2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Kajian Pustaka
Penelitian pertama yang menjadi tinjauan pustaka bagi penulis adalah tulisan Philista Sang (2013) yang berjudul The Role of NGOs in Conflict Transformation: A Case Study of the Catholic Justice and Peace Commission in Lelan Division, West Pokot County, Kenya. Tulisan ini merupakan sebuah penelitian studi pembangunan, di Universitas Nairobi, Kenya. Penelitian Philista Sang (2013) ini membahas upaya transformasi konflik yang dilakukan oleh sebuah NGO yang dibentuk oleh Gereja Katolik di kawasan Kenya dan telah terlibat dalam pembangunan perdamaian kawasan sejak tahun 1989. NGO tersebut bernama Chatolic Justice and Peace Commission (CJPC). Upaya CJPC dalam membangun perdamaian di Lelan dilakukan dengan cara ikut terlibat dalam beberapa proyek perdamaian kawasan dan terlibat dalam kelompok-kelompok pemuda dan wanita. Berbagai kegiatan yang dilakukan berfokus pada menfasilitasi akses sumber daya ekonomi dan sosial. Selain itu, CJCP juga berfokus pada kegiatan yang mengubah sikap dan perilaku yang dapat memicu konflik dalam komunitas. Cara yang dilakukan CJPC di Lelan meliputi kegiatan olahraga bersama, seminar, dan praktik-paktik tradisional seperti berbagi makanan
9
10
selama pertemuan dengan para tua-tua di Lelan. Itulah keterlibatan CJPC dalam membangun perdamaian di Lelan, Kenya. Penelitian Philista Sang (2013) mengenai transformasi konflik di Lelan menolong penulis dalam meneliti konflik Dongo. Kedua penelitian ini sama-sama menggunakan
jenis
pendekatan
transformasi
konflik.
Namun,
pendekatan
transformasi konflik dalam penelitian Sang (2013) dilakukan oleh organisasi berbasis keagamaan, sedangkan organisasi SFCG adalah organisasi sekuler. Organisasi sekuler tidak memiliki batasan dan motivasi khusus seperti yang biasa dilakukan oleh organisasi berbasis keagamaan. Meskipun demikian, berbagai kegiatan yang dilakukan oleh CJPC dalam transformasi konflik sangat membantu penulis dalam menganalisis upaya-upaya yang dilakukan oleh sebuah NGO. CJPC sendiri menggunakan kegiatan bersama, seminar-seminar, dan tindakan-tindakan tradisional sebagai upaya organisasi dalam mentransformasi konflik di Lelan. Sedangkan, organisasi SFCG menggunakan dialog, media, dan komunitas untuk mentransformasi konflik dan menciptakan stabilitas berjangka panjang, serta mencegah konflik kekerasan (sfcg.com). Penelitian kedua yang menjadi tinjauan pustaka bagi penulis adalah penelitian Nona Mikhelidze dan Nicoletta Pirozzi (2008) dari A Micro Level Analysis of Violent Conflict (MICROCON), Institut Studi Pembangunan, Universitas Sussex, Brighton. Mikhelidze dan Pirozzi ingin memberikan ide-ide dan dokumentasi dari hasil penelitiannya yang lebih rinci mengenai ‘konflik-konflik di sekitar Eropa’.
11
Sehingga judul yang diangkat dalam penelitian mereka adalah Civil Society and Conflict
Transformation
in
Abkhazia,
Israel/Palestine,
Nagorno-Karabakh,
Transnistria and Western Sahara. Dalam penelitiannya, Mikhelidze dan Pirozzi (2008) melihat kegagalan aktor-aktor level atas seperti pemerintah dalam mengatasi konflik-konflik di lima wilayah sekitar Eropa. Kedua peneliti tersebut kemudian melihat peran masyarakat sipil sebagai aktor grassroots yang memiliki dampak tersendiri bagi dinamika konflik. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sipil di lima wilayah tersebut berfokus pada pelatihan perdamaian dan pendidikan, termasuk pendidikan formal dan informal, seperti penelitian dan melalui media. Dari hal tersebut, kedua peneliti kemudian tertarik mengukur efektifitas, potensi dan batasan keterlibatan civil society organizations (CSOs) dalam upaya penyelesaian konflik di lima wilayah konflik. Penelitian Mikhelidze dan Pirozzi (2008) ini juga sangat membantu penulis dalam menganalisis berbagai upaya yang dilakukan oleh organisasi SFCG. Kedua penelitian ini memang memiliki perbedaan dalam hal wilayah dan aktor yang berperan. Mikhelidze dan Pirozzi (2008) meneliti lima konflik dalam lima wilayah yang berbeda, sedangkan penulis lebih fokus pada satu wilayah konflik yaitu Republik Demokratik Kongo. Sedangkan dalam hal aktor yang berperan, penulis menggunakan NGO sebagai aktor internasional, dan Mikhelidze dan Pirozzi (2008) meneliti peran masyarakat sipil di masing-masing wilayah konflik. Namun, kedua penelitian ini juga memiliki persamaan dalam upaya transformasi konflik yang
12
dilakukan oleh kedua aktor dalam penelitian ini. Upaya tersebut adalah mentransformasi konflik melalui pendidikan perdamaian. Apabila pendidikan perdamaian dalam penelitian Mikhelidze dan Pirozzi menyangkut penelitian dan media, organisasi SFCG sendiri lebih menggunakan dialog, media, dan komunitas dalam mentransformasi konflik di Dongo. Kajian pustaka yang ketiga dalam penelitian ini adalah jurnal ilmu sosial dan ilmu politik milik Cahyo Seftyono. Seftyono (2012) memberikan judul dalam penelitiannya “Pembangunan berbasis Waterfront dan Transformasi Konflik di Bantaran Sungai: Sebuah Pemikiran Awal”. Penelitian Seftyono ini berfokus pada pembangunan sumber daya air di wilayah bantaran sungai di kota-kota besar atau yang dikenal dengan istilah waterfront. Pembangunan ini bertujuan agar masyarakat dapat melihat fungsi sumber daya air sebagai sesuatu yang bermanfaat dan juga menarik dipandang. Dengan pembangunan waterfront di bantaran sungai, masyarakat akan membentuk sebuah interaksi sosial yang dapat meningkatkan persatuan antar warga yang hidup di sekitar bantaran sungai tersebut. Masyarakat akan bekerja sama untuk pembangunan bantaran sungai tersebut karena dampak dari pembangunan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat seperti kemudahan akses sumber air bersih dan dalam aspek ekonomi wisata juga memberikan pemasukan bagi masyarakat. Hal ini akan meminimalisir kecenderungan konflik dalam masyarakat karena kebanyakan masyarakat yang tinggal di sekitar sungai adalah masyarakat kelas bawah yang hidup
13
dengan segala kekurangannya. Seftyono melihat bahwa wilayah bantaran sungai yang semula merupakan arena rawan konflik, dengan adanya pembangunan berbasis waterfront, maka kegiatan-kegiatan positif bersama dapat dimaksimalkan dan konflik diminimalisasikan (Seftyono,2012). Penelitian Seftyono (2012) menjadi kajian pustaka bagi penulis karena sama-sama membahas transformasi konflik dalam masyarakat yang rawan konflik. Seftyono berfokus pada metode pembangunan berbasis waterfront untuk mencegah terjadinya konflik kekerasan. Sedangkan organisasi SFCG dalam penelitian penulis, berfokus pada metode pendidikan perdamaian melalui media, dialog, dan komunitas dalam mentransformasi konflik di wilayah Dongo. Hal ini dilakukan untuk menangani masyarakat yang telah mengalami konflik yang berkepanjangan dan hidup di pedalaman hutan Equateur, RD Kongo.
1.2 Kerangka Konseptual A. Peace Education Dalam proses pembangunan perdamaian (peacebuilding), pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Kevin Kester (2010) mengemukakan bahwa pendidikan dapat menjadi sarana untuk memelihara budaya perdamaian bagi masyarakat yang mengalami konflik kekerasan, namun juga dapat memelihara budaya perang. Aspek pendidikan merupakan sebuah sarana sosialisasi dan pembangunan identitas melalui transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai,
14
dan perilaku masyarakat. Hal ini dapat menghasilkan pengaruh yang negatif seperti terciptanya prasangka-prasangka buruk dan juga dapat menghasilkan pengaruh yang positif, seperti mencegah konflik terulang kembali dengan cara menolong masyarakat memahami penyebab konflik, menguatkan pesan dalam masyarakat tentang dampak negatif dari konflik kekerasan, serta mendidik masyarakat merespon konflik dengan cara non-kekerasan (Smith, 2010). Pendidikan seperti ini akan membawa perubahan terhadap konflik dan berkontribusi besar terhadap pembangunan perdamaian (peacebuilding) di wilayah konflik. United Nations Children’s Fund (UNICEF) mendefinisikan pendidikan perdamaian secara lengkap sebagai proses dalam mempromosikan ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai hingga sampai pada perubahan perilaku yang memungkinkan anak, pemuda, dan orang dewasa melakukan pencegahan konflik dan kekerasan, memecahkan konflik dengan cara damai, dan menciptakan kondisi yang kondusif terhadap perdamaian, baik dalam diri sendiri, antar pribadi, antar kelompok masyarakat, nasional, dan bahkan internasional (Fountain, 1999). Orang yang mengajar peace education atau educator harus mendorong orang yang diajar untuk bertanggung jawab melakukan hal-hal di atas. Peace educators akan menyediakan informasi tentang kerusakan yang diakibatkan oleh konflik kekerasan dan memberikan informasi tentang strategi perdamaian.
15
Menurut Ian M. Harris (2004) dalam tulisannya mengenai Peace Education Theory, ada lima patokan yang harus dimiliki oleh peace education, antara lain: 1.
Menjelaskan akar konflik kekerasan. Di sini orang yang diajar akan belajar memahami orang yang berkonflik dengannya dengan tujuan mendekonstruksi gambaran musuh.
2.
Mengajarkan alternatif-alternatif untuk menghadapi kekerasan. Patokan ini menunjukan berbagai strategi perdamaian yang dipakai untuk menangani masalah-masalah kekerasan. Hal ini dapat dicapai dengan pengajaran prosesproses perdamaian berupa negosiasi, rekonsiliasi, perjuangan non kekerasan, dan penggunaan perjanjian atau hukum untuk mengurangi jumlah kekerasan.
3.
Menyesuaikan dengan berbagai bentuk kekerasan. Patokan ketiga ini menunjukkan sifat pendidikan perdamaian yang selalu menyesuaikan dengan tipe konflik yang ditangani.
4.
Perdamaian adalah sebuah proses yang sesuai dengan konteksnya. Hal ini dicocokkan dengan norma-norma budaya yang dianut oleh orang yang menjadi target pendidikan perdamaian.
5.
Konflik itu omnipresent. Ini artinya peace educators tidak bisa mengurangi konflik tapi mereka bisa mempersiapkan orang-orang dengan keterampilanketerampilan khusus dalam mengelola konflik.
16
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan lima patokan peace education ini dalam menjelaskan setiap program yang dijalankan oleh organisasi SFCG satu per satu. Untuk lebih jelas lagi, Ian Harris juga membagi peace education dalam beberapa tipe yang membantu penulis menjelaskan tipe peace education untuk kasus konflik kekerasan di Dongo. Dari lima tipe peace education, yaitu international education, human right education, development education, environmental education, dan conflict resolution education, penulis hanya menggunakan tiga tipe yang sesuai dengan penelitian penulis. Tiga tipe tersebut adalah human right education, development education, dan resolution conflict education. a. Human Right Education Tipe peace education ini mengacu pada konflik kekerasan sipil, domestik, budaya dan etnis. Human right education mencakup pemahaman multikultur yang bertujuan mengurangi prasangka buruk dan kebencian antar kelompok. Pendekatan terhadap peace education ini berfokus pada kecenderungan untuk memberikan label musuh pada orang lain dan kemudian melawan mereka. Dalam hal ini educator akan mengusahakan mengubah gambaran musuh dengan pemahaman warisan bersama dan menolak berbagai bentuk kekejaman yang dilakukan dalam konflik kekerasan. Tujuannya adalah menerima orang lain, menghargai kemanusiaan yang yang ada dalam setiap manusia dan mengadopsi sifat saling peduli terhadap orang lain yang memiliki kelompok sosial yang berbeda-beda.
17
Tipe ini dipakai penulis untuk menjelaskan bentuk kegiatan SFCG yang sesuai dengan prinsip fundamentalnya yaitu memahami perbedaan, bertindak atas dasar persamaan (sfcg.com). Upaya SFCG dalam menghadapi konflik Dongo mencakup berbagai kegiatan yang mendidik masyarakat untuk menerima perbedaan dan menghargai hak asasi orang lain. Ini dilakukan karena prasangka-prasangka buruk antar komunitas di Dongo sangat tinggi mengingat salah satu penyebab konflik yang memicu konflik kekerasan terjadi adalah penilaian buruk antara etnis yang satu terhadap yang lain. b. Development Education Peace educators menggunakan pembangunan (development) untuk mendidik orang yang diajar menyelesaikan kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang muncul akibat ketidakadilan oleh institusi-institusi sosial yang menggunakan hirarkinya untuk mendominasi dan menindas masyarakat. Educators
berfokus
mempromosikan orang-orang yang tertindas untuk terlibat dalam perencanaan, implementasi, dan mengkontrol pembangunan, dari pada menggunakan srategi pembangunan pemerintah yang telah dibuat oleh beberapa elit tertentu. Hal ini memotivasi masyarakat untuk berjuang melawan ketidakadilan. Tujuan yang ingin dicapai adalah membangun komunitas-komunitas perdamaian dengan cara-cara anti kekerasan. Dalam penelitian ini, SFCG menggunakan media, dialog, dan komunitas dalam menghadapi kekerasan struktural yang terjadi di Dongo. SFCG mendorong
18
masyarakat untuk bersikap aktif dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi mereka. Hal itu dilakukan SFCG dengan berbagai program yang akan dijelaskan lebih rinci dalam pembahasan. c. Conflict Resolution Education Conflict resolution education membantu individu dalam memahami dinamika-dinamika konflik dan menggunakan keterampilan komunikasi untuk mengelola hubungan-hubungan damai. Fokusnya terdapat pada hubungan antar pribadi dan sistem yang membantu pihak-pihak yang berkonflik menyelesaikan perbedaan mereka dengan dibantu oleh pihak ketiga. Conflict relation educators akan mengajarkan keterampilan dalam berelasi dengan orang lain seperti cara mengelola kemarahan, pengendalian diri, kesadaran emosi, pengembangan empati, ketegasan, dan penyelesaian masalah. Dengan kata lain, educators akan mengajarkan keterampilan peacemaking kepada orang yang diajar agar
mereka dapat
menggunakan hal itu untuk mengelola konflik antar pibadinya, serta tidak menutup kemungkinan juga beberapa kekerasan lainnya seperti kekerasan sipil, budaya, lingkungan, dan bahkan global. Tipe ini dipakai dalam penelitian penulis karena resolusi konflik adalah fokus utama organisasi SFCG. Masyarakat yang mengalami konflik di Dongo masih memiliki hubungan konfliktual dalam diri mereka. Walaupun konflik kekerasan sudah selesai dan kesepakatan damai sudah dilakukan, namun konflik kekerasan
19
sangat mungkin terjadi. Maka dari itu, berbagai program dikembangkan oleh SFCG untuk mendidik masyarakat menjadi seorang peacemaker atau pencipta perdamaian. Tiga tipe peace education ini sangat membantu penulis dalam memposisikan program-program SFCG sesuai dengan sumber-sumber konflik yang masih berakar di Dongo. Secara lebih luas, penulis menggunakan konsep peace education untuk menganalisis upaya-upaya SFCG dengan cara menggabungkan tipetipe peace education dengan patokan-patokan peace education yang sudah dijelaskan di atas.
B. Transformasi Konflik Konsep berikutnya yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah transformasi konflik. John Paul Lederach seperti yang dikutip Michael Maise (2003) dalam artikelnya yang berjudul Conflict Transformation mengatakan bahwa perdamaian akan dicapai apabila keadilan, struktur dan hubungan sosial dengan cara menghormati hak asasi dan tindakan anti kekerasan menjadi sebuah gaya hidup setiap orang. Dengan kata lain, hal-hal yang dapat
memperpanjang konflik dan
mengakibatkan kerusakan harus diubah menjadi sesuatu yang konstruktif. Maksud dari perubahan yang konstruktif adalah mengubah cara pandang terhadap konflik menjadi positif dengan melihat bahwa konflik bermanfaat bagi pertumbuhan suatu hubungan. Proses perubahan yang konstruktif inilah yang disebut dengan transformasi konflik (Maise, 2003)
20
Selain pengertian di atas, Hugh Miall juga menjelaskan dengan rinci maksud dari transformasi konflik. Menurut Miall (2004), definisi transformasi konflik adalah sebuah proses perubahan relasi, kepentingan, wacana, dan nilai-nilai dasar dalam masyarakat yang dapat memicu dan mendukung konflik kekerasan. Ini merupakan proses jangka panjang karena aktifitas-aktifitasnya lebih berfokus pada masyarakat dibanding hanya menciptakan mediasi. Konflik sendiri dipahami sebagai sebuah perbedaan nilai atau tujuan oleh dua atau lebih orang atau kelompok. Dalam transformasi konflik, konflik dipandang lebih luas, bukan hanya berfokus pada pihak yang berkonflik, permasalahannya, atau tujuan yang ingin dicapai, tetapi konflik juga bergantung pada konteksnya. Konteks konflik yang dimaksud termasuk latar belakang konflik, misalnya sesuai dengan segitiga konflik menurut Galtung yaitu pertentangan, sikap, dan perilaku. Sikap pihak yang berkonflik merupakan sebuah aksi yang berorientasi ke dalam diri sendiri seperti frustasi atau kemarahan. Sikap sangat dipengaruhi oleh hubungan buruk yang telah tercipta sebelumnya antara satu pihak terhadap pihak yang lain. Perilaku merupakan sebuah aksi yang orientasinya lebih ke luar diri seseorang atau kelompok, biasanya dalam bentuk verbal atau fisik. Perilaku pihak yang berkonflik muncul karena adanya ingatan pada suatu hal yang terjadi di masa lampau dan ekspektasi yang mungkin dapat terjadi di masa yang akan datang, biasanya terbentuk karena budaya, wacana, dan kepercayaan. Sedangkan kontradiksi atau pertentangan dapat digambarkan sebagai sebuah masalah yang tidak dapat diselesaikan. Menurut Jean
21
dan Hildegaard dalam tulisan Nicolaides (2008), pertentangan adalah akar penyebab sebuah konflik. Sumber-sumbernya meliputi nasionalisme, diskriminasi kelompok minoritas, pemerintahan otoriter, kemiskinan, terhambatnya pemenuhan kebutuhan hidup, tekanan politik, dan lain sebagainya. Dalam pandangan transformasi konflik, terdapat beberapa perubahan yang muncul akibat sebuah konflik. Empat dimensi perubahan tersebut adalah dimensi personal, dimensi relasional, struktural, dan budaya. Lederach mengemukakan bahwa empat dimensi perubahan ini juga yang menjadi perhatian dalam mentransformasi sebuah konflik (Maise, 2003). 1. Dimensi Personal Dimensi ini menyangkut perubahan yang terjadi pada aspek kognitif, emosi, persepsi, dan spiritual akibat pengalaman konflik. Transformasi dibutuhkan untuk membebaskan individu dari efek-efek destruktif konflik sosial seperti luka fisik dan mental. 2. Dimensi relasional Transformasi dibutuhkan untuk memulihkan pola komunikasi dan interaksi dalam sebuah relasi yang berkonflik. Dengan lebih jelas, transformasi menunjukan intervensi yang intens untuk mengurangi komunikasi yang buruk dan meningkatkan sifat saling pengertian.
22
3. Dimensi Struktural Dimensi ini berkaitan dengan struktur sosial atau aturan-aturan yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat. Dimensi ini juga menyangkut cara orang membangun dan mengelola hubungan sosial, ekonomi, dan institusional agar kebutuhan dasar manusianya terpenuhi, menyediakan akses kepada masyarakat dalam pengambilan keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi hidup mereka, memahami akar penyebab konflik, mempromosikan mekanisme non-kekerasan dalam menghadapi konflik, dan meminimalisasi kekerasan itu sendiri. 4.
Dimensi Budaya Dimensi budaya mengidentifikasi dan memahami pola budaya yang dapat
memicu kekerasan sebagai ekspresi dari konflik. Selain itu, transformasi juga dibutuhkan untuk mengidentifikasi nilai-nilai budaya yang dapat menangani konflik secara konstruktif. Empat dimensi dalam pendekatan transformasi di atas saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis lebih dalam aktifitas-aktifitas SFCG yang menggambarkan empat dimensi transformasi konflik di atas. Upaya SFCG dalam mencapai empat dimensi tersebut dilakukan dengan tiga cara utamanya yaitu media, dialog dan komunitas (sfcg.org). Selain hal di atas, penting untuk memahami aktor yang memainkan peran penting dalam proses transformasi konflik. Aktor-aktor tersebut antara lain negara dan organisasi antar pemerintah (states and inter-governmental orgnanizations),
23
organisasi kemanusiaan dan pembangunan (humanitarian and development organizations), organisasi internasional non pemerintah yang memperhatikan pencegahan dan transformasi konflik (international non-governmental organizations, NGO), serta pihak-pihak yang berkonflik dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat (Miall, 2004, h.12). Dalam penelitian ini, peneliti lebih berfokus pada transformasi konflik yang dilakukan oleh NGO. Non-Governmental Organization (NGO) merupakan sebuah organisasi yang bukan bagian dari pemerintah, melainkan posisinya berada diantara pemerintah dan kehidupan pribadi individu, atau biasa dikenal dengan masyarakat sipil. Pada umumnya NGO memiliki beberapa elemen seperti mempromosikan kepentingan publik, bersifat non profit, terlibat dalam aksi-aksi non kekerasan, bebas dari negara, didirikan oleh beberapa individu, dan mengikuti struktur organisasionalnya sendiri. Kekuatan sebuah NGO hanya berdasarkan kekuatan moral yang tinggi. Namun dengan dasar ini, NGO dapat melakukan berbagai pekerjaan baik yang belum tentu dilakukan oleh aktor-aktor lainnya (LehrLehnardt, 2005). Dalam artikel Rana Lehr-Lehnardt (2005) yang berjudul NGO Legitimacy: Reassessing Democracy, Accountability and Transparency, beberapa kelebihan NGO dibanding aktor-aktor lainnya terlihat dalam hal distribusi bantuan kemanusiaan yang biasanya lebih cepat dibanding pemerintah karena cara kerja NGO yang lebih fleksibel, mudah mendapat kepercayaan masyarakat, dan sangat paham bekerja
24
dengan masyarakat kecil yang jauh dari jangkauan pemerintah. Hal lainnya yang menjadi kelebihan NGO adalah keahliannya dan berfokus pada isu-isu tertentu. Selain itu, NGO juga merupakan suatu kelompok dengan pendanaan yang baik karena dana yang diperoleh didedikasikan untuk melaksanakan visi dan misi NGO tersebut. NGO juga dapat memantau kepatuhan negara dalam mengimplementasi perjanjian-perjanjian internasional yang telah ditandatngani negara tersebut, seperti perjanjian untuk menghargai hak asasi manusia, atau perjanjian-perjanjian lainnya. Kelebihan NGO yang lain juga adalah sifatnya yang netral dan tidak terikat pada kekuatan politik manapun, serta dapat memberikan suara kepada mereka yang tidak dapat menyuarakan aspirasinya. NGO hadir ditengah masyarakat yang mengalami penderitaan dan ketidakadilan dan kemudian membawa permasalahan tersebut ke tingkat nasional atau bahkan internasional, sehingga permasalahan tersebut menjadi sebuah isu yang harus ditangani secara bersama-sama dan dapat membawa perubahan. Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki oleh NGO ini, maka penulis berfokus meneliti aktor NGO yang bernama Search For Common Ground (SFCG) dalam melakukan transformasi konflik di Dongo. SFCG sendiri memang menggunakan pendekatan transformasi konflik dalam tugas dan kerjanya menangani konflik dalam suatu wilayah. Oleh karena itu, peneliti menggunakan konsep transformasi konflik ini untuk menjelaskan terlebih dahulu awal mula konflik dan
25
perubahan-perubahan yang terjadi dalam konflik setelah SFCG ikut terlibat dalam pembangunan perdamaian di Dongo. C. Perdamaian Positif Perdamaian positif pertama kali diperkenalkan oleh Johan Galtung (1969) dalam penelitiannya mengenai kekerasan dan perdamaian. Dirinya membagi konsep perdamaian ke dalam dua bagian, perdamaian negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif merupakan kondisi ketidakhadiran kekerasan, atau ketidakhadiran perang. Definisi ini muncul akibat banyak peneliti yang berfokus pada kekerasan langsung, seperti perang atau tindakan agresi lainnya pada masa perang dunia. Sedangkan Galtung (1969) sendiri melihat bahwa kekerasan juga muncul karena sebuah struktur, tidak secara langsung. Kekerasan seperti ini meliputi kemiskinan, kelaparan, diskriminasi, dan segala bentuk ketidakadilan sosial lainnya yang membuat masyarakat tidak dapat mengembangkan potensinya. Kekerasan ini disebut kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang terjadi ketika struktur masyarakat diarahkan pada suatu tata cara yang menghambat ide-ide masyarakat itu sendiri untuk disalurkan (Nicolaides, 2008, h.14). Ketidakhadiran kekerasan struktural ini disebut Galtung sebagai perdamaian positif (Galtung, 1969, h. 183). Tahun 1990, Galtung (1990) memperkenalkan konsep kekerasan kultural yang muncul dari budaya sebagai simbol dari keberadaan seseorang. Kekerasan kultural adalah aspek-aspek budaya seperti identias agama, ideologi, bahasa, seni berupa cerita-cerita, doktrin ilmu empiris, dan ilmu formal yang dapat dipakai untuk
26
membenarkan atau mensahkan kekerasan langsung dan kekerasan struktural (Galtung, 1990, h. 291). Kekerasan kultural membuat kekerasan langsung dan kekeransan struktural terlihat, bahkan dapat dirasakan. Kekerasan kultural ini menjadi tambahan bagi kekerasan lainnya dan menjadi tipe konflik ketiga berdampingan dengan kekerasan langsung dan kekerasan struktural (Galtung, 1990, h. 294). Galtung (1990) menggambarkan ketiga bentuk kekerasan ini dalam segitiga kekerasan seperti berikut: Gambar 2.1 Tipe-tipe konflik menurut Johan Galtung Kekerasan langsung
Terlihat Tak Terlihat
Kekerasan kultural
Kekerasan struktural
Ketika kekerasan langsung dan kekerasan struktural menjadi kaki segitiga, maka kekerasan kultural merupakan pembenaran bagi kedua kekerasan. Ketika kekerasan struktural dan kekerasan kultural menjadi kaki segitiga seperti di gambar 2.1 di atas, maka kekerasan langsung merupakan akibat dari adanya kekerasan struktural dan kekerasan kultural atau yang disebut kekerasan tidak langsung. Dengan demikian, keadaan tanpa adanya ketiga kekerasan di atas disebut Galtung sebagai perdamaian positif.
27
Perdamaian positif lebih ideal dibanding perdamaian negatif. Hal itu dikarenakan perdamaian itu sendiri tidak hanya sekadar mengakhiri atau mereduksi kekerasan langsung dan tidak langsung, akan tetapi lebih kepada memahami cara untuk mencegah konflik terulang kembali (Grewal, 2003). Perdamaian adalah sebuah proses, bukanlah sebuah tujuan akhir. Itu tidak akan menjamin bahwa konflik tidak akan muncul kembali, maka dari itu, manusia harus belajar bersepakat dengan konflik dan menyelesaikannya dengan tindakan yang tenang dan adil (Grewal, 2003). Dalam upaya transformasi konflik, Lederach dalam tulisan Miall (2003) mengungkapkan bahwa perdamaian tertanam dalam keadilan di mana hubungan dan struktur sosial yang baik dengan cara menghargai hak asasi manusia dan tindakan anti kekerasan menjadi sebuah gaya hidup. Respon yang konstruktif terhadap konflik kekerasan ini disebutnya sebagai proses transformasi (Miall, 2003). Dalam konflik Dongo ini, konflik kekerasan yang terlihat di permukaan adalah akibat dari konflik yang tak terlihat, yang telah berakar dalam. Kekerasan struktural yang paling nyata dalam konflik Dongo dapat dilihat dari diskriminasi etnis Lobala terhadap etnis-etnis lain. Selain itu, terdapat juga berbagai bentuk ketidakadilan oleh pemerintah yang sangat dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat yang berasal dari etnis nonLobala. Hal ini dilihat dari pemerintah Dongo yang membela salah satu pihak yang terlibat konflik sengketa tanah yaitu desa Enyele karena berasal dari etnis Lobala. Berbagai tindakan ketidakadilan sosial di Dongo menjadi salah satu pemicu konflik kekerasan di Dongo.
28
Selain kekerasan struktural yang memicu kekerasan langsung, terdapat juga kekerasan kultural yang membenarkan dan membuat kekerasan langsung muncul ke permukaan. Aspek budaya yang paling menonjol dalam konflik Dongo adalah cerita-cerita berbeda yang muncul dalam masyarakat Munzaya dan Enyele tentang hak atas tanah yang telah ditentukan oleh nenek moyangnya terdahulu. Cerita-cerita tersebut diciptakan oleh masing-masing desa yang kemudian berujung pada kebencian satu sama lain. Kebencian ini yang menunjukan adanya hubungan konfliktual antara desa Enyele dan desa Munzaya yang sangat memungkinkan tercetusnya kekerasan langsung. Dalam menangani bentuk-bentuk kekerasan ini, SFCG bekerjasama dengan PBB dan pemerintah menangani kekerasan langsung, struktural dan kultural. Kekerasan langsung seperti pembantaian etnis non-Lobala di Dongo memang lebih ditangani oleh PBB dan pemerintah RD Kongo dengan mengirim pasukan penjaga perdamaiannya di wilayah konflik. Namun, dalam menangani kekerasan struktural dan kultural, SFCG memiliki peran yang besar karena cara kerjanya yang bersifat langsung kepada masyarakat. Perdamaian positif
bukan menjadi tujuan akhir dari sebuah konflik
melainkan sebuah proses. Program-program transformasi konflik yang digunakan oleh SFCG dilihat sebagai strategi yang mengarahkan konflik pada perdamaian positif. Untuk itu, penulis menggunakan konsep perdamaian positif dalam penelitian ini.