ANALISIS KEGAGALAN PIPA PRIMARY SEPARATOR
HENING PRAM PRADITYO
DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul
: Analisis Kegagalan Pipa Primary Separator
Nama
: Hening Pram Pradityo
NIM
: G74080036
Departemen : Fisika
Menyetujui Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Muh Nur Indro M.Sc
Drs. Anthonius Sitompul M.T.
Mengetahui
Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si Ketua Departemen Fisika
Tanggal Lulus :
Skripsi
ANALISIS KEGAGALAN PIPA PRIMARY SEPARATOR
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir di deparetemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
oleh Hening Pram Pradityo G74080036
DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RIWAYAT HIDUP HENING PRAM PRADITYO, lahir di Kediri, 16 Nopember 1990. Hari-hari kecilnya dibesarkan bersama orang tua Ayahanda Pramudi Utomo dan Ibunda Sumiyati. Putra pertama dari tiga bersaudara ini, mengemban pendidikan formal Sekolah Dasar di MI Muhammadiyah 1 Pare, SMP Muhammadiyah 1 Pare, dan SMA Negeri 2 Pare. Sekarang penulis telah berhasil menyelesaikan studi Strata 1 (S1) di jurusan Fisika, fakultas Matematika dan IPA Institut Pertanian Bogor. Selain itu, pendidikan non-formal penulis dapatkan dari Cisco Networking Academy Program, dengan tingkat CCNA. Keseharian penulis diisi dengan kuliah, ibadah, organisasi dan olahraga. Penulis ikut aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah Asal, Kamajaya Kediri. Penulis adalah seorang warga Muhammadiyah. Sejak SMP hingga SMA, telah mengikuti organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan ketika menjadi bagian dari kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah hingga sekarang. Penulis juga memiliki hobi olahraga panahan dan pernah aktif secara atlet dan secara organisasi dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Cabor Panahan IPB. Beberapa kompetisi yang pernah penulis ikuti adalah Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional 2009 di Palembang dan Kejuaraan Nasional Panahan Indoor Ganesha Open di Institut Teknologi Bandung. Penulis juga pernah mengikuti kompetisi nasional Cisco Indonesia Netriders pada tahun 2011 di Surabaya dan pada tahun 2012 di Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul analisis kegagalan pipa primary separator. Hasil penelitian ini disusun agar penulis dapat menyelesaikan tugas akhir di Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2012 – Mei 2012. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kemajuan aplikasi hasil penelitian yang dikembangkan ini.
Bogor, 20 Juli 2012
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH 1. Alloh Subhanahu wa ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis berupa kesehatan dan usia yang sangat berharga. 2. Muhammad Salallohu alaihi wassalam. Nabi dan Rosul, utusan Alloh SWT. Yang memberikan banyak tauladan hidup pada penulis, sehingga tetap berada di jalan-Nya. 3. Bapak Pramudi Utomo dan Ibu Sumiyati, sosok orang tua yang selalu memberi kasih sayang dan motivasi lahir batin kepada penulis. 4. Bapak Drs. Muh Nur Indro, M.Sc. sebagai Pembimbing I atas bimbingannya selama perkuliahan, penelitian hingga sidang sarjana. 5. Bapak Drs. Anthonius Sitompul, M.T. sebagai Pembimbing II atas bimbingannya selama penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai. 6. Bapak Dr. Akhiruddin Maddu dan Bapak Abd. Djamil Husin, M.Si sebagai dosen penguji atas saran dan bimbingannya selama penelitian hingga sidang sarjana. 7. Bapak Mahfuddin Zuhri, M.Si. atas bimbingan dan dukungannya dalam belajar jaringan Cisco. 8. Ibu Dhamayanti Adhidarma, Ph.D atas bimbingan dan dukungannya dalam berlatih panahan. 9. Bapak Firman dan Bapak Jun atas bantuannya dalam administrasi di departemen fisika. 10. Wahyu Dewanti Lestari, seorang kekasih yang selalu ada untuk memberikan dukungan bagi penulis. 11. Rifka, Hezti, Bambang, rekan-rekan fisika angkatan 45 yang membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian. 12. Kak Damas, kak Chanse, Farqan, Fery, Zainal, Bagoes, rekan-rekan cisco yang memberi support dalam belajar cisco. 13. Rahman, Rifky, Ashraf, Aryo, Erik, Deden, Dwi dan Ashley, warga Soka 4, atas supportnya. 14. Mas Akbar, Argha, Frandy, Dody, Grahan, Rado, dkk. teman-teman omda Kediri yang selalu mengobati rasa kangen penulis. 15. Gilang, Izzah, Akfia, Icha, dkk. teman-teman IMM seperjuangan, merah jalan kami. 16. Tony, Agus, Gusmen, Adi, Mey, dkk. teman-teman UKM Panahan yang selalu menemani dalam berlatih. 17. Rekan-rekan fisika angkatan 44, 43, 46, dan 47. 18. Semua teman-teman civitas IPB atas dorongan dan semangatnya.
ABSTRAK
Hening Pram Pradityo.2012.Analisis Kegagalan Pipa Primary Separator. Skripsi. Departemen Fisika. Fakultas MIPA. Institut Pertanian Bogor. Analisis kegagalan dilakukan untuk mengetahui jenis korosi yang menyerang beserta penyebab terjadinya korosi pada pipa. Pengujian dilakukan secara visual dengan menggunakan mata dan kamera digital, pengujian secara makroskopik dengan mikroskop stereo dan secara mikroskopik dengan mikroskop optik dan SEM. Analisis unsur-unsur pada pipa dilakukan dengan OES dan EDS. Analsis senyawa kimia pada pipa dilakukan dengan XRD. Hasil pengujian visual menunjukkan terjadinya penipisan pada pipa. Hasil pengujian makroskopik dan mikroskopik menunjukkan bahwa jenis serangan korosi adalah general corrosion, pitting corrosion, dan erosion corrosion. Berdasarkan hasil pengujian unsur-unsur pada pipa, komposisi unsur pembentuk pipa tidak sesuai dengan standard American
Petroleum
Institute
(API).
Hasil
pengujian
senyawa
kimia
membuktikan bahwa penyebab terjadinya korosi adalah senyawa CO2 dan H2S yang ikut mengalir bersama dengan minyak mentah.
Kata kunci : Pipa Baja, Minyak Mentah, Korosi, Analisis Kegagalan
ABSTRACT
Hening Pram Pradityo.2012.Failure Analysis on Primary Separator Pipeline. Skripsi. Physics Departmen. MIPA Faculty. Bogor Agricurtular University. Failure Analysis used in order to study what type of corrosion that attack pipeline and causes of corrosion to be occurred. Visual examination done by eyes and digital camera, macroscopic examination by stereo microscope, and microscopic examination by optical microscope and Scanning Electron Microscope (SEM). Elements analysis on pipeline by Optical Emission Spectroscopy (OES) and Energy Dispersive Spectroscopy (EDS). Compound analysis
done by XRD.
Visual examination result that decimation is occured in pipeline. This decimation is because of corrosion. Macroscopic and micorscopic examination result that type of occured corrosion is general corrosion, pitting corrosion and erosion corrosion. Based on result of elements analysis, elements that form pipeline is not appropriate to American Petroleum Institute (API) standard. Compound analysis show that causes of occurred corrosion are included CO2 and H2S in sour crude oil.
Keywords : Steel pipeline, Sour crude oil, Corrosion, Failure Analysis
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ii DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2 BAB III BAHAN DAN METODE ..................................................................... 12 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 23 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 38 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 39 LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................. 41
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 ............................................................................................................ 2 Gambar 2.2 ............................................................................................................ 3 Gambar 2.3 ............................................................................................................ 4 Gambar 2.4 ............................................................................................................ 4 Gambar 2.5 ............................................................................................................ 7 Gambar 2.6 ............................................................................................................ 7 Gambar 2.7 ............................................................................................................ 7 Gambar 2.8 ............................................................................................................ 8 Gambar 2.9 ............................................................................................................ 8 Gambar 2.10 .......................................................................................................... 8 Gambar 2.11 .......................................................................................................... 9 Gambar 3.1 .......................................................................................................... 12 Gambar 3.2 .......................................................................................................... 15 Gambar 3.3 .......................................................................................................... 16 Gambar 3.4 .......................................................................................................... 18 Gambar 3.5 .......................................................................................................... 19 Gambar 3.6 .......................................................................................................... 20 Gambar 3.7 .......................................................................................................... 20 Gambar 3.8 .......................................................................................................... 21 Gambar 3.9 .......................................................................................................... 21 Gambar 4.1 .......................................................................................................... 23 Gambar 4.2 .......................................................................................................... 24 Gambar 4.3 .......................................................................................................... 24 Gambar 4.4 .......................................................................................................... 24 Gambar 4.5 .......................................................................................................... 25 Gambar 4.6 .......................................................................................................... 25 Gambar 4.7 .......................................................................................................... 26 Gambar 4.8 .......................................................................................................... 26 Gambar 4.9 .......................................................................................................... 27 Gambar 4.10 ........................................................................................................ 27 Gambar 4.11 ........................................................................................................ 28 Gambar 4.12 ........................................................................................................ 28 Gambar 4.13 ........................................................................................................ 29 Gambar 4.14 ........................................................................................................ 29 Gambar 4.15 ........................................................................................................ 30 Gambar 4.16 ........................................................................................................ 30 Gambar 4.17 ........................................................................................................ 30 Gambar 4.18 ........................................................................................................ 31 Gambar 4.19 ........................................................................................................ 31 Gambar 4.20 ........................................................................................................ 32 Gambar 4.21 ........................................................................................................ 33 Gambar 4.22 ........................................................................................................ 34 Gambar 4.23 ........................................................................................................ 35 Gambar 4.24 ........................................................................................................ 35 Gambar 4.25 ........................................................................................................ 36
DAFTAR TABEL Tabel 1 ................................................................................................................... 3 Tabel 2 ................................................................................................................... 6 Tabel 3 ................................................................................................................... 6 Tabel 4 ................................................................................................................. 23 Tabel 5 ................................................................................................................. 25 Tabel 6 ................................................................................................................. 32 Tabel 7 ................................................................................................................. 33 Tabel 8 ................................................................................................................. 34 Tabel 9 ................................................................................................................. 57 Tabel 10 ............................................................................................................... 57 Tabel 11 ............................................................................................................... 57
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 .......................................................................................................... 41 Lampiran 2 .......................................................................................................... 42 Lampiran 3 .......................................................................................................... 45 Lampiran 4 .......................................................................................................... 57 Lampiran 5 .......................................................................................................... 58
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Baja merupakan salah satu bahan yang paling banyak dipakai sebagai bahan komponen kerja di bidang industri karena memiliki beberapa sifat fisik yang mendukung dalam proses kerja, ketahanannya di berbagai macam lingkungan, maupun dari segi harganya. Industri perminyakan menggunakan pipa dari bahan baja untuk mengalirkan minyak dari sumber ke tempat pemrosesan. Salah satu bagian dari pemrosesan minyak adalah pipa primary separator. Pipa primary separator adalah pipa yang berfungsi sebagai media pemisah minyak dan air berdasarkan perbedaan berat jenis.1 Pipa ini terletak di permukaan tanah dan dialiri oleh minyak mentah yang masih bercampur dengan air. Minyak mentah yang mengalir tersebut berasal dari reservoir bawah tanah. Pipa terbuat dari logam yang tahan terhadap kondisi lingkungan dan cuaca. Ketika minyak dialirkan melalui pipa tersebut, banyak jenis unsur dan senyawa yang melewati pipa. Dalam penelitian ini, pipa primary separator telah mengalami kegagalan atau kerusakan. Setelah sekian lama pemakaian pipa tersebut, diperoleh korosi pada bagian dalam pipa bahkan ditemukan adanya lubang pada pipa. Kemudian pipa di bawa ke laboratorium untuk dilakukan analisis sehingga dapat diketahui penyebab korosi pada pipa. Kegagalan dari pipa primary separator ini dapat menimbulkan
kerugian dari segi biaya, waktu, dan teknis. Dari segi biaya dan waktu, untuk memperbaiki pipa yang rusak dibutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang lama. Dari segi teknis, kerusakan ini akan menghambat kerja dari proses eksploitasi minyak. Untuk menganalisis keadaan pipa dan korosi, dilakukan analisis kegagalan. Analisis kegagalan adalah serangkaian proses pengujian yang dilakukan pada sampel sehingga dapat diketahui penyebab kegagalannya. Tugas akhir ini dilakukan untuk mempelajari penyebab terjadinya korosi pada pipa. Tujuan 1. Melakukan pengujian secara visual dan makroskopik. 2. Melakukan pengujian secara mikroskopik. 3. Menganalisis unsur-unsur dan senyawa kimia pada pipa dan produk korosi. 4. Menentukan penyebab korosi pada pipa. Rumusan Permasalahan 1. Adakah unsur atau senyawa yang menyebabkan korosi pada pipa minyak? 2. Bagaimana korosi pada pipa bisa terjadi? Hipotesis Pada minyak mentah terdapat senyawa-senyawa seperti CO2 dan H2S yang dapat menyebabkan pipa terkorosi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Baja Baja merupakan campuran logam yang mengandung besi sebagai penyusun utamanya dengan kandungan unsur karbon (C) kurang dari 2%. Jika karbonnya lebih dari 2%, maka campuran logam tersebut disebut sebagai cast iron. Baja terdapat dalam 90 % dari struktur material yang telah dibuat.2 Kinerja dari baja tergantung pada sifat-sifat yang terkait dengan mikrostrukturnya yang dihasilkan dari berbagai tahapan fasa makroskopik dengan komposisi dan kondisi olahan tertentu.3 Karbon sangat berhubungan dengan perubahan sifat pada baja. Umumnya kadar karbon dibuat rendah pada baja yang memerlukan keuletan (ductility) tinggi, ketangguhan (toughness) tinggi, dan pengelasan (weldability) yang baik, tetapi kadar karbon dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi pada baja yang membutuhkan kekuatan (strength) tinggi, kekerasan (hardness) tinggi, ketahanan lelah (fatigue resistance), dan ketahanan aus (wear resistance).3 Gambar 2.1 di berikut menunjukkan grafik kekerasan sebagai fungsi dari kandungan karbon untuk beberapa jenis mikrostruktur dalam baja.
Gambar 2.1 Kekerasan sebagai fungsi dari kandungan karbon4
Kekerasan (hardness) telah dihitung dan secara umum berbanding lurus dengan kekuatan (strength) dan berbanding terbalik dengan daktilitas (ductility) dan ketangguhan (toughness). Baja juga mengandung banyak unsur tambahan yang mengisi batas-batas fasa besi-karbon. Unsur-unsur seperti mangan dan nikel merupakan penyetabil austenit, yang menurunkan temperatur kritis. Unsur-unsur seperti silikon, krom, dan molibdenum merupakan penyetabil ferit dan pembentuk karbida, yang meningkatkan temperatur kritis dan menyusutkan fasa austenit. Unsur-unsur yang lain seperti titanium, niobium, dan vanadium, bisa memicu dispersi dari nitrida, karbida, dan karbonitirida yang bergantung-temperatur dalam austenit.5 Jenis baja dibagi menjadi dua, yaitu plain carbon steel dan alloy steel. Plain carbon steel adalah campuran logam dari besi dan karbon yang juga mengandung mangan dan beberapa unsur residu. Unsur residu ini berasal dari sisa material yang digunakan dalam proses produksi. Berdasarkan The American Iron and Steel Institute (AISI), kandungan mangan maksimum adalah 1,65%, Si kurang dari 0,6%, dan Cu kurang dari 0,6%. Semakin kecil kandungan oksida, sulfida, dan silikat, semakin bersih baja tersebut. Baja diproduksi melalui proses peleburan dan pemadatan menjadi suatu bentuk batangan.6 Persentase komposisi penyusun baja plain carbon steel dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Perbedaan komposisi pada plain carbon steel.7 Steel Type % mass C % mass Mn Low-carbon Up to 0,3 Up to 1,5 steels Medium0,3 to 0,6 0,6 to 1,65 carbon steels High-carbon 0,6 to 1 0,3 to 0,9 steels Ultrahigh1,25 to 2 carbon steels
3
Plain carbon steel hanya memiliki unsur tambahan Mn, S, dan P, sedangkan Alloy Steel memiliki lebih banyak unsur lain yang ditambahkan. Alloy Steel dikelompokkan berdasarkan keperluannya (Contoh: stainless steel), berdasarkan penggunaannya (Contoh: tool steel) atau berdasar pengaruh panasnya (Contoh: maraging steels). Transformasi Struktur Baja Pada pemanasan sepotong besi murni dari temperatur ruang hingga titik lelehnya, terdapat beberapa transformasi kristal yang terjadi. Ketika besi berubah dari satu bentuk kristal ke bentuk yang lainnya, temperatur relatif tetap hingga terjadi perubahan bentuk. Kalor yang dibutuhkan disebut kalor laten. Dua bentuk kristal tersebut adalah ferrit dan austenit. Ferrite α-iron memiliki struktur kristal BCC, stabil pada suhu di bawah 911oC, dan ferrite δ-iron di atas 1392 oC hingga titik lelehnya. Austenite, yang disebut sebagai γ-iron, memiliki sturktur kristal FCC, stabil antara 911oC hingga 1392 oC.8 Susunan atom dalam logam berbentuk tiga dimensi yang sering disebut struktur kristal. Pada besi, terlihat kubus yang tersusun vertikal maupun horizontal. Sudut-sudut kubus ditempati oleh satu atom, dan setiap sudut atom berhubungan dengan delapan kubus. Unsur paling penting dalam pembuatan baja adalah karbon. Pada temperatur ruang, komposisi karbon pada alfa-iron sangat sedikit. Karbon yang bergabung dengan karbida besi, disebut cementite, Fe3C. Karbida besi bergabung dengan ferit membentuk pearlite, dengan kandungan karbon berkisar antara 0,80%. Logam yang mengandung karbon sebanyak 0,80% disebut eutectoid.9
Pearlite adalah mikrostruktur yang terbentuk dari austenit selama proses pendinginan baja. Selama proses pembentukan pearlit, selain difusi atom karbon, atom besi juga berpindah antara austenite dan pearlite. Transfer atom besi ini penting dalam menyelesaikan perubahan austenite, ferrite, dan cementite. Pada temperatur kritis yang rendah, difusi atom ini tidak mungkin terjadi, dan atom besi menyelesaikan perubahan struktur kristalnya dengan pemindahan kooperatif. Hasil mekanisme transformasi ini adalah tipe mikrostruktur bainite. Mikrostruktur lain dalam baja adalah martensite, martensite adalah fasa yang paling mempengaruhi kekerasan (hardness) dan kekuatan (strength) dari baja. Transformasi martensite tanpa diikuti difusi dan muncul selama proses pendinginan dengan kecepatan tinggi untuk menekan difusi dari transformasi autenite menjadi ferrite, pearlite, dan bainite. Baik atom besi maupun atom karbon tidak dapat berdifusi.10 Secara umum, terbentuknya beberapa mikrostruktur di atas, dapat dilihat pada Gambar 2.2. Fasa kristal baja dipengaruhi oleh komposisi karbon dan temperaturnya, ini terlihat pada diagram fasa (Gambar 2.3)
Gambar 2.2 Jenis-jenis mikrostruktur baja terbentuk melalui proses pendinginan10
4
Gambar 2.3 Diagram Fasa Baja11 austenite akan mengganti semua ferrite sampai habis. Seperti halnya pada pencairan air (solid menjadi liquid), suhu pada besi akan tetap pada nilai 912oC hingga semua ferrite berganti menjadi austenite. Hal ini juga berpengaruh pada volume per atom, massa jenis austenite 2% lebih tinggi dibanding ferrite, sehingga volume per atom besi lebih kecil pada fasa austenite.11 Gambar 2.4 Mikrostrutktur Fe dilihat dengan mikroskop optik (100x)11 Untuk melihat struktur besi secara mikro. Perlu dilakukan teknik metalografi pada sampel. Setelah melalui proses polishing dan eching, sampel dilihat dengan mikroskop optik hingga perbesaran 100x, seperti pada Gambar 2.4 di atas. Area yang diberi nomor 1 sampai 5 disebut dengan butir besi. Batas antara nomor 4 dan 5 (ditunjukkan tanda panah) disebut batas butir. Ketika besi ferrite dipanaskan hingga mencapai 912oC, rangkaian butir ferrite berubah menjadi rangkaian baru butir austenite. Pertama, perubahan terjadi pada batas butir. Kedua, pertumbuhan butir
Pengaruh penambahan unsur pada baja Berikut ini adalah beberapa macam unsur yang berpengaruh pada sifa baja.12 1. Karbon Karbon ditambahkan pada besi untuk mendapatkan baja. Pengaruh pemberian karbon pada besi lebih besar dibandingkan dengan unsur lain. Penambahan lebih banyak karbon pada besi (hingga nilai kelarutan besi) menghasilkan lebih banyak distorsi pada kisi kristal dan menghasilkan kekuatan mekanik yang lebih tinggi. Kelarutan dari karbon berpengaruh negatif pada karakteristik besi yang lain, yaitu keuletan (ductility). α-iron menjadi
5
sangat lembut, ketika lebih banyak karbon yang ditambahkan, kekuatan mekanik lebih besar, tapi elastisitasnya semakin berkurang. Lebih banyak karbon juga menjadi masalah ketika proses pengelasan.
7. Timah Timah terkadang ditambahkan pada baja untuk meningkatkan karakteristik mekaniknya. Penambahan ini dalam rentang 0,15 s.d. 0,35%.
2. Mangan Mangan berguna untuk meningkatkan kualitas permukaan pada semua rentang unsur karbon dan terutama pada baja teresulfurisasi. Mangan meningkatkan strength dan hardness, namun dalam taraf yang lebih rendah dari karbon. Peningkatan kekuatan tergantung pada kandungan karbon. Mangan memberi pengaruh cukup besar pada sifat hardenability baja.
8. Boron Boron ditambahkan pada baja untuk meningkatkan hardenability. Baja boron-treated dibuat dengan kandungan boron antara 0.0005 dan 0.003%. Penambahan boron paling efektif pada baja karbon rendah.
3. Fosfor Fosfor meningkatkan strength dan hardness namun mengurangi keuletan dari baja. Fosfor yang semakin banyak biasanya dipakai pada baja free-machining kandungan karbon rendah. 4. Sulfur Kandungan sulfur dapat mengurangi keuletan. Unsur ini sangat menggangu kualitas permukaan, terutama pada baja kandungan karbon rendah dan mangan rendah. Kandungan sulfur biasanya diatur pada taraf rendah. 5. Silikon Silikon adalah salah satu dari deoksidator utama dalam pembuatan baja sehingga jumlah kandungan silikon bergantung pada jenis bajanya. Pada baja karbon rendah, silicon umumnya merusak kualitas permukaan. 6. Tembaga Tembaga dalam jumlah yang cukup banyak dapat merusak baja. Tembaga dapat merusak kualitas permukaan dan memperburuk kerusakan yang menempel pada baja tersulfurisasi. Tembaga meningkatkan sifat tahan korosi atmosferik bila kandungannya melampaui 0.20%.
9. Khrom Khrom umumnya ditambahkan pada baja untuk meningkatkan sifat tahan karat dan tahan oksidasi serta untuk meningkatkan ketahanan abrasif pada komposisi karbon tinggi. Khrom adalah pembentuk karbida yang kuat. Sebagai unsur pengeras, khrom sering digunakan dengan unsur penggetas seperti nikel untuk menghasilkan sifat mekanis yang handal. Pada temperatur yang lebih tinggi, khrom mampu meningkatkan strength dari baja. Secara umum, khrom ditambahkan bersama dengan molibdenum. 10. Nikel Nikel adalah penguat ferit (ferrite strengthener). Nikel tidak membentuk karbida pada baja, namun tetap larut dalam ferit, sehingga mampu menguatkan dan menggetaskan fasa ferit. Bersama dengan khrom, nikel meningkatkan kekerasan dari baja. 11. Molibdenum Molibdenum ditambahkan pada baja pada taraf 0,1 hingga 1%. Molibdenum mampu meningkatkan kekuatan dari baja paduan rendah pada temperatur yang semakin tinggi. 12. Niobium Penambahan sejumlah kecil Niobium dapat secara signifikan meningkatkan kekuatan dari baja.
6
13. Aluminium Aluminium banyak digunakan sebagai deoksidator untuk mengendalikan pertumbuhan butir austenit pada baja, sehingga sering ditambahkan untuk mengatur ukuran butir (grain). Aluminium adalah paduan yang paling efektif dalam mengendalikan pertumbuhan butir pada baja. 14. Titanium dan Zirconium Pengaruh dari penambahan titanium mirip dengan niobium. Zirkonium juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan karakteristik inklusi, terutama inklusi sulfida, untuk meningkatkan keuletan pada arah transversal. Baja berbentuk pipa (Steel Tubular Product) Steel tubular product adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan produk baja yang berrongga. Pada umumnya produk ini berbentuk silinder
dan berguna untuk mengalirkan fluida. Dua jenis steel tubular adalah pipa dan tabung. Jenis pipa yang digunakan untuk mengalirkan minyak atau gas disebut dengan pipeline. Berdasarkan American Petroleum Institute (API), jenis baja seamless yang tepat digunakan dalam industri minyak adalah jenis baja 5L.13 Komposisi kimia baja 5L dapat dilihat pada Tabel 2. Selain API, organisasi internasional lain yang memiliki standar baja adalah SAE (Society of Automotive Engineers). Organisasi ini berisi ilmuwan-ilmuwan yang bergerak dalam bidang industri otomotif. SAE Steel Grade adalah spesifikasi baja standard, ditunjukkan oleh empat digit angka yang menunjukkan komposisi kimia pembentuknya. Contoh dari baja standard SAE adalah SAE 1513. Komposisi kimianya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Komposisi kima baja API 5L seamless13 Proses Spesifikasi Grade Pembuatan Pipa C A25, 5L Seamless class I 0,21 A25, class II 0,21
Komposisi (%berat) Mn P 0,03-0,60
0,045
0,03-0,60
0,045-0,08
A
0,22
0,9
0,04
B
0,27
1,15
0,04
Tabel 3. Komposisi kimia baja SAE 1513 Unsur % Berat Fe 98 Mn 1,00 – 1,35 Si 0,1 – 0,35 C 0,16 Al 0,015 - 0,06 P 0,04 S 0,04 Korosi Kata korosi digunakan untuk menunjukkan kerusakan pada permukaan
S 0,0 6 0,0 6 0,0 5 0,0 5
Si .. .. .. ..
material atau logam pada lingkungan yang relatif buruk. Korosi merupakan proses oksidasi yang terjadi secara kimia ketika logam melepas elektron ke lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah dalam keadaan cair (liquid), gas, atau soil-liquid. Lingkungan tersebut disebut elektrolit karena memiliki nilai konduktivitas untuk transfer elektron.14 Larutan elektrolit mengandung ion postif dan ion negatif yang disebut dengan kation dan anion. Proses korosi membutuhkan paling sedikit dua reaksi kimia yang harus terjadi pada lingkungan korosif. Reaksi tesebut diklasifikasikan
7
sebagai reaksi anoda dan reaksi katoda. Jika kedua reaksi tersebut terajadi, permukaan logam menjadi rusak. Berikut ini adalah contoh reaksi korosi pada baja.14 Anoda : Fe Fe2+ + 2eKatoda : 2H2O + 2e- H2 + 2OHFe + 2H2O Fe(OH)2 + H2 Beberapa jenis korosi yang sering terjadi adalah general corrosion, galvanic corrosion, crevice corrosion, pitting corrosion, erosion corrosion, stresscorrosion cracking, corrosion fatigue, dan microbiological corrosion. General Corrosion General Corrosion diartikan sebagai serangan korosif yang didominasi oleh penipisan secara seragam tanpa adanya serangan pada tempat tertentu. Menipisnya permukaan dapat dilihat seperti pada Gambar 2.5 di bawah. Atap seng adalah contoh material yang mudah terkena serangan General Corrosion, sedangkan material pasif seperti stainless steel, atau logam nickel-chromium hanya mendapat serangan pada tempat tertentu (localized attack).15
tinggi menjadi katode.16 Gambar 2.6 di bawah menunjukkan contoh terjadinya galvanic corrosion.
Gambar 2.6 Galvanic Corrosion16 Crevice Corrosion Crevice Corrosion terjadi akibat air atau cairan lain terperangkap pada celah di logam. Korosi ini terjadi pada kontak antara logam dengan logam atau antara logam dengan non-logam. Lingkungan yang rendah kadar oksigen dan tinggi kadar klorida merupakan faktor utama terjadinya jenis korosi ini.17 Gambar 2.7 menunjukkan bentuk fisiknya Crevice Corrosion.
Thicknes is reduced uniformly Gambar 2.7 Crevice Corrosion17
Gambar 2.5 General Corrosion pada logam Galvanic Corrosion Galvanic Corrosion terjadi pada dua logam yang memiliki beda potensial listrik (logam berbeda jenis) terhubung secara fisik satu sama lain dan terletak dalam medium yang terkonduksi listrik. Arus listrik dapat menarik elektron keluar dari salah satu logam, yang akan menjadikannya sebagai anode. Hal ini akan mempercepat terjadinya korosi pada anode. Logam yang lainnya, sebagai katode akan mengalami penurunan ketahanan korosi. Logam dengan potensial lebih rendah akan menjadi anode dan logam dengan potensial lebih
Pitting Corrosion Pitting Corrosion, atau sering hanya disebut pitting, adalah jenis korosi yang secara ekstrim terbentuk pada area tertentu di logam. Pitting muncul ketika medium korosif menyerang logam pada titik tertentu yang menyebabkan terbentuknya lubang kecil. Biasanya hal ini terjadi ketika lapisan pelindung logam telah berlubang oleh kerusakan secara mekanik maupun kimia. Pitting merupakan bentuk korosi yang paling berbahaya karena sulit diantisipasi dan dicegah, relatif sulit untuk dideteksi, muncul secara cepat, dan menembus logam tanpa mengurangi massa logam secara signifikan. Pitting juga memiliki efek samping, sebagai contoh, retakan dapat muncul pada ujung lubang karena meningkatnya tekanan.18 Bentuk lubang
8
dapat dilihat seperti pada Gambar 2.8 berikut.
Gambar 2.8 Pitting Corrosion18 Erosion Corrosion Erosion Corrosion adalah bentuk serangan korosi yang dihasilkan oleh interaksi antara cairan elektrolit yang melalui permukaan logam. Biasanya terdapat partikel padat yang ikut dalam cairan yang mengalir. Fluida yang mengalir menyebabkan terjadinya abrasi, meningkatkan derajat korosi melebihi General (non-motion) Corrosion pada kondisi yang sama. Erosion corrosion terjadi dalam saluran pipa seperti yang terlihat pada Gambar 2.9. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya korosi jenis ini. Salah satu di antaranya adalah kekerasan bahan. semakin keras material, ketahanan erosion corrosion semakin lebih baik. Faktor yang lain adalah kehalusan permukaan, kecepatan fluida, massa jenis fluida, dan sudut aliran fluida.19
Gambar 2.9 Erosion Corrosion19 Stress-Corrosion Cracking Stress Corrosion adalah fenomena peretakan logam yang terkadang muncul ketika logam mengalami tekanan statis
dari lingkungan yang korosif. Proses Stress-Corrosion Cracking (SCC) terjadi di dalam material, retakan masuk ke struktur internal, tanpa merusak permukaan. Kebanyakan retakan (crack) memiliki arah yang tegak lurus dengan arah tekanan yang diberikan. Selain tekanan mekanik, tekanan termal dengan agen korosif juga dapat menimbulkan SCC. Pitting menjadi salah satu penyebab SCC, terutama pada logam yang sensitif. SCC adalah jenis korosi yang berbahaya karena sulit dideteksi dan bisa muncul jika tekanan lebih dari tingkat ketahanan logam. Bentuk retakan SCC terlihat pada Gambar 2.10 di bawah.20
Gambar 2.10 Stress-Corrosion Cracking20 Corrosion Fatigue Corrosion Fatigue muncul pada logam sebagai hasil dari tekanan siklis dan lingkungan korosif. Corrosion fatigue menyebabkan ketahanan logam akan menurun pada lingkungan yang agresif. Akibatnya, timbul retakan pada logam (seperti SCC yang menerima tekanan statik). Jenis korosi ini dipengaruhi oleh faktor intensitas tekanan dan frekuensi tekanan siklis. Lingkungan yang lembab dan berair, tingginya aktivitas kimia juga menurunkan tingkat ketahanan terhadap korosi.21 Bentuk fisik terjainya corrosion fatigue dapat dilihat pada Gambar 2.11
9
untuk mencegah kegagalan pada proses berikutnya. Untuk tujuan industri, analisis kegagalan akan menghemat waktu dan biaya, menjadi bagian dari kontrol kualitas dan peningkatan program secara berkelanjutan.
Gambar 2.11 Corrosion Fatigue20 Analisis Kegagalan Kegagalan (Failure) Kegagalan adalah ketidakmampuan peralatan, mesin, atau proses untuk berjalan sebagaimana fungsinya. Kegagalan muncul dalam berbagai bentuk dan ukuran, bisa berupa salah satu bagian atau seluruh bagian dari suatu proses.22 Kondisi ini bisa menyebabkan kerugian secara finansial dan membahayakan keselamatan operator, masyarakat atau lingkungan sekitar. Komponen peralatan yang telah lama beroperasi akan rusak. Kerusakan semacam ini adalah wajar mengingat bahwa masa pakainya cukup lama, sesuai dengan yang direncanakan. Suatu komponen dikatakan gagal bila komponen tersebut tidak dapat berfungsi seperti yang dirancang. Hal ini terjadi dalam masa pakai yang pendek, atau lebih singkat daripada umur yang diharapkan. Penyebab yang paling umum terjadinya kegagalan adalah: Kondisi penggunaan (use / misuse) Perawatan dan pengecekan yang tidak benar (sengaja / tidak disengaja) Kesalahan pemasangan Kesalahan pembuatan/produksi Kesalahan desain (pemilihan material maupun kondisi material) Kondisi lingkungan yang ekstrim Untuk menentukan akar permasalahan, maka perlu dilakukan Analisis Kegagalan. Setelah akar permasalahan ditemukan, tindakan koreksi dan perbaikan dapat dilakukan
Analisis Kegagalan untuk Korosi (Analysis of Corrosion-Related Failure) Kegagalan korosi memiliki langkah analisis yang sama dengan kegagalan pada umumnya. Namun, perbedaan utama dengan kegagalan umum adalah perlunya penjagaan dan perlindungan yang dilakukan sesegera mungkin pada semua barang bukti. Kegagalan korosi juga memerlukan pengambilan sampel dan pengujian produk korosi secepat mungkin untuk mendapatkan hasil yang aktual. Jika memungkinkan dan ada biaya, kunjungan ke tempat kegagalan juga perlu dilakukan.23 Kegagalan korosi sering berhubungan dengan pemilihan material dan kondisi lingkungan. Seluk beluk sepesifikasi material, dokumen jaminan kualtas, dokumen pemasangan dan perawatan, dan sejarah kondisi lingkungan adalah beberapa data yang penting dan sangat berguna untuk menyelesaikan kegagalan korosi. Informasi mengenai gangguan sistem atau lingkungan yang berubah dari kondisi normal juga harus disediakan. Perbandingan dari spesifikasi bahan yang sedang digunakan dengan desain bahan juga harus dilakukan Hal yang sangat penting untuk menemukan sebab dari kegagalan adalah adanya data (record) pengoperasian dari komponen yang mengalami kegagalan. Data mengenai lingkungan dari komponen, setiap perubahan pada lingkungan, dan perubahan temperatur perlu didapatkan juga. Setiap catatan dari kegagalan sebelumnya atau kelainan dalam pengoperasioan adalah hal yang berguna. Jika memungkinkan, gambar dan sketsa dari teknisi perlu ditinjau.23 Informasi mengenai setiap pengecekan yang dilakukan oleh personil pabrik juga harus disediakan. Penggunaan cat untuk menandai komponen juga dapat
10
mengubah ketahanan korosi dan komposisi kimia produk korosi. Setiap perubahan sebelum dan sesudah kegagalan juga perlu didokumentasikan. Pemeriksaan di tempat dilakukan dengan perjalanan di sekeliling area kegagalan. Dokumentasi fotografik perlu dibuat untuk melukiskan kondisi setelah kegagalan. Jika memungkinkan, perlu dilakukan pengecekan pada pemasangan atau operasi dari bagian yang tidak mengalami kegagalan. Dokumentasi forografik harus dilakukan dengan perhatian khusus untuk mendapatkan warna sebenarnya dari produk korosi. Pengambilan gambar di laboratorium dilakukan dengan pengaturan yang dapat menghasilkan sifat warna dan tekstur permukaan yang akurat.23 Sampel diambil dari tempatnya dengan hati-hati untuk mencegah adanya kontaminasi. Beberapa alat yang berguna dalam pengambilan sampel diantaranya adalah tas yang tertutup, sarung tangan lateks, alat-alat pengambil sampel, dan bahan perekat. Penguji diharuskan menhindari sentuhan langsung dengan produk korosi untuk menghindari kontaminasi. Secara umum, pemotongan (cutting) harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari perubahan dari kondisi metalurgi bahan dan deposit korosi. Pemotongan menggunakan gergaji (saw cutting) lebih disarankan daripada menggunakan torch cutting karena pemanasan dari sampel dapat memberi efek pada bahan dan produk korosi. Jika dilakukan torch cutting, jarak yang disarankan adalah 75 s.d. 150 mm dari area yang diinginkan untuk diambil. Saw cutting dilakukan dengan lambat untuk menghindari pemanasan. Jika memungkinkan, penggunaan minyak pelumas dan pendingin dapat dihindari untuk menghindari kontaminasi.23 Material dan kondisi lingkungan menjadi pusat perhatian dalam melakukan analaisis kegagalan. Meskipun setiap jenis kegagalan memiliki pengujian yang unik, beberapa langkah umum dapat diambil dalam pemeriksaan semua kegagalan korosi. Langkah-langkah yang dilakukan
untuk memeriksa kegagalan korosi adalah: 23 1. Semua sampel harus diidentifikasi dengan hati-hati. Asal sampel, handling, dan proses dalam laboratorium juga perlu didokumentasikan. 2. Pengambilan fotografi dilakukan pada kondisi awal sampel diterima. 3. Pengujian secara makro menggunakan mikroskop stereo dari area sampel. 4. Metode pengujian non-destruktif dapat dipertimbangkan. Hindari gangguan secara fisik pada sampel korosi. Dapat dilakukan pula radiografi untuk mendapatkan data kualitas casting atau untuk melihat peretakan. Bagaimanapun, penggunaan cairan tidak dapat dilakukan hingga sampel korosi telah dibersihkan. 5. Pembersihan endapan korosi. Sampel dibersihkan dengan alat yang tidak memberikan kontaminasi seperti stainless steel. Sampel disimpan pada tempat yang bersih dan kering serta diberi tanda. 6. Sampel korosi dianalisis dengan energy dispersive spectroscopy (EDS) bersamaan dengan scanning electron microscopy (SEM) untuk mendapatkan komposisi unsur kimia pada produk korosi. 7. Berdasar pengujian secara visual, sampel korosi mungkin perlu dilakukan analisis mikrobiologi. Langkah-langkah berikutnya dapat diikuti dengan pembersihan (cleaning) atau pengujian yang lain. Korosi pada Lingkungan Minyak Beberapa jenis masalah korosi dapat ditemukan pada pengeboran dan produksi awal dari minyak dan gas. Termasuk korosi pitting, penggetasan sulfida dan penggetasan hidrogen. Endapan minyak dan gas sering menjadi penyebabnya. Campuran logam yang kuat diperlukan pada galian yang dalam. Pada sumur gas yang dalam, lingkungan memiliki gas H2S dengan konsentrasi antara 28 hingga 46%, temperaturnya berkisar pada 200o C, tekanan pada 140 MPa. H2S juga sering
11
ditemukan berkombinasi dengan air berklorida dan CO2 pada lingkungan. Adanya H2S ini menghasilkan korosi pada campuran logam. Korosi di dalam sumur sumber minyak dihasilkan dari lingkungan asam tinggi yang terbentuk ketika terdapat CO2 dan air. Kehadiran Klorida dan H2S akan menambah keagresifan dari lingkungan. Selanjutnya, tingkat korosi akan berubah sebagaimana temperatur berubah.24 H2S Corrosion Fenomena yang disebut sebagai Sulfide Stress Cracking (SSC) dipengaruhi oleh konsentrasi H2S dan temperatur. Terjadinya SSC juga dipengaruhi oleh mikrostruktur logam, yang bergantung pada komposisi logam dan perlakuan panas. H2S terlarut dalam air menghasilkan ion Hidrogen. Ion Hidrogen relatif kecil dan mampu berdifusi melalui batas butir atau kerusakan yang terbuka di dalam bahan baja. Dua atom H bergabung membentuk molekul H2 (gas). Molekul H2 terakumulasi dan terjebak dalam area tertentu. Hal ini menyebabkan tekanan yang tinggi pada titik tertentu dan membentuk retakan (crack). SSC adalah efek kombinasi dari korosi dan peretakan yang diakibatkan difusi hidrogen.25 Masalah utama adanya H2S adalah penggetasan logam, yang disebabkan oleh penetrasi H2 dalam logam. Hidrogen sulfida adalah asam lemah yang terlarut dalam air dan dapat berperan sebagai katalis dalam penyerapan atom hidrogen pada logam, membentuk SSC pada logam berkekuatan tinggi. Salain SSC, dalam kondisi lingkungan yang terdapat H2S tipe korosi yang umum terjadi adalah general corrosion, pitting corrosion, dan corrosion fatigue. Topografi dari lubang korosi H2S, memiliki karakteristik bentuk seperti kerucut dengan bagian bawah yang tergores. Produk korosi yang terbentuk diantaranya adalah besi sulfida (FeS) hitam atau biru-hitam, pyrite (FeS2), iron oxide (Fe3O4), dan sulfur (S). Mekanisme utama proses korosi yang terjadi diperlihatkan dalam reaksi kimia berikut.26
Fe + H2S →
FeS + H2
CO2 Corrosion Adanya CO2 yang terkandung dalam minyak dapat menyebabkan beberapa jenis korosi seperti general corrosion, pitting corrosion, wormhole attack, erosion corrosion,dan corrosion fatigue. Topografi dari lubang korosi CO2, memiliki karakteristik bagian tepi yang tajam, bagian dinding dan bagian dalam yang halus, serta lubang yang bersambung satu dengan lainnya. Deposit korosi yang mencirikan bahwa korosi tersebut termasuk korosi CO2 adalah Siderit (FeCO3), Magnetit (Fe3O4), and Hematit (Fe2O3). Mekanisme utama proses korosi yang terjadi diperlihatkan dalam reaksi kimia berikut.27 2 Fe + 2 CO2 + O2 → 2 FeCO3 Sour Crude Oil Sour Crude Oil adalah minyak mentah yang dikotori oleh sulfur. Minyak mentah disebut sour jika jumlah sulfur total lebih dari 0,5%. Sour Crude Oil biasa diproses menjadi minyak untuk diesel dan bensin. Untuk mengurangi biaya produksi, Sour Crude Oil harus distabilkan dengan menghilangkan gas Asam Sulfida (H2S) sebelum dipindahkan melalui tangki minyak.28 Crude Oil merupakan campuran hidrokarbon yang berwujud cair, berada dalam reservoir bawah tanah dan dalam kondisi tekanan atmosfer yang membuatnya tetap dalam fasa cair (liquid) setelah melalui beberapa pemisahan di permukaan.29 Berikut adalah persentasi unsurunsur yang terdapat dalam minyak mentah.30 › Karbon : 83,0-87,0 % › Hidrogen : 10,0-14,0 % › Nitrogen : 0,1-2,0 % › Oksigen : 0,05-1,5 % › Sulfur : 0,05-6,0 %
12
BAB III BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2012 di Laboratorium Bidang Bahan Industri Nuklir, Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) BATAN, kawasan PUSPIPTEK, Serpong. Bahan Bahan penelitian adalah pipa digunakan sebagai bagian dari Primary Separator yang beroperasi pada temperatur 166 atau 167 oF (75 oC) dan tekanan 33 atau 34 psi (1 pound per sudah terpotong secara longitudinal menjadi dua seperti tampak pada Gambar 3.1 berikut.
square inch = 6.894,75 Pascal). Pipa terbuat dari bahan logam, digunakan untuk mengalirkan minyak mentah. Permukaan luarnya dicat berwarna hijau. Jenis cairan (fluida) yang mengalir adalah sour crude oil atau minyak mentah. Untuk menghilangkan scale/deposit digunakan drilling fluids dan acidizing fluids yang mengandung HCl. Setelah sekian lama dipakai, pipa mengalami serangan korosi pada bagian dalam pipa, kemudian dilakukan proses drain dan refresh setiap minggu. Pipa yang akan diamati
Gambar 3.1 Pipa Primary Separator yang mengalami korosi, camdig (0,5x) Alat Jangka Sorong Mikrometer Skrup Hand Saw Mesin Potong, Buehler Samplmet 2 Abrasive Cutter Cairan Resin dan Pengeras Kertas Amplas (grit 100, 400, 800, 1500, 2000) Pasta Alumina (1 dan 6 mikrometer) Mesin Poles, MoPao 2D Grinder Polisher Kamera Digital, BenQ DC E1230 12 Megapixel
Mikroskop Setereo, Karl Kolb Hund Wetzlar Mikroskop Optik, Nikon SEM-EDS, Jeol JSM-6510LA OES, ARC-Spark Optical Emission Spectrometer XRD, Shimadzu XD-610 Gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2. (Halaman 42)
13
Metode Penelitian 1. Pengumpulan data dan studi literatur Langkah awal dari penelitian ini adalah studi literatur tentang baja, analisis kegagalan, dan korosi secara umum maupun korosi pada lingkungan minyak yang bersumber dari buku-buku dan internet. 2. Persiapan alat dan bahan Preparasi sampel pipa dengan proses Metalografi : - Cutting, pemotongan pipa menjadi sampel yang lebih kecil menggunakan hand saw dan mesin potong, agar lebih mudah dikarakterisasi. Pemotongan pipa secara transversal atau melintang dan longitudinal. -Mounting, sampel dibingkai menggunakan resin dan pengerasnya agar tercetak bingkai sampel. Hal ini dilakukan agar sampel lebih mudah dipegang ketika melakukan proses Grinding dan Polishing. -Grinding dan Polishing, permukaan yang akan diamati, diamplas dengan kertas amplas (dari bahan SiC) dari tingkat grit 100, 400, 800, 1500, 2000. Setiap kenaikan tingkat grit, arahnya diputar 90 derajat dan diamati apakah goresan yang terbentuk telah seragam. Kemudian dipoles dengan pasta alumina 1 dan 6 mikrometer. -Etching, lapisan permukaan sampel direndam dalam larutan etching agar menghasilkan derajat kontras yang tepat antara berbagai konstituen dalam logam sehingga struktur mikro logam dapat diketahui.
Batas butir menjadi lebih mudah diamati. Larutan etching yang dipakai adalah nital 2%. 3. Karakterisasi 3.1 Pengamatan visual dilakukan terhadap sampel. Pada tahap ini dilakukan pengamatan langsung pada sampel menggunakan mata. Selain itu, dilakukan juga pengukuran diameter menggunakan jangka sorong dan ketebalan pipa menggunakan mikormeter sekrup serta dokumentasi gambar dengan kamera digital. Pengamatan langsung dengan mata dilakukan untuk melihat dan menganalisis adanya deposit korosi, lubang, goresan, dan penipisan pada pipa. Perbedaan warna pada sampel juga menunjukkan proses korosi yang terjadi pada pipa. Dengan pengamatan ini, pemilihan sampel dapat dilakukan dengan mempertimbangkan lokasi-lokasi yang tepat dari sampel pipa untuk selanjutnya dikarakterisasi. Jangka sorong adalah alat yang digunakan untuk mengukur suatu benda dari sisi luar dengan cara diapit. Ketelitiannya dapat mencapai seperseratus milimeter. Terdiri dari dua bagian, yaitu bagian diam dan bagian bergerak. Bagian diam menunjukkan skala utamanya, dan bagian yang bergerak menunjukkan skala noniusnya.31 Mikrometer sekrup adalah alat yang digunakan untuk mengukur ketebalan suatu benda. Ketelitiannya dapat mencapa seperseratus milimeter. Terdiri dari dua bagian utama yaitu poros tetap yang memiliki skala utama
14
dan poros putar yang memiliki skala nonius.32 Kamera digital digunakan untuk memotret suatu objek benda dan menampilkan hasilnya dalam bentuk file gambar dalam format .jpeg. Kamera digital memiliki beberapa komponen, seperti Aperture, Shutter, Lensa, dan Sensor. Aperture sebagai celah masuknya cahaya, Shutter mengatur jumlah cahaya yang masuk, Lensa untuk memfokuskan gambar, dan Sensor untuk merekam gambar. Sensor pada kamera berupa charge coupled device (CCD) yang mengubah cahaya (photon) menjadi muatan listrik. Resolusi gambar dari kamera digital ditentukan dari jumlah pixel. Semakin besar nilai pixel berarti semakin semakin banyak jumlah photositenya sehingga gambar yang dihasilkan semakin tajam.33 3.2 Pengamatan makroskopik dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo. Mikroskop stereo merupakan jenis mikroskop yang hanya bisa digunakan untuk benda yang berukuran relatif besar. Mikroskop stereo mempunyai perbesaran 7 hingga 30 kali. Benda yang diamati dengan mikroskop ini dapat terlihat secara tiga dimensi. Komponen utama mikroskop stereo hampir sama dengan mikroskop cahaya. Lensa terdiri atas lensa okuler dan lensa obyektif. Perbedaan antara mikroskop stereo dengan mikroskop cahaya adalah: (1) ruang ketajaman lensa mikroskop stereo jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mikroskop cahaya sehingga kita dapat melihat bentuk tiga dimensi benda yang
diamati. (2) sumber cahaya berasal dari atas sehingga obyek yang tebal dapat diamati. Perbesaran lensa okuler biasanya 10 kali, sedangkan lensa obyektif menggunakan sistem zoom dengan perbesaran antara 0,7 hingga 3 kali, sehingga perbesaran total obyek maksimal 30 kali. Pada bagian bawah mikroskop terdapat meja preparat. Pada daerah dekat lensa obyektif terdapat lampu yang dihubungkan dengan transformator. Pengatur fokus obyek terletak disamping tangkai mikroskop, sedangkan pengatur perbesaran terletak diatas pengatur fokus.34 3.3 Pengamatan mikroskopik menggunakan Mikroskop Optik. Pengamatan dimulai dengan perbesaran yang kecil sekitar 100x dan dilanjutkan dengan meningkatkan perbesaran untuk mengamati karakteristik yang lebih jelas. Kebanyakan mikrostruktur dapat diamati dengan mikroskop optik dan diidentifikasikan berdasarkan karakteristik-karakteristiknya. Mikroskop Optik memiliki beberapa komponen yang penting, diantaranya adalah sistem penerangan (illumination system) yang terdiri atas lampu, lensa, filter, dan diafragma. Cahaya dari lampu dapat diatur intensitasnya untuk membentuk gambar yang cerah. Sumber cahaya pada mikroskop optik berupa lampu filamen-tungsten voltase rendah maupun lampu filamen tungstenhalogen. Intensitas cahaya diatur berdasarkan suplay tegangan. Mikroskop memiliki dua buah lensa, yaitu lensa objektif dan lensa okuler. Lensa objektif membentuk bayangan primer
15
mikrostruktur dan merupakan komponen paling penting dalam mikroskop optik. Lensa objektif mengumpulkan cahaya sebanyak mungkin dari spesimen dan menggabungnya dengan cahaya untuk menghasilkan gambar. Lensa okuler (eyepiece) berfungsi membesarkan bayangan primer yang dihasilkan oleh lensa objektif.35 Dari lensa okuler ini, gambar langsung diteruskan menuju kamera. Mikroskop Optik memanfaatkan cahaya dari sumber cahaya yang melalui kondenser. Kemudian cahaya dipantulkan oleh cermin menuju objek. Cahaya yang dipantulkan oleh objek (sampel logam) diteruskan menuju lensa objektif dan kemudian lensa okuler sehingga tampak oleh kamera. Gambar 3.2 berikut menjelaskan penjalaran cahaya pada mikroskop optik.
Gambar 3.2 Prinsip kerja mikroskop optik35 3.4 Pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM). Bayangan yang dihasilkan SEM memiliki karakteristik perbesaran yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan Mikroskop Optik. Dalam mendapatkan gambar SEM, berkas elektron terfokus mengenai pada permukaan sampel padat. Pada instrumen analog, berkas elektron dipindai melalui seluruh sampel oleh kumparan scan. Pola pemindaian yang dihasilkan adalah serupa dengan yang digunakan dalam tabung sinar dari sebuah katoda (CRT) pesawat televisi di mana berkas elektron akan menyapu seluruh permukaan linear dalam arah x, kembali ke posisi awal , dan kemudian bergeser ke bawah dalam arah y dengan kenaikan standar. Proses ini diulangi hingga luasan tertentu dari permukaan sampel telah dipindai seluruhnya. Sinyal yang diterima dari permukaan akan disimpan dalam komputer, yang akan diubah menjadi sebuah gambar (image). Beberapa jenis sinyal yang terbentuk dari permukaan sampel adalah backscatered, secondary, dan Auger electron, sinar-X dari fluoresens foton, dan foton yang lain dengan berbagai energi. Pada instrumen SEM, backscatterd dan secondary electron digunakan untuk membentuk image.36 Sumber elektron berupa filamen tungsten. Elektron diakselerasi agar memiliki energi yang berkisar antara 1 hingga 30 keV. Sistem kondenser magnetik dan lensa objektif akan memperkecil ukuran titik (spot size) hingga diameter antara 2 hingga 10 nm ketika sampai di sampel. Sistem kondenser yang terdiri atas lebih dari satu lensa akan menghantarkan berkas elektron menuju lensa objektif, selanjutnya lensa objektif yang
16
akan menentukan ukuran berkas yang mengenai permukaan sampel. Pemindaian pada SEM dilakukan oleh dua pasang kumparan elektromagnetik yang terletak pada lensa objektif. Satu pasang menghantarkan berkas dalam arah sumbu-x, dan satu pasang yang lain dalam arah sumbu-y. Terdapat dua interaksi padatan dengan berkas elektron yaitu interaksi elsastik yang mengubah lintasan elektron tanpa terjadi perubahan energi secara signifikan dan interaksi inelastik, yang menjadikan elektron mentransfer energinya (sebagian atau seluruhnya) ke padatan. Padatan yang tereksitasi akan mengemisikan secondary electron, Auger electron, dan sinar-X. Ketika elektron menumbuk secara elastik dengan atom, terjadi perubahan arah elektron, tetapi kecepatannya tetap sehingga energi kinetiknya relatif konstan. Sudut pemantulan dari tumbukan tersebut berkisar antara 0o hingga 180o. Elektron yang terpental ini disebut dengan backscattered electron. Berkas backscattered electron ini memiliki diamater yang lebih besar. Ketika permukaan padat ditumbuk berkas elektron dengan energi beberapa keV, backscattered electron yang diemisikan oleh permukaan memiliki energi sebesar kurang dari 50 eV. Secara umum, jumlah secondary electron lebih sedikit
dari backscattered electron. Secondary electron terbentuk dari hasil interaksi antara berkas elektron berenergi dengan elektron yang terikat di padatan, yang selanjutnya akan terjadi pelepasan pita konduksi elektron dengan beberapa eV energi. Secondary electron ini dapat dicegah agar tidak mencapai detektor dengan memberi bias negatif pada papan transduser.36 Gambar 3.3 berikut menunjukkan skema SEM. Electron gun
High voltage power supply
Electron beam
Magnetic condenser lens
Scan coil controls Magnetic objective lens
Specimen
Gambar 3.3 Skema Scanning Electron Microscope36
26 17
3.5 Karakterisasi komposisi kimia makro pada pipa dengan Optical Emission Spectrometry (OES). Untuk sampel yang akan diuji menggunakan OES, sampel pipa hanya perlu dibersihkan hingga tampak bagian dasarnya. Hasil karakterisasi berupa persentase masing-masing unsur dalam sampel. Radiasi dari atom dan ion yang tereksitasi dapat diemisikan oleh sampel ketika dikenai electrical discharge, glow discharge, atau plasma. Karena sumber eksitasi ini memiliki energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber nyala api (flame), unsur-unsur dari logam atau semi-logam (metalloid) dapat dideteksi dalam konsentrasi yang rendah, termasuk unsur-unsur refactory seperti boron, tungsten, tentalum, dan niobium, dan beberapa unsur nonlogam dapat dideteksi seperti C, N, H, Cl, Br, dan I. Analisis padatan menggunakan sumber electrical dan glow discharge.37 Karena temperatur dari electrical discharge dan plasma jauh lebih tinggi dbiandingkan temperatur nyala api (flame), spektra emisi dari eksitasi nonflame menjadi sangat rumit. Spektra yang pertama adalah atomic emission spectra dari atom netral. Pada kondisi ini, sering terbentuk ion. Elektron kedua dari ion akan tereksitasi dan naik ke satu tingkat energi yang lebih tinggi. Dari tingkat ini, ion akan melepas dan mengemisikan foton. Level energi dari ion tidak sama dengan level energi atom, mereka membentuk garis emisi yang berbeda. Prinsip kerja dari emission spectrometer dengan sumber
electrical discharge sebagai berikut. Sumber listrik akan membuat electrical discharge di ruang antara dua elektrode, yaitu sample electrode dan counter electrode. Sample electrode berupa logam, counter electrode berupa elektrode yang inert, seperti tungsten atau grafit. Bahan dari sample electrode dikenai discharge sehingga akan terjadi penguapan dan eksitasi. Atom yang tereksitasi akan mengemisikan radiasi, yang dideteksi dan dihitung oleh sistem detektor. Panjang gelombang dari garis emisi menunjukkan adanya unsur-unsur dan intensitas emisi pada setiap panjang gelombang tersebut menunjukkan jumlah setiap unsur yang ada. Spectrograf adalah spectrometer yang menggunakan film fotografi atau plat fotografi untuk mendeteksi dan merekam radiasi yang diemisikan. Spektrograf dikenalkan pada tahun 1930an dan digunakan sebagai instrumen dasar untuk analisis unsur, terutama dalam industri baja atau logam lain. Selanjutnya emisi radiasi berupa cahaya tersebut masuk ke polikromator agar mampu mendeteksi panjang gelombang dari UV hingga Visible (120-800 nm). Pada gambar, cahaya dari sampel yang tereksitasi dibawa menuju empat polikromator, setiap polikromator teroptimasi pada rentang panjang gelombang tertentu. Gambar berikut menunjukkan skema kerja dari perangkat OES.37
27 18
3.6 Karakterisasi komposisi kimia mikro pada produk korosi dengan Energy Dispersive Spectroscopy (EDS). Image backscattered electron dari SEM memperlihatkan kontras dari permukaan sampel berdasarkan perbedaan nomor atom unsur dan distribusinya. Energy Dispersive Spectroscopy (EDS) mengidentifikasi unsurunsur apa dan berapa proporsi relatif unsur-unsur tersebut pada permukaan sampel. Analisis EDS memanfaatkan terbentuknya spektrum sinar-X dari area yang dipindai oleh SEM. Hasil dari EDS berupa grafik sumbu-x dan sumbu-y. Sumbu-x menunjukkan jumlah sinar-X yang diterima dan diproses oleh detektor dan sumbuy menunjukkan level energy dari jumlah tersebut.38 Sinar-X yang dideteksi pada EDS adalah hasil interaksi nonelastik dari berkas elektron dengan atom pada permukaan sampel. Terdapat dua jenis sinarX, yaitu sinar-X karakteristik dan Bremsstrahlung. Sinar-X karakteristik dihasilkan ketika berkas elektron mengeluarkan elektron kulit terluar dari atom sampel. Bremsstrahlung dihasilkan ketika berkas elektron berinteraksi dengan inti atom pada sampel. Proses terbentuknya sinar-X karakteristik dapat dijelaskan sebagai berikut. Adanya tempat yang kosong di kulit terdalam, K, terjadi karena berkas elektron energi tinggi mengenai elektron dari kulit tersebut, sehingga elektron atom terpental. Selanjutnya elektron dari kulit yang lebih tinggi mengisi kulit K tersebut. Perpindahan elektron tersebut mengemisikan sinar-X
karakteristik. Energi dari sinar-X ini adalah karakteristik khusus bagi atom pada permukaan sampel. Gambar 3.4 menunjukkan skema terjadinya sinar-X karakteristik.
Gambar 3.4 Sinar-X karakteristik karena berkas elektron38 Kemungkinan lain yang bisa terjadi, energi yang diemisikan dari perpindahan elektron tersebut ditransfer ke elektron yang lain, sehingga elektron tersebut juga ikut keluar dari lintasan. Elektron yang keluar ini disebut dengan Auger electron. Energi dari Auger electron, seperi sinar-X, adalah karakteristik khusus bagi atom pada permukaan sampel. Auger electron lebih sering terbentuk pada unsur dengan nomor atom rendah, sinar-X karakteristik lebih sering terbentuk pada unsur dengan nomor atom tinggi. Fenomena terbentuknya Auger electron dapat dilihat pada Gambar 3.5 berikut.
28 19
Gambar 3.5 Terbentuknya Auger electron38 Bremsstrahlung menunjukkan latar belakang (background) dari puncak grafik sinar-X karakteristik yang terganggu. Bremsstrahlung terbentuk ketika berkas elektron berinteraksi dengan medan listrik (coulomb) dari inti atom sampel. Ketika berinteraksi, berkas elektron kehilangan energi yang disebut dengan Bremsstrahlung. Distribusi energi yang lepas ini kontinu dan bukan karakteristik dari nomor atom unsur. semakin dekat berkas elektron (dari inti), semakin kuat interaksi antara berkas dengan medan listrik inti, dan semakin besar energi yang hilang dari berkas elektron, maka semakin besar energi foton sinarX yang diemisikan. Probabilitas melesetnya berkas elektron dengan inti atom yang besar, akan memperkecil energi dari Bremsstrahlung.38
3.7 Identifikasi senyawa produk korosi dengan X-Ray Diffraction (XRD). Ketika radiasi sinar-X melalui sampel, vektor elektrik dari radiasi berinteraksi dengan elektron dalam atom untuk membentuk hamburan. Pada saat sinar-X terhambur dari kristal, terjadi interferensi kosntruktif dan destruktif disebabkan oleh jarak antar pusat hamburan sama dengan orde dari panjang gelombang radiasi. Hasil dari fenomena ini adalah difraksi.39 Menurut hukum Bragg, ketika berkas sinar-X mengenai permukaan kristal pada sudut θ, sebagian dari berkas akan dihamburkan oleh lapisan atom di permukaan. Bagian yang tidak dihamburkan menembus ke lapisan kedua dari atom, kemudian terjadi lagi bagian yang dihamburkan, sebagian yang lain menembus lapisan ketiga, dan seterusnya. Kumpulan efek hamburan dari kristal ini merupakan difraksi dari berkas sinar-X, sebagaimana radiasi sinar tampak terdifraksi oleh kisi. Syarat terjadinya difraksi sinar-X adalah adanya ruang antar lapisan dari atom yang sesuai dengan panjang gelombang dari radiasi, dan pusat hamburan terdistribusi secara spasial dan teratur. Berkas sinar yang tipis mengenai permukaan kristal pada sudut teta, timbul hamburan sebagai hasil dari interaksi radiasi dengan atom yang terletak di O, P, dan R. Dari Gambar 3.6 berikut, dapat dilihat berkas sinarX yang mengenai atom.
26 20
Gambar 3.6 Sinar-X mengenai atom dan terpantul sebagian39 Jarak AP + PC = nλ, dimana n adalah bilangan bulat, λ adalah panjang gelombang, hamburan radiasi terletak pada garis OCD, dan kirstal akan memantulkan dariasi sinar-X. AP = PC = d sin θ, dengan d adalah jarak kisi kristal. Interferensi konstruktif dari berkas terjadi pada sudut θ nλ = 2d sin θ39 Berikut akan dijelaskan prinsip kerja instrumen X-Ray Diffractometer. Tabung sinar-X membentuk berkas sinar-X yang merupakan hasil dari tumbukan elektron pada logam tertentu seperti tungsten, khrom, tembaga, molibdenum, rhodium, scandium, perak, besi, dan kobalt. Elektron dihasilkan oleh rangkaian pemanas filamen. Rangkaian pemanas tersebut yang mengatur inentistas sinar-X atau panjang gelombangnya. Rangkaian tersebut diatur dengan suplai tenaga yang stabil. Gambar 3.7 adalah tabung sinar-X yang dimaksud.
Gambar 3.7 Tabung sinar-X40 Selanjutnya, sinar-X yang terbentuk akan di filter berdasarkan kebutuhan panjang gelombangnya dan melalui monokromator. Sinar-X selanjutnya akan diarahkan mengenai sampel yang berputar dengan kelajuan θo per menit. Hasil difraksi dari sinar-X ini akan mengenai detektor yang berputar dengan kelajuan 2θo per menit. Perangkat yang mengatur berputarnya sample holder dan detektor ini disebut dengan goniometer. Gambar 3.8 memperlihatkan adanya sudut θ sebagai sudut datang sinar dan 2θ sebagai sudut difraksi sinar. Gambar 3.9 menunjukkan skema instrumen X-Ray Diffractometer.
21 27
Gambar 3.8 Sinar-X mengenai sampel pada sudut θ41
Gambar 3.9 Skema instrumen XRD41 Dari detektor tersebut akan didapatkan data berupa grafik yang menunjukkan sudut 2θ dan intensitas sinar-X yang terdifraksi. Setiap zat tertentu memiliki pola difraksi yang khas. Analisis kualitatif dari suatu zat tertentu dapat dilakukan dengan mengidentifikasi pola-pola tertentu dari hasil difraksinya. Pola difraksi merekam intensitas sinar-X sebagai fungsi dari sudut 2θ.42 4. Pengolahan dan Analisis Data Setelah sampel dikarakterisasi, semua data digabung dan dianalisis untuk mengetahui mekanisme korosi dan menentukan penyebab terjadinya korosi. Hasil identifikasi pola XRD akan
dianalisis secara manual dengan metode Hanawalt. Seluruh hasil analisis akan dibandingkan dengan beberapa referensi dan dapat disimpulkan penyebab korosi pada pipa. Teknik pencarian hanawalt digunakan untuk mengidentifikasi fasa/bahan yang tidak diketahui dengan mengidentifikasi bentuk referensi yang mungkin dan kemudian membuat perbandingan langsung dari bentuk yang diobservasi degan bentuk referensi dari PDF (Powder Diffraction File).
22
Prosedur identifikasi fasa dari sampel mengikuti langkah sebagai berikut43: 1. Data eksperimen berupa nilai d disusun dengan urutan intensitas yang semakin kecil, 2. Sudut pantulan dengan intensitas paling tinggi dicari dalam Indeks Hanawalt, 3. Jangkauan data dari indeks hanawalt harus sesuai dengan data eksperimen. Pola-pola referensi yang mungkin (potensial) dikenali dengan
cara membandingkan enam refleksi terkuat yang terakhir sebagaimana terdaftar dengan pola eksperimen. Bentuk referensi yang mungkin cocok memiliki angka PDF. hasil eksperimen 4. Pola selanjutnya dibandingkan dengan pola referensi PDF yang lengkap. Identifikasi telah selesai jika pasangan pola referensi PDF tersebut sesuai dengan data hasil eksperimen.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN bagian atas, (b) permukaan luar pipa bagian bawah, (c) permukaan dalam pipa bagian atas, dan (d) permukaan dalam pipa bagian bawah.
Pengamatan Visual Pipa dipotong secara transversal menjadi dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Gambar 4.1 memperlihatkan (a) permukaan luar pipa
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 4.1 Pipa Primary Separator, camdig (0,5x) Diameter pipa diukur menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali ulangan. Didapatkan Tabel 4. Data hasil pengukuran diameter pipa Ulangan 1 2 3 Diameter 5,98 5,88 6,06 (cm)
nilai rata-rata diameter pipa sebesar 5,92 cm. Tabel 2. berikut memperlihatkan data hasil pengukuran diameter pipa.
4
5
Rata-rata
5,81
5,89
5,92
24
Dari hasil pengamatan visual terhadap pipa, terlihat pipa terkorosi pada bagian dalam, bahkan ditemukan adanya lubang. Gambar 4.2 menunjukkan bagian dalam untuk pipa bawah.
Gambar 4.3 Bagian dalam pipa, camdig (3x). Gambar 4.2
Bagian dalam pipa bawah, camdig (1x)
Secara umum, bagian dalam pipa berwarna coklat. Jika dilihat lebih dekat, warna deposit korosi bervariasi antara merah, coklat muda, coklat tua, dan hitam. Warna coklat kemerahan menunjukkan adanya senyawa Fe2O3, sedangkan warna hitam menunjukkan adanya senyawa Fe3O4. Kedua senyawa tersebut adalah produk korosi.44 Banyak terbentuk sumur (pit) pada pipa, seperti diperlihatkan pada Gambar 4.3 berikut.
Selain itu, ketebalan pipa juga diukur menggunakan mikrometer skrup. Pada pipa tersebut, terdapat beberapa bagian yang memiliki ketebalan berbeda. Hal ini menunjukkan terjadinya penipisan logam akibat korosi. Penipisan ini berkisar antara 20% hingga 100%. Adanya lubang menunjukkan terjadinya penipisan 100%. Tabel 3. berikut menunjukkan nilai ketebalan pipa pada beberapa bagian tertentu yang sudah ditandai pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Bagian-bagian pipa yang diukur ketebalannya
23 25
Tabel 5. Data hasil pengukuran ketebalan pipa Bagian Atas Bagian Bawah Titik Ketebalan Titik Ketebalan (mm) (mm) TA 2,34 BA 3,31 TB 3,15 BB 3,66 TC 2,42 BC 1,80 TD 1,91 BD 2,95 TE 2,77 BE 2,11 TF 4,05 BF 1,92 TG 2,03 BG 3,00 TH 3,55 BH 3,40 Pipa dipotong secara transversal dan longitudinal. Kemudian dilakukan mounting dan grinding. Pada Gambar 4.5 (a) sampel diambil dari pipa bagian atas. Pipa dipotong melintang/transversal setebal 5 mm. Kemudian dari cuplikan tersebut, dibagi minjadi tiga bagian dan disusun berjajar seperti pada gambar. Terlihat dari gambar bahwa ketebalan pipa bervariasi. Hal ini dapat terjadi karena serangan korosi pada pipa. Pada Gambar 4.5 (b) sampel diambil dari pipa bagian atas. Pipa dipotong membujur/longitudinal setebal 5 mm. Kemudian dari cuplikan tersebut dibagi menjadi tiga bagian dan disusun berjajar seperti pada gambar. Dari gambar tersebut, bagian yang paling atas menunjukkan ketebalan yang bervariasi, namun dua bagian yang bawah, tidak terlalu tampak penipisannya. Terjadinya penipisan ini juga disebabkan serangan korosi.
(a)
(b) Gambar 4.5 Sampel pipa yang dipotong (a) transversal dan (b) longitudinal Pengamatan Makroskopik Pengamatan makroskopik pada bagian dalam pipa, menggunakan kamera digital dan mikroskop stereo. Gambar 4.6 di bawah ini merupakan hasil pengamatan dari mikroskop stereo yang diambil gambarnya menggunakan kamera digital. Dari gambar tersebut terlihat bahwa korosi mampu membentuk lubang/sumur pada permukaan dalam pipa. Sumur ini merupakan salah satu bentuk serangan korosi yang terlokalisasi (localized corrosion). Penyebab korosi seperti air atau minyak mentah terjebak pada satu titik di dalam pipa tersebut, membentuk lubang. Penyebab korosi tidak bisa keluar dan serangan semakin dalam, akibatnya terbentuk sumur seperti pada gambar.
Sumur (pitting)
Gambar 4.6 Lubang akibat korosi pada bagian dalam pipa, m.s. (6x)
26 44
Korosi juga mampu membuat lapisan deposit korosi terkelupas seperti pada Gambar 4.7. Hal ini merupakan salah satu bentuk serangan general corrosion. Penyebab korosi secara bersamaan menyerang pada permukaan pipa, menghasilkan deposit yang
mempertipis lapisan permukaan logam. Adanya aliran fluida dalam pipa juga mempengaruhi permukaan logam untuk melepas lapisan deposit korosi. Pada Gambar 4.7 tersebut, terlihat lapisan deposit korosi tersebut hampir lepas.
Lapisan terkelupas
Gambar 4.7 Deposit korosi terkelupas pada bagian dalam pipa, m.s. (6x). Pada Gambar 4.8, terlihat jelas adanya penipisan ketebalan pipa. Penipisan ini juga disebabkan oleh serangan korosi lokal yang depositnya sudah terkikis habis sehingga hampir
tampak logam dasar (base metal) dari pipa. Terkikisnya lapisan deposit juga dapat dipengaruhi oleh aliran fluida di dalam pipa.
Gambar 4.8 Ketebalan pipa yang menipis, m.s. (6x).
27
Gambar 4.9 menunjukkan goresangoresan sejajar pada bagian dalam pipa. Hal ini dimungkinkan dapat terjadi karena adanya gesekan antara pipa dengan fluida yang mengalir di dalamnya. Fluida tersebut membawa pengotor minyak seperti pasir yang mampu menggores logam pipa. Adanya
goresan tersebut bisa menjadi salah satu ciri serangan erosion corrosion Kemungkinan lain, goresan tersebut adalah salah satu tanda bahwa pipa mengalami korosi H2S. Salah satu ciri adanya serangan korosi H2S adalah dasar logam yang tergores.
Gambar 4.9. Goresan pada bagian dalam pipa, m.s. (6x). Pengamatan Mikroskopik Pengamatan struktur mikro dari sampel pipa menggunakan mikroskop optik dan (Scanning Electron Microscope) SEM. Sampel pertama yang akan diamati adalah permukaan luar. Gambar 4.10 berikut menunjukkan permukaan luar pipa yang dipotong secara longitudinal, (a) dengan etsa dan (b) tanpa etsa. Dari kedua gambar
tersebut, terlihat perbedaan sampel yang melalui dan tanpa melalui proses etching (etsa). Pada Gambar 4.10 (a) fasa pearlite yang berwarna agak gelap pada logam dasar lebih terlihat jelas daripada logam dasar di Gambar 4.10 (b) yang tampak polos. Kedua gambar tersebut juga menunjukkan terlihatnya lapisan cat dari pipa.
(a) (b) Gambar 4.10 Permukaan luar pipa dipotong longitudinal, m.o. (300x)
28
Pengamatan berikutnya dilakukan dengan memotong pipa secara transversal, hasilnya tampak pada Gambar 4.11. Gambar tersebut menunjukkan permukaan luar pipa setelah dietsa. Terlihat adanya logam dasar, lapisan galvanis, dan lapisan cat.
Lapisan galvanis adalah lapisan yang ditambahkan pada baja untuk memberikan ketahanan korosi, lapisan ini terbuat dari seng (Zn). Setelah dilapisi dengan seng, permukaan luar pipa kemudian dicat.
Gambar 4.11 Permukaan luar pipa dipotong transversal, m.o. (400x) Sampel berikutnya yang diamati adalah bagaian tengah dari pipa. Pipa dipotong secara transversal. Gambar 4.12 menunjukkan bagian tengah pipa, (a) melalui proses etching dan (b) tanpa melalui proses etching. Pada Gambar 4.12 (a) terlihat butir-butir ferrite yang tampak lebih cerah dan butir-butir
pearlite yang tampak gelap. Pada Gambar 4.12 (b) tidak terlihat adanya butir-butir. Hal ini terjadi karena sampel tersebut tidak melalui proses etching. Namun, terlihatnya bintik-bintik hitam ini adalah kotoran yang masuk ketika proses polishing yang kurang sempurna.
(a) (b) Gambar 4.12 Bagian tengah pipa dipotong transversal, m.o. (300x)
29
Sampel berikutnya yang diamati adalah permukaan dalam dari pipa. Pipa dipotong secara transversal. Gambar 4.13 menunjukkan penampang melintang permukaan dalam pipa. Bagian yang lebih cerah merupakan logam dasar (base metal) dengan butir-butir ferrite dan pearlite, sedangkan bagian yang lebih
gelap merupakan produk korosi. Produk korosi juga terlihat pada Gambar 4.14. Dari hasil pengamatan ini, terlihat bahwa salah satu jenis korosi yang menyerang permukaan dalam pipa adalah general corrosion. Ketebalan pipa menipis dan tertutupi oleh lapisan produk korosi secara seragam.
Gambar 4.13 Penampang melintang bagian dalam pipa, m.o. (400x)
Gambar 4.14 Penampang melintang bagian dalam pipa, m.o. (200x)
30
Selain general corrosion, jenis korosi yang tampak pada pipa adalah pitting corrosion. Jenis korosi ini ditemukan pada pengamatan sampel pipa yang dipotong secara transversal (Gambar 4.15) dan longitudinal (Gambar 4.17). Pada Gambar 4.15 terlihat adanya
serangan korosi yang berbentuk bulat. Hal ini menunjukkan bahwa pada cuplikan sampel tersebut terdapat sumur (pitting). Jenis korosi ini juga tampak pada Gambar 4.16. Pada Gambar 4.17 terlihat adanya sumur yang cukup besar dan terisi oleh produk korosi.
Gambar 4.15 Penampang melintang bagian dalam pipa, m.o. (400x)
Gambar 4.16 Penampang melintang bagian dalam pipa tanpa etching, m.o. (200x)
Gambar 4.17 Bagian dalam pipa dipotong longitudinal, m.o. (400x)
31
Jika sampel dikaratkerisasi menggunakan SEM, maka akan tampak seperti pada gambar-gambar di bawah ini. Gambar 4.18 menunjukkan struktur mikro logam dasar pipa (base metal), terlihat bahwa logam tersebut didominasi
oleh fasa ferrite dan sedikit pearlite. Fasa ferrite dicirikan dengan bagian yang lebih terang, sedangkan pearlite dicirikan dengan bagian yang lebih gelap. Batas antar butir tampak terlihat berwarna putih.45
Gambar 4.18 Struktur mikro pipa baja, SEM (1000x) Gambar 4.19 di bawah ini merupakan pencitraan penampang melintang bagian dalam pipa. Dari gambar tersebut, tampak bagian yang lebih cerah merupakan logam dasar pipa (base metal) dan bagian yang lebih gelap
adalah deposit korosi. Deposti korosi bersifat rapuh sehingga terlihat adanya retakan pada deposit tersebut. Dari gambar ini, jenis serangan yang terlihat adalah general corrosion.
Produk Korosi
Logam Dasar
Gambar 4.19 Penampang melintang pipa bagian dalam, SEM (1000x)
23 32
Gambar 4.20 di bawah ini menunjukkan adanya produk korosi yang membentuk lubang-lubang atau sumur (pitting) pada pipa. Bagian pojok kiri atas adalah sebagian logam dasar (base metal) yang masih belum terkena serangan korosi. Di bagian gambar sebelah kanan, tampak susunan deposit korosi yang acak. Terdapat pula beberapa lubang
(berwarna hitam) yang terbentuk akibat serangan korosi lokal. Sumur-sumur tersebut dimungkinkan saling berhubungan satu sama lain atau disebut dengan istilah (wormhole). Adanya sumur yang saling berhubungan ini merupakan salah satu tanda korosi CO2 yang menyerang pipa.
Gambar 4.20 Permukaan dalam pipa yang terkorosi, SEM (500x) Karakterisasi komposisi kimia pipa Komposisi unsur-unsur kimia pipa hasil pengujian dengan Optical Emission Spectrometer ditunjukkan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Komposisi kimia penyusun logam dasar pipa Unsur % Berat Unsur % Berat Fe 98,1866 Ni 0,00901 Mn 1,18598 Zn 0,00595 Si 0,29992 Pb 0,00562 C 0,16138 V 0,00373 Nb 0,04133 Zr 0,00342 Al 0,03458 W 0,00199 Cr 0,02384 Sn 0,00155 Cu 0,01347 P 0,0116 Ti 0,01152 S 0,0001 Dari data di atas, dapat dianalisis bahwa kandungan karbon dan mangan dalam baja ini adalah kurang dari 0,3% dan 1,5%. Berdasarkan Tabel 1 pada Bab II, sampel pipa termasuk ke dalam jenis low carbon steel. Jenis bahan seperti ini banyak digunakan untuk stamping,
forging, seamless tubes, dan boiler plate.46 Untuk industri perminyakan (petroleum oil), jenis baja seamless tubes adalah jenis pipa yang digunakan untuk mengalirkan minyak. Komposisi kimia pembentuk pipa pada Tabel 6 di atas memiliki kemiripan dengan baja jenis SAE 1513 (SAE, Society of Automotive Engineers) dengan kandungan unsur-unsurnya dengan Tabel 3 pada Bab II. Akan tetapi, berdasarkan American Petroleum Institute (API), jenis baja seamless yang tepat digunakan dalam industri minyak adalah jenis baja 5L. Komposisi kimia baja 5L dapat dilihat pada Tabel 2 Bab II. Kandungan karbon dalam jenis baja ini ditambahkan agar kekuatan mekaniknya semakin besar dan elastisitasnya menurun. Terdapat pula unsur mangan yang ditambahkan untuk meningkatkan kualitas permukaan baja. Adanya unsur silikon akan memperkuat baja. Terdapat beberapa unsur lain seperti niobium, aluminium, khrom, tembaga, dan titanium memiliki peranan masingmasing dalam meningkatkan karakteristik mekanik baja. Unsur-unsur lain dengan
33
kandungan di bawah 0,01% adalah pengotor pada baja. Berikut adalah hasil pengujian komposisi unsur-unsur kimia pada pipa dengan Energy Dispersive Spectrometer (EDS). Hasil grafik EDS dapat dilihat
pada Lampiran 3 (Halaman 45). Gambar 4.21 dan Gambar 4.22 menunjukkan beberapa titik pengukuran pada permukaan sisi dalam pipa yang mengalami korosi, hasilnya ditampilkan pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Gambar 4.21 Beberapa titik pengukuran komposisi kimia mikro Tabel 7. Komposisi kimia mikro pada beberapa titik di gambar 4.17 Komposisi (% berat) Unsur Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Fe 91,39 66,7 84,71 84,73 84,29 53,23 C 7,54 10,22 11,53 12,97 13,26 12,92 O 0,83 22,62 3,4 2,07 2,13 33,46 Si 0,25 0,33 0,36 0,24 0,32 0,19 S 0,03 0,19 Cl 0,11 0,01 Dari data EDS yang ditampilkan pada Tabel 7, terlihat bahwa unsur-unsur yang terdapat pada produk korosi diantaranya adalah besi (Fe), karbon (C), oksigen (O), silikon (Si), sulfur (S), dan klor (Cl). Pada titik 1, terlihat komposisi unsur oksigen yang sangat rendah, hal ini menunjukkan bahwa pada bagian tersebut serangan korosi masih sangat ringan. Pada titik 2 dan titik 6, gambar menunjukkan sumur yang berwarna gelap, ternyata hasil EDSnya
menunjukkan adanya unsur-unsur oksigen, sulfur dan klor yang terdapat dalam lubang tersebut. Adanya unsur sulfur ini semakin memperkuat dugaan bahwa jenis srangan korosi adalah H2S corrosion. Adanya unsur klor membuktikan bahwa proses drain dan refresh menggunakan senyawa HCl dalam pengoperasiannya. Proses tersebut masih meninggalkan unsur klor pada bagian dalam pipa.
34 44
Gambar 4.22 Beberapa titik pengukuran komposisi kimia mikro Tabel 8. Komposisi kimia mikro pada beberapa titik di gambar 4.18 Komposisi (% berat) Unsur Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Fe 86,29 51,87 74,91 45,25 9,29 84,14 C 11,94 12,94 20,06 17,4 41,88 15,31 O 1,77 34,58 4,57 36,54 8,12 Si 0,43 0,45 0,81 40,71 0,55 S Cl 0,17 Dari data EDS yang ditampilkan pada Tabel 8, terlihat bahwa unsur-unsur yang terdapat pada produk korosi diantaranya adalah besi (Fe), karbon (C), oksigen (O), silikon (Si), dan klor (Cl). Berbeda dengan Gambar 4.21 di atas, Gambar 4.22 adalah penampang melintang permukaan logam bagian dalam. Titik 1 dan titik 6 memiliki warna yang cerah, hal ini menunjukkan bahwa bagian tersebut adalah logam dasar pipa. Pada kedua titik tersebut hampir tidak terdapat unsur oksigen yang menandakan belum terjadi serangan korosi. Warna yang lebih gelap seperti pada titik 2 menunjukkan bentuk sumur yang terisi dengan deposit korosi. Pada titik ini ditemukan sedikit unsur klor yang merupakan sisa hasil proses drain dan
refresh. Pada titik yang lain tampak adanya unsur oksigen sebagai tanda adanya produk korosi pada titik tersebut.
35
4.24, dan 4.25 berikut adalah grafik hasil pengujian difraksi sinar-X. Proses analisi fraksi sinar-X ditampilkan pada Lampiran 4 (Halaman 57) dan PDF (Powder Diffraction File) untuk masingmasing senyawa ditampilkan pada Lampiran 5 (Halaman 58).
Identifikasi senyawa pada produk korosi Identifikasi senyawa dilakukan dengan instrumen X-Ray Diffractometer. Pengujian dilakukan pada tiga sampel, yaitu pipa tanpa karat, pipa berkarat, dan serbuk deposit korosi. Gambar 4.23,
Gambar 4.23 Hasil pengujian difraksi sinar-X untuk besi bersih karat Bagian dalam pipa yang berkarat 50 45 40
Δ
o x
Δ o x
35 Intensitas 30
* o x Δ
25 20
o o
o x * Δ
: FeS (23-1120) : FeCO3 (29-0696) : Fe2O3 (47-1409) : FeOOH (26-0792)
x * oΔ o o * Δ * Δ Δ
15 10 5 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
2 theta
Gambar 4.24 Hasil pengujian difraksi sinar-X untuk besi yang berkarat
100
36
Serbuk Karat 120
x o * # $
* x
100
Intebnsitas
80
60
o
40
$ #
20
$ # o x $ * # x * x x
$ x o
$ # * x x * *
: FeS (23-1120) : FeSO4 (37-0873) : FeCO3 (29-0696) : FeFe2O4 (19-0629) : FeCl2 (01-1106)
$ x * * x $ o # #
$ * #
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2 theta
Gambar 4.25 Hasil pengujian difraksi sinar-X untuk serbuk karat Dari hasil pengujian difraksi sinar-X tersebut, terlihat bahwa bahan penyusun utama pipa adalah besi Fe (#PDF 060696). Kemudian beberapa senyawa yang terdapat pada produk korosi diantarnya adalah FeS (iron sulfide, #PDF 23-1120), FeSO4 (iron sulfate, #PDF 37-0873), FeCO3 (iron carbonate, siderite, #PDF 29-0696), Fe3O4 (iron oxide, magnetite, #PDF 19-0629), Fe2O3 (iron oxide, hematite, #PDF 47-1409), FeO(OH) (iron oxide hydroxide, #PDF 26-0792), dan FeCl2 (iron chloride, #PDF 011106). Powder Diffraction File (PDF) untuk masing-masing senyawa terdapat pada lampiran. Dari hasil tersebut, terlihat adanya beberapa senyawa hasil produk korosi, seperti FeO(OH), Fe2O3 dan Fe3O4 yang merupakan ciri utama terjadinya korosi pada baja. Selain itu, terdapat senyawa FeCO3 yang merupakan hasil korosi oleh senyawa CO2. Kemudian terdapat pula senyawa FeS dan FeSO4 yang memperkuat terjadinya korosi H2S pada pipa. Terdapat pula senyawa FeCl2 yang terbentuk karena proses drain dan refresh
yang menyisakan unsur Cl pada permukaan dalam pipa. Berikut adalah beberapa reaksi kimia yang menunjukkan terjadinya beberapa senyawa produk korosi di atas. Terjadinya korosi diawali dengan besi yang mengalami oksidasi. Fe → Fe2+ + 2e− Kemudian terjadi reaksi redoks antara Fe2+ dengan oksigen. 4Fe2+ + O2 → 4Fe3+ + 2O2− Selanjutnya hasil reaksi di atas, Fe3+ bereaksi dengan air (H2O) yang selanjutnya akan menghasilkan FeO(OH) dan Fe2O3 . Fe3+ + 3H2O ⇌ Fe(OH)3 + 3H+ Fe(OH)3 ⇌ FeO(OH) + H2O 2FeO(OH) ⇌ Fe2O3 + H2O Selain bereaksi dengan oksigen, Fe2+ juga bereaksi dengan ion Cl-. 2Fe2+ + 4Cl- → 2FeCl2 Kemudian hasil reaksi di atas, FeCl2 bereaksi dengan oksigen 3FeCl2 + 2O2 → Fe3O4 + 3Cl2
37
Adanya senyawa H2S dan CO2 pada minyak bereaksi dengan besi dan menghasilkan produk korosi sebagaimana reaksi kimia berikut.
Fe + H2S → FeS + H2 2 Fe + 2 CO2 + O2 → 2 FeCO3
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil pengamatan visual, untuk bagian luar pipa tidak mengalami korosi. Pada permukaan dalam pipa, terdapat produk korosi pada semua permukaan. Produk korosi berwarna coklat, merah, dan hitam. Warna coklat dan merah menunjukkan senyawa Fe2O3. Warna hitam menunjukkan senyawa Fe3O4. Dari hasil pengamatan makroskopik, semakin jelas nampak adanya sumur (pitting) pada permukaan dalam pipa. Sumur ini merupakan salah satu tanda adanya bentuk korosi O2. Terlihat juga adanya goresan-goresan pada pipa yang merupakan salah satu tanda bahwa pipa mengalami korosi H2S. Dari hasil pengamatan mikroskopik, pipa didominasi fasa ferrite dan sedikit pearlit, namun fasa ini homogen di seluruh bagian pipa. Jenis serangan korosi pada pipa diantaranya adalah general corrosion, pitting corrosion, dan erosion corrosion. Adanya sumur yang saling berhubungan (wormhole) ini merupakan salah satu tanda korosi CO2 yang menyerang pipa. Hasil karakterisasi komposisi kimia dengan instrumen OES menunjukkan bahwa bahan pipa termasuk ke dalam low-carbon steel. Hasil pengujian instrumen EDS pada beberpa bagian dalam pipa menunjukkan adanya unsur tambahan yang terdeteksi, yaitu oksigen (O), sulfur (S), dan klor (Cl). Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa bentuk korosi CO2 dan H2S yang
menyerang pipa. Adanya unsur klor membuktikan bahwa proses drain dan refresh meninggalkan unsur klor pada permukaan dalam pipa. Dari hasil identifikasi senyawa oleh instrumen XRD, terlihat adanya beberapa senyawa hasil produk korosi, yaitu FeO(OH), Fe2O3 dan Fe3O4 yang merupakan produk utama korosi pada baja. Selain itu, terdapat senyawa FeCO3 yang merupakan hasil korosi oleh senyawa CO2. Kemudian terdapat pula senyawa FeS dan FeSO4 yang memperkuat terjadinya korosi H2S pada pipa. Terdapat pula senyawa FeCl2 yang terbentuk karena proses drain dan refresh yang kurang berjalan dengan baik. Saran Untuk mencegah terjadinya kegagalan serupa perlu dipertimbangkan beberapa hal berikut, yaitu: 1. Penggantian material pipa dengan material yang sesuai dengan standard internasional seperti SAE atau API. 2. Peningkatan quality control dalam maintenance cleaning damage untuk mencegah penumpukan deposit korosi dengan menambahkan penghalang korosi (corrosion inhibitor) yang tepat secara kontinu. Contohnya adalah Vapor phase Corrosion Inhibitor (VpCI).
66 39
DAFTAR PUSTAKA 1. Salim, T dan Sriharti. (2006) Analisis Penerapan Teknologi Penyulingan Nilam di Desa Cupunagara Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang.Yogyakarta: LIPI. 2. Meyrick, G. (2001) Steel Class Notes and Lecture Material for MSE 651.01--Physical Meteallurgy of Steel. 3. Guthrie R.I.L dan Jonas J.J. (1990) ASM Handbook Volume 1 Properties and Selection: Irons Steel and High Performance Alloys.Ohio:American Society for Metals. 4. Krauss G. (1985) Physical Metallurgy and Heat Treatment of Steel, in Metals Handbook Desk Edition.Ohio:American Society for Metals. 5. Guthrie R.I.L dan Jonas J.J. (1990) ASM Handbook Volume 1 Properties and Selection: Irons Steel and High Performance Alloys.Ohio:American Society for Metals. 6. Meyrick, G. (2001) Steel Class Notes and Lecture Material for MSE 651.01--Physical Meteallurgy of Steel. 7. Guthrie R.I.L dan Jonas J.J. (1990) ASM Handbook Volume 1 Properties and Selection: Irons Steel and High Performance Alloys.Ohio:American Society for Metals. 8. Callister, W. D. (2007) Materials science and engineering: an introduction.USA:John Wiley & Sons, Inc. 9. Thelning K. E. (1975) Steel and its Heat Treatment.England:Butterworth & Co (Publishers) Ltd. 10. Guthrie R.I.L dan Jonas J.J. (1990) ASM Handbook Volume 1 Properties and Selection: Irons Steel and High Performance Alloys.Ohio:American Society for Metals. 11. Verhoeven, J. D. (2005) Metallurgy of Steel for Blademiths & Others who
12.
13.
14. 15. 16.
17. 18.
19. 20.
21. 22.
23.
24.
Heat Treat and Forge Steel.Iowa State University. SAE J411. (1989) SAE Handbook, Vol 1, Materials, Carbon and Alloy Steels.Pennsylvania:Society of Automotive Engineers. Smyth Dennis (1990) Steel Tubular Products dalam ASM Handbook Volume 1 Properties and Selection: Irons Steel and High Performance Alloys.Ohio:American Society for Metals. Perez, N. (2004) Electrochemsitry and Corrosion Science.New York:Kluwer Academic Publishers. Pohlman, S. L. (1987) Metals Handbook 9th Edition Corrosion. Ohio:American Society for Metals. Craig, B. D. et al. (2006) Corrosion Prevention and Control: A Program Management Guide for Selecting Materials, 2nd Edition.New York:AMMTIAC. Pohlman, S. L. (1987) Metals Handbook 9th Edition Corrosion. Ohio:American Society for Metals. Craig, B. D. et al. (2006) Corrosion Prevention and Control: A Program Management Guide for Selecting Materials, 2nd Edition.New York:AMMTIAC. Ibid. Glaeser, W. & Wright, I. G. (1987) Mechanically Assisted Degradation, dalam Metals Handbook 9th Edition Corrosion. Ohio:American Society for Metals. Ibid. Dennies, D. P. (2002) ASM Handbook Volume 11 Failure Analysis and Prevention.Ohio:American Society for Metals. Freeman S.R. (2002) ASM Handbook Volume 11 Failure Analysis and Prevention.Ohio:American Society for Metals. Korb, L. J. and Olson D. L. (1987) Metals Handbook 9th Edition Corrosion. Ohio:American Society for Metals.
40
25. Anonim (2009) Wet H2S Cracking – Basics. http://www.corrosion4dummies.com/ 2009/01/wet-h2s-cracking.html. Diakses pada tanggal 12 Maret 2012 26. Anonim.H2S Corrosion. http://octane.nmt.edu/WaterQuality/c orrosion/H2S.aspx. Diakses pada tanggal 2 Mei 2012 27. Anonim.CO2 Corrosion. http://octane.nmt.edu/WaterQuality/c orrosion/CO2.aspx.Diakses pada tanggal 2 Mei 2012 28. Anonim.Sour Crude.http://www.oilandgasiq.com/g lossary/sour-crude/. Diakses pada tanggal 2 Mei 2012 29. Anonim.Crude Oil.http://www.oilandgasiq.com/glos sary/crude-oil/. Diakses pada tanggal 2 Mei 2012 30. Anonim. (2008) Komposisi Penyusun Minyak Bumi dan Gas Alam http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar/ kuliah_web/2008/Riski%20Septiade vana%200606249_IE6.0/halaman_9. html. Diakses pada tanggal 15 Juli 2012 31. Anonim. (2009) Jangka Sorong. http://www.gudangmateri.com/2009/ 03/jangka-sorong.html.Diakses pada tanggal 23 April 2012 32. Anonim.Mikrometer Sekrup. http://belajar.kemdiknas.go.id/index5 .php?display=view&mod=script&cm d=Bahan%20Belajar/Materi%20Pok ok/SMA/view&id=300&uniq=2868. Diakses pada tanggal 23 April 2012 33. Anonim.Kamera.http://id.wikipedia. org/wiki/Kamera.Diakses pada tanggal 23 April 2012 34. Anonim.Mikroskop dan penggunaannya. http://web.ipb.ac.id/~tpb/files/materi/ bio100/Materi/mikroskop.html.Diaks es pada tanggal 23 April 2012
35. Voort G.F.V. (2004) ASM Handbook Vol 9 Metallography and Microstructures. Ohio:American Society for Metals. 36. Skoog D.A. et al. (2007) Principles of Instrumental Analysis. Canada:Thomson Brooks/Cole 37. Robinson J.W, et al. (2005) Undergraduate Instrumental Analysis 6th Ed.NewYork:Marcel Dekker 38. Hafner B. Energy Dispersive Spectroscopy on the SEM: A Primer.Minnesota: http://www.charfac.umn.edu/instrum ents/ Diakses pada tanggal 24 April 2012 39. Skoog D.A. et al. (2007) Principles of Instrumental Analysis. Canada:Thomson Brooks/Cole 40. Anonim. X-ray tube. http://en.wikipedia.org/wiki/Xray_tube Diakses pada tanggal 18 Juli 2012 41. Maddu Akhiruddin (2011) Kristalografi Sinar-X.Slide Kuliah Instrumentasi Fisika IPB 42. Skoog D.A. et al. (2007) Principles of Instrumental Analysis. Canada:Thomson Brooks/Cole 43. King M. et al. (1995) Power Diffraction File, Hanawalt Search Manual. Pennsylvania:International Centre for Diffraction Data. 44. Anonim.Iron Corrosion Product. http://corrosiondoctors.org/Experiments/ironproducts.htm. Diakses pada tanggal 27 April 2012 45. Gandy D. (2007) Carbon Steel Handbook.California:Electric Power Research Institute 46. Guthrie R.I.L dan Jonas J.J. (1990) ASM Handbook Volume 1 Properties and Selection: Irons Steel and High Performance Alloys.Ohio:American Society for Metals.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Telaah Pustaka
Persiapan Bahan dan Alat
Pemilihan Sampel
Pengujian Makroskopik (Visual, Camera Digital, Mikroskop Stereo)
Pengujian Mikroskopik dan Senyawa Kimia
Mikroskop Optik,
EDS
OES
SEM
Pengolahan dan Analisis Data
Kesimpulan dan Saran
XRD
Lampiran 2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Gambar 5.1 Jangka Sorong dan Mikrometer Sekrup
Gambar 5.2 Kamera Digital
Gambar 5.3 Mikroskop Stereo
Gambar 5.4 Mikroskop Optik beserta monitor komputer
Gambar 5.5 Scanning Electron Microscope – Energy Dispersive Spectroscope
(a)
(b)
Gambar 5.6 (a) instrumen OES, dan (b) instrumen saat beroperasi.
Gambar 5.7 Goniometer sebagai salah satu bagian X-Ray Diffractometer
Lampiran 3 Hasil karakterisasi oleh EDS.
Gambar 5.8 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 022
Gambar 5.9 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 022
Gambar 5.10 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 023
Gambar 5.11 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 023
Gambar 5.12 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 024
Gambar 5.13 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 024
Gambar 5.14 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 025
Gambar 5.15 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 025
Gambar 5.16 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 026
Gambar 5.17 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 026
Gambar 5.18 Image EDS Pipa Dalam 1 titik 027
Gambar 5.19 Grafik Unsur Pipa Dalam 1 titik 027
Gambar 5.20 Image EDS Cross Section 2 titik 007
Gambar 5.21 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 007
Gambar 5.22 Image EDS Cross Section 2 titik 008
Gambar 5.23 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 008
Gambar 5.24 Image EDS Cross Section 2 titik 009
Gambar 5.25 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 009
Gambar 5.26 Image EDS Cross Section 2 titik 010
Gambar 5.27 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 010
Gambar 5.28 Image EDS Cross Section 2 titik 011
Gambar 5.29 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 011
Gambar 5.30 Image EDS Cross Section 2 titik 012
Gambar 5.31 Grafik unsur sampel Cross Section 2 titik 012
Lampiran 4. Hasil analisis fasa dari grafik XRD Tabel 9. Analisis fasa untuk grafik pada gambar 4.23 2-Theta 44,907 65,15
d(A) 2,0168 1,4307
I% 100 14,6
Fe (06-0696) 2,0268/100-1 1,4332/20-3
Tabel 10. Analisis fasa untuk grafik pada gambar 4.24 2-Theta 31,618 52,356 60,27 61,042 45,641 55,706 26,565 55,079 62,284 59,775 61,623
d(A) 2,8274 1,746 1,5343 1,5167 1,986 1,6487 3,3526 1,666 1,4894 1,5458 1,5038
I% 100 100 71,4 61,9 52,4 52,4 47,6 47,6 47,6 42,9 42,9
FeS (23-1120)
FeCO3 (290696)
2,843/100-1 1,754/50-7
2,795/100-1 1,7382/30-3
1,979/100-2 1,632/60-3
1,965/20-5
1,502/30-10 1,502/30-9
Fe2O3 (47-1409)
FeOOH (260792) 1,747/100-1
1,9200/100-2
1,6700/100-1 1,400/50-6 1,5400/50-5
2,02/60-9 1,649/80-5 3,301/100-3 1,674/100-2 1,496-60-10 1,542/60-11
1,5063/14-8
Tabel 11. Analisis fasa untuk grafik pada gambar 4.25 2-Theta
d(A)
I%
FeS (23-1120)
31,566 49,137
2,8319 1,8526
100 47,5
2,843/1001 1,881/40-8
34,61
2,5896
37,3
2,582/60-3
34,412 26,155
2,6039 3,4043
35,6 30,5
55,04 49,644 38,43
1,6671 1,8349 2,3405
28,8 27,1 25,4
2,444/60-4
55,304
1,6597
25,4
1,632/60-6
60,534 29,211
1,5282 3,0547
25,4 23,7
66,957 83,113 33,429
1,3964 1,1612 2,6783
23,7 22 20,3
41,646
2,1669
18,6
40,447
2,2283
51,069 61,81
1,787 1,4997
FeSO4 (17-873)
FeCO3 (29-0696)
Fe3O4 (19-0629)
FeCl2 (01-1106)
2,532/1001
2,540/1001
2,795/1001
2,618/1001 3.410/35-3 1,7315/352 1,825/25-8
1,800/63-2 2,32/7
2,346/20-5 1,6158/404 1,4845/402 2,967/30-3
1,553/4 3,07/30-4
1,3969/6 1,173/2
1.093/12-6
1,173/2
2,134/20-6
2,0993/205
15,3
2,113/60-5 2,250/2010
15,3 13,6
1,754/50-7 1,502/30-9
1,797/12 1,506/14
1,529/3 1,412/2011
1,431/30-4
1,633/2
1,7146/107 1,467/20-5
Lampiran 5. PDF beberapa senyawa pada hasil XRD
Gambar 5.32 PDF Fe2O3
Gambar 5.33 PDF Fe2O4
Gambar 5.34 PDF FeS
Gambar 5.35 PDF FeSO4
Gambar 5.36 PDF FeCO3
Gambar 5.37 PDF FeCl2
Gambar 5.38 PDF Fe
Gambar 5.39 PDF FeO(OH)