ANALISIS PERBANDINGAN HASIL TAMBAK PERIKANAN DI DALAM DAN DI LUAR KAWASAN MANGROVE (KABUPATEN PROBOLINGGO, PROPINSI JAWA TIMUR)
LIVIA AZARINE WISYANDA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove: Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2013
Livia Azarine Wisyanda H44080035
ii
RINGKASAN LIVIA AZARINE WISYANDA. Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur). Dibimbing Oleh AKHMAD FAUZI dan BENNY OSTA NABABAN. Luas area mangrove di Indonesia kini kian berkurang akibat perkembangan pembangunan daerah pesisir, terutama sebagai tambak perikanan. Mangrove yang ada biasanya ditebang habis kemudian lahan tersebut dijadikan tambak. Kelestarian mangrove yang terganggu tersebut juga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah memperkenalkan pola pengelolaan tambak tumpangsari, yakni suatu bentuk budidaya perikanan tambak dimana di lahan tersebut tetap dipertahankan ataupun ditanam kembali sejumlah mangrove. Keberadaan mangrove di kawasan tambak tersebut akan memberikan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung terhadap produktivitas tambak. Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, merupakan desa pesisir dimana para petaninya membuat tambaknya berada di dalam kawasan mangrove, yakni di tengah maupun di pinggir tambak. Untuk melihat bagaimana keberadaan mangrove berpengaruh terhadap produktivitas tambak, atau seberapa besar keuntungan tambak dari adanya mangrove, maka tambak yang berada di lokasi Desa Curahsawo akan dibandingkan dengan tambak yang berada di lokasi Desa Sukokerto. Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, merupakan desa pesisir yang secara geografis terletak bersebelahan dengan Desa Curahsawo, sehingga lebih kurang memiliki kondisi lingkungan yang sama. Mangrove yang ada di Desa Sukokerto hanya tersisa sedikit, yakni kurang dari lima persen dari seluruh wilayah pesisirnya. Berdasarkan hasil analisis kelayakan yang dilakukan, diperoleh bahwa nilai kriteria kelayakan usaha tambak yang berada di kawasan mangrove lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berada di luar kawasan mangrove tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai kriteria kelayakan usaha tambak Desa Curahsawo seperti NPV sebesar Rp 45.799.888,16, BCR sebesar 1,39, IRR sebesar 67%, dan payback period selama 2 tahun 5 bulan. Untuk Desa Sukokerto, nilai-nilai tersebut adalah NPV sebesar Rp 4.523.615, BCR sebesar 1,11, IRR sebesar 14%, dan payback period selama 7 tahun 11 bulan. Meskipun kedua lokasi memenuhi syarat kelayakan, nilai kriteria kelayakan tambak yang berada di kawasan mangrove jauh lebih baik dan menguntungkan dibandingkan dengan yang berada di luar kawasan mangrove, terlebih dalam jangka panjang. Selain itu, untuk mengetahui tingkat kesejahteraan petani sebagai produsen, dilakukan perhitungan surplus produsen. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh bahwa nilai surplus produsen Desa Curahsawo sebesar Rp 7.631.792. Nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan surplus produsen Desa Sukokerto, yakni sebesar Rp 2.687.010. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kesejahteraan petani tambak dalam kawasan mangrove lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani tambak di luar kawasan mangrove. Kata kunci: Mangrove, tambak tumpang sari, analisis kelayakan, surplus produsen.
LIVIA AZARINE WISYANDA. Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur). Dibimbing Oleh AKHMAD FAUZI dan BENNY OSTA NABABAN. COMPARISON ANALYSIS OF FISHERY FARMING IN MANGROVE AREA WITH FISHERY FARMING IN NO-MANGROVE AREA, PROBOLINGGO, EAST JAVA 1)
2)
Wisyanda, Livia Azarine , Akhmad Fauzi , dan Benny Osta Nababan
3)
ABSTRACT Mangroves in Indonesia are decreasing in number because of several causes, while the main cause of the mangrove conversion is mostlyfishery farming.Fishery farming areas in coastal areas are usually cleared from mangroves, as a result, so many loss, local communities couldn’ttake direct nor indirect benefits from the existence of mangroves. So, Government introduces a more environment-friendlier way of fishery farming, which is silvo-fishery farming (fishery mangrove in mangrove area), but it’s not well informed to all of farmers, and there is no quantitative prove abouthow much this silvo-fishery farming better than the old way (the full conversion of mangroves). The article examines whether or not the silvo-fishery farming is better than the old way and how much is the difference.By using feasibility analysis and producer’s surplus analysis, the results indicate that although the old way of fishery farming is also viable and creates benefits, it is so not as much as the silvo-fishery would gives. Keyword: Mangrove, coastal silvo-fishery farming Probolinggo, East Java.
1
Mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, H44080035, Semester 10 Dosen Pembimbing I Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: Prof, Dr, Ir, M.Sc 3 Dosen Pembimbing II Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: S.Pi, M.Si 2
ANALISIS PERBANDINGAN HASIL TAMBAK PERIKANAN DI DALAM DAN DI LUAR KAWASAN MANGROVE (KABUPATEN PROBOLINGGO, PROPINSI JAWA TIMUR)
LIVIA AZARINE WISYANDA H44080035
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
iv
Judul Skripsi
: Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur)
Nama
: Livia Azarine Wisyanda
NIM
: H44080035
Disetujui
Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Pembimbing I
Diketahui Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus:
v
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang atas berkat dan rahmatNya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini, yakni kepada: 1. Orang tua, bapak, Ir. H. Yahya Agusman, M.Si, dan ibu, Dra. Hj. Putry Wisni Wardhani. Adik-adik, Vito Demasyanda dan Dissa Alithia Wisyanda. Terima kasih atas segala-galanya. Atas bantuannya, atas kesabarannya, atas perhatian dan kasih sayangnya. Terlebih, maaf atas segala-galanya. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc sebagai dosen pembimbing I, dan Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing II, yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr sebagai dosen penguji utama yang juga sebagai dosen pembimbing akademik, dan Bapak Novindra, SP, M.Si sebagai dosen penguji wakil departemen. 4. Pak Bambang, Pak Khairul, Pak Wahono, Pak Sumarno, dan aparat pemerintahan Kota dan Kabupaten Probolinggo lainnya. Terima kasih banyak atas waktu dan bantuannya. 5. Nova, Sari, dan teman-teman di ESL lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Rina, qq. Terima kasih atas semuanya. 6. Mbak sofi, mbak putri, mbak aam, dan staf departemen ESL lainnya, juga semua orang yang ikut membantu dan tidak dapat disebutkan di sini. Terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.
KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya, skripsi yang berjudul “Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur)” dapat diselesaikan. Inti dari skripsi ini adalah melihat perbandingan hasil dari usaha tambak tumpangsari, yakni tambak yang berada di dalam kawasan mangrove, dengan usaha tambak yang tidak berada dalam kawasan mangrove. Hasil tambak yang berada di dalam kawasan mangrove akan lebih besar dari tambak yang tidak ada mangrovenya sehingga akan berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tentunya juga kelestarian lingkungan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai panduan untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut dan juga bermanfaat bagi kepentingan berbagai kalangan. Sekian dari penulis, kritik serta saran yang membangun diharapkan untuk hasil yang lebih baik. Terima kasih.
Bogor, Juli 2013
Livia Azarine Wisyanda H44080035
DAFTAR ISI Halaman PERNYATAAN ………………………………………………………….…
i
RINGKASAN …..…………………………………………………………..
ii
LEMBAR PENGESAHAN ….……………………………………………...
iii
DAFTAR TABEL ……………………………..………….………..….……
ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….............
x
DAFTAR LAMPIRAN ...………………………………………….………..
xi
I.
PENDAHULUAN ……………………………………………..........
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Latar Belakang …………………………………………..…… Perumusan Masalah …………………………………..……… Tujuan Penelitian .…...…………………………………..…… Manfaat Penelitian ………………………………………..….. Ruang Lingkup Penelitian …………………………….………
1 4 5 5 6
TINJAUAN PUSTAKA …...………………………………………..
7
2.1. Ekosistem Mangrove ..………………………………….…..... 2.1.1. Definisi Mangrove …...……………………………… 2.1.2. Tumbuhan Mangrove ..……………………………… 2.1.3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove ...…………….. 2.1.4. Produk dan Jasa dari Mangrove …...………………… 2.2 Tambak Tumpangsari ...……………………………….……… 2.3. Analisis Biaya dan Manfaat ………………………………….. 2.4. Surplus Produsen …..……………………………………….... 2.5. Penelitian Terdahulu ……..…………………………………..
7 7 7 9 12 14 17 17 19
III.
KERANGKA PEMIKIRAN …..…………………………….………
21
IV.
METODE PENELITIAN ……...……………………………………
23
4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
23 23 23 24
II.
Lokasi dan Waktu Penelitian ..……………………………….. Jenis dan Sumber Data …..………………………….………... Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Jumlah Sampel …. Metode Pengolahan dan Analisis Data .…….…….………….. 4.4.1. Mengkaji Pendapatan dan Peranan/Partisipasi Masyarakat dalam Menjaga Kelestarian Mangrove….. 4.4.2. Mengkaji Perbandingan Kelayakan Pola Tambak dalam Kawasan Mangrove (Tumpangsari) dengan di Luar Kawasan Mangrove (Model Lama) …...…….….. 4.4.3. Menganalisis Kesejahteraan Petani Tambak dengan Perbandingan Surplus Produsen Pola Tambak Dalam Kawasan Mangrove (Tumpangsari) dengan di Luar Kawasan Mangrove (Model Lama) ...…………….…..
24
24
27
V.
VI.
GAMBARAN UMUM ……………………………………………...
28
5.1. Keadaan Umum Desa Curahsawo …………………………… 5.2. Keadaan Umum Desa Sukokerto ……………………………. 5.3. Kondisi Perikanan dan Potensi Mangrove Kabupaten Probolinggo …………………………………………………. 5.4. Karakteristik Responden ……………………………………..
28 30 31 39
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….
35
6.1. Pandangan dan Peranan Masyarakat Terhadap Kelestarian Mangrove di Desa Curahsawo dan Desa Sukokerto …………. 6.2. Perbandingan Kelayakan Finansial Tambak Dalam Kawasan Mangrove dan di Luar Kawasan Mangrove ………………….. 6.3. Analisa Kesejahteraan Petani Tambak dengan Perbandingan Surplus Produsen Tambak Dalam Kawasan Mangrove dan di Luar Kawasan Mangrove ………………………………….…. VII.
35 41
44
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………...
46
7.1. 7.2.
Simpulan ……………………………………………………... Saran ………………………………………………………….
46 47
DAFTAR PUSTAKA …….……………………….…………….………….
48
LAMPIRAN …….……………………………………….……………….…
51
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………
76
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Estimasi luasan mangrove per wilayah di dunia (tahun 1980-2005).. 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Luasan mangrove tiap negara dan proporsinya terhadap luasan mangrove global ………………………….…………………….….. Produk dan jasa hutan mangrove ...……………………………….. Luas ekosistem mangrove propinsi jawa timur tahun 2010 menurut citra landsat tm-5………………………………….......................… Tutupan dan kerapatan mangrove kabupaten probolinggo ...………. Produksi perikanan di kabupaten probolinggo …………………….. Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan perlestarian .……….. Perbandingan hasil analisis kelayakan ………………………...…… Perbandingan surplus produsen desa curahsawo dan desa sukokerto
2 13 31 32 33 40 43 45
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
x
Halaman Penurunan Luas Area Mangrove di Indonesia ……………………... 2 Peningkatan Luas Lahan Budidaya Tambak Per Tahunnya ……….. 3 Manfaat Mangrove Bagi Kehidupan ……………………………….. 12 Perbandingan Tambak Model Lama dengan Tambak Tumpangsari ...................................................................................... 14 Bentuk Tambak Tumpangsari Pola Parit …………………………... 16 Bentuk Tambak Tumpangsari Pola Komplangan ………………….. 17 Surplus Produsen …………………………………………………… 19 Kerangka Pemikiran Operasional …………………………………. 22 Data Produktivitas Bandeng, Udang Vannamei, dan Udang Werus Kabupaten Probolinggo ……………………………………………. 39 Pendapat Responden Desa Curahsawo Terhadap Kondisi Mangrove di Lingkungannya ………………………..…………….. 35 Pendapat Responden Desa Curahsawo Mengenai Manfaat Mangrove …………….…………………………………………….. 36 Pentingnya Keberadaan Mangrove Bagi Responden Desa Curahsawo …………………………………………………………. 36 Partisipasi Responden Desa Curahsawo Dalam Mengikuti Penyuluhan ………………………………………………………… 37 Partisipasi Responden Desa Curahsawo Dalam Penanaman Mangrove ………………………………………………………….. 37 Pendapat Responden Desa Sukokerto Terhadap Kondisi Mangrove di Lingkungannya …………………………………………………. 38 Pendapat Responden Desa Sukokerto Mengenai Manfaat Mangrove ………………………………………………………….. 38 Partisipasi Responden Desa Sukokerto Dalam Mengikuti Penyuluhan ………………………………………………………… 39 Partisipasi Responden Desa Sukokerto Dalam Mengikuti Penanaman Mangrove ……………………………………………... 39
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Lokasi Penelitian ………………………………………………….. 52 2. Hasil Pengolahan Data Analisis Usaha Tambak….……………….. 54 3. Cashflow Analisis ………………………………………………… 60 4. Karakteristik Responden...………………………………………… 64 5. Dokumentasi Penelitian …………………………………............... 67 6. Kuisioner Penelitian Terhadap Responden………………............... 69
xi
1
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sejak dulu mangrove telah dimanfaatkan secara luas dan eksploitatif di
sebagian besar negara yang ditumbuhi mangrove. Banyaknya studi dan literatur yang ada memperlihatkan keberadaan mangrove yang terus berkurang setiap waktunya di tiap belahan dunia. Tabel 1 memperlihatkan estimasi terhadap luasan mangrove yang dilakukan oleh FAO dan dapat terlihat bahwa penurunan pada luasan mangrove terus terjadi sejak tahun 1980 hingga tahun 2005 di tiap belahan dunia. Tabel 1. Estimasi luasan mangrove per wilayah di dunia (tahun 1980-2005) Wilayah
Estimasi Terkini (1000 tahu ha) n ref. 3243 1997
1980
1990
(1000 ha) 3670
(1000 ha) 3428
Asia
6048
2002
7769
6741
Amerik a Utara dan Tengah Oceania
2358
2000
2951
2592
2019
2003
2181
2090
-9
2038
1992
2222
2073
-15
1570 5
2000
1879 4
1692 5
-187
Afrika
Amerik a Selatan Dunia
Perubahan 1980-1990 (100 % 0 ha) -24 0,6 8 -103 1,4 1 -36 1,2 9 0,4 2 0,6 9 1,0 4
2000 (1000 ha) 3218 6163 2352
Perubahan 1990-2000 (100 % 0 ha) -21 0,6 3 -58 0,8 9 -24 0,9 7
2012
-8
1996
-8
1574 0
-118
0,3 8 0,3 8 0,7 2
2005 (1000 ha) 3160 5858 2263
Perubahan 2000-2005 (100 % 0 ha) -12 0,3 6 -61 1,0 1 -18 0,7 7
1972
-8
1978
-4
1523 1
-102
0,3 9 0,1 8 0,6 6
Sumber: FAO (2007)
Dalam studi estimasi luasan mangrove global yang dilakukan oleh FAO tersebut (2007), sebagai negara, Indonesia memiliki area mangrove terluas di seluruh dunia, yakni sebesar 19% dari total luasan mangrove yang ada di dunia, yakni sebesar 3.062.300 ha, diikuti oleh Australia 10%, Brazil 7%, Nigeria 7%, Meksiko 5%, Malaysia 4%, Kuba 4%, Myanmar 3%, Bangladesh 3%, India 3%, dan sisanya adalah 35% yang merupakan gabungan dari negara-negara lainnya (Tabel 2).
2
Tabel 2. Luasan mangrove tiap negara dan proporsinya terhadap luasan mangrove global No.
Negara
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Indonesia Australia Brazil Nigeria Meksiko Malaysia Kuba Myanmar Bangladesh India Lainnya
Luas Mangrove (ha) 3.062.300 1.451.411 1.012.376 997.700 882.032 564.971 545.805 518.646 476.215 446.100 5.747.433
Proporsi terhadap Luasan Mangrove Dunia (%) 19 10 7 7 5 4 4 3 3 3 35
Sumber: FAO (2007)
Luasan mangrove saat ini telah mengalami degradasi karena berbagai sebab. Disebutkan oleh Soemartono (2002) dalam Kustanti (2011) bahwa hasil studi yang ada menunjukkan bahwa degradasi hutan mangrove di Indonesia dalam kurun waktu 11 tahun (tahun 1982 sampai 1993) yang terjadi sebesar 47,92%. Menurut LPP Mangrove Indonesia (2004), hutan mangrove telah mengalami degradasi atau penurunan luas hingga mencapai 200.000 ha per tahunnya. Dapat terlihat juga angka penurunan jumlah area mangrove di Indonesia dari tahun 1980
Luas Area Mangrove (Ha)
hingga 2005 berdasarkan data dari FAO pada tahun 2007 (Gambar 1). 5000000 4000000 3000000 2005, 2.900.000
2000000 1000000 0 1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
Tahun Sumber: FAO (2007)
Gambar 1. Penurunan luas area mangrove di indonesia Eksploitasi sumber daya alam daerah pesisir hutan mangrove menjadi tidak terelakkan dan tak terkendali. Tindakan eksploitasi yang berlebihan dan tidak memikirkan kepentingannya secara jangka panjang tersebut akan sangat
3
merugikan, merusak ekosistem mangrove maupun habitat yang terkait dengan ekosistem tersebut. Pantai akan terancam erosi dan abrasi, terjadinya intrusi air laut yang dapat mengakibatkan pencemaran air tanah di wilayah pesisir. Tekanan serius pada fungsi ekologis hutan mangrove tersebut terjadi karena berbagai faktor, yakni seperti pembangunan daerah pesisir yang semakin pesat, pertumbuhan penduduk lokal yang tinggi di wilayah pesisir, pertambangan, konversi lahan menjadi kolam garam dan pertanian, ataupun pemanfaatan yang berlebihan dari hutan itu sendiri, namun penyebab yang paling menentukan dalam beberapa tahun terakhir ini adalah meluasnya konversi hutan mangrove menjadi kolam budidaya atau tambak (Aksornkoae et al, 1986 dalam Barbier, 2004). Lebih dari 50% kebutuhan ikan dunia akan dipasok dari budidaya perikanan air tawar maupun air laut. Menurut laporan FAO (2011), saat ini ikan hasil budidaya adalah sumber protein hewani yang paling cepat pertumbuhannya. Dari tahun 2000 hingga 2008, tingkat pertumbuhannya sebesar 60%, yakni dari 32,4 juta ton menjadi 52,5 juta ton. Gambar 2 menunjukkan potensi lahan pertambakan di Indonesia yang mencapai 682.857 ha pada tahun 2010, dengan grafik yang cenderung meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Seiring dengan adanya kemajuan dalam teknologi, potensi yang tersedia diperkirakan melebihi
Luas Lahan Budidaya (Ha)
angka tersebut (Sadi, 2006). 800,000 2010, 682,857
600,000 400,000 200,000 0 2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
Tahun Sumber: BPS (2011)
Gambar 2. Peningkatan luas lahan budidaya tambak per tahunnya Proporsi luas hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak pun diperkirakan sangat besar dan terus meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa daerah dengan kasus konversi hutan mangrove yang sangat menonjol, seperti di kawasan Delta Mahakam, Kalimantan Timur, dimana perkembangan
4
luas konversi hutan mangrove untuk dijadikan tambak pada tahun 1992 sebesar 15.000 ha, kemudian pada tahun 1998 sebesar 40.000 ha, dan pada tahun 1999 mencapai 85.000 ha (Santoso, 2002 dalam Sadi, 2006). Menanggapi masalah tersebut, Departemen Kehutanan memperkenalkan pola Silvofishery atau yang dapat disebut juga pola tumpangsari. Jika masyarakat menerapkan pola tumpangsari yang merupakan pola pemanfaatan gabungan antara tambak dengan mangrove, maka kelestarian mangrove dapat terjaga tanpa mengabaikan kesejahteraan masyarakat secara umum dan dalam hal ini petani tambak pada khususnya. 1.2.
Perumusan Masalah Tambak tumpangsari merupakan bentuk pengelolaan tambak dengan
mempertahankan ataupun menanam kembali sejumlah tanaman mangrove. Tujuan utamanya adalah meningkatkan penghasilan petani tambak dari peningkatan produktivitas tambak yang merupakan hasil dari fungsi jasa lingkungan keberadaan mangrove itu sendiri. Desa Curahsawo merupakan desa yang berlokasi di Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur. Desa Curahsawo merupakan daerah pesisir dimana mangrove yang ada masih baik sehingga tambak yang ada di daerah tersebut dikelola sebagai tambak tumpangsari dengan komoditas polikultur udang-bandeng. Desa tersebut juga pernah mendapat kalpataru untuk lingkungan mangrovenya. Meski begitu, masih banyak masyarakat, khususnya petani tambak, yang tidak tahu bagaimana pengaruh mangrove terhadap tambaknya. Untuk itu, perlu diketahui bagaimana manfaat keberadaan mangrove terhadap produktivitas tambak, yakni dengan membandingkan produktivitas tambak yang berada di dalam kawasan mangrove dengan tambak yang tidak berada di dalam kawasan mangrove. Desa yang merupakan lokasi untuk tambak yang berada di luar kawasan mangrove adalah Desa Sukokerto, Kecamatan Sukokerto, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur. Desa Sukokerto terletak hampir bersebelahan dengan Desa Curahsawo, sehingga dengan asumsi bahwa kondisi lingkungan kurang lebih sama, tambak yang juga dikelola dengan komoditas polikultur udang-bandeng di desa tersebut akan dibandingkan dengan
5
tambak polikultur udang-bandeng dari Desa Curahsawo, yang nantinya akan terlihat seberapa besar pengaruh adanya mangrove terhadap produktivitas tambak. Dalam hal ini, perumusan masalah dapat disimpulkan menjadi beberapa pertanyaan berikut: 1.
Bagaimana pendapat dan partisipasi masyarakat mengenai upaya pelestarian kawasan mangrove?
2.
Bagaimana perbandingan pendapatan dan kelayakan dari tambak yang berada di dalam kawasan mangrove dengan yang di luar kawasan mangrove?
3.
Bagaimana perbandingan surplus yang diterima petani tambak dari adanya mangrove?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menjawab semua perumusan masalah, yakni:
1.
Mengetahui pendapat dan partisipasi masyarakat mengenai upaya pelestarian ekosistem mangrove.
2.
Mengetahui hasil dari perbandingan pendapatan dan kelayakan antara tambak tumpangsari (berbasis lingkungan dan berada dalam kawasan mangrove) dengan pola lama (tanpa mangrove)
3.
Mengetahui perbedaan surplus yang diterima oleh petani tambak dari adanya mangrove dengan yang tidak ada mangrove.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat untuk berbagai hal, antara lain:
a.
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sarana untuk memperoleh tambahan pengetahuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
b.
Bagi akademisi, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau referensi untuk melakukan penelitian berikutnya.
c.
Bagi pembuat kebijakan, rekomendasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau pertimbangan dalam menentukan atau membuat kebijakan pengelolaan yang lebih baik. Dalam hal ini, penentuan kebijakan demi kesejahteraan masyarakat pesisir dan kelestarian ekosistem mangrove.
6
d.
Bagi masyarakat, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan solusi yang lebih baik dalam pemanfaatan kawasan mangrove sebagai areal pertambakan yang ramah lingkungan dan peningkatan produksi tambak masyarakat.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Adapun batasan-batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Penelitian dilakukan hanya dalam ruang lingkup Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur dan Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur.
2.
Responden merupakan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani tambak yang berdomisili di Desa Curahsawo dan Desa Sukokerto.
3.
Manfaat dari keberadaan mangrove yang dihitung adalah yang berdampak langsung terhadap produktivitas tambak. Dalam hal ini, tidak menghitung secara moneter manfaat tidak langsung yang lainnya maupun manfaat langsung dari mangrove tersebut, yakni tidak dilakukan valuasi nilai ekonomi total terhadap hutan mangrove yang ada.
4.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia pada tahun 2012, suku bunga yang digunakan adalah 10%, yang merupakan suku bunga pinjaman.
5.
Beberapa asumsi digunakan dalam penelitian ini, yakni seperti harga input dan output yang digunakan dalam perhitungan analisis yang dilakukan didasarkan pada harga yang berlaku pada saat penelitian dilakukan dan konstan selama umur proyek, sumber modal seluruhnya berasal dari masyarakat petani sendiri.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Ekosistem Mangrove Pengetahuan dasar mengenai hutan mangrove sangat diperlukan guna
mengenali hutan mangrove itu sendiri. Selain pengertian yang meliputi biologi hutan mangrove, diperlukan juga pemahaman mengenai pengertian ekologi tempat tumbuh hutan mangrove. Perencanaan pengelolaan hutan mangrove akan lebih optimal dalam aplikasinya jika telah diketahui secara pasti potensi yang ada di dalamnya, tidak hanya potensi biotik, namun juga faktor abiotik beserta lingkungannya. 2.1.1. Definisi Mangrove Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa portugis, kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan dan kata mangal untuk manyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kustanti, 2011). Tomlinson (1986) dalam FAO (2007) mengartikan mangrove sebagai hutan atau vegetasi pesisir yang berada atau tumbuh di lingkungan eustaria yang dapat ditemui di garis pantai tropika dan subtropika yang bisa memiliki fungsi-fungsi sosial ekonomi dan lingkungan. Walsh (1974) dalam Kustanti (2011) mencoba menjelaskan perbedaan pengembangan komunitas mangrove di dunia dengan membedakan lima persyaratan mendasar bagi mangrove untuk tumbuh, yaitu suhu tropik, daratan alluvial, pantai yang tidak bergelombang besar, salinitas, dan tingkat pasang surut air laut. Kelima faktor lingkungan tersebut mempengaruhi pembentukan dan luasan mangrove, komposisi jenis, zonasi, karakteristik, struktural lanila, dan fungsi ekosistem itu sendiri. 2.1.2. Tumbuhan Mangrove Menurut Kustanti (2011), mangrove berkaitan dengan tumbuhan tropik yang komunitas tumbuhannya di daerah pasang surut, sepanjang garis pantai, muara, laguna (danau pinggir laut) yang dipengaruhi pasang surut. Mangrove termasuk varietas yang besar dari famili tumbuhan, yang beradaptasi pada
8
lingkungan tertentu. Flora dalam mangrove terdiri dari pohon, epifit, liana, alga, bakteri, dan fungi. Komunitas flora di hutan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni flora inti mangrove (flora yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove) dan flora peripheral (flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi hutan mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting dalam formasi hutan lainnya). Mangrove dapat juga diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan vegetasi dominan penyusunnya, yaitu kelompok mayor, minor, dan asosiasi mangrove. Pengertian masing-masing kelompok adalah sebagai berikut: 1.
Kelompok mayor (vegetasi dominan) merupakan komponen yang memperlihatkan karakter morfologi, seperti mangrove yang memiliki sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologi khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Komponen penyusunnya berbeda taksonomi dengan tumbuhan daratan, hanya terjadi di hutan mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas sampai ke dalam komunitas daratan. Di Indonesia, mangrove yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Rhizopora apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, A. officinalis, Bruguiera gymnorhiza, B. cylinrica, B. parvifolia, B. sexagula, Ceriops tagal, Kandelia candel, Xylacarpus granatum, dan X.moluccensis.
2.
Kelompok minor (vegetasi marjinal) merupakan komponen yang tidak termasuk elemen yang menyolok dari tumbuhan-tumbuhan yang mungkin terdapat di sekeliling habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni. Jenis-jenis ini biasanya bersekutu dengan mangrove yang tumbuh pada pinggiran yang mengarah ke darat dan terdapat secara musiman pada rawa air tawar, pantai, daratan landai, dan lokasi-lokasi mangrove lain yang marjinal. Walaupun jenis ini ada di mangrove, jenis ini tidak terbatas pada zona litoral. Jenis-jenis ini yang penting di Indonesia adalah Bruguiera cylindrical, Lumnitzera racemosa, Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Ficus retusa, F. microcorpa, Pandanus spp., Calamus erinaceus, Glochidion littorale, Scolopia macrophylla, dan Oncosperma tigillaria.
9
3.
Kelompok asosiasi mangrove merupakan komponen yang jarang ditemukan spesies yang tumbuh di dalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuhan-tumbuhan darat. Flora mangrove sebenarnya akan tumbuh dengan lebih baik jika tidak
dipengaruhi oleh kadar garam air. Mereka akan lebih cepat tumbuh dan menjadi lebih tinggi jika tumbuh di air tawar. Namun mangrove dapat beradaptasi sesuai dengan lingkungan yang dihadapi sehingga dapat tumbuh baik. Adapun secara umum, adaptasi vegetasi mangrove adalah sebagai berikut: 1.
Terhadap kadar oksigen rendah, yaitu dengan perakaran yang khas. Akarnya berbentuk cakar ayam yang mempunyai pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara, serta akar bertipe penyangga atau tongkat yang mempunyai lentisel.
2.
Terhadap kadar garam tinggi, yaitu dengan memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. Berdaun tebal dan kuat untuk mengatur keseimbangan garam, serta daun yang memiliki stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Sering didapati pada beberapa jenis yang terdapat kristal garam halus pada permukaan daunnya.
3.
Terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, yaitu dengan mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar untuk memperkokoh pohon dan mengambil unsur hara serta sedimen.
2.1.3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Keberadaan vegetasi dan fauna yang terdapat di hutan mangrove merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Potensi yang diperoleh dari ekosistem hutan tersebut berupa hasil hutan kayu, non kayu, jasa dan lingkungan. Keanekaragaman potensi tersebut sudah lama dimanfaatkan untuk kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.
10
Adapun fungsi hutan mangrove dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni: 1.
Fungsi biologis/ekologis Hutan mangrove sebagai sebuah ekosistem terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik terdiri dari dari vegetasi mangrove yang meliputi pepohonan, semak, dan fauna. Sedangkan komponen abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hutan mangrove adalah pasang surut air laut, lumpur berpasir, ombak laut, pantai yang landai, salinitas laut, dan lain sebagainya. Selama ini, hutan mangrove memiliki nilai penting, yakni sebagai kunci utama dalam penyediaan makanan bagi organisme yang tinggal di sekitar mangrove, seperti udang, kepiting, ikan, burung, dan juga mamalia. Mangrove merupakan daerah mencari makan bagi organisme-organisme yang ada di dalamnya, dan karena kerapatannya, memungkinkan untuk melindungi kehidupan organisme di dalamnya sehingga hutan mangrove sering dijadikan tempat bagi pemijahan hewan-hewan, juga sebagai nursery ground, terutama bagi anak udang, anak ikan, dan biota laut lainnya.
2.
Fungsi fisik Hutan mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang besar, angin kencang, dan badai. Selain itu, mangrove juga dapat melindungi pantai dari abrasi, menahan lumpur, mencegah intrusi air laut, dan juga memperangkap sedimen. Menurut Kusmana et al. (2003), fungsi fisik keberadaan hutan mangrove adalah menjaga garis pantai dan tebing sungai dari abrasi/erosi agar tetap stabil, mempercepat perluasan lahan, mengendalikan intrusi air laut, melindungi daerah yang berada di belakang hutan mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang, dan juga mengolah limbah organik.
3.
Fungsi sosial dan ekonomi Upaya pengelolaan sumber daya hutan mangrove secara lestari hendaknya sudah memperhatikan inisiatif lokal masyarakat sekitar hutan. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya proteksi terhadap kemungkinan perusakan ekosistem hutan. Dampak negatif yang mungkin akan timbul dapat ditekan
11
apabila masyarakat di sekitar hutan mangrove dilibatkan dan diberi akses untuk mengelola hutan dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove antara lain adalah dalam hal pertukaran pendapat dalam penentuan kebijakan, konsultasi kebijakan dan teknis pelaksanaan pengelolaan, dan penentuan keputusan tingkat tinggi. Peran serta masyarakat sekitar secara aktif akan memberikan dampak positif dalam upaya pengelolaan dan pengamanan hutan mangrove karena dalam diri masyarakat yang terlibat akan timbul rasa memiliki, sehingga akan timbul juga kepedulian untuk menjaga kelestarian mangrove tersebut. Selain itu, pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap hasil hutan dan jasa mangrove dapat memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar hutan sehingga kesejahteraan masyarakat pun terjamin. Manfaat hutan mangrove dapat dilihat sebagai kegunaannya yang dapat diberikan atau dimanfaatkan bagi kehidupan manusia (Gambar 3). Aneka kegunaan hutan mangrove tersebut dapat dibedakan berdasarkan tingkatan ekosistem. Tingkatan ekosistem yang pertama adalah berdasarkan tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component atau komponen utama biotik. Adapun Kusmana (2003) membagi manfaat hutan mangrove sebagai berikut: 1.
Tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan: a. Lahan tambak, lahan pertanian, dan kolam garam Lahan mangrove di beberapa daerah di Indonesia banyak yang dikonversi menjadi areal pertambakan tradisional udang dan bandeng, lahan pertanian padi dan hortikultur, dan juga untuk pembuatan garam.
12
Sumber: Green Coast (2011)
Gambar 3. Manfaat mangrove bagi kehidupan b. Lahan pariwisata Potensi
ekosistem
hutan
mangrove
sebagai
lahan
pariwisata
menawarkan keindahan alam dari hasil-hasil yang bisa diandalkan. 2.
Tingkat komponen ekosistem sebagai Primary Biotic component: a. Flora mangrove Keberadaan flora mangrove dari vegetasi tumbuhan bawah sampai dengan pepohonan mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat. b. Fauna mangrove Fauna yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri atas lima kelas, yaitu mamalia, reptilian, aves, amphibi, dan pisces. Manfaat ekonomi yang bisa langsung diambil seperti dari adanya ikan, udang, kepiting, burung, dan lainnya.
2.1.4. Produk dan Jasa dari Mangrove Beranekaragam produk dan jasa dapat dihasilkan dari keberadaan hutan mangrove. Produk yang berpotensi dihasilkan sesuai dengan fungsi sosial dan
13
manfaat, baik secara keseluruhan ekosistem maupun komponen ekosistem. Sedangkan jasa yang dihasilkan dari keberadaan hutan mangrove sesuai dengan fungsi bioekologi, sosial ekonomi, dan manfaat, baik secara ekosistem keseluruhan maupun secara komponen ekosistem (Tabel 3). Nelayan, petani, dan masyarakat daerah pada umumnya memanfaatkan kayu mangrove seperti untuk bahan bangunan, kayu bakar, kail, dan lainnya dan produk non-kayu mangrove seperti untuk pakan ternak, alkohol, gula, obat-obatan, dan madu (FAO, 2007). Tabel 3. Produk dan jasa hutan mangrove Bahan Bakar (Fuel) Kayu Bakar (Fuelwood) Batu Bara (Charcoal) Konstruksi (Construction) Kayu sebagai bahan bangunan (Timber, scaffolding) Konstruksi (Heavy construction) Alat Pertambangan (Mining props) Pembuatan Kapal (Boat-building) Perikanan (Fishing) Kail Pancing (Fishing stakes) Kapal untuk memancing (Fishing boats) Tempat Perlindungan Ikan (Fish-attracting shelters) Tekstil (Textile, leather) Benang Sintetis (Synthetic fibres (rayon)) Bahan Pewarna Kain (Dye for cloth) Tannin Produk Alami Lainnya (Other natural products) Ikan (Fish) Crustaceans Madu (Honey) Wax Burung (Birds) Mamalia (Mammals) Reptil (Reptiles) Fauna lainnya (Other fauna) Makanan dan Obat-obatan (Food, drugs and beverages) Gula (Sugar) Alkohol (Alcohol) Minyak Goreng (Cooking oil) Cuka (Vinegar) Pengganti Teh (Tea substitute) Sayuran (Vegetables (fruit/leaves)) Pertanian (Agriculture) Pakan Ternak (Fodder) Barang Rumah Tangga (Household items) Lem (Glue) Minyak Rambut (Hairdressing oil) Alu (Rice mortar) Mainan (Toys) Korek Api (Match sticks) Produk Hutan Lainnya (Other forest products) Kotak Pengemasan (Packing boxes) Obat-obatan (Medicines) Bahan Kertas (Paper products) Berbagai jenis kertas (Paper – various)
Sumber: FAO (2007)
14
2.2.
Tambak Tumpangsari Tambak tumpangsari, merupakan bentuk dari kebijakan pendekatan
perhutanan sosial, yaitu suatu model pengembangan tambak ramah lingkungan yang memadukan antara hutan/pohon (sylvo) dengan budidaya perikanan (fishery). Menurut Kementerian Kehutanan (2004), sistem tumpangsari tambak tersebut merupakan suatu teknik pembuatan tanaman hutan mangrove, yang pada pelaksanaannya pada areal tersebut juga diusahakan untuk usaha perikanan. Tambak tumpangsari tersebut dapat mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir secara luas dengan tidak mengurangi manfaat ekonomi tambak secara langsung seperti diilustrasikan pada Gambar 4.
Sumber: Green Coast (2011)
Gambar 4. Perbandingan tambak model lama dengan tambak tumpangsari Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan perhutanan sosial merupakan suatu konsep untuk membantu masyarakat di sepanjang jalur pantai dengan meningkatkan pendapatan ekonominya sehingga diharapkan dapat membantu Perhutani dalam menjaga kualitas hutan mangrove sebagai sistem
15
multi guna baik untuk perikanan maupun kehutanan (Soewardi, 1994 dalam Sadi, 2006). Tumpangsari merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman mangrove yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis (Perhutani 1993). Dengan pola ini, diharapkan ada kerja sama yang saling menguntungkan antara masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai sebagai petambak penggarap dan pihak kehutanan. Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem tumpangsari ini. Dalam sistem empang parit, tambak yang digunakan untuk budidaya dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi hutan mangrove, dengan luas parit 20% dan mangrove 80%, atau parit 40% dan mangrove 60% dari luas anak petak. Semakin besar proporsi hutan mangrove, nilai ekologi yang diberikan pun akan semakin besar bagi lingkungan, tetapi sebaliknya akan mengurangi nilai ekonomi dari hasil tambak pada tingkat tertentu. Adapun luas anak petak tambak berkisar antara 0,3 - 3 ha. Sistem ini secara konvensional sudah dilakukan sejak tahun 1968 namun baru dikembangkan secara semi konvensional sejak tahun 1986 (Departemen Kehutanan dan Perkebunan 1999). Jenis utama yang dapat diusahakan dalam budidaya perikanan tambak tumpangsari adalah bandeng, mujair, blanak dan hasil tambahan lain seperti udang dan kepiting (Sukardjo, 1989 dalam Sadi, 2006). Ketahanan tambak tumpangsari tergantung dari jenis tanaman mangrove dan periode pertumbuhannya. Jenis mangrove yang ditanam adalah Bakau (Rhizoppora mucronata) dan Api-api (Avecennia marina) dengan jarak tanam yang dianjurkan adalah 3x3 meter, tetapi dalam praktiknya Perum Perhutani masih memberikan kelonggaran untuk jarak tanam 5x5 meter dan lainnya. Manfaat dari pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial dengan sistem tumpangsari dengan pola empang parit adalah (1) meningkatkan persentase keberhasilan tanaman mangrove di atas 80% dengan jenis ikan yang diusahakan adalah bandeng dan udang; (2) terbinanya petani penggarap empang
16
dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Perum Perhutani; (3) meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama yang tergabung dalam KTH; (4) gangguan terhadap keamanan dan kelestarian mangrove menurun; (5) adanya pengakuan dari dunia internasional terhadap keberhasilan program perhutanan sosial payau (Perum Perhutani, 1993 dalam Sadi, 2006). Kartasubrata (1988) dalam Tresnowati (2003) menjelaskan bahwa sistem tumpangsari merupakan suatu pola agroforestry yang berasal dari Burma dan dirancang sebagai pendekatan pemerintah untuk membina tanaman hutan dengan biaya murah. Sistem tersebut diterapkan pada pengelolaan hutan mangrove dalam program perhutanan sosial, dimana para petani dapat memelihara ikan dan udang yang sekaligus merehabilitasi kembali hutan mangrove. Kesejahteraan petani meningkat sementara hutan mangrove pun tetap lestari. Bentuk tambak tumpangsari ini bermacam-macam dan pada dasarnya terdiri atas pematang, saluran keliling (caren) dan pelataran. Pelataran tersebut adalah tempat tumbuhnya tanaman mangrove. Pola tumpangsari yang popular diantara pola yang sudah ditetapkan oleh Perum Perhutani sejak tahun 1989 terdiri atas: 1.
Pola parit, yaitu bentuk dengan saluran keliling tempat memelihara ikan dan udang berda di luar wilayah pelatarn tanaman mangrove (Gambar 5).
Saluran Air
Pintu Air
Caren
xxxxxxx Tanaman Mangrove xxxxxxx
Tanggul Sumber: Tresnowati (2003)
Gambar 5. Bentuk tambak tumpangsari pola parit
17
2.
Pola komplangan, yaitu bentuk dengan saluran tempat memelihara ikan dan udang berada di pinggir.
Pintu Air Pintu Air
Caren
xxxxxxx Tanaman Mangrove xxxxxxx Saluran Air
Tanggul
Sumber: Tresnowati (2003)
Gambar 6. Bentuk tambak tumpangsari pola komplangan 2.3.
Analisis Biaya dan Manfaat Analisis Biaya dan Manfaat atau Benefit-Cost Analysis (BCA) merupakan
analisis yang digunakan untuk mengetahui besaran keuntungan atau kerugian, serta kelayakan suatu kegiatan usaha. Tujuan utama dari BCA adalah untuk menentukan proyek atau kebijakan yang efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya. Salah satu kriteria yang perlu dilakukan adalah Net Present Value (NPV), yaitu rasio antara penjumlahkan manfaat yang telah didiscounting per jumlah biaya yang telah didiscountingkan, sehingga proyek yang ada nanti akan menggambarkan penggunaan sumber daya yang efisien. Kriteria lainnya adalah Benefit-Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PP). 2.4.
Surplus Produsen Menurut Fauzi (2006), salah satu hal yang krusial dari ekonomi
sumberdaya alam adalah bagaimana surplus dari sumberdaya alam dimanfaatkan secara optimal. Pada dasarnya konsep surplus menempatkan nilai moneter terhadap kesejahteraan dari masyarakat dari mengekstrasi dan mengkonsumsi sumberdaya alam. Surplus juga merupakan manfaat ekonomi yang tidak lain adalah selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengekstraksi sumberdaya alam. Green (1992) dalam Fauzi (2006) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur
18
manfaat sumber daya alam merupakan pengukuran yang tepat karena pemanfaatan sumber daya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya. Surplus ekonomi yang dimaksud tersebut adalah rente sumberdaya (resource rent), surplus konsumen, dan surplus produsen. Rente sumberdaya merupakan surplus yang bisa dinikmati oleh pemilik sumberdaya dan merupakan selisih antara jumlah yang diterima dari pemanfaatan sumberdaya dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksinya, sedangkan surplus konsumen sama dengan manfaat yang diperoleh masyarakat dari mengkonsumsi sumberdaya alam dikurangi dengan jumlah yang dibayarkan untuk mengkonsumsi barang tersebut. Namun perhitungan surplus yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah surplus produsen. Salah satu tujuan penting dalam ekonomi adalah dapat menghitung atau menilai adanya keuntungan dan kerugian yang dialami masyarakat, yang berhubungan dengan harga pasar (Callan & Thomas, 2000). Dari sisi penawaran (supply)
dalam
pasar,
pengukuran
yang
digunakan
untuk
menghitung
kesejahteraan adalah surplus produsen. Surplus produsen merupakan alat yang digunakan untuk mengukur adanya peningkatan keuntungan bersih yang diterima oleh produsen yang didapat dari adanya kelebihan penawaran (excess supply), atau menurut Fauzi (2006), surplus produsen tidak lain adalah pembayaran paling minimum yang bisa diterima oleh produsen dikurangi dengan biaya untuk memproduksi barang x. Surplus produsen dapat juga dianggap sebagai surplus yang bisa diperoleh oleh pemilik sumber daya atau aset yang produktif pada saat pendapatan dari sumber daya melebihi biaya pemanfaatannya. Kelebihan itu didapat dari selisih harga pasar dengan biaya marjinal (Marginal Cost/MC) untuk menghasilkannya, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 7.
19
Rp
MC = C’(x) A F
P1
E
P0
B
U’(x)
P2 C D X1
X0
x
Sumber: Fauzi (2006)
Gambar 7. Surplus produsen Berdasarkan Gambar 7, surplus produsen diperlihatkan sebagai daerah C, yakni daerah di atas kurva penawaran dan di bawah garis harga P2. Surplus produsen dapat diukur dari kehilangan dari sisi manfaat dan kehilangan dari produsen atau pelaku ekonomi (Tuwo, 2011). Petani yang memiliki tambak dalam kawasan mangrove dikatakan akan memiliki surplus produsen yang lebih besar dari yang di luar kawasan mangrove karena beberapa manfaat tambahan yang didapat dari mangrove. 2.5.
Penelitian Terdahulu Luasan kawasan hutan mangrove mempengaruhi produksi perikanan
budidaya. Semakin luas kawasan hutan mangrove, semakin besar produktivitas perikanan. Hasil penelitian Turner (1977) dalam Tuwo (2011) menunjukkan bahwa pembangunan 1 Ha tambak ikan pada hutan mangrove alamiah akan menghasilkan ikan dan udang sebanyak 287 kg setiap tahunnya. Berkurangnya satu hektar hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan luas hutan mangrove dapat menyebabkan penurunan produktivitas perikanan tangkapan. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa pada beberapa wilayah yang hutan mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk
20
pengendalian hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan (Ditjen RLPS, 2002 dalam Sadi, 2007). Dalam penelitian Gunawan dan Anwar (2005), disampaikan bahwa air tambak yang berlokasi di luar ekosistem mangrove mengandung Merkuri 16 kali lebih tinggi dari air perairan hutan mangrove alamiah, dan 14 kali lebih tinggi dari air tambak yang hutan mangrovenya masih baik atau tambak tumpangsari. Hal tersebut disebabkan oleh salah satu fungsi ekosistem hutan mangrove, yakni sebagai penyerap logam berat sehingga tidak masuk ke dalam jaring makanan. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Tresnowati (2003), didapat bahwa menurut 93% masyarakat, mangrove dapat mengurangi pembelian pakan atau obat untuk pengelolaan tambak. Selain itu, manfaat ekologi dari mangrove lainnya yang dirasakan oleh masyarakat adalah sebagai pencegah banjir dengan menahan gelombang pasang, menghemat pembuatan tanggul, juga mengurangi intrusi air laut. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gambe (2007), pada tingkat suku bunga 12% diperoleh nilai NPV tambak, yang dikelola dengan sistem tumpangsari di Desa Jayamukti, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat, sebesar Rp 36.911.275, kemudian memiliki nilai BCR sebesar 2,55, dan IRR sebesar 145,99%. Kegiatan pengelolaan tambak tersebut juga menghasilkan nilai pendapatan sebesar Rp 22.028.000 atau sebesar 87,23% dari total pendapatan rumah tangga petani tambak di desa tersebut. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang ada sebelumnya adalah lokasi penelitian, waktu dilakukannya penelitian, dan metode analisis yang digunakan. Metode analisis tambahan yang digunakan pada penelitian ini adalah surplus produsen, dimana surplus produsen akan memperlihatkan tingkat kesejahteraan dari sisi petani dari adanya penerapan tambak pola tumpangsari tersebut.
21
III. KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu jenis ekosistem wilayah pesisir, yakni ekosistem mangrove, sudah dimanfaatkan oleh manusia sejak dulu. Salah satu bentuk pemanfaatan yang ada adalah untuk budidaya perikanan tambak. Mangrove-mangrove ditebang habis dan lahannya dibersihkan untuk dijadikan tambak, dimana tambak tersebut bisa disebut tambak model lama (berada di luar kawasan mangrove). Mangrove tidak lestari di kawasan yang tambaknya dikelola dengan model tersebut. Dalam jangka panjang, bentuk pemanfaatan tersebut akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri. Untuk itu pemerintah memiliki alternatif pemanfaatan kawasan mangrove yang lebih ramah akan lingkungan sekitar, yakni pola pemanfaatan tambak tumpangsari (berada di dalam kawasan mangrove). Tambak tumpangsari merupakan bentuk pemanfaatan lahan sebagai pertambakan, namun tetap mempertahankan ataupun menanam kembali tanaman mangrove yang ada, sehingga tidak hanya pendapatan petani tambak yang meningkat tapi kelestarian lingkungan mangrove pun terjaga. Sayangnya hal tersebut belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan masyarakat, terutama para petani tambak. Oleh karena itu, dengan menggunakan analisis biaya-manfaat, akan dibandingkan hasil dari tambak model lama, yakni yang tidak berada dalam kawasan mangrove tersebut, dengan tambak tumpangsari, yang berada dalam kawasan mangrove. Selain itu akan terlihat pula perbedaan surplus yang diterima olah petani tambak, dimana surplus produsen tersebut juga akan menunjukkan tingkat kesejahteraan dari masyarakat. Pada akhirnya, hasil dari penelitian ini nantinya akan dijadikan bahan untuk membuat rekomendasi, yang secara khusus untuk daerah penelitian dan secara umum untuk lingkungan mangrove lainnya, untuk adanya perbaikan atau peningkatan kualitas lingkungan mangrove dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Berikut adalah kerangka pemikiran operasional yang dibentuk dalam diagram alir (Gambar 8).
22
Ekosistem Mangrove Budidaya Perikanan Tambak
Di Dalam Kawasan Mangrove
Di Luar Kawasan Mangrove
Tambak Tumpangsari
Tambak Konvensional
Pendapatan Petani di Dalam Kawasan Mangrove
Pendapatan Petani di Luar Kawasan Mangrove
Pandangan Petani Mengenai Mangrove
Analisa Deskriptif
Perbandingan
Surplus Produsen
Kelestarian Mangrove
Analisis Biaya Manfaat
Kesejahteraan Masyarakat
Rekomendasi Penelitian Gambar 8. Kerangka pemikiran operasional
23
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan terhadap dua lokasi. Lokasi yang pertama adalah
Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, yang merupakan lokasi desa dimana tambak berada di lingkungan mangrove yang cukup baik. Lokasi yang kedua adalah Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan. yakni lokasi desa dimana lahan mangrove hanya sedikit, yakni sekitar lima hektar, karena dikonversi menjadi lahan untuk pertambakan (Lampiran 1). Kedua desa tersebut termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur dan merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan laut namun dibatasi oleh hutan mangrove. Penelitian untuk memperoleh data primer dilakukan selama bulan Mei 2012. 4.2.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
merupakan data yang diperoleh dari hasil kuisioner dan pertanyaan yang diberikan, dengan dipandu, kepada masyarakat sekitar, yakni berupa data usaha tambak, pendapat mengenai keberadaan mangrove di sekitar lingkungan tambak, dan lainnya. Data sekunder merupakan data yang didapat dari literatur-literatur seperti data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Laporan Monografi Desa, dan lainnya. 4.3.
Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Jumlah Sampel Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei lapang di lokasi
penelitian. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan bantuan kuisioner yang telah disiapkan sebelumnya. Studi pustaka juga dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder yang dibutuhkan untuk menunjang penelitian, baik dari penelitian-penelitian terdahulu maupun data-data dari instansi yang terkait seperti Perum Perhutani, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan lainnya. Pemilihan reponden dilakukan dengan metode purposive sampling, yakni dengan memilih responden-responden yang memiliki pekerjaan sebagai petani tambak. Penentuan jumlah sampel responden yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan menimbang jumlah populasi petani tambak yang ada dan berdasarkan yang dikemukakan Gay bahwa dalam penelitian sosial ekonomi jumlah minimum responden yang dapat dijadikan sampel dapat berjumlah 30
24
orang (Wardiyanta, 2006). Untuk itu, dalam penelitian ini jumlah responden yang digunakan adalah sebanyak 30 orang. 4.4.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ini, akan digunakan dua jenis analisis, yakni analisis
kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis data mengenai hasil dari tambak, bagaimana kelayakan usaha tambak, surplus produsen dari petani tambak, dan kemudian bagaimana jika dibandingkan dengan petani yang tidak menerapkan pola tumpangsari pada tambaknya. Data tersebut akan dianalisa secara kuantitatif dengan surplus produsen dan analisis biaya manfaat. Analisis kualitatif dilakukan dengan menganalisa data secara deskriptif, dalam hal ini, data yang didapat mengenai pandangan dan pendapat masyarakat mengenai keberadaan mangrove di sekitar tempat tinggalnya tersebut. 4.4.1. Mengkaji Pendapat dan Partisipasi Masyarakat dalam Menjaga Kelestarian Mangrove Peranan atau partisipasi merupakan suatu proses dimana pemangku kepentingan saling mempengaruhi dan berbagi kekuasaan pada inisiatif-inisiatif pembangunan, keputusan-keputusan, dan sumber daya-sumber daya yang berpengaruh terhadap mereka. Dalam praktiknya, partisipasi memiliki bermacammacam tahapan, salah satunya adalah tahapan pelaksanaan. Tahapan pelaksanaan merupakan tahap yang paling penting dari suatu kegiatan dan wujud nyatanya digolongkan menjadi tiga, yakni partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran, sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek. Dengan menggunakan analisis deskriptif, akan diperlihatkan bagaimana pendapat masyarakat mengenai keadaan mangrove yang ada. 4.4.2. Mengkaji Perbandingan Kelayakan Pola Tambak dalam Kawasan Mangrove dengan di Luar Kawasan Mangrove Kelayakan ekonomi dari pola tambak tersebut dapat dilihat dari perhitungan nilai NPV, BCR, IRR, dan payback period. Kegiatan perikanan tambak dikatakan layak apabila nilai yang didapat sesuai dengan syarat nilai kelayakan kriteria-kriteria tersebut. Menurut Gittinger (1986), ukuran arus uang berdiskonto manfaat proyek yang paling langsung adalah manfaat sekarang neto
25
atau NPV. Ukuran ini tak lebih dari nilai sekarang dari manfaat neto tambahan atau arus uang tambahan. NPV juga dihitung dengan terlebih dahulu mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya atau juga dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. NPV juga merupakan nilai diskonto dari selisih manfaat dan biaya untuk setiap aliran keluar masuknya uang yang juga berarti keuntungan bersih pengusahaan pada saat ini (Soekartawi, 1995). Dalam analisa finansial, nilai itu merupakan nilai sekarang dari arus tambahan pendapatan untuk individu. Secara matematis, menurut Gittinger (1976) rumus dari NPV adalah: NPV = ∑ Keterangan: Bt Ct i t n
B
C
..………….............................. (1)
= Penerimaan petani pada tahun ke-t (Rp) = Biaya yang dikeluarkan petani pada tahun ke-t (Rp) = Suku bunga (%) = Tahun kegiatan = Umur proyek
Proyek tersebut layak jika kriteria NPV adalah lebih besar dari nol atau positif. Dalam hal ini, jika proyek memenuhi kriteria NPV, berarti akan ada peningkatan dalam kesejahteraan sosial. Selain NPV, ada beberapa alternatif kriteria lainnya, misalnya Benefit-Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PP). Kriteria kelayakan BCR merupakan kriteria yang menggambarkan rasio antara manfaat bersih yang bernilai positif dengan manfaat bersih yang bernilai negatif. Suatu proyek dapat dikatakan layak apabila nilai BCR yang didapat adalah sama dengan atau lebih besar dari satu. Secara matematis, rumus BCR dapat dituliskan sebagai berikut: ∑ ∑
Keterangan: Bt Ct i t n
……………………………………. (2)
= Penerimaan petani pada tahun ke-t (Rp) = Biaya yang dikeluarkan petani pada tahun ke-t (Rp) = Suku bunga (%) = Tahun kegiatan = Umur proyek
26
Kriteria yang berikutnya adalah IRR. Tingkat pengembalian internal atau IRR merupakan cara lain penggunaan arus manfaat neto tambahan untuk mengukur manfaat proyek, yakni dengan mencari tingkat diskonto yang dapat membuat manfaat sekarang neto dari arus manfaat neto tambahan atau arus uang tambahan sama dengan nol (NPV=0). Tingkat tersebut adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumber daya yang digunakan karena proyek membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasi dan investasi dan proyek baru sampai pada tingkat pulang modal (Gittinger, 1986). Suatu proyek atau kegiatan investasi dikatakan layak apabila IRR ≥ Opportunity Cost of Capital atau Discount Rate yang digunakan. Besaran yang dihasilkan dari perhitungan ini adalah dalam satuan persentase. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: ….…………(3) Keterangan: IRR i1 i2 NPV1 NPV2
= Internal Rate of Return (%) = Discount rate yang menghasilkan NPV positif (%) = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif (%) = NPV positif (Rp) = NPV negatif (Rp)
Adapun kriteria yang digunakan selanjutnya adalah payback period (PP). Kriteria PP merupakan kriteria yang digunakan untuk menunjukkan jangka waktu yang diperlukan biaya investasi untuk kembali. Menurut Gitingger (1986), PP merupakan adalah jangka waktu kembalinya keseluruhan jumlah investasi modal yang ditanamkan, dihitung mulai dari permulaan proyek sampai dengan arus nilai neto produksi tambahan sehingga mencapai jumlah keseluruhan investasi modal yang ditanamkan. Kriteria payback period berguna untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan cashflow. Semakin kecil angka yang dihasilkan mempunyai arti semakin cepat tingkat pengembalian investasinya, maka usaha tersebut semakin baik untuk diusahakan. Secara matematis, PP dapat dituliskan sebagai berikut: PP Keterangan: PP I Ab
I A
……………………..………………..… (4)
= Payback Period (Tahun ke-) = Biaya Investasi (Rp) = Manfaat Bersih (Rp)
27
4.3.3. Menganalisis Kesejahteraan Petani Tambak dengan Perbandingan Surplus Produsen Pola Tambak Dalam Kawasan Mangrove dengan di Luar Kawasan Mangrove Menurut Fauzi (2006), pada dasarnya konsep surplus menempatkan nilai moneter terhadap kesejahteraan dari masyarakat dari mengekstraksi dan mengkonsumsi sumber daya alam. Surplus juga merupakan manfaat ekonomi yang tidak lain adalah selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengekstraksi sumber daya alam. Green (1992) dalam Fauzi (2006) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumber daya alam merupakan pengukuran yang tepat karena pemanfaatan sumber daya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya. Menurut Fauzi (2006), secara matematis besaran surplus produsen dapat diukur berdasarkan: PS x
xC x
C x ………………………… (5)
Keterangan: PS = Surplus produsen (Producer’s Surplus) (Rp) xC’(x) = Pembayaran minimum yang dapat diterima produsen (Rp) C(x) = Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi barang x (Rp) Surplus produsen tersebut tidak lain adalah pembayaran paling minimum yang bisa diterima oleh produsen dikurangi dengan biaya untuk memproduksi barang x. Surplus produsen dapat juga dianggap sebagai surplus yang bisa diperoleh oleh pemilik sumber daya atau aset yang produktif pada saat pendapatan dari sumber daya melebihi biaya pemanfaatannya. Untuk mengestimasi surplus produsen, diperlukan data variabel biaya-biaya produksi dan pendapatan yang diterima dari barang (Djajanigrat 2011). Penerimaan yang diterima oleh petani tersebut adalah yang diperoleh dari petani dari hasil produksi tambak masingmasing. Secara matematis, dapat dilihat dalam rumus berikut: PSm = Pim.xim – Cm ……………………………… (6) Keterangan: PS Pi xi C m
= Surplus produsen tambak (Rp) = Harga komoditas i (Rp) = Komoditas i (kg) = Biaya produksi tambak (Rp) = Lokasi tambak (dalam kawasan mangrove atau di luar kawasan)
28
V. GAMBARAN UMUM Penelitian dilakukan di dua desa dalam Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, yakni Desa Curahsawo yang berada di Kecamatan Gending, dan Desa Sukokerto yang berada di Kecamatan Pajarakan. Secara geografis, Kecamatan Gending berbatasan langsung dengan Kecamatan Pajarakan yang juga berbatasan langsung dengan Selat Madura, sehingga secara umum keduanya memiliki kondisi lingkungan yang hampir sama. Desa Curahsawo digunakan sebagai lokasi untuk menganalisa tambak yang berada dalam kawasan mangrove, sedangkan
sebagai
pembandingnya
Desa
Sukokerto
digunakan
untuk
menganalisis tambak yang berada di luar kawasan mangrove. Adapun berdasarkan Laporan Monografi Desa (2011) dari masing-masing desa, didapat data yang akan diuraikan selanjutnya berikut. 5.1.
Keadaan Umum Desa Curahsawo
1.
Luas dan Letak Geografis Desa Curahsawo merupakan desa atau kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Propinsi Jawa Timur. Desa Curahsawo tersebut merupakan desa pantai yang terletak lebih kurang 180 km dari Surabaya dan 10 km dari ibukota Kabupaten Probolinggo. Luas keseluruhan wilayah Desa Curahsawo adalah 555.427 ha, yang terbagi atas tiga dusun, yakni Dusun Karang Anyar, Dusun Krajan, dan Dusun Tambak, lalu ada tiga rukun warga (RW), dan enam rukun tetangga (RT). Adapun batas-batas wilayah Desa Curahsawo sendiri meliputi:
2.
Utara : Selat Madura
Barat : Desa Tamansari Dringu
Selatan : Desa Banyuanyar
Timur : Desa Pajurangan
Topografi dan Iklim Desa Curahsawo berada pada ketinggian 4 m di atas permukaan laut. Suhu maksimum di desa tersebut adalah 31ºC sedangkan suhu minimumnya adalah 27ºC. Jumlah hari dengan curah hujan terbanyak adalah sebanyak
29
79 hari dan banyaknya curah hujan per tahun adalah 150 hari. Secara umum, tanah di wilayah Curahsawo memiliki kemiringan sekitar 8-14%, dan tergolong cukup asam karena memiliki pH sekitar 5,5 hingga 5,9. Lahan di Desa Curahsawo dipergunakan untuk berbagai peruntukan seperti tanah sawah seluas sekitar 45,460 ha, tanah hutan seluas 362 ha. Selain itu juga sebagai tanah keperluan fasilitas umum seluas 3 ha, tanah keperluan fasilitas sosial seluas 1,950 ha, kemudian yang terutama dalam hal ini, tanah basah yaitu tambak seluas 102,363 ha. 3.
Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk Jumlah penduduk Desa Curahsawo adalah 1.638 orang, dengan jumlah laki-laki sebanyak 846 orang dan perempuan sebanyak 792 orang. Jumlah rumah tangga yang ada adalah sebanyak 469 kepala keluarga. Dengan jumlah penduduk 1.638 orang dan luas 5,55 km2, maka kepadatan penduduk Desa Curahsawo adalah sekitar 295 orang per km2 . Sebagian besar mata pencaharian utama dari penduduk Desa Curahsawo adalah buruh tani. Selain itu, mata pencaharian utama penduduk desa lainnya adalah petani, buruh, pedagang, PNS, TNI, nelayan, dan lainnya. Dalam hal ini, petani tambak yang ada berjumlah 47 orang.
4.
Sarana dan Prasarana Daerah Untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, ada pula sarana pembangunan seperti koperasi sebanyak satu buah, toko/kios/warung sebanyak 18 buah, bank sebanyak satu buah, kemudian beberapa jenis usaha seperti industri kecil dan rumah tangga sebanyak tiga buah, rumah makan/warung makan sebanyak lima buah, perdangangan sebanyak tiga buah, dan usaha angkutan sebanyak satu buah. Adapun sarana umum lainnya yang dapat digunakan oleh masyarakat adalah tempat ibadah seperti masjid sebanyak dua buah dan musholla sebanyak sembilan buah. Sarana pendidikan yang ada di Desa Curahsawo terdiri dari taman kanakkanak swasta sebanyak dua buah dengan jumlah murid sebanyak 116 orang dan tenaga pengajar sebanyak sembilan orang, kemudian ada sekolah dasar negeri sebanyak satu buah dengan jumlah siswanya sebanyak 157 orang dan dengan tenaga pengajar sebanyak 14 orang, dan
30
juga sekolah dasar swasta sebanyak satu buah yang memiliki siswa sebanyak 127 orang dengan tenaga pengajar sebanyak 12 orang. 5.2.
Keadaan Umum Desa Sukokerto
1.
Luas dan Letak Geografis Desa Sukokerto merupakan salah satu desa atau kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur. Desa ini memiliki luas 344,780 ha yang terdiri dari lima dusun, yakni Dusun Pandean, Dusun Sukunan, Dusun Krajan, Dusun Lumbang, dan Dusun Kancoan, kemudian enam RW dan 21 RT. Desa Sukokerto berbatasan dengan Desa Panembangan dan Desa Sukomulyo dari kecamatan yang sama di bagian timur, Desa Karanggeger di bagian barat, Desa Pajarakan Kulon di bagian selatan, dan desa ini juga berbatasan dengan Selat Madura di bagian utara seperti Desa Curahsawo.
2.
Topografi dan Iklim Secara umum, tanah di wilayah Sukokerto memiliki karakteristik yang mirip dengan yang ada di wilayah Curahsawo, yakni tanah yang cukup asam dengan pH sekitar 5,5 hingga 6 dan kemiringan antara 8% sampai 12%. Desa ini juga ada pada ketinggian sekitar 3 m di atas permukaan laut dan bertemperatur rata-rata 32ºC, memiliki rata-rata curah hujan pada musim penghujan 7-9 mm per tahun dan 3-6 mm per tahun pada musim kemarau. Sebesar 60% lahan yang ada di wilayah Sukokerto digunakan sebagai sawah tadah hujan, sisanya dipergunakan untuk peruntukkan lainnya seperti untuk perumahan dan pekarangannya, tegalan, kuburan, gedung sekolah, kantor desa, dan lain-lain.
3.
Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk Jumlah penduduk Desa Sukokerto adalah 2.846 jiwa, dengan jumlah lakilaki sebanyak 1.387 jiwa dan perempuan sebanyak 1.459 jiwa. Jumlah kepala keluarga yang ada adalah sejumlah 988. Kepadatan penduduk Desa Sukokerto, dengan jumlah penduduk 2.846 orang dan luas 3,44 km2, adalah sekitar 827 orang per km2 dan hal tersebut menunjukkan bahwa Desa Sukokerto jauh lebih padat jika dibandingkan dengan Desa
31
Curahsawo yang kepadatannya hanya 295. Hal tersebut mungkin dapat menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat kerusakan mangrove yang ada, yakni lahan mangrove dijadikan peruntukkan yang lain seperti tempat tinggal dan kegiatan ekonomi lainnya untuk menunjang kehidupan masyarakat. Penduduk Desa Sukokerto memiliki pekerjaan yang beragam, dimana mayaoritas masyarakatnya bekerja sebagai pedagang, yakni sebanyak 238 orang, kemudian buruh tani sebanyak 203 orang, dan petani sebanyak 101 orang. Sisanya merupakan TNI, polri, sopir, PNS, tukang bangunan, pekerja industri, dan lainnya. 4.
Sarana dan Prasarana Daerah Sarana perekonomian yang ada di Desa Sukokerto cukup banyak tersedia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar yakni seperti pasar yang berjumlah satu buah, took/kios/warung sebanyak 112 buah, kemudian ada usaha tukang las, tukang patri, servis mobil, servis motor, servis elektronik, warung internet (warnet), dan lain-lain yang semuanya berjumlah total 21 unit.
5.3.
Kondisi Perikanan dan Potensi Mangrove Kabupaten Probolinggo Berdasarkan data yang didapat oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
Propinsi Jawa Timur dalam laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Propinsi Jawa Timur, dengan menggunakan citra landsat TM-5, dapat diketahui luas mangrove di beberapa kota di Jawa Timur pada tahun 2010 yang dapat dilihat dalam Tabel 4. Tabel 4. Luas ekosistem mangrove propinsi jawa timur tahun 2010 menurut citra landsat tm-5 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Lokasi Mangrove Kota Surabaya Kab. Sidoarjo Kab. Pasuruan Kota Pasuruan Kab. Probolinggo Kota Probolinggo Kab. Situbondo
Sumber: Modifikasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur (2010)
Luas (Ha) 378,19 1.236,42 294,40 79,20 267,65 38,94 96,93
32
Berdasarkan hasil interpretasi hutan mangrove dengan citra landsat TM-5 pada tahun 2010 tersebut (Tabel 4), diketahui bahwa luas mangrove Kabupaten Probolinggo adalah 267,65 ha. Luasan tersebut mengalami peningkatan, jika dibandingkan dengan data terbaru yang didapat pada tahun 2011 oleh DKP Kabupaten Probolinggo. Menurut hasil yang didapat oleh DKP pada tahun 2011 tersebut, ekosistem mangrove masih relatif luas di sepanjang pantai Kabupaten Probolinggo, yakni seluas ± 545 ha. Luas tersebut terdiri atas luasan mangrove yang berkondisi baik seluas ± 315 ha, mangrove dengan kondisi sedang seluas ± 108 ha, dan sisanya adalah mangrove dalam kondisi jelek yakni seluas ± 122 ha. Selain itu, ditemukan sepuluh spesies mangrove di Kecamatan Gending (Desa Curahsawo). Spesies yang paling banyak dijumpai adalah Acanthus ilicitolius dan Terminalia catapa, sedangkan spesies yang memiliki kerapatan tertinggi adalah Rhizopora mucronata dan Rhizopora apiculata. Kecamatan Gending memiliki luas lokasi mangrove yang paling luas di antara kecamatan lainnya di Kabupaten probolinggo, yakni dari Desa Curahsawo yang memiliki luas mangrove sebesar 140 ha. Adapun data selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 5. Tabel 5. Tutupan dan kerapatan mangrove kabupaten probolinggo No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Lokasi Kec. Tongas - Desa Tambakrejo Kec. Sumberasih - Desa Lemah Kembar Kec. Dringu - Desa Dringu Kec. Gending - Desa Curahsawo - Desa Pesisir Kec. Pajarakan - Desa Penambangan Kec. Kraksaaan - Desa Sidopekso - Desa Kebonugung
Luas Mangrove (Ha)
Presentase Tutupan (%)
Kerapatan (Pohon/Ha)
35
60
500-1000/Ha
12
40
500-1000/Ha
8
40
500-1000/Ha
145 30
80 65
500-1000/Ha 500-1000/Ha
55
75
500-1000/Ha
40 34
45 45
500-1000/Ha 500-1000/Ha
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Probolinggo (2011)
Masyarakat di perairan pantai utara Jawa Timur yang tinggal di daerah pesisir pantai sangat akrab dengan alam laut. Pada umumnya mereka sering dikenal sebagai masyarakat nelayan yang mencari penghidupan dari penangkapan
33
ikan. Para nelayan tersebut berlayar mencari ikan hingga ke tengah Laut Jawa juga perairan Selat Makassar dan Maluku selama berhari-hari. Selain kehidupan para nelayan, terdapat satu kelompok masyarakat lainnya yang juga bergantung dari hasil perairan pantai, yakni para petani tambak. Hasil produksi perikanan di air payau, yakni tambak, menyumbang kontribusi yang cukup besar kepada total produksi perikanan Kabupaten Probolinggo, yakni sekitar 30%. Oleh karena itu, sektor perikanan tambak cukup berkembang di Jawa Timur, terutama di Kabupaten Probolinggo tersebut. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Timur, dapat dilihat data dari DKP mengenai produksi perikanan secara keseluruhan dari Kabupaten Probolinggo dalam Tabel 6. Tabel 6. Produksi perikanan kabupaten probolinggo No. 1.
Uraian Satuan Produksi Sumberdaya Kelautan Penangkapan Ton dari Laut 2. Produksi Air Tawar - Perairan Umum Ton - Kolam Ton 3. Produksi Air Payau Ton - Tambak Keterangan: *) = Angka Sementara
2007
2008
2009
2010
2011*)
9.267,30
12.856,00
9.342,20
9.474,30
9.550,20
193,30 184,00
95,00 175,00
182,10 175,70
162,80 222,60
163,10 237,30
3.023,90
3.020,00
3.020,50
3.367,50
3.526,90
Sumber: Modifikasi dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur (2012)
Selain itu, berdasarkan data lainnya dari DKP, didapat jumlah produksi secara keseluruhan beberapa komoditas tambak di Kabupaten Probolinggo. Beberapa komoditas tersebut diantaranya bandeng, udang vannamei, dan udang werus, yang jumlahnya berfluktuasi tiap tahun. Total produksi bandeng pada tahun 2011 mencapai 932,5 ton, total produksi udang vannamei sebesar 1345,33 ton, dan total produksi udang werus sebesar 246,25 ton.
Jumlah Produksi (ton)
34
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 2006
2011, 1345.33 2011, 932.5 Udang vaname Udang werus 2011, 246.25 2007
2008
2009
2010
2011
Bandeng
2012
Tahun Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Probolinggo (2011)
Gambar 9. Data produktivitas udang vannamei, udang werus, dan bandeng di kabupaten probolinggo, jawa timur 5.4. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini berjumlah total 30 orang, yakni 15 orang petani yang merupakan warga Desa Curahsawo dan 15 orang petani yang merupakan warga Desa Sukokerto. Seluruh responden dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki. Usia responden yang berdomisili di Desa Curahsawo bervariasi antara 40 tahun hingga 51 tahun. Sedangkan responden-responden dari Desa Sukokerto berusia antara 35 hingga 55 tahun. Selain itu, tingkat pendidikan responden, yang terlihat dari pendidikan terakhir responden, bervariasi dari SD hingga SMA. Jumlah responden Desa Curahsawo yang berpendidikan terakhir SD berjumlah enam orang, SMP berjumlah enam orang, dan SMA berjumlah tiga orang. Untuk responden dari Desa Sukokerto, jumlah responden yang berpendidikan terakhir SD adalah sembilan orang, SMP dua orang, dan SMA empat orang. Adapun data selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 4. Rata-rata luas lahan 15 responden yang berdomisili di Desa Curahsawo adalah sebesar 2,50 ha. Luas lahan responden tambak di Desa Sukokerto hampir sama dengan rata-rata luas lahan responden dari Desa Curahsawo, yakni sebesar 2,51 ha. Sebagian besar responden dari Desa Curahsawo, yakni sebesar 40% dari responden, memiliki tingkat pendapatan yang berkisar antara Rp 1.000.000 hingga Rp 2.000.000. Di sisi lain, sebagian besar responden yang berasal dari Desa Sukokerto memiliki tingkat penghasilan yang berkisar antara Rp 800.000 hingga Rp 1.000.000. Adapun data selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 4.
35
VI. HASIL DAN PE EMBAHAS SAN 6.1.
Paandangan dan Perranan Masyarakat Terhadaap Mangrove di Desa Curaahsawo dan n Desa Suk kokerto
Kelesta arian
Paandangan terrhadap manngrove dan tentunya peeranan yangg dilakukan n oleh masyarakaat sekitar terhadap kelestariann nya tentunnya berpenngaruh terh hadap keberlanjuutan mangrrove itu sendiri. s Berrdasarkan kuisioner yang diberrikan, sebagian besar b masyyarakat Desa Curahsaw wo yang meenjadi respoonden peneelitian ini, yakni sebesar 67% %, berpenddapat bahwaa kondisi maangrove yanng ada di seekitar lingkungaan mereka masih m tergolong cukup baik b (Gambbar 10). Rusak 13%
Baik Sekali B 20%
Cukupp Baik 677%
Gambar 10. 1 Pendapaat responden desa curaahsawo terhhadap konddisi mangro ove di lingkunggannya Haal tersebut pun terlihaat dari bany yaknya pohhon mangroove yang ada a di kawasan tersebut. t Seelain itu meereka pun cukup menggerti mengennai manfaaat dari mangrove yang ada. Sebanyak 60% dari responden menjawab bahwa maanfaat mangrove adalah sebagai pemasok bibit-bib bit atau larvva ikan mauppun udang untuk u grove tambaknyaa, kemudiaan sebanyaak 20% lainnya meenjawab baahwa mang memiliki manfaat sebagai s peencegah baanjir. Sebannyak 7% dari respo onden manjawabb sebagai pencegah p i intrusi air laut, penaahan abrasii, juga pem mberi kesejukann. Sisanya, yakni sebbanyak 6% % dari respponden, m menjawab bahwa b mangrove bermanfaaat sebagai tempat hidup hewan-hhewan atauu tumbuhan n lain (Gambar 11). 1
36
Untuk mencegah m m masuknya (inttrusi) air laut 7%
Meemberi Kessejukan 7%
Untu uk menaahan banjir/o ombak 20% %
Tempat hiddup hewan-hew wan atau tumbuuhan lain Tempaat 6% pemasok bibitb bibit/larvva ikan/udaang 60%
mbar 11. Penngetahuan reesponden deesa curahsaw wo mengennai manfaat mangrove Gam Warga
Desa
Cuurahsawo,
terutama
para
petaani
tambaak,
sudah
mem manfaatkan sumber s dayya mangrove sejak pulu uhan tahun yang lalu. Salah satu bentuuk pemanfaaatan mangrrove yang adda adalah seebagai filterr masuknyaa air laut ke tambbak. Air yanng digunakkan pada tam mbak adalaah air payauu, yakni airr laut yang dicam mpur dengaan air tawarr dengan saalinitas terteentu. Menurrut respondeen, dengan adannya mangroove, air yanng masuk ke tambak k sudah beerkurang saalinitasnya, sehinngga air taw war yang diitambahkann tidak perlu u terlalu baanyak dan m menghemat pengggunaan air tawar yang ada. Cukkup Pentiing 20% %
Sanngat Pennting 800%
Gam mbar 12. Penntingnya kebberadaan mangrove bag gi respondeen desa curaahsawo Sebagiann besar ressponden (800%) berpen ndapat bahw wa keberaddaan hutan manggrove sangaat penting bagi b mereka dan cuku up penting bagi b sebagiian lainnya (Gam mbar 12). Untuk U itu, mereka semuua berpendap pat bahwa mangrove m yyang ada di sekittar mereka tersebut perlu dikelolaa dengan baaik dengan memilih peenghijauan atau penanamann kembali hutan h mangrove sebagaai bentuk pengelolaan p mangrove yangg perlu dilakukan. Mereka mengenai M punn pernah mendapat m p penyuluhan
37
mangrove di desa oleeh penyuluhh lapangan. Sebagian beesar (87%) sudah meng gikuti penyuluhaan tersebut setidaknya s e empat kali (Gambar ( 133). Tiidak Pernah 6%
Pernaah, lebih darii 1 kali 8 87%
Pernah, sebanyakk 1 kali 7%
Gambar 13. Partisipaasi respondeen desa curaahsawo dalaam mengikuuti penyuluh han ngenai manngrove lainnnya pun telah Selain penyuuluhan, keggiatan men m Kegiatan K p penghijauan n tersebut sudah s dilakukan, yaitu pennanaman mangrove. diikuti oleeh respondeen setidaknnya sebanyaak dua kali (Gambar 114) dan keg giatan tersebut biiasanya dipprakarsai oleeh aparat deesa, ataupunn warga dessa yang mem miliki tambak deengan mengusahakan bibit/anakaannya sendiiri dari kaw wasan mang grove yang ada. Respondenn juga menggatakan bah hwa pemelihharaan manggrove yang telah ditanam teersebut seccara tidak langsung diilakukan oleeh para pem milik tamb bak di sekitar karrena mereka yang paling merasak kan manfaatt dari keberradaan mang grove yang ada, terutama yaang ada di sekitar s maup pun di dalam m tambak m mereka.
Pernah, lebih l dari 1 kali k 93% %
Pernah, ssebanyak 1 kali 7%
G Gambar 144. Partisipassi respondeen desa currahsawo daalam mengiikuti penan naman mangrovee Meenurut respoonden, di desa d tersebu ut terdapat aturan a atau ssistem adat yang sudah berrlaku sejakk lebih darri 15 tahun n yang laluu dalam uppaya pelesttarian mangrove, yakni daalam bentukk larangan untuk meenebang poohon muda,, dan hampir sem mua masyaarakat menggikutinya. Hal H tersebut ada baiknyya karena deengan begitu akkan ada banyak pohhon mangro ove yang dapat tum mbuh besarr dan bermanfaaat bagi lingkkungan dan masyarakaat.
38
Berbeda dengan Desa D Curaahsawo, ko ondisi manngrove yanng ada di grove yang ada hanyaa sedikit di lingkkungan Dessa Sukokertto tidaklah baik. Mang dekaat laut dan dalam d konddisi rusak. Mayoritas M masyarakat m Desa Sukokkerto yang menjjadi respondden pun beerpendapat bahwa b kondisi mangroove yang aada di desa mereeka adalah rusak, r yaknni sebesar 800%, dengan n sisanya 133% berpenddapat rusak sekalli dan 6,67% % berpendappat cukup baik b (Gambaar 15). Rusak Sekkali 13%
Cukup Baikk 6.67% Rusaak 80% %
Gam mbar 15. Pendapat respponden desa sukokerto o terhadap kondisi maangrove di linggkungannyaa Meski begitu, para petani sebeenarnya cuk kup mengertti mengenaii kegunaan dan manfaat daari mangrovve itu senddiri, namun n dalam haal ini, sebagian besar menjjawab bahw wa manfaatt mangrovee hanyalah h untuk meemberikan kesejukan, yaknni sebanyak 40%. Sebaanyak 26,677% di antarranya menjjawab bahw wa manfaat manggrove adalaah sebagai pencegah banjir dan penahan abrasi, a dan kemudian sebannyak 13,333% menjaw wab bahwa fungsi man ngrove adallah sebagaii pencegah intruusi air laut, juga sebaagai tempatt hidup hew wan-hewan atau tumbbuhan lain. Hanyya sebanyakk 6% yang mengatakaan bahwa manfaat m manngrove adallah sebagai pemaasok bibit-bbibit atau laarva ikan/uudang. Tentu unya hal teersebut dapat menjadi salahh satu buktii mengapa keberadaann mangrovee tidak lestaari di daeraah tersebut (Gam mbar 16).
Memberi Kesejukan 40% Unttuk mencegah knya masuk (intrusi) air laut 33% 13.3
Tempat hiddup hewan-hew wan atau tumbuhan lain Tempatt % 13,33% pemasok bibitbibit/larvva ikan/udanng, 6.67% Untuk mennahan banjir/om mbak, 26,67% %
Gaambar 16. Pendapat P ressponden dessa sukokerto o mengenaii manfaat m mangrove
39
Tinngkat partiisipasi respponden darii Desa Sukkokerto sebbenarnya cukup c tinggi dalaam mengikkuti penyuluuhan yang diadakan d dii desa mereeka. Hal terrsebut terlihat daari presentase kehadiraan respondeen dalam mengikuti m peenyuluhan, yakni sebesar 600% untuk yang y pernahh mengikutti penyuluhaan lebih daari satu kalii, dan sebesar 333% untuk yang y pernahh mengikutii penyuluhaan setidaknyya sebanyak k satu kali. Selain itu ada juga respoonden yang tidak pernnah mengikkuti penyuluhan, yakni hanyya sebanyakk 7% (Gambbar 17). Tidak Pernah T 7% P Pernah, lebbih dari 1 kali 60%
Pernah, sebanyak 1 kkali 33%
Gambar 17. Partisippasi respondden desa suk kokerto dalam mengiku kuti penyulu uhan Beerdasarkan wawancara w dengan Kepala Desaa Sukokertoo, saat peneelitian sudah adda kegiatann penghijauuan yang dilakukan di desa tersebut, yakni y penanamaan mangrovve di daerahh pinggir pantai, p nam mun kegiataan tersebut tidak berhasil dengan d baikk, banyak mangrove m yang y gagal tumbuh daan rusak. Beliau B mengatakaan bahwa hal h tersebuut disebabkan oleh annggapan maasyarakat bahwa b mangrove tersebut mengganggu m u proses penangkapan p n ikan, sehhingga seb bagian besar bibit sengaja dirusak olleh masyarakat sekitaar yang berprofesi seebagai nelayan pinggir pantai tersebut. Untuk itu,, kegiatan penyuluhan p yang lebih h baik dan menarik sebaiknnya diberikaan tidak han nya untuk masyarakat m yang berprrofesi sebagai peetani tambakk, melainkaan juga kepaada seluruhh masyarakaat. Dalam haal ini, tidak sem mua responnden ikut dalam d kegiatan penaanaman maangrove terrsebut (Gambar 18). 1 Pernah, lebihh dari 1 kali 13% P Pernah, sebannyak 1 kali 33%
Tidak Pernah T 54%
Gambar 18. 1 Partisipaasi respondden desa su ukokerto daalam mengiikuti penan naman mangrovve
40
Sebanyak 54% responden mengatakan bahwa mereka belum pernah mengikuti kegiatan penanaman mangrove yang diadakan di desa tersebut. Rendahnya partisipasi masyarakat tersebut cukup menjelaskan mengapa kelestarian mangrove kurang terjaga di desa tersebut. Selain itu, sebanyak 33% mengatakan bahwa mereka pernah mengikuti penanaman mangrove setidaknya satu kali, dan sisanya sebanyak 13% mengatakan bahwa mereka pernah mengikuti penanaman mangrove lebih dari satu kali. Besarnya partisipasi masyarakat dalam kelestarian mangrove salah satunya dapat terlihat dari seberapa besar keikutsertaan petani dalam kegiatan yang mendukung kelestarian mangrove seperti penyuluhan dan penanaman mangrove. Berdasarkan data yang ada, dapat terlihat bahwa besarnya keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan tersebut menjadi salah satu faktor yang menentukan kelestarian mangrove di desa tersebut (Tabel 7). Tabel 7. Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan pelestarian Keikutsertaan Desa Curahsawo
Desa Sukokerto
1 kali
> 1 kali
1 kali
> 1 kali
Penyuluhan
7%
87%
33%
60%
Penanaman
7%
93%
33%
13%
Jenis Kegiatan
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2012)
Tabel 7 tersebut menunjukkan tingkat keikutsertaan responden dari Desa Curahsawo dan Desa Sukokerto dalam beberapa kegiatan pelestarian mangrove di desa tersebut, yakni dalam kegiatan penyuluhan dan penanaman mangrove. Tabel tersebut menunjukkan bahwa tingkat keikutsertaan responden Desa Curahsawo terhadap kegiatan-kegiatan pelestarian mangrove lebih tinggi dari responden Desa Sukokerto, dalam ini yang terlihat dari tingginya persentase keikutsertaan responden dengan kuantitas yang lebih tinggi. Selain itu dapat terlihat juga bahwa tingkat keikutsertaan responden Desa Curahsawo dalam kegiatan penanaman jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat keikutsertaan responden Desa Sukokerto, yakni 100% (7%+93%) untuk Desa Curahsawo dan 46% (33%+13%) untuk Desa Sukokerto. Rendahnya tingkat keikutsertaan dari responden Desa
41
Sukokerto dalam kegiatan penanaman tersebut menjadi indikasi penyebab kurang lestarinya mangrove di Desa Sukokerto tersebut. 6.2.
Perbandingan Kelayakan Finansial Tambak Mangrove dan di Luar Kawasan Mangrove
Dalam
Kawasan
Analisis dilakukan terhadap tambak dalam dua lokasi yang berbeda, yakni tambak di Desa Curahsawo dan Desa Sukokerto. Tambak-tambak yang berada di kedua lokasi tersebut dikelola dengan pola budidaya yang sama, yakni tambak polikultur udang-bandeng tradisional dengan jumlah panen tiga kali dalam satu tahun, namun berada dalam kawasan yang berbeda. Desa Curahsawo adalah lokasi penelitian untuk tambak yang berada dalam kawasan mangrove sedangkan Desa Sukokerto merupakan lokasi penelitian dari tambak yang berada di luar kawasan mangrove. Hasil dari analisis biaya dan manfaat yang dilakukan terhadap kegiatan perikanan tambak dari dua lokasi tersebut dibandingkan untuk mengetahui usaha tambak di kawasan mana yang lebih menguntungkan secara ekonomi. Dalam analisis investasi yang dilakukan, nilai-nilai yang ada dibedakan menjadi biaya dan manfaat, kemudian dicari nilai berdasarkan kriteria-kriteria kelayakan yang ada. Biaya yang dikeluarkan petani dalam melakukan kegiatan perikanan tambak terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi yang dikeluarkan oleh petani tambak dari masing-masing lokasi tersebut meliputi biaya pembuatan tambak, kemudian pembuatan rumah jaga, pintu air, dan juga pembelian waring. Selain itu ada pula pembelian alat-alat lain seperti prayang, serok, lampak, caneur, cangkul, dan lain-lain, yang direinvestasi lebih kurang setiap lima tahun sekali. Biaya lain yang dikeluarkan adalah biaya operasional. Biaya operasional yang dikeluarkan meliputi biaya tetap dan tidak tetap. Biaya tetap yang dikeluarkan oleh petani meliputi biaya retribusi, iuran wajib kepada kelompok tani, dan sewa lahan. Biaya tidak tetap yang dikeluarkan antara lain pembelian bibit ataupun benur, obat-obatan, pupuk, dan juga upah tenaga kerja. Di sisi lain, penerimaan yang didapat merupakan hasil yang didapat dari penjualan hasil produksi tambak masing-masing lokasi. Pada prinsipnya, pengelolaan tambak di Desa Curahsawo tidak jauh berbeda dengan di Desa Sukokerto. Namun demikian, rata-rata nilai produktivitas
42
total dari kedua desa tersebut berbeda cukup besar. Nilai produktivitas didapat dari semua komoditas yang dihasilkan oleh petani dari setiap tambak miliknya. Nilai produktivitas total tambak di Desa Sukokerto adalah 391,72 kg per ha per tahun sedangkan di Desa Curahsawo sebesar 425 kg per ha per tahunnya untuk bandeng dan udang vannamei, dan 475 kg per ha per tahunnya jika ditambah udang werus. Salah satu penyebab terjadinya perbedaan produktivitas tersebut kemungkinan adalah dikarenakan nilai kematian komoditi yang berbeda dari kedua tambak. Kegagalan panen pada tambak yang berada di luar kawasan mangrove lebih besar jika dibandingkan dengan yang berada di dalam kawasan mangrove. Penelitian ini tidak membahas secara detail mengenai produktivitas masing-masing komoditas namun hanya digunakan untuk membedakan secara deskriptif kondisi tambak di kedua lokasi daerah penelitian. Untuk pengelolaan jangka panjang, tambak yang berada pada kawasan mangrove akan memberikan manfaat bersih yang lebih baik dibandingkan dengan yang di luar kawasan mangrove. Analisis kelayakan dilakukan dengan menggunakan tingkat suku bunga 10%, yang merupakan rata-rata suku bunga pinjaman yang digunakan oleh bank-bank yang terlampir di situs Bank Indonesia, dan umur proyek selama 20 tahun, yang ditentukan berdasarkan investasi terlama seperti rumah jaga. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan didapatkan nilai NPV dari Desa Curahsawo atau tambak yang berada di kawasan mangrove adalah sebesar Rp 45.799.888. Nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan nilai NPV tambak dari Desa Sukokerto atau tambak yang berada di luar kawasan mangrove yang hanya sebesar Rp 4.523.615. Hasil perhitungan BCR dari kedua lokasi menunjukkan bahwa pada prinsipnya kedua lokasi tersebut layak untuk dilaksanakan, yakni karena nilainya yang lebih besar dari satu. Nilai BCR dari Desa Curahsawo adalah 1,39, artinya adalah setiap biaya yang dikeluarkan sebesar 1 rupiah per hektar per tahunnya akan memberikan manfaat sebesar 1,39 rupiah per hektar per tahunnya. Di sisi lain, nilai BCR dari Desa Sukokerto yang sebesar 1,11 menunjukkan bahwa setiap biaya yang dikeluarkan sebesar 1 rupiah per hektar per tahunnya akan memberikan manfaat sebesar 1,11 rupiah per hektar per tahunnya. Meskipun keduanya menguntungkan, nilai BCR yang lebih kecil pada tambak yang berada
43
di luar kawasan mangrove menunjukkan bahwa tambak yang berada di kawasan mangrove menghasilkan keuntungan yang lebih baik. Jika nilai IRR yang didapat kurang dari 10%, uang yang digunakan sebagai modal sebaiknya ditabungkan atau digunakan untuk usaha yang lain karena akan mendapat pengembalian yang lebih menguntungkan, atau dengan kata lain usaha tersebut kurang layak dari segi pengembalian modal. Dalam hal ini, berdasarkan perhitungan yang dilakukan, nilai IRR tambak Desa Curahsawo adalah 67%, hal tersebut menunjukkan bahwa tambak tersebut layak untuk diusahakan karena tingkat pengembalian modal yang lebih tinggi daripada tingkat suku bunga yang berlaku, yakni 10%. Di sisi lain, nilai IRR untuk tambak di Desa Sukokerto adalah 14%, yang artinya tambak tersebut juga masih layak untuk diusahakan meskipun nilainya lebih kecil dari nilai IRR tambak di Desa Curahsawo. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai Payback Period (PP) untuk investasi tambak di Desa Curahsawo adalah 2 tahun 5 bulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa modal yang diinvestasikan pada tambak di Desa Curahsawo akan kembali dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun 5 bulan. Untuk Desa Sukokerto, nilai PP yang didapat adalah 7 tahun 11 bulan. Hal tersebut berarti modal yang dikeluarkan pada saat memulai usaha, akan kembali dalam jangka waktu kurang lebih 7 tahun 11 bulan. Adapun hasil-hasil perhitungan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut (Tabel 8). Tabel 8. Perbandingan hasil analisis kelayakan Pm Kriteria NPV (Rp) BCR IRR (%) Payback Period
Hasil 45.799.888 1,39 67 2 tahun 5 bulan
Ptm Ket. Layak Layak Layak Layak
Hasil 4.523.615 1,11 14 7 tahun 11 bulan
Ket. Layak Layak Layak Layak
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2012)
Keterangan: Pm Ptm
= Tambak dalam kawasan mangrove (Desa Curahsawo) = Tambak di luar kawasan mangrove (Desa Sukokerto)
Tabel 8 menunjukkan bahwa tambak akan jauh lebih layak jika diusahakan di dalam kawasan mangrove. Hal tersebut terlihat dari nilai masing-masing
44
kriteria kelayakan tambak Desa Curahsawo (tambak di dalam kawasan mangrove) yang jauh lebih besar dari Desa Sukokerto (tambak di luar kawasan mangrove). 6.3.
Analisa Kesejahteraan Petani Tambak dengan Perbandingan Surplus Produsen Tambak Dalam Kawasan Mangrove dan di Luar Kawasan Mangrove Salah satu cara untuk melihat kesejahteraan petani atau produsen adalah
melalui surplus produsen yang diterima. Surplus produsen merupakan selisih dari nilai manfaat yang diterima dari hasil produksi dengan nilai biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi output. Dalam hal ini, surplus produsen yang didapat oleh petani tambak merupakan selisih dari penghasilan yang didapat dari penjualan hasil tambak, yakni ikan bandeng dan udang, dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh output produksi tersebut. Untuk petani tambak Desa Sukokerto (yang berada di luar kawasan mangrove), penerimaan didapat dari hasil penjualan ikan bandeng dan udang vannamei. Di sisi lain, penerimaan yang diterima petani Desa Curahsawo (yang berada dalam kawasan mangrove) merupakan penjumlahan dari penerimaan yang didapat dari penjualan ikan bandeng, udang vannamei, dan juga udang werus. Untuk Desa Curahsawo, penerimaan juga didapat dari udang werus yang muncul karena adanya tanaman mangrove di daerah tambak. Bibit udang werus yang datang saat air laut pasang menetap di akar-akar pohon mangrove kemudian berkembangbiak. Udang werus tersebut kemudian dipanen secara harian oleh petani. Mengacu pada Fauzi (2000), secara matematis surplus produsen untuk kedua jenis tambak di lokasi penelitian tersebut dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: a.
Surplus produsen petani tambak dalam kawasan mangrove. x C x C x C C ………….……... (8) PS b. Surplus produsen petani tambak yang berada di luar kawasan mangrove. PS x C x C C ……….……..……………. (9) Keterangan: PS = Surplus produsen tambak dalam kawasan mangrove PS = Surplus produsen tambak di luar kawasan mangrove x C = Penerimaan tambak dari ikan bandeng = Penerimaan tambak dari udang vannamei x C x C = Penerimaan tambak dari udang werus C = Biaya produksi tambak dalam kawasan mangrove C = Biaya produksi tambak di luar kawasan mangrove
45
Petani tambak Desa Curahsawo menjual hasil produksinya, yaitu ikan bandeng dengan harga rata-rata Rp 10.000 per kg, dengan rata-rata penjualan sebanyak 350 kg per hektar per panen. Hasil produksi lainnya, yakni udang vannamei, dijual dengan harga Rp 25.000 per kg nya dengan rata-rata penjualan sebanyak 75 kg per ha per panen. Di sisi lain, dengan harga rata-rata penjualan yang juga sama, rata-rata petani tambak dari Desa Sukokerto memproduksi ikan bandeng sebanyak 320,56 kg per ha per panen dan udang vannamei sebanyak 71,16 kg per ha per panen. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa penerimaan petani dari Desa Curahsawo lebih besar dari penerimaan petani Desa Sukokerto. Penerimaan petani Desa Curahsawo adalah Rp 19.125.000 per hektar per tahunnya, sedangkan penerimaan petani tambak dari Desa Sukokerto adalah Rp 14.953.810 per hektar per tahun. Selain itu, biaya variable yang yang diperlukan petani tambak dari Desa Curahsawo untuk memperoleh output produksi tersebut adalah Rp 11.773.208, biaya per hektar yang dikeluarkan oleh petani tambak Desa Sukokerto per tahunnya adalah sebesar Rp 12.546.800. Berdasarkan data-data tersebut, didapatkan nilai surplus produsen petani tambak Desa Sukokerto sebesar Rp 2.407.010 yang didapat dari selisih penerimaan ikan bandeng dan udang vannamei dengan biaya yang dikeluarkan (halaman 58). Berbeda dengan Desa Sukokerto, petani tambak di Desa Curahsawo mempunyai rata-rata surplus produsen yang lebih besar, yakni sebesar Rp 7.351.792. Nilai tersebut merupakan hasil selisih penerimaan ikan bandeng dan udang vannamei dengan biaya tambak yang dikeluarkan, ditambah dengan penerimaan yang didapat dari hasil tangkapan harian, yakni udang werus. Ratarata hasil tangkapan udang werus sebanyak 50 kg per empat bulan dengan harga jual Rp 20.000 per kg. Untuk itu, didapat selisih surplus produsen antara petani tambak yang berada di kawasan mangrove dengan petani tambak yang berada di luar kawasan mangrove sebesar Rp 4.944.782 per ha per tahun. Adapun nilai-nilai tersebut dapat dilihat dalam Tabel 9. Tabel 9. Perbandingan surplus produsen desa curahsawo dan desa sukokerto
Desa Curahsawo Desa Sukokerto
Penerimaan
Biaya Variabel
Rp 19.125.000 Rp 14.953.810
Rp 11.773.208 Rp 12.546.800
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2012)
Surplus Produsen Rp 7.351.792 Rp 2.407.010
46
VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1.
Simpulan Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian, dapat disimpulkan
sebagai berikut: 1.
Masyarakat Desa Curahsawo, terutama petani tambak, mengetahui bahwa keberadaan mangrove memberikan manfaat untuk mereka, salah satunya seperti manfaat keberadaan mangrove terhadap peningkatan produktivitas tambak. Tingginya tingkat partisipasi, dalam hal ini kuantitas mengikuti kegiatan penyuluhan dan penanaman, mempengaruhi tingginya tingkat kelestarian mangrove yang ada di lingkungan tambak Desa Curahsawo. Di lain pihak, petani tambak dari Desa Sukokerto terlihat kurang mendukung adanya pola tumpangsari tersebut. Hal tersebut terlihat dari rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam menerapkan pola tersebut pada tambak mereka. Rata-rata luas mangrove di sekitar tambak mereka tidak lebih dari 5%. Sebagian besar masyarakat pun tidak berperan aktif dalam menanam dan menjaga kelestarian mangrove tersebut. Para petani tambak pun banyak yang tidak mengetahui manfaat mangrove terhadap produktivitas tambak, sebagian besar dari mereka hanya mengerti bahwa manfaat dari keberadaan mangrove adalah sebagai pemberi kesejukan saja.
2.
Tambak yang berada di dalam kawasan mangrove jauh lebih layak jika dibandingkan dengan tambak yang berada di luar kawasan mangrove. Hal tersebut terlihat dari nilai kriteria NPV, BCR, IRR, dan PP untuk tambak dalam kawasan mangrove (Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo) yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan nilai kriteria kelayakan tambak yang berada di luar kawasan mangrove (Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo). Tambak dalam kawasan mangrove memiliki NPV sebesar Rp 45.799.888, nilai BCR sebesar 1,39, nilai IRR sebesar 67%, dan PP selama 2 tahun 5 bulan. Nilai-nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tambak di luar
47
kawasan mangrove yang memiliki NPV sebesar Rp 4.523.615, nilai BCR sebesar 1,11, nilai IRR sebesar 14%, dan PP selama 7 tahun 11 bulan. 3.
Surplus produsen dari petani tambak yang berada di kawasan mangrove lebih besar dari surplus produsen dari petani tambak yang berada di luar kawasan mangrove. Surplus produsen petani tambak dalam kawasan mangrove adalah sebesar Rp 7.351.792 per ha per tahun, sedangkan surplus produsen petani tambak di luar kawasan mangrove adalah sebesar Rp 2.407.010 per tahun, sehingga selisih surplus produsen dari kedua jenis tambak tersebut adalah sebesar Rp 4.944.198 per ha per tahunnya.
7.2.
Saran Adapun saran yang dapat diberikan antara lain:
1.
Penting untuk tetap memberikan penyuluhan, baik dalam bentuk tertulis maupun langsung di lapangan, kepada seluruh masyarakat terutama petani tambak
mengenai
pentingnya
kelestarian
dari
hutan
mangrove.
Penyuluhan tersebut sebaiknya disertai dengan bukti nyata mengenai apa saja manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan mangrove, salah satunya seperti bagaimana peningkatan produktivitas tambak ataupun lainnya, yang dalam hal ini dapat juga diperlihatkan perhitungannya dengan hasil dalam moneter. Selain itu penting juga untuk memastikan adanya tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan pelestarian nyata yang dilakukan di lingkungannya, salah satunya seperti penanaman mangrove. 2.
Pemerintah perlu menetapkan aturan yang tegas untuk menjaga keseimbangan ekosistem mangrove dengan program terpadu.
48
DAFTAR PUSTAKA Apriani, S. 2007. Analisis Sosial Ekonomi Pemanfaatan Kawasan Hutan Lindung Mangrove dengan Sistem Tambak Tumpangsari yang Berkelangsungan. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Barbier, E. B., Sathirathai, S. 2004. Shrimp Farming and Mangrove Loss In Thailand. Edward Elgar Publishing Limited. UK. BLH Jawa Timur. 2010. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Propinsi Jawa Timur. Surabaya. BPS. 2009. Kecamatan Gending Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Probolinggo. Probolinggo. BPS. 2010. http://www.bps.go.id/getfile.php?news=776, diakses pada tanggal 22 Februari 2012. BPS. 2011. Perkembangan Beberapa Sektor Utama Sosial Ekonomi Indonesia: November 2011. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. BPS Jawa Timur. 2012. Produksi Perikanan Kabupaten Probolinggo. Publikasi Online. Jawa Timur. http://jatim.bps.go.id/epub/2012/indikatorpertanian2012. Callan, S. J., Thomas, J. M. 2000. Environmental Economics and Management: Theory, Policy, and Application. Harcourt College Publishers. USA. Djajadiningrat, S. T. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. PT Pustaka LP3ES. Jakarta. Elhaq, I. H. 2011. Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan Mangrove dan Partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit. Skripsi. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. FAO. 2007. ‘Mangrove di Dunia: 1980-2005’ (dalam Bahasa Inggris). The world’s Mangrove: 1980-2005. Food and Agriculture Organization of The United Nations Forestry Paper. Roma. Fauzi, A. 2000. Persepsi Terhadap Nilai Ekonomi Sumberdaya. Jurnal. Pelatihan Untuk Pelatih: Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor. Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia. Jakarta. Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. PT Gramedia. Jakarta. Frank, R. H. 2011. The Darwin Economy: Liberty, Competition, and The Common Good. Princeton University Press. United Kingdom. Gambe, M. O. P. 2007. Analisis Finansial Pengusahaan Tambak Tumpangsari Sistem Empang Parit di Kawasan Hutan Mangove: Kasus di Jayamukti, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan Institut Pertanian Bogor.
49
Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. UI-Press. Jakarta. Green Coast. 2011. Menghijaukan Tambak-tambak di Aceh dengan Mangrove: Menyelamatkan Pesisir. Green Coast Wetland International. Indonesia. Gunawan, H., Anwar. 2005. Kajian Pemanfaatan Mangrove dengan Pendekatan Silvofishery. Laporan Tahunan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Hanley, N., Barbier, E. B. 2009. Pricing Nature: Cost-Benefit Analysis and Environmental Policy. Edward Elgar Publishing Limited. UK. http://books.google.co.id/books?id=Ojg9uS9dAC&pg=PA130&lpg=PA13 0&dq=barbier+fishery&source=bl&ots=TI_Rw7trOc&sig=BCAJ9ItFEfsC qKaZaSL26F-8&hl=id&sa=X&ei=KqlF, diakses pada tanggal 17 Februari 2012. Kuntjoro, D. 2012. Indonesia Economic Development and Prospect. https://www.fig.net/pub/jakarta/papers/.../os_1_kuntjoro_fin_ppt.pdf, diakses pada tanggal 23 februari 2012. Kusmana, C. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Bogor. Bogor. Landau, M. 1992. Introduction to Aquaculture. John Wiley & Sons Inc. Kanada. Lukmana, A. 2012. Valuasi Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove. Skripsi. Departemen Ekonomi Sumber daya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, H. 2008. Analisis Valuasi Ekonomi Pencemaran Air terhadap Kesehatan Masyarakat Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Nur, Y., Khazali, M., Suryadiputra, I. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WIP. Bogor. OECD. 2006. Cost- Benefit Analysis and The Environment: Recent Developments. Executive Summary. OECD. http://www.google.co.id/url?sa+t&rct=j&q=pricing%nature%20nature%2 0%20%3A%20cost-benefit, diakses pada tanggal 23 Februari 2012. Oktaviani, R. 2011. Model Ekonomi Keseimbangan Umum: Teori dan Aplikasinya di Indonesia. IPB Press. Bogor. Ridho, M. R. 2010. Analisis Kelayakan Finansial Tambak Tradisional Plus dalam Rangka Peralihan Teknologi Tambak Udang Yang Berkelanjutan. Skripsi. Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Sadi. 2006. Kajian Finansial Usahatani Tambak Tumpangsari Sistem Empang parit di Hutan Mangrove. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salim, E., Ullsten, O. 1999. Our Forest Our Future. Cambridge University Press. Sarwono, S. W. 1992. Psikologi Lingkungan. PT Gramedia. Jakarta.
50
Smith, L. C. 2011. The World In 2050: Four Forces Shaping Civilization’s Northren Future. Penguin Group. USA. Sudiana, N. 2001. Studi Pengembangan Ekoturisme di Kawasan Ekosistem Mangrove. Tesis. Program Ilmu Studi Lingkungan Universitas Indonesia. Jakarta. Syahbana, N. 2011. Analisis Dampak Perubahan Iklim Lokal Terhadap Kesejahteraan Petambak Udang. Skripsi. Departemen Ekonomi Sumber daya dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tomlinson, P. B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press. United Kingdom. Tresnowati, H. 2003. Valuasi Ekonomi Usaha Tambak Perikanan Dalam Ekosistem Hutan Mangrove. Tesis. Program Ilmu Studi Lingkungan Universitas Indonesia. Jakarta. Tuwo, A. T. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional. Surabaya.
51
LAMPIRAN
52
Lampiran 1. Lokasi Penelitian
Sumber: Map Google (2012)
Sumber: Peta Kecamatan Pajarakan (2012)
53
Sumber: Peta Wilayah Kabupaten Probolinggo (2012)
Bambang Susanto
15
2,80
4,10
2,20
2,40
1,00
4,00
2,40
2,10
2,00
1,00
2,50
1,20
7,00
1,80
1,00
Luas Tambak (Ha)
Rata-rata Per Ha (Rp)
Gatot Djiwo S.
Hariyanto Mismo
Endang Sunarsih
12
14
Miskun
11
13
Misa
Slamet
9
10
Sapari
Fahrudin R.A
5
8
Raden
4
Asnan
Lilik Nurul Hasanah
3
Busno Nahrawi
H. Sarwani
2
7
Kurnia Budianto
1
6
Nama
Desa Curahsawo
No
Lokasi:
6.691.071 7.000.000
7.317.073
7.272.727
7.291.667
7.250.000
6.875.000
6.250.000
7.142.857
7.250.000
8.000.000
6.800.000
7.916.667
5.000.000
6.944.444
7.000.000
Kolam
7.678.571 8.000.068
9.756.098
7.934.091
7.604.167
7.500.000
7.625.000
8.333.333
7.380.952
8.000.000
7.000.000
8.040.000
7.708.333
7.857.143
9.583.333
8.000.000
Pintu Air
1.785.714 3.033.429
2.439.024
2.272.727
2.083.333
5.000.000
2.500.000
4.166.667
2.380.952
2.500.000
5.000.000
2.000.000
4.166.667
1.428.571
2.777.778
5.000.000
Rumah Jaga
Biaya Pembuatan Tambak (Rp)
Lampiran 2. Hasil Pengolahan Data Analisis Usaha Tambak
160.714 133.712
146.341
136.364
125.000
150.000
112.500
125.000
142.857
150.000
150.000
120.000
125.000
128.571
83.333
150.000
Waring
0
0
0 32.160
60.976
0
104.167
0
62.500
0
119.048
0
0
100.000
0
35.714
Prayang
53.571 55.177
48.780
45.455
41.667
50.000
50.000
41.667
47.619
50.000
100.000
60.000
83.333
50,000
55.556
50.000
33.929 21.935
0
34.091
0
0
33.750
0
38.095
35.000
0
34.000
0
35.714
44.444
40.000
Caneur
Pembelian Alat (Rp) Cerok
0
0
0
0
0
0
0
0
71.429 25.186
48.780
90.909
83.333
0
0
83.333
Getek
54
55
Lokasi: Pupuk (Rp)
141.667
142.857
150.000
2.000.000
1.720.000
1.916.667
2.071.429
1.944.444
309.524
302.500
320.000
272.000
291.667
285.714
334.444
200.000
200.000
200.000
200.000
210.000
200.000
191.667
214.286
194.444
200.000
354.167
350.000
312.500
354.167
352.381
350.000
375.000
350.000
354.167
357.143
361.111
300.000
260.417
220.000
300.000
231.250
247.619
250.000
250.000
240.000
250.000
257.143
258.333
225.000
Upah Panen (Rp)
140.000
2.099.800
300.833
212.000
Upah (Rp)
333.333
125.000
1.666.667
300.000
187.500
Bibit (Rp)
285.714
150.000
1.916.667
275.000
Obat (Rp)
194.444 310.000 150.000
152.381
1.875.000
300.000
Udang
248.600 340.000 165.000
135.208
1.800.000
.0 129.000 .0
300.000
241.667 350.100
0
132.075
1.958.333
268.293
234.773
Bandeng
348.000 305.000
175.000
135.000
365.854
363.636
1.895.000
300.000 285.714
0
125.000
207.317
186.364
Probiotik
280.000 302.083
150.000
304.878
300.000
250.000
257.321
140.000
238.095 375.000
166.667
1.829.268
1.818.182
350.000
350.000
Drusban
212.500 300.000
140.244
147.727
200.000
196.429
160.000
300.000 333.333
0
159.091
300.000
303.571
TSP
310.000
295.500
1.896.000
1.928.571
320.000
241.667
317.073
140.000
142.857
Organik
272.727
106.666
178.571
290.000
283.171
316.952
321.429
166.667
271.450
310.893
Urea
Desa Curahsawo Nama
Kurnia Budianto
No 1 H. Sarwani Raden
Lilik Nurul Hasanah
2 3 4 Asnan
Fahrudin R.A Busno Nahrawi
5 6
Misa
Sapari
7 8
Miskun
Slamet
9 10 11 Gatot Djiwo S. Hariyanto Mismo
Endang Sunarsih
Bambang Susanto
12 14
13 15 Rata-rata Per Ha (Rp)
..
Slamet
10
Rata-rata Per Ha Per Panen (Rp)
Bambang Susanto
Misa
9
15
Sapari
8
Hariyanto Mismo
Busno Nahrawi
7
14
Asnan
6
Gatot Djiwo S.
Fahrudin R.A
5
13
Raden
4
Miskun
Lilik Nurul Hasanah
3
Endang Sunarsih
H. Sarwani
2
12
Kurnia Budianto
1
11
Nama
Desa Curahsawo
No
Lokasi: Bandeng (Rp)
3.571.429 3.500.006
3.469.512
3.636.364
3.461.667
3.000.000
3.500.000
3.531.250
3.333.333
3.650.000
3.700.000
3.464.000
3.500.000
3.571.429
3.611.111
3.500.000
Produksi Udang Vannamei (Rp)
1.964.286 1.875.000
1.890.244
1.918.182
1.937.500
1.800.000
1.838.000
1.768.750
1.904.762
2.000.000
1.860.000
1.800.000
1.916.667
1.871.429
1.805.556
1.850.000
Udang Werus (Rp)
1.008.929 1.000.000
1.024.390
954.545
937.500
950.000
1.000.000
1.041.667
1.071.429
1.000.000
975.000
912.000
1.000.000
1.014.286
1.111.111
1.000.000
56
57
2
1
Sujono
Sudi
Abdul Sujoko
Nama
2
4
2,1
1
Luas Tambak (Ha)
7.200.000
7.000.000
7.500.000
6.666.667
8.000.000
8.333.333
8.000.000
8.250.000
7.692.500
8.095.238
9.000.000
2.083.333
2.777.778
2.000.000
2.500.000
1.250.000
2.380.952
5.000.000
104.250
166.666,7
138.888,9
140.000
90.000
188.750
176.190,5
120.000
0
52.500
0
0
90.000
0
77.500
0
0
41.666,67
97.727,27
50.000
62.500
61.111,11
36.000
50.000
50.000
47.619,05
90.000
0
10.333,33
0
16.250
27.083,33
0
28.000
0
18.000
28.571,43
50.000
142.857,1
0
0
90.909,09
0
0
0
0
0
0
0
0
Desa Sukokerto
3 Rohim 2,5 6.666.667
7.916.667
1.250.000
136.363,6
46.666,67
36.585,37
0
100.000
Lokasi:
4 Safiudin 1,8
6.875.000
7.500.000
2.272.727
125.000
0
71.428,57
31.000
200.000
Pembelian Alat (Rp)
5 Abdullah 2,4
6.872.000
8.181.818
1.666.667
158.536,6
178.571,4
50.000
0
166.666,7
Biaya Pembuatan (Rp)
6 Harsono 4
7.272727
7.500.000
1.219.512
285.714,3
0
100.000
54.166,67
46.701,587
Getek
7 Ahmad Sanusi 2,2
6.925.000
7.804.878
3.571.429
200.000
250.000
100.000
17.531,356
Caneur
8 Abdul Hadi 6
6.829.268
7.142.857
2.500.000
120.000
0
63.690,347
Cerok
9 Mohammad Hozin
4,1
7.142.857
7.750.000
5.000.000
100.000
46.369,206
Prayang
10 Pepin Kusmiantono
1,4
6.000.000
8.500.000
4.166.667
137.567
Waring
11 Romli
2
7.800.000
8.333.333
2.642.604,3
Rumah Jaga
12 Samsul Arifin
1
6.250.000
9.000.000
Pintu Air
13 Untung
1,2
6.000.000
Kolam
14
Asdiman
No
15
Rata-rata (Rp)
311.800
Rata-rata (Rp)
356.700
320.000
290.400
Asdiman
15
400.000
300.000
Untung
14
330.000
320.000
Samsul Arifin
13
320.000
290.400
Romli
12
400.000
315.000
Pepin Kusmiantono
11
330.000
290.400
Mohammad Hozin
10
350.000
320.000
Abdul Hadi
9
400.000
300.000
Ahmad Sanusi
8
340.500
350.000
Harsono
7
320.000
290.400
Abdullah
6
320.000
310.000
Safiudin
5
400.000
400.000
Rohim
4
480.000
290.400
Sujono
3
320.000
310.000
Sudi
2
Organik 320.000
Abdul Sujoko
1
Urea
Pupuk (Rp)
300.000
Nama
Desa Sukokerto
No
Lokasi :
184.700
160.000
210.000
200.000
160.000
170.000
200.000
160.000
200.000
180.000
170.000
190.500
210.000
200.000
200.000
160.000
TSP
171.666,67
170.000
200.000
155.000
160.000
140.000
150.000
200.000
170.000
200.000
180.000
150.000
140.000
160.000
200.000
200.000
Drusban
Obat (Rp)
1.964.066,7
2.015.000
2.000.000
1.900.000
1.893.000
2.100.000
2.000.000
1.885.000
1.905.000
2.000.000
1.750.000
2.100.000
1.970.000
1.800.000
2.000.000
1.896.000
Probiotik
200.000
183.333,3
210.000
180.000
196.428,6
197.561
200.000
195.454,5
203.750
208.333,3
205.555,6
200.000
193.500
192.500
214.285,7
220.000
Bandeng
Bibit (Rp)
300.008,8
291.666,7
325.000
300.000
303.571,4
292.682,9
288.333,3
306.818,2
300.000
304.166,7
283.333,3
292.000
290.000
312.500
300.000
310.000
Udang
350.008,3
358.333,3
340.000
350.000
342.857,1
346.341,5
366.666,7
350.000
362.500
341.666,7
347.222,2
352.000
355.000
362.500
350.000
325.000
Upah (Rp)
250.009,92
287.500
325.000
250.000
285.714,3
243.902,4
200.000
227.272,7
225.000
250.000
277.777,8
240.000
250.000
250.000
238.095,2
200.000
Upah Panen (Rp)
58
59
Lokasi:
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Romli
Pepin Kusmiantono
Mohammad Hozin
Abdul Hadi
Ahmad Sanusi
Harsono
Abdullah
Safiudin
Rohim
Sujono
Sudi
Abdul Sujoko
Desa Sukokerto
12
Samsul Arifin
Nama
13
Untung
No
14
Asdiman Rata-rata (Rp)
15
Bandeng (Rp)
Produksi
3.500.000
2.857.143
2.926.829
3.333.333
3.000.000
3.750.000
2.916.667
3.055.556
3.000.000
3.100.000
3.131.250
3.000.000
1.768.000
1.800.000
1.714.286
1.756.098
1.750.000
1.761.364
1.775.000
1.750.000
2.083.333
1.748.000
1.875.000
1.750.000
1.788.095
1.700.000
4.000.000
1.666.667
Udang Vannamei (Rp)
3.012.500
1.779.047,62
3.500.000
3.205.555,56
600.000,00
Pembelian bibit
30.074.783,22
TOTAL COST
1,39 67 2,70
Net Benefit Present Value NPV
BCR IRR (%) Payback Period
9.729.924,74 7.351.791,06 6.075.860,38
27.340.712,02
-10.949.783,22 -9.954.348,39 45.799.888,16
0,83
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
Present Cost
0,91
1.800.000,00
Tenaga Kerja
DF 10%
8.193.208,94
600.000,00 900.000,00
Bandeng
Pupuk dan Obat-obatan
Pembelian bibit
280.000,00
0,83 15.805.785,12
19.125,000,00
19.125.000,00
2
Vannamei
280.000,00
Biaya Tetap
Biaya Tidak Tetap
900.000,00
Udang Biaya Operasional
Bandeng
134.433,25
Pembelian alat-alat
Pembangunan/Pembuatan
18.167.141,03
0,91 17.386.363,64
DF (10%) Present Benefit
OUTFLOW Biaya Investasi
19.125.000,00
TOTAL BENEFIT
1
19.125.000,00
Tahun ke-
Panen
INFLOW
Lampiran 3. Cashflow Analisis Lokasi: Desa Curahsawo
7.351.791,06 5.523.509,44
8.845.386,13
0,75
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
0,75 14.368.895,57
19.125.000,00
19.125.000,00
3
7.351.791,06 5.021.372,22
8.041.260,12
0,68
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
0,68 13.062.632,33
19.125.000,00
19.125.000,00
4
7.351.791,06 4.564.883,83
7.310.236,47
0,62
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
0,62 11.875.120,30
19.125.000,00
19.125.000,00
5
7.217.357,81 4.074.010,33
6.721.553,59
0,56
11.907.642,19
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
134.433,25
0,56 10.795.563,91
19.125.000,00
19.125.000,00
6
7.351.791,06 3.772.631,27
6.041.517,74
0,51
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
0,51 9.814.149,01
19.125.000,00
19.125.000,00
7
7.351.791,06 3.429.664,79
5.492.288,86
0,47
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
0,47 8.921.953,65
19.125.000,00
19.125.000,00
8
7.351.791,06 3.117.877,08
4.992.989,87
0,42
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
0,42 8.110.866,95
19.125.000,00
19.125.000,00
9
7.351.791,06 2.834.433,71
4.539.081,70
0,39
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
0,39 7.373.515.41
19.125.000,00
19.125.000,00
10
60
61
0,35
19.125.000,00
19.125.000,00
11
6.093.814,39
0,32
19.125.000,00
19.125.000,00
12
5.539.831,26
0,29
19.125.000,00
19.125.000,00
13
5.036.210,24
0,26
19.125.000,00
19.125.000,00
14
4.578.372,94
0,24
19.125.000,00
19.125.000,00
15
4.162.157,22
0,22
19.125.000,00
19.125.000,00
16
3.783.779,29
0,20
19.125.000,00
19.125.000,00
17
3.439.799,36
0,18
19.125.000,00
19.125.000,00
18
3.127.090,32
0,16
19.125.000,00
19.125.000,00
19
2.842.809,39
0,15
19.125.000,00
19.125.000,00
20
Lanjutan
6.703.195,83
4.173.555,95
0,35
11.907.642,19
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
7.351.791,06
3.751.307,19
0,32
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
2.129.552,00
7.351.791,06
3.410.279,26
0,29
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
1.935.956,36
7.351.791,06
3.100.253,88
0,26
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
1.759.960,33
7.351.791,06
2.818.412,62
0,24
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
1.570.707,34
7.217.357,81
2.591.449,88
0,22
11.907.642,19
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
1.454.512,67
7.351.791,06
2.329.266,62
0,20
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
1.322.284,24
7.351.791,06
2.117.515.11
0,18
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
1.202.076,59
7.351.791,06
1.925.013,74
0,16
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
1.092.796,90
7.351.791,06
1.750.012,49
0,15
11.773.208,94
1.800.000,00
8.193.208,94
900.000,00
600.000,00
280.000,00
134.433,25
7.217.357,81
2.342.507,20
134.433,25
2.529.639,88
29.939.771
TOTAL COST
Payback Period
IRR (%) 7,92
14
1,11
BCR
1.989.264
-13.623.601
Present Value 4.523.615
2.407.010
-14.985.961
Net Benefit
NPV
10.369.256
27.217.974
0,82645
12.546.800
1.800.000
900.000 8.966.800
600.000
Present Cost
0,90909
1.800.000
Tenaga Kerja
DF 10%
8.966.800
Udang Vannamei
Bandeng
Pupuk dan Obat-obatan
Biaya Tidak Tetap Pembelian bibit
280.000
17.254.509 138.462 600.000 900.000
OUTFLOW Biaya Investasi Pembangunan/Pembuatan Pembelian alat-alat Pembelian bibit Bandeng Vannamei 280.000
12.358.520
13.594.372
Present Benefit
Biaya Operasional Biaya Tetap
14.953.810 0,83
14.953.810 0,91
14.953.810
2
TOTAL BENEFIT DF (10%)
1 14.953.810
Tahun
Desa Sukokerto
INFLOW Panen
Lokasi:
1.808.422
2.407.010
9.426.597
0,75131
12.546.800
1.800.000
900.000 8.966.800
600.000
280.000
11.235,018
14.953.810 0,75
14.953.810
3
1.644.020
2.407.010
8.569.633
0.6301
12.546.800
1.800.000
900.000 8.966.800
600.000
280.000
10.213.653
14.953.810 0,68
14.953.810
4
1.494.564
2.407.010
7.790.576
0.62092
12.546.800
1.800.000
900.000 8.966.800
600.000
280.000
9.285.139
14.953.810 0,62
14.953.810
5
1.280.536
2.268.548
7.160.500
0,56447
12.685.262
1.800.000
900.000 8.966.800
600.000
280.000
138.462
8.441.036
14.953.810 0,56
14.953.810
6
1.235.176
2.407.010
6.438.492
0,51316
12.546.800
1.800.000
900.000 8.966.800
600.000
280.000
7.673.669
14.953.810 0,51
14.953.810
7
1.122.888
2.407.010
5.853.175
0.46651
12.546.800
1.800.000
900.000 8.966.800
600.000
280.000
6.976.063
14.953.810 0,47
14.953.810
8
1.020.807
2.407.010
5.321.068
0,42410
12.546,800
1.800.000
900.000 8.966.800
600.000
280.000
6.341.875
14.953.810 0,42
14.953.810
9
928.006
2.407.010
4.837.335
0,38554
12.546.800
1.800.000
900.000 8.966.800
600.000
280.000
5.765.341
14.953.810 0,39
14.953.810
10
62
63
11 14.953.810 14.953.810 0,35
4.764.745
12 14.953.810 14.953.810 0,32
4.331.586
13 14.953.810 14.953.810 0.29
3.937.805
14 14.953.810 14.953.810 0,26
3.579.823
15 14.953.810 14.953.810 0,24
3.254.385
16 14.953.810 14.953.810 0,22
2.958.531
17 14.953.810 14.953.810 0,20
2.689.574
18 14.953.810 14.953.810 0,18
2.445.067
19 14.953.810 14.953.810 0,16
2.222.788
20 14.953.810 14.953.810 0,15
Lanjutan
5.241.219
280.000 600.000 900.000 8.966.800
280.000
1.800.000
600.000 900.000 8.966.800
280.000
1.800.000
600.000 900.000 8.966.800
280.000
1.800.000
600.000 900.000 8.966.800
280.000
1.800.000
600.000 900.000 8.966.800
280.000
1.800.000
600.000 900.000 8.966.800
280.000
0,17986
12.546.800
1.800.000
600.000 900.000 8.966.800
280.000
0,16351
12.546.800
1.800.000
600.000 900.000 8.966.800
280.000
0,14864
12.546.800
1.800.000
600.000 900.000 8.966.800
280.000
138.462
600.000 900.000 8.966.800 1.800.000
0.19784
12.546.800
138.462
1.800.000
0,21763
1.865.002
12.685.262
2.051.502
2.407.010
0,23939
2.256.652
2.407.010
357.787
12.546.800
2.482.317
2.407.010
393.565
0,26333
2.760.683
2.407.010
432.922
12.546.800
3.003.604
2.268.548
476.214
0,28966
3.303.965
2.407.010
493.702
12.546.800
3.634.361
2.407.010
576.219
0,31863 3.997.797
2.407.010
633.841
12.546.800
4.446.107
2.407.010
697.225
0,35049
2.268.548
766.947
12.685.262
795.112
64
Lampiran n 4. Karaktteristik Ressponden <20 tahun 0% > 60 tahun 0%
51-60 tahunn 7%
31-40 tahun 6%
41-50 taahun 87% %
Gambbar a.
<20 < tahun 0%
Ussia Respond den Desa Cuurahsawo
> 60 tahun 20%
21-30 tahuun 13%
51-660 tahun 7%
31-40 tahun 40%
41-50 tahun 20%
Gambbar b.
Usia Respond den Desa Suukokerto
65
SMA 20%
SD 40%
SMP P 40% %
Gambarr c.
Tinggkat Pendidiikan Respon nden Desa Curahsawo C
SMA 27%
SD 60%
SMP 13%
Gambaar d.
Tinggkat Pendiddikan Responden Desa Sukokerto
66
>2.000.0000 7%
>1.000.000> 2.000.000 40%
>600.0000800.0000 20% %
>8800.0001.000.000 33%
Gambar e.. Tingkat Peenghasilan Responden R Desa Curahhsawo
>1.0000.000- >2.0000.000 2.0000.000 7 7% 13%
>6600.0008 800.000 33%
>8800.0001.000.000 47%
Gambar f. f Tingkat Peenghasilan Responden R Desa Sukokkerto
67
Lampiran 5. Dokumentasi Desa Sukokerto
Gambar a. Tambak di desa sukokerto
Gambar b. Berbatasan dengan laut
Desa Curahsawo
`1
Gambar c. Mangrove di pinggir tambak
Gambar d. Mangrove dalam tambak
68
Gambar e. Rumah jaga
Gambar f. Petani tambak
Gambar g. Mangrove dalam tambak
Gambar h. Burung di sekitar tambak
Gambar i. Mangrove di pinggir tambak
Gambar j. Tempat udang werus
69
Lampiran 6. Kuisioner Penelitian Terhadap Responden INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Nama saya Livia Azarine H44080035, mahasiswi tingkat akhir IPB yang saat ini sedang melakukan penelitian untuk penyelesaian SKRIPSI yang berjudul ANALISIS PERBANDINGAN HASIL TAMBAK PERIKANAN DI DALAM DAN DI LUAR KAWASAN MANGROVE di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.Untuk itu, saya sangat memohon kesediaan Saudara untuk dapat mengisi kuisioner berikut dengan sebenar-benarnya tanpa bekerja sama. Kuisioner ini bukan untuk keperluan publikasi sehingga Saudara tidak perlu khawatir mengenai kerahasiannya. Terima kasih banyak atas bantuannya.
IDENTITAS RESPONDEN (Lingkari yang benar) Nama
: ……………………………………………....
Jenis Kelamin
:L/P
Usia
: …….. tahun
Alamat
: ………………………………………………
Jumlah Anggota Keluarga
: …………. orang
Pendidikan terakhir
: SD / SMP / SMA / Perguruan Tinggi / Tidak Sekolah/ …......
Pendapatan rata-rata per Bulan (Rp): a. < 200.000
e. > 800.000 – 1 juta
b. 200.000 – 400.000
f. > 1 juta – 2 juta
c. > 400.000 – 600.000
g. > 2 juta
d. > 600.000 – 800.000 Jika Anda merupakan petani (sawah/tambak), bagaimana status kepemilikan lahannya? a. Milik sendiri b. Bagi Hasil c. Sewa d. Lainnya: …………………………………………………..
70
PANDANGAN RESPONDEN TERHADAP MANGROVE DAN PARTISIPASINYA DALAM UPAYA PENGELOLAAN 1. Bagaimana penilaian Anda terhadap kelestarian mangrove di sekitar tempat tinggal Anda? a. Baik Sekali
c. Cukup Baik
b. Rusak
d. Rusak sekali
2. Apakah Anda mengetahui batas-batas kawasan hutan di sekitar tempat tinggal Anda ini? a. Tahu
c. Tahu Sebagian
b. Sedikit Tahu
d. Tidak Tahu
3. Bagi Anda, apa kegunaan dan manfaat mangrove yang ada di sekitar Anda? a. Tempat mencari makan/nafkah bagi manusia b. Tempat hidup hewan-hewan serta tumbuhan lain c. Tempat pemasok bibit-bibit/larva ikan/udang d. Untuk menahan banjir/ ombak e. Untuk mencegak masuknya (intrusi) air laut f. Agar sejuk g. Lainnya : ……………………………………………. 4. Apa pendapat Saudara, jika mangrove di sekitar Anda ditebang habis? a. Setuju, karena …………………………………………….. b. Tidak setuju, karena ……………………………………… c. Tidak peduli 5. Apakah keberadaan hutan mangrove penting bagi Anda? a. Sangat penting b. Cukup penting c. Kurang penting d. Tidak penting
71
6. Apakah pernah ada penyuluhan mengenai hutan mangrove di desa ini, sebelumya? a. Pernah, …….. kali b. Tidak pernah 7. Jika pernah, melalui media apa penyuluhan tersebut dilakukan? a. Radio
b. TV
c. Ceramah
d. Penyuluh lapangan
8. Berapa kali Anda mengikuti penyuluhan tersebut? a. ………….. kali b. Tidak pernah 9. Selain penyuluhan, apakah ada kegiatan lain? a. Tidak ada b. Ada, seperti ………………………………………………. 10. Apakah Anda pernah mengikuti kegiatan lain tersebut? a. Pernah, ………….. kali b. Tidak pernah 11. Apakah ada kegiatan penghijauan mangrove? a. Ada, ………… kali b. Tidak Ada 12. Apakah Anda terlibat / mengikuti kegiatan penghijauan tersebut? a. Ya, ………….. kali b. Tidak pernah 13. Siapa yang biasanya memprakarsai / memulai / membuat kegiatan tersebut? a. Warga desa b. Aparat desa/ Instansi terkait c. Program Nasional d. Lainnya ………………………………………………….. 14. Setelah penanaman, apakah dilakukan pemeliharaan? a. Ya, sering, oleh …………………………………………..
72
b. Ya, jarang, oleh ………………………………………….. c. Tidak pernah
15. Apakah kegiatan yang dilaksanakan, melibatkan seluruh anggota masyarakat? a. Iya b. Belum semua c. Tidak sama sekali 16. Untuk melaksanakan kegiatan penanaman, darimana Anda memperoleh bibit/anakan? a. Lembaga Pemerintah Desa / Instansi Terkait b. LSM / Kelembagaan Sosial lainnya c. Mengusahakan sendiri dari hutan d. Mengusahakan sendiri dari luar hutan 17. Bagaimana pendapat Anda tentang kegiatan tentang pengelolaan mangrove? a. Baik Sekali b. Baik c. Cukup Baik d. Tidak Baik 18. Apakah ada aturan/sistem adat dalam upaya pelestarian mangrove? a. Ya
b. Tidak Ada
19. Jika ya, seperti apa aturan/sistem tersebut? a. Upacara adat b. Selamatan c. Kegiatan rutin menanam bibit d. Menanam bibit minimal sejumlah tertentu e. Tidak boleh menebang pohon muda f. Lainnya ……………………………………………………
73
20. Sejak kapan aturan/sistem tersebut berlaku? a. Kurang dari 5 tahun b. Sekitar 5-10 tahun c. Sekitar 11 – 15 tahun d. Lebih dari 15 tahun 21. Apakah semua masyarakat mengikuti aturan tersebut dan berjalan dengan baik? a. Ya
b. Tidak
22. Apakah Anda pernah menanam mangrove atas keinginan sendiri? a. Ya, sering
b. Jarang
c. Tidak pernah
23. Apakah Anda ingin pengelolaan hutan mangrove diserahkan pada masyarakat? a. Ya
b. Tidak
24. Jika ya, siapa yang seharusnya mengkoordinir? a. Pemerintah Desa b. Kelompok Tani c. Pemuka masyarakat d. Lainnya ………………………………………. 25. Bagaimana pendapat Anda mengenai hutan mangrove? a. Sangat bermanfaat b. Kurang bermanfaat c. Tidak bermanfaat 26. Menurut Anda, lebih bermanfaat mana antara mangrove dan tambak? a. Sama-sama bermanfaat b. Tambak c. Mangrove d. Tidak tahu
74
27. Bagaimana pendapat Anda mengenai lingkungan yang ada di sekitar Anda? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… PENGELOLAAN TAMBAK 1. Berapa yang didapat dari: a. Hasil dalam 1 kali panen (utama): Rp………………………………… Yang terdiri dari: - …………………………….......... sebanyak …………… (kg / ton) dengan harga satuan Rp …………………………………………….. - ………………………………….. sebanyak …………… (kg / ton) dengan harga satuan Rp …………………………………………….. - ………………………………….. sebanyak …………… (kg / ton) dengan harga satuan Rp …………………………………………….. - ………………………………….. sebanyak …………… (kg / ton) dengan harga satuan Rp ……………………………………………….. b. Hasil dalam 1 kali panen (sampingan): Rp ……………………………. Yang terdiri dari: - …………………………….......... sebanyak …………… (kg / ton) dengan harga satuan Rp …………………………………………….. - ………………………………….. sebanyak …………… (kg / ton) dengan harga satuan Rp ……………………………………………….. a. Hasil tangkapan harian: Rp ………………………………………….… Yang terdiri dari: - …………………………….......... sebanyak …………… (kg / ton) dengan harga satuan Rp …………………………………………….. - ………………………………….. sebanyak …………… (kg / ton) dengan harga satuan Rp …………………………………………….. d. Hasil lainnya: Rp ……………………………………………………. Yang terdiri dari: - …………………………….......... sebanyak …………… dengan harga satuan Rp …………………………………..
75
- ………………………………….. sebanyak …………… dengan harga satuan Rp ………………………………….. - ………………………………….. sebanyak …………… dengan harga satuan Rp ………………………………….. 2. Biaya yang dikeluarkan: (Rincian tiap biaya ditanyakan langsung) a. Biaya investasi
: Rp …………
b. Biaya tetap
: Rp …………
c. Biaya tidak tetap : Rp …………. d. Biaya lain
: Rp …………
76
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Livia Azarine Wisyanda, lahir pada tanggal 25 Mei 1992 di Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dan merupakan anak dari pasangan Ir. H. Yahya Agusman, M.Sc dan Dra. Hj. Putry Wisni Wardhani. Jenjang pendidikan yang ditempuh penulis adalah TK Islam Baitul Hikmah Cimanggis Depok dari tahun 1996 hingga tahun 1997, SDIT At-Taufiq Harjamukti Depok hingga tahun 2003, SMP Islam PB Soedirman Cijantung Jakarta Timur hingga tahun 2005, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 105 Ciracas Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2008. Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008 melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan jurusan mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selain itu penulis juga mengambil minor Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) Fakultas Kehutanan. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis juga sempat aktif dalam organisasi kampus, yakni sebagai Sekertaris Divisi Campus Social Responsibility (CSR) dari himpunan profesi mahasiswa ESL Resource and Environmental Economics Student Association (REESA) pada tahun 2010-2011, selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan yang ada di lingkup IPB.