ANALISIS PENGARUH EKSPOR-IMPOR KOMODITAS PANGAN UTAMA DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
OLEH YUSUF H14103064
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
YUSUF. Analisis Pengaruh Ekspor-Impor Komoditas Pangan Utama dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Neraca Perdagangan Indonesia. (dibimbing oleh WIDYASTUTIK). Sub sektor tanaman pangan merupakan salah satu sub sektor yang dapat diharapkan menjadi lokomotif pembangunan Indonesia pada masa pasca krisis, hal tersebut didukung fakta bahwa karakteristik sub sektor tanaman pangan adalah padat karya dan terkonsentrasi dipedesaan yang selama ini menjadi basis kemiskinan di Indonesia. Kontribusi sub sektor tanaman pangan terhadap Produk Domestik Bruto sektor pertanian merupakan yang terbesar, tiap tahunnya sub sektor tanaman pangan rata-rata menyumbang 50 persen PDB sektor pertanian dan pada tahun 2005 sub sektor tanaman pangan menyumbang 6,7 persen PDB nasional. Namun, peran utama sub sektor tanaman pangan sebagai penyedia pangan bagi rakyat Indonesia dan mendukung ketahanan pangan nasional belum diberdayakan secara optimal. Selama ini kebutuhan pangan nasional belum sepenuhnya berasal dari produksi dalam negeri, impor selalu dilakukan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional sehingga Indonesia selalu mengalami defisit pada perdagangan komoditas pangan. Persaingan dalam perdagangan internasional terutama komoditas pertanian semakin meningkat seiring adanya perjanjian liberalisasi perdagangan komoditas pertanian oleh World Trade Organization (WTO), dan komoditas pangan sebagai salah satu jenis komoditas pertanian termasuk dalam daftar yang harus di liberalisasi perdagangannya. Liberalisasi adalah pembebasan perdagangan dari segala hambatan, baik hambatan tarif maupun hambatan non-tarif yang dilakukan sepihak maupun oleh banyak pihak. Dengan adanya liberalisasi, komoditas pangan Indonesia akan lebih bersaing ketat dengan komoditas pangan impor, baik di pasar internasional maupun di pasar domestik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan : (1) menganalisis pengaruh ekspor-impor komoditas pangan utama terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia dan (2) menganalisis pengaruh liberalisasi perdagangan komoditas pangan utama terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Bank Indonesia (BI), dan Departemen Pertanian. Dalam penelitian ini data sekunder yang diambil adalah Produk Domestik Bruto (PDB) nominal, neraca perdagangan non-migas Indonesia, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, nilai ekspor dan impor komoditas pangan utama Indonesia, suku bunga tiga bulanan, dan London Inter Bank Offer Rate (LIBOR), data yang digunakan merupakan data triwulanan dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 dan beberapa data diriilkan dengan tahun dasar 1996. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel adalah Error Correction Models (ECM) dan pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel dan Eviews 4.1.
Hasil analisis memberikan kesimpulan bahwa dalam jangka panjang, ternyata variabel EKSP (ekspor komoditas pangan) maupun IMPR (impor komoditas pangan) memberikan pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia (BOP). Kenaikan ekspor komoditas pangan 1 persen akan menurunkan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 104,8 juta, kondisi tersebut disebabkan oleh ekspor komoditas pangan Indonesia yang didominasi oleh ekspor komoditas pangan olahan, sedangkan komoditas segarnya (bahan baku) tidak dihasilkan oleh produksi dalam negeri. Kenaikan impor komoditas pangan sebesar 1 persen akan meyebabkan penurunan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 159,31 juta, sedangkan liberalisasi perdagangan komoditas pangan (DUMMY_LBR) dalam jangka panjang ternyata berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia, dengan adanya liberalisasi akan terjadi penurunan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 133,22 juta, hal ini menandakan Indonesia tidak siap dalam menghadapi liberalisasi perdagangan. Dalam jangka pendek, ekspor komoditas pangan (Dln_EKSP) dan impor komoditas pangan (Dln_IMPR) memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia (D_BOP). Peningkatan 1 persen ekspor komoditas pangan akan membuat penurunan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 192,34 juta. Di lain sisi, kenaikan 1 persen impor komoditas pangan dalam jangka pendek akan membuat penurunan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 927,40 juta, sedangkan liberalisasi dalam jangka pendek berpengaruh negatif dan tidak signifikan. Kesimpulan yang paling penting dalam penelitian ini adalah ekspor komoditas pangan Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, akan membuat neraca perdagangan menurun, sedangkan liberalisasi perdagangan berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan Indonesia, sehingga disarankan pemerintah Indonesia lebih meningkatkan produksi pangan dalam negeri dan menerapkan kebijakan liberalisasi perdagangan komoditas pangan secara bertahap.
ANALISIS PENGARUH EKSPOR-IMPOR KOMODITAS PANGAN UTAMA DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
Oleh YUSUF H14103064
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Yusuf
Nomor Registrasi Pokok
: H14103064
Departemen
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Pengaruh Ekspor-Impor Komoditas Pangan Utama dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Neraca Perdagangan Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Widyastutik, S.E, M.Si. NIP. 132 311 725
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Ir. Rina Oktaviani, M.S, Ph.D. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2007
Yusuf H14103064
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Yusuf lahir pada tanggal 28 Mei 1983 di Tangerang, Banten. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Tarmiji dan Ibu Saiyah. Penulis menamatkan sekolah dasar pada MI AlI’tishom, kemudian melanjutkan ke SLTP YAPIA Ciputat. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 1 Pamulang dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti Shariah Economic and Student Club (2003/2004), Badan Eksekutif Mahasiswa FEM IPB (2004/2005), Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (2004/2005) dan (2005/2006), mengajar di SMP Terbuka Negeri I Serpong (2006/2007) dan aktif pada beberapa kepanitiaan.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji serta syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menggenggam semua jiwa makhluk-Nya dan yang selalu memberi rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis diberi kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Muhammad Shalallahu Alahi Wasallam sebagai Nabi dan Rasul yang telah membimbing umat ini kejalan penuh rahmat. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: 1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Tarmiji dan Ibunda Saiyah atas doa dan dukungannya. 2. Widyastutik, S.E, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Tanti Novianti, S.P, M.Si. dan Fifi D. Thamrin, S.P, M.Si. selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan, yang telah memberi saran dan masukan yang bermanfaat. 4. Teman-teman yang telah membantu dan menemani penulis selama kuliah. Mimi, Hendra, Wiwit, Dadan, Zainul, Agung, Henry, Dungdang, Dindin, Tuti, Beni, Wisnu, Uti, Arum, Anna, dan seluruh teman-teman angkatan 40 dan angkatan 41 Ilmu Ekonomi. 5. Buat Adikku Ibnu Salam, keponakanku Walid, Adnan, Wafa. Terima kasih atas keceriaannya. Semoga menjadi anak yang berguna bagi agama dan bangsa.
6. Teman-temanku sesama guru di SMP Terbuka Negeri I Serpong. Lukman, Rifa’i, Wati, Endang, Makmun, Ismail, Tono, dan semua adik-adikku. Terima kasih atas pengalaman yang sangat berharga selama ini. Semoga hasil dari skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bogor, Agustus 2007
Yusuf H14103064
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR...................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vi I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 7 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 10 1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 10 1.5. Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 10 II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 12 2.1. Sejarah dan Arti Penting Tanaman Bahan Pangan ............................ 12 2.2. Perdagangan Internasional ................................................................. 13 2.2.1. Teori Keunggulan Absolut..................................................... 15 2.2.2. Hukum Keunggulan Komparatif............................................ 15 2.2.3. Teori Kepemilikan Faktor ...................................................... 16 2.3. Neraca Perdagangan........................................................................... 17 2.3.1. Ekspor .................................................................................... 17 2.3.2. Impor...................................................................................... 18 2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Neraca Perdagangan .................. 18 2.4.1. Suku Bunga ........................................................................... 19 2.4.2. Kurs Riil ................................................................................ 21 2.4.3. Produk Domestik Bruto ........................................................ 22 2.4.4. Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Neraca Perdagangan .......................................................................... 23 2.4.4.1. Liberalisasi Perdagangan ........................................ 23 2.4.4.2. Krisis Ekonomi ....................................................... 26 2.5. Model Koreksi Kesalahan (ECM)....................................................... 27
2.6. Penelitian Terdahulu .......................................................................... 29 2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual ....................................................... 31 III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 34 3.1. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 34 3.2. Metode Analisis ................................................................................ 34 3.3. Analisis Runtun Waktu (Time Series) .............................................. 35 3.3.1. Uji Stationeritas (Unit Root Test) .......................................... 35 3.3.2. Uji Derajat Integrasi............................................................... 36 3.3.3. Uji Kointegrasi ....................................................................... 36 3.4. Penetapan Lag Optimal ..................................................................... 39 3.5. Error Correction Model (ECM) ....................................................... 39 3.6. Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test) ........................... 41 3.6.1. Uji Autokorelasi ..................................................................... 41 3.6.2. Uji Heteroskedastisitas........................................................... 41 3.6.3. Uji Normalitas........................................................................ 42 IV. GAMBARAN UMUM ............................................................................. 43 4.1. Perkembangan Sektor Pertanian dan Sub Sektor Tanaman Pangan di Indonesia .......................................................................... 43 4.2. Perkembangan Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan di Indonesia ... 46 4.3. Perkembangan Ekspor-Impor Pangan Indonesia .............................. 49 4.4. Perkembangan Liberalisasi Perdagangan Komoditas Pangan .......... 51 4.4.1. Perjanjian Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan ............. 53 4.4.2. Putaran Uruguay (Uruguay Round) ....................................... 54 4.4.3. Mandat Doha.......................................................................... 57 4.4.4. Konferensi Tingkat Menteri V WTO di Cancun, Meksiko.... 58 4.4.5. Kesepakatan Juli 2004 ........................................................... 58 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 61 5.1. Hasil Pengujian Kestationeran Data................................................... 61 5.2. Hasil Uji Kointegrasi ......................................................................... 63 5.3. Uji Akar Unit Terhadap Residual Persamaan Jangka Panjang .......... 67 5.4. Estimasi Error Correction Model (ECM).......................................... 68
5.5. Hasil Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test)................... 71 5.5.1. Hasil Uji Autokorelasi............................................................... 72 5.5.2. Hasil Uji Heteroskedastisitas .................................................... 72 5.5.3. Hasil Uji Normalitas ................................................................. 73 VI. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 74 6.1. Kesimpulan ....................................................................................... 74 6.2. Saran.................................................................................................. 75 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 76 LAMPIRAN.................................................................................................... 78
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
Kontribusi PDB Tiap Sub Sektor Pertanian terhadap PDB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku ....................................... 2
1.2.
Kontribusi PDB Tiap Sub Sektor Pertanian terhadap PDB Nasional Atas Dasar Harga Berlaku .................................................... 2
1.3.
Neraca Ekspor-Impor Komoditas Tanaman Pangan............................ 3
4.1.
Kontribusi PDB Tiap Sektor terhadap PDB Nasional ......................... 43
4.2.
Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Desa dan Kota Tahun 2005 .................................................................. 44
4.3.
Kebutuhan Pangan Nasional Tahun 2000-2005................................... 47
4.4.
Persediaan Pangan Nasional Tahun 2000-2005................................... 48
4.5.
Neraca Pangan Nasional ...................................................................... 48
4.6.
Neraca Komoditas Segar dan Olahan Tanaman Pangan...................... 50
4.7.
Sasaran Pemotongan Tarif, Subsidi dan Proteksi Komoditas Pertanian yang Disetujui dalam Putaran uruguay ................................ 56
5.1.
Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada Level ................................ 61
5.2.
Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada First Difference ............... 62
5.3.
Hasil Uji Kointegrasi Engle-Granger (Estimasi Jangka Panjang)....... 63
5.4.
Uji Akar Unit Terhadap Residual Persamaan Jangka Panjang ............ 67
5.5.
Hasil Estimasi ECM (Estimasi Jangka Pendek)................................... 68
5.6.
Hasil Uji Autokorelasi ......................................................................... 72
5.7.
Hasil Uji Heteroskedastisitas ............................................................... 72
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1.
Tabungan dan Investasi pada Perekonomian Terbuka Sederhana ....... 20
2.2.
Hubungan Neraca Perdagangan dan Kurs Riil..................................... 21
2.3.
Efek Tarif terhadap Konsumen dan Produsen ..................................... 25
2.4.
Kerangka Pemikiran Konseptual.......................................................... 33
5.1.
Hasil Uji Normalitas Error Correction Model (ECM) ........................ 73
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Komoditas dan Kode HS Penelitian..................................................... 79
2.
Hasil Uji Akar Unit pada Level............................................................ 81
3.
Hasil Uji Akar Unit pada First Difference........................................... 83
4.
Hasil Uji Kointegrasi (Estimasi Jangka Panjang) ................................ 85
5.
Hasil Uji Akar Unit Residual Persamaan Jangka Panjang pada Level ..................................................................................................... 85
6.
Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM) lag 5 (Tanpa Seleksi Variabel) .................................................................................. 86
7.
Hasil Uji ECM untuk Persamaan Jangka Pendek (Setelah Seleksi Variabel) .................................................................................. 87
8.
Hasil Uji Autokorelasi ......................................................................... 87
9.
Hasil Uji Heteroskedastisitas ............................................................... 88
10.
Hasil Uji Normalitas ............................................................................ 89
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sejak krisis melanda Indonesia tahun 1997, bangsa Indonesia hingga kini masih mengalami krisis multidimensi yang dampaknya cukup signifikan mempengaruhi
sendi-sendi
dalam
kehidupan
berbangsa
dan
bernegara.
Pemerintah bersama rakyat Indonesia telah berupaya dengan keras agar keluar dari krisis tersebut, dan kini tanda-tanda menuju arah perbaikan telah mulai terlihat. Ditengah upaya memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara, sub sektor
tanaman
pangan
diharapkan
menjadi
lokomotif
pembangunan
perekonomian nasional, sub sektor tanaman pangan dipercaya mampu mengentaskan kemiskinan dan menyediakan lapangan kerja yang cukup besar. Harapan tersebut berdasarkan karakteristik umum sektor pertanian terutama sub sektor tanaman pangan yang padat karya dan terkonsentrasi di pedesaan yang selama ini menjadi basis kemiskinan dan pengangguran yang cukup besar di Indonesia (Hafsah, 2003). Sub sektor tanaman pangan memiliki arti dan peranan yang strategis bagi pembangunan nasional, peranan sub sektor tersebut bagi pembangunan antara lain. Pertama, sebagai penyedia bahan pangan yang mendukung ketahanan pangan Indonesia. Kedua, memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ketiga, penyedia lapangan pekerjaan yang cukup besar. Keempat, sebagai penyedia bahan baku bagi industri nasional yang berbasis tanaman pangan (Hafsah, 2003).
Tabel 1.1. Kontribusi PDB Tiap Sub Sektor Pertanian terhadap PDB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku (dalam Persen) No 1 2 3 4 5
Subsektor Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan
2001 52,3 13,9 13,0 6,7 14,0
Produk Domestik Bruto (PDB) 2002 2003 2004 51,4 51,6 49,9 14,7 15,2 15,6 13,8 12,2 12,3 6,3 6,0 5,9 13,7 14,8 16,3
2005 50,2 15,8 11,8 5,9 16,3
Sumber : Bank Indonesia (diolah), 2006.
Tabel 1.1 menjelaskan kontribusi PDB tanaman pangan terhadap sektor pertanian mencapai 52,3 persen pada tahun 2001, sangat dominan jika dibandingkan dengan sub sektor lainnya seperti sub sektor tanaman perkebunan yang berkontribusi 13,9 persen, sub sektor peternakan yang hanya berkontribusi 13,0 persen dan sub sektor lainnya yang berkontribusi rata-rata dibawah 20 persen. Namun, pada tahun-tahun terakhir yakni tahun 2004 dan 2005 kontribusi PDB sub sektor tanaman pangan terhadap PDB sektor pertanian mengalami penurunan, pada tahun 2004 sumbangan PDB sub sektor tanaman pangan menjadi 49,9 persen dan pada tahun 2005 menjadi 50,2 persen. Akan tetapi, penurunan tersebut tidak menggeser kedudukan sub sektor tanaman pangan dalam penyumbang PDB terbesar bagi sektor pertanian. Tabel 1.2. Kontribusi PDB Tiap Sub Sektor Pertanian terhadap PDB Nasional Atas Dasar Harga Berlaku (dalam Persen) No 1 2 3 4 5
Subsektor Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan
2001 8,2 2,2 2,0 1,0 2,2
Produk Domestik Bruto (PDB) 2002 2003 2004 8,3 7,7 7,3 2,3 2,3 2,3 2,2 1,8 1,8 1,0 0,9 0,9 2,2 2,2 2,4
2005 6,7 2.0 1,6 0,8 2,2
Sumber : Bank Indonesia (diolah), 2006.
Tabel 1.2 menjelaskan bahwa kontribusi PDB sub sektor tanaman pangan terhadap PDB Indonesia juga cukup besar, yakni mencapai 8,2 persen pada tahun
2001. Namun, dari tahun ke tahun secara persentase kontribusi PDB sub sektor tanaman pangan terhadap PDB Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 2004, kontribusi PDB tanaman pangan terhadap PDB nasional hanya 7,3 persen dan pada tahun 2005 kontribusi PDB sub sektor tanaman pangan terhadap PDB nasional kembali menurun menjadi 6,7 persen. Peran utama sub sektor tanaman pangan adalah menyediakan pangan bagi rakyat Indonesia serta mendukung ketahanan pangan nasional, namun justru peran ini yang belum diberdayakan secara optimal. Departemen Pertanian (2005) mencatat impor komoditas tanaman pangan, baik segar maupun olahan sangat besar, sehingga secara total neraca perdagangan komoditas tanaman pangan terus mengalami defisit. Nilai tiap tahun impor pangan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.3. Tabel 1.3. Neraca Ekspor Impor Komoditas Tanaman Pangan Tahun 1995-2005 Volume (Juta ton) Nilai (Juta US $) Ekspor Impor Neraca Ekspor Impor Neraca 1,1 9,0 -7,9 162,7 2.152,0 -1.989,3 1995 1,4 8,9 -7,5 170,1 2.674,0 -2.503,9 1996 0,7 7,0 -6,3 113,1 1.772,0 -1.658,9 1997 1,4 7,9 -6,5 167,3 1.888,0 -1.720,7 1998 0,9 10,9 -10,0 97,2 2.429,0 -2.331,8 1999 0,5 9,7 -9,2 63,0 1.736,0 -1.673.0 2000 0,7 7,8 -7,1 83,7 1.407,0 -1.323,3 2001 0,6 10,6 -10,0 75,6 1.838,0 -1.762,4 2002 0,8 9,9 -9,1 218,9 2.045,2 -1.826,3 2003 1,2 9,6 -8,4 290,8 2.377,3 -2.086,5 2004 1,1 9,0 -8,0 284,3 2.149,2 -1.864,9 2005* 1,1 8,3 -7,2 148,6 2.199,3 -2.050,7 Rata-rata 1995-1997 Rata-rata 1998-1999 1,2 9,4 -8,3 132,3 2.158,5 -2.026,3 0,8 9,4 -8,6 169,4 1.925,5 -1.756,1 Rata-rata 2000-2005 Sumber : Departemen Pertanian, 2005. * : Data sampai bulan Juni, kemudian dikali 2 Tahun
Dari Tabel 1.3 dapat disimpulkan bahwa ekspor komoditas pangan Indonesia selama sepuluh tahun terakhir selalu lebih kecil dibandingkan impor
komoditas pangan sehingga neraca perdagangan komoditas tanaman pangan terus mengalami defisit. Pada tahun 2000 defisit yang terjadi sebesar US$ 1,67 Milyar, sedangkan pada tahun 2005 defisit meningkat menjadi US$ 1,86 Milyar. Nilai defisit yang dialami Indonesia pada neraca perdagangan komoditas pangan ternyata cukup besar, padahal jika melihat sumberdaya yang dimiliki Indonesia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, seharusnya defisit tersebut tidak terjadi. Kegiatan ekspor maupun impor merupakan kegiatan ekonomi yang menjadi ciri utama negara dengan perekonomian terbuka seperti Indonesia, sehingga defisit neraca perdagangan pada komoditas tanaman pangan merupakan konsekuensi bagi Indonesia yang memilih perekonomian terbuka, sebab dengan perekonomian terbuka, barang produksi dalam negeri harus siap bersaing dengan komoditas luar negeri yang dapat lebih murah dan lebih berkualitas. Sebenarnya banyak keuntungan dengan memilih perekonomian terbuka, Indonesia memiliki kesempatan memperoleh devisa dari luar negeri yang dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan, yakni dari kegiatan ekspor. Disisi lain, dengan perekonomian terbuka, Indonesia dengan mudah memenuhi atau mencukupi kebutuhan nasional terhadap suatu komoditas, yakni dengan melakukan impor, sehingga tingkat inflasi dan gejolak harga mudah dikendalikan. Akan tetapi, perekonomian terbuka membuat perekonomian Indonesia sangat berkaitan dengan keadaan perekonomian negara lain dan jika tidak mampu mengendalikan impor, devisa Indonesia dapat terkuras untuk membiayai impor sehingga pembangunan nasional dapat terhambat.
Aktivitas ekspor dan impor yang dilakukan suatu negara dirangkum dalam suatu neraca yang disebut neraca perdagangan. Neraca perdagangan merupakan bagian
dari
neraca
pembayaran
(Balance
of
Payment)
yang
mampu
menggambarkan seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diperoleh Indonesia dalam aktivitas perdagangan internasional. Neraca perdagangan yang surplus menandakan Indonesia mendapatkan devisa sedangkan jika neraca perdagangan defisit berarti devisa negara berkurang untuk membiayai impor yang lebih besar daripada ekspor. Aktivitas ekspor-impor khususnya ekspor-impor komoditas pertanian dewasa ini sangat liberal, dimana tarif yang dikenakan untuk komoditas-komoditas pertanian sangat rendah, jika Indonesia tidak menyiasati perkembangan ini, maka defisit perdagangan pangan Indonesia dapat terus berlangsung bahkan dapat bertambah besar. Kondisi tersebut tidak terlepas dari disetujuinya perjanjian perdagangan bebas yang diprakarsai oleh World Trade Organization (WTO) dan Indonesia sebagai anggota WTO memiliki komitmen untuk memenuhi kesepakatan tersebut. World Trade Organization (WTO) adalah badan internasional yang beranggotakan
148
negara,
memiliki
tujuan
menciptakan
perdagangan
internasional yang lebih terbuka dan adil dengan menghasilkan aturan-aturan perdagangan yang mengikat negara anggotanya, WTO juga berfungsi mengawasi pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan multilateral yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggotanya (Deplu RI, 2004). Peraturan dan komitmen yang diatur dalam perjanjian liberalisasi perdagangan WTO diantaranya mengenai akses pasar (market acces), subsidi domestik (domestic support), dan persaingan eksport
(export competition). Dengan adanya perjanjian tersebut, maka segala bentuk peraturan yang melindungi dan memproteksi perdagangan internasional khususnya perdagangan komoditas pertanian seperti tarif impor, subsidi harga, kuota impor dan lainnya, harus diturunkan persentasenya sesuai kesepakatan WTO. Jika melihat nilai defisit neraca perdagangan komoditas tanaman pangan ditambah dengan adanya liberalisasi perdagangan komoditas ini, Indonesia sebenarnya memiliki peluang untuk memperoleh atau paling tidak menghemat devisa yang keluar dari sub sektor tanaman pangan, karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada sub sektor ini. Keunggulan tersebut antara lain, lahan tanam yang masih sangat luas dan sumberdaya manusia yang perlu diberdayakan juga masih sangat besar, sehingga optimalisasi sub sektor tanaman pangan di Indonesia pasca krisis merupakan langkah yang tepat untuk mengurangi pengangguran dan lebih mudah dilaksanakan karena telah didukung oleh keunggulan komparatif. Oleh karena itu, penelitian yang mendalam mengenai sub sektor tanaman pangan khususnya pengaruh ekspor-impor hasil sub sektor tanaman pangan terhadap perekonomian Indonesia yang direpresentasikan oleh neraca perdagangan non-migas menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Namun, agar tercipta kebijakan yang lebih tepat bagi pengembangan perekonomian secara umum maka faktor eksternal seperti liberalisasi perdagangan komoditas pangan harus diperhitungkan.
1.2. Perumusan Masalah Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman merata dan terjangkau. Oleh karena itu, pangan dalam undangundang tersebut bukan hanya beras, tetapi mencakup seluruh makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan, baik produk primer maupun turunannya. Namun, komoditas pertanian lain yang termasuk dalam substitusi langsung beras seperti jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar dan ubi kayu merupakan komoditas pangan utama bagi Indonesia. Komoditas pangan utama adalah hasil dari sub sektor tanaman pangan yang sangat penting dalam menunjang ketahanan pangan bangsa Indonesia. Ketahanan pangan diwujudkan oleh kerja sistem ekonomi pangan yang terdiri atas sub sistem penyediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan (Dewan Ketahanan Pangan, 2002). Aspek penyediaan pangan merupakan aspek yang paling penting dan perlu ditangani dengan serius, sebab selama ini penyediaan pangan nasional belum sepenuhnya bersumber dari dalam negeri, konsekuensinya kerawanan pangan mudah terjadi di Indonesia, dan bergantungnya Indonesia terhadap pangan impor dapat menjadi masalah yang berdimensi pada kedaulatan bangsa. Kebutuhan pangan domestik yang selama ini banyak ditunjang dari impor, merupakan peluang bagi pengembangan dan peningkatan produksi sub sektor tanaman pangan dalam negeri agar mampu mensubstitusi pangan impor tersebut,
jika hal tersebut dilakukan, maka devisa yang dihemat Indonesia amat besar. Selain itu, kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk dunia merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk memperoleh devisa yang besar dari sub sektor tanaman pangan, sebab dengan keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia, yakni lahan yang cukup luas dan tenaga kerja yang melimpah, maka peningkatan produksi pangan akan mudah untuk dilakukan, sehingga meningkatkan ekspor komoditas pangan untuk memperoleh devisa bukanlah suatu hal yang mustahil dilakukan Indonesia. Penghematan dan perolehan devisa dari sub sektor tanaman pangan akan membuat neraca perdagangan pangan Indonesia yang selama ini defisit menjadi surplus atau paling tidak berimbang. Hal tersebut secara tidak langsung akan menambah nilai devisa yang tercatat pada ikhtisar ekspor-impor atau neraca perdagangan Indonesia. Peningkatan devisa pada neraca perdagangan merupakan hal yang penting, sebab devisa sangat diperlukan Indonesia untuk melakukan pembangunan, terlebih pada masa recovery pasca krisis. Namun, pengembangan sub sektor tanaman pangan tidak dapat berlandaskan pada keunggulan komparatif saja, sebab sebagian besar negara berkembang didunia bertumpu pada sektor pertanian terutama tanaman pangan, sehingga mereka juga memiliki keunggulan komparatif pada sub sektor ini (Todaro, 2004). Kondisi tersebut membuat persaingan perdagangan komoditas pangan dunia sangat ketat, apalagi ditambah dengan perjanjian liberalisasi perdagangan oleh WTO yang memaksa negara-negara anggotanya membuka
pasar domestik seluas-luasnya bagi komoditas asing, akibatnya persaingan komoditas pangan lokal dengan komoditas pangan impor menjadi lebih ketat. Momentum liberalisasi perdagangan komoditas pangan sudah seharusnya dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Indonesia dengan meningkatkan produksi dan daya saing komoditas pangannya, tindakan tersebut perlu dilakukan agar Indonesia memperoleh keuntungan yang besar dari perdagangan komoditas pangan dunia, sebab liberalisasi perdagangan komoditas pangan, selain membuat pasar komoditas pangan domestik Indonesia semakin terbuka, juga membuat pasar komoditas pangan anggota WTO lainnya semakin terbuka, sehingga komoditas pangan Indonesia mampu memasuki pasar komoditas pangan mereka dengan leluasa. Jika Indonesia mampu memanfaatkan momentum liberalisasi ini, maka perolehan devisa Indonesia yang tercatat dalam neraca perdagangan akan bertambah. Sebaliknya, jika Indonesia tidak mampu memanfaatkan dan tidak menyiasati momentum liberalisasi, maka devisa Indonesia akan terkuras untuk impor pangan sehingga neraca perdagangan Indonesia dapat mengalami defisit. Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan, diantaranya: 1. Bagaimana pengaruh ekspor dan impor komoditas pangan utama terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia? 2. Bagaimana pengaruh liberalisasi perdagangan komoditas pangan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis pengaruh ekspor-impor komoditas pangan utama terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh liberalisasi perdagangan komoditas pangan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis, pembaca dan pengambil kebijakan. Bagi penulis, penelitian ini berguna dalam mengaplikasikan ilmu yang telah diterima selama penulis menimba ilmu di bangku perkuliahan. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan menambah wawasan, sumber bacaan, dan sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya, sedangkan bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam membuat kebijakan yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah : 1. Komoditas pangan yang dimaksud dalam penelitian ini hanya komoditas yang dihasilkan oleh sub sektor tanaman pangan, yang komoditasnya antara lain beras, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tanah, baik segar dan olahan dalam satuan US$.
2. Neraca perdagangan dalam penelitian ini adalah neraca perdagangan nonmigas Indonesia yang telah diriilkan dengan tahun dasar 1996 dan dinyatakan dalam juta US$. 3. Liberalisasi perdagangan komoditas pangan dalam penelitian ini mengacu pada liberalisasi yang disepakati Indonesia dalam World Trade Organization (WTO).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah dan Arti Penting Tanaman Bahan Pangan Menurut Nasoetion (2002) pertanian dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengadakan suatu ekosistem buatan yang bertugas menyediakan bahan makanan bagi manusia. Sedangkan tanaman pangan merupakan tumbuhan yang sengaja ditanam manusia untuk mendapatkan hasil yang digunakan sebagai bahan makanan dalam jumlah besar. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli menyimpulkan bahwa penyebaran tanaman bahan pangan keseluruh muka bumi tidak merata, ada suatu daerah sempit yang memiliki keragaman tanaman pangan yang banyak, namun ada daerah yang luas memiliki sedikit keragaman tanaman pangan. Faktor yang menyebabkan tanaman pangan menyebar hampir keseluruh penjuru dunia adalah iklim yang sesuai untuk tumbuh setelah dibawa oleh manusia kesuatu daerah yang berbeda dari habitat aslinya dan pandangan masyarakat yang menerima tanaman baru tersebut sebagai sumber pangan baru, misalnya kentang dahulu hanya dikenal didaerah sempit pegunungan Andes, namun karena cocok dengan iklim Eropa dan masyarakat Eropa menerima kentang sebagai sumber makanan baru setelah Istana Inggris menjadikan menu utama, saat ini Eropa justru dikenal sebagai penghasil utama kentang. Sejarah yang sama terjadi atas tumbuhan kedelai, kacang tanah, ubi jalar dan lainnya, semua adalah pendatang baru sebagai pemasok bahan pangan bagi manusia modern.
Tanaman pangan sangat penting bagi kelangsungan hidup spesies manusia di muka bumi, sebab sebagai mahluk hidup manusia membutuhkan makan untuk mendapatkan energi. Saat ini, pada manusia modern terjadi pengurangan keanekaragaman jenis pangan, manusia modern kebanyakan mengkonsumsi tumbuhan bebijian seperti serealia dan kacang-kacangan, berbeda dengan manusia purba yang mengkonsumsi beranekaragam jenis tumbuhan dan hewan hasil berburu dan meramu sebagai sumber makanannya. Konsekuensi yang timbul akibat pola makan yang bergantung pada sedikit sumber makanan membuat manusia modern rentan terhadap kekurangan pangan. Oleh karena itu, sudah lama diusahakan penganekaragaman bahan pangan terutama bagi bangsa Indonesia yang saat ini sangat tergantung pada beras. Penganekaragaman bahan pangan yang berasal dari berbagai tanaman pangan tidak terlepas dari pertanian sub sektor tanaman pangan yang menghasilkan komoditas pangan utama. Saat ini, Indonesia memasukkan beras, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tanah dalam sub sektor tanaman pangan yang diharapkan secara bersama saling bersubstitusi (Nasoetion, 2002).
2.2. Perdagangan Internasional Salvatore
(1997)
menyatakan
bahwa
perdagangan
internasional
memberikan manfaat dan keuntungan yang besar, perdagangan internasional membuat produksi barang dan jasa didunia semakin efisien, sebab negara-negara di dunia berspesialisasi dalam memproduksi barang dan jasa. Misalkan Indonesia bergantung pada perdagangan internasional dan berspesialisasi dalam beberapa produk saja, alasan yang mendasarinya adalah : Pertama, ada komoditas yang
tidak dapat diproduksi sama sekali di dalam negeri, seperti gandum. Kedua, ada produk yang dapat diproduksi di dalam negeri, namun biaya produksi untuk memproduksinya jauh lebih tinggi, jika produk tersebut diproduksi oleh negara lain maka biayanya lebih rendah, maka Indonesia melakukan impor saja, misalnya pesawat terbang. Jika perdagangan internasional tidak ada, maka masing-masing negara harus mengkonsumsi hasil produksinya sendiri yang seringkali tidak mencukupi kebutuhan nasional. Pada dasarnya ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional. Pertama, keinginan suatu negara memperluas pasaran komoditinya. Kedua, keinginan suatu negara untuk memperoleh devisa untuk membiayai pembangunan dalam negeri. Ketiga, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara atas produk tertentu. Keempat, adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan produk tertentu. Perdagangan internasional akan membawa dampak terhadap perekonomian suatu negara, baik dalam aspek ekonomi maupun dalam aspek non-ekonomi, seiring peningkatan volume dan intensitas perdagangan internasional, kehidupan suatu negara akan semakin terkait dengan perkembangan keadaan negara lain, artinya perdagangan internasional akan mengantarkan negara-negara di dunia pada suatu tingkat saling ketergantungan satu dengan yang lain, sehingga peristiwa-peristiwa atau kebijakan ekonomi di suatu negara akan mempengaruhi negara lain, dan sebaliknya (Salvatore, 1997).
2.2.1. Teori Keunggulan Absolut Menurut Adam Smith, perdagangan antara dua negara berlangsung dengan didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Teori yang dikeluarkan Adam Smith ini kemudian dikenal dengan Teori Keunggulan Absolut (Salvatore, 1997). Secara umum, Teori Keunggulan Absolut menyatakan jika sebuah negara lebih efisien (memiliki keunggulan absolut) dalam memproduksi komoditi A jika dibandingkan dengan negara lain, namun kurang efisien (memiliki kerugian absolut) dalam memproduksi komoditi B, maka kedua tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing negara melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan komoditi yang memiliki kerugian absolut. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien dan output kedua komoditi akan meningkat. Peningkatan dalam output akan mengukur keuntungan dari spesialisasi produksi untuk kedua negara yang melakukan perdagangan.
2.2.2. Hukum Keunggulan Komparatif Hukum Keunggulan Komparatif merupakan hasil dari pemikiran David Ricardo (1817) yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Principles of Political Economy and Taxation. Hukum ini sekaligus menjadi koreksi bagi teori keunggulan absolutnya Adam Smith, menurut hukum ini meskipun sebuah negara kurang efisien (memiliki kerugian absolut) dibanding negara lain dalam memproduksi komoditi A dan B (kedua komoditi), namun masih tetap terdapat
dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak (Salvatore, 1997). Adapun cara yang dapat ditempuh adalah : Pertama, negara yang memiliki kerugian absolut pada kedua komoditi harus melakukan spesialisasi, yaitu hanya memproduksi komoditi yang memiliki kerugian absolut yang paling kecil (misal komoditi A) dan mengekspor komoditi A tersebut, untuk memenuhi kebutuhan komoditi B maka negara tersebut harus mengimpornya. Kedua, negara yang memiliki keuntungan absolut pada kedua komoditi juga harus melakukan spesialisasi, yaitu hanya memproduksi komoditi yang paling besar keuntungannya (misal komoditi B) dan mengekspor komoditi B tersebut, untuk memenuhi kebutuhan komoditi A maka negara tersebut harus mengimpornya.
2.2.3. Teori Kepemilikan Faktor Teori Kepemilikan Faktor dikembangkan oleh dua ekonom terkemuka berkebangsaan Swedia penerima nobel dibidang ekonomi tahun 1977, yaitu Eli Heckscher dan mahasiswanya Bertil Ohlin, sehingga Teori Kepemilikan Faktor lebih dikenal dengan Teori Heckscher-Ohlin. Teori tersebut menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia di negara itu dalam jumlah melimpah dan harga relatif murah, serta mengimpor komoditi yang memiliki faktor produksi langka dan berharga relatif mahal (Salvatore, 1997).
2.3. Neraca Perdagangan Neraca perdagangan merupakan bagian dari neraca pembayaran (Balance of Payment) yang menjadi suatu pernyataan mengenai kelebihan atau kekurangan hasil dari perdagangan internasional (ekspor-impor) suatu negara dalam jangka waktu tertentu, pada neraca perdagangan nilai ekspor dan impor barang biasanya dinyatakan dalam US $ (Smith, 1995). Neraca perdagangan menjadi indikator yang penting dalam suatu perekonomian, sebab dapat menggambarkan perolehan devisa atau pengeluaran devisa. Devisa merupakan kapital yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pembangunan suatu negara.
2.3.1. Ekspor Ekspor adalah barang dan jasa yang dihasilkan di sebuah negara kemudian dijual ke negara lain, hasil dari ekspor berupa devisa yang dapat digunakan sebagai penukar atas barang dan jasa dari negara lain (melakukan impor),
menyelesaikan
utang
dan
menjalankan
pembangunan.
Negara
memperuntukkan sumber daya dalam negeri bagi ekspor karena negara memperoleh lebih banyak keuntungan (devisa) dengan ekspor, daripada yang akan diperoleh dengan memperuntukkan sumber daya tersebut bagi produksi dan jasa didalam negeri (Smith, 1995). Margarettha (2005) menyatakan bahwa ekspor merupakan penjualan barang yang dihasilkan oleh suatu negara ke negara lain, suatu negara dapat mengekspor barang-barang yang dihasilkannya ke negara-negara lain yang membutuhkan komoditi tersebut. Dalam perdagangan internasional, ekspor memiliki peranan penting, yakni sebagai motor penggerak perekonomian
nasional, sebab ekspor mampu menghasilkan devisa yang selanjutnya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan dan impor.
2.3.2. Impor Impor adalah aliran masuk barang dan jasa ke pasar sebuah negara untuk digunakan, sebab harga diluar negeri lebih rendah dibanding harga produk sejenis jika diproduksi didalam negeri. Negara melakukan impor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya (Smith, 1995). Margarettha (2005) menyatakan bahwa impor merupakan pembelian barang yang dihasilkan oleh negara lain, impor terjadi karena suatu negara tidak mampu menghasilkan komoditi yang dibutuhkan atau produksi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan nasional. Jika impor lebih besar daripada ekspor, maka cadangan devisa akan berkurang atau neraca perdagangan menjadi defisit.
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Neraca Perdagangan Neraca perdagangan merupakan suatu indikator utama yang membedakan antara
perekonomian
terbuka
dengan
perekonomian
tertutup.
Dalam
perekonomian terbuka, pengeluaran suatu negara selama satu tahun tertentu tidak selalu sama dengan yang dihasilkan dari memproduksi barang dan jasa, suatu negara dapat melakukan pengeluaran yang lebih banyak daripada produksinya dengan melakukan impor atau bisa melakukan pengeluaran lebih kecil dibanding produksinya dengan melakukan ekspor (Mankiw, 2003). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi neraca perdagangan, diantaranya, suku bunga, kurs riil,
pendapatan nasional, dan faktor eksternal seperti liberalisasi perdagangan dan krisis ekonomi.
2.4.1. Suku Bunga Perekonomian Indonesia sebagai perekonomian terbuka sangat bergantung dengan perekonomian dunia. Selain itu, pasar barang dan pasar uang sangat berkaitan, keterkaitan antara keduanya membentuk identitas pendapatan nasional yang dapat ditulis dengan persamaan berikut : -------------------------------------------------------------------Dari persamaan diatas, (S - I) adalah selisih antara tabungan domestik dengan investasi domestik, sehingga (S - I) sering disebut arus modal keluar bersih, arus modal ini mencerminkan arus dana internasional yang menjadi sumber akumulasi kapital yang penting bagi modal pembangunan, sedangkan NX adalah ekspor bersih atau neraca perdagangan yang menjadi tolak ukur kinerja ekspor dan impor suatu negara terbuka (Mankiw, 2003). Jika (S - I) dan NX positif, maka negara mengalami surplus perdagangan dimana ekspor lebih besar daripada impor sehingga negara dapat menjadi donor pada pasar uang dunia, jika (S - I) dan NX negatif, negara sedang mengalami defisit perdagangan, sehingga negara kekurangan kapital untuk melaksanakan pembangunan, akibatnya negara menjadi debitor pada pasar uang dunia, sedangkan jika (S - I) dan NX berimbang maka negara dalam kondisi perdagangan berimbang. Investasi dan tabungan yang terjadi pada suatu negara sangat bergantung pada suku bunga yang berlaku, baik suku bunga domestik maupun suku bunga internasional, sebab investasi berhubungan negatif dengan
(S - I)
suku bunga, sedangkan tabungan berhubungan positif dengan suku bunga, sehingga secara tidak langsung neraca perdagangan juga bergantung pada variabel suku bunga. Mengenai tingkat suku bunga yang berlaku, Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbuka kecil, dengan asumsi terjadi mobilitas modal sempurna, maka suku bunganya akan mengikuti suku bunga dunia, dengan demikian di Indonesia suku bunga dunia merupakan variabel eksogen yang mempengaruhi perekonomiannya (Lihat Gambar 2.1). Tingkat bunga riil, r
*
r*
Tingkat bunga jika perekonomian tertutup
Sumber : Mankiw, 2003
S
Surplus Perdagangan
NX
I(r)
Investasi, Tabungan. I. S
Gambar 2.1. Tabungan dan Investasi pada Perekonomian Terbuka Sederhana
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa pada perekonomian tertutup, tingkat bunga riil (r*) menyesuaikan untuk menyeimbangkan tabungan dan investasi, sedangkan dalam perekonomian terbuka kecil, tingkat bunga ditentukan oleh pasar keuangan dunia. Selisih antara tabungan (S) dan investasi (I(r)) menentukan neraca perdagangan (NX). Dalam gambar diberikan ilustrasi jika terjadi surplus perdagangan, karena tingkat bunga riil mendorong tabungan melebihi investasi.
2.4.2. Kurs Riil
Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat dimana antar negara dapat memperdagangkan barang-barang yang dihasilkannya sehingga terkadang kurs riil disebut terms of trade (Mankiw, 2003). Kurs riil berhubungan dengan neraca perdagangan, sebab kurs riil berkaitan dengan harga produk suatu negara di pasar internasional, jika kurs riil suatu negara rendah, maka harga produk negara tersebut relatif lebih murah, sehingga penduduk domestik hanya akan membeli sedikit produk impor. Sebaliknya, jika kurs riil tinggi maka penduduk domestik akan lebih memilih barang impor karena harganya yang relatif lebih murah jika dibandingkan barang hasil produksi dalam negeri. Hubungan antara kurs riil dengan neraca perdagangan dapat dijelaskan pada persamaan 2.2 berikut : NX
=
NX(e) …………………...........(2.2)
Persamaan 2.2 menyatakan bahwa neraca perdagangan adalah fungsi dari kurs riil.
Kurs riil, e
NX(e)
Sumber : Mankiw, 2003
0
Neraca Perdagangan. NX
Gambar 2.2. Hubungan Neraca Perdagangan dan Kurs Riil
Gambar 2.2 menunjukkan hubungan antara kurs riil dengan neraca perdagangan, semakin rendah kurs riil maka harga barang semakin murah, sehingga neraca perdagangan semakin besar. Pada gambar sebagian dari sumbu mendatar bernilai negatif, sebab neraca perdagangan dapat bernilai negatif karena impor melebihi ekspor seiring kenaikan kurs riil.
2.4.3. Produk Domestik Bruto Mankiw (2003) menyatakan bahwa Produk Domestik Bruto
(PDB)
merupakan ukuran atau cerminan dari kinerja ekonomi suatu negara, tujuan PDB adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai uang tunggal selama periode waktu tertentu. PDB dapat dihitung dengan cara melihatnya sebagai pendapatan total dari setiap orang di dalam perekonomian atau melihat PDB sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa di dalam perekonomian. Kedua cara menghitung PDB tersebut sama saja, sebab dalam perekonomian secara keseluruhan jumlah keduanya akan sama. Keterkaitan PDB dengan neraca perdagangan dapat dilihat pada persamaan berikut : Y = C + I + G + (X - M) …………............….(2.3) Pada persamaan tersebut, (X - M)) adalah neraca perdagangan, dimana ekspor (X) akan memberikan sumbangan yang positif terhadap PDB sedangkan impor akan memberikan sumbangan negatif.
Ekspor akan menaikkan PDB
seiring peningkatannya, sedangkan impor akan menurunkan PDB seiring peningkatannya. Namun kenaikan PDB belum tentu menaikkan ekspor-impor, sebab kenaikan PDB dapat saja didorong oleh aktivitas investasi (I) yang
menggerakkan roda perekonomian sehingga produksi dalam negeri meningkat dan membuat barang produksi dalam negeri lebih bermutu dan berkualitas. Konsekuensinya, ekspor meningkat dan impor menurun, atau impor dapat meningkat seiring peningkatan PDB jika pertumbuhan PDB didorong oleh konsumsi (C) masyarakat tanpa didukung oleh peningkatan produksi dalam negeri.
2.4.4. Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Neraca Perdagangan Perekonomian tidak terlepas dari pengaruh faktor eksternal dan faktor nonekonomi, seperti keadaan sosial politik, peraturan, pendidikan, budaya, organisasi kemasyarakatan pembangunan
dan
lainnya.
ekonomi
Menurut
berkaitan
Nurkse
dengan
dalam
peranan
Jhingan
manusia,
(2004)
pandangan
masyarakat, kondisi politik dan latar belakang historis, sehingga kajian terhadap dinamika
perekonomian
harus
mengikutsertakan
faktor
non-ekonomi.
Berdasarkan hal tersebut, maka neraca perdagangan sebagai refleksi kinerja ekspor-impor yang mampu mempengaruhi perekonomian juga dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi, diantaranya faktor politik dan peraturan, yakni aturan liberalisasi perdagangan dan kondisi eksternal perekonomian Indonesia yaitu krisis yang baru saja dialami Indonesia.
2.4.4.1. Liberalisasi Perdagangan Liberalisasi perdagangan adalah pembebasan perdagangan dari segala hambatan, baik hambatan tarif maupun hambatan non tarif yang dilakukan sepihak dan banyak pihak (Smith, 1995), sedangkan kebijakan liberalisasi
perdagangan adalah kebijakan yang mengikis berbagai bentuk hambatan perdagangan, bila diterapkan secara utuh maka arus komoditi perdagangan dan investasi dalam bentuk modal, barang dan jasa akan bebas masuk antar negara tanpa hambatan tarif dan non-tarif (Salvatore, 1997). Perdagangan bebas tanpa hambatan merupakan tujuan akhir dari perundingan-perundingan antar negara, adanya perdagangan bebas antar negara diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan yang ikut serta dalam perdagangan bebas dengan mengandalkan produk yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif (Deplu RI, 2004). Realitasnya hampir semua negara menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap perdagangan internasional, hambatan perdagangan tersebut lazim disebut kebijakan perdagangan (trade policy) karena berkaitan erat dengan kepentingan perdagangan nasional pada masing-masing negara. Penerapan kebijakan perdagangan selalu dikemukakan dengan alasan sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan nasional dan melindungi industri dalam negeri. Liberalisasi perdagangan yang kini diupayakan WTO berfokus pada tiga aspek, yakni pembukaan akses pasar (market acces), penurunan subsidi domestik (domestic support), dan mewujudkan persaingan eksport (export competition) yang adil. Liberalisasi perdagangan menurut Lindert (1995) akan membawa dampak peningkatan kesejahteraan bagi negara yang melakukannya, keyakinan tersebut berdasarkan analisa ekonomi yang menunjukkan perdagangan bebas akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi kedua negara. Tentunya dampak yang dirasakan oleh suatu negara akibat adanya liberalisasi akan tercermin dari neraca
perdagangannya setelah kebijakan liberalisasi tersebut dilaksanakan. Gambar 2.3 menganalisa dampak yang ditimbulkan terhadap konsumen jika negara-negara didunia tidak melakukan liberalisasi, terutama menutup akses pasar dengan pengenaan tarif import. Harga Beras (US$/Ton) So (Kurva penawaran dalam negeri)
C
D
220
a
200
Harga dalam negeri dengan tarif
B
Tarif b
c
d
A
E
Harga Dunia
e Do (Kurva permintaan dlm negeri)
0
S0 S1
D1 D0
Kuantitas Beras
M1 M2
Sumber : Lindert, 1995 Gambar 2.3. Efek Tarif terhadap Konsumen dan Produsen Gambar 2.3 menganalisis tentang permintaan dan penawaran beras yang dipengaruhi tarif. Jika tidak ada tarif, beras akan diimpor secara bebas pada tingkat harga dunia sebesar US$ 200 per ton. Konsumen akan membeli beras sebesar So dari dalam negeri dan mengimpor sebesar M2. Pada harga tersebut surplus konsumen adalah seluruh bidang antara kurva permintaan dan garis harga US$ 200, yaitu segitiga ACE yang merupakan suatu aproksimasi mengenai kemampuan membeli beras dari para konsumen. Pengenaan tarif sebesar US$ 20
akan meningkatkan harga beras dan mengurangi perolehan manfaat atau surplus konsumen. Dengan harga yang baru, konsumen terpaksa menambah US$ 20 per ton beras sehingga permintaan total akan turun dari D0 ke D1. Kerugian total yang ditanggung konsumen dengan adanya tarif adalah total bidang a+b+c+d, sehingga surplus konsumen mereka merosot dari segitiga ACE menjadi segitiga BCD. Analisis terhadap produsen dengan pasar beras yang sama, setelah adanya tarif, maka harga beras akan naik menjadi US$ 220 per ton, maka perusahaanperusahaan dalam negeri akan meningkatkan produksinya selama masih menguntungkan. Mereka merespons dengan menaikkan jumlah produksi dari S0 ke S1. Kenaikan jumlah yang dproduksi dan peningkatan harga ternyata meningkatkan keuntungan bagi produsen, yaitu sebesar a, sehingga keuntungan total yang diterima produsen dalam negeri adalah e+a. Namun, jika dibandingkan dengan kerugian yang harus ditanggung konsumen yaitu bidang a+b+c+d, maka secara total pengenaan tarif menghasilkan kerugian.
2.4.4.2. Krisis Ekonomi Krisis ekonomi merupakan gejala menurunnya perekonomian secara umum, di Indonesia krisis ekonomi dimulai pada triwulan ketiga tahun 1997 yang ditandai dengan depresiasi nilai Rupiah terhadap mata uang asing terutama Dollar Amerika Serikat yang cukup signifikan. Depresiasi Rupiah memicu kontraksi pada sektor-sektor perekonomian, khususnya sektor konstruksi, manufaktur, keuangan, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa lainnya, sehingga Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia selama tahun 1998 mengalami penurunan hampir 14 persen (Wie, 2001).
Krisis ekonomi membawa dampak yang cukup siginifikan terhadap kinerja ekspor-impor Indonesia, menurut Mankiw (2003) jika terjadi depresiasi nilai tukar suatu negara, maka produk negara tersebut akan memiliki daya saing yang tinggi sebab harganya menjadi lebih murah jika dibandingkan dengan produk negara lain. Namun untuk kondisi Indonesia pada masa krisis, justru banyak sektor ekonomi, khususnya industri manufaktur mengalami penurunan, hal itu disebabkan bahan baku industri dalam negeri lebih banyak diimpor sehingga depresiasi nilai tukar Rupiah justru memukul produksi sektor tersebut akibat kesulitan bahan baku. Berbeda dengan sektor pertanian yang justru eksis bahkan mengalami pertumbuhan pada masa krisis, kondisi tersebut membuktikan sektor pertanian merupakan sektor yang berbasis sumberdaya lokal dan memiliki keterkaitan yang erat dengan ekonomi rakyat (Wie, 2001).
2.5. Model Koreksi Kesalahan atau Error Correction Model (ECM) Model koreksi kesalahan atau Error Correction Model (ECM) adalah salah satu model dinamik yang diterapkan secara luas dalam analisa ekonomi. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Sargan pada tahun 1964 dalam penelitiannya tentang hubungan upah dengan harga di Inggris Raya. ECM bertujuan mengatasi permasalahan data runtun waktu (time series) yang tidak stasioner dan regresi palsu (spurious regression). ECM muncul untuk mengatasi perbedaan hasil estimasi antar jangka pendek dengan jangka panjang, yaitu dengan cara proporsi disequilibrium pada satu periode dikoreksi dan periode selanjutnya sehingga tidak ada kesalahan dalam menggunakan model yang dianalisa (Isbandriyati dalam Kusumastuti,
2005). Ketidakseimbangan kesalahan (disequilibrium error) terjadi karena kesalahan spesifikasi, yaitu antara lain kesalahan pemilihan variabel, parameter, keseimbangan itu sendiri, kesalahan dalam membuat definisi variabel dan cara mengukurnya serta kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia dalam menginput data. Kegunaan dari penerapan koreksi kesalahan atau ECM dalam analisis ekonomi adalah : 1. Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah data runtun waktu yang non-stasioner dan regresi palsu (spurious regression). 2. Model dengan variabel-variabel dalam bentuk first difference mengeliminasi trend dari variabel. 3. Error Correction Model (ECM) dapat diestimasi dengan metode Ordinary Least Square (OLS). 4. Error Correction Model (ECM) dapat disesuaikan atau disamakan dengan pendekatan umum ke khusus (melihat kecenderungan umum dan membaginya menjadi pendekatan jangka pendek dan jangka panjang). 5. Membedakan dengan jelas antar parameter jangka panjang sehingga sangat ideal digunakan untuk menaksir dari keakuratan sebuah hipotesis. Jika ada variabel yang tidak nyata dapat direduksi sehingga akan meningkatkan efisiensi estimasi. Keuntungan dan keunggulan penggunaan ECM yang lain, yaitu seluruh komponen dan informasi pada tingkat variabel telah dimasukkan dalam model, memasukkan semua bentuk kesalahan untuk dikoreksi dapat menghindari dari masalah trend dan regresi palsu. Sifat-sifat statistik diinginkan dari model dan
pemberian makna dari persamaan dalam model tersebut juga lebih sederhana, artinya, ECM mampu memberikan makna lebih luas dari hasil estimasi model ekonomi sebagai pengaruh perubahan variabel independent terhadap variabel dependent dalam hubungan jangka pendek maupun jangka panjang (Julianto dalam Kusumastuti, 2005).
2.6. Penelitian Terdahulu Margarettha (2005) meneliti dampak liberalisasi perdagangan di sektor industri
tekstil
terhadap
neraca
perdagangan
Indonesia,
penelitiannya
menggunakan model VAR dan data ekspor-impor tekstil, neraca perdagangan total dan pendapatan nasional mulai dari tahun 1990 sampai 2004. Hasil penelitiannya adalah dengan adanya liberalisasi perdagangan di sektor tekstil akan memberikan pengaruh yang positif terhadap neraca perdagangan sebesar 0,3973 persen. Trihapsari (2007) melakukan penelitian tentang pengaruh perdagangan internasional gula dan variabel liberalisasi yaitu tarif impor di Indonesia terhadap industri gula nasional pada periode 1983-2006. Penelitiannya menggunakan metode Ordinary least Square (OLS) dan data time series tahunan. Penelitiannya menyimpulkan bahwa dengan tarif impor industri gula nasional mampu bertahan dan mampu menekan derasnya impor gula yang dilakukan Indonesia pada akhirakhir ini. Penelitian tentang ekspor-impor gula dan kaitannya dengan variabel liberalisasi yaitu tarif impor, dilakukan juga oleh Rahmawati (2005) dengan menggunakan data time series bulanan dari tahun 1999 sampai 2004 dengan
metode Ordinary least Square (OLS). Penelitiannya menyimpulkan bahwa dengan mengenakan tarif Rp.700/Kg membuat industri gula nasional lebih baik dibandingkan tanpa tarif, hal itu ditandai dengan meningkatnya produksi gula domestik sebesar 123,52 ribu ton pada tahun 2003 dan sebesar 419,73 ton pada tahun 2004. Bahkan disarankan pemerintah menaikkan tarif impor sebesar 65 persen hingga 95 persen dari yang berlaku saat itu. Herdi (2006) melakukan penelitian tentang perdagangan beras dunia dan kaitannya dengan pasar beras domestik serta pengaruh adanya tarif impor terhadap perdagangan beras. Penelitiannya menggunakan data time series bulanan dari tahun 1998 sampai tahun 2006. Sedangkan metode yang digunakan adalah Vektor Autoregression (VAR), penelitiannya menyimpulkan bahwa tarif impor memberikan pengaruh yang permanen dalam jangka panjang terhadap harga beras internasional dan tarif mampu meningkatkan harga beras internasional di pasar domestik. Penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh Ekspor-Impor Komoditas Pangan Utama dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Neraca Perdagangan Indonesia” memiliki perbedaan dengan penelitian yang lain dari segi sektor dan metode analisa. Dalam penelitian ini, penulis meneliti pengaruh ekspor-impor komoditas hasil sub sektor tanaman pangan, sebab sub sektor tanaman pangan merupakan salah satu sub sektor utama dalam sektor pertanian yang memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia, selain itu, ketersediaan pangan merupakan faktor yang utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan dalam analisanya, penelitian ini menggunakan metode Error
Correction Model (ECM) yang mampu memprediksi dalam jangka pendek dan jangka panjang dengan mengatasi permasalahan data runtun waktu (time series) yang tidak stasioner dan regresi palsu.
2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual Negara dengan perekonomian terbuka seperti Indonesia sangat memiliki ketergantungan dengan perekonomian luar negeri. Ketergantungan tersebut dapat direfleksikan dengan adanya perdagangan antar negara yang terdiri dari arus barang, jasa, dan arus pembayaran antar negara di dunia. Dalam perdagangan internasional tersebut terdapat berbagai kesepakatan yang mengikat agar terciptanya perdagangan yang adil dan saling menguntungkan bagi negara-negara yang melakukan perdagangan internasional. Baik kesepakatan bilateral, regional maupun multilateral. Salah satu kesepakatan multilateral yang terpenting dalam perdagangan internasional saat ini adalah disepakatinya liberalisasi perdagangan di sektor pertanian yang diprakarsai oleh WTO dengan tujuan menciptakan perdagangan internasional yang lebih berorientasi pasar, adil, dan lebih dapat diprediksi dengan berfokus pada pembukaan seluas-luasnya pasar domestik (akses pasar), penurunan subsidi domestik dan persaingan ekspor yang sehat. Sektor pertanian diklasifikasikan menjadi beberapa sub sektor, yaitu sub sektor tanaman pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor buah-buahan dan sub sektor tanaman perkebunan. Dengan adanya kesepakatan liberalisasi perdagangan disektor pertanian maka secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi ekspor dan impor komoditas sub sektor-sub sektor pertanian tersebut.
Perdagangan (ekspor-impor) komoditi pangan utama yang dihasilkan oleh sub sektor tanaman pangan menjadi obyek penelitian secara khusus, sebab dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan menyempitnya areal pertanian, persediaan pangan utama seperti beras, jagung, gandum, kedelai, ubi jalar, ubi kayu dan kacang tanah seringkali menjadi masalah yang cukup krusial. Padahal keunggulan komparatif pada komoditi pangan ini telah dimiliki Indonesia. Dengan adanya liberalisasi perdagangan diharapkan memberikan pengaruh yang positif bagi perekonomian Indonesia yang masih bercorak agraris ini, terutama berpengaruh pada meningkatnya ekspor komoditas pangan dan menurunnya impor komoditas pangan yang selama ini cukup besar, agar devisa Indonesia bertambah besar sehingga pembangunan pasca krisis berjalan lancar. Secara umum, pemikiran konseptual diatas dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Perekonomian Indonesia Jumlah penduduk meningkat, kebutuhan pangan meningkat
Sektor Ekonomi Lain
Sektor Pertanian
Sub Sektor Lainnya
Sub sektor Tanaman Pangan
Faktor Penduga Berpengaruh lain : 1. Suku Bunga dalam Negeri 2. Suku Bunga Internasional 3. Nilai Tukar Rupiah (Kurs) 4. Produk Domestik Bruto 5. Dummy Liberalisasi 6. Dummy Krisis
Komoditas Tanaman Pangan
Ekspor-Impor Komoditas Pangan Utama
Neraca Perdagangan non-migas Indonesia
Kebijakan Keterangan : : Tidak termasuk dalam penelitian Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Konseptual
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), dan Departemen Pertanian. Dalam penelitian ini data sekunder yang diambil adalah Produk Domestik Bruto (PDB) nominal, neraca perdagangan non-migas Indonesia, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, nilai ekspor dan impor komoditas pangan utama Indonesia, suku bunga tiga bulanan, dan LIBOR (London Inter Bank Offer Rate). Data yang digunakan merupakan data triwulanan dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 dan beberapa data diriilkan dengan tahun dasar 1996.
3.2. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel adalah model koreksi kesalahan atau Error Correction Models (ECM) dan pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel dan Eviews 4.1. Adapun syarat untuk menggunakan metode analisis ECM yaitu jika minimal ada salah satu variabel yang tidak stasioner. Apabila seluruh data yang digunakan ternyata stasioner, maka persamaan tersebut tidak dapat dianalisa dengan menggunakan metode ECM.
3.3. Analisa Runtun Waktu (Time Series) Dalam penelitian ini akan dilakukan Unit Root Test untuk mengetahui apakah data yang digunakan stasioner atau tidak. Unit Root Test dapat diketahui dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Kemudian, dilakukan uji derajat integrasi serta uji kointegrasi untuk mengetahui adanya hubungan jangka panjang dengan menggunakan Engel-Granger Cointegration Test. Langkah selanjutnya adalah melakukan koreksi kesalahan (error) dengan menggunakan ECM. Langkah-langkah dalam pembuatan ECM yaitu sebagai berikut :
3.3.1. Uji Stationeritas (unit root test) Uji stasioneritas dimaksudkan untuk mengetahui sifat dan kecenderungan data yang dianalisis, apakah data tersebut mempunyai pola yang stabil (stasioner atau tidak). Hipotesis yang digunakan yaitu sebagai berikut : H0 : Data tidak stasioner (mengandung akar unit) H1 : Data stasioner (tidak mengandung akar unit) Penolakan hipotesis nol menunjukkan bahwa data yang dianalisis stasioner. Variabel dikatakan tidak stasioner jika terdapat hubungan antara variabel tersebut dengan waktu atau trend. Model yang mengandung variabel yang tidak stasioner sering menimbulkan masalah regresi lancung atau spurius regression, yaitu hasil estimasi yang diperoleh dari model secara statistik signifikan tetapi pada kenyataannya secara ekonomi tidak memiliki arti apapun. Oleh karena itu, setelah data diketahui tidak stasioner, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji derajat integrasi.
3.3.2. Uji Derajat Integrasi Uji derajat integrasi merupakan kelanjutan dari uji akar-akar unit. Uji ini merupakan konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada derajat nol. Pada uji ini variabel yang diamati di-difference pada derajat tertentu, sehingga semua variabel stasioner pada derajat yang sama. Suatu variabel dikatakan stasioner pada first difference jika nilai ADF Test lebih kecil dari nilai kritis McKinnon setelah di-difference satu kali.
3.3.3. Uji Kointegrasi Setelah diperoleh hasil pengujian akar-akar unit, analisis runtun waktu (time series) akan dilanjutkan dengan melakukan analisis kointegrasi. Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang tidak stasioner. Kointegrasi berarti walaupun secara individual tidak stasioner, namun kombinasi linier antara variabel tersebut dapat menjadi stasioner. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan uji kointegrasi, yaitu antara lain Engle-Granger Cointegration Test, Johansen Cointegration Test dan Cointegrating Regression Durbin-Watson Test. Dalam penelitian ini uji kointegrasi yang akan digunakan adalah uji kointegrasi Engle-Granger, hal ini dikarenakan persamaan ini merupakan persamaan tunggal. Metode kointegrasi Engle-Granger sebetulnya menggunakan metode Augmented Dickey Fuller (ADF) yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, meregresi persamaan OLS kemudian mendapatkan residual dari persamaan tersebut. Tahap kedua, dengan menggunakan metode ADF diuji akar unit terhadap residual dengan hipotesis yang sama dengan hipotesis uji akar unit ADF variabel-variabel sebelumnya.
Jika hipotesis nol ditolak atau signifikan, maka variabel residual adalah stasioner, artinya meskipun variabel-variabel yang digunakan tidak stasioner tetapi dalam jangka panjang variabel-variabel tersebut cenderung menuju pada keseimbangan. Oleh karena itu, kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut disebut regresi kointegrasi. Parameter-parameter yang dihasilkan dari kombinasi tersebut dapat disebut sebagai koefisien-koefisien jangka panjang atau cointegrated parameters. Adapun persamaan untuk melihat pengaruh ekspor-impor komoditas pangan utama dan liberalisasi perdagangan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia dalam jangka panjang dengan uji kointegrasi adalah sebagai berikut :
BOPt = α0 + α1EXCRt + α2EKSPt + α3IMPRt + α4GDPt + α5SBIt + α6LIBORt + α7Dummy_lbr + α8Dummy_krisis + et. ......................(1) Dimana : BOPt
= Neraca perdagangan non-migas Indonesia pada periode t (Juta US$)
EXCRt
= Exchange rate pada periode t (Rp/$).
EKSPt
= Ekspor komoditas pangan pada periode t (US$)
IMPRt
= Impor komoditas pangan pada periode t (US$)
GDPt
= Produk Domestik Bruto Indonesia pada periode t (Milliar Rp)
SBIt LIBORt
= Suku bunga tiga bulanan pada periode t (persen/tahun) = Suku bunga internasional (London Inter Bank Offer Rate) pada periode t (persen/tahun)
Dummy_lbr
= Dummy liberalisasi (Sebelum liberalisasi = 0, Setelah liberalisasi = 1) Dummy_krisis = Dummy krisis (Tidak krisis = 0, Saat krisis = 1) et.
= Error disturbance pada periode t Dari persamaan (1), beberapa variabel diubah dalam bentuk ln kecuali
variabel yang sudah dalam bentuk persen atau tidak bisa diubah karena mengandung angka minus seperti neraca perdagangan, maka persamaan menjadi :
BOPt = α1ln_EXCRt + α2ln_EKSPt + α3ln_IMPRt + α4ln_GDPt + α5SBIt + α6LIBORt + α7Dummy_lbr + α8Dummy_krisis + et....................................(2) Dimana : BOPt
= Neraca perdagangan non-migas Indonesia pada periode t (Juta US$)
EXCRt
= Exchange rate pada periode t (persen).
EKSPt
= Ekspor komoditas pangan pada periode t (persen)
IMPRt
= Impor komoditas pangan pada periode t (persen)
GDPt
= Produk Domestik Bruto Indonesia pada periode t (persen)
SBIt LIBORt
= Suku bunga tiga bulanan pada periode t (persen/tahun) = Suku bunga internasional (London Inter Bank Offer Rate) pada periode t (persen/tahun)
Dummy_lbr
= Dummy liberalisasi (Sebelum liberalisasi = 0, Setelah liberalisasi = 1)
Dummy_krisis = Dummy krisis (Tidak krisis = 0, Saat krisis = 1) et.
=
Error disturbance pada periode t
3.4. Penetapan Lag Optimal Sebelum melakukan estimasi Error Correction Models (ECM), perlu dilakukan penetapan lag optimal terlebih dahulu. Dalam ilmu ekonomi ketergantungan suatu variabel tidak bebas (Y) atas variabel lain yang bebas (X) jarang bersifat seketika. Variabel tidak bebas (Y) bereaksi terhadap variabel bebas (X) dengan suatu selang waktu. Selang waktu yang dibutuhkan untuk reaksi Y terhadap X disebut dengan lag. Untuk menetapkan lag yang optimal dapat dilihat dari nilai Akaike Information Criteria (AIC).
3.5. Error Correction Model (ECM) Model ECM bertujuan untuk mengatasi permasalahan data runtun waktu (time series) yang tidak stasioner dan regresi palsu. Munculnya ECM untuk mengatasi perbedaan kekonsistenan hasil estimasi antara jangka pendek dan jangka panjang, untuk melihat pengaruh ekspor-impor komoditas pangan utama dan liberalisasi perdagangan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia dalam jangka pendek adalah sebagai berikut :
∆_BOPt = α1∆ln_EXCRt + α2∆ln_EKSPt + α3∆ln_IMPRt + α4∆ln_GDPt + α5∆_SBIt + α6∆_LIBORt + α7∆_Dummy_lbr + α8∆_Dummy_krisis + γut-1 + et.
..............................................................................(3) -1< γ < 0
Dimana : BOPt
= Neraca perdagangan non-migas Indonesia pada periode t
(Juta US$) EXCRt
= Exchange rate pada periode t (persen).
EKSPt
= Ekspor komoditas pangan pada periode t (persen)
IMPRt
= Impor komoditas pangan pada periode t (persen)
GDPt
= Produk Domestik Bruto Indonesia pada periode t (persen)
SBIt
= Suku bunga tiga bulanan pada periode t (persen/tahun)
LIBORt
= Suku bunga internasional (London Inter Bank Offer Rate) pada periode t (persen/tahun)
Dummy_lbr
= Dummy liberalisasi (Sebelum liberalisasi = 0, Setelah liberalisasi = 1)
Dummy_krisis = Dummy krisis (Tidak krisis = 0, Saat krisis = 1) = Error correction terms
ut-1
Dalam menggambarkan hubungan yang terjadi antar variabel yang diduga dapat diwujudkan dengan membuat model. Model adalah abstraksi dari keadaan yang sebenarnya, suatu model dapat dikatakan baik jika memenuhi kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrika. Kriteria
ekonomi
ditentukan
oleh
dasar-dasar
ekonometrika
dan
berhubungan dengan tanda dan besar parameter dari hubungan ekonomi, model yang diperoleh akan dievaluasi berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada. Kriteria statistik menyangkut uji statistik untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel eksogen terhadap variabel endogen pada masingmasing persamaan maupun secara bersamaan. Sedangkan kriteria ekonometrika didasari oleh asumsi-asumsi dari Ordinary least Square (OLS) seperti pengujian autokorelasi, heteroskedastisitas, multikolinieritas dan normalitas, jika uji-uji
ekonometrika dipenuhi maka koefisien atau parameter yang diperoleh adalah penduga linier terbaik yang tidak bias.
3.6. Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test) Dalam penelitian ini untuk pengujian pelanggaran asumsi klasik meliputi pengujian autokorelasi, heteroskedastisitas, dan normalitas.
3.6.1. Uji Autokorelasi Autokorelasi terjadi jika nilai error tidak bersifat bebas antara yang satu dengan yang lainnya, artinya terjadi korelasi antar error sehingga model yang baik menghasilkan error yang acak dan tidak berpola. Kondisi tersebut menyebabkan varians yang diperoleh underestimate. Untuk mendeteksi autokorelasi dapat digunakan uji Durbin-Watson atau dengan melihat nilai Obs*R-Squared pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Apabila nilai Obs*R-Squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka persamaan tidak memiliki autokorelasi.
3.6.2. Uji Heteroskedastisitas Heterokedastisitas adalah kondisi dimana nilai varian dari variabel independen tidak memiliki nilai yang sama, untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas yaitu dengan melihat nilai probabilitas Obs*R-Squared pada White Heteroskedasticity Test. Apabila nilai probabilitas Obs*R-Squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka persamaan tidak memiliki heteroskedastisitas.
3.6.3. Uji Normalitas Normalitas merupakan salah satu asumsi statistik dimana error term terdistribusi normal. Untuk mengetahui adanya normalitas maka digunakan Jarque-Bera. Dimana : H0 = Error term terdistribusi normal H1 = Error term tidak terdistribusi normal.. Penerimaan H0 menandakan error term terdistribusi normal, dalam penelitian ini dapat dilihat dengan nilai Obs*R-Squared pada Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, jika hal tersebut dipenuhi persamaan tidak memiliki masalah normalitas.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Perkembangan Sektor Pertanian dan Sub Sektor Tanaman Pangan di Indonesia Tambunan (2005) menyatakan bahwa seiring proses industrialisasi, perubahan struktur ekonomi suatu negara akan menjadi suatu evolusi alamiah, sektor
pertanian
akan
mengalami
penurunan
kontribusinya
terhadap
perekonomian sedangkan sektor lainnya seperti manufaktur, perdagangan, dan jasa-jasa mengalami peningkatan yang pesat. Penurunan kontribusi sektor pertanian dapat dilihat dari penurunan kontribusinya terhadap PDB Indonesia beberapa tahun terakhir. Tabel 4.1. Kontribusi PDB Tiap Sektor terhadap PDB Nasional Tahun 2001-2005 (dalam Persen) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Produk Domestik Bruto
Sektor Pertanian Pertambangan Industri Listrik, Air & Gas Konstruksi Perdagangan Angkutan & komunikasi Keuangan Jasa-jasa
2001 17,23 13,86 24,90 1,31 6,05 15,74
2002 16,67 13,19 25,41 1,51 5,83 16,06
2003 15,46 8,83 24,89 0,84 6,07 17,14
2004 15,19 8,33 24,40 0,94 6,22 16,64
2005 14,59 8,63 24,22 0,94 6,29 16,27
4,93
5,06
5,38
5,91
6,25
6,36 9,63
6,46 9,80
8,48 9,09
8,64 9,87
8,55 10,32
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006.
Tabel 4.1 memperlihatkan kontribusi persentase sumbangan sektor pertanian Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa tahun terakhir semakin menurun, bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan sektor industri dan perdagangan. Dari sisi pertumbuhannya, terlihat juga sektor pertanian
Indonesia cenderung terus mengalami penurunan. Sebaliknya, sektor lain seperti sektor perdagangan, sektor jasa, sektor listrik, air dan gas memiliki pertumbuhan progresif pada tiap tahunnya. Hal ini menandakan telah terjadi proses perubahan struktur perekonomian di Indonesia, dari yang bercorak agraris menuju perekonomian yang bercorak industri dan perdagangan. Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional secara persentase terus mengalami penurunan, sektor ini masih diyakini sebagai sektor yang strategis. Banyak faktor yang menyebabkan sektor pertanian masih dianggap sangat strategis, di antaranya adalah penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian, dan berbagai ragam kehidupan penduduk dicirikan oleh peran sektor pertanian. Pada gilirannya, kondisi ini menyebabkan Indonesia masih digolongkan sebagai negara agraris. Tabel 4.2. Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Desa dan Kota Tahun 2005 (Jiwa) Lapangan Pekerjaan Desa Kota Utama Pertanian 36.962.066 4.852.131 Pertambangan 493.988 314.854 Industri 4.675.254 6.977.152 Listrik, Gas dan Air 41.819 144.982 Bangunan 2.033.945 238.342 Perdagangan 7.175.316 11.721.586 Angkutan 2.259.171 3.293.354 Keuangan 198.347 844.439 Jasa Lainnya 3.397.084 7.179.488 Jumlah 57.236.990 37.711.128 Sumber : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007.
Jumlah 41.814.197 808.842 11.652.406 186.801 4.417.087 18.896.902 5.552.525 1.042.786 10.576.572 94.948.118
Tabel 4.2 menunjukkan pentingnya sektor pertanian bagi perekonomian Indonesia, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian tetap yang terbesar jika dibandingkan dengan sektor lainnya, pada tahun 2005 kurang lebih 42 juta jiwa penduduk Indonesia bekerja disektor pertanian, dibandingkan dengan sektor
industri yang hanya menyerap tenaga kerja 11,5 juta jiwa dan sektor perdagangan yang menyerap tenaga kerja kurang lebih 19 juta jiwa. Bahkan jumlah orang yang bekerja disektor pertanian tetap lebih besar walaupun jumlah tenaga kerja pada kedua sektor penyumbang PDB terbesar tersebut digabung. Hal ini menandakan sektor pertanian tetap menjadi sektor yang harus diperhatikan walaupun proses industrialisasi tengah berjalan di Indonesia. Sub sektor tanaman pangan sebagai salah satu sub sektor pertanian memiliki peranan yang penting bagi sektor pertanian dan perekonomian Indonesia, sebab sub sektor tanaman pangan merupakan penyumbang terbesar PDB bagi
sektor pertanian seperti yang telah ditunjukkan pada Tabel 1.1.
Departemen Pertanian (2005) menyatakan pada periode 1993-1997 sub sektor tanaman pangan rata-rata menyerap 27,49 juta orang atau 33 persen dari angkatan kerja nasional. Pada periode 1998-1999 menyerap rata-rata 29,414 juta orang atau 32,7 persen dari total nasional. Sedangkan pada tahun 2000-2003 menyerap ratarata sebesar 30 juta atau 33 persen dari kesempatan kerja nasional. Sementara lapangan usaha lainnya pada tahun yang sama (2000-2003) rata-rata menyerap tenaga kerja jauh lebih rendah, seperti perkebunan menyerap 5,39 juta (5,85 persen), perikanan 1,35 juta (1,47 persen) peternakan 725 ribu orang (0,79 persen), dan pertanian lainnya 3,30 juta orang (3,60 persen). Besarnya penyerapan tenaga kerja di sub sektor tanaman pangan tidak terlepas dari corak masyarakat Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan bermata pencarian sebagai petani tanaman pangan.
4.2. Perkembangan Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan di Indonesia Sub sektor tanaman pangan memiliki arti yang penting dalam menjaga ketahanan pangan suatu negara, sebab sub sektor tanaman pangan merupakan penghasil pangan yang memberi makan seluruh rakyat sebuah negara. Jika sebuah negara tergantung dengan negara lain dalam ketahanan pangannya, maka dapat membahayakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsumsi pangan dan produksi pangan suatu negara seharusnya berimbang untuk mencapai kondisi aman dalam ketahanan pangan, bahkan sebaiknya produksi pangan melebihi konsumsinya agar terdapat cadangan pangan ketika terjadi peristiwa luar biasa pada suatu negara, misalnya bencana kekeringan yang menyebabkan gagal panen. Namun kondisi Indonesia justru sebaliknya, konsumsi pangan melebihi jumlah produksi pangan dalam negeri, kendati demikian, karena Indonesia merupakan negara terbuka maka kebutuhan pangannya dapat dipenuhi dengan melakukan impor. Dewan Ketahanan Pangan (2002) menyatakan, pada aspek penyediaan pangan di Indonesia terdapat beberapa tantangan sehingga untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional cukup sulit, begitupula usaha untuk meningkatkan produksi pangan juga cukup sulit dilakukan, tantangan tersebut diantaranya. Pertama, jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar dan terus bertambah. Kedua, kapasitas komoditas pangan nasional yang semakin terbatas akibat konversi lahan ke aktivitas non-pertanian, penurunan kualitas kesuburan lahan, kerusakan sarana irigasi dan lain-lain. Ketiga, komoditas pangan dihasilkan oleh sekitar 21 juta rumah tangga petani berlahan sempit yang
memiliki aksesibilitas terbatas pada sumber permodalan, teknologi, dan sarana produksi, sehingga peningkatan efisiensi dan produktivitas cukup sulit. Keempat, kurang terdiversifikasinya makanan pokok masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penyediaan pangan yang berasal dari sumber luar negeri (impor) akan terus berlangsung jika permasalahan diatas tidak tertangani dengan tuntas. Tabel 4.3 Kebutuhan Pangan Nasional tahun 2000-2005 (Ribu Ton) Komoditas
Kebutuhan Pangan Nasional
2000 2001 2002 2003 2004 2005 30.129 28.438 29.718 30.199 29.698 30.502 1. Beras 9.747 9.168 9.639 10.903 10.949 11.520 2. Jagung 2.198 1.883 1.980 1.807 1.778 1.657 3. Kedelai 801 764 761 816 828 842 4. Kc Tanah 13.988 14.149 14.219 16.336 15.365 15.991 5. Ubi Kayu 1.601 1.531 1.546 1.581 1.617 1.594 6. Ubi Jalar Sumber : Departemen Pertanian, 2007.
Tabel 4.3 memberikan gambaran bahwa kebutuhan pangan Indonesia sangat besar, tiap tahunnya kebutuhan beras sebagai makanan pokok rakyat Indonesia diperlukan berkisar 30 juta ton dan jagung mencapai kurang lebih 10 juta ton pada tiap tahunnya. Secara rata-rata pada tiap tahunnya , sejak tahun 2000 hingga tahun 2005 Indonesia membutuhkan kurang lebih 60 juta ton pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, namun kebutuhan tersebut tidak semuanya dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Tabel 4.4 menunjukkan persediaan pangan yang dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, produksi beras pada tiap tahunnya mulai tahun 2000 hingga tahun 2005 cenderung mengalami stagnasi, walaupun mengalami kenaikan, namuan kenaikannya tidak signifikan. Begitupula dengan produksi
pangan lainnya, hanya ubi kayu yang mengalami trend peningkatan yang cukup signifikan. Tabel 4.4 Persediaan Pangan Nasional Tahun 2000-2005 (Ribu Ton) Persediaan Pangan Nasional
Komoditas
2000 2001 2002 2003 2004 1. Beras 29.393 28.579 29.161 29.528 30.633 2. Jagung 8.511 8.223 8.501 9.591 9.893 3. Kedelai 921 748 615 615 663 4. Kc Tanah 671 648 642 705 746 5. Ubi Kayu 13.676 14.496 14.376 15.745 16.511 6. Ubi Jalar 1.608 1.539 1.559 1.753 1.674 Sumber : Departemen Pertanian, 2007.
2005 30.669 11.041 743 740 16.423 1.634
Berdasarkan Tabel 4.5, ketersediaan beras pada tahun 2000 mengalami defisit 736.000 ton, sedangkan pada tahun 2005 terjadi surplus persediaan sebesar 167.000 ton. Jagung pada tahun 2000 mengalami defisit 1.236.000 ton dan pada tahun 2005 defisit menjadi 479.000 ton. Kedelai pada tahun 2000 mengalami defisit 1.277.000 ton dan pada tahun 2005 mengalami defisit sebesar 914.000 ton. Secara umum Indonesia mengalami defisit pada neraca pangan yang menyebabkan impor terus pangan terus berlanjut. Tabel 4.5. Neraca Pangan Nasional (Ribu Ton) Neraca Pangan Nasional 2001 2002 2003 2004 2005 1. Padi -736 141 -557 -671 935 167 2. Jagung -1.236 -945 -1.138 -1.312 -1.056 -479 3. Kedelai -1.277 -1.135 -1.365 -1.192 -1.115 -914 4. Kc Tanah -130 -116 -119 -111 -82 -102 5. Ubi Kayu -312 347 157 -591 1.146 432 6. Ubi Jalar 7 8 13 172 57 40 Sumber : Departemen Pertanian (diolah), 2007. Komoditas
2000
4.3. Perkembangan Ekspor-Impor Pangan Indonesia Departemen Pertanian (2005) menyatakan bahwa sub sektor tanaman pangan merupakan satu-satunya sub sektor yang belum berorientasi ekspor, fokus peningkatan produktivitas komoditas tanaman pangan selama ini lebih diarahkan pada penguatan pemenuhan pangan domestik sebab kebutuhan konsumsi pangan domestik yang sangat besar dan belum bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri dibandingkan potensi yang dimiliki Indonesia. Jika selama ini Indonesia melakukan ekspor komoditas pangan, nilainya relatif kecil. Ekspor komoditas pangan Indonesia lebih didominasi olahan dibandingkan ekspor komoditas segar, namun pada masa krisis komoditas segar mengalami peningkatan ekspor yang cukup signifikan, akan tetapi menurun kembali pada masa pasca krisis. Tabel 4.6 memperlihatkan pada periode 1995-1997 nilai ekspor komoditas olahan tanaman pangan jauh lebih tinggi dari komoditas segarnya, untuk ekspor komoditas olahan rata-rata tahun 1995-1997 mencapai US$ 91.63 juta, sedangkan untuk ekspor komoditas pangan segar rata-rata mencapai US$ 50,84 juta. Namun, pada periode krisis (1998-1999) nilai ekspor komoditas segar lebih tinggi, nilai ekspor komoditas pangan segar rata-rata mencapai US$ 65,56 juta dan ekspor komoditas pangan olahan rata-rata hanya US$ 60,95 juta, sedangkan pasca krisis (2000-2005) nilai ekspor komoditas pangan segar mengalami penurunan yang cukup tajam, rata-rata hanya US$ 35,11 juta, sedangkan nilai ekspor komoditas pangan olahan rata-rata mencapai US$ 102,99 juta. Pada Tabel 4.6 juga dapat dilihat bahwa impor komoditas pangan baik segar maupun olahan pada tiap tahunnya cukup besar, rata-rata nilai impor
sebelum krisis (1995-1997), saat krisis (1998-1999) dan pasca krisis (2000-2005) didominasi oleh komoditas pangan segar. Nilai impor komoditas pangan segar sebelum masa krisis rata-rata mencapai US$ 1.389,18 juta dan nilai ekspor komoditas pangan olahan rata-rata mencapai US$ 344,69 juta, sedangkan nilai impor komoditas pangan baik segar maupun olahan pada saat krisis mengalami penurunan, nilai impor komoditas pangan segar hanya rata-rata US$ 821,99 juta dan nilai impor komoditas pangan olahan rata-rata US$ 240,49 juta. Pada masa pasca krisis nilai impor pangan Indonesia mengalami kenaikan yang cukup tajam, nilai impor komoditas pangan segar rata-rata mencapai US$ 1.216,83 juta dan nilai impor komoditas pangan olahan rata-rata mencapai US$ 554,19 juta. Tabel 4.6. Neraca Komoditas Segar dan Olahan Tanaman Pangan (Juta US$ ) Tahun
Ekspor Impor Neraca Segar Olahan Segar Olahan Segar Olahan 81,72 71,61 1.292,13 340,99 -1210,41 -269,18 31,69 131,76 1.584,41 321,80 -1552,72 -190,04 39,12 71,33 1.290,99 371,27 -1251,87 -299,94 90,91 68,94 805,76 220,43 -714,85 -151,49 40,21 52,95 838,21 260,55 -798,00 -207,60 20,39 38,95 991,57 423,91 -971,18 -384,96 29,31 49,68 814,48 457,42 -785,17 -407,74 15,71 19,23 1.104,02 380,33 -1088,31 -361,10 17,64 62,55 1.415,32 512,59 -1397,68 -450,04 50,93 239,91 1.551,07 826,21 -1500,14 -586,30 76,67 207,63 1.424,53 724,70 -1347,86 -517,07
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005* Rata-rata 50,84 91,63 1.389,18 344,69 -1338,33 -253,05 1995-1997 Rata-rata 65,56 60,95 821,99 240,49 -756,43 -179,55 1998-1999 Rata-rata 35,11 102,99 1.216,83 554,19 -1181,72 -451,20 2000-2005 Sumber : Departemen Pertanian, 2005. * : Data sampai juni kemudian dikali 2
Dari sisi neraca perdagangan, Indonesia terus mengalami defisit, baik untuk komoditas segar maupun olahan. Pada masa pasca krisis (2000-2005) seperti sekarang ini, justru defisit perdagangan komoditas pangan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan, padahal Indonesia membutuhkan devisa untuk memperbaiki keadaan perekonomiannya, nilai defisit perdagangan komoditas pangan segar pada masa pasca krisis rata-rata mencapai US$ 1.181,72 juta, sedangkan nilai defisit neraca perdagangan komoditas pangan olahan ratarata mencapai US$ 451,20 juta.
4.4. Perkembangan Liberalisasi Perdagangan Komoditas Pangan Liberalisasi perdagangan dapat diartikan sebagai pembebasan perdagangan dari segala hambatan, baik hambatan tarif maupun hambatan non tarif yang dilakukan sepihak dan banyak pihak. Adanya liberalisasi perdagangan hingga saat ini masih menjadi perdebatan sengit para ahli ekonomi dan dalam setiap perundingan WTO. Penganut liberalisasi perdagangan berpendapat bahwa liberalisasi perdagangan akan menguntungkan sebab berdampak pada, Pertama, menurunnya harga komoditas impor dengan adanya penghapusan tarif sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat. Kedua, ekspor suatu negara akan meningkat seiring dengan peningkatan daya saing komoditas domestik di pasar internasional, hal itu terjadi karena adanya pembebasan tarif impor. Sedangkan kalangan yang menolak liberalisasi perdagangan beralasan bahwa dengan pembukaan pasar domestik seluas-luasnya bagi komoditas negara asing maka akan terjadi penurunan produksi dalam negeri. Hal itu umumnya terjadi pada komoditas yang masih mengandalkan proteksi dari pemerintah, sebab liberalisasi akan membuat komoditas luar negeri akan lebih murah jika dibandingkan komoditas domestik, sehingga pasar domestik akan dibanjiri oleh komoditas
impor, sehingga produsen dalam negeri menghentikan produksinya akibat kalah bersaing (Deplu RI, 2004). Kesimpulan perdebatan para ahli ekonomi adalah liberalisasi perdagangan di dunia memiliki konsekuensi positif dan negatif. Konsekuensi positifnya yaitu meningkatkan volume perdagangan dunia yang dipercaya akan membawa ksejahteraan yang lebih tinggi bagi negara yang melaksanakannya, sedangkan konsekuensi negatifnya yaitu menghambat pertumbuhan bahkan menghancurkan lapangan usaha dalam negeri yang belum mampu bersaing dengan negara lain serta mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak (tarif). Konsekuensi negatif yang telah dirasakan oleh beberapa negara akibat liberalisasi perdagangan komoditas pangan adalah semakin derasnya aliran komoditas pangan impor masuk kedalam negeri, sebagai contoh di Haiti, tiga dari empat piring nasi yang di santap rakyat Haiti adalah hasil impor. Hal tersebut dikarenakan komoditas dalam negeri kalah bersaing dengan komoditas impor yang jauh lebih murah dan berkualitas, akibatnya petani padi di Haiti kehilangan pekerjaan, sedangkan di Indonesia, sejak ditandatanganinya liberalisasi perdagangan, keran impor pangan dibuka lebar sehingga komoditas pangan impor memenuhi pasar domestik, akibatnya petani selalu dirundung malang karena harga gabah yang tertekan saat musim panen raya (Risnandar, 2007). Perdagangan komoditas pangan Indonesia pasca perjanjian liberalisasi yang diimplementasikan pada awal tahun 1995. Berdasarkan data ekspor-impor pangan memiliki konsekuensi negatif bagi Indonesia, dimana impor pangan yang
dilakukan oleh Indonesia semakin meningkat sehingga neraca perdagangan pangan terus-menerus mengalami defisit seperti yang terlihat pada Tabel 1.2. Kesepakatan liberalisasi perdagangan komoditas pangan bagi negara berkembang seperti Indonesia memiliki arti yang penting, sebab sebagai negara agraris, sub sektor tanaman pangan masih menjadi sub sektor unggulan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan menjadi urat nadi kehidupan serta perekonomian rakyat (Tambunan, 2005). Oleh karena itu, Indonesia beserta negara berkembang lainnya yang tergabung dalam Group-33 memperjuangkan konsep yang melindungi sektor pertaniannya terutama sub sektor tanaman pangan dari akses negatif liberalisasi pertanian, yaitu konsep Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanisme (SSM) yang bertujuan melindungi petani (livehood security), ketahanan pangan (food security), dan pembangunan pedesaan (rural development). Konsep tersebut merupakan salah satu langkah pemerintah negara berkembang lainnya untuk melindungi sektor pertaniannya sebab sektor pertanian terutama sub sektor tanaman pangan memegang peranan yang besar dalam perekonomian negara berkembang, salah satunya sub sektor tanaman pangan masih menjadi primadona penyerapan tenaga.
4.4.1. Perjanjian Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan Perjanjian umum mengenai tarif dan perdagangan (GATT, General Agreement on Tariff and Trade) merupakan sebuah organisasi internasional yang dibentuk tahun 1947, bermarkas di Jenewa, Swiss. Organisasi ini bertujuan mempromosikan hubungan perdagangan internasional yang lebih bebas melalui rangkaian negosiasi atau perundingan perdagangan multilateral. Rencana awalnya
GATT merupakan bagian dari Organisasi Perdagangan Internasional (ITO, International Trade Organization) yang bertujuan mengatur keseluruhan hubungan dagang antar negara, namun Amerika Serikat menolak meratifikasi pembentukan ITO sehingga lembaga ini tidak berfungsi, sehingga GATT tampil sebagai penggantinya. Dalam menjalankan fungsinya, GATT bertumpu pada tiga prinsip dasar, yaitu : 1.
Prinsip non-diskriminasi, prinsip ini mengacu pada kewajiban setiap negara untuk menerima prinsip negara lain tanpa kecuali dan tanpa syarat. Artinya, setiap negara harus memperlakukan semua negara secara sama.
2.
Penghapusan semua bentuk hambatan perdagangan non-tarif, terkecuali untuk komoditas-komoditas pertanian yang diakui rentan terhadap tekanan harga internasional dan bagi negara yang kesulitan dalam neraca pembayarannya juga masih dibenarkan untuk memberlakukan hambatan nontarif.
3.
Konsultasi, artinya dalam mengatasi setiap masalah atau konflik semua negara anggota GATT dihimbau menempuh jalan negosiasi secara damai.
4.4.2. Putaran Uruguay (Uruguay Round) Pada bulan Desember tahun 1993 terselenggara seri terakhir negosiasi perdagangan multilateral dalam kerangka GATT, yakni Putaran Uruguay. Tujuan utama diselenggarakannya Putaran Uruguay adalah menciptakan aturan-aturan dasar dalam mengendalikan kecenderungan meningkatnya proteksionisme baru dan berusaha mengubah paradigma perdagangan agar perdagangan internasional
menjadi kian bebas. Disamping itu, untuk pertama kalinya dibicarakan perdagangan internasional di sektor jasa, pertanian, perlindungan hak cipta dan investasi asing. Adapun kesepakatan penting yang dicapai dalam Putaran Uruguay adalah sebagai berikut : 1.
Mengenai tarif, negara-negara anggota sepakat untuk menurunkan tarif sektor industri, bahkan tarif untuk sektor farmasi, konstruksi, komoditas kertas, baja, dan perlengkapan medis akan dihapuskan.
2.
Mengenai kuota, kuota yang selama ini masih diterapkan pada impor pertanian, tekstil dan pakaian jadi akan diganti dengan tarif restriktif yang lebih rendah. Khusus untuk komoditas pertanian, tingkat tarif akan diturunkan hingga 24 persen bagi negara berkembang dan 36 persen untuk negara industri.
3.
Mengenai anti-dumping, Putaran Uruguay memutuskan ketentuan-ketentuan yang lebih tegas dan cepat mengenai dumping di banyak negara.
4.
Mengenai subsidi, volume ekspor pertanian yang disubsidi akan dikurangi hingga 21 persen dalam periode enam tahun.
5.
Mengenai ketentuan pengaman khusus (safeguards), negara anggota masih dimungkinkan untuk meningkatkan tarif atau restriksi perdagangan tertentu guna meredam lonjakan impor yang diperkirakan mampu mematikan industri domestik.
6.
Rencana pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization. WTO). Negara-negara anggota sepakat untuk mengganti GATT dengan sebuah organisasi yang memiliki cakupan yang lebih luas dan
wewenang yang lebih besar. Organisasi tersebut diberi nama Organisasi perdagangan Dunia (WTO). WTO memiliki wewenang lebih besar dalam mengawasi dan mengontrol perdagangan komoditi pertanian, jasa, dan komoditas
industri.
WTO
juga
memiliki
mekanisme
baku
dalam
menyelesaikan setiap perselisihan dagang. Dengan adanya kesepakatan yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay, diperkirakan nilai perdagangan dunia akan meningkat hingga 270 Milliar Dollar per tahun dan terjadi peningkatan standar hidup di seluruh dunia akibat semakin efisiennya penggunaan tenaga kerja, modal dan sumber daya produktif lainnya (Salvatore,1997). Tabel 4.7. Sasaran Pemotongan Tarif, Subsidi dan Proteksi Komoditas Pertanian yang Disetujui dalam Putaran Uruguay. Kesepakatan Tarif; • •
Potongan rata-rata untuk komoditas pertanian Potongan minimum per komoditas
Dukungan domestik : • Jumlah potongan subsidi domestik untuk sektor pertanian (periode 1986-1988) Eksport: • Nilai subsidi • Jumlah komoditas yang disubsidi
Negara Maju 1995-2004
Negara Berkembang 1995-2004
-36%
-24%
-15%
-10%
-20%
-13%
-36% -21%
-24% -14%
Sumber: Departemen Luar Negeri RI, 2004
Tabel 4.7 membuktikan bahwa kesepakatan perdagangan yang telah disetujui dalam Putaran Uruguay dipastikan membuat pasar komoditas pertanian negara-negara anggota WTO lebih terbuka. Indonesia yang masuk dalam kategori
negara berkembang diharuskan mengurangi tarif impor minimal 24 persen, sedangkan negara-negara maju diharuskan mengurangi tarif impor minimal 36 persen, sehingga konsekuensinya komoditas pertanian Indonesia harus siap bersaing dengan komoditas pertanian dari negara lain, baik bersaing dalam kancah pasar internasional maupun dalam kancah pasar domestik Indonesia sendiri, sebab akses pasar semakin terbuka luas seiring penurunan tarif impor yang cukup signifikan tersebut.
4.4.3. Mandat Doha Departemen Luar Negeri (2004) menyatakan bahwa Mandat Doha sama pentingnya dengan kesepakatan Putaran Uruguay (Uruguay Round) terutama kemajuan dalam hal akses pasar, pengurangan substansial dalam program subsidi domestik yang mendistorsi perdagangan serta memperbaiki perlakuan khusus dan berbeda dibidang pertanian bagi negara-negara berkembang. Perundingan Doha dimulai pada Maret 2000, dimana 126 negara (85 persen anggota) menyampaikan 45 proposal dan 4 dokumen teknis mengenai perundingan, kesepakatan Doha Alinea 13 menekankan kesepakatan agar perlakukan khusus dan berbeda bagi negara berkembang yang selama ini diperjuangkan Indonesia bersama G-33 menjadi bagian integral dari perundingan pertanian, dicatat pula pentingnya memperhatikan kebutuhan negara berkembang pada ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan.
4.4.4. Konferensi Tingkat Menteri V WTO di Cancun, Meksiko Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Cancun, Meksiko pada tahun 2003 tidak menghasilkan kesepakatan, sebab terjadi perbedaan yang cukup tajam antara kubu negara maju yang diwakili Uni Eropa dan Amerika Serikat dengan kubu negara berkembang yang tergabung dalam Group-21 (G-21) dan Group-33 (G-33). Amerika Serikat dan Uni Eropa mengeluarkan joint paper yang memuat proposal agar penurunan tarif di negara berkembang harus dilakukan secara signifikan, tetapi tidak menginginkan adanya pengurangan tarif dan penurunan subsidi domestik di negara maju. Negara
berkembang
yang
tergabung
dalam
G-21
menginginkan
pengurangan subsidi dan penurunan tarif di negara maju seperti yang telah di deklarasikan dalam Mandat Doha. Indonesia dan negara berkembang lainnya yang tergabung dalam G-33 mengajukan proposal yang menghendaki adanya pengecualian dari penurunan tarif dan subsidi. Proposal G-33 tersebut lebih dikenal dengan Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara berkembang.
4.4.5. Kesepakatan Juli 2004 Setelah gagalnya KTM V WTO di Cancun, Meksiko. Sidang Dewan Umum WTO yang diselenggarakan pada bulan Juli 2004 dan berakhir tanggal 1 Agustus 2004 berhasil menyepakati keputusan tentang Program Kerja Doha. Keputusan tersebut disebut juga Paket Juli. Pada Paket Juli disepakati beberapa hal yaitu :
1. Subsidi Domestik : a. Negara maju harus memotong 20 persen dari total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian. b. Pemberian subsidi untuk kategori Blue Box akan dibatasi sebesar 5 persen dari total produksi pada tahun pertama implementasi. c. Negara berkembang dibebaskan dari keharusan menurunkan subsidi dalam kategori de minimis jika subsidi tersebut ditujukan membantu petani kecil dan miskin. 2. Subsidi Ekspor a. Semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara paralel dengan penghapusan elemen subsidi program seperti kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran melebihi 180 hari. b. Memperketat ketentuan kredit ekspor, garansi kredit atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran melebihi 180 hari atau kurang yang mencakup pembayaran bunga, tingkat suku bunga minimum dan ketentuan premi minimum. c. Implementasi penghapusan subsidi ekspor bagi negara berkembang yang lebih lama dibanding negara maju. d. Hak monopoli perusahaan negara di negara berkembang yang berperan dalam menjaga stabilitas harga konsumen dan keamanan pangan tidak harus dihapuskan.
e. Aturan pemberian bantuan makanan diperketat untuk menghindari penyalahgunaannya sebagai alat untuk mengalihkan kelebihan produksi negara maju. f. Beberapa aturan perlakukan khusus dan berbeda untuk negara berkembang diperkuat. 3. Akses Pasar a. Dengan alasan penyeragaman dan perbedaan dalam struktur tarif, penurunan tarif menggunakan tiered formula. b. Penurunan tarif akan dilakukan terhadap bound rates. c. Paragraf mengenai Special Products (SP) dibuat lebih umum dan tidak lagi menjamin jumlah komoditas yang dapat dikategorikan sebagai sensitive products. Negara berkembang dapat menentukan jumlah komoditas yang dikategorikan SP berdasarkan kriteria food security, livelihood security, dan rural development.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Pengujian Kestasioneran Data Langkah pertama yang dilakukan dalam metode analisis Error Correction Models (ECM) adalah menguji kestasioneran data (Uji akar unit) dengan menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Uji akar unit dimaksudkan untuk mengetahui sifat dan kecenderungan data yang dianalisis, apakah data tersebut mempunyai pola yang stabil (stasioner atau tidak). Variabel dikatakan tidak stasioner jika terdapat hubungan antara variabel tersebut dengan waktu atau trend. Model yang mengandung variabel yang tidak stasioner sering menimbulkan masalah regresi lancung atau spurious regression, yaitu hasil estimasi yang diperoleh dari model secara statistik signifikan tetapi pada kenyataannya secara ekonomi tidak memiliki arti apapun. Tabel 5.1 Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada Level Varibel BOP ln_EXCR ln_GDP ln_IMPR ln_EKSP LIBOR SBI
Nilai ADF -1,34918 -1,94932 -2,26697 -1,92918 -3,91145 -2,38812 -2,13802
Nilai Kritis McKinnon 1% 5% 10% -3,57131 -2,922449 -2,59922 -3,56543 -2,919952 -2,59791 -3,56543 -2,919952 -2,59791 -3,56831 -2,921175 -2,59855 -3,56543 -2,919952 -2,59791 -3,57131 -2,922449 -2,59922 -3,56543 -2,919995 -2,59791
Prob* 0,5993 0,3078 0,1863 0,3166 0,0038 0,1503 0,2312
Keterangan Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Stasioner* Tidak Stasioner Tidak Stasioner
Sumber : Lampiran 2 .
Tabel 5.1 menunjukkan hasil pengujian akar unit pada level, dari semua variabel yang diuji hanya satu yang stasioner baik pada tingkat kepercayaan 1 persen, 5 persen dan 10 persen, yaitu variabel EKSP. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai Augmented Dickey-Fuller (ADF) t-statistic yang lebih kecil dari nilai kritis McKinnon. Sedangkan variabel yang lainnya tidak stationer sebab nilai
ADF variabel-variabel tersebut lebih besar dari nilai kritis McKinnon baik pada tingkat kepercayaan 1 persen, 5 persen maupun tingkat kepercayaan 10 persen. Konsekuensi tidak terpenuhinya asumsi stationeritas pada derajat nol atau I(0), maka seluruh variabel akan diiuji dengan pengujian derajat integrasi. Pada uji ini variabel yang diamati di-difference pada derajat satu (first difference), sehingga semua variabel stasioner pada derajat yang sama. Suatu variabel dikatakan stasioner pada first difference jika nilai ADF Test lebih kecil dari nilai kritis McKinnon setelah di-difference satu kali. Tabel 5.2 Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada First Difference Nilai ADF -7,38288 BOP -6,21547 ln_EXCR -6,47456 ln_GDP -8,35276 ln_IMPR -9,14806 ln_EKSP -3,42925 LIBOR -6,86134 SBI Sumber: Lampiran 3. Varibel
Nilai Kritis McKinnon 1% 5% 10% -2,61301 -1,94767 -1,61257 -2,61203 -1,94752 -1,61265 -2,61402 -1,94782 -1,61249 -2,61301 -1,94767 -1,61257 -2,61301 -1,94767 -1,61257 -2,61203 -1,94752 -1,61265 -2,61203 -1,94752 -1,61265
Prob*
Keterangan
0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner
Tabel 5.2 menunjukkan hasil uji akar unit pada first difference, semua variabel yang digunakan dalam penelitian, baik variabel dependen maupun variabel independen stationer. Kestationeran semua variabel dapat dilihat dari nilai ADF yang selalu lebih kecil daripada nilai kritis McKinnon, baik pada tingkat kepercayaan 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Dengan hasil pengujian akar unit pada First Difference diatas, maka metode analisis ECM dapat dilanjutkan.
5.2. Hasil Uji Kointegrasi Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara variabelvariabel yang tidak stasioner. Kointegrasi berarti walaupun secara individual tidak stasioner, namun kombinasi linier antara variabel tersebut dapat menjadi stasioner. Dalam penelitian ini uji kointegrasi yang akan digunakan adalah uji kointegrasi Engle-Granger. Hal ini dikarenakan persamaan ini merupakan persamaan tunggal. Ada dua tahap yang harus dilakukan dengan menggunakan uji kointegrasi EngleGranger, yaitu : Pertama, meregresi persamaan OLS kemudian mendapatkan residual dari persamaan tersebut. Kedua, dengan menggunakan metode ADF diuji akar unit terhadap residual dengan hipotesis yang sama dengan hipotesis uji akar unit ADF variabel-variabel sebelumnya. 5.3 Hasil Uji Kointegrasi Engle-Granger (Estimasi Jangka Panjang) Variable C ln_EXCR ln_EKSP ln_IMPR ln_GDP SBI LIBOR DUMMY_LBR DUMMY_KRISIS R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Sumber : Lampiran 4.
Coefficient -3.4949,51 3.170,085 -104,7945 -159,3138 1.312,025 -19,24364 -51,12847 -133,2216 834,4474 0,716001 0,663164 680,8693 19934067 -408,0589 1,311032
Std. Error t-Statistic 13.856,96 -2,522163 554,0594 5,721562 173,9074 -0,602588 257,4318 -0,618858 647,7346 2,025559 22,2949 -0,863141 71,11569 -0,718948 397,7975 -0,334898 577,5512 1,444802 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0,0154 0,0000 0,5499 0,5393 0,0490 0,3928 0,4761 0,7393 0,1558 1309,521 1173,152 16,04073 16,37844 13,55110 0,000000
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui variabel yang memberikan pengaruh signifikan pada neraca perdagangan non-migas Indonesia (BOP) dalam jangka panjang adalah ln_EXCR (exchange rate) dan ln_GDP (Gross Domestic Product)
dengan tingkat kepercayaan 10 persen. Sedangkan variabel ln_EKSP (ekspor komoditas pangan), ln_IMPR (impor komoditas pangan), SBI (suku bunga domestik),
LIBOR
(suku
bunga
internasional),
DUMMY_LBR
dan
DUMMY_KRISIS memberikan dampak yang tidak signifikan, sebab nilai kritis variabel-variabel tersebut melebihi taraf nyata digunakan dalam penelitian ini yaitu pada tingkat kepercayaan 10 persen. Pada jangka panjang variabel ln_EXCR (exchange rate) memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap BOP (neraca perdagangan non-migas Indonesia), pada koefisien variabel ln_EXCR diketahui bahwa dengan adanya peningkatan nilai Rupiah terhadap Dollar (depresiasi) sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 3.170,085 juta. Hal ini sesuai teori, sebab dengan peningkatan exchange rate maka komoditas Indonesia memiliki daya saing (lebih murah) jika dibandingkan dengan komoditas luar negeri, sehingga ekspor Indonesia meningkat dan membuat neraca perdagangan bertambah surplus. Produk Domestik Bruto pada jangka panjang juga memberikan pengaruh positif dan signifikan, kenaikan 1 persen PDB akan menambah neraca perdagangan sebesar US$ 1.312,025 juta. Hal ini menandakan, dalam jangka panjang ternyata kenaikan PDB lebih didukung oleh investasi yang membuat produksi bertambah sehingga ekspor Indonesia meningkat, peningkatan tersebut pada akhirnya membuat neraca non-migas Indonesia juga meningkat. Dalam jangka panjang, ternyata variabel ln_EKSP (ekspor komoditas pangan) maupun ln_IMPR (impor komoditas pangan) memberikan pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap BOP (neraca perdagangan non-migas
Indonesia). Kenaikan ekspor komoditas pangan sebesar 1 persen akan menurunkan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 104,8 juta, hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan ekspor berpengaruh positif dengan neraca perdagangan. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh ekspor komoditas pangan Indonesia yang didominasi oleh ekspor komoditas pangan olahan, sedangkan komoditas segarnya (bahan baku) tidak dihasilkan oleh dalam negeri, jadi ekspor pangan olahan Indonesia selama ini didukung oleh bahan baku impor, sedangkan kenaikan impor komoditas pangan sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 159,31 juta, pengaruh impor yang negatif terhadap neraca perdagangan sesuai teori dimana setiap kenaikan impor akan menurunkan neraca perdagangan. Suku bunga dalam jangka panjang, baik suku bunga domestik (SBI) maupun suku bunga internasional (LIBOR) memberikan pengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia (BOP). Kenaikan LIBOR sebesar 1 persen menyebabkan penurunan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 51,13 juta, sedangkan kenaikan SBI 1 persen memberikan dampak penurunan neraca perdagangan non-migas Indonesia yang lebih kecil yaitu sebesar US$ 19,24 juta. Kenaikan suku bunga menurut teori memang akan berdampak negatif terhadap neraca perdagangan, sebab kenaikan suku bunga membuat para investor lebih tertarik menanamkan uangnya pada instrumen investasi keuangan (saving) dan membuat investasi riil (investment) kekurangan modal untuk menambah produksi, sehingga tidak terjadi penambahan
produksi barang yang dapat diekspor. Selain itu, karena produksi yang kurang membuat kebutuhan barang konsumsi dalam negeri dicukupi dari impor. Dalam jangka panjang liberalisasi perdagangan komoditas pangan (DUMMY_LBR) ternyata berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan nonmigas Indonesia (BOP), namun tidak signifikan. Dengan adanya liberalisasi akan terjadi penurunan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 133,22 juta, hal ini menandakan Indonesia tidak siap dalam menghadapi liberalisasi perdagangan. Komoditas-komoditas pangan Indonesia ternyata kalah bersaing dengan komoditas asing sehingga pasar Indonesia dipenuhi oleh komoditas pangan impor, sedangkan ekspor tidak dapat ditingkatkan. Keadaan krisis ekonomi (DUMMY_KRISIS) yang dialami Indonesia pada jangka panjang memberikan pengaruh positif tapi tidak signifikan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia (BOP). Krisis ekonomi membuat neraca perdagangan non-migas Indonesia bertambah sebesar US$ 834,45 juta. Estimasi ini sesuai dengan teori dimana keadaan krisis yang ditandai dengan kenaikan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap mata uang asing terutama Dollar Amerika Serikat (depresiasi) membuat daya saing komoditas Indonesia semakin membaik, sehingga ekspor meningkat. Dampak akhirnya, neraca perdagangan non-migas Indonesia juga meningkat. Dari Tabel 5.3 juga dapat diketahui bahwa persamaan jangka panjang yang mempengaruhi neraca perdagangan non-migas Indonesia memiliki R-squared sebesar 0,716001. Nilai ini menunjukkan bahwa variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 0,716001 persen, sedangkan sisanya
dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Sedangkan nilai F-statistik sebesar 0,0000 lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan dalam penelitian yaitu sebesar 10 persen menunjukkan seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen secara bersamaan.
5.3. Uji Akar Unit Terhadap Residual Persamaan Jangka panjang Setelah persamaan jangka panjang telah diperoleh, maka langkah selanjutnya adalah menguji akar-akar unit terhadap nilai residual untuk membuktikan terjadi kointegrasi pada variabel-variabel yang digunakan dalam persamaan. Nilai residual dalam uji akar unit harus stationer pada level. Tabel 5.4 Hasil Uji Akar Unit Terhadap Residual Persamaan Jangka Panjang Pada Level Nilai ADF Varibel -4,84144 U Sumber : Lampiran 5.
Nilai Kritis McKinnon 1% 5% 10% -3,56543 -2,91995 -2,59791
Prob* 0,0002
Keterangan Stasioner
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa nilai Augmented Dickey-Fuller (ADF) lebih kecil daripada nilai kritis McKinnon pada semua taraf pengujian, yaitu taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen dan nilai probabilitas menunjukkan nilai yang lebih kecil daripada taraf nyata 10 persen, sehingga nilai residual (U) stationer pada tingkat level. Hasil tersebut membuktikan diantara variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini terjadi kointegrasi, sehingga metode analisis ECM dapat dilanjutkan.
5.4. Estimasi Error Correction Model (ECM) Kelebihan yang dimiliki ECM adalah seluruh komponen dan informasi pada tingkat variabel telah dimasukkan dalam model, memasukkan semua bentuk kesalahan (error) untuk dikoreksi dengan cara mendaur ulang error yang terbentuk pada periode sebelumnya dan mampu menghindari terjadinya kesalahan pada analisis runtun waktu dan regresi palsu. Selain itu, pendekatan ECM mampu memberikan makna yang lebih luas namun sederhana dari estimasi model ekonomi sebagai pengaruh perubahan variabel independen terhadap variabel dependen dalam hubungan jangka pendek dan jangka panjang. 5.5. Hasil Estimasi ECM (Estimasi Jangka Pendek) Variable Dln_EKSP(-1) Dln_EXCR Dln_EXCR(-2) Dln_EXCR(-5) Dln_GDP Dln_GDP(-2) Dln_GDP(-3) Dln_GDP(-5) Dln_IMPR(-1) Dln_IMPR(-5) D_LIBOR D_LIBOR(-2) D_LIBOR(-3) D_LIBOR(-4) D_SBI D_SBI(-1) D_SBI(-3) D_SBI(-4) U(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Sumber : Lampiran 7.
Coefficient -192,3436 2.526,375 2.012,228 -1.971,519 1.961,768 1.980,518 -3.871,975 -1.938,805 -553,4516 -373,9504 644,2135 -483,3768 -372,2458 329,6033 91,27660 -89,10024 -99,39988 55,73610 -0,557260 0,833345 0,722241 320,0171 2765095 -318,3619
Std. Error t-Statistic 90,33787 -2,129158 484,8525 5,210607 744,4076 2,703126 729,5538 -2,702363 622,7707 3,150064 497,2129 3,983239 743,8740 -5,205149 553,0053 -3,505944 155,9857 -3,548092 132,0337 -2,832234 140,7199 4,577983 178,1064 -2,713978 164,5556 -2,262128 163,9802 2,010019 21,94156 4,159986 20,43695 -4,359763 22,66047 -4,386487 17,13929 3,251950 0,130995 -4,254066 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
Prob. 0,0425 0,0000 0,0117 0,0118 0,0040 0,0005 0,0000 0,0016 0,0014 0,0086 0,0001 0,0114 0,0319 0,0545 0,0003 0,0002 0,0002 0,0031 0,0002 41,08196 607,2106 14,66791 15,42322 1,870714
Tabel 5.5 memperlihatkan hasil uji ECM untuk estimasi jangka pendek, dimana hasil estimasi model jangka pendek tersebut memperlihatkan variabel ekspor komoditas pangan (Dln_EKSP), Exchange rate (Dln_EXCR), Produk Domestik Bruto (Dln_GDP), impor komoditas pangan (Dln_IMPR), suku bunga internasional (D_LIBOR) dan suku bunga domestik (D_SBI) berpengaruh signifikan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia (D_BOP). Hal tersebut diketahui dengan melihat nilai probabilitas pada tiap variabel yang lebih kecil dari taraf nyata 10 persen. Sedangkan variabel liberalisasi (Dummy_LBR) dan krisis ekonomi (Dummy_KRISIS) tidak berpengaruh signifikan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia (D_BOP), sebab variabel tersebut memiliki nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata sehingga tidak masuk dalam model terbaik saat dilakukan seleksi variabel. Dalam jangka pendek, ekspor komoditas pangan (Dln_EKSP) dan impor (Dln_IMPR) memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia (D_BOP). Peningkatan 1 persen ekspor komoditas pangan akan membuat penurunan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 192,34 juta. Faktor utama yang membuat ekspor berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia dalam jangka pendek adalah komoditas ekspor pangan Indonesia lebih didominasi komoditas olahan, sedangkan bahan baku (komoditas pangan segar) lebih banyak diimpor dari luar negeri, sehingga peningkatan ekspor akan meningkatkan juga impor komoditas pangan segar. Hal inilah yang membuat ekspor komoditas pangan berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia.
Kenaikan 1 persen impor komoditas pangan dalam jangka pendek akan membuat penurunan neraca perdagangan non-migas Indonesia sebesar US$ 927,40 juta, kondisi tersebut sesuai teori dimana peningkatan impor akan membuat penurunan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia. Peningkatan exchange rate (Dln_EXCR) sebesar 1 persen dalam jangka pendek secara umum akan membuat kenaikan pada neraca perdagangan nonmigas Indonesia (D_BOP) sebesar US$ 2.567,08 juta. Kondisi ini sesuai teori, dimana jika terjadi peningkatan nilai Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (depresiasi) maka komoditas ekspor Indonesia akan memiliki daya saing yang lebih tinggi, sehingga ekspor meningkat dan membuat neraca perdagangan nonmigas Indonesia meningkat. Kenaikan 1 persen variabel Produk Domestik Bruto (Dln_GDP) dalam jangka pendek akan membuat penurunan pada neraca perdagangan non-migas Indonesia (D_BOP) sebesar US$ 1868,49 juta. Kondisi tersebut dapat terjadi karena dalam jangka pendek yang mendorong kenaikan PDB adalah konsumsi masyarakat, sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang besar tersebut, maka dilakukan impor komoditas-komoditas asing yang pada akhirnya membuat penurunan pada neraca perdagangan non-migas Indonesia. Kenaikan suku bunga internasional (D_LIBOR) sebesar 1 persen dalam jangka pendek akan membuat peningkatan pada neraca perdagangan non-migas Indonesia (D_BOP) sebesar US$ 118,19 juta. Kondisi tersebut dapat terjadi, sebab kenaikan 1 persen suku bunga internasional bagi investor masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan keuntungan berinvestasi langsung di Indonesia. Sehingga
banyak investor yang tetap melakukan investasi di Indonesia (capital inflow) walaupun suku bunga internasional naik sebesar 1 persen. Pada akhirnya, masuknya dana dari luar negeri membuat kapasitas produksi Indonesia menjadi naik dan ekspor Indonesia meningkat, sehingga membuat neraca perdagangan non-migas Indonesia meningkat. Kenaikan suku bunga domestik (D_SBI) sebesar 1 persen dalam jangka pendek akan membuat penurunan pada neraca perdagangan non-migas Indonesia (D_BOP) sebesar US$ 41,49 juta. Kondisi ini sesuai teori, sebab kenaikan suku bunga domestik akan diikuti dengan pengalihan investasi (I) ke tabungan (S), sehingga kegiatan produksi barang di Indonesia kekurangan kapital untuk berekspansi. Pada akhirnya kondisi tersebut akan mengurangi kemampuan ekspor Indonesia dan akan membuat barang impor masuk untuk mengambil alih kebutuhan masyarakat di pasar Indonesia. Konsekuensinya neraca perdagangan non-migas Indonesia menjadi menurun. Error Correction Term (ECT) menentukan seberapa cepat equilibrium tercapai kembali atau dengan kata lain mekanisme untuk kembali pada keseimbangan jangka panjang. Nilai Error Correction Term (ECT) pada model persamaan diatas sebesar -0,557260 menunjukkan bahwa 55 persen dari ketidakseimbangan atau disequilibrium periode sebelumnya terkoreksi pada periode sekarang.
5.5. Hasil Uji Pelanggaran Asumsi Klasik (Diagnostic Test) Uji pelanggaran pada ECM bertujuan untuk mengetahui masalah yang biasa terjadi pada metode Ordinary Least Square (OLS). Jika metode ECM yang
digunakan bebas dari masalah-masalah normalitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi maka metode ECM yang digunakan diterima keabsahannya.
5.5.1. Hasil Uji Autokorelasi Uji autokorelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji BreushGodfrey Serial Correlation Test. Adanya korelasi dapat dilihat dengan cara membandingkan nilai probabilitas Obs*R-Squared pada Breush-Godfrey Serial Correlation Test dengan taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 10 persen. Tabel 5.6. Hasil Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0,419894 Obs*R-squared 2,356587 Sumber : Lampiran 8.
Probability Probability
0,829807 0,797921
Tabel 5.6 menyajikan nilai uji autokorelasi yang dilakukan pada model persamaan jangka pendek yang digunakan dalam penelitian. Hasil uji memperlihatkan nilai probabilitas Obs*R-Squared pada Breush-Godfrey Serial Correlation Test sebesar 0,79792. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata 10 persen sehingga model terbebas dari masalah autokorelasi.
5.5.2. Hasil Uji Heteroskedastisitas Uji Heteroskedastisitas yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan White Heteroskedasticity Test. Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 5.7. Tabel 5.7. Hasil Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic 0,830333 Obs*R-squared 37,64779 Sumber : Lampiran 9.
Probability Probability
0,675901 0,485602
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa hasil uji heterokedastisitas pada model jangka pendek memiliki nilai probabilitas Obs*R-Squared 0,485602. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 10 persen, sehingga model persamaan jangka pendek yang digunakan dalam penelitian ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas.
5.5.3. Hasil Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui kenormalan distribusi error term. Jika error term terdistribusi normal maka model dapat diterima. 9 S e r i es : R es id u als S a m p le 1 9 9 4 : 3 2 0 0 5 : 4 O b s e rv at ion s 4 6
8 7
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6 5 4 3 2
Jarque-Bera Probability
1 0 -400
-200
0
200
47,68290 75,36266 531,7555 -435,8752 243,1509 -0,158773 2.558075 0,567588 0,752922
400
Sumber : Lampiran 10. Gambar 5.1 Hasil Uji Normalitas Error Correction Models (ECM). Gambar 5.1 menunjukkan hasil uji normalitas pada Error Correction Models (ECM). Hasil uji memperlihatkan nilai probabilitas Jarque-Bera sebesar 0,752922. Nilai probabilitas tersebut lebih besar dari taraf nyata 10 persen, sehingga model jangka pendek yang digunakan memiliki error term yang terdistribusi dengan normal atau model terbebas dari masalah normalitas.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis pengaruh ekspor-impor komoditas pangan utama dan liberalisasi perdagangan terhadap neraca perdagangan Indonesia, maka dapat disimpulkan : 1. Ekspor komoditas pangan dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia. Namun dalam jangka pendek, ekspor komoditas pangan berpengaruh signifikan, sedangkan dalam jangka panjang berpengaruh tidak signifikan. Kondisi tersebut dapat terjadi karena ekspor komoditas pangan Indonesia didominasi oleh ekspor komoditas pangan olahan yang bahan bakunya diperoleh dari impor pangan segar. 2. Impor komoditas pangan dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia. Dalam jangka pendek impor komoditas pangan berpengaruh signifikan, sedangkan dalam jangka panjang, impor komoditas pangan berpengaruh tidak signifikan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia. Kondisi ini sesuai teori, dimana impor akan menurunkan neraca perdagangan. 3. Liberalisasi perdagangan komoditas pangan dalam jangka pendek maupun jangka panjang berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap neraca perdagangan non-migas Indonesia.
6.2. Saran Saran yang dapat penulis berikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah : 1. Pemerintah meningkatkan
beserta
segenap
produksi
komponen
pangan
dalam
bangsa
harus
negeri,
sebab
berupaya upaya
mempertahankan nilai neraca perdagangan non-migas Indonesia agar tetap positif tidak hanya dengan menaikkan ekspor pangan semata. Selama ini, ekspor komoditas pangan Indonesia yang lebih didominasi ekspor pangan olahan ditunjang oleh bahan baku impor, sehingga upaya memperbesar ekspor justru membuat penurunan pada neraca perdagangan non-migas Indonesia. 2. Peningkatan produksi pangan dan diversifikasi makanan bagi masyarakat Indonesia perlu digalakkan lebih lanjut agar laju impor pangan yang berdampak negatif pada neraca perdagangan dapat ditekan. 3. Liberalisasi perdagangan komoditas pangan selama ini berpengaruh negatif neraca perdagangan non-migas Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus berupaya agar pelaksanaan liberalisasi perdagangan komoditas pangan secara bertahap, hal tersebut perlu dilakukan untuk menghindari penurunan yang tajam pada neraca perdagangan non-migas dan memberikan waktu agar pemerintah Indonesia menyiapkan diri dalam meningkatkan daya saing komoditas pangan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . 2006. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . Beberapa Tahun Penerbitan. Statistik Indikator Bulanan Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bank Indonesia. 2005. Tinjauan Triwulanan Ekonomi Moneter dan Perbankan. Bank Indonesia, Jakarta. . 2006. Tinjauan Triwulanan Ekonomi Moneter dan Perbankan. Bank Indonesia, Jakarta. . Beberapa Tahun Penerbitan. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Kinerja Ekspor-Impor 2005. Departemen Pertanian, Jakarta. . 2006. Handout Basis Data Statistik Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta. . 2006. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta. . 2006. Statistik Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. . 2007. ”Ketersediaan http://www.deptan.go.id/ditjentp/index.htm.
Pangan
2000-2005”.
Departemen Luar Negeri. 2004. Persetujuan Bidang Pertanian. Departemen Luar Negeri, Jakarta. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2007. “Tenaga Kerja di Desa dan Kota.http://www.nakertrans.go.id/pusdatinnaker/BPS/Bekerja/bekerja_lap kerutama_desakota_2005.php. Dewan Ketahanan Pangan, 2002. Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Dewan Ketahanan Nasional, Jakarta. Hafsah, M. J. 2003. Bisnis Ubikayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Herdi. 2006. Analisis Integrasi Pasar Beras Domestik Dengan Pasar Beras Internasional dan Pengaruh Adanya Tarif Impor [Skripsi]. Fakultas Pertanian : Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jhingan, M. L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kusumastuti, D. 2005. Analisis Pinjaman Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia : Pendekatan Koreksi Kesalahan [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lindert, P. H. 1995. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta. Mankiw, G. F. 2003. Teori Makro Ekonomi. Erlangga, Jakarta. Margarettha, E. 2005. Dampak Liberalisasi Perdagangan di Sektor Industri Tekstil Terhadap Neraca Perdagangan Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nasoetion, A. H. 2002. Pengantar Ke Ilmu-ilmu Pertanian. Pustaka Litera AntarNusa, Bogor. Rahmawati, D. 2005. Analisis Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Variabelvariabel yang Mempengaruhi Volume Impor Gula [Skripsi]. Fakultas Pertanian : Institut Pertanian Bogor, Bogor. Risnandar, C. 2007. Edisi 36 Februari 2007. “Liberalisasi Perdagangan Miskinkan Petani”. Pembaruan Tani : 5. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta. Smith, M. B dan Merrit R. B. 1995. Bahasa Perdagangan. ITB Bandung, Bandung. Tambunan, T. 2005. Perekonomian Indonesia : Beberapa Masalah Penting. Ghalia Indonesia, Jakarta. Trihapsari, N. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volume Impor Gula di Indonesia Periode 1983-2006. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Todaro, M. P dan Stephen C. S. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta. Wie, T. K. 2001. Globalisasi, Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komoditas dan Kode HS Penelitian No.
Komoditas
1
Beras Beras berkulit (padi atau gabah) Beras digiling Beras 1/2 digiling/digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak Beras pecah Beras Olahan Tepung beras Menir/tepung dari beras Gandum-ganduman dari beras Rice vermicelli (bee hoon) Sake (anggur dari beras) Dedak padi Bekatul dan ampas lainnya dari padi Jagung Segar Benih Jagung Jagung Lainnya Jagung Olahan Tepung maize (jagung) Menir/tepung dari jagung Pelet dari jagung Jagung digiling atau dipipihkan Jagung dikuliti, dikilapkan atau disosoh Pati jagung Minyak mentah dari jagung Minyak jagung lainnya Dedak, bekatul dan ampas lainnya dari jagung Bungkil dan ampas padat lainnya dari jagung Kacang Tanah Segar Kacang tanah kulit Kacang tanah kupas Kacang karob, termasuk biji kacang karob Kacang Tanah Olahan Minyak mentah dari kacang tanah Minyak lainnya dari kacang tanah Tepung, tepung kasar dan bubuk dari kacang-kacangan kering pos no.07.13 Kacang tanah digongseng (diolah atau diawetkan) Kacang tanah selain digongseng (diolah atau diawetkan) Kacang tanah lainnya (termasuk campuran), diolah atau diawetkan Dedak polong-polongan Bungkil dan ampas padat lainnya dari ekstraksi minyak kacang tanah
2
3
4
5
6
Kode HS
100610000 100620000 100630000 100640000 110230000 110319300 110329200 190219100 220600200 230220100 230220900 100510000 100590000 110220000 110313000 110329300 110419300 110423000 110812000 151521000 151529000 230210000 230670000 120210000 120220000 121210000 150810000 150890000 110610000 200811100 200811900 200819000 230250000 230500000
Lampiran 1. Lanjutan 7 Kedelai Segar Kedelai kuning utuh atau pecah Kedelai lainnya 8 Kedelai olahan Tepung halus dan kasar dari kacang kedelai Tepung halus dan tepung kasar dr biji atau buah yang mengandung minyak Minyak mentah kacang kedelai, dipisah gumnya maupun tidak Minyak kedelai lainnya, dinetralkan dan dikelantang Minyak kedelai lainnya, selain dinetralkan dan dikelantang Minyak kedelai dimodofikasi secara kimia Bungkil dan ampas padat lainnya diekstraksi dari kedelai Kecap manis Kecap asin Kecap lain Tauco 9 Ubi jalar segar Ubi jalar 10 Ubi kayu segar Gaplek ubi kayu Pellet ubi kayu Ubi kayu lainnya 11 Ubi kayu olahan Pati ubi kayu Tapioka berbentuk seperti mutiara Tapioka bentuk lainnya (serpihan, hasil ayakan, dll.) Ampas dari pembuatan pati dan ampas semacam dari tapioka Sumber : Departemen Pertanian, 2006
120100100 120100900 120810000 120890000 150710000 150790100 150790900 151800120 230400000 210310100 210310200 210310900 210390400 071420000 071410100 071410200 071410900 110814000 190300110 190300190 230310100
Lampiran 2. Hasil Uji Akar Unit pada Level Null Hypothesis: BOP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.349176 Test critical values: 1% level -3.571310 5% level -2.922449 10% level -2.599224 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: ln_EXCR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.949323 Test critical values: 1% level -3.565430 5% level -2.919952 10% level -2.597905 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: ln_GDP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.266974 Test critical values: 1% level -3.565430 5% level -2.919952 10% level -2.597905 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: ln_IMPR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.929179 Test critical values: 1% level -3.568308 5% level -2.921175 10% level -2.598551 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.5993
Prob.* 0.3078
Prob.* 0.1863
Prob.* 0.3166
Lampiran 2. Lanjutan Null Hypothesis: ln_EKSP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.911450 Test critical values: 1% level -3.565430 5% level -2.919952 10% level -2.597905 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LIBOR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.388121 Test critical values: 1% level -3.571310 5% level -2.922449 10% level -2.599224 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: SBI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.138015 Test critical values: 1% level -3.565430 5% level -2.919952 10% level -2.597905 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0038
Prob.* 0.1503
Prob.* 0.2312
Lampiran 3. Hasil Uji Akar Unit pada First Difference Null Hypothesis: D(BOP) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.382883 Test critical values: 1% level -2.613010 5% level -1.947665 10% level -1.612573 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(ln_EXCR) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.215472 Test critical values: 1% level -2.612033 5% level -1.947520 10% level -1.612650 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(ln_GDP) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.474560 Test critical values: 1% level -2.614029 5% level -1.947816 10% level -1.612492 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(ln_IMPR) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.352794 Test critical values: 1% level -2.613010 5% level -1.947665 10% level -1.612573 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
Prob.* 0.0000
Prob.* 0.0000
Prob.* 0.0000
Lampiran 3. Lanjutan Null Hypothesis: D(ln_EKSP) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.148056 Test critical values: 1% level -2.613010 5% level -1.947665 10% level -1.612573 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LIBOR) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.429253 Test critical values: 1% level -2.612033 5% level -1.947520 10% level -1.612650 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(SBI) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.861338 Test critical values: 1% level -2.612033 5% level -1.947520 10% level -1.612650 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0000
Prob.* 0.0010
Prob.* 0.0000
Lampiran 4. Hasil Uji Kointegrasi (Estimasi jangka Panjang) Dependent Variable: BOP Method: Least Squares Date: 07/30/07 Time: 01:24 Sample: 1993:1 2005:4 Included observations: 52 Variable Coefficient C -34949.51 ln_EXCR 3170.085 ln_EKSP -104.7945 ln_IMPR -159.3138 ln_GDP 1312.025 SBI -19.24364 LIBOR -51.12847 DUMMY_LBR -133.2216 DUMMY_KRISIS 834.4474 R-squared 0.716001 Adjusted R-squared 0.663164 S.E. of regression 680.8693 Sum squared resid 19934067 Log likelihood -408.0589 Durbin-Watson stat 1.311032
Std. Error t-Statistic 13856.96 -2.522163 554.0594 5.721562 173.9074 -0.602588 257.4318 -0.618858 647.7346 2.025559 22.29490 -0.863141 71.11569 -0.718948 397.7975 -0.334898 577.5512 1.444802 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.0154 0.0000 0.5499 0.5393 0.0490 0.3928 0.4761 0.7393 0.1558 1309.521 1173.152 16.04073 16.37844 13.55110 0.000000
Lampiran 5. Hasil Uji Akar Unit Residual Persamaan Jangka Panjang pada Level Null Hypothesis: U has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.841440 Test critical values: 1% level -3.565430 5% level -2.919952 10% level -2.597905 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Prob.* 0.0002
Lampiran 6. Hasil Estimasi Error Correction Models (ECM) lag 5 (Tanpa Seleksi variabel) Dependent Variable: D_BOP Method: Least Squares Date: 07/30/07 Time: 01:53 Sample(adjusted): 1994:3 2005:4 Included observations: 46 after adjusting endpoints Variable Coefficient Dln_EKSP -71.53982 Dln_EKSP(-1) -279.0935 Dln_EKSP(-2) -66.32814 Dln_EKSP(-3) -109.2437 Dln_EKSP(-4) -256.1648 Dln_EKSP(-5) -276.2605 Dln_EXCR 2456.156 Dln_EXCR(-1) 1141.714 Dln_EXCR(-2) 1440.269 Dln_EXCR(-3) -1936.037 Dln_EXCR(-4) -1262.202 Dln_EXCR(-5) -2335.948 Dln_GDP 2889.373 Dln_GDP(-1) 831.8449 Dln_GDP(-2) 1353.383 Dln_GDP(-3) -2497.998 Dln_GDP(-4) -885.8913 Dln_GDP(-5) -968.4876 Dln_IMPR -290.5091 Dln_IMPR(-1) -845.2900 Dln_IMPR(-2) -383.9932 Dln_IMPR(-3) 27.90881 Dln_IMPR(-4) -241.4269 Dln_IMPR(-5) -302.0840 D_LIBOR 696.7613 D_LIBOR(-1) 34.93620 D_LIBOR(-2) -310.8496 D_LIBOR(-3) -624.8614 D_LIBOR(-4) 168.0076 D_LIBOR(-5) 253.0744 D_SBI 92.95137 D_SBI(-1) -49.29608 D_SBI(-2) -0.070600 D_SBI(-3) -37.04608 D_SBI(-4) 30.56809 D_SBI(-5) 24.91829 DUMMY_LBR -86.57412 DUMMY_KRISIS 501.5204 U(-1) -0.655978 R-squared 0.921142 Adjusted R-squared 0.493057 S.E. of regression 432.3334 Sum squared resid 1308385. Log likelihood -301.1514
Std. Error 336.5778 378.3952 387.5778 292.4558 356.5699 280.1841 1756.090 4196.102 2558.169 2538.353 3016.622 3597.283 2757.843 2379.070 2601.938 2313.444 3062.060 2854.259 443.6539 539.8708 532.7626 412.1184 455.6375 435.0054 690.2285 491.0291 310.1985 413.3092 382.2831 425.8386 69.19297 75.19057 89.84495 80.99536 83.95129 82.63717 204.8357 1203.478 0.540698 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
t-Statistic -0.212551 -0.737572 -0.171135 -0.373539 -0.718414 -0.985997 1.398650 0.272089 0.563008 -0.762714 -0.418416 -0.649365 1.047693 0.349651 0.520144 -1.079775 -0.289312 -0.339313 -0.654810 -1.565726 -0.720759 0.067720 -0.529866 -0.694437 1.009465 0.071149 -1.002099 -1.511850 0.439485 0.594297 1.343364 -0.655615 -0.000786 -0.457385 0.364117 0.301539 -0.422651 0.416726 -1.213206
Prob. 0.8377 0.4848 0.8690 0.7198 0.4958 0.3570 0.2046 0.7934 0.5910 0.4706 0.6882 0.5368 0.3296 0.7369 0.6190 0.3160 0.7807 0.7443 0.5335 0.1614 0.4944 0.9479 0.6126 0.5098 0.3464 0.9453 0.3497 0.1743 0.6736 0.5710 0.2211 0.5330 0.9994 0.6613 0.7265 0.7718 0.6852 0.6894 0.2644 41.08196 607.2106 14.78919 16.33956 1.822652
Lampiran 7. Hasil Uji Error Correction Models (ECM) untuk Persamaan Jangka Pendek (Setelah Seleksi Variabel) Dependent Variable: D_BOP Method: Least Squares Date: 07/30/07 Time: 01:52 Sample(adjusted): 1994:3 2005:4 Included observations: 46 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Dln_EKSP(-1) -192.3436 90.33787 -2.129158 Dln_EXCR 2526.375 484.8525 5.210607 Dln_EXCR(-2) 2012.228 744.4076 2.703126 Dln_EXCR(-5) -1971.519 729.5538 -2.702363 Dln_GDP 1961.768 622.7707 3.150064 Dln_GDP(-2) 1980.518 497.2129 3.983239 Dln_GDP(-3) -3871.975 743.8740 -5.205149 Dln_GDP(-5) -1938.805 553.0053 -3.505944 Dln_IMPR(-1) -553.4516 155.9857 -3.548092 Dln_IMPR(-5) -373.9504 132.0337 -2.832234 D_LIBOR 644.2135 140.7199 4.577983 D_LIBOR(-2) -483.3768 178.1064 -2.713978 D_LIBOR(-3) -372.2458 164.5556 -2.262128 D_LIBOR(-4) 329.6033 163.9802 2.010019 D_SBI 91.27660 21.94156 4.159986 D_SBI(-1) -89.10024 20.43695 -4.359763 D_SBI(-3) -99.39988 22.66047 -4.386487 D_SBI(-4) 55.73610 17.13929 3.251950 U(-1) -0.557260 0.130995 -4.254066 R-squared 0.833345 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.722241 S.D. dependent var S.E. of regression 320.0171 Akaike info criterion Sum squared resid 2765095. Schwarz criterion Log likelihood -318.3619 Durbin-Watson stat
Prob. 0.0425 0.0000 0.0117 0.0118 0.0040 0.0005 0.0000 0.0016 0.0014 0.0086 0.0001 0.0114 0.0319 0.0545 0.0003 0.0002 0.0002 0.0031 0.0002 41.08196 607.2106 14.66791 15.42322 1.870714
Lampiran 8. Hasil Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.419894 Probability Obs*R-squared 2.356587 Probability
0.829807 0.797921
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 07/30/07 Time: 01:55 Presample missing value lagged residuals set to zero. R-squared 0.051230 Mean dependent var Adjusted R-squared -0.940666 S.D. dependent var S.E. of regression 338.7281 Akaike info criterion Sum squared resid 2524208. Schwarz criterion Log likelihood -316.2655 Durbin-Watson stat
47.68290 243.1509 14.79415 15.74823 1.871646
Lampiran 9. Hasil Uji Heterokedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic 0.830333 Obs*R-squared 37.64779
Probability Probability
0.675901 0.485602
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 07/30/07 Time: 01:56 Sample: 1994:3 2005:4 Included observations: 46 R-squared 0.818430 Adjusted R-squared -0.167234 S.E. of regression 79647.99 Sum squared resid 4.44E+10 Log likelihood -541.0955 Durbin-Watson stat 1.669685
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
60110.75 73721.78 25.22154 26.77191 0.830333 0.675901
Lampiran 10. Hasil Uji Normalitas 9 Series: Residuals Sample 1994:3 2005:4 Observations 46
8 7 6
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
5 4 3 2
Jarque-Bera Probability
1 0 -400
-200
0
200
400
47.68290 75.36266 531.7555 -435.8752 243.1509 -0.158773 2.558075 0.567588 0.752922