Analisis Kinerja Persimpangan Bersinyal Akibat Perubahan Fase (Studi Kasus : Jl. Brigjend. Katamso – Jl. AH. Nasution) Ricky Edrian1, Ir. Joni Harianto2 Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl.Perpustakaan No.1 Kampus USU Medan Email:
[email protected] Staff Pengajar Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl.Perpustakaan No.1 Kampus USU Medan
ABSTRAK Sejalan dengan pesatnya perkembangan kota serta meningkatnya aktifitas masyarakat di segala bidang merupakan salah satu penyebab tingginya kemacetan pada jalan khususnya pada persimpangan. Kinerja persimpangan menjadi kebutuhan mendesak dalam kaitannya dengan menejemen lalu lintas yang diterapkan. Untuk mengetahui kinerja persimpangan, penulis melakukan evaluasi terhadap pengaturan fase pada persimpangan bersinyal dan melihat penyebab-penyebab terjadinya kemacetan pada persimpangan. Adapun datadata yang didapatkan dari hasil survey di lapangan dievaluasi dengan menggunakan Metode Kapasitas Jalan Indonesia 1997. Hasil dari evaluasi hasil perhitungan dan analisa data menunjukkan persimpangan Jl. Brigjen.Katamso Jl. Jend. A.H Nasution menghasilkan derajat kejenuhan yang tinggi mencapai 1,25( DS > 0,75 ), dan tingginya tingkat antrian dan tundaan. Setelah didapat hasil dari evaluasi data di lapangan, maka dilakukan analisa lanjut yaitu dengan merubah fase persimpangan Jl.Brigjen.Katamso – Jl.Jend.A.H.Nasution yang menggunakan 4 fase menjadi 2 fase dan 3 fase. 2 Fase ini memberikan derajat kejenuhan yang stabil, antrian serta tundaan yang lebih rendah. Untuk persimpangan Jalan Brigjend. Katamso dan Jalan AH. Nasution fase yang lebih baik digunakan adalah dengan menggunakan sistim 2 fase dimana nilainya yaitu 0,79 yang nantinya dapat mengurangi kemacetan yang terjadi di persimpangan. Untuk mengurangi kemacetan, panjang antrian dan tundaan yang terjadi pada persimpangan jalan Brigjend.Katamso – jalan AH. Nasution perlu adanya perubahan dari median jalan dan melakukan pelebaran jalan. Kata Kunci : Kemacetan, Derajat Kejenuhan, Fase Persimpangan.
ABSTRACT Increasing the activity of people in all fields, parallel with the rapid development of the city, is one of the factors that the high traffic jam , especially at crossroads. The crossroads activity become an urgent need in relation to the traffic management that is applied. In order to recognize the crossroad activity, author evaluate the phase management on the crossing signal and to describe the causes of traffic jam in crossroads. Therefor, the results that obtained from field survey evaluated with Indonesia Road Capacity Method of 1997. The result showed that an overfullnes high degree at Brigjen Katamso- Jend.A.H Nasution crrossroad reached score 1.25 (DS > 0.75), dan the high of queue and delay level. After the evaluation data, the subsequent analysis with change the crossroad phase which 4 phases into 2 and 3 phases. Analysis with 2 phases provide a stable degree of overfullness and low queue and delay level. On Brigjen. Katamso-Jend.A.H.Nasution crossroad, is better to use 2 phase system with 0.79 score which can reduce the crossroad traffic jam. To reduce the traffic jam, the queue and delay line in Brigjen. Katamso-A.H Nasution crossroad, it is necessary to change the median and widen the road. Keywords : Traffic, overfullness degree, crossroads phase.
Pendahuluan Latar belakang Kemajuan dan perkembangan teknologi di kota Medan telah menimbulkan peningkatan dan perkembangan dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Salah satu sektor yang berkembang adalah sektor transportasi yang terdiri dari angkutan darat, angkutan udara, dan angkutan air. Kalau ditinjau pada angkutan darat, peningkatan penggunaan kendaraan tidak terlepas dari peningkatan taraf hidup dan pendapatan masyarakat. Salah satu penyebab dasar masalah transportasi di kota Medan adalah meningkatnya pertumbuhan dan perekonomian penduduk. Dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan diimbangi dengat pesatnya pertumbuhan perekonomian kota, maka akan semakin besar pergerakan dan aktifitas penduduk. Inilah yang menyebabkan kebutuhan akan transportasi semakin besar. Peningkatan kebutuhan akan transportasi menyebabkan masalah kemacetan pada persimpangan jalan Brig. Jend. Katamso – jalan Jend. AH Nasution. Kemacetan ini ditandai dengan antrian ( delay ) yang sangat panjang. Hal ini disebabkan karena persimpangan merupakan tempat kendaraan dari berbagai arah bertemu dan merupakan tempat bagi kendaraan yang hendak merubah arah. Guna mengatasi kemacetan ini sebaiknya dilakukan evaluasi kembali penentuan fase yang sudah ada pada persimpangan tersebut. Evaluasi ini sangat diperlukan karena volume kendaraan pada saat penentuan fase yang terdahulu tentunya berbeda dengan volume kendaraan yang ada sekarang ini. Sehingga dari studi ini diharapkan fase yang diperoleh dapat mengatasi kemacetan di setiap lengan persimpangan. Penentuan fase yang optimum berpengaruh besar dalam meningkatkan kapasitas persimpangan dan sedapat mungkin menghindari terjadinya konflik-konflik lalu-lintas, sehingga diperoleh kelancaran,kenyamanan dan keselamatan bagi kendaraan yang akan melintasi persimpangan ini. Maksud dan Tujuan Penelitian Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengurangi panjang antrian serta tundaan yang terjadi pada setiap lengan persimpangan pada saat jam puncak. 2. Menentukan suatu sistem pengaturan lampu lalu-lintas yakni penentuan fase yang optimum pada persimpangan sehingga dapat meningkatkan kapasitas persimpangan.
Tinjauan Pustaka Persimpangan menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) adalah dua buah ruas jalan atau lebih yang saling bertemu, saling berpotongan atau bersilangan. Persimpangan adalah suatu bagian yang penting dari jalan perkotaan sebab sebagian besar dari efisiensi, kapasitas lalu-lintas, kecepatan, biaya operasi,waktu perjalanan, kenyamanan dan keamanan akan tergantung pada perencanaan persimpangan tersebut. Dari berbagai bentuk, sifat dan tujuan gerakan kendaraan di daerah persimpangan dikenal 4 (empat) tipe dasar pergerakan lalu-lintas pada persimpangan yaitu : 1. Memisah ( Diverging ) Peristiwa berpencarnya peregerakan kendaraan yang melewati suatu ruas jalan ketika kendaraan tersebut sampai pada titik persimpangan.
2.
Bergabung ( Merging ) Peristiwa bergabungnya kendaraan yang bergerak dari beberapa ruas jalan ketika sampai pada titik persimpangan.
3.
Berpotongan ( Crossing ) Peristiwa berpotongan antara arus kendaraan dari satu lajur ke lajur lain pada persimpangan, biasanya keadaan demikian akan menimbulkan titik konflik pada persimpangan.
4.
Menyilang ( Weaving ) Pertemuan dua arus lalu-lintas atau lebih yang berjalan menurut arah yang sama sepanjang suatu lintasan di jalan raya tanpa bantuan rambu lalu-lintas. Gerakan ini sering terjadi pada suatu kendaraan yang berpindah dari suatu jalur ke jalur lain, misalnya pada saat kendaraan masuk ke suatu jalan raya dari jalan masuk kemudian bergerak ke jalur lain untuk mengambil jalan keluar dari jalan raya tersebut. Kendaraan ini akan menimbulkan titik konflik pada persimpangan tersebut.
Parameter pengaturan sinyal 1.
Fase Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia ( 1997 ), fase adalah bagian dari siklus sinyal dengan lampu hijau bagi kombinasi tertentu dari gerakan lalu-lintas. Sedangkan pengertian lain menurut Soejono (1996), fase itu adalah suatu alat pemberi isyarat dalam satu waktu siklus yang memberikan hak jalan pada satu atau lebih gerakan lalu-lintas untuk memperlancar arus kendaraan.
2.
Waktu Siklus Waktu siklus (cyclus time) adalah waktu total dari sinyal lampu lalu-lintas untuk menyelesaikan satu siklus. Waktu siklus yang disesuaikan berdasarkan pada waktu hijau yang telah diperoleh dan telahdibulatkan, dapat ditentukan dari rumus : c = ∑g + LTI dimana: g = waktu hijau (detik ) LTI = waktu hilang total per siklus ( detik ) Tipe Pengaturan Pengaturan dua fase Pengaturan tiga fase Pengaturan empat fase
Waktu siklus yang disarankan (detik) 40 – 80 50 - 100 80 – 130
Tabel 1. Tabel Waktu Siklus 3.
Waktu Hijau Waktu hijau ( green time ) adalah waktu aktual dari suatu fase hijau yang mana pada waktu tersebut lau-lintas mendapat hak jalan melintasi persimpangan. Waktu hijau efektif = Tampilan waktu hijau aktual – kehilangan awal + tambahan akhir
4.
Waktu Antar Hijau Penentuan waktu antar hijau diambil dari perbedaan antara akhir waktu hijau suatu fase dengan awal waktu hijau pada fase berikutnya. Tujuan penentuan waktu hijau ini supaya pada saat fase berikutnya mulai hijau, maka arus lalu-lintas yang bergerak pada fase tersebut semuanya telah melewati persimpangan, sehingga tidak terjadi konflik antara arus lalu-lintas pada fase tersebut dengan arus lalulintas pada fase berikutnya. Maka lamanya waktu antar hijau tergantung pada kecepatan minimum kendaraan untuk melintasi persimpangan tersebut. Pada analisa yang dilakukan bagi keperluan perancangan, waktu antar hijau dapat dianggap sebagai nilai normal seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut : Ukuran Simpang Lebar Jalan Rata-rata Nilai normal waktu antar hijau Kecil 6–9m 4 detik / fase Sedang 10 – 14 m 5 detik / fase Besar ≥ 15 m ≥ 6 detik / fase Tabel 2. Waktu Antar Hijau Indonesia
5.
Waktu Kuning Waktu kuning (amber) adalah waktu dimana lampu kuning dinyalakan setelah lampu hijau dalam sebuah pendekat. Waktu kuning pada umumnya diambil 3 detik.
6.
Rasio Hijau Rasio hijau adalah perbandingan antara waktu hijau dengan waktu siklus dalam suatu pendekat. Rasio hijau dapat ditentukan dengan rumus : = Dimana: GR =Rasio hijau g = waktu hijau c = waktu siklus
7.
Arus Lalu Lintas Jenuh Arus lalu-lintas jenuh adalah arus lalu-lintas maksimum yang dapat melewati persimpangan persimpangan bersinyal. Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (So) dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi sebenarnya. Dapat dituliskan sebagai berikut: S = SO x FCS x FSF x FG x FLT x FRT Untuk pendekat terlindung arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat : So = 600 x We Fp =
[
/
(
) (
/
)/
FRT = 1,0 + PRT x 0,26 FLT = 1,0 – PLT x 0,16
Penyesuaian kemudian dilakukan untuk kondisi-kondisi berikut : Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (Cs) Penduduk Kota Faktor Penyesuaian Ukuran kota (juta jiwa) (FCS) > 3,0 1,05 1,0 – 3,0 1,00 0,5 – 1,0 0,94 0,1 – 0,5 0,83 < 1,0 0,82 Tabel 3 Faktor Penyesuaian Ukuran kota Faktor Penyesuaian Hambatan Samping Lingkungan
Hambatan
Tipe
Jalan
Samping
Fase
Rasio kendaraan tak bermotor 0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
≥0,25
Tinggi
Terlawan
0,93
0,88
0,84
0,79
0,74
0,70
Tinggi
Terlindung
0,93
0,91
0,88
0,87
0,85
0,81
Komersial
Sedang
Terlawan
0,94
0,89
0,85
0,80
0,75
o,71
(COM)
Sedang
Terlindung
0,94
0,92
0,89
0,88
0,86
0,82
Rendah
Terlawan
0,95
0,90
0,86
0,81
0,76
0,72
Rendah
Terlindung
0,95
0,93
0,90
0,89
0,87
0,83
Tinggi
Terlawan
0,96
0,91
0,86
0,81
0,78
0,72
Tinggi
Terlindung
0,96
0,94
0,92
0,89
0,86
0,84
Pemukimam
Sedang
Terlawan
0,97
0,92
0,87
0,82
0,79
0,73
(RES)
Sedang
Terlindung
0,97
0,95
0,93
0,90
0,87
0,85
Rendah
Terlawan
0,98
0,93
0,88
0,83
0,80
0,74
Rendah
Terlindung
0,98
0,96
0,94
0,91
0,88
0,86
Akses Terbatas
Tinggi/Sedang/Ringan
Terlawan
1,0
0,95
0,90
0,85
0,80
0,75
(RA)
Tinggi/Sedang/Ringan
Terlindung
1,0
0,98
0,95
0,93
0,90
0,88
Tabel 4. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping
8.
Kapasitas Persimmpangan Bersinyal Pada umumnya dalam penganalisaan kapasitas, kondisi umum belum memastikan bahwa kondisi tersebut merupakan kondisi yang ideal. Kondisi ideal untuk jalan persimpangan bersinyal adalah sebagai berikut: 1. Memiliki lebar lajur 10 – 12 ft 2. Memiliki kelandaian yang datar 3. Tidak adanya parkir di jalan pada persimpangan 4. Dalam aliran lalu-lintas semuanya terdiri dari mobil penumpang, bus-bus transit lokal tidak boleh berhenti pada areal persimpangan 5. Semua kendaraan yang melintasi persimpangan bergerak lurus 6. Persimpangan bukan berada di daerah distrik usaha bersama ( central business destrict ) 7. Indikasi sinyal hijau ada sepanjang waktu 8. Kondisi-kondisi umum yang ada biasanya mencakup kondisi jalan, kondisi lalu-lintas serta kondisi pengontrolan. Kapasitas untuk tiap lengan simpang dihitung dengan rumus berikut ini : C= Dimana: C = Kapasitas ( smp/jam) S = Arus jenuh (smp/jam hijau) G = Waktu hijau (det) c = Waktu siklus Dari hasil perhitungan kapasitas di atas maka derajat kejenuhan dapat ditentukan. Derajat kejenuhan ( degree of saturation ) adalah perbandingan arus kedatangan dengan kapasitas dan dinyatakan dengan rumus berikut ini : s=
Q C
Dimana: DS = Derajat kejenuhan Q = Arus lalu-lintas C = Kapasitas
Metode penelitian Jenis kendaraan yang merupakan unsur lalu-lintas di atas roda sesuai klasifikasi Bina Marga dapat dibedakan sebagai berikut : - Kendaraan ringan ( LV ), meliputi kendaraan bermotor as dua dengan 4 roda dan dengan as 2,0 – 3,0 m. Termasuk mobil penumpang, oplet, mikrobis, pick up, dan truk kecil. - Kendaraan berat ( HV ), meliputi kendaraan bermotor dengan lebih dari 4 roda dan dengan as lebih dari 3,5 m. Termasuk bis, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi. - Sepeda motor ( MC ), meliputi kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda. Termasuk sepeda motor dan becak mesin. - Kendaraan tak bermotor ( UM ), merupakan kendaraan dengan roda yang digerakkan oleh orang atau hewan.Termasuk sepeda, becak dayung, kereta kuda, kereta dorong. Jenis Kendaraan Kendaraan ringan (LV) Kendaraan berat (HV) Sepeda motor (MC)
Emp untuk tipe pendekat Terlindung 1,0 1,3 0,2
Terlawan 1,0 1,3 0,4
Tabel 5. Nilai ekivalen mobil penumpang ( emp ) Rasio jumlah kendaraan yang membelok ke kiri dan ke kanan bernilai sama untuk pendekat terlawan dan terlindung yang dapat dihitung dengan rumus : PLT = QLT (smp/jam) / Qtotal (smp/jam) PRT = QRT (smp/jam) / Qtotal (smp/jam)
Rasio kendaraan tak bermotor ( PUM ) dapat diperoleh dengan membagi arus kendaraan tak bermotor QUM dengan arus kendaraan bermotor total QMV. PUM = QUM (kend/jam) / QMV (kend/jam) Nilai-nilai normal untuk komposisi lalu-lintas berikut dapat digunakan jika tidak ada taksiran yang lebih baik. Komposisi lalu-lintas kendaraan bermotor (%) Rasio Ukuran Kota Kendaraan tak Kendaraan Kendaraan Sepeda ( juta bermotor Ringan Berat Motor penduduk) (UM/MV) LV HV MC > 3 60 4,5 35,5 0,01 1-3 55,5 3,5 41 0,05 0,5 – 1 40 3,0 57 0,14 0,1 – 0,5 63 2,5 34,5 0,05 < 0,1 63 2,5 34,5 0,05 Tabel 6. Komposisi lalu-lintas normal suatu kota Data Sinyal Lampu Lalu-Lintas Persimpangan jalan Brigjen Katamso - jalan A.H.Nasution menggunakan sistem pengaturan lampu lalu-lintas dengan 4 fase dan waktu siklus sebesar 205 detik. Jalan Pendekat Jalan Brigjen Katamso (selatan) Jalan Brigjen Katamso (utara ) Jalan A.H Nasution (barat) Jalan A.H Nasution (timur)
Waktu merah 150 detik 170 detik 140 detik 155 detik
Waktu hijau 50 detik 30 detik 60 detik 45 detik
Waktu kuning 3 detik 3 detik 3 detik 3 detik
Tabel 7. Data sinyal lampu lalu-lintas Jl. Brig.jend. Katamso – Jl. AH nasution Sumber : Hasil survey di lapangan (2012)
Hasil Penelitian Hasil perhitungan dengan menggunakan 4 Fase Parameter Persimpangan Total Kendaraan (smp/jam) Panjang antrian Maksimum (m) Tundaan Arus Lalu-lintas (det/smp)
A.H Nasution ( Timur )
A.H Nasution ( Barat )
B.Katamso ( Utara )
B.Katamso ( Selatan )
1590
2151
1338
923
142,22
118,75
87,27
134,55
554,3
251,6
499,7
139,1
Derajat Kejenuhan
1,25
1,09
1,21
0,99
Rasio kendaraan
2,565
1,617
2,384
1,146
Hasil perhitungan dengan menggunakan 4 Fase Parameter Persimpangan Total Kendaraan (smp/jam) Panjang antrian Maksimum (m) Tundaan Arus Lalu-lintas (det/smp)
A.H Nasution ( Timur )
A.H Nasution ( Barat )
B.Katamso ( Utara )
B.Katamso ( Selatan )
1912
2700
1692
1208
82,22
105,00
72,73
101,82
19,06
22,79
24,33
30,37
Derajat Kejenuhan
0,65
0,79
0,60
0,79
Rasio kendaraan
0,673
0,767
0,720
0,836
Hasil perhitungan dengan menggunakan 4 Fase Parameter Persimpangan Total Kendaraan (smp/jam) Panjang antrian Maksimum (m) Tundaan Arus Lalu-lintas (det/smp)
A.H Nasution ( Timur )
A.H Nasution ( Barat )
B.Katamso ( Utara )
B.Katamso ( Selatan )
1590
2151
1692
1208
82,22
105,00
94,55
163,64
121,36
74,21
58,60
100,43
Derajat Kejenuhan
1,01
0,93
0,74
0,98
Rasio kendaraan
1,162
0,943
0,819 1,082
Gambar Waktu Siklus
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Hasil perhitungan dari analisa data dengan metode MKJI 1997 menunjukkan bahwa arus lalu lintas dari kinerja persimpangan jalan sudah terlampau jenuh dan melebihi kapasitas terutama dari arah persimpangan A.H NAsution Timur, derajat kejenuhannya pada tahun 2012 mencapai 1,25 (DS >0,75), yang dapat menimbulkan kemacetan, panjang antrian dan tundaan di setiap lengan persimpangan jalan Brigjend. Katamso – A.H Nasution. Sedangkan hasil dari analisa data dengan melakukan perubahan fase dengan menggunakan 2 fase didapat derajat kejenuhan 0,79 (DS > 0,75) dan 3 fase didapat derajat kejenuhan 1,01 (DS > 0,75) dari arah persimpangan A.H Nasution Timur. Untuk persimpangan Jalan Brigjend. Katamso dan Jalan AH. Nasution fase yang lebih baik digunakan adalah dengan menggunakan sistim 2 fase dimana nilai derajat kejenuhannya masih kecil yaitu 0,79 yang nantinya dapat mengurangi kemacetan yang terjadi di persimpangan. Saran Untuk mengurangi kemacetan, panjang antrian dan tundaan yang terjadi pada persimpangan jalan Brigjend.Katamso – jalan AH. Nasution dapat mengikuti beberapa saran berikut: 1. Memperkecil median jalan seperti pulau-pulau jalan dan taman yang berada di dekat lampu lalulintas atau dengan melakukan pelebaran jalan ataupun menambah lebar efektif jalan pada persimpangan. 2. Perubahan fase akan mengubah pengaturan pada lampu lalu-lintas yang dapat mengurangi kemacetan pada persimpangan. 3. Memperhatikan kondisi persimpangan yang sudah terlampau jenuh, maka penanganan simpang juga dapat dilakukan dengan cara merencanakan persimpangan tidak sebidang, yaitu membuat (flyover) yang sudah layak dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA Ansyori,A. A. 2005. Rekayasa Lalu-Lintas. Muhammadiyah Malang University Press, Malang. Bambang, Haryadi. Penundaan di Persimpangan Bersinyal Bercabang Banyak. Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang. Direktorat Jendral Bina Marga. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia. Sweroad bekerja sama dengan PT. Bina Karya, Jakarta. Hartom. 2005. Perencanaan Teknik Jalan I. Up pres, Jakarta. Khisty,C.J.2003.Dasar-dasar Rekayasa Transportasi.Penerbit Erlangga,Jakarta. Putranto, L.S, 2008. Rekayasa Lalu Lintas. PT. Macanan Jaya Cemerlang, Jakarta. Sinuhaji, Christ A. V. 2007. Analisa Penentuan Fase dan Waktu Siklus Optimum Pada Lalu Lintas di Persimpangan Jalan. Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Soedirjo, T.L. 2002. Rekayasa Lalu-Lintas. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Bandung. Widiantono, D. J. 2009. Kebijakan dan Strategi Penanganan Kemacetan Lalulintas di Perkotaan. Ditjen Penataan Ruang. Jakarta.