ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN PADA CAGAR ALAM PEGUNUNGAN CYCLOOP
YACONIAS MAINTINDOM
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
ABSTRAK YACONIAS MAINTINDOM. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Dibimbing oleh ANDRY INDRAWAN dan HARIADI KARTODIHARDJO Penelitian ini bertujuan (a) mengidentifikasi kesesuaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi, (b) mengidentifikasi faktor penghambat dan pendorong yang timbul dalam penerapan perundang-undangan pada cagar alam pegunungan cycloop, (c) menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal terhadap kawasan cagar alam pegunungan cycloop, (d) mengetahui sumber air bersih dan nilai ekonomi (e) menyusun strategi pengembangan CAPC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) kesesuaian peraturan perundang-undangan dan fungsi kewenangan institusi yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi CAPC tidak secara tegas dan jelas yang menyebabkan tumpang tindih kebijakan pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura dalam implementasi RUTW, (b) sikap dan komitmen kuat stakeholders merupakan faktor pendorong kelestarian CAPC, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum menjadi penghambat kelestarian (c) Pendekatan AHP menunjukkan skenario optimal pengelolaan sumberdaya lahan di CAPC adalah konservasi dan pariwisata dengan B/C = 1, permukiman dan infrastruktur 0,965, perkebunan dan pertambangan 0,901. (d) sumber air bersih berjumlah 12 sungai, kesediaan membayar air Rp. 6.570/orang/tahun dengan rata-rata penggunaan air 60 ltr/org/hari (d) tumpang tindih fungsi dan kewenangan, lemahnya koordinasi dan perbedaan pemahaman konservasi menjadi permasalahan mendasar. Kata-kata kunci : lahan, cagar alam cycloop, fungsi dan kewenangan
ABSTRACT YACONIAS MAINTINDOM. Policy Analysis Land of Resources at Preserve Cycloop Mountain. Under the advisor ANDRY INDRAWAN and HARIADI KARTODIHARDJO. This research (a) identify according to law and regulation related to management of conservation area, (b) identify the factor of resistor and impeller arising out in legislation applying preserve of cycloop mountain (c) analyses the optimal exploiting alternative to area preserve of cycloop mountain (d) know the clean water source and economic value (e) compile the strategy of development CAPC. Result of research indicate that (a) according to law and regulation and related/relevant the function and Authority of institution with the management of conservation area. CAPC not expressly and clear causing governmental policy overlap Regency/Town Jayapura in implementation RUTW, (b) strong and commitment attitude stakeholders have importance to represent the impeller factor for the continuity of CAPC, its weak coordination and straightening of law become the continuity resistor (c) Approach AHP show the optimal scenario of land resources management CAPC is conservation and tourism by B / C 1. settlement and infrastructure 0, 965, plantation and mining 0,901. (d) clean water source amount to 12 river, readiness pay for the water Rp. 6.570/org/thn with the use mean irrigate 60 ltr/org/hari (d) overlap of function and authority, its weak coordination and difference of understanding conservation become the elementary problems. Keywords : land, preserve of cycloop, functions and authority
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2005 Penulis,
Yaconias Maintindom NRP. P052030101
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN PADA CAGAR ALAM PEGUNUNGAN CYCLOOP
YACONIAS MAINTINDOM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Tesis
: Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop.
Nama
: Yaconias Maintindom
Nomor Pokok : P052030101
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Ketua
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi PSL
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono H. Surtjahjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Syarifida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 28 September 2005
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari hingga Mei 2005, ialah
Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Pada Cagar Alam
Pegunungan Cycloop (CAPC), di Kabupaten dan Kota Jayapura Provinsi Papua. Kebijakan Pemerintah Provinsi Papua, Kabupaten dan Kota Jayapura seringkali tidak terkoordinasi dan terintegrasi dalam suatu tujuan pengelolaan kawasan cagar alam pegunungan cycloop, hal ini mengakibatkan berbagai benturan antara pemerintah dan masyarakat, bahkan benturan ini telah mengarah pada konflik kewenangan terhadap ruang-ruang dalam kawasan ini, sehingga perlu diidentifikasi faktor pendorong dan penghambat yang timbul akibat penerapan peraturan perundangundangan pada kawasan CAPC dan menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal untuk diterapkan dalam pengelolaan CAPC Dalam rangka mencapai tujuan tersebut penelitian ini dilakukan sebagai masukan dan evaluatif bagi pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura dalam pengelolaan sumber daya lahan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1.
Bapak. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S, selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan , bimbingan, dan masukan pada penulis.
2.
Bapak. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan dan masukan pada penulis.
3.
Bapak. Gubernur Provinsi Papua yang telah mengijinkan/menugas belajarkan dan membiayai studi penulis.
4.
Bapak. Kepala Bapedalda Provinsi Papua yang telah memberikan motivasi dan izin serta dukungan dana selama studi.
5.
Bapak. Bupati dan Walikota Jayapura yang telah mengijinkankan penulis melakukan penelitian pada wilayah administratif kedua Pemda.
6.
Bapak/Ibu Staf Pengajar dan administrasi Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang selama ini telah memperlancar selesainya tesis dan studi penulis.
7.
Kedua orang tua Bapak dan Ibu tercinta, atas dukungan secara moral dan materil serta doanya, dan Saudara-saudaraku Ronny, Dora, Bram, Ferry, Erick, Valen, Maria, Ray, keponakanku, Ettha, Sera, Meyta, Yuda, Rio, Zenas.
8.
Isteri tercinta Yohana Marlena
Mandowen, SH,
yang dengan sabar
memberikan dukungan moril untuk penyelesaian studi. 9.
Saudari Emmy Mandosir, sdr. Roberth Mandosir, Nelson Sasarari, Ferdinad SD yang telah banyak mendukung dalam penelitian.
10.
Teman-teman PSL angkatan 2003 semester gajil yang telah bersama-sama dengan penulis selama melangsungkan kuliah hingga selesainya studi.
11.
Teman-teman IMAPA Bogor dan Saudara-saudari se pemondokan Mantiro antara lain
Sdr. Yan Masrikat, Niky Lewaherilla, Luther Kadang dan Evelin
Parera. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan kebijakan konservasi di Papua pada khususnya dan Indonesia pada Umumnya.
Bogor, Oktober 2005
Yaconias Maintindom
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 20 Januari 1972 dari ayah Eli Maintindom dan Ibu Anthoneta Mauri. Penulis adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Tahun 1991 Penulis lulus dari SMA Katolik Taruna Dharma Kotaraja Jayapura dan pada tahun yang sama masuk di Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) Minahasa Sulawesi Utara. Tahun 2003 penulis masuk Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada
Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, bidang minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan. Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada instansi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Papua.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................
xi
I. PENDAHULUAN ................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................... 1.3. Kerangka Pemikiran .............................................................................. 1.4. Perumusan Masalah .............................................................................. 1.5. Hipotesis ................................................................................................ 1.6. Manfaat Penelitian .................................................................................
1 6 7 10 12 12
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................
14
2.1. Analisis Kebijakan ................................................................................. 2.2. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan ......................................... 2.3. Akses Masyarakat Lokal/Adat terhadap Kawasan Konservasi ............. 2.4. Cagar Alam ............................................................................................ 2.5. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Lahan .............................................. 2.6. Pendekatan Analitical Hierarky Proscess (AHP) ................................... 2.7. Pendekatan Analisis Hierarky Proses dalam Kerangka Manfaat Biaya 2.8. Alokasi Sumberdaya Alam dan Analisis Manfaat Biaya ........................
14 17 18 21 22 23 26 27
III. BAHAN DAN METODE ....................................................................................
30
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 3.2. Metode Penelitian .................................................................................. 3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden ....................... 3.4. Metode Analisis Data ............................................................................. 3.5. Faktor Internal Eksternal (Analisis SWOT) ........................................... 3.6. Definisi Operasional ………………………………………………………..
31 31 32 32 33 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………………
35
4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ……………………………………… 4.1.1 Iklim …………………………………………………………………… 4.1.2. Tofografi ……………………………………………………………… 4.1.3. Geografi ……………………………………………………………… 4.1.4. Hidrologi ……………………………………………………………… 4.1.5. Vegetasi ……………………………………………………………… 4.1.6. Flora dan Fauna ……………………………………………………… 4.1.7. Sistem Pemerintahan ……………………………………………… 4.1.8. Penyebaran Penduduk ……………………………………………… 4.1.9. Kondisi Sosial Ekonomi ……………………………………………
35 35 35 36 37 37 37 38 39 42
4.2. Identifikasi Perarturan Perundang-undangan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi ............................................................................
44
4.3. Fungsi dan kewenangan kelembagaan ................................................. 4.3.1. Direktorat PHPA ........................................................................... 4.3.2. Sektor Kehutanan ......................................................................... 4.3.3. Sektor Pariwisata .......................................................................... 4.3.4. Sektor Pertambangan ................................................................... 4.3.4. Sektor Lingkungan ........................................................................ 4.4. Evaluasi pengelolaan CAPC saat ini ............................................... 4.5. Faktor Pendorong dan Penghambat ................................................ 4.6. Potensi Sumber Air Bersih ............................................................... 4.7. Nilai Ekonomi Air di CAPC ............................................................... 4.8. Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Lahan yang Optimal di Kawasan CAPC ...............................................................................
49 49 50 51 53 53 56 58 59 61 63
4.9. Persepsi Masyarakat terhadap Kebijakan Pembangunan di sekitar Kawasan CAPC .............................................................................. 4.9.1. Pandangan tentang keberadaan CAPC ................................. 4.9.2. Pandangan tentang CAPC sebagai sumber air ...................... 4.9.3. Pandangan tentang CAPC sebagai sumber hasil hutan kayu. 4.9.4. Pandangan terhadap perubahan CAPC ................................. 4.9.4.1. Peran dan program yang telah dilaksanakan ............. 4.9.4.2. Peran dan program yang sedang dilaksanakan ......... 4.9.4.3. Peran dan program yang diharapkan ......................... 4.10. Faktor Internal dan Eksternal (Analisis SWOT ..............................
64 65 65 65 65 66 66 67 68
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 5.1. Simpulan .......................................................................................... 5.2. Saran ...............................................................................................
75 75 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... LAMPIRAN .........................................................................................................
77 80
DAFTAR TABEL Halaman 1. Tiga pendekatan dalam analisis kebijakan ....................................................... 2. Manfaat dan kerugian dalam pengelolaan sumberdaya lahan pada CAPC ...... 3. Skala banding berpasangan Model Saaty ......................................................... 4. Matriks internal eksternal (Analisis SWOT) ....................................................... 5. Jumlah dan kepadatan penduduk Kota Jayapura menurut kecamatan ............. 6. Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Jayapura menurut kecamatan .. 7. Indentifikasi peraturan perundang-undangan ................................................... 8. Faktor pendorong dan faktor penghambat dalam pengelolaan CAPC.............. 9. Lokasi sumber dan jumlah inteke air di Kab/Kota Jayapura .............................. 10. Prioritas manfaat biaya metode AHP di kawasan CAPC ................................ 11. Matriks analisis SWOT .................................................................................... 12. Pemberdayaan lembaga masyarakat .............................................................. 13. Penataan ruang ............................................................................................... 14. Peningkatan SDM Aparat pemerintah dan adat .............................................. 15. Koordinasi terintegrasi antar sektor ................................................................. 16. Penegakan hukum ...........................................................................................
16 16 26 33 43 43 47 59 62 63 70 71 72 73 74 75
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan alir kerangka pemikiran ...........................................................................
13
2. Peta lokasi penelitian .........................................................................................
31
3. Diagram data penduduk Kab/Kota Jayapura 1971-2000 ..................................
40
4. Diagram data penduduk Kelurahan/Desa Kec. Jayapura Selatan .....................
40
5. Diagram data kepadatan penduduk Kec/Desa Kec. Abepura ............................
41
6. Diagram data kepadatan Penduduk Kelurahan di Kec. Jayapura Utara ............
41
7. Diagram data Pendudk per Kec. Di Kabupaten Jayapura .................................. 42 8. Grafik kondisi fisik CAPC ...................................................................................
58
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Rencana Umum Pengelolaan CAPC tahun 2003 -20014 ............................. 80 2. Kelompok stakeholder mandat sosial utama ................................................ 90 3. Hierarki untuk menangkap faktor Penghambat terhadap Pembaharuan Kebijakan pengelolaan Sumber Daya Lahan Dalam Rangka Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota Jayapura ..................................................... 91 4. Gambar Hierarki untuk menangkap faktor Pendorong terhadap Pembaharuan Kebijakan pengelolaan Sumber Daya Lahan Dalam Rangka Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota Jayapura ....................................... 92 5. Kuesioner AHP .............................................................................................. 93 6. Panduan wawancara ..................................................................................... 96 7. Hasil Pengolahan data AHP .......................................................................... 97 8. Struktur Hierarki Proses Balik AHP ............................................................... 107 9. Struktur AHP Kerugian ................................................................................ 109 10. Struktur AHP Manfaat .................................................................................. 110 11. Luas kawasan konservasi di Provinsi Papua .............................................. 111
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya. Sumberdaya alam yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia disadari suatu ketika akan habis dan punah jika pengelolaannya dilakukan
secara
tidak
berkelanjutan.
Dalam
rangka
melestarikan
dan
mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut dilakukan pengelolaan secara berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam ditujukkan pada dua hal yaitu pertama, pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya alam dan kedua, perlindungan dan konservasi (Santoso, 2003). Sehubungan dengan itu ditetapkan berbagai kebijakan oleh Pemerintah antara lain menetapkan kawasan tertentu untuk dijadikan sebagai kawasan yang dieksploitasi, baik eksploitasi sumberdaya alam hutan, tambang, minyak dan gas ataupun sumberdaya laut yang
dapat dieksploitasi dengan semena-mena dan
melupakan perhatian aspek daya dukung lingkungan, kerusakan lahan, maupun upaya-upaya rehabilitasi. Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi maka tekanan terhadap sumberdaya alam menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai realitas pembukaan hutan, kegiatan pertambangan dan eksploitasi sumberdaya alam lainnya dari tahun ke tahun semakin meningkat, dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam habis. Kawasan konservasi
di Indonesia sangat luas, khusus
cagar alam
mempunyai luas ± 4.635.456.29 ha atau 17 % dari kawasan konservasi lainnya, kawasan cagar alam di Provinsi Papua mencapai 2.386.061.25 ha atau 23% dari luas kawasan konservasi lainnya (Direktorat Jendral PAPH, 2004). Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC) yang luasnya 22.500 ha, ditetapkan dengan SK
Menteri Pertanian Nomor 56/Kpts/um/I/1978 dan SK
Menteri Kehutanan Nomor 365/Kpts-II/1987 dengan memperhatikan fungsi: a.
Pusat endemis dan evolusi penting biogeography pulau Papua.
Tikusan
hutan mayr (Ralina mayri) dan tikus air rusuk merah (Paraleptomys refilatus) terrbatas hidup di daerah ini, banyak tanaman dan satwa endemik pulau Papua juga terwakili disini.
2
b.
Pegunungan Cycloop/Dafonsoro relatif terisolir
dari wilayah pegunungan
lainnya dengan batuan ultrabasa khusus yang tidak dapat ditumbuhi atau toleran terhadap jenis tumbuhan tropis. Sifat batuan memberikan tempat bagi keragaman species yang lebih besar. c.
Keragaman ketinggian kawasan ini meliputi spektrum luas jenis-jenis habitat termasuk daerah pantai berbatu, hutan pantai, hutan daratan rendah, hutan gunung rendah, hutan lumut, hutan ultra basik dan padang rumput.
d.
Letaknya berdekatan dengan Ibukota Propinsi memungkinkan kegiatan penelitian, pendidikan lingkungan hidup dengan pengenalan tipe-tipe hutan.
e.
Pensuplai air
bagi penduduk Kabupaten/Kota Jayapura dan kegiatan
pertanian sekitar CAPC serta sumber air bagi danau sentani yang berada pada wilayah selatan. Sehubungan dengan status dan fungsi konservasi/lindung, CAPC hampir tidak dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat sekitar yang secara turun temurun telah memanfaatkan sumberdaya alam yang berada diwilayah kawasan CAPC, sementara kelestarian fungsinya dihadapkan dengan tekanan dan ancaman oleh penduduk yang berada disekitar CAPC. Pertambahan penduduk yang semakin cepat, mengakibatkan kebutuhan lahan untuk kegiatan pertanian/perladangan, pertambangan golongan C dan pembangunan pemukiman serta infrasruktur semakin berkurang. Fenomena ini mengakibatkan konversi lahan pada wilayah CAPC menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari, sementara itu pilihan ini sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tentang konservasi seperti UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menyatakan kegiatan yang dapat dilakukan pada wilayah cagar alam adalah kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya,
kegiatan yang dilarang adalah kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan cagar alam. Dengan jelas aturan diatas telah mengatur kegiatan yang dapat dilakukan dan yang tidak dilakukan, namun faktual yang terjadi adalah konversi dan peruntukan lahan terus dilakukan dikawasan lindung cycloop. Untuk mengatur berbagai kegiatan disekitar kawasan Cycloop, Pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura menetapkan kebijakan pemanfaatan ruang yang dibahas dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW).
3
RUTRW Kota Jayapura tahun 1995-2004 yang ditetapkan dengan Perda No. 16 tahun 1995 di bagi dalam struktur Tata Ruang menjadi tiga bagian antara lain: bagian pertama, tata jenjang pusat-pusat pelayanan (pasal 10), bagian kedua, sistem transportasi (pasal 11 dan 12) dan bagian tiga, Pengembangan prasarana dan sarana lain (pasal 13,14,15) (Watori, 2003). Seiring dengan kebutuhan transportasi di Kota Jayapura, Pemerintah Kota Jayapura membangun jalan alternatif Polimak IV - Kelurahan Hedam dan Skyline Uncen Waena, kedua jalan alternatif ini melintasi kawasan inti dan penyangga CAPC.
Pembangunan Jalan alternatif
memberikan akses
masyarakat untuk
mengeksploitasi sumberdaya hutan dan potensi lainnya yang berada dikawasan ini. Kebijakan Pemkot Jayapura telah memberikan nilai positif untuk kemajuan daerah ini, namun bukan berarti pembangunan ini tidak memberikan dampak negatif, sebab nilai sosial budaya dan lingkungan atau konservasi
telah mengalami
degradasi. Berbagai aktifitas pembangunan dan alih fungsi lahan mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan (hasil analisis Citra landsat tahun 2000). Sedangkan struktur RUTRW Kabupaten Jayapura tahun 2002 - 2010 yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu: jaringan prasarana dan transportasi, pusat pelayanan serta fungsi primer (Bappeda Kab. Jayapura, 2001). Mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka Kabupaten Jayapura dalam pemanfaatan ruang dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam implementasi pemanfaatan ruang, dengan jelas kawasan lindung ada akses penduduk disekitar buffer zone dan kawasan inti dengan berbagai kegiatan antara lain perladangan berpindah, pemukiman liar oleh masyarakat migran Papua dan non Papua, pertambangan golongan C (pasir, batu) oleh masyarakat lokal dan pengusaha/swasta, pembangunan pemukiman dan infrastruktur / jalan melintasi CAPC,
penjarahan kayu dan anggrek
disekitar
wilayah penyangga dan kawasan inti yang berdampak pada degradasi lahan, tanah longsor, banjir, kebakaran hutan dan terjadi pengeringan pada sumber-sumber air (PKBI dan NRM II, 2003). Semenjak pemekaran wilayah kabupaten Jayapura tahun 1993, Kabupaten
Jayapura
pindah
ke
Sentani
yang
sekarang
wilayah
menjadi
pusat
pemerintahan Kabupaten Jayapura dan Kotamadaya Jayapura di Jayapura yang sekaligus sebagai pusat pemerintahan Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua).
4
Dengan berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kesempatan kepada daerah untuk menentukan kebijakan yang akan diberlakukan pada wilayahnya, pasal 10 ayat 1
daerah berwenang
mengelola sumberdaya alam nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal ini termasuk kawasan konservasi yang diberlakukan Kebijakan pemanfaatan ruang yang dibahas dalam RUTRW kedua pemerintahan. Semenjak diberlakukan berbagai program di kawasan ini telah terjadi berbagai gangguan terhadap potensi sumberdaya alam di kawasan CAPC, baik dalam kawasan inti maupun penyangga antara lain: a.
Eksploitasi kayu, anggrek dan tanaman paku-pakuan yang dilakukan dengan pola destruktif.
b.
Perburuan binatang liar seperti kus-kus, burung dan binatang mamalia.
c.
Eksploitasi kayu soang (Xentrosstemon sp) sebagai bahan baku pembuatan arang dan pembangunan rumah/jembatan dipinggiran laut.
d.
Penggalian batu kapur dan pengambilan batu kali / kerikil.
e.
Perladangan berpindah.
f.
Pemukiman masyarakat yang masuk dalam kawasan CAPC.
g.
Rawan terhadap kebakaran hutan. Gangguan ini dilakukan
oleh masyarakat migran Papua
dan pendatang
(Lamuasa et al. 1991). Penduduk migran ini cukup memahami konservasi tradisional, namun desakan ekonomi mengakibatkan tekanan serius terhadap fungsi kawasan CAPC. Bersamaan dengan tekanan yang dilakukan dikawasan CAPC mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan pemanfaatan lahan untuk mengantisipasi tekanan yang terjadi. Kebijakan Pemerintah Kota Jayapura tentang Pemanfaatan Lahan diatur
dalam UU Nomor 16 tahun 1995 tentang Rencana
Umum Tata Ruang Wilayah tahun 1995-2004, sedangkan Kabupaten Jayapura Perda RUTRW Revisi tahun 2000-2013 masih dalam tahap proses. Kedua RUTRW ini dengan jelas telah dibagi peruntukan lahan/ruang untuk berbagai kegiatan termasuk kawasan konservasi/lindung. Namun realitas dilapangan menunjukkan inkonsisten kedua Pemerintah Daerah dalam hal pemanfaatan ruang, oleh sebab itu
masyarakat menuding bahwa salah satu sumber kerusakan pada kawasan
CAPC diakibatkan oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura dalam implementasi RUTRW.
5
Jika hal ini dibiarkan berlangsung, maka
pertanyaan yang timbul adalah
sejauhmanakah kewenangan Pemerintah Daerah untuk menanggulangi tekanan yang berakibat pada kerusakan di dalam kawasan CAPC dan bagaimana kinerja institusi yang diberi kewenangan untuk menangani permasalahan konservasi di wilayah CAPC. Kerusakan kawasan akibat kebijakan banyak terjadi pada wilayah Kota Jayapura, padahal luas CAPC diwilayah Kota Jayapura ± 26 %. Kerusakan akibat kebijakan pemanfaatan lahan di Kota Jayapura antara lain: Pembangunan pemukiman dan perkantoran yang berbatasan dengan kawasan inti, pembangunan Markas Kodam XVII/Trikora dan Lapangan Golf Cenderawasih, pembangunan jalan alternatif Polimak IV - Kelurahan Hedam yang melintasi kawasan inti CAPC dan jalan Angkasa – Kampung Ormu yang telah dibatalkan akibat tidak dilengkapi dokumen AMDAL. Pengambilan material batu kapur di daerah Bucen dan Entrop, pengambilan kayu untuk pembangunan jembatan bagi penduduk yang berada di daerah pantai di Teluk Humbolt dan Dok IX. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah
Kota
Jayapura
tidak
memperhitungkan
nilai
atau
aspek
ekologis/lingkungan kawasan CAPC, namun lebih mementingkan nilai atau aspek ekonomi. Menurut PKBI dan NRM II (2003), kerusakan akibat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura antara lain: Perladangan berpindah disekitar kawasan penyangga, penebangan hutan tanpa perencanaan (illegal logging), pengambilan material batu dan pasir pada daerah aliran sungai yang berada disekitar kawasan penyangga dan masuk dalam kawasan inti, pemukiman liar oleh penduduk yang melakukan perkebunan dan berbagai pemukiman yang diizinkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura. Permasalahan kerusakan ini menurut Petocz (1987) adalah ketidak tahuan masyarakat terhadap status kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan cagar alam dengan berbagai fungsi dan desakan ekonomi sehingga disarankan untuk melakukan pendekatan dalam bentuk penyuluhan atau sosialisasi tentang status kawasan dan fungsinya serta perlu dicari solusi tentang peningkatan ekonomi masyarakat dengan tidak menebang hutan atau pengambilan sumberdaya alam secara berlebihan. Kondisi empiris menujukkan, bahwa masyarakat Jayapura menyadari adanya momentum pergeseran kewenangan sebagai peluang dan kesempatan terlibat
secara
langsung
dalam
keseluruhan
proses
untuk
pembangunan
di
6
Kabupaten/Kota Jayapura. Kesadaran itu ditandai dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat bahwa, mereka tidak lagi sebagai obyek pembangunan tetapi menjadi subyek dan lebih dari itu sebagai pelaku pembangunan. Pada kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop masih bertumpuk berbagai kepentingan baik kepemilikan adat, kebijakan pemerintah dan swasta (pemanfaat), yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pendeknya sejak terberbentuknya Kabupaten / Kota Jayapura, tuntutan terhadap upaya penyempurnaan segala bentuk kebijakan daerah khususnya dengan pengelolaan sumberdaya lahan cenderung meningkat. Kebijakan Pembangunan Pemerintah Provinsi Papua saat ini lebih diarahkan pada pembangunan aspek ekonomi, pendidikan dan kesehatan, sejalan dengan substansi Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Provinsi Papua. Aspek-aspek tersebut juga merupakan penjabaran dari visi Provinsi Papua yang pada tahapan jangka menengah pertama (Perform Project, 2001), dimana meletakan Tahun 2005 sebagai tonggak tapal batas (Milestone) tercapainya kerangka landasan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang kuat bagi terwujudnya masyarakat Papua menjadi tuan di negeri sendiri (Pemerintah Provinsi Papua, 2001). 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a.
Mengidentifikasi kesesuaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi.
b.
Mengidentifikasi faktor-faktor pendorong dan penghambat yang
timbul
dalam penerapan peraturan perundang-undangan pada kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC). c.
Menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal Konservasi CAPC.
d.
Mengetahui sumber mata air dan nilai ekonomi.
e.
Menyusun strategi pengembangan CAPC
terhadap
Kawasan
7
1.3. Kerangka Pemikiran Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena SDL diperlukan disetiap kegiatan manusia (Sitorus, 2004). Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segalah tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut (Sitorus, 2004). Perkembangan budaya, kegiatan dan kepadatan penduduk yang relatif cepat umumnya terjadi di perkotaan. Perkembangan ini dibaringi dengan kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk melakukan berbagai kegiatan yang menunjangan keberlanjutan hidup. Lahan yang berada diperkotaan telah diperuntukan untuk pengembangan sentra ekonomi dan berbagai infrastruktur mengakibatkan nilai ekonomi lahan semakin mahal sehingga masyarakat lokal yang berada disekitar perkotaan terdesak
ke
pinggiran
kota
bahkan
masuk
dalam
wilayah
kawasan
lindung/konservasi. Pada tahun 1993 kebutuhan lahan untuk
pengembangan Kota dan
Kabupaten Jayapura mulai meningkat, dikarenakan kedua daerah ini telah dimekarkan. Kota Jayapura sebagai ibukota Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua) membutuhkan lahan yang sangat luas untuk pembangunan berbagai infrastruktur perkantoran, jalan, perumahan dan sentra-sentra ekonomi yang membuat tidak ada pilihan
lain
untuk
terhindar
dari
konversi
lahan
kawasan
lindung
bagi
pembangunan. Sementara itu kebutuhan lahan untuk masyarakat melakukan kegiatan seperti pertanian/perkebunan, pengambilan kayu, pertambangan galian C dan pariwisata memberikan pihan mereka pada penggunaan lahan yang berada pada kawasan lindung/konservasi. Kawasan CAPC merupakan kawasan yang penting bagi perlindungan flora dan fauna endemis Papua yang terwakili disini, sebagai kawasan penyimpan dan pensuplai air bagi penduduk Jayapura dan sekitarnya serta sebagai penyangga kehidupan bagi
suku Tepra, Ormu, Moy, Sentani, Humbolt selaku masyarakat
pemilik ulayat dan masyarakat/penduduk disekitarnya. Pengelolaan kawasan CAPC tergolong dalam terminalogi kawasan/hutan konservasi yang tercantum pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
8
Potensi kawasan CAPC, saat ini sebagian besar mengalami keadaan rusak berat akibat perambahan hutan, perladangan berpindah, pertambangan galian C, pembangunan pemukiman dan infrastruktur/jalan yang melintasi wilayah inti CAPC. Kegiatan-kegiatan diatas ada yang mendapat legitimasi hukum dalam bentuk ijin prinsip dan pinjam pakai yang di dasari dengan terjemahan peraturan perundangundangan dan adapula yang dilakukan secara illegal, oleh sebab itu
perlu
diidentifikasi peraturan perundang-undangan sebagai dasar pengelolaan kawasan konservasi dan faktor pengambat dan pendorong yang dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan CAPC, mengetahui potensi sumber air bersih dan nilai ekonominya bagi penduduk Jayapura, menganalisis alternatif yang optimal untuk pengelolaan CAPC dan menyusun strategi pengembangan CAPC. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kerusakan, perlu dilakukan analisis terhadap institusi yang menyangkut dengan peraturan perundang-undangan serta fungsi dan kewenangan dari lembaga/institusi yang berkaitan dalam pengelolaan CAPC. Institusi merupakan suatu sisten kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup idiologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tak terlepaskan dari lingkungan. (Pakpahan, 1990 dalam Kartodihardjo, 1998). Menurut North (1991) dalam Kartodihardjo (1998), institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu intitusi adalah instrumen yang mengatur hubungan individu. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, yang di break down dengan Perda Nomor 16 Tahun 1993 tentang RUTRW Kota Jayapura (Watori, 2003) dan RUTRW Kabupaten
Jayapura (Bappeda Kab.
Jayapura, 2001) telah diatur dengan baik ruang-ruang yang akan dilakukan kegiatan, sedangkan untuk
daerah - daerah yang dilindungi seperti CAPC
diberikan ruang yang disebut buffer zone untuk kegiatan masyarakat setempat seperti perkebunan, pertambangan, dan pembangunan pemukiman serta berbagai infrastuktur adat maupun pemerintah. Hal-hal diatas dengan jelas telah di Perdakan dan tersusun dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah daerah, namun dalam implemetasi terjadi dikeluarkan oleh kedua
kedua pemerintah
inkonsisten terhadap RUTRW
yang
pemerintah. Salah satu yang menjadi masalah urgen
adalah pengelolaan terhadap sumberdaya lahan yang berada pada kawasan konservasi CAPC. Sebagai indikator adalah ancaman terhadap biodiversity, hutan
9
dan air yang semakin hari berkurang. Berbagai gejala alam seperti longsor, erosi dan banjir terjadi di kedua wilayah administratif. Keberadaan kawasan CAPC memberikan manfaat yang besar bagi penduduk yang berada disekitarnya dan Jayapura pada umumnya. Pada kawasan ini telah berlangsung lama kearifan tradisional masyarakat adat untuk melakukan konservasi secara tradisional namun dengan kebijakan pemerintah dan tuntutan ekonomi maka
nilai-nilai adat
lambat laun mulai terkikis. Hal ini dapat dilihat
dengan jelas pada wilayah selatan CAPC, dimana masyarakat tidak lagi mempertahankan cycloop sebagai ibu dalam apresiasi dan
kepercayaan adat
mereka, namun sebaliknya dibiarkan untuk dirusaki atau diperkosa demi mencapai kenikmatan sesaat dengan berbagai kegiatan seperti: pertambangan golongan C, pemukiman, perladangan berpindah, pembangunan jalan, pariwisata, pelayanan jasa dan penebangan hutan tanpa perencanaan (illegal logging). Kebijakan
pemerintah
dan
adat
berupa
pertambangan, pengambilan kayu, pemukiman, pariwisata dan penebangan hutan jelek
terhadap
pemberian
izin
kegiatan
perladangan dan pertanian,
pada kawasan ini telah memberikan implikasi
kawasan yang dilindungi dan dibanggakan oleh penduduk
Jayapura. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi,
ekologi/lingkungan
yang
mengesampingkan
fungsi
dan
manfaat
dan sosial budaya yang mengakibatkan berbagai benturan
dalam pemahaman kebijakan pada level masyarakat. Berbagai fenomena sosial yang terjadi akibat kebijakan pemerintah membuat gaya hidup/budaya setempat menjadi kendor dan mengikuti tren konsumtif yang ingin mengkonsumsi seluruh sumberdaya alam yang ada dalam kawasan ini, tanpa memperhitungkan status kawasan, tetapi lebih banyak memperhitungkan status sosial yang berdampak pada pemenuhan ekonomi. Berdasarkan fenomena diatas, maka penelitian ini akan mengkaji seberapa jauhkah faktor pendukung dan pendorong yang mempunyai pengaruh terhadap kelestarian kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop dan seberapa jauh pandangan atau persepsi mereka terhadap kawasan ini sehubungan dengan penyelenggaraan Otonomi Khusus Provinsi Papua. secara lebih rinci dapat dilihat pada kerangka pemikiran pada
Gambar 1.
10
1.4. Perumusan Masalah Dalam rangka melestarikan dan mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan maka pengelolaan sumberdaya alam ditujukan pada dua hal yaitu pertama, pemanfatan atau eksplorasi sumberdaya alam dan kedua, perlindungan atau konservasi. Pola pengelolaan sumberdaya yang baik adalah harus dapat menetapkan sumberdaya sebagai obyek dan subyek pembangunan sehingga dapat berperan dalam pembangunan regional maupun nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pembangunan di suatu daerah merupakan suatu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat pada daerah tersebut untuk mensejahterakan manusia secara lestari. Sumberdaya lahan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi tidak boleh mengorbankan fungsi sumberdaya lahan tersebut sebagai penopang kehidupan. Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah antara lain dengan menetapkan kawasan-kawasan tertentu sebagai kawasan yang dapat di eksplorasi, dan kawasan-kawasan yang harus dilindungi. Namun bukan berarti kawasakawasan tertentu yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang dapat dieksploitasi, baik eksploitasi sumberdaya hutan, tambang, minyak dan gas ataupun sumberdaya lahan, dapat dieksploitasi dengan semena-mena sehingga melupakan perhatian aspek
daya
dukung
lingkungan,
dengan
pertambahan
kerusakan
lahan,
maupun
upaya-upaya
rehabilitasi. Seiring
penduduk,
pertumbuhan
ekonomi
dan
industrialisasi maka tekanan terhadap sumberdaya alam semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pembukaan hutan, pertambangan dan eksploitasi sumberdaya alam lainnya dari tahun ke tahun semakin meningkat/besar. Dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam habis, sementara suksesi sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan telah dieksploitasi membutuhkan waktu lama untuk diperbaharui kembali. Ancaman tidak hanya mencul terhadap kawasan-kawasan yang dianggap sebagai kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan eksploitasi saja, akan tetapi juga tertuju kepada kawasan-kawasan yang telah ditunjuk sebagai kawasan lindung ataupun kawasan konservasi. Ancaman tersebut disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, pengrusakan lingkungan, konversi lahan, penangkapan secara berlebihan spesies tertentu ataupun pengenalan spesies eksotik.
11
Sehubungan dengan pengembangan Kota dan Kabupaten Jayapura, kedua Pemda telah menyusun Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) dari masing-masing daerah yang behubungan dengan penggunaan lahan pada kedua wilayah masing-masing. RUTRW dengan jelas mengatur tentang pengunaan ruang/lahan yang berada disekitar CAPC, namun dalam implementasi RUTRW ada berbagai kegiatan yang telah masuk kawasan cagar alam pegunungan cycloop. Kegiatan yang dimaksud adalah pembangunan infrastruktur/jalan alternatif Polimak IV – Keluarahan Hedam
(status izin pinjam pakai), dan
Angkasa – Kampung Ormu sepanjang
jalan melingkar
25 km yang telah dibatalkan karena tidak
dilengkapi dengan dokumen AMDAL, kegiatan ini sangat mengganggu sumber mata air bersih dan berbagi flora fauna dalam kawasan CAPC. Kegiatan lain yang memberikan kerusakan bagi sumberdaya lahan seperti perladangan berpindah, penebangan hutan secara liar, pertambagan galian C masih marak dilakukan disekitar wilayah ini, belum ditata oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Peruntukan lahan disekitar kawasan ini masih terbentur oleh kepemilikan adat, sehingga luas lahan/tanah
tertentu harus melalui persetujuan/ pelepasan
adat. Fenomena sosial budaya masyarakat disekitar CAPC masih kuat dengan adat istiadat, namun akhir-akhir ini terlihat bahwa adat-istiadat dari masyarakat khusus dibagian selatan kawasan ini telah mengalami degradasi nilai adat diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Fenomana diatas sangat berhubungan dengan sistem dalam
lembaga
masyarakat dan pemerintah yang melaksanakan berbagai program pengelolaan kawasan konservasi CAPC. Mengingat kelembagaan ini harus dilatarbelakagi dengan kapabilitas dan kapasitas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan konservasi dan juga dapat memberikan alternatif terhadap tekanan dan ancaman yang terjadi dalam kawasan CAPC. Untuk meminimisasi tekanan dan ancaman yang terjadi dikawasan ini maka dibutuhkan koordinasi terintegrasi antara para pihak yang berkepentingan dengan kawasan CAPC, sumberdaya manusia dan dana yang cukup, lembaga yang kredibel. Dalam rangka pengelolaan sumberdaya lahan di CAPC, dibutuhkan kebijakan yang mengakomodir kebutuhan para pihak dengan mengedepankan aspek
12
lingkungan/ekologi, sosial budaya dan ekonomi dan tidak sebaliknya. Berdasarkan kondisi faktual di atas, telah
memberikan indikasi, bahwa dasar-dasar
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan harus didukung oleh berjalannya prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan berwawasan lingkungan (enviromental good governance) yaitu dilakukan secara terbuka, partisipatif, bertanggung jawab, bertanggung-gugat, demokratis dan berpihak pada kepentingan publik. Semangat untuk merespon kondisi empiris ini dan menangkap momentum seperti diuraikan diatas, perlu dijadikan pendekatan bagi semua bidang pembangunan dalam menetapkan rencana kegiatan dan program strategi. Dari uraian diatas timbul
tiga
pertanyaan penelitian
yang
ditimbulkan oleh stakeholders berkepentingan pada kawasan konservasi CAPC antara lain: a.
Bagaimanakah fungsi dan kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura dalam pengelolaan Sumberdaya Lahan pada kawasan CAPC.
b.
Seberapa besar nilai ekonomi air sebagai dasar pengambilan keputusan
c.
Seberapa besar faktor pendorong dan penghambat dapat mempengaruhi kelestarian CAPC.
1.5. Hipotesis Pembaharuan kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya lahan dapat tercapai,
apabila
faktor-faktor
pendorong
lebih
besar
dari
pada
faktor
penghambatnya, dan kebijakan dapat dilaksanakan, apabila ekspektasi rasional masing-masing
pelaku
(aktor)
sesuai
dengan tujuan pembangunan
yang
diharapkan. 1.6. Manfaat a.
Memberikan informasi evaluasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota Jayapura sebagai arah pengambilan keputusan dan atau kebijakan sesuai kewenangan yang diberikan guna
pengelolaan sumberdaya lahan
kawasan konservasi CAPC. b.
Sebagai informasi ilmiah bagi stakeholders yang berkepentingan dengan kawasan CAPC.
13
PROGRAM BERJALAN
Faktor Penghambat
(Pemerintah Pusat, Prov, Kab/Kota)
KINERJA YG DICAPAI
PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN Faktor Pendorong
KONDISI AWAL
Kebijakan Pemerintah ttg Peraturan Per-UU Konservasi dan Kewenangannya
AKTOR
Faktor Penghambat
Fak. Pendukung ALTERNATIF SOLUSI
KINERJA SAAT INI
Tim Pokja Cycloop yang terdiri dari pihakpihak yang berkepentingan dengan Cycloop al. Pemerintah, Swasta, PT, Masyarakat/ LMS
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
Ekspetasi Rasional
Perilaku dan Adaptasi
KINERJA HARAPAN
14
II. TINJAUAN PUSTAKA . 2.1. Analisis Kebijakan Kebijakan memiliki pengertian yang sangat bervariasi tergantung pada sudut pandangnya. Thomas R. Dye (1978) mengidentifikasi kebijakan publik sebagai “is whatever goverment choice to do or not to do “ (apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan). Loswell dan Kapalan dalam Watori, 2003, memberikan arti kebijakan sebagai “projected program of goal, values and practices” (program yang memiliki sasaran, nilai dan dapat dilaksanakan). Selanjutnya ditambahkan oleh Carl Friedrich yang mengatakan bahwa “ it is essensial for the policy the there be a good, objective or purpose “ (adalah penting dalam suatu kebijakan terdapat sasaran, tujuan dan maksud tujuan). Dengan mengatakan bahwa perumusan kebijakan adalah proses sosial dimana proses intelektual melekat didalamnya tidak berarti bahwa efektivitas relatif dari proses intelektual tidak dapat ditingkatkan, atau proses sosial dapat diperbaiki (Bauer dalam Dunn, 2003) Analisis Kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan analis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik. Kebijakan adalah suatu keputusan untuk bertindak yang dibuat atas nama suatu kelompok sosial, yang memeiliki implikasi yang kompleks dan yang bermaksud mempengaruhui anggota kelompok dengan penetapan sangsi-sangsi (Mayer, et al. 1982 dalam Shawan, 2002). Oleh karena analisis kebijakan merupakan bentuk etika terapan yang pada akhirnya, analisis kebijakan berupaya menciptakan pengetahuan yang dapat meningkatkan efisiensi pilihan atas berbagai alternatif kebijakan. Dengan demikian untuk pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang sederhana mengenai aspek-aspek terpilih dari suatu situasi problematis yang disusun untuk
tujuan - tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu
model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model prespektif.
15
Dari sekian model yang dikenal dalam kebijakan tidak ada satupun model yang dianggap baik, karena masing-masing model menfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Fosrester dalam Dunn, (2003) persoalan kebijakan terletak pada pemilihan alternatif. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis penilaian, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap – tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Menurut Dunn (2003) analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir, dari upaya untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan berikut hasilnya. Itulah sebabnya analisis kebijakan di definisikan sebagai pengkomunikasian, atau penciptaan dan penilaian krtitis, pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Yang jelas, kualitas analisis kebijakan adalah penting sekali untuk memperbaiki kebijakan dan hasilnya. Sebagai proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis, aktivitas politis tersebut sering disebut sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasi sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada suatu, beberapa, atau seluruh tahapan dari proses kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapi dalam sebuah permasalahan. Dalam kaitannya dengan analisis kebijakan pengelolaan kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop, maka model kebijakan yang paling mendekati adalah model prosedural. Model prosedural ini menggunakan serangkaian prosedur sederhana untuk menunjukkan dinamika hubungan diantara variabel-variabel yang dipercayakan memberikan ciri pada masalah kebijakan. Prediksi dan pemecahan optimal dicapai melalui simulasi dan penelusuran kendala satuan-satuan yang mungkin terjadi. Salah satu bentuk yang sederhana dari model prosedural adalah “pohon keputusan” pohon keputusan berguna untuk membandingkan estimasi subjektif mengenai akibat-akibat yang mungkin dari berbagai pilihan kebijakan dimana ada kondisi terdapatnya kesulitan untuk memperhitungkan resiko dan ketidakpastian dengan data yang ada.
16
Untuk penelitian ini digunakan tiga pendekatan dalam menganalisis kebijakan disajikan pada Tabel 1, dengan pendekatan tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP) untuk mengolah data yang kompleks dan ketidakpastian pada data yang akan dihimpun. Dan untuk AHP dapat dikaitkan dengan pengelolaan sumberdaya alam dapat diterapkan pada “Analisis Manfaat Biaya” yaitu suatu alat tradisional untuk pengalokasian sumberdaya (Saaty, 1993). Menerapkan Analisis Hirarki Proses pada analisis manfaat/biaya (B/C) (Tabel 2) dapat memperbaiki alat pengambilan keputusan tradisional tersebut yaitu dengan cara menstruktur persoalan manfaat dan biaya dalam suatu hirarki analisis, selanjutnya dapat menggunakan skala banding elemen berpasangan untuk mengkuantifikasi faktor tidak dapat diukur (intangible)
dan elemen-elemen non
ekonomi yang sejauh ini belum terintegrasi secara efektif dalam pengambilan keputusan.
Tabel 1. Tiga Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Pendekatan
Pertanyaan utama
Tipe Informasi
Empiris
Adakah dan akankah (fakta)
Deskripsi dan prediktif
Valuatif
Apa manfaatnya (nilai)
Valuatif
Normatif
Apa yang harus diperbuat (aksi)
Preskrtitif
Sumber: Dunn, 2003
Tabel 2. Manfaat dan Kerugian (biaya) dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC) Pengelolaan SDL Manfaat Biaya (Kerugian) CAPC 1. Ekonomi
1. Pendapatan meningkat 2.Terbentuk usaha di sektor informal
1. Memerlukan modal 2. Biaya operasional dan pemeliharaan
2. Lingkungan
1. Hidrologi 2. Iklim Mikro 3. Nilai estetika
1. Pencemaran 2. Kekeringan 3. Erosi
3. Sosial
1.Rekreasi bagi masyarakat meningkat 2.Penyerapan tenaga kerja
1. Timbul kecemburuan sosial 2. Perubahan budaya/gaya hidup
17
2. 2. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena Sumberdaya Lahan diperlukan pada setiap kegiatan manusia. Perencanaan pembangunan yang akan dilakukan tidak terlepas dari kebutuhan akan sumberdaya lahan (Land Resources), sebab sumberdaya lahan merupakan lingkungan yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat (Sitorus, 2004). Komponen-komponen penyusun sumberdaya lahan (SDL) terdiri dari: (1) Iklim, (2) Air, (3) Bentuk lahan dan tofografi, (4) Tanah, (5) Formasi geologi, (6) Vegetasi, (7) Organisme/hewan, 8) Manusia dan 9) Produk budaya manusia (Sitorus, 2004). Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segalah tindakan atau perlakukan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengembangannya, sumberdaya lahan bersifat multi fungsi dan multi guna dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Nilai ekonomi dari Sumberdaya Lahan akan ditentukan oleh: 1. Kualitas fisik tanah, 2. Lokasi, dan 3. Sistem lingkungan disekitarnya. Apabila permintaan terhadap lahan berubah atau meningkat sedemikian rupa sehingga Sumberdaya Lahan menjadi barang langkah, maka nilai ekonomi lahan tersebut akan meningkat secara cepat (Sitorus, 2004). Kebijakan
Pengelolaan
Sumberdaya
Lahan
telah
diatur
pada
Undang – Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang, sehingga akan menjadi jelas bagi setiap daerah yang akan merencanakan pembangunan harus mengacu pada aturan ini yang akan di break down oleh Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) dari setiap daerah yang akan melaksanakan berbagai pembangunan. Namun secara normatif dalam implementasi kadangkala terjadi inkonsisten terhadap RUTRW masing-masing daerah, yang mengakibatkan konversi dan alih fungsi lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan, sehingga fungsi awal terabaikan.
18
Era Otonomi Daerah ternyata mempunyai dampak terhadap meningkatnya laju konversi lahan pertanian dan lahan-lahan konservasi untuk kepentingan pembangunan berbagai infrastruktur pemerintah dan swasta bahkan berbagai izin prinsip dikeluarkan guna memenuhi aspek ekonomi. Hal ini terjadi sebagai akibat konsekuensi logis dari kebijakan pengembangan daerah yang mengundang investor untuk menanamkan modal didaerah. Pembangunan infrastruktur yang marak dilakukan pada berbagai kawasan konservasi akan mempengaruhi berbagai aspek seperti aspek ekonomi yang menjadi tujuan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Sebagian pendapat mengatakan bahwa konversi lahan pertanian dan lahan konservasi ke nonpertanian terutama yang terjadi di perkotaan adalah proses alamiah sebagai konsekuensi pertumbuhan urbanisasi mengikuti hukum ekonomi dimana lahan akan digunakan sesuai dengan nilai ekonomi tertinggi (sekretariat DKP, 2002). Pendapat lain mengatakan bahwa konversi lahan pertanian ke nonpertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional, sehingga ketahanan pangan akan menjadi rentan sebagai akibat dari ketergantungan terhadap pangan melalui kebijakan impor. 2.3. Akses Masyarakat Adat terhadap Kawasan Konservasi Salah satu kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya lahan termasuk kawasan konservasi adalah masyarakat adat. Disamping masyarakat adat juga dikenal masyarakat lokal. Istilah masyarakat hukum adat banyak digunakan dalam peraturan perundang-undangan tetapi peraturan yang memberikan pengertian mengenai masyarakat hukum adat adalah SK Menteri Kehutanan Nomor: 47/Kpts-II/1998 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas seluas ± 29.000 Ha di kelompok hutan pesisir, di kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung yang telah merupakan rempong damar dan diusahakan oleh masyarakat hukum adat. Malik et al. (2003). Istilah masyarakat hukum adat sendiri diambil dari keputusan ilmu hukum adat, khususnya setelah penemuan van Vollenhoven tentang hak ulayat (beschikkingsrecht) yang dikatakan hanya dimiliki oleh komunitas yang disebut sebagai masyarakat hukum adat. Pengertian masyarakat hukum adat kemudian dijelaskan lebih rinci oleh Ter Haar (1995) dalam Malik et al. (2003) yaitu: Kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan sendiri,
19
dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat. Klaim kepemilikan terhadap suatu kawasan yang terkategori communally owned resources terkait erat dengan sistem komunitas (tenure system) setempat. Seperangkat hak atas sumberdaya biasanya dikukuhkan dengan aturan hukum dan adat-istiadat yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat. Karena itu, klaim penguasaan terhadap suatu “tanah ulayat” biasanya dikukuhkan oleh suatu aturan hukum dan adat-istiadat yang berlaku di masyarakat itu (Malik at al. 2003). Dalam sistem penguasaan itu sendiri terdapat dua konsep pokok yang masih perlu dibedakan, yakni tenure dan teritorialitas. Walaupun sebenarnya tidak dapat dipisahkan, kedua konsep ini sering memberikan implikasi berbeda terhadap kestabilan ekologis. Mengacu kepada pemikiran van Djik dalam Malik et al. (2003), kedua konsep tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu berkenaan dengan klaim hak penguasaan atas sumberdaya. Tenure dapat dipahami sebagai penegasan mengenai suatu hak khusus yang dimiliki oleh individu atau kelompok terhadap suatu obyek yang jelas batas-batasnya. Misalnya, investasi tenaga, modal dan kontrol terhadap proses-proses alamiah melalui perubahan jenis tutupan vegetasi seperti paktik budidaya tanaman tertentu diatas sebidang tanah. Sementara itu, batas-batas klaim dalam sistem penguasaan teritorialitas mencakup klaim atau penguasaan terhadap suatu kawasan tanah (territory) tertentu; pengukuhan tersebut berdasarkan aspek-aspek idiologis, moral, legal atau alasan-alasan politik bukan mengacu pada aspek-aspek ekologis tetapi lebih didasarkan pada persepsi orang terhadap kondisi-kondisi ekologis dan sosio-politik mereka. Klaim penguasaan berupa teritorialitas tidak mempersyaratkan faktor investasi manusia seperti tenure. Dengan lain kata, suatu klaim penguasaan teritoriality bisa sama dan sebangun dengan tenure tetapi bisa juga melampaui batas-batas tenure. (Malik et al. 2003). Status kawasan konservasi, seringkali bertentangan dengan kearifan masyarakat adat yang telah lama melakukan aktivitas pada kawasan-kawasan tersebut, sehingga jika dihubungkan dengan kepemilikan lahan-lahan masyarakat ternyata sudah berlangsung secara turun temurun dalam kawasan-kawasan yang dilindungi, hanya secara faktual terjadi adalah status-status kawasan seringkali menjadi sebuah klaim politik yang tidak memberikan ruang kepada masyarakat,
20
sehingga banyak terjadi konflik sosial antara masyarakat dan pemerintah (pihak berkepentingan). Pada era otonomi daerah, lebih banyak pemerintah daerah harus bisa memberikan ruang kepada masyarakat untuk ikut dalam semua aktivitas perencanaan dan pengawasan berbagai program dan kebijakan publik. Menurut Malik et al. (2003) bahwa agar tidak terjadi konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat adat (pemilik ulayat) maka hal yang harus dilakukan adalah memberikan ruang kepada masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan penghidupan sebagaimana mereka lakukan, namun perlu diatur dengan aturan adat dan pemerintah yang telah disepakati bersama
untuk diberlakukan pada
kawasan-kawasan konservasi. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi, adalah pengertian sederhana dari peran serta masyarakat. Mengacu pada pendapat Canter (1977), dalam Malik et al. (2003) peran serta masyarakat adalah proses komunikasi
dua
arah
yang
terus-menerus
dibangun
untuk
meningkatkan
pemahaman masyarakat secara penuh atas proses pengelolaan kawasan konservasi. Peran tersebut didefinisikan sebagai komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan (feed-forward information) dan komunikasi dari masyarakat kepada pemerintah atas kebijakan tersebut (feedback information). Cormick (1979), sebagaimana dikutip oleh Arimbi dan Santoso, 1993 dalam Malik et al. (2003) membedakan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang pertama, peran serta yang bersifat konsultatif, dimana anggota masyarakat mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu, akan tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan. Kedua, adalah peran serta yang bersifat kemitraan, dimana masyarakat dan pejabat pembuat keputusan secara bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan dan secara bersama-sama membuat keputusan. Dengan demikian, menurut berbagai kalangan peran serta masyarakat akan dapat meningkatkan kualitas keputusan pemerintah (Canter, 1977), dan disisi lain akan dapat mereduksi kemungkinan munculnya konflik, karena menghasilkan tingkat penerimaan keputusan yang lebih besar pada masyarakat 1990).
(Koesnadi,
21
Sejalan dengan Canter dan Koesnadi, Santoso menyebutkan bahwa intinya terdapat lima manfaat lain dari peran serta masyarakat antara lain: a. Sebagai proses pembuatan kebijakan,
karena masyarakat sebagai
kelompok yang berpotensi menanggung konsekuensi dari suatu kebijakan memiliki hak untuk dikonsultasikan (rights to consult). b. Sebagai suatu strategi, dimana melalui peran serta masyarakat suatu kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga keputusan tersebut memiliki kredibilitas (credible). c. Peran serta masyarakat juga ditunjukan sebagai alat komunikasi bagi pemerintah yang dirancang untuk melayani masyarakat untuk mendapatkan masukan
dan
informasi
dalam
pengambilan
keputusan,
sehingga
melahirkan keputusan yang responsif. d. Peran serta masyarakat dalam penyelesaian sengketa atau konflik, didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredahkan konflik. 2.4. Cagar Alam Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Cagar Alam didefinisikan sebagai kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembagannya berlangsung secara alami. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem mengatur bentuk-bentuk pemanfaatan yang bisa dilakukan. Misalnya seperti tercantum dalam pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa: (1) Didalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budidaya dan wisata alam (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan. Undang-undang ini hanya mengatur pemanfaatan untuk kegiatan-kegiatan wisata. Untuk kegiatan-kegiatan lainnya khususnya oleh masyarakat adat atau lokal tidak terdapat aturan yang jelas. Padahal kawasan konservasi itu sendiri selalu merupakan kawasan yang tidak berpenghuni.
22
Justru yang lebih menonjol adalah pengaturan tentang larangan terhadap kegiatan yang dikhawatirkan dapat merusak kawasan-kawasan tertentu. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam pasal 33 UU yang sama menyatakan bahwa: (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap zona inti taman nasional (2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan satwa lain yang tidak asli. (3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. 2.5. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Lahan Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan oleh adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya (Suporaharjo, 2000). Konflik dapat ditimbulkan antara individu yang satu dengan yang lainnya (antar individu) antar kelompok individu. Kebanyakan tanah/lahan akhir-akhir ini menjadi masalah, seperti alokasi lahan untuk transmigrasi disuatu daerah, secara de facto
telah dikuasai oleh
komunitas masyarakat setempat, walaupun tanah-tanah itu secara kasat mata masih berupa hutan rimba, padang rumput atau kawasan yang belum terjamah tangan manusia. Hal ini mengakibatkan sengketa hak atas tanah, terutama bagi komunitas masyarakat adat. Tanah/lahan dan sumber alam lainnya identik dengan jati diri masyarakat adat. Sumber-sumber alam itu merupakan sumber kehidupan dan hidup masyarakat adat. Menurut Moore (1986) dalam Sahwan (2002), ada lima pemacu konflik yaitu: Pertama, konflik hubungan (relation conflict) adalah konflik terjadi karena adanya hubungan dishamonis yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: salah paham, tidak ada komunikasi, prilaku emosional dan steotypes; Kedua, konflik data (data confitc) adalah suatu keadaan dimana pihak-pihak yang bersangkutan tidak mempunyai data dan informasi tentang perihal yang dipertentangkan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa; Ketiga, Konflik nilai (value conflict) adalah suatu kondisi dimana pihak-pihak yang berurusan mempunyai nilai-nilai yang berbeda yang melandasi tingkah lakunya masing-masing dan tidak diakui kebenarnya oleh pihak lain; Keempat, Konflik kepentingan (interest conflict) adalah
23
pertentangan mengenai subtansi atau pokok permasalahan yang diperkarakan, kepentingan prosedural dan psikologis; dan Kelima, Konflik struktural (structural conflict) adalah keadaan dimana secara struktural atau suatu keadaan diluar kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik yang tidak berimbang. Menurut Malik et al. (2003) adapun acuan sebab-sebabnya konflik itu menyangkut tiga hal, yakni Pertama, Ketidakadilan akses dan kontrol berbagai kelompok sosial terhadap tanah/lahan dan kekayaan alam; Kedua, Ketidakadilan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam, terutama perihal berbagai usaha dan organisasi
serta
kehidupan
diatas
tanah/lahan,
dan
Ketiga,
pemusatan
pengambilan keputusan berkenan dengan akses dan kontrol serta pemanfaatan tanah dan kekayaan alam. Penanganan konflik menurut Mastenbroek (1985) dalam Sahwan (2002), adalah perlunya pembagian tugas dan wewenang tugas dan wewenang jelas, penentuan prioritas serta pengenalan prosedur yang lebih baik dari yang sebelumnya. 2.6. Pendekatan Analisis Hirarki Proses (AHP) Analisis Hiraraki Proses
(AHP)
dikenal dengan istilah Proses Hirarki
Analitik (PHA) atau Analisis Jenjang Keputusan (AJK), pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. AHP didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu, melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara berbagai sel alternatif. Analisis merupakan suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai suatu struktur, dan biasanya diterapkan untuk masalah-masalah yang terukur (kualitatif), maupun masalahmasalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau masalah yang tidak terstruktur, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman maupun intuisi. Selain AHP juga banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dan strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik (Saaty, 1993).
24
AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan. Dalam penerapannya, Saaty (1993) menyarankan sedapat mungkin menghindari penyederhanaan seperti membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantitatif. Dalam penyelesaian permasalahan dengan AHP ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain : 1. Dekomposisi, setelah didefinisikan maka dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika menginginkan hasil yang akurat maka, dilakukan pemecahan unsur-unsur tersebut sampai tidak dapat dipecahkan lagi sehingga didapat beberapa tingkatan dari persoalan tadi. 2. Comparative Judgment, prinsip ini berarti membuat penilain tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk perbandingan berpasangan (pairwise comparation). 3. Synthis of Priority, dari setiap matrik pairwise comperation kemudian dicari eigen vektornya untuk mendapat prioritas lokal. Karena matrik pairwise compaparation terdapat suatu tingkat maka untuk mendapat prioritas global harus dilakukan sistesis diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif menurut prosedur sintesis dinamakan priority setting. 4. Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna, makna pertama bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keragaman dan relevasinya. Kedua adalah tingkat hubungan antara objekobjek yang didasarkan pada kriteria tertentu. 5. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty, (1993) mulai dari bobot 1 sampai 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting ( untuk atribut yang sama skalanya selalu diberi nilai bobotnya 1), sedangkan nilai 9
25
menggambarkan kasus atribut yang “ penting absolut” dibandingkan dengan lainnya. Menurut Suryadi (2000) dalam Sahwan (2002), kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lainnya adalah: 1.
Struktur yang berhirarki, sebagai kosekuensi dari kriteria yang dipilih, pada sub kriteria yang paling dalam.
2.
Memperhitungkan validasi sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan
3.
Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan.
4.
Mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi objektif dan multi-kriteria yang berdasar pada perbandingan preferensi dalam setiap elemen dalam hirarki. Tahap paling penting dari AHP adalah penilaian pasangan (judgement) antara
faktor pada suatu tingkat hirarki. Penilain ini dilanjutkan untuk memberikan bobot nomerik atau verbal berdasarkan perbandingan berpasangan antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Selanjutnya
melakukan analisis untuk
menentukan faktor mana yang paling tinggi atau paling rendah peranannya terhadap level atas dimana faktor tersebut berada. Penilaian diperoleh melalui partisipan yang akan mengevaluasi setiap himpunan faktor secara berpasangan satu dengan yang menyatakan kepentingan faktor tersebut pada tingkat yang lebih tinggi pada hirarki yang dibentuk. Keberhasilan penggunaan AHP tergantung pada bagaimana penggunaan hirarki yang tepat dan problem yang tidak terukur sampai pada pengambilan keputusan, karena AHP mampu mengkonversi faktor-faktor yang
tidak dapat
diukur (intagible) dalam aturan yang biasa dibandingkan. Untuk mengisi perbadingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain, maka dapat digunakan pembobotan berdasarkan skala AHP yang disampaikan oleh Saaty (1993) disajikan pada Tabel 3.
26
Tabel 3. Skala Banding secara Berpasangan Model Saaty Intensitas Pentingnya
Definisi
1
Kedua elemen yang dibandingkan sama pentingnya (equal)
3
Elemen yang sedikit lebih penting dibanding elemen yang lain (moderate)
5
Elemen yang satu sangat penting dibanding elemen lainnya (strong)
7
Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya (very strong)
9
Satu elemen mutlak lebih penting dibandingkan elemen lainnya (extreme)
2,4,6,8 1/(-9)
Penjelasan Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar pada sifat itu Pengalaman dan pertimbangan sedikit mendukung satu elemen yang lainnya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu elemen atas elemen yang lainnya Satu elemen dengan kuat mendukung, dominansi mendukung tingkat penegasan tinggi yang mungkin menguat Bukti yang mendukung elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan
Apabila ragu-ragu diantara kedua elemen yang diperbandingkan didekati dengan nilai yang berdekatan Jika untuk aktivitas i mendapat suatu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan i
Sumber: Saaty, (1993)
2.7. Pendekataan AHP dalam Kerangka Manfaat Biaya Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop dalam fungsi awalnya ditetapkan untuk melindungi berbagai biodivesity yang sangat tinggi, dan sumber air bagi penduduk Jayapura serta menjadi laboratorium alam untuk pengembangan pendidikan, namun dalam implementasi terjadi tumpang tindih kebijakan antara pihak pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaannya, sehingga terlihat terjadi benturan aturan antara aturan positif dan aturan adat. Sehingga untuk mendudukkan permasalahan ini, harus dinilai kawasan ini dari sudut benefit dan cost (B/C) dari aspek ekonomi, lingkungan dan sosial, dengan demikian kita akan mendapat alternatif pengelolaan yang baik yang akan dilakukan dalam kawasan tersebut. Analisis Manfaat Biaya (AMB) merupakan metode praktis dalam menganalisis sumberdaya dengan beberapa tujuan, antara lain: 1. Pengambilan keputusan dalam suatu kegiatan. 2. Penilaian kegiatan paling produktif dengan ratio manfaat/biaya yang tinggi. 3. Maksimumkan total benefit dalam berbagai masalah.
27
4. Peninjauan kembali keadaan set proyek pada suatu saat untuk melakukan kemungkinan eliminasi atau realokasi sumberdaya. Menurut Saaty (1993), ada beberapa konsep dari AHP dalam kerangka manfaat biaya, yaitu: 1. AHP
berada
mengkonversi
dengan
AMB
faktor-faktor
yang yang
konvensional, terukur
karena
kedalam
AHP
aturan
mampu
yang
bisa
dimungkinkan untuk perbandingan dan evaluasi. 2. AHP juga dapat digunakan untuk memecahkan dalam pengambilan keputusan manfaat/biaya yang kompleks dan pengalokasian yang melibatkan sumberdaya dan aktivitas campuran 3. Tujuan AHP dalam pengalokasian sumberdaya adalah untuk menangani kriteria yang berkaitan dengan evaluasi manfaat dari berbagai alternatif, dan untuk menangani kriteria yang berkaitan dengan biaya. 2.8. Alokasi Sumberdaya Alam dan Analisis Manfaat Biaya Perhatian utama Ekonomi Sumberdaya Alam adalah alokasi sumberdaya alam pada saat ini dan mendatang, dan akibat-akibat yang timbul dari pengambilan keputusan dalam alokasi sumberdaya tersebut (Prabowo dan Reksodiprodjo, 1985 dalam Widarti, 2002). Lingkungan alam, udara, air, tanah, biota (flora dan fauna) menyediakan barang – barang dan jasa-jasa secara langsung atau tidak langsung memberikan manfaat ekonomi. Pendayagunaan sumberdaya yang dimiliki bersama terjadi karena tidak ada mekanisme yang mengatur keseimbangan yang secara otomatis mambatasi tingkat eksploitasi. Sumberdaya dianggap gratis sehingga kelangkaan tidak tercermin dalam biaya setiap orang yang memanfaatkannya ((Prabowo dan Reksodiprodjo, 1985 dalam Widarti, 2002). Dikatakan bahwa penerapan analisis manfaat biaya merupakan penerapan ilmu ekonomi demi perbaikan efisiensi alokasi sumberdaya yang didasarkan pada nilai yang diukur dengan harga yang diinginkan masyarakat dengan
menggunakan
biaya
ganti
pada
waktu
sumberdaya
benar-benar
dimanfaatkan. Analisis biaya manfaat menitik-beratkan pada falsafah kekebabasan individu konsumen.
Kesejahteraan
ekonomi
sosial
dianggap
sebagai
penjumlahan
kesejahteraan yang dinyatakan oleh para individu dalam masyarakat. Alokasi sumberdaya akan efisien secara ekonomis bila tidak mungkin lagi mengadakan
28
peningkatan kesejahteraan individu yang satu tanpa merugikan individu yang lain (van de Graff, 1975.; Baumal, 1997., Hufschmidt, et al, 1987 dalam Widarti, 2002). Ditambahkan bahwa anggapan dasar analisis manfaat biaya ialah tingkat kepuasan atau kesejahteraaan ekonomi yang dialami oleh individu konsumen yang diukur berdasarkan biaya yang mereka siap bayar didalam mengkonsumsi barang dan jasa tanpa mengeluarkan sesenpun, namun pada hakekatnya harga yang mereka siapkan membayar dapat diperoleh dengan mengamati prilaku seseorang. Azzaino (1984)
dalam Widarti (2002) menegaskan bahwa variabel yang
berpengaruh terhadap jumlah yang diminta untuk suatu barang adalah perubahan selera, jumlah penduduk, pendapatan rata-rata, harga barang tersebut dan harga barang lain. Davis (1987) dalam Widarti (2002) menyatakan bahwa kurva permintaan merupakan kurva kesediaan membayar dari konsumen terhadap jumlah barang atau jasa yang dikonsumsinya. Teknik penilaian biaya-biaya dibagi dalam tiga kategori (Hufschmidt, et al, 1987) yaitu: 1. Penilaian yang langsung menggunakan nilai pasar atau produktivitas. 2. Penilaian yang langsung menggunakan nilai pasar barang subtitut atau komplementer. 3. Penilaian barang dengan menggunakan pendekatan teknik survei. Teknik penilaian berdasarkan harga pasar pengganti merupakan pendekatan untuk
mengukur
kesediaan
membayar
individu
dan
masyarakat
untuk
memanfaatkan sumberdaya milik bersama. Teknik penilain berdasarkan survei mempercayakan diri pada survei langsung terhadap kesediaan konsumen untuk memilih jumlah barang dan jasa milik bersama. Pendekatan ini bertumpuh pada teori kurva permintaan individu. Untuk mengukur manfaat, metode ini mendasarkan diri pada pendekatan metode kontigensi yaitu penaksiran ketersediaan konsumen menerima kompensasi atas kerugian yang mungkin timbul. Sehubungan dengan alokasi sumberdaya, para pakar ekonomi sumberdaya telah mengemukaan konsep “Biaya Alternatif
Marginal (BAM). Biaya alternatif
marginal adalah biaya sebenarnya yang berasal dari masyarakat untuk suatu tindakan kebijakan yang menghabiskan sumberdaya hayati. Dalam suatu sistem yang membebani penyebab kerusakan sumberdaya, pajak yang dibayarkan
29
pemakai untuk kegiatan tersebut seharusnya sama besar nilainya dengan BAM (Warford 1987a: Peace 1987c Neely, 1992 dalam Widarti, 2002). “Nilai Alternatif” mengacu pada nilai yang berkaitan dengan pendayagunaan alternatif terbaik yang dapat dikenakan pada sumberdaya hayati tertentu, jika tidak sedang digunakan untuk sesuatu tujuan yang sedang dibiayai.
30
III. METODE PENELITIAN 3.1.Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan cagar alam pegunungan cycloop (CAPC) di wilayah administratif terhitung bulan Februari
Kabupaten/Kota Jayapura Provinsi Papua,
sampai dengan Agustus 2005. Peta lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 2. 3.2. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif yang mengambarkan secara sistematis faktafakta yang ada dilapangan. Penelitian ini dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan nyata/riil di lapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei yang bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok masyarakat melalui wawancara secara bebas terstruktur (Singarimbun, 1995). 3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer maupun sekunder. Pengumpulan data primer dan sekunder menggunakan metode observasi langsung, metode wawancara terstruktur, metode wawancara melalui diskusi mendalam (indepth interview) dan metode partisipatif (Farouk dan Djaali, 2003) sedangkan data sekunder diperoleh dengan menggunakan metode dokumentasi (Farauk dan Djaali, 2003) dan metode studi pustaka (Rianto, 2004) Penentuan responden
secara purposive sampling dengan pertimbangan
bahwa responden adalah pelaku (individu atau lembaga) yang mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan kawasan cagar alam pegunungan cycloop. Responden terdiri dari para stakeholders yang berjumlah 16 yaitu pejabat atau staf yang menguasai permasalahan yang berasal
dari beberapa
instansi/lembaga, antara lain Bupati / Walikota, Ketua DPRD, Kepala Dinas / Badan yang terkait Kabupaten dan Kota Jayapura Pakar Perguruan Tinggi,
31
Yapase
-2.45 °LS
Tablasufa
PETA KAWASAN HUTAN, PERAIRAN DAN LAHAN KRITIS KAWASAN CA CYCLOOP DAN SEKITARNYA
Wambena Doromena Yongsu Besar
Amai
Yongsu Kecil Ormu Besar
Bitia
Skala 1 : 275.000
Ormu Kecil
Depapre
Keterangan : Desa/Kampung Pemukiman Sekitar CA Cycloop Tempat Pengambilan Kayu Tempat Pembakaran Arang
Maribu
Yangkena Waibron
Dosai
Angkasa Indah] Lembah Bahari
Doyo Baru
-2.55 °LS
Batas CA Cycloop Batas Kabupaten/Kota Jalan Raya Sungai
Angkasa Lokasi baru Sabron
S.D.A Kemiri
Ifar Gunung Pos Tujuh
Netar
Kawasan Suaka Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Konversi Area Pemanfaatan Lain Perairan/Danau
Bucen II Entrop
Harapan Waena
Borowai
Lahan Kritis Fungsi Kawasan
Hamadi Argapura
SENTANI Danau Sentani
Dok VIII Atas
Yapis Bhayangkara APO Bukit Barisan JAYAPURA APO Polimak
Sosiri Yakonde
Angkasa
Danau Sentani
Padang Bulan Abepura
Peta Indeks
-2.65 °LS
Donday
Kotaraja
-5
135
140.35 °BT
140.45 °BT
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
140.55 °BT
140.65 °BT
140.75 °BT
140
Sumber : Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua
32
Lembaga
Swadaya
Masyarakat,
Lembaga
Kerjasama
Internasional,
Pengusaha/Swasta, tokoh masyarakat atau tokoh adat. 3.4. Metode Analisis Data Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif sesuai dengan tujuan penelitian yaitu: a. Mengidentifikasi kesesuaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi dilakukan dengan studi literatur dan dokumentasi dari data instansi terkait. b. Mengidentifikasi faktor-faktor pendorong dan penghambat yang dalam
penerapan
peraturan
perundang-undangan
pada
timbul kawasan
konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC), dengan cara studi tentang
implementasi
kebijakan RUTRW Kabupaten/Kota Jayapura,
kelembagaan, sistem kinerja, persepsi/tanggapan. c. Menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal
terhadap
Kawasan
Konservasi CAPC, dengan menggunakan metode Analisis Hirarki Proses (AHP) (Saaty, 1993) Mengetahui sumber mata air dan nilai ekonomi, dengan cara observasi langsung dan studi literatur. Nilai ekonomi digunakan metode kontigensi yaitu kesediaan membayar dan dibayar dari pemakaian air. Kepada pemakai air ditanyakan langsung kesediaan mereka membayar untuk tetap menggunakan air, dan berapa yang tersedia mereka terima sebagai pengganti apabila tidak boleh menggunakan air dalam waktu tertentu. waktu dalam penelitian ini dibatasi hanya setahun. (Darusman, 2002). Pada penelitian ini telah diketahui nilai air yang akan dibayar setelah melakukan wawancara. Masyarakat bersedia membayar Rp. 300/m3, dari tarif umum yang ditetapkan dengan SK Bupati No. 43 tahun 2003. akan tetapi jika nilai/ harga air belum diketahui maka dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Willingness to Pay : E(WTP) = Xmak – 0ƒX max P(X)dX. d. Menyusun strategi pengembangan CAPC, dengan analisis faktor internal dan eksternal (analisis SWOT) (Marimin, 2004).
33
3.5. Faktor Internal Eksternal (Analisis SWOT) Faktor internal dan eksternal pengelolaan sumber daya lahan di Cagar Alam Pegunungan Cycloop dengan potensi dan permasalahan hasil kajian, dianlisis dengan SWOT. Analisis SWOT adalah adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu pengelolaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threaths). Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot yang berkisar antara 0,0 (tidak penting) sampai dengan 1,0 (sangat penting). Disamping itu diperhitungkan ranting untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala dari 4 (sangat baik) sampai dengan 1 (kurang baik), selanjutnya antara bobot dan ranting dikalikan menghasilkan skor (Marimin, 2004). Setelah masing-masing unsur SWOT diperhitungkan skornya, selanjutnya unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitan dalam matriks untuk memperoleh beberapa alternatif strategi. Adapun matriks SWOT disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Matrik internal dan eksternal (Analisis SWOT) IFA/EFA
Kekuatan
Kelemahan
Peluang
Strategi Kekuatan - Peluang
Strategi Kelemahan - Peluang
Ancaman
Strategi Kekuatan - Ancaman
Strategi Kelemahan - Ancaman
Sumber: Marimin, 2004
a.
Strategi Kekuatan – Peluang Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
b.
Strategi Kekuatan – Ancaman Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
c.
Strategi Kelemahan – Peluang Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
d.
Strategi Kelemahan – Ancaman Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman.
34
3.6. Definisi Operasional Definisi operasional yang akan digunakan dalam melaksanakan penelitian ini berjudul Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop, Kabupaten dan Kota Jayapura yang meliputi: 1. Cagar Alam adalah didefinisikan sebagai kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkebangannya berlangsung secara alami. (Menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan) 2. Kebijakan adalah suatu keputusan untuk bertindak yang dibuat atas nama suatu kelompok sosial, yang memiliki implikasi yang kompleks dan yang bermaksud mempengaruhui anggota kelompok dengan penetapan
sangsi-
sangsi (Mayer, et al. 1982 dalam Shawan, 2002). 3. Analisis Kebijakan
adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan
dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan analis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik 4. Sumberdaya Lahan merupakan lingkungan yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat (Sitorus, 2004). 5. Pengelolaan Sumberdaya merupakan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah/lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut secara berkesenambungan.
35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian 4.1.1. Iklim Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop secara umum termasuk beriklim tropis. Curah hujan bulanan rata-rata tercatat di stasiun Sentani dan stasiun Jayapura dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir adalah sebesar 164,6 mm. Curah hujan tertinggi tercatat sebesar 233,3 mm pada bulan April dan terendah sebesar 94,1 mm pada bulan September. Perbedaan antara musim penghujan dengan musim kemarau dan musim dingin Barat dengan musim angin Timur relatif tidak nyata, oleh karena hujan Turun hampir sepanjang tahun. Jumlah hari hujan rata-rata tahunan tercatat sebesar 188 hari. Musim Barat berlangsung antara bulan November hingga Desember. Suhu udara bulanan rata-rata adalah sebesar 27,50 C, dengan suhu udara tertinggi 27,80 C dan terendah 27,20 C. Kelembaban udara rata-rata bulanan tercatat sebesar 82,3 %, dengan kelembaban tertinggi sebesar 83,2 % dan terendah 80,5% . 4.1.2. Topografi Cagar Alam Pegunungan Cycloop merupakan jantung pegunungan yang terdiri dari sebaris puncak yang melintangi dari arah Timur ke arah Barat. Ketinggiannya mencapai 1.880 meter dpl (G.Rafeni = Puncak Tertinggi) dari gugusan pegunugan cycloop. Sebagian besar kawasan ini, sisi pegunungannya amat curam, kemiringan lereng 0 - 8% hingga > 40%. Sedangkan pada kaki gunung Cycloop kelerengan antara 0 - 8% hingga 25 - 40%. Kelerengan didominir oleh areal agak curam (15 – 25%) ketinggian berkisar antara 25 – 325 meter dpl. Terdapat tebing-tebing yang mengelilingi juga melengkung tajam. Disebelah dataran ini , guguran batuan pegunungan ini tampak berupa sebaran batu dan kerikil, yang memenuhi sebagian lembah hingga ke selatan Kota Jayapura dan Danau Sentani. Disisi utara, terdapat cuatan dan tebing Pegunungan ini hingga membentuk tanjung kecil sepanjang pantai yang di kikis oleh lautan menjadi tebing-tebing tidak stabil. Dibeberapa tempat dengan gua-gua litoral. Teluk-teluk yang kecil terbentuk diantaranya menimbulkan pantai yang umumnya terdiri dari pasir atau kerikil halus.
36
4.1.3. Geologi Struktur geologis pegunungan ini ditentukan oleh posisinya terhadap sentuhan (contact zone)
dua lempengan litosfir besar, lempengan kontinen Australia dan
lempengan samudera Pasifik. Pada umumnya inti dari pegunungan ini terdiri dari batuan metamorfosik seperti : scista, gueniss dan amphibolit dikelilingi oleh bagian batuan basik atau ultra basik seperti gabro, basalt, serpentin dan periodotite. Bagian luarnya dilapisi oleh batuan kapur karang tertier. Sedangkan bagian-bagian lembahnya yang terbentang luas diantaranya pegunungan ini dengan Danau Sentani bagian luarnya terdiri dari sedimen yang membentuk lapisan kerikil halus. Batas kawasan ini ditandai dengan batas alam yang tegas, yaitu di sebelah utara kawasan ini berbatasan dengan laut Pasifik, di sebelah selatan berbatasan dengan Danau Sentani, di sebelah timur berbatasan dengan Teluk Yos Sudarso dan Teluk Yotefa dan disebelah barat berbatasan dengan Teluk Depapre dan teluk Tanah Merah. Topografi wilayah kawasan ini terdiri bergelombang ringan hingga wilayah bergelombang berat. Informasi tentang struktur geologi di kawasan ini sangat kurang. Menurut pendapat para ahli geografi bahwa kawasan pegunungan ini, pada mulanya merupakan suatu daratan yang terlepas dari daratan Papua. Daratan ini terbentuk lebih dahulu dari daratan rendah sekitarnya. Hal ini terbukti dengan struktur batuan dan tanah yang ada saat ini serta tumbuh-tumbuhan yang hampir menunjukkan ciri yang berbeda dengan dataran rendah disebelah selatannya. Terutama jenis pandanus sp yang tumbuh segaris panjang selatan kawasan ini. Struktur batuan di wilayah ini memiliki persamaan dengan batuan di kawasan pegunungan Bougenville di wilayah Papua New Guinea dan pegunungan Arfak di Kepala Burung Manokwari serta Jobi di Pulau Yapen. Struktur geologi di kawasan ini terbagi dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu struktur batuan karang ultrabasa yang terdapat pada jenis tanah laterik di tanjung Tanah Merah. Struktur geologi crystalline schists, gneisses batuan karang ultramorpich yang terdapat di sebelah timur kawasan ini, mulai dari Kotaraja hingga Teluk Tanah Merah (Baker 1955, dalam van Royen 1963). Sebagian struktur diatas berbentuk pada zaman para Eocene, terutama struktur geologi crystalline dan sebagian struktur geologi kemungkinan berbentuk pada zaman tertier muda (van Royen 1963).
37
Iklim di kawasan ini tergolong dalam zona iklim tropik yang selalu basah oleh karena pengaruh jumlah curah hujan dan ketinggian wilayah. 4.1.4. Hidrologi Kondisi hidrologi kawasan Cycloop secara rinci belum diketahui dengan pasti, oleh karena belum tersedia informasi mengenai beberapa parameter hidrologi, seperti infiltrasi pada tanah atau batuan, evaporasi dan transpirasi, serta run-off daerah tersebut. Berdasarkan peta sungai di kawasan Cycloop, diketahui bahwa sekitar 34 sungai yang mengalir umumnya berhulu di puncak Cycloop, mengalir ke utara menuju Samudera Pasifik dan ke selatan menuju Danau Sentani, di antaranya sungai Sumbergoni, APO, Acai, Anafre, Kamwolker dan Pos Tujuh. Sungai-sungai di kawasan ini banyak yang hilang masuk ke dalam tanah, kemudian muncul kembali di tempat tertentu. Kondisi tersebut dipengarui oleh sistem hidrogeologi setempat yang umumnya melintasi batuan dengan sistem rekahan. Oleh karena porositas batuan sangat rendah, permeabilitas batuan di kawasan ini di perkirakan cenderung di pengaruhi oleh rekahan yang
ada pada batuan. Pada
intensitas dan frekuensi bidang diskontinu yang besar, maka sifat lulus air dapat menjadi lebih besar. 4.1.5. Vegetasi Tipe-tipe vegetasi di kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop, bervariasi dan terbagi dalam tipe: a.
Tipe Vegetasi Mangrove.
b.
Tipe Vegetasi Hutan Hujan Pegunungan (Lowland Rainforest).
c.
Tipe vegetasi Hutan Pegunungan (Mountain Forest).
d.
Tipe vegetasi Hutan Sekunder (Secunder vegetation).
e.
Tipe vegetasi Padang Rumput (Grassland)
4.1.6. Flora dan Fauna Potensi flora dan fauna yang dimiliki oleh kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan sejumlah kegiatan penelitian potensi SDA yang dilakukan oleh sejumlah peneliti antara lain: (1) 1889 J.M. Dumas, Botanical collection, (2) 1903 Atastri & Djibdja, Botanical Collection., (3) 1911 Gjellerup, Botanical Collection (4) 1914
Gibbs, Botaniocal
Collection, (5) 1928 Ernts Mayr, Ornithology (6) 1936 Evelyn Cheesman,
38
Entomology, (7) 1938-1939 Archbold
expedition, Botanical Collection.(8) 1954
Forestry Departement & van Royen, Botanical Collection.(9)1961 Sleuner & Hoogland, Botanical Collection.(10) 1980 FAO, John Rattcliff, Tim Flannery, UNCEN, WWF dan (11) 1999 CI (Yemang Yongsu), (Conservation International, 2003). Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para peneliti tersebut memberikan indikasi bahwa potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop sangat tinggi dan beragaram. Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh WWF Region Sahul Papua dijumpai 278 jenis burung dan 112 sudah diketahui keberadaannya, mamalia sebanyak 86 jenis dan 40 jenis baru yang diketahui (Petocz, de Fretes 1984, Ratcliffe, 1985). Disamping itu, penelitian terbaru (1999 - 2001) yang juga dilakukan oleh Conservation International ditemukan beberapa spesies terbaru (endemik) wilayah ini. Periode Tahun 1999 ditemukan 12 spesies reptil dan 5 spesies katak (de Fretes, 1999) , sedangkan di Tahun 2000 ditemukan 26 spesies reptil, 8 spesies katak antara lain jenis tumbuhan sebanyak 127 jenis, 90 jenis burung, 8 jenis mamalia termasuk dalam kelompok kelalawar (3 Jenis), Possum dan Tikus. Sedangkan Herpetofauna sebanyak 26 jenis reptil (kadal, ular,penyu) dan 8 jenis kodok. Jenis ikan air tawar yang ditemukan diwilayah ini sebanyak 34 jenis ikan air tawar. Serangga (Kupu-kupu) berhasil ditemukan sebanyak 66 jenis kupu-kupu siang. 4.1.7. Sistim Pemerintahan Secara administrasi kawasan
Cagar Alam Pegunungan Cycloop berbatasan
dengan sejumlah wilayah administratif kecamatan antara lain: a.
Jayapura Utara Kecamatan Jayapura Utara memiliki tujuh kelurahan dan tiga diantaranya
berbatasan langsung dengan Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC) masingmasing antara lain: Kelurahan angkasapura, Kelurahan Bayangkara dan Kelurahan Gurabesi. b.
Jayapura Selatan Kecamatan Jayapura Selatan memiliki enam kelurahan
dan dua
desa
yang tiga diantaranya berbatasan langsung dengan CAPC antara lain: Kelurahan Ardipura, Kelurahan Vim dan Kelurahan Entrop
39
c.
Abepura Kecamatan Abepura memiliki enam kelurahan dimana salah satunya:
berbatasan langsung dengan CAPC adalah Kelurahan d.
Waena.
Sentani Timur Kecamatan Sentani Timur memiliki enam desa yang salah satu diantaranya
berbatasan dengan CAPC adalah Kelurahan Nolokla. e.
Sentani Kota Kecamatan Sentani Kota memiliki sebelas kelurahan dimana tiga diantaranya
berbatasan dengan CAPC antara lain: Kelurahan Hinekombe, Kelurahan Ifar Besar dan Desa Sereh Gunung. f.
Sentani Barat Kecamatan Sentani Barat memiliki sepuluh kelurahan dimana lima diantaranya
berbatasan langsung dengan CAPC adalah Kelurahan Doyo Lama, Desa Maribu, Desa Waibron, Desa Dosai dan Desa Sabron. g.
Depapre Kecamatan Depapre memiliki sebelas desa
yang sepuluh diantaranya
berbatasan dengan CAPC adalah Desa Waiya, Yewena, Yongsu Spari, Ormu Wari, Kendate, Tablasupa, Yepase, Wambena, Yongsu Desoyo dan Nachatawa. 4.1.8. Penyebaran Penduduk Kawasan administrasi
Cagar
Kabupaten
Alam
Pegunungan
Jayapura
dan
Cycloop
melintasi
Kotamadaya
dua
wilayah
Jayapura.
Dalam
Perkembangannya laju pertumbuhan penduduk pada dua wilayah Administrasi tersebut untuk periode 1971 s/d 2000 menunjukan perubahan yang sangat signifikan. Data pertumbuhan penduduk Kabupaten dan Kota Jayapura Periode 1971 sampai dengan 2000 antara lain: 1971 sebesar 100.753 jiwa , 1980 sebesar 151.308 jiwa, 1990 sebesar 103.523 jiwa dan 2000 sebesar 167.227 jiwa. Dari periode tahun 1971 sampai dengan
tahun 2000 laju pertumbuhan penduduk di
Kabupaten dan Kota Jayapura mencapai 5,07 per tahun. Perkembangan kepadatan penduduk di tampilkan dalam Diagram 1.
40
Diagram
1.
Data
Penduduk
Kabupaten/Kota
Periode
1971
–
2000.
Data Penduduk Kabupaten/Kota Periode 1971-2000
1971 1980 1990 2000
Sumber: Papua dalam Angka, 2001
Dari perkembangan penduduk secara keseluruaan memberikan indikasi bahwa wilayah-wilayah yang menjadi tekanan dan distribusi penduduk terbesar dan terbanyak untuk wilayah kotamdya Jayapura yang ditsajikan pada beberapa kelurahan yaitu: Kelurahan Entrop, Kelurahan Vim, Desa Tobati, Desa Kayu Pulo, Kelurahan Numbay, Kelurahan Argapura, Kelurahan Hamadi dan Kelurahan Ardipura, disajikan pada Diagram 2. Diagram 2. Data penduduk per kel/Desa di Kecamatan Jayapura Selatan Data Penduduk per Kel/Desa di Kec.Jayapura Selatan 20000 15000 Kpadatan 10000
Series1
5000
Series2
0 K.Entrop
K.Pulo
K.Hamadi
Kelurahan
Sumber: Papua dalam angka, 2001
Sedangkan jumlah
dan kepadatan
Abepura disajikan pada Diagram 3.
penduduk
untuk wilayah Kecamatan
41
Diagram 3. Data Kepadatan Penduduk per Kelurahan/Desa di Kecamatan Abepura
Data Kepadatan Penduduk per Kel/Desa di Kec.Abepura 25000 20000 15000 Data
10000 5000 0 K.Hedam
K.Waena
D.Enggros
Sumber: Papua Dalam Angka, 2001
Lebih lanjut perkembangan kepadatan penduduk untuk wilayah Kecamatan Jayapura Utara secara keseluruhan di sajikan pada Diagram 4. Diagram 4. Data Kepadatan Penduduk per Kecamatan Jayapura Utara
Data Kepadatan Penduduk per Kel. di Kec. Jayapura Utara K.Gurabesi K.Bayangkara K.Mandala K.Angkasa K.Trikora K.T.Ria K.Imbi
Sumber: Papua dalam Angka, 2001
Sedangkan untuk Kabupaten Jayapura yang memilki Kecamatan Depapre, Sentani Barat, Sentani Kota dan Sentani Timur dengan perbandingan laju pertumbuhan antara lain: Depapre sebanyak 4.714 jiwa, Sentani Barat sebanyak 7.003 jiwa, Sentani Kota sebesar 30.758 jiwa dan Sentani Timur sebanyak 5.908 jiwa. Lebih lanjut tampilan kepadatan penduduk Kabupaten Jayapura disajikan pada Diangram 5.
42
Diagram 5. Data Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Jayapura Data Penduduk per Kec. di Kabupaten Jayapura Tahun 2000
K.Depapre K.S.Barat K.Sentani K.S.Timur
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura, 2001.
4.1.9. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Cagar Alam Pegunungan Cycloop merupakan bagian dari dua wilayah administrasi, yaitu di bagian utara Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Sekitar 26 % wilayah Cagar Alam Pegunungan Cycloop berada di Kota Jayapura, yaitu Kecamatan (Distrik) Jayapura Utara dan 74 % di Kabupaten Jayapura, yaitu di Kecamatan Depapre, Sentani dan Sentani Timur. Dalam konstelasi ruang yang lebih luas, dibagian selatan Cagar Alam Pegunungan Cycloop berbatasan dengan kawasan yang relatif telah terbangun, kepadatan penduduk sangat tinggi dan aktivitas perkotaan yang intensif. Sedangkan dibagian utara cenderung bercirikan kawasan pedesaan. Gambaran demografis yang mengindikasi intensitas kegiatan didaerah sekitar CAPC diwakili oleh karakteristik demografis Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura disajikan pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5. Jumlah dan Kepadataan Penduduk Kota Jayapura Menurut Kecamatan/Distrik Tahun 2000 No
Kecamatan/Distrik
Jumlah (Jiwa) 59.284
Luas Wilayah (Km2) 201,3
Kepadatan (Jiwa/Km2) 295
1
Abepura
2
Jayapura Selatan
82.731
61,0
1.356
3
Jayapura Utara
85.170
51,0
1.670
4
Muara Tami
8.305
626,7
13
235.490
940.0
251
Jumlah Tahun 2000
Sumber: Kota Jayapura dalam Angka, Kantor BPS Kota Jayapura, 2001
43
Tabel 6. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Jayapura menurut Kecamatan/Distrik tahun 2001 No
Kecamatan/Distrik
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
2 Mamberamo hilir Mambermo Tengah Mamberamo Hulu Pantai Barat Sarmi Tor Atas Pantai Timur Urum Ruay Kaureh Senggi Web Waris Arso Skamto Kemtuk Gresie Kemtukgresi
17 18 19 20 21 22 23 24 Jumlah
Nimboran Nimbokran Bonggo Demta Depare Sentani Sentani Barat Sentani Timar
Jumlah (Jiwa) 3 1.653 3.628 5.833 4.266 7.597 2.084 6.512 1.703 13.209 2.912 3.454 2.159 20.589 11.599 4.451 3.082
Luas Wilayah 2 (Km ) 4 2.910 3748 11.189 2.955 1.494 4,499 7.195 4.259 10.712 2.767 1.579 817 1.879 1.348 250 233
Kepadatan 2 (Jiwa/km ) 5 0,57 0.97 0,52 1.44 5.09 0,46 0,91 0.40 1,23 1,05 2,19 2,64 10,96 8,60 17,80 13.23
7.027 6.571 7.726 5.671 5.099 34.859 7.640 7.081 176.365
739 282 1.633 331 345 133 155 77 61.493
9,51 23,30 4,73 17,01 14,78 262,10 49,96 91,96 2.87
Sumber: Kabupaten Jayapura dalam Angka, 2001
Letak Kota Jayapura di bawah kaki gunung Cycloop. Jayapura merupakan salah satu kota utama yang memberikan pengaruh langsung terhadap tingkat mobilitas penduduk yang sangat tinggi, baik melalui urbanisasi, migrasi maupun transmigrasi. Seiring dengan pertambahan penduduk dari waktu ke waktu, dengan sendirinya membutuhkan lahan untuk keperluan hidup. Dengan keterbatasan lahan di Kota Jayapura, maka daerah perbukitan disekitar CAPC akan menjadi sasaran pembangunan. Keadaan sosial ekonomi disekitar CAPC (Waena - Doyo), dari data tahun 1997 menunjukan bahwa interaksi masyarakat di sekitar Sentani, khususnya CAPC dimulai dari Doyo Lama sampai dengan Waena, semua itu untuk kegiatan perladangan, pengambilan kayu, penggalian batuan, perburuan, pengambilan anggrek sampai pembangunan rumah dan jalan masyarakat dan pemerintah. Motivasi kegiatan pemanfaatan lahan diperbukitan dan kaki Gunung Cycloop bervariasi tergantung aktifitas yang dilakukan. Kegiatan-kegiatan
tersebut
antara
lain:
kegiatan
perambahan
hutan
untuk
44
perladangan dan pemanfaatan kayu untuk berbagai keperluan lainnya yang memberikan dampak langsung kepada kawasan CAPC.
4.2. Identifikasi Peraturan Perundang-undangan dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Secara umum kebijakan dan hukum
yang berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Namun dalam hal kebijakan diartikan dalam arti sempit, yaitu kebijakan yang masih dijabarkan terlebih dahulu dari berbagai peraturan perundang-undangan. Kebijakan yang dimaksud seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keppres atau pernyataan pejabat negara. Indentifikasi peraturan perundang-undangan dan Kewenangan pemerintah dan terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi disajikan padaTabel 7. Tabel 7 terlihat bahwa ada dualisme kebijakan pemerintah yang disatu sisi berupaya untuk melindungi kawasan-kawasan tertentu dan menetapkan sebagai kawasan konservasi, namun disisi lain membuka peluang kawasan-kawasan tersebut dieksploitasi. Hal ini dapat ditemukan di dalam PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang perlindungan Hutan, didalam Keppres 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Nomor
dan di SKB Menteri Pertambangan dan Menteri Kehutanan
969.K/08/MPE/1989
dan
Nomor
429/Kpts-II/1989
tentang
Pedoman
Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan, yang sampai kini masih berlaku. SKB dua Menteri tersebut bukan menegaskan bahwa di Kawasan Cagar Alam dapat dilakukan kegiatan pertambangan, termasuk di dalam kawasan yang akan ditetapkan sebagai Taman Nasional. Jika sebelumnya telah ada kegiatan tambang, maka kawasan tambang tersebut dikeluarkan dari penetapan taman nasional. sedangkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDHE secara tegas menyebutkan bahwa di dalam Cagar Alam maupun Taman Nasional tidak
dibolehkan
adanya
kegiatan
budidaya,
yaitu
kegiatan
yang
dapat
mengakibatkan perubahan terhadap Cagar Alam maupun Taman Nasional. Semestinya rujukan utama aturan mengenai kawasan konservasi adalah UU KSDHE, karena berdasarkan hierarki UU merupakan aturan yang paling tinggi. Apabila terdapat peraturan yang saling bertentangan, maka yang dijadikan acuan dan berlaku adalah UU. Adapun aturan mengenai desentralisasi pengurusan sumberdaya hutan baru dikeluarkan pada tahun 1998 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 1998
45
tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang kehutanan kepada daerah. Namun tidak ada perubahan yang mendasar tentang pelimpahan urusan pengelolaan hutan di dalam peraturan tersebut, jika dikaitkan dengan realokasi sumberdaya hutan kepada daerah. Sementara itu Undang-undang Nomor 5 tahun 1990, yang mengatur secara khusus tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya telah memberikan peluang desentralisasi. Terdapat 2 (dua) pasal yang berkaitan dengan desentralisasi yaitu pertama, pasal 30 ayat (1), yang mengatakan dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan dibidang tersebut kepada daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Kedua, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 38 ayat (1), yang berbunyi pemerintah dapat menyerahkan segala urusan di bidang tersebut kepada daerah. Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa daerah tingkat II menyelenggarakan penataan batas ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya daerah tingkat II. Artinya secara implisit pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya lahan.
Ketidakjelasan kewenangan mengakibatkan
berbagai kebijakan sering kali tumpang tindih kepentingan dan kewenangan antar sektor pengelolaan kawasan konservasi CAPC dan pihak berkepentingan lainnya. Sehubungan dengan perbedaan kepentingan yang akan berdampak pada ketidak percayaan masyarakat pada pemerintah dan mengakibatkan
kawasan-
kawasan konservasi tidak dilestarikan tetapi justru menjadi ajang konflik. malah sebaliknya akan dirusakan, dan hal ini terjadi secara merata di Indonesia termasuk CAPC. Perbedaan kepentingan akan berdampak pada minat masyarakat untuk melestarikan kawasan-kawasan konservasi,
namun sebaliknya membiarkan
kerusakan berlangsung sampai pada tingkat mengkawatirkan. Dalam rangka menangani kesenjangan kepentingan dan kewenangan perlu dikoordinasikan berbagai hal yang berhubungan dengan tugas dan fungsi sektor yang diserahi tanggung jawab. Sehubungan dengan penyelengaraan Otonomi Khusus Provinsi Papua yang diatur dalam UU Nomor 21 tahun 2001, pasal 64 menyatakan: Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati, sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman
46
hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk. Jika memperhatikan perundang-undangan ini, maka sebenarnya pemerintah provinsi juga mempunyai tanggung jawab untuk pengelolaan sumberdaya alam yang berada pada wilayahnya, namun sepanjang digulirkan UU Nomor 21 tahun 2001, menjadi sangat tidak jelas
kewenangan Pemerintah Pusat,
Provinsi, dan
Kabupaten/Kota. Ketidak jelasan itu terlihat dari ketidak percayaan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Provinsi Papua dalam mengelola sumberdaya alam yang terdapat di kawasan-kawasan yang diperbolehkan oleh UU Nomor 5 Tahun 1990. Sementara
itu
Keppres
32
tahun
1990
tentang
Kawasan
Lindung,
juga
mengisyaratkan Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan lindung di dalam daerahnya masing-masing tetapi tidak untuk pengelolaannya. Hal ini tidak logis, sebab kawasan-kawasan tersebut ada diwilayah daerah, oleh sebab itu porsi pengelolaanpun harus menjadi bagian integral daerah juga. Namun sebaliknya jika tetap menjadi kewenangan pusat, maka pemerintah pusat sementara meletakan bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak dan menimbulkan konflik pengelolaan sumberdaya alam antara pusat dan daerah.
47
Tabel 7. Peraturan Perundang-undangan dan Lembaga Berwenang yang terkait dengan Kawasan Konservasi No
Peraturan Perundang-undangan
Uraian
2
3
UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Kehati dan Ekosistemnnya UU No. 9/1990 tentang Kepariwisataan
• Pelaksanaan kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati • Pembinaan konservasi • Pemberian izin usaha pariwisata
3
UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang
• Pengelolaan kawasan tertentu • Perencanaan tata ruang darat, laut dan udara • Perencanaa ruang • wilayah kabupaten Pemberian izin pemanfaatan ruang
4
UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Koordinasi perencanaan dan pengelolaan lingkungan
5
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
• Aturan pengelolaan hutan
6
UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah UU No. 22/1999 (32/2004) tentang Pemerintahan Daerah
• Pengelolaan sumberdaya darat • Pengelolaan sumberdaya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan
1 1 2
Lembaga yang berwenang
4 • Pemerintah Pusat • POLRI, Dephutbun • Pemerintah Pusat c.q. Dep. Parsenibud dan Pemerintahan Daerah • Pemerintah Pusat c.q. Depdagri • Pemerintah Provinsi • Pemerintah Kabupaten/kota
Fungsi Manajemen
5 • Implementasi • Pengawasan/ Pengendalian • Perizinan • Perencanaan • Perencanaan Perencanaan dan perizinan
• Pemerintah Pusat c.q. Menteri Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah c.q. Bappeda, Bapedalda • Pemerintah pusat c.q. Dephutbun
• Perencanaan dan implementasi
• Pemerintahan daerah • Pemerintahan daerah
• Implementasi • Perencanaan, implementasi, pengawasan, pengendalian
• Implementasi
48 Tabel 7. (Lanjutan) 1 7 8
9
10 11 12
13 14
2 UU No. 25/1999 (33/2004) tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah PP No. 24/1979 tentang penyerahan sebagaian Usaha Pemerintah dalam Bidang Kepariwisataan Kepala Daerah TK I PP No. 24/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di zona pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam PP No. 25/2000 tentang Kewenangan pemerintah Pusat dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom PP No. 62/1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang Kehutanan kepada daerah Kepres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Kepres No. 77 /1994 entang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kepres No. 25/1994 tentang Koordinasi Penyelenggaraan transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan
2
3
4
• Pendistribusian keuangan bagi sumberdaya alam yang diambil
• Pemerintah pusat dan daerah
• Implementasi dan perencanaan
• Pemberian izin untuk kegiatan usaha dibidang kepariwisata
• Pemerintah Daerah c.q. Dinas Pariwisata
• Perizinan
• Pemberian izin pengusaha pariwisata
• Pemerintah Pusat c.q. Dephutbun
• Perizinan
• Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom • Penyerahan sebagaian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah • Penetapan wilayah tertentu sebagai kawasan lindung • Mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan lindung • Koordinasi dampak lingkungan
• Pemerintah Pusat • Pemerintah daerah
• Implementasi
• Koordinasi antar lembaga
• Pemerintahan Pusat c.q Dishutbun • Pemerintah daerah TK I • Pemerintah TK I • Pemerintah Pusat dan Daerah • Pemerintah Pusat Cq. Dep. Transmigrasi dan Kependudukan
• Implementasi • Perencanaan • Pengawasan dan pengendalian • Pengawasan dan pengendalian • Perencanaan dan impelemtasi
49
4.3. Fungsi dan Kewenangan Kelembagaan Dengan
mengacu
pada
hasil
identifikasi
fungsi
dan
kewenangan
kelembagaan yang ada pada Tabel 7, dikaitkan dengan sektor-sektor yang berwenang dan berkaitan cakupannya kadangkala tidak jelas dan saling tumpang tindih. Dasar aturan formal dan kebijakan yang digunakan dalam pengelolaan terfragmentasi, tidak konsisten antara satu dengan lainnya, kadang saling bertentangan. Faktor-faktor diatas ditambahkan dengan visi dan misi serta kepentingan yang berbeda dari berbagai lembaga tersebut akan memicu konflik antar lembaga. Fungsi dan kewenangan dari masing-masing lembaga atau instansi yang bertanggung-jawab dalam mengelola kawasan konservasi diuraikan sebagai berikut: 4.3.1. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Pengelolaan dan Perlindungan kawasan konservasi merupakan landasan bagi kebijakan PHPA di seluruh Indonesia. Pertumbuhan resevert secara nasional dan PHPA itu disadari telah membantu peningkatan kesadaran dalam konservasi dan pelestarian alam, yang patut dibanggakan oleh instansi itu.
Sehubungan
desentralisasi kewenangan dibidang konservasi, masih belum ikhlas pemerintah pusat memberikan sebagian urusan ke daerah seperti Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-II/1997
tentang organisasi dan Tata Kerja Taman
Nasional dan Unit Taman Nasional dapat dilihat secara jelas mengenai fungsi dan tugas Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional, yang lebih merupakan unit pelaksana teknis PHPA yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Dirjen PHPA. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa pengelolaan kawasan taman nasional atau hutan konservasi masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dari peraturan perundang-undangan yang diinvetarisasi dan dikaji kewenangannya terlihat bahwa pada umumnya peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mendukung upaya desentralisasi urusan kehutanan, khususnya di bidang pengelolaan kawasan konservasi. Adapun peraturan tertinggi yang mengatur mengenani konservasi, seperti UU Nomor 5 tahun 1990 dan UU Nomor 5 tahun
1967,
mengembangkan
desentralisasi
yang
setengah
hati,
sebab
desentralisasi tersebut dikunci dengan peraturan pelaksana yang masih harus
50
dibuat lebih lanjut. Secara prinsip pengelolaan sumberdaya alam bertumpuh ke pusat dan berada di bawah kewenangan Menteri. Provinsi Papua telah mempunyai Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) yang dibagi dua wilayah kerja, wilayah I berkedudukan di Jayapura yang mengelola atau mengawasi 20 kawasan konservasi, wilayah II berkedudukan di Kabupaten Sorong yang mengelola atau mengawasi 10 kawasan konservasi. BKSDA Papua I dan II mempunyai tugas melakukan pengawetan terhadap kawasan konservasi, dan tidak ditunjang dengan jumlah biaya yang cukup untuk pengawasan kawasan. Sementara itu permasalahan sumberdaya manusia dibidang konservasi masih kurang dan fasilitas penunjang, namun bukan berarti instansi ini menyerah begitu saja dengan keadaan dan luas wilayah yang sangat besar, tetapi secara perlahan telah dilakukan berbagai tindakan untuk fungsi pengawetan sebagai tugas pokok BKSDA. 4.3.2. Sektor Kehutanan Instansi yang berwenang dalam membina penggunaan sektor kehutanan adalah Depatemen kehutanan. Sehubungan dengan fungsi dan kewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan terbagi menjadi 3 (tiga) kewenangan (pasal 39 UU Nomor 41 Tahun 1999 dan pasal 37, 38, 39,
40, 41 dan 42 Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002) yaitu melalui: a.
Menteri Kehutanan, apabila areal hutan berada pada lintas provinsi,
b.
Gubernur, apabila hutan berada di lintas kabupaten, dan
c.
Bupati/Walikota, apabila hutan berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota Dalam pembagian kewenangan ini, ternyata otonomi daerah belum
diterjemahkan dengan tepat oleh beberapa daerah dan beberapa komponen bangsa
ini,
sehingga
pelaksanaannya
banyak
terjadi
kontroversi
dan
penyimpangan dari semangat otonomi daerah itu sendiri. Ada pihak mengartikan otonomi adalah otonomi kedaulatan, bukan otonomi kewenangan. Akibatnya, timbul kebijakan didaerah yang tidak disingkronkan dengan kebijakan pusat, salah satunya adalah penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) pada hutan produksi. Permasalahan yang terjadi di Provinsi Papua sehubungan dengan penerapan Keppres No. 32 tahun 1990 antara lain:
tentang pengelolaan kawasan lindung
51
a.
Sebagian besar hutan di wilayah ini belum dilakukan reskoring untuk mengetahui kelayakan alokasi fungsi hutan lindung dan hutan produksi melalui perhitungan bobot/skor berdasarkan faktor kelerengan, jenis tanah dan intensitas hujan.
b.
Masih banyaknya perambahan hutan di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang disebabkan karena belum ada kepastian hukum mengenai batas fungsi hutan dan kurangnya sosialisasi serta pengawasan terhadap perlindungan hutan.
c.
Terbatasnya data dan informasi di daerah berupa foto udara dan citralansad terkini yang menggabarkan fungsi hutan di Provinsi Papua.
d.
Terjadi benturan antara kepentingan dan kebijakan terutama dalam kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.
e.
Kebijakan Provinsi Papua sehubungan dengan sektor kehutanan antara lain:
a) Surat Gububernur Provinsi Papua Nomor 522/444/SET tanggal 13 Pebruari 2002 Persetujuan Dispensasi Persetujuan Pembangunan
Jalan dan
Pemanfaatan Kayu pada Jalan Trans Kabupaten Fak-Fak b) Surat Gubernur Provinsi Papua Nomor 522.1/3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Hukum Adat. c) Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor Kep-522.2/1648 tanggal 22 Agustus 2002 tentang Penunjukan Pelaksanaan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Masyarakat Hukum Adat / Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat. d) Berdasarkan
keputusan
Menteri
Kehutanan
dan
Perkebunan
nomor:
891/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999, alokasi fungsi hutan di Provinsi Papua di sajikan pada Lampiran 12. 4.3.3. Sektor Pariwisata Salah satu sektor yang memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam untuk pembangunan nasional adalah sektor pariwisata khususnya pengembangan dan pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata, termasuk wisata alam serta berbagai kegiatan diwilayah kawasan suaka alam. Instansi yang berwenang
dalam mengelola kegiatan pariwisata adalah
Direktorat Jenderal Pariwisata, Seni dan Budaya untuk tingkat pusat dan dinas
52
pariwisata
di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Fungsi Direktorat Jenderal
Pariwisata adalah menyusun perencanaan dan pengembangan obyek wisata di Indonesia. Setelah obyek wisata ditetapkan lalu dipromosikan. Dalam kaitan dengan pengelolaan pariwisata, maka
didaerah dibentuk kantor wilayah
depatemen seni dan budaya saat belum otonomi daerah, saat otonomi daerah, sektor pariwisata ditangani oleh dinas pariwisata provinsi pada tingkat provinsi dan kabupate/kota pada wilayahnya. Sehubungan dengan hal ini maka program yang akan dikembangkan adalah program-program yang sesuai dengan potensi wisata daerah tanpa harus mengadopsi program pusat untuk mengatur keseluruhan program. Potensi wisata CAPC yang memiliki morfologi perbukitan dan pegunungan membentuk keindahan bentangan alam dataran tinggi dengan puncak gunung Baboko pada ketinggian 2.160 m dpl. Lokasinya berbatasan dengan pusat perkotaan Jayapura dan Sentani menjadikan kawasan ini berpotensi alam pegunungan. Kawasan cycloop juga memiliki peninggalan sejarah yang dilestarikan sebagai cagar budaya, seperti monumen Jenderal Mc Arthur. Potensi cagar budaya ini melengkapi aktivitas kepariwisataan di cycloop. Perkembangan kepariwisataan di Kabupaten dan Kota Jayapura tidak dijadikan sebagai tujuan wisata secara rutinitas oleh para pengunjung, bahkan kebijakan pemerintah tidak melihat aspek ini sebagai sumbangsi pembangunan daerah dan pendapatan asli daerah (PAD). Persoalan mendasar adalah pembagian porsi dan kewenangan untuk pengelolaan sektor ini sering tidak berazas keadilan dalam hal pendanaan, namun lebih pada eskploitasi budaya sebagai keuntungan sepihak. Kendala lain adalah ketersediaan fasilitas / sarana prasarana wisata, informasi tentang kawasan wisata dan program pemerintah yang tidak mengandalkan potensi sektor ini. Kebijakan Pariwisata pada kawasan konservasi harus diatur baik agar tidak menganggu fungsi kawasan. Khusus untuk potensi wisata di CAPC pemerintah Kabupaten / Kota Jayapura menetapkan program wisata pada daerah penyangga dan daerah diluar kawasan lindung. Wisata gunung yang selama ini dilakukan di wilayah Kabupaten Jayapura pada daerah aliran sungai belum diatur peraturan daerah (Perda), sehingga masyarakat Jayapura dengan leluasa masih dapat menikmati wisata gunung dan sungai berdasarkan aturan masyarakat lokal yang mendiami kawasan ini.
53
Prospek kedepannya perlu dikeluarkan perda yang mengatur secara khusus pariwisata, dengan demikian kawasan-kawasan wisata dapat dikelola secara profisional, agar dapat menjadi sumber pendapat asli daerah (PAD). Prospek ini akan terwujud dengan baik jika koordinasi dan kolaborasi program antara sektor dapat dikembangan seirama. Jenis pariwisata yang direkomendasikan dari hasil penelitian ini adalah ekowisata 4.3.4. Sektor Pertambangan Sektor pertambangan dan energi merupakan sektor yang masih menjadi kewenangan pusat. Sejak diberlakukan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, disebutkan “daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang barlaku. Namun jika dikaitkan dengan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 38 ayat (4) disebutkan
“pada kawasan lindung
tidak melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka” maka terjadi tumpang tindih kawasan hutan lindung dengan kawasan pertambangan. Permasalahan tumpang tindih kawasan merupakan permasalahan tata ruang nasional dan tata ruang daerah yang telah disepakati bersama. Kedepannya kedua sektor ini harus berkoordinasi dalam pemanfaatan ruang agar aturan-aturan konservasi tidak diabaikan hanya karena pertambangan, namun kedua-duanya menjadi penting, sehingga dituntut para aktor harus memiliki kapabilitas dan profisionalisme dalam menyusun program-program pembangunan.
4.3.5. Sektor Lingkungan Sektor lingkungan seringkali dilihat sebagai sektor anti eksploitasi dan lebih pada kegiatan konservasi untuk berbagai kegiatan pembangunan, sementara itu sektor ini sendiri pada tingkat pusat hanya diurus oleh Menteri Lingkungan Hidup yang dalam kapasitasnya sebagai menteri koordinasi, sehingga lembaga ini hanya hadir sebagai lembaga koordinasi tanpa mempunyai kapasitas dalam berbagai keputusan pelanggaran lingkungan. Lembaga ini di lingkungan Pemda Provinsi dan Kabupate/Kota belum terlalu banyak yang berdiri sendiri sebagai lembaga koordinasi di daerah dan belum dirasa penting kehadirannya, hal ini dapat dilihat di berbagai Pemda yang tidak
54
mempunyai institusi lingkungan yang berdiri sendiri sebagaimana Bappeda disetiap daerah, namun lebih banyak menjadi salah satu bidang yang melekat pada Bappeda. Jika hal ini berlangsung terus, maka kapasitas dan kapabilitas lembaga ini hanya sebagai pemberi informasi tentang dampak lingkungan tanpa melakukan tindakan. Disisi lain lembaga ini ada berdasarkan kompleksitas masalah disuatu daerah. Provinsi Papua adalah salah satu daerah yang kaya akan sumberdaya alam namun bertumpuk
kompleksitas masalah lingkungan seperti pertambangan,
kehutanan, perkebunan dan kelautan. Untuk menangulagi dampak lingkungan yang terjadi di daerah ini, maka lewat Perda Propinsi Irian Jaya Nomor 3 Tahun 1999 tentang
institusi Bapedalda
Propinsi Irian Jaya yang bekedudukan di Jayapura, sebelumnya pada tahun 1985 lembaga ini disebut Biro Lingkungan Hidup yang melekat pada Sekwilda Propinsi Irian. Di Papua sekarang ada
8 Kabupaten/Kota yang telah memilik lembaga
Bapedalda. Jayapura sendiri ada 3 Bapedalda yaitu Bapedalda Provinsi, Kabupaten danKota Jayapura. CAPC menjadi tanggung jawab ketiga institusi ini, pada tingkat provinsi hanya sebagai mediator untuk kedua Bapedalda di wilayah Jayapura. Semenjak
diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, dalam pasal 10 ayat 1 mengisyaratakan “ Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan hal ini tentunya termasuk pengelolaan kawasan konservasi.
khusus
Provinsi
Papua telah berlaku UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Jika pemerintah pusat secara konsisten untuk melaksanakan aturan-aturan ini maka berbagai kewenangan yang sebenarnya berada di pusat harus diberikan ke daerah sebagai perpanjang kewenangan pusat di daerah, namun masih terjadi tarik ulur kewenangan, sehingga tidak jelas kewenangan seperti apa yang harus diberlakukan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mana. Dalam situasi yang tidak jelas tentang kewenangan pusat dan daerah, Pemda Kabupaten/Kota mengeluarkan berbagai kebijakan pembangunan dalam bentuk
55
program pembangunan yang dilaksanakan oleh instansi teknis yang berada di Kabupaten/Kota Jayapura, sebagai berikut: a.
Dinas
Pekerjaan Umum Kota Jayapura telah membangun jalan melintasi
CAPC (Angkasa-Kampung Ormu). Kegiatan ini tidak dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan
(AMDAL), sehingga jalan yang
dibangun ini menjadi tidak layak yang mengakibatkan kontroversi antara pihak Pemerintah Provinsi
dan Kota Jayapura
serta masyarakat
pencinta
lingkungan (LSM) Lingkungan. b.
Dinas Perkebunan dan Pertanian Kabupaten Jayapura, memberikan ijin pada masyarakat migran Papua dan pendatang membuka lahan perkebunan di kawasan CAPC, dan kegiatan ini menjadi ancaman dan tekanan terhadap kelestarian kawasan Cycloop. Fenomena ini menjadi sumbangsi terbesar terhadap lahan kritis di wilayah CAPC bahkan mengakibatkan kurangnya sumber air yang berakibat pada turunya debit air. Perkebunan dan pemukiman liar yang dibangun pada kemiringan lahan > 20 % yang mengakibatkan bencana alam seperti longsor. Kegiatan lain yang ikut menyumbangkan dampak pada sumber air adalah pengambilan kayu dalam hutan CAPC untuk pembuatan arang aktif oleh masyarakat migran Papua (Jayawijaya)
c.
Dinas
Pertambangan
Kabupaten
Jayapura
memberikan
ijin
kepada
pengusaha dan masyarakat untuk mengambil material galian c seperti pasir, batu kerikil untuk pembangunan tanpa memperhitungkan daya dukung lahan dan atau Daerah aliran sungai (DAS) dimana kegiatan itu berlangsung. d.
Badan
Pertanahan
mempunyai
tugas
Nasional
(BPN)
mengeluarkan
Kabupaten/Kota
sertifakat
Jayapura,
kepemilikan
lahan
yang untuk
membangun, hasil penelitian mengambarkan bahwa banyak terjadi tumpangtindih sertifikat yang dikeluarkan untuk sebidang tanah. Khusus untuk kasus ini masyarakat adat Kota Jayapura telah terjadi kontradisksi dalam transaksi jual-beli tanah (luas lahan tertentu), masyarakat adat menjual sebidang tanah untuk beberapa pembeli, sehingga hal ini menjadi pemicu konflik horisontal antara masyarakat tentang kepemilikan lahan. e.
Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA Papua I) dalam fungsi tugasnya melakukan pembinaan dan penyuluhan pada masyarakat sekitar kawasan tentang
fungsi
pengawetan
kawasan
konservasi,
namun
seringkali
56
berseberangan dengan masyarakat, sebab ruang untuk kegiatan masyarakat sangat kecil bahkan perhatian terhadap masyarakat sering menjadi permasalahan. Namun sebenarnya hal mendasar yang terjadi pada lembaga ini adalah ketersediaan biaya operasional dan jumlah personail yang memiliki latar belakang pendidikan konservasi masih sangat kurang, sementara luas kawasan yang awasi sangat luas. f.
Dinas Pariwisata, salah satu sektor yang memanfaatkan sumberdaya alam untuk pembangunan nasional dengan memanfaatkan obyek dan daya tarik wisata, termasuk wisata CAPC dan penelitian. Dinas ini sendiri dalam tugas dan fungsinya tidak terlihat dengan jelas pengelolaan pariwisata di Jayapura. Hal ini juga sangat tergantung dengan tujuan wisata yang mau diangkat atau dipromisikan. Khusus Kota Jayapura telah mengupaya beberapa lokasi seperti Teluk Youtefa sebagai tujuan wisata laut, Pantai Hamadi, Pantai Base G, yang cukup baik dalam penanganannya, hanya belum diatur jenis wisata yang cocok dikembangkan dikawasan wisata ini. Kedepannya ekowisata menjadi sasaran pengelolaan wisata di Jayapura.
4.4. Evaluasi Pengelolaan CAPC saat ini Secara konsepsional, arah pengelolaan CAPC tahun 2003 – 2014 yang dibangun oleh Tim Pokja Multi Pihak sebagaimana disajikan pada Lampiran 1 Berdasarkan rumusan pengelolaan CAPC, tampak bahwa telah ada keinginan untuk menetapkan landasan yang kokoh bagi penyelenggaraan pengelolaan CAPC menuju kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial. Ini diindikasikan dengan adanya strategi penataan institusi dan perumusan kebijakan dalam rangka memastikan batas, status kepemilikan dan peruntukan tata ruang kawasan konservasi. Hal penting lain adalah adanya upaya untuk mendorong dan meningkatkan
peran
serta
masyarakat
dalam
pengelolaan
CAPC
serta
penanggulangan illegal logging, perladangan berpindah, pertambangan galian c, pemukiman liar dan berbagai bentuk pengrusakan lainnya. Menurut penulis, pernyataan kebijakan (policy statement) tersebut dapat dijadikan landasan kebijakan pengelolaan CAPC secara lestari karena telah ditetapkan strategi untuk memecahkan permasalahan utama pengelolaan CAPC berupa lemahnya institusi (kebijakan dan implementasinya serta manajemen internal organisasi) dan kepastian status kawasan, yang menimbulkan efek ganda (multiplier effect) berupa
57
konflik akibat ketidakadilan alokasi manfaat sumberdaya
lahan dan adanya
perilaku aji mumpung (opportunistic behaviour) dari berbagai pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya lahan. Namun demikian, implementasi dari pengelolaan yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan pembangunan sumberdaya lahan di CAPC sebagaimana Gambar 3,
memperlihatkan bahwa fokus pembangunan sumberdaya lahan di Kabupaten
dan Kota Jayapura sejak tahun 1985-2004 belum diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan pokok pengelolaan sumberdaya lahan, yang merupakan prakondisi bagi terlaksananya pengelolaan sumberdaya lahan yang memenuhi prinsip-prinsip kelestarian. Terlihat bahwa kondisi luas hutan dikawasan CAPC mengalami penurunan yang sangat drastis. Indikator ini dapat dilihat dari sumber-sumber air bersih yang tadinya berjumlah 34 sungai yang berhulu di Cycloop telah mengalami kekeringan hingga 14 sungai. 12 dari 14 sungai ini bermuara di Danau Sentani yang sebagai sumber air bersih bagi penduduk yang berada disekitar Danau Sentani. Penyebab lain kekeringan sumber air / sungai-sungai diwilayah hulu Cycloop adalah perladangan berpindah pada kelerengan > 30% yang berdampak pada bencana longsor yang mengakibatkan pencemaran pada sungai dan penumpukan sedimen akibat longsor dan kegiatan pertambangan galian C dan pendulangan emas diwilayah jembatan II, mengakibatkan Danau Sentani mengalami pendangkalan. Bertambahnya jumlah penduduk berakibatkan pada tuntutan lahan untuk pembangunan pemukiman dan infrastruktur serta perkebunan atau perladangan. Dengan bahasa yang lebih operasional,
implementasi kebijakan pembangunan
konservasi Kabupaten dan Kota Jayapura
memperlihatkan dua hal. Pertama,
lemahnya kemampuan daerah dalam mengenali permasalahan pokok pengelolaan kawasan konservasi sehingga tidak ada prioritas kebijakan untuk penyelesaiannya. Kedua, adanya perbedaan kekuasaan antara pengambil kebijakan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini diindikasikan dengan besarnya peran lembaga perencanaan daerah dalam proses alokasi
sumberdaya
keuangan untuk
kepentingan pembangunan, dibandingkan dengan lembaga sektoral (seperti lembaga BKSDA dan lembaga lain yang berkepentingan dengan CAPC). Sejalan dengan hal ini, Mayers dan Bass (1999) dalam Latief (2003), menyatakan bahwa realitas (implementasi) kebijakan umumnya berbeda dengan dokumen formal kebijakan (formulasi kebijakan), dan ini merupakan hasil resultante suatu himpunan
58
rumitnya proses formal dan praktek pengambilan keputusan,
yang sangat
ditentukan oleh variasi kekuasaan diantara pengambil keputusan.
KONDISI FISIK CAPC
16 14
KONDISI FISIK CAPC
1.2 1
Presentase (%)
Presentase (%)
18
12 10 8 6 4 2
0.8 0.6 0.4 0.2 0
0 1985
1990
1995
2000
2005
1985
1990
1995
HP
HS
HB
2000
2005
Tahun
Tahun PL
LK
RW
AA
PIS
Gambar 3. Kondisi fisik CAPC Keterangan : HP : Hutan Primer
LK : Lahan Kritis
HS : Hutan Sekunder
RW : Rawa
HB : Hutan Belukar
AA : Alang-alang
PL : Perladangan
PIS : Pembangunan Infrastruktur
4.5. Faktor Pendorong dan Penghambat Identifikasi
faktor pendukung dan penghambat yang timbul dalam
penerapan peraturan dan perundang-undangan pada kawasan CAPC disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 menunjukkan
faktor pendorong lebih besar dari faktor penghabat.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan dan pembagian kewenangan antara sektor dalam perencanaan pengelolaan CAPC seperti di sajikan pada Lampiran 2. Jika pembangian kewenangan dan tugas dari instansi atau pihak-pihak ini dilakukan dengan penuh tanggung jawab maka permasalahan yang terjadi di CAPC dapat teratasi dengan baik, namun sebaliknya jika tidak dilakukan maka berbagai kebijakan menjadi mubasir.
59
Tabel 8. Faktor Pendorong dan Penghambat dalam pengelolaan CAPC Faktor
Uraian •
Faktor Pendorong
• • • •
• • •
Faktor
•
Penghambat
• • • •
Berbagai aturan perundangundangan dibidang konservasi Pengakuan hak dan nilai adat Sikap dan prilaku masyarakat lokal Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan Komitmen kuat antar stakeholders (Pemda, Masyarakat lokal, swasta, PT dan LSM) Tersedianya informasi tentang potensi CAPC Tersedianya dana APBD untuk pelestarian Komitmen kuat LSM lokal maupun internasional untuk penelitian, pelestarian, penguatan kelembagaan dan pendampingan masyarakat Tidak ada insentif terhadap pelestarian SDL Lemahnya kapasitas dan kapabilitas birokrasi Lemahnya koordinasi antara multipihak pusat dan daerah Tidak terintegrasinya program antara pemda Kab/Kota Jayapura Ketidakpastian hukum
Alternatif solusi
Kebijakan
• Penguatan institusi pemerintah daerah dan masyarakat (adat, swasta,PT dan LSM) • Kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat • Kesepakatan stakeholders
Kebijakan dapat terwujud dan tidak
• Kepastian kebijakan dan kewenangan dalam penyelenggaraan Otda • Hak milik lahan • Koordinasi antara pihak
Kebijakan dapat terwujud dan tidak
4.6. Potensi Sumber Air Bersih Salah satu fungsi ditetapkannya kawasan cycloop menjadi cagar alam adalah fungsi hidrologi bagi penduduk Jayapura dan daerah resapan bagi Danau Sentani serta penyuplai air bagi pertanian dan perkebunan disekitar CAPC. Hasil penelitian mengambarkan bahwa kawasan CAPC sebagai sumber air bersih, telah mengalami pencemaran yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan penduduk dalam bentuk perladangan, pembangunan rumah penduduk
disekitar sumber air dan
penambang serta pengambilan material pasir dan batu. Perladangan berpindah oleh masyarakat migran Papua (Jayawijaya, Serui, Biak, Paniai) dan pendatang (NTT, Makassar dan Buton) telah merusak kawasan hutan primer sebagai sumber penyaring dan penyimpan air. Debit air
yang berasal dari sungai-sungai yang
berhulu di dikawasan ini mempunyai volume yang sangat kecil saat kemarau dan meningkat saat musim penghujan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap air larian
60
yang menimbulkan erosi. Laju erosi pada daerah tangkapan air (DTA) Sentani sebesar 94,52 ton/ha/tahun (BPDAS, 2002 dalam Mandosir et al. 2004), kondisi ini diakibatkan oleh vegetasi hutan yang rusak. Menurut
Kalilago (1998),
sungai yang mengalir dari hulu kawasan ini
berjumlah 34 sungai, sedangkan menurut PDAM Jayapura (2002) ada 14 sungai yang yang masih memasok air bersih yang ditampung pada bak-bak penampung lalu didistribusikan ke para konsumen. 12 sungai dari 14 sungai
mengairi /
bermuara Danau Sentani. Danau Sentani adalah salah satu sumber penyediaan air bersih bagi masyarakat yang berdomisi disekitarnya, kedepannya antisipasi kekurangan sumber air bersih bagi penduduk Jayapura akan digunakan potensi air di danau ini untuk kebutuhan air bagi penduduk Jayapura. Sistem pengaliran air dalam bentuk perpiaan yang dilakukan oleh PDAM Jayapura masih mengandalkan grafitasi dan topografi Kabupaten/Kota Jayapura yang berbukit-bukit. Dengan sistem seperti ini seringkali mengalami pemasokan air yang sangat sedikit/kurang sampai ke konsumen, sementara itu tingkat kebocoran mencapai 31% dari 70% total kapasitas terpasang. Sehingga yang dapat dialirkan 40% yang didistribusikan ke konsumen. 80% pelanggang air bersih dari PDAM berada di Kota Jayapura, sedangkan 20% berada di Kabupaten Jayapura. Sementara itu pihak PDAM sendiri belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan pelanggang, diakibatkan oleh minimnya peralatan dan dana untuk pengoperasian lembaga ini. Sementara itu permasalahan lain yang cukup penting adalah lahanlahan
dimana
sumber
air
berada,
masih
berbenturan
dengan
pemilik
ulayat/masyarakat adat setempat. Hal ini dapat dilihat dari nilai pelepasan lahan/tanah untuk pembangunan bak-bak penampung air yang sangat mahal pelepasan. Dalam bentuk pengaliran/distribusi air, tetapi juga tarif air belum dapat dibagi berdasarkan jenis kegiatan, sehingga PDAM Jayapura, masih menggunakan tarif umum yang ditetapkan dengan SK Bupati Jayapura No. 43 Tahun 2002. Jumlah sungai yang berhulu di CAPC berjumlah 34 sungai, ditetapkan menjadi kawasan cagar alam sebanyak 34 sumber,
saat
kini tinggal 14
sumber, dan 14 sumber mata air ini digunakan oleh Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) Jayapura
untuk memenuhi konsumsi air penduduk Jayapura (WWF
Papua, 2002 dalam Mandosir et al. 2003). 20 sumber mata air dalam kurung waktu 25 tahun telah mengalami kekeringan, pengurangan sumber air bersih diakibatkan
61
oleh kegiatan invasi masyarakat atau penduduk terhadap sumberdaya alam dalam kawasan konservasi
terutama penebangan hutan secara tidak teratur dan
terencana (illegal logging) oleh masyarakat di sekitar CAPC untuk pembukaan perladangan atau pertanian, pengambilan kayu dan atau pembuatan arang serta pembangunan rumah dekat sumber-sumber air dan juga akibat kebijakan pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura dalam bentuk pengambilan kayu sebagai bahan bangunan perumahan dan jembatan bagi masyarakat yang berada disekitar Teluk Humbolt, Teluk Youtefa dan Danau Sentani serta Jayapura sekitarnya.
Masyarakat yang berada sekitar CAPC masih mengantungkan
hidupnya pada potensi SDA seperti perburuan, penebangan kayu, dan pengalian hasil tambang golongan C. Sepanjang koordinasi dan peran aktor pemerintah, masyarakat lokal (adat) / LSM, perguruan tinggi dan swasta tidak berjalan dengan baik maka permasalahan di kawasan ini tidak akan diselesaikan. Penurunan sumberdaya hutan memberikan nilai positif bagi masyarakat dalam rangka memenuhi sektor ekonomi, namun memberikan nilai negatif bagi terpeliharanya sumber air. Nilai negatif yang terjadi pada sumber-sumber air bersih adalah penurunan debit air terjadi karena pembukaan hutan dan lahan kritis dikawasan hulu sebagai pasokan air bersih dari CAPC melalui sungai-sungai yang berhulu di cagar alam tersebut telah menurun debit airnya. 4.7. Nilai Ekonomi Air di Kawasan CAPC Kesediaan masyarakat untuk membayar dan dibayar (menerima kompensasi) dari satuan air dengan jumlah pemakaian dan rata-rata konsumsi air selama waktu tertentu. Kesediaan Masyarakat membayar air Rp. 300/m3, dengan jumlah rata-rata konsumsi air 60 liter/orang/hari (21.900 ltr/org/thn atau 21,9 m3/org/thn), maka nilai air yang harus dibayar
adalah
Rp. 6.570./orang/tahun. Penduduk diwilayah
Kabupaten Jayapura yang berinteraksi langsung dengan kawasan CAPC berjumlah 1.032 kk yang bersedia membayar penggunaan air bersih
sebesar
Rp.
6.966.000/tahun, begitu juga dengan penduduk di Kota Jayapura dengan jumlah penduduk 4.332 kk membayar penggunaan air sebesar Rp. 28.461.240/tahun. Dengan mengacu dari nilai ekonomi air diatas, ternyata
nilai air yang dibayar
sangat masih sangat rendah, jika dibandingkan dengan harga air bersih yang
62
ditetapkan dengan SK Bupati Jayapura Nomor 43 Tahun 2002 tentang Tarif Air Umum dihargai Rp. 680/m3,
dengan nilai ekonomi air yang sangat rendah
seringkali membuat masyarakat disekitar kawasan ini tidak menghargai nilai hutan sebagai sumber penampung/penahan air dan penghematan air yang digunakan, namun sebaliknya penggunaan air dengan tidak memperhitungkan ketersediaan air dan luas hutan untuk masa yang akan datang. Namun sebaliknya bagi masyarakat yang berada disekitar perkotaan Jayapura mengalami kekurangan air ketika musim kering/panas sepanjang dua minggu debit air sungai yang teradapat disekitar perkotaan mengalami penurunan hingga 40 liter/detik dari
150-250 liter/detik
secara normal. Hal ini diakibatkan oleh karena luasan hutan disekitar kawasan CAPC telah rusak akibat perambahan
hutan dan peladangan berpindah-pindah,
tetapi
sebaliknya jika hutan diperuntukan untuk kegiatan pembangunan lainnya seperti infrastruktur, pemukiman dan lain sebagainya maka kompensasi yang harus diterima oleh masyarakat adalah penyediaan bak-bak penampung air yang akan didistribusikan dengan sistem perpipan ke penduduk/masyarakat yang berada disekitar CAPC. Atau dapat disediakan sumur pompa bagi masyarakat. Tabel 9. Lokasi Sumber Air Bersih di sekitar CAPC (2002) Lokasi Kota Jayapura Distrik Jayapura Utara & Selatan
Distrik Abepura
Sumber Kali Anafre Kali APO Kali Ajen /Klofkam Kali Klofkam Kali Entrop Kali Kujabo
Kali Kampwolker Kali Korem Kali Buper Ketersediaan di Kota Jayapura Kabupaten Jayapura Distrik Sentani Kali Sentani Kota Kali Kladili Atas/Pos tujuh Distrik Genyem Kali Heku Ketersediaan di Kabupaten Jayapura Total Ketersediaan di kota/Kab. Jayapura
Pengambilan Kapasitas (liter/det)
Jumlah intake
20 5 70 20 45 250
3 2 7 1 4 1
110 35 5 560
1 1 1 21
5 35
1 1
6 46 606
1 3 24
Sumber: PDAM Jayapura dalam Potensi Ekonomi di Kota Jayapura, 2002
63
4.8. Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Lahan yang Optimal di Kawasan CAPC Untuk mengetahui alternatif
pemanfaatan yang optimal pada CAPC
dilakukan analisis hirarki proses (AHP) dengan pendekatan manfaat biaya. Berdasarkan “judgement stakeholders “ terkait, dengan perhitungan AHP untuk analisis manfaat biaya (kerugian) masing-masing alternatif dari tiga alternatif yang dikemukakan dalam kaitannya dengan pengelolaan CAPC disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Prioritas Manfaat, Biaya dan Rasio Manfaat – Biaya Hasil Analisis Metode “AHP“ untuk AMB dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan di CACP AHP untuk AMB
Alternatif
No
Prioritas Manfaat
Prioritas Biaya (kerugian)
Rasio Manfaat/ Biaya
1.
Permukiman dan infrastruktur
5.507
5.704
0.965
2.
Konservasi dan Pariwisata
7.000
7.000
1.000
3.
Perkebunan dan Pertambangan Gol C
2.524
2.830
0.901
Sumber : Hasil analisis, 2005
Nilai konsistensi rasio berkisar antara 0,00 s/d 0,95 atau rata-rata masih berada dibawah 0.10 dengan demikian para stakeloders konsisten dalam memberikan nilai pembobotan dengan tingkat penyimpangan sangat kecil. Analisis Tabel 10, menunjukkan bahwa alternatif pengelolaan sumberdaya lahan pada CAPC sebagai kawasan konservasi dan pariwisata dengan nilai manfaat 7.000 yang terdiri dari manfaat ekonomi (0.387), manfaat lingkungan (0.750) dan manfaat sosial (0.250). Sedangkan kerugian terbesar diperoleh apabila dikelola sebagai kawasan Konservasi dan Pariwisata dengan nilai kerugian (7.000) yang terdiri dari kerugian ekonomi (0.376), kerugian lingkungan (0.474) dan kerugian sosial (0,149) (Lampiran 7 dan 8), namun jika masing - masing alternatif tersebut dibandingkan antara manfaat dan kerugian, maka alternatif pengelolaan sebagai kawasan konservasi
dan
pariwisata
memberikan
nilai
terbesar
yaitu
1.000
yang
menghasilkan skenario yang optimal karena memberikan nilai rasio manfaat/biaya = 1, artinya bahwa pada kawasan ini dapat dilakukan kegiatan konservasi dan pariwisata tergantung program-program yang akan direncanakan bersama oleh para pihak untuk dilaksanakan. Disamping itu, yang perlu diperhatikan pemukiman dan infrastruktur, sebab alternatif ini merupakan pendukung semua kebijakan yang
64
diberlakukan di Kota/kabupaten Jayapura, walaupun dalam analisis manfaat-biaya ternyata nilai manfaat 5.507, kerugian 5.704 dan memberikan hasil rasio manfaatkerugian 0.965 atau nilai rasionya < 1. Sedangkan perbandingan manfaat dan kerugian untuk kawasan perkebunan dan pertambangan
0.901 atau nilai B/C
Rasio < 1. hal ini disebabkan karena dalam analisis ini turut memperhitungkan baik manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial serta kerugian ekonomi, lingkungan dan sosial. Sehingga alternatif pengelolaan sebagai perkebunan dan pertambangan yang biasanya menguntungkan jika hanya ditinjau dari aspek manfaat ekonomi, namun dalam analisis ini terlihat tidak menguntungkan jika melibatkan ketiga aspek sekaligus. Kedua alternatif diatas yang mempunyai nilai B/C rasio < 1 tidak berarti alternatif ini tidak optimal
untuk dikembangkan pada kawasan CAPC, namun
sebaliknya dalam implementasi pemanfaatan ruang di kawasan ini justru banyak memberikan nilai positif dari aspek ekonomi, namun tidak berarti negatif untuk konservasi, sehingga perlu dikoordinasikan berbagai kebijakan dalam bentuk program yang akan dikembangkan di kawasan CAPC. Kebijakan dari alternatif pemukiman dan pembangunan infrastruktur, telah dibangun jalan Angkasa – Ormu melintasi kawasan CAPC sepanjang 25 km yang telah dibatalkan karena tidak jelas AMDAL, pembangunan jalan alternatif Ardipura (Markas Kodam XVII/Trikora) – Kelurahan Hedam sepanjang 2.5 km dalam kawasan CAPC dengan status pinjam pakai dan tidak jelas pinjam pakainnya selama beberapa waktu
dan
pembangunan lapangan golf cenderawasih di markas Kodam XVII/Trikora, kedua pembangunan diatas berada pada kawasan buffer zone untuk bagian selatan sedangkan bagian barat telah masuk ke kawasan inti. Juga hal yang sangat marusak terjadi dikawasan ini adalah pemukiman liar dalam kawasan buffer zone sampai dengan kawasan inti, dan hal ini bertolak belakang dengan peruntukan lahan/ruang kedua Pemda. 4.9. Persepsi Masyarakat terhadap Kebijakan Pembangunan disekitar Kawasan CAPC Kawasan CAPC menurut masyarakat lokal pemilik ulayat maupun penduduk migran yang bermukim disekitar kawasan tersebut sangat obyektif menurut kehidupan
keseharian
mereka.
Persepsi
masyarakat
tentang
CAPC
berdasarkan laporan PKBI Papua (2003) dan berbagai diskusi yang dibangun dalam valuasi ekonomi cycloop disampaikan sebagai berikut:
65
4.9.1. Pandangan tentang keberadaan CAPC Kebijakan pemerintah untuk melindungi CAPC. Harus ada peraturan yang tegas yang dibuat dan dipatuhi oleh pemerintah dan masyarakat. Pegunungan Cycloop harus dijaga. Harus dilindungi sebagai warisan leluhur. Tempat keramat arwah nenek moyang. Tidak boleh ada aktivitas pembangunan dalam kawasan CAPC. Merupakan pengakuan ibu sebagai tempat tinggal. CAPC tetap lestari, perlu dibangun dialog untuk mengingatkan. masyarakat migran yang bermukim di sekitar kawasan ini. 4.9.2. Pandangan tentang CAPC sebagai Sumber Air: Dimanfaat sesuai dengan aturan adat. Harus dijaga agar tetap lestari untuk bisa diwariskan kepada anak cucu/berkelanjutan. Bermanfaat bagi kehidupan manusia sebagai sumber air (dari mata air dan sungai). 4.9.3. Pandangan tentang CAPC sebagai Sumber Hasil Hutan Kayu: Kenyataannya merupakan susu ibu sebagai sumber dan tumpuan hidup sejak zaman dahulu. Pohon jangan ditebang sembarangan agar tidak longsor/erosi Sumber pemenuhan kebutuhan hidup terdapat tanah yang subur, tumbuhan tanaman obat dan berbagai jenis kayu yang sangat dimanfaatkan Dimanfaatkan sesuai dengan aturan dan ketentuan adat Harus dibawah ketinggian 500 m dpl. 4.9.4. Pandangan terhadap Perubahan CAPC 4.9.4.1. Peran dan Program yang telah dilaksanakan Lembaga Pemerintah: Pembuatan saluran air bersih, perumahan, sarana kesehatan dan pendidikan
66
Pihak Kehutanan, Pertahanan, Perkebunan, Pertanian dan Bapedalda melakukan penyuluhan tentang tanah dan lingkungan Pemasangan tapal batas CAPC Pemasangan papan pengumuman tentang kawasan CAPC Lembaga Non Pemerintah/LSM: Melakukan pemasangan pipa air dari sumber air bersih Melakukan pelestarian tanaman obat tradisional Melakukan pengembangan dan pemberdayaan ekonomi penduduk Memberikan pelatihan, pendidikan dan penyuluhan lingkungan Masyarakat: Ikut
mendukung
program
pemerintah,
tidak
sembarang
menebang
pohon/hutan Adanya himbauan kepala kampung untuk menjaga hutan dan reboisasi (penanaman kembali lahan pingiran/bantaran sungai). 4.9.4.2. Peran dan Program yang sedang dilaksanakan Lembaga Pemerintah: Pembangunan jalan Depapre – Doromena yang belum selesai Pembangunan fasilitas kampung Melakukan pengamanan terhadap kawasan CAPC Melakukan penghijauan Melakukan penertiban pemukiman masyarakat migran. Lembaga Non Pemerintah/ LSM: Mendiskusikan peran dan upaya pelestarian pentingnya kawasan CAPC bagi kehidupan manusia Melakukan pendampingan melalui program pemberdayaan dan penguatan ekonomi rakyat. Masyarakat: Membantu pemerintah untuk menjaga sumber air Menanam tanaman jangka panjang pada lahan rawan longsor
67
4.9.4.3. Peran dan Program yang diharapkan Lembaga Pemerintah: Perlu adanya reboisasi dengan tanaman keras, serta pendampingan dan pembinaan bagi masyarakat. Membangun ekonomi rakyat yang lebeih baik sehingga masyarakat tidak tergantung dan merusak kawasan Cycloop. Adanya perhatian dalam kebutuhan dasar masyarakat, agar tetap terlindungi. Adanya kerjasama dan mitra antara pemerintah, Dewan Adat dan Kepala Suku dalam upaya pelestarian CAPC. Perlu adanya ketegasan dari pemerintah tentang fungsi kawasan ini, tanpa mengabaikan pemberdayaan/peranserta masyarakat. Melibatkan masyarakat baik dalam dan luar kawasan dalamprogram penghijauan Adanya kebijakan dan keputusan yang tidak merugikan berbagai pihak, terutama masyarakat pemilik ulayat. Lembaga Non Pemerintah/LSM: Memberikan bantuan dan pendampingan dalam program pemberdayaan masyarakat (lingkungan) Melindungi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah berkaitan dengan keberadaan CAPC. Melakukan penyuluhan dan diskusi dengan masyarakat tentang fungsi CAPC Mengingatkan pemerintah apa yang dikawatirkan tentang CAPC, bahwa masyarakat dapat menjaga kawasan ini sebagai hak ulayatnya, namun bagaimana kompensasinya. Masyarakat Menanam kembali tanaman jangka panjang pada kawasan CAPC Membantu pemerintah untuk menjaga dan melindungi pepohonan yang baru ditanam bersama-sama Tidak menebang pohon sembarangan. Masyarakat
merasakan
bahwa
pembangunan
yang
selama
ini
diselenggarakan oleh pemerintah tidak menyentuh kebutuhan masyarakat, namun sebaliknya lebih memihak pada kepentingan pemerintah. Hal ini diakibatkan oleh karena
pemerintah
tidak
melibatkan
masyarakat
secara
langsung
dalam
68
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi jalannya kebijakan/program pemerintah. Oleh sebab itu, masyarakat berharap kedepannya pemerintah akan melibatkan masyarakat secara langsung dalam penyusunan program pengelolaan CAPC. Masyarakat tidak setuju dengan tapal batas CAPC yang hanya 250 m dpl. Masyarakat dibagian Utara Cycloop lewat Dewan Adat menolak keputusan ini dan mengusulkan agar tapal batasnya dinaikan menjadi 500 m dpl. Sebab untuk wilayah utara Cycloop sangat terjal, sehingga tidak memberikan ruang bagi masyarakatuntuk melakukan kegiatan. Untuk masalah ini belum mendapat tanggapan dari Pemerintah Pusat. Masyarakat melihat bahwa berbagai kebijakan pemanfaatan ruang seperti pembangunan
jalan
melintansi
CAPC
tidak
sesuai
dengan
tata
ruang
Kabupaten/Kota Jayapura, perizinan pemukiman akibat akses jalan, pertambangan golongan
C
dan
perkebunan
atau
perladangan
berpindah-pindah
yang
mengakibatkan kerusakan dan kekeringan sumber air sebagai akibat dari pemerintah tidak serius menangani permasalahan yang terjadi di Cycloop. Hal ini menunjukkan lemahnya koordinasi antara instansi terkait. Cuplikan wawancara tentang pandangan stakeholders yang berkepentingan dengan pengelolaan kawasan CAPC yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok adalah:
(1)
kelompok
stakeholders
mandat
sosial
utama,
(2)
Kelompok
stakeholders signifikan, (3) kelompok stakeholders bertentangan dan (4) kelompok stakeholders tidak relevan/sepihak, disajikan pada Lampiran 2. Dari Lampiran 2 diklasifikasikan pandangan para aktor sehubungan dengan pelestarian terhadap ketersediaan air di kawasan CAPC, para aktor pemerintah, swasta dan masyarakat adat memiliki pemahaman yang sama yaitu menyelamatkan CAPC dari kerusakan. Namun perbedaan yang menyolok adalah setiap aktor mempunyai kepentingan tersendiri, sehingga seringkali hal-hal yang menjadi kesepakatan umum masih tetap dilanggar. 4.10. Faktor Internal dan Eksternal (Analisis SWOT) Arahan Pengembangan Pengelolaan Untuk memperoleh formulasi strategi yang tepat, perlu menggunakan analisis SWOT, yang diawali dengan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal.
69
Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal kemudian dilakukan pembobotan, rangking dan skor dari masing-masing unsur, yang secara lengkap dan dilanjutkan dengan penetapan strategi pengembangan dengan menggunakan Matrik SWOT disajikan pada Tabel 13. Berdasarkan matrik analisis SWOT pada Tabel 13, maka arah strategi yang dibangun untuk pengelolaan CAPC antara lain: a.
Pemberdayaan lembaga masyarakat disajikan pada Tabel 14
b.
Penataan ruang disajikan pada Tebel 15
c.
Peningkatan SDM aparat pemerintah dan adat disajikan pada Tabel 16
d.
Koordinasi terintegrasi antar sektor disajikan pada Tabel 17
e.
Penegakan hukum disajikan pada Tebel 18
70
Tabel 13. Matriks Analisis SWOT Internal
Kekuatan (S) 1. Adanya institusi/kelembagaan adat yang berkaitan dengan pengelolaan CAPC 2. Memiliki KEHATI yang tinggi (Air, Flora, Fauna, Tanah) yang spesifik 3. Hak ulayat masyarakat adat 4. Sumber penghidupan masyarakat Kab/Kota Jayapura
Kelemahan (W) 1. Kurangnya SDM dibidang Konservasi 2. Lemahnya kekuatan pemimpin (ondoafi/ondofolo) termasuk nilai-nilai adat 3. Lemahnya manajemen kelembagaan adat dalam pengelolaan CAPC 4. Konflik atas batas-batas kepemilikan hak ulayat yang tidak jelas
Peluang (O) 1. Adanya dukungan kebijakan pemerintah (UU No. 22/1999 ttg Pemerintahan Daerah, UU No. 25/1999 ttg Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU No. 5/1990 ttg KEHAT, UU No. 24/1994 ttg Tata Ruang, UU No. 23/1997 ttg lingkungan hidup, UU No.41/1999 ttg Kehutanan, UU No. 21/2001 Otsus Papua, Kepres No. 32/1990 ttg Kawasan Lindung. 2. Dukungan program Kab/Kota Jayapura 3. Potensi Ekowisata untuk peningkatan PAD 4. Pola kemitraan Pemda, LSM, swasta dan Masyarakat adat
SO 1. Pemberdayan institusi adat untuk mendukung kebijakan pemerintah (S1 & O1-2) 2. Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat (S2 & O3) 3. Pemberdayaan stakeholder (S3-4 & O4)
WO 1. Peningkatan SDM dibidang konservasi guna mendukung kebijakan pemerintah (W1 & O1-2) 2. Peningkatan kapasitas dan Kapabilitas pemerintah dan masyarakat adat (W3-4 & O3-4) 3. Pemetaan hak ulayat
Eksternal
Ancaman (T) 1. Konflik kewenangan (pemerintah pusat dan daerah, Pemkot dan Pemkab, mayarakat dan masyarakat. 2. Pembukaan lahan untuk perkebunan (migran) 3. Penebangan liar dan eksploitasi SDA secara ilegal 4. Penambangan galian c 5. Pemukiman dan infrastruktur yang tidak sesuai dengan tata ruang 6. Lemahnya penegakan hukum
ST 1. Pengelolan terpadu antar instnsi pemerintah, adat, swasta, LSM dan PT (S1 & T1) 2. Revitalisasi tata ruang dan zonasi CAPC (S2 & T2-3) 3. Penegakan hukum (S4 & T6)
WT 1. Koordinasi lintas sektor/instansi adat dan pemerintah dalam manjemen pengelolaan SDA (W1, 4 & T2-5) 2. Peningkatan manajemen kepemimpinan adat dalam pembangunan dan penegakan hukum positif dan adat (W2-3 &T5-6)
71
Tabel 14. Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Tujuan Argumen
Kegiatan
Peningkatan kapasitas dan kapabilitas pemerintah, swasta, masyarakat adat Rendahnya kapasitas dan kapabilitas lembaga pemerintah, swasta, masyarakat adat/lokal sangat dipengaruhi oleh ketersediaan SDM dalam pengelolaan sumberdaya lahan di kawasan konservasi, mengakibatkan setiap lembaga merencanakan program tanpa memahami fungsi-fungsi dan status kawasan yang akan dikelola. Pemerintah Kabupaten dan Kota dapat melakukan komunikasi intensif pada pihak-pihak yang berkepentingan dengan kawasan CAPC untuk menentukan : Bagaimana fungsi masing-masing lembaga memberdayakan sistem dan personil yang mengerakan lembaga tersebut. Bagaimana Pemda mengikut-sertakan lembaga-lembaga masyarakat, swasta dalam pendidikan informal seperti kursus, pelatihan, dll.
Potensi hambatan
Hambatan yang dihadapi mencakup : Banyak lembaga adat dan swasta yang tumbuh berdasarkan kepentingan tertentu, bahkan lembaga pemerintah yang khusus konsentrasi mengelola kawasan konservasi juga tidak mempunyai kapasitas untuk menentukan kebijakan pengelolaan Pemerintah, swasta dan masyarakat tidak serius menagani isu lingkungan sebagai kebutuhan masa depan, namun melihat sebagai suatu larangan untuk melakukan berbagai kegiatan.
Dampak
Apabila dapat dijalankan dengan baik, kebijakan ini diharapkan dapat : Memberikan pemahaman bagi lembaga dan personil yang menjalankan sistem sebuah lembaga. Meningkatkan komunikasi antar lembaga untuk pengelolaan CAPC yang berkelanjutan Dengan adanya berbagai kepentingan lembaga yang dibangun oleh pemerintah, swasta dan masyarakat tidak menunjukan perubahan yang signifikan terhadap kerusakan sumberdaya lahan yang terjadi di CAPC, sehingga hal-hal yang harus diperhatikan : Perlu disensus kembali lembaga-lembaga yang berkepentingan dengan CAPC terutama visi dan misi lembaga. Perlu disensus kembali kegiatan lembaga-lembaga yang telah dilakukan dan perlu diukur tingkat keberhasilan dan kegagalan yang terjadi. Pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura mendata kembali semua lembaga yang melakukan kegiatan di CAPC
Potensi resiko
Program jangka pendek
72
Tabel 15. Penataan Ruang Tujuan
Sesuai dengan peruntukan
Urgensi
Kelemahan yang terjadi selama ini adalah ketidak konsistenan pihak pemerintah dan swasta dalam pemanfaatan ruang atau lahan yang mengakibatkan berbagai bencana, peningkatan luas lahan kritis, dan kerusakan terhadap sumberdaya hutan. Melakukan peninjauan terhadap rencana umum tata ruang (RUTRW) dari masing-masing pemda dengan cara : Melakukan koordinasi dengan sektor-sektor yang melakukan kegiatan dikawasan ini untuk tetap mematuhui RUTRW yang telah disepakati bersama sebagai dokumen publik dan representatif masyarakat. Memadukan batas-batas pemerintahan dengan batas adat Batas-batas tanah adat masih kental dalam masyarakat adat. Manajemen dalam pengelolaan hak milik adat yang dilakukan oleh adat sendiri masih bernuasa lama, seperti menyewa atau menjual tanah hanya untuk kepentingan keluarga tertentu, sehingga kadangkala terjadi konflik internal antar keluargakeluarga lain dengan si penjual lahan/tanah Apabila tidak disadari oleh pemerintah dan swasta, maka hal-hal yang akan terjadi: Konflik horisontal antara masyarakat dan masyarakat Konflik antara masyarakat dan pemerintah Kawasan konservasi dan potensi serta fungsinya akan sangat terganggu akibat berbagi kepentingan Merelokasi masyarakat dan semua kegiatan pembangunan yang bukan kegiatan konservasi. Penurunan sumber keuangan bagi masyarakat yang langsung memanfaatkan lahan di CAPC. Membatasi laju pembangunan pemukiman dan infrastruktur yang genjar dilakukan di CAPC
Kegiatan
Potensi Hambatan
Dampak
Potensi resiko
Kegiatan jangka pendek
Melakukan sosialisasi RUTRW dari kedua Pemda. Bersama-sama dengan masyarakat, pemerintah dan LSM melakukan tata batas ulang. Menghitung kembali luas lahan kritis dan penyebabnya serta luas hutan dan air serta potensi SDA yang ada di CAPC
73
Tabel 16. Peningkatan Sumberdaya Manusia dilingkungan Pemerintah Masyarakat Adat
dan
Tujuan
Kapasitas aktor pengelola kawasan konservasi
Urgensi
Kelemahan kerusakan yang terjadi pada daerah-daerah konservasi baik itu kerusakan hutan, lahan, keanekaragaman hayati seringkali di pengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya manusia baik dipihak aparat pemerintah maupun masyarakat adat, sehingga untuk hal ini harus dmenjadi perhatian serius oleh pemerintah maupun masyarakat Untuk menjawab ketersediaan SDM baik di pihak aparat pemerintah maupun masyarakat adat, maka harus dilakukan : Mengikutiberbagai pendidikan formal maupun informal yang sehubungan dengan bidang konservasi, kehutanan dan sumberdaya lahan. Mengikuti diskusi, seminar, lokakarya dan kegiatan informal lainnya yang dapat memacu pengetahuan akan pentingnya lingkungan hidup.
Kegiatan
Potensi Seringkali hambatan yang terjadi, adalah: hambatan Tidak tersedia biaya Minimnya informasi Tidak tersedia analisis kebutuhan oleh pihak pemerintah Apabila kegiatan ini tidak dilakukan, maka hal yang terjadi : Dampak Kurannya pengawasan terhadap kerusakan yang sengaja dilakukan Banyak sabotasi hak antara pemerintah dan masyarakat Terjadi konflik internal dan eksternal Potensi Kerusakan yang terjadi selama ini dapat diminimisasi dengan telah resiko tersedianya SDM yang handal. Terjadi persaingan antara personil dalam semua lembaga pemerintah maupun masyarakat adat Akan menjadi super body bagi para pelanggar aturan Kegiatan Mengikuti pendidikan farmal dan informal yang dibutuhkan sesuai jangka dengan analisis kebutuhan yang dilakukan oleh tiap lembaga. pendek Bekerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi / perguruan tinggi didaerah setempat untuk pengembangan SDM.
74
Tabel 17. Koordinasi Terintegrasi antar Sektor Tujuan
Keserasian kebijakan
Selama ini kebijakan yang ditetapkan sering tumpang tindih, hal ini diakibatkan oleh lemahnya koordinasi antar sektor, dan berbagai kerusakan yang terjadi dikawasan CAPC adalah lemahnya koordinasi, bahkan koordinasi antara pihak pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak harmonis walaupun telah berlangsung otonomi daerah, khusus untuk provinsi Papua telah berlangsung Otsus, namun tetap saja kebijakan masih mengikuti kebijakan pusat. Kegiatan Setiap akan disusun perencanaan pembangunan, maka setiap isntansi yang terkait harus diundang untuk mengikuti dan terutama keterlibatan masyarakat sangat penting. Keterlibatan masyarakat adalah sebagai objek dan subjek dalam pembangunan dan penentuan kebijakan. Potensi Egosektoral masih mendominasi koordinasi hambatan Budaya KKN memberikan andil Kepentingan ekonomi dan politik masih mendominasi konservasi Dampak Apabila program ini berjalan dengan baik, maka diharapkan : Tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan setiap sektor akan bekerja sesuai dengan misi dan visi yang telah disepakati secara bersama Menungragi indikasi KKN yang sangat susah untuk dibasmi. Potensi Kurangnya potensi sikap perkoncoan yang sering merugikan Resiko kebijakan Terjadi pembatasan bagi pihak-pihak yang seringkali menyalakan aturan Pembatasan bagi masyarakat yang biasanya menggunakan sumberdaya lahan sebagai sumber kehidupan. Kegiatan Membangun kerjasama antara pihak-pihak yang berkepentingan jangka dalam satu wadah yang dapat dikoordinir untuk sebuah tujuan. pendek Argumen
75
Tabel 18. Penegakan Hukum Menjalankan peraturan perundang-undangan untuk menghukum pelanggaran terhadapnya Kelemahan penegakan hukum selama ini menjadi faktor kunci tidak Urgensi terselenggaranya untuk mencapai pengelolaan kawasan konservasi dan berbagai sumberdaya alam yang dikandungnya, hal ini memberikan signal buruk bagi sektor ekonomi, karena praktekpraktek ileggal loging, penguasahan luas tanah dan ijin bangunan yang tidak didasari dengan ijin prinsip seperti IMB, dokumen AMDAL dan syarat lingkungan lainnya. Signal ini memberikan seuatu tindakan riil. Kegiatan Mengembangkan sistem yustisi yang kredibel bagi sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, pertanahan, agar arah pembangunan menjadi jelas, kegiatan dapat berupa : Melakukan koordinasi dengan kehutanan, pertanahan, pengadilan, Polda/Polres, TNI, PPNS. Menyatakan dengan jelas kepada masyarakat bahwa Pemerintah dalam upaya penegakan hukum Menjalankan proses hukum bagi kasus-kasus yang dianggap penting/prioritas. Potensi Terdapat ketidaksesuaian implementasi UU oleh pemerintah (pusat) hambatan dan pemerintah daerah Belum jelas UU mana yang harus dirujuk Banyak perbedaan pengistilaaan yang digunakan dalam UU yang memberikan larangan namun juga memberikan kelonggaran untuk melakukan kegiatan pada daerah-daerah tertentu. Tujuan
Dampak
Potensi resiko
Kegiatan jangka pendek
Apabila program ini dapat berjalan dengan baik, maka Hukum dihargai kerusakan sumberdaya lahan, hutan dapat diminimkan Pelestarian kawasan konservasi dan kawasan hutan dan lahan dapat dilestariakan dengan baik Penebangan, perladangan, permukiman dan pembangunan infrastruktur dapat direm. Pembatasan bagi masyarakat yang berinteraksi langsung dengan kawasan CAPC Penurunan sumber keuangan bagi daerah yang selama ini menggunakan ruang-ruang dikawasan konservasi untuk pembangunan dan ditarik retribusi. Potensi Konflik bagi masyarakat adat dan pemerintah, serta masyarakat lokal yang menggunakan kawasan ini sebagai sumber ekonomi Ancaman fisik bagi individu yang melakukan pelanggaran hukum Menetapkan kasus yang dianggap signifikan didaerah dan nasional dan dibentuk task force untuk menanganinya. Melakukan kegiatan penyuluhan tentang keluarga sadar hukum (kadarkum) oleh pihak pengadilan atau lembaga hukum lainya. Menghukum pelanggar hukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
75
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang analisis pengelolaan sumberdaya lahan pada cagar alam pegunungan cycloop di Kabupaten dan Kota Jayapura, disimpulkan sebagai berikut: 1.
Kesesuaian peraturan perundang-undangan dan fungsi kewenangan institusi yang terkait dalam pengelolaan kawasan konservasi CAPC
tidak secara
tegas dan tidak jelas, sehingga menyebabkan tumpang tindih kebijakan Pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura dalam implementasi RUTRW. 2.
Faktor pendorong seperti sikap dan prilaku masyarakat terhadap fungsi CAPC telah ditunjukan dalam bentuk
membangun komitmen antara pihak-pihak
yang berkepentingan untuk melestarikan CAPC. Faktor penghabat masih terlihat yaitu
yang
koordinasi antar sektor dan penegakan hukum yang
masih lemah. 3.
Sesuai dengan hasil analisis AHP dalam kerangka manfaat, skenario pengelolaan optimal
CAPC adalah Konservasi dan Pariwisata
(7.000),
Ekonomi (0,387) Lingkungan (0,750) dan sosial (0,250), atau B/C Ratio = 1, artinya tergantung dari stakeholder berkepentingan untuk membuat kebijakan guna pengelolaan CAPC. B/C Ratio alternatif permukiman dan infrastruktur (0,965) atau < 1, alternatif Perkebunan dan Pertambangan gol. C (0,901) atau < 1, untuk kedua alternatif ini tidak layak dikembangkan. 4.
Sumber air bersih yang digunakan oleh penduduk Jayapura berjumalah 12 sungai/kali dengan total ketersediaan 606 liter/detik. Nilai ekonomi air yang harus dibayar berjumlah Rp. 6.570/org/tahun. Sedangkan untuk penduduk Kabupaten Jayapura yang berinteraksi langsung dengan kawasan CAPC berjumlah Rp. 6.966.000/tahun dan penduduk Kota Jayapura berjumlah Rp. 28.461.240/tahun
5.
Hasil Analisis SWOT tentang pengembangan CAPC masih terhambat karena tumpang tindih tugas dan fungsi serta kewenangan, lemahnya koordinasi serta perbedaan pemahaman tentang konservasi pada tataran stakeholders (Pemerintah, Masyarakat Adat, Swasta/Dunia Usaha, Perguruan Tinggi dan LSM).
76
5.2. S a r a n 1.
Kebijakan dalam bentuk program-program Pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura yang selama ini tidak terkoordinasi dan terintegrasi, disarankan perlu ditinjau kembali.
2.
Beberapa tempat di Kawasan CAPC yang sudah rusak saat ini disebabkan oleh aktivitas pembangunan, disarankan dapat dikonversi (terutama wilayah Kota Jayapura) dan diikuti dengan penataan sehingga tidak semakin luas kerusakan di waktu mendatang.
3.
Perlu dilakukan penataan institusi yang menyangkut peraturan perundangundangan serta kejelasan tugas dan fungsi serta kewenangan setiap lembaga/institusi yang terkait dengan pengelolaan CAPC, terutama kepada Pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura.
77
DAFTAR PUSTAKA Bapedalda Provinsi Papua. 2003. Valuasi Ekonomi Cagar Alam Cycloops. Jayapura. BPS Kabupaten Jayapura. 2001. Kabupaten Jayapura dalam Angka. Jayapura. BPS Kota Jayapura. 2001. Kota Jayapura dalam Angka. Jayapura BPS Provinsi Papua. 2001. Papua dalam Angka. Jayapura. Camille, B. 1998. The Economic Valuation of Tropical Forest Land Use Options A Manual for Researchers. International Institute for Environment and Development (IIED). London. Conservation International. 1997. The Irian Jaya Biodiversity Conservation Priority Setting Workshop. Jayapura. Darusman, D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor De Fretes, Y. R.G. Petocz. J.B. Ratcliffe. 1984. Cagar Alam Pegunungan Cycloop Irian Jaya. Rencana Pengelolaan 1985-1986. WWF Irian Jaya. Jayapura. De Fretes, Y. 1999. Latihan Dasar Survey Biologi Yongsu, 6-22 September 1999. CI Program Papua. Jayapura. Departemen Dalam Negeri. 2000. Himpunan Peraturan Pemerintah yang Berkaitan dengan Otonomi Daerah, 1999 – 2001. Departemen Dalam Negeri. Jakarta Departemen Kehutanan RI. 2003. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998. Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Kawasan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem. Jakarta. DPMA-DU. 2001. Penyelenggara Lokakarya Kesepakatan Penentuan Zonasi dan Penetapan Hutan Lindung Adat. Jayapura. Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Farid, M. 2003. Potensi dan kekhasan di kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Materi Semiloka Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. CI Program Papua. Jayapura. Farouk, M. dan Djaali. 2003. Metodologi Penelitian Sosial. PTIK Press. Jakarta. Hadi, S.T. 2002. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Harvindo. Jakarta.
78
Kalilago, R. dan M. Jigwa. 1998. Tekanan dan Ancaman di Sebelah Selatan Cagar Alam Pegunungan Cycloop/Dafonsoro. WWF Sahul Region. Jayapura Kartodihardjo, H. 1998. Peningkatan Kinerja Pengusaha Hutan Alam Produksi Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lamusa, T. J. Maturbongs, B.V. Mambay. 1991. Interaksi Masyarakat Terhadap Potensi Sumberdaya Alam di Daerah Penyangga Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops/Dafonsoro Propinsi Irian Jaya. Program WWF di Irian Jaya. Jayapura. Latief. 2003. Penguatan Institusi Pengelolaan Hutan Alam Produksi dalam Rangka Otonomi Daerah di Maluku Tengah [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Malik, I. B. Wijardjo. N. Fauzi. A. Royo. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan. Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam. Yayasan Kemala. Jakarta. Mandosir, R. J.P. Kamawa. Jawardi. R. Tanjung. E. Giay. L. Pangkali. D. Rumaropen. B. Nainggolan. K. Kailola. T. Wakum.. T. Tuharea. T. I. Yakobus. 2004. Potret Kawasan dan Rencana Umum Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Cycloop. Pokja Multipihak Cycloop. Jayapura. Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta. PKBI Papua dan NRM III Program Papua. 2003. Baseline Survei Aspek Sosial Fisik Sekitar Kawasan Cagar Alam Cycloop di Wilayah Kabupaten dan Kota Jayapura. Jayapura. Performance Oriented Regional Management. 2001. Perencanaan Bersama Masyarakat di Kabupaten dan Kota Jayapura. Jayapura Perusahan Daerah Air Minum. 2001. Materi Sosialisasi Air di Jayapura. Jayapura Petocz, R.G. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan di Irian Jaya. Grafiti Pers. Jakarta Pemerintah Kota Jayapura. 2003. Potensi Ekonomi Kota Jayapura. Jayapura Pemerintah Provinsi Papua. 2001. Rencana Strategi Pembangunan Provinsi Papua 2001 - 2005. Jayapura Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 Tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat. Jayapura. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Pembentukan Kota Jayapura. Jayapura
79
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Jayapura Rianto, A. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Granit Jakarta. Rosalinda, E. 2002. Nilai Ekonomi Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Kontribusinya terhadap Masyarakat Sekitar [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sahwan. 2002. Analisis Kebijakan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Studi Kasus TAHURA Sesaot Provinsi Nusa Tenggara Barat) [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Santoso, M.A. 2003. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia Menuju Pembangunan Desentralisasi dan Peranserta Masyarakat. Kerjasama ICEL dan NRM Program Indonesia. Jakarta Singarimbun, L. dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Sitorus, R.P. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi III. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Sumule, A. 2003. Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suporaharjo. 1999. Inovasi penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin. Bogor. Tomboelu, N. D.G. Bengen. V.P.H. Nikijuluw. I. Idris. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang di Kawasan Bunaken dan Sekitarnya, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 3 (1) : 51-67. PKSPL. IPB Van Royen, P. 1963. Setulum Papuanum 7, Notes on the vegetation of south New Guinea Nova Guinea Botany 13 :196-241 Watori, K. 2003. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1995 dalam Pembangunan Kota Jayapura [Tesis]. Pascasarjana UGM. Yogyakarta. Widarti, A. 2001. Studi Permintaan Hidrologi Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Gede-Pangranggo [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1.
Tabel 11. RENCANA UMUM PENGELOLAAN CAGAR ALAM CYCLOOP 2003 – 2013 Æ atau 2004 – 2014 Alternatif Tindakan
Aktor Utama
1 2 I. PROGRAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN 1. Menyiapkan rancangan produk hukum (PERDA) yang mengatur tentang perencanaan pembangunan dengan memperhatikan aspek sosial, budaya, geografi, dan demografi secara partisipatif.
BAPELDALDA DAN BIRO HUKUM, DPRD
Pendukung 3 DPRD, BP3D, BPN, BKSDA, DINSOS, PT KIMPRASWIL, LMA, dan LSM Peduli Lingkungan.
2. Penyusunan dan Penetapan (Rekontruksi) kembali Pengelolaan sumber daya alam di CA. Cyclop dengan memperhatikan aspek geografis, sosial-budaya dan demografi.
BPKH, BAPELDALDA, BKSDA
3. Sosialisasi Kebijakan Peren canaan & Kebija kan lainnya yang berhu bungan dgn pengelola an CA. Cycloop. 4. Perencanaan tata ruang mikro
BAPELDALDA, DISHUT, BKSDA
BIKDA, RRI, Media Cetak LSM, LMA, PT TOGA,
BAPPEDA/ BP3D,
KIMPRASWIL,
BPN, BP3D LSM, LMA
Peran 4 Utama: Pendukung: a. Mengkaji dan merumuskan kebijakan yang berhubung -an dengan pengelolaan CA.Cycloop. b. Menetapkan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan Pengelolaan Kawasan CA. Cycloop. c. Bertindak sebagai narasum ber dalam kegiatan upaya pengelolaan kawasan CA. Cycloop. d. Sebagai implementor ber bagai kegiatan yang rele -van dengan TUPOKSI yang dimiliki dalam rangka pengelolaan Kawasan CA. Cycloop. e. Menjalankan fungsi kontrol bagi pihak-pihak lain yang melaksana kan aktifitas pembangunan baik di dalam maupun diluar kawasan. f. Kajian Akademik a. Overlay peta yang telah dipakai oleh masyarakat dan defacto sebagai fungsi lindung; b. Menginclave arael yg digunakan rakyat keluar dr kawasan c. Mengukuhkan kawasan yang telah direkonstruksi a. Penggandaan seluruh produk hukum; b. Menyepakati sistim sosiali sasi c. Pelaksanaan sosialisasi a. Penyusunan perenacanaan tata
Tata Waktu 1-3
4-6
7-10
5
6
7
V
Output
Kriteria Sukses/ Hambatan
Sumber Dana
8
9
10
Perencanaan Perda & Tata Ruang Mikro
1 – 4 : Pendanaan, Sumber daya manusia, konflik ke-pentingan, tumpang tindih kepen tingan, batasbatas wi- layah adat, dan perspektif.
APBD, Provinsi
Konstruksi Pengelolaan SDA CA.Cycloop.
-Tersedianya tata ruang mikro, dan Master Plan (Peta tata batas) Penge lolaan CA. Cycloop.
APBD PROVINSI
V
V V
V V
V
V V V
V
V
V V V
vV V V
vV V V
Sosialisasi Perenca – naan Kawasan CA. Cycloop
- Keterlibatan Masyarakat Dalam Penanganan dan Pengelolaan CA.Cycloop
APBD I/II,; APBN, SEKTORAL
V
V
V
Tata ruang mikro
- Tersedianya hasil evaluasi Dan tim
APBD I/II,
Lampiran 1. (Lanjutan) dan pemantauan pengendalian
5. Mensinergikan programprogram pemerintah di kawasan CA.Cycloop 6. Penyediaan infrastruktur di kawasan untuk mendukung distribusi ekonomi dan pengawasan CA.Cycloop 7. Pendataan penduduk pada kawasan sekitar CA.Cycloop.
81 DISHUT, PARAWISATA, PT
Bapedalda, BP3D BKSDA dan Dinhut, Perindagkop BPS (Mantri statistik), Dinas Kependudukan
8. Inventarisasi kebijakan yang berkaitan dengan kependudukan.
PT (pusat studi kepen dudukan Uncen)
9. Legitimasi terhadap potensi akar budaya & kelem bagaan adat. 10. Relokasi bagi masy. Migran yg mendiami kawasan CAC)
Tomas Dinas Kebudayaan Dinas P dan P DPRD Kota/Kab Dinas PU, Tata Kota, BP3D Prov, Bappeda Kota & Kab,Dinkesos (Prov,Kota, Kab), LMA
PERIKANAN LMA, dan LSM Peduli Lingkungan.
LMA, BKSDA Bapedalda dan BP3D
Dinas Kehutanan/ BKSDA, Distrik, Kelurahan/kampung, LSM, Lembaga agama 1. Biro/Bagian Hukum) 2. Dinas Kependudukan 3. Legislatif 4. Tata Pemerintahan Pokja
P & P, Kesehatan, Koperasi & UKM, Pertanian,Perkebunan, BPN, Trantib, Bapedalda, POLRI
ruang mikro dan potensi kawasan secara partisipatif b. Memadukan aspirasi dengan potensi yang tersedia serta masalah yang dihadapi a. Mempersiapkan rakor khusus dalam penanganan program CAC Cycloop a. Survei alokasi infrastruktur b. Membangun infrastruktur kawasan
V
V
V
V
V
V
V V
V V
V V
peman tau yang independen (LMA, LSM, PT)
Penyatuan Program Kawasan CA Cycloop Sarana Penunjang
- Terpadunya Program diantara instansi -Tersediannya hasil kajian infrastruktur -Adanya infrastruktur
APBDI/II APBN
Pemasaran hasil tidak dapat dilakukan , arogansi legislative dan eksekutif, ketidak pahaman masyarakat utara dan selatan dan kondisi fisiografi yang berat. Data/daftar kebijakan kependudukan kawasan CAC
APBD/APBN, Donatur
Pengakuan Hukum Adat
- Pengakuan terhadap hak adat - Ada dikurikulum Mulok
APBN APBD Donor
Pemindahan Migran
1. Lokasi Pemu kiman (Sarana/ prasarana)
APBD/APBN, Donor
- Pengumpulan dan analisis data kepen dudukan - Sumber data sekun der
20042005
Baseline Survey
a. mengumpulkan ke bijakan tentang kependudukan b. Menyediakan infor masi kebijakan ke pendudukan -
tahun I
Data Pendudukan Kawasan CA. Cycloop Cycloop
- Melakukan survey awal dan calon lokasi
V V
V
- Melakukan relokasi
12. Pembangunan Pusat Pendi dikan laboratorium lapangan.
Bapeldada
Dinas Kependudukan & catatan sipil, PU, Perindag, Pertanian, Kelautan, Pertanahan, Pariwisata, Kehutanan, Bapedalda, LMA
- Mensosialisasikan Rencana tats ruang Kota/Kab. kepada publik
Survei lokasi di luar kawasan Pembangunan
APBD, Donor
3. Masyarakat menem pati lokasi yang baru V
Tata Ruang Wilayah & Kota
- Merevisi Rencana tata ruang kota/ kab. Yang meng akomodir kebutu han MA a. b.
ABPD I/II DAN APBN
2. Kesadaran mas yarakat untuk pindah ke lokasi yg ditentukan
- Penyadaran kepada masyarakat un tuk dipindahkan - Mendukung dan me leng kapi pelak sanaan relokasi
11. Advokasi Kebijakan tentang Bappeda Kota/Kab, Dinas rencana Tata Ruang wilayah Tata Kota/Kab dan Kota.
Sektoral
RDTRK. Yang mem pertimbangkan CAC.
- APBN - APBD - Donor
V
V
Lab. Alam
APBD I APBD 1
APBN,
Lampiran 1. (Lanjutan) 13. Pemetaan Partisipatif tentang tanah-tanah adat masyarakat sekitar CA. Cycloop. 14. Aturan-aturan PSDA Berbasis Masyarakat Adat
82
BPKH, LSM, Konsursium Jaringan Pemetaan Partisipatif, MA, BPN, Tata Kota, Bappeda. LMA, Masyarakat adat,
Bakosurtanal, TOPDAM, Distrik/Kampung/Lurah, Tomas/Toga Pokja DPR, Pemda, LBH, HAM Prov/kota/kabupate, Depkeh
- Memfasilitasi kegiat an pemetaan bersa ma Masy. Adat - Melaksanakan kegia tan pemetaan - Menyediakan infor masi awal kegiatan pemetaan Fasilitator, Pelaksana
2004 -2006
20052007
Hak Ulayat
1. Dalam tahun I ada peta hutan 2. Dalam Tahun III ada peta tanah adat
APBD, APBN, HANKAM, Sumber lain/Donor
Hukum Adat
Adanya pengakuan, Peraturan serta kesadaran Hambatan : Kesadaran masyarat kurang
Donatur
Lampiran 1 (Lanjutan ) Aktor
Alternatif Tindakan 1
Utama
Pendukung
2
3
Peran
Tata Waktu
Output
Kriteria Sukses/ Hambatan
Sumber Dana
8
9
10
1-3
4-6
7-10
4
5
6
7
Membuat usulan kegiatan studi Inventarisasi buda ya lokal Desiminasi hasil studi Menyediakan infor masi tentang bu daya - Menginisiasi & Mendorong proses pembentukan POKJA serta legitimasinya.
V
Laporan hasil studi
V
Pembentukan Pokja
II. PROGRAM KELEMBAGAAN PENATAAN KAWASAN 15.
Studi keanekara gaman budaya dan lembaga adat.
PT LMA LSM
- Litbangda - Bapedalda - Dinas Kebudayaan - Pokja
16.
POKJA Perencanaan Multi Pihak Pengelo laan Kawasan CA. Cycloop
Instansi Pemerintah Dunia Usaha PT, LMA, LSM
- NRM III Program
-
1. Adanya dokumen tentang keaneka ragaman budaya 2. Adanya dokumen lembaga adat 1. Adanya dokumen kelembagaan POKJA & SK Gubernur. 2. Data Informasi Kawa san CA. Cycloop & Ren cana Umum Pengelola an Kawasan CAC.
APBN - APBD - Donor - APBD - Donor
83 Lampiran 1 (Lanjutan) Aktor
Alternatif Tindakan
Utama
1 2 III. PERLINDUNGAN & REHABILITASI KAWASAN
Peran
Pendukung 3
4
17.
Rehabilitasi Lahan Kritis
Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, BKSDA, BPDAS Mamberamo
PDAM, Bapedalda, LSM, Swasta, PT/PTS, Pramuka
Fasilitator, Pelaksana
18.
Reboisasi tanaman bernilai ekonomi dalam masyarakat atau kelompok-kelompok suku yang ada disekitar CA.Cyclop.
BKSDA
Kehutanan, Bapeldadan dan PT, MA
a. b. c.
DPRD kota/Kabupaten, BPN, BP3D,Pemda
Fasilitator. Pelaksana
19. Rekonstruksi PAL batas CAC, penetapan PAL batas Adat
BPKH, BKSDA, DISHUT, Dewan Adat
Survei kesesuaian lahan Sosialisasi dan proses kerja Pengadaan, penanaman dan pemeliharaan
Tata Waktu 1-3
4-6
7-10
5
6
7
V
20052007
Kriteria Sukses/ Hambatan
Sumber Dana
8
9
10
Penanggulangan lahan kritis
20052009
V
Output
V V
Peningkatan Ekonomi Rakyat
Pal Batas CA Cycloop
Berkurangnya lahan kritis, Peningkatan pendapatan masyarakat, debet air meningkat -Meningkatnya hasil tanaman yang dipasarkan oleh Masyarakat
APBN (DR), Donatur
ada Pal Batas tetap,pal batas adat dan pengakuan
APBN Donatur
Hambatan : Lambatnya persetujuan dari pusat,MA
APBD I/II
84 Lampiran 1 (Lanjutan)
Alternatif Tindakan
Aktor
Peran
Utama
Pendukung
2
3
POLHUTS/PPLH, PDAM, Kehutanan, BKSDA,Dewan Adat, PPNS
Masyarakat Adat (lingkungan), TOGA, TOMAS, Developer,TNI/POLRI
Fasilitator, Pelaksana
BKSDA LMA Bepedalda Dispenda .
Pokja LSM PT Ormas (asosiasi, dll) Polri
-
1
4
Tata Waktu 1-3
4-6
7-10
5
6
7
Output
Kriteria Sukses/ Hambatan
Sumber Dana
8
9
10
IV. PENEGAKAN HUKUM 20.
Pengamanan & Pengawasan Daerah Tangkapan Air dan Sumber Air
21. Partisipasi masya rakat dalam peng amanan & perlin dungan CAC. 22. Patroli dan Monitoring Pengamanan Kawasan
-
Membuat rencana pengamanan & per lindungan bersama Melaksanakan ke giatan pengaman an pada CAC Penegakan hukum
Continue
Pengelolaan Sumber Air Bersih
Debet air stabil, aman, sumber air tidak tercemar dan tidak ada tuntutan hak ulayat
APBN (DR) Donatur
V
1. Sistem bagi hasil PSDA 2. Penentuan & penetapan tata batas 3. Pengamanan & perlind. CAC 4. Perencanaan bersama masy. 5. Eksternal cost pada PDAM untuk biaya perbaikan lingk. CAC (dipadukan dengan kelompok I)
1. Retribusi lancar 2. dokumen perencanaan partisipatif 3. Tapal batas jelas & diakui MA 4. Usaha baru
APBN APBD Donor DR PDAM
85 Lampiran 1. (Lanjutan) Alternatif Tindakan 1
Aktor Utama
Pendukung
2
3
Peran 4
Tata Waktu 1-3
4-6
7-10
5
6
7
Output
Kriteria Sukses/ Hambatan
Sumber Dana
8
9
10
V. PROGRAM PENYADARAN PUBLIK 23.
Sosialisasi CA. Cycloop
Dewan adat, PDAM, DISHUT, Bapedalda, Pertanian, Perkebunan, BKSDA
Toga, Pemerhati lingkungan Media Cetak, Elektronik, ifokom,BIKDA
Fasilitator, Pelaksana
20052007
24.
Gerakan Sadar Lingkungan
BAPEDALDA,PT, BKSDA,LSM, KEHUTANAN
Pramuka, Pencinta Alam, Kelompok Peduli Lingkungan
Fasilitator, Pelaksana
Continue
Sosialisasi Hukum Adat dan Hukum formal serta pelatihan hukum
DPMA, LBH,Depkeh HAM, Biro hukun Pemda, Elsham
BPMD,LSM,PT (Fak.hukum)
Fasilitator, pelaksana
25.
Program Aksi
2006-dst
Sadar Hukum
1. Adanya peran aktif dari masyarakat di kawasan CA. Cycloop. 2. Berkurangnya aktifitas yang mengancam kawasan CA Cycloop akibat kebijakan publik 3. Masa bero (istirahat) di perpanjang Hambatan : Tidak tersedianya dana, konflik, Sosial Budaya, Egosektoral
APBD, APBN, DONATUR
Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan Hambatan kurangnya kesada ran masyarakat terhadap ling kungan Kurangnya pema haman masyarakat Terhadap lingkungan (konservasi),Dan Kebakaran Hutan, tidak adanya biaya pemeliharaan, iklim Pengawasan yang rendah dan dana Terbatas Meningkatnya kesadaran hukum pada masyarakat Hambatan :
Donatur.APBN (dana reboisasi)
APBD, APBN, Donatur
Lampiran 1. (Lanjutan)
26.
27.
Penyuluhan, Pendampingan dan Pelatihan.
Dialog Lintas Etnis
86
BKSDA LSM Bapedalda Dinas Kop. & UKM Dinas Sosial Instansi teknis yang berkaitan (pertanian, perkebunan, kehutanan)
LMA Pemerintah Kelompok (paguyuban)
- LMA - LSM - PT - Lembaga Penelitian - PDAM - Pokja
- Pokja - Media masa Etnis
-
Memberikan infor masi yang dibutuh kan (Transfer Tek nologi)
-
Penelitian, Peng embangan dan pe mecahan masalah.
-
Pengkajian & Peng embangan Potensi akar budaya.
-
Fasilitator & Media tor.
-
Mencari & menyiap kan dana.
-
Pembinaan.
- Memfasilitasi forum dialog - Penyebaran informasi
V
V
V
1. 2. 3.
V
V
V
Informasi CA. Cycloop ( fungsi, tata batas) Penggalian potensi sosial ekonomi masyarakat. Manj. usaha kecil/produktif
- Adanya dialog antara MA dengan pemerin tah (instansi teknis) serta kelompok Etnis
Belum terciptanya sinkronisasi hukum antara hukum adat dan hukum formal 1. Teknologi yang sesuai & diman faatkan masyarakat 2. Diketahui potensi Sosek 3. Menurunnya luas perladangan 40% di tahun ke III 4. Pengenalan tek nologi tepat guna bagi masya rakat Kesepakatan tertulis
APBN, APBD, DONOR
APBN, APBD, DONOR
87 Lampiran 1. (Lanjutan) Alternatif Tindakan
Aktor Utama
Peran
Pendukung
4-6
7-10
4
5
6
7
a. Melakukan riset terapan b. Melakukan promosi potensi wisata c. Menjadi fasilitator dan implementator dalam pengelolaan kawasan CA.Cyclop. d. Pengenalan dan penggunaaan tehnologi tepat guna pada masyarakat. e. Sosialisasi peran pendampingan kepada stakeholder lainnya yang memiliki komitmen dalam pengelolaan kawasan CA.Cyclop. f. Melakukan konsultasi terhadap berbagai program yang dilakukan oleh para stakeholder disekitar kawasan CA.Cyclop. a. Menjajaki jenis TTG yang sesuai dengan masyarakat; b. Pelatihan dan pengenalan produk-produk
V V
V V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
a. Memperkenalkan produksi ke pasar b. Mempromosikan c. Memproteksi produk unggulan
V
V
V
V V
V V
V V
V V
V V
V V
1 2 3 VI. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN 28.
29.
30.
31.
32.
Pengembangan Ekonomi Kerakyatan berbasis lingkungan
Penerapan teknologi tepat guna dalam rangkan meningkatkan ekonomi masyarakat disekitar kawasan CA.Cycloop. Membantu tata niaga untuk produk-produk rakyat yang dihasilkan masyarakat di sekitar kawasan . Memotivasi lembaga keuangan untuk menunjang kegiatan ekonomi rakyat Pelatihan Tehnik Konservasi
LMA, Dinas Pariwisata, Deperindakop, PT
BPMD, PT,BALITBANG
PerindagKop, BPID
Bappeda/BP3D, Perbankan pertanian, LSM, Perikanan, Biro Perjalanan
Perindagkop, Perbankan, LSM, Dinsos&Kesejahteraan
Masyarakat adat, LSM, Swasta, KADIN
Tata Waktu 1-3
BPID & Perbankan
LSM
a. b.
Memberikan tax holiday; Memudahkan pelayanan dan memperpendek birokrasi
BKSDA,LSM, PT BAPEDALDA,BP DAS
DPMA,PT,LSM PDAM
Fasilitator, Pelaksana
20052007
Output
Kriteria Sukses/ Hambatan
Sumber Dana
8
9
10
SD Ekonomi berbasis rakyat
-Tersedianya hasil kajian ekonomi berbasis lingkungan -Taraf hidup masyarakat meningkat - Mengurangnya kerusakan lingkungan - Jumlah kunjungan Wisnu & Wisman 5 – 11 : belum adanya pendampingan yang kontinyu , terbatasnya sumber daya manusia, dana dan waktu, konflik berbagai kepentingan, defenisi serta standarisasi.
APBD I/II; APBN, Swasta (BUMD/BUMN/ Donatur)
APBD I/II, Swasta
Peningkatan Ekonomi rakyat
Pemasaran Hasil Produksi
- Tersedianya Pasar bagi produksi rakyat
Perbankan
-Adanya akses penguatan modal
Pelatihan Konservasi
Meningkatnya kemampuan tehnik
APBD I/II
APBD,APBN BKSDA
Lampiran 1 (Lanjutan )
88 33.
Pemberdayaan ekonomi kerakyatan
BKSDA LSM Bapedalda Dinas Kop. & UKM Dinas Sosial Instansi teknis yang berkaitan (pertanian, perkebunan, kehutanan)
- LMA - LSM - PT - Lembaga Penelitian - PDAM
a. Memberikan infor masi yang dibutuh kan (Transfer Tek nologi)
V
V
V
b. Penelitian, Peng embangan dan pe mecahan masalah. c. Pengkajian & Peng embangan Potensi akar budaya.
1. Informasi CA. Cycloop ( fungsi, tata batas) 2. Penggalian potensi sosial ekono mi masyarakat. 3. Manajemen usaha kecil/produktif
d. Fasilitator & Media tor. e. Mencari & menyiap kan dana. f. Pembinaan.
34. Meningkatkan ketrampilan perempuan
Badan Pemberdayaan Perempuan Papua
PKK,Gabungan Organisasi Wanita, FKPPAB
a. b.
35. Peningkatan listrik pedesaan melalui PLTA mikrohidro di masyarakat.
36. Studi kebutuhan masyarakat
Dinas pertambangan, BUMN, Pemda Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura,Masyarakat setempat. Pemerintah Provinsi. PT Litbang LSM.
a. b.
LMA Ormas
Sumber: Pokja Multipihak, Potret Cycloop (2003)
Menidentifikasi tokoh-tokoh perempuan di sekitar kawasan Meningkatkan kemampuan perempuan; Survei dan rancang bangun Pembangunan mikrohidro Pengembangan model pendidikan fasilitator.
- Membuat rencana pengamanan & perlindungan bersama. - Melaksanakan kegiatan pengamanan pada CA. Cycloop
V
konservasi masyarakat 1. Teknologi yang sesuai & diman faatkan masyarakat 2. Diketahui potensi Sosek 3. Menurunnya luas perladangan 40% di tahun ke III 4. 4. Pengenalan tek nologi tepat gu na bagi masya rakat
APBN - APBD - Donor
Keterampilan Tradisional
-Meningkatnya keterlibatan perempuan dalam pengelolaan SDA
APBD I/II,
V
Listrik masuk desa
15 – 16 : belum teridentifikasi
APBD I/II
V
data masyarakat
Data base kebutu han masyarakat
APBN, APBD Donor
V
V
V
kebutuhan
Lampiran 2. Tabel 12. Kelompok Stakeholder Mandat Sosial Utama STAKEHOLDER UTAMA Pemerintah: BKSDA Wilayah I Bapedalda Kab & Kota Jayapura Kimpraswil Komisi F DPRD NON Pemerintah : LSM Pemerhati Lingkungan Masyarakat LMA / DMA Pencinta Kehati : Kelompok POKJA (proses SK. Gub)
KEPENTINGAN • Konservasi Flora & Fauna • Penataan tata batas Pengawasan dan Pengedalian Dampak Lingkungan Penataan Pemukiman Melakukan fungsi kontrol pengawasan & Upaya konservasi Pengelolaan CA berdasarkan Hak asazi memperjuangkan pengakuan Hak Masyarakat Adat atas tanah, harta, air, dan udara Pemeliharaan flora & fauna untuk kepuasan batin Pelestarian sumber-sumber kehidupan di CAC
Kelompok Stakeholder Signifikan STAKEHOLDER SIGNIFIKAN
KEPENTINGAN
Perguruan tinggi
Tridarma (Pendidikan, penelitian, pengabdian)
Dinas Pariwisata (Prov, Kab, Kota) Biro Perjalanan (Tourism) Dinas Pertanian/ Perkebunan
Promosi wisata alam dan historis rakyat Budidaya tanaman pangan
TNI dan POLRI
Keamanan dan penegakan hukum SDA
LSM
Data base kehati, pemberdayaan kelompok masyarakat
Badan Pertanahan
Pemetaan
Dinas tata kota Jpr
Penataan ruang kota
Dinas Pertambangan Provinsi
Data geologi
Dunia Usaha (PDAM) + Perusahaan Air Kemasan Dinas Perikanan & Kelautan (Prop,Kota, Kab)
Data air (keadaan sumber-sumber air) Pengelolaan air untuk budidaya ikan
90
Lanjutan ( Lampiran 2) Kelompok Stakeholder Bertentangan STAKEHOLDER BERTENTANGAN PT. KARSATAMA
Pengambilan Bahan Galian Gol C
PT. BINTANG MAS
Pengambilan Bahan Galian Gol C
PT. BUMAKUMAWA
Pengambilan Bahan Galian Gol C
CV. SARIRA
Pengambilan Bahan Galian Gol C
Bintang Mas
Perumahan dan real estate
DPU Kotamadya Jayapura
Pembuatan jalan Waena – Skyline
Dinas Kehutanan Kab JPR
IPK
Dinas Tata Kota Jayapura
IMB untuk perumahan Jaya Asri
PU Kabupaten
Pembangunan jalan alternatif
Masyarakat Migran
Berkebun, Pemukiman
Rindam XVII Ifar Gunung
Penebangan Kayu
Rindam
Lapangan golf
Penebangan Liar (OTB)
Eksploitasi Kayu Swang
OTB
Eksploitasi Anggrek dan Pakis
Masyarakat Lokal
Penebangan Kayu
KEPENTINGAN
Kelompok Stakeholder Tidak Relevan STAKEHOLDER TDK RELEVAN Kesehatan Infokom Dispora Dinas Agama Dinas perhubungan BKKBN Kesbang Arsip daerah Bawasda
KEPENTINGAN Tidak memberikan manfaat langsung kepada pengelolaan cac tetapi ada kontribusi kepada masyarakat berupa layanan kesehatan Menyajikan informasi lisan dan tulisan lewat media-media kepada publik. Sama sekali tidak relevan Kejadian 2 : 15-17 mewartakan nilai agama yang relevan dengan lingkungan Memfasilitasi survei dan potret udara Pengendalian pertumbuhan penduduk dan kesehatan ibu dan anak Tidak ada sama sekali Arsip penelitian, data dan kajian, referensi dll Pemantauan lapangan proyek-proyek di kawasan CAC
91
Lampiran 3.
Hierarki Untuk Menangkap Faktor Penghambat terhadap Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan lahan Dalam Rangka Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota Jayapura
Kinerja Kebijakan Pengelolaan
AKTOR
Bupati / Walikota
DPRD Kab/Kota
Dinas Terkait. Kab/Kota
Pakar Perguruan Tinggi
Elit Masy. lokal dan Elit Adat
Pengusa ha (Swasta)
FAKTOR PENGHAMBAT
Tdk ada Insentif thd Pelestarian SDL
Lemahnya kap. dan kapabilitas birokrasi
Self Inter est Tdk Selaras Tuj Program
Koordinasi Lemah ant Multi Pihak Pusat-Da.
Ketidakpastian hukum
ALTERNATIF SOLUSI
Kepastian Kebijakan Penyelenggaraan OTDA
Property Right Sumberdaya lahan
Pembaharuan Kebijakan Dapat Terwujud
Koordinasi Antar Pihak
Pembaharuan Kebijakan Tidak Dapat Terwujud
Informasi Ttg SDA Minimal
LSM
92
Lampiran 4.
Hierarki Untuk Menangkap Faktor Pendorong terhadap Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan lahan Dalam Rangka Otonomi Daerah di Kabupaten / Kota Jayapura
Kinerja Kebijakan Pengelolaan
AKTOR
Bupati / Walikota
DPRD Kab/kota
Dinas / Badan Terkait Kab/Kota
Pakar Perguruan Tinggi
Elit Masy. lokal dan Elit Adat
FAKTOR PENDUKUNG
Aturan dan Pengakuan Hak Adat
Sikap Perilaku Masy. lokal
Pandangan selaras dgn may.adat
Komitmen Kuat antar Stakeholder
ALTERNATIF SOLUSI
Penguatan Institusi Daerah
Kebijaksanaan di dasarkan sense of community
Pembaharuan Kebijakan Dapat Terwujud
Kesepakatan stakeholders
Pembaharuan Kebijakan Tidak Dapat Terwujud
Pengusa ha (Swasta)
LSM
93
Lampiran 5. Kuesioner AHP Pemilihan Pengelolaan CAPC (Responden: Pengambil Keputusan/Informan Kunci) Kuesionar ini dimaksud untuk mengindentifikasi elemen-elemen yang dapat berpengaruh terhadap pengelolaan cagar Alam Peg. Cycloop. Tahapan yang dilakukan
adalah
menentukan
tingkat
kepentingan
setiap
elemen
secara
berpansangan yang dimulai dari kriteria pemilihan pengelolaan CAPC (leve 3) dan alternatif pengelolaan CAPC (level 4). Petunjuk Pengisian Kuesioner Berikan penilaian dalam bentuk angka dalam kotak/kolom yang telah disediakan pada setiap nomor pertanyaan dengan menggunakan penilaian sebagai berikut:
A
Jika elemen pertama sama dengan elemen kedua
1
B
Jika elemen pertama sedikit lebih penting dari elemen kedua
3
C
Jika elemen pertama jelas lebih penting dari elemen kedua
5
D
7
E
Jika elemen pertama sangat jelas lebih penting dari elemen kedua elemen pertama mutlak jelas lebih penting dari elemen kedua
F
Jika penilaian ragu-ragu antara A & B
2
G
Jika penilaian ragu-ragu antara B & C
4
H
Jika penilaian ragu-ragu antara C & D
6
I
Jika penilaian ragu-ragu antara D & E
8
J
Nilai 1/3 -1/9 jika merupakan kebalikan dari A,B,C,D &E
1/3 – 1/9
9
94
Lampiran 5 (Lanjutan ) Penilaian Elemen-Elemen Level Level 2. Berdasarkan tujuan pengelolaan Cagar Alam Peg. Cycloop, kriteria manakah menurut Bpk/ibu/Sdr-i yang mempengaruhi Manfaat pengembangan pengelolaan CAPC. Atau dengan kata lain dalam hubungannya dengan keberlanjutan kawasan CAPC, elemen mana yang lebih penting dari pasangan berikut ini:
No
Kriteria
Penilaian
1
Manfaat pendapatan meningkat
.................
2
Manfaat usaha sektor informal
.................
3
Manfaat ketersediaan hidrologi
.................
4
Manfaat terjaganya iklim mikro
.................
5
Manfaat terjaganya nilai estetika
.................
6
Manfaat penyerapan tenaga kerja
.................
7
Manfaat berkurangnya kecemburuan sosial
.................
Penilaian Elemen – elemen level 2 Berdasarkan tujuan pengelolaan Cagar Alam Peg. Cycloop, kriteria manakah menurut Bpk/ibu/Sdr-i yang mempengaruhi Kerugian pengembangan pengelolaan CAPC. Atau dengan kata lain dalam hubungannya dengan keberlanjutan kawasan CAPC, elemen mana yang lebih penting dari pasangan berikut ini : No
Kriteria
Penilaian
1
Kebutuhan modal yang besar
.................
2
Kebutuhan biaya operasianal dan pemeliharaan yang tinggi
.................
3
Peluang terjadi pencemaran
.................
4
Pelunang terjadinya kekeringan
.................
5
Peluang terjadinya erosi
.................
6
Perubahan gaya hidup
.................
7
Meningkatknya kecemburuan sosial
.................
95
Lampiran 5. (Lanjutan ) Penilaian elemen-elemen level 3a. 1. Alternatif manakah yang menurut Bapak/Ibu/Sdr, cocok untuk dikembangkan dikawasan cagar alam pengunungan cycloop agar cagar alam ini berkelanjutan sehubungan fungsi CAPC dengan penilaian manfaat (B/C) Kriteria
No
Penilaian
1
Pemukiman dan infrastruktur
.................
2
Konservasi dan pariwisata
.................
3
Pertambangan dan perkebunan rakyat
.................
Penilaian elemen-elemen level 3b. 2. Alternatif manakah yang menurut Bapak/Ibu/Sdr, cocok untuk dikembangkan dikawasan cagar alam pengunungan cycloop agar cagar alam ini berkelanjutan sehubungan fungsi CAPC dengan penilaian biaya (B/C)
No
Kriteria
Penilaian
1
Pemukiman dan infrastruktur
.................
2
Konservasi dan pariwisata
.................
3
Pertambangan dan perkebunan rakyat
.................
96
Lampiran 6. Panduan Wawancara Stakehoders Berkepentingan pada Kawasan Konservasi CAPC
1.
Sumber informasi tentang Cagar Alam pegunungan Cycloop
2.
Data pribadi (usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, jabatan)
3.
Informasi tentang posisi setiap aktor, apakah
setiap aktor mempunyai
pengetahuan yan g cukup tentang cagar alam 4.
Apakah pandangan masing-masing aktor (kesamaan dan perbedaan) terhadap konservasi dan alih fungsi lahan cagar alam
5.
Bagaimana
kepentingan
masing-masing
aktor
dapat
terwujud
dalam
pengambilan keputusan 6.
Lembaga atau kelompok masyarakat mana yang berpotensi sebagai agent of change untuk mempetahankan kawasan CAPC
7.
Program apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah terhadap pengelolaan kawasan
8.
Apakah tanggapan masyarakat adat terhadap ditetapkan kawasan ini sebagai kawasan cagar alam, dan responnya terhadap berbagai program yang dilakukan dikawasan CAPC.
9.
Apakah kendala yang terjadi selama ini dalam implementasi program-program tersebut.
10.
Apakah dengan berkembangnya penduduk yang berakibat pada kebutuhan lahan, maka status cagar alam diturunkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
11.
Apakah saran stakholders terhadap berbagai kebijakan yang ditetapkan dalam kawasan ini.
97
Lampiran 7. HASIL PENGOLOHAN DATA MATRIKS PENDAPAT INDIVIDU DENGAN MENGGUNAKAN “Analytical Hierarchy Process” (AHP) UNTUK RESPONDEN 1 A. PENGELOLAAN HORISONTAL (MANFAAT) 1. Manfaat Ekonomi A
B
A 1 3 B 1/3 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.00 Keterangan : A = Pendapatan Meningkat B = Usaha Sektor Informal
Rata-rata Geometrik 0.792 1.000 1.792
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.750 0.250 1.000
2. Manfaat Lingkungan A1
A2
A1 1 5 A2 1/5 1 A3 1/6 ½ Jumlah Consitency Ratio = 0.03 Keterangan : A1 = Hidrologi A2 = Iklim Mikro A3 = Nilai Estetika
A3 6 2 1
Rata-rata Geometrik 0.905 0.939 1.000 2.844
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.726 0.172 0.102 1.000
3. Manfaat Sosial B1
B2
B1 1 2 B2 1/2 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.00 Keterangan : B1 = Tenaga Kerja B2 = Kecemburuan Sosial
Rata-rata Geometrik 0.917 0.582 1.499
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.667 0.333 1.000
4. Meningkatnya Pendapatan Masyarakat P
Q
R
Rata-rata Geometrik 0.794 1.000 0.315 2.109
P 1 1 2 Q 1 1 4 R 1/2 1/4 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.05 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat)
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.376 0.474 0.149 1.000
98
Lampiran 7 (lanjutan) 5. Berkembangnya Usaha Disektor Informal Rata-rata P Q R Geometrik P 1 1 1 0.794 Q 1 1 2 1.000 R 1 1/2 1 0.630 Jumlah 2.424 Consitency Ratio = 0.05 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat)
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.327 0.413 0.260 1.000
6. Hidrologi P
Q
R
Rata-rata Geometrik 0.639 1.000 0.240 1.879
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.359 0.517 0.124 1.000
Rata-rata Geometrik 1.000 1.000 0.500 2.500
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.400 0.400 0.200 1.000
P 1 1 2 Q 1 1 6 R 1/2 1/6 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.13 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat) 7. Iklim Mikro P P Q R Jumlah
1 ½ 1
Q 2 1 ¼
R 1 4 1
Consitency Ratio = 0.48 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat) 8. Nilai Estetika P
Q
R
Rata-rata Geometrik 0.693 1.000 0.240 1.933
P 1 1 2 Q 1 1 6 R 1/2 1/6 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.13 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat)
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.359 0.517 0.124 1.000
99
Lampiran 7 (Lanjutan) 9. Tersedianya Tenaga Kerja P
Q
R
Rata-rata Geometrik 0.659 1.000 0.217 1.876
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.351 0.533 0.116 1.900
Rata-rata Geometrik 0.874 1.000 0.382 2.256
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.387 0.443 0.169 1.000
P 1 1 2 Q 1 1 7 R 1/2 1/7 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.17 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat) 10. Kecemburuan Sosial P
Q
R
P 1 2 1 Q 1/2 1 6 R 1 1/6 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.02 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat) B. PENGOLAHAN HORISONTAL (KERUGIAN) 1. Kerugian Ekonomi A
B
A 1 5 B 1/5 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.00 Keterangan : A = Pendapatan Meningkat B = Sektor Informal
Rata-rata Geometrik 0.292 1.000 1.292
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.833 0.167 1.000
2. Kerugian Lingkungan A1
A2
A1 1 2 A2 1/2 1 A3 1 1/2 Jumlah Consitency Ratio = 0.21 Keterangan : A1 = Hidrologi A2 = Iklim Mikro A3 = Nilai Estetika
A3 1 2 1
Rata-rata Geometrik 0.905 0.939 1.000 2.844
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.413 0.327 0.260 1.000
100
Lampiran 7 (lanjutan) 3. Kerugian Sosial B1
B2
B1 1 3 B2 1/3 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.00 Keterangan : A = Tenaga Kerja B = Kecemburuan Rasial
Rata-rata Geometrik 0.617 0.582 1.199
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.750 0.250 1.000
4. Meningkatnya Pendapatan Masyarakat P
Q
R
Rata-rata Geometrik 0.794 1.000 0.315 2.109
P 1 1 2 Q 1 1 4 R 1/2 1/4 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.05 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat)
5. Berkembangnya Usaha Disektor Informal Rata-rata P Q R Geometrik P 1 2 1 0.928 Q ½ 1 5 1.000 R 1 1/5 1 0.431 Jumlah 2.359 Consitency Ratio = 0.59 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat)
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.376 0.474 0.149 1.000
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.393 0.424 0.183 1.000
6. Hidrologi P
Q
R
Rata-rata Geometrik 0.693 1.000 0.160 1.853
P 1 1 3 Q 1 1 9 R 1/3 1/9 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.13 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat)
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.374 0.539 0.086 1.000
101
Lampiran 7 (Lanjutan) 7. Iklim Mikro P P Q R Jumlah
1 ½ 1
Q 2 1 1/5
R 1 5 1
Rata-rata Geometrik 0.928 1.000 0.431 2.359
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.393 0.424 0.183 1.000
Consitency Ratio = 0.59 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat) 8. Nilai Estetika P
Q
R
Rata-rata Geometrik 0.794 1.000 0.630 2.424
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.327 0.413 0.260 1.000
Rata-rata Geometrik 0.693 1.000 0.481 2.174
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.319 0.460 0.221 1.000
Rata-rata Geometrik 0.874 1.000 0.382 2.256
Eigen Vektor (Vektor Ciri) 0.387 0.443 0.169 1.000
P 1 1 1 Q 1 1 2 R 1 ½ 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.05 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat) 9. Tersedianya Tenaga Kerja P
Q
R
P 1 1 1 Q 1 1 3 R 1 1/3 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.13 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat) 10.
Kecemburuan Sosial P
Q
R
P 1 1 2 Q 1 1 3 R 1/2 1/3 1 Jumlah Consitency Ratio = 0.02 Keterangan : P = P&I (Permukiman dan Infrastruktur) Q = K&P (Konservasi dan Pariwisata) R = P&PR (Perkebunan dan pertambangan rakyat)
LAMPIRAN 8. HASIL PENGELOLAAN DATA MENYELURUH MATRIKS PENDAPATAN GABUNGAN DENGAN ”AHP” A. HIERARKI MANFAAT 1. Manfaat Ekonomi
A B Jumlah
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
0.792 1.000
0.645 0.515
1.000 0.226
0.348 0.156
0.246 0.080
0.174 0.041
1.000 1.000
0.231 0.800
0.186 0.161
0.204 0.336
0.133 0.230
0.074 0.098
1.000 1.000
0.500 0.238
0.500 0.081
0.500 0.059
Rata-rata Geometrik 0.792 1.000 1.792
Vektor Prioritas 0.750 0.250 1.000
Rata-rata Geometrik 0.905 0.939 1.000 1.844
Vektor Prioritas 0.726 0.172 0.102 1.000
Rata-rata Geometrik 0.917 0.582 1.499
Vektor Prioritas 0.667 0.333 1.000
2. Manfaat Lingkungan
A1 A2 A3 Jumlah
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
0.905 0.939 1.000
0.746 1.000 0.818
0.615 0.923 0.987
1.000 0.564 0.780
0.403 0.209 0.309
0.199 0.209 0.220
1.000 1.000 1.000
0.422 0.859 0.366
0.249 0.594 0.234
0.147 0.252 0.095
0.095 0.143 0.086
0.048 0.067 0.043
1.000 1.000 1.000
0.373 0.315 0.317
0.134 0.131 0.101
0.055 0.060 0.052
3. Manfaat Sosial
B1 B2 Jumlah
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
0.917 0.582
1.000 1.000
0.259 0.325
0.245 0.290
0.139 0.169
0.139 0.098
1.000 1.000
0.869 0.408
0.694 0.419
0.350 0.371
0.227 0.221
0.114 0.11
1.000 1.000
0.478 0.333
0.420 0.403
0.205 0.284
103 Lampiran 8 (Lanjutan) B. HIERARKI KERUGIAN 1. Kerugian Ekonomi
A B Jumlah
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
0.292 1.000
1.000 0.819
0.498 0.849
0.152 0.867
0.136 0.386
0.098 0.222
1.000 1.000
0.326 0.549
0.508 0.627
0.150 0.278
0.155 0.195
0.088 0.086
1.000 1.000
0.500 0.238
0.500 0.081
0.500 0.059
Rata-rata Geometrik 0.292 1.000 1.292
Vektor Prioritas 0.833 0.167 1.000
Rata-rata Geometrik 0.905 0.939 1.000 2.944
Vektor Prioritas 0.413 0.327 0.260 1.000
Rata-rata Geometrik 0.617 0.582 1.199
Vektor Prioritas 0.750 0.250 1.000
2. Kerugian Lingkungan
A1 A2 A3 Jumlah
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
0.905 0.939 1.000
0.746 1.000 0.818
0.615 0.923 0.987
1.000 0.564 0.780
0.403 0.209 0.309
0.199 0.209 0.220
1.000 0.547 1.000
0.510 1.000 0.708
0.260 0.523 0.358
0.106 0.273 0.129
0.082 0.143 0.119
0.042 0.075 0.060
1.000 1.000 1.000
0.373 0.315 0.317
0.134 0.131 0.101
0.055 0.066 0.052
3. Kerugian Sosial
B1 B2 Jumlah
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
0.617 0.582
1.000 1.000
0.259 0.325
0.245 0.290
0.139 0.169
0.139 0.098
1.000 1.000
0.991 0.236
0.690 0.384
0.279 0.167
0.212 0.103
0.107 0.055
1.000 1.000
0.478 0.333
0.420 0.403
0.205 0.284
Keterangan : R1 s/d R16 = Responden 1 s/d Responden 16
104 Lampiran 8 (lanjutan ) C. PENGOLAHAN VERTIKAL MATRIKS PENDAPATAN GABUNGAN UNTUK PENENTUAN PRIORITAS MENYELURUH (MANFAAT) Manfaat Ekonomi 0.387 ALTERNATIF
1. Pemukiman dan Infrastruktur 2. Konservasi dan Pariwisata 3. Perkebunan dan Pertambangan
Manfaat Lingkungan 0.443
Manfaat Sosial 0.169
Pendapatan Meningkat
Usaha Sektor Informal
Hidrologi
Iklim Mikro
Nilai Estetika
Tenaga Kerja
Kecemburuan Rasial
0.750
0.250
0.726
0.172
0.102
0.169
0.333
0.376
0.327
0.359
0.400
0.359
0.351
0.387
0.474
0.413
0.517
0.400
0.517
0.533
0.443
0.149
0.260
0.124
0.200
0.124
0.116
0.169
D. PENGOLAHAN VERTIKAL MATRIKS PENDAPATAN GABUNGAN PRIORITAS MENYELURUH (MANFAAT) ALTERNATIF 1. Pemukiman dan Infrastruktur 2. Konservasi dan Pariwisata 3. Perkebunan dan Pertambangan JUMLAH
Pendapatan Meningkat
Usaha Sektor Informal
Hidrologi
Iklim Mikro
Nilai Estetika
Tenaga Kerja
Kecemburuan Rasial
Prioritas
0.794
0.794
0.693
1.000
0.693
0.659
0.874
5.507
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
7.000
0.315
0.630
0.240
0.500
0.240
0.217
0.382
2.524 15.031
105 Lampiran 8 (Lanjutan) E. PENGOLAHAN VERTIKAL MATRIKS PENDAPATAN GABUNGAN UNTUK PENENTUAN PRIORITAS MENYELURUH (KERUGIAN) KERUGIAN EKONOMI 0.376 ALTERNATIF
1. Pemukiman dan Infrastruktur 2. Konservasi dan Pariwisata 3. Perkebunan dan Pertambangan
KERUGIAN LINGKUNGAN 0.474
KERUGIAN SOSIAL 0.149
Pendapatan Meningkat
Usaha Sektor Informal
Hidrologi
Iklim Mikro
Nilai Estetika
Tenaga Kerja
Kecemburuan Rasial
0.833
0.167
0.413
0.327
0.260
0.750
0.250
0.376
0.393
0.374
0.393
0.327
0.319
0.387
0.474
0.424
0.539
0.424
0.413
0.460
0.443
0.149
0.183
0.086
0.183
0.260
0.221
0.169
F. PENGOLAHAN VERTIKAL MATRIKS PENDAPATAN GABUNGAN PRIORITAS MENYELURUH (KERUGIAN) ALTERNATIF 1. Pemukiman dan Infrastruktur 2. Konservasi dan Pariwisata 3. Perkebunan dan Pertambangan Jumlah
Pendapatan Meningkat
Usaha Sektor Informal
Hidrologi
Iklim Mikro
Nilai Estetika
Tenaga Kerja
Kecemburuan Rasial
Prioritas
0.794
0.928
0.693
0.928
0.794
0.693
0.874
5.704
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
7.000
0.315
0.431
0.160
0.431
0.630
0.481
0.382
2.830 15.534
106
Lampiran 8 (Lanjutan) G. PERHITUNGAN ”Analitical Hierarchy Process” UNTUK ANALISIS MANFAAT DAN BIAYA ALTERNATIF 1. Pemukiman dan Infrastruktur 2. Konservasi dan Pariwisata 3. Perkebunan dan Pertambangan
PRIORITAS MANFAAT
PRIORITAS BIAYA (KERUGIAN)
RASIO MANFAAT-BIAYA
5.507
5.704
0.965
7.000
7.000
1.000
2.524
2.830
0.901
Lampiran 9. Struktur Hirarki Proses Balik Pengelolaan CAPC Proses Balik MANFAAT I. Fokus
(0,387)
(0,750)
(0.250)
Aspek Lingkungan
Aspek Sosial
II. Skenario Aspek Ekonomi
III. Persoalan Pendapatan Meningkat (0.376)
IV. Aktor
Hidrologi (0.149)
Usaha Sektor Informal (0.474)
Walikota Jayapura 0.792
Bapeldalda Kab. Jayapura 0.174
BKSDA Papua I 0.133
Bapedalda Kota Jayapura 0.645
Perkebunan Kab. Jayapura 1.000
Pokja Cycloop 0.074
Iklim Mikro (0,172)
DPRD Kota Jayapura 1.000
DPRD Kab. Jayapura 0.231
WWF 1.000
Masyarakat Adat 0.500
Nilai Estetika (0,102)
Tenaga Kerja (0,667)
BPN Kota Jayapura 0.348
PDAM Jayapura 0.186
Kecemburuan Sosial (0,333)
Bupati Kab. Jayapura 0.246
Dinas Kehutanan Kab. Jayapura 0.204
Dinas Pariwisata Kab. Jayapura 0.500
Perguruan Tinggi 0.500
Lampiran 9 (lanjutan)
KERUGIAN
I. Fokus
(0,376)
(0.149)
(0,474)
II. Skenario Aspek Sosial
Aspek Lingkungan
Aspek Ekonomi
III. Persoalan Pendapatan Meningkat (0.833)
IV. Aktor
Usaha Sektor Informal (0.167)
Walikota Jayapura 0.292
Bapeldalda Kab. Jayapura 0.098
BKSDA Papua I 0.155
Hidrologi (0.,413)
Iklim Mikro (0,327)
Bapedalda Kota Jayapura 1.000
Perkebunan Kab. Jayapura 1.000
Pokja Cycloop 0.088
Nilai Estetika (0,260)
DPRD Kota Jayapura 0.489
DPRD Kab. Jayapura 0.326
WWF 1.000
Masyarakat Adat 0.500
Perubahan gaya hidup (0,750)
BPN Kota Jayapura 0.152
PDAM Jayapura 0.508
Kecemburuan Sosial (0,250)
Bupati Kab. Jayapura 0.136
Dinas Kehutanan Kab. Jayapura 0.150
Dinas Pariwisata Kab. Jayapura 0.500
Perguruan Tinggi 0.500
Lampiran 10. Kerugian
Pengelolaan CAPC yang berkelanjutan
Tingkat 1 (Tujuan Utama)
Tingkat 2 (Aspek)
Tingkat 3 (Kriteria)
Kerugian Ekonomi
Modal
Biaya Operasional dan Pemeiliharaan
Kerugian Lingkungan
Kerugian Sosial
Erosi
Pencemaran
Perubahan gaya hidup
Kecemburuan sosial
Kekeringan Tingkat 4 (Alternatif kebijakan)
Pemukinan & Infrastruktur Konservasi dan Pariwisata
Pertambangan dan perkebunan rakyat
Lampiran 11. Manfaat
Pengelolaan CAPC yang berkelanjutan
Tingkat 1 (Tujuan Utama)
Tingkat 2 (Aspek)
Tingkat 3 (Kriteria)
Manfaat Ekonomi
Pendapata n Meningkat
Usaha sektor informal
Manfaat Lingkungan
Hidrologi
Nilai Estetika
Manfaat Sosial
Penyerapan tenaga kerja
Mengurangi Kecemburuan sosial
Iklim Mikro
Tingkat 4 (Alternatif kebijakan)
Pemukiman & Infrastruktur
Konservasi dan pariwisata
Perkebunan dan Pertambangan rakyat
Lampiran 12. Luas Kawasan Konservasi di Provinsi Papua
GRAFIK LUAS KAWASAN KONSERVASI DI PROPINSI PAPUA 2%
0%
0% 23%
40%
4.000.000
Cagar Alam Suaka Margasatw a Taman Nasional
3.500.000
Taman Hutan Raya Taman Wisata Alam
3.000.000
Taman Buru 35%
2.500.000 2.000.000
Darat
1.500.000
Perairan
1.000.000 500.000 Cagar Alam
Suaka Margasatw a
Taman Nasional
2.386.061,25 3.573.337,97 2.863.810,00
Darat Perairan
5.000,00
69.000,00
1.453.500,00
Taman Hutan Taman Taman Buru Raya Wisata Alam -
14.983,37
-
-
183.000,00
-
4%
19%
22%
25% 25%
Keterangan
5%
Kawasan Hutan Alam dan Pelestarian Alam (KSPA) Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Produksi Hutan Produksi Konversi Kawasan Perairan
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2004
80
14