Analisis Implementasi Kebijakan Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Pasca Akreditasi JCI Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo Tahun 2014 Dewi Retna Komara, Amal Chalik Sjaaf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian dilakukan untuk menganalisis implementasi kebijakan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) pasca akreditasi JCI di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2014. Fokus penelitian adalah implementasi kebijakan pengelolaan B3 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu komunikasi, sumber daya,disposisi dan stuktur birokrasi. Permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan data laporan ronde manajemen yaitu banyak temuan pengelolaan B3 di lapangan pasca akreditasi JCI tidak sesuai dengan prosedurprosedur yang telah ditetapkan dalam kebijakan pengelolaan B3 dan dari data Unit K3RS yang melaporkan beberapa insiden terkait pengelolaan B3. Metode penelitian adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi tak berstruktur dan telaah dokumen. Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling. Analisa data menggunakan content analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pengelolaan B3 pasca akreditasi JCI di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo belum berjalan dengan baik. Pada faktor komunikasi: Transmisi yang kurang maksimal, kejelasan kebijakan secara isi belum lengkap dan penyampaiannya ke lapangan belum optimal, pelaksanaan kebijakan yang belum konsisten. Faktor sumber daya: SDM, fasilitas dan anggaran belum memadai. Pada faktor disposisi implementor belum baik, pelaksana kebijakan secara umum kurang cukup kuat memiliki komitmen mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan B3. Faktor struktur birokrasi: Mekanisme pelaksanaan, koordinasi dan monitoring belum berjalan efektif. Kata kunci: FMS JCI; Implementasi; Kebijakan; Pengelolaan B3
The Analysis of The Implementation of Hazardous Materials Management’s Policy after JCI Accreditation in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta in 2014 Abstract The study was conducted to analyze the implementation of hazardous materials management‟s policy after JCI accreditation in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo 2014. Research focus is the implementation of hazardous materials management‟s policy and the factors that influence it, namely communication, resources, disposition and bureaucratic structure . Problems in this research report based on the data management rounds are many findings in the field of hazardous materials management‟s policy after JCI accreditation is not in accordance with the procedures set out in the policy and from the data Unit B3 K3RS who reported several incidents related to the management of hazardous materials management‟s policy. The research method is qualitative data collection techniques using in-depth interviews, observation and unstructured document review. Selection of informants using purposive sampling technique. Analysis of the data using content analysis. The results showed that the implementation of hazardous materials management‟s policy after JCI accreditation in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo not going well. In the communication factor: less than the maximum transmission, clarity incomplete content policy and its delivery to the field is not optimal, policy implementation has not been consistent. Factors resources: human resources, facilities and inadequate budgets. At the implementor is not a good disposition factors, implementing policies generally lack strong enough to have a
Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 1
commitment to support the implementation of management policies B3. Factor structure of the bureaucracy: Mechanism implementation, coordination and monitoring has not been effective. Keyword: FMS JCI; Implementation; Policy; Hazardous Materials Management
Pendahuluan Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2001 tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun mendefinisikan bahan berbahaya dan beracun adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Bahan Berbahaya dan beracun
berpotensi besar dalam menimbulkan risiko terhadap kesehatan
apabila tidak ditangani dengan baik. Selain itu, akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit baik bagi para dokter, perawat, teknisi, dan semua yang berkaitan dengan pengelolaan rumah sakit maupun perawatan pasien dan pengunjung Rumah sakit. Mayoritas rumah sakit di Indonesia kurang memperhatikan masalah pengelolaan B3, misalnya dalam penanganan limbah B3. Dengan alasan tidak memiliki lahan pengolahan limbah yang cukup hingga alasan mahalnya biaya yang dikeluarkan sehingga banyak yang membiarkan limbah B3-nya dan membuangnya ke tempat pembuangan sampah akhir, dan jika terkontaminasi masyarakat sekitarnya akan sangat berbahaya dan menimbulkan masalah kesehatan baru diantaranya tetanus, infeksi, pencemaran udara dan pencemaran air tanah ataupun sanitasi air di sekitarnya. Dampak dari pengelolaan B3 yang tidak ditangani dengan baik berhubungan dengan mutu atau kualitas rumah sakit sehingga mempengaruhi citra dari rumah sakit itu sendiri. Akreditasi adalah salah satu cara yang bertujuan untuk peningkatan mutu rumah sakit baik nasional maupun internasional. Dengan adanya permasalahan dalam pengelolaan B3 maka akan menjadi penghambat dalam proses pelaksanaan akreditasi rumah sakit tersebut. RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo merupakan salah satu rumah sakit dari 7 (tujuh) rumah sakit pemerintah yang ditunjuk Kemenkes untuk dilakukan akreditasi JCI pada Tahun 2012. Untuk menjamin keselamatan
dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada di
lingkungan rumah sakit dan sekitarnya, maka diterapkan kebijakan sistem pengelolaan B3 sesuai dengan yang telah dipersyaratkan oleh JCI. RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo telah menyusun kebijakan dalam pengelolaan B3 ini yaitu melalui SK Direktur Utama RSUPN Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 2
dr.Cipto Mangunkusumo No.6932/TU.K/34/IV/2011 tentang Pedoman Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di RSUPN dr.Cipto Magunkusumo dengan mengacu pada kebijakan pemerintah. Implementasi kebijakan pengelolaan B3 di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo pasca akreditasi JCI belum berjalan sebagaimana mestinya sehingga perlu dievaluasi untuk mendapatkan masukan bagi rumah sakit. Masih adanya temuan-temuan di lapangan dalam pengelolaan B3 seperti keberadaan MSDS,simbol/label maupun spill kit yang belum lengkap, tempat penyimpanan B3 yang tidak sesuai, dokumen atau perijinan pengolahan limbah yang belum lengkap, pengangkutan limbah B3 yang tidak sesuai prosedur dan masih ditemukan ketidakpatuhan petugas dalam penggunaan APD. Selain itu terjadi insiden-insiden seperti tertusuk jarum, tumpahan cairan B3, kebocoran IPAL dan kerusakan incinerator dapat berdampak buruk terhadap keselamatan dan kesehatan baik bagi petugas, pasien, pengunjung maupun di lingkungan sekitar rumah sakit. Untuk melihat secara mendalam mengenai penyebab-penyebab permasalahan dalam pengelolaan B3, maka dilakukan analisis implementasi kebijakan pengelolaan B3 pasca akreditai JCI di RUPN dr.Cipto Mangunkusumo.
Tinjauan Teoritis
1. Teori Kebijakan Carl Friedrich dalam Winarno (2002) mengartikan kebijakan
sebagai suatu arah
tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. pada hakekatnya studi tentang policy (kebijakan) mencakup pertanyaan : what, why, who, where, dan how. Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang dihadapi lembaga-lembaga atau instansi yang mengambil keputusan yang menyangkut; isi, cara atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan. Contoh kebijakan adalah : UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Keppres, Kepmen, Perda, Keputusan Bupati, Keputusan Direktur dan lain-lain. Setiap kebijakan yang dicontohkan disini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan.
Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 3
Tahap-tahap kebijakan menurut Dunn (Winarno,2002) : Tahap penyusunan agenda; Tahap formulasi kebijakan; Tahap adopsi kebijakan; Tahap impelemtasi kebijakan; dan Tahap evaluasi kebijakan Dalam Panduan penyusunan dokumen Akreditasi, Komisi Akreditasi Rumah Sakit Tahun 2012 menjelaskan bahwa Kebijakan Rumah Sakit adalah penetapan Direktur/Pimpinan Rumah Sakit pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang mengikat. Kebijakan Rumah Sakit memuat dasar kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan peraturan/keputusan tersebut. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum adalah peraturan yang tingkatannya sederajat atau lebih tinggi. Implementasi kebijakan adalah merupakan bagian dari tahapan kebijakan. Tahapan ini merupakan tahapan yang paling penting dimana suatu kebijakan akan dilaksanakan. Menurut Josy Adiwisastra dalam Tahir (2011) menegaskan, bahwa : Implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang penting. Kebijakan publik yang dibuat hanya akan menjadi „macan kertas‟ apabila tidak berhasil dilaksanakan. Contoh teori implementasi kebijakan dan dijadikan sebagai landasan pijak dalam penelitian ini adalah model George C. Edwards III (Tahir,2011) menjelaskan bahwa studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. Untuk menjawab pertanyaan penting itu, maka Edwards III menawarkan dan mempertimbangkan empat faktor dalam mengimplementasikan kebijakan publik, yakni: komunikasi, sumberdaya, sikap pelaksana, struktur birokrasi. 2. Akreditasi JCI Menurut Permenkes RI No.012 Tahun 2012, Akreditasi Rumah Sakit, selanjutnya disebut Akreditasi, adalah pengakuan terhadap Rumah Sakit yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara Akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri, setelah dinilai bahwa Rumah Sakit itu memenuhi Standar Pelayanan
Rumah Sakit yang berlaku untuk
meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit secara berkesinambungan. Menurut Joint Commision International (2011), manfaat akreditasi adalah:
Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 4
1) Meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa organisasi itu menitikberatkan sasarannya pada keselamatan pasien dan kualitas perawatan yang diberikan. 2) Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga karyawannya merasa puas. 3) Bernegosiasi dengan sumberdaya pendanaan yang akan menanggung biaya perawatan berdasarkan data kualitas perawatan yang disediakannya. 4) Mendengarkan pasien dan keluarga mereka, menghormati hak-hak mereka dan melibatkan mereka sebagai mitra dalam proses perawatan. 5) Menciptakan budaya mau belajar dari laporan-laporan kasus efek samping yang dicatat berdasarkan waktu kejadian dan hal-hal lain terkait keselamatan. 6) Membangun kepemimpinan
yang mengutamakan kerjasama. Kepemimpinan ini
menetapkan prioritas untuk dan demi terciptanya kepemimpinan berkelanjutan untuk meraih kualitas dan keselamatan pasien di segala tingkatan. Menurut Permenkes No.012 Tahun 2012, akreditasi bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit, Meningkatkan keselamatan pasien Rumah Sakit, meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya manusia Rumah Sakit dan Rumah Sakit sebagai institusi; dan mendukung program Pemerintah di bidang kesehatan. Akreditasi Joint Commission International (JCI) merupakan salah satu divisi dari Joint Commission International Resurces yang merupakan lembaga non pemerintah dan tidak terfokus pada keuntungan. Fokus dari JCI adalah meningkatkan keselamatan perawatan pasien melalui penyediaan jasa akreditasi dan sertifikasi serta melalui layanan konsultasi dan pendidikan yang bertujuan membantu organisasi menerapkan solusi praktis dan berkelanjutan. Dalam JCI terdapat 565 standar yang dibagi menjadi 197 standar inti yang harus dipenuhi untuk mencapai akreditasi dan 368 standar lain yang dapat membawa suatu organisasi kesehatan ke dalam tingkatan “best practice” atau praktek yang terbaik. Standar manual di bagi menjadi dua bagian : Patient Centered Function (Fungsi yang berpusat pada pasien) dan Organization Function (fungsi organisasi). Untuk Patient Centered Functions adalah semua standar yang berhubungan dengan pasien terdiri dari 14 (empat belas) pembagian atau yang biasa disebut sebagai chapter. Facility Management and Safety (FMS) merupakan salah satu chapter dari standar manual Organization Function. Rumah sakit dalam kegiatannya menyediakan fasilitas yang aman, berfungsi dan supportif bagi pasien, keluarga, staf dan pengunjung. Untuk mencapai tujuan ini, fasilitas fisik, medis dan peralatan lainnya harus dikelola secara efektif. Secara khusus, manajemen harus berusaha keras untuk : Mengurangi dan mengendalikan bahaya dan risiko; Mencegah
Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 5
kecelakaan dan cidera ; dan memelihara kondisi aman. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun merupakan salah satu focus area dari chapter FMS. 3. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 mendefinisikan bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lain. Selanjutnya UU-32/2009 menggariskan dalam Ps 58 (1) bahwa setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. Secara spesifik pengelolaan B3 ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 74/2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Kepmenkes No.1087 /MENKES/SK/VIII/2010 menyebutkan bahwa
rumah sakit
harus melakukan seleksi rekanan berdasarkan barang yang diperlukan. Rekanan yang akan diseleksi diminta memberikan proposal berikut profil perusahaan (company profile). Informasi yang diperlukan menyangkut spesifikasi lengkap dari material atau produk, kapabilitas rekanan, harga, pelayanan, persyaratan K3 dan lingkungan serta informasi lain yang dibutuhkan oleh Rumah Sakit. PP 74/2001 menyebutkan bahwa salah satu informasi penting yang selalu harus disertakan dalam produksi B3 adalah Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet – MSDS). Informasi MSDS disamping harus tercantum pada produksi B3 (pasal 11), juga harus muncul pada dokumen pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 (pasal 12), dan juga pada kemasan bahan tersebut (pasal 14). Lembar MSDS paling tidak berisi: Merek dagang, rumus kimia B3, jenis B3, klasifikasi B3 dan teknik penyimpanan. Persyaratan tempat menyimpan B3 adalah :
Tempat penyimpanan tidak untuk aktifitas
Dekat dengan hidrant / safety shower.
Ruang cukup luas dapat melindungi mutu produk,
Menjamin keamanan produk
Menjamin keamanan petugas
Terdapat rambu / tanda, denah lokasi , jalur evakuasi.
Bahan tidak diletakkan di lantai (letakkan di atas palet, rak, lemari)
Sumber listrik sejauh mungkin,
Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 6
Terdapat alat pengukur suhu dan kelembaban,
Tersedia alat deteksi kebakaran, APAR
Tersedia Alat Pelindung Diri (APD) Menurut PP No.18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, mendefinisikan
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya. Menurut Pruss, Giroult & Rushbrook (2005), limbah B3 yang dihasilkan rumah sakit antara lain Limbah infeksius, residu bahan kimia dan farmasi, kontainer bertekanan bekas yang tidak dapat didaur ulang, benda tajam terutama jarum suntik, kotoran atau cairan tubuh dari pasien , bahan kimia yang kadaluarsa, kultur mikroba, jasad binatang percobaan, limbah patologi dan anatomi dan limbah genetoksik . Upaya pengelolaan limbah B3 dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi sifat atau karakteristik berbahaya dan beracun yang dikandungnya agar tidak membahayakan kesehatan manusia sekaligus mencegah terjadinya segala risiko pencemaran yang dapat merusak kualitas lingkungan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. PER.08/MEN/VII/2010 mendefinisikan Alat Pelindung Diri (APD) adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. APD merupakan seperangkat alat yang digunakan
oleh tenaga kerja untuk melindungi seluruh/sebagian tubuhnya
terhadap kemungkinan adanya potensi bahaya/kecelakaan kerja, seperti: masker, kacamata pelindung, gaun/apron, sarung tangan, penutup kepala, pelindung kaki.
Tujuan dari
pengunaan APD ini adalah melindungi pekerja terhadap potensi bahaya yang berasal dari sumber-sumber bahaya yang ada di lingkungan kerjanya dan menciptakan rasa aman bagi pekerja selama melaksanakan pekerjaannya, sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja. Salah satu kehawatiran utama dalam penanganan B3 adalah kemungkinan terjadinya kecelakaan baik pada saat masih dalam penyimpanan maupun kecelakaan pada saat dalam pengangkutannya. Bila terjadi kecelakaan, maka kondisi awalnya adalah berstatus keadaan darurat (emergency). Langkah darurat yang harus dilakukan adalah (PP No74/2001 pasal 25): Mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan, menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur standar penanggulangan kecelakaan, melaporkan kecelakaan atau keadaan
Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 7
darurat tersebut kepada aparat Kota/Kabupaten setempat dan memberikan informasi, bantuan dan melakukan evakuasi masyarakat sekitar lokasi kejadian. PP No.74 Tahun 2001 disebutkan bahwa Setiap kemasan B3 wajib diberikan simbol dan label serta dilengkapi dengan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet). Demikian pula pada tempat penyimpanan B3 wajib diberikan symbol dan label. Menurut PermenLH No.03/MENLAN/03/2008 tentang Tata Cara Pemberian Simbol dan Label B3 menyebutkan bahwa salah satu hal penting dalam pengelolaan B3 adalah pemberian symbol dan label untuk mengidentifikasi sekaligus mengklasifikasikan B3 yang nantinya sangat berguna sebagai informasi penting dalam pengelolaannya. Identifikasi yang digunakan untuk penandaan B3 terdiri dari dua jenis yaitu symbol dan Label . Simbol B3 adalah gambar yang menunjukkan klasifikasi B3 dan limbah B3 sedangkan label adalah uaraian singkat yang menunjukkan antara lain klasifikasi dan jenis B3 dan limbah B3.
Metode Penelitian Desain studi penelitian ini adalah kualitatif dengan metode observasi, wawancara mendalam dan telaah dokumen dan gambarannya disampaikan disajikan secara deskriptif, dimana peneliti terjun langsung ke lapangan untuk menggali data atau informasi secara mendalam mengenai topik yang akan dilakukan penelitian. Penelitian dilakukan di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta yang beralamat di Jalan Diponegoro No.71 Jakarta Pusat. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Maret-Mei 2014. Pemilihan informan menggunakan purposive sampling dengan pertimbangan bahwa informan yang dipilih adalah orang yang benar-benar mengetahui atau terlibat langsung dengan fokus penelitian yang akan diteliti dan telah sesuai dengan prinsip kesesuaian (appropriatness) dan kecukupan (adequacy) dengan dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan yang terdiri dari unsur manajemen (5 orang) dan unsur pengguna (6 orang). Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi dalam penelitian ini adalah data Primer, diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi data sekunder diperoleh dengan melakukan telaah dokumen dan data-data yang berhubungan dengan implementasi kebijakan pengelolaan B3 pasca akreditasi JCI di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan analisis implementasi kebijakan pengelolaan B3 di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah peneliti sebagai instrument utama, Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 8
pedoman wawancara mendalam, Pedoman telaah dokumen dan alat perekam suara dan alat tulis. Salah satu cara dalam uji keabsahan hasil penelitian adalah dengan melakukan triangulasi. Triangulasi yaitu tringulasi sumber dan triangulasi metode. Data hasil wawancara mendalam (depth interview), dilakukan pembandingan dengan kepustakaan menggunakan pendekatan kualitatif lalu diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis).
Hasil Penelitian 1. Komunikasi Secara umum manajemen telah mengetahui tentang pengelolaan B3 baik secara langsung dari SK kebijakan pengelolaan B3 maupun secara tidak langsung dari peraturanperaturan pemerintah tentang pengelolaan B3 ataupun dari FMS JCI. Sebelum akreditasi JCI kegiatan terkait dengan pengelolaan B3 di RSCM telah dilakukan walaupun tidak seintensif menjelang diberlakukannya akreditasi JCI dan lebih fous pada pengelolaan limbah medis. Penyelenggaraan pengelolaan B3 di RSCM berpedoman pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktur yang mengacu pada standar JCI. Untuk proses sosialisasinya dilakukan oleh Unit Sanitasi dan Lingkungan sebagai penanggung Jawab pengelolaan B3 di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo dengan mendatangi ruangan-ruangan atau unit kerja. Beberapa kendala untuk melakukan sosialisasi seperti faktor tempat, kesibukan peserta, anggaran dan latar belakang pendidikan peserta sehingga sosialisasi berjalan belum optimal. Sosialisasi tidak dilakukan secara berkelanjutan. Sebagian besar unsur pengguna hanya satu kali mengikuti sosialisasi bahkan ada yang tidak pernah mengikuti sosialisasi tetapi penanggung jawab lain yang menghadiri sosialisasi. Unit kerja yang telah dilakukan sosialisasi selama Tahun 2011-2012 adalah sekitar 12 unit kerja dari target 33 departemen/unit kerja. Kebijakan pengelolaan B3 yang dikeluarkan oleh direksi masih kurang jelas dan perlu direvisi karena belum mencakup peranan unit-unit yang terkait dengan pengelolaan B3 selain Unit Sanitasi dan Lingkungan, misalnya Unit K3RS, Instalasi Farmasi, Bagian Teknik PSP dan lainnya. Terdapat informan unsur manajemen yang belum mengetahui isi dari kebijakan pengelolaan B3. Sedangkan informan dari unsur pengguna, ada beberapa informan yang belum mengetahui isi dari kebijakan dan hanya mengetahui SPO nya saja, bahkan terdapat
Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 9
informan yang sama sekali tidak mengetahui isi dari kebijakan pengelolaan B3 maupun SPO nya Kebijakan ini masih belum konsisten dilaksanakan karena masih ada temuan di lapangan yang tidak sesuai dengan kebijakan yang telah tetapkan. Contohnya adalah pihak vendor yang tidak menyertai simbol dan label dan MSDS di kemasan B3 dan penyimpana B3 yang bercampur dengan bahan lain yang disebabkan faktor keterbatasan fasilitas, anggaran dan prilaku petugas pelaksana di lapangan. 2. Sumber Daya Beberapa informan mengemukakan bahwa tingkat pengetahuan yang masih kurang dan jumlah SDM yang terbatas merupakan kendala dalam pengelolaan B3. Unit sanitasi dan Lingkungan telah menyelenggarakan pelatihan Trainer Of Trainer (TOT) bagi para Penanggung Jawab B3 di seluruh unit kerja dengan tujuan peserta TOT dapat melatih kembali kepada seluruh petugas yang terlibat dalam penggunaan B3 di ruangan masing-masing sehingga para petugas dapat memilki kompetensi dalam pengelolaan B3 di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo. Pelatihan dilakukan satu kali pada Bulan Oktober 2012 dengan peserta sebanyak 65 dari 80 peserta yang ditargetkan, yang artinya baru 81 % Penanggunga Jawab B3 yang telah memiliki kompetansi sebagai trainer di unit kerjanya. Hampir seluruh informan unsur manajemen menyatakan fasilitas yang kurang memadai untuk pelaksanaan pengelolaan B3 dan hal ini terkait dengan anggaaran. Sedangkan pada
unsur pengguna hampir semua
menyatakan bahwa fasilitas untuk pelaksanaan
pengelolaan B3 kurang dan sering terlambat dalam penyediaannya bahkan tidak tersedia karena stok kosong. Kebutuhan fasilitas penngelolaan B3 belum terealisasi sepenuhnya yang artinya di lapangan ketersediaan fasilitas sebagai penunjang dalam pengelolaan B3 masih kurang, sedangkan beberapa kebutuhan saifety box, kantong palstik B3, symbol dan label terealisasi sesuai kebutuhan hanya sering terlambat dalam pengadaannya. Umumnya informan unsur manajemen menyatakan akan keterbatasan anggaran yang dialokasikan untuk pengelolaan B3 di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo. Namun demikian, menurut beberapa informan, kebutuhan anggaran ini sebenarnya bisa diusahakan untuk dipenuhi bila dibutuhkan dalam safety ataupun JCI. Untuk informan unsur pengguna, seluruh informan menyatakan tidak mengetahui kondisi anggaran karena tidak terlibat dalam pengelolaan anggaran dan unit kerja hanya mengusulkan ke korporat untuk pengadaan fasilitas pengelolaan B3. Beberapa unit kerja terpaksa membeli kebutuhan untuk pengelolaan B3 karena korporat stoknya kosong. anggaran yang diusulkan untuk kebutuhan pengadaan fasilitas pengelolaan B3 belum sepenuhnya terealisasi yaitu sekitar 80% yang terpenuhi Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 10
3. Disposisi Hampir semua informan unsur manajemen pada prinsipnya memiliki komitmen untuk melaksanakan kebijakan pengelolaan B3 meskipun ada hal-hal yang memberatkan dalam pelaksanaanya, misalnya karena keterbatasan sumber daya. Namun terdapat informan dari unsure pengguna yang merasa tak bisa berkomitmen karena tidak mengetahui isi dari kebijakan pengelolaan B3. Disamping itu terdapat informan yang merasa berat dalam berkomitmen bila kebutuhan mereka terkait pengelolaan B3 tidak terpenuhi dan merasa pihak korporat kurng peduli. Beberapa ruangan yang malas meminta atau melaporkan kekurangan fasilitas seperti kantong plastik, symbol dan label serta MSDS ke unit sanitasi dan lingkungan sementara sebenarnya fasilitas tersebut saat itu cukup tersedia di Unit Sanitasi dan Lingkungan. 4. Struktur Birokrasi Mekanisme pelaksanaan
(SPO) pengelolaan B3 ini belum berjalan dengan baik
contohnya tentang pengadaan barang terkait pengelolaan B3 yang dirasakan berbelit-belit sehingga menghambat ketersediaan barang di lapangan. SPO-SPO yang ada perlu dilakukan review dan revisi sesuai standar SPO yang telah ditetapkan sehingga tidak membingungkan. Selain itu ada pula informan yang masih belum jelas bagaimana mekanismenya seperti penangan tumpahan bahan mudah terbakar menurut SPO dan juga mekanisme pengiriman barang yang selama ini tidak pernah ada formulirnya penerimaan barang untuk ruangan. Selain itu, masih ada di lapangan yang tidak mengetahui SPO-SPO terkait pengelolaan B3 karena belum mendapatkannya dari korporat, sehingga untuk mekanisme pelaksanaannya berpedoman pada MSDS. Setelah akreditasi JCI tidak pernah dilakukan koordinasi di lingkup Tim Pokja FMS. Koordinasi di lapangan antar unit terkait belum berjalan dengan baik seperti antara Unit Sanitasi dan Lingkungan, K3RS dan Instalasi Farmasi maupun pihak user. Selain itu, koordinasi terkait pengusulan anggaran masih belum efektif karena Bagian anggaran selaku Staf Pengendali Anggaran sering terlambat menginformasikan ketersediaan anggaran. Pada unsur pengguna, koordinasi selama ini hanya dalam bentuk laporan saja baik ke K3RS maupun unit Sanitasi dan Lingkungan dan adapula yang menyatakan bahwa koordinasi baru intens dilakukan bila ada JCI. Menurut data dari K3RS, hanya terdapat satu laporan tentang satu insiden tumpahan B3 dan enam kejadian tertusuk jarum serta tiga insiden dalam pengelolaan limbah setelah akreditasi JCI, sedangkan di lapangan menurut beberapa informan sering terjadi insiden terutama tertusuk jarum karena pemilahan B3 yang tidak sesuai prosedur. Dokumen hasil koordinasi seperti notulen rapat tidak ada karena tidak pernah ada Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 11
pertemuan untuk pembahasan
tentang pengelolaan B3 di Tim Pokja FMS focus area
pengelolaan B3 pasca akreditasi JCI. Monitoring yang dilakukan belum berjalan dengan optimal, karena keterbatasan SDM dengan wilayah RSCM yang sangat luas serta budaya kerja dari pegawai itu sendiri. Monitoring yang dilakukan oleh Unit Sanitasi dan Lingkungan sangat kurang terutama dalam pendistribusian barang B3. Monitoring sangat lemah terbukti banyaknya temuan di lapangan oleh direksi. Pada pelaksanaan di ruangan, monitoring dilakukan baik intern maupun ekstern Menurut beberapa informan unsur pengguna, monitoring intern yang mereka lakukan dengan survey atau supervisi sudah berjalan secara rutin, tetapi untuk monitoring terkait pengelolaan B3 dari pihak korporat mereka kurang mengetahuinya. Bahkan menurut beberapa unsur pengguna, monitoring dari korporat tidak pernah dilakukan kecuai bila menghadapi JCI.
Pembahasan 1. Komunikasi Meski seluruh informan pada dasarnya telah mengetahui pengelolaan kebijakan B3, namun tidak semua informan memahami dengan benar bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan sesuai dengan yang distandarkan. Sosialisasi yang telah dilakukan kurang maksimal dan efektif karena sosialisasi yang diselenggaarakan korporat hanya pada persiapan akreditasi JCI saja dan belum seluruh unit kerja terpapar dengan sosialisasi. Sosialisasi dilakukan tidak secara berkelanjutan bahkan tidak ada evaluasi setelah sosialisasi dilakukan. Banyak faktor yang menyebabkan sosialisasi berjalan kurang baik diantaranya tidak semua petugas yang mengikuti sosialisasi adalah Penanggung Jawab B3, kesibukan para penanggung jawab B3 untuk mengikuti sosialisasi sehingga tidak maksimal, tempat sosialisasi yang cukup sulit didapat karena berbenturan dengan kegiatan sosialisasi sejenis dan biaya untuk sosialisasi yang terbatas . Selain itu, masih ada Penanggung Jawab B3 di ruangan tidak
mengetahui isi dari kebijakan karena tidak mendapatkan SK kebijakan.
Dengan demikian proses transmisi yang dilakukan belum berjalan dengan baik, dikarenakan sosialisasi yang dilaksanakan masih belum maksimal dan masih ada yang kurang tepat sasaran. Sosialisasi yang kurang baik tentu akan mempengaruhi pada proses transmisi antara pembuat kebijakan dengan pelaksana di lapangan. Kebijakan pengelolaan B3 RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo belum mencakup tentang kejelasan wewenang dari unit-unit yang terkait dalam pengelolaan B3 yang mengacu Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 12
pada hazardous material plan FMS JCI. Dengan tidak jelasnya siapa atau unit mana saja yang bertanggung jawab dalam setiap tata laksana kebijakan akan dapat menimbulkan kebingungan pada pelaksana di lapangan dan bahkan dapat terjadi saling lempar tanggung jawab diantara pada pihak manajemen. Selain itu, dinamika penggunaan B3 di lapangan perlu diperhatikan karena selama ini RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo tidak rutin melakukan updating daftar B3 yang digunakan. Bila daftar B3 tidak dilakukan update, maka akan berisiko bagi pelaksana di lapangan akan keselamatan kerjanya karena tidak mengetahui bahan berbahaya baru yang digunakan pada saat itu. Disamping itu, masih ada pengguna di lapangan yang belum mengetahui isi dari kebijakan maupun SPO, menyebabkan banyaknya pelaksana di lapangan kurang memahami kebijakan pengelolaan B3 yang benar sehingga dapat menghambat dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa kejelasan dalam kebijakan pengelolaan B3 yang diterbitkan oleh direksi belum baik , secara isi yang belum lengkap dan penyampaiannya ke lapangan yang belum optimal. Kebijakan pengelolaan B3
di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo belum berjalan
dengan konsisten, terbukti banyak temuan pengelolaan B3 di lapangan yang tidak sesuai dengan prosedur atau standar yang telah ditetapkan. Faktor penyebab inkonsisten pelaksanaan kebijakan ini diantaranya adalah faktor keterbatasan sumber daya dan prilaku pelaksana kebijakan. Beberapa contoh inkonsisten dalam impementasi adalah masih ada vendor yang tidak menyertakan symbol, label dan MSDS sementara dalam peraturan telah jelas bahwa setiap kemasan B3 yang dikirim oleh vendor harus dilengkapi dengan simbol dan label serta MSDS nya, permasalahan ini pun disebabkan kurang tegasnya pihak pengendali B3 yaitu Instalasi Farmasi dan Panitia Peneriman Barang yang meloloskan kemasan B3 tersebut. Untuk mengantisipasinya, Unit Sanitasi terpaksa memfasilitasi pengadaan simbol dan label serta MSDS tersebut. Selain itu terdapat beberapa ruangan yang masih mencampurkan penyimpanan B3 dengan barang lain dalam satu lemari penyimpanan. Dalam kebijakan jelas bahwa barang B3 tidak boleh disatukan dengan barang lain dalam satu penyimpanan dan lemari penyimpanannya pun harus terbuat dari logam tahan api. Penyimpanan B3 yang tidak sesuai ini diantaranya disebabkan tidak luas ruangan yang kecil sehingga tidak ada ruang untuk lemari penyimpan B3, kurangnya pemahaman petugas dalam penyimpanan B3 dan prilaku dari petugas yang kurang peduli . Disamping itu, adapula informan yang berpendapat bahwa kebijakan pengelolaan B3 ini akan konsisten bila ada akreditasi JCI. Hal ini tentu saja dapat menjadi penghambat yang cukup besar sehingga implementasi kebijakan tidak berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian, konsistensi pelaksanaan kebijakan Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 13
pengelolaan B3 ini masih rendah karena faktor keterbatasan sumber daya maupun karena prilaku pelaksana di lapangan. 2. Sumber Daya Jumlah mapun kualitas (kompetensi) SDM dalam pengelolaan B3 pada pihak manajemen atau korporat secara umum masih kurang bila dibandingkan dengan banyaknya jenis B3 yang dikelola dan luasnya area rumah sakit. Dengan kurangnya jumlah tenaga mempengaruhi pada kualitas pengawasan di lapangan yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan. Dari segi kompetensipun tenaga di korporat masih kurang dan perlu ditingkatkan untuk mengimbangi kemajuan ilmu maupun teknologi di lapangan. Hampir di seluruh unit pengguna lebih terkendala dengan kualitas atau kompetensi pelaksana di lapangan. Latar belakang pendidikan yang berbeda dan tingkat profesionalisme yang masih rendah yang sering menjadi permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya temuan-temuan di lapangan yang disebabkan kurang kompetennya petugas dalam pengelolaan B3 meskipun mereka telah diberikan pelatihan ataupun sosialisasi. Sekitar 81 % Penanggung Jawab B3 yang telah mendapatkan pelatihan sebagai trainer pengelolaan B3 yang diselenggarakan oleh korporat. Hal inilah menjadi kendala bagi penanggung jawab B3 lain yang belum mengikuti pelatihan untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara baik dan benar. Dengan demikian, kondisi SDM masih kurang dari segi jumlah terutama pada pihak manajemen dan kurang dari segi kualitas, sehingga menjadi kendala yang cukup berat dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan B3 di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo. Fasilitas untuk menunjang pengelolaan B3 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo belum cukup memadai. Misalnya lemari penyimpanan yang kurang atau tidak memenuhi syarat, eye shower yang kurang atau tekanan airnya yang tidak maksimal , spill kit yang kosong atau kurang lengkap, safety box yang kosong, APD yang kurang atau tidak lengkap dan kantong plastik B3 yang kurang. Hal ini dapat menghambat dalam implementasi kebijakan di lapangan. Keterlambatan pengadaan fasilitas untuk pengelolaan B3 di lapangan sering menghambat dalam pelaksanaan kebijakan. Bahkan beberapa ruangan terpaksa menggunakan fasilitas yang lain yang ada misalnya safety box untuk menampung jarum suntik bekas, kekosongan safety box akibat keterlambatan pengadaannya memaksa petugas di lapangan mengganti dengan kantong platik. Hal ini tentu sangat membahayakan keselamatan petugas terutama petugas yang menagani pembuangan ke TPS. Sehingga tak jarang terjadi insiden tertusuk jarum karena pengumpulan sampah yang tidak sesuai prosedur tersebut. Ada beberapa faktor penyebab kurang memadainya fasilitas untuk pengelolaan B3 tersebut. Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 14
Diantaranya terbatasnya anggaran yang tersedia dan prilaku petugas yang tidak segera melaporkan ke korporat bila fasilitas kosong dan juga kondisi ruangan yang sempit sehingga tidak memungkinkan untuk menyediakan fasilitas penyimpanan B3. Dengan demikian, fasilitas penunjang dalam pengelolaan B3 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo kurang memadai dimana pengadaannya terbatas , kurang lengkap dan sering terlambat sehingga akan menyulitkan dalam dalam pelaksanaan pengelolaan B3 di lapangan. Anggaran yang dialokasikan untuk pengelolaan B3 ini sangat terbatas terbatas dan cukup jauh dari anggaran yang diusulkan oleh korporat maupun staf pengendali program. Perencanaan anggaran yang diusulkan hanya sekitar 80% anggaran yang terealisasi hal ini cukup menghambat dalam pengadaan fasilitas dan kegiatan diklat yang dibutuhkan dalam pengelolaan B3. Bila Korporat tidak dapat memenuhi fasilitas yang dibutuhkan oleh unit pengguna, maka beberapa unit pengguna membeli sendiri kebutuhannya melalui UMK. Anggaran sebenarnya dapat tercukupi bila diperlukan untuk akreditasi JCI terutama untuk safety. Dengan demikian, anggaran yang dialokasikan dalam pengelolaan B3 cukup terbatas dan menjadi faktor utama yang menghambat dalam pelaksanaan pengelolaan B3 di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo. 3. Disposisi Meskipun pihak korporat pada prinsipnya memiliki komitmen untuk melaksanakan kebijakan sesuai dengan yang ditetapkan namun adanya kendala dengan keterbatasan sumber daya cukup memberatkan dalam pelaksanaannya. Sedangkan di lapangan, meski terdapat penanggung Jawab B3 yang memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan kebijakan ini, namun banyak pula yang merasa kurang berkomitmen karena kebutuhan mereka dalam pengelolaan B3 sering tidak terpenuhi. Disamping itu, kurang kepedulian dan pengawasan dari pihak korporat yang dirasakan oleh pengguna dapat menimbulkan rasa malas atau ketidakpatuhan untuk melaksanakan pengelolaan B3 sesuai standar yang ditetapkan. Adapula user yang tidak memiliki komitmen karena sama sekali tidak mengetahui isi kebijakan pengelolaan B3. Hal inilah yang menyebabkan implementasi kebijakan tidak berjalan dengan efektif. Bila merujuk anggaran yang dialokasikan oleh pihak manajemen di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo untuk pengelolaan B3 baru 80% yang terpenuhi, secara hipotesis dapat dikatakan bila Pihak manajemen sendiri kurang cukup kuat untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan pengelolaan B3 tersebut untuk ukuran rumah sakit yang telah terakreditasi JCI. Dengan demikian, secara umum pelaksana pengelolaan B3 ini
kebijakan dari kebijakan
bisa dikatakan masih belum cukup kuat berkomitmen untuk
melaksanakan kebijakan pengelolaan B3 terutama pada unit-unit pengguna . Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 15
4. Struktrur Birokrasi Mekanisme pelaksanaan masih belum berjalan sesuai SPO, misalnya pengadaan barang untuk fasilitas penunjang dalam pengelolaan B3 yang berbelit-belit dalam birokrasinya sehingga memakan waktu yang cukup lama yang pada akhirnya berdampak pada keterlambatan dalam pengadaan di ruangan. Dalam SPO pengadaan barang telah ditetapkan bahwa unit mengusulkan langsung ke staf pengendali program kemudian diteruskan ke pengendali program setelah itu langsung ke Unit Pelayanan Pengadaan (ULP) dan seterusnya hingga ke Panitia Penerimaan, tetapi dalam kenyataannya itu unit mengusulkan ke staf pengendali program untuk pengkajian kemudian kembali lagi ke unit pengusul untuk persetujuan kemudian kembali lagi ke staf pengendali program dan seterusnya hingga ke panitia penerimaan. Hal inilah yang menjadi kendala bagi korporat dalam pengadaan barang . Dari isi SPO itu sendiri terlihat masih kurang jelas isinya misalnya siapa yang melakukan dari setiap langkah prosedur, ketentuan dalam menentukan penangan tumpahan bahan mudah terbakar tidak ada dan penangan tumpahan mercury yang juga terlalu berbelit-belit sehingga dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya.Dengan demikian, mekanisme pelaksanaan SPO masih belum berjalan dengan baik dan isi dari SPO-SPO itu sendiri masih kurang jelas dan penyusunannya masih belum lengkap. Koordinasi antar unit terkait yang dilakukan dalam pengeloaan B3 di RSCM selama ini dalam bentuk surat dan laporan. Meskipun banyak unit kerja yang tidak rutin mengirim laporan terkait pengelolaan B3. Kadang-kadang koordinasi dilakukan dalam bentuk pertemuan atau rapat bila ada kasus atau insiden yang sifatnya besar. Bahkan setelah akreditasi JCI tidak pernah sekalipun Tim Pokja FMS JCI focus area pengelolaan B3 melakukan koordinasi untuk membahas evaluasi kegiatan pengelolaan B3. Selama ini unit kerja berjalan sendiri-sendiri dalam menangani pengelolaan B3. Hal ini disebabkan diantaranya karena kesibukan dari masing-masing unit kerja, keengganan untuk berkoordinasi ataupun ketidak pedulian antar unit. Koordinasi oleh unit pengguna yaitu hanya dengan melaporkan bila terjadi permasalahan ke korporat sehingga dapat menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat pelaksanaan kebijakan. Dengan demikian, koordinasi antar unit terkait dalam pengelolaan B3 ini tidak berjalan dengan baik . Monitoring pengelolaan B3 di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo dilakukan baik oleh internal unit pengguna maupun ekternal dari korporat dalam hal ini oleh Unit Sanitasi dan Lingkungan dan Unit K3RS. Monitoring internal di beberapa unit
pengguna dilakukan
melalui survey ke lapangan secara rutin namun adapula ruangan yang karena kesibukkannya tidak secara rutin. Monitoring yang dilakukan oleh korporat terkait pengelolaan B3 sangat Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 16
lemah terutama dalam pendistribusian barang oleh Unit Sanitasi dan Lingkungan. Bahkan peranan K3RS dalam monitoring tidak berjalan sama sekali terkait unsafe condition dalam pengelolaan B3. Lemahnya monitoring dari korporat disebabkan diantaranya terbatasnya sumber seperti SDM dan fasilitas dan budaya kerja dari supervisor, sehingga di lapangan banyak temuan yang tidak sesuai dengan prosedur kebijakan. Dengan demikian, monitoring dalam pengelolaan B3 masih kurang maksimal di internal ruangan dan sangat lemah dari korporat.
Kesimpulan Proses transmisi kebijakan yang dilakukan belum berjalan dengan baik karena penyampaian informasi kebijakan melalui sosialisasi kurang maksimal. Kejelasan dalam kebijakan pengelolaan B3 yang diterbitkan oleh direksi belum baik dan beberapa hal belum tercakup sesuai dengan hazardous material plan FMS JCI. Konsistensi pelaksanaan kebijakan pengelolaan B3 masih rendah baik karena faktor keterbatasan sumber daya maupun prilaku petugas dilapangan. Kondisi SDM masih kurang dari segi jumlah terutama pada pihak manajemen dan kurang dari segi kualitas karena pelatihan yang telah dilakukan kurang maksimal. Fasilitas penunjang dalam pengelolaan B3 masih kurang memadai karena keterbatasan anggaran dan prilaku petugas. Anggaran yang dialokasikan dalam pengelolaan B3 masih kurang memadai atau cukup terbatas. Secara umum komitmen dari pelaksana kebijakan pengelolaan B3 ini masih belum cukup kuat terutama pada unit-unit pengguna, dimana sikap dan persepsi mereka kurang mendukung dalam pelaksanaan kebijakan ini. Mekanisme pelaksanaan SPO masih belum berjalan dengan baik karena masih ada pelaksanaan kegiatan tidak sesuai prosedur dan isi dari SPO masih kurang jelas karena ada beberapa SPO yang membingungkan serta SPO kurang lengkap karena beberaa kegiatan belum tercakup dalam SPO. Koordinasi antar unit terkait dalam pengelolaan B3 lemah atau kurang intensif, masih kurangnya pertemuan-pertemuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan pengelolaan B3 tersebut. Monitoring dalam pengelolaan B3 masih kurang maksimal di internal ruangan dan sangat lemah dari korporat karena keterbatan SDM dan budaya kinerja petugas pengawas.
Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 17
Saran 1. Meningkatkan kegiatan sosialisasi kebijakan pengelolaan B3 ini ke seluruh unit pengguna B3 sehingga para pelaksana kebijakan di lapangan dapat mengelola B3 ini sesuai dengan standar prosedur yang ditetapkan. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media cetak seperti poster, lefleat, Tabloid Halo Cipto dapat pula melalui media elektronik seperti milis RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo dan sosialisasi dilakukan secara berkelanjutan. 2. Meninjau ulang dan merivisi kembali kebijakan terutama untuk pembagian wewenang dari unit-unit terkait dalam pengelolaan B3 sesuai yang tercakup dalam hazardous material plan FMS JCI dan up date daftar B3 sesuai penggunaan di ruangan dan mengoptimalkan kegiatan sosialisasi ke unit-unit kerja agar pelaksana dilapangan dapat memahami isi dari kebijakan. 3. Memperbaiki segera kondisi SDM dengan memenuhi kebutuhan jumlah SDM (sesuai analaisis kebutuhan berdasarkan beban kerja) yang benar-benar sesuai kompetensi dan berupaya meningkatkan frekuensi pelaksanaan kegiatan diklat pengelolaan B3 bagi petugas terutama yang belum terpapar dengan pelatihan ataupun sosialisasi. 4. Memprioritaskan pengadaan fasilitas pengelolaan B3 . Terkait prilaku petugas, antara korporat dengan user harus lebih intensif dalam berkoordinasi dan pengawasan dari korporat untuk keberadaan fasilitas harus dilakukan secara optimal. 5. Rumah sakit lebih memperhatikan alokasi anggaran untuk kegiatan pengelolaan B3 dengan menambah anggaran yang dialokasikan karena terkait dengan keselamatan pegawai, pasien, pengunjung maupun lingkungan sekitar rumah sakit. 6. Meninjau ulang dan merevisi SPO sesuai dengan pedoman
penyusunan SPO yang
dikeluarakan oleh Kemenkes RI tentang kejelasan siapa yang bertanggung jawab dari setiap langkah-langkah prosedur dan mematuhi SPO yang berlaku seperti SPO pengadaan dan penerimaan barang B3 dan SPO pengadaan barang dan jasa terkait dalam waktu dari proses pengadaan. 7. Mengintensifkan koordinasi antar unit terkait dalam pengelolaan B3 melalui pertemuanpertemuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan terutama pada Tim Pokja FMS fokus area pengelolaan B3. 8. Mengoptimalkan pelaksanaan monitoring terutama oleh korporat
yang sebelumnya
dilakukan pemenuhan akan kebutuhan tenaga pengawas sesuai analisis berdasarkan beban kerja dan mengaktikan kegiatan audit kepatuhan penggunaan APD terkait pengelolaan B3
Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Page 18
sebagai evaluasi dalam implementasi kebijakan. Terkait budaya kerja dari petugas, perlu adanya pemberian reward dan punishment oleh pemimpin di unit tersebut.
Daftar Pustaka Komisi Akreditasi Rumah Sakit Tahun.(2012). Panduan Penyusunan Dokumen Akreditasi Winarno, Budi. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo Joint Commision International. (2011). Standar Akreditas Rumah Sakit. Edisi Ke-4, Jakarta: PERSI. PT Gramedia Pruss, A.,Giroult,E., & Rushbrook,P.(2005). Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan (Penerjemah: Munaya Fauziah, Mulia Sugiarti, & Ela Laelasari). Jakarta,EGC Republik Indonesia. (2001). Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun ________. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 012 Tahun 2012 Tentang Akreditasi Rumah Sakit ________.(2009). Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ________.(2010). Keputusan Menkes RI No. 1195/MENKES/SK/VIII/2010 tentang Lembaga/ Badan Akreditasi Rumah Sakit bertaraf internasional ________.(1999). Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ________. (2010). Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri (APD) ________. (2008). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Simbol dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun Tahir,
Arifin. (2011). Kebijakan Publik dan Transparansi Pemerintahan Daerah. Jakarta : PT. Pustaka Indonesia Press
Universitas Indonesia Analisis implementasi..., Dewi Retna Komara, FKM UI, 2014
Penyelenggaraan
Page 19