ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat)
Oleh ASRI YARSI A14302021
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
ASRI YARSI. Analisis Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja pada Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat). Di bawah bimbingan TANTI NOVIANTI. Pembangunan sektor pertanian pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian Indonesia. Sampai tahun 2004, sektor pertanian menyumbang 15,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku dan menyerap 40 persen tenaga kerja dari 100 juta angkatan kerja nasional. Sub sektor perkebunan memegang peranan yang penting dalam pembangunan pertanian terutama dalam penghasil devisa, penyerapan tanaga kerja dan kontribusi terhadap produk domestik bruto. Kelapa sawit sebagai salah satu komoditi andalan perkebunan Indonesia memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai penghasil devisa. Jumlah nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2004 terhadap nilai ekspor non migas mencapai 8 persen atau sebesar 54 milyar dolar Amerika. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) Mengkaji mekanisme pola kemitraan perkebunan yang diterapkan oleh PTPN VI dan PT BPP, (2) Menganalisis pendapatan usaha perkebunan yang diterima oleh petani plasma dan perusahaan inti (kebun inti dan pabrik kelapa sawit) PTPN VI dan PT BPP, (3) Menganalisis penyerapan tenaga kerja pada sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit ini, dan (4) Mengidentifikasi peran tenaga kerja kebun plasma dalam meningkatkan produksi kebun plasma. Sistem kemitraan perkebunan adalah kerja sama yang strategis antara perkebunan rakyat dan perkebunan besar dengan memperhatikan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Pola kemitraan yang diterapkan oleh PTPN VI adalah pola PIR-Bun yang dikenal dengan proyek NESP Ophir sedangkan pola kemitraan PT BPP adalah pola Bapak Angkat Anak Angkat yang dikenal dengan Plasma KKPA project. Pendapatan pada sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit berbeda-beda tergantung dari penerimaan yang diperoleh dan jumlah biaya yang dikeluarkan. Pendapatan kebun plasma dan kebun inti PTPN VI lebih tinggi dari PT BPP. Untuk pendapatan pabrik kelapa sawit, Pabrik kelapa sawit PT BPP memperoleh pendapatan yang lebih besar dari PTPN VI. Pendapatan pada kebun plasma PT BPP tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani peserta. Dari keseluruhan perhitungan rasio penerimaan terhadap biaya, diperoleh nilai R/C lebih besar dari satu yang berarti pelaksanaan usaha perkebunan kelapa sawit sudah efisien atas biaya yang dikeluarkan. Perhitungan R/C untuk PKS, PKS PT BPP lebih efisien dan lebih menguntungkan dari PKS PTPN VI.
Tenaga kerja yang terserap pada perusahaan PTPN VI adalah sebanyak 772 karyawan dan satu hektar kebun kelapa sawit PTPN VI pada periode tahun 2005 membutuhkan satu tenaga kerja. Tenaga kerja yang terserap pada PT BPP adalah sebanyak 1621 orang dan satu hektar kebun kelapa sawit PT BPP pada periode tahun 2005 membutuhkan 1,08 tenaga kerja. PT BPP lebih banyak menyerap tenaga kerja dalam masyarakat untuk usaha perkebunan yang dilakukan dari pada PTPN VI. Tenaga kerja kebun plasma sangat berperan dalam meningkatkan produksi kebun plasma. Hasil estimasi untuk regresi produksi perkebunan kelapa sawit kebun plasma diperoleh bahwa tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi kelapa sawit. Untuk setiap peningkatan penggunaan faktor produksi tenaga kerja satu HOK maka akan menyebabkan peningkatan produksi sebesar 0,788 ton. Dapat disimpulkan bahwa semakin banyak usaha perkebunan kelapa sawit maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Pola kemitraan yang dikembangkan harus ditujukan untuk menciptakan kemandirian petani plasma seperti yang dilakukan pada proyek NESP Ophir. Pembentukan dan pengelolan organisasi petani plasma/KPS/KUD harus atas partisipasi dari anggota yang pembinaannya dilakukan oleh perusahaan inti dan pemerintah. Kedua sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit baik proyek NESP maupun plasma KKPA project telah membuka kesempatan kerja yang cukup besar dalam masyarakat. Pola kemitraan dapat lebih banyak dikembangkan di daerah tetapi pelaksanaannya perlu dipantau oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perusahaan inti tidak boleh hanya memperkaya diri sendiri dan menggunakan kebun plasma sebagai jaminan bahan baku pabrik kelapa sawit. Harus diciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara petani plasma dan perusahaan inti.
ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat )
Oleh ASRI YARSI A14302021
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul
: Analisis Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja pada Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera barat)
Nama
: ASRI YARSI
NRP
: A14302021
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Tanti Novianti, SP. MSi NIP. 132 206 249
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat)” ADALAH BENAR-BENAR
HASIL
KARYA
SAYA
SENDIRI
DAN
TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. SKRIPSI INI BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2006
ASRI YARSI A14302021
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kapar pada tanggal 7 Agustus tahun 1984. Penulis adalah anak kedelapan dari delapan bersaudara pasangan Bahtiar dan Sariaman. Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 81 Sarik pada tahun 1990. Tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 2 Pasaman. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Pasaman dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2002. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini menjadi lebih baik.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur kepada ALLAH SWT atas rahmat, berkah, dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama masa perkuliahan dan juga dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu : 1. Keluarga besar tercinta, Ayahanda Bahtiar dan Ibunda Sariaman, Yarnalis, Yardinis, Yarnimas, Ali Uzmel, Arnita, Nurpima beserta keluarga dan kakakku tersayang Nursiwis atas semua do’a, kerja keras, kesabaran, dorongan, perhatian dan bantuan dalam meraih cita-cita penulis. 2. Tanti Novianti, SP. Msi sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan kesabarannya telah membimbing, mengarahkan, memberikan masukan, saran dan kritikan dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Ir. Nindyantoro, MSP dan A. Faroby Falatehan. SP, ME atas kesediannya menjadi dosen penguji utama dan dosen penguji wakil departemen. 4. Joni Fitrah atas segala bantuan dan dorongan kepada penulis, teman-teman EPS’39 dan all EPS’ers, teman-teman di Pondok Surya dan Astri 378, temanteman IMHP, anggota KKP Desa Ciparay Jampang Kulon, Rini dan Rinel serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas segala bantuan dan kebersamaannya selama ini. 5. Bapak Sar yang mau menjadi bapak angkat dan selalu membantu, keluarga besar PTPN VI dan PT BPP serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. i DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 5 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 8 1.4. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 9 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 10 2.1. Perkebunan .............................................................................. 10 2.2. Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan ..................................... 12 2.3. Tenaga Kerja ........................................................................... 17 2.3.1. Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja ..................... 18 2.3.2. Potret Tenaga kerja di Sektor Pertanian ......................... 19 2.4. Pendapatan Usaha ................................................................... 21 2.5. Penelitian Empiris Terdahulu .................................................. 23 BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................... 25 3.1. Pembangunan Perkebunan Rakyat dengan Kemitraan Usaha ....................................................................................... 25 3.2. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Pendapatan ..... 26 3.3. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Kesempatan Kerja ........................................................................................ 27 3.4. Kerangka Pemikiran Konseptual ............................................. 28
i
BAB IV. METODE PENELITIAN ............................................................. 30 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 30 4.2. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 30 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................... 31 4.3.1. Pendapatan Usaha Perkebunan ...................................... 31 4.3.2. Rasio Penerimaan dan Biaya .......................................... 33 4.3.3. Penyerapan Tenaga Kerja .............................................. 35 4.3.4. Peran Tenaga Kerja Kebun Plasma terhadap Produksi Kebun Plasma ................................................. 36 BAB V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ...................................... 40 5.1. PT Perkebunan Nusantara VI Persero (PTPN VI) Kebun Ophir ............................................................................ 40 5.1.1. Sejarah Ringkas ............................................................. 40 5.1.2. Pola PIR-Bun/NESP Ophir .......................................... 42 5.2. PT. Bakrie Pasaman Plantations (PT BPP) ............................. 47 5.2.1. Sejarah Ringkas ............................................................ 47 5.2.2. Pola Bapak Angkat Anak Angkat / Plasma KKPA Project .......................................................................... 49 BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 55 6.1. Pendapatan Usaha Perkebunan PTPN VI dan PT BPP ........... 55 6.1.1. Pendapatan Kebun Plasma ........................................... 55 6.1.2. Pendapatan Kebun Inti ................................................. 62 6.1.3. Pendapatan Kebun Plasma dan Kebun Inti .................. 66 6.1.4. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) ....................... 67 6.2. Analisis Imbangan Penerimaan terhadap Biaya (R/C) ........... 69 6.3. Penyerapan Tenaga Kerja ....................................................... 71 6.3.1. PTPN VI ......................................................................... 71 6.3.2. PT BPP ........................................................................... 73 6.4. Peran Tenaga Kerja Kebun Plasma terhadap Produksi Kebun Plasma. .......................................................... 74
ii
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 77 7.1. Kesimpulan ............................................................................ 77 7.2. Saran ....................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 80 LAMPIRAN ................................................................................................... 82
iii
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004 ................................. 2 2. Kontribusi Sub Sektor Tanaman Perkebunan terhadap Sektor Pertanian . dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004 ........................... 3 3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 1998-2003 ................................................................................................. 4 4. Potret Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2002-2009 ..................... 20 5. Perhitungan Pendapatan Usaha ................................................................. 34 6. Luas Lahan dan Tahun Tanam Kebun Inti dan Kebun Plasma PTPN VI .................................................................................................... 42 7. Total Biaya Tunai Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005 .......................... 56 8. Total Biaya Tidak Tunai Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005 ................ 58 9. Total Biaya Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005 ..................................... 59 10. Analisis Pendapatan Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Plasma Per 2 Ha Tahun 2005 .............................................................................................. 61 11. Total Biaya Tunai Kebun Inti 2 Ha Tahun 2005 ...................................... 63 12. Total Biaya Tidak Tunai Kebun Inti per 2 Ha Tahun 2005 ..................... 64 13. Total Biaya Kebun Inti per 2 Ha Tahun 2005 .......................................... 64 14. Analisis Pendapatan Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Inti Per 2 Ha Tahun 2005 ............................................................................................... 66 15. Analisis Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit Tahun 2005 ........................... 69 16. Nilai R/C Kebun Plasma, Kebun Inti dan Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PTPN VI dan PT BPP ........................................................ 70 17. Tenaga Kerja PTPN VI Periode Desember 2005 ..................................... 72 18. Hasil Estimasi Regresi Produksi Usaha Kebun Plasma ........................... 73
iv
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1. Bagan Kerangka Pemikiran Konseptual .................................................... 29
v
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. Pendapatan Rata-rata Petani Plasma Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005 per 2 Hektar ................................................................................................ 82 2. Pendapatan Rata-rata Kebun Inti Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005 per 2 Hektar ........................................................................... 83 3. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005 ........................... 84 4. Pendapatan Rata-rata Petani Plasma Perkebunan Kelapa Sawit PT BPP Tahun 2005 per 2 Hektar ............................................................................ 85 5. Pendapatan Rata-rata Kebun Inti Perkebunan Kelapa Sawit PT BPP Tahun 2005 per 2 Hektar ........................................................................... 86 6. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PT BPP Tahun 2005 ............................. 87 7. Data Produksi, Tenaga Kerja dan Modal Pada Kebun Plasma PTPN VI Bulan Desember 2005 ................................................................................ 88 8. Hasil Regresi Sederhana Faktor Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Plasma ............................................................................................ 89 9. Standar Tandan Buah Segar (TBS) Menurut Umur dan Kelas Lahan Menurut Pusat Penelitian Marihat Medan tahun 1997 .............................. 90
vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian Indonesia. Sampai tahun 2004, sektor pertanian menyumbang 15,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku dan menyerap 40 persen tenaga kerja dari 100 juta angkatan kerja nasional (BPS, 2005). Sektor
pertanian
menjadi
harapan
dalam
mengurangi
jumlah
pengangguran. Meskipun laju penciptaan kerja di sektor pertanian tidak setinggi sektor industri, tetapi fakta memperlihatkan bahwa sektor pertanian pada tahun 2002 mampu menciptakan kesempatan kerja bagi 40,63 juta orang. Sektor pertanian diharapkan dapat menyerap tambahan tenaga kerja sebanyak 1,4 juta selama periode 2005 – 2009, sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor ini 42,4 juta pada tahun 2009 (Rencana Tenaga Kerja Nasional, 2004 – 2009). Sektor pertanian mencakup sub sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan dan hasil-hasilnya. Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sudah mulai menurun, namun sektor ini tetap menjadi tumpuan dan harapan dalam penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari Tabel 1, pada tahun 2003 sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDB atas harga berlaku sebesar 15,93 persen dan pada tahun 2004 menurun menjadi 15,39 persen.
Tabel 1. Kontribusi Sektor Pertanian Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004 Tahun
Pertanian (Milyar Rp)
PDB (Milyar Rp)
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB (%)
2001
263.327,9
1.684.280,5
15,63
2002
298.876,8
1.863.274,7
16,04
2003
325.653,7
2.045.853,5
15,93
2004
354.453,3
2.303.031,5
15,39
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005
Sub sektor perkebunan memegang peranan yang penting dalam pembangunan pertanian terutama dalam penghasil devisa, penyerapan tanaga kerja dan kontribusi terhadap produk domestik bruto. Devisa yang dihasilkan dari sektor pertanian tahun 2004 sebesar 4.859 juta dolar Amerika, dan kontribusi dari sub sektor perkebunan sebesar 7.784 juta dolar Amerika (160,20 %). Pada tahun 2004, sub sektor perkebunan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 18,6 juta pekerja (45 %) dari 41,3 juta angkatan kerja di sektor pertanian (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005). Kontribusi sub sektor tanaman perkebunan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Tabel 2, tahun 2004 pendapatan nasional dari sub sektor perkebunan atas dasar harga berlaku sebesar 57.418,9 milyar rupiah yaitu menyumbang sebesar 2,49 persen terhadap PDB atau sebesar 16,20 persen terhadap sektor pertanian. Kontribusi ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2001 yang memberikan kontribusi sebesar 2,18 persen terhadap PDB dan 13,96 persen terhadap sektor pertanian. Peningkatan penerimaan dari sub sektor perkebunan ini disebabkan meningkatnya luas areal tanam dan peningkatan produktivitas perkebunan.
2
Tabel 2. Kontribusi Sub Sektor Tanaman Perkebunan Indonesia terhadap Sektor Pertanian dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2004
Tahun
Tanaman Perkebunan (Milyar Rp)
Pertanian (Milyar Rp)
PDB (Milyar Rp)
Kontribusi tanaman perkebunan terhadap sektor pertanian (%)
Kontribusi tanaman perkebunan terhadap PDB (%)
2001
36.758,6
263.327,9
1.648.280,5
13,96
2,18
2002
43.956,4
298.876,8
1.863.274,7
14,71
2,36
2003
48.829,8
325.653,7
2.045.853,5
14,99
2,39
2004
57.418,9
354.453,3
2.303.031,5
16,20
2,49
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005
Kelapa sawit sebagai salah satu komoditi andalan perkebunan Indonesia memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai penghasil devisa. Hasil olahan dari kelapa sawit yang diekspor adalah minyak sawit kasar (Crude Palm Oil/ CPO), minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO), inti sawit (Palm Kernel/PK). Jumlah nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2004 terhadap nilai ekspor non migas mencapai 8 persen atau sebesar 54 milyar dolar Amerika (Suharto, 2006). Perkebunan kelapa sawit merupakan perkebunan yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena, Pertama, kelapa sawit merupakan bahan baku dalam proses produksi minyak goreng sehingga dengan suplai yang berkesinambungan akan menghasilkan harga yang relatif stabil. Kedua, dalam proses pengolahan kelapa sawit dari hulu ke hilir membuka kesempatan kerja yang cukup besar. Ketiga, adanya potensi peningkatan konsumsi minyak dan lemak perkapita. Selama tahun 2005, minyak sawit telah menjadi minyak makan yang terbesar di dunia. Konsumsi minyak sawit dunia mencapai 26 persen dari total konsumsi minyak makan dunia (Suharto, 2006).
3
Komoditi kelapa sawit diusahakan oleh perusahaan dan perkebunan rakyat, namun lebih dari 60 persen produksi kelapa sawit berasal dari perusahaan perkebunan. Berdasarkan data BPS sampai tahun 2004, perkebunan kelapa sawit telah diusahakan oleh 889 perusahaan perkebunan. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 5.239.171 hektar, 1.827.844 hektar merupakan perkebunan rakyat, 645.823 hektar merupakan perkebunan negara dan 2.765.504 hektar adalah perkebunan milik swasta. Luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami pertumbuhan yang signifikan. Perkembangan luas lahan dan volume produksi kelapa sawit disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 1998-2003 Perkebunan Rakyat Tahun
Perkebunan Besar Negara
Perkebunan Besar Swasta
Total luas areal (Ha)
Luas areal (Ha)
Produksi (ton)
Luas areal (Ha)
Produksi (ton)
Luas areal (Ha)
Produksi (ton)
1998
890.506
1.344.569
556.640
1.501.747
2.113.050
3.084.099
3.560.196
1999
1.041.046
1.547.811
576.999
1.468.949
2.283.757
3.438 830
3.901.802
2000
1.166.758
1.905.653
588.125
1.460.945
2.403.194
3.633.901
4.158.077
2001
1.561.031
2.798.032
609.947
1.519.289
2.542.457
4.079.151
4.713.453
2002
1.808.424
3.426.740
631.566
1.607.734
2.627.068
4.587.871
5.067.058
2003
1.827.844
3.645.942
645.823
1.543.528
2.765.504
4.627.744
5.239.171
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005
Kebijakan
pengembangan
kelapa
sawit
perlu
diarahkan
pada
pengembangan usaha kelapa sawit rakyat, agar terjadi keseimbangan arus modal yang selama ini banyak dikuasai oleh pihak swasta dan pemerintah. Sebelum tahun 1979, hanya pemerintah dan perusahaan besar swasta yang memiliki perkebunan kelapa sawit. Sejak saat itu kebijakan pemerintah menfokuskan pada pengembangan
perkebunan kelapa sawit
4
rakyat
melalui kemitraan dengan
perkebunan besar. Pola pengembangan perkebunan rakyat khususnya kelapa sawit dilakukan dengan berbagai metode antara lain dengan : (1) Program Inti Plasma yang dikenal dengan Perkebunan Inti Rakyat/PIR, (2) Program Rehabilitasi Tanaman Ekspor/PRPTE, (3) Unit Pelayanan dan Pengembangan (UPP) Berbantuan, Swadaya Berbantuan dan dengan Swadaya Murni, dan (4) Program Anak Bapak Angkat. Pola inti plasma memiliki berbagai tipe antara lain PIR-Bun dan PIR Trans (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1999). Berdasarkan kondisi tahun 2000, setiap hektar perkebunan kelapa sawit rata-rata menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 0,67 tenaga kerja dan setiap 6000 hektar kebun kelapa sawit membutuhkan pabrik kelapa sawit/PKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam yang menampung tenaga kerja sekitar 150 orang (Direktorat Jendral Perkebunan, 2000). Dari data tersebut berarti setiap hektar kebun kelapa sawit menampung tenaga kerja langsung sebanyak 0,695 orang (termasuk tenaga kerja pabrik). Luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia sampai tahun 2003 mencapai 5.239.171 hektar yang berarti dapat menampung tenaga kerja sejumlah 3.641.224 orang.
1.2. Perumusan Masalah Pemerintah sudah sejak lama melakukan berbagai upaya dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit karena dengan pembangunan perkebunan akan mendorong pertumbuhan wilayah. Salah satu usaha penelitian perencanaan pengembangan wilayah yang dilakukan adalah pada tahun 1970 oleh agricultural development project dengan dukungan biaya dari pemerintah Jerman Barat. Hasil penelitiannya menentukan wilayah Pasaman Barat menjadi salah satu
5
wilayah harapan di masa datang dan potensial untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit (Muchtar, 1987). Perkebunan rakyat berkembang dalam kondisi dengan berbagai kelemahan namun mempunyai peranan yang strategis sebagai sumber pendapatan petani dan penghasilan devisa. Perkebunan rakyat mengalami keadaan yang sudah merupakan lingkaran setan yaitu antara harga yang rendah, rendahnya mutu, rendahnya produksi, menurunnya pendapatan, dan seterusnya. Untuk itu, kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan perkebunan menempatkan perkebunan rakyat sebagai sasaran utama dan perkebunan besar sebagai pendukung yang dikenal dengan sistem kemitraan usaha. Upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui pola kemitraan seperti : (1) Perkebunan Inti Rakyat, (2) Bangun Operasi Transfer, (3) Kerja Sama Operasional, (4) contrack Farming, dan (5) Dagang umum. Pola kemitraan di bidang pekebunan telah dilakukan sebelum memasuki PJP I. Pola kemitraan yang ada saat ini merupakan kelanjutan, peningkatan, perluasan, penataan, dan pemantapan dari kerjasama kemitraan sebelumnya. Sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit diarahkan untuk dapat mengembangkan perkebunan kelapa sawit berorientasi pasar, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani, serta mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan kerja. Pola kemitraan perkebunan kelapa sawit yang dicetuskan oleh pemerintah tidak selamanya memberikan keuntungan. Berdasarkan penelitian WALHI tahun 2005, pola kemitraan tidak selamanya menguntungkan petani dan masyarakat
6
sekitar. Penelitian di Ngabang, Pontianak oleh Daliman (WALHI)1 menyimpulkan bahwa penghasilan petani plasma tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum seorang pekerja (tidak termasuk keluarganya), yakni rata-rata perbulan hanya Rp 148.500,00 perkapling. Selain itu, petani plasma diberbagai tempat di Indonesia memiliki produktivitas kebun yang rendah karena perkebunan kelapa sawit menggunakan input teknologi yang tidak dikuasai petani dan kurangnya pembinaan dari pemerintah dan perusahaan inti. Pemasaran TBS petani plasma yang hanya kepada perusahaan inti menyebabkan posisi tawar petani rendah. PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN VI) adalah perusahaan besar negara pertama dan satu-satunya di Kabupaten Pasaman Barat. PTPN VI kebun Ophir merupakan proyek pengembangan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun) yang dilaksanakan pada tahun 1981. Proyek PIR ini ternyata membuahkan hasil yang luar biasa karena dapat meningkatkan pendapatan petani dan menciptakan sentra-sentra pembangunan sosial ekonomi baru dalam pengembangan wilayah. Keberhasilan PTPN VI dalam usaha perkebunan kelapa sawit diikuti dengan berdirinya perusahaan-perusahaan perkebunan swasta di Kabupaten Pasaman Barat. PT Bakrie Pasaman Plantation (PT BPP) merupakan salah satu perkebunan besar swasta
di Kabupaten Pasaman Barat yang memiliki areal perkebunan
kelapa sawit terluas. PT BPP melaksanakan pola kemitraan dengan masyarakat sekitar dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit yang dilakukannya. Sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasaman Barat dilakukan oleh dua perusahaan inti yaitu perusahaan besar negara dan perusahaan besar swasta. Adanya dua perusahaan inti yang melakukan pola
1
www. walhi. co.id.
7
kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit maka dapat dibandingkan pola kemitraan antara kedua perusahaan inti yang dapat dilihat dari mekanisme penerapan pola kemitraan, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja yang terjadi dalam pola kemitraan. Dari kondisi di atas maka masalah yang ingin dikaji dalam rangka mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasaman Barat adalah : 1. Bagaimana mekanisme pola kemitraan perkebunan yang diterapkan oleh PTPN VI dan PT BPP ? 2. Bagaimana pendapatan yang diterima oleh petani plasma dan perusahaan inti (kebun inti dan pabrik kelapa sawit) PTPN VI dan PT BPP ? 3. Seberapa besar penyerapan tenaga kerja pada sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit ini ? 4. Sejauh mana peran tenaga kerja kebun plasma dalam meningkatkan produksi kebun plasma ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengkaji mekanisme pola kemitraan perkebunan yang diterapkan oleh PT Perkebunan Nusantara VI dan PT Bakrie Pasaman Plantation. 2. Menganalisis pendapatan usaha perkebunan yang diterima oleh petani plasma dan perusahaan inti (kebun inti dan pabrik kelapa sawit) PTPN VI dan PT BPP.
8
3. Menganalisis penyerapan tenaga kerja pada sistem kemitraan
usaha
perkebunan kelapa sawit ini. 4. Mengidentifikasi
pengaruh
tenaga
kerja
kebun
plasma
dalam
meningkatkan produksi kebun plasma. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam bidang studinya. 2. Memberikan informasi kepada perusahaan maupun pemerintah dalam membuat kebijakan dan pengembangan pola kemitraan dimasa yang akan datang. 3. Sebagai informasi bagi petani untuk memutuskan keikutsertaan dalam pola kemitraan yang dilaksanakan. 4. Memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan pihakpihak lain yang membutuhkan.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Fokus dari penelitian adalah pendapatan dan penyerapan tenaga keja kebun plasma, kebun inti, dan pabrik kelapa sawit PTPN VI dan PT BPP. Pendapatan kebun inti dan kebun plasma dihitung per kapling (luas lahan 2 hektar) sedangkan pendapatan pabrik kelapa sawit dihitung secara keseluruhan. Data yang digunakan adalah data pada tahun 2005. Kedua perusahaan ini memiliki perbedaan waktu, PTPN VI dibangun tahun 1980 sedangkan PT BPP pada tahun 1989. Penelitian ini hanya menganalisis pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2005 tanpa melihat perbedaan waktu berdirinya perusahaaan dan waktu pelaksanaan proyek kemitraan.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkebunan Usaha perkebunan terdiri dari usaha budidaya perkebunan dan usaha industri perkebunan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107 Kpts II Tahun 1999, Usaha budidaya perkebunan adalah serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman perkebunan yang meliputi kegiatan pra tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pemanenan termasuk perubahan jenis tanaman. Usaha industri perkebunan merupakan serangkaian kegiatan pengolahan produksi tanaman perkebunan yang bertujuan untuk memperpanjang daya simpan atau meningkatkan nilai tambah, sebagai contoh dari usaha lndustri perkebunan adalah ekstraksi kelapa sawit, industri gula pasir dari tebu, teh hitam dan teh hijau, lateks dan lain sebagainya. Pengusahaan tanaman perkebunan di Indonesia dilakukan oleh perkebunan rakyat
dan perkebunan besar yang terdiri dari perkebunan besar swasta dan
perkebunan besar negara (PNP/PTP/BUMN). Menurut BPS (2005) perkebunan besar adalah usaha perkebunan yang dilakukan oleh badan usaha dan badan hukum diatas tanah negara yang mendapat izin dari instansi yang berwenang, diluar batasan tersebut merupakan perkebunan rakyat. Perkebunan besar memiliki ciri-ciri usaha antara lain : (1) Merupakan bentuk usaha pertanian berskala luas dan kompleks, (2) Menggunakan areal pertanahan yang luas, (3) Bersifat padat modal, (4) Menggunakan tenaga karja yang cukup besar, dengan pembagian kerja yang dirinci dan struktur hubungan kerja yang rapi, (5) Menggunakan teknologi
11
modern, dan (6) Berorientasi pada pasar. Hal ini berbeda sekali dengan perkebunan rakyat dengan ciri-ciri usaha sebagai berikut : (1) Bentuk usahanya kecil, (2) Penggunaan lahan terbatas, (3) Tidak padat Modal, (4) Sumber tenaga kerja terpusat pada anggota keluarga, dan (5) Lebih berorientasi pada kebutuhan subsisten (Mubyarto, 1992). Pembangunan perkebunan merupakan salah satu alternatif aktivitas dalam pemberdayaan masyarakat. Peranan pembangunan perkebunan di negara Indonesia menurut Siahaan (1995) adalah : 1. Menaikkan penerimaan devisa dan pendapatan negara. 2. Penyediaan lapangan pekerjaan/sumber mata pencaharian dan lapangan usaha. 3. Turut membantu dan melaksanakan kelestarian alam yang lebih terjamin. 4. Membantu usaha pemerintah dalam bidang kegiatan lainnya seperti tranmigrasi, pengaturan pemilikan tanah, penggalakan koperasi, penataaan desa dan sebagainya 5. Menciptakan iklim yang baik bagi pertumbuhan Indonesia. 6. Turut menciptakan pembangunan/pertumbuhan ekonomi ”growth centre” baru. Kebijakan pembangunan perkebunan oleh pemerintah difokuskan untuk mengembangkan perkebunan rakyat yaitu dengan pola kemitraan dengan perkebunan besar. Dalam pelaksanaan pola kemitraan ini, petani tergabung dalam suatu kelembagaan petani misalnya koperasi yang akan memperjuangkan hak-hak mereka. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107 Kpts II Tahun 1999 ketentuan mengenai pola usaha perkebunan adalah :
11
12
a. Pola koperasi usaha perkebunan yaitu pola pengembangan yang sahamnya 100 persen dimiliki oleh koperasi usaha perkebunan. b. Pola patungan koperasi dan investor yaitu pola pengembangan yang sahamnya 65 persen dimiliki koperasi dan 35 persen dimiliki investor/perusahaan. c. Pola patungan investor dan koperasi yaitu pola pengembangan yang sahamnya 80 persen dimiliki investor/perusahaan dan minimal 20 persen dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap. d. Pola BOT (Build, Operate and Transfer) yaitu pola pengembangan dimana pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi. e. Pola BTN yaitu pola pengembangan dimana investor/perusahaan membangun kebun dan atau pabrik yang kemudian akan dialihkan kepada peminat/pemilik yang tergabung dalam koperasi.
2.2. Sistem Kemitraan Usaha Perkebunan Landasan pengembangan kemitraan di bidang pertanian dalam Undangundang No. 12 Tahun 1992 telah menetapkan : 1. Pasal 47 ayat 3 ”Badan usaha diarahkan untuk kerjasama secara terpadu dengan masyarakat petani dalam melakukan usaha budidaya tanaman”. 2. Pasal 47 ayat 4 ” Pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk pengembangkan kerjasama dengan petani”. 3. Pasal 49 ” Pemerintah membina usaha lemah serta mendorong dan membina terciptanya kerjasama yang serasi dan saling menguntungkan antara pengusaha lemah”.
12
13
Istilah kemitraan berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 1995 yaitu kerja sama antara usaha kecil dan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Pola kemitraan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil atau koperasi dapat dilakukan melalui berbagai bentuk. Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995, kemitraan dilaksanakan dengan pola : 1. Inti-Plasma Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha menengah atau usaha besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma. Perusahaan inti melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi. 2. Subkontrak Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar sebagai bagian dari produksinya. 3. Dagang Umum Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha
menengah atau besar
memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya. 4. Waralaba Hubungan kemitraan yang didalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya disertai bantuan bimbingan manajemen.
13
14
5. Keagenan Hubungan kemitraan yang didalamnya usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa mitranya. 6. Bentuk-bentuk lain atau pola kemitraan yang belum di bakukan. Sistem kemitraan perkebunan adalah kerja sama yang strategis antara perkebunan rakyat dan perkebunan besar dengan memperhatikan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemitraan usaha perkebunan mengacu pada terciptanya keseimbangan, keselarasan, keterampilan, dan interpendesi yang dilandasi saling percaya dengan keterbukaan (Daim, 2003). Menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1995 selama kerja sama ini berlangsung maka seharusnya yang terjadi dalam suatu pola kemitraan usaha adalah : a. Proses transfer teknologi. b. Proses transfer manajemen. c. Adanya jaminan terhadap resiko produksi. d. Adanya jaminan modal. e. Adanya jaminan pasar f. Adanya jaminan peningkatan kesejahteraan atau asset dari mitra usaha g. Adanya pengurangan tingkat ketergantungan mitra usaha. Bentuk-bentuk pola kemitraan perkebunan menurut Daim (2003) : 1. Perkebunan Inti Rakyat (PIR) PIR adalah perusahaan yang melakukan tugas perencanaan, bimbingan dan pelayanan sarana produksi, kredit pengolahan hasil dan pemasaran hasil bagi usaha tani yang dibimbingnya (plasma) sambil mengusahakan usahatani yang
14
15
dimiliki dan dikelola sendiri. Pola PIR diarahkan pada wilayah-wilayah yang mempunyai aksesibilitas rendah (remote). Menurut sumber dananya pola PIR/NES (Perkebunan Inti Rakyat/Nucle Estate and small hiolder project) terbagi atas : a. PIR Swadaya PIR ini dibiayai sepenuhnya dari dana dalam negeri yang terdiri dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan kredit perbankan. Contohnya PIRlokal dan PIR-khusus. b. PIR –NES Perbantuan PIR ini dibiayai dari sumber dana dalam negeri yang dilengkapi dengan sumber dana dari kerjasama/bantuan negara atau badan luar negeri. Konsep ini melahirkan PIR-Bun. 2. Bangun Operasi Transfer (BOT) Pola pengembangan dimana pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi/petani. 3. Kerjasama Operasional (KSO) Kerjasama yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan operasional bapak angkat, tetapi tidak terlalu mengikat kepastian pemakaian barang/bahan yang dipasok mitra usahanya. Pola keterkaitan ini banyak dilakukan perusahaan besar dan menengah yang membutuhkan berbagai macam bahan dan barangbarang dalam manajemen usahanya.
15
16
4. Contrack Farming (CF) Contrack farming merupakan suatu pola dimana petani melalui wadah kelompok tani atau gabungan kelompok /KUD membuat perjanjian kontrak penjualan dengan perusahaan prosesor/eksportir. Dalam perjanjian kontrak tersebut tertulis jumlah, mutu dan penyerahan barang serta harga yang telah disepakati bersama antara petani/kelompok tani/KUD dengan perusahaan pembeli. 5. Dagang Umum (DU) Kemitraan pola dagang umum adalah kemitraan yang terjadi pada tingkat pemasaran. Pada dasarnya dalam pola ini perusahaan besar berperan sebagai pemasar produk yang dihasilkan oleh perusahaan kecil. Latar belakang timbulnya kemitraan pola ini adalah adanya kepentingan bisnis antar kedua belah pihak yang bermitra. Berdasarkan bentuk pola kemitraan seperti pola PIR, BOT, KSO, CF dan DU, dalam memilih pola kemitraan harus tetap sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan perkebunan yang berkaitan dengan kesempatan kerja, pemasok bahan baku industri, peningkatan produktivitas, peningkatan pendapatan. Perlu pula diperhatikan kelemahan petani yang umumnya meliputi teknologi, modal, akses pasar, pengolahan hasil, SDM, kelembagaan dan produktivitas. Berdasarkan berbagai faktor tersebut maka dapat disarankan bahwa kemitraan pola PIR lebih tepat untuk terus dikembangkan pada pembangunan dibidang perkebunan. Dengan adanya kemitraan usaha seperti itu diharapkan mengangkat perkebunan rakyat menjadi pilar pembangunan ekonomi karena kelemahan mendasar petani pekebun adalah modal, teknis dan manajemen. Melalui sistem
16
17
kemitraan akan tercipta transfer pengetahuan dari perkebunan besar dan membuka akses bagi perkebunan rakyat ke sumber permodalan dan pasar. Keuntungan bagi perkebunan besar adalah memperoleh kontinuitas produksi atau meningkatnya kapasitas yang lebih besar. Sistem kemitraan usaha perkebunan diharapkan menciptakan keterkaitan usaha yang dilaksanakan melalui kegiatan pembinaan dan pengembangan dalam bidang produksi, pengolahan, pemasaran, permodalan, teknologi dan sumberdaya manusia.
2.3. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang unik. Tenaga kerja berbeda dengan faktor produksi lainnya seperti modal. Perbedaan yang utama adalah sumberdaya tenaga kerja tidak dapat dipisahkan secara fisik dari tenaga kerja itu sendiri. Tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga (Simanjuntak, 1998). Besarnya suplai tenaga kerja dalam masyarakat adalah jumlah yang menawarkan jasanya untuk proses produksi. Diantara tenaga kerja ini sebagian sudah aktif dalam kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa yang dinamakan dengan golongan yang bekerja (employed persons). Sebagian lainnya tergolong yang siap bekerja atau sedang berusaha mencari pekerjaan yang dinamakan pencari kerja atau pengangguran. Jumlah orang yang bekerja tergantung dari besarnya permintaan atau demand dalam masyarakat. Permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan tingkat upah.
17
18
2.3.1. Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja Penawaran tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah satuan pekerja yang disetujui oleh pensuplai untuk ditawarkan (Ananta, 1990). Sedangkan menurut Simanjuntak (1998) penyediaan tenagakerja merupakan sejumlah usaha atau jasa yang tersedia dalam masyarakat untuk mengahasilkan barang dan jasa. Jumlah satuan pekerja yang ditawarkan tergantung pada (1) Besarnya jumlah penduduk, (2) Persentase penduduk yang memilih berada dalam angkatan kerja, dan (3) Jam kerja yang ditawarkan oleh peserta angkatan kerja. Ketiga komponen ini dipengaruhi oleh upah pasar. Perusahaan merupakan unit ekonomi yang berkecimpung dalam produksi dimana produksi merupakan transformasi dari input (faktor produksi) ke dalam output. Permintaan perusahaan akan input merupakan suatu permintaan turunan (devired demand) yang diperoleh dari permintaan konsumen terhadap produk perusahaan. Fungsi perusahaan cukup bervariasi, meliputi memaksimumkan keuntungan dan memaksimumkan penjualan atau perilaku untuk memberikan kepuasan pada konsumen, namun maksimisasi keuntungan sering dijadikan dasar dalam menentukan penggunaan tenaga kerja. Pengusaha harus membuat pilihan mengenai input (tenaga kerja dan input lainnya) serta output (jenis dan jumlah) dengan kombinasi yang tepat agar diperoleh keuntungan maksimal. Besarnya permintaan perusahaan akan tenaga kerja pada dasarnya tergantung pada besarnya permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan tersebut. Fungsi permintaan tenaga kerja biasanya didasarkan pada teori neoklasik mengenai marginal physical product of labor (VMPL). Dengan asumsi perusahaan beroperasi pada sistem persaingan, maka
18
19
perusahaan cenderung untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja. VMPL menunjukkan tingkat upah maksimum yang mau dibayarkan oleh perusahaan agar keuntungan perusahaan maksimum. Berlawanan dengan fungsi penawaran tenaga kerja, maka permintaan terhadap tenaga kerja berkurang bila tingkat upah naik. Besarnya elastisitas permintan tenaga kerja tergantung pada : (1) Kemungkinan subsitusi tenaga kerja dengan faktor produksi yang lain, (2) Elastisitas permintaan terhadap barang yang dihasilkan, (3) Proporsi biaya karyawan terhadap seluruh biaya produksi, dan (4) Elastisitas persediaan faktor produksi pelengkap lainnya.
2.3.2. Potret Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tenaga kerja di sektor pertanian adalah tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan pertanian dalam arti luas yang meliputi usahatani, peternakan, nelayan, petani tambak baik sektor buruh maupun pengelolaan usahatani. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2000 adalah 40.970.856 orang (BPS, 2000). Berdasarkan bidang usaha, sektor pertanian dibagi atas subsektor tanaman pangan/palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan, mixed farming, jasa pertanian, perikanan, dan kehutanan. Dilihat dari jumlah tenaga kerja yang terlibat, sektor pertanian paling dominan dalam menciptakan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, kesempatan kerja yang diciptakan di sektor pertanian sebanyak 40,63 juta orang (44,34%). Sebagian besar tenaga kerja pertanian berada pada sub sektor tanaman pangan/palawija, hortikultura, dan perkebunan, yang jumlahnya
19
20
pada tahun 2002 mencapai 34,9 juta orang atau 84,15 persen dari total tenaga kerja pertanian di luar perikanan dan kehutanan (39.173.283 jiwa) Tabel 4. Potret Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2002-2009 3 No 1
Uraian Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian a. Tahun 2002 b. Tahun 2009 (perkiraan) 2 Sebaran TK menurut sub sektor tahun 2002 a. Tan.pangan/palawija/hortikultura/perkebunan b. Peternakan c. Mixed farming d. Jasa pertanian Total (tidak termasuk perikanan, kehutanan) 3 Angka produktivitas sektor Pertanian a. Tahun 2002 b. Tahun 2003 4 Sebaran TK menurut umur tahun 2002 a. 10 - 24 b. 25 - 44 tahun c. > 45 th 5 TK Pertanian menurut tingkat pendidikan tahun 2002 a. < SD b. SLTP c. SLTA d. PT 6 Curahan jam kerja tahun 2002 a. Kurang 35 jam/mg b. Lebih 35 jam/mg 7 Peningkatan Jumlah RT pertanian tahun 2002 a. Jawa b. Luar Jawa c. Indonesia 8 Penduduk miskin bekerja di sektor pertanian a. Tahun 2002 b. Tahun 2003 9 Setengah Penganggur di Sektor pertanian Tahun 2002 Sumber : Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009
Keterangan 40,634 juta (44,3 %) 42,4 Juta 34.921.185 (84,15%) 2.706.135 (6,91%) 601.665 (1,53%) 944.298 (2,41%) 39.173.283 Rp. 1,69 juta/orang Rp. 1,68 juta/orang 6.184.551 (16%) 18.128.777 (46%) 14.859.955 (38%) 38.210.995 (81,68%) 5.028.849 (12,84%) 2.042.619 (5,21%) 107.226 (0,27%) 23.268.178 (59%) 15.905.105 (41%) 1,97% 2,74% 2,31% 20.604.600 (57,8%) 22.250.600 (59,6%) 70,2%
Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian adalah yang paling rendah dibandingkan dengan sektor lain. Pada tahun 2002 produktivitas sektor pertanian bernilai 1,68 juta rupiah per orang dan pada tahun 2003 nilainya turun menjadi 1.68 juta rupiah per orang. Angka produktivitas sektor pertanian ini sangat rendah 3
www.nakertrans.go. id
20
21
jika dibandingkan dengan sektor pertambangan, listrik, gas dan air yang angka produktivitasnya mencapai Rp 54,94 juta per orang (Soegiharto, 2004). Angka produktivitas tersebut mengandung arti bahwa kondisi pekerja di sektor pertanian sangat memprihatinkan dan dapat pula dikatakan bahwa sektor pertanian saat ini dalam kondisi yang sudah jenuh terhadap kesempatan kerja. Rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian dipengaruhi oleh kondisi umur, tingkat pendidikan, curahan jam kerja, dan luas garapan petani. Sebaran tenaga kerja pertanian (di luar perikanan dan kehutanan) berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa, sebagian besar berada pada umur 25-44 tahun (46%), kemudian kelompok umur diatas 45 tahun (38%), dan kelompok umur kurang dari 25 tahun (16%). Mengamati komposisi umur tenaga kerja tersebut dikhawatirkan di masa depan akan kekurangan tenaga kerja pertanian. Sektor pertanian menunjukan trend aging agriculture , yaitu suatu kondisi dimana tenaga kerja yang berada di pertanian adalah tenaga kerja yang berusia lanjut. Tenaga kerja pertanian sampai saat ini masih didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah, yang jumlahnya mencapai 81 persen dari tenaga kerja pertanian.
2.4. Pendapatan Usaha Usahatani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produksi dilapangan pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Pendapatan merupakan balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi. Pendapatan usaha adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya yang telah dikeluarkan (Soekartawi, 1995). Besarnya pendapatan yang diterima
21
22
merupakan balas jasa atas tenaga kerja, modal yang dipakai, dan pengelolaan yang dilakukan. Balas jasa yang diterima pemilik faktor produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu misalnya satu musim tanam atau satu tahun. Pendapatan usaha yang diterima berbeda untuk setiap orang, perbedaan pendapatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini ada yang masih dapat diubah dalam batas-batas kemampuan petani atau tidak dapat diubah sama sekali. Faktor yang tidak dapat diubah adalah iklim dan jenis tanah. Beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan dan dapat dilakukan perbaikan untuk meningkatkan pendapatan adalah luas lahan usaha, efisiensi kerja, dan efisiensi produksi. Luas rata-rata usahatani di Indonesia amat kecil hal ini merupakan salah satu penghambat untuk mengadakan perubahan dalam memilih jenis tanaman dan menggunakan alat mekanis. Efisiensi kerja yang merupakan jumlah pekerjaan produktif yang berhasil diselesaikan oleh seorang pekerja. Umumnya makin tinggi efisiensi kerja makin tinggi pendapatan petani. Meningkatkan pendapatan melalui peningkatan efisiensi produksi dapat dilaksanakan dengan perbaikan cara-cara berusahatani, makin tinggi efisiensi produksi maka makin tinggi pendapatan usahatani (Soehardjo dan Patong, 1973). Analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usahatani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur keberhasilan dari usaha yang dilakukan. 2.5. Penelitian Empiris Terdahulu
22
23
Secara umum penelitian terhadap analisis pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk mengetahui apakah pola kemitraan ini menguntungkan petani atau tidak. Oleh karena itu akan dilihat penelitian-penelitian sejenis pada komoditas kelapa sawit. Menurut Muchtar (1987), dari penelitiannya yang berjudul ”Dampak Ekonomi Perusahaan Inti Rakyat Kelapa Sawit Ophir Terhadap Pengembangan Wilayah Pasaman Barat” dengan analisis basis ekonomi dan analisis pendapatan. Hasil analisis basis ekonomi diperoleh nilai multiplier sebesar 100 Artinya setiap investasi Rp 1,00 akan memberikan multiplier sebesar Rp 100,00. Pendapatan petani sebelum menjadi peserta PIR adalah Rp 283.020,00 sedangkan pendapatan setelah PIR adalah Rp 1.123.120, Pendapatan petani sebelum menjadi peserta PIR dibandingkan dengan pendapatan setelah ikut PIR meningkat 396 persen. Data yang ada juga memperlihatkan bahwa pendapatan kepala keluarga peserta PIR 230 persen lebih besar dari pendapatan kepala keluarga tidak peserta PIR. Mangkuprawira et al (1989) melakukan penelitian mengenai pendapatan petani di lokasi perkebunan inti rakyat di Jawa Barat. Dalam analisis pendapatan ini dibandingkan pendapatan petani PIR kelapa sawit, kelapa dan karet begitu juga untuk alokasi jam kerja petani. Pelaksanaan pola perkebunan inti rakyat ini belum mencapai target dari pemerintah yaitu masih di bawah 1.500 dolar Amerika dan alokasi jam kerja petani lebih tinggi pada petani perkebunan kelapa sawit daripada perkebunan kelapa dan karet. Yudistira (2003), meneliti analisis finansial dan ekonomi kelapa sawit PT. Mesa Inti Kebun. Analisis ini menunjukkan perkebunan di PT. Mesa Inti Kebun layak dilaksanakan. Dari hasil penelitian menggunakan faktor diskonto sebesar 11
23
24
persen untuk analisis finansial kebun inti diperoleh NPV yang bernilai positif yaitu sebesar Rp 29.391.962.210, net B/C sebesar 1,37, IRR sebesar 14,40 persen dan MPI selama 10 tahun 11 bulan. Analisis finansial kebun plasma pada faktor diskonto sebesar 11 persen diperoleh NPV sebesar Rp 22.876.791.670, net B/C sebesar 1,20, IRR sebesar 12,60 persen dan MPI selama 12 tahun 8 bulan. Analisis ekonomi kebun inti pada tingkat diskonto 11 persen diperoleh NPV yang bernilai positif yaitu sebesar Rp 208.638.607.670, net B/C sebesar 4,02, IRR sebesar 29,87 persen dan MPI selama 8 tahun 10 bulan sedangkan untuk kebun plasma diperoleh NPV sebesar Rp 52.686.057.040, net B/C sebesar 1.49, IRR sebesar 14,80 persen dan MPI selama 11 tahun 4 bulan. Perkebunan PT. Mesa Inti Kebun, kebun plasma maupun kebun inti layak dilaksanakan karena memenuhi kriteria kelayakan investasi secara finansial dan ekonomi. Daliman (2005) meneliti dampak perkebunan kelapa sawit dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Hasil analisis pendapatan menyimpulkan penghasilan petani plasma tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik
minimum seorang pekerja (tidak termasuk
keluarganya), yakni rata-rata perbulan Rp 148.500,00 per kapling (± 2 Ha). Pendapatan tunai petani meningkat pada 3 - 4 bulan pertama dalam setahun tetapi untuk pendapatan tidak tunai mengalami penurunan antara 40 - 60 persen. Penelitian sebelumnya belum pernah membandingkan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit pada perusahaan milik swasta dan negara. Penelitian ini akan melihat pendapatan petani plasma dan perusahaan inti serta penyerapan tenaga kerja pada dua perusahaan tersebut.
24
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Pembangunan Perkebunan Rakyat dengan Kemitraan Usaha Suatu kegiatan pertanian yang menyeluruh dan saling berkaitan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan produksi pertanian, pendapatan petani dan menciptakan nilai tambah. Upaya ini secara luas akan mempunyai dampak terhadap peningkatan devisa melalui ekspor dan subsitusi impor. Kelemahan petani pada umumnya meliputi teknologi, modal, akses pasar, pengolahan hasil, sumberdaya manusia, kelembagaan dan produktivitas. Kebijaksanaan pembangunan perkebunan yang dikembangkan harus berkaitan dengan
kesempatan
kerja,
pemasok
bahan
baku
industri,
peningkatan
produktivitas dan peningkatan pendapatan. Keberhasilan kemitraan usaha sangat tergantung kepada pihak yang bermitra. Pengusaha harus menyadari para petani memerlukan berbagai upaya pemberdayaan. Kemitraan usaha perkebunan mengacu pada terciptanya keseimbangan, keselarasan, keterampilan, dan interdependensi yang dilandasi saling percaya dengan keterbukaan. Kemitraan akan terwujud dengan terciptanya : (1) Saling membutuhkan atau intervedensi artinya pengusaha memerlukan pasokan bahan baku, sedang petani memerlukan bimbingan teknologi, pemasaran, dan processing, (2) Saling menguntungkan artinya kedua bilah pihak harus dapat memperoleh nilai tambah dari kerjasama, dan (3) Saling memperkuat artinya kedua belah pihak sama-sama memahami hak dan kewajiban.
26
Upaya pemantapan yang memerlukan perhatian dan penanganan dalam pola kemitraan antara lain kerjasama yang transparansi sejak awal sehingga masing-masing pihak tahu dan sadar hak-hak serta kewajibannya, penumbuhan dan pengembangan fungsi dari kelembagaan kelompok tani yang merupakan basis terkecil dari manajemen produksi yang dilakukan mitra usaha atau perusahaan inti. Pembentukan koperasi (kelembagaan petani) harus lebih terkonsentrasi pada sektor jasa (angkutan pupuk, angkutan produksi dan lain-lain). Kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah dalam perkebunan rakyat memerlukan berbagai upaya penyuluhan dan pembinaan. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia di tingkat petani dapat dilakukan dengan peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan pengorganisasian. Skala ekonomi petani harus terus ditata sampai mencapai usaha berskala ekonomi. Tugas utama perusahaan mitra adalah menjaga agar pengelolaan produksi ditingkat petani tetap sesuai dengan standar teknis dan bertanggung jawab sejak awal pembangunan perkebunan sampai pasca konversi sehingga produktivitas optimal.
3.2. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Pendapatan Pembangunan perkebunan dengan pola kemitraan memiliki tujuan untuk mendorong peningkatan pendapatan petani, pembangunan wilayah, pembangunan sentra produksi dan pertumbuhan ekonomi. Kehadiran perusahaan inti dalam pola kemitraan dapat berperan dalam pemberdayaan petani di bidang teknologi, modal, kelembagaan dan lain-lain. Pola kemitraan akan meningkatkan produktivitas karena berisikan paket intensifikasi yang ditransfer oleh perusahaan inti kepada petani plasma berupa
26
27
teknologi baru. Teknologi yang digunakan akan berpengaruh pada produksi yang dihasilkan, biaya dikeluarkan serta tenaga kerja yang digunakan. Dalam pola kemitraan juga terjadi inovasi dalam manajemen, kelembagaan, pengolahan dan pemasaran. Semua paket intensifikasi dalam pola kemitraan bertujuan meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya berpengaruh pada peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan apabila dilihat dari pendekatan produksi maka akan berkaitan dengan pembagian
antara
masalah
hasil/keluaran
produktivitas. Produktivitas yang
dicapai
dengan
merupakan keseluruhan
sumberdaya/masukan yang telah digunakan persatuan tertentu. Peningkatan produktivitas mengandung arti bahwa jumlah produksi yang dicapai dapat lebih besar dengan menggunakan sumberdaya yang sama. Sumberdaya terdiri dari faktor produksi seperti lahan, sumberdaya manusia, peralatan dan lain-lain. Pada pola kemitraan biasanya produktivitas kebun plasma diharapkan dapat setara dengan produktivitas kebun intinya.
3.3. Dampak Penerapan Pola Kemitraan terhadap Kesempatan Kerja Tenaga kerja dipandang sebagai suatu faktor produksi yang mampu meningkatkan daya guna faktor produksi lainnya (mengolah tanah, memanfaatkan modal dan sebagainya). Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keadaan tenaga kerja, yaitu faktor permintaan dan penawaran. Faktor permintaan dipengaruhi oleh dinamika pembangunan ekonomi, sedangkan faktor penawaran ditentukan oleh perubahan struktur umur penduduk
27
28
Salah satu tujuan yang penting dalam pembangunan ekonomi adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk mengejar pertambahan angkatan kerja. Pembangunan perkebunan dengan sistem kemitraan usaha dimaksudkan untuk membina perkebunan rakyat (usahatani kecil) agar dapat membuka kesempatan kerja di pedesaan. Perkebunan rakyat merupakan usaha yang strategis dalam menyerap tenaga kerja keluarga dan luar keluarga. Dalam perkebunan kelapa sawit baik untuk kebun inti maupun kebun plasma dibutuhkan tenaga kerja dalam aktivitas pemeliharaan, panen, pangangkutan dan lain-lain. Perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit akan membutuhkan pabrik kelapa sawit untuk mengolah tandan buah segar yang dihasilkan petani, pabrik kelapa sawit akan menambah lapangan kerja yang tersedia dan dapat menyerap tenaga kerja yang ada dalam masyarakat.
3.4. Kerangka Pemikiran Konseptual Pola kemitraan menawarkan suatu pendekatan pembangunan yang mengkaitkan perusahaan besar dengan petani kecil, sehinggga kelebihankelebihan yang dimiliki oleh perusahaan besar dapat ditransfer kepada petani kecil. Kelebihan yang dialihkan dapat berupa kemampuan teknologi, manajemen dan finansial sehingga petani kecil mampu menjadi manajer yang mandiri dan tangguh bagi usahataninya. Pola kemitraan merupakan kerjasama strategis antara petani dan perusahaan besar. Perusahaan mitra bertindak sebagai penyedia sarana produksi, pelaksana pemasaran sekaligus pengolahan produksi. Petani dalam pola kemitraan bertindak sebagai pelaksana usahatani. Pemberian bantuan dari perusahaan kepada
28
29
petani akan diakumulasikan dan dibayar kembali oleh petani setelah perkebunan kelapa sawit yang dimiliki berproduksi. Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki peluang dalam menciptakan lapangan kerja dari kegiatan pra panen hingga pasca panen. Alur pemikiran dalam penelitian ini dapat disimpulkan dalam Gambar 1. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit
Sistem Kemitraan Usaha
Peningkatan Produktivitas Penciptaan Kesempatan Kerja Pola Kemitraan dengan Perkebunan Besar Negara
Pola Kemitraan dengan Perkebunan Besar Swasta
PTPN VI
PT BPP
Peserta Kemitraan Kebun Plasma Produksi TBS
Perusahaan Inti Pabrik dan Kebun Inti Pengolahan, Pemasaran, dan Produksi TBS
- Pendapatan - Penyerapan tenaga kerja
- Pendapatan - Penyerapan tenaga kerja
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Konseptual Ket : : Alur pemikiran
: Hal-hal yang dianalisis
: Dijual
: Alur analisis
29
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perkebunan milik PT Perkebunan Nusantara VI dan PT Bakrie Pasaman Plantation. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan PT Perkebunan Nusantara VI merupakan Perkebunan Besar Negara pertama di Kabupaten Pasaman Barat yang melakukan pola kemitraan dan PT Bakrie Pasaman Plantation merupakan Perkebunan Besar Swasta dengan areal perkebunan kelapa sawit terluas di Kabupaten Pasaman Barat yang melakukan pola kemitraan. Pengumpulan data dilakukan mulai Bulan April sampai dengan Bulan Juni 2006.
4.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah oleh peneliti dan langsung diperoleh dari objek yang diteliti. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani peserta, pemilik perkebunan, pengawas perkebunan, dan pekerja perkebunan kelapa sawit. Data sekunder adalah data yang diterbitkan atau digunakan oleh organisasi atau lembaga yang bukan merupakan hasil pengolahan peneliti. Data sekunder diperoleh dari PTPN VI, PT BPP, Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia, Biro Pusat Statistik, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan dapat juga diperoleh melalui studi literatur, internet dan lembaga terkait lainnya.
31
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data disesuaikan dengan data yang ada dan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai tujuan pertama digunakan metode deskriptif. Untuk mencapai tujuan kedua dan ketiga, data dianalisis dengan metode deskriptif tabulasi. Sedangkan untuk mencapai tujuan keempat digunakan analisis model ekonometrika.
4.3.1. Pendapatan Usaha Perkebunan Pada analisis usahatani diperlukan data tentang penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani. Cara analisis terhadap variabel penerimaan, biaya, dan pendapatan disebut dengan analisis anggaran arus uang tunai atau cash flow analysis (Soekarwati, 1995). Penerimaan usahatani adalah suatu nilai produk total dalam jangka waktu tertentu, baik untuk dijual maupun untuk dikonsumsi sendiri. Penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Rumus penerimaan usahatani adalah : TR = Y x PY Dimana : TR : Total Penerimaan. Y : Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani. PY : Harga Y Biaya usahatani merupakan nilai penggunaan sarana produksi dan lainlain yang dibebankan pada produk yang bersangkutan. Biaya usaha tani diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan.
31
32
Biaya tunai merupakan pengeluaran tunai usahatani yang dilakukan oleh petani sendiri. Biaya tunai digunakan untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani. Biaya tidak tunai (diperhitungan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri dan tenaga kerja dalam keluarga. Biaya dalam usahatani terdiri dari biaya tetap/fixed cost dan biaya variabel/variabel cost. Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Besarnya biaya tetap tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh dan sifat penggunaannya tidak habis dipakai dalam satu kali proses produksi. Contoh biaya tetap adalah pajak, tanah, dan bunga pinjaman dan lainlain. Biaya tidak tetap adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh dan sifat penggunaannya habis terpakai dalam satu kali proses produksi. Contoh biaya tidak tetap adalah biaya untuk sarana produksi dan tenaga kerja luar keluarga. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pendapatan yang diukur adalah pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. 1. Pendapatan Atas Biaya Tunai Pendapatan atas biaya tunai diperoleh dari penerimaan total yang dikurangi dengan biaya tunai yang benar-benar dikeluarkan baik biaya variabel maupun biaya tetap dan merupakan ukuran kemampuan usaha untuk menghasilkan uang tunai. Rumus pendapatan atas biaya tunai adalah : Π tunai = TR – TC tunai Π tunai = (Y x PY ) – (TFC1 + TVC1)
32
33
2. Pendapatan Atas Biaya Total Pendapatan atas biaya total adalah pendapatan yang diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan biaya tunai termasuk biaya-biaya yang diperhitungkan. Rumus pendapatan atas biaya total adalah : Π total = TR – TC Π total = (Y x PY) – ((TFC1 + TVC1) + (TFC2 + TVC2)) Dimana : Π tunai
: Pendapatan Usahatani tunai.
Π total
: Pendapatan Usahatani total.
TR
: Total Penerimaan.
TC
: Total Pengeluaran.
TFC1 : Total Biaya Tetap yang Dibayar Tunai. TVC1 : Total Biaya Variabel yang Dibayar Tunai. TFC2 : Total Biaya Tetap yang Diperhitungkan. TVC2 : Total Biaya Variabel yang Diperhitungkan.
4.3.2. Rasio Penerimaan dan Biaya (Return Cost Ratio) Analisis return cost ratio atau R/C adalah perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Return cost ratio digunakan untuk mengukur efisiensi usahatani terhadap setiap penggunaan satu unit input.
Analisis imbangan
penerimaan dan biaya digunakan untuk mengetahui relatif usahatani berdasarkan perhitungan finansial. R
R
C
C
tunai
=
TR TCtunai
Total
=
TR TC
33
34
Dimana : TR
: Total Penerimaan.
TC
: Total Pengeluaran.
TC tunai
: Total Pengeluaran tunai.
Kriteria : R/C > 1, usaha menguntungkan. R/C = 1, usaha tidak untung dan tidak rugi. R/C < 1, usaha tidak menguntungkan atau rugi. Apabila R/C > 1 berarti penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk menerima penerimaan tersebut. Apabila R/C < 1 maka tiap unit biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), perhitungan pendapatan usaha adalah seperti dalam Tabel 5. Tabel 5. Perhitungan Pendapatan Usaha Arus Penerimaan Produksi Kotor Harga Satuan Produksi Total Penerimaan (Ax B) Arus Pengeluaran Biaya Tunai : - Biaya bahan baku = Rp D - Biaya upah = Rp E - Pajak usaha = Rp F - Biaya lain-lain = Rp G Total biaya tunai (D+ E + F + G) Biaya diperhitungkan : - Biaya penyusutan = Rp I - Tenaga kerja keluarga = Rp J - Bunga modal = Rp K Total biaya diperhitungkan (I + J + K) Total seluruh pengeluaran (H + L) Analisis pendapatan/keuntungan (C – M) Analisis imbangan penerimaan atas biaya tunai (C/H) Analisis imbangan penerimaan atas biaya total (C/M)
34
= A kg = Rp B = Rp C
= Rp H
= Rp L = Rp M = Rp N = Rp Q = Rp T
35
4.3.3. Penyerapan Tenaga Kerja Penyerapan tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja dalam dan luar keluarga yang digunakan secara produktif dalam usaha perkebunan. Penggunaan tenaga kerja dihitung dalam satuan hari kerja pria (HKP), dimana HKP adalah sekitar tujuh jam kerja dengan tingkat konversi : 1. Satu hari kerja wanita (HKW) = 0,8 HKP 2. Satu hari kerja anak (HKA) = 0,5 HKP Untuk mengetahui persentase tenaga kerja yang terserap pada usaha perkebunan terhadap jumlah tenaga kerja yang tersedia dalam keluarga, perlu diketahui potensi kerja. Potensi kerja dihitung dengan menghitung jumlah tenaga kerja yang tersedia dalam rumah tangga dikonversikan dalam hari kerja pria (HKP) dan dikalikan 300 atau jumlah hari kerja dalam setahun. Dengan demikian akan diperoleh angka ketersediaan tenaga kerja pertahun dalam rumah tangga. Curahan jam kerja untuk kegiatan perkebunan dihitung berdasarkan alokasi jam kerja anggota keluarga dalam sehari untuk kegiatan perkebunan.
4.3.4. Peran Tenaga Kerja Kebun Plasma terhadap Produksi Kebun Plasma Analisis regresi berkenaan dengan studi ketergantungan satu variabel tak bebas pada satu atau lebih variabel tak bebasnya, dengan maksud menaksir atau meramalkan nilai rata-rata hitung (mean) atau rata-rata (populasi) variabel tak bebas. Diantara model-model regresi, model regresi linear merupakan model yang paling sederhana dan paling sering digunakan. Model regresi linear diduga dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (method of ordinary least sguare). Metode ini dilakukan dengan meminimumkan jumlah kuadrat simpangan nilai yi
35
36
terhadap E(yi) atau disebut dengan galat atau error. Metode kuadrat terkecil biasa dikemukakan oleh Carl F Gauss (Gujarati, 1978). Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam metode kuadrat terkecil adalah : 1. Kehomogenan ragam sisaan 2. Kenormalan galat 3. Hasil plot sisaan yang saling bebas Untuk mencapai tujuan keempat digunakan alat analisis kuantitatif linear dengan menggunakan rumus analisis regresi : Y = a + b1X1+ b2X2 Dimana : Y
: Produksi kebun plasma (ton)
X1
: Modal usaha (Rp)
X2
: Tenaga kerja di kebun plasma (HOK)
a
: Konstanta
b1, b2 : Koefisien regresi
Pengujian hipotesis : Uji R2 Penjelasan persentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas digunakan dengan pengujian R2. Uji ini digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas.
36
37
Uji F-Statistik Uji F digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh peubah bebas terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Hipotesis : H0 : β1 = β2 = β3 = 0 H1 : Minimal terdapat satu βi ≠ 0 ; dimana i = 1,2,3,…n
R /k −1 (1 − R ) / n − k 2
F Hitung =
2
F tabel = Fα(k-1, n-k) Kriteria uji : F-Hitung > Fα(k-1, n-k), maka tolak H0 F-Hitung < Fα(k-1, n-k), maka terima H0 Dimana : R : Koefisien determinasi n : Banyaknya data k : Jumlah koefisien regresi dugaan Jika H0 ditolak berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap total besarnya output, dan sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap output. Uji t-Statistik Uji t digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh suatu peubah bebas secara individu atau masing-masing berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah tidak bebas.
37
38
Hipotesis : H0 : bi = 0 H1 : bi ≠ 0 ; dimana i = 1,2,3,…k t-hitung =
b S(b) i
t-tabel = tα / 2(n-k) Dimana : S(b) = simpangan baku koefisien dugaan Kriteria uji : t-hitung > tα / 2(n-k), maka tolak H0 t-hitung < tα / 2(n-k), maka terima H0 Jika H0 ditolak berarti variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas dalam model dan sebaliknya jika H0 diterima maka variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linear diantara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi. Gejala multikolinearitas dalam suatu model akan menimbulkan beberapa konsekuensi diantaranya adalah : 1. Meskipun penaksiran OLS mungkin bisa diperoleh namun kesalahan standarnya mungkin akan cenderung semakin besar dengan meningkatnya tingkat korelasi antara peningkatan variabel. 2. Standar error dari parameter diduga sangat besar sehingga selang keyakinan untuk parameter yang relevan cenderung lebih besar.
38
39
3. Jika
multikolinearitasnya
tinggi
kemungkinan
probabilitas
untuk
menerima hipotesis yang salah menjadi besar. 4. Kesalahan standar akan semakin besar dan sensitif bila ada perubahan data. 5. Tidak mungkinnya mengisolasi pengaruh individual dari variabel yang menjelaskan (Gujarati, 1978). Multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat korelasi antara peubah bebasnya (X). Multikolinearitas dapat dilihat dengan nilai VIF (Variance Inflation Factor). Nilai VIF yang lebih besar dari 10 merupakan indikasi adanya multikolinearitas.
39
BAB V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
5.1. PT Perkebunan Nusantara VI Persero (PTPN VI) Kebun Ophir 5.1.1. Sejarah Ringkas Kebun Ophir di Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat sudah ada sejak masa penjajahan Belanda yang pada waktu itu disebut Onderneming Ophir. Pada tahun 1932 Onderneming Ophir dengan lahan seluas 4.600 Ha ditanami kelapa sawit dan kopi secara besar-besaran oleh perusahaan NV Kultuur Maatschapply Ophir yang berpusat di Amsterdam Belanda. Tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang sehingga kebun Ophir dikuasai oleh Jepang sampai Indonesia merdeka tahun 1945. Masuknya Jepang ke Indonesia menyebabkan Onderneming Ophir terganggu keberlanjutannya, tanaman rusak berat, sebagian besar peralatan dan perlengkapan tidak dapat dipergunakan lagi. Tahun 1955 kebun Ophir dibeli oleh Departemen Hankam RI dari pihak konsesi Belanda. Rencana membuka kembali kebun Ophir gagal karena terjadi pemberontakan PRRI. Pemberontakan PRRI menyebabkan bekas puing-puing peninggalan Belanda yang masih ada menjadi hancur sehingga segala peralatan kebun Ophir tidak dapat dipergunakan lagi. Setelah pemberontakan usai banyak pihak perusahaan swasta yang berusaha mengelola kebun Ophir, tetapi belum berhasil karena memerlukan modal dan tenaga ahli yang cukup besar. Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1970-an, ketika pemerintah Indonesia mulai memikirkan strategi pengembangan perkebunan kelapa sawit dari daerah yang potensial.
41
Tahun 1980 pemerintah Indonesia berhasil membentuk pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat) dengan nama Nucleus Estate Small Holder Participation (NESP) Ophir. NESP Ophir merupakan salah satu proyek perkebunan yang dikembangkan pemerintah melalui pola kerja sama antara rakyat (plasma) dan perusahaan perkebunan besar (inti). Proyek NESP Ophir dibentuk dan dikembangkan atas prakarsa Panglima Kodam III 17 Agustus Sumatera Barat setelah melihat keberhasilan proyek Kodam II Bukit Barisan di Sei Baleh Sumatera Utara yang dikelola oleh PT Perkebunan VI (Persero). Proyek ini didukung oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat dan mendapat persetujuan
dari
Menteri
Pertanian
RI
melalui
surat
SPBN
No.
156/A/GUB/C/1979 dengan menugaskan PTP VI Persero sebagai pelaksana proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit. Penugasan kepada PTP VI berkaitan dengan kemampuan teknis kelapa sawit, manajemen yang dimiliki serta berdasarkan kepada Tri Dharma Perkebunan, yaitu : (1) Meningkatkan devisa negara, (2) Menciptakan lapangan kerja, dan (3) Melestarikan sumberdaya alam. Proyek NESP Ophir merupakan hasil kerja sama pemerintah Indonesia dengan Republik Federal Jerman. Republik Federal Jerman memberikan bantuan dalam bidang keuangan dan teknis sedangkan PTP VI sebagai pengembang perkebunan dengan pola PIR Perkebunan (PIR-Bun). Perusahaan PTP VI diubah menjadi PTPN VI Persero oleh pemerintah tanggal 14 Februari 1996 berdasarkan PP No. 11 Tahun 1996. PTPN VI merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk perusahaan Perseroan dengan wilayah kerja propinsi Sumatera Barat dan propinsi Jambi.
41
42
Kebun Ophir merupakan salah satu dari enam belas unit usaha yang ada dibawah pengelolaan manajemen PTP Nusantara (Persero). PTPN VI telah berhasil membangun kebun kelapa sawit seluas 8.056 hektar yang terdiri atas kebun inti seluas 3.256 hektar dan kebun plasma seluas 4.800 hektar. Kebun inti terdiri dari 4 afdeling dan kebun plasma terdiri dari 5 plasma Penanaman dilakukan secara bertahap sejak tahun 1982 sampai dengan tahun 1994. PTPN VI terletak di Kecamatan Luhak Nan Duo dan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat yang berjarak ± 186 Km dari Ibukota Propinsi. Tabel 6. Luas Lahan dan Tahun Tanam Kebun Inti dan Kebun Plasma PTPN VI Kebun inti Afdeling
Inti I
Inti II Inti III Inti IV
Tahun tanam 1982 1985 1989 1993 1994 1982 1985 1986 1985 1986 1993 1985 1986 1993
Total Sumber : Profil PTPN VI, 2005
Kebun plasma Luas lahan (Ha) 791 11 50 5 5 426 352 50 758 14 45 291 420 38
Plasma
Tahun tanam
Luas lahan (Ha)
Plasma I
1981/1982
1100
Plasma II
1982/1983
750
Plasma III
1983/1984
1000
Plasma IV
1985/1986
1330
Plasma V
1984/1985 Total
620 4800
3256
5.1.2. Pola PIR-Bun /NESP Ophir Pola kemitraan yang dilaksanakan oleh PTPN VI adalah pola PIR-Bun yang dikenal dengan proyek NESP. Proyek
Nucleus
Estate
Small
Holder
Participation (NESP) Ophir mulai dibangun pada 3 Maret 1981 dengan bantuan
42
43
kredit dari pemerintah Jerman Barat sebesar DM 65 juta. Bantuan kredit ini sesuai dengan perjanjian pinjaman (loan agreement) No. 80.60.383 tanggal 31 Agustus 1982 antara pemerintah RI dengan kementrian kerja sama bantuan luar negeri Jerman (BMZ/Bundesministrium fur Mirtschaftliche Zusammenarbeit). Proyek NESP bertujuan menciptakan petani mandiri dengan pembentukan organisasi yang dapat menyalurkan aspirasi secara sehat sesuai dengan normanorma yang berlaku. Pola penumbuhan dan pengembangan organisasi NESP Ophir sesuai dengan faktor P (partisipasi) pada NESP yaitu koperasi tumbuh dari bawah dengan kekuatan kelompok dan peran pihak luar adalah sebagai pendamping. Pembangunan kebun Ophir PTPN VI dibantu KFW (Kreditanstalt Fur Wiederaufbau) dan GTZ (Deutsche Gesellschayt fur Techniche Zusammanarbeit). KFW merupakan bank pembangunan Jerman yang bertanggung jawab membantu dalam segi keuangan mulai dari persiapan lahan (areal), penanaman, pembangunan rumah petani, pembangunan jalan dan pabrik. Badan kerjasama teknis Jerman atau GTZ bertanggung jawab menangani bidang pendidikan, pembinaan dan pembentukan kelompok tani serta sebagai penasihat dilapangan. Petani plasma yang menjadi peserta proyek NESP Ophir terdiri dari 54 persen penduduk setempat (1.290 KK), 35 persen purnawirawan ABRI (840 KK) dan 11 persen pensiunan pegawai negeri sipil (270 KK). Jumlah total petani peserta adalah 2.400 kepala keluarga. Areal pembangunan kebun plasma adalah seluas 4.800 hektar dan lahan untuk perumahan/pekarangan/lahan pangan seluas 1.103 hektar. Setiap kepala keluarga petani plasma mendapatkan 2 hektar kebun sawit dan 0,45 hektar lahan pangan/perumahan.
43
44
Mekanisme pola kemitraan pada NESP Ophir adalah sebagai berikut : A. Pembentukan Kelompok Tani NESP Ophir Setelah petani masuk dalam proyek, petani mendapat pelatihan tentang budidaya
kelapa
sawit
dan
manajemen
kebun.
Calon
petani
peserta
dikelompokkan sesuai dengan hamparan pemukiman dan lokasi perkebunan. Jumlah anggota setiap kelompok tani berkisar dari 20 sampai dengan 28 orang kepala keluarga. Kebun kelapa sawit yang dimiliki masing-masing peserta tidak homogen dan kemampuan peserta bervariasi dalam pemeliharaan sehingga menciptakan job sharing diantara anggota kelompok sesuai dengan kebutuhan. Job sharing yang terjadi dalam kelompok NESP Ophir yaitu setiap pemeliharaan kebun yang dilakukan oleh setiap anggota kelompok tani akan dibayar secara individu tetapi hasil penjualan TBS dibagi sama rata. Pembentukan kelompok menciptakan suatu stimulasi, motivasi dan kekuatan pada petani sehingga lebih mudah mengarahkan dalam partisipasi yang saling menguntungkan. Job sharing membuat petani dapat memperoleh hasil optimum baik yang berasal dari lahan miliknya maupun dari lahan anggota-anggota lainnya. B. Pengelolaan Kelompok Tani NESP Ophir Kelompok tani dikelola oleh pengurus kelompok yang terdiri dari ketua dan sekretaris. Kelompok ini memilih seorang krani yang berfungsi untuk mengurus TBS. Krani digaji dari keuangan kelompok, sedangkan honor pengurus kelompok, pembuatan SPB (Surat Pengantar Buah) dan keperluan lainnya yang berhubungan langsung dengan kepentingan kelompok dan anggota dibiayai dari dana group manajemen yang dihimpun oleh KUD dari anggota sebesar Rp 2,-/kg
44
45
TBS. Kontribusi pembuatan amprah dibebankan kepada petani Rp 1000,/KK/bulan. Sistem pengelolaan kelompok merupakan hal yang sangat menentukan dalam kemajuan petani NESP Ophir. Oleh karena itu sejak awal pembentukan kelompok harus memahami prinsip-prinsip kebersamaan dalam kelompok karena merupakan pondasi dasar untuk menuju kemandirian petani. Sistem yang dijalankan kelompok tani NESP Ophir adalah sebagai berikut : 1. Tanah kebun seluas 2 Ha setelah lunas kredit adalah milik individu. 2. Tanaman kelapa sawit yang tumbuh dalam areal kelompok adalah milik kelompok. 3. Biaya produksi dan kredit kebun dibayar bersama dari hasil kelompok. 4. Upah tenaga kerja setiap anggota kelompok dibayar sesuai kontribusi peserta. 5. Hasil bersih setelah dikurangi biaya produksi, kredit kebun, tenaga kerja anggota kelompok dibagi rata. 6. Anggota yang tidak merawat kebun sesuai rencana kerja dan petunjuk teknis dikenakan sanksi kelompok (denda). 7. Pemeliharaan kebun dibawah pengawasan kelompok. Pemeliharaan kebun merupakan tanggung jawab individu sedangkan penanganan dibidang produksi membutuhkan kerjasama dari anggota kelompok tani. Anggota diperbolehkan menggunakan tenaga kerja sewaan untuk kegiatan pemeliharaan kebun dan pemanenan tetapi pelaksanaannya harus diawasi oleh pengurus kelompok. Kerjasama dalam kelompok tani dilakukan juga pada berbagai kegiatan seperti : panen, transportasi, pemupukan, hama penyakit, pemeliharaan jalan kebun, penentuan rendemen, kalkulasi upkepp cost/income
45
46
credit repayment. Kedisiplinan para anggota kelompok tani diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan sehingga diberlakukan sanksi berupa denda. Setiap kelompok menetapkan besarnya sanksi berdasarkan musyawarah kelompok. Kegiatan-kegiatan yang dikenakan sanksi seperti ketidakhadiran/ ketepatan waktu menghadiri setiap pertemuan kelompok, ketepatan takaran dalam pemberian pupuk, memanen buah yang masih mentah dan tidak memanen buah yang sudah matang. C. Pembentukan Organisasi Proyek NESP Ophir sejak awal mempersiapkan petani dengan memberi pendidikan dan pelatihan dalam rangka menciptakan organisasi petani yang mandiri dan tangguh. Lembaga usahatani petani plasma NESP Ophir berupa suatu organisasi usahatani yang tergabung dalam kelompok tani dan koperasi. Organisasi diperlukan untuk dapat menyatukan kelompok tani dalam menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Satu kelompok tani beranggotakan 20 sampai 28 Kepala Keluarga. Pada tahun 1985 kerjasama antar kelompok tani melahirkan Koordinator Kelompok Tani/Badan Kerjasama Antar Kelompok (BKAK) Unit I. Dari BKAK dibentuk Badan Kerjasama Antar Plasma (BKAP) yang akhirnya berkembang menjadi Koperasi NESP Ophir. Pada NESP Ophir terdapat 4 Koperasi Petani Sawit (KPS) yang mengorganisir kepentingan petani plasma, yakni KPS Sejahtera, KPS Indah, KPS Maju, dan KPS Perintis. Keempat KPS berada dibawah naungan koperasi sekunder Koperasi Jasa Usaha Bersama (KJUB). KPS memberikan pelayanan kepada anggotanya seperti pengadaan sarana produksi dan peralatan pertanian/perkebunan, melaksanakan simpan pinjam
46
47
kepada anggota, perhitungan hasil produksi TBS petani, melaksanakan pengembalian kredit kebun petani, dan lain-lain. KPS bertanggungjawab menyalurkan pupuk kepada anggota dan menyediakan angkutan TBS berupa truktruk pembawa TBS dari Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) ke pabrik pengolahan.
5.2. PT. Bakrie Pasaman Plantations (PT BPP) 5.2.1. Sejarah Ringkas PT. Bakrie Pasaman Plantation sebelumnya adalah PT. Bakrie Nusantara Coorporation yang didirikan pada tanggal 21 Juni 1989. PT BPP bernaung dibawah PT. Bakrie Sumatera Plantation sebagai anak perusahaan Bakrie Brothers. Perusahaan ini merupakan perusahaan swasta nasional besar berskala internasional. PT BPP mengemban misi kebijaksanaan pemerintah dalam hal pengembangan sub sektor perkebunan sebagai usaha untuk meningkatkan produksi komoditas non migas dan membantu pengembangan wilayah terpadu (integrated area development) di daerah Sumatera Barat. Pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan pertanian tertuang dalam instruksi presiden No. 1 Tahun 1996, yaitu pembangunan perkebunan kebijaksanaan
dengan
pola
pemerintah
Perusahaan
Inti
maka
Bakrie
PT.
Rakyat
(PIR).
Pasaman
Berdasarkan
Plantation
turut
berpartisipasi dalam pembangunan nasional di sub sektor perkebunan dan melakukan pola kemitraan dangan masyarakat sekitar. PT BPP bertujuan Memperluas lapangan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya dan meningkatkan taraf hidup petani serta karyawan perkebunan pada khususnya.
47
48
Lokasi usaha PT BPP adalah di Kecamatan Lembah Melintang dan Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat. Lokasi ini memiliki jarak ± 250 km dari kota Padang (ibukota Propinsi). Budidaya perkebunan utama adalah kelapa sawit. Tahun 1990 PT BPP melakukan permohonan pencadangan lahan seluas 40.000 hektar dengan surat No. 389/DUP/VI/1990 tanggal 4 Juni 1990 dengan perincian 16.000 hektar untuk kebun inti dan 24.000 hektar untuk kebun plasma. Persetujuan prinsip pencadangan lahan dari Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Barat No. 525.26/1989/Prod. 1990 tanggal 28 Juli 1990 dan izin prinsip usaha perkebunan kelapa sawit oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor HK 350/E4969/11, tanggal 21 Nopember 1990. Berdasarkan Keputusan Bupati KDH Tingkat II Pasaman Nomor 6 Tahun 1998 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pola kemitraan bapak angkat anak angkat perkebunan kelapa sawit di daerah Tingkat II Pasaman, maka Investor perkebunan yang menanamkan modalnya di Kabupaten Pasaman wajib melaksanakan program kemitraan bapak angkat anak angkat dengan perbandingan 40 persen plasma dan 60 persen inti. Pola kemitraan bapak angkat anak angkat adalah pola kemitraan dalam rangka pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan Perusahaan Perkebunan Besar sebagai bapak angkat yang mempunyai lahan inti dan membangun perkebunan rakyat (plasma) sebagai anak angkat dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan bersama dengan lembaga keuangan (perbankan). Tahun 2005, PT BPP telah berhasil membangun kebun kelapa sawit seluas 12.580,41 hektar yang terdiri atas kebun inti seluas 8.125,4 hektar dan kebun
48
49
plasma seluas 4.455 hektar. Kebun inti terdiri dari 2 estate yaitu Air Balam estate dan Sei Aur estate). Kebun plasma terdiri dari 3 KUD yaitu KUD Sungai Aur, KUD Parit, KUD Silawai Jaya dan satu kelompok tani yaitu Kelompok Tani Nagari Parit (KPNP) . Penanaman dilakukan secara bertahap sejak tahun 1991 sampai dengan sekarang. Kebun inti memiliki tanaman menghasilkan seluas 7.862,4 hektar dan tanaman belum menghasilkan seluas 263 hektar. Untuk kebun plasma belum dilakukan konversi kecuali untuk Kelompok Tani Nagari Parit (KPNP) yang dikonversi kepada petani tanggal 15 Januari 2005.
5.2.2. Pola Bapak Angkat Anak Angkat / Plasma KKPA project Pola kemitraan bapak angkat anak angkat adalah pola kemitraan perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan Perusahaan Perkebunan Besar (BUMN, PBSN, dan PMA) sebagai bapak angkat yang mempunyai lahan inti dan membangun perkebunan rakyat (plasma) sebagai anak angkat dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan bersama dengan lembaga keuangan (perbankan). Bapak angkat merupakan badan usaha berskala besar yang telah melaksanakan program kemitraan seperti BUMN, Perkebunan Besar Swasta (PBSN dan PMA). Anak angkat adalah Koperasi Unit Desa (KUD) yang dibentuk oleh petani peserta untuk mengurus kepentingan anggotanya dan mewakili kelompok tani dalam segala hubungannya dengan perusahaan bapak angkat maupun perbankan. Maksud pola kemitraan bapak angkat anak angkat dibidang perkebunan kelapa sawit adalah untuk membangun dan membina perkebunan rakyat dengan teknologi maju. Tujuan pola kemitraan bapak angkat anak angkat dibidang
49
50
perkebunan
kelapa
sawit
adalah
untuk
meningkatkan
pendapatan
dan
kesejahteraan masyarakat dipedesaan sebagai peserta plasma. Sasaran pola kemitraan bapak angkat anak angkat dibidang perkebunan kelapa sawit adalah masyarakat yang ekonomi lemah dan berada disekitar wilayah perkebunan bapak angkat (inti) sehingga kehidupan dan ekonominya lebih baik dari sebelumnya. Pola kemitraan bapak angkat anak angkat PT BPP dikenal dengan Plasma KKPA project. KKPA atau Kredit Koperasi Primer untuk Anggota adalah fasilitas kredit yang diberikan kepada petani peserta melalui KUD dan dipergunakan untuk membangun kebun anak angkat. Pengadaan tanah kebun plasma KKPA project berasal dari penyerahan tanah oleh ninik mamak/pemilik/penguasa tanah (ulayat adat) yang diserahkan kepada Negara melalui pemerintah daerah yang selanjutnya diperuntukan bagi kelompok tani peserta plasma untuk dijadikan areal kebun plasma dengan pola bapak angkat anak angkat. Petani peserta plasma KKPA adalah petani yang ditetapkan sebagai penerima pemilikan kebun anak angkat atau petani pemilik lahan yang diikutkan dalam proyek pola kemitraan bapak angkat anak angkat. Pola penumbuhan dan pengembangan organisasi petani plasma KKPA dilakukan dengan menggabungkan petani peserta plasma beberapa desa kedalam suatu KUD yang telah ada melalui program KKPA yang dalam pelaksanaan manajemen digerakkan oleh pembina. Pembina program KKPA adalah PT BPP dan intansi pemerintah seperti dinas koperasi, dinas perkebunan dan badan pertanahan nasional. KUD merupakan kerjasama dari beberapa kelompok tani peserta program KKPA. Kelompok petani adalah wadah kerjasama usahatani pada suatu kesatuan produksi dari blok kebun yang merupakan hamparan, minimal 25
50
51
Kepala Keluarga (KK). Pembina melaksanakan studi banding dan pelatihan untuk tenaga administrasi KUD dan kelompok tani. PT BPP telah berhasil membangun beberapa KKPA project yakni : 1. KKPA Sungai Aur. KKPA ini ditandatangani bulan Agustus 1994 dan dibangun sejak tahun 1995. Pada tahun 2005 pembangunan perkebunan untuk KKPA Sungai Aur telah mencapai 3.021 hektar sedangkan akad kredit dengan KUD Sungai Aur adalah 4.570 hektar. Untuk lahan yang belum ditanami kelapa sawit akan direalisasikan pada tahun-tahun ke depan. Jumlah petani peserta KKPA Sungai Aur adalah 2.366 KK. 2. KKPA Parit dimulai tahun 1995 dengan akad kredit 1800 Ha. Tahun 2005 telah dibangun kebun kelapa sawit seluas 1407 Ha. Jumlah petani peserta adalah 905 KK. 3. KPNP dibangun tahun 1992 dengan dana yang diperoleh dari PT. BPP. Kebun plasma KPNP telah dikonversi kepada petani tanggal 15 januari 2005 dengan luas 250,6 hektar. Jumlah petani peserta adalah 404 KK. 4. Silawai Jaya dibangun sejak tahun 1996 didanai oleh PT. BPP. Sampai tahun 2005 telah mencapai luas 320 hektar dengan petani peserta sebanyak 277 KK. Pembangunan KKPA Sungai Aur dan Parit pada awalnya didanai oleh Bank Nusa Internasional dan Bank Nasional tetapi dana dari bank ini terhenti pada bulan Juli 1997. Dalam kegiatan selanjutnya pendanaaan kebun plasma ini diteruskan (refinancing) oleh Bank Niaga Jakarta. Dana berupa kredit yang pengembaliannya berdasarkan angsuran kredit dengan suku bunga pinjaman 9,5 persen per tahun.
51
52
Dalam pola kemitraan ini, bapak angkat dan anak angkat memiliki tugas dan kewajiban sendiri. Hal itu dijabarkan sebagai berikut : A. Tugas dan Kewajiban PT BPP sebagai Bapak Angkat : 1. Membangun kebun inti dan fasilitas lainnya yang dapat menampung hasil perkebunan anak angkat. 2. Membantu anak angkat untuk mendapatkan kredit dari perbankan guna pembangunan kebun. 3. Menyediakan jaminan bagi anak angkat untuk memperoleh kredit sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4. Mengadakan kontrak kerja bersama anak angkat dalam melaksanakan pembangunan kebun. 5. Membina secara teknis anak angkat agar mampu mengusahakan kebunnya dengan baik. 6. Membeli hasil produksi kebun anak angkat dengan harga yang layak sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Direktur Jenderal Perkebunan, minimal selama satu periode tanaman (± 25 tahun). 7. Membina secara teknis KUD agar mampu mengkoordinir kelompok petani/petani peserta plasma. 8. Memberikan bagian-bagian pekerjaan kepada anak angkat untuk yang mampu melakukan. 9. Melakukan koordinasi dengan anak angkat dalam rangka penggunaan setiap dana yang dikeluarkan untuk pembangunan kebun anak angkat. 10. Melaksanakan pelayanan usaha terhadap anak angkat seperti saprotan, pengangkutan hasil, pemeliharaan jalan dan lain-lain.
52
53
11. Membina anak angkat bersama-sama dengan pemerintah daerah agar anak angkat lebih mandiri sesuai dengan fungsinya. 12. Bersama-sama dengan anak angkat dan bank yang ditunjuk untuk mendistribusikan hasil penjualan, seperti untuk angsuran kredit, untuk pendapatan petani, dana perawatan, dana replanting, saprotan dan lain-lain. 13. Mentaati semua perjanjian kerjasama dalam rangka pola kemitraan sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui dan ditandatangani. 14. Memberikan kesempatan kerja dikebun kepada anggota kelompok tani peserta plasma dan masyarakat setempat. 15. Memperoleh manajemen fee dari anak angkat sesuai dengan ketentuan. B. Tugas dan Kewajiban Anak Angkat/Koperasi Unit Desa (KUD) : 1. KUD didalam pola kemitraan bapak angkat anak angkat adalah KUD yang telah ada di daerah yang bersangkutan atau KUD yang dibentuk oleh petani peserta plasma untuk mengurus segala kepentingannya dalam bidang usaha yang berkaitan dengan pola kemitraan bapak angkat anak angkat. 2. Pengurus KUD dipilih secara demokratis oleh dari anggota KUD yang merupakan satu-satunya wadah kegiatan para petani peserta plasma dan mewakilinya dalam berhubungan dengan perusahaan bapak angkat dan pihakpihak lainnya. 3. Untuk mempermudah pembinaan oleh KUD sebagai anak angkat yang membawahi beberapa kelompok petani, diperlukan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang khusus , sebagai berikut : a) Manajer KUD. b) Ketua kelompok kebun plasma satu orang ± 50 hektar.
53
54
c) Mandor afdeling kebun plasma satu orang ± 200 hektar. d) Juru buku (karani dan juru bayar). e) Tenaga kerja untuk pemeliharaan/panen kebun, rata-rata 0,8 orang perhektar. Dalam pengelolaan kebun, satu KUD mengelola ± 1000 hektar kebun plasma agar pembinaan dan pemantauan dapat terlaksana dengan baik. Pada akhirnya setiap kelompok tani mampu mendirikan satu KUD untuk mengurus kebun dan KUD yang ada sebelumnya, KUD baru yang membawahi beberapa KUD akan berubah fungsi menjadi Koperasi Jasa Usaha Bersama (KJUB). Kebun plasma PT BPP belum semuanya dilakukan konversi. Konversi atau pengalihan adalah suatu proses kegiatan yang dimulai dari persiapan dokumen pengalihan termasuk penetapan petani peserta, penilaian kebun, sertifikasi lahan sampai dengan penandatangan akad kredit sehingga terjadi pengalihan status pemeliharaan kebun dari bapak angkat kepada petani plasma. Konversi sulit dilakukan karena pembangunan kebun yang bertahap sehingga tidak setiap petani plasma akan memperoleh kebun yang sudah menghasilkan. Selain itu jumlah petani peserta melebihi standar jumlah lahan yang dibangun sehingga petani tidak memperoleh kebun sesuai blok standar yaitu satu kapling atau sekitar 2 hektar per KK. Konversi yang dapat dilakukan bersifat konversi kolektif yaitu penyerahan lahan kepada kelompok tani. Oleh karena itu anggota kelompok tani selaku plasma bersedia bertanggungjawab secara tanggung renteng terhadap segala resiko atau kerugian yang dialami anggota proyek kemitraan. Maksud dari tanggung renteng adalah kebun kelapa sawit merupakan milik bersama petani plasma dan hasilnya dibagi rata untuk semua anggota.
54
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Pendapatan Usaha Perkebunan PTPN VI dan PT BPP 6.1.1. Pendapatan Kebun Plasma Pendapatan kebun plasma merupakan hasil pengurangan penerimaan kebun plasma dengan biaya yang dikeluarkan. Penerimaan kebun plasma berasal dari produksi TBS yang dihasilkan kebun kelapa sawit seluas 2 Ha (1 kapling) dikalikan harga TBS yang diterima dari perusahaan inti dalam periode 1 tahun. Biaya terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai (biaya diperhitungkan). Biaya tunai yang dikeluarkan adalah biaya manajemen, pemeliharaan jalan, biaya angkutan, pemberantasan hama dan penyakit, pupuk dan analisa daun, simpanan wajib, replanting, PBB, dana sosial, upah tenaga kerja, peralatan dan angsuran kredit. Biaya tidak tunai yang dikeluarkan kebun plasma adalah penyusutan tanaman menghasilkan, penyusutan peralatan dan sewa lahan. a) Biaya Tunai Biaya tunai terbesar yang dikeluarkan oleh petani plasma PTPN VI adalah biaya pupuk dan analisa daun sebesar Rp 3.925.000,00 dengan persentase sebesar 38,52 persen sedangkan untuk petani plasma PT BPP adalah angsuran kredit sebesar Rp 1.661.097,00 atau 49,09 persen. Pemupukan dilakukan atas dasar pendekatan hasil analisa daun yang dilakukan per tahun, hasil analisis tanah yang dilakukan per lima tahun, pengamatan lapangan/lingkungan, proyeksi produksi, data pemupukan sebelumnya, hasil percobaan dan aspek finansial. Jenis pupuk yang diberikan adalah Urea, RP, MOP, Kieserit dan Borate.
56
Angsuran kredit untuk petani plasma PT BPP dilakukan dengan pemotongan 30 persen dari hasil penjualan TBS setelah dipotong biaya produksi. Jika pemotongan 30 persen penjualan TBS tidak mencukupi untuk pembayaran angsuran minimum pinjaman bank maka PT BPP akan menutupi kekurangan atas angsuran pinjaman tersebut. Jika pemotongan
30 persen melebihi angsuran
minimum pinjaman bank maka akan diperhitungkan sebagai tambahan pembayaran pokok pinjaman setelah dikurangi dengan tagihan PT BPP atas pinjaman untuk menutupi kekurangan angsuran minimum sebelumnya. Pinjaman dana kebun plasma PT BPP akan dilunasi dalam jangka waktu 8 tahun dengan masa tenggang 1 tahun. Petani plasma PTPN VI tidak melakukan angsuran kredit karena kredit telah lunas pada Mei 1998. Komponen biaya tunai dan berapa besar jumlah biayanya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Total Biaya Tunai Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005
1
Biaya Manajemen
PTPN VI Biaya Persentase (Rp) (%) 42.890 0,42
2
Pemeliharaan Jalan
1.008.652
9,90
36.000
1,06
3
Biaya Angkutan
419.870
4,12
547.344
16,18
4
Pemberantasan H&P
30.000
0,29
30.000
0,89
5
Pupuk, Analisa Daun dll
3.925.000
38,52
294.611
8,71
6
Simpanan Wajib
432.901
4,25
0
0,00
7
Replanting
900.000
8,83
0
0,00
8
PBB/Kontribusi Amprah
115.000
1,13
0
0,00
9
Dana Sosial
492.000
4,83
0
0,00
10
Upah Tenaga Kerja
2.700.000
26,50
437.875
12,94
11
Peralatan
122.000
1,20
100.000
2,96
12
Angsuran Kredit
0
0,00
1.661.097
49,09
Total 10.188.313 Sumber : PTPN VI dan PT BPP (diolah)
100,00
3.383.777
100,00
No
Komponen Biaya Tunai
56
PT BPP Biaya Persentase (Rp) (%) 276.849 8,18
57
Replanting adalah dana yang dikumpulkan untuk peremajaan kebun kelapa sawit. Kelapa sawit yang dilakukan peremajaan adalah tanaman kelapa sawit yang produktivitasnya sudah rendah (dibawah break event point biaya operasionalnya atau biaya eksploitasi), batang tanamnya sudah terlalu tinggi dan umurnya berkisar antara 25–30 tahun setelah tanam. Dana peremajaan kebun plasma PTPN VI dihimpun melalui program asuransi IDAPERTABUN (Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan) yang diadakan oleh AJB Bumi Putera 1912. Dana peremajaan kebun plasma PTPN VI pada tahun 2005 sebesar Rp 900.000,00 atau 8,83 persen dari total biaya tunai. Dana replanting dihimpun 8 tahun sebelum tanaman kelapa sawit berumur 25 tahun. Kebun plasma PT BPP belum dilakukan penghimpunan dana replanting karena tanaman paling tua berumur 14 tahun. Biaya manajemen yang dikenakan pada kebun plasma PTPN VI adalah biaya operasional Koperasi Petani Sawit (KPS) dalam mengelola kebun plasma. Semua biaya tunai yang dikeluarkan oleh kebun plasma kecuali upah tenaga kerja dan peralatan dikelola oleh KPS. Petani plasma secara individu bertanggungjawab dalam pemeliharaan kebun, jika dalam pemeliharaan menggunakan tenaga kerja sewaan maka upah dibayar sendiri. Biaya manajemen yang dikenakan pada kebun plasma PT BPP adalah biaya operasional KUD dan kelompok tani. Biaya operasional ini dipotong sebesar 5 persen dari hasil penjualan TBS setelah dikurangi biaya produksi (biaya pemeliharaan, pengangkutan, PHP, pupuk, upah tenaga kerja dan peralatan). Biaya operasional ini terbagi dua yaitu 70 persen untuk operasional kelompok tani dan 30 persen untuk operasional KUD.
57
58
b) Biaya Tidak Tunai (Biaya yang Diperhitungkan) Biaya tidak tunai pada kebun plasma PTPN VI adalah penyusutan tanaman menghasilkan, penyusutan peralatan, dan sewa lahan sedangkan untuk petani plasma PT BPP adalah penyusutan tanaman menghasilkan dan sewa lahan. Lahan kebun plasma PT BPP belum dilakukan konversi yaitu pengalihan status pemeliharaan kebun dari PT BPP kepada petani plasma. Petani plasma PT BPP tidak melakukan pengelolaan kebun sendiri tetapi keseluruhan kebun plasma dikelola oleh bagian estate plasma PT BPP. Petani plasma PT BPP merupakan pemilik lahan dimana dibangun kebun plasma kelapa sawit sehingga sewa lahan dimasukkan kedalam biaya tidak tunai. Pada petani plasma PTPN VI dan PT BPP tidak mempunyai tenaga kerja dalam keluarga, yang dimasukkan kedalam biaya tenaga kerja adalah tenaga kerja tetap dan tenaga kerja upahan. Tabel 8. Total Biaya Tidak Tunai Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005
No
Komponen Biaya Tidak Tunai
1
Penyusutan
a
Tanaman menghasilkan
b
Peralatan
2
Sewa Lahan
Total Sumber : PTPN VI dan PT BPP (diolah)
PTPN VI Biaya Persentase (Rp) (%)
PT BPP Biaya Persentase (Rp) (%)
306.828
12,97
1.033.000
67.38%
58.334
2,47
0
0.00%
1.000.000
84,56
500.000
32.62%
1.365.162
100,00
1.533.000
100,00
Sewa lahan pada kedua kebun plasma ini berbeda yaitu pada kebun plasma PTPN VI adalah Rp 1.000.000,00 (84,56 %) dan PT BPP sebesar Rp 500.000,00 (32.62 %). Harga ini disesuaikan dengan harga sewa lahan yang berlaku di daerah masing-masing. Pada kebun plasma PT BPP sewa lahan relatif murah karena terletak di daerah terpencil (± 250 Km dari Ibukota Propinsi) dan sebelumnya merupakan lahan tidur yang tidak termanfaatkan.
58
59
c) Total Biaya Faktor Produksi Kebun Plasma Perkebunan Kelapa Sawit Total biaya tunai yang dikeluarkan oleh kebun plasma PTPN VI sebesar 88,18 persen yang lebih besar dari biaya tunai yang dikeluarkan oleh kebun plasma PT BPP sebesar 68,82 persen. Total biaya tidak tunai untuk petani plasma PTPN VI adalah sebesar Rp 1.365.162,00 (11,82 %) sedangkan pada petani plasma PT BPP adalah Rp 1.533.000,00 (31,18 %). Biaya produksi terbesar kebun plasma PTPN VI adalah pupuk dan analisa daun sebesar 33,97 persen sedangkan untuk kebun plasma PT BPP adalah angsuran kredit sebesar 33,78 persen. Tabel 9. Total Biaya Kebun Plasma per 2 Ha Tahun 2005
No
Komponen Biaya
A
Komponen Biaya Tunai
1
Biaya Manajemen
2
Pemeliharaan Jalan
3
Biaya Angkutan
4
Pemberantasan H&P
5
Pupuk, Analisa Daun dll
6
PTPN VI Biaya Persentase (Rp) (%)
PT BPP Biaya Persentase (Rp) (%)
42.890
0,37
276.849
5,63
1.008.652
8,73
36.000
0,73
419.870
3,63
547.344
11,13
30.000
0,26
30.000
0,61
3.925.000
33,97
294.611
5,99
Simpanan Wajib
432.901
3,75
0
0,00
7
Replanting
900.000
7,79
0
0,00
8
PBB/Kontribusi Amprah
115.000
1,00
0
0,00
9
Dana Sosial
492.000
4,26
0
0,00
10
Tenaga Kerja
2.700.000
23,37
437.875
8,91
11
Peralatan
122.000
1,06
100.000
2,03
12
Angsuran Kredit
0
0,00
1.661.097
33,78
10.188.313
88,18
3.383.777
68,82
306.828
2,66
1.033.000
21,01
58.334
0,50
0
0,00
Total Biaya Tunai B
Komponen Biaya Tidak Tunai
1
Penyusutan
a
Tanaman menghasilkan
b
Peralatan
2
Sewa Lahan
1.000.000
8,66
500.000
10,17
Total Biaya Tidak Tunai
1.365.162
11,82
1.533.000
31,18
Total Biaya 11.553.475 Sumber : PTPN VI dan PT BPP (diolah)
100,00
4.916.777
100,00
59
60
d) Pendapatan Usaha Kebun Plasma Perkebunan Kelapa Sawit Pendapatan usaha perkebunan kelapa sawit diperoleh dengan cara mengurangi penerimaan dengan biaya-biaya. Biaya yang dikeluarkan meliputi biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya total merupakan penjumlahan biaya tunai dengan biaya tidak tunai. Pendapatan yang dihitung adalah pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai diperoleh dengan mengurangi penerimaan dengan biaya tunai sedangkan pendapatan atas biaya total diperoleh dengan mengurangi penerimaan dengan biaya total. Penerimaan diperoleh dari perkalian jumlah produksi dalam suatu periode dengan harga penjualan yang berlaku. Pendapatan kebun plasma dihitung dalam periode satu tahun yaitu pada tahun 2005 (Tabel 9). Dari 2 Ha kebun plasma PTPN VI jumlah produksi rata-rata yang dihasilkan dalam satu tahun adalah 46.727,61 Kg sedangkan untuk kebun plasma PT BPP adalah 10.946,88 Kg. Berbedanya jumlah produksi ini disebabkan perbedaan produktivitas tanaman kelapa sawit. Produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh umur tanaman dan faktor lainnya seperti kriteria lahan, kesesuai iklim, kualitas bibit dan pemeliharaan. Berdasarkan pusat penelitian Marihat Medan (Lampiran 9) untuk tanaman kelapa sawit berumur 20-24 tahun TBS yang dihasilkan untuk lahan kelas 1 (lahan yang baik) adalah 18-25 ton/Ha/tahun sehingga produksi pada kebun plasma PTPN VI dianggap sudah optimal. Untuk tanaman kelapa sawit berumur 3-14 tahun produksi TBS adalah 5-21 ton/Ha/tahun pada lahan kelas IV (lahan tidak baik) sehingga dapat dilihat bahwa produksi kebun plasma PT BPP tidak optimal.
60
61
Harga TBS rata-rata yang diterima oleh petani plasma PTPN VI pada tahun 2005 adalah Rp 696,16/Kg sedangkan untuk petani plasma PT BPP adalah Rp 637,88/Kg. Harga yang diterima petani plasma dari PT BPP berdasarkan harga pasar TBS sedangkan untuk PTPN VI, perhitungan harga TBS dipengaruhi oleh harga CPO, inti sawit dan faktor K yang ditetapkan oleh perusahaan. Tabel 10. Analisis Pendapatan Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Plasma Per 2 Ha Tahun 2005 No
Uraian
A
Penerimaan
1
Produksi TBS
2
Harga TBS (Rp)/Kg
PTPN VI 46.727,61
10.946,88
696,16
637,88
32.530.050
6.982.820
0
224.380
32.530.050
7.207.200
10.188.313
3.383.777
1.365.162
1.533.000
Total Biaya
11.553.475
4.916.777
Pendapatan Atas Biaya Tunai
22.341.737
3.823.423
20.976.576
2.290.423
Penerimaan TBS 3
Premi/Finalty TBS (Rp) Penerimaan Total
B
Biaya
1
Biaya Tunai
2
Biaya Tidak Tunai
C
PT BPP
D Pendapatan Atas Biaya Total Sumber : PTPN VI dan PT BPP (diolah)
Penerimaan kebun plasma PTPN VI adalah Rp 32.530.050,00 dan kebun plasma PT BPP adalah Rp 6.982.820,00. Selain penerimaan dari TBS petani plasma PT BPP juga memperoleh premi sebagai penerimaan. Premi diperoleh jika kebun plasma menghasilkan TBS sesuai dengan standar yang berlaku. Pemberian premi bertujuan untuk meningkatkan mutu hasil panen TBS dan meningkatkan pendapatan petani plasma sesuai dengan jumlah dan mutu hasil yang diperoleh. Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh kebun plasma PTPN VI adalah sebesar Rp 22.341.737,00 dan kebun plasma PT BPP adalah Rp 3.823.423,00. Pendapatan
atas
biaya
total
untuk
61
petani
plasma
PTPN
VI
adalah
62
Rp 20.976.576,00 dan PT BPP adalah Rp 2.290.423,00. Selisih pendapatan atas biaya total antara petani plasma PTPN VI dan PT BPP sebesar Rp 18.686.153,00 Pendapatan kebun plasma PT BPP lebih rendah disebabkan masih rendahnya produksi kebun dan harga TBS yang diterima lebih kecil dari plasma PTPN VI. Pendapatan kebun plasma PTPN VI merupakan pendapatan rata-rata yang diterima oleh satu kepala keluarga petani peserta selama satu tahun sehingga pendapatan atas biaya tunai perbulan adalah Rp 1.861.811,00 dan pendapatan atas biaya total per bulan adalah Rp 1.748.048,00. Untuk kebun plasma PT BPP pendapatan yang dihitung belum merupakan pendapatan yang diterima oleh petani plasma. Pemilikan lahan rata-rata petani plasma adalah 1,13 hektar sehingga pendapatan atas biaya tunai perbulan adalah Rp 180.019,00 dan pendapatan atas biaya total petani adalah Rp 107.841,00 per bulan. Pendapatan ini tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani peserta.
6.1.2. Pendapatan Kebun Inti Komponen-komponen biaya pada kebun inti memiliki perbedaan dengan biaya pada kebun plasma. Biaya tunai yang dikeluarkan kebun inti adalah gaji staf perkebunan, biaya pemeliharaan tanaman, penyiangan, pemupukan, panen da pengumpulan hasil, biaya pengangkutan tenaga pemborong dan lain-lain. Biaya tidak tunai yang dikeluarkan kebun inti adalah penyusutan tanaman menghasilkan dan penyusutan peralatan. a) Biaya Tunai Biaya tunai terbesar yang dikeluarkan oleh kebun inti PTPN VI adalah biaya panen dan pengumpulan hasil sebesar Rp 2.623.326,00 dengan persentase
62
63
sebesar 35,18 persen sedangkan untuk kebun inti PT BPP adalah biaya pemupukan sebesar Rp 4.061.182,00 atau 33,76 persen. Untuk gaji staf perkebunan terdapat perbedaan yang cukup besar besar antara PTPN VI dan PT BPP. Perbedaan ini disebabkan staf kebun Inti PTPN VI hanya 6 orang sedangkan pada PT BPP adalah 19 orang juga terdapat perbedaan dalam jumlah gaji dan tunjangan yang diberikan oleh masing-masing perusahaan. Tabel 11. Total Biaya Tunai Kebun Inti 2 Ha Tahun 2005
No
Komponen Biaya Tunai
1
Gaji staf perkebunan
2
Pemeliharaan tanaman
3
PTPN VI Biaya Persentase (Rp) (%) 222.370 2,98
PT BPP Biaya Persentase (Rp) (%) 3.047.459 24,51
782.052
10,49
1.726.500
13,89
Penyiangan
1.197.731
16,06
0
0,00
4
Pemupukan
1.371.524
18,39
4.061.182
33,76
5
Panen dan Pengumpulan hasil Biaya pengangkutan tenaga pemborong Lain-lain
2.623.326
35,18
2.020.963
16,80
1.129.769
15,15
1.173.464
9,75
130.867
1,75
0
0,00
7.457.639
100,00
12.029.568
100,00
6 7
Total Sumber : PTPN VI dan PT BPP (diolah)
b) Biaya Tidak Tunai (Biaya Yang Diperhitungkan) Biaya tidak tunai terbesar pada kedua perusahaan ini terdapat pada penyusutan tanaman menghasilkan. Penyusutan tanaman menghasilkan pada kebun inti PTPN VI adalah sebesar 91,39 persen (Rp 263.683,00) sedangkan untuk kebun inti PT BPP adalah 77,01 persen (Rp 3.248.114,00). Penyusutan peralatan untuk kebun inti PTPN VI dan PT BPP adalah Rp 24.857,00 dan Rp 969.839,00.
Jumlah
nominal
penyusutan
pada
kebun
inti
PT
BPP
(Rp 4.217.953,00) lebih besar jika dibandingkan dengan penyusutan pada kebun inti PTPN VI (Rp 288.540,00). Perbedaan angka ini disebabkan perbedaan tahun pembangunan kebun kelapa sawit, pembangunan kebun yang baru membutuhkan
63
64
modal dengan angka nominal yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Lahan yang digunakan oleh kebun inti merupakan lahan dengan hak guna usaha. Tabel 12. Total Biaya Tidak Tunai Kebun Inti per 2 Ha Tahun 2005
No
Komponen Biaya Tidak Tunai
PTPN VI Biaya Persentase (Rp) (%)
PT BPP Biaya Persentase (Rp) (%)
Penyusutan 1
Tanaman menghasilkan
2
Peralatan
Total Sumber : PTPN VI dan PT BPP (diolah)
263.683
91,39
3.248.114
77,01
24.857
8,61
969.839
22,99
288.540
100,00
4.217.953
100,00
c) Total Biaya Faktor Produksi Kebun Inti Perkebunan Kelapa Sawit Total biaya tunai yang dikeluarkan oleh kebun inti PTPN VI sebesar 96,28 persen yang memiliki persentase lebih besar dibandingkan biaya tunai yang dikeluarkan oleh kebun inti PT BPP sebesar 74,04 persen. Total biaya tidak tunai untuk kebun inti PTPN VI adalah sebesar 3,72 persen sedangkan kebun inti PT BPP adalah 25,96 persen. Tabel 13. Total Biaya Kebun Inti per 2 Ha Tahun 2005 No
Komponen Biaya
Komponen Biaya Tunai 1 Gaji staf perkebunan 2 Pemeliharaan tanaman 3 Penyiangan 4 Pemupukan 5 Panen dan Pengumpulan hasil Biaya pengangkutan tenaga 6 pemborong 7 Lain-lain Total Biaya Tunai Komponen Biaya Tidak Tunai 1 Penyusutan a Tanaman menghasilkan b Peralatan Total Biaya Tidak Tunai Total Biaya Sumber : PTPN VI dan PT BPP (diolah)
PTPN VI Biaya Persentase (Rp) (%)
PT BPP Biaya Persentase (Rp) (%)
222.370 782.052 1.197.731 1.371.524 2.623.326
2,87 10,10 15,46 17,71 33,87
3.047.459 1.726.500 0 4.061.182 2.020.963
18,76 10,63 0,00 25,00 12,44
1.129.769
14,58
1.173.464
7,22
130.867 7.457.639
1,90 96,28
0 12.029.568
0,00 74,04
263.683 24.857 288.540 7.746.179
3,40 0,32 3,72 100,00
3.248.114 969.839 4.217.953 16.247.521
19,99 5,97 25,96 100,00
64
65
Biaya produksi terbesar kebun inti PTPN VI terletak pada panen dan pengumpulan hasil sebesar 33,87 persen sedangkan untuk kebun inti PT BPP adalah pemupukan sebesar 25,00 persen. Jumlah nominal biaya kebun inti PT BPP adalah Rp 16.247.571,00 yang lebih besar dari biaya kebun inti PTPN VI (Rp 7.746.179,00). Jumlah biaya yang dikeluarkan kebun inti PT BPP lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan kebun inti PTPN VI baik untuk biaya tunai maupun biaya tidak tunai.
d) Pendapatan usaha kebun inti perkebunan kelapa sawit Pendapatan kebun inti yang dihitung adalah pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan yang dihitung merupakan pendapatan dalam satu tahun pada tahun 2005. Luas areal kebun inti yang dihitung sama dengan luas areal petani plasma yaitu 1 kapling (2 Ha). Pendapatan diperoleh dengan mengurangi penerimaan dengan biaya. Penerimaan diperoleh dari perkalian jumlah produksi dalam suatu periode dengan harga penjualan yang berlaku. Jumlah produksi rata-rata 2 Ha kebun inti PTPN VI yang dihasilkan pada tahun 2005 adalah 36.644,48 Kg sedangkan untuk kebun plasma PT BPP adalah 35.838,59 Kg (Tabel 13). Umur tanaman pada kedua kebun inti berbeda, pada kebun inti PTPN VI adalah 12-24 tahun sedangkan PT BPP adalah 3-15 tahun tetapi jumlah produksi yang dihasilkan kedua kebun inti telah optimal. Jumlah produksi kebun inti PTPN VI tidak jauh berbeda dengan kebun inti PT BPP. Produktivitas kebun inti PTPN VI pada tahun 2005 adalah 18,32 ton/Ha dan kebun inti PT BPP adalah 17,92 ton/Ha. Harga TBS yang digunakan dalam perhitungan pendapatan kebun inti berdasarkan harga TBS yang berlaku pada
65
66
kebun plasma masing-masing perusahaan. Kebun inti PTPN VI dengan harga TBS sebesar Rp 696,16/Kg dan untuk kebun inti PT BPP adalah Rp 637,88/Kg. Penerimaan kebun inti PTPN VI adalah Rp 25.510.546,15 dan kebun inti PT BPP adalah Rp 22.860.788,65. Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh kebun inti PTPN VI adalah sebesar Rp 18.052.907,00 dan kebun inti PT BPP adalah Rp 10.831.221,00. Pendapatan atas biaya total untuk kebun inti PTPN VI adalah Rp 17.764.367,00 dan PT BPP adalah Rp 6.613.297,00. Selisih pendapatan atas biaya total antara kebun inti PTPN VI dan PT BPP sebesar Rp 11.151.070,00. Hal ini disebabkan biaya tunai yang cukup tinggi dan biaya penyusutan yang cukup besar pada kebun inti PT BPP. Tabel 14. Analisis Pendapatan Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Inti Per 2 Ha Tahun 2005 No A 1 2
Uraian
PTPN VI
Penerimaan Produksi TBS (Kg) Harga TBS (Rp)/Kg Penerimaan TBS B Biaya 1 Biaya Tunai 2 Biaya Tidak Tunai Total Biaya C Pendapatan Atas Biaya Tunai D Pendapatan Atas Biaya Total Sumber : PTPN VI dan PT BPP (diolah)
PT BPP
36.644,48 696,16 25.510.546,15
35.838,59 637,88 22.860.788,65
7.457.639 288.540 7.746.179 18.052.907 17.764.367
12.029.568 4.217.953 16.247.521 10.831.221 6.613.267
6.1.3. Pendapatan Kebun Plasma dan Kebun Inti Pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total pada kebun plasma PTPN VI (Rp 22.341.737,00 dan Rp 20.976.576,000) lebih tinggi dari pada pendapatan kebun inti (Rp 18.052.907,00 dan Rp 17.764.367,00). Hal ini berarti petani plasma telah mampu mengadopsi teknologi perusahaan inti dalam
66
67
meningkatkan produksi dan tujuan pola kemitraan menyetarakan produktivitas kebun plasma dapat setara dengan produktivitas kebun intinya telah tercapai. Pada pola kemitraan di PT BPP, diperoleh pendapatan untuk kebun plasma baik pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total (Rp 3.823.423,00 dan Rp 2.290.423,00) lebih kecil dari kebun inti (Rp 10.831.221,00 dan Rp 6.613.297,00). Hal ini berarti perusahaan inti dalam membina kebun plasma pada pola kemitraan yang dilaksanakan belum mampu meningkatkan produktivitas kebun plasma setara dengan kebun inti.
6.1.4. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Pabrik kelapa sawit adalah bangunan yang terdiri dari stasiun-stasiun dan beberapa unit peralatan teknis tempat pengolahan mulai dari penerimaan bahan baku (TBS) sampai menjadi minyak sawit dan inti sawit. Tanaman kelapa sawit akan menghasilkan 3 tahun setelah tanam. PTPN VI berhasil membangun kebun kelapa sawit seluas 8.056 hektar yang terdiri atas kebun inti seluas 3.256 hektar dan kebun plasma seluas 4.800 hektar. Penanaman kebun kelapa sawit dimulai tahun 1982. Pada awalnya kebun menghasilkan produksi TBS yang masih rendah dan pengolahannya dilakukan hanya dengan PKS pionir berkapasitas 10 ton TBS/jam. Meningkatnya produksi TBS dari tahun ketahun sehingga telah dipasang dua lini PKS dengan kapasitas 20 ton TBS/jam. Pada tahun 1993 kapasitas pabrik ditingkatkan dari 40 ton TBS/jam menjadi 50 ton TBS/jam atau 1000-1100 ton TBS/hari dengan melakukan penambahan instalasi pabrik.
67
68
PT BPP sampai tahun 2005 berhasil membangun kebun kelapa sawit seluas 12.580,41 hektar yang terdiri atas kebun inti seluas 8.125,4 hektar dan kebun plasma seluas 4.455 hektar. PKS sebagai pengolah hasil produksi kebun selesai dibangun bulan Mei 1996 dengan kapasitas 60 ton TBS/jam. PKS menghasilkan minyak sawit dan inti sawit sebagai penerimaan. Pendapatan PKS berasal dari volume minyak sawit dan inti sawit dikalikan dengan harga minyak sawit dan inti sawit yang diterima perusahaan. Minyak sawit dan inti sawit berasal dari bahan baku (TBS) plasma, inti, pihak III dan mitra binaan. Volume produksi minyak dan inti sawit PTPN VI lebih besar dari PT BPP karena PKS PT BPP hanya menerima bahan baku dari kebun inti dan kebun plasma. Volume produksi minyak dan inti sawit kedua perusahaan ini dapat dilihat pada Tabel 15. Biaya tunai PTPN VI terdiri dari pembelian bahan baku, gaji dan tunjangan, pajak, laboratorium, keamanan, biaya listrik, air, telepon dan lain-lain. Biaya tidak tunai pada PKS adalah penyusutan bangunan rumah, mesin dan instalasi, aktiva hak guna usaha dan lain-lain (Lampiran 3). Penerimaan PKS PTPN VI adalah Rp 176,39 milyar dan PKS PT BPP adalah Rp 142,74 milyar. Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh PKS PTPN VI adalah sebesar Rp 95,44 milyar dan PKS PT BPP adalah Rp 108,82 milyar. Pendapatan atas biaya total untuk PKS PTPN VI adalah Rp 93,78 milyar dan PT BPP adalah Rp 99,59 milyar. Selisih pendapatan atas biaya total antara PKS PTPN VI dan PT BPP sebesar Rp 5,81 milyar dimana pendapatan PKS PT BPP lebih besar dari PTPN VI, hal ini disebabkan PKS PTPN VI memerlukan biaya yang lebih besar daripada PKS PT BPP.
68
69
Tabel 15. Analisis Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit Tahun 2005 No
Uraian
A
Penerimaan
1
Produksi minyak sawit (Kg)
2
Harga minyak sawit (Rp/Kg)
PTPN VI 45.568.489
39.409.645
3.341,64
3.230
152.273.485.582
127.293.153.350
11.026.728
7.285.689
2.187,38
2.120
24.119.644.293
15.445.660.680
176.393.129.875
142.738.814.030
80.952.410.045
33.922.665.198
1.664.531.716
9.227.939.811
Total Biaya
82.616.941.761
43.150.605.009
Pendapatan Atas Biaya Tunai
95.440.719.830
108.816.148.832
93.776.188.114
99.588.209.021
Penerimaan minyak sawit (Rp) 3
Produksi inti sawit (Kg)
4
Harga inti sawit (Rp/Kg) Penerimaan inti sawit (Rp) Penerimaan total (Rp)
B
Biaya (Rp)
1
Biaya Tunai
2
Biaya Tidak Tunai
C
PT BPP
D Pendapatan Atas Biaya Total Sumber : PTPN VI dan PT BPP (diolah)
6.2. Analisis Imbangan Penerimaan terhadap Biaya (R/C) Imbangan penerimaan atas biaya adalah penerimaan untuk setiap rupiah yang dikeluarkan. Dengan analisis ini akan dapat diketahui apakah usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan efisien atau tidak. Usaha dikatakan efisien jika nilai R/C yang didapat lebih dari satu dan tidak efisien jika nilai R/C yang didapat adalah kurang dari satu. Biaya yang dikeluarkan terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai. R/C yang dihitung adalah R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total. Berdasarkan Tabel 16, diperoleh R/C atas biaya tunai untuk kebun plasma PTPN VI adalah 3.19, artinya untuk setiap rupiah biaya tunai yang dikeluarkan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 3,19 sedangkan untuk kebun plasma PT BPP diperoleh R/C atas biaya tunai sebesar 2.13 yang berarti untuk setiap rupiah biaya tunai
69
70
yang dikeluarkan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 2,13. Pengertian untuk nilai R/C atas biaya tunai untuk kebun inti dan pabrik kelapa sawit sama dengan penjelasan nilai R/C atas biaya tunai pada kebun plasma. Tabel 16. Nilai R/C Kebun Plasma, Kebun Inti dan Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PTPN VI dan PT BPP Kebun Plasma No
Uraian
PTPN VI
PT BPP
Kebun Inti PTPN VI
PKS
PT BPP
PTPN VI
PT BPP
1
R/C Atas Biaya Tunai
3.19
2.13
3.42
1.90
2.18
4.21
2
R/C Atas Biaya Total
2.82
1.47
3.29
1.41
2.14
3.31
Sumber : PTPN VI dan PT BPP (diolah)
R/C atas biaya tunai pada pola kemitraan PTPN VI untuk petani plasma adalah 3.19 yang memiliki nilai lebih kecil dari kebun inti yaitu 3.42. Hal ini berarti usaha kebun inti lebih menguntungkan dan lebih efisien. R/C atas biaya tunai pada pola kemitraan PT BPP untuk petani plasma (2.13) lebih besar dari kebun inti (1.90) yang berarti usaha kebun plasma PT BPP lebih efisien dibandingkan kebun intinya. Efisiensi kebun plasma PT BPP dipengaruhi oleh biaya tunai yang dikeluarkan, karena biaya dihitung berdasarkan produksi yang dihasilkan seperti untuk angsuran kredit dan tenaga kerja upahan. R/C atas biaya total untuk kebun plasma PTPN VI adalah 2.82 yang berarti untuk setiap rupiah biaya total yang dikeluarkan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 2,82. Untuk petani plasma PT BPP diperoleh R/C atas biaya total sebesar 1.47 yang berarti untuk setiap rupiah biaya tunai yang dikeluarkan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 1,47. Pengertian untuk nilai R/C atas biaya total untuk kebun inti dan pabrik kelapa sawit sama dengan penjelasan nilai R/C atas biaya total pada kebun plasma.
70
71
Hasil perhitungan nilai R/C untuk PKS, PKS PT BPP didapat nilai R/C atas biaya tunai sebesar 4.21 dan R/C atas biaya total sebesar 3.31 yang lebih besar dari nilai R/C PKS PTPN VI (2.18 dan 2.14). Nilai R/C ini mengindentifikasikan bahwa usaha pabrik kelapa sawit PT BPP lebih efisien dan menguntungkan dari usaha Pabrik kelapa sawit Kebun Plasma PTPN VI Keuntungan dari PKS inilah yang dimanfaatkn oleh PT BPP dalam membangun perkebunan kelapa sawit yang masih berlanjut hingga sekarang. Untuk PTPN VI diperlukan perbaikan-perbaikan PKS karena umur pabrik dan peralatan yang sudah tua. Dari keseluruhan hasil perhitungan R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total kebun plasma, kebun inti dan pabrik kelapa sawit diperoleh nilai yang lebih besar dari satu yang berarti usaha perkebunan kelapa sawit pada pola kemitraan PTPN VI dan PT BPP yang dilakukan sudah efisien. Walaupun sekarang PTPN VI lebih efisien pada kebun inti dan kebun plasma dari PT BPP tetapi PTPN VI memasuki tahap dimana perlu dilakukan peremajaan dengan pendapatan dari kebun kelapa sawit sama dengan nol. 6.3. Penyerapan Tenaga Kerja 6.3.1. PTPN VI Jumlah tenaga kerja (31 Desember 2005) pada PTPN VI dapat dilihat pada Tabel 17. Tenaga kerja pada PTPN VI terdiri dari tenaga kerja tetap (karyawan) dan tenaga kerja lain (honorer). Pada tahun 2005 tersedia tenaga kerja pria 606 orang dan tenaga kerja wanita 166. Jam kerja efektif adalah 7 jam/hari dan hari kerja efektif dalam satu tahun adalah 272 hari.
71
72
Tabel 17. Tenaga Kerja PTPN VI Periode Desember 2005 No
Unit/Bagian
Jumlah TK Tetap
Jumlah TK lain
Pria
Wanita
Jumlah
Pria
Wanita
Jumlah
1
Tanaman
260
123
383
0
0
0
2
Teknik
91
4
95
0
0
0
3
Keuangan
27
9
36
0
0
0
4
Umum
43
14
59
8
12
20
5
Pengolahan
175
4
179
0
0
0
598
154
752
8
12
20
Jumlah
Sumber : Profil PTPN VI, 2005 Untuk bagian budidaya atau tanaman pada PTPN VI tersedia tenaga kerja : 1. Tenaga kerja pria adalah 260 orang = 260 HOK/hari 2. Tenaga kerja wanita adalah 123 orang = 98,4 HOK/hari 3. Total HOK yang tersedia adalah 358,4 HOK 4. HOK untuk satu tahun adalah 97484,8 HOK HOK untuk kebun kelapa sawit seluas 1 Ha adalah 29,94 HOK/tahun. Dalam satu tahun hari kerja terhitung adalah 300 hari. Penyerapan tenaga kerja untuk budidaya tanaman kelapa sawit adalah 0,1 HOK/ Ha atau membutuhkan 0,7 tenaga kerja dalam aktivitas budidaya tanaman kelapa sawit. Penyerapan tenaga kerja selain pada bagian budidaya kelapa sawit PTPN VI adalah : 1. Tenaga kerja pria adalah 346 orang = 346 HOK/hari 2. Tenaga kerja wanita adalah 43 orang = 34,4 HOK/hari 3. Total HOK yang tersedia adalah 380,4 HOK 4. HOK untuk satu tahun adalah 103.468,8 HOK HOK untuk kebun kelapa sawit seluas 1 Ha adalah 12,84 HOK/tahun atau 0,30 tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja total untuk 1 hektar kebun kelapa
72
73
sawit PTPN VI pada periode tahun 2005 adalah satu tenaga kerja. PTPN VI telah membuka kesempatan kerja bagi 752 orang tenaga kerja tetap dan memanfaatkan tenaga kerja honorer sebesar 20 orang. Selain menggunakan tenaga kerja tetap, PTPN VI juga menggunakan tenaga kerja borongan.
6.3.2. PT BPP Tenaga kerja PT BPP terdiri dari Staff, karyawan HIP, karyawan SKU dan buruh harian lepas. Karyawan HIP merupakan karyawan bulanan tetap dan karyawan SKU adalah karyawan harian tetap. Jam kerja efektif adalah 7 jam/hari pada hari senin sampai kamis dan 6 jam pada hari jumat dan sabtu. Hari kerja efektif dalam satu minggu adalah 272 hari. Jumlah tenaga kerja tersedia (31 Desember 2005) untuk bagian budidaya atau tanaman PT BPP adalah : 1. Tenaga kerja pria adalah 789 orang = 789 HOK/hari 2. Tenaga kerja wanita adalah 339 orang = 271,2 HOK/hari 3. Total HOK yang tersedia adalah 1.136 HOK 4. HOK untuk satu minggu rata-rata adalah 6.059,98 HOK 5. HOK untuk satu tahun adalah 290.879,04 HOK HOK untuk kebun kelapa sawit seluas 1 Ha adalah 35,80 HOK/tahun. Dalam satu tahun hari kerja terhitung adalah 300 hari. Penyerapan tenaga kerja untuk budidaya tanaman kelapa sawit adalah 0,12 HOK/Ha atau membutuhkan 0,84 tenaga kerja dalam aktivitas budidaya tanaman kelapa sawit. Penyerapan tenaga kerja selain bagian budidaya pada PT BPP adalah sebagai berikut :
73
74
1. Tenaga kerja pria adalah 345 orang = 345 HOK/hari 2. Tenaga kerja wanita adalah 148 orang = 118,4 HOK/hari 3. Total HOK yang tersedia adalah 463.4 HOK 4. HOK untuk satu minggu rata-rata adalah 2.647,98 HOK 5. HOK untuk satu tahun adalah 127.103,04 HOK HOK untuk kebun kelapa sawit seluas 1 Ha adalah 10.10 HOK/tahun atau 0.24 orang/Ha. Penyerapan tenaga kerja total untuk 1 hektar kebun kelapa sawit PT BPP pada periode tahun 2005
adalah 1,08 tenaga kerja. PT BPP telah
membuka kesempatan kerja bagi 1621 tenaga kerja.
6.4. Peran Tenaga Kerja Kebun Plasma Terhadap Produksi Kebun Plasma Pengaruh tenaga kerja terhadap produksi dapat dilihat dengan model regresi. Model regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor tenaga kerja dan faktor lain seperti modal pada kebun plasma terhadap produksi kebun plasma. Data diolah dengan perangkat lunak komputer Minitab Release 14. Hasil estimasi data dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 18. Hasil Estimasi Regresi Produksi Usaha Kebun Plasma Variabel
Notasi
Koefisien
T
P
Konstan
α
2.61
0.76
0.452
Modal
X1
-0.000002
-0.50
0.618
Tenaga kerja
X2
0.788
18.07
0.000
Ket :
R2
: 95.5 %
R2 adjust(%) : 95.1 % Uji-F
: 283.52
74
75
Uji R2 Berdasarkan hasil estimasi regresi Tabel 17, diperoleh nilai R2 sebesar 95,5 persen artinya model mampu dijelaskan oleh tenaga kerja dan modal didalam persamaan sebesar 95,5 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Faktor-faktor lain yang tidak dijelaskan didalam model terdiri dari pengaruh cuaca, kesesuaian lahan dan lain-lain. Uji F-Statistik Nilai F-statistik pada hasil analisis regresi ini sebesar 283.52 dengan nilai probabilitasnya sebesar 0,000. Persamaan tersebut lulus uji F-statistik, dimana nilai F-tabel pada taraf nyata 5 persen (F-tabel = 19,5) lebih kecil dari pada nilai F statistiknya. Jadi dapat disimpulkan ada salah satu variabel penjelas (modal dan tenaga kerja) yang berpengaruh nyata terhadap output pada tingkat kepercayaan 5 persen. Uji t-statistik Pengujian terhadap masing-masing variabel bebas dilakukan dengan uji t-statistik. Pengujian t-statistik dapat dilakukan dengan melihat nilai t-tabel atau nilai probabilitas dari masing-masing variabel bebas. Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa faktor produksi tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi karena memiliki nilai t-statistik yang lebih besar daripada nilai t-tabel pada taraf nyata 5 persen (t-tabel = 2,01) dan nilai probabilitas 0,000. Modal tidak berpengaruh nyata terhadap produksi. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat korelasi antar peubah bebasnya (X). Multikolinearitas dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation
75
76
Factor) berdasarkan hasil estimasi regresidiperoleh nilai VIF sebesar 1,7 (< 10) untuk peubah bebasnya (tenaga kerja dan modal) sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing peubah tidak terdapat gejala multikolinearitas. Interpretasi Peubah-Peubah Dalam Model Y = 2.61 - 0.000002 X1 + 0.788 X2 Berdasarkan dari hasil regresi linear sederhana diatas dapat dijelaskan beberapa koefisien yaitu konstanta atau α sebesar 2,61 menunjukkan bahwa ratarata produksi kebun plasma pada bulan Desember tahun 2005 adalah 2,61 ton ketika penggunaan tenaga kerja dan modal adalah nol. Untuk koefisien dari modal (b1) diperoleh nilai negatif dan nilai probabilitas yang menunjukkan bahwa modal tidak berpengaruh nyata terhadap produksi. Untuk nilai b2 yang merupakan koefisien dari tenaga kerja diperoleh nilai 0,788 artinya setiap peningkatan penggunaan faktor produksi tenaga kerja 1 HOK maka akan menyebabkan peningkatan produksi sebesar 0,788 ton. Hasil estimasi menunjukkan bahwa faktor tenaga kerja berpengaruh secara nyata terhadap produksi kebun plasma. Dapat disimpulkan bahwa semakin banyak usaha perkebunan kelapa sawit maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
76
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan 1. Pola kemitraan yang dilaksanakan oleh PTPN VI adalah pola PIR-Bun yang dikenal dengan proyek NESP Ophir. Proyek NESP Ophir telah berhasil menciptakan petani mandiri dengan pembentukan organisasi/koperasi petani sawit yang dapat menyalurkan aspirasi petani plasma. Pola kemitraan PT BPP adalah pola Bapak Angkat Anak Angkat yang dikenal dengan Plasma KKPA project. Plasma KKPA project masih bersifat tanggung renteng yaitu kebun milik bersama yang hasil dan biayanya dibagi rata. 2. Pendapatan kebun plasma dan kebun inti PTPN VI lebih tinggi dari PT BPP. Untuk pendapatan pabrik kelapa sawit, Pabrik kelapa sawit PT BPP memperoleh pendapatan yang lebih besar dari PTPN VI. Pendapatan pada kebun plasma PT BPP tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani peserta. 3. Tenaga kerja yang terserap pada perusahaan PTPN VI adalah sebanyak 772 karyawan dan satu hektar kebun kelapa sawit PTPN VI pada periode tahun 2005 membutuhkan satu tenaga kerja. Tenaga kerja yang terserap pada PT BPP adalah sebanyak 1621 orang dan satu hektar kebun kelapa sawit PT BPP pada periode tahun 2005 membutuhkan 1,08 tenaga kerja. PT BPP lebih banyak menyerap tenaga kerja dalam masyarakat untuk usaha perkebunan yang dilakukan dari pada PTPN VI.
78
4. Tenaga kerja kebun plasma sangat berperan dalam meningkatkan produksi kebun plasma. Produksi kebun plasma perkebunan kelapa sawit dipengaruhi secara nyata oleh tenaga kerja. Setiap peningkatan penggunaan tenaga kerja pada kebun plasma maka akan menyebabkan peningkatan produksi kebun plasma. Semakin banyak usaha perkebunan kelapa sawit maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
7.2. Saran 1. Pola kemitraan yang dikembangkan harus ditujukan untuk menciptakan kemandirian petani plasma seperti yang dilakukan pada proyek NESP Ophir. Pembentukan dan pengelolan organisasi petani plasma/KPS/KUD harus atas partisipasi dari anggota yang pembinaannya dilakukan oleh perusahaan inti dan pemerintah 2. Kedua sistem kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit baik proyek NESP maupun plasma KKPA project telah membuka kesempatan kerja yang cukup besar dalam masyarakat. Pola kemitraan dapat lebih banyak dikembangkan di daerah tetapi pelaksanaannya perlu dipantau oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perusahaan inti tidak boleh hanya memperkaya diri sendiri dan menggunakan kebun plasma sebagai jaminan bahan baku pabrik kelapa sawit. Harus diciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara petani plasma dan perusahaan inti. 3. Proyek NESP Ophir telah berhasil memberikan pendapatan yang cukup besar kepada petani plasma dan menyerap tenaga kerja. Perlu dikembangkan pola kemitraan yang serupa di daerah lain tetapi dengan perencanaan yang lebih
78
79
baik dan petani peserta adalah masyarakat sekitar yang tidak memiliki pekerjaan tetap. 4. Penelitian ini masih memiliki ruang lingkup yang terbatas, untuk penelitian selanjutnya dapat diteliti mengenai perbandingan pola kemitraan antara dua perusahaan inti milik negara atau antara dua perusahaan inti milik swasta. Kurangnya data yang diperoleh dari kebun plasma menyebabkan keterbatasan dalam menganalisis, untuk selanjutnya mungkin penelitian dapat lebih difokuskan kepada petani plasma dalam pola kemitraan.
79
80
DAFTAR PUSTAKA Ananta, Aris. 1990. Ekonomi Sumberdaya Manusia. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Anwar, effendi et al. 1985. Studi Pola Pengembangan Perkebunan yang Dikaitkan dengan Program Tranmigrasi. Laporan penelitian IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2004. Direktori Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta. ................................. 2005. Statistik Indonesia 2004. Jakarta. Daim, Chamidun. 2003. Pengembangan kemitraan dan Dukungan Pendanaannya di bidang perkebunan. Makalah Pengantar Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2005. Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta. Gujarati, Damodar. 1978. Ekonometrika Dasar (terjemahan). Penerbit Erlangga. Jakarta. Indrianisari, Ani. 1999. Kerjasama Inti Rakyat Dalam Upaya Meningkatkan Penyerapan Tenaga Kerja Dan Pendapatan Usahatani Sutera Alam. Skripsi Sarjana Tidak Dipublikasikan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mubyarto et al. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media, Yogyakarta. Muchtar, Muchlis. 1987. Dampak Ekonomi Perusahaan Inti Rakyat Kelapa Sawit Ophir Terhadap Pengembangan Wilayah Pasaman Barat. Universitas Andalas. Padang. S, Yudistira P. 2003. Analisis Finansial dan Ekonomi Kelapa Sawit Perkebunan Kelapa Sawit Pt Mesa Inti Kebun Kabupaten Musi Banyu Asin. Skripsi Sarjana Tidak Dipublikasikan, Fakulas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siahaan, R. H. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Perkebunan Rakyat. Universitas Sisingamangaraja XII. Medan. Simanjuntak, Payaman J. 1998. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Soegiharto, Saraswati. 2004. Potret Tenaga kerja di Sektor Pertanian. Warta Ketenagakerjaan edisi (Nopember) 2004.
80
81
Soeharjo, A dan Dahlan Patong. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi et al. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil.Lembaga Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Soetarto et al. 2000. Prosiding Lokakarya Pola Penguasaan Lahan Dan Pola Usaha Serta Pemberdayaan Bpn Dan Pemda Dalam Rangka Partisipasi Di Sektor Perkebunan. Pustaka Wirausaha Muda, Bogor. Suharto, Rosediana. 2006. Industri Kelapa SawitTumbuh Signifikan. Republika Online 24 Januari 2006. Jakarta.
81
82
LAMPIRAN
82
83
Lampiran 1. Pendapatan Rata-rata Kebun Plasma Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005 per 2 Hektar No A 1 2
B 1
2
C D E F
Uraian
Jumlah
Penerimaan Produksi TBS(Kg) Harga TBS (Rp/Kg) Penerimaan (Rp)
46727.61 696.16 32530050.48
Biaya (Rp) Biaya Tunai Biaya Manajemen Biaya Angkutan Pemeliharaan Jalan Pemberantasan H&P Pupuk, Analisa Daun dll Simpanan Wajib Replanting PBB/Kontribusi Amprah Dana Sosial Tenaga Kerja Peralatan Total Biaya Tunai Biaya Tidak Tunai Penyusutan Tanaman menghasilkan Peralatan Sewa Lahan Total Biaya Tidak Tunai Total Biaya
306827.51 58334.00 1000000.00 1365161.51 11553474.51
Pendapatan Atas Biaya Tunai Pendapatan Atas Biaya Total R/C Atas Biaya Tunai R/C Atas Biaya Total
22341737.48 20976575.97 3.19 2.82
42890.00 1008652.00 419870.00 30000.00 3925000.00 432901.00 900000.00 115000.00 492000.00 2700000.00 122000.00 10188313.00
Sumber : PTPN VI (diolah)
83
84
Lampiran 2. Pendapatan Rata-rata Kebun Inti Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005 per 2 Hektar No A 1 2
B 1
2
C D E F
Uraian
Jumlah
Penerimaan Produksi TBS (Kg) Harga TBS (Rp/Kg) Penerimaan (Rp)
36644.48 696.16 25510546.15
Biaya (Rp) Biaya Tunai Gaji staf perkebunan Pemeliharaan tanaman a. Gaji dan biaya sosial pegawai non staf b. Pemeliharaan jalan c. Saluran air d. Alat-alat dan perlengkapan Penyiangan a. Pemberantasan lalang dengan kimiawi b. Menyiang dan merumput dengan tenaga sendiri c. Menyiang danmerumput dengan kimiawi d. Menyiang dan merumput dengan tenaga pemborong e. Alat-alat dan perlengkapan Pemupukan a. Upah pemupukan b. Analisa daun c. Pupuk d. Biaya pengangkutan e. Alat-alat dan perlengkapan Lain-lain a. Pemangkasan b. Inventaris pokok Panen dan Pengumpulan hasil a. Gaji dan biaya sosial pegawai non staf b. Upah dan biaya sosial karyawan c. Premi non staf d. Premi karyawan e. Monotoring buah f. Alat-alat dan perlengkapan g. Lain-lain Biaya pengangkutan tenaga pemborong Total Biaya Tunai
300096.98 774103.97 238578.06 1142453.22 26142.56 21302.21 120649.44 1129768.68 7457638.75
Biaya Tidak Tunai Penyusutan Tanaman menghasilkan Peralatan Total Biaya Tidak Tunai Total Biaya
263682.67 24857.46 288540.13 7746178.88
Pendapatan Atas Biaya Tunai Pendapatan Atas Biaya Total R/C Atas Biaya Tunai R/C Atas Biaya Total
222370.24 652990.64 90972.50 2987.16 35101.35 66171.97 801015.49 130544.43 153120.79 46878.12 98666.45 3405.85 1219722.39 23954.92 25774.57 118923.50 11943.25
18052907.40 17764367.27 3.42 3.29
Sumber : PTPN VI (diolah)
84
85
Lampiran 3. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PTPN VI Tahun 2005 No A 1 2 3 4
B 1
2
C D E F
Uraian Penerimaan Produksi minyak sawit (Kg) Harga minyak sawit (Rp/Kg) Penerimaan minyak sawit (Rp) Produksi inti sawit (Kg) Harga inti sawit (Rp/Kg) Penerimaan inti sawit (Rp) Penerimaan total (Rp)
Jumlah 45568489.00 3341.64 152273485581.96 11026728.00 2187.38 24119644293 176393129874.60
Biaya (Rp) Biaya Tunai Pembelian bahan baku dari plasma Pembelian bahan baku dari pihak III Pembelian minyak sawit Gaji dan tunjangan Pajak Biaya keamanan Perjalanan, pengangkutan dan penginapan Biaya laboratorium Biaya mess Pendidikan dan pelatihan Biaya poliklinik Biaya listrik, air dan telepon Pengangkutan Biaya bengkel Alat tulis kantor Imbalan kerja/premi Beban asuransi Pemeliharaan dan perbaikan Biaya pengolahan Biaya pengepakan Lain-lain Jumlah Biaya Tunai Biaya Tidak Tunai Penyusutan Bangunan rumah Bangunan perusahaan Mesin dan instalasi Jalan, jembatan dan saluran air Alat pengangkutan Biaya survey Aktiva Hak guna Usaha Total Biaya Tidak Tunai Total Biaya Pendapatan Atas Biaya Tunai Pendapatan Atas Biaya Total R/C Atas Biaya Tunai R/C Atas Biaya Total
6077105434.00 1359201430.00 24014895417.00 16030472486.00 356296011.00 1192739172.00 609872462.00 1113904765.00 265654721.00 2224939944.00 1372352421.00 6117670875.00 991747726.00 1704369777.00 22914000.00 998048155.00 961607804.00 7678707520.00 7429071672.00 210133651.00 220704602 80952410045.00 40221856.00 35817781.00 1453284308.00 82363678.00 48946199.00 646692.00 3251202.00 1664531716.00 82616941761.00 95440719829.60 93776188113.60 2.18 2.14
Sumber : PTPN VI (diolah)
85
86
Lampiran 4. Pendapatan Rata-rata Kebun Plasma Perkebunan Kelapa Sawit PT BPP Tahun 2005 per 2 Hektar No A 1 2 3
B 1
2
C D E F
Uraian
Jumlah
Penerimaan Produksi TBS (Kg) Harga TBS (Rp/Kg) Penerimaan TBS (Rp) Premi/Finalty TBS (Rp) Penerimaan total (Rp)
10946.88 637.88 6982819.97 224379.80 7207199.77
Biaya (Rp) Biaya Tunai Biaya Manajemen Biaya Angkutan Pemeliharaan Jalan Pemberantasan H&P Pupuk, Analisa Daun dll Angsuran Kredit Tenaga Kerja Peralatan Total Biaya Tunai Biaya Tidak Tunai Penyusutan Tanaman menghasilkan Peralatan Sewa Lahan Total Biaya Tidak Tunai Total Biaya
276849.48 547344.00 36000.00 30000.00 294611.22 1661096.86 437875.20 100000.00 3383776.76
1033000.00 0.00 500000.00 1533000.00 4916777.00
Pendapatan Atas Biaya Tunai Pendapatan Atas Biaya Total R/C Atas Biaya Tunai R/C Atas Biaya Total
3823423 2290423 2.13 1.47
Sumber : PT BPP (diolah)
86
87
Lampiran 5. Pendapatan Rata-rata Kebun Inti Perkebunan Kelapa Sawit PT BPP Tahun 2005 per 2 Hektar No A 1 2
B 1
2
C D E F
Uraian
Jumlah
Penerimaan Produksi TBS (Kg) Harga TBS (Rp/Kg) Penerimaan (Rp)
35838.59 637.88 22860788.65
Biaya (Rp) Biaya Tunai Gaji staf perkebunan Pemeliharaan tanaman Pemupukan Panen dan pengumpulan hasil Biaya pengangkutan tenaga pemborong Total Biaya Tunai Biaya Tidak Tunai Penyusutan Tanaman menghasilkan Peralatan Total Biaya Tidak Tunai Total Biaya
3047458.99 1726499.80 4061182.38 2020963.02 1173463.88 12029568.07
3248114.44 969839.00 4217953.44 16247521.49
Pendapatan Atas Biaya Tunai Pendapatan Atas Biaya Total R/C Atas Biaya Tunai R/C Atas Biaya Total
10831220.59 6613267.16 1.90 1.41
Sumber : PT BPP (diolah)
87
88
Lampiran 6. Pendapatan Pabrik Kelapa Sawit PT BPP Tahun 2005 No A 1 2 3 4
B 1
2
C D E F
Uraian Penerimaan Produksi minyak sawit (Kg) Harga minyak sawit (Rp) Penerimaan minyak sawit (Rp) Produksi inti sawit (Kg) Harga inti sawit (Rp) Penerimaan inti sawit (Rp) Penerimaan total (Rp)
Jumlah 39409645 3230 127293153350 7285689 2120 15445660680 142738814030
Biaya (Rp) Biaya Tunai Pembelian bahan baku dari plasma Pembelian bahan baku dari pihak III Biaya pelabuhan Gaji dan tunjangan Pajak Keamanan Perjalanan dinas Beban pensiun Biaya listrik, air dan telepon Pengangkutan Pendidikan dan pelatihan Jasa profesional Alat tulis kantor Akomodasi/sewa mess Perijinan dan retribusi Imbalan kerja Beban asuransi Pemeliharaan dan perbaikan Beban proses pengolahan Pengangkutan minyak kelapa sawit Laboratorium Lain-lain Jumlah Biaya Tunai Biaya Tidak Tunai Penyusutan dan amortisasi Jalan, jembatan dan saluran air Bangunan Mesin dan peralatan Alat-alat pengangkutan Peralatan dan perabotan kantor Aktiva sewa guna usaha Total Biaya Tidak Tunai Total Biaya
1410323028 5451940365 590867940 6357692929 4117240605 1242607440 685518270 559037013 2938715164 921040524 437827011 385603692 292231345 286784863 248187565 175972410 124585030 2265452333 1198226321 2477423047 147937608 1607450695 33922665198 1222425821 2526371229 3918960281 794088499 273067671 493026310 9227939811 43150605009
Pendapatan Atas Biaya Tunai Pendapatan Atas Biaya Total R/C Atas Biaya Tunai R/C Atas Biaya Total
108816148832 99588209021 4.21 3.31
Sumber : PT BPP (diolah)
88
89
Lampiran 7. Data Produksi, Tenaga Kerja dan Modal Pada Kebun Plasma PTPN VI Bulan Desember 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Produksi (ton) 2.72 2.93 4.02 2.61 3.03 3.81 3.10 3.78 2.15 3.67 4.31 2.88 2.81 4.96 1.94 4.14 4.15 4.38 4.13 4.11 4.14 4.26 3.93 4.33 5.07 5.27 5.03 4.72 5.30 4.00
Tenaga Kerja (HOK) 2.28 2.28 4.00 2.28 2.84 3.44 2.84 3.44 1.72 3.44 4.56 2.28 2.28 5.16 1.72 4.00 4.00 4.56 4.56 4.00 4.00 4.56 3.44 4.56 5.16 5.16 5.16 4.56 5.16 4.00
Modal (Rp) 973783 973783 973783 973783 973783 973783 973783 973783 973783 973783 973783 973783 973783 973783 973783 947963 947963 947963 947963 947963 947963 947963 947963 947963 947963 947963 947963 947963 947963 947963
Sumber : PTPN VI (diolah) Lampiran 8. Hasil Regresi Sederhana Faktor Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Plasma The regression equation is Y = 2.61 - 0.000002 X1 + 0.788 X2 Predictor Constant X1 X2
Coef 2.614 -0.00000174 0.78759
SE Coef 3.424 0.00000345 0.04359
T 0.76 -0.50 18.07
89
P 0.452 0.618 0.000
VIF 1.7 1.7
90
S = 0.365806
R-Sq = 95.5%
PRESS = 3.78914
R-Sq(adj) = 95.1%
R-Sq(pred) = 95.23%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source X1 X2
DF 2 27 29
SS 75.879 3.613 79.492
MS 37.939 0.134
F 283.52
P 0.000
DF Seq SS 1 32.188 1 43.690
Unusual Observations Obs 14 19
X1 973783 947963
Y 4.9600 4.1300
Fit 4.9807 4.5532
SE Fit 0.0999 0.0448
Residual -0.0207 -0.4232
St Resid -0.16 X -2.43R
Durbin-Watson statistic = 2.29010
Lampiran 9. Standar Tandan Buah Segar (TBS) Menurut Umur dan Kelas Lahan menurut Pusat Penelitian Marihat Medan tahun 1997 Umur (tahun) 3 4 5 6 7
Klasifikasi Lahan Untuk Produksi TBS (Ton/Ha/tahun) I (baik) II (sedang) III (kurang baik) VI (tidak baik) 9 7 6 5 17 15 13 10 21 19 16 14 25 22 19 16 28 25 23 19
90
91
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Ratarata
30 30 30 30 30 30 27 27 25 25 24 24 22 22 20 20 18 18 24
27 27 27 27 27 27 25 25 24 24 22 22 21 21 19 19 17 17 22
25 25 25 25 25 25 23 23 22 22 20 20 19 19 17 17 16 16 20
91
22 22 22 22 22 22 21 21 20 20 19 19 18 18 16 16 15 15 18