ANALISIS HUKUM TERHADAP MONEY LAUNDERING DALAM KAITANNYA DENGAN PENERAPAN RAHASIA BANK PADA PERBANKAN INDONESIA
Penulisan Hukum (SKRIPSI)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Ike Dwi Setiawati NIM: E. 0004187
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) ANALISIS HUKUM TERHADAP MONEY LAUNDERING DALAM KAITANNYA DENGAN PENERAPAN RAHASIA BANK PADA PERBANKAN INDONESIA
Disusun oleh : IKE DWI SETIAWATI NIM : E. 0004187
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
Co. Dosen Pembimbing
DJUWITYASTUTI, S.H. NIP. 130 814 527
YUDHO TARUNO, S.H, M.Hum. NIP. 132 310 593
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) ANALISIS HUKUM TERHADAP MONEY LAUNDERING DALAM KAITANNYA DENGAN PENERAPAN RAHASIA BANK PADA PERBANKAN INDONESIA Disusun oleh : IKE DWI SETIAWATI NIM : E. 0004187
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari : Rabu Tanggal : 28 Mei 2008
TIM PENGUJI
1.
Hernawan Hadi, S.H, M.Hum. : ...................................... Ketua
2.
Tuhana, S.H. Msi. Sekretaris
: .......................................
3.
Djuwityastuti, S.H. Anggota
: ......................................
Mengetahui : Dekan
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154
ABSTRAK IKE DWI SETIAWATI. E0004187. 2008. ANALISIS HUKUM TERHADAP MONEY LAUNDERING DALAM KAITANNYA DENGAN PENERAPAN RAHASIA BANK PADA PERBANKAN INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Penulisan Hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia dan menjelaskan hambatanhambatan yang muncul dalam penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia dan solusi penanggulangan dari faktor-faktor yang menghambat aparat penegak hukum dalam mengungkapkan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan kerahasiaan bank. Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam karya tulis ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif. Penelitian ini bersifat deskriptik-analitik, yaitu memaparkan secara lengkap gambaran tentang tindak pidana money laundering dan penerapannya, hubungannya di lapangan dengan ketentuan kerahasiaan bank, hambatan-hambatan dan penanggulangannya. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan, untuk selanjutnya dilakukan analisis terhadap hal tersebut dengan menggunakan teknik analisis data nonstatistik dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan penulis, dapat diperoleh kesimpulan bahwa dengan adanya ketentuan rahasia bank, kepentingan antara nasabah dan bank dapat terlindungi. Di satu sisi, rahasia bank merupakan hal yang wajib dilakukan oleh bank yang didahului oleh prinsip Know Your Customer (KYC) dan hal ini merupakan prinsip yang sangat mendukung bank dalam melakukan kegiatan usaha. Pada sisi yang lain, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang juga merupakan peratuan hukum yang harus ditegakkan oleh pihak penyidik dalam proses penyidikan dan penyelidikan terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini, kelemahan peraturan mengenai rahasia bank sudah bisa ditanggulangi dengan adanya UndangUndang Tindak Pidana Pencucian Uang, misalnya dengan adanya kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang istimewa dalam menerobos rahasia bank. Akan tetapi penerapan di lapangan masih terjadi penafsiran hukum yang berbeda antara pihak bank dengan penyidik, sehingga menimbulkan ambiguitas dan koordinasi yang tidak jelas di lapangan, terutama masalah birokrasi. Implikasi penelitian ini di lapangan terutama dalam aspek penegakan hukum bagi pihak penyidik yaitu dengan meminta kepada tersangka atau terdakwa untuk memberikan kuasanya kepada polisi agar dapat menembus ketentuan rahasia bank dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari bank yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil langkah yang tercepat, dengan mengingat birokrasi yang sangat ketat untuk mengajukan izin pembukaan rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia. Waktu pemberian izin membuka rahasia bank yang diberikan Gubernur Bank Indonesia adalah 14 (empat belas) hari, sementara teknologi yang sangat maju dapat menguntungkan tersangka atau terdakwa untuk memindahkan rekeningnya ke tempat lain hanya dalam hitungan menit. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya informasi atau bukti-bukti yang diperlukan oleh polisi untuk memproses tindak pidana tersebut.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohiim
Alhamdulillahirrobil’alamiin. Puji syukur kehadirat Allah SWT, teriringi ucap syukur penulis kepada Illahi Robbi, atas segala karunia yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Sholawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada suri tauladan, pemimpin dunia akhirat kita Rasulullah SAW. Melalui penulisan hukum ini, penulis ingin memunculkan wacana dalam kajian hukum, dengan menggali mengenai analisis hukum terhadap money laundering dalam kaitannya dengan penerapan rahasia bank pada perbankan indonesia. Ide dan proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan pihakpihak yang memberikan sumbangan pemikiran, tenaga maupun materiil. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan rasa syukur dan terimakasih kepada: 1.
Bapak Moh. Jamin, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini.
2.
Ibu Ambar Budi S, SH., M. Hum. selaku Kepala Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3.
Ibu Djuwityastuti, SH. selaku pembimbing penulisan hukum (skripsi) yang telah menyediakan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum (skripsi) ini.
4.
Bapak Yudho Taruno, SH., M.Hum. selaku pembimbing penulisan hukum (skripsi) yang telah menyediakan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum (skripsi) ini.
5.
Bapak Kristiyadi, SH., M.Hum. selaku pembimbing akademis, atas nasehat yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6.
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan hukum (skripsi) ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam masa depan penulis.
7.
Seluruh Karyawan Fakultas Hukum UNS, atas keramahan yang tiada duanya.
8.
Bapak dan ibuku tercinta, serta kakakku Ika Agung Saputra, atas segala kasih sayang dan dukungan tak ternilai, selalu. Semoga kebahagiaan senantiasa tercurah atas mereka, amin.
9.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini, terima kasih atas bantuan & dukungannya. Penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat
terbuka terhadap setiap kritik dan saran yang membangun. Semoga penulisan hukum ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Surakarta, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.…………………………………………………...
i
HALAMAN PERSETUJUAN.…………………………………………
ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………..
iii
ABSTRAK.………………………………………………………………
iv
KATA PENGANTAR.…………………………………..……………...
v
DAFTAR ISI.…………………..…………………………………………
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………………
1
B. Perumusan Masalah…………….…………………………………….
4
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………..
4
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………
5
E. Metode Penelitian…………………………………………………….
6
1.
Jenis Penelitian…………………………………………………..
6
2.
Jenis Data………………………………………………………..
6
3.
Sumber Data……………………………………………………..
6
4.
Teknik Pengumpulan Data………………………………………
7
5.
Teknik Analisis Data…………………………………………….
8
6.
Sistematika Penulisan Hukum (Skripsi)……… ……………….
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori……………………………………………………….
10
1. Tinjauan Mengenai Perbankan…………………………………….
10
a.
Pengertian Bank dan Perbankan………………………………
10
b.
Jenis-jenis Bank……………………………………………….
11
c.
Fungsi Bank…………………………………………………..
13
d.
Prinsip-prinsip Melakukan Kegiatan Usaha…………………..
14
2. Tinjauan Mengenai Rahasia Bank………………….……………...
18
a. Pengertian Rahasia Bank…………….………………………….
20
b.
Sejarah dan Perubahan Ketentuan Mengenai Rahasia Bank di Indonesia………………………………………………………
22
c.
Tujuan Rahasia Bank………………….………………………
31
d.
Pengecualian Terhadap Rahasia Bank…………..…………….
32
e.
Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Rahasia Bank…….……
34
f.
Kelemahan Ketentuan Rahasia Bank di Indonesia……..…….
36
3. Tinjauan Tentang Praktek Pencucian Uang (Money Laundering)…
38
a.
Pengertian Pencucian Uang atau Money Laundering…………
b.
Perbuatan yang Dapat Dipidana Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang……………………………….
c.
38
42
Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Tindak Pidana di Bidang Perbankan……………………………….….
B. Kerangka Pemikiran………………………………………….…….…
47 57
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Rahasia Bank Terhadap Pencucian Uang (Money Laundering)………………………………………………...
61
B. Hambatan dan Solusi Penerapan Rahasia Bank Terhadap Praktek Pencucian uang (Money Laundering)……………………………….
70
1. Hambatan-hambatan yang muncul dalam penerapan rahasia bank terhadap praktek Pencucian Uang (MoneyLaundering)……….…. 2.
70
Penanggulangan hambatan dalam penerapan asas kerahasiaan bank terhadap tindak pidana pencucian uang (Money Laundering)……
74
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………………
89
B. Saran………………………………………………………………….
92
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Perbankan merupakan salah satu lembaga kepercayaan masyarakat yang memegang peranan penting dalam sistem perekonomian masyarakat sehingga sering dikatakan bahwa bank merupakan pusat dari sistem keuangan. Dalam melakukan tugas tersebut, bank memfasilitasi aliran barang dan jasa dari produsen kepada konsumen maupun melakukan kegiatan keuangan untuk pemerintah dan masyarakat. Selain itu, bank dapat dikatakan sebagai media dalam implementasi berbagai kebijakan moneter yang ditetapkan oleh otoritas moneter, misalnya dalam penerapan kebijakan uang ketat (tight money policy) maupun peningkatan kredit kepada masyarakat. Realitas tersebut menunjukkan bahwa sistem perbankan dari suatu negara memegang peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian. Di dalam penerapan operasional transaksi keuangan perbankan itu sendiri, perlindungan hukum secara tidak langsung oleh dunia perbankan terhadap kepentingan nasabah penyimpan dana adalah suatu perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah khususnya penyimpan dana terhadap segala risiko kerugian yang timbul dari suatu kebijaksanaan atau timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank. Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat internal oleh Bank yang bersangkutan. Menyikapi urgensitas perlindungan nasabah tersebut, Bank menerapkan salah satu prinsip yaitu kerahasiaan Bank. Kerahasiaan Bank merupakan jiwa dari sistem perbankan yang didasarkan pada kelaziman dalam praktek perbankan, perjanjian atau kontrak antara bank dengan nasabah, serta pengaturan tertulis yang ditetapkan oleh negara. Perumusan tersebut adalah suatu pengakuan bahwa “kelaziman” merupakan dasar yang sangat kuat dari kewajiban bank untuk merahasiakan keterangan mengenai nasabahnya. Munculnya ketentuan mengenai rahasia bank itu sendiri dalam dunia perbankan, memuat beberapa alasan di antaranya adalah: Pertama, untuk
meyakinkan dan memberikan rasa aman kepada nasabah atas keterangan yang menyangkut rahasia pribadi ketika ia menyerahkan data-data pribadinya kepada bank atas dasar hubungan kontrak antara bank dengan nasabah. Penyerahan keterangan dan dokumen yang bersifat rahasia ini sudah tentu untuk keuntungan kedua belah pihak. Kedua, agar nasabah mau menyimpan uangnya di bank, maka rahasia pribadi tentang penyimpan dana simpanannya haruslah dirahasiakan. Ketiga, pengaturan rahasia bank di dalam Undang-Undang suatu negara biasanya didasarkan pada pola pikir dikotomis. Artinya, adanya negara atau pemerintah yang berkuasa di satu pihak dan adanya rakyat yang tunduk pada negara atau pemerintah di pihak lain. Pengaturan tersebut terutama dimaksudkan untuk membatasi campur tangan negara atau pemerintah pada kehidupan pribadi (privacy) masyarakat atau rakyat. Istilah rahasia bank sebenarnya mengacu kepada rahasia dalam hubungan antara bank dengan nasabahnya. Sedangkan rahasia-rahasia lain yang bukan merupakan “rahasia” antara bank dengan nasabahnya, sungguhpun juga bersifat “rahasia” tidak tergolong ke dalam istilah “rahasia bank” menurut UndangUndang Perbankan. Rahasia-rahasia lain yang bukan rahasia bank tersebut misalnya rahasia mengenai data dalam hubungan dengan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat(3) dan Pasal 33 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (Munir Fuady, 1999: 89). Terkait dengan rahasia bank dan seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya kejahatan di dunia perbankan, timbullah salah satu bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang secara terorganisir yang menggunakan Bank, sebagai tempat pemutihan atau pencucian uang (money laundering) yang dihasilkan dari bisnis ilegal, seperti perjudian, pelacuran, dan perdagangan minuman keras. Pengertian money laundering ini, pada awalnya hanya menyangkut uang dari perdagangan narkotika dan obat-obat sejenisnya secara bebas tetapi belakangan ini berkembang lebih jauh termasuk hasil kejahatan
yang
berasal
dari
korupsi,
penyuapan,
perdagangan
wanita,
perdagangan senjata, penyelundupan, perjudian, pornografi, imigran gelap dan
terorisme. Semua tindakan ini bertujuan agar uang kotor tersebut menjadi bersih atau tampak sebagai uang sah. Di dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang (money laundering)
itu
sendiri,
aparat
penegak
hukum
masih
sulit
dalam
mengungkapkannya, khususnya dalam kaitannya dengan prinsip kerahasiaan Bank yang dipegang teguh oleh perbankan. Hal lainnya juga disebabkan oleh profesionalisme aparat penegak hukum yang kurang memadai, dan format kejahatan money laundering itu sendiri masih merupakan ‘makhluk aneh’ bagi kita. Artinya, kejahatan tersebut adalah kejahatan dimensi baru dan bersifat transnasional. Ada beberapa faktor yang menghambat pengungkapan kasus-kasus money laundering, khususnya di Indonesia, antara lain adalah Pertama, sifat transnasional dari kejahatan money laundering itu sendiri, bahwa sering terjadi uang dari hasil suatu tindak pidana itu dicuci pada bank-bank yang ada di luar negeri. Kedua, sifat kerahasiaan bank yang tidak dapat memberikan data-data yang lebih akurat dan faktual terhadap dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang, hal ini disebabkan adanya benturan antara Pasal 40 sampai dengan Pasal 45, Pasal 47 dan Pasal 47A Undang-Undang No.7 Tahun 1992 juncto UndangUndang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan dengan Pasal 33 ayat (1) UndangUndang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketiga, masalah pembuktian jika terjadi tindak pidana pencucian uang. Contoh konkrit yang dianggap sebagai penghambat pengungkapan adanya tindak pidana pencucian uang adalah jika hanya ada dugaan adanya tindak pidana pencucian uang, penyidik tidak dapat mengetahui transaksi-transaksi dan kondisi keuangan nasabah yang berada di bank yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang secara akurat dan faktual sebelum seseorang tersebut dinyatakan sebagai terdakwa karena terbentur oleh rahasia bank. Dampak dari money laundering ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memberikan dampak bagi stabilitas ekonomi yang selanjutnya berdampak pula bagi stabilitas nasional. Konstruksi hukum yang ada seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Pasar Modal dan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Ekonomi lainnya termasuk
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang belum mampu menjerat karena sering kali berbenturan dengan asas kerahasiaan bank. Berdasarkan paparan di atas, penulis perlu mengadakan penelitian khusus mengenai penerapan rahasia bank dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang melalui penulisan hukum yang berjudul : “ANALISIS
HUKUM
KAITANNYA
TERHADAP
DENGAN
MONEY
PENERAPAN
LAUNDERING
RAHASIA
BANK
DALAM PADA
PERBANKAN INDONESIA”
B. PERUMUSAN MASALAH Rumusan masalah yang akan diangkat dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia?
2.
Hambatan-hambatan apa yang muncul dalam penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang serta solusi apa yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam penerapan rahasia bank?
C. TUJUAN PENELITIAN 1.
Tujuan Obyektif a.
Untuk mengetahui penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia.
b.
Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang muncul dalam penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) di Indonesia dan solusi penanggulangan faktor-faktor yang menghambat aparat penegak hukum dalam mengungkapkan praktek pencucian uang berkaitan dengan kerahasiaan bank.
2.
Tujuan Subyektif a.
Untuk memperoleh data dan pengetahuan sebagai hasil penelitian untuk menjawab permasalahan yang ada dalam rangka penyusunan penulisan hukum yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di bidang ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b.
Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman akan arti penting ilmu hukum dalam teori dan praktek.
c.
Untuk meningkatkan serta mendalami berbagai materi yang diperoleh di dalam maupun di luar perkuliahan.
D. MANFAAT PENELITIAN Suatu penelitian diharapkan akan memberikan manfaat yang berguna, khususnya bagi ilmu pengetahuan di bidang penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain : 1.
Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi perkembangan Hukum Perdata khususnya mengenai penerapan rahasia bank pada perbankan. b. Hasil penelitian ini diharapkan menambah referensi dan literatur kepustakaan di bidang Hukum Perdata dalam hal kejahatan perbankan. c. Hasil penelitian ini, dapat dipergunakan sebagai acuan terhadap penelitianpenelitian yang sejenis di kemudian hari.
2.
Manfaat Praktis a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. b. Dengan adanya hasil penelitian ini, dapat mengembangkan pemikiran, penalaran, pemahaman, tambahan pengetahuan serta pola kritis bagi penulis dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penelitian atau bidang ini.
C. METODE PENELITIAN Berbagai hal yang berkaitan dengan metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam karya tulis ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Perbandingan hukum e. Sejarah hukum (Soerjono Soekanto, 2006: 14)
2.
Jenis Data Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau fakta yang diperoleh dari buku-buku, dokumendokumen, peraturan perundangan-undangan, laporan, tori-teori, bahan-bahan kepustakaan dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan rumusan masalah pada penelitian ini.
3.
Sumber Data Sumber data merupakan tempat di mana data dari suatu penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder berupa dokumen dan catatan-catatan resmi (public documents and official records), yaitu dokumen peraturan perundangan, jurnal, buku-buku referensi dan media massa yang berkaitan dengan hal yang diteliti. Soerjono
Soekanto menulis dalam buku Pengantar Penelitian Hukum, membagi data sekunder menjadi tiga, yaitu : a.
Bahan Hukum Primer, yaitu
bahan-bahan hukum mengikat.
Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Perbankan. b.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu data yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dari penelitian ini yaitu buku-buku, peraturan pemerintah, keputusan menteri dan peraturan lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Perbankan.
c.
Bahan Hukum tersier atau penunjang yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya bahan dari internet, kamus, ensiklopedia dan sebagainya yang berhubungan dengan praktek pencucian uang dalam kaitannya dengan rahasia bank..
4.
Teknik Pengumpulan Data Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorikan menurut pengelompokan yang tepat. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan. Hal ini dilakukan dengan cara identifikasi literatur berupa buku-buku, peraturan perundangundangan, surat kabar, hasil penelitian, serta artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan
peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan Praktek Pencucian Uang dan Perbankan. 5.
Teknik Analisis Data Penganalisisan data merupakan tahap yang penting, karena tahap ini data yang sudah terkumpul akan diolah dan dianalisis guna memecahkan atau menjelaskan masalah-masalah yang telah dikemukakan di muka. Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap dari hasil studi kepustakaan, tahap berikutnya adalah tahap analisis data. Pada tahap inilah data dikerjakan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenarankebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, sedang data yang terkumpul bersifat kualitatif, maka dalam hal ini penulis menggunakan teknik analisis data non statistik. Analisis data non statistik ini dapat dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari secara utuh (Soerjono Soekanto, 1986:32).
E. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM (SKRIPSI) Gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum (skripsi) yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum adalah terdiri empat (4) Bab yang tiap bab terbagi dalam sub bagian dan daftar pustaka serta lampiran, untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini, yaitu: BAB I :
PENDAHULUAN Dalam Bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan hukum (skripsi).
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Pada Bab ini berisi tinjauan mengenai perbankan yang meliputi: pengertian bank dan perbankan, jenis-jenis bank, fungsi bank, prinsipprinsip melakukan kegiatan usaha. Kemudian akan dideskripsikan pula tinjauan mengenai rahasia bank yang meliputi: pengertian rahasia bank, sejarah dan perubahan ketentuan mengenai rahasia bank di Indonesia, tujuan rahasia bank, pengecualian terhadap rahasia bank, sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia bank, dan kelemahan ketentuan rahasia bank di Indonesia. Selain itu juga akan dipaparkan tinjauan umum tentang praktek pencucian uang (money laundering) yang meliputi: pengertian pencucian uang (money laundering), perbuatan yang dapat dipidana menurut Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana di bidang perbankan. Pada Bab ini juga berisi kerangka pemikiran serta skema alur pemikiran penelitian. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada Bab ini berisi pembahasan dan ulasan yang menjadi permasalahan yang tertera pada rumusan masalah atas penelitian. Pembahasan ini mencakup jawaban atas permasalahan yang ada yaitu penerapan rahasia bank terhadap pencuciaan uang (money laundering) di Indonesia, dan hambatan-hambatan yang muncul dalam penerapan rahasia bank terhadap tindak pidana pencucian uang serta solusi yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam penerapan rahasia bank.. BAB IV : PENUTUP Bab ini terdiri atas kesimpulan berupa jawaban dalam pembahasan di atas, dan saran-saran yang disampaikan oleh penulis sendiri mengenai pendapatnya setelah melakukan penelitian dan menulisnya dalam suatu penulisan hukum. DAFTAR PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI 1. TINJAUAN MENGENAI PERBANKAN a. Pengertian Bank dan Perbankan Bank merupakan bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara, bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari sistem keuangan dan pembayaran dunia. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, memberikan pengertian tentang bank, dimana pengertian tersebut juga tercantum di dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang persyaratan dan tata cara pemberian perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank yang menyatakan bahwa: “bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Dalam Black’s Law Dictionary, bank dirumuskan sebagai : “an institution, usually incopated, whose business to receive money on deposit, cash, checks or drafts, discount commercial paper, make loans, and issue promissory notes payable to bearer known as bank notes”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian bank dapat dirumuskan sebagai : “usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”. Rumusan mengenai pengertian bank yang lain, dapat ditemui dalam kamus istilah hukum Fockema Andreae yang mengatakan bahwa : “bank adalah suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga. Berhubung dengan adanya cek yang hanya dapat
diberikan kepada bankir sebagai tertarik, maka bank dalam arti luas adalah orang atau lembaga yang dalam pekerjaannya secara teratur menyediakan uang untuk pihak ketiga” (Hermansyah, 2005: 7-8). Berdasarkan
pengertian-pengertian
diatas
penulis
dapat
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan bank adalah suatu badan usaha yang bergerak di bidang jasa keuangan. Bank sebagai badan hukum secara yuridis merupakan subyek hukum yang dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga. Sedangkan pengertian perbankan menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi UndangUndang No. 10 Tahun 1998 adalah : “segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. Menurut Abdulrahman, bahwa: “perbankan (banking) pada umumnya ialah kegiatan-kegiatan dalam menjual/ membelikan mata uang, surat efek dan instrumen-instrumen yang dapat diperdagangkan. Penerimaan deposito, untuk memudahkan penyimpanannya atau untuk mendapatkan bunga, dan atau pembuatan, pemberian pinjaman-pinjaman dengan atau tanpa barang-barang tanggungan, penggunaan uang yang ditempatkan atau diserahkan untuk disimpan” (Hermansyah, 2005: 18). Berdasarkan pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perbankan ialah serangkaian peraturan mengenai proses kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh bank, yaitu mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan kegiatan usahanya secara keseluruhan. b. Jenis-jenis Bank 1)
Dilihat dari jenis usahanya a) Bank Umum Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan Bank Umum ialah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran. b) Bank Perkreditan Rakyat Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat ialah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 2)
Dilihat dari kepemilikannya a) Bank Milik Pemerintah Maksudnya ialah modal bank yang bersangkutan berasal dari pemerintah. b) Bank Milik Swasta (1) Swasta Nasional, artinya modal bank yang bersangkutan dimiliki oleh orang atau badan hukum Indonesia. (2) Swasta Asing, artinya modal bank tersebut dimiliki oleh warga negara asing dan atau badan hukum asing. Dalam hal ini ada kemungkinan bank ini merupakan kantor cabang dari negara asal bank yang bersangkutan. (3) Bank Campuran, ialah bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri.
3) Dilihat dari segi operasionalnya a) Bank Devisa Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk melakukan usaha perbankan dalam valuta asing. b) Bank Non Devisa Bank yang tidak dapat melakukan usaha dibidang transaksi valuta asing.
c. Fungsi Bank Keberadaan bank dalam kehidupan masyarakat memiliki peran yang cukup penting, karena lembaga perbankan khususnya bank umum merupakan intisari dari sistem keuangan setiap negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, lembaga pemerintah, swasta maupun perorangan untuk menyimpan dananya, melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian (Thomas Suyatno dkk, 1998: xi). Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Hal ini semakin tampak jika memperhatikan fenomena transaksi bisnis yang dilakukan oleh masyarakat khususnya di kalangan pebisnis dalam dekade terakhir ini sistem pembayaran yang dilakukan mengarah kepada sistem pembayaran giral yakni menggunakan instrumen surat berharga. Oleh karena itu, bank sebagai lembaga keuangan yang mengelola danadana masyarakat , sangat dituntut keahliannya untuk mengelola masalah ini, karena bila kepercayaan masyarakat berkurang terhadap lembaga keuangan ini masyarakat akan berlomba menarik dana yang disimpan di bank, dampak yang lebih jauh bisa dilihat, kegiatan perekonomian tidak berjalan sebagaimana mestinya (Sentosa Sembiring, 2000: 8). Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat . Dari ketentuan ini tercermin fungsi bank sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lacks of funds). Perbankan di Indonesia mempunyai tujuan yang strategis dan tidak semata-mata berorientasi ekonomis, tetapi juga berorientasi kepada hal-hal yang nonekonomis seperti menyangkut stabilitas nasional yang mencakup antara lain stabilitas politik dan stabilitas sosial. Hal ini diatur
dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak (Hermansyah, 2005: 19). d. Prinsip-Prinsip Melakukan Kegiatan Usaha 1) Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle) Perlindungan hukum secara tidak langsung oleh dunia Perbankan terhadap kepentingan nasabah penyimpan dana adalah suatu perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana terhadap segala risiko kerugian yang timbul dari suatu kebijaksanaan atau timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank. Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat internal oleh Bank yang bersangkutan (Hermansyah, 2005: 124-125). Menurut ketentuan Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 dikemukakan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Dari ketentuan ini, menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh Bank dalam menjalankan
kegiatan
usahanya.
Prinsip
kehati-hatian
tersebut
mengharuskan pihak Bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan
perundang-undangan
di
bidang
Perbankan
berdasarkan
profesionalisme dan itikad baik serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 di atas, dapat pula ditemukan pasal lain di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang mempertegaskan kembali mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam setiap kegiatan usaha Bank, yaitu dalam Pasal 29 ayat (2). Pasal 29 ayat (2) ini mengemukakan bahwa:
"bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehatian-hatian". Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) terkandung arti perlunya diterapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka penyaluran kredit atau pembiayaan Syariah kepada nasabah debitur. Selengkapnya ketentuan tersebut mengatakan bahwa: "dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank". Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) di atas tentu berhubungan erat dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4), karena bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya. Adapun ketentuan tersebut menyatakan bahwa: “untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”. Berdasarkan uraian mengenai prinsip kehati-hatian diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa tidak ada alasan apa pun juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian, yang berarti bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus berdasarkan pada peraturan perUndang-Undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 2) Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer/ KYC) Sebagai salah satu jalan masuk uang hasil tindak kejahatan, bank atau perusahaan jasa keuangan lain harus mengurangi risiko dipergunakan sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah,
serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction) yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank atau perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah atau lebih dikenal dengan Know Your Customer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak hanya penting untuk memberantas praktek pencucian uang, akan tetapi juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai resiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party. Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain harus mengenali nasabah, agar tidak terjerat dalam kejahatan pencucian uang. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang terdapat satu bagian khusus, yaitu Bagian Kedua dan Bab IV (Pasal 17) yang memuat aturan mengenai keharusan bagi penyedia jasa keuangan untuk menerapkan prinsip mengenal identitas nasabah, yaitu prinsip yang secara internasional dikenal sebagai Know Your Customer (KYC) principle atau rule. Pengaturan mengenai keharusan bagi penyedia jasa keuangan untuk menerapkan prinsip mengenal identitas nasabah atau Know Your Customer (KYC) principle dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, Bank Indonesia telah terlebih dahulu mewajibkan penerapan prinsip tersebut bagi bank-bank dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 sebagaimana kemudian telah diubah pada tanggal 13 Desember 2001. Dengan kata lain, Undang-Undang tersebut mengambil alih, sehingga dengan demikian memperkuat dasar hukum, ketentuan bagi bank untuk menerapkan KYC Principle (Sutan Remy Sjahdeini, 2007: 191). Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001, Prinsip Mengenal Nasabah sendiri adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. Pengenalan terhadap nasabah harus dilakukan mulai dari identitas nasabah, prosedur
penerimaan nasabah, pemantauan nasabah secara berkelanjutan, dan kemudian pelaporan kepada pihak yang berwenang. Berdasarkan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah tersebut, bank wajib menetapkan beberapa hal, yakni: a. Kebijakan penerimaan nasabah; b. Kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah; c. Kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah; d. Kebijakan dan prosedur manajemen resiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Berdasar Peraturan Bank Indonesia tersebut, sebelum melakukan hubungan dengan nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai : a. Identitas calon nasabah; b. Maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan nasabah dengan bank; c. Informasi lain untuk dapat mengetahui profil calon nasabah; d. Identitas pihak lain dalam hal calon nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain. Berkaitan dengan identitas nasabah, Undang-Undang tindak pidana pencucian uang telah mewajibkan kepada setiap orang atau korporasi yang menyimpan dana di bank dalam bentuk simpanan, menyampaikan identitasnya secara lengkap dan benar. Karena ada kemungkinan nasabah akan melakukan duplikasi nama, pemalsuan nama dan cara lainnya untuk mengelabui bank atau perusahaan jasa keuangan lain. Bank atau perusahaan jasa keuangan lain harus memperoleh keyakinan mengenai identitas nasabah baik perorangan maupun korporasi. Selain itu bank atau perusahaan jasa keuangan lain juga harus melakukan verifikasi terhadap identitas nasabah. Apabila nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain maka identitas pihak lain tersebut juga wajib diminta dan diverifikasi. Apabila terdapat prosedur yang mengharuskan adanya pertemuan dengan nasabah langsung (face to face meeting), maka hal
tersebut dilakukan sejak dimulainya hubungan usaha. Dengan demikian bank atau perusahaan jasa keuangan lain dapat membuktikan identitas nasabah sesuai dengan dokumen pendukungnya (verifikasi fisik). Apabila seseorang memberikan identitas palsu saat akan melakukan hubungan usaha dengan bank, hal tersebut mencerminkan itikad yang tidak baik dari calon nasabah tersebut, dan bertujuan agar penegak hukum sulit melakukan penyidikan atau pengusutan. Walaupun bank tunduk pada ketentuan KYC yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga pengawas jasa keuangan sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor
15
tahun
2002,
laporan
mengenai
transaksi
keuangan
mencurigakan harus disampaikan kepada Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan tata cara pelaporannya berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK.
2.
TINJAUAN MENGENAI RAHASIA BANK Kerahasiaan Bank merupakan jiwa dari sistem perbankan yang didasarkan
pada kelaziman dalam praktek perbankan, perjanjian atau kontrak antara bank dengan nasabah, serta pengaturan tertulis yang ditetapkan oleh negara. Apakah yang disebut kelaziman itu? Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidartha mengartikan kelaziman sebagai kebiasaan. Sementara kebiasaan adalah sumber hukum formal kedua yang penting di dalam sistem Hukum Indonesia. Menurut pendapat Kusumaatmadja dan Sidartha, sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka apabila melihat ke dalam Pasal 2 PERPU No. 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank, Pasal 36 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 Tentang Pokokpokok Perbankan dan Pasal 40 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998,
bahwa
dalam
merumuskan
pengertian
rahasia
bank
seluruhnya
menggunakan kata-kata: “kelaziman dalam dunia perbankan”. Perumusan tersebut adalah suatu pengakuan bahwa “kelaziman” merupakan dasar yang sangat kuat dari kewajiban bank untuk merahasiakan keterangan mengenai nasabahnya (Yunus Husein, 2004: 134).
Munculnya ketentuan mengenai rahasia bank dalam dunia perbankan, memuat beberapa alasan mengapa ketentuan itu perlu ada. Alasannya sebagai berikut : Pertama, untuk meyakinkan dan memberikan rasa aman kepada nasabah atas keterangan yang menyangkut rahasia pribadi ketika ia menyerahkan data-data pribadinya kepada bank atas dasar hubungan kontrak antara bank dengan nasabah. Penyerahan keterangan dan dokumen yang bersifat rahasia ini sudah tentu untuk keuntungan kedua belah pihak. Bank tidak dapat menjalankan usahanya apabila nasabah tidak memberikan dan menyediakan berbagai keterangan yang dibutuhkan. Hubungan antara bank dan nasabah tersebut dapat dibandingkan dengan hubungan antara pengacara dan kliennya, serta hubungan antara dokter dengan pasiennya. Pengacara dan dokter memerlukan berbagai keterangan yang bersifat rahasia dari klien dan pasiennya dalam rangka pelaksanaan tugas yang lebih baik dan sempurna (Husein, 2004: 20). Oleh karena itu keterangan yang diberikan klien dan pasien harus dirahasiakan untuk mendorong mereka agar mau memberikan keterangan selengkapnya. Kedua, agar nasabah mau menyimpan uangnya di bank, maka rahasia pribadi tentang penyimpan dana simpanannya haruslah dirahasiakan. Ketiga, pengaturan rahasia bank di dalam Undang-Undang suatu negara biasanya didasarkan pada pola pikir dikotomis. Artinya, adanya negara atau pemerintah yang berkuasa di satu pihak dan adanya rakyat yang tunduk pada negara atau pemerintah di pihak lain. Pengaturan tersebut terutama dimaksudkan untuk membatasi campur tangan negara atau pemerintah pada kehidupan pribadi (privacy) masyarakat atau rakyat (Yunus Husein, 2004: 21). a. Pengertian Rahasia bank Hubungan antara bank dengan nasabahnya tidaklah seperti hubungan kontrak biasa. Dalam kontrak biasa para pihak yang mengadakan kontrak dapat secara leluasa memberikan keterangan mengenai isi kontrak kepada pihak ketiga. Hal ini berbeda dalam hubungan kontrak antara bank dan nasabah. Dalam kontrak tersebut, bank mengemban kewajiban untuk tidak membuka rahasia nasabahnya kepada pihak lain, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang yang berlaku.
Istilah rahasia bank mengacu kepada rahasia dalam hubungan antara bank dengan nasabahnya. Sedangkan rahasia-rahasia lain yang bukan merupakan “rahasia” antara bank dengan nasabahnya, walaupun juga bersifat “rahasia” tidak tergolong ke dalam istilah “rahasia bank” menurut UndangUndang Perbankan. Rahasia-rahasia lain yang bukan rahasia bank tersebut misalnya rahasia mengenai data dalam hubungan dengan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dan Pasal 33 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (Munir Fuady, 1999: 89). Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, pada Pasal 1 ayat (28), memberikan pengertian tentang rahasia bank, sebagai berikut : “Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya”. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 mempertegas dan mempersempit pengertian rahasia bank dibandingkan dengan ketentuannya dalam Pasal-Pasal lain dari Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang No.7 Tahun 1992, yang tidak khusus menunjukkan rahasia bank kepada nasabah. Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 ayat (28) dan Pasal-Pasal lainnya dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, maka dapat ditarik unsur-unsur dari rahasia bank, sebagai berikut: a. Rahasia bank tersebut berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. b. Hal tersebut “wajib” dirahasiakan oleh bank, kecuali termasuk ke dalam kategori perkecualian berdasarkan prosedur dan peraturan perUndangUndangan yang berlaku. c. Pihak yang dilarang membuka rahasia bank adalah pihak bank sendiri dan/atau pihak terafiliasi. Yang dimaksud pihak terafiliasi adalah sebagai berikut :
1) Anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank yang bersangkutan; 2) Anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank, khusus bagi bank berbentuk badan hukum koperasi sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku; 3) Pihak pemberi jasa kepada bank yang bersangkutan, termasuk tetapi tidak terbatas pada akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya; 4) Pihak
yang
menurut
mempengaruhi
penilaian
pengelolaan
Bank
bank,
Indonesia
termasuk
turut tetapi
serta tidak
mempengaruhi pengelolaan bank, termasuk tetapi tidak terbatas pada pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus (Munir Fuady, 1999: 90). Mengenai pengaturan rahasia bank ini, terdapat dua teori tentang kekuatan berlakunya rahasia bank. Pertama, teori yang menganggap rahasia bank bersifat mutlak. Kedua, teori yang menganggap rahasia bank bersifat relatif. Pendapat yang menyatakan rahasia bank bersifat mutlak, artinya keterangan nasabah dan keadaan keuangannya harus dirahasiakan dalam segala situasi dan kondisi tanpa terkecuali. Sebaliknya yang berpendapat rahasia bank bersifat relatif mengakui bahwa keterangan tentang nasabah dan keadaan keuangannya harus dirahasiakan dalam batas-batas tertentu dan terdapat kemungkinan untuk menerobosnya dengan alasan tertentu, misalnya untuk kepentingan umum. Hal ini perlu dilakukan mengingat kerahasiaan yang tidak perlu dapat mengurangi nilai-nilai keadilan, mengancam keamanan masyarakat dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi (Yunus Husein, 2004: 188-189). Pengaturan rahasia bank di Indonesia didasarkan pada konsep bahwa rahasia bank itu tidak mutlak, tetapi relatif. Artinya, terdapat kemungkinan untuk menerobosnya untuk kepentingan umum. Hal demikian dapat ditemukan di dalam Pasal-Pasal yang menyebutkan bahwa ada alasan-alasan
untuk menerobos rahasia bank, seperti yang tercantum dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Berdasarkan pengertian rahasia bank di atas, dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa rahasia bank dapat dikatakan sebagai salah satu prinsip penting perbankan didalam melakukan kegiatan usahanya, walaupun pengaturannya masih bersifat tidak mutlak atau relatif. b. Sejarah dan Perubahan Ketentuan Mengenai Rahasia Bank di Indonesia Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 telah membuat sejarah baru dalam hal ketentuan rahasia bank di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, sejarah rahasia bank di Indonesia pada prinsipnya dapat dibedakan atas dua periode : a. Periode sebelum berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang menganut pengertian yang sangat luas mengenai rahasia bank, yang meliputi nasabah penyimpan, nasabah peminjam dan nasabah pengguna jasa lainnya. b. Periode setelah Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang menganut pengertian rahasia bank yang terbatas, yaitu hanya meliputi penyimpan dan simpanannya saja. Pengaturan rahasia bank untuk pertama kali dilakukan pada tahun 1960 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank. Pada Pasal 2 PERPU ini berbunyi : “bank tidak boleh memberikan keterangan tentang keadaan keuangan langganannya yang tercatat padanya dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal yang ditentukan lain”. Pengaturan rahasia bank dalam PERPU No. 23 Tahun 1960 kurang lengkap dan kurang jelas. Dalam PERPU tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “keadaan keuangan”, “langganannya” dan “hal-hal lain” yang harus dirahasiakan. Hal yang menarik menurut penyusun adalah di
dalam PERPU tersebut tidak menjelaskan apa saja yang harus dirahasiakan. Pembentuk Undang-Undang sengaja tidak menjelaskan apa saja yang perlu dirahasiakan karena beranggapan bahwa hal tersebut merupakan kelaziman dalam dunia perbankan yang sudah dimengerti oleh bankir (Yunus Husein, 2004: 194). PERPU No. 23 Tahun 1960 yang digantikan oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan mulai berlaku sejak Januari 1968. Di dalam Undang-Undang tersebut terdapat beberapa Pasal yang mengatur kerahasiaan bank. Akan tetapi tidak ada perubahan yang signifikan antara pengaturan rahasia bank dengan PERPU no. 23 Tahun 1960. Namun bila dilihat dari penamaan bab, Undan-undang No. 14 Tahun 1967 justru terjadi kemunduran. Dalam PERPU No. 23 Tahun 1960 ada penamaan bab khusus tentang rahasia bank, sedangkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 pengaturan rahasia bank disisipkan dalam Bab VII dengan judul “Ketentuan Ketentuan Lain”. Rahasia bank diperlukan untuk kepentingan menjaga kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank (Yunus Husein, 2004: 195). . “Ketentuan-ketentuan Lain” tersebut memuat dua Pasal, yaitu Pasal 36 dan Pasal 37 yang berkaitan tentang rahasia bank. Pada Pasal 36 UndangUndang No. 14 Tahun 1967 yang mengatur mengenai pengertian dan ruang lingkup rahasia bank menyatakan bahwa bank tidak boleh memberikan keterangan-keterangan tentang keadaan keuangan nasabahnya yang tercatat padanya dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan lain dalam Undang-Undang. Pengertian rahasia bank yang diatur dalam Pasal 36 ini tidak jelas, terutama mengenai pengertian : “keadaan keuangan nasabah” dan “hal-hal lain yang harus dirahasiakan menurut kelaziman dalam dunia perbankan”. Untuk memperoleh kejelasan atas masalah tersebut Jaksa Agung Republik Indonesia menanyakan secara tertulis mengenai pengertian kedua istilah tersebut kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan dalam Suratnya No. R-25/MK/IV/7/1969-Rahasia tertanggal 4 Juli 1969 dan Surat R-
29/IV/7/1969 tertanggal 3 September 1969 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan : 1. “keadaan keuangan nasabah yang tercatat padanya” ialah keadaan mengenai keuangan yang tercatat pada bank yang meliputi segala simpanannya. 2. “hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan” ialah segala keterangan tentang orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan dan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 yaitu antara lain : a. Pemberian pelayanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri. b. Mendiskontokan dan jual beli surat-surat berharga. c. Pemberian kredit (Yunus Husein, 2004: 196). Penjelasan Menteri Keuangan tersebut mempertegas penerapan ketentuan rahasia bank yang berlaku baik bagi nasabah penyimpan dana maupun bagi nasabah peminjam dana. Pasal 37 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 beserta penjelasannya mengatur mengenai beberapa pengecualian dari ketentuan rahasia bank. Pertama, untuk kepentingan perpajakan. Kedua, kepentingan peradilan dalam perkara tindak pidana. Sementara di dalam penjelasan Pasal 37 tersebut mengatur dua tambahan pengecualian yang ketiga, yaitu untuk kepentingan pengawasan dan pembinaan bank oleh Bank Indonesia; dan keempat, untuk kepentingan informasi antar bank. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran ketentuan rahasia bank relatif ringan, yaitu hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banayak Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Sanksi tersebut diberlakukan sama, baik untuk pelanggaran berupa “memaksa memberikan keterangan yang bersifat rahasia bank” maupun untuk pelanggaran berupa “memberikan keterangan tentang hal-hal yang harus dirahasiakan”. Pasal 37 ayat (3) itu sendiri mengatur bahwa anggota Direksi atau Pegawai Bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib
diberikannya menurut Pasal 32 (dalam rangka pengawasan dan pembinaan bank oleh Bank Indonesia) dan Pasal 37 (pengecualian ketentuan rahasia bank) diancam dengan hukuman penjara paling la 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang berlaku sejak 25 Maret 1992. Di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 ini, terlihat adanya sedikit kemajuan dalam pengaturan rahasi bank dibandingkan pengaturan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 mengatur masalah rahasia bank dalam beberapa Pasal, yaitu : 1. Bab I Ketentuan Umum dalam Pasal 1 angka 28. 2. Bab VII Berjudul Rahasia Bank dalam Pasal-Pasal 40, 41, 42, 43, 44, 45 dan Pasal 47. Pengaturan ini walaupun masih belum lengkap, tetapi sedikit lebih baik dibandingkan dengan pengaturan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 mendifinisikan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Selanjutnya Pasal 40 ayat (1) melarang bank untuk memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan. Pasal 40 ayat (2) menetapkan, bahwa kewajiban merahasiakan ini berlaku juga untuk pihak terafiliasi. Mengenai pengecualian dari ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Pasal 41, 42, 43, 44 dan sanksi-sanksi pelanggaran ketentuan rahasia bank akan dijelaskan pada sub bab lain dalam bab ini. Ketentuan rahasia bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 masih terlalu singkat, sederhana dan kurang jelas, sehingga belum menjawab secara tuntas permasalahan mengenai rahasia bank. Sebagai contoh, pengertian rahasia bank juga masih menimbulkan penafsiran yang berbeda, terutama mengenai masalah pengertian “keadaan keuangan” atau
“hal-hal lain” yang wajib dirahasiakan. Dengan ruang lingkupnya yang luas menimbulkan persepsi bahwa setiap keterangan yang bersifat individual, maka keterangan nasabah tersebut bersifat rahasia. Namun apabila data nasabah itu bersifat global, tidak menyebutkan data atau keterangan individual, maka hal tersebut bukan termasuk rahasia bank. Sebagai contoh, data tentang Total Kredit Pemilikan Rumah dari suatu bank. Jika dibandingkan ketentuan rahasia bank sebagaimana diatur dalam UndangUndang No. 14 Tahun 1967 dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang no. 7 Tahun 1992, maka akan terlihat perbandingannya, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut : 1. Pada dasarnya pengertian rahasia bank sebagaimana diatur dalam UndangUndang No. 7 Tahun 1992 adalah sama dengan pengertian yang diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, hanya saja Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 perihal rahasia bank diatur dalam Bab VII dengan judul “Ketentuan-ketentuan Lain”, sementara didalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 diatur dalam Bab VII dengan judul “Rahasia Bank”. 2. Dalam Pasal 36 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, perumusan rahasia bank menggunakan kata “harus” dan pada akhir kalimat dicantumkan pengecualian yang bersifat umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut, tanpa menyebutkan Pasal yang terkait. Sedangkan dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, perumusan rahasia bank dengan menggunakan kata “wajib” dan pada akhir kalimat mencantumkan pengecualian secara spesifik dengan menyebutkan Pasal-Pasal terkait (Yunus Husein, 2004: 200). Mengenai pengaturan rahasia bank juga terdapat beberapa perbedaan, yaitu: 1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tidak mengatur masalah berlakunya ketentuan rahasia bank untuk pihak terafiliasi, sementara Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 diatur bahwa ketentuan rahasia bank berlaku juga untuk pihak terafiliasi [Pasal 40 ayat (2)].
2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 mengatur 4 macam pengecualian yaitu : a. Untuk kepentingan perpajakan [Pasal 37 ayat (2)], b. Kepentingan peradilan perkara pidana [Pasal 37 ayat (2)], c. Kepentingan pengawasan dan pembinaan bank, d. Informasi antar bank (penjelasan Pasal 37). Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 juga mengatur 4 macam pengecualian, yaitu : a. Untuk kepentingan perpajakan, b. Untuk pengusutan perkara pidana, c. Dalam perkara antara bank dan nasabah di pengadilan, d. Informasi antar bank. 3. Sehubungan dengan pengecualian rahasia bank untuk peradilan perkara pidana, di dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tidak diatur kemungkinan pihak kepolisian meminta keterangan yang bersifat rahasia bank karena pada waktu itu status polisi adalah sebagai pembantu penyidik, sedangkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 hal tersebut sudah diatur. 4. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 anggota direksi dan pegawai bank yang menolak memberikan keterangan yang wajib diberikan kepada jaksa atau hakim atau pejabat pajak setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan diancam dengan pidana hukuman penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak adalah Rp. 10.000,-, sedangkan menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tindakan direksi dan pegawai bank tersebut tidak diancam dengan sanksi pidana. 5. Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan rahasia bank dalam UndangUndang No. 7 Tahun 1992 lebih berat dibandingkan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 (Yunus Husein, 2004: 201). Dikeluarkannya
Undang-Undang
No.
10
Tahun
1998
untuk
memperbaiki Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan hanya mengubah secara parsial, namun cukup prinsipil. Salah satu perubahan dan penyempurnaan terhadap ketentuan rahasia bank
yang dilakukan itu dinilai telah
mengakomodasi kebutuhan dan tuntutan yang luas mengenai perlunya perubahan ketentuan rahasia bank. Beberapa perubahan yang mendasar pada ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sebagai berikut : Pertama, ruang lingkup rahasia bank dipersempit hanya meliputi nasabah penyimpan dana dan simpanannya saja. Apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitur, bank wajib merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, bukan merupakan keterangan yang diwajibkan untuk dirahasiakan oleh bank menurut Undang-Undang. Sebelum terjadinya perubahan, ruang lingkup kerahasiaan itu sendiri sangat luas, yaitu meliputi nasabah penyimpan dana, nasabah peminjam dana dari bank dan nasabah pengguna jasa bank. Kedua, dalam pengecualian ketentuan rahasia bank ditambahkan beberapa hal, yaitu : 1. Dimungkinkannya Ketua Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara untuk meminta keterangan tentang keadaan keuangan penyimpan dana. 2. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa tertulis dari nasabah dapat membuka rahasia bank. 3. Ahli waris berhak untuk mengetahui keadaan keuangan dari orang yang mewariskan. 4. Dimungkinkannya Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa bank, apabila bank tersebut mengelola keuangan negara. 5. Perizinan untuk memberikan pengecualian rahasia bank oleh Pimpinan Bank Indonesia. Izin akan diberikan sepanjang permintaan tersebut telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Pemberian izin oleh Bank Indonesia harus dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah dokumen permintaan diterima secara lengkap.
6. Sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan rahasia bank diperberat. Pihak-pihak yang memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan yang bersifat rahasia bank, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun serta denda paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Sementara untuk anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank dan pihak yang terafiliasi yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (Yunus Husein, 2004: 203). Pada tanggal 31 Desember 1998 Bank Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/182/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Izin atau Perintah Membuka Rahasia Bank sebagai pelaksanaan Undang-Undang Perbankan. Petunjuk pelaksanaan dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tersebut dijelaskan lebih rinci dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/20/UPPB/ tertanggal 31 Desember 1998. Kemudian dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Surat Keputusan Direksi tersebut digantikan dan dicabut oleh Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tertanggal 7 September 2000. Walaupun Surat Keputusan Direksi dan Peraturan Bank Indonesia tersebut merupakan peraturan pelaksanaan saja, tetapi tampaknya mengatur sesuatu yang “baru” yang tidak terkait langsung dengan izin rahasia dilakukan bank yang sebelumnya belum jelas pengaturannya, yaitu : Pertama, Pasal 10 ayat (1) Surat keputusan Direksi tersebut dengan menyatakan, bahwa pemblokiran dan/atau penyitaan simpanan atas nama tersangka atau terdakwa dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perUndangUndangan yang berlaku tanpa memerlukan izin dari Pimpinan Bank Indonesia. Hal ini diatur kembali dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia No.2/19/PBI/2000.
Kedua, Pasal 11 ayat (2) Surat Keputusan Direksi tersebut menyatakan bahwa pemberian keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan dana diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan bank dengan peminta memperhatikan adanya kaitan yang erat antara keterangan yang diminta dengan peminta keterangan serta kepentingan penegak hukum. Masalah ini tidak diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000, karena pengaturan semacam itu dianggap telah mengatur masalah baru yang tidak diatur oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (Yunus Husein, 2004: 205206). Berdasarkan paparan di atas, menurut penulis, perubahan-perubahan pengaturan ketentuan rahasia bank disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal ini terjadi karena adanya desakan dari kalangan masyarakat luas termasuk para ahli agar ketentuan rahasia bank diubah untuk memudahkan penyelesaian kredit macet dan tindak pidana khususnya korupsi. Sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh adanya permintaan dari IMF (International Monetary Fund) untuk mengubah Undang-Undang Perbankan yang mengatur mengenai ketentuan rahasia bank, seperti tercantum dalam Letter of Intent Suplementary Memorandum of Economic and Financial Policy. Permintaan dari IMF ini yang mau tidak mau harus diikuti oleh pemerintah karena permintaan IMF ini sebagai prasyarat restrukturisasi perbankan Indonesia. Terlebih-lebih Indonesia menerima banyak bantuan dana dari IMF sehingga sulit untuk menolak permintaan tersebut. Faktor eksternal yang lain yang menurut penyusun perlu diperhatikan adalah meningkatnya upaya pencegahan dan pemberantasan praktek pencucian uang dan terorisme di seluruh dunia yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran pada ketentuan rahasia bank. Sebagai contoh, dalam rangka penyidikan praktek pencucian uang, pihak penyidik dapat meminta keterangan dari Gubernur BI. Permohonan dari penyidik diajukan oleh KAPOLDA kepada bank yang menyimpan rekening tersangka.
c. Tujuan Rahasia Bank Rahasia bank yang dalam bahasa inggris disebut dengan istilah Bank Secrecy atau di Amerika Serikat disebut Financial Privacy ini dianggap sebagai hak asasi yang harus dilindungi dari campur tangan negara dan orang lain. Sebab financial privacy berkaitan erat dengan kebebasan pribadi seseorang yang harus dilindungi oleh suatu sistem yang demokratis. Dengan demikian ketentuan rahasia bank ini melindungi kepentingan masyarakat dari campur tangan negara (Husein, 2004: 139). Ketentuan rahasia bank antara lain ditujukan untuk kepentingan nasabah agar kerahasiaannya terlindungi. Kerahasiaan tersebut menyangkut keadaan keuangannya. Selain itu juga, ketentuan rahasia bank diperuntukkan juga bagi kepentingan bank, agar dapat dipercaya dan kelangsungan hidupnya terjaga. Di Indonesia, pengaturan rahasia bank lebih dititikberatkan pada alasan untuk kepentingan bank, seperti terlihat dalam penjelasan Pasal 40 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa kerahasiaan ini diperlukan untuk kepentingan bank itu sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Ada lima alasan yang mendasari kewajiban bank untuk merahasiakan segala sesuatu tentang nasabah dan simpanannya, yaitu: 1. Personal Privacy 2. Hak yang timbul dari hubungan perikatan antara bank dan nasabah 3. Peraturan perundang-undangan yang berlaku 4. Kebiasaan atau kelaziman dalam dunia perbanknan 5. Karakteristik kegiatan usaha bank sebagai suatu “lembaga kepercayaan” yang harus memegang teguh kepercayaan nasabah yang menyimpan uangnya di bank (Yunus Husein, 2004: 146-147). d. Pengecualian Terhadap Rahasia Bank Ketentuan rahasia bank cenderung tetap dapat diterobos dengan beberapa alasan atau pengecualian yang diatur secara limitatif dalam peraturan
atau putusan pengadilan. Ada beberapa alasan yang mendasari pengecualian rahasia bank. Alasan-alasan itu adalah : 1. Untuk kepentingan perpajakan, Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, menyebutkan bahwa untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak. Pasal 41 ayat (2) mengatur bahwa perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. 2. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, menetapkan bahwa untuk kepentingan peradilan perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberi izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa pada bank. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa izin tersebut diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung atau Ketua Mahkamah Agung. Pada ayat (3), Permintaan tertulis tersebut harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, sebab-sebab keterangan diperlukan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diperlukan. 3. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya. 4. Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 5. Adanya persetujuan nasabah (costumer consent). 6. Untuk kepentingan penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang
Negara adalah adanya ketentuan lain yang mewajibkan membuka rahasia bank. 7. Untuk kepentingan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dana yang meninggal dunia. Pengaturan secara khusus terhadap pengecualian rahasia bank diatur dalam tindak pidana khusus, diantaranya : 1. Tindak pidana pencucian uang Pada Pasal 33 Undang-Undang no. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, menyebutkan bahwa : a. Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara praktek pencucian uang, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa. b. Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat sebelumnya, terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim, tidak berlaku ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. c. Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai : 1) Nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim 2) Identitas setiap orang yang dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa 3) Tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan 4) Tempat harta kekayaan berada d. Surat permintaan untuk memperoleh ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus ditandatangani oleh : 1) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik
2) Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum 3) Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan Dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah menjadi UndangUndang No. 25 Tahun 2003, menentukan bahwa : Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk
bank,
dikecualikan
dari
ketentuan
rahasia
bank
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai rahasia bank. 2. Tindak Pidana Terorisme Dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 menyebutkan bahwa : “dalam meminta keterangan untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, terhadap penyidik, penuntut umum, tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya”.
e. Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Rahasia bank Menurut sistem Undang-Undang Perbankan, pelanggaran terhadap prinsip kerahasiaan bank yang diancam pidana bervariasi. Ada dua ciri khas dalam hal sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia bank dalam UndangUndang Perbankan ini. Sebagaimana juga terhadap sanksi-sanksi pidana lainnya dalam Undang-Undang Perbankan, ciri khas dari sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia bank, adalah sebagai berikut : 1. Terdapat ancaman sanksi pidana minimal disamping ancaman maksimal 2. Antara ancaman sanksi pidana penjara dengan hukuman denda bersifat kumulatif, bukan alternatif 3. Tidak ada korelasi antara berat ringannya ancaman sanksi pidana penjara dengan sanksi pidana denda Ancaman sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran ketentuan rahasia bank menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, dapat dibagi ke dalam tiga kualifikasi perbuatan, pertama, adalah kualifikasi memaksa untuk memberikan keterangan yang menyangkut kepada bank, kedua, kualifikasi perbuatan memberikan keterangan bank yang wajib dirahasiakan, ketiga, adalah kualifikasi perbuatan tidak memenuhi kewajiban memberikan keterangan yang menyangkut kerahasian bank kepada aparat penegak hukum. Lebih jelas dapat dilihat dalam Pasal-Pasal berikut ini : 1. Pasal 47 ayat (1), menyebutkan bahwa barang siapa tanpa membawa perintah tertulis dari Menteri Keuangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 atau tanpa ijin Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). 2. Pasal 47 ayat (2) menyatakan bahwa anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah). 3. Pasal 47A menyatakan bahwa anggota komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 14.000.000.000,- (empat belas miliar rupiah). f. Kelemahan Ketentuan Rahasia Bank di Indonesia Permasalahan utama dalam ketentuan rahasia bank, menurut penyusun adalah mengenai ruang lingkup rahasia bank itu sendiri. Apakah hanya meliputi simpanan masyarakat saja atau juga meliputi pinjaman yang diberikan bank? Di samping itu, timbul juga tuduhan bahwa ketentuan rahasia bank yang terlalu luas dapat dipakai sebagai perkara perdata maupun tindak pidana.
Penanganan kasus-kasus yang menyangkut rahasia bank seringkali membuat pihak penyidik, penuntut umum atau hakim meminta keterangan ahli dari Bank Indonesia sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam pembinaan dan pengawasan bank dalam memberikan keterangan oleh saksi ahli tersebut. Pejabat Bank Indonesia kerapkali melakukan penafsiranpenafsiran yang kadangkala memperluas isi ketentuan rahasia bank (Husein, 2004: 261). Hal lain yang belum diatur secara memadai dalam konteks ketentuan rahasia bank adalah menyangkut penyitaan atau pemblokiran rekening dalam perkara pidana. Selama ini pengaturan masalah penyitaan dan pemblokiran hanya diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang meneruskan surat atau intruksi dari Panglima Angkatan Kepolisian dan Jaksa agung kepada jajarannya tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Dalam Surat Edaran tersebut disebutkan, bahwa pemblokiran rekening dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyitaan. Kemudian pada tanggal 6 November 1997 dikeluarkan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia. Dalam Pasal 5 keputusan Bersama tersebut dinyatakan, bahwa dalam hal penyidik menerima laporan adanya suatu rekening yang diduga menumpang dana yang berasal dari tindak pidana, mnaka tindakan pemblokiran oleh penyidik dilakukan dengan tembusan surat permintaan pemblokiran kepada Bank Indonesia. Selanjutnya masalah pemblokiran ini hanya diatur secara singkat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Yunus Husein, 2004: 262).. Penyebab dominan mengenai munculnya kasus rahasia bank adalah karena pengaturan rahasia bank yang masih kurang lengkap, sehingga kurang memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait. Ketidakpastian ini dapat menimbulkan berbagai macam masalah, yang kalau tidak diatasi dapat menimbulkan inefisiensi, karena banyaknya pertanyaan dan kasus-kasus pelaporan yang menyangkut rahasia bank.
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, bahwa ruang lingkup rahasia bank hanya meliputi penyimpan dana dan simpanannya. Dengan perubahan radikal yang dilakukan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, banyak bank yang bertanya-tanya bagaimana mengamankan keterangan tentang debiturnya, yang selama ini termasuk rahasia bank, sekarang sudah tidak termasuk rahasia bank. Peraturan manakah yang mengatur dan melindungi debitur atas informasi dan keterangan tentang dirinya yang tidak termasuk rahasia bank? Jawabnya tercantum pada Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyatakan antara lain, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan demikian kewajiban bank untuk merahasiakan keterangan tentang debitur dan keadaan keuangan debitur didasarkan pada perjanjian antara bank dan debiturnya, baik perjanjian tersebut secara eksplisit maupun secara implisit, mewajibkan bank untuk tetap merahasiakannya (Yunus Husein, 2004: 264). Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa suatu hal yang ideal dalam pengaturan ketentuan rahasia bank adalah bagaimana dua keseeimbangan, yaitu : 1. Keseimbangan antara kepentingan individual nasabah bank di satu pihak dengan kepentingan perbankan dipihak lain. 2. Keseimbangan antara kepentingan bank dan nasabahnya di satu pihak dengan kepentingan umum di pihak lain. Apabila dikatakan bahwa perlunya ketentuan rahasia bank adalah dalam rangka memelihara kepentingan umum, yaitu kepentingan nasabah dan bank, namun di sisi lain terdapat juga kepentingan umum lain untuk membuka rahasia bank tersebut, misalnya untuk pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang hasilnya seringkali disimpan di bank dan menggunakan jasa bank (Yunus Husein, 2004: 265).
Menurut Yunus Husein, Privasi Versus Kepentingan Umum, memberikan ruang lingkup pengaturan ketentuan rahasia bank yang ideal, meliputi: 1. Ruang lingkup obyek rahasia bank diperluas, sehingga meliputi bukan saja keadaan keuangan nasabah yang tercatat pada bank tetapi juga meliputi keadaan keuangan itu tersendiri. 2. Ruang lingkup rahasia bank meliputi nasabah dan mantan nasabah serta calon nasabah yang telah menjalin hubungan dengan banknya. 3. Nasabah yang harus dirahasiakan meliputi nasabah penyimpanan, peminjam dana dan nasabah pengguna jasa bank. 4. Subyek yang harus merahasiakan adalah komisaris, direksi, pegawai dan pihak terafiliasi serta siapapun juga yang memperoleh keterangan yang bersifat rahasia bank baik dengan cara yang sah maupun tidak sah. 5. Pengertian rahasia bank meliputi bank dan lembaga keuangan lainnya. Seperti dana pensium, asuransi, perusahaan pembiayaan, modal ventura, perusahaan efek, perusahaan pedagang valuta asing. 6. Pengecualian
untuk
membuka
rahasia
bank
diperluas
untuk
mengakomodir sebanyak mungkin kepentingan umum. 7. Memperluas transparansi informasi bank yang signifikan dengan tepat waktu kepada masyarakat (Yunus Husein, 2004: 266).
3. TINJAUAN TENTANG PRAKTEK PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) a. Pengertian Pencucian Uang Atau Money Laundering Pembahasan mengenai pengertian perbuatan pidana dan kejahatan dimana pencucian uang adalah salah satu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang sehingga dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, maka kita perlu mengetahui pengertian Pencucian Uang itu sendiri atau dalam istilah asing yang disebut Money Laundering. Istilah Money Laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, pada saat itu kejahatan ini dilakukan oleh suatu “mafia” melalui pembelian perusahaan-perusahaan
pencucian pakaian (laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat pemutihan uang yang dihasilkan dari bisnis illegal seperti perjudian, pelacuran, dan perdagangan minuman keras. Tindakan ini bertujuan agar uang kotor tersebut menjadi bersih atau tampak sebagai uang sah. Berkenaan dengan definisi tindak pidana pada umumnya, maka masalah definisi pencucian uang menjadi sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena berkaitan dengan asas lex certa, yaitu mullum crimen sine lege stricta atau tiada suatu kejahatan tanpa peraturan yang jelas dan terbatas. Hal ini juga menyiratkan bahwa ketentuan tindak pidana harus dirumuskan secara jelas dan limitatif atau terbatas, tidak bersifat karet, untuk menjaga kepastian hukum (Yenti Garnasih, 2003: 49). Berkaitan dengan hal itu, maka pencucian uang menjadi sangat sentral karena berimplikasi luas dan menimbulkan dilema. Implikasi tersebut antara lain bahwa dari definisi menunjukkan rumusan delik. Selain itu juga paling tidak menunjukkan siapa yang dimaksud sebagai pelaku. Unsur apa saja yang dimaksud dalam unsur obyektif dengan ciri dari kejahatan ini yang bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi termasuk kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai bentuk kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan. Oleh karena itu, dalam definisi penting ditentukan kejahatan utamanya (core crime). Penentuan core crime dalam pencucian uang pada umumnya disebut sebagai unlawful actifity atau predicate offense. Perlunya menentukan definisi adalah penting untuk menjawab permasalahan “what has to be protected and how to achieve this protection” (Yenti Garnasih, 2003: 48). Mengenai definisi pencucian uang, seperti yang dikutip oleh Yenti Garnasih, paling sedikit ada 4 rumusan, yaitu: a. Money laundering can be defined simply as a product of drug trafficking. This method creates a direct link between money laundering and drug trafficking.
b. Money laundering can be alternately be seen as a product of various crime, including, but not limited to, drug trafficking. Such a definition could (and perhaps should) include on enumeration of special crimes like counterfeiting, robbery, extortion, and terrorism. c. A third method would be to make money laundering a crime, not in the context of drug trafficking or enumerated, special crimes, but as a result of money laundering itself. In other words, whoever deals with money or other assets that he khows or must assume are the product of a crime meets the legal definition. d. A fourth possibility is to include as money laundering any action by which somebody acquires, keeps, and/or maintains money or other assets that he knows belongs to a criminal organization. Money Laundering is not one the most frequent activity of and impetus for criminal organization (Yenti Garnasih, 2003: 48). Definisi-definisi money laundering sangat beragam menurut beberapa pakar, undang-undang dan sumber-sumber lainnya akan tetapi mempunyai pengertian yang sama. Berbagai rumusan pencucian uang ini sesuai dengan pandangan yang mengatakan bahwa tidak ada definisi pencucian uang yang bersifat universal. Artinya, setiap negara boleh merumuskan sendiri sesuai dengan kondisi negaranya seperti dalam pernyataan di bawah ini: “There is no universal or comprehensive definition of money laundering. Prosecutors and criminal intelligence agencies, business persons and companies, developed and developing countries-each has its own definition based on different priories and perspectives. In general, legal definitions for the purpose of prosecuting are narrower than definitions for intelligence purpose” (Yenti Garnasih, 2003: 49). Pengertian money laundering pada awalnya hanya menyangkut uang dari perdagangan narkotika dan obat-obat sejenisnya secara bebas tetapi belakangan ini berkembang lebih jauh termasuk hasil kejahatan yang berasal dari
korupsi,
penyuapan,
perdagangan
wanita,
perdagangan
penyelundupan, perjudian, pornografi, imigran gelap dan terorisme.
senjata,
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa money laundering adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan penghilangan
jejak
sehingga
memungkinkan
pelakunya
menikmati
keuntungan-keuntungan itu dengan tanpa mengungkapkan sumber perolehan. Balck’s Law Dictionary merumuskan money laundering sebagai : “Term used describe investment or other transfer of money flowing from racketsteering, drug transaction, and other illegal sources into legimate channels so that original sources cannot be traced”. Undang-undang No. 25 Tahun 2003 memberikan istilah Pencucian Uang atau money laundering dalam Pasal 1 angka 1 yaitu perbuatan menempatkan, mentransfer, membayar, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Perserikatan
Bangsa-bangsa
memberikan
pengertian
tersendiri
mengenai money laundering, seperti yang tertuang dalam Konvensi Vienna (UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances), sebagai berikut : “The Convertion of transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such on offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences”.
b. Perbuatan Yang Dapat Dipidana Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Hukum pidana sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan pencucian uang tidak dapat berdiri sendiri, dalam arti berhasil tidaknya hukum pidana dalam menjalankan fungsinya dipengaruhi pula oleh kebijakan-kebijakan di bidang lainnya. Dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu modern, selain hukum pidana atau criminal law, masih terdapat dua ilmu lainnya, yakni Criminology, dan Penal policy. Criminology adalah mempelajari kejahatan dalam semua aspek. Criminal Law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Sedangkan Penal Policy baik sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, muatannya adalah untuk memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan tertujunya tidak hanya kepada legislator yang harus merancang undangundang pidana, tetapi juga pengadilan dimana peraturan-peraturan itu diterapkan dan penyelenggaraan pemasyarakatan yang memberikan pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan (Arief Amrullah, 2003: 80). Dengan demikian, penal policy atau kebijakan hukum pidana itu pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum (kebijakan eksekutif). Hal ini berarti menyangkut kriminalisasi, bahwa untuk menentukan suatu perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan pidana maka harus terlebih dahulu memberikan syarat-syarat agar perbuatan itu dapat dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Menurut Muladi, untuk melakukan kriminalisasi membutuhkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut: 1.
Keharusan adanya academic draff yang secara komprehensif dapat meyakinkan pengundang-undang tentang betapa pentingnya proses tersebut atas dasar kebutuhan hukum yang berkaitan dengan substansinya, untuk itu perlu didengar tidak hanya suprastruktur dan infrastruktur
masyarakat serta pakar, tetapi juga perbandingan hukum negara lain dalam rangka harmonisasi hukum. 2.
Adanya kerugian atau korban, baik aktual maupun potensial yang signifikan dari perbuatan tersebut. Ketentuan hukum pidana harus dapat dioperasionalkan dan adanya keyakinan bahwa tidak ada sarana lain yang dapat mengatasinya.
3.
Perlu menghindari kondisi kriminalisasi yang berlebihan atau inflasi pengaturan yang mengakibatkan turunnya nilai hukum pidana di mata masyarakat sehingga bersifat counter productive (Arief Amrullah, 2003: 81-82) . Sehubungan dengan upaya mengkriminalisasikan kejahatan pencucian
uang (money laundering) menjadi suatu perbuatan yang dilarang dalam suatu undang-undang, tidak didapat dari perkembangan kejahatan itu sendiri termasuk money laundering. Kejahatan tersebut baik yang dilakukan oleh orang perorangan maupun korporasi dalam batas wilayah suatu negara ataupun melintasi batas wilayah negara lain. Hasil dari money laundering pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh pelaku, sebab jika demikian, maka akan mudah dilacak oleh aparat penegak hukum. Oleh sebab itu, pelaku terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan, terutama ke dalam sistem perbankan. Dengan cara demikian, diharapkan asal-usul harta kekayaan tidak mudah dilacak oleh penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan itu dikenal dengan pencucian uang (money laundering) (Arief Amrullah, 2003: 83). Mengingat bahwa kejahatan pencucian uang sangat berpotensi bagi timbulnya kerugian atau korban, terutama negara dalam hal stabilitas di berbagai aspek, maka kejahatan money laundering perlu dikriminalisasikan atau dijadikan sebagai tindak pidana (Arief Amrullah, 2003: 88). Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan dalam beberapa Pasal yang mengatur mengenai
perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana dalam hal ini adalah pencucian uang (money laundering), yaitu : a. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang menyebutkan bahwa : hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : 1)
Korupsi;
2)
Penyuapan;
3)
Penyelundupan barang;
4)
Penyelundupan tenaga kerja;
5)
Penyelundupan imigran;
6)
Di bidang perbankan;
7)
Di bidang pasar modal;
8)
Di bidang asuransi;
9)
Narkotika;
10) Psikotropika; 11) Perdagangan manusia; 12) Perdagangan senjata gelap; 13) Penculikan; 14) Terorisme; 15) Pencurian; 16) Penggelapan; 17) Penipuan; 18) Pemalsuan uang; 19) Perjudian; 20) Prostitusi; 21) Di bidang perpajakan; 22) Di bidang kehutanan; 23) Di bidang lingkungan hidup; 24) Di bidang kelautan; atau 25) Tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih; yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau
di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut Hukum Indonesia. b. Dalam Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa Harta kekayaan yang dipergunakan secara langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf n. c. Dalam Pasal 3 ayat (1) menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dalam kaitannya dengan praktek pencucian uang. Dalam Pasal ini menyebutkan bahwa : setiap orang yang dengan sengaja : 1) Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; 2) Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; 3) Membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; 4) Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; 5) Menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; 6) Membawa ke luar negeri, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau 7) Menukarkan atau perbuatan lainnya, atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena praktek pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). d. Dalam Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa : setiap orang yang menerima atau menguasai : 1) Penempatan, 2) Pentransferan, 3) Pembayaran, 4) Hibah, 5) Sumbangan, 6) Penitipan, atau 7) Penukaran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banayak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). e. Dalam Pasal 9 yang mengatur mengenai kewajiban melapor untuk membawa uang tunai masuk kedalam atau membawa uang tunai keluar wilayah Negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Selain tindak pidana money laundering tersebut di atas adapun tujuan melakukan pencucian uang adalah memberikan legitimasi pada dana yang diperoleh secara tidak sah (illicit funds). Dengan menggunakan cara tertentu membuat dana tersebut dapat bergerak dengan leluasa di masyarakat tanpa berakibat menghadapi resiko penyitaan (confiscation) atau memicu adanya penangkapan serta tindakan hukum yang lain. Praktek pencucian uang dimulai dengan dana yang tidak sah (dirty money) atau disebut sebagai uang haram. Pada umumnya uang dapat dinyatakan sebagai uang haram karena dua hal yaitu pertama melalui pengelakan pajak (tax evasion) dan yang kedua dilihat dari cara perolehannya
melalui tindakan-tindakan ilegal atau cenderung dikatakan sebagai hasil kejahatan. Walaupun dikatakan bahwa tidak ada dua sistem pencucian uang yang sama, namun pada umumnya proses pencucian uang secara esensi terdiri dari tiga tahap yaitu placement, layering, dan integration. Ketiga langkah itu dapat terjadi dalam waktu bersamaan di satu transaksi saja atau dalam beberapa kegiatan transaksi yang berbeda. Langkah-langkah tersebut dimaksudkan untuk menempatkan dana ilegal kedalam sistem keuangan dengan tujuan agar tidak mengundang kecurigaan dari pihak berwenang. Placement merupakan tahap yang sederhana, suatu langkah untuk mengubah uang yang dihasilkan dari kegiatan kejahatan ke dalam bentuk yang kurang menimbulkan kecurigaan dan akhirnya masuk ke dalam jaringan sistem keuangan. Misalnya menempatkan uang hasil kejahatan dalam waktu tertentu yang diperkirakan aman untuk sementara, seperti dalam bentuk simpanan tunai di bank, polis asuransi, untuk membeli rumah, kapal, perhiasan (Yenti Ganarsih, 2003: 55). Layering atau disebut sebagai tahap pelapisan adalah tahap kedua dimana pelaku membuat transaksi yang sangat kompleks dan berlapis-lapis serta berangkai yang dilindungi oleh berbagai bentuk anomitas untuk tujuan menyembunyikan sumber uang haram tersebut (Yenti Garnasih, 2003: 56). Integration adalah tahap ketiga atau terakhir dimana pada tahap ini pelaku memasukkan kembali dana yang telah tidak tampak asal-usulnya tersebut ke dalam transaksi yang sah, seakan-akan tidak ada hubungannya lagi dengan asal-usul kejahatan. Integration ini merupakan tipu muslihat untuk dapat memberikan legitimasi terhadap uang hasil kejahatan, yang mencakup penjualan kembali saham, rumah, kapal, dan perhiasan (emas dan berlian) tersebut. c. Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Tindak Pidana di Bidang Perbankan Pengertian kejahatan di bidang perbankan, berbeda dengan pengertian kejahatan perbankan. Perbedaan tersebut didasarkan pada perbedaan perlakuan peraturan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah melanggar
hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank (Moch. Anwar, 1986: 44-45). Tindak pidana perbankan itu sendiri, terdiri atas perbuatan-perbuatan yang
melanggar
ketentuan-ketentuan
dalam
Undang-Undang
tentang
perbankan, pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang tersebut. Sedangkan, tindak pidana di bidang perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha pokok bank, perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan pidana di luar Undang-Undang tentang Perbankan, seperti KUHP, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang lainnya yang sejenis. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kejahatan ekonomi di bidang perbankan merupakan bagian dari kejahatan ekonomi dalam arti luas, yang meliputi antara lain, kejahatan-kejahatan yang diatur dalam KUHP, Undang-Undang No.7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau yang dikenal dengan sebutan UUTPE, Undang-Undang no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, dan Undang-Undang tentang Perbankan yang merupakan Undang-Undang administrasi yang bersanksi pidana, yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan dinyatakan sebagai kejahatan dalam Undang-Undang tersebut. Menurut Undang-Undang tentang Perbankan, yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah sebagai berikut: a. Pelanggaran yang Menyangkut Izin Usaha Ketentuan mengenai izin usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang no. 10 Tahun 1998 menyebutkan sebagai berikut :
1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
dalam
bentuk
simpanan
wajib,
terlebih
dahulu
memperoleh izin sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-Undang tersendiri. 2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang : a) Susunan organisasi dan kepengurusan b) Permodalan c) Kepemilikan d) Keahlian di bidang perbankan e) Kelayakan rencana kerja 3) Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Menurut penjelasan Pasal 16 di atas, dalam ayat (1) kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapa pun, pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Selanjutnya, dalam ayat (1) tersebut ditegaskan, bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Penjelasan ayat (2) menyatakan bahwa “Dalam hal memberikan izin usaha sebagai Bank umum dan Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia selain memperhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, juga wajib memperhatikan tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Kemudian, penjelasan ayat (3) berbunyi bahwa pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia menuntut antara lain :
1) Persyaratan untuk menjadi pengurus bank, antara lain menyangkut keahlian di bidang perbankan dan konduite yang baik 2) Larangan adanya hubungan keluarga diantara pengurus bank 3) Modal disetor minimum untuk pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat 4) Batas minimum kepemilikan dan kepengurusan 5) Kelayakan rencana kerja 6) Batas waktu pemberian izin pendirian bank b. Larangan dan kewajiban Pemberian Keterangan mengenai Keadaan Keuangan Nasabah (Berkaitan Dengan Rahasia Bank) Pada bagian tentang rahasia bank, Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menentukan bahwa, bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali yang dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. Begitu pula terhadap pihak terafiliasi, dalam ayat (2). Ketentuan tentang pihak terafiliasi tersebut, diatur dalam Pasal 1 angka 22, yang menyebutkan bahwa pihak terafiliasi adalah : 1) Anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank yang bersangkutan; 2) Anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank, khusus bagi bank berbentuk badan hukum kopersi sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku; 3) Pihak pemberi jasa kepada bank yang bersangkutan, termasuk tetapi tidak terbatas pada akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya; 4) Pihak
yang
mempengaruhi
menurut
penilaian
pengelolaan
Bank
bank,
Indonesia
termasuk
turut tetapi
serta tidak
mempengaruhi pengelolaan bank, termasuk tetapi tidak terbatas pada pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus.
Penjelasan Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa, apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Keterangan mengenai nasabah
peminjam,
bukan
merupakan
keterangan
yang
wajib
dirahasiakan. c. Pelanggaran Terhadap Kewajiban Memberikan Keterangan Untuk Kepentingan Perpajakan, Penyelesaian Piutang Bank, Kepentingan Peradilan dan Permintaan Kuasa Dari Nasabah Penyimpan Pasal 42A Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, penjelasannya sebagai berikut : 1) Pasal 41 ayat (1) menentukan bahwa, untuk kepentingan perpajakan, Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak. Sedangkan dalam ayat (2) mengatur bahwa, perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. 2) Pasal 41A menjelaskan bahwa, untuk kepentingan penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara adalah adanya ketentuan lain yang mewajibkan membuka rahasia bank. 3) Pasal 42 ayat (1) menjelaskan bahwa, kepentingan peradilan perkara pidana, Menteri Keuangan dapat memberi izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa dari bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa pada bank. Sementara dalam ayat (2) menjelaskan bahwa, ijin tersebut diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa
Agung atau Ketua Mahkamah Agung. Dan dalam ayat (3) menyebutkan bahwa, permintaan tertulis tersebut harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, sebab-sebab keterangan diperlukan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diperlukan. Pasal 44A ayat (1) menjelaskan bahwa, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, baik wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut. Sedangkan dalam ayat (2) menyebutkan bahwa, dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpanan tersebut. d. Keterangan yang Wajib Disampaikan oleh Anggota Dewan Komisaris Direksi, atau Pegawai Bank Kepada Bank Indonesia (Berkaitan dengan pengawasan bank oleh Bank Indonesia) Keterangan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 48 dan Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Pasal 48 adalah kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) menentukan sebagai berikut: 1)
Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2)
Bank, atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksa buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam
rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) dan (2) tersebut menyatakan kewajiban penyampaian keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu bank kepada Bank Indonesia diperlukan, mengingat keterangan tersebut dibutuhkan untuk memantau keadaan dari suatu bank. Pemantauan keadaan bank perlu dilakukan dalam rangka melindungi dana masyarakat dan menjaga keberadaan lembaga perbankan. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan hanya dapat ditumbuhkan, apabila lembaga perbankan dalam kegiatan usahanya selalu dalam keadaan sehat. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kebenaran atas laporan yang disampaikan oleh bank. Bank Indonesia diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada bank. Kemudian Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) menentukan sebagai berikut : 1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2) Neraca serta perhitungan laba/rugi tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik. e. Kecurangan dalam Pengadministrasian, Menerima Suap, dan Tidak Menaati Perundang-undangan di Bidang Perbankan (Berkaitan dengan kegiatan menjalankan usaha bank) Pasal 49 ayat (1) mengancam dengan pidana penjara dan denda yaitu bagi anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: 1) Membuat laporan atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalm dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.
2) Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank. 3) Mengubah,
mengaburkan,
menyembunyikan,
menghapus,
atau
menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan segaja mengubah, mengaburkan,
menghilangkan,
menyembunyikan
atau
merusak
catatan pembukuan tersebut. Ancaman pidana yang lebih ringan dapat dijatuhkan kepada anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank, yaitu apabila dengan sengaja: 1) Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau keuntungan keluarganya, dalama rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, suatu promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank. 2) Tidak
melaksanakan
langkah-langkah
yang
diperlukan
untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank. Sanksi pidana bagi anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Perkreditan Rakyat, pada dasarnya, menurut penjelasan Pasal 51 ayat (1) berlaku ketentuan-ketentuan tentang sanksi pidana pada BAB VIII dalam Undang-Undang ini, mengingat sifat ancaman pidana dimaksud berlaku umum. Ketentuan dimaksud, diatur dalam Pasal-Pasal :
46; 47; 48; 49; 50; 51; 52; dan Pasal 53 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. f. Tidak
Mengindahkan
Peraturan
Perundang-undangan
di
Bidang
Perbankan (berkaitan dengan pihak terafiliasi bank) Pasal 50 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 mengancam dengan pidana penjara dan denda bagi pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank tetrhadap ketentuan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank. g. Kejahatan Yang Dilakukan oleh Pemegang Saham Pasal 50A menentukan bahwa pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), 2003: 53-62). Tindak pidana yang diatur dalam Pasal-Pasal : 46, 47, 47A, 48 ayat (1), 49, 50, dan 50A, oleh Pasal 51 dikualifikasikan sebagai kejahatan. Dengan demikian, terhadap perbuatan-perbuatan tersebut, akan dikenakan ancaman pidana yang lebih berat dibandingkan dengan apabila hanya sekedar pelanggaran. Dengan demikian, di samping ruang lingkup kejahatan ekonomi di bidang perbankan tersebut diatas, apabila dikaitkan dengan bank (korporasi sebagai subjek), maka dalam konteks kejahatan ekonomi di bidang perbankan tersebut meliputi: a. Bank sebagai locus untuk melakukan kejahatan b. Bank sebagai sasaran untuk melakukan kejahatan c. Bank sebagai pelaku kejahatan (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), 2003: 62-63). Mengenai kualifikasi yang pertama, hal ini terkait dengan praktek pencucian uang. Sedangkan, bank sebagai sasaran kejahatan, berarti bank
dijadikan objek kejahatan. Kemudian, bank sebagai pelaku kejahatan adalah bank sebagai korporasi melakukan kejahatan ekonomi di bidang kejahatan. Berdasarkan paparan di atas, meskipun dalam Undang-Undang tentang perbankan telah mengatur sanksi pidana, akan tetapi yang dilarang oleh Undang-Undang adalah perbuatannya, dan belum mengatur larangan mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh pelaku untuk menggunakan kekayaan yang berasal dari tindak pidana dan masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer, sehingga seolah-olah menjadi kekayaan yang halal, untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
B. KERANGKA PEMIKIRAN Pencucian uang (money laundering) tidak hanya sekedar masalah internal Indonesia saja, tetapi juga merupakan masalah dunia Internasional. Berbagai konferensi telah diadakan dalam upaya membahas cara-cara atau metode-metode yang sebaiknya digunakan untuk mencegah dan memberantas jenis kejahatan tersebut. Dengan telah dibentuknya Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering oleh negara-negara yang tergabung dalam G-7, upaya untuk mengintensifkan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang menjadi lebih terkoordinasi dengan baik. Berkaitan dengan hal tersebut, FATF menghimbau negara-negara termasuk Indonesia agar ikut memerangi perbuatan pencucian uang sebagai suatu kejahatan lanjutan dari transnational organized crime, yaitu dengan mengkriminalisasikan kejahatan pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang dilarang dan diancam dengan pidana dalam hukum pidana masing-masing negara (Sutan Remy Sjahdeini, 2007:41). Indonesia yang sudah memiliki Undang-Undang No.15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, memang tidak dapat terlepas dari pengaruh dunia Internasional, sebab jika Indonesia mengabaikan himbauan dunia Internasional, maka Indonesia dapat dicap sebagai negara yang tidak kooperatif dalam penanggulangan kejahatan pencucian uang. Berdasarkan kenyataan yang ada, sampai saat ini Indonesia masih belum dikeluarkan dari daftar sebagai negara yang tidak kooperatif. Oleh karena itu, banyak hal yang harus segera diselesaikan agar kualitas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 juncto Undang-Undang No. 25 tahun 2003 dapat ditingkatkan sehingga sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh FATF. Sehubungan dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, ketentuan mengenai rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tetap berlaku sebagaimana adanya bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang (Sutan Remy Sjahdeini, 2007:106).
Ketentuan rahasia bank diatur dalam Bab VII dan Bab VIII Pasal 40 sampai dengan Pasal 45, Pasal 47 dan Pasal 47A UU No. 7 Tahun 1992 juncto UU No. 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 40, bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun menurut ketentuan Pasal 40 tersebut, kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan dalam hal-hal sebagai berikut: a.
Untuk kepentingan perpajakan (Pasal 41);
b.
Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (BUPLN/PUPN) (Pasal 41A);
c.
Untuk kepentingan Pengadilan dalam perkara pidana (Pasal 42);
d.
Dalam perkara perdata antara bank dan nasabahnya (Pasal 43); dan
e.
Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank (Pasal 44). Pengecualian tersebut bersifat limitatif, artinya di luar kelima hal
tersebut di atas, bank tidak diperkenankan dengan alasan apapun juga memberikan keterangan kepada siapapun mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Jumlah pengecualian itu dimasukkan dalam Undang-Undang Perbankan atau ditentukan dalam Undang-Undang Lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 47A, pelanggaran oleh pejabat atau pegawai bank terhadap kewajiban merahasiakan tersebut dapat mengakibatkan pejabat atau pegawai bank yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus milyar rupiah). Sanksi pidana penjara dan pidana denda tersebut bukan bersifat alternatif, tetapi bersifat kumulatif (Sutan Remy Sjahdeni, 2007: 194). Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan fasilitas khusus kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk dikecualikan dari ketentuan rahasia bank. Pengecualian tersebut ditentukan dalam Pasal 33 undang-undang tersebut.
Menurut Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang: “Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari penyedia jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tersangka, atau terdakwa.” PPATK yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) tersebut di atas adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya yang dibentuk dengan UU No 15 Tahun 2002. PPATK dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan bertanggung jawab kepada Presiden (Pasal 18 UU No. 15 Tahun 2002). Berdasarkan bunyi Pasal 33 ayat (3), apabila penyidik, penuntut umum, atau hakim ingin mengetahui data diri dan simpanan nasabah bank terlebih dahulu nasabah tersebut harus telah menjadi tersangka atau terdakwa. Dengan demikian, apabila masih dalam tingkatan penyidikan maka kepolisian diwajibkan mematuhi ketentuan rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU No. 10 Tahun 1998 (Sutan Remy Sjahdeni, 2007:196). Di samping itu, menurut Pasal 14 UU N0. 15 Tahun 2002 juga membebaskan bank dari ketentuan rahasia bank dalam hal bank melaksanakan kewajiban pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sedangkan Pasal 27 ayat (3) UU tersebut membebaskan PPATK dalam hal PPATK meminta dan menerima laporan dari bank, tanpa memberikan pengecualian kepada bank maupun PPATK terhadap berlakunya ketentuan rahasia bank, maka tidak mungkin tugas PPATK dapat dilaksanakan dengan optimal. Dengan demikian, maka dengan berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, pengecualian-pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank yang ditentukan oleh Undang-Undang Perbankan dapat ditambah dengan pengecualian baru oleh Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
SKEMA KERANGKA PEMIKIRAN
UU No. 7 Tahun 1992 juncto UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
UU No.15 Tahun 2002 juncto UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang
Rahasia Bank Pasal 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47, dan 47A
Money Laundering Pasal 14, 18 ayat (1), 27 ayat (3), 33 ayat (1), 33 ayat (3)
Penerapan Kerahasiaan
Pelaksanaan Money Laundering
Sesuai
Tidak sesuai
Hambatan-Hambatan
Solusi Penanggulangan
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. PENERAPAN RAHASIA BANK TERHADAP PRAKTEK PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DI INDONESIA Dalam menanggulangi pencucian uang, setidak-tidaknya ada dua masalah besar dalam pelaksanaan penyidikan dan pengusutan yang dihadapi oleh suatu negara, kedua masalah tersebut adalah rahasia bank dan pembuktian akan adanya tindak pidana pencucian uang. Negara yang ingin memerangi pencucian uang secara obyektif harus menjalankan langkah-langkah untuk melemahkan hak atas financial privacy. Pada beberapa negara, pengacara dan para bankir harus menyadari bahwa laporan keuangan dan transaksi yang dilakukan oleh nasabahnya berada di bawah sanksi yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Selanjutnya, ada ketentuan yang mengharuskan bagi mereka untuk memberikan informasi kepada penegak hukum apabila diminta, tetapi sebaliknya tidak boleh memberitahukan hasil pemeriksaan tersebut kepada nasabah. Ketentuan ini berarti pula bahwa kerahasiaan bank harus diperlonggar. Artinya, kerahasiaan bank dan peraturan kehati-hatian tidak melarang untuk pemenuhan ketentuan tersebut (Yenti Garnasih, 2003: 76).. Kendala yang mendasar terhadap peraturan anti pencucian uang datang dari nasabah atau konsumen yang mempunyai right of privacy yang mendapat perlindungan dari Hukum Kerahasiaan Bank. Hal ini karena adanya kewajiban bank untuk merahasiakan keuangan nasabah di satu sisi dan kepentingan informasi tentang keuangan yang terlibat kepentingan dalam pengusutan kejahatan disisi lain. Rahasia bank sendiri mengalami dilema dalam pengusutan suatu tindak pidana. Bank sebagai penyedia jasa keuangan mempunyai kewajiban untuk melindungi nasabahnya sehingga dapat menjadi bank yang terpercaya di mata masyarakat. Akan tetapi disisi lain, bank tidak boleh melindungi adanya suatu tindak pidana yang menjadikannya sebagai locus kejahatan. Dari sisi penegak
hukum dalam pengusutan suatu tindak pidana, mereka mengalami kesulitan di dalam proses penyidikan untuk mengumpulkan bukti-bukti terkait dengan adanya tindak pidana. Penegak hukum harus melaksanakan apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, namun terbentur Ketentuan Rahasia Bank, sementara bank tidak boleh serta merta membuka begitu saja informasi mengenai nasabahnya kepada penegak hukum. Hal lain yang berkaitan dengan lemahnya ketentuan rahasia bank itu sendiri adalah bahwa ketentuan tersebut tidak mengakomodir pengadilan untuk memerintahkan pembukuan rahasia bank. Penetapan pengadilan tidak dapat dijadikan alasan untuk membuka keterangan yang bersifat rahasia bank. Dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, menyatakan bahwa : “polisi, jaksa dan hakim yang ingin memperoleh keterangan yang bersifat rahasia bank harus memperoleh izin dari Gubernur Bank Indonesia, masing-masing melalui Kepala Kepolisian, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia”. Jika ditelaah pasal tersebut, terdapat kelemahan yang signifikan. Dari sudut ketatanegaraan, terdapat suatu keganjilan mengapa lembaga peradilan yang dipimpin Mahkamah Agung, suatu Lembaga Tinggi Negara, harus meminta izin dari Pimpinan Bank Indonesia untuk memperoleh keterangan yang bersifat rahasia bank. Padahal, dalam hal ini kedudukan Mahkamah Agung sejajar dengan Presiden dan lebih tinggi dari Pimpinan Bank Indonesia. Dari paparan di atas, Rahasia bank menjadi kendala yang sangat signifikan dan mendasar dalam pengusutan tindak pidana pencucian uang yang berhubungan erat dengan bank. Ada pendapat atau persepsi bahwa ketentuan rahasia bank di Indonesia dengan pengecualian yang bersifat limitatif dan birokratis dapat dianggap sebagai penghambat proses penegakan hukum di Indonesia. Menyangkut hal ini Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berpendapat bahwa :
“Ketentuan rahasia bank merupakan penghambat di dalam pemberantasan suatu tindak pidana. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ketentuan rahasia bank dapat dijadikan “tameng” untuk bersembunyi bagi pelaku tindak pidana” (Yenti Garnasih, 2003: 9). Aparat penegak hukum memiliki hubungan erat dengan industri perbankan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing pihak. Oleh karena bank dapat dipakai sebagai sasaran tindak pidana atau locus suatu tindak pidana, maka aparat penegak hukum satu sama lain seharusnya saling mendukung dan bekerjasama dalam upaya mengungkap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang ataupun badan. Sebagai locus yang dapat dipakai oleh pelaku tindak pidana, bank dapat dipergunakan sebagai tempat menyimpan, menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang hasil suatu tindak pidana. Untuk melaksanakan suatu tindakan hukum seperti pemblokiran dan atau penyitaan dana yang ada pada bank, aparat penegak hukum seringkali memerlukan keterangan dari bank. Menurut Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, polisi, jaksa, atau hakim dapat meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang memiliki simpanan di bank. Permintaan keterangan tersebut dengan mengajukan izin secara tertulis oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung kepada Pimpinan Bank Indonesia. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, ketentuan ini belum dapat berjalan efektif karena proses yang diperlukan relatif lama untuk memperoleh izin yang dimaksud. Di sisi lain, kemajuan teknologi dan pelayanan jasa bank yang terus berkembang membuat tersangka atau terdakwa, wajib pajak, dan debitur (penanggung hutang) dalam hitungan menit dapat saja segera memindahkan dananya ke rekening pihak lain seperti teman atau saudaranya Keadaan ini menyulitkan aparat penyidik untuk memblokir atau memperoleh bukti tindak pidana yang diperlukan. Untuk mengatasi keadaan seperti ini kadangkala penyidik menempuh jalan pintas untuk memperoleh keterangan yang bersifat rahasia bank, yaitu dengan cara meminta nasabah yang menjadi tersangka untuk memberikan kuasa kepada penyidik guna meminta keterangan dari bank. Cara lain yang dapat
dilakukan adalah meminta nasabah untuk memberikan kuasa kepada bank untuk memberikan keterangan tentang keadaan keuangan nasabah kepada pihak lain. Jika kita melihat keadaan tersebut, sebenarnya tindakan dari penyidik sangat membahayakan bagi penyidikan dan penyelesaian kasus yang berkaitan dengan rahasia bank, karena tindakan dari penyidik tidak ada pengaturannya. Hal ini akan membawa akibat bagi penyidik apabila prosedur izin membuka rahasia bank tidak dipenuhi, maka besar kemungkinan alat bukti yang dipergunakan penyidik atau penuntut umum akan ditolak pengadilan, apalagi jika terdakwa mempermasalahkannya Hal ini perlu diingat bahwa keadaan tersangka atau terdakwa dalam pemberian izin membuka informasi keuangannya yang tergolong dalam kategori rahasia bank kepada aparat penegak hukum, apakah dalam keadaan terancam ataukah dalam keadaan aman. Di samping itu, seringkali petugas yang memberi izin untuk membuka rekening seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana, juga melakukan pemeriksaan terhadap rekening-rekening lainnya. Seperti rekening sanak saudaranya atau rekening lainnya yang sesungguhnya tidak memiliki hubungan sama sekali (Yunus Husein, 2003: 11). Tindakan ini menurut polisi diperlukan untuk melacak alur dana dari tersangka, sehingga bisa mendapatkan bukti yang cukup dan optimal untuk membuktikan akan adanya tindak pidana pencucian uang dan akhirnya memberikan sanksi pidana kepada pelaku. Padahal, tindakan polisi ini tidak sesuai dengan ketentuan seperti yang disebutkan dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Untuk mengatasi masalah ini pihak penyidik seringkali mengajukan izin pemeriksaan keadaan keuangan tersangka kepada Pimpinan Bank Indonesia dengan rumusan “untuk pemeriksaan keadaan dan surat-surat yang ada hubungannya dengan rekening atas nama tersangka”. Dengan cara ini pihak penyidik melakukan pemeriksaan juga pada rekening lain yang ada hubungannya dengan rekening tersangka, walaupun hal ini sebenarnya tidak memiliki dasar hukum.
Dalam hal tindakan pemblokiran dan penyitaan dana yang ada pada rekening tersangka di bank, selama ini para pelaksana di lapangan memiliki persepsi yang salah dalam menerapkan upaya paksa. Sebagaimana diketahui bahwa pemblokiran tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Sampai sekarang peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemblokiran dan penyitaan rekening di bank belum memadai. Selanjutnya masalah pemblokiran ini diatur secara singkat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (Yunus Husein, 2003: 11).. Definisi dari pemblokiran itu sendiri adalah upaya paksa agar uang yang ada pada rekening di bank tidak dipindahkan atau ada mutasi, sedangkan uangnya tetap berada di bank. Sedangkan yang dimaksud dengan penyitaan adalah upaya paksa sementara untuk mengambil alih penguasaan atas sejumlah uang atau dana yang ada pada suatu rekening di bank (Yunus Husein, 2003: 11). Ketatnya ketentuan rahasia bank suatu negara dan ruang lingkupnya yang sangat luas, maka negara tersebut dapat menjadi tempat yang menarik untuk melakukan pencucian uang hasil kejahatan (money laundering). Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa: “suatu negara modern sulit untuk berjalan dengan baik, apabila ketentuan rahasia banknya terlalu ketat. Dikhawatirkan dengan rahasia bank yang terlalu ketat ini, pelaku kejahatan akan mudah bersembunyi dan pungutan pajak tidak akan berhasil dengan baik” (Yunus Husein, 2003: 27). Dari
uraian
tersebut
di
atas,
memperlihatkan
mengapa
bank
berkepentingan untuk menjaga dan memelihara kepercayaan nasabah dengan cara merahasiakan segala sesuatu tentang nasabah dan nasabahnya. Namun di sisi lain,
terdapat pula kepentingan pihak-pihak lain, seperti kepolisian dan kejaksaan yang mempunyai kewenangan di bidang penyidikan atau penuntutan. Disadari atau tidak, adanya kepentingan dari berbagai pihak tersebut telah menimbulkan perbedaan persepsi di dalam menafsirkan ketentuan rahasia bank. Seperti pandangan yang menyatakan bahwa ketentuan rahasia bank menghambat proses penyidikan atau pemeriksaan rekening nasabah oleh aparat penegak hukum, dan ketentuan rahasia bank telah menjadikan bank sebagai tempat yang aman untuk menyimpan uang yang diperoleh dari hasil kejahatan, misalnya praktek pencucian uang. Berkaitan dengan penerapan rahasia bank terhadap tindak pidana pencucian uang di atas, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga memegang peranan penting di dalam membantu proses penyidikan tindak pidana pencucian uang. Dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, PPATK mempunyai tugas antara lain: a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-Undang ini; b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan; c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan; d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini; e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam UndangUndang ini atau dengan peraturan perUndang-Undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan; f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan; h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia jasa keuangan; i.
memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Berkenaan dengan tugas-tugas PPATK sebagaimana dikemukakan di atas, maka sebelum PPATK dapat menjalankan fungsinya haruslah dibuat antara lain : 1. Buku daftar pengecualian bagi Penyedia Jasa Keuangan sehubungan dengan kewajiban Penyedia Jasa Keuangan untuk melaporkan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b. 2. Pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (Sutan Remy Sjahdeini, 2007: 252). Di
dalam
menjalankan
fungsinya
PPATK
memiliki
wewenang
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Wewenang tersebut adalah : a. meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan; b. meminta
informasi
mengenai
perkembangan
penyidikan
atau
penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum; c. melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan; d. memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 menentukan bahwa Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK, untuk hal-hal sebagai berikut : 1) Transaksi keuangan mencurigakan 2) Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah komulatif sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. Dalam ayat (2) menyebutkan bahwa penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan, dan dalam ayat (3) menyebutkan bahwa penyampaian laporan Transaksi Keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan. Sanksi yang dapat dikenakan kepada bank apabila tidak melaksanakan pelaporan mengenai adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan terdapat dalam Pasal 8 yang menyebutkan bahwa, Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan ini didasarkan pada Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan No. 2/6/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan. Pada Pasal 2 Keputusan Kepala PPATK ini diatur mengenai informasi yang harus dilaporkan, tata cara pengisian formulir laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan, batas waktu penyampaian laporan dan konsekuensi tidak menyampaikan laporan, alamat penyampaian laporan, cara penyampaian laporan dan kerahasiaan. Dalam Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan, PPATK mengeluarkan bentuk formulir baku yang dapat dilaporkan secara manual maupun secara elektronis. Formulir tersebut memuat : A. Identitas lengkap pelaku transaksi i.
Nama lengkap
ii.
Nama panggilan
iii.
Jenis kelamin
iv.
Tempat tanggal lahir
v.
Kewarganegaraan
vi.
Alamat lengkap domisili (tidak diperkenankan memakai P.O. BOX)
vii.
Nomor telepon
viii. Pekerjaan ix.
Alamat tempat kerja
x.
NPWP
xi.
Bukti identitas yang dimiliki
B. Rincian Tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan i.
Jenis transaksi
ii.
Tanggal transaksi
iii.
Nilai transaksi
iv.
Instrumen pembayaran yang digunakan
v.
Pengguna valuta asing
vi.
Penggunaan uang tunai
vii.
Pengguna walk-in customer
viii. Rekening yang digunakan dalam transaksi ix.
Kantor bank pelapor tempat kejadian transaksi
x.
Rincian dan uraian Transaksi Keuangan
xi.
Kode bank
xii.
Nama bank
xiii. Nama dan tanda tangan pejabat bank Keputusan Kepala PPATK tersebut menentukan bahwa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah dokumen yang bersifat sangat rahasia. Karena sifat kerahasiaannya itu, maka dalam keputusan tersebut disertai dengan ancaman pidana seperti yang disebutkan dalam Pasal 17A Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang perubahan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa bagi direksi, pejabat atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan, pejabat atau pegawai PPATK serta penyelidik atau penyidik yang melakukan pelanggaran. Ancaman pidana yang dikenakan bagi pelanggaran ketentuan tersebut diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Dalam hal pelaporan secara elektronis dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi yang mana user id dan password serta alamat yang dituju diinformasikan secara individual kepada masing-masing Penyedia Jasa Keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
B. HAMBATAN DAN SOLUSI PENERAPAN RAHASIA BANK TERHADAP PRAKTEK PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) 1.
Hambatan-Hambatan yang muncul dalam penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) Berdasarkan analisis yuridis-normatif di atas, menurut penulis yang menjadi kendala dan hambatan aparat penegak hukum dalam melakukan penyidikan dan pengusutan adanya praktek pencucian uang berkaitan dengan Ketentuan Rahasia Bank yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, adalah sebagai berikut :
1. Lemahnya Ketentuan Kerahasiaan Bank itu sendiri Ketentuan rahasia bank yang ada sekarang masih kurang sempurna, termasuk dalam kaitannya dengan upaya mendukung kepentingan proses peradilan perdata, peradilan pidana, peradilan tata usaha negara, peradilan agama dan peradilan militer. Dalam menangani kasus-kasus yang menyangkut rahasia bank seringkali pihak penyidik, penuntut umum atau hakim meminta keterangan ahli dari Bank Indonesia sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengawasan bank. Dalam pemberian keterangan oleh saksi ahli tersebut, pejabat Bank Indonesia kerapkali melakukan penafsiranpenafsiran yang kadang kala memperluas isi ketentuan rahasia bank (Yunus Husein, 2003: 261). Hal lain yang belum diatur secara memadai dalam konteks ketentuan rahasia bank adalah menyangkut penyitaan atau pemblokiran rekening dalam perkara pidana. Selama ini pengaturan masalah penyitaan dan pemblokiran rekening nasabah belum diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi hanya didasarkan pada Surat Edaran Bank Indonesia yang meneruskan surat atau instruksi dari Panglima Angkatan Kepolisian dan Jaksa Agung kepada jajarannya. Dalam Surat Edaran tersebut disebutkan, bahwa pemblokiran rekening dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyitaan. Salah satu sebab yang dominan mengenai munculnya kasus rahasia bank adalah karena pengaturannya yang masih kurang lengkap. Akibatnya kurang memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait. Ketidakpastian ini dapat menimbulkan inefisiensi, karena banyaknya pertanyaan dan kasus-kasus pelaporan yang menyangkut rahasia bank. Masalah rahasia bank yang juga terkait dengan pihak peradilan adalah mengenai pemberian keterangan yang bersifat rahasia bank dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum. Pada umumnya pemeriksaan perkara dilakukan terbuka untuk umum. Dalam pemeriksaan perkara pidana, sidang dapat dilakukan tertutup untuk umum, hanya untuk perkara
mengenai kesusilaan atau yang terdakwanya anak-anak. Keterbukaan pengadilan diperlukan antara lain untuk : a. Menjaga kepercayaan publik terhadap pengadilan yang tidak memihak. b. Dalam rangka supremasi hukum. Keterbukaan dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan yang tidak benar (Yunus Husein, 2003: 330). Dengan demikian apabila para pihak yang berperkara, terdakwa atau pengacaranya mengungkapkan keterangan yang bersifat rahasia bank, keterangan tersebut dapat diketahui oleh publik karena sidang pengadilan terbuka untuk umum. Pemeriksaan di pengadilan pidana tidak dapat dilakukan secara tertutup walaupun keterangan yang disampaikan bersifat rahasia bank, kecuali untuk perkara susila dan perkara yang terdakwanya anak-anak. 2. Rahasia bank Indonesia dengan pengecualian yang bersifat limitatif dan birokratis dianggap sebagai penghambat proses penegakan hukum di Indonesia. Pada prakteknya untuk mengatasi keadaan yang sangat dilematis mengenai ketentuan rahasia bank, seringkali pihak kepolisian meminta kepada tersangka atau terdakwa untuk memberikan kuasanya kepada polisi agar dapat menembus ketentuan rahasia bank dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari bank yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil langkah yang tercepat dan berpacu dengan waktu mengingat birokrasi yang sangat ketat untuk mengajukan izin pembukaan rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia, bahwa waktu pemberian izin membuka rahasia bank yang diberikan Gubernur Bank Indonesia adalah 14 (empat belas) hari, sementara teknologi yang sangat maju dapat menguntungkan tersangka atau terdakwa sendiri untuk memindahkan rekeningnya ke tempat lain hanya dalam hitungan menit. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya informasi atau bukti-bukti yang diperlukan oleh polisi untuk memproses tindak pidana tersebut.
3. Aparat Penegak Hukum tidak dapat mengetahui secara akurat mengenai informasi keuangan yang tersimpan di bank milik dari tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini bank akan sangat berhati-hati dalam membuka suatu informasi tentang keadaan keuangan kliennya, mengingat rahasia bank sudah menjadi pedoman dalam pelaksanaan perbankan dan menjadi kunci sukses untuk menjadi bank terpercaya dimata masyarakat. Bank tidak akan serta merta memberikan informasi kepada semua pihak yang meminta informasi tentang keadaan keuangan nasabahnya. Bahkan kesulitan yang sangat utama dalam penyelidikan adalah polisi tidak dapat mengetahui informasi keuangan dari bank mengenai dugaan adanya tindak pidana pencucian uang sebelum pelaku yang dimaksud ditetapkan menjadi tersangka. 4. Polisi tidak mungkin mendapatkan informasi keadaan keuangan seseorang yang belum ditetapkan menjadi tersangka/terdakwa. Hambatan yang keempat ini sangat menyulitkan sekali dalam hal untuk penyelidikan awal atas suatu dugaan adanya tindak pidana, secara khusus tindak pidana pencucian uang. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut undangundang ini. Artinya, polisi harus mencari bukti-bukti yang lain jika akan menetapkan seseorang melakukan tindak pidana pencucian uang padahal tindak pidana tersebut sangat berkaitan erat dengan bank, yang mana bukti-bukti utamanya berada pada pihak bank. Berkaitan dengan hal itu, dalam era elektronik sekarang ini, tindakan memindahkan uang dari satu rekening ke rekening lain hanya memerlukan waktu beberapa detik saja, sehingga aparat penegak hukum mengalami kesulitan untuk melacak dan menyita uang hasil tindak pidana
yang disimpan di bank. Hambatan ini belum sepenuhnya diakomodir dalam ketentuan mengenai rahasia bank. 2.
Penanggulangan hambatan dalam penerapan rahasia bank terhadap praktek pencucian uang (money laundering) Untuk menanggulangi mengenai ketentuan rahasia bank yang menjadi penghambat dan tantangan dalam penegakan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan tindak pidana lain yang berkaitan, berdasarkan analisis kasus yang terjadi di Indonesia, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 telah memberikan pengecualian-pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank, sebagai berikut ini : a. Untuk kepentingan perpajakan, Pasal 41 ayat (1) menetapkan bahwa, untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak. Pasal 41 ayat (2) mengatur bahwa, perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. b. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pasal 42 ayat (1) menetapkan bahwa, untuk kepentingan peradilan perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa pada bank. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa izin tersebut diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung atau Ketua Mahkamah Agung. Pada ayat (3), Permintaan tertulis tersebut harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa
atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, sebab-sebab keterangan diperlukan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diperlukan. c. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya. d. Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. e. Adanya persetujuan nasabah (customer consent). f. Untuk kepentingan penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara adalah adanya ketentuan lain yang mewajibkan membuka rahasia bank. g. Untuk kepentingan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dana yang meninggal dunia. 2. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, telah memberikan jawabannya yang tertuang dalam beberapa pasalnya, sebagai berikut : a. Pasal 14, menyebutkan bahwa pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank. b. Pasal 33 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum atau hakim tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 telah memberikan kebebasan untuk penyidikan kasus praktek pencucian uang tidak diperlukan lagi izin untuk membuka rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia.
3. Dalam penerobosan ketentuan rahasia bank untuk menyingkap tindak pidana pencucian uang, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menentukan 5 prosedur untuk menembus ketentuan kerahasiaan bank. Ketentuan rahasia bank dapat ditembus apabila : a. Adanya laporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan dari bank kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Hal ini dapat dilakukan mengingat Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 yang menentukan adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh bank mengenai pelaporan tentang adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan dan disertai dengan sanksi apabila bank tidak memenuhi kewajibannya tersebut. Berdasarkan laporan dari bank tersebut, PPATK menyerahkan berkas kasus tersebut kepada pihak kepolisian, dengan mengingat PPATK tidak mempunyai kewenangan untuk menyelidiki kasus tindak
pidana
pencucian
uang.
PPATK
hanya
mempunyai
kewenangan untuk menganalisa dan memeriksa adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan. b. Adanya temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap Transaksi Keuangan yang Mencurigakan di suatu Bank Tindakan ini dapat dilakukan mengingat PPATK diberi kewenangan oleh Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi UndangUndang No. 25 Tahun 2003 untuk melakukan pemeriksaan atau analisa terhadap bank yang diduga dijadikan locus untuk Tindak Pidana Pencucian Uang.
c. Polisi sebagai penyidik telah menemukan bahwa tindak pidana tersebut dikualifikasikan sebagai praktek pencucian uang Tindakan ini dilakukan setelah adanya laporan dari bank dan/atau PPATK terhadap transaksi keuangan mencurigakan atau adanya lapaoran dari seseorang tentang adanya praktek pencucian uang. Tindakan dari polisi ini dapat dilakukan dengan mengingat Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000, tanggal 7 September 2000 tersebut menyatakan bahwa pemblokiran dan/atau penyitaan simpanan atas nama tersangka atau terdakwa dapat dilakukan sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
tanpa
memerlukan izin dari Pimpinan Bank Indonesia. Sebagai contoh , dugaan kasus money laundering yang terjadi di BNI pada bulan November tahun 2003, dalam penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut, polisi memasukkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk memblokir dan menyita dana tersangka yang tersimpan di bank bersangkutan secara langsung tanpa memerlukan izin dari Pimpinan Bank Indonesia, hal ini dilakukan untuk mempermudah dan mempercepat dalam penyelidikan dan penyidikan oleh polisi. d. Tindak pidana tersebut dikualifikasikan sebagai tindak pidana terorisme Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dalam beberapa pasalnya menyebutkan bahwa untuk mencegah
dan
memberantas
berkembangnya
Tindak
Pidana
Terorisme, hal yang perlu dilakukan adalah memotong jalur pendanaan untuk kegiatan kejahatannya. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme menyebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap
orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme. Dalam ayat (2) menyebutkan bahwa dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum atau transaksi keuangan lainnya. Mengingat bahwa tindak pidana terorisme berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang, maka kualifikasi ini dapat dilakukan untuk menerobos ketentuan rahasia bank. e. Adanya izin dari Pimpinan Bank Indonesia untuk menerobos ketentuan Kerahasiaan Bank Izin dari Pimpinan Bank Indonesia untuk membuka ketentuan rahasia bank termuat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Dalam pasal-pasalnya, yaitu : 1) Pasal 41 ayat (1) bahwa untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta suratsurat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak. Pasal 41 ayat (2), mengatur bahwa perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. 2) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Pasal 42 ayat (1), menetapkan bahwa untuk kepentingan peradilan perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberi izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa pada bank. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa izin tersebut diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung atau Ketua Mahkamah Agung. Pada ayat (3), Permintaan tertulis tersebut harus menyebutkan nama dan
jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, sebab-sebab keterangan diperlukan dan hubungan perkara pidana yang
bersangkutan
dengan
keterangan-keterangan
yang
diperlukan. 3) Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya. 4) Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 5) Adanya persetujuan nasabah (customer consent). 6) Untuk kepentingan penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan
kepada
Badan
Urusan
Piutang
dan
Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara adalah adanya ketentuan lain yang mewajibkan membuka rahasia bank. 7) Untuk kepentingan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dana yang meninggal dunia. Dari paparan diatas, rahasia bank dapat diterobos jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dalam hal ini pihak bank dapat memberikan informasi yang diminta oleh penyidik. Namun, dalam hal adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh nasabah suatu bank atau belum ditetapkannya seseorang nasabah pada suatu bank menjadi tersangka atau terdakwa oleh pihak kepolisian, maka berdasarkan hasil penelitian dan informasi dari pihak bank, informasi tentang keadaan keuangan nasabah tidak bisa diberikan. Sehubungan
dengan
hal
ini,
upaya
kepolisian
untuk
menanggulangi hambatan rahasia bank dan untuk mengumpulkan buktibukti awal dalam pengusutan kasus tindak pidana pencucian uang, berdasarkan hasil penelitian, polisi masih berpegang pada Pasal 216 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa : “Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu; atau yang tugasnya maupun
diberi kuasa untuk menyidik yang memeriksa perbuatan pidana; demikian pula
barang siapa
menghalang-halangi
atau
dengan
sengaja
menggagalkan
mencegah,
tindakan
guna
menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak enam ratus rupiah”. Untuk mengatasi hal ini, antara PPATK, Kepolisian dan Bank telah melakukan kerjasama. Dalam praktek, untuk menembus rahasia bank, polisi meminta kepada tersangka untuk memberikan kuasanya kepada polisi agar dapat menembus ketentuan rahasia bank dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari bank yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil langkah yang tercepat dan berpacu dengan waktu mengingat birokrasi yang sangat ketat untuk mengajukan izin pembukaan rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia. 4.
Pedoman Pelaksanaan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Untuk pencegahan dan pemberantasan serta mempersempit ruang gerak praktek pencucian uang, PPATK mengeluarkan Keputusan Kepala Pusat
Pelaporan
dan
Analisis
Transaksi
Keuangan
No.
2/1/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman umum dalam Pelaksanaana dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang bagi Penyedia Jasa Keuangan sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaiman telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, sebagai berikut : Dalam Bab 3 yang berjudul Pedoman Bagi Penyedia Jasa Keuangan pada huruf A yang berjudul Kewajiban Untuk Waspada, menentukan halhal sebagai berikut : 1) Kewajiban untuk waspada pada pokoknya terdiri dari lima unsur : a) Identifikasi dan verifikasi nasabah atau pengguna jasa keuangan
b) Identifikasi transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi tunai dalam jumlah tertentu c) Pelaporan transaksi keuangan d) Menatausahakan dokumen e) Pelatihan karyawan 2) Kewaspadaan dapat dilakukan apabila setiap Penyedia Jasa Keuangan memiliki sistem yang memungkinkan dilaksanakannya beberapa hal, sebagai berikut : a) Mengetahui
identitas
sebenarnya
dari
nasabah
yang
menggunakan jasanya b) Mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan dan melaporkannya kepada PPATK c) Mengidentifikasi transaksi tunai dalam jumlah tertentu dan melaporkan kepada PPATK d) Menyimpan dokumen atau data selama waktu yang ditentukan e) Memberikan pelatihan kepada pejabat dan staff terkait f) Berkoordinasi secara erat dengan PPATK untuk hal-hal yang terkait dengan sistem dan kebijakan untuk waspada g) Memastikan bahwa internal audit dan unit kerja compliance, kepatuhan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan dan operasional sistem dan kebijakan internal masing-masing Penyedia Jasa Keuangan. 3) Penyedia Jasa Keuangan mencakup bermacam-macam jenis organisasi, baik dalam skala besar maupun kecil, maka sifat dan cakupan sistem kewaspadaan yang tepat untuk setiap institusi atau organisasi dapat bervariasi tergantung ukuran, struktur dan sifat dasar dari kegiatan usahanya. Namun demikian terlepas dari ukuran dan strukturnya, setiap Penyedia Jasa Keuangan wajib melaksanakan standar kewaspadaan sebagaimana dalam angka 1 dan angka 2 diatas.
4) Sistem kewaspadaan harus dapat membuat petugas atau aparat berwenang untuk bereaksi secara cepat dan tepat terhadap kejadian dan keadaan yang mencurigakan dengan cara melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab. Oleh karena itu perlu dilakukan pelatihan terhadap karyawan secara terus menerus. 5) Pada setiap Penyedia Jasa Keuangan harus terdapat pejabat atau petugas sebagai contact person dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk penanganan kasuskasus nasabah dan transaksi keuangan yang dilaporkan. Hal ini akan mempercepat dan mempermudah penanganan selanjutnya baik oleh PPATK maupun aparat penegak hukum. Dalam Bab 4 yang berjudul Penyedia Jasa Keuangan, mengatur hal-hal berikut : Dalam huruf A angka 3, hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan hubungan usaha dengan nasabah, yaitu : 1) Pembukaan rekening Calon nasabah dapat digolongkan mencurigakan apabila pada saat pembukaan rekening, yang bersangkutan melakukan hal-hal berikut : a) Tidak bersedia memberikan informasi yang diminta b) Memberikan informasi yang tidak lengkap atau memberikan informasi yang kurang memuaskan c) Memberikan informasi palsu atau menyesatkan d) Menyulitkan petugas bank pada saat dilakukan verifikasi terhadap informasi yang sudah diberikan e) Membatalkan hubungan bisnis dengan bank. 2) Nasabah yang tidak memiliki rekening (walk in customer) Bank wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah bagi walk-in customer yang melakukan transaksi dengan nilai lebih besar dari Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi atau nilai setara.
3) Penitipan (custodian) dan safe deposit box Bank perlu melakukan tindakan pengamanan khusus terhadap nasabah yang menggunakan jasa penitipan dan safe deposit box. Bank juga harus menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah terhadap walk-in customer yang menggunakan safe deposit box. 4) Penyetoran dan Penarikan Transaksi penyetoran dan penarikan tunai adalah metode yang lazim dilakukan oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci hasil tindak pidananya melalui sistem perbankan. Oleh karena itu untuk menjamin kebenaran transaksi, sejak awal petugas bank harus memastikan semua informasi yang diperlukan berkenaan dengan identitas nasabah. Informasi nasabah
yang lengkap akan
mempermudah bank untuk mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan. 5) Kredit atau pembiayaan Kredit atau pembiayaan dalam bentuk kartu kredit perlu mendapat perhatian khusus karena instrumen ini dapat digunakan oleh pelaku pidana untuk mencuci hasil tindak pidananya melalui proses layering atau integration. Dalam Bab 5 yang berjudul Prosedur Identifikasi Nasabah, mengatur halhal berikut : 1) Prinsip Mengenal Nasabah a) Ketika akan melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah, Penyedia Jasa Keuangan harus secara pasti mengetahui siapa nasabahnya dan apa tujuan serta bagaimana cara penggunaan produk Penyedia Jasa Keuangan oleh nasabah tersebut. Dengan demikian Penyedia Jasa Keuangan dapat memperkirakan aktivitas normal serta profil calon nasabah sehingga dapat mengidentifikasi apakah transaksi yang dilakukan nasabah merupakan transaksi normal atau tidak sesuai dengan profil nasabah.
b) Keuntungan mengenai Prinsip Mengenai Nasabah (Know Your Customer pengawas
Principles)
yang
masing-masing
dikeluarkan Penyedia
oleh
Jasa
lembaga Keuangan,
merupakan instrumen pencegahan pencucian uang yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan. Ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Penyedia Jasa Keuangan meliputi kebijakan dan prosedur yang dilakukan terhadap nasabah, baik dalam penerimaan, pengidentifikasian, pemantauan terhadap transaksi, maupun dalam manajemen resiko. c) Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan sangat penting untuk mencegah digunakannya Penyedia Jasa Keuangan sebagai locus pencucian uang dan aktivitas lainnya yang terkait. Apabila seseorang memberikan identitas palsu saat akan melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan, hal ini mencerminkan itikad yang tidak baik dari calon nasabah tersebut, dan bertujuan agar penegak hukum sulit melakukan penyidikan atau pengusutan. d) Walaupun Penyedia Jasa Keuangan tunduk pada ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah yang ditetapkan oleh masingmasing lembaga pengawas jasa keuangan, namun sesuai dengan Pasal 25 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun
2003,
laporan
mengenai
Transaksi
Keuangan
Mencurigakan harus disampaikan kepada PPATK dan tata cara
pelaporannya
berpedoman
pada
ketentuan
yang
dikeluarkan oleh PPATK. 2) Upaya Untuk Mendapatkan Identitas Nasabah a) Penyedia Jasa Keuangan harus memperoleh keyakinan mengenai identitas nasabahnya, baik perorangan maupun perusahaan. Selain itu, Penyedia Jasa Keuangan juga harus melakukan verifikasi terhadap identitas nasabah. Apabila
nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain maka identitas pihak lain tersebut juga wajib diminta dan diverifikasi. b) Apabila terdapat prosedur yang mengharuskan adanya pertemuan dengan nasabah, maka hal tersebut dilakukan sejak dimulainya hubungan usaha. Dengan demikian Penyedia Jasa Keuangan dapat membuktikan identitas nasabah sesuai dengan dokumen pendukungnya (verifikasi fisik). c) Prosedur pembuktian identitas nasabah berlaku sama untuk setiap produk yang dikeluarkan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Hal yang perlu diperhatikan dari dokumen pendukung bukti diri calon nasabah antara lain masa berlakunya dan instansi yang berwenang mengeluarkan dokumen tersebut. Penyedia Jasa Keuangan harus memiliki salinan dokumen dan menatausahakannya dengan baik. d) Penyedia Jasa Keuangan wajib melakukan pengkinian data nasabah terhadap setiap perubahan yang berkaitan dengan identitasnya. Proses pengkinian merupakan bagian dari prosedur pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah untuk melindungi Penyedia Jasa Keuangan agar tidak dimanfaatkan sebagai locus pencucian uang. e) Apabila prosedur identifikasi dan verifikasi telah dilaksanakan secara lengkap, Penyedia Jasa Keuangan tidak perlu meminta informasi
tambahan
kepada
nasabah
apabila
yang
bersangkutan melakukan hubungan usaha atau transaksi lainnya dengan Penyedia Jasa Keuangan yang sama. 3) Bukti Identitas Nasabah Penyedia Jasa Keuangan wajib meneliti dan memastikan kebenaran bukti identitas calon nasabah saat akan melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan. Apabila kebenaran identitas tersebut diragukan, Penyedia Jasa Keuangan
wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah tersebut. Dalam Bab 6 dengan judul Identifikasi dan Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, memberikan beberapa contoh mengenai beberapa transaksi untuk mengidentifikasi transaksi keuangan yang dikualifikasikan dalam transaksi keuangan mencurigakan, sebagai berikut : 1) Setoran tunai yang cukup besar dalam satu transaksi atau kumpulan dari transaksi, khususnya apabila : a) Transaksi dari kegiatan usaha yang biasa dilakukan oleh nasabah tidak tunai tetapi dalam bentuk lain seperti cek, bank draft, letter of credit, bills of exchange atau instrumen lain. b) Setoran ke dalam suatu rekening semata-mata agar nasabah dapat melakukan transaksi bank draft, transfer atau instrumen pasar uang yang dapat diperjualbelikan. 2) Nasabah atau kuasanya berupaya menghindari untuk berhubungan secara langsung dengan penyedia jasa keuangan. 3) Penggunaan nominee accounts, trustee accounts dan client accounts yang sebenarnya tidak perlu dilakukan dan tidak konsisten dengan kegiatan usaha nasabah. 4) Penggunaan banyak rekening dengan alasan yang tidak jelas. 5) Penyetoran dalam nominal kecil dengan frekuensi yang cukup tinggi dan kemudian dilakukan penarikan secara sekaligus. 6) Sering melakukan pemindahan dana antar rekening pada Negara atau wilayah yang berbeda. 7) Adanya jumlah yang hampir sama antara dana yang ditarik dengan yang disetor secar tunai pada hari yang sama atau hari sebelumnya. 8) Penarikan dalam jumlah besar terhadap rekening yang tidak aktif. 9) Penarikan dalam jumlah besar terhadap rekening yang baru menerima dana yang tidak diduga dan tidak biasa dari luar negeri.
10) Nasabah yang memperlihatkan kehati-hatian yang berlebihan terutama terhadap kerahasiaan identitas atau kegiatan usahanya, atau nasabah yang menunda-nunda untuk memberikan informasi dan dokumen pendukung mengenai identitasnya. 11) Nasabah yang berasal dari atau yang mempunyai rekening di negara yang dikenal sebagai tempat pencucian uang atau negara yang kerahasiaan banknya sangat ketat. 12) Adanaya transfer dana ke dalam suatu rekening dengan frekuensi yang sangat tinggi dan secara tiba-tiba padahal sebelumnya rekening tersebut tergolong tidak aktif. 13) Pembayaran atas pembelian saham yang dilakukan melalui transfer dari rekening atas nama pihak lain. Dalam Bab 7 dengan judul Tindak Pidana Pencucian uang dan Pencegahannya pada huruf B yang berjudul Larangan Memberikan Keterangan kepada pihak yang Tidak Berhak (Anti Tipping-Off), menegaskan hal-hal berikut ini : 1) Direksi,
pejabat
atau
pegawai
jasa
keuangan
dilarang
memberitahukan kepada nasabah atau orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung sengan cara apapun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. 2) Petugas penyedia jasa keuangan yang meminta keterangan awal dari nasabah dalam rangka melakukan verifikasi terhadap suatu transaksi, tidak dikategorikan sebagai tipping-off. Penyedia Jasa Keuangan dilarang menginformasikan kepada nasabah apabila hasil verifikasi transaksi tersebut dikategorikan dan dilaporkan sebagai transaksi keuangan mencurigakan. 3) Apabila transaksi keuangan mencurigakan telah dilaporkan kepada PPATK, maka dalam penyelidikan dan Penyidikan lebih lanjut harus dipastikan bahwa pihak-pihak yang dilaporkan tidak
menaruh kecurigaan akibat dari penyelidikan dan penyidikan tersebut. 4) Tujuan adanya anti tipping-off adalah : a. Untuk
mencegah
pihak
yang
dilaporkan
(nasabah)
mengalihkan dananya dan atau melarikan diri sehingga mempersulit aparat penegak hukum dalam melakukan pelacakan kasus tersebut. b. Untuk menjaga efektifitas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Dalam Bab 9 dengan judul Pendidikan dan Pelatihan menegaskan bahwa agar setiap penyedia jasa keuangan memberikan pelatihan dan pendidikan kepada karyawannya tentang segala sesuatu mengenai tindak pidana pencucian uang.
BAB IV PENUTUP
A.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan
terhadap masalah-masalah yang diangkat dalam tulisan ini dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Rahasia bank merupakan jiwa dari sistem perbankan, dengan adanya ketentuan rahasia bank, kepentingan antara nasabah dan bank dapat terlindungi. Pelaksanaan rahasia bank diatur di dalam Bab VII dan Bab VIII Pasal 40 sampai dengan Pasal 45, Pasal 47, dan Pasal 47A Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Di satu sisi, rahasia bank merupakan hal yang wajib dilakukan oleh bank yang didahului oleh prinsip Know Your Customer (KYC) dan hal ini merupakan prinsip yang sangat mendukung bank dalam melakukan kegiatan usaha. Pada sisi yang lain, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang juga merupakan peratuan hukum yang harus ditegakkan oleh pihak penyidik
dalam
proses
penyidikan
dan
penyelidikan
terhadap
tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana pencucian uang. Kelemahan peraturan mengenai rahasia bank tersebut sudah bisa ditanggulangi dengan adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, misalnya dengan adanya kewenangan PPATK yang istimewa [diatur dalam Pasal 14, Pasal 18 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 33 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3)] dalam menerobos ketentuan rahasia bank. Hanya saja penerapan di lapangan sering terjadi penafsiran hukum yang berbeda antara pihak bank dengan penyidik, sehingga menimbulkan ambiguitas dan koordinasi yang tidak jelas di lapangan, terutama masalah birokrasi.
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum berkaitan dengan ketentuan rahasia bank, sebagai berikut : a. Lemahnya Ketentuan Kerahasiaan Bank itu sendiri b. Rahasia bank Indonesia dengan pengecualian yang bersifat limitif dan birokratis dianggap sebagai penghambat proses penegakkan hukum di Indonesia c. Aparat Penegak Hukum tidak dapat mengetahui secara akurat mengenai informasi keuangan yang tersimpan di bank milik dari tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana pencucian uang d. Polisi tidak mungkin mendapatkan informasi keadaan keuangan seseorang yang belum ditetapkan menjadi tersangka atau terdakwa Untuk menanggulangi hambatan tersebut di atas, dapat dilakukan dengan pembukaan dan penerobosan ketentuan rahasia bank, dengan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menentukan 5 prosedur untuk menembus ketentuan rahasia bank, Ketentuan Rahasia Bank dapat ditembus apabila : 1) Adanya laporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan dari bank kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2) Adanya temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap Transaksi Keuangan yang Mencurigakan di suatu bank 3) Polisi sebagai penyidik telah menentukan bahwa tindak pidana tersebut dikualifikasikan sebagai tindak pidana pencucian uang, sesuai dengan Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/200, tanggal 7 September 2000 yang menyatakan bahwa pemblokiran dan/atau penyitaan simpanan atas nama tersangka atau terdakwa dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa memerlukan izin dari Pimpinan Bank Indonesia. 4) Tindak pidana tersebut dikualifikasikan sebagai tindak pidana terorisme
5) Adanya izin dari Pimpinan Bank Indonesia untuk menerobos ketentuan Kerahasiaan Bank b. Pasal 14 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, memberikan solusi bahwa pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang yang mengatur mengenai rahasia bank. Dilanjutkan pada Pasal 33 ayat
(2)
yang menyebutkan
bahwa dalam
meminta keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. c. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 telah memberikan pengecualian-pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank, sebagai berikut ini : 1) Untuk kepentingan perpajakan (Pasal 41 ayat (1) dan (2)) 2) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana [Pasal 42 ayat (1), (2), dan (3)] 3) Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya. 4) Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank (Pasal 44) 5) Adanya persetujuan nasabah (customer consent). 6) Untuk kepentingan penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara adalah adanya ketentuan lain yang mewajibkan membuka rahasia bank. 7) Untuk kepentingan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dana yang meninggal dunia.
B. SARAN 1. Perlu adanya koordinasi yang baik antara pihak Bank dan Penyidik (aparat penegak hukum) untuk mempermudah proses pengusutan praktek pencucian uang, sehingga pihak penyidik dapat mengetahui secara akurat mengenai informasi keuangan yang tersimpan di bank milik dari tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana pencucian uang tersebut. 2. Ketentuan rahasia bank yang berkaitan dengan penyidikan, dapat disempurnakan, misalnya dengan mempersingkat waktu pemberian izin membuka rahasia bank yang diberikan Gubernur Bank Indonesia, dari empat belas hari menjadi tiga hari kerja. Bahkan apabila dipandang perlu, izin membuka rahasia bank dapat diberikan oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia saja atas dasar permohonan dari Kepala Kepolisian Daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, atau Ketua Pengadilan Tinggi. 3. Untuk lebih meningkatkan pemberantasan dan pembongkaran adanya praktek pencucian uang, hendaknya Penyedia Jasa Keuangan, khususnya bank, dapat menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah dan mematuhi pelaporan terhadap adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan serta mematuhi dan menerapkan Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan No.2/1/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bagi Penyedia Jasa Keuangan dan No.2/4/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Daftar Buku Adrian Sutedi. 2007. Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta : Sinar Grafika. Bambang Poernomo. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta : Ghalia Indonesia. Cees Schaap. 1998. Fighting Money Laundering. London Kluwer Law International Ltd. Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Mahmoeddin. 1997. Analisis Kejahatan Perbankan. Jakarta : Rafflesia. Marulak Pardede. 1995. Hukum Pidana Bank. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. ______________. 1995. Masalah Money Laundering di Indonesia. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI. Moch. Anwar. 1986. Tindak Pidana di Bidang Perbankan. Bandung : Alumni Bandung . Moeljatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. tt. Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum (Buku I). Jakarta. M. Arief Amirullah. 2003. Money Laundering : Tindak Pidana Pencucian Uang. Malang : Banyumedia Publishing. Munir Fuady. 1999. Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan UndangUndang No. 10 Tahun 1998) Buku Kesatu. Bandung : PT Citra Aditya Bakti. ___________. 2001. Hukum Perbankan Modern Buku Kedua (tingkat advance). Bandung : PT Citra Aditya Bakti Sentosa Sembiring. 2000. Hukum Perbankan. Bandung : CV Mandar Maju.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. _______________, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W Kusuma. 1981. Kriminologi Suatu Pengantar. Jakarta : Ghalia Indonesia. _______________, Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Soewarsono H dan Reda Manthovani. 2004. Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. Jakarta : CV Malibu. Sutan Remy Sjahdeini. 2007. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti. Thomas Suyatno dkk. 1998. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: STIE Perbanas-Gramedia. Yenti Garnasih. 2003. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering). Jakarta : Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Yunus Husein. 2003. Rahasia Bank : Privasi Versus Kepentingan Umum. Jakarta : Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
2. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 juncto Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang No. 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bagi Penyedia Jasa Keuangan
Keputusan Kepala PPATK No. 2/4/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan Keputusan Kepala PPATK No. 2/5/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Bagi Pedagang Valuta Asing dan Usaha Jasa Pengiriman Uang Keputusan Kepala PPATK No. 2/6/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Tata Cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan Keputusan Kepala PPATK No. 2/7/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Pedagang Valuta Asing dan Usaha Jasa Pengiriman Uang