ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN TENAGA KERJA LUAR NEGERI DALAM RANGKA PERBAIKAN KUALITAS SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAERAH ASAL
LISNA YOELIANI POELOENGAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Analisis Kebijakan Pemberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri Dalam Rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Juli 2009
Lisna Yoeliani Poeloengan
ABSTRACT LISNA YOELIANI POELOENGAN, 2009. Overseas Labor Empowerment Policy Analysis for Quality Restoration of Natural Resource and Surrounding Environment in Labor Origin Area. Under tuition of SYAMSUL MA'ARIF, SUMARDJO, and HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. The homecoming process of Indonesian Overseas Labor which recognized as Tenaga Kerja Luar Negeri (TKLN) becomes important phenomenon at decade of 2000. The research is aimed to illustrate the importance of TKLN’s empowerment policy improvement in the framework of development in their origin area, especially to increase natural resource quality. By using policy research with systemic method, the research analyzing policy system of overseas labor empowerment for protection of natural resource and environment in TKLN’s origin areas as the object of research. The system context is viewed from the perspective of transformation management and the environmental sciences with public policy of learning organization disciplines and environment as focus of subject. Through policy analysis, it is explained and evaluated the function and contribution of steps which have been taken in yielding empowerment performance of overseas labor for the protection of natural resource and environment in TKLN’s origin area. To determine the optimum prospected policy alternative, it is applied the Analytical Hierarchy Process (AHP). The research shows that quality of natural resource simply can become both the cause and effect of the TKLN to work abroad, and that the process can affect to environment quality. It is happened because TKLN which migrates overseas for job are advantaging the process as the learning media, so that the institution of migration for job are becomes the learning organization for they who are involved and can generating the restoration of environmental quality and natural resource in their origin area. This research finds that there hasn’t any arrangement which giving attention into the issue of TKLN empowerment under the framework of conservation effort and restoration of the natural resource and environmental quality. For the purpose, the arrangement concerning the issues above is formulated to become this research essential part. Policy implication of this research is the importance of policy revitalization about the working abroad process. This thing need to become process which is based onto the perfection of various policies and regulations which are belong to the central government and local government to pay attention to institutional expansion of TKLN’s emplacement not only from the perspective of social economics, but also gives attention to the ecological consideration. Also, the TKLN’s emplacement policy is needed to develop as the learning organization. Keywords: International migration, TKLN empowerment, learning organization, migration and environment.
ABSTRAK LISNA YOELIANI POELOENGAN, 2009. Analisis Kebijakan Pemberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri Dalam Rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal. Dibawah bimbingan: SYAMSUL MA’ARIF, SUMARDJO, dan HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Proses kepulangan Tenaga Kerja Luar Negeri (TKLN) menjadi fenomena penting pada dekade 2000-an. Penelitian dilakukan untuk mengungkap seberapa penting dikembangkan kebijakan pemberdayaan TKLN dalam kerangka pembangunan daerah asalnya, khususnya untuk peningkatan kualitas sumberdaya alam. Melalui penelitian kebijakan dengan metode sistemik ditelaah sistem kebijakan pada pemberdayaan tenaga kerja luar negeri dalam rangka perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal sebagai obyek penelitian. Konteks dari sistem tersebut dilihat dari perspektif manajemen perubahan dan ilmu lingkungan dengan fokus pada bidang kebijakan publik pada disiplin organisasi belajar dan lingkungan. Melalui bidang kebijakan diterangkan dan dievaluasi fungsi dan kontribusi langkahlangkah yang telah diambil dalam menghasilkan kinerja pemberdayaan tenaga kerja luar negeri dalam rangka perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang memiliki prospek optimum dilakukan melalui aplikasi analisis hierarkhi proses (AHP). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kualitas sumberdaya alam ternyata dapat menjadi sebab dan akibat TKLN bekerja di luar negeri, dan prosesnya dapat berdampak terhadap kualitas lingkungan. Hal ini terjadi karena TKLN yang bekerja ke luar negeri menjadikan prosesnya sebagai media pembelajaran, sehingga kelembagaan kerja ke luar negeri menjadi organisasi pembelajar bagi mereka yang terlibat, dan berakibat pada perbaikan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam di permukiman daerah asal. Penelitian menemukan bahwa tidak ada satupun pengaturan tentang migrasi kerja TKLN keluar negeri yang memberi perhatian terhadap pemberdayaan TKLN dalam kaitannya dengan upaya konservasi dan perbaikan mutu sumberdaya dan lingkungan. Untuk itu, pengaturan tentang hal itu dirumuskan menjadi bagian penting penelitian ini. Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah perlunya dilakukan revitalisasi kebijakan proses bekerja ke luar negeri. Hal ini perlu menjadi proses yang pada asasnya adalah melakukan berbagai penyempuraan peraturan-peraturan yang ada di pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar memperhatikan pengembangan kelembagaan penempatan TKLN tidak saja dari segi sosial ekonomi, tetapi juga memberi perhatian pada segi ekologis. Di samping itu, kebijakan penempatan TKLN perlu dikembangkan menjadi organisasi pembelajar. Kata-kata Kunci: migrasi internasional, pembelajar, migrasi dan lingkungan.
pemberdayaan
TKLN,
organisasi
RINGKASAN LISNA YOELIANI POELOENGAN, 2009. Analisis Kebijakan Pemberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri Dalam Rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal. Dibawah bimbingan: SYAMSUL MA’ARIF, SUMARDJO, dan HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Penelitian ini menelaah keterkaitan antara proses migrasi Tenaga Kerja Luar Negeri (TKLN) Indonesia dengan upaya perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan di daerah asal keberangkatan mereka. Tujuan umum penelitian ini adalah menelaah proses perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan di daerah asal para migran (TKLN) akibat pemberdayaan migrasi internasional. Secara spesifik, kajian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi kaitan sebab maupun akibat kualitas sumberdaya alam dan lingkungan dengan pemberdayaan TKLN, (2) Mengkaji proses pembelajaran dalam kelembagaan pengelolaan migrasi kerja ke luar negeri (migrasi internasional) berakibat pada perlindungan lingkungan dan sumberdaya alam di daerah asal, dan (3) Menyusun kebijakan alternatif revitalisasi kebijakan proses bekerja ke luar negeri yang disempurnakan agar lebih berdampak terhadap kualitas lingkungan dan sumberdaya alam di daerah asal. Secara purposive berdasar telaah data sekunder, penelitian ini mengambil Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat sebagai fokus
lokasi
kajian.
Pemilihan
tersebut
didasarkan
kepada
pertimbangan-
pertimbangan tingginya jumlah keberangkatan TKLN dari daerah ini serta adanya upaya perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan yang signifikan. Kajian mendasarkan pada kajian lapangan menggunakan metode triangulasi, yakni metode gabungan antara metode kualitatif dengan kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk "menangkap" fenomena di tingkat mikro (individu dan rumahtangga). Metode kualitatif digunakan untuk melihat fenomena di aras yang lebih tinggi (komunitas dan kelembagaan lain di atasnya). Analisis terhadap data sekunder dilakukan secara deskriptif menggunakan tabulasi silang dengan arah fokus pada kebijakan ketenagakerjaan yang berlaku untuk melihat bagaimana keterkaitannya dengan bentuk kelembagaan ketenagakerjaan yang berkembang. Data primer hasil wawancara responden diolah dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) sehingga dirumuskan strategi pengembangan kelembagaan.
Sedangkan teknik pemodelan yang dikembangkan untuk merancang desain kebijakan adalah Interpretative Structure Modeling (ISM). Tiga hal pokok yang menjadi hasil dari penelitian ini adalah, pertama, secara teoritis, hubungan sebab dan akibat kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal terkait dengan pemberdayaan TKLN berbeda dengan sebelumnya. Peran migrasi TKLN dalam perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal yang semula masih didominasi pandangan lama bahwa salah satu sebab migrasi adalah degradasi sumberdaya alam, sekarang pandangan tersebut disempurnakan, migrasi TKLN dapat juga membawa remitan sosial dan ekonomi ke daerah asal yang bisa menjadi dasar pengelolaan dan perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Oleh karena kondisi lingkungan permukiman daerah asal dan sumberdaya alam daerah asal yang tidak mampu mendukung kehidupan layak menjadi pendorong migrasi. Penelitian ini menemukan bahwa aliran kepulangan tenaga kerja dari luar negeri selain dapat menjadi faktor pembawa perubahan kondisi sosial ekonomi daerah asal, juga dapat menjadi sarana peningkatan upaya kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Hal ini disebabkan bukan hanya karena TKLN yang pulang mempunyai wawasan baru akibat melihat “dunia lain” dan aliran remitan sebagai hasil migrasi dari bekerja di luar negeri, tetapi akibat adanya “inovator” di kalangan warga daerah asal yang memanfaatkan aliran TKI ini yang sekaligus memperbaiki lingkungan permukiman daerah asal dan sumberdaya alam daerah asal. Dengan demikian, studi mengenai kaitan migrasi internasional, khususnya pemberdayaan TKLN dengan perbaikan kualitas sumberdaya alam ini terbukti menjadi semakin penting. Oleh karena hasil kajian menguatkan kesimpulan teori, bahwa migrasi sebenarnya selain menjadi akibat kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal yang buruk juga dapat menjadi sebab bagi perbaikan kualitasi sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal TKLN. Kedua, Aliran TKLN mulai dari daerah asal, bekerja di luar negeri sampai kembali ke daerah asal dapat berpotensi melembaga menjadi kelembagaan yang dapat mendorong pengembangan proses pembelajaran dalam kelembagaan pengelolaan migrasi kerja ke luar negeri (migrasi tenaga kerja internasional). Kajian melihat proses ini dapat berakibat pada penguatan proses perlindungan diri TKLN, yang pada
akhirnya dapat dikembangkan agar sampai pada pengembangan upaya-upaya perbaikan kondisi sosial ekonomi, lingkungan dan kondisi sumberdaya alam di daerah asal. Kebijakan yang diperlukan adalah mendorong TKLN yang pulang sebagai kader perubahan yang mengembangkan nilai dan pengaturan, serta pengorganisasian sosial baru yang dapat menggeser lebih cepat visi dan misi masyarakat di daerah asal dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Masyarakat menjadi terdorong untuk mengembangkan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang memperhatikan keberlanjutan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara seimbang. Prinsip-prinsip tersebut berpotensi untuk diorientasikan kepada pengentasan kemiskinan yang memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan karena dapat menekan dampak negatif atas keanekaragamannya. Ketiga, kajian merumuskan kebijakan alternatif revitalisasi total kebijakan proses bekerja ke luar negeri melalui cara menyempurnakan kebijakan yang ada agar lebih berdampak terhadap kualitas lingkungan dan sumberdaya alam di daerah asal. Nama kebijakan itu dikenalkan sebagai PTKLNPSL. Pada prinsipnya, kebijakan yang dibangun berupaya mendorong dilakukannya desentralisasi kebijakan penempatan TKLN yang pada gilirannya diharapkan dapat menciptakan upaya pengembangan masyarakat berbasis komunitas TKLN yang mampu memperbaiki kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal mereka.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2009 Hak Cipta Dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya
ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN TENAGA KERJA LUAR NEGERI DALAM RANGKA PERBAIKAN KUALITAS SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAERAH ASAL
Oleh LISNA YOELIANI POELOENGAN P 062024204
Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Disertasi
: Analisis Kebijakan Pemberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri Dalam Rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal.
Nama
: Lisna Yoeliani Poeloengan
Nomor Pokok
: P062024204
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif, M. Eng. Ketua
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Anggota
Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS
Tanggal Ujian: 31 Juli 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus
KATA PENGANTAR Disertasi ini merupakan penelitian kebijakan (policy research) dengan metode deskriptif. Obyek penelitian dalam disertasi ini adalah Tenaga Kerja Indonesia yang telah habis masa kontrak, sumberdaya alam dan lingkungannya. Melalui bidang kebijakan publik diterangkan dan dievaluasi yang berkaitan dengan implementasi, fungsi dan kebijakan yang telah dilaksanakan selama ini. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang memiliki prospek peningkatan produtivitas dan pemberdayaan lingkungan tenaga kerja luar negeri di daerah asal dilakukan melalui AHP (Analytical Hierarchy Process) dan metode ISM (Interpretative Structural Modelling). Diskripsi ringkas dan konteks, bidang dan fokus obyek dan tujuan penelitian ini tercermin dalam judul disertasi ”Analisis Kebijakan Pemeberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri Dalam Rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal”. Penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif, M.Eng., Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS., Ibu Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA., sebagai tim komisi pembimbing yang telah memberikan kontribusi dalam bentuk saran pemikiran dan bimbingannya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, selaku ketua program studi dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DEA, selaku sekertaris program studi PSL juga saya sampaikan terimakasih atas perhatian dan waktunya dalam memberikan dorongan dan semangat. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS, sebagai penguji luar komisi dan atas masukan serta pemikiran dalam penulisan disertasi. Juga kepada saudara M. Iqbal dan Vidi Nalendra yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian serta kepada seluruh kawan-kawan penulis. Berkat dorongan dan pengertian serta kasih sayang suami Ir. A. Hazmin Siddik MSi dan anak terkasih Ardini Ridhatillah S. Kom serta Abang dan Kakak, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Diharapkan disertasi ini bisa menjadi masukan bagi pengambilan kebijakan khususnya dalam kerangka Pemberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri ke depan. Saran dan kritik sangat diharapkan sebagai bahan penyempurnaan disertasi ini. Bogor, Juli 2009 Lisna Yoeliani Poeloengan
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Hanopan (Sumatera Utara) pada 1 Juli 1956, anak kedelapan dari delapan bersaudara dengan ayah bernama Amiroellah Poeloengan (almarhum) dan ibu Masteri Chaerani Harahap (almarhumah). Penulis menikah dengan Ir. A. Hazmin Siddik M.Si dan dikaruniai seorang puteri bernama Ardini Ridhatillah S.Kom. yang saat ini sedang menyelesaikan Program Master Degree jurusan Perdagangan Internasional pada Sylla University Busan, Korea Selatan. Penulis menyelesaikan jenjang Sekolah Dasar di SD Pertamina V Plaju Palembang tahun 1967, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMP Santa Maria Fatima, Bogor tahun 1970 dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMA Mardi Yuana, Bogor tahun 1973. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana (S1) di Departemen Teknologi Ilmu-ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan memperoleh gelar Insinyur (Ir) pada tahun 1980. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Pengembangan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dan memperoleh gelar Magister Sains (MS) tahun 1992. Pada tahun 2003 sampai sekarang penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Riwayat pekerjaan penulis dimulai sejak tahun 1980 pada Pusat Penelitian Ketenagakerjaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Tahun 1981 penulis menjadi Pemeriksa pada Inspektur Transmigrasi, Inspektorat Jenderal pada Departemen yang sama. Tahun 1984 penulis menjabat eselon IV a pada Direktorat Pendayagunaan Lingkungan Departemen Transmigrasi. Tahun 1989 menjabat eselon III a pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Transmigrasi. Tahun 1991 bekerja pada Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Pengerahan dan Pembinaan Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. Tahun 1999 bekerja pada Pusat Data dan Informasi Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. Tahun 2000 menjabat eselon II a pada Deputi Bidang Ekonomi, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Transmigrasi, kemudian bergabung kembali dengan Departemen Tenaga Kerja tahun 2001 menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pengembangan Satuan Kawasan Transmigrasi, dan tahun 2003 sampai Maret 2007 eselon II a pada Direktorat Pemberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja
ii
Luar Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sejak Maret 2007 sampai dengan sekarang eselon II pada Direktorat Pemberdayaan, Deputi Bidang Perlindungan, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Sejak tahun 1986 sampai sekarang penulis mengikuti berbagai pelatihan dan seminar di Asia, Eropa dan Amerika terkait pengkajian bertema ketenagakerjaan. Pembelajaran penulis perihal ketenagakerjaan juga dituang dalam beberapa wacana ilmiah. Ada dua tulisan ilmiah yang sedang dalam proses penerbitan berjudul “Analisis Kebijakan Pemberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri dalam rangka Melindungi Sumberdaya Alam di Daerah Asal” yang akan dimuat pada Jurnal Prisma, LP3ES dan “Peran dan Pemberdayaan SDM dari Luar Negeri Dalam Rangka Perlindungan Sumberdaya Lahan di Daerah Asal” yang akan dimuat dalam Jurnal Oryza, Universitas Mataram.
iii
DAFTAR ISI Kata Pengantar........................................................................................................... i Daftar Isi.................................................................................................................... iv Daftar Tabel............................................................................................................... vi Daftar Gambar........................................................................................................... vii Daftar Singkatan........................................................................................................ x BAB 1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6.
PENDAHULUAN...................................................................................... 1 Latar Belakang............................................................................................. 1 Rumusan Permasalahan............................................................................... 4 Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah.................................................. 4 Tujuan......................................................................................................... 6 Manfaat....................................................................................................... 7 Novelty........................................................................................................ 7
BAB 2. 2.1. 2.1.1. 2.1.2. 2.1.3. 2.1.4. 2.1.5. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.7.1. 2.7.2. 2.7.3.
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 9 Hubungan Migrasi dengan Lingkungan Hidup........................................... 9 Skala, Arah, dan Komposisi........................................................................ 10 Peran Faktor Demografi Dalam Migrasi Internasional............................... 11 Penyebab Migrasi Internasional.................................................................. 13 Konsekuensi Migrasi Internasional di Negara Asal.................................... 17 Migrasi Internasional dan Lingkungan Hidup: Membangun Hubungan Hipotesis...................................................................................................... 18 Berpikir Sistem (System Thinking)............................................................. 23 Organisasi Yang Siap Berubah................................................................... 29 Organisasi Belajar....................................................................................... 30 Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management)................................. 32 Sistem Manajemen Lingkungan................................................................. 34 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat................................ 36 Ekosistem Sumberdaya Alam..................................................................... 41 Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Alam............................................... 43 Konsep Partisipasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam........................ 46
BAB 3. 3.1. 3.1.1. 3.1.2. 3.1.3. 3.2. 3.2.1. 3.2.2. 3.3.
METODE PENELITIAN........................................................................... 49 Pendekatan Penelitian................................................................................. 49 Kerangka Penelitian.................................................................................... 49 Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................... 50 Pengumpulan dan Analisis Data................................................................. 51 Pengembangan Model Sistemik.................................................................. 55 Analisis Kebutuhan..................................................................................... 55 Identifikasi Sistem...................................................................................... 56 Perancangan Strategi Pilihan Kebijakan..................................................... 56
BAB 4. PERKEMBANGAN PENEMPATAN TKLN DAN PERUBAHAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI LOKASI PENELITIAN............................................................................. 66
iv
4. 1. 4. 2. 4. 3. 4. 4. 4. 5. 4.5.1. 4.5.2. 4.6.
Profil Kabupaten Cianjur sebagai Salah Satu Basis TKLN........................ 66 Pola Penyebaran dan Perkembangan Wilayah Asal TKLN........................ 74 Perkembangan dan Perubahan Sosial di Daerah Asal TKLN..................... 78 Peran Pemerintah, Swasta dan LSM............................................................ 84 Remitan, Kesejahteraan dan Perkembangan Lingkungan.......................... 90 Desa Kertajaya: Satu Daerah Asal TKLN di Kabupaten Cianjur............... 91 Perbaikan Prasarana Desa........................................................................... 116 Ikhtisar........................................................................................................ 117
BAB 5. PILIHAN STRATEGI PEMBERDAYAAN TENAGA KERJA LUAR NEGERI....................................................................................................... 121 5.1. Penelaahan Kebijakan Penempatan TKLN.................................................. 121 5.2. Analisis Aktor dan Faktor Pemberdayaan TKLN/TKLN Purna................. 126 5.3. Prioritas Elemen Komponen....................................................................... 128 5.3.1. Elemen Aktor.............................................................................................. 128 5.3.2. Elemen Faktor............................................................................................. 132 5.4. Pemilihan Strategi Kebijakan..................................................................... 130 5.5. Ikhtisar........................................................................................................ 132 BAB 6. DESAIN KEBIJAKAN SISTEM PEMBERDAYAAN TKLN UNTUK PERBAIKAN KUALITAS SDA DAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAERAH ASAL……………………………………………………….... 134 6.1. Strukturisasi Elemen Desain Sistem Program Pengembangan................... 134 6.1.1. Pengorganisasian Kebutuhan Program Pengembangan.............................. 136 6.1.2. Pengelolaan Kendala Utama Program Pengembangan............................... 140 6.1.3. Sistematisasi Pencapaian Tujuan Program Pengembangan........................ 143 6.1.4. Tolok Ukur Keberhasilan Program Pengembangan................................... 147 6.2. Rancangan Kebijakan................................................................................. 151 6.2.1. Nama Kebijakan.......................................................................................... 151 6.2.2. Tujuan, Kendala, Kebutuhan dan Tolok Ukur Keberhasilan Kebijakan................................................................................................... 156 6.2.3. Prinsip-prinsip Penerapan Kebijakan PTKLNPSL.................................... 157 6.2.4. Pendekatan Penerapan Kebijakan PTKLNPSL.......................................... 158 6.2.5. Rancangan Program.................................................................................... 168 6.3. Sinergi Pembiayaan Pengelolaan dan Pengembangan PTKLNPSL........... 184 6.4. Ikhtisar........................................................................................................ 186 BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN…………………...................................... 190 7.1. Kesimpulan................................................................................................. 190 7.2. Saran........................................................................................................... 192 Daftar Pustaka Lampiran
v
DAFTAR TABEL Tabel 2.1.
Berbagai Fungsi dan Nilai Danau..................................................
43
Tabel 2.2.
Pendekatan Pengelolaan Lingkungan.............................................
45
Tabel 2.3.
Jenis-jenis Partisipasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam.......
47
Tabel 3.1.
Jenis Data, Metode Pengumpulan dan Sumber Data.....................
54
Tabel 3.2.
Analisis Kebutuhan Stakeholders Pada Dimensi Kebijakan Publik............................................................................................. 55
Tabel 3.3.
Nilai Skala Banding Berpasangan................................................... 59
Tabel 4.1.
Perkembangan Wilayah di Kabupaten Cianjur berdasar 17 Kategori Podes 1998-2006............................................................. 77
Tabel 4.2.
Perkembangan Wilayah dan Pertumbuhan TKLN di Kecamatan Basis TKLN di Kabupaten Cianjur................................................ 78
Tabel 4.3.
Peran Tiap Stakeholder terkait Permasalahan TKLN....................
Tabel 4.4.
Komposisi Masyarakat Desa Kertajaya Berdasarkan Jenis Kelamin.......................................................................................... 93
Tabel 4.5.
Perbandingan Jenis Lantai Rumah Antara Rumahtangga Responden TKLN dan Non TKLN................................................ 104
Tabel 4.6.
Perbandingan Jenis Dinding Rumah Antara Rumahtangga Responden TKLN dan Non TKLN................................................ 104
Tabel 4.7.
Perbandingan Jenis Usaha Sampingan Antara Rumahtangga Responden TKLN dan Non TKLN................................................ 105
Tabel 4.8.
Perbandingan Kondisi Sanitasi Rumah Antara Rumahtangga Responden TKLN dan Non TKLN................................................ 108
Tabel 4.9.
Perbedaan Berbagai Aspek Kehidupan Rumahtangga Antara Sebelum dan Sesudah Menjadi TKLN............................................ 109
Tabel 4.10.
Perbedaan Kondisi Hutan dan Danau antara Tahun 1995 dan Tahun 2008...................................................................................... 114
Tabel 5.1.
Hasil Analisis Kebijakan Penempatan TKLN Tahun 2004-2008.... 122
Tabel 5.2.
Hasil AHP Kebijakan Pemberdayaan TKLN Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal...... 131
Tabel 6.1.
Matriks Reachability Akhir Elemen Kebutuhan............................. 137
Tabel 6.2.
Matriks Reachability Akhir Elemen Kebutuhan............................. 141
Tabel 6.3.
Matriks Reachability Final Elemen Tujuan.................................... 145
Tabel 6.4.
Matriks Reachability Final Elemen Tolok Ukur Keberhasilan ...... 148
89
vi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian....................................................... 5 Gambar 3.1. Alur Kerja Penelitian......................................................................
49
Gambar 3.2. Diagram Sistem Pemberdayaan TKLN Dalam Rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Permukiman di Daerah Asal....... 56 Gambar 3.3. Struktur Hierarkhi Pembuatan Strategi .......................................... 61 Gambar 3.4. Diagram Alir Penyusunan ISM ...................................................... 63 Gambar 4.1. Komposisi Peruntukan Lahan Kabupaten Cianjur.......................... 66 Gambar 4.2. Perbandingan Data Kependudukan Kab. Cianjur Dengan RataRata Kab/Kodya di Jawa Barat....................................................... 67 Gambar 4.3. Komposisi Pekerjaan Masyarakat Cianjur...................................... 69 Gambar 4.4. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Kab. Cianjur dengan rata-rata Kab/Kodya di Jawa Barat..................................... 70 Gambar 4.5. Perbandingan Sarana Pendidikan dan jumlah pengajar Kab. Cianjur dengan rata-rata Kab/Kodya di Jawa Barat........................ 71 Gambar 4.6. Perbandingan Data Penduduk Miskin Kab. Cianjur Dengan RataRata Kab/Kodya Di Jawa Barat...................................................... 72 Gambar 4.7. Perbandingan Kondisi Pelayanan Kesehatan Kab. Cianjur Dengan Rata-Rata Kab/Kodya Di Jawa Barat................................ 73 Gambar 4.8. Lokasi Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur............................................................................................. 92 Gambar 4.9. Kegiatan Pertanian Masyarakat Desa Kertajaya............................. 94 Gambar 4.10. Komposisi Masyarakat Desa Kertajaya Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian..................................................................................... 95 Gambar 4.11. Komposisi Penguasaan Lahan Masyarakat Desa Kertajaya........... 96 Gambar 4.12. Pertanian Sebagai Peruntukan Utama Penggunaan Lahan Masyarakat Desa Kertajaya............................................................ 97 Gambar 4.13. Trend Pertambahan Luas Lahan Pertanian di Desa Kertajaya........ 98 Gambar 4.14. Komposisi Masyarakat Desa Kertajaya Berdasarkan Jenjang Pendidikan...................................................................................... 99 Gambar 4.15. Rumah Penduduk yang Bekerja Sebagai TKLN............................
103
Gambar 4.16. Kondisi Fisik Bangunan Rumah Warga Yang Tidak Menjadi TKLN …………………………………………………………....
104
Gambar 4.17. Aktifitas Warga yang Memanfaatkan Pekarangan Untuk Usaha..
105
Gambar 4.18. Aktifitas Warga Membuat Kakus...................................................
106
Gambar 4.19. Selokan Warga Sebagai Bentuk Sanitasi.......................................
106
vii
Gambar 4.20. Aktifitas Warga Membuat Sumur..................................................
107
Gambar 4.21. Situ Cibadak.................................................................................... 113 Gambar 4.22. Pohon Jati dan Albasia yang Ditanam............................................. 115 Gambar 4.23. Kegiatan Pembibitan dan Budidaya Tanaman Kayu Keras di Desa Kertajaya................................................................................ 116 Gambar 4.24. Fasilitas Umum di Desa Kertajaya: Balai Desa dan Sekolah Dasar................................................................................................ 116 Gambar 5.1. Penyederhanaan Birokrasi Pelayanan Penempatan TKLN............. 124 Gambar 5.2. Peta Stakeholder sebagai Unit Analisis Kajian............................... 125 Gambar 5.3. Struktur Hirarki Pemberdayaan TKLN Keputusan Strategis untuk Perbaikan Kualitas SDA Lingkungan............................................. 127 Gambar 5.4. Prioritas Elemen Aktor Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal.................................................................................................. 128 Gambar 5.5. Prioritas Elemen Faktor Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal.................................................................................................. 130 Gambar 5.6. Prioritas Alternatif Strategi bagi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal................................................................ 131 Gambar 6.1. Struktur Hierarki Antar Sub Elemen Kebutuhan Program Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal .............................................................. 138 Gambar 6.2. Matriks Driver Power Sub Elemen Kebutuhan Program Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal………....................………………....… 140 Gambar 6.3. Struktur Hierarki Antar Sub Elemen Kendala Utama Program Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKI dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal................................................................ 142 Gambar 6.4. Matriks Driver Power Sub Elemen Kendala Utama Program Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal................................................................ 143 Gambar 6.5. Struktur Hierarki Antar Sub Elemen Tujuan Program Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal................................................................ 145
viii
Gambar 6.6. Matriks Driver Power Sub Elemen Tujuan Program Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal................................................................ 146 Gambar 6.7. Struktur Hierarki Antar Sub Elemen Tolok Ukur Keberhasilan Program Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal................................................................ 149 Gambar 6.8. Matriks Driver Power Sub Elemen Tolok Ukur Keberhasilan Program Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Daerah Asal..................................................................................... 150 Gambar 6.9. Pemahaman Proses Pengelolaan TKLN sebagai Suatu Sistem Pemberdayaan TKLN...................................................................... 153
ix
DAFTAR SINGKATAN
ADD
: Alokasi Dana Desa
AMDAL
: Analisis Mengenai Dampak Atas Lingkungan
APBN
: Anggaran Pendapatan dan belanja Negara
BP3TKI
: Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
CO
: Community Organizer
DEPNAKERTRANS : Departemen Ketenagakerjaan dan Transmigrasi IPM
: Indeks Pembangunan Manusia
KBRI
: Keduataan Besar Republik Indonesia
KJRI
: Konsulat Jenderal Republik Indonesia
KK
: Kartu Keluarga
KTP
: Kartu Tanda Penduduk
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
PPTKIS
: Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
PT
: Perseroan Terbatas
PTKLNPSL
: Pemberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal
RPJMD
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
SBMC
: Solidaritas Buruh Migran Cianjur
SMA
: Sekolah Menengah Atas
SMP
: Sekolah Menengah Pertama
RT
: Rukun Tetangga
RW
: Rukun Warga
TKI
: Tenaga Kerja Indonesia
TKW
: Tenaga Kerja Wanita
TKLN
: Tenaga Kerja Luar Negeri
x
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepulangan Tenaga Kerja Luar Negeri (TKLN) menjadi fenomena penting pada dekade 2000-an. Hal yang tidak terbantahkan dari proses tersebut adalah pengaliran remitan terutama uang dari hasil bekerja di luar negeri ke berbagai daerah asal di Indonesia. Gejala yang kemudian menjadi bagian perhatian dunia internasional adalah alokasi aliran dana tersebut dapat berperan untuk proses penanggulangan kemiskinan dan pembangunan daerah asal (Adams dan Page, 2003). Berbagai studi tentang remitan di negara-negara Afrika, Amerika Latin dan Asia memperlihatkan bahwa kepulangan tidak hanya identik dengan pengaliran uang tetapi juga menjadi proses aliran gagasan-gagasan baru dalam proses pembangunan di daerah asal (Azam dan Gubert, 2002; Cordoba, 2004; dan Yang, 2004). Kajian di Philipina oleh Yang (2004) menunjukkan bahwa bekerja ke luar negara dapat menguatkan jiwa kewirausahaan dan meningkatkan mutu human capital di kalangan pekerja-pekerja luar negeri tersebut. Migrasi sebagai unsur dinamika penduduk dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya alam secara langsung maupun tidak langsung. Dalam teori tentang migrasi internasional, disebutkan salah satu konsekuensi migrasi adalah pengurangan tekanan penduduk atas sumberdaya alam. Lucas dan Stark (1985) menemukan bukti di Afrika perihal kaitan antara kekeringan dan migrasi internasional. Curran (2002) meyakini kebenaran akan cara pandang ini. Cassels (2005) menemukan bukti kebenaran dari hubungan tersebut di Sulawesi Utara. Perkembangan selanjutnya, migrasi internasional dipercaya dapat menjadi sebuah proses yang mendorong pencapaian agenda dunia yang disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs) yang salah satu dari delapan tujuannya adalah keberlanjutan lingkungan hidup (United Nations Secretariat, 2006). Dalam konteks Indonesia, aliran TKLN untuk bekerja ke luar negeri bukanlah hal baru. Proses tersebut dikenal sejak zaman penjajahan Belanda dan mempunyai ciri-ciri perkembangan yang khas dari satu dekade ke dekade. Proses tersebut terjadi bersamaan dengan dinamika sosial-ekonomi dan politik, yang bercampur dengan budaya merantau yang ada di kalangan sebagian suku-bangsa
yang ada di Indonesia. Bukti dari proses tersebut masih dapat dilihat, misal Suku Bangsa Jawa, Minangkabau dan Mandailing yang hidup di Semenanjung Malaysia (Naim, 1984; Abidin, 1982; dan Tamrin, 1987). Dalam dekade 1980-an hingga tahun 1990-an, pembangunan yang kurang merata antar wilayah meningkatkan aliran penduduk dari satu daerah ke daerah lain untuk memperbaiki taraf hidup, baik melalui urbanisasi atau program transmigrasi. Permintaan tenaga kerja dari berbagai negara lain mendorong aliran penduduk untuk bekerja ke luar negeri, dan memberi pengaruh terhadap pembangunan daerah asal yang menjadi basis pekerja-pekerja luar negeri (Kolopaking, 2000). Sejak tahun 1980 Pemerintah Indonesia (Departemen Tenaga Kerja) mulai menjadikan proses tersebut sebagai program penempatan tenaga kerja ke luar negeri karena program tersebut dianggap dapat memberikan andil besar bagi devisa negara, perbaikan ekonomi pedesaan dan kepentingan ekonomi di sebagian besar daerah asal TKLN. Bahkan, pada pertengahan dekade 1990-an program ini dicanangkan menjadi sebuah Industri Jasa Tenaga Kerja yang dapat melayani permintaan tenaga kerja.. Puncak migrasi TKLN ke luar negeri pada awal sejarah migrasi TKLN terjadi tahun 1984 dengan tujuan utama Arab Saudi. Dalam situasi krisis ekonomi Indonesia saat ini, khususnya di wilayah pedesaan yang sektor pertaniannya tidak dapat banyak diharapkan, migrasi TKLN tetap menjadi alternatif masyarakat pencari kerja. Kondisi ini dapat dilihat dari tingginya jumlah TKLN sejak tahun 1994 sampai 2008 yang mencapai 4.300.000 orang. Beberapa studi (Gunawan dan Widodo, 1993;1 Syahrir, 1989;2 Naipul, 1987;3 dan Kolopaking, 2000)4 membuktikan bahwa tenaga kerja migran telah berhasil meningkatkan aliran uang masuk ke daerah asalnya dan berperan penting dalam menanggulangi kemiskinan, sekurang-kurangnya secara temporer. Bahkan, kepulangan TKLN ini berakibat juga terhadap perbaikan bangunan-bangunan rumah dan kondisi lingkungan
1 Gunawan, Memed dan Erwidodo (1993) “Urbanisasi dan Pengurangan Kemiskinan Kasus Migrasi Desa-Kota di Jawa Barat.” Prisma, No.2 Tahun XII. Jakarta: LP3ES. 2 Sjahrir, Kartini (1989) “Migrasi Tukang Bangunan: Beberapa Faktor Pendorong”. Prisma, No.5 Tahun XIII. Jakarta: LP3ES. 3 Naipul, V.S. (1987) The Enigma of Arrival. London: Penguin. 4 Kolopaking, L.M. (2000) International Migration and the Development of the Sending Region in Java. PhD Thesis Submitted to University Sains Malaysia.
2
permukiman di daerah asal TKLN. Proses migrasi TKLN sekarang ini diduga berperan juga dalam melindungi kualitas lingkungan dan sumberdaya alam. Permasalahan yang ada saat ini, peran migrasi TKLN dalam pemberdayaan diri dan masyarakat mereka dalam rangka perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal belum diteliti secara memadai. Hal ini disebabkan masih dominannya pandangan lama, bahwa salah satu sebab migrasi adalah degradasi sumberdaya alam. Kondisi lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak mampu mendukung kehidupan layak menjadi pendorong masyarakat melakukan migrasi, sementara kaitan pemberdayaan TKLN terhadap perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal belum menjadi perhatian. Dalam perkembangan terkini, pandangan tersebut sudah berubah. Aliran kepulangan tenaga kerja dari luar negeri diyakini dapat menjadi sarana perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Wawasan pengalaman bekerja di luar negeri dan aliran remitan sebagai hasil migrasi dari bekerja di luar negeri dipercaya menjadi potensi tersendiri dalam membentuk
perspektif
baru
sebuah
masyarakat
dalam
memberdayakan
lingkungan dan sumberdaya alamnya. Contoh sederhana adalah meningkatnya kemampuan ekonomi keluarga TKLN, juga merubah kondisi permukiman sehingga anggota keluarga menjadi lebih sehat dan juga meningkatkan kesempatan untuk mengelola lahan pertanian dengan lebih baik. Studi mengenai kaitan migrasi internasional, khususnya pemberdayaan TKLN dalam rangka perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal menjadi penting. Kajian yang berpihak kepada TKLN khususnya pada pengkajian terhadap migrasi TKLN dalam kaitannya dengan pemberdayaan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan menjadi suatu keperluan. Hal ini khususnya yang dapat berimplikasi pada aspek kebijakan di bidang pemberdayaan sumberdaya alam dan pengaturan migrasi internasional, khususnya pengelolaan pembangunan di daerah asal dari TKLN yang menjadi daerah basis pekerja-pekerja di luar negeri.
3
1.2. Rumusan Permasalahan Masalah umum yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah mempelajari bagaimana pemberdayaan terhadap TKLN berakibat pada perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman terutama di daerah asal TKLN. Secara spesifik kajian menekankan pada masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana kondisi kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal yang telah menjadi basis Tenaga Kerja yang bekerja ke luar negeri?
2.
Bagaimana kelembagaan pengelolaan migrasi kerja ke luar negeri (migrasi internasional) berakibat pada perbaikan terhadap kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal?
3.
Perlukah revitalisasi kebijakan proses bekerja ke luar negeri yang ada disempurnakan agar lebih berdampak terhadap kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal?
1.3. Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah Penelitian yang dilakukan mengacu kepada kerangka pemikiran yang dikembangkan. Kerangka pemikiran (Gambar 1.1.) memiliki asumsi-asumsi dasar untuk menganalisa dan mengembangkan kebijakan pemberdayaan tenaga kerja luar negeri dalam rangka perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal TKLN. Sebagaimana diketahui, bahwa aliran pergi dari daerah asal akan menyebabkan pengurangan tekanan penduduk suatu daerah asal terhadap
sumberdaya
alamnya.
Bahkan,
dalam
perkembangan
terbaru
sebagaimana akan ditunjukkan dalam penelaahan pustaka di dalam uraian selanjutnya, ditunjukan bahwa aliran orang pulang dan remitan yang dibawanya berpengaruh atas pola penguasaan sumberdaya alam dan lahan. Pada akhirnya, aliran orang pulang dan remitan ini baik langsung maupun tidak langsung dipercaya dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Proses migrasi tenaga kerja ke luar negeri berpotensi diarahkan menjadi salah satu media proses perbaikan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal TKLN. Hal ini memerlukan sebuah pengembangan
4
kebijakan yang disiapkan secara sistematis. Saat ini masih terdapat perbedaan (gap) antara kondisi yang diharapkan dikembangkan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan (ideal/desire/steady state) dengan kondisi yang sedang berkembang pada saat ini (actual state). Kebijakan yang diperlukan adalah mendorong TKLN yang pulang sebagai kader (change agent) mengembangkan nilai dan pengaturan, serta pengorganisasian sosial baru yang dapat menggeser lebih cepat visi dan misi masyarakat di daerah asal didalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan permukiman dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Masyarakat didorong mengembangkan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal yang memperhatikan keberlanjutan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara seimbang. Prinsip-prinsip tersebut diorientasikan kepada pengentasan kemiskinan yang memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman secara berkelanjutan serta menekan dampak negatif terhadap keanekaragaman sumberdaya alam. ACTUAL STATE TRANSFORMATION PROCESS CHANGE AGENT
Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Aktual
FEED BACK ITERATION PROCESS
VISI Melindungi Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan
POLICY ANALYSIS
ANALYTICAL
Pemodelan Sistem Dinamik HIERARCHY PROCESS Analisis Prospektif
GAP
DESIRE/ STEADY STATE KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN TENAGA KERJA LUAR NEGERI text LEARNING PROCESS text KNOWLEDGE MANAGEMENT ORGANIZATIONAL CHANGE SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN (EMS)
Aspek Lingkungan
Efisiensi Zero Waste
Aspek Ekonomi
Biodiversitas
Aspek Sosial
Pengentasan Kemiskinan
SISTEM MANAJEMEN SDA DAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN
BOUNDARY
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
5
Ketiadaan kebijakan yang mengarahkan keterkaitan antara proses migrasi para TKLN dengan upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan menyebabkan adanya kesenjangan antara kondisi saat ini dengan visi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan analisis kebijakan (policy analysis) pemberdayaan tenaga kerja luar negeri yang memperhatikan sistem manajemen lingkungan yang diterapkan. Proses pengembangan dan penyiapan langkah penerapan kebijakan ini perlu dijelaskan dengan identifikasi sistem yang menggunakan kerangka knowledge management dan pengembangan alternatif kebijakan dengan analitycal hierarchy process. Pengembangan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan tenaga kerja luar negeri serta sistem manajemen lingkungan ini diharapkan dapat mendorong pemberdayaan TKLN menjadi agen-agen perubahan yang dapat mendorong lebih cepat pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
1.4.
Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah menelaah proses perbaikan kualitas
sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal Tenaga Kerja Luar Negeri (TKLN) akibat pemberdayaan migrasi internasional. Secara spesifik, tujuan kajian adalah: 1.
Mengidentifikasi hubungan sebab maupun akibat kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal dengan pemberdayaan TKLN.
2.
Mengkaji proses pembelajaran dalam kelembagaan pengelolaan migrasi kerja ke luar negeri (migrasi internasional) berakibat pada perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal.
3.
Menyusun kebijakan alternatif revitalisasi kebijakan proses bekerja ke luar negeri yang disempurnakan agar lebih berdampak terhadap kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal.
6
1.5.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1.
Stakeholder yang terlibat dalam pemberdayaan terhadap migrasi TKLN yang berakibat pada perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman terutama di daerah asal TKLN agar dapat menggunakan hasil penelitian ini didalam pengambilan keputusan.
2.
Pemerintah baik tingkat daaerah maupun pusat, sebagai acuan dalam membuat kebijakan berkaitan dengan perencanaan pemberdayaan terhadap migrasi TKLN.
3.
Ilmu pengetahuan dalam bidang pendekatan sistem dalam perencanaan pemberdayaan terhadap migrasi TKI ke luar negeri agar dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan perencanaan pemberdayaan terhadap migrasi TKLN.
1.6.
Novelty Kebaharuan dari temuan penelitian berdasarkan tataran teori adalah bahwa
penelitian ini menemukan bukti lain yang mengarahkan kepada kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan yang telah ada selama ini mengenai hubungan antara daerah asal dan proses migrasi. Dalam penelitian ini, migrasi tenaga kerja internasional yang dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya digambarkan sebagai sebuah proses yang disebabkan oleh kemiskinan dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal, tetapi ternyata saat ini proses migrasi tersebut dapat juga terjadi sebaliknya, migrasi tenaga kerja internasional dapat menjadi sumber atau sarana penanggulangan kemiskinan dan perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal. Kebaharuan kedua, adalah hasil penelitian tentang rumusan rancangan kebijakan penempatan TKLN yang perlu dikembangkan memiliki arah memberdayakan TKLN agar berfungsi sebagai sarana perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Rancangan yang ditemukan berupa kebijakan dengan proses melakukan desentralisasi kebijakan TKLN secara bertahap dan dikembangkan melalui penguatan komunitas TKLN di daerah asal, pendampingan dan penguatan kapasitas TKLN untuk berorganisasi
7
dan bekerjasama dalam pola kemitraan dengan multi-pihak di berbagai tingkat, mulai dari kabupaten, provinsi, nasional, bahkan internasional. Desentralisasi kebijakan penempatan TKLN ini juga merupakan upaya penempatan TKLN yang mempunyai dimensi perlindungan dan pemberdayaan TKLN yang dirumuskan bervariasi mengikuti sentra-sentra daerah pengirim, dimulai dari yang telah lama berkembang seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur kemudian diikuti prosesproses berupa kaji-tindak di daerah-daerah lain.
8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hubungan Migrasi dengan Lingkungan Hidup Migrasi internasional (antar negara) mencerminkan adanya ketidaksamaan dalam pembangunan antar negara. Ketidaksamaan ini dapat dicermati sekurangnya dari tujuh hal yakni: (1) perbedaan dalam kemakmuran suatu negara, (2) perbedaan dalam tingkat upah, (3) perbedaan ketersediaan peluang bekerja dan berusaha, (4) perbedaan biaya transport, (5) ketersediaan jaringan sosial dan hubungan kekerabatan, (6) hambatan sosial budaya, dan (7) hambatan politik antar negara5. Kepergian dan kepulangan dapat berdampak negatif maupun positif baik terhadap negara tujuan maupun bagi negara penerima. Dampak positif diantaranya migrasi internasional dapat menjadi pendorong pembangunan di daerah asal, menjadi sumber penyedia pembiayaan pembangunan setempat, dan merupakan media meningkatkan taraf kebudayaan. Dampak negatifnya adalah kepergian tenaga kerja ke luar negeri dapat menghambat pembangunan di daerah asal, jika kepergian ini memang sampai mengurangi jumlah tenaga kerja di daerah asal secara signifikan, sementara bagi negara penerima dapat menimbulkan ketegangan politik, sosial, dan budaya6. Uraian berikut memaparkan latar belakang migrasi internasional, penyebab migrasi, berbagai pengaruh migrasi internasional secara lebih mendalam, pengaruhnya terhadap baik negara pengirim maupun penerima serta beberapa teori yang menjelaskan migrasi termasuk di dalamnya pengaruh migrasi terhadap lingkungan alam fisik, kerangka teoritis yang mengantarkan kita kepada interaksi antara migrasi internasional dengan lingkungan alam. Pada bagian akhir selanjutnya dijabarkan tentang kerangka pemikiran yang dibangun untuk menganalisa kebijakan pemberdayaan tenaga kerja luar negeri dalam rangka melindungi sumberdaya alam dan lingkungan daerah asal.
5
Pooley, Coolin G. and Whyte, Ian (eds). Migrants, Emigrants, and Immigrants A Social History of Migration. London and New York: Routlegde, 1991: 7-10. 6 Dokument Program of Action of the 1994 Conference on Population and Development. International Migration Review Vol. XXI No. 20 June 1995: 383-413.
2.1.1. Skala, Arah, dan Komposisi7 Estimasi yang dilakukan oleh United Nations Population Division yang didasarkan pada data sensus sejak 1980-an mendapatkan sekitar 100 juta orang hidup di luar negara kelahirannya. Dari jumlah 100 juta ini, 36 juta berada di Asia, Timur Tengah, dan Afrika Utara; lebih dari 23 juta hidup di Eropa bagian Timur dan bagian Barat, lebih dari 20 juta di Amerika Serikat dan Kanada; 10 juta di Afrika; 6 juta di Amerika Latin dan Karibia; dan 4 juta di Oseania. Angka-angka ini termasuk didalamnya adalah pengungsi8 (yang pada pertengahan 1980-an berjumlah 12-13 juta) juga termasuk migran permanen dan temporer. Jumlah ini, tidak diragukan lagi telah tumbuh pesat ditahun-tahun terakhir ini. Pasalnya, jumlah di atas belum memasukkan 70 juta penduduk bekas Uni Soviet yang saat ini hidup di luar tanah kelahirannya. Di awal 1993, terdapat sebanyak 19 juta orang yang dikategorikan sebagai pengungsi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa, dan mungkin saja jumlah ini setara jumlah migran yang setengah terpaksa9. Mungkin
terasa
sangat
mengejutkan,
jika
mendapati
fakta
menunjukkan bahwa pergerakan migrasi internasional justru terjadi antar negara berkembang. Pengungsian, misalnya, memang banyak terjadi di negara berkembang. Hal ini masih ditambah dengan kenyataan bahwa negara-negara sedang berkembang memiliki banyak magnet penarik migran: termasuk di dalamnya adalah tumbuhnya kekuatan ekonomi baru di Asia (Korea Selatan, Malaysia, Hongkong, Singapura dan Taiwan), negaranegara penghasil minyak negara-negara Timur Tengah, Afrika Barat dan Afrika Selatan di Afrika; Venezuela, dan Meksiko di Amerika Latin. Meskipun migrasi internasional hanya merupakan sejumput pergerakan dari 7 Michael S. Teitelbaum dan Sharon Stanton Russell, "Fertility, International Migration, and Development," dalam Robert Cassen, ed. Population and Development: Old Debates, New Conclusions, New Brunswick (USA) and Oxford (UK): Transaction Publishers, 1994, pp. 229252. 8 Pada tulisan ini, istilah "pengungsi" digunakan secara ketat sesuai definisi yang digunakan United Nations High Commissioner for Refugees, yang mengacu pada Konvensi PBB tahun 1951 tentang Status Pengungsi, Protocol 1967 tentang Status Pengungsi, dan Konvensi Persatuan Negara Afrika—Organization for African Unity (OAU) tahun 1969. 9 United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), The State of the World's Refugees: The Challenges of Protection, New York: Penguin Books, 1993, p. 153.
10
total penduduk dunia, namun dampak pergerakan ini relatif besar terutama jika dilihat dari jumlah orang yang bermigrasi. Kelompok yang juga termasuk ke dalam kategori migran internasional adalah mereka yang pergi secara “sukarela” (misalnya pekerja jangka pendek dan jangka panjang baik mereka yang terkategori tenaga terdidik maupun tenaga tidak terampil, juga termasuk ke mereka yang “terpaksa” (misalnya pengungsi atau pencari ketenangan lain, dan pergerakan orang karena alasan lingkungan atau “ecomigrants”). Termasuk ke dalam spektrum ini adalah pergerakan orang akibat kemiskinan atau kekurangan peluang bekerja dan berusaha di daerah asalnya. Banyak dari mereka menjadi settlers, yakni migran baik legal ataupun illegal namun tinggal permanen di negara tujuan; lainnya telah pergi (sekurangnya pada awalnya) atas dasar keinginan pindah temporer. Pada umumnya, migran berjenis kelamin laki-laki muda. Lagi-lagi, cukup menarik bahwa antara 40 hingga 60 persen migran di seluruh dunia adalah laki-laki dan untuk kasus pengungsi jumlah perempuan dewasa dan gadis hampir satu setengah kali laki-laki. Dalam beberapa kasus (seperti di Indonesia dan Sri Lanka dan pemergian Indonesia ke negara-negara Timur Tengah), mayoritas migran ini adalah kaum perempuan.
2.1.2. Peran Faktor Demografi Dalam Migrasi Internasional Hubungan antara migrasi internasional dengan faktor demografi lain jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, struktur umur, dan komposisi internal populasi tidaklah sederhana ataupun deterministik. Misalnya, ada pandangan populer bahwa fertilitas yang tinggi di daerah pengirim didukung oleh fertilitas rendah di daerah penerima adalah penyebab utama migrasi internasional. Namun, pandangan ini tidak mampu menjelaskan kenyataan migrasi terbesar justru berlangsung antar negara berkembang, baik negara pengirim maupun penerima memiliki tingkat fertilitas tinggi dan struktur umur muda. Juga, tidak menjelaskan volume migrasi yang cukup besar dari Eropa Timur ke Eropa, kedua daerah ini memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang rendah.
11
Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa variabel demografi tidak relevan dalam melihat feomena migrasi internasional, namun sebenarnya faktor ini hanya membangun potensi untuk perpindahan internasional, dan hanya satu dari banyak sumber tekanan untuk melakukan migrasi saja. Untuk kasus negara berkembang, fertilitas tinggi dibarengi dengan penurunan tingkat mortalitas bayi dan anak-anak menghasilkan struktur umur penduduk yang sangat “muda”. Setelah jeda yang sangat lama antara 15 hingga 20 tahunan, yakni saat kelompok penduduk muda ini memasuki pasar tenaga kerja, maka tekanan tingginya taraf fertilitas mungkin sudah mulai dirasakan. Kecuali pertumbuhan peluang bekerja dan berusaha terjaga pada tingkat yang sangat tinggi, maka pasar tenaga kerja untuk kaum “dewasa muda” menjadi jenuh, dan income relatif untuk kelompok ini menurun. Secara tipikal ini dibarengi dengan migrasi desa-kota yang sangat hebat, dan jika kondisinya memang memungkinkan akan diikuti dengan migrasi ke negara-negara. Hal yang sama juga berlaku, tingkat fertilitas yang rendah di negara penerima mungkin hanya berperan sebagai pemicu terhadap migrasi internasional, dan jika ini terjadi sifatnya tidak langsung dan dengan jeda yang panjang. Pada beberapa negara dengan in-migration tinggi, tingkat fertilitas memang sangat-sangat rendah. Di Jerman, misalnya, tingkat fertilitas total pada 1993 hanya 1,4 anak per wanita; di Italia 1,3. Tingkat fertilitas serendah ini mungkin memberikan tekanan kepada pemerintah untuk mengkhawatirkan “kekurangan tenaga kerja” di masa mendatang atau dari kalangan politikus yang mengkhawatirkan penurunan jumlah penduduk yang pada akhirnya memberikan kontribusi baik secara implisit ataupun eksplisit terhadap diambilnya kebijakan yang mendorong keterbukaan terhadap migrasi ke dalam. Besaran potensi tekanan demografi terhadap migrasi internasional di negara-negara berkembang sangatlah menarik. Menurut estimasi ILO yang dibuat pada pertengahan 1980-an,10 dalam dua dekade antara 1970 sampai 1990, populasi yang secara ekonomi aktif di negara-negara berkembang 10
International Labour Office, Economically Active Population 1950-2025, Geneva: ILO, 1986; Vol. V, Table 2.
12
meningkat sebanyak 59 persen, atau 658 juta orang. Sebagai pembanding, populasi yang secara ekonomi aktif di negara-negara maju hanya meningkat 23 persen, atau 109 juta orang. Lebih dari dua dekade dari 1990 ke 2010, pertumbuhan penduduk yang secara ekonomi aktif di negara berkembang diproyeksikan lebih besar dalam satuan absolut (733 juta) dan sedikit lebih rendah dalam presentasi (41 persen) dibanding dua dekade sebelumnya. Sebaliknya, di negara maju angka ini diproyeksikan meningkat hanya 50 juta atau 9 persen. Meskipun tingkat fertilitas yang tinggi di negara-negara berkembang cenderung menurun ke level moderat, namun tekanan demografis akan tetap dirasakan dalam beberapa dekade mendatang.
2.1.3. Penyebab Migrasi Internasional Sejauh ini tidak ada teori tunggal, teori migrasi internasional yang sudah mapan dan mampu menjelaskan fenomena migrasi internasional secara memuaskan11. Di antara berbagai model yang berupaya menjelaskan mengapa migrasi internasional terjadi, lima pendekatan utama dapat dipaparkan sebagai berikut: •
Ekonomi Neoklasik: teori makro berpandangan bahwa perbedaan dalam aspek geografis dari sisi penawaran dan permintaan tenaga kerja di daerah asal dan tujuan merupakan faktor utama yang mendorong keputusan bermigrasi. Salah satu asumsi teori ini adalah bahwa migrasi internasional tidak akan terjadi jika tanpa adanya faktor di atas, dan bahwa penghilangan faktor-faktor di atas akan menghentikan pergerakan internasional, dan bahwa pasar tenaga kerja (dan bukan pasar yang lain) merupakan mekanisme utama pemicu migrasi. Intervensi kebijakan pemerintah mempengaruhi migrasi dengan mengatur atau mempengaruhi pasar tenaga kerja di negara asal dan tujuan.
•
Ekonomi Neoklasik: teori mikro memfokuskan pada tingkat individu sebagai
11
aktor
rasional
yang
membuat
keputusan
bermigrasi
Douglas S. Massey, et al., "Theories of International Migration: A Review and Appraisal," in Population and Development Review, Vol. 19, No. 3, September 1993, pp. 431-466.
13
berdasarkan perhitungan manfaat dan biaya yang mengindikasikan tingkat pengembalian yang positif dari perpindahan itu. Pada pendekatan ini, karakteristik sumberdaya manusia yang meningkatkan potensi manfaat migrasi, dan faktor individu, sosial, atau teknologi yang menurunkan biaya, akan mendorong peningkatan migrasi. Perbedaan dalam pendapatan dan tingkat upah pekerja merupakan variable kunci dan pemerintah mempengaruhi migrasi melalui kebijakan yang mempengaruhi faktor-faktor ini (misalnya: melalui proses pembangunan yang meningkatkan pendapatan di daerah asal, menurunkan kemungkinan mendapat pekerjaan di daerah tujuan atau meningkatkan biaya pemergian). •
The new economics of migration memandang bahwa migrasi sebagai sebuah
strategi
keluarga
(misalnya
kelompok)
untuk
mendiversifikasikan sumber pendapatan, menurunkan resiko terhadap rumahtangga, dan mengatasi hambatan terhadap keterbatasan kredit dan modal. Dalam model ini, migrasi internasional merupakan alat untuk mengkompensasi ketidakadaan atau kegagalan suatu jenis pasar tertentu di negara berkembang, misalnya pasar asuransi pertanian, asuransi tenaga kerja atau pasar modal. Kebalikan dari model neoklasik, perbedaan upah tidak dipandang sebagai syarat perlu terjadinya migrasi internasional, dan pembangunan ekonomi di daerah asal atau penyeimbangan perbedaan upah tidak dengan sendirinya akan
menurunkan
tekanan
untuk
bermigrasi.
Pemerintah
mempengaruhi migrasi melalui kebijakan terhadap asuransi, modal, dan pasar berjangka dan melalui kebijakan distribusi pendapatan yang mempengaruhi tekanan kelompok tertentu dan dengan demikian menurunkan keinginan untuk bermigrasi. •
Dual labor market theory menekankan bahwa permintaan terhadap pekerja kelas rendahan (low-level workers) di negara yang lebih maju merupakan faktor kritikal dalam membentuk migrasi internasional. Guna menghindari inflasi struktural yang akan terjadi akibat meningkatnya biaya bagi pekerja pemula dari tuan rumah dan untuk
14
menjaga agar tenaga kerja tetap merupakan faktor produksi, pemberi kerja akan mencari pekerja migran yang mau menerima gaji rendah. Dalam model ini, migrasi internasional merupakan fenomena demandbased dan diinisiasi oleh kebijakan rekruitmen dari pemberi kerja atau kebijakan pemerintah di negara tujuan. Perbedaan upah antara negara tujuan dengan negara asal bukanlah syarat perlu terjadinya migrasi. Pilihan kebijakan untuk mempengaruhi migrasi sangat terbatas— perubahan dalam organisasi ekonomi di negara tujuan. •
World systems theory fokusnya tidak pada pasar tenaga kerja di ekonomi nasional, akan tetapi pada struktur pasar dunia merupakan penetrasi hubungan ekonomi kapitalis ke dalam daerah peripheri, sebuah masyarakat non-kapitalis, yang terjadi melalui berbagai tindakan pemerintahan neokolonial, perusahan multinasional, dan elit nasional. Migrasi internasional terjadi setelah tanah, bahan mentah dan pekerja di daerah asal masuk ke dalam pasar ekonomi dunia dan sistem tradisional terganggu. Hubungan transportasi, komunikasi, budaya, dan ideologi yang menyertai globalisasi kemudian turut memfasilitasi migrasi internasional. Dalam pandangan ini, migrasi internasional kurang dipengaruhi oleh tingkat upah atau perbedaan peluang bekerja antar negara akan tetapi lebih diakibatkan oleh kebijakan atas investasi luar negeri dan kebijakan terhadap aliran modal dan barang internasional. Studi Kolopaking (2000) di Jawa mendapatkan bahwa proses migrasi
internasional dapat melanggengkan gelombang pemergian berikutnya sehingga proses migrasi itu sendiri menjadi sebuah proses yang berkelanjutan. Sebagaimana IUSSP Committee menekankan, ”...the conditions that initiate international movement may be quite different from those that perpetuate it across time and space....new conditions that arise in the course of migration come to function as independent causes themselves...[making] additional movement more likely, a process known as cumulative causation."12
12
Massey et al., op. cit., p. 448.
15
Tentang keberlanjutan proses migrasi internasional berikut dipaparkan sejumlah teori yang berupaya menjelaskan fenomena migrasi internasional yang berterusan. •
Network theory menekankan bahwa jaringan migrasi berfungsi untuk mengurangi biaya dan resiko migrasi internasional dan karenanya meningkatkan peluang migrasi. Pengembangan jaringan seperti ini sering difasilitasi oleh kebijakan pemerintah terhadap unifikasi keluarga dan sekali dijalankan, jaringan migrasi ini dapat membangun aliran internasional yang relatif tidak sensitif terhadap intervensi kebijakan.
•
Institutional theory merujuk pada fakta bahwa sekali migrasi internasional itu terjadi, organisasi swasta dan organisasi sukarela terbangun untuk mendukung dan mempertahankan aliran migrasi. Ini termasuk di dalamnya entitas legal dan illegal yang menyediakan transportasi, perekrutan tenaga kerja, perumahan, pelayanan hukum dan layanan lainnya, yang banyak diantaranya terbukti sulit diatur oleh pemerintah.
•
Cumulative causation theory sebuah teori yang berpandangan bahwa dengan mempengaruhi konteks sosial keputusan migrasi, adanya gelombang migrasi menciptakan "feedbacks" yang menyebabkan arus migrasi tidak terbendung. Diantara berbagai faktor yang dipengaruhi oleh migrasi adalah distribusi pendapatan dan lahan; organisasi produksi pertanian; nilai dan persepsi budaya yang melingkupi migrasi; distribusi regional dari modal sumberdaya manusia; dan "social labeling" terhadap pekerjaan di negara tujuan "immigrant jobs” Sekali lagi, sekali sistem pemergian terbentuk, seringkali sangat resisten terhadap intervensi pemerintah.
IUSSP menyimpulkan bahwa teori pemicu migrasi internasional tidak perlu dan jangan dipandang sebagai hal yang kontradiktif atau saling asing. Namun, "it is entirely possible that individuals engage in cost-benefit calculations; that households act to diversify labor allocation; and that the
16
socio-economic context within which these decisions are made is determined by structural forces operating at the national and international levels."13
2.1.4. Konsekuensi Migrasi Internasional di Negara Asal Banyak pemerintah negara berkembang mendorong tumbuh dan berkembangnya migrasi tenaga kerja ke luar negeri, meski lebih sering secara implisit ketimbang dilakukan secara eksplisit. Alasannya beragam: emigrasi dapat menyediakan pekerjaan yang relatif berpendapatan baik, dan sangat menarik bagi pemerintahan yang harus menyediakan tambahan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Banyak negara (Mesir, Sri Lanka dan India adalah contoh yang mudah), sistem pendidikannya meluluskan lulusan yang sangat terampil namun permintaan dalam negeri terhadap keterampilan mereka sangat sedikit. Dengan menyediakan lapangan kerja baik dari kelompok terdidik maupun tidak terdidik, dan emigrasi menawarkan peluang untuk pelepasan rasa frustasi yang pada akhirnya dapat menghadirkan problem politik serius di dalam negeri, proses migrasi diyakini akan menghasilkan remitan yang cukup besar. 14 Dampak migrasi internasional terhadap pembangunan (dan dampak pembangunan terhadap migrasi) tetap menjadi debat panas dan belum dipahami sempurna. Meski si miskin jarang memiliki kemampuan untuk bermigrasi, remitan telah terbukti berperan penting dalam pengurangan kemiskinan. Konsekuensi remitan terhadap ketimpangan pendapatan sangat tergantung dari komposisi income pada suatu masa migrasi. Ketimpangan mungkin saja mengikat jika yang pergi adalah kelompok atas, sementara dampak akan netral jika yang pergi adalah kelompok bawah. Konsekuensi terhadap pasar tenaga kerja dan sumberdaya manusia beragam dan kadang spesifik lokasi. Sulit untuk mengukur pengurangan pengangguran di negara asal, namun yang pasti, migrasi internasional 13
Demetrios G. Papademetriou and Philip L. Martin, "Labor Migration and Development: Research and Policy Issues,” in Demetrious G. Papademetriou and Philip L. Martin (eds.), The Unsettled Relationship: Labor Migration and Economic Development, New York: Greenwood Press, 1991, pp. 3-26. 14 Teitelbaum and Russell, 1994.
17
berperan penting dalam menyerap kelebihan pertumbuhan tenaga kerja. Apakah emigrasi menyebabkan "drain" pekerja menyebabkan pembangunan terhambat, ini tergantung pada ketersediaan sumberdaya manusia untuk menutup peluang ini. Satu hal yang pasti, remitan meningkatkan kemampuan keluarga migran untuk menyekolahkan anak dan menyediakan layanan kesehatan bagi anak-anaknya.
2.1.5. Migrasi Internasional dan Lingkungan Membangun Hubungan Hipotesis
Hidup:
Teori-teori di atas merupakan ringkasan teori yang terkait dengan kepergian yang sukarela dan tidak membahas pemergian yang sifatnya terpaksa sebagai respon terhadap kondisi sosial ekonomi misalnya sebagai respon terhadap konflik, deforestasi, minimnya lapangan pekerjaan. Juga tidak mencakup banyak jenis aliran yang merupakan hasil langsung faktor politik atau faktor lingkungan meskipun kedua pendekatan di atas banyak membahas pengaruh sosial dan ekonomi. Sebagaimana dengan kasus migrasi sukarela, maka saat ini banyak upaya dari ilmuwan sosial untuk memahami akar masalah dan konsekuensi dari aliran yang relatif tidak sukarela ini. Perhatian terhadap masalah lingkungan dan migrasi internasional telah tumbuh di tahun-tahun terakhir ini, dan bersamaan dengan tumbuhnya perhatian untuk mengekplorasi hubungan diantara keduanya. Namun demikian, perhatian lebih diberikan terhadap pengaruh migrasi terhadap lingkungan (misalnya: polusi perkotaan, deforestasi) daripada melihat pengaruh lingkungan terhadap migrasi15. Penelitian yang sudah memasuki ranah ini dilakukan oleh Suhrke yang melihat dua perspektif yang saling bertentangan. Pandangan “minimalis" berpendapat bahwa degradasi lingkungan secara esensial adalah variabel kontektual yang mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi, tetapi hanya sebagai salah satu dari kelompok sebab pemergian. Pandangan "maksimalis" melihat, sebaliknya, memandang
15
Astri Suhrke, "Environmental Degradation and Population Flows," Journal of International Affairs, Vol 47, No. 2, Winter 1994, pp. 473-496.
18
kerusakan lingkungan sebagai penyebab langsung dan penting dari migrasi keluar. Sebuah proyek penelitian yang besar sudah pernah dilakukan untuk mengeksplorasi hubungan antara perubahan lingkungan, kelangkaan sumberdaya, dan konflik sebagai penyebab yang mendasari pemergian.
16
Studi itu mendapatkan temuan bahwa (1) degradasi dan pengurangan lahan pertanian dan perikanan akan memberikan kontribusi lebih besar terhadap gejolak sosial dibanding dengan perubahan iklim atau pengurangan ozon; (2) perubahan lingkungan hanyalah satu dari tiga sumber utama kelangkaan sumberdaya; dan (3) ketiga faktor lingkungan ini berinteraksi pada umumnya dalam bentuk "resource capture" oleh kelompok yang lebih memiliki kemampuan dan berpola "ecological marginalization" yang sering dibarengi dengan migrasi ke atau dari daerah yang rentan secara ekologis. Studi itu juga mendapatkan bukti empiris yang signifikan bahwa kelangkaan lingkungan menyebabkan perpindahan orang secara besarbesaran, yang akhirnya menyebabkan konflik identitas kelompok. Migrasi masyarakat Bangladesh ke provinsi di India yakni Assam, Tripura, dan Bengal Barat adalah salah satu dari kasus ini. Jika tekanan lingkungan menyebabkan fragmentasi politik, maka migrasi internal dan internasional dapat terjadi. Kajian akhirnya merujuk pada pilihan kebijakan untuk mengadaptasi kelangkaan sumberdaya termasuk kebijakan harga dan pajak yang mendorong konservasi, inovasi teknologi, dan substitusi teknologi, kebijakan mengurangi pertumbuhan penduduk, redistribusi lahan, dan pengembangan industri padat dan perdagangan yang tidak bergantung pada sumberdaya yang merusak lingkungan. Sebab dan akibat migrasi internasional selain menjadi bagian dinamika sosial ekonomi negara tujuan juga terkait dengan dinamika sosial
16 "Environmental Change and Acute Conflict,” merupakan hasil kerjasama peneliti dari sepuluh negara, yang disponsori oleh American Academy of Arts and Sciences dan the Peace and Conflict Studies Program at the University of Toronto. Untuk diskusi lebih mendalam tentang hasil dan kesimpulan, lihat Thomas F. Homer-Dixon, "On the Threshold: Environmental Changes as Causes of Acute Conflict," International Security, Vol. 16, No. 2, Fall 1991; and a follow-up article, Thomas F. Homer-Dixon, "Across the Threshold: Empirical Evidence on Environmental Scarcities as Causes of Violent Conflict,” International Security, Summer 1994.
19
ekonomi di negara asal.17 Oleh karena itu pemahaman dinamika kepulangan migran dari luar negeri tidak dapat dilepaskan dari dinamika dan teori yang mengungkap kepergiannya.18 Memang, sejumlah tulisan telah menjelaskan dinamika proses kepulangan, namun tulisan yang membahas hubungan langsung antara migrasi dengan lingkungan masih sangatlah terbatas.19 Agar lebih memahami hubungan antara migrasi internasional dengan lingkungan maka dapat dijelaskan bahwa hubungan antara migrasi dengan lingkungan dapat dipahami sebagai hubungan sebab akibat kumulatif, yang berarti bahwa berbagai kondisi ekologi dan sosioekonomi di daerah asal merupakan hasil proses migrasi yang kumulatif baik sebagai sebab maupun merupakan akibat dari proses migrasi internasional. Ada tujuh faktor (di luar keadaan perkembangan sosioekonomi di daerah asal) yang diperkirakan berpengaruh terhadap kepergian dan kepulangan migran internasional, yakni: perbedaan dalam kemakmuran suatu negara, perbedaan dalam tingkat upah, perbedaan ketersediaan peluang bekerja dan berusaha, perbedaan biaya transport, ketersediaan jaringan sosial dan hubungan kekerabatan, hambatan sosial budaya, dan hambatan politik antar negara. Kesemua faktor itu dengan catatan tetap dipengaruhi oleh keputusan yang dibuat secara individu maupun keluarganya. Secara hipotetis, melakukan migrasi antar negara dilakukan melalui kontrak resmi, mengingat cara ini beresiko rendah, namun sebaliknya pada kepulangannya beresiko tinggi. Maka kepastian mendapatkan pekerjaan melalui kontrak tidak dengan sendirinya diikuti kepastian mendapatkan kembali pekerjaannya sepulangnya ke daerah asal. Namun dapat saja mereka melalukan migrasi ilegal yang sayangnya beresiko tinggi tidak mendapatkan pekerjaan di negara tujuan.
17 Arief Budiman, Pengantar. Dalam Korten, David C. Menuju Abad ke-21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan. 1990. 18 Ini sejalan dengan pandangan Borjas, G.J. and Bratsberg (1990). Lihat juga Saenz, Reglio. Chicano Return Migration to Shout West: An Integrated Human Capital Approach. An International Migration Review Vol. XXVI No.4. 1992: 1248-1265. 19 Lihat misalnya Kolopaking, LM (2000) Penghijrahan Antar Bangsa dan Pembangunan di Daerah Asal di Jawa. Thesis. Tidak dipublikasikan.
20
Secara hipotetis pula, sumber utama perubahan di daerah asal akibat migrasi ada dua yakni pendapatan dan gaya hidup baru yang dibawa dari negara tujuan. Perubahan pendapatan ini selanjutnya akan menjadi awal perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi, sementara perubahan gaya hidup menjadi sumber perubahan sosioekonomi dan budaya di daerah asal. Perubahan pendapatan akibat tabungan remitan dan uang simpanan menjadi sebab perubahan peluang bekerja dan berusaha di daerah asal dan perubahan dalam tingkat kesejahteraan keluarganya. Perubahan akibat perubahan pendapatan menjadi sumber perubahan dalam pembentukan modal usaha dan perubahan dalam pola konsumsi rumahtangga. Ketersediaan modal selanjutnya menjadi penyebab perubahan pendapatan dan konsumsi keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi perubahan dalam jumlah peredaran uang yang ada di daerah asal. Kajian terkini mendapatkan adanya kecenderungan tenaga kerja yang pulang ke daerah asalnya menjadi bekerja dan berusaha pada sektor yang sifatnya lebih formal, yang diduga akan mempengaruhi perubahan dalam perekonomian di daerah asal. Hal ini juga berarti bahwa sebagian dari migran ini dapat menjadi kelompok baru yang berbeda di daerah asalnya karena keberhasilan mereka dalam menggunakan tabungan hasil bekerja di luar negeri. Kepulangan tenaga kerja ke dalam negeri juga membawa gaya hidup baru, meskipun tidak berhasil secara ekonomi tenaga kerja yang pulang diduga lebih peka terhadap perubahan. Kelompok migran pulang ini dapat menjadi elit desa yang baru dengan sifat-sifat wawasan keagamaan yang luas, taraf hidup lebih baik, lebih kreatif dan inovatif selalu berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dan memiliki kemauan untuk maju. Oleh karena itu, migran ini diduga menjadi kelompok pembaharu di daerah asalnya. Perubahan akibat migrasi pada akhirnya akan membawa perubahan kemasyarakatan, yang berawal dari distribusi pendapatan, pola penguasaan lahan dan organisasi produksi, serta kondisi sumberdaya alam. Hal ini kemudian diikuti dengan perubahan dalam kepemimpinan lokal dan
21
partisipasi politik yang pada akhirnya berpengaruh terhadap distribusi kekuasaan. Selanjutnya perubahan-perubahan ini kembali berpengaruh terhadap migrasi itu sendiri. Sebagaimanan disimpulkan dari teori sebab akibat kumulatif bahwa migrasi dapat menyebabkan pembangunan di daerah asal. Tahap pertama; pembangunan sebelum migrasi berupa perkembangan kondisi sosial ekonomi dan politik di daerah asal yang menumbuhkan alasan-alasan rasional dan kondisi hubungan antar kelas dari calon migran. Tahap berikutnya adalah pembangunan setelah pemergian (migrasi berlangsung) yakni adanya perubahan dalam kondisi sosial ekonomi dan politik sebagai akibat kepergian dan kepulangan migran itu sendiri. Tahap sebenarnya dapat saja menjadi tahapan pertama pada hubungan antara migrasi dengan pembangunan di daerah asalnya, dan begitu seterusnya siklus ini terus berputar dan dampaknya secara bertahap terakumulasi dan mempengaruhi pembangunan di daerah asalnya. Berdasarkan ulasan teori sebab akibat kumulatif dapat diketahui bahwa kepulangan tenaga kerja migran ke daerah asal tidak dengan sendirinya berarti akhir dari migrasi. Pasalnya, setelah pulang mereka dapat kembali pergi dan mungkin saja dengan mengajak serta orang lain bersamanya. Kalaupun berhenti, maka proses ini akan dilanjutkan oleh keluarganya atau orang lain sedaerah asal. Kajian mendapatkan penduduk dengan potensi industri kecil di daerah asalnya cenderung melakukan migrasi untuk mengumpulkan modal guna kembali ke daerah asal dan mendirikan industri di daerahnya. Namun, daerah yang tidak memiliki industri kecil kecenderungan ini tidak dijumpai20. Gejala ini sesuai dengan prediksi paradigma ketidakseimbangan dalam pembangunan, dan bahwa hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah manfaat migrasi dan bukan berhentinya migrasi21.
20
Hedi Sutomo, Model Lain Transformasi Sektoral di Indonesia. Prisma. Tahun XXIV No. 10 Jakarta. LP3ES, 1995: 3-21. 21 Nugent, Jeffrey B. dan Pan A.Yotopaulos. Ilmu Ekonomi Pembangunan Ortodoks berhadapan dengan Dinamika Konsentrasi dan Marginalisasi. Dalam Korten, D.C. dan Sjahrir. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia, 1988: 149-168.
22
Migrasi memang disadari hanyalah satu unsur yang mempengaruhi pembangunan di daerah asal. Berbagai perubahan yang berasal dari program pembangunan pemerintah, lembaga bukan pemerintah dan swasta serta media massa merupakan unsur lain yang juga dapat menggiatkan pembangunan. Besaran dampak migrasi itupun ditentukan pula oleh daerah asal. Dengan demikian dampaknya akan bersifat kontekstual. Meskpun demikian, pembangunan yang digerakan migrasi ini akan bersifat khas karena prosesnya digerakkan oleh orang luar22. Oleh karena itu berbagai perubahan yang ada pada dasarnya tidak terlepas dari pandangan dan sikap hidup masyarakat setempat. Hasilnya, dalam membangun masyarakat tidak hanya bertumpu pada pembangunan ekonomi semata akan tetapi juga semangat kebersamaan, semangat swadaya. Dengan demikian, dampak yang khas adalah kemampuan anggota masyarakat baik secara individu atau lembaga dalam mengatasi masalah kemiskinan, kerusakan lingkungan alam, masalah
menjalankan
tanggungjawab
politik
melalui
pemanfaatan
sumberdaya lokal untuk memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai dengan aspirasi lokal. Pihak pemerintah pada umumnya belum memberikan perhatian yang optimal terhadap pengorganisasian kepulangan tenaga kerja migran ini23. Tahapan yang ada saat ini barulah pada pengerahan dan penempatan tenaga kerja migran. Ini memang mudah dan secara ekonomi menjanjikan. Namun demikian, sebenarnya, kepulangan tenaga kerja migran ini juga mengandung potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan yang lebih luas, tidak semata-mata dari sisi ekonomi belaka. Artinya, pemerintah semestinya jangan hanya mengambil manfaat dari kepergian saja akan tetapi juga memperhatikan peluang yang lebih baik atas kepulangan tenaga kerja migran.
2.2. Berpikir Sistem (System Thinking) Menurut Flood dan Jackson, sebuah sistem adalah "a complex and highly inter linked network of parts exhibiting synergistic properties - the whole is 22
Chamber. R. Pembangunan Desa: Mendahulukan yang Terakhir. Jakarta LP3ES, 1982: 6-9. Pengalaman Indonesia, lihat penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. 92-125. 23
23
greater than the sum of its parts" (sebuah sistem adalah suatu jaringan yang komplek dan sangat erat terhubungkan dengan bagian-bagian yang meunjukkan sifat yang sinergik-keseluruhan lebih besar dari penjumlahan bagian-bagian). Secara umum konsep mengenai sistem mengandung: (1) element, (2) relationship, (3) boundary, (4) input dan output, (5) environtment dan (6) feedback (Flood dan Jackson, 1991). Sebuah sistem terdiri dari sejumlah element dan relationship antar unsur tersebut. Sebuah sistem dipisahkan dari lingkungannya oleh sebuah boundary (batas). Batas tersebut dapat berupa real boundaries dan conceptual boundaries (Hovman dan Levine, 2000). Batas nyata atau real boundaries yaitu suatu batas sistem yang nyata misalnya batas geografi suatu negara, sedangkan conceptual boundaries yaitu suatu batas sistem yang secara konseptual dibuat untuk sebuah analisis misalnya batas sistem pemberdayaan tenaga kerja luar negeri di Indonesia yaitu berbagai fungsi yang berkaitan dengan pembinaan dan pengelolaan pada migrasi tenaga kerja ke luar negeri baik yang berada dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi maupun yang berada pada stakeholder lainnya. Sementara itu Flood dan Jackson, 1991, membedakan batas sistem tersebut dalam physical atau abstract. Masih mengenai batas sistem, Senge mengingatkan mengenai "principle of the system boundary" yaitu "the interactions that must be examined are those most important to the issue at hand, regardless of parochial organizational boundaries" (interaksi yang akan dianalisis adalah sesuatu yang sangat penting terhadap permasalahan yang dihadapi tanpa memperhatian batas organisasi yang sempit) (Peter Senge, 1990). Masih ada satu catatan lagi mengenai batas sistem. Suatu sistem yang batasnya dapat ditembus dan membiarkan input atau output dari lingkungan sekitarnya dipengaruhi dan atau mempengaruhi, maka sistem tersebut dinamakan open system (sistem terbuka). Sistem yang demikian mempertahankan keberadaan termasuk identitasnya pada suatu dynamic steady state (keadaaan mantap dinamis) dengan menggunakan environment yang juga berubah. Sebaliknya dari sistem terbuka tersebut adalah closed system (sistem tertutup) yang tidak membiarkan input atau output ditembus oleh dan atau menembus lingkunganya.
24
Sistem mentransformasikan input menjadi output. Proses transformasi tersebut secara khas ditandai dengan adanya umpan balik atau feedback. Perilaku sebuah unsur dapat memberikan umpan balik baik secara langsung maupun secara tidak langsung untuk mempengaruhi perilaku sebuah unsur lainnya yang memiliki perilaku tertentu. Feedback loops is the essence of system (feedback adalah esensi sebuah sistem); tanpa adanya feed back berarti tidak ada sistem (O'Connor dan Mc Dermott, 1997). Feedback adalah konsekuensi dari langkah yang telah dilakukan sebagai masukkan kembali karenanya akan mempengaruhi langkah ke depan berikutnya. Seringkali istilah feedback dipergunakan untuk menggambarkan adanya reaksi atau jawaban atas langkah yang telah diambil; namun demikian esensi dari feedback adalah pengaruhnya terhadap langkah yang akan diambil. Reaksi atau jawaban yang tidak mempengaruhi langkah berikutnya tidak termasuk dalam pengertian ini. Sebuah sistem yang mempertahankan keberadaan termasuk identitasnya pada suatu dynamic steady state dan mentransformasikan input menjadi output secara stabil terhadap waktu dalam keadaan yang berubah menunjukkan adanya pengawasan atau control. Control sangat tergantung pada informasi mengenai performansi sistem yang bersangkutan yang disampaikan kembali kepada manager sistem tersebut. Sistem yang demikian memiliki apa yang disebut dengan emergent popertiies atau sifat keberadaannya yaitu suatu sifat yang hanya dimiliki oleh sistem yang bersangkutan yang dipolehnya karena adanya inter relations antar unsur-unsurnya namun sifat tersebut tidak dimiliki oleh unsur-unsur tersebut bila berdiri sendiri. Sejajar dengan sistem terbuka, dalam system thinking dikenal apa yang dinamakan pandangan "neurocybernetic" atau juga disebut sebagai pandangan "viable system". Pandangan ini menekankan pada proses belajar dan kontrol yang aktif dan bukan kemampuan menyesuaikan diri yang pasif. Penekanan diletakkan pada proses informasi dan viability (kelangsungan hidup). Pandangan neurocybernetic melihat otak sebagai suatu control system yang tergantung pada kemampuannya untuk berkomunikasi dan belajar. Sebagaimana model standar cybernetic, otak memiliki proses transformasi (yang terkontrol), sistem informasi (yang menyampaikan informasi tentang proses yang dikontrol berdasarkan
25
instruksi dari unit kontrol), unit kontrol (yang membandingkan keadaan sebenarnya terhadap keadaan yang diinginkan), dan unit pengaktif (yang melakukan perubahan pada proses yang dikontrol berdasarkan instruksi dari unit kontrol). Kontrol hanya mungkin berhasil jika kemampuan untuk kontrol adalah sama atau lebih besar dari yang dikontrol. Pandangan neurocybernetic atau pandangan "viable system" menekankan pentingnya "learning to learn" atau belajar untuk pembelajaran, suatu pandangan yang aktif-dinamis yaitu tidak hanya mendapatkan feedback namun juga belajar dan mengantisipasi pengaruh lingkungan, bila dibandingkan dengan pandangan yang pasif-statis yang melakukan perubahan hanya dengan "melakukan penyesuaian diri secara pasif" tanpa melakukan antisipasi. Dibandingkan dengan sistem organik, pandangan neurocybernetic atau pandangan " viable system" nampak lebih dinamis. Cara pandang neurocybernetic dapat bermanfaat dalam praktek dan akan meningkatkan keingintahuan dan self-criticism dan karenanya peluang pencapaian tujuan yang dinamis didasarkan pada proses pembelajaran; jika terdapat tingkat ketidak-pastian
yang
sangat
tinggi;
merangsang
kreativitas.
Contoh
neurocybernetic dapat ditemukan dalam kelompok kerja yang mandiri, perusahaan industri yang inovatif, perusahaan konsultasi dan institusi penelitian dan pengembangan serta pembelajaran terhadap tata kehidupan yang lebih teratur, yang diperoleh oleh TKI setelah mendapatkan pengalaman hidup di luar negeri. Dalam menerapkan system thinking terdapat beberapa metodologi yang dikenal diantaranya general system theory, soft system methodology, dan system dynamics. Penggunaan berbagai metodologi tersebut disesuaikan dengan terminologi sosiologis pengkatagorian permasalahan yang dilakukan merupakan suatu
"ideal
type
classification",
namun
disadari
sepenuhnya
bahwa
pengelompokan tersebut hanya merupakan upaya untuk mendekatkan dengan realita yang ada. Lebih
lanjut
Flood
dan
Jackson
membuat
dua
dimensi
dalam
mengelompokan permasalahan yaitu system dimension (dimensi sistem) dan participations dimension (Flood dan Jackson, 1991). Dimensi sistem berkaitan dengan kompleksitas dalam arti sistem atau sistem-sistem yang menampilkan situasi permasalahan dan di dalam sistem atau sistem-sistem tersebut isu sulit
26
lainnya yang merupakan kepentingan bersama yang pluralistic atau coercive mungkin terletak. Dimensi kepartisipasian berkaitan dengan relationship (baik yang setuju maupun yang tidak setuju) antara individu-individu atau pihak-pihak yang memperoleh keuntungan (atau kerugian) dari system intervention. Selanjutnya dalam kerangka dimensi sistem dapat didekati dari komplesitas sitem yang bersangkutan. Di satu ujung terdapat sistem yang dapat dikatakan sederhana atau simple system dan di ujung yang lain terdapat sistem yang komplek atau complex system. Sistem yang sederhana memiliki karakteristik: jumlah elemennya hanya sedikit; interaksi antar elemen jarang; atribut dari elemen-elemen telah ditetapkan sebelumnya; interaksi antar elemen terorganisasikan dengan baik, ketentuanketentuan mengenai perilaku telah ditetapkan dengan baik; sistem ini tidak berkembang dalam suatu kerangka waktu tertentu; sub sistem yang ada tidak mengejar tujuannya masing-masing; sistem yang bersangkutan tidak terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh "behavioural" yang ada; sistem yang bersangkutan secara keseluruhan tertutup terhadap lingkungan. Sementara itu sistem yang komplek memiliki karakteristik: jumlah elemennya banyak; terjadi banyak interaksi antar elemen atribut dari elemenelemen tidak ditetapkan sebelumnya; interaksi antar elemen tidak terorganisasi; perilaku mereka sifatnya "probabilistic"; sistem itu sendiri berkembang setiap saat; sub sistem yang ada mempunyai tujuan dan mengembangkannya sendiri; sistem itu sangat dipengaruhi oleh "behavioural" yang ada; sistem yang bersangkutan secara keseluruhan terbuka terhadap lingkungan. Untuk mengklasifikasi kepesertaan, Flood dan Jackson menggunakan terminologi dari industrial relations yaitu unitary, pluralist dan coercive (Flood dan Jackson, 1991). Kepersertaan yang unitary bercirikan: mereka mengambil bagian dan merasa kepentingan bersama adalah milik mereka; nilai-nilai dan keyakinan mereka sangat saling mengisi (highly compatible); mereka umumnya sepakat mengenai tujuan dan cara mencapainya; mereka seluruhnya berperan serta dalam pengambilan keputusan, mereka bertindak sesuai dengan tujuan yang telah disetujui bersama.
27
Kepersertaan yang pluralist bercirikan mereka memiliki basic compability interest (kepentingan yang pada dasarnya saling mengisi); sampai pada batasbatas tertentu nilai-nilai dan keyakinan mereka berbeda-beda, mereka tidak perlu sepakat mengenai tujuan dan cara-cara mencapainya namun melakukan kompromi adalah mungkin; mereka seluruhnya berperanserta dalam pengambilan keputusan, mereka bertindak sesuai dengan tujuan yang telah disetujui bersama. Kepesertaan yang bersifat coercive bercirikan: mereka tidak mengambil bagian dan tidak merasa bahwa kepentingan bersama adalah milik mereka; nilainilai dan keyakinan mereka nampaknya saling bertentangan; mereka tidak sepakat mengenai tujuan dan cara-cara mencapainya dan kompromi yang ikhlas tidak mungkin dapat dicapai; terjadi pemaksaan terhadap yang lain agar bersedia menerima keputusan; tidak adanya kesepakatan mengenai tujuan yang hendak dicapai mungkin menyebabkan terbentuknya pengaturan sistemik yang ada sekarang. Permasalahan yang dihadapi dapat dikatakan unitary jika kepesertaan adalah unitary, dikatakan pluralist jika kepesertaan adalah pluralist dan coercive jika kepesertaannya adalah coercive. Kedua dimensi yaitu dimensi sistem dan dimensi kepesertaan bila dikombinasikan akan diperoleh enam kemungkinan yaitu: (1) simple-unitary; (2) simple-pluralist; (3) simple-coercive; (4) complex-unitaray; (5) complexpluralist; (6) complex-coercive. Berdasarkan uraian tersebut di atas untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi, Flood dan Jackson memetakan berbagai metodologi yang ada ke dalam enam jenis kombinasi tersebut (Flood dan Jackson, 1991). Metode Operational Research, System Analysis, System Engineering. dan System Dynamics dimasukkan ke dalam kelompok yang mungkin tepat untuk memecahkan permasalahan yang bersifat simple-unitary. Metode social system design dan strategic assumption surfacing and testing diperkirakan tepat untuk memecahkan masalah yang bersifat simple-pluralist. Metode Critical Systems Heuristics diperkirakan tepat untuk permasalahan yang bersifat simple-coercive. Sementara itu untuk memecahkan permasalahan yang bersifat complex-unitary diperkirakan tepat bila dipergunakan metode Viable System Diagnosis, General System Theory,
28
Socio-technical Sysem Thinking dan Contingency Theory. Permasalahan yang bersifat complex-pluralist mungkin tepat bila diselesaikan dengan menggunakan metoda Interactive Planning dan Soft Systems Methodology. Dan untuk permasalahan yang bersifat complek-coercive, Flood dan Jackson belum menemukan metodologi yang dianggapnya tepat. Pada analisis kebijakan pemberdayaan tenaga kerja luar negeri yang bersifat complex–pluralist, maka metoda yang akan digunakan adalah metode system thinking dan analitycal hierarchy process (AHP).
2.3. Organisasi Yang Siap Berubah Menurut Peter Senge (1999) yang dimaksud dengan organizational change adalah “perubahan dalam organisasi secara mendasar” dalam hal ini ada unsur pembelajaran (learning). Dalam hal ini yang dimaksud perubahan mendasar meliputi kombinasi dari perubahan kedalam pada nilai-nilai kemanusiaan, aspirasi dan perilaku, dan perubahan keluar menyangkut proses, strategi, practices dan system. Organisasi tidak hanya mengerjakan sesuatu yang baru tetapi membangun kapasitas untuk mengerjakan sesuatu dengan cara yang baru. Menurut Douglas K.Smith dalam bukunya "Taking Charge of Charge (1996)", pokok permasalahan di dalam menangani kehidupan berusaha yang berubah cepat adalah bagaimana menyelaraskan antara angkatan kerja (karyawan) yang ada dengan tuntutan kinerja yang dihadapi oleh perusahaan tersebut di tengah lingkungan yang berubah cepat, terutama dalam era globalisasi. Walaupun demikian, semakin meningkat derajat perubahan di luar organisasi dan lingkungan yang turbulen, menjadikan fungsi manajemen perubahan lebih signifikan sebagai alat untuk menghidupkan kembali organisasi. Salah satu masalah utama yang dihadapi organisasi yang mengupayakan perubahan adalah pengeluaran dana dan penggunaan waktu untuk menyesuaikan kemampuan para karyawan dengan tuntutan prestasi kerja yang baru. Setidaknya bagi setiap organisasi atau perusahaan yang terus berusaha mengatasi
masalah-masalah
yang
ditimbulkan
oleh
perubahan
terhadap
kelangsungan hidupnya, berhadapan dengan tiga masalah (Douglas K. Smith, 1996), yaitu:
29
1.
Visi atau pandangan tentang perubahan. Bagaimana menjadikan aneka visi yang ada di lingkungan intern organisasi menjadi milik bersama sebagai landasan bagi arah perubahan.
2.
Komitmen manajemen puncak. Terutama di bawah suatu sistem sosial 'panutan', dimana bawahan tunduk kepada petunjuk dari atas maka komitmen manajemen puncak terhadap perubahan sangat membantu di dalam mengimplementasikan perubahan-perubahan intern yang diperlukan.
3.
Kerjasama kelompok. Pengelompokan di dalam organisasi sesuai dengan kekhususan aktivitas perlu diarahkan kepada saling pengertian yang lebih luas dan lengkap antar kelompok sehingga memudahkan mekanisme opresional keseluruhan.
Organisasi yang terus-menerus belajar dan menggunakan pengetahuan untuk berubah merupakan dasar untuk menuju keunggulan kompetitif. Pengetahuan untuk belajar dan pengetahuan untuk berubah diperlukan agar kita dapat berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengubah setiap aspek yang berkaitan dengan organisasi. Perubahan tidak selamanya berarti buruk sebab perubahan dapat juga berarti sebagai "peluang". Makin fleksibel suatu organisasi, makin lebih baik organisasi itu dapat menanggapi perubahan (Pasmore, 1994). Perubahan yang sungguh-sungguh membutuhkan kepemimpinan yang mampu mengerahkan, teguh dan memiliki pengetahuan yang luas dalam langkah yang perlu ditempuh, menyadari kebutuhan untuk berubah dan memegang visi ke depan serta mengubah struktur organisasi dan mengoperasikannya sesuai dengan tugas dan fungsinya.
2.4. Organisasi Belajar Organisasi pada dasarnya dapat dipandang sebagai "makhluk hidup' (organisme) yang eksistensinya sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengadaptasi berbagai keterbatasan sumber daya dan gerak perubahan lingkungan hidupnya. Dalam konteks seperti ini maka sesungguhnya semua organisasi senantiasa belajar, disadari atau tidak, dalam rangka mempertahankan
30
kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu organisasi belajar bukanlah sesuatu yang baru sama sekali, hanya saja dapat dipandang sebagai model pengorganisasian masa depan. Pandangan ini bisa difahami sebab dinamika kehidupan organisasi masa depan sangat ditentukan oleh kecepatan, inovasi, kualitas sumberdaya insani dan layanan serta senantiasa dapat menciptakan keunggulan-keunggulan baru. Dalam kaitan ini maka keunggulan kompetitif suatu organisasi atau perusahaan sangat ditentukan oleh kemampuan untuk belajar lebih cepat dari saingannya. Selama 150 tahun mulai dari 1750 hingga 1990, kapitalisme dan teknologi telah menaklukkan dunia dan menciptakan kebudayaan dunia (Druker, 1993). Transformasi ini didorong secara cepat oleh perubahan yang radikal dalam pemahaman ilmu pengetahuan (knowledge). Oleh karena itu 'knowledge' akan menjadi suatu sumberdaya dan keperluan yang menetukan kelangsungan hidup suatu masyarakat atau organisasi. Dan ini hanya bisa dicapai jika semua anggota masyarakat atau anggota organisasi bersedia belajar secara terus-menerus. Organisasi belajar menjadi topik menarik diantara para-pakar dan praktisi menajemen belakangan ini. Akan tetapi belum ada kesepakatan, apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan organisasi belajar itu? Sebagian besar pakar memandang bahwa organisasi belajar adalah suatu proses yang membentang sepanjang waktu, yang dikaitkan dengan pemilikan 'knowledge' yang diharapkan mampu meingkatkan kinerja organisasi. Pakar yang lain memandang organisasi belajar sebagai proses perbaikan tindakan, melalui peningkatan pemahaman dan pengetahuan (Fiol dan Marjorie, 1985). Peter M. Senge (1990) memandang organisasi belajar sebagai suatu proses pengembangan kemampuan yang dilakukan secara terus menerus oleh suatu organisasi untuk menciptakan masa depan yang lebik baik. Garvin (1993) memandang organisasi belajar sebagai pengorganisasian kreativitas, kecakapan dan transfer 'knowledge' yang
selanjutnya
diharapkan
mampu
memperbaiki
perilaku
sebgai
pengejawantahan wawasan dan 'knowledge' baru. Pemahaman yang menarik dari definisi ini bahwa ide-ide baru, pemikiranpemikiran segar menjadi hal yang sangat diharapkan adanya peningkatan krativitas, kemampuan wirausahaan, dan ekonomi organisasi (Pucik, 1993). Dengan demikian kemampuan strategik organisasi atau perusahaan lebih
31
meningkat, yang selanjutnya bisa ikut dalam 'tangga eskalasi, persaingan saling mengungguli. Sebab keunggulan masa depan sangat ditentukan oleh pemilikan 'knowledge' kata Druker. Artinya siapa yang lebih cepat belajar, maka ia akan lebih unggul.
2.5. Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) Ikujiro Nonaka (1995) mengatakan bahwa, pada perkembangan kerangka kerja teori mengenai knowledge creation, yang dijelaskan pada dua dimensi: epistemological
dan
ontological
yang
merupakan
kreasi
pengetahuan
organisasional. Dimensi epistemologi yang digambarkan pada garis vertikal yang mana konversi pengetahuan mengambil tempat antara pengetahunan tasit dan pengetahuan eksplisit. Sedangkan dimensi ontologi yang mewakili garis horisontal dimana pengetahuan diciptakan melalui individu-individu yang kemudian ditransformasikan pada pengetahuan tingkat kelompok, tingkat organisasi dan antar organisasi. Tingkatan-tingkatan itu tidak idependen terhadap yang lainnya, tetapi berinteraksi dengan yang lainnya secara terinci dan terusmenerus. Empat model–model konversi pengetahuan ditransformasi ke dalam suatu “pengetahuan spiral” yang disebut sebagai dimensi ketiga (dimensi spiral) yang mengembangkan lima fase proses organization knowledge creation, antara lain: (a) Sharing tactic knowledge; (b) Creating concepts; (c) Justifying concepts; (d) Building an archetype; (e) Cross-leveling knowledge. Bahwa pengetahuan spiral pada level epistemologi menimbulkan kenaikan, sementara pengetahuan spiral pada level ontologi bergerak dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri dalam suatu gerakan melingkar. Sementara itu aktivitas “knowledge building” menurut Coroty LeonardBarton dalam bukunya Wellspirings of Knowledge (1995) mengemukakan: Four primary learning activities create and control the knowledge necesary for its current and future operations. Three of these activities are internally focused : (1) Shared, creative problem solving (to produce current products); (2) implementing and integrating new methodologies and tools (to enhance internal oprerations); and
32
(3) formal and informal experimentation (to build capabilities for the future). The final activity is externally focused : (4) pulling in expertise from outside.
Knowledge creation telah berimplikasi tidak hanya pada proses manajemen, tetapi juga perlu ditopang dengan struktur organisasi yang tepat disebut sebagai “hypertext organization”. Dalam konteks knowledge creating, organisasi harus memiliki kapabilitas untuk mengkondisikan terjadinya eksploitasi kapabilitas pegawai, akumulasi dalam sharing knowledge creating yang berlangsung secara berkesinambungan. Hypertext organization dibuat dalam hubungan antar lapisan-lapisan atau konteks: ”the business system, the project teams, and the knowledge base” sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini. “Lapisan sentral” adalah lapisan “business-system” yang tetap melakukan efisiensi kerja yang rutin, lapisan ini bentuknya seperti hirarki piramida biasa. “Lapisan atas” adalah lapisan “projectteam”, dimana berbagai tim proyek terlibat dalam kegiatan-kegiatan knowledge creating seperti pengembangan produk baru. Anggota-anggota tim diambil dari sejumlah unit yang berbeda-beda dalam lapisan “business-system” dan memberikan keleluasaan serta kewenangan penuh pada tim proyek sampai proyek selesai.
“Lapisan
bawah”
adalah
lapisan
“knowledge-base”,
di
mana
organizational knowledge dibangkitkan di atas dua lapisan melalui rekategorisasi dan rekontektualisasi. Lapisan ini (knowledge-base) tidak nyata tampak seperti struktur organisasi yang sebenarnya, tetapi tertanam dalam visi organisasi, budaya organisasi atau teknologi. Visi organisasi menyediakan secara langsung bagi pengembangan teknologi atau produk-produknya dan memperjelas bidang-bidang yang ingin dikerjakannya. Pola pikir dan tindak setiap pegawai berbudaya organisasi Asia Timur. Sementara visi organisasi dan budaya organisasi menyediakan “knowledge-base” untuk pembuka tacit knowledge, pembuka teknologi, membangkitkan explicit knowledge pada dua lapisan lainnya (lapisan “project-team” dan “business-system”). Keterbatasan pemikiran dan pengetahuan baru di antara individu-individu dalam organisasi akan selalu muncul, untuk itu dalam penerapan knowledge creation, selanjutnya perlu melakukan knowledge network dengan dunia luar. Hal
33
ini relevan dengan pendapat Leonard Barton (1995), bahwa “aktivitas membangun pengetahuan perlu diimpor dari lingkungan eksternal”. Untuk terwujudnya knowledge creation masih perlu ditunjang oleh sumber daya manusia yang berkualitas, karena bagaimana seorang individu dapat membaca dan mengamati fenomena yang terjadi dalam dan di luar organisasinya, kemudian melahirkan insiatif dan gagasan-gagasan baru serta bagaimana individu dapat
mengkonklusikan
pengalaman-pengalaman
berharganya,
kemudian
menyampaikannya secara tajam kepada individu-individu lainnya, bila logika berpikir dan penalarannya terhadap suatu fenomena masih rendah. Jadi perlu seleksi pegawai yang lebih ketat, kemudian diberi pelatihan-pelatihan secara mendalam sebelum melakukan suatu tugas. Kualitas sumberdaya manusia tersebut mencakup: (1) knowledge dan skills; (2) tingkat keaktifan; (3) integritas.
2.6. Sistem Manajemen Lingkungan Peraturan-peraturan baru yang berhubungan dengan sistem pengelolaan lingkungan telah diimplementasikan hampir setiap hari di sebagian besar negara di dunia. Bagi pengelola lingkungan, untuk memutuskan sistem apa yang harus di desain dan bagaimana penerapannya secara efektif dari segi biaya selalu merupakan tantangan yang harus dihadapi (Kuhre, 1996). Seringkali dalam pengelolaan lingkungan hal-hal yang menyangkut organisasi diabaikan begitu saja. Perhatian yang diberikan terutama pada aspekaspek teknis dari pengawasan lingkungan dengan mengabaikan segi manusia dan organisasi. Hal ini sangat berbahaya terutama bila melihat fakta bahwa hal-hal yang menyangkut lingkungan, seperti limbah berbahaya dapat menjadi topik yang sangat emosional. Hampir semua referensi mengenai pengelolaan lingkungan memberikan perhatian yang sangat kecil pada hal-hal organisasi yang dapat menjadi sangat sensitif. Pada waktu-waktu lalu banyak organisasi yang menganggap dan memperlakukan bagian lingkungan sebagai anak tiri atau sesuatu yang jahat. Hasilnya, beberapa program mereka seringkali tidak dimengerti, tidak diidukung dalam segi dana, kekurangan personil, dan hampir tidak memperoleh penghargaan, dukungan, atau pengarahan dari menajemen puncak.
34
Adanya keterkaitan antara dunia komunitas dan lingkungannya telah disadari sejak dilaksanakan Conference on Human and Environment oleh PBB pada tahun 1972 di Stokholm, yang kemudian dilanjutkan di Nairobi pada tahun 1982. Konferensi tersebut melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkontrol akan mempengaruhi kelangsungan dunia usaha dan komunitas di sekitarnya (Djajadiningrat, 1997). Pada akhirnya, Inggris telah mengeluarkan standar menajemen lingkungan yang pertama kali di dunia pada tahun 1992, yaitu British Standard (BS) 7750. Sementara itu Komisi Uni Eropa mulai memberlakukan Eco-Manegement and Audit Scheme (EMAS) pada tahun 1993. Dengan diberlakukannya EMAS tersebut, BS 7750 direvisi dan kembali ditetapkan pada tahun 1994. Beberapa negara Eropa yang lain juga mulai mengembangkan standarisasi manajemen lingkungan (Kuhre, 1996). Di tingkat internasional dengan dorongan dari kalangan dunia usaha, Internasional
Standarization
Organization
(ISO)
dan
Internasioal
Electrotechnical Commision (IEC) membentuk Strategic Advisory Group on the Environment (SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE merekomendasikan kepada ISO mengenai perlu suatu Technical Committee (TC) yang khusus bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar manajemen lingkungan yang berlaku secara internasional (Kuhre, 1996). Pada tahun 1993 ISO membentuk panitia teknik TC 207 yang bertanggung jawab tentang masalah standar manajemen lingkungan, yang kemudian melahirkan konsep standar ISO seri 14000. Penggabungan standar pengelolaan lingkungan ke dalam ISO akan menjadikan pengelolaan lingkungan sebagai salah satu bidang operasional yang penting sama pentingnya dengan bagian-bagian lainnya meski masih banyak yang menganggap status ini belum terjamin, kecuali para konsumen. Sejalan dengan berlalunya waktu dan makin disadarinya manfaat yang diperoleh dari program lingkungan yang agrasif, pendapat-pendapat tersebut akan segera berubah. Terlebih lagi, di bawah standar yang baru, sertifikasi lingkungan ingin diperoleh dan dipertahankan bila produk yang dihasilkan ingin dipasarkan dengan sukses. Sertifikasi dapat dikoordinasikan oleh bagian lingkungan atau menjadi suatu usaha gabungan dari bagian mutu dan lingkungan. Faktor-faktor yang
35
mempengaruhi keputusan yang berkaitan dengan siapa yang memimpin usaha tersebut adalah pengalaman teknis, ukuran organisasi, banyaknya pekerjaan yang diperlukan untuk memperoleh sertifikasi, dan tingkat tumpang tindih fungsional antara kedua bagian. Bagian manapun yang terpilih untuk memimpin harus bekerja bahu-membahu dengan bagian lainnya. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan, sistem manajemen lingkungan tidak dipahami dalam pendekatan yang telah berkembang dan disepakati oleh organisasi bisnis. Namun, sebagai bagian dari lingkungan sosial dari organisasi atau pola pengelolaan daerah. Proses kepergian dan kepulangan tenaga kerja dipandang akan melahirkan pelaku-pelaku pembangunan yang inovatif dan bernilai pada masa mendatang. Pada jangka panjang unsur tersebut, akan mewujudkan sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dalam basis kawasan atau yang tidak terpisahkan dari pembangunan daerah. Hal ini kemudian akan berpengaruh besar pada penemuan kesimbangan antara memanfaatkan dengan menjaga sumberdaya alam suatu kawasan. Inovasi dan kreativitas dari berbagai pelaku di kawasan atau daerah tersebut akan membantu masyarakat mencapai suatu keunggulan kompetitif dalam dimensi pembangunan berkelanjutan.
2.7. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Secara umum di Indonesia pengelolaan sumberdaya alam masih berbasis pemerintah. Pada rezim ini, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan, sedangkan kelompok-kelompok masyarakat pengguna (user groups) hanya menerima informasi tentang produkproduk kebijakan dari pemerintah. Pengelolaan berbasis pemerintah ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain: (1) aturan-aturan yang dibuat kurang terinternalisasi dalam masyarakat sehingga sulit ditegakkan; (2) biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan sangat besar sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum. Menurut Hanna (1995) dalam Satria et.al. (2002), dalam pendekatan sentralistis, biaya yang dibutuhkan untuk rancangan program rendah, namun tinggi dalam pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum.
36
Untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam pengelolaan berbasis pemerintah adalah pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Carter (1996) dalam Satria (2002) mendefinisikan pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dengan pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan berada di tangan kelembagaan lokal di daerah tersebut. Biaya pelaksanaan dan pengawasan dalam pengelolaan berbasis masyarakat jauh lebih rendah daripada pengelolaan berbasis pemenintah. Hal itu disebabkan pengambilan keputusan dan inisiatif dilakukan pada tingkat lokal sehingga semakin menyentuh aspirasi masyarakat. Pengakuan masyarakat terhadap aturan dan kebijakan yang dibuat semakin tinggi sehingga akan lebih mudah ditegakkan. Model pengelolaan berbasis masyarakat akan memberikan insentif bagi masyarakat untuk mandiri dalam wadah kelembagaan lokal. Pengawasan terhadap pelaksanaan lokal pun lebih efektif karena dilakukan oleh masyarakat secara lembaga, tidak individual. Selain itu dengan organisasi lokal yang mandiri, jalur komunikasi dan koordinasi antara masyarakat dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya akan efektif. Setidaknya diperlukan sepuluh kunci agar pengelolaan SDA berbasis masyarakat, mencapai hasil sesuai yang diharapkan (Ostrom, 1990, Pomeroy, 1994 dan Sand, 2003), yaitu: (1) batas-batas wilayah secara fisik harus jelas; (2) keanggotaan didefinisikan secara jelas; (3) kohesi kelompok; (4) organisasi yang ada tidak asing bagi masyarakat; (5) visibilitas ekonomi; (6) partisipasi anggota komunitas tinggi; (7) aturan pengelolaan dijalankan secara efektif secara yuridis organisasi masyarakat diakui; (8) kerjasama dan kepemimpinan; (9) desentralisasi dan pendelegasian wewenang; (10) koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. Namun, melihat kondisi objektif masyarakat saat ini, penerapan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat secara murni belum dapat diterapkan. Pengelolaan berbasis masyarakat sangat mengutamakan prakarsa masyarakat yang menuntut kemampuan manajerial dan kedewasaan masyarakat secara merata dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang diserahkan kepada kelembagaan masyarakat. Kemampuan manajerial tersebut adalah kemampuan masyarakat
37
lokal untuk mengatur dirinya sendiri dan komunitasnya. Di samping itu pengelolaan berbasis masyarakat membutuhkan lembaga lokal yang cenderung mengalami penurunan fungsi bahkan tidak dimiliki oleh sebagian daerah. Sementara pembentukan lembaga-lembaga baru akan membutuhkan biaya sosial yang cukup besar mulai dan pembentukannya, sosialisasi dan hingga penerimaannya. Untuk mengakomodasi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pemerintah dan berbasis masyarakat, maka pendekatan jalan tengahnya adalah model pengelolaan sumberdaya alam co-manajemen yang memadukan unsur pemerintah dengan kelompok pengguna (Sen dan Nielsen dalam Satria et.al, 2002). Co-manajemen menghindari peran yang berlebihan dan satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam sehingga pembiasan terhadap aspirasi salah satu pihak dapat dieliminasi. Pengelolaan sumberdaya alam dengan pendekatan
co-manajemen
bertujuan
untuk
melaksanakan
pengelolaan
sumberdaya alam dengan menyatukan lembaga lembaga terkait terutama mayarakat dan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dalam setiap proses pengelolaan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan. Dalam co-manajemen, pembagian wewenang antara pemerintah dan kelompok pengguna dapat terjadi dalam berbagai pola, tergantung pada kemampuan dan kesiapan sumberdaya manusia dan institusi lokal yang ada. Hasil penelitian Pomeroy dan William (1994) dalam Satria et.al. (2002) menyatakan bahwa proses co-manajemen dapat terjadi dalam bentuk: 1) lembaga pemerintah secara
formal
mengakui
aturan-aturan
yang
secara
informal
sudah
diimplementasikan oleh masyarakat, 2) otoritas pelaksanaan suatu peraturan formal diserahkan dari pemerintah kepada masyarakat. Keuntungan yang dapat diperoleh dan pengelolaan co-manajemen adalah dapat mengurangi biaya transaksi; Biaya transaksi itu secara umum mencakup; (1) biaya informasi; (2) biaya pengambilan keputusan; dan (3) biaya operasional (Kuperan et.al, 1999 dalam Satria et.al, 2002). Selain itu dalam jangka panjang pelaksanaan co-manajemen akan memberikan perubahan ke arah yang lebih baik yaitu: (1) meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA dalam
38
menunjang kehidupan; (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan secara terpadu; (3) meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang berkelanjutan (PKSPL, 2001). Co-manajemen merupakan alternatif pilihan yang mengkombinasikan antara sistem manajemen yang top-down dan bottom-up. Dengan kata lain comanajemen menggabungkan antara pengelolaan sentralistis yang dilakukan oleh pemerintah (government-based management) dengan pengelolaan berbasis masyarakat (community-based management). Hirarki tertinggi dan tatanan kegiatannya pun berada di antara kedua model utama ini yaitu pada tataran hubungan kerjasama (cooperation) selanjutnya consultative dan advisory. Berdasarkan hirarki tatanan kegiatannya, co-manajemen dibagi menjadi beberapa tipe yaitu tipe instructive, consultative, cooperative, advisory dan informatif (PKSPL, 2001). Masing masing tipe memberikan proporsi yang berbeda-beda bagi pemerintah dan kelompok masyarakat pengguna untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Pertama, dalam tipe instructive, peran lebih banyak diberikan kepada pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan dan perencanaan, sedangkan masyarakat lebih banyak menerima informasi dari hasil pemerintah. Beda dengan pengelolaan berbasis pemerintah adalah informasi dasar yang dibutuhkan dalam proses perencanaan ini diperoleh melalui sebuah proses dialogis yang masyarakat menyampaikan aspirasinya. Selanjutnya pemerintah mengolah informasi tersebut untuk menghasilkan sebuah produk kebijakan dan perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, tipe consultative. Tipe ini tidak jauh berbeda dengan tipe sebelumnya, pembuatan keputusan dan perencanaan tetap dilakukan oleh pemerintah. Namun, dalam tipe consultative ini ada proses dialogis dengan masyarakat dalam bentuk musyawarah dilakukan secara lebih intensif. Ketiga, tipe cooperative. Dalam hirarki tatanan kerjanya tipe ini merupakan tipe ideal, dimana peran pemerintah dan masyarakat seimbang dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan. Dengan kata lain, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar dalam pengelolaan sumberdaya alam.
39
Keempat, tipe advisory. Peran masyarakat lebih besar daripada pemerintah, namun partisipasi pemerintah dalam pembuatan keputusan dan perencanaan masih aktif. Peran yang dilakukan pemerintah adalah memberikan saran dan nasihat kepada masyarakat dalam mengambil sebuah keputusan, namun untuk memutuskan diserahkan kepada masyarakat. Kelima, tipe informative. Tipe ini lebih mengarah pada pengelolaan berbasis masyarakat. Kewenangan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pengelolaan diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah hanya diinformasikan tentang keputusan yang telah dibuat. Selanjutnya dalam pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum pun sepenuhnya dilakukan masyarakat. Kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak hanya sebatas pada pembuatan keputusan dan perencanaan, namun lebih lanjut kerjasama ini terjadi dalam pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum serta evaluasi. Melalui co-manajemen, proses pengawasan dan penegakan hukum akan semakin efektif dan efisien karena dilakukan pada tataran lokal dan mendapatkan dukungan dan masyarakat. Co-manajemen dengan orientasi ke atas dan ke bawahnya yang lebih seimbang dan egaliter, menunjukkan pengakuan terhadap peran karakter lokal dalam pola pemanfaatan sumberdaya alam. Pertimbangan terhadap karakter dan kebutuhan lokal bermakna penting dalam melakukan perencanaan pengelolaan sumberdaya, karena dapat mengefektifkan pengelolaan sumberdaya berkelanjutan. Selain itu prinsip pengelolaan sumberdaya alam akan lebih dipahami dan diakui bila dibicarakan pada tingkatan lokal (Cartwight, 1996 dalam Satria, 2002). Berdasarkan karakter dan kebutuhan serta kemampuan masing-masing daerah, maka tipe co-managemen di masing-masing daerah pun cenderung berbeda-beda. Keberhasilan co-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya alam sangat tergantung pada kemauan pemerintah untuk mendesentralisasikan tanggung jawab dan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat dan stakeholder lainnya. Dukungan pemerintah dalam proses co-manajemen ditunjukkan melalui misalnya kebijakan pemerintah yang mendukung comanajemen,
mendukung
masyarakat
untuk
mengelola
dan
melakukan
restrukturisasi peran pelaku pengelolaan sumberdaya alam.
40
2.7.1. Ekosistem Sumberdaya Alam Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan. Danau sebagai suatu ekosistem, secara fisik merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu (Lincoln, 1984). Nelson (1973) menyatakan danau adalah tempat genangan air yang luas di pedalaman, mempunyai aliran tersendiri dengan air berwarna jernih atau keruh. Genangan air danau bersumber dari mata air atau aliran sungai. Danau adalah badan air alami berukuran besar yang dikelilingi oleh daratan dan tidak berhubungan dengan laut, kecuali melalui sungai. Danau bisa berupa cekungan yang terjadi karena peristiwa alam yang kemudian menampung dan menyimpan air yang berasal dan hujan, mata air, rembesan, dan atau air sungai. Berdasar proses terbentuknya, danau dibagi dua, yaitu danau alam dan danau buatan. Danau alam terbentuk akibat kegiatan alamiah, seperti bencana alam, vulkanik, dan tektonik (Odum, 1993). Sedangkan danau buatan terbentuk oleh kegiatan manusia dengan sengaja untuk tujuan tertentu dengan membuat bendungan pada daerah dataran rendah. Air danau bersumber dari sungai, air rembesan (air tanah) dan air hujan. Pengeluaran air danau melalui saluran pengeluaran, sungai, rembesan, serta evaporasi. Danau selalu menerima masukan air dari daerah sekitamya (DAS), sehingga cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air masuk. Konsentrasi ionik perairan danau menciptakan resultante ionik dan air yang masuk, sehingga kualitas air danau sangat tergantung pada pengelolaan daerah aliran sungai yang mengalir ke danau tersebut (Payne, 1986). Beberapa fungsi ekosistem danau, adalah: 1) sumber plasma nutfah yang
berpotensi
sebagai
penyumbang
bahan
genetik;
2)
tempat
berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna, 3) sumber air yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat sekitarnya (rumahtangga, industri dan pertanian); 4) tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan,
41
aliran permukaan, sungai sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah; 5) memelihara iklim mikro yang dapat mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat; 6) sarana tranportasi untuk memindahkan hasil-hasil pertanian; 7) penghasil energi melalui PLTA; dan 8) sarana rekreasi dan objek pariwisata (Kumurur, 2002). Dua fungsi lain ekosistem danau adalah sebagai sumber air yang praktis dan murah untuk kepentingan domestik maupun industri, dan sebagai sistem pembuangan yang memadai dan murah (Connell dan Miller, 1995). Sebagai sumber air, danau menyediakan air secara alami melalui aliran permukaan yang masuk ke danau, aliran sungai-sungai yang menuju ke danau dan aliran bawah tanah yang secara alami mengisi cekungan dimuka bumi ini. Bentuk fisik danau pun memiliki daya tarik sebagai tempat pembuangan yang praktis. Jika dibiarkan, danau tak akan bertahan lama berada di muka bumi. Saat ini ekosistem danau tidak dikelola dengan baik, sebaliknya untuk memenuhi kepentingan manusia, lingkungan sekitar danau diubah untuk dicocokkan dengan cara hidup manusia. Danau merupakan kawasan yang penting bagi perekonomian masyarakat karena potensial untuk tujuan wisata, sarana transportasi, sumber air minum, irigasi, pertanian, perikanan, dan pembangkit listrik. Permasalahan utama yang dihadapi oleh danau adalah tekanan pencemaran dan kegiatan industri, pertanian, perikanan, paniwisata, rumah tangga, dan introduksi spesies asing. Banyak danau mengalami eutrofikasi dan pendangkalan akibat erosi, serta kehilangan spesies endemik akibat masuknya spesies asing yang berbahaya (KNPELB, 2004). Danau pada umumnya merupakan wilayah yang produktif dan mempunyai keanekaragaman hayati dan non hayati yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa danau adalah salah satu sistem penyangga kehidupan yang sangat potensial. Secara jelas fungsi dan nilai danau dapat dilihat dalam Tabel 2.1.
42
Tabel 2.1. Berbagai Fungsi dan Nilai Danau No Fungsi dan Nilai (Manfaat) Manfaat Langsung 1 Pengendali banjir dan kekeringan 2 Jalur transportasi 3 Rekreasi 4
Penelitian dan pendidikan
5
Penahan dan penyedia unsur hara Penahan dan penawar pencemaran
6
7
Stabilisasi iklim mikro
Hasil Produksi 8 Penyedian air untuk masyarakat 9
Pengisi air tanah
10
12
Penyediaan air untuk DAS lainnya Sumber hidupan liar dan sumer makanan Sumber perikanan
13
Pendukung pertanian
14
Sumber energi
11
Kekhasan (atributes) 15 Merupakan habitat keanekaragaman hayati 16
Keterangan Menampung kelebihan air di musim hujan dan menyalurkan cadangan air di musim kemarau Digunakan oleh masyarakat sebagai sarana perhubungan Danau memiliki nilai estetika yang dapat menjadikannya lokasi rekreasi Danau memiliki aspek pengetahuan yang menarik untuk diteliti Badan air dan vegetasi yang terdapat di danau dapat menahan dan mendaur ulang unsur hara Badan air dan keseluruhan komponen lingkungan danau menurunkan daya racun bahan pencemar yang masuk ke dalamnya Secara keseluruhan kondisi hidrologi dan daur materi pada danau dapat menstabilkan iklim mikro Air permukaan danau digunakan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan Air permukaan yang terdapat di danaudapat mengisi akuifer melalui pori-pori tanah Kelebihan air danau dapat mengairi DAS lain sehingga danau dapat tetap menjalankan fungsinya Danau merupakan habitat dan sumber makanan berbagai jenis hidupan liar Danau merupakan habitat dari berbagai komoditas perikanan Danau merupakan sumber pengairan utama berbagai kegiatan pertanian terutama sawah Energi pergerakan air dapat dikonversi menjadi energi lain (misalnya listrik) Berbagai jenis flora dan fauna menjadikan danau sebagai habitatnya
Keunian tradisi budaya dan warisan
Danau memiliki nilai estetika yangkhas sehingga menjadi bagian dari perkembangan budaya masyarakat setempat 17 Habitat bagi sebagian atau Berbagai jenis flora dan fauna menjadikan danau seluruh siklus hidup flora dan sebagai tempat perkembangbiakan, pemeliharaan, pembesaran dan mencari makan fauna Sumber: Dimodifikasi dari Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah, (2004)
2.7.2. Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Alam Pendekatan pengelolaan lingkungan merupakan upaya terpadu untuk memanfaatkan
lingkungan
secara
optimal
menuju
pembangunan
berkelanjutan (Setiawan, 2003), adalah: pendekatan ekologis, pendekatan ekonomis, pendekatan teknologis, pendekatan sosio kultural, pendekatan sosio politis.
43
Pengelolaan lingkungan didasarkan pada prinsip ekologis, terutama hubungan antar berbagai komponen dalam satu sistem lingkungan fisik dan biologis (Soemarwoto, 1985). Bagi aliran “environmental determinism” yakni lingkunganlah yang akan mempengaruhi segalanya. Pendekatan ini penting untuk memahami proses perubahan lingkungan, tetapi mempunyai kekurangan terutama ketidakmampuannya menjelaskan komponen sistem sosial serta proses interaksi antara komponen manusia dengan komponen fisik. Pendekatan ekologis dianggap kurang mampu memecahkan persoalan baru, khususnya proses perubahan lingkungan dengan intervensi manusia begitu dominan (Setiawan, 2003). Pendekatan ekonomis didasarkan pemikiran tentang kelangkaan sumberdaya sehingga menuntut para pengguna melakukan pilihan-pilihan yang seksama dalam memanfaatkannya secara optimal. Pendekatan ini memiliki kelemahan, yaitu: (1) tidak mampu memasukkan nilai-nilai yang tak terukur dari kualitas dan komponen lingkungan, (2) mengutamakan efisiensi sehingga mengabaikan nilai keadilan dalam alokasi sumberdaya (Setiawan 2003). Pendekatan teknologis dalam pengelolaan lingkungan bekerja dengan semangat yang sama dengan pendekatan ekonomis, yakni untuk mengoptimalkan proses eksploitasi dan pemanfaatan lingkungan serta sumberdaya (Rosenberg dalam Setiawan, 2003). Pemahaman terhadap aspek sosial dan budaya masyarakat lokal diperlukan dalam pengelolaan lingkungan. Pendekatan ini merupakan kritik terhadap pendekatan ekologis, ekonomi, dan teknologis terutama pada kepekaanya akan keragaman sistem sosial dan kultural yang berhasil menunjukkan model-model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan (Setiawan, 2003). Perbedaan sistem sosial dan kultur mempengaruhi bentuk masyarakat dalam memandang dan memanfaatkan lingkungan. Pandangan dan tata cara hidup serta perilaku masyarakat akan menentukan bentuk pemanfaatan dan alokasi sumberdaya, sehingga pendekatan ekonomis dan teknologis semata tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan lingkungan yang ada.
44
Pendekatan sosial-politis didasarkan pemikiran tentang beragamnya kelompok kepentingan dalam pengelolaan lingkungan dengan persepsi yang berbeda terhadap lingkungan. Pendekatan ini menyadari pluralitas sistem sosialpolitis sebagai komponen utama lingkungan serta implikasinya bagi proses perubahan dan pengelolaan lingkungan (Setiawan, 2003). Konflik adalah inherent dalam proses perubahan lingkungan sehingga upaya pengelolaan lingkungan diarahkan untuk mengelola konflik untuk solusi yang menguntungkan semua pihak. Konsep ekologi-politik memahami proses sebab-akibat perubahan lingkungan terutama keterlibatan stakeholder dalam proses tersebut (Mitchell 1997 dalam Setiawan 2003). Tiga komponen utama sistem sosial-politik, yaitu: (1) sistem mikro yakni dinamika internal masyarakat atau komunitas; (2) sistem makro yakni dinamika sistem pengorganisasian kekuasaan oleh negara, termasuk sistem hukum, azas negara, dan kelembagaan negara; serta (3) dinamika interaksi antara sistem mikro dan makro, yakni hubungan antara masyarakat dan negara (Setiawan 2003). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 2.2. yaitu: Tabel 2.2. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Pendekatan 1) Ekologis
2) Ekonomis
DASAR DAN POKOK-POKOK IDE Deep ecology: environmental determinism, Kurang memperhatikan aspek sosek + sospol
Pendekatan pasar bebas; model supply-demand, Penekanan pada efisiensi kompetisi bebas, Kurang peka terhadap isu terhadap isu politik 3) Teknologis Mengagungkan solusi teknologi, Penekanan pada efisiensi optimalisai inovasi standarisasi, Tergantung pada capital & kurang peka terhadap social ekonomi dan politik 4) Sosial-budaya Localism; relativism. Menekankan pada kearifan budaya local. Dipertanyakan generalisasinya pada persoalan global 5) Sosial-politik Ekologi Politik & ekonomi politik, menekankan pada relasi antar stakeholders, manajemen konflik, cocok untuk masyarakat plural/heterogen Sumber: Setiawan (2003)
CONTOH Konsep daya dukung; ecological footprint. Analisis Agrocosystem Analisis biaya-manfaat willingness to pay (WTP) ISO Energi alternative Produksi bersih;
RRA; PRA Kearifan local Legal/formal ADR
45
2.7.3. Partisipasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menurut Sumardjo dan Saharuddin (2003), partisipasi adalah peran serta seseorang atau sekelompok dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang (secara sadar) diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut.
Pengelolaan
sumberdaya
alam
akan
lebih
baik,
jika
mengikutsertakan masyarakat sejak awal kegiatan sebagai pihak yang menikmati hasil pengelolaan tersebut. Hasilnya akan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan kemampuan ekonomi masyarakat. Dengan demikan, pengelolaan danau memerlukan partisipasi masyarakat agar sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan, kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Alasan perlunya partisipasi masyarakat, yaitu: (1) partisipasi merupakan alat memperoleh informasi tentang kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat; (2) masyarakat lebih mempercayai program pembangunan, jika secara langsung dilibatkan dalam persiapan dan perencanaan; (3) partisipasi merupakan hak demokrasi. Partisipasi masyarakat akan membangkitkan semangat kemandirian dan kerjasama diantara masyarakat, meningkatkan swadaya masyarakat, mengakomodasikan kekuatan menggali pembangunan dan mengurangi kebutuhan sumberdaya pemerintah (Conyers, 1994). Bentuk partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam berbeda tingkatnya. Tingkat partisipasi paling bawah berupa konsultasi pasif dan partisipasi paling aktif adalah seluruh stakeholder membagi kewenangan pengelolaan sumberdaya alam, sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.3. Pengelolaan sumberdaya alam yang baik adalah berwawasan lingkungan dan mengikuti kaidah keseimbangan dan kelestarian, kombinasi antara peningkatan kualitas hubungan antar manusia dengan tujuan pelestarian lingkungan (Supriatna et al. 2000). Dengan demikian dalam pengelolaan danau diperlukan kualitas hubungan antar stakeholder yang menghasilkan kolaborasi dalam pengelolaan danau, yang mendukung pelestarian danau. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam pengelolaan danau adalah: (1) harus memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan budaya; (2)
46
membangun institusi dan aturan yang untuk mengelola masyarakat termasuk partisipasi masyarakat. Pembangunan institusi mulai dan level internasional, regional, nasional, dan lokal untuk mengatur penggunaan air danau dan mengembangkan pengelolaan air danau. Administrasi sumberdaya air memiliki tantangan dan perspektif baru untuk mengembangkan prinsip keberlanjutan dan rasionalitas pemanfaatan, proteksi dan konservasi air danau secara dinamis (UNEP, 2000). Tabel 2.3. Jenis-jenis Partisipasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Bentuk Partisipasi Partisipasi Pasif
Partisipasi Informasi Partisipasi dalam bentuk konsultasi Partisipasi karena insentif material Partisipasi fungsional
Partisipasi interaktif
Partisipasi aktif
Ciri-ciri Setiap Jenis Partisipasi Masyarakat membicarakan apa yang sedang terjadi atau yang baru saja terjadi. Administrator melakukan penjelasan tanpa saran Masyarakat memberikan informasi melalui kuisioner atau sejenis tanpa berkesempatan mempengarui keadaan Stakeholder memberikan penjelasan, agen eksternal memformulasikan masalah dan solusi. Tidak ada “share” dalam keputusan Masyarakat berpartisipasi karena insentif seperti makanan, uang atau material lainnya. Masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yan berhubungan dengan pengelolaan SDA. Masyarakat membentuk istitusi yang pada awalnya tergantung kepada asistensi eksternal tetapi nantinya akan mandiri Masyarakat berpartisispasi dalam kerjasama membentuk lembaga lokal baru atau menguatkan lembaga lokal yang sudah ada. Kelompok ini melakukan control terhadap keputusan lokal Masyarakat berpartisipasi dengan inisiatif bebas dari institusi eksternal untuk merubah sistem.
Sumber: Brown, et.al, 2001
Berkaitan dengan hal di atas, pengelolaan danau memerlukan: (1) memperhitungkan aspek sosial, ekonomi dan budaya; (2) membangun institusi dan aturan untuk mengatur masyarakat dan stakeholder lainnya dalam memanfaatkan danau; (3) mengelola partisipasi seluruh stakeholder. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan danau di era otonomi daerah, yaitu: kebijakan makro tetap pada pemerintah pusat dengan prinsip pengelolaan menyeluruh dan terpadu yang memperhatikan kepentingan lintas sektoral dan lintas daerah. Kelestarian sumber air, pengaturan alokasi serta pencegahan pencemaran dilimpahkan ke provinsi. Pengelolaan danau dilimpahkan ke daerah otonom setempat bersama dengan masyarakatnya.
47
Upaya pengelolaan danau terpadu secara lintas sektoral, pemerintah daerah dapat melimpahkan kewenangan pengelolaan kepada BUMD atau suatu badan otoritas, sehingga perencanaan, pelaksanaan kontruksi, operasional dan pemeliharaan dapat diserahkan kepada BUMD tersebut. Konsep pengelolaan sumberdaya air yang universal yaitu one river, one plan, one management dapat diterapkan untuk pengelolaan danau. Selain itu keterlibatan masyarakat sangat penting, tidak hanya dalam pemanfaatan tetapi juga dalam pemeliharaan. Rasa memiliki serta pemahaman tentang fungsi danau akan mendorong masyarakat untuk turut serta dalam pengelolaan dan pemeliharaan danau (Haeruman, 1999). Tidak dilibatkannya stakeholder daerah dalam pengelolaan danau merupakan penyebab pengelolaan danau tidak efektif, sedangkan tekanan terhadap keberlanjutan sumberdaya danau terus berlangsung. UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan 34 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah memberikan peluang kepada daerah untuk mengelola sumberdaya alamnya dan memberikan pengakuan terhadap keberadaan lembaga tradisional masyarakat. Hal ini merupakan peluang bagi partisipasi aktif kelembagaan lokal yang akan membangkitkan partisipasi masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya daerahnya sendiri.
48
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian 3.1.1. Kerangka Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan yang berusaha menemukan model pengelolaan migrasi internasional yang berguna bagi proses perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal tenaga kerja luar negeri (TKLN). Langkah penyusunannya sehingga dapat terumuskan kebijakan disajikan pada Gambar 3.1.
Mulai
Selesai
Studi literatur Survei lapang FGD
Analisis Deskriptif
o Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Daerah Asal TKLN o Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Rumahtangga Daerah Asal TKLN o Kondisi Kelembagaan Pemberangkatanan dan Perpulangan TKLN
OK?
OK?
Perancangan Strategi Penguatan Kelembagaan PemberdayaanTKLN
FGD Analisis AHP
Analisis ISM
Identifikasi Elemen-elemen Kebutuhan, Tujuan, Kendala dan Tolok Ukur Pengembangan Kelembagaan Pemberdayaan TKLN
OK?
OK?
Desain Kebijakan Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal
FGD
Gambar 3.1. Alur Kerja Penelitian Penelitian diawali dengan analisis kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi yang ada saat ini. Selanjutnya dilakukan analisis tentang kebutuhan suatu masyarakat di suatu wilayah tertentu terhadap keadaan lingkungan permukiman, sosial, dan ekonomi yang diharapkan. Analisis terhadap kondisi aktual kondisi lingkungan permukiman, sosial ekonomi
yang ada diperoleh melalui ketersediaan data penelitian yang terkait dengan ketiga aspek tersebut. Begitu juga dengan analisis kebutuhan akan kondisi lingkungan permukiman, sosial, dan ekonomi yang dilakukan untuk menghasilkan gambaran kondisi lingkungan permukiman, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan masyarakat tersebut. Hasil analisis kondisi lingkungan permukiman, sosial, ekonomi yang ada beserta keadaan yang dibutuhkan digunakan sebagai dasar pembuatan model pemberdayaan TKLN terkait perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Pembuatan model pemberdayaan ini sangat didukung oleh kelembagaan-kelembagaan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan luar negeri dan sumberdaya alam serta lingkungan permukiman. Dalam melakukan analisis kelembagaan, diterapkan konsep knowledge creation. Hal ini dilakukan untuk memasukkan unsur pembelajaran
dalam
proses
pengembangan
kelembagaan
tersebut.
Kelembagaan TKLN dan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman kemudian dikaji melalui analisis kelembagaan. Kelembagaan-kelembagaan TKLN juga kondisi sumberdaya alam dan lingkungan permukiman sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang ada sehingga analisis kebijakan mutlak diperlukan agar penelitian dapat menghasilkan pembahasan yang lebih komprehensif.
3.1.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Secara teknis penentuan lokasi penelitian ditentukan di kawasan basis TKLN
dan
memiliki
kualitas
sumberdaya
alam dan
lingkungan
permukiman yang terbatas. Penetapan lokasi penelitian ini dilakukan berdasar data dan pertimbangan-pertimbangan lain yang dapat memperkuat penetapan lokasi tersebut. Data Direktorat Jenderal Pembinaan Tenaga Kerja Luar Negeri Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2008 menunjukkan bahwa selama 14 tahun (1994-2008) warga Indonesia yang bekerja di luar negeri berjumlah 4.300.000 orang dengan negara-negara tujuan utamanya adalah negara di kawasan Asia Pasifik (Malaysia) dan Timur Tengah (Saudi Arabia). Sebagian besar TKLN berasal dari daerah-
50
daerah di pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Selama setengah dekade tersebut (1994-1999) menunjukkan bahwa wilayah pengirim TKLN terbanyak adalah Provinsi Jawa Barat. Berdasar kondisi ini maka lokasi penelitian secara sengaja (purposive) ditetapkan di Jawa Barat. Tahap berikutnya, lokasi penelitian difokuskan di Kabupaten Cianjur sebagai wilayah kantong TKLN sejak permulaan sejarah pengiriman tenaga kerja luar negeri dari Indonesia. Kabupaten Cianjur sampai saat ini masih dikenal sebagai daerah basis TKLN terutama tenaga kerja perempuan dengan negara tujuannya Arab Saudi. Untuk kepentingan survei dan terfokusnya kajian lebih lanjut, lokasi penelitian ditetapkan di Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur. Lokasi penelitian ini secara fisik telah mengalami perkembangan yang cukup positif. Sebagian besar para TKLN yang dapat bekerja di luar negeri dan mengirimkan pendapatannya ke daerah asal telah mendistribusikan uang tersebut untuk renovasi rumah dan atau membuat rumah baru. Perbaikan lingkungan apabila dilihat dari perubahan fisik lingkungan permukiman akibat migrasi internasional TKLN akan terlihat lebih signifikan. Secara detil gambaran umum lokasi yang akan menjadi tempat penelitian dijabarkan pada Bab 4.
3.1.3. Pengumpulan dan Analisis Data Kajian dilakukan dari beragam segi, dimulai dengan evaluasi kualitas sumberdaya alam, lingkungan permukiman hingga kajian historis dan dampak perkembangan daerah kajian yang menjadi sumber TKLN. Fokus penelaahan diletakkan pada identifikasi sinergitas antara kondisi, teknologi, intensifikasi pengelolaan sumberdaya alam, dinamika migrasi TKLN serta dampaknya terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat lokal. Kajian dilakukan dengan kajian lapangan melalui penggunaan metode triangulasi1, yakni metode gabungan antara metode kualitatif2 dengan 1
Triangulasi berarti: “a term borrowed from surveying the land that says looking at an object from several differend points gives a more accurate view of it”. Newman (2000). Secara ringkas berarti: menggunakan berbagai sudut pandang untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendekati kenyataan. Triangulasi dapat dibedakan sebagai berikut: (1) triangulation of measure: peneliti
51
kuantitatif3. Penggunaan metode kuantitatif lebih banyak digunakan untuk "menangkap" fenomena di tingkat mikro (individu dan rumahtangga). Dan, untuk mengurangi bias individu maka metode kualitatif diharapkan mampu melihat fenomena di aras yang lebih tinggi (komunitas dan kelembagaan lain di atasnya). Artinya, kedua metode kajian diharapkan saling melengkapi dalam menjawab tujuan kajian, sehingga diperoleh gambaran yang lebih utuh tentang keterkaitan antara migrasi TKLN dengan perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Telaah Pustaka. Sebelum melakukan kajian di atas, kegiatan dimulai dengan menelaah data sekunder relevan berupa telaah pustaka. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai kondisi ekologis, pola pengelolaan sumberdaya alam, perkembangan ekonomi lokal, dan proses-proses sosial menyangkut migrasi internasional tenaga kerja luar negeri di lokasi kajian yang telah dilakukan dan ditulis dalam bentuk dokumen atau catatan-catatan di kantor-kantor pemerintahan desa sampai kabupaten serta perpustakaan atau sumber-sumber lain yang dapat memberi
informasi
mengenai
sumberdaya
alam
dan
lingkungan
permukiman daerah asal serta perkembangan migrasi internasional TKLN. Teknik Non-Survei. Setelah telaah pustaka lalu dilakukan kajian lapangan dengan dimulai melalui kegiatan non-survei. Penggunaan teknik ini adalah kegiatan pengumpulan data kualitatif. Hal ini ditujukan untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai kualitas dan pengelolaan sumberdaya alam dalam konteks perkembangan migrasi internasional TKLN di daerah kajian. Sebagian besar data dan informasi dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci maupun responden terpilih, diskusi kelompok dan pengamatan berperan serta. Kegiatan ini menggunakan berbagai ukuran untuk satu fonomena, dengan demikian diharapkan peneliti dapat melihatnya dari berbagai sudut pandang sehingga memungkinkan dia melihat obyek secara lebih jelas; (2) triangulation of observers: peneliti menggunakan beberapa orang peneliti untuk mengamati fenomena yang sama; (3) triangulation of theory: yakni saat peneliti menggunakan beberapa perspektif teori sejak saat persiapan penelitian atau saat menginterpretasi data; (4) triangulation of method: berarti menggabungkan gaya penelitian kuantitatif dan kualitatif, yang diharapkan saling melengkapi kekuatan masing-masing. 2 Metode kuantitatif kuat dalam hal generalisasi, namun lemah dalam kedalaman isu, sebaliknya metode kualitatif kuat dalam kedalaman sebuah isu namun lemah dalam generalisasi. 3 Kedudukan kedua metode dalam studi ini sejajar. Artinya, baik metode kualitatif maupun kuantitatif digunakan dalam “kuantitas” yang sama untuk saling melengkapi satu sama lain.
52
dilaksanakan juga dengan maksud untuk memilih pihak-pihak (tokoh pemerintahan, tokoh agama, tokoh pemuda dan media-media pertemuan masyarakat). Pemilihan ini dilakukan dengan menggali informasi dari informan kunci, dan teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam. Untuk tujuan ini, maka wawancara yang dilakukan cenderung tidak berstruktur,
mengikut
alur
perbincangan
dari
pihak
yang
diajak
berwawancara, namun dengan tetap diarahkan untuk menggali dan mendapatkan jenis data atau informasi kebijakan dalam kaitan aliran tenaga kerja ke luar negeri dan perbaikan lingkungan permukiman daerah asal di aras lokal (kabupaten). Untuk kepentingan perancangan strategi kebijakan penempatan TKLN, informan kunci yang dipilih adalah stakeholder ahli terkait permasalahan TKLN Kabupaten Cianjur, khususnya Kecamatan Tanggeung sebagai fokus lokasi kajian. Adapun stakeholder ahli yang dimaksud meliputi: (1) Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Cianjur, (2) Ketua Perhimpunan PPTKIS Kabupaten Cianjur, (3) Perwakilan Sponsor TKI Kecamatan Tanggeung, (4) Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC), (5) Perwakilan ex-TKI Kecamatan Tanggeung. Teknik Survei. Digunakan untuk mengukur kondisi sumberdaya alam dan lingkungan permukiman (kualitas air, kesehatan lingkungan, ancaman dan kejadian banjir). Digunakan juga untuk mengumpulkan data sosial ekonomi
(pendapatan,
pemilikan
barang,
jenis
bangunan
rumah,
perkembangan agraria) sehingga dapat dilihat sebab dan akibat aliran tenaga kerja untuk bekerja ke luar negeri. Teknik ini menjadikan kepala keluarga atau anggota tertua rumahtangga sebagai responden yang diberikan pertanyaan secara terstruktur yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Metode yang digunakan dalam penarikan sampel adalah teknik purposive-random sampling. Sasaran teknik survei adalah informasi di aras individu dan rumahtangga. Populasi yang dijadikan fokus kajian adalah masyarakat Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur. Dari sini populasi dibedakan menjadi dua kelompok: rumahtangga TKLN dan rumahtangga non-TKLN. Lalu dari masing-masing kelompok ditarik sampel secara acak sebanyak masing-masing 60 rumahtangga. Keseluruhan jenis, metode
53
pengumpulan dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1. Jenis Data, Metode Pengumpulan dan Sumber Data No Jenis Data LINGKUNGAN ALAM 1 Pemanfaatan Lahan 2 3 4
Kondisi Danau Kondisi Hutan Kegiatan Konservasi
LINGKUNGAN RUMAH 5 Kondisi Sanitasi
Metode Pengumpulan Wawancara, Telaah Pustaka, Survei Wawancara Wawancara Wawancara, FGD
Sumber Data Podes Podes Podes Pemerintah dan Masyarakat Desa Kertajaya
Wawancara, Telaah Pustaka, Survei Wawancara, Telaah Pustaka, Survei
Podes, Masyarakat Desa Kertajaya Podes, Masyarakat Desa Kertajaya
SOSIAL EKONOMI 7 Kependudukan 8 Pendidikan
Telaah Pustaka Telaah Pustaka, Survei
9
Kesehatan
Telaah Pustaka, Survei
10
Sumber Nafkah
Wawancara, Telaah Pustaka, Survei
11
Pendapatan
Wawancara, Telaah Pustaka, Survei
Podes Podes, Pemerintah Kecamatan Tanggeung, Pemerintah dan Masyarakat Desa Kertajaya Podes, Pemerintah Kecamatan Tanggeung, Pemerintah dan Masyarakat Desa Kertajaya Podes, Pemerintah Kecamatan Tanggeung, Pemerintah dan Masyarakat Desa Kertajaya Podes, Pemerintah Kecamatan Tanggeung, Pemerintah dan Masyarakat Desa Kertajaya
6
Karakteristik Bangunan
KELEMBAGAAN 12 Aturan Pemberangkatan dan Perpulangan
Wawancara, Telaah Pustaka, FGD
13
Identifikasi Stakeholder dan Kepentingan
Wawancara, FGD
14
Kelembagaan Formal
Wawancara, Telaah Pustaka, FGD
15
Kelembagaan Informal
Wawancara, FGD
DATA PENDUKUNG 16 Jawa Barat dalam Angka 17 Cianjur dalam Angka 18 Data lain yang mendukung
Telaah Pustaka Telaah Pustaka Telaah Pustaka
Disnakertrans Cianjur, PPTKIS, Sponsor TKLN, SBMC, Calon TKLN dan TKLN Purna Disnakertrans Cianjur, PPTKIS, Sponsor TKLN, SBMC,calon TKLN dan TKLN Purna Disnakertrans Cianjur, PPTKIS, Sponsor TKLN, SBMC, CalonTKLN dan TKLN Purna Disnakertrans Cianjur, PPTKIS, Sponsor TKLN, SBMC,Calon TKLN dan TKLN Purna BPS BPS Laporan Penelitian
54
3.2. Pengembangan Model Sistemik 3.2.1. Analisis Kebutuhan Berdasar kajian pustaka, diidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam sistem pemberdayaan TKLN dalam rangka perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal beserta kebutuhannya. Pada dimensi kebijakan publik adalah pemerintah pusat dan daerah, TKLN itu sendiri, PPTKIS, Penerima Jasa TKLN di luar negeri, LSM, lembaga keuangan dan masyarakat sekitar di daerah asal. Tabel 3.2. Analisis Kebutuhan Stakeholders pada Dimensi Kebijakan Publik No.
Pelaku Sistem
1.
TKLN
2.
PPTKIS
3.
Pemerintah Pusat dan Daerah
4
Masyarakat daerah Asal
5
Penerima Jasa TKLN
6
Lembaga Swadaya Masyarakat
7
Lembaga Keuangan
Kebutuhan Pelaku Sistem - Tersedianya lapangan kerja - Tersedianya sarana belajar untuk peningkatan kemampuan - Kemudahan prosedur mendapatkan pekerjaan - Terjamin keamanan dan keselamatan - Mendapatkan penghasilan yang layak - Kemudahan dalam proses pemberangkatan - Kemudahan akses penyediaan biaya pemberangkatan - Penjaminan keamanan pengiriman remitan - Pendampingan manajemen keuangan - Kemudahan administratif atau birokratif - Peraturan atau regulasi yang jelas - Keamanan investasi - Fasilitas sarana dan prasarana yang memadai - Tersedianya pasar tenaga kerja yang kontinyu - Stabilitas politik dan ekonomi - Kesejahteraan masyarakat khususnya TKLN - Peningkatan devisa negara - Pemanfaatan sumberdaya manusia secara optimal - Kepedulian terhadap lingkungan hidup - Infrastruktur fisik yang memadai - Tersedianya lapangan kerja - Sarana dan prasarana sosial yang memadai - Tersedianya TKLN yang professional - Kemudahan prosedur mendapatkan jasa TKLN - Aksesibilitas informasi dan data - Tidak terjadi konflik sosial - Kepercayaan atau dukungan masyarakat - Dukungan lembaga donor - Kelestarian lingkungan hidup - Tersedianya sarana penyimpanan uang - Tersedianya sarana pengiriman uang - Transparansi penerimaan gaji
55
3.2.2. Identifikasi Sistem Berdasarkan kajian pustaka sebelumnya, dalam penelitian ini ada tiga kelompok variabel secara garis besar yang mempengaruhi kinerja suatu sistem, yaitu (1) peubah terkontrol; (2) peubah tak terkontrol; dan (3) indikator pemberdayaan. Pada sistem pemberdayaan tenaga kerja luar negeri dalam rangka perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal, variabel-variabel yang dipandang mempengaruhi sistem tersebut adalah sebagai disajikan pada Gambar 3.2. Peubah Terkontrol : - Administrasi dan Birokrasi - Peraturan dan Regulasi - Unit Pelatihan - Jumlah dan Jenis Tenaga Kerja - PPTKIS - Job Order/Demand Letter/Wakalah
Peubah Tak Terkontrol : - Kurangnya Ketersediaan Lapangan Kerja - Birokasi Negara Penerima - Globalisasi Perekonomian - Kondisi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Permukiman -
Umpan Balik
Sistem Pemberdayaan TKLN Dalam Rangka Perbaikan Kualitas Sumber Daya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal
Indikator Pemberdayaan : - Meningkatnya kelembagaan TKLN di daerah asal - Jumlah dan Kompetensi TKLN meningkat - Meningkatnya Keamanan dan Keselamatan TKLN - Meningkatnya Kesempatan Kerja di dalam negeri - Meningkatnya Pendapatan Masyarakat - Meningkatnya Devisa Negara - Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam di Daerah Asal - Peningkatan Mutu Lingkungan Permukiman
Gambar 3.2. Diagram Sistem Pemberdayaan TKLN Dalam Rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Permukiman di Daerah Asal
3.3. Perancangan Strategi Pilihan Kebijakan Dalam kajian ini, pendekatan yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penentu rancangan strategi pemberdayaan TKLN adalah dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan sebelumnya, diidentifikasi komponen aktor yang berkepentingan dalam penyusunan strategi dalam mencapai tujuan merancang Aksi Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal. Lalu selanjutnya diidentifikasi faktor yang menjadi kebutuhan para pelaku sistem. Langkah yang kemudian diambil adalah merumuskan alternatif strategi yang dapat diambil
56
dalam mencapai tujuan tersebut, yakni Aksi Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal. Rekomendasi strategi pemberdayaan TKLN selanjutnya dicapai melalui penentuan prioritas keputusan strategi alternatif pemberdayaan TKLN yang dilakukan melalui AHP. Data yang diperoleh kemudian diproses dengan menggunakan program computer “Expert Choice version 2000” yang merupakan program yang disusun oleh Asian Institute of Technology and Microsoft Co. Hasil pengolahan ini kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara kualitatif berdasarkan keterangan yang diperoleh dari responden. Langkah-langkah kerja utama AHP (Saaty, 1993), adalah sebagai berikut : 1.
Identifikasi Sistem Identifikasi sistem diakukan dengan mendefinisikan persoalan penempatan TKLN dan merinci persolan masalah secara mendalam, perhatian ditujukan pada pemilihan tujuan, kriteria, dan elemen-elemen yang menyusun struktur hirarki. Tidak terdapat prosedur pasti dalam mengidentifikasi komponenkomponen sistem (tujuan, kriteria, aktifitas) yang akan dilibatkan dalam sistem hirarki. Komponen sistem dapat diidentifikasikan berdasarkan kemampuan pada analisis untuk menentukan unsur-unsur yang dapat dilibatkan dalam suatu sistem.
2.
Membuat struktur hierarki dari sudut pandang stakeholders secara menyeluruh. Struktur hirarki ini mempunyai bentuk yang saling terkait, tersusun dari sasaran utama, sub-sub tujuan, faktor-faktor pendorong yang mempengaruhi sub-sub sistem tujuan tersebut, pelaku-pelaku yang memberi dorongan, tujuan-tujuan pelaku dan akhirnya ke alternatif strategi, pilihan, dan skenario. Pada tingkat puncak hirarki hanya terdiri dari satu elemen yang disebut dengan fokus, yaitu sasaran keseluruhan yang bersifat luas. Tingkat di bawahnya dapat terdiri dari beberapa elemen yang dibagi dalam kelompok homogen, agar dibandingkan dengan elemen-elemen yang berada pada tingkat sebelumnya.
57
3.
Menyusun matriks banding berpasangan. Matriks banding berpasangan untuk kontribusi atau pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh dan berada setingkat di atasnya. Matriks banding berpasangan dimulai dari puncak hirarki untuk fokus G, yang merupakan dasar untuk melakukan perbandingan antar elemen yang terkait dan ada dibawahnya. Perbandingan berpasangan pertama dilakukan pada elemen tingkat kedua (F1, F2, F3, .........., Fn) terhadap fokus G yang ada di puncak hirarki. Menurut perjanjian, suatu elemen yang ada di sebelah kiri diperiksa perihal dominasi atau suatu elemen di puncak matriks.
4.
Menghitung matrik pendapat individu Pada langkah ini dilakukan perbandingan berpasangan antara setiap pada variabel pada kolom ke-j dengan setiap variabel pada baris ke-i yang berhububungan dengan fokus G. Perbandingan berpasangan antar variabel tersebut dapat dilakukan dengan pertanyaan “Seberapa kuat variabel baris ke-i didominasi oleh fokus G, dibandingkan dengan kolom ke-j ” Untuk mengisi matriks berpasangan, digunakan skala banding yang tertera pada Tabel 3.3.
5.
Menghitung matrik pendapat gabungan Pada langkah ini adalah memasukan nilai-nilai kebalikan beserta bilangan 1 sepanjang diagonal utama, penentuan prioritas dan pengujian konsistensi. Sedangkan bila Fi kurang mendominasi atau kurang mempengaruhi sifat G dibandingkan dengan Fj, maka digunakan angka kebalikannya, Matriks di bawah garis diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikannya. Untuk tahap 6-8, dapat diolah menggunakan komputer dengan program komputer Expert Choice Version 2000.
58
Tabel 3.3. Nilai Skala Banding Berpasangan Intensitas Pentingnya 1
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainya
5
Elemen yang satu sangat penting daripada elemen yang lainya
7
Satu elemen jelas lebih daripada elemen lainnya
9
Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya
penting
2,4,6,8
Dua elemen menyumbangkan sama besar pada sifat itu Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya Pengalaman dan pertimbangan dengat kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlibat dalam praktek Bukti yang menyokong elemen yang satu atau lainnya memiliki tingkat penegasan yang tertinggi yang mungkin menguatkan Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan
-Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan -Jika untuk aktivitas ke-I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas ke-j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i Kebalikan Jika untuk aktifitasi mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i. Sumber : Saaty, 1993.
6.
Pengolahan horizontal Pada langkah ini adalah melaksanakan langkah 3, 4, 5 untuk semua elemen pada setiap tingkat keputusan yang terdapat pada hierarki, berkenaan dengan kriteria elemen diatas.
7
Revisi Pendapat Revisi pendapat dilakukan apabila nilai CR cukup tinggi, yaitu lebih dari 0,1 dengan mencari Root Mean Square (RMS) dan merevisi pendapat pada baris yang memiliki nilai terbesar. Pengumpulan pendapat responden dilakukan
dengan
menggunakan
kuesioner
terstruktur,
sedangkan
pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Expert Choice 2000. 8.
Sintesis yang memperhatikan konsistensi Menurut Saaty (1993) penentuan perangkat komponen sistem hierarki AHP tidak memiliki prosedur yang pasti, sehingga sistem tidak harus terbentuk secara mutlak dari komponen-komponen seperti yang telah disebutkan di atas. Fokus dalam tahap ini adalah komponen–komponen sistem yang dipilih dan dipergunakan dalam membentuk sistem hierarki yang ada. Hal
59
ini diidentifikasikan berdarkan kemampuan analisis dalam menemukan unsur-unsur yang dimaksud, sehingga penentuan unsur-unsusr tersebut tergantung dari penguasaan para analisis terhadap persoalan atau masalah yang akan dipecahkan.
Data sekunder yang diperoleh dari stakeholder terkait dalam penelitian ini diolah secara tabulasi. Selanjutnya dianalisis dengan dua alat analisis yaitu analisis kualitatif dan kuantitatif. Dalam menjawab permasalahan pada penelitian maka akan dilakukan pengolahan data dengan metode AHP. Untuk melakukan data dengan metode AHP dibutuhkan sistem-sistem hierarki keputusan yang berkaitan dengan masalah penelitian dengan abstraksi. Abstraksi sistem hierarki keputusan memiliki bentuk yang saling terkait, dengan ketentuan sebagai berikut : o
Level 1 yaitu suatu struktur hirarki keputusan yang merupakan strategi yang akan dicapai. Masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman.
o
Level 2 merupakan level aktor yang memiliki kepentingan dalam penyusunan strategi aksi pemberdayaan TKLN dalam rangka perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal.
o
Level 3 menunjukkan elemen faktor kebutuhan tiap-tiap stakeholder aktor yang diperoleh melalui wawancara terlebih dahulu dengan stakeholders sebelum kuesioner AHP disebarkan. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi yang aktual dan sesuai dengan yang terjadi di lapangan.
o
Level 4 menunjukkan prioritas strategi pemberdayaan TKLN untuk memberikan solusi perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal yang dilakukan. Level keempat diperoleh dengan penekanan pada prioritas aktor yang diperoleh pada level kedua dan memperhatikan setiap elemen faktor kebutuhan pada level tiga. Untuk lebih jelasnya sebagaimana terlihat dalam Gambar 3.3.
60
Level 1 Fokus
PEMBUATAN RENCANA STRATEGIS
Level 2 Aktor
Aktor 1
Aktor 2
Aktor 3
Aktor 4
Level 3 Faktor
A
D
G
J
B
E
H
K
C
F
I
L
Level 4 Strategi
Strategi 1
Strategi 2
Strategi 3
Strategi 4
Sumber : Saaty, 1993
Gambar 3.3. Struktur Hirarki Pembuatan Strategi Pemberdayaan TKLN Untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman 3.4. Analisis Kebijakan Daerah Asal Desain implementasi aksi pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal dirancang melalui pendekatan sistem dilakukan dengan menggunakan metode Interpretative Structural Modelling (ISM). Elemen-elemen sistem desain ini diuraikan dalam bentuk grafik. dan. hubungan langsung antar sub elemen dan tingkat hierarkinya. Proses strukturisasi elemen sistem didasarkan pada pendapat informan sebagai pihak
yang
dinilai
berkait
dan
berkepentingan
dengan
pengembangan
implementasi kebijakan. Desain sistem dibagi ke dalam tujuh elemen pengembangan, yaitu: 1) elemen pengorganisasian pemenuhan kebutuhan program pengembangan, 2) elemen pengelolaan kendala pengembangan, 3) elemen sistematika pencapaian tujuan pengembangan, 4) elemen tolok ukur keberhasilan pencapaian tujuan
61
pengembangan, dan 5) desain pemberdayaan TKLN, 6) pengembangan pola kemitraan, 7) arahan kelembagaan program pengembangan. Dari ketujuh elemen pengembangan tersebut masing-masing elemen yang dikaji dijabarkan lagi menjadi sejumlah sub elemen pengembangan dengan berdasarkan pendapat informan, yang dilanjutkan dengan penilaian hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen pengembangan. Data struktur pengembangan terdiri dari data elemen pengembangan, data sub elemen pengembangan dan data hubungan kontekstual. Data elemen pengembangan menggambarkan elemen-elemen yang terdapat dalam, sistem pemberdayaan TKLN sedangkan data sub elemen menggambarkan sub elemen yang terdapat pada
masing-masing elemen tersebut. Data penilaian hubungan kontekstual
berisi tentang hubungan kontekstual antar sub pada masing-masing elemen pengembangan, yang hasilnya dirangkum dalam bentuk Structural Selfinteraction Matrix (SSIM) menggunakan simbol V, A, X dan O yang sering disebut ISM-VAXO berdasarkan aturan sebagai berikut:
V adalah eij = 1 dan eji = 0 A adalah eij = 0 dan eji = 1 X adalah eij = 1 dan eji = 1 O adalah eij = 0 dan eji = 0 Dengan pengertian bahwa simbol 1 berarti terdapat atau ada hubungan kontekstual antara elemen “i” dan “j” dan simbol 0 berarti tidak terdapat atau tidak ada hubungan kontekstual antara elemen “i” dan “j” dan sebaliknya. Setelah SSIM terbentuk, selanjutnya dibuat tabel reachability matrix (RM) dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Langkah selanjutnya dilakukan perhitungan menurut aturan transitivity dimana dilakukan koreksi terhadap SSIM sampai menghasilkan matrik yang tertutup. Hasil yang diperoleh dari analisis ISM ini adalah informasi struktur desain sistem pengembangan yang berupa hierarki sub elemen diantara sub elemen yang lain, klasifikasi sub elemen berdasarkan karakteristik yang dinyatakan dengan tingkat kekuatan pendorong (driver power) dan dipengaruhi (dependence)
62
masing-masing sub elemen dalam satu elemen pengembangan serta identifikasi elemen kunci implementasi dalam program pengembangan. Mulai Identifikasi Sub Elemen dari Elemen yang Dikaji Jumlah Sub Elemen (JSE) Jumlah Pakar Penilai (JPP) Penilaian Hubungan Kontekstual antar Sub Elemen
Penyusunan Matriks Self Structural Interpretative (ISSM) Penyusunan Matriks Reachability
Sesuai?
Tidak
Modifikasi ISSM
Ya Matriks Reachability Menetapkan drive dan driver power setiap sub elemen Menentukan peringkat dan hirarki dari sub elemen
Menetapkan drive dependence matrix setiap elemen Memplot sub elemen pada empat sektor Mengklasifikasi sub elemen pada empat peubah kategori
Selesai
Gambar 3.4. Diagram Alir Penyusunan ISM
63
Klasifikasi sub elemen dapat dipaparkan dalam empat sektor dan sekaligus sebagai hasil akhir dari teknik ISM, yaitu: Sektor 1 : Weak driver-weak dependent variables (autonomous), pada sektor ini seluruh peubah umumnya tidak berkait dengan sistem, tetapi mungkin saja mempunyai hubungan sedikit, namun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2 : Weak driver-strongly dependent variables (dependent), pada sektor ini umumnya peubah tidak bebas. Artinya, peubah yang ada pada sektor ini akan memberi dampak kepada sistem setelah mendapat pengaruh dari peubah lain. Sektor 3 : Strong driver–strongly dependent variables (linkage), peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati, kerena hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut memberikan dampak terhadap peubah lainnya dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar dampak. Sektor 4 : Strong driver-weak dependent variables (independent), pada sektor ini peubah merupakan bagian sisa dari sistem yang selanjutnya disebut peubah bebas.
Hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang akan diuraikan nanti adalah sebagai berikut: 1.
Elemen pengoranisasian pemenuhan kebutuhan pengembangan, hubungan kontekstualnya adalah sub elemen kebutuhan yang satu mendukung terpenuhinya sub elemen kebutuhan yang lain.
2.
Elemen
pengelolaan
kendala
dalam
pengembangan,
hubungan
kontekstualnya adalah sub elemen kendala yang satu menyebabkan sub elemen kendala yang lain. 3.
Elemen
sistematisasi
pencapaian
tujuan
pengembangan,
hubungan
kontekstualnya adalah sub elemen tujuan yang satu memberikan kontribusi
64
tercapainya sub elemen tujuan yang lain. 4.
Elemen tolok ukur keberhasilan pencapaian tujuan pengembangan, hubungan kontekstualnya adalah sub elemen tolok ukur yang satu memberikan kontribusi sub elemen tolok ukur yang lain.
5.
Elemen lain yang penting lain, khususnya arahan penetapan teknologi partisipatif, pola kemitraan dan kelembagaan pengembangan, serta hubungan kontekstualnya adalah sub elemen lain dalam keseluruhan desain sistem.
65
BAB 4 PERKEMBANGAN PENEMPATAN TKLN DAN PERUBAHAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI LOKASI PENELITIAN 4.1. Profil Kabupaten Cianjur sebagai Salah Satu Basis TKLN Kabupaten Cianjur terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan jarak 65 kilometer dari Ibukota Provinsi (Bandung) dan 120 kilometer dari Jakarta. Kabupaten Cianjur memiliki luas wilayah 2.977,44 kilometer persegi yang terbagi dalam 30 kecamatan dan 348 desa/kelurahan. Elevasi kontur wilayah Cianjur relatif bervariasi dengan titik tertinggi 2.300 meter di atas permukaan air laut (dpl) dan terendah 7 meter dpl. Penggunaan lahan dominan di Kabupaten Cianjur adalah untuk kebun palawija dan kayu keras sebesar 110.278,5 hektar disusul hutan seluas 76.628,1 hektar dan sawah irigasi sebesar 47.987,6 hektar. Selengkapnya disajikan pada Gambar 4.1. berikut. 2,924.7
344.3
12,152.5 15,167.0
Kebun Palaw ija dan Kayu Keras Hutan Saw ah Irigasi
17,729.5
Perkebunan
110,278.5 28,627.8
Tegalan Pemukiman Semak Alang-alang Saw ah Tadah Hujan
33,113.9
Irigasi Tanah Rusak/Kosong/Galian Pasir
47,987.6
Lain-lain
78,628.1
Tambak/Kolam Industri
Sumber: Cianjur Dalam Angka 2006 (Diolah)
Gambar 4.1. Komposisi Peruntukan Lahan Kabupaten Cianjur Wilayah ini berdasarkan kondisi lingkungan dan lokasi dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu Cianjur Bagian Utara (Kecamatan Ciranjang, Cibeber, Bojongpicung, Karangtengah, Cianjur, Warungkondang, Cugenang, Pacet,
Mande, Cikalongkulon, Sukaluyu, Sukaresmi) yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Purwakarta, Cianjur Bagian Selatan (Kecamatan Agrabinta, Sindangbarang, Cidaun, Naringgul, Cibinong, Cikadu) berbatasan dengan Samudra Indonesia, dan Cianjur Bagian Tengah (Kecamatan Tanggeung, Pagelaran, Kadupandak, Takokak, Sukanagara, Campaka, Campakamulya). Batas sebelah barat adalah Kabupaten Sukabumi, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Garut. Kegiatan perekonomian, pelayanan administrasi pemerintahan, dan fasilitas sosial lainnya terkonsentrasi di pusat kota yaitu di Kecamatan Cianjur. Kecamatan Cianjur merupakan kecamatan terkecil disusul Kecamatan Ciranjang dengan luas 37,52 kilometer persegi. Kependudukan. Penduduk Cianjur Tahun 2006 sebanyak 2.125.023 jiwa dengan 1.100.412 laki-laki dan 1.024.611 perempuan. Dibanding kondisi umumnya kabupaten di Jawa Barat, jumlah penduduk Kabupaten Cianjur berada di atas rata-rata dimana dalam hal ini jumlah penduduknya menempati peringkat ketujuh terbanyak. Tapi kepadatan rata-rata penduduknya berada di bawah ratarata 713,71 jiwa/kilometer persegi. Bandingkan dengan tingkat kepadatan ratarata Jawa Barat yang mencapai 1391,47 jiwa/kilometer persegi. Hal ini karena luas wilayahnya yang menempati posisi kedua terluas setelah Kabupaten Sukabumi. Gambar 4.2. berikut menyajikan perbandingan data kependudukan antara Kabupaten Cianjur dengan rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 2500000 2000000 1500000
Cianjur Rata-rata Jabar
1000000 500000
k/ k
an
du
W
du
la h
Pe n
m Ju
n ta Ke
pa
da
m Ju
m 2
it a
Pr ia la h m Ju
la h
Ju
m
Ru
la h
m
ah
Pe n
Ta
du
ng
du
k
ga
0
Sumber: Cianjur Dalam Angka 2006 (Diolah)
Gambar 4.2. Perbandingan Data Kependudukan Kab. Cianjur Dengan RataRata Kab/Kodya di Jawa Barat 67
Perkembangan Usaha Industri. Perkembangan industri di Kabupaten Cianjur termasuk relatif pesat dimana Kabupaten Cianjur memiliki banyak jenis bidang usaha; mulai dari industri kecil menengah sampai industri pertambangan. Perkembangan unit usaha industri kecil menengah Kabupaten Cianjur nilainya mencapai 95 buah selama tahun 2006. Angka ini jauh di atas nilai rata-rata kabupaten sebesar 54,6. Kondisi ini menyediakan lapangan kerja yang cukup banyak dan memberikan daya serap tenaga kerja yang tinggi. Tingginya perkembangan unit usaha industri kecil menengah sayangnya tidak diimbangi oleh perkembangan pada unit usaha industri besar. Selama tahun 2006 tidak terdapat satu pun industri berskala besar yang dibangun di Cianjur. Hal ini dapat disebabkan oleh minimnya investasi yang masuk ke Kabupaten Cianjur. Data tahun 2006 menampilkan bahwa perkembangan investasi industri di Kabupaten Cianjur jauh lebih rendah dibandingkan dengan perkembangan investasi rata-rata kabupaten di Jawa Barat. Nilai perkembangan Cianjur hanya mencapai 3,671 miliar. Jumlah ini jauh di bawah rata-rata kabupaten yang mencapai 83,888.2 miliar. Rendahnya investasi yang masuk ke Kabupaten Cianjur disebabkan belum lengkapnya sarana prasarana penunjang perkembangan industri. Selain itu juga ditambah oleh sulitnya mencari tenaga kerja terdidik dan terlatih yang umumnya dibutuhkan industri berskala besar. Ketenagakerjaan dan Kualitas SDM. Dibanding kota/kabupaten lain di Jawa Barat, Kabupaten Cianjur menyimpan potensi sumber daya manusia yang relatif banyak mengingat jumlah angkatan bekerjanya berada di atas rata-rata. Sebagai perbandingan, penduduk usia di atas 10 tahun yang merupakan angkatan kerja di Cianjur berjumlah 954.053 jiwa terbagi atas 875.530 jiwa yang bekerja dan 78.523 jiwa yang mencari kerja/menganggur, dengan kata lain daya serap tenaga kerja Kabupaten Cianjur relatif tinggi dengan hanya menyisakan 8 persen angkatan kerjanya yang menganggur. Sementara rata-rata kota/kabupaten memiliki jumlah angkatan kerja hanya 693.624 jiwa dengan rata-rata pengangguran sebesar 13 persen. Pekerjaan masyarakat Cianjur didominasi sektor pertanian sebanyak 57,46 persen disusul sektor perdagangan dan pariwisata yang mencapai 17,53 persen dan sektor jasa (termasuk TKI) sebanyak 6.25 persen. Sementara sisanya berbagi dalam jumlah yang tidak terlalu signifikan kecuali
68
sektor industri dan konstruksi bangunan yang masing-masing mencapai 4,54 persen dan 5,11 persen. Selengkapnya mengenai komposisi mata pencaharian masyarakat Cianjur disajikan dalam Gambar 4.3. berikut. Pertanian
0% 1% 1% 0% 0%
Perdagangan dan Pariwisata
5% 5%
Angkutan 6% Jasa 7% Konstruksi Bangunan
58%
Industri
17%
Perbankan Lain-lain
Komposisi Pekerjaan Masyarakat Cianjur Sumber: Cianjur Dalam Angka 2006 (Diolah)
Gambar 4.3. Komposisi Pekerjaan Masyarakat Cianjur Membaca gambar di atas, hal yang perlu menjadi catatan adalah nampak kecenderungan angkatan kerja Kabupaten Cianjur bekerja pada sektor-sektor yang tidak banyak membutuhkan kualifikasi khusus dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Apabila merujuk pada data Indeks Pengembangan Manusia (IPM) 2006, memang tampak bahwa posisi Kabupaten Cianjur berada pada peringkat yang relatif rendah, yaitu peringkat 21 dari 25 kota/kabupaten di Jawa Barat seperti yang ditampilkan pada Gambar 4.4. Komponen IPM yang mendasarkan pada Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah dan Paritas Daya Beli meletakkan Kabupaten Cianjur hanya unggul dalam Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah saja yaitu sebesar masing-masing 96,67 dan 6,47 di atas rata-rata kota/kabupaten yang mencapai 94,52 dan 7,46. Sementara untuk Angka Harapan Hidup dan Paritas Daya Beli, Kabupaten Cianjur berada di bawah rata-rata dengan nilai masing-masing 65,61 dan Rp 533.050,- yang mana pencapaian rata-rata kota/kabupaten telah mencapai 66,57 dan Rp 556.100,-.
69
Sumber: Jawa Barat Dalam Angka 2006 (Diolah)
Gambar 4.4. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Kab. Cianjur dengan rata-rata Kab/Kodya di Jawa Barat
Untuk memperbaiki IPM tersebut diantaranya membutuhkan fasilitas dan sarana pendidikan yang memadai. Saat ini Kabupaten Cianjur memiliki 108 sekolah TK, 1224 SD, 122 SMP dan 41 SLTA. Jumlah tersebut masih belum termasuk lembaga-lembaga pendidikan swasta seperti Madrasah Ibtida’iyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah dan pondok-pondok pesantren yang jumlahnya mencapai 424 buah dan dikelola oleh kalangan umat Islam yang merupakan mayoritas di Kabupaten Cianjur. Membaca data tersebut, kondisi fasilitas dan saran pendidikan di Kabupaten Cianjur tergolong cukup apabila
70
dibandingkan dengan rata-rata kabupaten/kota di Jawa Barat. Perbandingannya ditampilkan pada Gambar 4.5. berikut. 12000 10000 8000 6000
Cianjur Rata-rata Jabar
4000 2000 0 TK TP TP TA TA SD TK SD SL u S L h SL u S L lah Guru olah Guru h o k k la ur ur ola Se ko ah ah h Se h G Sek hG ml h Se ml a a ah l l a l u l u h J J m m m m a a Ju Ju Ju Ju ml ml Ju Ju Sumber: Cianjur Dalam Angka 2006 (Diolah)
Gambar 4.5. Perbandingan Sarana Pendidikan dan jumlah pengajar Kab. Cianjur dengan rata-rata Kab/Kodya di Jawa Barat Kehidupan Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat. Jumlah rumah tangga yang menggunakan jenis atap terluas yaitu menggunakan genteng mencapai 98,86%, menurut dinding terluas masih banyak menggunakan bambu yaitu 54,82%. Sedangkan jumlah rumah tangga menurut pembuangan tinja sebagian besar pembuangan akhirnya masih ke sungai yaitu mencapai 58,73%. Dari 10 besar penyakit rawat jalan, jumlah pasien terbanyak berada di poli penyakit dalam mencapai 116.219 pasien dengan golongan tertinggi yaitu penyakit lain berjumlah 81.292 pasien (69,95 persen). Menurut data Tahun 2006, jumlah Keluarga Pra Sejahtera di Kabupaten Cianjur lebih rendah dari rata-rata kabupaten/kota di Jawa Barat. Jumlah Keluarga Pra Sejahtera di Cianjur sebanyak 66.228 kepala keluarga (KK), sedangkan ratarata kabupaten/kota sebanyak 72.649 KK. Hal ini cukup mengindikasikan bahwa keadaan kualitas keluarga di Kabupaten Cianjur sudah baik. Disamping rendahnya angka Keluarga Pra Sejahtera, jumlah Keluarga Sejahtera I, II dan III di Kabupaten Cianjur juga lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah rataan kabupaten di Jawa Barat. Jumlah Keluarga Sejahtera I di Cianjur
71
194.793,2 sedangkan rataan kabupaten 106.001,7. Untuk jumlah Keluarga Sejahtera II sebanyak 205.671, sedangkan rataan kabupaten 133.298,5. Jumlah Keluarga Sejahtera III sebanyak 104.226, sedangkan rataan kabupaten 87.226,7. Jumlah Keluarga Sejahtera III Plus sebanyak 8.874, sedangkan rataan kabupaten 16.535,5. Gambar 4.6. berikut menggambarkan keadaan di atas. 250000
200000
150000 Cianjur Rata-rata Jabar 100000
50000
0 Jumlah Keluarga Pra Sejahtera
Jumlah Keluarga Sejahtera I
Jumlah Jumlah Jumlah Keluarga Keluarga Keluarga Sejahtera II Sejahtera III Sejahtera III Plus
Sumber: Cianjur Dalam Angka 2006 (Diolah)
Gambar 4.6. Perbandingan Data Penduduk Miskin Kab. Cianjur Dengan RataRata Kab/Kodya Di Jawa Barat
Jumlah fasilitas kesehatan termasuk Puskesmas umum, Puskesmas pembantu, dan Puskesmas keliling di Kabupaten Cianjur lebih banyak dari ratarata kabupaten lain. Namun Cianjur masih kekurangan tenaga medis dimana hanya jumlah bidan desa saja yang sudah lebih tinggi dari rata-rata kabupaten. Gambaran mengenai kondisi sarana prasarana dan sumberdaya manusia pelayanan kesehatan di Kabupaten Cianjur serta perbandingannya dengan kondisi yang umum ada di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Gambar 4.7. Mayoritas penduduk Cianjur beragama Islam yaitu sebanyak 89 persen dengan pemberangkatan jemaah haji pada Tahun 2007 sebanyak 697 orang.
72
Perbandingan Sarana dan Prasarana Kesehatan Antara Kabupaten Cianjur dengan Rata-Rata Kabupaten Lainnya di Jaw a Barat 220.0 200.0 180.0 160.0 Jumlah
140.0 Kab. Cianjur
120.0 100.0
Rata-rata
80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 Jumlah Puskesmas Umum
Jumlah Puskesmas Pembantu
Jumlah Puskesmas Keliling
Jumlah Balai Jumlah Dokter Jumlah Dokter Jumlah Bidan Jumlah Bidan Pengobatan Umum Gigi Puskesmas Desa Jenis Sarana Prasarana
Sumber: Cianjur Dalam Angka 2006 (Diolah)
Gambar 4.7. Perbandingan Kondisi Pelayanan Kesehatan Kab. Cianjur Dengan Rata-Rata Kab/Kodya Di Jawa Barat Kualitas Lingkungan. Kondisi lingkungan Kabupaten Cianjur cukup baik. Bila dibanding dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Barat, Kabupaten Cianjur tidak memiliki kasus tentang pencemaran tanah, air, dan udara. Meskipun demikian bukan berarti Kabupaten Cianjur bebas dari masalah kerusakan lingkungan. Jumlah kasus kerusakan lingkungan laut di Kabupaten Cianjur relatif tinggi dibanding kabupaten lainnya sepanjang tahun 2003 sampai 2005. Sepanjang tahun tersebut, rata-rata jumlah pencemaran yang terjadi di seluruh kabupaten di Jawa Barat adalah 1,2 kasus; sedangkan Kabupaten Cianjur sendiri terdapat 3 kasus. Angka ini menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan laut Kabupaten Cianjur cukup parah. Sesuai dengan uraian di atas, kualitas lingkungan Kabupaten Cianjur cukup baik. Hal ini tidak terlepas dari meningkatnya jumlah industri yang mengajukan penilaian AMDAL. Sampai dengan tahun 2005 terdapat 4 perusahaan yang mengajukan permohonan AMDAL. Jumlah ini cukup tinggi bila dibandingkan rata-rata perusahaan di Jawa Barat yang hanya berjumlah 1,5.
73
4.2. Pola Penyebaran dan Perkembangan Wilayah Asal TKLN Bekerja di luar negeri bagi warga Kabupaten Cianjur seolah telah menjadi tradisi. Sejak permulaan sejarah pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari Indonesia ke Arab Saudi sampai sekarang, sebagian masyarakat di Kabupaten Cianjur masih menaruh harapan besar dapat bekerja di luar negeri terutama Arab Saudi sebagai tenaga kerja luar negeri. Golongan masyarakat yang masih mengidolakan menjadi tenaga kerja luar negeri ini adalah mereka yang perempuan, kelompok ekonomi lemah, dan mereka yang berpendidikan rendah. Kelompok masyarakat ini tetap memandang bahwa menjadi Tenaga Kerja Luar Negeri (TKLN) merupakan pekerjaan alternatif yang masih mungkin dicapai di tengah sulitnya mendapatkan sumber pendapatan di dalam negeri. Berdasarkan data Kabupaten Cianjur Dalam Angka Tahun 2002, dari 2.121 orang TKLN yang berasal dari Kabupaten Cianjur, semuanya bekerja di Arab Saudi. Begitu juga yang terjadi pada tahun berikutnya. Berdasarkan data di Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Tahun 2003, jumlah TKLN yang berasal dari Kabupaten Cianjur adalah 1.364 dengan satu negara tujuan yaitu Arab Saudi. Kepergian TKLN meninggalkan daerahnya secara langsung dan tidak langsung telah berkontribusi bagi perkembangan daerah asalnya. Peran TKLN dalam proses pembangunan yang utama adalah telah mendatangkan devisa bagi negara Indonesia yang pemanfaatannya untuk seluruh rakyat Indonesia. Peningkatan jumlah TKLN dari Kabupaten Cianjur juga telah mengurangi jumlah pengangguran serta menggairahkan kegiatan ekonomi lokal. Banyaknya TKLN terutama Buruh Migran Perempuan yang berasal dari Kabupaten Cianjur tersebar di beberapa wilayah. Beberapa wilayah yang menjadi kantong TKLN adalah terdapat di beberapa kecamatan di seluruh wilayah Kabupaten Cianjur baik bagian utara, tengah, ataupun selatan. Wilayah Cianjur bagian utara yang telah lama menjadi basis tenaga kerja Indonesia dan sampai sekarang dikenal menjadi daerah primadona TKLN adalah Kecamatan Ciranjang disusul Kecamatan Bojong Picung, Cibeber, dan Kecamatan Warungkondang. Berdasar laporan Bulan Juni Tahun 2000 di Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja, menggambarkan bahwa semua TKLN yang berjumlah 20 orang berasal dari Kecamatan Ciranjang.
74
Motivasi utama masyarakat di Kabupaten Cianjur untuk menjadi TKLN pada umumnya terkait dengan upaya perbaikan taraf hidup. Menurut seorang sponsor istilah setempat untuk agen penyalur yang bertugas mengantar calon tenaga kerja ke perusahaan, bahwa pada Tahun 1994 terjadi keberangkatan yang cukup banyak, ditandai maraknya warga yang ingin menjadi TKLN. Tercatat sekitar 100 orang pada setiap kali pemberangkatan. Maraknya pemberangkatan TKLN tersebut berlangsung hingga Tahun 2002. Hal ini terjadi karena mudahnya administrasi dan materi pelatihan pada periode itu. Calon TKLN hanya diwajibkan membawa KTP dengan umur yang sering dimanipulasi. Sebagian besar dari mereka hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar. Periode setelah 1994-2002, tepatnya mulai Tahun 2003 hingga saat ini, terjadi penurunan jumlah TKLN yang diberangkatkan. Hal ini diduga terkait semakin rumitnya administrasi yang diterapkan baik dari Depnaker, PPTKIS, sponsor ataupun Kantor Pemerintah Desa. Musim keberangkatan TKLN umumnya pada bulan Rajab, Ramadhan dan Syawal. Sebelum dikirim ke negara tujuan, para calon TKLN harus mengikuti pelatihan di PPTKIS. Menurut penuturan seorang sponsor yang terakhir bekerjasama dengan PT. A, setiap akhir pelatihan dilaksanakan ujian guna mengetahui kesiapan calon TKLN untuk diberangkatkan. Setiap ujian memakan biaya 50.000 rupiah yang rugi jika calon TKLN yang dibawa oleh sponsor tidak lulus dan harus mengikuti ujian lagi. Sponsor juga memberikan uang saku sebesar 50.000 rupiah/minggu setelah terjadinya krisis moneter. Seluruh biaya keberangkatan TKLN ditanggung oleh sponsor. Seperti yang dikemukakan sponsor ini, PT akan membayar TKLN yang dikirim sebesar 400.000 rupiah sampai 900.000 rupiah per orang. Sponsor yang telah membawa sekitar 500 orang TKLN dari Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung ini mengaku mendapat upah dari PT sesuai dengan jumlah calon TKLN yang dibawa dan juga bonus. Wilayah tengah Kabupaten Cianjur, yang merupakan daerah-daerah pengirim Tenaga Kerja Luar Negeri adalah Kecamatan Tanggeung, Pagelaran, Sukanagara, dan Kecamatan Campaka. Sedangkan Kecamatan Cibinong adalah satu-satunya wilayah di Kabupaten Cianjur bagian selatan yang merupakan basis Tenaga Kerja Indonesia. Gambaran pola penyebaran wilayah asal TKLN ini tidak
75
berarti wilayah-wilayah selain yang disebutkan tersebut tidak ada TKLN-nya sama sekali. Tetapi jumlah tenaga kerja Indonesia dari wilayah yang tidak disebutkan tidak begitu banyak sehingga masyarakat di Kabupaten Cianjur kurang begitu mengenal apalagi menyebut daerah-daerah tersebut sebagai pengirim TKLN. Perkembangan lingkungan di wilayah Kabupaten Cianjur terutama di daerah-daerah basis TKLN selama ini masih memperlihatkan ketimpangan antara wilayah-wilayah asal TKLN yang berada di kawasan Cianjur Utara dengan kawasan di Cianjur bagian tengah dan selatan. Ketidakmerataan perkembangan lingkungan antara bagian utara dan selatan di Kabupaten Cianjur ini salah satunya dapat dilihat dari perbedaan perubahan lingkungan permukiman di kedua daerah tersebut. Perbaikan lingkungan permukiman di Wilayah Cianjur bagian utara lebih pesat dan maju dibandingkan dengan kondisi dan perbaikan lingkungan permukiman di Cianjur bagian tengah dan selatan. Minimnya atau bahkan stagnannya perbaikan lingkungan permukiman di wilayah Cianjur bagian tengah dan selatan ini dapat dilihat karena wilayah tersebut memiliki sarana dan prasarana dasar (jalan, air bersih, persampahan, drainase) yang masih terbatas. Pada perencanaan penentuan fungsi pusat wilayah yang tertuang dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur, Kecamatan Ciranjang memiliki fungsi permukiman, perdagangan dan jasa, zona industri, kegiatan koleksi dan distribusi, dan fasilitas sosial ekonomi. Secara sederhana, perkembangan wilayah dan pertumbuhan TKLN di kecamatan-kecamatan Kabupaten Cianjur yang merupakan basis TKLN dapat digambarkan pada Tabel 4.2. Pengkategorian tingkat perkembangan wilayah didasarkan kepada data Survei Podes BPS 2006 dengan cara membanding pada data sebelumnya pada tahun 1998. Kriteria yang dipakai adalah: (1) Jumlah penduduk Pra KS dan KS I, (2) Jenis bahan bakar yang digunakan umumnya keluarga, (3) Jenis tempat sampah yang digunakan umumnya keluarga, (4) Jenis tempat buang air yang digunakan umumnya keluarga, (5) Penggunaan sumberdaya air dan pemanfaatan kawasan DAS, (6) Keberadaan permukiman mewah, (7) Kerawanan bencana, (8) Sarana pendidikan mulai Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi, (9) Sarana kesehatan termasuk apotik, Posyandu, Puskesmas Pembantu, Puskesmas, Tempat
76
Praktek Dokter/Bidan, Poliklinik dan Rumah Sakit, (10) Sumber pemenuhan kebutuhan air bersih, (11) Sarana ibadah, (12) Jenis dan kualitas jalan transportasi darat, (13) Sarana transportasi dan komunikasi meliputi terminal, stasiun, warpostel dan warnet, (14) Panjang jalur irigasi, (15) Luasan lahan sawah berdasarkan sumber pengairannya, (16) Sarana perekonomian: pasar, pertokoan, koperasi, bank dan lembaga keuangan mikro, (17) Sarana pemerintahan dan pelayanan keamanan termasuk balai desa, kantor kecamatan dan poskamling. Tabel 4.1. Perkembangan Wilayah di Kabupaten Cianjur berdasar 17 Kategori Podes 1998-2006 No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Agrabinta Leles Sindangbarang Cidaun Naringgul Cibinong Cikadu Tanggeung Kadupandak Cijati Takokak Sukanagara Pagelaran Campaka Campakamulya Cibeber Warungkondang Gekbrong Cilaku Sukaluyu Bojongpicung Ciranjang Mande Karangtengah Cianjur Cugenang Pacet Cipanas Sukaresmi Cikalongkulon
1 1 2 1 2 0 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 0 1 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1
2 1 2 1 2 2 2 2 2 1 2 1 2 1 1 1 0 1 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2
3 1 2 2 2 0 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2
4 2 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 2 2 2 2 2 1 2 1
5 1 1 2 2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2
6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 2
7 1 2 2 2 1 1 1 2 2 2 1 2 1 1 1 2 2 2 2 1 1 2 1 1 2 2 2 1 2 1
8 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 2 2 2 2 2 1 2 2
9 1 2 1 1 2 1 2 2 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2
Kategori 10 11 1 2 2 2 1 1 1 1 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1 2 1 1 2 2 1 1 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2
12 1 1 2 1 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1 2 1 1 2 1 2 2 1 2 2 2 2 1 1 1 2
13 1 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 1 2 1 2 1 2 1 2
14 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 1 1 1 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2
15 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 1 2 1 2 1 2 2 2 1 2 2 2
16 2 2 1 2 2 1 1 2 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1 2
17 1 2 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 1 1 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 2 2 2 2
Sumber: Cianjur Dalam Angka 2006, Jabar Dalam Angka 1998 (Diolah)
Keterangan: 0: Terjadi penurunan dari tahun 1998 ke tahun 2006 1: Kondisi tidak berubah dari tahun 1998 ke tahun 2006 2: Terjadi peningkatan dari tahun 1998 ke tahun 2006
77
Total 21 30 25 26 26 22 24 28 27 30 26 31 23 20 24 21 20 28 28 30 24 31 24 30 31 28 26 23 27 29
Untuk pengkategorian tingkat pertumbuhan TKLN juga digunakan data yang sama selain juga dimanfaatkan data dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Cianjur. Kriteria penentuan tingkat pertumbuhan TKLN didasarkan pada jumlah pemberangkatan TKLN dari kecamatan tersebut pada setiap tahunnya. Tabel 4.2. Perkembangan Wilayah dan Pertumbuhan TKLN di Kecamatan Basis TKLN di Kabupaten Cianjur Perkembangan Wilayah Pertumbuhan TKLN
Baik
Tinggi
Ciranjang
Bojongpicung, Tanggeung
Cibinong
Sedang
Sukanagara
Cibeber, Pagelaran
Cempaka
Rendah
Cianjur
Kurang baik
Tidak baik
Warungkondang
Sumber: Data Ketenagakerjaan Disnakertrans Kabupaten Cianjur (Diolah)
4.3. Perkembangan dan Perubahan Sosial di Daerah Asal TKLN Tingginya minat calon TKLN dari Kabupaten Cianjur dapat dipahami karena adanya persepsi calon TKLN tentang proses pemberangkatan yang mudah, murah, dan cepat. Persepsi ini telah dibangun sejak lama oleh para pihak yang berkepentingan terutama calo/penyalur yang berada di daerah-daerah. Dengan persepsi seperti itu, para calo atau penyalur di daerah akan dengan mudah, murah, dan cepat mendapatkan calon-calon TKLN. Semakin banyak calon TKLN yang direkrut, maka insentif yang diperoleh semakin banyak. Padahal untuk dapat menjadi TKLN yang dapat bekerja di luar negeri haruslah melalui prosedur sebagaimana
ditetapkan
dalam
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2002 junto Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Berbagai fenomena menarik kemudian muncul terkait dengan perkembangan TKLN di Kabupaten Cianjur terutama setelah pemberlakuan otonomi daerah. Fenomena tersebut meliputi beragam gejala penyimpangan rekruetmen yang menyalahi prosedur sampai dengan beragam permasalahan yang menimpa TKLN dari Kabupaten Cianjur.
78
Seberapa jauh mekanisme pemberangkatan, penempatan dan pemulangan TKLN sudah sesuai dengan peraturan yang ada, serta sejauh mana pula penyimpangan dalam proses ini terjadi beserta dampaknya terhadap calon dan TKLN
purna
dijelaskan
berikut
sesuai
dengan
tahapan-tahapannya
(pemberangkatan dan perpulangan). Keberangkatan. Proses pemberangkatan Tenaga Kerja Luar Negeri di wilayah Jawa Barat telah dijelaskan dalam buku Petunjuk Praktis tentang Penempatan TKI ke Luar Negeri yang dikeluarkan oleh Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI). Namun demikian, praktik pemberangkatan calon tenaga kerja Indonesia dari Kabupaten Cianjur banyak yang keluar dari ketentuan-ketentuan dalam petunjuk praktis tersebut. Pola pemberangkatan calon TKLN di Kabupaten Cianjur secara umum dapat digambarkan dengan sistem rekruitmen yang berlaku sampai sekarang. Sistem rekruitmen calon Tenaga Kerja Luar Negeri di daerah ini memiliki keganjilan-keganjilan di beberapa bagian kegiatan rekruitmen. Keberangkatan warga Kabupaten Cianjur menjadi TKLN, khususnya dengan negara tujuan Arab Saudi, tercatat dimulai sejak tahun 1985. Sebagaimana dikemukakan oleh SJ (58 tahun), “Saya waktu itu berangkat tahun 1985, ada tiga orang. Dua orang dari sini, satu dari Sukabumi.” Pada tahun awal, jumlah warga yang diberangkatkan menjadi TKLN memang terbilang sedikit. TKLN yang diberangkatan antara lain mereka yang sebelumnya pernah bekerja di Arab Saudi (disebut sebagai ex-Saudi) yang pulang karena kontrak habis atau karena cuti; dan mereka yang belum sama sekali memiliki pengalaman menjadi TKLN namun ingin menjadi TKLN (disebut non-Saudi). SJ (58 tahun) mengalami enam kali keberangkatan dalam periode 1985-2003. 1.
1985: SJ berangkat melalui PT. MK dalam status tanpa suami (cerai mati). Pada keberangkatan yang pertama ini, SJ sama sekali tidak dipungut biaya, semua biaya ditanggung oleh perusahaan. SJ hanya cukup menunjukkan KTP. SJ menjalani pelatihan bahasa Arab di perusahaan selama dua belas hari. Menjalani kontrak sebagai TKLN selama dua setengah tahun. Kembali ke Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung karena kontrak habis dan berdiam selama tiga bulan. Dari pemberangkatannya ini, SJ dapat
79
memperbaiki bangunan rumahnya yang sebelumnya berdinding bilik menjadi tembok. 2.
1988: SJ kembali lagi ke Saudi dalam status tidak memiliki suami. Pada kepergian yang kedua ini SJ mendapat kesempatan untuk melaksanakan ibadah Haji untuk pertama kalinya. Namun setelah pergi Haji SJ sakit, sehingga diberhentikan oleh majikan. SJ hanya mendapat delapan bulan gaji karena gaji dipotong untuk berobat dan pergi Haji. SJ kembali ke Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung. Pada awalnya SJ hanya akan dibayar empat bulan gaji. Namun karena SJ memiliki catatan sendiri mengenai catatan gaji yang sudah dibayar, maka SJ kembali ke Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung dengan membawa gaji penuh delapan bulan. Karena nilai gaji yang dibawanya relatif kecil, kali ini SJ hanya dapat memanfaatkan pendapatannya untuk memenuhi keperluan sehari-hari.
3.
1998-2001: Setelah berdiam di kampung halaman selama sembilan tahun, SJ berangkat kembali ke Arab Saudi dengan sponsor, yakni AM (61 tahun) dan langsung mengikuti pelatihan di BLK Cawang selama 12 hari. Di sinilah SJ bertemu dengan majikan yang baik hati yang membuatnya bertahan hingga masa kontrak lima tahun. SJ mampu pergi ibadah Haji untuk kedua kalinya. Pemberangkatan yang cukup lama membuat SJ mengantongi hasil yang lumayan besar (sekitar 100 juta rupiah). Dari hasil kali ini, SJ dapat membangun rumahnya menjadi lebih luas dan sisanya digunakan untuk membeli petak sawah.
4.
2002: SJ berangkat tanpa melalui sponsor. SJ langsung menuju bandara. Meskipun paspor yang dimilikinya sudah habis masa berlakunya, namun SJ dapat berangkat dengan jaminan majikan yang berada di Arab Saudi. SJ sempat mengalami konflik majikan, yakni disiram dengan kopi, namun masalah tersebut dapat diselesaikan. SJ kembali ke Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung karena cuti selama satu bulan.
5.
2003: SJ kembali ke Saudi dengan mengantongi paspor yang berlaku pada periode 2003-2008. Pada keberangkatan yang terakhir ini SJ difasilitasi oleh sponsor, AS (52 tahun). Namun SJ kembali mengalami konflik dengan
80
majikan. Akhirnya SJ mengundurkan diri dan kembali pada tahun 2004. Dan tidak kembali lagi karena memiliki suami. Kronologis lima kali pemberangkatan bekerja ke Arab Saudi yang dilakukan oleh SJ ini merupakan salah satu potret TKLN asal Kabupaten Cianjur. Gaji yang diperoleh selama 10 tahun menjadi TKLN diperuntukan untuk membeli perhiasan, membangun sebuah rumah permanen dan membeli 1000 meter persegi sawah terdiri dari tiga petak, yang hingga waktu wawancara masih diusahakan selama tiga musim dalam satu tahun dan menghasilkan sekitar 1 kwintal beras untuk setiap panen. Pihak yang paling berperan dalam kegiatan rekrutmen calon TKLN adalah pihak yang selama ini dikenal dengan sebutan calo, penyalur, atau rekruter. Rekrueter adalah orang yang diberikan kewenangan tugas perekrutan oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta. Rekrueter dapat merekrut calon tenaga kerja di daerah apabila telah memiliki izin dari dinas atau instansi ketenagakerjaan kabupaten/kota. Pemberian izin oleh dinas atau instansi ketenagakerjaan kabupaten/kota hanya diberikan kepada orang yang telah mendapat rekomendasi dari BP3TKI. Orang-orang yang direkomendasikan oleh BP3TKI adalah mereka yang diajukan oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS – di kalangan masyarakat pedesaan Cianjur dikenal hanya dengan sebutan PT). Apabila mengacu kepada ketentuan status rekrueter, maka yang selama ini merekrut calon tenaga kerja Indonesia dari Kabupaten Cianjur statusnya bukan rekruter. Hal ini diakui oleh Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Cianjur yang belum pernah mengeluarkan izin untuk rekrueter. Tidak jelasnya status rekrueter calon tenaga kerja Indonesia di Kabupaten Cianjur membuat permasalahan-permasalahan yang menimpa TKLN dari wilayah ini semakin sulit diatasi. Sebagai contoh, bila ada masalah yang menimpa TKLN dari Kabupaten Cianjur, maka penelusuran tentang PPTKIS mana yang bertanggung jawab akan mengalami kesulitan. Permasalahan status rekrueter di Kabupaten Cianjur sulit dikendalikan. Hal ini dapat terjadi karena calon tenaga kerja Indonesia tidak memperhatikan status rekrueter tersebut. Padahal, permasalahan status rekrueter ini merupakan awal dari ketidakteraturan administrasi di instansi atau dinas ketenagakerjaan di tingkat kabupaten atau kota.
81
Seorang calon TKLN hanya baru dapat meninggalkan daerahnya apabila telah memiliki rekomendasi pembuatan paspor yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Cianjur. Untuk mendapatkan rekomendasi pembuatan paspor tersebut, seorang calon tenaga kerja Indonesia harus melampirkan daftar nominasi kesehatan TKLN, hasil pemeriksaan kesehatan TKLN, dan sertifikat ketrampilan TKLN. Fenomena yang terjadi sampai sekarang ini adalah Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Cianjur tidak pernah mengurus hal-hal yang terkait dengan rekomendasi pembuatan paspor. Semua calon tenaga kerja Indonesia yang berasal dari Kabupaten Cianjur dibawa oleh rekrueter ilegal ke Jakarta. Semua persyaratan calon TKLN akan diurus oleh rekrueter ilegal ini di Jakarta. Para calon TKLN ini cukup memiliki KTP asli dari kabupaten Cianjur. Pada periode awal keberangkatan TKLN (1985-2002), administrasi yang dikenakan kepada TKLN tidak begitu rumit. TKLN hanya cukup membawa KTP dan siap untuk diberangkatkan, mereka tidak dipungut biaya sama sekali. Umumnya mereka langsung berurusan dengan PPTKIS. Biaya angkut dari rumah hingga ke PT ditanggung oleh PT. Ketika mereka pulang, mereka menggunakan angkutan PT dengan membayar sebesar 300.000 rupiah dan sedikit uang untuk sopir dan polisi yang mengawal yang nilainya tidak ditentukan kecuali hanya berdasar kerelaan mereka. Seperti dikemukakan oleh SJ (58 tahun), “Saya waktu itu berangkat dibawa sama polisi dua orang langsung ke PT. Cuma disuruh nunjukkin KTP terus ditanya mau berangkat ga? Saya bilang mau. Berangkat dari sini jam delapan pagi sampe sana jam dua belas malem. Nggak dipungut biaya sama sekali, malah dikasih sama PT waktu pelatihan”. PPTKIS yang membawa SJ kemudian diketahui adalah PT. MK. Calon TKLN mengikuti pelatihan selama 12 hari atau selama-lamanya dua minggu. Materi pelatihan hanya mencakup baca, tulis dan bahasa Arab. Mulai tahun 2002, peraturan administrasi semakin ketat. Hal ini disebabkan banyaknya kasus yang dihadapi TKLN khususnya mereka yang terlantar karena ketidakjelasan alamat tinggal dan sponsor atau PPTKIS yang menanggung mereka. Selain membawa KTP, mereka juga harus memiliki surat jalan yang disahkan oleh Kantor Desa dan diketahui oleh Kecamatan, dengan lampiran
82
berupa pernyataan izin dari suami atau keluarga, Surat Nikah (bagi yang sudah menikah) dan Kartu Keluarga (KK). Bagi mereka yang menggunakan jasa sponsor, biaya keberangkatan ditanggung oleh sponsor, yang kemudian dicatat sebagai utang. Utang tersebut dilunasi dengan potongan tiga bulan gaji pada Tahun 1985-2002 atau dua bulan gaji pada Tahun 2002-2007. Potongan gaji untuk membayar hutang kepada sponsor, didasarkan pada jumlah gaji yang diterima tiap bulan dan kurs jual mata uang gaji. Sponsor juga memberikan hadiah kepada TKLN dari potongan tiga bulan gaji tersebut. TKLN dapat memilih hadiah sesuai keinginan mereka, yang akan diberikan saat TKLN kembali ke daerah asal. Jika diuangkan hadiah ini senilai 500.000 rupiah, sedangkan jika berupa barang dapat berupa emas empat gram, sofa, spring bed, dan lain-lain. Contohnya SJ, wanita yang sudah tiga kali menjalankan ibadah Haji ini mendapatkan emas dan tempat tidur spring bed dari sponsor. Ketatnya administrasi, diikuti pula dengan semakin rumitnya materi pelatihan dan waktu pelatihan yang semakin lama. Mulai Tahun 2002 tersebut, TKLN dibekali dengan pelatihan Bahasa Arab, Bahasa Inggris, baby sitting, Matematika, dan memasak. Pelatihan harus dijalani selama tiga bulan untuk NonTKLN dan dua setengah bulan untuk ex-TKLN. Proses dan sarana keberangkatan pun semakin baik. Mereka yang memanfaatkan jasa sponsor, biaya dan sarana keberangkatan ditanggung oleh sponsor. Sedangkan mereka yang tidak memanfaatkan jasa sponsor, dapat langsung ke PPTKIS dengan diantar suami atau keluarga dengan mengeluarkan biaya sebesar 600.000 rupiah hingga 1.500.000 rupiah. Begitu pula dengan sarana kepulangan TKLN yang juga sudah tertata dengan baik. Mereka yang memanfaatkan jasa angkut PPTKIS hanya mengeluarkan biaya untuk uang saku supir dan polisi. Dengan begitu, mereka sudah dijamin sampai rumah dengan selamat. Supir yang mengantar TKLN pun harus membawa rekening listrik bulan terakhir dari rumah TKLN yang diantarkan sebagai kelengkapan administrasi dan bukti bahwa TKLN yang dimaksud telah diantarkan sampai ke rumahnya. Kepulangan. Menjadi TKLN tidak lepas dari resiko. Berbagai masalah TKLN di Kabupaten Cianjur yang sebab awalnya berupa tidak adanya penertiban status rekruter sampai kepada proses pemulangan akhirnya menempatkan TKLN
83
sebagai pihak yang paling dirugikan. Berbagai masalah yang sering menimpa TKLN dari daerah ini adalah underpayment (dibayar tidak sesuai standar), jam kerja lebih panjang, pelanggaran kontrak kerja, sakit, dan masalah dengan warga setempat, baik majikan tempat TKLN tersebut bekerja maupun warga sekitar tempat bekerja. Satu kasus yang menimpa TKLN dari Kecamatan Cibinong bernama AI. Konsulat Jenderal dari Arab Saudi datang langsung ke kantor Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Cianjur dan mengabarkan bahwa kakaknya AI (sesuai dengan dokumen TKLN) telah meninggal dunia. Kakaknya AI ini ternyata masih hidup dan ada di daerah Kecamatan Cibinong. Setelah ditelusuri, ternyata setelah masa cuti kakaknya AI, dia tidak berangkat lagi ke Arab Saudi tetapi digantikan oleh adiknya yaitu AI. Jadi, bekerjanya AI di luar negeri menggunakan dokumen milik kakaknya. Permasalahan TKLN di Kabupaten Cianjur sebenarnya sudah diperhatikan oleh jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 15 Tahun 2002 tentang perlindungan TKLN. Namun demikian, kasus yang menimpa AI menunjukkan bahwa peraturan saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan komitmen dan pemihakannnya kepada TKLN oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap TKLN (stakeholders).
4.4. Peran Pemerintah, Swasta dan LSM Penempatan TKLN untuk bekerja di luar negeri melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah, swasta dan LSM. Keterlibatan multi-pihak ini menunjukkan perlunya mensinergikan berbagai kepentingan. Meskipun, sampai saat ini proses tersebut masih terus berlangsung dengan dinamika yang sering tidak berpihak pada kepentingan TKLN. Peran Pemerintah. Menurut pengakuan beberapa responden yang dijumpai peneliti, pemerintah sudah cukup banyak membantu TKLN di Kabupaten Cianjur untuk bekerja di Saudi Arabia. Bahkan, perwakilan pemerintahan (KBRI di Riyadh dan KJRI di Jeddah) Saudi Arabia dinilai banyak memberi bantuan ketika mereka bekerja. Menurut SJ, TKLN yang bermasalah biasanya ditemani oleh
84
beberapa rekan TKLN yang lain, dan langsung mendapat pelayanan dari pihak KBRI dan KJRI. Seorang tokoh pemerintahan di Kabupaten Cianjur, berpendapat bahwa kesulitan yang seringkali dijumpai oleh TKLN untuk mendapatkan pelayanan pemerintah, baik pihak Kedutaan Indonesia di Saudi Arabia maupun Depnaker, akibat informasi yang tidak lengkap dan tidak terperinci dari pihak TKLN atau TKLN tidak melapor sama sekali ketika terjadi masalah. Bahkan, seringkali pihak TKLN sendiri tidak yakin dengan pengaduan yang dilakukannya. Seperti kasus TKLN yang dituduh membunuh majikannya, baru saja terjadi dua minggu sebelum penelitian berlangsung. TKLN tersebut melarikan diri ke daerah Mekkah untuk menemui saudaranya dan hal ini menjadikan tuntutan terhadap TKLN tersebut semakin berat. Hingga saat ini pemerintah masih melakukan upaya untuk memperingan tuntutan dari pihak keluarga majikan terhadap TKLN. Selanjutnya untuk permasalahan keberangkatan dan kepulangan TKLN, pemerintah telah dapat menjamin bahwa TKLN dapat diantar pulang langsung sampai di depan rumahnya. Peraturan mengenai hal tersebut telah berlaku selama kurang lebih dua tahun belakangan ini. Informasi dari beberapa responden yang sempat diwawancarai menyatakan bahwa permasalahan seringkali terjadi antara majikan dan TKLN, sedangkan untuk permasalahan kontrak kerja dan keimigrasian jarang terjadi. Permasalahan antara majikan dan TKLN ini sering dilihat pemerintah sebagai permasalahan budaya dan bahasa. Pihak majikan menganggap bahwa perlakuan seperti menyiram kopi panas merupakan hal yang wajar karena TKLN seringkali tidak mengerti apa yang diinginkan majikan. Sedangkan masalah tindakan asusila oleh majikan laki-laki atau anak laki-laki mereka, seringkali dilihat pihak keluarga majikan sebagai kesalahan TKLN. Hal inilah yang kemudian merugikan posisi TKLN sebagai pekerja. Peran Swasta dan Sponsor. Seperti halnya di tempat lain, agen penyalur TKLN di Tanggeung memiliki peranan penting dalam proses pengiriman TKLN. Merekalah penghubung antara TKLN dengan perusahaan penempatan TKLN. Hampir seluruh calon TKLN menggunakan jasa ini. Di Tanggeung, agen penyalur TKLN disebut “sponsor” sedangkan perusahaan penyalur tenaga kerja disebut PT. Beberapa contoh PT yang ada adalah Amri Brother dan Boksan. Ada ratusan
85
sponsor di Kecamatan Tanggeung, namun dua yang paling besar adalah DE (45 tahun) dan AS. Sponsor di Tanggeung memiliki latar belakang yang beragam, ada yang berusaha dari bawah, ada yang memang orang kaya, bahkan ada yang mantan TKLN. DE adalah contoh sponsor yang memulai usaha dari bawah, pada awalnya ia hanyalah seorang penjual perabot dapur keliling. Usahanya terus berkembang hingga menjadi yang terbesar di Tanggeung, dengan anak usaha yang beragam. Sedangkan AS, merupakan contoh sponsor yang berangkat dari keluarga kaya. Sponsor di Tanggeung memiliki cara kerja yang beragam, namun pada umumnya ada persamaan pola yang nyata. Bila calon TKLN ingin pergi ke luar negeri namun tidak memiliki biaya, maka segala pengeluaran awal (surat izin, tiket, dan biaya hidup di PT ditanggung oleh sponsor). Bila sudah sampai di PT tetapi TKLN tersebut tidak jadi berangkat, maka ia akan dikenai denda sebesar biaya yang sudah dikeluarkan oleh sponsor. Namun pembayaran denda dapat ditangguhkan bila calon TKLN masih berkeinginan berangkat ke luar negeri di lain kesempatan. Sponsor juga memiliki tanggung jawab moral apabila TKLN mengalami masalah. Sponsor akan melaporkan permasalahan itu ke PT, yang lalu akan ditindaklanjuti lebih jauh. Selain mendapatkan uang dari TKLN, sponsor juga mendapatkan bonus dari PT tergantung jumlah orang yang mereka kirim. Terkadang sponsor juga mendapatkan remiten dari TKLN yang dititipkan kepadanya. Ketika TKLN pulang ke Indonesia, uang tersebut dapat diambil kembali. Untuk menjadi sponsor bukan perkara mudah. Ia harus memiliki modal yang besar, izin dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigras (Depnakertrans)i dan menghadapi persaingan dengan sponsor yang lain. Izin dari Depnakertrans mulai diberlakukan beberapa tahun ke belakang. Namun persaingan dengan sponsor lain sudah berjalan sangat lama. Banyak strategi yang dilakukan oleh sponsor untuk menarik calon TKLN. Beberapa cara adalah memberi pesangon yang besar saat di PT dan memberikan bonus (perabot rumah tangga, jam dinding, tempat tidur) untuk TKLN bila berhasil menyelesaikan kontraknya, dan melunasi hutang-hutangnya.
86
Perkumpulan Buruh Migran (TKLN). Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC) merupakan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap permasalahan buruh migran (TKLN). Bentuk kepedulian yang telah dilakukan adalah pendampingan terhadap mantan dan keluarga buruh migran, melalui diskusi-diskusi yang dilakukan di beberapa desa. Setiap desa didampingi oleh seorang Community Organizer (CO). SBMC berdiri pada tahun 2002, LSM ini bekerja sama dengan Komnas HAM dan Komnas Perempuan. SBMC mulai aktif di Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung pada Tahun 2004. Pada desa ini yang menjadi CO adalah Ibu ET (48 tahun), dibantu oleh Ibu YT (43 tahun). Pertemuan diskusi dengan para mantan dan calon TKLN dilaksanakan setiap tiga atau enam bulan sekali. Dalam setiap pertemuan, CO bertugas untuk menggali permasalahan yang dihadapi oleh para mantan TKLN yang telah pulang ke Indonesia dan memberikan penyuluhan mengenai hak dan kewajiban TKLN. Permasalahan yang paling sering dihadapi oleh TKLN adalah gaji yang tidak dibayar oleh majikan, pelanggaran kontrak oleh TKLN, hilangnya kontak dengan keluarga, tindak kekerasan oleh majikan, minimnya fasilitas dan sarana kesehatan di penampungan serta masalah pelecehan dan peningkatan tarif secara sepihak dalam perjalanan pulang menuju desa. Pada kasus Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, para buruh migran tidak menemui banyak masalah. Permasalahan TKLN di desa ini hanya berupa hilangnya kontak dengan keluarga atau minimnya fasilitas dan kesehatan di penampungan. Proses penyelesaian kasus yang dihadapi TKLN dilakukan melalui kerjasama dengan pihak PPTKIS, Perwakilan RI di luar negeri dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Untuk menyelesaikan satu kasus biasanya dianggarkan dana sebesar empat belas juta oleh SBMC. Jika ada TKLN yang menghadapi kasus ketika bekerja di luar negeri maka TKLN tersebut dapat menghubungi pihak Perwakilan RI di Luar Negeri atau dapat menghubungi keluarga di Indonesia kemudian oleh pihak keluarga akan dilanjutkan ke pihak SBMC. Untuk kasus tidak dibayarnya gaji oleh majikan dan kasus hilangnya kontak dengan keluarga, biasanya pihak SBMC menghubungi PPTKIS untuk menanyakan alamat dan nomor telepon majikan TKLN tersebut untuk diproses
87
lebih lanjut. Setelah memperoleh nomor telepon biasanya pihak SBMC langsung menghubungi majikan TKLN tersebut untuk menanyakan mengenai masalah pembayaran gaji dan menanyakan mengenai keadaan TKLN yang bekerja di rumahnya. Setelah memperoleh telepon dari SBMC, biasanya pihak majikan langsung membayar gaji TKLN tersebut. Di Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, terdapat kasus TKLN yang hilang kontak dengan keluarganya, tetapi kasus ini belum dapat diselesaikan karena belum diketahui nama PPTKIS buruh migran tersebut (tidak melalui jalur legal). SBMC menghadapi hambatan dalam mensosialisasikan keberadaan LSM ini di Desa Kertajaya kerena masalah jarak dan transportasi. Anggota diskusi dalam setiap pertemuan di desa ini tidak tetap, hanya beberapa orang mantan TKLN yang menghadiri pertemuan lebih dari sekali. Setiap pertemuan biasanya hanya dihadiri oleh 50 persen dari undangan saja, tetapi hal tersebut akan berbeda jika dalam pertemuan tersebut undangan diberikan uang pengganti transportasi. Pada Desa Kertajaya tidak terdapat perkumpulan TKLN bentukan desa karena masyarakat di desa ini kurang aktif, sehingga untuk menggali permasalahan dan untuk memberikan penyuluhan kepada TKLN di desa ini dilakukan melalui pertemuan diskusi SBMC. Diskusi ini dilaksanakan di kediaman Bapak AD (50 tahun). Dalam diskusi tidak dibahas mengenai pengelolaan uang remitan kerena sebagian besar dari para TKLN enggan untuk membicarakan hal tersebut. Hal ini dikarenakan adanya kecurigaan dari TKLN bahwa pihak LSM akan meminta bagian dari gaji yang mereka dapatkan. Hasil diskusi juga menunjukkan bahwa para mantan TKLN tidak mengetahui bahwa mereka berhak memperoleh uang saku dari PPTKIS sebesar satu juta rupiah, sehingga tidak jelas apakah uang saku tersebut tetap berada di pihak PPTKIS atau diambil oleh pihak sponsor karena pihak sponsor juga belum banyak yang mengetahui mengenai uang saku tersebut. Hasil diskusi yang diperoleh dari setiap pertemuan dilaporkan ke pihak desa. Akan tetapi, hasil diskusi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pihak desa karena mereka kurang responsif terhadap permasalahan yang ada dan kurang memantau keadaan TKLN yang telah pulang dari luar negeri. Meskipun institusi pemerintah desa tidak memiliki kewenangan dalam menindak lanjuti laporan tersebut, pihak SBMC berharap bahwa hasil diskusi tersebut dapat diangkat ke
88
tingkat yang lebih tinggi untuk selanjutnya dapat menjadi perhatian dinas terkait yaitu Dinas Ketenagakerjaan di tingkat Kabupaten Cianjur. Hal ini perlu menjadi perhatian bahwa sinergi peran antara dinas terkait dengan lembaga masyarakat (dalam hal ini SBMC) belum terbangun dengan baik padahal seyogyanya sinergi tersebut dapat dikembangkan sehingga dapat ditarik manfaat, misalnya dengan memanfaatkan informasi-informasi seputar buruh migran ini untuk membangun sistem informasi yang berguna dalam memantau kelembagaan ketenagakerjaan TKLN dan permasalahannya. Sebagai catatan tambahan, pada saat ini kegiatan pertemuan SBMC di Desa Kertajaya sedang kosong sejak Bulan Januari 2007 karena CO di desa ini sedang bekerja ke luar negeri (menjadi TKLN).
Tabel 4.3. Peran Tiap Stakeholder terkait Permasalahan TKLN Stakeholder Pemerintah
Peran Bagi TKLN Pendampingan TKLN ketika menghadapi masalah di negara tujuan kerja Pengantaran perpulangan TKLN ke daerah asal Pembantuan pengiriman upah kerja TKLN ke daerah asal Pengaturan Pemberdayaan TKLN Purna
Pengaturan struktur biaya penempatan kerja TKLN
Manfaat TKLN yang bermasalah dapat terbantu dalam penyelesaian masalah yang dihadapi TKLN yang pulang ke daerah asal merasa aman dan tidak dikenai pungutan liar TKLN dapat mengirim upah kerjanya kepada keluarga di daerah asal dengan selamat TKLN Purna dapat memanfaatkan remitan yang didapatnya untuk pengembangan ekonomi keluarga dan perbaikan lingkungan permukiman Calon TKLN memiliki kejelasan tentang biaya yang harus dikeluarkan untuk bekerja
Kelemahan TKLN bermasalah sering dalam posisi sulit karena Pemerintah harus mengikuti prosedur yang ditetapkan negara penempatan Berpeluang dimanfaatkan oknum untuk menarik biaya dari TKLN di luar tarif resmi. Kurangnya pengetahuan TKLN tentang fasilitas perbankan untuk pengiriman uang Belum ada aturan pemerintah mulai pusat hingga daerah tentang peran pihak terkait sehingga tidak terbangun kelembagaan multipihak untuk kepentingan TKLN Penetapan biaya tidak menimbang perbedaan daerah asal dan tujuan TKLN. Akibatnya, TKLN dari daerah asal yang dekat dengan PPTKIS membayar sama dengan TKLN yang berasal dari daerah yang jauh. Juga TKLN yang ditempatkan di negara tujuan berbiaya hidup murah harus menanggung biaya sama dengan TKLN yang bertempat di negara tujuan berbiaya hidup mahal.
89
Stakeholder Swasta
Peran Terhadap TKLN Pembantuan pengurusan suratsurat izin kerja TKLN Penyediaan sarana medical check up
Pemberian pinjaman biaya hidup bagi keluarga yang ditinggal bekerja
LSM
Manfaat Calon TKLN dapat memenuhi kelengkapan surat yang menjadi persyaratan bekerja Calon TKLN dapat memenuhi persyaratan yang diajukan oleh negara tujuan bekerja TKLN dan keluarga di daerah asal lebih terjamin kebutuhan hidupnya
Pemberian uang saku selama TKLN menjalani pelatihan kerja
Calon TKILN tercukupi kebutuhan hidupnya selama menjalani pelatihan kerja
Pembekalan kemampuan bekerja
Calon TKLN memiliki kemampuan yang cukup sesuai permintaan negara tujuan bekerja TKLN dapat terbantu dalam penyelesaian masalah yang dihadapi Eks-TKLN dapat mendiskusikan masalah mereka bersama rekan sesamanya serta mengupayakan jalan keluar Calon dan eks-TKLN menjadi sadar akan hak dan kewajibannya
Pendampingan TKLN ketika terkena masalah Pengembangan kapasitas kelembagaan TKLN di daerah asal
Advokasi hak dan kewajiban TKLN
Kelemahan Rawan penipuan usia dan pendidikan calon TKLN
Rawan pemalsuan dokumen keterangan kesehatan
Rawan digunakan untuk alasan pemotongan gaji oleh sponsor yang berindikasi jumlahnya tidak sesuai dengan pinjaman yang diberikan Rawan digunakan untuk alasan pemotongan gaji oleh sponsor yang berindikasi jumlahnya tidak sesuai dengan uang saku yang diberikan Rawan terjadinya pelatihan yang tidak sesuai peraturan pemerintah serta rawan pemalsuan dokumen Rawan digunakan untuk alasan pemotongan hak hak TKLN Belum ada kebijakan pendampingan yang dapat memperkuat kapasitas TKLN dalam berorganisasi
Rawan dikembangkan jadi isu yang dapat digunakan untuk alasan pemotongan hak hak TKLN
4.5. Remitan, Kesejahteraan dan Perkembangan Lingkungan Uraian di atas memperlihatkan tentang berbagai permasalahan dan tantangan yang berkait dengan implikasi kebijakan penempatan TKLN di luar negeri dalam konteks perkembanganya di Kabupaten Cianjur. Di dalam penelitian yang dilakukan telah ditemukan adanya gejala yang memperlihatkan, bahwa kepulangan TKLN tidak saja dapat memperbaiki kondisi kesejahteraan dan perekonomian daerah, tetapi juga berpeluang mendorong pemeliharaan SDA dan perbaikan mutu kualitas lingkungan permukiman di daerah asal. Untuk menunjukkan gejala tersebut secara utuh (holistik) berikut diuraikan proses yang
90
terjadi di satu desa. Proses tersebut membuktikan, bahwa yang semula migrasi disebabkan oleh kemiskinan, saat ini prosesnya yang mengalirkan remitan telah membawa peningkatan kesejahteraan dan perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup di desa asal.
4.5.1. Desa Kertajaya: Satu Daerah Asal TKLN di Kabupaten Cianjur Desa Kertajaya terletak di Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat (Gambar 4.8.). Luas wilayah desa ini sekitar 301,13 hektar ini terdiri dari 65 hektar lahan permukiman, 35 hektar digunakan untuk ladang, 200,46 hektar dimanfaatkan untuk pertanian dan sisanya 30,67 hektar digunakan untuk peruntukan lainnya. Wilayah administrasi Desa Kertajaya terdiri dari tiga dusun dengan enam RW (Rukun Warga) dan 24 RT (Rukun Tetangga). Adapun batas wilayah Desa Kertajaya adalah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Desa Tanggeung Kec. Tanggeung
Sebelah Timur
: Desa Tanggeung Kec. Tanggeung
Sebelah Selatan
: Kecamatan Karangtengah
Sebelah Barat
: Desa Cimanggu Kec. Cimanggu
Jarak dari Desa Kertajaya ke pusat kecamatan hanya sejauh 6 kilometer yang dapat ditempuh selama setengah jam. Sedangkan jarak tempuh ke pusat Kabupaten Cianjur relatif cukup jauh, yaitu 80 kilometer yang dapat di tempuh dengan minibus/colt selama 3-4 jam. Fasilitas kendaraan umum yang sering dimanfaatkan masyarakat Desa Kertajaya adalah motor (ojek) dan kendaraan umum (angkot). Namun keberadaan kedua jenis kendaraan umum itu pun terbatas karena tidak beroperasi selama 24 jam padahal desa ini terletak tidak jauh dari jalan propinsi yang menghubungkan Kota Kabupaten Cianjur dengan Kecamatan Sindang Barang yang terletak di pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa. Keadaan tersebut pada umumnya menimbulkan kesulitan bagi masyarakat setempat dalam menjual hasil pertanian mereka. Kondisi ini diketahui kemudian menimbulkan cukup banyak bermunculannya pedagang pengumpul.
91
Sumber: Cianjur Dalam Angka 2006 (Diolah)
Gambar 4.8. Lokasi Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur Keberadaan infrastruktur di Desa Kertajaya secara umum masih tergolong belum lengkap. Sarana perdagangan berupa pasar masih belum terdapat di desa ini. Masyarakat pada umumnya melakukan kegiatan perniagaannya di pasar yang terletak di pusat kecamatan. Fasilitas kesehatan yang dimiliki desa ini pun belum ada, keadaan yang juga ditemui di desa-desa sekitar. Puskesmas yang memadai hanya dapat ditemui di pusat kecamatan. Namun begitu, kondisi ini sudah lebih baik dibanding 20 tahun yang lalu. Saat ini sudah dapat ditemui praktek bidan dan paraji, sebutan masyarakat untuk dukun beranak. Sarana pendidikan yang dapat ditemui di Desa Kertajaya sudah sampai pada jenjang SMP, sedangkan untuk melanjutkan ke jenjang SMA/sederajat, tersedia Madrasah Aliyah di kota kecamatan. Khusus untuk lembaga pendidikan tinggi, seperti umumnya masyarakat di Cianjur Bagian Selatan, hanya tersedia di Kota Kabupaten Cianjur. Masih identik dengan daerah lainnya di Cianjur Bagian Selatan, fasilitas yang cukup lengkap dapat ditemui di Desa Kertajaya adalah sarana peribadatan bagi
92
Umat Islam. Banyak ditemui langgar dan mesjid serta pondok pesantren yang menjadikan keadaan masyarakat Desa Kertajaya tampak religius. Kemiskinan dan Migrasi Mencari Kerja di luar Negeri. Penduduk Desa Kertajaya menurut catatan pemerintah setempat, pada tahun 2006 berjumlah 4.188 jiwa yang terdiri dari 2.040 orang laki-laki dan 2.144 orang perempuan, kondisi yang membentuk rasio jenis kelamin yang cukup berimbang. Namun menurut sejumlah masyarakat, terutama para orang tua, jumlah tersebut tidak tepat karena sebetulnya masyarakat Desa Kertajaya lebih didominasi oleh kaum perempuan. Tampaknya keberadaan mereka yang terletak di pelosok-pelosok desa membuat mereka tidak tersentuh oleh kegiatan pendataan dan sensus.
Tabel 4.4. Komposisi Masyarakat Desa Kertajaya Berdasarkan Jenis Kelamin Golongan Umur
Jenis Kelamin
Jumlah
%
245
486
10,9
39
41
80
1,9
8-13
277
273
550
13,2
14-19
219
223
442
10,6
20-35
539
542
1081
26,1
36-55
543
549
1092
26,1
>55
186
180
366
8,8
2040
2144
4184
100
(Tahun)
Pria
Wanita
0-5
241
6-7
Sumber: Monografi Desa Kertajaya 2006 (Diolah)
Menurut umur, keberadaan jumlah penduduk Desa Kertajaya banyak terdiri dari balita (0-5 tahun) dan angkatan usia produktif (20-55 tahun). Dari piramida penduduk di Tabel 4.4. ditunjukkan Desa Kertajaya termasuk ke dalam kategori desa dengan perkembangan masyarakat yang sedang mengalami transisi. Dari 4184 penduduk Desa Kertajaya pada tahun 2006 tersebut, terdapat 186 penduduk yang saat ini sedang bekerja ke luar negeri. Mereka terdiri dari 128 orang bekerja di Arab Saudi dan sekitarnya, 42 orang bekerja di Malaysia, 6 orang bekerja di Singapura dan 4 orang bekerja di Brunei Darussalam. Tidak ada data yang pasti mengenai pertumbuhan jumlah TKLN yang berangkat dari desa ini setiap
93
tahunnya. Informasi yang didapat dari Pemerintah Desa Kertajaya hanya menyebutkan bahwa trend pertumbuhannya cenderung meningkat, ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah bus yang digunakan ketika musim pemberangkatan TKLN yang biasanya terjadi setelah Hari Raya Idul Fitri. Pernah terjadi periode sepi pemberangkatan yaitu pada saat terjadi krisis keamanan di Teluk Persia pada Tahun 1990-1991, namun selain periode itu jumlah pemberangkatan TKLN selalu meningkat setiap tahunnya. Ketika hal yang sama ditanyakan kepada Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Cianjur, jawabannya pun tidak berbeda. Data yang ada hanya menunjukkan kondisi empat tahun terakhir, itupun detail yang bisa didapat hanya jumlah dan negara tujuan TKLN untuk satuan kecamatan, dengan Kecamatan Tanggeung dicatat memberangkatkan 422 orang TKLN pada tahun 2006. Angka tersebut, masih menurut Dinas Ketenagakerjaan, hanya yang tercatat secara resmi. Jumlah sebetulnya diperkirakan mencapai sekitar lima ratus orang. Selain menjadi TKLN, jenis mata pencaharian yang umum ditekuni oleh masyarakat Desa Kertajaya adalah bertani. Tercatat ada 970 buruh tani dan 843 petani pemilik lahan. Menurut masyarakat setempat, kepemilikan lahan di Desa Kertajaya sudah banyak berpindah tangan. Pada umumnya pemilik lahan yang berada di desa tersebut berasal dari luar desa, termasuk kota Kecamatan Tanggeung yang jaraknya cukup dekat dari wilayah Desa Kertajaya. Sistem pembagian hasil yang umum digunakan masyarakat di desa ini adalah sistem maro dimana antara pemilik lahan dengan petani penggarap mendapat bagian yang sama. Sedangkan bagi buruh tani upahan, nilai pembayaran yang umum berlaku di Desa Kertajaya adalah Rp 10.000/HOK.
Gambar 4.9. Kegiatan Pertanian Masyarakat Desa Kertajaya
94
Peringkat kedua mata pencaharian dominan adalah berdagang dimana terdapat 82 orang warga yang tercatat berprofesi sebagai pedagang. Pada umumnya mereka berdagang kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitarnya. Satu hal yang menarik, pada umumnya para pedagang ini seringkali merangkap profesi sebagai sopir kendaraan umum. Menurut pengakuan mereka, berdagang adalah aktifitas sampingan yang mereka lakukan untuk menambah penghasilan dari kegiatan utama mereka yaitu sebagai sopir kendaraan umum yang melayani rute perjalanan Tanggeung-Cianjur. Di luar kedua jenis mata pencaharian dominan tersebut, masyarakat Desa Kertajaya banyak juga yang menekuni bidang jasa dan pertukangan seperti penjahit, montir, sopir, tukang kayu dan tukang batu. Selengkapnya mengenai gambaran proporsi mata pencaharian penduduk Desa Kertajaya di Gambar 4.10.
Komposisi Mata Pencaharian Masyarakat Jumlah
Guru Tukang Batu Tukang Kayu Karyaw an Sw asta Pramuw isma Sopir Montir Penjahit Pensiunan Pegaw ai Negeri Sipil
Pedagang/w irasw asta Petani Buruh Tani
0
200
400
600
800
1000
1200
Sumber: Data Monografi Desa Kertajaya 2006 (Diolah)
Gambar 4.10. Komposisi Masyarakat Desa Kertajaya Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian
95
Jumlah angkatan kerja Desa Kertajaya mencapai 2.290 orang. Dari jumlah tersebut, terdapat pengangguran sebesar 863 orang. Dari keseluruhan angkatan kerja yang memiliki pekerjaan, 30 persen diantaranya bekerja sebagai TKLN yang ditempatkan di Arab Saudi, Yaman, Brunai Darussalam, Malaysia dan sebagainya. Mereka yang bekerja sebagai TKLN inilah yang kemudian ketika pulang dapat membangun dan memperbaiki rumah mereka. Rumah mereka ini kebanyakan berjenis rumah tembok yang berciri kota dengan lantai keramik dan bahkan kepemilikan parabola. Mereka inilah yang secara perlahan mengubah gambaran permukiman yang semula kumuh menjadi tampak “kekotaan”. Menurut masyarakat setempat, penguasaan lahan pertanian yang sempit merupakan penyebab utama banyaknya masyarakat Desa Kertajaya yang menjadi buruh tani, atau kalaupun menjadi petani pemilik lahan, luasnya tidak seberapa. Saat ini, pekerjaan sebagai TKLN yang dipandang sebagai solusi yang dapat membawa masyarakat keluar dari kesulitan perekonomian. Lihat gambaran komposisi penguasaan aset lahan di Desa Kertajaya di Gambar 4.11. Komposisi Penguasaan Aset Lahan Jumlah
> 1 Ha 0,9 – 1 Ha 0,8 – 0,9 Ha 0,7 – 0,8 Ha 0,6 – 0,7 Ha 0,5 – 0,6 Ha 0,4 – 0,5 Ha 0,3 – 0,4 Ha 0,2 – 0,3 Ha 0,1 – 0,2 Ha < 0,1 Ha Tidak memiliki tanah
0
100
200
300
400
500
600
700
Sumber: Data Monografi Desa Kertajaya 2006 (Diolah)
Gambar 4.11. Komposisi Penguasaan Lahan Masyarakat Desa Kertajaya
96
Sebagian besar masyarakat (651 orang) memiliki lahan hanya 0,1 hektar dan hanya 15 orang yang mempunyai lahan diatas 1 hektar. Hal ini menunjukkan adanya pemusatan penguasaan lahan yang membuat sempitnya peluang mata pencaharian pertanian untuk berkembang. Umumnya masyarakat mengusahakan sawahnya dengan sistem dua kali tanam setahun diselingi periode penanaman palawija yang biasanya berupa jagung atau kacang-kacangan.
Gambar 4.12. Pertanian Sebagai Peruntukan Masyarakat Desa Kertajaya
Utama Penggunaan
Lahan
Meski ada kecenderungan pemusatan penguasaan lahan pada satuan individu, namun apabila melihat secara umum pada satuan kawasan desa, jumlah lahan pertanian mengalami peningkatan signifikan selama delapan tahun terakhir. Jumlah lahan pertanian (meliputi sawah irigasi, sawah tadah hujan, ladang, kebun, tambak dan hutan rakyat) meningkat dari 300 hektar pada tahun 1998 menjadi 364 hektar pada tahun 2006. Kebanyakan dari jumlah lahan pertanian baru ini digunakan untuk membuka hutan rakyat. Hal ini terkait erat dengan pertumbuhan industri meubel furnitur yang tumbuh pesat di Desa Kertajaya. Kebutuhan akan kayu sebagai bahan baku meubel membuat hutan kayu ini berkembang cepat. Kayu yang umumnya ditanam adalah jenis albasia yang umur tanamnya pendek sehingga dapat cepat menghasilkan. Gambaran trend peningkatan luasan lahan pertanian Desa Kertajaya disajikan pada Gambar 4.13.
97
250
224 202
200
202
150 100
92
50 16
0
0
0
6 4 38
iri g
as i( H
a) H uj Ko an la m (H /T a) am Ke ba bu k (H n/ La a) da ng H ut (H an a) R ak ya t( H a)
4
42
58
40
2006 1998
Ta da h
Be r
ah
ah Sa w
Sa w
46
Sumber: Data Monografi Desa Kertajaya 2006 (Diolah)
1998 2002 2006
Gambar 4.13. Trend Pertambahan Luas Lahan Pertanian di Desa Kertajaya Tingkat pendidikan masyarakat Desa Kertajaya masih relatif rendah. Hanya 8 orang yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana, 11 orang hingga jenjang diploma, sementara sisanya bervariasi mulai dari tidak tamat SD hingga tamat SLTA. Bahkan jumlah penduduk yang tidak tamat SD mencapai 213 orang. Menurut masyarakat setempat, kondisi ini umumnya diakibatkan kurangnya wawasan masyarakat akan pentingnya pendidikan. Daerah Cianjur Selatan secara umum menurut masyarakat Desa Kertajaya berada dalam kondisi relatif terisolir. Selain karena akses jalan ke daerah yang lebih maju (Cianjur Kota atau Bandung) cukup jauh dan kondisinya jelek, akses terhadap informasi pun tidak begitu mudah. Televisi baru dapat dinikmati masyarakat pada pertengahan tahun 90-an bersamaan dengan masuknya listrik ke daerah-daerah terpencil di Cianjur Selatan termasuk kawasan Kecamatan Tanggeung. Selain itu, sarana pendidikan yang tidak memadai sebagaimana dijelaskan sebelumnya juga membuat tidak tersedianya pilihan bagi masyarakat untuk melanjutkan sekolah, khususnya jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun, seperti umumnya daerah lain di Cianjur Selatan, meskipun tingkat pendidikan umum masyarakat relatif masih rendah tapi hal sebaliknya ditemui untuk pendidikan agama. Hal ini tidak lepas dari peran pondok-pondok pesantren
98
yang banyak sekali dijumpai. Selengkapnya mengenai kondisi pendidikan masyarakat Desa Kertajaya disajikan pada Gambar 4.14. Jumlah Jumlah
S1 D3 D2 D1 SLTA Tidak tamat SLTA SLTP Tidak tamat SLTP SD Tidak tamat SD
0
100
200
300
400
500
Sumber: Data Monografi Desa Kertajaya 2006 (Diolah)
Gambar 4.14. Komposisi Masyarakat Desa Kertajaya Berdasarkan Jenjang Pendidikan Bila dibandingkan dengan 24 kabupaten di Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Cianjur memang memiliki nilai terendah dalam mengenai partisipasi warga dalam mengikuti pendidikan dasar (Statistik Pembangunan Jawa Barat 2003 – 2007). Banyak faktor yang menyebabkan hal ini dapat terjadi. Salah satunya adalah akses pendidikan yang terbatas, semisal jumlah gedung sekolah dan sarana prasarana transportasinya. Gambaran umum keadaan pendidikan di Kabupaten Cianjur ini dapat dijadikan gambaran mengenai keadaan pendidikan di Kecamatan Tanggeung yang masih membutuhkan perhatian lebih. Data yang ada mengenai aksesibilitas penduduk Kabupaten Cianjur terhadap saran pendidikan juga menunjukkan bahwa nilai aksesibilitas penduduk terhadap sarana pendidikan merupakan yang terendah dari seluruh kabupaten dan kota se-Jawa Barat (Statistik Pembangunan Jawa Barat 2003 – 200). Nilai yang didapat Kab. Cianjur hanya mencapai 7. Bandingkan dengan nilai rata-rata Propinsi Jawa Barat yang mencapai 45 dari total 100.
99
Provinsi Jawa Barat perlu dicatat menjadi provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah (BPS, 2007). Dengan keadaan yang demikian, tidaklah mengherankan melihat kondisi penduduk di Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung pada umumnya. Sebagian besar mereka termasuk keluarga miskin. Dengan segala keterbatasan ini tidak heran apabila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Cianjur sendiri digolongkan rendah dengan nilai sekitar 67. Padahal nilai IPM Propinsi Jawa Barat sendiri mencapai 71 (Statistik Pembangunan Jawa Barat 2003 – 2007). Rendahnya nilai IPM ini bisa menjadi indikator terbatasnya kualitas SDM yang dimiliki Kab. Cianjur bila dibandingkan dengan rata-rata Propinsi Jawa Barat. Kondisi kemiskinan dan ketertinggalan yang dihadapi oleh masyarakat, dan keberhasilan dari TKLN yang pulang dari bekerja di luar negeri menjadikan bekerja ke luar negeri menjadi idaman hampir seluruh angkatan kerja di Desa Kertajaya. Aliran orang pergi dan pulang ke dan dari luar negeri kemudian menjanjikan banyak perubahan dan harapan. Remitan dan Perbaikan Kesejahteraan. Pada umumnya uang remitan yang dibawa hasil kerja di laur negeri, pertama kali digunakan penduduk untuk membangun rumah. Ketika mereka telah memiliki rumah, uang remitan tersebut ada yang digunakan untuk dijadikan modal usaha, seperti membeli bibit pohon kelapa dan ditanam di lahan-lahan yang dipunyai agar hasilnya dapat dipetik pada masa depan. Menurut Bapak IN (48 tahun) pohon kelapa semakin banyak dari tahun ke tahun. Bapak IN membeli bibit pohon kelapa dari hasil upah kerja istrinya sebagai TKW di Saudi Arabia1. Sebagian besar penduduk yang anggota keluarganya pernah atau sedang bekerja sebagai TKW memiliki sedikitnya satu pohon kelapa. Hasil pohon kelapa ada yang dijual namun juga ada yang digunakan untuk konsumsi sendiri. Beberapa penduduk yang pernah bekerja di luar negeri, juga memanfaatkan halaman rumahnya untuk berkebun buncis, singkong dan jagung. Seperti ibu SK (5 tahun), memiliki kebun buncis, singkong dan jagung di halaman samping rumahnya dari hasil upah kerjanya di Saudi Arabia selama 2 tahun. Dari 1
Bapak IN saat ini memiliki usaha 30 pohon kelapa.
100
hasil kebun inilah kemudian ibu SK menghidupi keluarganya2. Sedangkan Ibu SJ lebih memilih untuk membeli sepetak sawah dari hasil upah kerjanya selama 5 tahun di Saudi Arabia. Hasil sawah tidak dijual, namun dikonsumsi sendiri dengan tenaga kerja utama keluarga. Selain memanfaatkan upah kerja untuk menanam pohon kelapa dan membuka kebun, banyak juga penduduk desa yang mencoba beternak kambing atau ayam. Ibu SK selain memiliki kebun buncis, singkong dan jagung, juga memiliki kambing dan ayam. pada saat wawancara dilakukan peneliti sempat mencicipi hasil kebun jagung ibu SK. Ibu QR (55 tahun) juga memanfaatkan upah kerjanya untuk beternak kambing. Dari hasil inilah kemudian penduduk Pasir Galih mampu membiayai sekolah anak-anak mereka dan memenuhi kebutuhan keluarga seharihari. Uang remitan yang digunakan penduduk saat ini berperan besar untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Dengan uang remitan banyak penduduk yang dapat memanfaatkan halaman rumahnya sekaligus menambah penghasilan keluarga. Dan hal ini sangat membantu bagi rumah tangga yang anggota keluarga mereka tidak lagi bekerja sebagai TKW. Remitan ini juga dapat dipergunakan oleh anggota keluarga mereka untuk berbagai keperluan, diantaranya untuk memenuhi keluarga, untuk biaya sekolah anak, untuk membelli tanah, dan kebanyakan digunakan untuk memperbaiki rumah mereka. Dalam kasus terakhir, yaitu memperbaiki rumah, bila dilihat di aras rumah tangga, kegiatan tersebut merupakan suatu bentuk kontribusi remitan terhadap pengelolaan lingkungan. Dengan rumah yang lebih baik, maka kebersihan atau sanitasi rumah pun akan lebih baik, hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk pengelolaan lingkungan. Untuk kasus desa Kertajaya, dari berbagai responden yang telah berhasil diwawancarai, sebagian dari mereka menggunakan uang hasil bekerja di luar negeri untuk memperbaiki rumah, bahkan ada salah seorang responden yang bernama Ibu RS (39 tahun) yang bercita-cita ingin membuat septic tank untuk rumahnya. Walaupun cita-cita ini terlihat sepele, tetapi dengan ini sanitasi keluarganya akan lebih terjamin, sekarang ia telah memiliki rumah panggung sendiri beserta TV dan perabotan. Di Desa Kertajaya, ada TKLN yang berhasil di 2
Saat ini suami ibu SK bekerja serabutan dengan penghasilan yang tidak tentu dan sangat minim.
101
luar negeri, tetapi ada pula yang kurang berhasil memperoleh apa yang mereka inginkan. Mereka yang berhasil di luar negeri dapat mempergunakan uang mereka untuk membenguna rumah atau hanya sekedar memperbaiki. Seperti juga Ibu RS, Ibu MK (44 tahun) telah berhasi memperbaiki rumahnya menjadi rumah beton dengan dua lantai yang disertai sistem sanitasi yang baik. Selain dilihat di aras rumah tangga, kontribusi remitan dalam pengelolaan lingkungan juga dapat di lihat di tingkat lingkungan tempat mereka tinggal. Ratarata para TKLN yang terdapat di Desa Kertajaya mempergunakan uang mereka untuk menyumbang pembangunan tempat peribadatan, yaitu masjid. Mereka tidak secara langsung menyumbang dalam perbaikan lingkungan permukiman, seperti reboisasi hutan yang ada di sekitar mereka, karena hutan tersebut merupakan hutan Perhutani, jadi perbaikan hutan yang dilakukan merupakan hasil dari Perhutani. Kontribusi remitan terhadap pengelolaan lingkungan permukiman di desa Kertajaya muncul karena remitan ini mereka pergunakan untuk usaha mereka di bidang pertanian. Seperti Ibu DH (38 tahun) yang mempergunakan uangnya untuk menambah modal usaha pertanian. Dalam pengelolaan pertanian terdapat beberapa usaha untuk menjaga kestabilan lingkungan, hal ini dilakukan melalui pengelolaan irigasi pertanian yang dilakukan oleh mitra cai. Untuk memperoleh jasa dari mitra cai tersebut para petani harus membayar dalam bentuk hasil panen, besarnya pembayaran tergantung dari luasan lahan. Sampai saat ini Ibu DH telah berhasil menambah luas lahan garapannya, hal ini dibantu juga dari remitan yang diperoleh dari anaknya DD yang sampai sekarang masih bekerja di Arab Saudi. Bagi kebanyakan TKLN memang sulit untuk dapat mencapai keadaan seperti Ibu DH tersebut, karena uang yang mereka peroleh hanya cukup untuk biaya perbaikan rumah, konsumsi sehari-hari dan juga untuk biaya pendidikan keluarga. Perbaikan Mutu Lingkungan Permukiman. Dalam berbagai wawancara dengan masyarakat Desa Kertajaya khususnya mereka yang pernah menjadi TKLN di luar negeri, selalu muncul sebuah pertanyaan yang secara umum mendapatkan jawaban seragam: “Apa yang Bapak/Ibu gunakan dengan penghasilan yang didapat dari bekerja di luar negeri?” Pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa penghasilan mereka dari bekerja di luar negeri digunakan untuk salah satu dari tiga hal: membeli tanah, menyekolahkan anak atau membeli
102
sepeda motor. Tetapi selain satu dari ketiga jawaban itu, ada satu jawaban yang selalu muncul: untuk memperbaiki rumah. Dari pengamatan sekilas memang dijumpai bahwa ciri yang paling melekat dari sebuah rumah tangga yang salah satu anggotanya pernah bekerja ke luar negeri adalah dari bentuk bangunan rumahnya. Perbedaan yang paling terlihat dari bentuk rumah seorang TKLN dibanding rumah masyarakat lainnya adalah lantainya yang berkeramik, bangunan yang sudah berdinding sempurna hingga ke atas (tidak setengah dinding dan setengah bilik), warna cat rumah yang lebih bervariasi dan umumnya bukan berwarna putih, serta kepemilikan antena parabola. Menurut TKLN itu sendiri, kepemilikan rumah pribadi menunjukkan kesuksesan seseorang setelah bekerja di luar negeri.
Gambar 4.15. Rumah Penduduk Yang Bekerja Sebagai TKLN Dapat dikatakan bahwa bentuk dan fasilitas rumah yang dimiliki warga yang bekerja sebagai TKI jauh lebih baik dari warga yang tidak ikut menjadi TKLN. Perbandingan jenis dinding dan lantai rumah antara rumahtangga TKLN dan
non-TKLN
berdasar
survei
pada
masing-masing
60
rumahtangga
menunjukkan bahwa umumnya bangunan rumah TKLN berlantai ubin atau teraso dan berdinding tembok, sedangkan yang bukan TKLN kebanyakan berlantai kayu atau tanah dan berdinding kayu atau bahkan bilik. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 4.5. dan 4.6.
103
Tabel 4.5. Perbandingan Jenis Lantai Rumah antara rumahtangga responden TKLN dan non TKLN Jenis Lantai Rumah Teraso Ubin Semen Kayu/Tanah Total
Rumahtangga TKLN Jumlah % 6 10.00 46 76.67 8 13.33 0 0.00 60 100.00
Rumahtangga non TKLN Jumlah % 0.00 0 1.67 1 45.00 27 53.33 32 100.00 60
Tabel 4.6. Perbandingan Jenis Dinding Rumah antara rumahtangga responden TKLN dan non TKLN Jenis Dinding Rumah Dinding Papan Dinding-Papan Bilik Total
Rumahtangga TKLN Jumlah % 52 86.67 0 0.00 8 13.33 0 0.00 60 100.00
Rumahtangga non TKLN Jumlah % 18.33 11 36.67 22 8.33 5 36.67 22 100.00 60
Bentuk rumah warga yang tidak menjadi TKLN jauh lebih sederhana. Bangunannya terbuat dari bilik, berlantai tanah, sedikit menggunakan warnawarna cat, dan tidak memiliki parabola. Antena parabola penting bagi warga karena dengan antena biasa mereka tidak dapat menangkap tayangan televisi.
Gambar 4.16. Kondisi Fisik Bangunan Rumah Warga Yang Tidak Menjadi TKLN
104
Beberapa warga memanfaatkan pekarangan dan rumah mereka sebagai tempat berusaha. Hal ini juga tampak dari banyaknya warga yang menjadi pedagang. Umumnya mereka yang tidak dapat menyewa kios memanfaatkan rumah dan pekarangannya sendiri. Jenis usaha yang ada cukup beragam, antara lain bengkel, perlengkapan pertanian, jasa penjemuran padi, warung, wartel, dan sebagainya. Hal ini juga menjadi penciri yang membedakan antara rumahtangga TKLN dengan non-TKLN bahwa rumahtangga TKLN umumnya memanfaatkan pekarangan mereka untuk mengusahakan kegiatan yang dapat menghasilkan uang. Gambarannya disajikan pada Tabel 4.7. Kondisi ini jarang ditemui di rumahtangga non-TKLN. Temuan lapangan menunjukkan bahwa rumahtangga non-TKLN terkendala aspek permodalan untuk mengusahakan hal serupa.
Tabel 4.7. Perbandingan Jenis Usaha Sampingan antara rumahtangga responden TKLN dan non TKLN Jenis Usaha Sampingan Bengkel Toko Saprodi Warung/Toko Kelontong Penjemuran/Penggilingan Tidak Berusaha Total
Rumahtangga TKLN Jumlah % 7 11.67 3 5.00 14 23.33 4 6.67 32 53.33 60 100.00
Rumahtangga non TKLN Jumlah % 0.00 0 0.00 0 6.67 4 0.00 0 93.33 56 100.00 60
Gambar 4.17. Aktifitas Warga Yang Memanfaatkan Pekarangan Untuk Usaha
105
Rumah di Desa Kertajaya, dan juga di banyak desa pada umumnya tidak memiliki tata letak yang terencana. Mereka membangun rumah sesuai dengan dimana tanah mereka berada. Namun terdapat beberapa daerah yang menurut kesepakatan warga tidak boleh dibangun apapun. Kawasan ini biasanya berupa hutan lindung yang berfungsi untuk menyimpan air. Disamping itu juga terdapat beberapa tempat yang dikeramatkan oleh warga sekitar. Salah satu ciri dari lingkungan permukiman yang sehat adalah tersedianya sanitasi yang layak bagi warga. Adanya sanitasi ini dapat menjaga kesehatan penghuninya. Bentuk sanitasi berupa adanya kamar mandi, jamban, sumur, dan selokan. Hanya beberapa kepala keluarga saja yang memiliki jamban yang memadai. Sebagian besar rumah penduduk tidak memilikinya. Hal seperti ini memang membahayakan bagi kesehatan warga. Meskipun demikian masih terdapat beberapa rumah yang memiliki jamban sendiri.
Gambar 4.18. Aktifitas Warga Membuat Kakus
Gambar 4.19. Selokan Warga Sebagai Bentuk Sanitasi
106
Selokan juga merupakan salah satu bentuk sanitasi. Selokan pada permukiman berguna menyalurkan air limbah rumah tangga ke tempat pembuangan. Sebagian besar permukiman warga telah memiliki selokan. Air selokan ini mereka alirkan ke kali yang cukup besar yang melalui desa mereka. Meskipun telah memiliki selokan, namun limbahnya tetap saja bermuara di sungai. Dalam jangka pendek akibatnya belum tampak, namun bila tindakan ini tidak dikendalikan akan mengakibatkan pencemaran air sungai. Sebagai sumber air bersih, warga mengandalkan dari sumber air PAM dan air sumur. Hanya beberapa warga yang mengandalkan air PAM sebagai sumber air bersih. Sebagian besar lainnya mengandalkan air sumur. Namun tidak setiap kepala keluarga memiliki sumur sendiri. Beberapa sumur digunakan secara bersama-sama oleh beberapa kepala keluarga. Selain dari permasalahan di atas, ketersediaan air bersih cukup memadai bagi warga.
Gambar 4.20. Aktifitas Warga Membuat Sumur Sistem persampahan merupakan masalah tersendiri bagi warga. Banyak jenis sampah yang dihasilkan dari rumah tangga warga, namun penanganannya sangat sederhana. Warga tidak memisahkan antara sampah organik dan anorganik.Ada tiga perlakuan warga dalam menangani sampah: dibiarkan saja sampai terurai sendiri, dikubur dalam tanah, dibakar, atau dibuang ke sungai. Tidak ada perlakuan khusus antara sampah organik dengan anorganik. Sampah yang dihasilkan tiap rumah tangga dikelola masing-masing. Tidak ada petugas khusus yang mengambil sampah dari warga, layaknya di permukiman perkotaan. Mereka memiliki tempat khusus untuk membuang sampah. Tempat ini berupa
107
galian tanah dengan besar lebih kurang 2 x 2 meter dengan kedalaman dua meter. Seluruh sampah yang dihasilkan dikumpulkan di lubang itu. Bila dirasa sudah cukup banyak, sampah lalu dibakar, atau ditimbun dengan tanah. Meskipun
sampah
di
Kecamatan
Tanggeung
ini
sepintas
tidak
menimbulkan permasalahan, tidak berarti tingkat kesehatan warga di kecamatan ini telah terjamin. Data yang dimiliki Pemerintah Jawa Barat mengindikasikan persentase penduduk Kabupaten Cianjur yang mengalami sakit masih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya (Statistik Pembangunan Jawa Barat 2003 – 2007). Hal yang sama juga terjadi di Kecamatan Tanggeung. Hal ini diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan yang ada. Salah satu contohnya adalah pusat kesehatan seperti Puskesmas yang hanya terdapat di kecamatan saja. Keadaan ini menyebabkan warga mengalami kesulitan dalam mengakses sarana kesehatan umum. Kondisi bangunan dan lingkungan rumah yang bersih dan sehat juga menjadi penciri rumahtangga TKLN yang membedakannya dengan rumahtangga non-TKLN. Disajikan gambarannya pada Tabel 4.8. Tabel 4.8. Perbandingan Kondisi sanitasi rumah antara rumahtangga responden TKLN dan non TKLN Kondisi Rumah Sehat Sarana MCK dan septic tank Saluran Pembuangan Air Sumur Tempat Pembuangan Sampah Ventilasi Udara
Rumahtangga TKLN Jumlah % 46 76.67 54 90.00 24 40.00 12 20.00 60 100.00
Rumahtangga non TKLN Jumlah % 6.67 4 30.00 18 0.00 0 3.33 2 75.00 45
Secara umum, antara sebelum dan setelah berangkat kerja, kondisi rumahtangga TKLN memiliki perbedaan kualitas dalam beberapa aspek. Perbedaan-perbedaan tersebut, berdasarkan beragam aspek yang ditemui selama penelitian di lapang disajikan dalam Tabel 4.9.
108
Tabel 4.9. Perbedaan Berbagai Aspek Kehidupan Rumahtangga Antara Sebelum dan Sesudah Menjadi TKLN Aspek Kondisi Bangunan Rumah
Kondisi Sanitasi Rumah
Keberadaan Sumber Nafkah Sampingan
Sebelum menjadi TKLN Umumnya berlantai kayu atau semen, bahkan tak jarang hanya tanah tanpa pelapis apapun. Dinding kebanyakan berupa anyaman bilik atau papan, tidak menggunakan cat berwarna. Sumber air bersih didapat dari sungai atau kali yang juga sekaligus sebagai sarana MCK. Bangunan rumah jarang sekali yang dilengkapi dengan saluran pembuangan limbah rumah tangga, umumnya limbah dibiarkan mengalir begitu saja ke pekarangan, termasuk juga berbagai sampah padat. Bangunan rumah jarang sekali dilengkapi dengan saluran ventilasi udara Jarang yang memiliki sumber nafkah sampingan, umumnya mengandalkan pada hasil pertanian sawah atau menjadi buruh tani bagi yang tidak memiliki lahan
Kepemilikan aset produksi pertanian
Banyak yang tidak memiliki lahan pertanian. Kalaupun ada, biasanya hanya berupa lahan sawah yang umumnya memiliki luasan sempit, jarang yang sampai mencapai luasan 1 hektar
Kondisi Pendidikan Anak
Hanya mampu menyekolahkan anak hingga tingkat SD
Setelah menjadi TKLN Berlantai keramik dengan dinding sempurna yang sudah diplester dan menggunakan cat menjadi ciri paling utama, selain itu biasanya juga sudah dilengkapi dengan pagar dari besi atau alumunium. Membuat dan memakai sumur sebagai sumber air. Sarana MCK permanen berupa kamar mandi, WC dan septic tank juga biasanya dapat ditemukan. Tempatnya beragam, ada yang di dalam rumah namun ada juga yang memisah dari rumah utama. Selokan yang mengalirkan limbah rumahtangga, tempat pembuangan dan pembakaran sampah juga sudah dibangun. Mampu membuat warung kelontong yang letaknya menyatu dengan rumah utama, atau membeli mesin penggilingan dan membuka jasa penggilingan padi. Namun kebanyakan setelah menjadi TKI mampu memiliki sepeda motor sehingga mendapat penghasilan tambahan dari pekerjaan menjadi ojek Memiliki lahan sawah yang cukup luas, biasanya setelah dua kali berangkat bekerja (masing-masing periode selama dua tahun) maka luas sawahnya mencapai diatas satu hektar. Untuk hasil pemberangkatan setelah itu, biasanya dipergunakan untuk membeli lahan yang dijadikan kebun kelapa atau tanaman kayu keras (sengon, albasia dan jati) Mampu menyekolahkan anak hingga ke tingkat sekolah kejuruan yang ada di kota kecamatan atau bahkan ke kota kabupaten
Membawa Gagasan Baru Yang Dipamerkan. Selain remitan yang diterangkan di atas, para TKLN juga mendapatkan remitan lain, yaitu remitan
109
sosial. Remitan sosial yang mereka dapatkan kebanyakan adalah kemampuan mereka dalam berbahasa. Setelah mereka kembali ke kampung halaman kemampuan bahasa di tempat kerja, umumnya berbahasa Arab ini kurang mereka rasakan manfaatnya, padahal seperti Ibu MK dan Ibu DH yang bercerita bahwa dengan
keterampilannya
tersebut
mereka
telah
membantu
warga-warga
kampungnya untuk menceritakan pengalaman mereka, serta mereka mengajarkan bahasa Arab sehari-hari. Orang-orang seperti Ibu MK dan Ibu DH sebenarnya dapat diberdayakan sebagai tenaga memberikan nasihat kepada para calon TKLN, karena dari pengalam beberapa responden yang lain, pelatihan yang diajarkan di PT kurang sesuai dengan apa yang dibutuhkan di luar negeri, seperti contohnya pendidikan bahasa yang diajarkan di PPTKIS kurang sesuai dengan apa yang dibutuhan. Untuk itu selain pendidikan di PPTKIS, dibutuhkan juga tenaga yang berpengalaman soal kehidupan sebenarnya di luar negeri tersebut. Tenaga Kerja Luar Negeri yang pulang ke daerah asal, banyak juga yang mengalami perubahan dari segi perilaku, cara berpakaian, cara bergaul, dan sebagainya. Contoh yang dikemukakan oleh seorang tokoh desa, antara lain: •
TKW yang pulang berani untuk memeluk atau cium pipi ketika bertemu kembali dengan sponsor, “Waktu saya ketemu TKW yang “umroh”, mereka yang ketika di sana memakai baju gamis hitam dan penutup muka, langsung menegur saya, membuka penutup mukanya dan langsung memeluk saya. Terus pas di bandara Indonesia, mereka langsung memeluk, cium pipi kiri dan kanan, bahkan sama supir juga kaya’ gitu.”
•
Dari segi pakaian, TKLN menggunakan pakaian ala Arab Saudi hanya jika berada di Saudi saja. Tetapi ketika kembali ke daerah asal, mereka malah menggunakan pakaian yang disebutkan sebagai pakaian yang mengumbar aurat.
•
Ada TKW yang menjadi terampil bercakap dengan berbagai bahasa. Hal tersebut karena ketika bekerja para TKLN tersebut sering diajak oleh majikan dalam perjalanan ke berbagai negara. Umumnya TKLN tersebut bekerja di Abu Dhabi, Qatar dan Jordania, sedangkan TKLN yang bekerja di Arab Saudi kurang menguasai bahasa selain bahasa Arab, karena di sana
110
mereka sama sekali tidak boleh keluar rumah untuk bersosialisasi dengan tetangga, bahkan berbelanja harus dengan majikan atau diantar sopir.
Gaya hidup baru dari TKLN pulang lebih digambarkan dengan berpakaian yang kebarat-baratan, pemilikan barang-barang yang mahal seperti kamera dan telepon genggam, kemampuan membangun rumah permanen. Meskipun demikian, ada juga tersirat dari simbol-simbol itu, para TKLN membawa pulang sejumlah gagasan baru. Namun, hal tersebut tidak terus berkembang karena sebagian mereka yang pulang cenderung berupaya untuk kembali bekerja ke luar negari, atau malahan memotivasi maraknya warga lain untuk menjadi TKLN. Selain
kemampuan
berbahasa
dan
cara
berpakaian,
ternyata
pemberangkatan bekerja ke luar negeri juga mengajarkan pada Tenaga Kerja Luar Negeri hal-hal lain. Dari berbagai wawancara yang dilakukan, didapat bahwa TKLN umumnya belajar mengenai sistem sanitasi rumahtangga yang baik, cara mengoperasikan berbagai alat elektronik rumahtangga (khususnya bagi TKLN yang menjadi pembantu rumahtangga), cara mengasuh dan membesarkan anak yang benar (khususnya TKLN yang menjadi baby sitter), juga cara memasak berbagai jenis masakan manca negara (khususnya TKLN yang menjadi juru masak). Indikasi Pemeliharaan dan Perbaikan Mutu SDA. Temuan yang menarik adalah aliran TKI ke luar negeri yang membawa peningkatan pada aliran uang di daerah asal, diketahui juga berdampak pada pemeliharaan dan perbaikan mutu SDA. Hal yang bermula dari seorang sponsor TKLN yang selalu berhasil memberangkatkan dan memulangkan TKLN berhasil ke rumah di Desa Kertajaya. Sponsor ini lalu selalu “menghadiahkan” kepada TKLN yang pulang satu set perabot rumahtangga. Oleh karena begitu banyak yang ia berangkatkan, maka penyediaan perabot rumahtangga menjadi kegiatan usaha sendiri. Timbul permasalahan kemudian bahwa ternyata sumberdaya kayu sulit didapat di sekitar Kecamatan Tanggeung, bahkan secara umum di seluruh kawasan Cianjur Selatan. Menurut informasi yang didapat di lapangan, konon penjarahan kayu besarbesaran terjadi pada tahun-tahun 1997-2000. Ketika itu, sejumlah besar lahan hutan milik sebuah perusahaan swasta yang berafiliasi pada nama seorang putra
111
penguasa orde baru yang kala itu berkuasa ramai dijarah oleh warga masyarakat. Penebangan liar ini kemudian juga terjadi pada lahan milik Perum Perhutani dan juga hutan rakyat. Hingga akhirnya, saat ini sulit sekali mendapatkan bahan baku kayu dalam jumlah besar dan berkala di Cianjur Selatan. Dari kebutuhan menyediakan bahan baku (kayu) untuk perabotan tersebut timbul gagasan untuk membeli dan menanami lahan-lahan tidak produktif untuk dijadikan “hutan” penyedia bahan pembuatan perabot rumahtangga. Saat ini, sponsor tersebut telah berhasil menanam ribuan pohon jati di sepanjang kecamatan (Kawasan Pagelaran sampai Sindang Barang). Menurut informasi yang didapat dari pemerintah Kecamatan Tanggeung, sponsor ini telah menanami lebih dari 120 hektar lahan kosong bekas penebangan hutan liar yang kemudian ditanaminya dengan kayu sengon dan albasia. Dari 120 hektar lahan tersebut, 52 hektar diantaranya terdapat di Desa Kertajaya. Kemampuannya menanam begitu banyak lahan ini dimungkinkan karena adanya akumulasi dana remitan di tangan sponsor, berupa uang gaji sebesar tiga bulan gaji awal. Sedangkan untuk para TKLN, mereka tidak dapat berkontribusi secara berarti, karena prioritas penggunaan uang mereka adalah untuk memperbaiki rumah, sedangkan untuk usaha yang dapat berkontribusi dalam pengelolaan lingkungan tidak terlalu mereka prioritaskan, atau meskipun ada namun jumlahnya tidaklah signifikan. Usaha penanaman ini pada akhirnya telah menjaga kualitas lingkungan ketersediaan cadangan air bagi keperluan warga. Desa Kertajaya memiliki cadangan air, berupa Situ Cibadak dengan luas 13 hektar. Dengan pola penanaman yang menghitung keperluan ekonomi dan ekologis maka keberadaan Situ tetap terjaga. Situ ini selain digunakan sebagai sumber air bersih bagi warga, juga digunakan untuk mengairi sawah, baik yang terdapat di Desa Kertajaya maupun juga di desa sekitar mengikuti aliran saluran irigasi yang ada. Selain dirawat oleh warga sekitar, situ ini juga telah mendapat perhatian dari pemerintah dengan dilakukannya pemasangan fasilitas pintu air untuk mengatur irigasi.
112
Gambar 4.21. Situ Cibadak Berkat penanaman di sekitar lingkungan situ, maka kondisi jumlah air dan tinggi permukaan Situ Cibadak hingga kini dapat terus dipertahankan dalam taraf yang mampu mengaliri saluran irigasi yang mengairi persawahan yang ada di Desa Kertajaya dan desa sebelahnya yaitu Desa Cimanggu. Tercatat ada 202 hektar luas lahan sawah irigasi yang terdapat di Desa Kertajaya dan 46 hektar luas sawah irigasi yang terdapat di Desa Cimanggu serta 48 hektar luas lahan sawah yang baru dicetak sejak tahun 2000. Lahan sawah seluas tersebut di atas hingga saat ini masih dapat dialiri dengan cukup oleh air yang berasal dari Situ Cibadak ini. Satu bukti bahwa penanaman lahan di sekitar Situ berdampak signifikan menjaga jumlah air di Situ Cibadak. Berdasarkan temuan kajian di lapangan, secara umum terdapat beberapa perbedaan kondisi baik pada danau maupun hutan di sekitarnya. Perbedaan ini terlihat nyata apabila dibandingkan antara kondisi saat ini dengan kondisi pada periode sebelum tahun 1995. Dari hasil wawancara dengan masyarakat Desa Kertajaya dan aparat pemerintahan setempat, maka perbedaan tersebut meliputi: (1) luasan lahan hutan yang ada di kawasan kecamatan, (2) jenis dan jumlah tanaman yang ditanam, (3) proses erosi tepian danau, (4) luasan lahan sawah yang
113
dialiri oleh irigasi, dan (5) variasi tinggi air danau. Secara jelas, aspek-aspek tersebut dijelaskan pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10. Perbedaan Kondisi Hutan dan Danau antara Tahun 1995 dan Tahun 2008 Aspek Luasan lahan hutan
Jenis dan jumlah tanaman
Proses erosi tepian danau
Luasan lahan sawah yang dialiri
Variasi tinggi air danau
Tahun 1995 40 hektar di seluruh Desa Kertajaya (data Desa Kertajaya) Umumnya didominasi kayu albasia, jumlahnya tidak terlalu banyak dan biasanya hanya dibiarkan tumbuh dengan sendirinya Sering terjadi longsor di bibir danau. Pada musim hujan, permukaan air danau cenderung berwarna cokelat karena lumpur. Berdasar data Potensi Desa, diketahui bahwa pada tahun 1995 terdapat 202 hektar luas lahan sawah irigasi di Desa Kertajaya dan 46 hektar di Desa Cimanggu Perbedaan tinggi permukaan air danau antara musim kemarau dengan musim penghujan dapat mencapai lebih dari tinggi orang dewasa atau sekitar dua meter
Tahun 2008 92 hektar di seluruh Desa Kertajaya (data Desa Kertajaya) Semenjak banyak dilakukan proses pembibitan, mulai ditanami kayu kamper dan jati. Selain itu masyarakat juga banyak yang menanam kelapa. Longsor sudah tidak pernah lagi terjadi. Begitupun pada musim hujan, permukaan air danau tetap berwarna hijau. Berdasar data Potensi Desa, diketahui bahwa pada sepanjang tahun 1995 - 2008 terdapat pertambahan 48 hektar luas lahan sawah irigasi baru Perbedaan tinggi permukaan air danau antara musim kemarau dengan musim penghujan hanya mencapai setengah meter
Di lokasi sekitar Situ Cibadak, lahan-lahan yang tadinya terbiarkan kosong kemudian banyak ditanami, sehingga warga juga menjaga ketersediaan air tanah dan mencegah erosi. Beberapa warga menanam pohon jati dan albasia. Sponsor ini kemudian tidak hanya mengembangkan penanaman, tetapi mulai melakukan pembibitan yang bersambungan dengan pengolahan kayu menjadi perabot dan memasarkannya ke TKLN. Pembibitan ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dinas pertanian setempat. Kegiatan ini cukup berkembang dan mulai mendorong juga para pemilik lahan dengan luas diatas satu hektar pada umumnya selain mengembangkan pertanian padi sawah juga menanam berbagai jenis kayu keras. Melalui pengamatan, ditemukan bahwa cukup banyak ditemui usaha pembibitan dan pembudidayaan tanaman albasia dan jati yang umumnya dimanfaatkan untuk industri meubel yang terdapat di kota kecamatan. Pola pembibitan bersama
114
anggota masyarakat lain ini kemudian berkembang menjadi kelembagaan kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak, baik sang sponsor pemilik lahan yang membutuhkan bibit kayu maupun masyarakat yang bermitra dengannya dalam menyediakan bibit. Sang sponsor tidak perlu lagi bersusahsusah mendatangkan bibit kayu yang sebelumnya harus didatangkan dari Jawa Tengah dan Lampung. Sponsor tersebut cukup membeli pada masyarakat di sekitarnya. Masyarakat pun mendapatkan untung karena selain memiliki kegiatan yang produktif secara ekonomis juga karena permodalannya pun mendapat bantuan dari sang sponsor dalam bentuk pinjaman. Pelaksanaan pembibitan ini dilakukan memanfaatkan pekarangan rumah-rumah masyarakat. Baru setelah bibit berusia dua tahun kemudian dipindahkan ke lahan yang siap ditanami.
Gambar 4.22. Pohon Jati dan Albasia yang Ditanam
115
Gambar 4.23. Kegiatan Pembibitan dan Budidaya Tanaman Kayu Keras di Desa Kertajaya
4.5.2. Perbaikan Prasarana Desa Pada tahun 1988 mobil angkutan tidak mengantarkan TKLN sampai ke rumah. Namun setelah tahun 1988, mobil angkutan harus mengantarkan TKLN sampai ke rumah dan membawa rekening listrik bulan terakhir dari rumah tersebut sebagai bukti bahwa TKLN telah selamat tiba di rumah. Menurut penuturan SJ, dia tidak pernah mengalami pungutan liar ketika menyewa jasa angkutan. SJ hanya membayar tarif yang memang sudah umum berlaku, yakni 300.000 rupiah. Remiten dari enam kali keberangkatannya selalu dibawa sendiri ketika pulang ke Kertajaya. SJ tidak pernah memanfaatkan jasa pos, bank atau menukar remiten di bandara. Hal ini agar remiten tidak mengalami kebocoran. “Saya pernah bawa uang enam belas juta di tas. Ngga ada yang tau, soalnya saya bilang kalo saya baru enam bulan di sana, jadi gajinya nanti dikirim. Saya ngga pernah dijahatin, karena baju saya sederhana”.
Gambar 4.24. Fasilitas Umum di Desa Kertajaya: Balai Desa dan Sekolah Dasar
116
4.6. Ikhtisar Pemberangkatan kerja ke luar negeri sebagai alternatif mata pencaharian bagi masyarakat Kabupaten Cianjur telah berlangsung sejak lama, dalam kajian dicatat bahwa dari eks TKLN yang berhasil diwawancarai, ada yang telah berangkat bekerja sejak tahun 1983. Daerah tujuan bekerja yang dikenal baik oleh masyarakat selama bertahun-tahun adalah negara-negara Timur Tengah, dengan Arab Saudi sebagai negara tujuan utama. Namun pada tahun-tahun belakangan, mulai dikenal pemberangkatan TKLN dari Kabupaten Cianjur ke negara-negara Asia Timur termasuk Hongkong dan Taiwan. Pemberangkatan TKLN ini diakui oleh semua pihak berdampak positif pada perekonomian masyarakat serta mengurangi pengangguran di Kabupaten Cianjur, khususnya daerah-daerah yang menjadi kantong asal pemberangkatan TKLN yaitu Kecamatan-kecamatan Ciranjang, Bojong Picung, Cibeber, Tanggeung, Warungkondang, Pagelaran, Sukanagara, Campaka dan Cibinong. Adanya daerah-daerah yang menjadi kantong konsentrasi pemberangkatan TKLN ini juga membawa pengaruh pada perbedaan pengembangan kawasan antar berbagai wilayah di Kabupaten Cianjur. Kajian melihat bahwa secara umum kawasan Cianjur Utara relatif lebih maju dibanding dengan Cianjur bagian Selatan. Kawasan Cianjur Utara memang memiliki lebih banyak kantong-kantong asal pemberangkatan TKLN. Seiring waktu, kelembagaan pengelolaan pemberangkatan TKLN di Kabupaten Cianjur menjadi semakin terkelola dengan baik. Pada awalnya, ketika calon TKLN yang hendak berangkat bekerja jumlahnya masih jarang, pengelolaan pemberangkatan kerja TKLN masih terkesan seadanya dan tidak profesional. Pemalsuan identitas calon TKLN serta ketidakjelasan biaya pemberangkatan merupakan hal yang lazim. Di satu sisi hal ini berdampak pada mudahnya pengurusan izin pemberangkatan kerja, namun di sisi lain keamanan dan perlindungan TKLN menjadi taruhannya. Sekarang, pengelolaan pemberangkatan TKLN sudah tertata lebih baik, mulai dari tahap perizinan bekerja, pemberangkatan dan biayanya, pengiriman uang remitan kerja, penyelesaian kontrak kerja hingga pemulangan TKLN kembali ke daerah asal. Dalam pelaksanaan semua tahapan pemberangkatan hingga perpulangan TKLN tersebut, banyak pihak yang turut terlibat di dalamnya. Beberapa yang
117
ditemukan dalam kajian adalah pihak pemerintah, swasta dan perkumpulan buruh migran. Komunitas eks-TKLN yang dijumpai dalam kajian menilai bahwa peran utama pemerintah terletak pada pendampingan terhadap TKLN selama bekerja di negara tujuan, khususnya ketika TKLN mendapat masalah atau musibah yang tidak dapat mereka hadapi sendiri, seperti misalnya pengurusan perizinan, perselisihan kontrak kerja, underpayment (pembayaran gaji di bawah nilai kontrak), persengketaan buruh dengan majikan, pemerasan buruh oleh oknum calo dan PPTKIS yang tidak bertanggungjawab serta banyak kasus lainnya. Peran pihak swasta dalam hal ini diwakili oleh PPTKIS sebagai perusahaan pengelola aktivitas pemberangkatan kerja TKLN. Bagi masyarakat Cianjur, khususnya komunitas TKLN, peran utama PPTKIS sangat dirasakan pada saat pemberangkatan kerja, dimana pihak PPTKIS (lebih dikenal di Cianjur dengan sebutan PT) menguruskan masalah bagi calon TKLN yang tidak memiliki kelengkapan surat-surat seperti KTP dan KK yang mana hal ini masih banyak terdapat di Kabupaten Cianjur. Jasa PPTKIS dalam menguruskan surat-surat persyaratan
pemberangkatan
TKLN
tersebut,
meskipun
nantinya
akan
dipotongkan biayanya dari upah bekerja TKLN di luar negeri dengan pemotongan yang umumnya lebih mahal, namun tetap dirasa menolong bagi masyarakat yang menginginkan untuk berangkat bekerja ke luar negeri namun tidak memiliki kelengkapan surat-surat. Mereka menganggap bahwa pemotongan upah untuk pengganti biaya pengurusan surat tersebut masih berada dalam taraf kewajaran dan bisa dimaklumi asalkan mereka dapat berangkat bekerja ke luar negeri. Selain membiayai pengurusan surat perijinan berangkat kerja, PPTKIS di Kabupaten Cianjur juga membantu uang saku calon TKLN selama mereka belum mendapatkan majikan. Perkumpulan buruh migran, dalam konteks lokasi kajian dikenal dengan nama Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC), berperan khususnya dalam advokasi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh TKLN, baik sebelum, selama dan setelah mereka menyelesaikan masa kontrak kerja mereka. Kegiatan yang dilakukan oleh SBMC beragam, mulai dari pendampingan diskusi seputar permasalahan TKI yang dilaksanakan secara berkala hingga pendampingan TKLN yang terkena musibah dalam berurusan dengan PPTKIS, Depnakertrans maupun
118
Perwakilan Pemerintah RI di luar negeri. Permasalahan TKLN yang pernah didampingi penyelesaiannya oleh SBMC pun beragam, mulai dari kasus pembayaran gaji yang tertunda, penyelewengan gaji yang dikirim ke daerah asal hingga masalah-masalah serius seperti pemukulan TKLN oleh majikan dan bahkan kematian TKLN di luar negeri ketika melaksanakan kontrak kerjanya. Diantara
berbagai
pihak
yang
berkontribusi
dalam
pengelolaan
permasalahan TKLN, kajian mendapatkan bahwa masyarakat menganggap semua pihak yang terlibat tersebut sama berjasanya bagi pemberangkatan, penempatan dan perpulangan TKLN. Hanya saja, belum ada pihak yang secara khusus memberikan perhatian bagi pemberdayaan TKLN yang telah menyelesaikan kontrak kerjanya dan kembali ke daerah asal mereka. Namun kajian melihat bahwa pihak yang paling mungkin untuk memainkan peran ini adalah pihak pemerintah dengan pembantuan dari SBMC. Dari berbagai temuan kasus eks-TKLN yang telah menyelesaikan kontrak kerjanya, kajian melihat bahwa dalam konteks daerah kajian, eks-TKLN yang pulang membawa remitan hasil kerjanya umumnya memanfaatkan remitan tersebut untuk perbaikan taraf hidup mereka melalui penciptaan aktivitas ekonomi baru (mendirikan warung, membeli sawah, membeli motor untuk dijadikan ojek) dan perbaikan kualitas lingkungan tinggal mereka (pembangunan rumah menjadi lebih permanen, pembangunan sarana MCK). Kondisi ini pada gilirannya menjadi pembeda antara anggota masyarakat eks-TKLN dengan masyarakat non TKLN dimana kehidupan masyarakat eks-TKLN umumnya lebih baik dibanding saudaranya yang non-TKLN. Meski demikian, dalam tataran yang lebih luas, belum ditemukan adanya upaya perbaikan lingkungan tinggal dan terutama sumberdaya alam yang secara luas dilaksanakan oleh eks-TKLN. Hal ini diduga terkait dengan jumlah remitan yang dibawa hanya cukup untuk perbaikan lingkungan tinggal dan ekonomi di lingkungan sekitar eks-TKLN tersebut. Sedangkan untuk kawasan yang lebih luas, nilai remitan yang mereka bawa tersebut tidak mencukupi. Hal yang menarik kemudian adalah bahwa upaya pengelolaan dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan dalam tataran yang lebih luas justru dilakukan oleh seorang sponsor. Sponsor ini terbiasa memberikan hadiah kepada TKLN
119
asuhannya yang telah menyelesaikan masa kontrak kerja mereka. Hadiah yang diberikan sepulang TKLN bekerja dari luar negeri tersebut biasanya berupa perabot rumah tangga, baik itu tempat tidur, lemari ataupun meja kursi. Kebutuhan yang tinggi akan kayu sebagai bahan dasar pembuatan perabot rumahtangga tersebut kemudian mendorong sponsor tersebut untuk membuat sendiri hutan kayu sebagai penunjang kebutuhan perusahaan perabot rumahtangga miliknya, modal yang digunakan adalah pendapatan yang didapatnya dari pemberangkatan TKLN-TKLN yang disponsorinya. Pada akhirnya, usaha ini kemudian berkembang dan melibatkan banyak anggota masyarakat karena permintaan kayu pun semakin hari semakin banyak. Masyarakat kemudian terlibat mulai dari tahap pembenihan, pembibitan, penanaman dan perawatan tanaman kayu tersebut. Kondisi ini pada gilirannya menjadi sebuah upaya pengelolaan dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan yang berbasiskan remitan eks-TKLN ke luar negeri.
120
BAB 5 PILIHAN STRATEGI PEMBERDAYAAN TENAGA KERJA LUAR NEGERI 5.1. Penelaahan Kebijakan Penempatan TKLN Analisis kebijakan terhadap berbagai peraturan yang mengatur penempatan TKLN menemukan bahwa peraturan-peraturan yang ada cenderung mengatur prosedur mekanisme penempatan TKLN. Sangat sedikit, bahkan belum ada yang secara tegas mengatur kepulangan TKLN. Selain itu mekanisme penempatan lebih memperhatikan pengaturan penempatan di dalam negeri. Pengaturan lain yang secara jelas mulai diperhatikan adalah prosedur perlindungan TKLN, baik ketika mereka akan ditempatkan maupun selama bekerja di luar negeri (Tabel 5.1.). Analisis yang dilakukan pun menunjukkan bahwa belum banyak peraturan yang membahas upaya-upaya pemberdayaan TKLN baik di dalam maupun di luar negeri. Dari 17 peraturan yang ditelaah selama Tahun 2004 hingga 2008, hanya satu peraturan yang dapat menjadi landasan bagi upaya pemberdayaan TKLN, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER-19/MEN/V/2006. Kondisi kebijakan sebagaimana ditemukan dari hasil analisis memperkuat kajian teori di dalam Bab 2 bahwa penempatan TKLN masih berorientasi pada pemberangkatan dibanding dengan mengoptimalkan proses perpulangan mereka dan pengaruhnya terhadap daerah asal. Temuan ini memperkuat juga bahwa mereka yang menjadi TKLN merupakan golongan masyarakat yang berusaha keluar tanpa penyiapan diri untuk kembali ke daerah asal. Padahal pada kenyataanya, mereka yang menjadi TKLN adalah individu yang keluar dari daerah asal dan dipastikan pulang karena kepergian bekerja dengan kontrak waktu yang sudah jelas, paling lama dua tahun. Berdasarkan hal ini, temuan yang ada memperkuat teori migrasi tenaga kerja yang baru, yang mengatakan bahwa kepulangan TKLN menjadi proses yang perlu diperhatikan dan dimanfaatkan dalam konteks pengembangan diri dan pengembangan daerah asal. Pemberdayaan TKLN dalam konteks kepulangan mereka dari bekerja di luar negeri menjadi proses yang penting. Oleh karena, hakekatnya proses tersebut berkaitan sebagai proses perlindungan TKLN berdasarkan kapasitas dari TKLN itu
sendiri. Kemampuan TKLN tersebut diharapkan dimulai dari peningkatan kapasitas pribadi masing-masing TKLN sampai kepada kemampuan para TKLN menghimpun diri atau bersyarikat untuk melindungi mereka masuk dalam proses penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Tabel 5.1. Hasil Analisis Kebijakan Penempatan TKLN, Tahun 2004-2008
1
V
V
1
V
V
1
V
1
V
9
V
V
V
V
V
V
V
V
1
3
2
3
V
V
V
1 17
V
V
V
1
1
V
Pemberdayaan
V
Perlindungan
V
Pembiayaan
V
Mekanisme Penempatan
Perlindungan
1
Pemberdayaan
Pembiayaan
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2006 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 MoU antara Korea dan Indonesia Kesepakatan Bersama Pejabat Setingkat Menteri Peraturan Menteri Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 837/MENKES/SK/ VIII/2004 Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: F-960.IZ.03.02 Tahun 2006 Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Nomor KEP-05/D.PPTKLN /VII /PP/2004 Jumlah Sumber: Lampiran 1
Mekanisme Penempatan
Jenis Kebijakan
Jumlah
Aras Pengaturan Dalam Negeri Luar Negeri
V 7
3
8
Hal yang kemudian penting dicatat, peraturan yang dianalisis tersebut dapat dijadikan bukti bahwa proses penempatan TKLN masih memerlukan berbagai penyempurnaan. Dalam perkembangan terakhir, perbaikan terhadap berbagai prosedur penempatan TKLN terus terjadi. Salah satunya adalah proses penetapan penyederhanaan penempatan dan perlindungan. Kebijakan ini adalah kebijakan strategis yang penting menjadi acuan dalam kerangka memberi pelayanan yang melindungi dan memberdayakan TKLN. Prinsip dari penyederhanaan penempatan dan perlindungan tersebut adalah kebijakan yang memperbaiki dan mengurangi rantai prosedur penempatan dan
122
perlindungan sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 5.1. Berdasarkan gambar itu ditunjukkan langkah-langkah penempatan TKLN yang diupayakan agar berpihak
kepada
kepentingan
TKLN.
Meskipun
demikian,
berbagai
penyempurnaan kebijakan tersebut masih lebih banyak memberi perhatian pada dampak sosial dan ekonomi. Merujuk hasil kegiatan lapangan yang telah diurai pada Bab 4, bahwa perubahan yang disebabkan oleh pengaliran TKLN dari daerah asal ke luar negeri tidak hanya terjadi dalam bidang sosial ekonomi. Berbagai perubahan di dalam perbaikan kualitas lingkungan permukiman terjadi sangat signifikan. Bahkan proses itu selanjutnya berdampak kepada adanya upaya perbaikan sumberdaya alam melalui penanaman lahan-lahan tidak produktif dengan tanaman kayu. Berdasar perkembangan tersebut, mengkaitkan pemberdayaan TKLN dengan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal menjadi penting. Untuk itu, analisis selanjutnya mencoba untuk menelaah strategi dalam kaitan menemukan strategi penempatan TKLN yang memberdayakan dan memperbaiki kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal mereka. Dalam pelaksanaannya, upaya perancangan strategi ini dilaksanakan dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: 1.
Melakukan identifikasi sistem, yaitu melalui penggambaran komponen internal dan eksternal, serta penjabaran stakeholder yang terlibat beserta peta kepentingan antar setiap stakeholder terkait penempatan dan perpulangan TKLN serta kondisi sumberdaya alam dan lingkungan di daerah asal mereka.
2.
Melalui FGD mendefinisikan dan menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh.
3.
Menggunakan analisis AHP untuk merumuskan strategi.
123
Recruitment Agreement Job Order/Visa Wakalah/ Demand Letter Draft Perjanjian Kerja
2
1 DISETUJUI OLEH KBRI/KJRI
DEPNAKERTRANS/BNP2TKI
Dana Pembinaan, Penempatan & Perlindungan TKI (PP 92/2000) : USD 15 (PNBP)
Penerbitan Paspor
7
DEPHUKUM & HAM
8
DEPKEU - PPTKIS
KEBERANGKATAN TKLN
Pembekalan Akhir Pemberangkatan Perjanjian Kerja Kartu TKI
DEPNAKERTRANS/ BNP2TKI
3
Sosialisasi/penyuluhan Pendaftaran CTKLN di Dinas TK Pemda Prov/Kab/Kota Seleksi CTKLN Perjanjian Penempatan
4
PEMDA/DISNAKER - PPTKIS
VISA KERJA Dari Perwakilan Negara Penempatan
PPTKIS
Surat Ijin Pengerahan (SIP) Informasi/pengantar rekrut ke Prov/Kab/Kota
9
PPTKIS-DEPNAKERTRANS-DEPHUBDEPHUKUM&HAM-DEPKEU-POLRI (ONE ROOF SERVICES)
PEMBINAAN PEMBERDAYAAN TKI PURNA Pendataan TKI Purna di masingmasing daerah Pembinaan wirausaha Bantuan modal usaha kecil dan menengah Bantuan manajemen usaha termasuk pemasaran Menfasilitasi asosiasi TKI Purna
14
DEPNAKERTRANS/BNP2TKI
13
6
Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi
PPTKIS - DEPKES
Pelatihan Uji Kompetensi Asuransi Penampungan
5
DEPNAKERTRANS/BNP2TKI PPTKIS
10
TKLN TIBA DI NEGARA PENEMPATAN
PPTKIS/AGENCY – KBRI/KJRI – PENGGUNA
PELAYANAN KEPULANGAN TKI DARI DEBARKASI KE DAERAH ASAL Pendataan TKLN Penanganan TKLN bermasalah /sakit/punya anak di luar nikah Pengaturan transportasi kepulangan Pemerintah menyediakan pos kepulangan dan mengatur kepulangan TKLN PPTKIS bertanggung jawab atas kepulangan TKLN sampai daerah asal Pengamanan dalam perjalanan ke daerah asal
11 12
MASA PENEMPATAN TKLN DI LUAR NEGERI Kunjungan/pemantauan di tempat kerja TKLN/majikan 3 bulan sekali Laporan poin (1) kepada KBRI/KJRI dan Depnakertrans/Disnaker Pemda Penanganan, penyelesaian dan penampungan TKLN yang bermasalah Pengurusan kepulangan TKLN dari Negara penempatan ke Indonesia
PPTKIS – DEPNAKERTRANS/BNP2TKI – DEPHUB – POLRI – BIN – DEPKES - DEPDAGRI
PPTKIS/AGENCY - KBRI/KJRI PENGGUNA
Gambar 5.1. Penyederhanaan Birokrasi Pelayanan Penempatan TKLN 1
5.2. Analisis Aktor dan Faktor Pemberdayaan TKLN/TKLN Purna Pada Bab 4 telah diuraikan tentang bagaimana pemberangkatan bekerja TKLN dan aliran remitan yang dihasilkan dapat bermanfaat terhadap perbaikan kondisi sumberdaya alam di daerah asal. Dalam mekanisme tersebut, banyak stakeholder yang terlibat sehingga dimungkinkannya perbaikan sumberdaya alam tidaklah hanya tergantung pada TKLN/TKLN purna saja.
Internasional
Nasional
Provinsi
KBRI-KJRI
Pengguna Jasa TKLN di Luar Negeri dan Agency
DepnakertransBNP2TKI Dinas Ketenagakerjaan dan BP3TKI Dinas Ketenagakerjaan
Kabupaten
PPTKIS SBMC Calo SDA
Desa
Komunitas Individu TKLN Keluarga
Gambar 5.2. Peta Stakeholder sebagai Unit Analisis Kajian Berbagai pihak turut dan berpotensi terlibat dalam hal ini, mulai dari calon TKLN/TKLN purna itu sendiri, Dinas Ketenagakerjaan, Depnakertrans melalui BP3TKI, pihak KBRI dan KJRI, berbagai calo yang terlibat dalam pemberangkatan TKLN di daerah asal, lembaga PPTKIS resmi yang memberangkatkan TKLN ke luar negeri hingga calon majikan yang berada di luar negeri. Beragam stakeholder tersebut tersebar dalam berbagai aras, mulai dari rumahtangga TKLN hingga aras internasional. Dalam berbagai dimensi, beragam
125
stakeholder ini memiliki keterkaitan dan kepentingan dengan pemberangkatan bekerja TKLN ke luar negeri serta pemberdayaan mereka yang dapat berdampak bagi perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan di daerah asal. Pada Gambar 5.2. digambarkan peta stakeholder yang terlibat yang menjadi unit analisis berdasarkan setiap satuan aras serta posisinya baik sebagai aspek internal maupun eksternal dalam penyusunan strategi pemberdayaan TKLN/TKLN purna bagi perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan di daerah asal. Selanjutnya, dari pemetaan stakeholder yang terlibat, penyusunan strategi pemberdayaan TKLN dirancang dengan terlebih dahulu melakukan FGD bersama berbagai stakeholder tersebut. Dari sini, proses FGD kemudian berhasil memetakan sejumlah faktor yang dinyatakan sebagai kebutuhan dari setiap stakeholder guna tercapainya pemberdayaan TKLN/TKLN purna bagi perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal. Identifikasi kebutuhan ini selanjutnya dikembangkan dengan menggunakan
metode
Interpretative Structural Modelling (ISM) sebagai kerangka pengembangan kebijakan pemberdayaan TKLN dalam rangka perbaikan pualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Penjelasan selengkapnya disajikan pada Bab 6. Selain identifikasi kebutuhan aktor, FGD juga merumuskan sejumlah alternatif strategi yang dipandang perlu untuk ditempuh terkait pencapaian tujuan pemberdayaan TKLN/TKLN purna bagi perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal. Beberapa alternatif strategi yang dihasilkan ini selanjutnya dianalisis dan ditetapkan menjadi strategi kebijakan dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process). Metode AHP ini digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang berkenaan dengan masalah pemberdayaan TKLN/TKLN purna untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan
lingkungan
permukiman
daerah
asal
karena
dapat
membantu
menyederhanakan permasalahan yang kompleks dan tidak terstruktur, serta bersifat strategis dan dinamis. Penyederhanaan dilakukan dengan membuat struktur variabel dalam suatu hirarki tertentu. Pertama, dilakukan penyusunan struktur hirarki strategi pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman
126
daerah asal berdasarkan keterkaitan elemen-elemen yang menjadi bagian dari lingkup permasalahan tersebut. Struktur hirarki disusun dalam 4 (empat) tingkatan, yaitu: sasaran (goal), faktor, pelaku (aktor), dan alternatif strategi kebijakan yang akan dibuat. Struktur hirarki strategi pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman daerah asal ini disajikan pada Gambar 5.3. Aksi Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas SDA dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal
TKLN
PPTKIS
Kemudahan Proses Penempatan di Luar Negeri
Pemerintah Pusat dan Daerah
Kepastian Regulasi
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder
Kebijakan Publik untuk Kepulangan
Lembaga Keuangan
Masyarakat Daerah Asal
Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan
Mutu TKLN
Pemberian Informasi Kerja Yang Benar
Sponsor
Memperkuat Sistem Informasi
Mengembangkan Kelembagaan
LSM
Pendampingan Kelestarian SDA dan Lingkungan
Peningkatan Pendampingan TKLN
Gambar 5.3. Struktur Hirarki Pemberdayaan TKLN Keputusan Strategis untuk Perbaikan Kualitas SDA dan Lingkungan Permukiman Tingkatan pertama merupakan sasaran (goal) dari permasalahan yang akan diselesaikan, yaitu strategi pemberdayaan TKLN untuk perbaikan SDA lingkungan. Tingkatan kedua merupakan aktor yang terkait dan dapat mempengaruhi strategi pemberdayaan TKLN untuk perbaikan SDA lingkungan, yaitu: (1) TKLN; (2) PPTKIS; (3) Pemerintah Pusat dan Daerah; (4) Lembaga Keuangan; (5) Masyarakat Daerah Asal; (6) Sponsor; dan (7) LSM. Tingkatan ketiga merupakan faktor-faktor yang dianggap dapat mendukung tercapainya tujuan strategi pemberdayaan TKLN untuk perbaikan Kualitas SDA
127
dan lingkungan permukiman daerah asal yaitu (1) Kemudahan Proses Penempatan di Luar Negeri; (2) Kepastian regulasi; (3) Kebijakan Publik untuk Kepulangan; (4) Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan; (5) Mutu TKLN; (6) Memperkuat Sistem Informasi; dan (7) Pendampingan Kelestarian SDA dan Lingkungan. Sedangkan tingkat keempat menunjukkan alternatif strategi yang mungkin dipilih dalam mencapai tujuan, yaitu (1) Manajemen Kolaboratif Multistakeholder; (2) Pemberian Informasi Kerja yang Benar; (3) Pengembangan Kelembagaan; dan (4) Peningkatan Pendampingan TKLN.
5.3. Prioritas Elemen Komponen 5.3.1. Elemen Aktor Berdasar struktur hirarki tersebut, selanjutnya dilakukan penentuan tingkat kepentingan antar satu variabel dengan variabel lain berdasarkan prinsip perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Tingkat kepentingan tersebut ditunjukkan dalam bentuk nilai numerik berskala 1-9. Penentuan tingkat kepentingan atau pembobotan tersebut dilakukan oleh pakar secara obyektif dan intuitif. Pakar yang terlibat dalam penentuan tingkat kepentingan tersebut terdiri dari pakar: (1) kelembagaan, (2) ketenagakerjaan, (3) lingkungan, (4) pengembangan kawasan, dan (5) keuangan dan perbankan. Hasil pengolahan dengan metode AHP berdasar nilai kepentingannya secara berurutan aktor yang mempengaruhi strategi pemberdayaan TKLN untuk perbaikan SDA lingkungan dipaparkan pada Gambar 5.4. berikut.
Gambar 5.4. Prioritas Elemen Aktor Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal (Hasil Olahan 2009)
128
Pada Gambar 5.4. ditunjukkan bahwa aktor yang memiliki bobot relatif atau memiliki faktor paling dominan adalah Pemerintah (0.253) kemudian diikuti oleh Sponsor (0.251), PPTKIS (0.179), Lembaga Keuangan (0.108), TKLN (0.092), LSM (0.066), dan terakhir yaitu Masyarakat Daerah Asal (0.49). Hal ini menunjukkan bahwa ke depan, pihak yang paling dapat berbuat banyak dalam pemberdayaan TKLN untuk perbaikan sumberdaya alam daerah asal adalah pemerintah, mulai tingkat pusat hingga ke daerah kantong-kantong TKLN. Hal ini dikarenakan kapasitas pemerintah yang mampu memberikan pengaturan-pengaturan terkait pemberdayaan TKLN. Yang tidak dapat dilupakan adalah juga pendapat tentang besarnya peran sponsor (prioritas kedua) yang diikuti PPTKIS pada urutan selanjutnya, hal ini berarti bahwa sebetulnya kelembagaan
ketenagakerjaan
perlu
mengandungi
pengaturan
yang
mempermudah keberangkatan bekerja para calon TKLN, khususnya dari segi pembiayaan dan regulasi, sehingga dapat mengurangi peluang bagi sponsor untuk melakukan kecurangan biaya pemberangkatan terhadap calon TKLN.
5.3.2. Elemen Faktor Pengkajian selanjutnya diarahkan pada elemen faktor yang dianggap dapat berpengaruh terhadap pencapaian strategi pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Telah dijelaskan bahwa elemen faktor yang ada sebelumnya adalah hasil dari proses FGD bersama stakeholder yang telah ditentukan. Faktorfaktor yang berpengaruh ini kemudian selanjutnya diurutkan dengan menggunakan metode perbandingan berpasangan. Hasilnya disajikan pada Gambar 5.5. Pada Gambar 5.5. ditunjukkan bahwa komponen yang memiliki bobot relatif atau memiliki faktor paling dominan adalah Kepastian Regulasi (0.282), kemudian diikuti oleh kebutuhan terhadap Mutu TKLN (0.211), keberadaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan (0.174), Pendampingan Kelestarian SDA dan Lingkungan (0.107), Kemudahan Proses Penempatan
129
di Luar Negeri (0.101), Kebijakan Publik untuk Kepulangan (0.064) dan Memperkuat Sistem Informasi (0.060).
Gambar 5.5. Prioritas Elemen Faktor Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas SDA dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal (Hasil Olahan 2009) Gambaran ini sejalan dengan pembahasan sebelumnya bahwa aktor yang dianggap dapat berperan paling signifikan adalah pemerintah karena perannya yang terkait dengan pijakan regulasi bagi semua pihak. Munculnya kebutuhan terhadap TKLN berkualitas yang mendapatkan prioritas kedua semakin menguatkan bahwa sebetulnya kelembagaan ketenagakerjaan dalam perkembangan dan pengembangannya perlu membaca kebutuhan pasar agar dapat berkembang ke arah positif yakni ketenagakerjaan berbasis kompetensi. Dalam diskusi stakeholder terdahulu memang disebutkan bahwa dengan meningkatkan mutu tenaga kerja yang akan berangkat ke luar negeri, sebetulnya kita dapat mengurangi resiko terjadinya masalah yang menimpa mereka, karena kecenderungan selama ini menunjukkan bahwa tenaga kerja yang kurang terlatih lebih sering terkena masalah di tempat mereka bekerja karena kualitas kerja mereka yang dinilai tidak memuaskan oleh majikan.
5.4. Pemilihan Strategi Kebijakan Selanjutnya adalah penentuan alternatif prioritas strategis melalui Analitical Hierarchi Process (AHP). Strategi adalah pola tindakan utama yang dipilih untuk mewujudkan visi organisasi melalui misi (Mulyadi, 2001). Proses perencanaan
130
strategis dapat dilakukan melalui tiga tahap analisis yaitu : (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap analisis dan (3) tahap pengambilan keputusan (Rangkuti, 2004). Dari empat alternatif strategi yang dikembangkan melalui diskusi pakar sebelumnya, dihasilkan urutan prioritas bagi keempat strategi yang dianggap paling mungkin menjadi mekanisme untuk menemukan upaya pemberdayaan TKLN untuk perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Prioritas keempat strategi tersebut adalah: Pertama, strategi yang berkaitan dengan pengembangan kelembagaan di daerah asal calon TKLN berbasiskan stakeholder yang terkait (mantan TKLN, PPTKIS dan LSM) (skor 0,551). Kedua, strategi yang berkaitan dengan pemberian informasi yang benar untuk meningkatkan motivasi bekerja bagi calon TKLN, menjamin keselamatan kerja, mengatasi masalah pendanaan dan menghindari praktek percaloan (skor 0,237). Ketiga, strategi yang berkaitan dengan peningkatan pendampingan terhadap TKLN dan mantan TKLN yang pulang oleh Pemerintah Daerah untuk bertindak produktif dan mengoptimalkan SDA daerah asal (skor 0,138). Keempat, strategi yang berkaitan dengan manajemen kolaboratif multistakeholder mulai dari aras komunitas di daerah asal calon TKLN hingga Pemerintah Daerah untuk mensinergikan peran dalam membantu TKLN meningkatkan motivasi bekerja, menjamin keselamatan kerja, mengatasi masalah pendanaan, menghindari praktek percaloan serta bertindak produktif dan mengoptimalkan SDA daerah asal (skor 0,074). Berdasarkan hasil analisis dari pendapat responden ahli maka untuk mencapai tujuan pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal maka prioritas alternatif strategi dapat dilihat pada Gambar 5.7.
Gambar 5.6. Prioritas Alternatif Strategi bagi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal (Hasil Olahan 2009)
131
Kesimpulan hasil perhitungan AHP strategi pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal ditunjukkan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Hasil AHP Kebijakan Pemberdayaan TKLN dalam rangka Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal Prioritas 1
2
3
4
3 Strategi Mengembangkan Kelembagaan (0.550)
Pemberian Informasi Kerja yang Benar (0.237) Peningkatan Pendampingan TKLN (0.138) Manajemen Kolaboratif Multistakeholder (0.074)
5
6
7
Level 2 1 Faktor Aktor Kepastian Regulasi Pemerintah (0.282), (0.253)
Mutu TKLN (0.211)
Sponsor (0.251)
Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan (0.174), Pendampingan Kelestarian SDA dan Lingkungan (0.107), Kemudahan Proses Penempatan di Luar Negeri (0.101), Kebijakan Publik untuk Kepulangan (0.064) Memperkuat Sistem Informasi (0.060)
PPTKIS (0.179)
0 Tujuan Aksi Pemberdayaan TKLN Memperbaiki Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal (1.000)
Lembaga Keuangan (0.108) TKLN (0.092)
LSM (0.066) Masyarakat Daerah Asal (0.49)
5.5. Ikhtisar Kebijakan penempatan TKLN yang sebelumnya lebih memberi perhatian pada penempatan atau pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, kini telah memberi perhatian pada pengaturan kepulangan TKLN sampai ke daerah asal. Selain itu, proses itu mengutamakan perlindungan untuk TKLN sejak berangkat dari daerah asal sampai ketika bekerja di luar negeri. Bahkan, proses tersebut sudah memperhatikan mekanisme yang memberi tempat pada pemberdayaan TKLN. Analisis proses penempatan TKLN, khususnya dalam pemberdayaan TKLN
132
yang pulang ke daerah asal ternyata ditemukan peluang proses tersebut menjadi sarana untuk meningkatkan tidak saja kualitas permukiman tetapi juga kualitas sumberdaya alam. Dari analisis ini kemudian diketahui empat strategi yang dinilai tepat untuk dikembangkan didalam membuat pemberdayaan TKLN dan perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal tersebut menjadi landasan kebijakan yang dapat lebih mensistematiskan hal tersebut. Keempat strategi itu menunjukkan, bahwa kegiatan tersebut perlu dibangun mulai di komunitas TKLN yang pulang (TKLN Purna) di daerah asal. Lalu, kegiatan tersebut diikuti oleh pendampingan yang menguatkan kemitraan multi-pihak untuk bekerjasama mulai dari komunitas, ke tingkat lebih tinggi, yaitu kabupaten, bahkan sampai tingkat nasional maupun antar negara. Pentahapan strategi itu mulai dari strategi yang berkaitan dengan pengembangan kelembagaan di daerah asal calon TKLN berbasiskan stakeholder yang terkait (mantan TKLN, PPTKIS dan LSM). Kemudian, strategi kedua yang mengkaitkan dengan pemberian informasi yang benar untuk meningkatkan motivasi bekerja bagi calon TKLN, menjamin keselamatan kerja, mengatasi masalah pendanaan dan menghindari praktek percaloan. Strategi ketiga yang berkaitan dengan peningkatan pendampingan terhadap TKLN dan mantan TKLN yang pulang
oleh
Pemerintah
Daerah
untuk
bertindak
produktif
dan
mengoptimalkan SDA daerah asal. Dan strategi keempat berkenaan dengan pengembangan manajemen kolaboratif multistakeholder mulai dari aras komunitas di daerah asal calon TKLN hingga Pemerintah Daerah untuk mensinergikan peran dalam membantu TKLN meningkatkan motivasi bekerja, menjamin keselamatan kerja, mengatasi masalah pendanaan, menghindari praktek percaloan serta bertindak produktif dan mengoptimalkan SDA daerah asal.
133
BAB 6 DESAIN KEBIJAKAN SISTEM PEMBERDAYAAN TKLN UNTUK PERBAIKAN KUALITAS SDA DAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAERAH ASAL Pemberdayaan Tenaga Kerja Luar Negeri (TKLN) untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal dirancang dalam desain sistem. Berdasarkan analisis desain sistem yang dilakukan, berikut dibahas empat hal pokok yaitu: strukturisasi elemen desain sistem program, prinsip desentralisasi program, pola kemitraan, dan kelembagaan kolaboratif kerjasama pengelolaan program.
6.1. Strukturisasi Elemen Desain Sistem Program Pengembangan Desain implementasi program pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal dirancang melalui pendekatan sistem dilakukan dengan menggunakan metode Interpretative Structural Modelling (ISM). Elemen-elemen sistem desain ini diuraikan dalam bentuk grafik sehingga ditunjukkan hubungan langsung antar sub elemen dan tingkat hierarkinya. Proses strukturisasi elemen sistem didasarkan pada pendapat informan yang dinilai berkait dan berkepentingan dengan pengembangan implementasi kebijakan. Desain sistem dibagi ke dalam tujuh elemen pengembangan, yaitu: 1.
Elemen pengorganisasian pemenuhan kebutuhan program pengembangan,
2.
Elemen pengelolaan kendala pengembangan,
3.
Elemen sistematika sistematisasi pencapaian tujuan pengembangan,
4.
Elemen tolok ukur keberhasilan pencapaian tujuan pengembangan,
5.
Desain pemberdayaan TKLN,
6.
Pengembangan pola kemitraan,
7.
Arahan kelembagaan program pengembangan.
Dari ketujuh elemen pengembangan tersebut, masing-masing elemen yang dikaji dijabarkan lagi menjadi sejumlah sub elemen pengembangan berdasarkan pendapat informan, yang dilanjutkan dengan penilaian hubungan kontekstual antar
sub elemen pada setiap elemen pengembangan. Data struktur pengembangan terdiri dari data elemen pengembangan, data sub elemen pengembangan dan data hubungan kontekstual. Data elemen pengembangan menggambarkan elemenelemen yang terdapat dalam sistem pemberdayaan TKLN sedangkan data sub elemen menggambarkan sub elemen yang terdapat pada masing-masing elemen tersebut. Data penilaian hubungan kontekstual berisi hubungan kontekstual antar sub pada masing-masing elemen pengembangan, yang hasilnya dirangkum dalam bentuk Structural Self-interaction Matrix (SSIM). Kemudian dibuat tabel reachability matrix dengan mengganti V, A, X, O menjadi bilangan 1 dan 0. Langkah selanjutnya dilakukan perhitungan menurut aturan transitivity dimana dilakukan koreksi terhadap SSIM sampai menghasilkan matrik yang tertutup. Hasil yang diperoleh dari analisis ISM ini adalah informasi struktur desain sistem pengembangan yang berupa hierarki sub elemen di antara sub elemen yang lain, klasifikasi sub elemen berdasarkan karakteristik yang dinyatakan dengan tingkat kekuatan pendorong (driver power) dan dipengaruhi (dependence) masing-masing sub elemen dalam satu elemen pengembangan serta identifikasi elemen
kunci
implementasi
dalam
program
pengembangan.
Hubungan
kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal yang akan diuraikan nanti adalah sebagai berikut: 1.
Elemen pengorganisasian pemenuhan kebutuhan pengembangan, hubungan kontekstualnya adalah sub elemen kebutuhan yang satu mendukung terpenuhinya sub elemen kebutuhan yang lain.
2.
Elemen
pengelolaan
kendala
dalam
pengembangan,
hubungan
kontekstualnya adalah sub elemen kendala yang satu menyebabkan sub elemen kendala yang lain. 3.
Elemen
sistematisasi
pencapaian
tujuan
pengembangan,
hubungan
kontekstualnya adalah sub elemen tujuan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub elemen tujuan yang lain. 4.
Elemen tolok ukur keberhasilan pencapaian tujuan pengembangan, hubungan kontekstualnya adalah sub elemen tolok ukur yang satu memberikan kontribusi sub elemen tolok ukur yang lain.
135
5.
Elemen penting lain, khususnya arahan penetapan teknologi partisipatif, pola
kemitraan
dan
kelembagaan
pengembangan,
serta
hubungan
kontekstualnya adalah sub elemen lain dalam keseluruhan desain sistem.
6.1.1. Pengorganisasian Kebutuhan Program Pengembangan Berdasarkan survei lapangan dan diskusi-diskusi yang dilakukan, diidentifikasi 13 sub elemen kebutuhan program pengembangan kebijakan pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman daerah asal sebagai berikut: 1.
Tersedianya lapangan kerja (B1)
2.
Tersedianya kelembagaan TKLN di daerah asal (B2)
3.
Terjamin keamanan dan keselamatan (B3)
4.
Mendapatkan penghasilan yang layak (B4)
5.
Kemudahan dalam proses pemberangkatan (B5)
6.
Peraturan atau regulasi yang jelas (B6)
7.
Keamanan investasi (B7)
8.
Pemanfaatan sumberdaya manusia secara optimal (B8)
9.
Kepedulian terhadap lingkungan hidup (B9)
10.
Tersedianya TKLN yang profesional (B10)
11.
Aksesibilitas informasi dan data (B11)
12.
Kepercayaan atau dukungan masyarakat (B12)
13.
Kelestarian lingkungan hidup (B13)
Berdasarkan hasil analisis, maka elemen kebutuhan program pengembangan Tenaga Kerja Luar Negeri (TKLN) dapat digambarkan dalam bentuk hierarki dan dibagi dalam sektor. Hasil matrik reachability dan interpretasinya disajikan dalam Tabel 6.1. Ditunjukkan bahwa sub elemen kunci kebutuhan program Tersedianya lapangan kerja di luar negeri (B1), Tersedianya kelembagaan TKLN di daerah asal (B2), Terjamin keamanan dan keselamatan (B3), Peraturan atau regulasi yang jelas (B6) adalah elemen kunci dalam pengembangan program sehingga elemen ini dapat menjadi pendorong sub elemen kebutuhan lainnya.
136
Berdasarkan Gambar 6.1. ditunjukan bahwa sub elemen Tersedianya lapangan kerja di luar negeri (B1), Tersedianya kelembagaan TKLN di daerah asal (B2), Terjamin keamanan dan keselamatan (B3), Peraturan atau regulasi yang jelas (B6), yang akan mendorong sub elemen lain dalam sistem. Selanjutnya tiga sub elemen yang akan didorong ialah Kemudahan dalam proses pemberangkatan (B5), Tersedianya TKLN yang profesional (B10), Aksesibilitas informasi dan data (B11). Ketiga sub elemen tersebut akan mendorong Mendapatkan penghasilan yang layak (B4) dan Kepercayaan atau dukungan masyarakat (B12). Sub elemen berikutnya yang kemudian
akan
didorong
adalah
Kepedulian
terhadap
lingkungan
permukiman daerah asal (B9), Tersedianya TKLN yang profesional (B10) dan Kelestarian lingkungan permukiman daerah asal (B13). Pada akhirnya sub-sub elemen tersebut akan mendorong Pemanfaatan sumberdaya manusia secara optimal (B8). Tabel 6.1. Matriks Reachability Akhir Elemen Kebutuhan Sub Sub Elemen Kebutuhan Elemen B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10 B11 B12 B13 DP Kebutuhan B1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 B2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 B3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 B4 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 7 B5 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 8 B6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 B7 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 1 1 0 6 B8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 4 B9 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 1 1 0 6 B10 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 8 B11 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 8 B12 0 0 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 1 7 B13 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 6 D 4 4 4 10 7 4 11 13 11 11 11 10 11 Keterangan : D = Dependence (mempengaruhi), DP = Driver Power (kekuatan penggerak), R = Peringkat driver power B1 (Tersedianya lapangan kerja di luar negeri) B2 (Tersedianya kelembagaan TKLN di daerah asal) B3 (Terjamin keamanan dan keselamatan bekerja) B4 (Mendapatkan penghasilan yang layak ) B5 (Kemudahan dalam proses pemberangkatan) B6 (Peraturan atau regulasi yang jelas) B7 (Keamanan investasi hasil kerja) B8 (Pemanfaatan sumberdaya manusia secara optimal) B9 (Kepedulian terhadap lingkungan permukiman daerah asal) B10 (Tersedianya TKLN yang profesional) B11 (Aksesibilitas informasi dan data) B12 (Kepercayaan atau dukungan masyarakat) B13 (Kelestarian lingkungan permukiman daerah asal)
R 1 1 1 3 2 1 4 5 4 2 2 3 4
Berdasarkan pemisahan tingkat pada hirarkhi antar sub elemen maka diketahui struktur hierarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan
137
relatif antar sub elemen kebutuhan pengembangan. Ditunjukan bahwa sub elemen Tersedianya lapangan kerja di luar negeri (B1), Tersedianya kelembagaan TKLN di daerah asal (B2), Terjamin keamanan dan keselamatan (B3), Peraturan atau regulasi yang jelas (B6) adalah sub elemen yang menjadi kekuatan penggerak kekuatan sistem untuk menetukan terpenuhinya pemanfaatan sumberdaya manusia secara optimal.
Keterangan : B1 (Tersedianya lapangan kerja luar negeri) B2 (Tersedianya kelembagaan TKLN di daerah asal) B3 (Terjamin keamanan dan keselamatan bekerja) B4 (Mendapatkan penghasilan yang layak ) B5 (Kemudahan dalam proses pemberangkatan) B6 (Peraturan atau regulasi yang jelas) B7 (Keamanan investasi hasil kerja) B8 (Pemanfaatan sumberdaya manusia secara optimal) B9 (Kepedulian terhadap lingkungan permukiman daerah asal) B10 (Tersedianya TKLN yang profesional) B11 (Aksesibilitas informasi dan data) B12 (Kepercayaan atau dukungan masyarakat) B13 (Kelestarian lingkungan permukiman)
.
Gambar 6.1.Struktur Hierarki Antar Sub Elemen Kebutuhan Program Pengembangan
Kebijakan Pemberdayaan TKLN Untuk Perbaikan Kualitas SDA Dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal Meskipun demikian, dalam matriks tersebut juga ditunjukkan akses terhadap Kemudahan dalam proses pemberangkatan (B5), Tersedianya TKLN yang profesional (B10) dan Aksesibilitas informasi dan data (B11) adalah sub elemen- sub elemen penting sebagai kekuatan penggerak sistem. Hal yang penting juga dicatat Kepercayaan atau dukungan masyarakat (B12), Mendapatkan penghasilan yang layak (B4) berfungsi sebagai pengkait sub elemen lain Kepedulian terhadap lingkungan hidup (B9), Keamanan investasi (B7) dan Kelestarian lingkungan permukiman daerah asal (B13) yang pada akhirnya menentukan Pemanfaatan sumberdaya manusia secara optimal (B8).
138
Tersedianya lapangan kerja (B1), Tersedianya kelembagaan TKLN di daerah asal (B2), Terjamin keamanan dan keselamatan (B3) dan Peraturan atau regulasi yang jelas (B6) tampak menjadi penting. Pemanfaatan sumberdaya manusia secara optimal memerlukan pendampingan yang bersifat partisipatif dan edukatif karena berbagai aktivitasnya bersandar kepada kapasitas TKLN. Melalui pendampingan ini tampaknya berbagai kebutuhan wujud pada hierarki selanjutnya. Akses terhadap Tersedianya lapangan kerja (B1), Tersedianya kelembagaan TKLN di daerah asal (B2), Terjamin keamanan dan keselamatan (B3) dan Peraturan atau regulasi yang jelas (B6) ditunjukkan dalam Gambar 6.2. termasuk memiliki kekuatan penggerak yang cukup besar terhadap sistem setelah sub elemen pendampingan.
Gambar 6.2. Matriks Driver Power Program Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN Untuk Perbaikan Kualitas SDA Dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal Sub elemen akses terhadap Kemudahan dalam proses pemberangkatan (B5), Tersedianya TKLN yang profesional (B10) dan Aksesibilitas informasi dan data (B11) serta Kepercayaan atau dukungan masyarakat (B12), Mendapatkan penghasilan yang layak (B4) merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak terhadap sistem walaupun kekuatan penggeraknya tidak sebesar ketiga sub elemen sebelumnya.
139
Sub elemen Kepedulian terhadap lingkungan permukiman daerah asal (B9), Keamanan investasi (B7) dan Kelestarian lingkungan permukiman daerah asal (B13) terletak pada kuadran linkage dan dependent, berarti ketiga sub elemen tersebut mempunyai ketergantungan dan tenaga penggerak yang cukup nyata terhadap sistem. Apabila semua sub elemen telah terpenuhi maka Pemanfaatan sumberdaya manusia secara optimal (B8) dapat dipenuhi. Sub elemen ini terletak pada kuadran dependent dimana sub elemen ini mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sistem dan juga mempunyai kekuatan penggerak yang kecil dalam sistem.
6.1.2. Pengelolaan Kendala Utama Program Pengembangan Survai lapangan dan diskusi yang dilakukan mengidentifikasikan 10 sub elemen sebagai kendala pengembangan kebijakan pemberdayaan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan Lingkungan permukiman daerah asal. Sub-sub elemen tersebut sebagai berikut: 1.
Calon TKLN belum memiliki kemahiran yang cukup (K1)
2.
Calon TKLN tidak mempunyai dana yang cukup untuk pergi (K2)
3.
PPTKIS sering tidak konsisten (K3)
4.
Kelembagaan pengurusan TKLN di daerah masih lemah (K4)
5.
Prosedur dan pengaturan sering tidak konsisten (K5)
6.
Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah (K6)
7.
Perilaku majikan tidak diketahui sebelumnya (K7)
8.
Pemanfaatan dana hasil bekerja cenderung konsumtif (K8)
9.
Pengelolaan lingkungan daerah asal belum dilakukan oleh TKI (K9)
10.
Calon TKLN kurang berdaya mengetahui biaya keberangkatan (K10)
Analisis yang dilakukan menemukan bahwa pengelolaan kendala program pengembangan dapat digambarkan dalam bentuk hierarki dan dibagi dalam sektor (Tabel 6.2.). Ditunjukan bahwa ada tiga sub elemen kunci dari kendala program yaitu Calon TKLN belum memiliki kemahiran yang cukup (K1), Calon TKLN tidak mempunyai dana yang cukup untuk
140
pergi (K2) dan Kelembagaan pengurusan TKLN di daerah masih lemah (K4). Apabila ketiga sub elemen kunci tersebut dapat diatasi maka kendala lainnya dari program TKLN dapat dikelola. Berdasarkan Gambar 6.3. ditunjukan bahwa apabila kedua sub elemen Calon TKLN belum memiliki kemahiran yang cukup (K1), Calon TKLN tidak mempunyai dana yang cukup untuk pergi (K2) dan Kelembagaan pengurusan TKLN di daerah masih lemah (K4) diatasi akan mengendalikan sub elemen kendala lain dalam sistem pengembangan. Tiga sub elemen yang kemudian didorong adalah PPTKIS sering tidak konsisten (K3), Prosedur dan pengaturan sering tidak konsisten (K5) dan Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah (K6). Kemudian, teratasinya ketiga sub elemen tersebut akan mendorong Perilaku majikan tidak diketahui sebelumnya (K7) dan Calon TKLN kurang berdaya mengetahui biaya keberangkatan (K10). Kendala berikutnya apabila dua kendala sebelumnya telah teratasi adalah Pemanfaatan dana hasil bekerja cenderung konsumtif (K8). Pada akhirnya apabila kendala-kendala sebelumnya itu teratasi, maka akan mengatasi kendala Pengelolaan lingkungan permukiman daerah asal belum dilakukan oleh TKLN (K9).
Tabel 6.2. Matriks Reachability Akhir Elemen Kebutuhan Sub Sub Elemen Kebutuhan Elemen K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 kebutuhan K1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 K2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 K3 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 K4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 K5 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 K6 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 K7 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 K8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 K9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 K10 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 D 3 3 6 3 6 6 8 9 10 8 Keterangan : D = Dependence (mempengaruhi), DP = Driver Power (kekuatan penggerak), R = Peringkat driver power K1 (Calon TKLN belum memiliki kemahiran yang cukup) K2 (Calon TKLN tidak mempunyai dana yang cukup untuk pergi) K3 (PPTKIS sering tidak konsisten) K4 (Kelembagaan pengurusan TKLN di daerah masih lemah) K5 (Prosedur dan pengaturan sering tidak konsisten) K6 (Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah) K7 (Perilaku majikan tidak diketahui sebelumnya) K8 (Pemanfaatan dana hasil bekerja cenderung konsumtif) K9 (Pengelolaan lingkungan di daerah asal belum dilakukan oleh TKLN) K10 (Calon TKLN kurang berdaya mengetahui biaya keberangkatan)
DP
R
10 10 7 10 7 7 4 2 1 4
1 1 2 1 2 2 3 4 5 3
141
K9
K8
K7
K10
K5
K3
K6
K1
K4
K2
Keterangan : K1 (Calon TKLN belum memiliki kemahiran yang cukup) K2 (Calon TKLN tidak mempunyai dana yang cukup untuk pergi) K3 (PPTKIS sering tidak konsisten) K4 (Kelembagaan pengurusan TKI di daerah masih lemah) K5 (Prosedur dan pengaturan sering tidak konsisten) K6 (Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah) K7 (Perilaku majikan tidak diketahui sebelumnya) K8 (Pemanfaatan dana hasil bekerja cenderung konsumtif) K9 (Pengelolaan lingkungan di daerah asal belum dilakukan oleh TKLN) K10 (Calon TKLN kurang berdaya mengetahui biaya keberangkatan)
Gambar 6.3. Struktur Hierarki Antar Sub Elemen Kendala Utama Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN Untuk Perbaikan Kualitas SDA Dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal Pada matriks driver power-dependence (Gambar 6.4) terlihat faktor Calon TKLN belum memiliki kemahiran yang cukup (K1), Calon TKLN tidak mempunyai dana yang cukup untuk pergi (K2) dan Kelembagaan pengurusan TKLN di daerah masih lemah (K4) ada di kuadran independent sedangkan PPTKIS sering tidak konsisten (K3), Prosedur dan pengaturan sering tidak konsisten (K5) dan Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah (K6) berada di kuadran Linkage.
Gambar 6.4. Matriks Driver Power Sub Elemen Sebagai Kendala Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN Untuk Perbaikan Kualitas SDA Dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal
142
Sub elemen tersebut merupakan penggerak untuk mengatasi kendala berikutnya yaitu Perilaku majikan tidak diketahui sebelumnya (K7), Calon TKLN kurang berdaya mengetahui biaya keberangkatan (K10) dan Pemanfaatan dana hasil bekerja cenderung konsumtif (K8). Hal yang menarik adalah ketiga sub elemen kendala tadi apabila diatasi akan lebih mudah mengatasi permasalahan Pengelolaan lingkungan permukiman daerah asal belum dilakukan oleh TKLN (K9).
6.1.3. Sistematisasi Pengembangan Berdasarkan
survai
Pencapaian lapangan
dan
Tujuan diskusi
yang
Program dilakukan,
diidentifikasi sepuluh sub elemen sebagai tujuan pengembangan kebijakan pemberdayaan TKLN Untuk Perbaikan Kualitas SDA dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal. Sub-sub elemen tersebut sebagai berikut: 1.
Mewujudkan kelembagaan yang kuat dari TKLN di daerah asal (T1)
2.
Mengembangkan sistem informasi yang baik tentang cara bekerja di luar negeri (T2)
3.
Meningkatkan peran Pemda dalam menempatkan TKLN bekerja di luar negeri. (T3)
4.
Mengembangkan fasilitas prasarana kursus ketrampilan kerja di daerah asal (T4)
5.
Meningkatkan keselamatan TKLN bekerja di luar negeri (T5)
6.
Meningkatkan pendapatan TKLN (T6)
7.
Mewujudkan sistem penempatan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman daerah asal (T7)
8.
Memperluas lapangan kerja dan meningkatkan PAD (T8)
9.
Meningkatkan mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal (T9)
10.
Meningkatkan peran TKLN berorganisasi membantu calon TKLN (T10) Mengikuti pemisahan pada tingkat matrik reachability dapat
dilakukan penetapan hierarki dengan ranking yang merujuk pada aspek
143
driver power. Struktur hierarki menunjukkan hubungan langsung dan relatif antar sub elemen pengembangan. Melihat hasil analisis sub elemen tujuan di Tabel 6.3. maka sub elemen untuk mensistematisasi tujuan program dapat diketahui pentingnya meningkatkan Mengembangkan sistem informasi yang baik tentang cara bekerja di luar negeri (T2), Meningkatkan peran Pemda dalam menempatkan TKLN bekerja di luar negeri (T3) dan Meningkatkan mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal (T9). Dari matriks reachability final elemen tujuan ditunjukkan bahwa ketiga sub elemen tersebut adalah sub elemen kunci, artinya ketiga sub elemen ini perlu diupayakan semaksimal mungkin supaya dapat dicapai terlebih dahulu. Oleh karena apabila ketiga sub elemen ini dapat dicapai secara maksimal akan mendorong sub elemen lainnya dalam sistem.
Tabel 6.3. Matriks Reachability Final Elemen Tujuan Sub Elemen Tujuan
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
T9
T10
T1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
T2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
T3
1
1
1
1
1
1
1
1
T4
1
0
0
1
0
0
0
T5
1
0
0
0
1
1
T6
1
0
0
1
0
T7
1
0
0
1
T8
1
0
0
T9
1
1
T1O
1
0
Sub Elemen Tujuan DP
R
0
1
5
1
10
1
1
1
10
1
0
0
0
2
4
1
0
0
1
5
2
1
0
1
0
0
4
3
0
0
1
1
0
0
4
3
1
0
1
1
0
0
1
5
2
1
1
1
1
1
1
1
1
10
1
0
1
1
0
0
0
0
1
4
3
D 10 3 3 8 5 Keterangan: D = Dependence (mempengaruhi), DP = Driver Power (kekuatan penggcrak), R = Peringkat driver power.
6
6
5
3
6
T1 = Mewujudkan kelembagaan yang kuat dari TKLN di daerah asal T2 = Mengembangkan fasilitas prasarana kursus ketrampilan kerja di daerah asal T3 = Meningkatkan peran Pemda dalam menempatkan TKLNbekerja di luar negeri T4 = Meningkatkan pendapatan asli daerah T5 = Meningkatkan keselamatan TKLN bekerja di luar negeri T6 = Meningkatkan pendapatan TKLN T7 = Mewujudkan sistem penempatan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman T8 = Memperluas lapangan kerja T9= Meningkatkan mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal T10= Meningkatkan peran TKLN berorganisasi membantu calon TKLN
Berdasarkan Gambar 6.5. yang memperlihatkan bagan alir model struktur pengembangan, ditunjukkan bahwa ketiga sub elemen tujuan dari
144
sistem (Mengembangkan sistem informasi yang baik tentang cara bekerja di luar negeri (T2), Meningkatkan peran Pemda dalam menempatkan TKLN bekerja di luar negeri (T3) dan Meningkatkan mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal (T9) akan memberikan kontribusi tercapainya dua sub tujuan elemen lanjutan lain, yaitu Memperluas lapangan kerja dan meningkatkan PAD (T8) dan Meningkatkan keselamatan TKLN bekerja di luar negeri (T5). Sub elemen tujuan selanjutnya, yaitu Mewujudkan sistem penempatan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman daerah asal (T7), Meningkatkan pendapatan TKLN (T6) dan Meningkatkan peran TKLN berorganisasi membantu calon TKLN (10).
T1
T4
T7
T10
T6
T5
T8
T2
T9
T3
Keterangan : T1= Mewujudkan kelembagaan yang kuat dari TKLN di daerah asal T2= Mengembangkan sistem informasi yang baik tentang cara bekerja di luar negeri T3= Meningkatkan peran Pemda dalam menempatkan TKI bekerja di luar negeri T4= Mengembangkan fasilitas prasarana kursus ketrampilan kerja di daerah asal T5= Meningkatkan keselamatan TKLN bekerja di luar negeri T6= Meningkatkan pendapatan TKLN T7= Mewujudkan sistem penempatan TKI untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman T8= Memperluas lapangan kerja dan meningkatkan PAD T9= Meningkatkan mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal T10=Meningkatkan peran TKLN berorganisasi membantu calon TKLN
Gambar 6.5. Struktur Hierarki Antar Sub Elemen Tujuan Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN Untuk Perbaikan Kualitas SDA Dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal Analisis menunjukan, bahwa apabila ketiga tujuan tersebut dicapai, maka
akan
dimungkinkan
untuk
memenuhi
sub
elemen
tujuan
Mengembangkan fasilitas prasarana kursus ketrampilan kerja di daerah asal (T4). Sub elemen tersebut akan mendorong Mewujudkan kelembagaan yang kuat dari TKLN di daerah asal (T1). Dari Gambar 6.6. ditunjukkan Mengembangkan sistem informasi yang baik tentang cara bekerja di luar negeri (T2), Meningkatkan peran Pemda dalam menempatkan TKLN bekerja di luar negeri (T3) dan
145
Meningkatkan mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal (T9) termasuk kedalam kuadran independent. Keadaan ini berarti ketiga tujuan tersebut apabila dicapai dengan maksimal menjadi kekuatan penggerak terhadap keberhasilan program pengembangan. Sub elemen Mewujudkan sistem penempatan TKI untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman daerah asal (T7), Meningkatkan pendapatan TKLN (T6), Meningkatkan peran TKLN berorganisasi membantu calon TKLN (10), Mengembangkan fasilitas prasarana kursus ketrampilan kerja di daerah asal (T4) dan Mewujudkan kelembagaan yang kuat dari TKLN di daerah asal (T1) termasuk kedalam kuadran dependent. Keadaan ini berarti kelima tujuan tersebut mempunyai ketergantungan yang besar dari sistem keberhasilan program pengembangan. Di antara kelima sub elemen tersebut ditunjukkan sub elemen yang paling kecil kekuatan penggeraknya terhadap keberhasilan program sekaligus yang paling besar ketergantungannya terhadap sub sistem, yaitu Mewujudkan kelembagaan yang kuat dari TKLN di daerah asal (T1).
Gambar 6.6. Matriks Driver Power Sub Elemen Tujuan Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN Untuk Perbaikan KualitasSDA Dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal Sub elemen tujuan Meningkatkan keselamatan TKLN bekerja di luar negeri (T5) dan Memperluas lapangan kerja dan meningkatkan PAD (T8) termasuk dalam kuadran linkage yang berarti cukup mempunyai kekuatan
146
penggerak terhadap keberhasilan program meskipun ketergantungannya terhadap sistem sudah cukup besar.
6.1.4. Tolok Ukur Keberhasilan Program Pengembangan Analisis penetapan tolok ukur keberhasilan program dinilai sangat penting. Oleh karena hasilnya dapat menemukan sejumlah indikator perkembangan program pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN Untuk Perbaikan Kualitas SDA dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal. Survei lapangan dan diskusi yang dilakukan mengidentifikasi sepuluh sub elemen sebagai tolok ukur pengembangan kebijakan pemberdayaan TKI untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman daerah asal, sub-sub elemen tersebut adalah: 1.
Tersedianya informasi yang akurat mengenai aturan dan cara bekerja yang aman (U1)
2.
Terwujudnya kelembagaaan yang kuat dari TKLN di daerah asal (U2)
3.
Meningkatnya peran Pemda dalam menempatkan TKLN bekerja di luar negeri (U3)
4.
Meningkatnya pendapatan asli daerah (U4)
5.
Meningkatnya keselamatan TKLN bekerja di luar negeri (U5)
6.
Meningkatnya pendapatan TKLN (U6)
7.
Terwujudnya sistem penempatan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman daerah asal (U7)
8.
Semakin luas lapangan kerja (U8)
9.
Meningkatnya mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal (U9)
10.
Meningkatnya peran TKLN berorganisasi membantu calon TKLN (U10)
Analisis dengan teknik ISM menemukan bahwa tolok ukur keberhasilan program pengembangan TKLN adalah Semakin luas lapangan kerja (U8) dan Terwujudnya kelembagaaan yang kuat dari TKLN di daerah asal (U2) sebagaimana disajikan pada Tabel 6.4. Apabila dua tolok ukur
147
pengembangan ini dicapai, maka akan menjadi penentu dalam mendorong pencapaian tolok ukur lainnya didalam sistem.
Tabel 6.4. Matriks Reachability Final Tolok Ukur Keberhasilan Pengembangan Sub elemen tolok ukur
Sub elemen tolok ukur U5 U6 U7 1 0 1
Ul
U1 1
U2 1
U3 1
U4 0
U2
1
1
1
1
1
1
U3
1
0
1
1
1
U4
0
0
1
1
U5
0
0
0
U6
0
0
U7
0
U8
DP
R
U8 0
U9 0
U10 1
7
2
1
1
1
1
10
1
0
1
1
0
1
7
2
0
0
1
0
1
0
4
4
0
1
1
1
0
1
1
5
3
0
0
0
1
1
0
1
1
4
4
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
10
1
U9
0
1 1
0 1
1 0
1 1
0 0
1 0
0 1
4
1
0 0
4
U10
0 0
5
3
D
5
3
5
6
6
10
3
6
6
5
Keterangan: D = Dependence (mempengaruhi), DP = Driver Power (kekuatan penggerak), R = Peringkat driver power. U1 = Tersedianya informasi yang akurat mengenai aturan dan cara bekerja yang aman U2 = Terwujudnya kelembagaaan yang kuat dari TKLN di daerah asal U3 = Meningkatnya peran Pemda dalam menempatkan TKLN bekerja di luar negeri U4 = Meningkatnya pendapatan asli daerah U5 = Meningkatnya keselamatan TKLN bekerja di luar negeri U6 = Meningkatnya pendapatan TKLN U7 = Terwujudnya sistem penempatan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman U8 = Semakin luas lapangan kerja U9 = Meningkatnya mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal U10 = Meningkatnya peran TKLN berorganisasi membantu calon TKLN
Merujuk pemisahan tingkat pada matriks reachability, selanjutnya dilakukan juga penetapan hirarkhi melalui ranking dengan mendasarkan pada aspek driver power. Bagan alir di Gambar 6.7. memperlihatkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub elemen tolok ukur keberhasilan program pengembangan. Sub elemen Semakin luas lapangan kerja (U8) dan Terwujudnya kelembagaaan yang kuat dari TKLN di daerah asal (U2) akan memberi kontribusi Tersedianya informasi yang akurat mengenai aturan dan cara bekerja yang aman (U1) dan Meningkatnya peran Pemda dalam menempatkan TKLN bekerja di luar negeri (U3). Selanjutnya satu sub elemen ini diketahui akan memberikan kontribusi terwujudnya dua sub elemen lain, yaitu: Meningkatnya keselamatan TKLN bekerja di luar negeri (U5) dan Meningkatnya peran TKLN berorganisasi membantu calon TKLN
148
(U10). Apabila kedua sub elemen tolok ukur ini dapat diwujudkan, maka dapat dimungkinkan terwujudnya tiga sub elemen lainnya: Meningkatnya pendapatan asli daerah (U4), Meningkatnya pendapatan TKLN (U6) dan Meningkatnya mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal (U9). Ketiga sub elemen tersebut mendorong terwujudnya tujuan akhir dari tolok ukur keberhasilan program Terwujudnya sistem penempatan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman daerah asal (U7).
U7
U6
U4
U9
U5
U10
U1
U3
U8
U2
Keterangan : U1 = Tersedianya informasi yang akurat mengenai aturan dan cara bekerja yang aman U2 = Terwujudnya kelembagaaan yang kuat dari TKLN di daerah asal U3 = Meningkatnya peran Pemda dalam menempatkan TKLN bekerja di luar negeri U4 = Meningkatnya pendapatan asli daerah U5 = Meningkatnya keselamatan TKLN bekerja di luar negeri U6 = Meningkatnya pendapatan TKLN U7 = Terwujudnya sistem penempatan TKLN untuk perbaikan kualitasi SDA dan lingkungan permukiman daerah asal U8 = Semakin luas lapangan kerja U9 = Meningkatnya mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal U10= Meningkatnya peran TKLN berorganisasi membantu calon TKI
Gambar 6.7. Struktur Hierarki Antar Sub Elemen Tolok Ukur Keberhasilan Pengembangan Berdasarkan pada matriks driver power dan dependence, diketahui sub elemen Terwujudnya kelembagaaan yang kuat dari TKLN di daerah asal (U2) dan Semakin luas lapangan kerja (U8) serta Tersedianya informasi yang akurat mengenai aturan dan cara bekerja yang aman (U1) dan Meningkatnya peran Pemda dalam menempatkan TKLN bekerja di luar negeri (U3) tergolong ke dalam sub elemen yang berada di kuadran independent.
Dari
keempat
sub
elemen
ini,
hanya
Terwujudnya
kelembagaaan yang kuat dari TKLN di daerah asal (U2) dan Semakin luas lapangan kerja (U8) yang mempunyai ketergantungan paling kecil terhadap sistem tolok ukur keberhasilan program (Gambar 6.8). Sementara itu, dari matriks driver power-dependence elemen tolok ukur pengembangan diketahui dua sub elemen lain, yaitu: Meningkatnya
149
keselamatan TKLN bekerja di luar negeri (U5) dan Meningkatnya peran TKLN berorganisasi membantu calon TKLN (U10) berada tepat pada kuadran linkage. Artinya, dua sub elemen ini cukup mempunyai kekuatan penggerak cukup kuat.
Gambar 6.8. Matriks Driver Power Sub Elemen Sebagai Tolok Ukur Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan TKLN Untuk Perbaikan Kualitas SDA Dan Lingkungan Permukiman Daerah Asal Berdasarkan analisis lanjutan, maka sub elemen Meningkatnya pendapatan asli daerah (U4), Meningkatnya pendapatan TKLN (U6) dan Meningkatnya mutu kehidupan TKLN dan keluarga di daerah asal (U9) serta Terwujudnya sistem penempatan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan lingkungan permukiman daerah asal (U7) tergolong ke dalam sub elemen yang berada di kuadran dependent. Dari keempat sub elemen ini, hanya Terwujudnya sistem penempatan TKLN untuk perbaikan kualitas SDA dan
lingkungan permukiman daerah asal (U7) memiliki tingkat
ketergantungan terhadap sistem yang besar. Hal yang kemudian dapat disimpulkan dari matriks driver power adalah meskipun yang masuk dalam sub elemen kunci adalah Terwujudnya kelembagaaan yang kuat dari TKLN di daerah asal (U2) dan Semakin luas lapangan kerja (U8), tetapi sub elemen Tersedianya informasi yang akurat mengenai aturan dan cara bekerja yang aman (U1) dan Meningkatnya peran Pemda dalam menempatkan TKLN
150
bekerja di luar negeri (U3) perlu mendapat perhatian maksimal. Oleh karena, kedua sub elemen yang terakhir tersebut tetap menjadi tolok ukur kekuatan penggerak yang cukup nyata terhadap keberhasilan program.
6.2. Rancangan Kebijakan Analisis di atas menunjukkan bahwa untuk menjadikan penempatan TKLN menjadi sebuah proses yang memberdayakan TKLN dan berfungsi menjadi sarana perbaikan kualitas sumberdaya alam di daerah asal perlu dikembangkan sebuah kebijakan yang memprogramkan hal tersebut secara sistematis. Mengaitkan temuan analisis komponen sistem (kebutuhan, kendala, tujuan dan tolok ukur) pada bagian awal bab ini dengan keempat strategi yang disimpulkan pada Bab 5, maka kebijakan ini pada dasarnya berupa upaya desentralisasi pengaturan penempatan TKLN.
6.2.1. Nama Kebijakan Kebijakan yang ditemukan adalah desentralisasi penempatan TKLN yang memuat proses pemberdayaan TKLN di daerah asal. Proses itu selain menjadi upaya pembawa perubahan sosial ekonomi daerah asal juga akan disiapkan untuk berfungsi mendorong perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Kebijakan tersebut dapat dinamakan sebagai kebijakan Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman daerah asal berbasis komunitas daerah asal atau disingkat PTKLNPSL.
6.2.2. Tujuan, Kebutuhan, Kendala Keberhasilan Kebijakan
dan
Tolok
Ukur
Berdasarkan proses sistem analisis dan sistem desain yang dilakukan sebelumnya, maka tujuan program dalam lingkup kebijakan PTKLNPSL adalah: 1.
Membangun mekanisme penginformasian yang lengkap dan benar tentang segala hal yang berkait dengan proses bekerja ke luar negeri,
151
mulai dari proses pemberangkatan bekerja, selama bekerja hingga pemulangan ke daerah asal. 2.
Meningkatkan mutu kehidupan TKLN dan keluarganya, baik calon maupun TKLN purna dengan memberi jaminan keselamatan kerja sejak dari daerah asal, ketika bekerja di luar negeri hingga kembali ke daerah asal.
3.
Meningkatkan peran komunitas dan pengaturan regulasi yang dikembangkan
daerah
(Pemerintah
Kabupaten)
agar
dapat
menempatkan TKLN bekerja di luar negeri dengan benar dan aman serta dapat memperbaiki kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal.
Program-program yang akan dikembangkan selanjutnya perlu mengatasi berbagai kendala yang menjadi faktor penentu TKLN dapat bekerja di luar negeri dan kembali ke daerah asal. Kendala yang perlu ditangani adalah: 1.
Mengatasi kemahiran dari para calon TKLN yang rendah.
2.
Memberi kelembagaan keuangan yang mampu menyediakan dana yang cukup bagi calon tenaga kerja untuk pergi bekerja ke luar negeri.
3.
Melakukan penguatan dan pengembangan kelembagaan manajemen pengorganisasian TKLN yang berbasis komunitas di daerah asal.
Sebagai bagian dari kebijakan yang lebih besar, maka programprogram tersebut, dinilai berhasil mengikuti: 1.
Semakin terbukanya lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja yang berminat bekerja di luar negeri, dan
2.
Berkembangnya kelembagaan TKLN yang kuat di daerah asal pemberangkatan mereka.
Kebijakan PTKLNPSL ini sejatinya adalah upaya pemberdayaan TKLN yang tidak saja dilakukan melalui pendampingan pencarian jalan keluar dari masalah, tetapi termasuk juga pada tataran penguatan kapasitas
152
TKLN dalam berorganisasi mengambil keputusan atau pemberdayaan politik. Hal ini dalam arti, pemberdayaan diterapkan dengan sebenarnya yang mempunyai lingkup mulai dari pengembangan kapasitas diri hingga pada kemampuan memperoleh hak-hak perorangan dan kelompok mulai aras komunitas hingga masyarakat luas. Dimensinya mencakup beberapa sendi, yang apabila dikaitkan dengan pemberdayaan tenaga kerja mulai dari sendi ekonomi, sosial hingga politik ekologi seperti hak-hak berserikat dan/atau berorganisasi serta akses terhadap hak atas sumberdaya alam.
6.2.3. Prinsip-prinsip Penerapan Kebijakan PTKLNPSL Usaha menguatkan kapasitas TKLN, saat ini bukanlah sebuah proses kosong. Telah banyak pihak yang berupaya dan memberi perhatian terhadap proses tersebut meski hasilnya belum optimal. Dalam konteks tersebut, mengembangkan lebih lanjut usaha memberdayakan TKLN pada masa mendatang tidak dapat lepas dari implementasi desentralisasi kebijakan. Proses yang secara teknis dikenal dengan pemberian otonomi untuk mengambil keputusan sebagai sebuah usaha kebijakan dalam kerangka mendekatkan berbagai kebijakan publik kepada publiknya sendiri. Agar prosesnya tidak kehilangan arah dan berdaya positif, maka dengan mendasarkan kepada hasil kajian di lapangan kemudian penelitian ini merumuskan beberapa prinsip yang perlu menjadi perhatian. 1.
Menentukan Pembiayaan Yang Melindungi TKLN Pembiayaan dan perlindungan terhadap TKLN merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan. Pembiayaan dalam pembahasan ini dimaknai dalam konteks penentuan besaran dan penyediaan biaya bagi TKLN yang hendak bekerja ke luar negeri. Penentuan besaran biaya, sebagaimana didapat dalam temuan kajian melibatkan kepentingan beragam stakeholders, mulai dari TKLN itu sendiri hingga pengguna jasa mereka di negara tujuan bekerja. Dalam konteks inilah kemudian seharusnya perlindungan terhadap TKLN ditempatkan, artinya pembiayaan yang berlaku perlu juga mempertimbangkan kepentingan TKLN karena proses bekerja ke luar negeri selain memberi peluang
153
bagi TKLN untuk berhasil dan dapat kembali ke daerah asal dengan membawa devisa namun juga pada kenyataannya tidak sedikit yang menemukan masalah dan tidak dapat mencapai apa yang mereka harapkan. Penetapan struktur pembiayaan penempatan TKLN dengan demikian memerlukan sebuah standar. Dalam keberagaman daerah asal dan negara tujuan bekerja yang berdampak pada perbedaan biaya, maka hal ini perlu dikembangkan secara partisipatif dan menjadi salah satu faktor tahap perencanaan yang dimulai dari proses monitoring dan evaluasi kebijakan. Dengan demikian kerangka proses partisipasi yang dimaksud perlu dikembangkan dalam siklus penyusunan maupun dalam pembuatan kebijakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan pembiayaan penempatan TKLN, bahwa proses tersebut ada karena munculnya tawaran untuk bekerja dari luar negeri, bukan karena TKLN kita membentuk peluang kerja di luar negeri. Oleh karenanya, tawaran kerja dari luar negeri ini perlu menjadi pertimbangan utama. Tanpa adanya hal tersebut tidak ada proses penempatan TKLN. Meski, dalam perkembangannya proses tawaran kerja dari luar negeri itu kemudian menjadi sebuah cara masyarakat mengatasi kekurangan kesempatan kerja dan banyaknya pengangguran telah mendorong banyak pekerja Indonesia yang mencari kerja di luar negeri. Bahkan, secara nasional kegiatan ini menjadi langkah strategis dalam rangka mengatasi
kelangkaan
pengangguran
di
peluang
dalam negeri.
bekerja Fenomena
dan
pertambahan
tersebut
semakin
memperkuat kecenderungan meningkatnya jumlah mobilitas atau pengiriman TKLN. Aliran TKLN memang tidak dapat dinafikan mengalirkan remitan yang menjadi sumber devisa bagi negara. Namun, proses itu dibayangi oleh persoalan yang menimpa TKLN karena minim perlindungan sejak di dalam negeri, ketika bekerja di luar negeri, bahkan sampai ketika mereka pulang ke daerah asal.
154
Pembiayaan penempatan TKLN yang mengandungi perlindungan perlu ditelaah secara berimbang dalam dua sisi. Pertama, sisi perkembangan dalam konteks negara tujuan bekerja. Kedua, sisi perkembangan ketenagakerjaan di dalam negeri sendiri. Dalam konteks negara tujuan bekerja, hal yang umum sering dijadikan bahan kajian tentang pembiayaan penempatan TKLN adalah menelaah kelayakan besaran biaya penempatan sampai pada jenis komponen biaya yang dibebankan kepada TKLN. Langkah kajian tersebut sangat baik. Akan tetapi belum sempurna, malahan apabila hasilnya tidak mempertimbangkan kondisi biaya penempatan tenaga kerja asing di negara tujuan bekerja TKLN, boleh jadi hasilnya dapat menyesatkan. Oleh karena merekomendasikan kebijakan struktur pembiayaan bisa jadi dapat membuat TKLN tidak dilirik oleh pemberi kerja di negara tujuan bekerja akibat dinilai berbiaya tinggi dibanding tenaga kerja asing lain di negara tujuan bekerja. Akibatnya, tawaran kerja untuk TKLN Indonesia dari negara tujuan penempatan menurun, sehingga menghilangkan peluang kerja yang semula ada. Penelaahan struktur pembiayaan penempatan TKI yang tidak mempertimbangkan kondisi persaingan kerja tenaga kerja asing di negara
tujuan
bekerja
dapat
juga
menjerumuskan
karena
merekomendasikan biaya yang sangat murah. Akibatnya, permintaan tenaga kerja dari negara tujuan bekerja TKLN terus meningkat tetapi mengandung resiko terjadinya permasalahan kerja yang tinggi. Sebuah pembiayaan
penempatan
TKLN
yang
tidak
mengandungi
perlindungan kerja. Dengan asas menemukan pembiayaan penempatan TKLN yang mengalirkan remitan dan mengandungi perlindungan kerja yang memadai, perlu dipertimbangkan kekhasan negara tujuan bekerja. Dalam konteks perkembangan ketenagakerjaan dalam negeri, dapat dilihat bahwa bila TKLN ketika bekerja tidak menghadapi masalah dan berhasil mengumpulkan uang di luar negeri, maka remitan yang masuk sebagai devisa negara tidaklah sedikit. Namun, perlu juga
155
menjadi pertimbangan apakah kepastian penentuan biaya dan besarannya memang layak dan tidak menyudutkan TKI. Dalam kata lain, perlu dikaji tentang kebenaran penentuan biaya dan besarannya yang seharusnya berorientasi untuk melindungi TKI. Permasalahan
dalam
penetapan
biaya
penempatan
TKI
ini
memerlukan pemikiran dan penetapan bersama stakeholders (para pemangku kepentingan). Berdasarkan kajian di lapang, diketahui sistem penempatan TKI belum mengenal pendekatan direct-hiring. Prosesnya masih melalui sistem yang melibatkan PPTKIS dan pengguna jasa TKLN di luar negeri. Oleh karenanya perlu menginisiasi forum pemangku kepentingan di dalam negeri yang memperhatikan kekhasan daerah.
2.
Membangun Proses Penempatan TKLN Sebagai Sebuah Sistem Melihat pada konteks lokasi kajian yang memiliki rentetan mata rantai panjang mulai dari daerah asal keberangkatan TKLN hingga ke lokasi penempatan bekerja di negara tujuan dan juga banyaknya stakeholder yang terlibat, maka kerangka kebijakan yang akan dikembangkan memang
jelas
berpotensi
menjadi
suatu
kebijakan
yang
memberdayakan TKLN. Namun perlu diingat bahwa proses pemberdayaan tersebut adalah sebuah sub-sistem dari proses pengelolaan pengiriman TKLN secara keseluruhan yang satu subsistem ke sub-sistem lainnya saling terkait sebagaimana dilukiskan dalam Gambar 6.9. Artinya, pemberdayaan TKLN selain perlu dikembangkan bersama semua pihak berkepentingan (stakeholders) di daerah asal, juga perlu melibatkan pihak-pihak lain di negara tempat TKLN bekerja. Sebagai sebuah sistem, setiap bagian dari sub-sistem itu memiliki tingkat kepentingan yang sama. Permasalahan dalam satu sub-sistem akan mempengaruhi kinerja sub-sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, maka pemberdayaan tenaga kerja tidak cukup hanya dijalankan di dalam negeri, akan tetapi lebih dari itu perlu juga
156
dilakukan di luar negeri, khususnya di negera-negara tujuan TKLN bekerja. Keberdayaan TKLN di luar negeri, dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap keberdayaan TKLN semasa pulang dan berkumpul kembali dengan keluarga dan masyarakat di daerah asalnya. Keamanan
Kenyamanan
Pelayanan
PERLINDUNGAN Bekerja di LN
Pemberangkatan
Kepulangan
Rekruitment
Dampak Ekonomi
TKI Purna
Dampak Kelembagaan
Dampak Pengelolaan SDA
Pelatihan Penampungan Pengorganisasian
Dampak Budaya
Dampak Sosial
Biaya
Gambar 6.9. Proses Pengelolaan Penempatan Bekerja ke Luar Negeri sebagai Suatu Sistem Pemberdayaan TKLN Berbagai dampak dapat muncul sebagai hasil dari keberdayaan tenaga kerja. Hal yang paling langsung dapat dirasakan adalah dampak ekonomi dimana TKLN purna yang telah selesai melaksanakan kontrak kerjanya di negara tujuan kemudian kembali ke daerah asal dengan membawa uang pesangon mereka bekerja. Selain itu, dampak sosial dan kebudayaan juga akan muncul dengan adanya kepulangan TKLN purna ke daerah asal mereka. Bentuk-bentuk kebudayaan baru yang dibawa oleh TKLN purna dari negara tempat mereka bekerja dan diperkenalkan kepada keluarga dan masyarakat di daerah asalnya akan mengiring proses kepada akulturasi budaya. Pada gilirannya, kepulangan TKLN purna ini juga akan memberikan dampak pada
157
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal mereka.
6.2.4. Pendekatan Penerapan Kebijakan PTKLNPSL 1.
Pelibatan dan Penyetaraan Multistakeholder Di atas telah dijelaskan bahwa kebijakan program PTKLNPSL tidak boleh terlepas dari proses melakukan desentralisasi kebijakan TKLN secara bertahap. Selain prosesnya perlu dikembangkan melalui penguatan komunitas TKLN di daerah asal, pendampingan dan penguatan kapasitas TKLN juga diarahkan untuk membangun kemampuan mereka dalam berorganisasi dan bekerjasama melalui pola kemitraan dengan multi-pihak di berbagai tingkat, mulai dari kabupaten, provinsi, nasional, bahkan internasional. Pengembangan pola kemitraan dan pelibatan beragam stakeholder dalam kebijakan PTKLNPSL ini tidak lepas dari upaya penempatan TKLN
yang
mempunyai
dimensi
pemberdayaan.
Prosesnya
dirumuskan perlu dilakukan bervariasi mengikuti sentra-sentra daerah pengirim, mulai dari yang telah lama berkembang seperti misal di Jawa Barat, maka sentra daerah pengirim TKLN adalah Kabupaten Cianjur yang juga menjadi lokasi penelitian. Untuk mengawal terlaksananya apa yang menjadi tujuan kebijakan, pelibatan beragam stakeholder ke depannya perlu berpegang pada asas-asas sebagai berikut: Partisipasi aktif. Semua pihak yang terlibat di dalam Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman
harus
memiliki
menyatakan
pendapat,
kesempatan
memutuskan
yang
hal-hal
sama
yang
untuk
langsung
menyangkut nasibnya dan bertanggungjawab atas semua keputusan yang telah disepakati bersama. Dalam melaksanakan partisipasi maka semua pihak harus memperhatikan ketepatan waktu atau momentum yang dirasa tepat bagi pihaknya untuk berpartisipasi sehingga terjadi sinkronisasi. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan
158
berasosiasi dalam menyampaikan pendapat demi keberhasilan pencapaian tujuan/sasaran pemberdayaan TKLN. Bertanggung Gugat. Agar tiap pihak yang terlibat di dalam Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman dapat diterima oleh pihak lain maka kepada tiap pihak dituntut untuk bersikap tanggungjawab atau dapat diandalkan. Bertanggung gugat sendiri dimaknai sebagai kewajiban untuk mempertanggung jawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan termasuk keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan bersama
melalui
media
pertanggungjawaban
berupa
laporan
pelaksanaan (akuntabilitas kinerja) secara periodik yang disampaikan kepada forum multi pihak dan menjadi informasi bersama. Agar asas ini dapat dijalankan, hal-hal berikut menjadi prasyarat: 1)
Penetapan Tujuan dan Sasaran yang jelas, baik untuk jangka pendek maupun jangka menengah. Rencana pemberdayaan yang disusun harus mengandung visi dan misi yang jelas, sebagai acuan untuk menyusun tujuan dan sasaran pemberdayaan TKLN.
2)
Struktur
Kelembagaan
yang
solid
untuk
mendorong
terwujudnya sistem manajemen yang efisien dan efektif guna mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. 3)
Penetapan Kebijakan yang jelas dan terarah, konsisten dengan tujuan forum multi pihak, tertulis, dan transparan.
4)
Perencanaan yang
realistis,
terinci
dan
sesuai
dengan
kebutuhan, transparan dan partisipatif, akomodatif terhadap sosial budaya masyarakat setempat, dan merupakan penjabaran tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan forum multi pihak. 5)
Penetapan Prosedur Kerja yang tepat dan jelas, mudah dilaksanakan,
mudah
dimengerti
dan
transparan,
serta
mempertimbangkan peraturan perundangan yang terkait. 6)
Sumber Daya Manusia yang kompeten dan profesional.
159
7)
Pelaksanaan
Kegiatan
yang
efektif
dan
efisien,
tertib
administrasi, transparan, baik dalam pengadaan barang dan jasa, pengelolaan keuangan, pengelolaan barang inventaris maupun pengelolaan barang persediaan. 8)
Sistem Pencatatan yang jelas, akurat, dan sederhana.
Komunikasi.
Masing-masing
pihak
yang
terlibat
di
dalam
Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan
Lingkungan
Permukiman
harus
mau
dan
mampu
mengkomunikasikan dirinya beserta rencana kerjanya sehingga dapat dilakukan koordinasi dan sinergitas. Untuk itu tiap pihak dituntut untuk mau meleburkan diri menjadi satu kesatuan/berkolaborasi. Kepercayaan. Stakeholders yang terlibat dalam Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman harus dapat mempercayai dan dipercaya atau saling percaya karena tidak mungkin suatu hubungan kerjasama dibangun di atas kecurigaan atau saling tidak percaya. Untuk itu tiap pihak dituntut berani bersikap terbuka/transparan dalam arti bahwa informasi yang dimiliki oleh satu pihak yang memiliki kaitan dengan kepentingan bersama haruslah dapat diakses oleh semua pihak. Hal inilah yang pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan timbal balik antar semua stakeholders yang terlibat. Tiga faktor utama yang dapat mendorong dan mempercepat terwujudnya transparansi adalah: 1)
Ketersediaan data/informasi yang akurat, komprehensif, dan terkini;
2)
Kemudahan mengakses data/informasi; serta
3)
Keseragaman data/informasi yang disampaikan.
Berbagi Beban Berbagi Keuntungan. Masing-masing pihak yang terlibat dalam Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman harus mampu membagikan diri dan sumberdaya yang dimilikinya (SDM, jejaring, dana) untuk mencapai tujuan bersama dan bukan satu pihak saja yang harus berkorban atau memberikan segalanya sehingga tidak lagi
160
proporsional. Dalam prinsip berbagi ini juga mengandung arti penyerahan artinya tiap pihak di samping siap memberi juga siap menerima sumberdaya orang lain.
2.
Pemberdayaan TKLN Temuan kajian menunjukkan bahwa hingga saat ini keterlibatan masyarakat di daerah asal TKLN dalam ekologi atas lingkungan permukiman dan sumberdaya alam mereka masih relatif rendah. Keterlibatan yang relatif rendah tersebut cenderung disebabkan ketidakberdayaan masyarakat di daerah asal TKLN yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat aksesibilitas warga daerah asal TKLN tersebut terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan kebijakan pembangunan selama ini. Oleh karena itu, upaya meningkatkan peran serta masyarakat di daerah asal TKLN tersebut perlu dilakukan dengan proses pemberdayaan melalui pendistribusian kekuasaan atau power-sharing dari “kelompok-kelompok” yang memiliki akses kepada masyarakat di daerah asal TKLN yang belum dapat berpartisipasi. Berkaca pada struktur dan kultur masyarakat di Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, maka agar proses peningkatan kapasitas masyarakat melalui upaya-upaya pemberdayaan berjalan tanpa menimbulkan pertentangan atau konflik, perlu disediakan landasan bagi kebijakan-kebijakan oleh pemerintah daerah yang melakukan upaya pemberdayaan warga komunitas perdesaan dengan Positive Sum Perspective bukan dengan Zero Sum Perspective. Dalam hal ini, proses pemberdayaan ditujukan untuk membantu masyarakat di daerah asal TKLN agar lebih berdaya dalam pengambilan keputusan dan menentukan tindakan yang akan mereka lakukan terkait diri, sumberdaya alam dan lingkungan mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan
melalui peningkatan
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
161
Pendekatan lain yang dapat juga digunakan adalah melalui pemaknaan pemberdayaan secara konseptual pada pembahasan tentang bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas di daerah asal TKLN berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan diri, sumberdaya alam dan lingkungan sesuai dengan keinginan mereka. Prinsip ini pada intinya mendorong masyarakat untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan dalam kaitan dengan upaya mengelola sumberdaya alam dan lingkungan mereka, sehingga masyarakat mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh untuk merancang lingkungan ekologisnya. Selama ini, peranserta masyarakat perdesaan, seperti juga yang sebelumnya terlihat di Desa Kertajaya Kecamatan Tanggeung, hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya masyarakat hanya dipandang
sebagai
tenaga
kasar
untuk
mengurangi
biaya
pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat menjadi terbatasi hanya pada implementasi atau penerapan dari program yang turun dari pemerintah semata; masyarakat dengan demikian tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis”. Terhadap pengertian partisipasi di atas, seyogyanya dilakukan tindakan korektif dalam kerangka upaya pencarian definisi komunitas pedesaan khususnya di daerah asal TKLN yang lebih berciri lokal, aktif, dan kritis. Konsep yang baru tersebut menumbuhkan daya kreatif dalam diri masyarakat sendiri sehingga menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif, atau seperti yang dikemukakan oleh Paul (1987) sebagai berikut: “..... partisipasi merujuk pada sebuah proses aktif dimana kebermanfaatan berkelanjutanlah yang menjadi panduan dan arahan bagi pelaksanaan pembangunan dan bukannya hanya sebatas manfaat sempit dari pelaksanaan kegiatan dalam jangka pendek saja.”
162
Mengikuti pengertian di atas, maka keterlibatan komunitas perdesaan di daerah asal TKLN dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman seyogyanya dirintis mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil, dan evaluasi. Partisipasi pada gilirannya akan membangkitkan komunitas perdesaan untuk mulai membuka mata akan situasi dan masalah, khususnya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang mereka hadapi serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai mengatasi masalah mereka. Partisipasi juga akan membantu masyarakat untuk melihat realitas sosial ekonomi yang mengelilingi mereka. Kemampuan masyarakat di daerah asal TKLN untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal ditentukan dengan mengandalkan potensi yang mereka miliki sehingga pemberdayaan disini menjadi semangat atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif: “...... partisipasi berkait dengan pendistribusian kekuasaan dalam komunitas, yang mana kekuasaan tersebut memungkinkan masyarakat untuk menentukan kebutuhan yang mana dan milik siapa yang akan dipenuhi melalui pemanfaatan sumberdaya yang ada” (Curtis, et al, 1978). Kebijakan yang ada selama ini dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan cenderung menafikan komponen pemberdayaan padahal pemberdayaan merupakan bagian penting dalam mewujudkan partisipasi komunitas perdesaan daerah asal TKLN yang aktif dan kreatif.
Secara
kemampuan
sederhana,
komunitas
pemberdayaan
perdesaan
untuk
mengacu
kepada
mendapatkan
dan
memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumberdaya alam dan lingkungan yang penting. Sintesa antara pengertian pemberdayaan dan partisipasi akhirnya menghasilkan pengertian:
163
“..... Hal yang sesungguhnya memberi makna bagi partisipasi secara umum adalah upaya kolektif oleh masyarakat untuk menggabungkan daya mereka beserta segala sumberdaya yang menurut mereka penting untuk mencapai tujuan yang mereka rancang bagi diri mereka sendiri. Dalam hal ini partisipasi dipandang sebagai proses aktif dimana peserta terlibat secara aktif dalam merancang inisiatif dan aksi yang didasarkan pada pemikiran dan kepentingan mereka sendiri dan bukannya hanya melibatkan mereka semata-mata dalam aksi yang telah dirancangkan dan direncanakan sebelumnya oleh orang lain” (Percy-Okunla, 1986). Oleh karena itu, pemberdayaan dan partisipasi bagi komunitas perdesaan di daerah asal TKLN dalam perancangan dan pelaksanaan upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman merupakan dua konsep yang erat kaitannya dan dalam konteks ini pernyataan Craig dan Mayo (1995), bahwa: “empowerment is road to participation” adalah sangat relevan. Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan satu masalah tersendiri yang berkaitan dengan hakikat dari kekuasaan, serta hubungan antar individu atau lapisan sosial yang lain. Pada dasarnya setiap individu dan kelompok memiliki daya. Akan tetapi kadar daya itu akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait seperti pengetahuan, kemampuan, status, dan gender. Faktor-faktor yang saling terkait tersebut pada akhirnya membangun pemaknaan yang dikotomis tentang “subyek” (penguasa) dan “obyek” (yang dikuasai). Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan dikotomi subyek dan obyek tersebut itulah yang ingin “diperbaiki” melalui proses pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan proses “pematahan” dari hubungan atau relasi subyek dengan obyek. Proses ini mementingkan adanya pengakuan subyek akan kemampuan atau daya yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya mengalirkan daya/kuasa (flow of power) dari subyek ke obyek. Pemberian kuasa, kebebasan, dan pengakuan dari subyek ke obyek dengan memberinya
164
kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai sumber yang ada merupakan salah satu manifestasi dari mengalirnya daya tersebut. Pada akhirnya, kemampuan individu miskin untuk dapat mewujudkan harapannya dengan diberinya pengakuan oleh subyek merupakan bukti bahwa individu dan kelompok tersebut memiliki daya. Dengan kata lain, mengalirnya daya ini dapat berwujud suatu upaya dari obyek untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai daya yang ada padanya serta dibantu juga dengan daya yang dimiliki subyek. Dalam pengertian yang lebih luas, mengalirnya daya ini merupakan upaya atau cita-cita untuk mensinerjikan masyarakat miskin ke dalam aspek kehidupan yang lebih luas. Hasil akhir dari pemberdayaan adalah “beralihnya fungsi individu atau kelompok yang semula sebagai obyek menjadi subyek (yang baru)”, sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antara “subyek” dengan “subyek” yang lain. Dengan demikian, proses pemberdayaan mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi subyek-subyek. Meskipun “mengalirnya daya atau kuasa” ini merupakan faktor yang penting dalam mewujudkan pemberdayaan, tetapi implementasinya justru tidak semudah seperti yang diperkirakan serta mengandung banyak perdebatan. Di satu sisi, bila daya (kuasa) ditinjau dalam dimensi distributif maka daya (kuasa) bersifat zero-sum dan sangat kompetitif. Apabila yang satu mempunyai daya (kuasa) maka yang lain tidak punya. Kalau satu pihak memperoleh tambahan daya, berarti pihak lain kehilangan. Dalam hubungan daya seperti ini, aktor yang berperilaku rasional dianggap tidak mungkin bekerjasama karena hanya akan merugikan diri sendiri. Kalau pemberdayaan si miskin dapat dilakukan dengan mengurangi daya (kuasa) si pemegang kekuasaan, maka pasti si penguasa akan berusaha mencegah proses pemberdayaan itu. Sebaliknya yang berlaku pada sisi dimensi generatif. Daya (kuasa) dapat bersifat positive-sum, artinya pemberian daya pada pihak lain
165
dapat meningkatkan daya sendiri. Apabila daya suatu unit sosial secara keseluruhan meningkat, semua anggotanya dapat menikmati bersama-sama. Dalam kasus ini, pemberian daya kepada lapisan masyarakat di daerah kantong TKLN secara tidak langsung juga akan meningkatkan daya si pemberi, yaitu pemerintah daerah. Seringkali, mengalirnya daya untuk mengalih-fungsikan komunitas perdesaan, yang tak berdaya, yang semula obyek menjadi subyek ini tidak
dapat
terwujud
dengan
baik.
Kondisi
tersebut
dapat
menimbulkan daya tandingan dari obyek yang dipakai untuk menantang konfigurasi daya yang sudah mapan. Obyek biasanya akan dibantu oleh pihak luar yang berkepentingan sama. Proses tersebut juga berkaitan dengan penciptaan aset, yaitu menciptakan suatu dasar ekonomi untuk kelompok yang selama ini tersingkir. Asumsinya, dengan peningkatan taraf hidup melalui penciptaan aset tersebut, lapisan miskin akan memiliki makna keterlibatan yang lebih kuat di dalam proses pembangunan. Gagasan ini yang menjadi dasar untuk mengubah paradigma berpikir warga TKLN purna dan berbagai stakeholders lainnya. Berdasarkan pemikiran di atas maka secara operasional, peningkatan kapasitas warga TKLN purna pada tahap ini “bergerak” dari pemahaman sisi dimensi generatif, yang merupakan suatu proses perubahan dengan menempatkan kreativitas dan prakarsa warga TKLN purna yang sadar diri dan terbina sebagai titik tolak. Dengan pengertian tersebut peningkatan kapasitas warga TKLN purna mengandung dua elemen pokok, yakni: menjadikan warga TKLN purna yang memiliki kemandirian dan partisipasi. Dalam konteks ini, yang berorientasi memperkuat kelembagaan komunitas perdesaan, maka peningkatan kapasitas warga komunitas merupakan proses pemberdayaan, yang tahap awal untuk menuju kepada partisipasi warga komunitas khususnya dalam proses pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas perdesaan dalam pengembangan PTKLNPSL. Dengan kata lain, peningkatan kapasitas
166
warga komunitas perdesaan dilakukan agar warga komunitas perdesaan mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian tetapi tetap mampu bersinergi dengan pemangku kepentingan lainnya dalam pengembangan PTKLNPSL. Berdasarkan fakta empiris dan pemikiran tersebut di atas, maka kebijakan peningkatan kapasitas TKLN untuk pengembangan PTKLNPSL, dalam hal ini warga komunitas perdesaan, diarahkan kepada upaya mengimplementasikan proses aktif dan inisiatif yang diambil oleh warga TKLN purna sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Implikasi
kebijakan
adalah
pertama,
dalam
pengembangan
PTKLNPSL warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi dalam PTKLNPSL merupakan proses pembentukan kekuatan untuk membangunan kawasan perdesaan mereka sendiri. Titik tolaknya adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar dalam pengembangan PTKLNPSL. Dengan kemampuan warga TKLN purna berpartisipasi dalam PTKLNPSL diharapkan mereka dapat mencapai kemandirian, yang dapat dikategorikan sebagai “kemandirian material”; “kemandirian intelektual”;
dan
“kemandirian
manajerial”
pengembangan
PTKLNPSL. Kemandirian material dalam PTKLNPSL adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta cadangan dan mekanisme keberlanjutan pengembangan komunitas perdesaan. Kemandirian intelektual merupakan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas perdesaan yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi (penetrasi top-down) yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu. Sedangkan kemandirian manajerial adalah kemampuan otonom warga komunitas untuk merancang dan mengelola kegiatan kolektif
167
agar ada perubahan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan perdesaan. Dengan demikian upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam PTKLNPSL merupakan suatu upaya menumbuhkan peranserta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya (alam dan kebijakan), memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian
dan
kontrol
sosial
dari
segala
aktivitas
pembangunan komunitas perdesaan.
6.2.5. Rancangan Program Untuk mengimplentasikan Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman sebagaimana telah diurai dalam bab-bab terdahulu diperlukan sebuah kebijakan strategis dan
implementatif.
Sebagaimana
disebutkan
di
atas,
prosesnya
mengedepankan prinsip penyusunan pembiayaan yang memberikan perlindungan bagi TKLN serta dibangun dalam konteks penempatan TKLN sebagai sebuah sistem. Poin pendekatan yang jadi perhatian adalah prosesnya perlu memberdayakan TKLN dan melakukan desentralisasi pengaturan penempatan TKLN yang melibatkan multi-stakeholders. Kebijakan tersebut diterapkan dalam tiga tataran, yaitu: (1) pengembangan kelembagaan multistakeholders, (2) pengembangan kapasitas aparat pemerintahan, dan (3) pengembangan kapasitas TKLN. 1.
Pengembangan Kelembagaan Multistakeholder Sebagai payung makro dari kegiatan Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman, maka diperlukan sebuah kelembagaan yang kokoh. Kelembagaan yang dimaksud bukanlah kelembagaan yang sama sekali baru. Dalam hal ini perlu dikenali kelembagaan-kelembagaan yang sudah berjalan sebelumnya, mulai dari tingkat komunitas TKLN di kantong-kantong daerah asal mereka, naik ke tingkat kabupaten dimana jika dilihat
168
berdasarkan kajian di lapangan, maka terdapat LSM dan sponsor/calo yang mengurusi pemberangkatan TKLN, selain tentunya Pemerintah Kabupaten
yang
pengelolaanya
dilakukan
melalui
Dinas
Ketenagakerjaan. Pada tingkat selanjutnya, Pemerintah Provinsi diwakili oleh Dinas Ketenagakerjaan dan BP3TKI. Selain pihak-pihak tersebut, juga terdapat PPTKIS dan Lembaga Keuangan. Stakeholder yang sama juga terdapat di tingkat nasional ditambah Depnakertrans dan BNP2TKI sebagai lembaga pengelolaan TKLN mewakili pemerintah. Pengembangan kelembagaan yang ada diarahkan kepada upaya membangun jejaring kerja bersama melibatkan semua pihak sesuai dengan aras kerja dan kepentingannya masing-masing. Melalui jejaring kerjasama ini diharapkan dapat terbangun sebuah proses yang partisipatoris dalam mengelola berbagai aspek terkait penempatan dan pemberdayaan TKLN serta perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan.
Hal
yang
penting
juga
dalam
pengembangan
kelembagaan ini adalah prosesnya dapat menjadi pembelajaran bagi pihak pembuat regulasi, dalam hal ini pemerintah pada setiap tingkatan untuk memberikan landasan kebijakan bagi proses yang akan berjalan selanjutnya. Mekanisme yang berjalan sebagaimana digambarkan dalam Gambar 6.10. tersebut ke depannya diharapkan dapat berkembang sebagai sebuah proses yang terus menerus tumbuh, dari sisi kerja partisipatoris multistakeholder di lapangan bergerak ke sisi pengembangan regulasi per-TKLN-an. Demikian seterusnya sehingga ke depan, proses pengembangan kelembagaan ini dapat mengantisipasi perubahanperubahan yang terjadi pada komponen-komponen peubah tak terkontrol dalam sebuah sistem, yaitu ketersediaan lapangan kerja dan birokrasi ketenagakerjaan di negara tujuan bekerja, globalisasi perekonomian dunia dan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan di daerah kantong-kantong asal TKLN.
169
Proses Partisipatoris Multistakeholders
Pemerintah Pusat
Penerima Jasa TKLN
Lembaga Keuangan PPTKIS Pemerintah Provinsi Lembaga Keuangan PPTKIS Pemerintah Kabupaten
Pengembangan Regulasi TKLN
LSM Sponsor/Calo
Penetapan Pembiayaan
Pengaturan Standar Pembiayaan TKLN
Penetapan Cara Pengiriman Remitan
Pengaturan Cara Pengiriman Remitan
Penetapan Pembiayaan Pelatihan Keterampilan TKLN
Pengaturan Standar Keterampilan TKLN
Pengembangan Sistem Informasi Kerja
Pengaturan Sistem Informasi Kerja
Upaya Perbaikan Kualitas SDA
Pengaturan Perbaikan Kualitas SDA
TKLN/TKLN Purna Masyarakat Daerah Asal
Gambar 6.10. Skema Pengembangan Kelembagaan Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman
Membaca Gambar 6.10. tersebut, ada 5 proses yang menjadi fokus kerja berbagai pihak, yaitu (1) Upaya Perbaikan Kualitas SDA dan Lingkungan Daerah Asal TKLN dan (2) Pengembangan Sistem Informasi Kerja TKLN di aras kabupaten, lalu (3) Pelatihan Keterampilan TKLN dan (4) Penetapan Pembiayaan Pemberangkatan Bekerja pada aras provinsi dan kemudian (5) Penetapan Cara Pengiriman Remitan yang dilakukan pada aras nasional. Sebagai sebuah proses yang berkesinambungan dan membentuk pola berulang (siklus) maka pengembangan kelembagaan ini, sebagaimana hasil sistem desain pada awal bab ini, memiliki beberapa kebutuhan, berkembang dari adanya lapangan kerja di luar negeri yang kemudian ditangkap peluangnya oleh tenaga kerja yang ada di Indonesia. Proses pemberangkatan bekerja yang berhasil tentunya memerlukan TKLN yang memiliki keterampilan dan informasi cara bekerja yang cukup.
170
Oleh
karenanya
kelembagaan
di
atas
perlu
dimulai
dari
pengembangan sistem informasi bekerja dan pelatihan keterampilan bagi calon TKLN. Dari sini, prosesnya bergulir ke pengaturan biaya pemberangkatan yang sebagaimana telah digambarkan dalam prinsip pembiayaan yang perlu
mengandungi
perlindungan
bagi
TKLN
dan
prinsip
multistakeholder process maka pembiayaan ini ditetapkan dengan melibatkan beragam pihak, bahkan hingga pengguna jasa TKLN di luar negeri. Selain itu prosesnya juga perlu diletakkan dalam konteks persaingan tenaga kerja asing di negara penempatan namun tanpa melupakan upaya perlindungan bagi TKLN sehingga mereka dapat berhasil bekerja di luar negeri. Oleh karenanya, perhatian selanjutnya ketika TKLN sudah berhasil bekerja di luar negeri, adalah pengaturan pengaliran remitan dari tempat bekerja ke daerah asal, baik dari TKLN kepada keluarga di daerah asal maupun dari TKLN kepada sponsor. Proses inilah yang kemudian dapat digunakan sebagai media pembiayaan bagi proses perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan di daerah asal.
2.
Pengembangan Kapasitas Aparat Pemerintahan Daerah Ke depannya, kerangka kegiatan PTKLNPSL ini perlu mempunyai fokus aras pelaksanaan yang jelas agar tidak kehilangan arah dalam pelaksanaannya. Dalam semangat otonomi daerah dan membaca pada hasil kajian dimana ditunjukkan bahwa peran pemerintah kabupaten dan stakeholder lain di tingkat kabupaten ini sangat penting, maka sudah selayaknya pula bahwa upaya pengembangan PTKLNPSL ini diinisiasikan mulai dari tingkat tersebut, yaitu kabupaten. Berdasarkan hasil analisa sistem komponen aktor pada bagian sebelumnya di bab lima, ditemukan bahwa pihak yang dipandang dapat berperan aktif dalam pengembangan PTKLNPSL ini adalah pemerintah daerah, dalam kasus ini adalah Pemerintah Kabupaten Cianjur. Adapun peran penting yang mereka mainkan adalah
171
pengembangan regulasi. Pengembangan regulasi ini pada gilirannya dipandang penting karena dapat memberikan kejelasan dan kepastian panduan bertindak dan berperan bagi stakeholder lain dalam melaksanakan perannya membangun PTKLNPSL. Mengikuti prinsip pendekatan yang dikembangkan dalam program ini yaitu pemberdayaan dimana salah satu aspeknya bahwa proses pemberdayaan perlu dilaksanakan dalam kerangka dimensi generatif yang memberi daya positive sum bagi semua stakeholder yang terlibat, maka dalam konteks itulah upaya pengembangan kapasitas aparat pemerintahan perlu diletakkan. Pada prakteknya, hal itu dilaksanakan melalui upaya penyambungan antara kerja partisipatoris multi stakeholder dengan upaya pengembangan regulasi sehingga regulasi yang dikembangkan selanjutnya tidak kehilangan arah dan tidak terlepas
dari
dinamika
permasalahan
ketenagakerjaan
yang
berkembang di daerahnya. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kapasitas aparat pemerintahan, adalah prosesnya perlu dikembangkan melalui proses pembelajaran partisipatif. Artinya, ke depan perlu ditekankan bahwa peran pemerintah --juga sebagai implikasi penerapan kerangka positive sum-- bergeser dari pelaku menjadi fasilitator. Peran fasilitasi mengandung makna bahwa pemerintah perlu menempatkan diri sebagai lembaga yang menyediakan wadah dimana stakeholderstakeholder lain dapat memainkan peranannya. Peran ini menjadi penting karena hanya mampu dimainkan oleh pemerintah dalam kapasitas mereka sebagai penguasa wilayah. Oleh karenanya, penting bagi pemerintah untuk dapat merangkul semua pihak yang berkepentingan terhadap permasalahan ketenagakerjaan.
172
3.
Pengembangan Kapasitas TKLN Tujuan inti dari pengembangan program PTKLNPSL ini, sebagaimana disebutkan dalam analisis sistem pada awal bab ini adalah peningkatan mutu kehidupan TKLN dan keluarganya, baik calon maupun TKLN purna melalui pemberian jaminan keselamatan kerja sejak dari daerah asal, ketika bekerja di luar negeri hingga kembali ke daerah asal. Pencapaian tujuan ini didapat melalui proses peningkatan peran TKLN dalam komunitas tempat mereka berada. Membaca tujuan yang hendak dicapai ini, maka upaya pengembangan kapasitas TKLN dengan sendirinya menjadi penting. TKLN dalam pemetaan kepentingan
sebelumnya
disebutkan
berkepentingan
terhadap
tersedianya lapangan kerja dan sarana belajar untuk peningkatan kemampuan, prosedur bekerja dan proses pemberangkatan yang mudah, keamanan dan keselamatan dalam bekerja dan mengirim remitan,
penghasilan
yang
layak,
akses
penyediaan
biaya
pemberangkatan dan pendampingan manajemen keuangan. Oleh karenanya peran TKLN perlu dikembangkan seiring dengan peran stakeholder lain sebagaimana digambarkan sebelumnya dalam kerangka pemenuhan kebutuhan TKLN tersebut. Berkaca
juga
pada
prinsip
pemberdayaan
yang
menjiwai
pengembangan program ini, maka pengembangan kapasitas TKLN – yang juga berdimensi generatif positive sum— pada penerapannya dilaksanakan melalui pendorongan peran TKLN yang lebih aktif dalam tahapan-tahapan pelaksanaan proses-proses partisipatoris multipihak di dalam PTKLNPSL, yaitu (1) Upaya Perbaikan Kualitas SDA dan Lingkungan Daerah Asal TKLN dan (2) Pengembangan Sistem Informasi Kerja TKLN di aras kabupaten, lalu (3) Pelatihan Keterampilan TKLN dan (4) Penetapan Pembiayaan Pemberangkatan Bekerja pada aras provinsi dan kemudian (5) Penetapan Cara Pengiriman Remitan yang dilakukan pada aras nasional. Sebagaimana digambarkan dalam Gambar 6.10. sebelumnya, kepentingan TKLN muncul merata pada semua proses. Oleh
173
karenanya peran TKLN juga perlu digagas dapat terlibat aktif pada semua proses tersebut. Dalam prinsip-prinsip yang dijelaskan sebelumnya, dijelaskan bahwa diharapkan mereka dapat mencapai kemandirian,
yang
dapat
dikategorikan
sebagai
“kemandirian
material”; “kemandirian intelektual”; dan “kemandirian manajerial” pengembangan
PTKLNPSL.
Kemandirian
material
dalam
PTKLNPSL adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi
dasar
pengembangan
serta
cadangan
komunitas
dan
perdesaan.
mekanisme
keberlanjutan
Kemandirian
intelektual
merupakan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas perdesaan yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi (penetrasi top-down) yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu. Sedangkan kemandirian manajerial adalah kemampuan otonom warga komunitas untuk merancang dan mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan perdesaan. Pemberdayaan TKLN dalam konteks PTKLNPSL diletakkan bukan pada tahap sebelum keberangkatan bekerja, akan tetapi justru pada tahap setelah menyelesaikan proses bekerja. Oleh karenanya, keberdayaan TKLN di sini dimaknai sebagai proses pendewasaan dan peningkatan kapasitas diri TKLN yang muncul sebagai akibat dirinya mengikuti proses penempatan bekerja ke luar negeri. Mengikuti logika ini, maka dalam kerangka PTKLNPSL, upaya yang dilakukan bukanlah semata memberikan pelatihan keterampilan kepada calon TKLN yang hendak berangkat bekerja, akan tetapi lebih jauh lagi, bagaimana
proses
pemberian
keterampilan
tersebut
dapat
meningkatkan peluang keberhasilan TKLN dalam bekerja di lokasi penempatannya. Sebagaimana dijelaskan pada bab 4 sebelumnya, penempatan bekerja TKLN nyata dapat meningkatkan kemampuan individu TKLN, baik dalam aspek psikomotor maupun kognisi. Proses inilah yang diharapkan mampu membuat individu TKLN purna dapat menjadi insisiator bagi komunitas di daerah asalnya dalam upaya
174
perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal yang menjadi tujuan PTKLNPSL. Proses penting selanjutnya, juga bersambungan dengan sub-program sebelumnya, adalah bagaimana memberikan wadah bagi TKLN purna yang kembali ke daerah asal untuk berperan dalam perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman mereka. Melalui pembentukan wadah ini, maka diharapkan proses yang terjadi dapat melembaga ke dalam komunitas masyarakat setempat. Jebakan dalam pengembangannya adalah, proses ini tidak boleh bertentangan dengan semangat pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintah daerah. Oleh karenanya, pemerintah sebagai pemangku kawasan perlu menempatkan
pemberdayaan
TKLN
ini
juga
dalam
tataran
perencanaan pembangunan, dengan demikian maka keterlibatan TKLN ini digagas sejak proses awal pembangunan tersebut. Dengan demikian diharapkan perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal TKLN tidak berkembang dalam proses yang tidak terkontrol.
4.
Pengembangan Kawasan Perdesaan Daerah Asal TKLN dan Kemitraan Dalam
kerangka
PTKLNPSL,
pengembangan
kelembagaan
merupakan sarana penting untuk mempertemukan antara potensi yang ada dengan aktivitas-aktivitas perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan di desa-desa yang menjadi basis pemberangkatan TKLN dengan desa-desa sekitarnya yang mendukung potensi dan aktivitas kegiatan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang dapat
menjadi
landasan
pengembangan
kelembagaan
dalam
PTKLNPSL yang diarahkan pada penguatan kapasitas kelembagaan dalam
komunitas,
antar-komunitas,
dan
daya
jangkau
serta
ketersediaan lembaga pelayanan, keuangan dan pendanaan publik. Kebijakan tersebut difokuskan kepada proses pembelajaran partisipatif yang diarahkan untuk menghasilkan aksi bersama (kolektif) yang
175
produktif
oleh
kelembagan
pemerintahan
desa,
badan
permusyawaratan desa, lembaga kemasyarakatan, kelembagaan usaha ekonomi kecil, badan usaha milik desa, dan koperasi di dalam komunitas desa, antar-komunitas desa, dan dengan kelembagaan publik lainnya di luar kawasan perdesaan. Pengembangan kelompok-kelompok sosial-ekonomi berskala kecil dan menengah perlu menjadi sasaran utama dalam PTKLNPSL. Melalui pengembangan kelompok-kelompok seperti itu, diharapkan akan mampu menurunkan angka pengangguran, meningkatkan daya beli masyarakat, dan pada gilirannya mampu berdampak ganda terutama memberikan peluang pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan usaha-usaha produktif di komunitas perdesaan yang kemudian pada gilirannya potensi mereka dapat diarahkan kepada upaya-upaya pengelolaan dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan. Untuk pengembangan kelompok-kelompok sosial ekonomi tersebut, berbagai pemangku kepentingan yang lain dapat berperanserta melalui pendekatan hubungan kelembagaan dan jejaring sosial. Jejaring pengembangan
kelompok-kelompok
sosial-ekonomi
dengan
mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai pemangku kepentingan sebagai suatu bentuk pengembangan kapital sosial. Di samping itu, pengembangan
kelembagaan
menjadi
sangat
penting
dalam
pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif karena dapat menekan biaya dimana sampai sejauh ini pengembangan tersebut memerlukan biaya yang tinggi. Salah satu alternatif pengembangan kelembagaan sosial tersebut adalah dengan pendekatan Jejaring Kelembagaan Kolaboratif mulai dari tingkat komunitas sampai dengan tingkat lokalitas, menunjukkan bahwa implementasi prinsip-prinsip
kesetaraan,
lebih
bersifat
informal, partisipatif, adanya komitmen yang kuat, dan mensinergikan kekuatan-kekuatan
yang
ada
sangat
membantu
memecahkan
permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya pengembangan usaha-usaha produktif di kawasan komunitas perdesaan.
176
Pengembangan upaya-upaya perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan yang berbasiskan komunitas daerah asal pemberangkatan TKLN diharapkan dapat melibatkan pemangku kepentingan yang lain (kelembagaan kolaboratif), seperti organisasi pemerintah, pihak swasta dan berbagai LSM. Meskipun demikian, jejaring ini perlu diperhatikan untuk tidak mengadopsi pendekatan birokratis atau teknokratis. Keberhasilan jejaring sebagai media dan sarana perumusan kebijakan menjadi sangat penting, meski harus dicatat bahwa ini semua tergantung kepada komitmen semua pemangku kepentingan dalam jejaring tersebut. Temuan lapang menunjukkan bahwa terdapat beragam kelembagaan dalam suatu komunitas perdesaan, meskipun sangat sedikit jumlahnya, yang bergerak dalam upaya-upaya perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan yang berbasiskan komunitas dan telah melembaga. Jejaring kelembagaan kolaboratif yang dikembangkan harus mampu menjalin hubungan berdasarkan prinsip kesetaraan dengan institusi-institusi tersebut. Oleh
karena
itu,
sistem
jejaring
yang
terbentuk
perlu
mempertimbangkan mekanisme pada struktur tradisional, karena mereka yang akan menyaring penduduk yang ingin masuk dan mekanisme tersebut yang akan menarik uang bagi yang masuk. Perlu diingat bahwa aturan-aturan main yang menghambat pasar agar dihapus, sehingga masyarakat tidak mengalami kesengsaraan. Dalam hal pendanaan kegiatan produktif, peranan pemerintah lokal lebih bersifat sebagai fasilitator bukan hanya sebagai donatur. Pemerintah lokal perlu mengalokasikan dana untuk masyarakat lapisan bawah atau pengusaha kecil di kawasan perdesaan ini. Dalam hal ini penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam pemberdayaan masyarakat. Untuk itu harus ada kesepakatan, bahwa harus dimulai dengan penguatan kelembagaan dan alokasi dana. LSM yang bergiat dalam pemberdayaan masyarakat bisa melengkapi kegiatan usaha-usaha produktif.
177
Apabila dilandasi dengan respons yang baik serta prinsip-prinsip partisipatori, maka hasil pemikiran pemangku kepentingan di tingkat lokal atau nasional perlu dikembalikan pada jejaringan di tingkat komunitas perdesaan dan lokal, sehingga rumusan-rumusan dari jejaring ini perlu mendapat tanggapan dari seluruh masyarakat tanpa harus diformalkan. Dalam jangka pendek, untuk membangun kembali hubungan antarkelembagaan
diperlukan
suatu
proses-proses
kebijakan
untuk
memperkuat hubungan kemitraan tersebut. Proses-proses kebijakan tersebut perlu dirumuskan melalui suatu proses inisiasi dengan berlandaskan kepada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan mengarah pada sistem tata kelola berbasis kemitraan, yakni hubungan melalui tata-pengaturan dari berbagai pemangku kepentingan berbasis “kekuatan-kekuatan” masyarakat, swasta, dan pemerintah untuk membangun kembali dan memperkuat hubungan antar-kelembagaan. Pada aras makro, kebijakan untuk memperkuat hubungan difokuskan kepada upaya-upaya untuk memberikan insentif-insentif kelembagaan berupa kebijakan dari pemerintah pusat dan lokal (provinsi dan kabupaten) untuk menciptakan “ruang” bagi masyarakat untuk berpartisipasi.
Peran
serta
dalam
dinamika
kelembagaannya,
pemeliharaan serta pembangunan infrastruktur di kawasan pedesaan dan fasilitasi program-program pemberdayaan dan peningkatan partisipasi berbagai pihak berkepentingan dalam hubungan kemitraan tersebut. Proses-proses kebijakan ini akan menjadi peran yang banyak dilakukan oleh pemerintah pusat dan lokal (provinsi dan kabupaten). Pada
aras
mikro,
proses-proses
kebijakan
yang
dirumuskan
difokuskan pada upaya meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui implementasi program-program pemberdayaan dan peningkatan partisipasi warga komunitas. Secara institusional, program-program pemberdayaan dan peningkatan partisipasi komunitas perdesaan tersebut adalah untuk memperkuat kelembagaan lokal, seperti kelembagaan kelompok tani sehamparan dan kelembagaan koperasi
178
sebagai mitra pemangku kepentingan lainnya dalam kerangka kerjasama dan kesetaraan. Pengembangan PTKLNPSL tidak cukup hanya berlandaskan pada peranserta warga komunitas perdesaan dan berbagai pemangku kepentingan.
Akan
tetapi
lebih
dari
itu
PTKLNPSL
perlu
dikonstruksikan pada suatu fondasi sosiologis yang kuat dan berkelanjutan. Fondasi sosiologis tersebut adalah manifestasi dari peranserta warga komunitas perdesaan dan berbagai pemangku kepentingan dalam suatu kemitraan antar-kelembagaan. Dalam konteks membangun kembali kemitraan antar-kelembagaan yang berbasis pada komunitas perdesaan, kebijakan makro dan kebijakan mikro untuk PTKLNPSL perlu dilaksanakan secara paralel dan sinergis. Artinya, upaya-upaya penguatan kapasitas kelembagaan yang dilakukan oleh berbagai pihak berkepentingan harus didukung sepenuhnya oleh pemberian insentif-insentif kelembagaan oleh pemerintah (pusat dan lokal). Asumsi dasar pengembangan kemitraan antar-kelembagaan ini adalah bahwa proses desentralisasi dan otonomi daerah dan desa adalah proses demokratisasi di tingkat daerah yang akan diikuti dengan perubahan pola-pola peranserta antara organisasi dan kelembagaan dalam pembangunan di tingkat daerah (kabupaten/kota) hingga komunitas (desa/dusun). Artinya, penyerahan wewenang dari pusat ke daerah tidak hanya kepada organisasi pemerintah yang otonom tetapi juga kepada kelembagaan masyarakat, sehingga secara demokratis masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk mengatur organisasi dan kelembagaanya sendiri. Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah, dan otonomi desa (tanpa
menghapuskan
wewenang
pemerintah
pusat)
serta
pemberdayaan komunitas perdesaan dipahami sebagai suatu hasil dari interaksi atau hubungan sebab-akibat antara “proses pembangunan yang
bottom-up”
yang
dalam
kajian
ini
diartikan
sebagai
pengembangan upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
179
berbasis komunitas perdesaan dan “proses pembangunan yang topdown” yang dalam kajian ini dipahami sebagai implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah lokal. Artinya, komunitas perdesaan yang berdaya diindikasikan tidak hanya oleh tingkat pendapatan, tetapi lebih dari itu sampai sejauh mana dinamika warga komunitas hidup dengan bertumpu pada kelembagaan di tingkat komunitas dan lokal yang berkelanjutan yang kemudian mampu memberikan dampak ganda baik pada aktivitas ekonomi dan usaha-usaha produktif di tingkat komunitas perdesaan maupun pada upaya-upaya pengelolaan dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis kepentingan masyarakat lokal di daerah asal TKLN. Pendekatan berikutnya dalam memberdayakan komunitas perdesaan dan mengembangkan kelembagaan berkelanjutan adalah melalui suatu kolaborasi
antar-kelembagaan
berdasarkan
kepercayaan
(trust)
sehingga terbentuk suatu hubungan kelembagaan atau jejaring. Agar jejaring tersebut selalu menjalankan prinsip-prinsip partisipatif dan “berakar” pada kepentingan masyarakat di tingkat akar rumput, maka jejaring tersebut harus dibangun, dipelihara, dan dikembangkan dengan
berbasis
pada
komunitas.
Dalam
jejaring
tersebut
kelembagaan-kelembagaan dipandang sebagai kapital sosial yang jati dirinya harus dipertahankan walaupun mengalami proses interaksi dengan kelembagaan lain dan proses perkembangan. Demikian pula dalam jejaring tersebut pola-pola hubungan antar kelembagaan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal dipandang sebagai suatu strategi pengembangan kapital sosial. Dengan pendekatan seperti tersebut di atas, kajian ini berhasil mengidentifikasi pandangan-pandangan yang khas dari berbagai pemangku kepentingan di lokasi kasus, Kecamatan Tanggeung umumnya dan Desa Kertajaya khususnya. Pada aras kebijakan pemerintah lokal, rumusan untuk kemitraan antar-kelembagaan merupakan pandangan berbagai pemangku kepentingan mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Sedangkan pada aras perbaikan
180
sumberdaya alam dan lingkungan berbasis komunitas, rumusan untuk kemitraan kelembagaan merupakan pandangan warga komunitas perdesaan. Pandangan di tingkat komunitas perdesaan adalah pengembangan kelembagaan yang kooperatif dan usaha-usaha produktif yang bersumber dari sinerji beragam kelembagaan di komunitas desa dan sinerji beragam kelembagaan antar-komunitas desa dalam kawasan perdesaan. Pandangan di tingkat lokal atau kabupaten adalah membangun pola hubungan kelembagaan secara vertikal
antara
kelembagaan
komunitas
perdesaan
dengan
kelembagaan pelayanan dan pembiayaan keuangan publik. Berlandaskan pada pokok-pokok permasalahan, pendekatan dalam kemitraan antar-kelembagaan di kawasan perdesaan, dan aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan, maka ada tiga butir gagasan pokok untuk mengembangkan kemitraan antar-kelembagaan di kawasan perdesaan: (1) membangun dan mengembangkan kelembagaan kooperatif
dan
produktif
guna
mengelola
dan
memperbaiki
sumberdaya alam dan lingkungan di tingkat komunitas desa yang merupakan kolaborasi antar-kelembagaan dan berbasis pada usahausaha ekonomi produktif komunitas desa; (2) membangun dan mengembangkan
kelembagaan
kooperatif
dan
produktif yang
merupakan kolaborasi antar-kelembagaan pengelola dan pelaku perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan antar-komunitas; dan (3) membangun dan mengembangkan jejaring antara kelembagaan usahausaha pengelolaan dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan dengan kelembagaan pelayanan dan pendanaan publik sebagai suatu kapital
sosial
yang
menjalin
hubungan
kelembagaan
antara
kelembagaan di tingkat komunitas dan kelembagaan di tingkat kabupaten dan provinsi. Dengan suatu fasilitasi dari pememerintah daerah, dinas-dinas sektoral, pemerintah kecamatan, dan tokoh-tokoh masyarakat, warga di tingkat komunitas desa dapat membangunan dan mengembangkan secara partisipatif dan dengan prinsip-prinsip bottom up suatu
181
kelembagaan
kooperatif
dan
produktif
atau
merevitalisasi
kelembagaan yang sudah ada dan berkembang di desa guna mengembangkan upaya-upaya pengelolaan dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan tempat tinggal mereka. Peranan dan fungsi dari kelembagaan kooperatif di tingkat komunitas desa tersebut adalah: (1) sebagai lembaga keuangan desa yang membantu pengadaan sumberdaya keuangan (finansial) atau “modal” bagi warga komunitas dalam melaksanakan dan mengembangkan usaha-usaha produktif untuk kemudian mengarahkan kegiatannya pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan; (2) sebagai lembaga usaha-usaha produktif dan ekonomi desa yang mampu menciptakan lapangan kerja dan usaha di tingkat komunitas desa; dan (3) sebagai unit usaha kelembagaan koperasi primer di tingkat kawasan perdesaan. Kelembagaan kooperatif dan produktif ini merupakan suatu kapital sosial yang berbasis komunitas perdesaan. Meski demikian, dalam menjalankan peranan dan fungsinya kelembagaan ini secara struktural menjadi unit usaha dari kelembagaan kooperatif di tingkat kawasan perdesaan. Oleh karena itu, pemangku kepentingan (stakeholders) yang berperan dalam memberdayakan kelembagaan ini haruslah melibatkan pemerintah kabupaten dan dinas sektoral. Sedangkan dari kelembagaan non-pemerintah adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM). Untuk memelihara dan mengembangkan gagasan dan implementasi gagasan kemitraan antar-kelembagaan tersebut di atas, maka secara vertikal perlu dibangun dan dikembangkan suatu jejaring kolaborasi kelembagaan yang berbasis komunitas perdesaan. Jejaring tersebut merupakan suatu media pertukaran informasi, komunikasi, dan pengembangan
dan
implementasi
gagasan
antar
pemangku
kepentingan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip: kesetaraan, hubungan subjek setara subjek, partisipatif, demokratis, komitmen,
182
dan cenderung informalitas yang lebih berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tidak hanya pada peningkatan produksi. Oleh karena itu, strategi mengembangkan PTKLNPSL membangun jejaring kolaborasi kelembagaan ini menjadi prioritas. Bahkan upaya pengembangan gagasan tersebut mulai dari kelembagaan kooperatif dan produktif di tingkat komunitas perdesaan sampai dengan membangun kemitraan antar-kelembagaan harus dalam “kerangka” jejaring kolaborasi kelembagaan tersebut. Jejaring seperti ini, di satu sisi
menjadi
“media
produktif”
menuangkan
gagasan
dan
implementasinya, membangun kerjasama antara kelembagaan secara horizontal dan vertikal dalam konteks PTKLNPSL, di sisi lainnya dapat
berperan
sebagai
suatu
kontrol
sosial
dalam
mengimplementasikan gagasan-gagasan tersebut. Konsekuensinya, di antara kelembagaan atau stakeholders dalam jejaring tersebut secara periodik dan atas dasar kesepakatan harus mampu berperan sebagai “pengelola” PTKLNPSL yang dapat “memelihara” jejaring kolaborasi antar-kelembagaan tersebut dengan memelihara komunikasi antar-kelembagaan baik dalam forum-forum tatap muka dan diskusi maupun melalui jaringan internet dan media lainnya. Dengan demikian pengembangan kemitraan antar-kelembagaan untuk PTKLNPSL memerlukan kebijakan-kebijakan dari pemerintahan lokal yang diarahkan upaya membangun kemitraan antar-kelembagaan dalam komunitas desa; membangun kemitraan antar-kelembagaan antar-komunitas desa dalam kawasan perdesaan; dan membangun jejaring atau pola hubungan kelembagaan secara vertikal antara kelembagaan komunitas desa dengan kelembagaan-kelembagaan pelayanan dan pendanaan publik. Diharapkan, dengan tiga strategi seperti ini PTKLNPSL yang dibangun dapat berperan menggerakkan pertumbuhan
ekonomi
lokal
di
kawasan
perdesaan
secara
berkelanjutan.
183
6.3. Sinergi Pembiayaan PTKLNPSL
Pengelolaan
dan
Pengembangan
Sebagus apapun kelembagaan yang akan dibangun, pada akhirnya semuanya terpulang kepada mekanisme pembiayaan yang sustainable guna mendukung keberlanjutan kelembagaan dimaksud. Terkait dengan penyediaan dana ini, maka pembiayaan sebaiknya tidak dengan cara membebani TKLN Indonesia baik langsung maupun tidak langsung, akan tetapi dengan upaya penggalian dana bersama dan memanfaatkan dari sumber-sumber luar (seperti pendanaan dari negara donor berupa hibah dan sejenisnya). Mekanisme lain yang mungkin ditempuh adalah dengan adanya anggaran dari APBN sehingga dana yang ada merupakan bentuk transfer payment dari satu kelompok masyarakat pembayar pajak kepada TKLN yang memanfaatkan fasilitas kelembagaan ini. Adapun peluang sumber dana dari pelaksanaan program tersebut antara lain adalah: (1) APBN/APBD; (2) Dana Perlindungan US$ 15 per TKLN; (3) Remitance; (4) Donatur dari Masyarakat RI di luar negeri; (5) Komunitas TKLN. Berdasarkan studi yang dilakukan di kabupaten kasus, dengan alasan-alasan keterkaitan sosial, ekonomi, dan ekologis, maka dapat diidentifikasi bahwa pengembangan PTKLNPSL dapat dilakukan dalam suatu kawasan perdesaan yang merupakan “lintas kecamatan”, “lintas kabupaten/kota”, dan “lintas provinsi”. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan pemerintah lokal yang dapat memfasilitasi dibangunnya suatu kerjasama antar-kabupaten/kota dalam suatu provinsi dan kerjasama antar-kabupaten/kota antar-provinsi. Dalam konteks ini peranan pemerintah pusat untuk memfasilitasi pembiayaan pengelolaan dan pengembangan PTKLNPSL adalah penting, khususnya dalam memfasiltasi kerjasama antar-provinsi. Agar PTKLNPSL berlangsung dengan efisien, efektif, dan berkelanjutan maka diharapkan pemerintah daerah masing-masing (kabupaten/kota dan provinsi) dapat menganggarkan program pengembangan PTKLNPSL tersebut dalam rencana kerja pembangunan melalui APBN dan APBD. Disamping itu, oleh karena proses pengembangan PTKLNPSL dilaksanakan melalui suatu proses partisipatif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, maka terbuka peluang bahwa pembiayaan pengelolaan dan pengembangan PTKLNPSL
184
bersumber dari anggaran alokasi dana untuk desa (ADD) dan sumber-sumber lain dari para pemangku kepentingan yang sah dan tidak mengikat. Selanjutnya, dalam konteks pengelolaan PTKLNPSL yang dapat diartikan sebagai salah satu aktivitas Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat, maka sinerji pembiayaan tidak hanya terbatas pada peranan dan tanggung jawab pemerintah. Akan tetapi lebih dari itu, peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan lainnya, yakni swadaya masyarakat, organisasi nonpemerintah, dan sektor swasta juga sangat dibutuhkan dalam pembiayaan pengelolaan PTKLNPSL. Artinya, tidak hanya sinerji antar kelembagaan dan administrasi pemerintahan tetapi juga sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Di samping itu, seperti telah dikemukakan dalam kajian ini, bahwa penetapan PTKLNPSL dilakukan dengan pendekatan partisipatif, yakni sejak awal secara institusional komunitas desa merancang suatu perencanaan pengelolaan dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan secara partisipatif. Dalam beberapa kasus, perancangan tersebut merupakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD) yang dirancang oleh dan bersama warga komunitas desa bekerjasama dengan pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta. Melalui pendekatan RPJMD dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten atau Provinsi, serta disinerjikan dengan program-program pembangunan berskala besar yang mungkin terdapat di kawasan perdesaan tersebut dimungkinkan penetapan PTKLNPSL sebagai salah satu komponen dalam Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat. Berdasarkan kemungkinan dan pemikiran tersebut di atas, maka diperlukan kebijakan yang merupakan insentif kelembagaan dari pemerintah (kabupaten/kota, provinsi, dan pusat) untuk memfasiltasi, melaksanakan, mengelola, dan mengontrol proses Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat. Insentif kelembagaan tersebut adalah berupa pembiayaan pengelolaan dan pengembangan PTKLNPSL yang bersumber dari pemerintah kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat. Pembiayaan pengelolaan dan pengembangan PTKLNPSL tersebut bukan pendanaan secara sektoral, tetapi pendanaan pembangunan yang disiapkan pemerintah berdasarkan RPJMD dan kebutuhan pengelolaan dan
185
pengembangan PTKLNPSL dalam suatu kawasan perdesaan. Oleh karena itu pendekatan pembiayaan untuk pengelolaan dan pengembangan PTKLNPSL dilakukan dengan pendekatan “wilayah” atau kawasan perdesaan. Pada skala mikro dengan berdasarkan pada RPJMD pemerintah kabupaten/kota, provinsi, atau pusat menyediakan pembiayaan pembangunan masing-masing komunitas desa. Untuk memfasilitasi dan kontrol, pemerintah juga menyediakan pembiayaan di tingkat kecamatan. Pada skala makro, pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat menyediakan pembiayaan pembangunan pada satuan kawasan perdesaan. Secara finansial, pembiayaan pembangunan pada satuan komunitas desa dan satuan kawasan perdesaan dapat juga disinerjikan dengan pendanaan yang disediakan oleh program-program pembangunan skala besar (yang cenderung topdown) baik yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta, maupun kelembagaan donor yang bekerjasama dengan pemerintah, swasta, maupun lembaga sawadaya masyarakat. Dengan demikian, pembiayaan pengelolaan dan pengembangan PTKLNPSL dapat bersumber dari pemerintah pusat (APBN), pemerintah provinsi, kabupaten/kota (APBD), dan pemerintah desa (dana alokasi desa). Dana yang bersumber dari pemerintah tersebut dapat disinerjikan dengan pendanaan yang bersumber dari kelembagaan sektor swasta, sektor non-pemerintah, dan kelembagaan donor yang melaksanakan program-program pembangunan di kawasan perdesaan tersebut dalam skala besar. Peranan pemerintah diberbagai hierarkhi diperlukan untuk merumuskan kebijakan untuk mensinerjikan berbagai sumber pendanaan dari pemerintah dan non-pemerintah dalam pengelolaan dan pengembangan PTKLNPSL.
6.4. Ikhtisar Berdasarkan analisis desain yang dilakukan, maka, PTKLNPSL perlu dirancang untuk tujuan: (1) Mendorong upaya-upaya perbaikan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan sesuai kapasitas ruang dan potensi desa; (2) Mendorong pembangunan ekonomi desa yang memiliki fokus sesuai kapasitas ruang dan potensi desa; (3) Memfasilitasi munculnya pusat-pusat pertumbuhan antar-desa; (4) Memberdayakan desa agar dapat menggali, mendayagunakan dan
186
melestarikan potensi-potensi yang ada untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat desa; (5) Mendorong usaha-usaha ekonomi rakyat yang memiliki jejaring yang kuat dengan basis dan potensi kawasan perdesaan dan mefasilitasi akses produksi usaha rakyat terhadap pasar; (6) Mengembangkan kapasitas manajemen usaha ekonomi rakyat dan kelembagaan keuangan mikro kawasan perdesaan; dan (7) Memfasilitasi penguatan partisipasi pemerintah desa dan kelembagaan masyarakat desa serta masyarakat dalam proses kebijakan publik lokal dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan kawasan perdesaan. Prinsip pengembangan PTKLNPSL berdasarkan proses stakeholders yang dilakukan, perlu menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana di bawah ini: 1.
“Partisipatif”, yakni proses PTKLNPSL yang diartikan sebagai suatu proses perencanaan partisipatif di aras mikro berupa profil dan program pembangunan komunitas desa yang dilakukan bersama masyarakat dengan melibatkan Pemerintahan, dan pemangku kepentingan lain, seperti lembaga swasta dan lembaga swadaya masyarakat;
2.
“Keseimbangan”, prinsip ini dimaksudkan oleh stakeholder sebagai proses yang menyambungkan antara pembangunan di aras mikro (Rural Community Based Development Program) dan pembangunan di aras makro (Local Governement Policies). Dalam mengimplementasikan Rural Community Based Development Program, perlu melibatkan pemerintah lokal dalam bentuk Local Government Policies, maupun pihak swasta;
3.
“Keterkaitan”, yaitu prinsip yang menempatkan penempatan TKLN dalam dimensi sosial, ekonomi, dan ekologis. Prinsip ini menekankan pentingnya bahwa dalam PTKIPSL antara desa-desa pusat pertumbuhan dan desa-desa di sekitarnya yang mendukung pusat pertumbuhan tersebut memiliki “ikatan” satu sama lain sebagai suatu local society, yang secara sosial ekonomi memiliki keterkaitan dalam konteks struktur sosial dan kultural; dan secara ekologis diantara kelompok-kelompok memiliki pola adaptasi ekologi dalam menghadapi dinamika dan perubahan sosial ekonomi;
4.
“Sinergis”, prinsip ini menurut stakeholder dalam diskusi perlu dibangun antar-kelembagaan
dan
antar-sektor
pembangunan.
Artinya,
dalam
187
pengembangan
PTKLNPSL
perlu
dilakukan
upaya-upaya
yang
mensinerjikan kekuatan-kekuatan antara public sector, private sector, dan participatory sector, sedangkan di dalam pengembangan PTKLNPSL perlu difasilitasi pemerintah, agar terjadi sinerji antar-sektor pembangunan dan antar-institusi pemerintah
dalam bentuk rencana pembangunan daerah
jangka menengah; dan 5.
“Transparansi”. Stakeholder dalam proses diskusinya mensyaratkan adanya prinsip transparansi dalam pengembangan PTKLNPSL. Proses pengembangan PTKLNPSL dilaksanakan dengan semangat keterbukaan sehingga seluruh warga komunitas pedesaan dan pemangku kepentingan lainnya memiliki akses yang sama terhadap informasi tentang rencana dan pengembangan PTKLNPSL. Pengembangan kelembagaan PTKLNPSL perlu mempertautkan antara
potensi dan aktivitas unggulan desa-desa pusat pertumbuhan dengan desa-desa sekitarnya yang mendukung potensi dan aktivitas unggulan. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan dalam PTKLNPSL yang diarahkan pada penguatan kapasitas kelembagaan dalam komunitas, antar-komunitas, dan aksesibilitas terhadap kelembagaan pelayanan, keuangan dan pendanaan publik. Kebijakan tersebut difokuskan kepada proses pembelajaran partisipatif yang diarahkan untuk menghasilkan aksi bersama (kolektif) yang produktif oleh kelembagaan pemerintahan desa, badan permusyawaratan desa, lembaga kemasyarakatan ini, seperti kelembagaan usaha ekonomi kecil, badan usaha milik desa, dan koperasi. Kebijakan penguatan kapasitas masyarakat komunitas mantan TKLN dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kolektif komunitas sehingga warga komunitas mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan PTKLNPSL dan mampu berperanserta dalam jejaring kerjasama dalam PTKLNPSL. Secara geografis, penguatan kapasitas masyarakat pedesaan difokuskan pada komunitas-komunitas mantan TKLN yang berdiam di perdesaan terpencil, tertinggal, daerah pesisir, di dalam dan sekitar hutan, kawasan pertambangan, kawasan industri, dataran tinggi, dan di daerah aliran sungai (DAS). Oleh karena itu, penguatan kapasitas masyarakat dalam PTKLNPSL adalah peningkatan kapasitas TKLN untuk menumbuhkan peranserta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat
188
individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya (alam dan kebijakan), memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan komunitas perdesaan. Pada aras makro, kebijakan untuk memperkuat hubungan difokuskan kepada upaya-upaya untuk memberikan insentif-insentif kelembagaan berupa kebijakan dari pemerintah pusat dan lokal (provinsi dan kabupaten) untuk menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Proses-proses kebijakan ini lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat dan lokal (provinsi dan kabupaten). Pada aras mikro, proses kebijakan yang dirumuskan difokuskan pada upaya meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui implementasi program-program pemberdayaan dan peningkatan partisipasi warga komunitas. Secara institusional, program-program pemberdayaan dan peningkatan partisipasi komunitas perdesaan tersebut adalah untuk memperkuat kelembagaan lokal, seperti kelembagaan kelompok tani sehamparan dan kelembagaan koperasi sebagai mitra pemangku kepentingan lainnya dalam kerangka kerjasama dan kesetaraan. Sebagus apapun kelembagaan yang akan dibangun, pada akhirnya semuanya terpulang kepada mekanisme pembiayaan yang berkelanjutan guna mendukung keberlanjutan kelembagaan dimaksud. Terkait dengan penyediaan dana ini, maka pembiayaan yang dapat dikembangkan tidak dengan cara membebani TKLN Indonesia baik langsung maupun tidak langsung, akan tetapi dengan upaya penggalian dana bersama dan memanfaatkan dari sumber-sumber luar (seperti pendanaan dari negara donor berupa hibah dan sejenisnya). Mekanisme lain yang mungkin ditempuh adalah dengan adanya anggaran dari APBN sehingga dana yang ada merupakan bentuk transfer payment dari satu kelompok masyarakat pembayar pajak kepada TKLN yang memanfaatkan fasilitas kelembagaan ini. Adapun peluang sumber dana dari pelaksanaan program tersebut antara lain adalah: (1) APBN/APBD; (2) Dana Perlindungan US$ 15 per TKLN; (3) Remitansi; (5) Donatur dari Masyarakat RI di luar negeri; (6) Komunitas TKLN.
189
Bab 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan umum dari penelitian ini ada di dalam dua tataran, yaitu tataran teori dan temuan rancangan kebijakan. Kesimpulan-kesimpulannya sebagai berikut: (1)
Secara teoritis, hubungan sebab dan akibat kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal terkait dengan pemberdayaan TKLN berbeda dengan sebelumnya.
Peran migrasi TKLN dalam perbaikan
kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal yang semula masih didominasi pandangan lama bahwa salah satu sebab migrasi adalah
degradasi
sumberdaya
alam,
sekarang
pandangan
tersebut
disempurnakan, migrasi TKLN dapat juga membawa remitan sosial dan ekonomi ke daerah asal yang bisa menjadi dasar pengelolaan dan perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Oleh karena kondisi lingkungan permukiman daerah asal dan sumberdaya alam daerah asal yang tidak mampu mendukung kehidupan layak menjadi pendorong migrasi. Penelitian ini menemukan bahwa aliran kepulangan tenaga kerja dari luar negeri selain dapat menjadi faktor pembawa perubahan kondisi sosial ekonomi daerah asal, juga dapat menjadi sarana peningkatan upaya kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman daerah asal. Hal ini disebabkan bukan hanya karena TKLN yang pulang mempunyai wawasan baru akibat melihat “dunia lain” dan aliran remitan sebagai hasil migrasi dari bekerja di luar negeri, tetapi akibat adanya “inovator” di kalangan warga daerah asal yang memanfaatkan aliran TKI ini yang sekaligus memperbaiki lingkungan permukiman daerah asal dan sumberdaya alam daerah asal. Dengan demikian, studi mengenai kaitan migrasi internasional, khususnya pemberdayaan TKLN dengan perbaikan kualitas sumberdaya alam ini terbukti menjadi semakin penting. Oleh karena hasil kajian menguatkan kesimpulan teori, bahwa migrasi sebenarnya selain menjadi akibat kualitas sumberdaya alam dan lingkungan
permukiman daerah asal yang buruk juga dapat menjadi sebab bagi perbaikan kualitasi sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal TKLN. (2)
Aliran TKLN mulai dari daerah asal, bekerja di luar negeri sampai kembali ke daerah asal dapat berpotensi melembaga menjadi kelembagaan yang dapat mendorong pengembangan proses pembelajaran dalam kelembagaan pengelolaan migrasi kerja ke luar negeri (migrasi tenaga kerja internasional). Kajian melihat proses ini dapat berakibat pada penguatan proses perlindungan diri TKLN, yang pada akhirnya dapat dikembangkan agar sampai pada pengembangan upaya-upaya perbaikan kondisi sosial ekonomi, lingkungan dan kondisi sumberdaya alam di daerah asal. Kebijakan yang diperlukan adalah mendorong TKLN yang pulang sebagai kader perubahan yang mengembangkan nilai dan pengaturan, serta pengorganisasian sosial baru yang dapat menggeser lebih cepat visi dan misi masyarakat di daerah asal dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Masyarakat menjadi terdorong untuk mengembangkan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang memperhatikan keberlanjutan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara seimbang. Prinsip-prinsip tersebut berpotensi untuk diorientasikan kepada pengentasan kemiskinan yang memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan karena dapat menekan dampak negatif atas keaneka- ragamannya.
(3)
Kajian merumuskan kebijakan alternatif revitalisasi kebijakan proses bekerja ke luar negeri melalui cara menyempurnakan kebijakan yang ada agar lebih berdampak terhadap perbaikan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam di daerah asal. Nama kebijakan itu dikenalkan sebagai PTKLNPSL. Pada prinsipnya, kebijakan yang dibangun berupaya mendorong dilakukannya desentralisasi kebijakan penempatan TKLN yang pada gilirannya diharapkan dapat menciptakan upaya pengembangan masyarakat berbasis komunitas TKLN yang mampu memperbaiki kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal mereka.
191
7.2. Saran Pada tataran kebijakan, kajian ini mendorong dilaksanakannya upaya membangun kapasitas kelembagaan pengembangan daerah asal pemberangkatan TKLN yang mengindahkan wawasan sosial, ekonomi dan ekologi lokal. Secara khusus implikasi kebijakan dari kajian ini adalah: (1)
Kedepan, pembangunan daerah asal pemberangkatan TKLN perlu memberi tempat pada partisipasi masyarakat akar rumput khususnya mantan TKLN. Kebijakan ini, bila diterapkan, dapat mendorong terintegrasikannya pemahaman ekologis yang khas pada setiap daerah ke dalam perencanaan pembangunan daerah tersebut. Hal ini menjadi penting mengingat sangat beragamnya kondisi ekologis yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia yang tentunya perlu didekati dengan kebijakan pembangunan yang juga beragam. Pemerintah kedepan perlu memetakan berbagai jenis kondisi lingkungan yang ada di Indonesia. Daerah asal pemberangkatan TKLN perlu dikenali berdasarkan kondisi sosial, budaya dan geografisnya, apakah perdesaan terpencil, tertinggal, daerah pesisir, di dalam dan sekitar hutan, kritis dan rawan bencana alam dan sosial, adat dan tradisional, kawasan pertambangan, kawasan industri, dataran tinggi, ataukah di daerah aliran sungai (DAS), semuanya memerlukan pendekatan yang khas. Pemahaman yang baik atas kondisi-kondisi tersebut serta pengintegrasiannya pada perencanaan
pembangunan
dapat
menghasilkan
sebuah
upaya
pembangunan kawasan yang berwawasan lingkungan dan memberdayakan masyarakat lokal, khususnya eks-TKLN. (2)
Konsekuensi dari kebijakan pertama tersebut, upaya meningkatkan peran serta masyarakat di daerah asal TKLN tersebut perlu dibukakan jalannya dengan proses pemberdayaan melalui pendistribusian kekuasaan atau power-sharing dari pemerintah kepada masyarakat di daerah asal TKLN yang belum dapat berpartisipasi. Berkaca pada struktur dan kultur masyarakat di lokasi kajian, maka agar proses peningkatan kapasitas masyarakat
melalui
upaya-upaya
pemberdayaan
berjalan
tanpa
menimbulkan pertentangan atau konflik, perlu disediakan landasan kebijakan-kebijakan oleh pemerintah daerah yang melakukan upaya
192
pemberdayaan warga komunitas perdesaan dalam semangat pengembangan kawasan yang berasaskan pemberdayaan dan ekologis. (3)
Konsekuensi selanjutnya, perlu dilakukan upaya memperkuat kapasitas aparatur pemerintahan, khususnya di daerah, agar dapat mendukung kerangka
pemberdayaan
tersebut
di
atas
serta
dapat
mengelola
pendistribusian kekuasaan yang diterima dari pemerintahan di atasnya menjadi
semangat
bagi
pengembangan
kawasan
daerah
asal
pemberangkatan TKLN yang tidak hanya saja berwawasan sosial dan ekonomi tetapi juga memiliki semangat pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman yang berkelanjutan. Ke depan perlu dirancang upaya upaya pelatihan yang dapat mengarahkan aparat pemerintahan untuk menjadi pendamping masyarakat, khususnya eks-TKLN, agar dapat menjadi inovator bagi komunitas di sekitarnya dalam pengembangan kapasitas mereka sehingga dapat berperan dalam pengembangan kawasan tempat tinggal mereka. Upaya penguatan kapasitas aparatur pemerintahan ini perlu mendapat tempat dalam pengaturan yang resmi sehingga bisa menjadi dasar bagi pembiayaan dalam pelaksanaannya. (4)
Dalam upaya meningkatkan perlindungan kepada calon TKLN, TKLN dan keluarganya, maka peranan sponsor perlu mendapat perhatian dalam pembuatan regulasi yang berkaitan dengan penempatan TKLN.
(5)
Berkaitan dengan muatan-muatan yang tertuang dalam regulasi Undangundang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri yang lebih condong mengatur penempatan TKLN dan sangat lemah terhadap perlindungan bagi mereka serta belum mengatur pemberdayaan eks-TKLN, maka diperlukan revisi dan revitalisasi total terhadap Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 agar penyelenggaraan penempatan dan perlindungan bagi calon TKLN, TKLN, eks-TKLN dan keluarganya dapat dilaksanakan secara optimal.
(6)
Berbagai proses yang berjalan
mulai dari perekrutan, pelatihan,
pemberangkatan, perpulangan hingga pengiriman remitan ke daerah asal sepatutnya dapat didokumentasikan dengan baik sehingga dapat menjadi pembelajaran bagi pengembangan upaya perlindungan TKLN ke depan
193
serta dapat menjadi dasar bagi upaya pengembangan sistem monitoring penempatan dan perlindungan TKLN. (7)
Proses pengembangan kelembagaan TKLN bagi perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman di daerah asal ke depan perlu dikembangkan beriring dengan pengembangan kapasitas individu TKLN itu sendiri sehingga pada gilirannya nanti, upaya yang dilaksanakan dapat membuahkan keberdayaan bagi individu TKLN melalui proses yang diikutinya. Upaya ini, dengan menerapkan prinsip partisipasi pada arti sebenarnya dapat menjaga agar individu TKLN tidak terpinggirkan dari proses yang turut dibangunnya tersebut dan tidak hanya dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan semata.
194
DAFTAR PUSTAKA Adams, R.H. Jr. dan J. Page. 2003. International Migration, Remittances And Poverty In Developing Countries. World Bank Policy Research Working Paper 3179. December. Washington, D.C. Azam, J. P. dan F. Gubert. 2002. Those In Kayes: The Impact Of Remittances On Their Recipients In Africa. Document De Travail DIAL/Unite de Recherche CIPRE. DT/2002/11. Abidin, Andi Zainal, 1982. The Migration of the People of South Sulawesi in the Pacific Region. The Indonesia Quarterly. Vol.X No.2. Anonim. 2007. Monografi Desa Kertajaya 2006. Bappeda Kabupaten Cianjur. 2007. Cianjur Dalam Angka 2006. Bappeda Provinsi Jawa Barat. 1999. Jawa Barat Dalam Angka 1998. Cassels, S., Curran dan Kramer R., 2005. Do Migrants Degrade Coastal Environments? Migration, Natural Resource Extraction and Poverty in North Sulawesi, Indonesia. Human Ecology. Vol. 33, No. 3, June. Cassen. Robert (ed). Population and Development: Old Debates, New Conclusions. New Brunswick (USA) dan Oxford (UK): Transaction Publishers. Castles, S. 1998. Globalization and Migration: Some Pressing Contradiction. UNESCO. Oxford: Blackwell Publisher. Chamber. R. 1982. Pembangunan Desa: Mendahulukan yang Terakhir. Jakarta LP3ES. Cordoba, L. E. 2004. Globalization, Migration, And Development: The Role Of Mexican Migrant Remittances. Mimeo. The Inter-American Development Bank. Washington, D.C. Connel, D.W. dan G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksiologi Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. Conyers, D. 1987. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Djajadiningrat, S. T. 1997. Konsep Produksi Bersih Dalam Industri Kaitannya Dengan ISO 14000 Serta Strategi Implementasinya. Jurnal Ekonomi Lingkungan Edisi VII. Desember 1997. Drucker, Peter F. 1993. Post-Capitalist Society. New York. NY: Harper Business.
Erningpraja, Luqman. 2001. Rancang Bangun Model Produksi Bersih Kebun Kelapa Sawit. Program Pascasarjana. IPB. Fiol, C Mariene dan Marjorie A. Lyles. 1985. Organizational Learning, Academy of Management Review. October. Flood, Robert L., dan Jackson, Michael C., 1991. Creative Problem Solving, Total Systems Interventions. John Wiley & Sons, Chicester, England. Forrester Jay. Principles Of Systems. Wright-Allen Press, Inc. Massachusetts, 1968. Gardner, K. 1995. Global Migrants, Local Lives, Travel and Transformation in Rural Bangladesh. Oxford: Clarendon Press. Gravin, David A. 1993. Building the Learning Organization. Harvard Business Review. July-August: 78 - 92. Gunawan, Memed dan Erwidodo. 1993. Urbanisasi dan Pengurangan Kemiskinan Kasus Migrasi Desa-Kota di Jawa Barat. Prisma No.2 Tahun XII. Jakarta: LP3ES. Haeruman, H. 1999. Kebijakan Pengelolaan Danau dan Waduk Ditinjau dari Aspek Tata Ruang (Lake and Reservoir Management Policy Based on The Space Allocation Aspect). Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Kerjasama PPLH-IPB dengan Ditjen Bangda Depdagri. Ditjen Pengairan dan Kontor Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Bogor, 30 November 1999. Hovmand, Peter, dan Levine, Ralph. 2000. The Concept of Change: A Review of General System Theory, Chaos Theory and System Dynamics. Disajikan dalam System Dynamic Society Conference. Bergen. August, 14 – 16, 2000. International Labour Office. 1986. Economically Active Population 1950-2025. Geneva: ILO. King, R. (ed). 1986. Return Migration and Regional Economic Problems. LondonSydney-Dover: Croom Helm. Kolopaking, L.M. 2000. International Migration and the Development of the Sending Region in Java. PhD Thesis Submitted to University Sains Malaysia. Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah (KNPELB). 2004. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Korten. David C. Menuju Abad ke-21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan.
Kuhre, W. Lee. 1996. Sertifikasi ISO 14001: Sistem Manajemen Lingkungan. Prenhallindo. Jakarta. Kumurur, V.A. 2002. Aspek Strategis Pengelolaan Danau Tondano Secara Terpadu. EKOTON Vol. 2 No. 1: 73-80. April 2002. Universitas Sam Ratulangi. Manado. Leonard-Barton, Dorothy. 1995. Wellsprings of Knowledge: Building and Sustaining the Source of Innovations. Harvard Business School. Boston. Lincoln, R.J., B. Shall, dan G.A. Clark. 1984. A Dictionary of Ecology Evolution and Systematics. Reprinted Cambridge University Press. Melbourne. Australia. Lucas, R.E.B. dan O. Stark. 1985. Motivations to Remit: Evidence from Botswana. Journal of Political Economy. 93(5): 901-918. Lutz, W., Prskawetz, A., and Sanderson, W. C. (eds.), Population and Environment: Methods of Analysis. New York: Population Council. Maani, Kambiz dan Robert Y. Cavana. 2000. System Thinking and Modeling. New Zealand: Prentice Hall. Massey, D.S. 1993. Theories of International Migration: A Review and Appraisal. Population and Development Review. Vol.19. No.3. ------------------1990. Social Structure, Household Startegies and Cummulative Causation of Migration. Population Index 56. Naim, Mochtar, 1984. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Naipul, V.S. 1987. The Enigma of Arrival. London: Penguin. Nelson, A., dan K.D. Nelson. 1973. Dictionary and Water Engineering. Butterwarths. London. Nonaka, Ikujiro dan Takeuchi Hirotika. 1995. The Knowledge Creating Company, How Japanese Create The Dynamic of Innovation. Oxford University Press. New York-Oxford. Nugent, Jeffrey B. dan Pan A.Yotopaulos. 1988. Ilmu Ekonomi Pembangunan Ortodoks berhadapan dengan Dinamika Konsentrasi dan Marginalisasi. dalam Korten, D.C. dan Sjahrir. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Odum, E.P. 1993. Fundamental of Ecology. Saunders dan Toppan. Tokyo. Ostrom, E. 2002. The Drama of The Commons. National Research Council. USA.
O’Connor, Joseph & Mc Dermott Ian. 1997. The Art of Systems Thinking. Thorsons, San Francisco. Papademetriou, Demetrios G. dan Philip L. Martin (ed.). 1991. The Unsettled Relationship: Labor Migration and Economic Development. New York: Greenwood Press. Pasmore, William A. 1994. Creating Strategic Change: Design the Flexible, High Performing Organization. John Wiley & Sons, Inc. USA. Payne, A. I. 1986. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and Sons. Singapore. PKSPL-IPB. 2001. Identifikasi Masalah Pola Pergeseran Sistem Pengelolaan dari Rezim Sentralistik kepada Otonomi Daerah. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta. Pooley, Coolin G. and Whyte, Ian (ed). 1991. Migrants, Emigrants, and Immigrants A Social History of Migration. London and New York: Routlegde. Pomeroy, R.S., 1994. Traditional Institution and Sustainable Management of Marine Resources in Southeast Asia. University of The South Pacific, Suva, Fiji. Pucik, Vladimir. Noel M. Tichy dan Carole K.Barnett (ed), 1993. Globalizing Management: Creating and Leading the Competitive Organization. New York, NY: John Wiley and Sons, Inc. Saad, S. 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. Dian Pratama. Jakarta. Satria, A., A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S.Saad, W. Oktariza, Z. Imran. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Kerjasama Pusat Kajian Agraria IPB, Partnership for Governance Reform in Indonesia. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline, The Art & Practic of Learning Organization. Doubleday Currency. New York. USA. Setiawan, B. 2003. Konsep Dasar dan Prinsip-prionsip Pengelolaan Lingkungan. Makalah disampaikan dalam Seminar Penyusunan Pedoman Mekanisme Kerjasama Pengelola Lingkungan Antar Daerah. 10 Juli 2003. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Sjahrir, Kartini. 1989. Migrasi Tukang Bangunan: Beberapa Faktor Pendorong. Prisma. No.5 Tahun XIII. Jakarta: LP3ES. Smith, Douglas K. 1996. Taking Charge of Change. Addison Wesley, Inc. USA. Soemarwotot, O. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Suhrke, Astri. Environmental Degradation and Population Flows. Journal of International Affairs. Vol 47, No. 2, Winter 1994. Sumardjo dan Saharuddin. 2003. Modul Metode-metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi. MPM-IPB. Bogor. Supriatna, J., A. Sanjaya, I. Setiawati dan M. R. Syahrizal. 2000. Ekowisata Sebagai Usaha Pemanfaatan yang Berkelanjutan di Kawasan Lindung. Makalah disampaikan dalam Workshop Komisi Koordinasi Pemanfaatan Obyek Wisata Alam. Balikpapan, 6-8 Maret 2000. Balikpapan: Departemen Kehutanan. Sutomo, Hedi. Model Lain Transformasi Sektoral di Indonesia. 1995. Prisma. Tahun XXIV No. 10 Jakarta. LP3ES. Tamrin, K. M. 1987. Orang Jawa di Selangor Penghijrahan dan Penempatan 18801940, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia. United Nations Environment Programme. 2000. Planning and Management of Lake and Reservoirs: An Integrated Approach to Etrophication. USA. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). 1993. The State of the World's Refugees: The Challenges of Protection. New York: Penguin Books. United Nations Secretariat. 2006. International Migration And The Achievement of MDGs in Africa. International Symposium On International Migration And Development. Turin: Population Division Economic Commission for Africa Sustainable Development Division. Yang, D. 2004. International Migration, Human Capital, And Entrepreneurship: Evidence From Phillippine Migrants’s Exchange Rate Shocks. Mimeo. Ford School of Public Policy, University of Michigan, Ann Arbor.
Analisis Isi Peraturan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (TKLN) No.
1
Perundangan/ Peraturan
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004
Pengaturan Mengenai Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri
Pengaturan Dalam Luar Negeri Negeri
Aspek yang Diatur
Penandatangan
− Ketentuan Umum diatur dalam Bab I yang terdiri atas Pasal 1 hingga Pasal 4 − Tugas, Tanggung Jawab Dan Kewajiban Pemerintah diatur dalam Bab II terdiri atas Pasal 5 hingga Pasal 7 Tugas, tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dalam mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Tertuang dalam Pasal 5 hingga Pasal 7 − Hak Dan Kewajiban TKI diatur dalam Bab III terdiri atas Pasal 8 hingga Pasal 9 Hak dan Kewajiban bagi TKI selama bekerja di luar negeri tertuang dalam Pasal 8 dan Pasal 9 − Pelaksanaan Penempatan TKI Di Luar Negeri diatur dalam Bab IV terdiri atas Pasal 10 hingga Pasal 26 Pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri, baik yang diatur oleh pemerintah maupun pelaksana penempatan TKI swasta. Tertuang dalan Pasal 10 dan Pasal 11 Pemerintah juga mengatur pelaksana penempatan TKI swasta dalam memperoleh izin berupa SIPPTKI dari menteri. Tertuang dalam Pasal 12
Sekretaris Negara Republik Indonesia BAMBANG KESOWO
−
Ketentuan untuk memperoleh SIPPTKI, perpanjangan izin SIPPTKI dan Pencabutan izin SIPPTKI diatur oleh pemerintah tertuang dalam Pasal 12 hingga Pasal 18 Tata Cara Penempatan TKI diatur dalam Bab V terdiri atas Pasal 27 hingga Pasal 76 Penempatan TKI diatur oleh Pemerintah tertuang dalam Pasal 27 hingga Pasal 30 Kegiatan Pra Penempatan TKI di luar negeri (tertuang dalam Pasal 31) meliputi: 1. Pengurusan SIP 2. Perekrutan dan seleksi 3. Pendidikan dan pelatihan kerja 4. Pemeriksaan kesehatan dan psikologi 5. Pengurusan dokumen 6. Uji kompetensi 7. Pembekalan akhir Pemberangkatan (PAP); dan 8. Pemberangkatan Penjelasan dari Pasal 31 dapat di lihat pada Pasal 32 hingga Pasal 54 Perjanjian kerja antara Pengguna dan TKI diatur dalam Pasal 55 hingga Pasal 69 Masa tunggu di penampungan dan perlakuan yang diterima TKI selama di penampungan tertuang dalam Pasal 70 Masa penempatan TKI dan pelaksanaannya tertuang dalam Pasal 70 dan Pasal 72 Purna Penempatan TKI diatur dalam pasal 73
hingga Pasal 75 Purna Penempatan antara lain mengatur kepulangan TKI terjadi karena : 1) Berakhirnya masa perjanjian kerja 2) Pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir 3) Terjadi perang, bencana alam atau wabah penyakit di negara tujuan 4) Mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisa menjalankan pekerjaannya lagi 5) Meninggal dunia di negara tujuan 6) Cuti 7) Dideportasi oleh pemerintah setempat
Pembiayaan pelaksanaan penempatan bagi calon TKI tertuang dalam Pasal 76 − Pengaturan Perlindungan TKI diatur dalam Bab VI terdiri atas Pasal 77 hingga Pasal 84 − Penyelesaian perselisihan TKI dengan pelaksana penempatan TKI swasta diatur dalam Bab VII terdiri atas Pasal 85 − Pembinaan TKI diatur dalam Bab VIII terdiri atas Pasal 86 hingga Pasal 91 Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri tertuang dalam Pasal 86 Pembinaan yang dilakukan Pemerintah (tertuang
dalam Pasal 87) meliputi : a) Informasi b) Sumber daya manusia c) Perlindungan TKI Penjelasan dari Pasal 87 dapat dilihat pada Pasal 88 hingga Pasal 91
− Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilakukan oleh Pemerintah melalui instansi terkait. Pengawasan tersebut diatur dalam Bab IX yang terdiri atas Pasal 92 dan Pasal 93 − Pemerintah membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI agar fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. Hal tersebut diatur dalam Bab X yang terdiri atas Pasal 94 hingga Pasal 99 − Sanksi Administrasi bagi pelanggar undangundang diatur dalam Bab XI yang terdiri atas Pasal 100 − Penyidikan diatur dalam Bab XII dijelaskan dalam Pasal 101 − Ketentuan Pidana diatur dalam Bab XIII terdiri atas Pasal 102 hingga Pasal 104 − Ketentuan Lain-lain dalam Undang-undang ini diatur dalam Bab XIV terdiri atas Pasal 105 dan Pasal 106
2
Memorandum Of Understanding Between The Department Of Manpower And Transmigration Of The Republic Of Indonesia And The Ministry Of Labor Of The Republic Of Korea
The Sending Of Workers To The Republic Of Korea Under The Employment Permit System
− Ketentuan Peralihan diatur dalam Bab XV terdiri atas Pasal 107 dan Pasal 108 − Ketentuan Penutup dan mulai berlakunya Undang – Undang diatur dalam Bab XVI Pasal 109 − Paragraph 1. Purpose menjelaskan Memorandum Of Understanding (MOU) bertujuan untuk membangun kerangka kerja yang nyata antara Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Repulik Indonesia (The Departement of Manpower and Transmigration of The Republic Indonesia / DMT ) dan Kementerian Tenaga Kerja Republik Korea ( The Ministry of Labor of the Republic of Korea / MOL) untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam proses pengiriman TKI ke Republik Korea. − Paragraph 2. Definition menjelaskan Definisi dari istilah-istilah pada MOU ini. − Paragraph 3. Sending Agency mengatur dan menjelaskan bahwa Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia menunjuk Direktorat Jenderal Penempatan dan Pengembangan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri ( Directorate General of Placement and Development of Indonesian Overseas Workers/ PDIOW) sebagai Agen utama yang bertanggung jawab dalam melakukan rekrutmen, seleksi dan pengiriman TKI ke Republik Korea.
Minister of Manpower and Transmigration of The Republic of Indonesia ERMAN SUPARNO and Minister of Labor of The Republic of Korea LEE SANG-SOO
− Paragraph 4. Sending Fee mengatur dan menjelaskan besarnya biaya pengiriman yang dikeluarkan PDIOW dalam melakukan rekrutmen, seleksi dan pengiriman dari setiap TKI, besarnya biaya dikonsultasikan dengan Kementerian Tenaga Kerja Republik Korea − Paragraph 5. Advertisement of the EPS (Employment Permit System for Foreign Workers) menjelaskan dan menerangkan bahwa DMT dan PDIOW bertindak aktif menyampaikan hal- hal utama mengenai prosedur EPS kepada masyarakat Indonesia yang hendak menjadi TKI di Republik Korea − Paragraph 6. Conduct and Administration of the Korean Language Proficiency Test mengatur dan menjelaskan mengenai EPS Korean Language Proficiency (EPS KLT) sebagai seleksi obejektif bagi pencari kerja. − Paragraph 7. Recruitment and Selection of Job Seeker mengatur proses prekrutan yang dilakukan oleh PDIOW dan pendaftaran TKI kepada Human Resource Development service of Korea ( selanjutnya disebut HRD Korea ). − Paragraph 8. Managements of Job Seekers’ Roster mengatur dan menjelaskan tata cara pendaftaran TKI yang dilakukan oleh PDIOW kepada HRD Korea − Paragraph 9. Labor Contract mengatur dan menjelaskan kontrak kerja antara HRD Korea
dengan TKI yang difasilitasi oleh PDIOW − Paragraph 10. Preliminary Education mengatur dan menjelaskan pemberian pembekalan materi kepada TKI yang telah menandatangani kontrak, pembekalan dilakukan oleh DMT dan PDIOW − Paragraph 11. Visa Issuance mengatur dan menjelaskan pemberian visa kerja kepada TKI yang diberikan oleh HRD Korea melalui PDIOW − Paragraph 12. Entry Of Workers mengatur dan menjelaskan kedatangan TKI yang telah menandatangani kontrak kerja ke Republik Korea berdasarkan hari yang telah ditentukan oleh MOL dan HRD Korea. − Paragraph 13. Provision of Information on the Sending Process mengatur dan menjelaskan pemberian data kelengkapan TKI sebagai persiapan memasuki Republik Korea oleh PDIOW ke jaringan EPS. − Paragraph 14. Employment and Sojourn Management mengatur dan menjelaskan ketenagakerjaan, tinggal sementara dan tata tertib bagi TKI di Republik Korea − Paragraph 15. Computer Infrastructure menjelaskan tentang dibangunnya jaringan infrastruktur komputer oleh PDIOW yang berkonsultasi dengan MOL untuk mengirimkan data-data TKI yang dibutuhkan − Paragraph 16. Preferential Treatment of Voluntary Leavers menjelaskan PDIOW akan
−
− −
− −
3
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Nomor KEP-05/D.PPTKLN
Pedoman Penunjukkan Sarana Kesehatan Pemeriksaan
− −
mengusahakan mempekerjakan kembali TKI yang secara sukarela meninggalkan Republik Korea melalui Korea’s Program for Voluntary Departure dengan memasukannya sebagai daftar tunggu pertama. Paragraph 17. Efforts to Eliminate the Illegal Stay of Workers Mengatur dan menjelaskan peran aktif DMT dan MOL dalam menanggulangi TKI illegal di Republik Korea Paragraph 18. Support in the Sending Process mengatur dan menjelaskan pemulangan TKI oleh pihak-pihak yang terkait Paragraph 19. Grandfather Clause Due to Discontinuance of the Industrial Trainee System menjelaskan pada tanggal 1 Januari 2007 Sistem Pelatihan Industri tidak dilanjutkan kembali dan kualifikasi dari pelatihan industri sebelumnya di Republik Korea akan diptentukan menunggu keputusan Pemerintahan Korea. Paragraph 20. General Provisions menjelaskan Ketentuan Umum yang berlaku Paragraph 21. Effectuation and Terms of Validity Menjelaskan mulai berlakunya MOU ini. Persyaratan Sarana Kesehatan (SARKES) bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Pedoman penunjukan SARKES pemeriksa CTKI meliputi prosedur, pemohonan penunjukkan dan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Dr.dr. SITI
/VII /PP/2004
4
5
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 837/MENKES/SK/ VIII/2004
Calon Tenaga Kerja Indonesia Yang Akan Bekerja Ke Luar Negeri
Penetapan Sarana Kesehatan Pemeriksa Kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Yang Akan Bekerja Ke Luar Negeri Peraturan Menteri Tenaga Ketentuan Kerja Dan Transmigrasi Sanksi Republik Indonesia Administratif Nomor :PER-05/MEN/III/2005 Dan Tata Cara Penjatuhan Sanksi Dalam Pelaksanaan
kriteria penunjukkan tertuang dalam Pasal 1 − Pengaturan prosedur penunjukkan SARKES diatur dalam Pasal 2. − Kriteria Penilain SARKES mengikuti peraturan yang telah dituangkan pada Pasal 3. − Pembentukan Tim Penunjukkan SARKES oleh Dirjen PPTKLN diatur dalam Pasal 4 − Pembiayaan yang diperlukan dalam pelaksanaa Keputusan diatur dala Pasal 5 − Mulai berlakunya Surat Keputusan diatur dalam Pasal 6 − Keputusan Menteri Kesehatan dalam penetapan Sarana Kesehatan pemeriksa kesehatan calon Tenaga Kerja Indonesia
FADILLAH SUPARI, Sp.JP (K)
− Ketentuan Umum dalam Peraturan Menteri diatur dalam Bab I dijelaskan dalam Pasal 1 − Kewenangan Penjatuhan Sanksi diatur dalam Bab II terdiri atas Pasal 2 dan Pasal 3 Pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi administratif diatur dalam Pasal 2 Sanksi administratif terhadap PPTKIS dan Calon
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia FAHMI IDRIS
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Dr. ACHMAD SUJUDI
Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri
6
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Standar Tempat Penampungan
TKI/TKI diatur dalam Pasal 3 − Tata Cara Penjatuhan Sanksi diatur dalam Bab III terdiri atas Pasal 4 hingga Pasal 17 Pemberian sanksi Peringatan Tertulis oleh Direktur Jenderal kepada PPTKIS diatur dalam Pasal 4 Pemberian sanksi Skorsing oleh Direktur Jenderal kepada PPTKIS diatur dalam Pasal 5 Peraturan lebih lanjut mengenai skorsing PPTKIS tertuang dalam Pasal 6 hingga Pasal 11 Pemberian sanksi Pencabutan SIPPTKI oleh Direktur Jenderal kepada PPTKIS diatur dalam Pasal 12 Kewajiban PPTKIS apabila SIPPTKI telah dicabut diatur dalam Pasal 13 Permohonan ulang PPTKIS dalam mengajukan SIPPTKI datur dalam Pasal 14 Pembatalan pemberangkatan TKI dikenakan kepada TKI tertuang dalam Pasal 15 Pembentukan tim dalam menjatuhkan sanksi administratif diatur dalam Pasal 16 Sebelum menjatuhkan sanksi Menteri atau pejabat yang ditunjuk meminta keterangan dari PPTKS seperti yang dijelaskan pada Pasal 17 Berlakunya Peraturan Menteri dijelaskan pada Bab IV Pasal 18. − Pengertian ditur dalam Bab I Pasal 1 − Persyaratan Tempat Penampungan Calon TKI bagi PPTKIS harus memenuhi persyaratan
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
7
Nomor:PER-07/MEN/IV/2005
Calon Tenaga Kerja Indonesia
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER-19/MEN/V/2006
Pelaksanaan Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri
administrasi dan teknis, sebagaimana diatur dalam Bab II terdiri atas Pasal 2 hingga Pasal 6 PPTKIS yang memiliki tempat penampungan calon TKI wajib memiliki ijin dengan memenuhi persyaratan Administrasi dan Teknis seperti yang diatur dalam Pasal 2 Persyaratan Administrasi di jelaskan dalam Pasal 3 Persyaratan teknis dijelaskan dalam Pasal 4 hingga Pasal 6 − Hak dan Kewajiban calon TKI di penampungan telah diatur dalam Bab III terdiri atas Pasal 7 hingga Pasal 10 Calon TKI yang ditampung dan jangka waktu penampungan diatur dalam Pasal 7 Hak penghuni penampungan calon TKI diatur dalam Pasal 8 Kewajiban penghuni penampungan calon TKI diatur dalam Pasal 9 Tata tertib diatur dalam Pasal 10 − Mulai berlakunya Peraturan Menteri diatur dalam Bab IV Pasal 11 dan Pasal 12 − Ketentuan Umum diterangkan dalam Bab I Pasal 1 − PPTKIS yang akan merekrut calon TKI harus memiliki Surat Izin Pengerahan (SIP). Tata cara pengurusan SIP diatur dalam Bab II Bagian Kesatu Pengurusan Surat Izin Pengerahan terdiri atas Pasal 2 hingga Pasal 5 − PPTKIS dapat melakukan rekrut setelah
Republik Indonesia FAHMI IDRIS
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia ERMAN SUPARNO
mendapatkan SIP serta surat pengantar rekrut dari BP3TKI. Tata cara rekrut diatur dalam Bab II Bagian Kedua Tata Cara Rekrut terdiri atas Pasal 6 hingga Pasal 16 Setelah menerima surat pengantar rekrut dari BP3TKI, PPTKIS bersama-sama instansi melakukan penyuluhan kepada calon TKI. Tata cara melaksanakan penyuluhan dan materi yang dimuat diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Persyaratan calon TKI yang direkrut dijelaskan dalam Pasal 9 Proses seleksi hingga hasil dari seleksi yang dilakuakan PPTKIS diatur dalam Pasal 10 hingga Pasal 15 Bagi calon TKI yang telah lulus seleksi dapat ditampung oleh PPTKIS untuk pelatihan kerja diatur oleh Pasal 16 Pelatihan kerja dilakukan sesuai dengan perundang-undangan di bidang pelatihan kerja diatur dalam Bab II Bagian Ketiga Pendidikan dan Pelatihan Kerja Pasal 17 Calon TKI yang telah lulus seleksi wajib melakukan pemeriksaan kesehatan dan psikologi diatur dalam Bab II Bagian Keempat Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Pasal 18 − Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) diatur dalam BAB III terdiri atas Pasal 19 hingga Pasal 28 Penanggung jawab PAP dijelaskan dalam Bab III
Bagian Kesatu Pasal 19 Pelaksanaan PAP diatur dalam Bab III Bagian Kedua terdiri atas Pasal 20 hingga Pasal 28 Tata cara peserta PAP, Jadual pelaksanaan dan banyaknya jam pelajaran PAP diatur dalam Pasal 20 hingga 22 Materi pelajaran yang diberikan dalam PAP diatur dalam Pasal 23 Ketentuan mengenai materi dan jam pelajaran PAP dapat ditentukan lain sesuai kebutuhan tertuang dalam Pasal 24 Calon TKI sudah harus menyelesaikan PAP selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum keberangkatan , tertuang dalam Pasal 25 Persyaratan Instruktur PAP diatur dalam Bab III Bagian Ketiga Pasal 28 Metode Penyampaian PAP daitur dalam Bab III Bagian Keempat Pasal 27 dan Pasal 28 − Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) merupakan tanda pengenal TKI yang telah dinyatakan memenuhi persyaratan untuk bekerja keluar negeri dan berfungsi sebagai keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (BFLN). KTKLN diatur dalam BAB IV terdiri atas Pasal 29 hingga Pasal 40 Bentuk KTKLN diatur dalam Bab IV Bagian Kesatu Bentuk KTKLN Pasal 29 Persyaratan untuk memperoleh KTKLN datur dalam Bab IV Bagian Kedua Persyaratan
−
− − −
Memperoleh KTKLN Pasal 30 Tata Cara Memperoleh KTKLN dan masa berlakunya diatur dalam Bab IV Bagian Ketiga Tata Cara Memperoleh KTKLN Pasal 31 hingga Pasal 32 Komponen Biaya lainnya yang dapat dibebankan kepada calon TKI diatur dalam Bab V terdiri atas Pasal 34 hingga Pasal 39 Selain komponen biaya pengurusan jati diri, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja, komponen biaya lain yang dapat dibebankan kepada calon TKI diatur dalam Pasal 34 Ketentuan mengenai penyelenggaraan asuransi perlindungan TKI diatur dengan Peraturan Menteri, tertuang dalam Pasal 35 Ketentuan bagi PPTKIS dalam menentukan biaya penempatan kepada calon TKI diatur dalam Pasal 36 hingga Pasal 38 Calon TKI dan PPTKIS dapat memanfaatkan fasilitas kredit yang disediakan oleh lembaga keuangan / perbankan, tertuang dalam Pasal 39 Pemulangan TKI dari negara tujuan sampai daerah asal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri tertuang dalam Bab VI Pasal 40 . Penempatan TKI untuk Kepentingan perusahaan sendiri diatur dalam Bab VII terdiri atas Pasal 41 dan Pasal 42 TKI yang bekerja secara perseorangan dan
− −
8
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER-23/MEN/V/2006
Asuransi Tenaga Kerja Indonesia
− − −
−
penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan terentu diatur dalam Bab VII Pasal 43 Ketentuan Peralihan diatur dalam Bab IX Pasal 44 Pencabutan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor : o KEP-104A/MEN/2002 o KEP-166/MEN/2002 o KEP-104A/MEN/2002 Serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor : PER-04/MEN/2005 Diatur dalam Bab X Pasal 45 Ketentuan Umum diatur dalam Bab I Pasal 1 PPTKIS wajib mengikutsertakan TKI dalam Program Asuransi TKI diatur dalam Pasal 2 Jenis Program Asuransi TKI meliputi : o Program Asuransi TKI Pra Penempatan o Program Asuransi Masa Penempatan o Program Asuransi Purna Penempatan diatur dalam Bab II Pasal 3 Perusahaan Asuransi yang dapat menyelenggarakan program asuransi TKI diatur dalam Bab III terdiri atas Pasal 4 hingga Pasal 12 Persyaratan Perusahaan Asuransi agar dapat menyelenggarakan program asuransi TKI harus memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 4 Pembentukan Konsorsium oleh perusahaan asuransi TKI dan tugas Konsorsium diatur pada
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia ERMAN SUPARNO
− − − − − −
Pasal 5 hingga Pasal 8 Besarnya premi asuransi TKI diatur dalam Pasal 9 Pengaturan pembayaran premi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 diatur di dalam Pasal 10 TKI yang memperpanjang perjanjian kerjanya di luar negeri wajib memperpanjang kepesertaan asuransi TKI hal tersebut diatur dalam Pasal 11 TKI yang menjadi peserta program asuransi TKI berhak memperoleh KPA tertuang dalam Pasal 12 Jangka Waktu Pertanggungan Asuransi TKI diatur dalam Bab IV Pasal 13 Klaim dan Kelengkapan Dokumen asuransi diatur dalam Bab V Pasal 14 Evaluasi dan Pelaporan dari konsorsium asuransi diatur dalam Bab VI Pasal 15 dan Pasal 16 Evaluasi dan Pelaporan dari konsorsium asuransi dilakukan secara berkala oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Laporan Evaluasi memuat hal-hal yang telah diatur dalam Bab VI Pasal 16 Sanksi Administratif diberikan Menteri atau pejabat yang ditunjuk diatur dalam Bab VIII Pasal 18 Ketentuan Peralihan diatur dalam Bab IX Pasal 19 dan Pasal 20 Ketentuan Penutup Bab X Pasal 21 menjelaskan
9
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:PER-32/MEN/XI/2006
Rencana Kerja Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Sarana Dan Prasarana Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
− −
− − 10
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:PER-33/MEN/XI/2006
Tata Cara Penyetoran, Penggunaan, Pencairan Dan Pengembalian Deposito Uang Jaminan
− −
dicabutnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-157/MEN/2003 Bab I Ketentuan Umum terdiri atas Pasal 1 Bab II Rencana Kerja Penempatan dan Perlindungan TKI terdiri atas Pasal 2 hingga Pasal 4 Pasal 2 menjelaskan bahwa perusahaan yang mengajukan permohonan SIPPTKI wajib memiliki rencana kerja penempatan dan perlindungan TKI sekurang-kurangnya dalam kurun waktu 3 tahun Rencana Kerja penempatan dan perlindungan TKI harus didasarkan pada hasil studi kelayakan yang dijelaskan dalam Pasal 3 Fungsi dan penyusunan rencana kerja diatur dalam pasal 4 Sarana dan Prasarana Pelayanan Penempatan TKI dijelaskan dalam Bab III Pasal 5 hingga pasal 7 Mulai berlakunya Peraturan Menteri dijelaskan dalam Bab IV Ketentuan Penutup Pasal 8 Bab I Pasal 1 menerangkan Ketentuan Umum Bab II Penyetoran Deposito Uang Jaminan terdiri atas Pasal 2 hingga Pasal 6 Besarnya uang yang harus di setorkan oleh PPTKIS kepada pemerintah diatur pada Pasal 2 Prosedur penunjukkan bukti kepemilikan deposito kepada pemerintah diatur dalam
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia ERMAN SUPARNO
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia ERMAN SUPARNO
11
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER-37/MEN/XII /2006
Tata Cara Pembentukan Kantor Cabang Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
12
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER-38/MEN/XII /2006
Tata Cara Pemberian, Perpanjangan Dan Pencabutan Surat Izin Pelaksana
Pasal 3 hingga Pasal 6 − Penggunaan Deposito Uang Jaminan diatur dalam Bab III Pasal 7 dan Pasal 8 − Pencairan Deposito Uang Jaminan diatur dalam Bab IV Pasal 9 hingga Pasal 11 − Pengembalian Deposito Uang Jaminan diatur dalam Bab V Pasal 12 dan Pasal 13 − Ketentuan Penutup diterangkan pada Bab Vi Pasal 14 − Bab I Pasal 1 membahas Ketentuan Umum − Tata cara pembentukan kantor cabang PPTKIS diatur dalam Bab II Tata Cara Pembentukan yang terdiri atas Pasal 2 dan Pasal 3 − Kewenangan Kantor Cabang diatur dalam Bab III Pasal 4 hingga Pasal 6 Pasal 6 menjelaskan bahwa segala kegiatan yang dilakukan di kantor cabang PPTKIS merupakan tanggung jawab kantor pusat PPTKIS − Ketentuan Peralihan diatur Bab IV Pasal 7 Ketentuan Penutup diatur Bab V Pasal 8 dan Pasal 9 − Bab I Pasal 1 membahas Ketentuan Umum − Tata Cara Penerbitan SIPPTKI diatur dan dijelaskan dalam Bab II Pasal 2 hingga Pasal 6 Pasal 2 menjelaskan dokumen yang diajukan PPTKIS dalam mendapatkan SIPPTKI Proses penerbitan SIPPTKI selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 3 hingga Pasal 6
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia ERMAN SUPARNO
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia ERMAN SUPARNO
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
13
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Kebijakan Reformasi Sistem
− Bab III mengatur dan menjelaskan Perpanjangan SIPPTKI terdiri atas Pasal 7 hingga Pasal 9 Masa berlaku SIPPTKI dan masa permohonan perpanjangan SIPPTKI diatur dalam Pasal 7 Kelengkapan persyaratan pengajuan perpanjangan SIPPTKI diatur dalam Pasal 8 Proses perpanjangan SIPPTKI selanjutnya dijelaskan Pasal 9 − Bab IV mengatur dan menjelaskan proses Perubahan SIPPTKI terdiri atas Pasal 10 dan Pasal 11 − Pencabutan SIPPTKI diatur dan dijelaskan dalam Bab V terdiri atas Pasal 12 hingga Pasal 15 Penyebab pencabutan SIPPTKI diatur dan dijelaskan pada Pasal 12 Proses Pencabutan SIPPTKI dijelaskan pada Pasal 13 hingga Pasal 14 PPTKIS harus tetap menyelesaikan kewajibannya seperti yang diatur pada pasal 15 − Ketentuan Peralihan dijelaskan pada Bab VI Pasal 16 − Ketentuan Lain-Lain dijelaskan pada Bab VII Pasal 17 − Ketentuan Penutup dijelaskan pada Bab VIII Pasal 18 Presiden − Pertama Republik o Pengambilan langkah-langkah yang Indonesia diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi dan
Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
−
− −
− −
14
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2006
Badan Nasional Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
−
−
kewenangan masing-masing dalam melaksanakan Instruksi Presiden Kedua o Pengambilan langkah-langkah berpedoman kepada program-program yang tercantum dalam Lampiran Instruksi Presiden Ketiga o Mengatur dan menjelaskan tugas dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Keempat o Mengatur dan menjelaskan tugas Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan Instruksi Presiden Kelima o Segala Biaya dari Instruksi Presiden dibebankan kepada APBN Keenam o Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut BNP2TKI, mempunyai kedudukan, tugas dan fungsi yang tertuang dalam Bab I Kedudukan, Tugas Dan Fungsi Pasal 1 hingga Pasal 4 Bab II Organisasi Bagian Kesatu Susunan
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Presiden Republik Indonesia DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Organisasi Pasal 5 mengatur susunan organisasi BNP2TKI. Keterangan dan tugas dari susunan organisasi yang disebutkan di Pasal 5 dijelaskan dalam Pasal 6 hingga Pasal 29 − Tata kerja BNP2TKI diatur dalam Bab III Tata Kerja yang terdiri atas Pasal 30 hingga Pasal 35 − Eselonisasi, Pengangkatan dan Pemberhentian anggota BNP2TKI diatur dalam Bab IV Eselonisasi, Pengangkatan dan Pemberhentian terdiri atas Pasal 36 hingga Pasal 39 − Kebutuhan Tenaga Profesional berfungsi untuk menggali pemikiran dan pandangan dari para ahli sidang penempatan dan perlindungan TKI guna mengoptimalkan pelaksanaan fungsi dan tugas BNP2TKI hal tersebut tertuang dalam Bab V Tenaga Profesional Pasal 40. Keterangan lebih lanjut dari Tenaga Profesional dijelaskan dalam Pasal 41 hingga Pasal 45 − Pembiayaan pelaksanaan tugas BNP2TKI diatur dan dijelaskan dalam Bab VI Pembiayaan Pasal 46 − Ketentuan lain dijelaskan dalam Bab VII Ketentuan Lain-Lain Pasal 47 − Bab VII mengatur Ketentuan Peralihan terdiri atas Pasal 48 hingga Pasal 50 − Mulai Berlakunya Peraturan Presiden dijelaskan dalam Bab IX Pasal 51
15
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.08-IZ.03.10 Tahun 2006
16
Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : F-960.IZ.03.02 Tahun 2006
Perubahan Keempat Atas Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01IZ.03.10 Tahun 1995 Tentang Paspor Biasa, Pas Untuk Orang Asing, Surat Perjalanan Laksana Paspor Untuk Warga Negara Indonesia, Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor Untuk Orang Asing Perubahan Ketiga Atas Petunjuk Pelaksanaan
− Menjelaskan mengenai Perubahan Keempat Atas Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-IZ.03.10 Tahun 1995 Tentang Paspor Biasa, Pas Untuk Orang Asing, Surat Perjalanan Laksana Paspor Untuk Warga Negara Indonesia, Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor Untuk Orang Asing
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia HAMID AWALLUDIN
− Menjelaskan mengenai Perubahan Ketiga Atas Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : F-458.IZ.03.02 Tahun 1997 Tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia
Plt. Direktur Jenderal Imigrasi MARVEL H. MANGUNSONG
17
Kesepakatan Bersama Antara Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : Kep.103/Men/II/2007 No.Pol : B / 306 / II /2007
Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : F458.IZ.03.02 Tahun 1997 Tentang Surat Perjalanan Republik Indonesia Penegakan Hukum Dalam Rangka Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri
− Maksud dan Tujuan dari Penandatanganan Kesepakatan Bersama Antara Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya akan disebut Para Pihak) dijelaskan dalam Bab I Maksud dan Tujuan Pasal 1 − Bab II Ruang Lingkup terdiri atas Pasal 2 menjelaskan ruang lingkup dari Kesepakatan Bersama ini − Bab III Pelaksanaan terdiri atas Pasal 3 hingga Pasal 8 menjelaskan pelaksanaan dari Kesepakatan Bersama ini − Bab IV Pembiayaan terdiri atas Pasal 9 menjelaskan pembiayaan dalam pelaksanaan Kesepakatan Bersama − Ketentuan Lain dijelaskan dalam Bab V Pasal 10 hingga Pasal 12
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi ERMAN SUPARNO Republik Indonesia dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia JENDERAL POLISI Drs.SUTANTO
Penggunaan Model Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam Strategi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas SDA dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal Nama Responden
:………………………………………………………………….
Pekerjaan Responden : …………………………………………………………………. Pendidikan Terakhir : …………………………………………………………………. Umur Responden
: ……… tahun
Alamat
: ………………………………………………………………….
Tanggal Pengisian
: …… - …… - 2009
Tanda tangan
: ………………………………………………………………….
Informasi dari kuesioner ini akan digunakan sebagai bahan masukan untuk menyusun disertasi atas nama Lisna Yoeliani Poeloengan, mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, IPB. Partisipasi dari responden sangat diharapkan demi kelancaran penyusunan disertasi ini dan diharapkan dalam menjawab kuesioner diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Semua jawaban dan identitas diri saudara akan dijamin kerahasiaannya dan hanya dipergunakan untuk keperluan penelitian disertasi ini.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PETUNJUK PENGISIAN Pengisian kuesioner dilakukan dengan cara membanding suatu faktor (komponen kiri dengan komponen kanan dari baris yang sama pada kolom isian), dan dilihat mana yang lebih berperan antara faktor-faktor tersebut untuk penentuan level di atasnya. Skala yang digunakan dalam pengisian adalah skala banding berpasangan sebagai berikut: Nilai 1
Kedua faktor sama pentingnya
Nilai 3
Faktor yang satu sedikit lebih penting daripada faktor lainnya
Nilai 5
Faktor satu esensial atau lebih penting daripada faktor lainnya
Nilai 7
Satu faktor jelas lebih penting daripada faktor lainnya
Nilai 9
Satu faktor mutlak lebih penting daripada faktor lainnya
Nilai 2,4,6,8
Nilai-nilai antara, diantara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Nilai Kebalikan
Jika untuk aktivitas i mendapat angka 2 jika dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai ½ dibandingkan dengan i.
Contoh: Bandingkan mana yang lebih penting Kemudahan Proses Penempatan di Luar Negeri dibandingkan dengan Kepastian Regulasi sebagai faktor kekuatan pemberdayaan TKLN untuk perbaikan sumberdaya alam. Maka: Jika Kemudahan Proses Penempatan di Luar Negeri yang dirasakan lebih penting, maka beri nilai 5 pada kolom isian sebelah kiri, jika jelas lebih penting beri nilai 7. Apabila sama pentingnya, maka beri nilai 1.
Struktur Hirarki Pemberdayaan TKLN Keputusan Strategis untuk Perbaikan Kualitas SDA dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal
Aksi Pemberdayaan TKLN dalam Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal
Level 0: Tujuan
Level 1: Aktor
TKLN
Level 2: Faktor
Kemudahan Proses Penempatan di Luar Negeri
Level 3: Strategi
PPTKIS
Pemerintah Pusat dan Daerah
Kepastian Regulasi
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder
Kebijakan Publik untuk Kepulangan
Lembaga Keuangan
Masyarakat Daerah Asal
Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan
Mutu TKLN
Pemberian Informasi Kerja Yang Benar
Sponsor
Memperkuat Sistem Informasi
Mengembangkan Kelembagaan
LSM
Pendampingan Kelestarian SDA dan Lingkungan
Peningkatan Pendampingan TKLN
1. MEMBANDING AKTOR Dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal, bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan diantara elemenelemen aktor pada level 1.
Sangat penting
Jelas lebih penting
Aktor
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting
Sedikit lebih penting
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
Aktor
1 2
TKLN TKLN
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
6 6
7 7
8 8
9 9
3
TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4 5 6 7
TKLN TKLN TKLN PPTKIS
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
4 4 4 4
3 3 3 3
2 2 2 2
1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3 3
4 4 4 4
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
8
PPTKIS
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9 10 11
PPTKIS PPTKIS PPTKIS
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
12
Pemerintah
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
13 14 15
Pemerintah Pemerintah Pemerintah Lembaga Keuangan Lembaga Keuangan Lembaga Keuangan Masyarakat Masyarakat Sponsor
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
PPTKIS Pemerintah Lembaga Keuangan Masyarakat Sponsor LSM Pemerintah Lembaga Keuangan Masyarakat Sponsor LSM Lembaga Keuangan Masyarakat Sponsor LSM
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Masyarakat
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sponsor
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
LSM
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
Sponsor LSM LSM
16 17 18 19 20 21
2. MEMBANDING FAKTOR 2.1. Bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar elemen-elemen faktor pada level 2 dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal dari segi aktor TKLN.
2
Kemudahan Penempatan Kemudahan Penempatan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Faktor
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Sedikit lebih penting
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
Faktor
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
7 8
Kepastian Regulasi Kepastian Regulasi
9
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
12
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
13
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
14
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
15
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kepastian Regulasi Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian
SDA 16
17
18
Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
19
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
20
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
21
Penguatan Sistem Informasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Pendampingan Kelestarian SDA
2.2. Bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar elemen-elemen faktor pada level 2 dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal dari segi aktor PPTKIS.
2
Kemudahan Penempatan Kemudahan Penempatan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Faktor
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Sedikit lebih penting
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
Faktor
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
7 8
Kepastian Regulasi Kepastian Regulasi
9
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
12
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
13
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
14
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
15
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
16
Infrastruktur
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kepastian Regulasi Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Mutu TKLN
17
18
Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
19
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
20
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
21
Penguatan Sistem Informasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Pendampingan Kelestarian SDA
2.3. Bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar elemen-elemen faktor pada level 2 dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal dari segi aktor Pemerintah Pusat dan Daerah.
2
Kemudahan Penempatan Kemudahan Penempatan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Faktor
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Sedikit lebih penting
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
Faktor
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
7 8
Kepastian Regulasi Kepastian Regulasi
9
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
12
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
13
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
14
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
15
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kepastian Regulasi Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian
SDA 16
17
18
Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
19
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
20
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
21
Penguatan Sistem Informasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Pendampingan Kelestarian SDA
2.4. Bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar elemen-elemen faktor pada level 2 dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal dari segi aktor Lembaga Keuangan.
2
Kemudahan Penempatan Kemudahan Penempatan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Faktor
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Sedikit lebih penting
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
Faktor
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
7 8
Kepastian Regulasi Kepastian Regulasi
9
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
12
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
13
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
14
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
15
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
16
Infrastruktur
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kepastian Regulasi Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Mutu TKLN
17
18
Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
19
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
20
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
21
Penguatan Sistem Informasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Pendampingan Kelestarian SDA
2.5. Bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar elemen-elemen faktor pada level 2 dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal dari segi aktor Masyarakat Daerah Asal.
2
Kemudahan Penempatan Kemudahan Penempatan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Faktor
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Sedikit lebih penting
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
Faktor
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
7 8
Kepastian Regulasi Kepastian Regulasi
9
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
12
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
13
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
14
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
15
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kepastian Regulasi Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian
SDA 16
17
18
Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
19
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
20
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
21
Penguatan Sistem Informasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Pendampingan Kelestarian SDA
2.6. Bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar elemen-elemen faktor pada level 2 dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal dari segi aktor Sponsor.
2
Kemudahan Penempatan Kemudahan Penempatan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Faktor
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Sedikit lebih penting
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
Faktor
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
7 8
Kepastian Regulasi Kepastian Regulasi
9
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
12
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
13
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
14
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
15
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
16
Infrastruktur
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kepastian Regulasi Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Mutu TKLN
17
18
Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
19
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
20
Mutu TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
21
Penguatan Sistem Informasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Pendampingan Kelestarian SDA
2.7. Bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar elemen-elemen faktor pada level 2 dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal dari segi aktor LSM.
2
Kemudahan Penempatan Kemudahan Penempatan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Faktor
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Sedikit lebih penting
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
Faktor
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6
Kemudahan Penempatan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
7 8
Kepastian Regulasi Kepastian Regulasi
9
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
Kepastian Regulasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
12
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
13
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
14
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
15
Kebijakan Kepulangan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
16
Infrastruktur
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kepastian Regulasi Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Kebijakan Kepulangan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Mutu TKLN Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Mutu TKLN
17
18
Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
19
Mutu TKI
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
20
Mutu TKI
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
21
Penguatan Sistem Informasi
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Penguatan Sistem Informasi Pendampingan Kelestarian SDA Pendampingan Kelestarian SDA
3. MEMBANDING STRATEGI 3.1. Dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal, bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar strategi-strategi pada level 3 dari segi Kemudahan Proses Penempatan di Luar Negeri. Alternatif Strategi
2
3
4
5
6
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pengembangan Kelembagaan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Sedikit lebih penting
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder
Alternatif Strategi
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pemberian Informasi Kerja yang Benar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN Peningkatan Pendampingan TKLN
3.2. Dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal, bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar strategi-strategi pada level 3 dari segi Kepastian Regulasi. Alternatif Strategi
2
3
4
5
6
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pengembangan Kelembagaan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Sedikit lebih penting
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder
Alternatif Strategi
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pemberian Informasi Kerja yang Benar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN Peningkatan Pendampingan TKLN
3.3. Dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal, bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar strategi-strategi pada level 3 dari segi Kebijakan Publik untuk Kepulangan. Alternatif Strategi
2
3
4
5
6
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pengembangan Kelembagaan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Sedikit lebih penting
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder
Alternatif Strategi
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pemberian Informasi Kerja yang Benar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN Peningkatan Pendampingan TKLN
3.4. Dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal, bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar strategi-strategi pada level 3 dari segi Infrastruktur Kelembagaan Pembiayaan. Alternatif Strategi
2
3
4
5
6
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pengembangan Kelembagaan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Sedikit lebih penting
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder
Alternatif Strategi
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pemberian Informasi Kerja yang Benar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN Peningkatan Pendampingan TKLN
3.5. Dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal, bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar strategi-strategi pada level 3 dari segi Mutu TKLN. Alternatif Strategi
2
3
4
5
6
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pengembangan Kelembagaan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Sedikit lebih penting
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder
Alternatif Strategi
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pemberian Informasi Kerja yang Benar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN Peningkatan Pendampingan TKLN
3.6. Dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal, bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar strategi-strategi pada level 3 dari segi Memperkuat Sistem Informasi. Alternatif Strategi
2
3
4
5
6
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pengembangan Kelembagaan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Sedikit lebih penting
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder
Alternatif Strategi
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pemberian Informasi Kerja yang Benar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN Peningkatan Pendampingan TKLN
3.7. Dalam kaitannya dengan Aksi Pemberdayaan TKLN untuk Perbaikan Kualitas Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permukiman di Daerah Asal, bagaimana pendapat saudara tentang perbandingan tingkat kepentingan antar strategi-strategi pada level 3 dari segi Pendampingan Kelestarian SDA dan Lingkungan. Alternatif Strategi
2
3
4
5
6
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Manajemen Kolaboratif Multistakeholder Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pemberian Informasi Kerja yang Benar Pengembangan Kelembagaan
Sangat penting
Jelas lebih penting
Penting
Sedikit lebih penting
Sama
Sedikit lebih penting
Penting
Jelas lebih penting
Sangat penting 1
Manajemen Kolaboratif Multistakeholder
Alternatif Strategi
← Tingkat Kepentingan yang Dirasakan →
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pemberian Informasi Kerja yang Benar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengembangan Kelembagaan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan Pendampingan TKLN Peningkatan Pendampingan TKLN