Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Analisis Iklim Mikro Tanaman Jagung (Zea Mays. L) pada Sistem Tanam Sisip Bunyamin Z, dan M. Aqil
Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Dr. Ratulangi 274 Maros, Sulawesi Selatan Abstrak Jagung merupakan salah satu komoditas strategis dan bernilai ekonomis tinggi karena selain sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras, jagung merupakan bahan baku industri pakan ternak dan rumah tangga. Pada beberapa tahun terakhir, kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan untuk pakan. Iklim mikro merupakan iklim di lapisan udara dekat dengan permukaan bumi dengan ketinggian ± 2 meter yang memberikan pengaruh langsung terhadap fisik tanaman. Iklim mikro sangat penting untuk dianalisis agar dapat diketahui sejauhmana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung pada sistem pertanaman sisipan. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui sejauhmana pengaruh iklim mikro terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung pada system pertanaman sisipan. Penelitian lapangan dilaksanakan di Kebun Percontohan (Exfarm) Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin pada bulan Mei hingga November 2005. Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk Rancangan Petak Terbagi (RPT) dengan 2 faktor perlakuan yaitu jenis varietas dan waktu penyisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Lamuru memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Waktu penyisipan saat panen efektif untuk mendapatkan cahaya yang optimal pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Terdapat interaksi antara varietas Lamuru dan waktu penyisipan saat panen terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tanam sisip pada perlakuan waktu sisip saat panen mempunyai iklim mikro/suhu lebih rendah jadi tanaman terhindar dari stress/panas. Kata kunci : Sistem Pertanaman Sisipan, jagung, iklim mikro
pat dipenuhi melalui pemanfaatan lahanlahan sub-optimal di luar jawa yang pada umumnya miskin hara, dan sering dilanda kekeringan (Dahlan, 2001) Kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat dalam hal bahan pangan dan kebutuhan akan daging dan susu menyebabkan tuntutan peningkatan produksi pada sektor pertanian dan peternakan. Hal ini dapat dilakukan dengan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan produksi yang lebih baik agar produksi jagung lebih meningkat adalah dengan penerapan pola tanam yang sesuai. Penetapan pola tanam sangat tergantung dari
Pendahuluan Jagung merupakan salah satu komoditas strategis dan bernilai ekonomis tinggi karena selain sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras, jagung merupakan bahan baku industri pakan ternak dan rumah tangga. Pada beberapa tahun terakhir ini, kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan untuk pakan. Namun demikian, konversi lahan pertanian yang subur untuk kepentingan non-pertanian terus berlangsung seperti perumahan, industri, bisnis dan infrastruktur. Konsekuensinya adalah kebutuhan lahan untuk pertanian hanya da294
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
varietas yang akan ditanam, teknik bertanam yang disesuaikan dengan ekosistem dan saat tanam yang cocok dengan tipe agroklimat lahan. Kondisi lahan budidaya pada lahan kering dengan musim hujan yang pendek dapat diterapkan pola tanam melalui teknik penanaman jagung dengan sistem tanaman sisipan yaitu menyisipkan tanaman baru sebelum tanaman lama dipanen agar bisa mempersingkat masa tanam pada musim hujan sehingga dalam musim hujan petani dapat memanen sebanyak tiga kali dan kebutuhan tanaman jagung terhadap air masih dapat terpenuhi. Iklim mikro adalah faktor-faktor kondisi iklim setempat yang memberikan pengaruh langsung terhadap fisik pada suatu lingkungan. Iklim mikro merupakan iklim di lapisan udara dekat permukaan bumi dengan ketinggian ± 2 meter, dimana pada daerah ini gerak udara lebih kecil karena permukaan bumi yang kasar dan perbedaan suhu lebih besar. Keadaan tanaman dapat mengakibatkan perlawanan iklim yang besar pada ruang sempit. Iklim mikro meliputi suhu, kelembaban dan cahaya. Pola tanam sisipan (relay cropping) merupakan pola tanam dengan cara menyisipkan satu atau beberapa jenis tanaman selain tanaman pokok (dalam waktu tanam yang bersamaan atau waktu yang berbeda). Contoh: jagung disisipkan kacang tanah, waktu jagung menjelang panen disisipkan kacang panjang (Anonim, 2005). Penggunaan varietas unggul terutama varietas yang dapat menekan seminimal mungkin pengaruh akibat interaksi intraspesies maupun inter-spesies merupakan langkah intensifikasi untuk tetap mempertahankan serta meningkatkan produksi tanaman jagung dengan model penanaman sisipan
terutama varietas yang dapat mengoptimalkan penggunaan cahaya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu penyisipan yang efektif untuk mendapatkan cahaya serta hasil panen yang optimal, menentukan varietas yang sesuai dengan waktu
Bahan dan Metode Lokasi penelitian yang dipilih untuk penelitian yaitu di Kebun Percobaan (Experimental Farm) Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar. Kegiatan penelitian ini berlangsung pada bulan Mei – November 2005. Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk Rancangan Petak Terbagi (RPT) dengan 2 faktor perlakuan. Petak utama adalah Varietas Jagung (V), yaitu Lamuru (v1), Pioner (v2), Sukmaraga (v3). Anak Petak adalah waktu Penyisipan (S), yaitu Saat Panen (s0), 1 Minggu Sebelum Panen (s1), 2 Minggu Sebelum Panen (s2), dan 3 Minggu Sebelum Panen (s3), sehingga didapatkan 12 kombinasi perlakuan. Pelaksanaan penelitian meliputi persiapan lahan, penanaman tanaman pokok yaitu jagung varietas Srikandi Kuning (masa panen 90 hari/12 minggu), selanjutnya pada minggu ke-9, dilaksanakan penanaman sisipan pertama (S3) sesuai perlakuan dan seterusnya sampai penyisipan saat panen (S0). Komponen pengamatan meliputi aspek iklim mikro dan produksi (a) suhu udara mingguan di sekitar tanaman sela; (b) intensitas radiasi surya yang masuk dalam lingkungan pertanaman diukur pada saat penyisipan dengan menggunakan Cobe Solarimeter setiap minggu pukul 7.30, 13.30 dan17.30, Suhu Udara (oC); (c) intensitas radiasi surya (kal.cm-2. detik-1); (d) produksi (ton/ha), Pengukuran 295
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
dilakukan setiap minggu selama ± 5 menit pada ketinggian 100 cm, hasil pengukuran termometer bola kering pada tiga waktu pengamatan dapat digunakan untuk mengetahui suhu udara mingguan rata-rata sebagai berikut (persamaan dasar diberikan oleh Handoko (1994) dan digunakan untuk menghitung suhu udara mingguan rata-rata), (f) Kelembaban udara (%). Diukur setiap minggu pada pukul 7.30, 13.30, 17.30 dengan menggunakan termometer. Hasil pengukuran termometer bola basah dan termometer bola kering digunakan untuk menentukan kelembaban nisbi udara dengan menggunakan tabel kelembaban (%) untuk psikometer sangkar (Hasan et al, 1992). Tmingguan
Hasil dan Pembahasan Tabel 1 menunjukkan bahwa penanaman saat panen menghasilkan rata-rata intersepsi radiasi surya pada tanaman jagung tertinggi (42, 41 kal.cm-2.detik-1) dan berbeda nyata dengan waktu penyisipan 1 minggu, 2 minggu dan 3 minggu sebelum panen. Analisis sidik ragam intersepsi radiasi surya menunjukkan bahwa penggunaan berbagai varietas tidak berpengaruh nyata, waktu penyisipan sangat berpengaruh nyata sedangkan interaksi antara varietas dan waktu penyisipan tidak berpengaruh nyata terhadap intersepsi radiasi surya pada tanaman jagung. Gambar 1 menunjukkan bahwa varietas Lamuru menghasilkan rata-rata suhu udara basah pada tanaman jagung tertinggi
=
2.T 7.30 T12.30 T12.30 4 Dimana : T7.30 = T12.30 = T16.30 =
(26,02 C) dan berbeda nyata dengan varietas Pioner, tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Sukmaraga.
suhu T BK pukul 7.30 suhu T BK pukul 13.30 suhu T BK pukul 17.30
Tabel 1. Rata-rata intersepsi radiasi surya (kal.cm-2.detik-1) pada tanaman jagung Waktu Penyisipan (Minggu Sebelum Panen)
Perlakuan
s0
s1
s2
s3
Lamuru
(v1)
42,93
37,93
38,15
40,33
Pioner
(v2)
42,37
30,74
32,41
35,96
Sukmaraga
(v3)
41,93
32,78
35,44
38,22
Rata-rata
42,41a
33,82c
35,33c
38,17b
NP BNT (0,05)
4,1018
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT =0,05
296
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Gambar 1. Grafik rata-rata suhu udara (oC) basah pada tanaman jagung
Analisis sidik ragam suhu udara basah
Gambar 2 menunjukkan bahwa varie-
menunjukkan bahwa penggunaan berbagai
tas Lamuru menghasilkan rata-rata suhu
varietas berpengaruh nyata, waktu penyisipan
udara kering pada tanaman jagung tertinggi
serta interaksi antara varietas dan waktu
(31,67 C) dan berbeda nyata dengan varietas
penyisipan tidak berpengaruh nyata terhadap
Pioner, tetapi tidak berbeda nyata dengan
suhu udara basah pada tanaman jagung.
varietas Sukmaraga.
Gambar 2. Grafik rata-rata suhu udara (oC) kering pada tanaman jagung
297
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Analisis sidik ragam suhu udara kering menunjukkan bahwa penggunaan berbagai varietas berpengaruh nyata, waktu penyisipan serta interaksi antara varietas dan waktu penyisipan tidak berpengaruh nyata terhadap suhu udara kering pada tanaman jagung.
Bobot biji per tanaman yang lebih berat akan meningkatkan pula bobot biji tanaman secara kuantitas dalam satu petakan (3,78 kg) yang pada akhirnya meningkatkan bobot biji per hektar (1,89 ton). Penanaman dengan waktu penyisipan yang berbeda (saat panen, 1
Tabel 2. Rata-rata bobot biji tanaman jagung per petak (kg) dan hektar (ton) Perlakuan
Waktu Penyisipan (Minggu Sebelum Panen) s0
s1
s2
s3
Lamuru
(v1)
3,67 (1,83)
2,67 (1,33)
3,00 (1,50)
3,33 (1,67)
Pioner
(v2)
3,33 (1,67)
2,00 (1,00)
2,33 (1,17)
2,67 (1,33)
Sukmaraga
(v3)
4,33 (2,17)
2,67 (1,33)
2,67 (1,33)
3,00 (1,50)
Rata-rata
3,78a (1,89)
2,44b (1,22)
2,67b (1,33)
3,00b (1,50)
NP BNT (0,05)
0,5718 (0,2859)
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT =0,05 Angka–angka yang berada dalam tanda kurung adalah hasil konversi ton per hektar dari kg per petak
Tabel 2 menunjukkan bahwa penanaman saat panen menghasilkan rata-rata bobot biji tanaman jagung per petak (3,78 kg) dan per hektar (1,89 ton) terberat dan berbeda nyata dengan waktu penyisipan 1 minggu, 2 minggu dan 3 minggu sebelum panen. Analisis sidik ragam bobot tongkol per petak dan per hektar menunjukkan bahwa penggunaan berbagai varietas tidak berpengaruh nyata, waktu penyisipan sangat berpengaruh nyata, sedangkan interaksi antara varietas dan waktu penyisipan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot tongkol tanaman jagung per petak per hektar.
minggu, 2 minggu dan 3 minggu setelah panen) memperlihatkan pula laju pertumbuhan, aktivitas fisiologis serta tingkat produksi yang berbeda. Waktu penyisipan sebagai faktor tunggal yang diteliti memberikan pengaruh pada komponen-komponen pengamatan bobot tongkol per petak dan per hektar, dan intersepsi radiasi surya yang diterima tanaman. Pengaruh yang diperlihatkan pada komponenkomponen tersebut adalah nyata sampai sangat nyata akibat adanya perbedaan waktu penyisipan. Fitter dan Hay (1998), mengemukakan bahwa sebagian besar tanaman menunjukkan gejala etiolasi pada keadaan gelap, 298
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
selanjutnya menurut Goldsworthy dan Fisher (1992) bahwa kelakuan pertumbuhan yang teretiolasi dalam keadaan ternaungi kelihatannya lebih disebabkan oleh perubahan kualitas cahaya ke arah merah jauh (FR) dari pengurangan intensitas cahaya itu sendiri. Kemudian Chang (1968) dalam Nasir 2001); Salisbury dan Ross (1995) dan Jones (1992) dalam Haris (1999), menjelaskan lebih lanjut bahwa merah jauh (FR) dapat menyebabkan pemanjangan batang. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa pengaruh naungan itu (etiolasi) dianggap disebabkan oleh peningkatan auksin, yang bekerja secara sinergis dengan giberelin, perusakan auksin karena cahaya lebih sedikit pada tegakan yang ternaungi, karena penyinaran yang kuat menurunkan auksin dan mengurangi tinggi tanaman. Ditambahkan oleh Harjadi (1991), bahwa auksin bergerak ke bawah sepanjang batang secara seragam; tetapi cahaya dapat menembus ke dalam dan akibatnya akan merusak atau mengalirkan uksin ke arah lain dari yang terkena cahaya. Akibatnya pemanjangan batang berjalan jauh lebih cepat di sisi yang jauh dari cahaya. Reaksi ini memerlukan cahaya dengan intensitas rendah sekali, jadi cahaya sedikitpun dapat menghambat etiolasi. Ekspresi (fenotipe) yang berbeda dan kemudian ditampilkan merupakan variasi genetik dari masing-masing varietas yang kemudian ditumbuhkan pada perlakuan (waktu penyisipan) yang berbeda-beda, dimana perlakuan yang diberikan menciptakan suatu lingkungan mikro yang berbeda, dalam hal ini waktu penyisipan berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang diterima akibat adanya efek naungan dari tegakan tanaman-tanaman terdahulu. Menurut Sitompul dan Guritno
(1995), tanaman yang kekurangan cahaya akan mempunyai jumlah sel yang lebih sedikit dengan kondisi habitus tanaman yang lebih tinggi daripada tanaman yang memperoleh banyak cahaya. Hal ini diduga akibat pengaruh etiolasi. Intersepsi cahaya yang berkurang pada tanaman yang ternaungi mengakibatkan tingginya nilai indeks luas daun (> 4) yang menggambarkan keadaan saling menutupi di antara daun pada tanaman jagung yang disisipkan sebelum panen. Hal ini berarti bahwa daun-daun sudah banyak yang saling menaungi dan berarti daun yang berada pada lapisan bawah menerima cahaya di bawah titik jenuh.
Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tanam sisip pada saat panen menyebabkan suhu udara lebih rendah dibandingkan waktu penyisipan lainnya sehingga tanaman dapat terhindar dari stress/panas. Selain memperbaiki iklim mikro, tanam sisip pada saat panen mendapatkan hasil yang lebih tinggi.
Daftar Pustaka Anonim. 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Banziger M., Edmeades GO, Beck D., Bellon M. (2000) Breeding for drought and nitrogen stress tolerance in maize: From theory to practice. Mexico, D.F.: CIMMYT Dahlan, M., Slamet. 1992. Pemuliaan Tanaman Jagung. dalam Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman I. (Penyunting: Kasno, Dahlan daN Hasnan). Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur.
299
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Dahlan. M. 2001. Pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap kekeringan. Dalam Prosiding International Conference on Agricultural Development NTT. Timor Timur and Maluku Tenggara. 11-15 Desember 2001. Kupang.
Hebert, Y., E. Guingo, and O. Laudet. 2001. The Response of root/shoot partitioning and root morphology to light reduction in maize genotypes. Crop Sci.41:363 – 371. Jumin, HB., 1994. Dasar-Dasar Agronomi. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Djaenuddin.D.S., Basuni,S.s., Hardjowigeno, H. Subagyo., M.Sukardi., Ismangun Marsudi., N. Suharta., L.Hakim., Widagdo, J.Dai., V.Suwandi., S.Bachari., dan E.R Jordens. 1994. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Pertanian dan Tanaman Kehutanan (land Suitability For Agricultural nd Silvicultural Plants). Centre for Soil and Agriclimate Research. Bogor.
Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta. Mitchell, R. L. 1970. Crop Growth and Culture. Iowa State University Press. Nasaruddin. 2002. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jurusan Budidaya Tanaman. Fakultas Pertanian dan Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Fernando H. A., S. A. Uhart, and M. I. Frugone. 1993. Intercepted Radiation at Flowering and Kernel Number In Maize: Shade Vesus Plant Density Effect. Crop Scl, 33: 482 – 485.
Qian, Y.L., dan M.C. Engelke. 1999. Influence of Trinexapac-Ethyl on Diamond Zoysiagrass in a Shade Enviroment. Crop Sci. 39:202 – 208.
Gardner, F., RB Pearce., R. L Mitchell., 1991. Physiology Of Crop Plants (Fisiologi Tanaman Budidaya : Terjemahan Herawati Susilo). Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Ruchjaniningsih, Ali Imran, Muh. Thamrin dan M. Zain Kanro, 2000. Penampilan Fenotipik dan Beberapa Parameter Genetik Delapan Kultivar Kacang Tanah pada Lahan Sawah. Zuriat Komunikasi Pemuliaan Indonesia Jatinangor, Sumedang. 11(I) : 8-14.
Goldsworthy, P.R., dan N.M Fisher. 1992. The Physiology Of Tropical Field Crops (Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik, Terjemahan Tohari). Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Salisbury B. F., C. W. Ross. 1995. Plant physiology. (Fisiologi Tumbuhan: Terjemahan Diah R Lukman dan Sumaryono). Jilid II. Penerbit ITB, Bandung.
Harjadi, S, S. 1991. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.
300