ANALISIS PERILAKU KEPEMIMPINAN CAMAT SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA Oleh : Ade Iskandar, SIP, M.Si *) Abstrak Pendekatan perilaku dalam organisasi merupakan suatu usaha melihat manusia sebagai suatu unsur yang kompleks. pendekatan perilaku (behavioral approach) dilakukan untuk menjawab terhadap adanya krisis yang ditimbulkan dengan menempatkan prinsip-prinsip mekanis pada diri manusia. Secara tradisional, manajer/pimpinan atau birokrat dituntut untuk memahami dimensi manusia dalam organisasi didekati dari segala aspek. Untkitu seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan personal (personal ability) pimpinan, yang menjalankan fungsi interpersonal, fungsi informasional dan fungsi pengambilan keputusan. Selain itu pengaruh (influence) pimpinan yang mampu menggerakkan para bawahan, mensosialisasikan nilai-nilai kepemimpinan dan melakukan pendekatan kekuasaan melalui cara-cara tertentu. Kata Kunci : Perilaku Kepemimpinan
Abstract Approach behavior in organizations is an attempt to see man as an element of the complex. approach behavior (behavioral approach) is done to address the crisis caused by placing the mechanical principles in human beings. Traditionally, the manager / leader or bureaucrat required to understand the human dimensions of the organization approached from all aspects. Untkitu a leader needs to have the personal ability (personal abilities) leadership, which perform the function of interpersonal, informational functions and decision-making functions. Additionally the influence (influence) leadership that can move the subordinates, disseminating the values of leadership and approach power through certain ways. Keywords: Behavioral Leadership Pendahuluan Sistem pemerintahan di Indonesia menganut adanya pembagian daerah dengan bentuk dan susunan pemerintahannya menurut Undangundang. Aplikasi dari sistem pembagian daerah tersebut akhirnya dikenal dengan istilah desentralisasi kekuasaan wilayah/daerah. Melalui prinsip tersebut kemudian daerah dituntut untuk dapat melaksanakan pemerintahan daerahnya serta menyusun pembangunan daerah dengan mengoptimalkan seluruh sumber daya dan aparatur pemerintah tanpa bergantung kepada pemerintah yang di atasnya. Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
17
Dengan adanya dinamika politik pemerintahan, tanggung jawab merancang dan melaksanakan pembangunan sering dilakukan pada tingkat nasional oleh pemerintah pusat. Beberapa bentuk dominasi pemerintah antara lain : Pertama, dalam bentuk pembangunan proyek atau program oleh suatu pelaksana (line agency); Kedua, menegakan lembaga-lembaga semi otonomi atau unit-unit proyek khusus yang dikontrol di tingkat nasional; Ketiga, bentuk manajemen proyek pembangunan pedesaan terpadu, maksud dan kegunannya ialah untuk memadukan kembali fungsi-fungsi yang telah menjadi sangat terfragmentasi dan terspesialisasi dalam departemen-departemen (Bryant & White, 1989 : 209-210). Dari kenyataan empiris, birokrasi yang memusat ini berakibat pada rendahnya keberdayaan aparatur birokrasi di daerah. Rendahnya keberdayaan tersebut disinyalir oleh Redjo (1998 : 29) dapat dilihat dari : Pertama, kurang profesionalnya aparatur daerah di dalam mengantisipasi gerak dinamis pembangunan, Kedua, relatif kurangnya inisiatif aparatur pemerintah daerah; Ketiga, relatif kurang kreatif dan inovatifnya aparatur di daerah; Keempat, seringkali terjadi “standar ganda” dalam kebijakan di daerah, sebagai manifestasi adanya ketidakserasian komunikasi antar pejabat/elit di tingkat pusat yang justru membingungkan aparat di daerah tentang mana yang harus mereka ikuti; Kelima, sikap arogan aparatur. Kelima permasalahan yang ada di atas, semakin terlihat jelas ketika mengamati perilaku birokrat lokal yaitu pada tingkat kecamatan. Para birokrat pada tingkat ini menganggap bahwa kewenangan yang pada organisasi melekat suatu kekuasaan yang sangat luas guna mengatur masyarakat. Aspek pelayanan yang seharusnya diperankan oleh lembaga ini akhirnya menjadi berbalik, justru menjadikan masyarakat yang harus melayani mereka (birokrat). Dari beberapa kondisi obyektif di atas menunjukkan bahwa persoalan perilaku birokrat lokal tersebut merupakan persoalan umum yang ada dalam pemerintahan di Indonesia. Adapun persoalan spesifik yang terjadi khususnya pada tingkat kecamatan adalah sangat beragam. Hal tersebut dapat dilihat pada Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya sebagai obyek penelitian dalam penulisan ini. Secara administratif-organisatoris, Kecamatan Singaparna membawahi beberapa organisasi yang berada pada tingkat terendah yaitu organisasi Desa, Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Kedudukan Kantor Kecamatan Singaparna beserta perangkat organisasinya sebagai pamong merupakan organisasi pemerintah yang sangat vital, dimana organisasi ini secara langsung akan bersentuhan dengan permasalahan sosial masyarakat seperti bidang pemerintahan, bidang pembangunan, bidang kemasyakatan dan bidang – bidang lainnya. Berdasarkan kondisi di atas menunjukkan bahwa kinerja dari organisasi ini sebenarnya bergantung kepada bagaimana memberikan pelayanan yang efektif terhadap bidang-bidang tersebut yaitu dengan Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
18
memberikan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat. Disamping memberikan pelayanan tersebut, organisasi kecamatan juga harus dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat guna menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Berkenaan dengan persoalan kinerja organisasi Kantor Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya, hasil pengamatan penulis menunjukkan terdapat beberapa identifikasi permasalahan yang terkait dengan budaya birokrasi antara lain : Pertama, mekanisme pengambilan keputusan yang memusat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dominasi pimpinan (camat) dalam setiap pengambilan keputusan terutama yang berhubungan dengan perencanaan program kerja. Permasalahan Kedua, adalah adanya pendelegasian wewenang yang kabur dari pimpinan. Setiap unit yang ada di bawah lingkungan Kecamatan Singaparna sebenarnya memiliki tingkat kewenangan yang luas terhadap tugas yang dibebankan tetapi dalam kesempatan tertentu kewenganan tersebut dapat dikalahkan oleh organisasi kecamatan, dalam hal ini camat sebagai pimpinan yang memiliki intervensi kewenganan yang tidak terbatas. Hal tersebut menyebabkan terjadinya konflik kepentingan antara organisasi desa dengan organisasi kecamatan. Contohnya dalam hasil Musrenbang tingkat kecamatan, umumnya desa menilai kegiatan ini kurang efektif karena banyak perubahan dari skala prioritas yang diusulkan desa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kecamatan sebagai organisasi pemerintahan formal memerlukan suatu kepemimpinan yang efektif dari camat. Efektivitas kepemimpinan Camat sebagaimana yang nampak dalam pola perilaku kepemimpinan akan berpengaruh pada penampilan kerja serta semangat berpartisipasi warga masyarakat dalam pembangunan Camat berkewajiban untuk mengarahkan dan mempengaruhi personil aparat kecamatan agar mereka dapat memanfaatkan segala kemampuannya untuk bekerja sama dalam rangka pencapaian tujuan daripada organisasi kecamatan. Adanya perbedaan situasi dan kondisi lingkungan tempat organisasi itu berada menuntut suatu perilaku kepemimpinan tertentu dari camat dalam menjalankan kepemimpinannya agar organisasi itu dapat berjalan dengan baik. Dari beberapa uraian di atas, maka yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini perilaku kepemimpinan, terutama dalam pembentukan budaya birokrasi pada instansi pemerintahan khususnya Kantor Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Landasan Teori Pendekatan perilaku dalam organisasi merupakan suatu usaha melihat manusia sebagai suatu unsur yang kompleks. Di dalam beberapa kajian dijelaskan bahwa pendekatan perilaku (behavioral approach) dilakukan untuk menjawab terhadap adanya krisis yang ditimbulkan Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
19
dengan menempatkan prinsip-prinsip mekanis pada diri manusia. Secara tradisional, manajer/pimpinan atau birokrat dituntut untuk memahami dimensi manusia dalam organisasi didekati dari segala aspek misalnya ekonomi, sekuriti, emosional dan suasana kerja dan sebagainya. Oleh karena itu pendekatan-pendekatan bihavioral dipergunakan sebagai salah satu pendekatan untuk memahami dimensi manusia dalam organisasi. Perilaku organisasi merupakan suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam suatu organisasi atau suatu kelompok tertentu. Ia meliputi aspek yang ditimbulkan oleh pengaruh terhadap manusia, demikian pula aspek yang ditimbulkan dari pengaruh manusia terhadap organisasi. Tujuan praktis dari penelaahan studi ini adalah untuk mendeterminasi bagaimanakah perilaku manusia itu mempengaruhi usaha pencapain tujuan-tujuan organisasi. Luthans (1981 : 6) menekankan bahwa : ““Organizational behavior is directly concerned with the undertanding, prediction, and control of humjan behavior in organizations. Organizational behavior attempts to give the specific necessary background and skills to make the managers of today and tomorrow as efective with the conceptual and human dimentions of management as they habe been in the past with the technical dimentions”. Adanya pemahaman terhadap perilaku organisasi disebabkan karena suatu organisasi itu adalah selalu bersifat dinamis dan berubahubah. Dalam kondisi yang berubah-ubah tersebut orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut haruslah menyesuaikan dalam kondisi perilaku tersebut. Sebagian ilmuwan secara khusus mengatakan bahwa suatu organisasi merupakan suatu sistem tempat tinggi (living system). Guna menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut perlu terdapat suatu kajian terhadap perilaku dalam aspek-aspek perilaku manusia. Dari beberapa perumusan tentang perilaku organisasi sangat terlihat pengkajiannya teramat luas, merangkul banyak masalah dan aliran serta beberapa disiplin akademik, termasuk diantarannya psikologi, sosiologi, antropologi, sosial ekonomi, politik, bahasa dan sebagainya. Bidang perilaku ini secara konsisten perhatiannya hanyalah pada studi perilaku di dalam konteksnya dalam kerangka tatanan budaya dan sosial. Birokrasi sebagai suatu kumpulan dari orang-orang merupakan suatu sistem yang sangat dinamis, dimana di dalamnya terdapat interaksi yang intensi dari pada beberapa sistem nilai yang dibawa oleh orangorang yang menjalankan organisasi tersebut. Sistem nilai tersebut didasarkan kepada tingkat kewenangan atau kekuasaan yang melekat pada suatu jabatan orang-orang tersebut. Lebih lanjut Albrow (1996 : 82) mengemukakan bahwa : “Untuk memahami karakteristik birokrasi sekurang-kurangnya terdapat tujuh pengertian yang sering terkandung dalam istilah birokrasi antara lain : 1) organisasi yang rasional, 2) ketidakefisienan organisasi; 3) pemerintahan oleh pejabat; 4) administrasi negara; 5) adiministrasi oleh pejabat; 6) Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
20
bentuk organisasi dengan ciri-ciri dan kualitas tertentu seperti hirarki dan peraturan-peraturan; 7) salah satu ciri esensial dari masyarakat modern”. Dari beberapa konsep tentang birokrasi di atas menunjukkan bahwa birokrasi merupakan organisasi yang sangat rasional yang lebih mengandalkan stratifikasi kewenangan dengan tujuan untuk mencapai efektifitas dan efisiensi suatu pemerintahan. Melalui stratifikasi di atas tercermin adanya polarisasi kewenangan di dalam menjalankan fungsifungsi manajemen. Adanya tingkatan tersebut menempatkan pejabat (orang) yang menduduki jabatan level atas atau manajemen puncak memiliki otoritas yang sangat kuat. Adanya pemusatan kekuasaan yang ada pada manajemen puncak memang sangat dibutuhkan dalam birokrasi, dengan tujuan terciptanya suatu kontrol yang kuat dari pimpinan terhadap cara kerja orang-orang yang ada pada level tingkat bawah. Oleh karena itu peran pimpinan dalam birokrasi menempati posisi yang sangat penting. Hal ini bertujuan agar suatu organisasi itu dapat terorganisir secara baik melalui fungsi-fungsi manajemen yang efektif. Pentingnya peran pimpinan di dalam menjalankan fungsi manajemen ditunjukkan karena pimpinan memiliki daya kemampuan mempengaruhi dan menggerakan segala sumber daya yang ada dalam organisasi tersebut yang sifatnya fisik maupun sumber daya manusianya. Dari beberapa konsep yang dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa terdapat tiga unsur penting yang ada dalam konsep kepemimpinan antara lain personal ability (kemampuan personal), influence (pengaruh) dan kekuatan bawahan atau followship (kepengikutan). Personal ability (kemampuan personal) dari seorang pimpinan merupakan syarat utama dari keberadaan seorang pemimpin. Kegiatan menggerakkan, serta mempengaruhi orang lain khususnya bawahan bukan merupakan kegiatan yang mudah, melainka perlu memiliki nilai personal yang khusus seperti halnya nilai kharismatis, wawasan, visi dan sebagainya. Di samping itu dalam organisasi yang rasional kemampuan pesonal tersebut perlu didukung dan diperkuat oleh kewenangan formal dan status yang dijabatnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsep managerial rules (aturanaturan manajerial) yang dikemukakan oleh Mietzberg dalam Gannon (1979 : 202-206), yang mengemukakan bahwa : “the manager performs three asensial type of rules in an organization : interpersonal, informational and decisional function”. (terdapat tiga fungsi esensial dari seorang pemimpin antara lain fungsi interpersonal, fungsi informasional dan fungsi pengambilan keputusan). Interpersonal function (fungsi interpersonal) merupakan kegiatan hubungan antara pimpinan dengan orang lain, baik yang ada dalam organisasi atau di luar organisasi. Dalam hal ini pimpinan memainkan tiga peranan antara lain : sebagai figurhead (figur), leader (pemimpin) dan liaison (penghubung). Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
21
Informational function (fungsi informasional) merupakan suatu peran yang dimainkan oleh seorang pimpinan sebagai sumber informasi dalam organisasi. Guna melengkapi tugas-tugasnya secara efektif, seorang pimpinan harus menyampaikan dan menerima informasi . Dalam masalah ini, pimpinan mamainkan tiga peranan penting antara lain sebagai monitor (pengawas), dissiminator of information (penyebar informasi) dan sebagai spokesman (juru bicara). Sedangkan decisional function (fungsi pengambilan keputusan) merupakan kegiatan pimpinan dalam menjalankan peranan antara lain sebagai inisiator, disturbance hendler (menangani gangguan) dan sebagai resource allocation (pengalokasian sumber daya). Dengan melihat segala sesuatu yang melekat pada diri seorag pimpinan, baik dilihat dari jabatan formalnya, ability (kemampuan) serta nilai kharismatisnya maka seorang pimpinan memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi orang lain baik yang berada di lingkup internal organisasi ataupun yang berada di luar organisasi. Salah satu yang ikut menciptakan karakter kepemimpinan tersebut adalah kekuatan bawahan atau dalam istilah kepengikutan. Keberhasilan seorang pimpinan sangatlah ditentukan oleh kemampuan bawahan untuk melaksanakan perintah dari seorang pimpinan. Kekuatan bawahan tersebut sangat ditentukan oleh tingkat kematangan (maturity) dari bawahan yaitu “sebagai suatu kemampuan serta kemauan dari orangorang untuk bertanggung jawab dalam menggerakkan perilakunya sendiri guna menterjemahkan perintah pimpinannya” (Thoha, 1988 : 315). Efektivitas kepemimpinan dalam menjalankan organisasi dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor atau sub-sub sistem lainnya, seperti lingkungan organisasi (secara internal maupun eksternal) Winardi (1992 : 24) menyatakan bahwa : “Dalam rangka memecahkan problem-problem dimana digunakan pendekatan sistem, maka para manager (pimpinan) harus memandang organisasi yang ada sebagai suatu keseluruhan yang dinamik, dan mereka harus berupaya mengantisipasi dampak yang di intensi (dikehendaki) maupun dampak yang tidak diintensi (tidak dikehendaki) dari keputusan mereka”. Pendapat di atas menunjukkan bahwa pendekatan sistem digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan manajemen dalam mencapai saran yang dikehendaki oleh suatu organisasi. Adapun ciri khususnya dinyatakan oleh Winardi (1992 : 24). Dalam model-model sistem biasanya ditekankan pada tiga macam istilah kunci yakni : masukan (input), proses dan keluaran (output). Selain itu terdapat istilah umpan balik (feed back) dan adakalanya digunakan istilah umpan ke muka (feed forward). Melihat begitu kompleksnya unsur-unsur yang ada dalam aspek kepemimpinan ini menjadikan aspek ini mempunyai pengaruh ang sangat besar terhadap berjalannya suatu birokrasi pemerintah. Asumsi tersebut Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
22
didasarkan kepada suatu pemikiran bahwa di dalam birokrasi pemerintahan mempunyai angota yang secara formal berbeda dalam status dan kedudukan. Perbedaan tersebut mempunyai konsekuensi terhadap tingkat kewenangan dan kekuasaan serta tanggung jawab yang berbeda pula. Semakin tingi status dan kedudukan serta tanggung jawab yang berbeda pula. Semakin tingi status dan kedudukan seseorang menjadikan tingkat kekuasaan serta kewenangannya yang semakin luas. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah status dan kedudukan seseorang maka tingkat kekuasaan dan kewenangannya akan semakin kecil. Kondisi tersebut diasumsikan terdapat kecenderungan terpusatnya kekuasaan khususnya bagi struktur birokrasi pada tingkat atas. Menurut Heady (196) stratikasi di dalam birokrasi merupakan salah satu syarat mutlak dalam birokrasi dengan tujuan efisiensi kegiatan. Melihat beberapa pendekatan di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara perilaku kepemimpinan dengan budaya birokrasi pemerintahan. Keterkaitan ini diuktikan dengan adanya prinsip-prinsip, persepsi, nilai-nilai yang dipegang teguh oleh pimpinan di dalam mengambil suatu perencanaan kebijakan serta melaksanakan kebijakan-kebijakan itu. Dengan kata lain kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, sikap hidup dan kebiasaankebiasaan yang ada pada diri pimpinan dapat diaktualisasikan dalam organisasi pemerintah. Di sisi lain birokrasi pada hakikatnya merupakan anak kebudayaan dan sebagai lembaga yang dominan dalam kehidupan masyarakat modern merupakan pembawa nilai-nilai dan pelestari nilainilai budaya suatu masyarakat (Setiawan, 1998 : 141). Di dalam birokrasi nilai-nilai seperti halnya ketaatan yang berlebihan terhadap peraturan, loyalitas kepada pimpinan, tertutup ataupun nilai-nilai lainnya menjadi ciri khas yang membedakan dengan lembaga-lembaga lainnya. Nilai-nilai inti tersebut dianggap oleh orangorang yang ada di dalamnya menjadi suatu aturan yang tidak bisa dilanggar. Oleh karena itu melalui peran dari orang-orang yang berpengaruh seperti pimpinan dapat memberikan nuansa dalam dinamika birokrasi itu sendiri. Metode Penelitian Pada penelitian ini penulis mempergunakan metode penelitian deskriptif, dengan teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah : Studi Kepustakaan (dokumentasi), dan Studi Lapangan, yang meliputi : Observasi dan Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya jawab guna mendapatkan keterangan yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Dalam penelitian ini penulis mengadakan wawancara dengan Camat Singaparna Kabupaten Tasikmalaya dan beberapa orang pegawai.
Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
23
Pembahasan Perilaku kepemimpinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam organisasi. Sebagian orang menganggap bahwa pimpinan itu merupakan suatu “simbol” dari suatu perubahan atau apa yang disebut agent of change (agen pembaharu). Hal ini disebabkan karena secara formal pimpinan mempunyai legalitas terhadap suatu kekuasaan/kewenangan. Jadi pimpinan tersebut secara legal formal diberikan kekuasaan untuk mengatur organisasi. Disamping itu secara personal peimpinan memiliki kemampuan yang lebih dari anggota organisasi lainnya. Melalui kemampuan yang dimiliki tersebut, pimpinan dapat melakukan suatu perubahan dalam organisasi. Tentunya perubahan yang diinginkan adalah suatu perubahan yang memberikan keuntungan terhadap organisasi baik keuntungan materiil maupun keuntungan nonmateriil. Terdapat tiga dimensi pokok yang melekat dalam konsep perilaku kepemimpinan, antara lain : Pertama, kemampuan (ability); kedua, pengaruh (influence), serta ketiga, loyalitas bawahan/ kepengikutan (followership). Ketiga dimensi tersebut menurut penulis akan memberikan suatu gambaran yang utuh terhadap keberadaan seorang pimpinan, khususnya pimpinan yang ada dalam organisasi di Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya merupakan suatu organisasi pemerintah yang berada pada tingkat bawah yang melaksanakan tugas melakukan pembangunan serta memberikan pelayanan bagi masyarakat di wilayahnya tersebut. Suatu kegiatan pembangunan di wilayah tersebut agar berhasil perlu adanya suatu perencanaan yang matang dengan maksud agar tujuan organisasi dicapai dengan baik. Mengenai kegiatan pengorganisasian yang ada di lingkungan Kecamatan Singaparna menunjukkan bahwa kegiatan pengorganisasian sebagian besar didasarkan kepada struktur-struktur organisasi yang sudah baku yaitu yang didasarkan kepada ketentuan/peraturan hukum yang mengatur mengenai struktur organisasi Kecamatan mulai dari struktur organisasi yang tertinggi sampai dengan yang terendah. Hal itulah yang kemudian dioperasionalkan dalam kegiatan-kegiatan organisasi khususnya kegiatan yang sifatnya rutin yaitu kegiatan – kegiatan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan kegiatan pengorganisasian di atas, kemudian dijadikan landasan di dalam melakukan fungsi manajemen selanjutnya yaitu pelaksanaan fungsi koordinasi. Kegiatan menggerakan (actuating) merupakan kegiatan yang pokok dalam suatu administrasi pemerintahan. Sebagai suatu gambaran umum yang ada dalam organisasi pemerintahan bahwa terdapat prototype yang melekat pada diri pegawainya antara lain : kurang berkembanynya Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
24
daya kreativitas. Kurang mempunyai rasa inovatif. Hal inipun yang menurut penulis terjadi di Kantor Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya serta unit organisasi yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Berdasarkan pengamatan, kondisi tersebut disebabkan karena beberapa hal antara lain : Struktur organisasi yang sentrialistis sehingga menyebabkan tingkat otorisasi yang ada di atas sangat besar sehingga menimbulkan lemahnya kreatifitas pada struktur yang ada dibawah. Berdasarkan kondisi obyektif di atas menunjukkan bahwa proses menggerakan bawahan yang dilakukan oleh pimpinan lebih cenderung menggunakan prinsip “mobilitasi bawahan”. Maksudnya adalah bahwa di dalam menggerakan bawahan, pimpinan melakukan tekanan-tekanan politis atau kekuasaan terutama bagi bawahan yang cenderung tidak mampu mencapai target, misalnya saja menghambat bawahan untuk dapat meniti karir yang lebih baik. Berkaitan dengan kegiatan pengawasan tersebut, khususnya yang berlaku di Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya dapat dideskripsikan sebagai berikut : Proses pengawasan pimpinan (camat) dalam pelaksanaan tugas terdiri dari dua bentuk pengawasan yaitu pengawasan formal dan pengawasan informal. Pertama, Pengawasan Formal. Pengawasan ini dilakukan berdasarkan tugas pokok yang secara formal ditentukan oleh organisasi pemerintah. Dalam pengawasan ini dibagi menjadi dua yaitu : 1) Pengawasan pada tugas-tugas rutin yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan terhadap tugas-tuas administratif yang dilakukan oleh bawahan. 2) Pengawasan pada tugas-tugas proyek yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan terhadap tugas-tugas yang berkenaan dengan proyek yang telah ditetapkan oleh Camat. Pelaksanaan proyek ini sebenarnya tidak secara tetap dan rutin, melainkan didasarkan kepada proyek/program yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, Pengawasan informal. Pengawasan ini dilakukan tidak berdasarkan pada tugas-tugas formal – organisatoris, melainkan pengawasan yang dilakukan secara personal oleh pimpinan (Camat). Tujuan dari pengawasan ini hanya sebatas mendekatkan diri kepada para bawahan. Bentuk-bentuk pengawasan yang dilakukan antara lain. 1) Kunjungan secara personal ke tiap-tiap Desa secara tidak terjadwal 2) Melakukan komunikasi di luar jam kerja, misalnya di malam hari atau hari libur dengan para bawahan tertentu. Prinsip pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahan adalah prinsip “pengendalian”. Prinsip pengendalian di sini merupakan suatu kegiatan pengawasan yang di lakukan kepada bawahan dengan tujuan agar para bawahan tidak keluar dari jalur-jalur atau garis-
Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
25
garis yang telah ditentukan oleh pimpinan, khususnya tugas-tugas yang berkaitan dengan proyek-proyek yang berskala besar. Peranan pimpinan di dalam mempengaruhi merupakan kemampuan khusus yang dimiliki seorang pimpinan dalam melakukan tindakantindakan persuasive dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi. Dari konsep di atas, perilaku yang ditampilkan pimpinan khususnya Camat terhadap bawahannya secara umum dapat dibagi ke dalam : Pertama, Pengaruh secara impersonal, yaitu pengaruh yang diakibatkan karena adanya status formal organisatoris yang melekat pada diri seorang. Dengan adanya status sebagai pimpinan akan mengakibatkan adanya wewenang yang harus ditampilkan. Kedua, Pengaruh secara personal, yaitu pengaruh yang dilakukan diakibatkan karena kemampuan persuasive yang secara khusus dimiliki oleh pimpinan tersebut tanpa terlalu didasarkan keapda status formal organisatoris. Di dalam pengaruh secara personal ini akan membedakan antara pimpinan yang satu dengan yang lain. Hal ini yang diistilahkan dengan karakter individu dari seorang pimpinan. Mengenai pengaruh secara personal, khusus bagi pimpinan yang ada di Kecamatan Singaparna dapat dideskripsikan dengan adanya suatu perilaku yang berbeda yang ditampilkan oleh bawahan di dalam menyesuaikan dengan perilaku pimpinan. Maksudnya adalah terdapat perbedaan-perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh bawahan guna menyesuaikan dengan perilaku pimpinan. Dari kedua gambaran di atas menunjukkan bahwa keberhasilan pimpinan (Camat) di dalam menyebarkan pengaruhnya adalah dengan lebih mengoptimalkan pengaruh-pengaruh personal yaitu dengan melakukan komunikasi yang rutin dan tidak formal serta memberikan contoh yang baik, agar bawahan dapat menilai karakter kempimpinannya. Pengaruh yang digunakan oleh pimpinan Kecamatan Singaparna sebenarnya lebih mengarah kepada pengaruh yang menggunakan pendekatan semiotoriter. Maksudnya dalam kondisi tertentu bawahan diposisikan sebagai kawan atay teman. Dalam posisi sebagai teman tersebut pimpinan menggunakan pendekatan yang sangat komunikatif terutama dalam kegiatan-kegiatan yang sifatnya informal. Namun dalam kondisi yang sangat formal, bawahan cenderung diposisikan sebagai bawahan atau sub system yang harus tunduk kepada pimpinan. Pendekatan yang digunakan dalam kondisi ini-pun adalah pendekatan mobilisasi dengan mengandalkan instruksi-intruksi seorang pimpinan. Dalam pendekatan ini tidak lagi mementingkan unsur komunikasi melainkan keharusan untuk melaksanakan perintah. Peranan pimpinan di dalam melaksanakan fungsi manajemen adalah bagaimana pimpinan tersebut secara efektif dapat menggerakan bawahan. Salah satu syarat penting agar fungsi tersebut dapat tercapai adalah adanya loyalitas atau kepengikutan dari bawahan agar segala kemauan pimpinan dapat dilaksanakan oleh bawahan. Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
26
Tingkat loyalitas dari bawahan yang dijelaskan di atas sebenarnya di sesuaikan dengan tingkat maturity (kematangan) yang dimiliki bawahan yaitu suatu kondisi psikologis yang dimiliki bawahan di dalam menanggapi pekerjaan yang dihadapinya. Kondisi psikologis tersebut dipenaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan tingkat motivasi kerja. Melihat tingkat loyalitas bawahan terhadap pimpinan di atas dapat diambil benang merahnya bahwa tingkat motivasi para bawahan yang paling berperan terhadap perlakunya tersebut. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh iklim organisasi yang ada ataupun pengalaman kerja bawahan yang memposisikan seperti itu. Di dalam pengalaman kerja seringkali para bawahan melihat tingkat kebiasaan yang dimainkan oleh karyawan lainnya di dalam mendekatkannya dengan pimpinan.
Kesimpulan Perilaku kepemimpinan Camat dalam hal kemampuan personal diwujudkan dalam pelaksanaan fungsi interpersonal dimana Camat berperan sebagai figure, pemimpin dan penghubung, serta pelaksanaan fungsi informasional yang berperan sebagai : pengawas, sumber-sumber informasi dan juru bicara. Hal yang dominan adalah pelaksanaan fungsi pengambilan keputusan dimana Camat harus berperan sebagai inisiator, menangani gangguan dan mengalokasikan sumber daya. Sedangkan perilaku kepemimpinan Camat dalam hal pengauh pimpinan, Camat memiliki kemampuan dalam hal menggerakkan para bawahan dan mensosialisasikan nilai-nilai kepemimpinanya. Selain itu Camat juga melakukan pendekatan kekuasaan melalui cara-cara tertentu untuk membangun kekuatan bawahan (kepengikutan) dengan meningkatkan kemauan bawahan, kemampuan bawahan dan meningkatkan loyalitas bawahan kepada pimpinan. Daftar Pustaka Albrow, Martin, 1996, Birokrasi (Terj.), Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya. Blanchard, Kenneth H, 1992. Manajemen Perilaku Organisasi : Pendayagunaan Sumber Daya Manusia, Jakarta : Erlangga. Bryant, Coralie & Louise G. White. 1987. Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang (Terj.), Jakarta : LP3ES. Davis, Keith & John W. Newstrom, 1996. Perilaku Dalam Organisasi (terj.) Jakarta : Erlangga. Gannon, Martin J., 1979. Organizational Behavior : A Managerial and Organizational Perspective, Boston-Toronto : Little Brown and Company. Ibnu Redjo, Samugyo, 1998. Analisis Pemerintahan di Indonesia, Bandung : Media FISIP Press. Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
27
Kerlinger, Fred M, 2000. Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Rasyid, Muhammad Ryaas, 1997. Kajian Awal Pemerintahan Politik Orde Baru, Jakarta : Yarsif Watampone. Robbin, Stephen P., 1995. Organization Theory : Structure, Design and Applications. Alih Bahasa, Hadyana Pujaatmaka, Jakarta : Prenhallindo. Robbin, Stephen P., 1996. Organizational Behavior : Concept, Structure, Design and AppliTheory : Structure, Design and Applications. Alih Bahasa, Hadyana Pujaatmaka, Jakarta : Prenhallindo. Rustandi, R, 1987. Gaya Kepemimpinan : Pendekatan Bakat Situasional, Jakarta : Armico. Sastrodiningrat, Subagio, 1998. Kapita Selekta : Manajemen dan Kepemimpinan, Jakarta : Ind-Hall-Co. Setiawan, Akhmad, 1998. Perilaku Birokrasi Dalam Paham Kekuasaan Jawa, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Siagian, Sondang P, 1988. Organisasi, Kepemimpinan Dan perilaku Administrasi, Jakarta : Gunung Agung. Simon, Herbert A, 1998, Administrative Behavior, Perilaku Administrasi Suatu Studi tentang Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi, Jakarta : Bumi Aksara. Singarimbun, M. dan Sofyan Effendi, 1990. Metode Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES. Thoha, Miftah, 1998. Perilaku Organisasi : Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta : CV. Rajawali. Thoha, Miftah, 1991. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi, Yogyakarta : Media Widya Mandala. Thoha, Miftah, 1987. Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta : Rajawali Pers. Winardi, J., 1992. Manajemen Perilaku Organisasi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Dokumen : UU. No. 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta : Sinar Grafika. Peraturan Daerah Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Tasikmalaya : Sekretariat Daerah. Keputusan Bupati Tasikmalaya Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan di Wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Tasikmalaya : Sekretariat Daerah. *) Ade Iskandar, SIP, M.Si adalah Dosen Tetap Yayasan pada STISIP Tasikmalaya Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
28
Jurnal Ilmu Administrasi “Koordinasi” STIA YPPT Priatim Tasikmalaya
29