ANALISIS PENGARUH CITRA TOKO DAN KUALITAS PELAYANAN TERHADAP NIAT BELI PADA PRODUK PRIVATE LABEL BRAND (STUDI KASUS PADA LOTTE MART RETAIL) Anggi Paima Ulibasa Adrian Achyar S.E. M.Si. Fakultas Ekonomi Program Ekstensi, Universitas Indonesia, Kampus Salemba, Jalan Salemba Raya 4 Jakarta 10430, Indonesia E-mail :
[email protected] Abstract The tremendous growth of retail caused the fierce competition among the retail company both in our country and also overseas. One of the famous strategies applied is to label the product according to the store’s name which is well known as Private Label Brand (PLB). This thesis aims to investigate whether or not there is influence between the store image and service quality towards purchase intention for PLB products and also the effect of perceive risks and price consciousness the costumers feel towards the purchase intention. The data perceived by using Structural Equation Model (SEM) which reveals not only that there is a slight influence between the services and the purchase intention, but also big influence between service quality and purchase intention. As the conclusion, the retail companies need to improve their service quality in order to create good store image PLB so the costumer purchase intention will increase. Keyword: Retail, Store Image, Service Quality, Purchase Intention, Private Label Brand (PLB) Abstrak Perkembangan ritel yang begitu pesat menimbulkan persaingan ketat antar perusahaan ritel baik dalam maupun luar negeri. Hal ini mengharuskan pihak manajemen perusahaan ritel mengembangkan strategi untuk bertahan di industri ritel khususnya hipermarket. Salah satu strategi yang marak diterapkan adalah dengan menggunakan nama tokonya sebagai merek produk yang dikenal dengan Private Label Brand (PLB). Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh antara citra toko dan kualitas pelayanan terhadap niat pembelian produk PLB dan juga dampak persepi risiko dan kesadaran harga yang dirasakan konsumen terhadap niat pembelian. Data diolah menggunakan metode Structural Equation Model (SEM) dengan kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang tidak signifikan antara citra toko dan niat pembelian, selain itu ditemukan juga pengaruh yang besar antara kualitas pelayanan dan niat pembelian. Perusahaan ritel disarankan untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanannya demi menciptakan citra PLB yang baik sehingga niat pembelian konsumen juga turut meningkat. Kata Kunci: Ritel, Citra Toko, Kualitas Pelayanan, Private Label Brand (PLB) 1. Pendahuluan Perkembangan bisnis ritel dalam sepuluh tahun terakhir dinilai semakin menggila. Seiring dengan pesatnya pembangunan pusat perbelanjaan di kotakota besar, bisnis ritel modern dengan format hipermarket, supermarket, dan minimarket semakin banyak didirikan dan semakin menarik minat banyak pengunjung. Bahkan, bisnis ritel tidak hanya tumbuh subur di pusat kota, tapi mulai merambah ke pinggiran kota karena banyaknya pemukiman di daerah tersebut
(Perkembangan Bisnis Ritel Modern, 2011). Soliha (2008), menyebutkan bahwa industri ritel di Indonesia merupakan industri yang sangat dinamis. Selain hipermarket, supermarket, dan minimarket, pusat perbelanjaan seperti mall, plaza, town square, dan trade center juga berkembang dengan pesat. Sementara itu, Syamsul Munir (2006) dalam artikelnya “Format Ritel Masa Depan” di Majalah SWA menyebutkan, format ritel masa depan akan berkembang seiring
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
dinamika pasar dan dasar permintaan serta kebutuhan konsumen. Interaksi konsumen sebagai anggota masyarakat lambat laun memengaruhi persaingan ritel di kemudian hari. Saat ini, terdapat beberapa fenomena yang menyebabkan perubahan dunia ritel Indonesia, diantaranya perubahan ritel tradisional ke modern, ekspansi peritel asing, dan perubahan fungsi pusat perbelanjaan yang bukan hanya sekedar tempat berbelanja, tetapi menjadi tempat hiburan dan bersosialisasi. Pertumbuhan ritel yang pesat ini menciptakan persaingan yang ketat bagi perusahaan-perusahaan ritel, baik itu peritel lokal maupun peritel asing, khususnya yang menawarkan produk sejenis (Ghosh, 1992). Pada tahun mendatang, diperkirakan akan semakin banyak peritel asing masuk ke Indonesia dan pemain lama pun akan menjadi semakin ekspansif untuk menggarap setiap potensi pasar yang ada. Akibatnya persaingan akan semakin ketat sehingga menyebabkan semua pemain berusaha keras menjalankan berbagai strategi untuk memenangkan persaingan (Perkembangan Bisnis Ritel Modern, 2011). Kondisi persaingan ini membuat setiap perusahaan ritel harus melakukan strategi pemasaran dengan baik agar mampu bersaing dengan usaha sejenis. Para peritel harus menyadari bahwa kepuasan pelanggan merupakan kata kunci dalam memenangkan persaingan, sehingga penting untuk diingat bagi tiap perusahaan untuk memenuhi segala aspek kepuasan tersebut (Ghosh, 1992). Porter (1996) menyebutkan bahwa, kondisi persaingan antara perusahaan ritel, ancaman masuknya pendatang baru, keragaman produk atau jasa pengganti (substitusi), bertambahnya kekuatan tawar menawar pembeli dan pemasok, semakin memaksa pengecer menentukan strategi yang tepat untuk menang dalam persaingan. Salah satu strategi pemasaran yang mulai dilakukan perusahaan-perusahaan ritel adalah strategi Private Label Brand (PLB). PLB atau dikenal dengan merek toko adalah merek yang diciptakan dan dimiliki oleh penjual eceran barang dan jasa (Kotler & Amstrong, 2004). Harapan perusahaan dalam menerapkan penjualan PLB adalah mencoba menarik
lebih banyak pelanggan dengan melakukan diferensiasi produk yang membedakan produk mereka dengan kompetitor (Vahie & Paswan, 2006). Akan tetapi, bukan sebuah perkara yang mudah untuk mempromosikan produk PLB agar menjadi produk pilihan konsumen. Produk PLB harus bersaing dengan produk-produk nasional maupun internasional yang lebih dulu dikenal oleh konsumen. Keberadaan produk PLB tersebut menimbulkan beragam respon dari konsumen seperti persepsi risiko dan kesadaran harga. Produk dengan merek PLB dan produk dengan merek nasional yang sudah terkenal tentu akan menyebabkan tanggapan yang berbeda dari konsumen. Untuk itu, persepsi risiko dan kesadaran konsumen akan harga tentu menjadi hal yang harus diperhatikan oleh para peritel. Seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu tujuan dari PLB adalah menciptakan image atau citra yang baik di mata konsumen. Demi membentuk citra positif tersebut, peritel harus memikirkan citra toko dan kualitas layanannya untuk merepresentasikan bahwa kualitas produk PLB yang dijual merupakan produk dengan kualitas yang baik. Peneliti mengambil Lotte Mart sebagai objek penelitian, karena Lotte Mart merupakan pemain ritel yang terbilang baru di Indonesia namun dinilai cukup berhasil dalam mempromosikan produk PLB-nya. 2. Studi Literatur 2.1. Ritel Kata ritel berasal dari bahasa Perancis yaitu "Retailer" yang berarti " memotong menjadi kecil¬¬-kecil", menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ritel/eceran berarti satu-satu, sedikit-sedikit. Ada beberapa pendekatan dalam mendefinisikan bisnis ritel. Berman dan Evan (1992) mendefinisikan retailing sebagai kegiatan bisnis yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa kepada konsumen yang hanya digunakan untuk kebutuhan pribadi, keluarga, atau rumah tangga mereka sendiri. Setiap perusahaan yang melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen akhir baik produsen, grosir, maupun pengecer dapat
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
dikatakan bertindak dalam bisnis ritel/eceran. Kegiatan ritel merupakan tahap akhir dari kegiatan saluran distribusi dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh produsen, bahkan produsen, importir dan berbagai lembaga non profit dapat bertindak sebagai peritel jika mereka langsung menjual produknya ke konsumen akhir. Intinya dari bisnis ritel adalah sebuah rangkaian kegiatan yang dilakukan suatu organisasi/badan usaha dalam memuaskan konsumen dengan cara menjual barang dan jasa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya, baik secara pribadi maupun untuk rumah tangga. Sebuah perusahaan ritel langsung berinteraksi dengan konsumen akhir. Oleh karena itu tugas peritel adalah menyediakan keragaman dari barang dan jasa, memecah unit barang sehingga konsumen dapat membeli dalam jumlah satuan, menjadi persediaan untuk dijual ketika konsumen membutuhkan, dan menyediakan jasa tambahan bagi konsumen. 2.2. Citra Toko Citra toko menggambarkan interprestasi konsumen mengenai keunggulan kompetitif yang ingin ditawarkan kepada konsumen (Newman & Cullen, 2002). Kunci sukses dalam menciptakan citra toko adalah menyelaraskan gaya hidup dan harapan pelanggan yang ditargetkan perusahaan. Martineau (1958) dalam Grewal et al (1998) memperkenalkan konsep citra toko dan mendefinisikannya sebagai cara dari pikiran para konsumen dalam menggambarkan toko tersebut, baik melalui mutu-mutu fungsionalnya maupun dari suasana hubungan psikologis yang dirasakan konsumen. Berman (1992) mengatakan bahwa citra toko merupakan perpaduan perasaaan konsumen secara fungsional dan emosional. Atribut-atribut ini memiliki elemen yang semuanya berpengaruh terhadap suasana toko yang ingin diciptakan oleh konsumen. Dalam pemasaran, kesadaran dan citra sebuah perusahaan dan reputasi jasa mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli. Pada praktek, reputasi menjadi
sebuah masalah dari sikap dan kepercayaan terhadap kesadaran terhadap merek dan citra, keputusan pelanggan dan loyalitas pelanggan (Fornell, 1992). Dari beberapa teori mengenai citra toko dapat disimpulkan bahwa citra sebuah toko merupakan gambaran keseluruhan sebuah toko di benak konsumen yang timbul karena persepsi dan sikap yang dirasakan pada sensasi dari rangsangan yang berkaitan lingkungan toko. Citra ini dijadikan sebagai kepribadian toko yang membedakan toko satu dengan toko yang lain dengan persepsi yang dimiliki oleh konsumen. Dengan kata lain konsumen memiliki ingatan yang baik terhadap pelayanan sebuah toko yang pernah mereka datangi. Toko dengan citra yang baik akan membuat mereka kembali dan melakukan pembelian di toko tersebut. Namun sebaliknya, apabila konsumen mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan saat mengunjungi sebuah toko, maka mereka akan enggan untuk mengunjungi toko tersebut di kemudian hari. 2.3. Kualitas Layanan Layanan yang baik diukur dari seberapa sanggup sebuah layanan memenuhi permintaan atau harapan konsumen. Dalam definisi ini tidak ada standart yang baku untuk mengukur kualitas layanan, namun persepsi pelangganlah yang menilai apakah mereka telah dilayani dengan baik atau tidak (Dunne, 2008). Untuk itu, perusahaan ritel harus memiliki kualitas layanan yang terbaik demi tercapainya persepsi yang diharapkan dan akan berujung kepada kepuasan konsumen. Kualitas pelayanan menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan perusahaan agar dapat mampu bertahan dan tetap mendapat kepercayaan pelanggan. Pola konsumsi dan gaya hidup pelanggan menuntut perusahaan untuk mampu memberikan pelayanan yang berkualitas. Menurut Berry dan Zeithaml dalam Lupiyoadi 2006, bahwa: “Keberhasilan perusahaan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas dapat ditentukan dengan pendekatan
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
service quality yang telah dikembangkan oleh Parasuraman”. 2.4. Konsep Private Label Brand Aaker (1991), mengungkapkan bahwa sebuah merek dapat diartikan sebagai karakter nama dan/atau simbol (misalnya, logo, cap perusahaan, atau desain kemasan) yang ditunjukkan untuk mengidentifikasikan produk atau jasa dan membedakan produk atau jasa mereka dari para pesaingnya. Oleh karena itu, merek berfungsi sebagai sinyal bagi konsumen tentang asal dari produk tertentu, dan melindungi mereka dan produsen dari pesaing yang mencoba untuk menyedikan produk dengan tampilan identik. Sebagaimana konsumen memiliki kepribadian, merek juga dianggap memiliki kepribadian (Kotler, 2003). Untuk itu ada kecenderungan bagi konsumen untuk memilih merek dengan kepribadian yang sesuai dengan kepribadian mereka. Konsep private label merupakan pengembangan dari konsep merek. Private label adalah merek yang diciptakan dan dimiliki oleh penjual eceran barang dan jasa (Kotler & Amstrong, 2004). Kemunculan private label merupakan suatu bentuk inovasi dari para pengecer. Drucker (1994) dalam Tjandrasa 2006, menyatakan inovasi adalah tindakan yang memberi sumber daya kekuatan dan kemampuan baru untuk menciptakan kesejahteraan. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kemunculan private label brand adalah untuk menciptakan kesejahteraan dengan cara menambah keuntungan bagi peritel. Produk-produk dengan private label diposisikan sebagai produk yang terjamin mutunya dengan harga terjangkau serta dikemas dalam kemasan yang menarik dan memiliki nama yang mudah diingat (Tjandrasa, 2006). 2.5. Persepsi Risiko Istilah persepsi risiko berasal dari bidang psikologi. Bauer (1960) dalam Wu (2011) meyakini adanya hubungan antara perilaku konsumen dengan resiko yang mungkin dialami akibat tindakan atau keputusan mereka. Dimana risiko tersebut bagian dari konsekuensi yang tidak dapat
ia antisipasi dengan segala sesuatu yang mendekati kepastian. Kebanyakan konsekuensi yang terjadi merupakan hal yang tidak menyenangkan (Wu, Yeh, & Hsiao, 2011). Menurut Peter & Olson (2005), konsekuensi tersebut merupakan reaksi negatif yang konsumen ingin hindari ketika membeli atau menggunakan produk. Konsekuensi negatif atau risiko yang dapat terjadi bisa bermacam-macam. Misalnya, risiko fisik seperti kecelakaan akibat mesin dari produk yang dibeli ternyata mengalami kerusakan. Selain itu ada konsekuensi finansial misalnya garansi perbaikan dari produk yang dibeli tidak dapat mengembalikan produk seperti keadaan semula sehingga konsumen mengalami kerugian. Risiko finansial merupakan risiko yang melibatkan kondisi finansial seseorang. Selain itu, beberapa konsumen juga memikirkan mengenai risiko produk yang dibeli ternyata tidak dapat berfungsi dengan baik. Hal ini merupakan risiko fungsional (Peter & Olson, 2005). Persepsi risiko yang dialami konsumen dipengaruhi oleh dua hal yaitu, seberapa besar hal tidak menyenangkan yang disebabkan oleh konsekuensi negatif yang terjadi dan kemungkinan konsekuensi negatif yang akan terjadi (Peter & Olson, 2005). Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini dilakukan untuk mendefinisikan risiko yang dirasakan ketika para konsumen menghadapi produk-produk atau layananlayanan. Risiko tersebut muncul akibat ketidakpastian melalui bentuk kerugian yang terbayangkan di dalam pikiran konsumen dan menyebabkan kecemasan. 2.6. Kesadaran Harga Kesadaran harga terjadi saat konsumen memutuskan membeli sebuah barang dengan harga yang murah (Lichtenstein et al., 1993 dalam Wu, 2011). Hal ini terjadi karena konsumen tidak ingin membayar harga yang lebih mahal untuk suatu produk dengan karakteristik yang berbeda, namun belum mendapat kepastian mengenai baiknya kualitas yang akan dihasilkan oleh produk tersebut (Lichtenstein et al., 1993 dalam Wu, 2011). Untuk produk-produk tertentu,
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
konsumen cenderung menggunakan harga murah sebagai standar penilaian dalam melakukan pembelian (Wu, Yeh, & Hsiao, 2011). Konsumen dengan kesadaran harga yang tinggi akan menilai sebuah produk dari seluruh informasi dan atribut yang melekat pada produk tersebut kemudian membandingkan dengan harganya (Lichtenstein et al., 1993 dalam Palazon, 2009). Perilaku tersebut menyebabkan konsumen termotivasi untuk mengembangkan pengetahuan mengenai harga (Manning et al. 2003, dalam Palazon, 2009). Konsumen menghabiskan lebih banyak waktu berpikir tentang harga dan mendapatkan kepuasan melalui harga murah dan diskon (Palazon & Delgado, 2009). Namun, tidak semua produk diperlakukan dengan kesadaran harga yang tinggi. Kesadaran harga konsumen juga dibedakan dengan kategori produk. Sebagian konsumen mungkin memiliki kesadaran harga lebih tinggi atau lebih rendah dengan mempertimbangkan persepsi risiko terhadap produk-produk tertentu dan kepentingan masing-masing konsumen (Jin & Suh, 2005). 2.7. Niat Pembelian Niat dapat dianggap berawal dari kepercayaan, dimana objeknya adalah individu dan atributnya selalu merupakan sebuah perilaku. Dengan kata lain niat beli merupakan perilaku yang muncul sebagai respon dari objek. Niat untuk membeli sebuah produk dengan merek tertentu didasarkan pada sikap konsumen terhadap merek tersebut serta pengaruh normanorma sosial tentang apa yang orang lain harapkan (Fishbeinm & Ajzen, 1975). Niat pembelian merepresentasikan kemungkinan bahwa adanya keingin konsumen untuk membeli sebuah produk atau layanan jasa di masa yang akan datang. Peningkatan niat pembelian artinya peningkatan terhadap kemungkinan pembelian (Dodds et al., 1991; Schiffman and Kanuk, 2007 dalam
Wu, 2011). Niat pembelian digunakan juga sebagai indikator penting dalam memperkirakan perilaku konsumen. Ketika para konsumen memiliki suatu niat pembelian yang positif, hal ini dapat membentuk komitmen merek positif yang dapat mendorong para konsumen dalam mengambil langkah pembelian yang sesungguhnya (Fishbein dan Ajzen, 1975; Schiffman dan Kanuk, 2007 dalam Wu, 2011. 3. Metodologi Penelitian ini berupa penelitian kuantitatif yang menggunakan pendekatan penelitian eksploratif dan deskriptif. Sampel yang diikut sertakan sebanyak 181 responden dengan kriteria berdomisili di Jakarta dan pernah melakukan pembelian di Lotte Mart yang berlokasi di Jakarta. Metode pengambilan sampel dan data yang digunakan adalah metode non probability sampling. Dengan metode ini, tidak semua individu di dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi responden. Untuk metode pengolahan data yang digunakan adalah Structural Equation Model (SEM) yang diolah dengan aplikasi Lisrel. Total pertanyaan sebanyak 32 butir yang tertera pada Tabel 1. Sebelum dilakukan pengambilan sampel data dalam jumlah banyak, terlebih dahulu dilaksanakan pretest yang melibatkan 30 responden. Hasil dari pretest adalah bahwa indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian terbukti valid (dengan nilai KMO ≥ 0.5) dan realibel (dengan nilai Cronbach Alpha ≥ 0.6). Uji validitas dimaksudkan agar setiap butir indikator dapat mengukur apa yang seharusnya diukur atau dengan kata lain uji validitas adalah memastikan bahwa setiap butir dapat dijadikan sebagai alat ukur yang dapat memberikan informasi yang valid dari setiap variabel penelitian. Uji reliabilitas adalah mengukur konsistensi alat akur atau butir indikator dalam mengukur variabel.
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
Gambar 1: Model Penelitian Citra Toko H2
H1
Citra PLB
H8
H5
Persepsi Resiko
Kesadaran Harga
H7
H9
Niat Pembelian
H3 H6 Kualitas Pelayanan
H4
Sumber : Wu, Gary Yeong-Yuh Yeh dan Chieh-Ru Hsiao (2011).
3.1. Hipotesis Penelitian H1: Citra toko memiliki dampak yang positif terhadap citra PLB. H2: Citra toko memiliki dampak yang positif terhadap niat pembelian H3: Kualitas layanan memiliki dampak yang positif terhadap citra PLB. H4: Kualitas layanan memiliki dampak yang positif terhadap niat pembelian H5: Semakin baik citra PLB, akan semakin rendah persepsi risiko konsumen terhadap produk-produk PLB. H6: Semakin baik citra PLB, akan semakin tinggi niat pembelian para konsumen. H7: Persepsi risiko konsumen terhadap produk-produk PLB memiliki dampak yang negatif terhadap kesadaran harga dari para konsumen. H8: Persepsi risiko konsumen terhadap produk-produk PLB memiliki dampak yang negatif terhadap niat pembelian produk PLB. H9: Apabila kesadaran harga seorang konsumen meningkat, niat pembelian produk PLB juga akan ikut meningkat 3.2. Konstruk dan Penelitian
Indikator
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan data primer yang didapat dari data kuantitatif. Data kuantitatif didapatkan didapat dengan mengumpulkan data langsung dari responden, pengumpulan dilakukan dengan menyebarkan kuesioner di lapangan. Pernyataan dalam kuesioner diukur menggunakan skala likert yang terbagi atas tujuh tingkatan, mulai dari sangat negatif (1) sampai dengan sangat positif (7). Pengolahan data dengan menggunakan SEM membutuhkan konstruk variabel dan index untuk variabel dan dimensi yang digunakan. Metode SEM memiliki dua buah konstruk laten yang berinteraksi dalam model struktural yaitu konstruk eksogen yang terdiri dari citra toko dan kualitas pelayanan, serta konstruk endogen yang terdiri dari citra PLB, persepsi risiko, kesadaran harga dan niat pembelian. Di bawah ini adalah tabel indikator yang mewakili pernyataan-pernyataan yang diukur.
Konstruk
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
4. Hasil Analisis 4.1. Deskripsi Statistik Dari hasil deskripsi statistik data variabelvariabel penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa terjadi sentralisasi pada jawaban responden, dimana sebagian besar jawaban dari konsumen adalah 4 (netral) dan 6 (setuju). 4.2. Confirmatory Factor Analysis (CFA) Simultan Terdapat variabel yang memiliki dimensi dan diciptakan nilai Laten Variable Score (LVS) sebagai nilai yang mewakili indikator yang mengukur variabel tersebut. Pada penelitian ini variabel yang memiliki dimensi adalah kualitas layanan, citra PLB dan persepsi risiko. Setelah mendapatkan LVS
dilakukan CFA simultan terhadap seluruh indikator dalam penelitian, sehingga dapat diketahui hubungan antar variabel yang terlibat. Pemeriksaan CFA secara simultan melibatkan seluruh variabel penelitian. Pemeriksaan ini dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap hubungan kausal antara setiap variabel laten dengan dimensi/indikatornya. Pengolahan data dilakukan sebanyak dua kali karena terdapat indikator yang tidak valid yaitu Indikator pada Citra Toko (SI1, SI2, SI3, dan SI4). Untuk itu dilakukan pengolahan data kedua kalinya atau dikenal dengan respesifikasi dengan mengeluarkan indikator-indikator yang tidak valid. Hasil pengolahan data kedua menunjukkan bahwa seluruh indikator menghasilkan nilai yang valid dan realibel.
Tabel 1: Konstruk & Indikator Variabel Penelitian Konstruk
1.
2.
3.
Dimesi
Citra Toko StoreImage (SI)
Kualitas Layanan Service Quality (SQ)
Privat Label Brand (PLB)
Interaction Quality (INTR) Service EnvironmentQuality (ENVIR) OutcomeQuality (OUT)
Quality (QUAL)
Affection (AFF)
4.
Persepsi Resiko Perceived Risk (PR)
FinanceRisk (FINAN)
PerformaceRisk (PERF)
Indikator Konstruk
Notasi
1. Produk yang beragam 2. Produk mempunyai kualitas baik 3. Produk harganya murah 4. Nilai produk sesuai dengan harganya 5. Desain interior kenyamanan berbelanja 6. Mempunyai kesan yang baik 1. Pelayanan yang baik 2. Interaksi yang baik 3. Keadaan toko merupakan yang paling baik
SI1 SI2 SI3 SI4 SI5 SI6 SQ1 SQ2 SQ3
4. Keadaan toko dinilai baik
SQ4
5. Pengalaman belanja yang baik 6. Memiliki kesan yang baik 1. Banyak produk PLB yang dibeli ternyata cacat/rusak. (reverse question) 2. Kualitas buruk/cepat rusak. (reverse question) 3. Toko tidak cukup perduli tentang kualitas produk PLB (reverse question) 4. Menyukai produk 5. Puas dengan Produk 1. Pembelian produk merupakan cara yang buruk untuk menghabiskan uang 2. Pembelian produk hanya membuang uang saja 3. Rasa khawatir nilai yang diterima tidak sesuai dengan uang yang dikeluarkan 4. Bagaimana produk tersebut dapat diandalkan dikemudian hari 5. Apakah produk memberikan manfaat seperti yang diharapkan atau tidak
SQ5 SQ6
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
PLB1 PLB2 PLB3 PLB4 PLB5 PR1 PR2 PR3 PR4 PR5
Konstruk
Dimesi
Indikator Konstruk
PhysicalRisk (PHYS)
5.
6.
Kesadaran Harga Price Consciousness (PC) Niat Pembelian Purchase Intention (PI)
Notasi
6. Apakah produk tersebut benar-benar berfungsi seperti seharusnya atau tidak 7. Dampak buruk bagi kesehatan apa bila terlalu sering digunakan. 8. Efek samping penggunaan produk 9. Potensi resiko kesehatan yang mungkin disebabkan oleh produk. 1. Membeli harga yang paling murah yang sesuai dengan kebutuhan 2. Mencari merek termurah yang tersedia di toko. 3. Harga menjadi faktor yang paling penting saat memilih merek produk. 1. Mempertimbangkan untuk membeli produk. 2. Berniat untuk membeli produk PLB secara berkala 3. Berencana untuk membeli produk PLB lebih sering
4.3. Uji Kesesuaian Secara keseluruhan model CFA simultan yang merupakan hubungan kausal antara variabel laten dengan indikatornya dinyatakan layak. Data empiris yang disediakan dalam Tabel 2. Goodness of Fit, mampu mengkonfirmasi model pengukuran dengan baik. Dengan
PR6 PR7 PR8 PR9 PC1 PC2 PC3 PI1 PI2 PI3
kata lain, dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan model yang fit. Setelah diperoleh model CFA dengan uji kesesuaian yang baik maka selanjutnya adalah menguji model struktural.
Tabel 2: Goodness of Fit CFA Simultan Ukuran GoF Nilai Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square P-Value 0.000 < = 175.67 (P = 0.00) 0,05 Root Mean Square Error of Approximation 0.073 < 0.08 (RMSEA) = 0.073 Normed Fit Index (NFI) = 0.89 0.08 - 0.90 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.93 ≥ 0,90 Incremental Fit Index (IFI) = 0.95 ≥ 0,90 Relative Fit Index (RFI) = 0.86 0.08 - 0.90 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.89 ≥ 0,90 Adjusted Goodness of Fit Index(AGFI) = 0.84 0.80 - 0.90 Independence AIC = 1644.30 Nilai 267.67 (lebih Model AIC = 267.67 dekat dengan 272) Saturated AIC = 272.00 Independence CAIC = 1711.48 Nilai 460.80 (dekat Model CAIC = 460.80 dengan 843) Saturated CAIC = 843.00
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
Keterangan Poor Fit Good Fit Marginal Fit Good Fit Good Fit Marginal Fit Marginal Fit Marginal Fit Good Fit
Good Fit
4.4. Model Struktural Gambar 2: Model Persamaan Struktural Interaction
Citra PLB Environment
H1: 6.8 SI 5
Outcome
H5: -0.53 Citra Toko
SI 6
Finance Risk
H3 : 2.15 Persepsi Risiko
Performance Risk
Physical Risk
H7: 1.25
Quality
Affection
Kualitas Pelayanan
H6: 1.44 PC 1
H2: -0.85 Kesadaran Harga
H8: -3.52
PC 2
PC 3
H4 : 2.37 H9: 2.38 PI 1
PI 2
Niat Pembelian PI 3
Model persamaan struktural di atas menunjukkan hasil akhir dari penelitian ini. Dimana model ini menerima H1, H3, H4, H8 dan H9 namun menolak H2, H5, H6 dan H7. Pada hipotesis pertama terbukti bahwa citra toko memiliki dampak yang positif dan signifikan terhadap citra PLB. Berdasarkan tabel di atas, nilai t-statistik pada Citra Toko dan PLB lebih besar dari 1.96, yaitu 6,80. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara teori konsumen Lotte Mart terbukti menggunakan faktor image atau citra toko sebagai salah satu kunci untuk menilai produk PLB-nya. Hipotesis kedua tidak terbukti bahwa citra toko memiliki dampak positif terhadap niat pembelian. Ditolaknya hipotesis ini, dapat membuktikan bahwa Lotte Mart belum cukup membentuk sebuah citra toko yang langsung bisa memotivasi niat pembelian konsumen di toko tersebut. Lotte Mart memang sudah berhasil menciptakan citra yang baik di mata para konsumen melalui berbagai macam aspek positif yang mereka miliki. Namun, melalui penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa konsumen membutuhkan lebih dari sekedar citra
yang positif untuk memunculkan niat pembelian mereka pada sebuah toko. Pada hipotesis ketiga terbukti bahwa kualitas layanan memiliki dampak yang positif dan signifikan terhadap citra PLB dengan koefisien jalur 0.18 dan nilai t statistik lebih besar dari 1.96 yaitu 2.15. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kualitas layanan yang diterima atau dirasakan konsumen berpengaruh secara positif terhadap citra PLB dari toko tempat mereka berbelanja. Hipotesis keempat terbukti bahwa kualitas layanan memiliki dampak yang positif dan signifikan terhadap niat pembelian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas layanan mampu menjadi pemicu yang penting bagi konsumen untuk memunculkan niat pembelian. Dari Gambar 2 juga dapat menunjukkan kepada pemasar bahwa untuk meningkatkan citra terhadap PLB dapat secara langsung meningkatkan kualitas pelayanannya pula, yang mana juga akan meningkatkan niat pembelian terhadap produk PLB. Hipotesis kelima tidak terbukti bahwa semakin baik citra PLB, akan semakin rendah persepsi risiko konsumen terhadap produk-produk PLB. Pada kenyataanya
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
melalui penelitan ini, citra produk yang baik tidak mengurangi persepsi-persepsi risiko yang dimiliki konsumen terhadap penggunaan produk tersebut dikemudian hari. Hipotesis keenam tidak terbukti bahwa semakin baik citra PLB, akan semakin tinggi niat pembelian para konsumen. Sejalan dengan hipotesis kelima, citra PLB yang baik belum tentu mempengaruhi niat pembelian konsumen secara signifikan. Selain keraguan konsumen akan produkproduk PLB, kami menilai Lotte Mart belum dapat mempromosikan produkproduk PLB mereka dengan maksimal atau memang produk PLB yang dikeluarkan Lotte Mart kualitasnya belum bisa bersaing dengan merek nasional di mata konsumen. Hipotesis ketujuh tidak terbukti bahwa persepsi risiko konsumen terhadap produk-produk PLB memiliki dampak yang negatif terhadap kesadaran harga dari para konsumen. Dengan hasil seperti ini dapat disimpulkan bahwa tidak selalu persepsi risiko yang tinggi membuat kesadaran harga konsumen Lotte Mart menjadi berkurang. Kemungkinan hal ini dapat terjadi karena konsumen belum mengenal produk PLB Lotte Mart dengan baik sehingga menyebabkan persepsi risiko yang tinggi. Selain itu, sebagian besar produk PLB yang dijual bersaing dengan produk merek nasional yang sudah mereka kenal sehingga menimbulkan banyak pilihan bagi konsumen. Pilihan yang beragam inilah yang menyebabkan konsumen tetap memiliki kesadaran harga yang tinggi (Pandya & Joshi, 2011). Hipotesis kedelapan terbukti bahwa Persepsi Risiko konsumen terhadap produk-produk PLB memiliki dampak yang negatif dan signifikan terhadap niat pembelian produk PLB. Berlawanan dengan hipotesis ketujuh, dengan diterimanya hipotesis ini dapat disimpulkan bahwa konsumen Lotte Mart cenderung mengurangi niat belinya terhadap produk-produk PLB yang belum mereka kenal baik yang memunculkan persepsi risiko yang tinggi. Hipotesis kesembilan terbukti bahwa apabila kesadaran harga seorang konsumen meningkat, niat pembelian
produk PLB juga akan ikut meningkat. Apabila konsumen menerima informasi tentang suatu produk yang memungkinkan mereka untuk membuat kesimpulan tentang tingkat harga, kesadaran harga dapat mempengaruhi niat pembelian walaupun produk tersebut belum dikenal oleh konsumen (Hansen, 2012). Informasi tersebut didapatkan konsumen dari pengamatan langsung terhadap produk PLB di Lotte Mart, dimana produk-produk PLB yang dijual di Lotte Mart sebagian besar memang merupakan golongan produk yang bisa dikatakan persepsi risikonya rendah bagi konsumen. Hasil ini didukung juga dengan teori dari Burton et al (1998) bahwa kesadaran harga membentuk perilaku yang positif terhadap pembelian produk PLB. 5. Kesimpulan Penelitian ini telah menjawab tujuan dari penelitian ini, antara lain adalah sebagai berikut. Dalam penelitian ini citra toko terbukti memberikan pengaruh terhadap citra produk PLB, namun tidak terbukti meningkatkan niat beli konsumen terhadap produk PLB yang di jual di Lotte Mart. Pengaruh yang diberikan citra toko terhadap citra PLB cukup besar, namun belum berpengaruhi besar terhadap niat pembelian. Untuk kualitas pelayanan, terbukti dapat mempengaruhi secara positif baik untuk citra dan pembelian produk PLB di Lotte Mart. Dengan demikian kualitas layanan dinilai lebih efektif untuk membentuk citra dan meningkatkan niat pembelian produk PLB. Kualitas layanan yang memberikan pengaruh paling besar adalah lingkungan sekitar toko, sehingga kesimpulan yang dapat diambil bahwa untuk meningkatkan citra dan niat pembelian konsumen, pemasar harus meningkatkan kualitas layanan terutama dalam hal lingkungan tokonya. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa citra PLB yang baik belum tentu mengurangi persepsi risiko yang dirasakan oleh konsumen sehingga kurang berpengaruh pula terhadap niat pembelian produk PLB. Berdasarkan hasil penelitian ini, persepsi risiko tidak terbukti memiliki hubungan yang negatif dengan kesadaran
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
harga bagi konsumen Lotte Mart. Persepsi risiko terbukti memiliki dampak yang negatif terhadap niat pembelian produk PLB. Sementara dari segi kesadaran harga terbukti dengan adanya peningkatan kesadaran harga akan meningkatkan niat beli produk PLB. 6. Implikasi Manajerial Dalam penelitian ini, peneliti mengindentifikasi faktor apa saja yang berpengaruh positif kepada Lotte Mart. Penelitian ini mengindentifikasi bahwa indikator kualitas pelayanan lebih mempengaruhi citra dan niat pembelian produk PLB ketimbang indikator citra toko. Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa kualitas pelayanan dari segi lingkungan atau keadaan toko memberikan pengaruh paling besar terhadap niat beli konsumen. Untuk itu Lotte Mart harus terus meningkatkan kualitas pelayanan dengan lebih memperhatikan kondisi tokonya sebagai contoh kebersihan yang baik dan tata letak yang teratur. Hal-hal tersebut apabila dikelola dengan baik akan memberikan dampak yang positif bagi konsumen. Citra toko tetap harus dijaga dan ditingkatkan, karena bagaimanapun juga citra toko tetap menjadi kesan nyata dan paling awal yang diperoleh konsumen. Dari hasil ini Lotte Mart hendaknya lebih memperhatikan dan mengembangkan aspek-aspek pada kualitas pelayanan dan citra toko yang dapat memicu niat pembelian konsumen. Penting bagi Lotte Mart untuk melakukan promosi atau edukasi kepada konsumennya agar produknya semakin dikenal sehingga dapat mengurangi persepsi risiko yang dirasakan. Hal tersebut akan diiringi dengan niat pembelian yang meningkat serta profitabilitas kepada perusahaan. Produk PLB dengan harga yang murah dianggap memiliki kualitas yang rendah. Untuk itu Lotte Mart harus menunjukkan kualitas produk yang baik walaupun harga yang ditawarkan terbilang murah. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari rasa keraguan konsumen sehingga konsumen dapat lebih percaya dalam memilih produk PLB di kemudian hari.
7. Keterbatasan Penelitian Hasil dari penelitian ini tentunya jauh dari sempurna dan memiliki berbagai kekurangan sehingga memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan lebih lanjut. Untuk penelitian di masa mendatang dan juga untuk para akademisi. Penelitian ini tidak mengklasifikasikan secara khusus jenis produk PLB di Lotte Mart yang dipakai sebagai objek penelitian. Selain itu penelitian ini tidak memisahkan kelompok responden yang merupakan member dan yang bukan member Lotte Mart. Dan tidak melibatkan frekuensi kunjungan responden ke Lotte Mart, sehingga tidak dapat dibedakan mana responden yang rutin berbelanja, mana yang tidak rutin dan mana yang kunjungannya hanya sedikit di Lotte Mart. Hal ini dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap niat pembelian produk PLB konsumen. 8. Saran Penelitian selanjutnya mungkin dapat memisahkan responden yang frekuensi kunjungannya lebih sering dan yang tidak atau member dan non-member, sehingga mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Selain itu penelitian selanjutnya bisa menggunakan produk PLB yang lebih spesifik agar responden mendapat gambaran yang fokus saat mengisi kuesioner. Atau memberikan gambaran singkat mengenai definisi dan contohcontoh produk PLB yang dimaksud. Untuk menghindari sentralisasi data jawaban dari konsumen, dianjurkan untuk memakai skala Likert genap 1-4 atau 1-6. Penelitian selanjutnya mungkin dapat menambahkan variabel product familiarity seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Sheau-Fen, Sun-May, & Yu-Ghee (2012). Hal ini sangat berpengaruh terhadap niat pembelian karena dengan adanya product familiarity secara otomatis konsumen telah memiliki pengetahuan yang lebih baik terhadap produk. REFERENSI Aaker, D. (1991). Managing Brand Equity. New York: The Free Press.
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
About Us: Lotte Mart . (n.d.). Retrieved May 21, 2013, from Lotte Mart: http://www.lottemart.co.id Bank Mandiri Industry Update. (2012, Augustus). Retrieved from http://www.bankmandiri.co.id/indones ia/eriview-pdf/MIDL18009264.pdf Bergès Sennou, F., & Hassan, D. e. (2007). Consumers' decision between private labels and national brands in a retailer's store: a mixed multinomial logit application. I Mediterranean Conference of Agro-Food Social Scientists. 103rd EAAE Seminar ‘Adding Value to the Agro-Food Supply Chain in the Future Euromediterranean Space’. Barcelona, Spain. Berman, B., & Evans, J. R. (1992). Retail Management : a strategic approach (ed. 5). Macmillan Publishing Company. Burton, S., Lichtenstein, D. R., Netemeyer, R. G., & Garretson, J. A. (1998). A scale for measuring attitude toward private label products and an examination of its psychological and behavioral correlates. Academy of Marketing Science., 293. Doyle, P. (1994). Marketing Management & Strategy. Prentice Hall International. Dunne, P. M. (2008). Retailing. (Vol. 6). Thomson South-Western, China. Fishbeinm, M., & Ajzen, I. (1975). Beliefs, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research (ed.1). Ontario: Addison-Wesley Publishing Company. Fornell, C. (1992). A National Customer Satisfaction Barometer: The Swedish Experience . Journal Bussiness and Management, 6-21. Ghosh, A. (1992). Ritel management. Forth Worth. Ghozali, I. (2005). Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Ed: 3. Semarang: UNDIP. Gilbert, D. (2003). Retailing Marketing Management Second Edition. England: Pearson Educated Limited. Grewal, D., Krishnan, R., Baker, J., & Borin, N. (1998). The Effect of Store Name, Brand Name and Price Discounts on Consumer's Evaluation and Purchase Intentions. Journal of Retailing, 331.
Hansen,
H. (2012). Product Knowledge Affects Seafood Purchase Intentions. Global Aquaculture Advocate. Igbaria, M. N. (1997). Personal Computing Acceptable Factors in Small Firms : A structural equation model. MIS Quarterly. Indonesian Commercial Newsletter. (2011, June). DataCon. Retrieved from Perkembangan Bisnis Ritel Modern: http://www.datacon.co.id/Ritel2011ProfilIndustri.html Jin, B., & Suh, Y. G. (2005). Integrating effect of consumer perception factors in predicting private brand purchase in Korean discount store context. The Journal of Consumer Marketing, 62. Kapferer, J. N. (1997). Strategic Brand Manajemen (ed. 2). Dover, NH: Kogan page. Keller, K. L. (2003). (2002). Strategic brand management: Building, measuring, and managing brand equity. . London: Prentice-Hall International. Kotler, P. (2003). Marketing Management (ed.11). New Jersey: Prentice Hall. Kotler, P., & Armstrong, G. (2004). Principles of Marketing. 10th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Pearson Education, Inc. Lamb, C. W., Hair, J. F., & Mcdaniel, C. (2006). Pemasaran. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat. Levy, M., & Weitz, B. A. (2007). Retailing Management (ed. 6). New York: Mc Graw Hill. Lovelock, C., & Wirtz, J. (2011). Services Marketing: People, Technology, Strategy. New Jersey: Pearson. Lupiyoadi, R. (2013). Manajemen Pemasaran Jasa: Berbasis Kompetensi. Jakarta: Salemba Empat. Ma'aruf, H. (2006). Pemasaran Ritel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Malhotra, N. (2007). Marketing Research an Applied Orientation (ed. 5). New Jersey: Pearson Education. Munir, S. (2006, July Moday). SWA Sembada. Retrieved from SWA Sembada : Manajemen: http://202.59.162.82/sekunder/kolom/ manajemen/sdm/details.php?cid=2&id =216
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
Newman, A. J., & Cullen, P. (2002). Retailing: Environment & Operation. Padstow, Corwal: TJ International. Palazon, M., & Delgado, E. (2009). The moderating role of price consciousness on the effectiveness of price discounts and premium promotions. Journal of Product & Brand Management, 306– 312. Pandya, A. R., & Joshi, M. A. (2011). A Comparative Study on Consumers' Attitude Towards Private Labels: A Focus on Gujarat. UP Journal of Marketing Management, 19-34. Peter, J. P., & Olson, J. C. (2005). Consumer Behavior and Marketing Strategy. New York: The McGraw-Hill. Porter, M. E. (1996). "What Is Strategy?". Harvard Business Review 74, Vol. 6, 61-78. Purnomo, S. D., Serfiyani, C. Y., & Hariyani, I. (2013). Sukses Bisnis Ritel Modern. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Retail Industry. (n.d.). Retrieved from http://retailindustry.about.com Schiffman, L. G. (2004). Consumer Behavior (ed. 5). New Jersey: Pearson Prentice Hall. Setyawan, Ihwan, & A., A. (2004, ). Pengaruh Service Quality Perception terhadap Purchase Intentions: studi empirik pada konsumen supermarket. Sheau-Fen, Y., Sun-May, L., & Yu-Ghee, W. (2012). Store brand proneness: Effects of perceived risks, quality and familiarity. Australasian Marketing Journal, 48-58. Soliha, E. (2008, September). ANALISIS INDUSTRI RITEL DI INDONESIA. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), 15, 128 - 142.
Subagyo, P. J. (1997). Metode Penelitian: Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Sudarmono, F. (2013, June 10). Strategi Branding Private Label Lotte Mart. (A. Sibuea, Interviewer) Sulistiowati, T. (2012, August). Retrieved from kompas.com: http://properti.kompas.com/index.php/ read/2012/08/13/11313080/Lotte.Mart .Makin.Getol.Buka.Gerai.Baru Suliyanto, D. (2011). Ekonometrika Terapan: Teori & Aplikasi dengan SPSS. Yogyakarta: ANDI OFFSET. Thoyib, U. (1998). Retail Management: Manajemen Perdagangan Eceran. Yogyakarta: Ekonisia. Tjandrasa, B. B. (2006). POTENSI KEUNTUNGAN PRIVATE LABEL SERTA PROSES PEMILIHAN PRODUK DAN PEMASOKNYA PADA BISNIS RITEL. Jurnal Manajemen, 6. Tung-Zong Chang, A. R. (1994). Price, product information, and purchase intention: An empirical study. Journal of the Academy of Marketing Science, 16-27. Vahie, A., & Paswan, A. (2006). Private label brand image: its relationship with store image and national brand. International Journal of Retail & Distribution Management, pg. 67. Wijanto, S. (2008). Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8: Konsep dan Tutorial. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wu, P. C., Yeh, G. Y.-Y., & Hsiao, C.-R. (2011). The effect of store image and service quality on brand image and purchase intention. Australasian Marketing Journal, 30–39. Zeithaml, V., & Bitner, M. (1996). Service Marketing. New York: McGraw Hill.
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013