ANALISIS KESESUAIAN JENIS-JENIS MANGROVE DENGAN KONDISI TAPAK DI KAWASAN DELTA MAHAKAM, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Ali Suhardiman1 dan Sigit Hardwinarto2 1
Laboratorium Inventarisasi dan Perencanaan Hutan, Fahutan Unmul, Samarinda. Laboratorium Konservasi Tanah dan Air, Fahutan Unmul, Samarinda
2
ABSTRACT. Site Species Matching of Mangrove Species in Mahakam Delta, East Kalimantan Province. According to scientific point of view, existing land use in Mahakam Delta do not support conservation efforts in the coastal area. Remote sensing analysis based on recent QuickBird satellite imagery revealed that approximately 60% of study area which covered up Muara Pantuan village, Tani Baru village and Sepatin village had been occupied by shrimp or fish ponds and only 40% remained as rove mangrove forest in various condition. This actual condition needs major policy to decrease forest degradation and increase the rehabilitation efforts paralelly. As operational guidance of mangrove forest rehabilitation, site species matching was developed combining 3 factors which were salinity index, soil texture and tidal inundation. GIS spatial analysis tool had overlaid these data and yield site species matching map. There were 7 mangrove species that literally suitable to plant at the degraded area in this region. Those species were Rhizophora mucronata, Avicennia sp., Sonneratia alba, S. caseolaris, Bruguiera sp., Xylocarpus granatum and Nypa fruticans. Keywords: Delta Mahakam, mangrove, biofisik, analisis spasial, tekstur, salinitas
Hasil penelitian Bakosurtanal dari interpretasi Citra Landsat MSS tahun 1982 menunjukkan luas hutan mangrove di Delta Mahakam masih mencapai 127.900 ha (Hartini dan Cornelia, 2003). Namun selama kurun waktu 20 tahun terakhir, hutan mangrove di Delta Mahakam telah mengalami perubahan yang cukup signifikan terutama sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997 yang lalu (Sandjatmiko dkk., 2006). Konversi hutan mangrove menjadi tambak ikan/udang telah mencapai 54.848,5 ha pada tahun 2006 (Anonim, 2007). Konversi yang terjadi menyebabkan hilangnya fungsi ekologis hutan mangrove yang sangat penting bagi kehidupan baik di darat maupun di perairan. Untuk mengembalikan sebagian fungsi ekologi yang telah hilang tersebut maka diperlukan usaha rehabilitasi kawasan yang nyata meliputi penanaman kembali jenis-jenis mangrove, pengayaan pada tempattempat yang masih bervegetasi namun jarang atau melalui pembangunan tambak ramah lingkungan (sylvo-fishery). Salah satu indikator keberhasilan usaha rehabilitasi adalah persentase hidup bibit yang ditanam. Daya hidup bibit yang ditanam sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik atau keadaan lingkungan lokasi penanaman. Beberapa penelitian telah menghasilkan informasi karakteristik lingkungan yang diperlukan oleh beberapa jenis mangrove agar dapat tumbuh dan berkembang dengan maksimal. Habitat mangrove sedikitnya membutuhkan 3 unsur utama yakni iklim tropis, salinitas dan pasang surut. Spesies hutan mangrove merupakan spesies kawasan tropis yang 112
113
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
secara geografis terbatas pada 23,5o LS sampai 23,5o LU, di mana perbedaan temperatur pada musim yang berbeda tidak boleh terlalu mencolok dengan hujan yang relatif banyak. Oleh karenanya jenis mangrove hidup pada suhu rata-rata 19oC dan tidak toleran lagi bila ada fluktuasi suhu naik lebih dari 10oC atau sebaliknya pada temperatur rendah yang dapat membekukan (Anonim, 2008). Penelitian ini mencoba menganalisis kesesuaian jenis-jenis mangrove terhadap kondisi tapak Delta Mahakam guna kepentingan rehabilitasi kawasan berdasarkan Permenhut nomor P.03/Menhut-V/2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove. Sistem Informasi Geografi (SIG) digunakan untuk melakukan analisis spasial yang diperlukan guna memodelkan kesesuaian lahan dengan jenis-jenis mangrove. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di kawasan Delta Mahakam yang termasuk dalam wilayah administrasi Desa Muara Pantuan, Tani Baru dan Desa Sepatin, Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara. Secara geografis lokasi ketiga desa tersebut berada pada koordinat 117o18’–117o38’ BT dan 00o24’–00o53’ LS meliputi areal seluas 69.210 ha. Pertimbangan memilih ketiga desa adalah luasnya telah meliputi hampir 65% dari luas kawasan delta yang mencapai 108.000 ha (Anonim, 2007). Luas tambak yang diwakili oleh ketiga desa ini mencapai 76,6% dari keseluruhan luas tambak yang mencapai 54.848,5 ha. Alat yang digunakan meliputi hand refractometer, alat penerima GPS, Suunto Tandem, meteran, pita diameter, optical range finder dan parang. Untuk pengolahan data dan analisis spasial SIG digunakan perangkat komputer dan perangkat lunak SIG. Beberapa bahan dan sumber data yang juga diperlukan antara lain data 33 titik sampel sedimen dari penelitian East Kalimantan Project (EKP), Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), Aquades dan data prediksi pasang surut air laut tahun 2009 dari Dinas Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut. Sumber data penelitian ini meliputi data salinitas, tekstur tanah dan lamanya penggenangan kawasan Delta Mahakam oleh pasang surut air laut. Data salinitas dan tekstur diperoleh dari pengukuran 33 titik sampel oleh EKP yang tersebar di kawasan studi. Analisis terhadap tekstur tanah dilakukan di Vrije Universiteit Amsterdam menggunakan alat Laser Grain Size Analysis sehingga dapat dipisahkan setiap persentase masing-masing fraksi penyusun tanah (liat, debu dan pasir). Lamanya penggenangan pasang surut air laut di lokasi studi diturunkan dari informasi titik-titik ketinggian yang ada di peta RBI dikombinasikan dengan data prediksi pasang surut air laut tahun 2009 keluaran Dinas Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut. Sebagai acuan dalam menentukan kesesuaian lahan (tapak) dengan jenis-jenis mangrove digunakan informasi pada Tabel 1 yang tercantum dalam Permenhut nomor P.03/Menhut-V/2004. Analisis spasial dilakukan menggunakan perangkat lunak SIG melalui serangkaian teknik meliputi klasifikasi data, interpolasi data, penambahan atribut data, analisis tumpang susun dan visualisasi hasil analisis dalam bentuk layout peta yang siap cetak.
Suhardiman dan Hardwinarto (2009). Analisis Kesesuaian Jenis-jenis Mangrove
114
Tabel 1. Kesesuaian Beberapa Jenis Tanaman Mangrove dengan Faktor Lingkungannya Jenis Rhizophora mucronata R. stylosa R. apiculata Bruguiera parviflora B. sexangula B. gymnorhiza Sonneratia alba S. caseolaris Xylocarpus granatum Heritiera littoralis Lumnitzera racemosa Cerbera manghas Nypa fruticans Avicennia sp. Sumber: Anonim (2004)
Salinitas (ppt) 10-30 10-30 10-30 10-30 10-30 10-30 10-30 10-30 10-30 10-30 10-30 0-10 0-10 10-30
Toleransi terhadap kandungan pasir Moderat Sesuai Moderat Moderat Moderat Tidak Sesuai Sesuai Moderat Moderat Moderat Sesuai Moderat Tidak Sesuai Tidak Sesuai
Toleransi thd lumpur Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Moderat Sesuai Moderat Moderat Moderat Moderat Moderat Sesuai Sesuai
Frekuensi penggenangan 20 hr/bln 20 hr/bln 20 hr/bln 10-19 hr/bln 10-19 hr/bln 10-19 hr/bln 20 hr/bln 20 hr/bln 9 hr/bln 9 hr/bln Beberapa kali/tahun Tergenang musiman 20 hr/bln 20 hr/bln
Titik-titik sampel sedimen dijadikan dasar dalam membuat interpolasi kondisi tekstur tanah di areal studi. Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu dan liat yang terkandung pada tanah. Dari ketiga jenis fraksi tersebut partikel pasir mempunyai ukuran diameter paling besar yaitu 2–0,05 mm, debu dengan ukuran 0,05–0,002 mm dan liat dengan ukuran <0,002 mm (penggolongan berdasarkan USDA). Keadaan tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap keadaan sifat-sifat tanah yang lain seperti struktur tanah, permeabilitas tanah, porositas dan lain-lain.
Gambar 1. Diagram Segitiga Tekstur Tanah
Segitiga tekstur (Gambar 1) merupakan suatu diagram untuk menentukan kelaskelas tekstur tanah. Ada 12 kelas tekstur tanah yang dibedakan oleh jumlah persentase ketiga fraksi tanah tersebut. Misalkan hasil analisis laboratorium
115
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
menyatakan, bahwa persentase pasir (X) 32%, liat (Y) 42% dan debu (Z) 26%, maka berdasarkan diagram segitiga tekstur, tanah tersebut masuk ke dalam golongan tanah bertekstur liat (clay). Untuk interpolasi, sebaran data yang terlalu lebar terlebih dahulu disederhanakan dengan mengelompokkan data dengan interval tertentu. Untuk analisis sedimen, interval kelas data yang digunakan adalah 10% sesuai dengan pembagian pada diagram segitiga tekstur tanah. Selanjutnya data masing-masing fraksi ditumpang-susunkan untuk memperoleh proporsi dari ketiganya guna penentuan tekstur tanah menggunakan diagram segitiga tekstur tanah dari USDA di atas. Sama halnya dengan analisis sedimen, data salinitas yang diperoleh dari titiktitik sampel memiliki sebaran data yang lebar, sehingga perlu dikelompokkan menjadi kelas-kelas dengan interval 10 ppt (part per thousand). Vegetasi penyusun hutan mangrove di Indonesia umumnya hidup pada kondisi salinitas antara 030 ppt dan hanya sedikit yang memerlukan salinitas lebih dari angka tersebut. Oleh karenanya data dibagi menjadi kelas 010 ppt, 1020 ppt dan lebih dari 30 ppt. Dengan teknik interpolasi, maka dapat diduga kondisi tekstur tanah dan salinitas pada lokasi-lokasi lain di luar titik sampel tanah yang diambil. Teknik interpolasi yang digunakan untuk data sedimen adalah metode IDW (Inverse Distance Weighted) yang mengasumsikan bahwa tiap titik input mempunyai pengaruh yang bersifat lokal yang berkurang terhadap jarak. Metode ini memberi bobot lebih tinggi pada sel yang terdekat dengan titik data dibandingkan sel yang lebih jauh. Titik-titik pada radius tertentu dapat digunakan dalam menentukan nilai luaran untuk tiap lokasi. Interpolasi data salinitas menggunakan metode Spline yang biasa digunakan untuk mendapatkan nilai melalui kurva minimum antara nilai-nilai input. Metode ini baik digunakan dalam membuat permukaan seperti ketinggian permukaan bumi, ketinggian muka air tanah ataupun konsentrasi polusi udara. Kurang bagus untuk situasi dimana terdapat perbedaan nilai yang ekstrim pada jarak yang sangat dekat. Pasang surut merupakan gerakan naik turunnya permukaan laut sebagai adanya gaya tarik-menarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari, terhadap massa air di bumi. Informasi mengenai pasang surut diperoleh dari peramalan gerakan pasang surut yang dibuat oleh Dinas Hidro-Oseaonografi TNI-AL pada lokasi pengamatan Sungai Kutai (Pulau Nubi), pada koordinat 117o5’ BT dan 00o7’ LS. Pasang surut yang terjadi di Delta Mahakam termasuk tipe harian ganda, yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari dengan amplitudo dan periode yang berbeda, dengan fluktuasi maksimum pasang surut adalah sebesar 2,90 m. Dari 12 bulan data pasang surut harian yang tersedia, dipilih 4 bulan sebagai sampel yakni bulan Januari, April, Juli dan Oktober untuk mewakili variasi-variasi pasang surut yang terjadi di Delta Mahakam. Dari 4 bulan yang terpilih tersebut, diidentifikasi pasang tertinggi hariannya. Kisaran data pasang tertinggi harian lalu diurutkan nilainya dari yang terendah hingga tertinggi dan kemudian dihitung frekuensi kejadiannya. Lamanya penggenangan diketahui dengan cara menjumlahkan frekuensi pasang tertinggi harian dari nilai yang terendah. Pada bagian ini data akan dipisahkan lama penggenangan lebih atau kurang dari 20 hari dalam sebulan seperti yang tertuang di dalam Tabel 1. Untuk menentukan secara
Suhardiman dan Hardwinarto (2009). Analisis Kesesuaian Jenis-jenis Mangrove
116
spasial kawasan dengan lama penggenangan tertentu yang diinginkan, maka digunakan bantuan garis kontur yang diturunkan dari proses interpolasi titik-titik ketinggian di kawasan studi bersumber dari Peta RBI. Proses interpolasi menggunakan metode Spline dengan interval 0,5 m, selanjutnya diasumsikan tinggi muka laut adalah 0 m. Kemudian data hasil interpolasi salinitas dan tekstur tanah serta data lamanya penggenangan air laut ditumpangsusunkan (overlay), sehingga diperoleh daerahdaerah dengan karakteristik khusus yang merupakan kombinasi dari ketiga data tersebut. Acuan pada Tabel 1 digunakan untuk menentukan jenis mangrove yang sesuai untuk setiap karakter. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kawasan Delta Mahakam terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil, secara geografis terletak antara 117o14’38,2”–117o39’45,7” BT dan 0o20’10,2”–0o55’43,6” LS. Kawasan Delta Mahakam ini berjarak ±25 Km ke timur dari ibu kota provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Untuk menuju ke lokasi ini hanya dapat ditempuh menggunakan kapal tradisional “dongfeng” atau speed boat dari pelabuhan Samarinda atau dari pelabuhan Sei Meriam, Anggana dengan sistem sewa. Kondisi Biofisik Kawasan Kawasan Delta Mahakam berbentuk kipas dengan pinggiran luarnya berbentuk hampir setengah lingkaran yang terbentuk oleh proses sedimentasi sejak 5.000 tahun yang lalu (Anonim, 2006). Kawasan delta ini berupa kawasan dataran berlumpur (delta plain) yang hampir keseluruhannya tergenang secara periodik dengan alur-alur sungai dan anak-anak sungai yang memotong bagian daratannya, kawasan pasang surut berpasir/paparan delta (delta front) dan kawasan yang tersusun dari lempung menghujam ke arah laut terbuka dan selalu tergenang air laut (prodelta). Berdasarkan taksonomi tanah dari USDA (United States Department of Agriculture) bahwa secara umum ordo tanah yang terdapat di Delta Mahakam adalah Inceptisol, artinya tanah-tanah yang sedang berkembang. Luas ekosistem mangrove Delta Mahakam awalnya lebih kurang 100.000150.000 ha dan memiliki lebar 80 km, didominasi vegetasi nipah dan hutan rawa mangrove yang luas serta merupakan salah satu ekosistem yang penting di Kalimantan Timur (Salahuddin, 2006). Hasil Analisis Spasial Lokasi sampel yang memiliki koordinat bumi dan berkorelasi dengan data salinitas dan sedimen digunakan untuk melakukan interpolasi guna menduga nilai pada tempat-tempat yang tidak terwakili oleh sampel. Penentuan metode interpolasi sangat dipengaruhi oleh pola penyebaran data itu sendiri. Data salinitas memiliki range antara 030 ppt. Pada beberapa titik tertentu tampak adanya kondisi yang cukup berbeda ditandai dengan nilainya yang cukup ekstrim. Atas dasar ini maka
117
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
dapat dianggap bahwa data salinitas tidak berbentuk kontinu melainkan lebih berbentuk diskrit sehingga digunakan metode Inverse Distance Weighted (IDW). Dari 69.120 ha luas kawasan studi, hampir 60%-nya merupakan kawasan yang memiliki salinitas kurang dari 10 part per thousand (ppt) atau permil. Secara spasial sebaran salinitas di kawasan studi terlihat normal, yang mana kadar garam yang cukup tinggi (lebih dari 30 ppt) berada pada bagian terluar dari gugusan kepulauan di Delta Mahakam yang langsung berhubungan dengan laut lepas, sedangkan kadar garam yang rendah (kurang dari 10 ppt) berada di bagian dalam atau hulu kawasan. Persentase kawasan studi dengan kondisi salinitasnya disajikan dalam grafik pada Gambar 2.
11.83%
28.95%
59.22%
<10 ppt
10-20 ppt
20-30 ppt
Gambar 2. Luas Kawasan Penelitian dengan Kondisi Salinitasnya
Hasil analisis sampel sedimen memberikan informasi kandungan fraksi pasir yang memilki kisaran data antara 074,37%. Fraksi debu memiliki kisaran antara 9,0643,58% sedangkan fraksi liat berkisar antara 13,9378,41%. Pada beberapa titik sampel juga ditemui nilai yang cukup ekstrim, sehingga metode interpolasi yang digunakan adalah IDW. Hasil interpolasi masing-masing fraksi kemudian ditumpang-susunkan untuk memisahkan setiap areal studi berdasarkan proporsi ketiga fraksi tersebut. Dengan bantuan segitiga tekstur tanah, diketahui informasi tekstur tanah di lokasi studi dan persentasenya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Luas Masing-masing Tekstur Tanah di Kawasan Penelitian Tekstur Clay Clay loam Loam Sandy clay Sandy loam
Luas (ha) 64.642,20 4.786,76 235,60 744,15 70,17
Persentase 91,72 6,79 0,33 1,06 0,10
Pada Tabel 2 terlihat, bahwa tekstur tanah di kawasan Delta Mahakam khususnya di kawasan penelitian dominan berupa liat (clay) dengan sedikit variasi kehadiran pasir. Kondisi ini umum dijumpai pada sebagian besar hutan mangrove di
Suhardiman dan Hardwinarto (2009). Analisis Kesesuaian Jenis-jenis Mangrove
118
Indonesia. Seperti dijelaskan oleh Atmadja dan Soerojo (1994), bahwa karakteristik umum tanah hutan mangrove di Indonesia antara lain memiliki kandungan liat dan debu yang tinggi. Keadaan ini tentunya berpengaruh kepada jenis-jenis vegetasi mangrove yang tepat untuk ditanam guna keperluan rehabilitasi kawasan. Berdasarkan kriteria kesesuaian jenis mangrove dengan tapaknya maka Rhizophora mucronata, Sonneratia alba dan Avicennia sp. adalah spesies yang paling toleran dengan kondisi tapak seperti ini. Lamanya penggenangan di suatu tempat didekati melalui informasi ketinggian tempat yang diperoleh dari Peta Rupa Bumi Indonesia edisi tahun 1991. Selanjutnya dengan teknik interpolasi dapat diturunkan menjadi kontur. Berbeda dengan data salinitas dan tekstur tanah, interpolasi data ketinggian untuk membuat kontur menggunakan metode Spline. Metode ini menganggap perbedaan data terjadi secara gradual dan hal ini dapat dilihat dari lebar kisaran data tidak terlalu besar. Ketinggian di kawasan studi hanya antara 04 m dpl. Analisis spasial memberikan informasi luas dan persentase daerah-daerah yang tergenang pasang surut lebih dari 20 hari/bulan dan yang tergenang kurang dari 20 hari/bulan seperti disajikan dalam grafik pada Gambar 3.
Luas 17.437 ha (24,74%) Luas 53.042 ha (75,26%)
<20 hari/bulan
>20 hari/bulan
Gambar 3. Persentase Daerah Genangan Pasang Surut
Hasil analisis tumpang susun menggunakan SIG terhadap tiga sumber data yakni salinitas, keadaan tanah (sedimen) dan lamanya penggenangan pada saat pasang surut menghasilkan peta kesesuaian lahan antara jenis mangrove dengan tempat tumbuhnya. Terdapat 7 jenis mangrove mayor yang memenuhi syarat untuk menduduki areal dengan kombinasi faktor salinitas, tekstur tanah dan lamanya penggenangan yakni S. alba, S. caseolaris, Avicennia sp., Bruguiera sp., Xylocarpus granatum, R. mucronata dan Nipa fruticans. Jenis-jenis mangrove di atas khususnya R. mucronata, S. alba dan Avicennia sp. memiliki kemampuan adaptasi yang paling baik terhadap kondisi fisik kawasan saat ini, di mana lebih dari 75% kawasan ini terendam air laut pada saat pasang lebih dari 20 hari dalam sebulan dan hampir 92% bertekstur liat (clay). Jenis-jenis ini pun direkomendasikan pemerintah untuk ditanam pada daerah yang memang lebih sering tergenang karena tahan terhadap pasang surut (Anonim, 2004).
119
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009
Di samping itu, jenis seperti Rhizophora sp. termasuk jenis yang sudah cukup dikenal digunakan oleh masyarakat setempat, pemerintah maupun pihak perusahaan Total E&P Indonesie dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penanaman di kiri kanan pipa migas, kanal/sungai atau rehabilitasi kawasan maupun uji coba pembangunan tambak ramah lingkungan (sylvo-fishery). Anonim (2002) mengumpulkan banyak studi yang telah dilakukan oleh para peneliti dan menyimpulkan bahwa penanaman (replanting) maupun pembudidayaan (regenerating) mangrove khususnya jenis Rhizophora sp. dan Bruguiera sp. relatif lebih mudah dibanding jenis-jenis yang lain. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Interpolasi data salinitas menunjukkan kondisi Delta Mahakam khususnya kawasan penelitian didominasi oleh kadar garam rendah (kurang dari 10 ppt). Dari data tekstur tanah hampir 92% kawasan studi didominasi oleh tekstur liat (clay). Lebih dari 75% daerah penelitian tergenang pasang surut di atas 20 hari dalam sebulan. Jenis-jenis utama yang direkomendasikan untuk kegiatan penanaman karena sesuai dengan kondisi tapak yang dominan bertekstur liat (clay) adalah R. mucronata, S. alba dan Avicennia sp. Saran Pola rehabilitasi hutan mangrove khususnya di kawasan tambak tetap perlu mempertimbangkan saran dan masukan dari masyarakat menyangkut jenis dan pola yang digunakan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002. A Socio Economic and Institutional Analysis of Mahakam Delta Stakeholders. Final Report to Totalfinaelf. PT Win dan Cirad. Anonim. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/MENHUT-V/2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan R.I., Jakarta. Anonim. 2006. Kajian Potensi dan Permasalahan Kawasan Pesisir Delta Mahakam melalui GIS dan Penginderaan Jauh. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kabupaten Kutai Kartanegara, Tenggarong. Anonim. 2007. Laporan Hasil Kegiatan Pemetaan Detail Areal Tambak di Kawasan Delta Mahakam Menggunakan Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografi. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kutai Kartanegara, Tenggarong. Anonim. 2008. Ichthyology. Mangroves: Habitat Requirements. Florida Museum of Natural History. http://www.flmnh.ufl.edu/FISH/southflorida/mangrove/habitat.html#tropical. Atmadja, W.S. and Soerojo. 1994. Mangroves Status of Indonesia. Proceedings of Third Asean-Australia Symposium on Living Coastal Resources. Volume 1: Status Review. Australian Institute of Marine Science, Townsville.
Suhardiman dan Hardwinarto (2009). Analisis Kesesuaian Jenis-jenis Mangrove
120
Hartini, S. dan M.I. Cornelia. 2003. Aplikasi Citra Satelit untuk Inventarisasi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut di Delta Mahakam. http://pssdal.bakorsurtanal.go.id/dokumen. php?doc=isidokumen.php&idTahun=2003&idDocument=21&penulis=Sri+Hartini%2C +M.GIS%2C+Mone+Iye+Cornelia.M%2C+SPi.&menu2=pinch Salahuddin, H. 2006. Memahami Proses Alamiah Degradasi Lingkungan Delta Mahakam. Inovasi Online, 7(XVIII). http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=172. Sandjatmiko, P.; A.M. Rony; H. Tarumadevyanto; I. Suyatna; Y.B. Sulistioadi; I. Tjitradjaja; L. Adrianto dan D.G. Bengen. 2006. Delta Mahakam dalam Ruang dan Waktu. Ekosistem, Sumberdaya dan Pengelolaannya. BPMigas – Total E&P Indonesie dan Institute of Natural & Regional Resources (INRR), Jakarta.