ANALISIS KOLIFORM DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER SANITASI PETERNAKAN
MADHUMITA SIRINDON
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRAK MADHUMITA SIRINDON. Analisis Koliform dalam Susu Segar sebagai Parameter Sanitasi Peternakan. Dibimbing oleh A. WINNY SANJAYA. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis koliform dalam susu segar sebagai parameter sanitasi, khususnya peternakan sapi perah di daerah Bogor. Penelitian ini menggunakan susu sampel individu dari peternakan di daerah Bogor yaitu Kebon Pedes dan Cisarua. Sampel dipupuk dengan media Violet Red Bile (VRB) Agar. Setelah diinkubasi selama 24-48 jam dengan suhu 35-37oC, koloni koliform dihitung dan data diolah menggunakan uji ANOVA dan dilanjutkan uji Duncan. Data pengamatan sanitasi diperoleh dengan kuisioner. Analisis data menunjukkan jumlah koliform pada susu segar yang tertinggi 2,2.104 ± 2,4.104 cfu/ml di peternakan F dan terendah 4,1. 102 ± 4,0.102 cfu/ml di peternakan B. Tingginya jumlah koliform di peternakan F kemungkinan disebabkan karena sebelum pemerahan sapi-sapi di peternakan ini tidak dilakukan pencucian puting. Peralatan yang digunakan juga hanya dibersihkan dengan air biasa bukan air panas dan tidak menggunakan sabun serta sumber air berasal dari mata air pegunungan. Rendahnya jumlah koliform dalam susu segar di peternakan B kemungkinan disebabkan karena pembersihan kandang dilakukan lebih dari dua kali dalam sehari dan dilakukan pencucian puting sebelum pemerahan. Selain itu peralatan pemerahan dibersihkan sebelum dan sesudah pemerahan dengan menggunakan air dan sabun serta sumber air berasal dari sumur.
ABSTRACT MADHUMITA SIRINDON. Coliform Analysis in Raw Milk as a Parameter of Sanitation in Dairy Farm. Under the direction of A. WINNY SANJAYA. The aim of this research is analyzing coliform in raw milk, as a parameter of dairy farm sanitation in Bogor. This research used individual raw milk sample from Kebon Pedes and Cisarua. Violet Red Bile (VRB) medium was used as culture media and incubated at 35-37oC (24-48 hours). Data was analyzed using ANOVA and continued with Duncan. Questionairs were used as a secondary data. The highest count of coliform was 2,2. 104 ± 2,4. 104 cfu/ml in farm F and the lowest was 4,1. 102 ± 4,0. 102 cfu/ml in farm B. A high coliform count in farm F was probably caused by milking without cleaning the udder and cleaning the milking equipments only used water without detergent and hot water and also it used spring water as water source. A low coliform count in farm B could be caused by cleaning the fence was done more than twice a day, cleaning the udder before milking, cleaning the milking equipments used water and detergent before and after milking, and also it used wells as water source.
ANALISIS KOLIFORM DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER SANITASI PETERNAKAN
MADHUMITA SIRINDON
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: Analisis Koliform dalam Susu Segar sebagai Parameter Sanitasi Peternakan : Madhumita Sirindon : B04103020 : Kedokteran Hewan
Disetujui:
Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS Dosen Pembimbing
Diketahui:
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan
Tanggal disetujui :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 4 Desember 1984 dari Ayah (Alm.) H. Makmur Hadi dan Ibu Hj. Fahimah. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara yaitu Hj. Ardini Adhiati Kusuma, H. Ardani Adhi Saputra, H. Franco Gaspari, dan Widiana Rahmatika. Tahun 1991 penulis masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pati Lor 01 Pati, lulus pada tahun 1997 kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 3 Pati. Tahun 2000 penulis lulus dari SLTPN 3 Pati kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Pati. Tahun 2003 penulis lulus dari SMUN 1 Pati dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis mengikuti berbagai kegiatan dan aktif berorganisasi. Organisasi yang pernah diikuti oleh penulis antara lain Himpunan Minat Profesi Divisi Ruminansia sebagai anggota, Veteriner English Club (VEC), Veteriner Kreatifitas Alam (VERTIKAL), dan Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati (IKMP).
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya serta Nabi Muhammad SAW atas syafaatnya sehingga penelitian yang berlangsung dari bulan Oktober 2006 sampai Januari 2007 dan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Koliform dalam Susu Segar sebagai Parameter Sanitasi Peternakan” dapat penulis selesaikan. Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Ibu Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas kesabaran, perhatian, dan waktu Ibu yang telah membimbing selama penelitian dan penyelesaian penyusunan skripsi serta mendidik penulis bagaimana bersopan-santun, menghadapi orang lain, dan tetap bertahan di KESMAVET. 2. Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto yang telah memperbolehkan penulis mengikuti penelitian ini, dan Bapak drh. Hadri Latif, MSi yang telah membimbing selama penelitian. Penulis meminta maaf karena tidak dapat mencantumkan nama Bapak Hadri sebagai Pembimbing II. Serta Bapak drh. Trioso Purnawarman, MSi selaku dosen penguji ujian sidang skripsi dan drh. Chaerul Basri atas bantuannya. 3. Orang tua tercinta, (Alm.) Ayah dan Ibu yang telah memberikan doa dan dukungannya, serta Kakak-kakakku (Mas Dani dan Mbak Wati, Mas Franc) dan adikku (Tika) atas semangatnya, dan keluarga Depok (Mbak Dina, Mas Zaky, Zurro, dan Zafi) atas doa, kasih sayang, dan perhatiannya. 4. drh. Cahyono (Mas Ceye) yang selalu membukakan pikiran di saat penulis merasa putus asa dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, cinta dan kasih sayang yang tulus serta sandaran saat penulis merasa lelah, dan Raisha Mulia Lestari (Sasha) yang selalu memberikan inspirasi dan membuat senyum. 5. Rekan sepenelitianku, Nanang atas kerjasama dan semangatnya.
6. Keluarga Juwana atas doanya. 7. Bapak Dr. drh. R. Harry Soehartono, Mapp.Sc selaku dosen pembimbing akademik. 8. Angga atas kesediaannya membuatkan power point, peminjaman laptop sekaligus menjadi operator saat seminar, dan sangat membantu dalam perbaikan skripsi. 9. Winny, Revina, Theo, Diny, Syerlly, Feni, Asmur, dan Togu atas dukungan, semangat, dan kebersamaannya. 10. Yunus yang telah memberikan bantuan dalam pengolahan data penelitian. 11. Staf KESMAVET (Bu Eha, Pak Hendra, dan Pak Tedi) 12. Para peternak sapi perah di Cisarua dan Kebon Pedes (Pak Efendi, Pak Mahfudin, Pak Suharja, Pak Bambang, Pak H. Agus, Pak Heru, Pak H. Bunyamin) 13. Gymnolaemata ‘40 14. Semua pihak dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas budi baik anda semua.
Demikian penulis berharap, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi penulis maupun pembaca.
Bogor, Februari 2008
Madhumita Sirindon
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................... 1 Perumusan Masalah ................................................................................... 2 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA Susu ............................................................................................................ Sifat Fisik dan Komposisi Susu .............................................................. Faktor Penyebab Kerusakan Susu ........................................................... Mikroorganisme Sebagai Indikator Cemaran Dalam Susu ..................... Koliform ..................................................................................................... Produksi Energi Koliform ....................................................................... Sumber Kontaminasi Mikroba Pada Susu Segar ....................................
3 3 4 6 6 10 11
MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... Bahan Penelitian ........................................................................................ Alat Penelitian ............................................................................................ Metode Penelitian....................................................................................... Pengambilan Sampel ............................................................................... Kuisioner ................................................................................................. Pemupukan Sampel ................................................................................. Pengamatan dan Penghitungan Koliform ............................................... Analisis Data ...........................................................................................
13 13 13 14 14 14 14 15 16
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Peternakan ........................................................................ 17 Tingkat Pencemaran Koliform Pada Susu Segar ....................................... 18 Dampak Koliform Pada Susu Segar, Pengolahan, dan Konsumen ............ 24 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................... 26 Saran .......................................................................................................... 26 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 27 LAMPIRAN ..................................................................................................... 30
DAFTAR TABEL Halaman 1. Rata-Rata Jumlah Koliform Susu Segar Pada Peternakan di Cisarua dan Kebon Pedes ................................................................................................ 18 2. Data Hasil Kuisioner ……………………………………………................ 19
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Escherichia coli ...........................................................................................
8
2. Proteus vulgaris ........................................................................................... 9 3. Citrobacter freundii .....................................................................................
9
4. Koloni Koliform Dalam Media VRB .......................................................... 16
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil Olahan Data Dengan Uji ANOVA Dilanjutkan Dengan Uji Duncan 31 2. SNI No. 01-3141-1998 Tentang Susu Segar ............................................... 38 3. Pedoman Penghitungan Jumlah Mikroba .................................................... 39 4. Contoh Lembar Kuisioner ........................................................................... 40 5. Koloni Koliform Dalam Media VRB .......................................................... 42
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sejalan dengan meningkatnya taraf pendidikan dan taraf hidup masyarakat Indonesia, maka meningkat pula kesadaran untuk memenuhi kebutuhan terhadap pangan yang bergizi dan aman. Salah satu sumber pangan asal hewan dengan kandungan protein tinggi selain daging dan telur adalah susu. Susu memiliki bahan gizi dan nilai gizi yang lengkap dan sempurna serta mengandung mutu protein dan lemak tinggi. Kandungan susu antara lain air, lemak, protein, dan laktosa. Selain itu juga mengandung vitamin dan mineral. Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang tidak tahan lama disimpan dan mudah rusak (perishable food) serta merupakan bahan pangan berpotensial mengandung bahaya (potentially hazardous food). Susu yang tercemar mikroba patogen sangat berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit pada konsumen (milkborne disease). Mikroba patogen tersebut antara lain Mycobacterium, Brucella sp., Staphylococcus, Streptococcus, Listeria sp. dan sebagainya. Kontaminasi mikroba pencemar mengindikasikan buruknya sanitasi yang dapat mengakibatkan perubahan pada komposisi, fisik, dan kimiawi susu. Rendahnya tingkat penerapan sanitasi selama penanganan susu di kandang menyebabkan banyaknya kontaminasi mikroba dalam susu. Kontaminasi mikroba tersebut dapat menurunkan kualitas susu. Mikroorganisme dalam pangan yang digunakan sebagai indikator sanitasi pengolahan pangan adalah mikroorganisme yang umum ditemukan dalam saluran pencernaan manusia atau hewan. Mikroorganisme yang sering digunakan sebagai indikator sanitasi dalam pangan adalah bakteri koliform. Adanya mikroorganisme indikator di dalam suatu makanan menunjukkan telah terjadi kontaminasi karena perlakuan sanitasi yang tidak baik selama persiapan produk maupun pengolahan. Perlu dilakukan penelitian tentang sanitasi dalam penanganan susu selama di kandang dengan menganalisis jumlah koliform dalam susu segar. Peternakan
sapi
perah
merupakan
usaha
yang
potensial
untuk
dikembangkan di Indonesia. Hal ini didukung oleh faktor iklim, padang rumput
2
yang luas, hijauan yang melimpah, dan kebutuhan susu di masyarakat yang terus meningkat. Sebagian besar peternakan sapi perah rakyat dikelola secara tradisional yang seringkali kurang memperhatikan sanitasi dan higiene. Hal ini menyebabkan pencemaran mikroba pada susu masih tinggi. Pencemaran tersebut terjadi mulai dari tingkat peternakan dan selama masa transportasi dari peternak ke tempat pengumpulan susu (TPS). Tingginya cemaran mikroba tersebut menyebabkan susu hasil dari peternakan sapi perah rakyat tidak bisa diterima oleh industri pengolah susu (IPS). Hal ini menyebabkan kerugian ekonomi bagi para peternak.
Perumusan Masalah
Pencemaran susu oleh bakteri koliform mengindikasikan buruknya sanitasi peternakan. Hal ini akan sangat merugikan karena dapat menurunkan kualitas susu yang mempengaruhi penghasilan para peternak.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis koliform dalam susu segar sebagai parameter sanitasi peternakan sapi perah khususnya peternakan di daerah Bogor.
3
TINJAUAN PUSTAKA Susu
Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, dimana kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Susu segar merupakan susu murni yang hanya boleh diproses dengan pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (SNI 01-3141 1998). Susu merupakan cairan yang diekskresikan oleh kelenjar mamae mamalia dan dibutuhkan oleh anak mamalia sebagai makanan, tetapi dalam hal ini tidak menyertakan kolostrum. Kolostrum merupakan susu yang dikeluarkan segera setelah sapi melahirkan (Winarno 1993). Definisi dari susu segar adalah susu yang dihasilkan dari satu atau lebih sapi, yang belum dipanaskan lebih dari 40oC serta belum mengalami perlakuan apapun kecuali pendinginan. Definisi tersebut juga berlaku untuk susu yamg diperoleh dari kambing, domba, atau kerbau. Umumnya istilah susu digunakan untuk susu sapi, sedangkan susu dari hewan lain yang dipelihara untuk produksi susu disebut secara spesifik, misalnya susu kambing, susu domba, atau susu kerbau (Spreer 1998). Menurut Spreer (1998), sejak dulu susu merupakan material alami yang merupakan komponen dasar pangan manusia. Menurut International Dairy Federation (IDF) dalam Spreer (1998), yang mengatur tentang susu dan produknya, susu memenuhi semua kriteria sebagai pangan. Kriteria tersebut antara lain memiliki komponen nutrisi seperti lemak, protein, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air. Selain itu juga memiliki rasa dan aroma, warna, dan zat antimikrobial.
Sifat Fisik dan Komposisi Susu Susu merupakan cairan yang berwarna putih dan bersifat opaque (tidak tembus pandang), kadang agak kekuningan. Selain itu memiliki rasa agak sedikit manis, bau khas, dan berkonsistensi homogenous atau tidak ada bentuk gumpalan
4
(Spreer 1998). Secara kimia susu adalah emulsi lemak dalam air dengan pH 6.5-6.6, berat jenis 1,027–1,035 pada suhu ± 27oC, memiliki titik didih ± 100,17oC, titik beku -0,50 sampai -0.61oC, dan kekentalan 1,005 centipoise (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Menurut Spreer (1998), susu memiliki komponen antara lain : 1. Komponen alami, meliputi : •
Komponen mayor terdiri dari air, lemak, protein, dan laktosa.
•
Komponen minor terdiri dari garam, asam sitrat, enzim, vitamin, gas, dan fosfolipid.
2. Komponen asing meliputi benda asing, antibiotik, herbisida, insektisida, non-original water, zat atau residu desinfektan, dan mikroba. Komposisi susu antara lain : bahan kering (13%) yang terdiri dari lemak (4%), protein (3.4%), laktosa (4.8%), dan abu (0.7%) (Spreer 1998). Menurut Winarno et al.. (1984), susu memiliki kadar air 85-90%. Komposisi susu pada dasarnya sangat bervariasi tergantung dari berbagai faktor yang dapat mempengaruhi jalannya proses fisiologis sapi, misalnya faktor keturunan, makanan, iklim, suhu, waktu laktasi, dan prosedur pemerahan (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Secara umum sel-sel di dalam susu yang normal mengandung sel sebanyak 0-200.000 sel/ml. Sel-sel tersebut terdiri dari sel mononuklear besar (65-70 %), netrofil (0-8 %), limfosit (5 %) dan kadang-kadang monosit (Subronto 2003). Jumlah sel-sel somatik air susu yang melebihi 400.000 sel/ml menunjukkan ambing berada dalam kondisi peradangan (Sanjaya et al. 2007).
Faktor Penyebab Kerusakan Susu Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang tidak tahan lama disimpan dan mudah rusak (perishable food) serta merupakan bahan pangan berpotensial mengandung bahaya (potentially hazardous food). Menurut Winarno et al. (1984), kerusakan bahan pangan seperti susu dapat berlangsung dengan cepat. Kerusakan pada susu dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1. Pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, ragi, dan kapang. Beberapa mikroba dapat membentuk lendir, gas, busa, warna yang menyimpang, asam, racun, dan lain-lain.
5
2. Aktivitas enzim-enzim di dalam susu. Enzim yang terdapat pada susu tersebut dapat berasal dari mikroba atau memang sudah ada pada bahan pangan tersebut secara normal. Adanya enzim memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi biokimia dengan lebih cepat tergantung dari jenis enzim yang ada. Selain itu juga dapat mengakibatkan bermacam-macam perubahan pada komposisi susu. 3. Suhu termasuk suhu pemanasan dan pendinginan. Pemanasan dengan suhu terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan protein (denaturasi), emulsi lemak, dan vitamin, sedangkan susu yang dibekukan, emulsinya akan pecah dan lemaknya terpisah. Pembekuan juga dapat
menyebabkan
kerusakan
protein
susu
dan
mengakibatkan
penggumpalan. 4. Kadar air. Kadar air sangat berpengaruh pada daya simpan susu, karena air inilah yang membantu pertumbuhan mikroba. 5. Udara terutama oksigen. Oksigen dapat merusak vitamin, warna susu, cita rasa serta merupakan pemicu pertumbuhan mikroba aerobik. Pada bahan pangan yang mengandung lemak seperti susu, adanya oksigen dapat menyebabkan ketengikan. 6. Sinar matahari. Susu yang terkena sinar matahari secara langsung dapat berubah cita rasanya, terjadi oksidasi lemak dan perubahan protein. 7. Jangka waktu penyimpanan. Pada umumnya waktu penyimpanan susu yang lama akan menyebabkan kerusakan yang lebih besar. Selain itu menurut Sanjaya et al. (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada susu antara lain : 1. Faktor pemacu : •
Ketersediaan makanan
•
Ketersediaan oksigen
•
Aktivitas air
6
•
Keasaman
•
Suhu
•
pH
•
Kelembaban
•
Potensial oksidasi-reduksi
2. Faktor penghambat : •
Produk yang dihasilkan mikroorganisme sendiri, seperti asam benzoat, asam sitrat, dan asam askorbat
•
Bakteriofage dan bakteriosida
Mikroorganisme Sebagai Indikator Cemaran dalam Susu Kandungan zat gizi yang tersedia dalam susu berupa protein, laktosa, lemak, garam mineral, dan vitamin sangat cocok untuk pertumbuhan dan pertambahan sel tubuh anak-anak dan mamalia lainnya, tetapi mikroorganisme juga menggunakan susu sebagai bahan yang sangat ideal untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme dalam pangan yang digunakan sebagai indikator sanitasi pengolahan pangan adalah mikroorganisme yang umum ditemukan dalam saluran pencernaan manusia atau hewan. Mikroorganisme yang sering digunakan sebagai indikator sanitasi dalam pangan adalah bakteri koliform. Adanya mikroorganisme indikator di dalam suatu makanan menunjukkan telah terjadi kontaminasi kotoran dan sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu, dan produk susu (Supardi dan Sukamto 1999).
Koliform
Menurut Supardi dan Sukamto (1999), koliform merupakan suatu grup bakteri heterogen, bentuk batang pendek dengan ukuran 0.5-1.0 x 1.0-3.0 µm, dan termasuk bakteri gram negatif. Termasuk bakteri koliform antara lain : Escherichia coli, Edwarsiella, Citrobacter, Klebsiella, Enterobacter, Hafnia, Serratia, Proteus, Arizona, Providentia, dan Pseudomonas. Secara garis besar bakteri tersebut memiliki sifat-sifat non motil atau motil, memiliki flagela
7
peritrikus yaitu flagela yang secara merata tersebar di seluruh permukaan sel, berfimbrie atau tidak, asporogenous, dan berkapsul atau tidak. Koliform termasuk bakteri anaerob fakultatif. Bakteri ini mempunyai 2 mekanisme untuk mendapatkan energi. Apabila ada oksigen, energi diperoleh secara respirasi aerob, dan apabila tidak ada oksigen maka energi diperoleh secara fermentasi anaerob (Anonim 2006). Sumber energi untuk pertumbuhan koliform berasal dari oksidasi (sumber karbon) senyawa organik, oleh karena itu koliform termasuk bakteri heterotrof (Supardi dan Sukamto 1999). Beberapa spesies koliform bersifat patogenik pada hewan dan manusia. Hal ini disebabkan adanya zat enterotoksin pada bakteri tersebut, misalnya ETEC (Enterotoksin E. coli) (Pelczar dan Chan 1986). Menurut Dwijoseputro (1987), proses reproduksi koliform seperti bakteri lain yaitu pembelahan biner yaitu satu sel tunggal membelah menjadi dua sel, dengan proses sebagai berikut : 1. Sel induk mengalami pemanjangan. 2. Terjadi invaginasi dinding sel (septum) dan distribusi bahan nukleus. 3. Pembentukan dinding sel (septum) dan penyebaran terorganisasi bahan nukleus ke dalam dua sel. 4. Pemisahan menjadi dua sel baru. Proses pertumbuhan bakteri ini hanya memakan waktu yang singkat yaitu 15 sampai 20 menit. Selang waktu yang dibutuhkan bagi sel untuk membelah diri menjadi dua kali lipat disebut waktu generasi. Menurut Sanjaya et al. (2007), setiap bakteri memiliki waktu generasi yang berbeda, tergantung pada media, suhu, ketersediaan oksigen, dan pH. Koliform dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu koliform fekal dan non fekal. Koliform fekal merupakan bakteri yang hidup secara normal dalam saluran pencernaan hewan dan manusia. Contoh koliform fekal yaitu Escherichia coli. Keberadaan koliform fekal merupakan indikator adanya kontaminasi kotoran pada air (Supardi dan Sukamto 1999). Sedangkan koliform non fekal biasanya hidup pada hewan atau tanaman yang telah mati. Contoh koliform non fekal yaitu Enterobacter aeroginosa. Jumlah koliform dalam susu segar yang diperbolehkan menurut SNI 01-3141-1998 adalah 20 cfu/ml
8
Mikroorganisme mempunyai batas suhu tertentu untuk kelangsungan hidupnya. Suhu tersebut meliputi suhu optimum, suhu minimum, dan suhu maksimum. Berdasarkan kisaran suhu untuk pertumbuhannya, koliform termasuk grup psikotrofik yaitu mengalami pertumbuhan minimum pada suhu -10oC, optimum pada suhu 20-30oC, dan maksimum pada suhu 42oC (Garbutt 1997). Escherichia coli merupakan sub-grup dari grup koliform fekal. Sebagian E. coli tidak berbahaya dan ditemukan dalam jumlah besar di usus manusia dan hewan berdarah panas (Sides 2006). E. coli pertama kali ditemukan oleh Theobold Escherich tahun 1885 dari feses bayi neonatal. Bakteri ini bersifat komensal atau flora normal saluran pencernaan dan jumlah bakteri tersebut dalam saluran cerna hewan atau manusia sebesar 1% dari total biomas bakteri (Ariyanti dan Supar 2005). E. coli memiliki beberapa strain yang patogen yang dapat menyebabkan diare pada manusia, misalnya strain E. coli O157 :H7. Menurut Ryser (2001), jumlah E. coli strain ini pernah ditemukan 2-5% dalam susu segar suatu industri susu. E. Coli memiliki pH minimal 4,4 (Sherrington dan Gaman 1981).
Gambar 1 Escherichia coli (Sides 2006)
Genus Edwardsiella pertama kali ditemukan oleh Phillips R. Edwards. Bakteri ini diklasifikasikan dalam filum Proteobacteria, kelas Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales, famili Enterobacteriaceae, dan genus Edwardsiella. Edwardsiella memiliki spesies E. ictaluni, E. carnea, E. tarda, dan E. hoshinae. Bakteri yang termasuk famili Enterobacteriaceae ini bersifat motil
9
karena memiliki flagella dan merupakan bakteri patogen occasional opportunistic pada manusia. Keberadaan bakteri ini berhubungan dengan ekosistem air tawar dan dapat menyebabkan gastroenteritis (Anonim 2000a).
Gambar 2 Proteus vulgaris
Gambar 3 Citrobacter freundii
Sama seperti Edwardsiella, genus Citrobacter juga termasuk famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini menggunakan sitrat sebagai sumber karbon. Bakteri ini dapat ditemukan di tanah, air, dan air limbah. Genus Citrobacter jarang menyebabkan penyakit kecuali infeksi saluran urinaria dan meningitis pada bayi. Termasuk dalam spesies Citrobacter antara lain : C. amacomaticus, C. koseri, C. freundii, dan C. diversus. dua spesies yang terakhir dapat menyebabkan bakteremia (Anonim 2007). Genus Klebsiella merupakan golongan koliform yang bersifat non motil. Genus ini sering bersifat patogen seperti menyebabkan pneumonia, Urinary Tract Infection, dan septicaemia. Bakteri ini banyak ditemukan di alam. Termasuk dalam spesies Klebsiella yaitu K. oxytosa, K. planticola, dan K. Pneumonia (Anonim 2007). Bersama dengan Citrobacter dan Klebsiella, genus Enterobacter termasuk koliform non fekal. Enterobacter memiliki strain patogen dan menyebabkan opportunistic infectious pada inang yang immunocompromised, terutama di saluran urinaria dan respirasi. Contoh spesies Enterobacter adalah E. aerogenes dan E. cloacae (Anonim 2007). Genus Hafnia yang termasuk famili Enterobacteriaceae bersifat motil dan merupakan patogen opportunistic pada manusia. Bakteri ini dapat ditemukan pada
10
kotoran manusia dan hewan, tanah, air, dan produk susu. Salah satu spesies dari bakteri ini adalah H. alvei (Anonim 2000b). Genus Serratia merupakan sub-grup koliform yang bersifat aerobik. Serratia dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan yang tidak didinginkan dan menghasilkan pigmen yang berwarna merah (Sherrington dan Gaman 1981). Bakteri ini bersifat motil dan dapat hidup pada suhu 5-40oC dengan pH 5-9. Bakteri ini banyak ditemukan di alam terutama debu. Termasuk dalam spesies Serratia adalah S. marcescens, S. plymuthica, S. liquefacieus, S. rubidae, dan S. odoriferae. Hanya spesies S. marcescens yang bersifat patogen sedang yang lain jarang menyebakan penyakit (Anonim 2007). Genus Proteus berbentuk batang, bersifat motil dan aerobik. Bakteri ini menyebabkan kerusakan pada daging dan telur jika tidak disimpan dalam lemari pendingin (Sherrington dan Gaman 1981). Bakteri ini bersifat kemoheterotrof dan dapat ditemukan di saluran pencernaan manusia dan hewan, tanah, air, feses, daging mentah, dan debu. Contoh dari spesies Proteus antara lain P. vulgaris, P. mirabilis, dan P. penneri (Anonim 2007). Genus Providentia bersifat motil. Termasuk dalam spesiesnya adalah P. friedericiana dan P. stuartii (Anonim 2007). Genus Pseudomonas memiliki bentuk batang pendek dan bersifat aerobik. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu rendah dan menyebabkan kerusakan berbagai bahan pangan yang didinginkan (Sherrington dan Gaman 1981). Pseudomonas memiliki 149 spesies dan memiliki pigmen hijau muda atau hijau tua. Contoh spesies dari Pseudomonas antara lain P. synxanthum dan P. syncyanea. Bakteri ini digunakan untuk analisis bakterial air. Apabila ditemukan bakteri ini di dalam air maka air tersebut dikatakan tidak bersih (Anonim 2007).
Produksi Energi Koliform Menurut Supardi dan Sukamto (1999), koliform termasuk bakteri heterotrofik, sehingga dapat menggunakan berbagai senyawa organik sebagai sumber energi, antara lain : karbohidrat, asam organik, dan asam lemak. Perombakan karbohidrat dapat terjadi melalui glikolisis. Glikolisis tidak mensyaratkan adanya oksigen sehingga dapat dilakukan oleh bakteri anaerob
11
termasuk koliform. Glikolisis merupakan proses perombakan karbohidrat misalnya laktosa pada susu menjadi asam piruvat. Apabila dalam keadaan anaerob, asam piruvat yang terbentuk dari proses glikolisis akan diubah menjadi asam laktat melalui reaksi fermentasi. Terbentuknya asam laktat ini menyebabkan turunnya pH susu sehingga susu menjadi asam dan menurunkan kualitas susu (Pelczar dan Chan 1986). Koliform merupakan bakteri yang dapat memfermentasi laktosa menjadi asam dan gas pada suhu 32o-35o C dalam waktu 48 jam (Hayes dan Boor 2001). Sub grup koliform, E. coli diidentifikasi berdasarkan fermentasi glukosa dan karbohidrat lain menjadi asam (laktat, asetat, dan format) dan gas (CO2, H2) (Ryser 2001).
Sumber Kontaminasi Mikroba Pada Susu Segar Menurut Sanjaya et al. (2007), susu yang keluar dari ambing selalu mengandung mikroba. Pencemaran dapat berasal dari ambing sendiri atau masuk melalui puting susu. Jumlah mikroba bertambah dengan adanya pencemaran dari tangan dan baju pemerah, alat perah, lingkungan seperti kandang, sapi, dan peralatan lain seperti milk can, dan selama transportasi. Menurut Hayes dan Boor (2001), sumber kontaminasi bakteri pada susu segar dapat diklasifikasikan dalam 3 hal yaitu : lingkungan, tubuh sapi, dan peralatan pemerahan. Sumber lingkungan meliputi air, tanah, tanaman, dan kandang. Secara umum, kontaminasi mikroflora psikotrofik berkaitan dengan kandang, air, tanah, dan tanaman. Apabila sanitasi puting sebelum pemerahan tidak diperhatikan dengan benar, akan menyebabkan adanya mikroorganisme dalam susu, sedangkan bila puting dibersihkan dan dikeringkan sesegera mungkin sebelum pemerahan akan menurunkan TPC termasuk koliform, Staphylococcus, dan juga mengurangi sedimen susu. Sedimen dijadikan ukuran untuk kebersihan susu saat diperah dan seharusnya tidak ada di dalam susu. Sedimen susu berupa debris atau reruntuhan kotoran yang bisa melewati saringan susu. Apabila sedimen susu tinggi maka kemungkinan TPC juga tinggi. Reruntuhan debris tersebut dapat berasal dari debu kandang dan puting serta ambing yang tidak dibersihkan (Kirk 2005). Sumber pencemaran mikroba dalam pemerahan meliputi
12
ember, milk can, tabung penghisap dari mesin pemerahan, milk pipelines, bulk tanks, dan transport tankers. Apabila tidak dibersihkan dengan benar peralatan tersebut mungkin meninggalkan residu yang dapat menjadi media pertumbuhan mikroba. Bakteri berkembang biak dan mencemari susu yang kontak melalui alatalat tersebut (Hayes dan Boor 2001). Menurut Sanjaya et al. (2007), sanitasi harus diperhatikan dalam penanganan susu untuk menjaga kualitas susu dan mencegah milkborne disease. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit cara menghilangkan faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dalam rantai perpindahan penyakit tersebut. Prinsip sanitasi antara lain bersih secara fisik, kimiawi (tidak mengandung bahan kimia berbahaya),
dan
mikrobiologis
serta
diterapkan
dengan
memperbaiki,
mempertahankan atau mengembalikan kesehatan (Depdiknas 2001). Menurut Anonim (2006), sanitasi berarti menciptakan lingkungan yang tidak dapat menyediakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba sekaligus membunuh sebagian besar populasi mikroba. Menurut Gamroth dan Bodyfelt (1993), keberadaan bakteri koliform dalam susu mengindikasikan suatu kondisi unsanitary. Bakteri ini bisa terbawa oleh tangan dan baju pemerah, peralatan pemerahan, dan udara. Jumlah koliform dalam susu segar yang diperbolehkan menurut SNI 01-3141-1998 adalah 20 cfu/ml. Bila jumlahnya melebihi 25 cfu/ml maka harus dilakukan pengawasan terhadap sapi yang kotor, pemerahan pada puting yang basah sehingga bakteri bisa berpindah ke dalam susu melalui air, dan sanitasi sebelum pemerahan yang rendah.
13
MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan sampel susu segar dilakukan di peternakan sapi perah rakyat di sekitar Bogor yaitu di daerah Cisarua (4 peternakan) dan Kebon Pedes (3 peternakan). Penelitian ini berlangsung dari bulan Oktober 2006 sampai Januari 2007.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu sampel individu, Buffered Peptone Water (BPW) 0.1%, alkohol 70%, dan es batu. Media kultur yang digunakan adalah Violet Red Bile Agar (VRBA). Media VRBA yang digunakan adalah Pronadisa® dengan nomor seri Cat. 1092.00. Media ini memiliki komposisi glukosa, pepton bakteriologis, sodium klorida, ekstrak yeast, garam empedu N° 13, merah netral, kristal violet, dan agar bakteriologis. Selain itu media ini juga memiliki pH final 7,4 ± 0,2 pada suhu 25oC.
Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alumunium foil, tabung reaksi steril bertutup kapas dan raknya, kapas, botol sampel steril, pipet steril, cawan petri steril, tabung erlenmeyer, bunsen, tube shaker, cooling box, spidol marker, kertas label, dan inkubator dengan suhu 35-37oC. Alat yang digunakan untuk pengamatan dan penghitungan jumlah koloni adalah alat hitung (counter) dan Quebec Colony Counter.
14
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Sampel yang digunakan adalah susu segar yang diperoleh dari peternakan sapi perah rakyat di sekitar Bogor yaitu 3 peternakan di Kebon Pedes dan 4 peternakan di Cisarua. Jumlah sampel dari Kebon Pedes adalah 29 sampel dengan rincian : A=21, B=5, C=3 dan Cisarua 30 sampel dengan rincian : D=12, E=9, F=4, G=5. Susu segar tersebut dihasilkan oleh sapi perah ras Friesian Holland (FH). Jenis sampel yang diambil adalah sampel individu yang berasal dari perahan pagi kira-kira pukul 04.00 WIB. Sampel diambil langsung setelah diperah sebelum dimasukkan milkcan. Kegiatan ini dilakukan secara aseptik untuk meminimalkan kontaminasi terhadap sampel. Sampel dimasukkan dalam botol steril yang ditutup dengan aluminium foil steril dan disusun dalam rak. Selama transportasi sampel disimpan dalam cooling box yang berisi es. Hal ini bertujuan untuk memperoleh suhu sekitar 4oC selama perjalanan ke laboratorium yang akan menghambat pertumbuhan mikroba.
Kuisioner Pengisian kuisioner bertujuan untuk mengetahui tingkat sanitasi dan higiene pemerahan setiap peternakan. Kuisioner tersebut berisi data umum tentang peternak, kandang, peralatan, higiene pemerahan, serta kuantitas dan kualitas air (Lampiran 4). Pengisian kuisioner tersebut berdasarkan wawancara dengan peternak yang bersangkutan dari setiap peternakan.
Pemupukan Sampel Metode penelitian yang digunakan adalah penghitungan jumlah mikroba dengan metode hitungan cawan dengan cara tuang (pour plate methode). Metode ini menggunakan pengenceran 100, pengenceran 10-1, dan pengenceran 10-2. Untuk pengenceran 100, sampel susu diambil 1 ml dan langsung dimasukkan ke dalam cawan petri untuk dipupuk. Untuk pengenceran 10-1, sampel susu diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml BPW 0,1%. Campuran
15
tersebut kemudian dihomogenkan dengan tube shaker. Untuk pengenceran 10-2, larutan 10-1 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml BPW 0,1%. Campuran ini juga dihomogenkan dengan tube shaker. Masing-masing pengenceran tersebut dipupuk dengan cara diambil 1 ml larutan dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang telah diberi label sebelumnya (sesuai dengan angka pengenceran). Media VRBA (40o-50oC) dituang sebanyak 10-15 ml ke dalam masingmasing cawan petri tersebut, lalu isinya dihomogenkan dengan cara digeser-geser di meja membentuk angka 8 beberapa kali supaya media merata ke seluruh permukaan dan dibiarkan memadat. Setelah memadat, dilakukan proses overlay, yaitu dengan cara menuang kembali media VRBA di atas permukaan media sampai menutupi permukaannya dan dibiarkan memadat kembali. Overlay dilakukan untuk memberikan suasana anaerob pada media karena koliform merupakan bakteri anaerob fakultatif. Kemudian pupukan diinkubasi pada suhu 35-37oC selama 24-48 jam. Proses ini dilakukan untuk semua sampel. Semua proses dalam pemupukan ini dilakukan secara aseptis di dekat api.
Pengamatan dan Penghitungan Koliform Menurut Merck (1988), pengamatan pada pupukan media VRBA akan tampak koloni seperti berikut : 1. Merah, dikelilingi oleh zona presipitasi kemerahan, diameter 1-2 mm => Laktosa-positif Enterobacteriaceae, koliform, dan E. coli. 2. Merah muda, berukuran ujung jarum pentul => Enterococci, mungkin Klebsiella. 3. Tidak berwarna => Laktosa-negatif Enterobacteriaceae. Menurut Fardiaz (1992), di dalam media VRBA koliform akan membentuk koloni dengan diameter lebih dari 0,5 mm, berwarna merah ungu, dan dikelilingi oleh area yang menunjukkan pengendapan garam empedu. Koloni yang dihitung adalah yang memiliki ciri-ciri koliform, sedang ciri-ciri yang lain tidak dihitung.
16
Penghitungan koloni koliform mengacu pada pedoman penghitungan jumlah mikroba dalam Lukman DW et al. 2007 (Lampiran 3) dan memakai rumus
Jumlah mikroba per gram / ml = Jumlah koloni x
1 Faktor pengenceran
Gambar 4 Koloni koliform dalam media VRBA
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini diolah dengan metode ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan.
17
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Peternakan
Jenis sapi perah yang digunakan di kota Bogor adalah Friesian Holland (FH). Pada umumnya sapi perah dipelihara secara intensif, seperti halnya di peternakan Cisarua dan Kebon Pedes. Sapi-sapi tersebut terus-menerus dikandangkan. Kandang-kandang tersebut terletak di tengah pemukiman penduduk. Menurut Sarwono dan Arianto (2001), jarak kandang dari tempat pemukiman minimum 50 meter. Apabila jaraknya terlalu dekat sebaiknya dibangun barrier (tembok pembatas) atau pagar tanaman yang pertumbuhannya rapat sebagai peredam angin. Tembok dibangun setinggi 3 meter sebagai barrier pengaruhnya setara dengan jarak 50 meter. Tembok semacam ini tidak ada di kedua wilayah peternakan tersebut. Kandang sapi perah memiliki dinding yang terbuat dari semen dengan tinggi 1 meter. Dinding ini dapat menghalangi sapi dari angin kencang. Di antara dinding dan atap terdapat ventilasi setinggi 1 meter mengelilingi kandang sehingga sirkulasi kandang selalu berjalan dengan baik. Fungsi ventilasi ini antara lain menghilangkan panas yang berlebihan, menjaga kelembaban, mengurangi debu, mengeluarkan gas beracun, seperti amonia, karbondioksida, dan karbon monoksida, serta menyediakan oksigen untuk pernapasan. Atap kandang ada yang terbuat dari asbes atau seng. Menurut Sarwono dan Arianto (2001), atap kandang sebaiknya menggunakan genting. Atap genting dapat menjaga kehangatan kandang, karena pada malam hari udara akan keluar paling banyak ke atas. Pada kedua wilayah peternakan memiliki lantai kandang dari bahan semen. Hal ini baik karena lantai semen memiliki sifat kedap air sehingga kandang tidak terlalu lembab. Lantai kandang sebaiknya memiliki kemiringan 4-5 cm, yang bertujuan agar urin, air siraman pembersih kandang, dan cairan lain di dalam kandang dapat mengalir keluar dengan mudah (Sarwono dan Arianto 2001).
18
Tingkat Pencemaran Koliform pada Susu Segar
Secara umum, peternakan di Cisarua dan Kebon Pedes memiliki tingkat cemaran koliform yang sangat tinggi bahkan jauh melebihi ambang batas SNI 01-3141-1998 yaitu 20 cfu/ml (Tabel 1). Tabel 1 Rata-rata jumlah koliform pada susu segar di peternakan Cisarua dan Kebon Pedes (cfu/ml). Peternakan Kebon Pedes
Jumlah Coliform (cfu/ml)
Peternakan Cisarua
Jumlah Coliform (cfu/ml)
A B C
(2,0. 103 ± 3,6. 103)a (4,1. 102 ± 4,0. 102)a (2,5. 103 ± 3,5. 103)a
D E F G
(5,4. 103 ± 1,8. 104)ab (8,3. 103 ± 2,0. 104)ab (2,2. 104 ± 2,4. 104)b (1,6. 104 ± 1,8. 104)ab
Keterangan : superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).
Berdasarkan hasil analisis data, rata-rata jumlah koliform pada susu segar di peternakan Kebon Pedes berbeda nyata (p<0,05) dengan peternakan Cisarua terutama peternakan F (Tabel 1). Peternakan A, B, dan C di Kebon Pedes memiliki jumlah koliform yang lebih sedikit dibandingkan dengan peternakan F di Cisarua. Sedangkan jumlah koliform di peternakan D, E, dan G tidak berbeda nyata dengan peternakan F meskipun jumlah koliform di ketiga peternakan tersebut lebih sedikit dibandingkan peternakan F. Jumlah koliform pada susu segar yang tertinggi yaitu 2,2. 104 ± 2,4. 104 cfu/ml di peternakan F dan terendah 4,1. 102 ± 4,0. 102 cfu/ml di peternakan B. Rendahnya jumlah koliform pada susu segar di peternakan Kebon Pedes mengindikasikan bahwa penerapan sanitasi pada peternakan ini lebih baik dibandingkan peternakan F. Menurut Sanjaya et al. (2007), sanitasi yang buruk pada peternakan akan menyebabkan pertambahan mikroba mencapai 500-15000 cfu/ml. Menurut Garbutt (1997), kondisi sanitasi yang buruk menyebabkan jumlah mikroba melebihi 105 cfu/ml. Sanitasi yang buruk tercermin dari jarak antara kandang dan sumber pembuangan kotoran (Tabel 2).
19
Tabel 2 Data hasil kuisioner. Parameter yang diamati Pendidikan Peternak • SLTP • SLTA • S1
A
B
v
v
v
Bahan lantai kandang • Tanah • Kayu • semen
G
v v
Frekuensi pembersihan kandang per hari • 1 kali v • 2 kali • > 2 kali
Jarak kandang terhadap pembuangan kotoran • 0-5 m • 5-10 m • >10 m
Peternakan C D E F
v
v
v
v
%
28,57 28,57 42,86
v
28,57 57,14 14,29
v
v
v
v
0 0 100
v
v
v v
42,86 14,29 42,86
v
0 0 100
v
0 14,29 85,71
v
v
v
v
v
v
tempat
Saluran air dalam kandang • Tidak ada saluran air • Saluran air tersumbat • Saluran air lancar Bahan wadah penampungan susu • Karet • Plastik • Milkcan Pencucian alat pemerahan dilakukan • Tidak teratur • Setelah pemerahan • Sebelum pemerahan • Sebelum dan sesudah pemerahan Cara pembersihan alat pemerahan • Air saja • Air dan air panas • Air dan sabun
v v
v
v
v
v
v
v
v
v v
v
v
v
v
0 0 14,29
v v
v
v
v
v
v
85,71
v
28,57 0 71,53
v
v v
v
v
v
20
Parameter yang diamati Pembersihan ambing dan puting sebelum pemerahan • Tidak dibersihkan • Menggunakan air saja • Menggunakan air hangat Pengeringan setelah pencucian ambing dengan • Tissue • Kain • Tidak dilakukan Teat dipping • Tidak dilakukan • Dilakukan Sumber air untuk aktivitas peternakan dari • Sungai • Sumur • PAM • Mata air pegunungan Letak sumber air dari kandang • 0-5 m • 5-10 m • >10 m
A
Peternakan B C D E F
G
v v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v v
v
v
14,29 85.71 0
0 0 100 100 0
v
0 42,86 0 57,14
v
v
v
v
28,57 0 71,53
14,29 85,71
v
v
Pemerah mencuci tangan sebelum melakukan pemerahan v • Tidak • ya Pencucian tangan pemerah sebelum memerah menggunakan • Air saja • Air dan sabun • Air, sabun, dan disikat
v
%
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
85,71 0 0
Rata-rata jarak antara sumur dan kandang adalah >10 meter (71,43%), sedangkan jarak kandang dan tempat pembuangan kotoran bervariasi yaitu 0-5 m (42,86%), 5-10 m (14,29%), dan >10 m (42,86%). Meskipun terdapat beberapa peternakan yang memiliki jarak antara sumur dan tempat pembuangan limbah kotoran serta jarak kandang dan tempat pembuangan kotoran yang sesuai yaitu >10 m, pencemaran koliform tetap tinggi disebabkan peternakan tersebut berada di tengah-tengah pemukiman penduduk. Hal tersebut dapat menyebabkan
21
pencemaran terjadi pada sumber air. Seperti menurut Winarno (1993), tempat pembuangan dan penampungan kotoran manusia yang terlalu dekat dengan sumur, danau, atau sungai, akan meningkatkan penyebaran dan kontaminasi mikroba. Menurut Sides (2006), sumber utama pencemaran koliform adalah dari air yang telah terkontaminasi kotoran manusia dan hewan berdarah panas lainnya. Menurut Maksum (2007), posisi sumur yang terletak sangat dekat (<5 m) dengan limbah pembuangan (septic tank) sudah tidak sesuai dengan standar kesehatan, apalagi bila cara membangunnya tidak dirancang menggunakan pengaman beton untuk menahan rembesan air kotor. Menurut Sukarni (1994), jarak antara sumur dan tempat pembuangan kotoran terbaik 10-20 m, sedangkan jarak sumber air yang berasal dari mata air minimal 20 m dan dialirkan melalui pipa tertutup. Selain itu konstruksi sumur harus dibuat dinding tembok bagian atas sedalam 3 meter dari permukaan tanah agar tidak terjadi rembesan air permukaan. Kemudian bagian atas sumur ditutup dan air sumur diberi kaporit sebagai desinfektan dengan dosis 1 gram per 100 liter. Sukmara (2006) mengatakan jarak antara sumur dan septic tank semestinya 10 meter. Munculnya jarak 10 meter ini bermula dari bakteri E. coli patogen (anaerob) yang biasanya mempunyai usia hidup 3 hari, sedangkan kecepatan aliran air dalam tanah di Pulau Jawa berkisar 3 meter per hari, sehingga jarak ideal antara septic tank dan sumur sejauh 3 m/hari x 3 hari = 9 meter. Kemudian ditambah 1 meter sehingga koliform akan mati sebelum mencapai sumber air. Menurut Effendi (2003), lingkungan perairan mudah tercemar mikroba yang berasal dari pemukiman, pertanian, dan peternakan. Pencemaran koliform di sumber air sangat tidak dikehendaki baik ditinjau dari segi estetika, kebersihan, sanitasi maupun kemungkinan terjadinya infeksi berbahaya. Padahal menurut Cords et al. (2001), kadar koliform pada air yang digunakan untuk usaha peternakan maksimal 1 cfu/ml, atau dapat dilakukan klorinasi dengan konsentrasi 50 ppm bila jumlah koliform melebihi batas tersebut. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 416 tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air, air bersih merupakan air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan memenuhi syarat kesehatan serta dapat diminum apabila telah dimasak. Untuk air
22
bersih, maksimal total coli adalah 0 MPN/100 ml dan fecal coli maksimal 0 MPN/100 ml. Tangan pemerah memiliki peranan dalam pencemaran. Sebelum memerah, mereka mencuci tangan tapi hanya dengan air (100%) sehingga dimungkinkan adanya feses sapi yang menempel saat memandikan sapi. Bahkan pada peternakan E, pemerah tidak mencuci tangan sebelum melakukan pemerahan. Menurut Sanjaya et al. (2007), sebelum memerah, tangan pemerah terlebih dulu dicuci dengan sabun dan disikat sampai bersih. Selain itu pencucian ambing dan puting sapi sebelum pemerahan hanya menggunakan air (85,71%), dan puting tidak dikeringkan (100%). Menurut Hayes dan Boor (2001), bila puting dibersihkan dan dikeringkan sesegera mungkin sebelum pemerahan akan menurunkan TPC (Total Plate Count) termasuk koliform. Teat dipping tidak pernah dilakukan oleh semua peternakan setelah dilakukan pemerahan (100%). Teat dipping dilakukan dengan cara mencelupkan puting dalam sanitaiser yang dapat mencegah terjadinya mastitis subklinis. Sanitaiser yang efektif terhadap koliform yaitu hipoklorit dan iodophore (Depdiknas 2001). Gambaran lain sanitasi peternakan yang buruk adalah dari peralatan pemerahan. Menurut Sanjaya et al. (2007), higiene yang buruk pada peralatan pemerahan susu seperti ember, lap, milkcan, dan saringan bisa menyebabkan pertambahan mikroba mencapai lebih dari satu juta cfu/ml. Hal ini dapat dilihat dari pembersihan kandang hanya dilakukan sekali sehari seperti pada peternakan A dan B (28,57%). Bila manajemen pembersihan kandang tidak baik maka kandang menjadi kotor, lembab, dan tidak nyaman (Sarwono dan Arianto 2001). Peralatan pemerahan hanya dibersihkan menggunakan air (28,57%), air dan sabun (71,53%), tetapi tidak menggunakan air panas. Apabila tidak dibersihkan dengan benar peralatan tersebut mungkin meninggalkan residu yang dapat menjadi media pertumbuhan mikroba. Bakteri berkembang biak dan mencemari susu yang mengalir melalui alat-alat tersebut (Hayes dan Boor 2001). Tingginya jumlah koliform di peternakan F kemungkinan disebabkan karena sebelum pemerahan sapi-sapi di peternakan ini tidak dilakukan pencucian puting. Peralatan yang digunakan juga hanya dibersihkan dengan air biasa bukan air panas dan tidak menggunakan sabun. Menurut CDFA (2008), sapi dengan
23
kondisi mastitis koliform tidak terlalu mempengaruhi jumlah koliform di dalam susu, tetapi pemerahan pada sapi dengan puting yang kotor dan basah serta pembersihan peralatan yang tidak efektif merupakan jalan koliform masuk ke dalam susu di peternakan. Selain itu peternak di peternakan F berpendidikan sarjana sehingga biasanya peternak tidak turun tangan secara langsung menangani pemerahan dan mempercayakan kepada pemerah. Menurut Kirk (2005), pemerah bertanggung jawab memerah sapi yang bersih dengan puting dan ambing yang kering serta harus mengikuti protokol sanitasi dan kebersihan kandang. Apabila tidak diperhatikan maka akan meningkatkan jumlah koliform dalan susu. Sumber air yang digunakan di dalam peternakan F berasal dari mata air pegunungan. Sumber air ini tidak melewati proses peresapan oleh tanah dan langsung berhubungan
dengan
lingkungan
sekitar
sehingga
dapat
meningkatkan
kontaminasi mikroba terhadap sumber air tersebut. Rendahnya jumlah koliform dalam susu segar di peternakan B kemungkinan disebabkan karena pembersihan kandang dilakukan lebih dari dua kali dalam sehari yaitu sebelum pemerahan pagi, pada siang hari, dan sebelum pemerahan sore serta dilakukan pencucian puting sebelum pemerahan. Menurut Kirk (2005), manajemen kebersihan kandang yang baik dapat menurunkan TPC dan sedimen susu. Selain itu peralatan pemerahan dibersihkan sebelum dan sesudah pemerahan dengan menggunakan air dan sabun. Sabun termasuk desinfektan golongan surfaktan (surface active agents) yang dapat membunuh bakteri dengan cara merusak membran sel (Anonim 2006). Sumber air yang digunakan di dalam peternakan B berasal dari sumur. Sumber air ini telah melewati proses peresapan oleh tanah sehingga dapat meminimalisir kontaminasi mikroba. Menurut Winarno (1993), pertumbuhan bakteri pembusuk seperti koliform sebenarnya dapat dihambat dengan cara pendinginan, sehingga memperlambat perkembangbiakan mikroba. Pendinginan terhadap susu segar dimaksudkan untuk mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Gamroth dan Bodyfelt (1993), susu harus didinginkan pada suhu 40oF kurang dari 2 jam setelah pemerahan dan bila susu dibiarkan dalam suhu ruang lebih dari 4 jam maka
24
jumlah bakteri meningkat. Pendinginan sesudah pemerahan untuk sebagian peternakan tidak dilakukan karena alasan ekonomi maupun teknis.
Dampak Koliform pada Susu Segar, Pengolahan, dan Konsumen
Adanya bakteri koliform dalam susu segar menunjukkan adanya kontaminasi pada air dan sanitasi yang buruk dari peternakan. Kontaminasi bakteri perusak di dalam makanan akan menurunkan daya simpan (shelf life) (Winarno 1993), begitu juga dengan keberadaan koliform. Susu yang disimpan dalam suhu ruang akan mempercepat susu menjadi asam. Menurut Sanjaya et al. (2007), genus Escherichia, Citrobacter, Enterobacter, dan Klebsiella dapat memfermentasi laktosa menjadi asam dan gas pada susu 30-380C, dengan proses sebagai berikut : Laktosa Æ asam susu + asam cuka + H2S + alkohol + CO2 Alkohol menyebabkan susu pecah, asam cuka membuat susu menjadi asam, dan H2S membuat bau pada susu. Selain membuat susu menjadi asam, koliform juga membuat susu berasa lobak, berlendir, dan tengik. Pertumbuhan koliform dapat menyebabkan susu berbau apek, asam, berbau sapi, amis, berbau tanah, atau berbau susu fermentasi (Hayes dan Boor 2001). Menurut Sanjaya et al. (2007), warna susu yang normal dipengaruhi oleh lemak susu, protein, dan mineral yang merefleksikan sinar matahari, tetapi beberapa genus koliform dapat menyebabkan perubahan pada warna susu. Genus Serratia membuat warna merah atau merah jambu pada susu segar, sedang Pseudomonas synxanthum menyebabkan susu menjadi kuning. Selain itu, P. synxanthum dapat menyebabkan bau tidak enak pada lapisan krim. Hal ini disebabkan dihasilkannya enzim lipase oleh bakteri tersebut. Warna kebiruan pada susu dapat disebabkan oleh spesies Pseudomonas yang lain yaitu P. syncyanea. Warna susu yang menyimpang tersebut dapat mengakibatkan penyingkiran terhadap susu. Genus Pseudomonas dapat menghasilkan banyak sekali enzim hidrolitik tahan panas (heat-stable), meliputi proteinase, lipase, phospholipase, dan glikosidase. Heat-stable enzymes menahan aktivitasnya setelah susu dipasteurisasi
25
(Marshall 2001). Heat-stable enzymes juga dapat mendegradasi kandungan susu selama proses pasteurisasi meskipun tanpa kehadiran bakteri tersebut. Heat-stable enzymes disekresikan sebelum proses pasteurisasi dan selama pendinginan. Genus Pseudomonas menyebabkan kerusakan susu yang disimpan dalam pendingin (4oC) (Sherrington dan Gaman 1981). Selain genus Pseudomonas, genus Serratia juga dapat menghasilkan heat-stable extracelluler protease dan lipase (Hayes dan Boor 2001). Bakteri koliform yang terdapat di dalam susu segar tidak selalu menyebabkan
penyakit,
tetapi
keberadaan
koliform
tersebut
dapat
mengindikasikan adanya bakteri patogen yang berbahaya terhadap kesehatan konsumen (Sides 2006). Bakteri patogen tersebut antara lain strain E. coli yang patogen. Strain E. coli patogen tersebut dapat menyebabkan diare, yang juga dikenal sebagai Traveller’s Disease karena sering menyerang para turis (Winarno 2004). Selain itu E. coli dapat menyebabkan penyakit kolibasilosis baik yang bersifat enterik maupun nonenterik (Ariyanti dan Supar 2005). Strain E. coli yang paling patogen adalah E. coli O157 : H7. Strain ini dapat menyebabkan diare berdarah akut yang parah, vomitus, demam, hemorraghic colitis, dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) (Anonim 2003). Menurut Ryser (2001), strain patogen E. coli dibagi dalam 5 kelompok yaitu : classic enteropathogenic E. coli (EPEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC), dan enteroadherent E. coli (EAEC). Namun demikian, gejala klinis akibat infeksi strain patogen E. coli tersebut hampir serupa yaitu diare profus atau diare dengan feses bercampur darah (Ariyanti dan Supar 2005). Genus Hafnia dapat menyebabkan bakteremia dan diare (Anonim 2000b), sedangkan genus Edwardsiella dapat menyebabkan gastroenteritis (Anonim 2000a).
26
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Jumlah koliform pada susu segar yang diamati yaitu tertinggi 2,2. 104 ± 2,4. 104 cfu/ml di peternakan F dan terendah 4,1. 102 ± 4,0. 102 cfu/ml di peternakan B. Tingginya jumlah koliform di peternakan F kemungkinan disebabkan karena sebelum pemerahan sapi-sapi di peternakan ini tidak dilakukan pencucian puting. Peralatan yang digunakan juga hanya dibersihkan dengan air biasa bukan air panas dan tidak menggunakan sabun serta sumber air berasal dari mata air pegunungan. Rendahnya jumlah koliform dalam susu segar di peternakan B kemungkinan disebabkan karena pembersihan kandang dilakukan lebih dari dua kali dalam sehari dan dilakukan pencucian puting sebelum pemerahan. Selain itu peralatan pemerahan dibersihkan sebelum dan sesudah pemerahan dengan menggunakan air dan sabun serta sumber air berasal dari sumur.
Saran •
Perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat pencemaran koliform pada sumber air yang digunakan dalam peternakan sapi perah.
•
Dilakukan penyuluhan tentang sanitasi dan higiene bagi pemerah di peternakan sapi perah.
•
Perlu dilakukan public awareness tentang kerugian pencemaran koliform pada susu segar dan bahayanya terhadap konsumen.
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2000a. http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/111/3/e296 [Juli 2007]. [Anonim]. 2000b. http://freepages.pavilion,net/tetrix/hafnia.html. [Juli 2007]. [Anonim]. 2003. http://www.jstage.jst.go.jp/article/internalmedicine/43/7/43620/-article. [Juli 2007]. [Anonim]. 2006. Mikrobiologi Pangan. http://rachdie.blogsome.com/2006/10/17 /mikrobiologi-pangan. [14 Februari 2008]. [Anonim]. 2007. http://www//en.wikipedia.org/wiki/enterobacteriaceae. [14 Februari 2008]. Ariyanti T, Supar. 2005. Keamanan Pangan Produk Peternakan Ditinjau dari Aspek Penyakit. Wartazoa (15) 4 : 187-205. Burrows W. 1963. Textbook of Microbiology. London : WB Saunders Company. Cords BR, Dychdala GR, Richter FL. 2001. Cleaning and Sanitizing in Milk Production and Processing. Dalam : Marth EH, Steele JL, editor : Applied Dairy Microbiology. Ed ke-2, New York : Marcell Dekker, Inc. 547-585. [Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Modul Tehnik Kesehatan Ternak. Jakarta : Depdiknas. http://smkn1nabire.com/modul/budidaya_ternak /tehnik_kesehatan_ternak.pdf [13 Februari 2008] [Depkes] Departemen Kesehatan. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Jakarta : Depkes Dwijoseputro. 1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta : Djambatan. Fardiaz S. 1992. Penuntun Laboratorium Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Gamroth M, Bodyfelt FW. 1993. Good Farm Equipment Sanitation Means Better Milk Quality Tests. Oregon State University. http://extension.oregonstate.edu /catalog/pdf/em/em8408.pdf [13 Februari 2008] Garbutt J. 1997. Essentials of Food Microbiology. London : Arnold. Hayes MC, Boor K. 2001. Raw Milk and Fluid Milk Products. Dalam : Marth EH, Steele JL, editor : Applied Dairy Microbiology. Ed ke-2, New York : Marcell Dekker, Inc. 59-76.
Kirk JH. 2005. Milk Quality on The Dairy-Who is Responsible?. Tulare : University of California Davis. http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INFDA/MilkQual-responsib.pdf [13 Februari 2008] Lukman DW, Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman T, Latif H. 2007. Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Bogor : FKH IPB. Maksum DU. 2007. http//www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2007/ 07/30/brk,20070730-104613,id.html [15 Agustus 2007]. Marshall RT. 2001. Frozen Desserts. Dalam : Marth EH, Steele JL, editor : Apllied Dairy Microbiology. Ed ke-2, New York : Marcell Dekker, Inc. 93-126. Merck E. 1988. Culture Media Handbook. Germany : Darmstadt. Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor : PAU IPB.
Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Volume ke-1, 2. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosoma SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press). Terjemahan dari : Elements of Microbiology.
Ryser ET. 2001. Public Health Concern. Dalam : Marth EH, Steele JL, editor : Apllied Dairy Microbiology. Ed ke-2, New York : Marcell Dekker, Inc. 397-545. Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman T, Lukman DW, Latif H. 2007. Higiene Pangan. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Bogor : FKH-IPB. Sarwono B, Arianto HB. 2001. Penggemukan Sapi Potong secara Cepat. Jakarta : PT Penebar Swadaya. Sherrington KB, Gaman PM. 1981. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Gardjito M et al. Penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : The Science of Food, An Introduction to Food Science, Nutrition, and Microbiology. Sides JJ. 2006. www.doh.wa.goy/ehp/dw/programs/coliform.htm. [Juli 2007]. SNI 01-3141. 1998. Susu Segar. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Spreer E. 1998. Milk and Dairy Product Technology. New York : Marcel Dekker Inc. Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sukarni M. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta : Kanisius. Sukmara C. 2006. http//www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/032007/08/ cakrawala/lainnya02.htm [15 Agustus 2007]. Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1984. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : PT Gramedia, cetakan 4. Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan 1. Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan. Jilid 3. Bogor : M-Brio Press, cetakan 1.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil olahan data dengan Uji ANOVA dilanjutkan dengan Uji Duncan.
Oneway Descriptives
Jumlah_koloni 95% Confidence Interval for Mean N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
A
21
1991.76
3605.334
786.748
350.63
3632.89
*
*
B
5
405.60
401.576
179.590
-93.02
904.22
*
*
C
3
2496.67
3477.101
2007.505
-6140.93
11134.27
*
*
D
12
5375.42
18085.341
5220.788
-6115.46
16866.29
*
*
E
9
8297.67
20068.469
6689.490
-7128.32
23723.66
*
*
F
4
22300.00
23530.123
11765.061
-15141.68
59741.68
*
*
G
5
15708.00
18227.077
8151.396
-6923.90
38339.90
*
*
Total
59
6072.36
14509.858
1889.023
2291.07
9853.65
*
*
Test of Homogeneity of Variances
Jumlah_koloni Levene Statistic
df1
df2
Sig.
2.865
6
52
.017
ANOVA
Jumlah_koloni Sum
of
Squares Between Groups
211656414 8.933
Within Groups
100945222 48.593
Total
122110863 97.526
df 6
52
58
Mean Square 352760691.48 9 194125427.85 8
F
Sig.
1.817
.114
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Dependent Variable: Jumlah_koloni (I) Lokasi
(J) Lokasi
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
Upper Bound Tukey HSD
A
B
B
1586.162
6933.192
1.000
-19675.35
22847.67
C
-504.905
8599.566
1.000
-26876.56
25866.75
D
-3383.655
5041.943
.994
-18845.41
12078.10
E
-6305.905
5550.996
.914
-23328.74
10716.93
F
-20308.238
7601.015
.126
-43617.71
3001.23
G
-13716.238
6933.192
.440
-34977.75
7545.27
A
-1586.162
6933.192
1.000
-22847.67
19675.35
C
-2091.067
10175.144
1.000
-33294.43
29112.30
C
D
E
F
D
-4969.817
7416.347
.994
-27712.98
17773.35
E
-7892.067
7771.395
.948
-31724.03
15939.90
F
-21894.400
9346.467
.244
-50556.52
6767.72
G
-15302.400
8811.933
.595
-42325.31
11720.51
A
504.905
8599.566
1.000
-25866.75
26876.56
B
2091.067
10175.144
1.000
-29112.30
33294.43
D
-2878.750
8993.642
1.000
-30458.89
24701.39
E
-5801.000
9288.593
.996
-34285.65
22683.65
F
-19803.333
10641.421
.515
-52436.59
12829.93
G
-13211.333
10175.144
.850
-44414.70
17992.03
A
3383.655
5041.943
.994
-12078.10
18845.41
B
4969.817
7416.347
.994
-17773.35
27712.98
C
2878.750
8993.642
1.000
-24701.39
30458.89
E
-2922.250
6143.827
.999
-21763.07
15918.57
F
-16924.583
8044.158
.366
-41593.01
7743.84
G
-10332.583
7416.347
.803
-33075.75
12410.58
A
6305.905
5550.996
.914
-10716.93
23328.74
B
7892.067
7771.395
.948
-15939.90
31724.03
C
5801.000
9288.593
.996
-22683.65
34285.65
D
2922.250
6143.827
.999
-15918.57
21763.07
F
-14002.333
8372.625
.637
-39678.05
11673.38
G
-7410.333
7771.395
.962
-31242.30
16421.63
A
20308.238
7601.015
.126
-3001.23
43617.71
B
21894.400
9346.467
.244
-6767.72
50556.52
C
19803.333
10641.421
.515
-12829.93
52436.59
D
16924.583
8044.158
.366
-7743.84
41593.01
E
14002.333
8372.625
.637
-11673.38
39678.05
G
Bonferroni
A
B
C
D
G
6592.000
9346.467
.992
-22070.12
35254.12
A
13716.238
6933.192
.440
-7545.27
34977.75
B
15302.400
8811.933
.595
-11720.51
42325.31
C
13211.333
10175.144
.850
-17992.03
44414.70
D
10332.583
7416.347
.803
-12410.58
33075.75
E
7410.333
7771.395
.962
-16421.63
31242.30
F
-6592.000
9346.467
.992
-35254.12
22070.12
B
1586.162
6933.192
1.000
-20561.78
23734.10
C
-504.905
8599.566
1.000
-27976.05
26966.24
D
-3383.655
5041.943
1.000
-19490.04
12722.73
E
-6305.905
5550.996
1.000
-24038.45
11426.64
F
-20308.238
7601.015
.211
-44589.53
3973.05
G
-13716.238
6933.192
1.000
-35864.18
8431.70
A
-1586.162
6933.192
1.000
-23734.10
20561.78
C
-2091.067
10175.144
1.000
-34595.36
30413.23
D
-4969.817
7416.347
1.000
-28661.19
18721.55
E
-7892.067
7771.395
1.000
-32717.63
16933.50
F
-21894.400
9346.467
.483
-51751.50
7962.70
G
-15302.400
8811.933
1.000
-43451.94
12847.14
A
504.905
8599.566
1.000
-26966.24
27976.05
B
2091.067
10175.144
1.000
-30413.23
34595.36
D
-2878.750
8993.642
1.000
-31608.76
25851.26
E
-5801.000
9288.593
1.000
-35473.22
23871.22
F
-19803.333
10641.421
1.000
-53797.14
14190.47
G
-13211.333
10175.144
1.000
-45715.63
19292.96
A
3383.655
5041.943
1.000
-12722.73
19490.04
B
4969.817
7416.347
1.000
-18721.55
28661.19
E
F
G
C
2878.750
8993.642
1.000
-25851.26
31608.76
E
-2922.250
6143.827
1.000
-22548.58
16704.08
F
-16924.583
8044.158
.845
-42621.48
8772.32
G
-10332.583
7416.347
1.000
-34023.95
13358.79
A
6305.905
5550.996
1.000
-11426.64
24038.45
B
7892.067
7771.395
1.000
-16933.50
32717.63
C
5801.000
9288.593
1.000
-23871.22
35473.22
D
2922.250
6143.827
1.000
-16704.08
22548.58
F
-14002.333
8372.625
1.000
-40748.52
12743.85
G
-7410.333
7771.395
1.000
-32235.90
17415.23
A
20308.238
7601.015
.211
-3973.05
44589.53
B
21894.400
9346.467
.483
-7962.70
51751.50
C
19803.333
10641.421
1.000
-14190.47
53797.14
D
16924.583
8044.158
.845
-8772.32
42621.48
E
14002.333
8372.625
1.000
-12743.85
40748.52
G
6592.000
9346.467
1.000
-23265.10
36449.10
A
13716.238
6933.192
1.000
-8431.70
35864.18
B
15302.400
8811.933
1.000
-12847.14
43451.94
C
13211.333
10175.144
1.000
-19292.96
45715.63
D
10332.583
7416.347
1.000
-13358.79
34023.95
E
7410.333
7771.395
1.000
-17415.23
32235.90
F
-6592.000
9346.467
1.000
-36449.10
23265.10
Homogeneous Subsets Jumlah_koloni
Lokasi
N
Subset for alpha = .05 1
B
5
405.60
A
21
1991.76
C
3
2496.67
Tukey
D
12
5375.42
HSD(a,b)
E
9
8297.67
G
5
15708.00
F
4
22300.00
Sig.
Duncan(a,b)
.131
B
5
405.60
A
21
1991.76
C
3
2496.67
D
12
5375.42
5375.42
E
9
8297.67
8297.67
G
5
15708.00
15708.00
F
4
Sig.
2
22300.00 .110
.065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.712. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 2 SNI No. 01-3141-1998 tentang susu segar. Karakteristik a b c d e f g h i j k
l m
n o p q r
Berat jenis (suhu 27.5oC) minimum Kadar lemak minimum Kadar bahan kering tanpa lemak minimum Kadar protein minimum Warna, bau, rasa, dan kekentalan Derajat asam pH Uji alkohol (70%) Uji katalase maksimum Angka refraksi Angka reduktase Cemaran mikroba maksimum • Angka total kuman • Salmonella • E. coli/patogen • Koliform • Streptococcus grup B • Staphylococcus aureus Jumlah sel radang maksimum Cemaran logam berbahaya • Timbal (Pb) • Seng (Zn) • Merkuri (Hg) • Arsen (As) Residu • Antibiotika • Pestisida/insektisida Kotoran dan benda asing Uji pemalsuan Titik beku Uji peroksidase
SNI 1.01280 3.0% 8.0% 2.7% Tidak ada perubahan 6-7oSH 6.3-6.75 Negatif 3 (cc) 36-38 2-5 (jam) 1.106 CFU/ml Negatif Negatif 20 CFU/ml Negatif 1.102 CFU/ml 4.105 sel/ml 0.3 ppm 0.5 ppm 0.5 ppm 0.5 ppm Negatif Sesuai dengan aturan berlaku Negatif Negatif -0.520 sd -0.560oC Positif
Lampiran 3 Pedoman Penghitungan Jumlah Mikroba (Lukman DW et al 2007) •
Cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni antara 25 dan 250.
•
Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan suatu kumpulan koloni yang besar dan koloni yang diragukan dapat dihitung sebagai satu koloni. Suatu deretan (rantai) koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung sebagai satu koloni.
•
Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua, yaitu angka pertama di depan koma dan angka kedua di belakang koma. Jika angka ketiga ≥5 maka ia harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka yang kedua.
•
Jika semua pengenceran yang dipupuk menghasilkan angka kurang dari 25 koloni per cawan petri, maka hitung jumlah koloni pada pengenceran terendah. Hasilnya dilaporkan kurang dari 25 dikalikan dengan besarnya pengenceran dan cantumkan jumlah sesungguhnya di dalam tanda kurung.
•
Jika semua pengenceran yang dipupuk menghasilkan angka lebih dari 250 koloni per cawan petri, hanya koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung hasilnya dilaporkan sebagai lebih besar dari 250 dikalikan dengan besarnya pengenceran dan jumlah sesungguhnya dilaporkan di dalam tanda kurung.
•
Jika terdapat dua cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan jumlah koloni antara 25-250 dan perbandingan antara hasil pengenceran tertinggi dan terendah <2,0, maka dilaporkan rata-rata jumlah kedua cawan petri tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan keduanya ≥2,0 maka dilaporkan hasil dari pengenceran terkecil (dengan memperhitungkan pengencerannya).
•
Jika digunakan dua cawan petri (duplo) setiap pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut, tidak boleh diambil salah satu, meskipun salah satu cawan tidak menghasilkan 25-250 koloni.
•
Jika pada pengenceran yang terendah menghasilkan angka 0, misal 0×101 maka hasilnya dilaporkan sebagai est < 101 di dalam tanda kurung.
Lampiran 4 contoh lembar kuisioner.
DATA UMUM PETERNAK DAN PETERNAKAN
Nama Pemilik
:
Nama Peternak / Penangung Jawab
:
Umur
:
Pendidikan
:
Alamat
:
Kepemilikan
: Sendiri / Orang lain
Jenis usaha
: Utama / Sampingan
Jumlah ternak
: Laktasi
Rata - rata jumlah produksi / hari
Ekor
Kering Kandang
Ekor
Pedet
Ekor
:
Ltr
1. Kandang o Frekuensi pembersihan kandang
1 kali/hr
2 kali/hr
o Lantai kandang terbuat dari
tanah
kayu
o Jarak kandang terhadap tempat
0-5 m
5-10 m
lain-lain/hr semen > 10
pembuangan kotoran o
Saluran air dalam kandang
tidak ada
tersumbat
lancar
2. Peralatan Wadah penampungan susu o
Pencucian alat pemerahan
karet tidak tentu
plastik
setelah
sebelum dan sesudah o
Cara pembersihan
air saja
milkcan
air dan air panas
lain-lain
sebelum lain-lain lain-lain (sebutkan)
3.
Higiene pemerahan o Apakah sapi dimandikan sebelum diperah o Pembersihan ambing dan puting
tidak
tidak dibersihkan
o Pengeringan setelah pencucian ambing o Pengganti lap
tissue
tidak diganti
o Penggunaan pelicin
kadang-kadang air
vaselin
susu
o Metode pemerahan
tidak setiap ekor
tanpa pelicin
o Pemerah mencuci tangan sebelum melakukan pemerahan o Pemberian pakan selama pemerahan
air hangat
kain
kandang
ya
ya
dua jari
tidak
ya
tidak seluruh jari
o Perlakuan teat dipping setelah pemerahan
tidak
o Frekuensi pemerahan / hari
1x
3x
ya 2x
4. Kualitas dan kuantitas air o Sumber air di peternakan
sungai
o Letak sumber air dari kandang o Persediaan air
sumur
0-5m
PAM 5-10m
lain-lain >10m
sangat kurang
kurang
cukup
sangat melimpah
5. Catatan untuk diamati Penggunaan ember atau wadah untuk penampungan susu o Jumlah ember atau wadah o Pola pengantian wadah o Pola pembersihan wadah (setelah penuh susu dituang ke milkcan) o Pencucian tangan pemerah sebelum memerah air saja
air dan sabun
air, sabun, dan disikat
Lampiran 5 koloni koliform dalam media VRB
pengenceran 100
pengenceran 10-1
pengenceran 10-2.