun menjawabnya, “di sini saja lah pak”,33 maksudnya di kantor saja. Lalu, apa yang menjadi faktor penyebab berubahnya pandangan masyarakat dan tokoh masyarakat tersebut? Menurut beberapa informan yang ditemui di lapangan, perubahan ini disebabkan karena faktor biaya gratis di KUA dan juga kesadaran masyarakat sudah mulai tinggi bahwa menikah itu yang penting sesuai dengan aturan. Karena saat ini persoalan nikah sudah diatur dengan undang-undang yang jelas.34 4. Tanggapan Tokoh Masyarakat Secara umum, tanggapan para tokoh masyarakat tersebut dapat dikelompokan kepada tiga macam, yaitu ada yang setuju, ada yang tidak setuju dan ada yang mencari jalan tengah. Menurut mayoritas tokoh masyarakat di Kecamatan Mungka, dengan menikah di kantor masyarakat cukup terbantu. Karena menikah di kantor tidak ada biaya untuk pernikahan, sementara menikah di rumah atau di masjid, harus membayar Rp. 600.000,-.35 Bahkan dalam pertemuan lintas sektoral di Kantor Camat Mungka pada tanggal 20 Desemeber 2014, bahwa dari 13 Kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Kecamatan Mungka merupakan kecamatan yang paling sedikit menyumbang untuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari peristiwa nikah. Pada waktu itu, Camat Ricki Edward, memberikan tanggapan bahwa hal itu biasa dan bukanlah masalah, mengingat yang terpenting adalah masyarakat cukup terbantu.36 Pihak pemerintahan Kecamatan dan Nagari juga menanggapi baik berkaitan dengan peningkatan angka pernikahan di KUA. Hal ini pernah
434_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
juga disampaikan oleh Camat yang baru, Harman, A.Md. Menurutnya respon masyarakat cukup positif dan sangat baik sekali.37 Berdasarkan pengamatan penulis di kalangan masyarakat juga sering terdengar obrolan bahwa “enak menikah sekarang di KUA tidak ada biaya. Ini kan gampang dan tidak perlu repot-repot menyiapkan biaya nikah. Apa lagi kalau sudah menikah tidak ada pesta, jadi cukup berdo’a saja”.38 Dengan demikian, hampir semua unsur, baik pemerintah, tokoh masyarakat maupun masyarakat sendiri memberikan tanggapan yang positif terhadap pernikahan yang dilakukan di KUA dengan tanpa biaya. Ada pula jawaban yang mengatakan bahwa menikah di KUA itu sangat baik karena data dilayani dengan administrasi yang profesional. Pelayanan di KUA sudah sangat baik dan tidak ada yang bertentangan dengan agama dan adat istiadat.39 Adapun tanggapan lain dari tokoh masyarakat menyatakan bahwa “menikah di KUA itu kurang bagus, meskipun biayanya gratis, tetapi bagi mereka yang bertempat tinggal jauh dari KUA akan kesulitan untuk smpai ke KUA, seperti dari Kubang Balambak”40 Bahkan ada yang berpendapat bahwa menikah di KUA tidak setuju karena dari dulu orang menikah di Masjid, sebab menikah di masjid adalah perintah adat dan agama. Di masjid lengkap segala unsur, diantaranya imam, khatib, bilal dan lainnya. Sementara jika menikah di kantor, anak dan pasangannya tidak dapat nasehat dari orang tuanya dan bagi kami mengubah adat sangat susah. Pun, jika menikah di kantor KUA kadang anak yang akan menikah tidak paham bahasa Indonesia sehingga tidak mengerti apa yang diucapkan penghulu.41 Tanggapan yang lebih menarik datang dari Ketua Bamus Nagari Mungka, bahwa menikah di kantor sangat masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Akan tetapi untuk masyarakat dengan tingkat ekonomi sehat, maka perlu penyadaran agar melangsungkan pernikahan di luar kantor. Jika memungkinkan, lanjutnya, PP. No. 48 Tahun 2014 ditinjau ulang lagi.42
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _435
Dari beberapa tanggapan tersebut di atas dapat dipahami bahwa, masing-masing pihak menilai dari aspek yang berbeda. Ada yang menilai dari segi keuntungan karena gratisnya menikah di kantor dan juga sesuai serta tidak menyalahi aturan. Sebagian ada pula yang masih memegang teguh adat istiadat yang berlaku sebelumnya bahwa menikah itu jika memungkinkan harus dilaksanakan di masjid. Serta ada pula yang melihatnya dari segi kemampuan yang akan menikah. 5. Dampak Yang Ditimbulkan Ada sejumlah dampak yang ditimbulkan dari peningkatan pernikahan di KUA Kecamatan Mungka. Tabel 10 Daftar Pendapat Informan tentang Dampak menikah di Kantor No
Inisial Respond
Psikologis
Ekonomi
Hukum
K.3
Angkat citra KUA Cemburu karena gratis hanya di KUA, di Nagari. Tidak gratis Nilai sakral nikah jadi kurang
1
JN
Terganggu urusan lain Terganggu orang Catin tidak yg akan dibebani berurusan biaya Rubah mind set peg.KUA
2
HY
Terganggu org lain yg berurusan
3
NH
Segan tidak bisa Masyarakat Tidak ada melayani senang tdk masalah urusan lain membayar terganggu
Minimalkan penyimpangan keuangan kurang kesakralannya
4
NK
Tetangga juga terganggu
Biasa saja
Tidak ada biaya apa pun
Terhindar gratifikasi
Mengurangi resiko
Kantor kotor Baik di dlm maupun halaman Terganggu kebersihan halaman tetangga Kotor ruangan Kantor halaman
Lainnya
Terkadang kita ditinggali sampah saja Ruang nikah tidak Tidak jadi muat Ruang tamu Masyarakat was-was terbantu ada kepas tidak muat tian hukum Tempat parkir tidak muat juga
Data ini diolah dari beberapa wawancara.43
Senang juga kantor ramai
436_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Dari beberapa informasi informan tersebut di atas, dapat dilihat beberapa dampak dari sebab peningkatan volume menikah di KUA. Dampak tersebut bisa positif dan juga bisa negatif, tergantung dari sisi mana orang menilainya. Di antara dampak positif adalah dengan menikah di kantor KUA, maka akan meminimalisir potensi gratifikasi. Dampak posistif ini akan mengurangi resiko hukum karena dengan pelayanan di kantor dan tanpa biaya, petugas KUA tidak lagi bersentuhan dengan uang dari masyarakat. Kalaupun ada masyarakat yang menikah di luar KUA, maka mereka bisa langsung membayarnya ke Bank yang telah ditetapkan. Dengan demikian dapat pula meminimalkan penyimpangan keuangan. Adapun dampak yang lebih baik lagi adalah merubah mind set pegawai KUA untuk berorientasi pada kinerja dan pelayanan bukan uang. Pada akhirnya dapat mengangkat citra KUA, karena masyarakat akan mengingat KUA dengan pelayanannya yang sangat baik. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari menikah di kantor adalah terganggunya urusan lain. Dengan kondisi ruangan yang sempit serta fasilitas yang kurang memadai, dengan sendirinya menggangu aktifitas karyawan KUA. Tidak jarang rombongan calon pengantin memenuhi ruangan KUA, menggangu mobilitas staf dan karyawan. Bahkan masyarakat yang akan mengurus keperluan lain di KUA menjadi terganggu karena kondisi kantor yang penuh sesak. Dari pengamatan penulis, ada masyarakat yang ingin datang ke kantor akhirnya berbalik arah dan tidak jadi ke kantor melihat orang terlalu ramai. Dan itu biasa terjadi pada hari jum’at.44 Selain itu, para pegawai KUA juga segan karena tidak bisa melayani tamu secara maksimal padahal sebagiannya ada yang pejabat dan orang terpandang. Mereka berdiri di luar menunggu antrian keluarganya yang akan menikah. Sementara itu ruangan dan tempat duduk tidak memadai menyebabkan mereka mencari tempat sendiri-sendiri dimana bisanya. Pekarangan dan areal parkir yang tidak ada juga menyebabkan kesulitan memberikan kenyamanan dalam pelayanan kepada masyarakat. Ada
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _437
semacam kerisihan pegawai KUA melihat kendaraan yang berserakan hingga ke halaman penduduk setempat. Apabila musim hujan menyebabkan becek dan kotor. Dampak lainnya adalah ruangan nikah yang sempit menimbulkan kepengapan, ruangan dan halaman kantor berantakan dan kotor karena terbatasnya sarana dan prasarana. Ini tentu berlawanan dengan prinsip pelayanan, yaitu dapat memberikan keamanan dan kenyaman dalam pelayanan.
E. Analisis Masalah Dari paparan permasalahan seputar fenomena menikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Mungka di atas terlihat bahwa, ada beberapa hal yang dapat dianalisis. Perkembangkan dan meningkatnya jumlah masyarakat yang memilih untuk menikah di KUA Kecamatan Mungka terjadi sejak KUA secara nasional menjadi sorotan publik berkenaan dengan tuduhan pungli (pungutan liar) dalam pelayanan nikah. Kebijakan Kepala KUA Kecamatan Mungka pada waktu itu menerapkan bahwa biaya pencatatan nikah yang Rp. 30.000,- adalah bila pelaksanaannya di KUA Kecamatan Mungka. Pada waktu itu sudah mulai masyarakat menikah di KUA Kecamatan Mungka karena biaya yang relatif murah. Setelah keluarnya PP. No. 48 Tahun 2014 yang menetapkan biaya nikah di KUA pada jam kerja kantor Rp.0,- dan di luar kantor atau di luar jam kerja kantor Rp. 600.000,- masyarakat semakin memilih menikah di KUA Kecamatan Mungka. Jadi, dengan lahirnya PP. No. 48 tahun 2014 ini merupakan puncaknya orang menikah di KUA Kecamatan Mungka. Adapun berkenaan dengan latar belakang dan alasan masyarakat lebih memilih menikah di KUA Kecamatan Mungka dibandingkan dengan di luar KUA, seperti di masjid atau di rumah, lebih disebabkan oleh cara pandang masyarakat yang sangat pragmatis. Dengan tidak membayar, bararti akan mendatangkan keuntungan. Sebelumnya kebiasaan masyarakat saat akan menikah pasti mengeluarkan sejumlah besar uang. Alasan faktor ekonomi dan alasan lebih praktis di kantor, nampaknya
438_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
sebagiannya hanya sebagai tameng saja. Hal ini dapat dilihat bahwa ada sebagian dari mereka yang memilih menikah di KUA Kecamatan Mungka secara ekonomi tergolong orang yang mampu. Sebagai bukti, pada saat pelaksanaan pesta perkawinannya dilakukan dengan mengeluarkan sejumlah biaya, seperti memakai orgen dan tari-tarian. Terjadinya
perubahan
cara
pandangan
masyarakat
terhadap
pernikahan yang dilaksanakan di KUA, menjadi hal yang biasa dan yang terpenting bagi masyarakat bebannya bisa berkurang. Oleh sebab itu, asumsi bahwa orang menikah di KUA adalah orang yang “bermasalah” sudah mulai ditinggalkan masyarakat. Faktor dominan perubahan pandangan ini lebih disebabkan karena faktor ekonomi dan pragmatisme. Kebiasaan masyarakat sekarang cenderung ingin mendapatkan keuntungan atau tidak ingin merugi (berkorban) dalam melakukan suatu kegiatan. Sebagai contoh, sulit untuk mengundang masyarakat bisa hadir secara maksimal untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Tetapi apabila dalam kegiatan itu menyebutkan ada uang transport dan uang saku, maka mereka akan meluangkan waktunya. Perubahan pandangan ini, bisa juga karena faktor pelayanan di KUA yang semakin baik seiring dengan komitmen Kementerian Agama melakukan reformasi birokrasi dan salah satu yang diperbaiki adalah pelayanan nikah. Standar pelayanan KUA sudah semakin jelas baik dari segi biaya dan ketepatan waktu. Sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah dipaparkan pada Bab II, bahwa dalam rangka memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, ada persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi. Mengacu kepada UU pelayanan publik dan Kepmenpan tentang pedoman penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat serta PMA tentang layanan unggulan Kemenag RI, maka tingkat kepuasan masyarakat sebetulnya baru pada tingkat kewajaran biaya atau kepastian biaya. Namun demikian masih banyak unsur-unsur lainnya yang perlu untuk ditingkatkan seperti kemampuan petugas, kenyamanan lingkungan dan keamanan pelayanan belum terpenuhi.
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _439
Berkaitan dengan tanggapan tokoh masyarakat terhadap peningkatan jumlah orang yang meninkah di KUA Kecamatan Mungka dibandingkan dengan di luar KUA, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama, ada yang memberikan respon positif karena di kantor tidak membayar, praktis dan mudah. Kedua, ada yang tidak setuju menikah di KUA Kecamatan Mungka karena berlawanan dengan adat kebiasaan selama ini. Ketiga, untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah lebih baik di KUA Kecamatan Mungka dan bagi mereka yang mampu lebih baik di luar KUA supaya lebih nyaman. Dari ketiga tanggapan ini, agaknya tanggapan yang ketiga lebih memilih mencari jalan kompromi sehinga bisa lebih mudah untuk dipahami dan diterapkan sesuai dengan tujuan KUA Kecamatan Mungka bagaimana memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Sehubungan dengan dampak yang ditimbulkannya, maka ada yang hal-hal yang perlu diperhatikan. Pertama, merubah paradigma kerja jajaran KUA, bahwa sekarang yang terpenting adalah bagaimana memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Paradigma baru KUA pasca keluarnya PP. No. 48 Tahun 2014 lebih merupakan jawaban dari permasalahan gratifikasi yang selama ini diributkan. Dengan menikah di kantor dan tanpa bersentuhan dengan uang dalam melayani masyarakat telah mengurangi resiko dari terjerumus kepada permasalahan hukum. Walaupun sesungguhnya aturan ini perlu ditinjau ulang untuk penyempurnaan lebih lanjut. Kedua, perlu peningkatan kualitas dan kualitas SDM KUA serta kelengkapan sarana dan prasrana. Keadaan kantor seperti sekarang, tentu belum memadai untuk bisa memberikan pelayanan yang maksimal. Dapat dibayangkan, dengan tidak membayar saja menikah masyarakat sudah menganggap pelayanan KUA sangat baik, apalagi dengan meningkatkan pelayanan disertai dengan seluruh sarana yang dibutuhkan. Berkenaan dengan layanan unggulan Kementerian Agama yang harus lebih baik, cepat, mudah, baru dan murah seharusnya menjadi komitmen
440_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
bagi seluruh KUA. Bagi KUA Kecamatan Mungka pelayanan seperti ini sedang diupayakan. Namun karena keterbatasan SDM, anggaran dan sarana prasarana masih ada yang perlu diperbaiki. Untuk itu, akan lebih baik dalam menelaah kelebihan dan kekurangan pelayanan nikah di KUA Kecamatan Mungka dipaparkan pula analisis SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats). Analisis ini akan melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan tentang persoalan menikah di KUA Kecamatan Mungka. Tabel 11 Analisis SWOT Kekuatan (S) -UU No. 1 Th.1974 -PMA No. 11 Th.2007 -PP. No. 48 Th.2014 -UU No. 25 Th.2009 -Kepmenpan No. 25 Th.2004 -PMA No118 Th. 2010 -Kepercayaan masyarakat
Kelemahan (W) -Pegawai kurang -SDM lemah -Infra struktur minim -Tdk ada Reward/ jasa profesi utk nikah di kantor -Dana operasional krg
Peluang (O)
Tantangan (T)
-Tambah pegawai -Diklat Pegawai -Rehab atau pengadaan sarana dan pra sarana -Usulkan reward/jasa Profesi utk nikah di kantor -Usul tambah dana OP -Perbaiki aturan -Adakan penyuluhan
-Daya kritis masyarakat -Kontrol auditor -Gratis baru di KUA,di Nagari tdk gratis -Budaya masyarakat yg masih krg bijak thd ling kungan
Dari daftar analisis SWOT di atas terlihat bahwa, menikah di kantor ternyata memiliki beberapa catatan penting: pertama, menikah di kantor itu memiliki kekuatan, yaitu adanya beberapa regulasi atau aturan yang mengatur berkaitan dengan hal ini mulai dari UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, PMA No. 11 Tahun 2007 tentang pencatatan nikah, UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, Kepmenpan No.
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _441
25 Tahun 2004 tentang pedoman umum penyusunan indeks kepuasan masyarakat unit pelayanan instansi pemerintah, dan PMA No. 118 tahun 2010 tentang program percepatan melalui penyelenggaraan layanan unggulan di lingkungan Kementerian Agama. Oleh sebab itu, pihak KUA tidak memiliki alasan untuk menolak masyarakata yang akan menikah di kantor. Di samping itu, unsur kekuatan lainya dengan banyaknya masyarakat memilih untuk menikah di KUA merupakan indikator tingginya tingkat kepercayaan masyarakat. Kedua, menikah di kantor itu juga ada kelemahannya, yaitu jumlah pegawai KUA Kecamatan Mungka yang masih kurang sehingga meyebabkan pelayanan berjalan kurang maksimal. Kualitas SDM KUA Kecamatan Mungka yang masih lemah sehingga pelayanan berjalan belum optimal, ditambah lagi infrastruktur/sarana prasarana yang minim dan terbatas menyebabkan pelayanan kurang memuaskan, adalah catatan yang harus diperhatikan pihak terkait. Ketiga, adapun peluang yang mungkin dan dapat diusulkan adalah penambahan jumlah pegawai KUA. Khusus untuk KUA Kecamatan Mungka jumlah pegawai masih kurang dan perlu penambahan. Kemudian diperlukan juga pendidikan dan latihan untuk pegawai yang sudah ada agar dapat meningkatkan kompetensi di bidangnya masingmasing. Peluangan lainnya adalah perlunya rehab kantor dan melengkapi semua sarana dan prasarana melalui penganggaran yang jelas, atau bahkan mungkin pembangunan kantor baru yang lebih representatif. Kondisi kantor yang ada sekarang sangat sulit untuk dikembangkan karena keterbatasan lokasi. Keempat, tantangan yang harus dihadapi dalam rangka meningkatkan pelayanan nikah di KUA Kecamatan Mungka adalah semakin tingginya daya kritis masyarakat disebabkan tingginya tingkat pendidikan dan kemajuan masyarakat. Sekalipun masih ada pelayanan publik yang memungut biaya dalam hal mengurusi persyaratan pernikahan, seperti di nagari atau jorong, KUA tidak boleh tergoda. Pelayanan yang tidak
442_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
ada biaya baru di tingkat KUA, sementara sebelumnya di Jorong dan Nagari mereka telah membayar. Istilah pembayaran itu masih dikaitkan dengan biaya nikah sehigga terkadang KUA pun menjadi sasaran. Tantangan lainnya yang juga dihadapi adalah tingkat budaya masyarakat yang belum ramah lingkungan. Pada saat mereka ke KUA, tak jarang meninggalkan sampah, tetapi tidak bertanggung jawab untuk meletakkannya pada tempatnya. Masih ada budaya masyarakat yang berkembang belum pandai menempatkan sampah pada tempatnya.
F. Penutup Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya mengenai fenomena menikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Mungka, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Meningkatnya angka pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Mungka dibandingkan dengan pernikahan yang dilakukan di luar KUA, terus meningkat sejak diskursus biaya pencatatann nikah ramai dibicarakan dan mencapai puncaknya setelah terbit PP. No. 48 tahun 2014. Di sisi lain meningkatnya jumlah masyarakat yang menikah di KUA Kecamatan Mungka merupakan bukti peningkatan pelayanan KUA yang lebih baik, profesional, transparan, cepat dan murah dalam rangka melakukan reformasi birokrasi dan memberikan pelayanan publik yang memuaskan. 2. Latar belakang dan alasan masyarakat memilih menikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Mungka disebabkan sikap masyarakat yang cenderung pragmatis, ingin gratis/tidak membayar. Adapun faktor kemudahan urusan, faktor ekonomi dan alasan lainya merupakan alasan yang bersifat sekunder. 3. Terjadi perubahan pandangan tentang menikah menikah di KUA yang sebelumnya dianggap tabu dan jarang terjadi, dianggap ada masalah dan dicurigai telah terjadi “sesuatu” sebelum menikah, berubah menjadi hal biasa saja. Bagi masyarakat dan tokoh
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _443
masyarakat menikah di KUA atau di rumah dan masjid sama saja, tidak ada masalah. Hal ini, salah satunya disebabkan menikah di KUA Kecamatan Mungka tidak dipungut biaya dan tidak dibebankan biaya apapun. 4. Tanggapan tokoh masyarakat tentang tingginya animo masyarakat menikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Mungka ada tiga macam. Ada yang setuju karena tidak dipungut biaya sehingga masyarakat menjadi terbantu. Ada juga yang tidak setuju karena menyalahi adat kebiasaan yang ada selama ini, yang mana menikah itu biasanya di masjid. Di samping itu, ada yang menawarkan jalan tengah, bahwa menikah di KUA hanya diperuntukkan bagi yang kurang mampu, sementara bagi yang mampu secara ekonomi lebih baik di luar KUA. 5. Dampak yang ditimbulkan dari peningkatan jumlah masyarakat menikah di KUA Kecamatan Mungka ada yang bersifat negatif dan ada yang positif. Sisi positifnya, timbul kepercayaan masyarakat sehingga mengangkat citra KUA dengan pelayanan yang baik dan murah dan masyarakat juga terbantu. Sedangkan sisi negatifnya, karena kondisi Kantor Urusan Agama yang masih sederhana dan minim dari segala kelengkapan, menjadikan pelayanan tidak bisa optimal. Apalagi ada kecenderungan masyarakat menikah pada hari jum’at sehingga menyebabkan kantor padat, penuh sesak dan panas, tempat parkir yang sempit dan bisa pula tetangga di sampig kantor yang terganggu.
444_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Daftar Pustaka
Abdul Aziz ed., Kebijakan Departemen Agama dari Masa ke Masa, Jakarta: Balitbang Depag RI, 1996. _______, Penelitian Agama Dalam Perspektif, Jakarta: Balibang Depag, 1995. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999. Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, Jilid 4. Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1995, Cet.ke-3. Kustini ed., Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Dicatat, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang Kemenag RI, 2013. Manzhur, Ibn, Lisan al-‘Arab, Beirut: Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t.th, Jilid 14. Ma’luf, Louis, Munjid fiy al-Lughat, Beirut: Dar al-Machreq Sarl Publisher, 1994, Cet.ke-34 Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996, Edisi III. Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Penerjemah Mohammad Thalib, Bandung: Alma’arif, 19810, Cet.ke-16.
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _445
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, metode, teknik, Bandung: Tarsito, 1990. Syafiruddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006 al-Syafi’iy, Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Husainiy al-Hashniy al-Dimasyqiy, Kifayah al-Akhyar, T.tpt.:al-Haramain Jaya Indonesia, 2005. Tarsa dan Farid Wadjdi, Tata Cara Pelayanan Prima Kantor Urusan Agama Kecamatan, Jakarta: Pusdiklat Depag RI, 2005. Taufik Abdullah dan M.Rusli Karim ed., Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989.
Peraturan dan Perundang-Undangan Departemen Agama, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Jakarta: Departemen Agama, 2004. Inpres RI No1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI, 2000. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 118 Tahun 2010 Tentang Program Percepatan Melalui Penyelenggaraan Layanan Unggulan Di lingkungan Kementerian Agama. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
446_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Endnotes
1. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, Jilid 4, h. 1329.
2. Menurut ulama Mazhab Syafi’i nikah adalah akad yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan suami isteri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami isteri antara seorang lelaki dengan seorang wanita selama tidak ada halangan syarak. Ibid.dan lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999, h. 14., Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 3.
3. Abdul Aziz (ed.), Kebijakan Departemen Agama dari Masa ke Masa, Jakarta: Balitbang Depag RI, 1996, h. 4, 30.
4. Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Husainiy al-Hashniy al-Dimasyqiy al-Syafi’iy, Kifayah al-Akhyar, t.tpt.:al-Haramain Jaya Indonesia, 2005, Juz 2, h. 36. lihat juga Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Beirut: Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t.th, Jilid 14, h. 279, Louis Ma’luf, Munjid fiy al-Lughat, Beirut: Dar al-Machreq Sarl Publisher, 1994, Cet. ke-34, h. 836.
5. Ibid. 6. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, Jilid 4, h. 1329.
7. Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI, 2000, h. 14.
8. AhmadAzhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999, h. 14. 9. Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
PeradilanAgama dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 3.
10. Departemen Agama, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Jakarta: Departemen Agama, 2004, h. 21-24.
11. Koordinator Statistik Kecamatan Mungka, Kecamatan Mungka Dalam Angka 2013, Lima Puluh Kota: Bappeda dan BPS Kabupaten Lima Puluh Kota, 2013, h. 2.
12. Lihat juga Profil KUA Kecamatan Mungka dalam rangka Penilaian KUA
Fenomena Peningkatan Peristiwa Nikah di KUA _447 Teladan Tahun 2014, h. 3.
13. Koordinator Statistik Kecamatan Mungka, Ibid, h. 15-17. 14. Ibid., h. 4. 15. Ibid. 16. Ibid. 17. Ibid.,h. 5. 18. Ibid.,h. 5. 19. Dikutip dari Daftar Laporan Perincian NTCR Tahun 2014 Kantor Kemeneterian Agama Kabupaten Lima Puluh Kota.
20. Wawancara pribdi dengan Jainar, staf Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lima Puluh Kota tanggal 17 Februari 2015.
21. Daftar Laporan Perincian NTCR Tahun 2014 Kantor Kemeneterian Agama Kabupaten Lima Puluh Kota.
22. Telaah Akta Nikah KUA Kecamatan Mungka tahun 2010-2014 pada tanggal 19 Februari 2015.
23. Wawancara dengan Junaidi K, S.Ag, Penghulu KUA Kecamatan Mungka pada tanggal 16 Februari 2015.
24. Wawancara dengan Hijra Yati, staf KUA Kecamatan Mungka pada tanggal 16 Februari 2014.
25. Wawancara dengan pasangan calon pengantin pada waktu penesehatan
pernikahan IRV/WW (Iping Roy Verdino/Wina Widya), RR/MNA (Riki Rikardo/Mera Novia Agusti), MS/YY (Muhammad Shabri/yuyum Yulianti), MM/RHP (Rara Hersa Putri), DMF/ER (Dayos Mardi Fogus/Elfia Rahmi) tanggal 19 Maret 2015.
26. Wawancara pribadi dengan Junaidi K, S.Ag, Penghulu KUA Kecamatan Mungka, tanggal 16 Februari 2015.
27. Diskusi informal dengan penghulu dan staf KUA tentang fenomena
banyaknya masyarakat menikah di KUA Kecamatan Mungka tanggal 23 Februari 2015.
28. Wawancara dengan K.Dt.Tando (Ketua Bamus Simpang Kapuak), M. Yanis (Wali Jorong Lb. Tunggang), dan Sil Muharnis (Penyuluh Agama Simpang Kapuak) tanggal 9 Maret 2015.
29. Wawancara dengan Samsuarman (MUI Sungai Antuan, h. M.Darnison (pemuka masyarakat Sungai Antuan), Syafril (Bamus Talang Maur), M.Zen
448_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015 (Penyuluh Agama Talang Maur) tanggal 10 Maret 2015.
30. Wawancara dengan Wali Jorong Koto Tua tanggal 10 Maret 2015. 31. Wawancara dengan Syafril (tokoh masyarakat Talamg Maur) tanggal 10 Maret 2015.
32. Wawancara dengan M.Zen (tokoh masyarakat Talang Maur), Syafril (tokoh masyarakat Talang Maur), Buyung Karin (tokoh masyarakat Mungka), Edi Herman (tokoh masyarakat Jopang Manganti), Hasan Basri (tokoh masyarakat Sungai Antuan) tanggal 9 dan 10 Maret 2015.
33. Wawancara pribadi dengan DT. Angkek (tokoh masyarakat Simpang Kapuak), tanggal 16 Februari 2014.
34. Wawancara dengan Syafril (Basmus Talang Maur), M.Zen (Penyuluh Agama Talang Maur) dan Sil Muharnis (Penyuluh Agama Simpang Kapuak).
35. Wawancara dengan M. Yanis (tokoh masyarakat Simpang Kapuak) dan Syafril (Bamus Talang Maur), Buyung Karin (Tokoh masyarakat Mungka), Edi Herman (tokoh masyarakat Jopang manganti), tanggal 9 dan Maret 2015.
36. Lokakarya Mini Bidang Kesehatan di Aula Camat Mungka pada tanggal 20 desember 2014.
37. Wawancara dengan Bapak Camat Harman, A.Md.tanggal 15 April 2015. 38. Pengamatan dilakukan di berbagai lokasi antara lain di KUA, di warungwarung, di Masjid dan di berbagai tempat. Ungkapan di atas disampaikan oleh salah seorag keluarga calon pengantin yang mengantarkan calon pengantij untuk menikah di KUA Kecamatan Mungka pada tanggal 6 Februari 2015.
39. Wawancara dengan Syafril dan M.Zen (tokoh masyarakat Talang Maur) tanggal 9 Maret 2015.
40. Wawancara dengan Hasan Basri (tokoh masyarakat Sungai Antuan) tanggal 27 Februari 2015.
41. Wawancara dengan HM.Darnison (tokoh masyarakat Simpang Kapuak) tanggal 9 Maret 2015.
42. Wawancara dengan Ida Tanjung (ketua bamus Mungka) dan Sri Oshin (Penyuluh Agama Mungka) taggal 10 Maret 2015.
43. Wawancara pribadi dengan Junaidi, dan staf KUA, tanggal 16 Februari 2015. 44. Di waktu ditanya di luar ada keperluan apa buk, lalu dijawab nanti sajalah pak kalau sudah mulai sepi nanti. Pengamatan tanggal 27 Februari 2015.
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _449
The Effort to Realize the Marriage Service with Integrity Post-issuance Government Regulation No. 48 of 2014 in the Montong Gading District, East Lombok NTB (Case Study of August-December 2014)
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas Pasca Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 di Kecamatan Montong Gading Lombok Timur NTB (Studi Kasus pada Bulan Agustus-Desember 2014)
Muh Thurmuzi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Montong Gading NTB email:
[email protected]
Abstract: This paper examines the efforts to realize the marriage of integrity services after issuance of Government Regulation No. 48 of 2014, with a case study in the Montong Gading district of East Lombok NTB in August to December 2014. This paper seeks to answer some fundamental problems as follows: 1). What is the attitude of society towards the implementation Montong Gading district marriage outside the office after the enactment of Government Regulation No. 48 Year 2014? And 2). How is the response of the Religious Affairs Office of Montong Gading district to the implementation of marriage outside the office after the enactment of Government Regulation No. 48 of 2014 related to the marriage service with integrity. The Religious Affairs Office
450_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015 Montong Gading district responded enthusiastically implementation of marriage outside the office after the enactment of Government Regulation No. 48 of 2014 related to the marriage service with integrity. Enthusiastic attitude shown by intensive socialization and provide insight and evidence that the Religious Affairs Office/KUA is anti-graft. Further concrete steps are carried out by the Religious Affairs Office of Montong Gading district is taking the option to promote marriage in the office. Abstraksi: Tulisan ini mengkaji tentang upaya mewujudkan layanan nikah yang berintegritas pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 dengan studi kasus di Kecamatan Montong Gading Lombok Timur NTB pada bulan Agustus sampai Desember 2014. Tulisan ini berusaha menjawab beberapa pokok masalah sebagai berikut: 1). Bagaimana sikap masyarakat kecamatan Montong Gading terhadap pelaksanaan nikah luar kantor setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014? Dan 2). Bagaimana tanggapan pihak Kantor Urusan Agama kecamatan Montong Gading terhadap pelaksanaan nikah luar kantor setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 kaitannya dengan layanan nikah yang berintegritas. Pihak Kantor Urusan Agama kecamatan Montong Gading menanggapi dengan antusias pelaksanaan nikah luar kantor setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 kaitannya dengan layanan nikah yang berintegritas. Sikap antusias itu ditunjukkan dengan melakukan sosialisasi yang gencar dan memberikan pemahaman dan pembuktian bahwa KUA anti gratifikasi. Langkah konkrit lebih lanjut yang dilakukan pihak KUA Montong Gading adalah mengambil pilihan untuk memasyarakatkan nikah dalam kantor. Keywords: services, registration of marriage, the Religious Affairs Office / KUA
A. Latar Belakang Masalah Penghulu di kalangan masyarakat adalah jabatan yang familiar, bahkan dalam sejarah kepenghuluan di Indonesia, para ’penghoeloe” itu memiliki tugas ganda sebagai hakim Pengadilan Serambi.1 Begitu familiarnya, maka jika mendengar kata “penghulu”, spontan bayangan kita tertuju pada sosok laki-laki yang berwibawa dengan
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _451
memakai baju sapari, berpeci, melangkah mantap dalam memimpin ijab qabul pernikahan. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 pasal 21 ayat (2) penghulu melaksanakan tugas menikahkan di luar kantor. Dalam peristiwa nikah di luar kantor, penghulu banyak diatur oleh masyarakat baik waktu dan tempat pelaksanaan pernikahan. Tak jarang pernikahan berlangsung di hari libur atau malam hari, padahal belum ada aturan tentang biaya penghulu menghadiri nikah di luar kantor. Akibatnya, transport penghulu ditanggung oleh masyarakat penerima layanan nikah tersebut. Dalam pandangan fikih, hal seperti itu digolongkan dengan bisyarah 2 yang halal hukumnya. Ketika Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI mengindikasikan hal tersebut sebagai pungutan liar atau gratifikasi3 biaya nikah yang dilakukan penghulu di Kantor Urusan Agama4, sosok penghulu langsung berubah menjadi sosok yang suka menerima uang di tengah kegembiraan calon mempelai laki-laki dan perempuan. Hal tersebut melahirkan opini publik bahwa di KUA, terjadi korupsi dengan adanya gratifikasi yang dilakukan oleh para penghulu pasca upacara pernikahan. Berkat perjuangan jajaran Kementerian Agama, akhirnya pada tanggal 27 Juni 2014 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 yang mengatur dengan jelas, nikah di balai nikah Kantor Urusan Agama (KUA) adalah gratis, sedangkan di luar jam kerja dan di kediaman kedua mempelai dikenakan biaya Rp. 600.000. Sebagian diantara biaya Rp. 600.000 itu peruntukkannya antara lain untuk transport penghulu yang menikahkan di luar kantor. Pada tataran teori, peraturan ini diharapkan dapat menjadi penyelamat bagi penghulu dari jeratan gratifikasi sekaligus menjadi jawaban final atas kepedulian pemerintah terhadap kinerja penghulu yang menikahkan di luar kantor dan di luar jam kerja. Akan tetapi pada tataran praktis, penerapan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 itu mengharuskan penghulu disamping harus berpedoman pada Juklak dan
452_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Juknis Kepenghuluan, ternyata harus memperhatikan juga unsur lain yaitu agama, budaya, tradisi, gengsi dan klenik daerah tempat tugasnya, seperti yang terjadi di kecamatan Montong Gading Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Dari observasi dan wawancara yang penulis lakukan, terdapat beberapa karakteristik masyarakat kecamatan Montong Gading terkait dengan pelaksanaan akad nikah. Pertama, masyarakat Montong Gading mempunyai tradisi menikahkan anak atau keluarganya di rumah pengantin laki.5 Kedua, tradisi tersebut memiliki prestise tersendiri di kalangan keluarga pengantin perempuan. Ketiga, tradisi tersebut diiringi dengan kebiasaan menghadirkan para tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat.6 Sesuai dengan tiga karakteristik tersebut, maka sebagian besar pernikahan dilaksanakan di luar kantor atau rumah pengantin. Bahkan sebelum Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 berlaku, hampir 90% pernikahan berlangsung di luar kantor. Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 masyarakat pengguna layanan nikah mulai mempertimbangkan pilihan nikah dalam kantor. Meski demikian, tiga karakteristik masyarakat Montong Gading di atas masih melekat kuat. Pihak Kantor Urusan Agama kecamatan Montong Gading sendiri menyambut antusias berlakunya Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014. Sikap antusias itu muncul ketika dikaitkan dengan upaya mewujudkan layanan nikah yang berintegritas, meskipun ditemukan beberapa kendala sebagai berikut. Pertama, isu gratifikasi yang masih kental. Masyarakat berpendidikan rendah masih belum bisa membedakan istilah biaya resmi nikah dengan dana yang selanjutnya tergolong “gratifikasi”, sehingga cara pembayarannya masih memakai cara lama.7 Kedua, pemahaman sepihak masyarakat tentang fungsi melayani KUA. Memang, ketika calon pengantin atau keluarganya sudah melunasi pembayaran melalui Bank Rp. 600.000, kemudian tanda bukti diserahkan ke KUA, tidak ada pilihan lain bagi penghulu kecuali memberi pelayanan. Tetapi jika diperhatikan
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _453
dari cara masyarakat mengemas acara nikah di rumah, terkesan mereka lebih mengutamakan tradisi dan ketentuan mereka baik dengan melaksanakan pernikahan di hari libur, wali nikah menjadi penentu hari, membatalkan acara secara sepihak, waktu tunggu kedatangan wali dan rombongan yang tak menentu, dan durasi acara yang panjang dan bertele-tele.8 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 persoalan payung hukum untuk transport penghulu bisa jadi telah final, tetapi perlakuan masyarakat terhadap petugas KUA/penghulu dapat mengganggu integritas9 pelayanan para penghulu.
B. Kajian Teoritis 1. Tugas dan Fungsi Kantor Urusan Agama Kementerian Agama memangku tugas pokok yang amat berat dan mulia, yaitu menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan yang salah satu tugasnya adalah pelayanan pencatatan perkawinan bagi umat Islam sebagaimana diamanatkan oleh Undangundang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk; dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 secara menyeluruh di seluruh wilayah kesatuan Republik Indonesia , serta Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 517 tahun 2001 pasal 3 maka tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama Kecamatan adalah sebagai berikut: a. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi; b. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan dan rumah tangga Kantor Urusan Agama; c. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, bait al-mâl dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai
454_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Penghulu sebagai Pegawai Pencatat Nikah Penghulu ditetapkan sebagai Jabatan Fungsional melalui Peraturan Materi Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor: PEN/62/M. PAN/6/2005, dan telah ditindaklanjuti dengan peraturan bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor: 20 dan 14 A tentang petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya. Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 dinyatakan bahwa Penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Tugas pokok penghulu adalah melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/ rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/ rujuk, penasehatan dan konsultasi nikah/ rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan mu’amalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan. Landasan hukum bagi penghulu dalam pelaksanaan tugasnya, didasarkan pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 pasal 21 yang berbunyi: (1.) Akad nikah dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (2.) Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama 3. Penghulu, Adat dan Masyarakat Adat Sasak Lombok Penghulu dalam pandangan masyarakat Sasak Lombok tidak hanya diposisikan sebagai jabatan fungsional tetapi juga jabatan kultural.
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _455
Sebagai pejabat fungsional, penghulu wajib berpedoman pada aturan yang telah ditetapkan, akan tetapi sebagai pejabat kultural yang diakui oleh masyakarat, penghulu tidak bisa mengesampingkan tradisi yang ada, bahkan harus terlibat aktif di dalamnya. Setiap daerah memiliki adat yang berbeda-beda. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dalam definisi lugawi menurut Abu Sinnah dan Muhammad Mustafa Syalabi, mengandung arti pengulangan atau praktek yang sudah menjadi kebiasaan, yang dapat dipergunakan baik untuk kebiasaan individual (‘adah fardiyah) maupun kelompok (‘adah jama’iyah).10 Istilah lain yang tidak bisa lepas dari ‘Adah adalah ‘urf. Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya al-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia. Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.11 Jika dihubungkan dengan fiqih/hukum Islam, adat di Indonesia sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Dalam sejarah paling tidak ada tiga teori yang muncul terkait antara hukum Islam dan Adat. Pertama, teori Receptio in Complexu yang dicetuskan oleh van den Berg didasarkan pada kenyataan bahwa hukum Islam diterima secara menyeluruh oleh umat Islam. Kedua teori Receptie cetusan Cristian Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Ketiga, teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario cetusan Hazairin yang mengkounter teori sebelumnya dengan menyatakan bahwa hukum adat yang tidak sejalan dengan ketentuan hukum Islam harus dikeluarkan, dilawan atau ditolak.12 Secara garis besar, seluruh adat yang ada di pulau Lombok ini dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu apa yang disebut gawe urip dan gawe pati. Gawe urip adalah segala pelaksanaan ritual untuk orang yang masih hidup dan gawe pati adalah pelaksanaan ritual untuk orang yang sudah
456_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
meninggal.13 Masyarakat Adat Sasak kemudian mengelompokkan diri dalam Majelis Adat Sasak yang terbentuk sesuai wilayah tempat tinggal masing-masing. Masyarakat Kecamatan Montong Gading sebagai objek penelitian termasuk salah satu dari masyarakat suku Sasak yang tergabung dalam Majelis Adat Sasak Paer Timuq14 yang pusatnya di Lendang Nangka Lombok Timur. Pada tanggal 17 Januari 2010 melalui sangkep (rapat) pengurusnya menetapkan awiq-awiq15 tentang proses Perkawinan (merariq) Adat Sasak Paer Timuq sebagai berikut: 1) Merariq adalah proses yang ditandai dengan pria dan wanita yang sudah cukup umur sepakat membangun kehidupan rumah tangga, melakukan tindakan adat merariq yaitu si calon pengantin pria menjemput calon pengantin wanita dari rumahnya untuk dibawa ke rumah keluarga pria. Penjemputan tersebut biasanya dilakukan malam hari dan didampingi oleh beberapa orang dewasa. 2) Sejati adalah kegiatan melapor dari Pamong Desa calon pengantin pria kepada Pamong Desa tempat tinggal calon pengantin wanita. Proses ini dilaksanakan segera setelah calon pengantin dinyatakan merariq. 3) Selabar, adalah tahap lanjutan setelah tahap sejati sudah dilakukan dan diterima, yaitu kegiatan Pamong Desa calon pengantin pria melapor kepada keluarga calon pengantin wanita tentang telah terjadinya kegiatan merariq tersebut. 4) Nunas Wali, adalah permintaan mandat wali dari orang tua atau keluarga yang berhak supaya dapat dinikahkan. Petugas yang melaksanakan proses ini biasanya adalah petugas agama, kyai atau penghulu yang nantinya menyelesaikan pernikahan. 5) Nikah, bila sudah ada persetujuan wali nikah maka segera dilangsungkan pernikahan. Menikahkan pengantin dilakukan oleh si wali nikah dan atau diwakilkan kepada orang lain yang dipercaya. 6) Bait Janji, adalah proses perundingan untuk menyelesaikan adat. Pihak keluarga pengantin pria mengirim utusan kepada keluarga
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _457
pengantin wanita untuk merundingkan beberapa hal yang terkait dengan gantiran/pisuke, sorongserah/Aji Krama dan nyongkol, dll. 7) Nyerah Gantiran/Pisuke, merupakan proses menyerahkan bantuan kepada keluarga pengantin wanita. Biasanya sekitar seminggu sebelum upacara adat diselenggarakan, pihak keluarga pria mengantarkan bahan-bahan berupa sapi/kerbau, beras, kayu bakar dll. 8) Sorong Serah/Aji Krama, yakni upacara inti dari adat perkawinan sasak, karena pada upacara tersebut akan hadir seluruh keluarga dan kerabat kedua belah pihak. Prosesi sorong serah dipimpin oleh seorang pembayun dari masing-masing pihak. Bersamaan dengan kegiatan itu, pihak keluarga pengantin wanita mengadakan kegiatan yang disebut dengan nanggep. 9) Nyongkol/Nyombe, ialah acara yang segera akan dilakukan setelah upacara sorong serah selesai. Kegiatan ini berupa arak-arakan kedua pengantin diikuti oleh keluarga dan masyarakat dari pengantin pria menuju rumah keluarga pengantin wanita. Nyongkol biasanya diiringi kesenian tradisional gendang beleq dll. 10) Baliq Lampaq/Tampak, yaitu kunjungan dari pengantin dan pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita dengan rombongan terbatas dalam rangka saling mengenal lebih dekat dari kedua pihak keluarga. 11) Perebaq Jangkih, adalah sebuah acara jamuan terbatas di lingkungan keluarga dekat sebagai ungkapan rasa syukur bahwa seluruh tahapan kegiatan dalam rangka merariq sudah selesai. 4. Konsep Gratifikasi, Pelayanan Nikah di luar kantor dan Integritas Penghulu Pada era reformasi, telah terbit Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
458_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
mengatur tentang konsep gratifikasi. Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa: “Yang dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”. Apabila dicermati penjelasan pasal 12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifkasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja.16 Dengan diterbitkannya Undang-Undang anti korupsi tersebut telah menimbulkan adanya missing link antar peraturan bagi penghulu. Dari sisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 penghulu terpojok pada ancaman gratifikasi bila menerima transport dalam pelaksanaan tugasnya menikahkan di luar kantor, sementara dari sisi Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 praktik pelaksanaan pernikahan di luar kantor KUA masih ditoleransi. Pada tanggal 27 Juni Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama. Peraturan ini lahir sebagai jawaban final sekaligus sebagai payung hukum bagi penghulu dalam melaksanakan tugas menikahkan di luar kantor dan di luar jam kerjanya.
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _459
Adapun tentang konsep integritas, secara definisi memiliki makna kejujuran; mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki kemampuan yang memancarkan kewibawaan.17 Definisi ini mengisyaratkan bahwa integritas adalah bentuk ketaatan secara keagamaan terhadap kode moral, nilai dan kelakuan. Kalau diperagakan, maka integritas ini melebihi karakter seseorang, aksi yang dapat dipercaya (trustworthy action) dan komitmen yang bertanggung jawab (responsible commitment). Kalau boleh ditentukan, maka integritas itu adalah standar terhadap anti suap (incrorruptibility) menolak melakukan kesalahan terhadap kebenaran, bertanggung-jawab atau janji (pledge). Dengan demikian, maka integritas penghulu mencakup moral, perilaku dan tanggung jawabnya dalam melaksanakan kewenangannya. Unsur-unsur inilah (moral dan tanggung jawab) yang dijadikan patokan dalam mewujudkan layanan nikah yang berintegritas.
C. Kerangka Berfikir Penelitian ini didasarkan pada kerangka berfikir sebagai berikut. Secara de jure, norma hukum yang diperkirakan dapat membentengi dan menjadi panduan para penghulu dalam upaya mewujudkan layanan nikah yang berintegritas sudah cukup memadai. Tetapi secara de facto, masih terdapat beberapa hambatan yang bersumber dari peninggalan sejarah masa lalu, terutama dengan pelaksanaan nikah luar kantor. Penghulu dalam pandangan masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai jabatan fungsional tetapi juga jabatan kultural.18 Penghulu sebagai jabatan kultural, erat kaitannya dengan tradisi masyarakat kecamatan Montong Gading yang menikahkan anak atau keluarganya di rumah pengantin laki dengan mengundang para tokoh Agama dan tokoh Masyarakat. Kehadiran para undangan di rumah mereka merupakan prestise mereka di kalangan keluarga pengantin perempuan. Hambatan tersebut ditambah pula dengan pemahaman masyarakat mengenai fungsi petugas KUA yang “melayani”. Dalam paradigma masyarakat hal tersebut berarti petugas KUA/penghulu harus memberikan pelayanan
460_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
berintegritas versi masyarakat dalam arti pelayanan yang menyatu utuh dengan tradisi dan ketentuan mereka. Tradisi dan ketentuan masyarakat antara lain ; Kebiasaan melaksanakan pernikahan di hari libur, wali nikah sebagai penentu hari, secara sepihak boleh menunda atau membatalkannya, waktu tunggu kedatangan wali dan rombongan yang tak menentu, dan durasi acara yang panjang dan bertele-tele. Maka sebagai hipotesis, dalam rangka mewujudkan layanan nikah yang berintegritas harus diupayakan semaksimal mungkin pelaksanaan nikah di dalam kantor.
D. Deskripsi Masalah 1. Sikap Masyarakat terhadap Pelaksanaan Nikah Luar Kantor Kecamatan Montong Gading memiliki luas Wilayah 31,13 Km2 dengan ibu kota Kecamatan di Desa Montong Betok, terdiri dari 48 kekadusan dan 8 desa yaitu; Desa Montong Betok, Desa Pesanggrahan, Desa Kilang, Desa Pringgajurang, Desa Pringgajurang Utara, Desa Perian, Desa Jenggik Utara dan Desa Lendang Belo.19 Kecamatan Montong Gading memiliki ketinggian 390-497 meter dari permukaan laut, dengan tropografi datar 9-15 m pertahun. Jarak tempuh Kecamatan Montong Gading ke kabupaten/kota adalah 30 Km dan jarak ke Provinsi 55 Km. Sebagai kecamatan yang baru sejak tahun 2004 dan merupakan kecamatan pemekaran dari kecamatan Terara Lombok Timur, tentu dapat dibayangkan bagaimana kondisi inprastrukturnya. Wilayah ini didominasi oleh perbukitan berbatu terlebih sebelah utara yang langsung berbatasan dengan Taman Nasional gunung Rinjani dengan kondisi jalan yang baru 40% baik dan 60% sisanya masih jalan semi permanen. Dari observasi yang penulis lakukan, sebagian besar penduduk kecamatan Montong Gading bermata pencaharian sebagai buruh tani, buruh angkut dan pengrajin. Dengan jumlah penduduk yang 99,99 persen muslim, masyarakat Montong Gading adalah masyarakat muslim
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _461
yang taat. Ini ditandai dengan perilaku kehidupan masyarakat yang kental dengan nuansa agama. Tak terkecuali dalam prilaku perkawinan, masyarakat Montong Gading sebagai muslim, sebagai bagian dari suku Sasak dan warga negara Indonesia, melaksanakan perkawinan berlandaskan pada norma hukum agama, adat dan Undang-Undang. Secara sosiologis masyarakat Lombok – termasuk di dalamnya masyarakat Montong Gading – merupakan masyarakat agraris. Ini terlihat dari dominasi mata pencaharian masyarakat sebagai petani dan hidup di pedesaan. Ciri agraris erat hubungannya dengan kecenderungan pemikiran tradisionalis, dan masyarakat yang memiliki pemikiran tradisionalis memiliki karakter yang selalu setia menjaga nilai-nilai warisan leluhur, nilai-nilai agama yang dianut dan kepada pemimpinpemimpin spiritual keagamaan yang menjadi manifestasi kebenaran ketuhanan. Hal itu menjadikan tradisi keagamaan umat Islam di pulau Lombok pada umumnya, memiliki karakteristik umum yang khas yaitu: a. Tradisi keagamaan di Lombok tidak bisa dilepas dari adat atau disebut adat luwirgama.20 Maka hampir semua tradisi keagamaan di Lombok mengadopsi tradisi adat nenek moyang yang menganut Animisme, Dinamisme atau agama Hindu. Hal itu dapat terlihat dalam tradisi gawe pati nelung, mituq, nyiwaq, metangdase, nyatus, nyiu dan sebagainya. b. Peran para Tuan Guru dalam ikut mewarnai tradisi keagamaan di Lombok sangat dominan. Di Lombok, Tuan Guru adalah sebutan kelas sosial yang berada pada lapis tertinggi dalam struktur masyarakat Lombok.21 Hal ini menjadikan adanya pelapisan sosial pada matra stigmatik yang tercipta oleh sistem sosial.22 Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Lombok yang tradisional religius, pemimpin spiritual/elit agama memiliki peranan yang lebih penting daripada yang lain. Ini berarti masyarakat Lombok mayoritas cenderung memandang dan mengagungkan ketokohan.23 Implikasi dari pengagungan tokoh ini adalah penerimaan bulat-bulat (tanpa
462_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
reserve) masyarakat terhadap apa yang disampaikan dan dilakukan oleh tokohnya. Terbentuknya tradisi keagamaan yang berkarakteristik Lombok tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ; a. Masyarakat Lombok mempunyai potensi spiritualitas24 yang baik, ditandai dengan semangat pemahaman dan pendalaman ajaran agama sekaligus pengamalan dan penyebarannya di tengah masyarakat.25 Di sisi lain, masyarakat Sasak Lombok terbukti tidak sedikit mempertahankan tradisi nenek moyang, karena mereka beranggapan bahwa suatu perbuatan yang berulang-ulang dan dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang sudah seharusnya, akan menjadi hukum kebiasaan dan dapat dijadikan sebagai hukum jika kebiasaan tersebut dirasakan sebagai suatu kewajiban yang harus ditaati. Apalagi hal tersebut yang merupakan seluruh kebiasaan yang dipraktikkan oleh sebagian besar masyarakat akar rumput dalam hal ini tokoh pemerintahan, tokoh adat, dan tokoh agama.26 b. Indoktrinasi dari para elit agama dan tokoh adat Sasak27 c. Internalisasi tradisi yang telah berlangsung cukup panjang dan laten28 Dari observasi yang penulis lakukan, ditemukan fakta bahwa secara Ormas Islam, masyarakat Montong Gading mayoritas adalah jama’ah Nahdlatul Wathan yang bercirikan; menganut aliran fiqh tradisional yang jarang menghasilkan fatwa yang inovatif, hanya sekedar mengkonservasi pemikiran-pemikiran keislaman lama tanpa sempat melakukan kontekstualisasi.29Dengan kata lain, tidak membawa semangat pembaharuan Islam, melainkan semangat taqlid30 kepada para imam madzhab terutama madzhab Syafi’i. Ajaran Islam menurut paham Ahlusssunnah Waljamaah inilah yang menjadi karakter dasar dari setiap lembaga pendidikan NW yang kemudian akan menyebar menjadi karakter masyarakat setelah menjadi abituren31 nanti. Kesetiaan kepada nilai lokal dalam pelaksanaan tradisi agama dan budaya setempat terjaga dengan ayoman para pemimpin non formal
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _463
kharismatik bernama Tuan Guru, yang selalu memberikan kekuatan moral agama dalam ceramah dan fatwa-fatwa keagamaan yang mereka sampaikan. Posisi politis dan kekuasaan kultural Tuan Guru sangat sulit digantikan oleh kekuasaan negara dalam konteks pelaksanaan hukum positif terutama dalam hukum perdata. Masyarakat kecamatan Montong Gading memiliki tiga karakteristik pelaksanaan akad nikah. Pertama, masyarakat Montong Gading mempunyai tradisi menikahkan anak atau keluarganya di rumah pengantin laki. Kedua, tradisi tersebut memiliki prestise tersendiri di kalangan keluarga pengantin perempuan. Ketiga, tradisi tersebut diiringi dengan kebiasaan menghadirkan para tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Dengan adanya ketiga karakteristik itu maka tak heran jika pernikahan mayoritas berlangsung di luar kantor atau di luar jam kerja, terlebih sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014. Sejak lahirnya istilah Pembantu Penghulu, proses pernikahan di Nusa Tenggara Barat, termasuk di kecamatan Montong Gading Lombok Timur, mulai dari pengurusan dan pembuatan persyaratan administrasi pencatatan nikah mulai dari model N1-N4 di Kantor Desa, menyelesaikan adat, pengambilan wali, menghadiri akad Nikah, pemeriksaan seluruh persyaratan administrasi, pengawasan, dan pencatatannya di lakukan oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah ( Pembantu Penghulu ), setelah itu baru di laporkan atau diantarkan ke Kantor Urusan Agama ( KUA ) Kecamatan. Pegawai Pencatat Nikah ( PPN ) dalam hal ini Kepala KUA atau Penghulu melakukan pemeriksaan, setelah semua persyaratan administrasi dinyatakan lengkap kemudian PPN atau Penghulu baru meregisrter ke dalam buku Register Nikah dan selanjutkan menerbitkan Kutipan Akta Nikah atau Buku Nikah. Pengambilan Kutipan Akta Nikah di Kantor Urusan Agama dan penyerahan Kutipan Akta Nikah atau Buku Nikah kepada pasangan pengantin juga dilaksanakan oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah ( Pembantu Penghulu ) kecuali pernikahan
464_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
dengan Wali Hakim, karena yang menjadi wali nikah adalah Kepala Kantor Urusan Agama atau Penghulu. Proses tersebut tetap berlangsung sampai dengan keluarnya Instruksi dari Dirjen Bimas Islam Nomor: Dj. II/113 Tahun 2009 Tanggal 10 Pebruari 2009 tentang Penataan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah ( Pembantu Penghulu ). Maka praktis sejak Bulan Pebruari 2013 seluruh proses pelayanan pencatatan perkawinan ditangani langsung oleh PPN (Pegawai Penacatat Nikah), mulai pendaftaran pernikahan di Kantor Urusan Agama sampai kepada proses pelaksanaan pernikahan baik dikantor maupun di luar kantor baik pada hari dan jam kerja maupun di luar kantor dan di luar jam kantor. Walaupun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 ada sebagian masyarakat pengguna layanan nikah yang mulai melirik pilihan nikah dalam kantor, tetapi sebagian lagi tetap ingin mempertahankan tiga karakteristik di atas. Besaran biaya nikah luar kantor tidak menjadi perhatian utama masyarakat. Meski sedikit merepotkan karena aturan harus menyetor sendiri biayanya di Bank tapi tetap saja biaya tersebut dinilai masih terjangkau oleh kantong mereka. 32 Bagi mereka, nikah di luar kantor tetap menjadi pilihan utama didukung oleh alasan tradisi, disamping juga beberapa alasan sebagai berikut: a) Jika menikahkan di dalam kantor, masyarakat merasa kurang etis mengundang Tuan Guru33. b) Pelaksanaan pernikahan di KUA ternyata lebih memboroskan. Hal itu disebabkan karena tradisi masyarakat, dimana keluarga pengantin pria menanggung biaya transport,akomodasi wali nikah dan rombongan keluarga pengantin wanita untuk menyaksikan akad nikah, dan biasanya dalam jumlah banyak. 34 c) Ruangan balai nikah yang tidak memadai, baik dari kualitas maupun kuantitas menampung jumlah rombongan keluarga pengantin35 d) Jika menikahkan di dalam kantor, pihak keluarga pengantin pria merasa kurang puas dan kurang sreg kepada keluarga pengantin
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _465
wanita karena tidak bisa memberikan jamuan setelah akad nikah berlangsung. Pihak keluarga pengantin wanita pun kurang antusias, jika menikahkan di kantor kemudian dipersilahkan ke kediaman pengantin pria untuk menerima jamuan. Apalagi jika jarak antara KUA dengan kediaman pengantin pria terhitung jauh.36 2. Tanggapan Pihak KUA Kecamatan Montong Gading Kementerian Agama merupakan representasi wajah umat beragama di Indonesia, dan Kantor Urusan Agamalah yang menjadi garda terdepannya. Oleh karena itu tolak ukur keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Agama ditentukan juga oleh keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama. Akan tetapi semua itu memerlukan dukungan dan sinergi dengan berbagai pihak, baik lintas kementerian/lembaga, dengan pemerintah daerah serta para tokoh agama dan masyarakat. Pada era reformasi saat ini transparansi, ketika akuntabilitas dan kejujuran publik menjadi agenda utama, maka reformasi dan perubahan struktur birokrasi yang bermakna reorientasi, reformasi dan refungsionalisasi, mutlak diperlukan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi organisasi. Oleh karena itulah, tugas dan fungsi pejabat dalam birokrasi diharapkan dapat optimal dalam pelayanan dan pengayoman hajat hidup masyarakat. Perubahan struktur, peran dan fungsi birokrasi tersebut sekaligus mengandung makna bahwa setiap birokrat dituntut memiliki semangat kemasyarakatan dan pengabdian.37 Salah satu bentuk nyata reformasi di bidang pelaksanaan tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama adalah dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 477 Tahun 2004 Tentang Pencatatan Nikah, yang mencabut tugas dan wewenang PPN serta dialihkan kepada Institusi Kepenghuluan, yang dalam konteks ini adalah Penghulu dan Pembantu Penghulu.38 Perubahan piranti tersebut, meskipun bukan peristiwa yang luar biasa, tetapi setidaknya akan membawa implikasi dan perubahan suasana
466_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
baru secara struktural, sosial dan psikologis. Hal ini menurut Oyo Sunaryo Mukhlas39 tentunya merupakan tantangan sekaligus sebagai kepercayaan yang perlu mendapat apresiasi secara seksama, sehingga jabatan penghulu bukan saja sebagai corong yang piawai melaksanakan tupoksinya, tetapi juga handal dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan umat. Dalam melaksanakan tugasnya, penghulu disamping harus berpedoman pada Juklak dan Juknis Kepenghuluan, ternyata harus memperhatikan juga unsur lain yaitu agama, budaya, tradisi, gengsi dan klenik daerah tempat tugasnya. Jadi, tugas kepenghuluan bukan urusan administrasi semata. Tak terkecuali di kecamatan Montong Gading. Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 bagi pihak Kantor Urusan Agama kecamatan Montong Gading merupakan angin segar sekaligus tantangan baru. Menjadi angin segar karena merupakan perisai atas ancaman gratifikasi, tetapi juga menjadi tantangan karena merupakan pekerjaan rumah untuk bagaimana meningkatkan mutu pelayanan nikah sekaligus mewujudkan layanan nikah yang berintegritas. Dalam rangka mewujudkan layanan nikah yang berintegritas, jika dihubungkan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 pihak KUA Kecamatan Montong Gading mensinyalir adanya beberapa peluang sekaligus hambatan. Peluang dan hambatan tersebut antara lain: a) Tradisi masyarakat yang menikahkan anak atau keluarganya di rumah. Tradisi ini dapat menjadi peluang menambah persentase sosialisasi peraturan dan program KUA, sarana mendekatkan diri dengan masyarakat dan sarana menampung aspirasi dan sharing atas pelayanan KUA. Tradisi ini dapat juga menjadi hambatan ketika tradisi menjadi penentu pelaksanaan nikah, dalam arti waktu pelaksanaan menjadi otoritas wali nikah, kemungkinan membatalkan acara secara sepihak dan dalam acara pelaksanaan digabung dengan
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _467
acara adat sorong serah/aji krama mengakibatkan acara menjadi panjang dan bertele-tele. b) Transport penghulu yang melaksanakan tugas menikahkan di luar kantor sebagaimana diatur dalam PP.48/2014. Hal ini dapat menjadi peluang meningkatkan kinerja penghulu sekaligus perisai terhormat untuk menangkis gratifikasi, tetapi dapat menjadi halangan ketika pendistribusiannya tak lancar dan tak sesuai dengan harapan. c) Sarana Balai Nikah, dapat menjadi peluang untuk memberikan pelayanan nikah di kantor sekaligus meminimalisir isu gratifikasi. Di sisi lain dapat menjadi hambatan ketika masyarakat menilai sarana tersebut belum dapat meningkatkan alasan mereka memilih nikah di kantor KUA.40
E. Analisis Masalah 1. Analisis terhadap Sikap Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014, sebagian masyarakat pengguna layanan nikah memilih nikah dalam kantor, tetapi sebagian lagi memilih menikahkan anak atau keluarga di rumah dengan motivasi utama untuk menjaga dan melestarikan tradisi. Tradisi menikahkan anak atau keluarga di rumah masih menjadi pilihan utama pada bulan Agustus 2014, sebagaimana terlihat dari tabel di bawah ini: No
Desa
Nikah Kantor
Luar
Miskin
Jumlah
1
Mtg. Betok
6
6
-
12
2
Pesanggrahan
2
2
-
4
3
Kilang
1
5
-
6
4
Pringgajurang
1
4
-
5
5
Pr. Jurang U
6
6
-
12
6
Perian
5
4
-
9
468_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
7
Jenggik Utara
3
3
-
6
8
Lendang belo
-
1
-
1
24
31
-
55
Jumlah
Tabel 1: Data Peristiwa Nikah di dalam dan luar kantor KUA kecamatan Montong Gading bulan Agustus 2014 Akan tetapi pada bulan-bulan berikutnya pernikahan di luar kantor mulai menunjukkan fluktuasinya. Data-data tersebut dapat diikuti dari tabel-tabel di bawah ini: No
Desa
Nikah Kantor
Luar
Miskin
Jumlah
1
Mtg. Betok
2
4
-
6
2
Pesanggrahan
1
8
-
9
3
Kilang
3
1
-
4
4
Pringgajurang
2
2
-
4
5
Pr. Jurang U
1
1
-
2
6
Perian
6
1
-
7
7
Jenggik Utara
1
1
-
2
8
Lendang Belo
-
1
-
1
16
19
-
35
Jumlah
Tabel 2: Data Peristiwa Nikah di dalam dan luar kantor KUA kecamatan Montong Gading bulan September 2014 No
Desa
Kantor 3
Luar 2
Nikah Miskin -
Jumlah 5
1
Mtg. Betok
2
Pesanggrahan
1
6
-
7
3
Kilang
3
-
-
3
4
Pringgajurang
2
-
-
2
5
Pr. Jurang U
2
1
-
3
6
Perian
7
4
-
11
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _469
7
Jenggik Utara
1
4
-
5
8
Lendang Belo
1
1
-
2
20
18
-
38
Jumlah
Tabel 3: Data Peristiwa Nikah di dalam dan luar kantor KUA kecamatan Montong Gading bulan Oktober 2014 No
Desa
Kantor 5
Luar 2
Nikah Miskin -
Jumlah 7
1
Mtg. Betok
2
Pesanggrahan
-
2
-
2
3
Kilang
2
1
-
3
4
Pringgajurang
1
1
-
2
5
Pr. Jurang U
1
-
-
1
6
Perian
4
2
-
6
7
Jenggik Utara
4
2
-
6
8
Lendang Belo
3
-
-
3
20
10
-
30
Jumlah
Tabel 4: Data Peristiwa Nikah di dalam dan luar kantor KUA kecamatan Montong Gading bulan November 2014 No
Desa
Kantor
Luar
Nikah Miskin
Jumlah
1
Mtg. Betok
4
2
-
6
2
Pesanggrahan
7
3
-
10
3
Kilang
-
-
-
-
4
Pringgajurang
8
2
-
10
5
Pr. Jurang U
-
1
-
1
6
Perian
3
2
-
5
7
Jenggik Utara
1
-
-
1
8
Lendang Belo
2
-
-
2
25
10
-
35
Jumlah
Tabel 5: Data Peristiwa Nikah di dalam dan luar kantor KUA kecamatan Montong Gading bulan Desember 2014
470_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Besaran biaya nikah luar kantor memang tidak menjadi kendala utama masyarakat untuk melangsungkan pernikahan di rumah. Bagi mereka, nikah di luar kantor tetap menjadi pilihan utama didukung oleh alasan tradisi, disamping juga beberapa alasan. Akan tetapi alasan-alasan yang dikemukakan (dalam Deskripsi Masalah A.1) tersebut dapat dianalisa sebagai berikut: a) Alasan kurang etis mengundang Tuan Guru. Dalam beberapa kesempatan wawancara, penulis mendapatkan fakta bahwa tidak semua Tuan Guru mempermasalahkan etis atau tidak jika mereka diundang menghadiri pernikahan di KUA. Justru menurut mereka itu merupakan terobosan baru yang dapat membantu masyarakat dalam rangka menyederhanakan gawe nikah mereka41. Menjadi keprihatinan sebagian Tuan Guru, ketika mengetahui masyarakat di sekitarnya terkesan memaksakan diri untuk melaksanakan tradisi yang secara material membutuhkan biaya banyak. Bahkan tidak hanya untuk biaya pelaksanaan itu saja, dengan adanya adat pemberian pisuke42 yang tinggi/mahal,43 terlebih ketika terjadi perkawinan antara lakilaki dari kalangan jajar karang (non-bangsawan) dengan perempuan dari kalangan Menaq (bangsawan). b) Untuk alasan b, c dan d yaitu ; pelaksanaan pernikahan di KUA ternyata lebih memboroskan, ruangan balai nikah yang tidak memadai, dan perasaan kurang puas dan kurang sreg kepada keluarga pengantin wanita, sebenarnya akan terjawab dengan melakukan permakluman kepada keluarga calon pengantin wanita tentang jauh dekatnya jarak KUA dengan rumah pengantin pria. Solusi lainnya adalah dengan membagi rombongan keluarga pengantin wanita itu, sebagian rombongan yang terdiri wali nikah dan beberapa saksi menuju ke KUA dan sebagian lagi langsung menuju rumah pengantin pria.
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _471
2. Analisis terhadap Tanggapan Pihak KUA Kecamatan Montong Gading Angin segar yang dirasakan oleh pihak KUA Montong Gading dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014, ditindaklanjuti dengan beberapa langkah konkrit sebagai berikut: a. Sosialisasi tentang Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 yang mengatur tentang perubahan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Biaya Nikah/rujuk) baik melalui Surat Permakluman, Rapat Koordinasi dengan Kepala Desa dan Kepala Dusun sekecamatan Montong Gading maupun secara lisan pada acara-acara keagamaan dan nasehat perkawinan. b. Memberikan pemahaman dan pembuktian kepada masyarakat bahwa KUA anti gratifikasi Disamping dua langkah konkrit tersebut, pihak KUA Montong Gading melakukan kajian terhadap keuntungan dan kerugian melaksanakan nikah baik di kantor maupun di luar kantor. Kajian tersebut tergambar dalam tabel berikut: Keuntungan dan Kerugian Pelaksanaan Nikah dalam Kantor dan luar Kantor Dalam Kantor Luar Kantor Keuntungan: Keuntungan: - Berlangsung selama jam - Meningkatkan PNBP - Sarana Sosialisasi dan kerja - Durasi acara singkat mendekaatkan diri dengan masyarakat - 90% on time - Memungkinkan pelayanan Kerugian: yang lain - Waktu tidak mengikat - Libur tidak terganggu - Durasi acara panjang dan - Aman dari isu gratifikasi bertele-tele Kerugian: - 90% jam karet - Pelayanan yang lain tertunda - PNBP kurang - Kurang sosialisasi dan - Libur terganggu - Rawan isu gratifikasi kedekatan dengan masyarakat
472_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Tabel 6. Perbandingan Keuntungan dan Kerugian melaksanakan Nikah di dalam dan luar Kantor. Dari kajian tersebut, pihak KUA akhirnya melakukan pilihan untuk mengupayakan masyarakat memilih nikah dalam kantor. Terlebih dengan tingkat pemahaman masyarakat yang berbeda terkait isu gratifikasi. Meski telah dilakukan sosialisasi bahwa biaya Rp. 600.000 adalah biaya resmi nikah yang mempunyai kekuatan hukum tetap, isu gratifikasi masih saja digumamkan oleh masyarakat. Hal tersebut diketahui dari cara pembayaran biaya tersebut. Pihak KUA Montong Gading pada minggu-minggu pertama berlakunya PP.48/2014 berinisiatif membantu menyetorkan biaya tersebut ke Bank, akan tetapi justru dengan inisiatif tersebut isu gratifikasi muncul, karena masyarakat masih menganggap semua biaya tersebut adalah untuk KUA sendiri, bahkan karena anggapan seperti itu ada oknum yang melakukan tawar-menawar dengan pihak KUA.44 Berdasarkan hasil kajian seperti di atas, maka sosialisasi tentang PP.48/2014 ditambah dengan promosi nikah dalam kantor. Dengan semangat memberikan pelayanan nikah yang berintegritas, pihak KUA Montong Gading tak jemu-jemu melakukan promosi nikah dalam kantor dengan menguraikan tiga pertimbangan kepada masyarakat yaitu: a. Pertimbangan akumulasi biaya. b. Ketersediaan ruangan nikah yang lebih memadai45 c. Pelayanan kepada calon pengantin yang menikah dalam kantor sama baiknya dengan calon pengantin yang menikah di luar kantor Langkah-langkah strategis yang diambil oleh pihak KUA Kecamatan Montong Gading di atas sebagai tanggapannya terhadap Pelaksanaan Nikah Luar Kantor setelah berlakunya Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 kaitannya dengan Layanan Nikah yang Berintegritas patut diberi penghargaan. Karena hasilnya kemudian dapat kita lihat dalam tabel 1 sampai dengan tabel 5 di atas yang menunjukkan penurunan secara persentase nikah luar kantor jika dibandingkan dengan pernikahan
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _473
dalam kantor pada bulan yang bersangkutan. Penurunan itu dapat gambarkan sebagai berikut: a. Pada bulan Agustus 2014, dari 55 peristiwa nikah di kecamatan Montong Gading, 31 peristiwa atau 56,37% diantaranya dilaksanakan di luar kantor. b. Di bulan September, peristiwa nikah di luar kantor secara jumlah turun menjadi 19 dari total 35 peristiwa tetapi secara persentase mencapai 54,28 %. c. Lalu mulai pada bulan Oktober, penuruan peristiwa nikah di luar kantor mulai terjadi, pada bulan Oktober mencapai 47,37 % atau 18 dari 38 peristiwa, 33,34 % pada bulan November 2014 atau 10 dari 30 peristiwa dan pada akhir Desember 2014 dicapai angka pernikahan di luar kantor 10 dari total 35 peristiwa atau 28,57% saja. Penurunan grafik pernikahan di luar kantor tersebut, dapat dianggap sebagai sebuah keberhasilan sosialisasi Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014. Dikatakan keberhasilan, karena dapat menekan isu gratifikasi sekaligus dapat menjaga integritas dalam pelayanan nikah.
F. Kesimpulan Sikap sebagian masyarakat kecamatan Montong Gading Lombok Timur Nusa Tenggara Barat terhadap pelaksanaan nikah luar kantor setelah berlakunya Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 adalah berusaha tetap menjalankan tradisi menikahkan anak atau keluarga di rumah meskipun dengan resiko mengeluarkan biaya resmi sebagaimana tercantum dalam PP.48/2014. Sebagian masyarakat yang lain mulai tertarik dengan nikah dalam kantor. Pihak Kantor Urusan Agama kecamatan Montong Gading menanggapi dengan antusias pelaksanaan nikah luar kantor setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 kaitannya dengan layanan nikah yang berintegritas. Sikap antusias itu ditunjukkan dengan melakukan sosialisasi yang gencar dan memberikan pemahaman dan
474_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
pembuktian bahwa KUA anti gratifikasi. Langkah konkrit lebih lanjut yang dilakukan pihak KUA Montong Gading adalah mengambil pilihan untuk memasyarakatkan nikah dalam kantor.
G. Saran dan Rekomendasi 1) Kepada pihak KUA Montong Gading; agar mengadakan kajian lanjutan tentang keuntungan dan kerugian nikah di dalam dan luar kantor dan mengadakan diskusi dengan tokoh adat/pengurus Majelis Adat Sasak Paer Timuq untuk merumuskan pelaksanaan akad nikah yang lebih baik. 2) Kepada pihak Kantor Kementerian Agama Kabupaten dan Provinsi, agar dapat kiranya mengadakan pengawasan dan pembinaan yang tetap intens terhadap para Kepala KUA dan Penghulu, melakukan cek dan ricek terhadap sarana dan prasarana nikah di Kantor Urusan Agama dan mengadakan anggaran motor dinas bagi para penghulu. 3) Kepada Kementerian Agama Pusat: agar melakukan kajian tentang perlunya tunjangan profesi bagi peristiwa nikah dalam kantor dan mengadakan anggaran pembangunan Gedung Nikah dan fasilitas lengkapnya di seluruh Kantor Urusan Agama.
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _475
Daftar Pustaka Abdillah, Pius dan Danu Prasetya, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya, Arkola, t.t Abdullah Mustafa dan Zaenuddin Mansyur, “Fenomena Pesuke pada adat Perkawinan Suku Sasak: Kajian Sosiologi Hukum Islam di Kec. Praya Lombok Tengah” dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. IV No. 2, Mataram: LEMLIT IAIN Mataram, 2008 Anonimous, Buku Saku Memahami Pemberantasan Korupsi, 2014
Gratifikasi,
Jakarta:
Komisi
Budiwanti, Erni, Islam Sasak Wetu Telu versus Wetu Lima, Yogyakarta: LkiS, 2000 Bhartolomew, Jhon R, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999 Bruinessen, Martin Van, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS, 1994 Kumbara, AA. Ngr Anom, Konstruksi Identitas Orang Sasak di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Disertasi UGM tidak diterbitkan, 2008 Majalah Penghulu, Edisi II Tahun III, Oktober 2013 Majalah Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008 Nashr, Sayyed Hosein, Spiritualitas dan Seni dalam Islam, Bandung: Mizan,1993 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Suryana, Buku Ajar Metodologi Penelitian, Jakarta: UPI, 2010 Tahir, Masnun, Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok,Jurnal Asy-Syir’ah, Vol.42, No. 1 Tahun 2008 Yasin, M. Nur, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN Malang, 2008
476_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Endnotes
1. Istilah Pengadilan Serambi dilatarbelakangi oleh penyelenggaraan sidang Pengadilan Agama pada masa raja-raja Islam yang biasa dilangsungkan di serambi masjid. Selanjutnya lihat Majalah Penghulu, Edisi II Tahun III, Oktober 2013, h. 23.
2. Istilah ini muncul didasarkan pada analogi seorang muballigh yang menerima amplop usai melakukan tabligh. Majalah Penghulu, Edisi III Tahun III, Desember 2013, h. 34.
3. Kategori gratifikasi ditetapkan berdasarkan pasal 12B ayat (1) undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dan keterangan Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Minggu (15/12/2013). Pikiran Rakyat, 16 Desember 2013.
4. Lihat Majalah Penghulu, Edisi III Tahun III, Desember 2013, h. 33. 5. Di bidang perkawinan, masyarakat Montong Gading termasuk dalam masyarakat Lombok yang memiliki tradisi merariq. Tradisi tersebut mengharuskan pengantin wanita telah berada di kediaman keluarga pengantin laki sebelum akad nikah dilangsungkan.
6. Berdasarkan keterangan dari semua kepala Dusun sekecamatan Montong Gading melalui wawancara sejak tahun 2012.
7. Cara lama yang dimaksud adalah menyerahkan biaya kepada petugas dengan menyelipkan amplop/salam tempel. Keterangan tersebut diperoleh dari Qazwaini, SQ, S.Ag (Penghulu/Kepala KUA Montong Gading) dalam wawancara tanggal 04 Agustus 2014.
8. Berdasarkan observasi di semua desa sekecamatan Montong Gading sejak tahun 2012.
9. Kementrian Agama RI telah menetapkan 5 budaya kerja yaitu ; integritas, profesional, inovasi, tanggungjawab dan keteladanan. KUA sebagai garda
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _477 terdepan Kemenag RI dalam memberikan pelayanan memiliki motto “Bersih dan Melayani”.
10. Selanjutnya lihat Ratno Lukito, Pergumulan......,5. 11. Menurut Ratno Lukito, ‘’Urf lebih merujuk kepada suatu kebiasaan dari sekian banyak orang dalam suatu masyarakat, sementara adat lebih berhubungan dengan kebiasaan sekelompok kecil orang tertentu saja. Ibid.
12. Ahmad Rofiq, Hukum…., 13-24. 13. Danu Winata, “Gawe Nyiu”, Ketika Para Arwah Bersedekah, dalam http://lomboktoday.co.id, diunduh tanggal 31 Desember 2013.
14. Paer Timuq adalah bahasa sasak yang artinya wilayah timur. 15. Ketentuan awiq-awiq adat merupakan suatu pengaturan yang sifatnya umum mengenai tata pergaulan hidup masyarakat adat. Aturan umum terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan lingkungannya, hubungan manusia dengan sesamanya, bahkan hubungan manusia dengan alam ghaib. Dalam aturan yang sifatnya umum ini terdapat beberapa awiq-awiq yang mengatur tentang acara-acara ritual adat, penggunaan lahan, dan aturan mengenai sosial kemasyarakatan dan lain-lain aturan yang sifatnya umum. Selanjutnya lihat : http://lintang-lombok.blogspot.com/2013/01/menjalankan-ketentuan-awiq-awiq-dan.html, diakses tanggal 16 Maret 2015
16. Selanjutnya lihat Buku Saku Memahami Gratifikasi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014
17. Pius Abdillah dan Danu Prasetya, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya, Arkola, t.t, h.273
18. Dalam Lembaga Adat Sasak tradisional dikenal istilah Krame Dese dimana Pemusungan, Penghulu, Mangku Gumi dan Jentaka merupakan tokoh-tokoh pemimpin dalam suatu desa. Pemusungan merupakan tokoh kepala adat dan pimpinan tertinggi pemerintahan desa. Penghulu desa merupakan tokoh pemegang, penegak dan pengatur masalah hukum dan norma-norma agama dan adat. Mangku Gumi merupakan tokoh yang merumuskan dan
478_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015 penentu awig-awig atau sanksi adat serta pemberi petunjuk mengenai pertanian. Jentaka merupakan tokoh adat yang menangani masalah perekonomian. Selanjutnya lihat M. Rasyidi: Studi Nilai Budaya pada Lembaga Adat Suku Sasak sebagai Kekuatan dalam Membangun Nilai Luhur Budaya Bangsa dalam Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008, h.72
19. BPS Lombok Timur, Kecamatan Montong Gading dalam Angka Tahun 2013. 20. A.A. Ngr Anom Kumbara, Konstruksi Identitas Orang Sasak di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Disertasi UGM tidak diterbitkan, 2008, h. 159.
21. Hak istemewa para Tuan guru secara umum dimiliki sebab kapasitas intelektual keagamaan atau latar belakang sosial ekonomi politik mereka, selanjutnya Lihat Masnun Tahir, “Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok,” dalam Jurnal Asy-Syir’ah, Vol.42, No.1 Tahun 2008
22. Jhon R. Bhartolomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta: Tiara Wacana,1999
23. Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Wetu Lima, Yogyakarta: LkiS, 2000
24. Dalam bahasa Arab, istilah paling umum untuk spiritualitas adalah ruhaniyah dan dalam bahasa Persia adalah ma’nawiyah. Lihat Sayyed Hosein Nashr, Spiritualitas dan Seni dalam Islam, Bandung: Mizan,1993, h. 16-17
25. M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang:UIN Malang,2008, h. 6 26. Abdullah Mustafa dan Zaenuddin Mansyur, “Fenomena Pesuke pada adat Perkawinan Suku Sasak:Kajian Sosiologi Hukum Islam di Kec. Praya Lombok Tengah” dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.IV No.2, LEMLIT IAIN Mataram, 2008, h. 273
27. Ibid, 106 28. Ibid 29. Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,Yogyakarta: LkiS, 1994, h. 213
30. Sikap taqlid kepada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari empat imam
Upaya Mewujudkan Layanan Nikah yang Berintegritas _479 mazhab fiqh (Imam Syafi’i) adalah tuntutan dari fiqh tradisional. Lihat Martin Van Bruinesseen, NU Tradisi ….., h. 25
31. Abituren adalah istilah untuk alumni dari Lembaga Pendidikan Nahdlatul Wathan
32. Hasil wawancara dengan Amaq Husni (wali calon pengantin Pria atas nama Samsul Hadi Jenggik Utara) tanggal 07 Agustus 2014. Wawancara dengan hasil yang sama juga dilakukan dengan beberapa Kepala Dusun antara lain Ali Mulhakim (Kepala Dusun Sundi – Montong Betok), M.Tauhid (Kepala Dusun Solong – Pesanggrahan), Najmi (Kepala Dusun Perian Selatan – Perian) dan Kamrun (Kepala Dusun Bangle – Jenggik Utara) pada tanggal 19 sampai dengan 27 Agustus 2014
33. Berdasarkan keterangan dari Najmi (Kepala Dusun Perian Selatan – Perian) dalam wawancara tanggal 21 Agustus 2014
34. Hasil Wawancara dengan M. Tohir (Kepala Dusun Selakerat desa Perian) pada tanggal 10 Agustus 2014
35. Observasi penulis pada beberapa kesempatan pernikahan dalam kantor antara bulan Agustus-Desember 2014 yang menyebabkan para rombongan keluarga banyak yang pulang.
36. Hasil wawancara dengan Amaq Sahibul Ihsan (wali pengantin pria atas nama Sahibul Ihsan) tanggal 17 Oktober 2014
37. Oyo Sunaryo Mukhlas, Signifikansi dan Strategi Pembentukan Pokja Kepenghuluan Wilayah Jawa Barat dalam http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/05/
38. Mengenai jabatan kepenghuluan itu lebih lanjut diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan BKN Nomor 20 Tahun 2005 serta Peraturan Menpan Nomor 62 Tahun 2005 tentang Jabatan Penghulu.
39. Oyo Sunaryo Mukhlas, Signifikansi…. 40. Berdasarkan hasil wawancara dengan Qazwaini (Kepala KUA Montong Gading) tanggal 11 Agustus, 08 September dan 27 Oktober 2014.
41. Hasil Wawancara dengan TGH. Ihsan Burhan (Pringga Jurang) tanggal 03
480_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015 November 2014, dengan TGH. Marzuki (Montong Betok) tanggal 18 Desember 2014 dan dengan TGH. Mas’adah (Pesanggrahan) tanggal 19 Desember 2014.
42. Pisuke adalah proses menyerahkan bantuan kepada keluarga pengantin wanita. Biasanya sekitar seminggu sebelum upacara adat diselenggarakan, pihak keluarga pria mengantarkan bahan-bahan berupa sapi/kerbau, beras, kayu bakar dll
43. Mustafa, Abdullah, Fenomena … , 273 44. Berdasarkan keterangan yang disampaikan dalam wawancara dengan Qazwaini (Kepala KUA Montong Gading) tanggal 04 Agustus 2014
45. Pada akhir Tahun Anggaran 2014 telah dibangun ruangan semi permanen yang dihajatkan sebagai Balai Nikah. Luas bangunan adalah 8 x 5 m2
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _481
Implementation of Government Regulation No. 19 of 2015 regarding Fare on Non-Tax Revenues (Case Study of the Religious Affairs Office/ KUA Blado Subdistrict, Batang)
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Studi Kasus KUA Kecamatan Blado Kabupaten Batang)
Sodikin KUA Kecamatan Blado Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah email:
[email protected]
Abstract: Regulation No. 48 of 2014 which has been updated to be Regulation No. 19 of 2015 on fare and non-tax state revenue prevailing at the Ministry of Religious Affairs, has been officially put in place since July 2014. The PP was the culmination point of ending the debate about the cost of a marriage that had been plunged into the Religious Affairs Office/ KUA puddles allegations of corruption due to rampant gratification and extortion in the service of marriage. In the study revealed that the implementation of the PP, there are a number of benefits or functions which include: the function of legal protection, positive image builder of Religious Affairs Office/ KUA, justice and synchronization. However, it also found a series of problems that include: declining marriage bedolan, increasing marriage without the presence of the headman, operational financial difficulties of the headman, the financial difficulties of
482_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015 operational Religious Affairs Office/ KUA, it does not completely eliminate bad image of Religious Affairs Office/ KUA, yet cover all service activities of Religious Affairs Office/ KUA, and some difficulties in organizing the course of premarital.
Abstraksi: PP Nomor 48 tahun 2014 yang telah diperbaharui menjadi PP Nomor 19 tahun 2015 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Agama, telah resmi diberlakukan sejak Juli 2014. PP itu merupakan titik kulminasi mengakhiri polemik seputar biaya nikah yang telah menjerumuskan KUA kedalam kubangan tuduhan korupsi akibat maraknya gratifikasi dan pungli dalam pelayanan nikah. Dalam penelitian itu terungkap bahwa implementasi PP tersebut, terdapat sejumlah manfaat atau fungsi yang meliputi: fungsi perlindungan hukum, pembangun citra positif KUA, keadilan dan singkronisasi. Namun demikian juga ditemukan serangkaian kendala yang berupa: menurunnya angka pernikahan bedolan, meningkatnya pernikahan tanpa kehadiran penghulu, kesulitan keuangan operasional penghulu, kesulitan keuangan operasional KUA, tidak sepenuhnya menghilangkan citra buruk KUA, belum mengcover seluruh kegiatan pelayanan KUA, dan terkendalanya penyelenggaraan kursus pra nikah. Keywords: cost of marriage, Religious Affairs Office/ KUA, culmination.
A. Pendahuluan Kesan negatif Kantor Urusan Agama menyeruak beberapa tahun terakhir ini sebagai instansi yang dinilai korup, penuh dengan praktek gratifikasi dan pungli. Secara resmi, keluarnya “Raport Merah” dari KPK pada tahun 2004 menjadi penanda bahwa ada yang dinilai salah secara sistemik maupun prosedural dalam pelayanan KUA. KPK beberapa kali melakukan ekspose tentang potensi korupsi dengan maraknya gratifikasi dalam pelayanan di KUA. Warning dari KPK itu tampaknya tidak segera direspon secara serius dan komprehensif oleh Kementerian Agama. Hingga akhirnya banyak beberapa wadiabala KUA yang terjerumus ke dalam kasus hukum akibat tuduhan gratifikasi dan pungli.
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _483
Berbagai langkah telah diambil Kementerian Agama untuk dapat memberikan perlindungan hukum pagi para pelaksana teknis di KUA. Sebab, pada hakekatnya tuduhan negatif itu terjadi karena kesalahan dalam level peraturan dan kebijakan yang diberlakukan di KUA. Langkah strategis itu dibutuhkan untuk membenahi secara sistemik dan komprehensif mulai dilakukan, meskipun harus membawa korban beberapa aparat KUA yang terseret kasus hukum.1 Ontran-ontran sepanjang tahun 2013 merupakan puncak kehebohan munculnya ujian berat bagi KUA. Kemudian disepakati bahwa PP Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bulan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama, yang di nilai sebagai biang kerok permasalahan ini, harus direvisi.2 Sejak Juli 2014 Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 tentang Perubahan atas PP Nomor 47 tahun 2004 telah resmi diberlakukan. Sebuah titik kulminasi dari hiruk-pikuk permasalahan yang mendera KUA se-Indonesia. Diharapkan, dengan pemberlakuan regulasi baru tentang biaya pelayanan nikah ini, akan menjawab seluruh persoalan yang membelit KUA, khususnya terkait dengan “tuduhan” gratifikasi dan pungli. Akibat tuduhan ini, telah menjerumuskan KUA sebagai lembaga di Kementerian Agama yang memiliki raport merah dalam kaitanya dengan upaya pemberantasan korupsi.3 Dalam PP itu disebutkan bahwa biaya pelayanan nikah di KUA pada hari dan jam dinas diberlakukan tarif Rp 0,- alias gratis dan di luar KUA atau di luar hari dan jam dinas dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebesar Rp 600.000,- dalam bentuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Efektifitas pemberlakuan PP nomor 48 tahun 2014 perlu dikaji secara ilmiah. Mengingat sejarah munculnya PP tersebut, sangat heroik, reaktif dan dengan ekspektasi tinggi, maka efektifitas pemberlakuan PP harus dinilai setidaknya dalam dua aspek. Pertama, aspek clean government atau lepasnya KUA dari berbagai praktik yang menjurus pungli dan gratifikasi. Kedua, aspek image building yakni membangun citra positif atas pelayanan di KUA dari berbagai tuduhan adanya prilaku koruptif.
484_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Sampai penelitian ini dilakukan, telah delapan bulan PP Nomor 48 tahun 2014 diterapkan, bahkan telah direvisi menjadi PP Nomor 19 tahun 2015 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agama. Dari berbagai pemberitaan dan aduan masyarakat, ternyata pemberlakuan aturan baru itu tidak serta merta menyelesaikan seluruh persoalan yang mendera KUA, bahkan memunculkan persoalan baru sebagai konsekuensi yang ditimbulkan. Satu sisi, penerapannya dalam hal biaya pelayanan nikah, telah berjalan efektif hampir di seluruh KUA di Indonesia. Namun, dalam hal menghilangkan secara total citra buruk KUA belum sepenuhnya berhasil. Demikian pula dalam menormalkan penyelenggaraan kegiatan administrasi dan pelayanan KUA, justru terasa belum dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, upaya untuk melihat sejauhmana PP itu efektif menyelesaikan berbagai problem di KUA perlu dilakukan kajian secara ilmiah. Karya tulis ini berupaya memotret secara deskriptif permasalahan ini dalam setting KUA Kecamatan Blado, sebagai lokus penelitian. Diharapkan, dengan penelitian ini dapat terungkap secara obyektif berbagai sisi keunggulan atau manfaat, serta kekurangan dan problematika yang timbul dari penerapan aturan baru tentang biaya pelayanan nikah ini. Selanjutnya, karya tulis ini dapat dijadikan sebagai dokumen akademik dan bahan evaluasi untuk menata kebijakan yang lebih komprehensif terhadap KUA di masa depan. Citra positif dengan munculnya clean government di lingkungan KUA secara khusus dapat benar-benar tercapai dan diharapkan dapat mengangkat muru’ah Kementerian Agama secara umum. Permasalahan yang hendak dibahas dalam karya tulis ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Sejauhmanakan KUA Kecamatan Blado menerapkan Peraturan tentang Biaya pelayanan Nikah berdasarkan PP Nomor 48 tahun 2014 yang telah diperbaharui menjadi PP Nomor 19 tahun 2015?
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _485
2. Apa saja aspek keunggulan atau manfaat penerapan PP Nomor 19 tahun 2015? 3. Apa saja kendala atau problematika dalam penerapan PP Nomor 19 tahun 2015 tersebut? 4. Sudah efektifkah penerapan PP Nomor 19 tahun 2015 tersebut dalam membangun citra positif (image building) di KUA Kecamatan Blado?
B. Pelayanan Publik di Bidang Perkawinan Pelayanan publik (public serving) merupakan bagian dari administrasi publik (public administration). Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk menyebut pelayanan publik, seperti pelayanan masyarakat atau pelayanan umum. Secara bahasa, pelayanan berarti suatu cara melayani, membantu menyiapkan, menyelesaikan keperluaan, kebutuhan seseorang atau sekelompok orang.4 Sedangkan istilah publik adalah serapan dari bahasa Inggris, public yang berarti masyarakat umum.5 Menurut Keptusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, yang dimaksud pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.6 Adapaun JPG Sianipar menyebutkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparatur pemerintah, termasuk pelaku bisnis BUMN/ BUMD dan swasta dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.7 Dalam perkembangan ilmu manajemen mutakhir, mulai dikembangkan istilah pelayanan prima (prime service) dalam pelayanan publik. Kata prima memiliki arti harfiah “yang terbaik”, sehingga pelayanan prima diartikan sebagai pelayanan yang terbaik yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat.8 Ukuran “terbaik” itu
486_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
sangat relatif, oleh karenanya, biasanya ditentukan dalam tiga tingkatan,9 yaitu: Pertama, pelayanan yang dianggap terbaik oleh lembaga pemerintah yang belum memiliki SPP (standar pelayanan prima). Kedua, pelayanan yang sesuai dengan SPP (standar pelayanan prima) bagi lembaga yang telah memilikinya. Ketiga pelayanan terobosan yang mampu melampaui persyaratan SPP (standar pelayanan prima). Adapun prasyarat selanjutnya dalam pelayanan prima adalah gerakan mutu dalam manajemen pelayanan, yang terkenal dengan Total Quality Management (TQM) yang merupakan terobosan besar dalam perkembangan ilmu managemen. Dalam TQM tersedia varian yang disebut Total Quality Service (TQS), yang mengenalkan tentang budaya pelayanan.10 Inti dalam TQM maupun TQS adalah munculnya kepuasan pelanggan atau dalam hal ini kepuasan publik. Maka, untuk mengukur sejauhmana kinerja pelayanan itu memenuhi standar pelayanan prima, perlu dilihat sejauhmana tercapainya kepuasan publik yang dilakukan oleh suatu instansi pemerintahan. Pelayanan perkawinan merupakan salah satu jenis pelayanan publik tertua di Nusantara ini. Bukan saja sejak awal kemerdekaan negeri ini, tetapi jauh sebelumnya, yakni pada era kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pelayanan perkawinan telah tampak nyata dilaksanakan.11 Selanjutnya, pada era penjajahan Kolonial, pelayanan perkawinan ini juga diteruskan melalui birokrasi pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa peraturan pemerintah Hindia-Belanda tentang prosedur pelayanan nikah ini menjadi buktinya.12 Hingga pada penghujung akhir penjajahan Belanda dan di saat kekuasaan Pemerintahan Dai Nippon (Jepang), dibentuk Shumubu (Kantor Urusan Agama) sebagai administratur pelaksana pelayanan pernikahan dan urusan-urusan agama lainnya.13 Sejak era kemerdekaan Republik Indonesia, pelayanan nikah dan rujuk di Indonesia merupakan bagian dari pelayanan publik yang diselenggarakan oleh negara. Kementerian Agama merupakan instansi negara yang membawahinya. Hal demikian merupakan amanat Undang-
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _487
undang. Pada pokoknya, pelayanan nikah dilaksanakan dengan meliputi tahapan prosedural sebagai berikut: (i) Pemberitahuan Kehendak Nikah kepada Pegawai Pencatat Nikah, sebagaimana diamanatkan pada pasal 1 ayat (2) UU Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Kemudian diperjelas pada pasal 3, 4, 5, dan 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini dipertegas dalam pasal 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. (ii) Pengawasan atau Pemeriksaan Nikah yang dilakukan oleh Pegawai pencatat nikah sesuai dengan ketentuan pada pasal 1 ayat (1) UU Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, serta pasal 20 dan 21 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, selanjutnya dikuatkan dengan pasal 6 dan 7 PP Nomor 9 tahun 1975. Secara operasional, ketentuan ini diperjelas dengan klausul pasal 9, 10 dan 11 PMA Nomor 11 tahun 2007. (iii) Pengumuman Kehendak nikah oleh Pegawai pencatat Nikah sebagaimana diamanatkan pada pasal 8 dan 9 PP Nomor 9 tahun 1975 dan dipertegas dalam pasal 13 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 tahun 2007. (iv) Pelaksanaan Akad Nikah yang harus dihadiri dan dilaksanakan dihadapan Penghulu atau Pegawai Pencatat Nikah. Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 22 tahun 1946 dan PP Nomor 9 tahun 1975 pasal 10 ayat (3) dan pasal 11. Jika tidak memiliki wali nasab atau wali nasabnya berhalangan, maka akad nikah dilaksanakan dengan wali hakim yang dijabat oleh Kepala KUA kecamatan sesuai dengan ketentuan pada PMA Nomor 30 tahun 2005 tentang Wali Hakim.14 (v) Pencatatan Nikah, bagi umat Islam dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan bagi umat non-muslim oleh pegawai catatan sipil. Hal ini merupakan amanat dari pasal 2 UU Nomor 22 tahun 1946, pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974, pasal 2 PP Nomor 9 tahun 1975. pencatatan nikah dituangkan dalam Akta Perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 12 PP Nomor 9 tahun 1975, dan pasal 26 dan 27 PMA Nomor 11 tahun 2007. (vi) Penerbitan Kutipan Akta Nikah yang diberikan kepada
488_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
yang bersangkutan, sesuai ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Nomor 22 tahun 1946, pasal 13 ayat (2) PP Nomor 9 tahun 1975. Kutipan Akta Nikah itu kemudian dikenal dengan Buku Nikah yang harus diberikan kepada suami dan isteri sesuai ketentuan pada pasal 27 PMA Nomor 11 tahun 2007. Khusus mengenai biaya pelayanan nikah, juga sejak dahulu kala telah berjalan turun temurun diperoleh melalui pembiayaan dari swadaya masyarakat, bahkan sejak sebelum kemerdekaan negeri ini.15 Pada era awal kemerdekaan hingga tahun 2004, tradisi pembiayaan dalam pelayanan nikah dengan melalui pungutan dari swadaya masyarakat juga diberlakukan. Perkembangan tentang ketentuan biaya pelayanan nikah di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. UU Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah Talak Rujuk a. Pasal 1 ayat (4) menyebutkan: Seorang yang nikah, menjatuhkan talak atau merujuk, diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh Menteri Agama. 2. UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sama sekali tidak mengatur soal biaya pencatatan nikah, meskipun sekedar pelimpahan terhadap peraturan di tingkat lebih bawah. 3. PMA Nomor 2 Tahun 1990 Tentang Kewajiban PPN, pada pasal 22 disebutkan: Honorarium Pembantu PPN, biaya transport PPN atau Pembantu PPN untuk menghadiri akad nikah di luar balai nikah, dibebankan kepada yang bersangkutan yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atas usul Kepala Bidang Urusan Agama Islam / Bidang Bimbingan Masyarakat dan Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dengan persetujuan Gubernur Kepala Daerah setempat.
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _489
4. KMA nomor 40 Tahun 1991 Tanggal 11 Maret 1991 menyebutkan bahwa: Biaya pencatatan nikah di KUA Kecamatan sebesar Rp. 3.000,Disamping biaya pencatatan nikah, yang berkepentingan membayar dana bantuan (kepada BKM dan BADKI) sebesar Rp. 7.000,5. PMA Nomor 2 tahun 1990 pada Pasal 22 ayat (4) tentang kewajiban PPN, disebutkan bahwa yang berkepentingan harus membayar pula Honorarium Pembantu PPN serta Biaya transport PPN / Pembantu PPN yang menghadiri akad nikah apabila pernikahan dilaksanakan di luar KUA/Balai Nikah. Honorarium dan biaya transport tersebut ditetapkan oleh Kepala Kanwil Departemen Agama dengan persetujuan Gubernur kepala daerah setempat. 6. KMA Nomor 298 Tahun 2003 tentang Pencatatan Nikah, pada pasal 21 menyatakan biaya transport PPN atau pembantu PPN dalam pelaksanaan nikah di luar balai nikah dibebankan kepada calon pengantin yang besarnya ditetapkan oleh kepala kantor wilayah Departemen Agama Provinsi atas usul Kepala Bidang yang menangani tugas kepenghuluan dengan persetujuan Gubernur. 7. PP Nomor 54 Tahun 2000 Tentang Tarif Dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Departemen Agama.Disebutkan bahwa biaya pencatatan nikah ditentukan sebesar Rp 10.000,- per peristiwa. Sedangkan tentang biaya transport PPN dan Pembantu PPN tidak diatur sama sekali. 8. KMA 477 Tahun 2004 Tentang Pencatatan Nikah, pada pasal 20 disebutkan bahwa akad nikah dilaksanakan di KUA kecamatan oleh Penghulu dan atas permintaan calon pengantin yang bersangkutan akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA kecamatan dengan persetujuan penghulu. Tentang biaya transport PPN dan pembantu PPN tidak diatur lagi. 9. PP. Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Tarif Dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Departemen Agama. Ditetapkan dalam PP ini bahwa biaya pencatatan nikah ditentukas sebesar Rp 30.000,-
490_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
perperistiwa. Tentang biaya transport penghulu dan pembantu PPN juga tidak diatur sama sekali. 10. PMA 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, dalam Pasal 21 disebutkan bahwa akad nikah dilaksanakan di KUA dan atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA. Tentang biaya transport PPN dan pembantu PPN tidak diatur lagi. 11. PP Nomor 48 tahun 2014 Tentang Perubahan atas PP Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Tarif Dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Departemen Agama. Pada peraturan ini ditetapkan bahwa biaya pencatatan nikah ditiadakan. Namun untuk perkawinan yang dilaksanakan di luar KUA dan diluar hari/jam dinas dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebesar Rp 600.000,- sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
C. Metodologi Penulisan Penulisan dalam karya tulis ini menggunakan metode deskriptifkualitatif. Dengan metode ini, diupayakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi seorang maupun kelompok.16Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara (interview) dan riset dokumen (documentative research). Pada bagian lain, khususnya mengenai tingkat kepuasan dan persepsi publik, digunakan pendekatan metode kuantitatif melalui data polling atau survey. Adapun analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode deduksi–induksi,dengan pendekatan sosiologi hukum mengenai aspek penerapan peraturan perundangan. Diharapkan dengan metode ini akan mendapatkan gambaran yang cukup komprehensif dan faktual. Dalam penulisan dan pembahasan karya tulis ini, penulis telah menetapkan kerangka berfikir sebagai acuan untuk mengkaji secara ilmiah. Kerangka berfikir ditetapkan melalui alur sebagai berikut:
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _491
MASALAH
SARAN-SARAN (Rekomendasi)
LANDASAN TEORI Pelayanan Publik
DATA-DATA PENELITIAN
KESIMPULAN
ANALISIS (pembahasan)
D. Hasil Dan Pembahasan Kecamatan Blado terletak di belahan bagian selatan Kabupaten Batang Jawa Tengah. Tepatnya berada di daerah lereng pegunungan Dieng sebelah utara. Sebagian besar wilayahnya merupakan perbukitan dan pegunungan. Kondisi tanahnya berupa persawahan dataran sedang di bagian utara, dan tanah kering, perkebunan dan hutan perhutani serta hutan lindung di bagian selatan. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bandar, sebelah utara Kecamatan Pecalungan, sebelah timur Kecamatan Reban dan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. Jarak dari ibu kota kabupaten Batang kurang lebih 25 km ke arah selatan. Titik koordinat wilayah pada peta, adalah 7o04’06” LS dan 109o50’02,3” BT. Dengan ketinggian antara 450 sampai 1500 meter dpl (di atas permukaan laut). Luas wilayah Kecamatan Blado mencapai 42.178 ha dengan jumlah pendudukan sebesar 43.713 jiwa (tahun 2013). Sejak berdiri, KUA Kecamatan Blado menempati lokasi di desa Blado, kompleks Masjid Jami’ Blado (masjid lama) yang berlokasi di sebelah timur Kantor Polsek Blado. Kemudian, sejak 1984 dibangun gedung baru di kompleks lapangan Desa Blado, lokasi yang sekarang ini. Pengadaan tanahnya telah diupayakan sejak tahun 1982, yang merupakan hak pakai tanah Bengkok Carik Desa Blado seluas 500 m2 pada awalnya. Dasar penggunaan tanah desa tersebut adalah Keputusan Desa Blado Nomor 144/153 tanggal 11 Nopember 1984 yang disahkan oleh Bupati Batang,
492_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Drs Soekirdjo dengan SK Nomor 144/005 tanggal 3 Desember 1984. Kemudian gedung Balai Nikah pertama dibangun dengan anggaran dari APBN yang pengerjaannya dilaksanakan oleh CV Pragulo Batang. Sejak awal dibangun, gedung KUA Blado belum dilengkapi dengan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dan baru diajukan pada tahun 2006 dengan SK Bupati Batang Nomor: 641/228/2006 tanggal 22 Desember 2006.17 Sebagaimana fenomena nasional, tahun 2013 merupakan titik kulminasi problem yang mendera KUA. Berbagai komentar, statemen dan pemberitaan silih berganti mengoyak ketenangan insan KUA di Indonesia. Begitu pula yang terjadi di KUA Kecamatan Blado. Hiruk pikuk seputar pelayanan Perkawinan menjadi sorotan tajam banyak pihak. Imbas secara Nasional itu, terasa pula di wilayah Kecamatan Blado. Maka, demi mengikuti anjuran dari Kementerian Agama, sejak akhir 2013 KUA Blado sudah berupaya membatasi pelaksanaan nikah bedolan. Persis sejak tanggal 1 Januari 2014, untuk mengikuti solidaritas nasional penghulu se-Indonesia, sebagaimana hasil Deklarasi Cirebon, maka KUA Kecamatan Blado ikut menerapkan kebijakan moratorium bedolan. Untuk sementara, sampai peraturan baru tentang biaya nikah diterbitkan, maka KUA tidak melayani nikah di luar kantor.18 Kebijakan ini berlaku efektif selama 2 bulan penuh. Pada akhir bulan februari 2014, sempat terjadi ancaman demo dari masyarakat yang keberatan atas kebijakan moratorium bedolan ini. Gedung Balai Nikah KUA Kecamatan Blado sempat dijaga oleh aparat Polsek untuk mengantisipasi ancaman demo tersebut. Namun, dengan kesigapan dan koordinasi dengan berbagai pihak, massa yang sempat datang itu dapat diredam dan demo tidak jadi terlaksana. Menyikapi hal ini, muncul inisiatif dari Camat Blado dan ketua Paguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Blado untuk melakukan pertemuan intensif dengan jajaran Kementerian Agama. Maka, diadakanlah pertemuan hingga dua kali, yakni pada tanggal 23 februari dan 28 Februari 2014 antara Muspika, Kepala Desa se-Kecamatan Blado,
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _493
Kepala KUA dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Batang. Pertemuan itu menyepakati bahwa sejak 1 Maret 2014, moratorium bedolan dicabut dan secara resmi KUA Blado telah membuka lagi pelayanan nikah bedolan.19 Masa penantian lahirnya perubahan aturan tentang biaya nikah terasa begitu lama dan panjang. Sebab, tidak ada jaminan kepastian sama sekali. Statemen demi statemen pejabat Kementerian Agama bermunculan secara simultan melalui media masa. Meskipun pada kenyataannya tidak juga segera terealisir. Maka, pernikahan bedolan dilaksanakan tanpa berani menentukan dan menerima biaya trasportasi dan lain-lain. Keadaan demikian sangat memberatkan petugas KUA. Sebab kondisi medan pegunungan dengan jarak desa yang berjauhan dan sarana transportasi sulit, secara faktual membutuhkan biaya transportasi yang tidak sedikit.20 Padahal peraturan belum juga turun, sehingga dengan perjuangan dan integritas tinggi, pelayanan publik tetap diutamakan meskipun penuh pengorbanan dari para pertugas KUA.21 Setelah 3 bulan melaksanakan tugas dengan was-was dan penuh ketidakpastian, maka tepatnya pada bulan Juli 2014 peraturan yang ditunggu-tunggu akhirnya terbit juga. Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 tentang Perubahan atas PP Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama resmi diundangkan. Pada pokoknya, PP tersebut mengatur bahwa biaya pelayanan nikah di kantor dan pada jam dinas ditetapkan Rp 0,- alias gratis dan pelayanan nikah di luar kantor dan di luar jam dinas ditetapkan biaya sebesar Rp 600.000,- (enam tarus ribu rupiah) dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Saat penulisan karya tulis ini, PP tersebut diperbaharui menjadi PP Nomor 19 tahun 2015 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada kementerian Agama.
494_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
1. Aspek Implementasi Sejak terbitnya PP Nomor 48 tahun 2014 yang sangat dinantinanti, implementasi regulasi baru itu juga langsung dicanangkan di KUA Kecamatan Blado. Bentuk-bentuk implementasinya meliputi: (a) sosialisasi, agar peraturan baru tentang biaya nikah ini segera diketahui oleh semua pihak, maka diupayakan melalui kegiatan sosialisasi secara maksimal. Kepala KUA Kecamatan Blado telah mengambil kebijakan sosialisasi ini melalui berbagai jalan, yang meliputi: sosialisasi melalui surat resmi kepada kepala Desa, sosialisasi melalui papan informasi di KUA, sosialisasi melalui Penyuluh Agama PNS maupun Non-PNS, sosialisasi melalui acara suscatin, sosialisasi melalui rapat koordinasi Lebe/kaur Kesra, sosialisasi melalui rapat koordinasi di tingkat Kecamatan (Muspika), dan sosialisasi melalui pengajian atau ceramahceramah keagamaan di desa-desa. (b) Implementasi Peraturan dengan serius, dengan cara, yang meliputi: pendaftaran nikah langsung oleh catin atau walinya. Hal demikian untuk menghindari munculnya manipulasi informasi oleh P3N dan secara langsung masyarakat mengetahui besaran pembayaran pelayanan di KUA, pembayaran PNBP melalui BRI langsung disetor oleh catin atau walinya. Hal ini dilakukan untuk menghindari manipulasi baik oleh P3N maupun unsur pelaksana di KUA, menggratiskan seluruh pelayanan KUA kecuali nikah bedolan, meniadakan pungutan apapun dan menerapkan aturan sebagaimana adanya. Ini ditujukan untuk membangun citra bersih dan terhindar dari tuduhan pungli, (c) membangun integritas, meliputi langkah-langkah: himbauan dan ajakan kepada petugas KUA untuk penolakan atau tidak menerima gratifikasi, himbauan kepada masyarakat untuk tidak memberikan gratifikasi dalam bentuk apapun kepada petugas KUA dan Staf meeting secara berkala untuk membangun integritas petugas di KUA untuk secara sungguhsungguh tidak melakukan pungli dengan alasan apapun. (d) supervisi atau pengawasan yang merupakan aspek yang sangat integral dalam penegakan sebuah aturan. Oleh karenanya, kepala KUA Kecamatan
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _495
Blado tak henti-hentinya melakukan supervisi langsung kepada Eks P3N atau Lebe/Modin, petugas pendaftaran di KUA dan Penghulu untuk dipastikan tidak adanya penyimpangan di lapangan. Supervisi juga dilakukan dengan melibatkan masyarakat melalui forum pengaduan. Di KUA disediakan kotak saran untuk menampung pengaduan masyarakat. Hal demikian akan memudahkan bagi proses pengawasan dan sekaligus dapat tercipta akuntabilitas kinerja di lingkungan KUA Kecamatan Blado. Disamping kotak saran, KUA Kecamatan Blado juga tidak henti-hentinya menyampaikan kepada masyarakat mengenai fasilitas yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama melalui DUMAS pada website Kementerian Agama di Jakarta. 2. Aspek Fungsi dan Manfaat Regulasi Baru Penerapan regulasi baru (PP Nomor 48 tahun 2014 yang diperbaharui menjadi PP Nomor 19 tahun 2015) itu tentu membawa banyak fungsi dan manfaat. Pertama, fungsi perlindungan hukum. Para pelaksana teknis di KUA, baik kepala, penghulu atau staf merasa aman dari tuduhan gratifikasi atau pungli yang selama ini menderanya. Lahirnya PP itu benar-benar menjadi payung hukum terhadap penarikan biaya dari masyarakat untuk pelayanan nikah bedolan. Sedangkan untuk pelayanan lain, karena tidak punya payung hukum, masih memungkinkan munculnya persoalan hukum, maka disikapi dengan menggratiskannya Kedua, fungsi pembangun citra positif KUA. Penerapan PP nomor 48 tahun 2014 atau pembaharuannya PP nomor 19 tahun 2015 dengan disiplin dan benar, dipastikan akan meningkatkan citra positif KUA bagi berbagai image miring. Sebab, apapun yang ditentukan dalam PP itu telah mempunyai kekuatan hukum yang maksimal. Sehingga biaya transportasi dan jasa profesi yang selama ini dinilai ilegal, kini telah menjadi legal. Menjadi pungutan resmi dalam bentuk PNBP dan bukan lagi dianggap gtarifikasi atau pungli seperti yang dituduhkan selama ini. Persoalannya pada keseriusan dan kepatuhan dalam penerapan
496_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
peraturan ini oleh seluruh pelaksana di lapangan, termasuk eks P3N yang menjadi ujung tombak pelayanan KUA. Ketiga, fungsi keadilan. Aspek keadilan menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan dalam penyusunan PP Nomor 48 tahun 2014 atau perbaharuannya PP Nomor 19 tahun 2015. Pernikahan bedolan atau di luar jam dinas ditentukan tarifnya untuk menopang kebutuhan riil pelayanan berupa transportasi dan jasa profesi. Sedangkan akad nikah di kantor pada jam dinas, karena tidak menimbulkan biaya dalam pelayanannya, maka tidak dikenakan biaya alias gratis. Hal demikian merupakan wujud keadilan dalam pelayanan terhadap masyarakat yang dilayani ataupun para pelaksana di KUA sebagai petugas pelayan. Keempat, fungsi sinkronisasi, yaitu singkronisasi dengan UU kependudukan yang menentukan bahwa semua pelayanan kependudukan, diantaranya pelayanan akta perkawinan, harus gratis alias tanpa biaya. Maka, dalam PP Nomor 48 tahun 2014 atau PP Nomor 19 tahun 2015 menetapkan bahwa biaya pencatatan nikah ditiadakan atau gratis. Sedangkan komponen biaya dalam nikah bedolan bukan untuk biaya pencatatan, tapi biaya transportasi dan jasa profesi. 3. Aspek Kepuasan dan Persepsi Publik Untuk melihat tingkat kepuasan publik dalam merespon regulasi baru tentang biaya pelayanan nikah di KUA, terdapat keragaman pandangan di kalangan masyarakat. Sebagaimana tercover dalam polling yang dilakukan penulis beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa mayoritas masyarakat (custommer) meyatakan puas. Pertanyaan (questioner) yang penulis ajukan dalam polling ini adalah sebagai berikut: (1) Apakah anda yakin, dengan regulasi baru itu akan meniadakan pungutan lainnya? Dengan kategori Jawaban: a. Yakin sekali, b. cukup yakin, c. tidak yakin, d. tidak menjawab (2) Dengan biaya pelayanan nikah Rp 600.000 di luar kantor, bagaimana pendapat anda? Dengan kategori Jawaban: a. Mahal, b. sedang/cukupan, c. murah,
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _497
d. tidak menjawab. (3) Dengan aturan baru tentang biaya nikah, Anda memilih pelayanan nikah di kantor KUA atau di rumah? Dengan kategori Jawaban: a. Di KUA, b. Di luar KUA, c. tidak menjawab. (4) Tentang proses pembayaran biaya pelayanan nikah melalui Bank, bagaimana pendapat anda? Dengan kategori Jawaban: a. Bagus sekali dan setuju, b. Tidak setuju karena menyulitkan, c. tidak menjawab. Dan (5) Apa yang anda rasakan dengan penerapan regulasi biaya nikah yang baru? Dengan kategori Jawaban: a. Puas sekali, b. cukup puas, c. tidak puas, d. tidak menjawab. Questioner tersebut penulis sebar kepada responden sejumlah 180 orang sebagai responden, yang terdiri atas populasi wali atau shahib alhajat yang telah mendaftar nikah, tokoh agama dan tokoh masyarakat, yang tersebar di 18 desa.22 Penentuan responden dari populasi dilakukan dengan metode Random sampling.23 Diharapkan dengan penerapan metode ini secara benar, akan mendapatkan akurasi data yang mendekati faktual dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Melalui polling tersebut didapat data sebagai berikut: Tabel 1 DATA RESPONDEN TENTANG BIAYA NIKAH BEDOLAN NO
JAWABAN RESPONDEN
JUMLAH
PROSENTASE
1
Mahal
107
59,44 %
2
Sedang/Cukupan
59
32,78 %
3
Murah
12
6,67 %
4
Tidak menjawab
2
1,11 %
180
100 %
JUMLAH
Persepsi masyarakat tentang besaran biaya bedolan Rp 600.000,ternyata beragam dan mayoritas responden menilai mahal (59,44 %). Sedangkan yang menilai cukupan/sedang sebanyak 32,78 % dan yang menilai murah hanya 6,67 %. Hal ini sejalan dengan kondisi masyarakat perdesaan dan pedalaman dengan tingkat ekonomi yang rendah. Tentu saja data akan berbeda bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan,
498_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
apalagi pada kawasan yang memiliki strata ekonomi yang relatif tinggi. Kecamatan Blado merupakan wilayah perdesaan agak terpencil dengan strata ekonomi masyarakat yang rendah, sebagian besar adalah petani gurem, buruh tani, buruh perkebunan dan buruh industri. Tabel 2 DATA TENTANG KECENDERUNGAN MEMILIH TEMPAT AKAD NO
JAWABAN RESPONDEN
JUMLAH
PROSENTASE
1
Di KUA (Balai Nikah)
111
61,66 %
2
Di Luar KUA
65
36,11 %
3
Tidak menjawab
4
2,22 %
180
100 %
JUMLAH
Data di atas senada dengan kecenderungan yang ada di KUA Kecamatan Blado bahwa angka pernikahan bedolan menurun (36,11 %) dan mayoritas masyarakat Kecamatan Blado (61,66 %) lebih memilih menikah di kantor mengingat biayanya gratis. Hal ini sejalan dengan penurunan angka pernikahan bedolan di KUA Kecamatan Blado yang cukup signifikan. Tabel 3 DATA TENTANG PEMBAYARAN MELALUI BANK NO
JAWABAN RESPONDEN
JUMLAH
PROSENTASE
1
Setuju dan bagus sekali
115
63,89 %
2
Tidak setuju (menyulitkan)
63
35 %
3
Tidak Menjawab
2
1,11 %
180
100 %
JUMLAH
Mayoritas responden, yakni sebanyak 115 ( 63,89 %) menyatakan setuju pembayaran biaya pelayanan nikah dilakukan langsung melalui Bank. Sebab tentu di era transparansi seperti ini, ekspektasi masyarakat terhadap kejujuran juga meningkat. Sedangkan yang merasa tidak setuju dan keberatan hanya 63 responden (35 %). Ini merupakan signal positif dan menggembirakan terhadap sistem yang dikembangkan Kementerian Agama dalam pembayaran biaya pelayanan nikah.
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _499
Tabel 4 DATA TENTANG PERSEPSI PUBLIK ATAS TERCIPTANYA CLEAN GAVERNMENT DI KUA NO
JAWABAN RESPONDEN
JUMLAH
PROSENTASE
1
Yakin sekali
56
31,11 %
2
Cukup Yakin
96
53,33 %
3
Tidak Yakin
24
13,33 %
4
Tidak menjawab
4
2,22 %
180
100 %
JUMLAH
Jika digabung antara responden yang merasa sangat yakin dan cukup yakin, maka didapat data bahwa 84,44 % responden menyatakan yakin, jika dengan diberlakukan PP Nomor 48 tahun 2014 itu akan menjadikan KUA bersih dari praktik yang dianggap korup. Sedangkan responden yang tidak yakin hanya sejumlah 13,33 %. Meskipun kecil, angka ini menggambarkan masih adanya peluang untuk munculnya persepsi negatif terhadap KUA dari anggapan adanya koruptif, meskipun telah muncul aturan baru. Potensi munculnya persepsi buruk terhadap KUA dimungkinkan sebab dengan masih terlibatnya eks P3N (lebe/modin) memungkinkan adanya penambahan pungutan yang di luar prosedur. Belum rutinnya pencairan PNBP ke KUA, juga memungkinkan munculnya penerimaan gratifikasi. Tabel 5 TENTANG KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP PENERAPAN PP NOMOR 48 TAHUN 2014 NO
JAWABAN RESPONDEN
JUMLAH
PROSENTASE
1
Puas sekali
47
26,11 %
2
Cukup Puas
99
55 %
3
Tidak Puas
30
16,67 %
4
Tidak menjawab
4
2,22 %
180
100 %
JUMLAH
500_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Data polling terakhir di atas sangat penting sebagai kongklusi dari data-data sebelumnya, yakni untuk mengetahui tentang kepuasan publik. Dari sejumlah responden, ternyata mayoritas responden, sejumlah 99 (55 %) menyatakan cukup puas dengan diberlakukannya aturan baru tentang biaya pelayanan nikah ini. Sedangkan yang merasa sangat puas sebanyak 47 responden (26,11 %) dan yang merasa tidak puas sebanyak 30responden (16,67 %). Data ini cukup menggembirakan dan menguatkan tekad untuk semakin meningkatkan kesempurnaan. Jelas, masih adanya potensi ketidakpuasan merupakan koreksi perlu adanya penyempurnaan di sana sini, baik dalam aspek implementasi, penyempurnaan aturan atau kebijakan lebih lanjut. 4. Problematika Implementasi PP Nomor 48 Tahun 2014 Implementasi regulasi baru tentang biaya pelayanan nikah ini, tidak serta merta menyelesaikan seluruh permasalahan dan mudah dalam implementasi. Namun, cenderung muncul problem baru terkait berbagai hal yang dihadapi KUA dalam pelayanan masyarakat. Problem ikutan itu belum sepenuhnya teratasi untuk menormalkan pengelolaan kegiatan di KUA. Beberapa problem yang muncul dari penerapan regulasi baru tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, menurunnya angka pernikahan bedolan atau meningkatnya angka pernikahan di KUA. Penerapan aturan baru tentang biaya nikah, menimbulkan konsekuensi menurunnya pelaksanakan nikah bedolan. Hal ini terjadi karena perbedaan tarif yang sangat jauh, (Rp 0,- berbanding Rp 600.000,-). Kecenderungan masyarakat untuk memilih gratis, tentu sangat jelas. Hal demikian sangat rasional dalam perspektif ekonomi, apalagi pada masyarakat perdesaan dengan strata ekonomi yang rendah. Penurunan nikah bedolan cukup drastis ini dapat dilihat dari data berikut ini:
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _501
Tabel 6 DAFTAR PELAKSANAAN NIKAH DI KUA KECAMATAN BLADO TAHUN 2014 NO
BULAN
NIKAH DI JUMLAH KANTOR KUA NIKAH JMLH %
NIKAH BEDOLAN JMLH
%
1
JANUARI
26
26
100
0
0
2
FEBRUARI
71
71
100
0
0
3
MARET
29
21
72,4
8
27,58
4
APRIL
49
8
16,32
41
83,67
5
MEI
46
9
19,56
37
80,43
6
JUNI
45
11
24,44
34
75,55
7
JULI*
5
0
0
5
100
8
AGUSTUS*
38
24
63,15
14
36,84
9
SEPTEMBER*
20
10
50
10
50
10
OKTOBER*
74
38
51,35
36
48,64
11
NOPEMBER*
13
8
61,53
5
38,46
12
DESEMBER*
29
19
65,51
10
34,48
JUMLAH
445
245
55,06
200
44,94
Keterangan: pasca penerapan regulasi baru. Pada dua bulan pertama, Januari dan Februari, KUA Kec Blado memang secara tegas menolak pelayanan nikah di luar kantor. Pada bulan Maret, akibat dari demo masyarakat dan di atasi langsung oleh Kepala Kankemenag, maka mulai diperbolehkan KUA menerima bedolan, alias permintaan nikah di luar kantor. Sehingga sejak saat itu pelayanan nikah di KUA normal seperti biasanya. Kecenderungan menurunnya nikah bedolan semakin berlanjut pada bulan-bulan awal tahun 2015 ini. Hanya bulan Maret 2015 yang agak berbeda, sebagaimana tergambar pada tabel berikut:
502_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Tabel 7 DAFTAR PELAKSANAAN NIKAH DI KUA KECAMATAN BLADO TAHUN 2015 NO
BULAN
JUMLAH NIKAH
NIKAH DI KANTOR KUA
NIKAH BEDOLAN
JUMLAH
%
JUMLAH
%
1
JANUARI
42
27
64,3
15
35,7
2
FEBRUARI
36
25
69,4
11
30,6
3
MARET
25
8
32
17
68
JUMLAH
103
60
58,25
43
41,75
Tabel 8 DATA PERBANDINGAN PELAKSANAAN NIKAH TAHUN 2011 – 2014 NO
TAHUN
JUMLAH NIKAH
NIKAH DI KANTOR KUA
NIKAH BEDOLAN
JUMLAH
%
JUMLAH
%
2
2011
571
98
17,16
473
82,83
3
2012
444
84
18,91
360
81,09
4
2013
531
90
16,94
441
83,05
5
2014
445
245
55,06
200
44,94
Menurunnya angka pernikahan bedolan, tentu sangat berpengaruh terhadap keleluasaan keuangan KUA dan kesejahteraan penghulu. Sebab, dengan menurunnya jumlah nikah bedolan, tentu saja akan semakin sedikit kesempatan untuk mendapatkan pengembalian dari PNBP. Kedua, meningkatnya angka pernikahan tanpa kehadiran KUA. Terjadi manipulasi di kalangan masyarakat, baik karena inisiatif shâhib al-hajat maupun dikondisikan oleh para modin/lebe, bahwa nikah yang sedianya dilaksanakan di rumah (bedolan) tapi demi menghindari biaya Rp 600.000,- maka didaftarkan nikah kantor. Kemudian, sesuai waktu
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _503
yang direncanakan, pernikahan tetap dilaksanakan di rumah di luar hari dan jam dinas. Ada yang dengan cara mengulang dari pernikahan yang telah dahulu di lakukan di kantor. Ada pula yang dilakukan mendahului dari pernikahan yang dilaksanakan di kantor, baru kemudian keesokan harinya di bawa ke KUA untuk menikah di Kantor.24 Dari hasil wawancara yang dihimpun penulis menyebutkan bahwa masyarakat menjadi lebih ringan dengan biaya gratis di KUA, tapi keinginan untuk menikah di rumah sesuai dengan jam yang ditentukan atau keyakinan hari baik, dapat tetap berjalan. Sementara itu, ada pula yang sejak awal menghendaki pernikahan di rumah sesuai dengan hitungan hari dan jam yang ditetapkan, soal biaya tak masalah karena secara ekonomi cukup berada, namun justru modin berinisiatif mengkondisikan agar nikah dikantor KUA saja dengan berbagai alasan yang dikemukakannya. Motif yang melatarbelakangi tentu saja persoalan fulus. Sebab, masyarakat membayar berapapun, semuanya untuk keuntungannya sendiri, karena akad nikah di KUA gratis. Hal demikian ditemui pada beberapa pendaftar nikah yang pada saat pemeriksaan nikah berubah pilihan untuk menikahkan anaknya di rumah, setelah pada saat pendaftaran sebelumnya untuk nikah di kantor. Banyak shâhib al-hajat yang “dikadalin” oleh modin/lebe hingga terpaksa untuk menikah di kantor.25 Ketiga, kesulitan keuangan operasional penghulu. Selama tahun 2014, KUA Kecamatan Blado nyaris menghadapi kesulitan serius dalam hal keuangan. Begitu pula bagi penghulu dan para pegawainya. Biaya transportasi dan tunjangan profesi penghulu tidak dapat cair tiap bulan, bahkan pada kenyataannya sampai akhir tahun, alias enam bulan baru cair. Sementara, operasional pribadi untuk dinasnya harus dikeluarkan tiap hari. Apalagi ada beberapa desa yang jauh dari ibu kota kecamatan, yang harus ditempuh hingga empat/lima jam perjalanan pulang pergi dan membutuhkan biaya cukup banyak. Akhirnya penghulu harus berhutang dulu untuk operasional bedolan. Hal demikian akan sangat memberatkan bila pencairan harus menunggu berbulan-bulan. Hutang
504_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
pun akan bertumpuk semakin banyak. Tentu hal demikian akan sangat mengganggu kinerja penghulu dalam pelayanan masyarakat, terkait dengan operasional pribadi.26 Sebagaimana dialami penghulu di KUA Kecamatan Blado, rata-rata pengeluaran transportasi dinas tiap bulannya, baik untuk menghadiri akad nikah, rapat dinas maupun keperluan pekerjaan secara umum mencapai Rp 1.500.000,- perbulan. Sehingga, ketika mendapatkan pencairan dana transportasi dan tunjangan profesi dari jumlah nikah bedolan yang tidak terlalu banyak, maka hanya tersisa sedikit dan nyaris habis untuk membayar hutang. 27 Keempat, kesulitan keuangan operasional KUA. Sepanjang tahun 2014, pencairan dana operasional dari PNBP nyaris tidak bisa dilakukan. Hanya operasional DIPA yang sebagian bisa turun sampai ke KUA meskipun sering terlambat. Padahal, ada beberapa pembiayaan kegiatan yang harusnya dibiayai dari dana PNBP. Maka, dengan tidak lancarnya proses pencairan dana PNBP untuk operasional KUA selain untuk transportasi penghulu, menjadikan KUA tidak bisa banyak menggiatkan programnya. Sebelumnya, dengan adanya dana non-budgeter di KUA, maka banyak kegiatan yang dapat terbiayai dan terlaksana dengan baik. Misalnya untuk honor tenaga honorer, pembinaan kemasjidan, pelayanan wakaf, dan lintas sektoral yang sama sekali tak pernah mendapat alokasi dana dari sumber resmi.28 Kelima, tidak sepenuhnya menghilangkan citra buruk KUA. Harapan semua pihak, dengan diterapkannya PP Nomor 48 tahun 2014 akan menghilangkan citra buruk KUA yang ditengarai oleh banyak pihak, termasuk KPK sebagai lembaga yang penuh dengan gratifikasi dan pungli. Namun kenyataannya, ketika di KUA sudah benar-benar bersih dari gratifikasi dan pungli sekalipun, masyarakat belum sepenuhnya tahu dengan benar. Sebab, para modin/lebe masih menarik lebih dari yang disetorkan ke KUA dengan alasan transportasi pelayanan, pologoro desa dan lain-lain.29 Keterlibatan Modin atau lebe yang masih dominan
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _505
di daerah perdesaan, menjadikan potensi munculnya penambahan anggaran, meskipun tidak dilakukan oleh pihak KUA dan berulangkali diingatkan oleh pihak KUA. Kementerian Agama tidak mudah untuk memutus mata rantai “percaloan” resmi seperti ini. Sebab, secara kesejarahan keterlibatan Lebe/modin atau P3N sudah begitu lama mengakar dan lekat dalam tata birokrasi pernikahan, bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Sejak awal, Kemenag sendiri pernah melegalkan keberadaan Lebe/Modin/ Kaum dengan istilah Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) melalui peraturan perundangan yang ada. Sehingga, meskipun secara legal formal Kemenag sudah tidak mengakuinya, namun secara faktual perannnya dalam masyarakat sulit ditepis. Keenam, belum meng-cover seluruh kegiatan pelayanan di KUA. Komponen biaya yang ditentukan dalam PP Nomor 48 tahun 2014 yang telah diperbaharui menjadi PP Nomor 19 tahun 2015 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Kementerian Agama, sebatas hanya berkaitan dengan pelayanan nikah bedolan (akad di luar kantor dan diluar jam dinas). Sehingga baru satu aspek masalah yang terselesaikan. Sementara, pelayanan KUA tidak hanya itu, tapi juga di bidang lain seperti Pelayanan Ikrar Wakaf, Konsultasi Keluarga sakinah, Duplikat Buku Nikah, Legalisir Buku Nikah, Rekomendasi Nikah, Suratsurat keterangan, Legalisasi Proposal dan lain-lain. Semuanya itu belum ditetapkan komponen pembiayaannya, gratis atau tidak. Belum ada peraturan yang mengaturnya.30 Sehingga, semua ini memungkinkan munculnya tuduhan baru terkait dengan gratifikasi atau pungli. Maka, perlu adanya kejelasan peraturan yang menjadi pijakan hukum, bukan persepsi dan pemahaman individu di lapangan. Sementara ini, di KUA Kecamatan Blado ditentukan bahwa semua layanan “Gratis” kecuali yang telah ditentukan oleh peraturan.31 Ketujuh, terkendalanya pelaksanaan suscatin atau kursus pra nikah. Berdasarkan Peraturan Dirjen Bimas Islam nomor DJ.II/542 tahun 2013
506_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
tentang Pedoman penyelenggaraan Kursus Pra Nikah, ditekankan bahwa Kursus Pra Nikah, yang sebelumnya dikenal dengan istilah kursus calon pengantin (Suscatin), merupakan program wajib yang harus dilaksanakan dan menjadi syarat bagi calon pengantin untuk mendaftarkan nikah. Proses swastanisasi pengelolaan Kursus ini, belum berlaku efektif, sebagaimana diamanatnya peraturan tersebut. Selama ini, program suscatin efektif dilakukan di KUA Kecamatan Blado melalui bendera BP4 Kecamatan. Pembiayaan, yang dahulunya bisa diperoleh dari OPNR, dengan berlakunya PP Nomor 48 tahun 2014 ini, menjadi tidak jelas. Meskipun konon dapat dibiayai dari PNBP yang disetor catin, namun aturan untuk pencairan belum jelas, bahkan pencairannya sendiri belum pernah dapat dilakukan setidaknya selama kurun 8 bulan ini. Nyaris, penyelenggaraan suscatin menjadi terbengkalai. Di KUA Kecamatan Blado penyelenggaraan suscatin tetap dilaksanakan dengan tanpa biaya sepeserpun, sehingga dipermaklumkan kepada para catin (peserta kursus) dengan tanpa ada konsumsi apapun (alias malaikatan).32 5. Analisis Legalitas Pembiayaan pelayanan nikah yang diperoleh dari pungutan masyarakat, sebagaimana berlaku sejak tahun 1946 hingga era reformasi (1999) sudah sangat memenuhi unsur legalitas. Sebab, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, bahwa pembiayaan pencatatan dibebankan kepada pihak masyarakat dan besarannya ditentukan oleh Menteri Agama (pasal 1 ayat [4]). Kemudian peraturan setingkat menteri pun bermunculan sejak kemerdekaan RI sesuai kebutuhan dan nilai inflasi. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1990 pada pasal 22 ayat (4) disebutkan bahwa Honorarium Pembantu PPN, biaya transport PPN atau Pembantu PPN untuk menghadiri akad nikah di luar balai nikah, dibebankan kepada yang bersangkutan yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi atas usul Kepala Bidang Urusan Agama Islam / Bidang Bimbingan Masyarakat dan
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _507
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dengan persetujuan Gubernur Kepala Daerah setempat. Di Jawa Tengah, pada era 1999 – 2000 masih ditemukan aturan tentang biaya bedolan yang ditetapkan oleh Kepala Kanwil Kemenag atas persetujuan Gubernur. Dengan demikian telah lengkap memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku saat itu. Problematika legalitas muncul saat Era reformasi, ketika UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan. Pungutan-pungutan keuangan dari masyarakat melalui peraturan setingkat menteri dinyatakan tidak benar. Apalagi pejabat di bawahnya. Inilah salah satu faktor yang banyak menjerumuskan menteri ke dalam jeruji besi, termasuk salah satunya Menteri Agama Said Aqil Husen Al Munawar tentang pengelolaan DAU (Dana Abadi Umat) di Kementerian Agama. Terkait pembiayaan pelayanan nikah, pada tahun 2000 diterbitkan aturan baru yakni PP Nomor 54 tahun 2000 tentang PNBP di Lingkungan Departemen Agama. Peraturan Pemerintah ini merupakan penyikapan atas ketentuan baru tentang pungutan masyarakat agar memenuhi standar legalitas. Problem yang muncul bahwa pada PP itu hanya mengatur biaya pencatatan nikah sebesar Rp 10.000,- dalam bentuk PNBN tanpa diikuti konsekuensi rasional yang dibutuhkan dalam pelayanan nikah berupa biaya transport bedolan, honor P3N, jasa profesi dan lainlain. Padahal sejak saat itu peraturan setingkat menteri dan pejabat di bawahnya seperti gubernur, Ka kanwil, Bupati/wali kota dan sebagainya dinyatakan tidak berlaku dan harus dihapus. Dengan demikian biaya transport bedolan, honor dan transport P3N dan lainnya kehilangan pijakan hukum (legal standing) padahal masih sangat diperlukan dalam operasionalisasi pelayanan nikah. Secara yuridis, sebenarnya pengaturan biaya pencatatan nikah diatur dalam bentuk PP juga tidak sepenuhnya benar, sebab ketentuan dalam UU Nomor 22 tahun 1946 belum dicabut dan yang berkewenangan
508_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
adalah Menteri Agama. Mestinya lebih dahulu disingkronisasi antara UU Nomor 22 tahun 1946 dan UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor. Terdapat keanehan, UU nomor 22 tahun 1946 yang sudah begitu lama dan usang yang mengatur tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk tidak pernah diperbaharui hingga sekarang. Padahal munculnya UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak bisa menggantikan kedudukan UU di atas. Sebab, UU Perkawinan sama sekali tidak menyinggung tentang prosedur pencatatan nikah secara teknis. Peraturan teknis tentang pencatatan nikah muncul dalam bentuk peraturan setingkat menteri (KMA dan PMA). Mestinya, UU Nomor 22 tahun 1946 itu diperbaharui untuk disesuaikan dengan perkembangan jaman. Demikian pula sangat disayangkan, mengapa munculnya PP tentang biaya pencatatan nikah kala pertama kalinya juga tidak mengcover sekaligus biaya-biaya lainnya. Kekosongan hukum ini mengapa dibiarkan berlarut-larut hingga memakan korban. Maka ketika ekspose potensi korupsi di Kementerian Agama dalam pelayanan nikah tahun 2004 oleh KPK muncul, hakikatnya merupakan pembiaran dan kesalahan legalitas yang dilakukan oleh Kementerian Agama kala itu. Andai saja dalam PP itu ditentukan lengkap komponen atau jenis dan tarif PNBP sampai pada biaya bedolan, honor P3N dan lainnya maka Kementerian Agama selamat dari tuduhan miring terkait korupsi itu. Perubahan PP terkait biaya pelayanan nikah pada tahun 2004, yakni dengan diundangkannya PP Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Departemen Agama, ternyata mengulangi kesalahan masa lalu. Mestinya saat itu moment yang tepat untuk memasukkan komponen bedolan dalam PP itu. Tapi yang muncul hanya berubahan nominal, dari Rp 10.000,- menjadi Rp 30.000,-. Sehingga semakin menjerumuskan KUA pada kubangan hitam yang merusak muru’ah (nama baik). Kajian secara yuridis, ketika UU belum dicabut dan masih dinyatakan berlaku, maka ketentuan yang tidak ter-cover dalam PP Nomor 47 tahun
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _509
2004 mestinya dikembalikan pada ketentuan dalam UU. Sehingga, jika menteri melakukan upaya penertiban peraturan dalam rangka melaksanakan amaar dalam UU Nomor 22 tahun 1946 maka dinyatakan legal. Tampaknya analisis ini tidak sesuai dengan tafsiran para penegak hukum di KPK. Sehingga carut marut probematika di KUA semakin menyedihkan. Lahirnya PP Nomor 48 tahun 2014 dan diperbaharui menjadi PP Nomor 19 tahun 2015 muncul by accident akibat kecelakaan yuridis yang dilakukan. Bukan dari hasil kajian dan analisis akademik yang komprehensif dan antisipatif terhadap berbagai aspeknya. Sehingga terkesan sangat tergesa-gera karena telah ditunggu para pelaksana teknis di KUA dan belum dipertimbangkan terkait implementasi pengelolaan keuangannya secara sistematis. Sehingga, Kementerian Agama terkesan “keponthal-ponthal” dalam mengatasi problem ikutannya yang hingga saat ini masih menyulitkan banyak pihak. Semestinya kasus seperti ini jangan sampai terulang lagi. Sikap “Ikhlas Beramal” sebagai paradigma berfikir Kementerian Agama tidak sampai menafikan pertimbangan legal yuridis, apalagi mengenai aspek keuangan.Antisipasi jangka panjang yang jeli dan strategis dalam penyusunan materi-materi hukum dan peraturan, mestinya harus dilakuan dengan seksama, dan tidak reaktif seperti dewasa ini terjadi. 6. Analisis Efektivitas dan Kepuasan Publik Meskipun PP Nomor 48 tahun 2014 yang diperbaharui dengan PP Nomor 19 tahun 2015 telah resmi diberlakukan, Potensi munculnya ketidakpuasan publik masing mungkin tejadi. Tidak saja karena masih kurang disiplinnya penghulu atau pelaksana KUA yang rendah integritasnya. Namun itu semua terjadi karena –lagi-lagi—aspek kurang komprehensifnya peraturan perundangan yang ada. Meskipun angka ketidakpuasaan publik tercatat relatif kecil, (16,67 %) bukan berarti dapat disepelekan. Sebab hal ini tetap saja merupakan potensi amunisi untuk menyerang kekurangan-kekurangan yang ada di
510_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
KUA. Sekecil apapun kesalahan, mestinya harus diantisipasi agar tidak merebak menjadi besar. Belum disiplinnya petugas teknis di KUA dalam gerakan anti gratifikasi dan pungli, tidak sepenuhnya disebabkan karena lemahnya integritas mereka. Bisa jadi hal itu wujud keterpaksaan di saat kesulitan keuangan pribadi karena terhutangnya biaya traansportasi yang terlalu lama tidak segera cair. Jadi, aspek kelancaran proses pencairan PNBP juga menjadi faktor yang sangat penting dalam membangun integritas penghulu. Ancaman munculnya kasus hukum sudah sedemikian menakutkan, sehingga kalau masih saja ada yang belum disiplin dalam memberantas gratifikasi, perlu dikaji secara mendalam dalam aspek lain. Tidak diaturnya tarif pembiayaan selain pelayanan nikah, seperti akta ikrar wakaf, legalisir, duplikat dan lainnya, juga berpotensi memunculkan tuduhan baru terhadap KUA. Sebab, ketidakjelasan peraturan pasti akan melahirkan multitafsir di kalangan pelaksana di bawah. Apalagi ketika harus semuanya digratiskan, sementara adanya penopang dana yang resmi tidak semudah yang diharapkan. Maka, peraturan tentang biaya pelayanan di KUA yang lengkap komprehensif dan meng-cover seluruh kegiatan KUA, menjadi hal yang sangat urgen. Selanjutnya, keterlibatan pihak ketiga (lebe/Modin) eks P3N juga menjadi faktor yang dapat melahirkan munculnya tuduhan negatif terhadap KUA. Masyarakat masih belum sepenuhnya bisa membedakan mana dana yang benar-benar masuk ke KUA dan mana dana yang hanya untuk kepentingan Lebe/modin atau pologoro desa. Bahkan terkadang muncul kesengajaan Lebe/Modin untuk “menjual” pihak KUA dalam menarik tambahan biaya dari masyarakat. Meskipun pada kenyataannya pihak KUA sudah tegas meniadakan biaya tambahan apapun.33 Dilema berikutnya, yang mungkin melahirkan ketidakpuasan publik terkait perbedaan pelayanan nikah antara yang di KUA dan yang di luar KUA. Karena telah membayar mahal, maka nikah bedolan diprioritaskan, sementara yang gratis di KUA dinomor duakan. Hal
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _511
demikian mungkin saja terjadi. Sebab dalam persepsi penghulu, jika disamakan standar pelayanannya menjadi tidak adil. Sebab, sudah membayar mahal, lama ngantri di Bank, tapi pada saat akad mendapatkan pelayanan yang sama dengan yang gratisan dan tanpa ngantri. Dampaknya akan muncul gelombang nikah di kantor besarbesaran.34 Semangat menomorduakan pelayanan nikah di kantor tentu saja berpeluang melahirkan ketidakpuasan sebagian masyarakat. 7. Analisis Idealitas Sebelum menganalisis dalam aspek ideal, terlebih dahulu perlu dibahas tentang tingkat efektifitas pemberlakuan PP Nomor 48 tahun 2014 (yang telah diperbaharui menjadi PP Nomor 19 tahun 2015) ini. Sebagaimana penulis sampaikan di muka, bahwa untuk menilai efektifitas PP ini, harus dirumuskan setidaknya dalam dua aspek. Pertama, aspek penciptaan clean gaverment di lingkungan KUA dari pungutan liar dan gratifikasi. Pada aspek ini sudah berjalan cukup efektif dengan meniadakan pungutan apapun dan menolak gratifikasi. Kedua, aspek membangun citra positif KUA (Image building), dalam aspek ini masih sulit untuk dimunculkan secara maksimal. Masih muncul potensi ketidakpuasan publik dan potensi tuduhan-tuduhan baru. Potensi image negatif itu terkait dengan beberapa hal, diantaranya peraturan biaya yang tidak komprehensif, masih terlibatnya eks P3N dalam birokrasi nikah, dan belum lancarnya sistem pengelolaan PNBP yang mejamin kelancaran pencairan dengan cepat. Selengkapnya tergambar dalam tabel berikut : Tabel 12 DATA EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI PP NOMOR 48 TAHUN 2014 YANG DIPERBAHARUI MENJADI PP NOMOR 19 TAHUN 2015 NO
ASPEK IMPLEMENTASI
1
Penerapan Biaya Pelayanan Nikah
TINGKAT EFEKTIFITAS Efektif
KET
512_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
3
Keamanan dan perlindungan hukum bagi KUA Harapan Kesejahteraan Penghulu
4
Pembangun Citra positif KUA
Belum efektif
5
Teknis Pengelolaan dana PNBP
Belum efektif
6
Peningkatan kinerja kedinasan
Belum efektif
2
Efektif Efektif
Oleh karena itu, untuk mewujudkan tatanan yang ideal dalam ketentuan biaya pelayanan nikah di KUA, maka perlu dimunculkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Tarif dan Jenis PNBP pada Kementerian Agama yang lebih lengkap menyangkut seluruh aspek pelayanan di KUA. Kira-kira bunyi dalam lampiran PP seperti demikian: Tabel 13 USULAN PERUBAHAN ATURAN BIAYA PELAYANAN KUA NO
BIAYA PELAYANAN DI KUA KECAMATAN
JUMLAH
1
Biaya Pelayanan Nikah di Luar Kantor
Rp 600.000,-
2
Biaya Pelayanan Ikrar wakaf
Rp 100.000,-
3
Biaya Legalisasi Proposal
Rp 10.000,-
Adapun untuk biaya lainnya, yang menyangkut data kependudukan, seperti Legalisir Buku Nikah, Duplikat Kutipan Akta Nikah, Surat Keterangan Nikah dan lain-lain, sesuai dengan UU Nomor tentang Administrasi Kependudukan, maka ditentukan gratis. Selanjutnya, menyangkut ketentuan tentang pencairan PNBP NR juga harus ditata secara lebih komprehensif, agar tidak terjadi keterlambatan. Akan lebih baik jika bisa dimunculkan klausul PMA yang mengatur tentang jaminan bahwa pencairan PNBP dilakukan setiap bulan. Atau perlu ada jalan keluar jika pencairan PNBP tidak bisa tiap bulan, misalnya dengan disediakan dana uang muka bagi KUA. Atau pula, khusus tentang biaya Pelayanan Ikrar Wakaf ditentukan gratis, namun dalam PMA juga
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _513
ditentukan dengan jelas bahwa biaya pelayanan Ikrar wakaf ditanggung oleh DIPA Kemenag dengan mata anggaran tersendiri. Sehingga, sekecil apapun ketidakjelasan peraturan menyangkut pelayanan di KUA harus segera diatasi dan dipertegas. Adapun menyangkut eks P3N, tentu suatu yang sangat rumit. Pada PMA Nomor 24 tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah dan Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan, telah terlanjut dimasukkan mata anggaran untuk Honor P3N (pasal 11 ayat [1]). Kejelasan tentang implementasinya, hingga saat ini belum juga jelas. Dari dana sebesar Rp 600.000,- yang dibayarkan catin, jika untuk memanggung juga honor P3N maka jelas tidak akan cukup. Sebab, di KUA Kecamatan Blado sebagai contoh, ada 25 orang P3N. Jika dianggarkan sebesar Rp 300.000,- perbulan, maka akan didapat hitungan sebesar Rp 7.500.000,-. Padahal, pemasukan dari nikah bedolan yang telah menurun jumlahnya, maka jelas akan tekor. Jumlah tersebut setara dengan 13,5 nikah bedolan. Apalagi jika dihitung setelah diambil untuk transportasi dan jasa profesi penghulu untuk tipologi C sebesar Rp 285.000,- per-peristiwa nikah bedolan. Maka, tentu saja berbanding rasio semakin besar. Jika Rp 7.500.000 dibagi Rp 315.000,- maka akan didapat rasio sebesar 23,8. Artinya, setiap bulan minimal harus ada akad nikah bedolan sebanyak 24 peristiwa. Padahal terjadi trend yang menurun, sehingga semakin menyulitkan. Menyikapi hal ini, tentu perlu dicarikan jalan keluar yang jelas, misalnya honorarium P3N dibiayai oleh APBN atau DIPA Kementerian Agama seperti yang berlaku pada Penyuluh Agama honorer. Jika tidak mungkin, maka perlu ada upaya untuk mendiskusikan dengan instansi lain khususnya Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Desa dan Daerah tertinggal, bahwa P3N sepenuhnya menjadi aparatur desa/ kelurahan yang honorariumnya masuk pada anggaran desa. Demikian analisis singkat ini untuk menjadi bahan renungan, evaluasi dan kajian oleh semua pihak, khususnya Kementerian Agama
514_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
dalam menyempurnakan aturan tentangbiaya pelayanan nikah di KUA. Harapannya, kedepan aturan menjadi lebih komprehensif dan benar-benar meminimalisir potensi munculnya citra buruk bagi Kementerian Agama.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi Dengan berakhirnya rangkaian pembahasan dalam karya tulis ini, maka dapat penulis sampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemberlakuan PP Nomor 48 tahun 2014 yang telah diperbaharui menjadi PP Nomor 19 tahun 2015 di KUA Kecamatan Blado telah dilaksanakan dengan baik dan benar melalui berbagai bentuk, yaitu: sosialisasi, implementasi penerapan biaya pelayanan nikah dengan ketat, membangun integritas dan supervisi kepada eks P3N, pegawai KUA dan penghulu baik secara internal maupun eksternal. 2. Pemberlakuan PP Nomor 48 tahun 2014 yang telah diperbaharui menjadi PP Nomor 19 tahun 2015 di KUA Kecamatan Blado telah memunculkan beberapa manfaat positif atau fungsi, yang diantaranya adalah: fungsi perlindungan hukum, fungsi pembangun citra positif kua, fungsi keadilan dan fungsi singkronisasi. 3. Kendala dan problematika dalam penerapan PP nomor 48 tahun 2014 telah diperbaharui menjadi PP Nomor 19 tahun 2015 adalah: menurunnya angka pernikahan bedolan, meningkatnya angka pernikahan tanda kehadiran penghulu, tidak sepenuhnya menghilangkan citra buruk KUA, belum meng-cover seluruh kegiatan pelayanan KUA dan terkendalanya pelaksanaan kursus pra nikah. 4. Dalam hal efektifitas pemberlakuan PP tersebut terbagi dalam dua aspek. Pertama, dalam aspek penciptaan clean gavernment melalui penegakan aturan biaya pelayanan nikah, telah berjalan efektif. Sedangkan kedua, dalam aspek image building belum sepenuhnya berjalan efektif dan masih menyisakan peluang terbentuknya
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _515
image buruk bagi KUA. Hal demikian terjadi karena belum komprehensifnya peraturan, belum sempurnanya kebijakan dalam tata kelola keuangan PNBP dan masih terlibatnya eks P3N dalam pelayanan nikah di KUA. Selanjutnya untuk melengkapi bahasan pada karya tulis ini dapat penulis sampaikan saran-saran atau rekomendasi sebagai berikut: 1. Diperlukan Peraturan Pemerintah yang mengatur lengkap seluruh aspek biaya pelayanan KUA, tidak hanya mengurusi pelayanan nikah semata. Namun diperlukan rincian jenis pelayanan non bedolan, seperti pelayanan akta ikrar wakaf, pelayanan duplikat buku nikah, pelayanan legalisir buku nikah, pelayanan legalisasi proposal, pelayanan rekomendasi, surat keterangan dan lain-lain. Sehingga jelas legalitasnya dalam perspektif hukum, apakah harus membayar atau gratis. 2. Perlu dibangun sistem pengelolaan dana PNBP NR yang sederhana, cepat, dan fleksibel namun tetap dalam tingkat akuntabilitas yang tinggi. Sehingga pencairan dapat dilakukan cepat dan lancar, tidak tertunda terlalu lama, dan tidak mengganggu kinerja di KUA. 3. Perlu adanya kebijakan yang jelas dan terang benderang mengenai status P3N (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah) dan tidak menggantungkannya dalam wilayah semu. Ada beberapa cara untuk hal ini. Pertama, diangkat secara resmi oleh Kemenag dengan disediakan honor melalui DIPA Kemenag, seperti halnya untuk Penyuluh Honorer (Non PNS) yang selama ini telah berjalan. Kedua, mengalihkan status kepegawaian P3N menjadi unsur aparatur Pemerintah Desa/Kelurahan secara penuh dan penggajiannya masuk pada struktur pemerintah desa yang sekarang jumlahnya cukup besar. Dengan demikian, maka untuk melakukan penegakkan yang tegas kepada P3N tentang gerakan anti gratifikasi dan pungli menjadi efektif.
516_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Daftar Pustaka
Kementerian Agama RI., Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Edisi 2004, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Gara Haji, 2004. Kementerian Agama RI., Pedoman Penghulu, Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kemenag RI, 2008. Kementerian Agama, Himpunan Peraturan Kepenghuluan, (Semarang: Kanwil Kemenag Jawa Tengah, 2013. Kementerian Agama, PP Nomor 48 tahun 2014 tentang Perubahan atas PP Nomor 47 tahun 2004 tentang tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama dan Peraturan pendukungnya, Semarang: Kanwil Kemenag Jawa Tengah, 2014. Lembaga Administrasi Negara RI, Operasionalisasi Pelayanan Prima, Jakarta: Modul Diklatpim IV, 2008. Lembaga Administrasi Negera RI, Dasar-dasar Administrasi Publik, Jakarta: Modul Diklatpim IV, 2008. Lith, van der. P.A., Encyclopoedia van Nederlandsch-Indie, HM. Leiden Gracuhae, T.th. Manroe, Inda Putri, Kamus Inggris – Indonesia dan Indonesia – Inggris, Surabaya: Greisindo Press, 2012. Mulyana, Deddy., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda karya, 2001. Poesponegoro, Marwati Djuned dan Nugroho Notosusanto (editor), sejarah Nasional Indonesia, Jilid III Jakarta: Balai Pustaka, 2010. Sianipar, JPG., Drs., MM., M.BA., Manajemen Pelayanan Masyarakat, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI, 2000. Team Penyusun, Profil KUA Kecamatan Blado Tahun 2014, Batang: KUA Kecamatan Blado, 2014.
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _517
Endnotes
1. Salah satunya adalah Romli, Kepala KUA Kota Kediri Jawa Timur, yang
terbelit kasus hukum atas tuduhan pungli pada pelayanan nikah yang dilakukan. Kasus ini menimbulkan kesadaran dan solidaritas nasional di kalangan KUA se Indonesia untuk menuntut regulasi yang rasional atas pelayanan KUA. Sehingga secara kelembagaan solidaritas itu semakin nyata dengan lahirnya APRI (Asosiasi Penghulu Republik Indonesia) sebagai organisasi profesi dan advokasi yang memperjuangkan nasib para penghulu di Indonesia.
2. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 disebutkan bahwa
biaya pencatatan nikah di KUA ditentukan sebesar Rp 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) per peristiwa. Besaran biaya itu dinilai sangat tidak logis, sebab tidak bisa menopang seluruh biaya pelayanan nikah di KUA tidak sematamata hanya pencatatan. Tetapi dilakukan melalui tahapan yang panjang meliputi pendaftaran atau pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, kursus calon pengantin, pengumuman, pelaksanaan akad nikah yang dihadiri penghulu, pencatatan akta nikah baru diterbitkan dokumen Kutipan Akta nikah yang dikenal dengan Buku Nikah. Transportasi bedolan, penyelenggaraan Kursus Calon pengantin, tunjangan luar dinas dan sebagainya tidak ter-cover dalam pembiayaan resmi, kemudian menimbulkan potensi munculnya praktik yang dituduhkan sebagai pungli atau gratifikasi.
3. Sebagaimana dilansir dalam ekspose yang disampaikan KPK pada tahun 2004 dan diulangi pada tahun 2014.
4. Drs. JPG Sianipar, MM., M.BA., Manajemen Pelayanan Masyarakat, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI), 2000, h. 6
5. Inda Putri Manroe, Kamus Inggris – Indonesia dan Indonesia- Inggris, Surabaya: Greisinda Press, 2012, h. 240
6. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/Kep/M. PAN/7/2003
7. Drs. JPG Sianipar, MM., M.BA., ibid. 8. Lembaga Administrasi Negara RI, Operasionalisasi Pelayanan Prima, Jakarta: Modul DIKLATPIM IV, 2008, h. 15
9. Ibid.
518_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
10. Ibid., h. 30 atau lihat LAN-RI, Dasar-dasar Administrasi Publik, Jakarta: Modul Diklatpim IV, 2008, h. 28
11. Dalam struktur pemerintahan kesultanan Islam di Nusantara dikenal
adanya pejabat Agama yang bernama Penghulu, Pengulu, Kadi atau Kali yang memiliki tugas dalam pelayanan keagamaan. Salah satu tugasnya nya adalah pelayanan pernikahan bagi umat Islam. Selengkapnya dapat dilihat pada Marwati Djuened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (editor), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, 2010, h. 326 – 328. Hingga saat ini, penggunaan istilah Penghulu telah diabadikan untuk nomenklatur jabatan yang membidangi pelayanan perkawinan di KUA.
12. Diantaranya yang paling berpengaruh adalah Huwelijks Ordonantie,
Staatblad 1929 Nomor 348 jo. Staatblad 1931 Nomor 467 dan Vorsenlandsche Huwelijks Ordonantie, Staatblad 1933 Nomor 98.
13. Shumubu didirikan atas kesepakatan antara pemerintah Dai Nippon dengan
tokoh-tokoh Islam saat itu untuk menyelamatkan instansi yang melayani bidang keagamaan di negeri jajahan. Pertama dibentuk oleh KH Hasyim Asy’ari sekaligus menjadi kepalanya. Shumubu merupakan embrio Kementerian Agama beberapa saat setelah Kemerdekaan RI diproklamirkan.
14. Inilah yang membedakan pelayanan pencatatan nikah dengan pelayanan penerbitan dokumen lainnya. Dengan tahapan pelayanan yang kompleks antara jasa dokumen dan jasa tenaga frofesional, maka tentu membutuhkan biaya pelayanan yang lebih banyak dari pelayanan data kependudukan biasa. Yang hampir mirip adalah pelayanan sertifikasi tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
15. Hal ini tampak dari data sejarah, dinyatakan bahwa ongkos atau upah
perkawinan menjadi bagian dari pendapatan instansi kepenghuluan kala itu. Dananya masuk ke bait al-mal (kas harta) yang diantaranya digunakan untuk pendanaan masjid. Selengkapnya lihat pada Marwati Djuened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (editor), ibid, h. 328 atau dilihat pada sumber aslinya, P.A. van der Lith, Encyclopaedia van Nederlandsch-Indie, H-M,Leiden ‘s Gravenhage, h. 583-586
16. Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001, h. 16
17. Ibid, h. 24 18. Edi Daryadi, S.Ag., Penghulu KUA Kecamatan Blado, wawancara pada tanggal 5 Maret 2015
19. Ibid.
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2015 _519
20. Beberapa desa berada di kawasan pengunungan Dieng. Bahkan untuk desa
Gerlang yang berjarak 29 km dari KUA harus ditempuh dengan melewati hutan Gunung Kemulan yang lebat dengan kondisi jalan yang rusak parah, hujan dan berkabut. Tarif Biaya ojek mencapai Rp 120.000,-
21. Edi Daryadi, S. Ag., Penghulu KUA Kecamatan Blado, Wawancara pada tanggal 5 Maret 2015.
22. Populasi terdiri atas Pendaftar nikah rentang waktu Januari – Maret 2015
dan tokoh agama dari 18 Desa yang berjumlah total 560 orang. Dengan demikian prosentase Sampel sebesar 32,14 % yang menjadi responden. Sehingga memiliki akurasi data yang cukup kuat.
23. Agar kualitas data mendekati validitas, maka pendaftar nikah diacak dengan
jarak pendaftaran nikah 3 diambil satu sebagai responden. Kemudian untuk tokoh agama, dari populasi yang ada di Kecamatan Blado diambil secara acak dengan mengacak dari daftar yang telah penulis tetapkan dengan interval 3 orang.
24. Santoso, S.Pd.I, Petugas penerima pendaftaran nikah di KUA Kecamatan Blado, Wawancara pada tanggal 7 Maret 2015
25. Ibid. 26. Edi daryadi, S.Ag., Penghulu KUA Kecamatan Blado, wawancara pada tanggal 5 Maret 2015
27. Ibid. 28. Santoso, S.Pd.I., Bendahara/TU pada KUA kecamatan Blado, wawancara pada tanggal 7 Maret 2015.
29. Di Kecamatan Blado, berdasarkan hasil wawancara dengan Masyarakat,
diperoleh informasi bahwa terdapat keragaman pada setiap desa dalam menambah biaya pelayanan Nikah yang dilakukan oleh Modin/Lebe sebagai apatarur pemerintah desa, berkisar antara Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,- Salah satunya informasi dari S Sukardi, Lebe/Kaur Kesra Desa Blado, wawancara Pribadi tanggal 8 Maret 2015
30. Bandingkan dengan Komponen biaya pendidikan di Perguruan Tinggi
Agama yang diatur dalam PP Nomor 19 tahun 2015, semua unsur pembiayaan masuk pada lampiran PP tersebut. Demikian pula yang berlaku pada Kementerian Hukum dan HAM, pada PP Nomor 45 tahun 2013 diatur untuk semua pelayanan dokumen maupun non dokumen di Kementerian. Termasuk misalnya duplikat atau pengganti Paspor yang hilang atau rusak, biayanya sangat fantastis, antara Rp 300.000,- Rp 600.000,- sampai 1.200.000,. Demikian pula di lingkungan PTA, yang tidak ter-cover dalam PP 19 tahun
520_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015 2015, ternyata dibiayai melalui pungutan dari mahasiswa atau masyarakat. Misalnya tentang biaya legalisir ijasah di UIN Walisongo, berdasarkan SK Rektor Nomor 18 tahun 2013 tentang Jenis dan Tarif Layanan BLU IAIN Walisongo ditetapkan perlembar untuk Ijasah Rp 1.000,- dan untuk non ijasah (Sertifikat Pendidik) ditentukan Rp 5.000,- per lembar.
31. Cahyo, Pegawai/Staf di KUA Kecamatan Blado, Wawancara pribadi pada tanggal 8 Maret 2015
32. Ibid. 33. Hal demikian pernah penulis alami sendiri bahwa Lebe/Modin menarik ke
catin lebih banyak dari ketentuan dan menyatakan bahwa dana ini untuk biaya Suscatin dan transport penghulu. Padahal sudah sangat tegas KUA menyampaikan tidak boleh membayar apapun lagi selain yang sudah ditetapkan peraturan yang berlaku.
34. Edi Daryadi, S.Ag., Penghulu pada KUA Kecamatan Blado, wawancara Pribadi pada tanggal 7 Maret 2015.
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _521
Psychological Analysis of the Upgrading Premarital Material
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah
Dedi Slamet Riyadi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cigandamekar Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. email:
[email protected]
Abstract: This writing scientific papers have departed from the assumption that the course of the bride and groom which held in the Office of Religious Affairs in collaboration with BP4 aims to reduce divorce rates through debriefing bride variety adequate knowledge so that they can realize the sakinah household, decorated with mawaddah and mercy, as well as avoid conflict and divorce. However, data from the Ministry of Religious Affairs, Religious Court, as well as other studies have shown increasingly high divorce rate in Indonesia. Thus, upgrading premarital has not be able to reduce the number of divorces. Research shows that the development of culture, civilization, and advances in technology, particularly information technology, big influence on changes in psychological of the society and relationship patterns that occur within the family, between husband and wife and between parents and children. It was also found that from a review of psychology, materials upgrading for premarital couple is not relevant to the needs of society and changes in the psychological condition of modern society tend to be vulnerable to disturbances and emotional stress.
522_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Abstraksi: Penulisan karya tulis ilmiah ini berangkat dari asumsi bahwa kursus calon pengantin yang dilaksanakan Kantor Urusan Agama bekerja sama dengan BP4 bertujuan untuk menekan angka perceraian melalui pembekalan para calon pengantin berbagai pengetahuan yang memadai sehingga mereka dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah, dihiasi mawaddah dan rahmah, serta terhindar dari perselisihan dan perceraian. Namun, data Kementerian Agama, Pengadilan Agama, dan juga penelitian lain menunjukkan semakin tingginya angka perceraian di Indonesia. Dengan demikian, penataran pranikah belum dapat menekan angka perceraian. Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan budaya, peradaban, dan kemajuan teknologi, terutama teknologi informasi, berpengaruh besar terhadap perubahan kondisi psikologis masyarakat dan pola relasi yang terjadi di dalam keluarga, baik antara suami dan istri maupun antara orangtua dan anak-anak. Ditemukan pula bahwa dari tinjauan psikologi, materi-materi penataran pranikah belum relevan dengan kebutuhan masyarakat dan perubahan kondisi psikologis masyarakat modern yang cenderung rentan terhadap gangguan dan tekanan kejiwaan. Keywords: pre-marital courses, family resilience, Religious Affairs Office/ KUA
A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan beberapa penelitian dan laporan, angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan signifikan sejak 2001.1 Tingkat perceraian makin tinggi meskipun taraf ekonomi dan kemakmuran masyarakat makin baik. Salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya angka perceraian adalah pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi informasi.2 Perkembangan budaya dan peradaban yang sangat cepat sejak era industrialisasi turut mengubah pola relasi suami dan istri juga orangtua dan anak-anak. Manusia berkembang menjadi semakin individualis, tidak lagi memedulikan keadaan dan kepentingan orang
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _523
lain. Dalam ungkapan Gabriel Marcel, manusia menjadikan manusia lain sebagai objek kepentingan. Hubungan antara seseorang dan orang lain didasarkan atas nilai dan kepentingan.3 Tuntutan ekonomi dan kebutuhan hidup telah memaksa para orangtua modern untuk bekerja keras siang dan malam. Akibatnya, mereka tak lagi punya waktu bagi pasangan dan anak-anak. Arlie Hochschild menggambarkan keadaan itu dengan ungkapan: “when work becomes home and home becomes work (ketika/tempat] kerja menjadi rumah dan rumah menjadi/tempat] kerja)”.4 Semua fenomena itu memberikan andil besar terhadap keguncangan dan keretakan keluarga. Perubahan dan perkembangan budaya yang sangat cepat itu berkontribusi besar terhadap meningkatnya perceraian. Di zaman sekarang, mewujudkan keluarga sakinah, keluarga yang bahagia lahir dan batin sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974, menjadi tantangan sangat besar. Dibutuhkan kerja keras dan persiapan yang benar-benar matang sebelum seseorang memasuki atau membangun bahtera rumah tangga. Salah satu aspek yang penting untuk dipersiapkan adalah kematangan psikologis dan pengetahuan yang memadai tentang rumah tangga. Ibarat seorang yang berlayar, pengetahuan, kesiapan ekonomi, dan kesiapan mental merupakan bekal, kompas, dan peta yang dibutuhkan untuk melayari samudera. Tanpa itu semua, bahtera yang berlayar besar kemungkinan akan tenggelam atau terombang-ambing di tengah samudera.5 Untuk tujuan itulah pemerintah mencanangkan program penataran pranikah dan kursus calon pengantin.6 Tidak hanya di Indonesia, program serupa juga dijalankan di negeri jiran Malaysia dan, menurut pejabat setempat, program itu sangat efektif menekan angka perceraian—dari 32 persen menjadi hanya tujuh persen. Bahkan, harian Ashraq al-Awsat, mengemukakan bahwa pemerintah Arab Saudi juga mulai tahun 2014 menggelar kursus pernikahan untuk menekan angka perceraian yang sangat tinggi di sana.7
524_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Dasar hukum pelaksanaan program penataran pranikah dan kursus calon pengantin adalah Keputusan Menteri Agama No. 85 tahun 1961 tentang BP4, KMA No. 30 tahun 1977 tentang Penegasan Pengakuan BP4, KMA No. 3 tahun 1999 tentang Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah, dan Keputusan Dirjen BIMAS Islam dan Urusan Haji Nomor D/71/1999 tentang petunjuk pelaksanaan pembinaan gerakan keluarga sakinah. Satu dekade kemudian, Dirjen BIMAS Islam menerbitkan peraturan baru mengenai kursus calon pengantin yaitu Perdirjen BIMAS Islam Nomor DJ.II/491 Tahun 2009 tanggal 10 Desember 2009. Pada tahun yang sama, BP4 mengadakan musyawarah nasional ke-14 yang di antaranya mengamanatkan bahwa setiap calon pengantin wajib mengikuti kursus pranikah. Lebih dari setengah abad sejak terbitnya KMA tentang BP4 dan lebih dari satu dekade sejak pencanangan Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah, angka perceraian di Indonesia masih tinggi, bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab perceraian, dan salah satunya adalah ketidaksiapan pasangan suami-istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Berkaca pada yang terjadi di negeri jiran, program penataran pranikah terbukti dapat menekan angka perceraian.8 Karenanya, program itu tetap relevan dan dibutuhkan untuk membekali pasangan pengantin dengan bekal dan pengetahuan yang memadai sehingga mereka dapat bertahan mengarungi samudera rumah tangga yang sarat dengan gelombang ujian dan cobaan. Namun, melihat tren perceraian yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, program pendidikan pranikah bisa dikatakan belum berhasil menekan angka perceraian. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Beberapa penelitian, yang dibahas pada bagian analisis masalah, mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan tidak efektifnya pendidikan pranikah. Menteri Agama R.I., Lukman H. Saifuddin, menyatakan, “Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan pertumbuhan akselerasi masyarakat maka riset dan penelitian harus didasarkan atas kebutuhan
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _525
masyarakat.”9 Dalam kesempatan lain, Menteri Agama mengungkapkan bahwa kajian dan penelitian mesti terus dilakukan untuk memperbaiki kinerja dan pelayanan Kementerian Agama kepada masyarakat.10 Pendidikan pranikah, sebagai salah satu program penting yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas keluarga-keluarga di Indonesia dan menekan tingginya angka perceraian, semestinya juga dirancang dan disusun berdasarkan kebutuhan dan perkembangan masyarakat sehingga program pendidikan pranikah bisa berjalan secara efektif dan mencapai hasil yang maksimal. Sebab, setiap masa memiliki tantangan dan masalahnya sendiri yang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Maka, untuk menghadapi permasalahan keluarga di era modern, dibutuhkan bekal dan solusi yang sesuai dengan masanya. Latar belakang itulah yang mendorong penulis untuk meneliti materi pendidikan pranikah dan kesesuaiannya dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, secara khusus ditinjau dari aspek psikologi.
B. Kajian Teoretis 1. Penataran Pranikah Penataran pranikah merupakan bimbingan, penyuluhan, atau pengajaran yang disampaikan kepada orang-orang yang hendak menikah. Penataran atau kursus calon pengantin dilaksanakan dalam kurun waktu sepuluh hari masa tunggu sebelum pernikahan dilangsungkan.11 Program penataran pranikah dilaksanakan oleh petugas yang berwenang di Kantor Urusan Agama, di antaranya oleh penghulu sebagai fasilitator pelaksana, bekerja sama dengan BP-4. Program ini dilaksanakan untuk memberikan bekal kepada calon pengantin tentang pengetahuan berkeluarga dan reproduksi sehat agar calon pengantin memiliki kesiapan pengetahuan, fisik, dan mental dalam memasuki jenjang perkawinan untuk membentuk keluarga sakinah sehingga angka perselisihan dan perceraian dapat ditekan.12
526_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Program penataran pranikah merupakan bagian terpadu dari Program Pembinaan Keluarga Sakinah yang pelaksanaannya melibatkan berbagai unsur masyarakat, termasuk Kantor Urusan Agama di tiap kecamatan sebagai ujung tombak pelaksana program ini, bekerja sama dengan badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP-4). Penataran pranikah merupakan salah satu jenis kegiatan pembelajaran sehingga dalam prosesnya harus mengacu pada konsep pembelajaran agar penataran atau kursus pranikah berjalan secara efektif. Belajar merupakan proses perubahan perilaku melalui pengalaman dan latihan.13 Artinya, tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Jadi, hakikat belajar adalah perubahan. Belajar adalah proses pelibatan manusia secara orang perorang sebagai satu kesatuan organisme sehingga terjadi perubahan pada pengetahuan, keterampilan, dan sikap.14
2. Kajian Psikologi Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah psikologi. Secara harfiah, psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche (jiwa, roh, sukma, atau nafas hidup) dan logos (ilmu). Jadi, psikologi adalah ilmu tentang jiwa, atau studi tentang roh. Para ahli psikologi modern mengemukakan beberapa definisi yang berbeda tentang psikologi. Secara umum, psikologi adalah “ilmu pengetahuan yang meneliti dan mengkaji tingkah laku atau kegiatan manusia dalam hubungan dengan lingkungannya.”15 Pendekatan psikologi yang dipergunakan dalam penelitian ini didasarkan atas teori kejiwaan Sigmund Freud yang mengemukakan bahwa struktur jiwa manusia itu terdiri atas tiga lapisan, yaitu id, ego, dan super ego. Id adalah bagian tak sadar yang amat berperan dalam tingkah laku manusia. Sesuai dengan letaknya yang paling dasar, id merupakan nafsu kehidupan (hasrat biologis). Semua tuntutan berdasarkan kepuasan dan kesenangan, tanpa mempertimbangkan
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _527
nilai-nilai sosial yang berlaku. Bagian ini merupakan aspek individual manusia. Lapisan kedua disebut ego yang letaknya paralel dengan sifatnya, menjadi penengah antara id dan super ego; berfungsi sebagai sensor antara kehendak id dengan tujuan-tujuan super ego. Sementara, super ego merupakan lapisan paling tinggi yang memiliki sifat normatif dan luhur.
C. Kerangka Berfikir Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan faktor-faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Berdasarkan definisi itu maka kerangka berpikir dalam penelitian dimulai dengan menegaskan teori yang dijadikan landasan dan akan diuji atau digambarkan dalam penelitian. Dalam penelitian ini teori yang akan penulis gunakan dalam menjawab rumusan masalah di atas adalah teori sistem pembelajaran:
INPUT
PROSES PENATARAN
OUTPUT
OUTCOME
Bagan 1:
D. Kerangka Teori Sistem Pembelajaran Teori sistem pembelajaran ini menunjukkan bahwa setiap penataran mengandung empat aspek yang saling terkait, yakni input (peserta), proses (materi dan metode penataran), output (hasil penataran: perubahan dibandingkan sebelum penataran), dan outcome (hasil balik bagi masyarakat yang dihasilkan setelah penataran). Teori sistem menegaskan keterkaitan antara satu aspek dan aspek lainnya secara simultan. Dengan demikian, teori sistem menegaskan bahwa jika satu aspek berubah maka aspek lain harus berubah juga. Jika perubahan satu aspek tidak mengubah aspek lain maka sistem akan
528_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
mengalami “kegagalan”. Dalam dunia pendidikan, tujuan pembelajaran tidak akan tercapai bila salah satu aspek sistem berbeda dari yang lainnya. Pada perumusan masalah telah dikemukakan bahwa “program penataran atau kursus pranikah telah dijalankan selama beberapa dekade, tetapi belum dapat memberikan pengaruh yang siginifikan terhadap penurunan angka perceraian” merupakan hasil dari kerangka berpikir teori sistem pembelajaran. Dari empat aspek di atas, yang bisa diubah adalah aspek proses dalam pembelajaran yang seharusnya didasarkan atas kebutuhan dan perubahan masyarakat. Salah satu bagian penting yang terlibat dalam proses penataran adalah materi yang disampaikan dalam penataran pranikah. Pada bagian inilah penelitian ini difokuskan.
E. Deskripsi Masalah Pada bagian ini akan dikemukakan dua aspek sistem penataran, yakni input dan proses. Input yang dimaksud adalah karakteristik calon pengantin sebagai bagian dari masyarakat modern. Sedangkan pada bagian proses akan dikemukakan materi yang selama ini digunakan dalam pendidikan atau penataran pranikah. 1. Input Penataran Pranikah Keluarga merupakan tonggak penting masyarakat. Keadaan dan perkembangan masyarakat erat kaitannya dengan keadaan dan perkembangan keluarga yang menjadi unit terkecil masyarakat.16 Tujuan keluarga, selain untuk menciptakan kebahagian dan kesejahteraan hidup keluarga itu sendiri, juga untuk mewujudkan generasi atau masyarakat yang maju dalam berbagai segi didasari tuntunan agama. Keluarga merupakan pondasi umat. Karena perkawinan merupakan syarat utama untuk mewujudkan keluarga, maka perkawinan adalah pokok keluarga, dengannya umat ada dan berkembang.17 Fungsi keluarga meliputi penerusan generasi, relasi seksual pasangan suami-istri, kasih sayang, perawatan dan pendidikan bagi anak-
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _529
anak, sosialisasi dan internalisasi beragam nilai (sosial, religi, moral, pengetahuan, seni, bahkan nilai ekonomi dan politik sekalipun).18 Jika keluarga menjalankan fungsi seperti yang diharapkan, keluarga akan menjadi suatu lembaga sosial kecil yang kokoh, yang akan memperkuat individu untuk mengenal diri dan lingkungannya. Allah berfirman: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Dia menciptakan bagimu pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu menemukan ketenangan bersamanya. Dan Dia telah menjadikan di antara kamu cinta dan kasih. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir. (Q.S. al-Rum/30: 21) Jacqueline Mariae Sunarjo19 mengatakan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial pertama di mana individu berada dan akan mempelajari banyak hal penting dan mendasar melalui pola asuh dan binaan orang tua atau anggota keluarga lainnya. Ungkapan senada dikatakan Ziauddin Sardar. Ia mengungkapkan, “it is perfectly clear that the Qur’an regards marriage as a basic institution of society, the foundation of its prime building block, the family.”20 Sangat jelas, Al-Qur’an menganggap pernikahan sebagai institusi yang mendasar dalam masyarakat, fondasi bagi bangunan utama di atasnya, yakni keluarga. Keluarga sakinah yang diinginkan oleh setiap muslim semakin sulit untuk diwujudkan di tengah gejolak perubahan dan perkembangan manusia modern. Berbagai fungsi tradisional yang diemban keluarga, kini mulai dipertanyakan, bahkan diabaikan sama sekali. Perkembangan teknologi informasi dan kemajuan industri memaksa setiap orang untuk berubah mengikuti kecenderungannya. Semakin pesat perkembangan budaya dan kemajuan teknologi informasi, semakin berat pula lawan yang dihadapi lembaga pernikahan dan keluarga. Di zaman Kiwari, semakin banyak orang yang memilih untuk melajang dan enggan menikah dengan ragam alasan. Sebagian bilang, memasuki pernikahan berarti mencemplungkan diri dalam derita tak berkesudahan. Derita itu hanya berujung ketika pasangan berhadapan
530_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
di pengadilan. Bahkan, sebagian bilang, pernikahan merupakan awal penderitaan yang berakhir dengan kebangkrutan. Televisi, internet, dan berbagai perangkat teknologi informasi yang makin memudahkan komunikasi terbukti banyak merusak dan memutuskan ikatan pernikahan. Di satu sisi, perangkat teknologi komunikasi memberi banyak kemudahan bagi manusia sehingga seseorang dari penjuru dunia mana pun bisa berhubungan dengan orang lain dari sisi dunia yang berbeda. Setiap orang bisa berhubungan langsung (live) secara audio-visual dengan orang yang terpisah jarak ribuan kilometer. Di sisi lain, perangkat teknologi juga menjauhkan dua orang yang secara fisikal dekat, bahkan sangat dekat. Telepon genggam, blackberry, android, dan berbagai jenis perangkat komunikasi lain makin memudahkan seseorang untuk mengetahui keadaan istri, suami, atau anak-anaknya. Ada banyak orangtua yang memantau keadaan anakanaknya hanya dengan melihat status di facebook atau kicauan di twitter, atau menanyakannya lewat sms, telpon, atau bbm, dan lain-lain. Karena merasa sudah cukup berhubungan dengan istri, suami, dan atau anak-anaknya, seseorang tak merasa perlu lagi ngobrol dan berbincang-bincang dengan mereka saat bersua di rumah. Tak ada lagi obrolan akrab di meja makan antara orangtua dan anak-anaknya, atau obrolan intim dan mesra antara suami-istri. Toh, segala informasi yang dibutuhkan telah disampaikan lewat berbagai perangkat informasi. Akibatnya, secara psikologis tidak terjalin hubungan yang dekat dan intim di antara anggota keluarga, baik antara suami dan istri, antara orangtua dan anak, maupun antara anak dan saudara-saudaranya. Tidak ada lagi obrolan face to face antara sesama anggota keluarga; obrolan yang disertai pandangan mata dan perhatian penuh terhadap kondisi kejiwaan orang yang diajak bicara. Semua komunikasi berlangsung secara artifisial, maya. Orangtua menyimpulkan bahwa anaknya baik-baik saja hanya dengan menelpon atau melihat laman sosmednya; para orangtua
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _531
juga tidak terdorong untuk ngobrol langsung dengan para guru atau pembimbing anak-anaknya, melainkan cukup dengan menanyakannya lewat telpon.21 Sementara, pada keluarga yang lebih sederhana, yang tidak mengenal gadget, internet, atau perangkat teknologi informasi mutakhir lainnya, ada musuh besar yang sangat kuat memengaruhi bahkan merusak hubungan dan komunikasi di antara anggota keluarga, yaitu televisi. Kini, ruang pertemuan keluarga tidak lagi berada di ruang makan atau musholla di rumah, tetapi di ruang televisi. Di sore hari, di masa tayang prima (prime time), ayah, ibu, dan anak-anak, juga kakek dan nenek, berkumpul di ruang keluarga untuk bersama-sama nonton televisi. Mereka berkumpul, saling bersua, tetapi tanpa bicara, tanpa perbincangan. Ada banyak pakar komunikasi yang memperingatkan bahaya televisi. Ada banyak artikel di koran, majalah, dan juga di buku-buku tentang kekuatan televisi yang mampu menumpulkan kreativitas dan daya imajinasi anak-anak; juga kekuatannya untuk memicu mimpi, khayalan, dan kebencian. Namun, berbagai peringatan itu tidak cukup kuat melawan gravitasi televisi sehingga jika di masa silam para orangtua dan anak-anak memenuhi surau, tajug, dan langgar, kini mereka menjadikan televisi sebagai imam dan panutan.22 Kehidupan keluarga yang merupakan unit terkecil masyarakat tidak terlepas dari “serangan” budaya global melalui media-media ini. Gaya hidup, relasi-relasi terlebih pola pikir masyarakat yang juga anggota keluarga sedikit-demi sedikit berubah mengikuti aneka kebudayaan yang masuk. Inilah yang menjadi tantangan kehidupan keluarga sakinah di era globalisasi ini. Setidaknya ada dua hal yang sering terjadi akibat kehidupan modern di era global ini. Pertama, konsentrasi anggota keluarga, khususnya suami dan istri hanya fokus pada upaya mencari kesenangan dalam perkawinan daripada berpikir tentang tanggung jawab. Beberapa pasangan menikah
532_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
bersepakat bahwa mereka akan mencari kesenangan dan kenikmatan saja. Jadi, apabila kehidupan perkawinan tidak dapat lagi memberikan lagi apa mereka cari, maka mereka akan memilih jalan sendiri-sendiri. Ini menimbulkan erosi kesakralan lembaga perkawinan sehingga perceraian sebagai konsekuensinya menjadi hal yang biasa. Anak-anak siapa saja yang lahir dari pasangan seperti itu, yaitu mengakhirinya dengan perceraian, hanya sedikit lebih beruntung daripada anak-anak yatim piatu, walaupun mereka masih memiliki orang tua. Bahkan, sebuah penelitian yang dilakukan Dr. Dana Alonzo, guru besar di Columbia University, yang melibatkan 49,093 orang responden mengungkapkan bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis cenderung memiliki keinginan bunuh diri lebih besar.23 Kedua, putusnya sistem keluarga besar yang utuh. Ini dapat ditelusuri dari adanya gejala-gejala meningkatnya jumlah orang tua bahkan kekek nenek lanjut usia yang dikirim ke panti jompo yang terpisah dari kehidupan keluarga mereka sendiri. Padahal dalam sistem keluarga besar, kekek nenek pasti ada untuk memerhatikan cucu-cucu mereka. Tetapi dalam budaya masyarakat modern, terlebih di barat, tempat mereka bukan lagi di tengah-tengah keluarga. Bukan hanya itu, pergaulan bebas, seks bebas, aborsi, kenakalan remaja dan lain sebagainya akan dengan mudah masuk dalam kehidupan keluarga dan memengaruhi tradisi dan ketenteraman serta keutuhan kehidupan rumah tangga. Dalam pandangan Barat, untuk memenuhi kebutuhan seksual tidak harus melalui perkawinan. Bahkan di Amerika banyak kaum cendikiawan modern menentang lembaga seksual dan perkawinan menurut agama. Mereka mendukung model perkawinan percobaan (trial marriage) diberitakan dalam majalah Time edisi 14 April 1967 hal. 10 dan 12, sebagaimana dikutip Hammudah Abd al-‘Athi terdapat tiga bentuk perkawinan. Pertama, kawin percobaan selama satu tahun. Kedua, kawin bersyarat (term marriage) yaitu kawin dikontrak dalam jangka waktu tertentu. Sehabis jangka waktu itu, keduanya
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _533
bisa menentukan untuk hidup bebas kembali atau mengukuhkan perkawinan. Ketiga, hidup bersama tanpa nikah (companionate marriage) dengan kesepakatan tanpa anak.24 Model perkawinan yang demikian menyebabkan struktur keluarga yang dibangun menjadi tidak teratur dan tidak jelas. Masalah-masalah kehidupan keluarga yang semakin kompleks banyak dihadapi oleh keluarga semacam ini di akhir abad 20. Ketidakjelasan struktur keluarga dinyatakan pula oleh Graham Allan dari University of Southamton: “Di Barat, demografi keluarga tengah mengalami pergeseran. Batasan keluarga dan kewajiban tiap anggotanya kian longgar. Bentuk ideal keluarga dan hubungan-hubungan yang ada di dalamnya kian tidak jelas.”25 Melonggarnya kewajiban terhadap keluarga menyebabkan longgarnya rasa tanggung jawab sehingga keutuhan keluarga makin rentan terganggu. Kelonggaran dan lemahnya kaidah hukum yang terkait dengan keluarga secara otomatis menjadikan keluarga hanya sebagai tempat singgah. Menurut Graham, di Barat, satu-satunya elemen keluarga yang masih bertahan hanyalah kedudukannya sebagai institusi privat. Akibatnya, kini berkembang pesat teori-teori privatisasi keluarga yang sering dikaitkan dengan industrialisasi.26 Dampak lain yang ditimbulkan modernisasi adalah merenggangnya relasi antar anggota keluarga dan relasi keluarga dengan masyarakat. Anggota keluarga cenderung individualis. Kerenggangan antar anggota keluarga ini diakibatkan kurangnya komunikasi di antara mereka. Suatu penelitian menunjukkan bahwa dalam belasan tahun terakhir ini frekuensi percakapan dalam keluarga menurun seratus persen.27 Ini mengakibatkan tingginya angka perceraian dan broken home. Perubahan situasi psiko-sosial, ekonomi, politik, dan budaya mewarnai kehidupan perkawinan dan keluarga. Perubahan ini dapat dipahami dengan membandingkan keluarga di masa lalu dan sekarang.
534_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Falsafah keluarga berubah dari pria sebagai nakhoda rumah tangga menjadi suami istri sebagai sepasang sayap merpati yang mengepak bersama. Relasi cinta yang terjadi dalam keluarga pun berubah, dari perjodohan hingga pemilihan pasangan yang dicintainya. Perkawinan kini dipandang dalam kerangka pertumbuhan dan penguatan diri pribadi; kebebasan dari rasa takut dan eksploitasi; perolehan kebahagiaan dengan melewatkan waktu menyenangkan dan kepuasan seksual. Perkawinan kini mengharapkan kesetaraan, proses timbal balik, sharing, dan kedekatan satu sama lain. Perubahan priko-sosial ini membuat individu justru merasa bebas dalam keluarga.28 Gerakan perjuangan hak-hak wanita dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial memberikan warna yang kental dalam perkawinan. Persamaan hak antara pria dan wanita menjadikan banyak wanita yang berjuang dan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial, pendidikan, dan dunia kerja. Wanita yang mengenyam pendidikan tinggi merasa harus mengaktualisasikan diri dalam bidang kerja yang diminati. Pekerjaan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang cenderung meningkat, tetapi juga untuk keberartian makna hidup melalui bekerja. Keterlibatan wanita dalam dunia kerja membuat mereka mengharapkan relasi yang setara dengan pria. Banyak juga wanita yang harus bangkit bekerja untuk membantu perekonomian keluarga yang dirasakan kurang jika hanya suami yang bekerja. Kontribusi finansial keluarga kini berada di pundak pria dan wanita. Berbagai fenomena perubahan dan perkembangan sosial, budaya, dan teknologi itu berpengaruh besar terhadap perubahan dan perkembangan kondisi psikologi masyarakat. Semakin banyak pasangan yang berpisah atau berselisih bukan karena sebab-sebab ekonomi atau pemenuhan hak dan kewajiban, melainkan karena alasan psikogis. Perubahan peran pria dan wanita, juga perubahan pola relasi antara keduanya berpengaruh terhadap kondisi psikologi keluarga atau pasangan suami istri. Tentu saja perubahan keadaan ini menuntut penyikapan dan respons yang berbeda yang juga melibatkan aspek psikologis.
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _535
Dr. Zakiah Darajat, misalnya mengungkapkan: Banyak perkawinan yang gagal, karena suami atau istri terserang gangguan kejiwaan, dan selanjutnya tidak sanggup menerima kekurangan teman hidupnya satu sama lain saling membangkitkan emosi pihak lain. Semua orang yang terganggu jiwanya bersatu dalam satu hal, yaitu tidak memiliki kematangan emosi, yang biasanya menyebabkan terjadinya kelakuan yang kekanak-kanakan.29 Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa aspek psikologi memainkan peranan penting dalam pembentukan keluarga dan sangat memengaruhi keberhasilan suatu keluarga untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Menurutnya, kondisi peradaban modern menuntut kesiapan mental yang baik dari setiap pasangan yang hendak mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak sekali aspek psikologis yang sering menjadi pemicu perselisihan antara pasangan suami-istri dan anggota keluarga lainnya, yang di antaranya berujung pada perceraian.30 2. Proses Penataran Pranikah Program penataran pranikah merupakan bagian terpadu dari Program Pembinaan Keluarga Sakinah yang dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai unsur masyarakat, termasuk Kantor Urusan Agama di tiap kecamatan sebagai ujung tombak pelaksana program ini. Dalam melaksanakan tugasnya, para petugas di KUA bekerja sama dengan Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4). Dasar hukum pelaksanaan program penataran pranikah dan kursus calon pengantin adalah Keputusan Menteri Agama No. 85 tahun 1961 tentang BP4, KMA No. 30 tahun 1977 tentang Penegasan Pengakuan BP4, KMA No. 3 tahun 1999 tentang Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah, dan Keputusan Dirjen BIMAS Islam dan Urusan Haji Nomor D/71/1999 tentang petunjuk pelaksanaan pembinaan gerakan keluarga sakinah. Satu dekade kemudian, Dirjen BIMAS Islam menerbitkan peraturan baru mengenai kursus calon pengantin yaitu Perdirjen BIMAS Islam Nomor DJ.II/491 Tahun 2009 tanggal 10 Desember 2009. Pada tahun yang
536_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
sama, BP4 mengadakan musyawarah nasional ke-14 yang di antaranya mengamanatkan bahwa setiap calon pengantin wajib mengikuti kursus pranikah. Penataran pranikah dilaksanakan sebagai program terpadu yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, seperti alim ulama, LSM, BKKBN, puskesmas, dan lembaga-lembaga lainnya. Secara khusus, tugas ini menjadi tanggung jawab BP4 di tiap kecamatan. Sebagaimana dikemukakan pada bagian latar belakang masalah, angka perceraian di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Di antara penyebabnya adalah rendahnya pengetahuan calon pengantin tentang keluarga sebelum memasuki jenjang perkawinan.31 Berdasarkan alasan itulah kursus calon pengantin diberlakukan dengan memanfaatkan masa tunggu 10 hari sebelum pernikahan. Pelaksanaan program penataran calon pengantin, atau disebut juga penataran pranikah merupakan bagian integral dari program pembinaan keluarga sakinah. Karenanya, tujuan penataran calon pengantin tidak dapat dilepaskan dari tujuan pembinaan yang lebih umum dan lebih menyeluruh, yang telah ditetapkan BP4. Target utama program pembinaan keluarga sakinah adalah keluarga yang merupakan unit terkecil masyarakat, yang terdiri atas suami-istri, atau suami, istri, dan anak-anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.32 Sementara, pengertian keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.33 Jadi, tujuan program pembinaan keluarga sakinah yang dicanangkan Kementerian Agama bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain adalah terwujudnya keluarga sejahtera sebagaimana dimaksudkan dalam UU KKS dan UU Perkawinan tahun 1974. Secara khusus, melalui program pembinaan keluarga sakinah, pemerintah ingin agar keluarga mampu memenuhi delapan fungsi utama keluarga, yaitu fungsi keagamaan,
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _537
fungsi sosial budaya, fungsi cinta dan kasih sayang, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi pendidikan dan sosialisasi, fungsi ekonomi, dan fungsi pelestarian lingkungan. Kedelapan fungsi itulah yang berusaha dicapai melalui program penataran pranikah. BP4 sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program pembinaan keluarga sakinah, yang juga bertanggungjawab dalam pelaksanaan penataran calon pengantin, dibentuk dan dilembagakan dengan tiga tujuan, yaitu menekan angka perceraian, menekan angka pernikahan usia dini, dan mengurangi praktik poligami yang tidak sehat, yang mengakibatkan banyak istri tidak menentu nasibnya.34 Salah satu tugas penting BP4 adalah penasihatan perkawinan.35 Penasehatan perkawinan adalah upaya pemberian nasehat atau bimbingan yang dilakukan perseorangan atau badan kepada seseorang yang membutuhkan nasehat baik pria maupun wanita, remaja atau dewasa yang akan melangsungkan perkawinan atau melangsungkan perkawinan.36 Penataran calon pengantin dilaksanakan dengan memanfaatkan waktu sepuluh hari sebelum pelaksanaan akad nikah. Praktiknya, setiap calon pengantin hanya mendapatkan satu kesempatan untuk mendengarkan ceramah tentang perkawinan yang disampaikan petugas. Biasanya, penataran atau kursus itu disampaikan ketika calon pengantin mendaftarkan pernikahannya ke KUA. Setelah menyelesaikan urusan administrasi, calon pengantin memasuki ruang penataran, lalu calon pengantin yang ada—bisa jadi ada beberapa pasang calon pengantin—mendapatkan siraman ruhani yang disampaikan petugas dengan metode ceramah.
F. Analisis Psikologi terhadap Materi Penataran Pranikah Program penataran calon pengantin yang sejatinya dimaksudkan untuk membekali para calon pengantin dengan berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga mereka siap menghadapi berbagai gejolak
538_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
rumah tangga dan terhindar dari perceraian, ternyata tidak berjalan efektif dan tidak mampu menurunkan angka perceraian. Menurut penelitian Laeli Khiyaroh,37 secara umum, ada beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa penataran itu tidak berjalan efektif, yaitu: a. Minimnya waktu pelaksanaan sehingga calon pengantin hanya mendapatkan satu kali kesempatan penataran dengan materi yang sangat luas. b. Terlampau luasnya cakupan materi yang mesti disampaikan sehingga penatar cenderung memilih materi yang disukainya; c. Tidak adanya buku panduan yang memadai tentang penataran pranikah yang meliputi materi-materi yang lengkap dan komprehensif serta metode atau teknik penyampaian yang memadai; d. Tidak adanya pembekalan bagi para penatar tentang materi penataran, metode, teknik, dan sistem penataran yang memadai bagi tiap-tiap orang dan tiap daerah, karena sesungguhnya setiap orang memiliki karakter permasalahan yang khas.38 Jika dikhususkan lagi, berdasarkan data-data di atas, ada dua aspek utama yang menghambat efektivitas penataran/kursus, yakni materi dan metode pembelajaran. Namun, penelitian ini akan difokuskan hanya pada aspek materi penataran pranikah ditinjau dari psikologi pendidikan. Prof. DR. M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa hidup saling berpasangan merupakan fitrah manusia, dan dorongan yang sulit dibendung setelah seseorang beranjak dewasa.39 Dengan demikian, dibutuhkan bekal kematangan psikologis sebelum seseorang memasuki pintu rumah tangga. Selain itu, para calon pengantin juga perlu memiliki pengetahuan yang memadai tentang gejala kejiwaan dengan berbagai aspeknya sehingga bisa menerima kondisi pasangan atau anggota keluarganya dengan penerimaan yang baik dan matang. Tekanan era
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _539
modern dengan segala tuntutan hidupnya telah berdampak besar pada munculnya berbagai penyakit atau gangguan kejiwaan, seperti stress, depresi, neurosis, schizoprenia, dan lain-lain. Bekal pengetahuan tentang fenomena kejiwaan itu di antara bisa diperoleh lewat jalur pendidikan formal, melalui buku-buku, jurnal, majalah, dan bahan bacaan lain, atau melalui seminar dan diskusi, serta cara-cara lainnya. Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan berbagai pengetahuan itu. Banyak di antara calon pengantin yang sama sekali tidak mengenal psikologi dan segala seluk beluknya, misalnya pasangan pengantin yang hanya lulusan SD atau SLTP. Bahkan, beberapa pasangan yang mengenyam pendidikan tinggi pun banyak yang awam atau tidak memahami gejala-gejala psikologis dan sama sekali tidak memiliki kematangan mental ketika memasuki jenjang perkawinan. Akibatnya, ketika terjadi konflik, kalangan terdidik ini pun berlaku seperti pasangan yang berpendidikan rendah, atau bersikap kekanak-kanakan. Program penataran pranikah yang diselengegarakan pemerintah melalui KUA-KUA seharusnya bisa mengakomodasi masalah ini dan memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pengetahun dan bekal tentang masalah psikologis yang sering menimpa atau sering dihadapi pasangan suami-istri. Sebagaimana tercantum dalam buku “Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Keluarga Sejehtera (Melalui Penasehatan Perkawinan BP4)”, disebutkan bahwa materi pendidikan atau penataran perkawinan meliputi tiga aspek, yaitu:
1. Perkawinan, yang terdiri atas: i. ii. iii. iv.
Pengertian perkawinan, Dasar perkawinan, Tujuan perkawinan, Syarat, rukun, dan larangan perkawinan,
v. Kualitas perkawinan;
540_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
2. Keluarga kecil bahagia dan sejahtera, yang meliputi: i. Pengertian, kewajiban dan hak suami istri, ii. Pengaturan kehamilan, iii. Kewajiban orangtua terhadap anak;
3. Pembinaan keluarga kecil bahagia dan sejahtera, yang meliputi: i. Aspek agamis terhadap ayah dan ibu, ii. Pembentukan jiwa agama terhadap anak,
4. Pembinaan suasana rumah tangga islami, yang meliputi: i. ii. iii. iv. v. vi.
Pembinaan aspek kesehatan, Ekonomi, Pendidikan, Sosial, Psikologi, Kemandirian.40
Kemudian, berkaitan dengan penataran calon pengantin ada tujuh aspek atau bidang yang seharusnya disampaikan. Masing-masing aspek itu disampaikan dalam durasi waktu yang berbeda-beda, yaitu: 1. tatacara dan prosedur perkawinan (2 jam) 2. pengetahuan agama (5 jam), 3. peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dan keluarga (4 jam), 4. kesehatan dan reproduksi (3 jam), 5. manajemen keluarga (3 jam), 6. psikologi perkawinan dan keluarga (2 jam), 7. hak dan kewajiban suami-istri (5 jam)41. Semua materi itu bertujuan untuk mempersiapkan para calon pengantin sehingga punya bekal pengetahuan dan pemahaman yang cukup untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Secara khusus, dalam
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _541
peristilahan BP4, agar para calon pengantin dapat mewujudkan delapan fungsi keluarga seperti yang telah dijelaskan. Ada beberapa buku yang dipergunakan sebagai pedoman dan rujukan dalam pelaksanaan program penataran calon pengantin, yang dalam penelitian ini menjadi data primer, yaitu: (1) Modul Fasilitator Kursus Calon Pengantin (Jakarta, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2002), selanjutnya disingkat MFKCP; (2) Modul Pembinaan Keluarga Sakinah (Jakarta, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2002), selanjutnya disingkat MPKS; (3) Pedoman Konselor Keluarga Sakinah (Jakarta, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2002), selanjutnya disingkat PKKS; (4) Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Keluarga Sejahtera Melalui Penasehatan Perkawinan BP4, (BP4 Propinsi Jawa Barat bekerja sama dengan Kanwil BKKBN Propinsi Jawa Barat, Bandung, 1994), selanjutnya disingkat PTP2KS, dan; (5) Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah (Departemen Agama Kantor Wilayah Jawa Barat, Bidang Urusan Agama Islam, Bandung, 2001), selanjutnya disingkat P3GKS. Buku pertama, yang menjadi salah satu data primer penelitian ini, yaitu MFKCP, mengungkap beberapa tema seputar pernikahan dan kehidupan keluarga, yakni tentang perkawinan, munakahat, ilmu jiwa perkawinan, kehidupan manusia, permasalahan keluarga, tauhid, ‘ubudiyah, dan rahasia keluarga surgawi.42 Buku PTP2KS membahas beberapa tema, seperti tujuan pernikahan, hak dan kewajiban suami-istri, pembinaan anak, pembinaan aspek kehidupan beragam, pembinaan aspek kesehatan, pembinaan aspek
542_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
ekonomi, pembinaan aspek pendidikan, pembinaan aspek sosial, pembinaan aspek kemandirian, dan pembinaan aspek psikologis.43 Buku P3GKS mengupas berbagai masalah seputar hukum dan perundang-undangan yang berhubungan dengan pernikahan dan pembinaan keluarga. Buku ini lebih banyak mengupas sisi sosial, hukum, landasan dan tujuan pembinaan, struktur organisasi, dan petunjuk teknis pembinaan keluarga sakinah ketimbang materi tentang pembinaan keluarga sakinah. Buku MPKS juga membahas beberapa permasalahan seputar perkawinan dan kaitannya dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tetapi secara lebih khusus mengulas berbagai persiapan dan langkah-langkah pembinaan yang ditempuh oleh para konselor dan lembaga konseling atau penasihatan perkawinan.44 Dalam buku-buku di atas ada bagian yang secara khusus membahas tema tentang tujuan perkawinan. Dalam buku PTP2KS, misalnya, disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.45 Tujuan perkawinan yang disebutkan dalam buku ini masih bersifat umum dan abstrak. Lebih jauh, buku ini menyebutkan: “menurut ajaran Islam, salah satu tujuan perkawinan adalah mencapai ketenangan hati, kehidupan yang aman dan damai (sakinah) di samping sebagai penyaluran hasrat seksual melalui perkawinan sebagai pematri rasa cinta kasih sayang suami istri. Para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa kebutuhan manusia terhadap pemenuhan hasrat seksual lebih menonjol dan menentukan, bahkan merupakan dasar dan barometer kebahagiaan seseorang. Namun, dalam Islam, tujuan perkawinan lebih diutamakan pada unsur perintah Allah (termasuk ibadah).”46 Setelah mengungkapkan pendapat para ahli ilmu jiwa tentang pemenuhan hasrat seksual sebagai kebutuhan manusia, tim penyusun
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _543
tidak menjelaskan lebih jauh dari sisi psikologis tentang tujuan perkawinan yang disebutkan dalam Al-Qur’an (Q.S. al-Rum/30: 21), yaitu untuk menciptakan ketenangan. Padahal, ketenangan (litaskunû ilayhâ) pada ayat di atas jelas-jelas bermakna psikologis, yakni ketenangan jiwa. Keberadaan pasangan, menurut Al-Qur’an mengandung hikmah untuk mewujudkan ketenangan pada diri pasangan masing-masing. Ketenangan itu bisa didapatkan, sebagaimana ditegaskan dalam lanjutan ayat itu, dengan menjaga potensi yang telah dianugerahkan Allah, yaitu cinta (mawaddah) dan sayang (rahmah). Pada tataran praktis, kerap kali pasangan yang telah menikah tidak dapat mewujudkan sakinah atau ketenangan karena tidak dapat mengelola perbedaan antara keduanya. Mereka memiliki mawaddah dan rahmah, tetapi dua potensi yang dijadikan Allah dalam diri manusia itu tidak dapat mewujudkan ketenangan. Penyebabnya adalah karena masing-masing suami dan istri tidak dapat mengelola berbagai perbedaan di antara mereka, baik perbedaan sifat, karakter, tingkah laku, kebiasaan, latar belakang sosial, ekonomi, dan juga budaya. Tema berikutnya yang banyak dibahas dalam buku-buku yang menjadi data primer penelitian ini adalah masalah hak dan kewajiban suami istri. Beberapa buku mengulas tema ini secara panjang lebar, karena tema ini sering menjadi bahan perdebatan, terutama di masa modern ketika gerakan feminis memaksa para pemerhati masalah keluarga untuk merumuskan kembali hak-hak dan kewajiban suami istri. Sayangnya, buku-buku yang dijadikan rujukan dalam penataran pranikah, tidak membahas secara komprehensif tema ini dan tidak melibatkan bahasan psikologis. Sebagai contoh, PTP2KS,47 menjelaskan masalah hak dan kewajiban suami istri sebagai berikut: Kewajiban suami: 1. Suami sebagai pimpinan rumah tangga wajib melindungi dan menjaga keselamatan istri dan anggota keluarganya sebagaimana terungkap dalam firman Allah: “Wahai orang yang beriman, peliharalah
544_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Q.S. al-Tahrim/66: 6) 2. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sesuai dengan kemampuannya. Allah berfirman: “kaum laki-laki adalah pemimpi bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka” (Q.S. al-Nisa/4: 34). 3. Suami mempunyai kewajiban untuk membimbing istri dengan mengupayakan meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan istri terutama pengetahuan agama. Kewajiban istri: 1. Istri wajib patuh dan taat kepada suami dengan tulus, baik di hadapan suami maupun di saat suami tidak ada. Sebagaimana firman Allah: “Maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di belakang suami.” (Q.S. al-Nisa/4: 34) 2. Istri mempunyai kewajiban untuk mengatur rumah tangga antara lain meliputi penataan ruang, kebersihan, penyediaan makanan dan minuman, serta mengatur perekonomian keluarga. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis: “Wanita itu adalah pengurus di rumah tangga suaminya dan terhadap anaknya, dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka.” (H.R. Muslim) 3. Istri berkewajiban memelihara dan menjaga harta benda suaminya. Hak suami: 1. Suami berhak melakukan hubungan kehidupan berkeluarga dengan istrinya; 2. Suami berhak mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang baik dari istrinya; 3. Suami berhak atas harta waris peninggalan istrinya; 4. Anak yang lahir dari istri bernasab kepada suaminya.
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _545
Hak istri 1. Istri berhak memperoleh nafkah dari suami baik lahir maupun batin; 2. Berhak mendapatkan perlakuan baik dari suami, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian jika kami tidak menyukai sesuatu padahal Allah menyediakan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. al-Nisa’/4: 19) 3. Istri berhak memperoleh perlindungan dari suami; 4. Istri berhak mendapatkan pendidikan dari suami; 5. Istri berhak atas harta warisan peninggalan suami. Kemudian buku itu berbicara panjang lebar tentang hak-hak dan kewajiban bersama suami istri. Hanya saja, hak-hak dan kewajiban bersama itu pun disampaikan poin per-poin seperti pada hak dan kewajiban suami serta istri. Dari dua tema penting tersebut, yaitu tentang tujuan perkawinan dan hak serta kewajiban suami istri, tampak bahwa aspek psikologi tidak menjadi pertimbangan penting. Beberapa penjelasan tentang tujuan perkawinan sama sekali tidak menyinggung masaah kepribadian dan kejiwaan manusia yang akan berhimpun dalam ikatan perkawinan. Padahal, Islam telah memberikan peluang bagi umatnya untuk menjelaskan aspek psikologi atau kejiwaan yang terkandung dalam perkawinan melalui tiga konsep penting, yaitu sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ketiga konsep ini, yang sering dijadikan slogan tentang rumah tangga yang Islami, sesunguhnya merupakan konsep yang sangat psikologis, karena ketiganya merupakan gejala-gejala kejiwaan yang untuk mengetahui dan mendalaminya pun mesti melalui konsep atau kajian psikologi. Ikatan pernikahan sesungguhnya menyatukan dua pribadi dan dua jiwa yang berbeda. Perbedaan ini muncul karena latar belakang sosial dan psikologis yang dialami masing-masing pihak berbeda satu sama
546_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
lain. Pada gilirannya, perbedaan-perbedaan ini akan menjadi sumber petaka dan perselisihan antara suami dan istri jika kedua pihak tidak berusaha memahami dan menerima perbedaan itu. Karena itulah dalam peristilahan rumah tangga dikenal sebutan rumah tangga yang harmonis. Kata harmonis tidak berarti sama atau serupa, tetapi sesuai, selaras, atau seirama. Tujuan pernikahan bukanlah menyamakan dua jiwa atau dua pribadi yang berbeda, melainkan menyelaraskan atau mengharmonikan dua perbedaan sehingga berjalan beriringan menuju satu tujuan yang sama. Konsep hak dan kewajiban suami istri seperti yang disampaikan dalam materi penataran pranikah sangat berpotensi melahirkan konflik dan perselisihan antara suami dan istri. Sebab, sebagaimana dijelaskan di bagian pendahuluan, perkembangan budaya dan kemajuan teknologi informasi telah mengubah pola pikir juga mempengaruhi kondisi psikologis pasangan keluarga modern. Terjadi pergeseran peran antara laki-laki dan perempuan yang meniscayakan perubahan pola sikap dan pemikiran untuk menghadapinya. Dibutuhkan pengertian dan bekal kematangan jiwa sehingga kedua pihak dapat menerima apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing. Jika tidak ada sikap penerimaan yang tulus dan kematangan jiwa untuk berbagi dan menerima, hak dan kewajiban bisa menjadi pemicu perselisihan. Terlebih lagi pada pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja. Konsep hak dan kewajiban bisa mengalami perubahan drastis dan berpotensi memicu konflik rumah tangga. Namun, sangat disayangkan, karena pada buku-buku yang menjadi rujukan penataran pranikah, pembahasan konsep hak dan kewajiban suami-istri tidak melibatkan konsep psikologis. Tidak juga menyebutkan bahwa sesungguhnya masalah hak dan kewajiban suami-istri bersifat fleksibel dan bergantung pada kesiapan serta penerimaan masingmasing pihak. Materi tentang hak dan kewajiban yang disajikan dalam buku PTP2KS bersifat doktrinal dan memaksa, bahwa suami memiliki kewajiban a,
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _547
b, c, d, dan seterusnya, sementara istri memiliki kewajiban 1, 2, 3, dan seterusnya. Tidak ada penjelasan lebih lanjut bahwa distribusi hak dan kewajiban itu sewaktu-waktu bisa berubah. Dan bahwa setiap pihak, menurut kajian psikologi, harus memahami kondisi kejiwaan pasangannya agar ketika terjadi penyelewengan hak dan kewajiban tidak berujung pada konflik dan perselisihan. Bisa jadi suami tidak dapat menjalankan kewajibannya pada saat tertentu karena secara psikologis ia tengah mengalami tekanan atau menghadapi persoalan penting di tempat kerja, dan sebagainya. Memang ada materi yang secara khusus membahas pembinasan aspek psikologi dalam buku PTP2KS. Namun, sebagaimana akan kita lihat, penjelasan itu sama sekali tidak memadai karena hanya membahas masalah pendewasaan usia perkawinan dan penundaan anak pertama. Berikut ini kutipan dari buku PTP2KS: Pembinaan Aspek Psikologis48 Program pendewasaan usia perkawinan dan penundaan anak pertama merupakan program yang sangat penting untuk dilaksanakan dalam upaya pembangunan keluarga sejahtera. Menunda usia perkawinan hingga usia 20 tahun bagi seorang wanita dan 25 tahun bagi laki-laki merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam pembinaan suatu perkawinan, karena usia kawin yang terlalu muda sering menimbulkan permasalahan terutama timbulnya perceraian. Hal tersebut terjadi karena pada umumnya, secara psikologis mereka memiliki jiwa yang belum matang, ditandai dengan: 1. Belum memiliki rasa tanggung jawab sehingga mereka merasa berkeluarga dan menjadi orang tua adalah sesuatu hal yang mudah; 2. Lebih mementingkan diri sendiri dan kurang dapat mengerti perasaan pasangannya; 3. Belum mampu berpikir jauh ke depan mengenai apa yang harus dilakukan untuk menghidupi keluarga;
548_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
4. Pada umumnya masih tergantung kepada orang lain dalam hal ekonomi karena mereka baru menyelesaikan sekolah dan belum memiliki penghasilan; 5. Emosinya mudah terpengaruh dan mudah tersinggung sehingga apabila ia mengalami kekecewaan atau mempunyai masalah tidak mampu mengatasinya; 6. Kurang dapat berpikir secara realistis/sesuai dengan kenyataan yang ada sehingga hal ini dapat menimbulkan kekecewaan pada dirinya apabila apa yang diharapkan dengan kenyataan yang ada tidak sesuai. Pembinaan aspek psikologis yang disajikan dalam PTP2KS sama sekali tidak memberikan penjelasan yang solutif dan memadai mengenai masalah kejiwaan keluarga atau pasangan suami-istri. Paparan di atas hanya mengulas masalah pendewasaan usia perkawinan dan penundaan anak pertama. Penyusun dikesani melakukan generalisasi bahwa anak muda yang belum cukup usia tidak bisa bersikap dewasa dan secara emosional lebih labil. Padahal, kenyataannya, banyak pula pasangan yang telah cukup dari sisi usia, ternyata baru beberapa bulan menikah memutuskan untuk berceria, seperti yang banyak terjadi di kota-kota besar. Selain itu, penjelasan di atas lebih cocok disampaikan dalam program pendidikan pranikah kepada para remaja yang masih sekolah atau baru keluar dari sekolah, bukan untuk para calon pengantin yang telah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA. Buku tersebut tidak memberikan penjelasan, bagaimana memberikan pembinaan psikologi terhadap para calon pengantin yang belum mencapai usia ideal untuk menikah. Pembinaan aspek psikologi semestinya ditekankan pada penjelasan bahwa setiap pasangan suami-istri akan mengalami berbagai hal, kendala, ujian, cobaan, dan rintangan dalam perjalanan mereka untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Karena itu, dibutuhkan kecakapan dan pengetahuan tentang gejala-gejala kejiwaan
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _549
secara umum maupun terperinci, sehingga ketika menghadapi suatu persoalan, mereka bisa menghadapinya dengan kepala dingin, sikap yang terbuka, dan dewasa. Permasalahan, kendala, dan ujian rumah tangga akan dihadapi oleh semua pasangan yang menikah, tanpa peduli usia mereka ketika menikah. Maka, setiap pasangan yang menikah harus memiliki bekal pengetahuan yang memadai tentang kajian psikologi sehingga keduanya bisa bersinergi untuk menghadapi setiap masalah yang datang. Buku-buku lainnya, seperti Modul Pembinaan Keluarga Sakinah, juga menyajikan pembahasan yang tidak jauh berbeda dari buku PTP2KS. Bahkan, buku-buku itu seperti saling menduplikasi satu sama lain. Misalnya, ketika berbicara tentang hak dan kewajiban suami istri, buku MPKS mengutip UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 30 dan 31. Dalam pasal 30 dinyatakan bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.49 Kemudian MPKS menyebutkan secara rinci pasal-pasal lainnya dalam Undang-Undang itu yang membahas hak dan kewajiban suami istri. Hanya saja, berbeda dari PTP2KS, MPKS memerinci hak-hak dan kewajiban masing-masing suami istri dari beberapa aaspek, seperti aspek ekonomi, sosial, dan urusan domestik.50 MPKS juga menyebutkan dalil-dalil yang melandasi tema hak dan kewajiban suami istri itu secara lebih lengkap dan detail, baik berupa ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis. Dalam MPKS juga ada subjudul yang secara jelas menyebutkan Psikologi Perkawinan, yaitu pada halaman 142. Namun, bahasan tentang psikologi perkawinan ini hanya berisi paparan tentang pengertian psikologi dan psikologi perkawinan, lalu membahas dasar perkawinan, dan tujuan perkawinan. Ketika membahas cara untuk meraih ketenangan atau sakinah dalam perkawinan, MPKS terjebak pada pembahasan yang bersifat fikih. Misalnya, MPKS mengemukakan bahwa untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah maka pasangan
550_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
calon pengantin harus memulainya dengan memilih jodoh yang baik, sesuai (kafah), seagama, sepadan dari sisi akhlak dan moral, sepadan dari sisi pendidikan, sepadan dari sisi keturunan, dan sepadan dari sisi usia. Kemudian, pembahasan tentang psikologi dilanjutkan dengan mengulas masalah mahar dan nafkah sebagai salah satu penyebab terwujudnya sakinah.51 Buku MPKS lebih banyak membahas masalah hukum dan peraturan dalam perkawinan. Materi-materi yang disampaikan dalam penataran pranikah didominasi materi tentang pengetahuan keagamaan yang meliputi masalah akidah, ibadah (thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji), serta masalah akhlaq al-karimah. Materi tentang pengetahuan agama memang merupakan materi penting yang harus dikuasai setiap muslim. Namun, materi-materi itu banyak terdapat dalam buku-buku keagamaan yang bisa diakses siapa pun secara luas. Selain itu, waktu yang tersedia untuk melakukan penataran pranikah akan habis untuk pemaparan masalah-masalah fikih atau keagamaan dan mengabaikan materi-materi lain yang sesungguhnya penting juga dikuasai oleh para calon pengantin. Menurut amatan peneliti, materi-materi seperti itu sesungguhnya dapat lebih disederhanakan sehingga waktu yang tersedia untuk penataran calon pengantin bisa dimanfaatkan secara efesien. Ada beberapa materi yang dapat dipangkas dari silabus penataran calon pengantin, di antaranya tentang tatacara dan prosedur perkawinan. Materi ini secara umum telah disampaikan kepada para calon pengantin ketika mendaftarkan pencatatan pernikahan. Lembar pemeriksaan nikah mencantumkan tiga rukun nikah, yaitu calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, dan wali nikah. Rukun nikah lainnya, yaitu saksi dan ijab kabul dipenuhi pada saat pelaksanaan akad nikah. Tatacara dan prosedur bisa disampaikan secara singkat dengan menggunakan flowchart atau skema, sementara berkaitan dengan lafal ijab kabul, petugas bisa memberikan blankonya kepada para calon pengantin.
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _551
Materi lainnya dapat lebih disederhanakan, termasuk tentang pengetahuan agama. Kecuali buku PKKS dan PTP2KS, buku-buku dan modul yang menjadi rujukan utama dalam proses penataran pranikah itu membahas pengetahuan agama. Memang pengetahuan agama merupakan bekal yang sangat penting bagi para calon pengantin untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Pada ketiga buku tersebut, materi tentang pengetahuan agama sangat luas mencakup berbagai tema, termasuk tauhid, ibadah, muamalah, dan fikih munakahat. Sebagai contoh, pada buku PTP2KS, tim penyusun menjelaskan tujuan perkawinan menurut syariat Islam. Tim penyusun mengutip sejumlah ayat dan hadis Rasulullah saw., di antaranya hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw. bersabda: “Wahai pemuda, barang siapa yang sudah mampu di antara kalian untuk menikah maka menikahlah, karena menikah lebih menjinakkan pandangan mata dan lebih memelihara keselamatan diri. Barang siapa tidak mampu menikah maka berpuasalah karena puasa menjadi perisai bagi nafsu.” Kemudian, tim penyusun memerinci tujuan yang masih umum itu menjadi beberapa poin tujuan yang lebih spesifik, yaitu (1) melaksanakan ibadah kepada Allah swt., membentengi diri dari perbuatan maksiat, dan menyalurkan naluri seksual secara halal; (2) membina kehidupan keluarga yang tenang dan bahagia; (3) menjalin hidup dengan saling mencintai dan saling mengasihi; (4) membina hubungan kekeluargaan.52 Semua buku dan modul rujukan penataran pranikah itu membahas pengetahuan agama secara luas meliputi berbagai aspek keagamaan, termasuk rukun iman, rukun Islam, dan persoalan muamalah. Ditinjau dari satu sisi, pengetahuan agama merupakan bekal yang sangat penting disampaikan kepada siapa pun, termasuk kepada para calon pengantin. Namun, di sisi lain, materi tentang pengetahuan agama itu terlampau luas, sementara waktu untuk mengikuti penataran sangat terbatas. Waktu selama lima jam pelajaran sangat tidak memadai untuk memberikan pemahaman mengenai pengetahuan agama.
552_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Karenanya, yang perlu dilakukan adalah pemberian motivasi agar para calon pengantin memiliki keinginan yang kuat untuk mempelajari sendiri pengetahuan agama. Ada banyak media, baik berupa bahan cetakan seperti buku, tabloid, majalah, buletin keagamaan yang banyak tersedia, begitu juga media elektronik seperti televisi dan internet. Hanya saja, penting disampaikan kepada mereka untuk memilih dan memilah berbagai rujukan yang mereka dapatkan dan mereka baca mengenai pengetahuan agama. Selain itu, mereka juga harus diberi arahan agar mereka tidak terjebak pada paham-paham keagamaan yang sesat, menyimpang, atau yang otoriter dan merusak. Kemudian, materi tentang hak dan kewajiban suami istri, dikesani terlalu kaku dan ketat, karena sebagian besar berisi perintah dan larangan, suami harus anu dan anu, tidak boleh anu dan anu, begitu juga istri harus anu dan anu, tidak boleh anu dan anu. Paparan tentang hak dan kewajiban suami-istri itu tidak memberi ruang bagi penafsiran dan kemungkinan berbagi peran di antara mereka. Materi tentang hak dan kewajiban itu semestinya bisa lebih disederhanakan dan lebih lentur dengan mengikuti perkembangan zaman. Sebab, seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, pola relasi dan kedudukan suami-istri pun berubah. Misalnya, tentang penataan ruang atau penyediaan makanan dan minuman, sesungguhnya suami juga bisa mengambil peran itu, bukan melulu kewajiban istri. Di saat ini, banyak pula istri yang mencari nafkah, bukan hanya laki-laki. Selain itu, peran untuk membimbing dan meningkatkan pengetahuan juga tidak hanya menjadi kewajiban suami. Istri juga bisa berperan penting untuk mengingatkan dan membimbing suaminya, jika ternyata si istri lebih memahami urusan agama dibanding suaminya. Kendati demikian, ada prinsip-prinsip tertentu yang tidak berubah, seperti tentang kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga, baik material maupun spiritual. Hak dan kewajiban suami
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _553
istri menjadi bagian dari materi yang dapat dimusyawarahkan di antara masing-masing pasangan. Materi tentang psikologi yang mestinya cukup penting disampaikan tidak dipaparkan secara memadai dalam buku dan modul penataran pranikah. Sebagaimana telah dijelaskan, manusia modern cenderung mengalami gejala gangguan kejiwaan berupa kecemasan, stress, dan depresi. Karenanya, calon pengantin harus dibekali dengan pengetahuan tentang psikologi. Sebab, pernikahan melibatkan dua pribadi yang sepenuhnya berbeda, baik dari sisi karakter, sifat, sikap, dan kebiasaan. Perbedaan itu kerap memicu perselisihan yang berujung pada perceraian. Maka, dibutuhkan pengetahuan yang memadai, setidaknya tentang perkembangan watak dan sifat seseorang yang menurut kajian psikologi telah terbentuk selama bertahun-tahun. Jadi, ketika pasangan calon pengantin telah menikah, lalu mendapati karakter pasangannya ternyata berbeda dari yang dibayangkannya, ia tidak serta merta memaksa pasangannya itu untuk berubah. Dr.
Zakiah
Daradjat53
menyatakan bahwa aspek psikologis memainkan peranan penting dalam pembentukan keluarga dan sangat memengaruhi keberhasilan suatu keluarga untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa kondisi peradaban modern menuntut kesiapan mental yang baik dari setiap pasangan yang hendak mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak sekali aspek psikologi yang sering menjadi pemicu perselisihan di antara pasangan suami istri dan anggota keluarga lainnya, yang di antaranya berujung pada peceraian. Banyak di antara kasus yang terjadi pada pasangan suami istri sesungguhnya merupakan kasus sepele, seperti rasa cemburu atau curiga, tetapi karena pasangan tidak memiliki kesiapan dan kematangan mental, kasus sepele itu berkembang menjadi perselisihan yang besar dan rumit. Bahkan tak jarang berujung pada perceraian, pembunuhan, atau bunuh diri.54 Materi-materi lainnya bisa tetap dipertahankan, seperti tentang reproduksi sehat, manajemen keluarga, dan perundang-undangan,
554_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
terutama tentang KDRT. Materi lainnya yang penting disampaikan kepada para calon pengantin adalah kajian tentang komunikasi keluarga dan penyelesaian konflik (solusi konflik). Materi itu perlu disampaikan agar calon pengantin punya bekal ketika menghadapi masalah. Mereka dapat mengomunikasikannya lalu mencari solusi paling tepat untuk menghadapi dan menuntaskan masalah tersebut. Sebagai pembanding ada dua buku menarik yang berisi materi pelatihan pranikah, yakni Stephen Covey The 7 Habits of Highly Effective Families (1999), dan Paul Pearsall, Power of The Family (1997). Covey mengemukakan, suami istri harus bersikap proaktif, memulai dari tujuan akhir, mendahulukan hal-hal utama, berpikiran menang-menang, berusaha memahami dahulu baru dipahami, bersinergi, dan mengasah gergaji.55 Sementara, Pearsall menekankan bahwa seharusnya keluarga dibangun untuk selamanya. Untuk itu, dengan tinjauan psikologis, setiap pasangan suami istri harus dapat menciptakan ritual keluarga, menjaga ritme keluarga, sanggup menciptakan resonansi dan rekonsiliasi keluarga. Sejumlah materi dari Pearsall ini dapat menciptakan keluarga yang sehat secara psikologis.56 Kemudian, sebagai pelengkap bagi data penelitian berupa buku-buku pedoman dan modul penataran, peneliti melakukan wawancara kepada tiga orang kepala KUA sebagai fasilitator penataran mengenai materi penataran pranikah yang biasa mereka sampaikan kepada para calon pengantin. Dari wawancara yang dilakukan kepada tiga orang petugas yang biasa menyampaikan materi penataran pranikah, didapatkan hasil bahwa selama ini mereka lebih banyak menyampaikan materi tentang pengetahuan agama dan hak-hak serta kewajiban suami istri. Ketika ditanya tentang materi-materi yang terdapat dalam buku panduan dan modul penataran, saudara Asep S. Ahmad mengatakan: Materi-materi yang disampaikan dalam buku-buku dan modul itu terlampau luas. Ada begitu banyak tema dan bahasan yang harus
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _555
disampaikan, sementara waktu pertemuan yang dimiliki sangat terbatas. Jadi, saya hanya menyampaikan materi yang menurut saya pribadi sangat penting, misalnya tentang hak dan kewajiban suami-istri, juga tentang thaharah, secara khusus tentang mandi besar. Saya tidak mungkin membahas lebih jauh tentang tatacara shalat, zakat, dan juga ibadah haji. Saya juga tidak mungkin mengajari para calon pengantin membaca AlQur’an bagi yang belum bisa membaca Al-Qur’an.57 Ketika ditanya tentang aspek psikologi dalam materi penataran pranikah, Asep S. Ahmad mengemukakan: “Aspek psikologi tidak mendapat porsi yang memadai dalam bukubuku materi penataran pranikah. Penjelasan tentang aspek psikologi bersifat umum dan hanya menyajikan pengertian-pengertian yang umum, seperti makna ketenangan dan makna kedewasaan atau kematangan. Tidak ada kajian tentang gejala-gejala kejiwaan atau cara untuk menyiasati perbedaan karakter antara suami dan istri.”58 Sama halnya, saudara Diding Hasanudin, dari KUA Kec. Cilimus, juga mengemukakan: “Biasanya saya mengulas masalah kewajiban suami-istri, tujuan perkawinan, dan beberapa masalah fikih, seperti kewajiban shalat dan kebiasaan membaca Al-Qur’an. Saya tidak begitu menguasai masalah kejiwaan atau psikologi sehingga nyaris tidak pernah mengulas masalah itu. Ada baiknya modul penataran pranikah itu juga melibatkan pembekalan bagi para pentatar mengenai teknik konseling dan pengetahuan umum tentang psikologi keluarga dan psikologi Islam.”59 Penjelasan yang agak berbeda disampaikan oleh Imam Mutawakkil, Kepala KUA Kec. Jalaksana. Ketika ditanya tentang aspek psikologi dalam materi penataran pranikah, ia mengemukakan: “Saya cenderung tidak menyukai paparan tentang pembinaan aspek psikologi yang terdapat dalam buku panduan, karena hanya
556_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
membahas masalah kematangan dan kedewasaan dilihat dari sisi usia. Karena itu, biasanya saya berijtihad untuk membahas masalah psikologi dengan menggunakan teknik analisis golongan darah. Saya pernah membaca sebuah buku tentang masalah itu dan saya cukup menyukainya. Ada tantangan tersendiri ketika menghadapi para calon pengantin dan mencoba menganalisis kepribadian serta karakter masing-masing melalui analisis golongan darah mereka. Dalam beberapa pertemuan, sih, upaya ini lumayan berhasil menggugah kesadaran mereka mengenai pentingnya pemahaman dan pengenalan terhadap karakter dan sifat masing-masing pasangannya. Dengan begitu, setelah menikah, mereka tidak lagi terkaget-kaget ketika mendapati karakter dan perilaku pasangannya yang selama berpacaran tidak muncul.”60 Dari analisis terhadap data-data penelitian di atas, dapat dikatakan bahwa aspek psikologi, yang semestinya mendapat perhatian serius mengingat kondisi masyarakat modern yang rentan menderita gangguan kejiwaan atau tekanan psikologis, ternyata diabaikan dan tidak mendapatkan perhatian yang semestinya. Materi-materi yang terdapat dalam buku-buku dan modul penataran pranikah lebih banyak mengulas masalah hukum, peraturan, hak dan kewajiban suami-istri, masalah ibadah, dan persoalan akhlak. Kemudian, peneliti juga dapat mengatakan bahwa penyusunan materi-materi penataran atau pendidikan pranikah tersebut, meminjam pernyataan Menteri Agama, belum didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Penyajian materi-materi itu tidak belum relevan dengan perkembangan masyarakat, perubahan budaya, dan kemajuan teknologi informasi yang sangat mempengaruhi kondisi kejiwaan manusia modern. Jadi, akan lebih baik jika penyusunan materi-materi penataran pranikah itu didahului oleh riset dan penelitian yang mendalam mengenai masalah-masalah utama rumah tangga yang dihadapi masyarakat modern. Dengan demikian, materi penataran pranikah lebih tepat sasaran dan mencapai hasil yang memuaskan, di antaranya berupa
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _557
meningkatnya kualitas ketahanan keluarga-keluarga Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah dan cobaan rumah tangga.
G. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Dari hasil penelitian di atas dapat dikemukakan dua kesimpulan utama: Pertama, perkembangan budaya, peradaban, dan kemajuan teknologi, terutama teknologi informasi berpengaruh besar terhadap perkembangan dan perubahan kondisi psikologi masyarakat. Perkembangan itu juga berpengaruh terhadap pergeseran peran laki-laki dan perempua serta pola relasi antara keduanya. Kedua, ditinjau dari kajian psikologi pendidikan, materi-materi penataran pranikah yang terdapat dalam buku-buku dan modul penataran pranikah belum relevan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat modern yang sangat rentan mendapat gangguan atau masalah psikologis.
2. Saran dan Rekomendasi Dari hasil penelitian ini peneliti dapat mengemukakan saran dan rekomendasi. Hal yang disarankan adalah agar penelitian ini memiliki derajat keilmiahan yang lebih valid dibutuhkan penelitian lebih lanjut, baik berupa penelitian kualitatif terhadap materi penataran pranikah secara lebih luas, maupun penelitan kuantatif yang mengukur efektifitas materi penataran pranikah yang selama ini dipergunakan. Sementara rekomendasi yang peneliti kemukakan di sini adalah perlunya penetapan penyelenggaraan penataran pranikah secara lebih sistematis. Untuk mencapai rekomendasi ini dibutuhkan: 1) Peninjauan ulang atas materi dan metode penataran pranikah yang selama ini dipergunakan; 2) Analisis terhadap perkembangan masalah dan persoalan yang
558_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
dihadapi keluarga di tengah masyarakat modern dan kebutuhan mereka terhadap materi yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi. 3) Penyediaan modul yang lebih sistematis untuk penataran pranikah; 4) Pelatihan terhadap para fasilitator penataran mengenai metode pembelajaran atau penataran agar dapat memberikan penataran secara lebih efektif dan efisien.
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _559
Daftar Pustaka
Abd al-‘Athi, Hammudah, The Family Structure in Islam (Keluarga Muslim), Alih bahasa Anshari Thayyib, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1984. Bahri dan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Buseri, Kamrani, Pendidikan Keluarga Dalam Islam, Bina Usaha, Yogyakarta, 1990. Conger, JJ., Adolescence and Youth, Harper and Row, London, 1973. Covey, Stephen The 7 Habits of Highly Effective Families, Harper & Collins, 1999 Daradjat, Prof. Dr. Zakiah, Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, cetakan ke-6, 1974. DePotter, Bobbi, Mark Reardon, & Sarah Singer-Norie, Quantum Teaching, Kaifa, Bandung, 2008. Dewi, Elisabeth Diana, “Profil Keluarga di Barat” dalam Jurnal Al-Insan, No. 3, Vol. 2, Lembaga Kajian dan Pengembangan al-Insan, Jakarta, 2006. Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 2006. Guthrie, Elisabeth, M. D. dan Kathy Mathews, Anak Sempurna atau Anak Bahagia: Dilema Orangtua Modern, Mizan, Bandung , 2003. Hafiduddin, Didin, Keunggulan Keluarga Islami, Jurnal al-Insan, No. 3, Vol. 2, Lembaga Kajian dan Pengembangan al-Insan, Jakarta, 2006. Hawari, Dadang, Persiapan Menuju Perkawinan Yang Lestari, Pustaka Antara, Cetakan ke-1, Jakarta, 1996. Hochschild, Arlie, Parenting Revolution: Kiat Utama Mendidik Anak,
560_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Penerbit Serambi, Jakarta, 2004. Joyce and Well, Models of Teaching, Columbia University Press, 1986. Kuper, Adam & Jessica, Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Paramadina, Jakarta, cetakan ke-2, 2003. Masor, H.A., ZT., “Pendekatan-Pendekatan dalam Pendidikan Islam”, dalam Metodologi Pengajaran Agama Islam, ed. Dr. Ahmad Tafsir, Fakultas Tarbiyah IAIN SGD Bandung, Bandung, 2000. Munir, H.M., Pedoman Nasehat Perkawinan, BP4 Pusat, Jakarta, 1985. Pearsall, Paul, Power of The Family, Penguin Books, 1997. Rahmat, Jalaluddin, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama. Mizan, Bandung, 1998. Sardar, Ziadudin, Reading The Qur’an: The Contemporary Relevance of The Sacred Text of Islam, Oxford University Press, New York, 2011. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, Cetakan ke-2, 1996. Sunarjo, Jacqueline Mariae, Keluarga—Suatu Sejarah Kehidupan, Yogyakarta, Majalah Basis, Nomor 05–06 tahun ke-52, Mei Juni 2003. Suwarna, Pengajaran Mikro, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006. Tim Penyusun, Modul Fasilitator Kursus Calon Pengantin, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, Jakarta, 2002. Tim Penyusun, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, Jakarta, 2002.
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _561
Tim Penyusun, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, Jakarta, 2002. Tim Penyusun, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Keluarga Sejahtera Melalui Penasehatan Perkawinan BP4, BP4 Propinsi Jawa Barat bekerja sama dengan Kanwil BKKBN Propinsi Jawa Barat, Bandung, 1994. Tim Penyusun, Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah, Departemen Agama Kantor Wilayah Jawa Barat, Bidang Urusan Agama Islam, Bandung, 2001. Usman, Suparman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, Sudara, Serang, 1995. Yusnadi, Andragogi, Pendidikan Orang Dewasa, Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, Medan, 2003.
http://www.tempo.co/read/news/2014/05/20/079579130/AherCanangkan-20-Menit-Orang-Tua-Bersama-Anak http://www.huffingtonpost.com/2014/05/20/children-divorcesuicide_n_5353796.html?&ncid=tweetlnkushpmg00000067. http://www.tempo.co/read/news/2014/05/21/060579192/Anakdan-Remaja-Kini-Rentan-Kena-Masalah-Jiwa?utm_ source=twitterfeed&utm_medium=twitter http://www.tempo.co/read/news/2014/03/28/060565994/Gangguan-JiwaRemaja-di-Bandung-Meningkat http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraiantertinggi-di-indonesia-392465.html http://internasional.kompas.com/read/2014/05/19/2001334 http://www.badilag.net/index.php/pengaduan/315-berita-
562_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
kegiatan/5167-melonjaknya-angka-perceraian-jadi-sorotanlagi--195 http://news.detik.com/read/2011/08/04/124446/1696402/10/tingkatperceraian-di-indonesia-meningkat http://www.arrahmah.com/news/2013/09/26/perceraian-kian-meroket.
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _563
Endnotes
1. Lihat, hasil penelitian Mark Cammack, guru besar di Southwestern School
of Law-Los Angeles, USA. Menurutnya, pada 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong paling tinggi di dunia. Pada dekade tersebut, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Lalu angka perceraian itu mengalami penurunan pada dekadedekade berikutnya dan tren perceraian kembali meningkat kembali secara signifikan sejak 2001 (http://www.badilag. net/index.php/pengaduan/315berita-kegiatan/5167-melonjaknya-angka-perceraian-jadi-sorotan-lagi--195)
Data Ditjen Badilag MA menunjukkan bahwa pada 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian. Pada 2009, perkara perceraian di Pengadilan Agama mencapai 223.371 perkara. Dan selama sembilan tahun terakhir, tiap tahun rata-rata terdapat 161.656 perceraian. Jadi, jika diasumsikan, setahun terdapat dua juta peristiwa perkawinan, 8 persen di antaranya berakhir dengan perceraian. (http://news.detik.com/read/2011/08 /04/124446/1696402/10/tingkat-perceraian-di-indonesia-meningkat)
Data Kementerian Agama R.I. menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi 212 ribu kasus perceraian di Indonesia. (http://www.arrahmah.com/ news/2013/09/26/perceraian-kian-meroket. html# sthash. TGRZC7gB. dpuf)
2. http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraiantertinggi-di-indonesia-392465.html
3. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, 1983, h. 174.
4. Arlie Hochschild, Parenting Revolution: Kiat Utama Mendidik Anak, Penerbit Serambi, Jakarta, 2004, h. 35.
5. Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Paramadina, Jakarta, cetakan ke-2, 200, h. 72.
6. Tim Penyusun, Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah,
Departemen Agama, Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat, bidang Urusan Agama Islam, Bandung, 2001, h. 33.
7. http://internasional.kompas.com/read/2014/05/19/2001334 8. Ibid. 9. Sambutan Menteri Agama R.I. pada acara ramah tamah Menteri Agama R.I
564_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015 dan pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan dengan Gubernur Sulawesi Tengah, di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Tengah, Minggu, 17 Mei 2015.
10. Pernyataan Menteri Agama R.I. pada acara audiensi Menteri Agama dengan para peneliti dan widyaiswara di Kantor Kementerian Agama, Jl. Lapangan Banteng, 22 Januari 2015.
11. Tim Penyusun, ibid, h. 32. 12. Tim Penyusun, ibid., h. 33. 13. Bahri dan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, h. 11 14. Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 2006, h. 156
15. Drs. Usman Effendi, dkk., Pengantar Psikologi, Angkasa, Bandung, cet. Ke-3, 1993, h. 1-2.
16. Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, Sudara, Serang, 1995, h. 349.
17. Kamrani Buseri, Pendidikan Keluarga Dalam Islam, Yogyakarta: Bina Usaha, 1990, h. 16-17.
18. Keluarga—Suatu Sejarah Kehidupan, dalam Majalah Basis, Nomor 05-06, tahun ke-52, mei-Juni 2003, h. 32.
19. Jacqueline Mariae Sunarjo, Ibid., h. 32 20. Ziadudin Sardar, Reading The Qur’an: the contemporary relevance of the sacred text of Islam, Oxford University Press, New York, 2011, h. 167-168.
21. Di antaranya karena alasan inilah gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan,
mencanangkan “gerakan 20 menit orangtua bersama anak-anak”. Lihat http://www.tempo.co/read/news/2014/05/20/079579130/Aher-Canangkan20-Menit-Orang-Tua-Bersama-Anak.
22. JJ. Conger, Adolescence and Youth, London: Harper and Row, 1973, h. 593. 23. h t t p : / / w w w . h u f f i n g t o n p o s t . c o m / 2 0 1 4 / 0 5 / 2 0 / c h i l d r e n - d i v o r c e -
suicide_n_5353796.html?&ncid=tweetlnkushpmg00000067. Untuk penelitian lain mengenai semakin banyaknya anak dan remaja yang mengalami gangguan kejiwaan, lihat http://www.tempo.co/read/ news/2014/05/21/060579192/Anak-dan-Remaja-Kini-Rentan-Kena-MasalahJiwa?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter dan http://www. tempo.co/read/news/2014/03/28/060565994/Gangguan-Jiwa-Remaja-diBandung-Meningkat
Analisis Psikologi Terhadap Materi Penataran Pranikah _565
24. Hammudah Abd al-‘Athi, “The Family Structure in Islam” (Keluarga Muslim), Alih bahasa Anshari Thayyib) Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984, h. 63.
25. Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, artikel, “Grajam Allan”, oleh Adam Kuper & Jessica Kuper, alih bahasa haris Munandar. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2000, h. 38-39.
26. Jalaluddin Rahmat, Pengantar dalam Murtadha Mutahari, Perspektif alQuran tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan, 1998. h. 39.
27. Elisabeth Guthrie, M. D. dan Kathy Mathews, Anak Sempurna atau Anak Bahagia: Dilema Orangtua Modern. alih bahasa Ida Sitompul, Bandung: Mizan, 2003, h. 115.
28. Jacqueline Mariae Sunarjo, ibid., h. 34. 29. Prof. DR. Zakiah Daradjat, Ketenangan da Kebahagiaan dalam Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. Ke-6, 1974, h. 115.
30. Ibid., h. 116. 31. Tim Penyusun, Ibid. 32. Undang-Undang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera, Pasal 1 ayat 10. 33. Undang-Undang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera, Pasal 1 ayat 11. 34. Dadang Hawari, Persiapan Menuju Perkawinan Yang Lestari, Pustaka Antara, Cetakan ke-1, Jakarta, 1996, h. 41.
35. Tim Penyusun, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Keluarga Sejahtera
(Melalui Penasehatan Perkawinan BP4), BP4 Propinsi Jawa Barat bekerja sama dengan Kanwil BKKBN Propinsi Jawa Barat, Bandung, 1994, h. 5.
36. H.M. Munir, Pedoman Nasehat Perkawinan, BP4 Pusat, jakarta, 1985, h. 4. 37. Laeli Khiyaroh, Efektifitas Penataran Pranikah dalam Menekan Angka Perceraian,
Studi Kasus di KUA Kec. Gemulung, Kab. Cirebon, Skripsi pada Jurusan Syariah Program Studi Ahwal Syakhsiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Cirebon, Mei 2004, h. 54-57.
38. Udi Suwardi “Aspek-Aspek Psikologi dalam Materi-Materi Penataran Pranikah (Analisis Psikologi Pendidikan Agama terhadap Materi-Materi Penataran Pranikah)”, Tesis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2006
39. Prof. DR. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, cet. Ke-2, 1996, h. 192.
40. BP4 Provinsi Jawa Barat bekerja sama dengan BKKBN Propinsi Jawa Barat, Bandung, 1994, h. 3-4.
566_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
41. Lampiran perDirjen BIMAS Islam Nomor DJ.II/491 Tahun 2009 tanggal 10 Desember 2009
42. Tim Penyusun, Modul Fasilitator Kursus Calon Pengantin, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, Jakarta, 2002.
43. Tim Penyusun, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Keluarga Sejahtera
Melalui Penasehatan Perkawinan BP4, BP4 Propinsi Jawa Barat bekerja sama dengan Kanwil BKKBN Propinsi Jawa Barat, Bandung, 1994.
44. Tim Penyusun, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, Jakarta, 2002.
45. Tim Penyusun, PTP2KS, h. 9. 46. Ibid. 47. PTP2KS, h. 10-18 48. PTP2KS, h. 31. 49. MPKS, h. 139. 50. Ibid, h. 140. 51. Ibid, h. 143-153. 52. Tim Penyusun, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Keluarga Sejahtera
Melalui Penasehatan Perkawinan BP4, BP4 Propinsi Jawa Barat bekerja sama dengan Kanwil BKKBN Propinsi Jawa Barat, Bandung, 1994, h. 10.
53. Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ibid. 54. Ibid., h. 116. 55. Stephen Covey The 7 Habits of Highly Effective Families, 1999, h.525 56. Pearsall, Power of The Family, 1997, h. 39 57. Wawancara dengan Asep S. Ahmad, Kepala KUA Kec. Japara pada tanggal 9 April 2015 di KUA Kec. Japara.
58. Ibid. 59. Wawancara dengan Diding Hasanudin, Kepala KUA Kec. Cilimus,pada tanggal 8 April 2015 di KUA Kec. Cilimus.
60. Wawancara dengan Imam Mutawakkil, Kepala KUA Kec. Jalaksana, tanggal 10 April 2015 di KUA Kec. Jalaksana, Kuningan.
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _567
Hisab Thinking of Rukyah Classic (Study on the Thinking of Muhammad Mas Mansur al-Batawi)
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik (Studi Atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi)
Ahmad Izzuddin UIN Walisongo Semarang email:
[email protected]
Abstract: Islamic thought in Indonesia in general is the result of scholars network with the scholars in Saudi Arabia (Haramain) is no exception with hisab rukyah thinking in Indonesia. As the thinking of hisab rukyah Mas Mansur al-Betawi which by the history tracing as the outcome studied with Sheikh Abdurahman al-Misra who still use the principle of the Ptolemaic geocentric. Therefore, the theory Heliocentric subverted by a new principle that has been verified scientifically, it is natural when thinking hisab rukyah Mas Mansur still principled geocentric, the results of hisab is only categorized as the ultimate taqribi hisab. And it is also recognized gentlemnent by Mas Mansur himself in the book of Sulammun Nayyirain. However, until now hisab system is still widely used basis for determining the beginning of the month in Qamariyah by the Indonesian Muslim community, including foundations al-Khairiyah alManshuriyah Jakarta and Pondok Pesantren Ploso Mojo Kediri, East Java.
568_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Abstraksi: Pemikiran keislaman di Indonesia pada umumnya merupakan hasil jaringan ulama dengan ulama-ulama di Arab Saudi (Haramain) tidak terkecuali pemikiran hisab rukyah di Indonesia. Sebagaimana pemikiran hisab rukyah Mas Manshur alBetawi yang mana menurut lacakan sejarah merupakan hasil berguru dengan Syekh Abdurahman al-Misra yang masih menggunakan prinsip Geosentris dalam teori Ptolomeus. Oleh karena teori tersebut ditumbangkan oleh prinsip baru Heliosentris yang sudah teruji kebenarannya secara ilmiah, kiranya wajar manakala pemikiran hisab rukyah Mas Manshur yang masih berprinsip Geosentris, hasil hisabnya hanya dikategorikan hisab hakiki taqribi. Dan ini ternyata juga diakui secara gentlemnent oleh Mas Manshur sendiri dalam kitab Sulammun Nayyirain. Namun demikian, sampai sekarang sistem hisabnya masih banyak digunakan dasar penetapan awal bulan Qamariyah oleh sebagaian masyarakat muslim Indonesia, di antaranya yayasan al-Khairiyah al-Manshuriyah Jakarta dan Pondok Pesantren Ploso Mojo Kediri Jawa Timur. Keywords: hisab, rukyah, hijriyah.
A. Latar Belakang Masalah Menurut lacakan sejarah, setidaknya sejak abad ke-17 hingga akhir abad ke-19, para pelajar muslim Melayu termasuk Indonesia menjadikan Haramain (Mekkah – Madinah) sebagai tumpuan rihlah ilmiyah atau thalab al-‘ilm mereka.1 Malah dalam dasawarsa 1920-an, banyak orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun (mukim) di Mekkah. Bahkan di antara banyak bangsa yang berada di Mekkah, orang “Jawa” (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok yang terbesar.2) Menurut suatu naskah Jawa yang ditemukan di Kediri pada pertengahan abad ke-19, tercatat bahwa Aji Saka yang dikenal sebagai pencipta kalender Jawa (kalender Saka) pernah melakukan tapak tilas intelektual (meguru) ke Mekkah.3) Dari sini nampak bahwa kajian keislaman termasuk kajian hisab rukyah di Asia Tenggara khususnya di
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _569
Indonesia tidak lepas adanya “jaringan ulama’” (meminjam istilah Azyumardi Azra) ke Timur Tengah terutama ke Haramain (Mekkah –Madinah). Jaringan ulama ini nampak dari ada tapak tilas intelektual (meguru) yang dilakukan oleh ulama-ulama Indonesia semisal ulama-ulama hisab rukyah Indonesia di Jazirah Arab dengan bermukim bertahun-tahun. Sebagaimana yang dilakukan Muhammad Mas Manshur al-Batawi yang melahirkan karya monumentalnya Sullam al-Nayyirain – Mizanul I’tidal dan Zubaer Umar al-Jaelany Salatiga dengan karya monumentalnya Al-Khulashah al-Wafiyah. Begitu pula kitab-kitab hisab rukyah lainnya yang ternyata juga merupakan hasil adanya rihlah ilmiah para ulama di Jazirah Arab terutama ke Haramain (Mekkah – Madinah). Sebagaimana dikatakan pakar Hisab Rukyah, Taufik bahwa pemikiran hisab rukyah di Indonesia merupakan hasil cangkokan dari pemikiran hisab rukyah di Mesir, seperti hasil cangkokan dari kitab Al-Mathla’ al-Said ala Rasdi aljadid dan al-Manâhij al-Hamidiyyah.4) Oleh karena itu, diiakui atau tidak, pemikiran hisab rukyah di Jazirah Arab (Haramain) sangat mewarnai tipologi pemikiran hisab rukyah di Indonesia. Indikator adanya jaringan ulama tersebut, nampak dari adanya Mekkah tetap digunakan sebagai markaz hisab oleh ulama-ulama hisab rukyah di Indonesia, walaupun ada pula yang sudah mengganti dengan markas sesuai dengan daerah di mana ulama tersebut berada. Seperti AlKhulasah al-Wafiyahnya Zubaer Umar Al-Jaelany dengan markas Mekkah, dan Sullam al-Nayyirain – Mizanul I’tidalnya Muhammad Mas Manshur al-Batawi yang sudah diubah dengan markas Betawi (Jakarta). Dari dua contoh tersebut nampak bahwa proses pencangkokan pemikiran hisab rukyah di Indonesia terpola dalam dua tipologi pencangkokan, yakni pencangkokan dengan tidak merubah mabda’ (epoch) dan markas hisabnya dan pencangkokan dengan mengubah mabda’ (epoch) dan markas hisabnya. Selanjutnya dalam perjalanan historis, pemikiran-pemikiran hisab rukyah tersebut ternyata sangat mewarnai diskursus pemikiran hisab rukyah di Indonesia. Di mana ternyata banyak juga terjadi pencangkokan
570_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
kembali (re-transplanting) terhadap pemikiran hisab rukyah yang berkembang setelahnya. Sebagaimana diakui sendiri oleh Noor Ahmad SS Jepara bahwa kitabnya Nurul Anwar sebagai cangkokan dari kitab al-Khulasah al-Wafiyah yang juga merupakan kitab cangkokan dari kitab Manâhij al-Hamidiyah. Pemikiran hisab rukyah di Indonesia dapat diklasifikasikan sesuai dengan keakurasiaannya. Sebagaimana hasil dari seminar sehari Hisab Rukyah pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor, dihasilkan kesepakatan paling tidak ada tiga klasifikasi pemikiran hisab rukyah di Indonesia. 5) Di sisi yang lain, wilayah Islamic Studies persoalan pemikiran hisab rukyah di Indonesia cukup memprihatinkan, karena kajian hisab rukyah nyaris terabaikan sebagai sebuah disiplin. Di Indonesia kajian hisab rukyah hanya merupakan kajian minor.6) Bahkan sampai kini, belum ada seorang guru besar yang bergelut dalam pemikiran hisab rukyah. Padahal perkembangan keilmuan tidak lepas dari keberadaan guru besar yang handal dan karya ilmiah yang spektakuler. Mendasarkan pada kelangkaan (sadz) penelitian di bidang ini, maka penulis mencoba meramaikan penelitian di bidang ini dengan mengangkat penelitian tentang pemikiran hisab rukyah Muhammad Mas Manshur al-Batawi. Mengingat berdasarkan pelacakan sejarah, pemikiran hisab rukyah Muhammad Mas Manshur yang terakumulasi dalam kitabnya Sullam al-Nayyirain dan Mizan al-I’tidal termasuk yang paling tradisional dan paling klasik dalam khazanah pemikiran hisab rukyah.7) Ketradisionalan dan keklasikannya, nampak dari data yang digunakan yakni menggunakan data Ulugh Beik Al-Samarqandy8) dalam bentuk table “Abajadun Hawazun Chathayun …, ” 9). Di samping secara prinsip menggunakan prinsip Ptolomeus – Geosentris – Homosetris10) dan menggunakan dasar matematika yang sangat sederhana. Namun demikian, dalam realita di masyarakat masih digunakan sebagai dasar penetapan awal bulan sebagai acuan ibadah secara syar’i, walaupun dalam klasifikasi hisab hakiky taqriby. Tidak diklasifikasikan
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _571
dalam katagori hisab urfî yang dianggap tidak layak untuk acuan ibadah secara syar’i, padahal masih menggunakan prinsip geosentris yang secara ilmiah sudah tumbang dengan prinsip yang baru yakni prinsip heliosentris. Di samping itu, jika dilihat dalam kitab Mizan al-I’tidal, ternyata Muhammad Mas Manshur al-Batawi dalam kajian hisab rukyah tidak hanya sekedar hisab murni, namun juga dikemukakan pemikiranpemikiran beliau tentang Fikih hisab rukyah dengan mengkomparasikan pemikiran ulama-ulama yang lain. Di antaranya tentang had (batasan) imkanurrukyah, had (batasan) mathla’urrukyah, persaksian hilal dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan juga dibahas kajian Fikih yang sedikit melebar dari kajian hisab rukyah, seperti tentang shalat Iid, musafir, puasa dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melacak pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi dalam kajian Fikih hisab rukyah, dalam kemasan judul : Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional (Studi Atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi).
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah penulis teliti adalah :
tersebut, maka permasalahan yang
1. Bagaimana pemikiraan hisab rukyah Muhammad Mas Manshur alBatawi ? 2. Sejauhmana pengaruh pemikiran hisab rukyah Muhammad Mas Manshur al-Batawi dalam belantara sejarah pemikiran hisab rukyah di Indonesia ?
C. Kajian Pustaka Sejauh pengamatan penulis, belum diketahui tulisan yang secara mendetail membahas tentang pemikiran hisab rukyah tradisional
572_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
yang mengfokuskan pada pemikiran hisab rukyah Muhammad Mas Manshur al-Batawi. Sekalipun banyak karya-karya tentang hisab rukyah di dunia Islam dan Barat secara umum dan di Indonesia pada khususnya. Baik karya hisab rukyah secara Fikihy maupun karya hisab rukyah secara tehnis. Karya hisab rukyah secara tehnis adalah karya (buku) yang isinya mengenai metode perhitungannya, seperti Sullam al-Nayyirain oleh Muhammad Manshur al-Batawi, Epemiris oleh Depag RI, Khulashoh al-Wafiyah oleh Zubaer Umar al-Jaelany Salatiga, walaupun Zubaer dalam kitabnya juga menyinggung hisab rukyah secara Fikihy namun kadarnya tidak seberapa. Sehingga itu hanya terkesan hanya tehnis. Karya-karya hisab rukyah secara tehnis sebagaimana penulis sebutkan dalam fotenote pada latar belakang masalah di atas. Karya hisab rukyah secara Fikih di antaranya : Rukyah Dengan Teknologi dengan kata pengantar Burhanuddin Jusuf Habibie merupakan rangkaian beberapa makalah dari berbagai kalangan dalam Diskusi Panel dengan thema Teknologi Rukyah oleh ICMI Orsat Kawasan PUSPIPTEK yang bekerjasama dengan Orsat Pasar Jum’at Jakarta pada tahun 1994.11) Ada beberapa pemakalah, di antaranya Darsa Sukarta Diredja (Planetarium Jakarta), KH. Ma’ruf Amin (PBNU), Ir. Basith Wachid dan Wahyu Widiana. Dengan diikuti oleh pemakalah dari unsur NU dan Muhammadiyah, secara tidak langsung membawa pemikiran-pemikiran dari dua ormas Islam terbesar tersebut, walaupun belum mengakar pada metode istinbat hukum yang dipakainya, sehingga pemikirannya hanya sekedar sekilas lalu. Dengan kata lain pembahasannya masih sepintas lalu dan belum tuntas, sebagaimana KH Ma’ruf Amin hanya membahas dasar syari’ah Islam dari rukyah, serta menguraikan bagaimana beragamnya pendapat ulama salaf mengenai hukum (sah)nya pemakaian alat untuk pelaksanaan syari’ah.12) Begitu pula Ir Basith Wachid yang membawa pemikiran Muhammadiyah hanya menguraikan cara-cara hisab yang selama ini dilakukan baik berdasarkan
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _573
literatur tradisional (kitab kuning) yang ditulis pada belasan abad yang lalu maupun berdasarkan ilmu astronomi modern.13) Karya lain yakni Menuju Kesatuan Hari Raya dengan (editor) Muammal Hamidy 14) juga merupakan kumpulan beberapa tulisan oleh pakar hisab rukyah seperti Syamsul Arifin, Imam Muchlas, M. Barmawi dan Sriyathin Shadiq. Di mana intinya, buku tersebut berupaya menguak permasalahan hisab rukyah dari sudut filasafat, Fikihi dan historisnya. Karya Farid Ruskanda15) yakni 100 Masalah Hisab Rukyah, Telaah Sains, Syari’ah, dan Tehnologi. Karena merupakan hasil rekaman dari kesempatan pengajian, diskusi, seminar maupun ceramah yang sempat diikuti selama hampir tiga tahun, maka kiranya sulit untuk dihindarkan dari pembahasan sekilas lalu dan sepintas lalu. Ahmad Muhammad Syakir dengan karya monumentalnya Awâil al-Syuhur al-Arabiyah terbitan Maktabah Mustafa al-Baby al-Halaby, Kairo, 1939 yang pada intinya banyak menekankan pada permasalahan mathla’ dalam pandangan para fuqaha salaf disamping juga menguak permasalahan hisab rukyah di negara Mesir sebagai studi kasusnya.16) Susiknan Azhari dalam thesisnya yang berjudul Melacak Pemikiran Saaddoeddin Jambek Dalam Sejarah Pemikiran Hisab di Indonesia, yang pada dasarnya merupakan kajian tokoh yang berupaya mengkaitkan dengan diskursus hisab rukyah di Indonesia masa kini yang mengfokuskan pada pencarian jati diri pemikiran hisab Saadoeddin Jambek 17) Penulis sendiri memang telah melakukan penelitian berkaitan dengan Muhammad Mas Manshur al-Batawi dalam sebuah skripsi yakni Studi Analisis Tentang Hisab Awal Bulan Qamariyyah dalam kitab Sullam al-Nayyirain, namun itu hanya sebatas sebuah studi pendahuluan belum masuk dalam sebuah penelitian yang benar-benar kritis-analitik, mengingat masih sekedar mengkaji dari sudut sejauh mana hisab bulan Qamariyyahnya dan itupun hanya dalam kitab Sullam al-Nayyirain. Karena waktu itu penulis belum menemukan kitab Mizan al-I’tidal
574_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
yang penulis asumsikan cukup representatif mengupas secara holistic pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi terutama dalam kajian hisab rukyah. Dari kajian pustaka tersebut, menurut hemat penulis belum ada penelitian secara spesifik holistic yang membahas tentang pemikiran hisab rukyah Muhammad Mas Manshur al-Batawi sebagai representasi dari pemikiran hisab rukyah tradisional. Sehingga penulis tertarik untuk membahasnya dalam sebuah penelitian ini.
D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui secara kongkrit pemikiran hisab rukyah tradisional dalam hal ini pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi dengan melacak jaringan ulama’nya (jaringan Timur Tengahnya – Haramain). 2. Mengetahui sejauhmana pengaruh pemikiran hisab rukyah Muhammad Mas Manshur al-Batawi dalam belantara pemikiran hisab rukyah di Indonesia.
E. Metode Penelitian Sebagai suatu analisis filosofis terhadap pemikiran seorang tokoh dalam waktu tertentu di masa yang sudah lewat, maka secara metodologis penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah (historical approach). Sebab salah satu jenis penelitian sejarah18) adalah penelitian biografis, yakni penelitian terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan idenya, serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hayatnya.19) Metode yang digunakan dalam pencarian data dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan membaca kitabkitab karya Muhammad Mas Manshur al-Batawi sendiri sebagai data
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _575
primer dan tulisan-tulisan yang terkait dengan persoalan hisab rukyah dan astronomi sebagai data sekunder, serta melakukan wawancara dengan ahl al-bait (keluarga besar Muhammad Mas Manshur al-Batawi) terutama yang ada di Yayasan al-Khairiyyah al-Manshuriyyah Jakarta.20) Dalam menganalisis data, penulis menggunakan tehnik deskriptif analitik kritis21) yakni menggambarkan terlebih dahulu pemikiran hisab rukyah di Indonesia dan pemikiran hisab rukyah Muhammad Mas Manshur al-Batawi. Kemudian dari tashwir tersebut kemudian dijadikan fakta, dan selanjutnya dianalisis untuk mengambil kesimpulan. Selain itu penulis juga menggunakan tehnik komparatif22).
Metode ini penulis gunakan untuk mengkomparasikan pemikiran-pemikiran filosofis Muhammad Mas Manshur al-Batawi dalam bidang hisab rukyah dengan pemikiran-pemikiran filosofis para hisab rukyah lainnya. Tehnik analisis semacam ini disebut juga analisis kualitatif23).
F. Temuan Asal Usul Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi nama lengkapnya adalah Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri bin Habib bin Pangeran Tjakradjaja Temenggung Mataram, lahir di Jakarta pada tahun 1295 H / 1878 M. Bermula dari didikan orang tuanya sendiri, Abdul Hamid, dan saudara-saudara orang tuanya seperti Imam Mahbub, Imam Tabrani, dan Imam Nudjaba Mester, dia sudah nampak tertarik dengan ilmu falak.24) Ketika usia 16 tahun atau tepatnya pada tahun 1894 M, dia pergi ke Mekkah bersama ibunya untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana selama empat tahun. Di sana dia belajar ilmu dengan banyak guru besar, di antaranya guru Umar Sumbawa, guru Muhtar, guru Muhyidin, Syekh Muhammad Hajat, Sayyid Muhammad Hamid, Syekh Said Yamani, Umar al-Hadramy dan Syekh Ali al-Mukri.25) Ini merupakan salah satu bukti bahwa memang pada masa itu masih banyak orang Indonesia
576_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
yang melakukan ibadah haji sekaligus melakukan rihlah ilmiyah – meguru dengan bermukim di Mekkah. Namun demikian menurut lacakan penulis, kemahiran Mas Manshur al-Batawi dalam bidang ilmu falak kiranya tidak banyak dari hasil rihlah ilmiyahnya di Mekkah. Tapi dari rihlah ilmiyah yang dilakukan Syekh Abdurrahman al-Misra ke Betawi (Jakarta) dengan membawa data Ulugh Beik – zaij Ulugh Beik. Dengan melihat Betawi terdapat tempat rukyah yang layak, sehingga dalam waktu yang tidak lama, Syekh Abdurrahman al-Misra mengadakan penyesuaian data dengan merubah markas data dari bujur Samarkand menjadi bujur Betawi. Lalu beliau memberi pelajaran kepada para kyai-kyai Betawi, termasuk Abdul Hamid bin Muhammad Damiri (ayah Mas Manshur al-Betawi)26). Dari sinilah cikal bakal pemikiran hisab rukyah yang ada dalam kitab Sullam al-Nayyirain karya monumental Mas Manshur al-Betawi. Namun demikian, rihlah ilmiyah para ulama Indonesia ke Mekkah (termasuk yang dilakukan oleh Abdul Hamid bin Muhammad Damiri maupun Mas Manshur) kiranya tetap menjadi awal munculnya pemikiran hisab rukyah di Indonesia. Karena sangat tidak mungkin, kedatangan Syekh Abdurrahman al-Misra ke Betawi dalam acara rihlah ilmiyah tanpa diawali dengan hubungan meguru (atau paling tidak silaturahim) yang dilakukan oleh para ulama Indonesia termasuk oleh Abdul Hamid bin Muhammad Damiri ke sana (Mesir). Sebelum kitab Sullam al-Nayyirain, di Betawi (Jakarta) ternyata sudah ada kitab hisab yang dipelajari dan diamalkan oleh masyarakat Betawi yakni kitab Iiqazh al-Niyam karya Sayyid Usman bin Yahya. Model perhitungan kitab ini, sama persis dengan kitab Sullam al-Nayyirain, hanya berbeda dalam ketentuan batas minimal hilal dapat dilihat (dirukyah) yakni 7 derajat. Kitab ini banyak berkembang di daerah bukit duri Puteran, Cikoko Pengadegan Jakarta Selatan, Cipinang Muara dan sekitar tanah delapan puluh Klender Jakarta Timur.27)
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _577
Kebenaran keberadaan kitab Iiqazh al-Niyam karya Sayyid Usman bin Yahya di Betawi sebelum kitab Sullam al-Nayyirain nampak dari adanya “perdebatan” tentang batas imkaniurrukyah antara Abdul Hamid bin Muhammad Damiri dan para santri Syekh Abdurrahman alMisra dengan Sayyid Usman. Di mana menurut Abdul Hamid bin Muhamad Damiri dan para santri Syekh Abdurahman al-Misra bahwa rukyah dalam kondisi hilal di bawah 7 derajat adalah sulit bukan tidak mungkin (istihalah). Sedangkan menurut Sayyid Usman, kondisi demikian tidak mungkin dapat dilihat (istihalaturrukyah). Perbedaan ini muncul karena memang Sayyid Usman tidak menggunakan dasar zaij Syekh Abdurahman al-Misra, tapi berdasarkan zaij dari gurunya Syekh Rahmatullah al-Hindi di Mekkah. Sayyid Usman tidak pernah bertemu dengan Syekh Abdurrahman di Betawi, karena sejak kecil dia sudah meninggalkan Betawi dan menetap di Arab28). “Perdebatan” ini sebagaimana diceritakan Mas Manshur dalam kitab Mizan al-I’tidal, ketika terjadi persoalan persaksian rukyah yang dilakukan dalam penetapan awal Ramadan 1299, di mana pada malam Ahad, hilal dalam ketinggian 2,5 derajat, salah satu murid Syekh Abdurrahman yakni Muhammad Shaleh bin Syarbini al-Betawi menyatakan dapat melihat hilal. 29) Dalam pemikiran hisab rukyah mas Manshur al-Batawi ternyata tidak hanya berasal dari seorang guru, Syekh Abdurahman alMisra. Terbukti dengan banyak kitab Falak yang menjadi rujukan pemikirannya. Selain merujuk pada kitab Syarh al-Bakurah lil-Khiyath, Syarh al-Syily ala risalatih, dan al-Mukhlis karya Syekh Abdurahman alMisra, juga merujuk banyak kitab hisab rukyah. Di antaranya Durar alNatwij karya Ulugh Beik, syarh al-Jafny karya Qadi Zadah al-Rumi, Hasyiah karya Maulana Muhammad Abdul Alim, al-Darur al-Tauqiqiyah dan alHidayah al-Abasiyah karya Musthafa al-Falaki, Kusyufat al-Adilah karya Judary, Syarh al-Tasyrih karya al-Dahlawy, Syarh Natijatul Miiqaat karya Marzuqy, Wasilah al-Thulab karya Muhammad al-Khitab30).
578_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Kitab pembahasan tentang hilal di antaranya al-Minhah karya Dimyathy, Ilm al-Mansyur karya al-Subkhy, al-Irsyad karya Muthi’I, Iiqazhun Niyam dan Tamziyulhaq karya Sayyid Usman, Tanbih al-Ghafil karya ibn Abidin, Thiraz al-Lal karya Ridwan Afandi, Natijatul Miiqaat karya Mahmud Afandi, Rasail al-Hilal karya Thanthawi.31) Banyak juga kitab-kitab yang berisi data-data bulan – matahari (zaij) yang dirujuknya, di antaranya al-Zaij Ulugh Beik karya ibn al-Syatir, alZaij karya ibn al-Bina, al-Zaij karya Abi al-Fath al-Shufi, al-Zaij karya Abdul Hamid al-Musy32). Dengan merujuk banyak kitab tersebut, diakhir hayat Mas Manshur al-Betawi33) meninggalkan banyak karya yang merupakan kumpulan pemikiran hisab rukyah Mas Manshur al-Betawi. Di antaranya kitab Sullam al-Nayyirain, Chulashal al-Jadwal, Kaifiyah Amal Ijtima’, Khusuf dan Kusuf, Mizanul I’tidal, Washilah al-Thulab, Jadwal Dawairul Falakiyah, Majmu Arba Rasail fi Masalah Hilal, Jadwal Faraid, dan masih banyak lagi yang intinya masalah ilmu falak dan faraid. Di antara banyak kitab tersebut, yang dapat penulis temukan hanya Sullam al-Nayyirain, Kaifiyah Amal Ijtima’, Khusuf dan Kusuf, dan Mizanul I’tidal.
G. Pemikiran Mas Manshur Merujuk pada kitab rujukannya, jelas bahwa pemikiran hisab rukyah Mas Manshur berdasarkan pada Zaij Ulugh beik al-Samarkand (wafat 804 M) yang ditalhis (dijelaskan) ayahnya Abdul Hamid bin Muhammad Damiri al-Betawi dari Syekh Abdurahman bin Ahmad al-Misra.34) Zaij Ulugh beik ini disusun berdasarkan teori Ptelomeus yang ditemukan Claudius Ptolomeus (140 M).35) jadwal tersebut dibuat oleh Ulugh Beik (1340-1449 M) dengan maksud untuk persembahan kepada seorang pangeran dari keluarga Timur Lenk, cucu Hulagho Khan.36) Namun dalam perjalanan sejarah, teori geosentris tersebut tumbang oleh teori Heliosentris yang dipelopori oleh Nicolass Copernicus (14731543). Di mana teori yang dikembangkan adalah bukan bumi yang
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _579
dikelilingi matahari, tetapi sebaliknya dan planet-planet serta satelitsatelitnya juga mengelilingi matahari. Teori ini pernah dilakukan uji kelayakan oleh Galileo Galilie dan John Keppler walaupun ada perbedaan dalam lintas planet mengelilingi matahari.37) Namun dalam lacakan sejarah hisab rukyah Islam, berkembang wacana bahwa yang mengkritik dan menumbangkan teori geosentris adalah al-Biruni.38) Dalam kitab Sullam al-Nayyirain yang asli dengan menggunakan angka-angka Arab “Abajadun Hawazun Khathayun Kalamanun Sa’afashun Qarasyatun Tsakhadhun Dhadlagun39)” yang menurut lacakan merupakan angka yang akar-akarnya berasal dari India, menunjukkan keklasikan data yang dipakainya. Dengan angka-angka itu, sistem hisabnya bermula dengan mendata al-alamah, al-hishah, al-khashshah, al-markas dan al-auj yang akhirnya dilakukan ta’dil (interpolasi) data. Sehingga dengan berpangkal pada waktu ijtima rata-rata. Interval ijtima rata-rata menurut sistem ini selama 29 hari 12 menit 44 detik. Dengan pertimbangan bahwa gerak matahari dan bulan tidak rata, maka diperlukan koreksi gerakan anamoli matahari (ta’dil markas) dan geraka anamoli bulan (ta’dil khashshah), yang mana ta’dil khashshah dikurangi ta’dil markas. Koreksi markas kemudian dikoreksi lagi dengan menambahnya ta’dil markas kali lima menit. Kemudian dicari wasat (longitud) matahari dengan cara menjumlah markas matahari dengan gerak auj (titik equinox) dan dengan koreksi markas yang telah dikoreksi tersebut (muqawwam). Lalu dengan argumen, dicari koreksi jarak bulan matahari (daqaiq ta’dil ayyam). Seterusnya dicari waktu yang dibutuhkan bulan untuk menempuh busur satu derajat (hishshatusa’ah). Terakhir dicari waktu ijtima sebenarnya yaitu dengan mengurani waktu ijtima rata-rata tersebut dengan jarak matahari bulan dibagi hisasatussa’ah).40) Meskipun metode serta algoritma (urutan logika berfikir) perhitungan waktu ijtima tersebut sudah benar, tetapi koreksi-koreksinya terlalu sederhana. Sebagai contoh sebagai dalam perhitungan irtifa’ al-hilal
580_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
(ketinggian hilal), dimana iritaf’ al-hilal dihitung dengan hanya membagi dua selisih waktu terbenam matahari dengan waktu ijtima dengan dasar bulan meninggalkan matahari kearah timur sebesar 12 derajat setiap sehari semalam (24 jam). Dari sini nampak bahwa gerak harian bulan matahari tidak diperhitungkan, hal ini dapat dimengerti karena berdasarkan pada teori Ptolomius. Padahal sebenarnya busur sebesar 12 derajat tersebut adalah selisih rata-rata antara longitud bulan dan matahari, sebab kecepatan bulan pada longitud rata-rata 13 derajat dan kecepatan matahari pada longitud sebesar rata-rata satu derajat. Seharusnya irtifa tersebut harus dikoreksi lagi dengan menghitung mathla’ul ghurub matahari dan bulan berdasarkan wasat matahari dan wasat bulan.41) Di samping itu, hisab ini tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk. Asal sebelum matahari terbenam sudah terjadi ijtima walupun hilal masih dibawah ufuk maka malam harinya masuk bulan baru. Sebagaimana diutarakan sendiri Mas Manshur : “Apabila terjadi ijtima sebelm matahari terbenam maka malam hari berikutnya termasuk bulan baru, baik terjadi rukyah maupun tidak. Dan apabila ijtima itu terjadi setelah matahari terbenam maka malam itu dan keesokan harinya masih bagian dari bulan yang telah lalu atau belum masuk bulan baru”. 42) Sistem hisab ini nampak sekali lebih menitik beratkan pada penggunaan astronomi murni, di dalam ilmu astronomi dikatakan bahwa bulan baru terjadi sejak matahari dan bulan dalam keadaan konjungsi (ijtima). Dalam sistem ini menghubungkan dengan perhitungan awal hari adalah terbenamnya matahari sampai terbenam matahari berikutnya, sehingga malam mendahului siang yang dikenal dengan sistem ijtima qablal ghurub.43) Sehingga dikenal sebagai penganut kaidah “Ijtima’unnayyirain istinbatun baina al-syahrain” (Ijtima adalah batas pemisah antara dua bulan.44) Dengan prinsip demikian, maka wajar manakala hasil dari seminar sehari Hisab Rukyah pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor, dihasilkan kesepakatan paling tidak ada tiga klasifikasi pemikiran hisab rukyah di
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _581
Indonesia, di mana kitab Sullam al-Nayyirain karya monumental Mas Manshur hanya dikatagorikan sistem hisab hakiki taqribi45), sebagaimana diakui secara gentelmant oleh pengarangnya sendiri Mas Manshur bahwa “Ini sedikit kira-kira (taqribi). Hal ini diketahui dari gerak bulan pada orbitnya sehari semalam dengan satuan derajat dan jam”.46) Namun
demikian,
sistem
hisab
Sullam
al-Nayyirain
yang
merupakan akumulasi pemikiran Mas Manshur tersebut masih banyak dipergunakan dasar oleh masyarakat muslim Indonesia di antaranya keluarga besar Yayasan al-Khairiyah al-Manshuriyyah Jakarta dan Pondok Pesantren Ploso Mojo Kediri.
H. Kesimpulan 1. Pemikiran hisab rukyah Mas Manshur al-Betawi pada dasarnya merupakan pemikiran hisab rukyah dari hasil jaringan ulama dengan ulama Arab di antaranya dengan Syekh Abdurahman al-Misra. 2. Pemikiran hisab rukyah Mas Manshur al-Betawi menggunakan teori Ptolomeus yang berprinsip geosentris, yang menurut sejarah keilmuan telah tumpang oleh prinsip heliosentris. Sehingga wajar manakala hasil perhitungannya termasuk hisab hakiki taqribi. 3. Namun demikian masih dipergunakan sebagai dasar oleh sebagian masyarakat muslim Indonesia, di antaranya keluarga besar Yayasan al-Khairiyah al-Manshuriyyah Jakarta dan Pondok Pesantren Ploso Mojo Kediri.
582_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Daftar Pustaka
Abdurrahim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, 1983 Amin, A. Mansyur, et. Al., Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik, Amir, Muallim Dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999 , Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teeori dan Praktek, Yogyakarta : Titian Illahi Press, 1997 Amin, KH Ma’ruf, Rukyah Untuk Penentukan Awal dan Akhir Ramadhan Menurut Pandangan Syari’ah dan Sorotan IPTEK, dalam Mimbar Hukum, Jakarta : Dirjen Binbaga Depag Ri, 1993 Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999 Abdul Hamid, Muhammad Mas Manshur al-Batawi, Sullam al-Nayyirain, Jakarta: Madrasah Al-Khairiyah, t.th. ---------------------------------------------------, Madrasah Al-Khairiyyah, t.th.
Mizanul
I’tidal,
Jakarta
:
Ali, Abdul Wahd Wafi, Perkembangan Madzhab Dalam Islam, Jakarta : Minaret, 1989 Ahmad SS Noor, Nurul Anwar, Kudus: TBS Kudus, t.th. , Syamsul Hilal, Kudus: TBS Kudus, t.th. Al-Buchori, Muhammad bin Ismail, Matan al-Buchori, Kairo : Dar al-Ihya al Kutub al Arabiyah, t.th Carlo, Alfonso Nallino, Ilmu Falak wa Tarjih Inda al-Arab, Roma, 1911 Elias, Alies, Pockeet Dictionary, Kairo: Elias Modern Press, 1970. Al-Falaky, Muhammad, Haul Asbab Ikhtilaf Awail al-Syukur al-Al-Hayyan, Al-Bahr al Muhith, Kairo : Beirut, t.th.
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _583
al-Farghani, Astonomical Club, Mawaqit Islamic Keeping, Copyright : 1992-1993
Al-Ghozaly, Al-Mustash fa min illm al-Ushul, Kairo : Sayyid al-Husain, t.th. Al-Jaziry, Abdurrahman, Fikih Ala Madzahib Al-Arba’ah, Kairo : Beirut, t.th. Muhammad, Al-Bahy, Pemikiran Islam dan Perkembangannya, Jakarta : Risalah, 1985 Nasir, Arsyad M, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Bandung : Mizan, 1989 Susiknan, Azhari, Saadoeddin Djambek dalam Sejarah Hisab di Indonesia (thesis), Yogyakarta: Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 1341 H. Al-Syarwani, Hasyiah Syarwani, Kairo : Beirut, t.th Syihabuddin, Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, Kairo : Beirut, t.th. Taqiyuddin, Al-Subkhi, Fatawa al-Subkhy, Beirut : Dar al-Maarif, t.th Umar,Al-Jaelani Zubaer, al Khulashoh al-Wafiyah, Kudus: Menara Kudus, t.th Qomariyah, dalam Dirasat Haul Tauhid al-Ayyad waa al-Mawasim alDiniyah, Tunisia: Idarah Su’un al-Diniyah, 1981. Al-Qulyubi, Syihabuddin, Hasyiah Al Minhaj al Thalibin, Kairo : Musthafa al-Baby al-Halaby, 1956 Al-Yasa, Abu Bakar, Methode Istimbath Fikih di Indonesia (Kasus-Kasus Muzakarah Al-Azhar) (thesis), Yogyakarta: Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogayakarta, 1987
584_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Endnotes
1. Sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra, Islam Reformis, Dinamika Intelektual Dan Gerakan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.th., h. 197, bandingkan Karel Steenbrink, dalam Mark R. Woodward, A New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought, Terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, 1998, Cet. I.
2. Martin Van Bruinessen, Mencari Ilmu Dan Pahala di Tanah Suci Orang Nusantara Naik Haji, dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji, Jakarta: INIS, 1997, h. 121.
3. Ibid., h. 123. 4. Taufik adalah pakar hisab rukyah Indonesia yang dulu pernah menjbat sebagai Direktur Badan Hisab Rukyah Indonesia dan sekarang menjabat sebagai wakil ketua Mahkamah Agung. Pendapat beliau, penulis temukan dalam makalah Mengkaji Ulang Metode Hisab Rukyah Sullamun Nayyirain dalam Orientasi Hisab Rukyah yang diselenggarakan oleh PTA Jawa Timur tanggal 9-10 Agustus 1997.
5. Tiga klasifikasi itu adalah: Pertama, Pemikiran hisab rukyah yang keakurasiannya rendah, yakni hisab hakiki taqribi. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah Sullamun Nayyirain (Muhammad Manshur), Tadzkiratul Ikhwan (Dahlan Semarang), Al-Qawaidul Falakiyyah (Abdul fatah), Asysyamsu wal Qomar (Anwar Katsir), Risalah Qomarain (Nawawi Muhammad), Syamsul Hilal (Nor Ahmad) dan masih banyak lagi. Kedua, Pemikiran hisab rukyah yang keakurasiannya tinggi namun klasik yakni hisab hakiki tahkiky. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah Al-Khulashatul Wafiyyah (Zubaer Umar al-Jaelany), Al-Matla al-Said (Husain Zaid ), Nurul Anwar (Noor Ahmad), dan masih banyak lagi. Ketiga, Pemikian hisab rukyah yang keakurasiannya tinggi kontemporer, seperti Almanak Nautika (TNI AL Dinas hindro Oseanografi), Ephemeris (Depag RI), Islamic Calender (Muhammad Ilyas) dan masih banyak lagi.
6. Di saat Andi Rusydianah sebagai Dirjen Depag RI, banyak mengeluarkan kebijakan yang merugikan seperti keluarknya mata kuliah ilmu falak
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _585 dari kurikulum nasional, lihat dalam Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Melinium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, cet. I, h. 203.
7. Pada dasarnya banyak kitab karya Muhammad Mas Manshur, di antaranya Sullamun Nayyirain, Chulasatul Jadwal, Kaifiyatul Amal ijtima, Chusuf wal Kusuf, Mizanul I’tidal, Washiyatut Thulab, Djadwal Dawairul Falakiyah, Majmu Arba Rasail fi Masalatil Hilal, Djadwal Faraid. Namun yang sampai sekarang penulis temukan hanya Sullamun Nayyirain dan Mizanul I’tidal.
8. Sulthan Ulugh Beik As-Samarqandy adalah tokoh Falak yang meninggal pada tahun 854 H.
9. Abajadun Hawazun Chathayun merupakan simbol untuk angka-angka. A (Alif) menunjukkan angka 1, Ba (ba’) menunjukkan angka 2, Ja (jim) menunjukkan angka 3, Dun (dal) menunjukkan angka 4 dan seterusnya. Ini merupakan simbol-simbol angka yang ada dalam data dan table kitab asli Sullamun Nayyirain.
10. Menurut sistem ini, bumi tidak bergerak dan menjadi pusat alam, sedangkan benda-benda langit lainnya bergerak mengelilingi bumi, baca Taufik, Perkembangan Ilmu Hisab Di Indonesia, Mimbar Hukum, no. 6, tahun III, 1992, h. 20.
11. B. J. Habibie, Rukyah Dengan Teknologi, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, h. 23
12. Ibid, h. 69 – 78. 13. Ibid, h. 91 – 98. 14. Muammal Hamidy, Menuju Kesatuan Hari Raya, Surabaya: Bina Ilmu, 1995, h.14.
15. Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab Rukyah, telaah Shari’ah, Sains dan Tehnologi,Jakarta: Gema insan Press, 1996.
16. Ahmad Muhammad Shakir, Awail al-Syuhur al-Arabiyyah , Cairo: Maktabah Mustafa al- Baby al-Halaby, 1939 alih bahasa KH Mahrus Ali, Menentukan Hari Raya dan Awal Puasa, Surabaya: Pustaka Progresif, 1993.
17. Susiknan Azhari, Saaddoeddin Jambek Dalam Sejarah Pemikiran Hisab di Indonesia (thesis), Yogyakarta: Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998.
586_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
18. Ilmu penelitian modern membagi peenelitian dalam lima macam yakni penelitian sejarah, penelitian deskripsi, penelitian experimental, penelitian graunded reserch dan penelitian tindakan. Salah satu ciri menonjol dari penelitian sejarah adalah ia merupakan penyelidikan mengenai pemikiran yang berkembang di zaman lampau dan mengutamakan data primer, baca Muhammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, h. 56-57.
19. Ibid, h. 62 20. Sebagaimana dalam sidang Istbat Pemerintah, walaupun data hisab alManshuriyyah termasuk klasik namu masih termasuk sebagai data hisab yang dipertimbangkan. Sekarang hisab al-Manshuriyyah dikerjakan oleh cucunya yakni KH Fatahillah dengan dibantu ustad Naksabandi dan Safrudddin Santika.
21. Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: IKIP Negeri Jakarta, t.th., h. 77.
22. Winarno Surahmad, Dasar dan Tehnik Research, Bandung: Tarsito, t.th., h. 135. 23. Analisis Kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisis dengan logika, dengan induksi, deduksi, analogi, komparasi dan sejenisnya.lihat Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, h. 95.
24. Panitia haul ke-1 almarhum KH Mas Manshur, Riwayat hidup Guru Besar KH. M. Mansur, Djakarta, t.th., h. 2
25. Ibid. 26. Muhammad Manshur al-Betawi, Mizanul I’tidal, Jakarta: t.th., h. 18 27. Asadurhaman, “Sistem Hisab dan Imkanurrukyah yang berkembang di Indonesia,” dalam Journal Hisab Rukyah, Depag RI, 2000, h. 27 – 28.
28. Muhammad Manshur al-Betawi, Ibid. 29. Ibid. 30. Ibid., h. 7 31. Ibid. 32. Ibid.
Pemikiran Hisab Rukyah Klasik _587
33. Menurut catatan sejarah dari keluarganya, Mas Manshur al-Betawi meninggal pada hari Jum’at, 2 Shafar 1387 / 12 Mei 1967 jam 16.40 wib dimakamkan di pemakaman masjid Jami al-manshur kampung sawah Jembatan Lima Jakarta, baca Panitia haul ke-1 almarhum KH Mas Manshur, ibid., h. 8
34. Mas Manhsur al-Betawi, Sullamun Nayyirain, Jakarta . t.th., h. 1 35. Temuan Ptolomeus tersebut berupa catatan-catatan tentang bintangbintang yang diberi nama Tabril Magesty yang berasumsi bahwa pusat alam terdapat pada bumi yang tidak berputar pada sumbunya dan kelilingi oleh bulan, merkurius, venus, matahari, mars, yupiter dan saturnus, yang dikenal dengan teori geosentris.
36. Umar Amin Husein, Kultur Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1964, h. 115. 37. Menurut Copernicus berbentuk Bulat, sedangkan menurut John Klepper, berbentuk elips (bulat telor), baca Ahmad Izzuddin, Fikih Hisab Rukyah di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003, h. 45-46.
38. Ahmad Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi, Yogyakarta: Dana bakti Prima Yasa, 1996, h. 9 dan baca juga dalam Husaym Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: Rosdakarya, 2001, h. 122124.
39. Annemarie Schimmel, The Mystery of Numbers, New York: Oxford University Press, 1993.
40. Mas Manhsur al-Betawi, Sullamun Nayyirain, Jakarta . t.th. 41. Taufik, Perkembangan Ilmu Hisab di Indonesia, dalam Mimbar Hukum, Jakarta: Binbapera, 1992, h. 19-21.
42. Mas Manhsur al-Betawi, Sullamun Nayyirain, h. 11. 43. Ibid. 44. Badan Hisab Rukyah Depag Pusat, Almanak Hisab Rukyah, 1981, h. 35. 45. Tiga klasifikasi itu adalah: Pertama, Pemikiran hisab rukyah yang keakurasiannya rendah, yakni hisab hakiki taqribi. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah Sullamun Nayyirain (Muhammad Manshur), Tadzkiratul Ikhwan (Dahlan Semarang), Al-Qawaidul Falakiyyah (Abdul fatah), Asysyamsu wal Qomar (Anwar Katsir), Risalah Qomarain (Nawawi Muhammad), Syamsul
588_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015 Hilal (Nor Ahmad) dan masih banyak lagi. Kedua, Pemikiran hisab rukyah yang keakurasiannya tinggi namun klasik yakni hisab hakiki tahkiky. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah Al-Khulashatul Wafiyyah (Zubaer Umar al-Jaelany), Al-Matla al-Said (Husain Zaid ), Nurul Anwar (Noor Ahmad), dan masih banyak lagi. Ketiga, Pemikian hisab rukyah yang keakurasiannya tinggi kontemporer, seperti Almanak Nautika (TNI AL Dinas hindro Oseanografi), Ephemeris (Depag RI), Islamic Calender (Muhammad Ilyas) dan masih banyak lagi.
46. Mas Manhsur al-Betawi, Sullamun Nayyirain, h. 8.
Reformasi Birokrasi pada KUA _589
Bureaucratic Reform at Religious Affairs Office
Reformasi Birokrasi pada KUA
Syahrudin dan Julaeha Rumah Moderasi Islam (RUMI) email:
[email protected]
Abstract: Bureaucratic reforms are mandated by the law, which affirmed that the bureaucracy should be run in a professional, transparent and accountable. Religious Affairs Office (KUA) as an institution under the Ministry of Religious Affairs required to have bureaucratic reform in providing excellent service to the community. Since 2013, has published various concrete steps as bureaucratic reform efforts at Religious Affairs Office. As the result, now slowly but sure Religious Affairs Office level of service quality has improved and satisfy the public. Abstraksi: Reformasi Birokrasi merupakan amanat UU, yang mana ditegaskan bahwa birokrasi harus dijalankan secara professional, transparan dan akuntabel. Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai institusi di bawah Kementerian Agama dituntut melakukan reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Sejak tahun 2013, telah terbit berbagai langkah kongkrit upaya reformasi birokrasi pada KUA. Hasilnya, kini perlahan tapi pasti tingkat kualitas pelayanan KUA telah meningkat dan memuaskan publik. Keywords: Reform, bureaucracy, excellent service
590_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
A. Pendahuluan Tak bisa dihindari, persepsi publik terhadap Kantor Urusan Agama (KUA) masih sangat rendah. Adalah ketersediaan sarana dan prasaranan yang minim serta masih adanya penyelewengan oleh “oknum.” Walhasil, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merelease hasil survei mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada tahun 2014 menunjukan skor untuk pencatatan nikah masih di bawah rata-rata diantara lembaga lain di bawah Kemenag, yakni hanya mencapai skor 5,7.1 Pro dan kontra bertemu di ruang publik. Ada mereka yang membela, tak sedikit pula yang mencoba meluruskan dengan asumsi bahwa persepsi tersbeut tidak berlaku secara general. Dalam kata lain, pelanggaran tersebut “tidak terjadi” di seluruh tempat. Faktanya, jauh lebih banyak KUA yang penuh basah dengan keringat untuk melayani wilayah dengan jangkauan sangat luas dan medan yang berat. Ada mereka yang harus menembus ganasnya ombak lautan atau terjalnya jalan pegunungan, serta jalan berlubang dan becek yang tak jarang menghempaskan kendaraan roda dua yang ditumpanginya. Beberapa pihak mencoba menempatkan hasil kajian KPK ini dalam proporsi yang tepat. Praktik tersebut diakui memang ada; bahwa ada “oknum” yang sengaja menyelewengkan jabatan untuk melakukan pungutan di luar ketentuan. Namun, sesungguhnya praktik tersebut ibarat dua sisi mata uang. Ketentuan perundang-undangan menegaskan bahwa pelaksanaan pencatatan pernikahan hanya bisa dilaksanakan di kantor KUA pada jam kerja. Pasal 17 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah menyebutkan akad nikah dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau penghulu atau pembantu PPN dari wilayah tempat tinggal calon istri. Pasal 21 malah tegas menyebutkan ‘akad nikah dilaksanakan di KUA.2 Sementara itu, mayoritas pasangan perkawinan menginginkan pencatatan pernikahan dilakukan di luar kantor KUA, bahkan di luar jam kerja. Di sinilah celah munculnya gratifikasi, dimana pasangan
Reformasi Birokrasi pada KUA _591
calon pengantin rela memberikan gratifikasi ratusan ribu hingga jutaan agar penghulu bersedia datang ke tempat dan waktu yang diinginkan mempelai. Di sinilah terlihat bahwa terdapat ketidaksinkronan antara mekanisme kerja KUA dengan keinginan masyarakat yang akan dilayani; ketidaksinkronan pemahaman kerja antara KUA dengan yang dikehendaki masyarakat. Masyarakat secara psikologis menghendaki pelayanan cepat sesuai dengan keinginan yang sudah dirancang sejak lama dan sesuai dengan hari keberuntungan, sementara mekanisme kerja KUA sudah ditetapkan sesuai urutan dan prioritas kerja. Dengan kata lain, pelayanan yang diberikan oleh KUA belum sepenuhnya dimengerti oleh masyarakat dalam arti komunikasi yang belum berakar antara KUA dengan masyarakat. Komunikasi dimaksud adalah bentuk pelayanan prima yang harusnya diberikan oleh KUA kepada masyarakat sebagai penerima jasa.3 Berdasarkan fakta di atas, maka langkah pemerintah melakukan deregulasi pencatatan nikah menjadi pilihan tepat. Regulasi pun diterbitkan dengan keluarnya Peraturan Pemerlntah (PP) No. 48 / 2014 tentang Perubahan Atas PP No. 47 / 2004 tentang tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku (PNBPB) pada Departemen Agama. Terdapat tiga hal utama yang menjadi ruh regulasi baru ini. Pertama, biaya Rp. 0 bagi pernikahan yang dilakukan di KUA pada jam kerja. Kedua, bagi penghulu yang melakukan pencatatan nikah di luar kantor, diberikan jasa transport untuk jasa profesional penghulu. Ketiga, pembayaran biaya nikah ditransfer ke rekening yang telah ditunjik. Maka, sejak Juli 2014 Kementerian Agama berkejaran dengan waktu mensosialisasikan regulasi baru ini. Pertanyaannya, apakah penerbitan regulasi ini dapat mengakhiri persepsi publik terhadap KUA? Tulisna ini hendak menjawab pertanyaan ini dan memotret sejauhmanakah langkah pemerintah dalam membenahi KUA sehingga benar-benar “ideal” untuk dapat memberikan pelayanan prima. Hal ini penting sebagai bentuk keseimbangan persepsi, bahwa KUA tidak lagi dapat dipotret dari sisi keburukannya saja, mengingat
592_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
masih ada banyak celah yang menghalangi para punggawa KUA untuk berinovasi memberi pelayanan publik.
B. Kajian Teori a. Reformasi Birokrasi Reformasi Birokrasi (RB) pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur.”4 Tujuan pelaksanaan RB adalah menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.5 Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) memberikan definisi Refromasi Birokrasi secara terperinci. Terdapat lima poin ruh RB,6 yaitu: 1. Perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. 2. Pertaruhan besar bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan abad ke-21. 3. Berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih antar fungsifungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit. 4. Menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berpikir di luar kebiasaan yang ada, perubahan paradigma, dan dengan upaya luar biasa. 5. Merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktik manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan
Reformasi Birokrasi pada KUA _593
menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspekaspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur. Berbagai hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperbaharui.7 Reformasi Birokrasi sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 – 2014. Di dalamnya dijelaskan bahwa program penataan organisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kelembagaan pemerintah pusat dan daerah secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, sehingga organisasi birokrasi menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran. Goal yang ingin dicapai adalah menurunnya tumpang tindih pelaksanaan tugas pokok dan fungsi antar organisasi perangkat daerah dan meningkatnya kapasitas kelembagaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi organisasi perangkat daerah.8 b. KUA Keberadaan KUA diatur oleh Keputusan Menteri Agama No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan. Menurut KMA tersebut, tugas KUA adalah melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten dan Kota di bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan. Dalam pasal 1 Ayat (1) PMA Nomor 11 Tahun 2007 menyatakan Kantor Urusan Agama (KUA) adalah instansi Departemen Agama yang bertugas melaksanakan
594_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
sebagian tugas Kantor Departemen Agama kabupaten/kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah kecamatan.9 Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, maka KUA melaksanakan fungsi: 1. Menyelenggarakan statsistik dan dokumentasi. 2. Menyelenggarakan surat menyurat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga KUA Kecamatan. 3. Melaksanakan pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sejarah mencatat, bahwa KUA di awal kelahirannya berada di bawah Jawatan Urusan Agama Kementerian Agama dan memiliki struktur vertikal sampai tingkat provinsi. Di wilayah Kotapraja Jakarta Raya (kini DKI Jakarta) pembentukan kantor-kantor agama dilakukan tahun 1950 diprakarsai oleh HSM Nasaruddin Latif, H. Sulaiman Rasjid dan H.Z. Arifin Datuk, yang meliputi bagian Urusan Agama, Pendidikan Agama dan Penerangan Agama.10
C. Arah Reformasi Birokrasi pada KUA 1. Pembangunan Sarana dan Prasarana KUA KUA merupakan unit terdepan dalam struktur Ditjen Bimas Islam dan berkedudukan di kecamatan. Hingga akhir tahun 2013, jumlah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan mencapai 5.382. Sejak terakhir penambahan jumlah KUA pada tahun 2010 sejumlah 347, Kementerian Agama belum menambah kembali jumlah KUA.11 Menurut data Direktorat Urusan Agama Islam dan Binsyar, KUA yang berjumlah 5.382 diseluruh Indonesia harus melayani pencatatan
Reformasi Birokrasi pada KUA _595
peristiwa nikah setiap tahunnya + 2,3 juta pasang pengantin. Angka ini sangat besar. Bahkan, ada beberapa KUA yang harus melayani lebih dari 200 peristiwa nikah setiap bulannya. Meskipun peristiwa nikah yang harus dilayani cukup banyak, namun hal ini belum sepenuhnya didukung oleh ketersediaan sarana gedung secara menyeluruh. Dari 5.382 KUA yang ada pada saat ini, 5.138 (95%) KUA sudah mempunyai gedung sendiri, sementara 244 (5%) KUA pada saat ini belum mempunyai gedung atau masih sewa kepada pihak lain. Sementara itu kondisi gedung KUA yang sudah dibangun, yang kondisinya dalam keadaan baik 4.093 (80%), sementara 776 (15%) lainnya dalam keadaan rusak ringan dan 269 (5%) di antaranya kondisinya pada saat ini dalam keadaan rusak berat. Sedangkan Usia bangunan dari masing-masing gedung KUA dapat dikategorikan sebagai Usia 1-5 tahun (21%), 6-10 tahun (21%), 10-15 tahun (14%), 15-20 tahun (19%), dan lebih dari 20 tahun (32%).12
Gambar.1 Perkembangan Kantor Urusan Agama
596_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Gambar.2 Kondisi Gedung KUA Menanggapi masih adanya geudng KUA yang masih sewa atau memiliki gedung, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI tahun 2015 telah melakukan terobosan penting dengan menyediakan anggaran pembangunan gedung KUA melalui skim SBSN (Surat Berharga Syariah Nasional). SBSN atau sukuk negara ini adalah suatu instrumen utang piutang tanpa riba sebagaimana dalam obligasi, di mana sukuk ini diterbitkan berdasarkan suatu aset acuan yang sesuai dengan prinsip syariah.Kebijakan strategis ini mendukung kebijakan makro pemerintahan JOKOWI-JK yang ingin meningkatkan kualitas layanan publik melalui pembangunan infrastruktur.13 2. Menyajikan Data AktualPeristiwa Nikah Menyajikan data aktualperistiwa nikah merupakan terobosan besar dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas. Tersedianya data aktual memudahkan bagi pemantauan, baik oleh publik maupun instansi Kementerian Agama itu sendiri. Data aktual ini disajikan dalam
Reformasi Birokrasi pada KUA _597
Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH). Embrio SIMKAH telah lahir sejak tahun 2006-2007. Pada awal kelahirannya, SIMKAH dikemas berbasis web, kemudian berbasis desktop, dan saat ini telah berkembang dengan basis desktop maupun online (web) yang dapat dilihat melalui web bimasislam.kemenag.go.id.14 Pembangunan SIMKAH bertujuan membangun perbaikan layanan pendaftaran, validasi data, pengisian blangko NB, print-out buku nikah, dan sajian data peristiwa nikah secara nasioal. Selain akan memudahkan proses dokumentasi, SIMKAH akan menjadi filter pertama dalam mendeteksi seseorang melakukan peristiwa nikah lebih dari stau kali.15 Berdasarkan data yang masuk melalui database Ditjen Bimas Islam, dari total 5.328 KUA di seluruh nusantara sebanyak sekitar 1200 KUA telah online, dan diperkirakan lebih dari separuhnya telah menggunakan SIMKAH secara offline untuk pelayanan. Kondisi ini akan terus berkembang dan ditargetkan pada tahun 2016, seluruh KUA telah online kecuali KUA yang belum dapat ada fasilitas online karena infrastruktur daerah yang belum memadai.16 Kelahiran SIMKAH pun tak berhenti hanya di situ. Guna meningkatkan sinergi antar lembaga sebagaimana dicita-citakan pemerintahan saat ini, Kementerian Agama dan Kementerian dalam Negeri ingin menandatangani MoU dalam pencegahan korupsi pelayanan nikah dan pertukaran data untuk menyederhanakan layanan persyaratan pencatatan nikah. Dengan adanya MoU ini, KUA dapat mengakses data NIK (Nomor Induk Kependudukan) yang ada di DUKCAPIL (Kependudukan dan Catatan Sipil). Begitupun sebaliknya, DUKCAPIL dapat mengakses data KUA yang terkait dengan pernikahan. Dengan demikian, siapapun tak lagi harus meminta N1 – N7 di kelurahan untuk melihat data peristiwa nikah, karena semuanya sudah tersedia dalam SIMKAH.17 Begitu pula, kerjasama ini memudahkan para calon pengantin mengakses secara online tanpa harus datang ke kantor desa.
598_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
3. Layanan Terpadu Berbasis Online Semangat RB telah mendorong para punggawa KUA untuk berinovasi memberikan kualitas layanan prima. Salah stuny dengan menyediakan layanan online. Dengan berkembangnya teknologi, hal ini mendorong kebutuhan akan akses yang mudah dan cepat KUA. Sebelum tersedianya pelayanan inline, masyarakat mengurus pendaftaran nikah sangat ribet dan berbelit. Mengurus surat keterangan menikah di tempat lain atau mengurus persyaratan nikah adalah sesuatu yang menjenuhkan, harus kesana dan kemari, belum lagi biaya yang terkadang membengkak. Inilah faktor yang menghambat kepusan publik terhadap layanan KUA. Selain memberi kemudahan akses kepada masyarakat dalam mengurus berbagai keperluannya, layanan online juga memperkuat sistem tata kelola pencatatan sebagai bentuk tertib administrasi sebagaimana amanat Reformasi Birokrasi (RB). Harus diakui, salah satu titik lemah KUA adalah tata administrasi dan dokumentasi yang belum mencerminkan akuntabilitas dan transparan. Akibatnya, proses pelayanan tidak sepenuhnya terdokumentasikan secara baik dan benar. Padahal, seluruh layanan harus terdokumentasikan secara baik dan benar, sebagai bagian dari akuntabilitas dan transparansi. Namun, kini beberapa KUA telah melakukan terobosan dengan menyediakn layanan online. KUA Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon misalnya, kini memiliki alamat layanan online di http://www. kuagunungjati.co.nr/. Di sini seluruh layanan tersedia, diantaranya e-registrasi, e-daftar nikah, e-saran, e-survey, e-andon nikah dan lainnya. Bagi yang membutuhkan layanan selain pencatatan nikah, juga tersedia aplikasi online seperti pengaduan, informasi perwakafan, kajian keagamaan dan lainnya. bahkan, bagi masyarakat yang hendak berkunjung ke KUA disediakan juga free hotspot yang cukup besar kapasitasnya.
Reformasi Birokrasi pada KUA _599
Selain menggunakan domain berbayar, ada banyak KUA yang menggunakan blogspot sebagai basis layanan online. Jika kita membuka google akan ditemukan beberapa alamat seperti kua-purwokertotimur. blogspot.com, kuakatikutana.blogspot.com, kuapelayanganjambi. blogspot.com, kua-banyumas.blogspot.com. hal ini menujukkan bahwa dorongan menyediakan layanan online sangat tinggi. KUA Kecamatan Bandung Kidul Kabupaten Bandung misalnya, kini memiliki alamat blog, http://kuabandungkidul.blogspot.com/. Dalam website ini telah menyajikan berbagai pelayanan kebimasislaman, terutama perkawinan, hisab-tukyat dan zakat wakaf. Untuk layanan perkawinan, layanan yang disediakan diantaranya konsultasi keluarga (BP4), pendaftaran rencana nikah, serta sosialisasi regulasi terkait perkawinan. Adapun untuk pelayanan hisab rukyat, jasa yang diberikan diantaranya pengecekan/pengukuran arah kiblat masjid, musholla dan lainya serta konsultasi seputar Hisab dan Rukyat. Untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses prosedur, pihak KUA menyertakan syarat-syarat untuk memperoleh pelayanan pengukuran arah kiblat, yaitu :1) Untuk masjid, mushola atau rumah pribadi, mengajukan surat permohonan kepada koordinator Sertifikasi Arah Kiblat KUA Bandung Kidul dengan diketahui Lurah setempat, 2) Untuk kantor dinas instansi/perusahaan, mengajukan surat permohonan pengukuran dengan ditandatangani pimpinan kantor yang bersangkutan. Menyediakan layanan berbasis online merupakan sebuah terobosan besar bagi dunia KUA untuk mendongkrak kualitas layanan kepada publik. Sebagai sebuah lembaga pemerintahan, tentunya inovais ini harus didorong lebih profesional melalui penyediaan anggaran guna membangun sistem online yang lebih baik. 4. Transparansi dan Akuntabilitas Pendaftaran Nikah Amanat RB yang mengamanatkan transparansi dan akuntabilitas telah dijabarkan dalam regulasi pencatatan nikah pada KUA. Setelah
600_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
beberapa kejadian tentang gratifikasi pada KUA mencuat, pemerintah dengan cepat membuat regulasi yang mendorong terbangunya nuansa birokrasi yang transparan dan akuntabel. Maka, kita dapat melihat perubahan besar itu adalah tarif biasaya nikah dan prosedur pembayaran biasaya nikah. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Agama, telah menggariskan bahwa pendaftaran dan biaya nikah tak ada lagi ruang gratifikasi. Pada pasal 5 (lima) disebutkan: 1.) Setiap warga Negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk. 2.) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini. 3.) Terhadap warga Negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/ atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah). Berdasarkan pertauran di atas, bahwa biaya pernikahan terbagi menjadi dua, yaitu: 1) gratis atau nol rupiah jika proses nikah dilakukan pada jam kerja di Kantor Urusan Agama (KUA); dan 2) dikenakan biaya enam ratus ribu rupiah jika nikah dilakukan di luar KUA dan atau di luar hari dan jam kerja. Untuk memberikan pemahaman dan memastikan tidak ada lagi pungutan biaya (gratifikasi) di luar ketentuan, berikut ini alur pelayanan nikah: 1. Calon pengantin mendatangi RT/RW untuk mengurus surat pengantar nikah untuk dibawa ke kelurahan.
Reformasi Birokrasi pada KUA _601
2. Calon pengantin mendatangi kelurahan untuk mengurus surat pengantar nikah (N1 – N4) untuk dibawa ke KUA (Kecamatan). a.) Jika pernikahan dilakukan di luar Kecamatan setempat, maka calon pengantin mendatangi KUA(Kecamatan) setempat untuk mengurus surat pengantar rekomendasi nikah untuk dibawa ke KUA (Kecamatan) tempat akad nikah. b.) Jika waktu pernikahan kurang dari 10 hari kerja, maka calon pengantin mendatangi Kantor Kecamatan tempat akad nikah untuk mengurus surat dispensasi nikah. 3. Calon pengantin mendatangi Kantor KUA (Kecamatan) tempat akad nikah untuk melakukan pendaftaran nikah. a.) Jika pernikahan dilakukan di KUA (Kecamatan), maka calon pengantin tidak dikenakan biaya alias gratis. b.) Jika perikahan dilakukan di luar KUA (Kecamatan), maka calon pengantin mendatangi Bank Persepsi yang ada di wilayah KUA tempat menikah untuk membayar biaya nikah sebesar Rp. 600.000,- lalu menyerahkan Slip Setorannya ke KUA tempat akad nikah. 4. Calon pengantin mendatangi KUA (Kecamatan) tempat akad nikah untuk melakukan pemeriksaan data nikah calon pengantin dan wali nikah. 5. Calon pengantin melaksanakan akad nikah, di KUA (Kecamatan) atau Lokasi Nikah, untuk kemudian diakhiri dengan penyerahan buku nikah.18 Pasal 6 PP tersebut juga ditegaskan bahwa seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian agama wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara. Di sinilah kita melihat bahwa akses bagi terjadinya gratifikasi yang sebelumnya dituduhkan menjadi biang keladi, telah ditutup. Harus diakui inilah terobosan brilian, meski dalam pelaksanaannya maish perlu perbaikan pada beberapa hal teknis.
602_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
D. Penutup Perubahan nomenklatur PNS menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan bagian integral dari reformasi birokrasi. Ada banyak ketentuan yang berubah, diantaranya standar kompetensi, pelayanan hingga tunjangan kinerja. Intinya, nomenklatur ASN menempatkan para abdi negara sebagai pelayanan prima kepada masyarakat. Reformasi birokrasi bercita-cita melahirkan iklim birokrasi yang berorientasi pada pelayanan prima dan out put. Tidak ada lagi istilah “bekerja apa adanya”, kerja nggak kerja tetap digaji. Setiap ASN dituntut menentukan sasaran kinerjanya dalam setahun dan sistem penilaian akan diukur sejauhmana ia dapat mewujudkan rencana kinerjanya tersebut. Di titik ini saya optimis bahwa ASN akan mengalami seleksi alam; mereka yang kompeten akan siap berkompetisi mewujudkan birokrais yang profesional, transparan dan akuntabel. Sebaliknya, tanpa kompetensi, maka ia akan tersisih dengan sendirinya. KUA dengan pelayanan prima kini tak lagi sebuah mimpi. Setidaknya, KUA Kecamatan Gunung Jati telah membuktikan bahwa dengan semangat dan sinergi akan melahirkan berbagai inovasi dan kreasi guna mewujudkan KUA profesional, transparan dan akuntabel.
Reformasi Birokrasi pada KUA _603
Daftar Pustaka
Dr.
H. Thobib Al-Asyhar, M. Si., “SIMKAH, Cara BaruPelayananAdministrasiNikah di Era Digital,” dalamhttp:// bimasislam.kemenag.go.id/post/opini/simkah-cara-barupelayanan-administrasi-nikah-di-era-digital (diunduh 23 Januari 2015)
Drs. H. Khairil Anwar, “Pelayanan Prima Dalam Tata Pemerintahan KUA Kecamatan.” http://bdkbanjarmasin.kemenag.go.id/index. php?a=artikel&id=136 (diunduh 20 Juli 2015) Fuad Nasar, “Jejak KUA dalamSejarah,” dalam Majalah Bimas Islam No. 1 2014 PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentangPencatatanNikah LampiranPeraturanMenteriPendayagunaanAparatur Negara danReformasiBirokrasi No.20Tahun 2010 tentang Road Map ReformasiBirokrasi 2010-2014. PeraturanMenteri Negara PendayagunaanAparatur Negara Nomor: PER/15/M.PAN/7/2008tentangPedomanUmumReformasiBirokrasi. http://radarpena.com/read/2015/06/18/20368/6/2/Pelayanan-PencatatanNikah-di-KUA-Masih-Rendah http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50e822be2dbde/ketikaintegritas-layanan-kua-sangat-rendah http://blog.sivitas.lipi.go.id/blog.cgi?isiblog&1253275195&&&103600629 0&&1351657451&ayur001& (diunduhtanggal 4 September 2015) http://www.menpan.go.id/kedeputian-reformasi-birokrasi/530-maknadan-tujuan (diunduhtanggal 4 September 2015) http://bimasislam.kemenag.go.id/
604_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Endnotes
1. http://radarpena.com/read/2015/06/18/20368/6/2/Pelayanan-PencatatanNikah-di-KUA-Masih-Rendah
2. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50e822be2dbde/ketikaintegritas-layanan-kua-sangat-rendah
3. Drs. H. Khairil Anwar, “Pelayanan Prima Dalam Tata Pemerintahan KUA Kecamatan.” http://bdkbanjarmasin.kemenag.go.id/index. php?a=artikel&id=136 (diunduh 20 Juli 2015)
4. http://blog.sivitas.lipi.go.id/blog.cgi?isiblog&1253275195&&&1036006290& &1351657451&ayur001& (diunduhtanggal 4 September 2015)
5. http://www.menpan.go.id/kedeputian-reformasi-birokrasi/530-makna-dantujuan (diunduhtanggal 4 September 2015)
6. Ibid 7. PeraturanMenteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum ReformasiBirokrasi.
8. Lampiran Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
9. PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Pasal 1 ayat 1. 10. FuadNasar, “Jejak KUA dalam Sejarah,” dalam Majalah Bimas Islam No. 1 2014
11. http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/muchtar-ali-tingkatkankualitas-layanan-standardisasi-kua-mutlak-dilaksanakan
12. Data padaDirektoratUrusan Agama Islam Tahun 2014 13. http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/kua-nogosari-boyolali-salahsatu-proyek-percontohan-melalui-sbsn-2015
14. Dr.
H.
Thobib
Al-Asyhar,
M.
Si.,
“SIMKAH,
Cara
Reformasi Birokrasi pada KUA _605 BaruPelayananAdministrasiNikah di Era Digital,” dalamhttp://bimasislam. kemenag.go.id/post/opini/simkah-cara-baru-pelayanan-administrasinikah-di-era-digital (diunduh 23 Januari 2015)
15. Ibid 16. Ibid 17. http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/integrasi-simkah-siaksederhanakan-layanan-administrasi-kependudukan (diunduh 4 Juli 2015
18. Bimasislam.kemenag.go.id
606_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Pedoman Transliterasi
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413
414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012
Ketentuan Tulisan _607
A. Ketentuan Tulisan 1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf, dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait pengembangan masyarakat Islam lainnya. 2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17 halaman dengan spasi satu setengah. 3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords . Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah. 4. JUDUL a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak melebihi 18 kata. b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan alamat e-mail dicetak di bawah judul. c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata) ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf miring. d. Tulisan menggunakan endnote e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama pengarang dengan ketentuan sebagai berikut: • Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota Penerbit: Penerbit. • Untuk karangan dalam buku dengan banyak kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
608_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.III 2015
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415
Penerbit: Penerbit. Halaman. • Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah, Volume (Nomor): Halaman. • Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ). Tanggal mengakses karangan tersebut. 5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar tersendiri dengan kualitas yang baik. 6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/ flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam (
[email protected]).