Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia Yogyakarta, 13 April 2017
ISSN 1693-4393
Analisis Kadar Zat Menguap dan Kadar Karbon Terikat Pada Briket Eceng Gondok – Sekam Padi Tauny Akbari Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Banten Jaya, Jl. Ciwaru II No.73 Kota Serang – Banten *
E-mail:
[email protected]
Abstract Water hyacinths are aquatic weeds that have negative impacts of social, economical, and environmental. Water hyacinth has not been widely used as a renewable energy. Aim of this research is to analyze volatile matter content and fixed carbon content at renewable energy sources in the form of water hyacinth – rice husk briquette. The research design is experiment using Factorial Complete Randomized Design (3x3) with two factors; the charcoal combinations of rice husk : water hyacinth and the percentage of tapioca binder. This experiment is repeated 3 times, so there are 27 treatments. The calculation of volatile matter content using ASTMD-3175 standard and the calculation of fixed carbon content using ASTMD-3172 standard. The results show that the lowest volatile matter content (50.5%) and the highest fixed carbon content (20.3%) are owned by briquette A1P3 (combination of rice husk : water hyacinth 1:1 and the percentage of tapioca binder 5%). That briquette is not appropriate with the standards of charcoal briquette (SNI 01-6235-2000 Keywords: Briquette, water hyacinth (Eichornia crassipes), rice husk, volatile matter content, fixed carbon content
Pendahuluan Eceng gondok merupakan tumbuhan gulma air dengan laju pertumbuhan sangat cepat yaitu sekitar 4-8%/hari di daerah beriklim tropis (Wilson, et al., 2001). Eceng gondok dapat tumbuh di berbagai jenis perairan darat seperti waduk dan danau karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi perairan (Haryanti, dkk., 2006). Penyebaran eceng gondok juga terjadi di tiga waduk besar di DAS Citarum, Jawa Barat yaitu Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur (Prihadi, 2005; Supangat dan Paimin, 2007; Alihar, 2005). Konsentrasi terbesar penyebaran eceng gondok di Waduk Cirata terdapat di empat sub DAS yaitu sub DAS Citarum, sub DAS Cisokan, sub DAS Cibalagung, dan sub DAS Cilangkap (Prihadi, 2005). Penutupan permukaan waduk oleh eceng gondok dapat menimbulkan kerugian secara sosial, ekonomi, dan lingkungan (AERF, 2003). Kerugian secara sosial dapat berupa persaingan dalam memperoleh air bersih untuk kebutuhan budidaya ikan, sedangkan secara ekonomi dapat menurunkan usia waduk, meningkatkan biaya pemeliharaan waduk, dan menurunkan pendapatan budidaya ikan. Penurunan kualitas air waduk karena peristiwa eutrosifikasi eceng gondok merupakan kerugian dari segi lingkungan. Berdasarkan besarnya kerugian yang diakibatkan oleh eceng gondok, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan eceng gondok, salah satunya dengan memanfaatkan eceng gondok sebagai sumber energi terbarukan dalam bentuk briket. Briket adalah bahan bakar hasil pengempaan bahan-bahan mudah terbakar berbentuk curah menjadi bentuk padat disertai penambahan perekat (Yahaya and Ibrahim, 2012). Briket biomasa merupakan bahan bakar padat yang dibuat dari limbah biomasa yang dicampur dengan bahan lainnya untuk mendapatkan karakteristik yang diinginkan (Sumangat dan Broto, 2009). Eceng gondok dapat digunakan sebagai briket biomassa karena memiliki kandungan lignin (10%), selulosa (20%), dan hemiselulosa (33%) (Ighodalo, et al., 2011). Semua bagian eceng gondok dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan briket sehingga tidak ada bagian eceng gondok yang terbuang pada proses pengolahan briket. Faktor lain yang menentukan kualitas briket eceng gondok adalah jenis perekat dan campuran bahan baku. Kandungan atom C pada perekat tapioka dapat membantu meningkatkan nilai kalor briket eceng gondok (Hanandito dan Willy, 2011). Sedangkan pencampuran bahan baku berupa sekam padi dapat mempermudah penghantaran panas pada proses pengarangan eceng gondok (Jamradloedluk and Wiriyaumpaiwong, 2007). Kualitas briket eceng gondok dapat ditentukan oleh beberapa standar diantaranya kadar zat menguap dan kadar karbon terikat. Berdasarkan SNI 01-6235-2000 tentang briket arang diketahui bahwa kadar zat menguap maksimal dalam briket adalah 15%, sedangkan kadar karbon terikat minimal 77%.
Jurusan Teknik Kimia, FTI UPN “Veteran” Yogyakarta
A03-1
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia Yogyakarta, 13 April 2017
ISSN 1693-4393
Tinggi rendahnya kadar zat mudah menguap dipengaruhi oleh jenis bahan baku (Onu, dkk., 2010) . Semakin banyak kandungan volatile matter pada briket maka semakin mudah biobriket untuk terbakar dan menyala, sehingga laju pembakaran semakin cepat (Sulistyanto, 2006). Karbon terikat (fixed carbon) adalah komponen pada briket yang bila terbakar tidak membentuk gas (Widarti, dkk., 2010) Semakin tinggi kadar karbon terikat pada briket maka akan semakin rendah kadar zat menguap dan semakin tinggi nilai kalornya (Taonisi, dkk., 2010). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kadar zat menguap dan kadar karbon terikat pada briket eceng gondok – sekam padi. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya untuk mengetahui pengaruh sekam padi terhadap parameter kulitas briket eceng gondok lainnya dan sebagai perbandingan pada penelitian briket biomassa lainnya. Metode Penelitian Pada penelitian ini digunakan desain penelitian kuantitatif (Creswell, 2003). Desain penelitian kuantitatif bersifat eksperimen murni (true eksperiment) karena terdapat perlakuan terhadap objek yang diteliti dan adanya kontrol yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu (Zulnaidi, 2007). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial (3x3) dengan dua faktor (Subali, 2010). Faktor pertama kombinasi arang sekam padi : eceng gondok; (A1) 1:1, (A2) 1:2, (A3) 1:3 dan faktor kedua persentase perekat tapioka terhadap massa arang; (P1) 3%, (P2) 4%, (P3) 5% (Sumangat dan Broto, 2009). Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 27 perlakuan. Penentuan banyaknya pengulangan pada RAL didasarkan atas nilai minimal derajat bebas galat (>20) (Sudjana, 2001). Tabel 1. Rancangan percobaan Kombinasi arang sekam padi : eceng gondok (A1) 1:1 (A2) 1:2 (A3) 1:3
Persentase perekat tapioka (P1) 3% (P2) 4% (P3) 5% A1P1 A1P2 A1P3 (n1-n3) (n1-n3) (n1-n3) A2P1 A2P2 A2P3 (n1-n3) (n1-n3) (n1-n3) A3P1 A3P2 A3P3 (n1-n3) (n1-n3) (n1-n3)
*Ket: n1-n3 menunjukkan pengulangan
Alat yang digunakan di antaranya pisau, timbangan gantung, drum pengarangan, lumpang-alu, ayakan, timbangan digital, gelas ukur, pencetak briket, serta set uji kadar zat menguap dan kadar karbon terikat. Bahan yang dibutuhkan adalah eceng gondok kering (6.500 g), sekam padi (3.500 g), tepung tapioka (64,8 g), tempurung kelapa (1.000 g), dan air (1.620 mL). Proses pengolahan briket dari eceng gondok merupakan modifikasi dari pengolahan briket eceng gondok (Hendra, 2011) dan briket arang sekam (Darmatasiah, 2012): 1) Eceng gondok diambil dari Waduk Cirata 2) Eceng gondok dicacah dengan ukuran 2-3 cm 3) Eceng gondok dikeringkan dengan sinar matahari 4) Eceng gondok kering dicampur dengan sekam padi sesuai variasi kombinasi sekam padi : eceng gondok 5) Campuran eceng gondok kering dan sekam padi dikarbonasi (diarangkan) dengan inisiator pengarangan oleh tempurung kelapa selama ± 2 jam hingga terbentuk arang 6) Arang eceng gondok dihaluskan dengan penumbukkan agar berbentuk serbuk 7) Serbuk arang eceng gondok diayak dengan ukuran partikel 18 mesh 8) Tepung tapioka ditimbang sesuai variasi komposisi bahan baku kemudian dicampurkan dengan air (1:1, arang : air) di atas pemanas hingga mengental 9) Arang eceng gondok (90 g) dicampurkan dengan perekat tapioka 10) Adonan briket eceng gondok (30 g) dicetak dan dipadatkan dengan tekanan sekitar 1kg/cm2 hingga terbentuk briket silinder berongga 11) Briket eceng gondok dikeringkan dengan sinar matahari hingga kadar air maksimal 8% 12) Briket eceng gondok yang telah kering diuji kualitas kadar zat menguap dan kadar karbon terikat di laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Perhitungan kadar zat menguap menggunakan standar ASTM D-3175 (ASTM,1979 dalam Taonisi, dkk., 2010 dan Onu, dkk., 2010) dengan rumus: = × 100% (1) Keterangan: a = berat awal (gram), d = berat setelah pemanasan (gram) Perhitungan kadar karbon terikat menggunakan standar ASTM D-3172 (ASTM,1979 dalam Taonisi, dkk., 2010 dan Onu, dkk., 2010) dengan rumus:
Jurusan Teknik Kimia, FTI UPN “Veteran” Yogyakarta
A03-2
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia Yogyakarta, 13 April 2017
Kadar karbon terikat (%) = 100 – (% abu + % zat menguap)
ISSN 1693-4393
(2)
Hasil dan Pembahasan Briket yang dihasilkan dari penelitian ini berukuran 30x40 mm dengan rongga di tengah. Kecilnya ukuran briket disesuaikan dengan tujuan penggunaan briket eceng gondok yaitu sebagai pengganti arang kayu atau arang tempurung kelapa untuk membakar makanan seperti sate atau ikan. Rongga di tengah berfungsi untuk memperlambat laju pembakaran dan menstabilkan suhu yang dihasilkan oleh proses pembakaran (Rohmawati, dkk., 2011).
kadar zat menguap (%)
Uji kadar zat menguap briket Hasil pengujian kadar zat menguap briket dimuat dalam Gambar 4.6. Gambar tersebut menunjukkan bahwa briket yang dihasilkan mengandung kadar zat menguap sebesar 50,5-57,4% (belum sesuai standar SNI, maks 15%). Perlakuan yang memiliki kadar zat menguap terendah adalah A1P3 (kombinasi sekam padi : eceng gondok 1:1 dan perekat tapioka 5%) dan yang tertinggi adalah A2P1 (kombinasi sekam padi : eceng gondok 1:2 dan perekat tapioka 3%). 58.0 56.0 54.0 52.0 50.0 48.0 46.0
P1 (3%)
P2 (4%)
P3 (5%)
A1 (1:1)
53.4
52.5
50.5
A2 (1:2)
57.4
55.0
51.6
A3 (1:3)
55.6
54.5
52.5
Gambar 1. Pengaruh kombinasi arang dan perekat tapioka terhadap kadar zat menguap (hasil pengolahan data, 2013) Pengaruh nyata (sig < 0,05) kombinasi arang, persentase perekat, dan interaksi di antara kedua faktor terhadap kadar zat menguap ditunjukkan oleh hasil analisis Kruskal Wallis. Kadar zat menguap cenderung menurun seiring dengan bertambahnya persentase perekat. Berdasarkan analisis Mann Whitney-U diketahui bahwa kombinasi arang A1(1:1) berbeda nyata dengan kombinasi lainnya, sedangkan persentase perekat yang berbeda nyata dengan persentase perekat lainnya adalah persentase perekat P3 (5%). Hasil analisis tersebut diperkuat oleh analisis Mann Whitney-U untuk perlakuan yang menyatakan bahwa perlakuan dengan kadar zat menguap terendah (A1P3) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Kadar zat menguap sangat dipengaruhi oleh bahan baku briket. Briket yang berbahan baku biomassa cenderung untuk memiliki kadar zat menguap tinggi. Hal tersebut mengakibatkan briket biomassa seperti briket eceng gondok akan mudah terbakar dan menyala sehingga laju pembakaran menjadi lebih cepat dibandingkan briket non-biomassa atau pun arang biomassa (Saptoadi, 2004). Uji Kadar Karbon Terikat Briket Gambar 2 memuat data hasil pengukuran kadar karbon terikat yang terkandung dalam briket eceng gondok hasil penelitian.
Jurusan Teknik Kimia, FTI UPN “Veteran” Yogyakarta
A03-3
kadar karbon terikat (%)
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia Yogyakarta, 13 April 2017
ISSN 1693-4393
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 A1 (1:1)
P1 (3%)
P2 (4%)
P3 (5%)
19.9
19.8
20.3
A2 (1:2)
8.9
9.0
11.9
A3 (1:3)
10.7
10.3
11.3
Gambar 2. Pengaruh kombinasi arang dan perekat tapioka terhadap kadar karbon terikat (hasil pengolahan data, 2013) Gambar tersebut menunjukkan bahwa briket mengandung kadar karbon terikat sebesar 8,9-20,3%. Kadar karbon terikat terendah dihasilkan oleh briket A2P1 (kombinasi sekam padi : eceng gondok 1:2 dan perekat tapioka 3%), sedangkan kadar karbon terikat tertinggi dihasilkan oleh briket A1P3 (kombinasi sekam padi : eceng gondok 1:1 dan perekat tapioka 5%). Nilai kadar karbon terikat tersebut belum memenuhi persyaratan kualitas briket arang kayu berdasarkan SNI (min 77%). Berdasarkan analisis Kruskal Wallis diketahui bahwa kombinasi arang serta interaksi antara kombinasi arang dan persentase perekat berpengaruh nyata terhadap kadar karbon terikat, sedangkan persentase perekat tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbon terikat. Hal tersebut didukung oleh hasil uji Mann Whitney-U yang menunjukkan tidak ada perbedaan nyata di antara tiap persentase perekat. Analisis Mann Whitney-U juga menunjukkan bahwa kombinasi arang yang berbeda nyata terhadap kombinasi arang lainnya hanya kombinasi arang A1 (1:1), serta perlakuan A1P3 (kadar karbon terikat tertinggi) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali perlakuan A1P1 dan A1P2. Rendahnya nilai kadar karbon terikat dalam briket yang dihasilkan disebabkan oleh tingginya kadar abu dan kadar zat menguap dalam briket (Taonisi, dkk., 2010). Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan data yang telah dikemukakan dapat diperoleh kesimpulan bahwa kadar zat menguap briket dipengaruhi oleh banyaknya perekat. Semakin tinggi konsentrasi perekat, maka kadar zat menguap cenderung semakin menurun. Masih tingginya kadar zat menguap pada briket eceng gondok – sekam padi dapat mengakibatkan briket tersebut mudah habis terbakar. Tingginya kadar zat menguap dalam briket juga berpengaruh terhadap rendahnya kadar karbon terikat briket. Daftar Pustaka Alihar, Fadjri. (2005). Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Waduk Saguling. Laporan Akhir Kumulatif Program Penelitian dan Pengembangan Iptek Riset Kompetitif LIPI Tahun Anggaran 2005 (Periode 2004 s/d 2005) Aquatic Ecosystem Restoration Foundation (AERF). (2003). Best Management Practices Handbook for Aquatic Plant Management in Support of Fish and Wildlife Habitat. Michigan: AERF Arif, E., L. Salam, Ariyanto, dan B. Fredy. (2012). Briket Daun Kering sebagai Sumber Energi Alternatif. Prosiding Seminar Nasional Teknik Mesin XI dan Thermofluid IV, UGM Yogyakarta, 16-17 Oktober 2012 Creswell. J. W. (2003). Research Design Qualitative and Quantitative Approaches alih bahasa Angkatan III dan IV KIK-UI. Jakarta: KIK Press Darmatasiah. (2012). Cara Mudah dan murah Membuat Briket Arang Sekam (Sumber Energi Alternatif dalam Rumah Tangga Petani). Tersedia http://epetani.deptan.go.id/blog/cara-mudah-dan-murah-membuat-briketarang-sekam-7062 Gandhi, Aquino. (2010). Pengaruh Variasi Jumlah Campuran Perekat Terhadap Karakteristik Briket Arang Tongkol Jagung. Profesional, Vol. 8, No. 1, Mei 2010, ISSN 1693-3745 Hanandito, L dan S. Willy. (2011). Pembuatan Briket Arang Tempurung Kelapa dari Sisa Bahan Bakar Pengasapan Ikan Kelurahan Bandarharjo Semarang. Publikasi Universitas Diponegoro
Jurusan Teknik Kimia, FTI UPN “Veteran” Yogyakarta
A03-4
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia Yogyakarta, 13 April 2017
ISSN 1693-4393
Haryanti, S., R.B. Hastuti, E.D. Hastuti, dan Y. Nurchayati. (2006). Adaptasi Morfologi Fisiologi dan Anatomi Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solm) di Berbagai Perairan Tercemar. Publikasi Jurusan Biologi FMIPA UNDIP Hendra, Djeni. (2011). Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) untuk Bahan Baku Briket sebagai Bahan Bakar Alternatif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 2, Juni 2011: 189-210 Ighodalo, O.A., K. Zoukumor, C. Egbon, S. Okoh, and K. Odu. (2011). Processing Water Hyacinth into Biomass Briquettes for Cooking Purpose. Journal of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences 2 (2):305307 Jamradloedluk, J and S. Wiriyaumpaiwong. (2007). Production and Characterization of Rice Husk Based Charcoal Briquettes. KKU Engineering Journal Vol. 34 No. 4 (391-398) July – August 2007 Onu, F., Sudarja, dan M.B.N. Rahman. (2010). Pengukuran Nilai Kalor Bahan Bakar Briket Arang Kombinasi Cangkang Pala (Myristica fragan Houtt) dan Limbah Sawit (Elaeis guenensis). Prosiding Seminar Nasional Teknik UMY 2010 Prihadi, Tri Heru. (2005). Pengelolaan Budidaya Ikan Secara Lestari di Waduk (Studi Kasus di Perairan Waduk Cirata, Jawa Barat). Tesis Institut Pertanian Bogor Rohmawati, I., Sarwono, dan R. Hantoro. (2011). Studi Eksperimental Karakteristik Briket Organik Bahan Baku dari TWA Gunung Baung. Publikasi Institut Teknologi Sepuluh November Saptoadi, H. (2004). Combustion Characteristics of Fuel Briquettes Made from Wooden Saw Dust and Lignite. The International Workshop on Biomass and Clean Fossil Fuel Power Plan Technoloy 2004. Jakarta Indonesia Subali, Bambang. (2010). Analisis Statistika Menggunakan Program SPSS Aplikasinya dalam Rancangan Percobaan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Sudjana. (2001). Metode Statistika. Bandung: Tarsito Sulistyanto, Amin. (2006). Karakteristik Pembakaran Biobriket Campuran Batubara dan Sabut Kelapa. Media Mesin Vol.7 No.2 Juli 2006: 77-84 Sumangat, D dan W. Broto. (2009). Kajian Teknis dan Ekonomis Pengolahan Briket Bungkil Biji Jarak Pagar sebagai Bahan Bakar Tungku. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol. 5 2009 Supangat, A.B dan Paimin. (2007). Kajian Peran Waduk Sebagai Pengendali Kualitas Air Secara Alami. Forum Geografi, Vol. 21, No. 2, Desember 2007: 123-134 Taonisi, A., Sudarja, dan M.B.N. Rahman. (2010). Pemanfaatan Limbah Cangkang Pala sebagai Bahan Briket Arang untuk Mendukung Kebutuhan Energi Nasional. Prosiding Seminar Nasional Teknik Mesin UMY 2010 Widarti, E.S., Sarwono, dan R. Hantoro. (2010). Studi Eksperimental Karakteristik Briket Organik dengan Bahan Baku dari PPLH Seloliman. Publikasi ITS Surabaya Wilson, JR., M. Rees, N. Holst, M.B. Thomas, and G. Hill. (2001). Water Hyacinth Population Dynamics. Biological and Integrated Control of Water Hyacinth, Eichornia crassipes. ACIAR Proceedings No.102 Yahaya, D.B and T.G. Ibrahim. (2012). Development of Rice Husk Briquettes for Use As Fuel. Research Journal in Engineering and Applied Sciences 1(2): 130-133 Zulnaidi. (2007). Metode Penelitian. Tesis Universitas Sumatera Utara
Jurusan Teknik Kimia, FTI UPN “Veteran” Yogyakarta
A03-5
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia Yogyakarta, 13 April 2017
ISSN 1693-4393
Lembar Tanya Jawab Moderator: Joni Prasetyo (BPPT, Jakarta)
1.
2.
3.
Penanya
:
Gilar Khairul Santaria (Teknik Kimia UPN “Veteran” Yogyakarta)
Pertanyaan
:
Kadar yang menguap diuji pada suhu berapa?Zat yang menguap tersebut diteliti atau tidak?
Jawaban
:
Zat yang menguap tersebut tidak diteliti, hanya kadarnya saja yang diteliti.
Penanya
:
Joni Prasetyo (BPPT, Jakarta)
Pertanyaan
:
Apa perbedaan antara injeksi surfaktan, air dan CO2 terhadap hasil yang diperoleh?
Jawaban
:
-
Untuk injeksi air, menambah recovery 5 %
-
Surfaktan dan CO2 menambah recovery 10 %
Penanya
:
Rosnelly D F (Teknik Kimia UPN “Veteran” Yogyakarta)
Pertanyaan
:
Bagaimana cara mengatasi CO2 yang terjebak
Jawaban
:
CO2 tidak terjebak, tetapi terikut dengan hasil kemudian akan dipisahkan, dan akan disirkulasi.
Jurusan Teknik Kimia, FTI UPN “Veteran” Yogyakarta
A03-6