ANALISIS PERILAKU IJIME DALAM DRAMA GREAT TEACHER ONIZUKA Alina Kumala Universitas Bina Nusantara, Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27 Jakarta Barat, (021) 535 0660
[email protected] Alina Kumala, Sri Dewi Adirani, S.S., M.Si.
ABSTRACT Estimated since the 1980s phenomenon of ijime (bullying) has been occurs, even today that social phenomenon is still happening in Japan. This study will examine about ijime phenomenon which occurs in Japan. Researcher uses Great Teacher Onizuka (2012) drama as data sources. At that drama, researcher will analyze bullying behavior which is done by Anko Uehara. The purpose of this research is to understand the bullying behavior through drama Great Teacher Onizuka in particularly performed by Anko Uehara assisted by her two friends. Therefore researcher will analyze bullying behavior such as types of bullying behavior, impact of bullying and background of bullying perpetrator. The analysis in this study uses a qualitative approach and descriptive analytical method. The analysis will be presented with images and conversations conducted by relevant characters. In this study, researcher has found the types of bullying behavior done by Anko Uehara and her friends are verbal and non-verbal bullying behavior; while the impact of the bullying behavior is the target almost do suicide; and the background factors why Anko does bullying are Anko’s bullied experience factor and Anko’s family factor. Keywords : bullying, bullied, suicide, family, ijime phenomenon
ABSTRAK Diperkirakan sudah sejak tahun 1980-an fenomena ijime terjadi, bahkan sampai saat ini fenomena sosial tersebut masih terus terjadi di Jepang. Penelitian ini akan membahas mengenai fenomena ijime yang terjadi di Jepang. Di dalam skripsi ini penulis menggunakan drama Great Teacher Onizuka (2012) sebagai sumber data. Di dalam drama tersebut, penulis akan menganalisis perilaku ijime yang dilakukan oleh tokoh bernama Uehara Anko. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami lebih dalam perilaku ijime melalui Drama Great Teacher Onizuka khususnya yang dilakukan oleh tokoh Uehara Anko yang dibantu oleh kedua temannya. Oleh karena itu penulis akan menganalisis perilaku ijime seperti jenis-jenis tindak ijime, dampak ijime dan latar belakang pelaku ijime. Analisis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif analitif. Analisis akan ditunjukkan dengan gambar dan percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh bersangkutan. Simpulan dari penelitian ini, penulis menemukan bahwa jenis-jenis ijime yang dilakukan oleh tokoh Anko bersama kedua temannya adalah berupa tindakan secara verbal dan non-verbal; sedangkan dampaknya adalah korban ingin melakukan tindak bunuh diri atau jisatsu; dan latar belakang penyebab tokoh Anko melakukan tindak ijime adalah karena adanya faktor pengalaman tokoh yang juga pernah mengalami penindasan dan faktor dari keluarga tokoh Anko sendiri. Kata kunci : ijime, bunuh diri, keluarga, fenomena ijime
PENDAHULUAN Jepang dikenal sebagai negara yang disiplin, berbudaya, juga maju dalam hal teknologi. Di Indonesia pun Jepang dianggap menarik, semakin banyak hal ke-Jepangan atau yang biasa disebut dengan istilah “budaya populer Jepang” yang berkembang, contohnya antara lain: manga (komik Jepang) yang banyak dijual di toko buku, anime (kartun Jepang) dan dorama (drama Jepang) yang ditayangkan di siaran televisi lokal. Jauh sebelum adanya hiburan berupa dorama di Jepang noh, kabuki, bunraku, dan juga opera sabun menjadi media hiburan yang diminati oleh masyarakat saat itu, tapi setelah teknologi semakin berkembang, maka anime dan dorama menjadi hiburan masyarakat yang dapat mudah dijangkau dan mudha untuk dinikmati sehari-hari. Bila membicarakan tentang pendidikan Jepang tentu hal-hal yang terbayang di pikiran kita sebagai masyarakat Indonesia tidak jauh-jauh dari disiplin dan hebatnya sistem pendidikan Jepang. Jepang
義務教育
menganut sistem pendidikan gimukyoiku ( ) atau yang biasa kita kenal dengan istilah sistem wajib belajar yang terbagi menjadi enam tahun belajar pada tingkat shōgakkō (sekolah dasar atau SD) dan tiga tahun belajar pada tingkat chūgakkō (sekolah menengah atas atau SMP). Jepang merupakan salah satu negara dengan populasi pendidikan terbaik di dunia dengan persentase 100% mengikuti wajib belajar dan nihil untuk angka masyarakat yang buta huruf (Abe, 2015). Bullying merupakan suatu fenomena sosial yang tidak hanya terjadi di negara Barat saja, setiap negara kemungkinan besar memiliki fenomena sosial ini tidak terkecuali di Jepang yang dikenal dengan sebutan “ijime”. Seperti yang ditulikan oleh Sugimoto (2003: 137) bahwa, tindak ijime sendiri diperkirakan sudah ada sejak pertengahan tahun 1980-an di sekolah-sekolah Jepang. Pada tahun 1985, sebanyak 155.000 kasus ijime resmi dilaporkan ke seluruh negeri, yang kemudian jumlahnya menurun pada tahun 1990 dan semakin menurun jumlahnya di tahun 2000 dengan jumlah 30.000 kasus. Ijime ( ) dalam kamus , dituliskan memiliki makna tindakan menindas yang pada umumnya dilakukan di lingkungan sekolah. Tindakan menindas ini dilakukan kepada murid-murid yang dianggap lebih lemah dari pelakunya baik secara fisik maupun secara mental. Tindak ijime menurut Taki dalam Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 8) dibedakan menjadi empat macam tindakan, yaitu: secara fisik, secara verbal, secara psikologis dan secara sosial. Semakin berkembangnya jaman, Kowalski dan Limber (2013: S13) menuliskan bahwa terdapat modus baru dalam perilaku ijime, yang disebut dengan cyberbullying. Cyberbullying atau dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah netto-ijime ( ) merupakan tindak intimidasi yang dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan media elektronik, contohnya melalui pesan singkat melalui ponsel, e-mail, ruang chatting, maupun melalui situs web, game online, dan media jejaring sosial yang semakin berkembang di jaman modern dan semakin canggih ini. Ijime sebagai salah satu fenoma sosial di Jepang memberikan dampak buruk bagi korbannya, yaitu: korban mengalami gejala depresi, korban merasa lingkungan yang tidak aman, korban bisa saja mengalami stress, dan mungkin saja korban merasakan bahwa harga diri dan kemampuan dirinya direndahkan, seperti yang dituliskan oleh Aoyama (2013) dalam artikel penelitiannya bahwa sudah beberapa tahun terakhir ini korban netto-ijime maupun ijime secara tradisional menunjukkan dampak negatif dari sisi psikologis mereka. Sebagai contohnya, adanya korban yang mengalami gejala seperti depresi, ada pula korban yang merasa lingkungannya semakin tidak aman, dan ada pula yang mengalami tingkat stress yang cukup tinggi. Dari dampak yang muncul pun kemungkinan besar menyebabkan fenomena sosial lainnya seperti fenomena murid yang bolos sekolah (futoko) dan mungkin saja karena tingkat stress korban yang tinggi sehingga korban memilih untuk mengakhiri hidupnya atau melakukan tindak bunuh diri (jisatsu). Dalam penelitian ini penulis akan membahas mengenai perilaku ijime di kalangan masyarakat Jepang melalui drama Great Teacher Onizuka. Penulis menggunakan judul “Analisis Perilaku Ijime Dalam Drama Great Teacher Onizuka” untuk penelitian ini. Tujuang penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis tindak ijime, dampak dari tindak ijime pada korban, dan latar belakang tokoh pelaku ijime yang menyebabkan pelaku bersangkutan melakukan tindak ijime yang terdapat di dalam drama Great Teacher Onizuka. Alasan penulis mengambil topik ini karena penulis merasa tertarik untuk membahas tentang fenomena ijime, dikarenakan di balik disiplinnya dan hebatnya sistem pendidikan di Jepang, ternyata masih terdapat fenomena gelap di dalamnya yaitu fenomena ijime. Penelitian yang bersangkutan dengan ijime sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Mitsuru Taki, Phillip Slee, Shelley Hymel, Debra Pepler, Hee-og Sim, Susan Swearer dalam International Journal of Violence and School (2008) yang melakukan komparasi antara ijime di Jepang dengan bullying di Eropa. Dalam jurnal tersebut mereka memanfaatkan konsep "indirect aggression" (serangan tidak langsung), mereka juga lebih jauh membahas tentang “serangan tidak langsung” dan memberikan perspektif baru mengenai persoalan. Selain itu juga ada penelitian yang dilakukan oleh Jerry Cusumano yang ditampilkan dalam 1st Global Conference: Bullying and the Abuse of Power (2009), yang mendalami tiga faktor fenomena ijime yang ada di Jepang. Tiga faktor tersebut antara lain: faktor budaya, faktor psikologis dan kebijakan pemerintah. Penelitian mengenai perilaku ijime yang akan dilakukan oleh peneliti akan menggambungkan antara jenis-jenis tindak ijime dengan dampak yang muncul pada korban dan latar belakang pelaku yang bersangkutan.
苛め
広辞苑
ネットいじめ
METODE PENELITIAN Penelitian dimulai dari mencari dan menetapkan sumber data, penulis menetapkan drama Great Teacher Onizuka sebagai sumber data. Kemudian penulis mencari tahu permasalahan yang ada di dalam drama tersebut dan permasalahan yang ditemukan adalah perilaku ijime. Kemudian menentukan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Penulis menggunakan pendekatan kualitatif untuk
mengkaji data, menggunakan metode deskriptif analitif untuk menganalisis data dan pendekatan kepustakaan untuk mengumpulkan data. Kemudian penulis mencari landasan teori yang berhubungan dengan perilaku ijime. Dari drama Great Teacher Onizuka, penulis menemukan satu tokoh pelaku ijime dan kemudian penulis mengumpulkan data-data secara verbal dan secara non-verbal yang berhubungan dengan tokoh pelaku ijime tersebut. Penulis mendapatkan enam buah data untuk dianalisis. Peneliti memilah data yang sudah ada dan kemudian mengkaji data dengan menggunakan metode kualitatif dan dengan menggunakan metode deskriptif analitif menganalisis enam buah data yang peneliti dapatkan dari satu orang tokoh pelaku ijime. Dari hasil analisis yang peneliti lakukan maka akan dihasilkan kesimpulan yang kemudian penulis gunakan sebagai kesimpulan untuk skripsi ini.
HASIL DAN BAHASAN 1. Analisis Perilaku Ijime Tokoh Anko Terhadap Noboru Tindak ijime merupakan tindak kolektif sekelompok murid untuk menyiksa murid lain yang menjadi target secara psikologi, verbal maupun secara fisik (Sugimoto, 2010: 146).
1.1. Analisis Perilaku Ijime Secara Verbal
Gambar 1.1 Noboru Dihadang oleh Anko, Mayuko dan Naomi Struktur ijime yang seperti dituliskan oleh Morita dan Kiyonaga dalam Mino (2006: 3), terbagi menjadi empat kelompok. Dalam episode 1 ini tokoh yang mendapat perlakuan ijime atau yang menjadi korban tindak ijime (ijimerarekko) adalah tokoh yang bernama Noboru; tokoh yang melakukan tindak ijime atau pelaku tindak ijime (ijimekko) adalah tokoh yang bernama Anko; lalu tokoh yang ikut membantu pelaku tindak ijime untuk mengintimitasi target ijime (kanshū) adalah tokoh yang bernama Mayuko dan Naomi; sedangkan temanteman sekelas Noboru menjadi orang-orang yang mengetahui tindak ijime tersebut terjadi tetapi mereka berpura-pura tidak melihat dan tidak memberikan reaksi apa pun (bōkansha). Situasi ini (menit 06.51) terdapat potongan percakapan yang menunjukkan Anko melakukan pemerasan uang terhadap Noboru, yaitu: “Saya punya masalah, uang saku saya tidak cukup. Kamu bisa bantu.” Bila ditelusuri lebih jauh dalam drama GTO episode 1 ini, diceritakan bahwa Anko memiliki seorang ibu yang bekerja sebagai kritikus pendidikan dan seorang ayah yang bekerja sebagai pengacara selain itu diperlihatkan pula bahwa rumah yang ditempati oleh Anko bersama kedua orang tuanya merupakan rumah yang cukup mewah dan juga diperlihatkan bahwa Anko membayar biaya karaoke dengan menggunakan kartu kredit, tentunya Anko memiliki uang jajan yang lebih dari cukup dan kebutuhan hidup yang tentunya sudah sangat tercukupi. Sehingga sangat aneh bila Anko mengatakan bahwa uang jajan yang dia punya kurang dan bahkan meminta uang dari Noboru. Sehingga tindakan Anko yang meminta uang dari Noboru tadi mengacu pada tindak pemerasan uang seperti
yang dituliskan oleh Yoneyama (2005: 160-161) bahwa salah satu jenis ijime adalah tindak pemaksaan berupa tindak pemerasan uang korban yang dapat disebut dengan istilah katsuage. Mayuko dan Naomi melakukan tindak ijime secara verbal lainnya berupa tindak mengancam (menit 07.03) dikarenakan Noboru tidak mau memberikan uang kepada Anko. Mayuko mengancam akan menyebarkan foto yang akan mempermalukan Noboru keseluruh murid di kelas mereka, kemudian atas ide dari Naomi, Mayuko memutuskan untuk menyebarkan foto tersebut keseluruh murid di sekolah mereka. Lalu menjadi puncak ancaman untuk Noboru ketika Anko, Mayuko dan Naomi menghitung mundur sebelum mereka menyebarkan foto tersebut ke seluruh murid di sekolah. Tindak mengancam merupakan salah satu tindak ijime secara verbal seperti yang dituliskan oleh Taki dalam Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 8). Anko juga melakukan jenis ijime verbal berupa tindak menghina atau berkata kasar (menit 07.15). Potongan percakapan berikut menunjukkan Anko secara verbal menghina Noboru: “Kamu sungguh menyedihkan, dasar payah. Sampah seharusnya berada di tempat sampah.” Dalam hal ini seperti yang dituliskan oleh Yoneyama (2005: 160-161) bahwa istilah “gomi” termasuk dalam perkataan yang biasa digunakan dalam tindak ijime secara verbal oleh pelaku ijime pada korbannya. Pada potongan percakapan di atas Anko sempat menyebut Noboru dengan istilah gomi. Selain itu secara garis besar dapat diartikan sebagai orang yang lemah, pengecut, yang tidak dapat dibanggakan sedangkan dapat diartikan sebagai sampah, limbah, sesuatu yang sudah tidak berguna. Sehingga dalam hal ini dan merupakan kata ejekan atau hinaan yang diucapkan oleh Anko pada Noboru. Pada bagian ini pula bila disambungkan dengan penjelasan dari Taki dalam Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 8), tindakan yang dilakukan Anko ini termasuk tindakan ijime secara verbal dengan cara menghina atau berkata kasar pada korbannya yaitu Noboru.
「弱虫君」
「ごみ」
君」 「ごみ」
「弱虫
1.2. Analisis Perilaku Ijime Secara Non-Verbal
Gambar 1.2 Tindakan Fisik oleh Mayuko dan Naomi Mayuko menunjukkan tindakan mengancam secara fisik (menit 06.28 dan menit 06.52) pada ponsel Mayuko terdapat foto yang akan mempermalukan dan membuat Noboru terkesan buruk. Hal ini seperti salah satu jenis tindak ijime secara sosial yang ditulis oleh Taki dalam Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 8), yaitu melalui e-mail menyebarkan hal-hal buruk mengenai korban atau membuat korban terkesan buruk. Di Jepang sistem pesan singkat tidak digunakan, sehingga sebagai pengganti dari media pesan singkat masyarakat Jepang menggunakan e-mail sebagai media komunikasi dalam bentuk tulisan melalui ponsel. Sehingga tindakan Mayuko tadi dapat dibilang termasuk tindak ijime secara sosial, karena Mayuko melalui ponselnya akan menyebarkan foto Noboru ke seluruh murid di sekolahnya. Foto yang terdapat pada ponsel Mayuko yang akan mempermalukan dan akan membuat Noboru terkesan buruk adalah foto Noboru dalam keadaan terikat dengan hanya
menggunakan celana yang cukup pendek dan terdapat selembar kertas yang bertuliskan 「ぼ くは小便小僧です。」 yang berarti “Saya biksu muda yang buang air kecil”, hal ini
tentunya bila tersebar akan mempermalukan Noboru. Dalam hal ini foto yang terdapat pada ponsel Mayuko (menit 06.53) yang ada di Gambar 1.2 juga secara tidak langgsung menunjukkan bahwa Anko, Mayuko dan Naomi sempat melakukan tindak ijime berupa tindakan pelecehan seksual pada Noboru. Seperti yang dituliskan oleh Yoneyama (2005: 160161) bahwa tindak pelecehan seksual juga merupakan salah satu dari tindak ijime. Noboru ditelanjangi dan hanya mengenakan celana yang cukup pendek, selain itu juga Mayuko memfoto Noboru dalam keadaan hanya mengenakan celana pendek seperti itu, hal ini tentu termasuk ke dalam tindak pelecehan seksual, karena tindakan ini dilakukan secara sepihak dengan paksaan dari pihak yang lebih berkuasa, yaitu Anko, Mayuko dan Naomi kepada Noboru. Beberapa tindakan ijime secara fisik lainnya, yaitu: Naomi menendang Noboru, terlihat pada potogan Gambar 1.2 bahwa Noboru merunduk untuk menahan sakit akibat ditendang pada bagian kaki. Pada bagian ini bila disambungkan dengan penjelasan dari Yoneyama (2005: 160-161), tindakan ini termasuk tindakan ijime secara fisik dengan jenis tindakannya berupa menendang korban. Mayuko dan Naomi juga melakukan tindakan fisik lainnya yaitu mendorong masuk Noboru ke dalam tempat sampah yang tepat berada di belakang Noboru pada (menit 07.24) setelah Anko menghina Noboru dengan istilah “yowa mushi-kun” dan “gomi”. Dalam hal ini tindakan mendorong juga merupakan tindakan ijime secara fisik seperti yang dituliskan oleh Taki dalam Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 8).
2. Analisis Dampak Ijime pada Noboru sebagai Seorang Korban Penulis akan menganalisis dampak ijme yang timbul pada tokoh Noboru yang merupakan korban tindak ijime yang dilakukan oleh tokoh Uehara Anko. Noboru menyatakan bahwa sudah sejak berada di tingkat SMP Anko melakukan tindak intimidasi pada dirinya.
Gambar 2 Noboru di Atap Sekolah dan Noboru di Café & Diner Nagisa Dampak ijime ada berbagai macam, salah satunya menyebabkan korban ijime melakukan tindak bunuh diri (jisatsu) seperti yang dituliskan oleh Sugimoto (2010: 147) bahwa ada sejumlah anak yang dikarenakan menjadi korban tindak ijime, anak-anak tersebut memutuskan untuk melakukan bunuh diri. Sama halnya Noboru yang menjadi korban dari tindak ijime, Noboru kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Seorang anak yang mengalami tindak intimidasi dalam kurun waktu yang cukup lama mungkin saja memilih untuk mengakhiri hidup mereka karena mereka sudah tidak kuat menghadapi tindak intimidasi tersebut secara fisik maupun secara psikologis. Selain itu hal ini juga didukung oleh pernyataan Shariff (2008: 53), bahwa ijime-jisatsu merupakan konsekuensi dari fenomena ijime di Jepang.
3. Analisis Latar Belakang Perilaku Ijime Menurut Naito (2009) terdapat dua puluh satu penyebab yang melatar belakangi seseorang melakukan tindak ijime. Berikut merupakan faktor yang menjadi penyebab tokoh Uehara Anko melakukan tindak ijime.
3.1. Analisis Faktor Korban Ijime pada Tokoh Uehara Anko
Gambar 3.1 Noboru Bercerita tentang Masa SMP Menurut Noboru alasan Anko mengintimidasi dirinya karena saat SMP ketika Anko mengalami pemerasan uang yang dilakukan oleh murid SMA, tetapi pada saat kejadian itu berlangsung dirinya tidak berani untuk menolong Anko. Noboru menceritakan kejadiannya pada potongan percakapan: “Ketika kami SMP, Anko mengalami tindak pemerasan uang yang dilakukan oleh anak SMA, tapi saya melarikan diri bukannya menolong dia.” Pada bagian ini menggambarkan Anko pernah mengalami tindak ijime ketika dia masih tingkat SMP oleh beberapa murid SMA berupa tindak pemerasan uang. Noboru melanjutkan: “Saat itu saya melarikan diri meninggalkan Anko.” Pada bagian ini Noboru melarikan diri tanpa menolong Anko, hal ini dikarenakan dia melihat murid-murid SMA yang tentu saja menyebabkan Noboru tidak berani menolong Anko karena mustahil bagi Noboru sendirian untuk melawan tiga orang. Anko yang melihat Noboru sebagai seorang teman tidak mampu menolong dirinya bahkan tidak melakukan perlawanan apapun, tentu membuat Anko merasakan rasa sedih, kecewa dan rasa sakit hati terhadap Noboru. Menurut Naito (2009: 15-17) bahwa perasaan sakit yang diterima seorang anak dari temannya dapat membuat anak itu mempelajari kekerasan. Anko yang sudah merasakan rasa kecewa dan rasa sakit hati tersebut kemudian ingin agar Noboru juga dapat merasakan kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan oleh Anko pada saat Anko diintimidasi oleh murid-murid tingkat SMA. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Taki dalam Yoneyama (2008) yaitu seorang pelaku ijime mungkin saja sebelumnya merupakan korban dari tindak ijime, sama halnya terjadi pada Anko yang sebelumnya menjadi korban tindak ijime kemudian Anko menjadi seorang pelaku ijime. Anko yang saat SMP diintimidasi oleh murid-murid SMA dan hal tersebut diketahui oleh Noboru, menurut penulis selain rasa kecewa dan sakit hati yang muncul, dampak dari tindak ijime yang dilakukan oleh murid SMA tersebut pada Anko juga membuat Anko merasa harga dirinya jatuh di hadapan Noboru sehingga juga menimbulkan rasa dendam pada Noboru karena Noboru tahu saat itu Anko menjadi target ijime. Seperti yang ditulis oleh Taki dalam Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 8) bahwa ijime diasumsikan sebagai suatu dinamika yang digunakan untuk mempertahankan atau memperbaiki harga diri seseorang dengan cara merugikan orang lain, yang dalam hal ini Anko merasa harga dirinya jatuh karena menjadi target ijime dan saat kejadian itu diketahui oleh Noboru, sehingga Anko kemudian mengintimidasi Noboru untuk memperbaiki harga dirinya.
3.2. Analsisi Faktor Keluarga Sebagai Penyebab Ijime pada Tokoh Uehara Anko
Gambar 3.2.1 Anko Bercerita Tentang Keluarganya Dalam drama GTO ini ditunjukkan bahwa keluarga Anko menganut sistem kakukazoku atau biasa disebut dengan sistem keluarga batih (keluarga nuklir) yang hanya terdiri dari satu generasi seperti yang ditulis oleh Tobing (2006: 41) bahwa bentuk keluarga nuklir hanya terdiri dari satu generasi yaitu terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah. Tepat seperti bentuk keluarga Anko yang digambarkan dalam cerita, Anko yang masih bersekolah tinggal hanya bersama ayah dan ibunya. Bila disambungkan dengan penyebab dari ijime yang dituliskan oleh Naito (2009: 15-17), maka situasi ini berhubungan dengan point nomor delapan: yang bila diterjemahkan “Jumlah kakukazoku yang semakin banyak dan kurangnya generasi muda”. Goodman, Imoto dan Toiconen (2012: 11) menuliskan bahwa ijime juga sering dibahas dalam kaitannya dengan ‘penyakit’ dari keluarga inti dan konsekuensi dari individualisasi dalam bermasyarakat. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Ronald dan Alexy (2011: 221) bahwa sistem keluarga batih (atau kakukazoku) bersifat lebih individualis dan masalah umum berupa masalah moral remaja yang salah satunya merupakan timbulnya tindak intimidasi. Seperti yang dituliskan oleh Horton dan Hunt (1984: 277) bahwa cinta kasih atau afeksi merupaan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia dan kenakalan merupakan salah satu ciri khas yang menunjukkan seorang anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Sehingga menurut penulis, karena keluarga kakukazoku hanya terdiri dari orang tua dan anak yang tinggal dalam satu rumah ditambah lagi kedua orang tua Anko yang bekerja menyebabkan ketika di rumah Anko kurang mendapatkan perhatian dan kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua. Sedangkan pada sistem keluarga tradisional yang dalam satu rumah terdiri dari beberapa generasi, walaupun kedua orang tua bekerja, tetapi masih ada kakek atau nenek yang dapat memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak, sehingga anak dapat bertukar pikiran dengan orang lain yang lebih memiliki pengalaman ketika anak memiliki masalah.
る家族の濃密化」
「少年化・核家族化などによ
Gambar 3.2.2 Anko di Rumah
Walaupun Anko pulang sangat terlambat, tetapi tidak terlihat kalau kedua orang tua Anko sangat cemas akan keadaan Anko dan alasan yang membuat Anko pulang sangat terlambat. Mereka malah takut penilaian buruk masyarakat kepada mereka bukannya malah mencemaskan Anko, bahkan ketika Anko ingin berbicara, kedua orang tua Anko terus memotong pembicaraan Anko dan seperti tidak ingin mendengarkan alasan maupun penjelasan Anko, juga kedua orang tua Anko justru malah saling memperdebatkan masalah mendidik anak. Kedua orang tua Anko saling berdebat seperti pada potongan percakapan berikut: Ibu : “Kamu (ayah) juga tolong nasihati Anko.” Ayah : “Saya percayakan urusan Anko pada kamu. Lagipula kedisiplinan dan pendidikan adalah keahlianmu.” Pada umumnya, pendidikan anak di rumah merupakan tanggungjawab dari seorang ibu. Pada potongan percakapan di atas ibu Anko berusaha melibatkan ayah Anko untuk ikut menasihati Anko, tetapi ayah Anko yang tentu kembali melemparkan tanggungjawab tersebut kepada ibu Anko yang tentu lebih ahli dalam hal tersebut karena ibu Anko bekerja sebagai seorang kritikus pendidikan, seperti yang ayah Anko bilang bahwa kedisiplinan dan pendidikan merupakan keahlian dari ibu Anko. Kemudian dilanjutkan dengan potongan percakapan berikut: Ibu : “Kamu selalu saja beralasan seperti itu untuk mengelak dari tanggung jawab.” Ayah : “Saya sangat sibuk. Saya tidak mempunyai waktu untuk memperdebatkan masalah ini dengan kamu.” Ibu : “Saya juga selama ini bekerja. Jadi bukan hanya kamu saja yang sibuk.” Potongan percakapan di atas menunjukkan kembali perdebatan antara ayah Anko dan ibu Anko, hal ini dimungkinkan menjadi penyebab merenggangnya hubungan kedua orang tua Anko. Semakin berkembangnya industrialisasi di Jepang memberi dampak para perubahan ekonomi Jepang, sehingga pola pikir masyarakat Jepang juga ikut berubah. Hal ini juga menyebabkan munculnya tenaga kerja wanita. Sehingga dikarena kedua orang tua Anko sama-sama bekerja sehingga keduanya menjadi jarang bertemu dan hal tersebut menyebabkan merenggangnya hubungan antar kedua orang tua Anko. Sedangkan merenggangnya hubungan antara Anko dan ibunya tergambarkan melaui potongan percakapan : “Kamu tahukan posisi ibu? Orang-orang bisa saja jadi menilai buruk karena ibu tidak bisa mendidik anak sendiri dengan baik.” Pada bagian ini ibu Anko menegaskan posisi pekerjaannya pada Anko tanpa memperdulikan alasan Anko pulang terlambat. Kemudian Anko berusaha memulai percakapan dengan berkata: “Maafkan saya. Ibu, tolong dengarkan saya sebentar.” Tetapi ibu Anko tidak memperdulikannya malah berusaha melemparkan masalah Anko pada ayah Anko seperti pada percakapan tadi. Dan merenggangnya hubungan antara Anko dan ayahnya tergambarkan melalui potongan percakapan: “Tapi ayah..”, pada bagian ini Anko juga berusaha untuk berkomunikasi dengan ayahnya, tetapi ayahnya malah menolak dengan berkata: “Jangan membuat masalah.”, setelah dilihat dari potongan percakapan antara Anko dan kedua orang tuanya, tergambarkan bahwa kedua orang tua Anko kurang memberikan perhatian pada Anko dan lebih mementingkan hal lain seperti status pekerjaan mereka dan terkesan bahwa kedua orang tua Anko tidak mau terganggung oleh masalah dari Anko. Bila disambungkan dengan penyebab dari ijime yang dituliskan oleh Naito (2009 : 15-17), maka dari potongan percakapan tadi berhubungan dengan point nomor tujuh: yang bila diterjemahkan menjadi: “Hubungan antar anggota keluarga yang melemah”, dan disambungkan dengan hal yang diceritakan oleh Anko bahwa kedua orang tuanya hanya sibuk bekerja, bahkan jarang ada di rumah, selalu menghabiskan waktu di kamar masing-masing, bahkan kedua orang tua Anko menjadi jarang bertemu. Sehingga pada analisis situasi ini, menurut penulis faktor kedua orang tua Anko yang sibuk bekerja sehingga menyebabkan kurangnya perhatian yang diterima Anko. Terlihat dari potongan percakapan di atas bahwa ayah Anko dan ibu Anko sangat kurang memperhatikan Anko, bahkan hubungan kedua orang tua Anko pun tidak terlalu baik, hal ini dikarenakan posisi pekerjaan mereka yang membuat kedua orang tua Anko sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Sehingga hubungan antar anggota keluarga Anko yang melemah, dan menjadi salah satu alasan Anko melakukan perilaku ijime adalah sebagai suatu pelampiasan untuk mendapatkan perhatian dari orang sekitarnya di luar lingkungan keluarga.
関係の希薄化」
「家族の人間
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, penulis temukan bahwa pada drama Great Teacher Onizuka 2012 episode 1 terdapat perilaku ijime yang dilakukan oleh Anko yang dibantu oleh kedua temannya yaitu Mayuko dan Naomi pada korbannya yaitu Noboru. Bentuk tindak ijime yang dilakukan oleh Anko, Mayuko dan Naomi pun cukup beragam. Tindak ijime yang penulis temukan yaitu: tindak pemerasan uang, menghina korban dengan kata-kata yang tidak pantas, mengancam secara verbal dan secara fisik, pelecehan seksual, menendang dan mendorong korban masuk ke dalam tempat sampah. Dampak yang ditimbulkan dari perilaku ijime tersebut juga terlihat pada korbannya, yaitu korban berniat untuk bunuh diri dengan melompat dari atas sekolahnya dikarenakan korban sudah cukup lama mendapatkan perlakuan ijime. Selain itu pada drama Great Teacher Onizuka ini juga diceritakan tentang latar belakang dari tokoh Anko sebagai seorang tokoh yang melakukan perilaku ijime. Latar belakang tokoh Anko yang penulis temukan yaitu: faktor latar belakang pengalaman Anko yang pernah menjadi seorang korban dari tindak ijime, faktor keluarga Anko yang kurang memberikan perhatian kepada Anko. Bentuk keluarga Anko yang merupakan kakukazoku dan didukung oleh kedua orang tua Anko yang sibuk mengejar karir sehingga menyebabkan Anko menjadi kurang mendapatkan perhatian dan hubungan antara anggota keluarga Anko pun menjadi melemah. Pada drama Great Teacher Onizuka ini, penulis menemukan beberapa fenomena yang ada di Jepang, tetapi penulis tertarik dengan fenomena ijime sehingga penulis melakukan penelitian ini. Semoga penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya. Penulis menyarankan kepada peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti fenomena ijime ini dapat melakukan penelitian dengan menghubungkannya dengan faktor fenomena lainnya, seperti fenomena hikikomori atau fenomena futokō. Dan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk menjadikan drama Great Teacher Onizuka sebagai korpus data, mungkin bisa menganalisis dari sudut pandang kanshu dan boukansha.
REFERENSI Abe, N. (2015). The Japanese Education System – School Life in Japan. About Education. Diperoleh 13 Maret 2015 dari http://japanese.about.com/od/japaneselessons/a/061000.htm Akiba, M., Shimizu, K., & Zhuang, Y. (2010). Bullies, Victims, and Teachers in Japanese Middle Scholls. Comparative Education Review, vol. 54 (3), 372-374. Diperoleh 31 Maret 2015 dari Aoyama, I. (2013). The Association between an Affinity for Acute Social Withdrawal (Hikkikomori) and Problematic Use of Internet/Cell Phone and Cyberbullying among Japanese High School and College Students. Educational Studies, vol. 56. Diperoleh 26 Maret 2015 dari http://web.icu.ac.jp/iers/files/2014/04/cef26620bb85734ba741784a2cab7e30.pdf Cusumano, J. (2009). Bullying: Japanese Style. 1st Global Conference: Bullying and the Abuse of Power. Diperoleh 21 Maret 2015 dari https://www.inter-disciplinary.net/wpcontent/uploads/2009/10/cusumano.pdf Goncalves, S. M. P. & de Matos, M. G. (2008). Bullying in Schools: Predictors and Profiles. International Journal of Violence and School. Vol. 7, 81-100. Diperoleh 31 Maret 2015 dari http://www.cndp.fr/tenue-de-classe/fileadmin/user_upload/PDF/international/ijvs/ijvs7.pdf Kowalski, R. M., Limber, S. P. (2013). Psychological, Physical, and Academic Correlates of Cyberbullying and Traditional Bullying. Journal of Adolescent Health. Vol. 53, S13-S20. Diperoleh 31 Maret 2015 dari http://www.jahonline.org/article/S1054-139X(12)00413-2/pdf Mino, T. (2006). Ijime (Bullying) in Japanese Schools: A Product of Japanese Education Based on Group Conformity. The Second Annual Rhizomes: Re-Visioning Boundaries Conference of The School of Languages and Comparative Cultural Studies. Diperoleh 10 Maret 2015 dari http://espace.library.uq.edu.au/view/UQ:7721/tm_rhiz.pdf Naito, A. (2009). Ijime no Kouzou: naze hito ga kaibutsu ni naru no ka. Japan: Kōdansha. Naito, T. & Gielen, U. P. (2005). Bullying and Ijime in Japanese Schools: A Sociocultural Perspective dalam Denmarl et al.(ed.) Violence in Schools Cross-National and Cross-Cultural Perspectives. United States of America: Springer Science+Business Media, Inc. Diperoleh 2 April 2015 dari https://books.google.co.id/books?id=N2ow4sK5RjkC&pg=PA1&dq=violence+in+schools&hl=en
&sa=X&ei=2hCgVa_QBsKLuASmnKPIAQ&ved=0CEcQ6AEwBw#v=onepage&q=violence%20 in%20schools&f=false Horiguchi, S. (2011). Coping with Hikikomori: Socially Withdrawn Youth and The Japanese Family dalam Ronald, R. & Alexy, A.(ed.) Home and Family in Japan: Continuity and Transformation, p.221. New York: Routhledge. Horton, P. B. & Hunt, C. L. (1984). Sosiologi. Edisi 6, Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Shariff, S. (2008). Cyber-Bullying: issues and solution for the school, the classroom and the home. Routledge. Diperoleh 19 Juni 2015 dari https://books.google.co.id/books?id=qqwHcNLVDwUC&pg=PR1&dq=cyber+bullying+shaheen+ shariff&hl=en&sa=X&ved=0CB0Q6AEwAGoVChMIkrDE9s3sxwIVhXKOCh0cTQuZ#v=onepa ge&q=cyber%20bullying%20shaheen%20shariff&f=false Sugimoto, Y. (2003). An Introduction to Japanese Society. Diperoleh 16 Maret 2015 dari http://ebookandpdf.com/politics-sociology/23629-an-introduction-to-japanese-society-secondedition.html Sugimoto, Y. (2011). An Introduction to Japanese Society. Edisi 3. New York: Cambridge University Press. Tahara, S. (1998). Ijime ga namajiru yōin nitsu ite no ichi kōsatsu. The Japanese Journal of Human Relations, vol. 5 (1-19). Diperoleh 10 Maret 2015 dari http://ci.nii.ac.jp/naid/110009607333/en Taki, M., Slee, P., Hymel, S., Pepler, D., Sim, H. O. & Swearer, S. (2008). A New Definition and Scales for Indirect Aggression in Schools. International Journal of Violence and School. Vol. 7, 319. Diperoleh 31 Maret 2015 dari http://www.cndp.fr/tenue-declasse/fileadmin/user_upload/PDF/international/ijvs/ijvs7.pdf Tobing, E. (2006). Keluarga Tradisional Jepang dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial. Depok: ILUNI KWJ. Toivonen, T. & Imoto, Y. (2012). Makin Sense of Youth Problems dalam Goodman, R., Imoto, Y., & Toivonen, T.(ed.) A Sociology of Japanese Youth: From returnees to NEETs. Diperoleh 26 Maret 2015 dari http://freebookspot.es/Comments.aspx?Element_ID=703132 Yoneyama, S. (2005). The Japanese High School: silence and resistance. New York: Routhledge. Yoneyama, S. (2008). The Era of Bullying: Japanese Under Neoliberalism. Diperoleh 26 Maret 2015 dari http://www.japanfocus.org/site/make_pdf/3001
RIWAYAT PENULIS Alina Kumala lahir di Jakarta pada 23 Juli 1993. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Sastra Jepang pada 2015.