ISBN : 978-602-70313-2-6
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN Membangun Generasi Berpendidikan dan Religius Menuju Indonesia Berkemajuan
ANALISIS NILAI-NILAI DASAR DAN IMPLEMENTASI KOMPETENSI MULTICULTURAL APARATUR PEMERINTAH DI PROVINSI LAMPUNG Suyanto1, Nedi Hendri2 1, 2
Univesitas Muhammadiyah Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 116 Kota Metro HP.+628-2281-7132-26 Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung e-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis nilai-nilai dasar budaya (multicultural) dan implementasi kompetensi multicultural yang dapat mempengaruhi prilaku aparatur pemerintah di Provinsi Lampung. Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Kuesioner penelitian dikirimkan kepada 120 pegawai aparatur di Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Tengah dan Kota Metro. Tingkat respond rate sebesar 89,2% atau 107 responden. Sampel yang dipilih, diklasifikasikan kedalam tiga suku budaya yaitu Lampung, Jawa, dan Bali. Hasil empiris ini mengidentifikasi beberapa nilai dasar multicultural aparatur di Provinsi Lampung meliputi nilai budaya individu, budaya dalam kekerabatan dan budaya sosial. Penelitian juga menemukan bahwa kompetensi multicultural aparatur pemerintah di Provinsi Lampung sangat baik. Implementasi kompetensi multicultural adalah lingkungan kerja yang nyaman, tidak membeda-bedakan diantara suku dan berfokus pada peningkatan kualitas kerja. Kata kunci: nilai budaya; kompetensi; multicultural Abstract This research is aimed to analyze the basic values of culture (multicultural) and the implementation of multicultural competence that can influence the behavior of government apparatus in Lampung Province. The research was conducted by descriptive qualitative approach. The research questionnaires were sent to 120 apparatus personnel in East Lampung, Lampung Tengah and Metro City. The sample respond rate was 89.2% or 107 respondents. The selected sample, classified into three cultural tribes namely Lampung, Java, and Bali. These empirical results identify some of the basic values of multicultural apparatus in Lampung Province covering individual cultural values, cultures in kinship and social culture. The study also found that the competence of multicultural government apparatus in Lampung Province is very good. Implementation of multicultural competence is a comfortable working environment, not discriminating among the tribe and focusing on improving the work quality. Keyword: culture value; competency; multicultural 1. PENDAHULUAN Budaya merupakan salah satu topik yang menarik minat peneliti dari beragam disiplin ilmu. Hal ini karena budaya sebagai salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seseorang [1]. Selain itu, budaya memiliki definisi yang senantiasa berkembang, hal ini ditandai oleh adanya fenomena mengenai pendefinisian budaya yang tidak pernah berakhir. Misalnya, menurut Matsumoto [2] mendefinisikan budaya sebagai suatu sistem mulai dari sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh kelompok orang. Definisi ini sedikit dengan Ralph Linton
326
Seminar Nasional Pendidikan 2017
ISBN : 978-602-70313-2-6
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN Membangun Generasi Berpendidikan dan Religius Menuju Indonesia Berkemajuan
[3] yang lebih menekankan pada aspek kebiasaan yang diwariskan dalam anggota masyarakat tertentu. Beberapa penelitian, seperti Lewin [4] menemukan bahwa perilaku pekerja adalah fungsi interaksi antara karakteristik pribadi dengan lingkungan sekitar. Lingkungan mengandung budaya sosial yang mempengaruhi pekerjaan sehingga dapat disebut budaya kerja. Nilai-nilai itu sendiri merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh seseorang [5]. Ini berarti bahwa budaya mempengaruhi perilaku yang dibawanya atau sikap seseorang melalui nilai-nilai yang dibawanya melalui lingkungan sekitarnya. Dengan pemahaman tersebut, maka persepsi budaya yang berbeda akan menentukan sikap dan perilaku yang berbeda pula dan berpengaruh besar seperti pada tanggung jawab pribadi, sikap terhadap otoritas dan hukum, penggunaan waktu, menghormati aturan, dan perlakuan yang adil. Isu-isu semacam ini memiliki peran yang demikian penting dalam membina hubungan yang lebih baik. Kesadaran akan adanya perbedaan saja tidaklah cukup, dibutuhkan kompetensi multicultural untuk dapat memahami dan menyikapi perilaku dan sikap dalam konteks budaya yang berbeda. Adanya kompetensi multicultural yang tercermin dalam pemahaman dan sikap aparatur pemerintah dapat menjadi sebuah kekuatan dan bukan hambatan dalam meningkatkan kinerja aparatur pemerintah di lingkungan kerja. Kompetensi multikultural ini diperlukan khususnya di pemerintah Provinsi Lampung yang memiliki dinamika multikultural, sehingga kondisi masyarakatnya sangat heterogen. Kondisi ini sering mengakibatkan diantara pegawai aparatur dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Kesulitan komunikasi dan interaksi akan terjadi apabila aparatur pemerintah tersebut sangat entosentrik. Kesalahan-kesalahan antar budaya diatas dapat dikurangi apabila aparatur pemerintah mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antar budaya dan mempraktikannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dengan demikian, keberagaman budaya harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak berdampak buruk terhadap organisasi pemerintah tetapi justru memperkaya sumber daya. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk menganalisis nilai-nilai dasar budaya (multicultural) dan bagaimanakah implementasi kompetensi multicultural yang secara langsung mempengaruhi prilaku aparatur pemerintah di Provinsi Lampung Kompetensi multicultural merupakan kemampuan untuk memahami identitas dan nilai berbagai budaya (culture) yang dianut oleh dirinya sendiri dan bagaimana identitas dan nilai-nilai itu mempengaruhi persepsinya terhadap orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda [6]. Seseorang yang memiliki kompetensi multicultural yang tinggi ditandai dengan kemampuan untuk berempati (mampu merasaan perasaan orang lain). Ia mampu memahami dan menerima orang lain yang memiliki perbedaan dalam merasakan, berpikir, berinteraksi, berperilaku dan dalam cara mengambil keputusan yang berbeda dengannya. Dengan demikian kompetensi multicultural mencakup 4 (empat) ranah, yaitu kesadaran, pengetahuan, sikap dan keterampilan. Yang dimaksud kesadaran adalah mampu menyadari akan adanya perbedaan diantara dirinya dengan orang lain. Ranah pengetahuan berarti memiliki informasi dan pengetahuan yang memadai tentang budayanya sendiri, budaya orang lain dan perbedaan diantara keduanya. Sikap adalah pernyataan evaluatif tentang budaya orang lain dan bagaimana seseorang menanggapi perbedaan yang terjadi antara budayanya sendiri dengan budaya oang lain. Sedangkan keterampilan adalah kemampuan dalam mengaktualisasikan kesadaran, pengetahuan dan sikap pada konteks perbedaan antar budaya ke dalam bentuk perilaku nyata. Kompetensi multicultural yang dimiliki seorang aparatur, bukan sekedar talenta bawaan, tetapi ditumbuhkan dan dikembangkan dengan kesengajaan dari waktu ke waktu.
327
Seminar Nasional Pendidikan 2017
ISBN : 978-602-70313-2-6
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN Membangun Generasi Berpendidikan dan Religius Menuju Indonesia Berkemajuan
2. METODE 2.1 Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Obyek dalam penelitian ini adalah nilai-nilai dasar dan kompetensi multicultural aparatur pemerintah yang berada di Provinsi Lampung. Populasi penelitian meliputi pegawai aparatur pemerintah yang ada di provinsi Lampung. Meskipun Provinsi Lampung terdiri dari berbagai kabupaten dan kota, namun secara umum karakteristiknya hampir sama karena memiliki heterogenitas masyarakat yang sama. Penentuan sampel penelitian menggunakan teknik purposive-sampling. Metode purposive sampling merupakan metode penentuan sampel dengan pertimbanganpertimbangan tertentu [7]. Atas dasar tersebut, sampel penelitian dipilih pegawai aparatur ditiga kabupaten dan kotamadya, yaitu Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Tengah dan Kota Metro. Dari seluruh sampel yang dipilih, diklasifikasikan kedalam tiga suku budaya yaitu budaya Lampung, Jawa, dan Bali. 2.2 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan jenis data yang berupa data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner dan wawancara mendalam (indepth interview). Kuesioner penelitian diantarkan dan dijemput secara langsung oleh peneliti kepada 120 responden. Tingkat pengembalian kuisioner (respond rate) sebesar 89,2% atau 107 responden. Sedangkan wawancara ditujukan mendapatkan data mengenai nilai-nilai budaya dan kompetensi multicultural aparatur pemerintah di Provinsi Lampung secara lebih mendalam. Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang didapat dari hasil publikasi, baik dari instansi pemerintah, buku, jurnal dan situs internet. Dengan demikian, metode pengumpulan data secara variatif menggunakan beberapa teknik, tergantung pada data yang dikehendaki dan jenis data. 2.3 Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif, yang ditujukan untuk memberikan gambaran secara cermat mengenai fenomena sosial tertentu. Tahapan analisis meliputi: (1) identifikasi nilai-nilai dasar berbagai budaya (multicultural) yang dianalisis dan disajikan dalam rangkaian kata-kata; dan (2) analisis deskriptif kompetensi multicultural aparatur pemerintah di Provinsi Lampung. Analisis yang kedua didasarkan pada skor pembobotan yang ditetapkan pada masing-masing alternatif jawaban responden, selanjutnya diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.
Nilai-nilai Dasar Multicultural Aparatur di Provinsi Lampung Provinsi Lampung memiliki dinamika multikultural yang tercermin ke dalam bahasa, kebiasaan, adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda-beda. Kondisi ini tidak hanya terjadi dilingkungan masyarakat umum, namun juga pada instansi pemerintahan. Studi empiris telah mengidentifikasi beberapa nilai dasar multicultural aparatur di Provinsi Lampung meliputi nilai budaya individu, budaya dalam kekerabatan dan budaya dalam kaitannya dengan sesama (sosial). Budaya individu. Individu merupakan bagian terkecil dalam hubungan kekerabatan maupun masyarakat. Dengan demikian, budaya individu mencerminkan identitas seseorang dalam kelompok budaya mereka. Bagi aparatur Lampung, aspek agama ternyata memberikan warna dan pencitraan tersendiri dalam kaidah
328
Seminar Nasional Pendidikan 2017
ISBN : 978-602-70313-2-6
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN Membangun Generasi Berpendidikan dan Religius Menuju Indonesia Berkemajuan
kelembagaan maupun kebudayaan. Faktor alamiah, yang membuat identifikasi awal misalnya pranata sosial masyarakat dengan religiusitas tradisi, kebajikan-kebajikan sosial, kecenderungan untuk hidup bersama merupakan ciri-ciri peradaban nilai-nilai religius yang melekat dalam adat Lampung. Dalam masyarakat Lampung ada beberapa bagian siklus kehidupan seseorang yang dianggap penting sehingga perlu diadakan upacara-upacara adat yang bercampur dengan unsur agama. Hasil wawancara dengan responden diantaranya yaitu: upacara kuruk liman, disaat kandungan umur 7 bulan, upacara saleh darah yaitu upacara kelahiran, upacara perkawinan, kematian dan upacara adat lainnya seperti cokok pepadun yaitu pelantikan pengimbang baru sebagai kepala adat, dan sebagainya. Selain sistem kepercayaan, unsur seni yang mendominasi dari kebudayaan suku Lampung adalah sistem upacara adat yang di lengkapi dengan tari-tarian seperti tari cangget. Sedangkan bahasa yang dipakai dalam masyarakat Lampung memiliki dua dialek yaitu nyo (artinya: apa) berasal dari daerah pedalaman dan api (artinya: apa) berasal dari daerah Pesisir. Sampai saat ini bahasa Lampung masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, aparatur Jawa di Provinsi Lampung memiliki sistem kepercayaan (religi) dan prinsip hidup yang sangat kuat. Kepercayaan suku jawa sebagian besar menganut agama islam, sebagian lagi menganut agama protestan dan khatolik. Selain itu juga ada penganut kepercayaan suku jawa yang disebut kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme. Menurut penjelasan responden bahwa kepercayaan ini sangat kuat dipegang oleh orang-orang yang sudah berusia tua dan umumnya generasi dibawahnya sudah tidak lagi mengikutinya. Namun, perbedaan pandangan ini tidak menimbulkan permasalahan bahkan kaum muda memiliki cenderung untuk menghormatinya. Selain itu, adanya menyakini setiap hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah sesuai dengan kehendak sang pengatur hidup. Kita tidak dapat mengelak, apalagi melawan semua itu. Inilah yang dikatakan sebagai nasib kehidupan. Masyarakat Jawa memahami betul kondisi tersebut sehingga mereka yakin bahwa Tuhan telah mengatur segalanya. Prinsip bertindak secara ikhlas ini sering disebut “narimo ing pandum”. Implementasi prinsip keikhlasan dalam bertindak bagi aparatur ini dianggap sebagai faktor yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan kewibawaan pemerintah serta meningkatkan kepuasan publik. Analisis terhadap agama aparatur suku Bali menemukan fenomena kompleks karena dilandasi keyakinan dan kepercayaan yaitu perpaduan diantara agama Budha, kepercayaan animisme dengan tradisi leluhur. Oleh karena itu penyembahan roh-roh halus, nenek-moyang, dan unsur-unsur alam digabungkan dengan ajaran Hindu. Keyakinan, upacara, dan perayaan adat kehidupan orang Bali membentuk paduan yang mencerminkan karakter budaya masyarakat Bali. Meskipun dalam kehidupan kemasyarakatan para aparatur suku Bali di Provinsi Lampung ini sangat kental dengan budaya Bali, namun dalam pelaksanaan tugas dilingkungan kerja selalu menjaga prinsip secara nasional. Mereka melakukan penyesuaian dengan mengikuti budaya nasional sebagai aparatur pemerintah dalam rangka pelayanan kepada publik tanpa membeda-bedakan suku atau etnis apapun. Budaya keluarga dan kekerabatan. Tujuan pokok dari perkawinan adalah terbentunya keluarga. Untuk mewujudkan jenjang perkawinan masyarakat Lampung ditempuh dalam dua cara, yaitu cara kawin lari (sebambangan) yang dilakukan bujanggadis sendiri dan cara pelamaran orang tua (cakak sai tuha) yang dilakukan oleh kerabat pihak pria kepada kerabat pihak wanita. Masyarakat Lampung merupakan masyarakat dengan sistem menurut garis ayah (Geneologis-Patrilinial), yang terbagibagi dalam masyarakat keturunan menurut Poyang asalnya masing-masing yang disebut “buay”. Setiap kebuayan itu terdiri dari berbagai “jurai” dan dari kebuayan
329
Seminar Nasional Pendidikan 2017
ISBN : 978-602-70313-2-6
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN Membangun Generasi Berpendidikan dan Religius Menuju Indonesia Berkemajuan
terbagi-bagi pula dalam beberapa kerabat yang terikat pada satu kesatuan rumah asal (nuwou tubou, lamban tuha). Sedangkan dalam masyarakat Jawa, kehidupan kekeluargaan masih kuat. Perkawinan merupakan sarana mempertemukan dua buah keluarga besar sehingga harus dilakukan dengan penuh pertimbangan. Ukuran menentukan sebuah pasangan idel adalah dengan prinsip bibit (memiliki latar belakang keluarga yang baik), bebet (calon pengantin terutama pria harus mampu memnuhi kebutuhan hidupnya), dan bobot (orang yang berkualitas, bermental baik dan berpendidikan cukup). Sedangkan sistem kekerabatan yang berlaku di masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral, yaitu garis keturunan ayah maupun ibu. Studi ini juga menemukan keunikan khususnya suku Bali dalam pembinaan keluarga dan kekerabatan. Orang Bali begitu taat dalam memperhatikan darimana dirinya berasal, sehingga terbentuklah berbagai golongan dalam masyarakat yang disebut wangsa. Pada asalnya, perkawinan suku Bali bersifat endogami klen, yaitu perkawinan dalam batas-batas kelompok. Namun setelah dilakukan wawancara mendalam, responden menjelaskan bahwa prinsip perkawinan tersebut telah berangsur-angsur hilang. Secara singkat penjelasan responden sebagai berikut: “kami disini berbaur dengan suku-suku yang lain, ada jawa, lampung, batak, sunda dan sebagainya, sehingga sekarang tidak harus seperti itu”. Budaya sosial. Setiap aparatur memiliki ciri dan identitas masing-masing sesuai dengan suku budaya yang dibawanya. Ciri-ciri dan identitas ini membentuk sebuah nilai dasar yang disebut sebagai nilai-nilai budaya sosial. Dalam masyarakat Lampung, setia kawan yang kental sekali diindentifikasikan dengan sifat yang sosialis, bersilahturahmi dan ramah menyambut tamu, memiliki piil pusanggiri; harga diri yang tinggi apalagi jika memiliki gelar, dan suka bergotong royong atau istilah dalam bahasa Lampung sakai sambaian. Menurut responden (yakni bapak Fikry Apriyadi), mengenai cara menjaga hubungan baik dengan suku/etnis lain agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yaitu: “Saling menghormati adat dan kebiasaan masing-masing suku, serta membangun pengertian dan gotong royong”. Penjelasan diatas menunjukkan adanya nilai keterbukaan dan kesiapan aparatur dalam menerima perbedaan dengan suku lain. Meskipun demikian, dalam menjalin hubungan di lingkungan kerja beliau menjelaskan bahwa hubungan sesama suku lebih mudah dalam melakukan menyesuaikan diri jika dibandingkan dengan yang lain. Alasan yang diungkapkannya adalah “lebih banyak kesamaan dari sisi bahasa dan kebiasaan, meskipun hal tersebut tidak bersifat mutlak”. Sedangkan masyarakat Jawa, masih membedakan antara golongan priyayi dan orang kebanyakan wong cilik, Golongan priyayi atau “bendoro” terdiri atas pegawai negeri dan kaum terpelajar. Orang kebanyakan disebut juga “wong cilik”, seperti petani, tukang, dan pekerja kasar lainnya. Priyayi (bendoro) merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan bawah. Dalam kehidupan sosial Jawa juga banyak dipengaruhi oleh penggunaan bahasa yang dipakainya. Bahasa jawa memiliki aturan intonasi dan kosakata yang berbeda dengan memperhatikan siapa yang berbicara dan siapa lawan bicaranya. Hasil ini mendukung pendapat Geertz [8], yaitu kehidupan sosial masyarakat Jawa ditandai dengan dua prinsip yang mempunyai pengaruh signifikan, prinsip yang pertama mengharuskan setiap manusia Jawa menghindari konfrontasi yang terbuka dalam setiap situasi, dan prinsip yang kedua mengharuskan kehati-hatian dalam berbicara, berperilaku yang mencerminkan sikap yang menghormati kepada seseorang sesuai posisinya dalam masyarakat. Disamping itu, dalam menjalankan aktivitas sosial Jawa selalu mengutamakan prinsip gotong royong dan musyawarah. Gotong royong berarti filosofi yang
330
Seminar Nasional Pendidikan 2017
ISBN : 978-602-70313-2-6
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN Membangun Generasi Berpendidikan dan Religius Menuju Indonesia Berkemajuan
menjelaskan bahwa orang harus membantu satu sama lain, sedangkan “musyawarah” berarti bahwa semua keputusan harus dibuat setelah ada kesepakatan. Tuntutan kebersamaan yang didukung oleh “gotong royong” dan “musyawarah” dimodifikasi dalam peribahasa Jawa “sepi ing pamrih, rame ing gawe, mangayu ayuning bawana” (Antlov 1994) [9]. Artinya, kepentingan pribadi bukanlah segala-galanya sehingga individu harus bekerja bersama untuk membangun kebersamaan dan kemakmuran. Lebih dari itu, responden menjelaskan tidak terdapat kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri dengan suku lain, karena komunikasi yang digunakan memakai bahasa indonesia. Selain itu, dalam menjaga hubungan baik dengan suku lain sebagai berikut: “kita tidak boleh saling membanggakan suku/etnis masing-masing, dan harus saling menghormati dan menghargai walaupun terdapat perbedaan adat istiadat”. Bagi masyarakat Bali di Provinsi Lampung, membangun toleransi dengan saling membantu dan bergotong royong satu sama lain merupakan keharusan. Meskipun bernuansa Bali dan mempertahankan tradisi Bali, berbahasa Bali, beradat istiadat Bali, juga melakukan rangkaian tata-cara sesuai dengan keyakinan Bali, namun tinggal berdampingan diantaranya orang Jawa, padang, batak dan pemeluk agama Islam, serta Katolik. Kesatuan dalam berbagai suku dan adat istiadat masyarakat yang telah melebur di Provinsi Lampung, menurut salah satu responden terutama disebabkan karena faktor kesamaan hidup sebagai para transmigran dari daerah yang berbeda. Berkaitan dengan tradisi atau kebiasaan yang dilakukan suku lain, sebagian besar responden menyatakan bahwa hal itu bukan masalah. Mereka melihat tradisi tersebut sebagai suatu hak dan kebiasaan yang dimiliki oleh setiap suku dan dapat dilakukan oleh anggota suku tersebut. Hal ini terungkap dengan jelas dalam pernyataan salah satu responden sebagai berikut: “Saya rasa itu hak setiap orang untuk melakukan kebiasaan itu. Itu budaya mereka, kebiasaan yang sudah mereka lakukan dari dulu, jadi sudah wajar kalau mereka melakukannya sampai sekarang. Itu tidak beda dengan saya yang juga melakukan kebiasaan keluarga saya, jadi tidak ada masalah buat saya”. Selain itu, mereka juga mengungkapkan “kita kan memegang prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung dan itu menjadi dasar kami saling menghormati”. Dengan prinsip ini maka setiap aparatur berusaha untuk saling menghormati kebiasaan dan budaya masing-masing. Uraian di atas menunjukkan nilai-nilai dasar budaya aparatur Lampung, Jawa maupun Bali. Secara umum nilai dasar yang terbentuk adalah adanya sikap keterbukaan dalam menerima perbedaan, kesiapan menjaga harmonisasi sosial, sistem kolektivitas (kebersamaa) dan prinsip dalam pemilihan partner kerja. 3.2 Implementasi Kompetensi Multicultural Aparatur Kompetensi multicultural menjadi satu karakteristik yang menyadari individu atau seseorang mencapai kinerja tinggi dalam pekerjaannya [10]. Karakteristik itu muncul dalam bentuk pemahaman, perilaku (attitude) dan keterampilan (skill) untuk menciptakan aparatur yang memiliki semangat pengabdian yang tinggi dalam melayani masyarakat yang selalu bertindak efisien, rasional, transparan dan akuntabel. Hasil analisis deskriptif kompetensi multicultural dari 107 aparatur menunjukkan sebagai berikut:
331
Seminar Nasional Pendidikan 2017
ISBN : 978-602-70313-2-6
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN Membangun Generasi Berpendidikan dan Religius Menuju Indonesia Berkemajuan
No 1. 2. 3.
Tabel 1: Hasil Analisis Deskriptif Teoritis Aktual Unsur kompetensi Kisaran Mean Kisaran Mean Pemahaman 5-25 15 19-25 21,95 Sikap 5-25 15 19-25 21,79 Keterampilan 10-50 30 40-50 44,95
SD 1,56 1,13 2,59
Tabel 1 di atas menunjukkan kisaran aktual dari pemahaman multicultural yaitu diantara 19 sampai 25 dengan nilai rata-rata sebesar 21,95 dan standar deviasi 1,56 yakni berada diatas kisaran teoritis. Hal ini mengindikasikan pemahaman aparatur terhadap multicultural pada tingkat tinggi atau moderat. Dengan pemahaman ini, aparatur pemerintah mengetahui sekaligus menyadari tentang budayanya sendiri, budaya orang lain dan perbedaan diantara keduanya. Seluruh pengalaman hidup, latar belakang lingkungan, pengetahuan, keyakinan dan nilai-nilai yang dipamahi oleh para aparatur (sebagai hasil proses budaya yang telah dialaminya) akan mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan lingkungannya (teman sejawat maupun masyarakat/publik). Implementasi dari adanya pemahaman multicultural adalah kenyamanan dalam bekerja, tidak cenderung berkelompok sesuai kesukuan, dan tidak membeda-bedakan diantara suku yang ada. Salah satu faktor yang menunjang tingkat pemahaman yaitu tingkat pendidikan dan pengalaman hidup. Sebagian besar responden penelitian ini berpendidikan sarjana, sebagian lagi diploma dan pascasarjana, sehingga secara umum telah mempunyai pemahaman yang memadahi berbagai budaya yang ada. Kisaran aktual untuk sikap aparatur terhadap multicultural diantara 19 sampai 25 dengan nilai rata-rata sebesar 21,79 dan standar deviasi 1,13 yakni berada diatas kisaran teoritis. Hal ini mengindikasikan sikap aparatur terhadap adanya multicultural sangat baik atau memiliki sikap keterbukaan terhadap budaya lain. Sikap ini menunjukkan pernyataan evaluatif aparatur mengenai budaya orang lain dan bagaimana menanggapi perbedaan yang terjadi. Responden (Ferina) menyatakan bahwa: “Aparatur di Lampung termasuk tipikal masyarakat multicultur, menjadi cerminan kearifan lokal yang menggambarkan budaya yang cukup kaya. Masalah perbedaan suku/etnis tidak menjadi penghalang karena kita bekerja secara ikhlas dan mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggi”. Sikap keterbukaan yang ditunjukkan oleh aparatur di Provinsi Lampung juga ditunjukkan dalam menentukan preferensi teman ataupun partner kerja. Faktor utama yang digunakan dalam penentuan partner kerja bukan didasari pada kesamaan suku melainkan sifat seseorang dan kesamaan pandangan. Sedangkan kisaran aktual dari keterampilan multicultural yaitu antara 40 sampai 50 dengan nilai rata-rata sebesar 44,95 dan standar deviasi 2,59 yakni berada diatas kisaran teoritis. Hal ini mengindikasikan bahwa keterampilan aparatur terkait adanya multicultural juga sangat baik atau moderat. Keterampilan mengaktualisasikan pemahaman dan sikap aparatur ke dalam bentuk perilaku nyata. Aparatur pemerintah di Lampung senantiasa memberikan pelayanan yang baik, dengan mengutamakan kerja tim (kelompok) tanpa membeda-bedakankan suku/etnis. Lebih dari itu, dalam memberikan pelayanan kepada publik dilakukan penuh kejujuran dan keikhlasan serta didasari dengan kecerdasan emosional sehingga kualitas layanan dianggap hal yang sangat penting dalam menjalankan tugas. Namun demikian, berbeda dalam hal penentuan karier aparatur di Provinsi Lampung. Penelitian menemukan bahwa dalam penentuan karier di tempat kerja, aparatur merasa bahwa masih terdapat unsur kedekatan dan pertimbangan suku, meskipun hal ini tidak berdampak luas dalam menjalankan tugas sebagai aparatur.
332
Seminar Nasional Pendidikan 2017
ISBN : 978-602-70313-2-6
-
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN Membangun Generasi Berpendidikan dan Religius Menuju Indonesia Berkemajuan
4. SIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat beberapa nilai dasar multicultural aparatur di Provinsi Lampung, yaitu nilai budaya individu, budaya dalam kekerabatan dan budaya sosial. Budaya individu berkaitan dengan identitas aparatur dalam kelompok budaya mereka seperti agama dan keyakinan, bahasa, dan filosofi hidup. Budaya dalam kekerabatan berkaitan dengan pola atau tata cara dalam menentukan silsilah keluarga. Budaya sosial meliputi prinsip keterbukaan atau menerima perbedaan dan penghindaran konflik, kolektivitas atau kebersamaan, dan penentuan preferensi sosial. Penelitian juga menemukan bahwa kompetensi multicultural aparatur di Provinsi Lampung sangat baik. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kompetensi multicultural aparatur meliputi rasa tanggungjawab, keikhlasan dalam bekerja, pendidikan aparatur, sosialisasi dan pembinaan mengenai multicultural. Implementasi dari kompetensi ini adalah terbentuknya lingkungan kerja yang nyaman, tidak cenderung berkelompok sesuai kesukuan, tidak membeda-bedakan diantara suku yang ada dan berfokus pada kualitas kerja yang lebih baik. Namun demikian, khusus dalam penentuan karier terkadang masih mempertimbangkan kesamaan suku meskipun tidak bersifat mutlak. Penelitian ini menggunakan survey melaui kuesioner dan wawancara, sehingga kurang dapat menjelaskan sikap responden dalam beberapa kasus. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya agar dilakukan dengan pendekatan eksperiman. Selain itu, kemungkinan terdapat hubungan diantara kompetensi multicultural dengan kinerja aparatur di Provinsi Lampung, sehingga penelitian kedepan perlu mempertimbangkan dampak dan membangun strategi dari kompetensi multicultural dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja aparatur. DAFTAR PUSTAKA [1] Maheswaran D. Shavitt, Sharon, 2000. Issues and New Direction in Global Consumcer Psychology. Journal of Consumer Psychology. Ed. 9 (2). P. 59-66 [2] Dayakisni T. & Yuniardi, Salis. 2003. Psikologi Lintas Budaya. Malang. UMM Press. [3] Ralph Linton and Melville, J. Herskovits. 2001. Memorandum for the Study of Acculturation” American Anthropologist. [4] Bahrun A., Jensen CR. 2002. Drought-induced changes in xylem pH, ionic composition, and ABA concentration act as early signals in field-grown maize (Zea mays L). Journal of Experimental Botany. [5] Armstrong., J. Taylor. 2000. Regional Economics and Policy. Third Edition. Oxford: Blackwell Publishing.
[6] McAllister, Gretchen. Irvine, Jordan. 2000. Cross Cultural Competency and Multicultural Teacher Education, Review of Educational Research Spring. Vol. 70, No. 1, p.3-24. [7] Sudjana; 2005. Metode Statistika; Edisi ke-6; Penerbit Tarsito; Bandung. [8] Geertz, C. 1976. The religion of Java. Publisher: University of Chicago Press (online). https://book.google.co .id. Acessted on 8 Juni 2017. [9] Mustopadidjaya. 2002. Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi,. Implementasi dan Evaluasi Kinerja, Jakarta. [10] Chariri, Anis. 2006. The Dynamics of Financial Reporting Practice in An Indonesian Insurance Company: A Reflection of Javanese Views on An Ethical Social Relationship. Unpublished thesis PhD in Accounting, University of Wollongong, Australia.
333
Seminar Nasional Pendidikan 2017