ANALISIS PEMANFAATAN JALAN UNTUK MENGATASI THE TRAGEDY OF THE COMMON: KASUS JALAN ARTERI DI KOTA BOGOR
YOCIE GUSMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pemanfaatan Jalan untuk Mengatasi The Tragedy of The Common : Kasus Jalan Arteri di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014
Yocie Gusman NIM H351100044
RINGKASAN YOCIE GUSMAN. Analisis Pemanfaatan Jalan untuk Mengatasi The Tragedy of The Common : Kasus di Jalan Arteri Kota Bogor. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan AHYAR ISMAIL. Kota Bogor menjadi salah satu pilihan tempat tinggal dan kegiatan bisnis penyokong yang terus tumbuh karena letaknya berdampingan dengan Ibu Kota Jakarta. Seiring dengan itu, jumlah kendaraan yang beredar di wilayah Kota Bogor terus meningkat, sedangkan sarana penunjang seperti kapasitas jalan belum ada peningkatan signifikan. Menurut Dolsak dan Ostrom (2003), jalan umum adalah sumberdaya yang termasuk common pool resources (CPRs), yang memungkinkan terjadinya pemanfaatan berlebih oleh pengguna sehingga menimbulkan kerusakan fisik jalan dan terganggunya kepentingan bersama. Berdasarkan fungsinya, jalan umum diklasifikasikan menjadi jalan arteri, kolektor, lokal, dan jalan lingkungan. Tujuan dari penelitian ini yaitu: mengetahui pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor dalam kurun waktu lima tahun, menganalisis jumlah optimal kendaraan agar tidak terjadi the tragedy of the common jika kapasitas jalan tidak berubah, menganalisis kapasitas jalan yang harus disediakan pemerintah untuk menghindari the tragedy of the common jika pertumbuhan jumlah kendaraan tidak dibatasi, dan menganalisis kerugian ekonomi dan emisi karbon akibat kemacetan di Kota Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2012 hingga bulan November 2013 yang berlokasi di 7 titik jalan arteri Kota Bogor pada saat peak hours. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arus kendaraan maksimum dengan satuan smp per jam (smp/jam) yang melewati tujuh titik jalan arteri yang diamati, belum melebihi kapasitas jalan yang ada. Hasil analisis tingkat pelayanan jalan menyatakan bahwa dari ketujuh titik jalan arteri di Kota Bogor yang diamati secara umum tergolong pada kategori C sampai F. Hal tersebut diproyeksikan sampai tahun 2017 dengan beberapa asumsi, dan menunjukkan tren yang semakin buruk. Keadaan demikian akan mengakibatkan adanya kerugian ekonomi dan menurunnya kualitas hidup akibat kemacetan lalu lintas. Berkurangnya hak atau kenyamanan pengguna untuk menikmati suatu fasilitas umum atau CPRs disebut the tragedy of the common. Perlu adanya peningkatan tingkat pelayanan jalan arteri di Kota Bogor agar pemanfaatan jalan sebagai common pool resources (CPRs) tidak terjadi the tragedy of the common (ToC) dalam pemanfaatannya. Salah satu caranya dengan penyesuaian kapasitas jalan arteri oleh stakeholder. Kemacetan lalu lintas telah merugikan perekonomian pelaku jasa transportasi umum di Kota Bogor. Selain itu, pencemaran gas karbon (COx) di udara hasil pembakaran dari mesin kendaraan yang terkena kemacetan lalu lintas di Kota Bogor juga merugikan banyak pihak. Kata kunci: infrastruktur, peak hours, tingkat pelayanan, pencemaran karbon
SUMMARY YOCIE GUSMAN. Analysis of Road Function for Overcoming The Tragedy of The Common: The Case at Artery Road of Bogor City. Supervised by ACENG HIDAYAT and AHYAR ISMAIL. Bogor city became one of the preferred places to stay and activities ancillary business that continues to grow because it is adjacent to the capital city of Jakarta. Along with that, the number of vehicles circulating in the city of Bogor continues to increase, while the supporting infrastructure such as road capacity has been no significant improvement. According Dolsak and Ostrom (2003), the public road is a common pool of resources (CPRs), which allows the utilization of excess by road users, causing damage and disruption of mutual interest. Based on its function, public road is classified by arterial roads, collector, local, and sub-local roads. The purpose of this study is to know the growth in the number of vehicles in the city of Bogor in the period of five years, to analyze the optimal number of vehicles in order to avoid the tragedy of the common if the capacity does not change, analyze the capacity of the road that must be provided by the government to avoid the tragedy of the common if the growth in the number of vehicles is not restricted, and analyze the economic losses due to congestion and carbon emissions in the city of Bogor. The study was conducted since September 2012 until November 2013 on seven arterial roads in Bogor City during peak hours. The results showed that the maximum flow of vehicles through the streets on seven point observed arterial roads has not exceeded the capacity of existing roads. The results of the analysis of level of service stating that the seventh point of the arterial roads in the city of Bogor observed generally classified in C to F category. It is projected until 2017 with some assumptions, and shows a trend that is getting worse. Such circumstances would result in economic losses and decreased quality of life due to traffic congestion. Reduced due or comfort of users to enjoy the convenience of a public facility or CPRs is called the tragedy of the common. Need to improve the level of service of arterial roads in the city of Bogor in order to use the road as CPRs does not occur the tragedy of the common (ToC) in their utilization. One of the solution which taken is adjustment capacity of arterial roads by stakeholders. A traffic jam has impaired the economic doer of public transport services in the city of Bogor. Besides that, carbon gas emission (COx) from motorcycles and car’s engine which trapped on traffict jam was polluted the air and made negative effect to many people. Keywords: infrastructure, peak hours, the level of service, carbon emission
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PEMANFAATAN JALAN UNTUK MENGATASI THE TRAGEDI OF THE COMMON: KASUS JALAN ARTERI DI KOTA BOGOR
YOCIE GUSMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc.
Judul Nama NRP
: Analisis Pemanfaatan Jalan untuk Mengatasi The Tragedy of The Common: Kasus Jalan Arteri di Kota Bogor : Yocie Gusman : H351100044
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Aceng Hidayat, M.T. Ketua
Dr Ir Ahyar Ismail, M.Agr Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, M.Sc
Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 12 September 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Bismillahirrahmaanirrahim. Alhamdulillah, segala puji serta syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan tesis ini, yang berjudul Analisis Pemanfaatan Jalan Raya untuk Mengatasi The Tragedy of The Common: Kasus di Kota Bogor. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasul akhir zaman, Muhammad SAW beserta keluarga dan pengikutnya. Penulis sampaikan terima kasih yang begitu besar kepada Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T. selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr. selaku anggota komisi pembimbing. Keduanya telah berjasa untuk memberi ilmu, dukungan, serta bimbingan terbaik kepada penulis hingga karya ilmiah ini selesai. Terima kasih pula untuk Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan berharga. Juga terima kasih kepada pihakpihak yang membantu pembuatan tesis ini baik langsung maupun tidak langsung. Ungkapan terima kasih tidak lupa saya sampaikan kepada seluruh keluarga, Ayah, Ibu, istri terkasih Ny. Dyah Ayu Retnowati dan anak-anak tersayang, untuk doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, November 2014 Yocie Gusman
DAFTAR ISI PRAKATA ........................................................................................................... xiv DAFTAR ISI ..........................................................................................................xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii 1 PENDAHULUAN ..........................................................................................1 1.1. Latar Belakang ................................................................................................1 1.2. Rumusan Masalah ...........................................................................................2 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................3 1.4. Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................................3 1.5. Manfaat Penelitian ..........................................................................................3 2. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................3 2.1. Jalan...................................................................................................................3 2.2. Klasifikasi Jalan ................................................................................................4 2.3. Eksternalitas ......................................................................................................5 2.4. Teori Kepemilikan Barang ................................................................................5 2.5. The Tragedy of The Common ............................................................................7 2.6. Kebijakan terhadap Eksternalitas Negatif .........................................................8 2.7. Kebijakan Tata Ruang .......................................................................................8 2.8. Emisi Kendaraan Bermotor ............................................................................9 2.9. Perhitungan Beban Emisi ...............................................................................9 2.10. Kapasitas Jalan .............................................................................................10 2.11. Peramalan/Proyeksi Trafik (Lalu Lintas) ......................................................12 2.12. Penelitian Terdahulu .....................................................................................14 3. METODE PENELITIAN .............................................................................14 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian.......................................................................14 3.2. Jenis dan Sumber Data..................................................................................14 3.3. Analisis Data .................................................................................................15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................17 4.1. Gambaran Kota Bogor ..................................................................................17 4.2. Deskripsi Geometrik Ruas Jalan Sampel ......................................................17 4.3. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Kendaraan di Kota Bogor ..................21 4.4. Analisis Tingkat Kelayakan Jalan ................................................................23 4.5. Kerugian Ekonomi ........................................................................................34 4.6. Perhitungan Emisi Karbon............................................................................35 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................37 5. 5.1. KESIMPULAN ............................................................................................37 5.2. SARAN .........................................................................................................38 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................38
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Peta wilayah administrasi Kota Bogor ............................................... 17 Gambar 2 Lokasi pengamatan di Jalan Pajajaran #1 ........................................... 18 Gambar 3 Lokasi pengamatan di Jalan Pajajaran #2 ........................................... 18 Gambar 4 Lokasi pengamatan di Jalak Harupat, depan Lap. Sempur ................. 19 Gambar 5 Lokasi pengamatan di Jalan Veteran .................................................. 19 Gambar 6 Lokasi pengamatan di Jalan Raya Tajur ............................................. 20 Gambar 7 Lokasi pengamatan di Jalan KH. Sholeh Iskandar ............................. 20 Gambar 8 Lokasi pengamatan di Jalan Pahlawan ............................................... 21 Gambar 9 Pertumbuhan kendaraan tahun 2008-2013 ......................................... 22 Gambar 10 Peningkatan mobil besar tahun 2008-2013......................................... 22 Gambar 11 Peningkatan jumlah motor tahun 2008-2013 ...................................... 23
DAFTAR TABEL Tabel 1 Faktor emisi kendaraan berdasarkan jenis bahan bakar ........................... 10 Tabel 2 Kapasitas dasar C0 untuk jalan perkotaan ................................................ 11 Tabel 3 Faktor penyesuaian FCw atau lebar lajur jalan ........................................ 11 Tabel 4 Faktor penyesuaian FCsp faktor pemisah arah ......................................... 12 Tabel 5 Faktor penyesuaian FCsf untuk jalan perkotaan dengan bahu ................. 12 Tabel 6 Faktor Penyesuaian FCsf untuk jalan kota dengan kerb .......................... 13 Tabel 7 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCCS) ................................................... 13 Tabel 8 Matriks keterkaitan tujuan, sumber data dan metode analisis data .......... 16 Tabel 9 Data jumlah kendaraan tahun 2008 – 2013 .............................................. 21 Tabel 10 Standar tingkat pelayanan (Level of Service, LoS) jalan ...................... 24 Tabel 11 Volume kendaraan rata-rata (smp/jam) di setiap lokasi sampling ......... 25 Tabel 12 Kapasitas jalan dan derajat kejenuhan masing-masing ruas jalan .......... 25 Tabel 13 Volume kendaraan optimal ketika kapasitas jalan tetap......................... 26 Tabel 14 Proyeksi jumlah volume kendaraan pada 7 titik jalan arteri di Kota Bogor tahun 2014 – 2017 ................................................................................................. 28 Tabel 15 Proyeksi derajat kejenuhan (DS) jalan pada tahun 2014-2017 .............. 29 Tabel 16 Proyeksi level of service tiap lokasi pada tahun 2014-2017 .................. 29 Tabel 17 Proyeksi kapasitas jalan pada jalan arteri Kota Bogor sampai 2017 ...... 31 Tabel 18 Kerugian ekonomi sopir angkot trayek Baranangsiang – Bubulak ........ 34 Tabel 19 Konversi Faktor Emisi CO bahan bakar menjadi (g/liter)...................... 35 Tabel 20 Estimasi emisi karbon (CO) pada kondisi lancar ................................... 35 Tabel 21 Estimasi emisi karbon (CO) pada kondisi macet ................................... 36
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Data primer hasil survei pencacahan kendaraan di 7 lokasi sampling ......................................................................................................... 42 Lampiran 2 Lebar Jalan masing-masing lokasi pengamatan............................... 43 Lampiran 3 Keterangan singkatan rumus dalam bahasa Inggris ......................... 43 Lampiran 4 Data primer hasil survei kuesioner kemacetan di Kota Bogor pada angkutan trayek Baranangsiang – Bubulak ..................................... 44 Lampiran 5 Rata-rata tiap variabel data hasil survei kuesioner kemacetan di Kota Bogor pada angkutan trayek 03 ....................................................... 45 Lampiran 7 Formulir Kuesioner Penelitian ......................................................... 46
1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan infrastruktur di Indonesia telah mengalami peningkatan dalam beberapa dekade ini. Pesatnya pembangunan di suatu wilayah menjadi daya tarik tersendiri dan mempengaruhi aktivitas kehidupan masyarakat, baik di wilayah yang bersangkutan maupun sekitarnya. Salah satu aspek kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh aktivitas pembangunan di suatu wilayah adalah perekonomian. Meningkatnya aktivitas perekonomian selalu dibarengi dengan tingginya mobilitas penduduk, terutama di kawasan urban. Mobilitas mereka ada yang dengan berjalan kaki, naik kendaraan pribadi, atau menggunakan kendaraan umum. Dengan kata lain, pembangunan yang semakin meningkat akan memicu naiknya kebutuhan moda transportasi di suatu wilayah. Kota Bogor adalah salah satu kota yang memiliki capaian pembangunan cukup baik. Berdasarkan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) Kota Bogor tahun 2011, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Bogor tahun 2011 mencapai 75.71 dengan komposisi 87.74 untuk indeks pendidikan, 73.25 untuk indeks kesehatan, dan 66.16 untuk indeks daya beli. Pada tahun 2011, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor mencapai 6.11% dengan perkiraan Produk Domestik Regional Bruto mencapai Rp 16 459 940 440 000. Terjadi peningkatan investasi menjadi Rp 1.02 trilyun atau meningkat dari capaian tahun 2010 yang mencapai Rp 977.295 milyar (Pemkot Bogor 2012). Daerah yang perekonomiannnya bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa ini, semakin menggeliat aktivitas mobilitas penduduknya karena berada dekat Ibu Kota Jakarta. Sebagai daerah tetangga Jakarta, Kota Bogor menjadi pilihan tempat tinggal maupun kegiatan hilir mudik bisnis penyokong yang menarik. Kepadatan penduduk serta biaya hidup yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan Jakarta, membuat sebagian penduduk yang memiliki mata pencaharian di Jakarta memilih tinggal di Kota Bogor. Hal ini menimbulkan fenomena komuter atau penglaju, di mana seorang penglaju yang tinggal di luar Jakarta, setiap harinya menempuh perjalanan antar kota menuju Jakarta untuk pergi bekerja. Tentu saja, fenomena ini menambah beban transportasi lokal Kota Bogor, juga ditambah beban transportasi antar kota di sekitar Jakarta. Jumlah dari berbagai jenis kendaraan yang beredar di Kota Bogor semakin hari semakin meningkat. Pada tahun 2012, Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor melaporkan bahwa jumlah angkutan kota dalam trayek, yakni angkutan umum perkotaan (angkot) yang izinnya dikeluarkan oleh Pemkot Bogor berjumlah 3 412 unit kendaraan. Selain itu, ada pula Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) yang jumlahnya mencapai 4 644 unit. Meskipun jumlah Angkutan Kota Antar Provinsi (AKAP) juga ada melewati jalanan Kota Bogor, namun jenis ini hanya sedikit dan bisa diabaikan karena hanya menggunakan ruas jalan tol Jakarta – Bogor – Ciawi atau tol Jagorawi. Pada tahun 2011, terjadi kenaikan jumlah kendaraan jenis mobil penumpang meningkat menjadi 57 688 unit, mobil barang 11 971 unit, bus 1 028 unit, sepeda motor 230 316 unit, dan kendaraan khusus 83 unit. Hingga Februari 2012, terjadi peningkatan mobil penumpang hingga mencapai 58 179 unit atau naik 0.85% dari jumlah mobil di tahun sebelumnya. Selain itu, pertambahan jumlah sepeda motor juga meningkat menjadi 234 611 unit atau meningkat 1.86% (Pemkot Bogor 2012).
2
Infrastruktur transportasi berupa panjang ruas jalan di wilayah Kota Bogor masih berkembang namun beberapa proyeknya berjalan lambat. Berdasarkan data Pemkot Bogor (2012) kapasitas jalan di wilayah Kota Bogor dalam beberapa tahun terakhir ini tidak bertambah, yakni sekitar 620 km. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk serta kunjungan ke Kota Bogor yang tiap tahunnya tidak kurang dari 10 juta orang, maka kota seluas 118.5 km2 akan kelebihan beban. Pada akhir 2011 panjang ruas jalan di Kota Bogor belum mengalami pertambahan, yaitu sepanjang 627.251 km atau 5,3% dari luas wilayah Kota Bogor. Pertambahan jumlah kendaraan yang meningkat pesat tidak diimbangi dengan penambahan ruas jalan maupun perbaikan kondisi jalan. Jika dikaitkan dengan kemacetan yang sering terjadi di Kota Bogor, salah satu penyebabnya adalah ketidakseimbangan antara pertambahan jumlah kendaraan dan pertambahan jumlah jalan. Oleh karena itu, penyediaan ruang untuk transportasi berupa jalan maupun tempat parkir perlu disinergiskan dengan jumlah kendaraan yang beredar di jalan-jalan Kota Bogor. Saat ini upaya pelebaran jalan serta pembukaan jalur alternatif masih menjadi rencana, contohnya proyek Bogor Inner Ring Road (BIRR) sebagai penghubung wilayah utara dan selatan Kota Bogor. Pihak yang paling bertanggungjawab atas penyediaan ruang publik tersebut adalah pemerintah, terutama pemerintah Kota Bogor. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi pemakai jalan sehingga tidak ada monopoli atau pemanfaatan sebesar-besarnya sumberdaya tanpa memperhatikan kebutuhan pihak lain yang juga berhak menggunakannya. Kendala yang nampak yaitu tidak semua jalan yang ada di Kota Bogor, terutama jalan-jalan arteri, memiliki ruang terbuka di sisi jalan yang bisa dimanfaatkan untuk pelebaran jalan. Di sisi lain tuntutan perluasan lahan pemukiman pun juga semakin meningkat sehingga kebutuhan jaringan jalan semakin meningkat. Pemerintah memiliki kewajiban mengen-dalikan permintaan dan ketersediaan, agar setiap pihak yang berkepentingan memanfaatkan jalan dapat memperoleh haknya dengan baik. Meski demikian, peran pemerintah tersebut perlu mempertimbangkan dua hal, yakni kemampuan menyediakan jalan dan kemampuan membatasi permintaan. Memang Pemerintah Kota Bogor belum mampu bertindak tegas dalam membatasi jumlah kendaraan baik roda dua, roda empat, maupun lebih. 1.2. Rumusan Masalah Laju pembangunan dan ekonomi yang semakin tinggi akan meningkatkan kebutuhan moda transportasi. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor sebagai moda transportasi memerlukan kapasitas jalan yang cukup sehingga mampu menampung kendaraan. Jika pertumbuhan kendaraan dibiarkan terus meningkat, sedangkan kapasitas jalan dibiarkan tetap maka pemerintah Kota Bogor tidak mampu mengendalikan supply dan demand sehingga dapat menimbulkan the tragedy of the common. Keadaan seperti ini menimbulkan pertanyaan: 1. 2. 3.
Bagaimana pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2013)? Berapa jumlah optimal kendaraan agar tidak terjadi the tragedy of the common pada tahun 2013 sampai Tahun 2017 Jika Kapasitas Jalan tidak Berubah? Berapa kapasitas jalan yang harus disediakan oleh pemerintah untuk menghindari the tragedy of the common apabila pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor tidak dibatasi?
3
4.
Berapa besar kerugian ekonomi dan dampak emisi karbon penggunaan bahan bakar minyak kendaraan angkutan kota akibat kemacetan di Kota Bogor? 1.3. Tujuan Penelitian
1.
2. 3.
4.
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut : Mengetahui pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor dalam kurun waktu 5 tahun (2008-2013). Menganalisis jumlah optimal kendaraan agar tidak terjadi the tragedy of the common pada tahun 2013 sampai 2017 jika kapasitas jalan tidak berubah. Menganalisis kapasitas jalan yang harus disediakan oleh pemerintah untuk menghindari the tragedy of the common apabila pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor tidak dibatasi. Menganalisis kerugian ekonomi dan dampak emisi karbon penggunaan bahan bakar minyak kendaraan angkutan kota akibat kemacetan di Kota Bogor. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Agar lebih fokus dalam menelaah permasalahan, maka penelitian ini dibatasi pada beberapa hal. Adapun ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan adalah: 1. Penelitian ini hanya dilakukan di wilayah yang secara administratif berada di lingkungan Kota Bogor. 2. Penelitian dilakukan pada saat peak hours. 1.5. Manfaat Penelitian Tesis ini diharapkan berguna bagi pemerintah daerah Kota Bogor sebagai rekomendasi dalam rangka membuat kebijakan sistem transportasi dan tata ruang kota untuk menangani masalah kemacetan lalu lintas di masa yang akan datang. Tesis ini juga dapat bermanfaat bagi seluruh stakeholder yang berkepentingan dalam penggunaan transportasi khususnya transportasi darat.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jalan Undang – undang No. 38 Tahun 2004 mendefinisikan jalan sebagai prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sistem jaringan jalan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. Sistem jaringan jalan primer terdiri dari: 1. Jalan arteri primer yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.
4
Jalan kolektor primer yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. 3. Jalan lokal primer yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang di bawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil atau sebaliknya. Selanjutnya dinyatakan bahwa sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan, yang terdiri dari: 1. Jalan arteri sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. 2. Jalan kolektor sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. 3. Jalan lokal sekunder yaitu jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. 2.
2.2. Klasifikasi Jalan Klasifikasi jalan menurut Undang-undang No. 38 Tahun 2004 berdasarkan fungsinya yaitu: jalan umum dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata- rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi, sedangkan jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rata-rata rendah. Kemudian klasifikasi jalan umum menurut undang-undang tersebut dibagi berdasarkan wewenang pembinaan dan kondisi fisik. Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya meliputi jalan negara atau nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten dan jalan kota. Pembagian jalan tersebut berdasarkan subjek pengelola dan pemerintah yang menanggung beban anggaran pemeliharaannya. Klasifikasi jalan menurut kondisi fisik terdiri dari: 1. Jalan Kelas I. Kelas jalan ini mencakup semua jalan utama yang bertujuan melayani lalu-lintas cepat dan berat, tidak terdapat jenis kendaraan lambat dan tidak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini mempunyai jalur yang banyak dengan perkerasan terbaik. 2. Jalan Kelas II. Kelas jalan ini mencakup semua jalan dengan fungsi sekunder, komposisi lalu lintas terdapat lalu-lintas lambat tapi tanpa
5
3.
4.
5.
kendaraan tak bermotor. Jumlah jalur minimal adalah dua jalur dengan konstruksi terbaik. Untuk lalu lintas lambat disediakan jalur tersendiri. Jalan Kelas III. Kelas jalan ini mencakup semua jalan dengan fungsi sekunder, komposisi lalu-lintas terdapat kendaraan lambat yang bercampur dengan lalulintas lainnya. Jumlah jalur minimal dua jalur dengan konstruksi jalan lebih rendah, konstruksi permukaan jalan dari penetrasi berganda atau setaraf. Jalan Kelas IV. Merupakan jalan yang melayani seluruh jenis kendaraan dengan fungsi jalan sekunder. Komposisi lalu-lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tidak bermotor. Jalan Kelas V. Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dengan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua, konstruksi permukaan jalan paling tinggi adalah peleburan dengan aspal. 2.3. Eksternalitas
Jalan merupakan sumberdaya buatan manusia (man-made) yang bisa digunakan oleh banyak orang dan dapat digolongkan sebagai barang publik. Sebagai barang publik, jalan merupakan sumberdaya milik bersama yang mana setiap orang bisa memanfaatkannya dan tidak dapat dikeluarkan dari komunitas pengguna (non-excludable). Jalan publik dapat diklasifikasikan ke dalam common pool resources (CPRs). Sumberdaya yang digolongkan menjadi CPRs memiliki beberapa karakteristik, yakni rivalness atau substractable dan non excludable. Sebagai barang publik, pemanfaatan jalan oleh seseorang akan mengurangi kemampuan orang lain untuk memanfaatkannya (rivalness) (Fauzi 2004). Konsumsi barang publik, seperti jalan seringkali menimbulkan apa yang disebut eksternalitas atau dampak eksternal. Eksternalitas didefinisikan sebagai dampak positif ataupun negatif (net cost atau benefit) dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain (Fauzi 2004). Eksternalitas terjadi karena pemanfaatan jalan oleh satu pengguna dapat mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan. Pihak pembuat eksternalitas juga tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Terminologi eksternalitas lain dijelaskan oleh Hartwick dan Olewiler (1998) yang menggolongkan eksternalitas menjadi dua, yakni eksternalitas privat dan eksternalitas publik. Eksternalitas privat melibatkan hanya beberapa individu dan bisa bersifat bilateral serta tidak menimbulkan pill (limpahan) kepada pihak lain. Sementara itu, eksternalitas publik terjadi jika barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat. Adapun jalan, adalah barang publik yang dengannya berlaku eksternalitas publik. Pemanfaatan oleh semua pihak tidak akan mengurangi jumlah jalan yang digunakan, namun kemacetan yang ditimbulkan merupakan gambaran penurunan kualitas dari barang publik tersebut (Fauzi 2004). 2.4. Teori Kepemilikan Barang Hak kepemilikan barang (property right) merupakan hak asasi manusia. Hak ini merupakan hak yang paling mendasar yang dibutuhkan oleh manusia untuk menunjukkan eksistensinya. Hak kepemilikan diatur dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam pasal 28H ayat 4, bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun. Menurut Hartwick dan Olewiler (1998), hak kepemilikan
6
(property right) didefinisikan sebagai klaim yang sah (secure claim) terhadap sumber daya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumber daya tersebut. Hak kepemilikan juga dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick & Olewiler 1998). Karakteristik hak kepemilikan barang menyangkut ketersediaan manfaat, kemampuan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat ekslusivitas dari hak, dan durasi penegakkan hak (Perman et al. 1996). Hak kepemilikan tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh dua hal, yaitu hak pihak lain dan ketidaklengkapan (incompleteness). Misalnya, tidak semua orang bisa menggali tambang emas yang ada di pekarangan kita. Namun, pihak lain bisa melakukannya. Menurut Fauzi (2004), ketidaklengkapan hak kepemilikan tersebut disebabkan oleh mahalnya biaya penegakkan hak (enforcement). Contohnya hutan yang ditebang oleh penebangan ilegal, hak negara atas hutan dibatasi oleh mahalnya biaya pengawasan hutan dan penegakkan hukum atas tindakan ilegal tersebut. Bromley (1989) membagi hak kepemilikan sumber daya alam menjadi tiga. Pertama, state property yang menunjukkan bahwa klaim kepemilikan berada di tangan pemerintah. Kedua, private property, yakni manakala klaim kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha. Ketiga, klaim sumber daya yang dikelola bersama baik atas nama pribadi maupun kelompok. Jenis terakhir ini dikenal sebagai common property atau communal property. Menurut Fauzi (2004), suatu sumber daya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak kepemilikan. Sumber daya alam semacam ini bisa dikatakan sebagai open access. Secara umum, Fauzi (2004) mengusulkan empat kemungkinan kombinasi antara hak kepemilikan dan akses. Kombinasi yang didasarkan pada dua tipe akses (open dan limited access) tersebut adalah: tipe kepemilikan di mana hak milik berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas; tipe kepemilikan di mana sumber daya dimiliki secara individu (privat) dengan akses yang terbatas. Tipe ini memungkinkan karakteristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari; tipe kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka; dan tipe kombinasi di mana sumber daya dimiliki individu namun akses dibiarkan terbuka. Jalan raya Kota Bogor sebagai barang publik menjadi milik pemerintah seutuhnya (state property). Dampak eksternal negatif yang timbul, yakni kemacetan yang sering terjadi di Kota Bogor, disebabkan adanya kesenjangan dalam pengalokasinya. Salah satunya disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah kepemilikan dan penggunaan kendaraan sehingga terjadi konsumsi berlebih (over consumption) di jalan raya. Di sisi lain, pemerintah belum mampu mengakomodir kondisi kebutuhan tersebut (supply). Sehingga, hak kepemilikan kendaraan menjadi masalah baru. Oleh karena itu, perlu pemahaman konsep hak kepemilikan terkait dengan pengelolaan barang publik. Istilah lain untuk memahami hal ini adalah telah terjadi penggunaan yang berlebihan pada sumberdaya (jalan). Ketidakseimbangan antara supply dan demand ini menimbulkan congestion di waktu-waktu tertentu. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya kemacetan pada jam-jam sibuk. Kecenderungan overuse merupakan masalah khas pada sumber daya CPRs. Oleh sebab itu, diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat mencegah atau menghindarinya. Rustiadi et al. (2009) mengemukakan dua isu
7
penting yang sering mengikuti diskusi perihal CPRs, yakni konsep yang berkaitan dengan sistem pengelolaan dan hak kepemilikan yang menyertainya. Fenomena sumber daya alam seperti ini sering disebut dengan the tragedy of the common (Hardin 1968). Fenomena ini terjadi apabila seseorang membatasi penggunaan sumber daya yang terbatas namun tetangganya (masyarakat lainnya) tidak melakukannya. Akibatnya, sumber daya akan mengalami penurunan nilai dan orang yang membatasi penggunaan sumber daya tadi akan tetap kehilangan dalam jangka pendek. Bahkan, dampak negatif lain adalah semakin besarnya biaya sosial yang harus ditanggung baik oleh pemerintah sebagai pemilik hak maupun masyarakat yang menggunakan jalan. 2.5. The Tragedy of The Common Istilah tragedi kepemilikan bersama pertama kali dipublikasikan oleh Garrett Hardin (1968) dalam sebuah artikel ilmiah berjudul The Tragedy of the Common. Tragedi kepemilikan bersama adalah suatu ketidakbahagiaan akibat ketamakan dalam berupaya untuk merebut sesuatu. Tragedi kepemilikan bersama timbul saat setiap manusia berusaha mengambil sumberdaya alam yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan mahkluk hidup lain. Tragedi kepemilikan bersama umumnya terjadi pada sumberdaya yang merupakan milik umum atau common pool resources (CPRs). Pandangan yang menyebabkan terjadinya tragedi kepemilikan bersama yaitu keinginan untuk meraih untung yang banyak demi kepentingan pribadi daripada membagi-bagikannya kepada manusia atau makhluk hidup lain, sehingga kemudian masing-masing mendapat jatah sedikit. Pendangan seperti ini awalnya akan terasa menguntungkan bagi pihak yang memakai banyak sumberdaya alam, tetapi dikala jumlah pengguna meningkat, maka permasalahannya akan segera muncul. Pada akhirnya ketersediaan sumberdaya alam akan habis atau rusak. Kebebasan yang tidak bertanggungjawab hanya mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan. Satu-satunya cara kita dapat menjaga dan memelihara kebebasan lain yang lebih berharga adalah dengan segera melepaskan kebebasan untuk berkembang biak (Hardin 1968). Terkadang untuk menghindari tragedi pada barang kepemilikan umum harus ditempuh dengan cara pemaksaan seperti pembuatan peraturan tentang larangan-larangan, pajak, serta aturan-aturan non formal yang disepakati bersama oleh unsur masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Secara lebih spesifik, Gardner dan Sterm (1966) telah mengindentifikasi penggunaan peraturan pemerintah, aturan dan insentif sebagai salah satu dari solusi dasar dalam menanggulangi perilaku undividual terhadap sumberdaya kepemilikan bersama. Menurut Hardin (1968) kelemahan terbesar dari the tragedy of the common adalah keinginan manusia untuk menguntungkan diri sendiri secara individual yang dikombinasikan dengan sumberdaya yang bebas tetapi tersedia terbatas dan akses yang bebas, berpotensi menghalangi konservasi sumberdaya yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Ada dua solusi untuk mengatasi hal ini diantaranya membatasi akses dan membuat sumberdaya menjadi mahal. Kedua solusi tersebut memiliki pendekatan yang sama yaitu merubah insentif yang diterima individu. Insentif dijelaskan sebagai kondisi positif dan negatif yang meliputi perilaku.
8
2.6. Kebijakan terhadap Eksternalitas Negatif Masalah yang muncul akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand barang CPRs dapat diatasi dengan berbagai pendekatan. Pertama, pendekatan Leviatan, yakni dengan mengendalikan akses serta membatasi penggunaan SDA secara ketat dengan menggunakan kekuatan pihak ketiga (pemerintah dengan kelengkapan penegakan hukumnya, seperti polisi dan tentara). Kedua, pendekatan privatisasi yang berusaha memberikan hak pengelolaan SDA kepada pihak swasta (individu, firma) dengan asumsi bawa swasta dapat mengelola SDA secara efisien sebagaimana mengelola perusahaan. Ketiga, pendekatan self organization atau self governance yang dicirikan dengan penyerahan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat atau kelompok (Hidayat 2010). Menurut Fauzi (2004) menyatakan bahwa ada serangkaian tindakan yang dapat mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas negatif. Secara sederhana, dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni pemberian hak milik (assigning property rights), internalisasi, dan pemberlakuan pajak (Pigouvian tax). Pemberian hak pemilikan tidak sepenuhnya menghapus eksternalitas, namun hanya meningkatkan manfaat dari pertukaran (gains from trade) atas eksternalitas. Pemberian hak kepemilikan menjadi langkah yang efektif manakala mengetahui persis siapa yang berperan melakukan eksternalitas. Dengan demikian, kerusakan bisa dihitung dan tawar menawar bisa dilakukan. Tujuan akhir dari kebijakan ini adalah terjadinya pengurangan nilai eksternalitas. 2.7. Kebijakan Tata Ruang Ketersediaan ruang merupakan hal yang terbatas di alam, namun kebutuhan akan ruang merupakan hal yang tidak terbatas selama kehidupan manusia terus berjalan. Menurut UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang merupakan sumber daya alam yang diatur penggunaannya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga berdasarkan bunyi pasal tersebut, ruang harus dilindungi dan dikelola dalam sistem yang terpadu, terkoordinasi dan berkelanjutan. Semakin berkembangnya aktivitas manusia mengakibatkan kebutuhan terhadap ruang semakin tinggi. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, penataan ruang yang mencakup tahapan perencanaan kebijakan tata ruang dapat mewujudkan keinginan akan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Berdasarkan pengertian dalam UU 24/1992 Tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang merupakan proses untuk menghasilkan rencana tata ruang yang mencakup proses penyusunan rencana tata ruang dan proses penetapan rencana tata ruang. Penataan ruang disusun berasaskan: (a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan, (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang.
9
Salah satu pola pemanfaatan ruang, yaitu rencana struktur ruang meliputi sistem jaringan transportasi. Dalam konteks tata ruang wilayah, sektor transportasi memegang peranan penting, karena sektor ini menyebar membentuk jaringan di dalam dan antar ruang, transportasi menjembatani interaksi penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain. Transportasi merupakan bagian yang menghubungkan dan menyatukan seluruh wilayah dengan spesialisasi masing-masing menjadi suatu kesatuan yang terintegrasi (Chaeriwati 2004). 2.8. Emisi Kendaraan Bermotor Pencemaran udara terjadi apabila komposisi zat-zat kimia yang ada di udara melampaui ambang batas yang ditentukan, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia, mengganggu kehidupan hewan dan tumbuhan, serta terganggunya iklim (cuaca). Gas-gas berbahaya yang bercampur dengan udara sebagai zat pencemar berasal dari aktivitas manusia terutama akibat proses pembakaran bahan bakar minyak. Emisi adalah zat atau bahan pencemar yang dikeluarkan langsung dari kendaraan bermotor melalui pipa pembuangan (knalpot) kendaraan bermotor sebagai sisa pembakaran bahan bakar dalam mesin. Terdapat lima unsur dalam gas buangan kendaraan bermotor yaitu senyawa CO, HC, CO2, O2 dan senyawa NOX (Suryani 2010). Karbon monoksida (CO) adalah salah satu unsur gas buangan yang banyak dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. CO merupakan gas berbau yang tidak berwarna, lebih ringan dari udara, terbentuk sebagai hasil dari pembakaran tidak sempurna. Gas ini merupakan polutan udara yang paling lazim dijumpai. Gas ini sangat beracun bagi manusia dan hewan. CO dapat menyebabkan aliran Oksigen (O2) ke seluruh tubuh menurun sehingga kontraksi jantung dapat melemah dan volume darah yang didistribusikan menurun (Kojima et al. 2000). Penyebaran gas CO di udara tergantung pada keadaan lingkungan. Pada daerah perkotaan yang banyak kegiatan industrinya dan lalu lintasnya padat, maka udaranya sudah banyak tercemar oleh gas CO. Sedangkan di daerah pinggiran kota atau desa, cemaran CO di udara relatif sedikit. Tanah yang masih terbuka (ruang terbuka) dapat membantu penyerapan gas CO karena mikroorganisme yang ada di dalam tanah mampu menyerap gas tersebut (Kojima et al. 2000). 2.9. Perhitungan Beban Emisi Pengukuran kualitas dan beban emisi secara langsung dalam suatu kegiatan tidak mungkin dilakukan untuk setiap sumber pencemar, apalagi pengukuran langsung terhadap kendaraan bermotor yang jumlahnya tidak sedikit. Pengukuran perkiraan besarnya beban pencemar dapat dirumuskan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan panjang perjalanan kendaraan bermotor dan pendekatan penggunaan bahan bakar (KLH 2007). Estimasi beban emisi pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan konsumsi bahan bakar. Secara umum perhitungan beban emisi dari kendaraan bermotor menurut Chandrasiri (1999) adalah sebagai berikut : ECO = Σ vol_bensin x FE x 10−6 Keterangan : ECO = Beban emisi CO dari angkot (ton/bulan) Σ vol_bensin = Konsumsi bahan bakar bensin (liter/bulan) FE (Faktor Emisi) = Besarnya polutan CO yang diemisikan dari setiap liter penggunaan bahan bakar minyak (gram/liter)
10
Faktor emisi adalah massa dari suatu polutan yang dihasilkan oleh setiap unit proses. Beban massa ini dapat berupa per satuan massa bahan bakar yang dikonsumsi atau per unit produksi (Porteous 1996 dalam Kusuma 2010). Faktor emisi masing-masing gas buang kendaraan berbeda berdasarkan jenis bahan bakarnya (Tabel 1). Tabel 1 Faktor emisi kendaraan berdasarkan jenis bahan bakar Bahan Bakar CO NOx HC TSP SO2 Bensin (kg/ton) 377.0 10.3 14.5 2.0 0.54 Solar (kg/ton) 43.5 11.0 26.0 2.4 19.00 Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup, 2007
CO2 3 150.0 3 150.0
2.10. Kapasitas Jalan Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Raya Indonesia (MKJI) tahun 1997 (DJBM 1997), kapasitas jalan adalah jumlah kendaraan maksimum yang memiliki kemungkinan yang cukup untuk melewati ruas jalan tersebut (dalam satu maupun dua arah) dalam periode waktu tertentu dan dengan kondisi jalan dan lalu lintas yang umum. Kapasitas dasar jalan raya didefinisikan sebagai kapasitas dari suatu jalan yang mempunyai sifat-sifat jalan dan sifat lalu lintas yang dianggap ideal. Karakteristik utama dari suatu jalan yang akan berpengaruh terhadap kapasitas dan tingkat pelayanan saat dibebani arus lalu lintas antara lain : 1. Geometrik jalan, meliputi : a. Tipe jalan: jalan terbagi (devide, D) dan jalan tidak terbagi (undevide, UD) b. Lebar jalan, terkait dengan free speed flow atau kecepatan arus bebas dan peningkatan kapasitas c. Kerb, merupakan besarnya kapasitas jalan yang dilengkapi dengan trotoar akan lebih kecil dibandingkan dengan jalan yang dilengkapi bahu jalan d. Bahu jalan (shoulder), akan menimbulkan hambatan samping seperti kegiatan di sisi jalan seperti pedagang kaki lima, parkir, berhentinya kendaraan umum di sembarang tempat dsb. e. Median dan alinemen jalan, radius yang kecil akan mengurangi kecepatan arus bebas 2. Kontrol lalu lintas, peraturan lalu lintas yang cukup memberikan pengaruh pada kondisi lalu lintas 3. Kegiatan jalan yang menimbulkan gangguan (hambatan samping) adalah hambatan samping yang ditetapkan untuk jalan perkotaan di MKJI berupa gangguan akibat: Pejalan kaki Berhentinya kendaraan umum dan kendaraan lainnya di sisi jalan Kendaraan lambat (bergerak lambat) seperti becak, delman dsb Kendaraan yang parkir dan keluar masuk dari sisi jalan 4. Perilaku pengendara dan populasi kendaraan. Kondisi beragam di Indonesia merupakan faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap prosedur perhitungan kapasitas yang dinamakan faktor ukuran kota (city size). 5. Komposisi / persebaran arus lalu lintas tiap arah (directional split of traffic). Merupakan banyaknya arus yang lewat di tiap arah jalan akan mempengaruhi besarnya kapasitas. Kapasitas akan tinggi dan mencapai puncaknya di jalan dua
11
arah saat directional splitnya 50-50, hal ini menunjukkan adanya arus yang sama di kedua arah untuk satu periode waktu analisis. Komposisi Lalu Lintas akan mempengaruhi hubungan kecepatan arus apabila arus dan kapasitas dinyatakan dalam satuan kendaraan per jam. Hal ini tergantung besarnya rasio sepeda motor atau kendaraan berat dalam arus tersebut. Kapasitas jalan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: C = C0 x FCw x FCsp x FCsf x FCcs Keterangan : 𝐶 = Kapasitas (smp/jam) C0 = Kapasitas dasar (smp/jam) Tabel 2 𝐹𝐶𝑤 = Faktor penyesuaian lebar jalan Tabel 3 𝐹𝐶𝑠𝑝 = Faktor pemisahan arah Tabel 4 𝐹𝐶𝑠𝑓 = Faktor penyesuaian hambatan samping Tabel 5 dan Tabel 6 𝐹𝐶𝑐𝑠 = Faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota Tabel 7 Tabel 2 Kapasitas dasar C0 untuk jalan perkotaan Jenis Jalan Empat-lajur terbagi atau jalan satu-arah Empat-lajur tak terbagi Dua-lajur terbagi
Kapasitas Dasar (smp/jam) 1 650 1 500 2 900
Komentar Per lajur Per lajur Total dua-arah
Tabel 3 Faktor penyesuaian FCw atau lebar lajur jalan Jenis Jalan Empat-lajur terbagi atau jalan satu-arah
Empat-lajur tak terbagi
Dua-lajur terbagi
Lebar Lajur Efektif (WC) (m)
FCW
Per lajur 3.00 3.25 3.50 3.75 4.00
0.92 0.96 1.00 1.04 1.08
Per lajur 3.00 3.25 3.50 3.75 4.00
0.91 0.95 1.00 1.05 1.09
Total dua arah 5 6 7 8 9 10
0.56 0.87 1.00 1.14 1.25 1.29 1.34
12
Tabel 4 Faktor penyesuaian FCsp faktor pemisah arah Pembagian Arah % - % FCS
50-50
55-45
60-40
65-35
70-30
Dua-lajur 2/2
1.00
0.97
0.94
0.91
0.88
P Empat-lajur
1.00
0.98
0.97
0.95
0.94
4/2
Tabel 5 Faktor penyesuaian FCsf untuk jalan perkotaan dengan bahu Jenis Jalan
Kelas Hambatan Samping (FCsf)
Faktor Penyesuaian Lebar Bahu efektif rata-rata WS (m) ≤ 0,50
Empat lajur terbagi 4/2 D
Empat lajur terbagi 4/2 UD
Dua lajur tak terbagi 2/2 UD atau Jalan satuarah
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
0.96 0.94 0.92 0.88 0.84 0.96 0.94 0.92 0.87 0.80 0.94 0.92 0.89 0.82 0.73
1,0 0.98 0.97 0.95 0.92 0.88 0.99 0.97 0.95 0.91 0.86 0.96 0.94 0.92 0.86 0.79
1,5 1.01 1.00 0.98 0.95 0.92 1.01 1.00 0.98 0.94 0.90 0.99 0.97 0.95 0.90 0.85
≥ 2,0 1.03 1.02 1.00 0.98 0.96 1.03 1.02 1.00 0.98 0.95 1.01 1.00 0.98 0.95 0.91
Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation / DS), rumus DS yaitu: 𝑉 𝐷𝑆 = 𝐶 Keterangan : 𝐷𝑆 = Derajat Kejenuhan (DS) 𝐶 = Kapasitas jalan 𝑉 = Volume lalu lintas (smp/jam) 2.11. Peramalan/Proyeksi Trafik (Lalu Lintas) Trafik ada dua macam, trafik muatan dan trafik alat angkutan. Trafik muatan adalah jumlah penumpang dan atau barang yang diangkut oleh kendaraan atau alat angkutan pada suatu jalan. Sedangkan trafik alat angkutan adalah jumlah kendaraan atau alat angkutan lalu lintas pada jalannya. Pengertian yang kedua inilah yang lazim disebut sebagai trafik atau lalu lintas formula (Nasution 2004 dan Kamaludin, Rustian 2013). Trafik kendaraan atau alat angkutan atau lalu lintas dibedakan menjadi volume lalu lintas dan kepadatan lalu lintas. Jika volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati titik tertentu yang melintas pada arah tertentu pada suatu bagian ruas jalan, dinyatakan dalam jumlah kendaraan per jam, per hari, dan per minggu. Sedangkan kepadatan lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang menempati suatu bagian dari ruas jalan tertentu pada saat tertentu, dinyatakan dalam jumlah kendaraan per mil atau per km sepanjang jalan yang dilalui.
13
Tabel 6 Faktor Penyesuaian FCsf pada kapasitas untuk jalan perkotaan dengan kerb Jenis Jalan
Kelas Hambatan Samping (FCSF)
FP untuk Hambatan Samping dan Jarak Kerb Jarak Kerb – Penghalang WK (m) ≤ 0.5
1.0
1.5
≥ 2.0
Empat lajur terbagi 4/2 D
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
0.95 0.94 0.91 0.86 0.81
0.97 0.95 0.93 0.89 0.85
0.99 0.98 0.95 0.92 0.88
1.01 1.00 0.98 0.95 0.92
Empat lajur terbagi 4/2 UD
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
0.95 0.93 0.90 0.84 0.77
0.97 0.95 0.92 0.87 0.81
0.99 0.97 0.95 0.90 0.85
1.01 1.00 0.97 0.93 0.90
Dua lajur tak terbagi 2/2 UD atau Jalan satu-arah
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
0.93 0.90 0.86 0.78 0.68
0.95 0.92 0.88 0.81 0.72
0.97 0.95 0.91 0.84 0.77
0.99 0.97 0.94 0.88 0.82
Tabel 7 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCCS) Ukuran Kota (Juta penduduk)
Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCCS)
Kelas Ukuran Kota (CS)
< 0.1 0.1 – 0.5 0.5 – 1.0 1.0 – 3.0 > 3.0
0.86 0.90 0.94 1.00 1.04
Sangat kecil Kecil Sedang Besar Sangat besar
Volume lalu lintas adalah hasil dari kepadatan dan kecepatan lalu lintas. Dapat saja terjadi pada suatu jalan yang volume lalu lintasnya rendah, tetapi kepadatannya tinggi. Kepadatan tinggi terjadi apabila kendaraan praktis diam atau tidak bergerak, di mana volume lalu lintas mendekati nol, kondisi ini disebut sebagai kemacetan. Peramalan pertumbuhalan volume kendaraan ini menggunakan metode peramalan double exponential smoothing. Perhitungan nilai smoothing data ke-t sebagai berikut: St = Lt + Tt Tt = (Lt – Lt-1) + (1-)Tt-1 Lt = Xt + (1- )(Lt-1 + Tt-1) Keterangan: St Tt Lt
= nilai smoothing data ke-t = nilai tren data ke-t, merupakan bobot komponen tren = nilai level data ke-t, merupakan bobot komponen level
14
Apabila Yt = a + b x t + e L0 = a dan T0 = b maka Selanjutnya nilai forecasting diperoleh dengan formula: Ft,h = Lt + h x Tt (Marikadiks et al.1998) 2.12. Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian sebelumnya yang mengambil objek lalu lintas dan alat transportasi. Beberapa di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rahmani (2000), dan Chaerawati (2004). Rahmani (2000) meneliti perkembangan transportasi dan sistem spasial di Kota Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut, jalan di Kota Bogor berasal dari land use perumahan dan pertanian lahan kering yang mana tujuannya adalah untuk keperluan jasa dan perdagangan. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa tidak ada spesialisasi daerah asal dan tujuan pada jenis kendaraan pribadi. Berdasarkan pola spasial pemusatan, penggunaan lahan untuk perumahan dan pertanian lahan kering berada di pinggir Kota Bogor sedangkan penggunaan lahan jasa perdagangan berada di jalur utama. Chaerawati (2004) meneliti kaitan permintaan angkot dengan tata ruang wilayah Kota Bogor. Hasil penelitian menunjukkan ada kelebihan jumlah angkot dibandingkan dengan jumlah penumpang yang ada. Selain itu, pemerintah seharusnya bersikap selektif terhadap penentuan jumlah dan alokasi angkot serta jaringan trayek yang ada. Adapun prioritas pertama yang harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi masalah kemacetan ini adalah pengurangan angkot dan penggantian moda transportasi.
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan selama bulan September 2012 hingga bulan November 2013. Cakupan wilayah yang menjadi lokasi penelitian ini adalah beberapa jalan arteri di Kota Bogor. Fokus penelitian pada keterkaitan antara kapasitas jalan arteri dengan arus kendaraan yang beredar di Kota Bogor. Penelitian dilakukan pada saat peak hours lalu lintas. 3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari Lembaga/Instansi Pemerintah Kota Bogor. Data sekunder tersebut berupa informasi jumlah kendaraan selama beberapa tahun yang lalu dari Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ) dan kondisi jalan dari Dinas Pendapatan Daerah Propinsi jawa Barat. Data primer diperoleh langsung dari observasi lapang pada waktu tertentu, yakni saat jam sibuk sesuai lokasi yang telah ditentukan. Nama jalan arteri di Kota Bogor sebagai lokasi observasi lapang yaitu: a) Pajajaran #1, b) Pajajaran #2, c) Jalak Harupat, d) Veteran, e) Raya Tajur, f) KH. Sholeh Iskandar, dan g) Pahlawan. Sampling pengemudi angkutan kota trayek 03 yang melewati jalan arteri dan sering mengalami hambatan lalu lintas, yaitu antara Baranangsiang hingga Bubulak.
15
3.3. Analisis Data Penelitian ini dilakukan dengan mulai dari tahapan perumusan masalah dan tujuan kajian sampai dengan tahapan simpulan dan rekomendasi. Terdapat beberapa tahapan kegiatan dalam penelitian ini, baik dalam bentuk penelitian pustaka, pengumpulan dan pengolahan data. Analisis dibangun berdasarkan tujuan penelitian yang dibagi ke dalam empat bagian (Tabel 8). 1. Analisis pertumbuhan jumlah kendaraan Analisis yang digunakan untuk melihat pertumbuhan kendaraan dari banyaknya kendaraan umum dan kendaraan pribadi yang beroperasi di kota Bogor adalah analisis deskriptif menggunakan komponen kecenderungan (trend component). 2. Analisis jumlah optimal volume kendaraan agar tidak terjadi The Tragedy of The Common sampai tahun 2017 apabila kapasitas jalan tidak berubah. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam analisis ini adalah : a. Mengumpulkan data primer jumlah kendaraan ringan (light vehicle, LV), kendaraan berat (heavy vehicle, HV), dan sepeda motor (motorcycle, MC) serta data primer kondisi geometrik jalan, dan data sekunder peramalan kendaraan. Faktor ekuivalensi mobil penumpang (EMP) yaitu nilai 0.5 untuk sepeda motor (MC), nilai 1.3 untuk kendaraan berat (HV) dan untuk kendaraan ringan (LV) dengan nilai 1. b. Menghitung volume lalu lintas kendaraan dan melakukan peramalan volume kendaraan sampai tahun 2017 3. Analisis kapasitas jalan yang harus disediakan oleh pemerintah untuk menghindari The Tragedy of The Common apabila pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Bogor tidak dibatasi. a.
b.
c.
4.
Perhitungan yang digunakan untuk mengetahui kapasitas jalan agar tingkat pelayanan jalan tetap pada level D (ideal) dan memprediksi kapasitas jalan yang harus disediakan sampai tahun 2017 agar tingkat pelayanan jalan tidak melebihi level D. Kapasitas optimal volume kendaraan bisa diperoleh dari rumus Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation, DS). Volume kendaraan diperoleh dari perhitungan matematis dengan rumus DS = volume kendaraan (V) / kapasitas kendaraan (C), sehingga diperoleh volume lalu lintas (V). Namun, sebelumnya harus dihitung terlebih dahulu nilai kapasitasnya dengan perhitungan manual Kapasitas Jalan Indonesia. Rumus Kapasitas Jalan Indonesia yaitu C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs. Di mana C = kapasitas jalan (unit/jam), Co = Kapasitas dasar (unit/jam), FCw = Faktor penyesuaian luas jalan, FCsp = Faktor hambatan samping dan bahu jalan atau batas penghalang, FCcs = Faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota.
Analisis kerugian ekonomi dan dampak emisi karbon penggunaan bahan bakar minyak kendaraan angkutan kota akibat kemacetan di Kota Bogor Tahapan-tahapan yang dilakukan di antaranya: a. Melakukan perancangan dengan kuesioner terdiri dari pertanyaan mengenai banyaknya BBM yang dikeluarkan dalam sehari dan jumlah
16
orbit atau rit. Teknik survei yang dipilih dan sesuai dengan penelitian ini adalah teknik purposif sampling. Sampel yang dipilih yaitu supir angkot trayek 03 jurusan Bubulak – Baranangsiang sebanyak 30 orang. b. Melakukan analisis dari hasil survei secara deskriptif. c. Menghitung kerugian ekonomi penggunaan BBM berdasarkan pengeluaran BBM ketika kondisi macet dan lancar. d. Menghitung beban emisi karbon berdasarkan pengeluaran BBM ketika kondisi macet dan tidak macet. Secara rinci, matriks keterkaitan tujuan, sumber data dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 8. Tabel 8 Matriks keterkaitan tujuan, sumber data dan metode analisis data
17
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Kota Bogor Kedudukan geografis Kota Bogor berada di tengah wilayah Kabupaten Bogor yang berjarak sekitar 60 km dari Ibu Kota Jakarta, sehingga merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Wilayah Kota Bogor seluas 11 850 Km2 terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Kemudian secara administratif Kota Bogor dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor. Batas wilayah Kota Bogor sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Sukaraja. Sebelah timurnya berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, kemudian sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Ciomas. Sebelah selatannya berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Caringin. Penduduk Kota Bogor pada tahun 2012 terdapat sebanyak 1 004 831 orang yang terdiri dari 510 884 orang laki-laki dan sebanyak 493 947 perempuan. Kepadatan penduduk di Kota Bogor mencapai 8.480 orang per km2 (Pemkot Bogor 2012).
Sumber : BAPPEDA Kota Bogor, 2012
Gambar 1 Peta Wilayah Administrasi Kota Bogor 4.2. Deskripsi Geometrik Ruas Jalan Sampel Pencacahan kendaraan dilakukan di 7 titik jalan arteri Kota Bogor. Ketujuh titik tersebut yaitu: a) Jl. Padjajaran #1 tepatnya di depan RS. PMI; b) Jl. Padjajaran # 2, tepatnya di depan SPBU Bantar Jati; c) Jl. Jalak Harupat, di depan Lapangan Sempur; d) Jl. Veteran, tepatnya di depan pintu masuk Balai Kehutanan; dan e) di Jalan Raya Tajur; f) Jalan KH. Sholeh Iskandar; g) Jalan Pahlawan. Adapun deskripsi singkat dari geometrik setiap ruas jalan tersebut yaitu sebagai berikut:
18
a)
Jalan Pajajaran # 1
Gambar 2 Lokasi pengamatan Jalan Pajajaran #1 depan RS. PMI, Baranangsiang (Sumber: maps.google.com)[diakses 9 Juli 2014] Titik pengamatan ini tepatnya berada di depan RS. PMI (Gambar 2). Tipe jalan Pajajaran merupakan jalan terbagi atau kategori D, sehingga memiliki dua ruas yang berlawanan arah. Lebar ruas jalan yang mengarah ke Utara yaitu 7,8 m sedangkan lebar ruas jalan yang mengarah ke Selatan yaitu 6,8 m dengan lebar keseluruhan yaitu 14,6 m. Dua ruas tersebut dipisahkan oleh trotoar pembatas, dan memiliki bahu jalan yang sempit, yakni sekitar 50 cm. Di sisi kiri atau luar jalan ini telah dilengkapi dengan trotoar sebagai jalur bagi pejalan kaki. Adanya pagar di sisi trotoar samping jalan telah menekan aktivitas pejalan kaki dan kaki lima di bahu jalan, sehingga relatif tidak ada hambatan bagi laju kendaraan. b) Jalan Pajajaran # 2 Titik pengamatan ini tepatnya berada di depan SPBU Bantar Jati (Gambar 3). Tipe jalan Pajajaran merupakan jalan terbagi atau kategori D, sehingga memiliki dua ruas yang berlawanan arah. Lebar ruas jalan yang mengarah ke Utara yaitu 5 m dan lebar ruas jalan yang mengarah ke Selatan yaitu 4.9 m dengan lebar keseluruhan yaitu 9.9 m. Dua ruas tersebut dipisahkan oleh trotoar pembatas dan hampir tidak memiliki bahu jalan. Di sisi kiri dan luar jalan ini dilengkapi dengan trotoar untuk pejalan kaki, namun bahu jalan relatif sempit dan lebar trotoar tidak lebih dari satu meter.
Gambar 3 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di jalan Pajajaran, depan RS. Azra (Sumber: maps.google.com) )[diakses 9 Juli 2014]
19
c) Jalan Jalak Harupat
Gambar 4 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di jalan Jalak Harupat, depan Lap. Sempur (Sumber: maps.google.com) [diakses 9 Juli 2014] Titik pengamatan ini tepatnya di depan Lapangan Sempur (Gambar 4). Tipe jalan Jalak Harupat merupakan jalan yang tidak terbagi atau kategori UD, yang berlawanan arah. Lebar ruas jalan yang mengarah ke barat yaitu 4.7 m dan lebar ruas jalan yang mengarah ke Timur yaitu 4.2 m dengan lebar keseluruhan yaitu 8.9 m. Ruas jalan tersebut tidak dipisahkan oleh trotoar dan memiliki bahu jalan yang sempit. Di sisi kiri atau luar jalan ini telah dilengkapi dengan trotoar (1 – 2 m) di sisi Selatan jalan sebagai sarana bagi pejalan kaki. Lebar trotoar yang lebih dari satu meter memberi cukup ruang untuk aktivitas pejalan kaki di samping kanan dan kiri jalan. Pada titik pengamatan ini memungkinkan lebih banyak hambatan bagi laju kendaraan terutama pada waktu akhir pekan. d) Jalan Veteran Titik pengamatan ini berada di jalan Veteran, tepatnya di depan pintu masuk Balai Kehutanan (Gambar 5). Tipe jalan ini merupakan jalan yang tidak terbagi atau kategori UD yang berlawanan arah. Lebar ruas jalan yang mengarah ke Barat yaitu 4.5 m dan lebar ruas jalan yang mengarah ke Timur yaitu 4.4 m dengan lebar keseluruhan yaitu 8.9 m. Ruas jalan tersebut tidak dipisahkan oleh trotoar dan memiliki bahu jalan yang sempit. Di sisi kiri jalan ini telah dilengkapi dengan trotoar sebagai sarana bagi pejalan kaki. Trotoar memberikan ruang untuk aktivitas pejalan kaki di pinggir jalan.
Gambar 5 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di Jalan Veteran, depan gerbang Balai Kehutanan (Sumber: maps.google.com) [diakses 9 Juli 2014]
20
e) Jalan Raya Tajur
Gambar 6 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di Jalan Raya Tajur (Sumber: maps.google.com) [diakses 9 Juli 2014] Titik pengamatan ini berada di jalan Raya Tajur, di sekitar Terminal Tas (Gambar 6). Tipe jalan ini merupakan jalan yang tidak terbagi atau kategori UD yang berlawanan arah. Ruas jalan tersebut tidak dipisahkan oleh trotoar dan memiliki bahu jalan yang sempit. Di sisi kiri atau luar jalan ini telah dilengkapi dengan trotoar (sekitar 1 m) di sisi kanan-kiri jalan sebagai sarana bagi pejalan kaki. Lebar trotoar yang ada memberikan cukup ruang untuk aktivitas pejalan kaki di samping kanan dan kiri jalan. Dengan kondisi demikian, pada titik Jalan Raya Tajur memungkinkan terjadi lebih banyak hambatan bagi laju kendaraan. f) Jalan KH. Sholeh Iskandar Tipe jalan KH. Sholeh Iskandar merupakan jalan terbagi atau kategori D (Gambar 7), sehingga terbagi menjadi dua ruas yang berlawanan arah. Dua ruas tersebut dipisahkan oleh trotoar pembatas, dan memiliki bahu jalan yang sempit. Di sisi kiri atau luar jalan ini telah dilengkapi dengan trotoar sebagai jalur bagi pejalan kaki. Bahu jalan yang relatif sempit dan adanya pagar di sisi trotoar samping jalan ditambah pula banyaknya toko-toko serta beberapa mall berakibat pada besarnya hambatan bagi laju kendaraan dari aktivitas kendaraan keluar masuk toko-toko atau mall juga oleh akitivitas pejalan kaki dan pedagang kaki lima.
Gambar 7 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di Jalan KH. Sholeh Iskandar (Sumber: maps.google.com) [diakses 20 Juli 2014]
21
g) Jalan Pahlawan
Gambar 8 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di Jalan Pahlawan (Sumber: maps.google.com) [diakses 9 Juli 2014] Tipe jalan Pahlawan merupakan jalan yang tidak terbagi atau kategori UD yang berlawanan arah (Gambar 8). Ruas jalan tersebut tidak dipisahkan oleh trotoar dan memiliki bahu jalan yang sempit. Di sisi kiri atau luar jalan ini telah dilengkapi dengan trotoar (sekitar 1 m) di sisi kanan-kiri jalan sebagai sarana bagi pejalan kaki. Lebar trotoar yang ada memberikan cukup ruang untuk aktivitas pejalan kaki di samping kanan dan kiri jalan. Dengan kondisi begitu, pada titik pengamatan ini memungkinkan lebih banyak hambatan bagi laju kendaraan. 4.3. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Kendaraan di Kota Bogor Pada Tabel 9 disajikan data jumlah kendaraan di Kota Bogor dari berbagai jenis kendaraan dari tahun 2008 – 2013. Kajian melihat kencendrungan peningkatan jumlah pertumbuhan kendaraan dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi yang menyediakan data terkait. Tabel 9 Data jumlah kendaraan tahun 2008 – 2013 Banyaknya kendaraan Jenis Kendaraan Bermotor Sedan, Jeep, Minibus (Pribadi) Sedan, Jeep, Minibus (Umum) Sedan, Jeep, Minibus (Pemerintah, TNI, POLRI) Bus, Mikro Bus (Pribadi) Bus, Mikro Bus (Umum) Bus, Mikro Bus (Pemerintah, TNI, POLRI) Truk, Light Truk, Pick Up (Pribadi) Truk, Light Truk, Pick Up (Umum) Truk, Light Truk, Pick Up (Pemerintah, TNI, POLRI) Sepeda Motor (Pribadi) Sepeda Motor (Umum) Sepeda Motor (Pemerintah, TNI, POLRI)
2008
2009
2010
2011
2012
2013
32 620 3 433 321 260 335 53 7 657 115 168 106543 570
34 460 3 627 339 257 331 53 7 541 113 166 119564 640
37 675 3 965 371 244 314 50 8 043 120 177 147059 787
45 383 4 776 447 293 377 60 9 754 146 215 202269 1 088
46 871 3 228 429 214 285 46 9 533 200 205 159071 812
51 229 4 028 478 237 312 40 10 295 200 223 20329 1 069
Sumber: Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat Wilayah Kota Bogor Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa peningkatan kendaraan dari tahun ke tahun cenderung meningkat (tumbuh positif). Akan tetapi terjadi penurunan jumlah kendaraan yang terdata di Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat Wilayah Kota Bogor pada tahun 2012.
22
Trend Peningkatan KendaraanTahun 2008-2013 Trend peningkatan Kendaraan 2008-2012
peningkatan kendaraan
275000
250000
225000
200000
175000
150000 2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Gambar 9 Pertumbuhan kendaraan tahun 2008-2013 (Sumber: Data diolah 2013) Peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2008-2011, yakni sebesar 112 733 kendaraan, sedangkan dari 2011-2013 terjadi peningkatan yang tidak begitu signifikan karena didalamnya sempat terjadi penurunan pada 2011-2012.
Gambar 10 Peningkatan mobil besar tahun 2008-2013 (Sumber: Data diolah 2013) Pertumbuhan kendaraan roda dua yang disajikan pada Gambar 11 menunjukkan pola yang serupa dengan peningkatan kendaraan secara keseluruhan pada gambar 10 di atas. Pertumbuhan kendaraan bermotor (roda dua) cenderung terus menigkat dari tahun ke tahun meskipun sempat mengalami lag pada tahun 20112012, akan tetapi setelah itu kembali mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Dilihat dari kepemilikan sepeda motor, sepeda motor milik pribadi cenderung mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan sepeda motor milik pemerintah. TNI atau Polri. Menurut data tersebut, lebih banyak masyarakat yang memiliki sepeda motor.
23
Gambar 11 Peningkatan jumlah motor tahun 2008-2013 (Sumber: Data diolah 2013) Berdasarkan data jumlah kendaraan di Kota Bogor, terlihat bahwa adanya kecenderungan peningkatan jumlah kendaraan di semua jenis kendaraan. Semakin tahun jumlah kendaraan di Kota Bogor semakin meningkat. Banyaknya jumlah kendaraan dapat berimplikasi langsung terhadap tingkat pelayanan jalan di Kota Bogor. Jalan di Kota Bogor akan semakin padat karena meningkatnya arus kendaraan yang melewati Kota Bogor. Hal ini akan menyebabkan permasalahan ketika kapasitas jalan tidak bisa mengimbangi volume kendaraan. Apabila meningkatnya jumlah kendaraan tidak diimbangi dengan penyesuaian tingkat pelayanan jalan maka akan terjadi the tragedy of the common dari pemanfaatan jalan. Jalan sebagai sumberdaya bersama memang sangat sensitif terhadap hak asasi pengguna jalan. Hak pengguna jalan dapat saja di ambil atau berkurang yang di akibatkan oleh pengguna jalan lain karena kapasitas jalan sudah tidak sesuai dengan volume kendaraan. Kemacetan menjadi salah satu dampak adanya eksternalitas negatif dari penggunaan sumberdaya secara bersama-sama. 4.4. Analisis Tingkat Kelayakan Jalan 4.4.1.
Tingkat Pelayanan Jalan Nilai tingkat pelayanan jalan atau Degree of Saturation (DS) atau V/C ratio menjawab apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak, nilai tersebut juga digunakan sebagai ukuran dalam penanganan masalah jalan dan lalu lintas. Pada dasarnya, semakin besar hasil perbandingan antara keduanya, maka kinerja jalan semakin rendah. Sebaliknya, semakin kecil hasil perbandingan tersebut, maka tingkat kinerja jalan akan semakin baik. Berdasarakan perhitungan dan analisis pada Tabel 10 yang dimulai dari identifikasi geometri jalan, analisis volume lalu lintas, analisis hambatan samping dan analisis kapasitas jalan, maka dapat ditentukan tingkat pelayanan jalan di Kota Bogor.
24
Tabel 10 Standar tingkat pelayanan (Level of Service, LoS) jalan Tingkat Karakteristik Pelayanan A Kondisi arus bebas, berkendara dalam kecepatan tinggi, volume lalu lintas rendah B Arus stabil, kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas C Arus stabil, kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan oleh kondisi lalu lintas D Arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih dapat dikendalikan, V/C masih dapat ditolerir E Arus tidak stabil, kecepatan kadang terhenti, permintaan (kebutuhan) jalan mendekati kapasitasnya F Arus dipaksakan rendah, volume kendaraan di atas kapasitas jalan, terjadi antrian panjang (macet)
V/C 0.0 – 0.20 0.21 – 0.44 0.45 – 0.75 0.76 – 0.84 0.85 – 1.00 ≥ 1.00
Sumber : AASHO, policy on design of urban highway aretrial streets (1973)
Menurut Tamin (2000) menyatakan nilai VCR atau tingkat pelayanan jalan digunakan untuk menentukan rekomendasi bagi bentuk penanganan ruas jalan serta persimpangan dalam suatu wilayah pengaruh. Jenis penanganannya dikelompokkan sebagai berikut: 1. Jika nilai DS berada pada 0.6-0.8. Jenis penanganannya adalah
manajemen lalu lintas yag ditekankan pada pemanfaatan fasilitas jalan yang ada seperti pemanfaatan lebar jalan secara efektif, bisa juga berupa peningkatan kelengkapan marka dan rambu jalan, pemisahan arus, pengendalian parkir dan kaki lima serta pengaturan belok. 2. Jika nilai DS sama dengan 0.8. Jenis penanganannnya adalah peningkatan ruas jalan berupa pelebaran dan penambahan lajur jalan sehingga dapat ditingkatkan kapasitas ruas jalannya dengan signifikan. 3. Jika nilai DS lebih dari 0.8. Nilai DS yang sudah jauh melebihi 0.8 maka pilihan terakhir adalah pembangunan jalan baru, jalan lingkar atau jalan utama alternatif yang dapat memecah kepadatan lalu lintas pada jalan lama. Upaya ini ditempuh sebab penambahan lebar jalan dan penambahan lajur sudah tidak memungkinkan lagi kerena keterbatasan lahan dan kondisi lalu lintas yang sangat padat. Volume kendaraan yang terus meningkat tiap tahunnya akan berakibat pada semakin rendahnya tingkat pelayanan jalan apabila ruas jalan yang tersedia tidak mengalami penambahan secara signifikan. Semakin rendahnya tingkat pelayanan jalan dan meningkatnya volume kendaraan dapat menimbulkan eksternalitas bagi pengguna jalan seperti kualitas jalan yang semakin berkurang akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna jalan, timbulnya kemacetan yang menambah waktu tempuh perjalanan dan kerugian ekonomi lainnya, kondisi lingkungan yang semakin tidak ramah akibat volume kendaraan yang meningkat. Perlu adanya solusi untuk mengatasi masalah tersebut agar dapat mengurangi dampak eksternalitas negatif yang timbul. Solusi dapat dilihat dari dua sisi, pertama dari volume kendaraan seperti adanya kebijakan pembatasan volume kendaraan yang masuk daerah Kota Bogor. Kedua, dari pelayanan jalan seperti penambahan lebar jalan,
25
panjang jalan, kualitas jalan dan perbaikan sistem lalu lintas. Jika keduanya masih belum dapat dilakukan secara maksimal, perlu adanya transportasi massal yang berkualitas bagus, nyaman, dan harga yang terjangkau sehingga dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi baik motor atau mobil di jalan. 4.4.2. Kapasitas Jalan dan Derajat Kejenuhan Pencacahan dilakukan dalam dua tahap, yakni observasi kondisi transportasi untuk mengetahui periode yang mana terjadi volume kendaraan terpadat dan pencacahan tersebut dilakukan pada rentang waktu volume kendaraan terpadat tersebut. Hasil pencacahan kendaraan di masing-masing jalan dikonversikan ke dalam satuan kapasitas sejenis yaitu “smp/jam” (satuan mobil penumpang per jam) dengan nilai ekuivalensi untuk mobil penumpang 1, mobil besar 1.2, dan sepeda motor 0.25. Hasil setelah dijadikan kedalam satuan smp/jam, kemudian dijumlah sehingga didapat jumlah arus dalam satu jam selama satu minggu di masing-masing lokasi yang ditunjukkan pada Tabel 11. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan volume kendaraan saat flow, yakni volume kendaraan dalam 1 jam. Tabel 11 Volume kendaraan rata-rata (smp/jam) di setiap lokasi sampling Nama jalan Nilai smp per jam Jl. Pajajaran #1 4 367.2 Jl. Pajajaran #2 2 135.6 Jl. Jalak Harupat 3 810.4 Jl. Veteran 2 630.8 Jalan Raya Tajur 2 871.0 Jalan KH. Sholeh Iskandar 5 825.0 Jalan Pahlawan 2 227.0 Sumber : Data primer, 2013
Volume kendaraan yang digunakan untuk menghitung kapasitas pada tiap lokasi ialah volume rata-rata yang terjadi dalam seminggu pencacahan kendaraan. Volume rata-rata tersebut digunakan dalam perhitungan menggunakan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) menghasilkan kapasistas jalan masing-masing ruas. Kapasitas jalan dan derajat kejenuhan diamati pada 7 titik yang menjadi sampling disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Kapasitas jalan dan derajat kejenuhan masing-masing ruas jalan Nama Jalan
Ratarata V (smp)
Pajajaran #1 4 367.2 Pajajaran #2 2 135.6 Jalak Harupat 3 810.4 Veteran 2 630.8 Raya Tajur 2 871.0 Soleh Iskandar 5 825.0 Pahlawan 2 227.0 Sumber : Data diolah 2013
Co (smp) 6 600 6 600 6 000 6 000 6 600 6 600 6 000
Fcw Fcsp Fcsf Fccs 1.00 0.92 0.92 0.91 0.91 1.08 0.91
1.00 1.00 0.94 1.00 1.00 1.00 1.00
0.91 0.81 0.93 0.93 0.94 0.97 0.87
0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94
C
DS
LoS
5 645.64 4 623.22 4 536.05 4 773.13 5 306.90 6 499.31 4 465.19
0.77 0.46 0.84 0.55 0.54 0.89 0.49
D C E C C E C
26
Kapasitas jalan dan level pelayanan jalan (LoS) pada ketujuh titik yang diamati memiliki nilai yang berbeda (Tabel 12). Kapasitas jalan dikatakan optimum jika berada pada LoS sama dengan D, yakni ketika arus lalu lintas mendekati tidak stabil, kecepatan masih dapat dikendalikan, dan V/C masih dapat ditoleransi. Pada tabel 12 terlihat bahwa terdapat 4 titik jalan yang berada pada kondisi LoS C, yaitu Jalan Pajajaran # 2, Jalan Veteran, Jl. Raya Tajur, dan Jalan Pahlawan. Karakteristik pelayanan jalan pada LoS C yaitu arus kendaraan stabil, kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan oleh kondisi lalu lintas. Terdapat 1 titik jalan arteri berada pada kondisi optimum yaitu jalan Pajajaran (LoS = D) dimana arus kendaraan mendekati tidak stabil, kecepatan masih dapat dikendalikan, dan tingkat pelayanan jalan masih dapat ditoleransi. Terdapat 2 titik jalan pada kondisi LoS E, yaitu Jalan Jalak Harupat dan Jalan KH. Sholeh Iskandar. Karakteristik LoS E yaitu di mana arus kendaraan tidak stabil, kecepatan kendaraan kadang terhenti, serta permintaan (kebutuhan) jalan mendekati kapasitasnya. Hasil LoS menunjukkan bahwa tidak semua jalan berada pada level optimal (LoS = D), diantaranya ada masuk pada level C dan level pelayanan E (Tabel 13). Jalan-jalan yang masuk pada level C yaitu Jalan Pajajaran #2, Jalan Veteran, Jalan Raya Tajur, dan Jalan Pahlawan masing-masing memiliki volume kendaraan 2 135.6 smp/jam, 2 630.8 smp/jam, 2 871 smp/jam, dan 2 227 smp/jam. Jalan-jalan tersebut dapat berubah menjadi lebih buruk, yaitu pada level D (optimal) ketika volume kendaraannya meningkat minimal menjadi 3 513,6 smp/jam (Jl. Pajajaran #2), 3 627.6 smp/jam Jl. Veteran), 3 627.6 smp/jam (Jl. Raya Tajur), dan 3 276.5 smp/jam (Jl. Pahlawan). Tabel 13 Volume kendaraan optimal ketika kapasitas jalan tetap Nama Jalan Pajajaran #1 Pajajaran #2 Jalak Harupat Veteran Raya Tajur Sholeh Iskandar Pahlawan
V Rata-rata (smp/jam) 4 367.2 2 135.6 3 810.4 2 630.8 2 871.0 5 825.0 2 227.0
C (smp) 5 645.64 4 623.22 4 536.05 4 773.13 5 306.90 6 499.31 4 465.19
LoS D C E C C E C
V Optimal (level D) Batas Bawah Batas Atas 4 290.7 4 742.3 3 513.6 3 883.5 3 447.4 3 809.0 3 627.6 4 009.4 4 033.2 4 457.8 4 939.5 5 459.4 3 393.5 3 750.8
Sumber: Data diolah 2013 Pada Jalan Pajajaran #2, jika terjadi penambahan volume kendaraan maka jumlah yang masih bisa ditoleransi yaitu sebesar 1 378 smp/jam (3 513.6–2 135.6 smp/jam) sehingga tingkat pelayanannya jalan menjadi level D (batas bawah optimal) dan mencapai batas atas optimal ketika volume kendaraan sudah mencapai 3 883.5 smp/jam. Begitu pula pada Jalan Veteran, jika terjadi toleransi penambahan volume maka volume kendaraan masih bisa bertambah sebesar 996.8 smp/jam, sehingga level tingkat pelayanan jalan berubah semakin menurun dari level C menjadi level D (optimal). Pada jalan Raya Tajur, level tingkat pelayanan jalan akan berubah menjadi level D (optimal) ketika volume kendaraan bertambah sebesar 756.6 smp/jam, selanjutnya akan mencapai batas atas optimal ketika volume kendaraan sudah mencapai 4 009.4 smp/jam. Kemudian nilai toleransi perubahan volume kendaraan pada Jalan Pahlawan adalah sebesar 1 049.5 smp/jam, sehingga level tingkat pelayanan jalan berubah pada batas optimal, yakni menjadi level D.
27
Jalan yang masih dalam kondisi level D atau optimal adalah Jalan Pajajaran #1 dimana memiliki volume kendaraan sebesar 4 367.2 smp/jam yang berada pada selang batas bawah dan batas atas volume optimal untuk Jalan Pajajaran #1, yaitu 4 290.7 – 4 742.3 smp/jam. Jalan Pajajaran #1 akan berada pada batas atas optimal ketika volume kendaraan bertambah 375.1 smp/jam, sedangkan akan berubah menjadi level jalan yang lebih baik ketika volume kendaraan berkurang minimal > 77.5 smp/jam. Jalan yang sudah melebihi batas optimal adalah Jalan Jalak Harupat dan Jalan Sholeh Iskandar dimana berada pada level E. Jalan Jalak Harupat akan berada pada tingkat pelayanan jalan optimal atau level D jika volume kendaraan pada jalan tersebut dikurangi sebesar 41.5 smp/jam dimana mencapai batas atas level optimal sebesar 3 768.9 smp/jam dan akan mencapai batas bawah level optimum jika volume kendaraan dikurangi sebesar 400.5 smp/jam. Kemudian Jalan Sholeh iskandar dimana volume kendaraan pada jalan tersebut sudah berada pada level E. Jalan Sholeh Iskandar akan berada pada tingkat pelayanan jalan optimal jika volume kendaraan pada jalan tersebut dikurangi sebesar 834.6 smp/jam yang merupakan batas bawah level optimal sebesar 4 990.4 smp/jam dan akan mencapai batas atas level optimum jika volume kendaraan dikurangi sebesar 309.3 smp/jam. Menurut Hardin (1968) Pemanfaatan jalan sebagai barang publik oleh seseorang akan mengurangi kemampuan orang lain untuk memanfaatkanya yang disebut tragedi kepemilikan bersama. Analisis kapasitas jalan ini menjadi sebuah indikator bagi pemanfaatan jalan sebagai salah satu dari common pool resource. Dari data analisis yang ada, kapasitas jalan dari 7 titik jalan arteri di Kota Bogor yang di amati menunjukkan arus volume kendaraan yang melewati jalan tersebut pada rata-rata belum melebihi dari kapasitas dasar jalan yang ada. Namun demikian kenyamanan pengguna jalan akan berkurang seiring dengan semakin menurunya level derajat kejenuhan dari tiap titik jalan. Sebagai contoh titik Jalan Jalak Harupat yang memiliki arus volume kendaraan rata-rata 3 810.4 smp/jam dan kapasitas jalan sebesar 4 486.74 smp/jam sehingga derajat kejenuhan di Jalan Jalak Harupat berada pada level E. Kemudian pula hal yang sama terjadi pada Jalan Sholeh Iskandar yang memiliki kapasitas jalan 6 990.4 smp/jam dan arus volume kendaraan 5 825 smp per jam sehingga level pelayanan jalan berada pada level E. Walaupun kapasitas dasar Jalan Jalak Harupat dan Jalan Sholeh Iskandar dapat dikatakan masih dapat menampung arus kendaraan yang ada saat ini yaitu sebesar 6 000 smp/jam dan 6 600 smp/jam, namun kondisi jalan sudah dapat dikatakan tidak nyaman karena arus kendaraan tidak stabil dan mendekati kapasitas jalan. Tidak dapat menutup kemungkinan keadaan kapasitas jalan sudah tidak dapat menampung arus kendaraan yang melewati jalan tersebut ketika bertambahnya volume kendaraan tidak di imbangi dengan penambahan lebar atau panjang jalan. Jika hal demikian terjadi maka akan timbul eksternalitas negatif sehingga tragedi kepemilikan bersama dari pemanfaatan jalan akan terjadi. Jalan merupakan sumberdaya yang dikategorikan milik bersama (public goods) yang dapat digunakan oleh siapa saja. Akan tetapi seringkali jalan digunakan secara tidak tertib sehingga mengurangi nilai kegunaan bagi pengguna jalan. Setiap orang ingin menggunakan jalan secara berlebihan Setiap individu berupaya untuk tiba di tempat tujuannya dengan kendaraannya secepat mungkin dengan melalui rute-rute tercepat. Pada awalnya, setiap tambahan pengguna jalan seperti kendaraan tidak memperlambat lalu lintas. Hal tersebut karena kemungkinan kapasitas jalan yang dilewati masih bisa menampung
28
volume kendaraan yang ada. Namun demikian, jika terjadi fase di mana kapasitas jalan sudah tidak dapat menampung volume kendaraan karena terdapat terlalu banyak kendaraan yang melintas sehingga lalu lintas terganggu dan mengurangi kenyamanan pengguna jalan maka terjadi masalah penggunaan sumberdaya atau the tragedy of the common. Perlu adanya berbagai solusi untuk mengatasi masalah ini, sebelum semakin menurun tingkat pelayanan jalan seiring dengan peningkatan volume kendaraaan tiap tahunya, tindakan pencegahan harus di upayakan agar meminimalisir timbulnya eksternalitas negatif. Berbagai solusi diantaranya pengendalian volume kendaraan yang melintasi jalan baik angkutan umum maupun berbagai jenis kendaraan pribadi, peningkatan dan perbaikan kapasitas jalan seperti pada faktor penyesuaian lebar jalan, faktor pemisah arah, faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan sehingga dapat mengimbangi besarnya volume kendaraan yang terus meningkat, ketegasan aparatur pemerintah terhadap peraturan mengenai penggunaan jalan umum sebagai sumber daya kepemilikan bersama. 4.4.3. Proyeksi volume kendaraan dan perubahan tingkat pelayanan jalan Tingkat pelayanan jalan yang telah diuraikan di atas akan terus mengalami perbahan di setiap tahun. Perubahan tingkat pelayanan jalan dipengaruhi oleh perubahan volume kendaraan (V) dan kapasitas jalan (C). Volume kendaraan yang terus meningkat berakibat pada tingkat pelayanan jalan (VCR) yang semakin rendah. Berdasarkan data Tabel 14, trend laju pertumbuhan kendaraan cendrung meningkat yang berdampak pula pada meningkatnya volume kendaraan tiap tahun. Tabel 14 Proyeksi jumlah volume kendaraan pada 7 titik jalan arteri di Kota Bogor tahun 2014 – 2017 Smp/jam No. Lokasi Pengamatan 2014 2015 2016 2017 1 Jl. Pajajaran #1 4 715.3 5 059.7 5 404.1 5 748.4 2 Jl. Pajajaran #2 2 305.7 2 474.1 2 642.4 2 810.8 3 Jl. Jalak Harupat 4 114.0 4 414.4 4 714.9 5 015.3 4 Jl. Veteran 2 840.4 3 047.9 3 255.3 3 462.7 5 Jl. Raya Tajur 3 099.9 3 326.2 3 552.6 3 779.0 6 Jl. KH. Sholeh Iskandar 6 289.0 6 748.2 7 207.5 7 666.8 7 Jl. Pahlawan 2 404.9 2 580.6 2 756.2 2 931.8 Sumber: Data diolah 2013 Hasil proyeksi peningkatan volume kendaraan menunjukkan bahwa di Jalan KH. Sholeh Iskandar terjadi peningkatan volume kendaraan yang tertinggi di antara titik jalan lainnya, yaitu pada tahun 2014 sebesar 6 222.7 smp/jam dan di tahun 2017 menjadi 7 586.2 smp/jam artinya terjadi perubahan sebesar 1 363.5 smp/jam selama 4 tahun ke depan. Sedangkan peningkatan yang cukup kecil atau lambat terjadi di Jalan Pajajaran # 2, di mana pada tahun 2014 sebesar 2 281.4 smp per jam dan pada tahun 2017 menjadi 2 781.3 smp per jam, yang artinya terjadi perubahan sebesar 499.9 smp/jam selama 4 tahun ke depan. Saat ini, setelah masa pengambilan sampel, pemerintah Kota Bogor bersama Pemerintah Pusat telah membangun jalan tol fly over di atas sebagian jalan tersebut sehingga mengurangi beban jalannya.
29
Proyeksi perubahan volume kendaraan (Tabel 14) dapat digunakan untuk memproyeksi tingkat pelayanan jalan dengan asumsi tidak terjadi perubahan kondisi geometrik jalan (Tabel 15). Kemudian proyeksi derajat kejenuhan jalan dari tahun 2014 hingga 2017 dapat dikategorikan dalam nilai Level of Service yang disajikan pada Tabel 16. Penilaian tersebut dimaksudkan untuk mempermudah identifikasi kondisi pelayanan di setiap ruas jalan yang menjadi sampel penelitian. Tabel 15 Proyeksi derajat kejenuhan (DS) jalan pada tahun 2014-2017 Lokasi 2014 2015 2016 Jl. Pajajaran #1 0.84 0.90 0.96 Jl. Pajajaran #2 0.50 0.54 0.57 Jl. Jalak Harupat 0.92 0.98 1.05 Jl. Veteran 0.60 0.64 0.68 Jl. Raya Tajur 0.65 0.70 0.74 Jl. Soleh Iskandar 0.96 1.03 1.10 Jl Pahlawan 0.56 0.60 0.64 Sumber : Data diolah 2013 Tabel 16 Proyeksi Level of Service tiap lokasi pada tahun 2014-2017 2014 2015 2016 Jl. Pajajaran #1 D E D Jl. Pajajaran #2 C C C Jl. Jalak Harupat E E E Jl. Veteran C C C Jl. Raya Tajur C C C Jl. Soleh Iskandar E F E Jl. Pahlawan C C C Sumber : Data diolah 2013
2017 1.02 0.61 1.12 0.73 0.79 1.17 0.68
2017 E C F C C F C
Tabel 15 dan Tabel 16 menunjukkan perubahan LoS yang terjadi dari pada tahun 2014-2017 yang berpatokan dari tahun 2013 dengan asumsi kapasitas jalan tetap. Jalan Pajajaran #1 akan terjadi perubahan level sebanyak 2 kali perubahan pada selang tahun 2014 hingga 2017. Perubahan tingkat pelayanan pertama pada tahun 2015 dan kemudian pada tahun 2017, dari sebelumnya di tahun 2013 berada pada level D dan pada tahun 2015 menjadi E lalu pada tahun 2017 kembali berubah semakin memburuk menjadi level F. Sedangkan di lokasi lain hanya terjadi perubahan 1 kali, yaitu Jalan Jalak Harupat dari E menjadi F, kemudian Jalan Raya Tajur dari C menjadi D, dan Jalan Sholeh Iskandar mengalami perubahan dari E menjadi status level F pada tahun 2015. Sedangkan di Jalan Pajajaran #2, Jalan Veteran, dan Jalan Pahlawan tidak mengalami perubahan level status pelayanan jalan hingga tahun 2017. Secara umum, proyeksi tingkat pelayanan jalan untuk ketujuh titik jalan yang diamati menunjukkan tren yang semakin buruk sebagai akibat peningkatan jumlah kendaraan yang akan melewati jalan tiap tahunnya dan meningkatnya derajat kejenuhan di tiap jalan arteri setiap tahun. Proyeksi perubahan volume kendaraan dan juga tingkat pelayanan di atas dapat dijadikan dasar penentuan kebijakan untuk menentukan prioritas perbaikan yang harus dilakukan terhadap titik jalan arteri agar
30
tidak terjadi the tragedy of the common. Upaya pencegahan yang dilakukan akan mengurangi kerugian-kerugian yang dapat terjadi lebih besar dan lebih luas. Perlu adanya berbagai solusi untuk mengatasi masalah ini, sebelum semakin menurun tingkat pelayanan jalan seiring dengan peningkatan volume kendaraan tiap tahunnya, tindakan pencegahan harus diupayakan agar meminimalisasi timbulnya eksternalitas negatif. Berbagai solusi diantaranya pengendalian volume kendaraan yang melintasi jalan baik angkutan umum maupun berbagai jenis kendaraan pribadi, peningkatan dan perbaikan kapasitas jalan seperti pada faktor penyesuaian lebar jalan, faktor pemisah arah, faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan sehingga dapat mengimbangi besarnya volume kendaraan yang terus meningkat. 4.4.4. Proyeksi kapasitas jalan yang harus disediakan apabila pertumbuhan jumlah kendaraan tidak dibatasi Terdapat dua cara dalam menanggulangi menurunya tingkat pelayanan jalan atau derajat kejenuhan yang semakin buruk. Pertama, dengan pendekatan leviatan, yakni mengendalikan akses dan membatasi penggunaan SDA secara ketat dengan menggunakan kekuatan pihak ketiga. Dalam konteks ini, pendekatan Leviatan berupa pengendalian jumlah volume kendaraan yang melintasi jalan agar tidak melebihi dari kapasitas jalan atau masih berada pada tingkat pelayanan jalan yang ideal. Kedua, juga melibatkan partisipasi pemerintah tetapi dengan pendekatan yang berbeda yaitu menyediakan kapasitas jalan yang sesuai dengan arus volume kendaraan yang ada sehingga tingkat pelayanan jalan tidak semakin memburuk. Pelaksanaan alternatif pertama melalui pembuatan regulasi pembatasan kendaraan bermotor yang melintasi jalan atau rekayasa lalu lintas yang dirancang serta dikontrol oleh pihak pemerintah daerah. Selain itu, pengendalian jumlah volume kendaraan dapat dilakukan dengan pengadaan sarana transportasi umum yang bersifat massal seperti bus, trem, dan kereta yang nyaman agar pengguna kendaraan pribadi berkurang. Alternatif kedua dapat dilaksanakan berupa pembangunan atau pengembangan infrastruktur jalan. Pendekatan solusi terhadap masalah kemacetan di Kota Bogor yang dipilih dalam tesis ini yaitu dengan alternatif kedua. Kebijakan tersebut dipilih mengingat bahwa jumlah kendaraan cenderung akan terus bertambah dan kepemilikannya merupakan hak warga negara yang tidak bisa dibatasi. Selain itu, alternatif solusi pertama hanya dapat berjalan dengan beberapa asumsi, yaitu: 1) terdapat informasi mengenai potensi sumberdaya alam secara akurat, 2) ada kemampuan melakukan pengawasan, 3) kehandalan pihak berwenang dalam pemberian sanksi, 4) biaya administrasi sama dengan nol atau gratis, dan 5) adanya informasi tentang siapa pengguna sumberdaya alam dan lingkungan yang bekerjasama atau tidak bekerjasama. Informasi yang akurat tentang infrastruktur transportasi di Kota Bogor masih sulit diperoleh. Pengawasan pemerintah Kota Bogor terhadap penggunaan jalan sebagai infrastruktur transportasi masih rendah. Pemberian sanksi kepada pelanggar belum tegas dan rawan praktik korupsi. Hingga saat ini biaya administrasi jalan arteri memang gratis karena anggaran perawatan jalan berasal dari anggaran belanja pemerintah daerah ataupun pusat, sesuai kewenang7uannya. Proyeksi yang dibuat akan melihat seberapa besar kapasitas jalan yang seharusnya agar tingkat pelayanan jalan ideal dengan asumsi tingkat pertumbuhan volume kendaraan yang tidak dibatasi (Tabel 17).
31
Tabel 17 Proyeksi kapasitas jalan pada 7 titik jalan arteri Kota Bogor sampai 2017 No 1
2
3
Lokasi
Tahun
Jalan 2014 Pajajaran #1 2015 2016 2017 Jalan 2014 Pajajaran #2 2015 2016 2017 Jalak 2014 Harupat 2015 2016 2017
V (smp/jam) 4 852.4 5 337.7 5 822.9 6 308.2 2 372.7 2 610.0 2 847.2 3 084.5 4 233.5 4 656.9 5 080.3 5 503.7
C Aktual LoS (smp/jam) 5 645.64 E E F F 4 623.22 C C C C 4 536.05 E F F F
C Ideal
LoS
5 613.5 - 6 204.4 6 023.5 - 6 657.5 5 433.4 - 7 110.6 6 843.4 - 7 563.7 4 897.6 - 5 413.1 5 255.3 - 5 808.5 5 613.0 - 6 203.8 5 970.6 - 6 599.1
4
Jalan Veteran
2014 2015 2016 2017
2 923.0 4 773.13 3 215.3 3 507.6 3 799.9
C C C D
-
5
Jalan Raya Tajur
2014 2015 2016 2017 2014 2015 2016 2017
3 189.9 5 306.90 3 509.0 3 828.0 4 147.0 6 471.7 6 499.31 7 118.9 7 766.2 8 413.4
C C D E E F F F
4 498.8 - 4 972.4 7 486.8 - 8 274.9 8 033.6 - 8 879.3 8 580.4 - 9 483.6 9127.1 - 10087.9
2014 2015 2016 2017
2 474.8 4 465.19 2 722.3 2 969.8 3 217.3
C C C D
-
6
Jalan KH. Sholeh Iskandar
7
Jalan Pahlawan
D D D D
D D D D
D D D D D
Sumber: Data diolah 2013
Berdasarkan Tabel 17 terlihat dari ketujuh titik jalan arteri yang diamati terdapat titik jalan yang diproyeksikan harus menambah kapasitas jalan jika volume kendaraan tidak dibatasi. Salah satu titik jalan yang kapasitas jalan masih pada level C walaupun volume kendaraan terus meningkat tiap tahunnya adalah Jalan Pajajaran #2 di mana volume kendaraan meningkat 499.9 smp/jam selama tahun 2014 – 2017. Dengan meningkatnya volume kendaraan dari proyeksi tahun 2014 – 2017 tidak membuat tingkat pelayanan di Jalan Pajajaran #2 berubah. Hal ini dikarenakan kapasitas jalan di titik tersebut tergolong masih berada pada level di bawah batas optimum, yaitu 4 623.2 smp/jam dan kapasitas dasar jalan yang besar dibanding kapasaitas dasar jalan lainya serta volume kendaraan yang melintas pada jalan tersebut yang tergolong rendah yaitu rata – rata 2 447.8 smp/jam (rata-rata volume tahun 2013-2017).
32
Pada titik Jalan Pajajaran#1 proyeksi volume kendaraan akan meningkat sebesar 1 022.2 smp/jam selama tahun 2014 - 2017. Hal ini membuat kapasitas jalan yang ada mengalami penurunan level atau tingkat pelayanan jalan dari LoS sama dengan D mengalami penurunan bertahap pada tahun 2015 menjadi LoS sama dengan E dan tahun 2017 menjadi LoS sama dengan F. Dengan demikian pemerintah perlu menyediakan atau menambah kapasitas jalan pada titik Jalan Pajajaran#1 rata-rata minimal 375.1 smp/jam per tahun sehingga tingkat pelayanan jalan berada level D di mana tingkat pelayanan jalan masih dikatakan baik atau optimum. Kemudian pada titik jalan Jalak Harupat, seiring meningkatnya proyeksi volume kendaraan membuat tingkat pelayanan jalan pada titik ini mengalami penurunan dari LoS = E pada tahun 2013 menjadi LoS = F pada tahun 2016. Untuk tetap menjaga LoS pelayanan jalan pada batas optimum diperlukan peningkatan kapasitas jalan rata-rata minimal 284.2 smp/jam per tahun agar tingkat pelayanan pada titik ini berada pada level D atau batas optimum. Titik jalan arteri yang juga mengalami perubahan adalah Jalan Sholeh Iskandar. Seiring meningkatnya volume kendaraan pada Jalan Sholeh Iskandar membuat tingkat pelayanan jalan sudah akan berubah menjadi LoS = F pada tahun 2015 dan untuk meningkatkan tingkat pelayanan Jalan Soleh Iskandar agar tetap level D pada tahun 2014-2017 diperlukan peningkatan kapasitas jalan rata-rata minimal 493.0 smp/jam per tahun. Adanya perubahan level tingkat pelayanan jalan yang cukup signifikan pada tiga titik jalan yang di amati yaitu Jalan Pajajaran#1, Jalan Jarak Harupat, dan Jalan Sholeh Iskandar membuat jalan sebagai common pool resources terjadi tragedi kepemilikan bersama karena peningkatan volume kendaraan yang melintasi titik tersebut sedangkan kapasitas jalan pada ketiga jalan tersebut belum mengalami penambahan yang signifikan. Menurut Widiastuti (2012) jalan merupakan sumber daya buatan manusia (man-made) yang bisa digunakan oleh banyak orang dan dapat digolongkan sebagai barang publik. Semakin sering dan banyak yang menggunakan, maka akan mengurangi kesempatan orang lain untuk memanfaatkannya. Penggunaan oleh banyak orang suatu sumber daya menimbulkan berbagai eksternalitas negatif seperti kerusakan dan penurunan nilai kemanfaatan jalan tersebut. Kerusakan tersebut tidak dapat dihindari karena hal tersebut sudah merupakan provision (ketetapan). 4.4.5. Dampak Kemacetan Terhadap Kerugian Pengguna Jalan Kemacetan lalu lintas dapat diartikan jika arus lalu lintas mendekati kapasitas, kemacetan mulai terjadi dimana kemacetan semakin meningkat apabila arus begitu besarnya sehingga kendaraan sangat berdekatan satu sama lain, kemacetan total terjadi apabila kendaraaan harus berhenti atau bergerak sangat lambat (Tamin 2000). Ada beberapa penyebab kemacetan diantaranya kecelakaan lalu lintas, ada area pekerjaan jalan, cuaca buruk, alat pengatur lalu lintas yang kurang memadai, dan fluktuasi pada arus normal. Kemacetan lalu lintas telah menjadi fenomena umum di daerah perkotaan. Beberapa faktor spesifik seperti jumlah penduduk, urbanisasi, penambahan pemilikan kendaraan, dan penambahan jumlah perjalanan juga turut menambah masalah kemacetan lalu lintas. Perkembangan Kota Bogor menyebabkan lebih banyak penduduk yang datang dan menetap, selanjutnya mobilitas penduduk yang terjadi akan meningkatkan kebutuhan angkutan umum.
33
Berdasarkan pengamatan kami di sepanjang tujuh titik jalan yang di amati, terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya kemacetan diantaranya pertama kondisi lalu lintas yang terdiri dari berbagai jenis kendaraan sehingga bercampurnya berbagai moda transportasi membuat menambah besar volume kendaraan yang melintas. Salah satu contoh di Jalan Pajajaran #1 di mana jenis jalan daerah ini merupakan jalan utama yang menghubungkan daerah Kota Bogor dengan daerah Cibinong dan Cipanas sehingga kondisi lalu lintas bercampur dengan berbagai moda transportasi. Dengan bertambahnya volume kendaraan yang tidak diimbangi dengan penambahan kapasitas jalan maka akan berpengaruh terhadap tingkat pelayanan jalan. Kedua, perilaku pengguna jalan yang kurang disiplin sehingga dapat menimbulkan antrian kendaraan yang menyebabkan kemacetan. Perilaku pengguna jalan tersebut seperti kendaraan yang berpindah jalur secara sembarangan dimana dapat menimbulkan antrian atau tundaan, perilaku kendaraan yang bergerak zig zag yang dapat membahayakan pengendara lainnya. Perilaku tersebut sering dilakukan oleh moda transportasi angkutan umum dan sepeda motor. Kemudian banyaknya kendaraan yang berhenti dimana sering dilakukan oleh supir angkutan umum yang menaikkan atau menurunan penumpang seenaknya. Kendaraan yang berhenti sembarangan ini membuat titik kemacetan. Sesuai dengan peningkatan pendapatan penduduk, pemilikan kendaraan dan jumlah perjalanan juga akan meningkat sehingga menghasilkan lebih banyak kebutuhan akan fasilitas dan pelayanan transportasi. Faktor-faktor ini turut pula mempercepat peningkatan kemacetan lalu lintas di Kota Bogor. Kemacetan merupakan salah satu indikasi dari ketidakaturan pemanfaatan atau aturan atas suatu barang publik yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak, Keberadaan suatu barang publik dimana setiap orang berhak untuk menggunakan atau mengambil manfaatnya tanpa bisa dilarang oleh pengguna lainnya. Akhirnya kondisi ini dapat menyebabkan the tragedy of the common yaitu penurunan manfaat dari suatu barang publik yang harus ditanggung oleh semuanya akibat dari pemanfaatan seseorang atau kelompok terhadap barang publik tersebut. Dampak kemacetan yang juga signifikan terlihat pada penggunaan bahan bakar, yaitu semakin borosnya bahan bakar kendaraan (BBM) dan semakin besarnya tingkat emisi karbon yang dikeluarkan oleh kendaraan tersebut. Peningkatan konsumsi bahan bakar berbanding lurus dengan penambahan waktu perjalanan. Penambahan waktu perjalanan akan menambah konsumsi bahan bakar. Dengan terjadinya kemacetan mengindikasikan terjadi penambahan waktu tempuh perjalanan sehingga mengakibatkan peningkatan konsumsi BBM yang dibutuhkan. Hampir seluruh responden setuju bahwa kemacetan akan membuat konsumsi bahan bakar minyak pada kendaraan mereka menjadi lebih boros. Para sopir angkutan umum mengeluhkan pendapatan mereka yang berkurang karena sering terjebak kemacetan. Sebanyak 30 orang sopir angkutan umum trayek 03 jurusan Bubulak – Baranangsiang yang dipilih sebagai responden. Berdasarkan hasil wawancara, semua responden (100%) menyatakan mereka harus menambah uang bensin agar beroperasi seperti biasanya atau mereka harus mengurangi jumlah operasional rit kendaraan dari 6 rit pada kondisi normal, namun karena terjadi kemacetan menjadi hanya 5 rit dalam sehari.
34
4.5. Kerugian Ekonomi Data yang diperoleh dari 30 responden sopir angkot mengenai rata-rata durasi kemacetan yang dialami pengguna jalan adalah 28 menit untuk trayek BubulakBaranangsiang. Berikut hasil perhitungan kerugian ekonomi (berkurangnya pendapatan) karena adanya kemacetan dengan sampel 30 responden dari 382 sopir angkot yang ditunjukkan pada Tabel 18. Tabel 18 Perhitungan kerugian ekonomi sopir angkot trayek Baranangsiang – Bubulak kerugian bensin akibat kemacetan rata-rata rit/hari rata-rata pengeluaran bensin per rit kerugian per hari ketika macet
normal macet selisih 6 5 1 19 200 24 800 5 600 5 600 x 5 rit = 28 000
kerugian waktu di konversi ke dalam rit akibat macet
kerugian per hari ketika macet total kerugian ekonomi (pengeluaran BBM dan waktu) per hari /sopir angkot (Rp) kerugian perbulan/sopir angkot (Rp) kerugian pertahun/sopir angkot (Rp) kerugian perhari seluruh sopir angkot (Rp) kerugian perbulan seluruh angkot (Rp) kerugian pertahun seluruh angkot (Rp)
22 500 x 1 rit = 22 500 28 000 + 22 500 = 50 500
1 515 000 18 180 000 19 291 000 578 730 000 6 944 760 000
Sumber: Data diolah (2013), Keterangan: total banyaknya sopir angkot trayek 03 = 382
Hasil perhitungan pengeluaran sopir angkot untuk pembelian BBM dengan rumus perhitungan rata-rata, terlihat adanya selisih yang menunjukkan perbedaan antara kondisi normal dan macet. Kemacetan mengakibatkan konsumsi terhadap bahan bakar minyak semakin meningkat. Selain itu, dampak kemacetan pun membuat terbuangnya waktu karena terhambat saat melakukan perjalanan. Kerugian rata-rata bensin per rit perjalanan yang diakibatkan dari kemacetan sebesar Rp 5 600.00, sehingga rata-rata kerugian BBM yang harus dikeluarkan dalam satu hari ketika macet (sebanyak 5 rit) yaitu sebesar Rp 28 000.00. Kerugian di sisi lain adalah dari segi waktu. Rata-rata banyaknya rit yang bisa ditempuh pada kondisi normal adalah 6 rit/hari, akan tetapi karena kondisi tidak normal berakibat pada berkurangnya banyaknya rit yang bisa ditempuh oleh sopir angkot menjadi 5 rit/ hari, artinya sopir angkot mengalami kerugian sebanyak 1 rit perjalanan. Rata-rata kerugian 1 rit perjalanan per hari ketika macet tersebut sebesar Rp 22 500.00. Sehingga total rata kerugian ekonomi yang hanya diukur dari pengeluaran BBM dan waktu terbuang adalah sebesar Rp. 50 500.00/hari. Total kerugian perhari tersebut jika dikalikan dengan jumlah seluruh angkot trayek Bubulak – Baranangsiang sebesar Rp 19 291 000. Besarnya kerugian perbulan per sopir angkot adalah sebesar Rp 1 515 000, jika dikalikan dengan seluruh supir angkot maka kerugian sebesar Rp 578 730 000. Angka kerugian per tahun per sopir angkot cukup besar yaitu Rp 18 180 000 dan jika dikalikan dengan seluruh sopir angkot pada trayek angkot dari Bubulak – Baranangsiang maka nilai kerugian ekonomi mencapai Rp 6 944 760 000. Perhitungan kerugian ekonomi di atas hanya
35
dihitung dari satu trayek angkot, kemudian perhitungannya pun hanya untuk dilihat dari aspek bertambahnya BBM dan kerugian waktu akibat kemacetan. Hal tersebut menguatkan bahwa apabila perhitungan dilakukan untuk seluruh trayek angkot di Kota Bogor dan dengan beberapa aspek lainnya, maka terjadi kerugian nominal yang sangat besar ditambah kerugian dari sisi lainnya. 4.6. Perhitungan Emisi Karbon Dampak lain yang bisa diperoleh selain kerugian pendapatan pengemudi terhadap adanya kemacetan lalu lintas adalah semakin menurunnya kualitas lingkungan akibat adanya peningkatan pencemaran lingkungan akibat pembuangan gas emisi kendaraan. Dengan adanya kemacetan maka penggunaan bahan bakar minyak semakin meningkat sehingga polusi udara dari emisi gas kendaraan juga akan semakin meningkat. Salah satu unsur gas buangan hasil pembakaran mesin kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO). Gas CO merupakan gas yang berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia pada jangka pendek dan jangka panjang. Perhitungan beban emisi karbon dihitung melalui pendekatan penggunaan konsumsi bahan bakar minyak. Perhitungannya dengan faktor emisi dikalikan dengan rata-rata penggunaan BBM perbulan dan dikalikan dengan jumlah angkot. Faktor emisi yang digunakan pada perhitungan estimasi karbon (CO), terlebih dahulu dikonversi dari kg/ton menjadi g/liter agar dapat disesuaikan dengan satuan bensin dalam liter (Tabel 19). Cara ini untuk memudahkan dalam perhitungan emisi karbon yang dikeluarkan dari operasional angkot. Tabel 19 Konversi Faktor Emisi CO bahan bakar menjadi (g/liter) bahan bakar
CO (kg/ton) CO(g/liter)
bensin (kg/ton) Solar (kg/ton)
377 43.5
279 37
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup, 2007 Estimasi emisi karbon yang dihasilkan angkot trayek 03 selama satu bulan pada kondisi lancar sebesar 56.59 liter (Tabel 20). Sedangkan estimasi emisi karbon pada kondisi macet sebesar 61.07 liter (Tabel 21). Tabel 20 Estimasi emisi karbon (CO) pada kondisi lancar Jumlah konsumsi bensin ltr/rit ltr/hari ltr/bln tiap angkot/bln semua angkot/bln
2.95 ltr 2.95 ltr x 6 rit 2.95 ltr x 6 rit x 30 hari Jumlah emisi 531 ltr x 279 x 0,000001 531 ltr x 279 x 0,000001 x 382
total (ltr)
2.95 17.7 531 total (ltr) 0.1482 56.59
Keterangan: jumlah angkot trayek 03 sebanyak 382 unit Berdasarkan tabel di atas, adanya kemacetan semakin menurunkan kualitas lingkungan karena semakin meningkatnya emisi karbon di udara. Emisi karbon yang dihasilkan ketika kondisi macet lebih besar 4.48 ton dibandingkan kondisi
36
lancar. Perhitungan di atas hanya dilakukan pada mobil kendaraan jenis angkot trayek 03. Hal ini akan lebih berdampak lagi jika ada 100 bahkan 500 angkot yang beroperasi tiap harinya. Belum lagi jika jenis kendaraan lain dihitung pengeluaran bahan bakar minyak saat kondisi macet akan semakin meningkatnya pencemaran udara di lingkungan. Tabel 21 Estimasi emisi karbon (CO) pada kondisi macet Jumlah konsumsi bensin ltr/rit 3.82 ltr ltr/hari 3.82 ltr x 5 rit ltr/bln 3.82 ltr x 5 rit x 30 hari Jumlah emisi tiap angkot/bln 537 ltr x 279 x 0,000001 semua angkot/bln 573 ltr x 279 x 0,000001 x 382 Sumber: Data diolah (2013)
total (ltr) 3.82 19.1 573 total (ton) 0.1599 61.0692
Terjadinya kemacetan lalu lintas juga berdampak pada kenyamanan pengguna jalan. Para pengguna jalan dirugikan dari berbagai segi, baik dari segi waktu tempuh yang lebih panjang dan dari segi biaya yang bertambah bila terjadi kemacetan. Opportunity cost lain yang harus ditanggung pengguna jalan adalah kelelahan akibat kemacetan yang berakibat pada emosi yang tidak stabil. Ini dapat memicu kecelakaan lalu lintas yang seharusnya tidak terjadi bila kemacetan dapat diatasi. Kesehatan pun yang tak luput dari akibat kemacetan ini karena meningkatnya polusi kendaraan akibat kendaraan yang tersendat karena macet sehingga dapat mengganggu kesehatan pengguna jalan seperti supir dan pejalan kaki. Kemacetan lalu lintas ini berdampak secara menyeluruh ke berbagai aspek baik ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga perlu adanya solusi dari pemerintah khususnya agar dapat menanggulangi kemacetan lalu lintas Kemacetan lalu lintas menjadi salah satu dampak yang timbul karena kondisi jalan yang sudah menurun baik kapasitas jalan maupun tingkat pelayanan jalan. Kapasitas jalan yang tidak bertambah tidak di imbangi dengan arus dan volume kendaraan yang terus bertambah sehingga dapat menyebabkan ketidakmampuan suatu jalan untuk menampung volume kendaraan yang ada. Jika sudah mencapai kondisi demikian maka kemacetan lalu lintas sudah tidak bisa dihindarkan lagi. Meningkatnya volume kendaraan menyebabkan pula tingkat pelayanan jalan yang semakin memburuk seperti kualitas jalan memburuk sehingga menjadi penyebab terjadinya kemacetan lalu lintas. Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas adalah salah satu indikasi pula terjadinya the tragedy of the common dalam pemanfaatan jalan. Jalan sebagai salah satu barang publik rentan sekali terjadinya tragedi kepemilikan bersama karena setiap orang dapat memanfaatkan sumber daya tersebut tanpa terkecuali. Sehingga semakin sering dan banyak yang menggunakan maka akan mengurangi kesempatan orang lain untuk memanfaatkanya. Perlu adanya solusi dalam mengatasi terjadinya kemacetan lalu lintas sehingga dapat mengurangi terjadinya the tragedy of the common. Menurut James (1992) ada beberapa metode dalam mengatasi kemacetan lalu lintas diantaranya pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi, pembatasan area baik ruas jalan atau parkir dengan adanya ijin area jika memasuki suatu kawasan dan prioritas angkutan publik dengan meningkatkan jumlah dan kualitas layanan sehingga pengguna jalan
37
dapat beralih menggunakan angkutan publik. Metode lainya dengan pengenaan biaya seperti adanya road pricing yaitu biaya masuk jika melewati area tertentu, penetapan pajak parkir dan bahan bakar tinggi. Pada beberapa negara maju menerapkan beberapa metode dalam mengatasi kemacetan lalu lintas seperti di Kota Oxford adanya biaya parkir yang tinggi dengan pengurangan 60 % dari area bebas parkir umum di pusat kota sehingga untuk menghindari tarif parkir tinggi masyarakat beralih ke moda transportasi publik jika pergi ke pusat kota. Kemudian di Kota Besancon menerapkan metode pemilihan area dimana pusat kota berada di lingkar dalam yang dibagi menjadi beberapa zona seperti zona khusus pejalan kaki dan zona transportasi publik seperti bus atau trem. Selanjutnya di Kota Singapura dengan metode area licensing yaitu adanya tarif tinggi bagi mobil pribadi yang masuk ke pusat kota pada pagi hari. Kebijakan transportasi tersebut dapat mengurangi proporsi penggunaan kendaraan pribadi yang melewati area pusat kota. Penerapan kebijakan transportasi terkait dengan pengurangan kemacetan di Indonesia biasanya berupa rekayasa lalu lintas dan pengadaan sarana transportasi massal yang terintegrasi seperti bandara dengan terminal bus atau stasiun kereta.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Berdasarkan analisis dan pembahasan yang dibuat, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1.
Volume kendaraan bermotor yang terdaftar di Kota Bogor setiap tahun (20082013) cenderung meningkat (tumbuh positif). Peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2008-2011, yakni sebesar 112.733 kendaraan.
2.
Volume kendaraan yang optimal berada pada tingkat pelayanan jalan level D. Jalan-jalan yang masuk pada level C yaitu Jalan Pajajaran #2, Jalan Veteran, Jalan Raya Tajur, dan Jalan Pahlawan yang masing-masing memiliki volume kendaraan 2 135,6 smp/jam, 2 630,8 smp/jam, 2 871 smp/jam, dan 2 227 smp per jam. Pelayanan jalan tersebut dapat berubah menjadi lebih buruk yaitu pada level D sampai dengan tahun 2017 kecuali Jalan Pajajaran #2, Jalan Veteran, dan Jalan Pahlwan yang tetap. Perubahan kondisi Jalan Raya Tajur menjadi level D (optimal) ketika volume kendaraannya meningkat minimal sebesar 3 627.6 smp/jam (0.76 x 4 773.1, dimana 0.76 adalah derajat kejenuhan level D batas bawah). Jalan yang sudah melebihi batas optimal adalah Jalan Pajajaran #1, Jalak Harupat dan Jalan Sholeh Iskandar yang berada pada level E dan F. Jalan Pajajaran #1 akan berada pada tingkat pelayanan jalan optimal (level D) jika volume kendaraan dikurangi sebesar 693.2 smp/jam, 1 033.4 smp/jam, dan 1 396.9 smp/jam pada masing-masing tahun 2015-2017. Jalan Jalak Harupat akan berada pada tingkat pelayanan jalan optimal atau level D jika volume kendaraan pada jalan tersebut dikurangi sebesar 400.5 smp/jam, 660.6 smp/jam, 938.5 smp/jam, 1 235.4 smp/jam, dan 1 552.5 smp/jam untuk masing-masing tahun 2013-2017. Jalan Sholeh Iskandar yang berada pada level E akan berada pada level D jika volume kendaraan dikurangi 834.6 smp/jam, 1 232.3 smp/jam, 1 657.1 smp per jam, 2 110.9 smp/jam, dan 2 595.8 smp/jam pada tahun 2013 – 2017.
38
3.
Proyeksi kapasitas jalan arteri di Kota Bogor dari tahun 2014 sampai tahun 2017 menunjukkan bahwa agar tidak terjadi the tragedy of the common, maka pemerintah perlu menyediakan atau meningkatkan kapasitas jalan pada titik Jalan Pajajaran#1 rata-rata minimal 375.1 smp/jam per tahun sehingga tingkat pelayanan jalan berada level D di mana tingkat pelayanan jalan masih dikatakan baik atau optimum. Kemudian pada titik jalan Jalak Harupat, untuk meningkatkan LoS pelayanan jalan diperlukan peningkatan kapasitas jalan minimal 284.2 smp/jam per tahun agar tingkat pelayanan pada titik ini berada pada level D atau optimum. Kemudian untuk meningkatkan tingkat pelayanan di Jalan KH. Soleh Iskandar diperlukan peningkatan kapasitas jalan minimal 493.0 smp/jam per tahun.
4.
Kerugian ekonomi dari bertambahnya biaya bahan bakar minyak dan dampak emisi karbon akibat kemacetan lalu lintas merupakan indikasi terjadinya the tragedy of the common dalam pemanfaatan jalan.
5.2. SARAN Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh, maka beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya peningkatan tingkat pelayanan jalan arteri di Kota Bogor agar dalam pemanfaatan jalan tidak terjadi the tragedy of the common (ToC) dalam pemanfaatannya. Salah satu caranya dengan penyesuaian kapasitas jalan arteri oleh stakeholder. 2. Perlu adanya suatu kebijakan terkait pengendalian dan pengawasan kapasitas jalan dan tingkat pelayanan jalan karena tingkat volume kendaraan pribadi yang terus meningkat dan diimbangi dengan peningkatan pelayanan angkutan umum serta sarana transportasi yang memadai agar dapat mengatasi terjadinya the tragedy of the common. 3. Perlu ada kajian menggunakan metode analisis statistik yang lain untuk meramal kapasitas jalan dan volume kendaraan dalam penentuan Level of Service jalan arteri Kota Bogor guna mendapatkan proyeksi yang terbaik. 4. Perlu menambahkan keluasan aspek kajian pemanfaatan jalan sehingga dapat melihat kondisi jalan se-Kota Bogor atau bahkan Kota dan Kabupaten Bogor.
DAFTAR PUSTAKA [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2012. Peta Wilayah Adminstrasi Kota Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor. Bromley DW. 1989. Economic Intererst and Institution. London: Blackwell. Chaeriwati. 2004. Analisis Permintaan Angkutan Kota Serta Kaitannya Terhadap Tata Ruang Wilayah Kotamadya Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Chandrasiri S. 1999. Controlling Automotive Air Pollution: The Case of Colombo City. Economy and Environment Program For Southeast Asia (EEP SEA).
39
[DJBM] Direktorat Jenderal Bina Marga. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI). Jakarta (ID): Departemen Pekerjaan Umum. [DLLAJ] Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan. 2012. Jaringan Trayek Angkutan Kota, Angkutan Perkotaan AKDP, Angkutan Massal Trans Pakuan. Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor. Dolsak N, Ostrom E. 2003. The Commons in The New Millenium, Challenge, and Adaptation. London: England Pr. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gardner, G. T., Stern, P. C. 1966. Enviromental Problems and Human Behavior. Boston : Allyn and Bacon. Hardin G. 1968. The Tragedy of The Commons. Science J. Vol. 162 No. 3859: 1234-1248 Hartwick JM, Olewiler ND. 1998. The Economics of Natural Resource Use. Boston: Addison-Wesley Hidayat A. 2010. Karakterisasi SDAL, Klasifikasi SDAL, Eksternalitas, Urgensi Kelembagaan dalam Pengelolaan SDAL, Wajah SDAL di Indonesia dan Cerminan Kegagalan Kelembagaan. [Materi Kuliah Ekonomi Kelembagaan]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Pr. James. 1992. Model for Travel Demand Management. A Review, Road and Transportation Research. Vol. No 3. Kamaludin, Rustian. 2003. Ekonomi Transportasi , Karakteristik, Teori dan Kebijakan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Kojima M, Brandon C, Shah J. 2000. Improving Urban Air Quality in South Asia by Reducing Emissions from Two-Stroke Engine Vehicles. World Bank Washington D. C. USA. Kusuma WP. 2010. Studi Kontribusi Kegiatan Transportasi Terhadap Emisi Karbon di Surabaya Bagian Barat [Skripsi]. Surabaya (ID). Institut Teknologi Sepouluh November. [KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2007. Penyusunan Metode Estimasi Beban Pencemar dari Kendaraan Bermotor. KLH [internet]. [2013 Maret 6]. Tersedia pada: http://www.http://langitbiru.menlh.go.id. Marikadiks S, Wheelwright SC, Mc Gee VE. 1998. Forecasting: Methodes and Application, 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc. Nasution MN. 2004. Manajeman Transportasi. Ghalia Indonesia. Jakarta [Pemkot Bogor] Pemerintah Kota Bogor. 2012. Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah 2011. Bogor: Pemerintah Kota Bogor. Perman R, Yue Ma, McGivray. 1996. Natural Resource and Environmental Economics. Singapore: Longman. Rahmani U. 2000. Analisis Perkembangan Transportasi dan Sistem Interaksi Spasial di Kota Bogor. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crest Pent Pr. Suryani AS. 2010. Studi Beban Emisi Pencemaran Udara Karbon Monoksida dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta. Jurnal Aspirasi. 1(1):75-102. Tamin O. 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung : InstitutTeknologi Bandung.
40
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (4) Tentang Hak Kepemilikan. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan. Widiastuti MMD. 2012. Estimasi kerugian ekonomi PLTA akibat sedimentasi dan analisis kelembagaan waduk Cirata-Jawa Barat. [Tesis]. Bogor: Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data primer hasil survei pencacahan kendaraan di 7 lokasi sampling Hari
senin
selasa
rabu
kamis
jumat
Lokasi
Waktu
Pajajaran #1 Pajajaran #2 Jalak Harupat Veteran Raya Tajur Soleh Iskandar Pahlawan Pajajaran #1 Pajajaran #2 Jalak Harupat Veteran Raya Tajur Soleh Iskandar Pahlawan Pajajaran #1 Pajajaran #2 Jalak Harupat Veteran Raya Tajur Soleh Iskandar Pahlawan Pajajaran #1 Pajajaran #2 Jalak Harupat Veteran Raya Tajur Soleh Iskandar Pahlawan Pajajaran #1 Pajajaran #2 Jalak Harupat Veteran Raya Tajur Soleh Iskandar Pahlawan
06.30-07.30 14.30-15.30 06.45-07.45 07.00-08.00 08.00-09.00 07.00-08.00 07.00-08.00 06.30-07.30 14.30-15.30 06.45-07.45 07.00-08.00 08.00-09.00 07.00-08.00 07.00-08.00 06.15-07.15 14.30-15.30 06.45-07.45 07.00-08.00 08.00-09.00 07.00-08.00 07.00-08.00 06.30-07.30 14.30-15.30 06.45-07.45 07.00-08.00 08.00-09.00 07.00-08.00 07.00-08.00 06.30-07.30 14.30-15.30 06.45-07.45 07.00-08.00 08.00-09.00 07.00-08.00 07.00-08.00
Banyak Kendaraan roda 4 roda 4 roda 2 (kecil) (besar) (motor) 2 973 162 4 849 1 547 127 1 890 2 452 75 5 463 1 372 32 4 748 1 747 124 4 201 3 953 721 7 702 1 203 60 4 206 2 928 190 4 727 1 521 126 1 803 2 423 80 4 815 1 553 28 5 294 1 718 109 4 024 3 571 697 7 178 1 152 50 4 094 3 092 162 4 624 1 497 107 1 781 2 504 48 5 610 1 305 28 3 408 1 710 91 3 998 3 098 701 6 945 1 098 45 3 879 3 020 173 4 644 1 539 155 1 895 2 457 90 5 270 1 468 49 4 435 1 741 93 3 953 2 797 496 4 832 1 149 59 3 926 2 911 172 4 679 1 538 121 1 718 2 304 46 4 858 1 541 39 4 927 1 708 120 4 196 4 282 714 7 640 1 153 43 4 195
Lampiran 2 Lebar Jalan masing-masing lokasi pengamatan Lokasi Pajajaran #1 Pajajaran #2 Jalak Harupat Jalan Veteran Jalan Raya Tajur Jalan KH. Sholeh Iskandar Jalan Pahlawan
Arah keSelatan Utara Selatan Utara Timur Barat Timur Barat Timur Barat Timur Barat Barat Timur
Lebar (meter) 6.8 7.8 4.9 5.0 4.2 4.7 4.4 4.5 4.9 4.9 8.2 8.1 4.5 4.7
Lampiran 3 Keterangan singkatan rumus dalam bahasa Inggris Keterangan D UD LV HV MC Q V C FC FCw FCsf FCsp FCcs
: : Devide : Undevide : Low Vehicle : Heavy Vehicle : Motorcycle : Quantity : Volume : Capacity : Factor Correction : Factor Correction of Wide : Factor Correction of Side Factor : Factor Correction of Separation Path : Factor Correction of City Speed
44
Lampiran 4 Data primer hasil survei kuesioner kemacetan di Kota Bogor pada angkutan trayek Baranangsiang – Bubulak
Lampiran 5 Rata-rata tiap variabel data hasil survei kuesioner kemacetan di Kota Bogor pada angkutan trayek 03 variabel rata-rata lama macet (menit) rata-rata rit perhari tidak macet rata-rata rit perhari macet rata-rata bensin normal per rit (ribu) Rata-rata waktu tempuh normal (menit) rata-rata bensin per rit macet (Rupiah) Rata-rata waktu tempuh macet (menit) Rata-rata pendapatan bersih perhari ketika macet (Rp)
besaran 28 6 5 19 200 48 24 800 69 112 500
46
Lampiran 6 Formulir Kuesioner Penelitian
KUESIONER DAMPAK KEMACETAN
ANALISIS PEMANFAATAN JALAN RAYA SEBAGAI COMMON POOL RESOURCES (CPRS) UNTUK MENGATASI TRAGEDI OF THE COMMON: KASUS DI KOTA BOGOR Terima kasih atas partisipasi Anda untuk menjadi salah satu responden dalam pengisian kuisioner ini. Kuisioner ini merupakan instrumen penelitian yang dilakukan oleh : Peneliti/NIM : Yocie Gusman Program
: Magister Sains
Universitas
: Institut Pertanian Bogor
Untuk memenuhi tugas penyelesaian tesis Program Magister Sains Pascasarjana. Saya sangat menghargai kejujuran Anda dalam mengisi kuisioner ini dan menjamin kerahasiaan Anda. Atas kerjasamanya, saya sampaikan terima kasih.
KERUGIAN EKONOMI SEBAGAI DAMPAK DARI KEMACETAN 1 Berapa rata-rata lama biasanya anda terkena kemacetan ? a. 5 menit
b. 15 menit
c.10 menit
d. 20 menit
e. >20 menit
(sebutkan)……menit 2 Berapa rit rata-rata kendaraan anda beroperasi setiap hari ketika tidak macet? 3 Berapa rit rata-rata kendaraan anda beroperasi setiap hari ketika macet? 4 Berapa rata-rata bensin yang anda keluarkan untuk 1 rit perjalanan jika tidak macet (bisa dalam liter atau rupiah yang dikeluarkan)? 5 Berapa lama waktu tempuh sampai tujuan ketika tidak macet? 6 Berapa rata-rata bensin yang anda keluarkan untuk 1 rit perjalanan jika macet (bisa dalam liter atau rupiah yang dikeluarkan)? 7 Berapa lama waktu tempuh sampai tujuan ketika tidak macet? 8 Berapa rupiah (Rp) pendapatan bersih per hari ketika terjadi kemacetan?
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 14 Agustus 1974 dari Ayahanda Hidayat (alm.) dan Ibunda Maesaroh. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis tinggal di Perumahan Taman Kenari Blok D6, Kelurahan Cimahpar, Kota Bogor. Pendidikan dasar ditempuh penulis di SD Negeri Kramat 05 Pagi, Jakarta (1980 – 1986), kemudian melanjutkan sekolah di SMP Negeri 28 Jakarta (1986 – 1989), lalu meneruskan sekolah di SMA Negeri 30 Jakarta (1989 – 1992). Setelah lulus SMA, penulis diterima sebagai mahasiswa perguruan tinggi di IPB dan lulus sarjana pada tahun 1998. Penulis melanjutkan kuliah pascasarjana di IPB pada tahun 2012 di program studi Ekonomi Sumberdaya Lingkungan (ESL) dan berhasil meraih gelar master pada tahun 2014. Artikel ilmiah yang disusun oleh penulis berjudul Analisis Pemanfaatan Jalan untuk Mengatasi The Tragedi of The Common: Kasus di Jalan Arteri Kota Bogor (JAREE 2014). Penulis sempat terpilih sebagai peserta International Visitors Leadership Program (IVLP) pada tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Amerika Serikat. Pengalaman organisasi penulis sejak tahun 2011 hingga sekarang sebagai Bendahara Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwilsus Bogor, sejak tahun 2012 hingga sekarang sebagai Ketua Bidang di Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) DPW Jabodetabek, dan pada tahun 2013 hingga sekarang sebagai Wakil Pusat I di Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CI-BESS) – Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (LPPM – IPB). Karir profesi penulis pada bidang perbankan yang dimulai di PT. Bank Wakalumi sebagai Account Officer (1999 – 2000), lalu sebagai Kepala Bagian marketing (2000 – 2003). Kemudian bersama PT. Bank Bukopin sebagai Account Officer cabang Syariah – Mentawai (2003 – 2004). Selanjutnya bersama PT. Bank Syatiah Mandiri sebagai Account Officer BSM cabang Bogor (2004 – 2009), lalu sebagai Manager Marketing BSM cabang Bogor (2009 – 2010), dan Kepala Cabang BSM Cipulir – Jakarta (2010 – 2013). Sejak tahun 2014 hingga saat ini, penulis diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Direktur Bank BJB Syariah.