ANALISIS KERENTANAN PRODUKTIVITAS KEDELAI (Glycine max (L.)merril) AKIBAT FLUKTUASI NERACA AIR LAHAN DAN DINAMIKA IKLIM DI KABUPATEN GORONTALO
Mantu Ririn, Nikmah Musa, Wawan Pembengo
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui kerentanan produktivitas kedelai akibat fluktuasi neraca air lahan dan dinamika iklim di kabupaten Gorontalo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2013. Lokasi penelitian di Kabupaten Gorontalo Propinsi Gorontalo. Posisi latitude 0O37’48,62’’ LU, posisi longitude 122 O51’40,08’’ BT, posisi altitude 27 mdpl. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data iklim harian (suhu minimum, suhu maksimum, kecepatan angin, kelembaban, radiasi matahari, kelembaban dan curah hujan) dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bandara Djalaludin Gorontalo selama 10 tahun (tahun 1999 hingga 2008). Data luas tanam, luas panen (produksi) tanaman kedelai di Kabupaten Gorontalo selama 10 tahun terakhir. Data yang diperlukan merupakan data sekunder yang diperoleh dari hasil survei pada lembaga-lembaga terkait analisis penurunan produksi tanaman kedelai dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan air. Pendugaan penurunan produksi tanaman sejalan dengan besarnya kekurangan air yang mengakibatkan terpenuhinya kebutuhan air untuk evapotranspirasi potensial metode PenmanMonteith. Laju akumulasi kehilangan air (APWL) terjadi mulai dasarian 20 yakni bulan Juli hingga dasarian 33 yakni bulan November. Hal ini disebabkan karena pada periode tersebut telah memasuki puncak musim kemarau yakni periode Juni, Juli, Agustus (JJA) dan masuk musim peralihan yakni periode September, Oktober, November (SON). Koefisien penurunan (ky) produksi terjadi penurunan seiring akumulasi penurunan curah hujan dasarian yakni mulai bulan Agustus hingga bulan November. Periode tersebut merupakan periode peralihan dari musim kemarau (Juni, Juli, Agustus) ke musim hujan (Desember, Januari, Februari). Kata kunci : koefisien penurunan produksi, evapotranpirasi, metode PenmanMonteith
PENDAHULUAN Variasi unsur-unsur cuaca (iklim) sangat mempengaruhi fluktuasi produksi tanaman terutamabila terjadi perubahan iklim yang ekstrim khususnya El Nino produksi tanaman dapat mencapai titik rendah bahkan terjadi gagal panen (Saefulloh, 2000). Pemanfaatan curah hujan untuk kepentingan irigasi di daerah curah huan tinggi, menjadikan waktu penanaman dapat dilaksanakan sepanjang tahun. Pada daerah kering dengan musim kemarau lebih panjang, penanaman sepanjang tahun tidak dapat dilaksanakan. Hal ini karena curah hujan tidak mampu mencukupi kebutuhan air tanaman (Herawati, 2002). Waktu tanam yang tepat sangat erat kaitannya dengan pola ketersediaan lengas tanah, karateristik curah hujan dan sifat fisik tanahnya (Saefulloh, 2000). Hasil penelitian Arifa (1993) menunjukan bahwa kondisi basah, jarak baris yang sempit lebih menguntungkan ditinjau dari segi produksi yang dihasilkan maupun dari efisiensi penggunaan radiasi dan efisiensi penggunaan airnya. Adapun yang menjadi tujuan pada penelitian ini kerentanan produktivitas kedelai akibat fluktuasi neraca air lahan dan dinamika iklim di kabupaten Gorontalo. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2012. Lokasi penelitian di Kabupaten Gorontalo Propinsi Gorontalo. Posisi latitude 0O37’48,62’’ LU, posisi longitude 122 O51’40,08’’ BT, posisi altitude 27 mdpl. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data iklim harian (suhu minimum, suhu maksimum, kecepatan angin, kelembaban, radiasi matahari, kelembaban dan curah hujan) dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bandara Djalaludin Gorontalo selama 10 tahun (tahun 1999 hingga 2008). Data luas tanam, luas panen (produksi) tanaman kedelai di Kabupaten Gorontalo selama 10 tahun terakhir. Data yang diperlukan merupakan data sekunder yang diperoleh dari hasil survei pada lembaga-lembaga terkait analisis penurunan produksi tanaman kedelai dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan air. Pendugaan penurunan produksi tanaman sejalan dengan besarnya kekurangan air yang mengakibatkan terpenuhinya kebutuhan air untuk evapotranspirasi potensial. Besarnya koefisien produksi tanaman dan pengurangan produksi tanaman dari potensi maksimumnya Prosedur penelitian yakni : a. Persiapan Pada tahap ini dilaksanakan pengumpulan literatur serta alat dan bahan yang diperlukan, dan juga dilakukan survei lokasi penelitian. b. Pengumpulan data Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu pengumpulan data sekunder pada instansi terkait antara lain: 1. Data iklim harian di Kabupaten Gorontalo yang diperoleh dari Badan Meteologi Klimatologi dan Geogfisika (BKMG Bandara Djalaludin). 2. Data luas tanam dan luas panen (produksi) tanaman kedelai yang diperoleh dari Kantor Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Gorontalo.
c. Langkah kerja penentuan koefisien penurunan produksi kedelai 1. Menghitung CH dasarian 2. Menghitung evapotranspirasi potensial (ETp) menggunakan metode FAO Penman-Monteith (Allen et al.,1998) tiap dasarian dengan persamaan : ETp ≈ ETo =
3. 4. 5.
6.
7.
8.
,
∆(
)
∆
(
(
/( ∗ ,
)
)
(
)
Ket : ETo = evapotranspirasi potensial (mm hari-1) Rn = radiasi netto pada permukaan tanaman (MJ m-2 hari-1) G = kerapatan flux bahang tanah harian (≈ 0 MJ m-2 hari-1) u2 = rata-rata kecepatan angin ketinggian 2 meter (m detik-1) es = tekanan uap jenuh (kPa) ea = tekanan uap aktual (kPa) ∆ = slope kurva tekanan uap (kPa oC-1) γ = konstanta psikrometrik (≈ 0.0667 kPa 0C-1) T = suhu udara rata-rata (0C) Menghitung nilai CH – ETp. Menghitung APWL (Accumulation of Potential Water Loss) yang merupakan jumlah kumulatif nilai CH – ETp yang bernilai negatif. Menghitung nilai KAT (Kadar Air Tanah) berdasarkan persamaan; KAT = KL exp(APWL/KL) Ket : KAT = Kadar air tanah KL = Kapasitas Lapang Menghitung nilai ∆KAT dengan persamaan; ∆KAT = KATi – KATi-1 Ket : ∆KAT = selisih KAT satu periode dengan periode sebelumnya. Nilai KAT positif menunjukkan penambahan kandungan air tanah. Nilai KAT negatif menunjukkan pengurangan kandungan air tanah. Menghitung nilai evapotranspirasi aktual (ETa) berdasarkan persamaan berikut; Jika CH>ETp maka ETa = ETp Jika CH<ETp maka ETa = CH + ∆KAT Ket : Nilai ∆KAT merupakan nilai mutlak, artinya tanda negatif diabaikan dalam perhitungan. Pada saat CH < ETp maka ETa akan lebih rendah dibandingkan dengan nilai ETp-nya. Menghitung nilai koefisien penurunan (ky) produksi tanaman berdasarkan persamaan berikut; ky = 1 − x 100%.
9. Mengubah nilai ky tiap dasarian menjadi ky bulanan 10. Mengklasifikasikan sesuai kategori berikut :
Tabel 1. Klasifikasi koefisien penurunan produksi kedelai Koefisien penurunan produksi Kategori 0,50 – 1,00 Sangat Rentan 0,30 – 0,50 Rentan 0,15 – 0,30 Sedang 0,05 – 0,15 Resisten 0,00 – 0,05 Sangat Resisten Sumber : Pramudia (2008)
Skor 1 2 3 4 5
d. Langkah kerja penentuan kebutuhan air tanaman kedelai 1. Menentukan nilai koefisien tanaman (kc) kedelai berdasarkan Supriyadi (2005) 2. Menentukan evapotranspirasi tanaman (ETc) atau kebutuhan air tanaman kedelai berdasarkan persamaan : ETc = kc x Etp Tabel 2. Nilai kc pada tanaman kedelai setiap fase perkembangan tanaman No Fase perkembangan Nilai kc 1 2 3 4 5
Pertumbuhan awal Pertumbuhan aktif Petumbuhan maksimum Akhir pertumbuhan Panen Rata-rata Sumber : Supriyadi (2005)
0.30-0.40 0.70-0.80 1.00-1.15 0.70-0.80 0.40-0.50 0.75-0.90
3. Menentukan curah hujan efektif dengan persamaan yang direkomendasikan FAO (1986) yaitu Pe = 0,8 P – 25, jika > 75 mm Pe = 0,6 P – 10 jika < 75 mm Ket : Pe = curah hujan efektif (mm/bulan) P = rata-rata curah hujan bulanan (mm/bulan) 4. Rekapitulasi kebutuhan air tanaman kedelai berdasarkan musim tanam. Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan pendekatan deskriptif untuk data sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi/lembaga terkait. Analisis penurunan produktivitas tanaman kedelai dianalisis dengan menggunakan model tanaman berupa neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan air untuk melihat potensi penurunan produksi akibat adanya fluktuasi curah hujan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Evapotranspirasi Potensial Dasarian Kabupaten Gorontalo Kurun Waktu 1999 hingga 2008 Berdasarkan Tabel 3 di bawah, nilai evapotranspirasi potensial kurun waktu tahun 1999 hingga 2008 (10 tahun) sangat fluktuatif dan dinamis. Pendugaan besarnya evapotranspirasi merupakan salah satu langkah penting dalam perencanaan desain dan pelaksanaan irigasi dan sistem pengelolaan sumber air. Katerji and Rana (2006) menyatakan bahwa nilai evapotranspirasi pada tanaman beririgasi teknis dihitung secara langsung dengan menggunakan metode Penman-Monteith dengan spesifik menggunakan parameter tanaman dan parameter meteorologi (cuaca). Tabel 3.Nilai Evapotranspirasi Potensial Dasarian Kabupaten Gorontalo Kurun Waktu 1999 hingga 2008 Bulan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
ETP 1999
ETP 2000
ETP 2001
ETP 2002
ETP 2003
ETP 2004
ETP 2005
ETP 2006
ETP 2007
ETP 2008
Ratarata ETP
Dasarian 1
33.01
38.47
34.78
37.41
36.67
38.74
35.74
39.62
35.16
37.59
36.72
Dasarian 2
36.57
38.43
34.92
36.97
36.34
38.65
36.31
37.40
33.44
38.67
36.77
Dasarian 3
34.77
38.35
34.32
36.48
36.63
39.21
44.21
39.30
36.88
37.49
37.76
Dasarian 4
36.73
38.73
33.59
37.10
35.48
35.18
34.99
36.30
33.58
37.20
35.89
Dasarian 5
39.16
38.64
36.19
40.65
37.40
35.45
40.27
39.20
37.12
40.27
38.43
Dasarian 6
37.63
37.99
40.02
41.23
40.71
40.62
44.86
39.59
38.77
40.25
40.17
Dasarian 7
38.97
39.98
39.24
40.74
45.58
39.20
46.93
39.09
41.78
38.27
40.98
Dasarian 8
38.37
38.78
37.35
40.01
36.57
41.29
44.51
40.81
41.84
38.20
39.77
Dasarian 9
36.07
37.42
39.44
38.81
34.54
42.21
39.31
38.03
37.23
37.78
38.08
Dasarian 10
36.90
40.06
37.66
38.51
36.54
42.66
36.10
39.60
43.28
38.11
38.94
Dasarian 11
36.55
36.78
36.96
40.20
35.99
37.54
36.93
37.09
42.73
38.36
37.91
Dasarian 12
40.51
36.27
36.60
37.60
36.95
35.74
39.06
33.29
36.78
32.48
36.53
Dasarian 13
34.42
34.45
34.10
33.14
33.90
33.30
34.97
34.63
34.70
33.24
34.09
Dasarian 14
31.68
35.82
35.52
32.27
29.00
33.43
33.41
34.51
34.95
33.97
33.46
Dasarian 15
31.50
34.87
34.53
37.20
35.69
35.71
33.83
29.53
36.56
35.34
34.48
Dasarian 16
33.11
30.03
28.86
35.88
38.83
31.92
37.02
30.97
31.29
30.10
32.80
Dasarian 17
31.89
29.31
29.13
28.49
36.29
32.93
30.29
31.08
30.70
28.51
30.86
Dasarian 18
29.13
28.30
31.83
30.57
31.44
33.77
30.69
27.85
29.39
31.62
30.46
Dasarian 19
29.17
28.37
29.10
37.68
30.27
36.88
31.92
34.25
29.45
30.88
31.80
Dasarian 20
31.38
35.75
38.83
39.64
31.57
34.87
30.30
35.46
30.71
27.09
33.56
Dasarian 21
38.47
37.20
34.05
42.88
34.13
33.79
34.99
35.83
26.85
27.35
34.55
Dasarian 22
40.56
34.60
33.17
43.52
40.17
34.73
40.66
38.39
33.81
31.02
37.06
Dasarian 23
37.43
32.84
38.05
44.57
39.77
40.90
42.16
36.71
36.22
30.41
37.91
Dasarian 24
38.23
41.07
43.10
44.64
36.93
46.16
38.70
41.58
37.24
32.81
40.05
Dasarian 25
41.90
44.11
44.67
46.34
43.32
44.05
45.42
47.06
35.08
33.63
42.56
Dasarian 26
42.46
44.62
43.92
49.25
43.32
46.41
46.55
46.07
39.98
35.95
43.85
Dasarian 27
43.02
40.12
44.01
50.62
41.93
50.33
48.55
43.13
43.42
39.86
44.50
Dasarian 28
40.91
40.60
39.16
53.14
43.63
50.43
48.35
48.41
46.81
45.88
45.73
Dasarian 29
39.69
39.82
41.98
53.02
41.00
51.38
41.70
42.88
44.28
44.32
44.01
Dasarian
Okt
Nov
Des
Dasarian 30
40.36
38.97
43.69
47.73
48.69
45.94
40.11
49.80
45.43
45.32
44.60
Dasarian 31
38.15
41.17
40.68
47.32
43.75
42.09
40.36
49.22
40.81
41.82
42.54
Dasarian 32
39.46
39.63
40.61
45.50
43.95
42.84
39.29
46.04
41.70
42.31
42.13
Dasarian 33
41.98
39.01
41.16
41.08
38.63
41.73
40.86
39.87
44.88
44.63
41.38
Dasarian 34
39.19
38.30
36.76
41.56
38.48
42.50
39.90
40.59
40.27
40.50
39.81
Dasarian 35
42.62
41.53
38.48
44.31
38.28
42.24
37.42
41.96
38.76
39.62
40.52
Dasarian 36
38.06
39.92
37.54
41.53
36.18
39.45
38.37
41.77
35.62
35.59
38.41
Berdasarkan Tabel 3 di atas nilai evapotranspirasi terbesar yakni 45,73 mm per dasarian di bulan Oktober dan terkecil yakni 30,45 mm per dasarian di bulan Juni. Sahli (2008) menyatakan fluktuatifnya nilai evapotranspirasi memerlukan evaluasi karena kondisi iklim suatu daerah dengan daerah yang lain sangat dinamis dan variatif. Gavilan and Llanque (2009) mengemukakan bahwa perlu menguji dan mengkomparasi metode evapotranspirasi Penman-Monteith dengan metode lain guna mengevaluasi variabilitas dan akurasi pendugaan nilai evapotranspirasi. Neraca Air Lahan Kabupaten Gorontalo Tahun 1999 hingga 2008 Berdasarkan Tabel 4 di bawah, dapat dilihat rekapitulasi neraca air lahan per dasarian pada Kabupaten Gorontalo kurun waktu tahun 1999 hingga 2008.Sa’ad (1999) menyatakan neraca air merupakan perimbangan antara jumlah air yang masuk (input) ke dalam tanah dan jumlah air yang hilang (output) dari lapisan tanah. Ada 3 model neraca air yang didasarkan pada tujuaan penggunaannya yakni : 1. Neraca air umum disusun menurut konsep klimatologi dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya periode basah (surplus air) dan periode kering (defisit air) pada suatu wilayah yang umum. 2. Neraca air lahan pertanian yaitu neraca air yang memperhatikan sifat dan perilaku tanah terhadap atmosfer. Sebagai penunjang diperlukan data fisik tanah terutama kandungan air pada kapasitas lapang dan titik layu permanen. 3. Neraca air lahan tanaman, ruang lingkup pemakaianna lebih sempit karena berlaku hanya untuk jenis tanaman tertentu selama periode pertumbuhannya. Tabel 4.Neraca Air Lahan Kabupaten Gorontalo Tahun 1999 hingga 2008 Bulan Jan
Feb
Mar
Apr
ETp (mm)
1
CH (mm) 42
36.72
CH-ETP (mm) 5
381
KAT (mm) 381
dKAT (mm) 0
ETa (mm) 37
2
57
36.77
3
56
37.76
0
381
381
0
37
0
381
381
0
38
4
72
36
0
381
381
0
36
5
38.43
4
0
381
381
0
38
51
40.17
11
0
381
381
0
40
55
40.98
14
0
381
381
0
41
8
59
39.77
19
0
381
381
0
40
9
65
38.08
27
0
381
381
0
38
10
50
38.94
11
0
381
381
0
39
11
46
37.91
8
0
381
381
0
38
12
59
36.53
22
0
381
381
0
37
Dasarian
APWL
KL (mm)
0
20 18
35.89
42
6 7
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
13
72
34.09
38
0
381
381
0
34
14
45
33.46
12
0
381
381
0
33
15
38
34.48
4
0
381
381
0
34
16
35
32.80
2
0
381
381
0
33
17
58
30.86
27
0
381
381
0
31
18
54
30.46
24
0
381
381
0
30
19
46
31.80
14
0
381
381
0
32
20
23
33.56
-11
-11
381
370
-11
34
21
19
34.55
-16
-27
381
355
-15
34
22
12
37.06
-25
-52
381
332
-23
35
23
19
37.91
-19
-71
381
316
-16
35
24
11
40.05
-29
-100
381
293
-23
34
25
22
42.56
-21
-121
381
277
-16
38
26
9
43.85
-35
-156
381
253
-24
33
27
17
44.50
-27
-183
381
236
-17
34
28
18
45.73
-28
-211
381
219
-17
35
29
26
44.01
-18
-229
381
209
-10
36
30
35
44.60
-10
-239
381
203
-6
41
31
35
42.54
-8
-247
381
199
-4
39
32
42
42.13
0
-247
381
199
0
42
33
31
41.38
-10
-257
381
194
-5
36
34
46
39.81
6
0
381
240
46
40
35
62
40.52
21
0
381
302
62
41
36
39
38.41
1
0
381
341
39
38
Berdasarkan Tabel 4 di atas laju akumulasi kehilangan air (APWL) terjadi mulai dasarian 20 yakni bulan Juli hingga dasarian 33 yakni bulan November. Hal ini disebabkan karena pada periode tersebut telah memasuki puncak musim kemarau yakni periode Juni, Juli, Agustus (JJA) dan masuk musim peralihan yakni periode September, Oktober, November (SON). Supriatin et al.(2006) menyatakan bahwa pembagian kelompok intensitas hujan berdasarkan pembagian musim di Indonesia secara umum yakni musim hujan (bulan basah) yaitu bulan Desember, Januari, Februari (DJF), musim kemarau (bulan kering) yaitu bulan Juni, Juli, Agustus (JJA), musim peralihan dari musim kemarau ke musim hujan yaitu bulan September, Oktober, Nopember (SON), dan musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau yaitu bulan Maret, April, Mei (MAM).Sa’ad (1999) menyatakan bahwa akumulasi kehilangan air merupakan salah satu faktor yang berkorelasi dengan ketersediaan air dalam analisa neraca air lahan yang menjadi acuan bagi penentuan periode tanam atau waktu tanam. Kerentanan Produktifitas TanamanKedelai Kejadian anomali iklim ekstrim dapat memicu terjadinya penurunan luas tanam, produksi dan produktivitas tanaman pangan nasional yang akhirnya akan mengakibatkan kerawanan pangan nasional.Sejauh ini, berbagai usaha untuk mengantisipasi hal tersebut sudah banyak dikaji dan dilakukan oleh beberapa kalangan, salah satunya melakukan analisis kerawanan pangan.
CH ETp ky 100
Des
Nov
Okt
Sep
Ags
Jul
Jun
Mei
Apr
Mar
Feb
Jan
1
Gambar 1. Curah hujan, evapotranspirasi dan koefisien penurunan produksi kabupaten Gorontalo kurun waktu 1999 - 2008 Berdasarkan Gambar 1 di atas koefisien penurunan (ky) produksi terjadi penurunan seiring akumulasi penurunan curah hujan dasarian yakni mulai bulan Agustus hingga bulan November. Periode tersebut merupakan periode peralihan dari musim kemarau (Juni, Juli, Agustus) ke musim hujan (Desember, Januari, Februari). Saefulloh (2000) menyatakan bahwa kondisi air tanah sangat dipengaruhi oleh karateristik hujan baik tinggi maupun kejadian hujan. Curah hujan tinggi maka ketersediaan air dalam tanah cukup bahkan mencapai kapasitas lapang (KL) sebaliknya curah hujan rendah maka tanah tidak mampu menyediakan air untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman semakin banyak kejadian hujan maka ketersediaan air dalam tanah semakin panjang. Menurut Doorenbos & Pruitt (1977) kebutuhan air tanaman adalah tinggi air yang dibutuhkan untuk mengimbangi kehilangan air melalui evapotranspirasi tanaman sehat, tumbuh dilahan yang luas, kondisi air tanah dan kesuburan tidak dalam keadan terbatas, serta dapat mencapai produksi potensi pada lingkungan pertumbuhan. Doorenbos & Pruitt (1977) menjelaskan kebutuhan air tanaman kedelai sebesar 318.93 mm selama pertumbuhannya. Saefulloh (2000) menjelaskan berdasarkan evapotranspirasi tanaman kebutuhan air untuk tanaman kedelai adalah 300 - 350 mm atau 75 - 100 mm per bulan atau 2,5 -3,3 mm per hari. Menurut Rasjid et al. (1984) dalam Saefulloh (2000) cekaman kekeringan menurunkan bobot kering tanaman jumlah daun dan polong serta tinggi tanaman pada umur 42 hari dan 55 hari lebih jauh Rasjid et al. (1984 ) dalam Saefulloh (2000) menjelaskan secara umum kehilangan air di atas 400 mm mengakibatkan gejala layu pada tanaman kedelai yaitu sekitar 4 hari setelah terjadi cekaman.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Laju akumulasi kehilangan air (APWL) terjadi mulai dasarian 20 yakni bulan Juli hingga dasarian 33 yakni bulan November. Hal ini disebabkan karena pada periode tersebut telah memasuki puncak musim kemarau yakni periode Juni, Juli, Agustus (JJA) dan masuk musim peralihan yakni periode September, Oktober, November (SON). Koefisien penurunan (ky) produksi terjadi penurunan seiring akumulasi penurunan curah hujan dasarian yakni mulai bulan Agustus hingga bulan November. Periode tersebut merupakan periode peralihan dari musim kemarau (Juni, Juli, Agustus) ke musim hujan (Desember, Januari, Februari). Saran Berdasarkan kesimpulan diatas diharapkan para petani dapat melihat kondisi iklim sesuai daerah sekitarnya. Kondisi iklim yang tepat yaitu pada bulan September sampai bulan November guna keberlangsungan optimalisasi produktivitas tanaman kedelai.
DAFTAR PUSTAKA Allen G. R., L. S. Pereira., D. Raes., M. Smith. 1998. Crop Evapotranspirations (Guidelines for Computing Crop Water Requirements). FAO Irrigation and Drainage Paper 56. Arifa,I,N. 1993. Pengaruh Ketersediaan Air dan Jaarak Baris Terhadap Iklim Mikro, Penggunaan Air Total dan Pertumbuahan Tanaman Kedelai (Glycine max ( L.) Merrill). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dorenbos, J.W. and Pruitt, W.O. 1977. Crop Water Requirements: FAO Irrigation and Drainage Paper, 24. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome Helena, Dorisma. 2000. Pengaruh Jarak Tanam Dalam Tumpangsari Kedelai (Glycine max (L.) Merril.) Dengan Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Herawati, Susi. 2002. Analisis Peluang Ketersediaan Air Aktual dan Potensi Pertanian pada Tiga Kondisi Iklim (El Nino, Normal La Nina). Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pramudia A. 2008. Pewilayahan Hujan dan Model Prediksi Curah Hujan untuk MendukungAnalisis Ketersediaan dan Kerentanan Pangan di Sentra produksi Padi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saefulloh, Asep. 2000. Penetuan Waktu Tanam Optimal Kedelai Pada Kondisi Iklim Ekstrim dan Normal di Jember-Jawa Timur.Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Supriyadi, Hendri. 2005. Pemodelan Dinamik Kesesuaian Agroklimat Untuk Tanman Kedelai. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Katerji Nader.,Gianfranco Rana. 2006. Modelling evapotranspiration of six irrigated crops under Mediterranean climate conditions. Agricultural and forest Meteorology J. 138. 142 -155. Gavilan P., F Castillo-Llanque. 2009. Estimatting refence evapotranspiration with atmometers in a semiarid environment. Agricultur Water Management J. 96 462-472. Sahli M Jabloun. 2008. Evaluation of FAO-56 methodology for esteimating reference evaporation using limited climatic data application to Tunisia. Agricultural Water Management J. 95. 707 -715.