ANALISIS IMPOR BERAS DI INDONESIA PERIODE 1980-2010
OLEH SISWI PUJI ASTUTI H14114016
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
SISWI PUJI ASTUTI. Analisis Impor Beras di Indonesia Periode 1980-2010 (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI).
Hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain karena adanya perbedaan antarnegara dalam hal sumber daya alam, sumber daya manusia maupun teknologi dan keuntungan yang dapat diperoleh dari perdagangan internasional jika nilai impornya lebih kecil dari nilai ekspor. Impor diperlukan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri atau memenuhi kelebihan permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan produksi dalam negeri. Ketahanan pangan merupakan masalah yang dihadapi seluruh negara di dunia terkait dengan pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim global yang mengancam produksi pangan. Setiap warga negara berhak atas tercukupinya pangan dengan harga yang terjangkau, oleh karena itu pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang dapat menjamin kecukupan dan keterjangkauan pangan bagi seluruh masyarakat dan swasembada pangan menjadi kunci bagi pencapaian ketahanan pangan. Beras merupakan komoditi pangan strategis bagi Indonesia karena beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat dan sektor pertanian khususnya pertanian tanaman pangan sebagai penghasil beras merupakan sektor penting dalam perekonomian ditinjau dari peranannya dalam pembentukan PDB dan penyerapan tenaga kerja. Ketergantungan terhadap impor beras dapat mengancam usaha peningkatan kesejahteraan petani dan pencapaian swasembada beras pada tahun 2014. Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan produksi, konsumsi, harga dan impor beras. Penelitian ini juga mengukur ketergantungan penyediaan beras terhadap impor dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras dalam jangka panjang melalui metode ekonometrika Vector Error Correction Model (VECM). Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia tahun 1991-2009 mengalami peningkatan. Peningkatan produktivitas padi memegang peranan yang lebih penting dalam meningkatkan produksi padi dibandingkan peningkatan luas panen. Secara rata-rata, produksi beras lebih rendah dibandingkan konsumsinya pada periode yang sama. Impor beras sepanjang periode 1980-2010 berfluktuasi dengan rata-rata 1,083 juta ton per tahun dan pertumbuhan impor rata-rata 160 persen setiap tahun. Pola pergerakan harga beras di pasar domestik mengikuti pola harga beras di pasar dunia dan harga beras di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan harga di pasar internasional. Rasio ketergantungan impor beras Indonesia periode 1980-2010 sangat berfluktuasi dengan rata-rata 2,69 persen per tahun. Variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap volume impor beras dalam jangka panjang adalah rasio harga dalam negeri terhadap harga dunia, rasio
ketergantungan impor beras, liberalisasi perdagangan beras, PDB, pertumbuhan penduduk, rasio produksi terhadap konsumsi dan nilai tukar rupiah. Volume impor memberikan respon negatif terhadap guncangan sebesar satu standar deviasi pada rasio produksi terhadap konsumsi beras dan nilai tukar riil. Sementara guncangan rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia, rasio ketergantungan impor, kebijakan liberalisasi perdagangan beras dan PDB sebesar satu standar deviasi direspon positif oleh volume impor beras. Variabel yang dominan dalam menjelaskan fluktuasi volume impor beras adalah impor beras itu sendiri, rasio produksi terhadap konsumsi beras, rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia, PDB dan kebijakan liberalisasi perdagangan beras. Kebijakan impor beras sebaiknya lebih didasarkan kepada harga beras di pasar domestik dibandingkan selisih produksi dan konsumsi beras. Harga beras dapat menjadi sinyal adanya defisit produksi dibandingkan konsumsi, disisi lain penghitungan angka produksi dan konsumsi beras masih perlu disempurnakan. Impor beras sebaiknya kembali diserahkan kepada Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai satu-satunya pemegang hak impor sehingga pemerintah dapat lebih mudah melakukan kontrol atas volume impor beras. Ketergantungan terhadap impor beras dalam memenuhi persediaan dalam negeri dapat ditekan dengan mendorong peningkatan produksi dalam negeri dan diversifikasi pangan kepada bahan-bahan pangan sumber karbohidrat yang diproduksi di dalam negeri.
ANALISIS IMPOR BERAS DI INDONESIA PERIODE 1980-2010
Oleh SISWI PUJI ASTUTI H14114016
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi : ANALISIS IMPOR BERAS DI INDONESIA PERIODE 1980-2010 Nama
: Siswi Puji Astuti
NRP
: H14114016
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Tanti Novianti, M.Si. NIP. 19721117 199802 2 005
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal lulus:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, November 2011
Siswi Puji Astuti H14114016
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Siswi Puji Astuti lahir di Semarang pada tanggal 18 April 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Sunarko dan Rahayu Astuti. Setelah
menamatkan
sekolah
dasar
di
SDN
Kampungdalem
III
Tulungagung pada tahun 1996 penulis melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya di SLTPN 1 Trenggalek dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 3 Malang, pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Sekolah (STIS) Jakarta dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Sebelum menempuh pendidikan pascasarjana penulis menjalani program alih jenis S1 Ilmu Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 2007 penulis diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Badan Pusat Statistik (BPS) dan ditempatkan sebagai staf Seksi Statistik Distribusi BPS Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008 penulis dipindahtugaskan ke Sub Bagian Bina Program BPS Provinsi Sulawesi Selatan dan mulai tahun 2010 penulis juga mendapat kepercayaan sebagai Pejabat Kehumasan BPS Provinsi Sulawesi Selatan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul ”Analisis Impor Beras di Indonesia Periode 1980-2010”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun material dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Tanti Novianti, M.Si. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr Muhammad Findi A dan Laily Dwi Arsyianti M.Sc. selaku dosen penguji atas saran dan kritik yang membangun dalam hal substansi materi maupun tata cara penulisan skripsi ini. 3. Seluruh staf pengajar dan karyawan/i Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB atas ilmu dan jasa yang diberikan selama penulis menempuh program alih jenis. 4. Rekan-rekan kelas BPS Batch Empat yang senantiasa saling memberikan masukan, dukungan dan semangat. 5. Kedua orang tua, adik tersayang Siswanto Adi Wijanarko dan seluruh keluarga atas doa dan pengertian yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, November 2011
Siswi Puji Astuti H14114016
i
DAFTAR ISI
Halaman Daftar Isi ................................................................................................................
i
Daftar Tabel ...........................................................................................................
iv
Daftar Gambar .......................................................................................................
v
Daftar Lampiran .....................................................................................................
vi
I
II
Latar Belakang ............................................................................................... 1.1 Pendahuluan ........................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................
6
1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................................
7
Tinjauan Pustaka 2.1 Tinjauan Teori .....................................................................................
8
2.1.1 Perdagangan Internasional ........................................................
8
2.1.2 Teori Perdagangan Internasional ...............................................
11
2.1.3 Hambatan Perdagangan Internasional .......................................
13
2.1.4 Perdagangan Bebas dan Pembangunan di Negara Berkembang
15
2.1.5 Teori Permintaan .......................................................................
18
2.2 Penelitian Terdahulu ...........................................................................
20
2.3 Kerangka Pikir ....................................................................................
23
III Metode Penelitian 3.1 Jenis dan Sumber Data ........................................................................
25
3.2 Metode Analisis Data ..........................................................................
25
3.3 Pengujian Asumsi ................................................................................
28
3.3.1 Uji Stasioneritas Data ................................................................
28
3.3.2 Uji Lag Optimum ......................................................................
33
3.3.3 Uji Kointegrasi ..........................................................................
33
3.3.4 Uji Stabilitas VAR ....................................................................
35
ii
3.3.5 Impulse Response Function (IRF) .............................................
35
3.3.6 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ...................
36
3.4 Spesifikasi Model ................................................................................
37
IV Hasil Empiris dan Pembahasan 4.1 Analisis Deskriptif ..............................................................................
39
4.1.1 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi ..
39
4.1.2 Perkembangan Produksi dan Impor Beras Indonesia ................
40
4.1.3 Perkembangan Harga dan Impor Beras di Indonesia ................
43
4.1.4 Rasio Ketergantungan Impor Beras ..........................................
47
4.1.5 Jumlah Penduduk dan Persediaan Beras Nasional ....................
48
4.2 Hasil Uji Asumsi .................................................................................
49
4.2.1 Hasil Uji Stasioneritas Data ......................................................
50
4.2.2 Hasil Uji Lag Optimum .............................................................
52
4.2.3 Hasil Uji Stabilitas VAR ...........................................................
52
4.2.4 Hasil Uji Kointegrasi .................................................................
53
4.3
Hasil Estimasi Persamaan Jangka Panjang ...........................................
54
4.4
Analisis Impulse Response Function (IRF) ...........................................
56
4.4.1 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Volume Impor Beras ...............................................................................
57
4.4.2
Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Harga Beras Dalam Negeri terhadap Harga Beras Dunia ........
57
4.4.3 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Produksi terhadap Konsumsi Beras Dalam Negeri ...................
57
4.4.4 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Ketergantungan Impor ..............................................................
58
4.4.5 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Beras ................................................
58
4.4.6 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan PDB .........
59
4.4.7 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Pertumbuhan Penduduk ............................................................
59
4.4.8 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil ..................................................................................
60
4.5 Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) ..........
60
iii
V
Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan .........................................................................................
62
5.2 Saran ....................................................................................................
63
Daftar Pustaka ........................................................................................................
65
Lampiran ................................................................................................................
67
iv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1 Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Sektor Pertanian Tahun 2006-2010 (Miliar Rupiah) ..........................................
3
3.1 Variabel dalam Penelitian ....................................................................................
23
4.1 Impor Beras Indonesia Menurut Negara Asal Tahun 2005-2009 (Ton) ..............
43
4.2 Hasil ADF Test untuk Data pada Tingkat Level .................................................. 50 4.3 Hasil ADF Test untuk Data pada Tingkat First Difference .................................
51
4.4 Hasil Uji Lag Optimum ........................................................................................ 52
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1
Persentase PDB dan Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Tahun 2006-2010 .......................................................................
4
1.2
Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Tahun 2006-2010 ........................................ 5
2.1
Analisis Kesetimbangan Parsial Atas Harga Kesetimbangan Relatif Suatu Komoditi ............................................................................................................
10
2.2
Kerangka Pikir ...................................................................................................
24
4.1
Produksi dan Luas Panen Padi di Indonesia, 1981-2010 ...................................
39
4.2
Produktivitas Padi di Indonesia, 1981-2010 ......................................................
40
4.3
Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia, 1980-2010 .......................................
41
4.4
Impor serta Selisih Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia, 1980-2010 ........
42
4.5
Volume Impor dan Harga Rata-rata Eceran Beras di Indonesia, 1980-2010 .....
44
4.6
Harga Rata-rata Gabah Kering Giling (GKG) dan Eceran Beras di Indonesia, 1980-2010 ..........................................................................................................
45
4.7
Harga Rata-rata Eceran Beras Dunia dan Indonesia, 1999-2010 .......................
46
4.8
Harga Beras Indonesia, Cina, Thailand, Amerika Serikat dan Vietnam, 2000-2009 ..........................................................................................................
47
4.9
Rasio Ketergantungan Impor Beras di Indonesia, 1980-2010 ...........................
48
4.10 Jumlah Penduduk dan Persediaan Beras Indonesia, 1980-2010 ........................
49
4.11 Dekomposisi Varians Volume Impor Beras ......................................................
61
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1 Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Indonesia 1980-2010
67
2 Harga Beras Dunia, Dalam Negeri dan GKG 1990-2010
68
3 Hasil Uji Stabilitas VAR ................................................................
69
4 Hasil Uji Kointegrasi .....................................................................
70
5 Grafik IRF ......................................................................................
72
6 Hasil Estimasi VECM ....................................................................
73
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan
perdagangan
dengan
negara
lain
karena
adanya
perbedaan
antarnegarabaik dalam hal sumber daya alam, sumber daya manusia maupun penguasaan teknologi. Perdagangan internasional juga dapat mendatangkan keuntungan bagi negara yang menjalaninya terutama jika nilai impornya lebih kecil dari nilai ekspor, meskipun demikian impor masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri atau memenuhi kelebihan permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan produksi dalam negeri. Ketahanan pangan menjadi persoalan penting terkait dengan perubahan iklim global dan pertumbuhan penduduk dunia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ketahanan pangan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia terutama terkait penyediaan dan stabilitas harga. Setiap warga negara berhak atas tercukupinya pangan dengan harga yang terjangkau, oleh karena itu oleh karena itu menjadi tugas pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang dapat menjamin kecukupan dan keterjangkauan pangan bagi
2
seluruh masyarakat dan swasembada pangan menjadi kunci bagi pencapaian ketahanan pangan. Di antara berbagai komoditi pangan, beras merupakan komoditas pangan yang sangat penting bagi Indonesia baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik, stabilitas harga beras menjadi indikator keberhasilan kebijakan ekonomi suatu pemerintahan. Secara ekonomi, beras yang merupakan makanan pokok hampir seluruh masyarakat menjadikan harga beras determinan penting dalam ketahanan pangan dan kemiskinan. Rata-rata konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 1,8 kg per minggu dan sekitar sembilan persen pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk konsumsi padi-padian termasuk beras. Harga beras yang rendah dan stabil diperlukan untuk menjamin akses masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah, atas pangan pokok mereka. Dari sisi ekonomi, sektor penghasil beras yaitu pertanian merupakan sektor penting dalam perekonomian ditinjau dari kontribusi dalam PDB maupun penyerapan tenagakerja. Dalam lima tahun terakhir kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDB berkisar antara 12-15 persen dan masih memperlihatkan kecenderungan meningkat setiap tahun. Ditinjau lebih jauh pada sub-sub sektor di dalamnya, pertanian tanaman pangan merupakan subsektor utama dalam sektor pertanian. Subsektor tanaman pangan memberikan kontribusi sekitar 50 persen terhadap PDB sektor pertanian secara keseluruhan (Tabel 1.1). Kondisi ini menunjukkan sebagian besar pertanian di Indonesia adalah pertanian tanaman pangan di mana komoditi padi termasuk di dalamnya.
3
Dalam hal penyerapan tenagakerja, sektor pertanian masih menjadi sektor yang paling banyak menampung tenagakerja. Sepanjang tahun 2006-2010, meskipun menunjukkan kecenderungan menurun, sektor pertanian mampu menyerap sekitar 38-42 persen tenagakerja. Tabel 1.1 : Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Sektor Pertanian Tahun 2006-2010 (Miliar Rupiah) LAPANGAN USAHA
2006
2007
2008
2009*
2010**
(1) 1. Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan a. Tanaman Bahan Makanan
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasilhasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Produk Domestik Bruto
433.223,4
541.931,5
716.656,2
857.241,4
985.143,6
214.346,3
265.090,9
349.795,0
419.194,8
483.521,1
63.401,4
81.664,0
105.960,5
111.423,1
135.258,1
51.074,7
61.325,2
83.276,1
104.883,9
119.094,9
30.065,7
36.154,1
40.375,1
45.119,6
48.050,5
74.335,3
97.697,3
137.249,5
176.620,0
199.219,0
1.847.126,7
1.964.327,3
2.082.456,1
2.177.741,7
2.310.689,8
Sumber : BPS (2010) catatan: * Angka sementara ** Angka sangat sementara Gambar 1.1 menunjukkan persentase PDB dan penyerapan tenagakerja di sektor pertanian, tampak bahwa sekitar 40 persen tenagakerja hanya menghasilkan tidak lebih dari 15 persen PDB. Hal ini mengindikasikan rendahnya pendapatan tenagakerja di sektor pertanian sehingga rumah tangga yang pendapatan utamanya berasal dari sektor pertanian rawan terhadap kemiskinan. Sebelum tahun 1998 pemerintah melakukan intervensi terhadap pasar beras melalui lembaga Badan Urusan Logistik (BULOG) yang menyerap produksi saat harga rendah pada panen raya dan melepas cadangan melalui operasi pasar saat harga tinggi pada masa paceklik maupun saat hari besar. BULOG juga
4
memiliki hak monopoli impor beras sehingga pemerintah dapat mengontrol
Persentase terhadap Seluruh Sektor
jumlah beras yang diimpor. 45 40 35 30 25 20
PDB
15
TK
10 5 0 2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber : BPS (2010), diolah Gambar 1.1 : Persentase PDB dan TenagaKerja Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Tahun 2006-2010
Pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi dan menerima bantuan IMF untuk mengatasinya. Salah satu poin dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF adalah menerapkan liberalisasi perdagangan beras sejak September 1998 dengan mengurangi hambatan impor beras dan menghapus hak monopoli BULOG dalam impor beras melalui Inpres No.19 Tahun 1998. Liberalisasi pasar menjadi instrumen kebijakan untuk menjaga kecukupan persediaan dan stabilitas harga beras. Kenyataan bahwa produksi padi sangat rentan pada perubahan kondisi alam dan pertumbuhan penduduk serta konsumsi beras yang terus meningkat, membuat impor menjadi pilihan yang realistis dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. Di lain pihak, liberalisasi
5
perdagangan beras dapat menjadi ancaman bagi kemandirian pangan dan kesejahteraan petani di dalam negeri. Dalam lima tahun terakhir konsumsi beras terus meningkat sementara produksi dan impor beras sangat berfluktuasi. Impor beras dilakukan saat produksi tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi. Gambar 1.2 menunjukkan fluktuasi impor beras periode 2006-2010 tidak mengikuti perkembangan produksi dan konsumsi beras. Pada tahun 2007 ketika terjadi surplus beras, volume impor justru meningkat. Demikian pula pada tahun 2010 volume impor beras meningkat meskipun terjadi peningkatan produksi. Kondisi ini menunjukkan adanya
40000.0
1600.00
39000.0
1400.00
38000.0
1200.00 1000.00
37000.0
800.00 36000.0
600.00
35000.0
400.00
34000.0
200.00
33000.0
0.00 2006
Produksi Beras
2007
2008 Tahun Konsumsi Beras
2009
2010
Volume Impor Beras
Sumber : BPS dan FAO, 2010. (Diolah). Gambar 1.2 : Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Tahun 2006-2010
Impor Beras (000 Ton)
Produksi, Konsumsi (000 Ton)
kebijakan yang kurang tepat dalam impor beras.
6
1.2 Perumusan Masalah Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang potensial untuk mengembangkan pertanian, termasuk komoditi beras. Pasar beras dalam negeri sangat besar karena beras merupakan makanan pokok bagi sekitar 240 juta penduduk Indonesia. Kedua hal tersebut menggambarkan potensi pertanian padi yang sangat menjanjikan, maka menjadi sebuah ironi ketika dari tahun ke tahun Indonesia masih menjadi net importir beras. Ketika pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan beras maka pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras internasional dan harga beras dalam negeri akan terpengaruh oleh harga beras dunia sementara diketahui bahwa pasar beras dunia sangat tipis dan fluktuatif karena persediaan beras di pasar dunia hanya merupakan residu dari negara-negara eksportir beras. Ketergantungan terhadap impor beras membuat harga di tingkat konsumen menjadi lebih fluktuatif (Jamhari, 2004) serta kontraproduktif dengan program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mencapai swasembada beras pada tahun 2014 sehingga impor beras seharusnya dikurangi. Perlu dilakukan analisis mengenai ketergantungan terhadap impor beras dan faktor-faktor yang memengaruhi impor beras yang akan bermanfaat dalam menyusun strategi untuk mengurangi impor beras. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
7
1. Bagaimana perkembangan produksi, konsumsi, impor dan harga beras di Indonesia? 2. Seberapa besar rasio ketergantungan impor beras di Indonesia? 3. Faktor-faktor apa yang memengaruhi impor beras di Indonesia dalam jangka panjang?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perkembangan produksi, konsumsi serta impor dan harga beras di Indonesia periode 1980-2010. 2. Mengukur rasio ketergantungan impor beras di Indonesia periode 1980-2010. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras di Indonesia dalam jangka panjang.
1.4 Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan kebijakan impor beras serta dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian lain yang mengangkat topik serupa.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori-teori 2.1.1 Perdagangan Internasional Perdagangan internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa yang dilakukan penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan
bersama.
Perdagangan
internasional
didorong
oleh
adanya
perbedaan harga antar negara (Nopirin, 1997). Menurut Krugman dan Obstfeld (2002) faktor utama yang menjadi alasan negara-negara melakukan perdagangan internasional adalah adanya perbedaan antarnegara dan setiap negara bertujuan mencapai skala ekonomis dalam produksinya. Perbedaan antar negara yang mendorong terjadinya perdagangan internasional adalah perbedaan sumberdaya alam, sumberdaya modal, tenaga kerja dan teknologi yang mengakibatkan perbedaan efisiensi produksi antar negara (Halwani, 2005). Perdagangan Internasional memberikan keuntungan bagi semua pelakunya meskipun salah satu negara lebih efisien dibandingkan negara lainnya. Suatu negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional dengan mengekspor komoditi yang dapat diproduksi dengan sumberdaya yang melimpah di negara tersebut dan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang langka di negara tersebut (Krugman dan Obstfeld, 2002).
9
Menurut Sukirno (2004) keuntungan dari melakukan perdagangan internasional adalah : a.
Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi dalam negeri. Beberapa barang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri karena faktor alam maupun pengetahuan dan teknologi.
b.
Memperoleh keuntungan dari spesialisasi karena faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat digunakan dengan lebih efisien dan setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang dari yang dapat diproduksi di dalam negeri.
c.
Memperluas pasar industri-industri dalam negeri. Dengan perluasan pasar, kapasitas produksi dapat terus ditingkatkan dengan pasar yang luas sehingga efisiensi dari skala ekonomi dapat tercapai.
d.
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara mempelajari teknik produksi dan manajemen yang lebih baik dari negara lain dan mengimpor alat-alat dengan teknologi yang lebih canggih dari negara lain untuk meningkatkan efisiensi.
Terjadinya perdagangan internasional akibat perbedaan harga antar negara dapat dianalisis melalui analisis keseimbangan parsial. Menurut Salvatore (1996), harga keseimbangan relatif suatu komoditi dalam perdagangan internasional ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan komoditas tersebut di pasar internasional. Penawaran di pasar internasional akan terbentuk ketika suatu negara mengalami kelebihan penawaran atas suatu komoditi. Sebaliknya, suatu negara yang mengalami kelebihan permintaan atas suatu komoditi akan memenuhinya
10
melalui permintaan di pasar internasional. Proses terjadinya kesetimbangan ini dapat dipahami dari analisis kesetimbangan parsial menggunakan kurva permintaan dan penawaran. Gambar 2.1 menunjukkan terciptanya keseimbangan harga relatif dengan adanya perdagangan, ditinjau dari analisis kesetimbangan parsial. Sumbu vertikal menunjukkan harga relatif komoditi X (Px/Py) dan sumbu horisontal menunjukkan kuantitas komoditi X yang diminta maupun ditawarkan. Kurva D x dan Sx menggambarkan permintaan dan penawaran atas komoditi X di pasar negara 1 dan negara 2, sementara kurva D dan S menggambarkan permintaan dan penawaran di pasar internasional. Kondisi kesetimbangan pada saat QDx = QSx di pasar negara 1, negara 2 dan pasar internasional berturut-turut ditunjukkan oleh E1, E2 dan Ew. Px/Py
Pasar Negara 1
Pasar Internasional
Pasar Negara 2 Sx E2
Sx
P2
Ekspor
S Ew
Pw
P1
D
Impor
Dx
E1 Dx
Qx Sumber: Salvatore (2006) Gambar 2.1: Analisis Kesetimbangan Parsial Atas Harga Kesetimbangan Relatif Suatu Komoditi
11
Pada saat harga relatif di negara 1 (P1) lebih rendah daripada harga di pasar internasional (Pw), negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi X dan kurva penawaran ekspornya (S) mengalami peningkatan. Sementara di negara 2, harga relatif komoditi X (P2) lebih tinggi dari pada harga di pasar internasional sehingga terjadi kelebihan permintaan atas komoditi X dan kurva permintaan impornya (D) mengalami peningkatan. Kurva permintaan dan penawaran di pasar internasional menunjukkan pada tingkat harga Pw kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 persis sama dengan kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan negara 1. Dengan demikian Pw adalah harga relatif kesetimbangan atas komoditi X setelah terjadi perdagangan internasional antara negara 1 dan negara 2.
2.1.2 Teori Perdagangan Internasional Beberapa teori mengenai perdagangan internasional dijelaskan sebagai berikut. 2.1.2.1 Teori Keunggulan Absolut Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith yang menyatakan bahwa perbedaan kemampuan memproduksi antar negara disebabkan oleh perbedaan efisiensi dalam penggunaan input produksi. Suatu negara akan memproduksi dan mengekspor suatu barang yang mampu dibuat dengan efisiensi input yang lebih tinggi dibandingkan negara lain. Sementara suatu negara akan mengimpor jika negara tersebut tidak mampu memproduksi barang tersebut dengan efisiensi input yang lebih tinggi dibandingkan negara lain.
12
Asumsi yang berlaku pada teori ini adalah hanya ada dua negara dan dua barang yang diproduksi. Teori keunggulan absolut memiliki kelemahan, yaitu tidak mampu menjelaskan bagaimana proses perdagangan internasional dapat terjadi jika suatu negara memiliki keunggulan absolut atas semua barang. 2.1.2.2 Teori Keunggulan Komparatif Teori ini dikemukakan oleh David Ricardo sebagai jawaban atas kelemahan teori keunggulan absolut Adam Smith. Menurut David Ricardo, perdagangan internasional akan timbul sebagai akibat perbedaan efisiensi relatif antara dua negara dalam memproduksi dua (atau lebih) jenis barang. Suatu negara akan melakukan ekspor barang jika mampu memproduksi dengan kerugian absolut terkecil atau memiliki keunggulan komparatif atas barang tersebut. Sebaliknya suatu negara akan mengimpor suatu barang ketika tidak memiliki keunggulan komparatif atas barang tersebut. 2.1.2.3 Teori Heckscher-Ohlin (Teori H-O) Menurut teori ini dasar terjadinya perdagangan internasional adalah perbedaan opportunity cost masing-masing negara karena adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal) yang dimiliki oleh masing-masing negara. Teori H-O menekankan bahwa struktur perdagangan internasional suatu negara tergantung pada ketersediaan dan intensitas penggunaan faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh negara tersebut. Suatu negara akan berspesialisasi dan mengekspor suatu barang ketika negara tersebut memiliki faktor produksi utama yang relatif banyak dan akan
13
mengimpor ketika faktor produksi utama yang diperlukan untuk memproduksi barang hanya sedikit atau tidak dimiliki oleh negara tersebut.
2.1.3 Hambatan Perdagangan Internasional Berdasarkan teori perdagangan internasional dinyatakan bahwa perdagangan bebas mamberikan keuntungan maksimal bagi kesejahteraan negara yang terlibat didalamnya. Perdagaangan bebas memberikan peningkatan surplus konsumen dan keuntungan yang diterima produsen lebih besar dibandingkan tanpa perdagangan bebas. Namun demikian hampir setiap negara masih menerapkan berbagai hambatan dalam perdagangan bebas. Argumen yang dikemukakan terkait penerapan hambatan atas perdagangan bebas diantaranya adalah kepentingan untuk melindungi industri dan tenaga kerja dalam negeri, contohnya proteksi atas produk pertanian untuk melindungi petani dari penurunan harga produk pertanian akibat masuknya produk impor yang lebih murah. Bentuk hambatan perdagangan dapat berupa tarif maupun non tarif (Salvatore, 1996). 2.1.3.1 Hambatan Tarif Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Kesepakatan perdagangan bebas antar negara telah menyetujui pengurangan dan penghapusan hambatan tarif perdagangan barang antar negara di dunia. Berdasarkan aspek asal komoditi tarif terdiri atas :
14
a. Tarif impor, yaitu tarif yang dikenakan terhadap komoditi-komoditi yang diimpor dari negara lain. Tujuan utama penerapan tarif impor adalah melindungi produk dalam negeri. b. Tarif ekspor, yaitu pajak untuk komoditi yang diekspor ke luar negeri. Tujuan utama pengenaan tarif ekspor adalah untuk melindungi industri dalam negeri. Berdasarkan mekanisme penghitungannya tarif dibedakan menjadi : a. Tarif ad valorem, yaitu pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu atas nilai barang yang diperdagangkan secara internasional. b. Tarif spesifik, yaitu pajak berupa beban tetap unit barang yang diimpor tanpa memperhatikan nilainya. c. Tarif campuran, yaitu gabungan antara tarif ad valorem dan tarif spesifik. 2.1.3.2 Hambatan Non Tarif Ketika hambatan tarif di seluruh dunia diturunkan melalui berbagai kesepakatan perdagangan bebas, hambatan non tarif justru mengalami peningkatan yang signifikan. Beberapa jenis hambatan non tarif yang sering diterapkan adalah : a. Kuota Kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah komoditi, unit maupun nilai, yang diimpor atau diekspor. Mekanisme penerapan kuota umumnya melalui pemberian lisensi kepada importer/eksportir tertentu. b. Persyaratan teknis dan kandungan lokal Negara pengimpor menerapkan aturan standard teknis dan kesehatan yang terlalu ketat atas produk-produk yang masuk ke negara tersebut. Instrument
15
proteksi juga dapat berupa persyaratan bahwa bagian-bagian tertentu dari produk yang diimpor harus dibuat di dalam negeri atau menggunakan bahan baku setempat. c. Subsidi ekspor Subsidi ekspor adalah pembayaran langsung atau pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi kepada para eksportir atau calon eksportir nasional, atau pemberian pinjaman lunak kepada importir asing. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan ekspor suatu negara.
2.1.4
Perdagangan Bebas dan Pembangunan Di Negara Berkembang Di era globalisasi di mana perekonomian dunia semakin menyatu, negara-
negara didorong untuk semakin terbuka dan menghapuskan berbagai hambatan dalam hubungan internasional. Menurut Todaro (2006), arti ekonomi dari globalisasi adalah meningkatnya keterbukaan perekonomian suatu negara terhdap perdagangan internasional, aliran dana internasional dan investasi langsung. Keterbukaan perdagangan internasional atau perdagangan bebas membawa peluang dan resiko bagi negara berkembang sehingga menimbulkan kelompok yang mendukung dan menentang perdagangan bebas. Berdasarkan teori-teori tradisional perdagangan neoklasik, pihak yang mendukung perdagangan bebas menyatakan bahwa keterbukaan perdagangan bebas mendatangkan keuntungan bagi negara berkembang sebagai berikut :
16
a. Perdagangan
bebas
meningkatkan
persaingan,
memperbaiki
alokasi
sumberdaya dan menciptakan skala ekonomi pada sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif. b. Tekanan-tekanan yang timbul akibat persaingan dalam perdagangan bebas akan meningkatkan efisiensi, perbaikan kualitas produk dan menyempurnakan teknologi produksi. c. Perdagangan bebas memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan nilai laba dan merangsang tabungan serta investasi yang semakin memacu pertumbuhan di masa mendatang. d. Perdagangan bebas membuka kesempatan masuknya aliran modal, keahlian dan teknologi dari negara maju yang sangat diperlukan oleh negara berkembang. e. Perdagangan bebas mendatangkan devisa melalui kegiatan ekspor yang kemudian dapat digunakan untuk membiayai impor. f. Perdagangan bebas cenderung menghapuskan distorsi harga yang mahal akibat ketidaktepatan kebijakan dan intervensi pemerintah. g. Perdagangan bebas meningkatkan pemerataan untuk mendapatkan akses ke setiap sumberdaya yang langka, serta memperbaiki kualitas alokasi sumberdaya secara keseluruhan. Kelompok yang menentang perdagangan bebas berpendapat bahwa negara berkembang tidak memperoleh keuntungan optimal dari perdagangan bebas. Hal tersebut ditunjukkan oleh laju pertumbuhan permintaan produk primer yang rendah dan penurunan nilai tukar perdagangan atas produk-produk primer,
17
sementara produk primer merupakan komoditas unggulan ekspor bagi negara berkembang. Penyebab dari lambatnya pertumbuhan permintaan ekspor produk-produk primer dari negara berkembang adalah : a. Adanya pergeseran pola produksi di negara maju dari teknologi rendah ke teknologi tinggi, padat keterampilan dan hemat bahan baku sehingga menurunkan permintaan bahan mentah dari negara berkembang. b. Peningkatan efisiensi pemakaian bahan baku dalam berbagai sektor industri. c. Pesatnya penemuan dan pengembangan produk dan bahan sintetis pengganti yang lebih murah dari bahan mentah alamiahnya. d. Rendahnya elastisitas permintaan untuk produk primer dan olahan sederhana. e. Meningkatnya produktivitas pertanian secara pesat di negara maju. f. Meningkatnya gejalan proteksionisme baru di negara-negara maju terutama untuk produk pertanian serta industri padat karya. Menurunnya nilai tukar perdagangan negara berkembang disebabkan oleh : a. Kontrol oligopolistik dalam pasar produk maupun faktor produksi di negaranegara maju dan munculnya sumber-sumber pemasok baru yang menjadi pesaing bagi negara berkembang. b. Produk ekspor negara berkembang memiliki elastisitas permintaan yang rendah.
18
Kelompok
penentang
perdagangan
bebas
menyimpulkan
bahwa
perdagangan bebas merugikan negara berkembang berdasarkan alasan sebagai berikut : a. Pertumbuhan permintaan terhadap produk ekspor tradisional negara berkembang relatif rendah sehingga peningkatan kuantitas ekspor hanya akan mengakibatkan penurunan harga dan meningkatnya transfer pendapatan dari negara berkembang ke negara maju. b. Elastisitas permintaan terhadap produk impor di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan elastisitas permintaan atas produk ekspornya. Dengan demikian, tanpa proteksi impor negara berkembang akan terus kesulitan menyeimbangkan neraca pembayarannya. c. Keunggulan komparatif negara berkembang dalam komoditi primer relatif statis sehingga kebijakan promosi ekspor hanya akan menghambat proses industrialisasi di negara berkembang. d. Negara berkembang memiliki keterbatasan dalam melakukan lobi untuk membuka pasar di negara-negara maju.
2.1.5
Teori Permintaan Menurut Lipsey (1987) kuantitas permintaan adalah jumlah suatu komoditi
yang ingin dibeli oleh suatu rumah tangga. Permintaan seluruh rumah tangga atas suatu komoditi dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri, rata-rata pendapatan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera, distribusi antar rumah tangga dan besarnya populasi. Sementara menurut Mankiw (2001) kuantitas
19
permintaan adalah jumlah barang yang ingin dan mampu dibeli oleh individu atau rumah tangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas permintaan adalah harga barang itu sendiri, pendapatan, harga barang lain yang berkaitan, selera dan ekspektasi atas kondisi di masa mendatang. Hukum permintaan menyatakan bahwa kuantitas yang diminta akan meningkat apabila harga menurun dengan asumsi kondisi selain harga tetap (ceteris paribus). Perubahan harga menyebabkan pergerakan jumlah yang diminta di sepanjang kurva yang sama sementara perubahan pada variabel selain harga akan menyebabkan pergeseran kurva permintaan (Lipsey, 1987). Peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga akan meningkatkan permintaan meskipun harga tidak berubah, perubahan ini digambarkan dengan pergeseran kurva permintaan
ke
kanan.
Perubahan
harga
barang
yang
berkaitan
akan
mempengaruhi jumlah barang yang diminta tergantung pada sifat barang tersebut, apakah subtitutif atau komplementer. Kenaikan harga barang subtitusi akan meningkatkan permintaan, sebaliknya kenaikan harga barang komplemen akan menurunkan permintaan. Pertumbuhan penduduk tidak secara langsung menciptakan permintaan baru, hanya tambahan penduduk yang memiliki daya beli yang akan merubah permintaan. Peningkatan jumlah penduduk usia produktif yang bekerja akan meningkatkan pendapatan agregat sehingga permintaan meningkat. Dengan demikian pertumbuhan penduduk akan meningkatkan permintaan pada berbagai tingkat harga (Lipsey,1987). Permintaan pasar adalah jumlah dari seluruh permintaan individu atas suatu barang atau jasa. Permintaan pasar diturunkan dari permintaan individu
20
maka permintaan pasar juga dipengaruhi faktor-faktor yang sama dengan permintaan individu dan tergantung pula pada jumlah penduduk, karena permintaan agregat merupakan jumlah dari seluruh permintaan individu (Mankiw, 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional, termasuk permintaan impor agregat, pada prinsipnya sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan individu maupun permintaan pasar. Dengan anggapan bahwa harga dan tingkat bunga tetap, maka impor akan tergantung (secara positif) pada pendapatan, makin tinggi pendapatan makin tinggi pula impor (Nopirin, 1997).
2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai Dayasaing Produk Pertanian Indonesia oleh Daryanto (2009) melalui pengukuran indeks Revealed Comparative Advantage (RCA), Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) dan Private Cost Ratio (PCR) memberikan kesimpulan bahwa secara umum dayasaing komoditas petanian ditinjau dari keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan terutama untuk komoditas padi, kedelai dan tebu. Komoditas padi masih memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif tetapi keunggulan yang dimiliki semakin rendah dan rentan terhadap perubahan kondisi eksternal. Keunggulan komparatif padi masih dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif karena adanya proteksi dari pemerintah berupa subsidi input dan tarif impor beras.
21
Azziz (2006) dalam penelitian mengenai Analisis Impor Beras serta Pengaruhnya terhadap Harga Beras Dalam Negeri dengan metode regresi linier berganda
menyimpulkan
bahwa
faktor-faktor
yang
signifikan
dalam
mempengaruhi impor beras adalah kebijakan perdagangan, harga beras impor dan dalam negeri, nilai tukar rupiah dan produksi beras dalam negeri. Nastiti (2007) menganalisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Beras di Indonesia Pada Kurun Waktu 1984-2004 dengan metode Error Correction Model (ECM). Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa produksi beras domestik, GDP dan impor tahun sebelumnya berpengaruh secara signifikan terhadap volume impor beras. Selama kurun waktu pencapaian swasembada beras, volume impor beras mengalami penurunan. Ruatiningrum (2011) melakukan penelitian mengenai Dampak Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Lain Terhadap Permintaan dan Penawaran Beras dengan menggunakan metode regresi persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa impor beras dipengaruhi secara signifikan oleh produksi beras, jumlah penduduk, impor tahun sebelumnya dan stok beras tahun sebelumnya. Dutta dan Ahmed (2006) dalam penelitiannya tentang Analisis Kointegrasi Fungsi Permintaan Impor Agregat untuk India dengan Error Correction Model (ECM). Hasil penelitian menyatakan bahwa permintaan impor agregat dipengaruhi oleh harga relatif dan pendapatan riil. Jamhari (2004) meneliti tentang Liberalisasi Perdagangan dan Stabilitas Harga Beras di Indonesia dengan mengukur koefisien variasi harga beras.
22
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa liberalisasi pasar beras di Indonesia meningkatkan stabilitas harga di tingkat petani dan pedagang besar tetapi membuat harga di tingkat konsumen menjadi tidak stabil. Penelitian Rachman, et.al (2007) tentang Prospek Ketahanan Pangan Nasional dengan metode statistik sederhana melalui pengamatan terhadap trend dan pengukuran variabilitas antar waktu menyimpulkan bahwa pertumbuhan ketersediaan beras relatif rendah karena stagnasi pertumbuhan produksi padi akibat makin menyusutnya lahan pertanian padi. Meskipun kondisi ketahanan pangan nasional relatif terjamin keberlanjutannya namun aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan masih menjadi masalah serius
terkait dengan
masalah stabilitas harga pangan dan kemiskinan. Penelitian oleh Warr (2005) mengenai Kebijakan Pangan dan Kemiskinan di Indonesia menggunakan analisis keseimbangan umum (general equilibrium analysis) menunjukkan bahwa larangan atau pembatasan impor menaikkan harga beras di dalam negeri dan meningkatkan kemiskinan baik di perkotaan maupun pedesaan. Diantara para petani hanya petani kaya yang menikmati keuntungan dari proteksi ini. Mengamati volume impor beras yang fluktuatif setiap tahun dan dampak negatif impor beras terhadap usaha kemandirian pangan dan peningkatan kesejahteraan petani, penelitian ini difokuskan pada impor beras dan variabelvariabel yang mempengaruhi dalam jangka panjang. Selain variabel-variabel harga beras domestik dan internasional, produksi domestik, GDP serta nilai tukar riil sebagaimana telah digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya,
23
penelitian ini akan memasukkan variabel konsumsi beras, pertumbuhan penduduk dan rasio ketergantungan impor sebagai faktor-faktor yang diduga mampu menjelaskan variabilitas impor beras dalam jangka panjang. Pengaruh kebijakan liberalisasi perdagangan akan ditunjukkan melalui variabel dummy sebelum liberalisasi dan setelah liberalisasi yang mulai berlaku efektif pada tahun 1999.
2.3 Kerangka Pikir Dalam rangka memenuhi kebutuhan beras dalam negeri dan menjaga stabilitas harga, pemerintah menerapkan kebijakan impor beras dan liberalisasi perdagangan beras. Akan tetapi kebijakan ini berlawanan dengan usaha pemerintah untuk mencapai kemandirian pangan dan kesejahteraan petani. Untuk mengetahui sejauh mana ketergantungan persediaan beras terhadap impor, penelitian ini menggunakan ukuran rasio ketergantungan impor. Ketergantungan yang semakin besar terhadap impor beras menunjukkan dayasaing beras domestik yang semakin rendah dan akan membahayakan ketersediaan dan stabilitas harga dalam negeri karena pasar beras internasional sangat fluktuatif. Untuk menganalisis hubungan jangka panjang antara impor beras dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya digunakan analisis time series dengan Vector Error Correction Model (VECM), Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Hasil analisis tersebut dapat menjadi dasar penyusunan strategi kebijakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor beras. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini ditunjukkan dalam Gambar 2.2.
24
Indonesia memiliki potensi dalam menghasilkan beras dari sisi SDA maupun SDM dan produksi beras terus meningkat tetapi menjadi net importir beras
Ketergantungan terhadap impor mengancam kemandirian pangan, upaya pencapaian swasembada beras tahun 2014 dan stabilitas harga beras dalam negeri
Seberapa besar rasio ketergantungan impor beras Indonesia?
Bagaimana pengaruh produksi dan konsumsi beras, harga beras di pasar domestik dan internasional, rasio ketergantungan impor, kebijakan liberalisasi perdagangan beras, PDB, pertumbuhan penduduk serta nilai tukar riil terhadap volume impor beras dalam jangka panjang?
Analisis deskriptif dan analisis time series dengan VECM
Strategi mengurangi ketergantungan impor beras
Gambar 2.2 : Kerangka Pikir
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Food and Agriculture Agency (FAO), Bank Dunia, United Nation Statistics Division, dan International Rice Research Institution (IRRI). Data yang digunakan adalah data time series (tahunan) periode tahun 1960-2010 yang meliputi data volume impor beras, produksi beras dalam negeri, harga beras di pasar domestik dan pasar internasional, Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah populasi penduduk, nilai tukar rupiah riil, konsumsi beras dalam negeri dan indeks harga konsumen. Secara umum variabel yang digunakan dalam penelitian ini dirangkum dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 : Variabel dalam Penelitian Variabel
Sumber
(1)
(2)
Volume Impor Beras Produksi Beras Dalam Negeri Konsumsi Beras Dalam Negeri Harga Rata-rata Eceran Beras Dalam Negeri Harga Rata-rata Eceran Beras Dunia Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan (2005=100) Jumlah Penduduk Nilai Tukar Rupiah Riil Indeks Harga Konsumen (2005=100)
FAO FAO, BPS BPS IRRI, BPS World Bank UN UN UN UN
26
3.2 Metode Analisis Data Vector Autoregressive (VAR) adalah suatu sistem persamaan yang terdiri atas n-variabel yang merupakan fungsi linier dari konstanta dan nilai lag variabel itu sendiri serta lag dari variabel lainnya yang ada dalam sistem. Peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh peubah tak bebas dalam sistem. Pada metode VAR, variabel eksogen dan endogen tidak dapat dibedakan secara apriori. Menurut Sims (1972) dalam Enders (2004) hanya variabel endogen yang masuk analisis. Model VAR dikembangkan sebagai solusi atas kritikan terhadap model persamaan simultan yaitu bahwa persamaan simultan terlalu berdasarkan pada agregasi dari model keseimbangan parsial, tanpa memperhatikan pada hasil hubungan
yang hilang dan
struktur
dinamis
dalam
model
seringkali
dispesifikasikan untuk memberikan restriksi yang dibutuhkan dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural. Menurut Firdaus (2011) keunggulan metode VAR dibandingkan metode ekonometrika konvensional adalah: 1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem multivariate sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan. 2. Uji VAR yang multivariate bias menghindarkan parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan. 3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogen.
27
4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah.
Model VAR juga memiliki beberapa kelemahan, menurut Gujarati (1987) kelemahan metode VAR diantaranya: 1. Model VAR lebih bersifat teori karena tidak memanfaatkan informasi dari teori-teori terdahulu. 2. Karena lebih menitikberatkan pada peramalan, maka model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan. 3. Tantangan terberat VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat. 4. Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner. 5. Koefisien estimasi VAR sulit diintreprestasikan.
Vector Correction Model (VECM) adalah VAR yang terbatas dan dirancang untuk digunakan pada data yang tidak stasioner dan memiliki hubungan kointegrasi. Enders (2004) menyatakan bahwa variabel dalam VECM merupakan variabel turunan pertama dalam model VAR atau dengan kata lain bahwa variabel dalam VECM terkointegrasi pada orde pertama. Analisis VECM juga dapat memecahkan persoalan pada data time series yang tidak stasioner yang mengakibatkan terjadinya regresi lancung (spurious regression). Model VECM dapat ditulis sebagai berikut : ……………………………… (1)
28
dimana :
Dalam hal ini koefisien
adalah koefisien jangka pendek sedangkan
adalah koefisien jangka panjang. Koefisien koreksi ketidakseimbangan
dalam
bentuk nilai absolut menjelaskan seberapa cepat waktu diperlukan untuk mendapatkan nilai keseimbangan. Nilai
yang negatif menunjukkan perbedaan
antara keadaan yang diinginkan dalam jangka panjang dan keadaan yang sebenarnya dalam jangka pendek akan disesuaikan dalam beberapa periode.
3.3 Pengujian Asumsi 3.3.1 Uji Stasioneritas Data Asumsi pada analisis data time series adalah data bersifat konstan dan independen dari waktu ke waktu sehingga data yang digunakan dapat memberikan hasil yang terhindar dari kemungkinan adanya bias terhadap estimasi. Sebagian besar metode yang digunakan dalam analisis data time series mengasumsikan stasioneritas dari data yang digunakan. Data yang tidak stasioner akan memberikan hasil regresi yang semu atau meragukan (spurious regression). Pada data yang non stasioner hasil estimasi mungkin memberikan nilai koefisien determinasi (R2) yang tinggi dan meyakinkan seolah-olah hubungan antar variabel dependen dan independen dalam model sangat kuat tetapi nilai statistik Durbin Watson yang rendah mengindikasikan adanya autokorelasi. Data dikatakan stasioner ketika rata-rata dan varians bernilai konstan antar waktu dan nilai
29
kovarians antara dua periode waktu hanya tergantung pada jarak atau kelambanan antara kedua periode tersebut bukan pada waktu aktual perhitungan kovarians. Jika Yt adalah data time series yang stokhastik maka data tersebut stasioner ketika memenuhi kondisi-kondisi berikut : Rata-rata Y pada periode t
: ( )
Varianns Y pada periode t
: (
Kovarians Y antar dua periode waktu
: [(
) )(
)]
dimana : Yt
= nilai observasi Y pada periode t
Yt+k
= nilai observasi Y pada periode (t+k)
µ
= rata-rata dari data Y
2
= varians dari data Y
k
= kovarians Y pada saat lag k
Pengujian atas stasioneritas suatu data time series dapat dilakukan secara informal maupun formal. Pengujian informal dilakukan melalui pengamatan pola grafik dan correlogram-nya, suatu data dikatakan stasioner ketika ada kecenderungan fluktuasinya berada di sekitar rata-rata dengan gerakan yang relatif tetap atau tidak tampak adanya trend naik atau turun. Pengujian melalui grafik ini sangat subjektif dan tergantung pada pengalaman peneliti. Pengujian formal yang digunakan yang sering digunakan adalah uji akar-akar unit (unit roots test) dengan metode Augmented Dickey Fuller (ADF) Test dan Phillips Perron (PP) Test.
30
a.
Augmented Dickey Fuller (ADF) Test ADF Test merupakan koreksi terhadap Dickey Fuller (DF) Test dengan
menambahkan lag pada variabel dependen untuk menghilangkan korelasi antar residual. Misalkan terdapat persamaan ……………………………………………………… (2) Dimana adalah koefisien autoregresif, µt adalah white noise error term yang memiliki rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak mengandung autokorelasi. Jika = 1, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Yt mempunyai akar unit atau dengan kata lain series data tersebut merupakan random walk. Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan : Ho : = 1, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner) H1 : ≠ 1, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner) Persamaan (2) dapat dinyatakan dalam bentuk turunan pertama (first difference) yaitu : (
)
………………………..………… (3) ………………………………….. (4)
(
Dimana
) dan
(
) yang menunjukkan turunan pertama
dari persamaan (2). Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan :
Jika
Ho :
= 0, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner)
H1 :
≠ 0, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)
maka persamaan di atas dapat ditulis menjadi
(
)
Persamaan ini menunjukkan bahwa turunan pertama dari series yang ramdom walk adalah sebuah series stasioner dengan asumsi
adalah benar-benar
31
ramdom. Langkah berikutnya adalah menentukan nilai statistik ADF yang merupakan nilai koefisien autoregresifnya. Dengan membandingkan nilai statistik ADF dengan nilai kritis tabel MacKinnon maka akan diketahui apakah series mengandung akar unit atau tidak. Jika nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nilai kritis MacKinnon maka Ho ditolak dan kesimpulannya series tersebut telah stasioner, jika sebaliknya maka dapat disimpulkan series tersebut tidak stasioner Jika data asli dari sebuah series telah stasioner maka dikatakan data tersebut stasioner pada order 0 atau pada level dan dilambangkan dengan I(0). Selanjutnya, jika data stasioner pada turunan pertama maka dikatakan bahwa data tersebut stasioner pada order 1 atau I(1). Demikian seterusnya sampai didapatkan data yang stasioner pada order d atau I(d). b. Phillips-Perron (PP) Test Kelemahan dari ADF test adalah memberikan hasil yang bias pada saat terjadi perubahan struktural selama periode yang diteliti. Perubahan struktural akan membuat data berubah secara permanen yaitu adanya perubahan dalam konstanta, trend maupun trend dan konstanta sekaligus. Model yang digunakan dalam PP test adalah : ………………………….………. (5) ……………………………….…. (6) ………………………………….. (7) Persamaan (5) tidak mempertimbangkan adanya konstanta maupun trend, persamaan (6) memperhitungkan konstanta dan persamaan (7) memperhitungkan konstanta dan trend dalam penghitungan akar unitnya.
32
Misalkan terdapat persamaan ……………………………………...…………. (8) Dimana adalah koefisien autoregresif, µt adalah white noise error term yang memiliki rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak mengandung autokorelasi. Jika = 1, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Yt mempunyai akar unit atau dengan kata lain series data tersebut merupakan random walk. Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan : Ho : = 1, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner) H1 : < 1, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner) Persamaan (8) dapat dinyatakan dalam bentuk turunan pertama (first difference) yaitu : (
)
………………………………..… (9) ………………………………… (10)
Dimana
(
) dan
(
) yang menunjukkan turunan pertama
dari persamaan (8). Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan : Ho :
= 0, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner)
H1 :
< 0, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)
Untuk menentukan apakah suatu data stasioner atau tidak, nilai statistik Phillips-Perron test harus dibandingkan dengan nilai kritis tabel MacKinnon. Jika nilai mutlak statistik Phillips-Perron test lebih besar dari nilai kritis tabel MacKinnon, maka dapat Ho ditolak dan dapat disimpulkan data telah stasioner.
33
3.3.2 Uji Lag Optimum Uji lag merupakan prosedur penting dalam analisis data time series karena uji kointegrasi dan uji lanjutan lainnya sangat sensitif terhadap panjang lag. Penentuan panjang lag seringkali dilakukan secara arbitrer atau melalui trial and error untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dalam pemilihan panjang lag, selain mempertimbangkan
optimalitas
juga
perlu
mempertimbangkan
adanya
kemungkinan korelasi antar residual dan penurunan degree of freedom. Pemilihan lag yang terlalu pendek biasanya menghasilkan korelasi serial sedangkan pada pemilihan lag yang terlalu panjang mengakibatkan penurunan degree of freedom dari persamaan yang dihasilkan dan jumlah parameter yang diestimasi menjadi semakin banyak sehingga menjadi tidak efisien (Enders, 2004). Secara umum parameter yang dapat digunakan untuk menentukan panjang lag optimal antara lain Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE) dan Hannan Quin Information Criterion. Dalam penelitian ini digunakan semua kriteria informasi untuk menentukan lag optimal. Model VAR diestimasi dengan lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai kriterianya. Nilai lag yang optimum adalah nilai kriteria yang terkecil.
3.3.3 Uji Kointegrasi Uji kointegrasi berfungsi untuk mengetahui keseimbangan hubungan jangka panjang di antara variabel-variabel dalam model. Jika terdapat dua variabel yang tidak stasioner dan memiliki kombinasi linier dimana residualnya bersifat
34
stasioner, maka dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut saling terkointegrasi. Engel Granger (1987) dalam Enders (2004) mendifinisikan kointegrasi (
sebagai berikut: komponen dari vektor peubah
)
memiliki hubungan kointegrasi pada orde atau derajat d, b dimana d ≥ b ≥ 0 dinyatakan dengan
(
) jika :
1. Semua komponen xt berintegrasi pada derajat yang sama dengan I(d) (
2. Terdapat sebuah vektor kombinasi linier
) yang merupakan salah satu
(
) berintegrasi pada
derajat (d - b) dimana b ≥ 0. Vektor β disebut vektor kointegrasi. Setelah persyaratan diatas terpenuhi, selanjutnya dilakukan estimasi persamaan regresi linier sederhana dengan metode OLS. Persamaannya adalah sebagai berikut : .............................................................................(11) .............................................................................(12) Dari residual ini kemudian diuji stasioneritasnya menggunakan ADF dengan persamaan uji sebagai berikut
∑
Dari hasil estimasi nilai statistik ADF kemudian dibandingkan dengan nilai kritisnya. Jika nilai statistik ADF lebih besar dari nilai kritisnya maka variabel-variabel yang diamatai saling terkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang. Untuk menguji adanya vektor kointegrasi dapat digunakan Trace Test atau Maximum Eigen Value Test.
35
∑ Dimana k = 0,1,….,m-1 dan
(
) ……………………..…………... (13)
adalah nilai eigen value ke i. Lambang T
menyatakan banyak angka dalam periode waktu tersedia dalam data. (
) ……………………. (14)
Hipotesis null yang digunakan untuk Trace Test dan Maximum Eigen Value Test adalah Ho : k = 0, tidak terdapat hubungan kointegrasi atau Ho : k=1, terdapat satu hubungan kointegrasi sampai Ho : k = (n-1), terdapat (n-1) persamaan kointegrasi antar variabel. Banyaknya persamaan kointegrasi menunjukkan banyaknya kombinasi linier antar variabel yang stasioner. Nilai Trace Test atau Maximum Eigen Value Test yang diperoleh dibandingkan dengan nilai kritis tabel Osterwald-Lenum (1992). Jika nilainya lebih besar dari nilai kritis tabel maka Ho ditolak
3.3.4 Uji Stabilitas VAR
Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polynomial. Model VAR tersebut dianggap stabil jika semua akar dari fungsi polynomial tersebut berada dalam unit circle atau nilai absolutnya lebih kecil dari 1 sehingga IRF dan FEVD yang dihasilkan dianggap valid.
36
3.3.5
Impuls Response Function (IRF) IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang
waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Vector autoregression dapat pula direpresentasikan sebagai suatu vector moving average (VMA) ∑
Di mana :
........................................................................................(15)
[
() ()
() ] ()
Keempat koefisien Ø11 (i), Ø12 (i), Ø21 (i), dan Ø22 (i) merupakan impuls response function. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky. Variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lainnya. variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang
3.3.5 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) FEVD adalah metode yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel makro ditunjukkan oleh perubahan variance error yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini juga dapat
37
menunjukkan kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long/how persistent). Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan (forecast) menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Melalui perhitungan persentase squared prediction error k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya.
3.4 Spesifikasi Model Dalam penelitian ini, variabel yang diduga memiliki pengaruh jangka panjang terhadap volume impor beras (Qm) di Indonesia adalah: 1. Rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia (RPrice) yang menunjukkan kesenjangan antara harga dalam negeri dan harga dunia. 2. Rasio produksi terhadap konsumsi beras (RProd) yang menunjukkan kemampuan produksi beras dalam memenuhi kebutuhan konsumsi. 3. Rasio ketergantungan impor beras (Im) yang menunjukkan besarnya ketergantungan penyediaan beras dalam negeri terhadap impor 4. Variabel dummy yang menunjukkan perbedaan periode sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan liberalisasi perdagangan beras di Indonesia pada tahun 1998. 5. Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan dengan tahun dasar 2005 dalam miliar rupiah.
38
6. Pertumbuhan penduduk (Pop) dalam persen. 7. Nilai tukar riil (RER) yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dengan menggunakan tahun dasar 2005. Model VAR untuk persamaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : ∑ Dimana :
Yt : vektor variabel endogen (Qm, RProd, RPrice, Im, Dummy, PDB, Pop dan RER) α : konstanta β : koefisien matriks untuk lag-i ε : residual
Selanjutnya dilakukan transformasi data yaitu untuk variabel nominal diubah dalam nilai riil dan semua variabel diubah dalam bentuk logaritma kecuali untuk variabel dummy, rasio ketergantungan impor beras dan pertumbuhan penduduk yang sudah dalam bentuk persentase. Sesuai dengan pendapat Sims dalam Enders (2004) bahwa semua data estimasi yang dipergunakan dalam VAR dan VECM adalah dalam bentuk logaritma kecuali data yang sudah dalam bentuk persen atau data tersebut memiliki koefisien yang negatif (sangat kecil) yang tidak mungkin diubah dalam bentuk logaritma natural. Salah satu alasannya adalah untuk mempermudah analisis, karena baik dalam impulse response maupun variance decomposition, pengaruh shock dilihat dalam standar deviasi yang dapat dikonversi dalam bentuk persentase.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Deskriptif 4.1.1 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Produksi padi Indonesia meskipun mengalami fluktuasi namun masih menunjukkan pertumbuhan yang meyakinkan yaitu rata-rata 2,52 persen per tahun selama kurun waktu tahun 1981-2010 sementara luas panen pada periode yang sama pertumbuhannya lebih lambat yaitu rata-rata 1,27 persen per tahun (Gambar 4.1). Pertumbuhan produksi padi yang signifikan terjadi pada periode 1981-1985 dan pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras untuk pertama kalinya. Mulai tahun 1970-an pemerintah Indonesia mengadopsi sistem revolusi hijau melalui program Intensifikasi Khusus (INSUS) dan berhasil meningkatkan produksi padi. 65000 55000
55000
45000
45000
35000
35000
25000
15000
15000
5000
5000 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
25000
Tahun Produksi
Luas Panen
Sumber: BPS dan Kementan, 1981-2010. (Diolah). Gambar 4.1: Produksi dan Luas Panen Padi di Indonesia, 1981-2010
Luas Panen, 000 Ha
Produksi, 000 Ton
65000
40
Produksi padi merupakan hasil perkalian antara luas panen dan produktivitas tanaman padi. Pertumbuhan produktivitas memegang peranan yang lebih penting dibandingkan pertambahan luas panen. Gambar 4.2 menunjukkan perkembangan produktivitas padi dari 3,5 ton per hektar pada tahun 1981 meningkat hingga 5 ton per hektar pada tahun 2010, peningkatan produktivitas ini mampu mendorong peningkatan produksi padi pada saat luas panen relatif stagnan. . Secara rata-rata produktivitas padi di Indonesia tumbuh 1,27 persen per tahun selama periode 1981-2010. Penurunan produktivitas yang signifikan terjadi pada tahun 1998 saat Indonesia dilanda kekeringan akibat El-Nino dan La-Nina, yang mengakibatkan gagal panen di beberapa wilayah. Produktivitas padi Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia yaitu 4,3ton/Ha, akan tetapi jika dibandingkan produktivitas sawah irigasi sebesar 12,5ton/Ha maka Indonesia masih dapat meningkatkan produktivitas padi terutama pada lahan sawah irigasi (FAO, 2011). 5.5
Ton/Ha
5.0 4.5 4.0
3.0
1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
3.5
Tahun
Sumber: BPS dan Kementan, 1981-2010. (Diolah). Gambar 4.2: Produktivitas Padi di Indonesia, 1981-2010
41
4.1.2 Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Indonesia Rata-rata produksi beras di Indonesia tahun 1980-2010 adalah 31,1 juta ton/tahun dan menunjukkan trend meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,51 persen per tahun. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 1992 dan 2009. Penurunan produksi yang signifikan terjadi pada tahun 1997 dimana pada periode tersebut Indonesia menghadapi banyak bencana alam dan krisis ekonomi yang mengakibatkan pemerintah mencabut subsidi untuk komoditi input pertanian seperti pupuk dan bibit. 45000.0 40000.0
000 Ton
35000.0 30000.0 25000.0 20000.0
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
15000.0
Tahun Produksi Beras
Konsumsi Beras
Sumber: BPS dan Kementan, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.3: Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia, 1980-2010 Konsumsi beras dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Rata-rata konsumsi beras pada periode 1980-2010 adalah 32 juta ton/tahun dengan rata-rata pertumbuhan 0,59 persen per tahun. Secara rata-rata produksi beras lebih rendah dibandingkan konsumsinya. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa produksi beras lebih tinggi dari konsumsi atau surplus produksi hanya terjadi pada periode 1980-1986. Pada
42
periode selanjutnya Indonesia hampir selalu mengalami defisit produksi beras kecuali pada tahun 1989, 1992, 2007 dan 2008. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini menjadi dasar bagi Menteri Perdagangan untuk melakukan impor beras. Gambar 4.4 menunjukkan impor beras serta selisih antara produksi dan konsumsi beras tahun 1980-2010. Impor beras seharusnya sama dengan defisit produksi, semakin tinggi defisit maka semakin tinggi pula volume beras yang diimpor akan tetapi realisasi impor beras tidak selalu sejalan dengan surplus atau defisit produksi beras yang terjadi pada tahun tersebut. Ketika impor tidak dapat memenuhi defisit produksi yang terjadi dapat memicu kenaikan harga beras di pasar domestik. 6000
4000
0 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
000 Ton
2000
-2000
-4000
-6000
Tahun Selisih Produksi dan Konsumsi
Impor Beras
Sumber: BPS, Kementan dan FAO, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.4: Impor serta Selisih Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia, 1980-2010
43
Volume beras yang diimpor oleh Indonesia sepanjang periode 1980-2010 berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun secara rata-rata mengalami kenaikan 160 persen per tahun. Impor beras tertinggi terjadi tahun 1999 yaitu sebesar 4,7 juta ton, pada akhir tahun 1998 kebijakan liberalisasi pasar beras mulai berlaku efektif di Indonesia. Periode tahun 1985-1988 merupakan periode impor beras terendah yaitu rata-rata 37,3 ribu ton per tahun dimana pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Impor beras Indonesia terutama berasal dari Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat (AS). Volume impor beras menurut negara asal ditunjukkan dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1: Impor Beras Indonesia Menurut Negara Asal Tahun 2005-2009 (Ton) Negara (1) Thailand Vietnam AS India Pakistan Cina Lainnya Jumlah
2005 (2) 126,408.90 44,772.50 2,184.20 327.00 1.30 15,922.70 189,616.60
2006 (3) 157,983.30 272,832.70 801.00 720.60 904.30 100.00 4,766.60 438,108.50
Tahun 2007 (4) 363,640.10 1,022,834.60 821.70 3,571.80 4,603.60 901.40 10,473.80 1,406,847.00
2008 (5) 157,007.30 125,070.50 1,411.20 289.50 751.30 3,341.70 1,817.90 289,689.40
2009 (6) 221,372.60 0,970.50 1,323.40 473.10 501.50 5,167.60 664.50 250,473.20
Sumber: BPS, 2010
4.1.3 Perkembangan Harga dan Impor Beras di Indonesia Pemerintah berusaha menjaga stabilitas harga beras untuk menjaga daya beli masyarakat. Harga beras tahun 1980-1997 cenderung stabil dengan kenaikan rata-rata 11,81 persen per tahun. Lonjakan harga beras di pasar dalam negeri terjadi pada tahun 1998, pada tahun ini Indonesia mengalami puncak krisis ekonomi dan politik yang membuat harga beras meningkat hingga 98,7 persen.
44
Kenaikan yang cukup signifikan juga terjadi pada tahun 2006-2007 yang dipicu oleh kenaikan harga beras dunia, pada periode ini harga beras naik sebesar 30,72 persen. Kebijakan impor beras merupakan salah satu cara untuk menjaga stabilitas harga beras. Kenaikan harga beras dalam negeri menjadi sinyal adanya excess demand sehingga perlu dilakukan impor untuk menambah supply dan mencegah kenaikan harga. Gambar 4.5 menunjukkan perkembangan impor beras dan harga beras di pasar domestik. Pada tahun 1999 dan 2002 kenaikan impor beras diikuti oleh penurunan harga eceran beras di pasar domestik pada tahun berikutnya. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan impor beras sebesar 208 persen yang dimaksudkan untuk mengatasi kenaikan harga di pasar domestik, akan tetapi kenaikan harga pangan dunia pada tahun yang sama membuat kebijakan menambah supply beras melalui impor tidak efektif untuk menurunkan harga.
9000.00 Ribu Ton, Rupiah/Kg
8000.00 7000.00 6000.00 5000.00 4000.00 3000.00 2000.00 1000.00
Tahun Impor Beras (000 Ton)
Harga Rata-rata Eceran Beras (Rp/Kg)
Sumber: FAO, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.5: Volume Impor dan Harga Rata-rata Eceran Beras di Indonesia, 1980-2010
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0.00
45
Gambar 4.6 menunjukkan perkembangan harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen tahun 1989-2010. Sebelum pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi pasar beras rata-rata selisih harga gabah dan harga beras adalah Rp 535,-. Setelah liberalisasi pasar beras mulai diberlakukan efektif pada tahun 1998 kesenjangan antara harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2010 menunjukkan harga beras di tingkat konsumen lebih mahal 2,3 kali dibandingkan rata-rata harga gabah pada tahun yang sama. Kondisi ini menunjukkan ketidakberpihakan kebijakan pemerintah kepada petani. Petani menerima harga yang murah atas produksi padi mereka sementara petani di Indonesia sebagian besar merupakan net-buyer beras sehingga harga beras yang mahal akan menurunkan daya beli dan meningkatkan kemiskinan.
9000 8000 7000
Rp/Kg
6000 5000 4000 3000 2000 1000
Tahun Harga GKG
Harga Beras
Sumber: BPS dan FAO, 1989-2010. (Diolah). Gambar 4.6: Harga Rata-rata Gabah kering Giling (GKG) dan Eceran Beras di Indonesia, 1980-2010
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
0
46
Hasil penghitungan Indeks Spesialisasi Produksi (ISP) menunjukkan bahwa untuk komoditi beras Indonesia sejak tahun 1994 merupakan net-importir beras yang berarti lebih banyak mengimpor daripada mengekspor beras. Sebagai net-importir harga beras dalam negeri dipengaruhi oleh harga beras di pasar internasional. Gambar 4.7 menunjukkan harga beras di pasar domestik cenderung mengikuti harga beras di pasar internasional, namun pergerakan harga beras domestik tampak lebih fluktuatif. Setelah kenaikan harga pangan dunia pada tahun 2007-2008 harga beras dunia kembali menurun pada tahun 2009 namun harga beras di pasar domestik justru terus meningkat. Kesenjangan antara harga beras di pasar domestik dan pasar internasional dapat menjadi pendorong terus meningkatnya impor beras.
1800.00 1600.00 1400.00
US $/Kg
1200.00 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
0.00
Tahun Harga Beras Dunia
Harga Beras Indonesia
Sumber: World Bank dan BPS, 1999-2010. (Diolah). Gambar 4.7: Harga Rata-rata Eceran Beras Dunia dan Indonesia, 1999-2010
47
Gambar 4.8 menunjukkan perbandingan harga beras di pasar domestik dan harga ekspor beras negara-negara eksportir beras utama di Indonesia tahun 2000-2009. Pada tahun 2000-2005 harga beras Vietnam merupakan yang tertinggi dibandingkan harga beras di Indonesia, Thailand, Cina, Amerika Serikat dan Vietnam. Pada tahun 2006 harga eceran beras di pasar dalam negeri mengalami kenaikan dan hingga tahun 2010 harga beras di pasar dalam negeri lebih tinggi dibandingkan harga ekspor negara-negara tersebut, hal ini menunjukkan lemahnya daya saing Indonesia dibandingkan produsen-produsen beras dunia. 0.8 0.7
USD/Kg
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun Cina
Thailand
AS
Vietnam
Indonesia
Sumber: BPS dan UN, 2010. (Diolah). Gambar 4.8: Harga Beras Indonesia, Cina, Thailand, Amerika Serikat dan Vietnam, 2000-2009
4.1.4 Rasio Ketergantungan Impor Beras Rasio ketergantungan impor beras mengukur proporsi impor beras terhadap persediaan beras dalam negeri yaitu produksi dikurangi ekspor ditambah
48
impor. Hasil penghitungan rasio ketergantungan impor beras menunjukkan fluktuasi sepanjang tahun 1980-2010 dengan rata-rata 2,69 persen per tahun. Hal ini berarti rata-rata setiap tahun 2,69 persen persediaan beras dalam negeri dipenuhi dari impor. Meskipun produksi beras terus meningkat namun ketergantungan terhadap impor tidak menunjukkan penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi.
14.00 12.00
Persen
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0.00 Tahun
Sumber: FAO dan BPS, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.9: Rasio Ketergantungan Impor Beras di Indonesia, 1980-2010
4.1.5 Jumlah Penduduk dan Persediaan Beras Nasional Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan agregat termasuk permintaan beras. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan beras sebagai bahan pangan pokok. Idealnya, pertumbuhan persediaan beras harus mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Dari Gambar 4.9 tampak bahwa jumlah penduduk terus meningkat
49
sepanjang tahun sementara pertumbuhan persediaan beras relatif stagnan. Jumlah penduduk pada tahun 2010 meningkat 59,04 persen dibandingkan tahun 1980 sementara pada periode yang sama persediaan beras nasional hanya tumbuh sebesar 55,44 persen. Sepanjang periode 1980-2010 produksi beras meningkat sebesar 66,3 persen lebih besar dibandingkan peningkatan jumlah penduduk. Kebijakan ekspor-impor yang kurang tepat mengakibatkan persediaan beras nasional justru tidak dapat mengimbangi pertumbuhan jumlah penduduk pada periode tersebut.
45000.00 240000 40000.00
200000 35000.00 180000 160000
30000.00
Persediaan Beras
Jumlah Penduduk
220000
140000 25000.00 120000 100000
20000.00
Tahun Jumlah Penduduk (000 Jiwa)
Persediaan Beras (000 Ton)
Sumber: FAO, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.10: Jumlah Penduduk dan Persediaan Beras Indonesia, 1980-2010
4.2 Hasil Uji Asumsi Sebelum melakukan analisis lebih lanjut dengan VECM perlu dilakukan pengujian asumsi-asumsi yang meliputi uji stasioneritas data dengan uji akar unit, uji lag optimum, uji stabilitas VAR dan uji kointegrasi. Pengujian-pengujian ini
50
penting karena dalam model multivariate time series kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan membuat hasil estimasi menjadi semu dan tidak valid (Gujarati 2006). 4.2.1 Hasil Uji Stasioneritas Data a. Hasil uji stasioneritas data dengan ADF Test pada tingkat level Metode yang digunakan untuk menguji stasioneritas data adalah ADF Test. Jika nilai t-statistik hasil ADF Test lebih kecil dari nilai kritis tabel MacKinnon pada taraf nyata α=10 persen maka dapat diambil kesimpulan data tersebut stasioner. Pada tabel 4.3 ditampilkan nilai t-statistik ADF Test dan nilai kritis tabel MacKinnon yang menunjukkan bahwa tidak semua data stasioner pada level. Oleh karena itu pengujian akar unit perlu dilanjutkan pada tingkat first difference. Tabel 4.2: Hasil ADF Test untuk Data pada Tingkat Level
Variabel
Augmented DickeyFuller test statistic (Level)
Test critical values Hasil
t-Statistic
Prob.*
1% level
5% level
LNQM LNPRICE LNRPROD IM
-3.6859 -3.8825 -5.0764 -3.1400
0.0073 0.0042 0.0001 0.0305
-3.5713 -3.5713 -3.5713 -3.5812
-2.9224 -2.9224 -2.9224 -2.9266
10% level -2.5992 -2.5992 -2.5992 -2.6014
DUMMY
-0.5340
0.8753
-3.5713
-2.9224
-2.5992
LNPDB
-0.4201
0.8974
-3.5713
-2.9224
-2.5992
POP
-1.4703
0.5395
-3.5812
-2.9266
-2.6014
LNRER -1.1981 0.6681 -3.5713 -2.9224 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Sumber: Output hasil pengolahan dengan EViews 6.0
-2.5992
Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner
51
b. Hasil uji stasioneritas data dengan ADF Test pada tingkat first difference Hasil pengujian stasioneritas data dengan menggunakan ADF Test pada first difference menunjukkan bahwa semua data stasioner pada taraf nyata α=10 persen . Ditunjukkan pada Tabel 4.4 nilai t-statistik ADF test untuk semua data lebih besar dari nilai kritis tabel MacKinnon pada taraf nyata α=10 persen. Karena data tidak stasioner pada tingkat level tetapi stasioner pada first difference maka selanjutnya perlu dilakukan uji kointegrasi untuk menentukan analaisis yang akan digunakan lebih lanjut. Jika hasil pengujian menunjukkan tidak terdapat kointegrasi maka analisis lanjutan yang dilakukan adalah analisis VAR sementara bila terdapat kointegrasi maka analisis lanjutan yang dilakukan adalah VECM. Tabel 4.3: Hasil ADF Test untuk Data pada Tingkat First Difference Augmented Dickey-Fuller test Test critical values statistic Variabel (First Difference) t-Statistic Prob.* 1% level 5% level 10% level LNQM -8.677 0.0000 -3.5777 -2.9252 -2.6007 LNPRICE -6.5097 0.0000 -3.5777 -2.9252 -2.6007 LNRPROD -8.9221 0.0000 -3.5744 -2.9238 -2.5999 IM -4.1997 0.0018 -3.5812 -2.9266 -2.6014 DUMMY -6.9282 0.0000 -3.5744 -2.9238 -2.5999 LNPDB -4.7772 0.0003 -3.5744 -2.9238 -2.5999 POP -2.7632 0.0715 -3.5812 -2.9266 -2.6014 LNRER -6.3288 0.0000 -3.5744 -2.9238 -2.5999 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Sumber: Output hasil pengolahan dengan EViews 6.0
Hasil
Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner
52
4.2.2 Hasil Uji Lag Optimum Penentuan lag optimum sangat penting dalam analisis VAR maupun VECM karena panjang lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian lag optimum juga berguna untuk mengatasi masalah autokorelasi yang biasanya muncul dalam analisis data time series. Penetapan lag optimum menggunakan nilai dari Likelihood Ratio, Final Prediction Error, Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Information Criterion (SIC) dan Hannan Quin Criterion (HQ). Panjang lag optimum yang digunakan adalah lag yang terpendek. Hasil dari pengujian menunjukkan panjang lag optimum yang digunakan adalah lag ketiga. Tabel 4.4: Hasil Uji Lag Optimum Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
0 1 2 3 4
-156.6809 229.5075 388.3497 513.3916 659.2223
7.1600 -6.8481 -10.9717 -13.6257 -17.1835*
7.4780 -3.9859 -5.5653 -5.6751 -6.6887*
7.2791 -5.7759 -8.9464 -10.647 -13.252*
NA 621.2595 200.2793 114.1687* 82.42602
1.78e-07 1.53e-13 3.18e-15 4.77e-16 9.16e-17*
HQ
Keterangan: * menunjukkan lag terpilih berdasarkan kriteria LR : sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE : Final prediction error AIC : Akaike information criterion SC : Schwarz information criterion HQ : Hannan-Quinn information criterion Sumber : Output hasil pengolahan dengan EViews 6.0
4.2.3
Hasil Uji Stabilitas VAR Pengujian stabilitas VAR menggunakan roots characteristic polynomial,
suatu sistem VAR dikatakan stabil jika roots-nya memiliki modulus lebih kecil
53
dari satu (Lukepohl dalam Eviews 6 Users Guide 2007). Pada lampiran 1 ditunjukkan bahwa persamaan VAR memiliki nilai modulus kurang dari satu sehingga dapat disimpulkan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil.
4.2.4 Hasil Uji Kointegrasi Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engel dan Granger (1987) dalam Enders (2004) sebagai fenomena kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linier ini disebut dengan persamaan
kointegrasi
dan
dapat
diinterprestasikan
sebagai
hubungan
keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Pengujian kointegrasi dilakukan dengan pengujian Johansen Cointegration. Terdapat lima asumsi deterministik trend dalam uji kointegrasi, untuk menentukan pilihan trend yang digunakan bias dilihat dari hasil summary pada pilihan lag optimal. Pemilihan asumsi didasarkan pada hasil criteria Akaike Information dan Schwartz dan dipilih salah satu. Hasil uji kointegrasi pada summary model menunjukkan adanya kointegrasi pada model keempat yaitu model linier dengan intersep dan trend (Lampiran 2). Hal ini berarti secara multivariate terjadi hubungan keseimbangan jangka panjang antar variabel dalam model. Hasil uji kointegrasi pada asumsi terpilih menunjukkan adanya tujuh rank kointegrasi yang ditunjukkan dengan nilai trace statistik yang lebih besar dari nilai kritis tabel MacKinnon-Haug-Michelis dengan taraf nyata 5 persen.
54
4.3 Hasil Estimasi Persamaan Jangka Panjang Hasil output estimasi VECM menunjukkan seluruh variabel memiliki pengaruh signifikan terhadap volume impor beras dalam jangka panjang. Hubungan jangka panjang antar variabel yang diteliti dapat dituliskan dalam bentuk persamaan linier sebagai berikut: LnQm = 1198,65+6,964623 LnRPrice – 6,068460 LnRProd + 1,065394Im + 39,53399Dummy + 98,54116 LnPDB + 19,70047 Pop - 2,081291 LnRER
Dalam jangka panjang kenaikan rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 6,96 persen. Rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia menggambarkan kesenjangan antara harga beras di pasar dalam negeri dan pasar internasional. Sesuai dengan teori perdagangan internasional semakin besar kesenjangan harga antara pasar domestik dan internasional akan meningkatkan volume impor. Importir beras memperoleh keuntungan dari margin harga beras di pasar dunia dengan pasar dalam negeri, semakin besar margin harga berarti semakin besar pula keuntungan yang akan diperoleh importir sehingga volume beras yang diimpor akan meningkat. Hasil penelitian Azzis (2006) menyimpulkan bahwa harga beras impor berpengaruh negatif terhadap volume impor beras sementara harga beras dalam negeri berpengaruh positif. Kenaikan rasio produksi terhadap konsumsi sebesar satu persen dalam jangka panjang akan menurunkan volume impor beras sebesar 6,07 persen. Rasio produksi terhadap konsumsi beras menggambarkan kemampuan produksi beras dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan konsumsi beras. Semakin besar nilai
55
rasio produksi terhadap konsumsi beras menunjukkan semakin besar surplus produksi atas konsumsi beras. Impor dilakukan ketika produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan untuk konsumsi, volume impor tergantung pada besarnya kelebihan permintaan (excess demand). Penelitian Nastiti (2007) dan Ruatiningrum (2011) juga memberikan hasil bahwa produksi dalam negeri berpengaruh negatif terhadap volume impor beras. Kenaikan rasio ketergantungan impor terhadap volume impor beras sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 1,06 persen dalam jangka panjang. Rasio ketergantungan impor beras menunjukkan besarnya ketergantungan penyediaan beras dalam negeri terhadap impor, semakin besar ketergantungan terhadap impor maka semakin besar pula volume beras yang diimpor. Liberalisasi perdagangan beras berpengaruh positif terhadap volume impor beras, hal ini berarti volume impor beras pada periode setelah diberlakukannya kebijakan liberalisasi perdagangan beras meningkat dibandingkan periode sebelum kebijakan tersebut berlaku. Kebijakan liberalisasi perdagangan berarti menurunkan berbagai hambatan perdagangan beras di Indonesia baik tarif maupun non tarif. Penghapusan berbagai hambatan perdagangan membuat harga barang impor lebih murah dibandingkan harga dengan tarif ataupun kuota sehingga volume impor meningkat. Penelitian Azzis (2006) menyimpulkan bahwa adanya tarif akan menurunkan volume impor beras. Sawit (2005) menyarankan kebijakan tarif rate quota (TRQ) sebagai opsi untuk melindungi industri beras di Indonesia.
56
Dalam jangka panjang kenaikan PDB sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 98,54 persen. Variabel PDB mewakili pendapatan yang diterima oleh seluruh penduduk. Pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan, peningkatan pendapatan akan meningkatkan jumlah permintaan. Penelitian Dutta dan Ahmed (2006) menyimpulkan bahwa PDB berpengaruh positif terhadap permintaan impor agregat. Pertumbuhan penduduk sebesar satu persen dalam jangka panjang akan meningkatkan volume impor beras sebesar 19,70 persen. Permintaan agregat merupakan jumlah dari seluruh permintaan individu sehingga semakin banyak jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan. Penelitian Ruatiningrum (2011) menyimpulkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap impor beras. Dalam jangka panjang peningkatan nilai tukar riil sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 2,08 persen. Nilai tukar mempengaruhi harga impor beras, nilai tukar yang melemah menyebabkan harga impor menjadi relatif lebih mahal sehingga volume yang diimpor menjadi berkurang.
4.4 Analisis Impulse Response Function (IRF) IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel
57
dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. 4.4.1 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Volume Impor Beras Guncangan volume impor beras sebesar satu standar deviasi pada periode pertama akan meningkatkan volume impor beras sebesar 1,21 persen. Pada periode-periode berikutnya, respon volume impor beras masih positif namun nilainya semakin menurun. Respon volume impor beras terhadap guncangan ini mulai mencapai keseimbangan pada jangka panjangnya, yaitu pada periode kesepuluh dimana respon volume impor beras adalah sebesar 0,6 persen. 4.4.2 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Harga Beras Dalam Negeri terhadap Harga Beras Dunia Guncangan rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia sebesar satu standar deviasi juga tidak langsung direspon oleh volume impor beras pada periode pertama. Respon positif mulai muncul pada periode kedua sebesar 0,17 persen . Respon positif terus berlangsung hingga akhir periode dan mencapai kesetimbangan pada periode ketigabelas dimana volume impor beras berfluktuasi sekitar 0,2 persen dari rata-ratanya. Hal ini sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang dan teori keseimbangan parsial dalam perdagangan internasional bahwa semakin besar kesenjangan antara harga domestik dengan internasional maka volume impor juga semakin besar. 4.4.3
Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Produksi terhadap Konsumsi Beras Dalam Negeri Guncangan rasio produksi terhadap konsumsi beras dalam negeri sebesar
satu standar deviasi belum direspon oleh volume impor beras pada tahun pertama.
58
Pada tahun kedua dan ketiga guncangan rasio produksi terhadap konsumsi beras mulai direspon negatif oleh volume impor beras sebesar 0,22 persen dan 0,36 persen. Guncangan rasio produksi terhadap konsumsi beras terus menimbulkan fluktuasi terhadap volume impor beras dalam jangka panjang, hingga pada periode kesebelas volume impor beras baru menunjukkan keseimbangan dengan respon negatif sebesar 0,4 persen. Sesuai teori perdagangan internasional, semakin kecil excess demand yang terjadi maka volume impor juga semakin kecil. Hasil ini juga sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang yang menunjukkan bahwa rasio produksi terhadap konsumsi beras berpengaruh negatif terhadap volume impor beras. 4.4.4 Respon Volume Impor Ketergantungan Impor
Beras
terhadap
Guncangan
Rasio
Guncangan rasio ketergantungan impor beras sebesar satu standar deviasi belum direspon oleh volume impor beras pada periode pertama. Respon positif baru muncul pada periode ke dua kemudian pada periode ketiga respon berbalik arah menjadi negatif. Fluktuasi terus terjadi hingga periode keenambelas dan keseimbangan baru tercapai pada periode keduapuluh dengan respon sekitar 0,05 persen. Hal ini sejalan dengan hasil persamaan jangka panjang yang menunjukkan bahwa volume impor beras dan rasio ketergantungan impor memiliki hubungan positif. 4.4.5 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Beras Respon volume impor beras terhadap guncangan kebijakan liberalisasi perdagangan beras baru muncul pada periode kedua sebesar 0,2 persen. Volume
59
impor beras dalam jangka panjang memperikan respon positif terhadap guncangan liberalisasi perdagangan beras. Dengan kebijakan liberalisasi perdagangan beras berarti hambatan dalam perdagangan internasional komoditi beras dikurangi. Sesuai dengan teori perdagangan internasional, dengan semakin berkurangnya hambatan perdagangan maka volume beras yang diimpor semakin besar. Hasil persamaan jangka panjang juga menunjukkan bahwa variabel liberalisasi perdagangan beras mempengaruhi volume impor beras dan memiliki hubungan positif. 4.4.6
Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan PDB Respon volume impor beras terhadap guncangan PDB sebesar satu
standar deviasi belum tampak pada periode pertama. Mulai periode kedua muncul respon positif sebesar 0,17 persen. Respon positif pada jangka panjang semakin besar dan hingga akhir periode volume impor beras memberikan respon positif terhadap guncangan PDB. Hasil ini sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang yang menunjukkan hubungan positif antara volume impor beras dan PDB. 4.4.7
Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Pertumbuhan Penduduk Guncangan pertumbuhan penduduk sebesar satu standar deviasi belum
direspon oleh volume impor beras pada periode pertama. Respon mulai muncul pada periode kedua sebesar 0,07 persen, respon terus menurun hingga periode kedelapan bahkan pada periode kesembilan respon berbalik arah menjadi negatif. Pada periode kesepuluh respon kembali positif
hingga akhir periode.
Keseimbangan tercapai pada periode kelimabelas dimana volume impor beras merespon positif guncangan pertumbuhan penduduk sebesar 0,02 persen. Hasil
60
persamaan jangka panjang juga menunjukkan hubungan positif antara pertumbuhan penduduk dan volume impor beras. 4.4.8
Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil Guncangan nilai tukar riil sebesar satu standar deviasi belum direspon oleh
volume impor beras pada periode pertama. Pada periode kedua dan ketiga volume impor beras memberikan respon positif sebesar 0,01 persen. Pada periode keempat respon berbalik arah menjadi negatif sebesar 0,16 persen. Hingga akhir periode guncangan nilai tukar riil direspon negatif oleh volume impor beras. Sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang nilai tukar rupiah riil dan volume impor beras berhubungan negatif, depresiasi nilai tukar membuat harga beras impor menjadi relatif lebih mahal dan mengurangi volume beras yang diimpor.
4.5 Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Struktur dinamis antar variabel dalam VAR dapat dilihat melalui analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD),
pola dari FEVD ini
mengindikasikan sifat dari kausalitas multivariat diantara variabel-variabel dalam model VAR. Pengurutan variabel dalam analisis FEVD ini didasarkan pada faktorisasi Cholesky. Berdasarkan hasil dekomposisi varians dapat diambil kesimpulan bahwa pada periode pertama fluktuasi impor beras disebabkan oleh guncangan impor beras itu sendiri sebesar 100 persen. Mulai periode ke dua peran impor beras meskipun masih dominan, namun mulai menurun dan peran varaibel-variabel lain mulai muncul. Variabel yang memiliki peran paling besar pada fluktuasi impor
61
beras adalah rasio produksi terhadap konsumsi beras dalam negeri yaitu sebesar 2,49 persen. Rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia, kebijakan liberalisasi perdagangan beras, PDB dan rasio ketergantungan impor juga mulai memiliki peranan dalam menjelaskan fluktuasi impor beras pada tahun kedua secara berturut-turut sebesar 1,5 persen, 2,36 persen, 1,48 dan 1,39 persen. Variabel pertumbuhan penduduk dan nilai tukar rupiah hanya memberi peran kurang dari satu persen dalam menjelaskan variabilitas volume impor beras pada periode ke dua. Pada akhir periode, variabel yang dominan dalam menjelaskan fluktuasi impor beras adalah impor beras itu sendiri, rasio produksi terhadap konsumsi beras, rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia, PDB dan kebijakan liberalisasi perdagangan beras. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1 LNQM
2 LNRPRICE
3 LNRPROD
4 IM
LNPDB
5 DUMMY
Sumber: Hasil pengolahan dengan EViews 6.0 Gambar 4.11: Dekomposisi Varians Volume Impor Beras
6 LNRER
POP
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia tahun 1981-2010 mengalami peningkatan. Peningkatan produktivitas padi memegang peranan yang lebih penting dalam meningkatkan produksi padi dibandingkan peningkatan luas panen. 2. Pada periode 1980-2010 rata-rata produksi beras di Indonesia adalah 31,1 juta ton/tahun dan menunjukkan tren meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,51 persen per tahun sementara rata-rata konsumsi beras adalah 32 juta ton/tahun dengan rata-rata pertumbuhan 0,59 persen per tahun. Secara rata-rata, produksi beras lebih rendah dibandingkan konsumsinya pada periode yang sama. 3. Impor beras sepanjang periode 1980-2010 berfluktuasi dengan rata-rata 1,083 juta ton per tahun dan pertumbuhan impor rata-rata 160 persen setiap tahun. 4. Pola pergerakan harga beras di pasar domestik mengikuti pola harga beras di pasar dunia. Harga beras di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan harga di pasar internasional, kesenjangan ini menjadi pendorong dilakukannya impor beras.
63
5. Rasio ketergantungan impor beras Indonesia periode 1980-2010 sangat berfluktuasi dengan rata-rata 2,69 persen per tahun. 6. Variabel rasio harga dalam negeri terhadap harga dunia, rasio ketergantungan impor beras, liberalisasi perdagangan beras, PDB dan pertumbuhan penduduk berpengaruh positif terhadap volume impor beras. Variabel yang memiliki pengaruh negatif terhadap volume impor beras adalah rasio produksi terhadap konsumsi dan nilai tukar rupiah. 7. Volume impor memberikan respon negatif terhadap guncangan sebesar satu standar deviasi pada rasio produksi terhadap konsumsi beras dan nilai tukar riil. Sementara guncangan rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia, rasio ketergantungan impor, kebijakan liberalisasi perdagangan beras dan PDB sebesar satu standar deviasi direspon positif oleh volume impor beras. 8. Variabel yang dominan dalam menjelaskan variabilitas volume impor beras adalah impor beras itu sendiri, rasio produksi terhadap konsumsi beras, rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia, PDB dan kebijakan liberalisasi perdagangan beras.
5.2 Saran Berdasarkan analisis dan kesimpulan hasil penelitian, beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan impor beras sebaiknya lebih didasarkan kepada harga beras di pasar domestik dibandingkan selisih produksi dan konsumsi beras.
64
Harga beras dapat menjadi sinyal adanya defisit produksi dibandingkan konsumsi, disisi lain perlu penyempurnaan penghitungan angka produksi dan konsumsi beras dan koordinasi antar pihak terkait yaitu Kementrian Pertanian, Kementrian Perdagangan dan BULOG. 2. Impor beras sebaiknya kembali diserahkan kepada BULOG sebagai satusatunya pemegang hak impor sehingga pemerintah dapat lebih mudah melakukan kontrol atas volume impor beras. 3. Ketergantungan terhadap impor beras dalam memenuhi persediaan dalam negeri dapat ditekan dengan mendorong peningkatan produksi dalam negeri melalui peningkatan produktivitas dan ekstensifikasi lahan meningngat Indonesia masih memiliki 70,3 juta hektar lahan menganggur 4. Untuk mengurangi konsumsi beras perlu dilakukan diversifikasi pangan kepada bahan-bahan pangan sumber karbohidrat yang diproduksi di dalam negeri.
65
DAFTAR PUSTAKA
Ajija, S.R, D.W Sari, R.H Setianto dan M.R Primanti. 2011. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Salemba Empat, Jakarta Azziz, A. A. 2006. Analisis Impor Beras serta Pengaruhnya Terhadap Harga Beras dalam Negeri [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Daryanto, A. 2009. "Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya". Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Bogor, 14 Oktober 2009. Dutta, D dan N. Ahmed. 2001. "An Aggregate Import Demand Function for India: A Cointegration Analysis". ASARC Working Papers 2001-02. Australian National University. Enders, W. 2004. Applied Economic Time Series Second Edition. John Wiley and Sons.Inc, New York Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. IPB Press, Bogor Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Halwani, R. 2005. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia, Bogor Jamhari. 2004. "Rice Market Liberalization and Price Stability in Indonesia". Tokohaku Journal of Agriculture Research, 54: 23-36 Krugman, P.R dan M. Obstfeld. 2002. Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan. Basri [penerjemah]. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Lipsey, R.G, P.O Steiner dan D.D. Purvis. 1987. Economics. Harper and Row Publisher, New York Mankiw, Gregory. 2001. Principles of Economics. Harcourt Inc, Orlando McCulloch, N dan C.P Timmer. 2008. "Rice Policy in Indonesia: A Special Issue". Bulletin of Indonesia Economic Studies, 44:1.33-44.
66
Nastiti, A. 2007. The Analysis of Factors Affecting Imports of Rice of Indonesia [Tesis]. Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia. Nopirin. 1997. Ekonomi Internasional. BPFE Yogyakarta, Yogyakarta Rachman, H.P.S, S.H Suhartini dan G.S. Hardono. 2004. "Prospek Ketahanan Pangan Nasional (Analisis dari Aspek Kemandirian Pangan)". Laporan Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Ruatiningrum, L.W. 2011. Dampak Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Lain terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan.[Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Salvatore, D. 1996. Ekonomi Internasional. Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta Sawit, M.H. 2005. "Melindungi Industri Padi/Beras: Menerapkan Tarif Kuota dan Memerankan STE". Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 3: 298-312 Sukirno, S. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. PT Raja Grafindo Perkasa, Jakarta Todaro, M.P dan S.C. Smith. Pembangunan Ekonomi. Yelvi [penerjemah]. Erlangga, Jakarta Warr, P. 2005. "Food Policy and Poverty in Indonesia: A General Equilibrium Analysis". Australian Journal of Agricultural and Resource Economics, 49: 429-451.
67
Lampiran 1: Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Indonesia Tahun 1980-2010 (000 Ton) Tahun
Produksi Beras
Konsumsi Beras
Surplus/Defisit Beras
Impor Beras
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1980 22286.0 20359 1927 1981 22837.0 21793 1044 1982 24006.0 23297 709 1983 25933.0 23545 2388 1984 26542.0 24473 2069 1985 27014.0 25812 1202 1986 26051.0 25781 270 1987 27089.0 27643 -554 1988 29072.0 28816 256 1989 29366.0 29893 -527 1990 29042.0 30741 -1699 1991 31350.0 30849 501 1992 31318.0 31533 -215 1993 30315.0 32174 -1859 1994 32333.0 32812 -479 1995 33215.0 34951 -1736 1996 32084.0 33839 -1755 1997 31118.0 34303 -3185 1998 32147.0 35799 -3652 1999 32800.0 37642 -4842 2000 32960.0 36925 -3965 2001 32960.0 36559 -3599 2002 33411.0 36725 -3314 2003 35024.0 36127 -1103 2004 34830.0 36054 -1224 2005 34959.0 35902 -943 2006 35300.0 35676 -376 2007 37000.0 36926 74 2008 38310.0 37943 367 2009 36370.0 38177 -1807 2010 37060.0 38959 -1899 Sumber : BPS, Kementan dan FAO, 1980-2010 (Diolah)
2011.71 538.28 309.64 1168.82 414.35 33.85 27.76 54.98 32.73 268.32 49.58 170.99 609.77 24.32 630.07 3157.70 2149.76 348.08 2894.96 4748.06 1355.04 642.17 1798.50 1625.75 390.83 188.95 456.10 1406.28 289.69 250.47 687.58
68
Lampiran 2: Harga Beras Dunia, Dalam Negeri dan GKG Tahun 1990-2010 (US $/Kg) Tahun
Harga Beras Dunia
Harga Beras Dalam Negeri
Harga GKG
(1)
(2)
(3)
(4)
1990 0.2709 0.2816 1991 0.2933 0.2856 1992 0.2682 0.2975 1993 0.2354 0.3460 1994 0.2676 0.4165 1995 0.3210 0.4833 1996 0.3389 0.5060 1997 0.3035 0.4414 1998 0.3042 0.2547 1999 0.2484 0.3568 2000 0.2024 0.3066 2001 0.1728 0.2698 2002 0.1919 0.3588 2003 0.1976 0.3801 2004 0.2377 0.3704 2005 0.2863 0.3671 2006 0.3049 0.5390 2007 0.3264 0.6636 2008 0.6502 0.6566 2009 0.5550 0.6440 2010 0.4889 0.8819 Sumber: BPS dan World Bank, 2011. (Diolah).
0.4354 0.4426 0.4551 0.4717 0.4836 0.4917 0.4981 0.4219 0.1286 0.1801 0.1605 0.1401 0.1673 0.1871 0.1748 0.1839 0.2596 0.2900 0.2899 0.2875 0.3525
69
Lampiran 3: Hasil Uji Stabilitas VAR
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LNQM LNRPRICE LNRPROD IM DUMMY LNPDB POP LNRER Exogenous variables: C Lag specification: 1 3 Date: 11/21/11 Time: 10:57 Root 0.983864 0.930656 + 0.225694i 0.930656 - 0.225694i 0.720433 + 0.626961i 0.720433 - 0.626961i 0.829281 + 0.335843i 0.829281 - 0.335843i 0.851262 -0.117194 + 0.836513i -0.117194 - 0.836513i 0.603287 - 0.538296i 0.603287 + 0.538296i 0.087657 - 0.785406i 0.087657 + 0.785406i -0.511576 + 0.548226i -0.511576 - 0.548226i 0.201048 - 0.682178i 0.201048 + 0.682178i -0.710958 -0.605939 -0.177522 + 0.554138i -0.177522 - 0.554138i -0.241215 -0.197241 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.983864 0.957631 0.957631 0.955041 0.955041 0.894705 0.894705 0.851262 0.844682 0.844682 0.808528 0.808528 0.790282 0.790282 0.749841 0.749841 0.711187 0.711187 0.710958 0.605939 0.581879 0.581879 0.241215 0.197241
70
Lampiran 4: Hasil Uji Kointegrasi a. Hasil summary Sample: 1961 2010 Included observations: 47 Series: LNQM LNRPRICE LNRPROD IM DUMMY LNPDB POP LNRER Lags interval: 1 to 2 Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model Data Trend: Test Type
Linear Intercept Trend 7 4
Quadratic Intercept Trend 6 4
Linear Intercept Trend
Quadratic Intercept Trend
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 332.9086 332.9086 350.5550 350.5550 367.2158 384.1201 401.3021 406.9913 398.3464 416.7523 432.5226 443.9177 421.0816 447.8724 456.6870 471.3252 435.8532 470.5400 474.0589 492.6049 449.3266 484.9542 487.4398 505.9869 458.2160 495.8312 497.7783 516.7364 464.9769 504.6012 505.7948 524.7597 465.0006 511.1278 511.1278 530.5244
360.7597 416.9481 453.0662 479.6056 499.9422 511.6220 521.3413 528.7429 530.5244
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -8.719513 -8.719513 -9.130001 -9.130001 -9.223817 -9.498545 -10.17532 -10.60860 -10.80814 -10.93396 -10.14240 -10.84052 -11.25628 -11.65607 -11.79005 -10.42901 -11.44138 -11.60370 -12.09895 -12.23854 -12.42307* -10.37673 -11.68255 -11.66208 -12.28106 -10.26922 -11.57252 -11.55063 -12.12710 -12.23923 -9.966640 -11.31197 -11.30972 -11.86112 -11.97197 -9.573485 -10.96175 -10.96999 -11.47914 -11.60608 -8.893642 -10.51608 -10.51608 -11.00104 -11.00104
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) -3.680813 -3.680813 -3.776383 -3.776383 -3.830008 -4.467422 -4.625146 -4.785318 -4.964049* -3.844026 -4.463419 -4.642988 -3.500794 -4.395073 -4.360571 -4.737720 -2.818681 -3.967042 -3.789110 -4.250630 -2.081329 -3.187809 -3.047822 -3.427470 -1.148915 -2.258052 -2.177072 -2.492289 -0.125922 -1.238637 -1.207509 -1.441103 1.183757 -0.123760 -0.123760 -0.293802
Trace Max-Eig
None No Intercept No Trend 7 3
None Intercept No Trend 8 5
Linear Intercept No Trend 8 4
*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model Data Trend: Rank or No. of CEs
None No Intercept No Trend
None Intercept No Trend
Linear Intercept No Trend
-3.555280 -4.635588 -4.861838 -4.680485 -4.235186 -3.421509 -2.524409 -1.528683 -0.293802
71
b. Pada asumsi terpilih
Sample (adjusted): 1964 2010 Included observations: 47 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: LNQM LNRPRICE LNRPROD IM DUMMY LNPDB POP LNRER Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 * At most 5 * At most 6 * At most 7
0.909422 0.792233 0.688476 0.595667 0.434161 0.367089 0.289240 0.217534
359.9388 247.0663 173.2134 118.3984 75.83910 49.07512 27.57610 11.52935
187.4701 150.5585 117.7082 88.80380 63.87610 42.91525 25.87211 12.51798
0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0036 0.0108 0.0304 0.0727
Trace test indicates 7 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6 At most 7
0.909422 0.792233 0.688476 0.595667 0.434161 0.367089 0.289240 0.217534
112.8725 73.85286 54.81504 42.55929 26.76398 21.49902 16.04675 11.52935
56.70519 50.59985 44.49720 38.33101 32.11832 25.82321 19.38704 12.51798
0.0000 0.0001 0.0028 0.0154 0.1959 0.1682 0.1432 0.0727
Max-eigenvalue test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
72
Lampiran 5: Grafik IRF Response to to Cholesky Cholesky One One S.D. S.D. Innovations Innovations Response of LNQM LNQM to to LNQM LNQM Response of
Response of of LNQM LNQM to to LNRPRICE LNRPRICE Response
Response of of LNQM LNQM to to LNRPROD LNRPROD Response
1.5 1.2
1.5 1.2
1.5 1.2
1.0 0.8
1.0 0.8
1.0 0.8
0.5
0.5
0.5
0.4
0.4
0.4
0.0
0.0
0.0
0.0 -0.5
0.0 -0.5
0.0 -0.5
-1.0 -0.4
-1.0 -0.4 5
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
50 50
-1.0 -0.4 55
Response of of LNQM LNQM to to IM IM Response
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
50 50
55
Response of of LNQM LNQM to to DUMMY DUMMY Response
Response of of LNQM LNQM to to LNPDB LNPDB Response
1.5 1.2
1.5 1.2
1.5 1.2
1.0 0.8
1.0 0.8
1.0 0.8
0.5
0.5
0.5
0.4
0.4
0.4
0.0
0.0
0.0
0.0 -0.5
0.0 -0.5
0.0 -0.5
-1.0 -0.4
-1.0 -0.4 5
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
50 50
-1.0 -0.4 55
Response of of LNQM LNQM to to POP POP Response
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
50 50
Response of of LNQM LNQM to to LNRER LNRER Response
1.5 1.2
1.5 1.2
1.0 0.8
1.0 0.8
0.5
0.5
0.4
0.4
0.0
0.0
0.0 -0.5
0.0 -0.5
-0.4 -1.0
-0.4 -1.0 5
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
50 50
10 15 15 20 20 25 25 30 30 35 35 40 40 45 45 50 50 10
55
10 10
15 15
20 20
25 25
30 30
35 35
40 40
45 45
50 50
55
10 15 15 20 20 25 25 30 30 35 35 40 40 45 45 50 50 10
73
Lampiran 4: Hasil Estimasi VECM untuk Persamaan Jangka Panjang
Vector Error Correction Estimates Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
LNQM(-1)
1.000000
LNRPRICE(-1)
-6.964623 (2.02477) [-3.43970]
LNRPROD(-1)
6.068460 (0.28304) [ 21.4400]
IM(-1)
-1.065394 (0.12437) [-8.56664]
DUMMY(-1)
-39.53399 (2.09645) [-18.8576]
LNPDB(-1)
-98.54116 (4.63531) [-21.2588]
POP(-1)
-19.70047 (2.27870) [-8.64548]
LNRER(-1)
2.081291 (0.48160) [ 4.32163]
@TREND(61)
5.748418 (0.28948) [ 19.8575]
C
1198.605