ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DISTRIK CILIMUS BERBASIS AGRIBISNIS KOMODITAS UBI JALAR DI KABUPATEN KUNINGAN
YATI MARYATI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Analisis Potensi Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Komoditas Ubi Jalar di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Juni 2009
Yati Maryati A 156070154
ABSTRACT
YATI MARYATI. Analysis of Potensial Development Agropolitan Cilimus District Based on Sweet Potato Agribussiness in Kuningan Regency. Under direction of ERNAN RUSTIADI and DARMAWAN. Kuningan Regency has a great potency in agricultural sector. The dominant commodity which developed by the community in Cilimus District is sweet potato. The value added of whole products were very low because there were no agroindustries. So that the regency government will build the integrated agropolitan zone development based on sweet potato commodity in Cilimus District. The purposes of the research are: 1) to identify the land suitability and potential location, 2) to analyze financial feasibility, 3) to analyze efficiency and the prospect of market, (4 ) to identify potential agro-industry development and value added sweet potato commodity, 5) to identify choice of the public opinion about type of agro-industry developmentand 6) to identify effect of development agropolitan district Cilimus to local economic development. The research was conducted in Cilimus District in Kuningan Regency. This study used land suitability analysis, financial analysis, chain of marketing and industrial tree, analytical hierarchy process (AHP). The result showed that there are two types of potential lands (wet land and dry land); prospective products are flour sweet potato, sauce sweet potato, fructose, frozen sweet potato. There are 3 levels of collecting traders from village, district until sending trader, and the sending trader enjoyed the biggest profit. The direction of development based on location, chosen product, the actor and the market prospect. All the activities are designed in a District Cilimus which including many stakeholders participation. Keywords: agropolitan, sweet potato, agro-industry.
RINGKASAN
YATI MARYATI. Analisis Potensi Pengembangan Kawasan Agropolitan Distrik Cilimus Berbasis Agribisnis Komoditi Ubi Jalar Di Kabupaten Kuningan. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI and DARMAWAN. Masterplan Agropolitan Kabupaten Kuningan Tahun 2005, mengidentifikasi bahwa Distrik Cilimus sebagai distrik prioritas pengembangan dengan salah satu komoditi unggulan utamanya adalah komoditi ubi jalar dengan tingkat produksi mencapai 100 ribu ton/tahun. Distrik adalah istilah dalam agropolitan, yang menunjukkan suatu pengembangan kawasan yang tidak dibatasi oleh batas administrasi. Distrik Cilimus meliputi 9 kecamatan, yaitu Cilimus, Pancalang, Mandirancan, Cigandamekar, Cipicung, Japara, Jalaksana, Cipicung dan Karamatmulya. Di samping lokasi yang memenuhi persyaratan tumbuh tanaman, aspek keuntungan finansial merupakan suatu keharusan dalam pengusahaan suatu komoditi. Aspek pasar merupakan aspek yang menentukan bagi keberhasilan budidaya ubi jalar. Petani tidak kesulitan menjual komoditi ubi jalar karena banyak pedagang pengumpul yang akan membeli. Namun yang menjadi masalah apakah rantai pemasaran ubi jalar telah efisien, jika dilihat dari margin share yang diterima petani. Keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus sangat ditentukan oleh adanya keterlibatan stakeholder. Untuk itu perlu diketahui bagaimana preferensi stakeholder dalam memilih jenis pengembangan agribisnis komoditas ubi jalar yang paling tepat dan diharapkan dapat mendukung perkembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus. Selanjutnya apakah pengembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus mempunyai dampak terhadap kesejahteraan petani secara umum. Tujuan Penelitian ini yaitu (1) Mengetahui lokasi dan luas lahan potensial yang dapat dijadikan acuan untuk estimasi produksi komoditas ubi jalar; (2) Menganalisis kelayakan finansial usahatani tanaman ubi jalar pada tiap kelas kesesuaian lahan; (3) Menganalisis efisiensi kelembagaan pemasaran ubi jalar; (4) Menganalisis potensi pengembangan agribisnis dan nilai tambah dari komoditas ubi jalar; (5) Mengetahui pilihan stakeholder terhadap jenis pengembangan agribisnis komoditas ubi jalar; (6) Mengetahui dampak pengembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus yang berbasis komoditas ubi jalar terhadap perkembangan ekonomi lokal. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara maupun pengamatan langsung terutama untuk memperoleh data sosial ekonomi. Data sekunder yang digunakan adalah luas panen, luas tanam, produktivitas komoditi ubi jalar, data analisa ekonomi usahatani pertanian, data curah hujan, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), peta tanah, peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), peta administrasi dan peta pengunaan lahan eksisting (land-use). Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kesesuaian lahan pada tingkat ordo berdasarkan kriteria FAO (1976), yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (sesuai), S3 (cukup sesuai) dan N (tidak sesuai), analisis finansial untuk tanaman semusim yang meliputi instrumen Revenue/Cost (R/C Ratio), Benefit/Cost Ratio (B/C Ratio) dan Break Event Point (BEP), Return of Investment; analisis margin tata niaga; analisis pohon industri; dan analisis preferensi masyarakat dengan metode Analytical Hierarchy Proccess/AHP serta uji beda beda pendapatan dengan menggunakan analisis t-student.
Luas lahan yang berpotensi untuk pengembangan tanaman ubi jalar lahan basah (sawah irigasi dan tadah hujan) adalah seluas 8.230 ha, dengan estimasi produksi ubi jalar mencapai 166.950 per musim tanam. Sedangkan lahan kering yang potensial adalah belukar seluas 2.080 ha dan ladang seluas 1.640 ha, dengan estimasi produksi ubi jalar dapat mencapai 80.032 per musim tanam. Saat ini produksi ubi jalar di Kabupaten Kuningan mencapai 104.833 ton/tahun dan permintaan pasar mencapai 131.000 ton/tahun. Estimasi produksi ini dapat dijadikan acuan untuk menutupi kekurangan produksi (minus) ubi jalar sebesar 26.000 ton/tahun Komoditas ubi jalar merupakan komoditas secara finansial layak untuk diusahakan, ditunjukkan oleh nilai Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) dan B/C Ratio sebesar 2.84 dan 1.84 (pada lahan S1). Nilai titik impas (BEP) harga usahatani ubi jalar pada lahan S (sesuai) sebesar Rp.353. Berdasarkan nilai ROI sebesar 184%, berarti setiap Rp.100 modal yang diinvestasikan, usahatani ubi jalar akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp.184. Nilai–nilai tersebut secara umum menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar relatif sangat menguntungkan dibandingkan dengan tanaman palawija lainnya. Margin share yang diterima petani belum sebanding dengan resiko biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan petani. Ini menunjukkan kalau rantai tata niaga ubi jalar di kawasan agropolitan Distrik Cilimus belum efisien, karena pada umumnya masih dikuasai pedagang pengumpul dan pedagang besar. Dengan telah berkembangnya dan bertambahnya industri pengolahan ubi jalar di Distrik Cilimus, petani ubi jalar memiliki pilihan dalam memasarkan komoditas ubi jalar. Petani dapat menjual ubi jalar ke industri pengolahan selain dijual ke pedagang pengumpul dan pedagang besar. Keadaan ini dapat membuat posisi tawar (bargaining position) petani dalam tata niaga ubi jalar menjadi lebih baik. Potensi pengembangan komoditas ubi jalar, ada 10 jenis produk turunan (derivatif) yang dapat dikembangkan dari ubi jalar, sebanyak 5 (lima) produk turunan ubi jalar telah dilakukan di Distrik Cilimus, baik skala rumah tangga, industri kecil dan industri menengah. Produk turunan yang telah dikembangkan adalah ubi jalar untuk konsumsi rumah tangga, ubi jalar beku, tepung ubi jalar, pasta ubi jalar dan pati ubi jalar. Sedangkan potensi produk turunan ubi jalar yang potensial dapat dikembangkan menjadi industri adalah pati menjadi dekstrim, asam cuka (asam asetat), alkohol, gula fruktosa dan pakan ternak. Analisis AHP (Analytical Hierachy Proccess) menunjukkan pendapat stakeholder yang menjadi responden dalam penelitian. Pada saat ini pilihan terbaik adalah menjual langsung ubi jalar dalam bentuk segar daripada dilakukan proses pengolahan pada komoditas ubi jalar. Pilihan ini diduga dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, diantaranya pada saat harga ubi jalar tinggi, pengolahan ubi jalar menjadi tidak efisien selain memerlukan waktu, biaya proses pengolahan ubi jalar cukup tinggi, apalagi di saat adanya kenaikan BBM (bahan bakar minyak) sehingga memerlukan modal yang cukup besar. Hasil uji statistik t–student menunjukkan adanya perbedaan nyata antara rata–rata pendapatan petani ubi jalar monokultur dengan petani ubi jalar tumpang sari. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar mempunyai pengaruh cukup besar dalam meningkatkan pendapatan petani secara umum. Untuk melihat perkembangan kawasan agropolitan Distrik, dilihat dari indeks kemampuan daya beli yang cenderung meningkat. Periode tahun 2005– 2006, indeks kemampuan daya beli meningkat 0.52. Sedangkan periode tahun 2006–2007 indeks kemampuan daya beli meningkat 0.65. Meskipun peningkatan indeksnya hanya 0.13 poin, tapi itu sudah cukup signifikan mengingat komponen ini, sensitif terhadap kebijakan makro ekonomi seperti kenaikan harga kebutuhan pokok, indeks harga konsumen (IHK) dan kenaikan bahan bakar minyak (BBM).
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang – Undang : 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DISTRIK CILIMUS BERBASIS AGRIBISNIS KOMODITAS UBI JALAR DI KABUPATEN KUNINGAN
YATI MARYATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Penelitian
:
Analisis Potensi Pengembangan Kawasan Agropolitan Distrik Cilimus Berbasis Agribisnis Komoditas Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan
Nama
:
Yati Maryati
NRP
:
A 156070154
Program Studi
:
Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua
Dr. Ir. Darmawan, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian : 23 Juni 2009
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan pada waktunya. Tema yang dipilih dalam karya tulis ini adalah ”Analisis Potensi Pengembangan Kawasan Agropolitan Distrik Cilimus Berbasis Agribisnis Komoditas Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan”. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Darmawan, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing dan Ir. Fredian Tony, M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan masukan. Selain itu penulis juga sampaikan terima kasih kepada Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan dan kepada Pemerintah Kabupaten Kuningan yang telah memberikan ijin belajar. Kepada seluruh staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB, penulis sampaikan ucapan terima kasih atas bekal ilmu dan wawasan serta bantuan atas kelancaran administrasi selama melaksanakan studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada petani dan stakeholder yang telah bersedia menjadi narasumber untuk bahan dalam penyusunan karya tulis ini. Tak lupa ucapan terima kasih untuk teman–teman PWL Khusus dan Reguler angkatan 2007, atas bantuan, kerjasama dan dorongan yang tiada henti dalam proses penyelesaian karya tulis ini. Terakhir dan terpenting, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar yang berada di Kuningan, Bandung dan Jakarta, atas pengertian, do’a dan kasih sayang yang tiada henti. Ibarat kata pepatah ’tak ada gading yang tak retak’, meskipun dalam karya tulis ini masih banyak ditemui kekurangan dan keterbatasan, namun semoga tetap dapat bermanfaat.
Bogor,
Juni 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 24 Mei 1971 dari pasangan Jacub Supardiaman dan Tuti Sumartini. Kemudian dibesarkan dan menyelesaikan pendidikan Taman Kanak–Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Sumedang. Setelah itu menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bandung. Tahun 1990 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Saringan Masuk IPB), dan selama pendidikan penulis mengambil jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 1995. Setelah lulus pendidikan sarjana, penulis sempat bekerja di perusahaan swasta dan KADIN Jawa Barat. Kemudian diterima dan memulai karir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Tahun 1998 dan ditempatkan sebagai staf pada Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah Kabupaten Kuningan. Pada Tahun 2002 ditempatkan di Kantor Promosi dan Penanaman Modal Daerah, selanjutnya pada Tahun 2005 sampai sekarang ditempatkan di Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kuningan. Kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pascasarjana diberikan melalui beasiswa pendidikan dari Pusbindiklatren Bappenas pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI hal DAFTAR TABEL…………………………………………………………………
iii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………...
v
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………..…………..……………
vi
PENDAHULUAN……………..………………………………………………....
1
Latar Belakang…………………….………………………....................
1
Perumusan Masalah………………………………………………..……
3
Tujuan.……………………………………………..................................
8
Manfaat Penelitian.……………………………………………….……...
8
TINJAUAN PUSTAKA………..…………………………………….…………..
9
Komoditas Ubi Jalar.……………………………………………..………
9
Pengembangan Wilayah………………………………………..……….
10
Keterkaitan Antar Wilayah…………...……..…………………………...
12
Pengembangan Kawasan Agropolitan..............................................
12
Pengembangan Agropolitan di Kuningan..........................................
15
Evaluasi Kesesuaian Lahan.......................…………………………...
17
Kelayakan Finansial...........................................................................
19
Marjin Pemasaran..............................................................................
20
Aspek Produksi Pertanian.................................................................
20
Sistem Agribisnis,Agroindustri dan Nilai Tambah..............................
21
Pohon Industri..............................................……………………….....
24
Analytical Hierachy Process…………...…………………………….....
24
METODE PENELITIAN…………..…………………………………................
27
Kerangka Pemikiran..........................................................................
27
Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................
30
Pengumpulan Data............................................................................
31
Metode Wawancara...........................................................................
31
Analisis Kelas Kesesuaian Lahan......................................................
34
Analisis Kelayakan Finansial.............................................................
34
Analisis Margin Tata Niaga................................................................
36
Analisis Pohon Industri......................................................................
36
Analisis Preferensi Masyarakat.........................................................
37
Analisis Uji Beda Pendapatan...........................................................
38
ii KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN..............................................
41
Kabupaten Kuningan............................................................................
41
Penggunaan Lahan..............................................................................
45
Kawasan Agropolitan Distrik Cilimus....................................................
47
HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................
52
Keragaan Usahatani Ubi Jalar...........................................................
52
Identifikasi Kelas Kesesuaian Lahan.................................................
54
Kesesuaian Lahan Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan.......................
55
Kesesuaian Lahan Ubi Jalar di Distrik Cilimus..................................
57
Persebaran Lokasi Lahan Potensial Tanaman Ubi Jalar di Distrik
59
Cilimus............................................................................................... Kelayakan Finansial Tanaman Ubi Jalar...........................................
62
Pola Tata Niaga Komoditas Ubi Jalar................................................
64
Margin Tata Niaga Komoditas Ubi Jalar............................................
69
Potensi Produksi dan Pasar untuk Komoditas Ubi Jalar...................
73
Potensi Pengembangan Agroindustri Komoditas Ubi Jalar...............
77
Keragaman Produk Turunan dari Komoditas Ubi Jalar.....................
81
Preferensi Masyarakat.......................................................................
83
Skenario Pengembangan Industri.....................................................
89
Peningkatan Kinerja Usahatani Ubi Jalar..........................................
90
Perkembangan Kawasan Agropolitan Distrik Cilimus........................
93
SIMPULAN DAN SARAN...........................................................................
98
Simpulan............................................................................................
98
Saran.................................................................................................
99
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
100
LAMPIRAN..................................................................................................
104
iii DAFTAR TABEL Hal 2
1
Produksi Tanaman Palawija di 4 Distrik Agropolitan.............................
2
Pendapatan Usahatani Ubi Jalar Dibandingkan dengan Ubi Kayu, Kedelai dan Jagung...............................................................................
4
3
Negara Importir Utama Ubi Jalar Dunia Tahun 2003–2003...................
6
4
Sistem Urutan (Rangking) Saaty...........................................................
25
5
Tujuan, Metode Analisis, Data, Sumber Data dan Output.....................
32
6
Jenis dan Luas Tanah di Kabupaten Kuningan.....................................
42
7
Penggunaan Lahan Eksisting di Kabupaten Kuningan..........................
44
8
Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Kuningan................................
45
9
Pembagian Distrik Pengembangan Kawasan Agropolitan....................
48
10
Perkembangan Produksi Tanaman Pangan di Distrik Cilimus Tahun 2004–2007.............................................................................................
49
11
Kesesuaian Lahan Tanaman Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan...........
55
12
Kesesuaian Lahan Tanaman Ubi Jalar di Distrik Cilimus......................
57
13
Kesesuaian Lahan Berdasarkan Penggunaan Lahan Eksisting ...........
59
14
Lahan Potensial Berdasarkan Peruntukan Lahan dalam RTRW...........
60
15
Hasil Analisis Finansial untuk Komoditas Ubi Jalar...............................
63
16
Perbandingan Nilai R/C Ratio dan B/C Ratio antara Ubi Jalar dengan Komoditas Palawija Lainnya..................................................................
64
17
Marjin Tata Niaga Ubi Jalar di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan 1..
69
18
Marjin Tata Niaga Ubi Jalar di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan 2..
70
19
Perkiraan Neraca Produksi dan Permintaan Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan................................................................................................
72
20
Estimasi Potensi Produksi Ubi Jalar di Lahan Basah............................
73
21
Estimasi Potensi Produksi Ubi Jalar di Lahan Kering............................
74
22
Harga Produk Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan Tahun 2006– 2008.......................................................................................................
75
23
Urutan Prioritas Faktor Kriteria Penentu Prioritas Pemilihan Jenis Pengembangan Agribisnis Ubi Jalar......................................................
84
24
Urutan Prioritas Pemilihan jenis Pengembangan Agribisnis Ubi Jalar di Distrik Agropolitan Cilimus Kabupaten Kuningan...............................
85
25
Kontribusi Pendapatan dari Usahatani Ubi Jalar terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani...........................................................................
94
26
Hasil Analisis Uji t-student Perbandingan Pendapatan Petani Ubi Jalar Monokultur dengan Petani Ubi Jalar Tumpang Sari.....................
95
27
Perbandingan Capaian IPM Kab. Kuningan Tahun 2006–2007............
96
iv DAFTAR GAMBAR Hal 1
Keterkaitan Perkotaan dan Perdesaan dalam Agropolitan....................
14
2
Mata Rantai Kegiatan Agribisnis............................................................
21
3
Kerangka Pikir Penelitian.......................................................................
30
4
Peta Administrasi Kabupaten Kuningan................................................
33
5
Diagram Alur Penelitian.........................................................................
40
6
Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kabupaten Kuningan.....................
46
7
Peta Distrik Agropolitan Kabupaten Kuningan......................................
50
8
Tanaman Ubi Jalar di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan..................
53
9
Peta Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan................................................................................................
56
10
Peta Kelas Kesesuaian Tanaman Ubi Jalar di Distrik Cilimus..............
58
11
Peta Lahan Potensial Tanaman Ubi Jalar di Distrik Cilimus.................
61
12
Pola Tata Niaga Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan...............................
65
13
Teknologi Pengolahan Sementara Ubi Jalar.........................................
79
14
Pohon Industri Pengolahan Ubi Jalar....................................................
82
15
Diagram Hirarki Pemilihan Jenis Pengembangan Ubi Jalar..................
83
v DAFTAR LAMPIRAN Hal 1
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Ubi Jalar (lpomoea batatas)................................................................................................
105
2
Hasil Percobaan Pemupukan Ubi Jalar pada 3 Jenis Tanah...............
106
3
Luas Tanam, Luas Panen, dan Produksi Komoditas Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan Tahun 2004–2006.............................................
107
4
Data Peta Satuan Lahan Evaluasi di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan..............................................................................................
108
5
Kesesuaian Lahan Evaluasi di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan..............................................................................................
114
6
Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Ubi Jalar.............................
120
7
Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Padi....................................
121
8
Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Jagung...............................
122
9
Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Kedelai...............................
123
10
Kuesioner Analisis Usahatani..............................................................
124
11
Kuesioner Marjin Pemasaran...............................................................
126
12
Kuesioner Preferensi Masyarakat........................................................
129
13
Jenis dan Sumber Data Penelitian.......................................................
133
14
Data Pendapatan Petani Ubi jalar Monokultur dan Tumpang Sari......
134
15
Hasil Analisis Beda Pendapatan Petani (Uji t–student).......................
135
PENDAHULUAN
Latar Belakang Secara umum peran sektor pertanian masih besar baik dalam skala nasional maupun regional. Sektor ini masih mampu memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional pada Tahun 2007 sebesar 12%. Karena sektor pertanian mempunyai keterkaitan erat dengan sektor
industri
yang
menjadi
subsistem
hilirnya
sehingga
berpotensi
meningkatkan nilai tambah. Dengan keterkaitan ini, sektor pertanian diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketenegakerjaan, pangan dan pertumbuhan perekonomian regional.
Peran penting lain sektor pertanian adalah sebagai
basis pengembangan ekonomi regional termasuk di wilayah perdesaan sehingga berperan dalam pengembangan wilayah dan dapat mengurangi kesenjangan pembangunan. Sebagai daerah agraris yang mayoritas penduduknya bertani, sektor pertanian memegang kendali utama perekonomian di Kabupaten Kuningan. Pada tahun 2007, sektor pertanian menyumbang 33,18 persen dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kuningan. Dominasi sektor pertanian didukung suburnya lahan pertanian di daerah ini. Di Kuningan bagian Timur yang sebagian besar dataran rendah lebih cocok untuk tanaman padi dan palawija. Sedangkan di Kuningan bagian Barat, yang merupakan dataran tinggi (kaki Gunung Ciremai) lebih cocok dengan tanaman hortikultura. Dengan pertimbangan arahan kebijakan pengembangan wilayah pada tingkat makro serta arahan kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kuningan sebagaimana dituangkan dalam Perda Kabupaten Kuningan No. 30 Tahun 2004 tentang Program Pembangunan Daerah (Propeda) dan kebijakan sektoral yang mengarah pada pengembangan kegiatan agribisnis dengan basis ekonomi pertanian yang mantap yang didukung oleh kegiatan industri yang berorientasi kepada agroindustri dan pengembangan sektor pariwisata, maka model pendekatan teoritis yang dapat diaplikasikan dalam proses penyusunan RTRW Kabupaten Kuningan adalah Konsep Agropolitan. Konsep Agropolitan didefinisikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Deptan, 2002). Konsep tersebut ditindaklanjuti
2 dengan penyusunan Masterplan Agropolitan yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 11 Tahun 2005. Dalam Masterplan tersebut telah ditetapkan menjadi 4 (empat) Distrik Pengembangan Agropolitan, yaitu : Distrik Kuningan, Distrik Cilimus, Distrik Ciawigebang, dan Distrik Luragung. Setiap distrik memiliki karakteristik yang berbeda ditinjau dari potensi sumber daya alam dan pemanfaatannya dalam bentuk kegiatan pertanian. Dari perspektif pengembangan wilayah, maka pertimbangan penting yang biasa digunakan untuk melihat potensi komoditas suatu kawasan adalah komoditas tersebut dapat mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai ke kawasan lain serta komoditas tersebut memiliki daya saing pasar terhadap komoditas lainnya. Dalam hal ini, komoditas ubi jalar dijadikan sebagai basis komoditas unggulan dalam mendukung pengembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus, didasarkan pada beberapa pertimbangan, diantaranya dari data produksi 7 komoditas palawija utama di setiap distrik pengembangan agropolitan, menunjukkan bahwa produksi komoditas ubi jalar sebagian besar dihasilkan di Distrik Cilimus (Tabel 1). Tabel 1 Produksi Tanaman Palawija Utama di 4 Distrik Agropolitan Kecamatan Kuningan Luragung Ciawigebang Cilimus
Padi Sawah 67.634 94.851 68.558 89.170 320.213
Kacang Kacang Jagung Kedelai Tanah Hijau (dalam ton) 10.646 25 440 440 9.959 808 1.303 1.303 584 60 2.110 2.110 1.754 12 920 920 22.943 905 4.773 4.773
Ubi Kayu
Ubi Jalar
24.558 9.864 8.230 4.089 46.741
3.275 407 3.731 86.199 93.594
Sumber : MasterPlan Agropolitan Kabupaten Kuningan (2005)
Data produksi ubi jalar pada tahun 2005, Indonesia hanya menghasilkan 1,2 persen dari total produksi dunia. Departemen Pertanian (2005) menyebutkan kebutuhan nasional mencapai 2.170.426 ton/tahun dengan produksi mencapai 2.753.356 ton/tahun. Sebagian besar surplus produksi ubi jalar secara nasional diekspor ke negara Malaysia, Singapura, Jepang, Korea dan Cina. Produktivitas ubi jalar di Indonesia secara umum masih sangat rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara lain yaitu rata-rata 9,8 ton/ha, sedangkan di Cina telah mencapai 20.85 ton/ha dan Jepang mencapai 24.73 ton/ha. Produksi ubi jalar di Kabupaten Kuningan pada tahun 2007 telah mencapai 104.833 ton (30 persen dari total produksi Provinsi Jawa Barat) dengan produktivitas 18,8 ton/ha.
3 Selain itu berdasarkan dari hasil penelitian sebelumnya dalam Masterplan Agropolitan (2003), menunjukkan bahwa komoditas ubi jalar di Distrik Cilimus : (1) nilai LQ (Location Quetiont) >1, yang berarti bahwa terjadinya pemusatan produksi ubi jalar di kawasan Distrik Cilimus secara relatif dibandingkan dengan total produksi Kabupaten Kuningan, selain itu ditunjukkan dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai ke luar distrik; (2) nilai LI (Location Indeks) mendekati 1, yang berarti bahwa produksi ubi jalar cenderung berkembang memusat; (3) budidaya ubi jalar memiliki nilai R/C Ratio sebesar 2,94. Nilai R/C Ratio >1 menunjukkan bahwa secara finansial usahatani ubi jalar menguntungkan; (4) komoditas ubi jalar memiliki daya saing agribisnis yang baik dibandingkan komoditas lain, hal ini didukung dengan keberadaan beberapa industri pengolahan ubi jalar di Distrik Cilimus; (5) Komoditas ini dipilih karena dilihat dari perkembangan luas areal tanam yang mencapai 6.150 ha dan produktivitas yang semakin meningkat mencapai 18.8 ton/ha. Namun untuk dapat mengembangkan komoditas ubi jalar di Distrik Cilimus
dalam
suatu
sistem
agribisnis
diperlukan
perencanaan
yang
komprehensif sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petani, pengusaha, masyarakat, pemerintah dan stakeholder lainnya serta tidak saja bagi pengembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus tetapi juga bagi perkembangan ekonomi wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan.
Perumusan Masalah Konsep agropolitan di Kabupaten Kuningan terdiri dari beberapa distrik dimana distrik-distrik agropolitan didefinisikan sebagai kawasan pertanian yang mayoritas penduduknya bekerja disektor pertanian dengan kecenderungan menggunakan pola pertanian modern. Pengembangan kawasan agropolitan dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing tinggi, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan otonomi di kawasan agropolitan. Hasil identifikasi yang sudah tertuang dalam Masterplan Agropolitan Kabupaten Kuningan Tahun 2005, bahwa distrik terpilih yang menjadi Distrik Prioritas Pengembangan adalah Distrik Cilimus dengan komoditas unggulan adalah ubi jalar dengan produksi mencapai 104.833 ton/tahun. Distrik adalah
4 istilah dalam agropolitan, yang menunjukkan suatu pengembangan kawasan yang tidak dibatasi oleh batas administrasi. Distrik Cilimus meliputi 9 kecamatan, yaitu Cilimus, Pancalang, Mandirancan, Cigandamekar, Cipicung, Japara, Jalaksana, Cipicung dan Karamatmulya. Ubi jalar merupakan tanaman yang relatif mudah dibudidayakan, tahan terhadap kekeringan dan air, cepat menghasilkan, mudah disimpan dan tahan lama dan mempunyai rasio produksi dan lahan yang cukup tinggi. Varietas lokal ubi jalar AC Putih dan AC Merah yang banyak dibudidayakan di Kabupaten Kuningan. Setiap tahun produksi ubi jalar sekitar 100.000 ton, atau sekitar 30 persen dari total produksi Provinsi Jawa Barat. Varietas ubi jalar yang banyak ditanam di Kuningan adalah varietas lokal, yaitu varietas Anak Ciremai (AC), Bogor, Jakarta, Jitok, Ceret, dan Lempengan. Sentra ubi jalar di Distrik Cilimus berada di Kecamatan Cilimus, Cigandamekar, dan Jalaksana. Meskipun usahatani ubi jalar relatif lebih menguntungkan dari sisi keuntungan finansial dibandingkan dengan tanaman palawija yang lainnya (seperti terlihat pada Tabel 2). Namun sejumlah permasalahan dihadapi, antara lain kuantitas dan kualitas ubi jalar yang dihasilkan masih belum merata untuk setiap petani. Pada umumnya transaksi jual beli sebagian besar masih dilakukan di lokasi panen turut melemahkan posisi tawar petani, sehingga petani tidak memiliki kesempatan untuk membandingkan harga. Sebagian besar penguasaan lahan petani pemilik berskala kecil, rata–rata kurang dari 0,5 hektar, hal ini menjadikan usahatani ubi jalar menjadi kurang efisien.
Masalah lain yang
dihadapi petani masih terbatasnya akses modal terhadap lembaga keuangan, sehingga sulit bagi petani untuk mengembangkan usahataninya. Tabel 2 Pendapatan Usahatani Ubi Jalar Dibandingkan dengan Ubi Kayu, Kedelai dan Jagung Uraian Produksi (kg/ha) Harga Satuan (Rp/kg) Penerimaan (Rp/ha) Biaya Saprodi (Rp/ha) Biaya Tenaga Kerja (Rp/ha) Biaya Lainnya (Rp/ha) Total Biaya Produksi (Rp/ha) Umur Panen
Ubi Jalar 10.560 600 6.336.000 1.560.000 2.275.000 250.000 4.085.000 4
Ubi Kayu 10.500 250 2.625.000 1.080.000 1.275.000 150.000 2.505.000 9
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat (2005)
Jagung 1.400 2.200 3.080.000 677.500 1.615.000 450.000 2.742.500 3
5 Selain mudah dibudidayakan, umur tanam ubi jalar sekitar 4 bulan. Umur tersebut umumnya relatif lebih pendek dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain.
Pada lahan basah (sawah) atau kering (ladang), ubi jalar dapat
dibudidayakan melalui model tumpang sari, tetapi bisa juga ditanam sebagai komoditas utama. Karena keterbatasan pengetahuan petani mengenai kondisi lahan, pada saat ini petani di Distrik Cilimus cenderung menanam tanaman ubi jalar tanpa memperhatikan kesesuaian lahan dan tanpa pola tanam yang terencana. Untuk menghindari agar petani tidak dirugikan dengan menanam ubi jalar di lokasi yang tidak sesuai dengan kriteria tumbuh tanaman (biofisik) dan aspek spasial (tata ruang), maka diperlukan arahan bagi masyarakat untuk memilih lokasi yang potensial menghasilkan produksi ubi jalar yang tinggi. Lokasi potensial penting untuk diketahui, selain untuk melihat aspek kesesuaian lahan juga untuk melihat potensi produksi yang dapat dihasilkan dari areal tanam tersebut. Selain lokasi areal tanam, faktor kelayakan usaha juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Aspek keuntungan finansial merupakan suatu keharusan dalam pengusahaan suatu komoditas.
Ada kalanya skala usaha
petani hanya mencapai break event point (BEP) dan tidak memperoleh keuntungan yang cukup memadai dari hasil tanaman ubi jalar. Ini kemungkinan terjadi, karena selama ini petani belum melakukan perhitungan aspek keuntungan finansial bagi usahatani tanaman ubi jalar.
Agar petani tidak
mengalami kerugian, maka perlu dilakukan analisis kelayakan finansial pada tiap kelas kesesuaian lahan untuk tanaman ubi jalar. Dari aspek pemasaran, ubi jalar dari Distrik Cilimus sebagian besar dibawa ke luar Distrik Cilimus (Kuningan, Cirebon, Bandung, dsb). Permintaan pasar dunia terhadap komoditi ubi jalar (beserta produk turunannya) untuk kebutuhan makanan olahan dan industri masih cukup tinggi (Fuglie, 2004). Dari Tabel 3 menunjukkan potensi peluang pasar dunia untuk komoditas ubi jalar dilihat dari 9 (sembilan) negara impotir ubi jalar terbesar di dunia. Sedangkan menurut data BPS (2008), negara Malaysia, Singapura, Jepang, Korea dan Cina merupakan pasar ekspor ubi jalar maupun produk olahannya yang berasal dari Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa peluang ekspor komoditas ubi jalar sebenarnya masih terbuka luas.
6 Tabel 3 Negara Impotir Utama Ubi Jalar Dunia Tahun 2000–2003 No
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kanada Italia Inggris Amerika Serikat Malaysia Perancis Jepang Singapura Saudi Arabia Lainnya Dunia
Volume (Ton) Tahun 2000
Tahun 2001
18.543.000 10.029.000 6.145.000 8.026.000 4.389.000 4.859.000 3.678.000 3.001.000 500.000 21.671.000 18.543.000
19.117.000 14.811.000 7.431.000 6.825.000 4.388.000 5.367.000 4.845.000 3.621.000 1.592.000 23.458.000 91.455.000
Tahun 2002
Tahun 2003
19.917.000 20.056.000 10.595.000 13.290.000 9.604.000 11.578.000 6.160.000 6.593.000 5.790.000 8.223.000 5.121.000 6.479.000 3.174.000 5.901.000 3.056.000 4.173.000 1.617.000 2.356.000 18.535.000 22.847.000 83.569.000 101.496.000
Sumber : FAO (2004)
Aspek pasar merupakan aspek yang menentukan bagi keberhasilan budidaya ubi jalar. Pada saat ini petani tidak kesulitan menjual komoditas ubi jalar karena banyak pedagang pengumpul yang akan membeli. Namun yang menjadi masalah apakah rantai pemasaran ubi jalar telah efisien. Dalam arti apakah keuntungan yang didapat petani (margin share) cukup sebanding dan sesuai dengan korbanan petani dalam mengelola usahataninya. Bila belum efisien, faktor apa yang menyebabkannya dan apa alternatif pemecahan masalah tersebut sehinga rantai pemasaran ubi jalar menjadi lebih efisien. Potensi pengembangan komoditas ubi jalar masih sangat luas, selain dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan, produk olahannya berupa tepung dan pasta dibutuhkan oleh industri pangan, industri pakan ternak, dan industri kimia. Produk olahan yang dapat diperoleh dari ubi jalar di antaranya adalah tepung pati, pasta ubi jalar, keripik, selai, saus, sirup, gula fructosa dan alkohol. Selain itu, tepung ubi jalar dalam jumlah tertentu juga dapat menjadi substitusi tepung terigu dalam pemakaian sebagai bahan baku pengolahan makanan. Harus diakui, selama ini sebagian besar masyarakat Indonesia hanya mengolah ubi jalar secara tradisional yaitu dengan menggoreng, merebus ataupun dikukus. Tepung pati yang merupakan produk setengah jadi dari ubi jalar dapat digunakan sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan kembang gula, es krim, roti, kue dan beberapa minuman sirup. Di Jepang, tepung pati tersebut menjadi salah satu bahan baku pengolahan sirup glukosa dan sirup fruktosa. Sedangkan di Amerika Serikat, ubi
7 jalar selain dikonsumsi sebagai bahan pangan juga digunakan sebagai bahan baku dalam industri lem, fermentasi, tekstil, farmasi dan kosmetik.
Secara
umum, ubi jalar sebenarnya menyimpan potensi sebagai pangan alternatif dan juga menguntungkan dari segi bisnis. Di Distrik Cilimus sudah ada industri pengolahan dengan bahan baku ubi jalar yang berbagai produk turunannya telah diekspor ke Jepang dan Korea. Dengan kapasitas produksi 80 ton ubi jalar segar per hari, pasokan bahan baku ubi jalar dari Kuningan masih belum mencukupi dan kekurangannya masih didatangkan dari daerah lain diantaranya dari Majalengka, Purwakarta, Purbalingga, Garut, Purwakarta, Purwekerto, Batang, Magelang dan Malang.
Selain itu, untuk mendukung perkembangan
agroindustri ubi jalar, pada saat ini telah dibangun industri pengolahan ubi jalar (untuk pembuatan chips, grates dan tepung ubi jalar) yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan, namun pada saat ini pengelolaan dan pemanfaatannya masih belum optimal. Sebagian besar petani di Distrik Cilimus menjual ubi jalar dalam bentuk ubi jalar segar (mentah) langsung di on-farm (di lahan). Tata niaga seperti ini, selain membuat posisi tawar petani menjadi lemah dalam menentukan harga (karena petani tidak mempunyai kesempatan memilih jalur pemasaran lain) dan tidak ada nilai tambah yang dapat diperoleh petani. Nilai tambah pengolahan ubi jalar menjadi berbagi produk pangan cenderung dinikmati oleh pihak lain (industri pengolahan atau industri makanan). Meskipun ada beberapa petani yang telah melakukan pengolahan, namun masih terbatas pada pengolahan yang bersifat tradisional, seperti pembuatan penganan dan kue berbahan dasar ubi jalar. Keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus sangat ditentukan oleh adanya keterlibatan stakeholder. Untuk itu perlu diketahui bagaimana preferensi stakeholder dalam memilih jenis pengembangan agribisnis komoditas ubi jalar yang paling tepat dan diharapkan dapat mendukung perkembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus. Selanjutnya apakah pengembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus mempunyai dampak terhadap kesejahteraan petani secara umum. Dengan memperhatikan permasalahan dan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu : 1.
Dimanakah lokasi dan berapa luas lahan potensial untuk tanaman ubi jalar berdasarkan aspek fisik lahan dan spasial?
2.
8 Bagaimanakah kelayakan finasial pengusahaan tanaman ubi jalar pada tiap kelas kesesuaian lahan?
3.
Bagaimana efisiensi kelembagaan pemasaran komoditas ubi jalar?
4.
Bagaimana potensi pengembangan agribisnis dan nilai tambah dari komoditas ubi jalar?
5.
Bagaimana preferensi stakeholder terhadap pilihan jenis pengembangan agribisnis komoditas ubi jalar?
6.
Bagaimana dampak pengembangan kawasan agropolitan di Distrik Cilimus yang berbasis komoditas ubi jalar terhadap pendapatan keluarga petani dan kesejahteraan masyarakat lokal?
Tujuan Dengan memperhatikan latar belakang dan permasalahan, dapat dirumuskan beberapa tujuan seperti di bawah ini : 1.
Mengetahui lokasi dan luas lahan potensial yang dapat dijadikan acuan untuk estimasi produksi komoditas ubi jalar.
2.
Menganalisis kelayakan finansial usahatani tanaman ubi jalar pada tiap kelas kesesuaian lahan.
3.
Menganalisis efisiensi kelembagaan pemasaran ubi jalar.
4.
Menganalisis potensi pengembangan agribisnis dan nilai tambah dari komoditas ubi jalar.
5.
Mengetahui pilihan stakeholder terhadap jenis pengembangan agribisnis komoditas ubi jalar.
6.
Mengetahui dampak pengembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus yang berbasis komoditas ubi jalar terhadap pendapatan keluarga petani dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam beberapa aspek, diantaranya : 1.
Dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam mengembangkan wilayah, terutama wilayah yang menjadi kawasan pengembangan agropolitan Distrik Cilimus.
2.
Sebagai proses pembelajaran dan bahan referensi dalam pengembangan kawasan agropolitan.
TINJAUAN PUSTAKA
Komoditas Ubi Jalar Ubi jalar (lpomomea batatas L) adalah tanaman bahan pangan yang memiliki nutrisi tinggi dan mudah dibudidayakan, tahan terhadap kekeringan dan air, cepat menghasilkan, mudah disimpan dan tahan lama dan mempunyai rasio produksi dan lahan yang cukup tinggi. Menurut seorang ahli Botani Rusia, Nikolai Ivanovich Vavilov, tanaman ini berasal dari Amerika Tengah yang menyebar ke seluruh dunia terutama negara–negara yang beriklim tropis pada abad ke XVI sampai ke kawasan Asia terutama Filipina, Jepang dan Indonesia. Nama lokal tanaman ubi jalar sangat bervariasi, di Jawa Barat bernama Boled, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Tela Rambat, di Jepang dikenal dengan nama Shoyu dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Sweet Potato. Mazulla (1994) menyatakan bahwa 17% dari waktu tanam ubi jalar untuk masa pertumbuhan, 26 % untuk persiapan bibit/stek dan penanaman, 13 % untuk pembajakan dan pengolahan tanah, 28% untuk pembalikan tanah selama masa awal pertumbuhan, 16% untuk masa panen. Penggunaan tenaga kerja yang paling banyak adalah saat penanaman dan panen. Untuk menjaga kualitas komoditas ubi jalar, pada saat panen proses pencangkulan dan pemotongan ubi dari tangkainya adalah proses yang harus mendapat perhatian ekstra. Pada saat ini, ada dua metode yang bisa dilakukan untuk proses panen yaitu : (1). Secara konvensial, membongkar tanah dengan menggunakan tangan, dan memotong umbi dari tangkainya; (2). Secara mekanis, membongkar tanah dengan menggunakan mesin, pengumpulan dan sortir dilakukan dengan manual (tangan). Menurut Mtunda et al. (2001), meskipun ubi jalar secara umum dimanfaatkan sebagai bahan pangan untuk konsumsi rumah tangga. Namun pemasaran merupakan masalah penting dan yang menjadi kendala utamanya adalah daya simpan (shelf-life) ubi jalar segar relatif singkat. Perkiraan tingkat kerusakan ubi jalar ketika tiba di kota tujuan pemasaran adalah berkisar 43–93%. Beberapa tipe kerusakan diantaranya pecah, terpotong, terinfeksi cylas spp. (boleng
atau
lanas)
dan
berakar.
Semua
kerusakan
tersebut
dapat
memperpendek shelf-life ubi jalar, berakar dan kehilangan berat (weight-less). Menurut Smit (1997), budaya lokal yang membiarkan hasil panen ubi jalar ditumpuk di tempat panen dan melakukan panen secara bertahap, juga
10 merupakan salah penyebab menurunnya kualitas ubi jalar. Keadaan tersebut dapat menyebabkab ubi jalar rentan terkena hama boleng (cylas). Kerusakan yang terjadi terutama diakibatkan karena buruknya cara menangani panen dan pasca panen. Buruknya kualitas komoditas ubi jalar yang dihasilkan selain akan menyebabkan memperpendek shelf-life ubi jalar juga akan menurunkan nilai komoditas ubi jalar di pasaran, bahkan dapat menghilangkan kesempatan mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih besar. Menurut Fuglie (2004), permintaan komoditas ubi jalar masih sangat terbuka luas untuk pasar Asia. Meskipun konsumsi per kapita ubi jalar cenderung mengalami penurunan, tetapi permintaan ubi jalar dalam bentuk pati dan pakan ternak cenderung mengalami peningkatan
yang cukup
besar.
Prospek
perkembangan komoditas ubi jalar di pasar international sangat tergantung kepada daya saingnya terhadap produk sumber karbohidrat lainnya seperti pati jagung (maizena). Chips ubi jalar dan sawut ubi jalar (grates) merupakan produk turunan dari ubi jalar yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Chips ubi jalar dapat
digunakan sebagai bahan dasar formulasi pakan ternak (Gerona and Sanchez, 1995; Yen, 1982) atau dapat diproses lebih lanjut menjadi tepung ubi jalar (CIATT, 1988; Tan and Orias, 1986; Tan, 1990). Sawut ubi jalar (dried grates) dapat dipakai sebagai bahan dasar pembuatan makanan tradisional (Truong, 1987) dan juga dapat diproses lebih lanjut menjadi tepung ubi jalar. Pengolahan ubi jalar segar menjadi dried chips dan grates diperlukan untuk mempertahankan kualitas produk untuk penyimpanan jangka panjang.
Pengembangan Wilayah Konsep pengembangan wilayah dikembangkan dari kebutuhan suatu daerah untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Pengaruh globalisasi, pasar bebas dan regionalisasi menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika spasial, sosial, dan ekonomi antar negara, antar daerah (kota/kabupaten), kecamatan hingga perdesaan. Pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal,
11 sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desadesa tertinggal. Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing, manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan. Terminologi wilayah (region) hingga kini belum ada kesepakatan diantara para
pakar
ekonomi,
pembangunan,
geografi
maupun
bidang
lainnya
(Richardson, 1975; Alkadri 2002). Sebagian ahli mendefinisikan wilayah merujuk pada tipe-tipe, fungsi wilayah atau kawasan dan korelasi unsur-unsur fisik dan non fisik dalam pembentukan suatu wilayah. Namun demikian, secara umum definisi wilayah dapat diartikan sebagai suatu unit geografis yang membentuk suatu kesatuan. Pengertian unit geografis merujuk pada ruang (spatial) yang mengandung aspek fisik dan non fisik seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, lingkungan, biologi dan pendidikan. Dalam konteks pembangunan, penerapan ilmu kewilayahan berpijak pada empat pilar, yaitu: (1) sumber daya alam, (2) lokasi, (3) ekonomi dan (4) sosial-budaya (socio-culture). Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah dan menjaga kelestarian hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat dibutuhkan untuk mengkaji kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik dan geografis secara terpadu yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Penerapan konsep pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan potensi, permasalahan dan kondisi nyata wilayah bersangkutan. Tujuan pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumber daya yang ada dapat optimal mendukung peningkatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran program pembangunan yang diharapkan. Optimalisasi berarti tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan lingkungan yang berkelanjutan (Anwar, 2001).
12 Keterkaitan Antar Wilayah Salah satu faktor penyebab kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan selama ini adalah terjadinya kecenderungan aliran bersih (transfer netto) sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besarbesaran dengan disertai derasnya proses migrasi penduduk secara berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota besar.
Perpindahan inipun
memberikan dampak dimana di berbagai kota-kota utama mengalami urbanisasi berlebihan (over-urbanization) di lain pihak desapun kehilangan tenaga-tenaga produktif yang seharusnya sebagai bagian dari mata rantai roda kehidupan dan roda ekonomi perdesaan (Anwar dan Rustiadi, 1999). Dari sisi peta kemiskinan kondisi tersebut di atas telah menimbulkan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan dan menghasilkan kemiskinan di perdesaan, sehingga pendekatan pembangunan selama ini yang banyak mengakibatkan urban bias harus menjadi perhatian semua pihak. Apabila proses urbanisasi yang tidak terkendali semakin mendesak produktivitas pertanian dibiarkan akan mengancam ketahanan pangan nasional.
Pengembangan Kawasan Agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif pembangunan perdesaan melalui keterkaitan desa dan kota (urban-rural linkages) untuk mencegah terjadinya urban bias. Pengembangan kawasan perdesaan dengan pendekatan “agro-based development” perlu terus ditingkatkan, sebagai satu kesatuan pengembangan wilayah berdasarkan keterkaitan ekonomi antara desakota
(urban-rural
linkages),
dan
mempunyai
hubungan
yang
bersifat
interdependensi/timbal balik yang dinamis. Sementara itu kawasan-kawasan yang mempunyai produk unggulan, perlu ditumbuhkembangkan menjadi kawasan agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan menyeluruh. Selain itu, image desa sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produkproduk primer (belum diolah), harus didorong menjadi desa yang mampu menghasilkan bahan-bahan olahan atau industri hasil pertanian sehingga desa dapat menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Konsep
pengembangan
agropolitan
pertama
kali
diperkenalkan
(Friedmann dan Douglass (1974) dalam Rustiadi et al., 2007) sebagai strategi untuk pengembangan perdesaan. Menurut konsep ini agropolitan terdiri dari beberapa distrik dimana distrik-distrik agropolitan didefinisikan sebagai kawasan
13 pertanian yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian dengan kecenderungan menggunakan pola pertanian modern. Ditinjau dari tata bahasa, agropolitan terdiri dari kata agro yang berarti pertanian dan politan yang berarti kota, dengan demikian agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Dalam pedoman pengembangan kawasan agropolitan yang disusun oleh Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian Departemen Pertanian pada tahun 2002. Agropolitan didefinisikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
Dalam pengertian tersebut sistem agribisnis
adalah suatu sistem yang terdiri dari (1) sub sistem pengadaan infrastruktur, sarana dan prasarana produksi pertanian, (2) sub sistem pengelolaan usaha budidaya pertanian, (3) sub sistem pengolahan hasil-hasil pertanian dan pemasaran, (4) sub sistem kelembagaan penunjang pengembangan agribisnis. Meskipun termaksud banyak hal dalam pengembangan agropolitan, seperti redistribusi tanah, namun konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah “kota ladang”. Dengan demikian petani atau masyarakat desa tidak perlu harus pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan yang berhubungan dengan masalah produksi dan pemasaran maupun masalah yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan setiap hari. Pusat pelayanan diberikan pada setingkat desa, sehingga sangat dekat dengan permukiman petani, baik pelayanan mengenai teknik berbudidaya pertanian maupun kredit modal kerja dan informasi pasar. Berdasarkan penjelasan ini,
semakin tergambar bahwa tujuan dari
pengembangan kawasan agropolitan adalah
meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan
keterkaitan
desa
dan
kota
dengan
semakin
mendorong
berkembangnya sistem agribisnis berbasis kerakyatan, keberlanjutan dan terdesentralisasi di kawasan agropolitan. Kawasan agopolitan dapat merupakan kota menengah, atau kota kecil, atau kota kecamatan atau kota perdesaan atau kota nagari, yang jelas kawasan tersebut merupakan pusat pertumbuhan ekonomi dengan sektor pertanian
14 sebagai fundamennya dan mampu mendorong pertumbuhan wilayah sekitarnya (desa-desa hinterland) di setiap sektor pembangunan. Kawasan agropolitan yang sudah berkembang bercirikan; (1) pendapatan sebagian besar masyarakat bersumber dari sektor pertanian, (2) kegiatan masyarakat didominasi oleh kegiatan agribisnis, (3) hubungan antara kota dan daerah atau antar hinterland agropolitan dan kawasan agropolitan bersifat mandiri dan saling membutuhkan (interdependesi), dan (4) terdapat kemiripan kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan dengan suasana perkotaan (Masterplan Agropolitan, 2005). Pertimbangan utama dalam menentukan kawasan agropolitan adalah faktor ekonomi, seperti skala ekonomi (economic of scale) atau lingkup ekonomi (economic of scope) tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah. Faktor–faktor
tersebut
menjadi
optimal
dengan
adanya
kegiatan
pusat
agropolitan. Jadi peran agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberikan kemudahan produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan, dan lain-lain), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi, listrik, dan lain-lain), serta sarana pemasaran (pasar, terminal angkutan, sarana transportasi, dan lain-lain).
Perkotaan
Perdesaan AGROPOLITAN
Sistem
Agribisnis
Sistem Permukiman
Pusat Pelayanan Agribisnis
Urban Function Center
DPP
Sumber : Rustiadi et al. (2007)
Gambar 1 Keterkaitan Perkotaan dan Perdesaan dalam Agropolitan
15 Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil–hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro–processing skala kecil–menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan teruatama utnuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mmapu memfasilitasi lokasi–lokasi pemukiman di perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang dapat menghubungkan lokasi–lokasi pertanian denganpasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan utnuk menghubungkan anatara wilayah perdesaan dengan pusat kota. (Rustiadi et al., 2007). Interaksi wilayah perkotaan dan perdesaan dalam pengembangan agropolitan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Pengembangan Agropolitan di Kabupaten Kuningan Berdasarkan potensi wilayah Kabupaten Kuningan dan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat, maka Kabupaten Kuningan perlu mengembangkan 2 sektor unggulannya yaitu agribisnis dan pariwisata. Untuk itu diperlukan arahan dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam dan pemanfaatan ruang sehingga mampu untuk mewadahi dan menampung perkembangan Kabupaten Kuningan. Dengan pertimbangan arahan kebijakan pengembangan wilayah pada tingkat makro serta arahan kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kuningan sebagaimana dituangkan dalam Perda Kabupaten Kuningan No. 30 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Daerah (Propeda) 2001–2005 dan kebijakan sektoral yang mengarah pada pengembangan kegiatan agribisnis dengan basis ekonomi pertanian yang mantap yang didukung oleh kegiatan industri yang berorientasi kepada agroindustri dan pengembangan sektor pariwisata, maka model pendekatan teoritis yang dapat diaplikasikan dalam proses penyusunan RTRW Kabupaten Kuningan adalah Konsep Agropolitan. Konsep agropolitan yang akan dikembangkan tertuang dalam RTRW Kabupaten Kuningan 2003–2013 dan kemudian rencana yang lebih detil tertuang dalam MasterPlan Agropolitan 2005–2014 . Sehingga terdapat sinergi antara perkembangan yang terjadi di pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan dengan
pertumbuhan
yang
terjadi
di
wilayah
hinterland
yang
16 proses
dalam
perkembangannya akan dilayani melalui pembagian sistem distrik. Secara
konseptual,
model
agropolitan
merupakan
pendekatan
pembangunan yang komprehensif, terintegrasi dan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dan intensif melalui bottom-up planning. Dilakukan secara sinergis dengan melibatkan multi sektor dan program pembangunan yang secara langsung diarahkan pada peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas dan kualitas
sumberdaya
manusia
dengan
tetap
mempertimbangkan
aspek
keserasian dan kelestarian daya dukung lahan. Konsep ini pada dasarnya merupakan strategi pembangunan wilayah perdesaan yang dipercepat dengan berbasis pada kebutuhan masyarakat dengan tujuan agar proses percepatan pertumbuhan secara lebih merata dapat segera tercapai dan kesejahteraan masyarakat dapat lebih cepat terwujud. Hal ini mengandung pemahaman bahwa fokus model agropolitan diarahkan pada upaya pemberdayaan masyarakat yang pada intinya mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu
pemberdayaan
sosial
kemasyarakatan;
pemberdayaan
ekonomi
masyarakat; dan pendayagunaan prasarana dan sarana, sesuai dengan kondisi potensi dan peluang yang dimiliki (RTRW Kuningan, 2003). Pengelompokan kawasan pertumbuhan akan membentuk kawasan pertumbuhan suatu wilayah dengan demikian akan diketahui pula keunggulankeunggulan yang berbasis local resource wilayah tersebut. Hal ini merupakan dasar untuk pengembangan kawasan agropolitan sehingga kawasan agropolitan yang dibentuk benar-benar tepat sasaran. Bagi Pemerintah Kabupaten Kuningan konsep agropolitan diharapkan dapat mengangkat posisi petani agar mempunyai posisi tawar yang lebih baik terhadap pasar, dengan cara menghasilkan produk yang berkualitas, dengan harga yang bersaing. Grand skenario untuk memberdayakan petani di Kabupaten Kuningan melalui penerapan konsep agropolitan diharapkan dapat menjadi kenyataan dengan cara membuat perencanaan yang komprehensif. Pengembangan
kawasan
agropolitan
dimaksudkan
untuk
meningkatkan
pendapatan/kesejahteraan petani melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing tinggi, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan otonomi di kawasan agropolitan. Sistem usaha agribisnis
17 membangun usaha budidaya (on farm) dan juga usaha lain yang menunjang budidaya
seperti
pasca
panen,
penyediaan
alat-alat/sarana,
pertanian,
pemasaran dan jasa penunjang lainnya (off farm). Menurut hasil kajian dari P4W-IPB, 2004, ada beberapa masalah yang potensial terjadi dalam pelaksanaan agropolitan, yaitu : (1) aspek teknologi yaitu pengolahan hasil pertanian dan peralatannya; (2) aspek ekonomi yaitu modal dan pemasaran hasil produksi; dan (3) aspek sosial yaitu koordinasi antar stakeholder dan pemahaman mengenai konsep agropolitan.
Evaluasi Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan dilakukan melalui evaluasi lahan setelah beberapa
komoditas
unggulan
ditetapkan.
Evaluasi
lahan
adalah
membandingkan persyaratan yang diminta untuk tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan tersebut. Kriteria kualitas lahan yang dijadikan parameter dalam penelitian ini berdasarkan kriteria LREP II Tahun 1994 dan PPT 2003 (Djaenudin et al., 2003) yang mencakup temperatur, ketersediaan air (meliputi bulan kering, curah hujan dan kelembaban) tanah, terrain (meliputi lereng dan topografi), batuan di permukaan dan di dalam tanah, singkapan batuan dan bahaya erosi. Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptibility) suatu lahan untuk tipe penggunaan
lahan
(jenis
tanaman
dan
tingkat
pengelolaan)
tertentu
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi kesesuaian lahan pada hakekatnya berhubungan dengan evaluasi untuk satu penggunaan tertentu, seperti
budidaya
tanaman
ubi
jalar.
Hal
ini
dapat
dilakukan
dengan
menginterpretasikan peta–peta yang dapat menggambarkan kondisi biofisik lahan seperti peta tanah, peta topografi, peta geologi, peta iklim dan sebagainya, dalam kaitannya dengan kesesuaian tanaman ubi jalar dan tindakan pengelolaan yang diperlukan. Adapun parameter yang dinilai dalam evaluasi adalah kualitas lahan yang dicerminkan oleh karakteristik lahan yang nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Sistem klasifikasi kesesuaian lahan yang banyak dipakai adalah berdasarkan sistem yang dikembangkan oleh Framework for Land Evaluation (FAO, 1976), secara hierarki kelas-kelas kesesuaian lahan adalah sebagai berikut :
1)
18 Kelas S1, kesesuaian tinggi (highly suitable). Lahan tidak memiliki pembatas penting pada aplikasi terus menerus dari penggunaan yang dinyatakan atau punya
hambatan
minor
yang
tidak
mengurangi
produktivitas
atau
keuntungan dan tidak menambah masukan melebihi yang dapat diterima. 2)
Kelas S2, kesesuaian sedang (moderately suitable).
Lahan mempunyai
pembatas secara gabungan pada tingkat sedang pada penerapan penggunaan yang diterapkan secara terus menerus, hambatan ini dapat mengurangi produktivitas atau keuntungan dan menambah kebutuhan masukan sejauh bahwa keuntungan akan diperoleh dari penggunaan, walaupun masih menarik, akan menurunkan nilai secara nyata dibanding lahan kelas S1. 3)
Kelas S3, kesuaian marginal (marginally suitable).
Lahan mempunyai
pembatas secara gabungan cukup berat pada aplikasi terus menerus penggunaan yang diterapkan, sehingga dapat mengurangi produktivitas atau keuntungan, atau menambah masukan dan pengeluaran. 4)
Kelas N, tidak sesuai (not suitable). Lahan dengan pembatas yang mungkin berat saat sekarang, akan tetapi tidak dapat diperbaiki dengan ilmu pengetahuan yang ada dengan biaya yang dapat diterima.
Pembatas-
pembatas tersebut demikian berat dan atau permanen yang membuat tidak mungkin penggunaan yang lestari dalam jangka panjang. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), inti dari prosedur evaluasi lahan adalah mula-mula menentukan tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat
pengelolaannya)
yang
akan
diterapkan,
kemudian
menentukan
persyaratan dan pembatas pertumbuhannya dan akhirnya membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan masing-masing satuan peta lahan (SPT), sehingga didapat kesesuaian lahannya secara fisik. dilanjutkan
dengan
Dalam evaluasi lahan ekonomi (kuantitatif) kegiatan
analisis
ekonomi
(sosial
dan
lingkungan)
sehingga
didapatkan penggunaan lahan yang optimal dan berkelanjutan. Evaluasi kesesuaian lahan (land suitability) sangat penting untuk mengidentifikasi
daerah-daerah
yang
mempunyai
potensi
tinggi
untuk
dikembangkan secara intensif. Evaluasi bersifat lebih menekankan peluang atau potensi dari pada mengidentifikasi pembatas-pembatas lahan dan dilakukan untuk berbagai tujuan seperti memilih lahan yang sesuai untuk tanaman tertentu atau memprediksi kelayakan irigasi atau program-program pengembangan
19 infrastuktur lainnya. Evaluasi lahan juga, dapat diintegrasikan dengan tujuan lain selain pertanian (tanaman), seperti kehutanan, budidaya perikanan, irigasi dan (infrastruktur).
Evaluasi lahan memberikan informasi yang beguna untuk ahli
ekonomi, hidrologi dan tehnik yang berhubungan dengan perencanaan. Penilaian ini menguji interaksi dari produktivitas, biaya produksi, biaya pembangunan lahan dan sifat dari interaksi yang menentukan kelas lahan.
Kelayakan Finansial Kegiatan usaha merupakan kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu bentuk kesatuan dengan menggunakan sumbersumber untuk mendapatkan manfaat. Dalam unit usaha, sumber-sumber yang digunakan tersebut dapat berupa barang-barang modal, bahan baku, tenaga kerja dan waktu. Sumber-sumber tersebut sebagian atau seluruhnya dapat dianggap sebagai barang konsumsi yang dikorbankan dari penggunaan masa sekarang untuk memperoleh manfaat (Gittinger, 1986). Pengalokasian
sumberdaya
merupakan
jembatan
yang
dapat
menciptakan jalannya roda perekonomian yang lebih mengarah pada tujuantujuan yang paling mendasar dari pembangunan itu sendiri, misalnya pengentasan kemiskinan, semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat dan menurunnya tingkat ketidakmerataan pendapatan. Dalam segala keterbatasan yang dimiliki suatu wilayah, maka harusnya adanya proses memilih dari berbagai sumberdaya yang tersedia. Pilihan yang tepat harus dapat menjamin bahwa sumberdaya yang dialokasikan kepada alternatif pilihan yang paling baik. Penyajian proses pemilihan alternatif tersebut, sering kita kenal dengan istilah
analisis
proyek.
Pada
prinsipnya
dilakukan
pengujian
terhadap
sejauhmana manfaat dan biaya dari suatu pilihan. Manfaat dan biaya dapat dipilah berdasarkan perbedaan analisisnya, yaitu berdasarkan analisis ekonomi atau analisis finansial. Analisis finansial dari suatu usaha mengidentifikasikan keuntungan berupa uang yang diharapkan akan tumbuh dari pelaksanaan usaha itu sendiri. Sedangkan keuntungan sosial dari suatu analisis ekonomi mengukur seberapa jauh proyek tersebut berpengaruh terhadap tujuan-tujuan fundamental dari keseluruhan sistem perekonomian. Tujuan utama analisis finansial terhadap
20 usaha pertanian (farm) adalah untuk menentukan berapa banyak keluarga petani yang menggantungkan kehidupan mereka kepada usaha pertanian tersebut. Indikator–indikator yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan usaha dalam budidaya tanaman pangan (tanaman semusim) cukup beragam. Indikator– indikator yang dipergunakannya agak berbeda dengan kelayakan usahatani untuk
tanaman
tahunan.
Tjiptoningsih
(1996)
menggunakan
parameter
Revenue/Cost Ratio, Benefit/Cost Ratio dan Break Event Point (BEP). Parameter ini cocok untuk mengetahui kelayakan finansial dalam pengelolaan budidaya tanaman semusim seperti tanaman padi, palawija dan sayuran. Selain itu Juanda dan Cahyono (2000) mengemukakan bahwa selain instrumen Revenue/Cost Ratio, Benefit/Cost Ratio dan Break Event Point (BEP), Instrumen Return of Investment (ROI) juga dapat digunakan untuk menilai layak atau tidaknya usahatani ubi jalar. ROI digunakan dalam analisis untuk menggambarkan
tingkat
efisiensi
penggunaan
modal
berkaitan
dengan
keuntungan usahatani yang diperoleh. Besar kecilnya nilai ROI, ditentukan oleh besarnya keuntungan yang dicapai dan perputaran modal yang diinvestasikan.
Marjin Pemasaran Marjin pemasaran mempunyai dua pengertian (Tomek dan Robinson, 1982), yaitu: (1) Perbedaan harga antara dua lembaga pemasaran (seperti petani, pedagang, pengolah dan eksportir); dan (2) Biaya yang dikeluarkan untuk membayar jasa-jasa sepanjang saluran pemasaran. Hal ini terkait dengan peran pemasaran berupa waktu, tempat dan transformasi kepemilikan produk (Malian et al., 2004).
Aspek Produksi Pertanian Dalam
menunjang
keberhasilan
suatu
sistem
agribisnis,
maka
tersedianya bahan baku pertanian secara kontinu dalam jumlah yang tertentu sangat diperlukan. Tersedianya produksi ini akan sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, diantaranya jenis komoditas, luas lahan, tenaga kerja, modal, manajemen usaha dan faktor sosial ekonomi (Soekartawi, 1993). Faktor produksi dalam beberapa literatur dikenal dengan istilah input. Faktor produksi memang sangat menentukan besar kecilnya produksi yang diperoleh. Dalam berbagai pengalaman menunjukkan bahwa faktor produksi lahan, modal untuk membeli bibit, pupuk, obat– obatan, tenaga kerja dan aspek
manajemen merupakan faktor produksi yang memegang peranan penting
21 di
antara faktor produksi yang lainnya. Namun selain faktor–faktor tersebut, sering ditemukan kendala dalam proses peningkatan produksi komoditas pertanian.
Menurut Gomez (dalam
Soekartawi, 1980), beberapa kendala diklasifikasikan menjadi : a. Kendala yang mempengaruhi terdiri dari variabel di luar kemampuan manusia, sehingga sulit dilakukan transfer teknologi yang disebabkan karena perbedaan agroklimat dan teknologi yang sulit diadopsi. b. Kendala yang mempengaruhi terdiri dari variabel teknis biologis (bibit, pupuk, obat–obatan, lahan lainnya) dan variabel sosial– ekonomi (harga, resiko ketidakpastian, kredit bank, adat budaya dan lainnya).
Sistem Agribisnis, Agroindustri dan Nilai Tambah Agribisnis sering diartikan secara sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Konsep agribisnis sebenarnya adalah suatu konsep yang utuh mulai dari proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lainnya yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Menurut Arsyad et al. (1985), yang dimaksud dengan agribisnis adalah : ”Suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu satau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemsaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas.
Yang dimaksud ’ada
hubungannya dengan pertanian dalam artian yang luas’ adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian.” Pernyataan tersebut dijelaskan seperti pada Gambar 2 berikut ini :
AGRIBISNIS Kegiatan usaha yang menghasilkan/menyediakan prasarana/sarana/input bagi kegiatanpertanian (industri pupuk, alat–alat pertanian, pestisida, dsb.)
Kegiatan pertanian
Kegiatan usaha yang menggunakan hasil pertanian sebagai input (industri pengolahan hasil pertanian, perdagangan, dsb.)
Gambar 2 Mata Rantai Kegiatan Agribisnis (Arsyad et al., 1985)
Hampir tidak ada daerah di Indonesia yang tidak tergantung pada sektor pertanian, mulai dari tanaman pangan sampai perikanan dan kehutanan.
22 Pembangunan ekonomi pada umumnya belum mengaitkan antara pembangunan pertanian dan industri kecuali agroindustri penggilingan padi.
Pembangunan
agroindustri yang berbasis sumberdaya lokal akan memperkokoh keterkaitan antara pembangunan pertanian dengan pembangunan industri.
Diversifikasi
produk pertanian, terutama pengembangan industri pengolahan, tidak saja meningkatkan nilai tambah, tetapi juga membuka kesempatan kerja non pertanian di wilayah perdesaan dan itu akan meredam arus urbanisasi. Sementara itu, ahli yang lain (Soeharjo, 1991; Soekartawi 1991 dan Badan Agribisnis Deptan, 1995) menyebutkan bahwa agroindustri adalah pengolahan hasil pertanian dan karena itu agroindustri merupakan bagian dari enam subsistem agribisnis yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usahatani, pengolahan hasil (agroindustri), pemasaran, sarana dan pembinaan. Menurut Soekartawi (2005), agroindustri dapat diartikan sebagai dua hal. Pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian.
Dalam konteks ini agroindustri adalah menekankan pada food
processing management dalam suatu perusahaan produk olahan yang bahan baku utamanya adalah produk. Menurut FAO (Hicks, 1996) suatu industri yang menggunakan bahan baku dari pertanian dengan jumlah minimal 20% dari jumlah bahan baku yang digunakan disebut agroindustri. Kedua, agroindustri bahwa agroindustri itu diartikan sebagai suatu tahpan pembangunan sebagai kelanjutan
dari
pembangunan
pertanian,
tetapi
sebelum
tahapan
pembangunantersebut mencapai tahapan pembangunan industri. Ada beberapa alasan mengapa agroindustri sangat penting untuk mendorong perkembangan perekonomian perdesaan (Soekartawi, 2005), yaitu : a. Agroindustri mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi, mengingat ciri agroindustri perdesaan yang bersifat padat karya dan bersifat massal; b. Sumber daya lokal bisa dipakai sehingga agroindustri bisa meningkatkan nilai tambah dan selanjutnya meningkatkan keuntungan dan pendapatan. c. Produk agroindustri yang baik kualitasnya dan mampu bersaing, bisa dipakai sebagai instrumen untuk meningkatkan devisa negara; d.
Semakin meningkatkan kegiatan agroindustri berarti meningkatnya uang yang beredar di masyarakat perdesaan dan ini akan menimbulkan side effect munculnya kegiatan lain di perdesaan dan akhirnya bisa meningkatkan daya beli masyarakat.
23 e. Karena agroindustri tidak bisa berkembang sendirian, maka akan muncul berkembangnya kegiatan lain yang menjadi komponen pendukung agroindustri tersebut. Berbagai definisi dipakai untuk menjelaskan agroindustri. Austin (1981) misalnya mendefinisikan agroindustri sebagai usaha pengolahan bahan baku yang berasal dari komoditas pertanian termasuk didalamnya perkayuan dan peternakan. Berbagai tingkat pengolahan dapat dilakukan mulai dari kegiatan sederhana seperti, pemisahan (grading) sampai kegiatan yang lebih kompleks seperti penyosohan, pemasakan, pencampuran dan penyulingan. Sejumlah manfaat akan diperoleh dari perubahan (transformasi) itu, antara lain (i) menciptakan nilai tambah produk, karena mengalami perubahan bentuk (form utility), misalnya dari kayu menjadi papan; (ii) memungkinkan penyimpanan yang lebih lama (time utility), yakni melalui proses pengawetan, misalnya dari bahan susu segar menjadi krim; (iii) memudahkan dalam pengangkutan (cost saving), misalnya yang diangkut bukan lagi dalam bentuk ubi jalar segar akan tetapi telah berupa tepung atau chip; dan (iv) mempertahankan nilai nutrisi yang terkandung dalam komoditas tersebut. Secara umum agroindustri dapat digolongkan ke dalam empat tingkatan berdasarkan bahan baku komoditas pertanian yang ditransformasikan menjadi produk lain, baik untuk konsumsi akhir (final demand) maupun sebgai bahan antara (intermediate product). Kategori I adalah kegiatan agroindustri yang relatif sederhana yaitu hanya melakukan kegiatan pembersihan dan pengelompokan produk menurut misalnya besaran, berat atau warnanya. Kegiatan tersebut pada umumnya ditemukan dalam agroindustri yang bahan bakunya mudah rusak dan bahan baku itu biasanya dapat dikonsumsi secara segar seperti buah-buahan, sayuran atau telur. Kategori II adalah agroindustri yang melakukan kegiatan pemisahan, penyosokan, pemotongan dan pencampuran.
Keiatan ini umum
ditemukan pada agroindustri yang mengunakan bahan baku biji-bijian, daging, bjmbu-bumbuan, makanan ternak, kapas dan karet. Kategori III adalah agroindustri yang pada umumnya memerlukan peralatan atau mesin yang lebih kompleks misalnya agroindustri yang menghasilkan sosis, gula pasir, buah atau sayuran dalam kaleng; atau ikan dalam kaleng; dan sebagainya. Terakhir adalah agroindustri kategori IV yaitu agroindustri yang memerlukan proses produksi yang lebih canggih dengan menggunakan mesin dan bahan kimia, misalnya agroindustri pembuatan ban mobil, padi dan mie instan.
24 Pohon Industri Pohon industri merupakan gambaran diversifikasi produk suatu komoditas dan turunannya secara skematis.
Produk ubi jalar dalam dan turunannya
diuraikan dalam suatu skema. Skema ini menggambarkan keragaman produk akhir yang dapat dikembangkan dari komoditas ubi jalar. Menurut Soenarjo (1984), salah satu produk akhir ubi jalar yang sudah berkembang dengan baik saat ini dan memiliki nilai tambah yang sangat tinggi adalah adalah gula cair fruktosa.
Analytical Hierarchy Process Menurut Saaty (1984), asumsi-asumsi yang dipakai oleh AHP adalah sebagai berikut: pertama-tama harus terdapat sedikit (jumlah yang terbatas) kemungkinan tindakan, yakni, 1,2,....,n yang adalah tindakan positif, n adalah bilangan yang terbatas. Responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka yang terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya atributatribut. Skala yang dipergunakan dapat apa saja, tergantung dari pandangan responden
dan
situasi
yang
relevan.
Walaupun
demikian,
mengikuti
perkembangan baku AHP dipergunakan metode skala Saaty mulai dari 1 yang menggambarkan ”sama penting” (jadi untuk atribut yang sama, skalanya selalu 1) sampai dengan 9 yang menggambarkan kasus atribut yang paling absolut dibandingkan dengan yang lain (urutan pemastian tertinggi yang mungkin). Pada Tabel 4 berikut menggambarkan tingkat urutan dan definisinya. Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah : 1. Mengidentifikasi/menetapkan masalah yang muncul; 2. Menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai; 3. Mengidentifikasi
kriteria-kriteria
yang
mempunyai
pengaruh
terhadap
masalah yang ditetapkan; 4. Menetapkan struktur hierarki; Hierarki adalah suatu sistem yang tersusun dari beberapa level/tingkatan, dimana masing-masing tingkat mengandung beberapa unsur atau faktor. Pada umumnya, masalah dasar yang muncul dalam penyusunan hierarki adalah menentukan level tertinggi dari berbagai interaksi yang terdapat pada berbagai level;
5. Menentukan
hubungan
antara
masalah
dengan
tujuan,
hasil
25 yang
diharapkan, pelaku yang berkaitan dengan masalah, dan nilai masing– masing . 6. Membandingkan alternatif (comparatif judgement) 7. Menentukan faktor-faktor yang menjadi prioritas (synthesis of priority) 8. Menentukan urutan alternatif dengan memperhatikan logical consistency.
Tabel 4 Sistem Urutan (Ranking) Saaty Intensitas / Pentingnya
Definisi
1
Sama Pentingnya
3
Perbedaan penting yang lemah antara satu dengan yang lain
5
Sifat lebih pentingnya kuat
7
Menunjukkan sifat sangat penting yang menonjol
9
Penting absolut
2,4,6,8
Kebalikan angka bukan nol di atas
Rasional
Nilai tengah diantara nilai diatas/dibawahnya Jika aktifitas i, dibandingkan dengan j, mendapat nilai bukan nol seperti tertera di kolom 1, maka j-bila dibandingkan dengan imempunyai nilai kebalikannya Rasio yang timbul dari skala
Sumber : Saaty (1984)
Penjelasan Dua aktifitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu sedikit lebih disukai daripada yang lain Pengalaman dan selera yang menyebabkan penilaian yang satu lebih daripada yang lain. Yang satu sangat lebih disukai daripada yang lain Aktifitas yang satu sangat disukai dibandingkan yang lain;dominasinya tampak dalam kenyataan Bukti bahwa antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai. Diperlukan kesepakatan (kompromi)
Asumsi yang masuk akal
Jika konsistensi perlu dipaksanakan dengan mendapatkan sebanyak n nilai angka untuk melengkapi matriks.
26 AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif,
yaitu
dengan
melakukan
perbandingan
berpasangan
(pairwise
comparisons). Kemudian ditentukan cara yang konsisten untuk mengubah perbandingan berpasangan (pairwise), menjadi suatu himpunan bilangan yang merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif (Saaty, 1984). AHP
memiliki
banyak
keunggulan
dalam
menjelaskan
proses
pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki atau hierarki harus distruktur ulang.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Perencanaan pembangunan wilayah harus mengedepankan pemanfaatan sumberdaya lokal yang diyakini akan lebih menghidupkan aktivitas ekonomi daerah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Untuk itu diperlukan data dan informasi yang akurat
tentang potensi sumberdaya suatu daerah untuk bisa digunakan dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan. Pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif pembangunan perdesaan melalui keterkaitan desa dan kota (urban-rural linkages) untuk mencegah terjadinya urban bias. Pengembangan kawasan perdesaan tersebut dilakukan
dengan
pendekatan
“agro-based
development”
perlu
terus
ditingkatkan, sebagai satu kesatuan pengembangan wilayah berdasarkan keterkaitan ekonomi antara desa-kota (urban-rural linkages), dan mempunyai hubungan yang bersifat interdependensi/timbal balik yang dinamis. Sementara itu kawasan-kawasan
yang
mempunyai
komoditas
unggulan,
perlu
ditumbuhkembangkan menjadi kawasan agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan menyeluruh. Selain itu, image desa sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produk-produk primer (belum diolah), harus didorong menjadi desa yang mampu menghasilkan bahan-bahan olahan atau industri hasil pertanian sehingga desa dapat menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Pengembangan kawasan agropolitan, merupakan salah satu pendekatan pengembangan wilayah sesuai dengan potensi wilayah. Sehingga perdesaan tidak selalu identik dengan pertanian on farm dan agropolitan adalah kawasan yang hierarki aktivitas pelayanannya lebih tinggi dari perdesaan pada umumnya karena adanya urban function center, sehingga dimungkinkan adanya aglomerasi kegiatan–kegiatan bernilai tambah tinggi yang tetap berbasis pertanian. Pengembangan kawasan agropolitan di Distrik CIlimus bertujuan untuk meningkatkan
produksi
pertanian
dan
penjualan
hasil–hasil
pertanian,
mendukung tumbuhnya industri agro–processing skala kecil–menengah dan
28 mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Karena tanaman ubi jalar merupakan komoditas unggulan yang telah ditetapkan sebagai komoditas
unggulan
di
kawasan
agropolitan
Distrik
Cilimus,
dengan
pertimbangan bahwa komoditas ubi jalar mempunyai potensi produksi yang cukup tinggi dan mempunyai peluang pasar yang tinggi. Dalam pengembangan tanaman ubi jalar, potensi sumberdaya fisik merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka penentuan lahan yang akan digunakan. Potensi sumberdaya fisik lahan dapat diketahui dengan melakukan evaluasi lahan. Dengan mengetahui tingkat kesesuaian lahan maka produktivitas optimal yang dihasilkan dapat diperkirakan. Selain potensi sumber daya fisik lahan, dalam rangka pengembangan suatu komoditas, faktor kelayakan finansial merupakan hal yang penting yang perlu diketahui. Setiap wilayah memiliki karateristik yang berbeda seperti karakteristik sumber daya alam, topografi, infrastruktur, sumberdaya manusia dan sumber daya apek spatial. Perbedaan karakteristik tersebut dapat membuat terjadinya perbedaan dalam pembiayaan dan pendapatan yang diterima petani dalam usahataninya. Dalam rangka pengembangan tanaman ubi jalar di Distrik Cilimus, maka analisis kelayakan finansial perlu dilakukan untuk melihat wilayah mana yang cocok untuk dijadikan areal penanaman ubi jalar. Selain analisis faktor finansial, faktor lain yang diduga dapat menentukan kinerja pengusahaan tanaman ubi jalar adalah kelembagaan pemasaran. Kelembagaan pemasaran petani umumnya lemah sehingga petani cenderung sebagai penerima harga (price taker). Kurangnya informasi pasar dan mutu produk yang rendah dapat menyebabkan rendahnya posisi tawar (bargaining position) petani. Untuk melihat efisiensi rantai perdagangan komoditas ubi jalar di Distrik Cilimus maka analisis margin tata niaga perlu dilakukan. Hal itu untuk mengetahui efisien atau tidaknya kelembagaan pemasaran ubi jalar saat ini. Jika belum maka perlu dibuat rekomendasi untuk memperbaiki keadaan tersebut. Sejauhmana pembangunan dan pengembangan agribisnis (agroindustri) komoditas ubi jalar telah mendorong pembangunan perdesaan dan pemerataan pembangunan di distrik agropolitan Cilimus. Dari berbagai penelitian, diantaranya White (1990) menjelaskan bahwa pada umumnya agroindustri adalah bersifat netral dalam pembangunan perdesaan. Akan tetapi, semua lapisan masyarakat akan memperoleh manfaat atas keberadaan agroindustri. Agroindustri dapat sebagai pendorong, karena pembangunan agroindustri dapat mendorong
berkembangnya ekonomi perdesaan.
29 Daya dorong tersebut akan lebih
meningkat jika adanya (i) institusi pengolahan dan pemasaran serta, (ii) bentuk kepemilikan dari unsur agroindustri dalam rantai produksi, pengolahan dan pemasaran, melibatkan berbagai elemen masyarakat dimana agroindustri itu berada. Pembangunan agroindustri yang berbasis sumberdaya lokal akan memperkokoh keterkaitan antara pembangunan pertanian dengan pembangunan industri. Diversifikasi produk pertanian, terutama pengembangan industri pengolahan, tidak saja meningkatkan nilai tambah, tetapi juga membuka kesempatan kerja non pertanian di wilayah perdesaan Pohon industri merupakan gambaran diversifikasi produk suatu komoditas dan turunannya secara skematis. Produk ubi jalar dalam dan turunannya diuraikan dalam suatu skema. Skema ini menggambarkan keragaman produk akhir yang dapat dikembangkan dari komoditas ubi jalar. Dari skema tersebut dapat dilihat potensi pengembangan pengolahan ubi jalar segar menjadi berbagai macam produk. Hal ini dapat dijadikan acuan untuk pengembangan agroindustri komoditas ubi jalar di Distrik Cilimus. Sedangkan untuk melihat preferensi stakeholder dalam membuat pilihan jenis pengembangan agribisnis ubi jalar di Distrik Cilimus, dilakukan analisis dengan menggunakan metode analytical hierachy process (AHP).
30 Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Latar Belakang : • Sektor pertanian menyumbang kurang lebih 40 persen dalam PDRB. • Pengembangan wilayah dengan pendekatan agropolitan. • Kabupaten Kuningan dibagi menjadi 4 distrik.
Distrik Prioritas Pengembangan Cilimus
Evaluasi Kesesuaian Lahan
Analisis Kelayakan Finansial
Analisis Sistem Tata Niaga
Analisis Potensi Pengem Agroindustri & Nilai Tambah
Analisis Preferensi Masyarakat
Rekomendasi Pengembangan Distrik Cilimus melalui Peningkatan Kinerja Usahatani Ubi Jalar
Perkembangan Ekonomi Lokal Distrik Cilimus
Gambar 3 Kerangka Pikir Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian Kawasan Agropolitan Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat dibagi menjadi 4 distrik yaitu Distrik Cilimus, Kuningan, Ciawigebang dan Luragung. Istilah distrik digunakan untuk menunjukkan pembagian wilayah pengembangan agropolitan di Kabupaten Kuningan. Lokasi penelitian dilaksanakan di Distrik Cilimus yang meliputi 9 kecamatan yaitu Cilimus, Cigandamekar, Mandirancan,
31 Japara, Pasawahan, Cipicung, Kramatmulya, Pancalang dan Jalaksana mulai bulan September sampai dengan Desember 2008. Unit lokasi pengamatan dalam penelitian ini adalah desa. Pemilihan desa yang dijadikan lokasi pengamatan adalah desa–desa yang memiliki luas areal tanaman ubi jalar yang dominan.
Pengambilan sampel desa dilakukan pada masing–masing kelas
kesesuaian lahan. Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling) yaitu masing–masing satu desa (untuk masing–masing kecamatan yang termasuk dalam Distrik Cilimus) untuk setiap kelas kesesuaian lahan.
Pengumpulan Data Data–data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui kuesioner dan
wawancara dengan responden yang telah ditentukan dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur. Responden dalam penelitian adalah petani, pedagang pengumpul, pedagang kecamatan, pengelola industri pengolahan ubi jalar, pegawai di lingkup Pemerintah Kabupaten Kuningan. Pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan secara acak (random) dan sengaja (purposive). Data sekunder dikumpulkan dari dinas/instansi terkait seperti Bapeda, BPS, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Balai Penyuluhan Pertanian. Data sekunder yang dikumpulkan adalah trend luas panen dan luas tanam serta produktivitas komoditas ubi jalar, data analisis ekonomi usahatani komoditas pertanian, data curah hujan, peta tanah, peta penggunaan lahan eksisting (landuse), peta administrasi kabupaten, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), peta kesesuaian lahan, peta tanah dan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Untuk analisis data secara lengkap yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 5.
32 Tabel 5 Tujuan, Metode Analisis, Data, Sumber Data dan Output No.
Tujuan
Analisis
Data
Sumber Data
Output
1.
Mengetahui lokasi dan luas lahan potensial yang dapat dijadikan acuan untuk estimasi produksi komoditas ubi jalar
Analisis spasial (GIS) dengan overlay peta– peta yang tersedia
Peta RBI, peta tanah, peta administrasi, peta RTRW, peta penggunaan lahan, data curah hujan
Puslitanak, Bapeda, Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan
Peta kesesuaian lahan, peta lahan potensial dan estimasi produksi optimal ubi jalar di Distrik Cilimus
2.
Menganalisis kelayakan finasial pengusahaan tanaman ubi jalar pada tiap kelas kesesuaian lahan
Analisis R/C Ratio, Benefit/Cost Ratio dan Break Event Point (BEP), Return of Investment (ROI)
Besarnya input dan output biaya usahatani ubi jalar
Data sekunder, wawancara dan kuesioner
Kelayakan finansial dari nilai R/C Ratio, B/C Ratio, BEP dan ROI
3.
Menganalisis efisiensi kelembagaan pemasaran ubi jalar
Analisis marjin tata niaga dan rantai tata niaga
Besarnya input dan output biaya usahatani ubi jalar
Wawancara dan kuesioner dengan metode purposive sampling
Pola tata niaga dan marjin share masing – masing pelaku tata niaga
4.
Menganalisis potensi pengembangan agribisnis dan nilai tambah dari komoditas ubi jalar
Analisis pohon industri
Komoditi ubi jalar beserta produk turunannya
Pohon industri yang dibuat oleh berbagai sumber (Departemen Perindustrian dan Dinas Perindag)
Pohon industri ideal ubi jalar dan produk turunannya (derivatif)
5.
Mengetahui pilihan stakeholder terhadap jenis pengembangan agribisnis komoditas ubi jalar
Analytical Hierachy Process (AHP)
Perbandingan data berpasangan masing–masing kriteria dan alternatif
Wawancara & kuesioner dengan metode purposive sampling
Pilihan jenis pengembangan agribisnis ubi jalar menurut stakeholder
6.
Mengetahui dampak pengembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus berbasis ubi jalar terhadap perkembangan ekonomi lokal
Analisis uji beda pendapatan (uji t), analisis tabulasi data IPM (Indeks Pembangunan Manusia )
Besarnya pendapatan petani dari usahatani ubi jalar, data IPM tahun 2006 dan 2007
Data sekunder, wawancara & kuesioner dengan metode purposive sampling
Kontribusi usahatani ubi jalar terhadap pendapatan rumah tangga petani, perkembangan indeks daya beli
33
Gambar 4 Peta Administrasi Kabupaten Kuningan
34 Analisis Kelas Kesesuaian Lahan Evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta untuk tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan tersebut. Kriteria kualitas lahan yang dijadikan parameter dalam penelitian ini berdasarkan kriteria Departemen Pertanian (1997) yang mencakup temperatur (t), ketersediaan air (w), media perakaran (r) dan tingkat bahaya erosi (e). Analisis kesesuaian lahan dilakukan untuk mendapatkan lokasi yang tepat berdasarkan potensi serta persyaratan yang dibutuhkan untuk kesesuaian tanaman ubi jalar. Pembuatan peta satuan lahan evaluasi untuk tanaman ubi jalar dilakukan melalui operasi SIG (Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan software Arc View) terhadap peta-peta yang telah disiapkan. Untuk rincian skala peta, tahun pembuatan peta dan sumber peta dapat dilihat pada Lampiran 13. Proses operasi SIG dimulai dari menurunkan Peta RBI menjadi peta leteng dan suhu, hasilnya dengan digabungkan (join table) dengan data curah hujan, kemudian peta tersebut dioverlay dengan peta tanah yang akan menghasilkan
peta
satuan
lahan
evaluasi.
Selanjutnya
peta
tersebut
dimatchingkan dengan syarat kesesuaian lahan untuk tanaman ubi jalar (Lampiran 1), proses tersebut akan menghasilkan peta kesesuaian lahan untuk tanaman ubi jalar.
Peta tersebut dioverlay (tumpang tindih) dengan peta
penggunaan lahan eksisting dan peta RTRW, yang akan menghasilkan estimasi lahan potensial untuk tanaman ubi jalar. Untuk estimasi potensi produksi tanaman ubi jalar, selanjutnya dilakukan analisis potensial produksi berdasarkan kategori lahan basah (sawah irigasi dan tadah hujan) dan lahan kering (belukar dan ladang). Asumsi yang digunakan dalam estimasi perkiraan produksi tanaman ubi jalar pada lahan kelas S2 dan S3. Mengacu pada kesesuaian menurut FAO (1983), yang menyatakan bahwa perkiraan produksi pertanian pada lahan kelas kesesuaian S2 dapat mencapai 60 – 80 %, sedangkan pada lahan kelas S3 dapat mencapai 40 – 60% dari produksi optimum. Sedangkan untuk asumsi produksi optimum menurut kategori kondisi lahan mengacu pada Puslitanak (2003), yang menyatakan bahwa untuk lahan sawah tadah hujan produksi optimum untuk pengolahan komersial berkisar antara 25–30 ton/ha, untuk pengolahan tingkat petani berkisar 5–10 ton/ha. Sedangkan untuk lahan sawah
35 irigasi, produksi optimum untuk pengolahan komersial berkisar 25–30 ton/ha, untuk pengolahan tingkat petani berkisar 12–18 ton/ha.
Analisis Kelayakan Finansial Pendekatan yang digunakan untuk menghitung analisis usahatani adalah berdasarkan kajian ekonomi yaitu melalui analisis finansial. Analisis finansial dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pemanfaatan lahan untuk usahatani komoditas ubi jalar secara ekonomis layak atau tidak layak. Untuk melihat tingkat kelayakan pengusahaan komoditas ubi jalar pada tingkat kesesuaian lahan yang ada di Kabupaten Kuningan maka dilakukan analisis finansial usahatani ubi jalar. Data yang digunakan merupakan data input dan output produksi komoditas ubi jalar terpilih hasil wawancara dengan petani yang mengusahakan komoditas tersebut di Distrik Cilimus. Petani responden yang diwawancarai sebanyak 30 orang dengan komposisi 3–4 orang untuk tiap– tiap kecamatan (ada 9 kecamatan yang termasuk dalam Distrik Cilimus). Materi pokok yang menjadi bahan pertanyaan dalam kuesioner adalah besarnya biaya input dan output yang dihasilkan dalam budidaya tanaman ubi jalar. Data yang didapatkan akan digunakan untuk menghitung kelayakan finansial usahatani ubi jalar yang meliputi instrumen Revenue/Cost (R/C) Ratio, Benefit/Cost (B/C) Ratio dan Break Event Point (BEP), Return of Investment (ROI). R/C = _Total Penerimaan (R)_ Total Biaya Produksi (C) B/C = _Total Keuntungan (B)_ Total Biaya Produksi (C) BEP (Harga) = _Total Biaya Produksi (dalam Rp)_ Total Produksi (dalam Kg) BEP (Volume Produksi) = _Total Biaya Produksi (dalam Rp)_ Harga di Tingkat Petani (Rp per Kg) ROI = _Total Keuntungan_ Modal Usahatani Analisis kelayakan usahatani dilakukan terhadap komoditas ubi jalar, yang menjadi komoditas unggulan di Distrik Cilimus dan diharapkan pengembangan agribisnis komoditas ubi jalar dapat meningkatkan daya beli masyarakat sehingga dapat mendukung perkembangan ekonomi lokal. Metode analisis yang
36 digunakan untuk menentukan kriteria layak atau tidaknya usaha untuk dijalankan untuk tanaman semusim adalah dengan menghitung R/C Ratio dan B/C Ratio. Bila nilai R/C Ratio dan B/C Ratio >1 maka usaha tersebut layak secara finansial untuk dilakukan, sedangkan bila R/C Ratio dan B/C Ratio <1 maka usaha tersebut dianggap tidak layak dilaksanakan. Selain itu dihitung nilai Break Event Point (BEP) dan juga nilai Return of Investment (ROI). Asumsi yang ditetapkan untuk analisis finansial tanaman ubi jalar dalam penelitian ini adalah (1) suku bunga yang menjadi acuan adalah suku bunga bakn komersial saat penelitian ini dilakukan yaitu sebesar 17%; (2) perhitungan analisis finansial dilakukan pada skala usaha 1 hektar; (3) harga jual ubi jalar di tingkat petani sebesar Rp 1.000,- ; (4) produksi rata–rata 23 ton/ha.
Analisis Margin Tata Niaga Analisis margin tata niaga untuk mengetahui siapa yang menikmati keuntungan terbesar dari rantai pemasaran yang ada.
Semakin besar nilai
proporsi margin keuntungan yang diterima petani berarti posisi tawar petani menguntungkan, demikian juga sebaliknya. Dari rantai pemasaran yang sudah terbentuk secara melembaga di masyarakat, dengan analisis margin pemasaran maka dapat dianalisis margin mana yang paling efisien. Hasil analisis ini merupakan masukan yang penting bagi sistem tata niaga dalam pengembangan agropolitan Distrik Cilimus di Kabupaten Kuningan. Hasil analisis ini dapat dilihat efektifitas dan efisiensi pemasaran produk ubi jalar dalam di antara para pelaku pemasaran seperti petani sebagai produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar dan industri. Margin tata niaga diketahui dengan menghitung perbedaan harga di tingkat petani (harga jual) dengan harga di tingkat eksportir (harga jual), secara persamaan margin tata niaga adalah sebagai berikut : m
m
n
j =1
j =1 j =1
m
M = ∑ Mi − ∑∑ Cij + ∑ Pj j =1
Keterangan : M = Margin tata niaga (Rp/kg). Mj = Margin tata niaga (Rp/kg) lembaga tata niaga ke–j (1,2,3, ...., m) dan m adalah jumlah tata niaga yang terlibat. Cij = Biaya tata niaga ke–i (Rp/kg) pada lembaga tataniaga ke–j (i = 1,2,3, ......, m) dan n = jumlah jenis pembiayaan. Pj = Margin keuntungan lembaga tataniaga ke–j (Rp/kg).
37 Responden yang diambil secara acak dan sengaja (purposive sampling), diwawancarai sebanyak 22 orang dengan komposisi 10 orang petani sebagai produsen, 5 orang pedagang pengumpul, 5 orang pedagang besar dan 7 orang dari inustri pengolahan ubi jalar (responden dimbil dari 9 kecamatan yang termasuk dalam Distrik Cilimus secara proporsional).
Analisis Pohon Industri Dalam analisis pohon industri, produk-produk turunan (derivatif) yang berbahan baku ubi jalar diuraikan secara satu persatu kemudian dianalisis produk ubi jalar yang memiliki nilai ekonomi. Produk-produk olahan ubi jalar yang telah berkembang saat ini diuraikan satu persatu tentang rangkaian proses dan manfaat masing-masing. Analisis ini menggunakan model pohon industri yang
dipakai
oleh
Departemen
Perindustrian
(2000)
sebagai
bahan
perbandingan dengan produk turunan tanaman ubi jalar yang telah berkembang di masyarakat, selanjutnya dibuat model pohon industri yang ideal. Dari analisis model pohon industri yang ideal akan dihasilkan persentase produk turunan ubi jalar yang sudah berkembang di masyarakat di Distrik Cilimus dan persentase kemungkinan produk turunan ubi jalar lain yang bisa dikembangkan.
Analisis Preferensi Masyarakat Untuk melihat sejauh mana preferensi masyarakat terhadap pilihan jenis prioritas pengembangan jenis pengembangan agribisnis ubi jalar di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan maka dilakukan analisis deskriptif untuk melihat seberapa besar keterlibatan dan perhatian masyarakat dalam berusaha usahatani ubi jalar. Pengukuran terhadap persepsi masyarakat terhadap pengembangan kawasan agropolitan dilakukan dengan menggunakan kuesioner terhadap responden petani.
Selain itu juga dilakukan wawancara mendalam
terhadap pokja (kelompok kerja) pengelola kawasan Agropolitan yaitu Bapeda, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian. Analisis dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholders yang memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian khususnya tanaman ubi jalar sebagai komoditas unggulan di Distrik Cilimus. Analisis AHP digunakan untuk menarik kesimpulan tentang pandangan para stakeholder mengenai jenis pengembangan agribisnis
yang dianggap
38 menguntungkan untuk dikembangkan pada program pengembangan ekonomi lokal di distrik agropolitan Cilimus Kabupaten Kuningan. Hasil kuesioner setiap responden dianalisis untuk dilihat tingkat konsistensinya dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner. Hasil analisis ini akan menjadi dasar dalam melakukan analisis prioritas pengembangan jenis agribisnis ubi jalar. Prinsip kerja Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak berstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagian–bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Secara grafis, persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat yang dimulai dengan goal/sasaran lalu kriteria level pertama, sub kriteria dan akhirnya alternatif. Untuk Analytical Hierachy Process (AHP), data perbandingan berpasangan antara masing-masing kriteria dan alternatif diperoleh dari 10 orang responden yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan responden tersebut dapat merepresentasikan kelompok yang diwakilinya. Responden tersebut yang terdiri dari 2 orang petani komoditas ubi jalar, 2 orang dari unsur pedagang, 1 orang dari unsur pengusaha dan 5 orang masing–masing dari unsur Pemerintah Kabupaten Kuningan yaitu dari Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Kepala Balai Penyuluh Pertanian di Lingkup Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan. Sarana yang digunakan dalam AHP adalah dengan memberikan kuisioner kepada responden terpilih yang mengetahui dan memahami dengan baik masalah yang menjadi objek penelitian. Analisis AHP dilakukan dengan program aplikasi Expert Choice 2000.
Analisis Uji Beda Pendapatan Untuk mengetahui dampak pengembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus
terhadap
pendapatan
masayarakat
petani
dilakukan
analisis
perbandingan rata–rata pendapatan usahatani ubi jalar antara petani monokultur ubi jalar dengan petani ubi jalar tumpang sari (campuran) dengan uji t-student pada taraf 5%. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software Minitab
39 for Windows Release 14. Responden dipilih secara purposive sampling (sengaja) sebanyak 60 orang yang terdiri 30 orang petani monokultur (ubi jalar) dan 30 orang petani tumpang sari (campuran). Responden yang dipilih adalah petani yang memiliki usahatani di tanah seluas 0,5 ha dan tanpa melihat kepemilikan lahan. Hipotesis yang diajukan adalah : Ho : µ1 = µ2 yaitu rata–rata pendapatan petani monokultur ubi jalar sama dengan rata–rata petani ubi jalar tumpang sari (campuran), artinya tidak ada perbedaan antara pendapatan petani ubi jalar monokultur dengan petani ubi jalar tumpang sari (campuran). Ho : µ1 = µ2 yaitu rata–rata pendapatan petani monokultur ubi jalar sama dlebih besar dari rata–rata dengan petani tumpang sari (campuran), artinya tidak ada perbedaan antara pendapatan petani kawasan monokultur dengan petani tumpang sari (campuran). Statistik Uji t (Steel and Torrie, 1981) sebagai berikut :
t=
X1 − X 2 S( X1−X 2 )
Dimana : X1
= rata – rata pendapatan petani ubi jalar monokultur
X2
= rata – rata pendapatan petani ubi jalar tumpang sari (campuran)
S (X1 – X2)
= standar deviasi dari (x1 - x2)
Kaidah keputusan : Bila statistik hitung ≤ tα, maka tolak H0 (terima H1). Bila statistik hitung > tα, maka tolak H0 (terima H1).
40
Pengambilan Data
Peta Lereng, Curah Hujan, Tanah
Peta Penggunaan Lahan Eksisting
Peta RTRW
Analisis Kelayakan Finansial
Analisis Potensi Pengemb. Agroindustri & Nilai Tambah
Analisis Sistem Tata Niaga
Analisis Preferensi Masyarakat
Overlay
Peta Satuan Evaluasi
Syarat Kesesuaian Tanaman
Peta Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Ubi Jalar
Overlay
Luas Lahan Potensial Untuk Tanaman Ubi Jalar
Estimasi Produksi Ubi Jalar
Analisis Rantai Tata Niaga
Analisis Marjin Tata Niaga
Analisis Neraca Kapasitas & Produksi
Analisis Pohon Industri
Analisis RC Ratio, BC Ratio, BEP dan ROI
Kelayakan Finansial Pada Kesesuaian Lahan
Alternatif Rantai Pemasaran
Rekomendasi Pengembangan Distrik Cilimus melalui Peningkatan Kinerja Usahatani Komoditas Ubi Jalar
Skenario Pengembangan Industri
Perkembangan Ekonomi Lokal Distrik Cilimus
Gambar 5 Diagram Alur Tahapan Penelitian
Analytic Hierarchy Process (AHP)
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kabupaten Kuningan Kabupaten Kuningan memiliki luas 1.178,57 Km² (117.857,55 Ha) terletak pada 108023’–108047’ Bujur Timur dan 6047’– 7012’ Lintang Selatan dengan ibukota terletak pada titik 108027’–108028’ Bujur Timur dan 6058’–6059’ Lintang Selatan.
Secara geografis, posisi Kabupaten Kuningan berada pada lintasan
jalan regional yang menghubungkan Kota Cirebon dengan wilayah Priangan Timur bagian selatan, dan sebagai jalan alternatif jalur tengah yang menghubungkan Bandung – Kuningan dengan Jawa Barat bagian tengah. Dalam konteks pembangunan Jawa Barat, Kuningan termasuk wilayah pembangunan Ciayumajakuning dengan pusat pertumbuhan di Cirebon. Di sebelah utara Kabupaten Kuningan berbatasan dengan Kabupaten Kuningan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ciamis (Jawa Barat) dan Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah), sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Tercatat di tahun 2007, jumlah penduduk Kabupaten Kuningan adalah sebanyak 1.089.620 jiwa yang tersebar di 367 kelurahan/desa pada 32 kecamatan. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kuningan tahun 2007 adalah sebesar 4,22% per tahun.
Sektor perekonomian yang paling mempunyai
kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Kuningan Tahun 2007 adalah sektor pertanian (33,18%) disusul dengan sektor perdagangan (19,74%) dan sektor jasa (21,53%), sisanya sektor lainnya (25,55). Berdasarkan PDRB harga konstan tahun 2000, PDRB Kabupaten Kuningan Tahun 2007 adalah sebesar Rp. 3.470.977,97 milyar. Dengan nilai PRDB tersebut, maka pendapatan perkapita masyarakat Kuningan kurang lebih sebesar Rp. 3.185.494,87 per tahun. Kabupaten Kuningan memiliki tujuh golongan tanah yaitu Andosol, Alluvial, Podsolik, Gromosol, Mediteran, Latosol dan Regosol. Golongan tanah Andosol terdapat di bagian Barat Kecamatan Kuningan yang cocok untuk ditanami tembakau, bunga-bungaan, sayuran, buah-buahan, kopi, kina, teh dan pinus. Golongan Tanah Alluvial terdapat di Kecamatan Kuningan bagian Timur, Kecamatan Kadugede bagian Utara, Kecamatan Lebakwangi bagian Utara, Kecamatan Garawangi dan Kecamatan Cilimus yang cocok untuk tanaman padi, palawija, dan perikanan. Golongan tanah Podsolik terdapat di Kecamatan Kadugede bagian Selatan, Kecamatan Ciniru bagian Timur, Kecamatan
42 Luragung bagian timur, Kecamatan Lebakwangi bagian Selatan dan Kecamatan Ciwaru yang cocok untuk ladang dan tanaman karet. Tabel 6 Jenis dan Luas Tanah di Kabupaten Kuningan Jenis Tanah Alluvial kelabu Regosol cokelat kelabu Asosiasi regosol kelabu, regosol cokelat kelabu dan latosol Asosiasi andosol cokelat dan regosol cokelat Grumosol kelabu tua Asosiasi grumosol kelabu kekuningan, grumosol cokelat kelabu dan regosol kelabu Asosiasi mediteran cokelat dan latosol Latosol cokelat Latosol cokelat kemerahan Asosiasi latosol cokelat dan regosol Asosiasi podsolik kuning dan hidromorf Asosiasi podsolik merah kekuningan dan latosol merah merah kekuningan Komplek podsolik merah kekuningan, podsolik kuning dan regosol
Luas (Ha)
Persen (%)
4.080,00 700 4.072
3,46 0,59 3,46
4.560,00 1.840,00 13.204
3,87 1,56 11,20
11.569 890 13.803 19.232 11.765 13.825
9,82 0,76 11,71 16,32 9,98 11,73
18.313
15,54
Sumber : RTRW (2003)
Kedalaman efektif tanah berkisar antara 30 cm sampai di atas 90cm. Kedalaman efektif tanah merupakan tebalnya lapisan tanah sampai batuan induk atau sampai pada suatu lapisan dimana akar tidak dapat menembus. Sebagian besar tekstur tanah termasuk ke dalam tekstur sedang dan sebagian kecil termasuk tekstur halus. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap tingkat kepekaan yang rendah dan sebagian kecil sangat tinggi terhadap erosi. Secara geologi, Kabupaten Kuningan terbagi dalam dua kelompok yaitu : ◙
Sebelah utara yang sebagian besar daerahnya merupakan
daerah
Undifferentiated Vulkanik yang sangat subur akibat pengaruh Gunung Ciremai, hanya sebagian kecil yang termasuk Daerah Flicone Sedimentari Facies yang kurang subur. ◙
Sebelah selatan yang merupakan aerah Micone Sedimentari Facies dan Gabro yang sangat subur. Pada bagian ini terdapat bahan untuk membuat Oker dan Nikel di Kecamatan Kadugede. Keadaan iklim di Kabupaten Kuningan dipengaruhi oleh iklim tropis dan
angin muson dengan temperatur berkisar antara 180C hingga 320C dengan curah
43 hujan pada bagian Barat dan Selatan terutama daerah lereng Gunung Ciremai berkisar antara 3.000–4.000 mm/tahun, sedangkan pada daerah yang semakin datar di bagian Utara dan Timur beriksar antara 2.000–3.000 mm/tahun. Topografi wilayah Kabupaten Kuningan sangat bervariasi, dari dataran sampai pegunungan yaitu kawasan Gunung Ciremai, sampai ke dataran yang agak rendah seperti di wilayah Kuningan bagian Timur. Berdasarkan elevasi ketinggian tanah, wilayah Kabupaten Kuningan terbagi atas : ketinggian 25–100 meter di atas permukaan laut (dpl) seluas 10.915,47 Ha (9,26%); ketinggian 100– 500 meter dpl seluas 69.414,92 Ha (58,90%); ketinggian 500–1.000 meter dpl seluas 30.538,15 Ha (25,91%) ; dan ketinggian lebih dari 1.000 meter dpl seluas 6.989,01 Ha (5,93%). Kemiringan tanah di Kabupaten Kuningan dikelompokan atas wilayah dengan kemiringan 0–8% seluas 28.275,88 Ha (23,99%); kemiringan 8–15% seluas 18.985,78 Ha (16,11%); kemiringan 15–25% seluas 24.373,88 Ha (20,68 %); kemiringan 25–40% seluas 17.043,02 Ha (14,46%); dan di atas 40% seluas 29.178,99 Ha (24,76%) dengan gradasi kemiringan yang dimiliki wilayahnya terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi, perbukitan, lereng, lembah dan pegunungan. Karakter tersebut memiliki bentang alam yang indah dengan udara yang cukup sejuk sehingga berpotensi untuk pengembangan pariwisata. Berdasarkan tabel penggunaan lahan eksisting (Tabel 7) di Kabupaten Kuningan terhadap Keppres No.32 Tahun 1990 tentang Kesesuaian Lahan terlihat bahwa peruntukan lahan di wilayah Kabupaten Kuningan secara umum telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kondisi ini harus tetap
dipertahankan agar tidak terjadi degradasi lingkungan yang dapat mengancam ekologi lingkungan sekitarnya. Untuk kegiatan permukiman dan perkotaan harus diperhatikan pemanfaatan ruangnya agar tidak dilakukan pada kawasan lindung, kawasan resapan air atau pada lahan yang memiliki tingkat kerawanan terjadinya bencana yang sangat tinggi. Untuk penggunaan lahan pada lokasi yang memiliki ketinggian dan kemiringan cukup besar yakni pada ketinggian >1000m dpl dan >40% berada pada lokasi Kecamatan Mandirancan, Cilimus, Jalaksana, Cigugur, Darma, Hantara, Ciniru, Selajambe, Cilebak, Ciwaru, Karangkancana, Cibeureum dan Cibingbin, diperuntukan untuk kawasan non budidaya seperti hutan lindung dan kawasan hutan produktif.
Sedangkan untuk kondisi eksisting dikembangkan
sebagai hutan, sawah, tegalan/ ladang, semak belukar dan hutan.
44 Tabel 7 Penggunaan Lahan Eksisting di Kabupaten Kuningan No.
1.
Ketinggian Kemiringan (m dpl) (%)
> 1000
> 40
< 20 2.
< 1000 < 40
3.
> 1000
20-40
4.
0-1000
0-15
Peruntukan Kesesuaian
Eksisting
- Kawasan non budidaya (Hutan Lindung) - Kawasan budidaya (Hutan Produktif) Kawasan Budidaya : - Tanaman pangan lahan basah/saw ah - Tanaman lahan kering Kawasan budidaya (tanaman perkebunan) Kawasan budidaya (non pertanian) yang meliputi permukiman dan perkotaan
Hutan, semak belukar, sawah, tegalan/ladang,
Persebaran Lokasi Mandirancan,Cilimus, Jalaksana,Cigugur, Darma, Hantara, Ciniru, Selajambe, Cilebak, Ciwaru, Karangkancana, Cibeureum, Cibingbin
Sawah, semak Seluruh Kecamatan di Kabupaten belukar, tegalan/ladang, Kuningan hutan, perkebunan, permukiman.
Perkebunan, semak belukar, tegalan/ladang
Pasawahan, Mandirancan, Cigugur, Subang, Ciniru Sawah, Mandirancan, permukiman, Pancalang, Cilimus, tegalan/ladang, Jalaksana, semak belukar. Kramatmulya, Cigugur, Nusaherang, Kuningan, Japara, Garawangi, Lebakwangi, Luragung, Cilebak,Kalimanggis, Cimahi, Ciwaru, Darma, Selajambe, Subang,.
Sumber : RTRW (2003)
Rata-rata penggunaan lahan di Kabupaten Kuningan yang berada di kemiringan <20 dan <40 % yang tersebar merata di seluruh lokasi kecamatan di Kabupaten Kuningan dengan ketinggian <1000 mdpl. Adapun kesesuaian peruntukkannya dikembangkan sebagai kawasan budidaya seperti tanamanan bahan makanan lahan basah dan kering. Sedangkan penggunaan eksistingnya
45 berupa sawah, semak belukar, tegalan/ ladang, perkebunan, tempat tinggal dan hutan. Untuk lokasi yang berada pada ketinggian >1000 mdpl dengan kemiringan 20–40% menurut kesesuaian lahan baik dikembangkan untuk kawasan budidaya (tanaman perkebunan) dan pada kondisi eksistingnya dikembangkan untuk perkebunan, semak belukar dan ladang. Persebaran lokasi tersebut pada Kecamatan Pasawahan, Mandirancan, Cigugur, Subang, Ciniru.
Penggunaan Lahan Secara umum jenis penggunaan lahan berdasarkan kondisi eksisting di Kabupaten Kuningan, dari luas total wilayah, jenis penggunaan lahan yang terluas adalah perkebunan sebesar 31.261,188 ha (25.52%) diikuti sawah irigasi sebesar 21.060,141 ha (17.87%) dan rincian selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 8. Tabel 8 Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Kuningan Jenis Penggunaan Lahan Belukar Hutan Ladang Padang Rumput Pemukiman Perkebunan Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Sungai & Waduk Tanah Berbatu Jumlah
Luas Lahan 11.809,709 14.640,182 12.267,118 89,529 10.340,063 31.261,188 21.060,141 16.643,067 1.297,737 14,115 117.857,55
Persen (%) 10,02 12,42 10,41 0,08 8,77 25.52 17.87 14.12 1.10 0.01 100,00
Sumber : RTRW (2003)
Data penggunaan lahan tersebut menggambarkan masih adanya lahan yang belum optimal pemanfaatannya untuk usaha ekonomi produktif. Hal ini dapat didasarkan bahwa lebih dari 10% wilayah masih berupa semak belukar yang belum dimanfaatkan. Lahan yang sudah dimanfaatkan untuk perkebunan, pemukiman, sawah, tegalan dan ladang + 60% dari total luas lahan di daerah ini. Untuk lahan-lahan yang telah dimanfaatkan, jenis penggunaan terluas adalah sawah irigasi dan sawah tadah hujan (22.415,6 ha). Hal tersebut erat kaitannya dengan mata pencaharian utama masyarakat Kabupaten Kuningan sebagian besar adalah petani tanaman pangan (khususnya padi dan palawija).
46
Gambar 6 Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kabupaten Kuningan
47 Kawasan Agropolitan Cilimus Lingkup wilayah yang menjadi pengembangan kawasan agropolitan adalah mencakup wilayah seluas 117.857,55 ha, yang dibagi menjadi 4 distrik. Secara umum pembagian distrik didasarkan kepada pertimbangan untuk mempercepat akselerasi pengembangan wilayah Kabupaten Kuningan melalui pengembangan sektor pertanian dan ekonomi masyarakat secara terpadu. Empat (4) Distrik yang menjadi Kawasan Pengembangan Agropolitan yaitu Distrik Cilimus, Distrik Kuningan, Distrik Luragung dan Distrik Ciawigebang. Pada masing-masing distrik, ditetapkan suatu pusat primer (kawasan inti) dan pusat sekunder (kawasan pendukung) yang diharapkan dapat menjadi pusatpusat pertumbuhan baru sehingga akselerasi pengembangan wilayah lebih cepat terjadi. Keempat distrik tersebut berikut penetapan pusat (primer dan sekunder) dan hinterland (kawasan layanannya). Secara umum pembagian distrik didasarkan kepada pertimbangan untuk mempercepat akselerasi pengembangan wilayah Kabupaten Kuningan melalui pengembangan sektor pertanian dan ekonomi masyarakat secara terpadu. Pembagian distrik pengembangan kawasan agropolitan di dasarkan pada pertimbangan sebagian berikut : a. Pergerakan eksternal dan internal kawasan yang mendukung pengembangan wilayah. b. Faktor agroklimat yang sesuai untuk pengembangan komoditas unggulan pertanian, c. Berpotensi untuk pengembangan agribisnis, d. Daya dukung sarana dan prasarana (ekonomi, fisik dan lembaga pendukung) yang memadai untuk pengembangan agribisnis seperti; pasar (pasar produk pertanian, sarana pertanian, pasar lelang), gudang penampung hasil pertanian,
tempat
pengolahan
hasil
pertanian,
lembaga
keuangan,
kelembagaan petani (kelompok tani dan koperasi), jaringan perhubungan (jalan), jaringan irigasi yang optimal, sarana transportasi, listrik, air bersih dan lain-lain. Berdasarkan aspek pertimbangan pada bagian maka Kabupaten Kuningan dapat dikelompokkan menjadi 4 Distrik Kawasan Pengembangan Agropolitan (Gambar 6). Pada masing-masing distrik, ditetapkan suatu pusat primer (kawasan inti) dan pusat sekunder (kawsan pendukung) yang diharapkan dapat
menjadi
pusat-pusat
pertumbuhan
baru
sehingga
akselerasi
48 pengembangan wilayah lebih cepat terjadi. Keempat Distrik tersebut berikut penetapan pusat (primer dan sekunder) dan hinterland (kawasan layanannya) sajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Pembagian Distrik Pengembangan Kawasan Agropolitan Distrik
Kawasan Inti/Pusat Kawasan Pertumbuhan Pendukung
Kawasan Layanan
Kuningan
Kuningan
Kadugede
Darma, Nusaherang, Ciniru, Hantara, Selajambe, dan Cigugur.
Cilimus
Cilimus
Jalaksana
Cipicung, Pasawahan Pancalang,Karamatmulya, Cigandamekar, Japara, dan Mandirancan
Ciawigebang Ciawigebang
Garawangi
Cidahu, Kalimanggis, Lebakwangi, dan Sindangagung.
Luragung
Ciwaru
Subang, Cibeureum, Karangkancana, Maleber, Cilebak, Cibingbin, dan Cimahi.
Luragung
Sumber : Masterplan Agropolitan Kabupaten Kuningan (2005)
Kecamatan Cilimus ditetapkan sebagai Pusat Primer Distrik, dengan pertimbangan kecamatan ini merupakan pusat pergerakan internal dan pintu gerbang pergerakan eksternal menuju Cirebon, memiliki infrastruktur (ekonomi, fisik dan lembaga pendukung serta pasar yang sudah berkembang (establish). Sementara itu Kecamatan Jalaksana ditetapkan sebagai Pusat Sekunder Distrik, dengan pertimbangan kecamatan ini dapat menarik wilayah hinterland sebagai kawasan penyangga, yaitu Kecamatan Cipicung, Pasawahan, Pancalang, Karamatmulya, Cigandamekar, Japara, dan Mandirancan. Distrik Cilimus merupakan koridor jalan regional dengan pergerakan eksternal menuju pusat pertumbuhan Cirebon. Walaupun jaringan jalan sudah bisa menjangkau setiap pelosok, akan tetapi masih ada kerusakan jalan. Saat ini jalan propinsi yang rusak sepanjang 4 km (3 km diantaranya di Mandirancan), jalan kabupaten yang rusak 69,33 km, terutama di Kecamatan Japara, Jalaksana dan Cipicung. Sedangkan jalan desa yang rusak sepanjang 112,8 km, terberat di Kecamatan Pancalang. Distrik Cilimus terdiri atas 26,8% irigasi teknis 48,02% iritasi setengah teknis, 8,31% irigasi sederhana dan 16,87% irigasi tadah hujan, berdasarkan hal ini irigasi setengah teknis merupakan yang terbesar di distrik ini.
49 Distrik Cilimus saat ini memiliki sarana pasar yang relatif memadai, karena memiliki 3 (tiga) pasar permanen yang relatif besar, yaitu Pasar Kramatmulya, Prasar Cilimus dan Pasar Japara (kecil). Selain itu terdapat juga 1 (satu) pasar tidak permanen, 8 (delapan) kelompok pertokaan (kurang lebih sebanyak 149 toko) dan 74 restoran dan rumah makan, terbesar dibandingkan dengan distrik lainnya.
Seperti diketahui, di distrik ini terdapat banyak objek
wisata, sarana rekreasi yang sudah terkenal seperti Linggajati, Sangkan Hurip dan Grage, dengan demikian jumlah restoran dan rumah makan di distrik ini relatif banyak. Untuk menunjang perekonomian, di distrik ini terdapat 4 (empat) lembaga perbankan, 2 (dua) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan 1 (satu) pegadaian. Dalam menunjang gerakan perkoperasian, di Distrik Cilimus saat ini terdapat 11 Koperasi Unit Desa (KUD) dan 44 non KUD dengan aktifitas sebagian besar sebagai lembaga simpan pinjam dan distribusi/penjualan produk. Keragaan produksi tanaman pangan di Distrik Cilimus disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan tabel tersebut, terdapat 3 (tiga) komoditas pangan utama yang produksinya diatas 5.000 ton per tahun yaitu padi, ubi kayu dan ubi jalar. Sedangkan jagung dan kacang tanah, produksi berkisar 1.000 ton per tahun. Dua komoditas lainnya yaitu kedelai dan kacang hijau, produksinya sangat kecil dibawah 150 ton per tahunnya. Tabel 10 Produksi Tanaman Pangan di Distrik Cilimus Tahun 2004–2007 Tahun
Padi (ton)
Jagung (ton)
Kedelai (ton)
Kacang Tanah (ton)
Kacang Hijau (ton)
Ubi Kayu (ton)
Ubi Jalar (ton)
2004 2005 2006 2007
76.189 82.479 89.526 84.102
1.366 1.165 1.754 1.678
127 77 12 78
1.155 1.412 920 1.234
12 41 2 29
7.677 4.672 4.089 4.765
80.594 83.613 93.330 95.339
Sumber : BPS (2007)
Jika melihat tabel tersebut secara rinci, komoditas padi dan ubi jalar produksinya
mengalami
peningkatan
selama
periode
tahun
2004–2007,
sedangkan komoditas lainnya mengalami penurunan. Dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Kuningan, produksi ubi jalar di Distrik Cilimus merupakan yang terbesar, di tahun 2007 mencapai 95.339 ton dari total produksi Kabupaten Kuningan sebesar 101.212.
50
Gambar 7 Peta Pembagian Distrik Agropolitan Kabupaten Kuningan
51 Jika dilihat penyebaran produksinya, maka tidak setiap komoditas tersebar di setiap kecamatan, berdasarkan data berikut diuraikan kecamatan dengan produksi tanaman pangan yang relatif besar : 1. Produksi padi hampir merata di setiap kecamatan, dengan kecamatan yang relatif banyak menanam padi adalah Kecamatan Cilimus, di tahun 2007 produksinya mencapai 20.892 ton. Kecamatan lainnya yang cukup besar produksi padinya adalah Kecamatan Mandirancan, Pasawahan, Pancalang, Kramatmulya dan Jalaksana. 2. Jagung banyak dihasilkan di Kecamatan Kramatmulya dan Japara, yang mana pada tahun 2007 produksi kedua kecamatan tersebut masing-masing mencapai 398 ton dan 344 ton. 3. Ubi Jalar relatif banyak dan tersebar dihasilkan di Distrik Cilimus, dan paling banyak dihasilkan oleh Kecamatan Cilimus (meliputi Desa Bandorasa Wetan, Bandorasa Kulon, Linggajati, Linggamekar, Caracas, dan Linggaindah). Pada tahun 2007 produksinya mencapai 95.339 ton, merupakan tertinggi di seluruh
wilayah
Kuningan.
Kecamatan
lainnya
yang
relatif
besar
menghasilkan Ubi Jalar adalah Kecamatan Jalaksana (terutama di Desa Salamantra dan Sembawa) dan Pancalang (terutama Desa Pancalang, dan Kahyangan).
Banyaknya ubi jalar di Kecamatan Cilimus tidak lepas dari
peran PT Galih Estetika yang memproduksi Pasta Ubi Jalar untuk keperluan ekspor ke Jepang. Bahkan pada tahun 2005 lokasi pabrik dipindahkan dari Kecamatan Lebakwangi ke Kecamatan Cilimus. 4. Terdapat 3 (tiga) kecamatan yang relatif besar menghasilkan ubi kayu, yaitu Kecamatan Cilimus, Japara, dan Cipicung, yang mana di tahun 2007 produksinya masing-masing sebesar 1.347 ton, 1.095 ton dan 1043 ton. 5. Dari delapan kecamatan yang termasuk dalam Distrik Cilimus, produksi kedelai banyak dihasilkan di Kecamatan Pancalang dan Pasawahan, yang mana di tahun 2007 produksi kedelainya masing-masing mencapai 23 ton dan 27 ton. Kecamatan lainnya yang relatif besar menghasilkan kedelai adalah Kecamatan Mandirancan. Komoditas sub sektor tanaman pangan yang peluang pasar paling besar dibandingkan dengan komoditas lainnya adalah komoditas ubi jalar. Keberadaan industri pengolahan ubi jalar di Distrik Cilimus, baik milik swasta (PT. Galih Estetika) maupun milik Pemerintah Kabupaten Kuningan merupakan pasar yang paling banyak menyerap produksi ubi jalar.
52
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Komoditas Ubi Jalar di Distrik Cilimus Sebelum tahun 2007, fluktuasi harga ubi jalar yang tidak menentu mendorong petani kurang bergairah untuk meningkatkan produksi tanaman ubi jalar baik melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Hal ini terlihat dari hasil wawancara, responden menyatakan sebelumnya tidak pernah melakukan pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit secara intensif. Pada dasarnya petani memahami perlunya pemeliharaan tanaman, namun harga jual yang tidak menentu dan belum adanya produk olahan lainnya, usahatani ubi jalar hanya menjadi penghasilan sampingan selain usahatani lainnya. Berikut ini disajikan keragaan usahatani ubi jalar di Kabupaten Kuningan : 1. Usahatani ubi jalar di distrik Agropolitan Cilimus Kabupaten Kuningan secara umum merupakan milik petani yang dikelola secara tradisional turun temurun. 2. Luas kepemilikan lahan usahatani ubi jalar berkisar antara 0.25−2 ha per kepala keluarga (BPS, 2007).
Luas tersebut cenderung akan berkurang
sebagai akibat fragmentasi lahan sejalan dengan sistem bagi waris yang menjadi budaya. 3. Pola tanam sebagian besar dilakukan secara monokultur, kecuali di beberapa keluarga petani yang dilakukan tumpang sari dengan padi, jagung dan kacang tanah. Pola tumpang sari ini menjadikan pemanfaatan lahan kurang optimal sehingga produktivitasnya rendah. Petani juga belum optimal dalam menerapkan teknologi budi daya sesuai anjuran dari Dinas Pertanian karena keterbatasan modal dan adanya keengganan karena faktor tidak adanya kepastian harga. 4. Pada periode tahun 2007–2008 usahatani ubi jalar di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan menjadi intensif dibudidayakan oleh petani
karena
didukung oleh Proyek Pendanaan Kompetensi (PPK) IPM selama 2 Tahun 2007–2008 dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Salah satu programnya adalah
Pengembangan
Agribisnis
Ubi
Jalar
dengan
tujuan
untuk
meningkatkan dan menstabilkan harga ubi jalar di tingkat petani, sehingga usahatani ubi jalar masih layak diusahakan secara ekonomi. Dampaknya adanya peningkatan harga komoditas ubi jalar dari harga terendah sebesar Rp.300/kg di tahun 2006 menjadi Rp.800–1200/kg di tahun 2007–2008.
53
Gambar 8 Tanaman Ubi Jalar di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan 5. Produk usahatani yang dihasilkan masih bersifat terbatas pada ubi jalar basah, chips ubi jalar dan tepung ubi jalar. Pemanfaatan hasil sampingan belum banyak dilakukan oleh petani, sehingga nilai tambah dari usahatani belum diperoleh secara optimal. 6. Dukungan kelembagaan seperti koperasi dan kelompok tani belum berjalan dengan baik. Kondisi ini tampak dari ketiadaan koperasi pendukung usahatani ubi jalar dan kelompok tani berbasis ubi jalar. Namun demikian berdasarkan hasil pengamatan di lapangan saat ini telah terdapat upaya pemerintah Kabupaten Kuningan dalam memberdayakan petani ubi jalar. Langkah-langkah Pemerintah Kabupaten Kuningan tampak dalam beberapa tahun terakhir telah berjalan program pembinaan antara lain: 1. Pemerintah Kabupaten Kuningan telah menyusun Peta Jalan (Road Map) komoditas ubi jalar sampai dengan tahun 2010. Road Map ini memberikan penjelasan bahwa adanya upaya untuk meningkatkan produktiftas dan kesejahteraan petani ubi jalar secara terencana. 2. Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan dari sisi budidaya (on farm) mulai intensif memberikan penyuluhan tentang usahatani ubi jalar kepada kelompok tani melalui UPTD BPP (Balai Penyuluhan Pertanian). Salah satu programnya di tahun 2008 yang mendukung perkembangan usahatani ubi jalar (khususnya sertifikasi bibit unggul ubi jalar)
54 adalah dengan dilepasnya varietas AC Putih dan AC Merah menjadi Kuningan Putih dan Kuningan Merah. 3. Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kuningan telah memberikan bantuan alat pengolahan ubi jalar terpadu kepada beberapa kelompok tani dan kelompok industri kecil dan menengah (IKM).
Identifikasi Kelas Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan untuk tanaman ubi jalar di Kabupaten Kuningan dilakukan dengan mencocokkan (matching) antara kualitas lahan pada tiap satuan Peta Satuan Lahan Evaluasi Kabupaten Kuningan dengan persyaratan penggunaan lahan (land requirements) untuk tanaman ubi jalar yang mengacu pada kriteria kesesuaian lahan yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Djaenuddin et al., 2003). Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman ubi jalar yang digunakan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Peta Satuan Lahan Evaluasi Kabupaten Kuningan yang digunakan bersumber dari hasil analisis GIS (overlay) dari beberapa jenis peta, yaitu peta lereng dan peta suhu didapat dari turunan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), kemudian dioverlay dengan peta bahaya erosi dan data sebaran curah hujan (yang dispasialkan dengan poligon thiessen), selanjutnya dioverlay dengan peta tanah Kabupaten Kuningan. Selanjutnya overlay dengan peta penggunaan lahan eksisting (landuse) dan peta RTRW untuk mendapatkan potensi lahan yang masih tersedia. Karena peta satuan tanah Kabupaten Kuningan yang digunakan skala 1:250.000, maka klasifikasi jenis tanah dalam peta satuan tanah (SPT) masih dalam satuan asosiasi. Dalam penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman ubi jalar yang dilakukan, karateristik lahan dari masing-masing SPT diwakilkan dari jenis tanah yang memiliki luasan terbesar dari asosiasi tersebut. Sedangkan jenis tanah dengan luasan yang lebih kecil dalam asosiasi tersebut tidak dilakukan penilaian. Karena itu kesesuaian lahan yang dihasilkan kemungkinan terdapat lahan-lahan yang sebenarnya tidak sesuai. Untuk itu dilakukan penyesuaian (adjustment) terhadap data–data yang terlihat janggal dan tidak logis. Hal ini merupakan salah satu keterbatasan dari analisis yang dilakukan
55 dalam penelitian ini. Hasil pencocokan (matching) tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
Kesesuaian Lahan Tanaman Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan Hasil analisis kesesuaian lahan untuk tanaman ubi jalar di Kabupaten Kuningan secara umum terbagi pada pada kelas S (sesuai) dan N (marginal) hampir seimbang. Terdapat lahan seluas 53.970 ha (46%) sesuai (kelas S1, S2 dan S3) untuk tanaman ubi jalar. Lahan seluas 63.820 ha (54%) tidak sesuai (N) dengan faktor pembatas suhu, kelerengan, bahaya erosi, kedalaman efektif, tekstur dan drainase.
Pada Tabel 11 berikut menunjukkan hasil analisis
kesesuaian lahan ubi jalar di Kabupaten Kuningan. Tabel 11 Kesesuaian Lahan Tanaman Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan Distrik
Kesesuaian (ha) Tidak Sesuai (N) Sesuai (S)
Distrik Ciawigebang Distrik Cilimus Distrik Kunigan Distrik Luragung Total
3.600 7.020 21.600 31.600 63.820
14.300 18.970 5.800 14.900 53.970
Jumlah (ha) Persen (%) 17.900 25.990 27.400 46.500 117.790
15,20 22,06 23,26 39,48 100.00
Sumber : Hasil Analisis (2008)
Sedangkan berdasarkan data statistik pertanian Kabupaten Kuningan Tahun 2008, luas areal tanam komoditas ubi jalar baru mencapai 6.150 ha (Lampiran 3). Dari luas areal tersebut 4.883 ha berada di Distrik Cilimus, kondisi tersebut menggambarkan potensi pengembangan areal tanaman ubi jalar di Kabupaten Kuningan khususnya di Distrik Cilimus masih sangat besar. Potensi tersebut belum tergarap secara maksimal karena banyak keterbatasan seperti: sarana produksi, sumberdaya manusia dan kebijakan pemerintah. Berikut pada Gambar 9 hasil analisis kesesuaian lahan untuk komoditas ubi jalar Kabupaten Kuningan.
56
Gambar 9 Peta Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan
57 Kesesuaian Lahan Tanaman Ubi Jalar di Distrik Cilimus Hasil analisis kesesuaian di Distrik Cilimus untuk komoditas ubi jalar (Tabel 12) terdapat lahan seluas 19.630 hektar (75.62%) sesuai (kelas S1, S2 dan S3). Sedangkan lahan seluas 6.630 hektar (24.38%) tidak sesuai (kelas N) dengan faktor pembatas yaitu suhu, kelerengan, bahaya erosi, kedalaman efektif, tekstur dan drainase. Ubi jalar merupakan tanaman palawija yang umumnya dibudidayakan di lahan kering/tegalan. Jika dibandingkan antara penggunaan lahan dengan kelas kesesuaian lahannya, maka masih terdapat tersedia lahan cukup luas untuk dijadikan lahan pengembangan usahatani ubi jalar. Tabel 12 Kesesuaian Lahan Tanaman Ubi Jalar di Distrik Cilimus Kecamatan
Kesesuaian (ha) Tidak Sesuai (N) Sesuai (S)
Cigandamekar Cilimus Cipicung Jalaksana Japara Karamat Mulya Mandirancan Pancalang Pasawahan Total
270 730 240 1.620 640 870 1.130 510 1.060 7.070
1.840 2.830 1.660 2.250 2.030 1.610 2.080 1.860 2.760 18.920
Jumlah Persen (%) 2.110 3.560 1.900 3.870 2.670 2.480 3.210 2.370 3.820 25.990
8,12 13,70 7,31 14,89 10,27 9,54 12,35 9,12 14,70 100,00
Sumber : Hasil Analisis (2008)
Sebagian besar budidaya ubi jalar di Distrik Cilimus diusahakan pada lahan yang sesuai (S1, S2 dan S3). Secara umum petani menanam ubi jalar di lahan sawah atau tegalan, dengan pola tanaman ubi jalar – padi – ubi jalar. Bahkan ketika harga ubi jalar cenderung meningkat, petani sepanjang tahun menanam ubi jalar tanpa bergilir dengan tanaman lain. Hal ini menunjukkan masyarakat kurang memperhatikan aspek biofisik lahan dan lebih mendahulukan aspek ekonomi dalam berusahatani. Pada umumnya petani memilih ubi jalar karena budidayanya yang relatif mudah. Tanpa input yang tinggi dan perawatan intensif, petani dapat memetik hasil yang memberikan tambahan pendapatan. Kondisi seperti itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa petani tetap menanam ubi jalar, hal ini juga disebabkan karena dalam 2 tahun terakhir (2007– 2008) harga ubi jalar terus meningkat dan mencapai harga tertinggi Rp 1.800/kg.
58
Gambar 10 Peta Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Ubi Jalar di Distrik Cilimus
59 Persebaran Lokasi Lahan Potensial Tanaman Ubi Jalar di Distrik Cilimus Salah satu tujuan dari analisis kesesuaian lahan untuk tanaman ubi jalar adalah agar masyarakat petani mendapatkan gambaran potensi lahan yang sesuai untuk mengembangkan usahatani ubi jalar berdasarkan aspek spasial dan aspek biofisik. Aspek spasial dalam hal ini berarti bahwa lahan yang potensial tersebut juga sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan. Sedangkan aspek dari biofisik yang dimaksudkan adalah lahan yang potensial merupakan lahan yang sesuai berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan. Tabel 13 Kesesuaian Lahan berdasarkan Penggunaan Lahan Eksisting Kesesuaian Lahan Jumlah N S1 S2 S3 Belukar 910 70 90 1.920 2.990 Hutan 2.240 510 2.750 Ladang 340 240 270 1.130 1.980 Pemukiman 720 990 260 1.010 2.980 Perkebunan 1.030 1.220 1.020 3.620 6.890 Sawah Irigasi 160 1.760 710 910 3.540 Sawah Tadah Hujan 1.610 640 210 2.340 4.800 Sungai 50 50 Tanah Berbatu 10 10 Total 7.070 4.920 2.560 11.440 25.990 Penggunaan Lahan
Sumber : Hasil Analisis (2008)
Dalam membuat lokasi lahan potensial untuk pengembangan tanaman ubi jalar di Distrik Agropolitan Cilimus Kabupaten Kuningan, maka diperlukan peta lokasi lahan potensial pengembangan yang merupakan hasil overlay (tumpang tindih) dari peta kesesuaian lahan aktual dan peta penggunaan lahan eksisting (landuse) dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dari peta penggunaan lahan, lokasi lahan potensial pengembangan ditujukan kepada penggunaan belukar dan ladang. Sedangkan dari Peta RTRW, lokasi lahan potensial pengembangan ditujukan ke kawasan budidaya lahan kering dan kawasan budidaya lahan basah. Secara spasial sebaran lahan potensial pengembangan tanaman ubi jalar dapat dilihat dapat dilihat pada Gambar 11. Sedangkan luas lahan potensial untuk pengembangan tanaman ubi jalar pada kelas lahan sesuai (S1, S2 dan S3) dan lahan tidak sesuai (N), tersaji secara lengkap pada Tabel 13.
60 Tabel 14 Lahan Potensial Berdasarkan Peruntukan Lahan dalam RTRW Kawasan Budidaya
Kesesuaian Lahan (Ha) Jumlah (Ha) S1 S2 S3
Lahan Kering : 5 Belukar 5 Ladang Lahan Basah : 5 Sawah Irigasi 5 Sawah Tadah Hujan
70 240
90 270
1.920 1.130
2.080 1.640
1.760 640
710 210
910 2.340 Jumlah
3.380 3.190 10.290
Sumber : Hasil Analisis (2008)
Dari Tabel 14 dapat dilihat luas lahan yang berpotensi untuk pengembangan tanaman ubi jalar di Distrik Agropolitan Cilimus terdapat pada 9 kecamatan dengan total luasan 10.290 ha atau 39,59% dari luas distrik ini. Penggunaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan tanaman ubi jalar selain lahan sawah irigasi dan tadah hujan seluas 8.230 ha, adalah belukar seluas 2.080 ha dan ladang seluas 1.640 ha.
Sedangkan perkebunan tidak
dimasukkan dalam analisis lahan potensial, karena status kepemilikan lahan sebagian besar dimiliki perkebunan swasta. Pemilihan penggunaan lahan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa masing-masing lahan tersebut merupakan lahan yang kurang optimal dalam penggunaannya, sehingga masih memungkinkan pemanfaatan lahan tersebut untuk tujuan ekonomi, serta dapat memberikan peningkatan pendapatan masyarakat petani setempat. Penggunaan lahan perkebunan tidak dimasukkan sebagai lahan potensial pengembangan tanaman ubi jalar, dengan pertimbangan bahwa status kepemilikan perkebunan banyak dikuasai perusahaan swasta. Meskipun dilihat dari kondisi eksisting, perkebunan ini (tanaman kelapa, cengkeh, kopi, melinjo, nilam, dll.) sudah kurang memberikan keuntungan ekonomi yang layak. Hal tersebut dikarenakan tanaman sebagian merupakan tanaman yang kurang produktif (tanaman tua), sedangkan untuk mengadakan regenerasi tanaman diperlukan modal yang tidak sedikit.
61
Gambar 11 Peta Lahan Potensial Tanaman Ubi Jalar di Distrik Cilimus
62 Pembuatan peta lokasi lahan potensial pengembangan tanaman ubi jalar, baru terbatas dalam menunjukkan lokasi lahan yang sesuai secara spasial dan biofisik, belum mempertimbangkan keberadaan tanaman lain yang ada di lokasi lahan tersebut.
Ini adalah salah satu dari keterbatasan dari penelitian ini,
sedangkan keputusan petani untuk beralih menjadi petani ubi jalar, pilihan sepenuhnya ada pada petani sendiri.
Pemilihan komoditas ubi jalar, karena
tanaman ini merupakan tanaman yang menjadi unggulan dari Distrik Agropolitan Cilimus, dengan prospek pemasaran dalam dan luar negeri yang masih sangat terbuka. Dalam penelitian ini, penggunaan lahan basah dimasukkan sebagai lahan potensial untuk pengembangan tanaman ubi jalar. Dengan asumsi tanaman ubi jalar ditanam satu kali dalam satu tahun sebagai pergiliran dari tanaman utama yaitu padi. Hal ini dimungkinkan dengan beberapa pertimbangan, bahwa secara geografis Kabupaten Kuningan berada di dataran tinggi bukan merupakan wilayah yang diharapkan sebagai penghasil (sentra) komoditas padi. Selain itu produksi padi Kabupaten Kuningan secara umum masih surplus untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok dan ketahanan pangan dalam lingkup Kabupaten Kuningan.
Kelayakan Finansial Tanaman Ubi Jalar Kelayakan finansial usahatani merupakan suatu hal penting yang harus diidentifikasi karena faktor paling penting yang akan membuat petani terus bertani adalah seberapa besar nilai tambah yang bisa diperoleh. Semakin kecil keuntungan yang diperoleh, maka keberlangsungan aktivitas usahatani akan sulit untuk dipertahankan. Petani akan terdorong untuk menjual lahannya dan berganti profesi atau pindah ke kota untuk mencari penghasilan yang lebih baik. Sebaliknya, apabila keuntungan usahatani semakin besar maka petani akan semakin terdorong untuk terus melakukan investasi dan inovasi teknologi. Oleh karena itu dalam jangka panjang, marjin keuntungan yang memadai akan mampu mendorong perkembangan sektor pertanian itu sendiri, baik dari sisi skala aktivitasnya maupun teknologi yang digunakannya. Hasil analisis finansial komoditas ubi jalar di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan dapat dilihat pada Tabel 15. Diketahui bahwa nilai Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) dan B/C Ratio >1 dari komoditas ubi jalar pada tingkat kesesuaian lahan sehingga dianggap layak diusahakan di daerah ini. Komoditas
63 ubi jalar merupakan komoditas secara finansial layak untuk diusahakan, ditunjukkan oleh nilai Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) dan B/C Ratio sebesar 2.84 dan 1.84 (pada lahan S1). Komoditas ubi jalar di Distrik Cilimus umumnya ditanam sebagai komoditas utama selain komoditas utamanya berupa padi. Umumnya ubi jalar biasa ditanam di lahan sekitar pemukiman petani (pekarangan dan sisi saluran primer/sekunder). Namun banyak juga ditanam di lahan utama sebagai selingan atau pengganti padi bila harga ubi jalar sedang naik. Karena dari perhitungan ekonomis, hasil dari usahatani ubi jalar lebih menguntungkan daripada padi. Luas lahan yang diusahakan untuk bertanam ubi jalar antara 0,2–2 hektar. Dalam setahun biasanya sekali atau dua kali musim tanam ubi jalar dengan hasil maksimum dapat mencapai lebih dari 23 ton (pada lahan S1) ubi jalar dengan harga rata-rata Rp.800 – Rp.1.200/kg. Tabel 15 Hasil Analisis Finansial untuk Komoditas Ubi Jalar Analisis Finansial
Kelas Kesesesuaian Lahan S1
R/C Ratio (Revenue Cost Ratio) B/C Ratio (Benefit Cost Ratio) BEP (Break Event Point) Harga Jual BEP (Break Event Point) Volume Produksi ROI (Return of Investment)
S2
2,84 2,27 1,84 1,27 Rp. 353 Rp. 441 8.700 kg 184% 122%
S3 1,71 0,71 Rp. 588 73%
Sumber : Hasil Analisis (2008)
Dari Tabel 15 dapat dilihat nilai titik impas (BEP) harga usahatani ubi jalar pada lahan S1 (sangat sesuai) sebesar Rp.353, ini berarti bahwa pada harga jual terendah komoditas ubi jalar pada harga Rp.353 per kilogram maka usahatani tersebut impas dalam arti petani tidak rugi dan tidak untung. Berdasarkan nilai ROI sebesar untuk setiap Rp.100 modal yang diinvestasikan, usahatani ubi jalar akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp.184, jauh lebih besar dibandingkan tingkat suku bunga tabungan atau deposito di lembaga keuangan/perbankan. Nilai Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) dan B/C Ratio komoditas ubi jalar lebih besar dibandingkan tanaman palawija lain yang biasa ditanam oleh petani seperti komoditas ubi kayu, kedelai dan jagung. Pada Tabel 15 dapat dilihat perbandingan nilai Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) dan B/C Ratio komoditas ubi jalar dibandingkan dengan tanaman palawija lainnya. Komoditas ubi jalar mempunyai nilai Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) dan B/C Ratio yang cukup
besar dibandingkan komoditas lainnya. finansial usahatani
ini
lebih
64 Hal ini menunjukkan selain secara
menguntungkan,
tetapi
fakta
di lapangan
menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar relatif lebih mudah dibudidayakan, pemeliharaan cukup mudah, relatif tahan terhadap hama tanaman dan tentunya didukung juga oleh pangsa pasar yang masih cukup tinggi, sehingga menyebabkan banyak petani lebih memilih komoditas ubi jalar bahkan dibandingkan dengan padi atau tanaman palawija lainnya. Meskipun padi merupakan komoditas yang secara historis tidak akan pernah ditinggalkan petani, karena merupakan komoditas strategis baik secara individu maupun untuk ketahanan pangan di daerahnya. Tetapi di saat harga jual ubi jalar yang cenderung semakin meningkat, petani cenderung untuk memilih komoditas ubi jalar pada lahan untuk ditanam 3 kali secara berturut–turut selama 1 tahun. Tabel 16 Perbandingan Nilai R/C Ratio dan B/C Ratio antara Ubi Jalar dengan Komoditas Palawija Lainnya Komoditas
Nilai R/C Ratio
Ubi Jalar Padi Ubi Kayu Jagung
Nilai B/C Ratio
2,84 1,14 1,25 1,24
1,84 0,14 0,25 0,24
Sumber : Hasil Analisis (2008)
Komoditas ubi jalar yang merupakan komoditas utama di daerah ini memiliki nilai R/C Ratio dan B/C Ratio yang cukup besar dan secara finansial layak diusahakan (R/C Ratio 2.84 dan B/C Ratio 1.84).
Komoditas ubi jalar
merupakan sumber penghasilan utama disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sehingga mempunyai peran yang penting dalam pendapatan ekonomi keluarga. Proporsi penggunaan lahan untuk usaha komoditas ubi jalar dan padi juga lebih besar dibandingkan dengan komoditas lainnya.
Pola Tata Niaga Komoditas Ubi Jalar Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, diketahui ada beberapa pola tata niaga bahwa terdapat tiga tingkatan pedagang pengumpul yang berperan dalam tata niaga ubi jalar sebelum sampai pada konsumen akhir atau industri. Secara umum pemasaran ubi jalar adalah ubi jalar segar, walaupun ada juga sebagian petani yang menjual dalam bentuk makanan olahan (berbagai macam snack berbahan dasar ubi jalar seperti keripik, kremes, dll.) dengan cara
65 tradisional dan sederhana. Secara lengkap bagan rantai tata niaga ubi jalar di Kabupaten Kuningan di sajikan pada Gambar 12. Seperti komoditas palawija lainnya, pola tata niaga komoditas ubi jalar di Kabupaten Kuningan melibatkan beberapa lembaga tata niaga. Secara umum tata niaga ubi jalar di Kabupaten Kuningan identik dengan pola pemasaran produk pertanian yang umumnya bertingkat, yaitu mulai dari petani sebagai produsen, pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul besar sampai dengan konsumen dan industri. Pola pemasaran yang panjang tersebut sangat tidak menguntungkan pihak petani karena semakin panjang rantai tata niaga, maka marjin yang diterima petani semakin kecil.
Petani / Produsen
IX I Bandar / Pedagang Pengumpul
Industri Pakan Ternak
VIII
II
Pedagang Besar
VI Pasar Luar Kota/ Pasar Induk
V X
Industri Lokal Chip / Tepung Ubi Jalar
VI
Eksportir Industri Lokal Pasta Ubi Jalar
VII Industri Makanan
III IX
Pedagang Pengecer
Distributor/ Penyalur Konsumen
Keterangan : Pola tata niaga bertingkat berada di lingkup Kabupaten Kuningan Pola tata niaga dilakukan di luar Kabupaten Kuningan Pola tata niaga dilakukan on farm
Gambar 12 Pola Tata Niaga Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan
66 Untuk rantai tata niaga yang transaksinya berlokasi di Kabupaten Kuningan dari tingkat produsen hingga sampai pada tingkat konsumen, diantaranya yaitu : I.
Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen
II.
Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Pengecer – Konsumen
III.
Petani – Pedagang Pengecer – Konsumen
IV.
Petani – Industri Chip/Tepung – Industri Pasta – Pembeli
V.
Petani – Industri Chip/Tepung – Pembeli
VI.
Petani – Industri Pasta – Pembeli Saluran tata niaga ubi jalar menggambarkan proses penyaluran ubi jalar
dari tingkat petani sampai ke tingkat konsumen. Lembaga–lembaga tata niaga yang terlibat dalam tata niaga ubi jalar di Kabupaten Kuningan meliputi petani (sebagai produsen), bandar/tengkulak (pedagang pengumpul tingkat desa), pedagang besar (sebagai pedagang penyalur atau pedagang pengumpul antar kota), pengecer (pedagang pengecer) dan konsumen.
Selain itu ada juga
lembaga lain yang terlibat dalam rantai tata niaga ubi jalar di Kabupaten Kuningan, yaitu industri chip/tepung ubi jalar sebagai mitra petani (pembeli langsung ubi jalar segar) dan industri pasta ubi jalar sebagai mitra petani (pembeli langsung ubi jalar segar). Dalam memasarkan komoditas ubi jalar, petani bebas menentukan jalur tata niaga yang diinginkan. Setelah panen sebagian petani ada yang membawa hasil panennya untuk dijual kepada bandar (pedagang pengumpul desa) yang biasanya mereka sudah menunggu di tepi jalan raya, atau dijual langsung ke industri chip (industri ini dikelola oleh kelompok tani dan kelompok IKM). Selain itu juga banyak juga bandar (pedagang pengumpul desa) mendatangi petani untuk membeli hasil panennya, bahkan sebelum panen tiba ada sebagian bandar yang sudah survei ke lokasi panen dan bernegosiasi dengan petani. Hal ini biasanya dilakukan bila antara bandar petani sudah saling mengenal secara dekat (sistem kekerabatan masih lekat untuk transaksi pada tingkat desa). Dari bandar (pedagang pengumpul desa) yang membeli komoditas ubi jalar dari berbagai sentra produksi kemudian dikumpulkan dan dijual ke pedagang besar untuk dijual dan didistribusikan ke pasar lokal mapun pasar luar kota. Sebagian kecil untuk dijual ke industri dan pedagang pengecer lokal. Dari pengamatan langsung di lokasi terlihat bahwa sebagian besar petani menjual ubi
67 jalar ke bandar (pedagang pengumpul desa) daripada ke pedagang besar. Dengan alasan mereka tidak perlu mengeluarkan ongkos angkut yang lebih besar, petani cukup mengangkut hasil panen ubi jalar ke tepi jalan raya terdekat dimana bandar akan menjemput hasil panen mereka.
Dari 30 petani yang
menjadi responden sebanyak 63% (19 orang) melakukan transaksi dengan bandar, sebanyak 27% (8 orang) menjual langsung ke pedagang besar atau ke industri chip/tepung ubi jalar dan yang lainnya menjual ke pengecer lokal atau menjual langsung ke konsumen. Sedangkan untuk tingkat pedagang besar banyak melakukan aktifitas dan transaksi jual belinya untuk perdagangan antar kota, diantara mereka memasok ke pasar induk wilayah Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, untuk dipasarkan kembali di pasar wilayah sekitarnya. Selain itu, para pedagang besar juga memasok eksportir ubi jalar, tetapi pada transaksi ini harus dilakukan sortasi kembali terhadap komoditas ubi jalar karena untuk kebutuhan ekspor ada standar mutu yang harus dipenuhi seperti dari tingkat kadar air dan ukuran (diameter) ubi jalar. Secara lebih terperinci rantai tata niaga komoditas ubi jalar dari beberapa sentra produksi ubi jalar di Kabupaten Kuningan dan pelaku tata niaga dapat dilihat secara spasial pada Gambar 13. Dari gambar tersebut dapat terlihat aliran komoditas ubi jalar dimulai dari sentra produksi ubi jalar di Distrik Cilimus (meliputi 9 kecamatan yaitu Cilimus, Jalaksana, Mandirancan, Pasawahan, Cigandamekar, Karamatmulya, Japara, Cipicung dan Pancalang) kemudian diangkut melalui berbagai jalur tata niaga diantaranya ke pasar lokal dan luar kota. Sentra komoditas ubi jalar terbesar di tingkat Distrik Cilimus bahkan di tingkat Kabupaten Kuningan adalah wilayah kecamatan Cilimus.
Wilayah ini
memiliki lokasi yang cukup strategis, karena lokasinya mudah dijangkau terletak di jalan propinsi yang menghubungkan Kuningan dengan Majalengka dan Cirebon.
Aspek ini menguntungkan dilihat dari sisi pemasaran, disini terjadi
beberapa aktifitas seperti transaksi penjualan, penimbangan, pembersihan, sortasi, pengepakan dan pengangkutan. Secara umum aktifitas ini berlangsung secara berkala pada setiap panen ubi jalar berlangsung.
68 Dari Kecamatan Cilimus, komoditas ubi jalar didistribusikan ke lokasi pasar lokal di kecamatan lain maupun ke pasar luar kota. Beberapa kota yang menjadi tujuan pemasaran adalah Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Pengangkutan dilakukan dengan menggunakan kendaraan bak terbuka terutama untuk tujuan distribusi lokal di Kuningan dan menggunakan kendaraan truk dengan kapasitas angkut 5–6 ton. Selain itu ada sebagian petani menjual langsung ke pengecer lokal, industri chip atau industri pasta. Dari hasil pengamatan di distrik agropolitan Cilimus, transaksi–transaksi yang dilakukan bersifat personal antara petani dengan pedagang di tempat yang telah ditentukan. Keadaan ini tentu menjadikan transaksi menjadi tidak efisien, karena pedagang harus mendatangi berbagai lokasi panen petani. Hal ini dikarenakan belum adanya infrastruktur untuk tempat berkumpulnya antara penjual dan pembeli. Untuk itu sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Kuningan segera membangun STA (sub terminal agribisnis) di distrik agropolitan Cilimus, mengingat keberadaan infrastruktur tersebut akan sangat mendukung efisiensi tata niaga ubi jalar.
Margin Tata Niaga Komoditas Ubi Jalar Perdagangan ubi jalar pada umumnya dimulai dengan transaksi langsung antara petani dengan pedagang pengumpul, dengan sistem harga borongan berupa ubi jalar basah. Selanjutnya pedagang pengumpul menjual kepada pedagang besar yang akan membeli dengan cara datang langsung atau dikirim ke tempat tujuan. Sistem pembelian dilakukan dengan cara borongan tanpa memperhatikan ukuran besar ubi jalar.
Pedagang pengumpul selanjutnya
menjual kepada bandar di Kecamatan, yang kemudian dijual ke pasar luar kota atau langsung pada pedagang pengecer. Pedagang pengecer membeli ubi jalar untuk dipasarkan langsung ke konsumen. Pada tahapan pemasaran ke konsumen ukuran besar ubi jalar (proses grading) menjadi dasar dalam menentukan harga. Biaya angkutan merupakan komponen terbesar dalam biaya pemasaran. Menurut hasil wawancara dengan petani besarnya biaya angkutan produk ubi jalar disebabkan bentuk fisiknya yang bersifat kamba. Secara geografis wilayah Kabupaten Kuningan memiliki topografi datar sampai dengan berbukit. Besarnya komponen biaya sesuai dengan jarak tempuh, dimana untuk pedagang desa, jarak tempuh relatif dekat dengan kata lain masih dalam satu desa. Sedangkan
69 pedagang besar harus mengangkut lebih jauh dengan jarak 60–10.000 km untuk pemasaran ke luar kota. Sedangkan besarnya biaya untuk komponen industri adalah biaya untuk pengolahan ubi jalar menjadi produk jadi. Marjin tata niaga dipisahkan menjadi dua yaitu dari petani sampai dengan konsumen dan dari petani ke industri. Pemisahan ini dilakukan karena terdapat petani yang langsung menjual ke industri dan ada sebagaian yang menjual ke industri melalui jalur pedagang pengumpul pengirim yang ikut dalam proses tata niaga. Peran pedagang besar cukup besar dalam rantai tata niaga untuk distribusi komoditas ubi jalar ke luar kota. Tabel 17 Marjin Tata Niaga Ubi Jalar di Distrik Cilimus Kab. Kuningan (1) Unsur Marjin 1. Petani Biaya Farmer Share Harga Jual 2. Pedagang Pengumpul Harga Beli Biaya – biaya Keuntungan Marjin Harga Jual 3. Pedagang Besar Harga Beli Biaya – biaya Keuntungan Marjin Harga Jual 4. Pedagang Pengecer Harga Beli Biaya – biaya Keuntungan Marjin Harga Jual Total Biaya Total Keuntungan Total Marjin
Pola I Rp/Kg
Pola II %
Rp/Kg
Pola III %
Rp/Kg
%
450 350 800
28,12 21,87 50,00
450 350 800
32,14 25,00 57,14
450 450 900
32,14 32,14 64,28
800 50 150 200 1.000
50,00 3,12 9,37 12,50 62,50
800 50 150 200 1.000
57,14 3,57 10,71 14,28 71,42
-
-
1.000 100 200 300 1.300
62,50 6,25 12,50 18,75 81,25
-
-
-
-
1.300 100 100 200 1.600 250 450 700
81,25 6,25 6,25 12,50 100,00 15,62 28,12 43,75
1.000 200 200 400 1.400 250 350 600
71,42 14,28 14,28 28,57 100,00 17,86 25,00 42,86
900 200 300 500 1.400 200 300 500
64,28 14,28 21,43 35,71 100,00 14,28 21,43 35,71
Sumber : Hasil Analisis (2008)
70 Distribusi biaya tata niaga relatif merata kecuali biaya angkut dan harga beli. Marjin keuntungan tertinggi berada pada level pedagang ada pada pedagang besar yang mencapai Rp. 300/kg. Hal ini disebabkan besarnya resiko yang dihadapi, disamping besarnya modal dalam mekanisme tata niaga juga resiko produk rusak dan busuk. Sedangkan marjin terendah berada pada tingkat pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Salah satu penyebabnya adalah biaya penyimpanan yang harus ditanggung sebelum pembeli datang. Selain itu dari sisi permodalan pedagang pengumpul desa relatif memiliki modal yang kecil. Sedangkan
pengecer
harus
menanggung
biaya
penyimpanan
sebelum
komoditas ubi jalar mereka dibeli oleh konsumen. Resiko busuk juga menjadi pembatas pedagang level ini untuk menigkatkan marjin keuntungan. Pada Tabel 17 dan 18 dapat dilihat lebih rinci, hasil analisis marjin tata niaga ubi jalar. Tabel 18 Marjin Tata Niaga Ubi Jalar di Distrik Cilimus Kab. Kuningan (2) Unsur Marjin 1. Petani Biaya Farmer Share Harga Jual 2. Industri Chip/Tepung Harga Beli Biaya – biaya Keuntungan Marjin Harga Jual 3. Industri Pasta Ubi Jalar Harga Beli Biaya – biaya Keuntungan Marjin Harga Jual Total Biaya Total Keuntungan Total Marjin
Pola IV Rp/Kg
Pola V %
Rp/Kg
Pola VI %
Rp/Kg
%
450 550 1.000
22,50 27,50 50,00
450 550 1.000
30,00 36,67 66,67
500 750 1.250
5,00 7,50 12,50
1.000 100 400 500 1.500
50,00 5,00 20,00 25,00 75,00
1.000 50 450 500 1.500
66,67 3,33 30,00 33,33 100,00
-
-
1.500 50 450 500 2.000 150 850 1.000
75,00 2,50 22,50 25,00 100,00 7,50 42,50 50,00
50 450 500
3,33 30,00 33,33
1.250 2.000 6.750 8.750 10.000 2.000 6.750 8.750
20,00 20,00 60,00 80,00 100,00 20,00 67,50 87,50
Sumber : Hasil Analisis (2008)
Marjin keuntungan setiap level pedagang relatif besar dibandingkan biaya tata niaga sehingga harga di tingkat petani menjadi relatif rendah. Bahwa pola tata niaga di atas merupakan ciri dari tata niaga yang bersifat monopsoni. Harga
71 ditentukan oleh beberapa atau satu lembaga tata niaga yang dalam hal ini pemilik modal. Dalam tata niaga ubi jalar, pedagang besar memegang peranan yang sangat besar dalam menjalankan fungsi tata niaga ubi jalar, karena mereka inilah yang menyediakan sebagian besar modal kerja dan menghadapi resiko paling besar. Resiko inilah yang sering dijadikan alasan untuk menekan harga di tingkat pedagang pengumpul maupun petani, sebagai akibatnya tata niaga ubi jalar menjadi tidak efisien. Di sisi lain posisi petani sebagai price taker (penerima harga) sangat lemah sehingga menjadikan pedagang memiliki kekuasaan untuk menentukan harga, selain beberapa petani telah menerima pembayaran awal harga ubi jalar sebelum panen. Pola pembayaran awal banyak dilakukan pada kondisi petani memerlukan dana untuk biaya anak sekolah atau biaya berobat. Kebutuhan tersebut mendorong petani ubi jalar meminjam dana kepada pedagang dengan konsekuensi pembayaran dengan komoditas ubi jalar pada saat panen. Tetapi pada saat ini posisi tawar petani dalam menentukan harga menjadi lebih baik, semenjak berkembangnya industri pengolahan ubi jalar di Distrik Cilimus. Hal ini disebabkan petani menjadi punya pilihan dalam transaksi jual beli, dijual ke pedagang pengumpul atau ke industri. Dari keenam pola tata niaga yang ada, pola ke–V merupakan pola tata niaga yang memberikan margin share yang paling besar kepada petani yaitu sebesar 36,67%. Ini menunjukkan bahwa pola ini merupakan pola tata niaga yang paling efisien dan memberikan keuntungan lebih besar pada petani. Meski pola ke–IV bukan merupakan pola tata niaga yang paling efisien, jika dilihat dari margin share yang diterima petani. Namun demikian pola tata niaga ini dapat menciptakan
income
multiplier
(efek
pengganda
pendapatan)
terhadap
perekonomian lokal masyarakat di Distrik Cilimus. Hal ini dikarenakan pada pola tata niaga ini, ada beberapa tahapan pengolahan ubi jalar yang cukup dapat menyerap tenaga kerja yaitu pada tahap pengolahan ubi jalar segar menjadi chip, tepung dan pasta. Selain itu dengan adanya keberadaan pabrik (industri) pengolahan ubi jalar, memberikan dampak terhadap kegiatan ekonomi lokal seperti dengan banyaknya warung dan pedagang makanan di sekitar lokasi pabrik untuk memenuhi kebutuhan para pegawainya.
72 Potensi Produksi dan Pasar untuk Komoditas Ubi Jalar Di Indonesia, provinsi yang menjadi sentra produksi (penghasil utama) komoditas ubi jalar di Indonesia berturut–turut adalah Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Menurut data statistik BPS (2008) Jawa Barat merupakan provinsi yang menyumbang paling besar yaitu, mengalahkan Papua yang selama beberapa tahun ini menjadi sentra komoditas ubi jalar yaitu sebesar 384.116 ton (20%) pasokan ubi nasional (produksi nasional komoditas ubi jalar rata–rata sebesar 2 juta ton per tahun). Sedangkan di Provinsi Jawa Barat sendiri, ada 3 kabupaten yang menjadi sentra komoditas ubi jalar yaitu Garut, Tasikmalaya dan Kuningan. Kabupaten Kuningan dengan produksi yang mencapai 104.883 ton per tahun atau menyumbang sekitar 5% dari total produksi komoditas ubi jalar nasional. Pada periode tahun 2004–2008 berdasarkan data potensi areal tanam berfluktuasi setiap tahun dan kecenderungan meningkat, salah sebabnya karena harga komoditas ubi jalar cenderung meningkat. Pada tahun 2004 luas areal tanam seluas 5.788 ha dan menurun pada tahun 2005 menjadi 5.700 ha, dan terakhir pada tahun 2008 seluas 6.150 ha. Pada Lampiran 2 disajikan secara rinci luas tanam, luas panen dan total produksi komoditas ubi jalar di Kabupaten Kuningan pada periode tahun 2004–2008. Tabel 19 Perkiraan Neraca Produksi dan Permintaan Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan No.
Peluang Pasar
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pasar Lokal Industri Chip Industri Pasta Ubi Jalar Beku, dll. Pasar Luar Kota Eksportir Total
Kebutuhan (Ton/Tahun)
Produksi (Ton/Tahun)
24.000 15.000 30.000 25.000 12.000 25.000 131.000
Surplus/Minus (Ton/Tahun)
105.000
(26.000)
Sumber : Data primer diolah (2008)
Dari perkiraan luas tanam dan luas panen tanaman ubi jalar di Kabupaten Kuningan diketahui bahwa rata–rata produksi komoditas ubi jalar per tahun adalah
100.000
ton/per
tahun.
Sementara
untuk
memenuhi
konsumsi
masyarakat lokal diperkirakan 12.000 ton per tahun (diasumsikan konsumsi perkapita 10 kg per tahun, berdasarkan angka ketersediaan konsumsi nasional
73 dari BPS). Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan industri yang berlokasi di Kuningan saja yaitu industri chip maksimum sebesar 15.000 ton per tahun (kapasitas produksi 6 ton/hari) dan industri pasta maksimum sebesar 30.000 ton per tahun (60 ton/hari) ubi jalar segar.
Sedangkan menurut keterangan dari
responden pedagang besar, permintaan dari pasar luar kota rata–rata per bulan mencapai 1.000 ton per bulan. Berikut pada Tabel 19 dapat dilihat perkiraan neraca produksi dan permintaan ubi jalar di Kabupaten Kuningan. Dari analisis kesesuaian lahan, diketahui bahwa potensi lahan yang sesuai untuk dikembangkan budidaya ubi jalar di distrik agropolitan Cilimus masih cukup luas. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa potensi lahan basah (sawah irigasi dan sawah tadah hujan) mencapai 7.180 ha. Sedangkan data statistik Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan (2008) menunjukkan bahwa saat ini, luas areal tanam ubi jalar di 9 kecamatan di Distrik Cilimus baru mencapai 5.315 ha, dengan hasil produksi 98.212 ton, berarti rata–rata produksi per hektar mencapai 18,5 ton. Jika dihitung dari luas lahan basah potensial 5.770 ha, dengan asumsi rata–rata produksi 18 ton, maka estimasi produksi ubi jalar pada lahan basah dapat diperkirakan seperti pada Tabel 19. Tabel 20 Estimasi Potensi Produksi Ubi Jalar di Lahan Basah Jenis Lahan Sawah Irigasi
Sawah Tadah Hujan
Kelas Lahan S1 S2 S3 S1 S2 S3
Total
Luas (Ha) 1.760 710 910 640 210 2.340 6.570
Produksi Rata-Rata (Ton)
Potensi Produksi (Ton)
Petani 18 14,4 10,8 10 8 6 -
Petani 31.680 10.224 9.828 6.400 1.680 14.040 73.852
Komersil 35 28 21 30 24 18 -
Komersil 61.600 19.880 19.110 19.200 5.040 42.120 166.950
Sumber : Hasil Analisis (2008)
Dari Tabel 20, dapat diketahui bahwa estimasi produksi ubi jalar pada lahan basah (sawah irigasi dan tadah hujan) dapat mencapai 166.950 per musim tanam. Hasil ini secara matematis dapat memenuhi kekurangan dari permintaan ubi jalar dalam lingkup Kabupaten. Dengan asumsi semua lahan basah yang tersedia ditanam ubi jalar dengan 2 kali musim tanam, sedangkan padi cukup 1 kali musim tanam dalam setahun. Hal ini masih memungkinkan karena masa tanam optimum dari padi dan ubi jalar dengan varietas tertentu adalah 4 bulan.
74 Selain itu, ada alternatif untuk meningkatkan produksi tanaman ubi jalar yaitu dengan membuka lahan baru atau alih fungsi dari lahan kering yang tersedia.
Dari hasil analisis kesesuaian lahan sebelumnya telah diketahui
sebaran lahan potensial menurut penggunaan lahan dan jenis tanah yang tersedia di distrik agropolitan Cilimus, lahan tersebut memungkinkan untuk dikembangkan menjadi usahatani ubi jalar.
Mengacu pada hasil penelitian
sebelumnya di Kabupaten Kuningan (Soenardjo, 1985), menunjukkan hasil percobaan pemupukan terhadap tanaman ubi jalar pada beberapa jenis tanah di wilayah Cilimus.
Hasilnya menunjukkan untuk tanah Latosol setelah diberi
pupuk, produksi mencapai 26,1 ton/ha, tanah Regosol produksi mencapai 10,3 ton/ha dan tanah Andosol produksi mencapai 36,8 ton/ha. Dalam penelitian ini, data tersebut dijadikan acuan untuk memprediksi hasil produksi ubi jalar yang dapat dibudidayakan di beberapa jenis tanah pada penggunaan lahan yang tersedia (belukar dan ladang). Hasil analisis tersebut, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 21 berikut : Tabel 21 Estimasi Potensi Produksi Ubi Jalar di Lahan Kering Jenis Tanah
Produksi Optimum Tiap Kelas Lahan (Ton)
Andosol
S1 = 36
Latosol
Potensi Produksi (Ton)
Ladang (Ton)
Belukar
Ladang
-
-
-
-
-
S2 = 28,8
40
20
1.152
576
1.728
S3 = 21,6
230
20
4.968
432
5.400
S1 = 26
70
240
1820
29.120
30.940
S2 = 20,8
40
170
832
3.536
4368
S3 = 15,6
1.560
850
24.336
13.260
37.596
1.940
1.300
33.108
46.924
80.032
Total
Belukar (Ton)
Total
Sumber : Hasil Analisis (2008)
Dari Tabel 21, dapat diketahui bahwa estimasi produksi ubi jalar pada lahan kering (belukar dan ladang) dapat mencapai 80.032 per musim tanam. Namun hasil estimasi ini, berasumsi bahwa lahan tersebut tidak optimal digunakan dan tidak memperhatikan status kepemilikan lahan tersebut (milik masyarakat atau swasta). Hasil estimasi produksi ini dapat menjadi alternatif untuk menambah pasokan komoditas ubi jalar untuk memenuhi kekurangan dari permintaan ubi jalar dan untuk memenuhi peluang pasar ubi jalar yang masih
75 terbuka luas. Mengingat ubi jalar sekarang telah cukup dikenal luas pemanfaatannya selain sebagai alternatif makanan pokok, juga dapat menjadi bahan baku industri dalam cakupan yang cukup luas mulai dari industri makanan, industri pakan ternak, industri farmasi dan kimia. Menurut data statistik Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan, bahwa harga ubi jalar cenderung meningkat pada periode tahun 2007–2008 rata-rata mencapai Rp.800 – Rp.1.200/kg.
Peningkatan tersebut tidak lepas dari
bertambahnya permintaan ubi jalar di kalangan masyarakat dan industri. Besarnya biaya produksi dalam pengolahan ubi jalar basah (terutama ketika terjadinya kelangkaan BBM), menjadi chip ubi jalar sehingga secara ekonomi pengolahan ubi jalar tidak menguntungkan dimana untuk menghasilkan 1 kg chip ubi jalar dibutuhkan sekitar 3 kg ubi jalar, dengan harga jual Rp. 4.500 – Rp.5.000/kg. Sedangkan bila dijual ubi jalar basah maka harga mencapai Rp.1.800/kg. Oleh karena itu merupakan hal yang wajar bila petani tidak mengolah ubi jalar menjadi chip di saat harga ubi jalar cukup tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa harga ubi jalar di tingkat petani berada pada level sekitar Rp.800/kg sejak tahun 2007 sampai dengan sekarang. Bagi petani harga tersebut cukup memberikan gairah untuk menjadikan ubi jalar sebagai salah satu alternatif pendapatan ekonomi keluarga. Berikut pada Tabel 22 disajikan perkembangan harga komoditas ubi jalar di Kabupaten Kuningan tahun 2006-2008. Tabel 22 Harga Produk Ubi Jalar di Kab. Kuningan Tahun 2006–2008 Tahun
Produk
Satuan
2006 2007
Ubi Jalar Basah Ubi Jalar Chip Ubi Jalar Tepung Ubi Jalar Ubi Jalar Chip Ubi Jalar Tepung Ubi Jalar
Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg
2008
Harga Terendah 300 800 3.000 4.000 800 3.500 4.500
Harga Tertinggi 600 1.200 4.000 4.500 1.800 4.000 5.000
Persentase Kenaikan 100% 50% 33,3% 12,5% 12,5% 30% 22%
Sumber : Dinas Perindustrian & Perdagangan Kabupaten Kuningan (2008)
Di akhir tahun 2008 terjadi kenaikan harga komoditas ubi jalar yang cukup signifikan di tingkat konsumen menembus harga Rp.2.000/kg. Namun fluktuasi kenaikan harga di tingkat konsumen seringkali tidak diiringi kenaikan harga di
76 tingkat petani. Kenaikan tersebut hanya dinikmati di level pedagang pengumpul, pedagang besar dan terutama pedagang pengecer. Hal ini mendukung pendapat Arifin (2002) yang mengemukakan bahwa komoditas agribisnis memiliki elastisitas transmisi harga yang rendah dan kadang searah, dimana kenaikan harga di tingkat konsumen tidak serta merta meningkatkan harga di tingkat petani produsen. Sebaliknya penurunan harga di tingkat konsumen umumnya lebih cepat ditransmisikan kepada harga di tingkat petani produsen. Margin harga antara tingkat konsumen dan tingkat produsen (petani) umumnya dinikmati oleh pelaku tata niaga dan bukan petani produsen. Harga jual komoditas ubi jalar di pasar sangat berfluktuasi dan pada umumya terkait dengan pola panen. Pada saat musim panen raya, produksi melimpah sehingga harga komoditas ubi jalar cenderung terdorong turun. Musim paceklik atau bukan musim panen, produksi komoditas ubi jalar sedikit sedangkan permintaan pasar banyak maka harga komoditasa ubi jalar cenderung naik. Untuk mengatasi permasalahan klasik seperti tersebut, maka mulai awal tahun 2007 di Kabupaten Kuningan terutama di distrik agropolitan Cilimus, para petani dan aparat desa melakukan musyawarah untuk menetapkan pengaturan pola tanam di masing–masing wilayahnya. Pengaturan pola tanam ini ditetapkan dalam Perdes (Peraturan Desa), pada tahun 2007 telah ditetapkan Perdes yang meliputi 48 desa dan pada tahun 2008 meliputi 78 desa dari 9 kecamatan (dalam lingkup Distrik Cilimus). Untuk selanjutnya pada akhir tahun 2008 telah ditetapkan menjadi Perbup (Peraturan Bupati). Untuk menghindari melimpahnya produksi pada saat panen raya, pengaturan pola tanam ini diharapkan dapat menjaga pasokan produksi komoditas ubi jalar baik untuk konsumsi masyarakat atau kebutuhan industri.
Potensi dan Pengembangan Agroindustri Komoditas Ubi Jalar Keunggulan komparatif industri yang dibangun berdasarkan sumberdaya lokal dan padat tenaga kerja di wilayah perdesaan akan tinggi, tidak saja mampu bersaing di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Atas dasar pemikiran itu pula, Kabupaten Kuningan menetapkan kebijakan pembangunan dalam jangka menengah,
dengan
menetapkan
MasterPlan
Agropolitan
sebagai
dasar
kebijakan pembangunan pertanian dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah. Dengan prioritas pengembangan pertama adalah pengembangan Distrik
77 Cilimus dengan komoditas unggulan ubi jalar. Dengan harapan dapat memadukan antara pembangunan pertanian dengan pengembangan agroindustri berbahan baku lokal. Perkembangan agroindustri tidak terlepas dari karakteristik bahan bakunya.
Bahan baku pertanian seperti halnya komoditas ubi jalar selalu
dihadapkan pada tiga karakteristik utama yaitu musiman, mudah rusak serta dihasilkan dalam jumlah dan mutu yang tidak seragam dari waktu ke waktu. Komoditas ubi jalar sebagaimana komoditas pertanian secara umum yang dihasilkan amat bergantung pada kondisi biologis seperti hama dan penyakit serta iklim, sehingga suplai komoditas tersebut tidak tersedia sepanjang tahun. Berbeda dengan industri lain, agroindustri selalu menghadapi ketidakseimbangan antara
permintaan
dan
penawaran,
sehingga
diperlukan
manajemen
penyimpanan yang baik, penjadwalan produksi, koordinasi antara produksi, pengolahan serta rantai pemasaran sejak dari usahatani. Perubahan-perubahan bahan baku menjadi produk akhir tersebut seperti dikemukakan di atas terkait erat dengan besarnya investasi, teknologi, pengelolaan serta mutu tenaga kerja yang terlibat. Agroindustri berbahan baku lokal komoditas ubi jalar telah dirintis di Kabupaten Kuningan sejak tahun 1993. Pada saat itu ada salah satu investor dari Korea yang menangkap peluang pasar dari komoditas olahan ubi jalar. Pada tahun itu berdiri satu perusahaan PMA yang bergerak dalam pengolahan pasta ubi jalar dengan orientasi untuk ekspor ke negara Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat.
Pada awalnya lokasi pabrik berada di kecamatan
Ciawigebang, karena wilayah tersebut memang diperuntukkan untuk wilayah industri. Tetapi pada tahun 2000 pabrik tersebut dipindahkan lokasinya ke kecamatan Cilimus (merupakan sentra komoditas ubi jalar), dengan alasan supaya lokasi pabrik lebih dekat dengan lokasi bahan baku. Alasan ini sejalan dengan teori yang dikemukan oleh Charles Toubout tentang locational rent yang berarti bahwa keuntungan (surplus) perusahaan akibat adanya selisih harga antara A dan B karena perbedaan lokasi (Rustiadi et al., 2007). Konsep locational rent juga dikemukan pada tahun 1842 oleh von Tunen, bahwa nilai land rent bukan hanya ditentukan oleh kualitas lahan (ricardian rent) tetapi nilai land rent merupakan fungsi dari lokasinya (Rustiadi et al., 2007).
78 Tidak seperti halnya bahan baku yang digunakan oleh industri lain, agroindustri amat bergantung pada bahan baku yang tidak tahan lama disimpan atau mudah rusak. Oleh karena itu, industri ini memerlukan kecepatan dan kehati-hatian dalam menangani dan menyimpan bahan bakunya.
Jika hal
tersebut diabaikan, maka akan berpengaruh pada kualitas seperti menurunnya kandungan nutrisi terutama untuk agroindustri pangan.
Karateristik lain dari
bahan baku agroindustri adalah variabilitas dalam jumlah dan kualitas dari bahan baku
yang dihasilkan.
Demikian juga dengan kualitasnya amat beragam,
walaupun telah ditemukan sejumlah teknologi untuk mengatasinya, namun ketidaseragaman tetap tidak dapat dihindari. Pemerintah
Kabupaten
Kuningan
agropolitan di Distrik Cilimus.
dalam
Hal ini juga dialami oleh
dalam
rangka
pengembangan
Banyaknya permasalahan dalam masalah
budidaya (on farm) sampai pada masalah teknologi pengolahan dan pemasaran (off farm) menjadi catatan tersendiri untuk menjadi bahan evaluasi. Pada tahun 2007 setelah diluncurkannya Program Pengembangan Kompetensi Indeks Pembangunan Manusia (PPK–IPM) dari Pemerintah Propinsi Jawa Barat yang salah programnya adalah meningkatkan daya beli masyarakat melalui pengembangan agribisnis ubi jalar. Lokasi yang menjadi prioritas adalah wilayah Cilimus dan sekitarnya. Dengan adanya stimulus berupa bantuan pembangunan pabrik pengolahan chip/tepung ubi jalar di 6 lokasi (semua lokasi berada di Distrik Cilimus) dan bantuan berupa peralatan untuk pengolahan ubi jalar kepada kelompok tani dan kelompok IKM, berdampak pada perkembangan ekonomi lokal. Salah satu indikator yang jelas terlihat adalah membaiknya harga jual ubi jalar di tingkat petani yang bisa mencapai Rp.800 – Rp.1.200. Hal ini tidak terlepas karena adanya pabrik pengolahan chip dan tepung ubi jalar, yang membeli ubi jalar segar dari petani pada tingkat harga Rp.800 – Rp.1.000. Keadaan ini berdampak pada posisi tawar petani dalam menjual ubi jalar segar, karena petani sudah mempunyai pilihan untuk menjual ke bandar atau ke industri. Sehingga bandar tidak bisa lagi menekan harga serendah mungkin, karena petani sudah memiliki pilihan pemasaran. Tetapi ada kelemahannya jika petani menjual ke industri, karena keterbatasan modal yang dimiliki oleh industri chip maka pembayaran ke petani tidak selalu bisa tunai (ada grass period pembayaran). Hal ini menjadikan peran bandar tidak berkurang, karena mereka punya kelebihan bisa membayar tunai kepada petani.
79 Dalam rangka terus mendorong perkembangan agribisnis (agroindustri) pada tingkat kelompok tani dan kelompol IKM yang berada di distrik agropolitan Cilimus, selain dikembangkan pabrik pengolahan chip dan tepung ubi, masih harus dicari dan dikembangkan teknologi pengolahan ubi jalar yang sederhana dengan biaya murah dan dapat dilakukan oleh petani pada skala industri rumahan (home industry). Teknologi yang dikembangkan sebenarnya merupakan pengolahan sementara (intemediate processing) agar bisa tahan disimpan sebelum pengolahan tahap selajutnya yang lengkap. Dengan demikian ubi jalar segar dapat segera diolah agar tidak mengalami pembusukan dan penyusutan. Teknologi pengolahan ubi segar, secara garis besar dapat dijelaskan pada Gambar 14 berikut ini : Ubi Jalar Segar Pencucian / pembersihan secara manual
Diparut dengan mesin sederhana
Isolasi tanin, polyphenyol dan protein
Pengawetan Anaerob
Pembuatan Pelet
Penyaringan pati dengan kain Pati basah
Ampas basah
Pengawetan Anaerob
Pengawetan Anaerob
Pengeringan
Proses fermentasi
Pengemasan
Pakan ternak
Pengeringan
Pengemasan Sumber : Anonim(1991)
Gambar 13 Teknologi Pengolahan Sementara Ubi Jalar
80 Salah satu teknologi yang dapat diadopsi untuk mengembangkan teknologi pengolahan ubi jalar seperti yang telah dikembangkan oleh Vietnam (Anonim, 1991).
Teknologi yang dikembangkan pada dasarnya sangat
sederhana dan diharapkan dapat diterapkan di desa– desa sebagai upaya untuk merangsang tumbuhnya industri rumahan. Sebagaimana Indonesia, penduduk di Vietnam mengkonsumsi ubi jalar segar secara langsung (direbus atau dibakar), dibuat keripik atau sebagian diolah menjadi pakan ternak.
Namun
karena masa simpan ubi segar relatif pendek dan susut karena pembusukan dari sejak masa panen bisa mencapai 30%. Untuk menekan susut yang besar tersebut, teknologi tepat guna untuk mengolah ubi jalar baik untuk makanan manusia maupun pakan ternak, akan sangat membantu petani meningkatkan pendapatan dan mengurangi kerugian.
Keragaman Produk Turunan dari Komoditas Ubi Jalar Analisis pohon industri didasarkan pada keragaman produk turunan dari komoditas ubi jalar, karena itu tanaman ini dikenal sebagai tanaman serba guna dimana seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan tanaman ubi jalar mencakup daun dan umbi. Bagian daun dari ubi jalar selain ada yang dimanfaatkan untuk menjadi bibit stek dan juga dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Sedangkan untuk bagian umbinya dapat diolah menjadi berbagai macam produk turunan. Manfaat dari bagian-bagian tersebut antara lain untuk keperluan: pangan, obat-obatan sampai dengan bahan baku industri lainnya. Pada Gambar 15 disajikan diagram alir pemanfaatan komoditas ubi jalar, dan berikut adalah produk–produk yang merupakan turunan dari komoditas ubi jalar yang telah diolah oleh masyarakat dan petani di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan. a. Pengolahan Langsung Ubi jalar segar yang dibeli oleh rumah tangga (konsumen), dapat diolah langsung menjadi berbagai macam makanan dan penganan. Misalnya ubi jalar segar dikukus/direbus menjadi ubi rebus.
Ubi jalar segar dipotong–
potong tipis sedang menjadi ubi goreng. b. Ubi Beku Ubi jalar segar dikupas, kemudian dipotong menurut bentuk dan ukuran tertentu (kotak memanjang seperti french fries atau irisan tipis seperti keripik). Kemudian diberi disimpan dalam freezeer (cold storage atau lemari pendingin) sebelum dijual ke pasaran.
81 c. Ubi jalar parut, sawut dan serut Ubi jalar segar yang telah dibersihkan dan dikupas kulitnya, kemudian diparut, disewut atau serut, yang kemudian dikeringkan memakai oven atau dijemur sampai kering (dengan sisa kadar air maksimal 10–15%). Produk keringnya dinamakan chip ubi jalar, produk ini selanjutnya dapat dijadikan bahan baku untuk tepung ubi jalar yang banyak dipergunakan sebagai bahan baku industri makanan d. Oven Ubi jalar segar yang telah dicuci kemudian dimasukkan ke dalam oven khusus, kemudian ubi yang telah dioven dihancurkan memakai alat khusus sehingga hasil akhirnya menjadi pasta ubi jalar. Pasta ubi jalar dari Kuningan diprioritaskan untuk memenuhi permintaan ekspor dari negara Jepang dan Korea, produk ini dijadikan sebagai bahan baku industri makanan, kosmetik dan farmasi. e. Pati Ubi jalar segar yang telah dibersihkan dan dikupas kulitnya kemudian dimasukkan ke dalam mesin pemarut. Desain dari mesin pemarut berperan sangat penting dalam menentukan jumlah dan kualitas pati yang dihasilkan dari proses ini. Karenanya perlu dibuat sebaik–baiknya agar rendemen pati bisa tinggi. Kemudian hasil parutan diperas dan disaring untuk mendapatkan pati ubi jalar. Dari produk pati dapat diolah (difermentasikan) menjadi desktrim yang produknya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku oleh industri lem dan industri kecil lainnya. Selain itu pati dapat diolah (dilakukan proses penyulingan) menjadi gula yang bisa diuraikan lagi menjadi alkohol yang produknya digunakan sebagai bahan baku industri farmasi, asam cuka (asam laktat) dan aceton merupakan produk yang menjadi bahan baku industri kimia. Dari hasil pengolahan pati akan tersisa ampas ubi jalar yang dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak (mengandung 3–12% protein) dan harganya relatif murah. Pengolahan ampas ubi jalar sangat tepat dilakukan untuk industri kecil di desa, karena alatnya mudah dibuat dengan bahan– bahan lokal yang banyak ditemui. Sedangkan pengolahan produk turunan lebih lanjut dari pati ubi jalar menjadi dekstrim, gula fruktosa, alhokol, asam cuka, asam laktat dan aceton, belum dilakukan dilakukan di Distrik Cilimus. Selain pengolahannya memerlukan teknologi tinggi, nilai investasi untuk pengolahan ini memerlukan dana yang
cukup besar.
82 Peluang ini bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah Kabupaten
Kuningan untuk mencari investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya dalam usaha pengolahan ubi jalar ini.
Pengolahan Langsung
Rumah Tangga
Ubi Beku
Ubi Beku
Ubi Parut Ubi Sawut Ubi Serut
Chip
Industri Makanan: Roti, kue kering, biskuit, cookies ubi, mie kering/basah, saos, bahan ice cream, dll.
Oven
Ubi Jalar segar
Tepung Ubi
Pasta Ubi
Pati Industri kecil Desktrim Industri Lem Gula Fruktosa
Alkohol
Industri Farmasi
Asam Cuka Asam Laktat Aceton Ampas
Industri Kimia
Pakan Ternak
Gambar 15 Pohon Industri Pengolahan Ubi Jalar Sumber : Dari berbagai sumber (2008) Keterangan :
Proses sudah dilakukan di Kuningan. Proses belum dilakukan di Kuningan.
Preferensi Masyarakat Prioritas jenis pengembangan industri untuk komoditas ubi jalar di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan dianalisis dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierachy Process) dan software Expert Choice 2000. Secara umum, dengan menggunakan AHP, prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis, transparan, dan partisipatif. Dengan tuntutan yang semakin
83 tinggi berkaitan dengan transparansi dan partisipasi, AHP akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik yang menuntut transparansi dan partisipasi. Dalam metode ini digunakan 3 kriteria untuk mengekstrak tujuan (goal) berupa prioritas pemilihan jenis pengembangan industri untuk komoditas ubi jalar yaitu; faktor peluang pemasaran (prospek permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, semakin tinggi peluang pasar, semakin prospektif untuk dikembangkan), penyerapan tenaga kerja (jumlah tenaga kerja yang terserap oleh agroindustri penghasil produk ubi jalar yang prospektif), dan nilai tambah (besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika produk tersebut dikembangkan). Hirarki disusun berdasarkan kriteria dan alternatif yang dijadikan pertimbangan dalam pemilihan prioritas penggunaan sebagai tujuan (Gambar 16).
Prioritas Pemilihan Jenis Pengembangan Agribisnis Ubi Jalar TUJUAN
KRITERIA
Peluang Pasar (0,432)
Penyerapan Tenaga Kerja (0 403)
Nilai Tambah (0,165)
ALTERNATIF
Petani Menjual Langsung ke Pasar (0 535)
Petani Bermitra Penyedia Bahan Mentah (0 178)
Industri Rumah Tangga (0 172)
Industri Kecil Penyedia Bahan Setengah Jadi (0 115)
Jenis Industri
Gambar 16 Diagram Hirarki Pemilihan Jenis Pengembangan Ubi Jalar Berdasarkan pendapat para pihak yang didapat melalui wawancara tertulis dengan metode AHP, dimana penilaian pendapat dilakukan dengan pembobotan pada tiga kriteria tersebut, maka didapatkan hasil urutan kriteria yang menjadi penentu pemilihan jenis pengembangan agribisnis ubi jalar, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 23 berikut ini:
84 Tabel 23 Urutan Prioritas Faktor Kriteria Penentu Prioritas Pemilihan Jenis Pengembangan Agribisnis Ubi Jalar Kriteria Peluang Pasar
Penyerapan Tenaga Kerja
Nilai Tambah
Deskripsi Prospek permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, semakin tinggi peluang pasar, semakin prospektif untuk dikembangkan. Indikator yang menunjukkan jumlah tenaga kerja yang terserap oleh agroindustri penghasil produk ubi jalar yang prospektif Besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika produk tersebut dikembangkan.
Bobot
Urutan
0.432
1
0.403
2
0.165
3
Dari Tabel 23 hasil perbandingan berpasangan terhadap ketiga kriteria yang digunakan menghasilkan bobot prioritas tertinggi pada kriteria peluang pemasaran sebesar 0,432 terhadap tujuan, selanjutnya berturut-turut 0,403 untuk kriteria penyerapan tenaga kerja dan 0,165 untuk kriteria nilai tambah (Gambar 15). Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian kumulatif dari para responden (expert jugment), dalam menentukan prioritas pengembangan industri untuk komoditas ubi jalar, faktor peluang pemasaran (prospek permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, semakin tinggi peluang pasar, semakin prospektif untuk dikembangkan) merupakan faktor utama (prioritas ke-1) yang harus diperhatikan. Selanjutnya berturut-turut faktor penyerapan tenaga kerja (prioritas ke-2) dan faktor nilai tambah (prioritas ke-3). Berdasarkan hasil analisis, nilai inkonsistensinya cukup kecil sebesar 0,02 menunjukkan bahwa pengisian skala perbandingan berpasangan antar kriteria yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Pengembangan agroindustri ubi jalar dengan produk yang terbatas menjadikan kelayakan ekonomis sangat sulit tercapai, hal ini disebabkan harga produk ubi jalar segar cenderung terus meningkat, terutama dalam 2 tahun terakhir. Oleh karena itu langkah peningkatan peranan ekonomi rakyat melalui komoditas ubi jalar harus dilakukan secara terpadu.
Bagaimana peranan
pemerintah, masyarakat dan swasta harus disinergikan sehingga produk ubi jalar yang dikembangkan dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak, sesuai dengan ketersediaan teknologi dan sumberdaya yang ada.
Dari
Tabel
24
dapat
dilihat
hasil
analisis
prioritas
85 pemilihan
pengembangan jenis agribisnis untuk komoditas ubi jalar berdasarkan faktor peluang pemasaran yang dipertimbangkan menghasilkan alternatif pilihan petani langsung menjual (tanpa bermitra, petani menjual langsung ubi jalar basah) sebagai prioritas pilihan ke-1 dengan bobot prioritas sebesar 0,514. Kemudian berturut-turut diikuti dengan prioritas ke–2 dengan bobot prioritas sebesar 0.179 adalah alternatif pilihan petani bermitra (petani melakukan kerjasama dengan industri sebagai penyedia bahan mentah). Alternatif pilihan aternatif ke-3 dengan bobot 0.174 adalah pilihan industri rumah tangga (petani mengolah ubi jalar menjadi makanan kecil untuk dijual langsung ke pasar). Prioritas pilihan ke–4 dengan bobot 0.133 adalah pilihan industri kecil penyedia bahan baku setengah jadi dan bermitra dengan industri). Tabel 24 Urutan Prioritas Pemilihan jenis Pengembangan Agribisnis Ubi Jalar di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan
Alternatif
Petani Menjual Langsung Petani Bermitra sebagai Penyedia Bahan Baku Industri Rumah Tangga (membuat makanan kecil) Industri Kecil Penyedia bahan Setengah Jadi
Kriteria Prioritas Pemilihan Jenis Pengembangan Agribisnis Ubi Jalar
Sintesis
Urutan Prioritas
Peluang Pemasaran
Penyerapan Tenaga Kerja
Nilai Tambah
0.514
0.569
0.514
0.535
1
0.179
0.184
0.203
0.178
2
0.174
0.148
0.179
0.172
3
0.133
0.099
0.104
0.115
4
Nilai inkonsistensi (0,03) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar jenis komoditas yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden bahwa berdasarkan faktor peluang pemasaran (prospek permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, semakin tinggi peluang
pasar,
semakin
prospektif
untuk
dikembangkan)
maka
pilihan
86 pengembangan usahatani ubi jalar di Distrik Cilimus paling sesuai adalah petani sebagai produsen bahan mentah, tanpa bermitra langsung menjual ke pasar. Dari Tabel 24 dapat dilihat hasil analisis prioritas pemilihan pengembangan jenis agribisnis untuk komoditas ubi jalar berdasarkan faktor penyerapan tenaga kerja yang dipertimbangkan menghasilkan alternatif pilihan petani langsung menjual (tanpa bermitra, petani menjual langsung ubi jalar basah) sebagai prioritas pilihan ke-1 dengan bobot prioritas sebesar 0,569. Kemudian berturutturut diikuti dengan alternatif prioritas pilihan ke-2 dengan bobot 0.184 adalah pilihan industri rumah tangga (petani mengolah ubi jalar menjadi makanan kecil untuk dijual langsung ke pasar). Alternatif prioritas ke–3 dengan bobot prioritas sebesar 0.148 adalah alternatif pilihan petani bermitra (petani melakukan kerjasama dengan industri sebagai penyedia bahan mentah). Prioritas pilihan ke–4 dengan bobot 0.099 adalah pilihan industri kecil penyedia bahan baku setengah jadi (chip dan tepung ubi jalar) dan bermitra dengan industri. Nilai inkonsistensi
(0,04)
juga
menunjukkan
pengisian
skala
perbandingan
berpasangan antar jenis komoditas yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden bahwa berdasarkan faktor penyerapan tenaga kerja (jumlah tenaga kerja yang terserap oleh agroindustri penghasil produk ubi jalar yang prospektif) maka pilihan jenis pengembangan agribisnis ubi jalar di Distrik Cilimus paling diminati adalah petani sebagai produsen bahan mentah, tanpa bermitra langsung menjual ke pasar. .
Dari
Tabel
24
dapat
dilihat
hasil
analisis
prioritas
pemilihan
pengembangan jenis agribisnis untuk komoditas ubi jalar berdasarkan faktor nilai tambah yang dipertimbangkan menghasilkan alternatif pilihan petani langsung menjual (tanpa bermitra, petani menjual langsung ubi jalar basah) sebagai prioritas pilihan ke-1 dengan bobot prioritas sebesar 0,514. Kemudian berturutturut diikuti dengan prioritas ke–2 dengan bobot prioritas sebesar 0.203 adalah alternatif pilihan petani bermitra (petani melakukan kerjasama dengan industri sebagai penyedia bahan mentah). Alternatif pilihan aternatif ke-3 dengan bobot 0.179 adalah pilihan industri rumah tangga (petani mengolah ubi jalar menjadi makanan kecil untuk dijual langsung ke pasar). Prioritas pilihan ke–4 dengan bobot 0.104 adalah pilihan industri kecil penyedia bahan baku setengah jadi dan bermitra dengan industri). Nilai inkonsistensi (0,02) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar jenis komoditas yang dilakukan oleh
87 responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden bahwa berdasarkan faktor nilai tambah (besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika produk tersebut dikembangkan) maka pilihan pengembangan usahatani ubi jalar di Distrik Cilimus paling sesuai adalah petani sebagai produsen bahan mentah, tanpa bermitra langsung menjual ke pasar. Ditinjau dari keseluruhan faktor yang dipertimbangkan dalam prioritas pemilihan jenis pengembangan agribisnis ubi jalar, maka pilihan petani menjual langsung ke pasar (tanpa bermitra, petani menjual langsung ubi jalar basah) merupakan prioritas ke–1 dengan bobot kumulatif keseluruhan aspek sebesar 0,535. Selanjutnya prioritas pilihan ke–2 dengan bobot kumulatif sebesar 0.178 adalah pilihan pengembangan industri rumah tangga (petani mengolah ubi jalar menjadi makanan ringan/snack). Kemudian prioritas pilihan ke–3 dengan bobot kumulatif sebesar 0.172 adalah pilihan petani bermitra dengan industri sebagai penyedia bahan baku mentah.
Prioritas pilihan ke–4 dengan bobot sebesar
0.115 adalah pilihan pengembangan industri kecil bermitra dengan industri sebagai penyedia bahan baku setengah jadi seperti chip dan tepung ubi jalar. Hal tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan dari keseluruhan faktor peluang pemasaran, penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah, prioritas jenis pengembangan agribisnis ubi jalar yang paling dipilih untuk diusahakan di Distrik Cilimus adalah petani menjual langsung ke pasar (tanpa bermitra, petani menjual langsung ubi jalar basah). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun pengembangan agro-industri
berpotensi
memberikan
berbagai
keuntungan
bagi
petani,
masyarakat dan pengembangan kawasan. Namun pada saat ini menjual langsung ke pasar dinilai merupakan pilihan terbaik. Dengan demikian banyak hal yang harus dilakukan jika ingin mengembangkan agroindustri berbasis ubi jalar, diantaranya dengan memperbaiki kinerja usahatani ubi jalar baik ditingkat on farm (budidaya) maupun off farm (pemasaran dan pengolahan) yang dapat meningkatkan insentif bagi petani untuk mengembangkan aktivitas off farm. Nilai inkonsistensi secara keseluruhan sebesar 0,03 juga menunjukkan pengisian
skala
perbandingan
berpasangan
antar
kriteria/faktor
yang
dipertimbangkan maupun antara alternatif jenis pengembangan agribisnis ubi jalar yang dilakukan oleh responden konsisten dan dapat ditoleransi.
88 Skenario Pengembangan Industri Berdasarkan hasil wawancara dengan seluruh responden dan juga pejabat pemerintah Kabupaten Kuningan terkait diantaranya dari Bapeda, Dinas Pertanian, UPTD Balai Penyuluh Pertanian. Ada beberapa jenis pengembangan agribisnis ubi jalar yang dapat dikembangkan dan menjadi pilihan alternatif masyarakat petani di Distrik Cilimus ini yaitu : a.
Petani menjual langsung komoditas ubi jalar segar, baik melalui pedagang maupun langsung ke konsumen, namun pilihan ini tidak memberikan nilai tambah yang lebih bagi petani. Nilai tambah pada komoditas ubi jalar akan dinikmati oleh pihak lain. Tetapi dari hasil wawancara, pilihan ini banyak dipilih oleh petani karena kebanyakan petani hanya berpikir untuk segera mendapatkan uang setelah masa panen tiba untuk sekedar memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Nilai tambah komoditas ubi jalar akan terjadi bila komoditas tersebut mengalami proses pengolahan. Hal ini memerlukan modal dan ketrampilan khusus yang belum semua petani memilikinya. Dalam hal ini peran pemerintah Kabupaten Kuningan sangat penting untuk dapat membantu dan memfasilitasi modal dan juga memberikan pelatihan dan penyuluhan tentang pengolahan sederhana komoditas ubi jalar.
b.
Petani bermitra sebagai penyedia bahan baku, alternatif sudah dijalani oleh beberapa kelompok petani.
Petani bermitra dengan anak perusahaan
pabrik pasta, sebagai penyedia bahan baku ubi jalar segar.
Dari segi
pendapatan yang diterima petani agak lebih besar, karena harga yang diterima lebih mahal dibanding dijual ke pihak lain. Tetapi petani yang bermitra mempunyai keterikatan kepada pihak perusahaan, antara lain dalam menanam varietas ubi jalar harus sesuai dengan yang diminta dan kualitas produksi harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Keuntungannya petani tidak lagi harus pusing memikirkan pemasaran, karena sudah ada kepastian yang akan membeli dengan harga yang lebih mahal dari harga berlaku. Tetapi kerugiannya terjadi ketika harga ubi jalar melonjak naik, petani yang bermitra tidak akan mendapatkan keuntungan, karena harga sudah dipatok sesuai dengan perjanjian. c.
Industri Rumah Tangga (home industry), menjadi alternatif agribisnis ubi jalar yang dapat dikembangkan oleh petani. Sebagian kecil rumah tangga petani sudah ada yang melakukan pengolahan komoditas ubi jalar segar menjadi makanan ringan atau kue–kue. Namun kegiatan ini masih terbatas
89 dilakukan yaitu pada saat menjelang hari raya tiba, karena pada momen itu permintaan akan jenis–jenis kue cukup tinggi. Selain itu, pada saat hari raya biasanya harga tepung terigu melonjak naik, sehingga mereka menggantikan tepung terigu dengan tepung ubi jalar dengan harga yang relatif murah. Pada hari–hari biasa, rumah tangga petani jarang melakukan kegiatan ini, karena kegiatan ini memerlukan modal dan pemasarannya masih sangat terbatas. Dalam hal ini bantuan dari pemerintah Kabupaten Kuningan, diharapkan bisa memberikan bantuan permodalan dan juga bantuan mencarikan pemasaran untuk produk kue dan makanan ringan berbahan baku ubi jalar buatan industri rumah tangga petani. Selain itu petani dapat diberikan penyuluhan dan pelatihan untuk mengembangkan jenis–jenis
kue dan makanan berbahan baku ubi jalar yang disukai
konsumen. d.
Industri kecil penyedia bahan baku setengah jadi, alternatif ini bila ditinjau dari segi bisnis sangat menguntungkan, karena selain prosesnya tidak terlalu sulit dan juga nilai tambah dari komoditas ubi jalar dapat dinikmati oleh petani. Industri kecil ini mengolah bahan baku ubi jalar segar menjadi chip ubi jalar dan tepung ubi jalar. Untuk membantu agar nilai tambah dari komoditas ubi jalar lebih banyak dinikmati oleh petani, Pemerintah Kabupaten
Kuningan
telah
memberikan
bantuan
yaitu
dengan
menyediakan 6 pabrik pengolahan chip ubi jalar, satu merupakan pabrik yang dapat mengolah chip ubi jalar menjadi tepung ubi jalar. Selain itu juga telah diberikan bantuan kepada beberapa kelompok petani dan kelompok IKM, bantuan berupa alat pengolah chip yang sederhana dengan kapasitas yang kecil. Selain itu, tujuan yang utama dari pembangunan beberapa pabrik pengolahan adalah untuk merintis pembangunan agroindustri di Kabupaten Kuningan.
Peningkatan Kinerja Usahatani Ubi jalar Usahatani ubi jalar merupakan usahatani yang menguntungkan dari sisi finansial dan berpotensi untuk meningkatkan pendapatan petani tradisional yang selama ini terpaku pada komoditas padi sebagai tanaman utamanya. Dengan permintaan ubi jalar yang menunjukkan kecenderungan meningkat ditambah harga yang semakin tinggi dan stabil, menjadikan usahatani yang yang mempunyai prospek yang menjanjikan untuk dikembangkan lebih besar. Supaya
90 kinerja pengembangan agribisnis ubi jalar di distrik agropolitan Cilimus pada masa yang akan datang menjadi lebih baik, diperlukan dukungan dari semua pihak terkait termasuk petani, pemerintah daerah, pengusaha, pedagang. Faktor–faktor pendukung yang perlu diperhatikan agar pengembangan agropolitan di Distrik Cilimus yang berbasis agribisnis komoditas ubi jalar terlaksana dengan baik dan mampu mendorong perekonomian lokal, yaitu : a.
Areal Tanam Di Distrik Cilimus Ubi jalar ditanam di lahan kering dan ditanam pada awal musim penghujan. Sedangkan di lahan basah, biasanya ditanam setelah padi pada awal musim kemarau atau masa bera. Pada umumnya, petani di Distrik Cilimus membudidayakan tanaman ubi jalar di lahan basah, dengan pola tanam ubi jalar – padi – padi. Dari hasil analisis kesesuaian lahan di Distrik Cilimus potensi lahan masih dapat diintensifkan dengan menambah frekuensi tanam menjadi 2 kali atau 3 kali. Tetapi cara penanaman intensif ini, dikhawatirkan dapat mengakibatkan penurunan kualitas lahan dan menyebabkan terjadinya degradasi lahan. Alternatif perluasan areal tanam adalah menanam pada lahan kering (ladang, belukar dan perkebunan) yang cukup tersedia di distrik ini.
b.
Tehnik Budidaya dan Pasca Panen Tehnik budidaya yang perlu mendapat perhatian adalah menanam varietas unggul, tehnik pengelolaan lahan, pengairan, pengendalian hama dan penyakit serta tehnik pascapanen.
Untuk varietas unggul, tahun 2008
Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan telah melepas varietas unggul AC Merah dan AC Putih. Tehnik pasca panen menjadi salah faktor untuk menghasilkan mutu ubi jalar yang baik.
Karena kesalahan pada saat
panen, dapat menyebabkan kerusakan umbi dan menurunkan harga jual. c.
Sarana produksi Ketersediaan bahan saprodi menjadi syarat mutlak lainnya dalam pengembangan agribisnis ubi jalar. Karena ketersediaan biibt, pupuk, obatobatan dan alsintan dalam jumlah, waktu, tempat harga terjangkau merupakan hal penting yang dapat menjaga kesinambungan budidaya ubi jalar. Sejauh ini di Distrik Cilimus telah tersedia 11 KUD (Koperasi Unit Desa) dan toko saprodi (sarana produksi) non KUD, yang dapat memenuhi permintaan petani untuk keperluan usahatani.
91 d.
Permodalan Aspek permodalan sangat penting dalam meningkatkan skala usahatani ubi jalar.
Untuk perlu dukungan dari lembaga perbankan berupa kredit
usahatani yang berbunga murah dan dengan proses yang mudah. Sedangkan pemerintah daerah, bisa memberikan bantuan berupa dana bergulir dan bantuan peralatan dan mesin berteknologi sederhana pengolah ubi jalar, untuk mendorong berkembangnya agroindustri di Distrik Cilimus. e.
Sumberdaya Manusia Menurut data dari Departemen Pertanian (2003), rata–rata tingkat pendidikan petani di perdesaaan tidak tamat SD.
Rendahnya tingkat
pendidikan petani, memerlukan usaha yang keras dari aparat pemerintah daerah khususnya para penyuluh lapangan dari Dinas Pertanian Kabuapten Kuningan dalam menyampaikan adalah inovasi dan teknologi pertanian yang terbaru untuk tanaman ubi jalar. f.
Infrastruktur Pendukung Dalam mendukung kegiatan seluruh agribisnis di Distrik Cilimus, perlu dukungan berupa infrastruktur yang menunjang kegiatan usahatani mulai dari kegiatan on farm dan off farm. Salah satu sarana penunjang yang sangat vital untuk dapat segera dibangun di kawasan pengembangan agropolitan Distrik Cilimus adalah pembangunan STA (sub terminal agribisnis), untuk menunjang proses tata niaga komoditas ubi jalar. Selama ini proses transaksi komoditas ubi jalar dilakukan di banyak tempat tersebar di seluruh kawasan pengembangan agropolitan Distrik Cilimus, hal ini menyebabkan proses transaksi komoditas ubi jalar menjadi kurang efektif dan dampaknya dapat menambah biaya tdalam proses transaksi tersebut. Tambahan biaya tersebut harus ditanggung oleh petani dan pedagang, dana dapat mengurangi keuntungan yang diperoleh.
g.
Sistem Tata Niaga Aspek tata niaga merupakan salah faktor yang memegang penting dalam menunjang keberhasilan sistem agribisnis. Bila mekanisme tata niaga sudah berjalan dengan baik, maka semua pihak yang terlibat dalam tata niaga komoditas ubi jalar akan diuntungkan.
Selama ini marjin yang
diterima petani dalam tata niaga ubi jalar relatif kecil dibandingkan dengan resiko biaya, tenaga dan gagal panen yang harus ditanggung petani. Oleh karena itu, hal yang penting yang menjadi perhatian adalah bagaimana
92 rantai tata niaga menjadi lebih efisien. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan meminimalkan biaya dalam proses transaksi komoditas ubi jalar, kemudian dilakukan penataan jalur tata niaga menjadi lebih efisien, tidak terlalu banyak mata rantai, sehingga selisih harga di tingkat petani dan konsumen tidak terlalu tinggi.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah
keterlibatan pemerintah Kabupaten Kuningan dalam memberikan insentif kepada petani ubi jalar, dengan cara melakukan pembinaan dan memberikan dorongan untuk melakukan pengolahan ubi jalar, sehingga petani akan memperoleh keuntungan dan menikmati nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi jalar.
Perkembangan Kawasan Agropolitan Distrik Cilimus Analisis kesesuaian lahan untuk tanaman ubi jalar di Distrik Cilimus, menunjukkan bahwa masih tersedia lahan potensial yang dapat dikembangkan menjadi usahatani ubi jalar secara ekstensifikasi yaitu lahan kering berupa belukar dan ladang (lahan kering) seluas 3.720 ha. Lahan kering ini diestimasi dapat berpotensi menghasilkan produksi ubi jalar sebanyak 80.032 ton per musim. Sedangkan untuk pengembangan usahatani ubi jalar secara intensifikasi dapat dilakukan pada lahan basah (sawah irigasi dan sawah tadah hujan) seluas 6.570 ha. Lahan basah ini diestimasi dapat berpotensi menghasilkan produksi ubi jalar sebanyak 166.950 ton/musim. Pada saat ini permintaan ubi jalar basah sebesar 131.000 ton/tahun, sedangkan produksi baru mencapai 105.000 ton/tahun. Estimasi produksi ubi jalar ini dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan realisasi produksi ubi jalar di Distrik Cilimus, untuk memenuhi kekurangan permintaan pasar sebesar 26.000 ton ubi jalar segar. Analisis finansial menunjukkan angka R/C ratio sebesar 2,84 dan B/C Ratio sebesar 1,84, angka–angka ini menunjukkan bahwa usahatani secara finansial masih sangat menguntungkan untuk dikembangkan. Namun meski secara analisis finansial usahatani ubi jalar ini layak dan menguntungkan, tetapi dalam sistem tata niaga ubi jalar margin share yang diterima petani masih kecil. Dalam arti margin share yang diterima petani belum sebanding dengan resiko biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan petani. Ini menunjukkan kalau rantai tata niaga ubi jalar di kawasan agropolitan Distrik Cilimus belum efisien, karena pada umumnya masih dikuasai pedagang pengumpul dan pedagang besar. Hal ini menjadikan petani ubi jalar di Distrik Cilimus kurang mempunyai posisi tawar
93 (bargaining position), sehingga harga jual di tingkat petani cenderung rendah. Keadaan dikarenakan dalam tata niaga ubi jalar banyak lembaga yang terlibat, sehingga rantai tata niaga menjadi semakin panjang. Pada saat ini, dengan telah berkembangnya dan bertambahnya industri pengolahan ubi jalar di Distrik Cilimus, petani ubi jalar memiliki pilihan dalam memasarkan komoditas ubi jalar. Petani dapat menjual ubi jalar ke industri pengolahan selain dijual ke pedagang pengumpul dan pedagang besar. Keadaan ini dapat membuat posisi tawar (bargaining position) petani dalam tata niaga ubi jalar menjadi lebih baik. Untuk mendorong perkembangan agroindustri di distrik agropolitan Climus telah dibangun 6 pabrik pengolahan chip yang merupakan aset pemerintah Kabupaten Kuningan, tetapi saat ini pengelolaannya diserahkan kepada kelompok petani dan kelompok IKM setempat. Selain itu ada satu pabrik pasta ubi jalar yang merupakan milik swasta berorientasi ekspor. Pabrik ini memproduksi ubi goreng beku, ubi rebus beku, pasta ubi jalar, tepung ubi jalar, tepung pakan ternak dan kompos. Pengolahan ubi jalar menjadi berbagai produk turunannya diharapkan agar petani dapat memperoleh dan menikmati nilai tambah dari proses pengolahan tersebut dibandingkan dengan menjual langsung dalam bentuk segar. Dari analisis pohon industri diketahui dari 10 jenis produk turunan (derivatif) yang dapat dikembangkan dari ubi jalar, sebanyak 5 (lima) produk turunan ubi jalar telah dilakukan di Distrik Cilimus, baik skala rumah tangga, industri kecil dan industri menengah. Produk turunan yang telah dikembangkan adalah ubi jalar untuk konsumsi rumah tangga, ubi jalar beku, tepung ubi jalar, pasta ubi jalar dan pati ubi jalar. Sedangkan potensi produk turunan ubi jalar yang potensial dapat dikembangkan menjadi industri adalah pengolahan pati menjadi dekstrim, asam cuka (asam asetat), alkohol, gula fruktosa dan pakan ternak. Meski proses pengolahan ubi jalar akan memberikan nilai tambah yang lebih besar kepada petani ubi jalar, tetapi dari hasil analisis AHP (Analytical Hierarchy
Process),
menunjukkan
pendapat
stakeholder
yang
menjadi
responden dalam penelitian, pada saat ini pilihan terbaik adalah menjual langsung ubi jalar dalam bentuk segar daripada dilakukan proses pengolahan pada komoditas ubi jalar. Pilihan ini dibuat, kemungkinan dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, diantaranya pada saat harga ubi jalar tinggi, pengolahan ubi jalar menjadi tidak efisien selain memerlukan waktu, biaya proses pengolahan
94 ubi jalar cukup tinggi, apalagi di saat adanya kenaikan BBM (bahan bakar minyak) sehingga memerlukan modal yang cukup besar.
Dengan demikian
dilihat dari sudut pandang petani, kegiatan off farm masih dipandang beresiko tinggi.
Untuk itu pemerintah dapat membuat program–program yang dapat
menekan
resiko
tersebut
diantaranya
melalui
kegiatan
pendampingan,
penyuluhan, pelatihan, memberikan insentif dan jaminan usaha. Tujuan pengembangan agribisnis komoditas ubi jalar di kawasan agropolitan
diharapkan
mampu
mendorong
dan
meningkatkan
tingkat
pendapatan petani. Meskipun data tentang pendapatan rumah tangga petani yang riil sangat sulit tersedia, tetapi dalam penelitian ini data pendapatan rumah tangga petani responden didapat dari hasil wawancara. Data yang didapat adalah sumber pendapatan petani dari subsektor tanaman pangan (ubi jalar, padi atau tanaman pangan lainnya). Responden petani terpilih adalah petani yang menanam ubi jalar secara monokultur dibandingkan dengan data pendapatan rumah tangga petani yang menanam ubi jalar secara tumpang sari. Data yang yang diperbandingkan bukan nilai nominal rupiah yang didapatkan petani dari suatu sumber pendapatan, tetapi nilai kontribusinya (dalam persen) terhadap pendapatan rumah tangga petani. Perbandingan ini dilakukan hanya untuk melihat bahwa pada saat ini kontribusi usahatani ubi jalar menyumbang jauh lebih besar terhadap pendapatan rumah tangga petani. Tabel 25 Kontribusi Pendapatan dari Usahatani Ubi Jalar terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani* Sumber Pendapatan Ubi Jalar Padi Tan. Pangan Lain Jumlah
Tahun 2008** Nilai Pendapatan Kontribusi (Rp) (%) 1.258.000 1.260.000 103.500 2.621.000
43.9 49.5 7.6 100.0
Tahun 2008 *** Nilai Pendapatan Kontribusi (Rp) (%) 5.208.500 225.500 5.433.500
92.3 0.08 100.0
Sumber : Data primer diolah (2008) Keterangan : * Analisis pada luas lahan 0,5 ha pada kesesuaian lahan S (sesuai). ** Sebagian lahannya ditanami ubi jalar dengan tanaman pangan lain (tumpang sari). *** Seluruh lahannya ditanami ubi jalar (monokultur).
Hasil analisis kontribusi pendapatan rumah tangga petani dari usahatani ubi dan tanaman pangan lainnya menunjukkan kecenderungan, bahwa rata–rata tingkat pendapatan petani ubi jalar monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan
95 petani ubi jalar tumpang sari (dengan padi atau tanaman palawija lainnya). Rata–rata tingkat pendapatan petani monokultur sebesar Rp. 5.433.500,sedangkan petani tumpang sari Rp.2.621.000. Ini menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar memang sangat menguntungkan secara finansial dan sangat berpengaruh kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga petani. Untuk melihat perbedaan tersebut nyata atau tidak, lebih lanjut dilakukan uji beda rata– rata pendapatan dengan uji t–student pada taraf a=5%. Tabel 26 Hasil Analisis Uji t-student Perbandingan Pendapatan Petani Ubi Jalar Monokultur dengan Petani Ubi Jalar Tumpang Sari Uraian
N
Mean
Petani Ubi Jalar Monokultur Petani Ubi Jalar Tumpang Sari t–value t–tabel (α/2)
30 30 12,99 2,145
5.433.533 2.621.160
Standar Deviasi 1.107.966 76.571
Standar Error Mean 202.286 77.042
Sumber : Hasil Analisis (2008)
Pada Tabel 26 diketahui bahwa hasil uji statistik t–student pada taraf nyata α=5%, sedangkan hasil perhitungan nilai t–hitung = 12,99 lebih besar dari nilai t–tabel = 2,145, artinya bahwa ada perbedaan nyata antara rata–rata pendapatan petani ubi jalar monokultur dengan petani ubi jalar tumpang sari. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar mempunyai pengaruh cukup besar dalam meningkatkan pendapatan petani secara umum. Untuk melihat perkembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus dalam 2 tahun terakhir (tahun 2007–2008), indikator perkembangan ekonomi lokal yang bersifat lebih makro perhitungannya, dapat dilihat dari indeks kemampuan daya beli (komponen dari indeks IPM) yang cenderung meningkat dari tahun 2006 ke tahun 2007. Pada periode Tahun 2005–2006, indeks kemampuan daya beli meningkat 0.52. Sedangkan pada periode Tahun 2006–2007 indeks kemampuan daya beli meningkat 0.65. Meskipun peningkatan indeksnya hanya 0.13 poin, tapi itu sudah cukup signifikan mengingat komponen ini yang sangat sensitif terhadap kebijakan makro ekonomi semisal kenaikan harga kebutuhan pokok, indeks harga konsumen (IHK) dan juga kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Dari Tabel 27 dapat dilihat perkembangan indeks kemampuan daya beli di Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan (yang meliputi 9 Kecamatan Cilimus, Jalaksana, Kramatmulya, Mandirancan, Pasawahan, Pancalang, Cipicung,
96 Cigandamekar dan Japara), terutama setelah adanya program pengembangan agribisnis ubi jalar. Kenaikan indeks daya beli masyarakat yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Cilimus, hal ini disebabkan karena Kecamatan Cilimus merupakan agropolis (pusat dari pengembangan) Distrik Cilimus. Tabel 27 Perbandingan Capaian IPM Kab. Kuningan Tahun 2006–2007 Kecamatan Cilimus Jalaksana Karamatmulya Mandirancan Pasawahan Pancalang Cipicung Cigandamekar Japara Kabupaten
Indeks Daya Beli 2006 2007 Selisih (+/-) 55.95 57.42 1.47 55.86 57.11 1,25 55.58 56.19 0,61 55.47 55.84 0,37 56.94 57.47 0,53 55.61 56.29 0,68 55.16 55.51 0,35 55.43 55.72 0,29 55.82 56.29 0,47 55,41 56,06 0,65
2006 71.38 72.05 71.90 71.22 69.15 67.61 68.62 68.59 66.57 69,58
Angka IPM 2007 Selisih (+/-) 72.35 0,97 73,10 1,05 72,90 1,00 72,09 0,87 70,01 0,86 69,06 1,45 69,63 1,01 69,12 0,53 67,86 1,29 70,38 0,80
Sumber : Bapeda Kabupaten Kuningan (2008)
Kondisi eksisting pada saat penelitian ini dilakukan, kawasan agropolitan Distrik Cilimus telah berkembang menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi lokal di Kabupaten Kuningan. Tumbuhnya pusat–pusat perdagangan ditandai
dengan
munculnya
beberapa
pusat
pertokoan
dan
swalayan.
Kepemilikannya ada yang berasal investor lokal, dan ada juga yang merupakan franchise swalayan berskala nasional. Karena kawasan ini telah berkembang menjadi pusat pertumbuhan, beberapa lembaga perbankan terkemuka telah lama membuka kantor cabang di kawasan ini (BRI, Bank Jabar Banten dan beberapa BPR).
Untuk pelayanan di bidang kesehatan di kawasan agropolitan
Distrik Cilimus, telah berdiri beberapa klinik kesehatan milik perorangan (swasta) dan 1 (satu) rumah sakit umum yang pada saat ini sudah beroperasi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Distrik Cilimus dan sekitarnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Luas lahan yang berpotensi untuk pengembangan tanaman ubi jalar di Distrik Agropolitan Cilimus terdapat pada 9 kecamatan dengan total luasan 10.290 ha atau 39,59% dari luas distrik ini. Penggunaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan tanaman ubi jalar lahan basah (sawah irigasi dan tadah hujan) seluas 8.230 ha, dengan estimasi produksi ubi jalar dapat mencapai 166.950 per musim tanam.
Sedangkan lahan kering yang potensial adalah
belukar seluas 2.080 ha dan ladang seluas 1.640 ha, dengan estimasi produksi ubi jalar dapat mencapai 80.032 per musim tanam. Saat ini produksi ubi jalar di Kabupaten Kuningan mencapai 104.833 ton/tahun dan permintaan pasar mencapai 131.000 ton/tahun. Estimasi produksi ini dapat dijadikan acuan untuk menutupi kekurangan produksi (minus) ubi jalar sebesar 26.000 ton/tahun Komoditas ubi jalar merupakan komoditas secara finansial layak untuk diusahakan, ditunjukkan oleh nilai Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) dan B/C Ratio sebesar 2.84 dan 1.84 (pada lahan S1). Nilai titik impas (BEP) harga usahatani ubi jalar pada lahan S (sesuai) sebesar Rp.353. Berdasarkan nilai ROI sebesar 184%, berarti setiap Rp.100 modal yang diinvestasikan, usahatani ubi jalar akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp.184. Nilai–nilai tersebut secara umum menunjukkan bahwa
usahatani
ubi
jalar relatif
sangat
menguntungkan
dibandingkan dengan tanaman palawija lainnya. Keuntungan akan semakin berlipat ganda jika harga ubi jalar semakin tinggi dan stabil. Margin share yang diterima petani belum sebanding dengan resiko biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan petani. Ini menunjukkan kalau rantai tata niaga ubi jalar di kawasan agropolitan Distrik Cilimus belum efisien, karena pada umumnya masih dikuasai pedagang pengumpul dan pedagang besar. Dengan telah berkembangnya dan bertambahnya industri pengolahan ubi jalar di Distrik Cilimus, petani ubi jalar memiliki pilihan dalam memasarkan komoditas ubi jalar. Petani dapat menjual ubi jalar ke industri pengolahan selain dijual ke pedagang pengumpul dan pedagang besar.
Keadaan ini dapat membuat posisi tawar
(bargaining position) petani dalam tata niaga ubi jalar menjadi lebih baik. Potensi pengembangan komoditas ubi jalar, ada 10 jenis produk turunan (derivatif) yang dapat dikembangkan dari ubi jalar, sebanyak 5 (lima) produk turunan ubi jalar telah dilakukan di Distrik Cilimus, baik skala rumah tangga,
100 industri kecil dan industri menengah. Produk turunan yang telah dikembangkan adalah ubi jalar untuk konsumsi rumah tangga, ubi jalar beku, tepung ubi jalar, pasta ubi jalar dan pati ubi jalar. Sedangkan potensi produk turunan ubi jalar yang potensial dapat dikembangkan menjadi industri adalah pengolahan pati menjadi dekstrim, asam cuka (asam asetat), alkohol, gula fruktosa dan pakan ternak. Meski proses pengolahan ubi jalar berpotensi memberikan nilai tambah yang lebih besar kepada petani ubi jalar, tetapi dari hasil analisis AHP (Analytical Hierachy
Proccess),
menunjukkan
pendapat
stakeholder
yang
menjadi
responden dalam penelitian, pada saat ini pilihan terbaik adalah menjual langsung ubi jalar dalam bentuk segar daripada dilakukan proses pengolahan pada komoditas ubi jalar. Pilihan ini diduga dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, diantaranya pada saat harga ubi jalar tinggi, pengolahan ubi jalar menjadi tidak efisien selain memerlukan waktu, biaya proses pengolahan ubi jalar cukup tinggi, apalagi di saat adanya kenaikan BBM (bahan bakar minyak) sehingga memerlukan modal yang cukup besar. Ini menunjukkan dari sudut pandang petani, kegiatan pengolahan ubi jalar (off farm) masih dipandang beresiko tinggi. Hasil uji statistik t–student menunjukkan adanya perbedaan nyata antara rata–rata pendapatan petani ubi jalar monokultur dengan petani ubi jalar tumpang sari.
Hal ini menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar mempunyai
pengaruh cukup besar dalam meningkatkan pendapatan petani secara umum. Untuk melihat perkembangan kawasan agropolitan Distrik Cilimus dalam 2 tahun terakhir (tahun 2007–2008), indikator perkembangan ekonomi lokal yang bersifat lebih makro perhitungannya, dapat dilihat dari indeks kemampuan daya beli (komponen dari indeks IPM) yang cenderung meningkat dari tahun 2006 ke tahun 2007. Pada periode Tahun 2005–2006, indeks kemampuan daya beli meningkat 0.52. Sedangkan pada periode Tahun 2006–2007 indeks kemampuan daya beli meningkat 0.65. Meskipun peningkatan indeksnya hanya 0.13 poin, tapi itu sudah cukup signifikan mengingat komponen ini yang sangat sensitif terhadap kebijakan makro ekonomi semisal kenaikan harga kebutuhan pokok, indeks harga konsumen (IHK) dan juga kenaikan bahan bakar minyak (BBM).
Saran
101 Berdasarkan hasil penelitian, maka dalam pengembangan distrik agropolitan Cilimus Kabupaten kuningan, perlu dilakukan sebagai berikut : 1.
Pola penggunaan lahan untuk komoditas ubi jalar dan penataan ruang kawasan agropolitan Distrik Cilimus secara umum, perlu memperhatikan kesesuaian lahan yang ada, agar tidak terjadi degradasi lahan serta untuk menjaga kualitas lahan dalam jangka panjang.
2.
Perlu dilakukan perbaikan–perbaikan dalam masalah pasca panen komoditas ubi jalar, baik di bidang pengolahan maupun pemasaran, agar kualitas dan kuantitas komoditas ubi jalar semakin meningkat.
3.
Karena kegiatan pengolahan ubi jalar (off farm) masih dianggap memiliki resiko tinggi, pemerintah daerah dapat membuat program–program untuk menekan resiko tersebut diantaranya melalui kegiatan pendampingan, penyuluhan, pelatihan, memberikan insentif dan jaminan usaha.
4.
Untuk mendorong tumbuhnya industri pengolahan ubi jalar, perlu adanya insentif dari pemerintah daerah yang berupa akses terhadap teknologi budidaya, ketersediaan sarana produksi, permodalan, pasar dan teknologi pengolahan pasca panen ubi jalar.
5.
Untuk mendukung dan memperlancar tata niaga komoditas ubi jalar di kawasan agropolitan Distrik Cilimus, perlu segera dibangun fasilitas dan infrastruktur STA (sub terminal agribisnis).
Hal ini untuk memudahkan
petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar melakukan transaksi jual beli, pembersihan, sortasi dan pengepakan komoditas ubi jalar sebelum dijual ke konsumen atau industri. 6.
Pengelolaan pabrik pengolahan chip/tepung milik pemerintah Kabupaten Kuningan yang dikelola oleh kelompok tani dan kelompok IKM, perlu dilakukan pembenahan dan perbaikan dalam manajemen pengelolaannya agar menjadi lebih efektif dan efisien sehingga keberadaannya dapat mendukung pengembangan agribisnis (agroindustri) ubi jalar di Kabupaten Kuningan.
102
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1991. Teknologi Prosesing Ubi Jalar dengan Biaya Murah. Pangan, No.8, Vol.II, April 1991.
Buletin
[Badan Agribisnis Departemen Pertanian]. 1995. Sistem, Strategi dan Program Pengembangan Agribisnis. Departemen Pertanian. Jakarta [Bapeda]. 2003. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Kuningan. [Bapeda]. 2005. Master Plan Agropolitan Kabupaten Kuningan. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Kuningan [Bapeda]. 2007. Produk Regional Domestik Bruto (PDRB) Kabupaten Kuningan. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Kuningan [Bapeda]. 2007. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Kuningan. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Kuningan [BPS]. 2007. Indikator Pertanian 2007. Badan Pusat Statistik. Jakarta. [BPS]. 2007. Kuningan Dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik. Kuningan [BPS]. 2008. Kuningan Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik. Kuningan. [CIAT]. 1988. Cassava Processing in Colombia : The Production and Use of Cassava Flour for Human Consumption. Final Report. Cali, Colombia : Centro Internacional de Agricultura Tropical (CIAT). [Deptan]. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan. Departemen Pertanian. Jakarta. [Deptan]. 2005. Statistik Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. [Distan]. 2005. Statistik Pertanian. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Bandung. Djaenuddin, et.al. 2003. Pedoman Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. [FAO]. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin No.32. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. _____. 1983. Guidelines Land Evaluation for Rainfed Agriculture. FAO Soils Resources Management and Conservation Service. Land and Water
103 Development Division. FAO Soils Bulletin No.52. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. _____. 2004. FAO Statistics Yearbook 2004. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Fuglie, Keith O., 2004. Challenging Bennet’s Law : The New Economics of Starchy Staples in Asia. Food Policy 29, pp: 187–202. Friedmann J., Douglas Mc. 1976. Pengembangan Agropolitan : Menuju Siasat Baru Perencanaan Regional di Asia. FEUI : Jakarta. Gaspersz, Vincent. 1990. Bandung.
Analisis Kuantitatif untuk Perencanaan. Tarsito:
Gerona, R.G. and S.L. Sachez. 1995. Utilization of Cassava for Feeds. ViCARP and PRCRTC Brochure No.1. Baybay, Leyte, Philippines : ViSCA. Gittinger, J. Price. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. UI-Press : Jakarta. Hardjowigeno S., Widiatmaka, 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Haryono, S. H. 2008. Evaluasi Dampak Program Pengembangan Agropolitan terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Waliksarimadu Kabupaten Pemalang). Tesis. Tidak Dipublikasikan. Hicks, A. 1996. Recent Development of Agroindustry in Rural Areas of Asia and Pasific. APO. Manila. Juanda, Dede dan Bambang Cahyono. 2002. Ubi Jalar : Budidaya dan Analisis Usahatani. Kanisius. Jakarta. Marimin, 2008. Tehnik dan Aplikasi : Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Grasindo : Jakarta. Mazulla, L.H. Chen. 1994. Economic Comparison of Mechanical Harvesting and Hand Pulling of Sweet Potato Slips. Applied Engineering in Agriculture, Vol.(10)3:341–344. Mtunda, K., 2001. Damages Reduces Shelf–Life of Sweet Potato During Marketing. African Crop Science Journal, Vol. 9 No.1, pp: 301–307. Rustiadi E., Hadi S., Ahmad W.M., 2006. Kawasan Agropolitan : Konsep Pembangunan Desa–Kota Berimbang. Crestprent Press : Bogor. Rustiadi E., Saefulhakim S., Panuju D.R., Pengembangan Wilayah. IPB : Bogor.
2007.
Perencanaan
dan
104 Rustiadi E., Pranoto S., 2007. Agropolitan : Membangun Ekonomi Perdesaan. Crestprent Press : Bogor. Rustiadi E., Dardak E.E., 2008. Agropolitan : Strategi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Pada Kawasan Perdesaan. Crestprent Press : Bogor. Saaty, Thomas L., 1984. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PPM : Jakarta. Sarwono, B., 2005. Ubi Jalar : Cara Budi Daya yang Tepat, Efisien, dan Ekonomis. Penebar Swadaya : Jakarta. Soehardjo, A. 1991. Konsep dan Ruang Lingkup Agroindustri. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI). Jakarta. Soekartawi, 1991. Agribisnis : Teori dan Aplikasinya. Persada : Jakarta.
PT. Raja Grafindo
_________, 2005. Agroindustri dalam Perspektif Sosial Ekonomi. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta. Soenarjo, Roberto, 1985. Potensi Ubi Jalar sebagai Bahan Baku Gula Fruktosa. Jurnal Litbang Pertanian III (1). Smit, Nicole E.J.M. 1997. The Effect Indigenous Cultural Practices of In–Ground Storage and Piecemeal Haversting of Sweet Potato on Yield and Quality Losses Caused by Potato Weevil in Uganda. Agriculture, Ecosystems and Environment 64, pp: 191 – 200. Tan, D.L.S and R.R. Orias. 1986. Establishment and Piloting of a Village–Level Root Crop Flour Mills. Terminal Report. PRCRTC. Baybay, Leyte, Philippines : ViSCA. Tan, D.L.S. 1990. Village–Level Cassava Flour Processing Technology. In Proceedings of The 8th Symposium of The International Society for Tropical Root Crops, 415–425. R.H. Howeler, ed. Centro Internacional de Agricultura Tropical (CIAT). Bangkok, Thailand: Departement of Agriculture. Troung, Van Den. 1987. State of The Art: Processing and Utilization of Cassava and Sweet Potato for Food. Paper Presented to The Symposium to The State–of–The–Art in The Root Crop Technologies. PRCRTC. Baybay, Leyte, Philippines : ViSCA. Yen, T.P. 1982. Utilization of Sweet Potatoes for Animal Feeds and Industrial Uses: Potential and Problem. In Proceedings of First International Symposium on Sweet Potato, 385–392. Shanhua, Taiwan: AVRC.
LAMPIRAN
106 Lampiran 1
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Ubi Jalar (lpomoea batatas) Kualitas/karakteristik Temperatur (t) • Rata-rata tahunan
S1
S2
S3
N1
22 – 25
>25 – 30 20<22
>30 – 35 18-<20
Td
Ketersediaan air (w) • Bulan Kering (<75
1–7
>7 – 8
>8 – 9 >2500 – 4000
Td
0
• Curah hujan/tahun (mm) Media perakaran (r) • Drainase Tanah • Tekstur • Kedalaman efektif Tingkat bahaya erosi (• )Bahaya erosi • Lereng (%)
800 – 1500
>1500-2500
-
Baik, sedang
Agak cepat
Agak terhambat
Terhambat
L,SCL,SiL,Si CL >75
LS,SL,SiCL,SC, C 50–75
S,SiC,Str C 30–<50
Td 20 – <30
SR
R
S
B
<3
3–8
>8 – 15
15 – 25
107 Lampiran 2
Hasil Percobaan Pemupukan Ubi Jalar pada 3 Jenis Tanah Jenis Tanah Latosol Regosol Andosol
Hasil Rata-rata (ton/ha) Tanpa Pupuk Dengan Pupuk 14,9 26,1 5,6 10,3 27,9 36,8
Sumber : Soenardjo (1985).
Kenaikan (%) 75,58 82,95 31,43
108 Lampiran 3
Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Komoditi Ubi Jalar di Kabupaten Kuningan Tahun 2004 – 2008 Kecamatan
Luas Tanam (Ha)
Luas Panen (Ha)
1 2 3 01. Darma 15 31 02. Kadugede 9 8 03. Nusaherang 2 2 04. Ciniru 0 0 05. Hantara 10 8 06. Selajambe 1 1 07. Subang 6 7 08. Cilebak 114 11 09. Ciwaru 2 0 10. Karangkancana 0 0 11. Cibingbin 1 1 12. Cibeureum 2 2 13. Luragung 5 5 14. Cimahi 4 6 15. Cidahu 3 4 16. Kalimanggis 0 5 17. Ciawigebang 13 21 18. Cipicung 354 322 19. Lebakwangi 16 7 20. Maleber 7 3 21. Garawangi 51 49 22. Sindangagung 64 74 23. Kuningan 102 191 24. Cigugur 7 7 25. Kramatmulya 335 197 26. Jalaksana 497 466 27. Japara 193 202 28. Cilimus 2.316 2.438 29. Cigandamekar 1.313 1.434 30. Mandirancan 154 209 31. Pancalang 559 564 32. Pasawahan 5 14 KAB. KUNINGAN TAHUN 2008 6.150 5.580 Tahun 2007 6.158 6.098 Tahun 2006 6.160 6.289 Tahun 2005 5.700 5.643 Tahun 2004 5.788 6.072 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan (2008)
Produksi (Ton)
Rata-rata Produksi Per Ha (Kwt/Ha)
4
5
411 95 28 0 76 9 98 94 0 0 10 20 64 78 65 70 298 4.696 89 43 1.237 1.690 2.600 56 3.300 8.472 3.467 41.679 24.294 2.229 7.876 186 104.833 103.988 103.330 90.613 93.594
132,58 118,75 140,00 0,00 95,00 90,00 140,00 85,45 0,00 0,00 100,00 100,00 128,00 130,00 162,50 140,00 141,90 145,84 127,14 143,33 252,45 228,38 136,13 80,00 167,51 181,80 171,63 170,96 169,41 106,65 139,65 132,86 187,87 170.52 164,30 160,58 154,14
Lampiran 4 Data Peta Satuan Lahan Evaluasi Distrik Cilimus Kabupaten Kuningan Satuan Lahan
Jumlah
Suhu
Curah Hujan
Lereng
Bahaya Erosi
Jenis Tanah
Kedalaman
Tekstur
Drainase
Luas Lahan (ha)
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15 A16 A17 A18 A19 A20 G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10
1 1 1 2 1 2 5 2 1 2 5 1 2 2 2 1 1 5 1 1 3 3 1 1 3 2 3 3 1 3
8-12 8-12 8-12 12-17 12-17 12-17 17-21 12-17 12-17 12-17 12-17 17-21 17-21 17-21 21-24 24-26 24-26 24-26 24-26 24-26 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24
2512 2631 2631 2512 2512 2512 2512 2631 2631 2631 2631 2512 2631 2631 1205 1205 1205 1205 1205 1205 1095 1095 1095 1205 1205 1205 1205 1205 1205 1205
8-16 3-8 8-16 16-25 3-8 3-8 8-16 3-8 3-8 8-16 8-16 3-8 3-8 3-8 3-8 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 0-3 3-8 3-8 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 3-8
Berat Sedang Berat Sangat Berat Sedang Sedang Berat Sedang Sedang Berat Berat Sedang Sedang Sedang Sedang Ringan Ringan Ringan Sedang Sedang Sangat Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Sedang Sedang Sedang Sedang
Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol
>90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm 60-90 Cm 30-60 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 30-60 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 30-60 Cm 60-90 Cm
agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus halus halus halus halus halus halus halus halus halus halus
sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang terhambat terhambat terhambat terhambat terhambat terhambat terhambat terhambat terhambat terhambat
414,309 12,630 48,866 210,552 90,577 34,366 611,984 36,499 383,768 230,468 74,099 18,425 138,187 107,314 28,756 12,937 37,730 51,023 24,451 16,715 229,997 11,100 94,096 100,893 25,064 573,424 42,315 41,259 21,842 223,488
Satuan Lahan
Jumlah
Suhu
Curah Hujan
Lereng
Bahaya Erosi
Jenis Tanah
Kedalaman
Tekstur
Drainase
Luas Lahan (ha)
G11 G12 G13 G14 G15 G16 G17 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L10 L11 L12 L13 L14 L15 L16 L17 L18 L19 L20 L21 L22 L23 L24 L25 L26 L27 L28
3 6 12 1 2 1 1 2 1 1 2 2 2 1 3 6 1 2 3 5 1 2 3 1 3 1 6 4 1 2 2 2 1 1 2
21-24 24-26 24-26 24-26 24-26 24-26 24-26 8-12 8-12 8-12 12-17 12-17 12-17 12-17 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21
1205 1205 1205 1205 1205 1205 1205 1456 2512 2512 1456 1456 2512 2512 1456 1456 1456 1456 1456 1456 1456 1456 1456 2512 2512 2512 2512 2512 2512 2512 2512 2512 2512 2512 2512
3-8 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 16-25 8-16 16-25 3-8 8-16 3-8 8-16 0-3 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 8-16 8-16 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 3-8
Sedang Ringan Ringan Ringan Sedang Sedang Ringan Sangat Berat Sangat Berat Sangat Berat Berat Sangat Berat Sedang Sangat Berat Sangat Ringan Ringan Sangat Ringan Sangat Ringan Ringan Ringan Ringan Berat Berat Sangat Ringan Ringan Sangat Ringan Sangat Ringan Sangat Ringan Ringan Ringan Sangat Ringan Sedang Sedang Ringan Sedang
Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol Grumosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol
60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 30-60 Cm 60-90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm 60-90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm 60-90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm 30-60 Cm 60-90 Cm >90 Cm >90 Cm 60-90 Cm >90 Cm 60-90 Cm
halus halus halus halus halus halus halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus
terhambat terhambat terhambat terhambat terhambat terhambat terhambat baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik
23,767 33,802 163,858 14,711 17,444 162,255 78,117 51,121 78,143 50,432 145,122 218,380 80,058 30,214 25,410 38,327 65,270 154,271 153,142 77,204 19,402 9,446 93,184 9,084 154,699 15,054 111,847 28,567 35,535 43,442 287,069 269,040 25,286 412,045 109,481
Satuan Lahan
Jumlah
Suhu
Curah Hujan
Lereng
Bahaya Erosi
Jenis Tanah
Kedalaman
Tekstur
Drainase
Luas Lahan (ha)
L29 L30 L31 L32 L33 L34 L35 L36 L37 L38 L39 L40 L41 L42 L43 L44 L45 L46 L47 L48 L49 L50 L51 L52 L53 L54 L55 L56 L57 L58 L59 L60 L61 L62 L63
4 2 4 2 6 2 2 1 2 5 2 1 4 1 1 2 2 1 6 3 3 3 6 2 3 1 3 2 3 2 1 2 2 1 3
17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24
2512 2512 2512 2512 2512 2512 2631 2631 2631 2631 2631 2631 3295 1095 1095 1095 1095 1095 1095 1095 1095 1095 1095 1205 1205 1205 1205 1205 1205 1205 1205 1205 1205 1456 1456
3-8 3-8 3-8 3-8 3-8 8-16 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 3-8 3-8 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 0-3 0-3
Ringan Ringan Sedang Ringan Ringan Berat Sangat Ringan Sangat Ringan Ringan Sedang Sedang Sedang Sedang Ringan Ringan Ringan Ringan Sangat Ringan Ringan Sangat Ringan Sedang Sedang Sedang Ringan Ringan Ringan Ringan Sangat Ringan Ringan Sangat Ringan Sedang Sedang Sedang Ringan Sangat Ringan
Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol
>90 Cm >90 Cm 60-90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm >90 Cm 60-90 Cm >90 Cm 60-90 Cm >90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm >90 Cm 60-90 Cm >90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm >90 Cm
Satuan Lahan
Jumlah
Suhu
Curah Hujan
L64
4
21-24
1456
halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus
baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik
Lereng
Bahaya Erosi
Jenis Tanah
0-3
Sangat Ringan
Latosol
Kedalaman
Tekstur
Drainase
>90 Cm
halus-agak halus
baik
223,999 157,428 19,195 33,163 97,694 85,047 14,184 23,526 304,866 557,170 438,250 89,133 21,473 11,134 78,835 82,469 454,086 25,287 68,147 2488,575 45,322 36,573 17,821 28,780 71,662 10,469 547,419 41,486 39,742 996,642 15,111 24,906 95,972 20,216 16,824
Luas Lahan (ha) 735,382
L65 L66 L67 L68 L69 L70 L71 L72 L73 L74 L75 L76 L77 L78 L79 L80 L81 L82 L83 L84 L85 L86 L87 L88 L89 L90 L91 L92 M1 M2 M3 M4 R1 R2
4 3 2 1 2 2 3 8 3 1 1 3 1 3 4 1 1 1 1 2 2 2 1 2 3 1 2 1 4 2 4 4 1 3
21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24 24-26 24-26 24-26 24-26 24-26 24-26 24-26 21-24 21-24 21-24 21-24 8-12 8-12
1456 1456 1456 2512 2512 2631 2631 2631 2631 2631 2631 2631 3295 3295 3295 3295 3295 3295 3295 3295 3295 1095 1095 2631 2631 2631 2631 3295 1095 1205 1205 1205 2512 2512
0-3 3-8 3-8 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 3-8 0-3 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 3-8 3-8 0-3 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 0-3 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 8-16
Sangat Ringan Sedang Ringan Ringan Sangat Ringan Sangat Ringan Sangat Ringan Sangat Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Ringan Sedang Sedang Sedang Ringan Ringan Sangat Ringan Sangat Ringan Sangat Ringan Sangat Ringan Ringan Ringan Sangat Ringan Ringan Ringan Ringan Sedang Sangat Berat Sangat Berat
Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Mediteran Mediteran Mediteran Mediteran Regosol Regosol
>90 Cm 60-90 Cm >90 Cm 60-90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm >90 Cm >90 Cm
Satuan Lahan
Jumlah
Suhu
Curah Hujan
Lereng
Bahaya Erosi
Jenis Tanah
Kedalaman
R3 R4
1 2
8-12 8-12
2512 2512
16-25 >25
Sangat Berat Sangat Berat
Regosol Regosol
>90 Cm >90 Cm
halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus halus-agak halus agak halus agak halus agak halus agak halus sedang-kasar sedang-kasar
baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik baik agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat
617,020 63,584 14,238 53,894 238,252 287,449 515,713 137,915 749,528 72,501 54,409 69,848 15,988 169,299 121,449 1816,803 19,682 10,664 23,009 63,090 56,083 30,741 19,241 20,881 65,753 11,613 27,415 166,897 96,136 22,133 212,501 41,121 14,903 180,437
Tekstur
Drainase
Luas Lahan (ha)
sedang-kasar sedang-kasar
agak cepat agak cepat
430,137 10,975
R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 R27 R28 R29 R30 R31 R32 R33 R34 R35 R36 R37
2 2 2 1 2 2 2 3 2 1 3 3 3 2 2 5 2 1 1 7 3 1 2 4 2 4 1 1 1 3 3 5 2
12-17 12-17 12-17 12-17 12-17 12-17 12-17 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 17-21 21-24 21-24 21-24 21-24 21-24
1456 1456 1456 2512 2512 2512 2512 1456 1456 1456 1456 1456 1456 1456 1456 1456 1456 1456 1456 1456 2512 2512 2512 2512 2512 2512 2631 3295 1095 1456 1456 1456 1456
3-8 8-16 16-25 3-8 8-16 16-25 >25 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 3-8 3-8 3-8 8-16 0-3 0-3 3-8 3-8 3-8 3-8 3-8 3-8 0-3 0-3 0-3 0-3 3-8
Berat Sangat Berat Sangat Berat Berat Sangat Berat Sangat Berat Sangat Berat Ringan Sedang Sedang Sedang Ringan Ringan Berat Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sangat Berat Sedang Ringan Sangat Berat Sangat Berat Sedang Sedang Sangat Berat Sangat Berat Ringan Ringan Ringan Ringan Sedang
Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol
>90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm 60-90 Cm >90 Cm 60-90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm >90 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm <30 Cm 60-90 Cm 60-90 Cm >90 Cm <30 Cm <30 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm
Satuan Lahan
Jumlah
Suhu
Curah Hujan
Lereng
Bahaya Erosi
Jenis Tanah
Kedalaman
R38 R39 R40
1 1 2
21-24 21-24 21-24
2512 2631 2631
0-3 3-8 3-8
Ringan Sangat Berat Sedang
Regosol Regosol Regosol
>90 Cm <30 Cm >90 Cm
sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar
agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat
61,604 207,707 89,818 26,266 50,542 30,731 26,512 53,655 25,124 167,918 335,596 189,370 124,604 16,910 59,809 47,760 12,886 64,539 49,533 92,247 26,005 175,694 65,777 27,712 12,332 25,006 183,379 15,398 303,214 105,938 258,987 466,663 20,814
Tekstur
Drainase
Luas Lahan (ha)
sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar
agak cepat agak cepat agak cepat
186,299 13,049 44,366
R41 3 21-24 3295 0-3 Ringan R42 1 21-24 3295 0-3 Ringan R43 1 21-24 3295 3-8 Sangat Berat R44 1 21-24 3295 3-8 Sedang R45 1 21-24 3295 3-8 Ringan R46 2 21-24 3295 3-8 Sedang Keterangan : A=Andosol; G=Grumosol; L=Latosol; M=Mediteran; R=Regosol
Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol
>90 Cm >90 Cm <30 Cm >90 Cm >90 Cm >90 Cm
sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar sedang-kasar
agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat agak cepat
85,169 158,316 26,591 79,759 112,178 11,260
Lampiran 6 Biaya Produksi Komoditas Ubi Jalar Seluas 1 Ha
No. 1 2 a b
c d
Uraian Biaya Tetap Sewa Tanah Biaya Variabel Benih Pupuk : - Pupuk Kandang - Urea - Phonska - SP36 Pestisida - Insektisida Tenaga Kerja : - Pembuatan Guludan - Pembuatan Lubang Tanam - Penanaman - Pemupukan - Pembalikan - Pembumbunan - Perambatan - Penyiraman - Penyemprotan - Panen
Quantity Satuan Harga (Rp.) Quantity Satuan Jumlah Total (Rp) 1 ha
1.300.000 5.000
1 1 1 1
kg kg kg kg
500 1.500 2.000 2.000
1 ltr
100.000
7 2 2 1 4 4 2 2 2 1 1
hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr
20.000 20.000 15.000 15.000 20.000 20.000 15.000 20.000 20.000 20.000 15.000
1.300.000 35 ikat 1000 200 100 100
175.000
kg kg kg kg
500.000 300.000 200.000 200.000
1 ltr
100.000
8 7 7 7 5 10 10 2 1 20 20
hkp hkp hkw hkw hkp hkp hkw hkp hkp hkp hkp
1.120.000 280.000 210.000 105.000 400.000 800.000 300.000 80.000 40.000 400.000 300.000
Jumlah Biaya Produksi Jumlah Produksi Optimum 1 kg 1.000 23000 kg 4 Pendapatan - Nilai Total Produksi - (Biaya Tetap + Biaya Variabel) 5 R/C Ratio (Kelas Lahan S1) (asumsi produksi rata-rata 23 ton/ha) R/C Ratio (Kelas Lahan S2) (asumsi produksi 80% dari produksi rata-rata) R/C Ratio (Kelas Lahan S3) (asumsi produksi 60% dari produksi rata-rata) 6 B/C Ratio (Kelas Lahan S1) (asumsi produksi rata-rata 23 ton/ha) B/C Ratio (Kelas Lahan S2) (asumsi produksi 80% dari produksi rata-rata) B/C Ratio (Kelas Lahan S3) (asumsi produksi 60% dari produksi rata-rata) 7 BEP Harga
1.300.000
6.810.000 8.110.000
3
8 BEP Volume Produksi
9 ROI
23.000.000
Kelas S1 Kelas S2 Kelas S3 Kelas S1 Kelas S2 Kelas S3 Kelas S1 Kelas S2 Kelas S3
14.890.000 2,84 2,27 1,71 1,84 1,27 0,71 Rp. 353 Rp. 441 Rp. 588 8,110 kg 184% 127% 71%
Lampiran 7 Biaya Produksi Komoditas Padi Seluas 1 Ha
No. 1 2 a b
c c
d
Uraian Biaya Tetap Sewa Tanah Biaya Variabel Benih Pupuk : - Urea - KCL - SP36 - Dolomit Karung Pestisida - Furadan - Ridomil Tenaga Kerja : - Persemaian - Pengolahan Tanah - Penanaman - Penyiangan - Pemupukan - Penyemprotan Pestisida - Panen (sabit dan perontokan) - Penjemuran - Pengarungan - Pengangkutan
Quantity Satuan Harga (Rp.) Quantity Satuan 1 ha
1.300.000
1 kg
4.000
1 1 1 1 1
kg gr bh
1.500 2.000 2.000 500 5.000
1 kg 1 pak
4.000 900
22 21 1 1 1 2 2 2 4 2 2
kg
hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr
Jumlah 1.300.000
25 kg 200 150 150 200 20
kg kg kg gr bh
8 kg 20 pak
20.000 20.000 15.000 15.000 20.000 20.000 15.000 20.000 20.000 20.000 20.000
1 2 35 35 7 4 18 17 4 4 4
hkp hkp hkw hkw hkp hkp hkw hkp hkp hkp hkp
4 5 6
Produksi Jumlah Produksi 1 kg Pendapatan - Nilai Total Produksi - (Biaya Tetap + Biaya Variabel) R/C Ratio B/C Ratio
1.600
5000 kg
1.300.000
100.000 300.000 300.000 300.000 100.000 100.000 32.000 18.000 440.000 840.000 525.000 525.000 140.000 160.000 540.000 680.000 320.000 160.000 160.000
Jumlah Biaya 3
Total (Rp)
5.740.000 7.040.000
8.000.000 960.000 1,14 0,14
Lampiran 8 Biaya Produksi Komoditi Jagung Seluas 1 Ha
No.
Uraian
1 Biaya Tetap Sewa Tanah 2 Biaya Variabel a Benih b Pupuk : - Pupuk Kandang - Urea - Antrakol - Agrip - Konfidol c Pestisida - Furadan - Ridomil d Tenaga Kerja : - Persemaian - Pengolahan Tanah - Penanaman - Penyiangan - Pemupukan - Penyemprotan Pestisida - Panen (petik dan pengepakan)
3 4 5 6
Quantity Satuan Harga (Rp.) Quantity Satuan Jumlah Total (Rp) 1 ha
1.300.000
1 kg
125.000
50 1 1 100 100
kg kg kg gr gr
1.000 1.500 45.000 20.000 16.500
1 kg 1 pak
4.000 900
22 10 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1
hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr
- Penjemuran - Pemipilan - Pemilahan (sortir) - Pengepakan - Pengangkutan Jumlah Biaya Produksi Jumlah Produksi 1 kg Pendapatan - Nilai Total Produksi - (Biaya Tetap + Biaya Variabel) R/C Ratio B/C Ratio
1.300.000 5 kg 1 300 1 500 300
kg kg kg gr gr
8 kg 20 pak
20.000 20.000 15.000 15.000 20.000 20.000 15.000 20.000 20.000 15.000 15.000 20.000 20.000
1 2 35 35 7 2 18 18 3 5 5 3 3
hkp hkp hkw hkw hkp hkp hkw hkp hkp hkw hkw hkp hkp
1.200
6000 kg
1.300.000
625.000 50.000 450.000 45.000 100.000 49.500 32.000 18.000 440.000 400.000 525.000 525.000 140.000 40.000 270.000 360.000 180.000 75.000 75.000 60.000 60.000
7.200.000
4.519.500 5.819.500 7.200.000 1.380.500 1,24 0,24
Lampiran 9 Biaya Produksi Komoditas Kedelai Seluas 1 Ha
No.
Uraian
1 Biaya Tetap Sewa Tanah 2 Biaya Variabel a Benih b Pupuk : - Pupuk Kandang - Urea - Antrakol - Agrip - Konfidol c Pestisida - Furadan - Ridomil d Tenaga Kerja : - Persemaian - Pengolahan Tanah - Penanaman - Penyiangan - Pemupukan - Penyemprotan Pestisida - Panen (petik dan pengepakan)
3 4 5 6
Quantity Satuan Harga (Rp.) Quantity Satuan Jumlah Total (Rp) 1 ha
1.300.000
1 kg
125.000
50 1 1 100 100
kg kg kg gr gr
1.000 1.500 45.000 20.000 16.500
1 kg 1 pak
4.000 900
22 10 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1
hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr hr
- Penjemuran - Pemipilan - Pemilahan (sortir) - Pengepakan - Pengangkutan Jumlah Biaya Produksi Jumlah Produksi 1 kg Pendapatan - Nilai Total Produksi - (Biaya Tetap + Biaya Variabel) R/C Ratio B/C Ratio
1.300.000 5 kg 1 300 1 500 300
kg kg kg gr gr
8 kg 20 pak
20.000 20.000 15.000 15.000 20.000 20.000 15.000 20.000 20.000 15.000 15.000 20.000 20.000
1 2 35 35 7 2 18 18 3 5 5 3 3
hkp hkp hkw hkw hkp hkp hkw hkp hkp hkw hkw hkp hkp
1.200
6000 kg
1.300.000
625.000 50.000 450.000 45.000 100.000 49.500 32.000 18.000 440.000 400.000 525.000 525.000 140.000 40.000 270.000 360.000 180.000 75.000 75.000 60.000 60.000
7.200.000
4.519.500 5.819.500 7.200.000 1.380.500 1,24 0,24
125 Lampiran 10
Kuisioner Analisis Usaha Tani
a. b. c. d. e. f. g.
A.
Identitas Responden Nama : Alamat : Usia : Jabatan / Pekerjaan : Hari/Tanggal Wawancara : Pewawancara : Pemeriksa :
ASPEK BUDIDAYA
1. Berapa luas lahan tanaman ubi jalar yang dimiliki - ……… Hektar 2. Asal Bibit yang ditanam: a. Bibit bersertifikat b. Buatan Sendiri c. Buatan masyarakat di dalam desa d. Buatan masyarakat di dalam kecamatan Berapa harga bibit ............................... 3. Apakah ada tanaman lainnya diantara tanaman ubi jalar? Jika Ya Tanaman apa saja a. ...................... b. ..................... c. ...................... d. ..................... Berapa produksi per tahun a. ...................... b. ..................... c. ...................... d. ..................... 5. Apakah Bapak/Ibu memiliki kebun selain tanaman ubi jalar a. ............................. ............... Ha/bidang b. ............................. ............... Ha/bidang c. ............................. ............... Ha/bidang Berapa produksi per tahun a. ....................... b. ..................... c. ...................... 6. Berapa banyak tanaman ubi jalar yang ditanam dalam 1 hektar di desa ini? Minimum …………………. batang/ha Maksimum ........................... batang/ha
126 7. Pengendalian Hama dan Penyakit: a. Tidak dilakukan b. Dilakukan dengan menggunakan: 1). Insektisida saja; 2). Fungisida saja; 3). Insektisida dan Fungisida c. Jenis Hama dan Penyakit apa saja yang menyerang tanaman ubi jalar disini • ...................... • ..................... 8. Apakan dilakukan Pemupukan Bila Ya Pupuk apa saja dan dosisnya a. ...................... dosis..........................kg/ha b. ..................... dosis..........................kg/ha c. ...................... dosis..........................kg/ha Kapan melakukan pemupukan ..................... berapa kali /tahun .......................
B. ASPEK PANEN DAN PASCA PANEN 9. Berapa kali rata-rata pemanenan ubi jalar? dilakukan perUnit (sebutkan) a. minggu b. bulan c. tahun 10. Berapa hasil rata-rata per hektar untuk satu kali panen? ............... per hektar 11. Bagaimana pola panen Berapa upah panen untuk sekali panen a................. persen dari hasil panen b .................luas tanam c. lainnya.............................. 12. Penjualan ubi jalar kemana ........................ 13. Penjualan dalam bentuk apa a. Ubi basah b. Chips c. lainnya (sebutkan) ................................ 14. Berapa harga jual a. Ubi jalar basah/kg b. Chips/kg c. lainnya (sebutkan) ................................
127 Lampiran 11
Komoditas : Ubi Jalar CATATAN : Pilihan jawaban angka (1,2,3, dst) berarti hanya boleh satu jawaban, pilihan jawaban huruf (a,b,c, dst) berarti boleh lebih dari satu jawaban. I. 1.
Karakteristik Responden: Nama
Jawaban :
2.
Jenis kelamin
: 1. Laki-laki
3.
Umur
: ........... Tahun
4.
Jumlah anggota keluarga serumah
: .........
5.
Pekerjaan Sampingan
: (sebutkan) .......
2. Perempuan
Orang
A. KARAKTERISTIK USAHA 1. Memiliki badan hukum : (1) ya (2) tidak 2. Tahun berdiri usaha : ………………… 3. Sebutkan komoditi yang dijual/ diproduksi sekarang (sebutkan) : ……………. 4. Alasan melakukan usaha dagang ini : a. Sudah memiliki pasar b. Mudah melakukannya (tidak perlu keahlian) c. Lainnya, sebutkan ….. 5. Berapa biaya dalam satu kali pengiriman barang (perkiraan saja) : Rp [ ] [ ] [ ] [ ] ribu/ (Kg/ KW/ ……. 6. Adakah lembaga keuangan yang mendukung usaha dagang bapak (baik yang berasal dari dalam maupun luar wilayah desa) : a. ya, bila ya sebutkan………………. b. tidak ada 7. Apakah pelaku-pelaku usaha pemasaran membentuk kelompok usaha : a. ya, bila ya sebutkan………………. b. tidak ada Bila ya apa alasan bergabung dalam kelompok usaha Jelaskan jawaban bapak ? ………………………………………………………………………………………… ………………..
128 B. ASAL BARANG 1. Asal barang : a. Dalam Desa b. Dalam kecamatan c. Dalam Kabupaten d. Lainnya :……………………………. 2. Apakah barang dagangan selalu tersedia : a. ya b. tidak Mengapa demikian : 3. Masalah yang berkaitan dengan penyediaan barang dagangan atau kontinuitas barang dagangan:……………………………………………………… C. PERMODALAN 1. Jumlah modal yang digunakan dalam usaha dagang (pemasaran) ini : Rp [ ] [ ] [ ] juta 2. Berapa % modal berasal dari luar (bukan milik sendiri) : [ Sumber modal luar, dari mana : a Bank b Pinjaman Perorangan c. Koperasi d. Lainnya : ……………
][
][
]%
3. Masalah yang berkaitan dengan modal ....................…………………………
D. PEMASARAN 1. Daerah Pemasaran : (a) Dalam desa (b) Dalam kecamatan (c) Luar Kecamatan dalam Kabupaten Kunoingan (d) Luar Kabupaten Kuningan 2. Masalah yang berkaitan dengan pemasaran:…………………………… ...........................................................................................................
129 3. Marjin Pemasaran Ubi Jalar : No
Uraian
Harga
Biaya
(Rp/kg)
(Rp/kg)
1. Harga jual petani
-----
2. Harga beli pedagang pengumpul
-----
−
Biaya sortir dan membersihkan
-----
−
Biaya angkut/transportasi
-----
−
Biaya lainnya, .......
-----
3. Harga jual pedagang pengumpul
-----
4. Harga beli pedagang besar desa
-----
−
Biaya membersihkan
-----
−
Biaya bongkar muat
-----
−
Biaya susut
-----
−
...............
-----
5. Harga jual pedagang besar desa
-----
6. Harga beli pedagang kecamatan/ Kabupaten
-----
besar
−
Biaya membersihkan
-----
−
Biaya bongkar muat
-----
−
Biaya retribusi
-----
−
..................
-----
7. Harga jual pedagang kecamatan/ Kabupaten
besar
-----
8. Harga beli pedagang pengecer
-----
−
Biaya....
-----
−
..............
-----
9. Harga beli konsumen 10 Harga Beli Pabrik
-----
%
130
Lampiran 12
Kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP) a. b. c. d. e. f.
Nama Alamat Usia Jabatan / Pekerjaan Hari/Tanggal Wawancara Pewawancara
: : : : : :
Kuesioner ini ditujukan untuk menggali preferensi dari seluruh stakeholder dalam proses Pemilihan Jenis Pengembangan Industri Ubi Jalar di Kawasan Pengembangan Distrik Agropolitan Cilimus Kabupaten Kuningan. Pengisian dilakukan dengan cara : - Membandingkan setiap aspek/faktor satu sama lain secara berpasangan - Dari dua aspek yang dibandingkan tentukan mana yang lebih penting, kemudian tentukan seberapa besar tingkat kepentingannya dengan memberikan bobot penilaian dari sekala terendah sampai tertinggi (1-9) - Jika aspek yang di sebelah kiri lebih penting dari pada yang disebalh kanan maka pilih nilai dari angka 1 sampai 9 yang disebelah kiri, sedangkan jika aspek yang disebelah kanan lebih penting maka pilih angka 1 sampai 9 yang disebelah kanan.
Arti dari setiap bobot adalah : Bobot Artinya 1 Sama pentingnya 3 Sedikit lebih penting 5
Agak lebih penting
7
Jauh lebih penting
9
Mutlak lebih penting
2,4,6,8 Nilai-nilai antara angka di atas
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit agak lebih penting dari elemen lainnya Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen lainnya Elemen yang satu sangat jelas lebih penting dari elemen lainnya dan dominasinya nyata Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen lainnya Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan/Jika diperlukan kompromi
Pertanyaan : 1. Terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan dan dianggap berpengaruh dalam proses Pengembangan Jenis Industri Ubi Jalar di Distrik Agropolitan Cilimus Kabupaten Kuningan, yaitu : a. Faktor peluang pemasaran, yang meliputi potensi sumberdaya alam, keberadaan kelembagaan formal dan informal, dan ketersediaan sarana dan prasarana
131
b. Faktor penyerapan tenaga kerja, yang meliputi banyaknya tenaga kerja yang dapat diserap oleh jenis pengembangan industri. c. Faktor nilai tambah, yaitu menyangkut aktifitas perekonomian yang dominan, seperti pusat pertanian, dan pusat perdagangan, industri, dan jasa Menurut pendapat Bapak/Ibu, bagaimanakah urutan kepentingan relatif dari setiap faktor (perbandingan dilakukan secara berpasangan) Peluang Pemasaran
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Penyerapan Tenaga Kerja
Peluang Pemasaran
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Nilai Tambah
Penyerapan Tenaga Kerja
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Nilai Tambah
2. Jika dilihat dari faktor Peluang Pemasaran, setidaknya terdapat 4 alternatif pengembangan industri ubi jalar, yaitu : a. Petani Menjual Langsung ke Pasar b. Petani Bermitra Penyedia Bahan Baku Mentah c. Industri Rumah Tangga (snack, dll) d. Industri Kecil Penyedia Bahan Setengah Jadi Menurut Bapak/Ibu Aspek mana yang lebih penting untuk dipertimbangkan : Petani Menjual Langsung ke Pasar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Petani Bermitra Penyedia Bahan Mentah
Petani Menjual Langsung ke Pasar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Industri Rumah Tangga (Snack,dll.)
9
Industri Kecil Penyedia Bahan Baku Setengah Jadi
Petani Menjual Langsung ke Pasar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
Petani Bermitra Penyedia Bahan Mentah
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
Petani Bermitra Penyedia Bahan Mentah
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
Industri Rumah Tangga (Snack,dll.)
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
5
5
5
6
7
8
6
7
8
9
Industri Rumah Tangga (Snack,dll.)
6
7
8
9
Industri Kecil Penyedia Bahan Baku Setengah Jadi
9
Industri Kecil Penyedia Bahan Baku Setengah Jadi
6
7
8
132
3. Jika dilihat dari faktor Penyerapan Tenaga Kerja, setidaknya terdapat 4 alternatif pengembangan industri ubi jalar, yaitu : a. Petani Menjual Langsung ke Pasar b. Petani Bermitra Penyedia Bahan Baku Mentah c. Industri Rumah Tangga (Snack, dll) d. Industri Kecil Penyedia Bahan Setengah Jadi Menurut Bapak/Ibu Aspek mana yang lebih penting untuk dipertimbangkan : Petani Menjual Langsung ke Pasar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Petani Bermitra Penyedia Bahan Mentah
Petani Menjual Langsung ke Pasar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Industri Rumah Tangga (Snack,dll.)
9
Industri Kecil Penyedia Bahan Baku Setengah Jadi
Petani Menjual Langsung ke Pasar Petani Bermitra Penyedia Bahan Mentah
9
9
8
8
7
7
6
6
5
5
4
4
3
3
2
2
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
Industri Rumah Tangga (Snack,dll.)
Petani Bermitra Penyedia Bahan Mentah
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Industri Kecil Penyedia Bahan Baku Setengah Jadi
Industri Rumah Tangga (Snack,dll.)
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Industri Kecil Penyedia Bahan Baku Setengah Jadi
133
4. Jika dilihat dari faktor Nilai Tambah, setidaknya terdapat 4 alternatif pengembangan industri ubi jalar, yaitu : a. Petani Menjual Langsung ke Pasar b. Petani Bermitra Penyedia Bahan Baku Mentah c. Industri Rumah Tangga (Snack, dll) d. Industri Kecil Penyedia Bahan Setengah Jadi Menurut Bapak/Ibu Aspek mana yang lebih penting untuk dipertimbangkan : Petani Menjual Langsung ke Pasar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Petani Bermitra Penyedia Bahan Mentah
Petani Menjual Langsung ke Pasar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Industri Rumah Tangga (Snack,dll.)
9
Industri Kecil Penyedia Bahan Baku Setengah Jadi
Petani Menjual Langsung ke Pasar Petani Bermitra Penyedia Bahan Mentah Petani Bermitra Penyedia Bahan Mentah Industri Rumah Tangga (Snack,dll.)
9
9
9
9
8
8
8
8
7
7
7
7
6
6
6
6
5
5
5
5
4
4
4
4
3
3
3
3
2
2
2
2
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
5
6
6
6
6
7
7
7
7
8
8
8
8
9
Industri Rumah Tangga (Snack,dll.)
9
Industri Kecil Penyedia Bahan Baku Setengah Jadi
9
Industri Kecil Penyedia Bahan Baku Setengah Jadi
134 Lampiran 13
Jenis dan Sumber Data Penelitian No. Jenis Data 1. Peta Tanah 2. Peta Administrasi 3. Peta RTRW 4. 5.
Penggunaan Lahan Eksisting (landuse) Data Curah Hujan
Skala 1:250.000 1:25.000 1:250.000
Tahun 1970 2000 2003
Bentuk Digital Digital Digital
1:250.000
2006
Digital
- 2007
Tabular
6.
Data Harga Ubi Jalar
-
Tabular
7.
Data PDRB
- 2007
Tabular
8.
Data Produksi, Luas Tanam dan Luas Panen Ubi Jalar
- 2007
Tabular
Sumber Data Puslitanak Bakosurtanal Bapeda Kabupaten Kuningan Bapeda Kabupaten Kuningan Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Kuningan BPS Kabupaten Kuningan BPS Kabupaten Kuningan
135 Lampiran 14 Data Pendapatan Petani Ubi jalar Monokultur dan Tumpang Sari Resp.
Pendapatan Petani Ubi Jalar Monokultur (Rp.)
Pendapatan Petani Ubi Jalar Tumpang Sari (Rp.)
1.
5.890.000
2.730.000
2.
6.518.000
3.425.000
3.
4.235.000
3.242.500
4.
6.227.500
2.085.000
5.
5.546.000
2.110.000
6.
4.876.500
3.107.500
7.
5.678.000
3.233.000
8.
5.870.000
2.015.000
9.
5.550..000
2.425.000
10.
5.670.000
3.047.000
11.
5.480.000
2.720.000
12.
5.650.000
2.670.000
13.
5.668.500
2.340.000
14.
5.956.500
2.025.000
15.
5.978.500
2.926.000
16.
7.040.000
2.140.000
17.
3.924.000
2.899.000
18.
3.734.500
2.145.000
19.
4.566.000
2.544.000
20.
6.543.000
3.150.000
21.
5.674.500
2.889.000
22.
6.543.000
2.960.000
23.
5.674.500
2.814.000
24.
7.005.000
2.330.000
25.
6.575.000
2.590.000
26.
4.005.000
2.290.000
27.
3.565.000
2.012.500
28.
3.800.000
2.457.000
29.
7.215.000
2.967.500
30.
3.456.000
2.345.800
136
136 Lampiran 15
Hasil Analisis Beda Pendapatan Petani (Uji t–student)