ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN TATA AIR DAN KARBON DALAM HUKUM LINGKUNGAN1 Oleh: Enny Insusanty, Ambar Tri Ratnaningsih, dan Cisilia Mayori Alamat: Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning Jl. Yos Sudarso km 8 Rumbai, Kota Pekanbaru Email:
[email protected] dan
[email protected]
Abstrak Pengelolaan jasa lingkungan merupakan upaya untuk memperoleh manfaat dari hutan yang bersifat intangible. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Juli tahun 2012 dengan menggunakan metode desk evaluation yang dilakukan terhadap beberapa kebijakan yang mengatur masalah tata air dan karbon. Analisis dilakukan secara deskriftif dengan analisis isi kebijakan (content analysis). Tujuannya untuk menganalisis peraturan tentang pengelolaan jasa lingkungan tata air dan karbon. Hasil penelitian menunjukkan undang-undang lingkungan hidup yang mengatur tentang pembayaran jasa lingkungan dan pengelolaan jasa lingkungan harus memiliki peraturan di bawahnya yang lebih implementatif dan teknis, misalnya peraturan menteri. Untuk jasa karbon telah ada peraturan yang dibuat sebagai implementasinya, namun untuk jasa tata aturan masih bersifat umum dalam bentuk pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu. Disarankan untuk membuat kebijakan yang dapat meningkatkan perekonomian daerah melalui perolehan insentif untuk mengurangi laju degradasi hutan dan aturan yang lebih teknis mengenai pembayaran jasa lingkungan air.
Abstract The environmental management service is an attempt to gain intangible advantages from the forest. This study was conducted from March to July 2012 using desk evaluation method on several policies governing water management and carbon. Descriptive analysis conducted with policy content analysis (content analysis) to analyze the regulatory goal related to the waterworks management of environmental service and carbon. The results showed the Environment Act which governs the payment of environmental service and the management of environmental service should have more regulation and technically implementable. For the carbon servicethere are some existing regulations, but for management service the available legal infrastructure is remain general provision in the form of integrated watershed management. This study recommends policies that can improve the economy of the area through an incentive to reduce the rate of forest degradation and the more technical rules regarding to the payment of environmental service water. 1
Artikel ini merupakan hasil penelitian hibah bersaing tahun 2012 yang dibiayai oleh DIPA Kopertis Wilayah X-DP2M Dikti berdasarkan Kontrak Nomor 150/KONTRAK/010/KU/2012.
1
Kata kunci: jasa lingkungan, tata air dan karbon, undang-undang lingkungan hidup
Pendahuluan Kerusakan hutan merupakan salah satu faktor krusial di dalam mata rantai permasalahan lingkungan hidup global. Pemerintah Indonesia telah menyatakan kepedulian terhadap masalah degradasi lingkungan global di antaranya dengan komitmen untuk mengelola hutan secara lestari (sustainable forest management). Di samping berbasis pada prinsip kelestarian, pemanfaatan sumber daya hutan dituntut untuk memperhatikan juga prinsip multi guna mencakup konservasi tanah dan air, sumber kayu dan non kayu untuk masyarakat lokal, konservasi flora dan fauna, serta fungsi pendukung untuk program pembangunan lainnya seperti transmigrasi, pertanian, dan sarana umum yang lain.2 Hutan di samping menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya seperti damar, rotan dan bahan obat-obatan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keanekaragaman hayati dan menyerap karbon. Oleh karena itu, hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang lain, seperti pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, dan sektor pariwisata. Pengelolaan jasa lingkungan karbon dan tata air menjadi hal penting untuk diterapkan. Menurut Nurrochmat bahwa pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang diperkirakan berpeluang untuk direalisasikan dalam waktu dekat adalah fungsi tata air dan penyerap karbon.3 Untuk melakukan pengelolaan jasa lingkungan tata air dan karbon yang baik, efektif dan efisien maka diperlukan berbagai aturan atau regulasi. Regulasi yang secara khusus mengatur mengenai jasa tata air belum ada, namun sebagai acuan awal digunakan Permenhut No. P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria, dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sedangkan untuk jasa karbon telah ada beberapa aturan salah satunya Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Permasalahannya adalah apakah regulasi yang ada ini telah memenuhi kebutuhan kepastian hukum dalam pengelolaan jasa lingkungan tata air dan karbon? Terkait dengan permasalahan ini karenanya tulisan ini berupaya mengulasnya secara normatif, agar dapat diketahui problem hukum yang ada. Metode Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang secara umum dapat dikategorikan penelitian desk evaluation. Sumber data penelitian ini berasal dari data sekunder dengan merujuk pada beberapa bahan hukum primer dan sekunder. Adapun bahan hukum primer yang menjadi kajian meliputi Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Peraturan 2
Dodik Ridho Nurrochmat, Kontribusi Kehutanan Terhadap PDB, Makalah Rakor Mitra Praja Utama, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2008, hlm. 25-30. 3 Dodik Ridho Nurrochmat, Iin Solihin, Meti Ekayani, dan Adi Hadianto, Neraca Pembangunanan Hijau: Konsep dan Implementasi Bisnis Karbon dan Tata Air di Sektor Kehutanan, (Bogor: IPB Press, 2010), hlm. 80.
2
Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; Permenhut No. P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria, dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS); Keputusan Menteri Kehutanan No. 07.1/Kpts-II/2000 tentang Kriteria dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUP-JL) di Hutan Produksi; Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Dalam penelitian ini data dianalisis secara deskriftif kualitatif dimana didalam mengkaji aturan yang ada dilakukan dengan analisis isi kebijakan (content analysis) untuk menganalisis berbagai aturan yang mengatur pengelolaan jasa lingkungan tata air dan karbon. Analisis ini digunakan untuk memahami setiap isi aturan secara komprehensif. Adapun dalam menarik kesimpulan digunakan metode deduktif. Hasil Hasil penelitian menunjukkan undang-undang lingkungan hidup yang mengatur tentang pembayaran jasa lingkungan dan pengelolaan jasa lingkungan harus memiliki peraturan di bawahnya yang lebih implementatif dan teknis, misalnya peraturan menteri. Untuk jasa karbon telah ada peraturan yang dibuat sebagai implementasinya, namun untuk jasa tata aturan masih bersifat umum dalam bentuk pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu. Pembahasan Analisis Kebijakan tentang Implementasi Pengelolaan Jasa Lingkungan Pemerintah telah mengeluarkan aturan terkait pengelolaan jasa lingkungan, yakni Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberikan arahan yang komprehensif mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan lain yang menjelaskan kewenangan Pemerintah diatur oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Aturan mengenai jasa tata air sebagai bagian dari pengelolaan DAS terpadu diatur dengan Permenhut No. P.42/MenhutII/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Selain itu, juga terdapat Keputusan Menteri Kehutanan No. 07.1/Kpts-II/2000 tentang Kriteria dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUP-JL) di Hutan Produksi. Sedangkan peraturan mengenai penyerapan dan penyimpanan (RAP/PAN) karbon pada hutan produksi dan hutan lindung dibahas dalam Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009. Adapun berbagai aturan tersebut akan dijelaskan dalam bahasan di bawah ini. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 terdapat bahasan mengenai jasa lingkungan dan perubahan iklim yang dapat memperburuk kualitas lingkungan. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Pelestarian fungsi atmosfer meliputi upaya mitigasi dan
3
adaptasi perubahan iklim, upaya perlindungan lapisan ozon, dan upaya perlindungan terhadap hujan asam. Di dalam UU ini juga perlu dilakukan Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), yakni perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu baik pada tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota yang di dalamnya memuat rencana tentang adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Demikian juga dengan adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yakni rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program yang wajib dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. KLHS memuat kajian antara lain tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim. Pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup merupakan salah satu instrumen ekonomi lingkungan hidup insentif dan/atau disinsentif yang dapat diterapkan. Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi adalah dibuatnya neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup, penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup, mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah dan internalisasi biaya lingkungan hidup. Dengan adanya Undang-undang ini dapat menjadi pedoman berbagai isu lingkungan dan pengelolaan jasa lingkungan. Perhatian yang cukup besar terhadap adanya perubahan iklim dan cara-cara mengatasi adaptasi dan mitigasi menjadi salah satu hal penting. Setiap kegiatan seperti penyusunan RPPLH dan KLHS telah menyaratkan untuk memasukkan faktor perubahan iklim. Dalam pengelolaan jasa lingkungan juga disebutkan pembayaran jasa lingkungan merupakan alat ekonomi yang dapat memberikan nilai terhadap jasa lingkungan. Jasa lingkungan sudah dianggap memiliki nilai ekonomi yang dapat menjadi dasar sistem pembayaran jasa lingkungan yang pada akhirnya memberikan manfaat untuk masyarakat dan kelestarian fungsi lingkungan. Penyusunan neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup juga menjadi hal penting yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam membuat perencanaan pembangunan. Penyusunan PDB/PDRB yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan atau PDB/PDRB Hijau perlu dilakukan untuk mengetahui kinerja pembangunan secara lebih lengkap. PDRB Hijau atau Pendapatan Domestik Regional Bruto Hijau (green GDRP) adalah sebuah konsep revolusioner yang ingin mengubah metode pencatatan kinerja perekonomian pada porsi yang sebenarnya sebagai indikator kesejahteraan masyarakat.4 PDRB mencakup nilai deplesi dan degradasi lingkungan yang disebabkan oleh pengambilan sumber daya alam. Untuk keperluan pembuatan neraca sumber daya alam dan PDRB Hijau diperlukan metode standar atau pedoman penyusunan secara nasional.
4
Suparmoko, Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan Teoritis, Edisi keempat, (Yogyakarta: BPFE, 2008), hlm. 10
4
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Pengaturan teknis untuk masing-masing sub bidang atau sub-sub bidang urusan pemerintahan diatur dengan peraturan menteri/kepala lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintahan yang bersangkutan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Urusan pemerintahan terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait. Sektor kehutanan merupakan salah satu urusan pilihan yang dapat dikelola oleh daerah sesuai dengan kondisi daerah. Adapun pembagian kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota urusan kehutanan dapat dibedakan dengan andanya pembagian kewenangan. Untuk jasa lingkungan lingkungan tata air dan perdagangan karbon Pemerintah mempunyai kewenangan terkait dengan pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan pada hutan produksi, pemanfaatan kawasan hutan pada hutan lindung, dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Dari kewenangan yang dimiliki, Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria terhadap objek, sedangkan pemerintah daerah provinsi memiliki kewenangan yang lebih teknis, yakni memberikan izin ataupun pertimbangan untuk skala provinsi. Demikian juga dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk memberikan izin ataupun pertimbangan untuk skala kabupaten/kota. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.42/Menhut-II/2009 Tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Aturan tentang pelaksanaan kompensasi hulu-hilir secara teknis belum ada aturan yang mengatur seperti hanya peraturan pada jasa perdagangan karbon. Perangkat aturan teknis yang secara eksplisit mengatur tentang pemanfaatan ekonomi jasa hidrologis hutan belum dapat memberikan arahan yang lebih jelas dan lengkap. Salah satu aturan yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan adalah P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Di dalam aturan ini terdapat arahan mengenai konsep insentif-disinsentif dalam pengeloaan. Aturan ini memberikan arahan dan kerangka untuk pengelolaan DAS dengan orientasi kesamaan persepsi dan koordinasi pengelolaan DAS. Batas ekosistem DAS tidak selalu sesuai dengan batas administrasi pemerintahan dimana banyak DAS yang mencakup beberapa wilayah administrasi pemerintahan. Implikasi dari kondisi tersebut adalah perencanaan pembangunan wilayah kabupaten/kota perlu mempertimbangkan posisi wilayah pemerintahannya dalam setiap DAS (hulu/hilir) dan terhadap wilayah pemerintahan kabupaten/kota lainnya dalam suatu DAS. Situasi ini menjadi dasar perencaaan pengelolaan DAS. Sehingga dalam pengelolaan DAS diperlukan perencanaan secara terpadu sesuai dengan tujuan yang disepakati dan bersifat mengikat serta menjadi acuan dalam perencanaan sektor lain. 5
Kegiatan pengelolaan DAS dilakukan secara terpadu dengan komitmen yang kuat untuk melestarikan DAS. Kegiatan konservasi dan rehabilitasi harus melibatkan Pemerintah, swasta dan masyarakat. Pembiayaan dalam pengelolaan DAS dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebagai sumber pendanaan melalui berbagai bentuk kegiatan dengan setiap alternatif pembiayaan disesuaikan dengan kondisi DAS. Kegiatan ini merupakan bentuk pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan secara bertahap untuk mendanai konservasi DAS. Sistem insentif dan disinsentif pengelolaan DAS merupakan bentuk pembayaran jasa lingkungan yang juga dikenal sebagai insentif hulu-hilir. Prinsip insentif lebih diarahkan kepada para pihak, terutama di hulu DAS, untuk selalu memanfaatkan sumber daya alam dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Sementara itu, prinsip disinsentif diarahkan kepada para pihak, di hulu dan hilir DAS yang dalam pemanfaatan ruang/lahan mengakibatkan degradasi lingkungan. Mekanisme insentif dan disinsentif melibatkan antarpenjual dan pembeli jasa. Agar mekanisme ini dapat dilakukan diperlukan berbagai komitmen yang kuat antara penjual dan pembeli jasa. Menurut Nurfatriani bahwa untuk mengimplementasikan pembayaran jasa lingkungan di tingkat tapak (site), perlu dipahami terlebih dahulu definisi dari jasa lingkungan, pembayaran jasa lingkungan, produk, mekanisme, dan tujuan dari pembayaran jasa lingkungan, serta siapa user dan provider. Hal itu dibutuhkan untuk menyamakan persepsi antara stakeholder yang terlibat sehinggga dapat meminimalkan perbedaan persepsi dalam perumusan regulasi dan pelaksanaannya di lapangan.5 Terkait dengan batasan DAS yang tidak sesuai dengan administrasi maka koordinasi antardaerah (kabupaten atau provinsi) yang berada dalam satu DAS sangat diperlukan. Pengelolaan DAS akan berjalan dengan baik apabila ada koordinasi dan keselarasan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah maupun antarlembaga terkait dalam suatu daerah.6 Keputusan Menteri Kehutanan No. 07.1/Kpts-II/2000 tentang Kriteria dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUP-JL) di Hutan Produksi. Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmen) ini merupakan pedoman Gubernur dan Bupati/Walikota dalam menetapkan Peraturan Daerah dan merupakan pedoman yang wajib dilaksanakan oleh pemegang IUP-JL dalam melaksanakan pemanfaatan jasa lingkungan di hutan produksi. Di dalam aturan ini menjelaskan bahwa izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan di hutan produksi dapat dilakukan pada hutan magrove, hutan rawa, hutan tanah kering dataran rendah dan hutan tanah kering dataran tinggi sampai pegunungan. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat secara perorangan, koperasi, BUMN/BUMD dan BUMS. Adapun jenis usaha yang dapat dilaksanakan dalam rangka izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat berupa usaha pemanfaatan air, usaha wisata alam/rekreasi, usaha olahraga tantangan, usaha dalam rangka pembinaan mental dan fisik, usaha carbon trade, usaha penelitian. Jenis usaha yang dapat dilakukan tergantung pada jenis hutan dan kondisi biofisik. 5
Fitri Nurfatriani, Merealisasikan Pembayaran Jasa Lingkungan: Belajar dari Pengalaman di Berbagai Lokasi, Info Sosial Ekonomi Kehutanan, No. 1 (8),2008, hlm. 39-50. 6 Indah Novita Dewi dan Iwanudin, Kelembagaan Pengelolaan DAS Limboto Gorontalo, Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 4 No. 3 September 2007, hlm. 221-231.
6
Terkait dengan jasa lingkungan tata air di dalam Kepmen ini, usaha pemanfaatan air meliputi irigasi untuk masyarakat luas, memenuhi kebutuhan air minum/air bersih, pembangkit tenaga listrik dan dimanfaaatkan setelah keluar dari mata air. Untuk melakukan kegiatan usaha ini dapat dilakukan oleh perorangan, koperasi, BUMN/BUMD dan BUMS dengan lokasi pada hutan produksi tanah kering dataran tinggi dan hutan pegunungan. Hal ini disebabkan oleh keberadaan sumber air bersih yang berada di pegunungan atau daerah yang lebih tinggi. Izin usaha yang diberikan bervariasi, untuk perorangan adalah tiga tahun, untuk koperasi lima tahun untuk BUMN/BUMD/BUMS adalah delapan tahun, dengan izin maksimal sepuluh tahun. Sedangkan dari luasan hutan dinyatakan bahwa untuk perorangan 50 ha, koperasi 100 ha, dan untuk BUMN/BUMD/BUMS adalah 200 ha, dengan luas masing-masing izin usaha maksimal 1.000 ha. Pemegang usaha juga diwajibkan untuk mengamankan kawasan sekitar sumber air dengan radius 100 m. Izin usaha yang diberikan perlu disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan perlu pemantauan dari Pemerintah. Jika dapat memberikan nilai tambah maka izin tersebut disarankan untuk dapat diperpanjang. Perizinan ini akan melibatkan birokrasi Pemerintah dan dapat menimbulkan biaya transaksi. Menurut Ginoga dan Lugina biaya transaksi meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan baik sebelum proyek dimulai (ex-ante) maupun setelah proyek berjalan (ex-post).7 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung Dengan adanya aturan yang telah dibuat tentang penyerapan dan penyimpanan (RAP/PAN) karbon oleh pemerintah maka diharapkan dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaannya. Orientasi dari peraturan ini adalah untuk mengatur perizinan pelaksanaan RAP/PAN karbon. Kegiatan ini merupakan pengelolaan hutan lestari dengan orientasi jasa lingkungan. Kagiatan RAP/PAN karbon dalam peraturan ini dapat dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi. Tentunya di hutan lindung tidak diizinkan melakukan penebangan dan hanya mengambil hasil hutan non kayu. Untuk kegiatan di hutan produksi merupakan pengelolaan hutan produksi lestari dengan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan nilai penyimpanan dan penyerapan karbon. Prosedur perizinan untuk kegiatan RAP/PAN karbon harus melewati enam lembaga dengan jangka waktu perizinan 25 (dua puluh lima) tahun, dengan sumber pembiayaan dari dana sendiri, dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang ada di dalam maupun dalam negeri dan dana hibah dari luas negeri (donor). Panjangnya birokrasi yang harus ditempuh akan membutuhkan waktu yang lama dan tingginya biaya transaksi. Pemerintah berperan penting dalam kegiatan perizinan dan dilibatkan sebagai penjamin. Sehingga diperlukan aturan pelaksanaan yang jelas dan peningkatan kapasitas di setiap level pemerintahan. Sebagai sebuah kegiatan proyek yang menjual nilai jasa lingkungan maka perlu diperhitungkan dengan akurat biaya pengembagan proyek dan kepastian lokasi status kawasan sesuai dengan tata ruang daerah.
7
Kristianti L. Ginoga dan Mega Lugina, Biaya Transaksi Dalam Perolehan Sertifikasi Penurunan Emisi Mekanisme Pembangunan Bersih Kehutanan, Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 4 No. 1 Maret 2007, hlm. 93-119.
7
Dari ke lima regulasi yang mengatur pengelolaan jasa lingkungan tata air dan karbon dapat disimpulkan bahwa dari regulasi yang ada telah memberikan dasar pengaturan kegiatan pengelolaan jasa lingkungan. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan payung hukum untuk kegiatan pengelolaan jasa lingkungan berupa adanya pembayaran jasa lingkungan dan bentuk kompensasi antardaerah/wilayah. Pembuatan PDRB Hijau menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi Dan Kabupaten/Kota sebagai instrumen perencanaan pembangunan dan neraca satelit dari PDRB konvensional yang telah ada selama ini. Kewenangan pemerintah dalam pengelolaan jasa lingkungan dijelaskan oleh PP.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam peraturan ini dinyatakan bahwa sektor kehutanan merupakan sektor pilihan dan kewenangan jasa lingkungan terdapat pada pemanfaatan kawasan hutan produksi, hutan lindung dan Pengelolaan DAS. Regulasi yang lebih rinci mengenai pemanfaatan jasa lingkungan tata air dijelaskan oleh Kepmen No. 07.1/Kpts-II/2000, bahwa izin pemanfaatan jasa lingkungan di hutan produksi dapat dilakukan sesuai kriteria dan standar yang ada. Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri No. 42/Menhut-II/2009 juga disebutkan mekanisme insentif/disinsentif antara wilayah hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS terpadu. Aturan mengenai jasa karbon dibahas cukup lengkap pada Peraturan Menteri No. 36/Menhut-II/2009 yang orientasinya adalah pengelolaan hutan lestari dengan memanfaatkan jasa karbon. Di dalamnya juga dibahas perizinan, pihak yang berkepentingan, pendanaan, verifikasi dan sertifikasi. Adapun ringkasan dari kelima regulasi tersebut disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel Analisis Regulasi Pengelolaan Jasa Lingkungan Analisis Permen No. Permen No. Kepmen No. PP No. 38 UU No.32 36/Menhut- 42/Menhut- 07.1/Kptstahun 2007 Tahun II/ 2009 II/2009 II/2000 2009 Konteks
Mengatur perizinan usaha Rap/Pan Karbon di hutan produksi dan lindung
Membahas insentif huluhilir sebagai bagian dari pengelolaan DAS terpadu
Mengatur perizinan pengelolaan berbagai bentuk jasa lingkungan di hutan produksi salah satunya jasa air
Mengatur kewenangan pemerintah pusat, provinsi, kab/kota dalam sektor kehutanan
Pedoman perlindunga n pengelolaan jasa lingkungan dan adanya pembahasa n isu perubahan iklim
Penjelasa n Umum
Jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang dapat dilakukan oleh
Diperlukan koordinasi antarwilayah hulu dan hilir
Jangka waktu bervariasi 3 tahun untuk perorangan, 5 tahun untuk koperasi dan 8 tahun untuk
Kewenangan terkait dengan pengelolaan sebagai kawasan hutan
Pembayara n jasa lingkungan sebagai salah satu instrumen ekonomi 8
Perorangan, BUMN/ BUMD, BUMS (PT, CV, Firma), terdapat penjelasan mengenai pendanaan, pihak yang berperan, verifikasi dan sertifikasi
BUMD/BUMS/BU MN izin maksimal 10 tahun. Dengan luas areal adalah 50 ha untuk perorangan, 100 ha untuk koperasi, 200 ha untuk BUMD/ BUMS/BUMN
produksi, hutan lindung (berupa jasa lingkungan) dan pengelolaan DAS terpadu
lingkungan hidup dan PDRB hijau perencanaa n pembangun an
Kesimpulan Aturan yang ada merupakan dasar pelaksanakan di lapangan. UU Lingkungan hidup yang mengatur pembayaran jasa lingkungan dan pengelolaan jasa lingkungan merupakan pedoman yang harus diturunkan lagi menjadi peraturan yang lebih implementatif dan teknis seperti Peraturan Menteri. Untuk jasa karbon telah ada peraturan yang dibuat sebagai implementasinya, namun untuk jasa tata air belum ada aturan yang jelas dan masih bersifat umum dalam bentuk pengelolaan DAS terpadu. Saran Jasa lingkungan tata air dan penyerapan/penyimpanan karbon merupakan salah satu alternatif kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian daerah melalui insentif yang diperoleh dan sebagai upaya untuk mengurangi laju degradasi hutan. Terkait dengan ini perlu aturan yang lebih teknis mengenai pembayaran jasa lingkungan air. Selama ini aturan karbon bersifat sentralistik dan peran Pemerintah sangat dominan. Padahal dalam pengelolaan jasa lingkungan sangat terkait dengan masyarakat sehingga pelibatan masyarakat menjadi penting. Daftar Pustaka Dewi IN dan Iwanudin. 2007. Kelembagaan Pengelolaan DAS Limboto Gorontalo. Jurnal
Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 4 No. 3. Tahun 2007. F. Nurfatriani. 2008. Merealisasikan Pembayaran Jasa Lingkungan: Belajar dari Pengalaman di Berbagai Lokasi. Info Sosial Ekonomi Kehutanan, No. 1 (8). Ginoga KL dan Lugina M. 2007. Biaya Transaksi Dalam Perolehan Sertifikasi Penurunan Emisi Mekanisme Pembangunan Bersih Kehutanan. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol.4 No.1 Tahun 2007. M. Suparmoko, M. 2008. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan Teoritis . Edisi keempat. Yogyakarta: BPFE. Nurrochmat, Solihin I, Ekayani M, dan Hadianto A. 2010. Neraca Pembangunanan Hijau : Konsep dan Implementasi Bisnis Karbon dan Tata Air di Sektor Kehutanan. Bogor: IPB Press. Nurrochmat. 2008. Kontribusi Kehutanan Terhadap PDB. Makalah Rakor Mitra Praja Utama Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 9
WN. Dunn. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
10