LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA
ANALISIS PRAKTIK PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA OLEH GURU BIMBINGAN DAN KONSELING PADA SMP YANG BERBASIS AGAMA DI KOTA SEMARANG
Oleh : 1. dr. ZAENAL SUGIANTO, M.Kes (KETUA) 2. SUHARYO, S.KM, M.Kes (ANGGOTA)
Dibiayai DIPA: Nomor Kontrak 028/006.2/PP/SP/2010 Direktorat Jenderla Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan nasional Melalui Kopertis Wilayah VI
FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG 2010
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN HASIL PENELITIAN DOSEN MUDA 1. a. Judul Penelitian
: Analisis Praktik Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja Oleh Guru Bimbingan dan Konseling pada SMP yang Berbasis Agama di Kota Semarang b. Bidang Penelitian : Kesehatan 2. Ketua Peneliti : a. Nama Lengkap dan Gelar : dr. Zaenal Sugiyanto, M.Kes b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Golongan Pangkat dan NPP : - / 0686.11.1997.115 d. Jabatan fungsional : Asisten Ahli e. Jabatan Struktural : Ka. Prodi S-1 Kesehatan Masyarakat f. Fakultas / Program Studi : Kesehatan / Kesehatan Masyarakat 3. Jumlah Anggota Peneliti : 1 orang 4. Lokasi Penelitian : SMP Kota Semarang 5. Waktu Penelitian : 5 bulan 6. Biaya Penelitian : Rp. 8.500.000,00 Semarang, 20 September 2010 Mengetahui, Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang
Ketua Peneliti,
(DR. dr. Sri Andarini Indreswari, M.Kes) (dr. Zaenal Sugiyanto, M.Kes) NPP. 0686.20.2007.346 NPP. 0686.11.1997.115 Menyetujui, Ketua LP3M Udinus
Tyas Catur Pambudi, S.Si, M.Kom NPP. 0686.11.1994.046
RINGKASAN Analisis Praktik Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja Oleh Guru Bimbingan dan Konseling pada SMP yang Berbasis Agama di Kota Semarang Sampai saat ini masih terdapat permasalahan KRR di Jawa Tengah terutama di Kota Semarang seperti KTD, Aborsi, dan PMS. Hal ini tidak terlepas dari pengetahuan, sikap, dan persepsi remaja tentang KRR yang kurang benar. Dan salah satu penyebab masalah tersebut adalah kurangnya informasi yang benar tentang KRR untuk remaja. Sekolah sebagai institusi pendidikan yang efektif menjangkau remaja seharusnya ikut berperan dalam memberikan pendidikan KRR kepada anak didiknya. Praktik pendidikan dapat dilakukan guru Bimbingan dan Konseling (BK), namun faktor budaya seperti norma agama sedikit banyak mempengaruhi kuantitas maupun kualitas pendidikan tersebut. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan menjelaskan praktik pendidikan kesehatan reproduksi remaja oleh guru BK pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang dan faktor-faktor apa saja yang berperan dalam praktik tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Subjek penelitian utama adalah 8 guru BK di 8 SMP yang berbasis agama. Triangulasi dilakukan dengan menggunakan sumber antara lain kepala sekolah dan siswa. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam, selain itu dilakukan observasi terhadap terhadap sarana pembelajaran. Analisis data dilakukan dengan menggunkan jenis content analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pendidikan atau pelatihan tentang pendidikan KRR bagi guru BK SMP berbasis agama belum merata dan frekuensinya kurang. Seluruh informan telah melaksanakan pendidikan KRR tetapi pelaksanaannya belum baik, metode, frekuensi, dan materinya belum sesuai kebutuhan atau masalah KRR yang dihadapi siswa. Sebagian besar informan sudah mengetahui tentang program pendidikan KRR namun secara detail pengetahuan tentang materi, metode, dan perannya sebagai guru BK dalam pendidikan KRR belum baik. Persepsi dan sikap sebagian besar informan sudah baik, mereka menerima dengan positif dan mendukung pendidikan KRR untuk siswa SMP. Belum semua SMP berbasis agama mempunyai sarana pendidikan KRR yang baik seperti buku, CD, majalah, dan alat peraga tentang KRR. Sebagian besar pimpinan SMP berbasis agama sudah melakukan upaya yang mendukung program pendidikan KRR tetapi belum optimal. Disarankan kepada dinas terkait yaitu kesehatan dan pendidikan serta BKKBN untuk berkoordinasi untuk meningkatkan keterampilan guru BK di bidang KRR melalui pelatihan yang merata, menyediakan sarana pembelajaran KRR untuk SMP berbasis agama yang sesuai, dan melakukan advokasi kepada pimpinan sekolah agar terus mendorong pelaksanaan program KRR di sekolahnya masing-masing. Pimpinan sekolah mendorong keberlangsungan pelaksanaan pendidikan KRR melalui kebijakan yang berdasarkan peraturan yang berlaku. Perlu penelitian lebih lanjut tentang model pendidikan dan bahan ajar yang sesuai untuk siswa SMP yang berbasis agama. Kata kunci: Pendidikan KRR, SMP berbasis agama, Guru BK
3
PRAKATA Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah. SWT dan dengan segala rahmat serta ridhlo-Nya sehingga tersusunlah laporan penelitian dosen muda dengan judul Analisis Praktik Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja Oleh Guru Bimbingan dan Konseling pada SMP yang Berbasis Agama di Kota Semarang . Laporan penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi dan referensi yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memerlukan.. .Tidak lupa peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional melalui Kopertis wilayah VI yang telah membiayai pelaksanaan penelitian ini, kemudian Ibu Dekan Fakultas Kesehatan yang telah memberikan dorongan dan motivasinya, tidak lupa peneliti mengucapkan terimakasih juga kepada Kepala Dinas Pendidikan Kita Semarang atas ijin penelitiannya serta rekan-rekan mahasiswa peminatan Epidemiologi yang telah ikut membantu dalam pengumpulan data. Semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca khususnya peneliti lain. Peneliti merasa penelitian ini masih banyak kelemahan dan kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan oleh peneliti.
Semarang, September 2010
Peneliti
4
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Laporan ...............................................................................
i
Ringkasan ............................................................................................................. ii Prakata .................................................................................................................. iii Daftar Isi .............................................................................................................
iv
Daftar Tabel .........................................................................................................
v
Daftar Bagan .......................................................................................................
vi
Daftar Lampiran ..................................................................................................
vii
Bab I Pendahuluan ............................................................................................
1
Bab II Tinjauan Pustaka ......................................................................................
4
Bab III Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 17 Bab IV Metode Penelitian .................................................................................... 19 Bab V Hasil dan Pembahasan .............................................................................
25
Bab VI Kesimpulan dan Saran ............................................................................. 41 Daftar Pustaka ......................................................................................................
43
Lampiran
5
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Definisi Operasional Variabel Penelitian ......................................
20
6
DAFTAR BAGAN Bagan 1.
Teori Lawrence Green ................................................................... 12
Bagan 2.
Kerangka Aplikasi Teori L. Green & M.W Kreuter dalam Hal Kesehatan Reproduksi Remaja ...................................................... 16
Bagan 3.
Kerangka Konsep ..........................................................................
19
7
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Instrumen Penelitian
Lampiran 2.
Personalia Penelitian
Lampiran 3.
Rekomendasi Ijin Penelitian
8
BAB. I PENDAHULUAN Di seluruh dunia anak-anak remaja baik laki-laki maupun perempuan mengalami berbagai masalah kesehatan reproduksi seperti kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), penyakit menular seksual (PMS) termasuk infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Menurut World Health Organization (WHO) setengah dari infeksi HIV di seluruh dunia terjadi pada orang muda yang berusia di bawah 25 tahun. Kurang dari 111 juta kasus infeksi menular seksual diderita oleh kelompok usia di bawah 25 tahun. Remaja memang sangat berisiko tinggi terhadap PMS termasuk HIV& acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), karena terbatasnya pengetahuan mereka tentang HIV&AIDS dan pencegahannya. Setiap 5 menit remaja atau kaum muda di bawah usia 25 tahun terinfeks HIV dan setiap menitnya 10 wanita usia 15-19 tahun melakukan aborsi tidak aman. Hasil sebuah studi menyatakan bahwa lebih dari 500 juta usia 10-14 tahun hidup di negara berkembang, dan rata-rata pernah melakukan hubungan suami istri (intercourse) pertama kali di bawah usia 15 tahun. Kurang lebih 60% kehamilan yang terjadi pada remaja di negara berkembang adalah tidak dikehendaki (unwanted pregnancy) dan 15 juta remaja pernah melahirkan. (Siswandi Suwarta, 2007) Penelitian PKBI 2001 terhadap responden remaja khususnya siswa SMU dan mahasiswa yang dilaksanakan di lima kota, yakni Kupang (NTT), Palembang (Sumsel), Singkawang (Kalbar), Cirebon, dan Tasikmalaya (Jabar) yang melibatkan 2.479 responden berusia 15-24 tahun menunjukkan hasil bahwa 52,67 % responden memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi tidak memadai, karena sumber pengetahuan mereka hanya dari teman, sedangkan sebanyak 72,77% memiliki pengetahuan memadai mengenai cara penularan IMS terutama HIV/AIDS, dan sekitar 16,46% (227 orang) responden mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Dari jumlah remaja yang melakukan hubungan seks itu, sebanyak 74,89% (170 orang) melakukan dengan pacar, dan dari jumlah itu pula sebanyak 46,26 % (sekitar 78 orang) melakukan hubungan seks secara rutin 1-2 kali sebulan. Selebihnya, melakukan 1-2 kali seminggu, bahkan ada yang melakukan setiap hari. Dari responden pelaku seks aktif itu, hanya 91 orang (40,09%) yang menggunakan alat kontrasepsi, sedangkan untuk mencegah kehamilan 70,39% responden
9
mengaku menggunakan alat kontrasepsi kondom. Selain itu, sebesar 59,65% menggunakan jamu, dan selebihnya mempercayai mitos, seperti makan nenas muda, loncat-loncat, atau berjongkok setelah bersenggama. (Tjutju Turaeni, 2005) Berbagai penelitian mengenai remaja menunjukkan bahwa remaja membutuhkan informasi, terutama informasi tentang kesehatan reproduksi. Penelitian di Jakarta dan Banjarmasin menunjukkan sumber informasi kesehatan reproduksi yang paling banyak didapatkan oleh remaja adalah dari media kemudian disusul dari guru. Guru sebagai pendidik di sekolah diharapkan mampu memberikan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi remaja, terutama guru Bimbingan dan Konseling (BK) . Salah satu tugas guru BK adalah membantu memberikan pemecahan masalah bagi anak didiknya termasuk masalah kesehatan reproduksi remaja. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja berbasis sekolah merupakan salah satu cara yang efisien dalam menjangkau remaja. Agar hasil pendidikan tercapai dengan baik maka sistem tersebut didukung dengan sumberdaya pendidik yang berkompeten, kebijakan kurikulum sekolah, sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai. Oleh karena itu komunikasi, informasi, dan edukasi kesehatan reproduksi seharusnya diperkenalkan di sekolah, bahkan dimasukkan ke dalam kurikulum.(Sarwono, 2005) Namun di Jawa Tengah khususnya di Kota Semarang, hal ini masih dalam taraf wacana.(Farid Husni, 2005) Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah total penduduk propinsi Jawa Tengah selama tahun 2005 mencapai 31.896.114 jiwa. Dari jumlah tersebut ternyata remaja umur 10-14 tahun mencapai 5%, umur 15-19 tahun mencapai 8,9% dan remaja umur 20-24 tahun mencapai 8%. Seperti daerah yang lain remaja di Jawa Tengah juga banyak yang sudah aktif secara seksual meski tidak selalu atas pilihan sendiri. Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan resiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi.(BKKBN, 2008) Dari survei yang dilakukan Pusat Informasi dan Layanan Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (Pilar PKBI) Jawa Tengah 2004 di Semarang mengungkapkan bahwa dengan pertayaan-pertanyaan tentang proses terjadinya bayi, Keluarga Berencana, cara-cara pencegahan HIV/AIDS, anemia, cara-cara merawat organ reproduksi, dan pengetahuan fungsi organ reproduksi, diperoleh informasi bahwa 43,22 % pengetahuannya rendah, 37,28 % pengetahuan cukup sedangkan 19,50 % pengetahuan memadai. (Farid Husni, 2005)
10
Pada tahun 2007 jumlah remaja (umur 10-19 tahun) di Kota Semarang sebesar 251.725 dan 27,9%nya merupakan anak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang menunjukkan bahwa pada tahun 2006 terdapat 123 masalah remaja yang dilayani oleh puskesmas yang terdiri dari 10,5% masalah narkoba, 4,1% aborsi, 59,3% KTD, dan 26% masalah PMS. Sedangkan pada tahun 2007 terdapat 112 masalah remaja yang terlayani meliputi 16,9% narkoba, 32,1% aborsi, 29,5% KTD, serta 21,4% menderita PMS. Hampir 40% diantara remaja-remaja yang mempunyai tersebut adalah anak usia SMP. Masalah tersebut tidak terlepas dari kondisi pengetahuan dan persepsi yang salah tentang kesehatan reproduksi. (Dinkes Kota Semarang, 2007) Melihat permasalahan tersebut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kota Semarang melakukan berbagai upaya penyebarluasan informasi mengenai kesehatan reproduksi remaja. Salah satu programnya adalah pelatihan Orientasi Kesehatan Reproduksi Remaja bagi guru Bimbingan dan Konseling SMP pada tahun 2007. peserta yang mengikuti kegiatan tersebut berjumlah 25 guru BK dari 180 SMP yang ada di Kota Semarang. Hasil pre tes menunjukkan bahwa tidak lebih dari 50% peserta telah memberikan informasi mengenai KRR yang terbatas pada anatomi organ reproduksi selama 4 jam dalam setahun. Pengetahuan mereka tentang KRR tidak sepenuhnya baik, bahkan ada yang merasa kurang sependapat kalau materi KRR diberikan ke anak didik karena dianggap mengajari hal yang belum pantas yaitu tentang seks. Hampir semua peserta mengatakan mereka tidak mempunyai media pembelajaran untuk menyampaikan tentang KRR kepada anak didiknya dan mereka juga tidak tahu, siapa yang betanggungjawab atas pendidikan KRR di sekolahnya karena ketidakjelasan kebijakan tentang materi tersebut. Kondisi tersebut dipengaruhi juga oleh budaya Indonesia yang menganut adat ketimuran dimana masalah KRR bagi sebagian orang kurang baik dibicarakan secara terbuka. Adat dan norma agama masih menjadi bagian penting dari cara pandang orang Indonesia terutama guru BK dalam penyampaian informasi mengenai KRR untuk siswa di sekolah. (BKKBN, 2008) Dari uraian masalah KRR dan gambaran awal kondisi praktik pendidikan KRR di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang praktik pendidikan KRR oleh guru BK SMP yang berbasis agama di Kota Semarang beserta faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik tersebut. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja di Sekolah a. Pendidikan kesehatan di Sekolah Program promosi kesehatan di sekolah merupakan langkah yang strategis dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Komponen Program promosi kesehatan di sekolah meliputi pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan, kesehatan lingkungan sekolah, upaya promosi kesehatan yang terintegrasi antara sekolah dan masyarakat, pendidikan olahraga, pelayanan gizi, dan konseling. Program-program tersebut diharapkan mampu berdampak pada kesehatan siswa yang berhubungan dengan perilaku dan akhirnya berdampak pada status kesehatan dan prestasi belajar.(L.Green & M.W Kreuter, 1991) Pendidikan kesehatan, khususnya bagi murid utamanya untuk menanamkan kebiasaan hidup sehat agar dapat bertanggungjawab terhadap kesehatan diri sendiri serta lingkungannya serta ikut aktif di dalam usahausaha kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan tahap-tahap: (Soekidjo Notoatmodjo, 2005) 1) Memberikan pengetahuan tentang prinsip dasar hidup sehat. 2) Menimbulkan sikap dan perilaku hidup sehat. 3) Membentuk kebiasaan hidup sehat. Pilar utama kemitraan promosi kesehatan di sekolah terdiri dari pihak guru, petugas kesehatan, orang tua murid, dan badan atau organisasi lain yang ada di lingkungan sekolah. Guru merupakan unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan di sekolah. Guru merupakan faktor tepat untuk melaksanakan pendidikan kesehatan kepada murid-muridnya, baik melalui mata pelajaran yang terstruktur dalam kurikulum, maupun dirancang khusus dalam rangka penyuluhan kesehatan. (Soekidjo Notoatmodjo, 2005) Pendidikan kesehatan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar dapat tumbuh kembang sesuai, selaras, seimbang dan sehat baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang diperlukan bagi peranannya saat ini maupun di masa
12
yang akan datang. Tujuan pendidikan kesehatan ialah agar peserta didik: (Purnomo Ananto, 2006) 1) memiliki pengetahuan tentang ilmu kesehatan, termasuk cara hidup sehat dan teratur. 2) Memiliki nilai dan sikap yang positif terhadap prinsip hidup sehat. 3) Memiliki kebiasaan dalam hidup sehari-hari yang sesuai dengan syarat kesehatan. 4) Memiliki kemampuan untuk menalarkan perilaku hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari. 5) Mengerti dan dapat menerapkan prinsip-prinsip pengutamaan pencegahan penyakit dalam kaitannya dengan kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan sehari-hari. 6) Memiliki tingkat kesegaran jasmani dan derajat kesehatan yang optimal serta mempunyai daya tahan tubuh yang baik terhadap penyakit. Pelaksanaan pendidikan kesehatan diberikan melalui kegiatan kurikuler, dan kegiatan ekstrakurikuler. Cara melaksanakan pendidikan kesehatan pada prinsipnya adalah penanaman kebiasaan hidup bersih dan sehat yang dititikberatkan pada kebersihan pribadi dan lingkungan, adapun cara melaksanakan pendidikan kesehatan adalah melalui penyajian/ceramah dan penanaman kebiasaan. (Purnomo Ananto, 2006) Pelaksanaan pendidikan kesehatan melalui kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan di luar jam pelajaran biasa yang dilakukan di sekolah ataupun di luar sekolah dengan tujuan antara lain untuk memperluas pengetahuan dan keterampilan siswa. Kegiatan ekstrakurikuler mencakup kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan, antara lain: (Purnomo Ananto, 2006) 1) kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan buku paket pendidikan kesehatan. 2) Ceramah dan diskusi 3) Bimbingan hidup sehat 4) Lomba antar kelas Sedangkan
pendekatan
yang
dapat
dilakukan
dalam
rangka
melaksanakan pendidikan kesehatan antara lain dengan pendekatan individual dan pendekatan kelompok. Dalam proses belajar mengajar, guru dan pembina dapat menggunakan metode belajar kelompok, kerja kelompok/penugasan, 13
diskusi, belajar perorangan, pemberian tugas, pemeriksaan langsung, bermain peran, karyawisata, ceramah, demonstrasi, tanyajawab, simulasi, dramatisasi, bimbingan dan konseling.
b. Kebutuhan Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja di Sekolah. (Kristi wardani dkk, 2006) Menanggapi persoalan remaja yang kian kompleks maka pendidikan kesehatan reproduksi sudah saatnya diberikan kepada remaja, bahkan harus diberikan pada anak sejak usia dini. Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta membuktikan bahwa tentang harapan dan kebutuhan siswa tentang pendidikan Kesehatan Reproduksi menjadi sebuah kebutuhan yang dirasakan oleh remaja sekolah. Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan bahwa 63,4% responden siswa merasa bahwa mata pelajaran yang ada sama sekali tidak memberikan materi untuk memahami dan menjaga kesehatan reproduksinya. Materi BP, Penjaskes, Agama, dan Biologi belum mewakili materi kesehatan reproduksi, belum terintegrasi masih sepotong-potong, sehingga perlu diupayakan materi kesehatan reproduksi yang bisa terwakili secara utuh dan terpadu. Sebanyak 57,1% responden siswa merasa bahwa menambahkan satu mata pelajaran tidak menjadi masalah, walaupun kondisi pembelajaran di sekolah sudah dirasa padat. Sedangkan 54,7% responden menghendaki agar materi pelajaran kesehatan reproduksi itu dijadikan sebagai mata pelajaran muatan lokal, dengan alokasi waktu 2 jam dalam seminggu. Sedangkan di Jawa Tengah sudah saatnya seluruh sekolah dari SD sampai SMU baik negeri maupun swasta mempunyai kewajiban memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja kepada anak didiknya. Hal ini didasari masalah-masalah yang banyak terjadi pada remaja di Jawa Tengah khususnya masalah kesehatan reproduksinya. (Farid Husni, 2005
c. Kebijakan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja di Sekolah Menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak (UU No. 4/1979), semua orang usia di bawah 21 tahun dan belum menikah disebutkan sebagai anak-anak. Oleh karena itu berhak mendapat perlakuan kemudahan-
14
kemudahan yang memperuntukkan bagi anak (misalnya pendidikan dan perlindungan dari orang tua).(Depkes RI, 2005) Dalam UU no. 23 Tahun 1992 pada BAB V pasal 45 disebutkan bahwa kesehatan diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan sehat, sehingga peserta didik dalam dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara hamonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah menjadi bagian pendidikan kesehatan di sekolah yang termuat dalam surat Keputusan bersama 4 menteri Nomor 1/U/SKB; Nomor 1067/Menkes/SKB/VII/2003; Nomor MA/230 A/2003; Nomor 26 Tahun 2003 tanggal 23 Juli 2003 tentang Pembinaan dan pengembangan UKS.(Purnomo Ananto, 2006) Pada tahun 2000 terjadi perkembangan dukungan politis yang sangat positif terhadap program kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia. Pemerintah bersama DPR telah menyepakati bahwa program ini perlu dimasukkan dalam program pembangunan nasional (Propenas) 2000-2004, sehingga menjadi salah satu program pembangunan yang bersifat nasional. Penuangan program ini ke dalam Propenas menunjukkan tingginya komitmen serta keseriusan pihak eksekutif maupun legeslatif dalam memandang masalah kesehatan reproduksi remaja. Sebagai penjabaran Propenas 20002004 , kesehatan reproduksi remaja telah menjadi salah satu program pokok di BKKBN
dan
telah
dialokasikan
dana
pembangunan
di
seluruh
Indonesia.(BKKBN, 2003) Namun di tingkat pelaksana yaitu dinas pendidikan dan kebudayaan, belum mampu menjamin akan mengakomodasi masuknya kesehatan reproduksi dalam kurikulum, namun masih sebatas membantu menyebarkan wacana tersebut melalui pelatihan-pelatihan baik untuk siswa maupun guru. Pihak dinas P dan K mengakui bahwa pendidikan kesehatan reproduksi sudah diajarkan namun belum maksimal. Selama ini pengajaran materi kesehatan reproduksi masih bersifat inklusif, yaitu masih disisipkan ke dalam beberapa materi terkait yang mengajarkan aspek fisik dan sosial seperti biologi, penjaskes, agama, serta kegiatan ekstrakurikuler. Masih sulitnya materi pendidikan kesehatan reproduksi untuk direalisasikan, juga disebabkan oleh
15
tak adanya payung hukum atau peraturan pemerintah yang mendasari perlunya implementasi pendidikan kesehatan reproduksi, sehingga tak ada yang bertanggungjawab atas penjaminan hak-hak kesehatan reproduksi bagi remaja.(Kristi wardani dkk, 2006)
d.
Materi Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Sekolah Menengah Pertama.
(Laurike Moeliono, 2003) 1) Perkembangan Psikologi Remaja. 2) Organ Reproduksi 3) Proses Pembuahan dan Kehamilan. 4) Hak-Hak Seksual dan Reproduksi: 5) Dorongan seksual, Daya Tarik Lawan Jenis, dan Masturbasi. 6) Pacaran Sehat. 7) Kebersihan dan Kesehatan Diri. 8) Risiko Reproduksi (Anemia, Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) dan Aborsi, Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV&AIDS, Kekerasan Seksual, Perilaku Kesehatan Reproduksi Sehat).
2. Komponen Sistem Pendidikan di Sekolah Dalam PP nomor 28/1990, tentang Pendidikan Dasar disebutkan bahwa Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) yang sekarang disebu Sekolah menengah Pertama (SMP) adalah bagian pendidikan dasar yang bertujuan untuk memberikan
bekal
kemampuan
dasar
kepada
peserta
didik
untuk
mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan suatu sistem pendidikan yang berkualitas. Elemen-elemen sistem pendidikan yang menentukan mutunya meliputi
kepemimpinan (kepala sekolah),
kemampuan dan keterampilan guru, pengelolaan kurikulum, ketersediaan sarana belajar, sumber belajar, media belajar dan pelaksanaan proses belajar mengajar. (PP no. 28 tahun 1990) Berkaitan
dengan
pengembangan
sekolah
maka
menteri
bertanggungjawab dalam pengadaan, pendayagunaan, dan pengembangan
16
tenaga kependidikan, kurikulum, buku pelajaran, dan peralatan pendidikan dari satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sedangkan kepala sekolah
bertanggungjawab
administrasi
sekolah,
atas
penyelenggaraan
pembinaan
tenaga
kegiatan
kependidikan
pendidikan, lainnya
dan
pendayagunaan serta pemeliharaan sarana-prasarana. (PP no. 28 tahun 1990) Seorang kepala sekolah dituntut mampu menganalisis masalah, mampu membuat keputusan, sensitif, dan mampu membina dan menyelesaikan masalah organisasi. (Tim Redaksi Aulia, 2008)
3. Peran Guru BK dalam Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Sekolah.(Depdiknas, 2006) Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 1 butir 6 mengemukakan bahwa konselor adalah pendidik. Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan perkembangan peserta didik dengan memperhatikan kondisi sekolah. Secara khusus pengembangan diri bertujuan antara lain mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan sosial, dan kemandirian. Pengembangan diri meliputi kegiatan terprogram dan tidak terprogram. Kegiatan terprogram direncanakan secara khusus dalam kurun waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan peserta didik secara individual, kelompok, dan atau klasikal melalui penyelenggaraan layanan dan kegiatan pendukung konseling. Kegiatan tidak terprogram
dilaksanakan
secara
langsung
oleh
pendidik
dan
tenaga
kependidikan di sekolah yang diikuti oleh peserta didik baik secara rutin maupun spontan. Salah satu jenis layanan konseling adalah layanan informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjut. Dalam layanan ini termasuk layanan informasi KRR. Program pelayanan tersebut dapat dilakukan melalui program harian, mingguan, bulanan, semesteran, dan tahunan. Kegiatan pelayanan termasuk pemberian informasi yang masuk dalam jam pembelajaran sekolah dilaksanakan secara klasikal (tatap muka) dengan 17
volume 2 (dua) jam per kelas per minggu dan dilaksanakan secara terjadwal. Kegiatan di luar jam pembelajaran sekolah dilaksanakan dengan volume yang diatur oleh guru BK dan disetujui oleh pimpinan sekolah. Satu kali kegiatan layanan/pendukung konseling di luar jam pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas. Untuk mengetahui hasil kegiatan layanan oleh guru BK, maka dilakukan penilai hasil melalui penilaian segera (akhir layanan), jangka pendek (satu minggu sampai satu bulan), dan jangka panjang (satu bulan sampai satu semester). Pendidikan KRR dapat dilakukan melalui kegiatan ekstra kurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling. Kegiatan ekstrakurikuler untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai kebutuhan yang diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Jenis kegiatan ekstrakurikuler contohnya kegiatan karya ilmiah yang meliputi kegiatan ilmiah remaja, penelitian dan penguasaan keilmuan. Kegiatan ekstra lainnya adalah seminar, lokakarya, dan pameran. Kegiatan ektrakurikuler juga dapat dilakukan secara terjadwal maupun spontan. Seperti kegiatan konseling, kegiatan ekstrakurikuler juga seharusnya dilakukan penilaian tetapi hanya dilaporkan dalam satu semester.
4. Teori Perubahan Perilaku Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dapat juga diartikan sebagai kegiatan, tindakan atau jawaban. Menurut Skiner (1938), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Menurut Green, perilaku merupakan suatu tindakan yang mempunyai frekuensi, lama dan tujuan khusus, baik yang dilakukan secara sadar maupun tanpa sadar.(Notoatmojo, 2007) Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah
masalah
pembentukan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang programprogram kesehatan lainnya. Banyak teori tentang perilaku, tetapi yang digunakan pada tesis ini adalah Teori Lawrence W. Green.
18
Green mengidentifikasi tiga faktor yang mempengaruhi perilaku, baik individual maupun secara kolektif, termasuk aksi-aksi organisasional dalam kaitan dengan lingkungan, masing-masing memiliki tipe pengaruh yang berbeda terhadap perilaku:(L. Green & M. W Kreuter) a. Predisposing Factors, yaitu faktor-faktor yang mendahului perilaku yang memberikan dasar rasional atau motivasi untuk perilaku tersebut antara lain pengetahuan, persepsi, sikap, karakteristik tertentu dari guru BK dalam kaitannya dengan pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Karakteristik tersebut meliputi umur, sosio-ekonomi, pendidikan atau pelatihan, dan jenis kelamin b. Enabling Factors, yaitu faktor-faktor yang mendahului perilaku yang memungkinkan sebuah motivasi untuk direalisasikan. Yang termasuk dalam faktor ini adalah: 1) Ketersediaan sumberdaya (sarana prasarana, biaya, waktu, dan media belajar) 2) Keterjangkauan sumberdaya dapat dijangkau baik secara fisik ataupun dapat dibayar oleh guru atau sekolah, misalnya sarana pembelajaran dan media belajar. 3) Aturan-aturan masyarakat atau pemerintah; kebijakan dalam bentuk aturan yang dikeluarkan oleh dinas pendidikan atau kepala sekolah merupakan faktor pemungkin bagi guru BK untuk melaksanakan pendidikan kesehatan remaja di sekolah. c. Reinforcing Factors, yaitu faktor-faktor yang mengikuti sebuah perilaku yang memberikan pengaruh berkelanjutan terhadap perilaku tersebut, dan berkontribusi terhadap persistensi atau penanggulangan perilaku tersebut. Misalnya, dukungan dari pimpinan sekolah baik kepala sekolah atau wakilnya tentang pendidikan kesehatan reproduksi, pengaruh teman sejawat, dukungan organisasi komite sekolah, serta dukungan dari dinas pendidikan dan dinas kesehatan. d. Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi perilaku. Pelaksanaan pendidikan KRR di sekolah oleh guru juga dipengaruhi adalah keadaan masyarakat sekitar yang berkaitan dengan pandangan, agama, norma, adat, dan budaya mengenai pendidikan kesehatan reproduksi. 19
Segala perilaku dapat dijelaskan sebagai sebuah fungsi pengaruh kolektif dari ketiga tipe faktor ini. Istilah hubungan kolektif atau sebab-sebab yang berkontribusi , secara khusus penting karena perilaku adalah sebuah fenomena multidimensi. Ide ini menyatakan bahwa tidak ada sebuah perilaku atau aksi tunggal yang disebabkan oleh hanya satu faktor. Semua rencana untuk mempengaruhi perilaku harus dipertimbangkan ketiga faktor kausal tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh dan menentukan perilaku individu dan kelompok oleh L.W. Green digambarkan sebagai berikut :
Predisposing Factor: Knowledge Believe Values Attitudes Convidence Enabling Factor: Availability of health resources Accesability of health resources Community/ government law priority and commitment to health Health related skills
Reinforcing Factor: Family Peers Teacher Employers Health providers Community leaders Decision makers
Spesific behavior by individuals or by organization
Health
Environment (conditions of livings)
Bagan 1 : Teori Lawrence Green Sumber: L. Green & M. W Kreuter, Health Promotion Planning, an Educational and Environmental Approach. Ed 2, Mayfield Publishing Company, Amerika, 1991
20
e. Pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap sesuatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Manusia adalah makhluk sosial, demikian pandangan dasar para penganut teori kognitif. Tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya. Makin intelegent dan pendidikan, otomatis seseorang akan semakin baik perbuatan-perbuatannya untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan. Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku, namun hubungan positif antara kedua variabel ini telah diperlihatkan dalam penelitian-penelitian terdahulu. Pengetahuan tertentu mungkin penting sebelum suatu tindakan pribadi terjadi, tetapi tindakan yang diharapkan mungkin tidak akan terjadi kecuali apabila seseorang mendapat isyarat yang cukup kuat untuk memotivasinya bertindak atas dasar pengetahuan yang dimilikinya.(Zulazmi Namdy, 2000)
f. Persepsi.(Notoatmojo, Soekidjo, 2005 dan Nugroho J, SE, MM, 2003) Persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya sensasi, dimana pengertian sensasi adalah aktivitas merasakan atau penyebab keadaan emosi yang menggembirakan. Sensasi dapat didefinisikan juga sebagai tanggapan yang cepat dari indera penerima kita terhadap stimuli dasar seperti cahaya, warna, dan suara. Dengan adanya itu semua maka akan timbul persepsi. Pengertian dari persepsi adalah proses bagaimana stimuli-stimuli itu diseleksi, dan diinterpretasikan. Menurut william J. Stanton, persepsi dapat didefinisikan sebagai makna yang kita pertalikan berdasarkan pengalaman masa lalu, stimuli (rangsangan-rangsangan) yang kita terima melalui lima indera. Sedangkan menurut Webster, persepsi adalah proses bagaimana stimuli-stimuli itu diseleksi, diorganisasikan dan diinterpretasikan. Persepsi setiap orang terhadap suatu objek berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif. Persepsi yang dibentuk oleh seseorang dipengaruhi oleh pikiran dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, satu hal yang
21
perlu diperhatikan dari persepsi adalah bahwa persepsi secara substansial bisa sangat berbeda dengan realitas.
g. Sikap (Notoatmojo, 2005) Sikap dapat diuraikan sebagai penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau obyek. Menurut Green, Sikap adalah perasaan, predisposisi, atau seperangkat keyakinan yang relatif tetap terhadap suatu objek, seseorang atau suatu situasi. Dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tak dapat dilihat, tapi hanya dapat ditafsirkan lebih dulu perilaku tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis kemudian ditanyakan pada responden.
h. Pembuat Kebijakan (Decision Maker) Menurut G.R Terry, kepemimpinan merupakan salah satu aspek daripada fungsi penggerakan (actuating). Sehingga seorang pemimpin harus mampu mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja keras untuk mencapai tujuan bersama. Pada organisasi Sekolah Menengah Pertama, seorang kepala sekolah merupakan seorang pemimpin yang harus memiliki kemampuan, salah satunya adalah kemampuan manajerial antara lain: (Sukarna, 1990) 1) Menyusun perencanaan sekolah untuk berbagai tingkatan perencanaan. 2) Mengembangkan organisasi sekolah sesuai kebutuhan. 3) Menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik. 4) Mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumberdaya manusia secara optimal. 5) Mengelola sarana dan prasarana sekolah dalam rangka pendayagunaan secara optimal.
22
6) Mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional 7) Mengelola unit layanan khusus sekolah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik di sekolah 8) Melakukan montoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan sekolah
i. Ketersediaan Sarana Prasarana.(Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008) Berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan KRR, sebuah SMP sekurangkurangnya mempunyai sarana meliputi ruang kelas, perpustakaan, ruang konseling, dan ruang UKS. Fungsi ruang kelas adalah tempat kegiatan pembelajaran teori, praktik yang tidak memerlukan peralatan khusus, atau praktik dengan alat khusus yang mudah dihadirkan. Perpustakaan dan kelengkapan sarana informasi guna mendukung proses pembelajaran dapat berupa buku teks, buku pengayaan, dan sumber belajar lain (sekurangkurangnya meliputi majalah, surat kabar, CD pembelajaran, dan alat peraga). Selain perpustakaan sarana yang lain adalah media pendidikan yang meliputi sekurang-kurangnya satu set komputer, TV, radio, dan pemutar VCD atau DVD.
23
Kerangka Teori
Faktor Predisposisi: Pengetahuan Sikap Persepsi Karakteristik individu
Nilai
Kepercayaan
Faktor Pemungkin: Ketersediaan sumberdaya (ketersediaan sarana pembelajaran KRR di Sekolah) Keterjangkauan terhadap sumberdaya Aturan Pemerintah atau Masyarakat (Kebijakan/aturan kepala sekolah) Keterampilan berkaitan dengan kesehatan
Faktor Penguat: Keluarga Pengaruh Teman sebaya (Sejawat) Guru Penyedia layanan Kesehatan (Kebijakan dinas kesehatan) Dukungan Masyarakat (Kebijakan dinas pendidikan dan Komite Sekolah) Pengambil Kebijakan (Pengaruh Pimpinan sekolah)
Perilaku Spesifikn Guru BK (Praktik pendidikan KRR oleh guru BK)
Perilaku siswa yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
Status Kesehatan Siswa
Kondisi lingkungan masyarakat (Agama)
Bagan 2 Kerangka Aplikasi Teori L. Green & M.W Kreuter dalam Hal Kesehatan Reproduksi Remaja
24
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Umum Untuk Mengetahui praktik pendidikan kesehatan reproduksi oleh guru BK pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang beserta faktor-faktor yang berperan dalam praktik tersebut.
2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan praktik pendidikan kesehatan reproduksi remaja oleh guru BK pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang. b. Mendeskripsikan pengetahuan, sikap, dan persepsi guru BK tentang KRR pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang. c. Mendeskripsikan sarana pembelajaran KRR dan kebijakan pendidikan dari pimpinan sekolah pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang. d. Mendeskripsikan kebijakan pimpinan sekolah terhadap pendidikan KRR pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang. e. Mengidentifikasi kontribusi pengetahuan tentang KRR terhadap praktik pendidikan kesehatan reproduksi oleh guru BK pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang. f. Mengidentifikasi kontiribusi persepsi tentang KRR terhadap praktik pendidikan kesehatan reproduksi oleh guru BK pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang. g.
Mengidentifikasi
kontribusi
sikap
tentang
KRR
terhadap
praktik
pendidikan kesehatan reproduksi oleh guru BK pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang. h. Mengidentifikasi kontribusi ketersediaan sarana pembelajaran KRR terhadap praktik pendidikan kesehatan reproduksi oleh guru BK pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang. i. Mengidentifikasi kontribusi kebijakan pimpinan sekolah terhadap praktik pendidikan kesehatan reproduksi oleh guru BK pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang.
25
3. Manfaat Penelitian a. Tersedianya informasi mengenai praktik pendidikan KRR oleh Guru BK ini dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan bagi pihak terkait seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Kota Semarang berkaitan pengembangan program penanganan KRR. b. Hasil penelitian ini akan melandasi penelitian selanjutnya berkaitan dengan perbaikan sistem pendidikan berkaitan dengan pendidikan KRR. c. Memperkaya bahan referensi yang berkaitan dengan pendidikan KRR di sekolah.
26
BAB IV METODE PENELITIAN 1. Kerangka Konsep Faktor Predisposisi Pengetahuan guru BK tentang pendidikan KRR
Persepsi guru BK tentang pendidikan KRR
Sikap guru BK terhadap pendidikan KRR
Praktik pendidikan KRR oleh guru BK
Faktor Pemungkin Ketersediaan sarana pembelajaran KRR di sekolah
Kebijakan pendidikan KRR dari pimpinan sekolah : Hubungan langsung
Gambar. 3. Kerangka Konsep
2. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif, dimana tujuan riset kualitatif adalah pengembangan konsep yang dapat membantu memahami fenomena sosial dalam setting atau lingkungan yang alami (bukan percobaan/eksperimen), yang dengan demikian memberi penekanan pada makna-makna pengalaman dan pandangan semua peserta risetnya.(Kusnanto, 2003) Dengan metode ini, akan didapat jawaban mendalam dibanding metode kuantitatif. Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan lain, yakni : Pertama, luwes karena rancangan studi ini bisa dimodifikasi, meskipun sedang dilaksanakan. Kedua, berhubungan langsung dengan khalayak sasaran. Teknik kualitatif memberi kesempatan pada peneliti untuk mengamati dan berhubungan langsung dengan khalayak sasaran.(Debus, 1998) Ketiga, analisis induktif karena peneliti tidak memaksa diri untuk hanya membatasi penelitian pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaannya, melainkan mencoba memahami situasi (make sense of the situation) sesuai dengan bagaimana situasi
27
tersebut menampilkan diri. Keempat, perspektif, holistik, yakni berusaha memahami
secara
menyeluruh
dan
utuh
tentang
fenomena
yang
diteliti.(Poerwandari, 2004)
3. Definisi Operasional Tabel 1. Definisi Operasional Variabel penelitian No 1
Variabel Definisi Cara Pengukuran Praktik Pelaksanaan kegiatan pendidikan Wawancara mendalam pendidikan KRR di sekolah mengenai KRR oleh dengan menggunakan oleh guru BK guru BK yang diberikan kepada panduan kuesioner anak didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan baik melalui kegiatan kurikuler (melalui mata pelajaran yang terstruktur dalam kurikulum) maupun ekstrakurikuler (di luar jam pelajaran biasa yang dilakukan di sekolah ataupun di luar sekolah) meliputi jenis, materi KRR, dan frekuensi.
2
Pengetahuan Kemampuan Guru BK menjawab Wawancara mendalam guru BK tentang pertanyaan tentang pengetahuan dengan menggunakan pendidikan KRR pendidikan KRR yang meliputi panduan kuesioner program, cara pemberian pendidikan, dan materi yang terdiri dari tumbuh kembang remaja, organ reproduksi, proses pembuahan dan kehamilan, hakhak seksual dan reproduksi, dorongan seksual, daya tarik lawan jenis, dan masturbasi, pacaran sehat, kebersihan dan kesehatan diri, dan risiko reproduksi.
3
Persepsi guru BK Interpretasi subjektif dari guru BK Wawancara mendalam tentang terhadap pendidikan KRR di dengan menggunakan pendidikan KRR sekolah yang meliputi pelaksanaan panduan kuesioner dan materinya.
4
Sikap guru BK Respon guru BK terhadap Wawancara mendalam terhadap pelaksanaan pendidikan KRR di dengan menggunakan pendidikan KRR sekolah termasuk cara pemberian panduan kuesioner pendidikan, dan materinya.
5
Ketersediaan sarana
Ketersediaan sarana berkaitan Wawancara mendalam dengan pelaksanaan pendidikan dengan menggunakan
28
pembelajaran KRR
6
KRR meliputi ruang kelas, perpustakaan, ruang konseling, ruang UKS, sarana informasi, dan media pendidikan Kebijakan Dukungan kepala sekolah dan atau pendidikan KRR wakil kepala sekolah bidang dari pimpinan kesiswaan meliputi perencanaan, sekolah pendayagunaan sumberdaya guru, pengelolaan sarana, pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran, serta monitoring evaluasi pendidikan KRR di sekolah.
panduan kuesioner
Wawancara mendalam dengan menggunakan panduan kuesioner
4. Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah guru bimbingan dan konseling yang bertugas di SMP berbasis agama di Kota Semarang. Pemilihan subyek penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik Purposive Sampling yaitu didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Prosedur pengambilan subyek penelitian dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik, (1) diarahkan tidak pada jumlah subyek yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian; (2) tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik subyeknya sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian, dan (3) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam
arti
jumlah/peristiwa
acak),
melainkan
pada
kecocokan
konteks(Poerwandari, 2004). Prosedur pengambilan subyek dalam penelitian ini menggunakan quota sampel, yakni pengambilan subyek dilakukan dengan menetapkan terlebih dahulu jumlah guru bimbingan dan konseling serta SMP yang memenuhi kriteria. Subyek dalam penelitian ini diperkirakan sebanyak 8 guru BK dan 16 orang (siswa dan Kepala Sekolah) sebagai crosschek sehingga totalnya 24 orang. Kriteria subyek penelitian yaitu : a. Guru bimbingan dan konseling yang berada pada SMP yang berbasis agama islam dan kristen/katolik di Kota Semarang b. Masa kerja menjadi guru bimbingan dan konseling minimal 2 tahun. 29
c. Mau berpartisipasi menjadi subyek penelitian. d. Mau berkomunikasi dengan baik. Informan lain dalam penelitian yang digunakan untuk cross check adalah siswa dan kepala sekolah dimana subyek penelitian bertugas dengan kriteria : a. Mau berpartisipasi dalam penelitian ini. b. Mau berkomunikasi dengan baik.
5. Cara Pengumpulan Data a. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder, antara lain : 1) Data Primer Hasil wawancara mendalam dengan guru bimbingan dan konseling menggunakan
pedoman
pertanyaan
yang
telah
disusun.
Hasil
wawancara mendalam sebagai cross check dengan siswa dan kepala sekolah. 2) Data Sekunder Data sekunder yaitu merupakan data penunjang atau pelengkap dari data primer yang diperoleh, yaitu gambaran sekolah tempat subyek penelitian bekerja dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang terjadi pada siswa. b. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dilakukan adalah Wawancara Mendalam (wet interview) yaitu percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. (Poerwandari, 2004)
Wawancara mendalam dilakukan terhadap guru
bimbingan dan konseling yang bertugas di SMP yang berbasis agama.
6. Instrumen Penelitian Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Peneliti adalah alat instrumen utama dalam penelitian ini, karena penelitilah yang tahu maksud dan arah penelitian. b. Pedoman wawancara mendalam untuk guru bimbingan dan konseling yang berisi pertanyaan yang berhubungan dengan variabel penelitian.
30
c. Tape recorder dan kaset untuk merekam wawancara mendalam dengan guru bimbingan dan konseling. d. Alat tulis untuk persiapan jika anak jalanan tidak mau di rekam suaranya.
7. Pengolahan dan Analisis Data Analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif yang bersifat terbuka yaitu dengan menggunakan proses berfikir induktif, dimana dalam pengujiannya bertitik tolak dari data yang terkumpul kemudian disimpulkan. Data kualitatif yang diperoleh, diolah dengan menggunakan metode pengolahan analisa deskripsi isi (content analysis). Metode pengolahan analisa deskripsi isi terdiri dari :(Moleong, 1989) a. Pengumpulan Data Peneliti mencatat semua data secara obyektif dan apa adanya sesuai dengan hasil wawancara. b. Reduksi Data Reduksi data yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data-data yang telah direduksi serta memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-waktu diperlukan. c. Penyajian Data Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data merupakan analisis dalam bentuk matrik, network, chart atau grafis sehingga peneliti dapat menguasai data. d. Verifikasi atau Kesimpulan. Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang diperoleh. Untuk itu peneliti berusaha mencari pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Jadi dari data tersebut peneliti mencoba mengambil kesimpulan. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan cara mengumpulkan data baru. Dalam pengambilan keputusan, didasarkan pada reduksi data dan
31
penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Keempat komponen tersebut saling mempengaruhi dan terkait. Pertama-tama peneliti melakukan penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara yang disebut tahap pengumpulan data, karena data yang dikumpulkan banyak, maka diadakan reduksi data. Setelah direduksi kemudian diadakan sajian data, selain itu pengumpulan data juga digunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga tahapan tersebut selesai dilakukan, maka diambil suatu keputusan atau verifikasi.
8. Validitas dan Reliabilitas Data a. Validitas data dalam penelitian kulitatif dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara mendalam dengan hasil cross check. b.
Reliabilitas
(keandalan)
dalam
penelitian
kualitatif
dengan
cara
mengumpulkan data mentah hasil wawancara mendalam dengan guru bimbingan dan konseling, siswa, dan kepala sekolah kemudian menyimpan data tersebut di suatu tempat dan dijaga jangan sampai ada data yang hilang atau terselip, lalu mendokumentasikan proses alur analisa data secara mendetail, misalnya dengan bantuan komputer.(Debus, 1988)
32
BAB V HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Semarang terbagi atas 16 wilayah kecamatan yang terdiri dari 177 kelurahan. Luas wilayah Kota Semarang adalah 373,7 km2, yang terdiri dari 37,8 km2 (10,1%) tanah sawah dan 33,6 km2 (89,9%) bukan sawah. Jumlah penduduk Kota Semarang sampai akhir Desember 2007 sebesar 1.454.594 jiwa, terdiri dari 722.026 (49,6%) jiwa
penduduk laki-laki dan 732.568 (50,4%) jiwa penduduk
perempuan. Dengan jumlah itu, Kota Semarang termasuk dalam 5 besar Kabupaten/Kota
yang
mempunyai
jumlah
penduduk
terbesar
di
Jawa
Tengah. Kepadatan penduduk pada tahun 2007 sebesar 3.892 jiwa per km2. Pada tahun 2007 jumlah remaja (umur 10-19 tahun) di Kota Semarang sebesar 251.725. Pada tahun 2007 tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 7,04% dan selama
kurun
pertumbuhan
waktu
tahun
penduduk
2004
dengan
–
rata-rata
2007
terjadi
sebesar
peningkatan
0,35%,
dengan
penyebaran penduduk tidak merata yang terkonsentrasi di Kota bawah. Umur harapan hidup di Kota Semarang adalah 69 tahun untuk laki-laki, dan 70 tahun untuk perempuan. Distribusi penduduk menurut tingkat pendidikan pada tahun 2008, hampir seperempat penduduk (22,9%) tamat SD, sedangkan penduduk yang belum/tidak tamat SD, tamat SMP dan tamat SMA masing-masing seperlimanya (20,4%, 20,3%, dan 21,1%). Penduduk yang tamat Akademi atau perguruan tinggi hanya 8,8%, tetapi masih ada 6,5% penduduk yang belum pernah sekolah. Pada tahun 2008 jumlah siswa yang sekolah pada tingkat SMP/MTS sebesar 71.860 anak yang terdiri dari 36.527 laki-laki dan 35.333 perempuan. Jumlah sekolah SMP/MTS sebanyak 164 buah atau 10,6% dari seluruh sekolah yang ada. Dari 164 sekolah SMP terdapat 190 guru bimbingan dan konseling, 4 diantaranya merupakan konselor. Di Kota Semarang terdapat 24 Rumah Sakit Umum, 23 Rumah Rumah Sakit Bersalin, serta Balai Pengobatan, maupun Puskesmas yang tersebar di seluruh wilayah Kota Semarang. Diantara 37 puskesmas sudah ada 5 puskesmas yang mengembangkan program khusus peduli remaja. Dari profil kesehatan Kota
33
Semarang pada tahun 2007 dapat diketahui bahwa penyakit utama yang terjadi adalah infeksi saluran pernafasan, demam berdarah dengue, diare, dan tiphoid. Sasaran pembangunan kesehatan Kota Semarang salah satunya adalah meningkatnya
derajad
kesehatan ibu, ibu maternal, bayi, balita,
anak
prasekolah, remaja, usia lanjut serta meningkatnya status gizi masyarakat. Salah satu program kesehatan di sekolah adalah pelayanan Kesehatan Anak Sekolah meliputi pemeriksaan kesehatan siswa yang
dilakukan
oleh
tenaga
kesehatan atau tenaga terlatih (guru UKS/dokter kecil) melalui penjaringan kesehatan, paling sedikit 1 kali. Penjaringan kesehatan pada anak sekolah meliputi
pemeriksaan
umum seperti : TB, BB, kulit, ketajaman mata,
pendengaran, gigi dan mulut). Hasil cakupan pelayanan kesehatan pada anak sekolah
(siswa TK, SLTP
dan SLTA) pada tahun 2008 di Kota Semarang
mencapai 99.729 siswa (97,08%). Pencapaian tersebut disebabkan karena partisipasi dari Guru UKS dan kader kesehatan (dokter kecil) sudah jauh lebih baik dalam pelayanan kesehatan di sekolah dan tenaga kesehatan yang ada juga telah berperan secara aktif dalam upaya pembina Usaha Kesehatan Sekolah. Selain itu keterlibatan dan kerja sama lintas sektor yang erat antara Dinas Kesehatan dengan Dinas Pendidikan serta Kantor Departemen Agama juga turut mendukung keberhasilan program tersebut. Khusus untuk remaja, Dinas Kesehatan Kota Semarang sudah melakukan beberapa program yaitu program puskesmas peduli remaja dan penyuluhan terhadap 100 remaja sekolah tentang materi KRR. BKKBN Kota semarang, pada tahun 2008, juga telah melaksanakan program-program yang berkaitan dengan KRR yaitu: a. Pemberian informasi tentang KRR kepada remaja pada organisasi sosial, pondok pesantren, karangtaruna, dan pada sekolah-sekolah SMP maupun SMA. b. Pembentukan pendidik dan konselor sebaya di tingkat kecamatan. c. Orientasi KRR untuk guru BK (baru 25 guru BK pada SMP) d. Program KIE melalui media radio dan leaflet. Dinas Pendidikan Kota Semarang selama ini belum mempunyai program khusus berkaitan dengan pendidikan KRR di sekolah, masih sebatas bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan BKKBN. Namun demikian, Dinas Pendidikan sudah mulai mendistribusikan buku tentang remaja untuk pegangan bagi guru BK yang jumlahnya masih sangat terbatas.
34
Jumlah informan yang dapat diwawancarai telah sesuai dengan rencana yaitu 8 SMP dengan informannya Guru BK, kepala Sekolah, dan siswa. SMP yang menjadi lokasi penelitian meliputi SMP Muhammadiyah 3, SMP Muhammadiyah 1, SMP Islam Hidayatullah, SMP Masehi 2 YPKI, SMP Kristen YSKI, SMP Islam Sultan Agung 1, SMP Kristen Gergaji, dan SMP NU Hasanudin 3. Untuk kemudahan dan menyamakan persepsi maka digunakan istilah jumlah sebagai berikut: Seluruh
: informan berjumlah 8
Lebih besar
: jika informan berjumlah 6 – 7
Rata-rata
: jika informan berjumlah 4 – 5
Lebih kecil
: jika informan berjumlah 1 – 3
2. Gambaran Karakteristik Guru BK Ditinjau dari umurnya, sebagian besar guru BK berusia lebih dari antara 30-40 tahun. Hal tersebut menunjukkan bukti bahwa guru BK di Kota semarang masih cukup produktif dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pendidik dan konselor bagi siswa SMP. Masa kerjanya pun sebagian besar (62,5%) sudah hampir 10 tahun berarti sudah cukup berpengalaman menangani permasalahan siswa. Namun demikian, jika dilihat dari pengalaman mengikuti pelatihan atau seminar-seminar tentang KRR, masih terdapat 35,9% guru BK yang belum pernah mengikuti pelatihan atau seminar-seminar tersebut. Ini menunjukkan bahwa program sosialisasi atau peningkatan kemampuan guru BK di bidang penanganan masalah KRR pada siswa belum menjangkau seluruh guru BK di Kota Semarang. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kondisi Guru BK di Kota Jogjakarta yang sudah mengkondisikan gurunya untuk menguasai masalah KRR untuk siswanya. Guru BK di Kota Semarang yang sudah pernah mengikuti pelatihan atau seminar tentang pendidikan KRR, 78% pernah mengikutinya 1-3 kali bahkan ada yang sampai 10 kali. Berarti belum ada pemerataan dalam pemberian kesempatan untuk menjadi peserta pelatihan atau seminar tentang KRR bagi guru BK. Sebagian besar guru BK adalah perempuan sebesar 81,2% sedangkan tingkat pendidikannya sebagian besar (92,1%) sudah sarjana (S-1) bidang BK. Kondisi tersebut merupakan potensi yang perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan guru BK dalam melaksanakan pendidikan KRR untuk siswanya.
35
Berdasarkan kodisi karakteristik guru BK di Kota Semarang saat ini, maka ada hal yang perlu mendapat perhatian oleh pemerintah melalui BKKBN, Dinas Kesehatan, dan khususnya Dinas Pendidikan Kota Semarang untuk menangani program pendidikan KRR untuk siswa oleh guru BK yaitu pemerintah seharusnya memfasilitasi pemerataan pelatihan, seminar, atau workshop tentang KRR bagi guru BK yang berbasis agama.
3. Gambaran Praktik Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja oleh guru BK pada SMP yang Berbasis Agama di Kota Semarang. ‘Sudah dilaksanakan...” Seluruh informan guru BK mengatakan bahwa sudah melaksanakan program pendidikan KRR bagi siswanya meskipun berbeda-beda antara satu SMP dengan SMP yang lain. Seperti materi pendidikan diberikan kepada kelas tujuh dan delapan saja dengan alasan kelas sembilan sudah sibuk persiapan menghadapi ujian akhir nasional. Namun ada yang lebih memilih memberikannya pada kelas delapan dan sembilan karena umurnya sudah lebih matang. Seperti yang diutarakan oleh informan sebagai berikut: Kotak 1 EH – saya sudah pernah melakukan kegiatan KRR... AT – saya sebagai guru BK sudah memberikan pendidikan KRR... C – udah ada dalam kurikulum... WM Hal ini juga ditegaskan oleh informan siswa tentang program pendidikan KRR tersebut. Kotak 2 KM – memberikan penerangan tentang bagaimana kesehatan reproduksi... E – memberikan pendidikan tentang perkembangan fisik, psikis... WM
36
a. Metode Pendidikan KRR untuk Siswa SMP “Ceramah,..tanya jawab,...dan oleh pakar...” Sebagian informan guru BK mengatakan bahwa metode pendidikan KRR untuk siswa SMP dilakukan dengan ceramah dan tanya jawab, selain itu ada sebagian kecil yang bekerjasama dengan ahli atau pakar KRR serta melalui pemutaran film. Pernyataan informan guru BK tentang hal tersebut dapat dilihat pada kotak sebagai berikut: Kotak 3 AA – ya lebih banyak informasi dan tanya jawab... C – setiap stahun sekali mengundang pakar untuk tanya jawab... I - ...melakukan kerjasama dengan BKKBN... WM Informan siswa juga mengakui bahwa guru BK-nya telah memberikan materi KRR dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan kadang diisi oleh orang luar seperti petugas kesehatan dari puskesmas. Kotak 4 E – ceramah, tanya jawab dan pemutaran film... MB - ...dijelaskan dan diceramahi tentang KRR WM
b. Materi Pendidikan KRR untuk Siswa SMP “Kesehatan reproduksi,...pendidikan seks,...norma agama...” Sebagian besar guru BK telah memberikan kesehatan reproduksi yang di dalamnya seperti tentang kesehatan organ tubuh, pacaran, dan tumbuh kembang. Selain itu ada yang menekankan materi norma agama untuk mengatasi perilaku menyimpang yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi seperti hamil di luar nikah. Ada satu SMP yang melarang keras pacaran di sekolah. Oleh karena itu materi pacaran sehat belum disampaikan. Gambaran materi KRR yang diberikan pada siswa SMP oleh guru BK ditunjukkan pada kotak sebagai berikut:
37
Kotak 5 ED – ...budi pekerti, norma agama, serta tentang KRR itu sendiri. PH - ...memberikan gambaran pada siswa mengenai kesehatan reproduksi dan pendidikan seks. WM
Hal ini tidak jauh berbeda dari ungkapan siswa yang menyatakan bahwa mereka telah mendapatkan materi pendidikan KRR, antara lain bahaya seks bebas, kesehatan tubuh, kenakalan remaja dan penanggulangannya seperti yang tercantum dalam kotak 6. Kotak 6 DK – ...materinya tentang bahaya seks dan kenakan remaja... A - ...tentang reproduksi wanita, dan bahaya pergaulan bebas, serta pengenalan organ kaitannya dengan reproduksi WM
c. Frekuensi Pendidikan KRR untuk Siswa SMP “Setahun, satu sampai 3 kali....” Sebagian besar informan guru BK mengatakan bahwa pendidikan KRR dilaksanakan minimal 1 semester sekali atau satu sampai tiga kali dalam setahun Kemudian sebagian kecil informan menyatakan bahwa setahun sekali mengundang pakar atau ahli di bidang KRR. Namun demikian masih ada yang memberikan materi 2-3 kali tiap semesternya. Kotak 7 ED – ...frekuensinya setiap setahun sekali... EH – ...pelatihan KRR dilakukan 2-3 kali per semester.... WM
38
Informan siswa juga menguatkan informasi di atas bahwa mereka mendapatkan materi hanya sekali dalam semester dan ada pula yang menyatakan sekali dalam setahun. Kotak 8 A – KRR dilakukan satu tahun sekali... E – ...diadakan setahun sekali.... WM
d. Waktu Pendidikan KRR untuk Siswa SMP “pada saat konseling, atau pelajaran agama...” Rata-rata informan guru BK memberikan pendidikan KRR pada jam BK baik pada saat konseling maupun pelajaran. Selain itu sebagian kecil guru BK memberikan materi pada saat pelajaran agama atau acara renungan pagi. Data pernyataan informan guru BK tentang waktu pelaksanaan pendidikan KRR ditunjukkan pada kotak sebagai berikut Kotak 9 AA - ...ya di sisipkan pada jam BK, atau pas konseling... EH – ...pada acara renungan pagi... WM
Sebagian kecil siswa mengatakan kalau materi KRR diberikan setiap hari Jumat atau seminggu sekali tetapi tidak tentu waktunya. Kotak 10 MB – setiap hari jumat tapi tidak tentu.... DK - ...kalau pas ada jam kosong atau pas BK... WM
Guru merupakan unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan di sekolah khususnya guru BK dalam pelaksanaan pendidikan KRR bagi 39
siswa di SMP. Kenyataannya seluruh guru BK pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang sudah melakukan pendidikan KRRnya meskipun pelaksanaannya jauh dari harapan. Artinya sebagian besar dari siswa SMP yang berbasis agama di Kota semarang tidak mendapatkan pendidikan KRR dengan baik. Hal ini belum memenuhi harapan
bahwa dengan pendidikan tersebut, siswa akan memiliki
pengetahuan, nilai, sikap, dan kebiasaan dalam menjaga kesehatan khususnya kesehatan reproduksi. Kondisi ini juga belum memenuhi kebutuhan siswa, seperti dilaporkan oleh Tim Litbang DIY bahwa pendidikan kesehatan reproduksi sudah menjadi kebutuhan riil yang dirasakan oleh remaja sekolah. Komponen praktik pendidikan KRR oleh guru BK meliputi frekuensi kegiatan, materi, dan metode pendidikan KRR untuk siswa didiknya. Berdasarkan distribusi data di atas menunjukkan bahwa guru BK belum memanfaatkan kesempatan yang termaktub dalam sistem pendidikan mengenai kegiatan pelayanan pemberian informasi yaitu kegiatan pemberian informasi yang masuk dalam jam pembelajaran sekolah dilaksanakan secara klasikal dengan volume 2 jam per minggu dan terjadwal, sedangkan di luar kegiatan jam pembelajaran dilakukan dengan volume ekivalen dengan 2 jam belajar di dalam kelas. Tidak ada guru BK yang melakukan kegiatan evaluasi pendidikan KRRnya, sedangkan menurut UU sisdiknas untuk mengetahui hasil kegiatan layanan guru BK maka perlu dilakukan penilaian hasil akhir melalui penilaian jangka pendek (satu minggu sampai satu bulan) dan jangka panjang (satu bulan sampai satu semester). Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui apakah layanan yang dilakukan guru BK baik melalui konseling maupun layanan pemberian informasi sudah atau belum dapat memenuhi apa yang dibutuhkan oleh siswa berkenaan dengan masalah KRR. Selanjutnya berkaitan dengan materi KRR yang diberikan oleh guru BK, data menunjukkan bahwa sebagian besar guru BK telah memberikan materi tumbuh kembang remaja, pacaran sehat, organ reproduksi, dan kebersihan dan kesehatan diri. Data tersebut menunjukkan sebagian guru BK sudah memberikan materimateri yang cukup penting berkaitan dengan masalah KRR yang dihadapi siswa. Namun demikian materi-materi lain seperti daya tarik lawan jenis, dorongan seksual, masturbasi dan onani, proses pembuahan dan kehamilan, menstruasi, dan yang penting tentang hak-hak seksual dan reproduksi belum banyak diberikan oleh guru BK kepada siswa. Berarti informasi yang diberikan oleh guru BK berkaitan dengan KRR belum komprehensif atau tuntas sehingga belum mampu memenuhi 40
kebutuhan siswa akan informasi tentang KRR secara keseluruhan. Jika hal ini terus berlangsung maka jumlah masalah KRR yang menimpa siswa akan terus meningkat dan sangat merugikan siswa khususnya pada pencapaian prestasi belajarnya maupun pada masa depan kehidupannya. Sebagian besar guru BK menggunakan metode ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Ini menunjukkan guru BK masih menggunakan metode yang belum bervariasi sehingga akan mempengaruhi daya serap dan pemahaman dari siswa terhadap informasi yang diberikan. Hasil penelitian Tim Litbang PKBI DIY
juga
menyebutkan bahwa diperlukan adanya penyampaian materi kesehatan reproduksi dengan metode yang variatif dan pelajaran yang menyenangkan dengan disertai berbagai metode pembelajaran seperti bermain peran dan kegiatan di luar kelas. Namun data menunjukkan bahwa guru BK pada SMP yang berbasis agama di Kota Semarang belum sesuai harapan dalam menggunakan metode pendidikan KRR, bermain peran, seminar, dramatisasi, pemutaran film, apalagi memasukkan dalam kurikulum, angkanya masih kecil. Oleh karena itu guru BK seharusnya menambah metode pendidikan yang telah dilakukannya semisal kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang cukup menarik karena kegiatannya cukup bervariasi seperti kegiatan karya ilmiah, penelitian, seminar, dan pameran. Kegiatan ini juga lebih banyak melibatkan peran aktif siswa sehingga akan menambah motivasi siswa untuk lebih aktif menyebarluaskan materi KRR.
4. Gambaran dan Kontribusi Pengetahuan, Sikap, dan Persepsi terhadap Praktik Pendidikan KRR pada Guru BK pada SMP yang Berbasis Agama di Kota Semarang. a. Pengetahuan Guru BK tentang Pendidikan KRR Pengetahuan guru BK yang digali dalam penelitian ini meliputi program pendidikan KRR di sekolah, tujuan program tersebut, serta materi yang perlu diberikan dalam pendidikan KRR bagi siswa SMP. “Pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan seks penting....” Sebagian besar guru BK telah mengetahui tentang program pendidikan KRR bagi siswa dengan menyebutkan bahwa program tersebut sangat diperlukan saat ini, dengan mengajarkan bagaimana siswa mengerti tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan seks. Hanya sebagian kecil guru BK yang menjelaskan bahwa program pendidikan KRR hanya sebatas pendidikan tentang pengenalan 41
organ tubuh manusia meliputi manfaat dan fungsinya. Sebagaimana ditunjukkan pernyataan guru BK dalam kotak sebagai berikut: Kotak 11 EH – Pendidikan KRR menurut saya adalah pendidikan yag sangat penting.... Ph – ...mengajarkan bagaimana siswa untuk mengerti tentang pendidikan seks dan kesehatan reproduksi. AT – Pendidikan KRR merupakan pendidikan tentang pengenalan organ tubuh, manfaat dan fungsinya... WM “Pencegahan masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku seks pada remaja...” Sebagian besar guru BK menyatakan pendapatnya tentang tujuan pendidikan KRR bagi siswa bahwa program tersebut sebagai upaya pendewasaan anak didik agar tidak terjerumus ke dalam masalah-masalah atau hal yang tidak diinginkan pada anak yang mengalami masa pubertas.
Kotak 12 DS - ...untuk pencegahan, penanganan, dan pengentasan. AT – agar anak bersikap lebih dewasa...sehingga tidak terjerumus ke dalam halhal yang tidak diinginkan WM “Organ tubuh manusia, pendidikan seks, budi pekerti, dan pacaran sehat...” Rata-rata informan BK menjelaskan bahwa materi pendidikan KRR berupa organ tubuh, pendidikan seks, pacaran sehat, serta sebagian kecil informan yang menyebutkan materinya termasuk budi pekerti. Kotak 13 AA - ...kalau dari unnes pacaran sehat.... Ph - ...mengenai dampak seks bebas, organ-organ vital... DS – materi...yaitu budi pekerti yang ada kelanjutannya...
WM
42
“Metodenya diskusi dan ceramah...” Sebagian besar guru BK menjelaskan bahwa metode pendidikan KRR dapat diberikan hanya sebatas diskusi dan ceramah saja. Namun mereka menjelaskan bahwa sebaiknya pendidikan KRR dilakukan seminggu sekali. Kotak 14 Cw – ...metodenya ceramah, diskusi, dan tanya jawab... I – ...metodenya diskusi. Ph – ..metode yang perlu digunakan adalah diskusi ceramah...
WM Ditinjau dari jawaban guru BK pada variabel pengetahuan dapat diketahui beberapa kondisi pengetahuan guru BK saat ini yaitu, pertama sebagian besar guru BK sudah mengetahui bahwa program pendidikan kesehatan untuk siswa khususnya pendidikan KRR dapat memberikan informasi dan meningkatkan pengetahuan siswa tentang masalah kesehatan kususnya KRR namun belum ada guru BK yang mengetahui bahwa program pendidikan kesehatan dapat meningkatkan prestasi dan hanya tahu bahwa pendidikan KRR dapat membantu mengatasi
masalah
KRR
yang
dialami
siswa.
Kondisi
tersebut
cukup
memprihatinkan karena sebagai seorang pendidik, guru BK, seharusnya mengetahui bahwa program pendidikan kesehatan khususnya pendidikan KRR merupakan salah satu program promosi kesehatan yang strategis dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat khususnya siswa. Kedua, ternyata belum banyak guru BK yang mengetahui bahwa aborsi merupakan salah satu masalah KRR yang dapat menimpa siswa. Ketidaktahuan guru BK tentang hal tersebut akan mempengaruhi kepedulian guru terhadap masalah KRR. Ketiga, masih sedikit guru BK yang mengetahui bahwa pendidikan KRR untuk siswa dapat dilakukan dengan metode pengajaran yang sangat bervariasi seperti dramatisasi, bermain peran, penugasan dan kegiatan ekstrakurikuler, serta dengan cara belajar perseorangan. Guru BK masih terbiasa dengan cara-cara yang konvensional yaitu ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Kondisi ini berbeda dengan Kabupaten Majalengka, penelitian Tjutju Turaeni pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di kabupaten tersebut telah dilakukan program pendidikan KRR dengan menggunakan metode bermain peran dan penugasan selain metode-metode 43
konvensional. Menurut Purnomo Ananto, pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka melaksanakan pendidikan kesehatan di sekolah antara lain dengan pendekatan individual dan pendekatan kelompok sedangkan dalam proses belajar mengajar, guru dapat menggunakan metode belajar kelompok, penugasan, belajar perseorangan, bermain peran, demonstrasi, dan dramatisasi selain ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Hasil penelitian Tim Litbang PSS PKBI DIY juga menunjukkan bahwa siswa berharap adanya metode penyampaian materi KRR dengan metode yang variatif, pelajaran yang menyenangkan, tidak kaku dengan disertai berbagai metode pembelajaran seperti role playing dan kegiatan pembelajaran di luar kelas. Menurut peraturan pemerintah, seorang guru BK seharusnya juga melakukan evaluasi terhadap proses pendidikannya selain bertanggungjawab sebagai pendidik dan konselor. Hal ini menunjukkan bahwa guru BK belum sepenuhnya tahu tentang perannya dalam pendidikan khususnya pendidikan KRR. Kelima, dari sekian banyak materi pendidikan KRR untuk siswa, hanya 3 materi yang diketahui yaitu materi tumbuh kembang remaja, organ reproduksi, dan pacaran sehat. Materimateri yang lain belum diketahui guru BK, misalnya tentang materi hak-hak reproduksi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengetahuan guru BK tentang materi pendidikan KRR belum sesuai harapan dan tuntutan bahwa guru BK dapat menguasai masalah-masalah terkini dalam rangka pengembangan diri siswa untuk mengatasi masalahnya yang berhubungan dengan KRR. Keenam, sedikit guru BK yang tahu bahwa pengelolaan kurikulum juga dibutuhkan dalam melaksanakan pendidikan KRR. Ini berarti sebagian besar guru BK belum tahu bahwa pemerintah telah menyediakan waktu tatap muka 2 jam per minggu dengan siswa di kelas. Masalah tersebut wajar terjadi karena menurut tim litbang PKBI DIY, pihak dinas pendidikan pun mengakui belum mampu menjamin akan mengakomodasi masuknya kesehatan dalam kurikulum sehingga tidak ada sosialisasi tentang kesempatan pendidikan KRR masuk dalam kurikulum pembelajaran.
44
b. Persepsi Guru BK tentang Pendidikan KRR “Pendidikan tersebut perlu dan penting tapi bagaimana cara mengajarnya...” Sebagian besar informan guru BK mempunyai persepsi yang sudah baik terhadap pendidikan KRR. Namun ada sebagian kecil yang masih ragu terutama bagaimana cara mengajarkan materi KRR pada siswa. Kotak 15 AA - ...perlu pendidikan kesehatan reproduksi ...meluruskan mitos yang berkembang ED - ...terkait norma kesusilaan dan agama... DS – ...sangat bagus karena anak masih pemula... EH - ...yang saya pikirkan....bagaimana ngajarnya... WM
c. Sikap Guru BK terhadap Pendidikan KRR “Menerima dengan positif serta mendukung ...” Sebagian besar guru BK mempunyai sikap mendukung adanya program pendidikan KRR bagi siswa SMP karena hal tersebut bukan hal yang tabu lagi. Kondisi pergaulan remaja yang ada saat ini sangat memprihatinkan, sehingga pendidikan KRR tersebut sangat diperlukan untuk menambah pengetahuan siswa sehingga tidak salah langkah. Kotak 16 I - ...mendukung adanya pendidikan KRR yang diberikan kepada siswa... AT – menerima dengan positif, krena hal ini sangat menguntungkan... Ph - ...KRR bukan hal yang tabu melainkan dibutuhkan.... WM Faktor persepsi dan sikap dari guru BK SMP yang berbasis agama terhadap program pendidikan KRR bagi siswanya telah menunjukkan hal yang baik dan positif . Hal ini perlu terus didorong dan dijaga agar tetap baik. Kondisi tersebut menjadi modal utama dalam peningkatan praktik pendidikan KRR di SMP yang berbasis agama. Oleh karena masih
perlu adanya upaya-upaya yang dapat
memelihara persepsi dan sikap guru BK terhadap program pendidikan KRR. Menurut Allport, dalam membentuk sikap faktor pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting agar seseorang (guru BK) lebih menerima, 45
merespon, menghargai, dan bertanggungjawab atas pendidikan KRR untuk siswanya.
5. Gambaran dan Kontribusi Sarana Pembelajaran KRR dan Kebijakan Pendidikan dari Pimpinan Sekolah terhadap Praktik Pendidikan KRR pada SMP yang Berbasis Agama di Kota Semarang. a. Sarana Pembelajaran KRR Sebagian besar SMP yang berbasis agama telah memiliki sarana pembelajaran khususnya pendidikan KRR seperti ruangan kelas, ruang konseling, ruang perpustakaan, buku dan majalah tentang KRR, CD pembelajaran KRR serta playernya. Namun masih ada sebagian kecil yang belum mempunyai samasekali sarana pembelajaran KRR terutama buku, majalah, dan CD pembelajaran KRR. Pada penelitian ini, sarana pembelajaran yang digali meliputi ruang, sumber belajar serta sarana pendukung lainnya. Ketersediaan ruang kelas sudah tidak menjadi masalah tetapi ruang perpustakaan dan UKS termasuk sedikit yang dapat digunakan untuk pendidikan KRR bagi siswa termasuk ruang konseling belum mencapai 100%. Kemudian tidak lebih dari 35% guru BK memliki CD pembelajaran dan majalah yang berisi materi-materi KRR. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di kabupaten majalengka tahun 2005. Hasil penelitian Tjutju Turaeni di majalengka menunjukkan bahwa fasilitas mengajar sangat terbatas dan bahan ajar belum terstruktur dan sistematis. Kondisi ini menunjukkan bahwa sarana prasarana pembelajaran yang ada belum mendukung pelaksanaan pendidikan KRR yang bermutu, karena menurut PP Nomor 28/1990 salah satu elemen penentu pendidikan yang bermutu adalah ketersediaan sarana belajar, sumber belajar, dan media belajar. Hasil analisis statistik juga sesuai dengan teori ini, yaitu terdapat hubungan antara ketersediaan sarana pembelajaran KRR dengan praktik pendidikan kesehatan reproduksi remaja oleh guru BK pada SMP.. Oleh sebab itu pemerintah seharusnya menyediakan sarana yang baik untuk pelaksanaan pendidikan KRR terutama penyediaan buku atau bahan ajar KRR yang terstruktur
dan
sistematik,
alat-alat
atau
media
pengajaran
(CD),
dan
memperbanyak majalah-majalah yang berisi materi KRR yang sesuai untuk siswa SMP yang berbasis agama.
46
b. Kebijakan Pendidikan KRR dari Pimpinan Sekolah Sebagian besar pimpinan SMP baik kepala maupun wakilnya telah melakukan beberapa upaya
seperti melakukan kegiatan insidental seperti seminar KRR,
mempersilahkan guru BKnya menyusun materi ajar tentang KRR. Namun sebagian kecil pimpinan masih membiarkan begitu saja program pendidikan KRR tanpa perencanaan, pengorganisasiaan apalagi monitoring. Kotak 17 MN – ...untuk KRR mengarah ke sana... kerjasama dengan poltekkes... Cw – ...materi KRR di kurikulum BP... N – ...kalau itu kan hubungannya dengan BP, saya tidak punya program... WM
Pada organisasi sekolah, kepala sekolah merupakan pemimpin yang diharapkan mampu menggerakkan para guru untuk mencapai tujuan. Berarti sesuai dengan hal itu, kepala sekolah bertanggungjawab melalui kebijakan-kebijakannya atas keberhasilan pelaksanaan pendidikan KRR oleh guru BK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar informan menyatakan bahwa kebijakan pendidikan KRR dari pimpinan sekolah termasuk kurang mendukung. Situasi ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Tjutju Turaeni di Majalengka dan Tim Litbang PKBI DIY di Jogjakarta. Artinya pada jajaran pimpinan sekolah belum menunjukkan perhatian yang serius terhadap masalah pendidikan KRR untuk siswa khususnya yang dilakukan oleh guru BK. padahal hal ini akan mengakibatkan para guru BK ragu-ragu ataupun bertambah tidak peduli untuk menjalankan pendidikan KRR bagi siswa. Namun demikian dapat diuraikan data yang ada bahwa masalah perencanaan dan evaluasi yang dilakukan pimpinan sekolah memperlihatkan tidak ada sepertiga informan menyebutkan bahwa kepala sekolahnya telah melakukan perencanaan dan evaluasi terhadap pendidikan kesehatan khususnya pendidikan KRR. Berarti pimpinan sekolah belum mempunyai kemampuan seperti yang disebutkan dalam sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa kemampuan kepala sekolah yang pertama adalah menyusun perencanaan sekolah termasuk rencana
47
pendidikan KRR dan tugas yang terakhir disebutkan adalah melakukan monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program sekolah. Memperhatikan data tersebut maka perlu dilakukan sosialisasi yang lebih intensif tentang pendidikan KRR kepada pimpinan sekolah. Materi sosialisasi adalah halhal yang perlu dilakukan sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya sebagai seorang pimpinan sekolah untuk meningkatkan peran guru BK dalam pendidikan KRR.
48
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan a. Pendidikan atau pelatihan tentang pendidikan KRR bagi guru BK SMP berbasis agama belum merata dan frekuensinya kurang. b. Seluruh
informan
telah
melaksanakan
pendidikan
KRR
tetapi
pelaksanaannya belum baik, metode, frekuensi, dan materinya belum sesuai kebutuhan atau masalah KRR yang dihadapi siswa. c. Sebagian besar informan sudah mengetahui tentang program pendidikan KRR namun secara detail pengetahuan tentang materi, metode, dan perannya sebagai guru BK dalam pendidikan KRR belum baik. d. Persepsi dan sikap sebagian besar informan sudah baik, mereka menerima dengan positif dan mendukung pendidikan KRR untuk siswa SMP. e. Belum semua SMP berbasis agama mempunyai sarana pendidikan KRR yang baik seperti buku, CD, majalah, dan alat peraga tentang KRR. f. Sebagian besar pimpinan SMP berbasis agama sudah melakukan upaya yang mendukung program pendidikan KRR tetapi belum optimal. 2. Saran a. Pemerintah Kota Semarang (Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan BKKBN) i. Dinas
pendidikan
mengadakan
kegiatan
untuk
meningkatkan
pengetahuan guru BK tentang pendidikan KRR melalui pelatihan, seminar, atau workshop yang dapat diisi oleh tenaga ahli dari Dinas Kesehatan maupun BKKBN Kota Semarang. Sasaran kegiatan ini adalah guru BK yang belum pernah mengikuti kegiatan tersebut sehingga terjadi pemerataan kemampuan diantara guru BK pada SMP. Materi pelatihan, seminar atau workshop diutamakan tentang pentingnya program pendidikan KRR, jenis masalah KRR pada siswa, metode pendidikan KRR, peran guru BK sebagai pendidik, dan materi pendidikan KRR. ii. Dinas Pendidikan merencanakan pengadaan dan melengkapi fasilitas pendidikan terutama penyediaan bahan ajar pendidikan KRR. Isi dan
49
materi bahan ajar dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan dan BKKBN Kota Semarang terutama tumbuh kembang remaja, pacaran sehat, risiko reproduksi, daya tarik lawan jenis, kebershan dan kesehatan diri, dorogan seksual, dan hak-hak seksual dan reproduksi. iii. Dinas Pendidikan yang berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan dan BKKBN Kota Semarang melakukan advokasi kepada pimpinan sekolah agar sadar dan mendukung program pendidikan KRR untuk siswa dengan mengundang pimpinan sekolah untuk diberi penjelasan tentang pentingnya dan kebutuhan pendidikan KRR bagi siswa SMP. iv. Dinas
Pendidikan
mulai
melakukan
perencanaan
pelaksanaan
pendidikan KRR untuk siswa yang sinergi dengan program pendidikan lainnya.
b. Pimpinan SMP yang berbasis agama Mengelola program pendidikan KRR untuk siswa oleh guru BK dengan lebih baik, terutama dengan melakukan perencanaan dan evaluasi pada program tesebut. Memberikan dukungan kepada guru BK untuk melakukan pendidikan KRR kepada siswa melalui kebijakan dan stimulusstimulus baik materi maupun non materi.
c. Masyarakat Keilmuan Melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang pendidikan KRR untuk siswa SMP bebrbasis agama oleh guru BK, khususnya tentang model pendidikan dan bahan ajar yang sesuai.
50
DAFTAR PUSTAKA
BKKBN, 2008. Laporan Kegiatan Program Tahunan BKKBN Kota Semarang, Semarang BKKBN. 2003. Buku sumber untuk advokasi Direktorat Advokasi dan KIE. BKKBN, UNFPA, Bank Dunia, ADB, dan STARH Depkes RI, 2007. Interaksi Majalah Informasi & Referensi Promosi Kesehatan, No. 3 tahun XI Jakarta Dinkes Kota Semarang, 2007. Laporan Program seksi Remaja keluarga Dinas Kesehatan Kota Semarang, Semarang
Subdin
Kesehatan
Depkes RI, 2005. Pedoman Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di Puskesmas, Dirjen Binkesmas, Jakarta Depdiknas, 2006. Model Pengembangan Diri-SMP/MTs, Litbang Diknas Pusat Kurikulum, Jakarta Debus, Mery. 1988. Buku Panduan Diskusi Kelompok Terarah. Jakarta. Farid
Husni, 2005. Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja, http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/14/opi04.htm Senin, (akses Pebruari 2008)
Kusnanto, Hari. 2003. Metode Penelitian Kualitatif dalam Riset Kesehatan. Sditya media, Yogyakarta Kristi wardani dkk, Tim Litbang PSS PKBI DIY, 2006. Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Sekolah (Riset Kebijakan dan Pengembagan Kurikulum Kespro). Jurnal bening, vol VII, no 1, Mei 2006, ISSN 1693-9778, Pusat studi seksualitas PKBI Yogyakarta Laurike Moeliono, 2003. Proses Belajar Aktif Kesehatan Reproduksi Remaja, Bahan Pegangan untuk Memfasilitasi Kegiatan Belajar Aktif Untuk Anak & Remaja usia 10-14 Tahun. BKKBN, Jakarta Moleong, Lexy J. 1989. Metode penelitian Kualitatif. Ramadja Karya, Bandung Nugroho J, SE, MM, 2003. Perilaku Konsumen, Konsep dan implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran. Prenada Media, ed. 1, Jakarta Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta
51
Poerwandari, E. Kristi. 2004. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Lembaga pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi UI, Jakarta PP
28/1990, Pendidikan Dasar, www.unmit.org/legal/IndonesianLaw/pp/Pp199028.htm, (akses Maret 2008)
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Remaja. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Siswandi Suwarta, Pendidikan Seksual dan Reproduksi Berbasis http://situs.kespro.info/krr/fe/2003/krr01.htm, (akses Maret 2007)
Sekolah,
Sukarna, 1990. Kepemimpinan dalam Administrasi, Mandar Maju, Bandung Notoatmojo, Soekidjo. 2007. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Andi Offset. Jakarta Tjutju Turaeni, 2005, Pelaksanaan Pengajaran Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRR) Sekolah Menengah atas Negeri (SMAN) Binaan Puskesmas Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) di Kabupaten Majalengka, http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2007-tjutjutura2323&q=pascasarjana, (akses 23 Maret 2008) Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008. Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Nuansa Aulia, Bandung Zulazmi Namdy, 2000. Zarfiel Tafal, Sudarti Kresno, Perencanaan Pendidikan Kesehatan sebuah pendekatan Diagnosis, terjemahan L. Green dkk, Depdikbud RI, Jakarta
52
Lampiran 1
INSTRUMEN PENELITIAN Responden: Guru BK A. Pembukaan 1. Mengucapkan salam 2. Mengucapkan terimakasih atas kesediaan responden menyediakan untuk wawancara B. Perkenalan Sebelum wawancara dimulai, interviewer memperkenalkan menyebutkan nama dan asal institusi pendidikan
diri
waktu
dengan
C. Penjelasan 1. Menjelaskan maksud dilakukan wawancara. Responden pada saat wawancara diharap dapat memberikan informasi mengenai praktik pendidikan kesehatan reproduksi di sekolahnya serta faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik tersebut. 2. Informasi tentang permasalahan tersebut, semata-mata hanya untuk kepentingan penelitian dan dijamin kerahasiaannya. 3. Melalui kegiatan ini, peneliti ingin mengetahui faktor yang berhubungan dengan praktik pendidikan kesehatan reproduksi oleh guru BK pada SMP di Kota Semarang D. Prosedur 1. Wawancara ini akan dipimpin oleh peneliti langsung. 2. Peneliti akan mengajukan pertanyaan untuk mendapat jawaban dari responden 3. Semua jawaban responden akan dicatat secara langsung di dalam kuesioner yang telah disiapkan E. Penutup 1. Sebelum wawancara ini kami akhiri, silahkan disampaikan bila ada informasi atau pendapat yang akan diberikan. 2. Terimakasih atas kesediaan dan partisipasi responden yang sangat berarti bagi kami. 3. Demikian wawancara ini kita akhiri, sekali lagi ucapkan terimakasih dan salam penutup. Selama wawancara akan diambil foto sebagai bukti dan dokumentasi.
53
A. IDENTITAS WAWANCARA Tanggal Wawancara Nomor responden Nama Sekolah Alamat Sekolah
: : : :
B. KARAKTERISTIK RESPONDEN Nama Responden Umur Jenis Kelamin
:.................................. :..........tahun : 0. Laki-laki 1. Perempuan Pendidikan Terakhir : ............... Masa kerja : ......tahun Pelatihan KRR : 0. Belum pernah 1. Pernah Jika pernah berapa kali?... Materi yang didapat?...
C. PENGETAHUAN GURU BK TENTANG PENDIDIKAN KRR 1. Apa yang anda ketahui tentang program pendidikan KRR di sekolah 2. Menurut anda apa tujuan program tersebut? 3. Menurut anda materi yang sesuai untuk program tersebut apa saja, mengapa demikian? 4. Menurut anda bagaimana sebaiknya prgram tersebut dilaksanakan? (waktu, frekuensi, sasaran, metode, sarana pendukung) D. PERSEPSI GURU BK TENTANG KRR Apa yang anda persepsikan tentang pendidikan KRR untuk siswa SMP? Mengapa demikian? (norma, manfaat, materi, metode, frekuensi) E. SIKAP GURU BK TERHADAP PENDIDIKAN KRR Bagaimana sikap anda terhadap pendidikan KRR untuk siswa SMP? Mengapa demikian? (norma, manfaat, materi, metode, frekuensi) F. KETERSEDIAAN SARANA PEMBELAJARAN KRR DI SEKOLAH Sarana apa saja yang tersedia di sekolah anda untuk yang mendukung pendidikan KRR? (jenis, jumlah) G. KEBIJAKAN PENDIDIKAN KRR DARI PIMPINAN SEKOLAH Apa yang sudah dilakukan pimpinan sekolah dalam pelaksanaan pendidikan KRR? (Perencanaan, monitoring, evaluasi, dukungan kebijakan, dukungan dana) H. PELAKSANAAN PENDIDIKAN KRR OLEH GURU BK Apakah anda sudah melakukan kegiatan pendidikan KRR? (jenis, materi, frekuensi, sasaran, media pendukung) Mengapa demikian?
54
FORMULIR CHECKLIST MASALAH KRR PADA SISWA
Nama Sekolah Alamat Sekolah No
Nama
: : Jenis Kelamin
Umur (th)
Masalah
Tahun Ajaran Kejadian
1. 2 3 4
Keterangan: 1. Masalah diisi dengan : Kehamilan tidak diinginkan (KTD)/Aborsi/IMS/ Kekerasan Seksual/seks pra nikah
2. Jenis Kelamin diisi
: laki-laki/perempuan
55
FORMULIR CHECKLIST SARANA PEMBELAJARAN KRR
Petunjuk Pengisian:
Berilah tanda √ pada kotak yang tersedia dan isi kolom jumlah sesuai dengan ketersediaan sarana
Nama Sekolah Alamat Sekolah No
1. 2 3 4 5 6 7 8 9
: :
JENIS SARANA PEMBELAJARAN
ADA
TIDAK ADA
JUMLAH
ruang kelas ruang konseling khusus untuk melakukan proses bimbingan dan konseling dengan siswa didik ruang khusus untuk UKS ruang khusus perpustakaan buku-buku mengenai KRR majalah mengenai KRR CD pembelajaran mengenai pemutar CD pembelajaran mengenai KRR alat peraga untuk pembelajaran mengenai KRR
56
PANDUAN WAWANCARA UNTUK KONFIRMASI VARIABEL KEBIJAKAN PENDIDIKAN KRR DARI PIMPINAN SEKOLAH
Responden: Kepala Sekolah A. Pembukaan 1. Mengucapkan salam 2. Mengucapkan terimakasih atas kesediaan responden menyediakan waktu untuk wawancara B. Perkenalan Sebelum wawancara dimulai, interviewer memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama dan asal institusi pendidikan C. Penjelasan 1. Menjelaskan maksud dilakukan wawancara. Responden pada saat wawancara diharap dapat memberikan informasi mengenai kebijakan pendidikan KRR dari kepala sekolah. 2. Informasi tentang permasalahan tersebut, semata-mata hanya untuk kepentingan penelitian dan dijamin kerahasiaannya. 3. Melalui kegiatan ini, peneliti ingin mengetahui faktor yang berhubungan dengan praktik pendidikan kesehatan reproduksi oleh guru BK pada SMP di Kota Semarang D. Prosedur 1. Wawancara ini akan dipimpin oleh peneliti langsung. 2. Peneliti akan mengajukan pertanyaan untuk mendapat jawaban dari responden 3. Semua jawaban responden akan direkam dengan recorder serta dicatat. E. Penutup 1. Sebelum wawancara ini kami akhiri, silahkan disampaikan bila ada informasi atau pendapat yang akan diberikan. 2. Terimakasih atas kesediaan dan partisipasi responden yang sangat berarti bagi kami. 3. Demikian wawancara ini kita akhiri, sekali lagi ucapkan terimakasih dan salam penutup. Selama wawancara akan diambil foto sebagai bukti dan dokumentasi.
57
A. IDENTITAS WAWANCARA Tanggal Wawancara Nomor responden Nama Sekolah Alamat Sekolah
: : : :
B. KARAKTERISTIK RESPONDEN Nama Responden Umur Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir
Pelatihan KRR Masa kerja
:.................................. :..........tahun : 0. Laki-laki a. Perempuan : 0. Diploma 1. Sarjana 2. Magister : 0. Belum pernah 1. Pernah : 0. 0-10 tahun 1. > 10 tahun
C. PERTANYAAN 1. Apa saja yang telah Bp/Ibu lakukan berkaitan dengan program pendidikan KRR di Sekolah? 2. Mengapa demikian dan bagaimana Bp/Ibu melaksanakannya?
58
PANDUAN WAWANCARA UNTUK KONFIRMASI VARIABEL PELAKSANAAN PENDIDIKAN KRR OLEH GURU BK
Responden: Siswa A. Pembukaan 1. Mengucapkan salam 2. Mengucapkan terimakasih atas kesediaan responden menyediakan untuk wawancara B. Perkenalan Sebelum wawancara dimulai, interviewer memperkenalkan menyebutkan nama dan asal institusi pendidikan
diri
waktu
dengan
C. Penjelasan 1. Menjelaskan maksud dilakukan wawancara. Responden pada saat wawancara diharap dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan pendidikan KRR oleh guru BK. 2. Informasi tentang permasalahan tersebut, semata-mata hanya untuk kepentingan penelitian dan dijamin kerahasiaannya. 3. Melalui kegiatan ini, peneliti ingin mengetahui faktor yang berhubungan dengan praktik pendidikan kesehatan reproduksi oleh guru BK pada SMP di Kota Semarang D. Prosedur 1. Wawancara ini akan dipimpin oleh peneliti langsung. 2. Peneliti akan mengajukan pertanyaan untuk mendapat jawaban dari responden 3. Semua jawaban responden akan direkam dengan recorder serta dicatat. E. Penutup 1. Sebelum wawancara ini kami akhiri, silahkan disampaikan bila ada informasi atau pendapat yang akan diberikan. 2. Terimakasih atas kesediaan dan partisipasi responden yang sangat berarti bagi kami. 3. Demikian wawancara ini kita akhiri, sekali lagi ucapkan terimakasih dan salam penutup. Selama wawancara akan diambil foto sebagai bukti dan dokumentasi.
1
A. IDENTITAS WAWANCARA Tanggal Wawancara Nomor responden Nama Sekolah Alamat Sekolah
: : : :
B. KARAKTERISTIK RESPONDEN Nama Responden Umur Jenis Kelamin Kelas Pelatihan KRR
:.................................. :..........tahun : 0. Laki-laki 3. Perempuan : ......... : 0. Belum pernah 1. Pernah
C. PERTANYAAN 1. 2. 3. 4. 5.
Apa yang telah dilakukan guru BK dalam pendidikan KRR di sekolah saudara? Bagaimana (kapan, berapa kali) pelaksanaan pendidikan KRR tersebut? Materi KRR apa saja yang guru BK sampaikan? Metode apa yang guru BK gunakan dalam pendidikan KRR pada siswa? Jika pernah melakukan pendidikan KRR apapun metodenya, sejak kapan guru BK melakukan hal tersebut?...........
2
Lampiran 2 PERSONALIA PENELITIAN 1. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar : dr. Zaenal Sugiyanto, M.Kes b. Golongan Pangkat dan NPP: - / 0686.11.1997.115 c. Jabatan Fungsional
: Asisten Ahli
d. Jabatan Struktural
: Ka. Progdi S-1 Kesehatan Masyarakat
e. Fakultas/Program Studi
: Kesehatan / Kesehatan Masyarakat
f. Perguruan Tinggi
: Universitas Dian Nuswantoro Semarang
g. Bidang Keahlian
: Kesehatan Masyarakat
h. Waktu untuk Penelitian ini : 7 jam/minggu
2. Anggota Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar : Suharyo, SKM, M.Kes b. Golongan Pangkat dan NPP: - / 0686.11.2002.299 c. Jabatan Fungsional
: Lektor
d. Jabatan Struktural
:-
e. Fakultas/Program Studi
: Kesehatan / Kesehatan Masyarakat
f. Perguruan Tinggi
: Universitas Dian Nuswantoro Semarang
g. Bidang Keahlian
: Kesehatan Masyarakat (Epidemiologi)
h. Waktu untuk Penelitian ini : 6 jam/minggu
3. Administrasi
: Nani Handayani, Amd
4. Pencacah
: 2 mahasiswa Kesehatan Masyarakat tingkat akhir
3
4