ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI
R. HIKMAT KURNIAWAN
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Analisis Periodisitas Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut di Indonesia dan Hubungannya dengan Aktivitas Matahari
R. Hikmat Kurniawan G02499041
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Agrometeorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN R. HIKMAT KURNIAWAN. Analisis Periodisitas Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut di Indonesia dan Hubungannya dengan Aktivitas Matahari. Di bawah bimbingan IDUNG RISDIYANTO dan THOMAS DJAMALUDDIN. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perubahan cuaca dan iklim di bumi, salah satunya adalah faktor aktivitas matahari, dengan indikator bintik matahari (sunspot) yang memiliki siklus 11 tahun. Penambahan fluks radiasi matahari diduga mempengaruhi kondisi atmosfer lapisan atas. Berbagai data dan metode telah digunakan untuk menganalisis hubungan antara parameter kosmogenik dan iklim. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan permukaan laut di beberapa tempat. Keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut dilihat dengan analisis spektral menggunakan tehnik wavelet, yaitu Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ). Indikasi kemungkinan pengaruh aktivitas matahari dilakukan dengan mengidentifikasi periode-periode dominan 11 tahunan yang ditunjukkan pada grafik-grafik WWZ dan Winsurf pada parameter suhu dan tekanan paras muka laut. Pengujian data suhu dan tekanan paras muka laut pada 3 kota, yaitu Jakarta, Medan, dan Ambon, serta pada 4 periode musim (Desember-Februari, Maret-Mei, Juni-Agustus, dan September-November) bertujuan untuk membandingkan perbedaan pengaruh tersebut pada tempat dan waktu yang berbeda. Hasil menunjukkan bahwa masing-masing wilayah dan periode musim memiliki periodeperiode siklus yang beragam. Namun secara umum periode dominan 11 tahunan terdapat pada sebagian besar data iklim. Sedangkan jika diinterpretasi evolusi tahunnya, hanya sebagian kecil data yang menunjukkan adanya periode-periode dominan akibat siklus bintik matahari. Meskipun sebaran data suhu dan tekanan paras muka laut berada di dalam kisaran data bintik matahari, korelasi kedua parameter tidak dapat dihubungkan secara langsung. Pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan memerlukan waktu tunda yang bervariasi dari hitungan bulan sampai tahun.
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Analisis Periodisitas Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut di Indonesia dan Hubungannya dengan Aktivitas Matahari
Nama
: R. Hikmat Kurniawan
NRP
: G02499041
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Thomas Djamaluddin
Idung Risdiyanto, MSc.IT. NIP. 132 206 238
NIP. 300 001 126
Mengetahui Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS. NIP. 131473999
Tanggal disetujui :
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil alamin, puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, kuasa, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menuelesaikan Laporan Skripsi, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Jurusan Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam meyusun laporan skripsi ini banyak kelemahan dan kekurangan. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada : 1.
Bapak Idung Risdiyanto MSc.IT. Selaku Pembimbing I
2.
Bapak Dr. Thomas Djamaluddin sebagai Pembimbing II. Terima kasih atas segalanya
3.
Bapak Dr. Ir. Yonny Koesmaryono MS. sebagai Pembimbing Akademik
4.
Keluarga tercinta yang selalu memanjatkan doa dan memberikan dukungan selama ini
5.
Ndo, rekan-rekan dan seluruh staf dosen serta tata usaha Jurusan Agrometeorologi IPB
6.
Semua pihak yang telah membantu penulis namun yang tidak tersebutkan satu persatu. Terima kasih banyak Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi kepentingan
banyak pihak. Terima kasih.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 22 April 1982 di Bandung. Penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara dari pasangan Lilis Sulaeha dan R. Aen Harnaen. Penulis lulus dari SMU PGRI Bandung pada tahun 1999 dan diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN pada tahun yang sama. Selama masa perkuliahan penulis aktif di HIMAGRETO (2000-2002), BEM FMIPA (2001/2002), BKIM IPB (2000/2001), dan berbagai kepengurusan acara lainnya.
DAFTAR ISI Teks
Halaman
DAFTAR ISI
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1
1.2. Tujuan
1
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bintik Matahari (Sunspot)
2
2.2. Suhu Udara
3
2.3. Tekanan Paras Muka Laut (Sea Level Pressure)
3
2.4. Karakteristik Geografis Wilayah Jakarta, Medan, dan Ambon
4
2.5. Hubungan-hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Tekanan Muka Paras Laut
4
2.6. Hubungan-hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu
5
2.7. Weighted Wavelet Z-Transform
6
III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
6
3.2. Alat dan Bahan
6.
3.3. Metode Penelitian
6
Studi Pustaka
6
Pengolahan Data
6
Analisis Periode Dominan Menggunakan Program Weighted Wavelet ZTransform (WWZ)
7
Analisis Evolusi Periode Dominan dengan Pemetaan Winsurf
8
Analisis Periodisitas untuk Identifikasi Faktor Aktivitas Matahari Terhadap Parameter Iklim
8
Analisis Kuantitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Iklim
8
Analisis Kualitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Iklim
8
Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ
9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Studi Pustaka
9
4.2. Analisis Periode Dominan Menggunakan Program Weighted Wavelet ZTransform (WWZ) 4.3. Analisis Evolusi Periode Dominan dengan Pemetaan Winsurf
10 16
4.4. Analisis Periodisitas untuk Identifikasi Faktor Aktivitas Matahari Terhadap
19
Parameter Iklim 4.5. Analisis Kuantitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Iklim
21
4.6. Analisis Kualitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Iklim
21
4.7. Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ
23
V. KESIMPULAN DAN SARAN
25
VI. DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
No
Teks
1.
Fluktuasi Tahun Maksimum dari Periode Sunspot
2.
Variasi Bilangan Bintik Matahari dan Prediksinya
3.
Halaman 2 3 -2
Amplitudo Respon Perubahan Suhu Permukaan Terhadap Forcing Irradiansi 1 Wm -2
5 5
4.
Selang Waktu Respon (dalam bulan) Setelah Forcing Matahari 1 Wm
5.
Tampilan Program NDP041
7
6.
Tampilan Program WWZ11
7
7.
Grafik WWZ Data Bilangan Bintik Matahari
10
8.
Grafik WWZ Data Bilangan Bintik Matahari (Periode Desember-Februari)
10
9.
Grafik WWZ Data Bilangan Bintik Matahari (Periode Maret-Mei)
10
10. Grafik WWZ Data Bilangan Bintik Matahari (Periode Juni-Agustus)
10
11. Grafik WWZ Data Bilangan Bintik Matahari (Periode September-November)
10
12. Grafik WWZ Data Suhu Jakarta
11
13. Grafik WWZ Data Suhu Jakarta (Periode Desember-Februari)
11
14. Grafik WWZ Data Suhu Jakarta (Periode Maret-Mei)
11
15. Grafik WWZ Data Suhu Jakarta (Periode Juni-Agustus)
11
16. Grafik WWZ Data Suhu Jakarta (Periode September-November)
11
17. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Jakarta
11
18. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Periode Desember-Februari)
12
19. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Periode Maret-Mei)
12
20. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Periode Juni-Agustus)
12
21. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Periode September-November)12 22. Grafik WWZ Data Suhu Medan
12
23. Grafik WWZ Data Suhu Medan (Periode Desember-Februari)
13
24. Grafik WWZ Data Suhu Medan (Periode Maret-Mei)
13
25. Grafik WWZ Data Suhu Medan (Periode Juni-Agustus)
13
26. Grafik WWZ Data Suhu Medan (Periode September-November)
13
27. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Medan
13
28. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Medan (Periode Desember-Februari)
13
29. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Medan (Periode Maret-Mei)
13
30. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Medan (Periode Juni-Agustus)
13
31. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Medan (Periode September-November)13 32. Grafik WWZ Data Suhu Ambon
14
33. Grafik WWZ Data Suhu Ambon (Periode Desember-Februari)
14
34. Grafik WWZ Data Suhu Ambon (Periode Maret-Mei)
14
35. Grafik WWZ Data Suhu Ambon (Periode Juni-Agustus)
14
36. Grafik WWZ Data Suhu Ambon (Periode September-November)
14
37. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Ambon
15
38. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Periode Desember-Februari) 15 39. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Periode Maret-Mei)
15
40. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Periode Juni-Agustus)
15
41. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Periode September-November)15 42. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan Suhu Jakarta
23
43. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan SLP Jakarta
23
44. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan Suhu Medan
24
45. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan SLP Medan
24
46. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan Suhu Ambon
24
47. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan SLP Ambon
24
DAFTAR TABEL
No
Teks
1.
Penelitian-penelitian Hubungan Matahari dengan Parameter Iklim di Indonesia
2.
Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Wilayah Berdasarkan Evolusi Periode Data
3.
Halaman 9 20
2
Nilai Koefisien Korelasi (R ) Bintik Matahari (SSN) dengan Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut
21
4.
Nilai WWZ, Tahun, dan Periode yang Sama antara Bintik Matahari (SSN) dengan Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut
22
5.
Nilai WWZ Iklim Saat Bintik Matahari Maksimum
22
6.
Nilai WWZ Iklim Saat Bintik Matahari Minimum
22
7.
Sebaran Nilai WWZ Data Bintik Matahari, Suhu, dan Tekanan Paras Muka Laut (Normalisasi)
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.Grafik Winsurf Bintik Matahari Bulanan Lampiran 2.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Bulanan Lampiran 3.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta Bulanan Lampiran 4.Grafik Winsurf Suhu Medan Bulanan Lampiran 5.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan Bulanan Lampiran 6.Grafik Winsurf Suhu Ambon Bulanan Lampiran 7.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon Bulanan Lampiran 8.Grafik Winsurf Bintik Matahari (Desember-Februari) Lampiran 9.Grafik Winsurf Suhu Jakarta (Desember-Februari) Lampiran 10.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Desember-Februari) Lampiran 11.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Medan (Desember-Februari) Lampiran 12.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (Desember-Februari) Lampiran 13.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Ambon (Desember-Februari) Lampiran 14.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Desember-Februari) Lampiran 15.Grafik Winsurf Bintik Matahari (Maret-Mei) Lampiran 16.Grafik Winsurf Suhu Jakarta (Maret-Mei) Lampiran 17.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Maret-Mei) Lampiran 18.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Medan (Maret-Mei) Lampiran 19.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (Maret-Mei) Lampiran 20.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Ambon (Maret-Mei) Lampiran 21.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Maret-Mei) Lampiran 22.Grafik Winsurf Bintik Matahari (Juni-Agustus) Lampiran 23.Grafik Winsurf Suhu Jakarta (Juni-Agustus) Lampiran 24.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Juni-Agustus) Lampiran 25.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Medan (Juni-Agustus) Lampiran 26.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (Juni-Agustus)
23
Lampiran 27.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Ambon (Juni-Agustus) Lampiran 28.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Juni-Agustus) Lampiran 29.Grafik Winsurf Bintik Matahari (September-November) Lampiran 30.Grafik Winsurf Suhu Jakarta (September-November) Lampiran 31.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (September-November) Lampiran 31.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Medan (September-November) Lampiran 33.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (September-November) Lampiran 34.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Ambon (September-November) Lampiran 35.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (September-November) Lampiran 36.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu Jakarta Lampiran 37.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Tekanan Paras Muka Laut Jakarta Lampiran 38.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu Medan Lampiran 39.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Tekanan Paras Muka Laut Medan Lampiran 40.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu Ambon Lampiran 41.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Tekanan Paras Muka Laut Ambon Lampiran 42. Diagram Alur Penelitian.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cuaca dan iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan manusia. Aktivitas manusia berperan dalam perubahan cuaca maupun iklim dalam cakupan ruang yang kecil hingga global. Selain faktor antropogenik (aktivitas manusia), perubahan cuaca dan iklim juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Sebagai negara maritim yang terletak di ekuator, variabilitas iklim di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor. Secara geografis, Indonesia terletak di wilayah tropika, terapit oleh dua daratan luas (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik) serta karakteristik wilayahnya yang berbentuk kepulauan. Kondisi demikian membuat faktor-faktor yang mempengaruhi iklim di Indonesia menjadi lebih kompleks. Selain didasarkan pada faktor kondisi atmosfer, faktor lain yang juga semakin diperhitungkan dalam penelitian cuaca dan iklim adalah faktor kosmogenik, seperti aktivitas matahari. Matahari sebagai sumber energi bumi sejak lama dianggap sangat mempengaruhi iklim. Pegerakan rotasi bumi dan revolusi tahunan serta aktivitas yang terjadi di permukaannya berpengaruh pada komposisi panas yang dipancarkan sehingga berakibat pada jumlah penerimaan radiasi di setiap tempat yang kemudian berpengaruh pula terhadap unsur-unsur iklim lainnya, seperti suhu udara dan tekanan paras muka laut (sea level pressure). Berbagai data dan metode telah digunakan untuk menganalisis hubungan antara parameter iklim dan aktivitas matahari. Namun hingga kini belum ada teori yang mampu menjelaskan secara pasti bagaimana mekanisme fisis keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap perubahan cuaca dan iklim di atmosfer. Banyak faktor yang membuat pengaruh aktivitas matahari terhadap cuaca dan iklim di bumi tidak dapat berpengaruh langsung, seperti adanya sinar kosmik di angkasa dan partikel-partikel udara bebas di atmosfer bumi. Ada suatu kemungkinan terdapat sinyal-sinyal periodik lain yang lebih kuat yang akan berakibat melemahkan sinyal bintik matahari. (Pambudi, 2000). Pada penelitian ini, penentuan hubungan aktivitas matahari terhadap iklim dilakukan dengan analisis periodisitas (spektral) menggunakan tehnik wavelet, yaitu tehnik analisis spektrum yang
digunakan untuk mendapatkan dan mengkuantifikasi komponen-komponen periodik dari suatu data runtut waktu ( time series ). Keterpengaruhan dilihat dari pola evolusi periodisitas antara parameter iklim dan kosmogenik, serta dari korelasi dan waktu tunda (timelag) antara kedua parameter sebagai pelengkap. 1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui evolusi periodisitas bilangan bintik matahari, suhu udara, dan tekanan paras muka laut stasiun cuaca Jakarta, Medan, dan Ambon, dengan metode WWZ. 2. Mengetahui keterkaitan antara bintik matahari dengan suhu udara dan tekanan paras muka laut ketiga kota berdasarkan analisis WWZ.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bintik Matahari ( Sunspot ) Di permukaan matahari terjadi gejolak– gejolak yang kadang menguat dan kadang melemah yang dikenal dengan aktivitas matahari. Salah satu bentuk aktivitas matahari adalah bintik matahari atau dikenal dengan sunspot. Kombinasi aktivitas matahari dan magnetiknya diduga berperan besar pada siklus aktivitas matahari (Djamaluddin, 2001). Bintik yang terjadi di lapisan fotosfer matahari memiliki suhu relatif rendah (4000K) dari sekitar (6000K). Strukturnya terdiri dari umbra dan penumbra. Umbra terletak di bagian dalam bintik dan memiliki suhu yang relatif rendah (4500K) sehingga warnanya lebih gelap daripada penumbra. Diameter umbra kurang lebih setengah dari diameter bintik matahari total. Untuk bintik kecil, batas antara umbra dan penumbra tidak jelas sehingga sulit untuk dijelaskan. Bintik matahari merupakan suatu fenomena akibat adanya aktivitas magnetik yang terjadi di dalam matahari itu sendiri. Di permukaan matahari kadang terjadi pusaran gas yang hebat dimana terjadi rotasi partikel-partikel bebas yang menimbulkan arus dan menimbulkan medan magnet. Di dalam pusat matahari terjadi rekasi inti dengan mengeluarkan panas bersuhu tinggi (orde jutaan Kelvin) sehingga semua atom atom dan gasnya terionisasi. Tekanan dipusat matahari lebih tinggi daripada di luarnya sehingga partikel partikel tadi berusaha untuk keluar menuju ke permukaan. Aliran partikel dari bawah permukaan tidak dapat melewati medan magnet, melainkan dibelokkan sehingga menyebar ke samping, yang berakibat di bagian tersebut bersuhu lebih tinggi dari bagian dalam atau kabur gelap (Pambudi,2000) Bintik matahari bisa diamati dengan menggunakan teleskop dan akan tampak bintik-bintik hitam dipermukaan matahari. Bintik matahari muncul secara berkelompok tetapi ada juga yang secara individu. Ukuran kelompok bintik bervariasi dari 10.000 km untuk bintik ukuran sedang hingga 50.000 km untuk bintik ukuran besar. Ukuran bintik selalu berubah terhadap posisi dan waktu. Bintik yang berukuran kecil sering bertahan dalam hitungan hari sedangkan bintik berukuran besar dapat bertahan lebih dari sebulan. Bintik matahari tidak hanya periodik dalam hal bilangan (jumlah) tetapi
juga terhadap posisi lintang matahari. Pada awal siklus baru, bintik mulai muncul pada sabuk 30°LU dan 30°LS matahari. “sabuk” ini kemudian begerak menuju ekuator. Bintik akan terlihat jelas dan mencapai maksimum pada sabuk 16°LU dan 16°LS. Setelah itu aktivitasnya akan menyusut dan akhirnya menghilang disekitar 8°LU dan 8°. Pada pusat tata surya, tidak ada fenomena lain selain bintik matahari yang kemunculannya bersifat periodik. Selama satu periode waktu, beratus-ratus bintik matahari mungkin membentuk kelompok kelompok besar tetapi pada satu waktu yang lain sama sekali tidak ditemukan bintik. Periode tersebut dinamakan periode “matahari tenang”, jika sebaliknya dinamakan “matahari aktif”. Periode bintik matahari adalah 11.1 tahun yaitu hasil perataan selama 80-90 tahun, bervariasi antara 9-14 tahun. Setiap satu siklus bintik matahari (sunspot cycle) terjadi periode solar max dan periode solar min (Christiany,2002)
Gambar 1. Fluktuasi tahun maksimum dari sunspot number (Djamaluddin, 2005).
Pada tahun 1948, Rudolf Wolf merumuskan bilangan bintik matahari harian untuk memperkirakan keaktifan matahari berdasarkan sunspot number “R”. adapun persamaannya adalah : R = k (10g+f) dengan f adalah total bintik matahari yang tampak pada permukaan mataharinya, g adalah jumlah total grup bintik matahari, k adalah faktor reduksi yang tergantung pada pengamat dan jenis teleskop yang sedang digunakan, agar setara dengan perhitungan wolf yang didefinisikan k=1. Bilangan bintik matahari tersebut merupakan sebuah index basis harian, tetapi karena variasi antar harinya besar maka menjadi basis bulanan dan tahunan (Thompson, 1985)
Gambar 2. Variasi bilangan bintik matahari dan prediksinya (http://science.nasa.gov/ast14oct99_1.htm).
Pada Gambar 2 ditunjukkan variasi bilangan bintik matahari dari tahun 1995 hingga 1999 dan prediksinya sampai tahun 2007. Pengamatan bintik matahari pertama kali diamati dengan menggunakan teleskop dimulai pada tahun 1611. Penelitian bintik matahari terus berlangsung hingga kini dengan metode dan teknologi yang lebih maju sehingga pengkajiannya menjadi lebih berkembang. 2.2. Suhu Udara Suhu mencerminkan energi kinetik ratarata dari pergerakan molekul-molekul. Pada udara, energi kinetik dijabarkan sebagai setengah dari perkalian massa sebuah molekul dengan kecepatan kuadrat rata- rata dari gerakan molekul tersebut. Pada lapisan troposfer, secara umum suhu makin rendah menurut ketinggian. Rata-rata penurunan suhu berdasarkan ketinggian di Indonesia sekitar 5-6°C tiap kenaikan 1 km. Variasi suhu menurut tempat dipengaruhi juga oleh posisi daerah tersebut terhadap daratan dan lautan serta keadaan unsur iklim, seperti perawanan. Di daerah tropika fluktuasi suhu rata-rata harian relatif konstan sepanjang tahun sedangkan fluktuasi suhu diurnal lebih besar daripada fluktuasi suhu rata-rata harian. Waktu tunda antara radiasi surya maksimum dan suhu maksimum adalah sekitar 2 jam. (Handoko et al). 2.3. Tekanan Paras Muka Laut (Sea Level Pressure) Tekanan paras muka laut merupakan besaran tekanan udara di suatu tempat pada level permukaan laut (0 mdpl). Besarnya tekanan paras muka laut dapat dikonversi dari tekanan udara stasiun dengan persamaan : -dp = g ρ dz dengan dp adalah perubahan tekanan udara, g adalah gravitasi, ρ adalah kerapatan udara,
dan dz adalah perubahan ketinggian. Artinya bahwa, tekanan pada ketinggian z adalah sebanding dengan massa (berat) udara pada kolom vertikal pada ketinggian tersebut. Tekanan udara adalah gaya berat kolom udara dari permukaan tanah sampai puncak atmosfer persatuan luas (Handoko, 1995). Tekanan udara pada setiap titik merupakan berat total udara di atas titik tersebut persatuan luas. Tekanan udara berkurang dengan bertambahnya ketinggian, karena lapisan atmosfer yang makin tipis. Kita dapat menghubungkan tekanan baik dengan suhu maupun perubahan kerapatan (ρ) karena faktor- faktor ini mempengaruhi jumlah molekul pada volume udara tertentu dan kecepatan geraknya. Kerapatan udara rendah disebabkan oleh jumlah molekul yang sedikit persatuan volume, berakibat pada tekanan udara yang rendah. Kerapatan dapat diubah dengan mengurangi jumlah energi kinetik molekul- molekul udara pada suatu volume udara tanpa merubah massanya. Kecepatan gerak molekul-molekul udara dipengaruhi oleh suhu, apabila suhu meningkat energi kinetiknya makin tinggi, sehingga semakin cepat molekul- molekul udara bergerak. Oleh karena itu untuk suatu volume udara tetap, tekanannya akan semakin tinggi dengan bertambahnya suhu. Kenaikan suhu akan menyebabkan molekul-molekul lebih aktif bergerak dan tumbukan yang lebih sering terjadi akan mengakibatkan naiknya tekanan apabila volumenya tetap. Variasi tekanan secara horisontal lebih kecil dibandingkan secara vertikal. Hubungan antara kerapatan, tekanan dan suhu udara untuk lapisan troposfer dapat dijelaskan sebagai berikut : - berdasarkan persamaan hidrostastik : dp = - g ρ dz dengan dp adalah perubahan tekanan, ρ adalah kerapatan udara, g adalah gravitasi dan dz adalah perubahan ketebalan lapisan udara. - menurut persamaan gas ideal : PV=nRT dengan n adalah jumlah mol. R adalah tetapan Boltzman (8,3143 JK-1mol-1), V adalah volume udara, dan T adalah suhu mutlak (dalam Kelvin).
2.4. Karakteristik Geografis Wilayah Jakarta, Medan dan Ambon. Indonesia merupakan salah satu wilayah bumi yang terletak di wilayah tropika, yaitu wilayah yang terletak antara 23,5°LU dan 23,5°LS. Tipe iklim tropika dicirikan dengan suhu, kelembapan, penguapan, dan curah hujan yang tinggi. Daerah tropika menerima jumlah radiasi matahari yang relatif lebih banyak sehingga tekanan udaranya lebih rendah dibanding sekitarnya, oleh sebab itulah wilayah tropika termasuk kedalam zona divergensi inter tropika (ITCZ). Menurut Koppen, tropika termasuk kedalam tipe iklim A dimana suhu bulan terdingin >18°C. 2.4.1. Jakarta Terletak pada 1060BT dan 60LS, berada di lautan rendah pantai utara pulau Jawa bagian barat. Wilayah bagian selatan relatif lebih berbukit dibandingkan dengan wilayah bagian utara sampai sekitar 10 km ke selatan dan memiliki ketinggian maksimum 7 mdpl. Pada lokasi tertentu letaknya malah berada di bawah permukaan laut, bahkan terdapat pula penurunan muka tanah. Jakarta beriklim panas. Pada tahun 1986 suhunya rata-rata 31,70C pada siang hari, sedangkan pada malam hari mencapai 23,90C. Perbedaan suhu udara rata-rata antara musim hujan dan kemarau tidak mencolok. Kelembapan udara rata-rata tahun 1985 adalah 78%. Curah hujan mencapai 1935 mm pada tahun 1986, tertinggi pada bulan Januari, terendah 52,4m pada bulan Oktober (Depdikbud, 1991). 2.4.2. Medan Medan terletak di bagian timur sebelah utara propinsi Sumatera Utara (yang terletak pada ketinggian 0 – 2829 mdpl, antara 10LU – 40LU dan 980BT – 1000BT). Dataran rendahnya ada yang berupa pantai, seperti di pantai timur, tetapi ada juga yang bergelombang. Dataran tingginya ada yang berupa pegunungan rendah dengan ketinggian 25 – 300 mdpl. Medan beriklim tropis tanpa suhu tertinggi yang ekstrim (Depdikbud, 1991). 2.4.3. Ambon Ambon berada pada posisi 128,080BT dan 3,70LS terletak di kepulauan wilayah timur Indonesia. Topografi kota Ambon dan juga wilayah lainnya di Maluku adalah kepulauan dengan tanah yang bergelombang dan berpegunungan dan sebagian dataran
rendah. Karena bentang wilayahnya yang sangat luas, maka masing-masing pulau ini memiliki iklim lokal sendiri. Angin laut sangat berpengaruh terhadap iklim di wilayah ini sehingga iklim lokal dapat menyimpang sama sekali. Suhu rata-ratanya mencapai 26,30C dengan suhu minimum 15,10C dan suhu maksimum 330C (Depdikbud, 1991). 2.5. Hubungan-hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Tekanan Paras Muka Laut. Tidak semua aktivitas matahari berpengaruh pada iklim bumi. Hal ini karena bumi mempunyai medan magnet yang dapat menahan sebagian besar angin matahari. Ada suatu keuntungan yang sangat besar dimana bumi mempunyai medan magnet, garis-garis medan magnet bumi, magnetosfer, akan melindungi atmosfer dari hujan partikel kosmis (Pambudi, 2000). Adapun parameter aktivitas matahari yang cukup mempengaruhi bumi diantaranya adalah bintik matahari (Syahrina, 2005). Aktivitas matahari berhubungan dengan cuaca dan iklim dalam skala yang luas. Emisi gelombang pendek yang berasal dari letusan di permukaan matahari mampu mempengaruhi tingkat pemanasan pada atmosfer bumi hanya dalam waktu tunda yang relatif pendek, kemudian pola sirkulasi atmosfer ke arah kutub pada daerah lintang tinggi. Indikator yang dapat diamati dengan jelas yaitu perubahan tekanan paras muka laut yang bertambah besar dari daerah lintang yang mendapatkan suplai panas maksimum (ekuator) (Pambudi, 2000). Christoforou dan Hameed (1997) (dalam Djamaluddin, 2001) menganalisis hubungan aktivitas matahari (indikator bintik matahari) terhadap aktivitas cuaca di Pasifik. Dua daerah sistem tekanan semi permanen di Pasifik belahan utara, yaitu Aleut (350 – 700LU, 1200BB – 130BT) yang bertekanan rendah, dan Hawaii (200 – 500LU, 1000BB – 1400BT) yang bertekanan tinggi, dianalisis perubahan lokasi pusat tekanannya selama Desember – Januari tahun 1900-1994. Hasilnya menunjukkan adanya pengelompokkan yang signifikan. Pada saat aktivitas matahari minimum, pusat tekanan rendah Aleut berpindah sejauh ratarata 700 km ke arah timur, sedangkan pusat tekanan tinggi Hawaii berpindah ke utara dari sekitar 31,60LU ke sekitar 33,20LU.
2.6. Hubungan-hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu. Pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu udara di bumi diteliti oleh beberapa ilmuwan di dunia. Respon suhu udara permukaan global terhadap variabilitas aktivitas matahari 11 tahunan diteliti Stevens dan North (1996) (dalam Djamaluddin, 2001) dengan memanfaatkan data suhu udara permukaan jangka panjang (19341993) dan data irradiansi matahari yang dikalibrasi dengan data bintik matahari. Mereka menunjukkan (gambar 3 dan 4) bahwa perubahan suhu udara global dipengaruhi oleh aktivitas matahari. Pengaruh terbesar terjadi di daratan dekat ekuator, terutama wilayah Arab dan Afrika utara yang merespon perubahan irradiansi matahari 1 Wm-2 dengan perubahan suhu sekitar 0,060C dan di Amerika selatan dengan 0,050C. Sedangkan di Indonesia sekitar 0,045-0,050C. Dari simulasi itu juga ditunjukkan bahwa respon aktivitas matahari terhadap suhu itu tidak langsung, tetapi ada selang waktu 8-24 bulan. Asia tengah paling cepat merespon, hanya dengan selang waktu 8 bulan, sedangkan Indonesia sekitar 18 bulan.
Gambar 3. Amplitudo respon perubahan suhu udara permukaan terhadap forcing irradiansi 1 Wm-2. (dalam Djamaluddin, 2001).
Gambar 4. Selang waktu respon (dalam bulan) setelah forcing matahari 1 Wm-2. (dalam Djamaluddin, 2001).
Friis-Christensen dan Lassen (1991,1994) (dalam Djamaluddin, 2001) menunjukkan hal lain bahwa hubungan aktivitas matahari (dengan indikator bilangan bintik matahari) dan suhu
permukaan sulit diinterpretasikan bila dikorelasikan secara langsung. Walaupun menunjukkan yang mirip tetapi perubahan suhu udara ternyata mendahului 20 tahun daripada perubahan bilangan bintik matahari. Mereka lalu menunjukkan perubahan suhu permukaan rata-rata global (1750-1990) ternyata berkorelasi sangat baik dengan panjang siklus aktivitas matahari, bukan dengan bilangan bintik mataharinya. Sedangkan Charvatova dan Strestik (1995) (dalam Djamaluddin, 2001) menunjukkan bahwa dari analisis data suhu udara permukaan jangka panjang dijumpai indikasi peranan gerak inersial matahari di sekitar pusat massa surya. Dengan membandingkan antara spektra periodisitas bilangan bintik matahari dan gerak inersia matahari, mereka menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pada saat gerak matahari teratur (pada rentang waktu 17271777 dan 1906-1956), suhu udara permukaan relatif lebih hangat dibandingkan saat gerakan tidak teratur. Lean (1991) (dalam Djamaluddin, 2001) mengungkapkan bahwa perbedaan irradiansi (solar constant) antara saat siklus matahari minimum dan maksimum adalah 0,1%. Perubahan tingkat irradiansi matahari dari aktivitas minimum ke maksimum yang sekitar 0,1% hanya berdampak pada pengurangan pemanasan langsung di permukaan bumi sekitar 0,25 Wm-2 (Schiffer dan Unninayar, 1991) (dalam Djamaluddin, 2001) dan perubahan suhu global 0,020C (Foukal dan Lean, 1990) (dalam Djamaluddin, 2001). Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Svensmark (1998) menyatakan bahwa pada dekade-dekade akhir, variasi suhu bumi lebih mendekati variasi flux sinar kosmik dan panjang siklus matahari, dibanding parameter aktivitas matahari lainnya. Kesimpulan utamanya bahwa gejala-gejala di heliosfer dapat mempengaruhi iklim bumi. Selain itu Svensmark bersama Christensen juga meneliti hubungan flux sinar kosmik dengan penutupan awan global yang menyimpulkan bahwa variasi sistem penutupan awan global selama siklus aktivitas matahari terakhir dapat disebabkan oleh variasi aktivitas matahari 11 tahunan dari flux sinar kosmik meskipun hubungannya tidak bersifat langsung.
2.7. Weighted Wavelet Z-Transform WWZ) WWZ merupakan suatu metode analisis spektrum yang digunakan untuk menganalisis data runtut waktu (time series) yang tidak lengkap. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh G. Foster tahun 1996 untuk mendeteksi dan mengkuantifikasi sinyal periodik. Metode ini dikembangkan dalam piranti lunak oleh The American Association of Variable Star Observes (AAVSO). Awalnya metode ini dibuat untuk keperluan analisis data bintang variabel yang juga memerlukan evolusi periodisitasnya, namun karena segala data runtut waktu dapat digunakan dengan metode tersebut, maka penggunaannya dapat diperluas termasuk untuk data meteorologi dan astronomi lainnya. Keunggulan metode ini dibanding metode lain adalah WWZ memungkinkan untuk mendeteksi periode sesaat (transient periodic) dengan nilai periode, amplitude, dan fase yang senantiasa berubah-ubah (Djamaluddin, 1998b). Selain itu WWZ juga dapat memroses data yang tidak lengkap dan dapat menyeragamkan selang waktu dari setiap data runtut waktu tanpa perlu melakukan interpolasi sebelum memroses. Data hilang tidak masalah karena analisisnya bersifat sesaat. Metode lain yang digunakan untuk mendapatkan periodisitas atau komponenkomponen periodik yang lain dari suatu data runtut waktu lain mengharuskan masukan data yang lengkap dalam selang waktu yang tetap, padahal dalam kenyataannya data runtut waktu seringkali tidak lengkap atau selang waktu antar data tidak seragam. Cara yang biasa dilakukan adalah interpolasi, dengan periodisitas yang dihasilkan tidak tepat. Salah satu penggunaan wavelet untuk menganalisis aktivitas matahari dilakukan oleh Djamaluddin (2001) yang menyimpulkan bahwa periode aktivitas matahari bervariasi antara 9-13 tahun.
III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung pada bulan Januari-Mei 2006. 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah personal komputer dengan perangkat lunak pengolah kata, pengolah angka, notepad, Numerical Data Package (NDP) 041, Winsurf, dan Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ) 11. Bahan yang digunakan adalah data bulanan bintik matahari (Sunspot Number/SSN), suhu, dan tekanan paras muka laut (Sea Level Pressure / SLP) jangka panjang (18891988) stasiun kota Jakarta, Medan, dan Ambon. 3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Studi Pustaka Metode ini digunakan untuk mencari berbagai literasi dan referensi keterkaitan suhu udara dan tekanan paras muka laut dengan aktivitas matahari (dengan indikator bintik matahari). 3.3.2. Pengolahan Data Pengolahan awal yang dilakukan adalah mengelompokkan data bilangan bintik matahari, suhu udara, tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon (periode Desember-Februari, Maret-Mei, JuniAgustus, dan September-November). Periode didasarkan pada perbedaan posisi matahari terhadap letak lintang bumi sehingga mempengaruhi jumlah penerimaan intensitas radiasi matahari yang kemudian berpengaruh pada suhu dan tekanan udara. Wilayah kajian yang dianalisis adalah Jakarta, Medan, Ambon didasarkan atas perbedaan pola curah hujan masing-masing wilayah, dimana Jakarta berpola hujan monsoon (puncak hujan pada musim panas), Medan berpola bimodal (dua puncak hujan dalam setahun), dan Ambon berpola lokal (puncak hujan pada musim dingin). Pengelompokkan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan suhu dan tekanan paras muka laut pada masing-masing periode, serta keterkaitannya dengan keterpengaruhan aktivitas matahari. Proses selanjutnya adalah memanggil data bilangan bintik matahari, suhu udara, dan tekanan paras muka laut. Data bilangan
bintik matahari didapatkan dari solar index data center (SIDC) Belgia yang dapat didownload melalui situs www.sidc.oma.be/data/monthssn.dat. sedangkan suhu udara dan tekanan paras muka laut untuk Jakarta, Medan, dan Ambon menggunakan program basis data parameter iklim NDP041 buatan Vose, et al. (1992), parameter iklim yang tersedia adalah curah hujan ( R ), suhu ( T ), tekanan udara ( P1 ), dan tekanan paras muka laut ( P2 ) beberapa stasiun cuaca seluruh dunia. T. Djamaluddin mengekstraknya untuk data iklim Indonesia.
Gambar 5. Tampilan program NDP041.
Berdasarkan keperluan pertimbangan data kosong, data dari NDP041 dipisah ke dalam meteo2 dan meteo3. Pada meteo2, keluaran data bulanan yang kosong dilewat. Sedangkan pada meteo3 keluaran data bulanan yang kosong diinterpolasi. Meteo2 biasanya yang digunakan masukan data pada analisis periodisitas. Sedangkan meteo3 bisa digunakan dalam menganalisis korelasi. Keluaran data dari program NDP berupa data runtut waktu dan nilai data. Data pada kolom waktu menjelaskan tahun dan bulan yang dinyatakan dalam desimal tahun, bulan ke-n tahun ke-1 dinyatakan dengan :
3.3.3. Analisis Periode Dominan Menggunakan Program Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ). Weighted Wavelet Z-transform merupakan pengembangan dari aplikasi tehnik wavelet. Tehnik wavelet banyak digunakan sebagai metode analisis periodik dari data runtut waktu. Program ini dibuat oleh The American Association of Variable Star Observers, berdasarkan Foster (1996). Adapun persamaan dari WWZ yang digunakan adalah : Z=
( Neff − 3)Vy 2(Vx − Vy )
dengan Z sebagai nilai WWZ, Vx adalah variasi pembobot (weighted variation) data pada sumbu horizontal (timeseries), Vy adalah variasi pembobot fungsi model pada sumbu vertikal, dan Neff adalah jumlah efektif (Effective Number) waktu dan frekuensi data yang diuji. Pada penelitian ini WWZ digunakan untuk mendapatkan periode dominan dari data bilangan bintik matahari serta suhu dan tekanan paras muka laut untuk kota Jakarta, Medan, dan Ambon. Sampel data yang dianalisis bervariasi antara 25-100 tahun berdasarkan kelengkapan data. Nilai relatif WWZ menunjukkan kekuatan siklus periode dominan dari data.
Tahun Desimal = t+(n-0,5)/12 Misalnya Januari 1982 dinyatakan dengan 1982.042. Data bilangan bintik matahari dilambangkan dengan R. Bilangan ini dihitung dengan persamaan : R = k (10g+f) dengan k adalah faktor reduksi (yang tergantung pada pengamat dan jenis teleskop yang digunakan (agar setara dengan perhitungan Wolf, digunakan k=1), g adalah jumlah grup bintik matahari, dan f adalah total bintik matahari.
Gambar 6. Tampilan program WWZ11.
Untuk menjalankan program ini diharuskan adanya data runtut waktu dua kolom (kolom waktu dan kolom data) yang disimpan dalam format *prn. Pengujian ini dilakukan untuk data bulanan dan periode musim. Kisaran periode yang dilakukan adalah 0-25 tahun. Hasil yang diperoleh berupa nilai frekuensi (yang kemudian didapatkan nilai periodenya, P = 1/F), Amplitude, Jumlah efektif, dan nilai WWZ-
nya. Selanjutnya dari proses tersebut dapat dibuat grafiknya untuk melihat lebih jelas pola spektrum dari bilangan bintik matahari, suhu, dan tekanan paras muka laut yang menunjukkan dominasi periodik data berdasarkan nilai WWZ. Analisis data dilakukan dengan menginterpretasi periode-periode dominan yang muncul pada grafik dan hubungannya antara bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon. 3.3.4. Analisis Evolusi Periode Dominan dengan Pemetaan Winsurf. Perangkat lunak winsurf dalam penelitian ini digunakan untuk melihat evolusi periode dominan dari data bilangan bintik matahari, suhu udara, dan tekanan paras muka laut. Data olahan dari proses sebelumnya berupa tiga kolom (kolom tahun, periode, dan nilai WWZ). Kemudian data disimpan dalam format excel spreadsheet. File tersebut dibuka dengan winsurf dan di set selang tahun dan selang periodenya serta jarak antar tahun dan periodenya. Program akan mengkontur data peta atas file data yang sekarang dalam format *grid. Lalu diatur level, label, dan warna dari kontur yang diinginkan. Grafik winsurf berupa gambar tiga dimensi. Sumbu x menyatakan waktu pada runtut waktu, sumbu y menyatakan periodenya, dan nilai WWZ dinyatakan dengan kontur. Domain periodisitas data dianalisis berdasarkan nilai puncak WWZ yang berubah terhadap waktu. 3.3.5. Analisis Periodisitas untuk Identifikasi Faktor Aktivitas Matahari Terhadap Parameter Iklim. Grafik winsurf selanjutnya dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor aktivitas matahari terhadap parameter suhu dan tekanan paras muka laut. Indikasi adanya keterkaitan dilihat dari kemiripan evolusi periode dan tahun data. Titik-titik puncak periode dominan pada grafik winsurf bintik matahari menjadi tolak ukur untuk dibandingkan dengan puncak-puncak periode dominan pada grafik suhu dan tekanan paras muka laut setiap wilayah. Setiap puncak periodisitas pada grafik winsurf bintik matahari diidentifikasi dengan tanda alfabet. Jika pada masingmasing grafik winsurf parameter wilayah teridentifikasi tanda alfabet yang sama,
berarti terdapat keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap parameter tersebut. Metode diatas dilakukan pula untuk data antar periode musim. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan signifikan pengaruh aktivitas matahari terhadap iklim, pada setiap periode musim. 3.3.6. Analisis Kuantitatif Korelasi Parametr Bintik Matahari dengan Parameter Iklim. Metode ini dilakukan untuk melihat hubungan keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap parameter suhu dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon. Metode yang dilakukan adalah dengan mencari nilai r antara nilai bintik matahari dengan unsur iklim (suhu dan tekanan). Nilai r dihitung dari data bintik matahari dan unsur iklim yang telah dihaluskan (smoothing) dan dinormalisasi. Data smoothing menggunakan persamaan : S=[(S1+S13)/2+S2+S3+S4+S5+S6+S7+S8+S9+ S10+S11+S12]/12 dengan S adalah nilai penghalusan data bulan ke-7 (pertengahan tahun), S1 dan S13 merupakan data awal dan akhir tahun data sehingga diberi pembobotan 0,5. S2 sampai S12 menyatakan nilai data pada bulan ke-2 hingga ke-12. Data smoothing selanjutnya digunakan untuk ditampilkan pada grafik moving average data bintik matahari dan parameter iklim, yang diplotkan pada skala normalisasi 0-1. Nilai korelasi r berada pada selang -1<0<1. dimana jika nilai r mendekati 0 maka menunjukkan tidak adanya hubungan antara kedua variabl ( x dan y saling bebas ). Jika nilai r mendekati 1 maka terdapat hubungan yang cukup kuat antara kedua variabel, dan jika r mendekati -1 maka terjadi hubungan berkebalikan antar variabel. 3.3.7. Analisis Kualitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Parameter Iklim. Metode lain yang digunakan untuk melihat korelasi bintik matahari dengan parameter iklim ditinjau dari kesamaan tahun, periode, dan nilai WWZ antara kedua parameter, identifikasi data saat nilai WWZ maksimum/minimum, serta sebaran data. Terdapat hubungan keterpengaruhan antara parameter bintik matahari dengan parameter iklim jika kedua parameter
memiliki nilai WWZ yang sama pada tahun yang dan periode yang sama pula. Hubungan keterpengaruhan juga teridentifikasi jika pada saat nilai WWZ bintik matahari maksimum, didapatkan nilai WWZ parameter iklim yang maximum pula, dan sebaliknya, jika pada saat nilai WWZ bintik matahari minimum, parameter iklim menunjukkan nilai WWZ yang minimum pula. Analisis sebaran data digunakan untuk melihat selang data pada masing-masing data bilangan bintik matahari dan parameter iklim. Terdapat keterpengaruhan jika selang data parameter iklim berada di dalam kisaran sebaran data bilangan bintik matahari. Nilai sebaran data [X] :
3.3.8. Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ Analisis Waktu Tunda digunakan untuk melihat kemungkinan adanya keterlambatan pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut. Analisis ini dilakukan pada grafik overlay antara parameter kosmogenik dengan parameter iklim ketiga wilayah kajian. Panjang waktu tunda ditunjukkan dari selisih periodisitas dominan antara puncak WWZ bintik matahari dengan puncak WWZ parameter iklim yang paling dekat setelah puncak WWZ bintik matahari tersebut. Metode ini tidak dilakukan perperiode musim karena data antar bulan dan tahunnya saling berkesinambungan.
[X] = X + SD X dengan X adalah nilai rataan seluruh data dan SD X merupakan nilai standar deviasi data.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Studi Pustaka Hasil studi pustaka beberapa penelitian hubungan matahari dengan parameter iklim yangb telah dilakukan di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penelitian-penelitian hubungan matahari dengan parametr iklim di Indonesia No 1
Peneliti Thomas Djamaluddin (1998)
2
Rilo Pambudi (2000)
3
Tuti Kurniaty (1997)
4
Ari Christiany (2005)
5
Syahrina (2004)
Judul Metode Efek pasang surut bulan - analisis spektral pada data awan di sekitar dan aktivitas matahari Jakarta dengan Weighted Wavelet Zpada penyebaran awan di Transform Indonesia Prediksi Curah Hujan - penentuan zona sinyal sunspot pada data curah hujan dan analisis spektral entropi maksimum Regional Jangka Panjang Berdasarkan Fenomena - perata-rataan ruang terhadap data curah hujan yang berada dalam zona sinyal sunspot Siklus Sunspot - estimasi koefisien regresi menggunakan Least Square smoothing Pengaruh Sunspot - metode korelasi linier dan menggunakan Low Pass Filter binomial 5 suku Terhadap Iklim dan - nilai korelasi r dan pengujian hipoteis H0 = Pengujian Hipotesis tidak ada pengaruh, H1 = ada pengaruh - pengujian keterpengaruhan menggunakan distribusi normal Z 2 arah dengan α = 0,05 Pengaruh Aktivitas - koefisien korelasi dan uji F hitung Matahari (solar activity) - penentuan nilai α ( Self Similarity Parameter ) Terhadap Perubahan - penentuan nilai fractal dengan metode DFA Cuaca di Indonesia ( Detrended Fluctuation Analysis ) Berdasarkan Teori Fractal dan Hubungannya Dengan Fenomenea El-Nino Identifikasi Pengaruh - Low Pass Filter suku 5 Siklus Bintik Matahari - analisis spektral menggunakan FFT pada Spektrum Curah - analisis spektrum silang Hujan Pulau Jawa - analisis koefisien korelasi
200
Nilai WWZ
100
50
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 8. Grafik WWZ data bilangan biuntik matahari (periode Desember-Februari). 200
150 Nilai WWZ
4.2.1. Analisis WWZ Data Bilangan Bintik Matahari. Weighted Wavelet Z-Transform merupakan salah satu program yang dapat digunakan untuk menganalisis siklus yang paling dominan dari suatu data runtut waktu (dalam hal ini data bintik matahari, suhu udara dan tekanan paras muka laut) dalam bentuk spektrum. Dominasi periodik untuk bilangan bintik matahari terlihat pada Gambar 7.
150
100
50
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 9. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode Maret-Mei). 200
150 Nilai WWZ
4.2. Analisis Periode Dominan Menggunakan Program Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ). Hasil grafik yang sebelumnya diolah dengan WWZ memunculkan periodeperiode dominan yang mengindikasikan siklus dari suatu fenomena alam. Periode dominan 4-8 tahun dapat diakibatkan karena efek ENSO (Wiratmo, 1998), 9-14 tahun kemungkinan besar merupakan siklus bintik matahari (Perry, 1994), 15-18 tahun diduga akibat pasang surut bulan – aktivitas matahari (Currie, 1996) dan periode 19-25 tahun akibat perubahan siklus magnetik matahari (Perry, 1994).
100
50
600 500
0 WWZ
400
1
5
9
13
17
21
25
29
Periode (tahun)
300
Gambar 10. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode Juni-Agustus).
200 100 0 0
10
20
30
40
50
200
Periode (tahun)
Gambar 7. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari. Nilai WWZ
Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa periode yang sangat dominan adalah sekitar 11 dan 12 tahunan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata siklus aktivitas matahari 11 tahunan muncul sangat kuat, ditunjukkan dengan nilai relatif WWZ yang mencapai hampir 600. Begitu pula jika dipilah permusim menurut posisi matahari relatif terhadap bumi, dominasi periodenya tetap menunjukkan 11 atau 12 tahunan walaupun nilai WWZ-nya tidak sebesar pada data bulanan dikarenakan grafik WWZ data bulanan merupakan akumulasi keempat data periode musiman sehingga jumlah data lebih banyak dan nilai WWZ puncak periode juga menjadi tinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 8, 9, 10, dan 11.
150
100
50
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 11. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode September-November).
Di Indonesia, komponen yang paling berpengaruh adalah terhadap variabel iklim termasuk suhu udara dan tekanan paras muka laut adalah komponen 1 tahun dari fenomena monsoon. Hal ini terlihat pada data suhu dan tekanan paras muka laut. Namun penelitian ini bertujuan untuk
4.2.2. Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Jakarta. 70
Nilai WWZ
10
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 14. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode MaretMei). 12
Nilai WWZ
melihat kemungkinan sinyal periodisitas bintik matahari (periode sekitar 11 tahunan) yang terindikasi pada data suhu dan tekanan paras muka laut untuk wilayah kota Jakarta, Medan, dan Ambon. Data parameter iklim suhu udara dan tekanan paras muka laut ketiga wilayah menghasilkan grafik WWZ yang berbeda dengan data bintik matahari. Namun secara umum periode 1 tahunan muncul lebih kuat (walaupun kekuatan siklus berbeda-beda) dibanding periode-periode lainnya karena pengaruh dari kedudukan relatif matahari terhadap bumi.
Nilai WWZ
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 15. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode JuniAgustus).
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
20
Gambar 12 menunjukkan terdapat periode dominan yang muncul cukup kuat selain periode 1 tahunan yaitu periode skitar 2 tahun akibat QBO (Quation Biennial Oscilation), kemudian 14 tahunan diduga akibat pengaruh aktivitas matahari (siklus bintik matahari) dan diatas 25 tahun yang merupakan efek siklus magnetik matahari (siklus perubahan polaritas magnetik di daerah aktif matahari) atau disebut Hales Cycle, yang memiliki periodisitas 22 tahun. Namun dominasi periode bervariasi jika dipilah berdasarkan periode musim. Muncul periode-periode dominan 1,5 tahunan, 3-4 tahunan dan 10 tahunan seperti yang terlihat pada Gambar 13, 14, 15 dan 16.
Nilai WWZ
Gambar 12. Grafik WWZ data suhu Jakarta.
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 16. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode September-November).
Dari grafik-grafik di atas terlihat bahwa ada 2 pengaruh dominan yang menentukan siklus suhu udara Jakarta (selain 1 tahunan) yaitu pengaruh sistem el nino/la nina dan aktivitas matahari (bintik matahari dan siklus hale).
20
Nilai WWZ
Nilai WWZ
20
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 13. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode Desember-Februari).
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 17. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta.
Sedangkan pada Gambar 17 tekanan paras muka laut Jakarta tersebut muncul sinyal kuat selain periode 1 tahunan yaitu 6 tahunan karena ENSO, dan 15-16 tahunan yang bisa disebabkan karena efek pasang surut bulan-matahari. Sementara untuk grafik WWZ tekanan paras muka laut perperiode musim ditunjukkan dengan Gambar 18, 19, 20, dan 21.
Nilai WWZ
12
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 18. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Desember-Februari).
Nilai WWZ
7
Gambar 18 dan 19 memiliki pola yang hampir sama dimana muncul periode dominan 6-8 tahunan serta periode 13-17 tahunan. Periode 7 tahunan diduga karena fenomena elnino, kemudian periode 15 tahunan diduga akibat efek pasang surut bulan-matahari. Sedangkan pada Gambar 20 dan 21, terdapat sedikit kesamaan pola walaupun pada Gambar 20 grafiknya lebih berfluktuasi dibanding pada Gambar 21. Pada Gambar 20 dan 21 terlihat periode dominan 1,5 tahun, 6 tahun, dan 18-20 tahunan. Berdasarkan hasil tersebut ternyata untuk data tekanan paras muka laut Jakarta, antara periode musim basah (DesemberFebruari) dan periode musim kering (JuniAgustus) memiliki pola siklus yang sedikit berbeda. Hal ini bisa diakibatkan karena pada musim basah, pengaruh kedudukan matahari yang relatif lebih dekat pada kota Jakarta memberi keragaman pengaruh pada iklim Jakarta, sedangkan pada musim kering, pengaruh lokal muncul sehingga periode dominan yang muncul lebih beragam. 4.2.3. Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Medan.
0 1
5
9
13
17
21
70
25
Gambar 19. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Maret-Mei).
Nilai WWZ
Periode (tahun)
10
0 Nilai WWZ
1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 22. Grafik WWZ suhu Medan. 0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 20. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Juni-Agustus).
Pada Gambar 22 terdapat puncakpuncak periode dominan 5 tahun dan 14 tahunan. Periode 5 tahunan menunjukkan suhu Medan dipengaruhi kuat oleh el nino dan terdapat indikasi periode 14 tahun.
10
Nilai WWZ
Nilai WWZ
10
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 21. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode September-November).
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 23. Grafik WWZ suhu Medan (periode Desember-Februari).
muka laut wilayah Jakarta. Periode 5 tahunan muncul karena sistem ENSO, 11 tahunan diduga akibat adanya siklus aktivitas bintik matahari dan 15 tahunan karena pasang surut bulan-matahari.
Nilai WWZ
15
8 0 1
5
9
13
17
21
25
Gambar 24. Grafik WWZ suhu Medan (periode MaretMei).
Nilai WWZ
Periode (tahun)
14 0 1
5
9
13
17
21
25
Nilai WWZ
Periode (tahun)
Gambar 28. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (Periode Desember-Februari). 10
0 1
5
9
13
17
21
25
Nilai WWZ
Periode (tahun)
Gambar 25. Grafik WWZ suhu Medan (periode JuniAgustus). 14
0 Nilai WWZ
1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 29. Grafik WWZ tekanan Medan (Periode Maret-Mei).
paras muka laut
20
0 1
5
9
13
17
21
25
Gambar 26. Grafik WWZ suhu Medan (periode September-November).
Pada Gambar 23, 24, 25, dan 26, periode-periode dominan yang muncul antar periode tidak berbeda jauh dengan periode dominan pada data tahunannya, dimana periode 5 dan 14 tahunan muncul lebih dominan dibanding tahun-tahun periode lainnya.
Nilai WWZ
Periode (tahun)
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 30. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (periode Juni-Agustus). 14
Nilai WWZ
Nilai WWZ
40
0
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 27. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan.
Fluktuasi WWZ pada Gambar 27 relatif lebih kecil dibanding grafik tekanan paras
1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 31. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (periode September-November).
Seperti halnya pada grafik suhu udara Medan, pada grafik WWZ tekanan paras
4.2.4. Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Ambon
Nilai WWZ
12
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 34. Grafik WWZ suhu Ambon (periode MaretMei). 12
Nilai WWZ
muka laut Medan juga terdapat pola yang berbeda untuk periode Desember-Februari dan periode Juni-Agustus. Pada periode Desember-Februari, fluktuasi dan periode dominan lebih banyak dibanding periode Juni-Agustus. Hal ini menggambarkan bahwa pada periode Desember-Februari, dimana posisi relatif matahari terhadap bumi lebih jauh dibanding pada periode JuniAgustus, muncul kuasi-kuasi lain yang muncul pada suhu juga tekanan di kota Medan diantaranya 4 periode dominan, yaitu pada periode 3-4 tahun, 4-6 tahun, 10-11 tahun, dan 15-17 tahunan. Terdapat periode 10-11 tahun dengan nilai WWZ relatif lebih besar dibanding periode dominan lainnya, yang mengindikasikan adanya kemungkinan pengaruh dari aktivirtas matahari. Sedangkan untuk periode Juni-Agustus, jumlah puncak periode dominan terpusat di sekitar 4-8 tahun yang mengindikasikan kuatnya pengaruh ENSO pada periode musim tersebut untuk wilayah Medan.
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 35. Grafik WWZ data suhu Ambon (periode Juni-Agustus). 14
Nilai WWZ
Nilai WWZ
60
0
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Untuk grafik tahunan suhu Ambon, muncul periode-periode dominan yang kecil diantaranya sekitar 3 tahunan, 7 tahunan, dan periode-periode indikasi aktivitas matahari, yaitu 11 dan 25 tahunan.
Nilai WWZ
20
0 5
9
13
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 32. Grafik WWZ suhu Ambon.
1
1
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 33. Grafik WWZ suhu Ambon (periode Desember-Februari).
Gambar 36. Grafik WWZ data suhu Ambon (periode September-November).
Pada Gambar 33, periode-periode dominan hampir sama dengan Gambar 34, hanya saja lebih berfluktuatif dan untuk periode dominan 1 tahunannya agak terjadi waktu tunda pada periode 1,5 – 2 tahunan dan tidak sekuat dominasi periode 1 tahunan pada Gambar 34. Sedangkan periode dominan yang sama dengan siklus bintik matahari muncul lebih kuat, indikasinya dengan nilai WWZ yang lebih tinggi dan bahkan untuk periode dominan di atas 25 tahun muncul dengan nilai WWZ yang hampir sama dengan periode dominan 1,5 dan 2 tahunannya. Pada Gambar 35, periode 11 tahunan tidak muncul dominan, justru periode berulang 2-4 tahunan yang meningkat akibat fenomena lanina serta periode 15 tahun yang merupakan periode berulang pasang surut
14
Nilai WWZ
bulan-matahari. Periode 9 tahunan juga terlihat pada grafik ini, dan tidak terjadi peningkatan yang signifikan untuk periodeperiode dominan lainnya. Sedangkan pada Gambar 36, periode 1,5 tahun, 3-4 tahun, dan 9 tahunan timbul dengan nilai WWZ yang hampir sama, sedangkan periode di atas 25 tahun justru jauh menurun.
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
60
Nilai WWZ
Gambar 40. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Juni-Agustus).
0 1
5
9
13
17
21
25
Nilai WWZ
8
Periode (tahun)
Gambar 37. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon.
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Grafik dominasi periode untuk tekanan paras muka laut wilayah Ambon terjadi seperti grafik untuk suhu udaranya dimana untuk grafik data tahunan fluktuasinya sangat kecil dibandingkan grafik data perperiode musimnya. Hal ini terjadi karena untuk data tahunan merupakan kumulasi dari seluruh data perperiode musim sehingga pengaruh-pengaruh yang muncul pada setiap musimnya tidak terlihat dominan. Pada gambar tersebut terlihat adanya pengaruh 11 tahunan selain pengaruh 1 dan 1,5 tahunan.
Nilai WWZ
8
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 38. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Desember-Februari).
Nilai WWZ
7
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (tahun)
Gambar 39. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Maret-Mei).
Gambar 41. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode September-November).
Grafik WWZ periode dominan tekanan paras muka laut berbeda dan wilayah lainnya dikarenakan muncul periode-periode dominan lain yang tidak terdapat pada periode dominan data tahunannya. Jika pada Gambar 37 hanya muncul periode 1,5 tahun dan 11-12 tahunan maka pada Gambar 38, 39, 40, dan 41 muncul pula periode-periode di luar itu. Gambar 38 menunjukkan beberapa periode dominan diantaranya sekitar 1-3 tahun (ENSO minor), lalu yang tertinggi adalah periode 5 tahunan (ENSO) serta 7,5 tahunan (ENSO mayor) serta periode 12 tahunan, yang kemungkinan bisa diakibatkan oleh periode bintik matahari. Namun pada periode Maret-Mei dan Juni-Agustus, pola grafik hampir menunjukkan fluktuasi yang sama, dimana ada 2 periode dominan utama yang terindikasi, yaitu periode sekitar 1-3 tahun dan 9 tahunan. Berbeda halnya dengan periode musim lainnya, pada periode September-November, tekanan paras muka laut lebih dipengaruhi oleh periode 1-3 tahunan dan tidak muncul pengaruh yang signifikan pada periode-periode lainnya, seperti yang terlihat pada gambar 41. Dengan demikian untuk wilayah Ambon, parameter tekanan paras muka laut didominasi oleh 2 periode utama, yaitu kemungkinan efek el nino/la nina dan aktivitas matahari (dengan indikator bintik matahari).
4.3. Analisis Evolusi Periode Dominan Dengan Pemetaan Winsurf. 4.3.1. Analisis Winsurf Data Bulanan. Selain dilihat secara grafik (2 dimensi), periode dominan bintik matahari, suhu, dan tekanan paras muka laut juga dapat dilihat dari pemetaan 3 dimensi menggunakan perangkat lunak Winsurf. Pada Lampiran 1 dapat dianalisis bahwa periode dominan siklus bintik matahari jelas terlihat antara 8 hingga 14 tahunan yang tidak terputus yang berada di sekitar periode 11 tahunan. Hal tersebut terjadi sepanjang tahun selama 100 tahun data. Lampiran 2 menunjukkan grafik Winsurf suhu Jakarta bulanan. Pada lampiran tersebut muncul beberapa periode dominan (di luar periode 1 tahunan) yaitu periode sekitar 13 tahunan dan 25 tahunan yang keduanya terjadi pada sekitar tahun 1960-an. Jika dihubungkan dengan siklus aktivitas matahari, periode-periode tersebut bisa dikarenakan faktor siklus bintik matahari sekitar 11 tahunan (dengan jeda waktu 2 tahun) dan siklus Hale (jeda 3 tahun) dan pada sekitar tahun 1960 terjadi periode matahari aktif (solar max) dimana aktivitas matahari berada pada titik balik maksimum. Grafik winsurf untuk tekanan paras muka laut kota Jakarta dapat dilihat pada Lampiran 3. Terlihat adanya periode berulang 19 tahun dengan puncak spektrum sekitar tahun 1950. Namun pada grafik tersebut tidak terlihat sinyal 11 tahunan. Pada grafik tersebut muncul periode el nino 6 tahun dengan puncak pada tahun 1938 dan 1958 serta efek QBO pada tahun 1963. Pada Lampiran 4 terlihat pola periode dominan yang sangat teratur, selain periode 1 tahunan pada 3 rentang periode waktu, muncul periode dominan 5 tahunan dan sekitar 13-20 tahunan. Efek ENSO pada periode 5 tahunan muncul sangat kuat sekitar tahun 1952 dan periode dominan 1320 tahunan juga muncul yang mirip dengan periode pasang surut bulan-matahari. Grafik winsurf tekanan paras muka laut Medan diperlihatkan pada Lampiran 5. Pada lampiran tersebut terdapat periode-periode dominan dan yang terkuat adalah sama seperti suhu udaranya yaitu periode 5 tahunan pada tahun-tahun yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara suhu dan tekanan, dan indikasi el nino cukup kuat pada data suhu dan tekanan kota Medan.
Periode dominan lainnya yang muncul adalah periode 10 tahunan pada tahun-tahun 1945-1950 yang jika dihubungkan dengan aktivitas matahari, merupakan puncak siklus bintik matahari ke-19. Sedangkan untuk berikutnya, pengaruh ENSO muncul kembali pada tahun 1977-1987, dan periode dominan lain yaitu sekitar 25 tahunan yang merupakan merupakan dari siklus magnetik pada tahun diatas 1977. Grafik winsurf untuk suhu dan tekanan paras muka laut Ambon diperlihatkan pada Lampiran 6 dan 7. Pada Lampiran 6 terdapat 1 faktor yang paling dominan untuk suhu udara Ambon yaitu periode siklus magnetik matahari yang muncul sepanjang tahun. Sedangkan pada tekanan paras muka laut Ambon, periode yang muncul cukup kuat adalah periode 10 tahunan di atas tahun 1978-an yang juga periode aktivitas matahari. Dari analisis di atas dapat diduga adanya pengaruh faktor aktivitas matahari pada parameter iklim di sekitar wilayah Ambon. 4.3.2. Analisis Winsurf Data Periode Desember-Februari Lampiran 8 memperlihatkan grafik winsurf untuk data bilangan bintik matahari periode Desember-Februari. Pada lampiran tersebut siklus 11 tahunan untuk periode Desember-Februari (menurut tahun bumi) muncul terkuat pada tahun sekitar tahun 1900, sedangkan untuk periode 22 tahunan muncul paling kuat pada sekitar tahun 19151922. Berdasarkan grafik tersebut juga dapat dianalisis bahwa kedua faktor tersebut muncul beriringan. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan hubungan langsung antara fenomena bintik matahari dan siklus ganda bintik matahari. Grafik winsurf suhu udara Jakarta ditunjukkan dengan Lampiran 9. Pada grafik tersebut banyak muncul periode-periode dominan. Namun secara umum terdapat beberapa periode dominan yang muncul yaitu 2 dan 3 tahunan (QBO dan QTO) kemudian 4-8 tahunan (ENSO) dan 10-11 tahunan (bintik matahari) yang muncul pada tahun sebelum tahun 1900, sedangkan pada tahun-tahun sekarang periode tunggal yang dominan muncul adalah akibat siklus 1 tahunan. Grafik winsurf dan tekanan paras muka laut Jakarta ditunjukkan dengan Lampiran 10. Pada grafik tersebut muncul 3 periode yang dominan, yaitu periode 5-7 tahun yang muncul terkuat pada tahun 1958, periode 13 tahunan pada 1935-1943), serta pada tahun
di atas 1967 dimana muncul 2 periode dominan yaitu 1 tahunan (seperti halnya pada suhu udara Jakarta) serta 11 tahunan. Grafik winsurf suhu Medan ditunjukkan oleh Lampiran 11. Pada grafik tersebut periode siklus bintik matahari muncul sepanjang tahun dan mencapai peaknya pada tahun 1985, sedangkan periode ENSO muncul dengan peak pada periode tahun tahun 1945-1952, selain itu muncul pula periode-periode lain yaitu 8 tahunan dan di atas 5 tahunan. Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Medan diperlihatkan dengan Lampiran 12. Pada lampiran tersebut terdapat 3 faktor dominan yang terindikasi yaitu periode el nino dan aktivitas matahari (bintik matahari dan siklus magnetik matahari), periode bintik matahari muncul lebih awal diikuti siklus magnetiknya. Grafik winsurf suhu Ambon ditunjukkan oleh Lampiran 13. Pada grafik tersebut terdapat 4 faktor utama yang dominan yaitu QBO (tahun 1949 dan 1966), el nino (tahun 1950-1960), 11 tahunan (di atas 1973), dan siklus Hale yang muncul sepanjang tahun dan mencapai puncak pada sekitar tahun 1959. Sedangkan untuk winsurf tekanan paras muka laut diperlihatkan oleh Lampiran 14. Pada lampiran tersebut terdapat 3 periode dominan, yaitu periode ENSO (7 tahunan sebelum 1968 dan 4 tahunan setelah 1973), 10 tahunan pada tahun-tahun di atas 1975, dan siklus magnetik matahari pada sepanjang tahun. Pada periode tersebut DesemberFebruari, untuk ketiga wilayah muncul 3 periode utama yang dominan dalam grafik suhu dan tekanan paras muka laut yaitu periode el nino, bintik matahari, dan siklus hale. 4.3.3. Analisis Winsurf Data Periode MaretMei. Grafik winsurf periode dominan bintik matahari periode Maret-Mei ditunjukkan oleh Lampiran 15. Pada grafik tersebut muncul pola periode yang hampir sama dengan periode Desember-Februari. Lampiran 16 menunjukkan periode dominan untuk suhu Jakarta. Dari grafik terlihat bahwa terdapat 1 faktor selain faktor 1 tahunan, yaitu faktor aktivitas matahari 11 tahunan yang muncul kuat pada sekitar tahun 1880 dan tahun 1925. Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Jakarta diperlihatkan pada lampiran 17. Periode dominan yang muncul berbeda dengan
grafik suhunya. Untuk grafik tekanan paras muka laut, fenomena ENSO muncul sepanjang tahun setelah puncaknya pada tahun 1955. Periode aktivitas matahari juga terlihat pada tahun 1925-1945 (bintik matahari) dan diikuti oleh siklus magnetik matahari pada tahun 1945-1965. Lampiran 18 menunjukkan periode dominan untuk suhu Medan. Dari grafik menunjukkan bahwa periode aktivitas matahari (bintik matahari dan magnetik matahari) muncul dengan puncak-puncak pada tahun di atas 1965. Periode dominan lain yang muncul adalah periode sekitar 5 tahunan akibat el nino/la nina. Sementara Lampiran 19 menunjukkan periode-periode dominan untuk tekanan paras muka laut Medan. Pada tekanan paras muka laut Medan, periode dominan bintik matahari muncul berkebalikan dengan suhunya, dimana periode sekitar 10 tahunan muncul sebelum tahun 1955, namun periode siklus Hale muncul hampir sepanjang tahun. Pada grafik ini muncul pula periode-periode yang diakibatkan oleh el nino. Sedangkan grafik winsurf untuk wilayah Ambon ditunjukkan dengan lampiran 20 dan 21. Pada Lampiran 20 jelas terlihat bahwa juga terdapat 3 periode dominan yaitu el nino (yang muncul pada tahun sebelum tahun 1950 dan setelah tahun 1975), periode 15 tahunan, dan sekitar 25 tahunan yang muncul hampir sepanjang tahun sebelum tahun 1989. Hal serupa berlaku juga untuk tekanan paras muka laut Ambon dimana 3 periode dominan muncul cukup kuat. Berdasarkan analisis tersebut, seperti halnya pada periode Desember-Februari, pada periode Maret-Mei juga terdapat 3 periode dominan, yaitu indikasi el nino, bintik matahari 11 tahunan, dan magnetik matahari 22 tahunan untuk data bilangan bintik matahari, suhu, serta tekanan paras muka laut ketiga wilayah kajian. 4.3.4. Analisis Winsurf Data Periode JuniAgustus. Grafik winsurf untuk data bintik matahari periode Juni-Agustus diperlihatkan pada Lampiran 22. Hasil yang tampak sama dengan hasil winsurf untuk periode Desember-Februari dan Maret-Mei. Sedangkan untuk data suhu dan tekanan paras muka laut kota Jakarta periode JuniAgustus ditunjukkan oleh Lampiran 23 dan 24. Pada Lampiran 23 muncul pengaruh 3 tahunan QTO pada tahun 1979, 1889, 1903
dan 1916. Kemudian periode berulang 4 tahunan muncul sepanjang tahun setelah 1940, dan fenomena siklus bintik matahari 10 tahun kembali muncul dengan peak pada tahun sekitar 1920. Lampiran 24 menunjukkan pola grafik untuk tekanan paras muka laut Jakarta berbeda dengan pola grafik untuk suhu udaranya. Pada grafik winsurf tekanan paras muka laut Jakarta, terdapat beberapa siklus periode dominan, yaitu 16 tahunan pada tahun di bawah 1940, 12 tahunan pada sekitar tahun 1972, dan yang muncul paling dominan adalah pengaruh ENSO pada tahun 1932 dan 1956. Munculnya periode 12 tahunan pada tahun 1968-1975 diduga karena kemungkinan pengaruh aktivitas matahari. Sementara Lampiran 25 dan 26 menunjukkan bahwa untuk data suhu udara Medan, terdapat periode-periode dominan, namun yang paling kuat adalah periode 7 tahun akibat ENSO dengan puncak pada sekitar tahun 1952. Periode-periode dominan lain yang muncul adalah periode 14 tahun dan 20 tahun yang muncul setelah tahun 1975. Sedangkan untuk data tekanan paras muka laut Medan, pengaruh el nino juga terlihat pada tahun 1944 dan sekitar 1984, serta ada pula periode 3 tahunan QTO. Periode siklus bintik matahari muncul hanya pada sekitar tahun 1950 dan 1964 walaupun lemah. Sementara untuk wilayah Ambon., periode-periode dominan yang terlihat ada pada Lampiran 27 dan 28 dimana adanya periode dominan 9 tahunan yang muncul setelah 1978, serta periode perubahan polaritas magnetik matahari yang justru muncul sebelum tahun 1978. Selain kedua faktor tersebut muncul pula pengaruh QBO 2 tahunan pada tahun 1969. Periode dominan 9 tahunan juga seperti halnya pada grafik winsurf suhu, muncul setelah tahun 1978. Seperti pada Lampiran 28, pada lampiran tersebut periode siklus Hale muncul setelah tahun 1970. Terdapat 1 periode dominan yang justru muncul cukup kuat yaitu pada tahun 1964 akibat efek QTO (3 tahunan). Efek yang sama juga muncul pada tahun di atas 1975. Kesimpulan yang hampir sama dengan periode Desember-Februari dan Maret-Mei juga didapatkan pada periode Juni-Agustus dimana periode dominan siklus el nino, bintik matahari, dan siklus magnetik matahari masih merupakan faktor utama yang berpengaruh pada suhu dan tekanan paras muka laut ketiga wilayah.
4.3.5. Analisis Winsurf Data Periode September-November. Lampiran 29 adalah grafik winsurf untuk data bilangan bintik matahari periode September-November. Pada grafik tersebut terdapat kemiripan pola dengan periodeperiode sebelumnya untuk data bilangan bintik matahari. Sementara Lampiran 30 menunjukkan bahwa terdapat beberapa periode dominan yang terlihat pada suhu udara kota Jakarta, dan yang paling kuat adalah periode 2,5 tahun pada tahun 1890. Periode lain yang juga muncul adalah periode 4 tahunan ENSO, 10 tahunan siklus bintik matahari pada tahun sekitar 1880, dan periode 13 tahun yang juga akibat siklus bintik matahari pada tahun sekitar tahun 1920. Pada grafik ini periode siklus Hale muncul namun lemah antara 1870-1900. Sedangkan grafik winsurf untuk tekanan paras muka laut Jakarta diperlihatkan pada Lampiran 31. Pada lampiran tersebut muncul periode-periode dominan, diantaranya 2,5 tahunan pada tahun 1925 dan 1965, serta pengaruhpengaruh ENSO pada tahun 1957 dan setelah tahun 1972. Indikator aktivitas matahari juga muncul dengan puncak pada tahun sekitar tahun 1967-1968. Lampiran 32 dan 33 menunjukkan grafik winsurf untuk data suhu dan tekanan paras muka laut kota Medan. Grafik 32 menunjukkan terdapat 1 faktor paling dominan yaitu periode mirip el nino pada dekade 1945-1955. Selain itu muncul pengaruh aktivitas matahari dengan puncak pada tahun sekitar 1989 walaupun tidak sedominan periode aktivitas el nino. Sementara grafik winsurf tekanan paras muka laut Medan menunjukkan terdapat beberapa periode dominan yang muncul terpisah-pisah, yaitu periode di atas 20 tahun pada tahun 1977-1985, periode 9-17 tahun sebelum tahun 1955, periode-peridoe ENSO antara 1962 dan 1982, serta yang paling dominan adalah periode ENSO 4 tahunan dengan puncak pada tahun 1940-1945. Pada Lampiran 34, 2 periode dominan muncul sepanjang tahun dengan puncak pada tahun 1948-1958 serta periode el nino yang terlihat setelah tahun 1978, dan sempat muncul pada tahun 1955. Sedangkan grafik winsurf untuk tekanan paras muka laut Ambon terlihat pada Lampiran 35. Pada lampiran tersebut terlihat bahwa periode perubahan kutub magnetik matahari muncul lebih dominan dibanding periode bintik
matahari. Selain itu muncul periode yang lebih dominan yaitu periode-periode 2,5 tahun dengan puncak pada tahun 1964. Periode yang sama muncul kembali setelah tahun 1977 yang diiringi dengan periode dominan 4 tahunan ENSO. Untuk data bilangan bintik matahari, suhu udara, dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon, dapat dianalisis bahwa periode-periode dominan yang muncul lebih beragam, namun 3 periode utama masih merupakan periode yang dominan, yaitu periode akibat el nino/la nina, siklus bintik matahari, dan siklus Hale. Analisis spektral menunjukkan bahwa tidak semua komponen periode 12,5 tahun merupakan pengaruh aktivitas matahari (Syahrina, 2005). Kemunculan-kemunculan periode 11 tahunan pada grafik-grafik winsurf tersebut belum secara pasti merupakan pengaruh aktivitas matahari (bintik matahari) namun bisa diduga merupakan indikasi dari aktivitas matahari. Begitu pula untuk periode dominant sekitar 22 tahunan yang belum pasti pengaruh dari siklus hale. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan apakah periodeperiode dominan tersebut merupakan pengaruh dari aktivitas matahari Dampak aktivitas matahari pada curah hujan tidaklah sama di semua tempat. Ada daerah yang mengalami curah hujan maksimum saat aktivitas matahari maksimum tetapi ada juga daerah yang mengalami kekeringan di saat yang sama, dengan atau tanpa waktu tunda (Djamaluddin, 1998). 4.4. Analisis Periodisitas Untuk Identifikasi Faktor Aktivitas Matahari Terhadap Parameter Iklim. Evolusi periodisitas menggunakan winsurf dapat digunakan untuk melihat hubungan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut masing-masing wilayah. Berdasarkan grafik winsurf pada lembar lampiran, tanda-tanda A, B, dan C menandai puncak-puncak nilai WWZ data yang dijadikan indikator untuk melihat keterpengaruhan antara data bilangan bintik matahari terhadap suhu maupun tekanan paras muka laut. 4.4.1. Analisis Periodisitas Data Bulanan. Lampiran 1 menunjukkan grafik evolusi periodisitas data siklus bilangan bintik matahari. Berdasarkan Lampiran 1, terdapat 3 puncak WWZ yang ditandai dengan A, B
dan C yang terjadi pada periode sekitar 11 tahunan, masing-masing terjadi pada sekitar tahun 1890, 1915, dan 1955. Pada lampiran 2 (data suhu Jakarta), tidak terlihat adanya tanda A, B maupun C, karena tidak terdapat puncak-puncak WWZ yang menunjukkan tahun dan periode yang hampir sama dengan grafik winsurf bintik matahari pada Lampiran 1. Puncak-puncak periode pada Lampiran 2 terjadi pada periode 13 tahun dan 25 tahun pada sekitar tahun 1960. Walaupun kedua puncak tersebut mengindikasikan pengaruh aktivitas matahari, namum keduanya tidak terjadi pada tahun dan periode yang sama dengan winsurf bintik matahari. Meskipun ada kemungkinan terdapat titik puncak C namun periodenya lebih besar (yaitu 13 tahuhan, sedangkan pada titik C pada Lampiran 1 menunjukkan periode sekitar 9 tahunan). Begitu juga dengan grafik winsurf data tekanan paras muka laut pada Lampiran 3. Pada gambar terlihat adanya puncak-puncak grafik namun tidak terdapat pada periode sekitar 11 tahunan. Terlihat adanya puncakpuncak grafik WWZ utama yaitu periode 19 tahunan dan 6 tahunan, sehingga tidak terdapat indikasi keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu maupun tekanan paras muka laut daerah Jakarta, dilihat dari evolusi periodisitas data. Lampiran 4 dan 5 menunjukkan grafik winsurf untuk data suhu dan tekanan paras muka laut Medan. Seperti halnya untuk data Jakarta, Lampiran 4 dan 5 tidak menunjukkan puncak-puncak yang sama yang terdapat pada Lampiran 1 yaitu puncak A, B , dan C. Grafik winsurf suhu dan tekanan paras muka laut untuk wilayah Ambon masing-masing terdapat pada Lampiran 6 dan 7. Pada kedua lampiran tidak terlihat tanda A, B, atau C, sehingga indikasi keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut tidak terlihat. 4.4.2. Analisis Data Periode DesemberFebruari. Grafik evolusi periode bintik matahari periode Desember-Februari terdapat pada Lampiran 8. Sebagaimana pada grafik winsurf data bulanannya, data bintik matahari perperiode musim juga menunjukkan 3 puncak nilai WWZ A, B, dan C, dengan periode dan tahun yang hampir sama. Titik puncak A tidak terdapat pada semua grafik winsurf. Begitu juga untuk titik puncak B dan C.
4.4.3. Analisis Data Periode Maret-Mei. Lampiran 15 menunjukkan 3 puncak WWZ A, B, dan C, pada grafik bintik matahari periode Maret-Mei. Secara umum, tidak terdapat perubahan yang signifikan mengenai perubahan tahun dan periodenya. Untuk periode Maret-Mei, puncak A dan C pada Lampiran 15 tidak terdapat pada semua grafik winsurf suhu maupun tekanan paras muka laut masing-masing wilayah. Namun puncak B terindikasi pada data suhu Jakarta. Pada Lampiran 16, puncak B dengan periode sekitar 14 tahunan terjadi pada sekitar tahun 1925. Ini menunjukkan terdapat hubungan keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu udara Jakarta pada tahun tersebut.
4.4.4. Analisis Data Periode Juni-Agustus Puncak-puncak A, B , dan C untuk periode Juni-Agustus terdapat pada Lampiran 22. Pada grafik winsurf tersebut puncak B tidak terlihat nyata namun masih menunjukkan adanya sedikit pelebaran puncak nilai WWZ. Puncak WWZ A dan B tidak terlihat pada grafik winsurf data iklim. Sedangkan titik puncak C untuk periode Juni-Agustus hanya terlihat pada 1 grafik winsurf yaitu untuk data tekanan paras muka laut Medan. Titik puncak C terjadi pada tahun 1950 dengan periode 9 tahunan. 4.4.5. Analisis Data Periode SeptemberNovember. Grafik winsurf periode dominan data bilangan bintik matahari ditunjukkan pada Lampiran 29. Seperti pada periode musim lainnya, terdapat titik-titik puncak WWZ A, B dan C, dengan tahun, periode, dan skala WWZ yang tidak jauh bebeda. Titik puncak A dan B juga tidak terdapat pada grafik winsurf data suhu dan tekanan paras muka laut semua wilayah. Namun pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu terindikasi pada data suhu Ambon (ditunjukkan dengan adanya titik puncak C pada sekitar tahun 1950 dengan periode 9 tahunan). Sedangkan untuk grafik suhu Jakarta dan Medan serta tekanan paras muka laut tidak terindikasi adanya keterkaitan aktivitas matahri terhadap suhu dan tekanan paras muka laut masing-masing wilayah kajian, dilihat dari kesamaan evolusi periode dan tahun data.
Tabel 2. Hubungan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut wilayah berdasarkan evolusi periode data. Titik puncak nilai Periode WWZ Hubungan data A B C Tahunan Des-Feb SSN Mar-Mei √ Suhu Jkt Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb SSN Mar-Mei Suhu Mdn Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb SSN Mar-Mei Suhu Abn Jun-Agu Sep-Nov √ Tahunan Des-Feb SSN Mar-Mei SLP Jkt Jun-Agu Sep-Nov Tahunan Des-Feb SSN Mar-Mei SLP Mdn Jun-Agu √ Sep-Nov Tahunan Des-Feb SSN Mar-Mei SLP Abn Jun-Agu Sep-Nov Berdasarkan Tabel 2 diatas terlihat bahwa pengaruh aktivitas matahari (dengan indikator data bintik matahari) berpengaruh pada 3 dari 90 data. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kemiripan pola evolusi periodisitas data WWZ pada grafik winsurf, keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, maupun Ambon relatif kecil.
4.5. Analisis Kuantitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Parameter Iklim. 4.5.1. Berdasarkan Koefisien Korelasi Grafik Rataan Bergerak Data Bilangan Bintik Matahari dengan Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Grafik korelasi yang menunjukkan pengaruh bintik matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut dapat dilihat pada Lampiran 36, 37, 38, 39, 40 dan 41. Sedangkan nilai korelasi yang menunjukkan hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai korelasi (r) bintik matahari (ssn) dengan suhu dan tekanan muka laut. Parameter Korelasi Nilai Korelasi r ssn-suhu Jakarta 0.272 r ssn-slp Jakarta 0.008 r ssn-suhu Medan -0.099 r ssn-slp Medan 0.179 r ssn-suhu Ambon 0.368 r ssn-slp Ambon 0.144 Tabel 3 memperlihatkan hubungan antara bintik matahari (sunspot) dengan suhu (T) dan tekanan paras muka laut (SLP). Besarnya koefisien korelasi (r) pada masingmasing stasiun cuaca wilayah menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Respon suhu dan tekanan paras muka laut kota seluruhnya menunjukkan nilai kurang dari 0,5. Nilai korelasi tertinggi terdapat pada respon tekanan paras muka laut Ambon dengan nilai 0,368, sedangkan nilai korelasi terendah terdapat pada tekanan paras muka laut Medan dengan respon negatif sebesar 0,099. Indonesia yang terletak di wilayah tropis (penerima radiasi matahari terbesar) memiliki pengaruh aktivitas matahari yang cukup kuat (Pambudi, 2000). Meskipun perubahan irradiansi matahari di puncak atmosfer hanya sekitar 1-5 W/m2, namun energi tersebut cukup besar dalam mempengaruhi pola iklim global di atmosfer bumi. Di Indonesia, perubahan suhu dan tekanan paras muka laut juga dipengaruhi oleh faktor lokal dan regional seperti distribusi relatif terhadap daratan dan lautan, serta topografi (karakteristik geografi) atau pengaruh fenomena ENSO. Pola monsoon yang memiliki siklus 1 tahunan dipengaruhi oleh angin muson yang terjadi karena perbedaan suhu dan tekanan antara daratan
dan lautan. Rendahnya nilai korelasi parameter bilangan bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut semua wilayah dapat disebabkan karena parameter iklim suhu dan tekanan paras muka laut sangat bergantung pada proses iradiansi matahari terhadap bumi. Hal ini terlihat dari grafik WWZ terdahulu dimana kontribusi komponen 1 tahun menunjukkan periode paling dominan dibandingkan periode dominan lainnya walaupun terdapat pula puncak-puncak periode yang mengindikasikan periode siklus aktivitas matahari (bintik matahari dan perubahan kutub magnetik matahari). Dengan rendahnya nilai koefisien korelasi di atas maka diperlukan analisis lain untuk mengetahui keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut, yaitu dengan meng-overlay grafik WWZ antara bilangan bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut ketiga kota. Keterpengaruhan dilihat dari kesamaan nilai ketiga parameter (tahun, periode, dan niali WWZ) serta analisis waktu tunda antara puncak WWZ pada data bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut masing-masing wilayah. 4.6. Analisis Kualitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Parameter Iklim 4.6.1. Kesamaan Tahun, Periode, dan Nilai WWZ yang Sama. Untuk hubungan bintik matahari dengan suhu Jakarta, terdapat kesamaan ketiga parameter yaitu pada tahun 1927 dengan periode 8,333 dimana nilai wwz keduanya 0,0568. Hal ini berarti terdapat pengaruh bintik matahari terhadap suhu Jakarta pada tahun 1927 dengan periode 8,333. Sedangkan hubungan bintik matahari terhadap tekanan paras muka laut Jakarta tidak teridentifikasi dikarenakan tidak adanya data yang sama untuk tahun, periode, dan nilai WWZ pada masing-masing data. Hal yang sama berlaku untuk data suhu Ambon maupun tekanan paras muka lautnya. Ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari faktor aktivitas matahari terhadap suhu udara dan tekanan paras muka laut wilayah Ambon (berdasarkan parameter nilai wwz). Namun berbeda halnya wilayah Medan dimana terdapat pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan wilayah tersebut.
Pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu udara Medan terjadi pada tahun 1939 dengan periode 2,222 dengan nilai WWZ keduanya 0,0004. Sementara pengaruh terhadap tekanan paras muka laut Medan terjadi di tahun 1952 dengan periode 1,39 dimana nilai WWZ masing-masing adalah 0. Tabel 4. Nilai WWZ, tahun, dan periode yang sama antara bintik matahari (ssn) dengan suhu dan tekanan paras muka laut . Hubungan parameter Tahun Periode WWZ ssn - suhu Jakarta 1927 8,333 0.0568 ssn - slp Jakarta no no no ssn- suhu Medan 1939 2,222 0,0004 ssn - slp Medan 1952 2,778 0 ssn - suhu Ambon no no no ssn- slp Ambon no no no *) ket : Nilai WWZ normalisasi min=0, max=1
4.6.2. Indikator Nilai WWZ Maksimum dan Minimum. Diasumsikan bahwa jika pada saat WWZ bintik matahari maksimum terdapat nilai WWZ suhu atau tekanan paras muka laut yang maksimum pula, maka aktivitas matahari berpengaruh terhadap suhu atau tekanan paras muka laut di tempat tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika saat WWZ bintik matahari minimum terdapat WWZ yang minimum berarti aktivitas matahari memiliki korelasi terhadap suhu atau tekanan paras muka laut. Tabel 5. Nilai WWZ iklim saat WWZ bintik matahari maksimum. Parameter WWZ Suhu Jakarta 0,0565 Suhu Medan 0,0058 Suhu Ambon 0,0136 SLP Jakarta 0,0894 SLP Medan 0,0609 SLP Ambon 0,0493 *) ket : Nilai WWZ normalisasi min=0, max=1
Setelah dinormalisasi, nilai WWZ tertinggi dari keseluruhan data adalah 1 yang terdapat pada tahun 1957 dengan periode 10,526. Pada saat nilai WWZ tersebut, masing-masing wilayah tidak menunjukkan
nilai WWZ yang besar baik untuk data suhu maupun tekanan, dimana semua nilai kurang dari 3. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi hubungan keterpengaruhan antara bintik matahari dengan suhu atau tekanan paras muka laut di semua wilayah kajian pada saat periode bintik matahari 11 tahunan dominan. Tabel 6. Nilai WWZ iklim saat WWZ bintik matahari minimum. Parameter 1952 1968 1983 Suhu Jakarta 0,071 0,028 0,084 Suhu Medan 0,085 0,021 0,018 Suhu Ambon 0,101 0,001 0,067 SLP Jakarta 0,059 0,017 0,1 SLP Medan 0 0,001 0,018 SLP Ambon 0,002 0,015 *) ket : Nilai WWZ normalisasi min=0, max=1
Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai nilai WWZ bintik matahari mencapai titik balik minimum pada 3 waktu yaitu pada tahun 1952 dengan periode 2,78, tahun 1968 dengan periode 1,46, dan pada tahun 1983 dengan periode 1,56. Pada tahun 1952 merupakan satusatunya tahun yang terdapat korelasi terhadap tekanan paras muka laut yaitu Medan, sementara untuk tekanan paras muka laut Jakarta tidak menunjukkan adanya keterkaitan karena nilai wwz-nya berbeda (di atas 0). Begitu juga dengan data tekanan paras muka laut pada 2 tahun lainnya serta pada data suhu ketiga tahun tersebut dimana nilai WWZ semua wilayah berbeda. Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Ambon tidak ada nilainya dikarenakan ketersediaan data mulai dari tahun 1961. 4.6.3. Sebaran Nilai Data. Korelasi bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut dapat dianalisis dari sebaran nilai rataan dan standar deviasi nilai WWZ bintik matahari. Jika masingmasing sebaran nilai WWZ suhu dan tekanan paras muka laut ketiga kota termasuk ke dalam rentang nilai WWZ bilangan bintik matahari (nilai rataan + simpangan baku) maka parameter iklim tersebut dapat dikatakan memiliki korelasi atau terpengaruh oleh aktivitas matahari.
SSN Suhu Jkt Suhu Mdn Suhu Amb SLP Jkt SLP Mdn SLP Amb
Ratarata
StDev WWZ
0,019
3,218
0,117
3,193
0,064
3,206
0,076
3,204
0,146
3,186
0,065
3,206
0,062
3,207
Sebaran Data (-3,112) – 3,15 (-2,947) – 3,181 (-3,025) – 3,27 (-2,992) – 3,144 (-2,891) – 3,183 (-3,032) – 3,162 (-3,036) – 3,16
St Error 0,087
Bilangan Bintik Matahari
0.8
Suhu Udara
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1
5
0,129 0,117 0,136 0,149 0,109 0,109
Tabel 7 menunjukkan nilai rerata WWZ normalisasi untuk bilangan bintik matahari adalah 0,019. Nilai standar deviasinya 3,218 sehingga sebaran data berada pada selang -3,112 hingga 3,15. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa semua batas minimum sebaran data suhu dan tekanan paras muka laut wilayah berada di dalam selang minimum sebaran data bilangan bintik matahari, namun batas maksimum sebaran data berada di luar selang maksimum data bintik matahari, kecuali untuk data suhu Ambon. Meskipun hanya data suhu Ambon yang berada di dalam kisaran data WWZ bintik matahari, namun secara umum semua data berada di sekitar kisaran data sehingga dapat dikatakan terdapat hubungan antara aktivitas matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon, berdasarkan sebaran data WWZ masing-masing.
13
17
21
25
Gambar 42. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan suhu Jakarta.
Pada Gambar 42 menunjukkan puncak periode dominan 10-11 tahun untuk grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode dominan 11 tahunan tersebut sama untuk grafik overlay WWZ berikutnya). Sedangkan untuk grafik WWZ data suhu Jakarta, terdapat periode paling dominan 3 tahunan, namun yang ditinjau adalah periode dominan yang terdekat setelah titik puncak WWZ data bintik matahari. Hal ini disebabkan pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu maupun tekanan paras muka laut tidak selalu terjadi secara langsung tetapi membutuhkan waktu (timelag) sehingga titik puncak WWZ yang dianggap terkait dengan titik puncak WWZ bilangan bintik matahari adalah pada periode dominan 13,5 tahun (walaupun nilainya separuh dari titik puncak periode dominan 3 tahunan). Pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu Jakarta membutuhkan waktu jeda sekitar 3 tahun. 1 0.9
Bilangan Bintik Matahari
0.8
Tekanan Paras Muka Laut
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1
4.7. Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ. Hubungan bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut dapat dianalisis dari grafik overlay antara kedua grafik WWZ. Diasumsikan titik-titik puncak WWZ kedua data yang dioverlay menunjukkan keterkaitan satu sama lain. Hanya saja, berapa lama titik puncak periode bintik matahari tersebut berpengaruh pada titik puncak data iklimnya.
9
Periode (dalam tahun)
Skala Normalisasi WWZ
Para meter
1 0.9 Skala Normalisasi WWZ
Tabel 7. Sebaran nilai WWZ data bintik matahari, suhu, dan tekanan paras muka laut (normalisasi).
5
9
13
17
21
25
Periode (dalam tahun)
Gambar 43. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan tekanan paras muka laut Jakarta.
Berbeda dengan grafik untuk suhu, pada grafik tekanan paras muka laut Jakarta di atas terdapat 2 puncak periode dominan pasca puncak WWZ bilangan bintik matahari, tetapi titik puncak periode 12,5 tahun lebih dekat dengan puncak bintik matahari dibanding titik puncak 15,5 tahun sehingga keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap tekanan paras muka laut Jakarta membutuhkan waktu tunda sekitar 2 tahun.
1 0.9 Skala Normalisasi WWZ
Skala Normalisasi WWZ
1 0.9 Bilangan Bintik Matahari
0.8 0.7
Suhu Udara
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1
Bilangan Bintik Matahari
0.8
Tekanan Paras Muka Laut
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (dalam tahun)
1
5
9
13
17
21
25
Periode (dalam tahun)
Gambar 44. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan suhu Medan.
Gambar 47. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan tekanan paras muka laut Ambon.
Sedangkan grafik overlay bilangan bintik matahari dengan suhu Medan ditunjukkan dengan Gambar 44. Pada grafik jelas terlihat bahwa terdapat titik puncak periode dominan 14,5 tahun. Dengan demikian waktu tunda pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu Medan adalah sekitar 3, 5 tahun.
Berbeda halnya dengan Jakarta dan Medan, pada grafik wilayah Ambon terlihat tidak memiliki waktu tunda, baik untuk grafik overlay data suhu (Gambar 46) maupun data tekanan paras muka laut (Gambar 47). Hal ini karena titik puncak periode dominan suhu maupun tekanan paras muka laut terdapat pada periode dominan grafik bintik matahari, yaitu 11 tahunan. Diduga keterpengaruhan menempuh waktu tunda dalam hitungan bulan saja. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keterlambatan waktu tunda pengaruh aktivitas matahari terhadap iklim sehingga waktu tunda keterpengaruhan tersebut berbeda-beda di setiap tempat. Faktor-faktor tersebut bisa disebabkan oleh ketebalan liputan awan, faktor antropogenik seperti polusi industri, atau bisa juga karena karakteristik geografinya yang banyak dipengaruhi oleh faktor lokal maupun regional, tergantung wilayahnya.
1 Skala Normalisasi WWZ
0.9
Bilangan Bintik Matahari
0.8
Tekanan Paras Muka Laut
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (dalam tahun)
Gambar 45. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan tekanan paras muka laut Medan.
Sementara untuk tekanan paras muka laut Medan, hubungan ditunjukkan oleh Gambar 45. Puncak dominan terlihat pada periode 15 tahun maka keterpengaruhan memerlukan waktu tunda 4 tahun. 1 Skala Normalisasi WWZ
0.9 0.8
Bilangan Bintik Matahari
0.7
Suhu Udara
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1
5
9
13
17
21
25
Periode (dalam tahun)
Gambar 46. Grafik overlay data WWZ bilangan bintik matahari dengan suhu Ambon.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Kemungkinan adanya keterkaitan aktivitas matahari (solar activity) dengan indikasi bilangan bintik matahari (sunspot number) teridentifikasi pada sebagian data iklim. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya periode dominan 11 tahunan pada grafik WWZ dan winsurf data iklim. Analisis WWZ terhadap wilayah Jakarta, Medan, dan Ambon untuk data tahunan maupun perperiode musim menyimpulkan bahwa periode 11 tahunan teridentifikasi pada sebagian besar data suhu dan tekanan paras muka laut. Selain periode dominan 11 tahun, terdapat 3 periode dominan lain yang diduga berpengaruh pada perubahan suhu dan tekanan paras muka laut, yaitu periode-periode dominan fenomena ENSO (4-8 tahun), siklus Hale (22 tahunan), dan yang paling dominan adalah dominasi siklus 1 tahunan. Sedangkan jika dilihat secara evolusi tahunannya, hanya 3 dari 90 data yang diuji yang menunjukkan keterkaitan dengan faktor aktivitas matahari 11 tahunan. Weighted Wavelet Z-Transform tidak menjelaskan mekanisme fisis hubungan aktivitas matahari dan parameter iklim, tetapi hanya mengidentifikasi dominasi periodisitas data. Nilai koefisien korelasi antara bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut pada masing-masing periode musim di ketiga kota menunjukkan nilai yang kecil (di bawah 0,5). Rendahnya koefisien tersebut menyimpulkan parameter bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut tidak dapat dihubungkan secara langsung, karena adanya faktor-faktor dominan lainnya yang mempengaruhi iklim. Dari analisis nilai WWZ untuk seluruh data, terdapat 3 parameter iklim wilayah yang menunjukkan kesamaan dengan nilai WWZ bintik matahari, yaitu suhu Jakarta serta suhu dan tekanan paras muka laut Medan. Sementara hanya tekanan paras muka laut Medan yang menunjukkan respon baik saat bintik matahari minimum tahun 1952. Waktu tunda respon suhu dan tekanan paras muka laut terhadap aktivitas matahari beragam mulai dari beberapa bulan untuk wilayah Ambon hingga yang tertinggi 4 tahun untuk tekanan paras muka laut Medan. Faktor lokal dan regional menjadi faktor utama yang mengakibatkan variasi respon
suhu dan tekanan paras muka laut terhadap aktivitas matahari. Hingga kini belum ada teori yang mampu menjelaskan secara pasti mekanisme fisis pengaruh aktivitas matahari terhadap iklim di atmosfer. Dalam analisis periodisitas, sebaiknya digunakan data yang lebih panjang dan lengkap agar keakuratan data lebih baik sehingga lebih mudah dalam interpretasi. Bintik matahari memiliki dampak yang bervariasi terhadap unsur-unsur cuaca, maka pengujian harus mempertimbangkan waktu dan karaketeristik wilayah kajian. Untuk meminimalkan efek lokal atau regional, sampel wilayah studi diperbanyak dengan mempertimbangkan ketersediaan data runtut waktu yang panjang. Selain itu untuk menonjolkan faktor aktivitas matahari, perlu dilakukan pembandingan dengan metode yang sama dengan kondisi wilayah kajian yang mempunyai sifat iklim berbeda dengan di Indonesia, misalnya di daerah lintang tinggi. Dalam penelitian hubungan parameter iklim dan aktivitas matahari, sebaiknya dianalisis juga parameter iklim lain seperti radiasi. Oleh karena matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan di bumi, dan cuaca atau iklim sangat mempengaruhi aktivitas manusia, maka penelitian mengenai hubungan sebab akibat antara keduanya sangat penting untuk diteliti lebih lanjut dengan metode dan teknologi yang lebih maju.
VI. DAFTAR PUSTAKA Christiany, A. 2005. Pengaruh Aktivitas Matahari (solar activity) Terhadap Perubahan Cuaca di Indonesia Berdasarkan Teori Fractal dan Hubungannya dengan Fenomenea ElNino. [skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB Bogor Currie, 1996. Mn and Sc Signals in North Atlantic Tropical Cyclone Occurance. International Journal of Climatology Vol. 16 hlm. 427-439 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991. Ensiklopedia Indonesia : Geografi. Jakarta Djamaluddin, T. 1998a. Efek Pasang Surut Bulan dan Aktivitas Matahari Pada Penyebaran Awan di Indonesia. Majalah LAPAN No. 85 hlm. 62-67 Djamaluddin, T. 1998b. Metode Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ) untuk Analisis Periodisitas Data Time Series Tak Lengkap. Ulasan Ilmiah. LAPAN Bandung Djamaluddin, T. 2001. Bukti-bukti Empirik Pengaruh Aktivitas Matahari Pada Iklim. Warta LAPAN Vol. 3 No. 3 Djamaluddin, T. 2005. Metode Baru Prakiraan Siklus Aktivitas Matahari dan Analisis Periodisitas. Jurnal Sains Dirgantara, Vol. 2 No. 2 hlm. 66-81 Foster, G. 1996. Wavelets For Period Analysis of Unevenly Sampled Time Series. The Astronomical Journal: 1709-1729. Massachusetts Kurniaty, T. 1997. Pengaruh Sunspot Terhadap Iklim dan Pengujian Hipotesis. Warta LAPAN No.51 Lang, K.R. 1995. Sun, Earth, and Sky. Springer-Verlag. Berlin Pambudi, R. 2000. Prediksi Curah Hujan Regional Jangka Panjang Berdasarkan Fenomena Siklus Sunspot.[skripsi]. Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral. ITB Bandung Perry, C. A. 1994. Solar-Irradiance Variations and Regional Precipitation Fluctuations in The Western USA. International Journal of Climatology, Vol. 14 hlm. 969-983 Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi. Penerbit ITB Bandung Rafi’i, S. 1996 Meteorologi dan Klimatologi. Penerbit Angkasa Bandung
Svensmark, H. 1998. Influence of Cosmic Rays on Earth Climate. Physical Review Letters 15th. Denmark Svensmark, H. dan Christensen, EF. 1996. Journal of Atmospheric and Solar Terresterial Physics, Vol. 59 No. 11: 1225-1232. Denmark Syahrina, A. 2004. Identifikasi Pengaruh Siklus Bintik Matahari pada Spektrum Curah Hujan Pulau Jawa. [skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB Bogor Thompson, R.J. 1985. The Sun and SolarInduced Terresterial Disturbances-A Review. Australian Government Department of Administrative Services Vose, R.S. Schmoyer, R.L.; Steurer, P.M.; Peterson, J.C.; Heim, R.; Karl, T.L.; Eischeild, J.K. (1992), “The Global Historical Climatology Network; Long Term Monthly Temperature, Precipitation, Sea Level Pressure, and Station Pressure Data”, ORNL/CDIAC53, NDP-041 Wiratmo, J. 1998. Sudah Benarkah Pemahaman Anda Tentang LA NINA dan EL NINO? Penerbit ITB. Bandung http://www.sidc.oma.be/data/monthssn.dat http://ads.nao.ac.jp/ http://science.nasa.gov/ast14oct99_1.htm
LAMPIRAN
Lampiran 1. Grafik Winsurf Bintik Matahari 700 650 600
PERIODE (dalam tahun)
41
550 500 450
31
400 350 300 250
21
200 150 100 50
11
1
PERIODE (dalam tahun)
25
0
1900
1910
1920
1930
1940
1950 1960 TAHUN
1970
1980
1990
2000
Lampiran 2. Grafik Winsurf Suhu Jakarta Bulanan 130 120
20
110 100 90
15
80 70 60
10
50 40 30
5 0 1870 1880 1890 1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 TAHUN
20 10 0
25
Lampiran 3. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta Bulanan 9
PERIODE (dalam tahun)
20
8 7
15
6 5 4
10
3 2
5
1
1930
0
25
1940
1950 TAHUN
1960
1970
1980
Lampiran 4. Grafik Winsurf Suhu Medan Bulanan 64 56
20 PERIODE (dalam tahun)
48 40
15
32 24
10 16 8
5
0
0
1935
1945
1955
TAHUN
1965
1975
1985
25
Lampiran 5. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan Bulanan 34
PERIODE (dalam tahun)
20
29 24
15
19 14
10 9 4
5
-1
0 25
1935
1945
1955
TAHUN
1965
1975
1985
Lampiran 6. Grafik Winsurf Suhu Ambon Bulanan 49
20
42
PERIODE (dalam tahun)
35 28
15
21 14
10
7 0
5
0
1950
1960
1970 TAHUN
1980
1990
25
Lampiran 7. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon Bulanan 49
20
42
15
28 21
10
14 7
5
0
1965
1970
0
1975 TAHUN
1980
1985
Lampiran 8. Grafik Winsurf Bintik Matahari (Periode Desember-Februari)
25 Periode (dalam tahun)
PERIODE (dalam tahun)
35
21
110
90
17
70
13
50
9
30
10
5
-10
1 1889
1903
1917
1931
TAHUN
1945
1959
1973
PERIODE (dalam tahun)
25
Lampiran 9. Grafik Winsurf Suhu Jakarta (Des-Feb) 15
20
13 11
15
9
10
7
5
3
5
1
0 1876 1886 1896 1906 1916 1926 1936 1946 1956 1966 1976 1986 1866
TAHUN Lampiran 10. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Des-Feb)
20 PERIODE (dalam tahun)
13
11
15
9
10
7
5
5
3
1
0 1925
1935
1945
1955 TAHUN
1965
1975
1985
25
Lampiran 11. Grafik Winsurf Suhu Medan (Des-Feb) 10.0
PERIODE (dalam tahun)
20
8.5 7.0
15
5.5 4.0
10
2.5 1.0
5
0
25
-0.5
1935
1945
1955
TAHUN
1965
1975
1985
Lampiran 12. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (Des-Feb)
7.5
PERIODE (dalam tahun)
20
6.5 5.5
15
4.5 3.5
10
2.5 1.5 0.5
5
-0.5
0
1935
1945
1955
TAHUN
1965
1975
1985
25
Lampiran 13. Grafik Winsurf Suhu Ambon (Des-Feb) 16 14
20
12
PERIODE (tahun)
10
15 8 6
10
4 2
5
0
25
0
1950
1960
1970 TAHUN
1980
1990
Lampiran 14. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Des-Feb)
6.5 20
5.5 4.5
15 PERIODE (dalam tahun)
3.5 2.5
10
1.5 0.5 5
-0.5
1963 0
1968
1973 TAHUN
1978
1983
Lampiran 15. Grafik Winsurf Bintik Matahari (Periode Maret-Mei) Periode (dalam tahun)
25
90
17 70
13
PERIODE (dalam tahun)
50
9
30
10
5
-10
1 1889
25
110
21
1903
1917
1931
TAHUN
1945
1959
1973
Lampiran 16. Grafik Winsurf Suhu Jakarta (Mar-Mei) 11.0
20
9.5 8.0
15 10 5 0 1870 1880 1890 1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 TAHUN
6.5 5.0 3.5 2.0 0.5
25
Lampiran 17. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Mar-Mei)
8
PERIODE (dalam tahun)
20
7 6
15
5 4
10 3 2
5
1
0
25
1925
1935
1945
1955 TAHUN
1965
1975
1985
Lampiran 18. Grafik Winsurf Suhu Medan (Mar-Mei)
13.5
PERIODE (dalam tahun)
20
11.5 9.5
15
7.5 5.5
10
3.5 1.5
5
0
-0.5
1935
1945
1955
TAHUN
1965
1975
1985
25
Lampiran 19. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (Mar-Mei) 10.0
PERIODE (dalam tahun)
20
8.5 7.0
15
5.5 4.0
10 2.5 1.0
5 -0.5
1935
0
25
1945
1955
TAHUN
1965
1975
1985
Lampiran 20. Grafik Winsurf Suhu Ambon (Mar-Mei) 10.5
20
9.0
PERIODE (tahun)
7.5 6.0
15
4.5 3.0
10
1.5 0.0
5
0
1949
1959
1969 TAHUN
1979
1989
25
Lampiran 21. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Mar-Mei) 6.5
20
5.5
15
3.5 2.5
10
1.5 0.5
5
-0.5
1963
1968
1973 TAHUN
0
1978
1983
Lampiran 22. Grafik Winsurf Bintik Matahari (Periode Juni-Agustus)
25 Periode (dalam tahun)
PERIODE (dalam tahun)
4.5
150
21
130
17
110 90
13
70 50
9
30
5
10 -10
1 1889
1903
1917
1931
TAHUN
1945
1959
1973
PERIODE (dalam tahun)
Lampiran 23. Grafik Winsurf Suhu Jakarta (Jun-Agu)
20
14.5 12.5
15
10.5 8.5
10
6.5 4.5
5
2.5 0.5
0 1870 1880 1890 1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 TAHUN 23
Lampiran 24. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Jun-Agu)
18
PERIODE (dalam tahun)
16 14
15
12 10 8 6
8
4 2 0
0
1925
1935
1945
1955 TAHUN
1965
1975
1985
25
Lampiran 25. Grafik Winsurf Suhu Medan (Jun-Agu) 11.5 10.0
20 PERIODE (dalam tahun)
8.5 7.0
15
5.5 4.0
10
2.5 1.0
5
0
25
-0.5
1935
1945
1955
TAHUN
1965
1975
1985
Lampiran 26. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (Jun-Agu) 15
20
13
PERIODE (dalam tahun)
11 9
15
7 5
10
3 1
5
-1
0
1935
1945
1955 TAHUN
1965
1975
25
Lampiran 27. Grafik Winsurf Suhu Ambon (Jun-Agu) 10.5
20
9.0
PERIODE (tahun)
7.5
15
6.0 4.5
10
3.0 1.5
5
0
25
0.0
1948
1958
1968 TAHUN
1978
1988
Lampiran 28. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Jun-Agu)
10.0 20
8.5 7.0
15 PERIODE (dalam tahun)
5.5 4.0
10
2.5 1.0 5
-0.5
1965 0
1970
TAHUN
1975
1980
Lampiran 29. Grafik Winsurf Bintik Matahari (Periode September-November) Periode (dalam tahun)
25 110
21
90
17 70
13
50
9
30
10
5
-10
1 1889
1903
1917
1931
TAHUN
1945
1959
1973
PERIODE (dalam tahun)
Lampiran 30. Grafik Winsurf Suhu Jakarta (Sep-Nov)
20 15
16 14 12 10 8
10
6 4
5 0 1870 1880 1890 1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 TAHUN
2 0
Lampiran 31. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Sep-Nov)
20
10
PERIODE (dalam tahun)
9
15
8 7 6
10
5 4 3
5
2 1
1930
0 25
1940
1950 TAHUN
1960
1970
1980
Lampiran 32. Grafik Winsurf Suhu Medan (Sep-Nov)
11.5
PERIODE (dalam tahun)
20
9.5
7.5
15
5.5
10
3.5
1.5
5
0
-0.5
1935
1945
1955
TAHUN
1965
1975
1985
25
Lampiran 33. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (Sep-Nov)
11.5
20 PERIODE (dalam tahun)
9.5
7.5
15
5.5
10
3.5
1.5
5 -0.5
1935
0
25
1945
1955
TAHUN
1965
1975
1985
Lampiran 34. Grafik Winsurf Suhu Ambon (Sep-Nov) 12.0 10.5
20
PERIODE (dalam tahun)
9.0 7.5
15 6.0 4.5
10
3.0 1.5 0.0
5
0
1948
1958
1968 TAHUN
1978
1988
25
Lampiran 35. Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Sep-Nov) 7.5 6.5
20
PERIODE (dalam tahun)
5.5 4.5
15
3.5 2.5 10
1.5 0.5 5
-0.5
1965 0
1970
1975 TAHUN
1980
1985