Analisis Jaringan Pemasaran Komoditas Sayuran (Kasus Petani Kecil Ciwidey, Bandung) 1
2
Agus Setiya Permana , MH. Bintoro , Nora Harris
2
Abstract The information about market structure and behavior, and marketing distribution from farmers to end consumers will help farmers in marketing their agricultural products. The objectives of this study are 1) to study the pattern and network of vegetable distribution from the Ciwidey area, 2) to analyze the structure behavior and variety of vegetable markets in that area, 3) to learn the alternative marketing distribution network for small farmers. The study was done on petsai, daun bawang, cabbage, tomatoes, potatoes, and red chili from 75 small farmers in Ciwidey, Bandung. The study shows that marketing distribution in Ciwidey consists of several levels, namely farmers, vegetable collectors, groceries, market scalpers, wholesalers, and retailers. To simplify, researchers divided the marketing distribution into 3 levels. The margin of marketing distribution level 1 shows the smallest value compared to other levels. The distribution of general profit shows that the retailers have received the biggest profit compared to other market actors, but one of the retailers has received more than others. A farmer’s income is not related to the available marketing distribution. From the study it is obvious that there are connections between the Ciwidey and the Caringin marketplace, which gives an impact on the Ciwidey marketplace. The structure of the vegetable market in Ciwidey is almost a perfect competition and also differentiated because the products produced are homogeneous , but because of the lack of market information received by the farmers, the competition becomes imperfect. On the other hand, farmers and groceries have made some efforts to increase the price of string beans, potatoes, and cabbage, so market behavior can be categorized as product differentiation. The marketing distribution of vegetables in Ciwidey is a conventional network organization. This organization is formed by itself and changed into a controlled conventional network organization, especially when there is a dominant market actor who controls the network. In this case it can be said that the form of network organization plays an important role in farmers’ income, and the selection of marketing network level is not the overall solution. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Agribisnis pada dasarnya mencakup seluruh rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran, baik yang menunjang hasil pertanian maupun yang ditunjang oleh hasil pertanian. Downey dan Erickson (1987), merinci kegiatan tersebut menjadi tiga sektor besar, yaitu sektor masukan (perbekalan pertanian), sektor produksi dan keluaran (Gambar 1). Menurut Ashari (1995), kendala usaha tani sayuran adalah rendahnya pendapatan petani, keterbatasan pengetahuan petani, keterbatasan lahan yang dimiliki dan posisi tawar pihak petani yang kurang kuat, sehingga menyebabkan rendahnya nilai keuntungan yang diperoleh petani. Oleh karena itu diperlukan strategi untuk meniadakan atau paling tidak memperkecil berbagai kendala tersebut dengan program yang terpadu, seperti budidaya yang tangguh, informasi pasar yang benar, sarana dan prasarana transportasi pemasaran yang memadai untuk membantu peningkatan keuntungan yang diperoleh petani. Terbentuknya jaringan-jaringan pemasaran baru untuk komoditas pertanian merupakan salah satu perkembangan sistem pemasaran dan memberikan pilihan pasar bagi komoditas pertanian yang dihasilkan oleh petani. Jaringan pemasaran yang sudah terbentuk diharapkan mampu meningkatkan tingkat pendapatan yang diperoleh bagi para pelaku pasar, khususnya petani sebagai pihak produsen. 2. Perumusan Masalah Desa Ciwidey, Kabupaten Bandung, merupakan salah satu sentra produksi sayuran, terutama jenis sayuran dataran tinggi. Kesesuaian topografi dan luas lahan yang tersedia merupakan faktor pendukung pengembangan produksi sayuran di daerah Ciwidey. Jenis komoditas sayuran yang banyak diproduksi adalah kentang, kubis, tomat, petsai, cabe, wortel dan bawang daun. Menurut Ashari (1995), usaha tani sayuran memerlukan biaya dan tenaga kerja terampil, serta sarana yang lebih mahal dibandingkan dengan usaha tani tanaman pangan.
1 2
Alumni PS MPI, SPs IPB Staf Pengajar PS MPI, SPs IPB
71
SEKTOR MASUKAN
PERBEKALAN PERTANIAN PUPUK
PESTISIDA
TRANSPORTASI
BIBIT
ALAT DAN MESIN
USAHA TANI SEKTOR PRODUKSI
EFISIENSI BIAYA PRODUKSI
INDUSTRI
METODE PRODUKSI
EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT
BAHAN BAKU
PENGGUNAAN TENAGA KERJA
ECERAN
SEKTOR KELUARAN SWALAYAN
RESTORAN
LEMBAGA
Gambar 1. Pembagian sektor masukan, produksi dan keluaran di dalam agribisnis Kegiatan para petani kecil di daerah Ciwidey hanya mencakup sektor produksi atau budidaya. Mengingat untuk sektor masukan dan keluaran dibutuhkan modal kerja dan investasi yang cukup besar, maka sektor masukan pada umumnya dikuasai para pedagang pupuk, pestisida dan bibit, sedangkan sektor keluaran dikuasai para pedagang besar. Sayuran yang dihasilkan dari daerah Ciwidey dijual melalui pasar induk dengan harapan akan memudahkan proses pengendalian harga dan distribusi. Sayuran tersebut didistribusikan melalui jaringan pemasaran dan pedagang perantara, dari tingkat pengumpul sampai dengan pengecer. Sayuran yang berasal dari daerah Ciwidey mampu mencapai daerah lain di Indonesia, seperti Jawa Barat, Banten, Jakarta, Jawa Tengah dan Sumatera. Jaringan produksi dan distribusi umumnya masih tergantung pada musim. Penawaran hasil pada musim panen raya biasanya jauh lebih besar dibandingkan dengan permintaan. Kondisi tersebut menyebabkan posisi tawar-menawar petani lemah, sehingga berpengaruh terhadap pendapatannya. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pemasaran komoditas sayuran melalui pasar induk adalah belum tercapainya stabilitas harga dan efisiensi pemasaran, terutama sampai ke tingkat pasar pengecer. Panjangnya rantai pemasaran menyebabkan tingginya biaya yang hilang selama proses distribusi. Selain itu masih sering terjadi kegagalan penjualan untuk komoditas tertentu, karena tidak adanya informasi balik dari pasar induk. Dari uraian di atas, maka masalah yang dikaji dapat dirumuskan berikut : a. Bagaimana struktur dan keragaan pasar sayuran di kecamatan Ciwidey ? b. Bagaimana peran pasar Ciwidey sebagai barometer harga dan ukuran permintaan komoditas sayur ? c. Bagaimana kemungkinan alternatif jaringan pemasaran ? 3. Tujuan a. Mengkaji pola dan jaringan pemasaran sayuran di daerah Ciwidey. b. Menganalisis struktur, perilaku dan keragaan pasar sayuran di daerah Ciwidey. c. Menganalisis jaringan pemasaran yang dapat dijadikan alternatif bagi para petani kecil.
METODOLOGI 1. Lokasi Kajian dilakukan di Desa Ciwidey, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat.
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
72
2. Metode Kerja Data pada kajian ini meliputi data primer yang bersumber dari wawancara terhadap petani di daerah kajian dan pihak-pihak terkait dengan jaringan pemasaran sayuran, serta data sekunder yang diperoleh dari hasil kajian pustaka pada beberapa buku dan laporan-laporan yang mendukung. Pengambilan contoh sebesar 75 petani di daerah Ciwidey dilakukan secara proporsional terhadap jumlah populasi 278 petani dengan teknik pengambilan contoh acak (random sampling) menurut Slovin dalam Sevilla (1993). Komoditas yang dikaji adalah petsai, bawang daun, kubis, tomat kentang dan cabai merah. Analisis data dilakukan secara kuantitatif untuk mengetahui marjin pemasaran dan analisis keterpaduan pasar, serta kualitatif untuk mengetahui perilaku pasar, jaringan pemasaran dan struktur pasar. a. Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar dianalisis dengan memahami bagaimana suatu produk yang dipasarkan mengalir dari produsen ke konsumen akhir (Hammond dan Dahl, 1992). Perilaku tersebut mencakup sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama di dalam jaringan. Aliran komoditas dikaji mulai dari tingkat produsen sampai dengan tingkat pengecer akhir. b. Analisis struktur pasar Analisis struktur pasar dilakukan untuk menentukan apakah pasar sayuran dari daerah Ciwidey termasuk kategori pasar dengan persaingan sempurna, persaingan monopolistik, oligopoli atau monopoli, dengan memperhatikan sistem jaringan pemasaran (Haerani, 1995). c. Analisis Marjin Pemasaran Marjin pemasaran merupakan selisih antara harga di tempat pedagang pengirim/ grosir/semi grosir dengan harga di tingkat pengecer (Tomek and Robinson, 1972). Marjin pemasaran terdiri atas biaya-biaya jaringan pemasaran dan keuntungan yang diperoleh perantara pemasaran. Biaya jaringan pemasaran merupakan biaya operasional yang terdiri atas ongkos angkut, biaya bongkar muat, tarif pasar dan biaya penyusutan. Keuntungan merupakan selisih harga jual dengan harga beli setelah dikurangi biaya operasional. d. Analisis Keterpaduan Pasar Analisis ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan harga pada waktu tertentu dan harga pada waktu sebelumnya antara dua pasar yang mengalokasikan produk yang sama (Ravallion, 1986), dengan menggunakan model Indeks of Market Connection (IMC) atau rasio harga pasar lokal terhadap harga pasar acuan melalui pendekatan model Autoregressive Distributed Lag (ADLM) yang diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (OLS). Persamaan yang dimaksud adalah : Pi t = b 1 Pi
t-1
+ b 2 (Pj t – Pj
t-1 )
+ b 3 Pj
t-1
+ µt
Keterangan : Harga sayuran di pasar lokal (Pasar Ciwidey) pada waktu ke t Pi t Pi t-1 Harga sayuran di pasar lokal (Pasar Ciwidey) pada waktu ke t-1 Harga sayuran di pasar acuan (Pasar Induk Caringin) pada waktu ke t Pj t Pj t-1 Harga sayuran di pasar acuan (Pasar Induk Caringin) waktu ke t-1 Sudut potong b0 Estimasi harga sayuran di pasar lokal (Pasar Ciwidey) b1 Estimasi selisih harga sayuran di pasar acuan (Pasar Induk Caringin) atau keterpaduan b2 pasar jangka pendek Estimasi harga sayuran di pasar acuan (Pasar Induk Caringin) pada waktu sebelumnya b3 Galat µt Nilai IMC menggambarkan sejauh mana keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar i dengan pasar j (pasar acuan) bagi pasar i yang bersangkutan. Bila nilai IMC lebih kecil dari 1 atau b1 < b3, artinya harga yang terjadi di pasar acuan waktu sebelumya sangat mempengaruhi pembentukan harga di pasar ke i. Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa derajat keterpaduan pasar jangka panjang antara harga di tingkat pasar i dengan harga di tingkat pasar j (pasar acuan) relatif tinggi. Namun jika nilai IMC lebih besar dari 1, maka hal tersebut menunjukkan kurang terpadunya antara pasar lokal dengan pasar acuan.
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
73
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keadaan Umum a. Perdagangan sayuran di daerah Ciwidey Bandar sayur di daerah Ciwidey membeli sayuran dari daerah sekitar Ciwidey setiap hari, sedangkan para pedagang eceran melakukannya setiap satu atau dua hari sekali tergantung daya tampung dan daya jual maksimal yang dimiliki masing-masing. Dari hasil survei diketahui bahwa tidak semua bandar sayur atau pengecer mendapatkan sayuran dengan cara mendatangi lokasi produksi (lahan petani) langsung dan menggunakan pengumpul yang tersebar di beberapa daerah produksi. Dari wawancara dengan beberapa pedagang, penjualan sayuran sering disalurkan melalui jaringan pemasaran yang terdapat di pasar induk, namun untuk frekuensi yang tidak terlalu sering dilakukan langsung kepada para pengecer yang sudah menjadi pelanggan tetap. Berdasarkan hasil survei di tingkat petani dan pedagang dapat diketahui bahwa penerimaan penjualan sayur diberikan setelah dikurangi biaya-biaya pemasaran dari lokasi petani ke lokasi pengecer. Petani tidak memiliki modal tambahan untuk dapat langsung memasarkan hasil produksinya ke bandar sayur. Selain itu, pertimbangan efesiensi waktu, serta kurangnya informasi mengenai pasar dan harga menyebabkan pendapatan yang diterima petani tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan bila petani melakukan pemasaran langsung. Penetapan harga jual oleh perantara berdasarkan banyaknya jumlah sayuran yang diterima atau datang ke lokasi. Bila jumlah pasokan sayuran tertentu besar, maka harga komoditas tersebut cenderung turun. Harga sayuran hari sebelumnya, harga yang berlaku di pasar besar seperti Pasar Caringin, menjadi acuan sementara harga yang akan diberlakukan hari berikutnya. b. Analisis Jaringan Pemasaran 1) Pola pemasaran yang digunakan Pemasaran sayur yang banyak dipilih oleh para petani kecil adalah pola pemasaran tidak langsung atau melalui perantara (middleman), dan sedikit yang menjual langsung kepada pengecer atau konsumen akhir. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya modal kerja dan tidak adanya akses ke pasar. Modal kerja yang dibutuhkan termasuk biaya angkut dari lokasi kebun ke pasar yang membutuhkan pasokan, bongkar muat sayuran, sewa lapak, biaya restribusi pasar dan biayabiaya non formal, seperti pembayaran keamanan di pasar. Ketidakmampuan petani melakukan akses terhadap pasar yang membutuhkan pasokan disebabkan karena kurangnya informasi pasar yang dapat diperoleh. Adakalanya harga dari produsen (petani) jauh lebih tinggi dari harga jual yang sebenarnya. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya kelebihan produksi atau keterlambatan pengiriman produk ke pasar. 2) Perantara pemasaran sayuran Secara umum proses pemasaran sayuran dari para petani kecil di Ciwidey kepada konsumen akhir melibatkan beberapa perantara, yaitu pengumpul, bandar sayur, perantara di pasar, grosir di pasar induk dan pengecer. 3) Tingkat jaringan pemasaran Dari kajian terhadap para perantara, pendistribusian komoditas sayuran dari petani produsen sampai dengan konsumen akhir ditemui beberapa tingkat jaringan pemasaran (Gambar 2). Tingkatan jaringan pemasaran yang ada di daerah Ciwidey pada umumnya hanya sampai tingkat bandar sayur dan bentuk lainnya adalah perantara sampai dengan pengecer berada di pasar induk atau pasar lainnya di daerah yang membutuhkan pasokan. i. Jaringan Tingkat Nol (0) Jaringan tingkat nol pada jaringan (jaringan pemasaran langsung) produsen menjual langsung ke konsumen akhir. Pada jaringan tingkat nol hanya digunakan oleh petani yang memiliki kuantitas produksi relatif kecil dan jumlahnya sangat terbatas. ii. Jaringan Tingkat Satu (I) Jaringan tingkat satu (jaringan pemasaran semi langsung) dilakukan oleh petani produsen yang menyalurkan hasil produksinya kepada para pedagang eceran. Jaringan pemasaran digunakan oleh produsen sayuran yang memiliki pembeli tetap seperti swalayan atau petani yang memiliki hubungan langsung dengan para pengecer di lapak-lapak pasar. Penjualan cara
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
74
tersebut sangat sedikit dan jarang dilakukan oleh petani mengingat keterbatasan daya jual dan daya tampung swalayan.
KONSUMEN
PENGECER GROSIR
PERANTARA DI PASAR
BANDAR SAYUR PENGUMPUL
PRODUSEN
JARINGAN TINGKAT 0
JARINGAN TINGKAT I
JARINGAN TINGKAT II
JARINGAN TINGKAT III
Gambar 2. Tingkatan jaringan pemasaran sayuran iii. Jaringan Tingkat Dua (II) Pada jaringan tingkat dua (jaringan pemasaran tidak langsung), petani menyalurkan hasil produknya melalui bandar sayur yang kemudian mendistribusikannya ke pasar-pasar induk yang masih membutuhkan pasokan. Untuk jumlah yang sangat terbatas, para bandar sayur mendistribusikan ke pasar-pasar swalayan, atau industri pengolahan. iv. Jaringan Tingkat Tiga (III) Pada jaringan pemasaran tingkat tiga terdapat beberapa perantara, yaitu pengumpul, bandar sayur, perantara di pasar dan pengecer. Hubungan antar pedagang perantara tersebut pada kenyataannya sudah terjalin sejak lama dan cukup baik, sehingga tingkat kepercayaan di antara pedagang perantara cukup tinggi. Informasi harga bagi para bandar sayur Ciwidey umumnya diperoleh dari grosir dan perantara di pasar Induk. Informasi tersebut diperoleh sebelum melakukan pembelian sayuran dari para petani produsen dengan menggunakan sarana telepon. 4) Marjin Pemasaran Marjin pemasaran terdiri atas keuntungan dan biaya-biaya operasional pemasaran, yaitu biaya transportasi/pengangkutan, bongkar muat, biaya tarif pasar/retribusi dan biaya penyusutan. Banyaknya komponen marjin pemasaran ditentukan oleh rentang jaringan pemasaran yang dilalui. Jaringan pemasaran yang digunakan untuk menghitung nilai marjin pedagang pengecer dimulai dari tingkat petani, pengumpul, bandar sayur, perantara di pasar dan pemborong di pasar induk. Analisis marjin pemasaran dilakukan untuk mengetahui besarnya tingkat marjin yang didapat oleh masing-masing pelaku pasar di dalam kegiatan jaringan pemasaran sayuran. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui pelaku pasar mana yang menerima keuntungan paling besar dan seberapa besar keuntungan yang diterima petani. Biaya transportasi (pengangkutan) merupakan biaya yang dikeluarkan pedagang untuk mengangkut barang dagangan dari pasar penampungan ke pasar pengecer. Biaya bongkar muat adalah biaya yang dikeluarkan pedagang untuk menyewa tenaga kerja lepas guna mengantarkan
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
75
sayuran dari kendaraan ke lokasi pembeli. Saat dilakukan penelitian biaya bongkar besarnya Rp. 1.000 – Rp. 4.500 untuk tiap kali lorong, dengan kapasitas 100 – 1.200 kg. Tarif restribusi pasar adalah biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer untuk uang kebersihan dan sewa tempat setiap hari. Besarnya tarif retribusi resmi yang dikenakan PD Pasar Ciwidey Rp. 1.500 per hari. Selain biaya restribusi biasanya di pasar-pasar induk terdapat juga biaya yang sifatnya non formal, seperti biaya keamanan untuk para preman pasar. Penyusutan merupakan sifat alami dari komoditas hortikultura, termasuk sayuran. Selain karena sifat sayur-mayur yang mudah busuk, penyusutan terjadi sebagai akibat penanganan dan pengemasan yang kurang baik selama pengangkutan dari pasar penampungan ke pasar-pasar pengecer, serta susut berat dan adanya produk yang tidak laku terjual. Besar penyusutan berbeda-beda untuk tiap jenis komoditas sayur-mayur. i. Komoditas Petsai i) Marjin Pemasaran Marjin pemasaran yang diperoleh jaringan tingkat I Rp. 200, jaringan tingkat II dan tingkat III masing-masing Rp. 300. Jaringan tingkat I memiliki total biaya operasional 44,34% dari marjin pemasaran, jaringan tingkat II memiliki biaya operasional 51,39% dari marjin pemasaran dan jaringan tingkat III memiliki biaya operasional 64,87% dari marjin pemasaran. ii) Biaya Unit Jaringan Pemasaran Biaya operasional pada jaringan tingkat I 44,34%, terdiri atas biaya transportasi 33,34%, biaya bongkar muat 10% dan biaya penyusutan 1%. Biaya operasional pada jaringan tingkat II ditanggung oleh bandar sayur dan pengecer. Dari biaya operasional bandar sayur 21,67%, sebanyak 16,67 % dikeluarkan untuk biaya transportasi. Biaya operasional untuk jaringan pemasaran tingkat III 64,87%, ditanggung oleh bandar sayur, grosir dan pengecer. iii) Keuntungan Unit Jaringan Pemasaran Penyebaran keuntungan pemasaran yang terjadi pada masing-masing unit jaringan pemasaran tidak merata (Tabel 1). Keuntungan unit jaringan pemasaran terbesar pada jaringan tingkat I (Rp. 111,33) untuk pedagang pengecer. Pada jaringan tingkat II pedagang pengecer masih memperoleh keuntungan terbesar (Rp. 110,83), sedangkan pada jaringan tingkat III yang mendapatkan keuntungan terbesar adalah perantara di pasar (Rp. 50). Tabel 1. Penyebaran keuntungan unit jaringan pemasaran komoditas Petsai Unit jaringan pemasaran Pengumpul Bandar Sayur Perantara di pasar Grosir Pengecer
Jaringan Tingkat I
Rp/kg Jaringan Tingkat II 35,00
111,33
110,83
Jaringan Tingkat III 15,00 19,85 50,00 10,21 10,33
ii. Komoditas Bawang Daun i) Marjin Pemasaran Marjin pemasaran komoditas bawang daun yang diperoleh jaringan pemasaran tingkat I Rp. 600, jaringan tingkat II Rp. 700 dan jaringan tingkat III Rp. 750. Jaringan tingkat I memiliki total biaya operasional 36,25% dari total marjin pemasaran, jaringan tingkat II memiliki total biaya operasional 47,10% dari marjin pemasaran dan jaringan tingkat III memiliki total biaya operasional 60,25% dari marjin pemasaran. ii) Biaya Unit Jaringan Pemasaran Biaya operasional pada jaringan tingkat I 36,25%, terbesar digunakan untuk biaya transportasi 25,00%. Biaya operasional pada jaringan tingkat II 47,10% ditanggung oleh bandar sayur dan pengecer. Biaya operasional yang harus dikeluarkan bandar sayur 15,67% dan pengecer 31,43%. Biaya operasional untuk jaringan tingkat III 60,25%. Biaya tersebut ditanggung oleh bandar sayur 14,70%, grosir 15,95% dan pengecer 29,60%.
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
76
iii) Keuntungan Unit Jaringan Pemasaran Penyebaran keuntungan pemasaran yang terjadi pada masing-masing unit jaringan pemasaran tidak merata. Keuntungan unit jaringan pemasaran terbesar pada jaringan tingkat I (Rp. 382,50) untuk pedagang pengecer. Pada jaringan tingkat II pedagang pengecer masih memperoleh keuntungan terbesar (Rp. 230,00), sedangkan pada jaringan tingkat III yang mendapatkan keuntungan terbesar adalah bandar sayur (Rp. 89,78). iii. Komoditas Kubis i) Marjin Pemasaran Marjin pemasaran yang diperoleh jaringan tingkat I Rp. 600, jaringan tingkat II Rp. 750 dan jaringan tingkat III Rp. 800. Sementara itu jaringan pemasaran tingkat I memiliki total biaya operasional 8,06% dari marjin pemasaran, jaringan pemasaran tingkat II memiliki total biaya operasional 42,33% dan jaringan tingkat 52,50%. ii) Biaya Unit Jaringan Pemasaran. Biaya operasional pada jaringan tingkat I 8,06% ditanggung pengecer. Biaya terbesar pada jaringan tersebut digunakan untuk bongkar muat (5,56%). Biaya operasional pada jaringan tingkat II ditanggung oleh bandar sayur dan pengecer. Biaya operasional yang harus dikeluarkan bandar sayur 13,67%, biaya terbesar digunakan untuk transportasi (10,00%). Biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh pengecer 28,67%, biaya terbesar dikeluarkan untuk biaya transportasi (22,22%). Biaya operasional untuk jaringan tingkat III 52,50%. Biaya tersebut ditanggung oleh bandar sayur, grosir dan pengecer. Biaya operasional terbesar ditanggung oleh bandar sayur 12,97%, biaya terbesar digunakan untuk biaya transportasi (9,38%). Biaya operasional yang harus ditanggung oleh grosir 12,28%, dimana biaya terbesar dikeluarkan untuk biaya transportasi (9,38%). Biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh pengecer 27,25%, dimana biaya terbesar dikeluarkan untuk biaya transportasi (20,83%). iii) Keuntungan Unit Jaringan Pemasaran Penyebaran keuntungan pemasaran yang terjadi pada masing-masing unit jaringan pemasaran tidak merata. Keuntungan unit jaringan pemasaran terbesar diterima jaringan tingkat I (Rp. 551,67) untuk pedagang pengecer. Pada jaringan tingkat II pedagang pengecer masih memperoleh keuntungan terbesar (Rp. 235,00), sedangkan pada jaringan tingkat III yang mendapatkan keuntungan terbesar adalah bandar sayur (Rp. 146,25). iv. Komoditas Tomat i) Marjin Pemasaran Marjin pemasaran yang diperoleh jaringan tingkat I Rp. 700, jaringan tingkat II Rp. 800 dan jaringan tingkat III Rp. 800. Sementara itu, jaringan pemasaran tingkat I memiliki total biaya operasional 31,62% dari marjin pemasaran, jaringan tingkat II 48,16% dari marjin pemasaran dan jaringan tingkat III 60,28% dari marjin pemasaran. ii) Biaya Unit Jaringan Pemasaran Biaya operasional pada jaringan tingkat I 31,62%, terbesar digunakan untuk biaya transportasi (19,05%). Biaya operasional pada jaringan tingkat II ditanggung oleh bandar sayur dan pengecer. Biaya operasional yang harus dikeluarkan bandar sayur 19,99% dan pengecer 28,17%. Biaya operasional untuk jaringan tingkat III 60,28%, terbesar ditanggung oleh pengecer (28,70%). iii) Keuntungan Unit Jaringan Pemasaran Penyebaran keuntungan pemasaran yang diperoleh masing-masing unit jaringan pemasaran tidak merata. Total keuntungan yang diterima jaringan tingkat I Rp. 478,67 hanya dinikmati pengecer. Total keuntungan jaringan tingkat II Rp. 414,75, dimana keuntungan terbesar diperoleh pengecer (Rp. 274,17). Total Jaringan tingkat III Rp. 317,73, dimana keuntungan terbesar diperoleh grosir (Rp. 110,73). v. Komoditas Kentang i) Marjin Pemasaran Marjin pemasaran yang diperoleh jaringan tingkat I, II dan III untuk komoditas kentang masing-masing Rp. 450. Sementara itu, jaringan tingkat I memiliki total biaya operasional
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
77
35,28% dari marjin pemasaran, jaringan tingkat II 48,44% dari marjin pemasaran dan jaringan tingkat III 39,61% dari marjin pemasaran. ii) Biaya Unit Jaringan Pemasaran Biaya operasional pada jaringan tingkat I 35,28%, terbesar digunakan untuk biaya transportasi (25,93%). Biaya operasional pada jaringan tingkat II ditanggung oleh bandar sayur dan pengecer. Biaya operasional yang harus dikeluarkan bandar sayur 13% dan pengecer 35,44%. Biaya operasional untuk jaringan tingkat III sebesar 39,61%, dimana terbesar ditanggung oleh pengecer (18,89%). iii) Keuntungan Unit Jaringan Pemasaran Penyebaran keuntungan pemasaran yang diperoleh masing-masing unit jaringan pemasaran tidak merata. Total Keuntungan yang diterima jaringan tingkat I Rp. 291,25 hanya diterima pengecer. Keuntungan pada jaringan tingkat II Rp. 232,00, dimana keuntungan terbesar diperoleh pengecer (Rp. 140,50). Keuntungan jaringan tingkat III Rp. 271,75, dimana keuntungan terbesar diterima oleh pengecer (Rp. 115,00). vi. Komoditas Cabai Merah i) Marjin Pemasaran Total marjin yang diperoleh jaringan tingkat I Rp. 700, jaringan tingkat II Rp. 1.000 dan jaringan tingkat III Rp. 1.200. Sementara itu, jaringan tingkat I memiliki biaya operasional 22,26% dari marjin pemasaran, jaringan tingkat II memiliki biaya operasional 25,01% dari marjin pemasaran dan jaringan tingkat III memiliki biaya operasional 29,65% dari marjin pemasaran. ii) Biaya Unit Jaringan Pemasaran Biaya operasional pada jaringan tingkat I adalah 22,26%, dimana terbesar digunakan untuk biaya transportasi (14,29%). Biaya operasional pada jaringan tingkat II ditanggung oleh bandar sayur dan pengecer. Biaya operasional yang harus dikeluarkan bandar sayur 9,06%, dimana terbesar untuk biaya penyusutan (4,50%). Biaya operasional yang ditanggung pengecer 15,96%, terbesar digunakan untun biaya transportasi. Biaya operasional untuk jaringan tingkat III 29,65. Biaya tersebut ditanggung oleh bandar sayur 9,04%, grosir 7,15% dan pengecer 13,36%. iii) Keuntungan Unit Jaringan Pemasaran Penyebaran keuntungan pemasaran yang diperoleh masing-masing unit jaringan pemasaran tidak merata. Total keuntungan yang diterima jaringan tingkat I Rp 544,17 hanya diterima pengecer. Keuntungan pada jaringan tingkat II sebesar Rp 749,86, dimana keuntungan terbesar diperoleh pengecer Rp. 540,42 dan bandar sayur Rp 209,44. Keuntungan jaringan tingkat III Rp. 844,23 dan keuntungan terbesar diterima oleh pengecer (Rp. 288,54). 5) Bentuk Organisasi Jaringan Pemasaran Berdasarkan hasil kajian dan analisis terhadap tanggungjawab masing-masing unit di dalam jaringan pemasaran, diketahui bahwa model jaringan pemasaran sayuran yang banyak digunakan para petani Ciwidey adalah organisasi jaringan konvensional dan bentuk organisasi jaringan kontraktual. Di dalam praktek perdagangan sayuran dari Ciwidey, pergeseran bentuk organisasi kearah jaringan vertikal yang dikendalikan disebabkan perantara cenderung menghendaki tingkat keuntungan yang lebih tinggi, namun petani tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat. Kondisi tersebut menyebabkan jaringan pemasaran dikendalikan oleh perantara (bandar sayur). Bentuk organisasi jaringan kontraktual yang digunakan sangat sedikit, yaitu hanya dilakukan oleh para pengumpul besar yang dipercaya grosir pemasok kebutuhan sayuran ekspor atau eceran (swalayan). Bentuk organisasi jaringan pemasaran kontraktual biasanya lebih menjamin kontinuitas pemasaran, namun harga jual yang ditetapkan grosir relatif stabil. Perantara menggunakan bentuk organisasi jaringan pemasaran kontraktual, namun penggunaan jaringan tersebut tidak banyak menguntungkan petani produsen, karena keuntungan lebih yang diperoleh perantara menjadi sepenuhnya milik perantara.
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
78
2. Hasil Kajian a. Keterpaduan Pasar Analisis keterpaduan digunakan untuk mengetahui hubungan pasar sayuran Ciwidey dengan pasar induk Caringin sebagai pasar acuan dari enam komoditas sayuran, yaitu kentang, kubis, wortel, tomat, cabai merah dan petsai. 1) Keterpaduan Pasar Antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin untuk Komoditas Petsai Hubungan antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin dalam perdagangan komoditas petsai diperoleh sebagai berikut:
Pit = - 24,9 + 0,407 Pit-1 + 0,454 Pjt - Pjt-1 + 0,481 Pjt-1 (2,97 )
(6,56)
(3,91)
Keterangan : ( ) adalah nilai t hitung Nilai koefisien lag (perubahan) harga bulan lalu di Pasar Ciwidey (Pi t-1 ) = 0,407 dengan nilai P = 0,006, artinya peubah (Pi t-1 ) berpengaruh nyata terhadap perubahan harga yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai mempunyai arti setiap peningkatan harga Rp. 100,-/Kg di Pasar Ciwidey dari bulan sebelumnya akan meningkatkan harga petsai Rp. 40,7/Kg di Pasar Ciwidey pada bulan berikutnya. Koefisien lag harga komoditas petsai berdasarkan waktu (Pj t -Pj t-1 ) di Pasar Penampungan Caringin 0,454 dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pj t -Pj t-1 ) berpengaruh nyata terhadap perubahan harga komoditas petsai yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t -Pj t-1 ) mempunyai arti setiap peningkatan harga Rp. 100/kg berdasarkan selisih harga sebelumnya di Pasar Caringin akan meningkatkan harga komoditas petsai di Pasar Ciwidey Rp. 45,4/Kg. Koefisien lag harga komoditas petsai di pasar penampungan Caringin dari bulan sebelumnya (Pj t-1 ) 0,481 dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pj t-1 ) berpengaruh nyata terhadap perubahan harga komoditas petsai yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t-1 ) tersebut mempunyai arti setiap peningkatan harga komoditas petsai Rp 100/kg di Pasar Caringin pada bulan sebelumnya akan meningkatkan harga komoditas petsai Rp 48,10/kg di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien b 2 = 0,454 berarti ada keterpaduan dalam jangka pendek antara Pasar Ciwidey dengan pasar Caringin pada komoditas petsai. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga komoditas petsai yang terjadi di Pasar Caringin dirambatkan dengan tepat ke Pasar Ciwidey. Keterpaduan dalam jangka panjang bisa ditunjukkan oleh nilai b 1 dan b 3. Nilai b 1 harus lebih kecil dari b 3 (0,407 < 0,481), maka terdapat keterpaduan dalam jangka panjang antara kedua pasar. 2) Keterpaduan Pasar Antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin Komoditas Bawang Daun Hubungan antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin dalam perdagangan komoditas bawang daun diperoleh sebagai berikut :
Pit = 196 + 0.541 Pit-1 + 0.540 Pjt - Pjt-1 + 0.234 Pjt-1 (3.55) (7.50) (2.14) Keterangan : ( ) adalah nilai t hitung Nilai Durbin-h (Dh) 0,718 dan nilai t-tabel 2,75. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya autokorelasi dalam model, sehingga model dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Nilai koefisien lag (perubahan) harga bulan lalu di Pasar Ciwidey (Pi t-1 ) = 0,541 dengan nilai P = 0,001, artinya peubah (Pi t-1 ) berpengaruh nyata terhadap perubahan harga yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pi t-1 ) mempunyai arti setiap peningkatan harga Rp. 100/Kg di Pasar Ciwidey dari bulan sebelumnya akan meningkatkan harga bawang daun Rp. 54,1/Kg di Pasar Ciwidey pada bulan berikutnya. Koefisien lag harga komoditas bawang daun berdasarkan waktu (Pj t -Pj t-1 ) di Pasar Penampungan Caringin 0,540 dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pj t -Pj t-1 ) berpengaruh nyata terhadap perubahan harga komoditas bawang daun yang terjadi di pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t -Pj t-1 ) mempunyai arti setiap peningkatan harga Rp. 100/kg berdasarkan selisih harga sebelumnya di Pasar Caringin akan meningkatkan harga komoditas bawang daun di Pasar Ciwidey Rp. 54,0/Kg.
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
79
Koefisien lag harga komoditas bawang daun di Pasar Penampungan Caringin dari bulan sebelumnya (Pj t-1 ) sebesar 0,234 dengan nilai P = 0,041, artinya peubah (Pj t-1 ) berpengaruh nyata terhadap perubahan harga komoditas bawang daun yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t-1 ) tersebut mempunyai arti setiap peningkatan harga komoditas bawang daun Rp. 100/kg di Pasar Caringin pada bulan sebelumnya akan meningkatkan harga komoditas bawang daun Rp. 23,4/kg di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien b 2 = 0,540 berarti ada keterpaduan dalam jangka pendek antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin pada komoditas bawang daun. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga komoditas bawang daun yang terjadi di Pasar Caringin dirambatkan dengan tepat ke Pasar Ciwidey. Untuk komoditas bawang daun dengan IMC < 1 tidak terdapat keterpaduan dalam jangka panjang antara kedua pasar menunjukkan nilai b 1 lebih besar dari b 3 (0,541 > 0,234). 3) Keterpaduan Pasar Antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin untuk Komoditas Kubis Hubungan antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin dalam perdagangan komoditas kubis diperoleh sebagai berikut :
Pit = - 39,5 – 0,009 Pit-1 + 0,791 Pjt-Pjt-1 + 0,891 Pjt-1 (-0.05)
(11.54)
(5.39)
Keterangan : ( ) adalah nilai t hitung Uji autokorelasi dalam persamaan regresi dapat diketahui dengan uji nilai Dh 0,699 dan nilai t-tabel 2,75. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya autokorelasi dalam model, sehingga model dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Nilai koefisien lag (perubahan) harga bulan lalu di Pasar Ciwidey (Pi t-1 ) = -0,009 dengan nilai P = 0,961, artinya peubah (Pi t-1 ) tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan harga yang terjadi di Pasar Ciwidey. Koefisien lag harga komoditas kubis berdasarkan waktu (Pj t -Pj t-1 ) di Pasar Penampungan Caringin 0,791 dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pj t -Pj t-1 ) berpengaruh nyata terhadap perubahan harga komoditas kubis yang terjadi di pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t -Pj t-1 ) mempunyai arti setiap peningkatan harga Rp. 100/kg berdasarkan selisih harga sebelumnya di Pasar Caringin akan meningkatkan harga komoditas kubis di Pasar Ciwidey Rp. 79,1/Kg. Koefisien lag harga komoditas kubis di Pasar Penampungan Caringin dari bulan sebelumnya (Pj t-1 ) 0,891 dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pj t-1 ) berpengaruh nyata terhadap perubahan harga komoditas kubis yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t-1 ) tersebut mempunyai arti setiap peningkatan harga komoditas kubis Rp. 100/kg di Pasar Caringin pada bulan sebelumnya akan meningkatkan harga komoditas kubis Rp. 89,1/kg di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien b 2 = 0,791 nilai berarti ada keterpaduan dalam jangka pendek antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin pada komoditas kubis. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga komoditas kubis yang terjadi di Pasar Caringin dirambatkan dengan tepat ke Pasar Ciwidey. Keterpaduan dalam jangka panjang antara kedua pasar menunjukkan nilai b 1 lebih kecil dari b 3 (-0,009 < 0,891). 4) Keterpaduan Pasar Antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin Komoditas Tomat Hubungan antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin dalam perdagangan komoditas tomat diperoleh berikut :
Pit = 46.2 + 0.699 Pit-1 + 0.551 Pjt - Pjt-1 + 0.164 Pjt-1 (4.90)
(9.42)
(1.54)
Keterangan : ( ) adalah nilai t hitung Nilai Dh 0,992 dan nilai t-tabel 2,75. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya autokorelasi dalam model, sehingga model dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Nilai koefisien lag (perubahan) harga bulan lalu di Pasar Ciwidey (Pi t-1 ) = 0,699 dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pi t-1 ) berpengaruh terhadap perubahan harga yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
80
koefisien lag (Pi t-1 ) mempunyai arti setiap peningkatan harga Rp. 100/Kg di Pasar Ciwidey dari bulan sebelumnya akan meningkatkan harga tomat Rp. 69,9/Kg di Pasar Ciwidey pada bulan berikutnya. Koefisien lag harga komoditas tomat berdasarkan waktu (Pj t -Pj t-1 ) di Pasar Penampungan Caringin 0,551 dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pj t -Pj t-1 ) berpengaruh nyata terhadap perubahan harga komoditas tomat yang terjadi di pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t -Pj t-1 ) mempunyai arti setiap peningkatan harga Rp. 100/kg berdasarkan selisih harga sebelumnya di Pasar Caringin akan meningkatkan harga komoditas tomat di Pasar Ciwidey Rp. 55,1/Kg. Koefisien lag harga komoditas tomat di Pasar Penampungan Caringin dari bulan sebelumnya (Pj t-1 ) sebesar 0,164 dengan nilai P = 0,133, artinya peubah (Pj t-1 ) tidak berpengaruh nyata pada taraf uji 0,05 terhadap perubahan harga komoditas tomat yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien b 2 = 0,551 menunjukkan ada keterpaduan dalam jangka pendek antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin pada komoditas tomat. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga komoditas tomat yang terjadi di Pasar Caringin dirambatkan dengan tepat ke Pasar Ciwidey. Berdasarkan persamaan regresi diperoleh nilai IMC = 4,262. Nilai IMC lebih besar dari 1 berarti tidak terdapat keterpaduan dalam jangka panjang antara kedua pasar. Hal tersebut didukung oleh nilai b 1 lebih besar dari b 3 (0,699 > 0,164). 5) Keterpaduan Pasar Antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin untuk Komoditas Kentang Hubungan antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin dalam perdagangan komoditas kentang diperoleh berikut :
Pit = 202 – 0,009 Pit-1 + 0,791 Pjt-Pjt-1 + 0,891 Pjt-1 (-0,05)
(11,54)
(5,39)
Keterangan : ( ) adalah nilai t hitung Nilai Dh 0,699 dan nilai t-tabel 2,75. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya autokorelasi dalam model, sehingga model dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Nilai koefisien lag (perubahan) harga bulan lalu di Pasar Ciwidey (Pi t-1 ) = -0,009 dengan nilai P = 0,961, artinya variabel (Pi t-1 ) tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan harga yang terjadi di Pasar Ciwidey. Koefisien lag harga komoditas kentang berdasarkan waktu (Pj t -Pj t-1 ) di Pasar Penampungan Caringin sebesar 0,791 dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pj t -Pj t-1 ) berpengaruh nyata terhadap perubahan harga komoditas kentang yang terjadi di pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t -Pj t-1 ) mempunyai arti setiap peningkatan harga Rp. 100/kg berdasarkan selisih harga sebelumnya di Pasar Caringin akan meningkatkan harga komoditas kentang di Pasar Ciwidey sebesar Rp. 79,1/Kg. Koefisien lag harga komoditas kentang di Pasar Penampungan Caringin dari bulan sebelumnya (Pj t-1 ) sebesar 0,891 dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pj t-1 ) berpengaruh nyata pada taraf uji 0,05 terhadap perubahan harga komoditas kentang yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t-1 ) tersebut mempunyai arti setiap peningkatan harga komoditas kentang Rp. 100/kg di Pasar Caringin pada bulan sebelumnya akan meningkatkan harga komoditas kentang Rp. 89,1/kg di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien b 2 = 0,791 menunjukkan ada keterpaduan dalam jangka pendek antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin pada komoditas kentang. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga komoditas kentang yang terjadi di Pasar Caringin dirambatkan dengan tepat ke Pasar Ciwidey. Keterpaduan dalam jangka panjang antara kedua pasar menunjukkan nilai b 1 lebih kecil dari b 3 (-0,009 < 0,891). 6) Keterpaduan Pasar Antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin Komoditas Cabai Merah. Hubungan antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin dalam perdagangan komoditas cabai merah diperoleh berikut :
Pit = 528 – 0,026 Pit-1 + 0,835 Pjt - Pjt-1 + 0,931 Pjt-1 (-0,15)
(13,41)
Keterangan : ( ) adalah nilai t hitung
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
(5,56)
81
Nilai Dh 0,661 dan nilai t-tabel 2,75. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya autokorelasi dalam model, sehingga model dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Nilai koefisien lag (perubahan) harga bulan lalu di Pasar Ciwidey (Pi t-1 ) = -0,026 dengan nilai P = 0,885, artinya variabel (Pi t-1 ) tidak berpengaruh nyata pada taraf uji 0,05 terhadap perubahan harga yang terjadi di Pasar Ciwidey. Koefisien lag harga komoditas cabai merah berdasarkan waktu di Pasar Penampungan Caringin (Pj t -Pj t-1 ) 0,835, dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pj t -Pj t-1 ) berpengaruh nyata pada taraf uji 0,05 terhadap perubahan harga komoditas cabai merah yang terjadi di pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t -Pj t-1 ) mempunyai arti setiap peningkatan harga Rp. 100/kg berdasarkan selisih harga sebelumnya di Pasar Caringin akan meningkatkan harga komoditas cabai merah di Pasar Ciwidey Rp. 83,5/Kg. Koefisien lag harga komoditas cabai merah di Pasar Penampungan Caringin dari bulan sebelumnya (Pj t-1 ) 0,931 dengan nilai P = 0,000, artinya peubah (Pj t-1 ) berpengaruh nyata pada taraf uji 0,05 terhadap perubahan harga komoditas cabai merah yang terjadi di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien lag (Pj t-1 ) tersebut mempunyai arti setiap peningkatan harga komoditas cabai merah Rp. 100/kg di Pasar Caringin pada bulan sebelumnya akan meningkatkan harga komoditas cabai merah Rp. 93,1/kg di Pasar Ciwidey. Nilai koefisien b 2 = 0,835 menunjukkan ada keterpaduan dalam jangka pendek antara Pasar Ciwidey dengan Pasar Caringin pada komoditas cabai merah. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga komoditas cabai merah yang terjadi di Pasar Caringin dirambatkan dengan tepat ke Pasar Ciwidey. Terdapat keterpaduan dalam jangka panjang antara kedua pasar menunjukkan nilai b 1 lebih kecil dari b 3 (-0,026 < 0,931). b. Struktur Pasar Berdasarkan hasil survei, petani produsen sayuran di Desa Ciwidey yang tercatat resmi di Kantor Desa sejumlah 298 orang. Usaha tersebut dilakukan sendiri-sendiri dan tidak memiliki asosiasi atau perkumpulan resmi, seperti koperasi atau kelompok tani. Produksi yang dihasilkan petani bersifat homogen. Tanaman sayur dari para petani Ciwidey merupakan substitusi yang sempurna bagi hasil pertanian petani lain, sehingga akibatnya petani sayur secara individual tidak bisa mempengaruhi harga pasar, atau dengan kata lain harga komoditas yang berlaku ditentukan oleh pasar. Namun upaya untuk meningkatkan harga jual dilakukan melalui diferensiasi produk, yaitu untuk komoditas kentang, kubis dan buncis. Komoditas kentang diklasifikasi pada kelas A, B dan C. Hal tersebut berdasarkan pada klasifikasi yang digunakan oleh para pedagang eceran tradisional di wilayah Bandung. Kentang dengan mutu A dijual ke konsumen melalui unit jaringan pemasaran khusus, seperti swalayan dan klasifikasi B dijual di pasar-pasar tradisional. Komoditas kubis diklasifikasikan menjadi dua klasifikasi mutu. Hal tersebut didasarkan pada perbedaan warna dan kondisi crop. Komoditas kubis dengan mutu I memiliki warna kulit lebih licin, ukuran lebih besar dan bentuk kubis bulat dan padat. Kubis dengan mutu II memiliki krop agak kusam dan bentuk kurang bulat terlihat tidak padat. Komoditas buncis biasanya sudah dipilah sekaligus pada saat pemetikan. Kubis yang baik diklasifikasikan super, biasanya mempunyai harga yang relatif tinggi dan dijual untuk memenuhi permintaan swalayan dan restoran. Komoditas petsai, tomat, bawang daun dan cabai merah dapat dikategorikan tidak terdiferensiasi, walaupun dalam prakteknya para pedagang bandar sayur melakukan klasifikasi. Pengklasifikasian tersebut tidak bersifat baku, karena diidasarkan pengamatan dan perkiraan masing-masing bandar sayur terhadap keinginan pembeli di lokasi pasar. Penetapan harga untuk masing-masing klasifikasi mutu dibedakan beberapa rupiah. Mutu komoditas yang penampakan dan tingkat kesegarannya dihargai lebih tinggi bila dibandingkan dengan mutu dan kesegarannya lebih rendah. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa kebebasan dan kemampuan mendapatkan informasi hanya dinikmati sampai dengan tingkat pedagang perantara. Sekalipun para petani mengetahui harga sayur di tingkat eceran yang berada di pasar induk, tetapi petani produsen tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pemasaran langsung ke pasar induk, maka peluang tersebut dimanfaatkan oleh pedagang perantara. Struktur pasar sayur dari daerah Ciwidey dikatagorikan pada struktur pasar yang mendekati persaingan sempurna dan differensiasi. Struktur pasar yang mendekati persaingan sempurna terjadi pada perdagangan komoditas petsai, cabai merah, bawang daun dan tomat. Struktur pasar diferensiasi terjadi pada perdagangan komoditas kentang, kubis dan buncis. Dengan demikian masih ada peluang bagi para pedagang baru yang ingin bergerak di bidang pemasaran sayuran. Hal erat kaitannya dengan perilaku pasar berikut :
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
82
1) Sistem Penentuan Harga Jaringan pemasaran yang pendek dapat memberikan marjin keuntungan lebih besar kepada produsen dan memberikan insentif kepada konsumen dalam bentuk harga murah. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, insentif tersebut hanya dinikmati oleh jaringan pemasaran. Jaringan pemasaran memiliki kemampuan untuk mengakses pasar dan dapat langsung melakukan pembelian kepada petani, sehingga jaringan itu yang menikmati marjin keuntungan besar. Hal tersebut dapat diketahui dari perolehan harga beli bandar sayur akan sama dengan perolehan harga beli yang diberikan kepada para perantara yang langsung membeli sayuran kepada petani. Sistem penentuan harga beli sayur dari petani sampai dengan konsumen akhir umumnya dilakukan secara tawar menawar dan kesepakatan. Mengingat bandar sayur memiliki modal untuk melakukan pemasaran dan paling mampu mengakses pasar, maka penetapan harga beli kepada petani sangat tergantung yang ditetapkan bandar sayur. Penetapan harga oleh bandar sayur mengacu pada keuntungan yang akan didapat setelah diketahui harga jual yang berlaku di tingkat penjualan akhir dan ketersediaan jumlah pasokan. Penentuan harga yang datang dari konsumen terjadi, jika komoditas yang ada di pasar kelebihan pasokan. Jika permintaan berlebih dan pasokan berkurang, maka yang paling menentukan harga jual adalah bandar sayur. 2) Sistem Pembayaran Sistem pembayaran yang dilakukan perantara sangat bervariasi. Sistem pembayaran harga sayuran dari pengumpul ke petani dilakukan setelah pengumpul menerima pembayaran dari bandar sayur. Dalam menetapkan harga dan volume sayur yang akan dibeli, sangat tergantung dari jumlah dan harga maksimal yang pasti akan dibeli bandar sayur. Sistem pembayaran dari para banda sayur yang melakukan pembelian langsung kepada petani dibayar secara tunai. Namun jika sudah sangat dikenal pembayaran dilakukan bandar sayur setelah laku dijual. Selain cara pembayaran tersebut ada juga yang dilakukan dengan sistem tebas, atau semacam sistem ijon. Hal tersebut terlihat dari transaksi yang dilakukan menjelang panen atau kurang lebih dua minggu sebelum panen. Pembayaran dan transaksi dengan sistem tebas memberikan keuntungan lebih bagi bandar sayur, karena volume atau harga yang sudah dibayarkan lebih besar dari taksirannya, maka keuntungannya menjadi milik bandar sayur. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh para perantara di pasar kepada para bandar sayur dilakukan setelah menerima pembayaran dari grosir di pasar. Hal tersebut mengingat pada kondisi permodalan yang sama dengan pengumpul. Sistem pembayaran yang dilakukan pengecer atau swalayan, baik kepada petani, bandar sayur atau pemasok lainnya dilakukan langsung, namun jika pengecer tersebut berbentuk pasar swalayan, maka pembayarannya diberikan dalam tempo beberapa hari. Sistem pemasaran dengan cara tersebut sangat menjamin kontinuitas penjualan produk, namun dibutuhkan modal cadangan, terutama jika dilakukan dengan sistim konsinyasi. 3) Kerjasama Antara Perantara di Dalam Jaringan Pemasaran Hubungan kerjasama di dalam jaringan pemasaran sayuran dari Ciwidey dilakukan secara parsial atau tidak menyeluruh. Hal tersebut tersebut diakibatkan karena produsen atau seorang perantara tidak merasa bertanggungjawab kepada perantara lain dan produsen. Bentuk kerjasama demikian dikategorikan sebagai bentuk organisasi jaringan konvensional. Pola jaringan pemasaran akan mempengaruhi sebaran dan besarnya keuntungan yang diterima oleh masing-masing unit jaringan. Hal tersebut berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran yang menunjukkan semakin pendek jaringan pemasaran, maka keuntungan yang diterima oleh unit jaringan akan semakin besar. Keuntungan penggunaan jaringan pemasaran yang pendek seharusnya dapat mempengaruhi penerimaan keuntungan petani produsen dan memberikan insentif bagi konsumen dalam bentuk harga murah. Dalam kajian diketahui sekalipun pemasaran pada jaringan tingkat 1 hanya melibatkan satu perantara, namun keuntungan tersebut hanya dinikmati oleh perantara. Penetapan harga dari petani sama dengan harga yang diberikan kepada perantara manapun, maka pendapatan petani tidak terpengaruh oleh penggunaan jaringan pemasaran yang ada. Dari analisis tanggungjawab masing-masing perantara terhadap petani atau perantara lainnya diketahui bahwa model tanggungjawab masing-masing unit di dalam jaringan pemasaran sayur di Ciwidey berbentuk organisasi jaringan konvensional. Jaringan tersebut terbentuk dengan sendirinya dan masing-masing unit-unit jaringan tidak memiliki keterikatan atau tanggungjawab kepada unit jaringan lainnya. Demikian pula besarnya keuntungan yang diterima
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006
83
masing-masing. Namun sebagaimana lajimnya setiap organisasi jaringan konvensional memiliki dampak yang sama, ketika perantara cenderung menghendaki tingkat keuntungan yang lebih tinggi, di sisi lain petani tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat, maka bentuk organisasi tersebut berubah menjadi bentuk organisasi jaringan vertikal yang dikendalikan. Faktor lemahnya posisi tawar menawar petani di dalam jaringan pemasaran yang digunakannya disebabkan oleh keterbatasan informasi pasar dan sumber daya yang dibutuhkan, namun disamping kelemahan tersebut petani memiliki kekuatan sebagai pemasok komoditas sayuran berpotensi yang dapat disinergikan dengan pihak lain yang membutuhkan pasokan atau memiliki kekuatan modal untuk melakukan pemasaran dan mampu melakukan akses pasar. Dari kajian tersebut terlihat penyelesaian masalah pemasaran sayuran bagi para petani kecil di Ciwidey tidak hanya terletak pada pemilihan tingkat jaringan pemasaran, melainkan ditentukan bentuk organisasi jaringan pemasaran yang tepat. Hal lain, bentuk organisasi jaringan pemasaran yang cocok dengan kondisi petani sayuran dari Ciwidey adalah jaringan pemasaran vertikal kontraktual atau jaringan pemasaran horizontal. Untuk mengendalikan harga akibat kelebihan produksi dapat ditetapkan strategi pemasaran melalui bentuk organisasi jaringan pemasaran ganda/banyak yang diwujudkan melalui kelompok usaha tani atau koperasi usaha tani.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a.
b.
c.
Sistem kerjasama antar unit jaringan (perantara) dilakukan secara parsial dan tidak menyeluruh, dimana masing-masing perantara tidak bertanggungjawab terhadap perantara lainnya. Maka dari itu penggunaan rentang jaringan manapun tidak berpengaruh terhadap peningkatan keuntungan petani, sehingga di dalam memutuskan penggunaan jaringan pemasaran perlu ditentukan pula bentuk organisasi jaringannya. Perilaku pasar menunjukkan bahwa sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama antara unit perantara sangat bervariasi, tetapi cenderung bandar sayur berperan besar, sebagai contoh Pasar Ciwidey dengan pasar induk Caringin pada umumnya memiliki keterpaduan jangka pendek dan jangka panjang untuk komoditas sayuran. Marjin pemasaran menunjukkan bahwa semakin panjang rentang jaringan pemasaran maka semakin tinggi biaya operasional yang harus dikeluarkan. Hal tersebut berakibat pula semakin kecil keuntungan yang diterima masing-masing unit jaringan.
2. Saran a. b.
Perlu ada kebijakan dari instansi yang menangani pemberdayaan petani untuk ikut mengorganisir petani dan memandu usaha pemasarannya, agar mandiri. Pengendalian pola tanam harus diberlakukan dengan tujuan menghindarkan terjadinya panen raya pada satu jenis komoditas dan mengurangi risiko turunnya harga akibat kelebihan pasokan, serta hal lainnya perlu dilakukan penyortiran, sehingga produk dapat terdiferensiasi dengan baik dan meningkatkan nilai jual. DAFTAR PUSTAKA
Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. Downey, W.D dan S.P. Erickson. 1987. Manajemen Agribisnis (Terjemahan). Erlangga, Jakarta. Haerani, N. 1995. Analisis Keterpaduan Pasar Karet Alam Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, IPB, Bogor. Hammond, J.W, and D.C. Dahl. 1992. Market and Price Analysis The Agricultural Industry. Mc.GrawHill Book Company, New York. Ravillion, M. 1986. Testing Market Integration. Journal of Agricultural Economics. American Agriculture Economics, Hal. 102 – 108. Sevilla, C.G. 1993. Pengantar Metode Penelitian (Terjemahan). Universitas Indonesia, Jakarta Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1972. Agricultural Product Price. Cornell University Press, New York.
Jurnal MPI Vol. 1 No. 2. September 2006