ANALISIS LAHAN KRITIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIPUNAGARA
LUHUR DWI ANDIKA
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBER DAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian bogor.
Bogor, Desember 2016
Luhur Dwi Andika NIM A14120050
ABSTRAK LUHUR DWI ANDIKA. Analisis Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan SURIA DARMA TARIGAN. Lahan kritis adalah lahan yang saat ini tidak produktif karena pengelolaannya tidak memperhatikan syarat – syarat konservasi tanah dan air, sehingga telah mengalami kerusakan, kehilangan atau berkurang fungsinya sampai batas yang telah ditentukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memetakan tingkat kekritisan lahan menurut Perdirjen BPDASPS No. P. 4/V-Set/2013 dan pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS No. P. 4/V-Set/2013. Metode yang digunakan untuk memetakan tingkat kekritisan lahan adalah dengan melakukan tumpang tindih/susun (overlay) peta parameter penentu lahan kritis yang telah diberi skor. Parameter yang digunakan pada Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 meliputi penutupan/penggunaan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, manajemen, dan produktivitas. Parameter yang digunakan pada pendekatan modifikasi terdiri dari penutupan/penggunaan lahan, kemiringan lereng, erodibilitas tanah, erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan, manajemen, dan produktivitas. Selanjutnya peta hasil tumpang tindih/susun (overlay) tersebut digunakan untuk acuan mengetahui perbedaan luasan lahan kritis antara pendekatan Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 dengan pendekatan modifikasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luasan lahan kritis (kelas sangat kritis, kritis, agak kritis) berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS No. P.4/VSet/2013 adalah 32.095,03 Ha (23,62% dari total luas DAS Cipunagara), sedangkan pada pendekatan modifikasi adalah 58.945,09 Ha (43,38 % dari total luas DAS Cipunagara). Luasan lahan kritis berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 lebih besar daripada berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013. Perbedaan penggunaan parameter pada kedua pendekatan tersebut tanpa pengecekan lapang dapat mengindikasikan pendekatan modifikasi memiliki hasil yang lebih representatif. Hal tersebut dikarenakan pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 tidak terdapat parameter yang berulang (penutupan/penggunaan lahan dengan pengelolaan tanaman, manajemen dengan teknik konservasi tanah, dan kemiringan lereng). Cara pembobotan dan skoring pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 juga mempengaruhi nilai yang dihasilkan dalam menentukan tingkat kekritisan lahan. Kata kunci : lahan kritis, parameter penentu, tumpang tindih, skoring, representatif
ABSTRACT LUHUR DWI ANDIKA. Analysis of Degraded Land in the Cipunagara Watershed. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and SURIA DARMA TARIGAN. Degraded land is land that is currently unproductive due to its management without considering conservation of soil and water, thus destructed or loss of its function until certain periods. The aim of the research was to analyze and map the level of degraded land according Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013 and its modification. The applied method to map the level of degraded land is was carried out by overlaying scored maps of determining factor degraded land. The parameters applied in Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 included the land cover, slope, level of erosion hazard, management, and productivity. The parameters applied in the modification approach included the land cover, slope, soil erodibility, rainfall erosivity, tolerable soil loss, management, and productivity. The result of overlay maps was used as reference of the difference of degraded land between the two approaches. The result showed that the degraded land (class of strongly degraded, degraded, slightly degraded) based on Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set /2013 was 32,095.03 Ha (23.62% of the Cipunagara watershed), whereas the approach of its modification was 58,945.09 Ha (43.38% of the Cipunagara watershed). Degraded land based on modification of Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 larger than based on Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013. The difference of parameters applied of the two approaches without ground checking indicated approach of the modification was more representative. This was due to there was no replicated parameters (land cover, management, and slope), that applied on the modification approach. Weighted technique and scoring of the Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 modification approach affected the extend of degraded land is well. Keywords : degraded land, determining factor, overlaying, scoring, representative
ANALISIS LAHAN KRITIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIPUNAGARA
LUHUR DWI ANDIKA
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara Jawa Barat. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc selaku dosen pembimbing kedua atas bimbingan dan arahannya selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini. 2. Ibu Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Suripto, Ibu Wahyuni, Wahyu Eko BL, Iqbal Nur Fauzi serta saudara – saudara penulis yang telah memberikan semangat, dukungan dan doa kepada penulis. 4. Keluarga ILMU TANAH IPB dan Keluarga FORKOMA Kebumen yang tidak bisa disebutkan satu – persatu serta semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Desember 2016
Luhur Dwi Andika
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
v
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
3
Lokasi dan Waktu Penelitian
3
Bahan dan Alat
3
Metode Penelitian
4
Analisis Tingkat Kekritisan Lahan
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
19
Analisis Parameter Penentu Lahan Kritis Menurut Tingkat Kekritisan
20
Analisis dan Pemetaan Lahan Kritis Pendekatan Perdirjen BPDAS
29
Nomor P.4/V-Set2013
29
Analisis dan Pemetaan Lahan Kritis dengan Pendekatan Modifikasi
34
KESIMPULAN DAN SARAN
41
Kesimpulan
41
Saran
41
DAFTAR PUSTAKA
42
LAMPIRAN
44
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL 1. Jenis data, sumber data, teknik analisis dan hasil penelitian 2. Klasifikasi dan skoring penutupan lahan untuk penentuan lahan kritis 3. Spesifikasi data atribut pada data spasial penutupan lahan 4. Klasifikasi lereng dan skoringnya untuk penentuan lahan kritis 5. Spesifikasi data atribut pada data spasial kemiringan lereng 6. Kelas tingkat bahaya erosi (TBE) 7. Klasifikasi dan skoring tingkat bahaya erosi (TBE) DAS Cipunagara 8. Klasifikasi produktivitas dan skoringnya 9. Spesifikasi data atribut pada data spasial produktivitasnya 10. Klasifikasi manajemen dan skoringnya untuk penentuan lahan kritis 11. Spesifikasi data atribut pada data spasial manajemen 12. Klasifikasi tingkat lahan kritis Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/VSet/2013 13. Skoring kelas penutupan lahan 14. Kelas dan skoring kemiringan lereng DAS Cipunagara 15. Skoring erosivitas hujan (R) 16. Skoring Erosi yang diperbolehkan (Edp) 17. Kelas dan skoring erodibilitas tanah 18. Klasifikasi dan skoring manajemen 19. Klasifikasi dan skoring produktivitas 20. Parameter penentu tingkat kekritisan lahan berdasarkan modifikasi 21. Urutan parameter penentu dan bobot 22. Kelas lahan kritis parameter modifikasi 23. Matriks perbandingan parameter penentu tingkat kekritisan lahan 24. Luas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 25. Kelas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 26. Luas kemiringan lereng DAS Cipunagara 27. Nilai curah hujan rata - rata dan R tahun 2009 - 2013 DAS Cipunagara serta skoringnya 28. Kelas erodibilitas tanah DAS Cipunagara 29. Kelas kemiringan lereng dan nilai LS DAS Cipunagara serta luasannya 30. Kelas tingkat bahaya erosi (TBE) DAS Cipunagara Tahun 2014 31. Kelas Edp DAS Cipunagara Tahun 2014 32. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 33. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013
5 8 8 9 9 10 10 11 11 12 12 12 13 13 14 14 16 16 16 17 17 18 21 22 23 24 25 26 27 27 28
29
30
34. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 35. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 36. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 37. Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 38. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi 39. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi 40. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi 41. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi 42. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi 43. Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 44. Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan pendekatan modifikasinya
30
31
32 33 34 34
35 36 37
38
38
DAFTAR GAMBAR 1. Lokasi penelitian 2. Bagan alir pemetaan lahan kritis dengan parameter P.4/V – Set/2013 3. Bagan alir petaan lahan kritis dengan parameter modifikasi 4. Peta jenis tanah DAS Cipunagara 5. Peta isohyet curah hujan harian DAS Cipunagara (2009 – 2013) 6. Peta kawasan DAS Cipunagara 7. Peta tutupan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 8. Peta kelas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 9. Peta kelas kemiringan lereng DAS Cipunagara 10. Peta erosivitas hujan DAS Cipunagara 11. Peta kelas erodibilitas tanah DAS Cipunagara Tahun 2014 12. Peta kelas tingkat bahaya erosi DAS Cipunagara Tahun 2014
3 6 7 19 20 21 22 23 24 26 27 28
13. Peta Erosi yang diperbolehkan DAS Cipunagara Tahun 2014 14. Peta lahan kritis pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 15. Peta lahan kritis pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 16. Peta lahan kritis pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 17. Peta lahan kritis pada kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 18. Peta lahan kritis pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 19. Peta lahan kritis pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 20. Peta tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 21. Peta tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013
29
31
32
33
35
36
37 40 40
DAFTAR LAMPIRAN 1. Parameter, bobot, kriteria, skor dan nilai penentu kekritisan lahan pada parameter modifikasi 2. Lokasi pengambilan sampel tanah 3. Daftar nama kecamatan, jumlah dan nama desa di DAS Cipunagara 4. Hasil analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah 5. Hasil analisis nilai erodibilitas tanah (K) 6. Nilai prediksi erosi 7. Nilai faktor kedalaman tanah 8. Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013 9. Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013 10. Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar hutan dan kawasan hutan produksi Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013
45 47 49 51 52 53 54 55 56
57
PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai memiliki peranan yang penting dalam menjaga suatu ekosistem dan ketersediaan air. Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah dan Air, Daerah Aliran Sungai adalah satuan wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak – anak sungai yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alamiah, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan yang bersifat sementara maupun tetap yang dicirikan dengan penurunan kualitas fisik, kimia dan biologi tanah. Lahan kritis merupakan salah satu bentuk dari lahan yang telah terdegradasi (Dariah et al. 2004 dalam Sitorus et al. 2011). Lahan kritis merupakan lahan yang saat ini tidak produktif karena pengelolaannya tidak memperhatikan syarat – syarat konservasi tanah dan air, sehingga lahan mengalami kerusakan, kehilangan atau berkurang fungsinya sampai batas yang telah ditentukan atau diharapkan (Rumenah et al. 2010). Secara umum lahan kritis adalah hasil akhir dari proses degradasi lahan yang terjadi akibat adanya pemanfaatan lahan yang dilakukan secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek kemampuan dan pengelolaan lahan. Hal ini yang membuat tingginya laju erosi dan terbentuknya lahan kritis (Arsyad 2010). Selain faktor penggunaan lahan dan curah hujan, terbentuknya lahan kritis juga dipengaruhi oleh faktor topografi, seperti kondisi lereng yang curam dan kondisi lahan yang peka terhadap erosi (Barus et al. 2011). Perubahan dalam pengelolaan lahan banyak menyebabkan hutan – hutan menjadi gundul karena mengalami alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, permukiman dan lainnya, dengan perubahan alih fungsi hutan menyebabkan mulai turunnya jumlah hutan sehingga sumber mata air berkurang, timbulnya longsor, pendangkalan sungai dan pada akhirnya membawa dampak perubahan ke arah lahan kritis (Harini et al. 2012). Kawasan Daerah Aliran Sungai Cipunagara dari tahun ke tahun mengalami peningkatan luasan lahan kritis, wilayah bagian selatan telah mengalami pengalihfungsian lahan hutan menjadi kawasan pertanian dan pemukiman. Sebagian besar hutan yang dikonversi digunakan sebagai areal perkebunan baik milik swasta maupun negara. Konversi lahan pertanian menjadi non pertanian didasari kebutuhan akan lahan yang semakin meningkat diikuti oleh pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat pula. Kawasan DAS bagian utara didominasi oleh kawasan pemukiman, industri, dan pertokoan karena wilayahnya yang relatif datar. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan Nomor : SK.4/V-DAS/2015 tentang Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun 2013, menyebutkan bahwa luas hutan dan lahan kritis DAS Cipunagara tahun 2013 sebagai berikut : a. Sangat Kritis seluas 1.346,79 ha
2
b. c. d. e.
Kritis seluas 11.421,60 ha Agak Kritis seluas 29.407,72 ha Potensial Kritis seluas 28.108,64 ha Tidak Kritis seluas 65.583,75 ha Data dan informasi yang diperlukan dalam analisis lahan kritis dapat dilaksanakan dengan survei wilayah secara langsung di lapangan dan dari data penginderaan jauh. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1987 ). Saat ini penyusunan data dan peta lahan kritis telah banyak dilakukan oleh berbagai instansi Pemerintah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Aplikasi SIG mempunyai banyak keunggulan dalam hal pemrosesan data spasial digital, sehingga output data yang diperoleh dari hasil analisa dapat lebih cepat dan akurat (Kementerian Kehutanan 2013).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memetakan tingkat kekritisan lahan menurut Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 di DAS Cipunagara.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan menjadi bahan dan informasi serta masukan dalam pengambil dan pembuat kebijakan, terkait pengendalian penggunaan lahan sehingga terbentuknya lahan kritis di DAS Cipunagara dapat ditekan sekecil mungkin.
3
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Februari sampai dengan Juni 2016 yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara, Jawa Barat. DAS Cipunagara terdiri dari 29 kecamatan dan 207 desa/kelurahan (Gambar 1). Batas wilayah DAS Cipunagara yang sebagian besar berada di Kabupaten Subang meliputi : Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Timur : Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Sumedang Sebelah Selatan : Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung Barat Sebelah Barat : Kabupaten Subang
Gambar 1 Lokasi penelitian Bahan dan Alat Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil analisis laboratorium sampel tanah yang terdiri dari tekstur tanah, struktur tanah, bobot isi, permeabilitas tanah, dan bahan organik. Sedangkan data sekunder terdiri dari data curah hujan dan stasiun hujan yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), peta administrasi DAS Cipunagara, peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, peta kawasan hutan, dan peta kemiringan lereng. Alat yang digunakan adalah Global Positioning System (GPS), kamera digital dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan Software : ArcGIS, Google Earth, Micrososft Excel.
4
Metode Penelitian Penetapan dan Pengambilan Sampel Tanah Lokasi pengambilan sampel tanah ditentukan berdasarkan peta jenis tanah, peta penggunaan lahan, peta lereng, dan peta administrasi DAS Cipunagara. Jenis sampel tanah yang diambil adalah tanah utuh dan tanah terganggu. Pengambilan sampel tanah utuh digunakan untuk penetapan bobot isi dan distribusi ukuran pori. Sedangkan pengambilan sampel tanah terganggu digunakan untuk analisis tekstur tanah dan kandungan C-organik tanah. Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk memperoleh informasi tentang sifat fisik dan kimia tanah. Data sekunder diperoleh dari instansi – instansi yang berkaitan dengan informasi lahan kritis. Data yang digunakan berupa peraturan Perundangundangan, BPDAS Citarum – Ciliwung, dan instansi – instansi lain yang berkaitan dengan data yang diperlukan. Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada tujuan penelitian yaitu : 1. Menentukaan parameter lahan kritis. Parameter yang digunakan adalah berdasarkan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-set/2013 dan parameter modifikasi. Parameter berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 meliputi penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, produktivitas dan manajemen. Sedangkan parameter modifikasi meliputi penutupan lahan, kemiringan lereng, erosivitas hujan, erosi yang dapat diperbolehkan, erodibilitas tanah, produktivitas, dan manajemen. 2. Melakukan tumpang tindih (overlay) terhadap parameter yang telah ditentukan berdasarkan kedua parameter tersebut untuk memperoleh peta tingkat kekritisan lahan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG). Peta tersebut nantinya akan digunakan sebagai acuan untuk mengetahui perbedaan luasan lahan kritis antara pendekatan Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013 dengan parameter modifikasi. Jenis data, sumber data, metode analisis data dan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.
5
Tabel 1 Jenis data, sumber data, teknik analisis dan hasil penelitian No 1
Tujuan Menganalisis dan memetakan tingkat kekritisan lahan
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Citra Landsat Parameter penentu tingkat kekritisan lahan (P. 4/VSet/2013) :
Membandingkan penetapan lahan kritis berdasarkan parameter P.4/VSet/2013 dan modifikasi
Analisis SIG Skoring Overlay
Analisis SIG Skoring Overlay Uji Laboratorium untuk Data Erodibilitas Tanah
Analisis SIG
Peta penutupan lahan, Peta kemiringan lereng, Peta tingkat bahaya erosi, Peta pengelolaan lahan (peta manajemen & peta produktivitas)
Parameter penentu tingkat kekritisan lahan (Modifikasi) :
2
Metode Analisis
Peta penutupan lahan, Peta kemiringan lereng, Peta Erodibilitas Tanah, Peta Erosi yang diperbolehkan (Edp) Peta Erosivitas Hujan Peta pengelolaan lahan(peta manajemen & peta produktivitas)
Peta Lahan Kritis yang sudah teridentifikasi
Output Berdasar Parameter Penentu tingkat kekritisan diperoleh Peta Lahan Kritis yang sudah teridentifikasi
Perbedaan lahan kritis berdasarkan parameter P.4/VSet/2013 dan modifikasi
6
Pengambilan sampel tanah
% Pasir halus
Data Curah Hujan
Citra Landsat
Nilai Erosivitas hujan (R)
Peta Penutupan Lahan
% debu
% liat
Data Panjang Lereng dan Kemiringan Lereng
Nilai LS
Peta Kemiringan Lereng
Permeabilitas tanah
Data Pengelolaan Tanaman
Erodibilitas tanah (K)
Peta Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Nilai C
Bahan organik
Data Tindakan Konservasi
Nilai P
Peta Manajemen
Skoring
Overlay
Peta Lahan Kritis teridentifikasi (P.4/V-Set/2013)
Gambar 2 Bagan alir pemetaan lahan kritis dengan parameter P.4/V – Set/2013
Peta Produktivitas
7
Peta penutupan
Peta produktivitas
Peta kemiringan lereng
Peta manajemen
Peta EDP
Peta erodibilitas tanah
Skoring
Overlay
Peta Lahan Kritis teridentifikasi (Parameter Modifikasi)
Gambar 3 Bagan alir petaan lahan kritis dengan parameter modifikasi
Peta erosivitas hujan
8
Analisis Tingkat Kekritisan Lahan Parameter penentu tingkat kekritisan lahan berdasarkan Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013. Hasil analisis terhadap beberapa parameter penentu lahan kritis menghasilkan data spasial lahan kritis. Parameter penentu lahan kritis berdasarkan Permenhut Nomor P.4/V-Set/2013, meliputi : a. Penutupan lahan Untuk parameter penutupan lahan dinilai berdasarkan persentase penutupan tajuk pohon terhadap luas setiap land system dan diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-masing kelas penutupan lahan selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis. Dalam penentuan lahan kritis, parameter penutupan lahan mempunyai bobot 50%, sehingga nilai skor untuk parameter ini merupakan perkalian antara skor dengan bobotnya (skor x 50). Klasifikasi penutupan lahan dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi dan skoring penutupan lahan untuk penentuan lahan kritis Kelas Sangat Baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk
Persentase Penutupan Tajuk (%) > 80 61 – 80 41 – 60 21 – 40 < 20
Skor 5 4 3 2 1
Data spasial penutupan lahan yang disusun harus mempunyai data atribut yang menjelaskan tentang kondisi penutupan lahan pada setiap unit pemetaannya (poligon penutupan lahan). Untuk keperluan tersebut, pada data atribut perlu dibuat minimal tiga kolom baru dengan spesifikasi pada Tabel 3. Tabel 3 Spesifikasi data atribut pada data spasial penutupan lahan Nama Spesifikasi Kolom Kolom Tipe Lebar Desimal Kelas_Veg String / 20 Character Penutupan String / 10 Character Skor_Veg
b.
Number / numerik
5
-
Keterangan Diisi penutupan lahan Diisi persentase penutupan tajuk Diisi Skor penutupan tajuk
Kemiringan lereng Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (persen) dan o (derajat). Data spasial kemiringan lereng dapat disusun dari hasil pengolahan
9
data ketinggian (garis kontur) dengan bersumber pada peta topografi atau peta rupabumi. Pengolahan data kontur untuk menghasilkan informasi kemiringan lereng dapat dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Klasifikasi lereng dan skoringnya untuk penentuan lahan kritis Kelas Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
Kemiringan Lereng (%) <8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 > 40
Skor 5 4 3 2 1
Data spasial kemiringan lereng yang disusun harus mempunyai data atribut yang berisikan informasi kemiringan lereng dan klasifikasinya pada setiap unit pemetaannya (poligon kemiringan lereng), sehingga atribut data spasial kemiringan lereng perlu dibuat dengan spesifikasi pada Tabel 5. Tabel 5 Spesifikasi data atribut pada data spasial kemiringan lereng Nama Kolom Kelas_Le reng Kelereng an Skor_Ler eng c.
Spesifikasi Kolom Tipe Lebar Desimal String / 20 Character String / 10 Character Number / 5 Numerik
Keterangan Diisi kelas kemiringan lereng Diisi kelas kemiringan lereng Diisi Skor kemiringan lereng
Tingkat bahaya erosi Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dapat dihitung dengan cara membandingkan tingkat erosi di suatu satuan lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan tersebut, dengan klasifikasi seperti pada Tabel 6. Dalam hal ini tingkat erosi dihitung dengan menghitung perkiraan rata-rata tanah hilang tahunan akibat erosi lapis dan alur yang dihitung dengan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE). Kalsifikasi dan skoring tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada Tabel 7. Rumus USLE dapat dinyatakan sebagai berikut : A = R x K x LS x C x P Dimana : A = jumlah tanah hilang (ton/ha/tahun) R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata K = indeks erodibilitas tanah (ton x ha x jam) dibagi oleh (ha x mega joule x mm) LS = indeks panjang dan kemiringan lereng C = indeks pengelolaan tanaman P = indeks upaya konservasi tanah
10
Tabel 6 Kelas tingkat bahaya erosi (TBE) I
Solum Tanah (cm) Dalam > 90 Sedang 60 – 90 Dangkal 30 – 60 Sangat Dangkal <30
< 15 SR 0 R I S II B III
Kelas Erosi III IV Erosi (ton/ha/tahun) 15 - 60 60 - 180 180 - 480 R S B I II III S B SB II III IV B SB SB III IV IV SB SB SB IV IV IV II
V > 480 SB IV SB IV SB IV SB IV
Keterangan : 0 – SR = Sangat Ringan I–R = Ringan II – S = Sedang III - B = Berat IV - SB = Sangat Berat Tabel 7 Klasifikasi dan skoring tingkat bahaya erosi (TBE) DAS Cipunagara Kelas Ringan Sedang Berat Sangat berat d.
Besaran/deskripsi 0 dan I II III IV
Skor 5 4 3 2
Produktivitas Data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian, yang dinilai berdasarkan rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Sesuai dengan karakternya, data tersebut merupakan data atribut. Di dalam analisa spasial, data atribut tersebut harus dispasialkan dengan satuan pemetaan land system. Alasan utama digunakannya land system sebagai satuan pemetaan produktivitas adalah setiap land system mempunyai karakter geomorfologi yang spesifik, sehingga mempunyai pola usaha tani dan kondisi lahan yang spesifik pula. Produktivitas lahan dalam penentuan lahan kritis dibagi menjadi 5 kelas seperti terlihat pada Tabel 8. Spasialisasi kriteria produktivitas dengan menggunakan unit pemetaan land system pada dasarnya dilakukan dengan melakukan pengolahan terhadap atribut data spasial land system. Pada atribut data spasial land system, perlu ditambahkan field baru yang berisi informasi tentang produktivitas lahan pada setiap unit land system. Berdasarkan atribut tersebut dilakukan pengelompokan land system yang mempunyai kesamaan dalam hal produktivitas lahannya.
11
Tabel 8 Klasifikasi produktivitas dan skoringnya Kelas Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Besaran/Deskripsi
Skor
rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : > 80% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 61 – 80% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 41 – 60% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 21–40% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : < 20%
5 4 3 2 1
Tabel 9 Spesifikasi data atribut pada data spasial produktivitasnya Nama Kolom Kelas_Prd Produktivitas Skor_Prd
e.
Tipe String / Character String / Character Number / Numerik
Spesifikasi Kolom Lebar Desimal 20
-
20
-
5
-
Keterangan Diisi kelas produktivitas Diisi nilai produktivitas Diisi Skor produktivitas
Manajemen Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai lahan kritis di kawasan hutan lindung, yang dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Sesuai dengan karakternya, data tersebut merupakan data atribut. Seperti halnya dengan kriteria produktivitas, manajemen pada prinsipnya merupakan data atribut yang berisi informasi mengenai aspek manajemen. Berkaitan dengan penyusunan data spasial lahan kritis, kriteria tersebut perlu dispasialisasikan dengan menggunakan atau berdasar pada unit pemetaan tertentu. Unit pemetaan yang digunakan, mengacu pada unit pemetaan untuk kriteria produktivitas, adalah unit pemetaan landsystem. Kriteria manajemen dalam penentuan lahan kritis dibagi menjadi 3 kelas seperti tercantum pada Tabel 10.
12
Tabel 10 Klasifikasi manajemen dan skoringnya untuk penentuan lahan kritis Kelas Besaran/Deskripsi Baik Lengkap *) Sedang Tidak Lengkap Buruk Tidak Ada Keterangan : - Tata batas kawasan ada - Pengamanan kawasan ada - Penyuluhan dilaksanakan
Skor 5 3 1
Seperti halnya dengan data spasial kriteria penyusunan lahan kritis, data spasial kriteria manajemen yang disusun harus mempunyai data atribut yang berisikan informasi mengenai aspek manajemen dan klasifikasinya pada setiap unit pemetaannya, sehingga atribut data spasial kriteria manajemen perlu dibuat dengan spesifikasi seperti ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11 Spesifikasi data atribut pada data spasial manajemen Nama Spesifikasi Kolom Keterangan Kolom Tipe Lebar Desimal Kelas_Mnj String / Character 20 Diisi kelas manajemen Deskripsi String / Character 20 Diisi deskripsi aspek manajemen Skor_Mnj Number / Numerik 5 Diisi Skor Aspek Manajemen Analisis Spasial Lahan Kritis Berdasarkan Pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) parameter penentu lahan kritis untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagi unit analisis lahan kritis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga analisis tabular. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk menghasilkan data spasial dari lahan kritis. Klasifikasi tingkat lahan kritis berdasarkan jumlah skor parameter penentu lahan kritis seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Klasifikasi tingkat lahan kritis Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/VSet/2013
Kawasan Hutan Lindung 120 – 180 181 – 270 271 – 360 361 – 450 451 – 500
Total Skor pada : Kawasan Budidaya Pertanian 115 – 200 201 – 275 276 – 350 351 – 425 426 – 500
Kawasan Lindung diluar Kawasan Hutan 110 – 200 201 – 275 276 – 350 351 – 425 426 – 500
Tingkat Lahan Kritis Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis
13
Parameter Penentu Tingkat Kekritisan Lahan Pendekatan Modifikasi. Parameter Penentu Tingkat Kekritisan Lahan Pendekatan Modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 meliputi : a.
Penutupan Lahan Untuk penilaian dan skoring penutupan lahan parameter modifikasi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Skoring kelas penutupan lahan Penutupan/penggunaan lahan Hutan Alam Hutan Produksi Perkebunan dan sawah Tegalan Semak belukar dan pemukiman
b.
Nilai (%) 81 – 100 61 – 80 41 – 60 21 – 40 < 20
Skor 5 4 3 2 1
Kemiringan Lereng Untuk klasifikasi dan skoring kemiringan lereng mengacu pada P. 4/VSet/2013 yang dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Kelas dan skoring kemiringan lereng DAS Cipunagara Kelas Kemiringan Lereng Datar <8% Landai 8 – 15 % Agak Curam 15 – 25 % Curam 25 – 40 % Sangat Curam > 40 %
c.
Skor 5 4 3 2 1
Erosivitas Hujan Indeks erosivitas hujan dihitung berdasarkan persamaan Bols (1978) dalam Arsyad (2010) sebagai berikut : EI30 = 6,119 (RAIN)1,21 (DAYS)-0,47 (MAXP)0,53 Dimana : EI30 = indeks erosi hujan bulanan RAIN = curah hujan rata – rata bulanan (cm) DAYS = jumlah hari hujan rata – rata per bulan MAXP = curah hujan maksimum selama 24 jam (cm) Data spasial erosivitas hujan disusun dari hasil pengolahan data curah hujan selama 5 tahun terakhir yaitu tahun 2009 – 2013 pada 5 stasiun pengamatan di DAS Cipunagara. Skoring untuk erosivitas hujan dapat dilihat pada Tabel 15. Menurut Hudson (1965) dalam Hardjowigeno et al. (2007) erosi hampir seluruhnya disebabkan oleh hujan sehingga hujan mempunyai korelasi yang tinggi dengan erosi. Hujan dapat menyebabkan erosi dengan intensitas lebih dari 25 mm/jam (KE ≥25 mm).
14
Tabel 15 Skoring erosivitas hujan (R) Curah Hujan (mm/tahun) <1000 1000 – 1500 1500 – 2000 2000 – 2500 >2500 d.
Erosivitas (R) (cm)
Skor
<1160 1160 – 2013 2013 – 2977 2977- 4033 >4033
5 4 3 2 1
Erosi yang Diperbolehkan (Edp) Erosi yang diperbolehkan (Edp) adalah jumlah tanah hilang yang diperbolehkan per tahun supaya produktivitas suatu lahan tidak berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari (Hardjowigeno 2007). Edp dihitung dengan persamaan dari Wood dan Dent (1983) dalam Hardjowigeno (2010) sebagai berikut : DE−Dmin
Edp (mm/thn)
=
[Kelestarian Tanah] + Kecepatan Pembentukan Tanah
DE
=
Kedalaman Efektif x Faktor Kedalaman
Edp (ton/ha/thn) =
EDP mm/thn x 10 ton/ha x BD
Dimana : DE BD Dmin
Kedalaman Ekuivalen Bobot Isi (gram/cm3) Kedalaman tanah minimum untuk perakaran tanaman
= = =
Menurut Arsyad (2010) menyatakan bahwa nilai Edp maksimum untuk tanah di Indonesia terutama tanah yang dalam adalah 25 ton/ha/tahun, sedangkan untuk tanah yang kedalamannya kurang maka Edp harus kurang dari 25 ton/ha/tahun. Klasifikasi dan skoring Edp dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Skoring Erosi yang diperbolehkan (Edp) Erosi yang diperbolehkan ( ton/ha/tahun) > 25 ≤ 25 e.
Kelas
Skor
Tinggi Rendah
5 1
Erodibilitas Tanah Data-data yang diperlukan dalam penilaian parameter erodibilitas tanah dan bobot isi tanah diantaranya adalah tekstur tanah (fraksi debu, pasir sangat halus dan pasir), persentase bahan organik, struktur tanah, dan permeabilitas tanah. Faktor yang mempengaruhi erodibilitas tanah adalah : 1. Tekstur tanah Tekstur tanah dan kandungan bahan organik sangat berpengaruh terhadap nilai Indeks Erodibilitas (IE), semakin besar persentasi tekstur debu maka
15
semakin besar pula nilai IE dan semakin kecil tekstur tanah klei maka semakin besar nilai IE. Sedangkan untuk persentase tekstur tanah pasir tergantung dari komposisi tekstur tanah debu dan tekstur tanah klei. Selain itu semakin besar kandungan bahan organik tanah maka semakin kecil nilai IE (Sulistyaningrum et al. 2014) 2. Struktur tanah Menurut Syarief (1986) dalam Widyasunu et al. (2011) menyatakan bahwa struktur tanah dapat dikatakan baik apabila di dalam terdapat penyebaran ruang pori – pori yang baik, yaitu terdapat ruang pori di antara agregat yang dapat diisi air, udara, sekaligus mantap keadaannya. Agregat tanah yang mantap tidak mudah hancur oleh adanya gaya dari luar seperti pukulan butir air hujan, sehingga pori tanah tidak mudah tertutup oleh partikel – partikel tanah halus. 3. Bahan organik Bahan organik tanah adalah semua bahan di dalam tanh baik yang hidup maupun yang sudah mati. Pada terminologi tertentu biomassa tidak dimasukkan sebagai bahan organik tanah dan menggunakan istilah humus. Jumlah dan sifat bahan organik tanah sangat menentukan sifat biokimia, fisika, kesuburan tanah dan membantu menetapkan arah proses pembentukan tanah. Bahan organik menentukan komposisi dan mobilitas kation yang terjerap, warna tanah, konsistensi tanah, partikel density, bulk density, sumber unsur hara, kemantapan agregat dan aktivitas organisme tanah (Muklis 2007). 4. Permeabilitas tanah Cepat lambatnya permeabilitas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, tekstur tanah dan struktur tanah. Tanah – tanah yang bertekstur pasir akan lebih cepat permeabilitasnya dibandingkan tanah – tanah yang bertekstur debu dan klei. Semakin cepatnya permeabilitas akan berdampak pada berkurangnya aliran permukaan tanah karena air banyak yang terinfiltrasi. Sebaliknya tanah – tanah yang bertekstur halus mempunyai permeabilitas yang lambat (Widyasunu et al. 2011). Klasifikasi dan skoring erodibilitas tanah dapat dilihat pada Tabel 17. Perhitungan nilai K dihitung dengan persamaan (Weischmeier et al. 1971 dalam Hardjowigeno 2010) :
𝐊=
𝟏, 𝟐𝟗𝟐{ 𝟐, 𝟏 𝐌 𝟏,𝟏𝟒 (𝟏𝟎−𝟒 )(𝟏𝟐 − 𝐚) + 𝟑, 𝟐𝟓 (𝐛 − 𝟐) + 𝟐, 𝟓 (𝐜 − 𝟑)} 𝟏𝟎𝟎
Dimana : M = a = b = c =
ukuran partikel (% pasir sangat halus+ % debu x (100-% liat) kandungan bahan organik (BO = % C x 1,724) harkat struktur tanah harkat permeabilitas tanah
16
Tabel 17 Kelas dan skoring erodibilitas tanah No Nilai Erodibilitas Tanah (K) Harkat 1 < 0,20 Rendah 2 0,21 – 0,32 Sedang 3 0,33 – 0,40 Agak Tinggi 4 0,41 – 0,55 Tinggi 5 0,56 – 0,64 Sangat Tinggi (Modifikasi dari Sitanala Arsyad 2010) f.
Skor 5 4 3 2 1
Manajemen Penilaian manajemen pada penentuan lahan kritis dilakukan pada kawasan hutan lindung, kawasan budidaya pertanian, kawasan lindung di luar kawasan hutan, dan kawasan hutan produksi. Data terkait manajemen diperoleh dari BPDAS PS Kementerian Kehutanan Tahun 2013. Klasifikasi dan skoring manajemen untuk masing – masing kawasan berdasarkan Perdirjen BPDAS PS P.4/V-Set/2013 dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Klasifikasi dan skoring manajemen Kawasan Kawasan hutan lindung
Kawasan budidaya pertanian, kawasan lindung di luar kawasan hutan, dan kawasan hutan produksi
g.
Kelas Baik (lengkap : kawasan ada, pengamanan kawasan ada, dan penyuluhan dilaksanakan) Sedang (tidak lengkap) Buruk (tidak ada) Baik (Penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan sesuai petunjuk) Sedang (tidak lengkap atau tidak terpelihara) Buruk (tidak ada)
Skor 5
3 1 5
3 1
Produktivitas Penilaian produktivitas pada penentuan lahan kritis di DAS Cipunagara dilakukan berdasarkan rasio terhadap komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Subang dan BPDAS PS Citarum – Ciliwung. Klasifikasi dan skoring produktivitas untuk penentuan lahan kritis dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Klasifikasi dan skoring produktivitas Deskripsi Rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional
Kelas Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Kriteria > 80 % 61 – 80 % 41 – 60 % 21 – 40 % < 20 %
Skor 5 4 3 2 1
17
Analisis Spasial Lahan Kritis Berdasarkan Modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013. Untuk menganalisis sebaran lahan kritis berdasarkan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 digunakan parameter yang dapat dilihat pada Tabel 20. Pemetaan lahan kritis dibuat dengan proses overlay masing – masing parameter yang sudah ditetapkan. Kemudian dilakukan skoring dan pembobotan pada tiap atribut dari parameter tersebut. Pembobotan dibuat dengan melihat besarnya kontribusi tiap parameter terhadap pembentukan lahan kritis. Hasil pembobotan dapat dilihat pada Tabel 21. Pembobotan dilakukan dengan persamaan yang digunakan oleh Wahyunto et al. (2007), sebagai berikut : 𝑾𝒊𝒋 = Dimana,
Wij n rj
𝒏 − 𝒓𝒋 + 𝟏 ∑(𝒏 − 𝒓𝒋 + 𝟏)
: Bobot yang dinormalkan : Jumlah parameter ke-i (j=1,2,3,4) : Urutan parameter
Tabel 20 Parameter penentu tingkat kekritisan lahan berdasarkan modifikasi
No
Parameter
1 2 3 4 5 6 7
Penutupan Lahan Kemiringan Lereng Erosivitas Hujan Erosi yang diperbolehkan Erodibilitas Tanah Manajemen Produktivitas
Kawasan Kawasan Hutan Budidaya Lindung Pertanian √ √ √ √ √ √ -
√ √ √ √ √ √
Kawasan lindung di Luar Kawasan hutan dan Hutan Produksi √ √ √ √ √ √ -
Tabel 21 Urutan parameter penentu dan bobot No 1
Parameter penentu Penutupan Lahan (dan produktivitas*) Kemiringan Lereng Erosivitas Hujan Erosi yang diperbolehkan Erodibilitas Tanah Manajemen
Kepentingan (rj)
(n-rj+1)
1
6
Bobot (Wij) 0,29
2 2 5 0,24 3 3 4 0,19 4 4 3 0,14 5 5 2 0,10 6 6 1 0,05 N=6 21 1 *parameter produktivitas digunakan pada kawasan budidaya pertanian
% Wij 29 24 19 14 10 5 100
18
Mengacu pada pemberian skoring untuk parameter lahan kritis pada Perdirjen BPDASPS P.4/V-Set/2013 yang dibuat dalam 5 kelas, maka pada parameter modifikasi juga dibuat dalam 5 kelas yaitu : tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis dengan interval kelas yang digunakan oleh Dibyosaputro dalam Kubangun (2015) dengan rumus : Interval kelas =
nilai tertinggi − nilai terendah jumlah kelas
Hasil dari interval kelas tersebut selanjutnya digunakan untuk pengelompokan kelas pada data atribut dan data spasial. Klasifikasi bahaya lahan kritis dan interval kelas dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Kelas lahan kritis parameter modifikasi Kelas Lahan Kritis Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis
Nilai 115 – 192 193 – 269 270 – 346 347 – 423 424 – 500
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Wilayah Administrasi Daerah Aliran Sungai Cipunagara merupakan salah satu DAS yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Secara admministratif wilayah DAS Cipunagara terbagi dalam 4 kabupaten, yaitu Kabupaten Subang dengan wilayah terluas, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Bandung Barat. Sebagian besar wilayah DAS Cipunagara berada di 29 kecamatan dan 207 desa yang sebagian besar terdapat di Kabupaten Subang (Lampiran 3). Jenis Tanah Secara umum DAS Cipunagara didominasi oleh jenis tanah Latosol sebesar 21,32 %. Selain Latosol, tanah lain yang terdapat di DAS Cipunagara adalah Aluvial, Gleisol, Grumusol, Litosol, Andosol, Podsolik, dan Regosol. Sebaran jenis tanah DAS Cipunagara dapat dilihat pada Gambar 4. Curah Hujan Curah hujan di DAS Cipunagara pada tahun 2013 rata – rata sebesar 3.453,25 mm dengan curah hujan yang tinggi terjadi pada Bulan Januari, Maret, April, dan Desember, sedangkan curah hujan yang rendah terjadi pada bulan Agustus dan September. Sebaran curah hujan di DAS Cipunagara dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4 Peta jenis tanah DAS Cipunagara
20
Gambar 5 Peta isohyet curah hujan harian DAS Cipunagara (2009 – 2013) DAS Cipunagara memiliki penutupan/penggunaan lahan dan kemiringan lereng yang beragam. Untuk sebaran kelas penutupan/penggunaan lahan di DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 24 dan Gambar 7. Sedangkan kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 26 dan Gambar 9. Analisis Parameter Penentu Lahan Kritis Menurut Tingkat Kekritisan Identifikasi dan pemetaan lahan kritis di DAS Cipunagara ditentukan berdasarkan parameter Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan parameter modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor p.4/V-Set/2013 tersebut. Berdasarkan matriks perbandingan parameter yang disajikan pada Tabel 23, dapat diketahui bahwa wilayah DAS Cipunagara dibagi menjadi 3 kawasan utama yaitu kawasan hutan lindung, kawasan budidaya pertanian, dan kawasan lindung di luar hutan serta hutan produksi (Gambar 6). Pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 untuk kawasan hutan lindung meliputi penutupan lahan, lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen; kawasan budidaya pertanian meliputi produktivitas, lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen; sedangkan pada kawasan lindung diluar hutan dan hutan produksi meliputi penutupan lahan, lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen. Pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 untuk kawasan hutan lindung meliputi penutupan lahan, lereng, manajemen, erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan, dan erodibilitas tanah; kawasan budidaya pertanian meliputi produktivitas, lereng, manajemen, erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan, dan erodibilitas tanah; sedangkan pada kawasan lindung diluar hutan dan kawasan hutan produksi meliputi penutupan lahan, lereng, manajemen, erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan, dan erodibilitas tanah.
21
Tabel 23 Matriks perbandingan parameter penentu tingkat kekritisan lahan No
1 2 3 4 5 6 7 8
Parameter penentu lahan kritis
Penutupan Lahan Produktivitas Lereng Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Manajemen Erosivitas hujan (R) Erosi yang diperbolehkan (Edp) Erodibilitas tanah
P. 4/V-Set/2013 HL BP KLLH dan HP √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ -
-
-
-
Modifikasi BP KLLH dan HP √ √ √ √ √ √
HL
-
-
-
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√
√
√
Keterangan : HL = hutan lindung, BP = Budidaya pertanian, KLLH = Kawasan lindung di luar kawasan hutan, HP = Hutan produksi
Gambar 6 Peta kawasan DAS Cipunagara Penutupan/penggunaan lahan Sebaran penutupan/penggunaan lahan di DAS Cipunagara dapat dikelompokan menjadi 11 kelas yaitu hutan produksi, hutan tanaman, pemukiman, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, sawah, semak/belukar, tambak, tanah terbuka, dan tubuh air. Sebaran penggunaan/ penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 24 dan Gambar 7. Sawah merupakan penggunaan lahan yang dominan dengan luas 41,03% dari total luas DAS Cipunagara, terutama terkonsentrasi di bagian utara (pantai utara) yang sebagian besar bertopografi datar. Sedangkan di bagian selatan didominasi
22
oleh penggunaan lahan perkebunan dan pertanian lahan kering karena berada di daerah dengan kemiringan lereng yang tinggi. Tabel 24 Luas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penutupan/penggunaan lahan Sawah Hutan tanaman Pertanian lahan kering Pemukiman Perkebunan Pertanian lahan kering campur Tambak Hutan produksi Tubuh air Tanah terbuka Semak/belukar Jumlah
Luas Ha 55.752,97 25.496,11 25.058,89 8.129,59 6.283,00 6.256,12 4.546,17 3.062,88 497,25 417,10 368,42 135.868,50
% 41,03 18,77 18,44 5,98 4,62 4,60 3,35 2,26 0,37 0,31 0,27 100,00
Gambar 7 Peta tutupan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 Berdasarkan pengamatan lapangan, persentase penutupan/penggunaan lahan dikelompokkan menjadi lima kelas. Hutan alam diberi nilai penutupan 81 – 100 % karena kondisi hutan masih alami dan belum mengalami kerusakan, hutan produksi diberi nilai 61 – 80 % karena hutan produksi mengalami proses pemanenan secara bergilir sehingga akan ada tajuk tanaman yang terbuka, perkebunan dan sawah diberi nilai 41 – 60 %, tegalan dan semak belukar diberi nilai 21 – 40 % karena
23
pada tegalan umumnya dilakukan penanaman hanya pada saat musim hujan. Sedangkan kelas lahan pemukiman diberi nilai 0 – 20 %. Persentase dan skor penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Kelas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 No 1 2 3 4 5
Penutupan/pengggunaan lahan Hutan alam/hutan lindung Hutan produksi Perkebunan dan sawah Tegalan Semak belukar dan pemukiman Jumlah
Kelas Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
5
Luas Ha 25.435,98
% 18,72
4 3 2 1
3.002,75 93.290,84 5.701,05 8.437,88
2,21 68,66 4,20 6,21
Skor
135.868,50 100,00
Kelas penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian didominasi oleh kelas lahan sedang (perkebunan dan sawah) yang memiliki luas terbesar yaitu 93.290,84 ha (68,66%). Kelas penutupan/penggunaan lahan sangat baik (hutan alam/hutan lindung) memiliki luas lahan sebesar 25.435,98 ha (18,72%). Pada kelas penutupan/penggunaan lahan baik (hutan produksi) memiliki luas lahan sebesar 3.002,75 ha (2,21%). Sedangkan pada kelas buruk (tegalan) dan sangat buruk (semak belukar dan pemukiman) masing – masing memiliki luas sebesar 5.701,05 ha (4,20%) dan 8.437,88 ha (6,21%) merupakan wilayah yang cukup beresiko terbentuknya lahan kritis apabila dilakukan pengelolaan lahan yang kurang baik. Sebaran kelas penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta kelas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014
24
Kemiringan Lereng Parameter kemiringan lereng digunakan baik pada kawasan hutan lindung, hutan produksi, budidaya pertanian maupun kawasan lindung di luar hutan. Lokasi penelitian didominasi oleh kelas kemiringan lereng datar dengan luas sebesar 60.891,99 ha (44,82%). Kelas kemiringan dan luasannya dapat dilihat pada Tabel 26 dan Gambar 9. Wilayah dengan kemiringan lereng yang sangat curam (> 40%) merupakan wilayah yang sangat beresiko terbentuknya lahan kritis. Semakin besar persentase kemiringan lereng maka semakin besar peluang terjadinya erosi. Tanah yang mudah tererosi merupakan tanah yang peka terhadap terbentuknya lahan kritis. Wilayah dengan kemiringan lereng yang sangat curam didominasi oleh penutupan/penggunaan lahan hutan sehingga hutan dengan kemiringan lereng curam tersebut memiliki resiko terbentuknya lahan kritis yang cukup besar. Tabel 26 Luas kemiringan lereng DAS Cipunagara No 1 2 3 4 5
Kelas kemiringan lereng Datar (0 – 8 %) Landai (9 – 15 %) Agak curam (16 – 25 %) Curam (26 – 40 %) Sangat curam (> 40 %) Total luas
Luas Ha 60.891,99 7.577,12 20.908,36 13.592,84 32.898,20 135.868,50
Gambar 9 Peta kelas kemiringan lereng DAS Cipunagara
% 44,82 5,58 15,39 10,00 24,21 100,00
25
Tingkat Bahaya Erosi Dalam penelitian ini, penilaian tingkat bahaya erosi dihitung berdasarkan persamaan USLE. Faktor yang mempengaruhi besarnya nilai tingkat bahaya erosi adalah erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), faktor panjang dan kemiringan lereng (LS), pengelolaan tanaman (C), dan teknik konservasi tanah (P) serta kedalaman tanah (Tabel 6). Hasil analisa laboratorium dan nilai erodibilitas tanah dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Pengukuran curah hujan pada lokasi penelitian DAS Cipunagara dilakukan di empat stasiun hujan yang meliputi Buah Dua, Pagaden, Subang, dan Kalijati. Curah hujan bulanan rata – rata lima tahun (2009 – 2013) pada empat stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 27 dan Gambar 10. Erosivitas hujan dihitung dengan menggunakan persamaan Bols (1978) dalam Arsyad (2010) : EI30 = 6,119 (RAIN)1,21 (DAYS)-0,47 (MAXP)0,53 Dimana : EI30 = indeks erosi hujan bulanan RAIN = curah hujan rata – rata bulanan (cm) DAYS = jumlah hari hujan rata – rata per bulan MAXP = curah hujan maksimum selama 24 jam (cm) Erosivitas hujan di DAS Cipunagara terbagi kedalam 3 kelas yaitu sedang, agak tinggi, dan tinggi. Kelas sedang memiliki luas sebesar 7.270,88 Ha, kelas agak tinggi memiliki luas 102.860,97 Ha, dan kelas tinggi memiliki luas sebesar 25.736,65 Ha. Sebaran erosivitas hujan di DAS Cipunagara dapat dilihat pada Gambar 10. Tabel 27 Nilai curah hujan rata - rata dan R tahun 2009 - 2013 DAS Cipunagara serta skoringnya Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember CH dan R tahunan Skoring
Buah Dua CH R 32,20 317,57 42,20 439,94 42,50 430,34 36,50 397,14 32,30 332,95 12,00 131,71 4,40 31,00 5,80 75,33 12,60 173,87 12,00 132,39 38,30 711,48 43,90 427,50 314,70
3.601,22 2
Subang CH R 26,18 223,95 25,34 230,58 33,94 301,32 35,28 400,35 20,40 184,99 12,16 135,38 5,94 41,64 2,42 15,24 1,96 8,01 15,20 160,15 31,53 307,79 34,64 308,05 244,99
2.317,46 3
Bulak CH R 28,80 286,81 18,52 160,85 12,24 90,43 9,94 98,05 14,24 132,62 5,20 45,59 6,20 54,06 1,02 8,60 2,34 16,16 4,94 38,39 12,90 150,22 24,22 243,19 140,56
1.324,98 4
Pagaden CH R 27,90 261,22 21,18 180,07 28,86 229,06 25,16 255,75 10,46 71,13 5,16 43,87 7,66 100,71 0,00 0,00 1,06 10,18 7,30 62,05 27,78 251,09 24,14 206,16 186,66
1.671,28
Kalijati CH R 49,94 750,08 32,22 344,76 49,68 607,42 37,48 452,78 16,23 154,15 8,86 74,49 1,64 12,19 3,54 31,06 9,00 121,47 8,32 67,87 27,72 327,59 40,00 454,74 284,63
4
Nilai erodibilitas tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu struktur tanah, tekstur tanah, permeabilitas, dan persentase bahan organik tanah yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Kemudian dapat diketahui nilai erodibilitasnya yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Faktor erodibilitas juga digunakan dalam penentuan lahan kritis pada parameter modifikasi. Kelas erodibilitas dan luasannya dapat dilihat pada Tabel 28.
3.398,60 2
26
Tanah – tanah dengan nilai erodibilitas tanah yang tinggi akan peka terhadap erosi sehingga mudah terbentuk lahan kritis. Menurut Dewi et al. (2012) menyatakan bahwa tanah dengan dominan pasir kemungkinan untuk terjadinya erosi pada jenis tanah ini adalah rendah karena laju infiltrasi tinggi yang dapat menurunkan laju aliran permukaan, begitu juga dengan tanah yang bertekstur liat dengan ikatan antar partikel – partikel tanah yang kuat dan agregat tanah yang mantap sehingga tidak mudah tererosi. Wilayah DAS Cipunagara memiliki empat kelas erodibilitas yaitu rendah, sedang, agak tinggi, dan tinggi. Kelas Agak tinggi memiliki wilayah terbesar dengan luas 86.559,16 ha (63,71%) diikuti oleh kelas tinggi, sedang, dan rendah dengan masing – masing luas sebesar 42.736,93 (31,45%), 4.017,01 ha (2,96%), dan 2.555,39 ha (1,88%). Hal ini menunjukan bahwa resiko terjadinya lahan kritis di DAS Cipunagara perlu diwaspadai karena tingginya angka erodibilitas tanahnya. Sebaran kelas erodibilitas tanah di DAS Cipunagara dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 10 Peta erosivitas hujan DAS Cipunagara Tabel 28 Kelas erodibilitas tanah DAS Cipunagara No 1 2 3 4 5
Erodibilitas 0,00 – 0,20 0,21 – 0,32 0,33 – 0,40 0,41 – 0,55 0,56 – 0,64 Total Luas
Kelas Rendah Sedang Agak tinggi Tinggi Sangat Tinggi
Luas Ha 2.555,39 4.017,01 86.559,16 42.736,93 135.868,50
% 1,88 2,96 63,71 31,45 100,00
Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) ditentukan berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari BPDAS Citarum – Ciliwung. Nilai LS dan luasannya dapat dilihat pada Tabel 29.
27
Gambar 11 Peta kelas erodibilitas tanah DAS Cipunagara Tahun 2014 Tabel 29 Kelas kemiringan lereng dan nilai LS DAS Cipunagara serta luasannya No 1 2 3 4 5
Kelas
Nilai LS
Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam Total Luas
0,40 1,40 3,10 6,80 9,50
Luas Ha 60.891,99 7.577,12 20.908,36 13.592,84 32.898,20 135.868,50
% 44,82 5,58 15,39 10,00 24,21 100,00
Berdasarkan parameter – parameter pada persamaan USLE (Tabel 27, 28, 29, dan Gambar 7) diketahui nilai prediksi erosi yang disajikan pada Lampiran 6 dan faktor kedalaman tanah (Lampiran 7) dapat dihasilkan sebaran nilai TBE pada Tabel 30. Sebagian besar wilayah DAS Cipunagara memiliki tingkat bahaya erosi yang rendah. Hal tersebut terbukti dengan luas wilayah yang memiliki kelas erosi mulai dari ringan hingga sangat ringan sebesar 73,95% dari total luas DAS Cipunagara. Sebaran kelas tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada Gambar 12. Tabel 30 Kelas tingkat bahaya erosi (TBE) DAS Cipunagara Tahun 2014 No 1 2 3 4 5
Kelas TBE Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat Berat Total Luas
Luas Ha 78.377,14 22.087,37 11.588,63 11.805,47 12.009,89 135.868,50
% 57,69 16,26 8,53 8,69 8,84 100,00
28
Gambar 12 Peta kelas tingkat bahaya erosi DAS Cipunagara Tahun 2014 Erosi yang diperbolehkan (Edp) Erosi yang diperbolehkan (Edp) digunakan untuk analisis lahan kritis pada parameter modifikasi. Nilai Edp dihitung dengan menggunakan persamaan Wood dan Dent (1983) dalam Hardjowigeno (2007) berdasarkan data kedalaman efektif tanah dan kedalaman minimum tanah. Hasil analisi Edp DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 31 dan Gambar 13. Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa sebagian besar wilayah DAS Cipunagara didominasi oleh kelas Edp tinggi (> 25 ton/Ha/tahun) sebesar 97,94 % dari total luas DAS Cipunagara. Tabel 31 Kelas Edp DAS Cipunagara Tahun 2014 Kelas Erosi yang diperbolehkan (Edp) Tinggi Rendah Total Luas
Luas Ha 133.068,07 2.800,42 135.868,50
% 97,94 2,06 100
29
Gambar 13 Peta Erosi yang diperbolehkan DAS Cipunagara Tahun 2014 Analisis dan Pemetaan Lahan Kritis Pendekatan Perdirjen BPDAS Nomor P.4/V-Set2013 Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Kriteria penilaian lahan kritis pada kawasan hutan lindung dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil analisis lahan kritis beserta luasannya kawasan lindung DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 32. Pada kawasan lindung DAS Cipunagara diketahui bahwa luasan lahan kritis pada kelas tidak kritis sebesar 13,53 Ha (0,19%). Hal tersebut menunjukan bahwa kawasan lindung telah mengalami penurunan fungsi lindung. Apabila permasalahan tersebut terus terjadi maka dapat mengakibatkan adanya peningkatan luas lahan kritis. Sedangkan luasan lahan kritis pada kawasan lindung sebesar 167,41 Ha (2,34%) dari total luas kawasan lindung di DAS Cipunagara. Tabel 32 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/VSet/2013 No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha 21,71 145,70 1.844,36 5.127,94 13,53 7.153,24
% 0,30 2,04 25,78 71,69 0,19 100
30
Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan digunakan parameter yang sama dengan kawasan lindung, tetapi perbedaannya terletak pada pembobotan yang digunakan untuk penilaian lahan kritis. Kriteria penilaian lahan kritis pada kawasan lindung di luar kawasan hutan dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil analisis lahan kritis kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat Kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha
%
6,96 1.069,31 581,99 568,18 2.226,44
0,31 48,03 26,14 25,52 100
Hasil analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung diluar kawasan hutan memiliki luas lahan kritis sebesar 6,96 Ha (0,31%). Pada kawasan ini tidak terdapat kelas kekritisan lahan sangat kritis. kelas kekritisan lahan agak kritis memiliki luas yang paling besar yaitu sebesar 1.069,31 Ha (48,03%) dari total luas lahan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Sedangkan luas kelas potensial kritis dan tidak kritis masing – masing sebesar 581,99 Ha (26,14%) dan 568,18 Ha (25,52%). Hasil analisis lahan kritis kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 34. Sebaran tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan dapat dilihat pada Gambar 14. Tabel 34 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat Kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha 21,71 152,66 2.912,67 5.709,93 581,71 9.379,68
% 0,23 1,63 31,06 60,88 6,20 100
31
Gambar 14 Peta lahan kritis pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 Kawasan Budidaya Pertanian Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian ditentukan berdasarkan parameter produktivitas, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen. Kriteria penilaian lahan kritis pada kawasan budidaya pertanian dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil analisis lahan kritis kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 35. Kawasan budidaya pertanian didominasi oleh kelas tidak kritis yaitu sebesar 63.223,15 Ha (59,20%). Hal tersebut karena adanya pengelolaan dan manajemen yang baik serta wilayahnya yang didominasi oleh topografi datar. Sedangkan pada kelas kritis dan sangat kritis memiliki luas sebesar 10. 012,70 Ha (9,38%). Sebagian besar kelas kritis dan sangat kritis berada pada kelerengan > 25% sehingga sangat berpotensi terbentuknya lahan kritis. sebaran tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian dapat dilihat pada Gambar 15. Tabel 35 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha 1.344,27 8.668,43 13.435,16 20.130,47 63.223,15 106.801,47
% 1,26 8,12 12,58 18,85 59,20 100
32
Gambar 15 Peta lahan kritis pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 Kawasan Hutan Produksi Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi digunakan parameter yang sama dengan kawasan lindung, tetapi perbedaannya terletak pada pembobotan yang digunakan untuk penilaian lahan kritis. Kriteria penilaian lahan kritis pada kawasan hutan produksi dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil analisis lahan kritis kawasan hutan produksi DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/VSet/2013 No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha 199,43 171,99 5.187,71 3.186,67 10.941,55 19.687,35
% 1,01 0,87 26,35 16,19 55,58 100
Kelas lahan kritis dan sangat kritis pada kawasan hutan produksi memiliki luas sebesar 371,42 Ha (1,88%) dari total luas kawasan hutan produksi. Total luas lahan kritis pada kawasan ini termasuk rendah karena adanya pengelolaan lahan yang baik terkait pengolahan lahan yang dilakukan oleh dinas kehutanan setempat.
33
Hal tersebut juga berpengaruh terhadap luasnya lahan yang memiliki kelas kekritisan lahan tidak kritis yaitu sebesar 10.941,55 Ha (55,58%). Sebaran tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Peta lahan kritis pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/VSet/2013 Hasil analisis tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara dengan menggunakan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dapat dilihat pada Tabel 37. Kelas kekritisan lahan tidak kritis memiliki luas terbesar yaitu sebesar 74.746,40 Ha (55,01%) dari total luas DAS Cipunagara. Sedangkan lahan dengan tingkat kekritisan sangat kritis, kritis, dan agak kritis memiliki luas sebesar 32.095,02 Ha (23,62%). Hal tersebut berarti bahwa sebagian besar wilayah DAS Cipunagara memiliki wilayah dengan tingkat kekritisan lahan tidak kritis. Sebaran tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara berdasarkan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dapat dilihat pada Gambar 20. Tabel 37 Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha 1.565,42 8.993,07 21.536,53 29.027,08 74.746,40 135.868,50
% 1,15 6,62 15,85 21,36 55,01 100
34
Analisis dan Pemetaan Lahan Kritis dengan Pendekatan Modifikasi Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Linung di Luar Kawasan Hutan Parameter yang digunakan untuk menentukan lahan kritis pada kawasan lindung adalah penggunaan lahan, kemiringan lereng, erosivitas hujan (R), erosi yang diperbolehkan (Edp), erodibilitas tanah (K), dan manajemen. Hasil analisis tingkat kekritisan lahan dapat dilihat pada Tabel 38. Kawasan lindung DAS Cipunagara pada parameter modifikasi tingkat kekritisan lahan terbagi dalam kelas kritis, agak kritis, dan potensial kritis. Kelas agak kritis memiliki luas yang cukup besar jika dibandingkan dengan kelas kritis dan potensial kritis, yaitu sebesar 6.827,29 Ha (95,44%). Hal tersebut menunjukan bahwa wilayah kawasan lindung DAS Cipunagara memiliki potensi yang cukup besar untuk terbentuknya lahan kritis dan sangat kritis. Tabel 38 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha
%
180,14 6.827,29 145,81 7.153,24
2,52 95,44 2,04 100
Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan digunakan parameter yang sama dengan kawasan lindung. Hasil analisis lahan kritis kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat Kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha
%
70,98 2.120,37 35,08 2.226,44
3,19 95,24 1,58 100
Berdasarkan analisis tingkat kekritisan lahan dengan pendekatan modifikasi dapat diketahui bahwa pada kawasan lindung di luar kawasan hutan didominasi oleh kelas agak kritis yaitu sebesar 2.120,37 Ha (95,24%). Sedangkan kelas kritis dan potensial kritis masing – masing sebesar 70,98 Ha (3,19%) dan 35,08 Ha
35
(1,58%). Pada kawasan lindung di luar kawasan hutan memiliki potensi yang besar terbentuknya lahan kritis dan sangat kritis karena kelas agak kritis cukup tinggi. Hasil analisis lahan kritis kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 40. Sebaran tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan pendekatan modifikasi dapat dilihat pada Gambar 17. Tabel 40 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat Kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha
%
251,12 8.947,67 180,89 9.379,68
2,68 95,39 1,93 100
Gambar 17 Peta lahan kritis pada kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013
36
Kawasan Budidaya Pertanian Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian ditentukan berdasarkan parameter produktivitas, kemiringan lereng, erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan dan manajemen. Hasil analisis lahan kritis kawasan lindung DAS Cipunagara pendekatan modifikasi dapat dilihat pada Tabel 41. Pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara pendekatan modifikasi dapat diketahui bahwa kelas kritis memiliki luas sebesar 14.415,91 Ha (13,50%). Sedangkan kelas agak kritis dan potensial kritis masing – masing memiliki luas sebesar 28.168,47 Ha (26,37%) dan 10.231,31 Ha (9,58%). Kawasan budidaya pertanian didominasi oleh kelas tidak kritis yaitu sebesar 53.985,78 Ha (50,55%). Sebaran tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara pendekatan modifikasi dapat dilihat pada Gambar 18. Tabel 41 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha
%
14.415,91 28.168,47 10.231,31 53.985,78 106.801,47
13,50 26,37 9,58 50,55 100
Gambar 18 Peta lahan kritis pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013
37
Kawasan Hutan Produksi Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi digunakan parameter yang sama dengan kawasan lindung. Hasil analisis lahan kritis kawasan hutan produksi DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 42 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi No 1 2 3 4 5
Tingkat kekritisan Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Luas Ha
%
528,44 6.636,81 10.592,01 1.930,10 19.687,35
2,68 33,71 53,80 9,80 100
Kawasan hutan produksi di DAS Cipunagara dengan pendekatan modifikasi didominasi oleh kelas potensial kritis yaitu sebesar 10.592,01 Ha (53,80%). Kelas agak kritis dan kritis memiliki luas masing – masing sebesar 6.636,81 Ha (33,71%) dan 528,44 (2,68%). Sedangkan kelas tidak kritis memiliki luas 1.930,10 Ha (9,80%). Kawasan hutan produksi memiliki potensi yang cukup besar terbentuknya kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis apabila pengelolaan lahan yang kurang bijak. Sebaran tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi pendekatan modifikasi dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Peta lahan kritis pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013
38
Hasil analisis tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dapat dilihat pada Tabel 43. Sebaran tingkat kekritisan lahan pada pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dapat dilihat pada Gambar 21. Tabel 43 Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 No 1 2 3 4 5
Luas
Tingkat kekritisan Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Jumlah
Ha
%
15.195,47 43.752,94 21.004,21 55.915,88 135.868,50
11,18 32,20 15,46 41,16 100
Perbandingan Tingkat Kekritisan Lahan pada Pendekatan BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan Pendekatan Modifikasi Tingkat kekritisan lahan di DAS Cipunagara dengan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan modifikasinya menghasilkan luas lahan kritis (total luas agak kritis, kritis, dan sangat kritis) berbeda. Tingkat kekritisan lahan pada pendekatan Perdirjen P.4/V-Set/2013 dan pendekatan modifikasinya dapat dilihat pada Tabel 44. Tabel 44 Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan pendekatan modifikasinya Luas No 1
2
3
Tingkat kekritisan Sangat Kritis Hutan lindung Kawasan budidaya pertanian Kawasan lindung di luar hutan Hutan produksi Sub Total Kritis Hutan lindung Kawasan budidaya pertanian Kawasan lindung di luar hutan Hutan produksi Sub Total Agak Kritis Hutan lindung Kawasan budidaya pertanian Kawasan lindung di luar hutan Hutan produksi Sub Total Total
P.4/V-Set/2013 Ha %
Modifikasi Ha
%
21,71 1.344,27 199,43 1.565,41
0,01 0,99 0,15 1,15
-
-
145,70 8.668,43 6,96 171,99 8.993,08
0,10 6,38 0,00 0,13 6,62
180,14 14.415,91 70,98 528,44 15.195,47
0,13 10,61 0,05 0,39 11,18
1.844,36 13.435,16 1.069,31 5.187,71 21.536,54 32.095,03
1,35 9,89 0,79 3,82 15,85 23,62
6.827,29 28.168,47 2.120,37 6.636,81 43.752,94 58.948,41
5,03 20,73 1,56 4,88 32,20 43,38
39
Berdasarkan tingkat kekritisan lahan (Tabel 44), dapat diketahui bahwa luas lahan kritis DAS Cipunagara pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/VSet/2013 adalah 32.095,03 Ha (23,62% dari total luas DAS Cipunagara), sedangkan pada pendekatan modifikasi seluas 58.948,41 Ha (43,38 % dari total luas DAS Cipunagara). Kelas sangat kritis pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 tidak muncul pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, tetapi pada pendekatan modifikasi tidak satupun kawasan yang terdapat kelas sangat kritis. Kelas kritis dan agak kritis terdapat pada semua kawasan dengan menggunakan pendekatan Perdijen BPDAS Nomor P.4/V-Set/2013 dan pendekatan modifikasi. Perbedaan hasil analisis kedua pendekatan tersebut karena adanya faktor perbedaan parameter yang digunakan. Pada pendekatan modifikasi digunakan parameter yang terdiri dari tutupan lahan, kemiringan lereng, erosivitas hujan (R), erosi yang diperbolehkan (Edp), erodibilitas tanah (K), produktivitas, dan manajemen. Sedangkan parameter yang digunakan pada Perdirjen BPDASPS P.4/V-Set/2013 meliputi penggunaan/penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, produktivitas, dan manajemen. Parameter erosivitas hujan (R) dan erodibilitas tanah (K) pada pendekatan modifikasi diperoleh dari persamaan tingkat bahaya erosi (TBE) pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 karena adanya perhitungan yang berulang pada pendekatan tersebut (penutupan/penggunaan lahan dengan pengelolaan tanaman, manajemen dengan teknik konservasi tanah, dan kemiringan lereng). Tingkat bahaya erosi pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/VSet/2013 memiliki kelas tingkat bahaya erosi sangat berat sebesar 12.009,89 Ha (8,84 %) yang menyebabkan terbentuknya kelas lahan sangat kritis. Berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 nilai Edp yang lebih besar dari 25 ton/Ha/tahun (nilai skoring tinggi) seluas 133.068,07 Ha lebih toleran terhadap erosi karena tergantikan oleh proses pembentukan tanah sehingga tidak menimbulkan lahan kritis kelas sangat kritis, tetapi menyebar ke kelas agak kritis dan kritis. Dengan demikian sebaran lahan kritis (kelas sangat kritis, kritis, dan agak kritis) lebih luas berdasarkan pendekatan modifikasi BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013. Selain hasil luasan lahan kritis (kelas sangat kritis, kritis, dan agak kritis) pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 lebih besar, adanya perbedaan penggunaan parameter pada kedua pendekatan tersebut tanpa pengecekan lapang dapat disimpulkan bahwa pendekatan modifikasi memiliki hasil yang lebih representatif. Hal tersebut dikarenakan pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 tidak terdapat parameter yang berulang (penutupan/penggunaan lahan dengan pengelolaan tanaman, manajemen dengan teknik konservasi tanah, dan kemiringan lereng). Penentuan bobot dengan persamaan Wij dan skoring pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 juga mempengaruhi nilai yang dihasilkan dalam menentukan tingkat kekritisan lahan.
40
Gambar 20 Peta tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013
Gambar 21 Peta tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013
41
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Analisis dan pemetaan lahan kritis di DAS Cipunagara berdasarkan pendekatan P.4/V-Set/2013 dan modifikasi memiliki perbedaan yang nyata. 2. Berdasarkan pendekatan modifikasi tidak terdapat kelas lahan sangat kritis, sedangkan pada Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 terdapat kelas lahan sangat kritis. 3. Analisis lahan kritis berdasarkan tanpa pengecekan lapang (ground check) pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dinilai lebih representatif daripada pendekatan BPDASPS Nomor P.4/VSet/2013.
Saran Perlu adanya pengecekan lapang (ground check) untuk mengetahui apakah lahan kritis (kelas sangat kritis, kritis, dan agak kritis) pada peta tingkat kekritisan lahan berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan modifikasinya sesuai dengan kondisi lapangan.
42
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID) : IPB Press. Barus B, Gandasasmita K, Tarigan S, Rusdiana O. 2011. Penyusunan kriteria lahan kritis. Kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan Pusat Pengkajian Pengembangan Wilayah (P4W) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano (ID). 2011. Data Spasial Lahan Kritis Kabupaten Kepulauan Sangihe. Manado. Dariah A, Rachman A, Kurnia U. 2004. Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia. Bogor (ID). Puslittanak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Dewi GA, Trigunasih NM, Kusmawati T. 2012. Prediksi Erosi dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air Pada Daerah Aliran Sungai Saba. 1(1) : 12 – 23. Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Edisi ke-7. Jakarta (ID) : Akadernika Pressindo. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Harini S, Suyono, Mutiara E. 2012. Manajemen Pengelolaan Lahan Kritis pada DAS Brantas Hulu Berbasis Masyarakat ( Pilot Project Desa Bulukerto, Kota Batu), Jurnal Manajemen Pengelolaan Lahan Kritis. 1(1) : 92 – 111. Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengeloaan Daerah lauran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor : P 4/V-Set/2013 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta (ID) : Kemenhut. Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengeloaan Daerah lauran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor : P 4/V-Set/2013 tentang Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun 2013. Jakarta (ID) : Kemenhut. Kementerian Kehutanan. 2015. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.4/V-DAS/2015 tentang Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun 2013. Jakarta (ID) : Kemenhut Kubangun SH. 2015. Model spasial bahaya lahan kritis di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. [ tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Lillesand TM, Kiefer RW. 1987. Remote Sensing and Image Interpretation. New York (US) : John Wiley&Son Inc. Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. Medan (ID) : Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Rumenah, Rahardjo ET, Priati A. 2010. Lahan Potensial dan Lahan Kritis. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (ID) : Universitas Gadjah Mada. Sitorus SRP, Susanto B, Haridjaja O. 2011. Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan di Lahan Kering (Studi Kasus: Lahan Kering Di Kabupaten Bogor). Jurnal Tanah dan Iklim. 34(1) : 66–83. Syarief S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Bandung (ID) : CV Pustaka Buana. Sulistyaningrum D, Susanawati LD, Suharto B. 2014. Pengaruh Karakteristik Fisika – Kimia Tanah Terhadap Nilai Indeks Erodibilitas Tanah dan Upaya
43
Konservasi Lahan. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 1(1) : 55 – 62. Malang (ID) : Universitas Brawijaya. Wahyunto, Kuntjoro D, Muryati SR. 2007. Inveristasi lahan terdegradasi dengan aplikasi teknologi inderaja dan sistem informasi geografi. [Prosiding]. Di dalam : Seminar nasional sumberdaya lahan dan lingkungan pertanian. Bogor (ID) : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 247 – 263. Widyasunu P, Bondansari. 2011. Kajian Nilai Erodibilitas Tanah pada Lahan Kebun Campur dan Tegalan di Sub – Sub DAS Logawa Kabupaten Banyumas. Jurnal Agronomika. 11(1) : 78 – 91.
44
LAMPIRAN
45
Lampiran 1 Parameter, bobot, kriteria, skor dan nilai penentu kekritisan lahan pada parameter modifikasi
No
Parameter Penentu
Bobot
Kriteria
Skor
1
a. Penutupan Lahan (untuk kawasan hutan lindung, kawasan lindung di luar kawasan hutan dan kawasan hutan produksi)
29
5 4 3
114 86
2 1
57 29
b. Produktivitas (untuk kawasan budidaya pertanian)
29
Kemiringan Lereng
24
Sangat baik (Hutan alam) Baik (Hutan produksi) Sedang (Perkebunan dan sawah) Buruk (Tegalan) Sangat buruk (Semak belukar dan pemukiman) Sangat tinggi (>80%) Tinggi (61 – 80 %) Sedang (41 – 60 %) Rendah (21 – 40 %) Sangat Rendah (< 20%) Datar (0 – 8 %) Landai (8 – 15 %) Agak Curam (15 – 25 %) Curam (25 – 40 %) Sangat Curam (> 40%) Rendah (< 1160) Sedang (1160 – 2013) Agak Tinggi (2013 – 2977) Tinggi (2977 – 4033) Sangat Tinggi (> 4033) Rendah (≤ 25 ton/ha/tahun) Tinggi (> 25 ton/ha/tahun) Rendah ( < 0,20) Sedang ( 0,21 – 0,32) Agak Tinggi (0,33 – 0,40) Tinggi ( 0,41 – 0,55) Sangat Tinggi (0,56 – 0,64)
Nilai (Bobot x Skor) 143
5 4 3 2 1 5 4 3
143 114 86 57 29 119 96 72
2 1 5 4 3
48 24 95 76 57
2 1 5
38 19 70
1
14
5 4 3
50 40 30
2 1
20 10
2
3
4
5
Erosivitas Hujan (R)
Erosi yang diperbolehkan (Edp)
Erodibilitas Tanah (K)
19
14
10
46
Lampiran 1 (Lanjutan)
No 6
Parameter penentu Manajemen
Bobot
Kriteria
5
Baik : Kawasan lindung dan hutan produksi : lengkap, tata batas kawasan ada, pengawasan kawasan ada dan penyuluhan dilaksanakan Kawasan budidaya pertanian : penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan sesuai petunjuk Sedang (tidak lengkap) Buruk (tidak ada)
Nilai (Bobot Skor x Skor) 5 25
3 1
15 5
47
Lampiran 2 Lokasi pengambilan sampel tanah Titik 1
Koordinat x y 107,7742 -6,7219
Jenis Tanah Latosol
Lokasi
2
107,7331
-6,7463
Latosol
3
107,7030
-6,7834
Andosol
4
107,8068
-6,7115
Litosol
Desa Gandasoli Kec. Tanjungsiang
9 - 15
5
107,8054
-6,7399
Latosol
16 - 25
6
107,7881
-6,7335
Latosol
Desa Tanjungsiang Kec. Tanjungsiang Desa Pakuhaji Kec. Cisalak
7
107,7712
-6,6883
Litosol
Desa Sukamalang Kec. Kasomalang
16 - 25
8
107,8893
-6,7644
Litosol
Desa Sukamantri Kec. Tanjungkerta
> 40
9
107,9476
-6,7206
Latosol
Desa Bojong Lor Kec. Buahdua
> 40
10
107,9542
-6,7237
Latosol
Desa Kertamukti Kec. Tanjungmedar
> 40
11
107,7163
-6,7163
Latosol
Desa Jingkang Kec. Tanjungmedar
16 - 25
12
107,8972
-6,7725
Litosol
Desa Tanjungmekar Kec. Tanjungkerta
9 – 15
13
107,8831
-6,7228
Grumusol
Desa Pamekarsari Kec. Surian
26 - 40
14
107,8644
-6,7347
Litosol
26 - 40
15
107,7172
-6,7029
Latosol
Desa Kertamukti Kec. Tanjungmedar Desa Kasomalang Kulon Kec. Kasomalang
16
107,8713
-6,6313
Grumusol
26 - 40
17
107,7690
-6,6385
Litosol
Desa Surian Kec. Surian Desa Bantarsari Kec. Cijambe
Desa Gardusayang Kec. Cisalak Desa Cipunagara Kec. Cisalak Desa Cipunagara Kec. Cisalak
Lereng (%) 16 – 25 > 40 > 40
16 – 25
9 - 15
> 40
Land Use Sawah Hutan tanaman Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering Sawah Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Sawah Pertanian Lahan Kering Campur Sawah Hutan Tanaman
48
Lampiran 2 (Lanjutan) Titik 18
Koordinat x y 107,7483 -6,6523
Jenis Tanah Litosol
19
107,7649
-6,5969
Latosol
20
107,7060
-6,6480
Litosol
21
107,7229
-6,6192
Litosol
22
107,8224
-6,6458
Latosol
23
107,9153
-6,5972
Latosol
24
107,9128
-6,5735
Latosol
25
107,8827
-6,5286
Podsolik
26
107,8965
-6,5029
Aluvial
27
107,8847
-6,4821
Aluvial
28
107,8421
-6,5268
Podsolik
29
107,8081
-6,579
Grumusol
30
107,7660
-6,5558
Aluvial
Lokasi Desa Cirangkong Kec. Cijambe
Lereng (%) > 40
Desa Sukahurip Kec. Cijambe Desa Bunihayu Kec. Jalancagak Desa Gunung Tua Kec. Cijambe Desa Cibalandong Jaya Kec. Cibogo
16 - 25
Desa Bantarwaru Kec. Gantar Desa Bantarwaru Kec. Gantar
0-8
Desa Sidamulya Kec. Cipunagara Desa Sidajaya Kec. Cipunagara
0-8
Desa Tanjung Kec. Cipunagara Desa Wanasari Kec. Cipunagara
0–8
Desa Wanareja Kec. Subang Desa Karanganyar Kec. Subang
26 - 40
9 - 15 9 - 15 > 40
0-8
0-8
0-8
0-8
Land Use Pertanian Lahan Kering Hutan Tanaman Hutan Tanaman Sawah Pertanian Lahan Kering Sekunder Hutan Tanaman Pertanian Lahan Kering Campur Sawah Pertanian Lahan Kering Sawah Pertanian Lahan Kering Hutan Tanaman Pemukiman
49
Lampiran 3 Daftar nama kecamatan, jumlah dan nama desa di DAS Cipunagara No 1
Kecamatan Lembang
Jumlah Desa 6
2 3 4
Parongpong Tanjungsari Rancakalong
2 1 5
5
2
6 7
Sumedang Utara Conggean Cimalaka
8
Tanjungkerta
10
9
Tanjungmedar
8
10
Buahdua
12
11
Surian
5
12
Haurgeulis
8
13 14
Gantar Anjatan
4 5
15 16
Sagalaherang Jalancagak
2 17
17
Cisalak
13
18
Tanjungsiang
10
19 20
Terisi Cijambe
1 8
21
Cibogo
7
1 8
Nama Desa Cikahuripan, Jayagiri, Cikole, Cikidang, Wangunharja, Suntenjaya Cigugur Girang, Karyawangi Cijambu Rancakalong, Sukahayu, Cibunar, Pangadegan, Cibungur Mekarjaya, Jatimulya Cibubuan Cibeureum Kulon, Cikole, Trunamanggala, Nyalindung, Naluk, Citimun, Licin, Padasari Tanjungmekar, Cigentur, Gunturmekar, Banyuasih, Mulyamekar, Sukamantri, Kertaharja, Kertamekar, Tanjungmulya, Boros Wargaluyu, Tanjungwangi, Sukamukti, Cikaramas, Kertamukti, Sukatani, Kamal, Jingkang Cilangkap, Cibitung, Cikurubuk, Bojongloa, Nagrak, Panyindangan, Buahdua, Gendereh, Citaleus, Mekarmukti, Hariang, Karangbungur Wanajaya, Wanasari, Pamekarsari, Surian, Tanjung Haurgeulis, Sukajati, Wanakaya, Karangtumaritis, Kertanegara, Cipancuh, Mekarjati, Sumbermulya Bantarwaru, Sanca, Situraja, Baleraja Mangunjaya, Bugis Tua, Bugis, Salamdarma, Kedungwungu Sukamandi, Cicadas Ciater, Nagrak, Cibeusi, Cibitung, Palasari, Cisaat, Curugrendeng, Sarireja, Sanca, Cimanglid, Kasomalang Kulon, Kasomalang Wetan, Kumpay, Tambakan, Jalancagak, Bumihayu, Tambakmekar Cipunagara, Cimanggu, Gardusayang, Mayang, Sukakerti, Pasanggrahan, Sindangsari, Darmaga, Cisalak, Cigadog, Tenjolaya, Bojongloa, Sukamelang Buniara, Tanjungsiang, Cikawung, Cimeuhmal, Sirap, Kawungluwuk, Cibuluh, Sindanglaya, Rancamanggung, Gandasoli Cikawung Gunungtua, Cijambe, Cirangkong, Cimenteng, Cikadu, Sukahurip, Bantarsari, Tanjungwangi Wanareja, Sadawarna, Sumurbarang, Padaasih, Cibogo, Cinangsi, Majasari
50
Lampiran 3 (lanjutan) No 22
Kecamatan Subang
Jumlah Desa 11
23
Pagaden
13
24
Cipunagara
9
25
Compreng
7
26
Binong
12
27
Pamanukan
8
28
Pusakanagara
6
29
Legonkulon
6
Nama Desa Parung, Pasirkareumbi, Soklat, Karanganyar, Cigadung, Dangdeur, Sukamelang, Belendung, Cisaga, Jabong, Cidahu Balingbing, Cidadap, Sumurgintung, Gunungsembung, Gembor, Sukamulya, Pangsor, Munjul, Margahayu, Gambarsari, Neglasari, Pagaden, Kamarung Wanasari, Sidajaya, Tanjung, Parigimulya, Jati, Manyingsal, Padamulya, Kosambi, Simpar Sukadana, Sukatani, Kiarasari, Jatireja, Mekarjaya, Compreng, Jatimulya Nangerang, Kihiyang, Karangsari, Citrajaya, Binong, Mulyasari, Tambakdahan, Bojongkeding, Bojonegara, Rancaudik, Kertajaya, Mariuk Pamanukan, Rancasari, Pamanukan Hilir, Lengkongjaya, Pamanukan Sebrang, Mundusari, Rancahilir, Bongas Bojong Tengah, Bojongjaya, Pusakajaya, Pusakaratu, Gempol, Patimban Tegalurung, Mayangan, Legonwetan, Legonkulon, Pangarengan, Karangmulya
51
Lampiran 4 Hasil analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah
Titik
Bulk Denisty (g/cm3)
Permeabilitas (mm/jam)
C-Organik (Walkley & Black)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1,22 1,14 1,18 1,25 1,14 1,13 1,20 1,06 1,07 1,22 1,14 1,26 1,11 1,32 1,27 1,14 1,28 1,13 1,13 1,20 1,13 1,19 1,17 1,02 1,12 1,03 1,19 1,14 1,19 1,23
16,82 30,57 24,35 25,55 17,14 26,93 14,54 15,08 42,65 17,40 8,37 22,70 27,39 10,00 33,72 5,60 16,03 12,30 12,21 9,25 3,73 18,42 8,43 12,94 10,56 8,60 17,83 8,90 12,95 6,68
1,11 0,66 1,12 1,11 0,94 1,71 1,35 1,20 1,17 1,96 1,44 0,89 0,61 1,00 0,31 2,32 1,30 1,09 0,99 1,35 2,60 0,89 1,19 0,97 0,69 0,49 0,25 0,21 0,55 0,97
Tekstur Pasir Sangat Halus 4,67 3,50 3,50 2,50 4,00 5,50 3,33 4,33 12,00 11,00 5,67 3,00 1,50 3,50 3,00 3,00 4,33 9,33 9,00 3,67 2,50 4,00 5,00 2,00 4,00 4,00 5,67 6,00 5,33 4,00
Debu
Klei
54,00 57,00 56,00 57,00 59,67 59,50 58,00 58,67 49,50 50,67 52,00 54,67 55,50 55,00 52,33 53,00 56,33 48,00 56,00 58,33 53,00 59,67 53,00 53,50 54,00 49,33 49,67 50,33 51,33 50,00
31,67 31,50 33,50 34,50 29,00 26,00 31,00 27,67 27,00 26,00 31,00 33,00 35,00 33,00 33,33 37,00 28,67 29,67 25,00 28,00 38,00 29,67 32,50 38,00 33,33 35,67 32,00 26,00 27,67 36,33
52
Lampiran 5 Hasil analisis nilai erodibilitas tanah (K)
Titik
a (%C x 1,724)
b
c
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1,91 1,13 1,92 1,91 1,62 2,94 2,32 2,07 2,02 3,37 2,49 1,53 1,05 1,72 0,53 4,00 2,25 1,88 1,71 2,33 4,47 1,53 2,05 1,66 1,18 0,84 0,43 0,37 0,95 1,68
4 4 4 4 4 4 4 4 2 1 4 4 4 2 2 1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 4
2 1 2 1 2 1 2 2 1 2 3 2 1 3 1 4 2 3 3 3 4 2 3 2 3 3 2 3 2 3
Tekstur Pasir Debu Sangat Halus 4,67 54,00 3,50 57,00 3,50 56,00 2,50 57,00 4,00 59,67 5,50 59,50 3,33 58,00 4,33 58,67 12,00 49,50 11,00 50,67 5,67 52,00 3,00 54,67 1,50 55,50 3,50 55,00 3,00 52,33 3,00 53,00 4,33 56,33 9,33 48,00 9,00 56,00 3,67 58,33 2,50 53,00 4,00 59,67 5,00 53,00 2,00 53,50 4,00 54,00 4,00 49,33 5,67 49,67 6,00 50,33 5,33 51,33 4,00 50,00
Klei
31,67 31,50 33,50 34,50 29,00 26,00 31,00 27,67 27,00 26,00 31,00 33,00 35,00 33,00 33,33 37,00 28,67 29,67 25,00 28,00 38,00 29,67 32,50 38,00 33,33 35,67 32,00 26,00 27,67 36,33
M
K
Tingkat Erodibilitas
4017,67 4153,00 3957,50 3898,00 4258,00 4816,00 4233,33 4559,33 4494,00 4566,00 3980,33 3866,00 3705,00 3930,00 3692,00 3528,00 4328,67 4051,33 4875,33 4465,33 3444,00 4478,67 3925,00 3463,50 3873,67 3436,00 3784,33 4170,00 4112,67 3443,67
0,38 0,41 0,36 0,37 0,44 0,42 0,41 0,43 0,33 0,26 0,39 0,38 0,37 0,32 0,29 0,20 0,41 0,41 0,50 0,42 0,30 0,44 0,39 0,34 0,38 0,35 0,35 0,46 0,40 0,34
Agak Tinggi Tinggi Agak Tinggi Agak Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Agak Tinggi Sedang Agak Tinggi Agak Tinggi Agak Tinggi Sedang Sedang Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Agak Tinggi Agak Tinggi Agak Tinggi Agak Tinggi Agak Tinggi Tinggi Agak Tinggi Agak Tinggi
53
Lampiran 6 Nilai prediksi erosi Titik
R
K
LS
Nilai Erosi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.977 – 4.033 2.977 – 4.033 2.013 – 2.977 2.977 – 4.033 2.977 – 4.033 2.977 – 4.033 2.013 – 2.977 2.977 – 4.033 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 2.013 – 2.977 1.160 – 2.013 1.160 – 2.013 2.013 – 2.977
0,38 0,41 0,36 0,37 0,44 0,42 0,41 0,43 0,33 0,26 0,39 0,38 0,37 0,32 0,29 0,20 0,41 0,41 0,50 0,42 0,30 0,44 0,39 0,34 0,38 0,35 0,35 0,46 0,40 0,34
3,10 9,50 9,50 1,40 3,10 3,10 3,10 9,50 9,50 9,50 3,10 1,40 6,80 6,80 1,40 6,80 9,50 9,50 3,10 1,40 1,40 9,50 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 6,80 0,40
215,48 60,84 48,48 124,15 4,31 109,89 439,57 38,78 4,85 4,85 4,31 3,88 7,676 30,704 1,46 3,434 121,68 1.241,14 10,7738 12,168 26,16 195,74 4,343 13,029 13,029 7,854 6,622 15,453 3,38 20,20
54
Lampiran 7 Nilai faktor kedalaman tanah Titik
Jenis Tanah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Latosol Latosol Andosol Litosol Latosol Latosol Litosol Litosol Latosol Latosol Latosol Litosol Grumusol Litosol Latosol Grumusol Litosol Litosol Latosol Litosol Litosol Latosol Latosol Latosol Podsolik Aluvial Aluvial Podsolik Grumusol Aluvial
Dmin (mm) 0,38 0,41 0,36 0,37 0,44 0,42 0,41 0,43 0,33 0,26 0,39 0,38 0,37 0,32 0,29 0,20 0,41 0,41 0,50 0,42 0,30 0,44 0,39 0,34 0,38 0,35 0,35 0,46 0,40 0,34
Faktor kedalaman tanah 1 1 1 0,8 1 1 1 1 1 1 1 1 0,9 0,9 0,9 1 0,9 0,9 1 0,9 0,9 1 1 1 1 0,95 0,95 1 1 1
55
Lampiran 8 Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013 No 1
2
3
4
Kriteria (% bobot) Penutupan Lahan (50)
Kemiringan Lereng (20)
1. Sangat Baik
Besaran/ deskripsi > 80 %
2. Baik
61 – 80 %
4
3. Sedang
41 – 60 %
3
4. Buruk
21 – 40 %
2
5. Sangat Buruk
< 20 %
1 5 4 3 2 1 5 4 3 2
Kelas
1. 2. 3. 4. 5. Tingkat 1. Bahaya Erosi 2. (20) 3. 4.
Manajemen (10)
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam Ringan Sedang Berat Sangat Berat
1. Baik 2. Sedang 3. Buruk
<8% 8 – 15 % 15 – 25 % 25 – 40 % > 40 0 dan I II III IV
Lengkap*) Tidak lengkap Tidak ada
Skor
Keterangan
5
Dinilai berdasarkan persentase penutupan tajuk pohon
5 3 1
Dihitung berdasarkan persamaan USLE dan berdasarkan pada uji laboratorium pada sampel tanah, dengan parameter : 1. Tekstur Tanah 2. Persentase Bahan Organik 3. Struktur Tanah 4. Permeabilita s *)=tata batas kawasan ada Pengawasan ada Penyuluhan dilaksanakan
56
Lampiran 9 Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013 No 1
2
3
4
Kriteria (% Kelas bobot) Produktivit 1. Sangat Baik as (30) 2. Baik
Besaran/ deskripsi (%) > 80 %
Skor
Keterangan
5
Dinilai berdasarkan rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional
61 – 80 %
4
3. Sedang
41 – 60 %
3
4. Buruk
21 – 40 %
2
5. Sangat Buruk
< 20 %
1
Kemiringan 1. Datar Lereng (20) 2. Landai 3. Agak Curam 4. Curam 5. Sangat Curam Tingkat 1. Ringan Bahaya 2. Sedang Erosi (20) 3. Berat 4. Sangat Berat
<8% 8 – 15 % 15 – 25 % 25 – 40 % > 40 0 dan I II III IV
5 4 3 2 1 5 4 3 2
Manajemen 1. Baik (30) 2. Sedang 3. Buruk
Lengkap*) Tidak lengkap Tidak ada
5 3 1
Dihitung berdasarkan persamaan USLE dan berdasarkan pada uji laboratorium pada sampel tanah, dengan parameter : 5. Tekstur Tanah 6. Persentase Bahan Organik 7. Struktur Tanah 8. Permeabilitas *)=tata batas kawasan ada Pengawasan ada Penyuluhan dilaksanakan
57
Lampiran 10 Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar hutan dan kawasan hutan produksi Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013 No 1
2
3
4
Kriteria (% bobot) Penutupan Lahan (50)
Kemiringan Lereng (10)
6. Sangat Baik
Besaran/ deskripsi > 80 %
7. Baik
61 – 80 %
4
8. Sedang
41 – 60 %
3
9. Buruk
21 – 40 %
2
10. Sangat Buruk
< 20 %
1 5 4 3 2 1 5 4 3 2
Kelas
6. 7. 8. 9. 10. Tingkat 5. Bahaya Erosi 6. (10) 7. 8.
Manajemen (30)
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam Ringan Sedang Berat Sangat Berat
4. Baik 5. Sedang 6. Buruk
<8% 8 – 15 % 15 – 25 % 25 – 40 % > 40 0 dan I II III IV
Lengkap*) Tidak lengkap Tidak ada
Skor
Keterangan
5
Dinilai berdasarkan persentase penutupan tajuk pohon
5 3 1
Dihitung berdasarkan persamaan USLE dan berdasarkan pada uji laboratorium pada sampel tanah, dengan parameter : 9. Tekstur Tanah 10. Persentase Bahan Organik 11. Struktur Tanah 12. Permeabilita s *)=tata batas kawasan ada Pengawasan ada Penyuluhan dilaksanakan
58
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen Jawa Tengah pada tanggal 24 April 1994. Penulis adalah putra kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Suripto dan Ibu Wahyuni. Pendidikan SD sampai dengan SMA diselesaikan penulis di Kebumen. Tahun 2012 penulis lulus dari SMAN 2 Kebumen dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana (S1) pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Fisika Tanah pada tahun ajaran 2015/2016. Penulis juga aktif sebagai staf Departemen Olahraga dan Seni BEM Faperta IPB tahun 2014/2015 dan sebagai Ketua Departemen Olahraga BEM Faperta IPB Tahun 2015/2016.