UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PERILAKU CONSCIOUS PARALLELISM DALAM PEMBUKTIAN PERSEKONGKOLAN TENDER
SKRIPSI
Kristiono Utama 0806317092
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM DEPOK JULI 2012
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PERILAKU CONSCIOUS PARALLELISM DALAM PEMBUKTIAN PERSEKONGKOLAN TENDER
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Kristiono Utama 0806317092
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI DEPOK JULI 2012
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Kristiono Utama
NPM
: 0806317092
Tanda Tangan
: .............................
Tanggal
: 6 Juli 2012
ii
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Skripsi
: : Kristiono Utama : 0806317092 : Ilmu Hukum :“Analisis Perilaku Conscious Parallelism Dalam Pembuktian Persekongkolan Tender”
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Pembimbing : Ditha Wiradiputra, S.H., M.E
( .............................)
Pembimbing : Teddy Anggoro, S.H., M.H .
( .............................)
Penguji
: Kurnia Toha, S.H., LL.M., Ph.D
( .............................)
Penguji
: Bono Budi Priambodo, S.H., M.Sc. ( .............................)
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 6 Juli 2012
iii
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
KATA PENGANTAR
Impian dan perbuatan adalah dua kata yang meski sederhana, namun menjadi kunci bagi banyak orang untuk menggapai cita. Kedua kata ini saling melengkapi satu sama lain seperti kedua sisi sebuah koin, yang senantiasa Penulis tanamkan untuk selalu bekerja lebih keras lagi, berbuat lebih baik lagi, dan menjadi yang terbaik. Termasuk dalam hal Penulisan skripsi ini. Tidak dapat Penulis pungkiri bahwa Penulis menemui banyak kesulitan di dalam Penulisan skripsi ini. Namun dorongan dari berbagai pihak membuat Penulis merasa terpacu untuk tidak pernah berputus asa sehingga proses Penulisan skripsi ini pun dapat berjalan dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, izinkanlah Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Allah sang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Tuhan yang telah memberikan kasih sayang yang tidak terhingga kepada Penulis, yang selalu mengingatkan mana kala Penulis menyimpang, dan tidak habis-habisnya memberikan ruang bagi Penulis untuk selalu berkarya dan belajar. 2. Para pembimbing Penulis, yaitu Bapak Ditha Wiradiputra, S.H, M.E dan Bapak Teddy Anggoro, S.H., M.H atas semua waktu, nasihat, dan bimbingan yang berharga bagi Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini bertepatan pada waktunya. 3. Kedua orang tua yang sangat luar biasa , Ayahanda Petrus Suparno dan Ibunda A.R. Windrati, atas semua kasih sayang, perhatian, dan doa yang tidak putus-putusnya dicurahkan untuk Penulis. Penulis merasa beruntung memiliki kedua orang tua yang selalu mendukung penulis apapun pilihan yang penulis buat, termasuk untuk memilih Fakultas Hukum. Mereka adalah sumber motivasi terbesar bagi Penulis, dan kepada merekalah skripsi ini Penulis persembahkan. 4. Bapak Kurnia Toha, S.H., LL.M., Ph.D selaku Pembimbing Akademis Penulis yang telah membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis
iv
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
dalam melewati setiap semester, saya ucapkan terimakasih dan doa sebesarbesarnya kepada bapak. 5. Tidak lupa Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Wahyu, Bapak Selam, Bapak Indra, dan semua petugas di Biro Pendidikan yang telah dengan tulus memberikan perhatian dan pelayanan kepada mahasiswa. Yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkonsultasi mengenai perkuliahan. 6. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu Myra selaku Ketua Bidang Studi PK IV yang telah mempermudah penulis dalam mengajukan, memberikan pembimbing, dan bahkan pada saat pendaftaran sidang, sehingga penulis dapat mengajukan permohonan sidang di semester ini. 7. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada rekan-rekan di rumah Kost Wisma Sari Kenangan 2 dan rekan-rekan yang sering mampir: Agus, Roby, Ryan, Sondra, bang Wenda, Dana, Stevy, Surya yang telah menjadi kawan yang luar biasa bagi Penulis serta telah memberikan kebersamaan, keceriaan, dan penghiburan kepada Penulis selama penulisan skripsi. Penulis selalu merasa bersyukur dapat berkenalan dan menjadi bagian dari kalian semua. 8. Teman-teman seperjuangan skripsi dengan topik Persaingan usaha
yaitu
Sondra, Yohan, Ohiongyi, Yosa, Benny, Moses, Irvin, Laura, Pamela dan lainnya yang telah bersama-sama merasakan suka duka dan canda tawa selama masa bimbingan skripsi. Suka duka mengejar, menunggu, dan mencari pembimbing dan revisi, hingga pendaftaran sidang. Terima kasih atas doa dan semangat yang diberikan, dan akhirnya kerja keras kita terbayar teman-teman. 9. Semua teman-teman Penulis angkatan 2008 terutama teman-teman dekat: Reza, Ronald, Ayu, Astor, Sari, Quina, Laura, Obet, Seno, Ahdhi, Domas, Fajar, Frans, Hisar dan rekan-rekan lain yang tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu atas semua kehangatan, kebersamaan, dan keceriaan yang mewarnai hari-hari perkuliahan Penulis selama kurang lebih 4 tahun. 10. Teman chat, Nadia Miranty Verdiana yang menampung cerita dan keluh kesah penulis selama satu semester hingga penulisan skripsi, hingga kadang
v
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
larut malam, padahal pagi harinya harus masuk kantor. Untuk waktu luangnya selama ini penulis sangat berterima kasih. 11. Penulis juga berterimakasih kepada keamanan Rumah kost Wisma Sari Kenangan
2,
Mang
Udin,
Aa
Mustakim,
yang
dengan
sukarela
mempersilahkan Penulis untuk mengerjakan skripsi di pos keamanan, untuk sekedar berganti suasana dalam mengerjakan skripsi dan juga untuk bantuannya membangunkan Penulis selepas mengerjakan skripsi semalam suntuk. 12. Terima kasih juga penulis utarakan kepada semua crew percetakan dan Fotokopi “BAREL”, yang juga telah memberikan harga “spesial” dalam mencetak dan memperbanyak Skripsi penulis sehingga menjadi paripurna seperti sekarang ini. 13. Kepada setiap orang yang telah datang dalam kehidupan Penulis dan menjadikan hari-hari Penulis menjadi lebih bermakna dan berkesan. Terimakasih untuk semuanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari sempurna. Tentunya terselip banyak kekurangan di dalam skripsi ini. Kendati demikian, besar harapan Penulis, semoga karya ilmiah ini sedikit banyak dapat memberikan sumbangsih bagi khazanah ilmu pengetahuan, terutama di bidang Hukum Persaingan Usaha. Segala kekurangan adalah milik Penulis, dan segala kesempurnaan adalah milik Sang Pencipta. Selamat membaca!
Depok, 4 Juli 2012 Kristiono Utama
vi
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis karya
: Kristiono Utama : 0806317092 : Ilmu Hukum : PK IV (Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi) : Hukum : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : ”Analisis Perilaku Conscioua Parallelism Dalam Pembuktian Persekongkolan Tender”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Pada tanggal
: Depok : 4 Juli 2012
Yang menyatakan
( Kristiono Utama )
vii
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
ABSTRAK Nama
: Kristiono Utama
Program Studi
: Hukum Ekonomi
Judul
: ANALISA PERILAKU CONSCIOUS PARALLELISM DALAM PEMBUKTIAN PERSEKONGKOLAN TENDER
Diseluruh negara di dunia yang telah memiliki Hukum Persaingan Usaha, praktek persekongkolan merupakan pelanggaran yang sangat sulit untuk dibuktikan. Hal ini dikarenakan dalam penanganan kasus-kasus persekongkolan pada umumnya para penegak Hukum Persaingan Usaha kesulitan untuk menemukan bukti-bukti langsung (direct evidence), mengingat pada umumnya perjanjian untuk bersekongkol tidak berupa perjanjian tertulis. Menyikapi permasalahan ini, muncul praktek-praktek pembuktian persekongkolan tender dengan indirect evidence oleh berbagai penegak Hukum Persaingan Usaha di negara-negara dunia. Pada prakteknya di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bergantung kepada adanya indikasi komunikasi antar pelaku tender untuk menyimpulkan adanya persekongkolan tender. Umumnya persekongkolan tender yang terjadi berupa price fixing oleh para peserta tender. Doktrin conscious parallelism yang sering digunakan untuk membuktikan keberadaan price fixing oleh kartel, berkembang dan melahirkan plus factors yang menjadi acuan bagi Pengadilan Amerika Serikat untuk membuktikan adanya conspiracy yang timbul dari praktek kartel. Plus factors pada umumnya berbentuk indirect evidence atau circumstantial evidence, dan berdasarkan Peraturan KPPU, indirect evidence termasuk dalam alat bukti petunjuk. Namun disayangkan peraturan KPPU tidak menjelaskan lebih lanjut ruang lingkup dan nilai pemnbuktian dari alat bukti petunjuk yang dimaksud, hanya disebutkan bahwa petunjuk merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
Kata Kunci: Hukum Persaingan Usaha, Conscious Parallelism, , Persekongkolan Tender, Plus Factors.
viii
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
ABSTRACT Name
: Kristiono Utama
Program
: Economic Law
Title
: ANALYSIS OF CONSCIOUS PARALLELISM CONDUCT IN COLLUSIVE TENDER PROBATION
Throughout the country in the world who have Competition Law, conspiracy is a violation which is is very difficult to prove. This is because the handling of cases of conspiracy in general Competition Law enforcement agencies struggle to find direct evidence (direct evidence), given in general agreement to conspire not be a written agreement. Addressing these issues, emerging practices of evidence of conspiracy tender with indirect evidence by various law enforcement Competition in the countries of the world. In practice in Indonesia, the Competition Supervisory Commission (KPPU) heavily rely to the indication of communication between tender participants to conclude the tender conspiracy. Generally tender conspiracy that occurred in the form of price fixing by the bidders. The doctrine of conscious parallelism is often used to prove the existence of price fixing by cartels, developing and delivery factors plus the reference to the Court of the United States to prove the existence of conspiracy arising from the practice of the cartel. Plus form factors are generally indirect evidence or circumstantial evidence, and based on the Commission's Rules, indirect evidence including the evidence guide. Unfortunately the Commission rules do not explain further the scope and value of the evidence pemnbuktian clue is, simply stated that the guide is the knowledge by which the Commission is known and believed the truth.
Keywords: Competition Law, Conscious Parallelism, Collusive Tender, Plus Factors.
ix
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................................iv KATA PENGANTAR ............................................................................................... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................ vii ABSTRAK .......................................................................................................................... ix ABSTRACT ................................................................................................................ x DAFTAR ISI....................................................................................................................... xi
BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................1 1.2. Pokok Permasalahan .......................................................................8 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................8 1.4. Kegunaan Teoritis dan Praktis ........................................................8 1.5. Metode Penelitian ............................................................................9 1.6. Sistematika Penulisan ...................................................................13
BAB II: TINJAUAN UMUM PERSEKONGKOLAN USAHA 2.1. Definisi Persekongkolan Tender 2.1.1. Pengertian Umum Tentang Persekongkolan .....................15 2.1.2. Pengertian Umum Tentang Tender ....................................17 2.1.3. Pengertian Umum Tentang Persekongkolan Tender .........19 2.2. Persekongkolan Tender Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 ........21 2.3.Unsur-Unsur Persekongkolan Tender Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 ....................................................................................28 2.4. Faktor Penyebab Terjadinya Persekongkolan Tender ..................32 2.5. Modus Persekongkolan Tender .....................................................36 2.6. Pendekatan Dalam Hukum Persaingan Usaha ..............................38
x
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
2.7. Penerapan Per se Illegal dan Rule of Reason ...............................40 2.8. Indikasi Persekongkolan Tender ...................................................44 2.9. Cara Menentukan Adanya Persekongkolan ..................................48
BAB
III: CONSCIOUS PARALLELISM PERSEKONGKOLAN TENDER
DALAM
PENEGAKKAN
3.1. Perilaku Conscious Parallelism 3.1.1. Perilaku Saling Menyesuaikan (Concerted Action) ............50 3.1.2. Doktrin Penggunaan Indirect Evidence Untuk Membuktikan Agreement ..........................................................................51 3.1.3. Perilaku Conscious Parallellism Dalam Hukum Persaingan Usaha .................................................................................53 3.2. Pengaturan Terhadap Perilaku Conscious Parallellism 3.2.1. Pengaturan Dalam Sherman Act ........................................56 3.2.2. Pengaturan Dalam Clayton Dan FTC Acts ........................57 3.2.3. Beban Pembuktian .............................................................77 3.2.4. Peranan Plus Factors .........................................................61 3.3. Metode Pembuktian KPPU 3.3.1. Sistem Pembuktian ............................................................67 3.3.2. Teori Pembuktian ...............................................................72 3.3.3. Beban Pembuktian .............................................................66 3.3.4. Alat-alat bukti ....................................................................78 3.3.5. Bukti Langsung dan Tidak Langsung ..............................101 3.4. Analisis Pendekatan Perilaku Conscious Parallellism Dalam Pembuktian Persekongkolan Tender ........................................105
BAB IV: PENUTUP 4.1.
Kesimpulan .........................................................................116
4.2.
Saran ....................................................................................116
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................118
xi
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Persekongkolan tender menjadi salah satu
isu penting dalam Hukum
Persaingan Usaha, khususnya di Indonesia. Dalam
Position Paper KPPU
Terhadap Perkembangan Sektor Jasa Konstruksi tercatat bahwa sekitar 70% dari seluruh kasus yang ditangani oleh KPPU merupakan kasus persekongkolan tender. Laporan indikasi persekongkolan tender yang diterima oleh KPPU mencakup
tender
oleh
swasta
maupun
oleh
pemerintah
(government
procurement). Keadaan demikian mengindikasikan bahwa KPPU sebagai lembaga penegak Hukum Persaingan Usaha masih memiliki jalan yang panjang untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat khususnya dalam tender atau pengadaan barang dan/atau jasa . Persekongkolan tender merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Undang-Undang No. 5 Tahun 1999). Larangan persekongkolan tender dilakukan karena dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan dilakukannya tender tersebut, yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar dapat menawarkan harga dan kualitas bersaing. Dengan adanya larangan ini diharapkan pelaksanaan tender akan menjadi efisien, artinya mendapakan harga termurah dengan kualitas terbaik. Selain itu, persekongkolan tender termasuk salah satu perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian Negara. Negara sebagai badan hukum publik memiliki organ birokrasi yang senantiasa membutuhkan barang dan/atau jasa untuk keperluan pembangunan, pengelolaan pemerintahan dan pemberian jasa pelayanan kepada publik. Adanya manipulasi harga dalam tender akan mengakibatkan kegiatan pembangunan serta pengadaan barang dan jasa yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
2
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dikeluarkan secara tidak bertanggung jawab. Dan ironisnya, kerugian yang disebabkan adanya manipulasi harga dibebankan kepada masyarakat. Meskipun pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang adanya persekongkolan tender, tetapi kerancuan dalam pelaksanaan tender memicu pihakpihak yang terlibat atau berkepentingan terhadap proses tender mengajukan keberatan terhadap putusan (pemenang) tender. Kondisi demikian mendorong para pelaku usaha untuk melaporkan ‘kecurangan’ atau pelanggaran dalam proses penentuan pemenang tender kepada KPPU. Karena kecenderungan yang terjadi dalam proses tender adalah mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu dan menghasilkan keputusan yang merugikan para pihak yang terlibat dalam proses tender. Akomodasi kepentingan dapat bermanifestasi dalam bentuk praktek korupsi atau penyuapan (bribery), nepotisme atau kroniisme yang memberikan privilege pada pihak tertentu yang mendorong pihak tertentu memenangkan proses tender. Mekanisme yang diberikan oleh UU Nomor 5 Tahun 1999 terhadap Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 merupakan ketentuan normatif yang melarang pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain guna mengatur dan atau menentukan pemenang tender yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.1 Larangan tersebut mencakup proses pelaksanaan tender secara keseluruhan yang diawali dari prosedur perencanaan, pembukaan penawaran, sampai dengan penetapan pemenang tender. Mekanisme tersebut merupakan ”payung hukum” UU Nomor 5 Tahun 1999 terhadap Keppres Nomor 80 Tahun 2003, meskipun Keppres tersebut tidak menempatkan UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai salah satu landasan hukumnya.2 Berbeda
dengan
Undang-Undang
No.
5
Tahun
1999
yang
mengkategorikan persekongkolan tender dalam kegiatan yang dilarang. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memasukkan persekongkolan tender khususnya tender kolusif dalam kategori perjanjian atau 1
Indonesia, Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 22. 2
Dalam salah satu konsiderannya, Keppres 80 Tahun 2003 merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1999.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
3
perilaku yang saling sepakat (restrictive agreement or arrangements). Pemahaman dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) tidak jauh berbeda dengan yang diberikan oleh Yurisprudensi Amerika, dimana perjanjian yang dilandasi dengan suatu kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis (lisan), formal maupun tidak formal semuanya dilarang. Termasuk pula segala perjanjian tanpa memperhatikan, apakah perjanjian tersebut dibuat dengan maksud yuridis memiliki kekuatan mengikat atau tidak mengikat, semuanya terkena larangan. Terlebih lagi pada perjanjian informal secara lisan akan menimbulkan masalah pada pembuktian karena harus dibuktikan bahwa telah terdapat hubungan komunikasi secara bersama-sama dalam mengambil suatu keputusan usaha antar perusahaan sehingga berakibat adanya kegiatan yang saling menyesuaikan atau perilaku yang sejajar.3 Pengawasan terhadap adanya persekongkolan tender dilakukan oleh beberapa lembaga Negara, antara lain oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, di mana dalam menangani , memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara persaingan usaha tidak dapat dipengaruhi oleh pihak mana pun baik pemerintah maupun pihak lain yang memiliki conflict of interest, walaupun dalam pelaksanaan wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. Fungsi utama KPPU adalah sebagai lembaga pengawas
persaingan usaha yang mengawal
semangat persaingan usaha yang sehat. KPPU sebagai lembaga quasi judicial mempunyai wewenang eksekutorial terkait kasus-kasus persaingan usaha4. Sejak dibentuknya KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 75 Tahun1999, lembaga ini banyak menerima laporan dari masyarakat, yang lebih dari 70% di antaranya adalah tentang persekongkolan tender. Mengingat hal ini, KPPU menganggap perlu untuk memberikan perhatian khusus tentang persekongkolan tender, sehingga dibentuklah pedoman tentang persekongkolan tender, yang merupakan 3
Hernawan Hadi, Studi tentang persekongkolan tender, http://hernawanhadi.blogspot.com/2011/06/studi-tentang-persekongkolan-tender.html, diakses 7 Maret 2012 ,pkl. 18.34 WIB 4
Hermansyah. 2008, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Indonesia, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Hlm 73
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
4
pedoman pertama atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang ditetapkan pada tahun 2005.5 Kemudian pedoman tersebut diperbaharui pada 2010. Pada perkembangan awal penegakan hukum Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, khususnya dalam putusan KPPU tentang persekongkolan tender, ditemukan kecenderungan
bahwa
KPPU
masih
mencoba
membangun
konsep
persekongkolan tender.6 Mengingat impikasi yang ditimbulkan atas adanya persekongkolan tender, pemerintah juga senantiasa memperbaharui peraturan tentang pengadaan barang dan/jasa di sektor publik dengan menetapkan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut beberapa amandemennya. Peraturan tersebut dimaksud agar pegadaan barang dan/atau jasa pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, serta perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak terkait, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat. Persekongkolan tender mendapat perhatian khusus dari KPPU sehingga mendorong KPPU untuk mengajukan draf Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Latar belakang lahirnya draf pedoman tersebut adalah pertama, terdapatnya gambaran yang tidak jelas dalam pelaksanaan tender yang sesuai dengan semangat persaingan usaha sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Kedua, ketentuan pasal 22 masih bersifat umum dan kurang memberikan penjelasan rinci mengenai pelaksanaan tender. Pasal 22 hanya melarang persekongkolan untuk menentukan dan/atau mengatur pemenang tender tanpa melakukan elaborasi cara-cara atau indikator apakah yang dapat dikatakan sebagai penentuan/pengaturan pemenang tender. Meski demikian dalam tulisan
5
Sekar, Implementasi Perluasa-perluasan Tender dalam pasal 22 uu No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persainganusaha tidak sehat, http://sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/implementasi-perluasan-istilah-tender-dalam-pasal22-uu-no-5-tahun-1999-tentang-larangan-praktik-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat/, diakses 7 Maret 2012 ,pkl. 19.22 WIB 6
Yakub Adi Krisanto, Terobosan Hukum Putusan KPPU dalam Mengembangkan Penafsiran Hukum Persekongkolan Tender (Analisis Putusan KPPU terhadap Pasal 22 UU No. 5/1999 Pasca Tahun 2006), Jurnal Hukum Bisnis (Volume 27 – No. 3, 2008), Hlm. 64
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
5
ini, draf pedoman tersebut tidak menjadi acuan dan diharapkan tulisan ini memberikan sumbangan pemikiran bagi penyusunannya. Berkaitan dengan sifat keumuman dari pasal 22 maka keinginan untuk membuat suatu pedoman pelaksananaan tender perlu dihargai sebagai salah satu pelaksanaan tugas KPPU (pasal 35 huruf f Undang-Undang No. 5 Tahun 1999). Sehingga diperlukan upaya untuk menggali situasi yang dapat ditentukan sebagai penentuan atau pengaturan pemenang tender. Akan tetapi agar pedoman dapat menjadi benchmark bagi para pelaku usaha dalam melaksanakan proses tender maka KPPU harus memperhatikan ”yurisprudensi” dari putusan KPPU. Karena putusan KPPU merupakan sumber hukum untuk mengetahui kondisi atau situasi yang oleh KPPU dapat dikategorikan sebagai bersekongkol untuk menentukan atau mengatur pemenang tender. Dari penanganan perkara yang ditangani, KPPU tidak jarang mengalami berbagai hambatan dalam pembuktian kasus, baik dari sisi bukti langsung maupun bukti tak langsung. Hal ini terjadi hampir di semua jenis kasus, baik tender maupun non tender. Sebagaimana ditetapkan dalam peraturan komisi mengenai penanganan perkara, paling tidak harus terdapat dua bukti dalam memutuskan suatu kasus sehingga dapat diajukan sebagai perkara. Kondisi ini tentu saja akan menimbulkan tantangan dalam mengolah dokumen yang diperlukan dalam penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan, beberapa jenis pembuktian dibutuhkan, khususnya bukti langsung (direct evidence) maupun bukti tidak langsung (indirect evidence). Dalam memeriksa dan memutus perkara tender bukti langsung merupakan alat bukti terbaik, sayangnya bentuk-bentuk persekongkolan
dalam perkara tender yang diperiksa KPPU tidak ada bukti
berwujud yang menunjukkan pelanggaran unsur persaingan usaha. Untuk menyimpulkan bukti-bukti khususnya indirect evidence diperlukan pendekatan-pendekatan ekonomi. Metode-metode ekonomi memiliki peranan penting dalam hukum persaingan usaha karena metode-metode inilah yang mendorong pengukuran yang pasti dan kunci utama dalam analisa akibat dan hubungan ekonomi.7 Dalam penegakan hukum persaingan usaha penggunaan 7
Jonathan B. Baker dan Timothy F.Bresnahan, ed., Economic Evidence in Antitrust: Defining Market and Measuring Market Power, (Cambridge: MIT Press,2008), hlm. 3
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
6
metode ekonomi membantu memfokuskan perhatian para hakim mengenai hubungan antara teori ekonomi dari sebuah perkara dan bukti yang ada. Metode ekonomi membantu mengklarifikasikan dugaan-dugaan dalam perkara persaingan usaha dan bukti-bukti manakah yang dapat digunakan untuk menguji perkara persaingan usaha tersebut. Metode ekonomi juga mengutamakan ketepatan analisis.8
Penjabaran
teori-teori
dapat
memperjelas
pemikiran
dengan
memaparkan dugaan-dugaan utama dan tahap-tahap pembuktian serta penyusunan bukti-bukti.9 Masalah yang sering muncul adalah hal pembuktian adanya perjanjian antara pelaku tender sebagai bentuk persekongkolan. Dalam hal pembuktian persekongkolan, otoritas persaingan usaha di berbagai negara harus bertindak hati-hati. Berbagai keadaan yang sering ditengarai sebagai adanya indikator persekongkolan antara lain adalah adanya indikasi harga yang paralel (price paralelism) yang sering dianggap sebagai tindakan yang dilakukan oleh para peserta tender secara bersama-sama secara kolusif untuk menentukan harga (price fixing). Dalam praktiknya, banyak faktor yang menyebabkan price parallelism, yang faktanya terjadi justru karena persaingan pasar yang agresif. Pada dasarnya harga penawaran untuk jenis barang/ jasa yang sama bukan merupakan sebuah kesalahan, namun hal tersebut menjadi bentuk pelanggaran jika harga tersebut dibentuk bersama berdasarkan kesepakatan, sehingga nenerlukan adanya pembuktian. Standar analisis perilaku kartel dalam posted-price markets seringkali kurang cukup ketika digunakan untuk mengakomodasi perilaku persekongkolan antar peserta lelang atau pengadaan
(tender).10 Hal ini disebabkan adanya
perbedaan akan: kerentanan terhadap kolusi11, perbedaan lingkup ekonomi12,
8
Ibid.
9
Ibid., hlm. 4
10
Robert C. Marshall dan Michael J. Meurer, Bidder Collusion and Antitrust Law: Refining the Analysis of Price Fixing to Account for The Special Features of Auction Markets, 72 Antitrust Law Journal No.1 (2004) : 118. 11 Ibid, hlm. 85 12
Ibid, hlm. 86
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
7
penegakkan kepentingan perdata13 ,dan harus dipahami bahwa penegakan hukum persaingan usaha tidak dapat mencegah semua persekongkolan, sehingga para penyelenggara juga harus berhati-hati dalam menentukan bentuk tender. Meskipun beberapa sarjana hukum persaingan usaha menyatakan bahwa parallelism dalam industri oligopoli berpotensi menimbulkan bahaya yang serupa dengan kolusi, namun putusan pengadilan dan para sarjana lain menolak secara umum pendapat demikian karena sulitnya perumusan pengaturan yang mengharuskan adanya penyimpangan perilaku usaha yang rasional.14 Seperti dikutip dari Hakim Richard Posner, “Circumstantial evidence of consciously parallel behavior may have made heavy inroads into the traditional judicial attitude toward conspiracy; but “conscious parallelism” has not yet read conspiracy out of the Sherman Act entirely.15 Hal ini dikuatkan dengan putusan pengadilan dalam Brooke Grp. Ltd. v. Brown & Williamson Tobacco Corp: “Even ‘conscious parallelism,’ a common reaction of ‘firms in a concentrated market that recognize their shared economic interests and their interdependence with respect to price and output decisions’ is ‘not in itself unlawful.16 Penelitian ini mencoba melakukan kajian terhadap pembuktian KPPU yang dapat memperkaya khasanah hukum persaingan usaha Indonesia khususnya elaborasi terhadap kemungkinan-kemungkinan pendekatan akan perilaku-perilaku peserta tender pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Kajian dimaksud untuk memberikan penjelasan bagaimana perilaku conscious parallelism dapat membantu memeriksa situasi yang diduga hasil terjadinya persekongkolan tender, dilihat dari doktrin conscious parallelism yang pada hakikatnya membantu menilai apakah perilaku para pelaku pasar (dalam penelitian ini peserta tender) yang menerapkan strategi penentuan harga dan kompetisi yang agresif dapat menjadi bentuk pelanggaran pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 . 13
Ibid, hlm. 87
14
Philip Areeda dan Herbert Hovenkamp, Antitrust Law: An Analysis of Antitrust Principles and Their Application, (New York: Aspen Law and Bussiness, 2006), hlm. 137–138. 15
Lihat putusan Theatre Enters. v. Paramount Film Distrib. Corp., 346 U.S. hlm. 539
16
Lihat putusan Brooke Grp. Ltd. v. Brown & Williamson Tobacco Corp., 509 U.S. 209,
(1954).
227 (1993)
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
8
1.2.
Pokok Permasalahan Pokok permasalahan merupakan salah satu bagian yang sangat penting
dalam suatu penelitian. Suatu masalah, menurut Soerjono Soekanto merupakan suatu proses yang mengalami halangan dalam
mencapai tujuannya.17
Oleh
karena itu untuk menghasilkan suatu penelitian yang baik baiknya dimulai dengan merumuskan pokok masalah. Dalam penelitian
ini penulis ingin membahas
bagaimana penerapan pendekatan perilaku conscious paralellism sebagai dasar menentukan adanya persekongkolan
tender sebagai salah satu masukan bagi
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam memeriksa indikasi-indikasi persekongkolan tender.
1.3.
Tujuan Penelitian Menurut Soerjono Soekanto tujuan penulisan dirumuskan secara
deklaratif, dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan penulisan tersebut.18 Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan, tujuan dari peneitian ini adalah: 1.3.1.
Tujuan umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji pengaturan hukum persaingan usaha di Indonesia terhadap praktek tender .
1.3.2.
Tujuan khusus
Menguraikan dan menganalisis secara lebih mendalam mengenai paraktek
persaingan usaha khususnya mengenai penerapan pendekatan conscious
paralellism dapat sebagai dasar
menentukan adanya persekongkolan
tender.
1.4. Kegunaan Teoritis dan Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 17
18
Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta :UI-Press, 1986), Hlm. 106 Ibid.,Hlm.118
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
9
a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan dalam ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum persaingan usaha, mengenai persekongkolan tender dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maupun hal-hal mengenai pertimbangan-pertimbangan hukum oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna untuk menambah pemikiran terhadap pengembangan dan pendalaman teori-teori hukum seperti
penerapan pendekatan-pendekatan
teori conscious paralellism dalam
perkara-perkara yang berkaitan dengan persekongkolan tender.
b. Kegunaan Praktis Untuk menambah wawasan penulis wawasan dalam
ilmu hukum,
khususnya dalam bidang hukum persaingan usaha, mengenai ruang lingkup persekongkolan tender dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maupun hal-hal mengenai pertimbangan hukum oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sebagai sumber bacaan bagi rekan-rekan mahasiswa fakultas hukum atau bagi masyarakat umum yang ingin tahu mengenai penerapan pendekatanpendekatan KPPU dalam memutus perkara persekongkolan tender. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pelaku usaha , akademisi, praktisi, pemerintah sebagai pembuat resgulasi, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga pengawas persaingan usaha di Indonesia dan masyarakat umumnya yang berhubungan dengan persaingan usaha.
1.5. METODE PENELITIAN a.
Bentuk penelitian
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
10
Penelitian yang dilakukan oleh penulis terkait dengan penerapan Pedoman
Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU dan karakteristik Putusan KPPU mengenai persekongkolan tender sesuai Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat berbentuk yuridis normatif
b. Tipologi Penelitian Dari sudut sifatnya terdapat 3 bentuk macam penelitian
19
, yaitu
penelitian eksploratoris bertujuan untuk mencari data awal suatu gejala, penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat suatu
individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk
menentukan frekuensi dari suatu gejala, dimana penelitian ini berfungsi untuk mempertegas hipotesa yang ada. Berdasarkan pemaparan tersebut, penelitian yang dilakukan penulis termasuk dalam sifat penelitian yang deskriptif, dimana dalam penelitian ini akan menganalisis
penerapan
pendekatan perilaku conscious parallelism dalam penegakkan Pasal 22
Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU . Bila dikaitkan dengan tujuan dari penelitian, maka dapat dilihat terdapat beberapa penelitian20 , antara lain penelitian penemuan fakta yang bertujuan menemukan fakta tentang suatu gejala yang diteliti, penelitian problem finding yaitu untuk menemukan permasalahan dari suatu kegiatan atau program yang telah dilaksanakan, penelitian problem identification yaitu permasalahan yang ada di klasifikasikan sehingga mempermudah dalam proses analisa dan pengambilan kesimpulan , penelitian problem solution yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan jalan keluar atau saran pemecahan masalah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode problem identification , yaitu bagaimana menganalisis penerapan
pendekatan
conscious
parallelism
Pasal
22
Tentang
Larangan
19
Sri mamudji, et al., Metode Peneltian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, 2005), hlm. 4 20
Soerjono Soekanto , Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, 2007) hlm .10
(Jakarta: Badan Penerbit
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
11
Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU dalam mengidentifikasi laporan dugaan persekongkolan tender . Sehingga lewat penelitian ini akan mempermudah untuk mengetahui bagaimana pendekatan KPPU dalam memberikan legal reasoning dan memutus dugaan persekongkolan tender.. Dilihat dari sudut ilmu yang dipergunakan dan metode yang diterapkan, dikenal penelitian monodisipliner, penelitian multidisipliner, dan
penelitian
interdisipliner21.
Penelitian
monodisipliner
apabila
pemilihan metode peneltian didasarkan pada satu disiplin ilmu, penelitian multi disipliner apabila penelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa disiplin ilmu terhadap satu objek yang sama namun masingmasing disiplin imu menggunakan metodenya sendiri-sendiri, penelitina interdisipliner yaitu menggunakan lebih dari satu disiplin ilmu yang bekerja sama dengan satu metode yang diplih. Penelitian oleh penulis ini menggunakan tipe penelitian inter-disipliner, karena selain menggunakan disiplin ilmu hukum namun menggunakan dasar ilmu ekonomi, khususnya dalam hal persaingan usaha.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian huku normatif ini adalah metode pendekatan perundang-undangan (statute approach)22 yakni pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji atau menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.23 Selain itu juga digunakan pendekatan kasus (case approach)24, yakni pendekatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari atau menelaah kasuskasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan berkekuatan hukum tetap. 21
Ibid hlm. 10
22
Peter mahmud marzuki, Peneltian Hukum, (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm 93-95 23
Ibid, hlm 94
24
Ibid, hlm 95
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
12
c. Jenis Data Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Dimana data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan , buku harian, dll25. Data-data tersebut umumnya penulis dapatkan dari studi kepustakaan. Data kepustakaan digolongkan dalam dua bahan hukum , yaitu bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahanbahan hukum primer meliputi produk lembaga legislatif.26 Dalam hal ini bahan yang dimaksud ialah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
d. Alat pengumpul data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen atau bahan pustaka, merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data yang tertulis27, khususnya mengenai pengertian, ruang lingkup tender, metode-metode ekonomi terkait dan putusan KPPU.
e. Analisis data Metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis data secara kualitatif, yakni usaha untuk memahami dan mencari tahu makna di balik tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan sesuai denghan kenyataan atau temuan-temuan yang ada. Sehingga lewat studi kepustakaan yang dilakukan penulis pokok permasalahan yang diajukan dapat terjawab dan diselesaikan dengan baik oleh penulis.
25
Ibid, hlm 12
26
Enid Campbell, et al., Legal Research, Materials and Methods, (Sydney: The Law Book Company Limited, 1988). hlm 1 27 Ibid., hlm 21
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
13
f. Bahan hukum Penulis menggunakan kombinasi antar bahan hukum primer, sekunder dan tersier.bahan hukum primer yang penulis gunakan antara lain Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat khususnya , Tentang Pedoman Pasal
22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender, dan beberapa peraturan perundang-indangan terkait lainnya. Bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis antara lain berupa buku-buku teks tentang persaingan usaha khususnya tender. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam
penelitian
ini
khususnya
adalah
kamus
hukum
Black’s
LawDictionary.
g. Penulisan Peneltian Dalam penyajian analisis terhadap data yang didapatkan, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata. Bahan penelitian yang sudah terkumpul akan dianalisis berdasarkan peraturan perundang-undangan dan regulasi terkait.
1.6. Sistematika Penulisan
Bab I: Pendahuluan Pada bab satu ini merupakan pandangan umum mengenai penulisan penelitian ini, dimana akan diuraikan
Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Teoritis dan Praktis , Metode Penelitian , Sistematika Penulisan
Bab II: Tinjauan Umum Persekongkolan Usaha Bab ini merupakan tinjauan umum tentang persekongkolan tender meliputi gambaran mengenai persekongkolan tender, meliputi definisi persekongkolan
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
14
tender,
unsur-unsur
persekongkolan
tender,
faktor-faktor
dan
modus
persekongkolan tender, penerapan pendekatan rule of reason dan per se illegal, indikasi dan cara menentukan adanya persekongkolan tender.
Bab III: Conscious Parallelism Dalam Penegakkan Persekongkolan Tender Pada bab ini penulis mencoba menjabarkan perilaku conscious parallelism dan pengaturannya dalam hukum persaingan usaha, kekuatan pembuktian plus factors dalam membuktikan persekongkolan dan pelaksanaan pembuktian yang menjadi acuan bagi Majelis KPPU dalam memeriksa persekongkolan tender. Di sini penulis juga akan menganalisis penggunaan plus factors yang digunakan untuk membuktikan persekongkolan kartel yang diindikasikan oleh adanya perilaku conscious parallelism untuk menjadi
rujukan dalam membuktikan
persekongkolan tender.
Bab IV: Penutup Pada bab terakhir penelitian ini akan diperoleh suatu kesimpulan dari analisis permasalahan yang diajukan dalam skripsi, yang selanjutnya akan memberikan saran mengenai permasalahan dalam penelitian.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
15
BAB II TINJAUAN UMUM PERSEKONGKOLAN TENDER
2.1.
Definisi Persekongkolan Tender
2.1.1. Pengertian Umum Tentang Persekongkolan Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 The Sherman Act 1890 ,28 menyatakan bahwa ,” ...persekongkolan untuk menghambat perdagangan... (...conspiracy in restraint of trade...).” Mahkamah Tinggi Amerika Serikat merumuskan istilah concerted action,”
untuk mendefinisikan
istilah
pesekongkolan dalam hal menghambat perdagangan, serta merumuskan prinsip, bahwa terhadap pelaku usaha harus dibuktikan, terdapat kegiatan saling menyesuaikan yang berlandaskan pada persekongkolan guna menghambat perdagangan serta pembuktiannya dapat disimpulkan dari kondisi yang ada. Berdasarkan perumusan istilah persekongkolan
adalah
di Amerika Serikat tersebut , maka
kesepakatan
dalam
bentuk
kerja
sama
yang
konsekuensinya adalah perilaku yang saling menyesuaikan (conspiracy is an agreement which has consequence of concerted action).29 Istilah persekongkolan selalu berkonotasi negatif. Hal ini disebabkan dampak yang ditimbulkan dari persekongkolan tersebut selalu merugikan salah satu pihak, mungkin salah satu pihak dalam sebuah proses dimana persekongkolan terjadi maupun untuk pihak dimana sebuah keputusan diambil. Hal tersebut terbukti melalui perumusan-perumusan dalam berbagai kamus yang selalu mengartikan sebagai permufakatan atau kesepakata melakukan kejahatan. Berikut merupakan pengetian tentang persekongkolan , antara lain: Dalam
kamus “Dictiobary Of Law” – L.B. Curzon, persekongkolan
diartikan sebagai conspiracy, yakni: ”Conspiracy is if person agrees with any other person that a course of conduct shall be pursued which, if the agreeement is carried out in accordance with their intentions, either can will necessarily amount to or 28
Lihat pasal 1 The Sherman Act :” Évery contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy in restraint of trade or commerce among the several states or with foreign nations, is declared to be illegal...” 29
Knud Hansen, Law Concerning Prohibition of Monopilistic Practices and Unfair Bussiness Competition, (Katalis, Jakarta, 2002), hlm. 323-324.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
16
involve the commission of any offences by one or more of the parties to the agreement or be would do so but for the existence of the facts which render any of the offences impossible, he is guiilty oif conspiracy to commit the offence or offence question.30 Persekongkolan (conspiracy) dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai berikut :31 “A combination or confederacy between two or persons formed for the purpose of commiting by their joint efforts, some unlawful or criminal act, or some act, which is innocent in itself , but becomes unlawful when done concerted action of the conspirators, or for the purpose of using criminal or unawful means to the commission of an act not in it self unlawful. Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persekongkolan harus dilakukan oleh dua pihak atau
lebih dengan tujuan untuk melakukan
tindakan atau kegiatan bersama (joint efforts) suatu perilaku yang melawan hukum. Terdapat dua unsur persekongkolan yaitu: pertama, adanya dua pihak atau lebih yang secara bersama-sama (in concert) melakukan perbuatan tertentu dan kedua, perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum.32
Sehingga dapat dikatakan telah terjadi persekongkolan
apabila pertama, ada perbuatan bersama yang melawan atau melanggar hukum, dan kedua, perbuatan bersama yang melawan atau melanggar hukum tersebut dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Sehingga jika perbuatan yang melawan atau melanggar hukum tersebut hanya dilakukan satu pihak saja tidak termasuk dalam persekongkolan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekongkolan berasal dari kata ‘sekongkol’. ‘sekongkol’ diartikan sebagai orang-orang yang bersama-sama melakukan kejahatan.33 Dari pengertian tersebut, unsur-unsur ‘sekongkol’ adalah, pertama, ada dua pihak atau lebih; kedua, bersama-sama melakukan kejahatan.
30
L.B. Curzon, Conspiracy, sixth Edition (England: Pearson Education Limited, 2002),
31
Black’s Law Dictionary , , 5th ed., (Minnesota: West
hlm.88 Henty Campbell Black, Publishing, 1998), hlm. 382 32
Yakub Adi Krisanto, Analisis Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan tentang Persekongkolan Tender, Jurnal Hukum Bisnis, (vol. 24 No. 2, 2005), hlm. 41-42 33
TIM Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gita media Press, 2000),
Hlm 684.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
17
Robert Meiner membedakan dua jenis persekongkolan apabila melihat pihakpihak yang terlibat yaitu persekongkolan yang bersifat horizontal (horizontal conspiracy) dan persekongkolan yang bersifat vertikal (vertical conspiracy).34 Persekongkolan horizontal adalah persekongkolan yang diadakan oleh pihakpihak yang masing-masing merupakan pesaing, sedangkan persekongkolan vertikal adalah persekongkolan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berada dalam hubungan penyedia barang, dana/atau jasa dengan pengguna barang/atau jasa. Persekongkolan juga kerap disamakan dengan kolusi (collusion), yaitu sebagai ,”A secret agreement between two or more people for deceitful or produlent purpose.”, yang diartikan bahwa dalam kolusi ada sebuah perjanjian rahasia yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih dengan tujuan penipuan atau penggelapan yang sama artinya dengan konspirasi dan cenderung berkonotasi negatif atau buruk.35 Secara yuridis pengertian Persekongkolan usaha atau Conspiracy, diatur dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yaitu: “sebagai bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.”
2.1.2. Pengertian Umum Tentang Tender Dalam
hukum persaingan usaha salah satu
hal yang menjadi obyek
persekongkolan adalah persoalan atau masalah tender, dimana pengertian tender atau lelang dapat diketemukan dalam berbagai sumber, yaitu : 1. Berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (yang mencabut Keppres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah), tender atau pengadaan barang/jasa adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa. 34
Ari Siswanto, “Bid Rigging” sebagai Tindakan Antipersaingan Dalam Jasa Konstruksi, Refleksi Hukum UKSW, Salatiga, April-Oktober, 2001, hlm.4 35
Asril Sitompul, Praktek Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.31
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
18
2. Berdasarkan kamus hukum,36 tender atau Aanbestenden (to put out contract) adalah memborongkan pekerjaan/menyuruh pihak lain untuk mengerjakan atau memborong pekerjaan seluruhnya atau sebagian pekerjaan. 3. Dalam penjelasan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang - barang atau untuk menyediakan jasa. Jika pengertian tender atau lelang dari berbagai sumber ini disimpulkan, maka tender sendiri mempunyai cakupan yang lebih luas, karena tender merupakan serangkaian kegiatan penawaran mengajukan harga untuk : 1. Memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan. 2. Mengadakan atau menyediakan barang dan atau jasa. 3. Membeli barang dan atau jasa. 4. Menjual barang dan atau jasa, menyediakan kebutuhan barang dan/atau jasa secara seimbang dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi, berdasarkan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh pihak terkait.37 Tawaran dalam
tender dilakukan oleh pemilik kegiatan atau proyek,
dimana pemilik dengan alasan tingkat keefektifan dan keefisienan apabila proyek dilaksanakan sendiri maka lebih baik diserahkan kepada pihak lain yang mempunyai kapabilitas untuk melaksanakan proyek atau kegiatan. Dalam pengertian tersebut yang termasuk dalam ruang lingkup tender antara lain pertama, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk memborong suatu pekerjaan. Kedua, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk mengadakan barang-barang. Ketiga, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk menyediakan jasa. Terdapat tiga terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Tiga terminologi tersebut menjadi pengertian dasar dari tender, artinya dalam tender suatu pekerjaan meliputi 36
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lihat juga dalam Henry Campbell Black, Black’sLaw Dictionary, 5th ed. (With Pronounciations), (St. Paul Minnesota : West Publishing, Co., 1998), hlm. 412 37
Berdasarkan pengertian pedoman Pasal 22 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999, pengertian tender mencakup pengertian – pengertian tersebut, yakni tawaran mengajukan harga untuk membeli atau mendapatkan barang dan atau jasa, atau menyediakan barang dan atau jasa, atau melaksanakan suatu pekerjaan.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
19
pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Apabila suatu pekerjaan atau proyek ditenderkan maka pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong, mengadakan atau menyediakan barang/jasa yang dikehendaki oleh pemilik pekerjaan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian antara pemenang tender dengan pemilik pekerjaan.38 Para pihak dalam tender terdiri dari pemilik pekerjaan atau proyek yang melakukan tender dan pelaku usaha yang ingin melaksanakan proyek yang ditenderkan (peserta tender). Tender yang bertujuan untuk memperoleh pemenang tender dalam suatu iklim tender yang kompetitif harus terdiri dari dua atau lebih pelaku usaha peserta tender. Dua atau lebih pelaku usaha akan berkompetisi dalam mengajukan harga dari suatu proyek yang ditawarkan, sehingga apabila peserta tender hanya satu maka pilihan pemilik pekerjaan menjadi lebih terbatas. Keterbatasan pilihan sangat tidak menguntungkan bagi pemilik pekerjaan karena ide dasar dari pelaksanaan tender adalah mendapatkan harga terendah dengan kualitas terbaik. Sehingga dengan keberadaan lebih dari dua peserta tender akan terjadi persaingan dalam pengajuan harga untuk memborong, mengadakan atau menyediakan barang dan/atau jasa.39
2.1.3. Pengertian Umum Tentang Persekongkolan Tender Dengan demikian persekongkolan tender merupakan suatu bentuk kerja sama yang dilakukan dua atau lebih pelaku usaha dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu. Perjanjian ini dapat dilakukan oleh satu atau lebih peserta yang menyetujui satu peserta dengan harga yang lebih rendah, dan kemudian melakukan penawaran dengan harga di atas harga perusahaan yang direkayasa sebagai pemenang. Kesepakatan
semacam ini bertentangan dengan proses
pelelangan yang wajar, karena penawaran umum dirancang untuk menciptakan keadilan dan menjamin dihasilkannya harga yang murah dan paling efisien.40
38
Yakub Adi Krisanto, “Analisis Pasal 22 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU tentang Persekongkolan Tender.”, Jurnal Hukum Bisnis, (vol. 24, No. 2 ,2005), hlm. 44 39
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
20
Oleh karena itu, persekongkolan dalam penawaran tender dianggap menghalangi terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para penawar yang beriktikad baik untuk melakukan usaha di bidang bersangkutan. Persekongkolan tender (bid rigging) adalah praktek yang dilakukan antara para penawar tender selama proses penawaran, untuk pelaksanaan kontrak kerja yang bersifat umum, dan proyek lain yang ditawarkan oleh pemerintah dan pejabat–pejabat di tingkat daerah. Dalam hal terdapat persekongkolan tender, para penawar akan menentukan perusahaan mana yang harus mendapat order dengan harga kontrak yang diharapkan. Dalam bid rigging, sebelum diumumkan pemenang tender dan besarnya harga kontrak, masing – masing peserta tender melakukan penawaran dengan harga yang telah direncanakan sebelumnya, sehingga pada akhirnya dicapai harga penawaran dan pemenang tender sesuai yang diharapkan oleh mereka.41 Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang dalam Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1999, karena bertujuan menguasai pasar, sehingga
berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, yakni berupa : 1. Persekongkolan untuk menentukan pemenang tender (Pasal 22)42 2. Persekongkolan untuk membocorkan rahasia dagang (Pasal 23), dan 3. Persekongkolan untuk membuat hambatan perdagangan (Pasal 24). Secara khusus persekongkolan tender diatur dalam Pasal 22 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, menyatakan : “bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
40
R. Syam Khameni, et. al., A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy (Washington DC. and Paris : The World Bank and Organization for Economic Cooperation and Development – OECD, 1999), hlm. 23 41
Naoki Okatani, “Regulation on Bid Rigging in Japan, The United Sates and Europe”, Pacific Rim Law & Policy Journal , (Maret 1995), hlm. 250 42
Tender di sini yang dimaksud adalah tawaran untuk mengajukan sebuah harga untuk memborong suatu pekerjaan maupun untuk pengadaan barang – barang serta bisa juga untuk menyediakan jasa – jasa tertentu. Periksa Memori Penjelasan atas Pasal 22 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999. Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka cakupan tawaran pengajuan harga dalam tender meliputi : (a) memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu, (b) pengadaan barang dan atau jasa, (c) membeli barang dan atau jasa, serta (d) menjual barang dan/atau jasa.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
21
Kata “mengatur” yang terdapat dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai suatu tindakan negatif yang terkait dengan persekongkolan. Dalam praktek suatu tender yang ditawarkan oleh pemerintah, misalnya, harus diatur secara transparan atau terbuka dengan prosedur tertentu guna menentukan siapa yang akan menjadi pemenang tender. Kolusi dalam proses tender dilakukan dengan berbagai jalan, diantaranya berdasarkan pihak yang terlibat yaitu persekongkolan tender yang terjadi diantara pelaku usaha dengan pemilik atau pemberi pekerjaan atau pihak tertentu dan persekongkolan horizontal yaitu diantara sesama pelaku usaha pesaing sendiri. Sedangkan bentuk persekongkolan berdasarkan perilaku adalah dalam bentuk tindakan saling memperlihatkan harga penawaran yang akan diajukan dalam pembukaan tender diantara sesama peserta, dengan jalan saling menyesuaikan penawaran, mengatur pemenang diantara peserta pesaing. Untuk memudahkan kolusi, maka peserta akan merencanakan dan setuju terhadap sistem giliran pada umumnya, pada peserta pesaing tender yang kalah justru akan menerima tawaran untuk menjadi sub kontraktor dari peserta yang memenangkan tender.43
2.2.
Persekongkolan tender berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk dengan tujuan menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah dan pelaku usaha kecil, serta mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
43
Kara L. Haberbush, Limiting The Government’s Exposure to Bid Rigging Schemes : A Critical Look at The Sealed Bidding Regime, Public Contract Law Journal, American Bar Association, (2000), hlm. 4
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
22
Dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, diharapkan Pemerintah dapat menjamin iklim usaha yang kondusif bagi pelaku usaha. Iklim usaha yang kondusif bagi pelaku usaha tersebut tentunya dapat menciptakan kesempatan berusaha yang baik, efisiensi dalam perekonomian nasional, efektivitas kegiatan usaha, dan mencegah praktek negatif lainnya untuk menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Agar pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat dilakukan dengan benar dan sehat, Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah menetapkan bahwa persekongkolan tender merupakan kegiatan dilarang yang dilakukan antar pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.44 Persaingan yang tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau mengambat persaingan usaha. Sedangkan monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat, merugikan kepentingan umum. Dengan adanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Tentang Larangan praktek Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat diharapkan akan menjadi sebuah payung hukum bagi upaya penciptaan persaingan usaha yang sehat antar pelaku usaha khususnya di dalam usaha pengadaan barang atau jasa yang dilakukan oleh pihak Pemerintah.45 Persekongkolan merupakan salah satu dari perbuatan yang dapat dikategorikan dalam persaingan usaha tidak sehat dan praktek monopoli. Persekongkolan adalah suatu perbuatan dimana adanya conspiracy atau kerjasama yang tidak baik dalam suatu usaha untuk melakukan kecurangan guna mendapatkan keuntungan yang banyak. Istilah persekongkolan ini di semua kegiatan masyarakat hampir seluruhnya berkonotasi negatif. Pandangan ini disebabkan, bahwa pada hakikatnya persekongkolan atau konspirasi bertentangan
44
Lihat Pasal 1 butir 8 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
23
dengan keadilan, karena tidak memberikan kesempatan yang sama pada seluruh pelaku usaha untuk melakukan usaha secara jujur. Bentuk persekongkolan yang diatur oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat salah satunya adalah persekongkolan yang terjadi dalam pengadaan barang atau jasa. Masalah persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan/ atau jasa di dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan praktek Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat
diatur dalam pasal 22 yang
berbunyi; ”Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tnder dalam pengadaan barang dan jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.”46 Pada pasal 22, persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa adalah kerja sama antara kedua belah pihak atau lebih secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Persekongkolan antara penyedia barang dan jasa dan pengguna barang jasa kerap sering terjadi dalam tender proyek pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa tersebut dapat terjadi melalui
kesepakatan-kesepakatan,
baik
tertulis
maupun
tidak
tertulis.
Persekongkolan ini mencakup jangkauan perilaku yang luas antara lain usaha produksi atau distribusi, kegiatan asosiasi perdagangan, penetapan harga, dan manipulasi lelang atau kolusi dalam tender (collusive tender) yang terjadi antara pelaku usaha, pemilik pekerjaan, maupun antar kedua pihak tersebut. Persekongkolan penawaran tender (bid rigging) termasuk salah satu perbuatan yang dianggap merugikan negara, karena terdapat unsur manipulasi harga penawaran,
dan
cenderung menguntungkan
pihak
yang terlibat
dalam
persekongkolan. Bahkan di Jepang, persekongkolan penawaran tender dan kartel dianggap merupakan tindakan yang secara serius memberikan pengaruh negatif bagi ekonomi nasional.47 46
Indonesia, Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pasal 22 47
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Permasalahannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.222
Jasa dan Berbagai
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
24
Ketentuan Pasal 22 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 lebih sering mencakup konspirasi atau persekongkolan tender daripada sekedar membatasi persaingan usaha atau apakah kegiatan persekongkolan tender ibaratnya akan mampu membatasi persaingan usaha. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu dikaji secara mendalam. Apabila hasil pengumuman tender menguntungkan para peserta yang mengambil bagian dalam tender tersebut, maka secara tersirat dalam konteks kebijakan persaingan usaha setidak – tidaknya mengandung pembatasan terhadap persaingan harga48 Bentuk-bentuk persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat kita kelompokkan berdasarkan pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan tersebut dan berdasarkan pelakunya, antara lain:49
1. Persekongkolan Horizontal Merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu diantara peserta.
2. Persekongkolan Vertikal Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan. Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia tender atau panitia lelalng atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau beberapa peserta tender.
48
L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), (Surabaya : Srikandi, 2008), hlm. 90 49
Lihat Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender, hlm. 7-8
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
25
3. Persekongkolan Horizontal dan Vertikal Merupakan persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dpat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender. Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif, dimana baik panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun para pelaku usaha melakukan suatu proses tender hanya secara adminstrasi dan tertutup. Tender dalam pengertian hukum persaingan usaha diartikan sebagai penawaran pengajuan harga untuk memborong suatu pekerjaan dan atau untuk pengadaan barang atau penyediaan jasa.50 Tender ditawarkan oleh pengguna barang dan jasa kepada pelaku usaha yang mempunyai kredibilitas dan kapabilitas berdasarkan alasan efektivitas dan efisiensi. Adapun alasan – alasan lain tender pengadaan barang dan jasa adalah : 1. Memperoleh penawaran terbaik untuk harga dan kualitas, 2. Memberi kesempatan yang sama bagi semua pelaku usaha yang memenuhi persyaratan untuk menawarkan barang dan jasanya, serta, 3. Menjamin transparansi dan akuntabilitas pengguna barang dan jasa kepada publik, khususnya pengadaan barang dan jasa di lembaga atau instansi pemerintah.
Dengan demikian ruang lingkup tender meliputi : 1. Tawaran untuk mengajukan harga terendah guna memborong suatu pekerjaan, seperti membangun atau merenovasi gedung pemerintah. 2. Tawaran untuk mengajukan harga terendah guna pengadaan barang, seperti memasok kebutuhan alat – alat tulis dan perlengkapan kantor di instansi pemerintah.
50
Indonesia, Undang – Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Penjelasan Pasal 22
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
26
3. Tawaran untuk mengajukan harga terendah guna menyediakan jasa, seperti : jasa cleaning service atau jasa konsultan keuangan di lembaga pemerintah.51 4. Tawaran untuk mengajukan harga tertinggi seperti penawaran atau penjualan lelang barang–barang inventaris atau barang sitaan pemerintah yang cara memperolehnya melanggar hukum.52 Berbeda dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengkategorikan persekongkolan tender dalam kegiatan yang dilarang. UNCTAD memasukkan persekongkolan (khususnya : Collusive Tendering) ke dalam kategori perjanjian atau perilaku yang saling sepakat (restrictive agreement or arrangements).53 Pemahaman dari UNCTAD pun tak jauh berbeda dengan yang diberikan oleh yurisprudensi Amerika Serikat, dimana perjanjian yang dilandasi dengan suatu kesepakatan, baik tertulis maupun tidak tertulis (lisan), formal maupun tidak formal semuanya dilarang. Termasuk pula segala perjanjian tanpa memperhatikan, apakah perjanjian tersebut dibuat dengan maksud secara yuridis memiliki kekuatan yang mengikat atau tidak mengikat, semuanya terkena larangan. Terdapat satu kelemahan pada perjanjian informal, dimana perjanjian informal (tidak formal) ataupun perjanjian yang tidak tertulis (lisan) akan menimbulkan masalah dalam pembuktian, karena harus dibuktikan bahwa telah terdapat hubungan komunikasi secara bersama – sama dalam mengambil suatu keputusan usaha antar perusahaan, sehingga berakibat adanya kegiatan yang saling menyesuaikan atau perilaku yang sejajar.
51
Yakub Adi Krisanto, “Analisis Pasal 22 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU tentang Persekongkolan Tender.”, Jurnal Hukum Bisnis, (vol. 24, No. 2, 2005), hlm. 44 - 45 52
Lihat Peraturan Komisi Pengawas Perasaingan Usaha No. 2 tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender berdasarkan Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hlm. 7. 53
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Model Law on Competition (Substantive Possible Elements for A Competition Law, Commentaries and Alternative Approaches In Existing Legislations United Nations), (New York and Geneva, 2004), hlm. 21
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
27
Sama dengan yang lain, UNCTAD – pun menggolongkan persekongkolan tender menjadi 2 (dua) bagian, yaitu persekongkolan tender secara horizontal dan persekongkolan tender secara vertikal. Persekongkolan tender secara horizontal adalah persekongkolan tender yang dilakukan antar peserta tender itu sendiri untuk mengatur serta menentukan pemenang tender. Sedangkan persekongkolan tender secara vertikal terjadi apabila persekongkolan tender tersebut dilakukan oleh pemberi atau pemilik pekerjaan dengan peserta tender untuk mengatur serta menentukan pemenang tender.54 UNCTAD menyatakan, bahwa tender kolusif dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti :55 1. Persetujuan untuk mengajukan penawaran yang sama, 2. Persetujuan untuk menentukan pihak yang melakukan penawaran termurah, 3. Persetujuan mengenai penawaran yang tertutup, 4. Persetujuan untuk tidak akan bersaing satu sama lain dalam mengajukan penawaran, 5. Persetujuan untuk menentukan harga atau persyaratan tender lainnya, 6. Persetujuan antara peserta tender yang mengeliminasi peserta tender yang berasaldari luar, serta 7. Persetujuan yang menunjuk pemenang tender atas dasar rotasi atau alokasi pasar geografis ataupun berdasarkan pada pelanggan, Kegiatan persekongkolan tender yang sifatnya kolusif terjadi apabila para pesaing sepakat untuk mempengaruhi hasil tender demi kepentingan salah satu pihak dengan tidak mengajukan penawaran atau kalaupun mengajukan penawaran 54
Menurut UNCTAD hubungan hukum antara pelaku usaha pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu horizontal dan vertikal. Hubungan yang horizontal adalah hubungan hukum antara 2 (dua) pelaku usaha yang terikat dalam perjanjian untuk menjalankan kegiatan usaha yang sama atau sejenis, misalnya antara produsen dengan produsen, antara pedagang besar dengan pedagang besar dan yang lainnya. Sedangkan hubungan vertikal merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) pelaku usaha yang terikat dalam suatu perjanjian untuk menjalankan kegiatan usaha dalam lingkup usaha yang berbeda atau tidak sejenis tingkatannya (different states), baik dalam proses produksi maupun distribusinya, misalnya antara produsen dengan pedagang besar atau antara pedagang besar dengan pedagang eceran. 55
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Model Law on Competition (Substantive Possible Elements for A Competition Law, Commentaries and Alternative Approaches In Existing Legislations United Nations), (New York and Geneva, 2004), hlm. 25.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
28
akan dilakukan secara berpura – pura (semu). Tender kolusif yang dilaksanakan melalui media persekongkolan ini juga bermaksud untuk meniadakan persaingan harga serta berusaha untuk menaikkan harga. Di samping itu, persekongkolan tender yang bersifat kolusif ini bertujuan jika posisi yang mengumumkan adanya tender (diumumkan oleh penyelenggara atau panitia tender) ini dapat mengumumkan berbagai persyaratan yang diminta sesuai kualifikasi yang dimiliki oleh pelaku usaha Persekongkolan di dalam pengadaan barang dan jasa ini bisa terjadi bahkan sebelum adanya pengumuman akan diadakannya tender pengadaan barang dan jasa. Para pihak pengusaha yang sudah memiliki hubungan baik dengan orang-orang di dalam departemen yang akan melakukan tender proyek pengadaan barang dan jasa biasanya sudah melakukan lobi-lobi terhadap pejabat yang terkait agar dapat memenangkan tender proyek yang akan diadakan nantinya. Kegiatan tersebut tidak jarang mengakibatkan hambatan bagi pelaku usaha yang tidak terlibat dalam kesepakatan, dan dampak yang lebih jauh dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak penyelenggara, karena tedapat ketidakwajaran mengenai harga.
2.3.
Unsur-Unsur Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Dalam ketentuan Pasal 22 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999
terdapat larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan persekongkolan dengan pihak lain, untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Adapun unsur – unsur persekongkolan tender yang terdapat dalam Pasal 22 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah : 1. Unsur pelaku usaha (Pasal 1 angka (5) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999).56 Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara 56
Indonesia, Undang – Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lihat Pasal 1 angka 5
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
29
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 2. Unsur bersekongkol Yang dimaksud dengan bersekongkol adalah kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu. Karena demikian, berdasarkan unsur bersekongkol tersebut, maka persekongkolan dapat dibedakan berdasarkan perilakunya yang meliputi antara lain :57 a. Melakukan kesepakatan
pendekatan dengan
serta
instansi
mengadakan atau
panitia
kesepakatan
–
tender sebelum
pelaksanaan tender yang berkaitan dengan berbagai hal dan dapat mengarah untuk memenangkan pelaku usaha tertentu. b. Melakukan pendekatan serta mengadakan kesepakatan yang melanggar larangan persekongkolan tender sehubungan dengan spesifikasi, merek, jumlah, tempat serta waktu penyerahan barang dan jasa yang akan ditenderkan. c. Melakukan pendekatan dan membuat kesepakatan mengenai cara, tempat, waktu dan batasan pengumuman tender. d. Melakukan komunikasi atau berbagai informasi yang terkait dengan harga yang akan diajukan dalam tender. e. Pemberian kesempatan secara eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender dengan cara melawan hukum. f. Menciptakan persaingan semu antara peserta tender. g.
Melakukan penyesuaian penawaran antar pelaku usaha dengan pelaku usaha atau peserta tender lainnya.
h. Melakukan pembagian kesempatan untuk memenangkan tender secara bergiliran diantara pelaku usaha atau peserta tender.
57
Tim Penyusun Guideline Tender KPPU, Pedoman Larangan Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, , Jakarta, 23 November 2004, Hlm. 14-16
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
30
i. Melakukan penyesuaian, termasuk manipulasi persyaratan tender dan penawaran yang diterima untuk melakukan tender.
3. Unsur “pihak lain” Unsur pihak lain menunjukkan bahwa persekongkolan selalu melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini meliputi para pihak yang terlibat, baik secara horizontal maupun secara vertikal dalam proses penawaran tender yang melakukan persekongkolan tender, baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan atau subyek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut. Berdasarkan unsur “pihak lain” ini terdapat 3 (tiga) bentuk persekongkolan tender yaitu :58 a. Persekongkolan tender horizontal Bentuk persekongkolan tender horizontal ini merupakan suatu tindakan kerja sama yang dilakukan oleh para penawar tender dengan mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. b. Persekongkolan tender vertikal Dalam bentuk persekongkolan tender vertikal biasanya ada suatu kerja sama, dan kerja sama tersebut dilakukan antara satu atau beberapa pelaku usaha atau penawar dengan panitia pelaksana tender sebagai pengguna barang dan atau jasa. Dalam pola seperti ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratan – persyaratan bagi seorang penawar, sehingga dia dapat memenangkan penawaran tersebut. c. Gabungan persekongkolan tender horizontal dan vertikal Dalam bentuk gabungan persekongkolan tender horizontal dan vertikal biasanya dilakukan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemberi perkerjaan dengan 58
Pasal 27 ayat (1, d dan e) Keppres No. 80 Tahun 2003 menyatakan adanya bentuk persekongkolan tender horizontal dan bentuk persekongkolan tender vertikal dimana para penyedia barang dan jasa baik secara sendiri maupun secara bersama – sama dapat mengajukan surat sanggahan kepada pengguna barang dan jasa jika ditemukan unsur KKN antar peserta tender dengan anggota panitia pengadaan barang dan jasa.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
31
pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia, pemberi pekerjaan, dan pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup.
4. Unsur mengatur dan atau menentukan pemenang tender Unsur bid rigging (persekongkolan tender) lainnya adalah “mengatur dan atau menentukan pemenang tender”. Unsur ini diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol, yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan atau untuk memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan penentuan pemenang tender dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal, artinya baik dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana.59
5. Unsur persaingan usaha tidak sehat Unsur yang terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya “persaingan usaha tidak sehat.”60 Unsur ini menunjukkan, bahwa persekongkolan menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat dilihat dari kalimat “….sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Pendekatan rule of reason merupakan pendekatan hukum yang digunakan lembaga pengawas persaingan usaha untuk mempertimbangkan faktor–faktor kompetitif dan menetapkan ada tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, atau bahkan mengganggu persaingan.
59
L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), hlm. 110 60
Lihat Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
32
2.4.
Faktor Penyebab Terjadinya Persekongkolan Tender Tender pengadaan barang dan jasa di sektor pemerintahan merupakan
besaran yang sangat signifikan bagi bangsa Indonesia. Jika Indonesia dapat mengendalikan kegiatan tender barang dan jasa di sektor pemerintahan dengan baik dan benar, maka penghematan maupun penghilangan kebocoran akan terjadi pula secara signifikan. Pada gilirannya hal itu akan mendorong terjadinya relokasi terhadap sumber daya negara ke arah yang lebih produktif dan bernilai guna. Kenyataannya menunjukkan, bahwa perkara kegiatan persekongkolan tender yang ditangani oleh KPPU ini lebih banyak dilakukan karena adanya intervensi pejabat birokrasi terhadap panitia tender yang tidak lain adalah bawahannya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kegiatan persekongkolan tender di Indonesia. Oleh karena kegiatan persekongkolan tender itu erat kaitannya dengan praktek KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme),61 maka para pelaku usaha seringkali merasa lebih leluasa bertindak tanpa khawatir terjerat oleh peraturan anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maupun peraturan tentang pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah, karena hampir tidak dijumpai adanya dokumen secara tertulis yang menyatakan keterlibatan mereka. Ini merupakan sesuatu yang oleh mereka dianggap sebagai kelebihan atau kemahiran dalam melakukan berbagai kegiatan persekongkolan tender.62 Sebetulnya ada beberapa faktor yang yang menjadi penyebab terjadinya kegiatan persekongkolan tender yang biasanya sarat dengan muatan KKN, antara lain :63 1. Penegakan Hukum Yang Inkonsisten (Berubah - Ubah) Panitia tender atau atasan dari panitia tender dan pelaku usaha seringkali justru banyak melakukan pelanggaran terhadap penegakan hukum serta peraturan yang ada, seperti Keppres No. 80 Tahun 2003 maupun Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999. Banyak sekali peraturan yang berkaitan dengan tender pengadaan barang dan atau jasa oleh pemerintah selalu 61
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, 2006, hlm. 24. 62
L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), hlm. 129. 63
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi ,hlm. 23.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
33
berubah, dan bahkan setiap tahun peraturannya berubah sesuai dengan pergantian pemerintahan. Masih banyak dijumpai adanya tender pengadaan barang dan jasa yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat serta korupsi yang merugikan keuangan negara. Hal ini disebabkan peraturan pelaksanaan tender masih banyak yang dilanggar, baik oleh panitia tender maupun oleh para pelaku usaha. Adapun bentuk – bentuk pelanggaran tersebut adalah pelaksanaan tender bersifat tertutup atau kadang tidak transparan serta tidak diumumkan secara luas kepada masyarakat melalui media massa yang ada. Pelaksanaan tender yang tertutup, bersifat diskriminatif dan tidak transparan dapat mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat serta memenuhi kualifikasi pada akhirnya tidak dapat mengikuti tender tersebut.64
2. Penyalahgunaan Kekuasaan dan Wewenang Dalam jenis persekongkolan tender horizontal, vertikal, maupun gabungan persekongkolan tender horizontal dan vertikal, baik yang dilakukan oleh para peserta tender maupun oleh panitia pengadaan barang dan jasa serta pimpinan proyek banyak ditemui adanya persekongkolan yang bersifat kolusif serta mengarah pada tindakan korupsi. Dalam jenis persekongkolan seperti
itu
banyak
dijumpai
penyalahgunaan
kekuasaan
bahkan
kewenangan oleh para birokrat, baik kepada panitia tender (bawahannya) maupun para pelaku usaha lainnya.65
3. Terbatasnya Lingkungan Anti Korupsi Terbatasnya atau langkanya lingkungan yang menerapkan prinsip anti korupsi dan nepotisme menjadi salah satu penyebab terjadinya kegiatan persekongkolan tender. Hal ini disebabkan adanya sistem serta pedoman yang dimiliki dan berkaitan dengan penerapan prinsip anti korupsi sangat terbatas. Di samping itu, penerapan prinsip anti korupsi di sebuah 64
L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), hlm. 130. 65
L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), hlm. 131.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
34
lingkungan hanya dilakukan sebatas pada formalitas belaka.66 Sebenarnya antara persekongkolan tender dengan korupsi dan nepotisme sangat berkaitan serta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
4. Rendahnya Pendapatan Pendapatan kurang memadai yang diterima oleh penyelenggara Negara seringkali dianggap sebagai alasan oleh mereka untuk melakukan tindakan korupsi pada kegiatan pengadaan tender barang dan jasa. Oleh karenanya, harus
dipikirkan
pula
upaya
untuk
mengurangi
ketergantungan
penyelenggara Negara agar tidak melakukan tindakan korupsi dengan pemberian pendapatan yang memadai serta tetap memberikan pelayanan terbaik bagi kepentingan masyarakat.67
5. Keserakahan Melalui persekongkolan tender pengadaan barang dan jasa milik pemerintah maupun perusahaan negara seperti BUMN merupakan lahan yang paling mudah dalam melakukan tindakan korupsi. Dalam hal ini mereka yang mampu melakukan tindakan korupsi tidak pernah merasa puas dalam mendapatkan kekayaan. Dengan memanfaatkan situasi serta kesempatan yang ada, mereka leluasa melakukan tindakan korupsi dengan menghalalkan segala cara guna mendapatkan keuntungan yang optimal, sehingga pada gilirannya mengakibatkan kerugian Negara. Korupsi menimbulkan ekonomi biaya tinggi, artinya harga jual barang dan jasa di Indonesia semakin mahal. Investasi dari pelaku usaha yang diperlukan guna meningkatkan kegiatan usaha menjadi mahal, karena setiap proses ekonomi harus melewati satu pintu yang namanya “korupsi”.68 Pada dasarnya persekongkolan tender menurut Pasal 22 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu dilarang. Ada 2 (dua) alasan mengapa
66
67
Ibid., hlm. 131. Ibid., hlm. 133.
68
Asian Development Bank (ADB), Jalan Menuju Pemulihan Untuk Memperbaiki Iklim Investasi di Indonesia, 2005, hlm. 5 – 6
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
35
persekongkolan tender itu dilarang, yaitu : pertama, secara langsung dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat serta bertentangan dengan tujuan dilaksanakannya tender itu sendiri, yaitu untuk memberikan kesempatan yang seluas – luasnya kepada para pelaku usaha, serta kedua, secara tidak langsung dapat menimbulkan kerugian keuangan negara (tender oleh pemerintah maupun perusahaan negara), karena tender seringkali dilakukan dengan penggelembungan anggaran (mark up).69
6. Budaya dan Karakter Bangsa Budaya dan karakter bangsa kita sudah begitu akrab dengan tindakan memberi upeti, imbalan jasa serta hadiah kepada penguasa. Di samping itu budaya permisif, serba membolehkan serta tidak mau tahu keadaan buruk akibat korupsi seringkali menghinggapi para penyelenggara maupun peserta tender Dalam kegiatan persekongkolan tender korupsi serta nepotisme merupakan sesuatu hal yang biasa, sehingga mereka yang terlibat dalam persekongkolan tender menganggap bahwa korupsi itu harus ada dan sebagai hal yang seringkali terjadi.70
7. Keuntungan Korupsi Lebih Besar Biasanya seseorang yang akan melakukan tindak korupsi dalam kegiatan persekongkolan tender sudah menghitung dengan cermat keuntungan yang diperoleh,
apabila
seseorang
melakukan
tindak
korupsi
dalam
persekongkolan tender uang Negara yang dikorupsi itu sangat besar jumlahnya, maka jika sewaktu – waktu tertangkap masih ada cukup dana untuk menyuap petugas, dan dia sendiri masih mempunyai kesempatan untuk menyimpan sisa dana atau uang hasil korupsi di tempat lain.
69
L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), hlm. 134. 70
Ibid., hlm. 135.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
36
2.5.
Modus Persekongkolan Tender Konspirasi atau persekongkolan dalam penawaran umum diartikan sebagai
bentuk kesepakatan kerja sama diantara para penawar yang seharusnya bersaing, dengan tujuan memenangkan peserta tender tertentu. Perjanjian ini dapat dilakukan oleh dua atau lebih peserta tender yang setuju untuk tidak mengajukan penawaran, atau oleh para peserta tender yang menyetujui agar satu peserta melakukan penawaran dengan harga yang lebih rendah, dan kemudian melakukan penawaran dengan harga di atas harga perusahaan yang direkayasa sebagai pemenang. Kesepakatan semacam ini bertentangan dengan proses pelelangan yang wajar, karena penawaran umum dirancang untuk menciptakan keadilan dan menjamin dihasilkannya harga murah dan paling efisien.71 Oleh karena itu, persekongkolan dalam penawaran tender dianggap menghalangi terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para penawar yang beriktikad baik untuk melakukan usaha di bidang bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, UNCTAD menetapkan, bahwa tender kolusif pada dasarnya bersifat anti persaingan, karena dianggap melanggar tujuan penawaran tender yang sesungguhnya, yaitu mendapatkan barang atau jasa dengan harga dan kondisi yang paling menguntungkan pihak penyelenggara.72 Dalam praktek terdapat beberapa modus beroperasinya persekongkolan penawaran tender, antara lain :73 1. Bid Suppression Tekanan terhadap penawaran (bid suppression), artinya bahwa satu atau lebih penawar setuju untuk tidak mengikuti tender, atau menarik penawaran yang telah diajukan sebelumnya, dan memberi kesempatan agar penawar lain dapat memenangkan tender tersebut.74 Berdasarkan metode ini persekongkolan dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih pelaku 71
R. Syam Khemani, et. al., A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy (Washington D.C. and Paris : The World Bank and Organization for Economic Cooperation and Development – OECD, 1999), hlm. 23 72
Sacker and Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, (Jakarta: GTZ – Katalis Publishing, 2000), hlm. 313 73
R. Syam Khemani, et. al., A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy, hlm. 25-26 74
Ibid., hlm. 25
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
37
usaha untuk memenangkan peserta lain. Dalam bid suppression ini terjadi upaya pemaksaan yang dilakukan diantara peserta tender, agar yang lain bersedia menahan diri untuk tidak mengajukan penawaran harga atau bahkan peserta tender lain dipaksa untuk menarik diri dari arena persaingan penawaran harga.
2. Complementary Bidding Penawaran yang saling melengkapi (complementary bidding), yaitu kesepakatan diantara para penawar dimana dua atau lebih penawar setuju terhadap siapa yang akan memenangkan penawaran. Pemenang yang dirancang kemudian mengatakan kepada penawar lain mengenai harga yang direncanakan, sehingga mereka akan melakukan penawaran dengan harga yang lebih tinggi. Sebaliknya, pemenang yang dirancang akan memerintahkan penawar lain untuk menawar di tingkat harga yang ditentukan, sehingga harga penawaran calon pemenang menjadi lebih rendah daripada pesaing yang lain. Tindakan tersebut menciptakan kesan seolah-olah terdapat persaingan sesungguhnya diantara mereka, sehingga kontraktor yang dirancang berhasil memenangkan tender.75
3. Bid Rotation Perputaran penawaran atau arisan tender (bid rotation), adalah pola penawaran tender dimana satu dari penawar setuju untuk kembali sebagai penawar yang paling rendah. Dalam hal ini, penawar tender lain (selain pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya), secara bersama – sama akan menawar setinggi – tingginya, sebelum sampai pada gilirannya untuk memenangkan tender. Seringkali perputaran ini menetapkan adanya jaminan, bahwa mereka akan mendapat giliran untuk memenangkan tender. Kadangkala dalam beberapa pola semacam ini, terdapat perjanjian untuk mengantisipasi, bahwa penawar yang “kalah” dalam tender akan menjadi subkontraktor bagi pihak yang dimenangkan.76 75
Kara L. Haberbush, Limiting The Government’s Explosure to Bid Rigging Schemes, a Crititcal Look at The Seale Bidding Regime, Public Contract, Law Journal, 2000, hlm. 99
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
38
4. Market Division Pembagian pasar (market division), adalah pola penawaran tender yang terdiri dari beberapa cara untuk memenangkan tender melalui pembagian pasar. Melalui metode ini, para penawar dapat merancang wilayah geografis maupun pelanggan tertentu, sehingga jika terdapat kontrak di wilayah tertentu, seluruh penawar sudah mengetahui penawar mana yang akan memenangkan tender.77 Dalam semua modus persekongkolan tender tersebut, seringkali pemenang tender, atau penawar yang lebih murah, dapat mengamankan kesepakatannya melalui pembayaran langsung sejumlah uang atau melakukan perjanjian sub – kontraktor dengan penawar yang kalah. Tindakan tersebut sebetulnya sangat beresiko, karena bagaimanapun juga perjanjian tersebut adalah ilegal. Melalui aktivitas tersebut, kontraktor dapat dianggap menghambat atau melarang sub – kontraktor menjual jasanya secara langsung kepada pemerintah, dan hal semacam ini secara yuridis dilarang. Pada akhirnya berbagai macam komisi yang terkandung dalam transaksi antara kontraktor dan sub – kontraktor dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum.
2.6.
Pendekatan dalam hukum persaingan usaha Selama seperempat abad berlakunya the Sherman Act dari tahun 1890-an,
pengadilan federal Amerika Serikat telah mengambil tiga bentuk analisis yang berbeda untuk menjelaskan apakah, seandainya, suatu perjanjian horisontal melanggar Section 1 the Sherman Act. Ketiga model tersebut,
pertama,
dikemukakan oleh Hakim Rufus Peckham, yaitu dengan cara membedakan semua perjanjian yang ‘langsung’ menghambat perdagangan dianggap sebagai melawan hukum (ilegal), dan sebaliknya, semua perjanjian yang ‘tidak secara langsung’ menghambat perdagangan dianggap sah (legal).78 Model yang pertama ini dikenal
76
Ibid., hlm. 100
77
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
39
dengan pendekatan per se illegal. Kedua, dikemukakan oleh Hakim Willian Howard Taft, yang membaca tuduhan Congress mengenai restraint of trade yang terdapat dalam Undang-Undang Antitrust federal memiliki pengertian sama dengan konsep common law. Kemudian Taft berusaha untuk menyatukan berbagai keputusan Common Law ke dalam sebuah pendekatan yang sesuai , dan yang sah (lawful purpose) , dan perlu mencapai tujuan tersebut dengan cara sah, serta hambatan lain sebagai illegal.79 Ketiga,
Hakim Louis Brandels menyaring
kembali rule of reason dalam keputusan Mahkamah agung sebelumnya, dengan memperbolehkan
para hakim untuk meninjau semua fakta yang melingkupi
perjanjian tertentu, kemudian menentukan kesimpulan sendiri, apakah suatu perjanjian tersebut bersifat mendukung atau merugikan persaingan. Tetapi dalam kenyataannya pada kasus–kasus persaingan usaha, penggunaan kedua pendekatan ini tidak mudah untuk diterapkan. Dalam prinsip Per se Illegal dinyatakan setiap perjanjian atau kegiatan tertentu sebagai illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Sedangkan prinsip Rule of Reason merupakan pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evalasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan bersifat menghambat atau mendorong persaingan.80 Karena tidak semua orang mempunyai persepsi yang sama terhadap pengertian yang menyatakan suatu tindakan dinyatakan mutlak melanggar ataupun dapat diputuskan setelah melihat argumentasi dan alasan rasional tindakannya. Banyak metode yang dicoba oleh para akademisi, ahli hukum persaingan usaha dan praktisi hukum untuk menetapkan aplikasi ini walaupun tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu selama waktu ini, perdebatan masih tetap 78
A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat : Per se Illegal atau Rule of Reason, (Jakarta: Badan Penerbit Universitas Indonesia Fakutas Hukum Pascasarjana, 2003), hlm.79 79
Ibid., hlm. 80
80
Emmy Yuhassarie, et.al, Prosidig, Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Undang-Undang No.5/99 dan KPPU, 17-18 Mei 2004, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), Hlm. 104
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
40
berlangsung dalam hukum persaingan usaha ketika menentukan faktor “reasonableness” tersebut.81 Suatu tindakan yang dinyatakan bersifat anti persaingan (anti competitive behavior) serta akibat yang ditimbulkan pada proses persaingan tentu harus melewati beberapa acuan. Ukuran dari akibat anti persaingan haruslah bersifat nyata dan substansial. Dalam hal ini terdapat ukuran yang dipergunakan dalam Hukum Persaingan yaitu: melalui pembuktian yang sifatnya nyata anti persaingan (naked restraint) misalnya seperti penetapan harga, dengan melihat akibat yang ditimbulkannya pada persaingan dan dengan melihat tindakan atau hambatan yang dilakukan apakah akan mengakibatkan pelaku dapat menggunakan
kekuatan
pasarnya
(market
power)
untuk
menghambat
persaingan.82 Dalam ukuran Per se Illegal maka pihak yang menuduh melakukan pelanggaran yang harus membuktikan bahwa tindakan itu benar dilakukan tanpa harus membuktikan efek atau akibatnya.83 Tindakan yang dilakukan itu juga tidak mempunyai pertimbangan bisnis atau ekonomi yang rasional dan dapat dibenarkan, misalnya penetapan harga hanya dengan tujuan untuk mengelakkan persaingan. Dalam hal ini pemisahan yang tegas antar pendekatan Per se Illegal dan Rule of reason dinyatakan dengan bright line test (per se rules). Selebihnya adalah dengan melihat faktor yang mempengaruhi apakah suatu tindakan dengan melihat unsur alasan atau “reasonableness” dengan jalan mengevaluasi tujuan dan akibat dari tindakannya dalam suatu pasar atau proses persaingan.
2.7.
Penerapan Per se Illegal dan Rule of Reason Penggunaan pertama Per se illegal oleh Mahkamah Agung Amerika
diterapkan dalam United States v. Trans Missouri Freight Association, yang diikuti kemudian dalam United States v. Joint Traffic Association. Perkara Trans81
American Bar Association, Section of Antitrust Law, Monograph 23, The Rule of Reason, 1999, hlm. 104. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika mengukur faktor reasonableness dalam suatu kasus adalah dengan melihat pada faktor (1) akibat yang ditimbulkan dalam pasar dan persaigan, (2) pertimbangan bisnis yang mendasari tindakan tersebut (3) kekuatan pangsa pasar (market power) dan (4) alternatif yang tersedia (less restrictive alternative) (5) dan tujuan (intent) dikutip dari Ningrum Natasya Sirait I, hlm. 103 82
Ibid.
83
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
41
Missouri Freight Association menyangkut 18 perusahaan perkeretaapian yang bersama-sama membuat perjanjian pada tanggal 15 Maret 1889, yang membentuk “Trans-Missouri Freight Association” , yaitu sebuah asosiasi perusahaan kereta api di sebelah barat Mississipi. Dengan dibentuknya asosiasi ini ke-18 perusahaan perkeretapian menyerahkan kewenangannya untuk menyusun dan mengumumkan secara resmi struktur tarif angkutan, yang akan ditetapkan bagi seluruh perusahaan perkeretaapiaan yang tergabung di dalamnya. Tujuan dari asosiasi ini adalah untuk saling melindungi dengan cara menetapkan tarif yang menurut mereka adalah pantas, aturan, dan peraturan mengenai pengangkutan sementara.84 Pemerintah
Amerika Serikat kemudian menggugat asosiasi tersebut
dengan menyatakan antara lain bahwa: “... An agreement between railroads competing in interstate traffic, ‘for the purpose of mutual protection by establishing and maintaining reasonable rates, rules and regulations on all feeight an agreement in restraint of commerce, within the meaning of the anti-trust of July 2 1890. U.S.C.A. parag. 1-7,...”85 Dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat langsung memutuskan bahwa kesepakatan antar perusahaan perkeretaapian yang bertujuan untuk saling melindungi diantara perusahaan perkeretaapiaan dan mempertahankan harga serta peraturan mengenai pengangkutan adalah sebuah hambatan dalam praktek bisnis. Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat mengganggap kesepakatan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkeretaapian tersebut secara per se illegal telah melanggar Section 1 Sherman Act. Pendekatan rule of reason yang pertama diterapkan dalam Standard Oil Co. Of N.J.v. United States sebagai interpretasi terhadap The Sherman Act pada tahun
1911.86
Interpretasi
tersebut
menghasilkan
suatu
premis, bahwa
pertimbangan hukum yang utama dalam menerapkan pendekatan tersebut adalah maksimalisasi kesejahteraan atau pemuasan kebutuhan konsumen. Dalam perkara 84
A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat : Per se Illegal atau Rule of Reason, (Jakarta: Badan Penerbit Universitas Indonesia Fakutas Hukum Pascasarjana, 2003), hlm .81 85
Ibid.
86
A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat : Per se Illegal atau Rule of Reason, hlm.95
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
42
tersebut terciptanya pemuasan kebutuhan konsumen, terwujudnya efisiensi, dan peningkatan kualitas produk menjadi kriteria pokok bagi hakim Peckham, Taft dan White untuk mempertimbangkan adanya usaha mengeliminasi persaingan. Pernyataan Hakim White mengenai penggunaan rule of reason dalam perkara Standard Oil mengandung tiga pengujisn, yaitu 1) adanya konsep per se rule; 2) adanya maksud para pihak; dan 3) akibat dari suatu perjanjian. Ketiga pengujian ini sebaiknya dipandang sebagai pedoman dalam proses litigasi. Dalam pengertian yang luas, hanya terdapat satu pengujian, yakni dampak (akibat) dari suatu perjanjian (unsur yang ke-3). Sedangkan kedua unsur lainnya, hanya merupakan jalan pintas untuk menemukan atau akibat dari perjanjian tersebut.87 Pasal-pasal dalam undang-undang No. 5 Tahun 1999 menggambarkan bentuk dari pendekatan Perse Illegal ini melalui pasal yang sifatnya imperative dengan interpretasi yang memaksa, sebagai contoh kita dapat melihat Bagian Kedua, Pasal 5 ayat (1) tentang Penetapan Harga “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”. Sebagai kebalikan dari pendekatan Perse Illegal maka pendekatan Rule of Reason menggunakan alasan-alasan pembenaran apakah tindakan yang dilakukan walaupun bersifat anti persaingan tetapi mempunyai alasan pembenaran yang menguntungkan dari pertimbangan sosial, keadilan ataupun efek yang ditimbukannya serta juga unsur maksud (intent). Dalam hal ini para ahli Hukum Persaingan mencoba untuk menganalisis bentuk pendekatan tersebut dalam berbagai pendekatan dengan tujuan untuk mempermudah menentukan apakah suatu tindakan jelas bersalah atau masih dapat diterima alasan pembenarannya. Mekanisme tradisional untuk menentukan kasus persaingan untuk melihat terlebih dahulu hubungan ekonomi antara kedua pihak, misalnya horizontal atau vertikal dan juga berdasarkan bentuk pembatasannya, misalnya hambatan dalam bentuk harga, non harga atau boykot.88
87
Robert H. Bork, The Rule Of Reason and The Per Se Concept: Price Fixing and market Division, The Yale Law JournaI, vol.75 (Januari 1966): 375 88
American Bar Association, Section of Antitrust Law, The Rule of Reason ,hlm. 107
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
43
Cara lain adalah dengan mengggunakan Rule of Reason Versi Hakim Old White-Brandeis dengan pendekatan konsekwensi yang menyatakan bahwa setiap hambatan harus mendapat evaluasi untuk setiap pertimbangan yang diberikan dengan melihat keseluruhan biaya sosial yang ditimbulkannya. Dengan melihat perbandingan biaya dan keuntungan, maka peradilan dapat setidaknya mengukur beralasan atau tidaknya hambatan tersebut. Bila biaya dan keuntungan positif, maka hambatan itu dianggap beralasan, bila tidak maka dikategorikan sebagai tidak beralasan. Hakim White tersebut memutuskan terdapat 3 pendekatan yang dapat diterapkan ketika memutuskan apakah suatu tindakan akan digunakan dengan Rule of Reason atau Per se Illegal, yaitu pertama, melihat efek dari tindakan terhadap proses persaingan, kedua, apakah perjanjian itu benar ada dan ketiga apakah memang telah terjadi hambatan dalam persaingan yang sifatnya nyata. Pendekatan ini dikatakan sebagai konsekwensi karena terfokus pada pertanyaan dimana peradilan melihat perimbangan hasilnya (konsekwensi) dari hambatan, baik atau merugikan. Dengan melihat pendekatan ini dan mencermati bagaimana peradilan di negara yang telah memiliki Undang-Undang Hukum Persaingan telah ada lebih dulu, maka sampai saat ini dapat dikatakan bahwa perdebatan mengenai standar “reasonableness” ataupun akibat sosial atau akibat yang ditimbulkan terhadap proses persaingan masih berlangsung. Dalam substansi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 umumnya mayoritas juga menggunakan pendekatan Rule of Reason. Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 maka substansi pasal-pasalnya yang menggunakan pendekatan Rule of Reason tergambar dalam konteks kalimat yang membuka alternative interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dulu akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam Undang-undang apakah menciptakan praktik monopoli ataupun praktik persaingan
tidak
sehat.
Sebagai
contoh
dari
interprestasi
pasal
yang
menggambarkan Rule of Reason adalah dalam kalimat yang membuka peluang analisis dengan melihat akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan sebelum dinyatakan melanggar undang-undang. Lihat pasal 1 ayat (2) “……. Sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”. Pasal 4 “……… yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan atau
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
44
persaingan usaha tidak sehat”.
Pasal 7, 2, 22 dan 23 “……. yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 8 “…… sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 9 “….. sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 11, 12, 13, 16, 17, 19 “……. yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 14, “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan masyarakat”. Pasal 18, 20, 26 “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 28 ayat (1) dan (2) “…… yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat”. Oleh sebab itu harus dipersiapkan bahwa kelak KPPU akan menghadapi berbagai kemungkinan dalam upaya menegakkan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 karena berbagai provisi atau klausula undang-undang yang sifatnya sangat terbuka dalam menentukan apakah suatu tindakan dinyatakan salah atau tidak. Dapat dikatakan bahwa mayoritas dari substansi Undang-undang No. 5 Tahun 1999 lebih condong kepada prinsip “Rule of Reason”. Dengan demikian adanya suatu standardisasi pendekatan dengan melihat pada pengalaman peradilan di negara lain sebelumnya, patut dipertimbangkan sebagai wacana. Misalnya faktor yang melihat akibat tindakan tersebut secara keseluruhan bagi proses persaingan, akibat sosial yang ditimbulkan, tujuan dari tindakan dan berbagai faktor lainnya.
2.8.
Indikasi Terjadinya Persekongkolan Tender
Kegiatan tender pengadaan barang dan jasa yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun non pemerintah, seringkali terdapat upaya penyelewengan ataupun dalam bentuk indikasi persekongkolan yang bertujuan untuk memenangkan salah satu peserta tender yang sejak awal atau jauh – jauh hari memang dipersiapkan untuk menjadi pemenang tender. Kondisi semacam ini seringkali meresahkan peserta tender lainnya, dan apabila penyelewengan atau penyimpangan tersebut terjadi dalam kegiatan tender, maka orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian tersebut adalah pimpinan proyek tender atau
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
45
pengadaan barang/jasa yang diserahi tugas dan tanggung jawab sebagaimana telah diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003. Berbagai bentuk indikasi persekongkolan yang dalam praktek sering terjadi ini masih perlu pembuktian lebih lanjut melalui pemeriksaan tim Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha, antara lain :89 1. Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan tender, yang meliputi antara lain : a. Pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan tender secara transparan, b. Nilai uang jaminan tender ditetapkan jauh lebih tinggi daripada nilai dasar tender, c. Penetapan waktu dan tempat tender yang sulit dicapai dan diikuti, 2. Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan panitia tender, antara lain meliputi : a. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan, b. Panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu, c. Susunan dan kinerja panitia cenderung tidak diumumkan. 3. Indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan, antara lain meliputi : a. Persyaratan untuk mengikuti pra kualifikasi membatasi pelaku usaha tertentu, b. Adanya pelaku usaha yang diluluskan dalam pra – kualifikasi walaupun tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, c. Adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah tahap pra kualifikasi, 4. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender, antara lain meliputi : a. Jangka waktu pengumuman tender yang sangat terbatas. b. Informasi dalam pengumuman tender sengaja dibuat tidak lengkap. c. Pengumuman tender dilakukan melalui media masa dengan jangkauan yang terbatas. 89
KPPU, Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang – Undang No. 5 Tahun 1999, KPPU, Jakarta, 2005, hlm. 12 - 16
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
46
5. Indikasi persekongkolan tender pada saat pengambilan dokumen tender, antara lain
meliputi : a. Dokumen tender yang diberikan tidak sama bagi seluruh calon peserta tender, b. Waktu pengambilan dokumen tender yang diberikan panitia sangat terbatas, c. Alamat pengambilan dokumen tender sulit diketemukan oleh calon peserta tender.
6. Indikasi persekongkolan pada saat penutupan harga dasar tender, yang antara lain meliputi : a. Adanya dua atau lebih harga dasar atas suatu produk barang yang akan ditenderkan, b. Harga dasar tender hanya diberikan kepada pelaku usaha tertentu. 7. Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender, antara lain meliputi : a. Informasi atas barang atau jasa yang akan ditender tidak jelas dan cenderung tertutup, b. Penjelasan tender hanya dapat diterima oleh pelaku usaha yang terbatas. 8. Indikasi persekongkolan saat pembukaan dokumen penawaran tender, antara lain meliputi : a. Adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu, b. Adanya dokumen yang dimasukkan dalam 1 ( satu ) amplop bersama – sama dengan penawaran peserta tender yang lain. 9. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan pemenang tender, antara lain meliputi : a. Jumlah peserta tender lebih sedikit dari jumlah peserta dalam tender sebelumnya, b. Harga yang dimenangkan berbeda dari harga sebelumnya oleh peserta tender yang sama, c. Proses evaluasi dilakukan di tempat yang tersembunyi dan sulit dilacak keberadaannya oleh peserta tender yang lain.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
47
10. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang tender, antara lain meliputi : a. Pengumuman dilakukan secara terbatas, b. Tanggal pengumuman tender ditunda dengan alasan yang tidak jelas, c. Ada peserta tender yang memenangkan tender secara terus – menerus di wilayah tertentu. 11. Indikasi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan, antara lain meliputi : a. Panitia tender tidak menanggapi secara serius sanggahan yang berasal dari peserta tender, b. Panitia cenderung menutup – nutupi proses dan hasil evaluasi. 12.
Indikasi
persekongkolan
saat
penunjukan
pemenang
tender
dan
penandatanganan kontrak, antara lain meliputi : a. Surat penunjukan pemenang tender diterbitkan sebelum proses sanggahan diselesaikan, b. Penerbitan surat penunjukan pemenang tender mengalami penundaan tanpa alasan yang jelas, c. Konsep kontrak dibuat dengan menghilangkan hal – hal yang dianggap penting, d. Penandatanganan kontrak mengalami penundaan tanpa alasan yang jelas. 13. Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan, antara lain meliputi : a. Pemenang tender mensub kontrakkan (mengalihkan) pekerjaan yang sudah
diperolehnya kepada peserta tender lainnya yang kalah dalam
aktivitas tender tersebut, b. Nilai proyek yang diserahkan kepada pemilik proyek tidak sesuai dengan ketentuan awal, c. Hasil pengerjaan proyek tidak sesuai dengan ketentuan dalam spesifikasi teknis. Indikasi-indikasi tersebut hanya merupakan pedoman bagi para pelaku usaha atau peserta tender dan pejabat atau panitia tender untuk tidak melakukan persekongkolan tender. Pada prinsipnya pedoman mengenai berbagai bentuk
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
48
indikasi persekongkolan tender tersebut dibentuk sesuai dengan tujuan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu untuk memulihkan persaingan usaha pada pasar bersangkutan. Sehingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha perlu memberikan batas – batas kewenangan yang jelas pada setiap tahapan tender, kemudian masyarakat dapat memahami dan mengerti secara jelas tahapan – tahapan tender mana yang menjadi kewenangan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
2.9.
Cara Menentukan Adanya Persekongkolan Dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1999 mensyaratkan adanya persekongkolan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dengan pihak lain (pihak ketiga). Persoalan dapat atau tidak dapat diterapkannya ketentuan pasal tersebut bergantung pada 2 (dua) elemen, yaitu adanya para pihak terkait yang harus atau mampu menunjukkan ciri – ciri ikut berpartisipasi, serta telah terjadi kesepakatan untuk melakukan kegiatan yang saling menyesuaikan dan bersifat kolusif. Selain itu, terhadap ketentuan Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 Undang– Undang Nomor 5 Tahun 1999 hanya dapat diterapkan, apabila pihak yang satu merupakan pelaku usaha, sedangkan pihak lainnya adalah pihak ketiga. Undang– Undang Nomor 5 Tahun 1999 menegaskan, bahwa pihak lain di sini tidak harus merupakan pesaing pihak pertama, dan juga tidak harus berupa pelaku usaha, atau dapat juga pihak lain di sini setidak – tidaknya adalah pesaing pihak pertama atau pelaku usaha.90 Sedangkan kegiatan yang saling menyesuaikan dan bersifat kolusif merupakan koordinasi yang dilakukan secara sengaja terhadap perilaku pelaku usaha, yang secara faktual maupun yuridis tidak memiliki kekuatan mengikat, yang sengaja mengganti persaingan usaha yang penuh dengan resiko kerja sama yang praktis, sehingga berakibat terbentuknya kondisi pasar yang tidak sesuai dengan persyaratan persaingan usaha.91
90
L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), hlm. 48 91
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
49
Ada beberapa langkah awal yang dapat dikatakan sebagai kegiatan kolusif, yakni antara lain : 1. Menginformasikan perilaku diri sendiri dengan harapan agar pihak lain dapat menyesuaikan kegiatannya, 2. Mempengaruhi perilaku pihak lainnya dengan maksud untuk memperoleh informasi tentang kegiatan yang akan dilakukan oleh pihak lain tersebut, atau 3. Segala penyesuaian perilaku diri sendiri dengan cara apapun diharapkan agar pihak lain dapat mengetahui.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
50
BAB III CONSCIOUS PARALLELISM DALAM PENEGAKKAN PERSEKONGKOLAN TENDER
3.1.
Perilaku Conscious Parallelism
3.1.1. Tindakan Saling Menyesuaikan (Concerted Action) Dalam hukum persaingan usaha modern, hukum persaingan usaha menempatkan penyelidikan, penuntutan, dan penghukuman perilaku horizontal concerted action serta pembatasan hasil produksi menjadi prioritas utama dalam pembentukan kebijakan persaingan usaha.92 Para sarjana secara luas berpendapat bahwa penegakkan hukum yang ketat terhadap kesepakatan dalam persaingan usaha menjadi salah satu kontribusi terbesar hukum persaingan usaha dalam kegiatan
ekonomi.93
Adanya
peningkatan
intensitas
ekonomi,
lembaga
persaingan usaha di dunia, memeriksa perilaku bid-rigging, price fixing, dan perilaku pembagian pasar. Sejak pertengahan tahun 1990, semakin banyak lembaga persaingan usaha
yang memperbaiki perangkat hukumnya untuk
memungkinkan penuntutan pelanggaran kartel sebagai tindakan kriminal.94 Penuntutan akan kesepakatan telah menginspirasikan keberatan-keberatan mengenai ketidakpastian konsep dan kebingungan doktrin berkaitan dengan batasan yang dapat membedakan lawful unilateral conduct dan illegal collective behavior.95 Terlepas dari seringnya pengalaman yuridis dengan permasalahan tersebut dan terlepas dari banyaknya kontribusi oleh ekonom dan ahli hukum sehubungan dengan pengaturan kerangka kerja yang telah ada , definisi dan bukti dari concerted action masih menjadi permasalahan dalam proses litigasi kasuskasus hambatan horizontal (horizontal restraints).96 Pengadilan terus berusaha untuk mengembangkan sebuah perhitungan yang memuaskan untuk menentukan 92
William E. Kovacic, An Integrated Competition Policy to Deter and Defeat Cartels, 51 Antitrust Bulletin., (2006) : 813-815 93
Ibid.
95
Lihat putusan Williamson Oil Co. v. Philip Morris USA, 346 F.3d 1287, “...law governing existence of agreement provides “little guidance” to determine when inference of concerted action is appropriate; legal standard sets line that is “ephemeral” 96
Gregory J. Werden, Economic Evidence on the Existence of Collusion: Reconciling Antitrust Law with Oligopoly Theory, 71 Antitrust Law Journal. (2004): 719
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
51
meskipun tanpa adanya bukti langsung yang menunjukkan adanya perjanjian, penuntut dapat menunjukkan bahwa tergugat telah berkonspirasi untuk menghambat perdagangan.
3.1.2. Doktrin penggunaan Circumstantial Evidence Untuk Membuktikan Adanya Agreement Praktisi hukum persaingan usaha telah mendedikasikan usahanya untuk menentukan apakah sebuah perilaku timbul dari sebuah kesepakatan dan menimbulkan pelanggaran terhadap Section 1. Hukum yang menjangkau keberadaan dari sebuah kesepakatan memerlukan pengadilan untuk menentukan apakah perilaku yang diperiksa menimbulkan kesepakatan, dan bagaimanakah kesepakatan tersebut dapat dibuktikan dalam peradilan. Usaha lembaga hukum Amerika Serikat untuk mendefinisikan tindakan saling menyesuaikan (concerted action) berawal dari empat putusan Pengadilan Tinggi Amerika Serikat, yang diawali dengan putusan Interstate Circuit. Inc. V. United States tahun 1939 dan diakhiri dengan Theatre Enterprises v. Paramaount Film Distributing Corp. Tahun 1954. Untuk mendukung tuduhan bahwa pengelola bioskop telah melakukan penetapan harga (price fixing) untuk pemutaran perdana film-film, pengadilam dalam kasus Interstate Circuit mendefinisikan syarat-syarat perilaku saling menyesuaikan sebagai: “While the District Court’s finding of an agreement of the distributors among themselves is supported by the evidence, we think that in the circumstances of this case such agreement for the imposition of the restrictions upon subsequent-run exhibitors was not a prerequisite to an unlawful conspiracy. It was enough that, knowing that concerted action was contemplated or invited, the distributors gave their adherence to the scheme and participated in it.” Dalam penjelasan oleh pengadilan tingkat pertama diatas dinyatakan bahwa adanya penerimaan oleh para kompetitor, tanpa adanya sebuah kesepakatan, untuk ikut serta dalam sebuah rencana, yang akibat utamanya dapat menghalangi perdagangan antar negara bagian, telah meyakinkan adanya konspirasi yang dilarang dalam Sherman Act. Kemudian pada tahun 1946 dalam kasus American Tobacco Co. v. United States, pengadilan menujukan permasalahan kesepaktan dalam memeriksa
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
52
tindakan konspirasi yang bertujuan untuk memonopoli dalam Section 2 Sherman Act. Pengadilan menyatakan bahwa tidak diperlukan adanya kesepakatan formal untuk membentuk konspirasi. Pada tahun 1948 dalam kasus United States v. Paramount Pictures, Inc., pengadilan menyatakan ulang definisi kesepakatan dalam kasus Interstate Circuit’s. Menimbang Section 1 dan Section 2 dalam gugatan konspirasi, pengadilan menyatakan bahwa, “tidak diperlukan untuk mencari adanya kesepakatan tertulis untuk mencari adanya konspirasi. Adalah cukup bila perilaku concerted action menjadi pertimbangan bahwa para tergugat telah bekerjasama seperti telah diatur. Proses penentuan bentuk kesepaktan beraakhir pada 1954 dalam kasus Theatre
Enterprises.
Pada
waktu
itu
pengadilan
menyatakan
bahwa,”circumstantial evidence dari perilaku conscious parallelism memiliki sejarah yang sulit untuk merumuskan tindakan hukum yang termasuk konspirasi, ‘conscious parallelism´ belum dianggap sebagai konspirasi dalam Sherman Act. Sebagai kesatuan, empat kasus diatas telah membentuk sebuah kerangka konsep rujukan. Pertama, pengadilan akan menentukan karakteristik perilaku conscious parallelism antar perusahaan yang berkoordinasi yang terwujud dengan adanya
tujuan
memperbolehkan
selain sebuah
rasa
saling
kesepakatan
percaya. untuk
Kedua,
pengadilan
disimpulkan
akan
menggunakan
circumstantial proof yang menguatkan bahwa perkara yang diperiksa cenderung merupakan hasil dari concerted action. Ketiga, pengadilan tidak akan menganggap adanya kesepakatan jika penuntut hanya menunjukkan adanya hubungan ketergantungan (interdependece) dan hanya meniru pergerakan harga pesaingnya. Kemudian putusan-putusan Pengadilan Tinggi berusaha untuk menyatukan prinsip-prinsip tersebut dalam sebuah konsep. Pada tahun 1984 dalam pemeriksaan dugaan konspirasi dalam minimum resale price maintenance (RPM) Monsanto Co. V. Spray-Rite Service Corp., pengadilan menemukan: The correct standard is that there must be evidence that tends to exclude the possibility of independent action by the [parties]. That is, there must be direct or circumstantial evidence that reasonably tends to prove that [the parties] had a conscious commitment to a common scheme designed to achieve an unlawful objective.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
53
Dari standar yang diberlakukan dalam kasus Monsanto maupun kasuskasus pendahulunya, belum ditemukan adanya dasar yang tepat untuk mengidentifikasi adanya concerted action. Percobaan ini menunjukkan bahwa konsep kesepakatan melebihi dari adanya rasa saling percaya, meskipun mereka tidak memberikan adanya pengertian secara teknis untuk menentukan kapan tergugat telah terlibat dalam kegiatan negatif yang lebih daripada perilaku conscious parallel conduct. Sebagai contoh, dalam standar kasus Monsanto, dapat disimpulkan bahwa ketergantungan antar pelaku conscious parallelism sebagai ”kesadaran berkomitmen untuk tujuan yang sama ” (conscious commitment to a common scheme). Setiap pelaku dalam oligopoli menyadari konsekuensi dari perilakunya terhadap perilaku pesaingnya. Semua produsen akan menyadari bahwa kenaikan harga akan diterima jika semua pelaku menaikkan harganya. Menyadari kerterkaitannya, setiap pelaku dalam pasar oligopoli, tanpa berkomunikasi dengan pesaingnya, akan menyesuaikan harga dengan para pesaingnya. Tindakan yang berulang-ulang untuk menyesuaikan harga dengan pesaingnya dapat dinyatakan sebagai indikasi keinginan pelaku untuk secara sadar menginginkan tingkat harga yang lebih tinggi. Dasar dari interfirm communication adalah adanya fakta bahwa setiap pelaku memperhatikan perubahan harga pesaingnya.
3.1.3. Perilaku conscious parallelism Dalam Hukum Persaingan Usaha Conscious parallelism terjadi ketika para pesaing dalam pasar melakukan tindakan yang ”menghambat pasar dengan secara sengaja meniru para pesaingnya” dengan ekspektasi adanya timbal balik dari pelaku pasar yang lain yang akan mengurangi iklim persaingan.97 Perilaku demikian dikenal sebagai tacit collusion , yang merupakan bentuk komunikasi tidak langsung dengan cara para perusahaan menyimpulkan tujuan dari tindakan para pesaingnya atau berdasarkan keadaan pasar.98 97
Conscious parallelism-fact or fancy?, 3 Stanford Law Review, (1951): 679-680
98
Louis Kaplow, On the Meaning of Horizontal Agreements in Competition Law, Discussion Paper 691,
, diunduh 10
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
54
Keith Hylton melihat bahwa Conscious Parallelism mempengaruhi industri yang oligopolistik: Conscious paralleism is parallel behavior that typically appears in markets with small numbers of sellers. It is not the result of an explicit agreement. It occurs because in markets with few sellers, firms take the reactions of competitors into account when deciding how much to produce or what price to set. Although it is hard to find practice definition of it, yhe term conscious parallelism refers to a form of tacit collusion in which each firm in an oligopoly realizes that it is within the interest of the entire group of firms to maintain a high price or to avoid vigorous price competition, and the firms act in accordance with this realization.99 Gagasan yang dikemukakan oleh Hylton dikuatkan dengan adanya fakta bahwa hanya terdapat beberapa penyedia barang dan/atau jasa dalam pasar yang tentu saja mempermudah bagi para pesaing untuk saling mengamati untuk kemudian bertindak sesuai dengan para pesaingnya. Sehingga bukan merupakan kebetulan jika sistem pasar yang oligopolistik memiliki tingkat harga yang tinggi dan memiliki hasil produksi yang lebih sedikit dibandingkan dengan pasar persaingan sehat. Sehingga terlihat bahwa para penyedia barang/atau jasa lebih berusaha untuk memaksimalkan atau mengurangi keuntungan atau kerugian bersama. Perilaku conscious parallelism bahkan telah ditentukan sebagai salah satu oligopoly problem.100 Para pelaku usaha melibatkan diri dalam parallel behaviour untuk mendapatkan keuntungan yang kolusif. Para pelaku usaha ini tidak membentuk kartel namun membangun sebuah tindakan parallel dengan kesadaran untuk pencapaain tujuan yang sama. Sebab pada kenyataanya kesulitan untuk membuktikan adanya sebuah perjanjian
antara para pelaku usaha meupakan
masalah utama dalam hukum persaingan usaha, sehingga lebih tertuju pada kolusi yang tersirat. April 2012 pukul 23.57, lihat juga Robert H. Porter, Detecting Collusion, 26 REV.INDUS.ORG. (2005) 99
Keith N. Hylton, Anti trust Law : Economic Theory and Common Law Evolution , , hlm.73 , diunduh 3 Mei 2012 pukul 16.34 100
Dustin Appel, Air Cargo Fuel Surcharges and Tacit Collusion Under the Sherman Act: What Good Is Catching a Few Bad Guys if Consumers Still Get Robbed?, 73 J. AIR L. & COMM., (2008): 375-376
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
55
Konsep conscious collusion
tidak memenuhi unsur ”contract”,
“combination” atau “conspiracy” dalam The Sherman Act. Pandangan ini berdasarkan pemikiran Donald Turner dalam artikel-artikel klasiknya pada tahun 1962, yang kemudian menyimpulkan bahwa “para penyedia barang/jasa dalam pasar oligopoli yang menanggapi perilaku pesaingnya dengan cara menentukan harga dasar tanpa adanya sebuah perjanjian seperti yang terdapat dalam konsep conscious parallelism tidak dapat dianggap melanggar ketentuan conspiracy dalam
The Sherman Act. Sehingga conscious parallelism bukan merupakan
sebuah fakta yang mengindikasikan adanya perjanjian antar para pelaku usaha kecuali adanya fakta lain yang mengindikasikan bahwa keputusan yang akan diambil oleh salah satu pelaku usaha akan mempengaruhi perilaku pelaku usaha yang lain (interdependent).101 Sejalan dengan pemikiran Turner, pengadilan Amerika Serikat dari waktu kewaktu telah berusaha untuk menemukan adanya bukti tambahan yang yang dapat menyatakan bahwa telah terjadi ”conspiracy” –yaitu sebuah plus factor yang memberikan pendekatan untuk menjembatani konsep conscious parallelism dan conspiracy.102 William Kovacic menegaskan beberapa konsep tradisional Plus Factors antara lain: 1. Adanya motif rasional untuk bersekongkol, 2. Adanya tindakan/ kejadian yang tidak bisa dijelaskan secara rasional, kecuali dipahami sebagai hasil dari concerted action, 3. Adanya komunikasi antar para rival prerusahaan, atau setidaknya kesempatan untuk untuk berkomunikasi, 4. Kondisi industri yang memfasilitasi atau memperkuat kolusi, 5. Adanya catatan tingkat keuntungan ayng tinggi yang mengindikasikan adanya bentuk kerjasama yang sukses dari waktu-kewaktu, 6. Tidak ada alasan bisnis yang sesuai dalam perilaku tersebut.
101
Donald F. Turner, The Definition of Agreement Under the Sherman Act: Conscious Parallelism and Refusals To Deal, 75 Harvard Law Review, (1962): 671 102
William E. Kovacic, The Identification and Proof of Horizontal Agreements Under the Antitrust Laws, 38 Antitrust Bulletin 5, (1993): 34
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
56
3.2.
Pengaturan terhadap perilaku Conscious Parallelism
3.2.1. Pengaturan dalam Sherman Act Untuk mengatasi perilaku Conscious Parallelism , Sherman Act memiliki dua kemungkinan pengaturan dalam section 1 dan section 2. Pengaturan yang pertama yang lebih sederhana, yaitu dengan mengurangi standar pemenuhan adanya perjanjian tertulis untuk pembuktian
conspiracy dalam Section 1.103
Pendekatan yang demikian dapat didasarkan pada teori kontrak dengan alasan bahwa Conscious Parallelism yang timbul adalah akibat adanya ”meeting of the minds”, yang disadari oleh para pelaku usaha sebagai kepentingan mereka untuk menetapkan harga atau jumlah tertentu seperti yang terjadi dalam kolusi. Richard Posner menunjukkan bahwa dalam mencegah adanya pihak-pihak yang saling mengambil keuntungan singkat dengan mengorbankan pihak lain untuk mengambil keuntungan monopolistik yang hanya dapat diperbolehkan oleh pencegahan bersama tersebut, sehingga kedudukannya seperti para pihak dalam sebuah “unilateral contract”, yang diakui secara hukum sebagai kontrak daripada sebuah tindakan individu.104 Hal yang lebih diutamakan daripada teori kontrak adalah adanya fakta bahwa alasan yang dikemukakan oleh Turner dalam pembatasan Section 1 – adanya perilaku yang rasional para penjual/ penyedia dalam oligopoli--, tidak terlalu menyita perhatian persaingan usaha dibandingkan dengan akibat yang dapat ditimbulkan oleh perilaku demikian. Dalam sebuah saran komentator, “ alasan utama Turner yang menghalangi penerapan section 1 dalam conscious parallelism –karena para peserta pasar hanya bertindak secara rasio ekonomikurang meyakinkan adanya akibat ekonomi yang merugikan dari perilaku tersebut, terlepas dari ada tidaknya rasionalitas dalam tindakan-tindakan pelaku.105 Secara sederhana, kita harus tidak melupakan bahwa tujuan dari hukum
103
Keith N. Hylton, Anti trust Law : Economic Theory and Common Law Evolution 73,
hlm. 203 104
William E. Kovacic, The Identification and Proof of Horizontal Agreements Under the Antitrust Laws, hlm. 25 105
D.J. Simonetti, Conscious Parallelism and the Sherman Act: An Analysis and Proposal, 34 Vanderbilt Law Review, (1977): 1227-1228
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
57
persaingan usaha adalah untuk melindungi konsumen106 dan obsesi mengenai isu konspirasi telah mengalihkan perhatian pengadilan dari efek yang ditimbulkan oleh konspirasi terhadap konsumen.107
Dengan dikuranginya persyaratan
konspirasi, hal ini telah menambah keuntungan untuk memperkuat penegakkan persaingan usaha di dunia nyata dimana para pihak telah belajar untuk tidak meninggalkan bukti adanya perjanjian.108 Conscious Parallelism juga dapat disarikan dari antimonopolization provision of section 2 dari Sherman act.
109
Pada intinya pernyataan dalam
provision of section 2 Sherman act menunjukkan bahwa perilaku pelaku pasar oligopoli dapat dianalogikan dengan pelaku pasar monopoli, sehingga tindakan usaha yang dilarang unntuk para pelaku monopoli karena besarnya usaha mereka, bisa dan harus dilarang juga bagi pelaku oligopoli yang kekuatan pasar kolektifnya dapat menyamai satu pelaku usaha monopoli. Meskipun pendekatan demikian kurang praktis, namun terdapat literatur pendukung yang signifikan. Bahkan Supreme Court Amerika Serikat dalam putusan Brooke Grp. Ltd. v. Brown & Williamson Tobacco Corp menganalogikan conscious parallelism dengan shared monopoly: Tacit collusion, sometimes called oligopolistic price coordination or conscious parallelism, describes the process, not in itself unlawful, by which firms in aconcentrated market might in effect share monopoly power, setting their prices at a profit-maximizing, supracompetitive level by recognizing their shared economic interests and their interdependence with respect to price and output decisions. 3.2.2. Pengaturan dalam Clayton dan FTC acts The Clayton dan FTC Acts mengemukakan beberapa tambahan kemungkinan untuk mengenali conscious paralellism. Perubahan yang penting dalam Clayton Acts tahun 1914, Section 7 , memberlakukan larangan merger yang 106
Reza Dibadj, Saving Antitrust, 75 University Colombia Law Review, (2004): 745
107
Thomas A. Piraino, Jr., Regulating Oligopoly Conduct Under the Antitrust Laws, Minnesota Law Review 9, (2004): 9-10 108
William E. Kovacic, The Identification and Proof of Horizontal Agreements Under the Antitrust Laws, hlm. 17 109
Patricia B. Hsue, Lessons From United States v. Stein: Is the Line Between Criminal and Civil Sanctions for Illegal Tax Shelters a Dot?, 102 Northwestern University Law Review, (2008): 200
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
58
menyebabkan efek persaingan usaha tidak sehat. Perubahan dalam FTC Acts mengadopsi konteks conscious parallelism secara langsung: hingga pada tingkat dimana merger akan meningkatkan konsentrasi dalam pasar yang dapat meningkatkan atau memfasilitasi conscious parallelism , sehingga Section 7 memperbolehkan pengadilan untuk melarang atau mencegah perubahan dalam struktur pasar yang dapat memfasilitasi koordinasi antar pelaku usaha.110 Seorang mantan pejabat FTC menyarankan bahwa “conscious parallelism hanya menjadi pertimbangan dalam analisis efek koordinasi oleh badan penegak” evalusi merger berdasarkan perkiraan
Section 7 melihat efek yang berpotensi dan tidak memerlukan akan
adanya
perilaku
ilegal
untuk
mengkonfirmasi
adanya
pelanggaran.111 Gagasan utama yang dikemukakan di sini adalah bahwa Clayton Act dapat digunakan unutk menghentikan atau mengubah kondisi merger yang mengarah kepada perilaku conscious parallelism- terlepas dari apakah badan penegak yang bersangkutan telah berusaha dengan sebaik-baiknya. Pada akhirnya FTC Act of 1914 dapat digunakan secara efektif sebagai sarana untuk menanggulangi conscious parallelism. Pengaturan utamanya, seperti dijabarkan dalam section 5 : “unfair methods of competition in or affecting commerce, , and unfair or deceptive acts or practices in or affecting commerce, are hereby declared unlawful.” Dalam penegakkan section 5 tidak diperlukan adanya pembuktian perjanjian dan konspirasi112 sehingga
“memberikan kesempatan untuk
menghindari hambatan pembuktian seperti dalam kasus-kasus seperti kasus Theatre Enterprises.”113
110
Jonathan B. Baker, Mavericks, Mergers, and Exclusion: Proving Coordinated Competitive Effects Under the Antitrust Laws, 77 NewYork Law Review 135, (2002): 65 111
Reza Dibadj, Conscious Parallelism Revisited, San Diego Law Review vol.47,589
(2010): 601 112
Donald S. Clark, Price-Fixing Without Collusion: An Antitrust Analysis of Facilitating Practices After Ethyl Corp., Wisconsin Law Review 887 (1983 ): 915 113
Leslie Aldor, Oligopolistic Conscious Parallelism Under the Competition Law of the USA, 16 Federal Law Review 74, (1986): 90
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
59
3.2.3. Beban Pembuktian Penuntut dalam memeriksa kasus-kasus Section 1 menanggung beban pembuktian adanya kesepakatan. Adanya “conscious commitment to a common scheme” dapat dibuktikan dengan adanya bukti langsung (direct evidence) atau bukti peristiwa/ bukti tidak langsung (circumstantuial evidence).114 Penjelasan pembuktian kasus Monsanto menjadi penting dimana tergugat mengajukan adanya kesimpulan mengenai ada tidaknya konspirasi. Dalam kasus Matsushita Electrical Industrial Co. v. Zenith Radio Corp., penuntut mengandalkan adanya circumstantial evidence untuk membuktikan concerted action. Matsushita mengatakan bahwa “ hukum persaingan usaha membatasi cakupan dari adanya penghubungan mengenai bukti yang ambigu dalam kasus-kasus Section 1 “ dan menegaskan bahwa perilaku yang konsisten dengan perbuatan yang menyerupai konspirasi, tidak serta merta, menjadi penghubung adanya konspirasi persaingan usaha. Mengutip
kasus
Monsanto,
pengadilan
dalam
kasus
Matsushita
memperjelas beban pembuktian ketika tergugat mengajukan permintaan kesimpulan adanya tuduhan ketika circumstantial evidence digunakan untuk membuktikan tindakan kolektif. Seperti dalam Monsanto pengadilan Matsushita berusaha untuk mengurangi error cost dari adanya standar pengajuan kewajiban (liability). Matsushita dicurigai berkonspirasi dengan menurunkan tingkat biaya di Amerika Serikat, yang menyingkirkan perusahaan Amerika dari pasar, dan kemudian meningkatkan harga hingga tingkat monopoli. Dalam kasus demikian, pengadilan menegaskan bahwa kesalahan penyimpulan adanya konspirasi dapat merugikan konsumen dengan mencegah perusahaan untuk menawarkan harga yang rendah.115
114
Dalam putusan American Tobacco v. United States, pengadilan menyatakan,”...dengan menunjukkan bukti langsung atau bukti peristiwa yang cukup untuk menjamin...penemuan yang menunjukkan bahwa para pelaku konspirasi memiliki kesamaan tujuan dan kesepahaman, atau adanya kesamaan pikiran dalam sebuah kesepakatan yang melanggar hukum.” 115
Dalam putusan Matsushita Electrical Industrial Co. V. Zenith Radio Corp 475 U.S..at 587. Pengadilan mempertimangkan: ...Matsushita's policy rationale should have less significance for horizontal conspiracy cases that do not involve claims of collective below-cost pricing. Horizontal agreements to raise prices or cut output pose greater competitive dangers than the concerted low pricing challenged in Matsushita and therefore might be subject to more liberal standards of proof.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
60
Matsushita memberikan dampak yang penting dalam litigasi terhadap kasus-kasus yang para penggugatnya mengandalkan circumstantial evidence untuk membuktikan concerted action. Efek dari litigasi kasus Matsushita , antara lain memberikan kemampuan bagi tergugat untuk mendapat kesimpulan putusan dari pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa justifikasi ekonomi bukti konspirasi penggugat, seperti yang terjadi dalam kasus Monsanto. Kasus Monsanto menunjukkan adanya kerugian tiga kali lipat secara perdata, dan diketahui bahwa resale price maintenance arrangements-seperti tindakan lain yang dilarang dalam Sherman Act- dapat diadili sebagai bentuk kejahatan.116 Seperti sudah disebutkan diatas , kasus Matsushita menjadi peringatan untuk berhati-hati dalam pemeriksaan justifikasi bukti ekonomi penggugat sehingga kesalahan penyimpulan adanya kesepakatan tidak menimbulkan dampak yang tidak diingikan ketika pelaku usaha menawarkan harga yang rendah. Sebagai satu kesatuan, kasus-kasus konspirasi dalam persaingan usaha diatas menegaskan keterkaitan elemen-elemen persaingan usaha yaitu: ruang lingkup peraturan; jumlah dan kalitas bukti untuk membuktikan pelanggaran; maksud identifikasi pelanggaran; penuntutan dari pelanggaran; proses litigasi; dan sanksi yang diterapkan. Keputusan pengadilan mengenai standar pembuktian (dalam hal ini circumstantial evidence yang
diperlukan untuk membuktikan
adanya kesepaktan dalam Sherman Act) dipengaruhi oleh faktor lain sistem persaingan usaha. Kecenderungan untuk menemukan bukti yang lebih kuat –untuk menambah keyakinan bahwa perilaku yang diselidiki adalah benar merupakan hasil dari concerted action- diperkuat dengan pengimplementasian sanksi oleh Justice Departement terhadap kartel dan adanya pendekatan per se rule, apabila sebuah kesepakatan yang dilarang terbentuk dan pertimbangan apakah efek yang terjadi adalah relevan. Untuk memeriksa hubungan antar pengaturan kerugian, satandar pembuktian, dan pengidentifikasian agen penuntut, dan penegakkan hukum adalah untuk melihat adanya kemungkinan untuk pengaturan lebih jauh mengenai
116
Dalam kasus Monsanto Co. v. Spray-Rite Service Corp, 465 U.S. at 763. The Justice Department seldom prosecutes resale price maintenance as a crime. Yet, when the Supreme Court issued the Monsanto decision in 1984, it had been barely three years since DOJ’s most recent use of criminal process to challenge an RPM agreement.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
61
perilaku konspirasi. Salah satu pendekatan yang dibahas berikutnya adalah untuk mengembangkan analisa pendekatan yang menilai berbagai plus factors. Cara yang lain adalah dengan menetapjkan sbuah standar pembuktian yang mengikutsertakan konteks institusi dimana litigasi penuntutan persaingan usaha.
3.2.4. Peranan Plus Factors Dalam pasar yang dicirikan dengan ketergantungan (interdependence), setiap perusahaan menyadari efek dari tindakannnya terhadap perilaku pesaingnya. Dalam tender hal ini ditunjukkan dengan adanya kenyataan bahwa tiap peserta tender berusaha untuk menawarkan harga serendah mungkin yang dapat diusahakannya sehingga dapat keluar sebagai oemenang tender. Dalam pasar dengan konsentrasi yang tinggi, para pelaku usaha seperti tender, mereka dapat bekerjasama dengan mengamati dan bertindak seperti perilaku pesaingnya. Hal demikian dapat menimbulkan perilaku paralel (parallel behavior). Sarjana hukum telah mengenali beberapa struktur industri, sejarah perusahaan dan lingkungan pasar yang kondusif dan /atau memfasilitasi kolusi.117 Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut namun tidak menutup kemungkinan yang lain : 1. Partisipasi tergugat dalam pelanggaran-pelanggaran tindak kolusi, 2. Bukti yang menunjukkan bahwa tergugat memiliki kesempatan atau malah telah berkounikasi, 3. Penggunaan sarana most favored nation clauses, 4. Karakteristik industri, jumlah transaksi, adanya hambatan untuk masuk, dan konsentrasi pasar yang tinggi, yang kondusif dalam kolusi.
117
Richard A. Posner, Antitrust Law, 2nd ed., (Chicago: University of Chicago Press, 2001), hlm. 69-79
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
62
5. Pengadilan berpedoman pada kriteria operasional yang disebut plus factors untuk menentukan bilamanakah sebuah pola perilaku paralel merupakan hasil dari adanya kesepakatan. Plus factors utama antara lain:118 1. Adanya perilaku yang berbeda dengan tujuan dari pelaku usaha kecuali dipahami sebagai bagian dari rencana kolektif, 2. Adanya fenomena yang dapat dijelaskan secara rasional sebagai hasil dari perjanjian terselubung/ perilaku meyesuaikan (concerted action), 3. Bukti yang menunjukkan bahwa pelaku usaha menciptakan kesempatan untuk berkomunikasi, 4. Ketiadaan kridibilitas, rasionalitas tindakan bisnis dari perilaku yang dicurigai, atau adanya presentasi rasionalitas tanpa itikad baik dari perilaku tertentu. Variasi analisis judisial dari plus factors juga mengemukakan bahwa hasil dari kasus-kasus dengan kesepakatan bergantung pada ketidakjelasan intusi pengadilan dalam memeriksa penyebab dari perlilaku paralel. Para hakim memiliki pendapat yang berbeda -beda dalam memposisikan putusan Theatre Enterprise yang menyatakan bahwa tidak setiap conscious parallelism menindikasikan
perilaku
bersama
(concerted
behavior).119
Hakim
yang
menganggap kesamaan harga sebagai tanda dari adanya koordinasi mendukung pertimbangan dalam Theatre Enterprise tetapi dengan meningkatkan batasan dan mengurangi tindakan yang ketika dilakukan dalam perilaku paralel, dapat mendukung untuk menemukan adanya kesepakatan.120 Di lain sisi, hakim yang menggangap paralellism
sebagai sesuatu yang didambakan, dan merupakan
manifestasi natural dari persaingan, tidak menitikberatkan pada plus factors dan akan lebih memberikan kesempatan pada tergugat untuk menjelaskan mengapa
118
Gavil et al., Antitrust Law in Perspective: Cases, Concepts and Problems in Competition Policy ,2d ed.,( Thomson West, 2008), hlm. 310 119
Ibid.,
120
Ibid.,
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
63
plus factor yang dilakukan tergugat, memberikan akibat mendukung persaingan atau tidak membahayakan persaingan.121 Sebagai standar utama, pelaku usaha yang telah berkolusi: (i) mencapai sebuah kesepakatan dalam harga, produksi, atau dalam hal-hal lain dalam perdagangan; (ii) mendesain adanya mekanisme alokasi yang membagi keuntungan kolusi; dan (iii) memonitor ketaatan para pelaku kolusi dan dapat menghukum para pelaku kolusi yang tidak mentaati kesepakatan awal. Perlunya penataan ulang terhadap standar kasus-kasus dengan circumstantial evidence harus difokuskan untuk mencapai kondisi-kondisi berikut. Ketika keseluruhan bukti adanya kerja sama merupakan circumstantial evidence, penuntut harus menunjukkan bukti yang memberikan gambaran bagaimana tergugat mencapai sebuah kesepakatan atau konsensus, membagi keuntungan kolusi dan tindakan monitoring oleh tergugat. Agar gugatan tersebut tidak gugur , pemggugat harus memberikan penjelasan yang cukup mengenai bagaimana tergugat melakukan peranannya dalam kolusi. Tergugat dapat menolak dalil penuntut
dengan
mengemukakan perilakunya lebih spesifik atau dengan menjelaskan bahwa keadaan pasar yang terjadi tidak serta-merta timbul dari adanya ketergantungan semata.122 Elemen terpenting dari kerangka pikiran plus factors adalah adanya bukti yang menunjukkan bahwa tergugat berkomunikasi dengan tujuan dan menyatakan komitmen mereka dengan ditentukan.
menjalankan rencana yang telah
Mungkin bukti yang paling tepat untuk membuktikan mekanisme
tercapainya konsensus memerlukan adanya bukti yang menunjukkan pola komunikasi diantara para pelaku usaha kolusif yang melampaui tingkat kompleksitas pengaturan parallel dalam perilaku yang belum dapat dijelaskan sebagai akibat dari usaha sendiri untuk mengenali dan konsisten terhadap poin utama terhadap adanya pengaturan dalam perilaku para pelaku usaha. Keberadaan tujuan
untuk
membagi
keuntungan
kolusif
dapat
ditunjukkan
dengan
membuktikan adanya transaksi diantara mereka seperti tingkat harga-harga yang bukan merupakan harga untuk pasar, swap, atau kesepakatan cross-licensing
121
Ibid.
122
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
64
paten. Untuk menunjukkan adanya pengawasan diantara para pelaku kolusi, dapat ditunjukkan dengan adanya pola pertukaran informasi harga diantara mereka atau adanya pertukaran data melalui asosiasi dagang.
3.3.
Metode Pembuktian KPPU Setiap negara di dunia selalu mencita-citakan agar tercapainya kekuasaan
yang berkaitan erat dengan kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dicey mengaitkan prinsip negara hukum dengan rule of law dimana hukum menjadi pemandu, pengendali, pengontrol dan pengatur dari segala aktivitas berbangsa dan bernegara . adapun yang menjadi ciri-ciri dari negara hukum adalah supremacy of law, equality before the law, due process of law, prinsip pembagian kekuasaan, peradilan bebas tidak memigak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, demokrasi, weldfare state, transparansi dan kontrol sosial.123 Suatu negara hukum akan tercermin dari proses peradilan yang berlangsung di negara tersebut. Proses peradilan harus mencerminkan proses peradilan yang transparan, wajar dan tidak berbasiskan kekuasaan. Karena itu pembuktian merupakan masalah yang penting dalam suatu proses peradilan. Dalam memutus suatu perkara, maka diperlukan adanya bahan-bahan mengenai fakta. Dengan adanya bahan mengenai fakta-fakta yang ada, maka dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang adanya bukti. Pembuktian inilah yang nantinya akan memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan akhir oleh hakim. Pembuktian merupakan unsur penting dalam suatu persidangan. Walaupun pendekatan yang dilakukan berbeda-beda, secara umum pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa hukum yang diajukan itu benarbenar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Dalam perkara perdata, pihak-pihak yang bersengketa mengemukakan dalil-dalilnya masing-masing yang mana nantinya dalil tersebut dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim agar dicapai suatu keputusan yang objektif. Tidak beda halnya dalam perkara pidana, maka aspek pembuktian telah dimulai pada tahap penyelidikan, 123
Mokhamad Najih, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi Implementasi Hukum Pidana sebagai Instrumen dalam Mewujudkan Tujuan Negara, (Malang; In-Trans Publishing, 2008), hlm. 1-12.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
65
hingga penjatuhan vonis oleh hakim, dan secara dominan terjadi pada sidang pengadilan dalam rangka hakim menemukan kebenaran materil. Banyak para sarjana yang memberikan defenisi tentang pembuktian. Yahya Harahap, S.H. (1991:01) menyatakan dalam pengertiannya yang luas, pembuktian adalah kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwaperistiwa hukum yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedang dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal-hal yang masih disengketahkan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan dianyara pihak-pihak yang berperkara.124 The evidence of a fact is that which tends to prove it-something which may satisfy an enquirer that the fact exist.125 Pengertian dari pembuktian itu sendiri
adalah
cara-cara
yang
dibenarkan
oleh
undang-undang
untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Sedangkan membuktikan itu sendiri mengandung pengertian memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan, atau jika dalam kasus hukum privat yaitu meyakinkan hakim atas dalildalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan . Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanya diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan.126 Hakim di pengadilan merupakan alat perlengkapan dalam suatu negara hukum yang ditugaskan menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang bersengketa, hakim harus membuat ketetapan atau putusan atas sengketa tersebut. Tugas hakim tersebut adalah menetapkan hukum secara spesifik atau menerapkan hukum atas terdakwa atau dalam kasus perdata, menerapkan hukum yang tepat atas sengketa antara dua pihak atau lebih. Biasanya dalam suatu sengketa yang berlangsung dimuka hakim, para pihak mengajukan 124
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:Kencana, 2008), hlm. 227 125
David Byrne & J.D. Heydon, Cross on Evidence, 3rd Australian edition, (Melbourne: Butterworths Pty Limited, 1986), hlm. 1. 126
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1988), hlm. 55.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
66
dalil-dalil dan peristiwa masing-masing yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Disinilah tugas hakim untuk memeriksa dan menetapkan manakah dalil atau peristiwa yang lebih mendekati kebenaran., dan yang mana yang tidak benar. Berdasarkan duduk perkara yang diperiksa, hakim dalam amar putusannya akan memutuskan siapa yang akan dimenangkan dan siapa pula yang dikalahkan. Dalam melaksankan pemeriksaan tersebut, hakim harus mengindahkan aturanaturan tentang pembuktian yang merupakan hukum pembuktian. Pada dasarnya hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunkan alat-alat bukti yang sah, dilakukan dengan tindakan dengan prosedur khusus, dan guna mengetahui fakta di persidangan.
127
Atau dalam kasus pidana, hukum
pembuktian disebut sebagai ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan.128 Dengan adanya hukum yang mengatur tentang pembuktian, maka akan memberikan kepastian hukum bagi hakim dalam memutus perkara maupun bagi pihak yang bersengketa ataupun terdakwa. Ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan akan muncul apabila hakim dalam melaksanakan tugasnya hanya bersandar pada keyakinannya semata. Namun keyakinan hakim itu harus terbentuk dari kebenaran alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Dengan alat bukti tersebut, para pihak akan berusaha membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada hakim yang diwajibkan memutuskan perkara dalam sengketa diantara mereka. Tentang bagaimana hukumnya, bukanlah kewajiban para pihak untuk membuktikannya, karena adalah kewajiban hakim untu kengetahui hukum itu dan menerapkan hukum ini sesudah ia mengetahui duduk perkaranya. Sistem pembuktian KUHAP dapat menjadi rujukan karena fungsi penyelidikan dan pemeriksaan tidak dikenal dalam Hukum Acara Perdata. Selain
127
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 1-2. 128
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,ed. 2, cet.3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 273.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
67
itu hal ini juga dikarenakan KPPU adalah kebenaran materiil, bukan kebenaran formil seperti dalam Hukum Acara Perdata. Dalam mencari kebenaran materiil diperlukan keyakinan KPPU bahwa pelaku usaha melakukan atau tidak melakukan tindakan yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
3.3.1. Sistem Pembuktian Jenis-jenis sistem pembuktian, berdasarkan kepustakaan ada empat jenis sistem pembuktian yaitu:129
1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim (Conviction Intime). Sistem ini sering juga disebut Bloot Gemoedelijkke Overtuiging. Bloot artinya semata-mata, sedangkan gemoedelijkke adalah keyakinan. Teori ini menyatakan bahwa hakim mengambil keputusan semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya. walaupun tidak ada alat bukti, Hakim dapat menjatuhkan pidana dan hakim tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya. Dalam sistem ini hakim mempunyai kebebasan penuh untuk menjatuhkan putusan. Subyektifitas hakim sangat menonjol dalam sistem ini.130
Perlu disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin
terdakwa
benar-benar
telah
melakukan
perbuatan
yang
didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimana pun juga keyakinan hakim sendiri.131 Jadi, walaupun dalam memeriksa perkara terdapat alat-alat pembuktian, namun apabila hakim tidak yakin, maka hakim harus membebaskan
terdakwa.
Sebaliknya,
walaupun
tidak
ada
alat-alat
pembuktian, namun apabila hakim yakin akan kesalahan terdakwa, maka 129
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 1996), hlm. 27-28. 130
Andi Hamzah , Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 248. 131
Ibid..
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
68
terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Maka dari itu pada sistem ini sangat terbuka peluang untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenangwenang, dengan bertumpu pada alasan hakim yang telah yakin.132 Sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. Sistem ini dapat dilihat secara tersirat dalam HIR yang mana dimuat dalam ketentuan pasal 294 ayat (1) HIR yang menyatakan: Tidak seorang pun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu. Dengan demikian yang lebih menentukan ialah keyakinan hakim, karena walaupun terdapat banyak alat bukti, namun jika hakim tidak yakin akan kesalahan tertuduh maka hakim harus membebaskannya. Dalam Hukum Pidana, hal tesebut tercermin dalam tujuan penjatuhkan pidana yang setimpal kepada si pembuat pidana untuk kepentingan umum, (guna menjaga ketentraman masyarakat dan negara) maka sudah tepat sistem pembuktian negatif yang dipakai dalam Hukum Acara Pidana.
2. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positif Wettelijke Bewijstheorie) Dikatakan positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya jika terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka disini keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini merupakan kebalikan dari sistem Conviction in Time karena dalam sistem ini apabila perbuatan sudah terbukti dengan adanya alatalat bukti maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi133 dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana.134 Sehingga jika ada 132
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 25. 133
Andi Hamzah , Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. 1, hlm. 247
134
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi , hlm. 27.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
69
bukti (walaupun sedikit) harus disalahkan dan dihukum.135 Selain itu sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formule bewijstheorie).
Dalam persoalan perdata, sistem pembuktian positif tersebut terkandung dari ketentuan maksud pasal-pasal 138 ayat (2), pasal 150 ayat (3), pasal 153 ayat (3), pasal 153 ayat (1), pasal 154 ayat (1), pasal 155 ayat (1) dan pasal 156 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 138 ayat (2) HIR: Apabila ternyata bahwa dalam melakukan pemeriksaan tersebut perlu digunakan surat-surat yang berada dalam tangannya pejabat-pejabat umum penyimpan akta-akta, maka Pengadilan Negeri akan memerintahkan supaya surat-surat tersebut diajukan pada suatu sidang yang ditentukan untuk itu.
Pasal 150 ayat (3) HIR: Hakim atas kehendaknya sendiri, harus mengajukan pertanyaanpertanyaan yang dianggapnya perlu untuk mengetahui kebenaran tentang duduknya suatu perkara.
Pasal 153 ayat (1) HIR: Ketua sidang dapat, apabila dianggapnya perlu atau berguna, mengangkat satu atau dua orang hakim anggota dari Mjelis, untuk dibantu oleh panitera, melakukan pemeriksaan atau penelitian setempat, akan hal-hal yang kiranya dapat memberikan penerangan kepada hakim.
Pasal 154 ayat (1) HIR: Apabila pengadilan berpendapat bahwa perkaranya akan dapat dijelaskan dengan suatu pemeriksaan atau peninjauan oleh seorang ahli, maka ia
135
Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),
hlm. 70.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
70
dapat atas permintaan para pihak atau karena jabatan, mengangkat ahli tersebut.
Pasal 155 ayat (1) HIR: Apabila alasan gugatan ataupun bantahan yang diajukan terhadapnya tidak seluruhnya terbukti tetapi juga tidak sama sekali tak terbukti, dan tiada kemungkinan lain untuk menguatkannya dengan alat-alat bukti lainnya, maka pengadilan, karena jabatan dapat memerintahkan kepada salah satu pihak untuk bersumpah di depan sidang, baik untuk menggantungkan pemutusan perkara padanya, aataupun untuk menetapkan suatu jumlah yang akan dikabulkan.
Pasal 156 ayat (1) HIR: Juga, biar tiada bukti sekalipun untuk menguatkan gugatannya atau bantahan yang diajukan terhadapnya, pihak yang satu dibolehkan memerintahkan kepada pihak lawannya untuk mengangkat sumpah guna menggantungkan kepada pemutusan perkaranya, asal saja sumpat tersebut berhubungan dengan suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh pihak yang kepada sumpahnya akan digantungkan pemutusannya perkara itu.
Dengan demikian apabila tidak ada bukti tidak dapat dihukum dan apabila ada bukti, sekalipun hanya bukti minimum harus dihukum. Oleh karena itu, di dalam Hukum Acara Perdata adalah sewajarnya dipakai sistem pembuktian yang positif.
3. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (La conviction raisonee). Teori ini muncul sebagai teori jalan tengah dengan pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang terbatas dengan alasan logis. Alat bukti dalam sistem ini tidak diatur secara limitatif oleh undang-undang. Sistem ini juga disebut sebagai pembuktian bebas karena hakim bebas menyebutkan alasan-
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
71
alasannya dalam menjatuhkan putusan.136 Dengan kata lain pokok ajaran sistem pembuktian ini yaitu: a. Keyakinan; tapi keyakinan hakim itu harus diberi, b. Alasan-alasan apa sebabnya ia yakin (beredeneerde) dan dasar alasan-alasan ini tidak terikat kepada alat pembuktian yang diakui oleh undang-undang saja, tapi dapat juga dipergunakan lain alat pembuktian di luar undang-undang. Hakim
dapat
memutuskan
seseorang
bersalah
berdasar
keyakinannya. Keyakinan ini berdasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu, dimana pembuktian tersebut tidak terbatas pada alat pembuktian yang diakui undang-undang, melainkan dapat mempergunakan alat-alat bukti lain yang ada diluar undang-undang sebagai alasan yang menguatkan keyakinan hakim. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.
4. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief Wettelijke). Pada sistem pembuktian ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang. Namun hal ini saja tidak cukup, harus ditambah dengan adanya unsur keyakinan hakim. Atau dengan kata lain alat-alat bukti yang diakui sah oleh undang-undang saja belum cukup, namun harus disertai dengan keyakinan hakim yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri.137 Seperti halnya dalam pasal 183 KUHAP, standar bukti untuk menyatakan terdakwa terbukti bersalah, yaitu harus ada atau berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dari dua alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana dan terdakwa bersalah melakukannya (beyond reasonable doubt). Kebenaran yang diwujudkan harus berdasarkan bukti yang tidak meragukan, 136
Andi Hamzah , Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. 1, hlm. 249.
137
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, hlm. 28.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
72
sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki ( materiele waarheid, ultimate truth).138 Namun tidak demikian dalam proses peradilan perdata yang tidak menganut sistem pembuktian ini. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukuplah kebenaran formil (formeel waarheid), walaupun tidak ada larangan bagi hakim pengadilan perdata untuk mencari dan menemukan kebenaran materil, namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan, hakim dibenarkan untuk mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil (Putusan MA No. 3136 K/Pdt/1983). Hal ini mengakibatkan dari diri sanubari hakim, itu dengan kata lain tidak dituntut adanya keyakinan hakim. Para pihak yang berperkara
dapat
mengajukan
pembuktian
berdasarkan
berdasarkan
kebohongan maupun kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan. Sekiranya tergugat mengakui dalil penggugat, meskipun hal tersebut tidak benar atau palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan tersebut, tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan.139
3.3.2. Teori Pembuktian 1. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian. Pada umumnya sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Sehingga yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan suatu kenyataan adalah hakim. Dalam hukum acara perdata, menurut Prof. Sudikno Mertokusumo bahwa persoalan pembuktian ada beberapa teori diantaranya:140
138
R. Subekti, Hukum Pembuktian, hlm. 9.
139
Ibid., Hlm. 107
140
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi., hlm. 7.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
73
a) Teori Pembuktian Bebas Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga kebebasan seluas-luasnya harus diberikan kepada hakim dalam menilai alat bukti. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapapun.
b) Teori Pembuktian Negatif Dalam pembuktian terbatas negatif, menghendaki adanya ketentuanketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif dimana ketentuan tersebut membatasi pada larangan bagi hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian (memperoleh dan menilai alat bukti). Jadi hakim di sini diilarang dengan pengecualian (pasal 169 HIR; 306 Rbg dan 1905 BW).
c) Teori Pembuktian Terbatas Positif Disamping adanya larangan bagi hakim, teori ini juga menghendaki adanya perintah kepada hakim. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (pasal 165 HIR; 285 RBg, 1870 BW). Dalam praktek jelas ada keterkaitan hakim dengan Undang-Undang sebagaimana pasal 169 HIR dan juga suatu akta autentik itu merupakan bukti sempurna, kecuali terbukti sebaliknya, misalnya akta tersebut diduga palsu. Pada umumnya sepanjang UU tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex facti saja. Oleh karena itu mahkama agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
2. Teori-Teori Tentang Pembagian Beban Pembuktian. Ditinjau dari segi ketentuan undang-undang dan praktik, telah terjadi perkembangan pedoman pembagian beban pembuktian. Yahya Harahap, dalam bukunya Hukum Acara Perdata membaginya menjadi:141 a. Teori Pembuktian yang Bersifat Menguatkan Belaka (Bloot Affirmatief). 141
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, hlm. 522-530.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
74
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya (he who asserts must prove) dan bukan mengingkari atau yang menyangkalnya, sebaliknya siapa yang membantah hak orang lain maka kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan bantahan tersebut. Prinsip inilah yang merupkan pangkal (patokan) pembagian beban pembuktian dalam perkara perdata, yakni siapa yang mengemukakan sesuatu, wajib membuktikannya. Dasar hukum teori ini adalah pendapat bahwa hal-hal yang negatif tidak mungkin dibuktikan negativa non sunt probanda). Peristiwa negatif tidak dapat dijadikan dasar dari suatu hak, sekalipun pembuktiannya mungkin, hal ini tidaklah penting dan( oleh karena tidak dapat dibebankan kepada seseorang. Teori ini telah ditinggalkan.
b. Teori Hukum Subjektif Teori ini bertujuan untuk mempertahankan hukum subjektif dan selalu merupakan pelaksana hukum subjektif. Asas pembuktian sebagaimana yang tersebut dalam pasal 283 Rbg yaitu siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai suatu hak maka ia harus membuktikannya tentang adanya hak itu. Dalam hal demikian berarti yang lebih dahulu memikul wajib bukti, dibebankan kepada pihak penggugat, karena ia yang mengajukan terlebih dahulu mengani haknya dalam perkara yang bersangkutan. Menurut teori ini, dalam hal pembebeana pembuktian tidak semua fakta harus dibuktikan. Hak atau fakta yang mesti dibuktikan adalah fakta atau dalil yang berkenaan dengan hak. Dalam hal penerapan pembebana pembuktian yang rasional dilakukan dengan membedakan fakta atau peristiwa yang bersangkutan. Fakta Umum merupakan ketentuan hukum yang melekat pada diri personal para pihak seperti yang menyangkut dengan kualitas para pihak untuk melakukan tindakan hukum. Hal ini bisa juga meliput ketentuan umum yang berkenaan dengan perjanjian meliputi, syarat-syarat yang digariskan Pasal 1320 KUH Perdata tentang kehendak bebas, kesepakatan (objek atau harga), mengandung kausa yang halal, atau objek yang diperjanjikan tidak mengenai warisan yang belum dibagi. Dalam fakta khusus, hal yang paling utama adalah menimbulkan hak, menghalangi hak, dan menghapus hak. Maka dalam rangka
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
75
pembebanan pembuktian menurut teori subjektif, yang wajib dibuktikan hanya terbatas pada fakta khusus, sedangkan fakta umum baru wajib dibuktikan jika ada penyangkalan dari pihak lawan.
c. Teori Hukum Objektif Mengajukan gugatan atau tuntutan hak ke pengadillan berarti meminta kepada hakim agar menerapkan ketentuan dalam undang-undang hukum objektif kepada peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan itu dan kemudian hukum objektifnya untuk diterapkan dalam peristiwa. Hakim tugasnya menerapkan hukum objektif pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak, hanya dapat mengabulkan gugatan bilamana unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum objektif dipenuhi. Atas dasar inilah isi hukum objektif yang diterapkan dapat ditentutakan pembagian beban pembuktian. Dengan demikian segala persoalan beban pembuktian dipecahkan melalui peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mengenai perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata), maka unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain ada perbuatan (kealpaan), perbuatan (kealpaan) terjadi karena kesalahan pelaku, perbuatan tersebut mendatangkan kerugian pada orang lain. Dapat dilihat bahwa KUH Perdata telah menentukan sendiri unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum. Maka berdasarkan teori ini, penggugat harus membuktikan unsur-unsur yang bersangkutan bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum.Teori ini banyak menuai kritik karena dianggap kurang realistis. Hal ini terlihat jelas bahwa tidak semua masalah hukum itu diatur dalam peraturan perundang-undangan.
d. Teori Hukum Publik Teori ini berpendapat bahwa mencari kebenaran suatu peristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran yang ada. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
76
membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai dengan sanksi pidana.
e.
Teori Hukum Acara Teori ini didasarkan pada asas kedudukan prosesuil yang sama dari pihakpihak yang berperkara di muka majelis hakim atau dapat disebut asas audi et alteram partem. Pembebanan beban pembuktian model ini adalah sama diatara para pihak, sehingga kemungkinan dalam berperkara untuk menang adalah sama sebab kesempatannya adalah sama, yaitu mementingkan keseimbangan dan kepatutan.142
Pedoman yang dijadikan patokan pembebanan pembuktian berdasarkan teori ini tidak berpegang teguh secara kaku pada landasan pasal 1865 KUH Perdata, pasal 163 HIR, dengan titik tolak sebagai berikut:143
1) Beban Pembuktian melalui Pendekatan Flexibel (Flexible Approach). Berdasarkan pendekatan ini, penerapan beban pembuktian tidak secara kaku berpegang teguh pada he who assert must prove, melainkan pembebanan bergantung pada keadaan gugatan (the legal burden of proof depends on the circumstances). Dalam kasus dalil yang hendak dibuktikan sama berat, maka wajib bukti dibebankan kepada penggugat. Dapat dilihat penerapan pembebanan wajib bukti, tidak wajib terpaku pada pasal 163 HIR, tetapi melalui pendekatan keadaan perkara, yakni dalam keadaan dalil gugat dan dalil bantahan sama berat, dianggap patut meletakkan beban wajib bukti kepada pihak penggugat.
2) Mengesampingkan pasal 163 HIR, apabila penerapannya mengakibatkan ketidakpatutan.
142
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, hlm. 232-233. 143
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, hlm. 528-529.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
77
Menurut teori ini, hakim harus mengenyampingkan aturan pembagian beban pembuktian yang digariskan pasal 1865 KUH Perdata,pasal 163 HIR apabila penerapan ketentuan itu dalam keadaan konkret menimbulkan ketidakadilan atau ketidakpatutan. Sebagai gantinya diterapkan pembebanan wajib bukti berdasarkan kepatutan menurut pertimbangan atau perasaan kepatutan hakim. Dasar pemikiran teori ini bertitik tolak pada kenyataan, bahwa dalam suatu perkara di pengadilan, berhadapan dua pihak yang bersengketa (penggugat dan tergugat) yang sama-sama ingin memenangkannya. Dalam hal ini, hakim berperan untuk memberi kesempatan yang sama dengan cara memikulkan beban pembuktian yang berpedoman kepada beratnya dalil yang hendak dibuktikan. Hakim harus membagi beban pembuktian sedemikian rupa agar keduanya dapat seimbang, sehingga pihak yang dibebani wajib bukti, tidak lebih ringan dari pihak lawan apabila ia mengajukan pembuktian sebaliknya.144
3.3.3. Beban Pembuktian. Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk membuktikan kebenaran atas suatu pernyataan atau tuduhan. Atau dengan kata lain pembebanan pembuktian (burden of proof), “ forms the basis of the whole subject, determining which party to any proceedings is required to prove the facts in issue in order to succeed.”145 Seiring dengan perkembangan hukum, telah muncul beberapa macam beban pembuktian: 1. Beban Pembuktian Biasa Yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan suatu pernyataan atau tuduhan adalah Jaksa Penuntut Umum, hal ini ditegaskan dalam ketentuan KUHAP Bab VI Pasal 66 dan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagian ke empat (pasal 183 s/d pasal 232 KUHAP yang
144
Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa; cetakan Pertama, (Jakarta; PT. Intermasa, 1978),
hlm. 48. 145
C. J. Carr & S. J. Beaumont, Law of Evidence, 2nd edition, (London:Financial Training Publications Limited, 1989), hlm. 45.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
78
pada intinya menerangkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
2. Beban Pembuktian Terbalik terbatas dan berimbang Terdakwa juga dibebani kewajiban untuk membuktikan, tetapi peranan penuntut umum tetap aktif dalam membuktikan dakwaannya. Pada beban pembuktian inijika terdakwa mempunyai alibi dan ia dapat membuktikan kebenaran alibinya maka beban pembuktian akan berpindah ke penuntut umum untuk membuktikan sebaliknya.
Sistem pembuktian terbalik bersifat terbatas dianut oleh UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001, kecuali untuk gratifikasi. Sistem pembuktian ini didasarkan pada sistem pembuktian menurut KUHAP yakni negatif wettelijk, hanya terdapat klausul apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakuan korupsi maka pembelaan terdakwa tersebut dapat dijadikan oleh hakim sebagai dasar putusan yang menguntungkan terdakwa, namun Jaksa Penuntut Umum tetap berperan untuk membuktikan dakwaannya.
3. Beban Pembuktian Terbalik (Shifting Burden of the Proof/Omkering Van bewijslaat). Dalam beban pembuktian ini yang mempunyai beban pembuktian adalah terdakwa, sedangkan penuntut umum akan bersikap pasif, bila terdakwa gagal melakukan pembuktian maka dia akan dinyatakan kalah, sistem ini merupakan penyimpangan dari asas pembuktian itu sendiri.
3.3.4. Alat-Alat Bukti Dalam hal kekuatan pembuktian, terdapat perbedaan prinsipil alat bukti acara pidana dan perdata, maupun tata usaha negara. Dalam bidang Hukum Pidana, Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Disisi lain pada pembuktian acara pidana tidak dikenal adanya alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
79
menentukan, tetapi seluruh jenis alat bukti hanya mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (vrijbewijskracht).146 Sama halnya dengan Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Tata Usaha Negara juga menganut ajaran pembuktian terbatas dalam rangka memperoleh kebenaran materil. Dari pasal 100 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka dapatlah disimpulkan bahwa Hukum Acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Dikatakan pembuktian bebas terbatas karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sedangkan pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formil. Dalam kasus pidana, dalam rangka membuktikan kesalahan terdakwa, penuntut umum tidak dibenarkan untuk menggunakan alat bukti diluar apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasihat hukum terikat dan terbatas untuk menggunakan alat-alat bukti itu saja, dan tidak leluasa menggunakan alat-alat bukti sesuai dengan kehendaknya diluar alat bukti sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Penilaian sebagai alat bukti, serta yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya mencakup alat-alat bukti yang sah. Pada akhirnya, pembuktian yang menggunakan jenis alat bukti diluar jenis alat bukti sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. Tidak demikian dengan acara perdata. Setiap alat bukti memiliki batas minimal pembuktian yang berbeda antara satu dengan yang lain. Begitu juga dengan nilai kekuatan yang melekat pada masing-masing alat bukti, tidak sama. Dalam Hukum Acara Pidana, maka alat bukti yang diakui adalah alat bukti yang dinyatakan dalam pasal 184 KUHAP (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa). Sedangkan dalam Hukum Acara Perdata, jenis-jenis alat bukti apa saja yang diakui diatur dalam pasal 1866 KUH Perdata, pasal 164 HIR (bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, 146
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, hlm 544
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
80
pengakuan, dan sumpah). Hukum Acara Tata Usaha Negara juga mengatur alat bukti apa saja yang diakui secara enumeratif, yaitu dalam pasal 100 UndangUndang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, pengetahuan hakim). Dalam peraturan perundang-undangan yang lebih khusus lagi, dalam hal ini Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, diatur jenis-jenis alat bukti diatur dalam pasal 42 Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat meliputi: keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau dokumen, petunjuk, keterangan pelaku usaha. Dalam pembuktian di Pengadilan Pidana, penekanan alat bukti diletakkan pada keterangan saksi, sedang dalam pembuktian di muka pengadilan Tata Usaha Negara, penekanan penggunaan alat bukti diletakkan pada alat bukti tertulis atau surat. Walaupun diantara ketiga Hukum acara ini terdapat persamaan alat bukti (dapat dilihat dalam penyusunan atau urutan alat-alat bukti), akan tetapi karena sistem hukum pembuktian yang berbeda maka penggunaan alat bukti utama berbeda. Meskipun Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata termasuk golongan hukum publik, namun memiliki perbedaan dalam penekanan alat bukti. Beda halnya antara Hukum Acara Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Perdata yang termasuk dalam golongan hukum privat, namun keduanya memiliki kesamaan dalam penekanan penggunaan alat bukti, yakni surat-surat atau tulisan. Berikut beberapa jenis alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara di Indonesia.
1. Keterangan Saksi. Alat bukti Keterangan Saksi memiliki urutan yang berbeda dalam Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, maupun dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dalam perkara pidana, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama. Hampir semua pembuktian dalam perkara pidana, didasarkan pada pemeriksaan keterangan saksi. Keterangan saksi yang berharga dan bernilai pembuktian apabila memberikan keterangan ia kemudian menerangkan tentang dari pengetahuannya tersebut.147 Sekurang-kurangnya di samping
sebab
147
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, hlm. 38
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
81
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu digunakan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian (the degree of evidence) dari keterangan saksi, mempunyai nilai kekuatan pembuktian beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus memenuhi aturang ketentuan sebagai berikut:148
a. Harus mengucapkan sumpah atau janji. Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (4) memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah: a) dapat dikenakan sandera; b) penyanderaan dilakukan berdasar ”penetapan” hakim ketua sidang; c) penyanderaan hal seperti ini paling lama dilakukan empat belas hari (Pasal 161 KUHAP).
b. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam pasal 1 angka 27 KUHAP j.o penjelasan pasal 185 ayat (1) KUHAP, dapat ditarik kesimpulan antara lain: pertama, setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan diluar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian; kedua, testimonium de auditu atau keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti.; ketiga, pendapat
148
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyididkan dan Penuntutan, (Jakarta;Sinar Grafika, 2000), hlm. 35-45.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
82
atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi (pasal 185 ayat (5) KUHAP).
c. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Agar saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang dinyatakan di sidang pengadilan (pasal 185 ayat (1) KUHAP). d. Keterangan saksi saja tidak dianggap cukup. Prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti (unus testis nullus testis). Selain itu juga pasal 185 ayat (2) KUHAP menambahkan bahwa keterangan seorang saksi saja belum dianggap cukup sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: a) untuk membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi; b) atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atu ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.
e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka saling berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lain; yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Berapapun banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar keterangannya di sidang pengadilan, hanyalah pemborosan waktu jika masing-masing keterangan mereka itu berdiri sendiri tanpa benang merah satu dengan lainnya.149 Suatu keterangan saksi dikatakan alat bukti yang sah apabila terdapat hubungan antara keterangan-keterangan tersebut. Keterangan-keterangan saksi 149
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, Ps. 185 ayat (4), Keterangan beberapa saksi-saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah, apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membesarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
83
inilah yang menjadi satu, sehingga membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Namun dalam menilai dan mengkonstruksikan kebenaran keterangan para saksi, dituntut kewaspadaan hakim untuk memperhatikan:150 a. Persesuaian antara keterangan saksi Saling persesuaian harus jelas tampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim, sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan sistematis, agar tidak terjadi penguraian analisis persesuaian yang mengambang dan deskriptif.
b. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain. Dalam hal ini, jika yang diajukan penuntut umum atau para pihak yang bersengketa dalam persidangan pengadilan terdiri dari saksi dengan alat bukti lain, baik berupa ahli, surat atau petunjuk, hakim dalam sidang maupun dalam pertimbangannya, harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian maupun pertentangan antara keterangan saksi tersebut dengan alat bukti yang lain.
c. Alasan saksi memberi keterangan tertentu. Pada dasarnya hakim harus mencari alasan mengapa saksi memberikan keterangan seperti itu. Tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti, akan meberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang keadaan yang diterangkan oleh saksi. Tentu ada sebab dan alasan saksi benar-benar mempunyai dasar alasan yang dapat diterima oleh akal.
d. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang disampaikan pada sidang di pengadilan dapat dibagi yaitu; keterangan saksi tanpa disumpah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 161 KUHAP, walaupun dengan disandera tetapi saksi tetap menolak untuk disumpah atau janji, maka keterangan saksi yang demikian dapat menguatkan keyakinan hakim, 150
Ibid, Ps. 185 ayat (6) KUHAP
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
84
bilamana
pembuktian
lainnya
telah
memenuhi
batas
minimum
pembuktian. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah, harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni keterangannya harus disampaikan yang sebenarnya tiada lain daripada yang sebenarnya, keterangannya harrus suatu peristiwa yang didengar sendiri. Dinyatakan di depan persidangan, nilai kekuatan saksi mempunyai nilai yang sempurna (volledig bewijskracht) atau bersifat bebas, sehingga nilai pembuktian saksi demikian tergantung pada penilaian hakim.151 Andi Hamzah mengemukakan bahwa pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, tetapi pengecualian menjadi saksi tercantum dalam pasal 186 KUHAP, yakni keluarga, pejabat yang diharuskan menyimpan rahasia jabatan, anak yang belum cukup umur, dan orang yang sakit ingatan. Larangan terhadap saksi de auditu (saksi yang hanya mendengar dari orang lain saja)152 Pada dasarnya menjadi seorang saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila seorang dipanggil menjadi saksi akan tetapi menolak atau tidak mau hadir didepan persidangan, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan, untuk menyangka saksi tersebut tidak akan mau hadir, hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke pengadilan sebagaimana sitentukan dalam Pasal 159 ayat (2) KUHAP. Dengan demikian, setiap orang yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri suatu peristiwa yang dapat didengar sebagai saksi, akan tetapi dalam pengecualian sifatnya seorang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Adapun syarat formal sebagai saksi dalam praktek, asasnya bahwa keterangan saksi diberikan di bawah sumpah menurut cara agamanya masing-masing, dengan memberikan keterangan sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya, sebagaimana putusan MARI No. 661 K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1990. Sedangkan syarat materil dapat disimpulkan, dengan memperhatikan secara seksama persesuaian antara keterangan saksi
151
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,..hlm. 642. 152
Andi Hamzah , Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. 1, hlm. 260
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
85
dengan alat bukti lain alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk meberikan keterangan yang tertentu, cara hidup kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Keterangan saksi dalam persidangan juga memberikan indikasi atau dugaan bahwa saksi juga sebagai pelaku tindak pidana. Pada persidangan pidana dalam usaha mencari kebenaran materil (materieele waarheid) tidak jarang ditemukan bahwa sebenarnya saksi tersebut dicurigai mempunyai indikasi atau dugaan sebagai pelaku tindak pidana. Pasal 163 KUHAP hanya mengatur tentang keterangan saksi sewaktu di persidangan memilki keterangan berbeda dengan keterangannya pada BAP yang dibuat oleh penyidik. Kalau seorang saksi menarik atau mencabut keterangannya dalam BAP yang dibuat oleh penyidik, berlakulah ketentuan pasal 185 ayat (1) dan ayat (6) KUHAP. Dengan demikian fungsi keterangan saksi hanyalah tinggal sebagai alat bukti petunjuk (Pasal 188 ayat (2) KUHAP). Akhirnya yang perlu dikedapankan terhadap keterangan saksi adalah terhadap jenis-jenis saksi. Secara global dalam praktik asasnya kerap dijumpai adanya beberapa jenis saksi, yaitu: a. Saksi A Charge ( Memberatkan Terdakwa) dan Saksi A De Charge (Meringankan Terdakwa). Menurut sifat dan eksistensinya, keterangan saksi A Charge adalah keterangan seorang saksi dengan sifat memberatkan terdakwa dan lazimnya diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sedangkan saksi A De Charge adalah keterangan saksi dengan sifat meringankan terdakwa dan lazim diajukan oleh terdakwa atau Penasihat Hukum. Secara teoritits berdasarkan ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP.
b. Saksi Mahkota (Kroon Getuige/Withnes Crone) Secara normatif dalam KUHAP tidak diatur mengenai saksi mahkota (kroon getuige). Pada hakikatnya saksi mahkota merupakan saksi yang diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa yang kepadanya diberikan suatu mahkota. Dikatakan diberikan suatu mahkota karena saksi diberikan kehormatan berupa perlakuan istimewa yaitu tidak dituntut atas
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
86
tindak pidana dimana ia sebenarnya merupakan salah satu pelakunya atau ia dimaafkan atas kesalahannya. Berbeda halnya dalam Hukum Acara Perdata, alat bukti saksi pada umumnya baru digunakan apabila pembuktian dengan tulisan tidak ada dan atau pembuktian dengan tulisan tidaklah cukup. Dalam pasal 139 HIR (pasal 1895 KUH Perdata) menentukan bahwa pembuktian dengan saksi-saksi dapat dilakukan dalam segala hal, kecuali dilarang oleh undang-undang seperti pada pasal 21 KUH Dagang (tentang adanya suatu firma), hal ini dapat dimengerti karena pada umumnya semua alat pembuktian dapat digunakan dalam persidangan. Dalam memberikan keterangan dipersidangan perdata, sama halnya dengan perkara pidana, maka saksi harus memberikan alasan-alasan tentang keterangan dan hal-hal yang ia lihat dan atau dialami sendiri dan harus pula beralasan. Apabila seorang saksi mengemukakan keterangan tentang pendapat atau perkiraan, apalagi dengan tidak beralasan dan kesimpulannya sendiri adalah tidah diperbolehkan (pasal 1907 KUH Perdata). Adapun seluruh keterangan saksi tersebut harus dikemukakan dengan lisan dan secara pribadi di depan persidangan, tidak boleh secara tertulis atau diwakilkan oleh orang lain. Jika saksi-saksi yang dipanggil dan tidak datang, serta saksi yang datang di persidangan tidak mau memberikan keterangan, maka ia dapat dikenakan sanksi. Walaupun hakim memiliki kebebasan untuk membangun pendapatnya, termasuk juga dalam penggunaan alat bukti antara lain keterangan saksi-saksi, namun keterangan seorang saksi tanpa adanya tambahan dari alat bukti lainnya, tidak dapat lagi dipercaya (Pasal 1905 KUH Perdata). Dengan adanya pasal ini, maka kebebasan hakim tersebut dibatasi atau dengan kata lain mengundang akan adanya alat bukti tambahan lain yang mendukung keterangan saksi tersebut. Dengan demikian apabila ada alat pembuktian lain, maka hakim dapat menentukan bahwa atas keterangan saksi satu orang saja memberikan arti yang lengkap. Jadi apabila persangkaan atau sumpah dianggap alat pembuktian, maka keterangan satu saksi ditambah dengan persangkaan ataupun sumpah tambahan, sudah memberi arti yang cukup dalam kekuatan pembutkian keterangan satu saksi bagi hakim.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
87
Pada dasarnya semua orang cakap untuk bertindak sebagai saksi. Apabila seseorang telah dipanggil dengan sah dan patut menurut hukum, wajiblah ia mengemukakan kesaksiannya di depan pengadilan (pasal 1901 (1) KUH Perdata), jika ia tidak mau hadir, ataupun hadir tetapi tidak memberikan kesaksian, maka ia dapat diberikan sanksi. Namun atas hal ini terdapat pengecualian yaitu, bagi orang yang tidak dapat bertindak sebagai saksi dan orang yang karena permintaannya sendiri dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi. Dalam perkara pidana hal ini diatur dalam pasal 170 KUHAP dan pasal 168 KUHAP j.o pasal 221 ayat (2) KUHP. Sedangkan dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, adanya pengecualian atas siapa saja yang dapat menjadi saksi diatur dalam pasal 88 dan pasal 89 Undang Undang No. 5 Tahun 1986. Tidak terkecuali dengan Hukum Persaingan Usaha Indonesia yang juga memberikan pengecualian bagi mereka yang dapat bertindak sebagai saksi. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 73 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara.
2. Keterangan Ahli. Keterangan ahli sebagai alat bukti dikenal dalam hukum acara modern dibanyak negara. Sebagai alat bukti petunjuk yang sah, hal ini merupakan suatu kemajuan dalam perkara di sidang pengadilan, dan pembuat undng-undang menyadari pentingnya mengelaborasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga ketarangan ahli sangatlah memegang peranan penting. Hal ini terlihat dimana keterangan ahli (expert testimony) disebut sebagai alat bukti urutan kedua oleh KUHAP. Merriam Webster”s Dictionary of Law memberikan defenisi tentang keterangan ahli:153 expert witness is a witness (as a medical specialist) who by virtue of special knowledge, skill training or experience is qualified to provide testimony to aid the fact finder in matters that exceed the common knowledge of ordinary people. Untuk kepentingan penyidikan, maka penyidik berhak untuk mengajukan permintaan keterangan seorang ahli (pasal 133 KUHAP), terhadap ahli kedokteran kehakiman ataupun ahli lainnya. Ahli dapat membuat keterangan atau laporan 153
Merriam Webster, Merriam Webster’s Dictinary of Law, (Massachussets : Spriengfields, 1996), hlm. 536.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
88
sesuai yang dikehendaki oleh penyidik dan dimasukkan kedalam berita acara penyidikan sebagaimana diatur dalam pasal 186 KUHAP, atau dapat juga disampaikan pada sidang peradilan. Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam pasal 186, pasal 1 angka 28, pasal 120, pasal 133, pasal 179, pasal 180, dan pasal 186 KUHAP. Sedangan keterangan ahli yang berhubungan dengan tanda tangan dan tulisan, maka keterangan ahli autentik dilakukan oleh laboratorium forensik Mabes POLRI, atau laboratorioum kriminal POM ABRI. Adapun sifat dualisme alat bukti keterangan ahli, yakni dalam bentuk laporan atau visum et repertum, dan atau keterangan ahli disampaikan secara langsung (lisan) di sidang pengadilan dan dicatat dalam berita acara oleh panitera. Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli yakni mempunyai kekuatan pembuktian bebas, atau dengan kata lain hakim bebas untuk menilainya. Keterangan ahli tidak memeriksa pokok perkara, tetapi sifatnya menjelaskan sesuatu hal yang masih kurang terang tentang suatu hal dan kejadian. Hal serupa juga terdapat dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, yang menempatkan pendapat ahli sebagai alat bukti (pasal 74 dan pasal 75 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara). Berbeda halnya dalam persoalan perdata, HIR yang tidak mencantumkan keterangan ahli (Pendapat ahli) sebagai alat bukti, sehingga tempat dan kedudukannya hanya berfungsi menambah, memperkuat ataupun memperjelas permasalahan perkara. Oleh karena itu, pada dirinya tidak pernah terpenuhi batas minimal pembuktian. Sedangkan dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, keterangan ahli ada dalam urutan kedua dalam deretan alat bukti, sebagaimana diatur dala pasal 102 dan pasal 103 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Walaupun keterangan ahli dengan keterangan saksi berbeda, tetapi sulit dibedakan dengan tegas, karena kadang-kadang seorang ahli merangkap juga sebagai saksi. Keterangan saksi adalah mengenai apa yang didengar, dialami dan dilihat. Tetapi keterangan ahli ialah mengenai suatu hal yang diberikan penilaian terhadap suatu hal-hal yang sudah nyata dan pengambilan kesimpulan mengenai hal tersebut.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
89
3. Alat Bukti Tertulis (Surat). Dalam Hukum Acara Pidana (pasal 186 KUHAP), surat yang dibuat atas sumpah jabatan, atau surat yang dilakukan dengan sumpah dapat dianggap sebagai bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti, seperti berita acara yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya atau surat yang berbentuk ketentuan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Surat keterangan ahli dan atau surat lainnya yang bersifat resmi. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 187 KUHAP, alat bukti surat bukanlah alat bukti yang mengikat tetapi bernilai sebagai pembuktian yang bersifat bebas. Beda halnya dalam persoalan perdata, alat bukti tertulis atau berbentuk tulisan merupakan alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti nomor satu jika dibandingkan dengan alat bukti lainnya. Prof. Mr. A. Pitlo menyatakan bahwa alat pembuktian dengan bentuk tertulis yang disebut dengan surat ialah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran.154 Sedangkan Dr. Sudikno Mertokusumo, SH berpendapat bahwa alat bukti tertulis atau surat merupakan segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudnkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
155
Dari pengertian-pengertian
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa surat yang dijadikan alat pembuktian ditekankan pada adanya tanda-tanda bacaan yang menyatakan buah pikiran. Jadi walaupun ada suatu benda yang memuat tanda-tanda bacaan tetapi tidak menyatakan buah pikiran maka hal tersebut tidak termasuk sebagai alat pembuktian tertulis atau surat. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta, yang kemudian akta masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian dikenal paling 154
Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa; cetakan Pertama, (Jakarta; PT. Intermasa, 1978),
hlm. 51 155
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata; cetakan pertama, (Yogyakarta; Liberty, 1977), hlm. 100-101
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
90
tidak tiga jenis surat yaitu akta otentik, akta dibawah tangan dan surat bukan akta. Pada dasarnya tidak setiap surat merupakan akta. Suatu surat dapat dikatakan sebagai akta haruslah ditandatangani, dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat (pasal 1867 s/d pasal 1874 KUH Perdata).
a. Akta Otentik Dalam perkembangannya ada beberapa pengertian dari akta otentik oleh beberapa ahli. Ada yang berpendapat bahwa akta otentik merupakan surat yang dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti oleh atau di muka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu.156 Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa akta otentik adalah:157 Akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Jika melihat defenisi yang diberikan di atas, maka dapat dilihat bahwa akta otentik memiliki beberapa unsur pokok, yaitu akta yang dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat umum adalah Notaris, Hakim Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat sipil yang berarti bahwa surat-surat yang dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat tersebut (akta notaris, vonis, surta berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian). Jika melihat ketentuan pasal 165 HIR atau pasal 1868 KUH Perdata, maka ketentuan akta otentik masih dapat lagi menjadi akta otentik yang dibuat oleh pegawai umum dan akta otentik yang dibuat di hadapan pegawai umum.158 Suatu akta yang dibuat ”oleh” pegawai umum merupakan suatu laporan tentang suatu perbuatan atau kejadian resmi yang telah dilakukan oleh pegawai umum yang bersangkutan. Dikatakan ”oleh” disini dimaksudkan karena adanya 156
Wirjono, Hukum Acara Perdata Di Indonesia; cetakan pertama, (Bandung: Sumur, 2005), hlm. 108. 157
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata; cetakan pertama, hlm. 103-104.
158
Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung: PT Alumni, 2004), hlm. 41
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
91
inisiatif dari isi akta itu tidak datang dari orang yang diberitakan tentang sesuatunya di dalam akta itu. Berbeda halnya dengan akta yang ”dibuat” dihadapan pegawai umum merupakan suatu laporan sesuatu perbuatan dan atau kejadian tetapi atas permintaan para pihak yang berkepentingan. Jadi pegawai umum hanya mendengar apa yang dihendaki oleh kedua belah pihak yang menghadap dan menyatakan atau mewujudkan kehendak hal tersebut dalam akta. Dengan kata lain notaris bersifat pasif (menunggu) sampai ia diperlukan oleh pihak lain untuk membuat akta.
b. Akta di bawah tangan Pada dasarnya akta dibawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.159 Atau dapat dikatakan bahwa akta dibawah tangan adalah suatu akta yang dibuat tidak dihadapan dan atau oleh pegawai umum, melainkan akta yang dibuat dan ditanda tangani si pembuat dengan maksud agar surat itu dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Jika dikatakan bahwa akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, maka undang-undang menentukan bahwa akta dibawah tangan juga merupaka alat bukti yang lengkap sepanjang tanda tangan di dalam akta tersebut diakui keasliannya. Jika tanda tangan atau tulisannya dipungkiri, maka proses pemeriksaan kepalsuan harus diselesaikan terlebih dahulu.
Berdasarkan Pasal 1878 KUH Perdata, terdapat kekhususan akta dibawah tangan yaitu akta harus seluruhnya ditulis dengan tangan si penanda tangan sendiri, atau setidaknya selain tanda tangan yang harus ditulis dengan tangannya si penanda tangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah atau besarnya barang atau uang yang terhutang. Dengan kekhususan ini, maka apabila ketentuannya tidak dipenuhi maka akta tersebut hanya sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. Permulaan pembuktian dengan tulisan pasal 1902 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala akta tertu;lis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan dimajukan atau dari orang yang 159
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata; cetakan pertama, hlm. 105
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
92
diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dimajukan oleh seorang. Jadi dalam hal adanya kekhususan dari akta dibawah tangan tersebut, maka untuk menjadi bukti yang lengkap harus ditambah dengan alat-alat pembuktian lainnya. Akan tetapi penggunaan bukti pada akhirnya akan terletak pada kebijaksanaan dan keyakinan hakim.
c. Surat bukan akta Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta dalam HIR maupun KUH Perdata tidak dinyatakan secara tegas. Walaupun surat-surat yang bukan akta sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Oleh karena itu, surat-surat yang demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian. Surat bukan akta dijadikan sebagai petunjuk ke arah pembuktian dimana surat-surat tersebut dapat dipakai sebagai alat bukti tambahan ataupun dapat pula dikesampingkan dan bahkan sama sekali tidak dapat dipercaya. Berdasarkan pasal 1881 ayat (2) KUH Perdata, maka surat bukan akta agar dapat mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya bergantung kepada penilaian hakim. Hakim secara bebas menilai surat bukan akta tersebut, apakah dapat dijadikan alat bukti yang sempurna ataupun tidak mempunyai kekuatan pembuktian sama sekali.
d. Salinan Pasal 1888 KUH perdata menentukan bahwa kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada aktanya asli. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinansalinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekedar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya. Dengan kata lain bahwa salinan, kutipan, dan fotokopi alat bukti tertulis dapat mempunyai nilai hukum pembuktian sepanjang kutipan, salinan, dan fotokopi itu sesuai dengan aslinya. Pada dasarnya salinan dan kutipan merupakan hal yang berbeda. Salinan adalah pemberitaan tertulis dari yang asli, yang serupa kata
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
93
\demi kata, termasuk tanda tangan pada yang aslinya. Berbeda halnya dengan kutipan yang merupakan pemberitaan tertulis dari bagian-bagian dari yang asli yang serupa kata demi kata, juga dengan pemberitaan tanda tangan.160 Untuk tulisan yang berupa tembusan suatu surat yang dibuat rangkap dengan menggunakan karbon mempunyai kekuatan bukti seperti aslinya, karena tembusan itu sama dengan surat yang ditulis pada halaman pertama dengan mana pensil atau pena itu langsung berhubungan.161
Dalam Hukum Persaingan Usaha, surat atau dokumen yang dapat diakui sebagai alat bukti yang sah antara lain akta otentik, akta dibawah tangan, surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, data yang memuat mengenai kegiatan usaha terlapor, surat atau dokumen lain yang tidak termasuk huruf a, b, dan c yang ada kaitannya dengan perkara. Hal ini diatur dalam pasal 76 ayat (1) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara.
4. Alat Bukti Petunjuk. Penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim dalam prakteknya, digunakan dengan sangat hati-hati karena sangat dekat dengan sifat kesewenang-wenangan yang didominasi oleh penilaian subjektif.162 Oleh karenanya hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus penuh kearifan dan bijaksana dan penuh kecermatan berdasarkan hati nuraninya sebagaimana ditentukan pada pasal 188 ayat (3), sehingga hakim sedapat mungkin menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, sehingga dengan sangat penting dan mendesak saja alat bukti petunjuk dipergunakan. alam praktek selalu terdapat kelemahan pembuktian di peradilan. Hal ini disebabkan aparat penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian, bahkan sebagaimana dalam berita acara pemeriksaan sulit sekali untuk dipahami. 160
Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa; cetakan Pertama, hlm 102
161
Ibid., hlm. 103
162
Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, (Jakarta: Total Media, 2009), hlm. 64.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
94
Berdasarkan pasal 188 ayat 2 KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 (tiga) jenis alat bukti, ialah alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat dan alat bukti keterangan terdakwa. Beda halnya dengan Hukum Acara Perdata dan Tata Usaha Negara tidak memasukkan petunjuk dalam deretan alat bukti masing-masing sehingga dapat diabaikan oleh hakim. Namun UndangUndang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat, memasukkan bukti petunjuk sebagai salah satu alat bukti (pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 j.o pasal 72 ayat (1) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010).
5. Keterangan Terdakwa. Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam deretan alat bukti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (pasal 184). Salah satu alasan mengapa penempatannya pada urutan terakhir yaitu agar menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan setelah keterangan saksi dilakukan. Diantara 5 (lima) alat bukti yang disebut dalam pasal 184 KUHAP, alat bukti inilah yang acap kali diabaikan oleh hakim. Selain itu juga ditegaskan dalam pasal 189 ayat (4) KUHAP, pada prinsipnya keterangan
terdakwa
saja
tidak
cukup
membuktikan
kesalahan
yang
dilakukannya. Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam pasal 183 KUHAP. Sedikitpun tidak ada perbedaan penegasan pasal 189 ayat (4) dengan prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183 KUHAP. Sehingga dapat disimpulkan bahwa alat bukti keterangan atau pengakuan terdakwa bukanlah alat bukti yang memiliki sifat menentukan dan mengikat. Seandainya pembuat undang-undang menetapkan nilai pengakuan sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan mengikat, maka ketentuan seperti itu akan memaksa hakim untuk tidak boleh beranjak dari alat bukti pengakuan tersebut. Hakim secara mutlak harus memutuskan perkara atau alasan pembuktian pengakuan. Ketentuan seperti ini sangat berbahaya. Jika melihat pada Hukum Acara Perdata, maka pengakuan yang bulat dan murni adalah merupakan alat bukti yang sempurna dan menentukan (volledig en
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
95
beslisende bewijs-kracht). Menurut Hukum Acara Perdata, pada suatu pengakuan yang bulat dan murni akan melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan. Hal ini sejalan dengan tujuan kebenaran yang hendak diwujudkan dalam proses pemeriksaan perkara perdata. Hakim tidak dituntut untuk mencari dan mewujudkan kebenaran sejati. Pada dasarnya suatu perselisihan dalam perdata merupakan perselihihan bersifat pribadi. Setiap pribadi itulh yang wajib mempertahankan kebenaran hak dan kepentingan mereka. Dalam perkara pidana, maka akan tersangkut kepentingan individu di satu sisi dan kepentingan masyarakat di sisi lain. Individu dan masyarakat atau negara samasama mempunyai kepentingan yang seimbang dalam menegakkan dan terciptanya nilai hukum. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan terdakwa adalah sebagai berikut:
a. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung didalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. Jangan hendaknya penolakan akan kebenaran keterangan terdakwa tanpa alasan yang didukung oleh argumentasi yang tidak proporsional dan akomodatif. Demikian juga sebaliknya, seandainya hakim hendak menggantikan alat bukti keterangan terdakwa sebagai salah satu landasan pembuktian kesalahan terdakwa, harus dilengkapi dengan alasan yang argumentatif dengan menghubungkannya dengan alat bukti yang lain.
b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian. Pasal 189 ayat (4) KUHAP telah menyatakan dengan jelas bahwa keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. Dari ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain, baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
96
Penegasan pasal 189 ayat (4) KUHAP sejalan dengan dan mempertegas asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
c. Harus memenuhi asas keyakinan hakim Dalam pasal 295 HIR mengenai alat bukti yang berhubungan dengan terdakwa ini disebut dengan ”pengakuan” (bekentenis).163 KUHAP kemudian mengganti alat bukti pengakuan salah terdakwa ini dengan alat bukti keterngan terdakwa. Isi alatbukti keterangan terdakwa jauh lebih luas daripada isi pengakuan. Pengakuan menurut HIR merupakan pengakuan terdakwa bersalah, bahwa tindak pidana yang didakwanakan adalah benar ia lakukan yang diucapkan terdakwa dimuka persidngan (pasal 307). Pengakuan terdakwa yang dimaksud adalah pengakuan seluruhnya yang diberikan di muka hakim saja. Sedangkan pengakuan sebagian bukanlah merupakan alat bukti, tetapi dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk, walaupun pengakuan sebagian itu diberikan di luar sidang (pasal 311). 6.
Bukti Pengakuan. Pada dasarnya alat bukti pengakuan ini hanya ditemukan dalam Hukum
Acara Perdata dan Tata Usaha Negara. Jika melihat HIR maupun KUH Perdata, keduanya tidak menerangkan lebih khusus mengenai bukti ini. Ada beberapa pasal dalam HIR yang mengartur tentang pengakuan seperti dalam pasal 174, 175, dan 176. Sedangkan KUH Perdata mengatur mengenai pengakuan dalam pasal 1923 sampai dengan pasal 1928. Prof. Mr. A. Pitlo memberikan defenisi pengakuan sebagai keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebahagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.164 Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi 3 jenis pengakuan, antara lain:165
a) Pengakuan Murni. 163
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, cet. 1, hlm. 88.
164
Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa; cetakan Pertama, hlm. 150
165
Ibid., hlm. 160
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
97
Yang dimaksud dengan pengakuan murni yaitu pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan dari pihak lawan.
b) Pengakuan dengan Kualifikasi Yang dimaksud dengan pengakuan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.
c) Pengakuan dengan Klausul Yang dimaksud dengan pengakuan dengan klausule adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.
Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, alat bukti ini lebih dikenal dengan sebutan pengakuan para pihak. Berdasarkan pasal 105 UU No.5 Tahun 1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan diluar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja.166 Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya 7. Bukti Persangkaan. Pada dasarnya persangkaan merupakan uraian hakim, dengan mana hakim dari fakta yang terbuti menyimpulkan fakta yang tidak terbukti.167 Pasal 1915 KUH Perdata menentukan bahwa persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-
166
Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Suatu Perbandingan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 137. 167 Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa; cetakan Pertama, hlm. 27.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
98
kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dan suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Pasal ini juga lebih lanjut membedakan persangkaan kedalam dua bagian antara lain:
a. Persangkaan berdasarkan Undang-Undang. Persangkaan
menurut
undang-undang
merupakan
persangkaan
yang
berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu (pasal 1916 KUH Perdata). Dari pasal-pasal yang terdapat dalam KUH Perdata, maka persangkaan menurut undang-undang dapat dibedakan dalam dua golongan: 1) Persangkaan oleh undang-undang yang dapat dibuktikan kebalikannya. Hal ini diatur dalam Pasal 633, 644, 658, 1394, 1769, 1977 KUH Perdata. 2) Persangkaan menurut undang-undang yang tidak dapat dibuktikan kebalikannya. Hal ini diatur dalam pasal 183, 911 KUH Perdata.
a. Persangkaan yang tidak berdasarkan Undang-Undang. Dalam persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undangt (menurut kenyataan), hakim bebas menyimpulkan persangkaan berdasarkan kenyataan. Hakim bebas menggunakan atau tidak menggunakan hal-hal yang terbukti dalam suatu perkara sebagai dasar untuk melakukan persangkaan. Persangkaan menurut kenyataan ditentukan dalam pasal 173 HIR, 1922 KUH Perdata. Dalam hal ini, hakim hanya boleh memperhatikan persangkaan yang penting, tertentu dan teliti serta yang satu sama lainnya berhubungan. Persangkaanpersangkaan tersebut juga hanya boleh diperhatikan hakim sepanjang undangundang tidak melarang pembuktian dengan saksi, begitu pula jikalau terjadi perlawanan yang berdasarkan adanya itikad baik buruk atau penipuan terhadap perbuatan atau adanya akta tersebut. Dalam pembuktiannya, maka harus dibuktikan terlebih dahulu adanya suatu kenyataan yang tidak dapat diperdebatkan lewat alat-alat bukti surat dan saksi. Jika hal ini berhasil, makan akan diperoleh suatu kesimpulan yang membuktikan hal-hal yang disangka tadi.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
99
8. Sumpah Berdasarkan undang-undang maka sumpah ada dua macam yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim dan sumph yang dimohonkan oleh pihak lawan. Sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan diatur dalam pasal 1930 sampai dengan pasal 1939 KUH Perdata dan sumpah yang diperintahkan oleh hakim diatur dalam pasal 1940-1943 KUH Perdata, yang selanjutnya sumpah ini dapat dibedakan dalam sumpah tambahan (sumpah supletoir) dan sumpah penaksiran (sumpah aestimatoir).
a. Sumpah Pemutus. Sumpah yang dilakukan oleh salah satu pihak yang didasarkan oleh perintah dari pihak lawan merupakan suatu sumpah yang dapat menjadi titik tolak pemutusan sengketa yang lazim disebut dengan sumpah pemutus yang mana diatur dalam pasal 156 HIR, 1930 KUH Perdata. Atau dengan kata lain sumpah decisoir atau pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya.168
Sumpah ini disebut sebagai sumpah pemutus dikarenakan apabila salah satu pihak melakukan sumpah yang diperintahkan oleh pihak lawannya, maka sengketa yang diperiksa oleh hakim dianggap selesai dan diputuskan. Dalam sumpah pemutus ini juga undang-undang memberikan suatu kekuatan pembuktian wajib tanpa memberikan kesempatan untuk melakukan perlawanan pembuktian. Oleh sebab itu pihak yang menolak melakukan sumpah atas perintah pihak lawannya akan menerima kekalahan dalam perkara.
Sebagaimana siketahui dari rumusan pasal 164 HIR (pasal 1866 KUH Perdata) bahwa sistematik tata urutan alat bukti sumpah, alat bukti sumpah diletakkan paling akhir, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa alat bukti sumpah dilakukan itu digunakan hanya apabila benar-benar sudah tidak ada alat pembuktian yang lain lagi. Dengan kata lain merupakan jalan 168
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata; cetakan pertama, hlm 130.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
100
penghabisan guna membuktikan suatu perkara. Berdasarkan pasal 157 KUH Perdata dan pasal 1945 KUH Perdata pada hakikatnya sumpah harus dilakukan sendiri secara pribadi tidak boleh diwakilkanorang lain. Akan tetapi dalam hal tertentu sumpah dapat diwakili oleh orang lain dengan syarat harus melalui surat kuasa khusus untuk itu. Yang menjadi persoalan adalah apakah dalam setiap penyumpahan, harus dibuat suatu surat kuasa khusus hanya untuk bersumpah atau cukup dengan satu surat kuasa saja. Dikarenakan hal penguasaan dalam hal ini yaitu mengenai penguasaan dalam berpekara di depan pengadilan, maka tidaklah perlu pada orang yang mewakili perkara orang lain, setiap akan melakukan sumpah harus meminta surat kuasa khusus untuk bersumpah. Jadi cukuplah dengan satu surat kuasa yang diberikan kepada orang yang mewakilinya saja, yaitu menjadi satu dengan kuasa untuk mewakili dirinya untuk bertindak di depan pengadilan. Jika melihat apa yang ada dalam surat kuasa tersebut, maka dinyatakan dengan tegas bahwa ia (wakil) bertindak untuk dan atas nama si pemberi kuasa dan juga untuk keuntungan si pemberi kuasa. Jika untuk melakukan sumpah saja (setiap bersumpah) harus meminta surat kuasa khusus yang otentik, maka hal ini dapat menghambat selesainya proses pemeriksaan perkara.
b. Sumpah atas Perintah Hakim Pada dasarnya undang-undang membedakan sumpah atas perintah hakim menjadi dua bagian antara lain: 1) Sumpah Tambahan. Undang-undang tidak memberikan pengertian secara spesifik dari sumpah tambahan. Maka dalam hal ini Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa sumpah suppletoir atau pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.169 Sedangkan Supomo berpendapat bahwa sumpah tambahan merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak.
169
Ibid., hlm. 131
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
101
Pasal 1945 KUH Perdata menentukan bahwa hakim dapat, karena jabatan, memerintahkan sumpah kepada salah satu pihak yang berperkara untuk menggantungkan pemutusan perkara pada penyumpahan itu, atau untuk menetapkan jumlah yang akan dikabulkan. Sumpah yang demikian ini disebut sebagai sumpah tambahan karena sumpah tersebut hanya merupakan alat penambah dan alat-alat lainnya yaitu telah ada bukti-bukti lain akan tetapi belum mencukupi.
Hakim dalam memerintahkan sumpah tambahan hanya dapat dilakukan apabila tuntutan atau tangkisan tidak terbukti dengan sempurna, atau bahkan tidak sama sekali tidak terbukti, demikian maksud pasal 1941 KUH Perdata. Dalam hal ini hakim berwenang, bukan berkewajiban untuk membebankan
sumpah
pelengkap.170
Sumpah
tambahan
dapat
diperintahkan oleh hakim kepada slah satu pihak, jika telah ada sedikit bukti-bukti
terhadap
tuntutan-tuntutan
penggugat,
atau
untuk
membuktikan keterangan tambahan tergugat sedang tidak ada bukti lain untuk menyempurnakan pembuktian tersebut. Untuk sumpah ini diizinkan adanya pembuktian dari pihak lawan, yaitu pembuktian bahwa sumpah yang dikemukakan tersebut adalah sumpah palsu oleh pihak lawan.
3.3.5. Bukti Langsung dan Tidak Langsung. Ditinjau dari sifatnya, maka alat bukti yang disebut dalam pasal 1866 KUH Perdata, pasal 164 HIR, dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Alat Bukti Langsung (Direct Evidence). Disebut alat bukti langsung karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepetingan didepan persidangan. Alat buktinya diajukan dan ditampilkan dalam proses pemeriksaan secara fisik. Yang tergolong dalam alat bukti langsung adalah alat bukti surat dan alat bukti saksi. Pihak yang berkepentingan membawa dan menyerahkan alat bukti surat yang
170
Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa; cetakan Pertama, hlm 205.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
102
diperlukan di persidangan. Apabila tidak terdapat alat bukti, atau alat bukti itu belum mencukupi mencapai batas minimal, pihak yang berkepentingan dapat menyempurnakannya dengan cara menghadirkan saksi secara fisik di sidang, untuk memberikan keterangan yang diperlukan tentang hal yang dialami, dilihat, dan didengar saksi sendiri tentang perkara yang disengketakan. Secara teoritis, hanya jenis atau bentuk ini yang benar-benar disebut sebagai alat bukti, karena memiliki fisik yang nyata mempunyai bentuk dan menyampaikannya di depan persidangan, benar-benar nyata dan konkret. Dalam teori hukum persaingan usaha, alat-alat bukti dalam proses investigasi persekongkolan tender diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu bukti langsung dan bukti tidak langsung. Bukti langsung yaitu bukti yang dapat menjelaskan adanya perjanjian atau kesepakatan tertulis atau tidak tertulis yang secara jelas menerangkan materi kesepakatan, contohnya adalah adanya perjanjian tertulis. atau
adanya
rekaman
komunikasi
antara
pelaku
persekongkolan
yang
menyepakati mengenai adanya suatu kolusi tender.
2. Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence). Disamping alat bukti langsung, terdapat juga alat bukti tidak langsung, yaitu dimana pembuktian diajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan.171 Persangkaan, pengakuan dan sumpah masuk dalam kelompok alat bukti ini. Jika melihat dari sifatnya, maka pengakuan tidak tepat jika dikatakan sebagai alat bukti. Hal ini dikarenakan pengakuan bukan berfungsi membuktikan tetapi pembebasan pihak lawan untuk membuktikan hal yang diakui pihak lain. Jika tergugat mengakui dalil penggugat pada dasarnya tergugat bukan mebuktikan kebenaran dalil tersebut, tetapi mebebaskan penggugat dari kewajiban beban pembuktian untuk membuktikan dalil yang dimaksud.172 Sama halnya dengan sumpah, selain digolongkan pada alat bukti tidak langsung (indirect evidence), pada dasarnya tidak tepat disebut sebagai alat bukti, karena sifatnya saja bukan alat bukti (evidentiary). Lebih tepat disebut sebagai 171
172
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm. 558 Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
103
kesimpulan dari suatu kejadian (circumstantial
evidence) atau
tambahan
(aanvullendeed) dari peristiwa pengucapan sumpah itu disimpulkan adanya suatu kebenaran tentang yang dinyatakan dalam lafal sumpah, tetapi dari sumpah itu dapat disimpulkan kebenaran yang dijelaskan dalam sumpah tersebut.173 Seperti hal telah dijelaskan di atas, bahwa bukti tidak langsung (indirect evidence) merupakan salah satu alat bukti dalam proses investigasi tender. Dalam konteks ini, bukti tidak langsung merupakan bukti yang tidak dapat menjelaskan secara terang dan spesifik mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha, yang mana terdiri dari bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Bukti komunikasi yang membuktikan adanya komunikasi dan/atau pertemuan antar pelaku kartel, namun tidak menjelaskan mengenai substansi yang dibicarakan, contohnya adalah rekaman komunikasi antar pesaing dan bukti perjalanan menuju suatu tempat yang sama antar pesaing. Sedangkan bukti ekonomi merupakan bukti yang tidak hanya
mengidentifikasikan
tindakan
perusahaan
yang
tidak
hanya
menggambarkan telah terjadinya sebuah kesepakatan, tetapi juga melakukan industri secara keseluruhan, elemen-elemen struktur pasar yang menyatakan bahwa terdapat suatu perjanjian penetapan harga, dan praktek-praktek tertentu yang dapat digunakan dalam perjanjian tender, sebagai contoh pelaku usaha di pasar atau industri secara keseluruhan, dan bukti perilaku yang memfasilitasi persekongkolan seperti pertukaran informasi dan adanya signal harga. Pada umumnya kasus persekongkolan jarang atau tidak memiliki bukti langsung
(direct
evidence/hard
evidence)
karena
memang
perjanjian
persekongkolan pada umumnya tidak dibuat berdasarkan perjanjian tertulis, maka timbul pemikiran akan adanya indirect evidence. Pada prakteknya di berbagai negara di dunia, ada beberapa pihak yang menyetujui hal ini indirect evidence
(bukti tidak langsung), namun kebanyakan negara tidak menyetujuinya dijadikan satu-satunya alat bukti dalam persekongkolan tender. Seperti yang diungkapkan sebagai berikut: Circumstantial evidence is of no less value than direct evidence for it is the general rule that the law makes no distinction between direct and circumstantial evidence but simply requires that before convicting a 173
Raymon Emson, Evidence, (Newyork: MacMillan, 1999), hlm. 11.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
104
defendant the jury must be satisfied of the defendant’s guilt beyond a reasonable doubt from all of the evidence in the case. In order to prove the conspiracy, it is not necessary for the government to present proof of verbal or written agreements. Very often in cases like this, such evidence is not available. You may find that the required agreement or conspiracy existed from the course of dealing between or among the individuals through the words they exchange or from their acts alone Economic evidence merupakan salah satu bentuk dari bukti tidak langsung. Dalam economic evidence dikenal adanya istilah conduct evidence. Berdasarkan obeservasi tertentu, suatu perbuatan yang mencurigakan sering memicu investigasi atas adanya dugaan kartel. Analisis yang cermat atas perbuatan para pelaku usaha sangat penting untuk mengidentifikasi tindakan yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan kepentingan pribadi para pihak, maka hal tersebut menimbulkan dugaan mengenai adanya suatu perjanjian. Adapun conduct evidence meliputi:174 a. Parallel Pricing, yaitu perubahan harga yang identik antar para pelaku usaha pesaing, atau hamper identik. Ini termasuk bentuk lain dari parallel conduct, seperti pengurangan kapasitas, adopsi persyaratan standar penjualan, dan pola penawaran mencurigakan , misalnya rotasi diprediksikan memenangkan penawar. b. Kinerja industri juga dapat digambarkan sebagai conduct evidence. Hal ini termasuk:175 1) Tinggi laba yang tidak normal 2) Pangsa pasar yang stabil 3) Sejarah pelanggaran hukum persaingan. c. Bukti yang berhubungan dengan struktur pasar juga dapat digunakan terutama untuk membuat penemuan perjanjian kartel lebih masuk akal, meskipun faktor struktur pasar tidak membuktikan adanya kesepakatan
174
OECD, “Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement, Policy Brief” Edisi 2006, http://www.oecd.org/dataoecd/11/30/38704302.pdf, diunduh 9 Mei 2012, hlm. 21 175
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
105
tersebut. Bukti ekonomi yang relevan yang berkaitan dengan struktur pasar meliputi:176 1) Konsentrasi tinggi 2) Konsentrasi rendah di sisi berlawanan dari pasar 3) Besarnya hambatan masuk 4) Tingkat integrasi vertikal yang tinggi 5) Produk standar atau homogen Jenis economic evidence yang spesifik adalah facilitating practices, yaitu kegiatan yang memfasilitasi praktek-praktek yang dapat mempermudah para pelaku usaha pesaing untuk mencapai kesepakatan (perjanjian).177 Penting untuk diketahui bahwa memfasilitasi praktek tidak selalu melanggar hukum. Facilitating practices dapat dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.
3.4.
Analisis Pendekatan Perilaku Conscious Pembuktian Persekongkolan Tender
Parallelism
Dalam
Persekongkolan dapat dilakukan oleh sesama pihak intra perusahaan dan dapat pula secara paralel yang sengaja dilakukan oleh satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.178 Persekongkolan intra perusahaan terjadi apabila ada dua atau lebih pihak dari satu perusahaan yang sama atau sejenis mengadakan persetujuan untuk melakukan tindakan yang dapat menghambat persaingan usaha. Seperti, misalnya, bila ada suatu perusahaan memiliki divisi (bagian) yang berbeda, dimana masing – masing divisi bertanggung jawab atas jenis produksi yang berbeda, namun masih dalam satu badan hukum, walaupun masing – masing divisi saling bersaing satu sama lain. Oleh karena masing – masing divisi tersebut masih merupakan bagian dari satu perusahaan, maka persetujuan yang mereka
176
Ibid.
177
Ibid.
178
L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), hlm. 122
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
106
lakukan tidak dapat dikategorikan sebagai suatu persekongkolan sesuai pemahaman atau pengertian yang dilarang oleh undang – undang anti monopoli. Namun apabila suatu perusahaan membentuk organisasinya dalam beberapa divisi secara terpisah sebagai suatu anak perusahaan, dan dengan demikian merupakan badan hukum yang terpisah, maka bila mereka membuat persetujuan yang sifatnya dapat menghambat persaingan usaha, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan dalam persekongkolan sebagaimana yang dilarang dalam undang–undang anti monopoli.179 Sedangkan persekongkolan paralel yang disengaja dapat terjadi, apabila ada beberapa perusahaan mengikuti tindakan yang dilakukan oleh perusahaan besar (market leader) yang sebenarnya bagi mereka merupakan pesaing. Dalam hal ini, apabila kemudian terjadi beberapa perusahaan besar yang telah menguasai pasar, maka dikatakan bahwa pasar tersebut merupakan pasar oligopoli.180 Apabila para pelaku pasar mengikuti tindakan dari pemimpin pasar (market leader), maka hal ini akan berpengaruh terhadap pembentukan harga. Akan tetapi hal ini tidak selamanya melanggar undang – undang anti monopoli, bila para pengikut tadi telah mengambil keputusan sendiri – sendiri tanpa dipengaruhi oleh pengusaha yang menguasai pasar. Jika memang demikian, maka tidak terjadi persekongkolan paralel yang disengaja.181 Oleh karena itu, harus benar – benar diperhatikan, apakah ada persetujuan bersama dari para pengikut pasar tersebut untuk mengikuti tindakan yang dilakukan pemimpin pasar terutama tujuan mereka dalam mengikuti tindakan tersebut, dan juga apakah di dalam tindakan itu terdapat maksud untuk menyingkirkan pesaing mereka dari pasar. Dengan demikian, persoalan utama dari larangan persekongkolan adalah terdapatnya niat untuk menghambat persaingan usaha.182 Dalam persekongkolan tender bentuk persekongkolan yang seringkali terjadi adalah price fixing oleh peserta tender. Dalam bentuk persekongkolan yang 179
Ibid.
180
Ibid.,hlm. 44
181
Ibid.,
182
Ibid.,hlm. 45
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
107
demikian hanya melibatkan para peserta tender (persekongkolan horizontal) untuk bersama-sama menawarkan tingkat harga serupa tanpa adanya pertimbangan rasional secara bisnis. Meskipun pada akhirnya tender dimenangkan oleh salah satu peserta namun dipastikan peserta tender yang juga turut serta dalam persekongkolan akan menerima keuntungan kolusif dari adanya persekongkolan tersebut. Modus persekongkolan tender yang menggunakan manipulasi atau penetapan harga (price fixing) yang demikian menurut Kara L. Haberbush termasuk dalam complementary bidding. Yaitu dimana adanya peserta tender yang ikut dalam sebuah tender dengan tujuan untuk memenangkan salah satu peserta tender dengan menciptakan persaingan semu dengan kesepakatan tingkat harga diantara para peserta tender. Sebagai otoritas yang menerima laporan adanya persekongkolan tender, KPPU menganggap bahwa adanya tingkat harga yang serupa (parallel pricing) sebagai sebuah indikasi persekongkolan. Untuk dapat membuktikan bahwa tingkat harga yang parallel bukan merupakan tindakan independen melainkan merupakan
tindakan peserta tender untuk menyesuaikan harga dengan
pesaingnya, tanpa adanya komunikasi (conscious parallelism), tanpa adanya pertimbangan bisnis yang memadai, diperlukan adanya direct evidence atau circumstantial evidence yang secara rasional dapat memberikan justifikasi bahwa para peserta tender memiliki kesadaran yang sama untuk tujuan yang bertentangan dengan hukum persaingan usaha. Dengan kata lain perilaku menyesuaikan perserta tender telah melampaui definisi conscious parallelism dan cenderung berakibat menghambat persaingan usaha. Untuk dapat
mengidentifikasi perilaku-perilaku peserta tender tersebut
diperlukan adanya dasar atau acuan yang tepat untuk mengidentifikasi apakah perilaku conscious parallelism yang terjadi dalam penawaran tender pada kenyataanya merupakan horizontal concertd action. Kemudian timbul masalah dalam penerapan Pasal 22 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, yakni mengenai kesulitan dalam pembuktian adanya persekongkolan yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Misalnya, jika ada penetapan harga atau melakukan tindakan yang dilarang lainnya, karena dalam praktek para pelaku usaha tidak melakukan pencatatan secara tertulis dalam
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
108
mengadakan persetujuan. Para pelaku usaha dapat saja mengajukan bantahan, bahwa kesamaan harga yang mereka tetapkan atau tindakan yang mereka lakukan adalah bukan hasil dari persekongkolan. Pada pasar oligopoli, tindakan dari setiap pelaku usaha bisa diamati dan dirasakan oleh pelaku usaha lainnya, sehingga tanpa ada komunikasi apapun, bisa saja terjadi pola pergerakan harga yang sama, seperti sama-sama naik ataupun sama-sama turun. Hal ini bertujuan untuk menghindari efek yang signifikan dari strategi harga pelaku usaha pesaing terhadap tingkat penjualan. Dan hal ini adalah lawful karena dilakukan berdasarkan keyakinan dan perkiraan strategis pelaku usaha. Selain dikarenakan kemungkinan yang muncul berasal dari fenomena yang sama, pemilihan dan penggunaan metode analisis ekonomi dan statistik juga akan sangat menentukan kesimpulan mengenai telah terjadi atau tidak persekongkolan. Sehingga metode yang salah akan berakibat pada kesimpulan yang salah, begitu juga sebaliknya. Dari pemahaman di atas, dapat diketahui bahwa tindakan penyesuaian merupakan sebuah tindakan langsung maupun tidak langsung yang tidak mengharuskan adanya meeting of mind antara para pihak yang melakukannya, namun hal tersebut mempengaruhi tindakan para pelaku usaha di pasar. Faktor harga yang sama pada dasarnya tidak secara otomatis dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hukum Persaingan Usaha. Otoritas pengawas persaingan usaha harus menggunakan tindakan penyesuaian sebagai dalil untuk menyatakan para pelaku usaha telah melakukan pelanggaran, khususnya dalam kasus penetapan harga. Celah yang mungkin dapat digunakan sebagai dasar penggunaan dalil ini adalah diduga adanya pertukaran informasi (exchange information) yang mungkin saja tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis, namun digunakan untuk menetapkan hal-hal tertentu (facilitating conduct) untuk melakukan tindakan bersama-sama termasuk penetapan harga diantara para pelaku usaha (conscious parallelism). Tindakan yang dianggap sebagai conscious parallelism sebaiknya dibuktikan dengan menggunakan pendekatan rule of reason, dengan melihat analisis pasar akibat tindakan
tersebut dan melihat elemen maksud, apakah
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
109
dengan tujuan menghambat persaingan ataupun memang sekedar tindakan rasional ekonomi semata. Di Amerika hal ini mulai digunakan dalam kasus Interstate Circuit, Inc v. U.S pada tahun 1939. Hal yang menjadi perdebatan adalah ketika pelanggaran kartel dibuktikan semata-mata dengan menggunakan bukti ekonomi oleh KPPU. Banyak yang mempermasalahkan pembuktian yang hanya didasarkan atas bukti ekonomi, hal ini dikarenakan satu fenomena ekonomi bisa jadi mencerminkan dua keadaan yang benar-benar berbeda. Sebagai contoh, parallel pricing yang sering dikutip dan digunakan oleh KPPU sebagai bukti adanya price fixing merupakan fenomena ekonomi yang bisa timbul karena kartel, bisa juga terjadi karena persaingan yang sengit, khususnya di pasar yang cenderung oligopolistik. Pada dasarnya KPPU diberikan kewenangan (otoritas) yang sangat besar oleh pasal 35 dan pasal 36 untuk mengimplementasikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Kewenangan yang besar diberikan kepada lembaga ini oleh undangundang untuk menafsirkan dan menerapkan serta kemudian meng-enforce dan melakukan penegakkan hukum itu. Terkait dengan kewenangan lembaga ini yang begitu besar, isu yang muncul sekarang ini adalah penggunaan indirect evidence (circumstantial evidence) oleh KPPU sebagai landasan untuk membuktikan adanya pelanggaran persekongkolan tender. Pada prakteknya di berbagai negara di dunia, ada beberapa pihak yang menyetujui hal ini, namun kebanyakan negara tidak menyetujui indirect evidence (bukti tidak langsung) dijadikan satu-satunya alat bukti dalam pelanggaran tender. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 defenisi dari “perjanjian yaitu suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.” Dari ketentuan di atas terlihat jelas definisi perjanjian disempitkan dalam dua jenis oleh pembuat undang-undang, yaitu perjanjian tertulis dan perjanjian tidak tertulis. Sebagai perbandingan dapat dilihat dari rumusan mengenai kolusi dalam Pasal 81 (1) EU Competition Law yang menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk kesepakatan yaitu perjanjian (agreement), keputusan (decision), dan tindakan penyesuaian (concerted action). Penafsiran yang luas dari perjanjian dalam UU No. 5 Tahun 1999 secara sekilas dapat
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
110
dikatakan memiliki kesesuaian dengan Pasal 81 (1) EU Competition Law terkait bentuk kesepakatan yaitu berupa perjanjian dan keputusan. Perjanjian dapat ditafsirkan sebagai perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sedangkan keputusan dapat ditafsirkan sebagai hasil dari adanya meeting of mind (persamaan niat) antara pelaku usaha yang mengikatkan dirinya dalam sebuah perjanjian tertentu (contoh: kartel dan trust) dan daripadanya menghasilkan keputusan yang mereka setujui bersama. Bukti ekonomi bukan merupakan hal yang mudah untuk didapat, apalagi dituangkan menjadi putusan hukum. Sehingga jembatan tersebut memaksa kreatifitas komisioner KPPU untuk mampu menerjemahkan bukti tersebut menjadi alat bukti yang valid dan dapat diterima. Tetapi kretifitas tersebut harus diberikan dasar yang kuat, yang taat azas hukum yang berlaku ketika menggunakan atau menerapkan metode analisis ekonomi tersebut. Lembaga seperti OECD juga mengaturnya dan otoritas lembaga ini juga memberi peringatan bahwa penerapan ini tidaklah mudah. Tujuan dari pembuktian bukti tidak langsung dengan menggunakan bukti ekonomi adalah upaya untuk mengesampingkan kemungkinan terjadinya perilaku penetapan harga yang bersifat independen. Suatu bentuk bukti tidak langsung yang sesuai dan konsisten dengan kondisi persaingan dan kolusi sekaligus belum dapat dijadikan bukti bahwa telah terjadi pelanggaran atas pasal 22 UU No.5 Tahun 1999. Oleh karena bukti tidak langsung dapat berarti mengacu pada kondisi persaingan dan kolusi sekaligus maka pembuktian telah terjadi perilaku/strategi yang paralel (parallel business conduct) tidak dapat dijadikan bukti yang cukup untuk menyatakan adanya perjanjian penetapan harga. Namun perilaku bisnis serupa parallel price dan conscious parallelism hanya dapat menjadi sinyal bagi KPPU untuk lebih mendalami kemungkinan adanya perjanjian diantara pelaku tender. Oleh karena itu diperlukan bukti tambahan untuk memperkuat bukti-bukti ekonomi yang meyakinkan hakim bahwa telah persekongkolan. Sebagaimana telah disebutkan dalam bab-bab sebelumnya bahwa plus factors yang utama sebagai bukti tambahan dalam menganalisis perilaku conscious paralellism yang menghambat persaingan dalam pasar, terutama faktor:
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
111
1. Adanya perilaku yang berbeda dengan tujuan dari pelaku usaha kecuali dipahami sebagai bagian dari rencana kolektif, 2. Adanya fenomena yang dapat dijelaskan secara rasional sebagai hasil dari perjanjian terselubung/ perilaku menyesuaikan (concerted action), 3. Bukti yang menunjukkan bahwa pelaku usaha menciptakan kesempatan untuk berkomunikasi, 4. Ketiadaan kredibilitas, rasionalitas tindakan bisnis dari perilaku yang dicurigai, atau adanya presentasi rasionalitas antara keuntungan dan kerugian tanpa itikad baik dari perilaku tertentu. Bentuk persekongkolan tender yang terjadi sering kali berupa price fixing antar peserta tender. Price fixing dalam tender antara lain dimungkinkan karena adanya pertukaran informasi harga antar peserta tender. Pertukaran informasi tidak termasuk dalam pengertian perjanjian (agreement) dalam konteks UU No. 5 Tahun 1999. Namun pertukaran informasi termasuk dalam facilitating practices. Praktek demikian cenderung akan, menghambat persaingan terutama jika tidak ada rasionalitas bisnis yang jelas mengenai perilaku tersebut. Penerapan penggunaan bukti tidak langsung bukan hal yang mudah. Seperti yang dikutip dari OECD, Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement, disebutkan bahwa: 183 Circumtantial evidence (indirect evidence) can be difficult to interpret, however. Economic evidence especially can be ambiguous, consistent with either concerted or independent action. The better practice is to consider circumstantial evidence in a case a whole, giving it cumulative effect, rather than on an item-by-item basis, and to subject economic evidence to careful economic analysis.
(...)It is important to note that conduct decribed as facilitating practices is not necessarily unlawful. But where a competition authority has found other circumstantial evidence pointing to the existence of a cartel agreement, the existence of facilitating practices can be an important complement Dari apa yang diatur oleh OECD diatas, maka penggunaan indirect evidence dalam kasus dugaan kartel haruslah dapat dilakukan dengan pendekatan 183
Lihat putusan Interstate Circuit, Inc v. United States, 306 U.S. 208
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
112
metodologis ekonomi. Dari apa yang dinyatakan dalam OECD di atas, maka dapat disimpulkan: 1.
Boleh menggunakan indirect evidence tapi harus konsisten dan tidak boleh mengambil secara parsial.
2.
Existence of
facilitating practices yaitu dimana adanya faktor
pendukung yang disebut dengan plus factor dan facilitating devices yaitu institutional arrangements that enhance incentives to form a cartel or reduce incentives to cheat on fellow conspirators once a cartel is in operation.184 Hal ini merupakan faktor penentu yang dibutuhkan untuk memperkuat keyakinan akan bukti ekonomi dan lain-lain. Yahya Harahap menyatakan bahwa alat bukti petunjuk merupakan isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan dimana isyarat itu mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari persesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.185 Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 untuk dapat dibuktikan adanya persekongkolan tender maka Majelis KPPU harus dapat membuktikan unsur: (i) pelaku usaha; (ii) bersekongkol; (iii) pihak lain; (iv) untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender; dan (v) unsur mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Indirect evidence dan facilitating practices yang digunakan untuk membuktikan adanya persekongkolan dalam perilaku conscious parallelism
dapat
persekongkolan.
memberikan Namun
perlu
standar bagi diingat
KPPU dalam
bahwa
dengan
pembuktian
adanya
unsur
“mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”, maka menjadi kewajiban KPPU untuk membuktikan bahwa peserta tender
yang terbukti
bersekongkol tidak memiliki justifikasi yang rasional dan kredibel baik secara sosial, keadilan, dan tujuan yang ingin dicapai. Karena memerlukan analisis
184
Terry Calvani & John Siegfried, Economic Analysis and Antitrust Law, Second Edition, (Canada: Brown & Company, 1988), hlm. 139 . 185 Yahya Harahap, Pembahasan dan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, hlm. 310
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
113
tersendiri untuk menentukan apakah persekongkolan yang terjadi dilakukan dengan tujuan untuk mengeliminasi persaingan dengan dampak yang nyata, maka larangan persekongkolan tender dalam pasal 22 harus dibuktikan secara rule of reason. Sehingga meskipun plus factors dapat digunakan untuk membuktikan bahwa tingkat harga penawaran tender yang parallel merupakan hasil persekongkolan, namun tidak semua plus factors dapat memberikan pembuktian apakah persekongkolan yang terjadi dalam tender menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan (Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 j.o Pasal 64 ayat (1) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006) secara tegas mempersyaratkan dalam hal menilai telah terjadi atau tidaknya pelanggaran, maka alat bukti yang digunakan adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk, serta keterangan terlapor. Majelis Komisi menentukan sah atau tidaknya suatu alat bukti dan menentukan nilai pembuktian berdasarkan kesesuaian sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah (pasal 64 ayat (2) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006). Namun selanjutnya keluar peraturan KPPU yang baru Tahun 2010 dimana dalam peraturan yang baru tersebut dinyatakan bahwa pengaturan mengenai minimal dua alat bukti yang sah sudah tidak ada lagi. Hal tersebut memberikan kewenangan dan keleluasaan yang besar kepada KPPU untuk melakukan suatu pembuktian atas adanya dugaan persekongkolan. Selain itu juga Majelis Komisi menentukan sah tidak suatu alat bukti, yang mana terdapat dalam Pasal 72 ayat (2) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010. Jika mengacu pada penjelasan mengenai bukti petunjuk yang terdapat dalam sistem perundang-undangan Indonesia, maka dalam pembuktian oleh KPPU tentang adanya perjanjian tidak tertulis diantara para pelaku tender, menurut saya hakim hanya boleh menjatuhkan sanksi kepada seseorang apabila sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu pelanggaran Undang-Undang benar-benar terjadi dan terdakwalah yang benarbenar melakukannya, hal demikian menurut saya agar KPPU tidak salah menilai perilaku persaingan yang agresif dengan adanya price fixing. Sebab perlu diingat bahwa penggunaan alat bukti petunjuk tidak dapat disamaratakan, melainkan ditentukan case by case.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
114
Dari apa yang terdapat dalam Peraturan KPPU tersebut, maka indirect evidence termasuk dalam kategori bukti petunjuk. Namun didalam Peraturan KPPU tersebut tidak dijelaskan secara lanjut apa saja yang termasuk dalam alat bukti petunjuk, hanya saja Pasal 72 ayat (3) menyebutkan bahwa petunjuk merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Jika hal tersebut tidak ada diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka ada baiknya melihat best practice yang ada di negara-negara lain. Seperti praktek di Amerika Serikat: where they are without direct evidence of a formal agreement, courts may infer the existence of a formal agreement on the basis of circumstantial evidence, some of which is economic in character.186 Memang benar negara-negara anggota OECD dapat menggunakan bukti tidak langsung sebagai alat bukti, namun hal tersebut tidak secara otomatis berlaku dalam sistem hukum Indonesia, apalagi jika pelaku usaha tersebut diancam dengan tindak pidana denda. Bagaimanapun juga suatu pelanggaran tindak pidana harus dibuktikan menurut Hukum Acara Pidana yang ada dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Jika mengacu pada Hukum Acara Perdata, maka pembuktian secara yuridis merupakan persangkaan yang meyakinkan. Persangkaan kenyataan hanya boleh diperhatikan dalam hal undang-undang memperbolehkan pembuktian dengan saksi. Setiap peristiwa yang telah dibuktikan di depan persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan. Prof. Erman Rajagukguk dalam prosiding seminar eksaminasi Putusan No. 25/KPPU-I/ 2009 berpendapat bahwa satu persangkaan saja tidak cukup sebagai alat bukti. Bila di negara lain menganut satu persangkaan saja cukup sebagai alat bukti, bukan berarti di Indonesia hal tersebut berlaku secara otomatis, kecuali hal tersebut diatur dalam undang-undang nasional Indonesia. Pada faktanya di Indonesia, pendekatan persekongkolan tender masih bersifat rule ofreason, oleh karena itu peneegakkannya harus dilakukan secara hati-hati oleh KPPU. Jangan dikarenakan putusan KPPU yang kerap kali
186
Terry Calvany & John Siegfried, Economic Analysis and Antitrust Law, Second Edition, hlm. 172
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
115
dibatalkan oleh Pengadilan Negeri, mengakibatkan lembaga ini kehilangan wibawanya sebagai otoritas penegak persaingan usaha Indonesia. Setiap kasus dan perdebatan yang ada seyogyanya dijadikan masukan oleh KPPU sebagai acuan untuk membuat putusan lebih baik dan taat azas hukum ke depan. Hal ini juga menjadi suatu wacana untuk badan legislatif negara ini akan urgensi peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan bukti petunjuk dalam hal terjadinya dugaan persekongkolan tender.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
116
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian mengenai perilaku conscious parallelism dan pengaturan persekongkolan tender di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu bentuk persekongkolan tender adalah adanya price fixing diantara para pesaing. Pada modus persekongkolan price fixing seperti demikian para peserta tender menjadi fokus utama sebagai indikasi persekongkolan horizontal. Perilaku conscious parallelism bukan merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hukum Persaingan Usaha khususnya tender. Perilaku demikian memerlukan adanya penelitian lebih jauh agar persaingan harga yang agresif tidak disalahpahami sebagai price fixing, namun kenyataan bahwa terjadi conscious parallelism demikian memberikan sinyal bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk lebih mencermati adanya kemungkinan price fixing. Untuk itu selain untuk melengkapi rule of reason
dalam
membuktikan dugaan persekongkolan tender yang timbul sebagai price fixing, konsep plus factors yang sering digunakan oleh pengadilan Amerika Serikat sebagai bukti tambahan dalam mengidentifikasi perilaku saling menyesuaikan (concerted action) dari conscious parallelism
dapat menjadi salah satu
benchmark bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam memeriksa dugaan persekongkolan tender untuk membedakan adanya price fixing dengan persaingan yang agresif.
B. Saran Berdasarkan tinjauan pendekatan perilaku conscious parallelism untuk membuktikan persekongkolan tender, maka beberapa saran yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut: 1. KPPU hendaknya tidak terlalu terpaku pada Pedoman Pelaksanaan pasal 22, karena pedoman tersebut hanya memberikan indikasi akan adanya kemungkinan persekongkolan tender namun tidak serta merta
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
117
membuktikan bahwa persekongkolan tender tersebut ada. Selain itu KPPU juga harus memperjelas ruang lingkup dari unsur-unsur dalam pasal 22. Unsur “mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat” dalam pasal 22 memerlukan kajian lebih lanjut hal ini dikarenakan perkembangan kegiatan ekonomi yang pesat perlu diimbangi dengan cara-cara analisis dan pembuktian yang berkembang sebagai modal awal untuk mengawal persaingan usaha itu sendiri.
2. Ada
baiknya
bila
KPPU
selalu
mempelajari
pertimbangan-
pertimbangan keputusan otoritas lembaga pengawas persaingan usaha di negara-negara maju lainnya sebagai bahan rujukan untuk memeriksa dugaan-dugaan
pelanggaran
persaingan
usaha
khususnya
persekongkolan tender. Dengan mengadopsi best practices otoritas pengawas persaingan usaha di negara-negara lain akan menambah kemampuan KPPU dalam memeriksa perilaku-perilaku bisnis pelaku usaha untuk membedakan persaingan yang agresif dengan adanya pelanggaran hukum persaingan usaha.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
118
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Anggraini, A.M. Tri. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat : Per se Illegal atau Rule of Reason. Jakarta: Badan Penerbit Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003. Areeda, Philip dan Herbert Hovenkamp. Antitrust Law: An Analysis of Antitrust Principles and Their Application, New York: Aspen Law and Bussiness, 2006. Asian Development Bank (ADB). Jalan Menuju Pemulihan Untuk Memperbaiki Iklim Investasi di Indonesia. 2005. Baker, Jonathan B. dan Timothy F.Bresnahan. ed., Economic Evidence in Antitrust: Defining Market and Measuring Market Power. Cambridge: MIT Press,2008. Bakhri, Syaiful. Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana. Jakarta: Total Media, 2009 Byrne, David dan J.D. Heydon. Cross on Evidence, 3rd Australian edition. Melbourne: Butterworths Pty. Limited, 1986. Calvani, Terry dan John Siegfried. Economic Analysis and Antitrust Law, Second Edition. Canada: Brown & Company, 1988. Campbell, Enid. et al., Legal Research, Materials and Methods. Sydney: The Law Book Company Limited, 1988. Carr , C. J. dan S. J. Beaumont. Law of Evidence, 2nd edition. London: Financial Training Publications Limited, 1989. Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Alumni, 2008. Curzon, L.B. Conspiracy. sixth Edition. England: Pearson Education Limited, 2002. Emson, Raymon. Evidence. Newyork: MacMillan, 1999
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
119
Fuady, Munir. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata).Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006. Gavil et al.. Antitrust Law in Perspective: Cases, Concepts and Problems in Competition Policy ,2d ed., Thomson West, 2008. Hamzah ,Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2001. Hansen, Knud. Law Concerning Prohibition of Monopilistic Practices and Unfair Bussiness Competition. Jakarta: Katalis, 2002. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,ed. 2, cet.3. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. , Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta;Sinar Grafika, 2000), hlm. 35-45. Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Kagramanto, L. Budi. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha). Surabaya : Srikandi, 2008. Khameni, R. Syam et. al.. A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy. Washington DC. and Paris : The World Bank and Organization for Economic Cooperation and Development – OECD, 1999. Maheka, Arya. Mengenali dan Memberantas Korupsi. Pemberantasan Korupsi, 2006,
Jakarta :Komisi
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta:Kencana, 2008. Marzuki, Peter Mahmud. Peneltian Hukum. Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2007. Mertokusumo, Sudikno Hukum Acara Perdata, Cet. 1. Yogyakarta: Liberty, 1977. Najih, Mokhamad. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi Implementasi Hukum Pidana sebagai Instrumen dalam Mewujudkan Tujuan Negara. Malang: In-Trans Publishing, 2008. Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa; Cet. 1.. Jakarta: PT. Intermasa, 1978.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
120
Posner, Richard A.. Antitrust Law, 2nd ed.. Chicago: University of Chicago Press, 2001. Prayoga, Ayudha D. et.al.. (ed), Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia. Jakarta: Elips Project Partnership for Bussiness Competition, 2000. Sacker dan Lohse. Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. Jakarta: GTZ – Katalis Publishing, 2000. Saleh, Wantjik. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Samudra, Teguh. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung: PT Alumni, 2004. Setiadi, Wicipto. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Suatu Perbandingan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta :UI-Press, 1986. Sirait, Ningrum Natasha. Hukim Persaingan di Indonesia. Cet.1, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004. Sitompul, Asril. Praktek Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Subekti, R.. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita, 1988. Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Permasalahannya. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Jasa dan Berbagai
Toha , Kurnia, Ditha Wiradiputra, dan Freddy Harris. Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008. Tim Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi Universitas Indonesia. UndangUndang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi Universitas Indonesia, 2000. Waluyo, Bambang. Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Yuhassarie, Emmy et.al. Prosidig, Rangkaian Lokakarya Terbatas MasalahMasalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004,
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
121
Undang-Undang No.5/99 dan KPPU, 17-18 Mei 2004. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana . Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003. LN No. 120 Tahun 2003.
. Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan usaha tidak Sehat, UU No. 5 tahun 1999, LN No.33 tahun 1999, TLN No. 3817 JURNAL &ARTIKEL Aldor, Leslie. Oligopolistic Conscious Parallelism Under the Competition Law of the USA. 16 Federal Law Review 74 (1986): 90. Appel, Dustin. Air Cargo Fuel Surcharges and Tacit Collusion Under the Sherman Act: What Good Is Catching a Few Bad Guys if Consumers Still Get Robbed? 73 J. AIR L. & COMM. (2008): 375-376. Baker, Jonathan B. Mavericks, Mergers, and Exclusion: Proving Coordinated Competitive Effects Under the Antitrust Laws. 77 NewYork Law Review 135 (2002): 65. Bork, Robert H. The Rule Of Reason and The Per Se Concept: Price Fixing and market Division, The Yale Law JournaI (Januari 1966 vol.75): 375. C.F. Conscious parallelism-fact or fancy?. 3 Stanford Law Review (1951): 679680
Clark, Donald S. Price-Fixing Without Collusion: An Antitrust Analysis of Facilitating Practices After Ethyl Corp., Wisconsin Law Review 887 (1983 ): 915. Dibadj, Reza. Conscious Parallelism Revisited. San Diego Law Review (2010 vol.47): 601. , Saving Antitrust. 75 University of Colombia Law Review (2004): 745. Krisanto, Yakub Adi. Terobosan Hukum Putusan KPPU dalam Mengembangkan Penafsiran Hukum Persekongkolan Tender (Analisis Putusan KPPU terhadap Pasal 22 UU No. 5/1999 Pasca Tahun 2006). Jurnal Hukum Bisnis (Volume 27 – No. 3, 2008): 64. Haberbush, Kara L. Limiting The Government’s Exposure to Bid Rigging Schemes : A Critical Look at The Sealed Bidding Regime. Public Contract Law Journal, American Bar Association (2000): 4. Okatani, Naoki. Regulation on Bid Rigging in Japan, The United Sates and Europe”, Pacific Rim Law&Policy Journal (Maret 1995): 250.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
122
Kovacic, William E. An Integrated Competition Policy to Deter and Defeat Cartels. 51 Antitrust Bulletin (2006): 813-815. , The Identification and Proof of Horizontal Agreements Under the Antitrust Laws. 38 Antitrust Bulletin 5 (1993): 34. Krisanto, Yakub Adi. Analisis Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan tentang Persekongkolan Tender. Jurnal Hukum Bisnis. (vol. 24 No. 2, 2005): 41-42. Marshall , Robert C. dan Michael J. Meurer. Bidder Collusion and Antitrust Law: Refining the Analysis of Price Fixing to Account for The Special Features of Auction Markets, 72 Antitrust Law Journal No.1 (2004) : 118. Piraino, Jr., Thomas A. Regulating Oligopoly Conduct Under the Antitrust Laws. Minnesota Law Review 9 (2004): 9-10. Simonetti, D.J. Conscious Parallelism and the Sherman Act: An Analysis and Proposal. 34 Vanderbilt Law Review. (1977): 1227-1228. Turner, Donald F. The Definition of Agreement Under the Sherman Act: Conscious Parallelism and Refusals To Deal. 75 Harvard Law Review (1962): 671. Werden, Gregory J. Economic Evidence on the Existence of Collusion: Reconciling Antitrust Law with Oligopoly Theory, 71 Antitrust Law Journal (2004): 719. MAKALAH Siswanto, Ari. “Bid Rigging” sebagai Tindakan Antipersaingan Dalam Jasa Konstruksi, Makalah disampaikan pada Refleksi Hukum UKSW, Salatiga, April-Oktober, 2001.
KAMUS Black, Henry Campbell. Black Law Dictionary. St. Paul Minnesotta : West Publishing ,1990. TIM Prima Pena. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gita media Press, 2000. Webster, Merriam. Merriam Webster’s Dictinary of Law. Massachussets : Spriengfields, 1996.
INTERNET OECD, “Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement, Policy Brief” Edisi 2006, http://www.oecd.org/dataoecd/11/30/38704302.pdf, diunduh 9 Mei 2012, hlm. 21
Hadi,Hernawan. Studi tentang persekongkolan http://hernawanhadi.blogspot.com/2011/06/studi-tentangpersekongkolan-tender.html. 5 Maret 2012 .
tender,
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.
123
Hylton, Keith N. Anti trust Law : Economic Theory and Common Law Evolution , . 3 Mei 2012.
Louis Kaplow, On the Meaning of Horizontal Agreements in Competition Law, Discussion Paper691, , diunduh 10 April 2012 pukul 23.57, lihat juga Robert H. Porter, Detecting Collusion, 26 REV.INDUS.ORG. (2005)
Sekar. Implementasi Perluasan-perluasan Tender dalam pasal 22 uu No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persainganusaha tidak sehat, http://sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/implementasiperluasan-istilah-tender-dalam-pasal-22-uu-no-5-tahun-1999-tentangMaret larangan-praktik-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat/.6 2012.
Universitas Indonesia
Analisis perilaku..., Kristiono Utama, FH UI, 2012.