ANALISIS KARAKTERISASI NYAI DASIMA SEBAGAI POTRET PEREMPUAN BETAWI ZAMAN KOLONIAL BELANDA
SKRIPSI
BY EMI WITANTI NPM 10181018
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA FACULTY OF LANGUAGE AND LITERATURE ENGLISH DEPARTMENT 2014
ANALISIS KARAKTERISASI NYAI DASIMA SEBAGAI POTRET PEREMPUAN BETAWI ZAMAN KOLONIAL BELANDA
SKRIPSI Submitted in a partial fulfillment of the requirements for the Sarjana Degree in English
BY EMI WITANTI NPM 10181018
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA FACULTY OF LANGUAGE AND LITERATURE ENGLISH DEPARTMENT 2014
APPROVAL SHEET This thesis entitled Analisis Karakterisasi Nyai Dasima Sebagai Potret Perempuan Betawi Zaman Kolonial Belanda by Emi Witanti, NPM 10181018 has been approved to be presented in thesis examination.
Supervisor, Date : ......./ ......./ 2014
Yulis Setyowati, M.Pd NIDN. 0714077502
Acknowledged by The Head of Language and Literature Study Program
Yeni Probowati, S.Pd NIDN. 0718107701
iii
APPROVAL SHEET This thesis entitled Analisis Karakterisasi Nyai Dasima Sebagai Potret Perempuan Betawi Zaman Kolonial Belanda by Emi Witanti, NPM 10181018 has been examiners on August 13th, 2014.
Board of Examiners
Signature
Occupation
Drs. H. Mas Moeljono
.......................
First Examiner
.......................
Second Examiner
NIDN. 0720063502
Yeni Probowati, S.Pd NIDN. 0718107701
Acknowledged by The Dean of Faculty of Language and Literature
Dra. Arjunani, MM NIDN. 0715065202
iv
PERNYATAAN yang bertandatangan dibawah ini : Nama
: Emi Witanti
NPM
: 10181018
Fakultas
: Bahasa dan Sastra Inggris/ FBS
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Surabaya, 17 Juli 2014
(Emi Witanti)
v
MOTTO Kesusahan dan kesulitan adalah leksana musim dingin, basah dan lembab, tidak disukai insan. Tetapi sesudah musim sejuk itulah tumbuh bunga-bunga yang harum dan buahbuahan yang subur.
vi
PERSEMBAHAN Skripsi ini dipersembahkan kepada : Pertama, kedua orang tua. Bapak (Marwiyanto) dan Ibu (Suliani) yang saya cintai, sayangi, hargai dan hormati. Kedua, suami tercinta (Agus Setyabudi) yang selalu setia menemani, memberikan semangat dan dorongan baik bersifat moril maupun materil. Ketiga, anakku (Danendra Arya Agastya) dan adikku (Ade Juandani) yang saya banggakan, sayangi, dan kasihi. Keempat, semua teman-teman FBS angkatan 2010 yang selalu kompak dalam segala hal, serta teman-temanku yang lainnya yang tidak sempat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya. Kelima, almamaterku tercinta Universitas Wijaya Putra Surabaya.
vii
KATA PENGANTAR
Dengan penuh suka dan cita penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan keadaan baik. Skripsi ini disusun dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana pada jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Wijaya Putra Surabaya. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan serta motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak, baik yang dari lembaga maupun perorangan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Dra. Arjunani, MM., Dekan FBS UWP Surabaya; 2. Yeni Probowati, S.Pd., Ketua Progdi Pend. Bahasa dan Sastra Inggris UWP Surabaya; 3. Yulis Setyowati, M.Pd., Selaku pembimbing yang selalu sabar dan penuh ketelitian yang bersifat korektif dalam memberikan bimbingan dan arahan guna mempertajam analisis penulis. Keterbukaannya untuk menerima pendapat orang lain dan juga kritik-kritiknya membuka kesempatan lebih luas bagi penulis untuk mempelajari teori-teori postkolonial dalam menyelesaikan skripsi ini.
viii
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra yang telah memberikan ilmunya dengan ikhlas. 5. Kedua orang tua, yang selama ini memberikan dukungan, motivasi, dan semangat untuk tetap mempertahankan kuliah. 6. Suami tercinta yang selama ini selalu setia menemani, serta memberikan dukungan penuh baik moril maupun materiil. 7. Anakku tersayang yang selama ini membantu menghilangkan kejenuhan dalam penyusunan skripsi ini, serta Adikku terkasih yang selalu memberikan warna-warni dikehidupan saya. 8. Semua teman-teman FBS’10, teman kerja, dan semua orang-orang yang ada disekeliling saya yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Sebagai penelitian awal, skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Dan masih banyak dibutuhkan perbaikan serta penelitian lanjutan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran bagi pembaca. Semoga penelitian sederhana ini dapat menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi dunia ilmu sastra serta bermanfaat bagi penulis dan pembaca secara umum.
Surabaya, 17 Juli 2014 Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DEPAN ......................................................................................
i
SAMPUL DALAM ....................................................................................
ii
APPROVAL SHEET 1 ..............................................................................
iii
APPROVAL SHEET 2 ...............................................................................
iv
PERNYATAAN .........................................................................................
v
MOTO .........................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN .......................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ................................................................................
viii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
x
ABSTRAK .................................................................................................
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ...............................................................
1
A. B. C. D. E. F.
Latar Belakang Masalah ............................................... Rumusan Masalah ......................................................... Tujuan Penelitian .......................................................... Manfaat Penelitian ........................................................ Lingkup Penelitian ........................................................ Definisi Istilah ...............................................................
1 3 3 4 4 4
KAJIAN PUSTAKA ...........................................................
6
A. B. C. D. BAB III
Pendekatan Teori Feminisme Poskolonial .................. Potret Perempuan Kolonial ........................................... Eksistensi Perempuan Kolonial .................................... Karakterisasi .................................................................
6 9 12 14
METODOLOGI ..................................................................
15
A. B. C. D. E. F.
15 15 16 16 17 17
Metode Penelitian ......................................................... Subyek Penelitian ......................................................... Obyek Penelitian .......................................................... Teknik Pengumpulan Mata ........................................... Teknik dan Prosedur Analisa Data ................................ Data dan Sumber Data ...................................................
x
BAB IV
ANALISIS KARAKTERISASI NYAI DASIMA SEBAGAI POTRET PEREMPUAN BETAWI ZAMAN KOLONIAL BELANDA ......................................................................... 18 A. B. C. D. E. F. G.
Nyai Dasima Sebagai Perempuan Kolonial ................. Nyai Dasima Korban Kekejaman Kolonial .................. Nyai Dasima Cantik Tapi Mudah Dipengaruhi ........... Nyai Dasima Perempuan Yang Dikasihi ...................... Nyai Dasima Perempuan Pemberani ............................ Nyai Dasima Sosok Yang Sabar dan Teguh ................ Nyai Dasima Sosok Perempuan Yang Baik ................
19 20 23 26 27 28 30
PENUTUP ..........................................................................
34
SIMPULAN ........................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
35
BIBLIOGRAPHY ......................................................................................
36
SYNOPSIS .................................................................................................
37
BAB V
xi
ABSTRAK Witanti, Emi. 2014. Analisis Karakterisasi Nyai Dasima Sebagai Potret Perempuan Betawi Zaman Kolonial Belanda. Skripsi, English Department, Faculty of Language and Literature Universitas Wijaya Putra. Advisor : Yulis Setyowati, M.Pd Keywords : feminisme, potret perempuan, karakterisasi Skripsi ini mengkaji tentang Analisis Karakterisasi Nyai Dasima Sebagai Potret Perempuan Betawi Zaman Kolonial Belanda. Tujuan penelitian ini yakni untuk mendeskripsikan potret perempuan betawi dalam eksistensinya pada novel karya S.M Ardan. Hasil penelitian Analisis Karakterisasi Nyai Dasima Sebagai Potret Perempuan Betawi Zaman Kolonial Belanda yaitu menganalisis potret perempuan betawi dalam eksistensinya pada novel karya S.M Ardan berdasarkan dari segi sosial antarra lain tentang kasus kolonialisme dengan berbagai bentuk kekejaman baik fisik maupun non-fisik. Serta penokohan/ karakterisasi dari tokoh novel itu sendiri yakni Nyai Dasima yang memiliki pribadi yang baik dan cantik. Namun karena keluguhannya sehingga Nyai Dasima dapat dengan mudah untuk dipengaruhi. Berdasarkan Analisis Karakterisasi Nyai Dasima Sebagai Potret Perempuan Betawi Zaman Kolonial Belanda diatas, maka dapat disimpulkan bahwa novel tersebut dapat dijadikan sebagai wacanan dan pengetahuan bagi generasi penerus sebagai bangsa yang pernah dijajah khususnya terhadap wanita agar lebih bermartabat.
xii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah Kedatanganbangsa Barat pada awalnya bukan dengan maksud untuk menjajah. Artinya, kedatangan bangsa Barat tidak serta merta dapat dikaitkan dengan maksud mengadu domba, memecah belah, melakukan monopoli, berperang, dan berbagai tujuan lain untuk menguasai (Ratna in Yanti, Papers 2011:1). Namun, karena sumber daya alam di Indonesia yang kaya dan melimpah akan rempah dan tambangnya, niat kedatangan bangsa barat tersebut berubah menjadi ingin menguasai dan menjajah bangsa Indonesia. Sejak penjajahan Belanda di Indonesia pada abad 16 telah membawa beragam dampak bagi bangsa Indonesia sendiri. Dampak tersebut baik dalam bidang politik, budaya, ekonomi, dan sosial. Dua hal terakhir inilah yang saling berkaitan jika membicarakan mengenai seorang Nyai pada masa penjajahan Belanda. Dan berlanjut pada masa penjajahan Inggris tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada zaman kolonial, rakyat bumiputra diposisikan sebagai warga negara terendah didalam stratifikasi sosial masyarakat Hindia-Belanda. Bahkan orang Indonesia, menurut orang-orang Belanda waktu itu, adalah negeri para monyet, bangsa yang dianggap sebagai penjahat paling kejam dan tidak beradab. Karena pencitraan bangsa pribumi yakni sebagai orang yang haus harta, serakah, adu
1
2
domba, penghasut, pembuat onar, berpikiran sempit, irasional, dll. Persepsi orang Belanda terhadap warga pribumi diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia. Dan juga diceritakan oleh G. Francis dalam novel Tjerita Njai Dasima yang menampilkan tokoh-tokoh pribumi sebagai tokoh antagonis. Sedangkan SM. Ardan menulis ulang Nyai Dasima dari karya G. Francis yang berjudul Tjerita Njai Dasima. Perempuan pribumi pun dipandang sebagai perempuan rendahan dari kasta yang terendah, begitu rendahnya citra bangsa pribumi dimata bangsa Barat sehingga perempuan pribumi banyak yang dijadikan korban pergundikan akibat kolonialis Belanda dan dilanjut Inggris pada masa kolonial. Nasib korban pergundikan pun beragam, ada yang kurang beruntung, hanya sebagai pemenuh kebutuhan seksualitas saja dan ada pula yang bernasib beruntung. Nyai Dasima merupakan sebuah novel pendek karya G. Francis (18601915) yang diterbitkan oleh Kho Tjeng Bie & Co, Batavia 1896. Novel tersebut merupakan novel populer di masyarakat, sehingga cerita ini telah mengilhami dan membuat para sastrawan ikut melatah dengan menggarap tema-tema Nyai, seperti Njai Painah (1900),Njai Alimah (1904), Njai Aisyah (1915), Njai Soemirah (1917), Njai Marsina (1923). Namun disamping kepopulerannya, novel tersebut juga mendapat polemik dari sastrawan Indonesia seperti SM. Ardan. Karya Francis dinilai mendiskriminasi bangsa Indonesia yang anti-pribumi, antimuslim,dan lebih menonjolkan bangsa pribumi yang masih mempercayai mistik (guna-guna). Pada tahun 1960-lah Ardan mengubah manuskrip tersebut kedalam versi terbaru Tjerita Njai Dasima yang dipublikasikan sebagai cerita bersambung
3
berjudul “Njai Dasima” dalam koran Warta Berita, Sept-Okt 1960. Versi Ardan nampaknya cukup mendapat perhatian masyarakat maupun pengamat sastra, pada 1965 majalah Varia memuat kembali Nyai Dasima sebagai cerita bersambung dan saat itu juga penerbit Triwarsa dibukukan kemudian dicetak kembali pada 1971 oleh Pustaka Jaya. Ardan juga mengubah gaya bahasanya dari Melayu Pasar ke Bahasa Indonesia dengan bagian dialog yang menggunakan logat Betawi. Tak hanya Ardan saja, banyak sastrawan asing yang merekonstruksi manuskrip ini seperti Henry Chambert – Loir dalam “Malay Literature in the 19th Century”
menyebutkan
bahwa
di
Leningraad
terdapat
cerita
“Nyai
Dasima”,kemudian A.Th. Mausamana membuat Nyai Dasima dalam bahasa Belanda pada tahun 1926. Pada perkembangan selanjutnya cerita ini muncul sebagai bacaan anak – anak dalam Cerita Betawi (Ali, 1995). B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka timbul beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam Skripsi ini, yaitu: Bagaimana Karakterisasi Nyai Dasima Sebagai Potret Perempuan Betawi Zaman Kolonial Belanda dalam Novel Nyai Dasima Karya S.M Ardan? C.Tujuan Penelitian Tujuan dalam penulisan Skripsi ini adalah unruk mendeskripsikan potret perempuan dalam eksistensinya pada novel pendek “Nyai Dasima” karya S.M Ardan
4
D. Manfaat Penelitian Skripsi ini disusun dengan harapan dapat bermanfaat agar penelitian ini diharapkan mampu menyajikan dan memaparkandalam bentuk deskripsi potretpotret perempuan dalam eksistensinya pada novel pendek “Nyai Dasima” karya S.M Ardan
E. Lingkup Penelitian Untuk menghindari interpretasi yang salah dan kesalahpahaman dalam diskusi karena meluasnya masalah, disini penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini hanya pada pembahasan unsur ekstrinsik dalam novel pendek “Nyai Dasima” karya S.M Ardan dalam teori feminisme poskolonial yakni tentang penokohan karakter tokoh utama Nyai Dasima itu sendiri.
F. Definisi Istilah Dalam skripsi ini digunakan istilah umum dan tidak umum yang harus dijabarkan agar mengurangi kesalahpahaman pemikiran. Berikut beberapa istilah tersebut;
1.Feminisme Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring arti kata dari Feminisme adalah suatu gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.
5
2. Potret Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring arti kata dari Potret adalah suatu bentuk penggambaran atau paparan yang digunakan sebagai kata benda.
3.Karakterisasi Karakterisasi adalah perwatakan atau penokohan suatu tokoh dalam cerita.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kajian pustaka yang akan dipakai untuk menganalisis novel pendek “Nyai Dasima” karyaS.M Ardan. Pembahasan utama dalam novel pendek “Nyai Dasima” adalah potret dan karakterisasi perempuan dalam feminisme poskolonial atau post-colonial feminism. Hal itu menimbulkan
pergerakan-pergerakan
aktivis
perempuan
(feminis)
akibat
superioritas laki-laki. Atas dasar itu, muncullah pemikiran-pemikiran yang melandasi teori mengenai potret perempuan kolonial. Dan teori-teori inilah yang akan digunakan untuk menganalisis novel pendek “Nyai Dasima” karya S.M Ardan dalam teori feminisme poskolonial.
A. Penelitian dan Pendekatan Teori Feminisme Poskolonial
Banyak orang yang masih bingung dengan istilah postcolonial feminism. Sebelum kita mencoba membahas tentang teori feminisme pascakolonial, pertama-tama perlu kita ketahui “apakah teori poskolonial itu?
Salah satu pemikiran teori pascakolonial adalah pemikiran mengenai feminisme dan gender. Feminisme dan gender menjadi topik penting dalam teori pascakolonial karena baik patriarkhi dan imperialisme dilihat sebagai analogi hubungan dominasi terhadap pihak yang disubordinasikan dan adanya perdebatan
6
7
dalam beberapa masyarakat bekas kolonial tentang persoalan perbedaan gender dan tekanan kolonial dalam kehidupan perempuan (Sianipar, 2004). Teori feminis dan poskolonial memulai dengan usaha untuk melihat keterkaitan antara gender/ budaya/ etnisitas dengan cara menolak oposisi biner yang menjadi dasar dari otoritas patriarkhal dan kolonial. Teori oposisi biner ini telah banyak dikemukakan oleh feminis Perancis Helena Cixous, seorang novelis yang mengontraskan gaya menulis perempuan (I’ecriture feminine) dan gaya menulis laki-laki (I’ecriture masculine). Bagi Cixous, gaya menulis laki-laki mengakar pada libidonya, phallusnya yang mempunyai dasar pemikiran “phallogosentris”, (Gadis Arivia dalam www.srinthil.org, Artikel). Dalam pengertian yang lebih luas, postkolonial juga mengacu pada objek sebelum dan pada saat terjadinya kolonialisme. Dalam buku Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra karya Nyoman Kutha Ratna (Puji Santosa dalam www.badanbahasa.kemdikbud.go.id,
Artikel)
mengemukakan
lima
pokok
pengertian postkolonial, yaitu (1) menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial, (2) memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, (3) memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah, sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan, (4) membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis, dan (5) bukan semata-mata teori, melainkan kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperalisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.
8
Menurut Ania Loomba, Kolonialisme (dari kata latin: Colonia = pertanian – pemukiman) berarti menaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Dalam bentuk pemukiman baru (oleh pendatang) kerap terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia, antara penduduk lama dengan pendatang baru. Terkadang pembentukan komunitas (koloni) baru ini ditandai oleh usaha membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada dengan melibatkan praktek-praktek perdagangan, penjarahan, pembunuhan massal, perbudakan, dan pemberontakan (Sianipar, 2004). Lebih lanjut Ania Loomba (dalam Yani, papers) menyatakan bahwa hubungan antara pendatang baru dengan penduduk asli dalam perkembangan selanjutnya menimbulkan beberapa masalah hubungan yang kompleks dan traumatic dalam sejarah manusia. Permasalahan colonial seperti ini dikemukakan sebagai proses “pembentukan sebuah komunitas” didaerah jajahan. Peristiwa kolonialisme ini diabadikan oleh berbagai tulisan, catatan pribadi, dokumen perdagangan, arsip pemerintahan masa lalu, sastra dan tulisan ilmiah. Lalu apa definisi “pascakolonial”? ketika kolonialisme diartikan sebagai penaklukan negara imperial terhadap negara koloni, dan dalam tata dunia global penguasaan terhadap negara-negara koloni belum berakhir maka sebenarnya kolonialisme itu belum berakhir. Karena itu menggunakan istilah “pascakolonial” menjadi kurang relevan. Namun, jika dilihat dari segi wilayah dan waktu, memang kolonialisme secara harfiah sudah berakhir, dan sekarang kita berada dalam masa pascakolonial (Sianipar, 2004).
9
Dalam kaitannya dengan kritik sastra, menurut Day dan Foulcher postkolonial
dipahami
sebagai
suatu
kajian
tentang
bagaimana
sastra
mengungkapkan jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi antar ras,bangsa, dan budaya dalam kondisi hubungan kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak awal zaman imperialisme Eropa (Puji Santosa dalam www.badanbahasa.kemdikbud.go.id, Artikel). Jadi, menurut Day dan Foulcher, kritik postkolonial adalah suatu stategi yang mengkaji tentang konfrontasi pada kolonialisme dalam obyek penelitian sastra yang berkaitan dengan friksi tersebut. Berdasarkan pemahaman ideologi diatas, sesungguhnya sastra itu telah merekam jelas jejak kolonial bangsa barat terhadap bangsa kita, bangsa Indonesia, terutama masalah identitas bangsa inferior (terjajah) oleh kaum oriental. Paparan yang sama juga dikemukakan oleh Edward Said (dalam Yani, papers), yakni konstruk Barat (colonial) terhadap budaya dan identitas orang dan budaya Timur tidak terlepas dari kepentingan, ideology dan etnosentrisme Barat. Oleh karena itu fokus kajian poskolonial adalah masalah ketidak adilan dalam bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan oleh hegemoni, kolonialisme serta narsisme dan kekerasan epistemology Barat yang sudah berkembang sejak awal abad modern. B. Potret perempuan kolonial Manusia pada dasarnya mempunyai hak-hak asasi yang berupa hak untuk hidup, kebebasan dan hak atas harta benda. Kontrak antara warga masyarakat dengan fihak yang mempunyai wewenang sifatnya atas dasar faktor pamrih
10
(Locke dalam Soerjono, 1990:34). Jadi, arti dari pernyataan Locke yakni bahwa bangsa pribumi berhak untuk hidup sejahtera tanpa ada tekanan dari pihak lain (Bangsa Barat) yang sifatnya atas dasar ingin menguasai. Tak terkecuali perempuan yang juga menjadi objek eksploitasi seksual. Hak-hak mereka (perempuan) dibatasi hingga mereka mau menjadikan dirinya sebagai Nyai/ wanita piaraan/ simpanan (Gundik) bangsa Barat. Munculnya praktik pernyaian seperti yang terjadi disejumlah negara di Afrika-yaitu terutama akibat kolonialisme oleh pihak Barat-terjadi pula di Indonesia di masa lalu (Ibnu Wahyudi dalam www.srinthil.org, Artikel). Menurut J. Bierens De Haan (Soerjono, 1990:295) bahwa adanya kekuasaan dan wewenang pada setiap masyarakat, merupakan gejala wajar. Walaupun wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu sendiri, karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan Max Weber (Soerjono, 1990:296-297) berpendapat bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atas sekelompok orang untuk menyadarkan
masyarakat
akan
kemauannya
sendiri,
dengan
sekaligus
menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Kekuasaan mempunyai aneka macam bentuk, dan bermacam-macam sumber. Hak milik kebendaan dan kedudukan adalah sumber kekuasaan. Dampak dari kekuasaan bangsa Barat terhadap kaum pribumi sangat berpengaruh baik dalam bidang politik, sosial, budaya, khususnya dalam perekonomian dan pendidikan bangsa Indonesia. Dari kedua dampak yang
11
terakhir, praktik kolonial telah membuat rakyat pribumi tidak bisa mengenyam pendidikan dengan baik akibat perekonomian yang buruk, sebab pada waktu itu bangsa pribumi mengalami kerja paksa tanpa diberi upah. Dan hanya golongan tertentu yang bisa memakan bangku pendidikan seperti para lelaki bangsa Barat, china dan keturunannya, dan rakyat pribumi yang berasal dari kelas sosial atas atau golongan priyayi. Tak heran jika perempuan-perempuan terpaksa menjadi gundik tuan putih kolonial karena adanya superioritas laki-laki. Seperti Nicholas de Graff (Ibnu Wahyudi dalam www.srinthil.org, Artikel) menyatakan bahwa para nyai itu umumnya bodoh dan sama sekali tidak intelektual, atau bahwa para nyai itu umumnya seperti batu atau mempunyai otak yang bebal sebagaimana dinyatakan oleh There Hoven dalam bukunya Uit he Land der Klapperboomen (1897), hal itu sesungguhnya dapat betul dan dapat saja hanya merupakan generalisasi yang tidak sahih. Terbatasnya kesempatan bagi rakyat pribumi untuk bersekolah, hal itu dikarenakan kebijakan kolonial yang semata-mata menginginkan rakyat pribumi menjadi bodoh karena bangsa Barat takut jika rakyat pribumi mendapat pendidikan sekolah akan menjadi pintar dan kemungkinan besar akan melakukan pemberontakan dan mungkin juga karena fasilitas dan prasarana pendidikan yang memang masih sangat terbatas. Namun disisi lain, dalam kasus pernyaian di Indonesia umumnya identik beruntung, karena dapat hidup secara lebih sejahtera dibandingkan dengan kehidupannya yang sebelumnya, menderita. Seperti yang dikatakan Abeyasekere (Ibnu Wahyudi dalam www.srinthil.org, Artikel) bahwa menjadi nyai pada masa
12
kolonial di Indonesia umumnya identik menjadi perempuan yang beruntung karena dengan statusnya sebagai nyai itu seseorang perempuan dapat hidup secara lebih sejahtera yang jauh dari kehidupan sebelumnya yang umumnya menderita. C. Eksistensi Perempuan kolonial Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni. Eksistensialisme berupaya untuk memahami manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada pada situasi yang khusus dan unik. Blackham mengatakan bahwa Eksistensialisme adalah suatu filsafat keberadaan, suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu penolakan terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang kebenaran (Rapar, 1996:116). Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada didalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada disamping yang lain, tanpa hubungan (Hadiwijono, 1980:148). Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari katakerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Ia dapat meragukan segala sesuatu, tetapi satu hal yang pasti, yaitu bahwa dirinya ada. dirinya itu disebut "aku". Segala sesuatu disekitarnya dihubungkan dengan dirinya (mejaku, kursiku, temanku, dsb). Di dalam dunia manusia menentukan keadaannya dengan perbuatan-perbuatannya. Ia
13
mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya dengan seolah-olah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang diluar dirinya. Ia menggunakan benda-benda yang disekitarnya. Dengan kesibukannya itulah ia menemukan dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia diluarnya. Demikianlah ia berinteraksi (Hadiwijono, 1980:148). Hakikat keberadaan manusia pula merupakan dasar dan arah dari pengetahuan. Schelling, sebagaimana dikutip oleh Save Dagun (1990:31), menempatkan eksistensi manusia sebagai hal yang paling prinsipiil. Menurut Schelling, eksistensi manusia termasuk citra keagungannya itu mengatasi keniscayaan logis dari unsur-unsur universal. Heidegger menunjukkan bahwa eksistensi manusia telah menjadi sesuatu hal yang dilupakan dalam teknologi modern. Teknologi modern memandang eksistensi dan martabat keagungan manusia sebagai objek yang dapat saja ditangani, dimanipulasi, atau dimiliki. Eksistensi manusia dalam hal ini dilihat oleh teknologi modern sebagai suatu “stok” atau persediaan (Watloly, 2001:120). Menurut Sugihastuti dan Suharto (dalam Noorvianti, Thesis) bahwa kaum perempuan dihadapkan pada banyak ketidakpastian yang menimbulkan oleh perubahan dalam masyarakat maupun perubahan dalam keluarga. Ketidakpastian semacam itulah yang akhirnya melahirkan pada perjuangan perempuan dalam menempatkan eksistensinya.
14
D. Penokohan atau Karakterisasi Penokohan atau karakterisasi sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan dan menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Edward H. Jones
dalam Yanti,
Papers). Menurut Jones penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Pandangan tentang penokohan tersebut merupakan satu kesatuan yang terpenting dalam membangun sebuah cerita. Penokohan tidak hanya berperan dalam menunjukkan suatu sifat kejiwaan sebagai pembeda dari yang lainnya saja, tetapi penokohan juga merupakan suatu peranan yang berfungsi untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema. Karakterisasi atau dalam bahasa Inggris Characterization, berarti pemeranan, pelukisan watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Cara menentukan karakter (tokoh) – dalam hal ini tokoh imajinatif – dan menentukan menentukan tokoh atau watak karakter sangat berbeda (Minderop, 2005:2). Menurut Suhariyanto (dalam Noorvianti, Thesis) mengatakan bahwa penokohan atau perwatakan adalah pelukisan tokoh cerita baik keadaan lahirnya maupun batinnya dapat berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya dan sebagainya.
BAB III METODOLOGI
A. Metode Penelitian Kata metode berasal dari kata methodos (bahasa latin), sedangkan methodos itu sendiri berasal dari kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah. Sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas, metode dianggap sebagai cara-cara strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat berikutnya. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih muda untuk dapat dipecahkan dan dipahami (Ratna,2009:34) Pada tahap analisa data, metode yang digunakan peneliti adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Dan teori sastra yang digunakan dalam penelitian yaitu feminis poskolonial. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan (Ratna,2009:47). Sedangkan secara etimologi deskripsi dan analisis berarti menguraikan. menguraikan dari inti pokok penelitian. B. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah novel pendek Nyai Dasima karya S.M Ardan (1960) yang diterbitkan oleh Masup Jakarta (2013) cetakan kedua dalam dua 15
16
versi, karya S.M. Ardan dan G. Francis.Pada abad ke-19 novel ini merupakan novel populer, hingga abad ke-20 novel tersebut masih menarik perhatian masyarakat dalam dunia sastra. C.Obyek Penelitian Objek penelitian ini adalah teorifeminis poskolonial yang difokuskan pada potret dan karakterisasi Nyai Dasima, gambaran tentang kehidupan pada tokoh Nyai Dasima yang mengalami kolonialismeserta sikap dalam menghadapi konfrontasi batin yang ada pada novel pendek Nyai Dasima. D.Teknik Pengumpulan Data Data-data dalam penelitian ini adalah dengan teknik pustaka. Mencari dan mengupulkan informasi yang bisa digunakan untuk mendukung data, bisa berasal dari buku-buku, internet dan kalimat yang berasal dari novel pendek Nyai Dasima. Data yang dikumpulkan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Membaca secara keseluruhan novel bertujuan untuk mengetahui secara umum isi dan alur cerita dalam novel tersebut, 2. Membaca dengan cermat yang didalamnya sudah dilakukan kegiatan menganalisis suatu kalimat, paragraph, dialog maupun monolog yang berhubungan dengan karakterisasi dan konfrontasi batin dari pemeran utama (Nyai Dasima) ditinjau dari teori feminis poskolonial. 3. Mencatat hasil pembacaan yang berhubungan dengan karakterisasi dan konfrontasi batin dari pemeran utama Nyai Dasima dalam data.
17
E.Teknik dan Prosedur Analisa Data Peneliti dalam penganalisisan data tentang kolonialisme khususnya tentang potret dan karakterisasi Nyai Dasima dengan menggunakan teori yang telah menjadi landasan dalam kajian teori, terutama pada teori feminisme dan poskolonial. Akan tetapi, dalam penganalisisan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif analisis data. Teori analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori feminisme poskolonial. Teknik analisis data menurut Miles dan Hubermen (dalam Yanti, papers 2011:6) dilakukan dengan menempuh model alir, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ verifikasi. F.Data dan Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian ini adalah tentang feminisme poskolonial, khususnya tentang potret dan karakterisasi Nyai Dasima yang diceritakan oleh pengarang, Ardan. Feminisme Poskolonial merupakan data utama dalam penelitian ini, sedangkan untuk memperjelas pemaknaan peneliti menyertakan data penunjang yang berupa uraian yang terkait sebagai sumber kepustakaan. Peneliti untuk mendapatkan data tentang feminisme poskolonial, khususnya tentang potret dan karakterisasi yang mengambil dari sumber data berupa novel Nyai Dasima karya SM. Ardan. Novel ini merupakan novel cetakan kedua yang diterbitkan Masup Jakarta, Depok, pada Desember 2013.
BAB IV ANALISIS KARAKTERISASI NYAI DASIMA SEBAGAI POTRET PEREMPUAN BETAWI ZAMAN KOLONIAL BELANDA
Cerita Nyai Dasima berlatar waktu sekitar tahun 1820-an yang terjadi di kampung kwitang sekitaran Tangerang dan Batavia pada zaman pemerintahan Hindia-Belanda yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles. Pada masa tersebut, bangsa Indonesia mengalami penjajahan, perbudakan sedangkan kaum perempuan mengalami pergundikan dan pembodohan akibat kolonialisme oleh para bangsa kulit putih. Tidak hanya itu saja, nampaknya hampir seluruh aspek telah dipengaruhi bangsa koloni baik dari bidang politik, hukum, sosial, budaya maupun pendidikan, dll. Seperti dalam buku Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra karya Nyoman Kutha Ratna (dalam www.badanbahasa.kemdikbud.go.id, Artikel Puji Santosa) yang mengemukakan lima pokok pengertian Postkolonial dalam kajian pustaka peneliti pada point ke “(4) membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis, Dan(5) bukan semata-mata teori, melainkan kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperalisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya”. Hal itu jelas point ke empat dari buku Ratna menggambarkan dalam kehidupan bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda bahwa bangsa pribumi mengalami berbagai macam penjajahan
18
19
dalam bentuk fisik yakni, pergundikan, perbudakan, kerja paksa (namun tidak diberi upah), sedangkan penjajahan dalam bentuk psikis merupakan suatu akibat dari penjajahan bentuk fisik sehingga secara psikis masyarakat pribumi mengalami traumatik baik dari golongan tua, muda hingga anak-anak. Namun dari situlah bangsa Indonesia dituntut untuk melakukan perlawanan dengan memerangi penjajahan yang bersifat apapun baik imperalisme, orientalisme, rasialisme, serta hegemoni lainnya. A. Nyai Dasima sebagai perempuan kolonial Dalam novel, Ardan menceritakan sosok Nyai Dasima sebagai perempuan korban kolonial Inggris yang ingin mengembalikan posisi dirinya serta mengangkat harkat dan martabatnya dalam belenggu pernyaian alias gundik oleh Tuan putih kolonial, yang selama 7 tahun telah menjalin hubungan dan hidup bersama tanpa adanya sebuah ikatan pernikahan hingga mereka menghasilkan seorang putri yang bernama Nancy. Di kehidupan Nyai dengan Tuan putih kolonial, diceritakan bahwa mereka kaya raya, hidup mewah dalam rumah gedongan. Namun, dibalik itu Nyai merasa kesepian meski tinggal di gedongan. Seperti yang tercermin dalam kata-katanya : “Di gedong saya tidak punya teman kecuali Nancy anak saya. Kalau dia sudah tidur ... sepi. Kalau Nancy sekolah dan Mak Buyung tidak ada ...” ............................... “Tujuh tahun saya tinggalkan Kuripan dibawa Tuan ke Betawi”, mulai Dasima mengadukan nasibnya. “tujuh tahun saya kesepian, jauh dari orang tua, jauh dari teman, jauh dari bangsa sendiri. saya sering melamun sendirian, apalagi kalau malam dan Nancy sudah tidur.” (Nyai Dasima, 2013:14)
20
Berdasarkan pernyataan kutipan tersebut bahwa Nyai memang secara lahir kebutuhannya tercukupi oleh Tuannya. Nyai diberi pakaian dan perhiasan yang mahal dan indah. Namun tidak batinnya, karena secara batin Nyai selama 7 tahun kehidupannya dibatasi oleh Tuannya, tidak boleh bergaul dan berinteraksi dengan orang kampung dan teman-teman, dari lingkungan pribumi. Hal itu menunjukkan bahwa adanya pembatasan hak asasi manusia (HAM). Menurut Locke dalam kajian pustaka bahwa manusia pada dasarnya mempunyai hak-hak asasi yang berupa hak untuk hidup, kebebasan dan hak atas harta benda (Soerjono, 1990:34). Namun Nyai dalam novel yang bertemakan kolonialisme tersebut menunjukkan bahwa tidak memenuhi kriteria atas adanya Hak Asasi Manusia (HAM). Selain merasa kesepian didalam gedong, Nyai juga menceritakan dirinya yang sering direndahkan sebagai perempuan kampungan. Seperti yang tercermin dalam kata-kata berikut: “Hampir tiap malam Tuan terima tamu bangsanya, tapi saya tidak bisa ikut mereka, saya tidak bisa ketawa-tawa bersama mereka, saya tidak bisa mengerti omong mereka,” jawab Dasima makin redup. “Dan lebih parah lagi, karena saya selalu dihina sebagai kampung, Oh, tujuh tahun tersiksa jauh dari teman-teman, dari bangsa sendiri dan orang tua.” (Nyai Dasima: 15) Berdasarkan kutipan tersebut, bahwa Nyai juga merupakan korban pembodohan oleh Tuan putih kolonial, hal itu jelas menunjukkan bahwa Nyai didalam gedonghanya dijadikan sebagai boneka buatan Tuan putih kolonial saja. Nyai Didandani dengan pakaian dan perhiasan namun hak untuk berkumpul dengan lingkungan pribumi dibatasi sedangkan Tuan hampir setiap hari menerima tamu dari bangsanya. Hal itu merupakan tindakan yang tidak adil. Sehingga
21
penulis bertanya-tanya, kenapa Nyaitidak dilibatkan dalam interaksi Tuan dengan bangsanya? Kenapa Nyai tidak diajarkan bahasa bangsanya agar memudahkan Nyai untuk berinteraksi dengan bangsa Tuan sedangkan hak-hak Nyai dibatasi? Hal itu jelas terjawab kalau Nyai hanya digunakan sebagai objek penyaluran hasrat
seksual
tuan
putih
kolonial
sehingga
Nyai
dibiarkan
dalam
kebodohan.Seperti Nicholas de Graff (Ibnu Wahyudi dalam www.srinthil.org, Artikel) yang terdapat pada kajian pustaka menyatakan bahwa para nyai itu umumnya bodoh dan sama sekali tidak intelektual, atau bahwa para nyai itu umumnya seperti batu atau mempunyai otak yang bebal. Maka dari pernyataan teori tersebut sesuai dengan apa yang dialami Dasima dalam kehidupan sebagai Nyai Tuan putih kolonial. Dan secara langsung maupun tidak langsung, akan mengalami tekanan pada batinnyayang sering kali dihina oleh bangsa Barat sebagai perempuan kampungan. Demikianlah sosok Nyai Dasima sebagai perempuan kolonial Inggris dalam kehidupan sosial. Baik kolonialisme terhadap pembatasan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), berbagai bentuk tindakan pembodohan, serta berbagai adanya praktik pergundikan yang semata-mata hanya untuk menyalurkan hasrat seksual para Tuan putih kolonial saja. B. Nyai Dasima korban kekejaman kolonial Bukti adanya kekejaman dalam kolonialisme terhadap perempuanperempuan pribumi yakni adanya sistem pergundikan. Sistem pergundikan tersebut memaksa perempuan pribumi dieksploitasi untuk kepentingan kolonial
22
Belanda. Perempuan pada masa kolonial mayoritas bekerja sebagai budak dirumah-rumah orang Belanda. Jika salah satu dari mereka menjadi Nya, statusnya naik dari seorang pembantu menjadi tuan rumah tidak resmi. Nyai adalah sebutan bagi perempuan pribumi yang menjadi istri tidak resmi laki-laki bangsa Eropa. meskipun demikian, perlakuan terhadap perempuan yang menjadi gundik tersebut terasa tidak adil. Selain ketidakadilan dalam sistem pergundikan, perempuan-perempuan pribumi kerap mengalami dan menjadi korban kekejaman para kolonial. salah satunya yakni Nyai Dasima yang telah menjadi korban kekejaman Tuannya. Seperti yang tercermin dalam kata-katanya: Kejadiannya begitu cepat. Kelihatan Dasima berlari-lari di jembatan sambil berteriak-teriak. “Bang, tulung Bang... tulung!” tak jauh di belakangnya menyusul Bang Pause yang setiba ditengah jembatan, tak kuasa lagi meneruskan langkahnya. Kakinya mendadak lemas mendengar jeritan Dasima yang melengking tinggi. Tamatlah sudah riwayat Dasima di ujung golok Bang Pause! (Nyai Dasima: 69-70) Berdasarkan kutipan tersebut, Ardan menceritakan akhir hayat kehidupan Nyai yang harus berakhir ditangan Bang Pause. Nyai dibunuh oleh Bang Pause lantaran karena suruhan/ orang bayaran Tuan putih kolonial, bekas Tuannya Dasima. Begitulah cerita akhir kehidupan Nyai Dasima terbunuh oleh Bang Pause, orang bayaran Tuan W. Nyai dibunuh karena Nyai ingin lepas dari Tuannya untuk bisa menikah dengan Samiun, dan hal tersebut dianggap oleh Tuan putih kolonial sebagai penghinaan atas dirinya. Maka dari cerita tersebut dapat disimpulkan
23
bahwa Nyai Dasima selain menjadi korban kolonial Inggris, Nyai Dasima juga merupakan korban kekejaman Tuan kolonial, yang sedikit-sedikit membunuh jika menganggap perbuatan seseorang tersebut merupakan suatu penghinaan bagi dirinya. C. Nyai Dasima sosok perempuan cantik tapi mudah dipengaruhi Pada masa kolonial Hindia-Belanda, perempuan-perempuan desa atau kampung yang masih muda belia, dibawanya ke kota oleh para kolonial untuk diperkerjakan dirumah-rumah para Tuan kolonial. sedangkan perempuanperempuan yang memiliki wajah cantik, dijadikan sebagai gundik Tuan kolonial. hal tersebut semata-mata hanya sebagai pemuas hasrat seksual para kolonial saja. Seperti Nyai Dasima yang diceritakan Ardan sebagai salah satu perempuan cantik nan anggun yang menjadi korban kolonialisme para bangsa Eropa. seperti yang tercermin dalam kutipan berikut : Sementara itu dijembatan tampak Nyai Dasima berjalan dari kiri diiringi Mak Buyung. Langkah Dasima menambahkan kecantikan wajahnya. Kemudian menghilang untuk muncul lagi dari kanan dan terbungkuk-bungkuk Mak Buyung mempersilahkan Nyai duduk dikursi yang setengah rusak. “Duduk dulu deh, Nyi. Saye ke dalem sebentar.” (Nyai Dasima: 12) Jika
kita
membaca
kutipan
tersebut
dengan
menerawang
atau
membayangkan sosok Nyai dasima yang diceritakan oleh Ardan, pikiran kita tentu jelas menebak bahwa Nyai dasima itu perempuan cantik. Dan disetiap langkah Nyai Dasima yang anggun akan menambah kecantikan diwajahnya. hal tersebut dapat digambarkan bahwa Nyai Dasima seperti seorang putri. sebab seorang putri biasanya ditabiatkan memiliki wajah cantik, dan berlaku anggun.
24
Dalam pencerminan sosok Nyai Dasima yang cantik dan anggun, maka hal tersebut jelas tidak mengherankan jika banyak laki-laki yang menyukai dan menginginkan Nyai Dasima. Dan tidak sedikit pula laki-laki yang membujuk Nyai Dasima agar mau menikah dengannya, tak terkecuali Mak Buyung yang merupakan suruhan Samiun untuk membujuk dan mempengaruhi Nyai Dasima agar mau menikah dengannya. Seperti dengan kata-kata berikut : “Mahap ye Mak ngelancangin nih. Rupe Nyai bagus, masi mude, ibarat duren mateng di puun, ude banyak nyang nunggu jatonye. Ngarti, Nyi?” (Nyai Dasima: 44) Mak Buyung yang merupakan orang suruhan Samiun yang mencoba untuk membujuk dan mempengaruhi Nyai Dasima agar mau menikah dengannya. Dengan mengelem-elem pesona Nyai Dasima dan mempengaruhi untuk berfikir angkuh bahwa orang cantik sudah dipastikan banyak yang menunggu meskipun statusnya Nyai sekalipun. Selanjutnya Nyai Dasima terpengaruh oleh kata-kata Mak Buyung sehingga Nyai Dasima merasa tidak nyaman dengan statusnya yang hanya sebatas “Gundik” Tuan putih kolonial. Dan Nyai pun datang ke Samiun atas kesadarannya sendiri, ingin lepas dari cengkraman Tuan putih kolonial. Bukan lantaran gunaguna alias pelet Wak Haji Salihun. Seperti yang tercermin dalam kata-kata berikut: ............“Saya suka sama Bang Samiun.” Alangkah girangnya Mak Buyung. “Bener, Nyi?” tapi Dasima coba menutupi keterlanjurannya. “Nancy juga suka Abang Samiun.”
25
“Oh, gitu...,” kata Mak Buyung, dan Dasima melanjutkan, “sebab itu saya setuju Abang Samiun jadi langganan. Antar pulang-pergi Nancy ke sekolah.” (Nyai Dasima: 17) Dari kutipan tersebut, Nyai terlihat mudah untuk dipengaruhi. Hanya dengan menonjolkan kebaikan-kebaikan orang tersebut, tanpa berfikir panjang dengan status Samiun yang beristrikan Hayati, Nyai telah terperdaya sehingga mudah pula Mak Buyung untuk memanfaatkan situasi tersebut. Hal tersebut juga diperkuat dengan fakta dari aksi atau tindakan Mak Buyung terhadap Nyai dengan memanfaatkan suasana hati Nyai yang sedang dilema oleh masalah pribadinya dengan Tuan putih kolonial sehingga Mak Buyung dengan leluasa memperdaya Nyai dengan elem-elemin Samiun. Seperti kutipan berikut : “Jangan kewatir deh, Nyi. Pendeknye, begitu lepas ame Tuan, kagak bakalan jato ke pecomberan. Nggak sedikit nyang mau nanggapin Nyai, banyak nyang mau ngebebain. Percaye deh!” (Nyai Dasima: 44) Berdasarkan kutipan tersebut, Mak Buyung mencoba meyakinkan Nyai Dasima bahwa apabila Nyai sudah terlepas dari Tuannya, Nyai tidak akan terperosok kedalam jurang kenistaan. hal tersebut dilakukan agar Nyai masuk kedalam perangkapnya dan Nyai bisa segera lepas dari Tuan putih kolonial. Mak Buyung tidak bosan menanggapi alasan-alasan Nyai yang juga berat untuk berpisah dengan Tuannya. Seperti yang tercermin dalam kata-katanya : “Memang sudah lama saya ingin lepas, tapi sebegitu lama sama Tuan...” dan Mak Buyung cepat-cepat memotong, “Memang Tuan mau cere Nyai kerne kepakse, Tuan masi sayang ame Nyai. Tapi jangan lupe Nyi, Tuan laen bangse, laen negri, laen igame.
26
Umpame kate, Tuan dapetin perempuan bangsenye, tentunye Nyai dibuang. Na, kalu ude gitu, mau bilang ape coba?” (Nyai Dasima: 44) Dari kutipan tersebut, Mak Buyung berusaha keras untuk menghasut Nyai agar Nyai menuruti omongan Mak. Segala hal Mak lakukan agar Nyai bisa lepas dan bisa menikah dengan Samiun, seperti yang disanggupkan Mak Buyung untuk membantu Samiun mendapatkan Nyai Dasima. Demikianlah penggambaran Nyai Dasima yang diceritakan Ardan sebagai sosok perempuan yang mudah dipengaruhi serta memiliki paras cantik yang dipuja-puja dan dikagumi oleh banyak lelaki baik dari golongan pribumi maupun Tuan putih kolonial. D. Nyai Dasima sosok perempuan yang dikasihi Banyak lelaki yang terpikat dengan kecantikan Nyai Dasima, tak terkecuali juga Tuan W. karena kecantikannya, Tuan sangat menyayangi Nyai. Terbukti ketika Nyai ingin bercerai dengan Tuan, dan Tuan mencoba untuk membujuknya namun Nyai tetep kokoh ingin cerai. Seperti dengan kata-kata berikut : .......... “Memang Tuan mau cere Nyai kerne kepakse, Tuan masi sayang ame Nyai.”......... (Nyai Dasima: 44) Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Tuan W dengan terpaksa mau menuruti keinginan Nyai untuk bercerai, meskipun Tuan masih sangat menyayangi Nyai.
27
Begitu sayangnya Tuan W hingga ia mau melepaskan semua hartanya kecuali Nancy. hal tersebut tercermin dalam kata-katanya : “Tuan lepas saya, Tuan mau kasi saya uang, barang segala rupa. Tapi Nancy Tuan yang ambil, Mak.”................. “Apa arti harta dibandingkan dengan Nancy seorang Mak,” jawab Dasima dengan air mata mengembang. “Bagi saya dia adalah segala-galanya, Mak,” lalu menuju kursi dan menjatuhkan diri di sana mengeluh. “Oh, Nancy ... Nancy.” (Nyai Dasima: 46) Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Tuan W sangat menyayangi Nyai, ketika Tuan tidak bisa mempertahankan dan tidak berhasil membujuk Nyai untuk mengurungkan niatnya untuk bercerai, Tuan dengan terpaksa melepaskan Nyai, dan memberikan semua hartanya kepada Nyai, kecuali Nancy, putri mereka. Mungkin Tuan hanya menginginkan Nancy, sebab Tuan ingin mengenang semua kenangan bersama Nyai Dasima lewat Nancy. Namun sebagai seorang Ibu, tentunya Nyai tidak rela dijauhkan dengan putrinya, Nancy. E. Nyai Dasima sebagai perempuan pemberani “Tuan sudah tahu saya suka datang ke mari. Lantas lagi-lagi saya dihina sebagai orang kampung, Tuan amat marah.” “Abis?” terloncat tanya dari mulut Mak Leha yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. “Saya tidak sudi direndahkan,” omongan Dasima mulai teratur. “Habis sudah kesabaran saya. Saya ... juga marah sama Tuan.” (Nyai Dasima: 42) Berdasarkan kutipan tersebut Nyai Dasima dicaci maki oleh Tuannya, hingga melampaui batas kesabaran Nyai. Berbagai caci maki dan hinaan sebagai orang kampung yang dilontarkan Tuan W. Namun dari makian itulah yang pada
28
akhirnya membuat Nyai memiliki keberanian untuk melakukan pemberontakan terhadap Tuannya. Selain keberaniannya melakukan pemberontakan terhadap tuannya, Nyai juga menunjukkan keberaniannya terhadap Hayati ketika diperlakukan kasar. Seperti yang tercermin dalam kata-katanya : “Pok...Mpok...” katanya sambil coba merebut kalung, dan terjembablah Dasima oleh bantingan hayati. “E, e, e... beraniberanian.” Kata si ‘setan ceki’ gemas. “Ngomong mpok lagi mpok lagi. Emangnye gue mpok lu?” (Nyai Dasima, 2013:62) Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Nyai Dasima telah menunjukkan keberaniannya untuk melakukan pembelaan atas dirinya. Hal itu terbukti ketika kalung emas kesayangannya yang merupakan warisan dari orang tuanya dicuri oleh Hayati, Nyai mencoba merebut kembali benda tersebut. Begitulah keberanian Nyai Dasima yang terasa tergolak ketika ketidakadilan yang bertubi-tubi menimpanya, serta penderitaan atas perlakuan yang tidak menyenangkan yang dilakukan Hayati terhadapnya. Entah karena Nyai sudah bosan atau mungkin Nyai ingin mengangkat harkat dan martabatnya terhadap segala bentuk diskriminasi terhadapnya hingga Nyai Dasima menjadi sosok perempuan yang berani menolak segala bentuk diskriminasi. F. Nyai Dasima sosok perempuan yang sabar dan teguh pendirian Selain keberanian pemberontakan yang dilakukan Nyai, Dia juga teguh pada pendiriannya. Hal tersebut tercermin dalam kata-kata berikut :
29
“Memang sudah lama saya tidak tahan lagi. Bagi saya tak ada jalan lain kecuali keluar dari gedong. Saya ... saya minta cerai ...” Mak Buyung terloncat. “Tuan bilang ape?” “Tuan coba bujuk saya,” Dasima menggeleng, “Tapi percuma saja, karena saya ingin bisa kembali pada bangsa saya, sudah lama saya tidak tahan lagi.” (Nyai Dasima: 42) Dari kutipan tersebut terlihat bahwa sebesar apapun bujukan Tuan W, Nyai tetep teguh pada pendiriannya yang ingin lepas dari orang asing. Ketika Nyai telah lepas dengan Tuan putih kolonial, kemudian Nyai diperistrikan oleh Samiun, dan Nyai tinggal didalam rumah Mak Buyung. Mereka tinggal bertiga karena sebelumnya Mak Buyung tinggal seorang diri dirumah. Dari situlah penderitaan Nyai dimulai. Dalam cerita ini, Ardan menceritakan sosok Nyai yang tegar dan sabar. Seperti yang tercermin dalam kata-katanya : “Abang Samiun tidak ada dirumah, Pok,” sekali lagi Dasima memberi penjelasan tapi Hayati malah marah. “Ape lu bilang...Mpok? Katanya sambil melotot. “Emangnye gue Mpok lu?” mukanya “kucel” karena kalah berjudi, Hayati menambahkan, “Mane Si Miun, hah?” (Nyai Dasima: 60) Dari kutipan tersebut, Nyai tidak sepatah katapun membalas amarah Hayati. Itu menunjukkan bahwa Nyai sabar dan tegar dengan perlakuan apapun yang dilakukan Hayati terhadapnya. Tidak hanya itu saja, melihat Nyai yang tidak membalas sepatah katapun amarahnya, Hayati malah semakin menjadi-jadi. Seperti yang tercermin berikut :
30
Hayati tolak pinggang, “Dari tadi gue treak-treak kok lu diem aje. Bilang kek...nggak ade gitu...berape susehnye sih buka bacot dikit?” Makin tertunduklah Dasima. Sedangkan Hayati kian galak. “E, berani-beranian makan ngeduluin gue? Makan ape tuh?” Dasima memperlihatkan piring yang kontan ditepok nasinya tumpah berantakan oleh Hayati sambil “pentang” bacot, “Emangnye gue ayam, lu empanin nasi doang?” (Nyai Dasima: 60) Dari kutipan tersebut, Hayati hanya ingin mencari-cari alasan agar bisa menyiksa Nyai, sehingga Nyai terlihat ketakutan. Namun meski sebesar apapun kemarahan Hayati dan sekeras apapun tindakan Hayati terhadap Nyai, tetap Nyai lebih memilih untuk tegar dan bersabar. Hal demikian makin diperkuat dengan tindakan dan perlakuan Hayati yang semakin keterlaluan. Seperti dalam kata-katanya : Dasima berbalik mau ambil sapu yang tersandar di dinding, dan hampir saja terjatuh ketika didorong Hayati sambil meneriakkan “Cepet...kuda sakit lu!” (Nyai Dasima: 61) Dari kutipan tersebut, tindakan Hayati sangat keterlaluan. Nyai hampir dicelakaekan dan juga dicela namun tak satupun ada perlawanan dari Nyai. Demikian sosok Nyai yang tegar dan sabar. Meski berkali-kali dibentak, dicaci maki, dicela, didorong dengan perbuatan tidak menyenangkan, Nyai tidak membalas sepatah katapun dan Nyai tidak memberikan perlawanan tindakan serupa. G. Nyai Dasima sosok perempuan yang baik hati Di penghujung akhir penderitaan Nyai terhadap perlakuan kasar hayati, Nyai mulai melakukan pembelaan diri. Seperti yang tercermin berikut :
31
“Pok...mau dibawa kemana?” Namun si ‘setan ceki’ tenang-tenang saja, “ Mane nasi buat gue? Cepet!” “Tapi...” Dasima tahu bahwa yang dibawa Hayati adalah kalung emas kesayangan warisan dari ibu. “Ah, nggak pake tapi,” brntak Hayati. “Nasi buat gue mane? Gue ude lapar nih. Sale-sale lu nyang gue caplok, ngarti?” “Tapi itu barang saya...,” Dasima maju. (Nyai Dasima: 61-62) Dari kutipan tersebut, Nyai ingin melakukan pembelaan dan ingin merebut benda kesayangannya yang telah dicuri oleh Hayati namun dengan cara lembut, tetapi Hayati mengalihkan perhatian seolah tidak mengambilnya dan pura-pura tidak tahu. Namun bukan benda kesayangannya yang Nyai dapat, melainkan dorongan hayati hingga membuat Nyai terjatuh. Seperti dalam kutipan berikut : “Pok...Mpok...” katanya sambil coba merebut kalung, dan terjembablah Dasima oleh bantingan hayati. “E, e, e... beraniberanian.” Kata si ‘setan ceki’ gemas. “Ngomong mpok lagi mpok lagi. Emangnye gue mpok lu?” (Nyai Dasima: Ibid.) Dari kutipan tersebut, Nyai mencoba melakukan perlawanan dan mencoba merebut kembali kalung kesayangan warisan dari ibunya, namun sebesar apapun dan sekeras apapun usaha Nyai, tetap tidak menghalangi perbuatan Hayati yang semena-mena. Selanjutnya, Nyai hanya bisa melihat dari jauh benda kesayangannya yang dibawa kabur oleh Hayati. Namun Nyai hanya tertegun menyaksikan kejadian
32
yang baru saja terjadi, hingga membuat Nyai mengenang-ngenang melamuni perbuatan Hayati terhadapnya. Seperti dalam kata-katanya : “Mpok Hayati ambil kalung emas saya, Mak.” Mak Buyung kaget, “ye, Nyi?” “Keterlaluan Mpok Hayati,” Dasima berkata dengan mata tetap menerawang, “kalung itu pusaka ibu, barang kesayangan saya, Mak.” (Nyai Dasima:63) Berdasarkan kutipan tersebut, Nyai terlihat sedih karena Nyai tidak bisa merebut benda kesayangannya yang merupakan pusaka dari ibunya. Namun dari semua perbuatan Hayati, tidak sedikitpun Nyai memendam rasa dendam dan membenci Hayati, justru sebaliknya. Seperti dalam kata-katanya: “Mpok Hayati benci sama saya,” kata Dasima lagi, “Tapi Abang Samiun tidak ambil pusing.” (Nyai Dasima: 63) Dari kutipan tersebut, Nyai tersadar dari semua perbuatan Hayati yang dilakukan terhadapnya, semata-mata karena Hayati benci, sebab Hayati telah dimadu oleh Samiun. Akan tetapi, kebenciaan Hayati terhadap Nyai tidak membuat Nyai untuk mempengaruhi Samiun agar bertindak sesuai kemauannya, justru Nyai membiarkan Samiun untuk bertindak sebagaimana kewajibannya, namun samiun tidak memikirkan sikap keterlaluan hayati terhadap nyai. Dari situ menunjukkan bahwa Nyai seorang perempuan yang baik.
33
Demikianlah Nyai Dasima yang diceritakan Ardan sebagai sosok perempuan yang baik dan lembut. Walau bertubi-tubi siksaan yang Nyai dapatkan dari Hayati, Nyai tidak perna membalas perbuatan tersebut. Dari cerita novel tersebut dapat disimpulkan bahwa Nyai Dasima digambarkan sebagai wanita kolonial Inggris yang ingin mengangkat harkat dan martabatnya dengan jalan lepas/ cerai dari Tuannya, William. Sebab Nyai sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan terhadap dirinya, yang selalu dihina sebagai orang kampung serta dijauhkan dari orang tua, teman, dan bangsanya. Oleh karena itu, dengan karakterisasi Dasima sebagai Nyai kolonial yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang cantik, lembut, sabar, dsb namun dibalik itu karakter Nyai sebagai pemberani terkuak ketika Nyai merasa terintimidasi oleh perlakuan yang tidak menyenangkan. Selanjutnya dipenghujung kehidupan Nyai Dasima harus berakhir ditangan bang Pause, orang suruhan Tuan William lantaran sakit hati mendengar Nyai dasima menikah dengan Samiun, dan hal tersebut merupakan suatu penghinaan bagi dirinya.
BAB V
PENUTUP
Simpulan Setelah melalui uraian-uraian pada bab sebelumnya, sampailah kita pada bagian simpulan. Simpulan ini akan menjawab sebuah pertanyaan yang dirumuskan dalam rumusan masalah, yakni Bagaimana Karakterisasi Nyai Dasima Sebagai Potret Perempuan Betawi Zaman Kolonial Belanda?
Bentuk analisa dari penelitian ini yakni dengan menganalisis unsur ekstrinsik yang berupa analisis potret perempuan dalam eksistensinya tokoh pada novel dengan menggunakan objek novel yang berjudul Nyai Dasima karya S.M Ardan dengan menggunakan metode penelitian secara deskriptif, yang akan membantu mendeskripsikan dan memaparkan gambaran-gambaran perempuan masa lalu sebagai Nyai kolonial khususnya pada karakterisasi Nyai Dasima itu sendiri. Potret perempuan kolonial ditunjukkan tokoh Nyai Dasima yaitu sebagai seorang gundik atau istri piare Tuan kolonial Inggris dan sebagai korban serta akibat dari kekejaman kolonial. Potret perempuan dalam eksistensinya ditunjukkan oleh tokoh Nyai Dasima sebagai seorang tokoh perempuan cantik, dikagumi oleh banyak lelaki, dikasihi, penyabar, dan menolak segala bentuk diskriminatif kolonialisme maupun non-kolonialisme.
34
DAFTAR PUSTAKA
Gusti Yanti, Prima.2011.“Representasi Gender Dalam Novel Remy Sylado Berlatar Penjajahan Dan Kemerdekaan: Kajian Feminisme Pascakolonial”. Seminar Hasil Riset Lemlitbang UHAMKA. Dosen FKIP UKAMKA Kusmarni, Yani. “Teori Poskolonial: Suatu Kajian tentang Teori Poskolonial Edward W.Said”(Papers). Kutha Ratna, I Nyoman. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Noorvianti, Iva. 2011. “Eksistensi Perempuan dalam Novel Ratu Kalinyamat Karya Murtadho Hadi Sebagai Alternatif Pembelajaran Di SMA”. Skripsi Sarjana Pendidikan, IKIP PGRI Semarang. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi :SuatuPengantar. Edisi Baru keempat, cetakan ke-17, 1993. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Susanto, Dwi. 2008. “Relasi Sang Ego dan Sang Liyan dalam Tjerita Njai dasima Soewatoe
Koeban
Dari
Para
Pemboedjoek
:
Kajian
Feminis
Pascakolonial”. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Vol.32.No.1-Januari 2008.
LAMAN Arivia, Gadis. 2006. “Poskolonialisme dan Feminisme: Dimanakah Letak Kartini?”.http://srinthil.org Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. http://www.books.google.co.id Minderop, Albertino. 2005. Metode karakterisasi telaah fiksi.(edisi-1). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. http://www.books.google.co.id Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. http://www.books.google.co.id Santosa, Puji. 2012. “Kritik Postkolonial: Jaringan Sastra atas Rekam Jejak Kolonialisme”. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id
Sianipar, Gading. 2004. “Mendefinisikan Pascakolonialisme?” dalam Mudji Sutrisno dan Hender Putranto (ed).2004. Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta; Kanisius. http://www.books.google.co.id Wahyudi, Ibnu. 2003. “Potret Buram para Nyai Masa Kolonial”. http://srinthil.org Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung jawab pengetahuan. Yogyakarta; Kanisius. http://www.books.google.co.id
BIBLIOGRAPHY Sjahmardan namanya biasa disingkat S.M Ardan. Dikenal dari tahun 1950-an sebagai penyair, pengarang cerpen, penulis artikel, pengarang novel dan esai. Hingga karya-karyanya dibukukan. Ia mulai terjun sebagai penulis skenario mulai tahun 1955. Karya pertamanya adalah “Dibalik Dinding” pada tahun 1055. Ia juga pernah menjadi co-sutradara dalam film yang berjudul Brandal-Brandal Metropolitan (1972). Ardan menempuh pendidikan di Taman Madya (SLA) Taman Siswa Jakarta. Sejak awal tahun 1950-an ia dikenal sebagai penyair, pengarang cerpen, penulis artikel, pengarang novel dan esai. Karya-karyanya yang telah dibukukan adalah Ketemu Didjalan (sajak, 1955), Terang Bulan Terang Dikali (cerpen, 1956), Nyai Dasima (drama, 1963). Belakangan juga menulis novel, diantaranya Sejuta Kekasih (1978). Ardan mulai menulis skenario tahun 1955. Karya-karyanya adalah Dibalik Dinding (1955), Terang Bulan Terang Dikali (1956), Si Pitung (1970), Si Gondrong (1970), Pendekar Sumur Tudjuh (1971), Brandal-brandal Metropolitan (1972), dimana ia bertindak pula sebagai co-sutradara, dan Pembalasan Si Pitung (1977). Disamping itu, sejak awal tahun 1950-an, ia tetap aktif sebagai wartawan film. Terakhir bekerja pada majalah Violeta (1972-1978). Sejak 1970 lebih dikenal sebagai sutradara dan penulis cerita lenong dalam pertunjukan-pertunjukan di TIM dan TVRI
Sumber:
http://www.indonesianfilmcenter.com/cc/sahmardan.html http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/ardan.html
SYNOPSIS Nyai Dasima adalah seorang gadis yang berasal dari Dusun kahuripan, Bogor – Jawa Barat. Nyai Dasima sangat cantik sekali pada masanya hingga Edward William yang merupakan orang kepercayaan Letnan Gubernur Batavia yakni Sir Thomas Stamford raffles terpikat oleh kecantikan Nyai Dasima. Karena kekayaan tuan william, Nyai Dasima rela menjadikan dirinya sebagai gundik (istri simpanan) Tuan William. Hasil hubungan mereka membuahkan seorang gadis cantik bernama Nancy. Tuan William sangat menyayangi Nyai Dasima dan Nancy sehingga ia tak segan-segan memberikan sebuah rumah serta para pembantu yang siap melayani Nyai Dasima. Nyai Dasima akhirnya menjadi terkenal karena kecantikan dan kekayaan yang diberikan oleh Tuan William kepadanya. Samiun adalah seorang tukang sado/ delman yang telah beristerikan Hayati telah kehilangan kesetiannya. Samiun terpikat oleh pesona Nyai Dasima, sehingga Samiun menghalalkan segala cara untuk mendapatkan Nyai Dasima. Dengan guna-guna Haji Salihun dan bantuan Mak Buyung sebagai perantara, namun jalan tersebut ditolak oleh Haji Salihun. Nyai Dasima suka dengan samiun lantaran karena kesadarannya sendiri. karena selama didalam gedong, kehidupan Nyai Dasima dibatasi. Akhirnya Nyai Dasima menikah dengan Samiun, dan mereka tinggal dirumah Mak Buyung. Namun penderitaan Nyai Dasima belum berakhir setelah lepas dari Tuannya. Nyai Dasima harus menanggung penderitaan yang diberikan Hayati, dari segala bentuk diskriminasi dan perlakuan yang tidak menyenangkan. Selanjutnya dipenghujung kehidupan Nyai Dasima harus berakhir ditangan bang Pause, orang suruhan Tuan William lantaran sakit hati mendengar Nyai dasima menikah dengan Samiun, dan hal tersebut merupakan suatu penghinaan bagi dirinya.
SYNOPSIS Nyai Dasima adalah seorang gadis yang berasal dari Dusun Kahuripan, Bogor – Jawa Barat. Nyai Dasima sangat cantik sekali pada masanya hingga Edward William yang merupakan orang kepercayaan Letnan Gubernur Batavia yakni Sir Thomas Stamford Raffles terpikat oleh kecantikan Nyai Dasima. Karena kekayaan Tuan William, Nyai Dasima rela menjadikan dirinya sebagai gundik (Istri simpanan) Tuan William. Hasil hubungan mereka membuahkan seorang gadis cantik bernama Nancy. Tuan William sangat menyayangi Nyai Dasima dan Nancy sehingga ia tak segan-segan memberikan sebuah rumah serta para pembantu yang siap melayani Nyai Dasima. Nyai Dasima akhirnya menjadi terkenal karena kecantikan dan kekayaan yang diberikan oleh Tuan William kepadanya. Samiun adalah seorang tukang sado/ delman yang telah beristerikan Hayati telah kehilangan kesetiannya. Samiun terpikat oleh pesona Nyai Dasima, sehingga Samiun menghalalkan segala cara untuk mendapatkan Nyai Dasima. Dengan guna-guna Haji Salihun dan bantuan Mak Buyung sebagai perantara, namun jalan tersebut ditolak oleh Haji Salihun. Nyai Dasima suka dengan Samiun lantaran karena kesadarannya sendiri. karena selama didalam gedong, kehidupan Nyai Dasima dibatasi. Akhirnya Nyai Dasima menikah dengan Samiun, dan mereka tinggal dirumah Mak Buyung. Namun penderitaan Nyai Dasima belum berakhir setelah lepas dari Tuannya. Nyai Dasima harus menanggung penderitaan yang diberikan Hayati, dari segala bentuk diskriminasi dan perlakuan yang tidak menyenangkan. Selanjutnya dipenghujung kehidupan Nyai Dasima harus berakhir ditangan Bang Pause, orang suruhan Tuan William lantaran sakit hati mendengar Nyai Dasima menikah dengan Samiun, dan hal tersebut merupakan suatu penghinaan bagi dirinya.