ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK HOTEL DAN RESTORAN TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DAERAH (Studi Kasus Pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I)
Disusun Oleh: Retno Nilasari 203082001909
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/1429 H
2
ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK HOTEL DAN RESTORAN TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DAERAH (Studi Kasus Pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Syarat-syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh: Retno Nilasari 203082001909
Dibawah Bimbingan :
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS NIP. 131 474 891
Afif Sulfa, SE, Ak, M.Si.
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007
3
Hari ini Kamis Tanggal 29 Bulan Oktober Tahun Dua ribu Tujuh telah dilakukan ujian komprehensif atas nama Retno Nilasari NIM: 203082001909 dengan judul Skripsi “ANALISIS TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK HOTEL DAN RESTORAN TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DAERAH (Studi Kasus Pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I)”. Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Oktober 2007
Tim Penguji Ujian Komprehensif
Amilin, SE.,Ak.,M.Si. Ketua
Rini, SE.,Ak.,M.Si. Sekretaris
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS Penguji Ahli
4
ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK HOTEL DAN RESTORAN TERHADAP PENERIMAAN PAJAK DAERAH (Studi Kasus Pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Syarat-syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh: Retno Nilasari 203082001909 Dibawah Bimbingan : Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS NIP. 131 474 891
Afif Sulfa, SE, Ak, M.Si.
Penguji Ahli
Amilin, SE.,Ak.,M.Si. NIP. 150 216 997
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007
5
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Bahwa yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Retno Nilasari
Umur
: 23 tahun
Tempat Tanggal Lahir
: Jakarta, 28 Agustus 1985
Alamat
: Jl. Rawa Domba RT 009/007 No.55 Duren Sawit Jakarta Timur 13440
Agama
: Islam
Kebangsaan
: Warga Negara Indonesia
Pendidikan Formal : 1. SDN Duren Sawit 16 Pagi 2. SLTP 27 Duren Sawit 3. SMU 44 Perumnas Kelender 4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Akuntansi
6
Abstract
Retno Nilasari: “The Analysis Influence of Hotel and Restaurant Tax Compliance to the Regional Tax Income”. The purpose of this research is to find out the influence of hotel and restaurant tax compliance to the regional tax income. The samples taken of this research were obtained from Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I. The research use Multivariate Linear Regression Method, t-Test and F Test with signification is 5%. The analysis result had known that Hotel and restaurant tax compliance is influential as significant in the tax income by simultaneous. Besides in the partial, hotel tax compliance does not influential as significant to the tax income but restaurant tax compliance does. Key word: Hotel and Restaurant Tax Compliance Rate, Tax income
7
Abstrak
Retno Nilasari: “Analisis Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Penerimaan Pajak Daerah” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kepatuhan wajib pajak hotel dan restoran terhadap penerimaan pajak daerah. Data yang diambil dalam penelitian ini diperoleh dari Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I. Metode yang digunakan penelitian ini adalah metode regresi linear berganda, uji t dan uji F dengan tingkat signifikansi 5%. Hasil uji dari peelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan pajak hotel dan restoran mempengaruhi penerimaan pajak daerah. Sedangkan secara parsial, tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel tingkat kepatuhan wajib pajak hotel terhadap penerimaan pajak daerah sementara itu ada pengaruh yang signifikan antara variabel tingkat kepatuhan wajib pajak restoran terhadap penerimaan pajak daerah.
Kata kunci: tingkat kepatuhan wajib pajak hotel dan restoran, penerimaan pajak daerah
8
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Tuhan Semesta Alam. Yang selalu memberikan kemenangan bagi siapa saja yang berjuang dijalan-Nya. Teriring shalawat dan salam tak lupa juga terlimpah kepada Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta orang-orang yang istiqomah dalam mengemban risalahnya hingga akhir zaman. Penulis senang dapat mengerjakan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Penerimaan Pajak Daerah”. Penulis berharap semoga dengan tulisan ini dapat memberikan kontribusi pengalaman dan pengetahuan yang bisa dipergunakan dimasa mendatang. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi tugas guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari semua pihak. Pada kesempatan ini, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ayah dan Mama tercinta yang selalu memberikan dukungan, semangat, kasih sayang dan do’a yang tiada henti-hentinya. Nana yang bersedia mengoreksi tulisan penulis, Uta dan Namat yang selalu bikin kesel tapi tetap bersedia menolong penulis kalau lagi cape. 2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, Ms sebagai dosen pembimbing I dan Bapak Afif Sulfa SE, Ak, M.Si sebagai pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan serta motivasi kepada enulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Drs. M. Faisal badroen MBA, selaku Dekan Fakultas Eonomi dan Ilmu Sosial UIN Suarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak., MBA. Selaku ketua Jurusan Akuntansi dan Sekretaris Hidayatullah Jakarta.
FEIS
Jurusan Akuntansi
UIN
Syarif
9
5. Segenap Bapak/Ibu dosen FEIS yang telah memberikan ilmu yang tak ternilai serta karyawan/staff akademik dan perpustakaan FEIS atas pelayananya. 6. Bapak Taufik yang telah banyak memberikan kesempatan untuk konsultasi kepada penulis, Bapak Arya, Ibu Ganti, Bapak Suhada, Ibu Prapti, Ibu Ijah, Bapak Siskrisman, Ibu Maryana, Pak Rizal, Pak Dani dan seluruh karyawan/staff Dinas Pendapatan Daerah. 7. Ibu Arneti, Bapak Setyoko, Ibu Zakiah dan segenap karyawan/staff Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I yang telah membantu dalam memperoleh data penelitian skripsi ini. 8. Tek Lena dan Om Buyung yang dengan tulus bersedia membantu dan memberikan dukungan kepada penulis. 9. Edi dan Idrus yang sudah berjuang bersama-sama menyelesaikan skripsi, Dbot, Lia, Muba, Ria, Itoh, Ijet (yang sudah lulus duluan), teman-teman akuntansi A angkatan 2003 (Laily, Jamaroh, Sera, Nur, Titi, Riri, Tami, Ijo, Aqil, Sandy, Agus, Fiqh,Jordan, Arfan, Dien, Boy, Jordan. Yang telah memberi dukungan, bantuan serta selalu memotivasi penulis. Terimakasih banyak semua. 10. Keluarga besar Ekonomi angkatan 2003 FEIS UIN Syahid Jakarta, tetap semangat dan sukses mencapai cita-cita. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis juga berharap semoga laporan ini bermanfaat dan memperoleh tambahan pengetahuan setelah membacanya.
Jakarta, Maret 2008 Wassalam Penulis
10
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI........................................................ i LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF........................... ii DAFTAR RIWAYAT HIDUP.................................................................... iii ABSTRACT.................................................................................................. iv ABSTRAK.................................................................................................... v KATA PENGANTAR.................................................................................. vi DAFTAR ISI................................................................................................. ix DAFTAR TABEL........................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xiv BAB I. PENDAHULUAN............................................................................ 1 A. Latar Belakang Penelitian.................................................................. 1 B. Perumusan Masalah........................................................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................... 8 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 10 A. Pajak Secara Umum..........................................................................
10
1. Pengertian Pajak………………………………………………... 10 2. Fungsi Pajak…………………………………………………….. 12 3. Asas Pemungutan Pajak………………………………………… 14 4. Sistem Pemungutan Pajak………………………………………. 14 5. Kepatuhan Wajib Pajak................................................................ 15
11
B. Pajak Hotel......................…………………………………………… 19 1. Pengertian Pajak Hotel…………………………………………. 19 2. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hotel...................................... 20 3. Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak Hotel....………………….. 20 4. Subjek Pajak dan Wajib Pajak Hotel............................................ 22 5. Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak Hotel...….. 23 C. Pajak Restoran...…………………………………………………….. 25 1. Pengertian Pajak Restoran........…………………………………. 25 2. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Restoran.................................. 26 3. Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak Restoran…………………. 27 4. Subjek Pajak dan Wajib Pajak Restoran....................................... 27 5. Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak Restoran.... 28 D. Pendapatan Daerah.............................................................................. 30 E. Penelitian Sebelumnya........................................................................ 33 F. Kerangka Pemikiran........................................................................... 34 G. Hipotesis.............................................................................................. 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………… 37 A. Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………... 37 B. Metode Penentuan Sampel………………………………………….. 38 C. Metode Pengumpulan Data…………………………………………. 38 D. Metode Analisis…………………………………………………….. 39 E. Operasional Variabel Penelitian......................................................... 45
12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................... 47 A. Gambaran Umum Objek Penelitian.................................................... 47 1. Tempat dan Waktu Penelitian....................................................... 47 2. Sejarah Dinas Pendapatan Daerah................................................. 47 3. Visi dan Misi................................................................................. 54 4. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendapatan Daerah..................... 55 5. Struktur Organisasi........................................................................ 56 B. Penemuan dan Pengolahan data.......................................................... 63 1. Penemuan dan Pembahasan.......................................................... 63 2. Pengolahan Data dan Hasil Pengujian Statistik............................ 67 a. Uji Asumsi Klasik................................................................... 67 b. Uji Hipotesis........................................................................... 71 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 79 A. Kesimpulan ........................................................................................ 79 B. Implikasi............................................................................................. 80 C. Saran................................................................................................... 80 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 81
13
DAFTAR TABEL
Nomor
Keterangan
Halaman
4.1
Daftar Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak..................
64
4.2
Rekapitulasi Pertumbuhan dan Kepatuhan Dalam Penyetoran SPT Masa Wajib Pajak Hotel Dan Restoran.......
65
4.3
Hasil Identifikasi uji Multikolineariti.....................................
69
4.4
Hasil Uji Autokorelasi............................................................
71
4.5
Hasil Uji Koefisien Determinasi...........................................
72
4.6
Hasil Uji t-Statistik.................................................................
73
4.7
Hasil uji F-statistik.................................................................
76
14
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Keterangan
Halaman
2.1
Skema Kerangka Pemikiran.................................................
35
4.1
Struktur organisasi suku dinas pendapatan daerah..............
62
4.2
Grafik Normality probability Plot.......................................
68
4.3
Grafik Hasil Uji Heterokedasitas.........................................
70
15
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Keterangan
Halaman
1
Hasil Uji SPSS.............................................................................
84
2
Rekapitulasi Pertumbuhan Wajib Pajak Hotel, Restoran dan Hiburan.........................................................................................
91
3
Surat Keterangan Riset.................................................................
94
4
Daftar variabel Penelitian.............................................................
95
5
Penerimaan Pajak Daerah SuDin Penda Jak-Pus I.......................
96
16
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Jakarta merupakan pusat perkonomian utama di Indonesia, karena Jakarta adalah ibu kota negara dan merupakan pusat pemerintahan. Sebagai ibu kota negara, maka banyak terdapat lembaga pemerintahan dan pusat bisnis yang berkembang di Jakarta, sehingga terjadi perputaran uang yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan banyak penduduk daerah yang melakukan urbanisasi ke Jakarta. Selain Warga Negara Indonesia (WNI) juga banyak terdapat Warga Negara Asing (WNA) yang bekerja dan melakukan kegiatan bisnis di Jakarta. Selain itu, Jakarta juga menjadi kota tujuan pariwisata, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Dengan tingginya minat orang untuk datang ke Jakarta sehingga kebutuhan akan hotel (rumah penginapan) dan restoran (rumah makan) sangat tinggi. Hal ini membuat hotel dan restoran dapat berkembang di kota ini. Hotel dan
restoran merupakan
salah satu
sarana
pendukung
perekonomian dan pariwisata. Fungsi utama hotel adalah sebagai tempat tinggal sementara dan retoran adalah tempat untuk makan. Wisatawan sangat mengandalkan hotel dan restoran sebagai tempat tinggal sementara selama di Jakarta. Disamping fungsi utamanya, hotel dan restoran juga sering dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan-pertemuan dan rapat (meeting)
17
oleh berbagai pihak, baik dari kalangan pejabat tinggi negara, pebisnis, sampai organisasi. Gaya hidup masyarakat modern saat ini juga menjadikan hotel dan restoran sebagai ajang berkumpul dan bergaul, tidak hanya anak-anak muda tetapi juga orang tua menggunakan hotel dan retoran sebagai tempat untuk mengadakan acara-acara seperti pesta tahun baru, pesta pernikahan, pesta ulang tahun sampai arisan. Dewasa ini, banyak bermunculan hotel dan restoran yang menawarkan jasa dengan tarif miring atau rendah, sehingga tidak hanya dari kalangan atas saja yang dapat menggunakan jasa hotel dan restoran tetapi juga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan data dari Bagian Pengendalian Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta, jumlah hotel dan restoran di Jakarta sampai Desember 2007 tercatat sebesar 771 untuk hotel dan 5.031 untuk restoran. Pertumbuhan jumlah hotel selama satu tahun meningkat hingga hampir 100 hotel dari tahun sebelumnya atau sekitar 10,25%. Sedangkan jumlah restoran meningkat hingga lebih dari 500 restoran dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4.516 restoran atau sekitar 10,24%. Melihat dari pertumbuhan jumlah hotel dan restoran yang cukup signifikan dalam satu tahun dan tingginya antusias masyarakat terhadap hotel dan restoran yang ada di Jakarta, dapat diasumsikan besar pendapatan yang diterima hotel dan restoran juga tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa penerimaan pajak daerah dari sektor hotel dan restoran juga meningkat.
18
Pajak daerah yang diterima pemerintah daerah dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pajak propinsi yang terdiri dari pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air; bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air; pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, dan pajak kabupaten/kota yang terdiri dari pajak hotel; pajak restoran; pajak hiburan; pajak reklame; pajak penerangan jalan; pajak pengambilan bahan galian golongan C; pajak parkir; pajak lain-lain (Mardiasmo:2006). Dari sekian banyak penerimaan pemerintah daerah dari pajak, sektor pajak hotel dan restoran menyumbangkan setidaknya 15% dari jumlah seluruh pemasukan setiap tahunnya. Menurut Marihot Siahaan (2005:11), pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Secara teori, jika hotel dan restoran di Jakarta berkembang maka penerimaan dari sektor pajak hotel dan restoran meningkat, maka akan meningkatkan penerimaan pajak daerah. Tetapi besarnya penerimaan daerah bukan hanya dilihat dari berkembangnya jumlah wajib pajak hotel dan restoran, namun juga dari tingkat kepatuhan wajib pajak (tax compliance) dalam melakukan pembayaran pajaknya. pengertian
Menurut Gunadi (2005:4),
kepatuhan pajak dalam hal ini diartikan bahwa wajib pajak
19
mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi, seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi administrasi. Menurut Chaizi Nasucha seperti yang dikutip oleh Marcus (2005:71), kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan
diri,
kepatuhan
untuk
menyetorkan
kembali
Surat
Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Kepatuhan wajib pajak bisa tercermin dalam nilai selisih antara rencana penerimaan pajak dengan realisasi penerimaan pajak tersebut. Maka, apabila semua wajib pajak hotel dan restoran menaati dan patuh terhadap peraturan perpajakan yang berlaku, maka selisih antara rencana penerimaan pajak dengan realisasi penerimaan menjadi nol. Oleh karena itu, secara sederhana meningkatnya tingkat kepatuhan pajak akan tercermin pada menyempitnya jurang kepatuhan, yakni selisih antara rencana penerimaan pajak dengan realisasi penerimaan pajak. Menurut Safri Nurmantu (2003:148), Isu kepatuhan dan hal-hal yang menyebabkan ketidakpatuhan serta upaya untuk meningkatkan kepatuhan menjadi agenda penting di negara-negara maju, apalagi di negara-negara berkembang. Isu kepatuhan menjadi penting karena ketidakpatuhan secara bersamaan menimbulkan upaya menghindarkan pajak, baik dengan fraud dan illegal yang disebut tax evasion, maupun penghindaran pajak tidak dengan fraud dan dilakukan secara legal yang disebut tax avoidance. Pada akhirnya
20
tax evasion dan tax avoidance mempunyai akibat yang sama, yaitu berkurangnya penyetoran pajak ke kas negara. Pada hakekatnya kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem administrasi perpajakan yang meliputi pelayanan pajak dan pelaksanaan perpajakan juga kesadaran masyarakat akan pentingnya membayar pajak. Kurangnya kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak dipengaruhi oleh hal-hal seperti: kurang efektifnya sosialisasi dari pemerintah untuk menyerukan membayar pajak; kurangnya pengetahuan wajib pajak tentang pajak; juga adanya kekhawatiran masyarakat dalam penggunaan penerimaan pajak yang terkumpul tidak dipergunakan dengan semestinya. Kepatuhan terhadap pembayaran pajak sangat penting karena pajak merupakan merupakan sektor perekonomian yang berperan sebagai sumber pembiayaan pembangunan utama. Sebagai salah satu penerimaan negara, pajak merupakan pilihan yang tepat disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas, karena jumlahnya yang relatif stabil. Dan dari sektor tersebut diharapkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembiayaan pembangunan. Karena
pajak
merupakan
sumber
penerimaan
strategis
dalam
menyokong pembangunan, maka pajak harus dikelola dengan baik agar keuangan negara dapat berjalan dengan lancar dan baik. Dari tahun ke tahun telah dilakukan berbagai langkah dan kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan perundang-undangan, penerbitan peraturan-peraturan
baru
dibidang
perpajakan,
meningkatkan
tingkat
21
kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber-sumber pajak lain. Berbagai upaya diatas tentunya belum dapat menghasilkan peningkatan pajak yang signifikan bagi penerimaan negara. Penelitian yang membahas tentang hotel dan restoran telah dilakukan oleh Sapto Nur Edie (2005) dengan judul “Analisis Pengaruh Penerimaan Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Pendapatan Asli Daerah (Studi Kasus pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat)”. Penelitian tersebut dilakukan pada periode 1995-2004. Sapto Nur Edie menggunakan metode uji statistik regresi sederhana untuk menguji data dan mendapatkan hasil penelitian bahwa besarnya pengaruh hubungan antara penerimaan pajak hotel dan restoran terhadap pendapatan asli daerah cukup tinggi yaitu sebesar 93,4%. Selain itu ada juga penelitian yang dilakukan oleh Heri Purnama (2006), dengan judul “Analisa Penerimaan Pajak Hotel dan Restoran: Studi Berdasarkan Jumlah Kunjungan Wisatawan di Kabupaten Garut Periode 19992005”. Adapun kesimpulan yang didapat oleh Heri, yaitu: Jumlah wisatawan (lokal dan asing) berpengaruh secara bersama-sama terhadap penerimaan pajak hotel dan restoran di Kabupaten Garut periode 1999-2005. Secara parsial hanya wisatawan lokal yang berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak hotel dan restoran di Kabupaten Garut. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu, objek penelitian yang penulis uji adalah tingkat kepatuhan wajib pajak hotel dan wajib pajak restoran dengan tujuan untuk mengetahui pengaruhnya
22
terhadap penerimaan pajak daerah di Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I. Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian regresi linier berganda. Selain itu, sampel yang diambil hanya dari bulan Januari sampai Desember tahun 2007. Sementara objek penelitian yang dilakukan oleh Sapto adalah jumlah penerimaan pajak hotel dan restoran serta di uji menggunakan metode penelitian regresi linier sederhana dan sampel diambil pada tahun 1995-2004. Sedangkan objek penelitian yang dilakukan Hery adalah jumlah kunjungan wisatawan lokal dan asing dengan tujuan mengetahui pengaruhnya terhadap penerimaan pajak daerah Kabupaten Garut dan menggunakan sampel dari tahun 1999-2005. Melihat akan pentingnya kepatuhan wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya terhadap penerimaan negara dari sektor pajak, penulis ingin mengetahui berapa besar tingkat kepatuhan wajib pajak hotel dan restoran di DKI Jakarta. Dengan latar belakang permasalahan tersebut penulis tertarik untuk menganalisisnya dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Penerimaan Pajak Daerah”. Penelitian ini dilakukan pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I.
B. Perumusan Masalah Untuk membatasi masalah dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan penelitian pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I dan membahas
23
tentang bagaimana tingkat kepatuhan wajib pajak hotel dan restoran mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penulis melakukan penelitian kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan pajak adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Restoran mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah. 2. Manfaat Penelitian Penulis berharap hasil dari penelitian dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak seperti: a. Bagi akademis, ∗
dapat dijadikan pedoman atau referensi untuk bahan perkuliahan guna mempermudah pengguna ilmu dalam mempelajari pengenaan pajak hotel dan restoran serta penerimaan daerah.
∗
Mengetahui kemampuan mahasiswa dalam penguasaan materi yang telah diberikan.
∗
Mengetahui kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmunya sebagai bahan evaluasi terhadap materi yang telah diberikan.
b. Bagi mahasiswa, ∗
hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan untuk menambah wawasan, selanjutnya.
pengetahuan dan perbandingan untuk penelitian
24
∗
Menerapkan pengetahuan akademis yang telah diperoleh selama kuliah.
c. Bagi Suku Dinas Pendapatan Daerah ∗
Dapat digunakan sebagai masukan bermanfaat bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan kepatuhan wajib pajak sehingga akan meningkatkan penerimaan pajak daerah.
25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pajak Secara Umum 1. Pengertian Pajak Menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa
berdasarkan
Undang-Undang,
dengan
tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang Pajak yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah: a. Menurut Adriani, (Santoso Brotodiharjo,1991:2) “Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” b. Sedangkan menurut Soeparman Soemahamidjaya (Bukhori, 2002:24) “Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan”.
26
c. Menurut H. Rochmat Soemitro, (Bukhori, 2002:25): “Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya
untuk
kepentingan
penguasaan
barang
dan
jasa.
Kedua,
bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut: a. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
27
b. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak/administrator pajak). c. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. d. Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak. 2. Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan
sumber
pendapatan
negara
untuk
membiayai
semua
pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu (Bukhori, 2002): a. Fungsi Anggaran (budgetair). Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni
28
penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. b. Fungsi Mengatur (regulerend). Pemerintah
bisa
mengatur
pertumbuhan
ekonomi
melalui
kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. c. Fungsi Stabilitas. Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat,
pemungutan pajak,
penggunaan pajak yang efektif dan efesien. d. Fungsi Redistribusi Pendapatan. Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
29
3. Asas Pemungutan Pajak Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya An Inquiri into the Nature and Cause of the Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada (Santoso, 1991:87): a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum. c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah. d. Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak. 4. Sistem Pemungutan Pajak Dalam perpajakan di Indonesia dikenal tiga jenis metode dalam pemungutan pajak, yaitu (Early Suandi, 2005:239):
30
a. Official Assessment System Official Assessment System atau Menghitung Pajak Orang (MPO). Sistem ini secara sederhana menggambarkan bahwa pajak terutang Wajib Pajak ditentukan oleh Dirjen Pajak (Wajib Pajak pasif). Sistem ini biasanya lazim digunakan oleh negara-negara Eropa hingga sekarang. b. Self Assessment System Self assessment system atau Menghitung Pajak Sendiri (MPS), yang secara sederhana dipahami bahwa pajak terutang Wajib Pajak dihitung, disetor dan dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak. Sementara itu, aparat pajak bertugas memberikan penerangan dan pengawasan. c. With Holding System With holding system, yaitu pajak terutang Wajib Pajak dihitung, dipungut, dan disetorkan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan pemungutan pajak tersebut tentunya yang telah ditetapkan oleh Dirjen Pajak. 5. Kepatuhan Wajib pajak a. Pengertian Kepatuhan Menurut Gunadi (2005:4), pengertian kepatuhan pajak dalam hal ini diartikan bahwa wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi, seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi administrasi.
31
Menurut Safri Nurmantu (2003:148) kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai “suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.” Terdapat dua macam kepatuhan menurut Safri Nurmantu, yakni: Kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undangundang perpajakan. Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, akan tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir. Menurut Chaizi Nasucha seperti yang dikutip Marcus (2005:45), kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Menurut Djoko Slamet Surjoputro dan Junaedi Eko Widodo (2004:47), pada hakekatnya kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem administrasi perpajakan yang meliputi tax service dan tax enforcement. Langkah-langkah perbaikan administrasi diharapkan dapat mendorong kepatuhan wajib pajak melalui dua cara yaitu pertama, wajib pajak patuh karena mendapatkan pelayanan yang baik,
32
cepat, dan menyenangkan serta pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Kedua, wajib pajak akan patuh karena mereka berpikir bahwa mereka akan mendapat sanksi berat akibat pajak yang tidak mereka laporkan terdeteksi sistem informasi dan administrasi perpajakan serta kemampuan crosschecking informasi dengan instansi lain. Tiga strategi dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak melalui administrasi perpajakan, yaitu pertama dengan membuat program dan kegiatan yang diharapkan dapat menyadarkan dan meningkatkan kepatuhan sukarela, khususnya bagi Wajib Pajak yang belum patuh, kedua adalah meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak yang relatif sudah patuh sehingga tingkat kepatuhannya dapat dipertahankan atau ditingkatkan, ketiga meningkatkan kepatuhan dengan program dan kegiatan yang dapat memerangi ketidakpatuhan (combatting noncompliance) (Hadi Purnomo, 2004:220). b. Kriteria Wajib Pajak Patuh Wajib pajak dimasukkan dalam kategori patuh apabila memenuhi kriteria atau persyaratan sebagai berikut (merujuk pada kriteria menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003): 1) Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam 2 (dua) tahun terakhir.
33
2) Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut. 3) SPT masa yang terlambat itu disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya. 4) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak: a) Kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak b) Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir 5) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, dan 6) Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau badan pengawasan keuangan dan pembangunan harus dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan audit harus: a) disusun dalam bentuk panjang (long form report) b) menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. Dalam hal laporan keuangan Wajib Pajak tidak diaudit oleh akuntan publik, maka Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis paling lambat 3 bulan sebelum tahun buku berakhir, untuk
34
dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh sepanjang memenuhi syarat pada huruf a sampai huruf e, ditambah syarat: − dalam 2 tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP, dan − apabila dalam 2 tahun terakhir terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan pajak, maka koreksi fiskal untuk setiap jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10%.
B. Pajak Hotel 1. Pengertian Pajak Hotel Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Pengertian hotel di sini termasuk juga rumah penginapan yang memungut bayaran. Pengenaan pajak hotel tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk dapat dipungut pada suatu daerah kabupaten atau kota, pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan peraturan daerah tentang pajak hotel. Peraturan itu akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak hotel di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan.
35
2. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hotel Pemungutan pajak hotel di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oeh masyarakat dan pihak terkait. Dasar hukum pemungutan pajak hotel pada suatu kabupaten atau kota adalah sebagaimana di bawah ini (Marihot Siahaan, 2005:247): a. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas undang-undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. b. Peraturan pemerintah nomor 65 tahun 2001 tentang pajak daerah. c. Peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur tentang pajak hotel. Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang pajak hotel sebagai aturan pelaksanaan peraturan daerah tentang pajak hotel pada kabupaten/kota dimaksud. 3. Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak Hotel a. Objek Pajak Hotel Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk pelayanan sebagaimana di bawah ini (Perda No. 7 Tahun 2003, Ps. 3 ayat 1): 1) fasilitas penginapan atau fasilitas jangka pendek. Dalam pengertian rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar sepuluh atau lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan. Fasilitas penginapan/fasilitas tinggal jangka pendek
36
antara lain: gubuk pariwisata (cottage), motel, wisma pariwisata, pesanggrahan (hostel), losmen dan rumah penginapan. 2) Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tempat tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan. Pelayanan penunjang antara lain: telepon, faksimili, teleks, fotokopi, pelayanan cuci, setrika, taksi dan pengangkutan lainnya, yang disediakan atau dikelola hotel. 3) Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel, bukan untuk umum. Fasilitas olahraga dan hiburan antara lain pusat kebugaran (fitness center), kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotik, yang disediakan atau dikelola hotel. 4) Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel. b. Bukan Objek Pajak Hotel Pada pajak hotel, tidak semua pelayanan yang diberikan oleh penginapan dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek pajak, yaitu (Perda DKI Jakarta No. 7 Tahun 2003, Ps. 3 ayat 2): 1) Penyewaan rumah atau kamar, apartemen, dan atau fasilitas tempat tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel. 2) Pelayanan tinggal di asrama dan pondok pesantren. 3) Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan di hotel yang digunakan oleh bukan tamu hotel dengan pembayaran.
37
4) Pertokoan, perkantoran, perbankan dan salon yang digunakan oleh umum di hotel. 5) Pelayanan perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel dan dapat dimanfaatkan oleh umum. 4. Subjek Pajak dan Wajib Pajak Hotel Pada pajak hotel, yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel (Perda DKI Jakarta No. 7 Tahun 2003, Ps. 4). Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oeh pengusaha hotel. Sementara itu, yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha hotel, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha dibidang jasa penginapan. Dengan demikian, subjek pajak dan wajib pajak pada pajak hotel tidak sama. Konsumen yang menikmati pelayanan hotel merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak sedangkan pengusaha hotel bertindak sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak) dan melaksanakan kewajiban perpajakan lainnya. Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang dan peraturan daerah tentang pajak hotel (Marihot P Siahaan, 2005:248). Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa
38
dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. 5. Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak Hotel a. Dasar pengenaan pajak hotel Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel (Perda DKI Jakarta No. 7 Tahun 2003, Ps. 5). Jika pembayaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar yang wajar pada saat pemakaian jasa hotel. Contoh hubungan istimewa adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa hotel dengan pengusaha hotel, baik langsung atau tidak langsung, berada dibawah pemilikan atau penguasaan orang pribadi atau badan yang sama. Pembayaran adalah jumlah uang yang harus dibayar oleh subjek pajak kepada wajib pajak untuk harga jual baik jumlah uang yang dibayarkan maupun penggantian yang seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukaran atas pemakaian jasa tempat penginapan dan fasilitas penunjang termasuk pula semua tambahan dengan nama apapun juga dilakukan berkaitan dengan usaha hotel. Contoh pembayaran, misalnya seseorang menginap di hotel “ABC” dan melakukan pembayaran atas (Marihot P. Siahaan, 2005:249):
39
Jasa sewa kamar
Rp. 2.500.000,00
Jasa binatu
Rp. 200.000,00
Jasa telepon
Rp. 100.000,00 +
Jumlah
Rp. 2.800.000,00
Service charge 10%
Rp. 280.000,00 +
Jumlah pembayaran
Rp. 3.080.000,00
b. Tarif pajak hotel Tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan (Perda DKI Jakarta No. 7 Tahun 2003, Ps. 6). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak yang mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, asalkan tidak lebih dari 10%. c. Perhitungan pajak hotel Besarnya pokok pajak hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar penenaan pajak ((Perda No. 7 Tahun 2003, Ps. 7). Secara umum perhitungan pajak hotel adalah sebagai berikut: Pajak terutang = tarif pajak x dasar pengenaan pajak = tarif pajak x jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel
40
Berdasarkan pembayaran yang dilakukan oleh subjek pajak kepada hotel “ABC” pada poin a di atas dan apabila besarnya tarif pajak yang ditetapkan pada kota di mana hotel “ABC” berlokasi adalah 10%, maka dapat dihitung besarnya pajak hotel yang terutang, yaitu sebesar: 10% x Rp. 3.080.000,00 = Rp. 308.000,00. (Marihot P. Siahaan, 2005:251).
C. Pajak Restoran 1. Pengertian Pajak Restoran Pajak restoran adalah pajak atas pelayanan restoran (Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2003 Ps. 2). Pemungutan pajak restoran di Indonesia saat ini didasarkan pada undang-undang nomor 34 tahun 2000 yang merupakan perubahan atas undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan reribusi daerah dan peraturan pemerintah nomor 65 tahun 2001 tentang pajak daerah. Semula menurut undang-undang nomor 18 tahun 1997 pajak atas hotel disamakan dengan restoran dengan nama pajak hotel dan restoran. Akan tetapi, berdasarkan undang-undang nomor 34 tahun 2000 jenis pajak tersebut dipisahkan menjadi dua jenis pajak yang berdiri sendiri, yaitu pajak hotel dan pajak restoran. Pengenaan pajak restoran tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota.
41
Oleh karena itu, untuk dapat dipungut pada suatu daerah kabupaten atau kota, pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan peraturan daerah tentang pajak restoran yang akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak restoran di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan. 2. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Restoran Pemungutan pajak restoran di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan pajak restoran pada suatu kabupaten atau kota adalah sebagaimana di bawah ini (Marihot P. Siahaan, 2005:272): a. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas undang-undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. b. Peraturan pemerintah nomor 65 tahun 2001 tentang pajak daerah. c. Peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur tentang pajak restoran. Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang pajak restoran sebagai aturan pelaksanaan peraturan daerah tentang pajak restoran pada kabupaten/kota dimaksud.
42
3. Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak Restoran 1. Objek pajak restoran Objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran. Termasuk dalam objek pajak restoran adalah rumah makan, cafe, bar dan sejenisnya. Pelayanan di restoran/rumah makan
meliputi
restoran/rumah
penjualan makan,
makanan termasuk
dan
atau
penyediaan
minuman
di
penjualan
makanan/minuman yang diantar/dibawa pulang (Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2003 Ps. 3 ayat 1). 2. Bukan objek pajak restoran Pada pajak restoran tidak semua pelayanan yang diberikan oeh restoran/rumah makan dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek pajak, yaitu (Perda No. 8 Tahun 2003 Ps. 3 ayat 2): 1) Pelayanan usaha jasa boga atau katering; dan 2) Pelayanan yang disediakan oleh restoran atau rumah makan yang peredarannya tidak melebih batas tertentu yang ditetapkan dengan peraturan daerah, misalnya saja tidak melebihi Rp. 30.000.000,00 per tahun. 4. Subjek Pajak dan Wajib Pajak Restoran Subjek pada pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada restoran (Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2003 Ps. 5 ayat 1). Secara sederhana yang menjadi subjek pajak
43
adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha restoran. Sementara itu, yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha restoran (Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2003 Ps. 5 ayat 2), yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaanya melakukan usaha di bidang rumah makan. Dengan demikian, subjek pajak dan wajib pajak pada pajak restoran tidak sama. Konsumen yang menikmati pelayanan restoran merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak sedangkan pengusaha restoran bertindak sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak). Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya, wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang dan peraturan daerah tentang pajak restoran. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. 5. Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak Restoran a. Dasar Pengenaan Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran (Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2003 Ps. 6). Jika pembayaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, harga jual atau pengantian dihitung atas dasar harga pasar yang wajar pada saat pembelian makanan dan atau minuman. Contoh hubungan istimewa
44
adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa restoran dengan pengusaha restoran, baik langsung atau tidak langsung, berada dibawah pemilikan atau penguasaan orang pribadi atau badan yang sama. Pembayaran adalah jumlah uang yang harus dibayar oleh subjek pajak kepada wajib pajak untuk harga jual baik jumlah uang yang dibayarkan maupun penggantian yang seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukaran atas pembelian makanan dan atau minuman, termasuk pula semua tambahan dengan nama apa pun juga dilakukan berkaitan dengan usaha restoran. Contoh pembayaran, misalnya seseorang menikmati hidangan yang disediakan oleh restoran “XYZ” dan melakukan pembayaran atas (Marihot P. Siahaan, 2005:276): Makanan
Rp. 100.000,00
Minuman
Rp. 30.000,00 +
Jumlah
Rp. 130.000,00
Service charge 10%
Rp. 13.000,00 +
Jumlah pembayaran
Rp. 143.000,00
b. Tarif Tarif pajak restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan (Perda DKI Jakarta No. 8 Th. 2003 Ps. 7). Hal ini dimaksudkan untuk memberi keleluasaan
kepada
pemeritah
kabupaten/kota
untuk
menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masingmasing daerah kabupaten/kota. Maka, setiap daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang
45
mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, asalkan tidak lebih dari 10% c. Perhitungan Pajak Restoran Besarnya pokok pajak restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak (Perda No. 8 Tahun 2003 Ps. 8). Secara umum perhitungan pajak restoran adalah sesuai dengan rumus berikut: Pajak terutang = tarif pajak x dasar pengenaan pajak = tarif pajak x jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran Berdasarkan pembayaran yang dilakukan oleh subjek pajak kepada restoran “XYZ” pada poin a di atas dan apabila besarnya tarif pajak yang ditetapkan pada kota di mana restoran “XYZ” berlokasi adalah 10%, maka dapat dihitung besarnya pajak hotel yang terutang, yaitu sebesar: 10% x Rp. 143.000,00 = Rp. 14.300,00. (Marihot P. Siahaan, 2005:276).
D. Pendapatan Daerah Adapun pendapatan daerah yang nantinya akan digunakan untuk pembangunan daerah yaitu bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan Lain-Lain Pendapatan yang Sah. 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu: Halim (2001:98), mendefinisikan PAD adalah sebagai berikut:
46
“Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Jadi, dapat disimpulkan PAD merupakan suatu penerimaan daerah yang berasal dari sumber-sumber di wilayahnya sendiri bedasarkan perundang-undangan yang berlaku. PAD merupakan bagian dari sumber pendapatan daerah sebagaimana diatur dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1947. Sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dalam kaitan pelaksanaan otonomi daerah. PAD harus betul-betul dominan dan mampu memikul beban kerja yang diperlukan sehingga pelaksanaan otonomi daerah tidak dibiayai oleh dari subsidi atau dari sumbangan pihak ketiga atau pinjaman daerah. Sumber-sumber PAD tidak dapat dipisahkan dari pendapatan daerah secara keseluruhan. Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 99 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, sumber pendapatan daerah terdiri dari: a. Pajak Daerah Adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundan-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah (Perda), yang wewenang pemungutanya dilaksanakan oleh pemerintah
47
daerah dalam
melaksanakan
penyelenggaraan pemerintah
dan
pembangunan di daerah (Early Suandi, 2005:236). Pajak daerah pada pemerintah Provinsi DKI Jakarta terdiri dari 11 jenis pajak namun hanya 10 diantaranya yang dilakukan pemungutan secara optimal melalui perda-perda lain yang lebih rinci (KUPD Perda No. 4 Tahun 2002): 1) Pajak Parkir - Perda No. 6 Tahun 2002 2) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor - Perda No. 7 Tahun 2002 3) Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor - Perda No. 3 Tahun 2003 4) Pajak Kendaraan Bermotor - Perda No. 4 Tahun 2003 5) Pajak Hiburan - Perda No. 6 Tahun 2003 6) Pajak Hotel - Perda No. 7 Tahun 2003 7) Pajak Restoran - Perda No. 8 Tahun 2003 8) Pajak Penerangan Jalan - Perda No. 9 Tahun 2003 9) Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan - Perda No. 1 Tahun 2004 10) Pajak Reklame - Perda No. 2 Tahun 2004 11) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C. b. Retribusi daerah Adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa trsebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu
48
hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas jasa dari negara (Mardiasmo:2006). Salah satu contoh dari retribusi adalah retribusi pelayanan kesehatan pada rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah. c. Hasil perusahaan mlik daerah Adalah
merupakan penerimaan
yang berasal dari hasil
perusahaan milik daerah dan pengelolaan keuangan daerah, penyertaan modal daerah ke pihak ke tiga (Marihot P. Siahaan, 2005). Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan (antara lain: bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah). d. Lain-lain usaha yang sah Adalah hasil daerah yang diperoleh dari hasil usaha diluar kegiatan pelaksanaan tugas daerah, misalnya penerimaan dan sumbangan piak ketiga, hasil penjualan milik daerah (penjualan drum bekas aspal), penerimaan jasa giro (Marihot P. Siahaan:2005).
E. Penelitian Sebelumnya Terdapat berbagai penelitian tentang pajak hotel dan restoran yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu: Sapto Nur Edie (2005), secara khusus meneliti tentang pengaruh penerimaan pajak hotel dan restoran terhadap pendapatan asli daerah dalam skripsinya untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dalam bidang Akuntansi Pajak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
49
Penelitian tersebut menggunakan metode regresi sederhana dan menjelaskan hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen yang kemudian dianalisis dengan metode deskriptif. Objek penelitian adalah Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakara Pusat dengan periode 1995 sampai 2004 dan mendapat kesimpulan bahwa besarnya pengaruh hubungan antara penerimaan pajak hotel dan restoran terhadap pendapatan asli daerah cukup tinggi yaitu sebesar 93,4% Heri Purnama (2006) dengan judul “Analisa Penerimaan Pajak Hotel dan Restoran: Studi Berdasarkan Jumlah Kunjungan Wisatawan di Kabupaten Garut Periode 1999-2005” mendapat
kesimpulan bahwa yaitu Jumlah
wisatawan (lokal dan asing) berpengaruh secara bersama-sama terhadap penerimaan pajak hotel dan restoran di Kabupaten Garut periode 1999-2005. Secara parsial hanya wisatawan lokal yang berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak hotel dan restoran di Kabupaten Garut.
F. Kerangka Pemikiran Untuk membantu dan mempermudah dalam pembacaan dan pembahasan skripsi hingga proses pengujian dilakukan dengan metode uji statistik linier berganda maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
50
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran
Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I Laporan Penerimaan Pajak Tahun 2007
Tingkat Kepatuhan WP Hotel (X1) Tingkat Kepatuhan WP Restoran (X2)
• • • •
Penerimaan Pajak (Y)
Uji Hipotesis: Uji Regresi Berganda Uji R2 Uji F-statistik Uji t-statistik
Kesimpulan Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Restoran terhadap Penerimaan Pajak
G. Hipotesis Dalam usaha untuk memperoleh kesimpulan, biasanya didahului oleh pengandaian atau asumsi mengenai populasi yang bersangkutan. Pengandaian ini, yang mungkin betul ataupun mungkin tidak betul, disebut hipotesis. Hipotesis inilah yang akan diteliti menggunakan karakteristik sampel yang diambil dari populasi yang sedang ditinjau.
51
Berkaitan dengan permasalahan yang ada, maka hipotesa yang dapat diambil adalah sebagai berikut: Terdapat pengaruh yang signifikan antara Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Restoran terhadap Penerimaan Daerah. Atau secara statistik dirumuskan sebagai berikut: Ha1 : tingkat kepatuhan wajib pajak hotel berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak daerah. Ha2 : tingkat kepatuhan wajib pajak restoran terhadap berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak daerah. Ha3 : tingkat kepatuhan wajib pajak hotel dan wajib pajak restoran secara
simultan
berpengaruh
Penerimaan Pajak Daerah.
secara
signifikan
terhadap
52
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini ruang lingkup penelitiannya yaitu, mengenai pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Restoran terhadap penerimaan daerah. Penelitian ini dilakukan pada kantor Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I Adapun data yang diambil yaitu: 1. Sejarah singkat Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I. 2. Struktur organisasi 3. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Wajib Pajak Restoran 4. Laporan Penerimaan Pajak Daerah. Sedangkan, ruang lingkup penelitian ini membahas pengaruh antara: 1. Variabel Terikat (Y) Variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas (Independent Variable). Dalam hal ini, total penerimaan pajak daerah. 2. Variabel Bebas (X1) Variabel yang diduga secara bebas berpengaruh terhadap variabel terikat (Dependent Variable), yaitu Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel.
53
3. Variabel Bebas (X2) Variabel yang diduga secara bebas berpengaruh terhadap variabel terikat (Dependent Variable), yaitu Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Restoran.
B. Metode Penentuan Sampel Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling yaitu model convenience sampling. Bentuk sampling ini termasuk ke dalam metode pemilihan sampel nonprobabilitas (non-probality sampling methods) dimana anggota sampel yang dipilih atau diambil secara tidak acak berdasarkan kemudahan memperoleh data yang dibutuhkan atau unit sampel yang ditarik mudah dihubungi, tidak menyusahkan atau mudah mengukurnya dan bersifat kooperatif (Abdul Hamid, 2004:24).
C. Metode Pengumpulan Data Pada umumnya, salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi suatu karya ilmiah adalah research. Research dalam arti yang luas pengertiannya adalah suatu penyelidikan sempurna terhadap suatu masalah atau objek tertentu. Metode Research dapat dikatakan sebagai suatu penyelidikan secara analisa yang sempurna. Berarti pencarian, pengumpulan, pengolahan dan penyajian data yang benar, konkrit dan nyata serta diperlukan dalam lingkungan yang mempengaruhi, guna pembahasan lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
54
1.
Studi Kepustakaan. Dalam metode ini penulis melakukan penelitian dengan mempelajari buku kepustakaan, literatur, bahan-bahan kuliah yang berkaitan erat dengan pembahasan penelitian ini.
2.
Studi Lapangan. Penelitian lapangan ini merupakan pengumpulan data yang dilakukan secara langsung di lokasi objek penelitian yaitu Kantor Dinas Pendapatan Daerah Jakarta, dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Observasi, yaitu melakukan pengamatan atas objek data dan kronologis suatu kegiatan, merekam, menghitung, serta mencatat data yang diperoleh. b. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab yang dilakukan pada pokok persoalan.
D. Metode Analisis Sesuai dengan masalah penelitian yang ditulis yaitu untuk mengetahui pengaruh tingkat kepatuhan wajib pajak hotel dan restoran terhadap penerimaan pajak pada dinas pendapatan daerah Jakarta, maka peneliti menggunakan analisis statistik sampel dengan bentuk pengujian sebagai berikut: 1. Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas Data Uji normalitas ini digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel dependen dan variabel independen
55
mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. (Ghozali, 2005: 110) Hipotesis: H0 : Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal H1 : Sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal Kriteria Pengujian: Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas (Ghozali, 2005: 112) b. Uji Multikolinearitas Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen) (Ghozali, 2005:91). Jika terjadi korelasi, maka terdapat problem multikolinieritas atau multiko. Model regresi yang baik seharusnya tidak
terjadi
korelasi
di
antara
variabel
independennya.
Multikolinearitas dapat dilihat dari (1) nilai tolerance (TOL) dan lawannya (2) variant inflation factor (VIF). Apabila tolerance lebih dari 0.1 dan VIF kurang dari 10 maka tidak terjadi multikolinearitas. Hipotesis: H0 : Model regresi tidak terjadi multikoliniearitas H1 : Model regresi terjadi multikoliniearitas
56
Kriteria Pengujian: H0 diterima jika nilai VIF (Variance Inflation Factor) dan angka tolerance sesuai dengan pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinearitas, yakni mempunyai nilai VIF kurang dari 10, mempunyai angka TOLERANCE (TOL) lebih dari 0.1. c. Uji Heterokedasitas Uji ini dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika nilai variansnya tetap, maka disebut Homoskedastisitas.
Jika
variansnya
berbeda
disebut
heteroskedastisitas, dimana model regresi yang baik adalah tidak terjadinya heteroskedastisitas. (Ghozali, 2005: 105) Hipotesis: H0 : Model regresi tidak terjadi heteroskedastisitas H1 : Model regresi terjadi heteroskedastisitas. Kriteria Pengujian: Dasar pengambilan keputusannya, jika ada pola tertentu, seperti titiktitik (point-point) yang ada membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka telah terjadi Heteroskedastisitas. Dan jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi Heteroskedastisitas (Ghozali, 2005: 105)
57
d. Uji Autokorelasi Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah sebuah regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dan kesalahan pada periode t-1. Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem Autokorelasi. Tentu saja model regresi yang baik adalah yang bebas dari problem tersebut. Deteksi adanya Autokorelasi dengan menggunakan Durbin-Watson, dimana angka D-W dibawah -2 ada Autokorelasi positif, angka D-W diantara -2 sampai +2 tidak ada Autokorelasi, dan angka D-W di atas +2 berarti ada Autokorelasi negatif (Santoso, 2002:219). Hipotesis : H0 : Model regresi tidak terjadi Autokorelasi H1 : Model regresi terjadi Autokorelasi 2. Uji Hipotesis a. Regresi Berganda Model statistik yang dipakai adalah model regresi linear berganda (Multiple Regression). Multiple Regression adalah suatu teknik yang digunakan untuk menghitung seberapa jauh hubungan antara beberapa variabel bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen). Model regresi linear berganda dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = a + b1 x 1 + b2 x2 + ei
58
Keterangan: Y
= Variabel dependen (Penerimaan Pajak Daerah)
a
= Konstanta
X1
= Variabel independent (Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel)
X2
= Variabel independent (Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Restoran)
b 1,b2
= Koefisien regresi Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel (X1) dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (X2)
ei
= Standar Error
b. Uji Adjusted R2 (Koefisien Determinasi) Untuk menentukan seberapa besar variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen, maka perlu diketahui nilai koefisien determinasi (Adjusted R-Square). Jika Adjusted R-Square adalah sebesar 1 berarti fluktuasi variabel dependen seluruhnya dapat dijelaskan oleh variabel independen dan tidak ada faktor lain yang menyebabkan fluktuasi variabel dependen. Nilai Adjusted R-Square berkisar hampir 1, berarti semakin kuat kemampuan variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen. Sebaliknya, jika nilai Adjusted R-Square semakin mendekati angka 0 berarti semakin lemah kemampuan variabel independen dapat menjelaskan fluktuasi variabel dependen. (Ghozali:2005)
59
c. Uji t-statistik (Pengaruh Secara Parsial) Uji t-Statistik digunakan untuk mengetahui hubungan masingmasing variabel independen secara individual terhadap variabel dependen, maka digunakan tingkat signifikan sebesar 0.05. Jika nilai probability t lebih besar dari 0.05 maka tidak ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen (koefisien regresi tidak signifikan), sedangkan jika nilai probability t lebih kecil dari 0.05 maka terdapat pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen (koefisien regresi signifikan) (Ghozali: 2005). Kriteria pengujian: 1) Apabila nilai signifikansi tingkat kepatuhan wajib pajak hotel di bawah 0.05, maka Ha1 diterima, berarti ada pengaruh secara signifikan antara variabel tingkat kepatuhan wajib pajak hotel (X1) terhadap penerimaan pajak (Y). 2) Apabila nilai signifikansi tingkat kepatuhan wajib pajak restoran dibawah 0.05, maka Ha2 diterima, berarti ada pengaruh secara signifikan antara variabel tingkat kepatuhan wajib pajak restoran (X2) terhadap penerimaan pajak (Y). d. Uji F-statistik (Pengaruh Secara Simultan) Uji Statistik F dilakukan untuk mengetahui hubungan variabelvariabel independen secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel dependen. Untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara bersama-sama mengetahui variabel dependen, maka digunakan
60
tingkat signifikan sebesar 0.05. jika nilai F probability lebih besar dari 0.05 maka model regresi tidak dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen atau dengan kata lain variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika nilai F probability lebih kecil dari 0.05 maka model regresi dapat digunakan untuk memprdiksi variabel dependen atau dengan kata lain variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependen (Ghozali: 2005). Kriteria pengujian: Apabila tingkat signifikansi < 0.05 maka Ha3 diterima berarti secara simultan terdapat pengaruh yang nyata antara variabel tingkat kepatuhan wajib pajak hotel dan wajib pajak restoran (X) terhadap penerimaan pajak (Y).
E. Operasional Variabel penelitian Operasional variabel merupakan pendefinisian dan serangkaian variabel yang digunakan dalam penulisan. Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel bebas (X) dan Variabel terikat (Y). Variabel bebas adalah tipe variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel yang lain. Sedangkan variabel terikat adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel bebas. Dengan demikian, maka yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah:
61
1. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel adalah tingkat kesediaan wajib pajak hotel dalam membayar hutang pajaknya tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi, seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi administrasi (X1) dan kriteria kepatuhan wajib pajak hotel pada penelitian ini dilihat dari keaktifan wajib pajak dalam membayar utang pajaknya. 2. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Restoran adalah tingkat kesediaan wajib pajak restoran dalam membayar hutang pajaknya tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi, seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi administrasi (X2) dan kriteria kepatuhan wajib pajak restoran pada penelitian ini dilihat dari keaktifan wajib pajak dalam membayar utang pajaknya. 3. Penerimaan Pajak Daerah adalah jumlah seluruh pajak yang diterima oleh daerah pada suatu tahun pajak, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah (Y). Penerimaan pajak daerah Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I diperoleh dari jumlah seluruh penerimaan pajak hotel, pajak restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak ABT (Air Bawah Tanah), dan Pajak Parkir.
62
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Tempat Penelitian Tempat penelitian dilaksanakan pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I yang berlokasi di Jalan Abdul Muis No. 66 Tanah Abang Jakarta Pusat. Penelitian ini dilakukan pada Seksi Penetapan, dan Seksi Penagihan dan Keberatan. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 2008 sampai dengan 28 Februari 2008. 2. Sejarah Pendirian Kehadiran pemerintah pada dasarnya diperlukan untuk mengatur dan melindungi masyarakat warganya agar senantiasa dalam keadaan aman, tertib sejahtera. Untuk itu perlu adanya peraturan tentang peraturan di daerah. Peraturan tentang pemerintahan di Daerah ini secara eksplisit telah dimuat dalam rancangan Undang Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang menyatakan bahwa pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan undangundang, dengan memandang dan mengingat dasar pemusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak asal-usul di daerah-daerah yang bersifat istimewa. Selanjutnya penjelasan atas pasal tersebut menyatakan
63
bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam Propinsi dan Daerah propinsi akan dibagi pula dalam Daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah oleh karena di Daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar pemusyawaratan. Perkembangan selanjutnya, diterbitkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 yang isinya sangat singkat yaitu hanya terdiri dari 6 pasal, tapi pada hakekatnya undang-undang ini dapat dianggap sebagai suatu peraturan perundangan desentralisasi dari pemerintah Republik Indonesia yang memuat sistem Otonomi Indonesia, dan ini merupakan awal mula peraturan tentang pemerintahan Daerah di Indonesia sejak kemerdekaan. Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 diterangkan bahwa Otonomi yang dikehendaki bukanlah otonomi Jepang atau otonomi pada sistem Belanda, melainkan otonomi Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Jadi lebih luas dari pada otonomi Belanda dan pembatasannya hanyalah asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat. Sesuai kondisi dan tuntutan jaman, undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan yaitu dengan UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 44 Tahun 1950, UU Nomor 1 Tahun 1957, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan terakhir diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Khusus untuk pemerintahan daerah di Propinsi DKI Jakarta diatur lagi dengan UU
64
Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Pembentukan pemerintahan di daerah, disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, secara historis keberadaan pemerintah daerah telah dikenal sejak jaman pemerintahan kerajaan nenek moyang kita dahulu sampai pada sistem pemerintahan penjajahan, baik pemerintahan Inggris maupun
pemerintahan
Jepang.
Demikian
pula
dengan
sistem
kemasyarakatan dan susunan pemerintahannya mulai dari tingkat desa atau kampung sampai pada puncak pimpinan pemerintahan. Keanekaragaman yang menjadi ciri bangsa Indonesia serta potensi kekayaan alam dan permasalahan yang melekat di berbagai wilayah Indonesia tersebut harus diatur dan dikelola dengan baik, sehingga mampu menjadi aset bangsa yang berharga untuk mendatangkan devisa guna pembentukan pendapatan nasional. Dengan kondisi demikian, tidak mungkin pemerintah pusat menangani langsung semua urusan yang menyangkut pelayanan dan pengaturan kehidupan atau kepentingan masyarakat yang menempati ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat agar senantiasa hidup aman dan sejahtera, serta memperhatikan keterbatasan kemampuan pemerintah pusat, maka dilakukan pendelegasian kewenangan kepada Pemerintah Pusat.
65
Hal ini sejalan dengan prinsip, tujuan dan arah perjuangan Indonesia Merdeka sebagaimana telah ditekankan pada proses pengambilan keputusan rapat pengesahan UUD 1945, bahwa perangkat pemerintah di daerah adalah sebagai bagian dari mekanisme pemerintah pusat dan bukan merupakan
negara
tersendiri.
Pemerintah
pusat
berfungsi
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintah yang bersifat umum dan pemerintah daerah menyelenggarakan berbagai urusan pemerintahan yang berada di wilayah masing-masing. Untuk menjaga kemungkinan agar pemerintah daerah tidak memisahkan diri dari Pemerintah Pusat, maka pelimpahan kewenangan dinyatakan dengan daerah otonom yang pada hakekatnya otonomi daerah adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Hak tersebut antara lain berupa penetapan kebijakan sendiri, pelaksanaan sendiri, pembiayaan sendiri dan pertanggung jawaban daerah sendiri dengan tidak membawahi otonomi daerah lain. Pemberian otonomi daerah berorientasi pada pembangunan dalam arti luas, yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan dan sudah menjadi kewajiban bagi daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Otonomi daerah untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan di daerah, guna meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat makin mandiri dan tidak terlalu bergantung pada pemberian pemerintah, meningkatkan daya guna dan
66
hasil
guna
penyelenggaraan
Pemerintah
Daerah terutama
dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sumber keuangan bagi pemerintah daerah, berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu pendapatan yang sepenuhnya bersumber dari daerah itu sendiri dan perimbangan keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Perimbangan keuangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sangatlah terbatas. Oleh karena keterbatasannya, maka daerah harus berupaya meningkatkan PADnya dengan menggali potensi pendapatan daerah dari pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lainnya yang sah, melalui tindakan dan cara yang tepat antara lain dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutannya. Kegiatan pungutan sumber-sumber pendapatan daerah, harus ditampung dalam suatu wadah yang lazimnya diyatakan dalam bentuk struktur organisasi dan tata kerja yang menangani pendapatan daerah. Penyusunan struktur organisasi dan tata kerja yang menangani pendapatan daerah, untuk menciptakan alat penampung kegiatan dalam bentuk organisasi dan menyatukan penafsiran yang berbeda-beda dalam menunaikan tugas. Pada tahun 1952 berdasarkan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja Nomor 18/DK/Tanggal 11 September 1952 (Lembar Kota 1952 Nomor 27) dibentuk Suku Bagian Padjak pada bagian Perundang-undangan di bawah Sekretariat Walikota Djakarta Raja, yang sekarang ini disebut Dinas Pendapatan Daerah.
67
Dengan demikian unit pemungutan yang sekarang disebut Dinas Pendapatan Daerah adalah unit kerja yang murni milik daerah yang dibentuk, kerena memang harus ada dan bukan karena menerima pelimpahan wewenang dari pusat. Unit kerja merupakan salah satu unsur pelaksana pemerintah daerah yang mempunyai tugas menggali, mengelola dan mengkoordinir pungutan daerah tersebut, telah beberapa kali mengalami perubahan nama dan struktur organisasi dengan dasar hukum pembentukan dan urutannya secara umum sebagai berikut: •
Tahun 1952 berdasarkan Surat Putusan Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja Nomor 18/DK/tanggal 11 September 1952 (Lembar Kota 1952 Nomor 27) dibentuk Suku Bagian Padjak pada bagian Perundang-undangan di bawah Sekretariat Walikota Djakarta Raja.
•
Tahun 1956 sebagaimana ditetapkan dalam pasal 17 Peraturan Padjak Reklame Djakarta Raja 1956 (Tambahan Berita Negara Nomor 22 Tahun 1957) sebutan suku Bagian Padjak berubah menjadi Bagian Padjak.
•
Tahun 1966 berdasarkan Keputusan Gubernur KDCI Djakarta Nomor B.6/6/52/1966 Tanggal 22 Juni 1966 tentang Struktur Organisasi Sekretariat Pemerintah DCI Djakarta (Lembar Daerah Nomor 6 Tahun 1966) mengalami perubahan dengan sebutan Urusan Pendapatan Padjak DCI Djakarta.
68
•
Tahun 1968 berdasarkan Keputusan Gubernur KDCI Djakarta Nomor lb.3/2/48/1968 Tanggal 03 September 1968 (Lembar Daerah Nomor 6 Tahun
1966)
mengalami
perubahan
dengan
sebutan
Urusan
Pendapatan Padjak DCI Djakarta. •
Tahun 1975 berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor d.VII/774/a/1/1975 Tanggal 20 Februari 1975 (Lembaran Daerah Nomor 7 Tahun 1975) Tentang Perubahan Sebutan Dan Susunan Organisasi Dinas Pajak Dan Pendapatan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
•
Tahun 1976 berdasarkan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor b.vi/585/a/1/1976 Tanggal 01 Juli 1976 (Lembaran Daerah Nomor 45 Tahun 1976) Tentang Perubahan Kembali Nama Atau Sebutan Dan Susunan Organisasi Serta Tata Kerja Kantor Pajak Dan Pendapatan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Menjadi Dinas Pajak Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
•
Tahun 1983 berdasarkan Peraturan Daerah, Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 1983 (Lembar Daerah Nomor 68 Tahun 1983) Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah, Daerah Khusus Ibukota Jakarta berubah menjadi Dinas Pendapatan Daerah, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
•
Tahun 1955 berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah, Daerah Khusus Ibukota Jakarta tidak terjadi adanya perubahan
69
nama atau sebutan dan tetap dengan sebutan Dinas Pendapatan Daerah, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dalam peraturan tersebut hanya menjelaskan pengembangan organisasi yang disesuaikan dengan kondisi. •
Dengan adanya otonomi daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 serta berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Bentuk Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Dan Sekretariat Dalam Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi DKI Jakarta tidak terjadi adanya perubahan nama atau sebutan dan tetap dengan sebutan Dinas Pendapatan Daerah Propinsi DKI Jakarta.
3. Visi dan Misi a. Visi Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I Menjadikan Dipenda sebagai organisasi yang efisien dan efektif dalam pengelolaan pendapatan daerah dengan dukungan aktif masyarakat. b. Misi Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I: 1) Pengelolaan yang transparan 2) Pemberdayaan dukungan masyarakat 3) Kerjasama internal yang efektif 4) Pelayanan prima 5) Pengembangan profesionalisme 6) Pemanfaatan teknologi informasi 7) Mengembangkan pola jaringan kerja
70
8) Penggalian sumber-sumber pendapatan 9) Regulasi yang selalu kini (up to date) 4. Tugas Pokok dan Fungsi Suku Dinas Pendapatan Daerah Suku Dinas Pendapatan Daerah mempunyai tugas menyusun program kerja dan rencana kegiatan; melaksanakan pemungutan pajak daerah; menerbitkan izin tertentu, melaksanakan penegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah serta melaksanakan korrdinasi pemungutan pendapatan daerah dengan instansi terkait. (Undang-undang Nomor 29 Tahun 2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dipenda Propinsi DKI Jakarta) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud diatas, Suku Dinas Pendapatan Daerah mempunyai fungsi: a. Penyusunan program kerja dan rencana kegiatan; b. Pendataan dan pemeriksaan subjek dan objek pajak daerah; c. Penatausahaan penetapan, pembayaran dan unggakan pajak daerah; d. Penatausahaan objek dan subjek pajak daerah; e. Penetapan besarnya pajak daerah; f. Penerbitan izin tertentu dalam bidang perpajakan; g. Penagihan pasif atas piutang pajak daerah; h. Penyelesaian permohonan keberatan sesuai dengan kewenangannya; i. Penertiban dan/atau penyegelan atas pelanggaran peraturan perundangundangan pajak daerah;
71
j. Pelaksanaan legalisasi tanda masuk/karcis hiburan, bon/bill penjualan, reklame, rumah penginapan dan/atau rumah makan, serta dokumen lainnya yang dipersamakan; k. Pelaksanaan korrdinasi pemungutan pendapatan daerah dengan instansi terkait di lingkungan kotamadya; l. Pembinaan teknis pada Seksi Dinas Pendapatan Daerah Kecamatan. 5. Struktur Organisasi Sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 29 Tahun 2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka dapat disusun Struktur Organisasi Dinas Pendapatan Daerah yang dapat dilihat pada Gambar 4.1, yang terdiri dari: a. Kepala Suku Dinas, mempunyai tugas: Memimpin Suku Dinas Pendapatan Daerah yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara teknis administratif bertanggung jawab kepada Kepala Dinas dan
secara
taktis
operasional
bertanggung
jawab
kepada
Walikotamadya yang bersangkutan. b. SubBagian Tata Usaha, mempunyai tugas: 1) menyusun program kerja dan rencana kegiatan Suku Dinas Pendapatan Daerah; 2) menatausahakan surat masuk dan surat keluar; 3) melaksanakan urusan kepegawaian; 4) melaksanakan urusan keuangan;
72
5) melaksanakan urusanperlengkapan; 6) melaksanakan urusan kerumahtanggaan; 7) melakukan kegiatan pelayanan administrasi; 8) menyiapkan surat tugas pemeriksaan dan peneriban pajak daerah; 9) menyusun dan mengkoordinasikan laporan kegiatan Suku Dinas Pendapatan Daerah. c. Seksi Penatausahaan dan Pelaporan Pendapatan Daerah mempunyai tugas: 1) menyusun program kerja dan rencana kegiatan penatausahaan dan pelaporan pendapatan daerah; 2) menerima dan meneliti permohonan sebagai wajib pajak daerah; 3) memproses izin tertentu dibidang pajak daerah sesuai dengan kewenangannya; 4) mempunyai buku induk daftar subjek dan objek pajak daerah; 5) menatausahakan dan mendistribusikan berkas wajib pajak untuk kepentingan pemeriksaan wajib pajak; 6) memproses dan mendistribusikan surat ketetapan pajak daerah (SKPD); 7) memproses penerbitan, pencabutan, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD); 8) membuat perhitungan hasil bersih penetapan pajak daerah secara periodik (lembar pengantar biru);
73
9) menatausahakan
pesanan
tanda
masuk/karcis
hiburan
dan
meneruskanke unit kerja yang bersangkutan; 10) menghimpun dan membuat laporan tentang jumlah ketetapan, pembayaran, pebagihan serta tunggakan mengenai pajak daerah, retribusi daerah, bagi hasil pajak dan pendapatan daerah lain-lain; 11) mengirim tindasan laporan hasil pemeriksaan (LHP) dan kertas kerja pemeriksaan (KKP) dan program kerja pemeriksaan ke Kepala Dinas c.q. Kepala Subdinas Pemeriksaan Pendapatan Daerah; 12) melaksanakan otomatisasi komputerisasi pendapatan daerah; 13) menyusun
laporan
kegiatan
penatausahaan
danpelaporan
pendapatan daerah. d. Seksi Penetapan mempunyai tugas: 1) menyusun program kerja dan rencana kegiatan penetapan pajak; 2) membuat risalah perhitungan pajak terutang; 3) membuat nota perhitungan pajak terutang untuk disahkan oleh Kepala Suku Dinas; 4) mengirim berkas dan nota perhitungan pajak terhutang yang telah disahkan keseksi penatausahaan dan pelaporan pendapatan daerah untuk penerbitan surat ketetapan pajak daerah (SKPD); 5) melegalisasi tanda masik/karcis hiburan, bon/bill penjualan, reklame, rumah penginapan dan/atau rumah makan serta dokumen lainnya yang dipersamakan;
74
6) melaporkan adanya penyelenggaraan kegiatan hiburan insidentil; 7) menyusun laporan kegiatan penetapan pajak. e. Seksi Penagihan dan Keberatan mempunyai tugas: 1) menyusun program kerja dan rencana kegiatan penagihan dan keberatan; 2) melaksanakan penatausahaan piutang, pembayaran dan tunggakan pajak daerah; 3) melakukan pencocokan/verifikasi pembayaran pajak daerah, bagi wajib pajak yang pajaknya dibayar sendiri; 4) memproses
usul
permohonan
pencicilan
dan
penundaan
pembayaran piutang pajak daerah; 5) menerbitkan keterangan pembayran pajak daerah; 6) menerbitkan surat tagihan pajak daerah (STPD); 7) melakukan penagihan pasif atas piutang pajak daerah; 8) membuat daftar himpunan pembayaran, dan tunggakan pajak daerah; 9) memproses permohonan restitusi dan kompensasi; 10) memproses permohonan keberatan pajak daerah sesuai dengan kewenangannya; 11) membuat dan melaporkan daftar pemberian kompensasi, restitusi, pemindahbukuan secara berkala; 12) membuat dan melaporkan risalah dan keputusan keberatan; 13) melakukan kordinasi dalam rangka penagihan aktif;
75
14) membuat rekomendasi wajib pajak yang diusulkan untuk diperiksa; 15) menyusun laporan kegiatan penagihan dan keberatan. f. Seksi Bagi Hasil Pajak, Retribusi Daerah, dan Pendapatan Lain-lain mempunyai tugas: 1) menyusun program kerja dan rencana kegiatan pemungutan bagi hasil pajak, retribusi daerah dan pendapatan lain-lain; 2) melakukan koordinasi dengan instansi terkait pemungutan bagi hasil pajak, reribusi daerah dan pendapatan lain-lain; 3) menghimpun daftar objek/subjek dan jumlah penerimaan bagi hasil pajak, retribusi daerah dan pendapatan lain-lain; 4) menatausahakan retribusi/dokumen
dan lain
mendistribusikan yang
sarana
dipersamakan
pemungutan
sesuai
dengan
kewenangannya; 5) membuat laporan hasil koordinasi dengan instansi terkait berkaitan dengan pemungutan bagi hasil pajak dan melakukan penilaian kepatuhan Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT), retribusi daerah dan pendapatan lain-lain; 6) menyusun laporan kegiatan seksi begi hasil pajak, retribusi daerah dan pendapatan lain-lain; 7) menyusun laporan kegiatan pemungutan bagi hasil pajak, retribusi daerah dan pendapatan lain-lain. g. Seksi Pemeriksaan mempunyai tugas: 1) menyusun program kerja dan rancangan kegiatan pemeriksaan;
76
2) menyiapkan langkah-kangkah pemeriksaan terhadap wajib pajak yang direkomendasikan oleh seksi penagihan dan keberatan; 3) melakukan pemeriksaan berdasarkan langkah-langkah pemeriksaan yang dibuat menurut norma pemeriksaan dan audit manual yang berlaku; 4) melakukan pendataan dan pemeriksaan subjek dan objek pendapatan daerah; 5) melakukan pengawasan terhadap subjek dan objek pendapatan daerah dan hiburan insidentil sesuai kewenangannya; 6) membuat laporan hasil pendataan, pemeriksaan, penertiban dan atau penyegelan, pengawasan subjek dan objek pendapatan daerah; 7) melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka penertiban wajib pajak yang tidak mematuhi ketentuan peraturan daerah; 8) membuat kertas kerja pemeriksaan dan laporan hasil pemeriksaan; 9) menyimpan dan mengadministrasikan kertas kerja pemeriksaan; 10) mendistribusikan tindasan laporan hasil pemeriksaan; 11) melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka penertiban terhadap wajib pajak yang tida mematuhi ketentuan; 12) menyusun laporan kegiatan pemeriksaan.
77
Struktur
B. Penemuan dan Pengolahan Data 1. Temuan dan Pembahasan Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat pada awalnya hanya ada satu yang terdiri dari 9 kecamatan. Namun, sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 329 Tahun 2002 Tentang Penetapan Wilayah Kerja Suku Dinas Pendapatan Daerah Kotamadya di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, wilayah kerja Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat dibagi menjadi dua, yaitu Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I yang terdiri dari 4 kecamatan yaitu: Tanah Abang; Menteng; Senen dan Johar Baru, dan Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat II yang juga terdiri dari 4 kecamatan yaitu: Cempaka putih; kemayoran; Sawah Besar dan Gambir. Alasan pemisahan wilayah kerja tersebut adalah pemerintah daerah ingin agar mendekatkan pelayanan terhadap wajib pajak, untuk lebih tergalinya potensi-potensi pajak daerah, dan lebih mudah melakukan pendataan dan pengawasan pajak daerah.
78
Sumber penerimaan pajak daerah pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I adalah terdiri dari: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak ABT (Air Bawah Tanah), dan Pajak Parkir. Diantara seluruh sumber penerimaan pajak daerah tersebut, pajak hotel dan pajak restoran merupakan sumber pendapatan pajak daerah yang utama. Karena penerimaan dari Pajak Hotel dan Pajak Restoran adalah yang paling besar diantara penerimaan pajak daerah yang lain.
Data mengenai penerimaan pajak daerah Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I perbulan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Daftar Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I Rencana Realisasi Presentase Bulan penerimaan penerimaan (Y) 42.080.260.417 34.453.342.249 81,87% Januari 84.166.520.833 65.757.592.680 78,13% Februari 126.249.781.250 95.743.142.008 75,83% Maret 168.333.041.667 130.185.946.695 77,34% April 210.416.302.083 164.125.667.952 78,00% Mei 252.499.562.500 200.818.107.651 79,53% Juni 294.582.822.917 235.990.807.571 80,11% Juli 336.666.083.333 275.032.970.016 81,69% Agustus 378.749.343.750 313.328.336.787 82,73% September 420.832.604.167 351.189.935.983 83,45% Oktober 462.915.864.583 386.513.617.204 83,50% Nopember 504.999.125.000 431.920.987.789 85,53% Desember Sumber: Bagian Penagihan dan Keberatan SuDin Penda Jakarta Pusat I
Tabel 4.1 di atas menunjukkan penerimaan pajak daerah selama tahun 2007 belum mencapai target penerimaan pajak yang direncanakan. Namun, penerimaan pajak terus mengalami kenaikan setiap bulannya
79
walaupun realisasi penerimaan sempat menurun pada bulan Februari yaitu turun menjadi 78,13% dan pada bulan Maret penerimaan pajak turun kembali sampai 75,83%. Akan tetapi, realisasi penerimaan pajak daerah pada bulan Mei hingga Desember meningkat dan semakin mendekati rencana penerimaan pajak daerah sebesar 85,53%. Seperti yang kita ketahui, sejak berlakunya Perda No. 4 Tahun 2002 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah, Pajak Hotel dan Restoran yang sebelumnya menjadi satu dipisah menjadi Pajak Hotel dan Pajak Restoran. Hal ini dilakukan karena adanya ketidakjelasan objek pajak antara pajak hotel dan pajak restoran. Dengan dipisahnya kedua objek pajak tersebut, maka pemerintah dapat menggali potensi yang lebih besar dari pajak hotel dan pajak restoran agar penerimaan pajak daerah bisa ditingkatkan. Tabel 4.2 Rekapitulasi Pertumbuhan dan Kepatuhan Dalam Penyetoran SPT Masa Wajib Pajak Hotel Dan Restoran Tahun 2007 Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Jumlah WP 55
Hotel WP Patuh (X1) 52
Jumlah WP 385
Restoran WP Patuh (X2) 279
% 94.55
% 72.47
55
52
94.55
385
281
72.99
55
51
92.73
389
286
73.52
55
51
92.73
397
284
71.54
55
50
90.91
403
293
72.70
55
52
94.55
419
297
70.88
55
50
90.91
419
299
71.36
55
41
74.55
428
306
71.50
55
50
90.91
437
305
69.79
55
49
89.09
437
310
70.94
55
46
83.64
439
295
67.20
55
45
81.82
442
308
69.68
80
Sumber: Bagian Penagihan dan Keberatan SuDin Penda Jakarta Pusat I
Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa jumlah wajib pajak hotel tetap selama tahun 2007 yaitu berjumlah 55 wajib pajak dan kepatuhan wajib pajak hotel mengalami penurunan pada bulan Januari sampai Mei. Bulan Juni kepatuhan wajib pajak naik hingga 94,55% namun pada bulan Agustus turun drastis hingga 74,55% kemudian naik lagi pada bulan September hingga 90,91%. Tetapi, lagi-lagi kepatuhan wajib pajak mengalami penurunan hingga 81,82% pada akhir tahun. Rata-rata tingkat kepatuhan wajib pajak hotel pada tahun 2007 adalah 89.24% Jumlah wajib pajak restoran mengalami peningkatan yang signifikan setiap bulannya, tetapi hal itu tidak mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak restoran. Kepatuhan wajib pajak restoran sempat naik pada 3 bulan pertama yaitu hingga 73,52% namun menurun pada bulan berikutnya hingga 71,54%. Kepatuhan wajib pajak restoran mengalami kenaikan dan penurunan pada bulan-bulan berikutnya hingga pada akhir tahun kepatuhan turun hingga 69.68%. Rata-rata tingkat kepatuhan wajib pajak restoran pada tahun 2007 adalah 71,21% Menurunnya tingkat kepatuhan wajib pajak hotel dan wajib pajak restoran disebabkan karena memburuknya kondisi ekonomi yang ditandai dengan krisis pangan dan kenaikan harga bahan pokok yang menyebabkan naiknya harga produksi dan membuat daya beli masyarakat menurun sehingga penerimaan wajib pajakpun menurun. Hal ini menyebabkan
81
wajib pajak lebih memilih untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu baru memikirkan membayar pajak. Ketua PHRI DKI Jakarta Krishnadi mengatakan, kenaikan bahan pokok telah memukul usaha yang berbasis makanan, yang menyebabkan food cost atau biaya memproduksi masakan naik rata-rata 10 persen. Menurut dia, jumlah itu sudah cukup mulai menggoyang jalannya usaha sebab kondisinya diikuti oleh daya beli konsumen yang merosot (Kompas, 3 Februari 2008). Sapto (2005:45) berpendapat bahwa penurunan populasi hotel kemungkinan karena ketatnya persaingan usaha dan isu-isu negatif yang sering terdengar tentang terorisme dan ancaman ledakan bom. Dimana dunia perhotelan khususnya sektor pariwisata sangatlah labil dengan isuisu semacam ini. Sementara itu, Ulfah (2007:69) berpendapat bahwa walaupun penerimaan dari pajak hotel besar, tetapi kontribusinya kecil karena kurangnya keamanan di DKI Jakarta dan penerima pajak hotel dalam hal ini pemerintah daerah tidak menjalankan fungsi pembinaan yang optimal sehingga masih ada wajib pajak hotel yang masih belum menjalankan kewajiban pelaporan pajaknya secara baik. Begitu pula dari sisi kepatuan wajib pajak dalam melaporkan omset penjualannya, masih terdapat data yang tidak sesuai dengan laporan yang wajib pajak yang disampaikan. 2. Pengolahan Data dan Hasil Pengujian Statistik
82
Untuk dapat lebih jelas mengenai pengujian ini, berikut ini akan diberikan
pembahasan
dengan
menggunakan
metode
kuantitatif
menggunakan program SPSS. 15 yaitu: a. Hasil Uji Asumsi Klasik 1) Uji Normalitas Data Suatu data akan terdistribusi secara normal jika nilai probabilitas yang diharapkan adalah sama dengan nilai probabilitas pengamatan. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti
arah
garis
diagonal
atau
grafik
histogramnya
menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas (Ghozali, 2005: 110). Hasil pengujian data penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut ini: Gambar 4.2 Grafik Normality probability Plot
83
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: Penerimaan Pajak
Expected Cum Prob
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Observed Cum Prob
Berdasarkan gambar 4.2 di atas terlihat bahwa penyebaran titik-titik berada tidak jauh di sekeliling garis diagonal. Hal ini menunjukkan bahwa data yang digunakan sebagai bahan penelitian mendekati normal sehingga layak untuk diteliti (H0 diterima dan H1 ditolak).
2) Uji Multikolinearitas Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan
adanya
korelasi
antar
variabel
bebas
(independen) (Ghozali, 2005:91). Jika terjadi korelasi, maka terdapat problem multikolinearitas atau multiko. Model regresi
84
yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independennya. Multikolinearitas dapat dilihat dari (1) nilai tolerance (TOL) dan lawannya (2) Variant Inflation Factor (VIF). Apabila Tolerance lebih dari 0.1 dan VIF kurang dari 10 maka tidak terjadi multikolinearitas. Tabel 4.3 Hasil Identifikasi uji Multikolineariti Model 1
Collinearity Statistics Tolerance VIF (Contant) Kepatuhan WP Hotel Kepatuhan Wp Restoran
.653 .653
1.530 1.530
a. Dependent Variable: Penerimaan Pajak
Data di atas menunjukan masing-masing variabel memiliki VIF tidak lebih dari 10 dan nilai tolerance tidak kurang dari 0,1. Maka
dapat
disimpulkan
model
regresi
terbebas
dari
multikolinearitas atau H0 diterima dan H1 ditolak. 3) Uji Heterokedasitas Uji ini dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika nilai variansnya tetap, maka disebut Homokedastisitas.
Jika
variansnya
berbeda
disebut
heteroskedastisitas, dimana model regresi yang baik adalah tidak terjadinya heterokedasitas. (Ghozali, 2005: 105) Gambar 4.3 Grafik Hasil Uji Heterokedasitas
85
Scatterplot
Dependent Variable: Penerimaan Pajak
Regression Studentized Residual
2
1
0
-1
-2
-3 -2
-1
0
1
2
Regression Standardized Predicted Value
Gambar 4.3 menunjukkan titik data menyebar secara acak serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa model regresi penelitian ini tidak mengalami problem heteroskedasitas. Hal ini berarti pada penelitian ini H0 diterima dan H1 ditolak.
4) Uji Autokorelasi Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah sebuah regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dan
86
kesalahan pada periode t-1. Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem Autokorelasi. Tentu saja model regresi yang baik adalah yang bebas dari problem tersebut. Deteksi adanya Autokorelasi dengan menggunakan Durbin-Watson, dimana angka D-W dibawah -2 ada Autokorelasi positif, angka D-W diantara -2 sampai +2 tidak ada Autokorelasi, dan angka D-W di atas +2 berarti ada Autokorelasi negatif (Santoso, 2002:219). Tabel 4.4 Model Summary(b)
Model 1
R a .856
R Square .733
Adjusted R Square .674
DurbinWatson 1.095
Besarnya nilai Durbin-Watson pada Tabel 4.4 menunjukkan angka 1.095, yang berarti nilai yang dihasilkan berada pada interval antara -2 sampai dengan +2. Dapat disimpulkan bahwa model regresi ini bebas dari Autokorelasi . b. Uji Hipotesis 1) Uji Adjusted R2 (Koefisien Determinasi) Untuk menentukan seberapa besar variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen, maka perlu diketahui nilai koefisien determinasi (Adjusted R-Square). Jika Adjusted R-Square adalah sebesar 1 berarti fluktuasi variabel dependen seluruhnya dapat dijelaskan oleh variabel independen dan tidak ada faktor lain yang menyebabkan fluktuasi variabel dependen. Nilai Adjusted RSquare berkisar hampir 1, berarti semakin kuat kemampuan
87
variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen. Sebaliknya, jika nilai Adjusted R-Square semakin mendekati angka 0 berarti semakin lemah kemampuan variabel independen dapat menjelaskan fluktuasi variabel dependen. (Ghozali:2005) Tabel 4.5 Koefisien Determinasi Model Summary b
Model 1
R a .856
R Square .733
Adjusted R Square .674
Std. Error of the Estimate 7.444E+010
Besarnya Koefisien Determinasi pada tabel 4.5 adalah sebesar 0,674 atau sebesar 67,4%. Artinya 67,4% variabel penerimaan pajak daerah dapat dijelaskan oleh variabel tingkat kepatuhan wajib pajak hotel dan restoran. Sedangkan sisanya sebesar 32,6% dijelaskan oleh variabel lain seperti pajak hiburan, pajak reklame, dan pajak penerangan jalan. Hal ini menunjukkan korelasi antar variabel bebas dengan variabel terikat cukup kuat. Sedangkan Sapto (2005:55) berpendapat bahwa besarnya pengaruh hubungan antara penerimaan pajak hotel dan restoran adalah sebesar 81,3%. Artinya, 83,1% pendapatan asli daerah dapat dijelaskan oleh pajak hotel dan restoran sedangkan 12,8% sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Besarnya tingkat pengaruh pajak hotel dan pajak restoran terhadap pendapatan asli daerah pada penelitian yang dilakukan oleh Sapto adalah dikarenakan penelitian tersebut dilakukan pada
88
Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I dan Jakarta Pusat II. Selain itu, penelitian tersebut mengambil sampel penerimaan pajak hotel dan pajak restoran yang tidak memperhitungkan tingkat kepatuhan wajib pajaknya. 2) Uji t-statistik (Pengaruh Secara Parsial) Uji t-Statistik digunakan untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel independen secara individual terhadap variabel dependen, maka digunakan tingkat signifikan sebesar 0.05. Jika nilai probability t lebih besar dari 0.05 maka tidak ada pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen (koefisien
regresi
tidak
signifikan),
sedangkan
jika
nilai
probability t lebih kecil dari 0.05 maka terdapat pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen (koefisien regresi signifikan) (Ghozali: 2005). Tabel 4.7 Hasil Uji t-Statistik Coefficient a Model 1
(constant) Kepatuhan WP Hotel Kepatuhan WP Restoran
Unstandardized Coefficients B Std. Error -19480806901508.565 1E+012 -9044803306.032 8E+009 8852362593.881 3E+009
Standardized Coefficients Beta -.229 .701
t -1.782 -1.074 3.291
Hasil Uji pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa variabel kepatuhan wajib pajak hotel memiliki nilai signifikansi sebesar 0.311 atau lebih besar dari 0.05 maka Ha1 ditolak, berarti secara parsial tidak ada pengaruh antara variabel tingkat kepatuhan wajib
Sig. .108 .311 .009
89
pajak hotel terhadap penerimaan pajak daerah. Sementara itu, kepatuhan wajib pajak restoran mempunyai nilai signifikansi sebesar 0.009 atau lebih kecil dari 0.05 maka Ha2 diterima, berarti secara parsial ada pengaruh secara signifikan antara variabel tingkat kepatuhan wajib pajak restoran terhadap penerimaan pajak daerah. Tingkat kepatuhan wajib pajak hotel tidak memiliki pengaruh yang signifikan karena walaupun penerimaan dari pajak hotel tinggi dan wajib pajak yang patuh juga lebih besar, namun perkembangannya lebih kecil dari pada wajib pajak restoran. Sehingga tingkat kepatuhan wajib pajak hotel tidak memberikan kontribusi yang cukup tinggi bagi penerimaan pajak daerah. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ulfah (2007:69).tentang pengaruh penerimaan pajak reklame dan hotel terhadap pendapatan asli daerah. Pada penelitian tersebut didapat hasil uji t bahwa jumlah penerimaan pajak reklame dan hotel sebesar 0,001 dan 0,099 pada tingkat signifikansi 0,05. Maka dapat diambil kesimpulan pajak reklame berpengaruh terhadap PAD sedangkan pajak hotel tidak. Ulfah berpendapat bahwa tingkat keamanan kota Jakarta dan kepatuhan wajib pajak yang kurang menyebabkan penerimaan pajak hotel lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan pajak reklame. Kurangnya kepatuhan wajib pajak disebabkan kurangnya pembinaan yang optimal dari
90
pemerintah dan tidak adanya sistem on-line untuk membayar pajak hotel dan wajib pajak hotel tidak dipersulit untuk menyetor pajaknya 3) Uji F-statistik (Pengaruh Secara Simultan) Uji Statistik F dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel-variabel independen secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel dependen. Untuk mengetahui apakah variabelvariabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen, maka digunakan tingkat signifikan sebesar 0.05. Jika nilai F probability lebih besar dari 0.05 maka model regresi tidak dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen atau dengan kata lain variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika nilai F probability lebih kecil dari 0.05 maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen atau dengan kata lain variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (Ghozali: 2005).
Tabel 4.6 Hasil uji F-statistik Model 1
a
Regression T Residual Total
Sum of Squares 1.4E+023 5.0E+022 1.9E+023
Df
Mean Square
2 9 11
6.848E+022 5.542E+021
F 12.358
Sig. .003a
91
Tabel 4.6 menunjukkan hasil uji F dengan signifikansi 0,003 dimana besarnya signifikansi dari hasil uji F tersebut lebih kecil dari 0,05. Berarti dalam penelitian ini Ha3 diterima. Artinya variabel Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Wajib Pajak Restoran berpengaruh secara bersama-sama terhadap variabel Penerimaan Pajak Daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan wajib pajak hotel dan restoran memiliki kontribusi yang sangat kuat tehadap penerimaan pajak daerah. Berdasarkan hasil uji hipotesis diatas maka dapat dibuat persamaan regresi sebagai berikut: Y = a + b1 x 1 + b2 x 2 + ei Y = -19480806901508.565 - 9044803306.032 X1 + 8852362593.881X2 + ei
Konstanta sebesar -19.480.806.901.508,565 menyatakan bahwa jika tidak ada wajib pajak hotel dan restoran yang patuh (secara matematika X1 dan X2 adalah 0), maka penerimaan pajak daerah berkurang hingga Rp. -19.480.806.901.508,565. Koefisien regresi X1 sebesar -9.044.803.306,032 menyatakan bahwa setiap pengurangan wajib pajak hotel yang patuh maka penerimaan pajak daerah
akan
berkurang
hingga
menjadi
sebesar
Rp. -9.044.803.306,032. Sedangkan koefisien regresi X2 sebesar 8.852.362.593,881 menyatakan bahwa setiap penambahan wajib pajak restoran yang patuh maka penerimaan pajak daerah bertambah hingga sebesar Rp. 8.852.362.593,881.
92
Hasil pengujian di atas menunjukkan masih rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak daerah terutama wajib pajak restoran menyebabkan berkurangnya penerimaan pajak kepada kas daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu lebih meningkatkan jumlah penerimaan daerah dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak terutama wajib pajak restoran dengan cara mengefektifkan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan tingkat kesadaran wajib pajak dan memberlakukan sanksi yang lebih berat kepada wajib pajak yang nakal. Selain itu, juga perlu di dukung dengan sistem administrasi perpajakan yang baik. Pada hakekatnya kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem administrasi perpajakan yang meliputi tax service dan tax enforcement. Langkah-langkah perbaikan administrasi diharapkan dapat mendorong kepatuhan wajib pajak melalui dua cara yaitu pertama, wajib pajak patuh karena mendapatkan pelayanan yang baik, cepat, dan menyenangkan serta pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Kedua, wajib pajak akan patuh karena mereka berpikir bahwa mereka akan mendapat sanksi berat akibat pajak yang tidak mereka laporkan terdeteksi sistem informasi dan administrasi perpajakan serta kemampuan crosschecking informasi dengan instansi lain (Djoko Slamet Surjoputro dan Junaedi Eko Widodo, 2004:41-51)
93
Sedangkan menurut Machfud Sidik (2002:13) kebijaksanaan Pemerintah Daerah yang sangat tepat saat ini untuk meningkatkan penerimaan daerah dalam jangka pendek sebaiknya dititikberatkan pada intensifikasi pemungutan pajak yaitu mengoptimalkan jenisjenis pungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada.
94
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Penerimaan Pajak Daerah pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat I dengan menggunakan sampel 1 tahun yaitu dari bulan Januari sampai bulan Desember 2007. Berdasarkan pembahasan dan analisis dari hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil Uji t menunjukkan bahwa Ha1 ditolak, berarti secara parsial tidak ada pengaruh antara variabel tingkat kepatuhan wajib pajak hotel terhadap penerimaan pajak daerah. Sementara itu, Ha2 diterima, berarti secara parsial ada pengaruh secara signifikan antara variabel tingkat kepatuhan wajib pajak restoran terhadap penerimaan pajak daerah. 2. Hasil uji F (simultan) menunjukkan bahwa Ha3 diterima artinya variabel Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Hotel dan Wajib Pajak Restoran secara bersama-sama
berpengaruh
Penerimaan Pajak Daerah.
secara
signifikan
terhadap
variabel
95
B. Implikasi Pajak daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan juga merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meningkatnya kepatuhan wajib pajak daerah akan menyebabkan bertambahnya jumlah penerimaan kepada kas daerah sehingga pemerintah daerah dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat seperti perbaikan fasilitas umum yang rusak, pembuatan jalan untuk kepentingan umum, pengadaan sarana transportasi umum dan lain sebagainya karena pajak pada hakikatnya dari masyarakat, oleh masyarakat, dan pada akhirnya juga untuk masyarakat.
C. Saran Berdasarkan kesimpulan dari penelitian diatas maka penulis mengajukan saran sebagai berikut: 1. Suku Dinas Pendapatan Daerah perlu meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak terutama wajib pajak restoran dengan cara mengefektifkan sosialisasi tentang pajak sehingga masyarakat memberikan partisipasi lebih dalam membayar pajak. 2. Untuk
penelitian
selanjutnya
dengan
pembahasan
yang
sama,
melaksanakan penelitian pada wilayah penelitian yang lebih luas dan dengan menggunakan periode penelitian lebih dari satu tahun. Misalnya penelitian pada seluruh DKI Jakarta selama tiga tahun.
96
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid, “Panduan Penulisan Skripsi”, FEIS UIN Syarif Hidayatullah, Grafika Karya Utama, Jakarta, 2004. Anastasia Diana & Lilis Setiawati, “PERPAJAKAN INDONESIA Konsep, Aplikasi dan Penuntun Praktis”, Andi, Yogyakarta, 2004. Bukhori, “Pengantar Hukum Pajak”, Edisi Revisi, Cet. IV, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Djoko Slamet Surjoputro dan Junaedi Eko Widodo, “Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Melalui Modernisasi Administrasi Perpajakan,” dalam Robert Pakpahan dan Toyomu Yuasa, peny., Menuju Sistem dan Administrasi Perpajakan Berkelas Dunia: Studi Perpajakan di Indonesia dengan Inspirasi Pengalaman Jepang Jakarta, Penerbit Kharisma, 2004. Erly Suandi, “Hukum Pajak”, Jakarta, Salemba Empat, 2005. Gunadi, “Fungsi Pemeriksaan Terhadap Peningkatan Kepatuhan Pajak”, Jurnal Perpajakan Indonesia 4, No. 5, 2005. H. Muhammad Gade, “Teori Akuntansi”, Halmahira, Jakarta, 2005. Hadi Purnomo, “Reformasi Administrasi Perpajakan,” Dalam Heru Subyantoro dan Singgih Riphat, peny., Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Februari 2004. Imam Ghozali, “Aplikasi Multivariate dengan Program SPSS”, BP UNDIP, Semarang, 2005. Indra, Ismawan, “Memahami Reformasi Perpajakan”, Elexmedia Komputindo, Jakarta, 2001. J. Supranto, “Statistik dan Aplikasi” Erlangga, Jakarta, 2000. Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 329 Tahun 2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003 Tentang Wajib Pajak Patuh.
97
Kompas, “Bisnis Hotel dan Restoran di 2008” Minggu 3 Februari 2008. Machfud Siddiq, “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah” Disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Thema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002 - di Bandung, 10 April 2002. Mardiasmo, “Perpajakan Edisi Revisi2006” Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006. Marcus Taufan Sofyan, “Pengaruh Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar” STAN, 2005. Moh. Nazir, “Metode Penelitian”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Pajak Hotel. Peratutan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pajak Restoran. Riduwan, “Dasar-dasar Statistika”, Alfabeta, Bandung, 2006. Santoso Brotodihardjo “Pengantar Ilmu Hukum Pajak”, PT. Refika Aditama, Bandung, 1991. Safri Nurmantu, “Pegnantar Perpajakan”, Kelompok Yayasan Obor, Jakarta, 2003. Sapto Nur Edie, “Analisis Pengaruh Penerimaan Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Pendapaan Asli Daerah (Studi Kasus pada Suku Dinas Pendapatan Daerah Jakarta Pusat)”, FEIS UIN, 2005. Siahaan, Marihot, “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Singgih Santoso, “Latihan SPSS Statistik Parametrik”, Elexmedia Komputindo, Jakarta, 2002. Sudjana, “Statistika untuk Ekonomi dan Niaga”, Penerbit Tarsito, Bandung, 1993. Ulfah, “Analisis Pengaruh Penerimaan Pajak Reklame dan Hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah Propinsi DKI Jakarta”, FEIS UIN Jakarta, 2007.
98
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dipenda Propinsi DKI Jakarta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
99
Gambar 4.1 STRUKTUR ORGANISASI SUKU DINAS PENDAPATAN DAERAH JAKARTA PUSAT I KEPALA SUDIPENDA KODYA JAKARTA PUSAT I Drs. H. MUHAMMAD ALI, M.Si. 470035144 / 049944, 22-02-1955
KASI PENATAUSAHAAN & PELAPORAN PERDA
KASI PEMERIKSAAN
KASI PENETAPAN
DJUMADI MACHDUM, S.Sos M.Si 470045641 / 14-03-1958
H. SULAIMAN J. LUBIS, M.Si
ACHMAD MAULANA, SE. M.Si.
∗ ETI JUNAETI 470035663 / 53893 ∗ MAD NURDIN 010096154 / 64582 ∗ AGUS SALIM K. 470028954 / 41357
KASI PDK TANAH ABANG DAHLAN SIPAHUTAR, SH. MH. ∗ RICKY NELSON 470046613/067693 ∗ LONDUT 470057079/109837 ∗ PONIMIN Bsc 470044483/62424
470045840 / 065827, 16-06-1953 ∗ DRS. MAS’AN 470026994 / 038964 ∗ SLAMET, S.Sos 470058881 / 114208 ∗ SUHERMAN 470061920 / 121606 ∗ DANI AMRAN ,S.Sos 470047637 / 71146 ∗ RICHARD JEREMIA, S.Sos 470059990 / 117315 ∗ HARRY RAHMADI 470061798 / 121795 ∗ LUKMAN HIDAYAT 470063760 / 164942
470046265 /
470046294 / 67499, 02-04-1960 ∗ SRI NASIFAH N, SH. 470045201 / 63940
∗ ZAKIAH 470060529 / 12006
∗ NURLAELA 470060771 / 119713
∗ TUTI CHOIRIYAH 470060643 / 11983
KASI PDK SENEN AZHAR AMIR, SE, M.Si. ∗ RICHARD SIBURIAH 470045625/064455 ∗ TJARMADI 470056147/107823
KASI PENAG KEBERA H. SETYOK
∗ TITIN SUPRIHAT 470051723 / 08626
∗ FAJAR ANDI MU 470063762 / 16500
KASI PDK MENTENG GEORGEUS HERMAN, S Sos ∗ EVI YANI V,S.Sos 470051914/87980 ∗ MARTHA HENDRI 470060475/119942
100