ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN
OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H14102059
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
SUSI SANTI SIMAMORA. Analisis Perbandingan Iklim Investasi: Indonesia Versus Beberapa Negara Lain (dibimbing oleh D. S. PRIYARSONO). Masalah umum yang dihadapi banyak negara seperti negara Indonesia adalah masalah kemiskinan dan pengangguran. Kedua masalah tersebut saling berkaitan yang tidak akan terpisahkan selama salah satu dari masalah tersebut belum terselesaikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2005 mencapai 30,88 persen atau mencapai 35,1 juta jiwa dan jumlah pengangguran sebanyak 11,19 juta jiwa, merupakan masalah yang harus diselesaikan. Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dan laju inflasi meningkat pesat yang berakibat pada penurunan taraf hidup rakyat Indonesia yang merosot tajam dan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Iklim investasi yang baik merupakan salah satu faktor utama sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan melalui peningkatan investasi. Iklim investasi adalah suatu kumpulan faktor-faktor lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan dorongan bagi badan usaha untuk melakukan investasi secara produktif, menciptakan pekerjaan dan perkembangan kegiatan usaha. Iklim investasi yang baik merupakan iklim investasi yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya bagi badan usaha saja. Peningkatan iklim investasi adalah daya penggerak bagi pertumbuhan perekonomian suatu negara. Penelitian ini selanjutnya akan melakukan analisis statistik terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi iklim investasi. Pengolahan data dilakukan dengan regresi linear berganda menggunakan metode estimasi kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS) yaitu dengan menggunakan program Minitab 13 dan Microsoft Excel dengan data cross section tahun 2002. Kemudian akan dilakukan uji signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi iklim investasi. Dari data yang diperoleh akan diketahui seberapa besar minat investor terhadap Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh melalui laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi di berbagai negara. Dengan melakukan survei terhadap 21 negara serta menyusun indikator-indikator yang mempengaruhi iklim investasi yaitu masalah ketidakpastian kebijakan, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti, masalah peraturan administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah penyediaan pendanaan, masalah perizinan dan masalah keterampilan tenaga kerja. Kebijakan-kebijakan dan berbagai tindakan pemerintah memainkan peranan penting dalam membentuk iklim investasi. Pemerintah bisa mempengaruhi iklim investasi melalui dampak dari kebijakan pemerintah atas biaya dan risiko serta tindakan pemerintah atas pembatasan bagi persaingan yang
dihadapi oleh perusahaan-perusahaan. Keputusan-keputusan tersebut memiliki implikasi yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat kemiskinan di setiap negara. Memperbaiki kebijakan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah akan membentuk iklim investasi yang mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Hal ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 yaitu berupa paket kebijakan perbaikan iklim investasi pada tanggal 27 februari 2006. Terdiri dari masalah kelembagaan pelayanan investasi, masalah sinkronisasi peraturan pemerintah pusat dan peraturan daerah serta kejelasan ketentuan kewajiban investor mengenai dampak lingkungan, masalah kepabeanan dan cukai, masalah perpajakan, masalah ketenagakerjaan, serta masalah Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK). Dalam penelitian ini lebih lanjut akan dianalisis relevansi paket kebijakan yang disusun pemerintah dengan melihat keadaan iklim investasi di Indonesia berdasarkan laporan Bank Dunia. Hasil analisis menunjukkan bahwa di antara faktor-faktor yang mempengaruhi iklim investasi. Pada persamaan regresi analisis iklim investasi di beberapa negara menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu masalah ketidakpastian kebijakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti, masalah administrasi perpajakan dan masalah perizinan berpengaruh signifikan pada derajat kepercayaan sepuluh persen (α = 10 %). Artinya, ke lima variabel bebas tersebut masih merupakan hambatan bagi berlangsungnya iklim investasi di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Berdasarkan analisis ekonomi, tidak semua variabel bebas yang digunakan dalam persamaan menghasilkan koefisien yang sesuai dengan tanda yang diharapkan dalam hipotesis. Tanda pada variabel masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti dan masalah tingkat tarif pajak tidak sesuai dengan hipotesis. Iklim investasi di Indonesia masih tergolong rendah, hal ini terbukti dari data yang dilaporkan Bank Dunia bahwa Indonesia merupakan tujuan investor yang ke 155 negara. Di Asia Tenggara sendiri, iklim investasi Indonesia hanya lebih baik sedikit dibandingkan dengan negara Myanmar. Iklim investasi Indonesia masih tergolong buruk, bila dibandingkan dengan iklim investasi negara-negara lain. Melihat keterpurukan iklim investasi di Indonesia, pemerintah telah menyiapkan berbagai kebijakan dan peraturan yang dimuat dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 mengenai paket kebijakan perbaikan iklim investasi pada tanggal 27 februari 2006. Tindakan ini merupakan langkah awal yang baik untuk memulihkan iklim investasi di Indonesia. Jika pemerintah dan swasta serius dalam melaksanakan kebijakan ini maka pemerintah bisa mengembalikan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.
ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN
Oleh SUSI SANTI SIMAMORA H14102059
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama
: Susi Santi Simamora
NRP
: H 14102059
Departemen
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Perbandingan Iklim Investasi: Indonesia Versus Beberapa Negara Lain
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MS NIP. 131 578 814 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2006
Susi Santi Simamora H14102059
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Medan, 13 Juli 1984 sebagai anak tunggal dari pasangan alm. Mesra Simamora dan Kartini Sigalingging. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Impres Simpang Tiga Sidikalang pada tahun 1996, kemudian menyelesaikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 3 Sidikalang pada tahun 1999 dan menyelesaikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 1 Cijeruk Bogor pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK).
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Bapa Jehovah atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul ”Analisis Perbandingan Iklim Investasi: Indonesia Versus Beberapa Negara lain” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Iklim investasi merupakan topik yang menarik karena dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di suatu negara, khususnya Indonesia. Selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi, penulis banyak memperoleh bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan rasa penghargaan yang tulus kepada: 1. Bapak Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MS selaku Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 2. Ibu Wiwiek Rindayati, MSi sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 3. Bapak Jaenal Effendi, MA sebagai dosen penguji wakil Komisi Pendidikan yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 4. Bapak Prof. Roy Sembel dan Ibu Fifi Sembel, sebagai orang tua bagi penulis dan memberikan kesempatan bagi penulis untuk kuliah di IPB. 5. Orang tua dan keluarga besar, atas dukungan doa dan motivasi kepada penulis. 6. Semua mahasiswa/mahasiswi ekbang 39 atas kebersamaannya selama ini. 7. Keluarga besar UKM PMK IPB atas dukungan dan doanya bagi penulis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada hal-hal yang kurang sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, September 2006
Susi Santi Simamora H14102059
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ..................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
vii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ………………………………………
7
1.3 Tujuan Penelitian ..............................................................
8
1.4 Ruang Lingkup ...................................................................
9
1.5 Kegunaan Penelitian ...........................................................
10
BAB II. PENDEKATAN TEORETIS 2.1. Tinjauan Pustaka ................................................................
11
2.1.1. Pengertian Investasi ...................................................
11
2.1.2. Definisi Iklim Investasi ………………………….....
12
2.1.3. Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) …............................................................…...
13
2.1.4. Indikator yang Mempengaruhi Iklim Investasi ….....
14
2.1.5. Metode Estimasi Parameter: Ordinary Least Square (OLS) ……………................………....
18
2.2. Penelitian Terdahulu ...........................................................
19
2.3. Kerangka Pemikiran .............................................................
20
2.4. Kerangka Pemikiran Operasional …....................................
22
2.5. Hipotesis Penelitian ..............................................................
23
2.6. Definisi Operasional .............................................................
24
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data .........................................................
27
3.2. Metode Analisis ....................................................................
28
3.2.1. Statistika Deskriptif ....................................................
28
3.2.2. Statistika Inferensia : Analisis Regresi …………....…
29
3.3. Metode Evaluasi Kebijakan Iklim Investasi ………….…….
39
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Iklim Investasi di Indonesia ...................
41
4.2. Gambaran Iklim Investasi di Beberapa Negara ...................
44
4.3. Iklim Investasi di China, India dan Uganda .......................
52
4.4. Hasil Estimasi Fungsi Regresi ...........................................
55
4.4.1. Uji Ekonometrika
....................................................
56
4.4.2. Uji Statistik Model …………………………............
58
4.5. Analisis Ekonomi ................................................................
60
4.6. Relevansi Paket Kebijakan Pemerintah dengan Melihat Keadaan Iklim Investasi di Indonesia .................................
64
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ........................................................................
74
7.2. Saran .................................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
76
LAMPIRAN ...........................................................................................
78
DAFTAR TABEL
Nomor 4.1. Hasil Estimasi Regresi Variabel Iklim Investasi (IC) ......................
Halaman 55
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.1. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia .......................................
Halaman 1
1.2. Persentase Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran di Indonesia ...........................................................
2
1.3. Perkembangan Investasi Swasta Domestik dan Investasi Asing di 92 Negara-Negara Berkembang .................................................
4
1.4. Biaya dan Banyaknya Hari dalam Memulai Suatu Usaha ..................................................................................
5
2.1. Hubungan Investasi dengan Pertumbuhan Ekonomi .....................
12
2.2. Kurva Hubungan Investasi dengan Tingkat Suku Bunga ...................................................................................
14
4.1. Perkembangan PMA dan PMDN di Indonesia (1973-2002) ...................................................................................
41
4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Iklim Investasi di Beberapa Negara .......................................................................
45
4.3. Perbandingan Masalah Perizinan Memulai Usaha, Masalah Administrasi Perpajakan, Masalah Tingkat Tarif Pajak dan Masalah Penyediaan Dana di Berbagai Negara ...........................
46
4.4. Masalah Korupsi dan Masalah Pembayaran Suap dalam Berinvestasi ...................................................................................
48
4.5. Perbandingan Masalah Peraturan Ketenagakerjaan dan Masalah Keterampilan Tenaga Kerja ..........................................
50
4.6. Masalah Ketersediaan Fasilitas Keuangan dan Listrik ................
51
4.7. Pertumbuhan Investasi Swasta Terhadap Tingkat Kemiskinan di Cina, India dan Uganda ........................................
54
4.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Iklim Investasi Survei Bank Dunia Terhadap 53 Negara ........................................................... 4.9. Masalah Fasilitas Pendanaan dan Masalah Infrastruktur di
62
Beberapa Negara ..........................................................................
63
4.10. Jumlah Hari yang Dibutuhkan dalam Memulai Usaha ...................
65
4.11. Persentase Tarif Pajak Perusahaan di Berbagai Negara ............................................................................................
70
4.12. Kontribusi Usaha Kecil dan Menengah Terhadap PDB .................
72
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Analisis Regresi ......................................................................
79
2. Uji Heteroskedastisitas ............................................................
80
3. Uji Normalitas .........................................................................
81
4. Lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia (Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi) Nomor 3 Tahun 2006 pada tanggal 27 Februari 2006 .............................
82
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah umum yang dihadapi banyak negara seperti negara Indonesia adalah masalah kemiskinan dan pengangguran. Kedua masalah tersebut saling berkaitan yang tidak akan terpisahkan selama salah satu dari masalah tersebut belum terselesaikan. Tingkat kemiskinan yang tinggi disebabkan oleh rendahnya pendapatan per kapita di masyarakat. Pendapatan masyarakat yang rendah, pada umumnya disebabkan oleh gaji buruh yang tidak mencukupi dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Persentase Penduduk Miskin
60
50
50
45 40
40
35 30
30
25 20
20
15
Persentase (%)
Jumlah (Juta)
Jumlah Penduduk Miskin (juta)
10
10
5 0
0 1996
1997
1998
1999
2000 2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Sumber: BPS Statistik Indonesia 2005 (diolah).
Gambar 1.1. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Berdasarkan Gambar 1.1. jumlah penduduk miskin pada tahun 1996 adalah sebanyak 34,5 juta jiwa atau 33,5 persen dari penduduk Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pada tahun 1976, jumlah penduduk
miskin mencapai 40,1 persen atau mencapai 54,2 juta jiwa. Tahun 1997 jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan menjadi 49,5 juta jiwa, atau sekitar 47,6 persen dari penduduk Indonesia. Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami sedikit penurunan menjadi 45,6 persen atau sebanyak 48,4 persen. Angka kemiskinan pada tahun 2001 sebanyak 37,9 juta jiwa atau 34,63 persen dari jumlah penduduk Indonesia, mengalami penurunan dari tahun 2000 sebesar 2,35 persen. Jumlah penduduk miskin nasional sejak tahun 2002 sampai tahun 2005 mengalami penurunan. Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 30,88 persen atau mencapai 35,1 juta jiwa. Pertumbuhan Ekonomi (%)
12
10
10
5
8
0
6 -5
4
-10
2 0
Pertumbuhan (%)
Pengangguran (Juta Jiwa)
Pengangguran (Juta Jiwa)
-15 1996
1998
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Sumber: Depnakertrans Indonesia 2005.
Gambar 1.2. Persentase Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran di Indonesia Masalah pengangguran, berdasarkan grafik Gambar 1.2. sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2005 selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 jumlah penduduk yang menganggur adalah sebanyak 11,19 juta jiwa, merupakan angka penganguran yang sangat tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut survei Badan Pusat Statistik laju pertumbuhan ekonomi yang paling cepat mengalami perubahan adalah pada tahun 1996 sampai dengan tahun 1998, yaitu dari 7,82 persen menjadi -13 persen. Hal ini disebabkan terjadinya krisis moneter antara tahun 1997 sampai dengan tahun 1998 di Indonesia. Berdasarkan grafik tersebut juga diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 mengalami peningkatan. Pada tahun 2002, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 3,66 persen dan selalu mengalami peningkatan sampai tahun 2005 yaitu sebesar 5,03 persen. Berdasarkan teori ekonomi seharusnya peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti penurunan tingkat pengangguran, tetapi melalui grafik di atas untuk kasus di Indonesia teori tersebut tidak terjadi. Memperbaiki iklim investasi merupakan hal penting yang memberikan berbagai kesempatan dan insentif bagi badan usaha untuk melakukan investasi secara produktif, menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong setiap badan usaha untuk berkembang. Oleh karenanya iklim investasi yang baik salah satu faktor utama sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan dalam berbagai indikator perekonomian yang dapat mempengaruhi tingkat pembangunan suatu negara. Pertumbuhan perekonomian suatu negara dapat dilihat dari Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. GDP merupakan ukuran terbaik dari kinerja perekonomian. GDP mengukur pendapatan total dan pengeluaran total nasional terhadap output barang dan jasa
perekonomian. Pemerintah dapat meningkatkan perekonomian melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang dikendalikan oleh Bank Sentral. Salah satu penghalang utama bagi setiap negara dalam mencapai pertumbuhan perekonomian adalah kekurangan pemenuhan akan modal. Apabila masalah kekurangan penyediaan akan modal tersebut dapat teratasi, maka terjadi proses pembangunan. Pemerintah diharapkan tidak selalu menggantungkan pertumbuhan ekonomi hanya pada konsumsi dan pengeluaran pemerintah saja, tetapi pemerintah perlu memperhatikan komponen lain yang lebih baik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, misalnya melalui rangsangan pada investasi. Oleh karena itu, peran investasi dalam pertumbuhan ekonomi tidak dapat diabaikankan.
Investasi Swasta Domestik
20 00
19 90
19 80
Persentase Terhadap PDB
Investasi Asing
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Tahun
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 1.3. Perkembangan Investasi Swasta Domestik dan Investasi Asing di 92 Negara-Negara Berkembang Berdasarkan laporan Bank Dunia terhadap survei yang dilakukan pada 92 negara berkembang bahwa pada umumnya sejak tahun 1980-an sampai tahun
2000-an investasi swasta domestik jauh mendominasi kontribusi terhadap PDB dibandingkan dengan investasi asing. Hal ini membuktikan bahwa kepercayaan investor asing untuk menanam modal di negara berkembang masih sangat rendah. Tapi dapat kita ketahui melalui Gambar 1.3. minat para investor asing setiap tahunnya mengalami peningkatan, yang perlu diperhatikan oleh negara berkembang dan harus dipertahankan. Jalannya kegiatan investasi di Indonesia dan beberapa negara lainnya tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dikarenakan masih tingginya risiko berinvestasi, seperti permasalahan ketidakpastian hukum dan keamanan serta berbagai indikator-indikator yang dikemukakan oleh Bank Dunia. Banyak faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan iklim investasi yang harus diselesaikan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Jumlah Hari Memulai Usaha 70 60 50 40 30 20
Jumlah Hari
PDB per kapita
Biaya Untuk Memulai Usaha 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
10 0 Negara Berpendapatan Negara Berpendapatan Negara Berpendapatan Rendah Menengah Tinggi Negara
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 1.4. Rata-Rata Biaya dan Banyaknya Hari dalam Memulai Suatu Usaha Survei Bank Dunia melaporkan bahwa secara umum negara-negara yang berpendapatan rendah jauh lebih tinggi biaya untuk memulai suatu usaha dan dibutuhkan lebih banyak waktu untuk memulai suatu usaha. Bagi negara
berpendapatan menengah rata-rata dibutuhkan waktu sebanyak 48 hari dalam memulai suatu usaha, yang diikuti oleh negara berpendapatan tinggi rata-rata sebanyak 27 hari. Banyak regulasi yang menimbulkan biaya bagi para investor, baik dalam bentuk menyesuaikan usaha dengan persyaratan regulasi, untuk membayar pungutan lisensi, untuk menunggu kelambatan dalam mendapatkan persetujuan atau dalam bentuk waktu yang dihabiskan oleh pihak perusahaan untuk berurusan dengan lembaga pemerintahan. Bank Dunia melaporkan (Business News, 21 November 2005) berdasarkan indikator-indikator yang mempengaruhi iklim investasi, menyimpulkan bahwa iklim investasi
di Indonesia adalah yang terburuk di Asia Tenggara, antara
Kamboja dan Filipina. Ditambahkannya, bahwa iklim investasi yang paling baik di Asia Tenggara adalah Malaysia dan Singapura. Menurut hasil survei Bank Dunia juga, terhadap 155 negara di dunia maka Indonesia berada pada peringkat bawah yang menyangkut masalah instabilitas makro, masalah ketidakpastian kebijakan, masalah korupsi, serta masalah regulasi dan masalah administrasi perpajakan. Temuan lainnya Bank Dunia mengungkapkan bahwa Indonesia berada pada peringkat tertinggi dalam masalah biaya pemutusan kerja karyawan, jauh lebih buruk dibandingkan negara Vietnam. Memperbaiki iklim investasi yang ada merupakan suatu hal yang penting bagi pemerintah di setiap negara. Suatu iklim investasi yang baik akan memberikan kesempatan-kesempatan dan insentif bagi badan usaha untuk melakukan investasi secara produktif dan menciptakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu iklim investasi yang baik memainkan suatu peranan penting dalam
pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Iklim investasi yang baik akan meningkatkan manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, yang memberikan berbagai kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan keadaan dirinya. Melihat pentingnya iklim investasi bagi pertumbuhan perekonomian suatu negara, maka faktor-faktor yang mempengaruhi iklim investasi sangat penting untuk diperhitungkan oleh setiap negara. Berbagai indikator-indikator yang mempengaruhi iklim investasi dapat dijadikan alat kendali pemerintah dalam upaya peningkatan iklim investasi yang kondusif, yang pada akhirnya akan memacu pertumbuhan perekonomian di berbagai negara di dunia.
1.2. Perumusan Masalah Investasi memberikan kontribusi yang berarti terhadap perekonomian suatu negara. Iklim investasi yang baik akan mendorong tumbuhnya investasi sektor swasta yang produktif yang berfungsi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan. Hal ini juga akan menciptakan lapangan pekerjaaan bagi masyarakat. Iklim investasi yang baik akan memperluas jenis barang dan jasa yang tersedia yang akan mengurangi tingkat harga barang dan jasa yang bermanfaat bagi konsumen. Untuk jangka panjang perbaikan iklim investasi akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini akan menganalisis secara deskriptif bagaimana keadaan iklim investasi di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Dengan melihat iklim investasi di Indonesia akan dilihat relevansi paket kebijakan yang disusun oleh
pemerintah yaitu Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 berupa paket kebijakan perbaikan iklim investasi pada tanggal 27 februari 2006. Penelitian ini juga akan menganalisis secara statistik bahwa iklim investasi di beberapa negara dipengaruhi oleh masalah ketidakpastian kebijakan, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti, masalah peraturan administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah penyediaan pendanaan, masalah perizinan dan masalah keterampilan tenaga kerja. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dianalisis lebih lanjut mengenai iklim investasi di beberapa negara yang dipengaruhi oleh berbagai indikator-indikator yang dikemukakan oleh Bank Dunia. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Seberapa besar minat investor terhadap Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara lainnya? 2. Faktor-faktor apa yang secara signifikan mempengaruhi iklim investasi di beberapa negara? 3. Bagaimana relevansi paket kebijakan yang disusun pemerintah dengan melihat keadaan iklim investasi di Indonesia pada masa kini?
1.3. Tujuan Penelitian Melihat permasalah yang ada maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis besarnya minat investor terhadap Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara lainnya.
2. Menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi iklim investasi di beberapa negara. 3. Menganalisis relevansi paket kebijakan yang disusun pemerintah dengan melihat keadaan iklim investasi di Indonesia pada masa kini.
1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup dari penelitian ini adalah menganalisis iklim investasi di 21 negara berdasarkan laporan survei Bank Dunia pada tahun 2005. Pengambilan sampel data dibatasi hanya terhadap 21 negara yaitu Albania, Armenia, Azerbaizan, Belarusia, Bulgaria, Republik Czech, Estonia, Hungaria, Indonesia, Kazakhstan, Kruasia, Latvia, Lithuania, Pakistan, Polandia, Rumania, Rusia, Serbia, Slovakia, Slovenia dan Turki, dikarenakan adanya keterbatasan data yang tersedia. Data kuantitatif berupa angka-angka yang merupakan indikator-indikator yang mempengaruhi iklim investasi berdasarkan laporan survei Bank Dunia tahun 2005 yaitu berupa data masalah ketidakpastian kebijakan, data masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti, data masalah peraturan administrasi perpajakan, data masalah tingkat tarif pajak, data masalah penyediaan fasilitas pendanaan, data masalah perizinan dan data masalah keterampilan tenaga kerja. Pengolahan data dilakukan dengan regresi linear berganda menggunakan metode estimasi kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS) yaitu menggunakan program Minitab 13 dan Microsoft Excel dengan data cross section tahun 2002.
Iklim investasi yang dianalisis adalah dengan mendeskripsikan indikatorindikator yang mempengaruhi kegiatan iklim investasi di Indonesia dan beberapa negara lain. Penelitian ini selain menggambarkan iklim investasi di Indonesia dan juga melihat relevansi paket kebijakan yang disusun pemerintah berdasarkan keadaan iklim investasi di Indonesia pada masa kini.
1.5. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang semakin dalam kepada penulis seputar kegiatan iklim investasi. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi para pembuat kebijakan dan perencana serta pelaksana pembangunan sehingga dapat menentukan strategi pembangunan perekonomian nasional melalui peningkatan iklim investasi. Di samping itu, diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya dalam bidang peningkatan iklim investasi.
BAB II PENDEKATAN TEORETIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pengertian Investasi Dalam konteks makroekonomi, investasi merupakan pergerakan arus pengeluaran yang dapat menambah stok modal secara fisik, seperti pembangunan rumah, pembelian mesin/peralatan, pembangunan pabrik dan kantor. Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan untuk memperoleh sejumlah keuntungan di masa yang akan datang. Investasi merupakan suatu bentuk penundaan konsumsi di masa sekarang untuk masa akan datang, yang di dalamnya terkandung risiko ketidakpastian, untuk itu dibutuhkan suatu kompensasi atas penundaan tersebut yaitu keuntungan dari investasi (www.e-bursa, 2005). Menurut Mankiw (2000), investasi dalam indentitas pendapatan nasional merupakan investasi rumah tangga dan swasta. Selanjutnya, investasi pemerintah yang merupakan bagian dari pengeluaran pemerintah dimana investasi tersebut berbentuk pembangunan infrastruktur yang dibiayai oleh tabungan. Perubahan dalam permintaan investasi dapat disebabkan oleh adanya pembatasan investasi oleh pemerintah melalui undang-undang perpajakan.
r
S
B
I2
A
I1 Y
Gambar 2.1. Hubungan Investasi dengan Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Gambar 2.1. dapat dilihat bahwa kenaikan dalam permintaan barang-barang investasi akan mengeser kurva investasi ke kanan pada tingkat tertentu,
jumlah
investasi
mengalami
peningkatan
yang
menyebabkan
keseimbangan bergerak dari titik A ke titik B. Dalam hal ini, karena jumlah tabungan diasumsikan konstan maka kenaikan dari permintaan investasi (I) menyebabkan terjadinya kenaikan suku bunga (r) yang secara umum akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Y).
2.1.2. Definisi Iklim Investasi Bank Dunia (Laporan Pembangunan Dunia, 2005) mendefinisikan bahwa iklim investasi adalah suatu kumpulan faktor-faktor lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan dorongan bagi badan usaha untuk melakukan investasi secara produktif, menciptakan pekerjaan dan perkembangan kegiatan usaha. Suatu iklim investasi yang baik akan mendorong produktivitas yang lebih tinggi dengan memberikan kesempatan-kesempatan dan insentif bagi badan-badan usaha untuk berkembang, menyesuaikan diri dan menerapkan cara-cara yang lebih baik dalam menjalankan investasi. Iklim investasi yang kondusif akan memperkuat pertumbuhan ekonomi yang mendatangkan keuntungan dalam sektor perekonomian. Pertumbuhan
ekonomi merupakan satu-satunya mekanisme yang berkelanjutan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan iklim investasi merupakan daya penggerak bagi pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Iklim investasi yang baik adalah iklim investasi yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya bagi badan usaha saja.
2.1.3. Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) PDB yang disebut juga GDP merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional pada output barang dan jasa (Mankiw, 2000). Para pemikir ekonomi menganggap PDB sebagai ukuran terbaik dalam menilai kinerja perekonomian suatu bangsa. Tujuan PDB adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai uang tunggal dalam periode waktu tertentu. Dalam Mankiw (2000), PDB dibagi dalam empat kelompok pengeluaran yaitu: 1. Konsumsi (C) 2. Investasi (I) 3. Pengeluaran Pemerintah (G) 4. Ekspor Bersih (NX) Dengan menggunakan simbol Y sebagai PDB, menjadi: Y = C + I + G + NX. Mankiw (2000) mengemukakan bahwa investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Investasi di bagi menjadi tiga subkelompok: investasi tetap bisnis, investasi tetap residensi (perumahan) dan investasi persediaan. Jumlah investasi ditentukan oleh besarnya tingkat suku bunga (r). Tingkat suku bunga berhubungan negatif terhadap pertumbuhan
investasi. Berdasarkan Gambar 2.2. dapat disimpulkan bahwa kenaikan tingkat suku bunga akan menyebabkan penurunan investasi, yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Tingkat Bunga Riil, r
Fungsi Investasi, I(r)
Investasi, I
Gambar 2.2. Kurva Hubungan Investasi dengan Tingkat Suku Bunga Menurut Mankiw (2000), umumnya investasi dikategorikan dalam dua jenis yaitu, Real Asset dan Financial Asset. Aset riil merupakan aset berwujud seperti gedung-gedung, kendaraan dan sebagainya, sedangkan aset keuangan adalah dokumen surat-surat klaim tidak langsung pemegangnya terhadap aktiva riil pihak yang menerbitkan sekuritas tersebut.
2.1.4. Indikator yang Mempengaruhi Iklim Investasi Suatu iklim investasi yang baik akan meningkatkan kesempatan dan insentif bagi kegiatan usaha untuk melakukan investasi secara produktif, menciptakan pekerjaan dan pengembangan usaha yang merupakan kunci dalam mewujudkan pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan. Untuk mendapatkan iklim investasi yang baik pemerintah perlu memperhatikan berbagai aspek yang mempengaruhi jalannya iklim investasi tersebut.
1. Masalah ketidakpastian kebijakan Masalah ketidakpastian kebijakan merupakan persentase ketidakpastian kebijakan ekonomi dan peraturan serta interpretasi peraturan-peraturan yang tidak dapat diduga. Regulasi-regulasi dapat meningkatkan risiko bagi perusahaanperusahaan, apabila regulasi-regulasi tersebut sering mengalami perubahan, disusun secara samar maupun tidak jelas atau diinterpretasikan dan dilaksanakan secara tidak konsisten. Akibat yang ditimbulkan oleh setiap hal tersebut menyebabkan ketidakpastian yang lebih besar yang menyulitkan perusahaan untuk membuat keputusan-keputusan jangka panjang mengenai pemasaran, pemilihan teknologi, penyewaan dan pelatihan para pekerja. Ketidakpastian juga akan mengurangi respon terhadap upaya reformasi yang seharusnya memberikan manfaat. 2. Masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak properti Masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti merupakan kendala bagi investor bahwa peradilan dapat menegakkan hak-hak kontraktual dan hak-hak atas properti dalam penyelesaian perselisihanperselisihan usaha. Setiap pemerintahan memiliki hak untuk mengambil alih atau menyita properti pribadi dalam keadaan tertentu. Untuk mengurangi adanya keprihatinan atas pelaksanaan secara sepihak atas kewenangan ini dibutuhkan pencegahan-pencegahan yang kredibel (tidak terpercaya) terhadap penyitaan tanpa kompensasi yang cepat, memadai dan efektif. 3. Masalah administrasi perpajakan
Masalah administrasi perpajakan merupakan berbagai kendala yang di yang dihadapi para investor pada saat mengurus administrasi perpajakan. Peraturan yang berbelit-belit menyebabkan terbuangnya waktu dan biaya karena digunakan oleh pihak manajemen untuk berurusan dengan para pejabat pemerintahan. Birokrasi dan korupsi di administrasi perpajakan merupakan suatu hal yang umum yang melemahkan insentif untuk mematuhi aturan perpajakan dan memberikan kontribusi untuk melakukan kebocoran-kebocoran anggaran. 4. Masalah tingkat tarif pajak Masalah tingkat tarif pajak merupakan salah satu kendala utama dalam pelaksanaan kegiatan iklim investasi di suatu negara. Tarif pajak merupakan fungsi dari besarnya ukuran pemerintahan dan cara pembebanan dialokasikan di antara berbagai alternatif sumber daya. Meskipun terdapat perbedaan dalam pandangan tentang besar ukuran pajak sesuai pemerintahan, porsi pajak dalam PDB di banyak negara berkembang jauh lebih besar daripada di negara maju. Bagian dari beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan-perusahaan dapat dipengaruhi oleh pertimbangan efisiensi dan keadilan serta kekhawatiran yang lebih pragmatis mengenai upaya pengumpulan pendapatan. Pajak perusahaan, pajak langsung atas barang dan jasa serta pajak perdagangan merupakan penerimaan pemerintah lebih dari 70 persen bagi negara-negara berkembang.
5. Masalah penyediaan fasilitas pendanaan
Masalah penyediaan fasilitas pendanaan merupakan ketersediaan fasilitas sumber pendanaan atau kebutuhan akan modal. Pasar finansial berfungsi sebagai sarana penyediaan jasa-jasa pelayanan pembayaran, mobilitas tabungan dan mengalokasikan
pendanaan
kepada
perusahaan-perusahaan
yang
berniat
melakukan investasi. Pasar-pasar finansial bila berfungsi dengan baik akan menghubungkan perusahaan dengan para kreditor dan para investor yang bersedia untuk menanamkan dana mereka serta menanggung dari sebahagian dari risiko yang ada. Tantangan yang mendasar pada penyediaan dana adalah masalah informasi yang sering kali diperburuk oleh lemahnya perlindungan atas lemahnya hak-hak atas properti. 6. Masalah perizinan Masalah perizinan merupakan masalah sulitnya mendapatkan berbagai perizinan dan lisensi usaha dalam suatu negara. Sistem administrasi yang lama, berbelit-belit dan membutuhkan biaya yang besar dalam mengurus suatu perizinan serta lisensi untuk kepentingan usaha, mengakibatkan perusahaan harus mengeluarkan biaya yang besar dan banyak waktu yang terbuang. Keadaan ini akan memaksa para investor mengalami kerugian ataupun harus meninggalkan negara tersebut. 7. Masalah keterampilan tenaga kerja Masalah keterampilan tenaga kerja merupakan masalah ketersediaan angkatan kerja yang terampil pada suatu negara. Memperbaiki iklim investasi harus seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Angkatan kerja
yang berketerampilan merupakan hal yang esensial bagi perusahaan untuk menggunakan teknologi baru yang lebih produktif. Iklim investasi yang lebih baik akan meningkatkan tingkat pengembalian investasi di bidang pendidikan yang berdampak pada peningkatan keterampilan. Pemerintah harus berupaya untuk membuat pendidikan semakin inklusif dan relevan dengan kebutuhan tingkat keterampilan pihak perusahaan, serta menciptakan iklim investasi yang baik bagi para penyedia jasa pendidikan dan pelatihan.
2.1.5. Metode Estimasi Parameter: Ordinary Least Square (OLS) Metode Ordinary Least Square (OLS) merupakan salah satu metode yang sering digunakan karena kemudahannya dalam pengolahan data. Y = α0 + α1x1 + α2x2 + …+ αrxr Keterangan: r
= 1, 2, 3, ..., N
α0
= Intersep
αrxr
= Koefisien kemiringan parsial
i
= Observasi ke-i, dan N merupakan besarnya populasi.
Beberapa asumsi yang menyederhanakan model ini adalah sebagai berikut (Gujarati, 1993): 1.
Nilai rata-rata bersyarat dari unsur gangguan populasi e (galat) tergantung pada nilai tertentu variabel bebas (X) adalah nol.
2.
Tidak ada autokorelasi (korelasi berurutan) dalam gangguan e.
3.
Varians
bersyarat
dari
e1 adalah
konstan
dan
homoskedastitisitas
(penyebarannya sama). 4.
Variabel yang menjelaskan (X) adalah non-stokastik/tidak acak (tetap dalam penyampelan berulang) atau jika stokastik didistribusikan secara independen dari gangguan e1.
5.
Tidak ada multikolinearitas diantara variabel yang menjelaskan (X).
Semua asumsi di atas jika terpenuhi maka penaksir OLS dari koefisien regresi adalah penaksir tak bias linear terbaik atau Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Analisis OLS menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang merupakan penyebab dan variabel Y (variabel terikat) yang merupakan akibat, dengan kata lain OLS merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat.
2.2. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu mengenai analisis iklim investasi di beberapa negara dilakukan oleh Bank Dunia (Laporan Pembangunan Dunia, 2005). Penelitian tersebut menggunakan data primer dengan melakukan survei terhadap para usahawan di berbagai negara. Secara acak Bank Dunia memilih 53 negara sebagai bahan penelitian. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya iklim investasi adalah masalah ketidakpastian kebijakan, masalah korupsi, masalah pengadilan, masalah kriminalitas, masalah peraturan dan administrasi perpajakan,
masalah pendanaan, masalah tenaga listrik, masalah tenaga kerja dan berbagai masalah dalam menjalankan usaha proyek dari Bank Dunia sendiri. Menurut Bank Dunia masih banyak negara yang kegiatan iklim investasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Diharapkan melalui iklim investasi yang baik akan berdampak besar bagi pertumbuhan perekonomian dan pengentasan kemiskinan di suatu negara. Berdasakan survei Bank Dunia bahwa negara Cina, India dan Uganda merupakan negara-negara yang berhasil dalam meningkatkan iklim investasi di negaranya. Dan menurut survei Bank Dunia, Indonesia masih merupakan negara yang memiliki iklim investasi terburuk di dunia yaitu berada di urutan ke 155 dari 175 negara. Penelitian Bank Dunia ini bertujuan sebagai acuan bagi Bank Dunia dalam memberikan pinjaman bagi berbagai negara dan menjalankan proyek Bank Dunia di negara-negara tersebut. Hasil dari penelitian Bank Dunia tersebut juga dapat digunakan sebagai acuan setiap pemerintah negara dalam mengambil kebijakan serta sebagai acuan bagi para investor untuk menanam modal dalam suatu negara.
2.3. Kerangka Pemikiran Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 30,88 persen atau mencapai 35,1 juta jiwa dan jumlah pengangguran sebanyak 11,19 juta jiwa merupakan masalah yang harus diselesaikan. Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dan laju inflasi meningkat pesat yang berakibat pada penurunan taraf hidup rakyat Indonesia yang merosot tajam
dan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Oleh karenanya iklim investasi yang baik salah satu faktor utama sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan. Memperbaiki kebijakan dan setiap tindakan pemerintah akan menciptakan suasana iklim investasi yang akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Kebijakan-kebijakan dan berbagai tindakan pemerintah memainkan peranan
penting
dalam
membentuk
iklim
investasi.
Pemerintah
bisa
mempengaruhi iklim investasi melalui dampak dari kebijakan pemerintah atas biaya dan risiko serta tindakan pemerintah atas pembatasan bagi persaingan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan. Keputusan-keputusan tersebut memiliki implikasi yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat kemiskinan di setiap negara. Memperbaiki kebijakan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah akan membentuk iklim investasi yang baik. Hal ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 yaitu berupa paket kebijakan perbaikan iklim investasi pada tanggal 27 februari 2006, yang terdiri dari masalah kelembagaan pelayanan investasi, masalah sinkronisasi peraturan pemerintah pusat dan peraturan daerah serta kejelasan ketentuan kewajiban investor mengenai dampak lingkungan, masalah kepabeanan dan cukai, masalah perpajakan, masalah ketenagakerjaan, masalah Usaha Kecil dan Menengah serta Koperasi (UKMK). Dalam penelitian ini lebih lanjut akan dianalisis relevansi paket kebijakan yang disusun pemerintah dengan melihat keadaan iklim investasi di Indonesia berdasarkan laporan Bank Dunia.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh melalui laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi di berbagai negara. Dengan melakukan survei terhadap 21 negara serta menyusun indikatorindikator yang mempengaruhi iklim investasi yaitu masalah ketidakpastian kebijakan, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti, masalah peraturan administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah penyediaan fasilitas pendanaan, masalah perizinan dan masalah keterampilan tenaga kerja. Penelitian ini selanjutnya akan melakukan analisis statistik terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi iklim investasi. Pengolahan data dilakukan melalui regresi linear berganda menggunakan metode estimasi kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS) pada periode tahun 2002. Kemudian akan dilakukan uji signifikansi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi iklim investasi. Selanjutnya akan dilakukan statistik deskriptif dengan mengekplorasi data hasil survei Bank Dunia terhadap para usahawan internasional tentang iklim investasi, sehingga dapat diketahui seberapa besar minat investor terhadap Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya. 2.4. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ini menganalisis indikator-indikator yang menentukan iklim investasi di beberapa negara. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi iklim investasi dilakukan dengan: 1.
Mengidentifikasi variabel-variabel ekonomi yang mempengaruhi kondisi iklim investasi suatu negara. Variabel-variabel ekonomi tersebut yaitu
masalah ketidakpastian kebijakan, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak properti, masalah administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah penyediaan fasilitas pendanaan, masalah perizinan dan masalah keterampilan tenaga kerja. 2.
Membuat model pendugaan untuk menganalisis faktor-faktor tersebut dengan menggunakan analisis regresi berganda. Model akan dianalisis untuk menjawab berbagai permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
2.5. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian mengenai analisis iklim investasi di beberapa negara: 1.
Pengaruh masalah ketidakpastian kebijakan terhadap kondisi iklim investasi di beberapa negara adalah negatif.
2.
Pengaruh masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak properti terhadap kondisi iklim investasi di beberapa negara adalah negatif.
3.
Pengaruh masalah administrasi perpajakan terhadap kondisi iklim investasi di beberapa negara adalah negatif.
4.
Pengaruh masalah tingkat tarif pajak terhadap kondisi iklim investasi di beberapa negara adalah negatif.
5.
Pengaruh masalah penyediaan fasilitas pendanaan terhadap kondisi iklim investasi di beberapa negara adalah negatif.
6.
Pengaruh masalah perizinan terhadap kondisi iklim investasi di beberapa negara adalah negatif.
7.
Pengaruh masalah keterampilan tenaga kerja terhadap kondisi iklim investasi di beberapa negara beberapa adalah negatif.
2.6. Definisi Operasional Untuk mempermudah pengukuran variabel dalam penelitian ini dipakai definisi operasional berdasarkan kriteria World Bank, yaitu: 1.
Iklim investasi adalah suatu kumpulan faktor-faktor lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan dorongan bagi badan usaha untuk melakukan investasi secara produktif, menciptakan pekerjaan dan perkembangan kegiatan usaha. Kisaran dari rating iklim investasi mulai dari 0 persen yang terpuruk sampai 100 persen merupakan yang terbaik.
2.
Data
masalah ketidakpastian kebijakan
merupakan
data persentase
ketidakpastian kebijakan ekonomi dan peraturan serta interpretasi peraturanperaturan yang tidak dapat diduga. Kisaran dari rating
masalah
ketidakpastian kebijakan mulai dari 0 persen tidak ada masalah sampai 100 persen merupakan masalah terbesar. Dengan memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah sampai tertinggi yaitu bukan merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar. 3.
Data masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti merupakan data para investor bahwa peradilan dapat menegakkan hak-hak kontraktual dan hak-hak atas properti dalam perselisihanperselisihan badan usaha. Kisaran dari rating masalah ketidakpercayaan
terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti mulai dari 0 persen tidak ada masalah sampai 100 persen merupakan masalah terbesar. Dengan memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah sampai tertinggi yaitu bukan merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar. 4.
Data masalah administrasi perpajakan merupakan administrasi perpajakan yang berbelit-belit menyebabkan
terbuangnya waktu dan biaya karena
digunakan oleh pihak manajemen untuk berurusan dengan para pejabat pemerintahan dan membutuhkan waktu lama. Kisaran dari rating masalah administrasi perpajakan mulai dari 0 persen tidak ada masalah sampai 100 persen marupakan masalah terbesar. Dengan memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah sampai tertinggi yaitu bukan merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar. 5.
Data masalah tingkat tarif pajak merupakan data berupa kendala sangat besarnya tarif pajak di suatu negara. Kisaran dari rating masalah tingkat tarif pajak mulai dari 0 persen tidak ada masalah sampai 100 persen merupakan masalah terbesar. Dengan memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah sampai tertinggi yaitu bukan merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar.
6.
Data masalah penyediaan fasilitas pendanaan merupakan data mengenai masalah akses terhadap pendanaan atau kebutuhan akan modal. Kisaran dari
rating masalah penyediaan fasilitas pendanaan mulai dari 0 persen tidak ada masalah sampai 100 persen merupakan masalah terbesar. Dengan memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah sampai tertinggi yaitu bukan merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar. 7.
Data masalah perizinan merupakan data sulitnya mendapatkan lisensi-lisensi dan perizinan-perizinan usaha dalam suatu negara. Kisaran dari rating masalah perizinan mulai dari 0 persen tidak ada masalah sampai 100 persen merupakan masalah terbesar. Dengan memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah sampai tertinggi yaitu bukan merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar.
8.
Data masalah keterampilan tenaga kerja merupakan data ketersediaan tenaga kerja terampil pada angkatan kerja suatu negara. Kisaran dari rating masalah keterampilan tenaga kerja mulai dari 0 persen tidak ada masalah sampai 100 persen merupakan masalah terbesar. Dengan memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah sampai tertinggi yaitu bukan merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari World Bank. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif yang diperlukan merupakan data yang diperoleh dari laporan World Bank terhadap beberapa negara yaitu Albania, Armenia, Azerbaizan, Belarusia, Bulgaria, Republik Czech, Estonia, Hungaria, Indonesia, Kazakhstan, Kruasia, Latvia, Lithuania, Pakistan, Polandia, Rumania, Rusia, Serbia, Slovakia, Slovenia dan Turki. Pengambilan sampel data dibatasi hanya 21 negara dikarenakan adanya keterbatasan data yang tersedia. Data kuantitatif berupa angka-angka yang merupakan indikator-indikator yang mempengaruhi iklim investasi yaitu berupa data masalah ketidakpastian kebijakan, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti, masalah peraturan administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah penyediaan fasilitas pendanaan, masalah perizinan dan masalah keterampilan tenaga kerja. Data kualitatif berupa informasi dan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan data kuantitatif mengenai investasi maupun tentang faktor-faktor yang yang mempengaruhi investasi dan paket kebijakan perbaikan iklim investasi di Indonesia. Data tersebut diperoleh dari beberapa literatur yang diambil dari laporan World Bank, perpustakaan IPB, Badan Pusat Statistik Indonesia,
Depnakertrans Indonesia, jurnal-jurnal, media massa dan internet. Data yang diperoleh yaitu data sekunder akan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menjelaskan kondisi iklim investasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor berdasarkan kondisi perekonomian dunia. Beberapa hal yang terkait dengan variabel-variabel yang digunakan akan diuraikan secara deskriptif dan dengan bantuan gambar untuk lebih memperjelas uraian. Analisis kuantitatif akan dilakukan dengan menggunakan model regresi non-parametrik. Regresi yang digunakan adalah regresi berganda dengan menggunakan metode estimasi kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS) dan pengolahan data menggunakan program Minitab13
dan Microsoft Excel
dengan data cross section tahun 2002.
3.2. Metode Analisis 3.2.1. Statistika Deskriptif Statistika deskriptif adalah bidang statistika yang membahas tentang cara atau metode mengumpulkan, menyederhanakan dan menyajikan data sehingga bisa memberikan informasi secara efektif. Statistika deskriptif belum sampai pada upaya menarik suatu kesimpulan, tetapi baru sampai pada tingkat memberikan suatu bentuk ringkasan data sehingga masyarakat awam dapat memahami informasi yang terkandung dalam data. Dalam penelitian ini statistika deskriptif disiapkan untuk mengeksplorasi data hasil survei Bank Dunia terhadap para usahawan internasional di 21 negara tentang iklim investasi. Bank Dunia memberikan nilai pada faktor-faktor yang
mempengaruhi jalannya kegiatan iklim investasi, dengan kisaran mulai dari nol persen tidak ada masalah sampai 100 persen merupakan masalah terbesar. Dengan memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah sampai tertinggi yaitu bukan merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar. Sehingga semakin tinggi nilai dari indikator-indikator tersebut akan berdampak negatif terhadap jalannya kegiatan iklim investasi di suatu negara. Dalam penelitian ini, analisis statistika deskriptif
ditampilkan dalam
bentuk grafik. Berdasarkan gambaran tersebut dapat diketahui faktor-faktor apa yang masih merupakan hambatan bagi jalannya kegiatan investasi di suatu negara. Melalui gambaran deskriptif dari data tersebut, dapat diketahui indikator-indikator yang merupakan hambatan terbesar terhadap jalannya iklim investasi di setiap negara. Berdasarkan statistika deskriptif juga dapat dilihat seberapa besar minat para investor terhadap Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
3.2.2. Statistika Inferensia: Analisis Regresi Dalam mengevaluasi hasil pendugaan model pada penelitian ini digunakan beberapa kriteria yaitu kriteria ekonomi, kriteria statistika dan kriteria ekonometrika. Berdasarkan kriteria ekonomi, hasil pendugaan akan dicocokkan dengan teori ekonomi. Menurut kriteria statistik, digunakan standar error untuk menentukan apakah koefisien yang dihasilkan berbeda nyata dengan nol, jika berbeda nyata dengan nol maka dapat diartikan bahwa peubah bersangkutan mempunyai pengaruh yang nyata secara statistik terhadap peubah yang dijelaskan.
Kriteria ekonometrika digunakan untuk mengetahui apakah asumsi-asumsi dari ekonometrika tersebut dapat terpenuhi atau terjadi pelanggaran. Penelitian ini mengangkat beberapa permasalahan yang mempengaruhi iklim investasi. Variabel-variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan riset yang dilakukan oleh World Bank tentang indikator-indikator yang mempengaruhi iklim investasi adalah memakai variabel masalah ketidakpastian
kebijakan,
masalah
ketidakpercayaan
terhadap
pengadilan
mengenai hak-hak atas properti, masalah peraturan administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah penyediaan fasilitas pendanaan, masalah perizinan dan masalah keterampilan tenaga kerja. Model yang didapat merupakan penyesuaian dari riset yang dilakukan World Bank dan teori yang ada sehingga untuk menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dirumuskan model sebagai berikut: IC = α0 + α1PuC + α5TR + α7EC+ α8LR+ α9RBP + α11LC + α13LS + e Keterangan: IC
= Iklim Investasi (persen)
PuC
= Masalah Ketidakpastian Kebijakan (persen)
TR
= Masalah Ketidakpercayaan terhadap Pengadilan Mengenai Hak Atas Properti (persen)
EC
= Masalah Administrasi Perpajakan (persen)
LR
= Masalah Tingkat Tarif Pajak (persen)
RBP
= Masalah Penyediaan Dana (persen)
LC
= Masalah Perizinan (persen)
LS
= Masalah Keterampilan Tenaga Kerja (persen)
e
= Error term
Setelah koefisien masing-masing variabel eksogen dihasilkan maka akan dilakukan uji signifikansi model dan pengujian hipotesis penelitian yang telah dibuat. Pengujian masalah-masalah ekonometrika seperti heteroskedastisitas dan multikolinieritas dilakukan setelah uji signifikansi model dan pengujian hipotesis penelitian. Pengolahan model dalam penelitian ini menggunakan metode estimasi OLS (Ordinary Least Square) yang merupakan salah satu pengolahan data dari ekonometrika. Model regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda dimana terdapat dua variabel yaitu variabel bebas X dan variabel terikat Y. Variabel bebas akan mempengaruhi variabel terikat. 1. Pengujian Terhadap Model Uji F-statistik digunakan untuk menduga persamaan secara keseluruhan. Uji F-statistik dapat menjelaskan kemampuan variabel bebas secara bersama dalam menjelaskan keragaman dari variabel terikat. Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan adalah variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat, hal ini disebut sebagai hipotesis nol. Untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan secara serentak (uji F-statistik), mekanisme yang digunakan adalah: H0
: α1 = α2 = ... = αi = 0 (tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan )
H1
: minimal salah satu αi ≠ 0
(paling sedikit ada 1 variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat) untuk : i = 1, 2, 3, ..., k α = dugaan parameter Statistik uji yang dilakukan dalam uji-F (Gujarati, 1993): R² / k-1 F-hitung = (1-R² ) / n-k Keterangan: R²
= Koefisien determinasi
n
= Banyaknya titik pengamatan
k
= Jumlah koefisien regresi dugaan
Dimana hasil dari F-hitung dibandingkan dengan F tabel (F-tabel = Fα(k-1, n-k)). Kriteria uji: F-hitung > Fα(k-1, n-k), maka tolak H0 F-hitung < Fα(k-1, n-k), maka terima H0 Langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian dimana F-hitung dari hasil analisis dibandingkan dengan F tabel. Jika F-hitung > F tabel maka tolak H0, berarti ada minimal satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel terikat. Jika F-hitung < F tabel maka terima H0, berarti secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel terikat.
2. Pengujian Hipotesis Parameter Regresi Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas berpengaruh pada variabel terikatnya. Hipotesis: H0
: αi = 0
H1
: αi ≠ 0
i = 1, 2, 3
Uji statistik yang digunakan adalah uji t (Gujarati, 1993): α-α t-hitung = Sb Keterangan: α
: Koefisien regresi parsial sampel
α
: Koefisien regresi parsial populasi
Sb
: Simpangan baku koefisien dugaan
Dimana hasil dari t hitung dibandingkan dengan t-tabel (t-tabel = tα/2 (n-k)). Kriteria Uji: t-hitung > tα/2 (n-k), maka tolak H0 t-hitung < tα/2 (n-k), maka terima H0 Hasil yang didapatkan dari perbandingan tersebut jika t-hitung > t-tabel maka tolak H0 berarti variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf α. Hasil yang didapat jika t-hitung < t-tabel maka terima H0 yang berarti variabel yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
3. Keterandalan Model Digunakan
untuk
melihat
sejauh
mana
variabel
bebas
mampu
menerangkan keragaman variabel terikatnya menurut Gujarati (1993), terdapat dua sifat R² yaitu: 1.
Merupakan besaran non-negatif.
2.
Batasnya adalah 0 ≤ R² ≤ 1. Jika R² bernilai 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R² bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan bebas.
Nilai koefisisen determinasi dapat dihitung sebagai berikut (Gujarati, 1993): ESS R² = TSS ∑ e²i = 1∑y²i Dimana ESS adalah jumlah kuadrat yang dijelaskan (explained sum of squares) dan TSS adalah jumlah kuadrat total (total sum of squares). Salah satu masalah jika menggunakan ukuran R² untuk menilai baik buruknya suatu model adalah akan selalu mendapatkan nilai yang terus naik seiring dengan penambahan variabel bebas ke dalam model sehingga Adjusted Rsquared bisa juga digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel terikatnya. Adjusted R-squared secara umum memberikan penalti atau hukuman terhadap penambahan variabel bebas yang tak mampu menambah daya prediksi suatu model. Nilai Adjusted R-squared tidak akan pernah lebih besar dari nilai R² bahkan dapat turun jika ditambahkan variabel
bebas yang tidak perlu. Bahkan untuk model yang memiliki kecocokan yang rendah Adjusted R-squared dapat memiliki nilai yang negatif. Nilai Adjusted Rsquared dapat dihitung sebagai berikut (Gujarati, 1993): ∑ e²i / (N-K) Ř² = 1∑y²i / (N-1) dimana k adalah banyaknya parameter dalam model termasuk faktor intersep. Persamaan di atas dapat disederhanakan seperti di bawah ini: σ² Ř² = 1S²y dimana σ² adalah varians residual dan S²y adalah varians sampel dari Y. 4. Diagnostik Model Regresi 1. Uji Normalistas Uji kenormalan diperlukan pada pengujian hipotesis dan penyusunan selang kepercayaan bagi parameter. Pengaruh ketidaknormalan sisaan terhadap pengujian dan penyusunan selang kepercayaan adalah bahwa taraf nyata yang berkaitan dengan pengujian dan selang kepercayaan tidak lagi sesuai dengan yang ditentukan. Secara eksplorasi, pemeriksaan terhadap asumsi kenormalan dapat dilakukan dengan histogram sisaan maupun plot normal. Apabila bentuk sebaran uji kenormalan berbentuk garis lurus atau tidak setangkup, maka sisaan dapat dikatakan menyebar normal. Jika
terjadi
masalah
ketidaknormalan
dapat
dilakukan
dengan
mentransformasikan peubah respon menjadi bentuk yang lebih normal. Secara teori, transformasi tersebut ada apabila sebaran dari variabel respon dapat
diketahui. Transformasi ini berguna untuk mengatasi kemenjuluran sebaran sisaan dan ketidaklinearan fungsi regresi. 2. Heteroskedastisitas Menurut Gujarati (1993) suatu model regresi linear harus memiliki varians (penyebaran) yang sama. Menurutnya, jika asumsi ini tidak dipenuhi maka akan terdapat masalah heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS, tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai varians minimum (efisien). Konsekuensi bila terjadi heteroskedastisitas, maka akan berakibat: 1.
Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien. Dalam penyampelan berulang penaksir OLS secara rata-rata sama dengan nilai populasi sebenarnya (sifat tak bias) dan dengan meningkatnya ukuran sampel sampai tak terhingga penaksir OLS mengarah pada nilai sebenarnya (sifat konsistensi) tetapi variansnya tidak lagi minimum bahkan jika besarnya sampel meningkat secara tak terbatas.
2.
Tidak dapat diterapkannya uji nyata tidaknya koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians (penyebaran). Pengujian heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah ada variabel
yang diamati mengandung informasi yang lebih dibandingkan dengan variabel yang lainnya. Dengan demikian, pengamatan ini seharusnya mendapatkan bobot yang lebih besar dibandingkan yang lain. Hal ini dapat diketahui dengan menggunakan metode kuadrat terkecil terboboti.
Plot sisaan yang dapat dipergunakan untuk pengujian heteroskedastisitas adalah plot antara sisaan dengan dugaan respon. Apabila ragam sisaan homogen, maka seharusnya plot antara sisaan tersebut tidak memiliki pola apapun. Sedangkan apabila ragam sisaan tidak homogen, maka plot sisaan tersebut akan berpola. Solusi dari masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki error-term dengan varians yang konstan. 3. Multikolinieritas Multikolinieritas adalah adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti, di antara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Tanda-tanda adanya multikolinieritas adalah (Gujarati, 1993): 1.
Tanda tidak sesuai yang diharapkan.
2.
R²-nya tinggi tetapi uji individu tidak banyak yang nyata atau bahkan tidak ada yang nyata.
3.
Korelasi sederhana antar variabel individu tinggi (rij tinggi).
4.
R² < rij² menunjukkan adanya multikolinearitas. Masalah multikolinier dapat diketahui melalui ukuran korelasi linear
antara dua variabel yang disebut koefisien korelasi hasil kali Pearson. Koefisien korelasi dapat dirumuskan sebagai berikut (Gujarati, 1993): (n∑X1X2) – (∑X1X2) rX1X2 =
sx =b
√ n∑X1² -(∑X1)² √ n∑X2²-(∑X2)²
sy
RSS = (n-1)(s²y-b²s²x) dimana RSS adalah jumlah kuadrat residual (Residual sum of squares).
Kedua sisi persamaan dibagi dengan (n-1) s²y diperoleh hubungan: RSS r² = 1 (n-1) s²y Karena RSS dan S²y keduanya tidak pernah negatif, maka dapat disimpulkan bahwa r² nilainya pasti antara 0 dan 1. Akibatnya, r mungkin mengambil nilai dari –1 sampai +1 akan terjadi bila RSS = 0 dan semua titik sampel terletak tepat pada suatu garis lurus yang mempunyai kemiringan negatif. Bila semua titik sampel terletak tepat pada suatu garis lurus yang mempunyai kemiringan positif, maka RSS = 0 dan diperoleh nilai +1. Hubungan linear sempurna terdapat antara nilainilai X dan Y dalam sampel, bila r = +1 atau –1. Bila r mendekati +1 atau –1, hubungan antara dua peubah itu kuat dan terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya. Akan tetapi bila r mendekati 0, hubungan linear antara X dan Y sangat lemah atau mungkin tidak ada hubungan sama sekali. Pengujian multikolinearitas juga dapat dilakukan dengan menghitung nilai VIF atau Variance Inflation Factor. Nilai VIF ini mengukur seberapa besar ragam dari dugaan koefisisen regresi akan meningkat apabila antar peubah penjelas terdapat masalah multikolinier. Menurut Montgomery dan Peck (dalam Modul Praktikum STK 212 Metode Statistika II, Institut Pertanian Bogor) terdapat multikolinearitas apabila nilai VIF lebih besar dari 5 atau antara nilai 5 sampai 10, jika nilai VIF lebih kecil dari 5 maka dapat dikatakan tidak ada multikolinearitas. Tindakan perbaikan dari masalah ini adalah (Gujarati, 1993): 1.
Menggunakan extraneous atau informasi sebelumnya.
2.
Mengkombinasikan data cross-sectional dan data deretan waktu.
3.
Meninggalkan variabel yang sangat berkorelasi.
4.
Mentransformasikan data.
5.
Mendapatkan tambahan data baru.
3.3. Metode Evaluasi Kebijakan Iklim Investasi Keterpurukan perekonomian Indonesia sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 berdampak sampai sekarang terhadap kurangnya minat investor asing menanam modal di Indonesia. Selain dari keterpurukan ekonomi, situasi politik yang tidak pasti juga semakin menambah permasalahan mekanisme iklim investasi di Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar maka pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya mekanisme yang berkelanjutan untuk meningkatkan taraf kehidupan suatu bangsa. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan melalui investasi dan produktivitas yang lebih tinggi. Kebijakan-kebijakan dan perilaku pemerintah memainkan suatu peranan kunci dalam membentuk iklim investasi, seperti yang dimuat dalam lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 mengenai paket kebijakan perbaikan iklim investasi pada tanggal 27 februari 2006 (Lampiran 4). Pemerintah memiliki pengaruh yang lebih menentukan terhadap keamanan, terhadap hak-hak atas properti, penafsiran peraturan usaha dan perpajakan, penyediaan infrastruktur, berfungsinya pasar keuangan dan tenaga kerja, serta hal-hal mengenai tata kelola pemerintahan yang lebih luas seperti korupsi. Memperbaiki kebijakan dan perilaku pemerintah akan menciptakan suasana iklim
investasi yang akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana relevansi Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 mengenai paket kebijakan perbaikan iklim investasi terhadap kegiatan investasi di Indonesia. Evalusi dilakukan dengan menganalisis relevansi paket kebijakan dengan melihat keadaan iklim investasi di Indonesia berdasarkan survei Bank Dunia (Laporan Pembangunan Dunia, 2005). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui faktor-faktor yang menghambat iklim investasi di Indonesia. Selanjutnya akan dapat dinilai tingkat relevansi paket kebijakan sehingga pelaksanaannya dapat diterapkan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Iklim Investasi di Indonesia Pada awal 1990-an, Indonesia digolongkan menjadi salah satu tujuan utama para investor untuk menanamkan modalnya, diikuti negara Malaysia dan Thailand sebagai negara berkembang yang segera menjadi negara industri baru. Namun pada awal 2000-an, Cina dan Vietnam lebih menarik minat pemodal asing dibandingkan dengan negara Indonesia. PDB
PMDN
PMA
Jumlah (Miliar Rp)
400500 350500 300500 250500 200500 150500 100500 50500
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
19 89
19 87
19 85
19 83
19 81
19 79
19 77
19 75
19 73
500
Tahun
Sumber: BPS Statistik Indonesia 2002.
Gambar 4.1. Perkembangan PMA dan PMDN di Indonesia (1973-2002) Berdasarkan Gambar 4.1. di atas, perkembangan penanaman modal asing atau PMA di Indonesia setiap tahunnya masih jauh kontribusinya terhadap PDB jika dibandingkan dengan kontribusi penanaman modal dalam negeri. Peningkatan penanaman modal dalam negara tidak selalu diikuti oleh peningkatan penanaman modal asing. Peningkatan modal dalam negeri sangat penting manfaatnya bagi penerimaan PDB, tetapi alangkah lebih baik jika penanaman modal asing juga
mengalami peningkatan. Rendahnya pertumbuhan penanaman modal asing di Indonesia merupakan gambaran kurangnya minat para investor asing untuk menanam modal di Indonesia. Iklim investasi yang baik membutuhkan stabilitas ekonomi makro yang kondusif. Kemampuan pemerintah memberikan jaminan kepastian keamanan bagi investor secara makro ekonomi akan mengurangi risiko memulai usaha. Berdasarkan laporan Bank Dunia diketahui bahwa tingkat risiko berinvestasi di Indonesia hanya lebih baik sedikit dibandingkan dengan negara Myanmar untuk wilayah Asia Tenggara. Hal ini bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan karena jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya Indonesia jauh lebih berisiko untuk melaksanakan investasi. Dipastikan bahwa para investor akan lebih tertarik berinvestasi di negara lain daripada di Indonesia. Untuk kesekian kalinya, iklim investasi di Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk di dunia (Investor Daily: 17 November 2005). Menurut Bank Dunia, Indonesia bukanlah menjadi tujuan utama investasi asing para pemodal yang sudah mengenal Indonesia pun berusaha menghindari negeri ini. Hasil survei Bank Dunia terhadap 175 negara menunjukkan, iklim investasi di Indonesia tergolong paling buruk di dunia dengan urutan ke 155 negara. Iklim investasi yang dimaksudkan mencakup stabilitas ekonomi makro, ketidakpastian kebijakan, ketidakpastian hukum, sistem perpajakan, regulasi, korupsi, ketersediaan sumber daya manusia yang terampil, dan ketersediaan fasilitas infrastruktur yaitu seperti listrik, jalan, pelabuhan, telekomunikasi, dan lain sebagainya.
Semuanya ini tidak berarti bahwa tidak ada kemajuan, Homi Karas Ekonom Bank Dunia (Investor Daily: 17 November 2005) menyatakan bahwa tahun 2005 volume investasi di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup signifikan, sehingga mencapai pertumbuhan dua digit. Namun pemerintah wajib mereformasi berbagai sektor terkait dengan investasi secara konsisten. Dalam rangka
memperbaiki
iklim
investasi
untuk
meningkatkan
pertumbuhan
perekonomian Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden mengenai paket kebijakan perbaikan iklim investasi nomor 3 tahun 2006. Melalui paket perbaikan iklim investasi ini, pemerintah berharap realisasi investasi di Indonesia semakin meningkat. Tingginya realisasi paket investasi ini diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi, yang beberapa triwulan terakhir ini melambat akibat tingginya laju inflasi dan naiknya suku bunga perbankan pasca kenaikan harga bahan bakar minyak. Indonesia diharapkan menjadi salah satu negara yang cukup menarik bagi para investor. Laporan terbaru, survei dari IFC (International Finance Corporation) dan Bank Dunia (Kompas, 07 September 2006) menyatakan, Indonesia berada diperingkat ke-135 dari 175 negara dalam hal kemudahan memulai usaha baru. Peringkat ini mengalami peningkatan dari posisi ke-155 tahun lalu, perbaikan ini tidak sesignifikan dibandingkan negara lain. Menurut Caralee McLiesh Ekonom IFC, penurunan peringkat tersebut bukan berarti negatif bagi Indonesia, tetapi perbaikan iklim investasi yang terjadi di negara-negara lain sangat signifikan sementara di Indonesia tidak.
4.2. Gambaran Iklim Investasi di Beberapa Negara Menurut Bank Dunia, untuk memulai bisnis di Indonesia para pemodal membutuhkan waktu 151 hari, hanya sedikit lebih cepat dibandingkan negara Laos dan Timor Leste. Waktu yang diperlukan memang sangat panjang karena para pemodal harus melewati 12 prosedur. Sedangkan biaya untuk memulai usaha yang harus dikeluarkan para investor mencapai 101,7 persen dari PDB per kapita. Ditambahkannya, untuk sekadar mendapatkan perizinan di Indonesia, pemodal harus menghabiskan waktu 224 hari. Kondisi ini diperburuk oleh adanya praktek korupsi yang merebak di berbagai lembaga pemerintahan. Untuk memperlancar proses perizinan, pemodal terpaksa menyerahkan sejumlah uang. Tidak jarang, setelah menerima uang permintaan pemodal untuk mendirikan usaha tidak segera diselesaikan. Itu sebabnya, ada pemodal yang menyarankan korupsi dilegalkan agar pengusaha mendapatkan kepastian. Regulasi di Indonesia dinilai sangat lemah dan hampir mencakup semua aspek, yaitu seperti regulasi di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, perizinan, kepemilikan properti, investasi, dan lain sebagainya. Regulasi yang lemah menyebabkan ketidakpastian kebijakan, ketidakpastian hukum, pungutan liar dan berbagai tindak korupsi merajalela.
Masalah tindak kriminal Masalah ketidakpercayaan thd pengadilan ttg hak proverti Masalah korupsi Masalah ketidakpastian kebijakan 26.5 33.8 35.2 29.5
Pilipina
Negara
Malaysia India
11.4 19.1 14.5 22.4 15.6
29.4
37.4
20.9
45.7
35.8
Bangladesh
45.4 23
Indonesia
29.5
22.3
Cina
27.3
41.5
57.9
48.2
36.8 32.9
Persentase
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Iklim Investasi di Beberapa Negara Survei yang dilakukan oleh Bank Dunia mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan iklim investasi pada suatu negara, dengan mengukur persentase dari faktor-faktor tersebut yaitu memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah sampai tertinggi yaitu bukan merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar. Berdasarkan Gambar 4.2. negara Malaysia tidak mengalami hambatan mengenai masalah ketidakpastian kebijakan sebesar 22,4 persen, masalah korupsi sebesar 14,5 persen, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak proverti sebesar 19,1 persen dan masalah tindak kriminalitas sebesar 11,4 persen yang mengganggu kegiatan iklim investasi. Kenyataan ini sangat jauh jika dibandingkan dengan Indonesia yang digolongkan mengalami hambatan sedang mengenai masalah ketidakpastian kebijakan sebesar 48,2 persen dan masalah korupsi sebesar 41,5 persen.
Sedangkan masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak properti sebesar 29,5 persen dan masalah tindak kriminalitas sebesar 23 persen yang merupakan hambatan kecil. Negara Indonesia hanya sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan Bangladesh dengan masalah tingkat korupsi sebesar 57,9 persen, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak properti sebesar 35,8 persen dan masalah tindak kriminalitas sebesar 45,7 persen yang tergolong mengalami hambatan sedang. Masalah perizinan
Masalah administrasi perpajakan
Masalah tarif pajak
Masalah fasilitas pendanaan
Rusia Brasil
Negara
Pilipina Malaysia India Bangladesh Indonesia China 0
20
40
60
80
100
Persentase (%)
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 4.3. Perbandingan Masalah Perizinan Memulai Usaha, Masalah Administrasi Perpajakan, Masalah Tarif Pajak dan Masalah Pendanaan Gambar 4.3. merupakan survei yang dilakukan oleh Bank Dunia mengenai masalah perizinan memulai usaha, masalah administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak dan masalah penyediaan pendanaan bagi delapan negara tersebut, dengan mengukur persentase dari faktor-faktor tersebut yaitu memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah
sampai tertinggi yaitu bukan merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar. Negara India, Malaysia dan Pilipina tidak mengalami hambatan yang berarti mengenai masalah perizinan memulai usaha, masalah administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak dan masalah penyediaan fasilitas dana. Masalah penyediaan fasilitas pendanaan untuk kegiatan iklim investasi merupakan masalah terbesar dibandingkan dengan perizinan memulai usaha, administrasi perpajakan dan tingkat tarif pajak untuk kasus negara Indonesia. Berdasarkan grafik Gambar 4.3. dapat disimpulkan bahwa masalah perizinan memulai usaha, masalah administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak dan masalah penyediaan dana merupakan hambatan yang sangat besar bagi negara Bangladesh dan Brasil, dan merupakan yang terburuk di antara kedelapan negara tersebut.
Masalah korupsi
Masalah pembayaran suap
Uzbekistan Ukraina Turki Tajikistan Slovenia Slovakia Serbia Rusia Rumania Polandia Pakistan Moldova Macedonia Lithuania
Negara
Latvia Kyrgyzstan Kruasia Kazakhstan Indonesia Hungaria Georgia Estonia Eritrea Rep.Ceko China Bulgaria Bosnia Belarusia Banglades Azerbaijan Armenia Albania 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persentase
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 4.4. Masalah Korupsi dan Masalah Pembayaran Suap dalam Berinvestasi Survei yang dilakukan oleh Bank Dunia mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan iklim investasi pada suatu negara, dengan mengukur persentase dari faktor-faktor tersebut yaitu memeringkatkan pilihan angka yang terdiri atas lima tingkatan dari nilai terendah sampai tertinggi yaitu bukan
merupakan hambatan, hambatan kecil, hambatan sedang, hambatan besar dan hambatan yang sangat besar. Berdasarkan. Gambar 4.4. masalah korupsi dan masalah pembayaran suap untuk memulai kegiatan investasi di berbagai negara merupakan salah satu hambatan sedang. Bagi negara Indonesia, masalah korupsi merupakan 41,9 persen dan masalah pembayaran suap sebanyak 50,9 persen yang artinya kedua masalah ini masih tergolong penghambat dalam berinvestasi di Indonesia. Melalui grafik ini dapat disimpulkan bahwa masalah korupsi dan masalah pembayaran suap merupakan hambatan terbesar berada di negara Bangladesh yaitu masing-masing sebesar 57,9 persen dan 97,8 persen. Para pengusaha selama ini mengeluhkan tingkat tarif pajak yang terlalu tinggi, jenis pajak yang terlampau banyak, pajak berganda dan posisi petugas pajak yang terlampau tinggi. Sistem perpajakan di Indonesia sama sekali tidak mencerminkan kesetaraan antara wajib pajak dengan petugas pajak. Sistem perpajakan di Indonesia terlalu memberatkan para pengusaha. Survei Bank Dunia menunjukkan, pengusaha harus membayar pajak sebesar 38,8 persen dari keuntungan kotor. Selain menghabiskan dana yang besar, para pengusaha harus memberikan waktu hingga 560 jam per tahun untuk mengurusi pembayaran pajak. Peraturan ketenagakerjaan juga terlampau memberatkan pemodal. Pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tetap mendapatkan uang pesangon meski pekerja dipecat lantaran melakukan tindak kriminal.
Masalah regulasi ketenagakerjaan Guatemala
Masalah keterampilan tenaga kerja 31.4
16.7 12.2
Polandia
25.2 27.6 22.5
Kenya
Negara
Turki
8.7
Uganda
12.8 30.8
10.8 11.9
Pilipina Malaysia
14.5 12.5 16.7 19.8
India Bangladesh
18.9
Indonesia
24.7 25
50.7 23
China
26.7
30.7
Persentase (%)
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 4.5. Perbandingan Masalah Peraturan Ketenagakerjaan dan Masalah Keterampilan Tenaga Kerja Menurut Bank Dunia banyak peraturan ketenagakerjaan yang disusun pemerintah yang memberatkan para investor. Gambar 4.5. menunjukkan bahwa Indonesia
mengalami
hambatan
besar
mengenai
masalah
peraturan
ketenagakerjaan dan masalah keterampilan tenaga kerja. Dalam waktu terbaru ini para buruh di Indonesia melakukan penolakan besar-besaran terhadap peraturan ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dalam rangka memperbaiki iklim investasi Indonesia. Kegiatan ini berdampak negatif bagi iklim investasi, tapi usaha pemerintah dengan mengeluarkan undang-undang diharapkan menguntungkan bagi para investor maupun tenaga kerja. Berdasarkan grafik di atas dapat disimpulkan bahwa India dan Bangladesh merupakan negara terburuk dan tergolong hambatan besar mengenai masalah peraturan ketenagakerjaan dan
masalah ketersediaan tenaga keraja terampil. Diikuti oleh negara Polandia dan Indonesia yaang tergolong mengalami masalah hambatan sedang. Mas alah pe nye diaan dana
Mas alah fas ilitas tenaga listrik
Uzbekistan Ukraina Turki Tajikistan Slovenia Slovakia Serbia Rusia Rumania Polandia Pakistan Moldova Macedonia Lithuania
Negara
Latvia Kyrgyzstan Kruasia Kazakhstan Indonesia Hungaria Georgia Estonia Eritrea Rep.Ceko China Bulgaria Bosnia Belarusia Banglades Azerbaijan Armenia Albania 0
10
20
30
40
50
60
70
Pe rs entase (%)
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 4.6. Masalah Ketersediaan Fasilitas Keuangan dan Listrik
80
Masalah ketersediaan sarana lembaga keuangan dan fasilitas listrik sama pentingnya jika dibandingkan dengan pengaruh berbagai indikator-indikator lainnya yang tidak dapat diabaikan oleh pemerintah. Para investor sangat membutuhkan lembaga keuangan di negara yang akan diinvestasikan karena dibutuhkan modal dalam bentuk mata uang negara tersebut. Demikian halnya juga jika kekurangan fasilitas listrik, karena tenaga listrik merupakan salah satu kebutuhan utama dalam menjalankan suatu usaha. Melalui grafik di atas dapat diketahui bahwa masalah ketersediaan sarana lembaga keuangan dan masalah fasilitas listrik merupakan hambatan yang terbesar bagi negara Bangladesh masing-masing sebesar 45,7 persen dan 73,2 persen. Selanjutnya diikuti oleh negara Albania dengan masalah ketersediaan sarana lembaga keuangan sebesar 20,1 persen dan masalah fasilitas listrik sebanyak 57,1 persen.
4.3. Iklim Investasi di Cina, India dan Uganda Cina dan India telah mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan pada tahun-tahun terakhir ini, yaitu berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dalam jumlah yang sangat besar. Tingkat pertumbuhan perekonomian Cina ratarata sebesar 8 persen setahunnya selam 20 tahun terakhir dan presentase penduduk yang hidup di bawah 1 dollar per hari jatuh dari 64 persen pada tahun 1981 menjadi kurang dari 17 persen pada tahun 2001. Pertumbuhan ekonomi India telah meningkat dari rata-rata 2,9 persen setahun pada tahun 1970-an menjadi 6,7 persen pada pertengahan tahun 1990-an dan persentase penduduknya yang hidup
di bawah pendapatan 1 dollar per hari jatuh dari 54 persen pada tahun 1980 menjadi 34 persen pada tahun 2000. Cina mengawali iklim investasi yang baik dengan reformasi sistem kepemilikan properti dengan menciptakan suatu insentif baru yang bermanfaat besar bagi perekonomiannya. India memulainya dengan mengurangi pembatasan perdagangan dan distorsi lain yang meliputi suatu bagian yang signifikan dalam perekonomiannya. Kedua bentuk reformasi tersebut ditujukan untuk menangani kendala utama serta diimplementasikan dengan cara-cara yang memberikan keyakinan bagi perusahaan untuk melakukan investasi. Dan reformasi-reformasi awal tersebut selanjutnya diikuti oleh perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan guna mengatasi kendala-kendala yang pada awalnya kurang mengikat serta memperkuat arah kebijakan pemerintah untuk masa yang akan datang. Hasil dari perbaikan iklim investasi tersebut mengakibatkan PDB per kapita di Cina meningkat 10 kali lipat dari 440 dollar tahun 1980 menjadi 4.475 dollar pada tahun 2002 (dalam harga internasional) dan di India hampir empat kali lipat dari 670 dollar pada tahun 1980 menjadi 2.570 dollar pada tahun 2002. Kedua negara tersebut melakukan pengentasan kemiskinan secara dramatis, masing-masing
negara
dengan
caranya
sendiri.
Namun
keduanya
mempertahankan upaya untuk meningkatkan kesempatan dan insentif bagi perusahaan untuk melakukan investasi dengan produktif.
Investasi Swasta
Kemiskinan
70
Persentase
60 50 40 30 20 10 0 1990
1999
1981
Cina
2000
1990
India
2002
Uganda
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 4.7. Pertumbuhan Investasi Swasta Terhadap Tingkat Kemiskinan di Cina, India dan Uganda Negara Uganda juga merasakan dampak dari membaiknya iklim investasi di negaranya. Sejak tahun 1990-an Uganda memulai suatu program untuk memperbaiki iklim investasinya melalui peningkatan stabilitas makro ekonomi, pembatalan pengambilalihan hak properti dari pemerintah terdahulu, pengurangan bentuk-bentuk pembatasan atas perdagangan, sistem perpajakan dan peradilan yang di reformasi, adanya partisipasi dan kompetisi sektor swasta dalam bidang telekomunikasi dan dewasa ini upaya untuk memperbaiki peraturan dunia usaha terus berlangsung. Sementara masih banyak tantangan yang harus dihadapi, upaya-upaya ini telah membuahkan hasil. Porsi kontribusi investasi swasta dalam PDB telah meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 1999 sampai dengan 2000. PDB per kapita bertumbuh lebih dari 4 persen dari tahun 1993 sampai dengan 2002 ( 8 kali rata-rata dari negara-negara di kawasan Afrika Sub-Sahara). Persentase populasi yang hidup di
bawah garis kemiskinan turun dari 56 persen pada tahun 1992 menjadi 35 % pada tahun 2000.
4.4. Hasil Estimasi Fungsi Regresi Sumber data yang digunakan adalah data cross section pada tahun 2002 terhadap 21 negara. Penelitian ini dalam mengestimasi model menggunakan model ekonometrika dengan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square/OLS). Perangkat software yang digunakan dalam penelitian ini adalah Minitab 13 dan Microsoft Excel. Nilai dari variabel iklim investasi diperolah melalui beberapa langkah, yaitu meregresikan variabel-variabel bebas kemudian uji bebas pelanggaran asumsi OLS, yaitu autokorelasi, heteroskedastisitas dan multikolinearitas. Tabel 4.1. Hasil Estimasi Regresi Variabel Iklim Investasi (IC) Variabel Koefisien C 38,67 PUC -0,6985 LR 1,1298 RBP 0,7749 TR 1,0490 EC -1,1182 LC -1,5198 LS 0,7093 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid
Standard Error 19,24 0,3394 0,4703 0,5070 0,3401 0,3962 0,5756 0,7222 = 69,4% = 53,0% = 4645,3 = 2043,6
dimana: C
= Konstanta
IC
= Iklim Investasi (%)
t_hitung Probabilitas VIF 2,01 0,066 -2,06 0,060 4,1 2,40 0,032 4,4 1,53 0,150 3,3 3,08 0,009 1,4 -2,82 0,014 2,7 -2,64 0,020 1,8 0,98 0,344 1,4 F-statistik = 4,22 Prob (F-statistik) = 0,012 Durbin-Watson = 1,55 Statistik S = 12,54
PuC
= Masalah Ketidakpastian Kebijakan (%)
TR
= Masalah Ketidakpercayaan terhadap Pengadilan Mengenai Hak Properti (%)
EC
= Masalah Administrasi Perpajakan (%)
LR
= Masalah Tingkat Tarif Pajak (%)
RBP
= Masalah Penyediaan Dana (%)
LC
= Masalah Perizinan (%)
LS
= Masalah Keterampilan Tenaga Kerja (%)
Berdasarkan hasil estimasi di atas maka dapat disusun persamaan regresi iklim investasi di beberapa negara sebagai berikut: IC
= 38,7 – 0,698 PUC + 1,129 LR + 0,775 RBP + 1,049 TR – 1,118 EC - 1,519 LC + 0,709 LS + e
Langkah selanjutnya setelah mendapatkan parameter-parameter estimasi adalah melakukan berbagai macam pengujian terhadap parameter estimasi tersebut.
4.4.1. Uji Ekonometrika Berdasarkan hasil regresi, dengan melakukan pengujian terhadap permasalahan-permasalahan yang biasa dihadapi dalam menggunakan OLS. Pengujian tersebut dilakukan melalui: a.
Uji Normalitas Keluaran dari uji normalitas berupa plot peluang normal dari data yang di uji disertai dengan garis bantu bersamaan dengan keluaran hasil statistik. Berdasarkan Lampiran 3, titik-titik sisaan mendekati garis lurus seperti hasil
yang didapatkan dari eksplorasi kenormalan sisaan lewat plot normal. Kemudian uji Anderson-Darling dihasilkan statistik uji A2 sebesar 0,371 dengan nilai p-value sebesar 0,390. Dengan demikian untuk taraf nyata α sebesar lima persen, maka hipotesis H0 di terima atau data sisaan menyebar normal. b.
Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah ada variabel yang diamati mengandung informasi yang lebih dibandingkan dengan variabel
yang lainnya. Dengan demikian, pengamatan ini seharusnya
mendapatkan bobot yang lebih besar dibandingkan yang lain. Hal ini dapat diketahui dengan menggunakan metode kuadrat terkecil terboboti. Plot sisaan yang dapat dipergunakan untuk pengujian heteroskedastisitas adalah plot antara sisaan dengan dugaan respon. Apabila ragam sisaan homogen, maka seharusnya plot antara sisaan tersebut tidak memiliki pola apapun. Sedangkan apabila ragam sisaan tidak homogen, maka plot sisaan tersebut akan berpola. Berdasarkan hasil uji dapat disimpulkan bahwa model regresi analisis iklim investasi di beberapa negara tidak mengandung masalah heteroskedastisitas yang dapat dilihat dalam lampiran uji heteroskedastisitas. c.
Uji Multikolinearitas Pengujian multikolinearitas dilakukan dengan menghitung nilai VIF atau Variance Inflation Factor. Nilai VIF ini mengukur seberapa besar ragam dari dugaan koefisisen regresi akan meningkat apabila antar peubah penjelas terdapat masalah multikolinier. Menurut Montgomery dan Peck (dalam
Modul Praktikum STK 212 Metode Statistika II, Institut Pertanian Bogor) terdapat multikolinearitas apabila nilai VIF lebih besar dari 5 atau antara nilai 5 sampai 10, jika nilai VIF lebih kecil dari 5 maka dapat dikatakan tidak ada multikolinearitas. Dari hasil uji regresi di atas nilai VIF kurang dari 5 maka dapat dikatakan pada model regresi analisis iklim investasi di beberapa negara tidak ada multikolinearitas.
4.4.2. Uji Statistik Model a.
Koefisien Determinasi (R2) Pada persamaan regresi analisis iklim investasi di beberapa negara didapatkan nilai koefisien determinasi yang telah disesuaikan (Adjusted Rsquared) sebesar 69,4 persen yang artinya bahwa keragaman dari variabel terikat dapat dijelaskan hubungan linearnya oleh variabel-variabel bebas (masalah ketidakpastian kebijakan, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti, masalah peraturan administrasi perpajakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah penyediaan pendanaan, masalah perizinan dan masalah keterampilan tenaga kerja) sebesar 69,4 persen. Sedangkan sisanya sebesar 30,6 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
b.
Uji F-Statistik Uji F-Statistik menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas secara bersamasama mampu menjelaskan atau mempengaruhi variabel terikat pada tingkat signifikan lima persen. Hal ini dapat dilihat dari angka probabilitas F-
Statistik sebesar 0,012 yang nilainya lebih kecil dari derajat kepercayaan lima persen (α = 5 %). Nilai probabilitas F-Statistik juga dapat menilai baik tidaknya sebuah model persamaan regresi. Jika nilai probabilitas F-Statistik lebih kecil dari derajat kepercayaan α maka dapat dikatakan bahwa model persamaan tersebut bagus. Dapat disimpulkan bahwa model persamaan regresi analisis iklim investasi di beberapa negara tergolong baik karena nilai probabilitas F-Statistik sebesar 0,012 yang nilainya lebih kecil dari derajat kepercayaan lima persen (α = 5 %). c.
Uji t-Statistik Uji t-Statistik dilakukan dengan melihat nilai probabilitas dari masingmasing variabel bebas, dimana nilai probabilitas untuk setiap variabel bebas harus lebih kecil dari derajat kepercayaan yang digunakan. Pada persamaan regresi analisis iklim investasi di beberapa negara menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu masalah ketidakpastian kebijakan, masalah tingkat tarif pajak, masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti, masalah administrasi perpajakan dan masalah perizinan berpengaruh secara signifikan pada derajat kepercayaan sepuluh persen (α = 10 %).
d.
Statistik S merupakan akar kuadrat dari kuadrat tengah sisaan. Kuadrat tengah sisaan merupakan bagian keragaman variabel respon yang tidak mampu dijelaskan oleh model, sehingga semakin besar nilai S maka semakin besar pula keragaman variabel terikat yang tidak mampu dijelaskan oleh model. Dengan demikian, statistik S ini dapat dijadikan sebagai
indikator ketidaklayakan model dalam menduga variabel terikat. Model statistik dalam penelitian ini tergolong baik, karena memiliki nilai statistik S yang kecil yaitu sebesar 12,54.
4.5. Analisis Ekonomi Hasil estimasi model regresi analisis iklim investasi di beberapa negara adalah sebagai berikut: IC
= 38,7 – 0,698 PUC + 1,129 LR + 0,775 RBP + 1,049 TR – 1,118 EC - 1,519 LC + 0,709 LS + e
Dari model estimasi tersebut dapat dilihat pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap iklim investasi di beberapa negara. Berdasarkan analisis ekonomi, tidak semua variabel bebas yang digunakan dalam persamaan menghasilkan koefisien yang sesuai dengan tanda yang diharapkan dalam hipotesis. Tanda pada variabel masalah tingkat tarif pajak (LR) dan masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti (TR) tidak sesuai dengan hipotesis. Iklim investasi yang baik sangat berperan dalam pertumbuhan perekonomian. Iklim investasi yang baik berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Perbaikan iklim investasi akan mendorong pertumbuhan perekonomian dan mengurangi tingkat kemiskinan. Hasil estimasi model regresi analisis iklim investasi di atas diharapkan secara signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian yang mendorong pengentasan kemiskinan.
Konstanta yang merupakan intersep dari fungsi iklim investasi sebesar 38,7. Yang artinya iklim investasi akan mengalami peningkatan sebesar 38,7 persen jika variabel-variabel bebas tidak mengalami perubahan atau tidak mempengaruhi iklim investasi. Koefisien parameter pada variabel masalah ketidakpastian kebijakan (PUC) adalah -0,698. Artinya penurunan masalah ketidakpastian kebijakan sebanyak satu persen menyebabkan penurunan iklim investasi sebesar 0,698 persen ceteris paribus. Koefisien variabel masalah peraturan administrasi perpajakan (EC) sebesar -1,118 yang artinya penurunan masalah peraturan administrasi perpajakan sebanyak satu persen menyebabkan penurunan iklim investasi sebesar 1,118 persen ceteris paribus. Sulitnya mendapatkan izin untuk mendirikan investasi fisik di sebuah negara akan membuat negara tersebut mengalami kerugian yang besar, dikarenakan para investor tersebut akan mengalihkan investasinya ke negara lain. Pernyataan ini didukung oleh persamaan regresi analisis iklim investasi, bahwa hubungan antara variabel masalah perizinan dengan kegiatan iklim investasi bernilai negatif. Koefisien variabel masalah perizinan (LC) sebesar -1,519 yang artinya penurunan masalah perizinan sebanyak satu persen menyebabkan penurunan iklim investasi sebanyak 1,519 persen ceteris paribus. Nilai koefisien variabel masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti (TR) yaitu sebesar 1,049 artinya peningkatan masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti sebanyak satu persen menyebabkan kenaikan iklim investasi sebesar 1,049 persen ceteris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hasil hipotesis, yang diharapkan
hubungan antara iklim investasi dengan masalah ketidakpercayaan terhadap pengadilan mengenai hak-hak atas properti adalah negatif. Koefisien parameter pada variabel masalah tingkat tarif pajak (LR) adalah 1,129 yang artinya peningkatan masalah tingkat tarif pajak sebanyak satu persen menyebabkan peningkatan iklim investasi sebesar 1,129 persen ceteris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hasil hipotesis, yang diharapkan hubungan antara iklim investasi dengan variabel masalah tingkat tarif pajak bernilai negatif. Hal ini dimungkinkan karena pemerintah mengalokasikan dengan benar hasil dari penerimaan tarif pajak tersebut untuk meningkatkan pelayanan fasilitas umum seperti fasilitas infrastruktur. Kebijakan pemerintah ini juga berdampak bagi para pengusaha secara langsung yang akhirnya memberikankan keuntungan bagi para usahawan. 19%
Masalah ketidakstabilan ekonomi makro
23%
Masalah ketidakstabilan kebijakan Masalah kriminalitas Masalah keterampilan tenaga kerja 10%
Masalah fasilitas listrik Masalah lembaga keuangan Masalah tindak korupsi Masalah berbagai peraturan
10% 28%
Masalah tarif pajak 4%
Sumber: Laporan World Bank (2005).
2%
2%
Gambar 4.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Iklim Investasi Survei Bank Dunia Terhadap 53 Negara
Berdasarkan grafik Gambar 4.8. masalah ketidakpastian kebijakan merupakan masalah yang paling mengkhawatirkan para investor dalam iklim investasi yaitu sebesar 28 persen yang kemudian diikuti oleh masalah ketidakstabilan ekonomi makro sebesar 23 persen. Masalah tarif pajak sebanyak 19 persen kemudian dilanjutkan dengan masalah tindakan korupsi dan masalah berbagai peraturan sebesar 10 persen, secara berurutan yaitu masalah ketersediaan fasilitas lembaga keuangan sebesar 4 persen, masalah kriminalitas, masalah keterampilan tenaga kerja dan masalah fasilitas listrik yaitu sebesar 2 persen. Masalah pendanaan
23
13
Eropa & Asia Tengah
28
48
Asia Selatan
47
67
Negara
17
32
Asia Timur & Pasifik
Masalah infrastruktur
Afrika Sub-Sahara
53
23
Timur Tengah & Afrika Utara
0
10
20
53
35
Amerika Latin & Karibia
30
40
50
60
70
80
90
100
Persentase (%)
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 4.9. Masalah Fasilitas Pendanaan dan Masalah Infrastruktur di Beberapa Negara Masalah ketersediaan pendanaan dalam kegiatan iklim investasi salah satu masalah terberat dan terparah bagi negara-negara berkembang. Berdasarkan Gambar 4.9. bahwa masalah pendanaan terberat dialami negara-negara di Afrika Sub-Sahara, kenyataannya bahwa kegiatan iklim investasi di negara-negara
tersebut tergolong buruk. Sedangkan untuk masalah infrastruktur terburuk berada di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara.
4.6. Relevansi Paket Kebijakan Pemerintah dengan Melihat Keadaan Iklim Investasi di Indonesia Dalam beberapa tahun belakangan ini negara Indonesia mengalami keterpurukan dan sangat sulit untuk bangkit. Langkah awal yang baik ketika pemerintah memiliki kemauan untuk memperbaiki berbagai kebijakan dan tindakan yang salah akan menciptakan suasana iklim investasi yang nantinya akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Hal ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 yaitu berupa paket kebijakan perbaikan iklim investasi pada tanggal 27 februari 2006. 1. Memperkuat Kelembagaan Pelayanan Investasi Melalui survei Bank Dunia memberikan nilai 14,6 persen untuk waktu yang dibutuhkan para investor untuk berurusan dengan berbagai lembaga dalam persyaratan memulai usaha di Indonesia. Yang artinya Indonesia digolongkan memiliki hambatan yang tergolong sedang dalam masalah waktu yang banyak terbuang karena dipersulit untuk mendirikan usaha. Bank Dunia menggolongkan Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami hambatan sedang mengenai perizinan dalam memulai kegiatan investasi dengan memberi nilai 20,5 persen.
Jumlah Hari M emulai Usaha
Vietnam Venezuela T unisia Thailand Sri Lanka Singap ore Pilip ina M exico
N egara
M alay sia Jep ang Indonesia India China Canada Camerun Brazil Belgia Bangladesh Australia Argentina 0
20
40
60
80
100
120
140
160
Jumlah Hari M emulai Usaha
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 4.10. Jumlah Hari yang Dibutuhkan dalam Memulai Usaha Banyaknya jumlah hari yang dibutuhkan untuk memulai suatu usaha merupakan salah satu indikator yang menghambat iklim investasi di suatu negara. Menurut hasil survei Bank Dunia jumlah hari yang dibutuhkan untuk memulai suatu usaha di Indonesia dibutuhkan 151 hari, merupakan waktu yang sangat lama. Jika dibandingkan dengan negara tetangga Singapore hanya 8 hari, ini merupakan perbedaan yang sangat jauh. Dari hasil survei ini dapat disimpulkan mengapa negara Singapura jauh lebih maju dibandingkan dengan negara Indonesia. Indonesia hanya sedikit lebih baik daripada negara Brasil, tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, Indonesia adalah negara terburuk mengenai jumlah hari yang dibutuhkan
untuk memulai suatu usaha. Dan dipastikan bahwa para investor jauh lebih berminat menanamkan investasinya di negara lain daripada di Indonesia. Pemerintah memandang serius mengenai masalah kelembagaan yang menangani investasi merupakan salah satu pokok masalah utama yang diangkat dalam paket kebijakan iklim investasi. Hal ini terlihat dengan mencantumkan masalah kelembagaan menjadi pasal pertama. Sangat relevan jika pemerintah menyoroti masalah ini, karena semakin dipermudahnya mengenai administrasi memulai usaha akan memberikan kepercayaan bagi Indonesia menjadi salah satu tujuan investasi di dunia. Pemerintah melakukan reformasi yang menyeluruh dengan mengubah undang-undang penanaman modal, mengubah peraturan yang terkait dengan penanaman modal, revitalisasi tim nasional peningkatan ekspor dan peningkatan investasi, percepatan perizinan kegiatan usaha dan penanaman modal serta pembentukan perusahaan. 2. Sinkronisasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah serta Kejelasan Ketentuan Kewajiban Mengenai Dampak Lingkungan Sejak diberlakukannya Undang Undang Otonomi Daerah, peraturan ini berdampak positif bagi daerah karena pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi setiap daerah untuk mengembangkan setiap daerahnya. Tapi hal ini juga bisa berdampak negatif bagi daerah tersebut dan bisa juga berdampak secara nasional apabila terjadinya ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dan daerah. Masalah akan muncul pada saat kebijakan dan peraturan bertentangan dengan tujuan pemerintah pusat, dengan mencari keuntungan sendiri bagi daerahnya dan merugikan pemerintah pusat. Sebaiknya pemerintah daerah
melakukan
peninjauan
ulang
kembali
peraturan-peraturan
daerah
yang
menghambat investasi Masalah akan muncul ketika si investor tidak memperhatikan limbah industri yang merusak lingkungan, sedangkan pemerintah daerah angkat tangan terhadap masalah ini sehingga pemerintah pusat harus mengeluarkan dana untuk menanggulangi masalah tersebut. Ketika menyusun peraturan maupun kebijakan diharapkan pemerintah daerah saling mendukung dengan pemerintah pusat, yaitu dengan memperjelas dan mempertegas peraturan mengenai kewajiban para investor untuk memperhatikan dampak limbah perusahaan terhadap lingkungan. 3. Kepabeanan dan Cukai Membahas mengenai investasi akan sangat berhubungan dengan kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Hasil produksi berupa barang dan jasa haruslah di jual di pasar domestik maupun di pasar internasional. Tidak semua barang habis dikonsumsi dalam negeri dan harus di jual ke negara lain, dengan menjual ke pasar internasional akan sangat erat kaitannya dengan kegiatan ekspor dan impor. Lembaga yang menangani kegiatan ekspor dan impor adalah lembaga kepabeanan dan cukai, berbagai kegiatan ekspor dan impor haruslah melalui lembaga ini. Selama ini barang produksi Indonesia masih kalah saing dengan negara lain, masalah ini tidaklah semata-mata dikarenakan kualitas barang yang rendah tetapi juga dikarenakan adanya peraturan yang mempersulit kegiatan ekspor di lembaga bea cukainya. Pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan ini dengan mempercepat proses pemeriksaan kepabeanan, percepatan pemprosesan kargo dan
pengurangan biaya di pelabuhan maupun di bandara, serta mempercepat proses registrasi dan permohonan fasilitas cukai. Indonesia sudah waktunya membina hubungan yang baik dengan berbagai negara untuk kelancaran kegiatan perekonomian, yaitu dengan melakukan berbagai kerjasama ataupun mengikuti berbagai organisasi ekonomi. Partisipasi berbagai negara dalam kesepakatan investasi bilateral berkembang pesat dalam tahun-tahun terakhir ini di semua belahan dunia. Pembentukan organisasi ekonomi bilateral ini berdasarkan atas adanya hubungan saling membutuhkan bagi antar negara dalam suatu wilayah, seperti kerja sama Uni Eropa. Bergabung dengan suatu kerja sama ekonomi regional sangat berdampak positif bagi setia negara. Yaitu dapat memperkuat kredibilitas suatu kebijakan, mengikatkan diri dalam komitmen yang dibuat yang menciptakan pelaksanaan sanksi dari negara lain, mempermudah mekanisme perdagangan antar negara, media penyelesaian perselisihan ekonomi antar negara, mendapatkan akses pasar yang lebih besar, sarana saling bertukar informasi dan teknologi, dan lain sebagainya. Pemerintah juga dapat mendukung kerja sama antar negara ini melalui pengembangan peranan kawasan berikat, seperti Batam untuk Indonesia. Karena tidak semua daerah di Indonesia telah siap bersaing dalam era perdagangan bebas seperti yang ditargetkan oleh kerja sama ekonomi bilateral Asia Tenggara pada tahun 2010. Masalah penyeludupan yang banyak terjadi di Indonesia sangatlah erat kaitannya dengan lembaga kepabeanan. Masalah ini marak terjadi dikarenakan sistem penegakan hukum yang masih kurang di negara ini dan adanya oknum-
oknum dari dalam lembaga kepabeanan yang mencari keuntungan pribadi yang sangat merugikan bangsa. Bank Dunia mengurutkan Indonesia menjadi hambatan sedang mengenai tindak kriminalitas sebesar 20 persen, yang artinya tindak kriminalitas seperti penyeludupan masih merupakan masalah dalam berinvestasi di Indonesia. Dengan memasukkan masalah kepabeanan dan bea cukai dalam paket iklim investasi, pemerintah menganggap hal ini merupakan salah satu masalah yang harus diselesaikan. 4. Perpajakan Bank Dunia melaporkan dalam laporan tahunannya bahwa Indonesia mengalami hambatan sedang mengenai tingkat tarif pajak dan masalah administrasi perpajakan. Kenyataannya di Indonesia, tindakan korupsi terjadi di lembaga perpajakan. Sudah seharusnya pemerintah menganggap serius mengenai masalah yang terjadi di lembaga perpajakan. Tingkat tarif pajak yang tinggi dan administrasi perpajakan yang sangat tidak efisien dan efektif akan membuat para investor berpindah ke negara lain. Pemerintah mengangkat masalah ini menjadi hal yang harus diperhatikan dengan memasukkannya ke dalam salah satu butir dalam paket kebijakan ini.
Tarif Pajak Perusahaan Negara Berpendapatan Tinggi Negara Berpendapatan Menengah ke Atas Negara Berpendapatan Menengah ke Baw ah Negara Berpendapatan Rendah
Negara
Timur Tengah Dan Afrika Utara Asia Selatan Afrika Sub-Sahara Eropa dan Asia Tengah Amerika Latin Dan Karibia Asia Timur
0%
5%
10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% Persentase
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 4.11. Persentase Tarif Pajak Perusahaan di Berbagai Negara Berdasarkan Gambar 4.11. dapat disimpulkan bahwa tingkat tarif pajak perusahaan masih sangat tinggi di berbagai negara yaitu lebih dari 30 persen. Yang dapat dilakukan pemerintah yaitu melakukan penyempurnaan atas undangundang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan untuk investasi, pemberian fasilitas pajak penghasilan kepada bidang usaha tertentu, menurunkan tarif pajak daerah. Berdasarkan paket kebijakan perbaikan iklim investasi pemerintah berjanji akan mengubah tarif pajak penghasilan, peninjauan ketentuan pembayaran pajak bulanan, meningkatkan daya saing ekspor jasa dengan menerapkan tarif sebesar nol persen atas ekspor jasa, meningkatkan daya saing ekspor pertanian dengan mengubah status produk pertanian menjadi barang bukan kena pajak, melindungi hak wajib pajak dan meningkatkan transparansi lembaga perpajakan.
5. Masalah Ketenagakerjaan Melalui survei Bank Dunia memberikan nilai 25,9 persen untuk peraturan dan regulasi masalah ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Yang artinya Indonesia digolongkan memiliki hambatan yang sedang dalam masalah peraturanperaturan dan regulasi masalah ketenagakerjaan yang mempersulit para pengusaha. Bank
Dunia juga menggolongkan Indonesia termasuk salah satu
negara yang keterampilan tenaga kerjanya hambatan sedang dengan memberi nilai 20,5 persen. Indonesia masih digolongkan salah satu negara yang ketersediaan tenaga kerja terampilnya masih sangat minim. Dalam waktu terbaru ini terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan buruh Indonesia akibat reaksi mereka terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Para buruh melakukan penolakan besar-besaran terhadap peraturan ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dalam rangka memperbaiki iklim investasi Indonesia. Pemerintah sudah seharusnya memandang serius mengenai masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu masalah terbesar. Sangat relevan jika pemerintah menyoroti masalah ini, karena semakin dipermudahnya peraturan dan regulasi ketenagakerjaan dan ketersediaan tenaga kerja terampil akan memberikan peluang yang besar bagi Indonesia menjadi salah satu tujuan investasi di dunia. 6. Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK) Pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 di Indonesia, usaha kecil dan menengahlah yang bertahan dan mampu menopang perekonomian
Indonesia. Dalam waktu yang relatif panjang usaha kecil dan menengah memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan nasional dan yang paling besar menyerap tenaga kerja.
Negara-negara berpenghasilan rendah
Negara-negara berpenghasilan menengah
Negara-negara berpenghasilan tinggi
Persentase dari PD B
100% 80% 60% 40% 20% 0% Aktivitas UKM
Aktivitas Informal
Lain-Lain
Jenis Usaha
Sumber: Laporan World Bank (2005).
Gambar 4.12. Kontribusi Usaha Kecil dan Menengah Terhadap PDB Menurut Bank Dunia, usaha kecil dan menengah masih memegang peranan yang besar dalam perekonomian di berbagai negara. Usaha kecil dan menengah memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan lapangan pekerjaan dan penerimaan negara. Gambar 4.12. mengambarkan bahwa usaha kecil dan menengah memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB terdapat di negara-negara berpenghasilan tinggi sebesar 48 persen, yang diikuti oleh negara berpenghasilan menengah sebesar 40 persen dan yang terakhir negara-negara berpenghasilan rendah sebesar 17 persen. Usaha kecil dan menengah memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian negara-negara maju, sudah seharusnya bagi negara-negara berkembang juga lebih memperhatikan kinerja usaha kecil dan menengah ini dalam kegiatan iklim investasi. Sehingga usaha kecil dan menengah
ini mampu menjadi penopang perekonomian disaat krisis dan mampu bersaing dengan unit usaha yang jauh lebih besar. Pemerintah Indonesia juga menganggap usaha kecil, menengah dan koperasi merupakan sektor yang harus diperhatikan, hal ini terbukti karena pemerintah memasukkannya menjadi salah satu kebijakan dalam paket kebijakan iklim investasi. Hal utama yang akan dilakukan pemerintah yaitu pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi melalui penyempurnaan peraturan yang terkait dengan perizinan, pengembangan jasa konsultasi bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM), peningkatan akses UKMK kepada sumberdaya finansial dan sumber daya produktif lainnya, penguatan kemitraan usaha besar dan UKMK.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan a)
Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa diantara berbagai faktor yang berpengaruh terhadap iklim investasi yaitu masalah ketidakpastian kebijakan, masalah administrasi perpajakan dan masalah perizinan ternyata berpengaruh negatif terhadap iklim investasi secara signifikan.
b)
Iklim investasi di Indonesia masih tergolong buruk. Hal ini terbukti dari data yang dilaporkan Bank Dunia dari surveinya terhadap 175 negara, bahwa Indonesia merupakan tujuan investor yang ke 155 negara. Di Asia Tenggara sendiri, iklim investasi Indonesia hanya lebih baik sedikit dibandingkan dengan Myanmar.
c)
Melihat keterpurukan iklim investasi di Indonesia, pemerintah telah menyiapkan berbagai kebijakan dan peraturan yang dimuat dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 mengenai Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi pada tanggal 27 pebruari 2006. Tindakan ini merupakan langkah awal yang baik untuk memulihkan iklim investasi di Indonesia. Jika pemerintah dan swasta serius dalam melaksanakan kebijakan ini maka pemerintah bisa mengembalikan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.
5.2. Saran a)
Pemerintah perlu lebih memperhatikan masalah ketidakpastian kebijakan, masalah administrasi perpajakan dan masalah perizinan sebagai penghambat iklim investasi, karena berdasarkan penelitian ini masalah tersebut masih merupakan hambatan dalam berinvestasi di Indonesia. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan investor untuk berinvestasi dan peningkatan iklim investasi di Indonesia, sebaiknya pemerintah membuktikannya dengan melaksanakan paket kebijakan perbaikan iklim investasi secara serius.
b)
Pemerintah Indonesia perlu melihat faktor-faktor lain yang mempengaruhi iklim investasi di luar faktor-faktor yang ada di dalam paket perbaikan iklim investasi, seperti peningkatan bentuk kerja sama ekonomi dengan negara lain dan stabilitas politik. Banyak hal yang mempengaruhi iklim investasi dan saling berhubungan sehingga tidak dapat satupun diabaikan, agar tercipta iklim investasi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Dunia. 2005. Laporan Pembangunan Dunia; Iklim Investasi yang Lebih Baik Bagi Setiap Orang. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006a. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia. BPS Pusat. Jakarta Badan Pusat Statistik. 2006b. Laju Pertumbuhan dan Jumlah Pengangguran. BPS Pusat. Jakarta Business News Indonesia. 2005. Iklim Investasi RI Belum Kondusif. Http://web.worldbank.org/wbsite/external/wbi/wbiprograms/iclp/. (21 November 2005). e-bursa 2004. Investasi (e-bursa online). Http://www.e-bursa.com/ind/referensi /investasi/pengenalan/5.php. (19 November 2004). Gujarati, D. 1993. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta. Investor daily. 2005. Iklim Investasi di Indonesia Tergolong Terburuk di Dunia. Http://web.worldbank.org/wbsite/external/wbi/wbiprograms/iclp/. (17 November 2005). Kompas. 25 Maret 2006. hal. 33. Mengembalikan Indonesia ke Investasi Global. Kompas. 07 September 2006. hal. 1. Daya Saing Indonesia Melorot. Lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006. Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Http://www.ekon.go.id/v2/attach /lampiraninpresikliminvestasi.pdf. Jakarta. (27 Pebruari 2006). Lipsey, Richard G., P. N. Courant, D. D. Purvis dan P. O. Steiner. 1995. Pengantar Makroekonomi; Edisi Kesepuluh Jilid Satu. Penerbit Binarupa Aksara. Jawa Barat. Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi; Edisi Keempat. Penerbit Erlangga. Jakarta. Mattjik, A. A. dan I Made Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab; Jilid Satu. IPB Press. Bogor Modul Praktikum STK 212 Metode Statistika II, 2005. Departemen Statistika FMIPA IPB.
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Todaro, M. P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga; Edisi Keempat Jilid 1. Penerbit Erlangga. Jakarta. Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika; Edisi ke-3. Penerbit Gramedia. Jakarta.
Lampiran 1 Analisis Regresi
Regression Analysis: IC versus PUC, LR, RBP, TR, EC, LC, LS
The regression equation is IC = 38.7 - 0.698 PUC + 1.13 LR + 0.775 RBP + 1.05 TR - 1.12 EC - 1.52 LC + 0.709 LS
Predictor
Coef
SE Coef
T
P
Constant
38.67
19.24
2.01
0.066
-0.6985
0.3394
-2.06
0.060
4.1
LR
1.1298
0.4703
2.40
0.032
4.4
RBP
0.7749
0.5070
1.53
0.150
3.3
TR
1.0490
0.3401
3.08
0.009
1.4
EC
-1.1182
0.3962
-2.82
0.014
2.7
LC
-1.5198
0.5756
-2.64
0.020
1.8
LS
0.7093
0.7222
0.98
0.344
1.4
PUC
S = 12.54
R-Sq = 69.4%
VIF
R-Sq(adj) = 53.0%
Analysis of Variance Source
DF
SS
MS
F
P
7
4645.3
663.6
4.22
0.012
Residual Error
13
2043.6
157.2
Total
20
6688.9
Regression
Source
DF
Seq SS
PUC
1
634.6
LR
1
292.4
RBP
1
283.9
TR
1
510.2
EC
1
1823.6
LC
1
948.9
LS
1
151.6
Durbin-Watson statistic = 1.55
Lampiran 2 Uji Heteroskedastisitas
Residuals Versus the Fitted Values (response is IC) 20
R e si d u a l
10
0
-10
-20 40
50
60
70
80
Fitted Value
90
100
110
Lampiran 3 Uji Normalitas
Normal Probability Plot
.999 .99
Pr o b a b ility
.95 .80 .50 .20 .05 .01 .001 40
50
60
70
80
90
100
IC Average: 75.7910 StDev: 18.2878 N: 21
Anderson-Darling Normality Test A-Squared: 0.371 P-Value: 0.390
Lampiran 4 LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi) NOMOR 3 TAHUN 2006 tanggal 27 Februari 2006 I. Umum Sasaran Waktu Maret 2006
Penanggung jawab Perdagangan (Mendag)
Paling lambat bersamaan dengan berlakunya UU penanaman modal. Paling lambat Bersamaan dengan UU penanaman Modal.
Mendag.
Perubahan Keppres Nomor 87 Tahun 2003 tentang tim nasional peningkatan ekspor dan peningkatan investasi. Saran pemecahan masalah.
Maret 2006.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Maret 2006 dan berlanjut.
Mendag.
Penyederhanaan/penyempurnaan peraturan perundang undangan yang menyangkut perizinan di bidang perdagangan, yaitu: 1) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). 2) Surat Izin Perwakilan Perusahaan Perdagangan (P3A). 3) Surat Izin Kegiatan Usaha Surveyor (SIKUS)
Maret 2006.
Mendag.
Kebijakan
Program
Tindakan
Keluaran
A. Memperkuat kelembagaan pelayanan investasi.
1. Mengubah Undang-Undang penanaman modal yang memuat prinsip-prinsip dasar, antara lain perluasan definisi modal, transparansi, perlakuan sama investor domestik dan asing (di luar Negative List) dan Dispute Settlement. 2. Mengubah peraturan yang terkait dengan penanaman modal.
Finalisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) penanaman modal.
Penyampaian RUU penanaman modal ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
a. Menyusun daftar bidang Uusaha tertutup (Negative List) dan terbuka dengan syarat, dengan aturan yang jelas, sederhana, tegas dan transparan. b. Merumuskan pembagian tugas yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk urusan penanaman modal sebagai penjabaran UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. a. Penyempurnaan organisasi.
Peraturan (Perpres).
3. Revitalisasi tim nasional peningkatan ekspor dan peningkatan investasi.
4. Percepatan perizinan kegiatan usaha dan penanaman modal serta pembentukan perusahaan.
b. Mengaktifkan forum dialog dengan dunia usaha dalam rangka pemecahan masalah di bidang ekspor dan investasi. a. Peninjauan sejumlah ketentuanketentuan perizinan dibidang perdagangan.
Presiden
Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom.
Menteri dalam Negeri (Mendagri).
b. Menyederhanakan proses pembentukan perusahaan dan izin usaha.
B.Sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan daerah C. Kejelasan ketentuan mengenai kewajiban analisa mengenai dampak lingkungan
Peninjauan PerdaPerda yang menghambat investasi. Perubahan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang jenis rencana usaha dan kegiatan wajib AMDAL.
c. Merealisasikan sistem pelayanan terpadu untuk penanaman modal dengan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang jelas. d. Penyediaan informasi mengenai perizinan yang di perlukan. Membentuk tim bersama untuk mengawasi penyusunan rancangan Perda dan mengepaluasi Perda. Mengubah Kepmeneg lingkungan hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang rencana usaha dan kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL.
4) Surat Izin Usaha Pasar Modern 5) Surat Izin Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) 6) Surat Tanda Pendaftaran Keagenan dan Distributor 7) Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) 8) Izin Usaha Penjualan Berjenjang (IUPB) 9) Tanda Daftar Gudang (TDG). Berkurangnya waktu untuk pembentukan perusahaan dan perizinan usaha secara bertahap dari rata-rata 150 hari menjadi sekitar 30 hari, antara lain melalui: 1) Pendelegasian wewenang pengesahan badan hukum kepada kantor wilayah (kanwil) hukum & Ham di propinsi. 2) Perpres perubahan Keppres Nomor 97 Tahun 1993 tentang tata tara penanaman modal sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keppres Nomor 117 Tahun 1998. Perpres Pelayanan Terpadu.
Maret 2006.
Menteri Hukum & Hak Asasi Manusia
Paling lambat bersamaan dengan berlakunya UU penanaman modal. Paling lambat bersamaan dengan Berlakunya UU penanaman modal. Berlanjut.
Mendag.
1) Tim terbentuk. 2) Penolakan rancangan Perda, penyempurnaan dan pembatalan Perda yang menghambat investasi.
Maret 2006 Berlanjut.
Mendagri.
Perubahan Kepmeneg Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001.
November 2006.
Menteri Negara Lingkungan Hidup
Penyediaan papan informasi, media cetak dan website (www.depdag.go.id).
Mendag.
Mendag.
II. Kepabeanan dan Cukai Kebijakan
Program
Tindakan
Keluaran
A. Percepatan arus
1. Percepatan proses
a. Menyederhanakan prosedur pemeriksaan
Penyempurnaan perundang undangan yang berkaitan
Sasaran Waktu Juni 2006.
Penanggung jawab Menkeu.
barang.
pemeriksaan kepabeanan.
kepabeanan. b. Pengembangan sistem EDI di Dirjen Bea Cukai.
c. Persiapan penerapan sistem aplikasi impor ekspor dengan teknologi Webbase untuk mendukung penerapan National Single Window 2008. d. Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan serta melaksanakan dengan konsisten penggunaan jalur hijau dan jalur merah didukung dengan peralatan dan teknologi yang tepat.
e. Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan serta melaksanakan dengan konsisten penggunaan jalur prioritas didukung dengan peralatan dan teknologi yang tepat.
2. Percepatan pemprosesan kargo dan pengurangan biaya di Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Internasional Soekarno Hatta.
f. Menyusun pedoman proses penetapan klasifikasi barang utama tertentu dalam rangka penetapan tarif yang jelas dan transparan. a. Persiapan penerapan NSW 2008, yang meliputi Trade-Net dan Port-Net.
b. Percepatan penanganan kargo dan pengurangan biaya di pelabuhan. c. Audit investigasi terhadap kegiatan kepelabuhanan. d. Penertiban tata ruang kepelabuhanan. B.Pengem -bangan Peranan
1. Perluasan fungsi Tempat Penimbunan
Mengubah Pasal 44 s/d 47 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
dengan prosedur pemeriksaan kepabeanan. Hasil pengembangan sistem EDI di Dirjen bea cukai sehingga mengurangi Time Release Target: 1) Jalur hijau menjadi 30 menit. 2) Jalur merah menjadi 3 hari. Penambahan sistem aplikasi impor dan ekspor dengan teknologi Webbase.
Juni 2006. Desember 2006.
Menkeu. Menkeu.
Perubahan peraturan yang berkaitan dengan penggunaan jalur hijau dan jalur merah di dukung dengan peralatan dan teknologi yang tepat sehingga pemakai jalur merah menjadi : 1) 20%. 2) 15%. 3) 10%. Perubahan peraturan yang berkaitan dengan penggunaan jalur prioritas didukung dengan peralatan dan teknologi yang tepat sehingga pemakai jalur prioritas bertambah dari 71 importir menjadi : 1) 100 importir. 2) 130 importir. Penetapan klasifikasi barang utama tertentu.
Juni 2006. Septem -ber 2006. Desem ber Juni 2006.
Menkeu.
Desem ber 2006.
Menkeu.
Juni 2006.
Menkeu.
Keputusan Menko Perekonomian tentang Tim Persiapan NSW dalam kerangka keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2002 tentang tim koordinasi kelancaran arus barang ekspor dan impor. 1) Berkurangnya waktu penanganan kargo. 2) Hapusnya biaya-biaya yang tidak di dasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan audit investigasi terhadap kegiatan kepelabuhanan. Terwujudnya rencana penertiban tata ruang kepelabuhanan.
Maret 2006.
Menko Perekonomian.
Desember 2006. Desem ber 2006. Desem ber 2006. Segera setelah RUU di
Menhub.
Perubahan Pasal 44 s/d 47 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Menhub. Menhub. Menkeu.
Kawasan Berikat.
Berikat (TPB) dan perubahan beberapa konsep tentang kawasan berikat agar menarik bagi investor untuk melakukan investasi. 2. Penyempurnaan ketentuan TPB.
3. Otomasi kegiatan di TPB
C. Pemberantasan penyeludupan.
D. Debirokratisasi di Bidang Cukai.
4. Peningkatan pemberian fasilitas kepabeanan di kawasan berikat. Peningkatan kegiatan pemberantasan penyelundupan.
Mempercepat proses registrasi dan permohonan fasilitas cukai.
sahkan.
Membuat draft pengganti ketentuan TPB (PP, PMK dan PDJBC).
Ketentuan TPB di sesuaikan dengan perubahan UU kepabeanan.
Persiapan penerapan sistem aplikasi pelayanan di TPB secara mandatori. Menerapkan sistem kepabeanan yang berlaku di Batam ke kawasan berikat lainnya.
Penerapan sistem aplikasi pelayanan di TPB secara mandatori. Peraturan Menkeu.
a. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait.
Mempercepat proses hukum tindak pidana penyelundupan. Daftar Rencana Obyek Audit (DROA) dengan sistem profiling dan targeting, serta meningkatkan joint audit dengan Ditjen Pajak dan BPKP: 50 perusahaan akan diaudit. Perubahan Peraturan Menkeu.
b. Mengintensifkan pengawasan melalui kegiatan audit di bidang kepabeanan dan cukai.
Permohonan registrasi dan fasilitas tidak perlu melalui Kanwil Ditjen Bea & Cukai.
2 bulan setelah RUU kepabeanan disahkan. Septem ber 2006 Berlanjut.
Menkeu.
Berlanjut.
Jaksa Agung.
Desem ber 2006.
Menkeu.
Agustus 2006.
Menkeu.
Menkeu. Menkeu.
III. Perpajakan Kebijakan
Program
Tindakan
Keluaran
A. Insentif perpajakan untuk investasi.
1. Melakukan penyempurnaan atas UU tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai barang & Jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
Menilai kembali usulan perubahan: a. UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, b. UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, c. UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang & jasa dan pajak penjualan atas barang mewah. Menetapkan bidang bidang usaha tertentu dan daerahdaerah tertentu yang dapat diberikan fasilitas
Keputusan mengenai status RUU yang sudah disampaikan ke DPR.
2. Pemberian fasilitas pajak penghasilan kepada
Perubahan PP Nomor 148 tahun 2000 tentang Fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di
Sasaran Waktu Maret 2006.
Penanggung jawab Menkeu
Juni 2006.
Menkeu.
bidang bidang usaha tertentu. 3. Menurunkan tarif pajak daerah yang berpotensi menyebabkan kenaikan harga/jasa.
B. Melaksanakan sistem "selfasses ment" secara konsisten.
bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah daerah tertentu. Peraturan Mendagri dengan usulan/rekomendasi Menkeu.
Mei 2006.
Mendagri.
Perubahan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Peraturan Menteri terkait dengan rekomendasi Menkeu.
Juni 2006.
Menkeu.
Mei 2006.
Menkeu.
Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana di ubah terakhir dengan UU nomor 17 tahun 2000.
Segera setelah RUU disahkan.
Menkeu.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang perkiraan penghasilan netto untuk Withholding Tax. Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana di ubah terakhir dengan UU nomor 17 tahun 2000.
Juni 2006.
Menkeu.
Segera setelah RUU di sahkan.
Menkeu.
a. Membuat proyek percontohan pembentukan meja pelayanan kepada masyarakat di kantor pajak untuk memberikan informasi mengenai pengisian SPT (Tax return). b. Melaksanakan sosialisasi perubahan UU di bidang perpajakan melalui website, seminar dan berbagai publikasi.
Terbentuknya pelayanan di Kanwil Pajak.
meja seluruh
Desem ber 2006.
Menkeu.
pajak
Segera setelah RUU disahkan.
Menkeu.
1. Menghapus penalti PPN.
Menghapus 2% penalti administrasi yang ditimbulkan sebagai akibat penyampaian invoice pajak tanpa identitas pembeli untuk pengurangan biaya usaha.
Segera setelah RUU disahkan.
Menkeu.
2. Meningkatkan daya saing ekspor jasa.
Menerapkan tarif 0% atas ekspor jasa tertentu untuk peningkatan ekspor.
Segera setelah RUU disahkan.
Menkeu.
3. Meningkatan daya saing produk pertanian
Mengubah status PPN atas produk pertanian (Primer) menjadi barang bukan kena pajak untuk peningkatan
Perubahan UU nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan Pajak penjualan barang atas barang mewah sebagai mana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU nomor 18 tahun 2000. Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan Pajak penjualan barang atas barang mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU nomor 18 tahun 2000. Perubahan-peraturan pemerintah yang terkait
Segera setelah rancangan PP
Menkeu.
1. Mengubah tarif PPh.
2. Peninjauan ketentuan pembayaran pajak bulanan (prepayment/ installment). 3. Perbaikan jasa pelayanan pajak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pembayaran pajak. C. Perubahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk mempromosikan ekspor.
perpajakan sesuai dengan Pasal 31A UU Pajak Penghasilan. a. Menurunkan tarif pajak kendaraan bermotor untuk jenis kendaraan angkutan umum. b. Menurunkan tarif pajak penerangan jalan bagi industri dan non industri. c. Menyelesaikan masalah pungutan pajak/retribusi daerah: 1) Tower telekomunikasi, 2) Jembatan timbang, 3) Lalu lintas barang. a. Mengubah tarif pajak atas pendapatan hasil usaha dan tarif tunggal untuk Wajib Pajak Badan, di turunkan dari 30% menjadi 28% tahun 2007 dan menjadi 25% tahun 2010. b. Mengubah perkiraan penghasilan netto sebagai dasar withholding tax. Memberikan kelonggaran waktu pembayaran pajak bulanan bagi wajib pajak tertentu.
Penerimaan meningkat.
D. Melindungi hak wajib pajak.
E. Mempromosikann transparansi dan disclosure.
(Primer).
daya saing.
1. Menerapkan kode etik petugas/ pejabat pajak.
Meningkatkan good governance, terutama terkait dengan audit, keberatan dan penerapan peraturan perpajakan secara benar. Perbaikan sistem pembayaran pajak, antara lain dalam periode proses keberatan (objection process). a. Menyusun ketentuan pemeriksaan dan investigasi perpajakan yang baku dan transparan. b. Melaksanakan pelatihan yang menyangkut metode tax audit yang baru. Menyusun Data Base dan membangun knowledge base dari berbagai ketentuan perpajakan.
2. Mereformasi sistem pembayaran pajak. 1. Tax Audit, Investigation dan Disclosure
2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai Pajak.
Penerapan kode etik petugas/pejabat pajak di semua Kanwil pajak.
terkait konsultasi dgn DPR Desember 2007.
Menkeu.
Menkeu.
Peraturan Menkeu.
Segera setelah RUU di sahkan. 2007.
Up Grading SDM DJP.
2007.
Menkeu.
Website dan Call Center yang lengkap dan berfungsi.
Maret 2008.
Menkeu.
Perubahan UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Menkeu.
IV. Ketenagakerjaan Kebijakan
Program
Tindakan
Keluaran
A. Menciptakan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja.
1. Mengubah UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Menyusun draft perubahan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 terutama meliputi ketentuan mengenai: a. PHK, pesangon dan hakhak pekerja/buruh lainnya, b. Perjanjian kerja bersama, c. Ketentuan mengenai pengupahan, d. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), e. Penyerahan sebagian pekerjaan kepada pihak lain (outsourcing), f. Izin mempekerjakan tenaga Kerja Asing (TKA). g. Ketentuan mengenai istirahat panjang. Penyusunan Draft peraturan pendukung (PP, Keppres dan Kepmen) Ketentuan mengenai: a. Perjanjian Kerja, b. Cuti Panjang, c. Uang Lembur, d. Outsourcing, e. Pengupahan, f. Prosedur memperkerjakan TKA. Menyusun draft perubahan UU Nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri terutama meliputi ketentuan mengenai: a. Menghilangkan syarat pelaksana penempatan tenaga
Penyampaian Draf perubahan UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ke DPR.
2. Mengubah peraturan pelaksanaan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
B. Perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri
Mengubah UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di
Perubahan PP, Perpres dan Peraturan Menakertrans.
Penyampaian draft perubahan UU nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri ke DPR.
Sasaran Waktu April 2006.
Penanggung jawab Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans).
Segera setelah perubahan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disahkan. Oktober 2006.
Menakertrans.
Menakertrans.
Luar Negeri
C. Penyelesaian berbagai perselisihan hubungan industrial secara cepat, murah dan berkeadilan. D. Mempercepat Menkum & HAM proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan
Implementasi UU Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
E. Penciptaan pasar tenaga kerja fleksibel dan produktif.
Pengembangan bursa kerja dan informasi pasar kerja.
F. Terobosan paradigma pembangunan transmigrasi tuuan perluasan lapangan kerja.
Mengubah UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang ketransmigrasian
Mengubah UU dan peraturan/ surat, keputusan/ surat edaran terkait.
kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) wajib memiliki unit pelatihan kerja untuk mendapatkan Surat Izin PPTKIS. b. Pendidikan dan pelatihan. a. Melaksanakan pelatihan bagi calon mediator, konsiliator, arbitrer dan hakim ad hoc. b. Membuat sistem informasi yang berisikan berbagai keputusan tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. a. Menyederhanakan prosedur pemberian visa dan izin tinggal bagi investor/TKA, cukup mempunyai dua jenis izin: IMTA dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan KITAS dari Kantor Imigrasi b. Mempercepat proses: 1) Sertifikasi kompetensi tenaga kerja dari 1 bulan menjadi 2 minggu. 2) Akreditasi balai latihan kerja luar negeri dari 23 hari menjadi 14 hari. 3) Akreditasi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dari 23 hari menjadi 14 hari. 4) Akreditasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dari 3 bulan menjadi 2 bulan. 5) Hubungan industrial: a) fasilitas pengesahan dari 10 hari menjadi 7 hari. b) fasilitas perjanjian kerja dari 7 hari menjadi 6 hari. Pemberdayaan bursa kerja online dan meningkatkan mekanisme pelaksanaan pengelolaan informasi pasar kerja.
Menyusun draft perubahan UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang ketransmigrasian, terutama meliputi ketentuan mengenai: a. Hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah. b. Peran serta sektor swasta dalam program transmigrasi.
Pelatihan.
Berlanjut
Menakertrans.
Tersedia informasi tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Berlanjut
Menakertrans.
Perubahan UU dan peraturan/surat keputusan/surat edaran terkait.
Maret 2006.
Menkum HAM.
Perubahan UU dan peraturan/surat keputusan/surat edaran terkait.
Maret 2006.
Menakertrans.
1) Efektifitas pelayanan penempatan tenaga kerja. 2) Tersedianya informasi pasar kerja, seperti lowongan dan pencari kerja yang optimal. Penyampaian draft perubahan penyempurnaan UU nomor 15 tahun 1997 tentang ketransmigrasian ke DPR.
Berlanjut.
Menakertrans.
Agustus 2006.
Menakertrans.
&
V. Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi Kebijakan Pemberdayaan Usaha Kecil,
Program
Tindakan
1. Penyempurnaan peraturan yang terkait dengan perizinan bagi
Pembuatan pedoman penyempurnaan dan penyederhanaan pemberian izin bagi UKMK dan pengembangan sistem pelayanan
Keluaran Peraturan Mendagri.
Sasaran Waktu April 2006.
Penanggung jawab Mendagri.
Menengah dan Koperasi/ UKMK
UKMK. 2. Pengembangan jasa konsultasi bagi industri kecil dan menengah (IKM). 3. Peningkatan akses UKMK kepada sumber daya finansial dan sumber daya produktif lainnya.
perizinan satu atap satu pintu. Penyusunan Peraturan Menteri tentang pengembangan jasa konsultasi bagi IKM. a. Penyusunan kebijakan dan strategi nasional pengembangan keuangan mikro. b. Pengembangan skema kredit investasi bagi UKMK. c. Penyediaan insentif fiskal bagi UKMK yang memanfaatkan teknologi inovatif. d. Pemberian sertifikasi tanah bagi UKMK untuk peningkatan akses kepada kredit perbankan.
e. Pengembangan industri UKMK.
4. Penguatan kemitraan usaha besar dan UKMK.
Sumber: www.ekon.go.id,
kawasan
a. Mengubah Keppres Nomor 127 Tahun 2001 tentang bidang/jenis usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil dan bidang/jenis usaha yang terbuka untuk usaha menengah atau besar dengan syarat kemitraan sesuai dengan daftar bidang usaha tertutup (Negative List) dan terbuka dengan syarat. b. Mengubah PP Nomor 16 Tahun 1997 tentang waralaba.
Peraturan Menperin.
Juni 2006.
Menteri Perindustrian (Menperin).
Perpres.
Oktober 2006. Juni 2006.
Menkeu.
Rancangan skema kredit investasi bagi UKMK. Peraturan Menkeu Perubahan peraturan perundang undangan yang terkait dengan insentif fiskal bagi pengembangan UKMK: 1) Rancangan insentif fiskal. 2) Peraturan Menkeu, 10.250 sertifikat tanah milik UKMK. Nota kesepahaman (MoU) diantara instansi terkait tentang pengembangan kawasan industri untuk UKMK. Perubahan Keppres Nomor 127 tahun 2001.
Perubahan PP Nomor 16 Tahun 1997.
Septem ber 2006. Juni 2006.
Meneg Koperasi dan UKM. Menkeu. Menkeu.
Septem ber 2006. Desem ber 2006. Maret 2006.
Meneg Koperasi dan UKM.
Juni 2006.
Mendag.
Juni 2006.
Mendag.
Menperin.