ANALISIS PENGARUH KURS VALUTA ASING, LAJU INFLASI, DAN SUKU BUNGA TERHADAP HARGA SAHAM INDUSTRI OTOMOTIF (STUDI KASUS PADA BURSA EFEK INDONESIA)
Fachrudy Asj’ari Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Jln. Raya Mojopahit (Depan RSUD) – Sidoarjo
ABSTRACT The goal of this research is to know dominant factors that influences fluctuation of stocks price in industry otomotive which listing in Indonesia Stock Exchange.The results of research show that all of independent variables have strong influence to dependent variable. It is seen in determinant coeficient (R2) is 0,673. It means that all of independent variables (in this research independent variables consist of inflation, interest rate of Indonesia Bank Sertificate/SBI, foreign exchange ) have contribution 67,3% to average of stocks price in industry otomotive. Fisher test (F-test) is 26,062 with probability 0,000(significant on 95% level of confidence). From analysis partial, can be showed that foreign exchange has most significant influence and has positive correlation to average of stocks price. It is showed partial r2 (-4,490) is less than r2 table (-2,042). Key words: Foreign exchange, Indonesia Bank sertificate, inflation, average of stocks price, capital market. PENDAHULUAN Pasar modal merupakan salah satu sarana efektif yang dapat dimanfaatkan untuk memobilisasi dana serta mempercepat pembangunan suatu negara. Hal ini karena pasar modal merupakan wahana yang dapat menggalang pengerahan dana jangka panjang dari masyarakat untuk disalurkan ke sektor-sektor produktif. Kehadiran pasar modal memperbanyak pilihan sumber dana (khususnya dana jangka panjang) bagi perusahaan. Dengan semakin berkembangnya pasar modal, kesempatan perusahaan untuk mendapatkan sebagian atau seluruh dana dari masyarakat akan semakin potensial. Sementara itu, bagi investor pasar modal merupakan wahana yang dapat dimanfaatkan untuk menginvestasikan dananya, sehingga akan menambah pilihan investasinya. Apabila pengerahan dana masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan maupun pasar modal sudah dapat berjalan dengan baik, maka dana pembangunan yang bersumber dari luar negeri makin lama makin dikurangi. Pengaruh-pengaruh tersebut baik dari lingkungan eksternal maupun internal yang menimbulkan resiko bagi investor dapat dikurangi yaitu dengan melakukan diversifikasi atau peragaman dalam investasi dalam. Akan tetapi diversifikasi saham hanya akan mengurangi sebagaian resiko saham dan bukan menghilangkan seluruh resiko saham. Pengaruh dari faktor eksternal maupun internal tidak dapat dipisahkan dan masing-masing memiliki faktor yang mempengaruhinya dan saling berhubungan. Dalam kondisi yang cepat berubah, resiko yang patut diperhitungkan oleh pelaku pasar modal
yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu negara, yang kerapkali merupakan kondisi yang tidak terduga sebelumnya dan faktor eksternal kerapkali adalah faktor diluar kendali perusahaan yang dapat menimbulkan reaksi dipasar modal. Reaksi tersebut dapat berupa reaksi negatif maupun positif tergantung dalam pandangan para pelaku pasar modal terhadap dampaknya secara ekonomis peristiwa tersebut. Seperti yang dinyatakan Suryawijaya dan Setiawan, secara umum pelaku pasar modal seiring dengan perubahan yang semakin cepat harus semakin sensitif terhadap berbagai informasi yang relevan termasuk isu dan peristiwa politik & ekonomi (Suryawijaya, dan Setiawan; 1998:151). Berdasar pada hal diatas maka pengaruh faktor eksternal relevan untuk diperhitungkan pelaku pasar modal dalam melakukan investasi. Dua alasan pertama yang menjadi penyebab utama investor asing menarik investinya dari Indonesia. Dengan kata lain investor asing berusaha menghindar risiko atas jatuhnya nilai portfolio sahamnya dengan cara segera keluar dari pasar (menjual saham). Karena besarnya peranan investor asing di pasar saham Indonesia, maka capital outflow tersebut menyebabkan terjadinya penurunan indeks (IHSG) secara berkelanjutan. Setelah menjual sahamnya investor asing pada gilirannya berusaha segera menukar portfolio kasnya dengan USD dan akhirnya tindakan investor asing tersebut akan berakibat berkurangnya suplai USD di pasar uang, sehingga memacu penurunan nilai tukar rupiah lebih lanjut. Penurunan IHSG Bursa Efek Indonesia akibat depresiasi rupiah tersebut ternyata tidak mengakibatkan penurunan indeks harga saham pada sektor tertentu. Berdasarkan kondisi tersebut maka dapat dirumuskan tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi flutuasi harga saham yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia 2. Untuk mengetahui faktor yang paling dominan yang mempengaruhi fluktuasi harga saham pada industri otomotif yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia. Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penilaian Harga Saham, yang dalam teori dikemukakan beberapa macam pendekatan penilaian harga saham, yakni pendekatan fundamental, pendekatan teknis dan pendekatan random walk. a. Pendekatan Fundamental Metode yang populer dalam mengestimasi nilai saham adalah pendekatan fundamental (The Fundamental Approach), analisa yang menggunakan pendekatan ini disebut Fundamental analysis. Dalam mengestimasi nilai saham, fundamental analysis mempelajari “Economic Analysis, an industry analysis and a company analysis” (Amling frederick, 1989 : 13). Analisis yang mempergunakan teknik analisis fundamental percaya bahwa harga saham menggambarkan nilai intrinsik dari saham. Nilai intrinsik yang dimaksud disini adalah cara penentuan nilai saham berdasarkan kemampuan (performance) masa depan suatu perusahaan. Nilai intrinsik adalah yang didasarkan pada aktiva, produksi, pemasaran, pendapatan, dividen, prospek perusahaan dan faktor manajemen. Juga diperhatikan produk nasional bruto, tingkat bunga, tingkat inflasi, tingkat pengangguran dan lain-lain (Lembaga pengembangan kreatifitas dan pembinaan disiplin masyarakat, 1990:52).
b. Pendekatan teknis Pendekatan ini sering memusatkan perhatian pada “charts” harga sekuritas sehingga sering disebut chartists. Teknik analisis yang bersifat teknikal lebih menekankan pada perilaku harga saham, volume perdagangan harga saham serta capital gain. Aliran ini mengatakan bahwa investor adalah irrasional. c. Pendekatan random walk Random walk adalah suatu istilah statistik yang menunjukkan perubahan yang tidak mengikuti pola di waktu lalu. Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh analisis fundamental dan analisis teknis, teori random walk berprinsip bahwa perubahan harga saham tidak dapat diprediksi baik oleh informasi historis maupun oleh informasi saat ini. Berdasarkan masalah dan tujuan di atas serta landasan teori yang digunakan maka hipotesis yang diajukan adalah: 1. Diduga variabel kurs valuta asing (X1), variabel inflasi (X2) dan variabel suku bunga deposito(X3) secara bersama-sama dapat mempengaruhi perubahan harga saham pada industri otomotif yang go public di BEI. 2. Diduga dari variabel kurs valuta asing, inflasi dan suku bunga deposito, secara parsial salah satunya mempunyai pengaruh paling dominan / significant terhadap perubahan harga saham industri otomotif yang go public di BEI.
METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Penentuan lokasi dilakukan secara purposive dengan menetapkan Bursa Efek Indonesia dengan alasan Bursa Efek Indonesia merupakan tempat perusahaan perusahaan yang sudah Go publik untuk menjual saham-sahamnya terutama perusahaan industri otomotif nasional. Penelitian ini adalah penelitian populasi yaitu industri otomotif nasional yang sudah Go Publik yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia. Populasi dalam penelitian ada 14 perusahaan otomotif yaitu : a Andhi Chandra Automotive Products Tbk b Astra International Tbk c Astra Otoparts Tbk d Branta Mulia Tbk e Gajah Tunggal Tbk f Goodyear Indonesia Tbk g GT Petrochem Industries Tbk h Indomobil Sukses International Tbk i Indospring Tbk j Mutu Prima Sejahtera Tbk k Nipress Tbk l Prima Alloy Steel Tbk m Sanex Qianjiang Motor International Tbk n Selamat Sampurna Tbk
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Kurs Valuta Asing (X1) Nilai tukar atau kurs valuta asing menunjukkan nilai tukar antar valuta asing dan hal ini tergantung dari permintaan dan penawaran antar kedua valuta yang bersangkutan. Oleh Weston dan Brigham (1997) nilai tukar didefinisikan harga dari satu mata uang tertentu terhadap mata uang lain. Kurs valuta asing yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS selama periode penelitian tahun 2007 sampai dengan semester I tahun 2010. Tingkat Inflasi (X2) Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai di hampir semua negara di dunia adalah inflasi. Menurut Bodie, Kane, dan Marcus(dalam Pandji Anoraga dan Piji Pakarti, 2001) inflasi adalah suatu keadaan di mana harga barangbarang pada umumnya mengalami kenaikan. Di Indonesia tingkat inflasi diukur menurut tingkat perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan inflasi dalam penelitian ini menggunakan data bulanan selama tahun 2007 sampai dengan semester I tahun 2010. Tingkat Suku Bunga (X3) Adanya hubungan antara suku bunga dengan harga saham, seperti yang dinyatakan oleh Jones (dalam Yogiyanto, 2000): “Stock prices are clearly related to changes in interest rates, as established earlier. The implications of this relationship are clear. If interest rates are expected decline, stock prices will be expected to rise”. Hubungan antara perubahan tingkat suku bunga dan harga saham dapat digambarkan melalui mekanisme intern perusahaan. Bagi perusahaan dengan tingkat leverage tinggi, kenaikan tingkat suku bunga akan meningkatkan biaya modal. Biaya modal yang semakin membesar akan mengurangi keuntungan perusahaan, yang berarti kemampuan perusahaan untuk membayar deviden menurun. Sebagai akibatnya para pelaku pasar modal (investor) cenderung untuk menjual saham perusahaan yang bersangkutan yang selanjutnya akan menurunkan harga saham perusahaan. Tingkat suku bunga deposito BI dalam penelitian ini menggunakan data bulanan selama tahun 2007 sampai dengan semester I tahun 2010. Harga Saham (Y) Dalam penelitian ini harga saham yang dimaksud adalah rerata harga saham bulanan dari 14 perusahaan industri otomotif yang sudah terdaftar di lantai Bursa Efek Indonesia, yang datanya diambil dari tahun 2007 – semester I 2010.
Teknik Analisis Untuk mendapatkan data yang diperlukan digunakan pengumpulan data melalui dokumen yang tersedia pada Bursa Efek Indonesia ,Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik dan sumber-sumber lain yang terkait misalnya : Dinas Perdagangan dan Industri dan sebagainya. Data yang sudah terkumpul dianalisis secara kualitatif maupun secara kuantitatif dengan menggunakan tehnik analisis statistik deskreptif dan statistik inferensial.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Hipotesis Untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel Nilai kurs valuta asing (X1), laju inflasi nasional (X2), Tingkat suku bunga SBI periode satu bulan (X3) terhadap variabel Harga saham industri otomotif ( Y) di lakukan dengan analisis regresi majemuk atau berganda. Nilai analisis statistik dari perhitungan SPSS adalah sebagai berikut : Model Summary Model 1
R ,820a
R Square ,673
Adjusted R Square ,647
St d. Error of the Estimate 258,07021
a. Predictors: (Constant), SBI, VALUTA, INFLASI
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 5211255 2530809 7742064
df 3 38 41
Mean Square 1737084,906 66600,234
F 26,082
Sig. ,000a
t -1,827 4,490 1,936 -3,124
Sig. ,076 ,000 ,060 ,003
a. Predictors: (Const ant), SBI, VALUTA, I NFLASI b. Dependent Variable: HARGA Coeffi ci entsa
Model 1
(Constant) VALUTA INFLASI SBI
Unstandardized Coef f icients B St d. Error -1805,308 988,240 ,452 ,101 30,194 15,594 -86,815 27,792
St andardized Coef f icients Beta ,583 ,296 -,392
a. Dependent Variable: HARGA
Keterangan : a. Besarnya nilai koefisien regresi nilai kurs valuta asing sebesar 0,452 artinya bahwa variabel nilai kurs valuta asing berpengaruh positip atau searah dengan variabel Y (harga saham industri otomotif) sebesar 45,2 %. Maksudnya bahwa setiap perubahan variabel nilai kurs valuta asing sebesar satu satuan, maka variabel Y (harga saham industri otomotif) akan berubah sebesar 0,452 satuan. b. Besarnya nilai koefisien regresi tingkat suku bunga SBI periode satu bulan 86,815 artinya bahwa variabel tingkat suku bunga SBI periode satu bulan berpengaruh negatif yaitu berlawanan arah dengan variabel Y (harga saham industri otomotif) sebesar -86,815. Maksudnya bahwa setiap perubahan variabel tingkat suku bunga SBI periode satu bulan sebesar satu satuan, maka variabel Y
(harga saham industri otomotif) akan berubah dan berkurang / menurun sebesar 86,815 satuan. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Harga saham industri otomotif. Setelah dilakukan perhitungan regresi berganda diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Model Regresi Lengkap Ada 3 Variabel bebas yang ditetapkan sebagai faktor yang mempengaruhi Harga saham industri otomotif yaitu : a. Nilai tukar kurs valuta asing (X1) b. Laju inflasi nasional (X2) c. Tingkat suku bunga SBI (X3) Apabila seluruh variabel bebas dimasukkan kedalam model regresi,maka model persamaan regresinya adalah sebagai berikut : Y = Konstanta + b1 (Kurs valuta asing) + b2 (Laju inflasi nasional) + b3 (Suku bunga SBI) Setelah dilakukan perhitungan regresi ganda jika semua data masing-masing variabel bebas dimasukkan secara simultan (secara bersama-sama) diperoleh hasil sebagai berikut: Multiple R R Kuadrat Adjusted R Kuadrat
= 0,820 = 0,673 = 0,647 ANOVAb
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 5211255 2530809 7742064
df 3 38 41
Mean Square 1737084,906 66600,234
F 26,082
Sig. ,000a
a. Predictors: (Const ant), SBI, VALUTA, I NFLASI b. Dependent Variable: HARGA
Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang significant antara ketiga variabel dihitung secara simultan berpengaruh terhadap harga saham industri otomotif. Namun apabila masing-masing variabel dihitung tersendiri,maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Coeffi ci entsa
Model 1
(Constant) VALUTA INFLASI SBI
Unstandardized Coef f icients B St d. Error -1805,308 988,240 ,452 ,101 30,194 15,594 -86,815 27,792
St andardized Coef f icients Beta ,583 ,296 -,392
t -1,827 4,490 1,936 -3,124
Sig. ,076 ,000 ,060 ,003
a. Dependent Variable: HARGA
Apabila hasil perhitungan diatas dimasukkan lengkap,maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut :
kedalam
model
regresi
Y = -1805,308 + 0,452 X1 (Kurs valuta asing) + 30,194 X2 (Laju inflasi nasional) – 86,815 X3 (Suku bunga SBI) Namun ternyata yang significant hanya variabel Nilai tukar kurs valuta asing (X1) dan suku bunga SBI periode satu bulan (X3) terhadap harga saham industri otomotif sedangkan satu variabel yang lainnya yaitu laju inflasi tidak significant pada α = 5 % . Pemilihan Variabel yang Berpengaruh Dari analisis data dengan menggunakan regresi berganda dalam pemilihan variabel yang berpengaruh untuk kemudian disusun persamaan regresi bergandanya. Sebagai variabel terpengaruh adalah harga saham industri otomotif (Variabel Y), sedangkan sebagai variabel berpengaruh adalah kondisi makro perekonomian nasional , Nilai tukar kurs valuta asing ($) sebagai variable X1, laju inflasi nasional sebagai variable X2, dan suku bunga SBI periode satu bulan sebagai variable X3. Dari 3 variabel tersebut berdasarkan hasil analisa regresi berganda , hanya 2 variabel yang significansinya < 5 % yaitu nilai tukar kurs valuta asing (X1) dan tingkat suku bunga SBI periode satu bulan (X3) sedangkan 1 variabel yang lain tidak significant karena probabilitasnya > 5 % yaitu laju inflasi nasional.
2 Model Regresi yang Sesuai Mengingat hanya variabel bebas nilai tukar kurs valuta sing dan tingkat tingkat suku bunga SBI periode satu bulan yang significant,maka model persamaan regresi berganda yang sesuai adalah : Y = - 1.805,308 + 0,452 X1 (Nilai Kurs) – 86,815 X3 (Bunga SBI) Jika hanya variabel nilai kurs valuta asing dan tingkat suku bunga SBI periode satu bulan yang dihitung atau dimasukkan kedalam persamaan regresi maka diperoleh : Multiple R R Kuadrat Adjusted R Kuadrat
= 0,801 = 0,641 = 0,622
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 5211255 2530809 7742064
df 3 38 41
Mean Square 1737084,906 66600,234
F 26,082
Sig. ,000a
a. Predictors: (Const ant), SBI, VALUTA, I NFLASI b. Dependent Variable: HARGA
------------------ Variables in the Equation -----------------Coefficients Unstandardized Coefficients Model 1
(Constant) VALUTA SBI
B -1805,308 ,452
Std. Error 988,240 ,101
-86,815
27,792
a
Standardized Coefficients Beta ,583
t -1,827 4,490
Sig. ,076 ,000
-,392
-3,124
,003
a. Dependent Variable: HARGA
Dengan demikian model regresi berganda (Multiple Regression) yang sesuai adalah sebagai berikut : Y = - 1.805,308 + 0,452 X1 (Nilai kurs valuta asing) – 86,815 X3 (Suku bunga SBI periode satu bulan) Hasil dari model tersebut diatas bisa diterima karena harga saham industri otomotif dipengaruhi oleh dua faktor yang paling dominan yaitu nilai kurs valuta asing dan tingkat suku bunga SBI periode satu bulan karena kedua hal itu akan menentukan tingkat fluktuasi harga saham di Bursa Efek Indonesia Atas dasar hasil perhitungan diatas maka hipotesis yang berbunyi ada pengaruh : laju inflasi, tingkat suku bunga SBI periode satu bulan dan nilai kurs valuta asing terhadap harga saham industri otomotif tidak terbukti kebenarannya atau ditolak pada tingkat signifikansi 5 %, karena hanya ada 2 variabel saja yang significant yaitu nilai kurs valuta asing dan tingkat suku bunga SBI periode satu bulan. Sedangkan 1 variabel lain tidak signifikan yaitu laju inflasi nasional dinyatakan tidak terbukti kebenarannya atau ditolak pada taraf signifikansi 5 %.
Uji Statistik t Dari perhitungan SPSS nilai-nilai t dan probabilitas nampak sebagai berikut : Nilai t dan Probabilitas Tabel 1. Nilai t Dan Probabilitas Masing-Masing Variabel Bebas Variabel Bebas
Probabilitas
t ( df = 39)
Nilai kurs valuta asing
0.0000
4,490
Tingkat suku bunga SBI periode satu bulan
0.003
-3,124
A. Nilai kurs valuta asing Variabel kurs valuta asing mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham rata-rata industri otomotif karena kurs valuta asing merupakan pengaruh lingkungan ekonomi makro yang dapat menyebabkan turunnya nilai riil dari portofolio saham serta penurunan indeks yang berlangsung dapat memangkas nilai kapitalisasi saham. Dan dari akibat tersebut dapat menjadi penyebab utama investor asing menarik investasinya dari Indonesia. Dengan kata lain investor asing berusaha menghindari risiko atas jatuhnya nilai portofolio sahamnya dengan cara segera keluar dari pasar (menjual saham). Karena besarnya peranan investor asing di pasar saham Indonesia, maka capital outflow tersebut menyebabkan terjadinya penurunan indeks (IHSG) yang merupakan ukuran kenaikan maupun penurunan harga saham secara berkelanjutan. Nilai kus valuta asing dollar amerika digunakan kurs tengah yaitu merupakan nilai tengah antara kurs jual dan kurs beli . Selama periode tahun 2007 nilai tukar kurs valuta asing terutama dollar amerika relatif stabil,perubahan dari bulan ke bulan tidak terlalu besar fluktuasinya,pada periode ini nilai tukar dollar belum pernah mencapai Rp 9.000,- . Rata-rata nilai tukar dollar sebesar Rp 8.571,- .Nilai tukar terendah pada bulan Mei yaitu sebesar Rp 8.279,- sedangkan yang tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar Rp 8.908,- . Dalam perhitungan ini nilai kurs yang digunakan adalah nilai kurs tengah karena lebih moderat yaitu nilai tengah antara kurs jual dan kurs beli. Dengan kondisi yang demikian ini, tidak banyak berpengaruh terhadap perekonomian dalam negeri . Disamping itu, stabilitas nilai tukar ditopang dengan perkembangan kinerja neraca pembayaran sampai dengan akhir tahun 2007 yang masih cukup kuat serta terpeliharanya keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valas. Di sisi lain, untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar rupiah dan penyerapan kelebihan likuiditas dari ekspansi keuangan Pemerintah, intervensi di pasar valas akan dilakukan sesuai kebutuhan. Menguatnya nilai tukar, membuka peluang bagi penurunan tingkat inflasi akibat adanya pass through effect dari nilai tukar terhadap pembentukan harga di dalam negeri. Sayangnya otoritas moneter tidak dapat sepenuhnya mengendalikan fluktuasi nilai tukar. Hasil penelitian INDEF menyatakan bahwa 70 persen pergerakan nilai tukar rupiah ditentukan oleh kondisi pasar uang internasional. Dengan demikian, efektifitas intervensi BI hanya sekitar tiga puluh persen saja. Oleh karena itu, fluktuasi nilai tukar rupiah sangat tergantung terhadap mata uang lainnya. Tak heran, jika variabel-variabel diluar ekonomi bepengaruh sangat signifikan terhadap volatilitas rupiah. Penguatan rupiah sekarang ini lebih disebabkan
oleh kecenderungan melemahnya dolar terhadap mata uang lainnya terutama Euro dan Yen Selengkapnya nilai tukar valuta asing pada tabel dibawah ini . Tabel 2. Perkembangan Kurs Valuta Asing ($) Tahun 2007 - 2009 BULAN KURS JUAL KURS BELI (Rp) KURS TENGAH (Rp) (Rp) 2007 2008 2009 2007 2008 2009 2007 2008 2009 Januari 8.920 8.493 9.211 8.832 8.399 9.119 8.876 8.446 9.165 Pebruari 8.950 8.489 9.306 8.860 8.405 9.214 8.905 8.447 9.260 Maret 8.953 8.630 9.527 8.863 8.544 9.433 8.908 8.587 9.480 April 8.718 8.704 9.618 8.632 8.618 9.522 8.675 8.661 9.570 Mei 8.320 9.256 9.542 8.238 9.164 9.448 8.279 9.210 9.495 Juni 8.326 9.462 9.762 8.244 9.368 9.664 8.285 9.415 9.713 Juli 8.548 9.214 9.868 8.462 9.122 9.770 8.505 9.168 9.819 Agustus 8.578 9.375 10.291 8.492 9.281 10.189 8.535 9.328 10.240 Sept 8.431 9.216 10.362 8.347 9.124 10.258 8.389 9.170 10.310 Oktober 8.537 9.135 10.140 8.453 9.045 10.040 8.495 9.090 10.090 Nopember 8.580 9.063 10.085 8.494 8.973 9.985 8.537 9.018 10.035 Desember 8.507 9.336 9.879 8.423 9.244 9.781 8.465 9.290 9.830 Sumber Data : Bank Indonesia (diolah) Seperti halnya pada periode tahun 2007, pada tahun 2008 nilai tukar dollar amerika relatif stabil, namun apabila diamati lebih mendalam perkembangan nilai tukar dollar amerika relatif berfluktuasi apabila dibandingkan tahun 2007 . Selengkapnya seperti terlihat pada tabel dan gambar dibawah ini . Rata-rata nilai kurs pada periode ini mencapai Rp 8.986,- relatif lebih tinggi dibandingkan tahun 2007. Pada tahun 2008 nilai kurs tertinggi terjadi pada bulan Juni mencapai Rp 9.415,- dan nilai kurs terendah pada bulan Januari mencapai Rp 8.446,- . Pada periode ini nilai kurs dollar amerika dapat mencapai lebih dari Rp 9.000,- bahkan hampir mencapai Rp 9.500,B. Tingkat suku bunga SBI Variabel tingkat suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham rata-rata dalam industri otomotif, karena adanya perbedaan perlakuan perpajakan antara perbankan dan pasar modal. Dengan diberlakukannya pajak atas bunga deposito maka kenaikan tingkat bunga deposito tidak secara otomatis menyebabkan investor untuk menjual sahamnya karena mereka masih memperhitungkan besarnya pajak yang harus dibayar apabila mengalihkan pada deposito berjangka. Dengan demikian, semakin banyak investor yang mempertahankan sahamnya maka akan memperkuat posisi saham tersebut sehingga dapat mengangkat harga saham pada industri otomotif. Kecenderungan penurunan suku bunga SBI tersebut telah mendorong penurunan suku bunga perbankan khususnya suku bunga kredit walaupun belum seperti yang diharapkan. Sampai dengan Oktober 2008, suku bunga kredit modal kerja (KMK), kredit investasi (KI), dan kredit konsumsi (KK) masing-masing mencapai 13,64 persen, 14,25 persen, dan 16,89 persen. Bila dibandingkan dengan posisi akhir 2007, penurunan ketiga suku bunga kredit tersebut masing-masing mencapai 143 basis poin, 143 basis poin, dan 180 basis poin. Sementara itu suku bunga deposito berjangka 3 bulan mencapai 6,65%
pada akhir Oktober 2008. Diharapkan suku bunga kredit akan menurun lagi mengingat ruang penyesuaian masih tersedia. Terlihat bahwa penurunan suku bunga SBI dan penurunan suku bunga kredit selama periode Januari 2002-November 2008 tidak disertai dengan menurunnya spread antara suku bunga SBI dengan suku bunga kredit. Menurut Arwin Rasyid (2008), suku bunga kredit bank bisa ditekan sampai dengan 12% apabila struktur biaya perbankan bisa diperbaiki. Sekarang ini suku bunga pinjaman berkisar antara 14-20% namun seharusnya bisa turun hingga di bawah 12%. Bagaimana bank menyalurkan kredit kepada sektor-sektor yang saat ini mempunyai NPL yang tinggi. Sektor tekstil saja yang saat ini menjadi primadona perbankan memiliki NPL di atas 5%. Industri memang ada masalah tetapi tetap harus mencari jalan keluar supaya bank berani menyalurkan kredit. Jadi harus ada koordinasi antara BI, Kadin, maupun industri yang bersangkutan. Di samping itu fenomena disintermediasi perbankan juga disebabkan oleh terhambatnya penyaluran kredit. Ketidakefektifan kebijakan pemerintah menurunkan suku bunga SBI sebagai upaya untuk mendorong perkembangan sektor riil di Indonesia melalui intermediasi kredit investasi di sektor perbankan kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya jaminan—yaitu adanya keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit kepada perusahaan yang jaminannya tidak mencukupi, termasuk di dalamnya jaminan hukum dan jaminan kredibilitas investor. Kedua, kapasitas produksi nasional hanya mencapai 48 persen, ketiga, terjadi deindustrialisasi, sehingga lebih banyak membutuhkan kredit modal kerja dibanding kredit investasi. Keempat, risiko yang tidak dapat diduga baik di bidang ekonomi maupun politik. Sementara itu, masih dalam konteks yang sama, Agung et. al. (2001) menyebutkan bahwa pertumbuhan pinjaman bank secara nasional, terutama pasca krisis, dinilai lamban. Kelambanan ini dapat dilihat dari dua sisi—yaitu sisi permintaan dan penawaran. Di sisi permintaan, antara lain, kelambanan pertumbuhan pinjaman bank dikarenakan menurunnya kualitas peminjam sebagai akibat krisis keuangan selama 1997– 1998 yang ditandai dengan depresiasi nilai tukar dan peningkatan suku bunga. Depresiasi nilai tukar menimbulkan tekanan-tekanan terhadap debt service. Debt service yang meningkat menyebabkan debt equity ratio yang tinggi, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan investasi. Peningkatan suku bunga menyebabkan penurunan harga aset dan cash flow, sehingga menurunkan investasi. Terakhir, risiko berbisnis yang tinggi. Ketidakpastian yang tinggi, termasuk berbagai permasalahan di dalam negeri, merupakan faktor utama penundaan ekspansi dan penurunan permintaan kredit. Sedangkan di sisi penawaran, kelambanan pertumbuhan pinjaman bank disebabkan oleh masalah internal bank itu sendiri tetapi tetap harus mencari jalan keluar supaya bank berani menyalurkan kredit. Jadi harus ada koordinasi antara BI, Kadin, maupun industri yang bersangkutan. Di samping itu fenomena disintermediasi perbankan juga disebabkan oleh terhambatnya penyaluran kredit. Ketidakefektifan kebijakan pemerintah menurunkan suku bunga SBI sebagai upaya untuk mendorong perkembangan sektor riil di Indonesia melalui intermediasi kredit investasi di sektor perbankan kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya jaminan—yaitu adanya keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit kepada perusahaan yang jaminannya tidak mencukupi, termasuk di dalamnya jaminan hukum dan jaminan kredibilitas investor. Kedua, kapasitas produksi nasional hanya mencapai 48 persen, ketiga, terjadi deindustrialisasi, sehingga lebih banyak membutuhkan kredit modal kerja dibanding kredit investasi. Keempat, risiko yang tidak dapat diduga baik di bidang ekonomi maupun politik.
Sementara itu, masih dalam konteks yang sama, Agung et. al. (2001) menyebutkan bahwa pertumbuhan pinjaman bank secara nasional, terutama pasca krisis, dinilai lamban. Kelambanan ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi permintaan dan penawaran. Di sisi permintaan, antara lain, kelambanan pertumbuhan pinjaman bankdikarenakan menurunnya kualitas peminjam sebagai akibat krisis keuangan selama 1997–1998 yang ditandai dengan depresiasi nilai tukar dan peningkatan suku bunga. Depresiasi nilai tukar menimbulkan tekanan-tekanan terhadap debt service. Debt service yang meningkat menyebabkan debt equity ratio yang tinggi, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan investasi. Peningkatan suku bunga menyebabkan penurunan harga aset dan cash flow, sehingga menurunkan investasi. Terakhir, risiko berbisnis yang tinggi. Ketidakpastian yang tinggi, termasuk berbagai permasalahan di dalam negeri, merupakan faktor utama penundaan ekspansi dan penurunan permintaan kredit. Sedangkan di sisi penawaran, kelambanan pertumbuhan pinjaman bank disebabkan oleh masalah internal bank itu sendiri, seperti: Capital adequacy mengurangi kemampuan untuk peminjaman kredit, karena hambatan modal; Non performing loans (NPL) menyebabkan konsolidasi internal untuk mengembalikan kualitas aset daripada penawaran kredit; Risiko kredit yang tinggi yang ditunjukkan oleh spread yang tinggi antara suku bunga deposito dan suku bunga kredit; dan syarat jaminan yang ketat. Risiko kredit yang tinggi menyebabkan bankbank sangat berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya; Bank tidak mengetahui secara rinci sektor mana yang layak atau tidak layak untuk dibiayai; Bank tidak mempunyai cukup informasi mengenai kredibilitas investor. Terdapat perbedaan yang sangat besar antara dana pihak ketiga dengan kredit perbankan. Dana pihak ketiga jauh melebih kredit perbankan selama periode Desember 2001- November 2008. Hal ini memperkuat adanya disintermediasi dalam sektor perbankan. Perbankan tidak menjalankan dengan baik fungsinya untuk menyalurkan dana pihak ketiga menjadi kredit kepada yang membutuhkan. Sebagian dana pihak ketiga ini justru diputar di pasar uang dan pasar modal, yaitu untuk: Pembelian SBI sebagai alternatif untuk mendapatkan keuntungan Menanamkan dana di pasar modal Obligasi rekap deposito. Perkembangan suku bunga Bank Indonesia selama periode tahun 2007 sampai semester I tahun 2009 secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Tingkat suku bunga tertinggi terjadi pada bulan Januari tahun 2007 sebesar 12,89 % secara berangsur mengalami penurunan hingga mencapai tingkat terendaha pada bulan Oktober sebesar 7,40 %. Selanjutnya pada pasca periode tersebut secara berangsur-angsur mengalami kenaikkan yang cukup signifikan pada bulan Desember 2009 sebesar 12,75 %,sehingga dengan tingkat bunga sebesar itu sektor riil yaitu sektor industri dan perdagangan tidak bisa berkembang dengan baik bahkan banyak perbankan memarkir dananya pada Bank Indonesia kondisi tersebut akan memacu tidak berkembangnya sektor riil sehingga investasi rendah, pengangguran meningkat, pertumbuhan ekonomi renda, daya beli masyarakat lemah sehingga secara nasional kurang menguntungkan kondisi perekonomian secara keseluruhan . Perkembangan penurunan suku bunga menunjukkan konsistensi kebijakan moneter serta stabilisasi ekonomi makro. Penurunan suku bunga juga mampu
mengurangi beban pembayaran bunga obligasi, karena setiap penurunan satu persen suku bunga SBI akan dapat mengurangi beban bunga sebesar Rp2,3 triliun. Meskipun suku bunga rendah, namun minat pasar menyimpan dana pada SBI masih cukup besar yang ditandai dengan banyaknya dana yang diserap BI dalam lelang tersebut, yakni Rp21.5 triliun atau 76.22 persen dari lelang yang diterima BI. Namun penurunkan suku bunga tetap harus memperhatikan insentif yang diterima oleh nasabah bank. Jika insentif yang diterima nasabah berkurang secara signifikan, nasabah bisa menarik keluar deposit-nya dan mencari alternatif investasi lain. Disamping itu, jika suku bunga SBI turun terlalu cepat, juga dapat mengganggu likuiditas perbankan, karena insentif penerimaan bunga perbankan akan berkurang. Seperti diketahui, perbankan diuntungkan dengan adanya suku bunga SBI yang tinggi, dengan memperoleh penerimaan bunga dari penempatan dana SBI maupun dari bunga obligasi rekap yang diharapkan. Jika suku bunga SBI turun, maka bank harus dapat mengompensasikan penerimaan bunga dari sumber lain, untuk itu bank akan tetap mempertahankan suku bunga kreditnya, ataupun meningkatkan penerimaan yang berasal dari jasa operasional perbankan (fee-based income). Jadi tidak heran jika penurunan suku bunga SBI dan deposito, tidak sebanding dengan penurunan suku bunga kredit, baik kredit investasi, modal kerja dan konsumsi. Hal tersebut dikarenakan perbankan tidak dapat mengurangi biaya bunga dan tidak dapat mengompensasikan hilangnya penerimaan bunga SBI. Idealnya dengan penurunan suku bunga SBI mencapai level di bawah 10%, suku bunga kredit juga turun di bawah 15%, dan perbankan sudah dapat menyalurkan kreditnya ke sektor riil. Namun kenyataannya terjadi asimetri antara laju penurunan suku bunga SBI dangan suku bunga kredit. Perbankan dalam menentukan suku bunga kredit lebih banyak tergantung pada credit risk (risiko kredit macet), biaya intermediasi, dan cost of fund (biaya pendanaan). Padahal sebenarnya perbankan dapat melakukan efisiensi dengan menekan cost of fund (biaya dana) dan overhead-nya sehingga dapat menekan biaya untuk kredit yang disalurkan. Selengkapnya seperti tampak pada tabel dibawah ini : Tabel 3. Suku Bunga SBI Tahun 2007 – Tahun 2009 BULAN Tahun 2007 2008 Januari 12,89 % 8,24 % Pebruari 12,65 % 7,77 % Maret 11,97 % 7,42 % April 11,40 % 7,34 % Mei 10,91 % 7,32 % Juni 10,27 % 7,33 % Juli 9,30 % 7,37 % Agustus 9,06 % 7,37 % September 8,83 % 7,38 % Oktober 8,76 % 7,40 % Nopember 8,46 % 7,42 % Desember 8,31 % 7,43 % Sumber data : Bank Indonesia Jakarta
2009 7,42 % 7,42 % 7,43 % 7,53 % 7,81 % 7,98 % 8,44 % 8,50 % 10,0 % 11,0 % 12,25 % 12,75 %
Tabel 4. Suku Bunga SBI Tahun 2010 BULAN SUKU BUNGA Januari 12,74 % Pebruari 12,74 % Maret 12,73 % April 12,73 % Mei 12,74 % Juni 12,50 % Sumber data : Bank Indonesia Jakarta C. Laju Inflasi Selama periode tahun 2007 sampai semester I tahun 2009 pemerintah berhasil mengendalikan laju inflasi dibawah satu digit karena rata-rata laju inflasi pada periode tersebut dibawah 10 % . Pada periode tersebut laju inflasi tertinggi pada bulan Maret tahun 2009 sebesar 8,81 % dan yang terendah pada bulan Pebruari 2008 sebesar 4,60 %. Selanjutnya pada pasca periode tersebut tingkat laju inflasi secara berangsurangsur mengalami kenaikkan hingga mencapai lebih dari 10 % bahkan mencapai hampir 20 % . Laju inflasi tertinggi terjadi pada bulan Nopember 2009 sebesar 18,38 % dan terendah pada bulan Juli 2009 sebesar 7,84 % karena periode tersebut kondisi perekonomian nasional penuh gejolak antara lain : kenaikkan harga BBM, kenaikkan beberapa kebutuhan pokok terutama beras, bencana alam Tsunami, hasil panen nasional yang kurang memuaskan sehingga memicu kenaikkan harga beras yang kesemuanya tersebut menjadi multiplier terjadinya kenaikkan laju inflasi secara nasional. Selama semester I tahun 2007 inflasi cenderung menurun tajam secara kumulatif,pergerakan harga hanya tercatat 1,23 % (m-t-m) dan sebesar 6,62 % (y o y) ini suatu hal yang sangat yang menggembirakan padahal pada semester yang sama tahun 2002 inflasi masih sebesar 5,46%. Bahkan pada bulan Juni 2007 harga hanya naik 0,09% atau mencapai tingkat terendah selama tiga tahun terakhir. Beberapa komponen pengeluaran yang masih mempunyai kontribusi terhadap inflasi adalah kelompok perumahan (0,91%), kelompok sandang (0,29%), dan kelompok kesehatan (0,19%). Sedangkan kelompok bahan makanan justru mengalami deflasi sebesar 0,82%. Secara umum tingkat inflasi selama periode Januari-November 2007 sebesar 4,08 persen dengan kontribusi terbesar berasal dari pendidikan. Ini sebagai akibat dari besarnya pengeluaran biaya pendidikan selama triwulan III. Jika laju inflasi selama bulan Desember 2007 sebesar 0,55 maka inflasi selama tahun 2007 diperkirakan 4,63 persen atau lebih rendah dibandingkan periode tahun sebelumnya. Perkembangan tingkat inflasi yang relatif tinggi sering terjadi ketika menjelang hari-hari besar keagamaan yang hampir bersamaan tiap akhir tahun (lebaran, natal dan tahun baru). Kenaikan harga kebutuhan harga kebutuhan masyarakat yang tinggi tersebut secara signifikan telah menguras pendapatan masyarakat setiap tahun. Faktor –faktor yang menyebabkan perubahan kenaikan harga tersebut karena adanya tarikan permintaan (demand pull factor) dimana terjadi perubahan kenaikan permintaan dalam memenuhi kebutuhan hari-hari besar di satu sisi dan di sisi lain adanya kerbatasan ketersediaan atau dorongan kenaikan biaya (cost push factor). Secara umum perkembangan laju inflasi selama periode JanuariNovember 2007 dapat disimpulkan sebagai berikut :
a
b
c
Tingkat inflasi selama 2007 di seluruh kota akan lebih rendah dibandingkan inflasi 2001 dan 2007. Bahkan kota Menado mengalami tingkat inflasi negatif (deflasi) selama periode Januari-November 2007. Padahal angka inflasi umum tahunan kota Menado 2001 dan 2007 berada pada kisaran diatas 10 persen, tepatnya masingmasing sebesar 13,3 persen dan 15,22 persen. Selama Januari –November 2007, kota Jayapura merupakan kota dengan tingkat inflasi paling tinggi sebesar 6,44 persen dan Kediri merupakan kota dengan tingkat inflasi paling rendah hanya 0,30 persen. Terlihat adanya penurunan tingkat harga kelompok bahan makanan selama Januari – November 2007 hampir di semua kota kecuali Sibolga, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda, Ternate dan Jayapura dimana Jayapura merupakan kota dengan tingkat inflasi paling tinggi sebesar 5,64. Selengkapnya seperti tampak pada tabel dibawah ini : Tabel 5. Laju Inflasi Nasional Bulanan Tahun 2007 – Tahun 2009 BULAN TAHUN 2007 2008 2009 Januari 8,68 % 4,82 % 7,32 % Pebruari 7,60 % 4,60 % 7,15 % Maret 7,17 % 5,11 % 8,81 % April 7,62 % 5,92 % 8,12 % Mei 7,15 % 6,47 % 7,40 % Juni 6,98 % 6,83 % 7,42 % Juli 6,27 % 7,20 % 7,84 % Agustus 6,51 % 6.67 % 8,33 % Sept 6,33 % 6,27 % 9,06 % Oktober 6,48 % 6,22 % 17,89 % Nopember 5,53 % 6,18 % 18,38 % Desember 5,16 % 6,40 % 17,11 % Sumber data : Bank Indonesia Jakarta Tabel 6. Laju Inflasi Nasional Bulanan Tahun 2010 BULAN LAJU INFLASI Januari 17,03 % Pebruari 17,92 % Maret 15,74 % April 15,40 % Mei 15,60 % Juni 15,53 % Sumber Data : Bank Indonesia
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Bursa Efek Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Antara variabel bebas dan variabel terikat mempunyai pengaruh yang kuat, adapun besar pengaruhnya dapat diketahui dari koefisien determinasi gandanya (R Square) sebesar 0,673 artinya variabel bebas yang dimasukkan dalam penelitian ini mempunyai kontribusi 67,3 % terhadap besarnya harga saham rata-rata dalam industri otomotif. 2. Besarnya harga saham rata-rata industri otomotif yang go public di BEJ dipengaruhi secara simultan oleh variabel kurs valuta asing, tingkat inflasi dan tingkat suku bunga SBI. Hal ini ditunjukkan oleh Fhitung sebesar 26,062 dengan probabilitas 0,000 (signifikan pada taraf nyata 5%). 3. Dari hasil analisis secara parsial dapat diketahui bahwa variabel kurs valuta asing berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positip terhadap harga saham rata-rata industri otomotif. Hal ini dapat dilihat dari -thitung yang lebih kecil daripada ttabel yaitu -4,490 < -2,042. Sedangkan pada variabel tingkat suku bunga SBI berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang negatip terhadap harga saham rata-rata industri otomotif, yaitu dengan t hitung sebesar -3,124 dan t tabel sebesar 2,042, maka dapat disimpulkan bahwa t hitung lebih besar daripada t tabel. Dari ketiga variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa variabel tingkat kurs valuta asing mempunyai pengaruh paling dominan, karena besarnya thitung pada kurs valuta asing lebih besar daripada t hitung suku bunga SBI dan laju inflasi nasional DAFTAR PUSTAKA Arwin Rasyid,2008, Tantangan dan Peluang Perbankan, Paper Seminar Nasional, Ballroom Hotel Mulia Jakarta Algifari. 2000. Analisis Regresi (Teori, Kasus dan Solusi); Edisi 2, BPFE, Yogyakarta. Abdul Halim, MM, Ak. 2009. Analisis Investasi; Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Anto Dajan. 1995. Pengantar Metode Statistik; Penerbit LP3ES, Jakarta. Arif Sritua. 1993. Metodologi Penelitian; Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Asril Sitompul. 1996. Pasar Modal Penawaran Umum dan Permasalahannya; Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Bambang Riyanto. 1997. Dasar-dasar Manajemen Keuangan; Edisi 4, BPFE, Yogyakarta Badan Pengawas Pasar Modal. 1997. Panduan Reksa Dana; Penerbit Bapepam, Jakarta.
Cyrillus Harinowo. 1997. Majalah Uang dan Efek; Edisi Maret No 35, Jakarta. Hady Sutjipto. 2010. Kebijakan Indikator Makro; Jurnal Ekonomi Departemen Keuangan. www.fiskal.depkeu.go.id Himpunan Peraturan Pasar Modal, Undang-Undang No 8 tahun 1995 Modal. 1995. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Tentang Pasar
Indriyo Gitosudarmo dan Basri. 2000. Manajemen Keuangan; Edisi 4, BPFE, Yogyakarta. Jogianto Hartono. 2000. Teori Portofolio dan Analisis Investasi; Edisi 2, BPFE, Yogyakarta. Ketut Ridjin. 2000. Pengantar Bank Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank; PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mason, D. Robert, dan Alind, Douglas. 1996. Teknik Statistika Untuk Bisnis dan Ekonomi; Edisi Kesembilan, Jilid I, Erlangga, Jakarta. Mamduh M. Hanafi. 2007. Manajemen Keuangan Internasional; Yogyakarta.
Penerbit
BPFE,
Martin J. Paring. 1998. Technical Analysis Explained 2nd; Mc. Graw Hill International Edition, New York. _______________________________. 1999. Teknik Statistika Untuk Bisnis dan Ekonomi; Edisi Kesembilan, Jilid II, Erlangga, Jakarta. Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter; Buku I, Edisi Ke 4, BPFE, Yogyakarta. Pandji Anoraga dan Piji Pakarti. 2001. Pengantar Pasar Modal;. Cetakan Ketiga, Edisi Revisi, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Suad Husnan. 1998. Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas; Edisi Ketiga, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Sugiarto. 2002. Metode Statistik Untuk Bisnis dan Ekonomi; PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sunariyah. 2007, Pengantar Pengetahuan Pasar Modal; Edisi Ketiga, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Stanley S.C. Huang. 1990. Timing The Stock Market For Maximum Profit, Publishing Company, Chicago, Illinois, USA.
Probus
Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis; Penerbit Alfabeta, Bandung. Tandelilin, Eduardus. 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio; Edisi I Pertama, BPFE, Yogyakarta. Tim INDEF,2008, Proyeksi Ekonomi Indonesia 2008 Ekonomi di Tengah Perhelatan Politik, Pustaka INDEF, Jakarta Tim INDEF,2009, Prospek Ekonomi dan Bisnis Indonesia 2009 Ilusi Stabilisasi Ekonomi, Pustaka INDEF, Jakarta Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin. 2001. Pasar Modal Di Indonesia Pendekatan Tanya Jawab; Salemba Empat, Jakarta. Weston, J. Fred, and Brigham, EF. 1997. Dasar-dasar Manajemen Keuangan; Jilid 1 dan 2, Edisi Kesembilan, Erlangga, Jakarta