Analisis Pengaruh Ekonomi Makro dalam Pergerakan Nilai Tukar Rupiah: Pendekatan Vector Error-Correction Model Draft: Februari 2016
Pihri Buhaerah Jakarta Institute for Financial Policy (JIFP) E-mail:
[email protected]
Abstract This paper examines empirically the impact of key macroeconomic variables on exchange rate fluctuation in Indonesia for the period 2000Q1-2015Q2 using vector error correction model (VECM). To achieve the objective of this study, data was collected from secondary sources and various econometric analyses such as unit root test, Granger Causality test, Johansen cointegration test and Vector Error Correction Method (VECM) were employed. Johansen cointegration test shows that there is a long run relationship cointegrated between certain key macroeconomic variables and nominal exchange rate. Granger causality test based on error correction models indicates that only share prices index (SPI) has a bilateral causal relationship with nominal exchange rate fluctuation. Interestingly, official reserve assets and trade balances are more powerful in determining Rupiah against US Dollar fluctuation rather than money market rate, inflation, and share price index. Therefore, Indonesian fiscal and monetary authorities should be more focused on improving non-parity factors (external debt, official reserve assets and trade balance) rather than focusing on parity factors (interest rates and inflation). Keywords: exchange rate, external debt, official reserve assets, trade balances, money market rate, share price index, inflation, vector error correction model
I.
Latar Belakang Nilai tukar harus diakui memainkan pengaruh yang vital dalam percaturan perekonomian global yang kian terbuka seperti saat ini. Nilai tukar penting karena mempengaruhi harga relatif barang-barang domestik dan asing. Karena itu, nilai tukar diatur sedemikian rupa baik negara-negara industri maju maupun negara-negara supaya goncangan pada nilai tukar tidak mengganggu roda perekonomian domestik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak negatif dari gejolak nilai tukar terhadap perekonomian nasional telah terdokumentasi dengan baik dalam sejumlah penelitian. Misalnya saja, kenaikan volatilitas nilai tukar memberikan dampak negatif terhadap sektor perdagangan (McKenzie, (1999), Chou (2000), Cheong (2004), Ozturl (2006), Hayakawa dan Kimura (2006), dan Coric dan Pugh (2006)). Tidaklah mengherankan jika pergerakan nilai tukar merupakan salah satu variabel makroekonomi yang paling sering diamati dan dianalisis. Bahkan, beberapa negara melakukan kontrol yang cukup ketat terhadap pergerakan nilai tukarnya karena fluktuasi nilai tukar memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat perdagangan dan investasi. Atas dasar itu maka studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan nilai tukar merupakan salah satu aspek yang penting untuk dianalisis lebih mendalam terlebih ketika situasi ekonomi kian sulit diprediksi. Selain itu, analisis dampak variabel ekonomi makro terhadap volatilitas nilai tukar juga tetap merupakan isu yang penting dan menarik untuk ditelaah karena implikasi ekonomi dari fluktuasi nilai tukar seringkali meluas dan melintasi batas negara. Beberapa hasil penelitian yang berusaha menganalisis faktor-faktor yang menentukan nilai tukar antara lain Benita dan Lauterbach (2007), Kularatne dan Havemann (2008), Ho dan Ariff (2011), Ramasany dan Akbar (2015), dan lain-lain. Sebagai gambaran, Benita dan Lauterbach (2007) meneliti volatilitas harian nilai tukar antara Dolar AS (USD) dan 43 mata uang negara lainnya dalam periode 1990-2001. Benita dan Lauterbach (2007) mencoba membandingkan hasil antara analisi data panel dengan data negara spesifik. Hasilnya, Benita dan Lauterbach (2007) menemukan bahwa terdapat korelasi yang positif antara volatilitas nilai tukar, tingkat suku bunga riil, dan intensitas intervensi bank sentral jika unit analisisnya menggunakan data panel. Sebalinya, jika hanya menggunakan data negara tertentu seperti Israel, maka tingka suku bunga riil dan intervensi bank sentral justru berkorelasi negatif dengan volatilitas nilai tukar. Senada dengan Benita dan Lauterbach (2007), hasil studi Kularatne dan Havemann (2008) menemukan bahwa kepemilikan cadangan devisa yang tinggi akan mengurangi risiko volatilitas nilai tukar. Bahkan, Kularatne & Havemann (2008) merekomendasikan bahwa rasio cadangan devisa terhadap impor yang tepat guna mengurangi risiko nilai tukar adalah minimal mampu mencukupi kebutuhan 4,5 bulan impor. Karena tingkat volatilitas kian meningkat seiring peningkatan ketidakpastioan dan kebijakan fiskal yang longgar, maka kebijakan ekonomi makro yang penuh kehatian-hatian (macroprudential policy) sangat dibutuhkan guna mengurangi risiko gejolak nilai tukar di negara-negara berpenghasilan menengah (Kularatne & Havemann, 2008). Terkait dengan hal itu, hasil penelitian Ho dan Ariff (2011) menemukan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, aliran dana keluar dan keterbukaan perdagangan merupakan faktor-faktor yang menentukan nilai tukar untuk negara-negara G-10. Sementara itu, untuk negara-negara berkembang di Kawasan Amerika Latin, Ho dan Ariff (2011) menemukan bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi nilai tukar antara lain cadangan devisa, neraca perdagangan, utang luar negeri dan aliran modal. Lebih lanjut, hasil penelitian Ramasamy dan Akbar (2015) juga menemukan bahwa hampir semua varibael ekonomi makro terkecuali variabel pekerjaan (employment) dan defisit anggaran (budget deficit) mempengaruhi nilai tukar secara signifikan di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia. Meski signifikan, kebanyakan variabel ekonomi makro yang digunakan dalam penelitian tersebut menunjukkan hubungan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Alhasil, Ramasamy dan Akbar (2015) menyimpulkan bahwa faktor-faktor psikologis seperti keperecayaan investor lebih dominan atas variabel ekonomi dalam menentukan fluktuasi nilai tukar. Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka studi ini bertujuan mengupas faktor-faktor kunci yang mempengaruhi nilai tukar nominal Rupiah di Indonesia periode 2000Q1 β 2015Q2. Secara umum, penelitian-
penelitian diatas menggunakan data panel dalam menguji variabel-variabel ekonomi makro yang menentukan nilai tukar nominal. Sementara itu, penelitian ini hanya menggunakan data satu negara (Indonesia) guna menguji konsistensi sejumlah variabel kunci ekonomi makro Indonesia yang mempengaruhi nilai tukar nominal Rupiah. Studi ini juga dimaksudkan untuk menganalisis apakah terdapat kesamaan dengan penelitian sebelumnya yang menyimpulkan adanya peran variabel makroekonomi yang signifikan mempengaruhi nilai tukar nominal di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun struktur penulisan penelitian ini disusun sebagai berikut. Bagian pertama mengulas secara singkat literatur penelitian tentang hubungan antara variabel-variabel ekonomi makro. Bagian kedua membahas kerangka konseptual faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan nilai tukar nominal. Bagian ketiga menguraikan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian beserta operasionalisasi variabelvariabelnya. Bagian kelima menyajikan hasil analisis keterkaitan dampak variabel ekonomi makro terhadap nilai tukar nominal Rupiah. Bagian terakhir menyajikan simpulan dan beberapa implikasi kebijakan dari hasil penelitian ini.
II.
Kerangka Konseptual Nilai tukar adalah harga relatif ketika melakukan pertukaran atau perdagangan dengan negara lain yang berlaku pada waktu tertentu. Ekonom membagi nilai tukar ke dalam dua hal, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sedangkan nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang dua negara dan nilai tukar rill biasa juga disebut sebagai terms of trade (ToT). Pendekatan fundamental dalam penentuan nilai tukar mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar ke dalam lima kategori. Pertama, persaingan internasional. Kedua, keseimbangan makro ekonomi. Ketiga, tarif dan kuota. Keempat, preferensi atas barang dalam negeri atas luar negeri. Kelima, produktivitas. Menurut Kettel (2002), untuk memahami bagaimana nilai tukar ditentukan dimulai dari pemahamanan akan hukum satu harga (the law of one price). Hukum ini menyatakan bahwa jika dua negara memproduksi dua barang yang sejenis, maka harga kedua barang tersebut seharusnya sama dimana pun barang-barang tersebut diproduksi. Sehubungan dengan hal itu, Kettel (2002) menyebutkan persaingan internasional sebagai faktor kunci yang menentukan pergerakan nilai tukar. Faktor ini biasa juga disebut sebagai Purchasing Power Parity (PPP). Analisis dengan PPP merupakan salah aplikasi dari hukum satu harga dan lebih difokuskan pada nilai tukar riil. Dalam kerangka PPP, dalam jangka panjang, kenaikan tingkat harga suatu negara (relatif terhadap tingkat harga negara lain) akan menyebabkan nilai mata uangnya menjadi terdepresiasi. Sebaliknya, jika tingkat harga relatif suatu negara menurun, maka nilai mata uangnya akan mengalami apresiasi. Sayangnya, asumsi yang mendasari PPP tentang barang yang identik (identical goods) kurang masuk akal. Sebagai gambaran, kenaikan harga mobil merk Toyota relatif terhadap Chevys tidak berarti bahwa yen harus terdepriasi sebesar kenaikan harga relatif Toyota atas Chevys (Mishkin & Eakins, 1998). Dengan demikian, hukum satu harga tidak bisa diberlakukan untuk semua barang. Selain itu, teori PPP juga belum memperhitungkan barang-barang yang tidak diperdagangankan lintas negara seperti rumah, tanah, jasa (Mishkin & Eakins, 1998). Karenanya, kendati harga barang dan jasa tersebut naik dan memicu kenaikan harga relative barang dan jasa tetersebut terhadap negara lain, namun pengaruhnya secara langsung terhadap nilai tukar tidak terlalu signifikan (Mishkin & Eakins, 1998). Selanjutnya, faktor keseimbangan makroekonomi juga disebutkan Kettel (2002) sebagai salah satu faktor penting dalam penentuan nilai tukar. Menurut Kettel (2002), keberlanjutan dalam neraca makroekonomi merupakan pusat analisis dalam pendekatan ini. Keseimbangan dalam makroekonomi dibagi ke dalam dua hal yakni keseimbangan internal (internal balance) dan keseimbangan eksternal (external balance). Keseimbangan internal merujuk pada konsep potensi produktif (potential productive) dan tingkat alamiah pengangguran (natural rate of unemployment). Suatu perekonomian dikatakan mengalami keseimbangan internal jika penurunan tingkat pengangguran tidak menyebabkan kenaikan tingkat inflasi dalam jangka menengah. Sementara itu, keseimbangan eksternal didefinisikan sebagai aliran bersih dari pergerakan modal internasional yang berhubungan dengan tingkat keseimbangan tabungan nasional dan investasi dalam jangka
waktu yang lebih panjang (Kettel, 2002). Karenanya, keseimbangan eksternal sangat bergantung pada level utang yang sekarang dan tingkat pengembalian ekonomi domestik relatif terhadap luar negeri (Kettel, 2002). Tarif dan kuota juga memainkan peranan yang penting dalam penentuan nilai tukar. Jika suatu negara menerapkan hambatan perdagangan dalam bentuk tarif (pajak atas barang-barang yang diimpor) dan kuota (pembatasan jumlah barang-barang yang diimpor) akan menyebabkan nilai mata uangnya mengalami apresiasi dalam jangka panjang karena memacu kenaikan permintaan domestik atas barang-barang substitusi impor. Senada dengan hal itu, kenaikan preferensi atas barang-barang impor atas barang-barang domestik akan menyebabkan nilai mata uang mengalami depresiasi dalam jangka panjang. Terakhir, perbedaan tingkat produktivitas juga memberikan pengaruh dalam penentuan nilaitukar. Menurut Kettel (2002), kenaikan produktifitas suatu negara relatif atas negara yang lain akan menyebankan nilai tukar mata uang negara tersebut mengalami apresiasi. Kettel (2002) menguraikan bahwa dengan tingkat produktifitas yang lebih tinggi akan menurunkan harga relatif barang-barang dalam negeri atas luar negeri tanpa menggerus tingkat keuntungan perusahaan. Akibatnya, permintaan akan barang-barang dalam negeri cenderung mengalami kenaikan yang pada akhirnya akan menyebakan nilai tukar mata uang dalam negeri atas asing mengalami apresiasi dalam jangka panjang.
Tabel 1. Ringkasan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar dalam Jangka Panjang Faktor
Perubahan dalam Faktor
Reaksi Nilai Tukar
Level harga domestik Hambatan perdagangan Permintaan impor Permintaan ekspor Produktivitas Sumber: Miskin & Eakins. Financial Markets and Institutions, Addison Wesley, 1998
III. Metode Penelitian 3.1 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui data sekunder dengan jenis data time series. Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini berasal dari International Financial Statistic (International Monteary Fund), Statistik Ekonomi dan Keuangan (Bank Indonesia), dan Database OECD, dan Database UKP4. 3.2 Spesifikasi Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tukar nominal USD terhadap Rupiah (USRP), Utang Luar Negeri/External Debt (ED), Indeks Harga Konsumen/Consumer Price Index (CPI), Cadangan Devisa/Official Reserve Asset (ORA), Tingkat Suku Bunga Pasar uang/ Domestic Money Market Rate (MMR), Indeks harga Saham Gabungan/Share Price Index (SPI), dan Neraca Perdagangan/Trade Balance (TB). Periode penelitian yang dipilih adalah tahun 2000Q1-2015Q2. Pemilihan periode ini didasarkan pada ketersediaan data dan sekaligus untuk melihat pengaruh variabel makroekonomi terhadap pergerakan nilai tukar USD terhadap Rupiah. 3.3 Metode Analisis Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif. Untuk analisis kuantitatif, digunakan alat bantu ekonometrika yaitu Software Stata 12.0. Pendekatan yang digunakan dalam analisis ini adalah pendekatan kointegrasi dan model dinamis (Vector Error-Correction Model). Pendekatan kointegrasi akan mengestimasi kedekatan hubungan antar variabel dalam jangka panjang sementara model dinamis digunakan untuk menguji spesifikasi model dan pergerakan antar variabel dalam jangka pendek. 3.4 Model Ekonometrik Model ekonometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah log-log linear. Bentuk fungsi logaritma alamiah (natural logarithm) biasanya digunakan untuk menunjukkan adanya parameter yang linier sehingga dari model tersebut tercermin perubahan relatif dari setiap variabel eksogen terhadap perubahan relatif dari variabel endogen atau mencerminkan nilai elastisitasnya. Karenanya, model ekonometrik OLS yang akan diestimasi dengan menggunakan pendekatan kointegrasi dan Vector Error-Correction Model (VECM) adalah: ππ§ πππππ = ππ + ππππ§ πππ + ππππ§ ππππ + ππππ§ ππππ + ππππ§ ππππ + ππππ§ ππππ + ππππ + ππππ Di mana: USRP ED ORA SPI MMR CPI TB ΞΌ
: : : : : : : :
Nilai tukar nominal USD/Rp Jumlah utang luar negeri Jumlah cadangan devisa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Tingkat suku bunga pasar uang Indeks Harga Konsumen (IHK) Neraca perdagangan Error/Disturbance term
3.5 Pengujian Statistik a) Uji Unit Root Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui adanya anggapan stasionaritas pada persamaan yang sedang diestimasi. Data yang stasioner adalah data yang menunjukkan Mean, Variance dan Autocovariance (pada variasi lag) tetap sama pada waktu kapan saja data itu dibentuk atau dipakai. Artinya dengan data yang stasioner, model time series dapat dikatakan lebih stabil. Pengujian stasioneritas ini penting karena jika ternyata data time-series yang diteliti bersifat non-stasioner seperti kebanyakan data ekonomi, maka hasil regresi yang berkaitan dengan data time-series ini akan mengandung R2 yang relatif tinggi dan Durbin-Watson stat yang rendah seperti yang dibuktikan oleh Granger dan Newbold (1974, 1977). Dengan perkataan lain, kita menghadapi masalah apa yang disebut spurious regression seperti yang dikemukakan oleh Phillips (1985, 1998). Untuk mengetahui adanya unit root dilakukan pengujian Dickey Fuller - Generalized Least Squares (DF-GLS).
b) Uji Kelayakan Lag Uji kelayakan lag yang digunakan adalah dengan menggunakan kriteria informasi Bayesian Schwarz (SBIC), kriteria informasi Akaike (AIC), dan kriteria informasi Hannan dan Quinn (HQIC). Untuk mengetahui lag yang dipakai sesuai atau tidak, harus dilihat dengan cara meregresi variabel tersebut dengan variabel yang memakai lag. Lag yang dipakai dimulai dari lag 1, kemudian dilihat hasilnya. Untuk seterusnya variabel tersebut diregres dengan menggunakan lag 1, lag 2 dan seterusnya. Hasil dari regresi tersebut lalu kita bandingkan angka SBIC-nya. Semakin kecil angka SBIC-nya maka lag yang digunakan semakin baik. c) Uji Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk menguji hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang tidak stasioner. Hubungan ekuilibrium diantara variabel-variabel yang tidak stasioner ekuilibrium di sini berarti bahwa variabel-variabel tersebut tidak dapat bergerak secara bebas. Keterkaitan diantara stochastic trends ini menyatakan bahwa variabel-variabel tersebut terkointegrasi. Pengujian kointegrasi dilakukan dengan menggunakan metode uji kointegrasi Johansen. Tahap pertama dari uji kointegrasi ini adalah menetapkan lag yang layak kointegrasi agar dapat diterapkan dengan tepat. Hasil uji kointegrasi akan bervariasi pada setiap lag yang berbeda, sehingga kelayakan lag harus ditentukan secara hati-hati. Lalu langkah selanjutnya adalah dengan mengestimasi model dan menentukan tingkat L-trace yang didapat. Terdapat dua hipotesis dalam uji ini, yaitu: H0 : r = 0, artinya tidak terdapat kointegrasi H1 : r > 0, artinya terdapat setidaknya satu kointegrasi atau lebih Hasil L-trace yang didapat lalu dibandingkan dengan nilai kritis pada tabel Johansen dan Juselius (1990). Pada tingkat level signifikan tertentu angka L-trace yang kita dapat jika lebih besar dari nilai kritis maka artinya H 0 ditolak sehingga artinya terdapat kointegrasi setidaknya satu atau lebih. Dan jika H 0 diterima maka artinya tidak terdapat kointegrasi pada persamaan tersebut. d) Pengujian Masalah Autokorelasi (Autocorrelation Test) Autokorelasi atau korelasi serial adalah suatu keadaan di mana kesalahan pengganggu dalam periode tertentu, katakan Ρt berkorelasi dengan kesalahan pengganggu dari periode lainnya katakan Ρ s. Jadi kesalahan pengganggu tidak bebas, satu sama lain berkorelasi dan saling berhubungan. Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya autokorelasi, antara lain : (i) kelembaman (inertia); (ii) terjadi bias dalam spesifikasi karena beberapa variabel penting tidak dimasukkan; (iii) terjadi bias dalam spesifikasi karena bentuk fungsi yang dipergunakan tidak tepat; (iv) fenomena sarang labah-labah (cobweb phenomena); (v) beda kala (time lags); dan (vi) adanya manipulasi data (data manipulation). Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi adalah uji Lagrange-Multiplier (LM test) pada residual VECM. Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji LM adalah: H0 : tidak terdapat autokorelasi H1 : terdapat autokorelasi e) Pengujian Normalitas (Normality Test) Dalam statistik, uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah set data yang digunakan dalam pemodelan ekonomi terdistribusi secara normal atau tidak. Tes ini juga digunakan untuk menghitung seberapa besar kemungkinan sebuah variabel acak mendasari suatu set data terdistribusi secara normal.
IV. Hasil dan Pembahasan 4.1 Uji Stasioneritas Dalam regresi deret waktu (time series regressions) dibutuhkan sifat data yang stasioner (stationary data). Stasioneritas data sangatlah penting karena berkaitan dengan prosedur dalam analisis ekonometrik runtun waktu guna menghasilkan atribut-atribut statistik yang tepat. Data dikatakan stasioner apabila nilai rata-rata (means), varians (variances), dan kovarians (covariances) tidak bergantung pada periode waktu observasi. Sebaliknya, ketika data runtun waktu yang digunakan dalam model ternyata tidak stasioner, maka hasil regresi mungkin saja terlihat signifikan padahal kenyataannya tidak bisa diandalkan atau regresi palsu (spurious regression). Untuk mengecek apakah data runtut waktu yang digunakan sudah stasioner atau tidak maka salah satu tes yang lazim digunakan adalah uji Dickey Fuller β Generalized Least Squares (DF-GLS). Hasil penelitian Elliott, Rothenberg, dan Stock (1996) dan studi-studi terbaru lainnya menunjukkan bahwa tes ini memiliki keunggulan yang lebih besar secara signifikan daripada uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Akibatnya, hasil tes ini bukan tidak biasa menolak hipotesis nol yaitu non-stasioner ketika hasil uji ADF biasanya tidak. Tabel 1 menunjukkan bahwa semua variabel tidak stasioner pada level namun stasioner pada turunan pertama (1st Difference). Tabel 2. Hasil Uji Dickey Fuller β Generalized Least Squares (DF-GLS) Variabel Level Lag 1st Difference Lag Dengan tren lusrp -2.295* 1 -3.995** 1 led -0.338* 1 -5.047** 1 lmmr -2.970* 1 -5.302** 1 lora -1.911* 1 -4.309** 1 lspi -2.686* 2 -3.879** 1 lcpi -0.868* 1 -5.021** 1 tb -2.224* 1 -4.444** 1 Tanpa tren Variabel lusrp led lmmr lora lspi lcpi
Level 0.668* 1.306* -1.830* 0.208* -0.233* 2.298*
Lag 2 1 1 1 1 1
tb -1.455* 1 Catatan: * tidak stasioner pada level signifikansi 5%, ** stasioner pada level signifikansi 5%
1st Difference -2.491** -3.363** -5.040** -4.208** -2.608** -4.467**
Lag 1 1 1 1 1 1
-4.549**
1
4.2 Penentuan Jumlah Lag (Lag Order Selection) Sebelum melakukan Uji Kointegrasi, Uji Kausalitas Granger, dan Vector Error Correction Model (VECM), langkah pertama yang penting untuk dilakukan adalah memilih jumlah lag yang tepat. Ketepatan pemilihan jumlah lag yang optimum yang akan digunakan dalam pengolahan data dibutuhkan agar memperoleh hasil regresi yang lebih baik. Adapaun kriteria informasi yang lazim digunakan dalam pemilhan lag optimum antara lain kriteria informasi Bayesian Schwarz (SBIC), kriteria informasi Akaike (AIC), dan kriteria informasi Hannan dan Quinn (HQIC). Terkait hal itu, hasil temuan Ivanov dan Killian (2005) menyimpulkan bahwa AIC cenderung lebih akurat dengan data bulanan, HQIC bekerja lebih baik untuk data kuartalan pada sampel yang lebih dari 120 dan SBIC bekerja dengan baik dengan ukuran sampel yang beragam untuk data kuartalan (terutama pada model VEC ). Karena
penelitian ini menggunakan data kuartalan dengan jumlah observasi sebanyak 62, maka jumlah lag yang dipilih adalah 1 merujuk rekomendasi dari prosedur HQIC dan SBIC (lihat tabel 2). Tabel 3. Hasil Seleksi Lag Selection-order criteria Sample: 2001q1 - 2015q2 lag 0 1 2 3 4
LL
LR
32.5537 528.986 576.165 632.464 680.59
Endogenous: Exogenous:
992.86 94.357 112.6 96.253*
Number of obs
=
58
df
p
FPE
AIC
HQIC
SBIC
49 49 49 49
0.000 0.000 0.000 0.000
9.8e-10 2.0e-16* 2.3e-16 2.1e-16 3.3e-16
-.881162 -16.3099 -16.2471 -16.4987* -16.4686
-.784298 -15.535* -14.7941 -14.3677 -13.6596
-.632487 -14.3205* -12.517 -11.0279 -9.25708
lusrp led lmmr lora lspi lcpi TB _cons
4.3 Identifikasi Jumlah Variabel yang Terkointegrasi Setelah memlilih lag yang optimum, maka prosedur selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah terdapat hubungan kointegrasi diantara variabel. Variabel dikatakan terkointegrasi jika mempunyai tren stokastik yang sama dan mempunyai arah pergerakan yang sama dalam jangka panjang. Untuk mengujinya, digunakan uji kointegrasi Johansen. Hasil uji kointegrasi Johansen dengan menggunakan jumlah lag (1) menunjukkan bahwa H0 (null hypothesis) ditolak atau H1 (alternative hypothesis) diterima (lihat tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan kointegrasi dengan jumlah relasi yang terkointegrasi maksimum sebanyak 2 (r = 2). Tabel 4. Hasil Uji Kointegrasi Johansen Johansen tests for cointegration Trend: constant Number of obs = Sample: 2000q2 - 2015q2 Lags =
maximum rank 0 1 2 3 4 5 6 7
parms 7 20 31 40 47 52 55 56
LL 478.9815 502.71782 524.36082 540.02316 549.78233 554.93079 558.42198 558.50281
eigenvalue . 0.54079 0.50816 0.40161 0.27383 0.15532 0.10816 0.00265
61 1
5% trace critical statistic value 159.0426 124.24 111.5700 94.15 68.2840* 68.52 36.9593 47.21 17.4410 29.68 7.1440 15.41 0.1617 3.76
4.4 Vector Error Correction Model Adanya kointegrasi mengindikasikan terdapat hubungan jangka panjang diantara variabel. Karenanya, VECM bisa diterapkan dalam kasus ini untuk melihat sejauh mana atribut jangka pendek dari serial kointegrasi. Adapun hasil estimasinya adalah sebagai berikut. πππππ = π. ππππ πππ + π. ππππ ππππ β π. ππππ ππππ + π. ππππ ππππ (0.1546) (0.0483) (0.1264) (0.0651) + π. ππππ ππππ β π. ππππ ππ β π. ππππ (0.1619) (0.0060)
(1)
Dari tabel 4 di atas, terlihat bahwa semua koefisien signifikan pada level signifikansi 5% kecuali untuk koefisien indeks harga konsumen (inflasi). Hal ini mengindikasikan bahwa indeks harga konsumen tidak mempengaruhi pergerakan tingkat nilai tukar US Dollar (USD) terhadap Rupiah secara signifikan dalam jangka pendek. Sebaliknya, utang luar negeri (ED), cadangan devisa (ORA), tingka suku bungan pasar uang (MMR), indeks harga saham gabungan (SPI), dan neraca perdagangan (TB) sebagaimana diharapkan memberikan dampak yang berarti terhadap volatilitas nilai tukar USD terhadap Rupiah dalam jangka pendek. Selanjutnya, persamaan (1) menunjukkan bahwa cadangan devisa dan neraca perdagangan berkorelasi negatif dengan pergerakan nilai tukar USD terhadap Rupiah. Artinya, kenaikan cadangan devisa dan perbaikan dalam neraca perdagangan akan menurunkan nilai tukar USD terhadap Rupiah atau menguatkan nilai tukar Rupiah terhadap USD. Sementara itu, tingkat suku bunga pasar uang, indeks harga saham gabungan dan inflasi justru menyebabkan nilai tukar USD terhadap Rupiah terapresiasi. Hal ini mengindikasikan bahwa indeks harga saham gabungan, tingkat suku bunga pasar uang domestik, dan inflasi tidak memberikan kontribusi yang positif terhadap apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD dalam jangka pendek. Tabel 5. Vector Error Correction Model Cointegrating equations Equation
Parms
_ce1
6
Identification:
chi2
P>chi2
118.0064
0.0000
beta is exactly identified Johansen normalization restriction imposed
beta
Coef.
lusrp led lmmr lora lspi lcpi TB _cons
1 .4637337 .3075686 -.577111 .2514715 .0254849 -.0214271 7.446852
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
_ce1 . .1545749 .0483494 .1264255 .065147 .161885 .0059607 .
. 3.00 6.36 -4.56 3.86 0.16 -3.59 .
. 0.003 0.000 0.000 0.000 0.875 0.000 .
. .1607725 .2128054 -.8249004 .1237858 -.2918039 -.0331098 .
. .7666949 .4023318 -.3293216 .3791572 .3427738 -.0097444 .
4.5 Pengujian Masalah Autokorelasi Hasil uji Lagrange-Multiplier mengindikasikan bahwa tidak terdapat serial korrelasi pada residual (lihat tabel 5). Artinya, pada tingkat signifikansi 5%, H0 tidak dapat ditolak atau tidak terdapat kasus autokorelasi dalam residual model yang sedang diestimasi. Pengujian ini menunjukkan bhawa tidak terdapat bukti adanya kesalahan spesifikasi model yang sedang diteliti. Tabel 6. Hasil Uji Autokorelasi Lagrange-multiplier test lag
chi2
df
Prob > chi2
1 2 3 4
57.2054 45.7043 48.7990 42.9225
49 49 49 49
0.19678 0.60753 0.48122 0.71674
H0: no autocorrelation at lag order
4.6
Pengujian Normalitas Diantara sekian banyak uji yang bisa digunakan untuk mengecek apakah model yang diestiamasi memenuhi asumsi bahwa error dalam model terdistribusi secara normal adalah uji Jarque-Bera (Jarque-Bera Test). Tes ini berusaha mengukur apakah hipotesis awal (H0) yang menyatakan bahwa error dalam model yang sedang diestimasi terdistribusi secara normal atau tidak. Hasilnya, model yang sedang diestimasi menunjukkan bahwa hipotesis awal dimana error terdistribusi secara normal (H0) tidak dapat ditolak (lihat tabel 6). Tabel 7. Hasil Uji Jarque-Bera Jarque-Bera test Equation
chi2
D_lusrp D_led D_lmmr D_lora D_lspi D_lcpi D_TB ALL
df Prob > chi2
7.620 2 2.018 2 0.123 2 2.604 2 0.603 2 1.462 2 0.734 2 15.164 14
0.02215 0.36451 0.94025 0.27202 0.73966 0.48150 0.69296 0.36704
4.6 Uji Kausalitas Granger Hasil uji kausalitas Granger mengindikasikan bahwa tidak semua variabel makroekonomi yang diestimasi memiliki hubungan dua arah dengan pergerakan nilai tukar USD/Rp. Tabel 6 menunjukkan bahwa kita tidak dapat menolak hipotesis awal terkait hubungan kausalitas antara variabel utang luar negeri (ED), cadangan devisa (ORA), pasar uang domestik (MMR), dan neraca perdagangan (TB) terhadap pergerakan nilai tukar USD/Rp. Artinya, kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan timbal balik (kausalitas). Menariknya, hanya variabel indeks saham gabungan (SPI) yang memiliki hubungan timbal balik atau dua arah terhadap volatilitas nilai tukar USD/Rp. Selain SPI, cadangan devisa juga berkorelasi terhadap variabel nilai tukar USD/R namun korelasi kedua variabel tersebut tidak berjalan dua arah atau satu arah saja. Tabel 8. Uji Kausalitas Granger H0
Chi2
Probabilitas
Keputusan
LUSRP does not Granger-cause LED
2.4103
0.300
Terima
LED does not Granger-cause LUSRP
3.9461
0.139
Terima
LUSRP does not Granger-cause LORA
1.7706
0.413
Terima
LORA does not Granger-cause LUSRP
8.8696
0.012
Tolak*
LUSRP does not Granger-cause LMMR
11.8290
0.003
Tolak*
LMMR does not Granger-cause LUSRP
3.2309
0.199
Terima
LUSRP does not Granger-cause LCPI
0.4630
0.793
Terima
LCPI does not Granger-cause LUSRP
0.6803
0.712
Terima
LUSRP does not Granger-cause TB
1.8778
0.391
Terima
TB does not Granger-cause LUSRP
0.4642
0.793
Terima
28.8640
0.000
Tolak*
7.7029
0.021
Tolak*
LUSRP does not Granger-cause LSPI LSPI does not Granger-cause LUSRP Cat: * menandakan signifikan pada tingkat 5%
4.7
Fungsi Reaksi Dorongan (Impulse Response Function) Dari gambar 1 terlihat bahwa goncangan pada variabel utang luar negeri, cadangan devisa, inflasi, tingkat suku bunga pasar uang tidak begitu direspon oleh variabel nilai tukar USD/Rp alias netral. Sementara itu, guncangan pada variabel neraca perdagangan dan indeks saham gabungan mempengaruhi pergerakan nilai tukar USD/Rp. Menariknya, reaksi awal variabel volatilitas nilai tukar USD/Rp terhadap goncangan pada variabel neraca perdagangan positif dan setelah itu habis sama sekali. Sebaliknya, goncangan pada variabel indeks saham gabungan direspon negatif oleh pergerakan nilai tukar USD/Rp dalam jangka pendek. Meski demikian, gambar 1 mengindikasikan bahwa secara keseluruhan proses penyesuaian keseimbangan dalam jangka pendek cukup cepat.
Grafik 1. Fungsi Reaksi Dorongan
order1, TB, TB
order1, TB, lcpi
order1, TB, led
order1, TB, lmmr
order1, TB, lora
order1, TB, lspi
order1, TB, lusrp
order1, lcpi, TB
order1, lcpi, lcpi
order1, lcpi, led
order1, lcpi, lmmr
order1, lcpi, lora
order1, lcpi, lspi
order1, lcpi, lusrp
order1, led, TB
order1, led, lcpi
order1, led, led
order1, led, lmmr
order1, led, lora
order1, led, lspi
order1, led, lusrp
order1, lmmr, TB
order1, lmmr, lcpi
order1, lmmr, led
order1, lmmr, lmmr
order1, lmmr, lora
order1, lmmr, lspi
order1, lmmr, lusrp
order1, lora, TB
order1, lora, lcpi
order1, lora, led
order1, lora, lmmr
order1, lora, lora
order1, lora, lspi
order1, lora, lusrp
order1, lspi, TB
order1, lspi, lcpi
order1, lspi, led
order1, lspi, lmmr
order1, lspi, lora
order1, lspi, lspi
order1, lspi, lusrp
order1, lusrp, TB
order1, lusrp, lcpi
order1, lusrp, led
order1, lusrp, lmmr
order1, lusrp, lora
order1, lusrp, lspi
order1, lusrp, lusrp
4 2 0 -2
4 2 0 -2
4 2 0 -2
4 2 0 -2
4 2 0 -2
4 2 0 -2
4 2 0 -2 0
5
10
0
5
10
0
5
10
0
5
10
step Graphs by irfname, impulse variable, and response variable
0
5
10
0
5
10
0
5
10
V.
KESIMPULAN Tujuan dari studi ini adalah untuk mengkaji pengaruh sejumlah variabel ekonomi makro terhadap nilai tukar nominal Rupiah. Karenanya, data makroekonomi yang digunakan berupa data runtun waktu periode 2000Q1-2015Q2. Hasilnya, dalam jangka panjang, uji kointegrasi Johansen dan uji akar-akar unit yang dilakukan membuktikan bahwa ketujuh indikator ekonomi makro yang dipilih terintegrasi dengan baik dan memenuhi syarat stasionaritas. Dalam jangka pendek, vector error-correction model (VECM) yang digunakan menunjukkan kenaikan cadangan devisa dan perbaikan dalam neraca perdagangan akan menurunkan nilai tukar USD terhadap Rupiah atau menguatkan nilai tukar Rupiah terhadap USD. Sementara itu, tingkat suku bunga pasar uang, indeks harga saham gabungan dan inflasi justru menyebabkan nilai tukar USD terhadap Rupiah terapresiasi. dalam jangka pendek. Hasil uji kausalitas Granger mengindikasikan bahwa tidak semua variabel makroekonomi yang diestimasi memiliki hubungan dua arah dengan pergerakan nilai tukar USD/Rp. Hanya variabel indeks saham gabungan (SPI) yang memiliki hubungan timbal balik atau dua arah terhadap volatilitas nilai tukar USD/Rp. Selain SPI, cadangan devisa juga berkorelasi terhadap variabel nilai tukar USD/R namun korelasi kedua variabel tersebut tidak berjalan dua arah atau satu arah saja.
VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN Dari keseluruhan uraian di muka, terlihat bahwa ruang kebijakan yang bisa ditempuh dalam menguatkan nilai tukar nominal Rupiah terhadap USD antara lain melalui kebijakan pengurangan utang luar negeri, peningkatan cadangan devisa dan perbaikan neraca perdagangan. Artinya, permerintah perlu melihat kembali ke dalam struktur APBN dan selanjutnya mulai membatasi pos-pos yang memicu kenaikan utang luar negeri. Sejalan dengan itu, perlu ada program-program yang strategis dan konsisten dalam menggenjot penerimaan pajak guna mengurangi penggunaan sumbersumber pembiayaan pembangunan dari luar negeri. Kebijakan lain yang mendesak untuk diimplementasikan adalah perluasan dan peningkatan sumber-sumber persediaan(supply) USD dan pengurangan ketergantungan impor melalui peningkatan ekspor yang bernilai tambah lebih tinggi. Terakhir, tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian, penurunan tingkat suku bunga juga perlu dipertimbangkan secara serius oleh Bank Indonesia.
Referensi Bank Indonesia, (2015). Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI). Diakses pada September 2015, www.bi.go.id/id/statistik/seki/terkini/moneter/Contents/Default.aspx Benita, G dan Lauterbach, B., (2007). Policy Factors and Exchange Rate Volatility: Panel Data versus a Country Specific Analysis. International Research Journal of Finance and Economics. Issue 7. Cheong, C., (2004). Does the Risk of Exchange Rate Fluctuations really Affect International Trade Flows between Countries?. Economics Bulletin Vol.6(4), 1-8. Chou, WL., (2000). Exchange Rate Variability and Chinaβs Exports. Journal of Comparative Economics, 2000, 28(1): 61-79. Coric, B., and Pugh, G., (2006). The Effects of Exchange Rate Variablitiy on International Trade: a Meta Regression Analysis. Working Papers: Centre for Research on Emerging Economies No.01-2006. Elliot, G., Rothenberg, TJ., dan Stock, JH., (1996). Efficient Test for an Autoregressive Unit Root. Econometrica, Vol.64, No.4 (July, 1996), 813-836. Hayakawa, K, and Kimura, F., (2008). The Effect of Exchange Rate Volatility on International Trade in East Asia. ERIA Discussion Paper Series No. ERIA-DP-2008-03. Ho, C., dan Ariff, M., (2011). Re-examination of Exchange Rate Determinants using Non-Parity Factors. Dowload from www.academyfinancial.org/wp-content/uploads/2013/10/E1-Ho-Ariff.pdf International Monetary Fund, (2015). International Financial Statistics (IFS). Diakses pada September 2015, www.data.imf.org/?sk=5DABAFF2-C5AD-4D27-A175-1253419C02D1. Ivanov, V., dan Killian, L., (2005). A Practitionerβs Guide to Lag Order Selection for VAR Impulse Response Analysis. Econometrics, Vol.9, Issue 1. Johansen, S dan Juselius, K., (1990). Maxiumum Likelihood Estimation and Inference on Cointegration with Applications to the Demand for Money. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, Vol.52, No.2, 169-210. Kettel, B., (2002). Economics for Financial Markets. Butterworth-Heinemann Finance, Jordan Hill, Oxford. Kularatne, C, dan Havemann, R., (2008). Why Exchange Rate more Volatile than Others? Evidences from Transition Economies. Diakses pada November 2015, www.tipz.org.za/files/Kalaratne_Havemann_Volatile_Currency_24_Oct_2008_pdf. McKenzie, MD., (1999). The Impact of Exchange Rate Volatility on International Trade Flows. Journal of Economic Surveys 13 (1), 71-106. Mishkin, FS., dan Eakins, SG., (2012). Financial Markets and Institutions: Seventh Edition. Prentice Hall. Organization for Economic Co-operation and Development, (2015). OECD Database Access. Diakses pada September 2015, www.stats.oecd.org Ozturl, I., (2006). Exchange Rate Volatility and Trade: A Literature Survey. International Journal of Applied Econometrics and Quantitative Studies Vol.3(1). Phillips, PCB., (1998). New Tools for Understanding Spurious Regressions. Econometrica, Vol. 66, No.6 (November, 1998), 1299-1325
Phillips, PCB, (1995). Undersatanding Spurious Regressions in Econometrics. Cowless Foundation Discussion Paper No. 757. Ramasamy, R dan Akbar, SK., (2015). Journal of Economics, Business, and Management Vol.3 No.2, February 2015. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4), (2015). Portal Data Indonesia. Diakses pada September 2015, www.data.go.id/group/ekonomi-dan-keuangan.
Biodata Singkat Pihri Buhaerah lahir di Watampone Provinsi Sulawesi Selatan. Pada 1998, Pihri lolos seleksi dan diterima di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) - Jakarta dan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Pihri menyelesaikan studi S1 dalam bidang Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan di Universitas Padjajaran, Bandung. Tahun 2011, Pihri melanjutkan studi master (S-2) di bidang International and Development Economics di Australian National University (ANU) dengan beasiswa dari Australian Development Scholarship (ADS). Dalam waktu dua tahun (2011-2012), gelar Diploma dan Master of International and Development Economics diraihnya. Selain bekerja sebagai ekonom di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sejak 2004, Pihri juga aktif menjadi staf pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Persada Indonesia β Yayasan Administrasi Indonesia (UPI YAI). Pihri juga aktif sebagai Research Associate di the Indonesian Institute (TII) dan Jakarta Institute for Financial Policy (JIFP). Di luar itu, Pihri juga aktif menulis artikel di sejumlah jurnal seperti Bulletin Ekonomi, Moneter, dan Perbankan (Bank Indonesia/BI), Jurnal Wacana Kinerja (Lembaga Administrasi Negara/LAN), Jurnal Tanah Air (Walhi), dan Jurnal HAM (Komnas HAM). Dalam arena penelitian HAM, Pihri memfokuskan kajiannya pada irisan antara HAM dengan kebijakan ekonomi dan pembangunan sosial seperti pembangunan berbasis HAM, perdagangan dan investasi berbasis HAM, serta bisnis dan HAM terutama untuk sektor keuangan. Selain itu, sejak 2014, Pihri juga mulai mengarahkan perhatian risetnya pada regulasi perbankan dan ekonomi makro serta relasi antar sektor keuangan dengan pembangunan inklusif dan berkelanjutan.