ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN OTONOMI DAERAH
OLEH : RICKY ADITYA WARDHANA H14103019
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
RICKY ADITYA WARDHANA. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM) Salah satu sasaran pembangunan jangka panjang Indonesia adalah menciptakan peningkatan pendapatan dan taraf hidup masyarakat dengan melakukan berbagai kegiatan ekonomi. Oleh karena itu tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat menentukan bagi kehidupan masyarakatnya. Untuk melihat tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara ditentukan oleh Produk Domestik Bruto (PDB), dan untuk skala daerah ditentukan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan Kegagalan proses pembangunan pada masa orde baru menciptakan kesenjangan pembangunan antar wilayah. Provinsi Sulawesi Tenggara adalah salah satu wilayah yang pada masa orde baru mendapatkan porsi pembangunan yang rendah. Seiring dengan mulainya era reformasi tahun 1998, pemerintah mulai menyikapi hal tersebut dengan menerapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Sistem otonomi daerah dirancang agar daerah dapat mengelola secara mandiri wilayahnya sehingga daerah bisa membuat strategi-strategi yang lebih tepat dan efektif di wilayahnya sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan perekonomiannya. Provinsi Sulawesi Tenggara yang mayoritas wilayahnya adalah daerah tertinggal, sebenarnya banyak memiliki sumber daya alam dan berbagai potensi. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara diharapkan dapat membuat pertumbuhan perekonomian wilayahnya menjadi lebih baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh otonomi daerah terhadap perekonomian wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara yang dianalisis dalam dua periode waktu yaitu tahun 1997-2000 dan 2001-2005 dengan membandingkan (1) laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah. (2) pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah. (3) keunggulan komparatif sektor-sektor ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah. Penelitian ini menggunakan data pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara dan PDB Nasional pada kurun waktu 1997-2005 atas dasar harga konstan 1993. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis pertumbuhan PDRB dan shift share. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan laju pertumbuhan rata-rata perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara sesudah penerapan otonomi daerah lebih baik dibandingkan sebelum otonomi daerah. Rata-rata pertumbuhan total PDRB periode sebelum otonomi daerah sebesar 1,71 persen, kemudian sesudah otonomi daerah naik sebesar 25,64 persen. Sesudah penerapan otonomi
daerah, sektor pertambangan dan galian menjadi sektor dengan peningkatan laju pertumbuhan PDRB tertinggi dengan angka pertumbuhan 74,41 persen. Peningkatan produksi bijih nikel oleh PT Antam juga menyebabkan peningkatan ini. Sektor perekonomian dengan pertumbuhan PDRB terendah sesudah otonomi daerah adalah sektor industri pengolahan. Rendahnya permintaan akan produk yang disebabkan rendahnya infrastruktur dan sarana prasarana menyebabkan rendahnya pertumbuhan di sektor ini. Seiring dengan penerapan otonomi daerah di Indonesia, pertumbuhan ekonomi nasional dan di Provinsi Sulawesi Tenggara pun mulai kembali membaik. Pulihnya kondisi perekonomian pasca krisis juga dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai Ra, Ri, dan ri. Nilai total Ra, Ri, dan ri setelah otonomi daerah lebih tinggi daripada sebelum penerapan otonomi daerah. Nilai Ra sesudah otonomi daerah meningkat menjadi 0,21 dimana sebelum otonomi daerah hanya sebesar-0,08, nilai Ri setelah otonomi daerah juga meningkat menjadi 2,10, dimana sebelum otonomi daerah hanya sebesar-0,64, kemudian nilai ri meningkat menjadi 2,82 dimana sebelumnya hanya 0,21. Analisis shift share terdiri dari tiga komponen yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP), dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Dari hasil penelitian diperoleh nilai PN sesudah otonomi daerah, kemudian nilai komponen PP terbesar adalah sektor angkutan dan komunikasi. Jumlah sektor perekonomian yang rendah keunggulan komparatifnya bertambah menjadi empat sektor sesudah penerapan otonomi daerah. Jumlah sektor perekonomian yang masuk ke dalam kelompok progresif sesudah penerapan otonomi daerah menurun jumlahnya. Jumlah sektor perekonomian yang masuk ke dalam kategori pertumbuhan lamban antara lain sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan konstruksi, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor jasa lainnya. Dari kajian ini dapat ditarik beberapa implikasi kebijakan antara lain Pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat menjadikan sektor pertanian sebagai prioritas agar memacu pertumbuhan sektor industri dan jasa. Disamping itu, pemerintah daerah dapat mengoptimalkan beberapa sektor perekonomian yang mempunyai pertumbuhan yang cepat. Kebijakan yang dapat dilakukan pada sektor jasa adalah dengan memajukan beberapa kabupaten yang mempunyai potensi pariwisata. Sementara itu untuk sektor pertambangan dan galian, pemerintah daerah dapat mengembangkan pembangunan yang berbasis investasi secara utuh dan menyeluruh, tertimbang dan terukur untuk mengembangkan berbagai potensi bahan tambang yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Sektor industri pengolahan dapat dikembangkan dengan kebijakan penguatan basis industri kecil dan menengah.
ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN OTONOMI DAERAH
OLEH : RICKY ADITYA WARDHANA H14103019
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor , Maret 2008
Ricky Aditya W H14103019
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Karanganyar Solo, Jawa Tengah pada tanggal 18 Januari 1985 sebagai anak kandung dari Bapak Indra Wijayanto dan Ibu Lies Nurhayati. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 60 Surakarta pada tahun 1997, menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SLTPN 1 Jaten Karanganyar Solo Jawa Tengah pada tahun 2001 dan menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMUN Karangpandan Karanganyar Solo Jawa tengah pada tahun 2003. Kemudian pada tahun 2003 penulis diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis juga aktif di berbagai organisasi intra kampus diantaranya BEM TPB IPB sebagai staff departemen Infokom tahun 2003. DPM FEM IPB sebagai Ketua Komisi IV dan MPM KM IPB sebagai Pokja Pemira dan Kepartaian Mahasiswa tahun 2004. Himpunan Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Hipotesa) sebagai anggota Departemen Human Resources & Development tahun 2004. BKIM IPB sebagai Kepala Biro Hubungan Masyarakat tahun 2005. Selain itu penulis juga pernah bekerja di berbagai perusahaan diantaranya Lembaga Bahasa Asing English Avenue, Bogor sebagai Manajer Pemasaran tahun 2004, Lembaga Riset dan Konsultan SEM Institute sebagai Surveyor Proyek ’Survei Kepuasan Masyarakat terhadap Kinerja Bazis DKI Jakarta’ pada tahun 2007, dan magang di PT Lintas Surya Dwitama, Jakarta Barat tahun 2006-2007.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara Pada Masa Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah”. Skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec., sebagai pembimbing akademik dan skripsi yang karena bimbingan, arahan, berbagai bantuan dan kemudahan dari beliau, proses penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. M. Parulian Hutagaol, Ph.D, sebagai penguji utama sidang yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi skripsi ini. 3. Jaenal Effendi, MA selaku penguji komisi pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan sehingga penulisan skripsi ini menjadi lebih baik. 4. Ibu dan ayah penulis, Lies Nurhayati dan Indra Wijayanto atas do’a, dan dorongan yang sangat besar artinya dalam proses penyelesaian kuliah dan skripsi, serta adik penulis, Reza Andrian Aditama dan Lintang Damar Jati Nur Indrawan atas doa dan motivasinya. 5. Rizal Ramadhani, Khoirul Anaz, Fachrudin, Asobani, Adhi Nurhidayat, Asra Faqat, Halida Fatimah, M Yusuf Harry, serta Dyah Arienta atas berbagai bantuan, masukan dan bimbingan. 6. Mas Elvin, Mas Kafi, Mas Harun. Dan semua pihak yang telah membantu dan tidak tersebutkan satu per satu
Bogor, Maret 2008
Ricky Aditya W H14103019
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................
v
I.
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..........................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian ..............................................................................
8
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................
9
II.
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 10 2.1. Konsep Otonomi Daerah ................................................................... 10 2.2. Konsep Wilayah ................................................................................ 13 2.3. Konsep Pertumbuhan Ekonomi Wilayah .......................................... 16 2.4. Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah ........................................... 18 2.5. Penelitian-Penelitian Terdahulu ........................................................ 19 2.6. Kerangka Teoritis .............................................................................. 21 2.6.1. Analisis Shift Share ............................................................... 21 2.6.2. Kelebihan Analisis Shift Share .............................................. 22 2.6.3. Kelemahan Analisis Shift Share ............................................ 23 2.6.4. Pertumbuhan Ekonomi Rostow............................................ 24 2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual ........................................................ 27
III.
METODE PENELITIAN........................................................................... 29 3.1. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 29 3.2. Metode Analisis Datae........................................................................ 29 3.3. Konsep dan Definisi Operasional Data .................................................. 34
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI SULAWESI TENGGARA................ 37 4.1. Keadaan Geografis ........................................................................... 37 4.2. Kependudukan dan Ketenagakerjaan ................................................ 38 4.3. Pendidikan dan Kesehatan................................................................. 40
4.4. Perekonomian..................................................................................... 41 4.5.1. Struktur Ekonomi ................................................................... 41 4.5.2. Pertumbuhan Ekonomi Regional .......................................... 42 V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 43 5.1. Analisis PDRB Sulawesi Tenggara dan PDB Sebelum Otonomi Daerah (1997-2000) dan Sesudah Otonomi Daerah (2001-2005) ...................................................................................... 43 5.2. Analisis Rasio PDB dan PDRB Sebelum Otonomi Daerah (1997-2000) dan Sesudah Otonomi Daerah (2001-2005) ............... 50 5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah .......... 53 5.4. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah .............................................................. 58 5.5. Implikasi Kebijakan .......................................................................... 63 VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 67 6.1. Kesimpulan......................................................................................... 67 6.2. Saran .................................................................................................. 68 VII DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 70 VII. LAMPIRAN.............................................................................................. 72
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Indonesia, Tahun 1994-1998 Berdasarkan Harga Konstan 1993 (Persen) ...............................................
2
1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Indonesia, Sebelum dan sesudah Penerapan Otonomi Daerah Berdasarkan Harga Konstan 1993 (Persen)..
5
1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Provinsi Sulawesi Tenggara, Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah Berdasarkan Harga Konstan 1993 (Persen)..................................................................... 6 2.1. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintah Daerah Sejak Tahun 1945-2004............................................................................. 11 4.1. Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB Sulawesi Tenggara Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2001-2005. (Persen)............................ 41 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Sulawesi Tenggara, Tahun 2001-2005. (Persen)........................................................................... 42 5.1. Tingkat Pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah Berdasarkan Harga Konstan 1993.............. 46 5.2. Tingkat Pertumbuhan PDB Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah Berdasarkan Harga Konstan 1993.................................................................49 5.3. Nilai Ra, Ri, dan ri Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah...................................................................... 52 5.4. Komponen Pertumbuhan Nasional Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah............................. ........................ 54 5.5. Komponen Pertumbuhan Proporsional Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah....................................................... 56 5.6. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah...................................................... 58 5.7. Pergeseran Bersih Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah. ........................................................................................ 59
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual................................................................. 28 3.1. Profil Pertumbuhan PDRB ......................................................................... 33 4.1. Jumlah Penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara 2001-2005 ....................... 39 5.1. Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 1997-2000........................................................................................ 61 5.2. Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2001-2005.................................................................... ...................
62
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
PDRB Sulawesi Tenggara 1997-2005 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 1993 (dalam milyar rupiah).......................... 72
2.
PDB 1997-2005 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 1993 (dalam milyar rupiah).......................... 73
3.
Rasio PDRB Provinsi Sulawesi tenggara dan PDB Nasional 1997-2005 Berdasarkan harga konstan 1993 (Ra, Ri, dan ri)........................................ 74
. 4.
Contoh Perhitungan Rasio PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara dan PDB (Ra, Ri, dan ri).............................................................................................. 76
5.
Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) dan Perhitungannya..................
78
6.
Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Perhitungannya............
79
7.
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) dan Perhitungannya...
80
8.
Komponen Pergeseran Bersih (PB) dan Perhitungannya..........................
81
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat maju atau tidaknya perekonomian di suatu wilayah dalam suatu negara. Untuk melihat tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara ditentukan oleh PDB, dan untuk skala daerah ditentukan oleh PDRB, atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. Setiap negara akan menargetkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di setiap daerahnya, karena hal itu berarti menggambarkan kemakmuran di daerah tersebut (Tarigan, 2005). Berdasarkan hal tersebut maka negara akan terus berupaya memacu laju pertumbuhan ekonomi di setiap daerahnya dengan berbagai kebijakan pembangunan wilayah sebagai upaya mencapai kondisi kemakmuran untuk kepentingan warga negaranya. Provinsi
Sulawesi
Tenggara
merupakan
provinsi
yang
memiliki
sumberdaya alam yang melimpah mulai dari pertanian dalam arti luas, pertambangan hingga potensi energi. Namun potensi tersebut belum dapat mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tenggara. Hal ini terbukti hingga tahun 2005, terdapat 8 kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk kategori daerah tertinggal (http://www.penataanruang.net). Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan adalah karena sistem pemerintahan yang tersentralisasi pada masa orde baru ternyata lebih memusatkan pembangunan di daerah yang dekat dengan pemerintahan pusat saja, sedangkan daerah di luar jawa terutama
yang berada di
Kawasan Timur Indonesia (KTI) tidak mendapatkan porsi
pembangunan yang seimbang. Perekonomian Indonesia pun tidak mempunyai fondasi yang kokoh. Perkembangan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru secara fisik terlihat cukup berhasil, namun ternyata rapuh secara fundamental. Pada masa orde baru perkembangan ekonomi Indonesia mencapai rata-rata 7 persen per tahun. Hasil tersebut memang merupakan prestasi yang baik, akan tetapi ternyata tidak mampu bertahan terhadap krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1997. Tabel 1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Indonesia, Tahun 1994-1998 Berdasarkan Harga Konstan 1993 (Persen) No
Sektor
1.
Pertanian
1994 0,56
1995 4,38
1996 3,14
1997 1,00
1998 -1,33
2.
Pertambangan dan Galian
5,60
6,74
6,30
2,12
-2,76
3.
Industri Pengolahan
12,36
10,88
11,59
5,25
-11,44
4.
Listrik, Gas, dan Air Bersih
12,54
15,91
13,63
12,36
3,03
5.
Bangunan dan Konstruksi
14,86
12,92
12,76
7,36
-36,44
6.
Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi
7,61
7,94
8,16
5,83
-18,22
8,34
8,50
8,68
7,01
-15,12
10,17
11,04
6,04
5,93
-26,63
7. 8. 9.
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa lainnya Laju Rata-Rata
2,77
3,27
3,40
3,62
-3,85
7,54
8,22
7,82
4,70
-13,13
Sumber : BPS, 1993-1998 (Data diolah)
Pertumbuhan perekonomian Indonesia dari tahun 1994-1996 rata-rata sekitar 7 persen per tahun. Mulai tahun 1997 laju pertumbuhannya menurun hingga 4,70 persen dan pada tahun 1998 laju pertumbuhan menurun drastis hingga -13,13 persen (Tabel 1.1). Dari data diatas terbukti bahwa fondasi perekonomian Indonesia di masa orde baru lemah dalam menghadapi krisis moneter pada akhir tahun 1997, sehingga mengganggu kestabilan pertumbuhan perekonomian
Indonesia. Perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara juga mengalami dampak yang sama terhadap krisis moneter. Pada tahun 1997, perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara tumbuh sebesar 5,32 persen, kemudian langsung melemah menjadi -5,78 persen pada tahun 1998. Implementasi berbagai kebijakan pembangunan yang dirancang oleh sistem pemerintahan yang sentralisastik, dengan kebijakannya yang bersifat “top down” ternyata banyak yang tidak dapat direalisasikan di berbagai wilayah. Hal tersebut terjadi karena terdapat beberapa strategi pembangunan yang tidak relevan atau sulit diterapkan di berbagai daerah tertentu, sehingga turut menyebabkan rendahnya pembangunan di berbagai daerah. Kemudian upaya pemerintah dalam menyikapi masalah ini adalah dengan segera memberlakukan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, yaitu otonomi daerah pada tahun 2001 dengan disahkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Salah satu konsekuensi otonomi daerah adalah teralihnya kewenangan pengelolaan sebagian besar sumber daya yang selama ini dikelola secara terpusat kepada daerah. Provinsi Sulawesi Tenggara yang memiliki banyak potensi dan sumber daya alam yang tersebar di berbagai daerahnya menjadi memiliki peluang besar dalam hal pengembangan perekonomian daerahnya. Dengan sistem desentralisasi inilah pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat mengoptimalkan upaya dalam menggali dan mengembangkan perekonomian daerahnya untuk kesejahteraan masyarakat, yang pada akhirnya akan membuat pertumbuhan perekonomian daerah meningkat.
Keefektifan pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam menggunakan otonomi daerah untuk meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang selama ini kurang optimal pemberdayaannya, menarik untuk diteliti. Oleh karena itu penelitian ini akan menganalisis pengaruh otonomi daerah dalam pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan menggunakan analisis shift share.
1.2. Perumusan Masalah Sistem pemerintahan yang sentralistik pada masa orde baru tidak bisa mencapai
hasil
pembangunan
yang
memuaskan.
Banyaknya
strategi
pembangunan wilayah hasil perencanaan dan rancangan dari pemerintah pusat yang tidak dapat diimplementasikan di daerah, adanya penyimpangan implementasi sistem pemerintahan yang sentralistik, dan budaya KKN di tubuh struktur organisasi pemerintahan pada masa orde baru menyebabkan kesenjangan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Banyaknya jumlah daerah tertinggal di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah salah satu contoh dari permasalahan ini. Rendahnya pembangunan di suatu wilayah akan berdampak kepada rendahnya produktivitas berbagai kegiatan perekonomian di wilayah tersebut dan akan menyebabkan pertumbuhan perekonomiannya tidak optimal. Seiring dengan tuntutan reformasi, pemerintah pada akhirnya mulai menggagas dan menerapkan sistem otonomi daerah dengan otonomi yang luas untuk memecahkan masalah ini. Kondisi perekonomian Indonesia semakin diperburuk dengan adanya krisis moneter pada tahun 1997-1998. Laju pertumbuhan perekomian nasional pun
menurun drastis. Keadaan ini membuat pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai tugas berat dalam membangkitkan perekonomian daerahnya. Hal itu karena selain harus memperbaiki kinerja perekonomian daerah yang terkena dampak dari krisis ekonomi, pemerintah daerah juga masih harus beradaptasi dengan sistem ekonomi terdesentralisasi yang baru diterapkan. Tabel 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Indonesia, Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah Berdasarkan Harga Konstan 1993 (Persen) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sektor Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa lainnya Laju Rata-Rata
No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sektor
Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa lainnya Laju Rata-Rata
1997 1,00 2,12 5,25 12,36 7,36 5,83 7,01 5,93 3,62 4,70
1998 -1,33 -2,76 -11,44 3,03 -36,44 -18,22 -15,12 -26,63 -3,85 -13,13
1999 2,16 -1,62 3,92 8,27 -1,91 -0,06 -0,75 -7,19 1,94 0,79
2000 1,88 5,51 5,98 7,56 5,64 5,67 8,59 4,59 2,33 4,92
2001
2002
2003
2004
2005
1,68 1,30 3,13 8,17 4,42 3,66 7,80 5,40 3,14 3,45
3,62 2,72 4,26 6,41 5,48 3,81 8,03 5,73 2,13 4,23
4,18 0,71 4,41 5,23 6,67 3,74 10,69 6,28 3,44 4,61
4,04 -4,61 5,32 5,58 8,17 5,52 11,76 6,14 3,68 4,86
2,66 3,11 4,57 6,30 7,42 8,38 12,97 6,79 5,05 5,91
Sumber : BPS, 1997-2005 (Data diolah)
Laju pertumbuhan ekonomi nasional sempat menurun drastis sebelum otonomi daerah (Tabel 1.2). Menurunnya laju pertumbuhan perekonomian nasional pada kurun waktu 1997-2000 bisa dimaklumi karena perekonomian nasional memang menghadapi krisis moneter. Sesudah penerapan otonomi daerah
kondisi laju pertumbuhan perekonomian nasional mulai pulih dari krisis. Pada kurun waktu tahun 2001-2005 laju pertumbuhan ekonomi nasional meningkat setiap tahunnya (Tabel 1.2). Kondisi perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara juga tidak jauh berbeda dengan kondisi perekonomian nasional. Tabel 1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Provinsi Sulawesi Tenggara, Sebelum dan sesudah Penerapan Otonomi Daerah Berdasarkan Harga Konstan 1993 (Persen) No
Sektor
1997
1998
1999
2000
1.
Pertanian
6,91
0,90
0,91
0,45
2.
Pertambangan dan Galian
-9,52
-6,98
3,41
7,17
3.
Industri Pengolahan
8,80
-9,15
2,67
5,97
4.
Listrik, Gas, dan Air Bersih
26,94
11,91
11,69
16,81
5. 6.
Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran
1,12
-35,44
1,32
9,87
13,84
0,37
1,90
9,59
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
8,98
9,31
8,33
13,69
8.
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
-0,70
-20,26
3,66
6,23
9.
Jasa lainnya
0,79
-3,55
2,49
2,36
5,32
-5,78
2,55
5,27
Laju Rata-Rata No
Sektor
2001
2002
2003
2004
2005
1.
Pertanian
3,80
7,25
5,17
7,84
6,91
2.
Pertambangan dan Galian
-0,21
18,89
34,90
0,65
8,04
3.
Industri Pengolahan
-0,81
-2,05
4,38
1,69
1,34
4.
Listrik, Gas, dan Air Bersih
11,72
7,70
10,18
24,23
-5,13
5. 6.
Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran
8,99
6,06
4,30
6,92
0,31
9,69
6,71
4,03
9,03
-0,05
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
12,05
8,71
10,37
13,57
-3,67
8.
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
6,31
9,97
22,09
18,25
-8,00
9.
Jasa lainnya
3,28
4,20
4,07
4,53
1,55
5,63
6,49
7,19
8,21
1,71
Laju Rata-Rata
Sumber : BPS, 1997-2005 (Data diolah)
Laju pertumbuhan perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum penerapan otonomi daerah juga mengalami penurunan (Tabel 1.3). Krisis ekonomi nasional juga berdampak kepada pertumbuhan ekonomi daerah termasuk di
Provinsi Sulawesi Tenggara. Laju pertumbuhan negatif terjadi pada tahun 1998 dengan angka laju pertumbuhan sebesar -5,78 persen. Sesudah penerapan otonomi daerah, pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara mulai terjadi peningkatan. Hanya saja pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Tenggara turun drastis dari angka pertumbuhan 8,21 persen pada tahun 2004 menjadi 1,71 persen pada tahun 2005. Implementasi otonomi daerah berarti juga membawa konsekuensi perubahan pola alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi, khususnya barang-barang publik. Jika pada sistem sentralistis, alokasi dan distribusi barangbarang publik didominasi oleh pemerintah pusat, maka dengan adanya desentralisasi atau otonomi, fungsi alokasi dan distribusi tersebut banyak beralih kepada daerah. Ini berarti nasib kesejahteraan masyarakat sejak adanya otonomi menjadi lebih banyak bergantung kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara diharapkan mampu berbuat banyak dalam program pembangunan daerahnya di era otonomi daerah. Pengentasan daerah tertinggal, percepatan pembangunan perekonomian, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah diharapkan mampu lebih baik dibandingkan era orde baru. Kinerja pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam pertumbuhan sektor-sektor perekonomian sesudah otonomi daerah menarik untuk diteliti. Apakah pertumbuhan ekonomi wilayahnya menjadi lebih baik sehingga tujuan dari diterapkannya otonomi daerah ini tercapai atau jika ternyata pertumbuhan ekonomi wilayahnya tidak lebih baik atau menjadi
lebih buruk maka pemerintah daerah harus segera mengevaluasi dan memperbaiki kinerjanya. Berdasarkan
uraian
di
atas,
penelitian
ini
membahas
tentang
permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah. 2. Bagaimana pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah. 3. Bagaimana keunggulan komparatif sektor-sektor ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah. 4. Bagaimana profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor perekonomian sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini, yaitu: 1. Menganalisis perbedaan pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah. 2. Menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah. 3. Menganalisis sektor-sektor ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara yang menjadi keunggulan komparatif sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah.
4. Mengidentifikasi profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektorsektor ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk: 1. Mengetahui pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah. 2. Bahan
pertimbangan
untuk
perencanaan
dan
penentuan
kebijakan
pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara di era otonomi daerah. 3. Informasi bagi investor dan pihak-pihak lain yang berminat menanamkan modalnya pada sektor-sektor perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara. 4. Menjadi bahan masukan dan informasi bagi penelitian-penelitian lain yang ingin meneliti keadaan perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Otonomi Daerah Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan pelaksanaan asas desentralisasi tersebut maka dibentuklah daerah otonom yang terbagi atas daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang bersifat otonom sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999. Menurut pasal 1 ayat (1) dalam Undang-Undang tersebut dirumuskan bahwa: “Daerah Otonom”, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut UU No. 22 Tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah tersebut menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat (Saragih, 2003). Konsep tentang otonomi daerah sebenarnya sudah ada sejak tahun 1945, kemudian terus mengalami pembahasan hingga tahun 2004. Pada Tabel 2.1, dapat dilihat sejarah dan perkembangan tentang konsep pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang. Dari perkembangannya, sudah terdapat dua belas undang-undang yang menjelaskan dan mengatur tentang pemerintah daerah.
Tabel 2.1. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintah Daerah Sejak Tahun 1945-2004 Tahun Undang-Undang Subjek 1945 UU No. 1 Pemerintah Daerah 1948 UU No. 22 Pemerintah Daerah 1950 UU No. 44 Pemerintah Daerah 1956 UU No. 32 Hub. Keuangan Pusat dan Daerah 1957 UU No. 1 Pemerintah Daerah 1959 UU No. 6 Pemerintah Daerah 1960 UU No. 5 Pemerintah Daerah 1965 UU No. 18 Pemerintah Daerah 1974 UU No. 5 Pemerintah Daerah 1999 UU No. 22 Pemerintah Daerah 1999 UU No. 25 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah 2004 UU No. 32 Pemerintah Daerah Sumber : Saragih (2003) dan Aser (2005)
Perkembangan konsep tentang pemerintahan daerah dimulai sejak era orde lama, yaitu pada tahun 1945. Kebijakan otonomi daerah tahun 1945 ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi, kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. Kemudian kebijakan otonomi daerah di UU No 22 Tahun 1948 lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat. Pada tahun 1965, kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal orde baru,
maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional. Pada tahun 1999 terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Kemudian yang paling akhir pemeintah mengeluarkan undang-undang lagi tentang otonomi daerah pada tahun 2004. Otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, otonomi daerah pada hakekatnya adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom, artinya
penetapan
kebijakan
sendiri,
serta
pembiayaan
sendiri
dan
pertanggungjawaban daerah sendiri (Aser, 2005). Pada masa sebelum otonomi daerah, semua wewenang pemerintahan dipegang oleh pemerintah pusat, daerah hanya sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Adanya otonomi daerah membuat wewenang pemerintah daerah semakin besar. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, kewenangan daerah mencakup dalam bidang pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi
negara,
lembaga
perekonomian
negara,
pembinaan
dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam, dan teknologi yang strategis, serta konversi dan standarisasi nasional (Saragih, 2003).
2.2. Konsep Wilayah Wilayah diartikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal (Budiharsono, 2001). Menurut Hanafiah (1987), batas-batas wilayah didasarkan atas beberapa kriteria, yaitu: 1. Konsep Homogenitas Menurut konsep ini wilayah dapat dibatasi berdasarkan persamaan unsur tertentu, seperti persamaan dalam unsur ekonomi, dan keadaan sosial politik. Apabila terjadi perubahan dalam satu wilayah akan berpengaruh terhadap wilayah lainnya. 2. Konsep Nodalitas Konsep ini menekankan pada perbedaan struktur tata ruang di dalam wilayah, dimana hubungan saling ketergantungan yang bersifat fungsional menjadi dasar dalam penentuan batas wilayah. Hubungan saling ketergantungan dapat dilihat dari hubungan antara pusat (inti) dengan daerah belakang (hinterland). Batas wilayah nodal dapat dilihat dari pengaruh suatu inti kegiatan ekonomi lainnya. Pada wilayah nodal perdagangan secara intern mutlak dilakukan. Daerah hinterland akan menjual bahan baku dan tenaga kerja pada daerah inti untuk proses produksi. Contoh wilayah nodal yaitu DKI Jakarta
dengan Botabek (Bogor, Tangerang, Bekasi), Jakarta merupakan daerah inti sedangkan Botabek sebagai daerah hinterland. 3. Konsep Administrasi atau Unit Program Batas-batas wilayah didasarkan atas perlakuan kebijakan yang seragam, seperti sistem ekonomi, tingkat pajak yang sama, dan sebagainya. Penetapan wilayah berdasarkan satuan administrasi, yang menyebutkan bahwa negara terbagi atas beberapa provinsi, provinsi terbagi atas beberapa kabupaten atau kota, kabupaten terbagi atas beberapa kecamatan, dan kecamatan terbagi atas beberapa desa dalam tata ruang ekonominya. Klasifikasi wilayah dapat dibedakan atas dasar wilayah formal, fungsional, dan perencanaan (Hanafiah, 1987). Wilayah formal adalah wilayah yang mempunyai beberapa persamaan dalam beberapa kriteria tertentu. Wilayah fungsional adalah wilayah yang memperlihatkan adanya suatu hubungan fungsional yang saling tergantung pada kriteria tertentu, kadang-kadang wilayah fungsional diartikan juga sebagai wilayah nodal atau wilayah popularitas yang secara fungsional saling tergantung. Perpaduan antara wilayah formal dan wilayah fungsional menciptakan wilayah perencanaan. Boudeville dalam Budiharsono (2001), mengemukakan bahwa wilayah perencanaan adalah wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan-kesatuan
keputusan
ekonomi.
Wilayah
perencanaan
dirancang
sedemikian rupa berdasarkan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut sehingga dapat meningkatkan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di wilayah tersebut.
Pertumbuhan suatu wilayah seringkali tidak seimbang dengan wilayah lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: perbedaan karakteristik, sumber daya manusia, potensi lokal, aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan serta aspek potensi pasar (Gunawan, 2000). Berdasarkan perbedaan tersebut, wilayah dapat diklasifikasikan menjadi empat wilayah, yaitu: a. Wilayah maju Wilayah maju merupakan wilayah yang telah berkembang dan diidentifikasikan sebagai wilayah pusat pertumbuhan, pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, pasar potensial, tingkat pendapatan yang tinggi, dan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Perkembangan wilayah maju didukung oleh potensi sumber daya wilayah yang ada di wilayah tersebut maupun wilayah belakangnya (hinterland) dan potensi lokal yang strategis. Sarana pendidikan yang lengkap serta pembangunan infrastruktur yang memadai, akan mengakibatkan adanya aksesibilitas yang tinggi terhadap pasar domestik maupun internasional. b. Wilayah sedang berkembang Karakteristik wilayah ini ditandai dengan adanya laju pertumbuhan penduduk yang cepat sebagai implikasi dari peranan wilayah ini sebagai penyangga input maju. Selain itu, wilayah ini mempunyai tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, didukung dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, keseimbangan antara sektor pertanian dan sektor industri serta mulai berkembangnya sektor jasa.
c. Wilayah belum berkembang Potensi sumber daya alam yang terdapat di wilayah ini keberadaannya masih belum dapat dikelola dan dimanfaatkan. Tingkat pertumbuhan dan kepadatan penduduk masih rendah, aksesibilitas yang rendah terhadap wilayah lain, dan struktur ekonomi wilayah didominasi oleh sektor primer, sementara itu sektor industri dan sektor jasa masih sangat sedikit. Ciri lain dari wilayah ini adalah masih belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri. d. Wilayah tidak berkembang Karakteristik wilayah ini diidentifikasikan dengan sedikitnya sumber daya alam, sehingga secara alamiah sangat sulit untuk berkembang. Selain itu, tingkat kepadatan penduduk yang rendah, kualitas sumber daya manusia yang rendah, tingkat pendapatan penduduk yang masih tergolong rendah, serta pembangunan infrastruktur yang tidak lengkap, mengakibatkan aksesibilitas terhadap daerah lain sangat rendah. Berbagai keadaan itu membuat wilayah dengan karakteristik ini sulit berkembang.
2.3. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan
ekonomi
wilayah
adalah
pertambahan
pendapatan
masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut (Tarigan, 2005). Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dengan menggunakan harga konstan tahun tertentu. Hal itu juga menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di wilayah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi), yang berarti secara umum dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut.
Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut juga ditentukan oleh seberapa besar transfer-payment atau bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah yang terjadi di wilayah tersebut. Menurut Kuznets dalam Jhingan (2004), pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Definisi ini mempunyai tiga komponen, pertama, pertumbuhan ekonomi suatu negara terlihat dari meningkatnya secara terusmenerus suatu persediaan barang. Persediaan ini juga mengidentifikasi pertumbuhan suatu wilayah di suatu negara. Jika wilayah tersebut dapat meningkatkan persedian barangnya secara terus-menerus maka wilayah tersebut dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi. Kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyedian aneka macam barang kepada penduduk. Komponen kedua ini juga dapat dijadikan sebagai acuan apakah suatu wilayah disuatu negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. Jika wilayah tersebut dapat mengadopsi atau menemukan teknologi baru yang dapat meningkatkan produksi tanpa menambah input maka persediaan barang disuatu wilayah tersebut bertambah, ini berarti wilayah tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. Ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan
adanya penyesuaian dibidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.
2.4. Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999). Perencanaan ekonomi daerah adalah suatu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan usaha-usaha baru. Pembangunan tentu memerlukan beberapa syarat agar dapat berjalan dengan baik. Syarat utama bagi pembangunan adalah proses pertumbuhannya harus bertumpu pada kemampuan perekonomian di dalam negeri. Hasrat untuk memperbaiki nasib dan prakarsa untuk menciptakan kemajuan material harus muncul dari warga masyarakatnya sendiri dan tidak dapat dipengaruhi atau diintimidasi oleh daerah luar (Jhingan, 2004). Jika syarat tersebut sudah dipenuhi maka proses pembangunan akan melaju dengan baik, dan beberapa syarat pembangunan yang lain akan mudah untuk dipenuhi. Pada akhirnya pembangunan akan berhasil memajukan daerah tersebut baik dalam bidang ekonomi maupun non ekonomi.
2.5. Penelitian-Penelitian Terdahulu Putra (2004) dalam penelitiannya tentang pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi menyimpulkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah, seluruh sektor ekonomi Kota Jambi pertumbuhannya meningkat. Setelah otonomi daerah diberlakukan, seluruh sektor ekonomi di Kota Jambi justru mengalami pertumbuhan yang lambat. Hanya saja pertumbuhan yang lambat ini belum tentu karena pengaruh diterapkannya otonomi daerah, karena kurun waktu yang diteliti hanya dua tahun saja yaitu tahun 2000-2002. Dari hasil penelitian juga menunjukkan sektor pertumbuhan yang paling cepat pada masa otonomi daerah adalah sektor industri pengolahan, sedangkan yang paling lambat adalah sektor jasa lainnya. Sementara sektor yang mempunyai keunggulan komparasi pada masa otonomi daerah adalah sektor pertambangan. Wahyuni (2006) dalam penelitiannya tentang analisis pertumbuhan sektorsektor perekonomian Kota Tangerang pada masa otonomi daerah menjelaskan pertumbuhan sektor paling tinggi adalah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan pertumbuhan sebesar 2073,91 persen. Pertumbuhan yang sangat tinggi tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan kegiatan pemukiman baru dan perindustrian di daerah Tangerang. Sektor yang pertumbuhannya paling rendah adalah sektor pertanian dengan pertumbuhan sebesar 12,86 persen. Dijelaskan rendahnya pertumbuhan sektor pertanian di Tangerang dikarenakan semakin sedikitnya lahan untuk pertanian di Tangerang.
Pertumbuhan
yang
paling
progresif
dicapai
oleh
enam
sektor
perekonomian yaitu sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, sektor angkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas, dan air minum, sektor bangunan dan konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor jasa lainnya. Ramadhani (2007) dalam penelitiannya tentang pengaruh otonomi daerah terhadap
pertumbuhan
perekonomian
wilayah
di
Kabupaten
Sukabumi
mendapatkan hasil-hasil diantaranya bahwa setelah diterapkannya otonomi daerah Laju Pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian Kabupaten Sukabumi pada masa otonomi daerah tahun 2001-2004 mengalami peningkatan lebih besar daripada tingkat pertumbuhan PDRB sebelum otonomi daerah pada kurun waktu 1997-2000. Sektor bangunan dan konstruksi merupakan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan terbesar pada masa otonomi daerah yaitu sebesar 143,92 persen, disamping itu sektor ini adalah sektor yang mempunyai keunggulan komparatif yang baik. Sedangkan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan terkecil adalah sektor pertambangan dan galian sebesar 8,22 persen. Pada masa otonomi daerah, sektor dengan laju pertumbuhan tercepat adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 201,78 persen. Sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling lambat adalah sektor pertambangan dan galian sebesar -40,62 persen. Sektor bangunan dan konstruksi adalah sektor yang memiliki keunggulan komparasi paling baik sebesar 115,54 persen, sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor dengan keunggulan komparasi paling rendah dengan nilai persentase PPW sebesar -218,62 persen.
2.6. Kerangka Teoritis 2.6.1. Analisis Shift Share Analisis shift share merupakan teknik analisis mengenai perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja. Teknik ini melihat perkembangan produksi ataupun kesempatan kerja di suatu wilayah di antara dua titik waktu. Berdasarkan analisis shift share dapat diketahui perkembangan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah, baik terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas maupun terhadap sektor ekonomi lainnya, beserta penyimpangan yang terjadi pada satu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya (Budiharsono, 2001). Salah satu tujuan analisis shift share adalah untuk menentukan produktifitas kerja perekonomian daerah yang lebih besar (regional atau nasional). Pertumbuhan sektor perekonomian di suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa komponen yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP), dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). 1. Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) Komponen PN menjelaskan perubahan produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional, atau perubahan di tingkat nasional dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian suatu wilayah atau sektor. Bila diasumsikan tidak ada perubahan karakteristik antar sektor dan antar wilayah, maka adanya perubahan di tingkat nasional akan membawa dampak yang sama pada semua
sektor dan wilayah. Akan tetapi faktanya tidak selalu terjadi demikian karena beberapa sektor dan wilayah tumbuh lebih cepat daripada sektor dan wilayah lainnya. 2. Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) Komponen PP menjelaskan mengenai perubahan kenaikan PDRB sektor suatu wilayah dengan kenaikan PDB Sektor perekonomian. Komponen PP terjadi karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. 3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Komponen
PPW
adalah
komponen
yang
menjelaskan
tentang
pertumbuhan suatu sektor perekonomian di suatu wilayah sehingga dapat ditentukan keunggulan komparatifnya. Komponen PPW
terjadi karena
peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana social dan ekonomi serta kebijakan regional pada wilayah tersebut.
2.6.2. Kelebihan Analisis Shift Share Menurut Soepono (1993), kelebihan-kelebihan analisis shift share adalah : 1. Analisis shift share dapat melihat perkembangan kegiatan produksi dan kesempatan kerja suatu wilayah hanya dengan menggunakan dua titik waktu, dimana satu titik waktu dijadikan sebagai tahun dasar analisis, dan titik waktu lainnya dijadikan sebagai tahun akhir analisis.
2. Perubahan PDRB di suatu wilayah antara tahun dasar analisis dapat dilihat melalui tiga komponen pertumbuhan wilayah yaitu PN, PP, PPW. 3. Komponen PP dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah. Hal ini berarti bahwa suatu wilayah dapat mengadakan spesialisasi di sektor-sektor yang berkembang secara nasional dan bahkan sektor-sektor dari perekonomian wilayah telah berkembang lebih cepat daripada rata-rata nasional untuk sektor-sektor tersebut. 4. Komponen PPW dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi suatu wilayah yang mana saja yang memiliki keunggulan komparatif. 5. Jika persentase PP dan PPW dijumlahkan, maka dapat ditunjukkan adanya pergeseran (shift) hasil pembangunan perekonomian daerah. Oleh karena itu dapat diidentifikasi karakteristiknya dan dapat ditentukan juga profil dari setiap sektor perekonomian.
2.6.3. Kelemahan Analisis Shift Share Menurut Soepono (1993), kelemahan shift share adalah: 1.
Analisis shift share tidak lebih dari pada suatu teknik pengukuran atau prosedur baku untuk mengurangi pertumbuhan suatu variabel wilayah yang menjadi komponen-komponen. Metode ini tidak dapat menjelaskan mengapa suatu perubahan dapat terjadi. Metode ini lebih kepada perhitungan semata dan tidak analitik.
2.
Komponen PN secara implisit mengemukakan bahwa laju pertumbuhan suatu wilayah hendaknya tumbuh pada laju nasional tanpa memperhatikan sebab laju pertumbuhan wilayah.
3.
Kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) berkaitan dengan halhal yang sama seperti perubahan permintaan dan penawaran, perubahan teknologi, perubahan lokasi, sehingga tidak dapat berkembang dengan baik.
4.
Analisis shift share secara implisit mengambil asumsi bahwa semua barang dijual secara nasional, padahal tidak semua demikian.
2.6.4. Teori Pertumbuhan Ekonomi Rostow Menurut W.W. Rostow dalam Irawan dan Suparmoko (1992), Sejarah Pertumbuhan Ekonomi di suatu negara itu akan melalui beberapa tingkat perkembangan yaitu : 1. Masyarakat Tradisional Fase ini ditandai dengan adanya fungsi produksi yang terbatas. Namun dalam kenyataan yang sebenarnya tidak selalu demikian karena perubahanperubahan selalu ada. Contoh dari hal tersebut dapat dilihat dari adanya perubahan dalam perdagangan dan tingkat produksi pertanian. Demikian pula perubahan terjadi dalam hasil industri (pabrik), jumlah penduduk dan pendapatan riil. Masyarakat di fase ini tidak kekurangan akan penemuan dan inovasi, tetapi belum ada pengertian sistematis dari masyarakat tentang alam sekitarnya yang dapat mendorong perkembangan lebih lanjut. Pengertian terhadap perkembangan masa depan masih kurang, dan lebih berorientasi kepada masa sekarang.
Tingkat produksi yang dapat dicapai masih terbatas, karena ilmu pengetahuan dan teknologi modern belum ada atau belum dapat digunakan secara sistematis sehingga dengan terbatasnya produktivitas, maka sebagian besar sumber tenaga kerja berada di sektor pertanian. Hubungan keluarga masih erat dan berpengaruh besar dalam organisasi-organisasi sosial. Kekuasaan dipegang oleh mereka yang mempunyai tanah yang luas. 2. Masyarakat Prasyarat Untuk Lepas Landas (Precondition for Take-Off) Fase ini diperlukan agar perkembangan ekonomi dapat lepas landas (takeoff). Proses seluruhnya ditandai dengan adanya perluasan pasar dan koloni, namun faktor-faktor non ekonomi juga tidak dapat diabaikan peranannya dalam perkembangannya tersebut. Terdapat dua keadaan yang saling mempengaruhi satu sama lain yaitu : (1) Pertumbuhan perlahan-lahan (evolusi) dalam ilmu pengetahuan mdern, (2) banyaknya inovasi yang dilakukan bersama-sama dengan penemuan daerah-daerah baru dalam sektor yang cukup penting. Perluasan pasar untuk memajukan perdagangan dan juga menaikkan spesialisasi produksi. Selain itu ditandai juga dengan daerah lainnya dan adanya perluasan lembaga-lembaga keuangan. Masyarakat pada fase ini ditandai dengan tiga perubahan radikal. Pertama, adanya pembangunan fasilitas prasarana umum terutama di bidang transportasi. Kedua, revolusi teknik di bidang pertanian yang ditandai dengan kenaikan produksi menggunakan teknik baru serta banyaknya urbanisasi. Ketiga, komoditi sumber-sumber alam yang ada.
Tiga fase diatas menjadi syarat utama bagi fase ini. Jika pemerintah belum menaruh perhatian kepada tiga sektor perkembangan tersebut, yaitu fasilitas umum, pertanian dan perdagangan, maka fase lepas landas akan tertunda dan sulit untuk beranjak kepada tingkatan fase pertumbuhan dan perkembangan perekonomian yang lebih tinggi yaitu fase masyarakat lepas landas 3. Masyarakat Lepas Landas (Take Off) Fase ini ditandai dengan penerapan teknik-teknik baru dalam industri sudah berjalan dengan sendirinya. Untuk masuk fase ini selain prasarana umum, pertanian dan perdagangan harus ditambahkan dengan adanya golongan wiraswasta dan teknik-teknik baru serta sumber-sumber kapital yang teratur. Fase ini
biasanya
menandakan
kemenangan-kemenangan
sosial,
politik
dan
kebudayaan. Perkembangan ini selanjutnya mendorong masyarakat untuk memusatkan pada usaha-usaha teknik modern di luar sektor-sektor yang telah dimodernisasi selama fase lepas landas. 4. Masyarakat Menuju Kematangan (Drive to Maturity) Periode ketika masyarakat mulai secara efektif menerapkan teknologi modern terhadap sumber-sumber ekonomi. Perluasan industrialisasi bukan lagi merupakan tujuan pokok dikarenakan berlaku hukum the law of diminishing marginal utility. Sektor-sektor penting bukan hanya ditentukan oleh adanya tekologi tetapi juga kualitas persediaan sumber-sumber ekonomi. Bila suatu masyarakat berkembang ke kematangan teknologi maka struktur dan kualitas tenaga kerja berubah terutama pada perbandingan jumlah antara yang bekerja di sektor pertanian dan non pertanian.
5. Masyarakat Konsumsi yang Berlebihan (High Mass Consumption) Cara-cara yang digunakan dalam fase ini adalah (1) menyediakan atau menawarkan jaminan yang lebih baik, kemakmuran dan leisure kepada angkatan kerja dan disesuaikan dengan ukuran masyarakat setempat, (2) menyediakan konsumsi bagi setiap individu dalam porsi yang lebih banyak, dan (3) mencari perluasan pengaruh bagi negara yang bersangkutan di mata dunia.
2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ini membahas mengenai perbandingan pertumbuhan sektorsektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara pada dua periode waktu. Dua periode waktu tersebut adalah masa sebelum penerapan otonomi daerah pada kurun waktu 1997-2000, dan setelah penerapan otonomi daerah pada kurun waktu 2001-2005. Sistem otonomi daerah yang diberlakukan mulai tahun 2001 diharapkan dapat membuat pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara mampu mengoptimalkan pembangunan di wilayahnya serta dapat meningkatkan pertumbuhan di setiap sektor-sektor perekonomian. Oleh karena itu perlu penelitian mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah agar diketahui
bagaimana
pengaruh
diterapkannya
otonomi
daerah
terhadap
pertumbuhan perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara. Alat analisis yang digunakan untuk meneliti dalam penelitian ini adalah analisis tingkat pertumbuhan PDRB dan analisis shift share. Dengan alat analisis tingkat pertumbuhan PDRB maka dapat diketahui perbandingan perekonomian
Sulawesi Tenggara dengan perekonomian nasional. Dan dengan alat analisis shift share dapat diketahui tingkat laju pertumbuhan masing-masing sektor perekonomian, keunggulan komparatif, nilai pergeseran bersih serta profil pertumbuhan masing-masing sektor perekonomian sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah. Setelah mendapatkan hasil perbandingan tersebut maka dapat ditentukan berbagai implikasi kebijakan yang sesuai dengan kondisi perekonomian pada masa otonomi daerah dan berbagai rekomendasi serta saran yang bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kondisi Perekonomian Sulawesi Tenggara
Sesudah Otonomi Daerah (2001-2005)
Sebelum Otonomi daerah (1997-2000)
Analisis Perubahan PDRB
Sektor-Sektor Perekonomian
Laju pertumbuhan PDRB dan PDB
Analisis Shift Share
Pertumbuhan sektor perekonomian, keunggulan komparatif Profil & pertumbuhan perekonomian Implikasi Kebijakan
Saran & Rekomendasi Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder
berupa PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara dan PDB atas dasar harga konstan 1993 antara periode tahun 1997-2005, serta data-data lainnya yang masih terkait dengan penelitian ini. Data diperoleh dari BPS Jakarta. Referensi studi kepustakaan seperti jurnal, artikel, bahan-bahan lain didapatkan dari Perpustakaan LSI IPB, dan internet yang relevan dengan penelitian ini.
3.2
Metode Analisis Data
3.2.1. Analisis Tingkat Pertumbuhan PDRB Berdasarkan Budiharsono (2001), untuk menganalisis pertumbuhan PDRB, perhitungannya dengan menggunakan metode Analisis shift share yaitu: bila dalam suatu negara terdapat m daerah/wilayah (i=1,2,3…m) dan n sektor (j=1,2,3...n) maka perubahan tersebut dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut: 1. Perubahan PDRB dirumuskan sebagai berikut: ∆Yij = Y’ij-Yij Dimana : ∆Yij
= perubahan PDRB sektor i di wilayah j
Y’ij
= PDRB dari sektor i di wilayah j pada tahun akhir analisis
Yij
= PDRB dari sektor i di wilayah j pada tahun awal analisis
2. Rumus persentase perubahan PDRB yaitu : %∆Yij = (
Y'ij-Yij ) x100% Yij
3.2.2. Analisis Rasio PDRB dan Rasio PDB 1. Menghitung Rasio PDRB, yang terbagi dalam dua rasio •
ri =
Y'ij-Yij Yij
Dimana : ri
= rasio PDRB sektor i pada wilayah j
Y’ij
= PDRB pada sektor i pada wilayah j pada tahun akhir analisis
Yij
= PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun awal analisis
•
Ri =
Y'i. - Yi. Yi.
Dimana : Ri.
= Rasio PDB dari sektor i
Y’i.
= PDB dari sektor i pada tahun akhir analisis
Yi.
= PDB dari sektor i pada tahun awal analisis
2. Menghitung rasio PDB
•
Ra =
Y'i.. - Y.. Y..
Dimana : Ra
= rasio PDB
Y’i..
= PDB pada tahun akhir analisis
Y..
= PDB pada tahun awal analisis
3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Analisis
komponen
pertumbuhan
wilayah
digunakan
untuk
mengidentifikasi perubahan produksi suatu wilayah dalam dua titik waktu tertentu. Untuk perhitungan ditentukan terlebih dahulu tahun awal dan tahun akhir analisis. Komponen pertumbuhan wilayah terdiri dari Komponen Nasional (PN), Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW). Adapun rumus-rumus dari komponen pertumbuhan wilayah tersebut adalah sebagai berikut : 1. Komponen Pertumbuhan Nasional PNij=(Ra) yij. dimana: PNij
= Komponen pertumbuhan nasional
yij
= PDRB Sulawesi Tenggara dari sektor i pada tahun awal analisis
(Ra)
= Rasio PDB.
2. Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) PPij=(Ri-Ra) yij. dimana: PPij
= Komponen pertumbuhan proporsional sektor i pada wilayah ke j,
yij
= PDRB Sulawesi Tenggara dari sektor i pada tahun awal analisis
(Ri-Ra) = Perubahan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan proporsional.
Apabila PPij < 0, berarti sektor i pada wilayah ke j laju pertumbuhannya lambat. Sedangkan apabila PPij > 0 berarti sektor i pada wilayah ke j laju pertumbuhannya cepat. 3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah PPWij = (ri-Ri) yij dimana: PPWij
= komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i Provinsi Sulawesi Tenggara,
yij
= PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara dari sektor i pada tahun awal analisis
(ri-Ri)
= persentase perubahan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara yang disebabkan oleh pertumbuhan pangsa wilayah. Apabila PPWij < 0, maka sektor i pada wilayah ke j bukan sektor dengan
keunggulan komparatif yang baik, sedangkan bila PPWij > 0, maka wilayah ke j mempunyai keunggulan komparatif untuk sektor ke i.
3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Berdasarkan nilai persen PPj dan PPWj, maka dapat diidentifikasi pertumbuhan suatu sektor atau suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Kedua komponen tersebut (PPj dan PPWj) apabila dijumlahkan maka akan diperoleh nilai pergeseran bersih (PBj) yang mengidentifikasikan pertumbuhan suatu wilayah. PBj dapat dirumuskan sebagai berikut: PBj = PPj + PPWj
dimana: PB = pergeseran bersih Provinsi Sulawesi Tenggara PPj = komponen pertumbuhan proporsional dari seluruh sektor di Provinsi Sulawesi Tenggara PPWj = komponen pertumbuhan pangsa wilayah dari seluruh sektor di Provinsi Sulawesi Tenggara Apabila PBj ≥ 0, maka pertumbuhan wilayah tersebut masuk kedalam pertumbuhan progresif, sedangkan apabila PBj < 0, maka pertumbuhan wilayah tersebut termasuk dalam pertumbuhan yang lambat. Analisis profil pertumbuhan PDRB bertujuan untuk mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor ekonomi di suatu wilayah pada kurun waktu yang ditentukan dengan cara mengekspresikan persentase perubahan komponen pertumbuhan proporsional (PPj) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPWj) pada suatu kuadran.. Komponen pertumbuhan proporsional (PP) diletakkan pada sumbu horizontal sebagai absis, sedangkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) pada sumbu vertikal sebagai ordinat. PPW Kuadran IV
Kuadran I
PP
Kuadran III
Kuadran II
Gambar 3.1. Profil Pertumbuhan PDRB Sumber Budiharsono (2001).
a. Kuadran I menginterpretasikan bahwa sektor perekonomian di suatu wilayah memiliki laju pertumbuhan yang cepat. Selain itu, sektor tersebut mempunyai keunggulan komparatif. Karena pertumbuhan sektor-sektor perekonomiannya tergolong dalam pertumbuhan yang cepat, maka wilayah yang bersangkutan juga merupakan wilayah yang progresif (maju). b. Kuadran II menginterpretasikan bahwa sektor perekonomian di suatu wilayah memiliki laju pertumbuhan yang cepat, tetapi sektor tersebut keunggulan komparatifnya rendah. c. Kuadran III menginterpretasikan bahwa sektor perekonomian di suatu wilayah memiliki laju pertumbuhan sektor perekonomian yang lambat dan tidak memiliki keunggulan komparatif. Jadi wilayah tersebut tergolong pada wilayah yang memiliki pertumbuhan yang lambat. d. Kuadran IV menginterpretasikan bahwa sektor perekonomian pada suatu wilayah memiliki pertumbuhan yang lambat, tetapi sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif. Pada kuadran II dan IV terdapat garis diagonal yang memotong kedua daerah tersebut. Bagian atas garis diagonal mengindikasikan bahwa suatu wilayah merupakan wilayah yang progresif, sedangkan dibawah garis diagonal berarti suatu wilyah yang pertumbuhannya lambat.
3.3.
Konsep dan Definisi Operasional Data Pembangunan suatu daerah dapat berhasil dengan baik apabila didukung
oleh suatu perencanaan yang mantap sebagai dasar penentuan strategi,
pengambilan keputusan dan evaluasi hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Dalam menyusun perencanaan pembangunan yang baik perlu menggunakan datadata statistik yang memuat informasi tentang kondisi riil suatu daerah pada saat tertentu sehingga kebijaksanaan dan strategi yang telah atau akan diambil dapat dimonitor dan dievaluasi hasil-hasilnya. Salah satu indikator ekonomi makro yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi hasil-hasil pembangunan di suatu daerah dalam lingkup Provinsi dan kota adalah Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB Provinsi menurut lapangan usaha (Industrial Origin). PDRB merupakan jumlah nilai tambah atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha pada suatu daerah dalam satu periode waktu. PDRB ada dua macam, yaitu PDRB atas dasar harga konstan dan PDRB atas dasar harga berlaku. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tersebut, sedang PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai tahun dasar, misalkan tahun dasar 1993 atau tahun dasar 2000. PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi pada suatu wilayah, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah dari tahun ke tahun. Untuk menghitung PDRB ada tiga pendekatan yang digunakan yaitu : 1.
Jika ditinjau dari sisi produksi disebut produksi regional. Produksi regional
merupakan jumlah nilai tambah (produk) yang dihasilkan oleh unit-unit produksi
yang dimiliki penduduk suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar menjadi sembilan sektor yaitu (1) Sektor pertanian; (2) sektor pertambangan dan penggalian; (3) sektor industri pengolahan; (4) sektor listrik, gas dan air bersih; (5) sektor konstruksi/bangunan; (6) sektor perdagangan, hotel dan restoran; (7) sektor pengangkutan dan komunikasi; (8) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; (9) sektor jasajasa. 2.
Jika ditinjau dari sisi pendapatan disebut pendapatan regional. Pendapatan
regional merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang dimiliki penduduk suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. 3.
Jika ditinjau dari segi pengeluaran disebut pengeluaran regional.
Pengeluaran regional merupakan jumlah pengeluaran konsumsi atau komponen permintaan akhir yang dilakukan oleh rumah tangga, lembaga swasta nirlaba, pemerintah dengan pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor netto suatu daerah dalam dalam jangka waktu tertentu. PDRB di suatu daerah/wilayah lebih menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah, bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukan pendapatan dibandingkan dengan datadata yang lainnya.
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI SULAWESI TENGGARA
4.1. Keadaan Geografis Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Secara geografis terletak dibagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara 02045’– 06015’ lintang selatan dan membentang dari barat ke timur di antara 1200 45’ - 1240 60’ bujur timur. Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki wilayah daratan seluas 38.140 km2 dan wilayah perairan laut seluas 114.879 km2. Selain jazirah tenggara Pulau Sulawesi, wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara juga memiliki sekitar 100 pulau besar dan kecil, 58 pulau diantaranya telah memiliki nama. Sampai dengan Tahun 2005, Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari 8 (delapan) kabupaten dan 2 (dua) kota, kemudian setelah pemekaran menjadi 10 (sepuluh) kabupaten dan 2 (dua) kota. Menurut tata letak, batas-batas wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara adalah: Sebelah Utara
: Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah
Sebelah Selatan
: Provinsi NTT di Laut Flores
Sebelah Timur
: Provinsi Maluku di Laut Banda
Sebelah Barat
: Provinsi Sulawesi Selatan Di Teluk Bone
Kondisi topografi wilayah Sulawesi Tenggara pada umumnya bergunung, bergelombang dan berbukit yang diantaranya terbentang daratan-daratan yang merupakan kawasan potensial untuk pengembangan pertanian. Kondisi batuan terdiri atas batuan sedimen, batuan metamorfosis dan batuan beku. Batuan
sedimen mendominasi struktur batuan dengan proporsi sekitar 67,64 %. Jenis tanah yang ada terdiri dari tanah podzolik, tanah mediteran, dan tanah grumozol. Tanah podzolik nampak mendominasi struktur dengan proporsi sekitar 60,31 % Musim hujan di Sulawesi Tenggara terjadi antara bulan november hingga maret dimana angin barat yang bertiup dari Asia dan Samudera Pasifik banyak mengandung uap air, sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan mei hingga oktober dimana angin timur yang bertiup dari Australia sifatnya kering dan kurang mengandung uap air. Wilayah Sulawesi Tenggara mempunyai ketinggian rata-rata dibawah 1.000 m dari permukaan laut dan berada di sekitar garis khatulistiwa, maka wilayah ini beriklim tropis. Suhu udara minimum rata-rata sekitar 220 C dan suhu udara maksimum rata-rata sekitar 310 C. (BPS, 2005).
4.2. Kependudukan dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk di Provinsi Sulawesi Tenggara dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan meskipun laju pertumbuhannya semakin menurun. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk, jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2005 sejumlah 1.963.025 jiwa, meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya sejumlah 1.922.804 jiwa (2004), 1.910.273 jiwa (2003), 1.915.326 jiwa (2002) dan 1.815.543 jiwa (2001). Sementara laju pertumbuhan penduduk selama periode 2001-2005 sebesar 2,04 persen per tahun lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan penduduk nasional sebesar 1,97 persen per tahun pada periode waktu yang sama (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Jumlah Penduduk Provinsi Sulawesi Tengggara 2001-2005 2,000,000
1,963,025
(Jumlah Penduduk)
1,950,000
1,915,326
1,919,273
1,922,684
2002
2003
2004
1,900,000 1,850,000
1,815,548
1,800,000 1,750,000 1,700,000 2001
2005
Sumber : BPS, 2001-2005
Jumlah penduduk Sulawesi Tenggara terbanyak pada tahun 2005 ada pada Kabupaten Muna dengan jumlah 296.003. Begitu juga jumlah penduduk menurut jenis kelamin pada tahun 2005 terbanyak terdapat pada Kabupaten Muna yaitu jumlah penduduk laki-laki sebanyak 141.751 dan 154.252 untuk perempuan. Sementara jumlah penduduk Sulawesi tenggara paling sedikit ada pada Kabupaten Wakatobi dengan jumlah 95.574. Jumlah penduduk laki-laki paling sedikit terdapat pada Kabupaten Wakatobi dengan jumlah 44.282, sedangkan jumlah penduduk perempuan paling sedikit terdapat pada Kabupaten Kolut dengan jumlah sebanyak 47.564 jiwa. (BPS, 2005) Jumlah penduduk usia kerja di Sulawesi Tenggara pada tahun 2004 sebanyak 1.450.344 orang kemudian meningkat menjadi 1.485.531 orang (0,02%) di tahun 2005. Dari jumlah penduduk usia kerja pada tahun 2005 tersebut terdapat 869.747 orang merupakan angkatan kerja yang terdiri dari 87,06 % bekerja dan 12.94% merupakan pencari kerja (pengangguran terbuka). Sedangkan yang tergolong bukan angkatan kerja sebanyak 615.784 orang (41.45%) dari total
penduduk usia kerja. Dari sejumlah 757.233 orang dengan status bekerja 57.60% bekerja di sektor pertanian (http://www.sultra.go.id).
4.4. Pendidikan, dan Kesehatan Data hasil Susenas 2005 menginformasikan bahwa masih ada sekitar 8 persen penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara berusia 10 tahun keatas yang tidak/belum pernah bersekolah. Sedangkan penduduk berusia 10 tahun keatas yang sementara masih bersekolah ada sekitar 23 persen, dan jumlah penduduk yang tidak bersekolah lagi
sekitar 67 persen. Dilihat dari pendidikan yang
ditamatkan, nampaknya penduduk yang tidak/ belum tamat SD dan sederajat jumlahnya sekitar 29 persen, tamat SD ada sekitar 30 persen, tamat SLTP dan SMU masing-masing sekitar 17 persen, dan tamat Diploma keatas jumlahnya ada sekitar 4 persen. Sementara penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara berusia 10 tahun keatas yang masih buta huruf
jumlahnya ada sekitar 8 persen.
Pada tahun 2005, dari hasil survei Susenas tentang kesehatan penduduk di Provinsi Sulawesi Tenggara diperoleh hasil bahwa kebanyakan masyarakat yang terganggu kesehatannya mempunyai keluhan sakit batuk. Ada 4 (empat) jenis penyakit yang banyak mengganggu kesehatan penduduk Sulawesi Tenggara, yaitu penyakit panas, batuk, pilek dan keluhan lainnya. Persentase penduduk yang mengeluh sakit panas dan batuk masing-masing sekitar 9 persen, sakit pilek 8 persen, dan peduduk yang mengalami keluhan lainnya sekitar 7 persen. (BPS, 2005)
4.5. Perekonomian 4.5.1. Struktur Ekonomi Dalam struktur perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara, sektor pertanian masih merupakan sektor yang mempunyai peran terbesar terhadap PDRB atas dasar harga berlaku. Peranan sektor ini tetap yang tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya dari tahun ke tahun. Sub sektor tanaman pangan paling banyak mengalami peningkatan kontribusi, dan yang paling besar adalah produksi komoditas padi dan ketela pohon yang tumbuh cukup tinggi. Tabel 4.1. Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB Sulawesi Tenggara Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2001-2005. (Dalam persen) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sektor Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa lainnya Total
2001 39,95 3,19 8,09 0,58 7,94
2002 41,47 3,70 7,03 0,75 7,67
2003 41,04 5,12 6,78 0,80 7,22
2004 41,13 5,01 6,20 1,12 7,00
2005 42,37 4,53 5,78 1,05 6,79
15,23
14,90
14,67
14,95
14,22
5,89
6,19
6,25
6,57
7,45
3,87
3,71
4,27
4,61
4,62
15,26 100,00
14,58 100,00
13,85 100,00
13,41 100,00
13,19 100,00
Sumber : BPS, 2005
Sektor lain yang mengalami peningkatan adalah sektor pengangkutan dan komunikasi yaitu 6,57 persen menjadi 7,45 persen, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dari 4,61 persen naik menjadi 4,62 persen. Sektor yang mengalami penurunan adalah sektor pertambangan dan galian dari 5,01 persen menjadi 4,53 persen; sektor industri pengolahan dari 6,20 persen menjadi 5,78 persen; sektor listrik, gas, dan air minum dari 1,12 persen menjadi 1,05 persen;
sektor konstruksi dari 7,00 persen menjadi 6,79 persen; sektor perdagangan, hotel, dan restoran dari 14,95 persen menjadi 14,22 persen (Tabel 4.1).
4.5.2. Pertumbuhan Ekonomi Regional Pertumbuhan ekonomi
Provinsi Sulawesi Tenggara yang diukur
berdasarkan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan peningkatan yang cukup baik dari tahun ke tahun. Mulai tahun 2003 sampai pada tahun 2005 pertumbuhan di atas tujuh persen. Tabel 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Sulawesi Tenggara, Tahun 2001-2005. (Dalam persen) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sektor Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa lainnya Rata-Rata
2001 5,37 -5,68 -3,28 9,33 8,99
2002 7,26 28,60 -3,84 7,71 6,06
2003 6,15 51,28 1,76 10,22 4,30
2004 7,84 0,65 1,69 24,23 6,92
2005 6,91 8,75 3,05 17,86 7,25
8,64
7,79
1,51
9,03
8,98
12,64
9,12
11,15
13,57
9,40
6,22
10,10
23,84
18,25
8,80
3,23 5,01
3,64 6,66
4,11 7,57
4,53 7,51
6,15 7,31
Sumber : BPS, 2005
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 terjadi pada semua sektor ekonomi. Sektor pertanian tumbuh 6,91 persen; sektor pertambangan dan galian tumbuh 7,25 persen; sektor perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh 8,98 persen; sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh 9,40 persen; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh 8,80 persen, dan sektor jasa lainnya tumbuh 6,15 persen (Tabel 4.2).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara dan PDB Sebelum Penerapan Otonomi Daerah (1997-2000) dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah (2001-2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan pertumbuhan PDRB di Provinsi Sulawesi Tenggara sesudah penerapan otonomi daerah menjadi lebih baik daripada sebelum penerapan otonomi daerah. Namun yang perlu dijadikan catatan adalah pada kurun waktu 1997-2000, perekonomian Indonesia sedang mengalami krisis moneter yang berimbas kepada melemahnya kondisi perekonomian di daerah termasuk Sulawesi Tenggara, sehingga membuat laju pertumbuhannya menurun. Mulai pulihnya kondisi perekonomian nasional dari krisis juga mempengaruhi peningkatan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara sesudah penerapan otonomi daerah. Tabel 5.1, menunjukkan pada kurun waktu tahun 1997-2000, sektor perekonomian yang memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi di Sulawesi Tenggara adalah sektor listrik, gas dan air bersih dengan pertumbuhan sebesar 46,01 persen atau tumbuh sebesar 5,98 milyar rupiah. Sesudah otonomi daerah sektor listrik, gas dan air bersih tetap tumbuh dengan persentase tertinggi, tercatat pertumbuhan sektor ini mencapai 39,86 persen. Namun walaupun sektor listrik, gas dan air bersih mengalami tingkat pertumbuhan PDRB yang tinggi, namun tidak cukup mendukung pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara karena kontribusinya terhadap total PDRB sangat kecil. Pada lampiran 1, dapat dilihat kontribusi dari setiap sektor-sektor perekonomian terhadap pembentukan PDRB di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sektor listrik, gas, dan air bersih dari tahun 1997 hingga
tahun 2005, kontribusinya terkecil dibandingkan sektor-sektor perekonomian lainnya. Masih banyaknya daerah tertinggal di Provinsi Sulawesi Tenggara, turut mempengaruhi rendahnya kontribusi sektor ini terhadap PDRB. Sektor pertanian menempati urutan kelima dalam tingkat pertumbuhan PDRB baik sebelum maupun sesudah penerapan otonomi daerah. Namun sektor pertanian merupakan kontributor terbesar terhadap pembentukan total PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada kurun waktu 1997-2000, sektor pertanian memang pertumbuhannya hanya naik sebesar 2,27 persen, akan tetapi kontribusinya terbesar, yaitu sebesar 519,38 milyar rupiah pada tahun 1997, lalu terus tumbuh hingga 531,16 milyar rupiah pada tahun 2000. Sesudah penerapan otonomi daerah, sektor pertanian tumbuh cukup tinggi dan pertumbuhannya cukup pesat yaitu sebesar 30,05 persen atau tumbuh sebesar 165,68 milyar rupiah. Tingginya kontribusi PDRB sektor pertanian selain karena banyaknya potensi pertanian dalam arti luas juga karena struktur sosial ekonomi masyarakat sepenuhnya masih bertumpu pada lapangan kerja pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan. Krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1997 menyebabkan melemahnya kondisi perekonomian negara. Penurunan pertumbuhan PDRB di beberapa sektor perekonomian berbagai daerah, juga dipengaruhi oleh melemahnya kondisi perekonomian akibat terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, sehingga menyebabkan meningkatnya suku bunga. Meningkatnya suku bunga menyebabkan naiknya harga-harga sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Hal tersebut turut mempengaruhi laju
pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara, sehingga ada beberapa sektor perekonomian yang pertumbuhannya menurun. Beberapa sektor perekonomian mengalami pertumbuhan negatif (negative growth) pada kurun waktu tahun 1997-2000. Pada Tabel 5.1, terdapat tiga sektor perekonomian yang pertumbuhannya negatif, yaitu sektor industri pengolahan dengan pertumbuhan sebesar -1,15 persen, sektor bangunan dan konstruksi sebesar -28,13 persen, kemudian sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebesar -12,20 persen. Sektor yang tidak terlalu terpengaruh dengan krisis moneter adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, dan sektor angkutan dan komunikasi. Hal ini dikarenakan produk dari kedua sektor tersebut sudah menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Laju pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara sudah kembali membaik pada kurun waktu 2001-2005. Pada tabel 5.1, dapat dilihat PDRB sektor-sektor perekonomian di Sulawesi Tenggara tidak ada lagi yang pertumbuhannya negatif. Sektor perekonomian yang memiliki tingkat pertumbuhan PDRB terbesar adalah sektor pertambangan dan galian dengan pertumbuhan yang sangat tinggi, yaitu sebesar 74,41 persen. Sektor perekonomian lainnya pertumbuhannya cukup baik dan rata-rata pertumbuhannya diatas 10 persen. Sektor yang tingkat pertumbuhannya di bawah 10 persen adalah sektor industri pengolahan yang tumbuh sebesar 5,36 persen. Rendahnya pertumbuhan dari sektor industri pengolahan dikarenakan permintaan akan produk yang rendah sebagai akibat dari infrastruktur yang belum memadai dan mahalnya biaya input produksi.
Pertumbuhan PDB sebelum penerapan otonomi daerah secara keseluruhan menunjukkan angka pertumbuhan yang negatif. Mirip dengan kondisi perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara, Pertumbuhan PDB di beberapa sektor perekonomian pada kurun waktu 1997-2000 banyak yang melemah, bahkan terdapat lima sektor yang pertumbuhannya negatif. Lima sektor tersebut antara lain sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, serta sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (Tabel 5.2). Sebelum
otonomi
daerah,
sektor
yang
paling
rendah
tingkat
pertumbuhannya adalah sektor bangunan dan konstruksi, yaitu dengan angka pertumbuhan sebesar -34,14 persen (Tabel 5.2). Pada kurun waktu ini, sektor bangunan dan konstruksi di Provinsi Sulawesi Tenggara juga mengalami pertumbuhan negatif sebesar -28,13 persen. Salah satu penyebab menurunnya pertumbuhan sektor bangunan dan konstruksi adalah karena pihak perbankan menjadi semakin rendah tingkat kepercayaannya terhadap para pengembang (developer) akibat meningkatnya jumlah kredit macet yang menyebabkan labilnya kondisi perbankan. Hal ini mempengaruhi minat sektor Perbankan untuk menyalurkan kredit usaha kepada para pengembang, sehingga membawa dampak kepada penurunan pertumbuhan PDB sektor bangunan dan konstruksi. Pertumbuhan PDB sektor-sektor perekonomian Indonesia sesudah penerapan otonomi daerah mengalami pertumbuhan yang positif. Selama kurun waktu 2001-2005, hampir seluruh sektor ekonomi tumbuh diatas angka 15 persen. Tingkat pertumbuhan tertinggi yaitu 50,98 persen yaitu pada sektor angkutan dan
komunikasi. Semakin majunya teknologi di bidang komunikasi, persaingan ketat di bisnis komunikasi menjadikan permintaan masyarakat pada sektor ini meningkat menjadi sangat tinggi. Sektor perekonomian yang tingkat pertumbuhannya
paling rendah
sesudah otonomi daerah adalah sektor pertambangan dan galian, dengan pertumbuhan sebesar 1,76 persen. Jika pertumbuhan PDB sektor pertambangan dan galian tumbuh rendah, sektor pertambangan dan galian di Sulawesi Tenggara justru mengalami pertumbuhan yang pesat dengan angka pertumbuhan mencapai 74,41 persen. Tingginya pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara di sektor ini banyak disumbang oleh komoditas bijih nikel yang diproduksi PT Aneka Tambang (Antam) di Pomalaa, Kabupaten Kolaka. Pertumbuhan PDB sektor bangunan dan konstruksi setelah penerapan otonomi daerah mengalami peningkatan. Angka pertumbuhannya mencapai 30,74 persen, jauh lebih tinggi jika dibandingkan kurun waktu tahun 1997-2000, dimana sektor bangunan dan konstruksi pertumbuhannya negatif sebesar -34,14 persen. Pulihnya kondisi sektor perbankan, membaiknya kondisi perekonomian pasca krisis, dan banyaknya proyek pembangunan dari para developer, membuat pertumbuhan sektor bangunan dan konstruksi kembali meningkat. Disamping itu sektor-sektor perekonomian yang mengalami pertumbuhan negatif, di kurun waktu 2001-2005 ini pertumbuhannya sudah kembali meningkat dan angka pertumbuhannya kembali positif. Sektor tersebut antara lain sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan.
5.2. Analisis Rasio PDB dan Rasio PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah. Rasio Pertumbuhan Nasional atau nilai Ra didapatkan dari perhitungan selisih antara PDB tahun akhir analisis dengan PDB tahun dasar analisis dibagi dengan PDB tahun dasar analisis. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai Ra pada kurun waktu 1997-2000 bernilai negatif sebesar -0,08, hal ini berarti pada kurun waktu 1997-2000 pertumbuhan ekonomi nasional turun dengan rasio -0,08. Sesudah penerapan otonomi daerah di Indonesia, pertumbuhan ekonomi nasional pun mulai membaik. Pulihnya kondisi perekonomian pasca krisis juga dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai Ra sesudah penerapan otonomi daerah. Nilai Ra pada kurun waktu 2001-2005 bernilai positif sebesar 0,21, yang berarti pertumbuhan ekonomi nasional meningkat dengan rasio 0,21. Nilai rasio Ri didapatkan dari perhitungan selisih antara PDB sektor i pada tahun akhir analisis dengan PDB sektor i pada tahun dasar analisis dibagi dengan PDB sektor i pada tahun dasar analisis. Dari perhitungan tersebut didapatkan nilai Ri pada sektor i di seluruh provinsi Indonesia nilainya sama besar. Jika suatu sektor perekonomian memiliki nilai Ri negatif (Ri < 0), berarti kontribusi sektor perekonomian tersebut mengalami penurunan terhadap pertumbuhan total PDB. Jika suatu sektor perekonomian memiliki nilai Ri yang positif (Ri > 0), itu mengindikasikan adanya peningkatan kontribusi dari sektor perekonomian tersebut terhadap pertumbuhan nasional. Beberapa sektor perekonomian mengalami penurunan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pada kurun waktu tahun 1997-2000. Tercatat ada
lima sektor yang memiliki nilai Ri negatif. Lima sektor tersebut diantaranya sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (Tabel 5.3). Penurunan kontribusi paling rendah terjadi pada sektor bangunan dan konstruksi dengan penurunan sebesar -0,34. Sementara itu sektor perekonomian dengan kontribusi terbesar terhadap perekonomian nasional yaitu sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai Ri sebesar 0,20. Seluruh sektor perekonomian mengalami peningkatan kontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian nasional sesudah penerapan otonomi daerah. Sektorsektor perekonomian dengan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pada kurun waktu ini adalah sektor angkutan dan komunikasi sebesar 0,51, dan sektor bangunan dan konstruksi dengan nilai Ri sebesar 0,31. Nilai ri didapatkan dari perhitungan selisih antara PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara sektor i pada tahun akhir analisis dengan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun dasar analisis dibagi dengan PDRB sektor i pada tahun dasar analisis. Jika suatu sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki nilai ri positif, maka sektor ekonomi tersebut mengalami peningkatan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebaliknya jika suatu sektor perekonomian tersebut memiliki nilai ri negatif, maka sektor perekonomian tersebut mengalami penurunan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Beberapa sektor memiliki nilai ri negatif sebelum penerapan otonomi daerah. Nilai paling rendah yaitu sektor bangunan dan konstruksi dengan rasio sebesar -0,28. Hal itu berarti sektor bangunan dan konstruksi mengalami penurunan kontribusi terhadap pertumbuhan di Sulawesi Tenggara sebesar -0,28. Sektor lain yang memiliki nilai ri negatif yaitu sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebesar -0,12, dan sektor industri pengolahan sebesar -0,01. Semua sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki nilai ri yang positif sesudah penerapan otonomi daerah. Hal ini berarti semua sektor ekonomi pada kurun waktu 2001-2005 mengalami peningkatan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi tenggara. Peningkatan kontribusi terbesar yaitu dari sektor pertambangan dan galian, dengan nilai sebesar 0,74. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan juga mengalami peningkatan nilai rasio kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara. Sementara itu sektor yang kontribusinya paling rendah yaitu sektor industri pengolahan, dengan nilai sebesar 0,15. Tabel 5.3. Nilai Ra, Ri, dan ri Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Perekonomian Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
Sumber : BPS, 1997-2005 (Data diolah)
Ra -0,08 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08
1997-2000 Ri 0,03 0,01 -0,02 0,20 -0,34 -0,14 -0,09
Ri 0,02 0,03 -0,01 0,46 -0,28 0,12 0,35
2001-2005 Ra Ri 0,21 0,15 0,21 0,02 0,21 0,20 0,21 0,26 0,21 0,31 0,21 0,23 0,21 0,51
ri 0,30 0,74 0,05 0,40 0,19 0,21 0,31
-0,08 -0,08
-0,29 0,003
-0,12 0,01
0,21 0,21
0,46 0,15
0,27 0,15
5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah. Analisis shift share terdiri dari tiga komponen yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP), dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Adapun komponen-komponen yang digunakan dalam analisis shift share hanya sebatas teknik perhitungan saja dan bukan analitik. Komponen pertumbuhan nasional (PN) menjelaskan seberapa besar pengaruh pertumbuhan nasional terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Nilai komponen PN sektor-sektor perekonomian di Sulawesi Tenggara semuanya bernilai negatif pada kurun waktu tahun 1997-2000 (Tabel 5.4). Jika nilai PN negatif, hal itu berarti perubahan produksi nasional secara umum, perubahan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, dan adanya berbagai kebijakan ekonomi nasional tidak mempengaruhi sektor-sektor perekonomian di Sulawesi Tenggara. Sektor dengan nilai komponen PN terendah adalah sektor pertanian, yaitu sebesar -42,23 milyar. Nilai tersebut mengindikasikan jika terjadi perubahan kebijakan nasional, maka pertumbuhan sektor pertanian di Provinsi Sulawesi Tenggara tidak akan terpengaruh dengan kebijakan tersebut. Sementara itu sektor perekonomian yang memiliki nilai komponen PN yang paling tinggi di antara sektor-sektor yang lainnya adalah sektor listrik, gas dan air bersih yaitu sebesar -1,06 milyar. Hal ini berarti jika terjadi perubahan kebijakan nasional atau perubahan pertumbuhan ekonomi nasional, maka sektor listrik, gas dan air bersih jika dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain adalah yang paling terpengaruh.
Sektor perekonomian pada kurun waktu tahun 2001-2005 dilihat dari komponen pertumbuhan nasional, terjadi perubahan yang cukup signifikan. Semua sektor-sektor perekonomian nilai komponen pertumbuhan nasionalnya positif. Sektor pertanian adalah yang berubah paling signifikan dibandingkan sektor-sektor lainnya. Jika sebelum penerapan otonomi daerah nilai komponen PN sektor ini adalah yang paling rendah, maka sesudah penerapan otonomi daerah, sektor pertanian merupakan sektor perekonomian yang paling tinggi nilai komponen pertumbuhan nasionalnya yaitu sebesar 116,33 milyar rupiah (Tabel 5.4). Sehingga hal tersebut menjadikan sektor pertanian adalah yang paling mudah terpengaruh dengan perubahan-perubahan ekonomi nasional. Sementara pada masa penerapan otonomi daerah, sektor dengan nilai komponen PN terendah adalah sektor listrik, gas, dan air bersih sebesar Rp 4,47 milyar rupiah. Sehingga perubahan kebijakan ekonomi nasional tidak akan terlalu mempengaruhi sektor ini. Tabel 5.4. Nilai Komponen Pertumbuhan Nasional Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Perekonomian Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
Sumber : BPS, 1997-2005 (Data diolah)
1997-2000 PN -42,23 -4,01 -11,21 -1,06 -16,18 -16,87 -11,55
2001-2005 PN 116,33 10,70 28,52 4,47 32,89 53,82 45,20
-7,42 -23,15
17,96 62,77
Nilai komponen PP (pertumbuhan proporsional) menjelaskan mengenai perubahan relatif PDRB sektor-sektor perekonomian suatu wilayah dengan perubahan PDB sektor-sektor perekonomian. Jika nilai komponen PP > 0, berarti suatu sektor perekonomian di suatu wilayah relatif memiliki laju pertumbuhan yang cepat. Sebaliknya jika nilai komponen PP < 0, berarti suatu sektor perekonomian di suatu wilayah laju pertumbuhannya relatif lambat. Sektor-sektor yang memiliki nilai PP negatif (PP < 0) sebelum penerapan otonomi daerah ada lima sektor (Tabel 5.5). Lima sektor tersebut antara lain; sektor bangunan dan konstruksi dengan nilai PP sebesar -51,76 milyar rupiah atau turun sebesar -26,01 persen, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebesar -20,65 persen. Turunnya laju pertumbuhan kedua sektor ini sudah dijelaskan di bagian awal pembahasan, yaitu karena kedua sektor tersebut sangat terpengaruh dengan krisis ekonomi. Kemudian sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar -5,50 persen, sektor angkutan dan komunikasi sebesar -0,40 persen. Sementara itu sektor dengan laju pertumbuhan tercepat adalah sektor listrik gas dan air bersih dengan nilai komponen PP sebesar 3,65 milyar atau tumbuh sebesar 28,12 persen. Empat sektor perekonomian di Sulawesi Tenggara pertumbuhannya relatif lambat sesudah penerapan otonomi daerah. Hanya saja terdapat perbedaan sektorsektor perekonomian yang pertumbuhannya lambat antara masa sebelum penerapan otonomi daerah dengan masa sesudah penerapan otonomi daerah. Sektor-sektor perekonomian yang sebelum otonomi daerah pertumbuhannya cepat menjadi lamban pada masa penerapan otonomi daerah. Sektor-sektor tersebut
antara lain; sektor pertambangan dan galian sebesar -9,81 milyar rupiah atau melemah -19,34 persen, sektor jasa lainnya sebesar -17,97 milyar atau melemah -6,04 persen, kemudian sektor pertanian sebesar -31,99 milyar rupiah atau melemah -5,80 persen, kemudian sektor industri pengolahan dengan nilai PP sebesar -1,64 milyar atau tumbuh -1,21 persen. Pada kurun waktu 2001-2005, sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan tercepat adalah sektor angkutan dan komunikasi dengan nilai komponen PP sebesar 64,02 milyar atau tumbuh sebesar 29,88 persen. Adapun laju pertumbuhan di sektor ini sangat didukung oleh pertumbuhan dari sub sektor komunikasi. Tabel 5.5. Nilai Komponen Pertumbuhan Proporsional Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Perekonomian Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
1997-2000 PP Persen PP 56,26 10,83 4,47 9,06 7,83 5,68 3,65 28,12 -51,76 -26,01 -11,42 -5,50 -0,56 -0,40
2001-2005 PP Persen PP -31,99 -5,80 -9,81 -19,34 -1,64 -1,21 0,97 4,58 15,04 9,64 5,27 2,07 64,02 29,88
-18,84 24,03
5,34 -17,97
-20,65 8,44
6,27 -6,04
Sumber : BPS, 1997-2005 (Data diolah)
Komponen PPW (pertumbuhan pangsa wilayah) digunakan untuk mengetahui sektor-sektor perekonomian mana saja di suatu wilayah yang memiliki keunggulan komparatifnya tinggi dan sektor-sektor mana saja yang keunggulan komparatifnya rendah. Jika nilai komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) suatu sektor perekonomian tertentu di Sulawesi Tenggara lebih besar sama dengan nol atau PPW ≥ 0, maka sektor perekonomian tersebut
memiliki keunggulan komparatif yang tinggi. Namun jika nilai komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) suatu sektor perekonomian tertentu di provinsi Sulawesi Tenggara lebih kecil dari nol (PPW < 0), berarti sektor perekonomian tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Hanya terdapat satu sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara yang negatif nilai pertumbuhan pangsa wilayahnya sebelum penerapan otonomi daerah. Sektor tersebut adalah sektor pertanian dengan nilai komponen PPW sebesar -2,24 milyar rupiah. Sementara itu sektor yang mempunyai keunggulan tertinggi adalah sektor angkutan dan komunikasi, dengan nilai komponen PPW sebesar 61,29 milyar rupiah atau sebesar 43,15 persen (Tabel 5.6). Empat sektor perekonomian yang sebelum otonomi daerah adalah sektor yang kompetitif, sesudah penerapan otonomi daerah tidak lagi menjadi sektor unggulan. Empat sektor tersebut antara lain; sektor industri pengolahan dengan nilai PPW sebesar -19,63 milyar, sektor bangunan dan kontruksi dengan nilai PPW sebesar -18,87 milyar, sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai PPW sebesar -5,59 milyar, dan sektor angkutan dan komunikasi dengan nilai PPW sebesar -42,24 milyar atau turun sebesar -19,71 persen. Sektor pertanian mengalami peningkatan sebesar 14,75 persen, dengan nilai PPW sebesar 81,34 milyar. Dengan nilai PPW sebesar itu, sektor pertanian sesudah penerapan otonomi daerah adalah sektor yang kmpetitif bersama sektor pertambangan dan galian. Tercatat nilai komponen PPW dari sektor pertambangan dan galian mengalami peningkatan sebesar 72,66 persen. Tingginya pertumbuhan ini cukup wajar, mengingat Provinsi Sulawesi Tenggara juga kaya akan barang tambang.
Tabel 5.6. Nilai Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Perekonomian Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
1997-2000 Persen PPW PPW -5,194 -1,00 1,06 2,15 1,80 1,30 3,38 26,02 11,96 6,01 53,36 25,72 61,29 43,15 15,13 2,47
16,58 0,87
2001-2005 Persen PPW PPW 81,34 14,75 36,85 72,66 -19,63 -14,52 3,01 14,19 -18,87 -12,10 -5,59 -2,19 -42,24 -19,71 15,93 0,14
18,71 0,05
Sumber : BPS, 1997-2005 (Data diolah)
5.4. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Penerapan Otonomi Daerah. Nilai dari pergeseran bersih (PB) diperoleh dari penjumlahan nilai komponen PP dan nilai komponen PPW dari sektor perekonomian pada suatu wilayah tertentu. Jika suatu sektor perekonomian tersebut memiliki nilai PB positif (PB > 0), berarti sektor tersebut termasuk dalam kelompok yang progresif. Jika nilai PB negatif (PB < 0), berarti sektor perekonomian tersebut termasuk dalam kategori kelompok yang pertumbuhannya lambat atau tidak progresif. Nilai pergeseran bersih dari sektor-sektor perekonomian di Sulawesi Tenggara sebelum penerapan otonomi daerah mayoritas termasuk dalam kelompok progresif. Namun juga terdapat dua sektor yang termasuk lamban pertumbuhannya, yaitu sektor bangunan dan konstruksi, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Nilai pergeseran bersih sektor bangunan dan konstruksi sebesar -39,80 milyar rupiah atau hanya -20,00 persen, dan nilai
pergeseran bersih sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar -3,71 milyar rupiah atau sebesar -4,71 persen. Namun rendahnya nilai pergeseran bersih dari sektor-sektor ini bukan karena sektor-sektor ini tidak progresif, namun lebih karena sedang ada krisis ekonomi pada kurun waktu ini, ditambah lagi kurangnya infrastruktur di berbagai kabupaten. Terbukti, pada kurun waktu 2001-2005 sektor bangunan dan konstruksi bersama sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan mengalami perubahan yang signifikan pergeseran bersihnya. Sektor yang paling progresif sebelum penerapan otonomi daerah (1997-2000) adalah sektor angkutan dan komunikasi sebesar 60,73 milyar, sektor pertanian sebesar 54,01 milyar rupiah, kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 41,94 milyar rupiah (Tabel 5.7). Tabel 5.7.
No
Nilai Pergesran Bersih Provinsi Sulawesi Tenggara Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah. Sektor Perekonomian
1 2
Pertanian Pertambangan dan Galian
3 4 5 6 7
Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
8 9
1997-2000
2001-2005
PB 51,06 5,53 9,62 7,04 -39,80 41,94 60,73
Persen PB 9,83 11,21 6,98 54,14 -20,00 20,22 42,76
PB 49,35 27,04 -21,27 3,98 -3,83 -0,31 21,78
Persen PB 8,95 53,32 -15,73 18,76 -2,46 -0,12 10,17
-3,71 26,50
-4,07 9,31
21,26 -17,83
24,97 -5,99
Sumber : BPS, 1997-2005 (Data diolah)
Sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara yang termasuk dalam kelompok progresif sesudah penerapan otonomi daerah berkurang jumlahnya. Sesudah otonomi daerah jumlah yang masuk ke dalam kelompok pertumbuhan lamban bertambah menjadi empat sektor, yaitu sektor industri
pengolahan dengan nilai PB -21,27 milyar rupiah, sektor jasa lainnya sebesar 17,83 milyar rupiah, sektor bangunan dan kontruksi sebesar -3,83 milyar rupiah, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar -0,31 milyar rupiah. Sektor yang paling progresif di Sulawesi Tenggara adalah sektor pertambangan dan galian dengan pertumbuhan sebesar 53,32 persen. Hal ini dapat juga menjadi bahan pertimbangan bagi para investor untuk beraktivitas di sektor pertambangan dan galian, dapat juga menjadi masukan bagi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk menarik banyak investor di sektor ini. Kemudian sektor yang menduduki peringkat dua dari nilai pergeseran bersih adalah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan perkembangan sebesar 24,97 persen (Tabel 5.7). Analisis profil pertumbuhan PDRB bertujuan untuk mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor ekonomi di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu dengan cara mengekspresikan persentase perubahan komponen pertumbuhan proporsional (PPj) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPWj) ke dalam suatu kuadran. Profil pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara pada kurun waktu 1997-2000 cukup baik. Ada empat sektor perekonomian yang menempati kuadran I. Kuadran I adalah tempat sektor-sektor perekonomian yang menjadi keunggulan komparatif dan laju pertumbuhan yang cepat. Sektor-sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor pertambangan dan galian, dan sektor jasa lainnya. Sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor perekonomian yang menempati kuadran II. Kuadran II menunjukkan sektor
tersebut rendah keunggulan komparatifnya tetapi laju pertumbuhannya cepat. Pada kurun waktu 1997-2000 tidak terdapat sektor perekonomian yang menempati kuadran III. Hal ini berarti tidak ada sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan yang lambat dan tidak menjadi keunggulan komparatif. Sektor bangunan dan konstruksi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, sektor angkutan dan komunikasi, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran berada pada kuadran IV. Ini berarti bahwa sektor-sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif yang tinggi tapi laju pertumbuhan sektor-sektor tersebut lambat. Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Tahun 1997-2000 50 45
Pertanian
40
Pertambangan dan Galian
35 Industri Pengolahan
PP
30 25
Listrik, Gas dan Air Minum
20
Bangunan dan Konstruksi
15
Perdagangan, Hotel, dan Restoran Angkutan dan Komunikasi
10 5 0 -30
-20
-10
-5 0
10
20
30
40
Keuangan, Persew aan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
PPW
Gambar 5.1. Pertumbuhan Sektor-sektor perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum masa otonomi daerah (1997-2000). Profil pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara pada kurun waktu 2001-2005 tidak begitu bagus jika dibandingkan sebelum otonomi daerah. Pada masa penerapan otonomi daerah hanya sektor listrik, gas dan air bersih yang tetap menempati kuadran I. Sektor ini memang merupakan sektor yang akan tetap stabil, mengingat kebutuhan masyarakat akan listrik, gas, dan air bersih. Sementara itu tiga sektor lainnya yang sebelumnya berada pada kuadran I
mengalami shift ke kuadran lain. Sektor industri pengolahan justru mengalami shift ke kuadran III, yang berarti pada masa otonomi daerah sektor industri pengolahan bergerak dari kelompok sektor yang tumbuh cepat dan menjadi sektor unggulan menuju ke kelompok sektor yang tumbuh lambat dan daya komparatif rendah. Terbatasnya berbagai infrastruktur wilayah memang membuat sulitnya pertumbuhan yang baik untuk sektor industri pengolahan. Dua sektor lainnya yang sebelumnya berada pada kuadran I yaitu sektor pertambangan dan galian, dan sektor jasa lainnya berpindah ke kuadran IV. Hal ini mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan dari sektor-sektor perekonomian tersebut menurun. Menurunnya laju pertumbuhan sektor pertambangan terkait dengan tidak adanya peningkatan aktivitas beberapa perusahaan pertambangan besar di berbagai kabupaten seperti Konawe, Buton, dan Kolaka. Sementara itu sektor jasa tidak terlalu tumbuh signifikan, bahkan pada tahun 2005, pertumbuhan PDRB dari sektor jasa lainnya menurun. Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Tahun 2001-2005 Pertanian 80
Pertambangan dan Galian
60
Industri Pengolahan
40
Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan dan Konstruksi
PP
20 0 -30
-20
-10
0
10
-20
20
30
40
Perdagangan, Hotel, dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persew aan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
-40
PPW
Gambar 5.2. Pertumbuhan Sektor-sektor perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara pada masa otonomi daerah (2001-2005).
Tiga sektor yang sebelumnya berada pada kuadran IV pada masa otonomi daerah mengalami shift ke kuadran II. Sektor-sektor tersebut yaitu sektor bangunan dan konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor angkutan dan komunikasi. Hal ini berarti sektor-sektor tersebut keunggulan komparatifnya menurun tetapi laju pertumbuhannya bertambah cepat. Pesatnya perkembangan usaha di bidang telekomunikasi pada awal tahun 2000 juga membuat pertumbuhannya di Sulawesi Tenggara meningkat pesat. Pulihnya perekonomian nasional dari krisis juga membuat para developer memperbanyak lagi proyek pembangunannya di masa otonomi daerah. Menurut teori pertumbuhan ekonomi Rostow, Provinsi Sulawesi Tenggara masih berada pada tingkat masyarakat tradision. Pertimbangannya adalah masih rendahnya kualitas SDM, struktur ekonomi mayoritas masih mengandalkan sektor pertanian,dan masih banyaknya jumlah daerah tertinggal.
5.5 Implikasi Kebijakan Berdasarkan interpretasi hasil analisis shift share mengenai pertumbuhan perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum dan sesudah otonomi daerah yang telah dijelaskan sebelumnya, pada bagian ini akan dibahas mengenai implikasi kebijakan terhadap kebijakan pembangunan pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. Masalah umum perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara adalah ketiadaan infrastruktur yang memadai. Sedikitnya jumlah infrastruktur dan sarana prasarana menyebabkan beberapa usaha di berbagai sektor ekonomi akan mengalami ekonomi biaya tinggi (high cost economy) karena sulitnya transportasi,
dan aksesibilitasnya rendah. Akibatnya berbagai potensi belum dieksplorasi dengan baik, karena swasta enggan berinvestasi. Oleh karena itu pemerintah daerah harus meningkatkan pembangunan infrastruktur dan meningkatkan pengadaan sarana dan prasarana di berbagai wilayah. Agar kegiatan-kegiatan produksi tidak mengalami ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dan tidak kesulitan dalam hal aksesibilitas. Pembangunan infrastruktur dan pengadaan sarana dan prasarana memerlukan biaya besar, oleh karena itu pemerintah daerah perlu meningkatkan alokasi dana untuk pembangunan. Anggaran dana untuk alokasi pembangunan perlu ditingkatkan agar proses percepatan pembangunan daerah dapat cepat terlaksana. Budaya KKN dalam tubuh aparatur menjadi hambatan dalam hal ini. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mempunyai ketegasan dalam pengawasan penyaluran dan pengalokasian dana. Dengan begitu, semakin besarnya alokasi dana untuk pembangunan juga akan memudahkan berbagai kegiatan ekonomi sehingga akan mudah menarik minat investor. Implikasi kebijakan untuk tiap-tiap sektor juga perlu dilakukan oleh pemerintah daerah. Ada beberapa sektor perekonomian yang dapat dijadikan prioritas dalam pembangunan perekonomian. Dari sektor pertanian diperoleh fakta bahwa sektor ini merupakan kontributor terbesar pembentukan PDRB Sulawesi Tenggara, selain itu sektor ini juga mempunyai keunggulan komparatif, hanya saja pertumbuhan proporsionalnya masih lambat. Kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah daerah adalah dengan menjadikan sektor pertanian sebagai prioritas utama pembangunan sektor perekonomian, dengan begitu akan memacu
berkembangnya sektor industri dan jasa serta akan mempercepat transformasi struktur perekonomian daerah. Sementara itu strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas antara lain; mendorong petani untuk mengembangkan produk pertanian yang memiliki nilai tambah dan dapat dijadikan bahan baku industri yang strategis dan ekonomis, memperbaiki sistem distribusi dan meningkatkan promosi produk-produk unggulan ke luar daerah untuk memperluas pasar, serta meningkatkan akses petani terhadap modal. Kebijakan yang dapat dilakukan pada sektor jasa adalah dengan memajukan beberapa kabupaten yang mempunyai potensi pariwisata seperti Kawasan Basilika di Kabupaten Buton, Teluk Kendari dan Pantai Nambo di Kabupaten Kendari dan berbagai kabupaten lainnya sebagai daerah yang berbasis pada sektor jasa. Strategi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan infrastruktur, dan peningkatan promosi ke luar daerah. Untuk sektor pertambangan dan galian, pemerintah daerah dapat mengembangkan pembangunan yang berbasis investasi secara utuh dan menyeluruh, tertimbang dan terukur untuk mengembangkan berbagai potensi bahan tambang yang terdapat di Sulawesi Tenggara, seperti marmer, batu setengah permata, batu onix. Pengertian basis investasi meliputi baik dalam arti penarikan investasi riil maupun pengelolaan program dan kegiatan mengikuti prinsip-prinsip good corporate government. Kebijakan untuk sektor bangunan dan kontruksi akan terkait dengan usaha pemerintah daerah dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal. Pemerintah
daerah perlu mempercepat proses pembangunan infrastruktur dan pengadaan sarana dan prasarana, dan meningkatkan aksesibilita.s Sektor industri pengolahan dengan karakteristik pertumbuhan lamban dan lemah daya komparatifnya dapat diatasi dengan kebijakan penguatan basis industri kecil dan menengah. Ada banyak kendala dalam memajukan sektor industri pengolahan di Sulawesi Tenggara, rendahnya transfer teknologi dan informasi di berbagai wilayah, dan terutama infrastruktur yang belum memadai, serta tingkat aksesibilitas yang masih rendah. Untuk itu ada beberapa strategi untuk sektor ini, diantaranya; memperkuat basis industri kecil dan menengah dengan peningkatan akses kepada para pengusaha terhadap modal, teknologi, dan informasi. Pengadaan dan peningkatan linkage antara sektor industri hulu ke hilir, meningkatkan nilai tambah dari produk akhir, serta meningkatkan pengadaan berbagai infrastruktur.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Tingkat pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara sesudah penerapan otonomi daerah tahun 2001-2005 adalah lebih besar daripada sebelum otonomi daerah. Namun penyebab tingginya pertumbuhan bukan karena diterapkannya otonomi daerah semata, tetapi juga karena pengaruh pulihnya perekonomian dari krisis ekonomi. 2. Otonomi daerah berpengaruh negatif terhadap laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara. Beberapa sektor perekonomian diantaranya sektor bangunan dan konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, pertumbuhannya lambat sesudah penerapan otonomi daerah. Masalah rendahnya jumlah alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur, rendahnya jumlah sarana dan prasarana membuat pihak swasta mengalami ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dalam biaya produksinya, perekonomian
sehingga tersebut
menyebabkan semakin
laju
lamban
pertumbuhan saat
sektor-sektor
dibandingkan
dengan
pertumbuhan sektor-sektor perekonomian nasional yang lain. 3. Otonomi daerah tidak mampu meningkatkan keunggulan komparatif dari sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara. Jumlah sektor perekonomian yang rendah daya kompetitifnya bertambah menjadi empat sektor saat penerapan otonomi daerah. Rendahnya dukungan kelembagaan, masalah
infrastruktur
yang
kurang
mendukung,
rendahnya
tingkat
aksesibilitas, menjadi beberapa faktor yang menyebabkan keunggulan komparatif dari beberapa sektor perekonomian di Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi melemah. 4. Rendahnya laju pertumbuhan dan keunggulan komparatif dari beberapa sektor perekonomian
yang
rendah
sesudah
otonomi
daerah,
menimbulkan
konsekuensi menurunnya jumlah sektor-sektor perekonomian yang masuk ke dalam kelompok progresif.
6.2. Saran 1. Rendahnya laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dan rendahnya daya kompetitif beberap sektor unggulan berkaitan erat dengan jumlah sarana prasarana yang tidak memadai, ketiadaan infrasruktur dan kurangnya anggaran dana untuk pembangunan. Oleh karena itu pemerintah daerah harus lebih fokus kepada peningkatan infrastruktur, pengadaan sarana dan prasarana dengan menambah anggaran dana untuk pembangunan, agar menarik minat swasta untuk berinvestasi di berbagai wilayah Sulawesi Tenggara. Dengan begitu
sektor-sektor
perekonomian
akan
semakin
terpacu
laju
pertumbuhannya. 2. Sektor pertanian merupakan sektor perekonomian yang paling dominan dalam pembentukan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemerintah daerah dapat terus
mendorong
perkembangan
sektor-sektor
tersebut
dengan
cara
mengembangkan produk pertanian yang memiliki nilai tambah dan dapat dijadikan bahan baku industri yang strategis dan ekonomis, meningkatkan promosi produk unggulan ke luar daerah, dan menggabungkan para pengusaha
kecil dan menengah ke dalam suatu wadah organisasi yang diharapkan dapat meringankan tugas dari masing-masing pengusaha kecil. 3. Otonomi daerah yang belum efektif meningkatkan laju pertumbuhan sektor perekonomian dan keunggulan komparatif dari sektor-sektor unggulan harus lebih ditingkatkan lagi. Cara yang dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan kualitas dan kemampuan aparatur agar lebih profesional, meningkatkan kemampuan keuangan daerah baik melalui pengelolaan keuangan yang profesional maupun melalui penggalian sumber-sumber Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
serta
memperkecil
kebocoran.
Menyempurnakan lembaga dan struktur organisasi pemerintah daerah dengan dukungan tenaga-tenaga aparatur yang lebih profesional dan berorientasi pada kepentingan dan pelayanan masyarakat. 4. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi masih terhambat karena mayoritas wilayah adalah daerah tertinggal. Oleh karena itu dibutuhkan upaya-upaya untuk
mengatasinya.
Cara-cara
yang
bisa
dilakukan
antara
lain;
pengembangan ekonomi lokal, strategi ini diarahkan untuk mengembangkan ekonomi daerah tertinggal dengan didasarkan pada pendayagunaan potensi sumberdaya local. Pemberdayaan masyarakat, yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal agar mempunyai keterkaitan dengan daerah maju. Peningkatan kapasitas, yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah tertinggal
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan. STIE. Yayasan Keluarga Pahlawan, Yogyakarta. Aser, F. 2005. “Tujuan Otonomi Daerah Dalam UU No. 32 Tahun 2004”. Jurnal Otonomi Daerah. 1 : 45-48. Badan Pusat Statistik. 1993-2005. Pendapatan Nasional Indonesia Tahun 19932005. BPS, Jakarta. ___________________. 1993-2005. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sulawesi Tenggara Menurut Lapangan Usaha Tahun 1993–2005. BPS, Jakarta. ___________________. 2005. Sulawesi Tenggara dalam Angka 2005. BPS, Jakarta. Budiharsono, S. 2001. Teknik analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. http://www.penataanruang.net/taru/Data dan Statistik/Sulteng.htm http://www.sultra.go.id/id/?mod=statik&show=data_penduduk Gunawan, G. 2000. Analisis Pembangunan Ekonomi Lokal [Skripsi]. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Hanafiah, T. 1987. Pendekatan Wilayah dan Pembangunan Pedesaan. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Bogor. Irawan. dan M. Suparmoko. 1992. Ekonomika Pembangunan. BPFE. Yogyakarta. Jhingan, M. L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wahyuni, N. 2006. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Ekonomi Kota Tangerang pada Masa Otonomi Daerah (2001-2005) [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Putra, A. 2004. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Jambi Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.
Ramadhani, R. 2007. Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Perekonomian Wilayah Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Saragih, J. P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Graha Indonesia, Jakarta. Soepono, P. 1993. “Analisis Shift Share: Perkembangan dan Penerapannya”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia BNEE. FE-UGM. Yogyakarta. Tambunan, T. 2001. Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Lampiran 1 PDRB Sulawesi Tenggara 1997-2005 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 1993 (dalam milyar rupiah) No.
Sektor Perekonomian
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
1
Pertanian
2
Pertambangan dan Galian
3
Industri Pengolahan
4
Listrik, Gas dan Air Minum
13,00
14,55
16,25
18,98
21,20
22,84
25,16
31,26
29,66
5
Bangunan dan Konstruksi
199,02
128,48
130,18
143,03
155,89
165,34
172,45
184,38
184,95
6
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
207,48
208,24
212,20
232,55
255,09
272,21
283,18
308,75
308,59
7
Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
142,03
155,25
168,18
191,21
214,25
232,91
257,07
291,94
281,24
91,22
72,74
75,40
80,09
85,15
93,63
114,32
135,19
124,37
Jasa Lainnya TOTAL
284,71
274,60
281,42
288,05
297,50
309,98
322,59
337,20
342,43
1.644,02
1.549,03
1.588,46
1.672,19
1.766,34
1.880,97
2.016,26
2.181,82
2.219,18
8 9
519,38
524,04
528,78
531,16
551,36
591,36
621,93
670,68
49,31
45,87
47,43
50,83
50,73
60,31
81,35
81,89
717,04 88,47
137,88
125,27
128,62
136,29
135,19
132,41
138,22
140,55
142,44
Lampiran 2 PDB 1997-2005 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 1993 (dalam milyar rupiah) No.
Sektor Perekonomian
1997 64.467,9
1998 63.609,6
1999 64.985,5
2000 66.208,6
2001 67.318,7
2002 69.757,4
2003 72.673,1
2004 75,608.6
38.538,2
37.474,0
36.865,9
38.896,2
39.401,3
40.473,1
40.761,5
38,883.4
40.094,08
107.629,8
95.320,7
99.058,6
104.986,9
108.272,4
112.889,2
117.868,7
124,134.3
129.805,28
5.479,8
5.646,0
6.113,0
6.574,9
7.111,9
7.568,1
7.964,0
8,408.2
8.937,88
Bangunan dan Konstruksi
35.346,3
22.465,2
22.035,6
23.278,7
24.308,2
25.640,6
27.350,6
29,585.7
31.781,35
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
73.523,8
60.130,7
60.093,7
63.498,3
65.824,6
68.333,2
70.891,4
74,801.6
81.073,64
Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
31.782,2
26.975,2
26.772,1
29.072,1
31.339,1
33.855,2
37.475,6
41,882.3
47.315,69
38.543,1
28.278,7
26.244,6
27.449,7
28.932,6
30.590,8
32.512,3
34,507.3
36.850,28
Jasa Lainnya TOTAL
37.934,5
36.475,0
37.184,2
38.051,5
39.245,6
40.079,9
41.460,0
42,984.3
45.154,63
433.245,6
376.375,1
379.353,2
398.016,9
411.754,4
429.187,5
448.957,2
470,795.7
498.628,89
1
Pertanian
2
Pertambangan dan Galian
3
Industri Pengolahan
4
Listrik, Gas dan Air Minum
5 6 7 8 9
2005 77.616,07
73
Lampiran 3 Rasio PDRB Provinsi Sulawesi tenggara dan PDB 1997-2005 Berdasarkan harga konstan 1993 (Ra, Ri, dan ri) A. Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-2000 No.
Sektor Perekonomian
PDRB Provinsi Sultra (Milyar Rupiah) 1997
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya TOTAL
2000
PDB (Milyar Rupiah) 1997
2000
Perubahan PDRB Provinsi Sultra Milyar Rupiah
Ra
Ri
ri
-0,08 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08 -0,08
0,03 0,01 -0,02 0,20 -0,34 -0,14 -0,09
0,02 0,03 -0,01 0,46 -0,28 0,12 0,35
-0,29 0,003
-0,12 0,01
Persen
519,38 49,31 137,88 13,00 199,02 207,48 142,03
531,16 50,83 136,29 18,98 143,03 232,55 191,21
64.467,9 38.538,2 107.629,8 5.479,8 35.346,3 73.523,8 31.782,2
66.208,6 38.896,2 104.986,9 6.574,9 23.278,7 63.498,3 29.072,1
11,78 1,52 -1,59 5,98 -55,99 25,07 49,18
2,27 3,08 -1,15 46,01 -28,13 12,08 34,62
91,22 284,71 1.644,02
80,09 288,05 1.672,19
38.543,1
27.449,7
37.934,5 433.245,6
38.051,5 398.016,9
-11,13 3,34 28,17
-12,20 1,17 1,71
-0,08 -0,08
74
B. Setelah Otonomi Daerah Tahun 2001-2005 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Perekonomian Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya TOTAL
PDRB Provinsi Sultra (Milyar Rupiah)
PDB (Milyar Rupiah)
2001 551,36 50,73 135,19 21,20 155,89
2005 717,04 88,47 142,44 29,66 184,95
2001 67.318,7 39.401,3 108.272,4 7.111,9 24.308,2
2005 77.616,07 40.094,08 129.805,28 8.937,88 31.781,35
255,09 214,25
308,59 281,24
65.824,6 31.339,1
81.073,64 47.315,69
85,15 297,50 1.766,34
124,37 342,43 2.219,18
28.932,6
36.850,28
39.245,6 411.754,4
45.154,63 498.628,89
Perubahan PDRB Provinsi Sultra
165,68 37,75 7,25 8,45 29,06
Persen 30,05 74,41 5,36 39,86 18,64
53,51 66,99
20,98 31,27
39,23 44,94 452,84
46,07 15,11 25,64
Milyar Rupiah
Ra 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21
Ri
ri
0,15 0,02 0,20 0,26 0,31
0,30 0,74 0,05 0,40 0,19
0,23 0,51
0,21 0,31
0,27 0,15
0,46 0,15
75
Lampiran 4 Contoh Perhitungan Rasio PDRB Provinsi Sulawesi Teggara dan PDB (Ra, Ri, dan ri)
No.
PDB (Milyar Rupiah)
Sektor Perekonomian
2001 (1) 1
67.318,7 411.754,4
Pertanian TOTAL
2005 (2)
77.616,07 498.628,89
PDRB Provinsi Sultra (Milyar Rupiah) 2001 (3)
551,36 1.766,34
2005 (4)
717,04 2.219,18
Perubahan PDRB Provinsi Sultra Milyar Rupiah (5)
165,68 452,84
Ra (7)
Ri (8)
ri (9)
0,21 0,21
0,15
0,30
2,10
2,82
Persen (6)
30,05 25,64
a. Perubahan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara Dalam contoh perhitungan ini, sektor ke-i adalah sektor pertanian dan wilayah ke-j adalah Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan demikian perubahan PDRB adalah sebagai berikut: ∆Yij
= (4) – (3)
∆Yij
= 717,04 – 551,36 = 165,68
b. Persentase Perubahan PDRB % ∆ PDRBij
= ((5) / (3)) * 100
% ∆ PDRBij
= (165,68/ 551,36) *100 = 30,05%
76
c. Ra Ra
= (Total (2) – Total (1)) / Total (1) = (498.628,89- 411.754,4) / 411.754,4 = 0.21
d. Ri Ri
= ((2) – (1)) / (1) = (77.616,07- 67.318,7) / 67.318,7 = 0,15
e. ri ri
= ((4) – (3)) / (3) = (717,04- 551,36) / 551,36 = 0,30
77
Lampiran 5 Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) dan Perhitungannya
No.
Sektor Perekonomian
PN (a) 1997-2000 Milyar Rupiah
PN 2001-2005 Milyar Rupiah
1
Pertanian
-42,23
116,33
2
Pertambangan dan Galian
-4,01
10,70
3
Industri Pengolahan
-11,21
28,52
4
Listrik, Gas dan Air Minum
-1,06
4,47
5
Bangunan dan Konstruksi
-16,18
32,89
6
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
-16,87
53,82
7
Angkutan dan Komunikasi
-11,55
45,20
8
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
-7,42
17,96
9
Jasa Lainnya
-23,15
62,77
Contoh Perhitungan •
Maka bila kita akan menghitung PN (a) untuk sektor pertanian adalah sebagai berikut: PNij
= (Ra)Yij
= (-0,08) x Rp. 519,38 milyar = Rp. -42,23 milyar
78
Lampiran 6 Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) dan Perhitungannya
No.
PP (a) 1997-2000 Milyar Rupiah
Sektor Perekonomian
Persen
PP 2001-2005 Milyar Rupiah
Persen
1
Pertanian
56,26
10,83
-31,99
-5,80
2
Pertambangan dan Galian
4,47
9,06
-9,81
-19,34
3
Industri Pengolahan
7,83
5,68
-1,64
-1,21
4
Listrik, Gas dan Air Minum
3,65
28,12
0,97
4,58
5
Bangunan dan Konstruksi
-51,76
-26,01
15,04
9,64
6
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
-11,42
-5,50
5,27
2,07
7
Angkutan dan Komunikasi
-0,56
-0,40
64,02
29,88
8
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
-18,84
-20,65
5,34
6,27
9
Jasa Lainnya
24,03
8,44
-17,97
-6,04
Contoh Perhitungan •
Maka bila kita akan menghitung PP (a) untuk sektor pertanian adalah sebagai berikut: PPij
= (Ri- Ra)Yij = (0,03 – (-0,08)) x 519,38 = 56,26 milyar rupiah
•
Sedangkan untuk menghitung persentasenya adalah sebagai berikut: % PP = (PP / PDRB tahun dasar) * 100 = (56,26 / 519,38) * 100 = 10,83 %
79
Lampiran 7 Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) dan Perhitungannya
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Perekonomian Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan dan Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa Lainnya
PPW (a) 1997-2000 Milyar Rupiah -5,194 1,06 1,80 3,38 11,96 53,36 61,29 15,13 2,47
Persen -1,00 2,15 1,30 26,02 6,01 25,72 43,15 16,58 0,87
PPW 2001-2005 Milyar Rupiah 81,34 36,85 -19,63 3,01 -18,87 -5,59 -42,24 15,93 0,14
Persen 14,75 72,66 -14,52 14,19 -12,10 -2,19 -19,71 18,71 0,05
Contoh Perhitungan •
Maka bila kita akan menghitung PPW (a) untuk sektor pertanian adalah sebagai berikut: PPWij = (ri- Ri)Yij
= (0,02 – 0,03) x 519,38 = -5,194 milyar rupiah
•
Sedangkan untuk menhitung persentasenya adalah sebagai berikut: % PPW
= (PPW / PDRB tahun dasar) * 100 = (-5,194 / 519,38) * 100 = -1,00 %
80
Lampiran 8 Komponen Pergeseran Bersih (PB) dan Perhitungannya
No.
Sektor Perekonomian
PB (a) 1997-2000 Milyar Rupiah
Persen
PB 2001-2005 Milyar Rupiah
Persen
1
Pertanian
51,06
9,83
49,35
8,95
2
Pertambangan dan Galian
5,53
11,21
27,04
53,32
3
Industri Pengolahan
9,62
6,98
-21,27
-15,73
4
Listrik, Gas dan Air Minum
7,04
54,14
3,98
18,76
5
Bangunan dan Konstruksi
-39,80
-20,00
-3,83
-2,46
6
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
41,94
20,22
-0,31
-0,12
7
Angkutan dan Komunikasi
60,73
42,76
21,78
10,17
8
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
-3,71
-4,07
21,26
24,97
9
Jasa Lainnya
26,50
9,31
-17,83
-5,99
Contoh Perhitungan •
Maka bila kita akan menghitung PB (a) untuk sektor pertanian adalah sebagai berikut: PBij
•
= PPij + PPWij = 56,26 + (-5,194) = 51,06 milyar rupiah Sedangkan untuk menghitung persentasenya adalah sebagai berikut: % PB = (PB / PDRB tahun dasar) * 100 = (51,06 / 519,38) * 100 = 9,83 %
81