ANALISIS KRITIS KONSTRUKTIF ATAS TULISAN JACQUES DELORS BERJUDUL THE FOUR PILLARS OF EDUCATION
Wasitohadi Program Studi PGSD-FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
ABSTRAK Empat pilar pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Jacques Delors (1998) dalam bukunya berjudul Learning: The Treasure Within, demikian berpengaruh sehingga banyak negara termasuk Indonesia menggunakan konsep tersebut sebagai panduan dalam membuat kebijakan dan mengarahkan pendidikan. Pemahaman atas substansi, karakteristik, dan saling kait konsep di antara keempat pilar pendidikan tersebut perlu diupayakan agar posisi dan peran dari masingmasing pilar tersebut dalam membentuk manusia Indonesia yang diidealkan dapat dipahami lebih jelas. Empat pilar pendidikan tersebut digagas dalam konteks antisipatif, guna merespons tantangan-tantangan yang dihadapi dunia pendidikan pada abad XXI. Pada abad tersebut, konsep belajar sepanjang hayat merupakan salah satu kunci, yang harus didasarkan pada empat pilar fundamental yang merupakan satu kesatuan, yaitu belajar mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama, dan belajar menjadi seseorang. Dari segi kebijakan dan praktik pendidikan, Indonesia tidak mengadopsi begitu saja konsep tersebut, tetapi mengakomodasi, mengadaptasi, bahkan memodifikasi disesuaikan dengan kondisi ideologi, sosial dan kultural di Indonesia. Pendahuluan Jacques Delors (1998:85-97) dalam bukunya berjudul Learning: The Treasure Within, antara lain menulis tentang ”The four pillars of education”. Begitu berpengaruhnya konsep itu, sehingga banyak negara termasuk Indonesia mengacunya, dalam arti menggunakan konsep mengenai empat pilar pendidikan dan karakteristiknya tersebut sebagai panduan dalam membuat kebijakan dan mengarahkan pendidikan. Tulisan ini bermaksud memberikan analisis kritis-konstruktif dan refleksi atas tulisan tersebut. Atas dasar maksud tersebut, hal penting yang harus dilakukan adalah memahami substansi dan karakteristik yang dikemukakan, termasuk semangat penulisnya atas tulisan yang dibuatnya. 1 Selain itu, pemahaman atas substansi tulisan penting untuk dilakukan agar menjadi
1
Untuk memahami substansi tulisan tersebut, lebih-lebih semangat dan titik tolak berfikirnya, penulis tidak cukup hanya memahami bab 4 an sich, tapi harus memahami posisi bab tersebut dalam keseluruhan tulisan, konteks
1
jelas pada ”titik-titik” mana tanggapan, analisis, dan refleksi akan dilakukan. Oleh karena itu, segera setelah pendahuluan ini akan diuraikan inti dari isi tulisan (dengan tekanan pada logical sequence-nya), baru kemudian diberikan analisis kritis-konstruktif atas bagian-bagian tertentu dari tulisan tersebut. Analisis kritis-konstruktif dalam hal ini dimaksudkan untuk mengkritisi kelemahan-kelemahannya, menekankan hal-hal yang positif yang perlu diperhatikan dalam pendidikan, termasuk apa implikasi lebih jauh dari diterapkannya empat pilar pendidikan tersebut. Pemahaman Substansi Tulisan Jacques Delors menyajikan tulisannya dalam konteks dunia yang akan memasuki abad XXI. Dalam abad XXI, pendidikan merupakan sesuatu yang berharga, yang dapat memainkan peranan fundamental dalam pembangunan pribadi dan sosial. Pendidikan memang bukan obat ajaib atau rumus gaib, tetapi merupakan alat utama untuk memelihara suatu bentuk pembangunan manusia yang lebih serasi, dalam upaya mengurangi kemiskinan, pengasingan, kebodohan, penindasan dan peperangan. Dalam kerangka pikir semacam itu, menurutnya, konsep belajar sepanjang hayat merupakan salah satu kunci untuk abad XXI. Berdasarkan konsep ini, setiap orang harus diperlengkapi dengan menggunakan kesempatan belajar sepanjang hayat, baik untuk memperluas pengetahuan, ketrampilan dan sikapnya, maupun untuk menyesuaikan diri dengan dunia yang sedang berubah, kompleks dan interdependen (saling tergantung). Lebih lanjut, ditekankan bahwa pendidikan sepanjang hayat harus didasarkan pada empat pilar yang fundamental, yaitu belajar mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama, dan belajar menjadi seseorang. Keempat pilar tersebut merupakan satu kesatuan. 1. Belajar mengetahui Belajar untuk mengetahui dimaksudkan bagaimana seseorang menguasai instrumeninstrumen pengetahuan itu sendiri, baik sebagai alat maupun sebagai tujuan hidup. Sebagai alat, ia memampukan setiap orang untuk memahami tentang lingkungannya, untuk mengembangkan ketrampilan kerja dan untuk berkomunikasi. Sebagai tujuan hidup, dasarnya adalah kegemaran untuk memahami, mengetahui dan menemukan. Dari sudut pandang ini, semua anak, di mana
dikeluarkannya tulisan, penegasan-penegasan penulisnya pada bagian pengantar (sebelum bab 1), bahkan, bilamana perlu, belajar dari pemaknaan yang diberikan oleh para ahli lain tentang isi bab tersebut.
2
pun mereka berada, harus mampu memperoleh pengetahuan tentang metode ilmiah dalam bentuk yang tepat dan menjadi ‘sahabat ilmu’ untuk kehidupannya. Memperhatikan perubahan-perubahan cepat yang diakibatkan oleh kemajuan ilmiah sehingga pengetahuan bermacam-macam dan terus-menerus berubah,
maka dalam belajar
mengetahui tekanan hendaknya diberikan pada upaya memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan untuk mempelajari sejumlah kecil cabang ilmu secara mendalam. Dengan demikian, baik spesialisasi maupun pengetahuan umum, perlu didorong selama proses pendidikan seseorang. Suatu pendidikan umum memungkinkan seseorang berhubungan dengan bahasa-bahasa dan bidang-bidang pengetahuan lain. Selain itu, pendidikan umum mengikat masyarakat-masyarakat dalam waktu dan ruang, dan mengembangkan penerimaan bidangbidang pendidikan yang lain. Keadaan ini selanjutnya akan mendorong berlangsungnya komunikasi,
kerjasama, dan
sinergi yang akan berhasil mengembangkan hubungan
antardisiplin. Para spesialis yang mengurung diri di dalam bidang keahlian sendiri, menghadapi bahaya akan kehilangan perhatian pada apa yang dikerjakan oleh orang-orang lain. Meski demikian, spesialisasi juga penting, karena beberapa kemajuan penting dalam pengetahuan, khususnya dalam penelitian, dihasilkan sebagai dampak dari adanya spesialisasi tersebut. Belajar mengetahui memerlukan sebagai syarat: belajar untuk belajar, melibatkan kekuatan konsentrasi atau pemusatan perhatian, ingatan dan pikiran. Dari sejak anak-anak, khususnya di dalam masyarakat yang didominasi oleh televisi, orang-orang muda harus belajar memusatkan perhatian mereka pada benda-benda dan manusia. Rangkaian informasi yang sangat cepat yang disiarkan media dan kebiasaan ’luncuran saluran’ merusak proses penemuan yang memerlukan waktu dan melibatkan pemahaman lebih dalam akan pesan yang diterima. Belajar berkonsentrasi dapat mengambil banyak bentuk dan menggunakan banyak jenis situasi (permainan, masa pelatihan dalam industri, perjalanan, pekerjaan ilmiah yang praktis, dan sebagainya). Ingatan berguna untuk menyimpan dan menyebarkan informasi. Mengingat informasi yang ditawarkan media begitu melimpah, maka harus ada sikap selektif tentang apa yang akan dipelajari. Selain itu, kemampuan mengingat manusia haruslah dipupuk dengan baik-baik dan harus dilatih sejak anak-semasa kecil. Sementara, kemampuan atau kecakapan pikiran memerlukan lalu-lintas dua arah antara yang konkret dengan yang abstrak. Oleh karena itu, baik dalam pengajaran maupun penelitian penting untuk memadukan dua buah metode yang sering
3
dipandang bertentangan, yaitu metode deduktif dan induktif. Yang satu mungkin lebih relevan daripada yang lain dalam cabang ilmu tertentu, tetapi dalam banyak hal, agar mampu berpikir koheren (saling berkaitan) menuntut perpaduan antara keduanya. Memperoleh pengetahuan adalah suatu proses yang tidak pernah berakhir dan dapat diperkaya oleh semua bentuk pengalaman. Dalam pengertian ini, hal itu sudah semakin terjalin dengan pengalaman kerja, karena hakikat pekerjaan sudah menjadi kurang rutin. Pendidikan permulaan dapat dipandang berhasil jika sudah diberikan motivasi dan fondasi yang diperlukan untuk meneruskan proses belajar sepanjang hayat, baik dalam pekerjaan maupun di luarnya. 2. Belajar berbuat Belajar berbuat berarti, pertama, bagaimana mengajar anak-anak untuk mempraktikkan apa yang sudah diketahui atau dipelajarinya, dan kedua,
bagaimana pendidikan dapat
diadaptasikan dengan pekerjaan di masa depan, bahkan jika mungkin untuk meramal dengan tepat bagaimana pekerjaan berkembang. Dalam pengertian yang kedua, termasuk dalam hal ini adalah belajar untuk mampu bertindak secara kreatif dalam pekerjaan dan di lingkungannya. Dalam lingkungan ekonomi industri yang dikuasai oleh pekerjaan-pekerjaan dengan upah atau gaji, misalnya, maka penggantian tenaga manusia dengan mesin-mesin, telah berdampak membuat tenaga manusia menjadi semakin tidak penting. Tugas-tugas fisik murni sudah diganti oleh pekerjaan yang lebih intelektual, lebih mental sifatnya, seperti mesin-mesin pengawasan, pemeliharaan dan pemantauan, dan oleh pekerjaan desain, studi dan organisasi, karena mesinmesin itu sendiri sudah lebih ’intelegen’ dan kebutuhan tenaga fisik yang diperlukan untuk pekerjaan sudah berkurang. Atas dasar itu, belajar berbuat tidak lagi berarti sekedar mempersiapkan seseorang untuk tugas praktis tertentu. Belajar harus berubah sesuai dengan tuntutan itu, yaitu memerlukan dikuasainya suatu kompetensi (pengetahuan dan ketrampilan kerja yang lebih tinggi) yang memampukan seseorang berurusan dengan berbagai situasi, yang sering tak teramalkan, sanggup bekerja dalam tim (sejenis pengajaran proyek),
mempunyai prakarsa dan kesiapan untuk
mengambil resiko, mempunyai komitmen pribadi yang kuat atas pekerjaan, mampu berperan sebagai agen perubahan (pelopor pembaharuan dan pembangunan), memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, bekerja dengan orang-orang lain, dan mengelola serta memecahkan perselisihan yang terjadi.
4
Dalam banyak hal, kompetensi dan ketrampilan seperti itu akan diperoleh dengan mudah, jika peserta didik diberi kesempatan untuk mencoba sendiri dan mengembangkan kemampuan dengan jalan terlibat di dalam pengalaman kerja atau pekerjaan sosial pada waktu mereka menghayati proses pendidikan. Hal ini menegaskan pentingnya metode yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dan bekerja secara bergantian dan berselang-seling. Selain itu, adanya gejala ’dematerialisasi pekerjaan dan semakin berkembangnya secara beragam sektor jasa’, menegaskan akan pentingnya kemampuan pribadi untuk menyerap dan mengolah informasi untuk tujuan khusus. Dalam jenis jasa-jasa ini, kualitas pemberi jasa dan pengguna jasa juga sangat tergantung pada pengguna. Oleh karena itu tidak dapat lagi dipertahankan cara pelatihan untuk pekerjaan dengan cara yang sama seperti pada waktu kita menghadapi persoalan membajak tanah atau pekerjaan lempeng baja. Hubungan antara ’material’ dan teknologi bersifat nomor dua atau sekunder dibanding dengan hubungan antar pribadi. Oleh karena itu, pada abad XXI semakin berkembangnya sektor jasa mendorong semakin pentingnya memupuk dan mengembangkan kemampuan membangun hubungan antar individu secara efektif. 3. Belajar hidup bersama, belajar hidup dengan orang lain Dunia sekarang merupakan dunia perselisihan. Sampai sekarang pendidikan belum mampu berbuat banyak untuk mengurangi keadaan ini. Apakah mungkin untuk merancang suatu bentuk pendidikan yang mampu menghindari perselisihan atau penyelesaiannya secara damai dengan mengembangkan rasa hormat terhadap orang-orang lain, kebudayaan dan nilai-nilai spiritualnya? Jawabannya, tentu mungkin. Gagasan untuk pengajaran anti-kekerasan di sekolahsekolah adalah salah satu alat untuk memerangi prasangka-prasangka yang menimbulkan perselisihan. Kesulitannya adalah manusia secara alamiah cenderung menilai lebih kualitas sendiri dan mereka yang termasuk anggota kelompoknya, dan menyembunyikan prasangka terhadap orang-orang lain. Selain itu, iklim kegiatan ekonomi, di dalam dan terlebih antar bangsa, cenderung memberi prioritas pada semangat bersaing dan keberhasilan perorangan. Persaingan seperti itu sudah meningkat menjadi peperangan ekonomi yang kejam dan menimbulkan ketegangan antara yang kaya dan miskin yang membagi-bagi bangsa-bangsa dan dunia, dan memperburuk persaingan historis.
5
Untuk mengatasi keadaan tersebut, pendidikan harus menempuh dua cara yang saling melengkapi, yaitu (1) menemukan orang-orang lain secara bertahap dan (2) pengalaman akan tujuan-tujuan bersama sepanjang hayat yang merupakan cara yang cocok untuk menghindarkan atau menyelesaikan perselisihan-perselisihan tersembunyi. Untuk yang pertama, tugas pendidikan adalah mengajar akan adanya keanekaragaman ras manusia dan kesadaran atas persamaan-persamaan antar manusia, serta interdependensi antara semua manusia. Caranya, dengan jalan mengembangkan pemahaman dan pengertian akan orang-orang lain dan apresiasi atas interdependensi antar manusia. Jika seseorang hendak memahami orang-orang lain, maka seseorang itu harus pertamatama mengenal dirinya. Pendidikan, apakah di dalam keluarga, masyarakat atau sekolah, haruslah pertama-tama membantu anak-anak dan kaum muda mengenal dirinya. Dengan cara itu, mereka akan mampu menempatkan dirinya di tempat orang-orang lain dan dapat mengembangkan empati pada orang lain. Berhubung dengan itu, pendidikan harus membangun kemampuan para murid untuk menerima orang-orang lain dan kemampuan menghadapi ketegangan antar manusia, antar kelompok dan antar bangsa. Pendidikan juga tak boleh menindas rasa ingin tahu, tapi justru menumbuhkan sikap kritis, menekankan dialog, perdebatan dan diskusi. Untuk yang kedua, belajar hidup bersama juga dapat dilakukan dengan melaksanakan proyek-proyek bersama ke arah tujuan bersama dan belajar mengelola perselisihan dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan perdamaian. Jika peserta didik mengerjakan bersama-sama proyek-proyek, maka perbedaan dan perselisihan antar mereka cenderung menjadi kabur. Mereka memperoleh identitas baru dari proyek-proyek itu, yang lebih menonjolkan persamaan-persamaan di antara mereka, sehingga ketegangan antar kelas sosial dan kebangsaan serta perselisihan yang biasanya terdapat dalam organisasi, akhirnya dapat diubah menjadi kesatuan melalui usaha bersama yang dijalankan, seperti melalui kegiatan olahraga, budaya, dan kegiatan sosial, seperti kegiatan membantu si lemah atau si miskin, pekerjaan kemanusiaan, bantuan antar generasi, dan sebagainya. Di samping itu, di dalam kehidupan sekolah sehari-hari, keterlibatan para guru dan murid dalam usaha bersama dapat menjadi permulaan dari penyelesaian perselisihan, menjadi standard perilaku bagi murid-murid sebagai acuan di masa depan, dan sekaligus mengembangkan hubungan guru-murid yang serasi. 4. Belajar menjadi seseorang
6
Belajar menjadi seseorang, berarti bahwa seseorang berusaha
mengembangkan
kepribadian menjadi lebih baik dan mampu bertindak otonom, membuat pertimbangan dan rasa tanggungjawab pribadi yang semakin besar untuk meraih tujuan-tujuan bersama. Dalam hubungan ini, pendidikan tidak boleh memandang remeh satu aspek pun dari potensi seseorang: ingatan, kemampuan penalaran, imajinasi, rasa estetika, kemampuan fisik dan ketrampilan berkomunikasi dengan orang-orang lain. Semua aspek tersebut merupakan talenta tersembunyi seperti harta karun yang terpendam di dalam diri seseorang yang tidak dimanfaatkan. Atas dasar itu, pendidikan hendaklah menyumbang pada perkembangan seutuhnya dari setiap orang (jiwa dan raga, intelegensi, kepekaan, rasa estetika, tanggungjawab pribadi dan nilai-nilai spiritual, dan lain-lain). Semua manusia harus diberdayakan agar mampu berpikir mandiri dan kritis, dan membuat keputusan sendiri dalam rangka menentukan bagi mereka apa yang diyakini harus dilaksanakan di dalam berbagai keadaan kehidupan. Pendidikan harus juga memampukan setiap orang untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri, mengambil keputusannya sendiri dan memikul tanggungjawabnya sendiri. Di dalam abad XXI, pendidikan dibutuhkan untuk memberikan kepada setiap orang kekuatan-kekuatan dan titik-titik acuan intelektual yang diperlukan untuk memahami dunia di sekitarnya dan bertingkah laku secara bertanggungjawab dan adil. Lebih daripada dulu, peranan pendidikan yang penting adalah memberi kepada setiap orang kebebasan pikiran, pertimbangan, perasaan dan imajinasi yang diperlukan
untuk
pengembangan
talenta-talentanya,
dan
tetap
sebanyak
mungkin
bertanggungjawab dalam mengendalikan kehidupannya. Dalam dunia yang terus berubah di mana inovasi sosial dan ekonomi sebagai salah satu kekuatan pendorong, tempat khusus hendaknya diberikan pada kualitas imajinasi dan kreativitas sebagai ungkapan terjelas dari kebebasan manusia. Oleh karena itu, anak-anak dan kaum muda perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk penemuan dan percobaan -estetik, artistik, olahraga, ilmiah, budaya dan sosial. Seni dan puisi yang sering diajarkan dengan cara yang semakin bersifat utilitarian (apa untungnya, apa kegunaannya) daripada kultural (budaya), seharusnya kembali diberi tempat yang lebih penting di sekolah-sekolah daripada yang sekarang ini berlangsung di banyak negara. Keinginan untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas seharusnya juga menghasilkan penghargaan yang lebih tinggi pada kebudayaan dan pengetahuan lisan yang berasal dari pengalaman anak atau orang dewasa.
7
Berdasarkan prinsip Learning to Be, tujuan perkembangan adalah terwujudnya manusia seutuhnya di dalam kekayaan kepribadiannya, kompleksitas bentuk-bentuk ekspresinya dan berbagai komitmennya –sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat, warga negara dan produsen, penemu teknik-teknik dan pemimpi-pemimpi yang kreatif. Perkembangan individu sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup adalah suatu proses dialektik yang dimulai dari mengenal diri sendiri, kemudian membuka diri untuk berhubungan dengan orang-orang lain. Dengan pengertian itu, pendidikan pertama-tama adalah suatu perjalanan batiniah yang tahaptahapnya sesuai dengan tahap-tahap kematangan kepribadian yang berlangsung terus menerus. Pendidikan sebagai alat untuk tujuan kehidupan kerja yang berhasil dengan demikian merupakan proses yang sangat bersifat individual dan pada waktu yang sama merupakan suatu proses mengkonstruksi interaksi sosial. Analisis Kritis Konstruktif dan Refleksi Mencermati dan mengkritisi tulisan di atas, yang pertama dapat ditangkap adalah semangat penulisnya, yaitu mengenai pentingnya memahami problema-problema yang dihadapi dunia pendidikan dan tantangan-tantangan dunia pendidikan memasuki abad ke XXI. Dalam pemahaman penganalisis, gagasan penulis tersebut sangat berharga untuk diperhatikan, paling tidak di dalamnya ada ”butir-butir gagasan” yang perlu diperhatikan oleh dunia pendidikan di setiap negara. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa tulisan tersebut bersifat antisipatif, dalam rangka merespons tantangan-tantangan yang ”diperkirakan” akan dihadapi oleh dunia pendidikan pada abad XXI. Disebut diperkirakan, sebab buku Jacques Delors dipublikasikan pertama tahun 1996 oleh UNESCO, empat tahun sebelum dunia pendidikan memasuki abad XXI. Catatan ini perlu ditekankan, agar pada satu pihak, kita menghormati butir-butir gagasannya, namun pada pihak lain, ada kesadaran bahwa apapun yang dibuat oleh manusia, lebih-lebih yang mengandung kadar ”perkiraan”, tidak luput dari kemungkinan keliru, kurang lengkap atau mungkin belum dapat mengakomodasi kondisi dan kebutuhan pendidikan masingmasing negara. Jacques Delors menekankan bahwa konsep belajar sepanjang hayat merupakan salah satu kunci untuk abad XXI. Berdasarkan konsep ini, setiap orang harus diperlengkapi dengan menggunakan kesempatan belajar sepanjang hayat, baik untuk memperluas pengetahuan, ketrampilan dan sikapnya, maupun untuk menyesuaikan diri dengan dunia yang sedang berubah, kompleks dan interdependen (saling tergantung). Lebih lanjut, ditekankan bahwa pendidikan
8
sepanjang hayat harus didasarkan pada empat pilar yang fundamental, yaitu belajar mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama, dan belajar menjadi seseorang. 1. Empat Pilar Pendidikan UNESCO dan Kebijakan Pendidikan di Indonesia Pertanyaannya adalah apakah konsep yang dikemukakannya relevan untuk diterapkan di Indonesia? Apakah ragam konsep tersebut sudah cukup mengakomodasi atau sesuai dengan kondisi ideologi, sosial dan kultural di Indonesia? Pertanyaan ini penting diajukan, sebab belajar dari peringatan F. Budi Hardiman (Will Kymlicka, 2003), dalam tulisannya berjudul ”Belajar dari Politik Multikulturalisme”, ia menyatakan ”adalah kurang bijaksana untuk mengadopsi begitu saja”, dalam hal ini mengadopsi begitu saja konsep belajar yang ditawarkan oleh Jacques Delors di atas. Konsep tersebut harus disesuaikan dengan kondisi ideologi, sosial dan kultural di Indonesia. Apakah upaya itu sudah dilakukan oleh para pengambil keputusan di bidang pendidikan di Indonesia? Pada tingkat kebijakan pendidikan, jawabannya: sudah dilakukan. Dalam Peraturan Mendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, ditegaskan secara eksplisit bahwa belajar sepanjang hayat merupakan salah satu prinsip pengembangan kurikulum. 2 Dijelaskan mengenai prinsip tersebut sebagai berikut. ”Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya”. Sementara itu, mengenai ke-4 pilar pendidikan di atas, juga telah diakomodasi dalam Peraturan Mendiknas tersebut. Dalam bagian prinsip pelaksanaan kurikulum 3, bagian b, 2
Di samping prinsip tersebut, ada 6 prinsip pengembangan kurikulum lainnya, yaitu kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip: (1) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik, (2)beragam dan terpadu, (3) tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan, (5) menyeluruh dan berkesinambungan, (6) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. 3 Di samping prinsip tersebut, prinsip pelaksanaan kurikulum lainnya adalah (1) pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya, (2) pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yaitu berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral, (3) kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan), (4) kurikulum dilaksanakan dengan pendekatan multi strategi dan multi media, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dengan prinsip alam takambang jadi guru, (5) kurikulum
9
ditegaskan bahwa kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Untuk memahami perbedaan, persamaan, serta upaya adaptasinya, cermatilah tabel berikut.
No. 1.
UNESCO Belajar sepanjang hayat
2. 3.
Belajar untuk mengetahui Belajar berbuat
4.
Belajar hidup bersama
5.
Belajar menjadi seseorang
PERATURAN MENDIKNAS Belajar sepanjang hayat Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Belajar untuk memahami dan menghayati Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif Belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain Belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
Dari tabel di atas, tampak bahwa Indonesia tidak mengadopsi begitu saja terhadap pilarpilar pendidikan yang ditawarkan oleh UNESCO. Memang ada
yang sama, seperti
dipentingkannya prinsip belajar sepanjang hayat sebagai prinsip pengembangan kurikulum. Beberapa pilar pendidikan yang lain, No. 2,3,4,dan 5, boleh dikatakan relatif sama, dengan sedikit penegasan dan penekanan yang boleh saja dipandang sebagai bentuk penyesuaian, atau paling tidak bersifat memperjelas makna dan esensi dari pilar tersebut. Dari tabel tersebut, juga tampak ada satu yang menonjol yang membedakan, yaitu adanya pilar “Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” sebagai salah satu prinsip dalam pelaksanaan kurikulum. Ini berarti bahwa ada upaya adaptasi
pilar-pilar pendidikan UNESCO, untuk
disesuaikan dengan kondisi ideologi, sosial dan kultural di Indonesia. Dalam bentuk bagan, M. Sastrapratedja memaknai konsep dan saling kait di antara empat pilar pendidikan menurut UNESCO sebagai berikut. dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal, dan (6) kurikulum yang mencakup seluruh komponen-komponen pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri yang diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang pendidikan..
10
LEARNING TO KNOW
LEARNING TO DO
LEARNING TO LIVE TOGETHER
LEARNING TO BE
Memadukan pengetahuan yang cukup luas dan umum dengan kesempatan mengolah secara mendalam sejumlah kecil mata kuliah. Ini berarti belajar untuk belajar, sehingga dapat memanfaatkan kesempatan pendidikan sepanjang hidup.
Tidak hanya memperoleh ketrampilan pekerjaan, tetapi lebih luas lagi, yaitu memperoleh kompetensi untuk menghadapi berbagai situasi dan bekerja dalam team. Juga belajar melalui berbagai pengalaman dan kerja sosial kaum muda baik informal maupun formal, melalui kursus, pengantian studi dan kerja.
Mengembangkan pemahaman mengenai orang lain dan apresiasi interdependensi dengan melakukan proyek bersama dan dengan belajar mengelola konflik dalam semangat menghormati nilai-nilai pluralisme, saling pengertian dan perdamaian.
1) Isi dari apa yang dipelajari cepat usang. Pendidikan lebih bertujuan membantu mahasiswa menciptakan peta dari dunia yang kompleks dan memberi kompas agar menemukan jalan. 2) Kurikulum harus memadukan pendidikan umum dan spesialisasi 3) Mengetahui bagaimana mengetahui, belajar untuk belajar 4) Sistem linear pendidikan diganti sistem siklis 5) Cara belajar berubah oleh perkembangan teknologi informasi. Learning to know, pemahaman mengenai dirinya, orang lain dan dunia.
Kaitan potensi dan kemampuan pembelajaran dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Pengembangan learning society, caring society Diperlukan - Untuk: “pendidikan perdamaian” - “pendidikan HAM”. - “pendidikan demokrasi” Untuk mengelola multikulturalisme Globalisasi menuju interdependensi Memecahkan konflik Memahami diri sendiri dan orang lain (emphati) “Learning to share dan care” Toleransi Belajar bekerjasama
Mengembangkan kepribadian masingmasing dan mampu bertindak secara lebih mendiri, mampu memberi penilaian dan memiliki tanggungjawab. Pendidikan hendaknya tidak mengabaikan setiap aspek potensi masing-masing pribadi, yaitu daya ingat, penalaran, rasa estetik, kemampuan fisik dan ketrampilan komunikasi. Terkait dengan: 1) Kepribadian 2) Identitas diri 3) Keutuhan manusia 4) Perpaduan kemandirian dan tanggungjawab 5) Universalitas dan individualitas 6) Tradisi dan modernitas
Learning to do mencakup learning by doing Pendidikan sikap, cita-cita dan nilai.
LEARNING TO DO = Menerapkan pengetahuan, kreatif
Dasar epistemologis to live together Hidup bersama dengan damai Hidup dalam kebersamaan.
LEARNING TO BE Memungkinkan
Pada tingkat praktek pendidikan, saya setuju dengan pendapat penulis bahwa pendidikan formal di banyak negara, termasuk di Indonesia, terutama terfokus pada belajar mengetahui dan
11
sampai taraf tertentu, belajar berbuat. Sedangkan, kedua pilar lainnya, yaitu belajar untuk hidup bersama 4 dan belajar untuk menjadi seseorang,
kurang mendapatkan tekanan. Praktek
pendidikan di Indonesia terlalu menekankan pada aspek kognitif (pengetahuan), dan sangat kurang memberi perhatian pada aspek afektif, konatif, dan psikomotorik. Itulah sebabnya, mungkin, mengapa orang tahu betul bahwa korupsi itu jelek, mencuri itu jahat, memperkosa itu dosa, tapi toh mereka melakukannya. Ada semacam tembok besar yang seolah memisahkan dan membuat apa yang diketahui itu, tidak terwujud dalam praktek. Tidak ada “satu kata dalam perbuatan”, kata John Wilson, ketika menjelaskan salah satu ciri dari “morally educated person”. Lain daripada itu, saya juga melihat bahwa di luar pilar-pilar pendidikan yang dikemukakan, mungkin ada sejumlah pilar lain yang juga layak untuk dipertimbangkan. Paulo Freire dan Antonio Foundez (1995), misalnya, menekankan pentingnya Learning to Question (belajar bertanya). Dikaitkan dengan berbagai pilar pendidikan di atas, boleh jadi belajar bertanya merupakan syarat tambahan yang penting bagi learning to know, selain yang telah disebutkan oleh penulis. Dengan trampil bertanya, maka seseorang akan memungkinkan untuk mengetahui tentang banyak hal, bahkan juga tentang bagaimana menyerap dan mengolah informasi yang demikian melimpah. Demikian pula, Richard I. Arends (2008), misalnya, menekankan pentingnya learning to teach, bukan terutama untuk guru saja, tetapi juga untuk peserta didik yang suatu ketika juga memiliki tugas pendidikan terhadap sesamanya. Dia menekankan bahwa belajar menjadi guru adalah sebuah perjalanan panjang dan kompleks, yang penuh kegembiraan dan tantangan. Perjalanan itu dimulai dengan pengalaman yang kita miliki bersama orang tua dan kakak/adik kita, dilanjutkan dengan observasi dari guru ke guru selama waktu yang panjang di sekolah dan perguruan tinggi, dan, secara formal, mencapai puncaknya pada pelatihan profesional, tetapi setelah itu masih terus berlanjut dalam bentuk pengalaman mengajar sepanjang hayat. Saya juga setuju dengan pendapat penulis bahwa pengetahuan umum dan spesialisasi, perlu didorong selama proses pendidikan seseorang. Pembinaan kepakaran atau keahlian dan 4
Baca pendapat Stephen Covey, dalam bukunya “The 7 Habits of Highly Effective People” yang menegaskan bahwa kesalingtergantungan (interdependence) adalah suatu nilai yang lebih tinggi daripada kemandirian. Ia menjelaskan perkembangan kematangan seseorang dari ketergantungan (dependence) menuju kemandirian (independence) hingga kesalingtergantungan (interdependence). Orang yang tergantung membutuhkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka kehendaki. Orang yang mandiri dapat memperoleh apa yang mereka kehendaki melalui usaha sendiri. Orang yang saling tergantung menggabungkan upaya mereka sendiri dengan upaya orang lain untuk mencapai keberhasilan terbesar bersama.
12
pengembangan kepribadian sangat penting. Filsafat, juga filsafat pendidikan, amat penting dan strategis, untuk mendasari dan menuntun arah penyelenggaraan pendidikan. Ia juga memungkinkan seorang spesialis memiliki latar belakang luas atas ilmunya. Demikian juga, imajinasi dan kreativitas perlu diberi tempat yang lebih penting di sekolah-sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Jacques Delors. (1998). Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCO PUBLISHING. Paulo Freire dan Antonio Foundez .(1995). Belajar Bertanya. Pendidikan Yang Membebaskan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Peraturan Mendiknas No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Richard I. Arends .(2008).Learning to Teach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stephen Covey. (1997). “The 7 Habits of Highly Effective People. Jakarta: Binarupa Aksara. Will Kymlicka. (2002). Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES.
13