ANALISIS KERUNTUHAN BENDUNGAN MANGGAR MENGGUNAKAN APLIKASI ZHONG XING HY21
JURNAL ILMIAH TEKNIK PENGAIRAN KONSENTRASI SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA AIR Ditujukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik
RIZKI ARDIANSYAH NIM. 125060407111029
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK MALANG 2017
ANALISIS KERUNTUHAN BENDUNGAN MANGGAR MENGGUNAKAN APLIKASI ZHONG XING XY21 (Dam Break Analysis of Manggar Dam Using Zhong Xing XY21) Rizki Ardiansyah1, Andre Primantyo Hendrawan2, Anggara Wiyono Wit Saputra2 1
Mahasiswa Program Sarjana Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya 2 Dosen Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No.167 Malang 65145 – Telp. (0341)-562454 Email:
[email protected]
ABSTRAK Peraturan Pemerintah Indonesia No.37 Tahun 2010 tentang Bendungan mewajibkan setiap bendungan harus memiliki dokumen Rencana Tindak Darurat (RTD), yang mana dibuat berdasarkan hasil analisis keruntuhan terhadap bendungannya. Studi ini bertujuan untuk menganalisis keruntuhan Bendungan Manggar dan mendapatkan klasifikasi bahaya banjirnya dengan mensimulasikan kehancuran Bendungan Manggar. Simulasi tersebut dijalankan menggunakan aplikasi Zhong Xing XY21 dalam dua kondisi, yaitu kondisi ketika Waduk Manggar menerima inflow debit PMF (Probable Maximum Flood) dan kondisi ketika cuaca sedang cerah (Sunny Day). Simulasi keruntuhan tersebut dilakukan dengan 4 skenario indikasi keruntuhan, yaitu overtopping, piping atas, piping tengah, dan piping bawah. Studi ini memberikan hasil bahwa debit banjir PMF di Waduk Manggar adalah sebesar 1.182,206 m3/det, dan skenario keruntuhan Bendungan Manggar yang menyebabkan dampak paling ekstrem adalah piping atas dalam kondisi inflow debit PMF, dengan debit puncak outflow sebesar 3.417,415 m3/dt yang menggenangi area seluas 18,002 km2, area tersebut mencakup Kelurahan Karangjoang, Manggar, Manggar Baru, dan Lamaru. Kata Kunci: Analisis Keruntuhan Bendungan, Bendungan Manggar, Probable Maximum Flood, Sunny Day, Zhong Xing XY21
ABSTRACT Regulation of the Government of Indonesia Number 37 Year 2010 pertaining to Dam obligates every dam to possess document of Emergency Action Plan, in which being established based on dam break analysis of the particular dam. This study aims to analyze the dam break of Manggar Dam and acquiring the classification of the flood impact from the failure of Manggar Dam by simulating the body of Manggar Dam endures failure. The simulations are programmed using Zhong Xing XY21 within 2 conditions, the first condition is when the reservoir of Manggar Dam receives PMF inflow discharge, and the second condition is when the weather in the area of Manggar dam categorized as Sunny Day. Each of all simulations has different scenario to be conditioned, the scenarios are overtopping, upper-piping, middle-piping, and bottom-piping. The results of this study find out that PMF discharge of Manggar Dam’s reservoir is 1.182,206 m3/s, and the most extreme impact generated from upper-piping scenario within condition when the reservoir receives inflow PMF discharge. The maximum outflow discharge is 3.417,415 m3/s ponding 18,002 km2 of the downstream areas, the impacted areas are Karangjoang, Manggar, Manggar Baru, and Lamaru Village. Keywords: Dam Break Analysis, Manggar Dam, Probable Maximum Flood, Sunny Day, Zhong Xing XY21
PENDAHULUAN Peraturan Pemerintah Indonesia No. 37 tahun 2010, tentang Bendungan telah mewajibkan seluruh bendungan yang berada di Indonesia untuk memiliki dokumen RTD (Rencana Tindak Darurat) dan harus diperbaharui setiap 5 tahun sekali, yang mana dibuat berdasarkan hasil analisis keruntuhan terhadap bendungan tersebut. Selain itu, tindakan ini juga perlu dilakukan sebagai suatu bentuk tindakan preventif atas suatu kemungkinan yang mungkin akan terjadi untuk meminimalisir kerugiannya. Laporan statistik dalam Dam Safety and the Environment menyatakan bahwa kasus keruntuhan bendungan selama ini didominasi oleh indikasi overtopping dengan persentase 26% dan piping dengan persentase 39% (The World Bank, 1990:10). Overtopping adalah fenomena peluapan air waduk melalui bagian puncak pada tubuh bendungan utama yang kemudian dapat menyebabkan erosi pada tubuh bendungan yang berakhir pada kelongsoran. Sedangkan piping adalah fenomena rembesan aliran dari waduk, yang mana alirannya keluar dengan membawa material yang tergerus pada bagian internal bendungan sehingga dapat meruntuhkan konstruksi dari bagian dalam, material yang terbawa ini merupakan hasil gerusan atau erosi oleh arus rembesan yang mengarah ke luar. Dengan hal-hal yang sudah dijelaskan tersebut, maka analisis dan simulasi peramalan keruntuhan Bendungan Manggar ini akan dilakukan dengan dua macam kondisi, yaitu ketika terjadi hujan terekstrem yang mana kemudian terkonversi menjadi banjir terekstrem (debit banjir rancangan PMF) untuk daerah tangkapan air Waduk Manggar, dan kondisi ketika tidak terjadi hujan (Sunny Day), yang mana indikasi keruntuhan Bendungan Manggar pada saat kondisi waduknya menerima debit PMF adalah overtopping dan piping, sedangkan indikasi dalam keruntuhan Bendungan Manggar pada saat kondisi
waduknya tidak terjadi hujan adalah hanya piping, karena secara teknis bila tanpa masukan banjir akibat hujan, air pada waduk tidak akan meluap melalui tubuh bendungan sehingga tidak perlu dilakukan dengan indikasi skenario overtopping. METODE Lokasi Studi Bendungan Manggar berhulu di Sungai Manggar Besar dan bermuara di Selat Makassar. Jarak dari hulu ke hilir tersebut adalah sekitar 11,5 km, sedangkan jarak Bendungan Manggar ke pusat Kota Balikpapan adalah sekitar 17 km. Berikut peta lokasi Bendungan Manggar ditunjukan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi Bendungan Manggar Sumber: Google Earth (21-12-2015) Bendungan Manggar terletak pada titik koordinat 1°8’56" Lintang Selatan, dan 116°54'11" Bujur Timur, yaitu di Kota Balikpapan, yang mana memiliki keadaan geografis dengan ketinggian 0-100 meter di atas permukaan laut (DPL) dengan tingkat kemiringan lahan bervariasi, yaitu 85% terdiri dari daerah berbukit dengan kemiringan 15–40%, dan 15% daerah datar dengan kemiringan 0-40%. Data Teknis Bendungan Manggar Reservoir (Waduk): 2 - luas daerah tangkapan air = 50,00 km 3 - kapasitas bruto = 16,30 Juta m 3 - kapasitas efektif = 14,20 Juta m - luas genangan air normal = 403,00 Ha - luas genangan air banjir = 446,50 Ha - elevasi muka air normal = 10,30 m - cadangan musim kemarau = 160 hari tanpa hujan
Bendungan Utama dan Tanggul: elevasi puncak = + 13,40 m - tinggi bendungan = 12.5 m - panjang bendungan utama = 350 m - panjang tanggul = 1,06 m - tinggi bebas (free board) = 1,50 m Pelimpah (Spillway): - tipe = pelimpah samping (side channel) - tipe mercu = ogee tanpa pintu - elevasi puncak = +10,30 m - elevasi lantai apron = +5,50 m - tinggi = 4,80 m - lebar = 75 m - jenis dinding awal = bulat - peredam energi = USBR tipe IV 3 - kapasitas rencana = 564,75 m /dt -
Tahapan Pengerjaan 1. Analisis Hidrologi a. Menguji data curah hujan titik harian maksimum tahunan dari Stasiun Hujan Manggar (point rainfall) agar sesuai dengan kriteria statistik layak digunakan dengan metode-metode sebagai berikut (BSN, 2004:2): - Uji konsistensi dengan metode RAPS - Uji ketidakadaan trend dengan metode Spearman - Uji ketidaktergantungan (independent) dengan metode Mann-Whitney - Uji Stasioneritas (homegenitas dan kestabilan rerata nilai) dengan Uji-F dan Uji-T - Uji deteksi outlier dengan Grubbs and Beck Apabila suatu deret data telah memenuhi kriteria statistik tersebut, maka deret data tersebut selanjutnya boleh digunakan untuk analisis hidrologi lanjutan (Soewarno, 1995:101). b. Mengkonversi data curah hujan titik harian maksimum tahunan tersebut (point rainfall) menjadi curah hujan DTA Waduk Manggar (areal or basin rainfall), hal ini dilakukan karena data yang dibutuhkan harus merepresentatifkan daerah tangkapan airnya atau aliran sungainya, bukan titik pengambilannya. Pengujiannya dilakukan dengan anjuran WMO, yaitu dengan mengalikan data
tersebut dengan angka statistik penyesuainya (WMO, 2009:66-69). c. Meramalkan besar curah hujan rencana atau rancangan untuk DTA Waduk Manggar pada berbagai periode atau kala ulang tertentu, yaitu sebaran tinggi curah hujan daerah yang berkemungkinan untuk terjadi pada berbagai periode ulang. Shahin (1976) menyatakan terdapat jenis metode untuk menganalisis distribusi hujan yang sudah lazim dipakai, yaitu metode Distribusi Gumbel, Distribusi Normal, Distribusi Log Normal, dan Distribusi Log Pearson Tipe III (Harto, 1983:168). Hasil curah hujan rancangan dari metode yang digunakan ini digunakan sebagai pembanding dengan curah hujan rancangan PMP basin rainfall DTA Waduk Manggarnya. d. Menguji kesesuaian statistik hasil curah hujan rancangan yang sudah dihasilkan oleh masing-masing metode peramalannya untuk DTA Waduk Manggar tersebut dengan metode Uji Smirnov-Kolmogorov dan Chi-Square, yang mana masing-masing metode tersebut akan memberikan penilaian subjektif berdasarkan masing-masing teori tersebut dengan hasil kesimpulan berupa pernyataan atas hipotesisnya yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu distribusi hujan yang telah diuji (Harto, 1983:185). Oleh karena demikian, pemilihan sebaran distribusi yang digunakan adalah yang memberikan nilai simpangan terkecil antara parameter kritis dan hitungnya (Triatmodjo, 2013:256). e. Meramalkan besar curah hujan PMP, yaitu curah hujan yang kemungkinan terjadinya tidak didasari oleh periode ulang, namun kemungkinan terjadinya didasari oleh anggapan bahwa curah hujan tersebut merupakan curah hujan yang paling besar (ekstrem), sehingga curah hujannya bersifat long-lasting, atau juga bisa didefinisikan sebagai curah hujan rancangan terbesar yang dianggap sebagai batas atas kuantitas curah hujan, yang mana sering dipersepsikan sebagai nilai yang tidak bisa dilampaui, namun WMO
juga mengakui fakta bahwa nilai PMP hanyalah sebuah perkiraan (Salas, German, Fernando, Pierre, dan Jazuri, 2014:557). Peramalannya bisa dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu meteorologi dan statistik. Pendekatan secara meteorologi tidak dapat dilakukan di Indonesia dikarenakan data yang diperlukan seperti: pusat tekanan tinggi dan rendah, moisture source, dan dew point tidak tersedia, oleh karena itu pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan statistik dengan Metode Hersfield (BSN, 2004:III), sehingga perhitungan ini didasari oleh ketentuan BSN edisi RSNI T-02-2004, yaitu dengan menggunakan data curah hujan harian maksimum tahunan dari Stasiun Hujan Manggar, yaitu data yang masing bersifat curah hujan titik (point rainfall) untuk selanjutnya dikonversikan menjadi curah hujan PMP basin rainfall untuk DTA Waduk Manggar. Berikut persamaanpersamaan yang digunakan: Xm = Xp + Km . Sp Xp = Xn .f1 . f2 Sp = Sn . f3 . f4 dengan: Xm = curah hujan maksimum boleh jadi atau PMP point rainfall (mm) Xp = rerata curah hujan harian maksimum tahunan setelah disesuaikan Km = nilai fungsi durasi hujan dan rerata data curah hujan harian maksimum tahunan Sp = standar deviasi curah hujan harian maksimum tahunan setelah disesuaikan (mm) f1 = faktor penyesuaian terhadap rerata data curah hujan historis f2 = faktor penyesuaian nilai rata-rata terhadap panjang pencatatan data curah hujan f3 = faktor penyesuaian standar deviasi terhadap standar deviasi yang dihitung tanpa nilai maksimum pada data curah hujannya
f4
= faktor penyesuaian standar deviasi terhadap panjang pencatatan data curah hujan
PMPbasin rainfall = PMP point rainfall x adjustment factor for area x adjustment factor for fixed observational time intervals
f. Setelah diperoleh curah hujan rancangan berperiode ulang dan curah hujan rancangan yang paling ekstrem untuk DTA Waduk Manggar, yaitu PMP basin rainfall, selanjutnya ditentukan besar intensitas curah hujan dalam jamjaman berdasarkan durasi maksimum lama hujan pada daerah tersebut. Durasi maksimum lama hujan yang diaplikasikan adalah selama 6 jam, keputusan ini didasari oleh penelitian Hari Indra Prayoga yang menyimpulkan bahwa rerata durasi maksimum hujan dengan intensitas besar di Indonesia adalah selama 6 jam. Dari beberapa metode yang tersedia, Suyono dan Takaeda (1983) menyatakan apabila data yang tersedia adalah data hujan harian, maka pendistribusian hujan dapat dilakukan dengan Metode Mononobe (Triatmodjo, 2013:265), sehingga metode yang digunakan dalam tahap ini adalah metode Mononobe. g. Menentukan intensitas curah hujan rancangan efektif dalam persatuan takaran waktu, karena upaya untuk menentukan pola waktu datang banjir akibat hujan yang dikehendaki adalah jam-jaman, maka intensitas curah hujan rancangan efektif juga harus dalam jam-jaman. Pada tahap ini, diketahui hujan yang turun akan menjadi banjir, namun banjir tersebut belum diprediksi kehilangan debitnya akibat sistem pengaliran pada tata guna lahannya, sehingga perlu ditentukan harga curah hujan rancangan efektifnya terlebih dahulu dengan mereduksikan nilainya menggunakan koefisien pengaliran (C) pada lahan di DTA Waduk Manggar. h. Menghitung debit banjir rancangan untuk DTA Waduk Manggar berdasarkan curah hujan rancangannya. Terdapat 2 jenis metode untuk menghitung debit banjir rancangan, yaitu metode non-
hidrograf (empiris) dan hidrograf. Meskipun metode perhitungan debit banjir rancangan yang pertama kali digunakan untuk desain bangunan hidrolik adalah dengan menggunakan metode empiris, kini metode tersebut dianggap tidak dapat diterima untuk penerapan teknik (Linsley, Max, dan Joseph, 1996:199). Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode Hidrograf Satuan Sintetis (HSS) Nakayasu. Namun perlu diketahui, bahwa HSS Nakayasu merupakan HSS yang tidak dibuat untuk DTA Waduk Manggar, oleh karena itu variabel bebas dalam perhitungan unit hidrografnya perlu disesuaikan terhadap prinsip terjadinya limpasan banjir akibat hujan berdasarkan definisinya, yaitu bahwa limpasan langsung yang tercatat di hilir DAS diakibatkan oleh hujan efektif sebesar 1 mm yang terjadi secara merata dipermukaan DAS, sehingga harga perbandingan volume limpasan hujan dengan luas DAS tersebut adalah harus senilai atau mendekati 1. Selanjutnya, bila mendapatkan hasil yang sesuai, harga debit banjir rancangan pada unit hidrograf demikian dapat dikatakan benar, dan dapat ditentukan harga debit banjir rancangan pada DTA Waduk Manggar dengan menggunakan intensitas curah hujan rancangan pada berbagai periode ulang dan PMP untuk DTA Waduk Manggar menggunakan prinsip perhitungan superposisi hidrograf satuan sitentis, dan selanjutnya menambahkannya dengan harga debit aliran dasar maksimum dalam DTA Waduk Manggar, yang mana pertimbangan dalam studi ini adalah untuk mencari potensi banjir terbesar, maka asumsi yang sesuai untuk aliran dasar ini adalah mengunakan prinsip hidrograf air tanah Gama I yang telah dikembangkan oleh Sri Harto. Proses pengalihragaman hujan menjadi debit pada aliran dasar Gama I merupakan aliran dasar maksimum dan bernilai tetap pada musim penghujan (Harto, 1990:204).
Berikut beberapa persamaan yang digunakan untuk Unit HSS Nakayasu: A RO QP 3,6 0,3 TP T0,3 TP t g 0,8 t r
T0,3 tg dengan: = debit puncak banjir (m3/dt) = luas daerah DAS atau DTA (km2) = curah hujan satuan (1 mm) = tenggang waktu dari awal hujan sampai debit puncak banjir (jam) , = waktu perjalanan dari penurunan debit puncak sampai ke debit sebesar 30% dari puncak (jam) tg = time lag, yaitu waktu mulai hujan sampai debit puncak banjir (jam). Time lag dihitung dengan ketentuan sebagai berikut: Jika panjang alur sungai utama terpanjang (L) lebih dari 15 km, maka: t g 0,4 0,058 .L
Jika panjang alur sungai utama terpanjang (L) kurang dari 15 km, maka: tg 0,21 L0,7
tr = lama hujan efektif; 0,5tg-1tg (jam) α = konstanta Nakayasu, parameter yang disesuaikan Berikut persamaan karakteristik unit hidrograf satuan sintetis nakayasu: Persamaan
Qa QP t / TP
2, 4
Qb1 QP 0,3^ t TP / T0,3
Qb2 QP 0,3^ t TP 0,5T0,3 /1,5T0,3
Qb3 QP 0,3^ t TP 1,5T0,3 /2T0,3
dengan: = kondisi pada kurva naik (m3/dt) = kondisi pada kurva naik ke-1(m3/dt) = kondisi pada kurva naik ke-2(m3/dt) = kondisi pada kurva naik ke-3(m3/dt)
Berikut beberapa persamaan yang digunakan untuk menghitung debit banjir rencana dari Unit HSS Nakayasu dan superposisi dengan Intensitas hujan efektif beserta persamaan aliran dasar untuk daerah tangkapan airnya: Q k =(U1.Pi+U2.Pi-1 +…+ Un.Pi-(n+1)) + B f
2. Analisis Keruntuhan Bendungan
B f = 0,4751 . A0,6444 .D0,9430
dengan: Qk = debit banjir rencana jam ke-k (m3/dt) Un = debit banjir pada ordinat-ordinat kurva hidrograf satuan (m3/dt) Pi = intensitas hujan efektif yang telah terdistribusi sebaran waktunya pada jam ke-i (mm) Bf = aliran dasar (base flow) (m3/dt) = luas daerah DAS (km2) = kerapatan jaringan kuras, yaitu jumlah panjang sungai seluruh tingkat di DAS (km) i. Menyelidiki ekspresi banjir di reservoir (waduk) Bendungan Manggar akibat debit banjir rancangan PMF pada DTA Waduk Manggar (PMF) dengan menelusuri pola aliran banjir di bangunan pelimpahnya dengan metode Muskingum. Dengan upaya ini, dapat diketahui apakah Bendungan Manggar akan mengalami overtopping atau tidak bilamana menerima debit banjir rancangan PMF untuk representatif daerah tangkapan airnya. Berikut persamaan-persamaan tersebut: I1 I 2 1 2 2 S1 Q1 1 t 2
S2 Q2 2 t 2 dengan: I1, I2 = aliran debit masuk pada waktu ke-1 dan ke-2 (m3/dt) Q1, Q2 = aliran debit keluar pada waktu ke-1 dan ke-2 (m3/dt) S1, S2 = tampungan debit pada waktu ke-1 dan ke-2 (m3)
Gambar 2 Alur Simulasi Keruntuhan Bendungan Dengan Zhong Xing HY21 Sumber: Sinotech Engineering Group (2011:1) Analisis yang dilakukan dengan melakukan simulasi keruntuhan pada Bendungan Manggar menggunakan perangkat lunak Zhong Xing HY21. Perlu diketahui, suatu konstruksi bendungan tidak mengalami keruntuhan secara absolut, melainkan diawali dengan secara perlahan pada suatu titik di konstruksinya. Titik konstruksi yang terfokus oleh energi dari luar konstruksi akan bereaksi, bila titik konstruksi tersebut tidak lagi mampu bertahan maka titik tersebut mengalami kekalahan struktur sehingga membentuk rekahan. Rekahan adalah bukaan yang terbentuk pada proses runtuhnya tubuh bendungan, rekahan inilah yang kemudian menjadi awal kehancuran terstruktur untuk bagian konstruksi lainnya. Ritter (1892), Schoklitsch (1917), Dressler (1954), Stoker (1957) dan Barnes (1969) menganggap bahwa rekahan tersebut meruntuhkan seluruh tubuh bendungan dan terjadi secara mendadak, sedangkan peneliti lain seperti Schoklitsch (1917) dan US Army Corps of Engineers (1960) mengakui perlunya anggapan rekahan sebagian, dibandingkan rekahan total, tetapi mereka masih menganggap bahwa rekahan terjadi secara mendadak (Fread, 1999:6). Berikut rujukan pemilihan nilai parameter rekahan dan waktu hancurnya secara keseluruhan pada berbagai jenis bendungan.
Tabel 1. Nilai Lebar Rekahan dan Waktu Keruntuhan Tubuh Bendungan yang Disarankan Bendungan Urugan
Lebar Rekahan Lereng Samping Rekahan Waktu Keruntuhan (jam) Elevasi Muka Air Waduk Pada Keruntuhan
Bendungan Bendungan Beton Pelengkung Beberapa ½ hingga 4 x Lebar total kali lebar tinggi bendungan bendungan monolit 0 sampai 1 tinggi 0 bendungan
Lereng dinding lembah
0,5 hingga 4
0,1 hingga 0,5
Mendekati tiba-tiba (0,1 jam)
1 sampai 5 ft di atas puncak bendungan
0 sampai 50 0 sampai 50 ft di ft di atas atas puncak puncak bendungan bendungan
Sumber: Fread (1999:5) Rekahan yang disebabkan oleh overtopping dianggap berkembang pada suatu interval waktu tertentu dan akan mempunyai bentuk akhir tergantung dari parameter lebar dasar akhir (b) dan parameter lain (Z). Parameter bentuk (Z) menunjukkan kemiringan lereng samping dari rekahan, yaitu 1 vertikal dan Z horisontal. Nilai (Z) mempunyai rentang nilai 0 sampai lebih besar dari 2. Bentuk rekahan segi empat, segitiga atau trapezium yang dapat ditentukan dengan berbagai kombinasi nilai Z dan b. Ilustrasi pada Gambar 3 adalah gambaran rekahan yang terjadi akibat overtopping, biasanya namun tidak dapat dipastikan, elevasi dasar rekahan (hbm) yang akan dicapai setelah berangsur-angsur melebar (hb) yang mana sebelumnya bermula pada elevasi titik awal rekahan (hd) adalah elevasi dasar bendungan itu sendiri.
Gambar 3. Ilustrasi Rekahan Pada Bendungan Akibat Overtopping Sumber: Fread (1999:7) Rekahan bendungan karena piping yang diawali dengan rembesan di dalam tubuh bendungan, dimodelkan dengan menentukan elevasi awal titik pusat
lubang rembesan seperti ditunjukkan dalam Gambar 4. Keruntuhan akibat rembesan terjadi saat rekahan awal telah mencapai suatu titik di bawah puncak bendungan karena erosi dari saluran internal dalam bendungan oleh air yang melewatinya. Dengan berlangsungnya erosi, lubang akan semakin membesar seiring debit yang melaluinya, yang akhirnya dipercepat dengan runtuhnya bagian atas dari bendungan akibat dari kegagalan struktur. Biasanya namun tidak dapat dipastikan, elevasi dasar rekahan (hbm) yang akan dicapai setelah berangsurangsur melebar dengan lebar (b) yang mana sebelumnya bermula pada elevasi titik awal rekahan (hf) adalah elevasi dasar bendungan itu sendiri. Sedangkan untuk parameter nilai (Z) dalam mekanisme piping mempunyai nilai 0 karena bentuknya dianggap persegi, sehingga tidak memiliki kemiringan.
Gambar 4. Ilustrasi Rekahan Pada Bendungan Akibat Overtopping Sumber: Fread (1999:8) Berikut data yang dibutuhkan untuk simulasi keruntuhan bendungan pada Bendungan Manggar menggunakan perangkat lunak Zhong Xing HY21: - Koordinat Bendungan Manggar - Peta Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Manggar - Hidrograf debit banjir rancangan PMF DTA Waduk Manggar - Peta sistem pengaliran sungai berupa CAD dan data teknis pada hilir Bendungan Manggar, yang mana dalam Bendungan Manggar, titik hilir observasi adalah pantai, sehingga yang dibutuhkan adalah data pasang surut pantainya. - Peta topografi (kontur) dengan skala 1:25.000 berupa CAD dan DEM
(Digital Elevation Model) untuk wilayah sekitar Bendungan Manggar. - Lengkung kapasitas tampungan Waduk Manggar. - Data teknis Bendungan Manggar. - Peta administrasi hilir Bendungan Manggar. Dengan data-data tersebut simulasi dengan Zhong Xing XY21 dapat dilakukan. 3. Penentuan Tingkat Bahaya Banjir Akibat Keruntuhan Bendungan Upaya penentuan tingkat bahaya banjir di wilayah terdampak akibat keruntuhan Bendungan Manggar dilakukan dengan menyesuaikan keadaan peta sebaran genangan banjir hasil simulasi keruntuhan bendungannya yang sebelumnya telah di overlay-kan atas peta administrasi wilayah hilir Bendungan Manggar terhadap Surat Keputusan Dirjen Sumber Daya Air No. 257/KPTS/D/2011, tentang Pedoman Klasifikasi Bahaya Bendungan. Berikut parameter-parameter tersebut disajikan dalam Tabel 2 dan Gambar 5. Tabel 2. Kriteria Penetapan Tingkatan Bahaya Banjir Keruntuhan Bendungan Jarak dari Bendungan (km) 0 – 5 0 – 10 0 – 20 0 – 30 0 - >30 0 1 1 1 1 1 1 – 100 3 3 2 2 2 101 – 1000 4 4 4 3 3 >1000 4 4 4 4 4 PenRis
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (2011:7)
Parameter-parameter tersebut di atas merupakan upaya penentuan tingkat bahaya banjirnya dengan menggunakan parameter PenRis (penduduk yang terkena resiko) terhadap jarak bendungan, tinggi genangan, dan kecepatan banjir. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Hidrologi Dari luas DTA Waduk Manggar seluas 50 km2 yang hanya memiliki stasiun hujan tunggal, yaitu Stasiun Hujan Manggar sebagai representatifnya dengan panjang data historis selama 10 tahun (Januari 2005-Desember 2014) dan telah teruji kriteria statistik untuk layak digunakan, maka, diperoleh curah hujan PMP point rainfall sebesar 822,183 mm yang terkonversi ke dalam bentuk PMP basin rainfall sebesar 821,854 mm dengan nilai adjustment factor for area sebesar 98% dan nilai adjustment factor for fixed observational time intervals sebesar 1,02. Dengan demikian nilai intensitas curah hujan efektif PMP basin rainfall jamjaman tersebut sesuai dengan rata-rata hujan tinggi di Indonesia selama 6 jam berdasarkan perhitungan metode monobe selama adalah sebagai berikut: Tabel 3. Curah Hujan Rancangan Efektif Jam-Jaman PMP DTA Waduk Manggar Jam ke1 2 3 4 5 6
Persentase Curah Hujan Rancangan Efektif JamIntensitas Jaman PMP (mm) 523.192 (% ) 287,9240 55,0321 74,8370 14,3040 52,4970 10,0339 41,7930 7,9880 35,2920 6,7456 30,8490 5,8964
Sumber: Perhitungan, 2016
Gambar 5. Parameter Ketinggian dan Kecepatan Banjir untuk Penetapan Tingkat Bahaya Banjir Akibat Keruntuhan Bendungan Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (2011:32)
Identifikasi Unit Hidrograf Satuan Nakayasu berdasarkan karakteristik DTA Waduk Manggar dengan pengujian maksimum yang menghasilkan faktor koreksi paling mendekati nilai 1, yaitu sebesar 0,980 adalah dengan nilai Konstanta Nakayasu sebesar 3. Berikut Unit Hidrograf Satuan tersebut disajikan dalam Gambar 6.
puncak tubuh bendungan adalah +13,4 m. Berikut hasil penelusuran banjir tersebut ditunjukan dalam Gambar 8.
Gambar 6. Grafik Hasil Perhitungan Unit Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu Sumber: Perhitungan, 2016 Sedangkan aliran dasar (Qbaseflow) untuk DTA Waduk Manggar adalah sebesar 9,157 m3/dt, dan berdasarkan superposisi antara intensitas curah hujan PMP DTA Waduk Manggar dengan Unit Hidrograf Satuan Nakayasu beserta aliran dasar DTA Waduk Manggar diperoleh Debit Banjir Rancangan pada berbagai kala ulang dan PMF, yaitu sebagai berikut:
Gambar 7. Grafik Perbandingan Debit Rancangan Unit HSS Nakayasu Sumber: Perhitungan, 2016 Dari grafik tersebut diketahui bahwa debit banjir rancangan secara berurutan pada kala ulang 25 thn, 50 thn, 100 thn, 200 thn, 1000 thn, dan kala ulang PMF adalah sebesar 300,259 m3/dt, 324,043 m3/dt, 343,533 m3/dt, 360,936 m3/dt, 396,437 m3/dt, dan 1.182,206 m3/dt. Dengan demikian, debit banjir terbesar yaitu debit banjir PMF diselidiki lebih lanjut ekspresi banjirnya ketika alirannya tiba di Waduk Manggar dengan penelusuran banjir Metode Muskingum. Berdasarkan Gambar tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Bendungan Manggar tidak mengalami overtopping, karena tercatat bahwa peramalan elevasi tertinggi debit banjir maksimum terekstrem yaitu QPMF pada waduk adalah setinggi +13,218 m, yang mana elevasi
Gambar 8. Grafik Hubungan Inflow dan Outflow Pada Penelusuran Banjir Lewat Pelimpah Sumber: Perhitungan, 2016 Analisis Keruntuhan Bendungan Berikut perincian skenario dalam simulasi keruntuhan Bendungan Manggar menggunakan aplikasi Zhong Xing XY21: 1. Inflow Q PMF skenario overtopping pada bendungan yang diasumsikan mengalami landslide, sehingga elevasi puncak tubuh bendungan yang awal nya +13,4 m menjadi +13,0 m. 2. Inflow Q PMF skenario piping atas, keadaan elevasi puncak tubuh bendungan tetap pada +13,4 m, dan elevasi titik mulai rekahannya pada elevasi +10.3 m. 3. Inflow Q PMF skenario piping tengah, keadaan elevasi puncak tubuh bendungan tetap pada +13,4 m, dan elevasi titik mulai rekahannya pada elevasi +5,0 m. 4. Inflow Q PMF skenario piping bawah, keadaan elevasi puncak tubuh bendungan tetap pada +13,4 m, dan elevasi titik mulai rekahannya pada elevasi +2,0 m. 5. Sunny Day skenario piping atas, keadaan elevasi puncak tubuh bendungan tetap pada +13,4 m, dan elevasi titik mulai rekahannya pada elevasi +10.0 m. 6. Sunny Day skenario piping tengah, keadaan elevasi puncak tubuh bendungan tetap pada +13,4 m, dan elevasi titik mulai rekahannya pada elevasi +5,0 m. 7. Sunny Day skenario piping bawah, keadaan elevasi puncak tubuh bendungan tetap pada +13,4 m, dan elevasi titik mulai rekahannya pada elevasi +2,0 m.
Dari seluruh daftar skenario di atas, diperoleh hasil yang paling menyebabkan dampak terekstrem, yaitu skenario indikasi piping atas dengan Q Inflow PMF dengan sebaran banjir seluas 18,002 km2, yang memiliki debit outflow sebesar 3.417,415 m3/dt pada waktu puncak ke 10.804 dt. Berikut karakteristik banjir yang disebabkan oleh skenario tersebut:
Tabel 4. Karakteristik Genangan Banjir Titik Terdampak Piping Atas Inflow PMF
Sumber: Running Zhong Xing XY21, 2017 Berikut peta sebaran banjir yang telah di-overlay terhadap peta administrasinya:
Gambar 9. Grafik Kedalaman Banjir di Titik Terdampak Piping Atas Inflow PMF Sumber: Running Zhong Xing XY21, 2017
Gambar 12. Peta Overlay Genangan Banjir Akibat Keruntuhan Bendungan Manggar Skenario Indikasi Keruntuhan Piping Atas Debit Inflow PMF Sumber: Running Zhong Xing XY21, 2017 Gambar 10. Grafik Elevasi Muka Banjir di Titik Terdampak Piping Atas Inflow PMF Sumber: Running Zhong Xing XY21, 2017
Penentuan Tingkatan Bahaya Banjir Akibat Keruntuhan Bendungan Penentuan klasifikasi tingkat bahaya banjir yang berhubungan dengan jiwa manusia yang terancam bahaya atau PenRis (Penduduk Terkena Resiko) adalah sebagai berikut: Tabel 5. Klasifikasi Bahaya Banjir Berdasarkan Penduduk Terkena Resiko
Gambar 11. Grafik Kecepatan Banjir di Titik Terdampak Piping Atas Inflow PMF Sumber: Running Zhong Xing XY21, 2017 Dari perolehan hasil karakteristik tersebut baik dalam grafik ataupun animasi sebaran banjirnya, berikut disajikan rekapitulasinya dalam Tabel 4.
Sumber: Perhitungan Analisis, 2017
Penentuan klasifikasi tingkat bahaya banjir berdasarkan atas ketinggian dan kecepatan banjir adalah sebagai berikut: Tabel 6. Klasifikasi Bahaya Banjir atas Ketinggian dan Kecepatan Banjir
Sumber: Perhitungan Analisis, 2017 KESIMPULAN 1. Besar curah hujan terkestrem, yaitu curah hujan maksimum boleh jadi daerah (Probable Maximum Precipitation Basin Rainfall) untuk DTA Waduk Manggar seluas 50 km2 adalah 821,854 mm, yang mana sebelumnya diperoleh dari curah hujan maksimum boleh jadi titik di Stasiun Hujan Manggar (Probable Maximum Precipitation Point Rainfall) sebesar 822,183 mm, dengan intensitas curah hujan efektif jam-jaman selama 6 jam, yaitu adalah sebesar 287,924 mm pada jam ke-1, 74,837 pada jam ke-2, 52,497 mm pada jam ke-3, 41,793 pada jam ke-4, 35,292 pada jam ke-5, dan 30,849 pada jam ke-6. Sedangkan besar debit banjir terekstrem, yaitu debit banjir PMF di Waduk Manggar seluas 50 km2 adalah 1.182,206 m3/det dengan waktu puncak pada jam ke-2. 2. Pada kondisi inflow debit PMF diperoleh debit outflow terbesar adalah berdasarkan skenario indikasi piping atas, yaitu sebesar 3.417,415 m3/dt pada waktu puncak ke 10.804 dt dengan luas genangan banjir seluas 18,002 km2 yang mana selanjutnya menjadi skenario terpilih, sedangkan pada kondisi Sunny Day diperoleh debit outflow terbesar adalah berdasarkan skenario indikasi
piping atas, yaitu sebesar 2.378,529 m3/dt pada waktu puncak ke 1.808 dt dengan luas genangan banjir seluas 8,895 km2. 3. Berdasarkan hasil pemetaan genangan banjir pada wilayah terdampak akibat skenario keruntuhan Bendungan Manggar terpilih, terdapat 4 Kelurahan yang tergenang banjir, yaitu Karangjoang, Manggar, Manggar Baru, dan Lamaru. 4. Karakteristik banjir pada daerah terdampak akibat keruntuhan Bendungan Manggar dengan skenario indikasi keruntuhan di titik representatif Kelurahan Karangjoang, Manggar, Manggar Baru, dan Lamaru secara berurutan dari tinggi banjir maksimumnya adalah 1,78 m, 3,15 m, 3,41 m, dan 3,09 m, elevasi banjir maksimum adalah 10,90 m, 7,66 m, 7,66 m, dan 7,66 m, kecepatan banjir maksimumnya adalah 1,41 m/dt, 0,55 m/dt, 0,46 m/dt, dan 0,08 m/dt, dan waktu tiba banjirnya adalah jam ke-2, ke-7, ke-5, dan ke-9. 5. Pengklasifikasian bahaya banjir terhadap daerah terdampak akibat keruntuhan Bendungan Manggar dengan skenario indikasi keruntuhan terpilih berdasarkan PenRis memberi hasil bahwa daerah dengan Tingkat Bahaya Rendah adalah Kelurahan Karangjoang dengan jumlah PenRis sebanyak 0 jiwa dan berjarak 0,83 km dari Bendungan Manggar, dan daerah dengan Tingkat Bahaya Sangat Tinggi adalah Kelurahan Manggar dengan jumlah PenRis sebanyak 34.164 jiwa dan berjarak 7,64 km, Manggar Baru dengan jumlah PenRis sebanyak 17.637 jiwa dan berjarak 6,72 km, dan Lamaru dengan jumlah PenRis sebanyak 1.440 jiwa dan berjarak 8,12 km. Sedangkan pengklasifikasian bahaya banjir berdasarkan ketinggian dan kecepatan banjir memberi hasil bahwa pada Kelurahan Karangjoang berdasarkan karakteristik tinggi dan kecepatan banjirnya tergolong sebagai Zona Bahaya Sedang, sedangkan pada Kelurahan
Manggar, Manggar Baru, dan Lamaru berdasarkan karakteristik tinggi banjirnya tergolong sebagai Zona Bahaya Tinggi, namun bila berdasarkan karakteristik kecepatan banjirnya tergolong sebagai Zona Bahaya Rendah. SARAN Penyusun menyarankan mengenai beberapa hal-hal teknis seperti pembuatan mesh di internal boundary untuk tidak membuat terlalu besar (renggang) karena bagaimanapun juga hal tersebut sangat mempengaruhi karakteristik banjir, selain itu parameter teknis untuk jembatan dan lateral flow bilamana ada, dan terkait peta DEM (Digital elevation model) yang digunakan sebagai data masukan untuk bed elevation, sebaiknya menggunakan peta yang terbaru dan paling mutakhir, yang mana derajat ketelitian elevasi terhadap kondisi existing diyakini dapat lebih mendetail, karena hal ini tentu dapat menyempurnakan peramalan pemetaan genangan dan karakteristik banjirnya. DAFTAR PUSTAKA Badan Standarisasi Nasional. 2004. Tata Cara Penghitungan Hujan Maksimum Bolehjadi dengan Metode Hersfield. RSNI T-02-2004. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Fread, D. L. 1999. Program Methodology. Dalam U.S. Army Corps of Engineers. User’s Manual BOSS DAMBRK: Chapter 6. Madison: BOSS International. Harto, S. 1983. Mengenal Dasar Hidrologi Terapan. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Harto, S. 1990. Analisis Hidrologi. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik Universitas Gadjah Mada. Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. 2011.
Klasifikasi Bahaya Bendungan. Pedoman Teknis Konstruksi dan Bangunan Sipil. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Linsley, R.K., Max, A.K., & Paulhus, J.L.H. 1996. Hydrology for Engineers. Third edition. Dalam Yani, S., & Edi, H. (Editor). Hidrologi untuk Insinyur. Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga. Salas, J. D., German, G., Fernando, R. S., Pierre, Y. J., & Jazuri, A. 2014. Uncertainty of the PMP and PMF. Dalam Saeid, E. (Editor). Handbook of Engineering Hydrology: 575-603. Boca Raton: CRC Press. Sinotech Engineering Group. 2011. Zhong Xing-HY21 Step By Step Manual. Taipei: Sinotech Engineering Group. Soewarno. 1995. Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data. Jilid I. Bandung: Nova. Soewarno. 1995. Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data. Jilid II. Bandung: Nova. The World Bank. 1990. Dam Safety and the Environment. Dalam Guy, L.M., Shawki, M.B., & Herve, P. (Editor). World Bank Technical Paper Number 115. Washington, D.C: The World Bank. Triatmodjo, B. 2013. Hidrologi Terapan. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Beta Offset. World Meteorological Organization. 2009. Manual on Estimation of Probable Maximum Precipitation. WMO-No. 1045. Geneva: World Meteorological Organization.